GAYA BAHASA TERJEMAHAN SURAH AR-RAHMAN DALAM AL-QUR’ÂN AL-KARÎM BACAAN MULIA KARYA H. B. JASSIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Oleh Povi Maspupah NIM 1112013000053 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 i ii iii ABSTRAK Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yang disertai dengan teknik sadap, catat, rekam, simak libat cakap, dan metode analisis isi atau dokumen. Analisis dokumen digunakan untuk mencari dan mengklasifikasikan bentuk penggunaan gaya bahasa, membedah makna yang terkandung dalam setiap terjemahan ayat surah Ar-Rahman, khususnya yang mengandung gaya bahasa. Adapun hasil analisis dan mengenai implikasi penelitian terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, disajikan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan dan menguraikannya dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Hasil yang diperoleh setelah melakukan penelitian yaitu ditemukan 22 jenis gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Gaya bahasa tersebut, di antaranya adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, di antaranya adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis, asindeton, polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan apostrof, dan gaya bahasa kiasan, di antaranya adalah gaya bahasa simile, personifikasi, sinekdoke, dan antonomasia. Selanjutnya, ditemukan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, terdiri dari gaya bahasa repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan antitesis. Gaya bahasa retoris paling banyak ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penelitian ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, pada materi yang memuat gaya bahasa, seperti materi puisi, terutama dalam hal pemberian contoh. Kata Kunci: Gaya Bahasa, H. B. Jassin, Surah Ar-Rahman, Bacaan Mulia. iv ABSTRACT Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Figurative Language of The Most Gracious Translation in the Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B. Jassin and the Implication for Indonesian Language and Literature Education”. Faculty of Educational Sciences. Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. Advisor: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016. It is a qualitative descriptif research, which aims to describe the use of figurative language of the most gracious: a translation of the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B. Jassin and its implication for Indonesian language and literature learning at school. The method used in this research is simak (observation) method, followed by sadap (tapping), catat (note), rekam (record), simak libat cakap techniques, and content or document analysis method. Document analysis is used to conduct and classify the form of figurative language usage, to reveal the meaning contained within each verse translation of the most gracious, especially which contains figurative language. As for the research result is presented using a qualitative descriptive method, which describes and analyses it in the form of word. The research result reveals that 22 types of figurative language are found in the most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B. Jassin. There are 22 types of figurative language. They are figurative language based on the real or not real meaning, consistsing of rhetoric language, which in turn consisting of inversion, alliteration, assonance, ellipsis, apofasis, asyndeton, polysyndeton, pleonasm, tautology, prolepsis, erotesis, periphrasis, apostroph, and figurative language based on unreal meaning, which include simile, personification, sinekdoke, and antonomasia. Furthermore, there are figurative language based on the sentence structure, consisting of repetition, paralelism, climax, anticlimax, and antithesis. The rhetoric language is mostly found in the most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B. Jassin. This research can be applied to Indonesian language and literature learning at school, on the material which discusses figurative language, like poetry, especially in providing examples. Keywords: Figurative language, H. B. Jassin, The Most Gracious, Bacaan Mulia. v KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan banyak nikmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Selawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada seorang nabi dan rasul, yang memberikan peringatan kepada orang-orang kufur dan menyampaikan kabar gembira kepada insan-insan yang beriman, yakni Nabi Muhammad Saw. Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses penulisan skripsi ini, tentu tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai pembimbing skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis. 3. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberikan banyak ilmu, terutama selama proses perkuliahan, memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis. 4. Keluarga besar penulis, terutama Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan berupa materi, perhatian, nasihat, dan motivasi kepada penulis. 5. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012, yang telah memberikan banyak pengalaman, memberikan vi dukungan, dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Putri Anggraeni Ruminto, Ulfah Sundusiah, dan Yayah Nur Asyani. Semoga segala kebaikan berbagai pihak, mendapat balasan dari Allah Swt. Sesuai dengan firmanNya dalam surah Ar-Rahman, bahwa sesungguhnya tidak ada balasan untuk kebaikan selain dengan kebaikan. Selain itu, pada skripsi ini, tentulah tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi para mahasiswa dan para peneliti selanjutnya yang tertarik kepada bidang linguistik. Jakarta, 10 Desember 2016 Penulis Povi Maspupah NIM. 1112013000053 vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................. i LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH...................................... ii LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ............................................. iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv ABSTRACT ....................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah ......................................................................... 6 D. Rumusan Masalah ......................................................................... .... 7 E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7 F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7 BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa ...................................................... 9 b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa ....................................................... 10 2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik a. Fonologi ............................................................................... 36 b. Sintaksis ............................................................................... 37 c. Semantik ............................................................................... 41 viii d. Pragmatik .............................................................................. 41 3. Terjemah a. Pengertian Terjemah ............................................................ 42 b. Macam-Macam terjemah ..................................................... 44 c. Persyaratan Terjemahan ..................................................... 49 d. Persyaratan Penerjemah ....................................................... 51 e. Tahap-Tahap Penerjemahan ................................................ 52 4. Alquran a. Pengertian Alquran .............................................................. 54 b. Isi Kandungan Alquran ........................................................ 56 B. Penelitian yang Relevan ................................................................... 57 BAB III METODE PENELITIAN 1. Sumber Data ............................................................................... 65 2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 66 3. Metode Analisis Data ................................................................. 67 BAB III HASIL PENELITIAN A. Biografi H. B. Jassin ................................................................... 69 B. Surah Ar-Rahman ....................................................................... 74 C. Hasil Penelitian 1. Temuan Data .......................................................................... 77 2. Analisis dan Deskripsi Data ................................................... 80 D. Impilkasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah.................................................................. 139 BAB IV PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................... 143 B. Saran ........................................................................................... 145 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 146 LAMPIRAN-LAMPIRAN ix DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 2 : Daftar Uji Referensi Lampiran 3 : Surah Ar-Rahman dan Terjemahannya dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin Lampiran 4 : Hasil Kegiatan Mengaji Lampiran 5 : Pedoman Transliterasi Lampiran 6 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Lampiran 7 : Biodata Penulis x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, tidak hanya mempunyai gaya dalam berpakaian, berbicara, mengajar, belajar, berjalan, memimpin, dan mendidik anak, tetapi juga gaya dalam berbahasa yang disebut gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan gaya seseorang dalam menggunakan bahasa. Bentuk penggunaan gaya bahasa pun tentu berbeda-beda. Gaya bahasa tersebut, akan menjadi ciri khas yang membedakan seseorang dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, sesungguhnya manusia banyak menggunakan gaya bahasa untuk menyatakan maksud, pikiran, dan perasaan. Gaya bahasa tidak saja digunakan dalam komunikasi lisan, tetapi juga tulisan, seperti yang dilakukan oleh para penulis terutama para penulis teks sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Bentuk pengunaan gaya bahasa seperti daun melambai-lambai, angin berbisik ke telingaku, dan gadis itu mematung, merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa yang banyak ditemukan dalam teks sastra. Perlu diketahui juga, bahwa penggunaan gaya bahasa tidak saja dapat ditemukan dalam teks sastra, tetapi dalam teks-teks lain seperti teks pidato, jurnal, artikel, esai, dan Alquran terjemahan. Berkaitan dengan Alquran terjemahan, dalam skripsi ini penulis akan memfokuskan analisis pada penggunaan gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Alasannya, penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran terjemahan belum banyak yang melakukan, terutama mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian justru lebih banyak dilakukan pada teks-teks sastra dan tindakan kelas yang berhubungan dengan pendidikan. Oleh karena itu, penulis lebih memilih melakukan 1 2 analisis gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Lebih dari sepuluh penelitian mengenai gaya bahasa yang pernah dilakukan, tiga di antaranya adalah skripsi karya Hendryanoor Setiawan yang berjudul “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2012,1 skripsi karya Novita Rihi Amalia yang berjudul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010, 2 dan skripsi karya Evi Selulawati yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”, program studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2012.3 Dari sekian banyak versi Alquran terjemahan, penulis lebih memilih Alquran terjemahan karya H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Kehadiran Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yang banyak menuai kontroversi, sang penerjemah bukan dari kalangan para ulama, melainkan seorang sastrawan, merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Selain itu, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, jika dibandingkan dengan Alquran terjemahan versi lain, terutama versi Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus, mempunyai perbedaan-perbedaan. Salah satu dari perbedaan tersebut adalah dari segi diksi dan tipografi. H. B. Jassin sebagai seorang sastrawan, mencoba untuk menerjemahkan Alquran secara puitis. Menurutnya, bahasa Alquran sungguh luar biasa puitisnya, sayang sekali jika tidak diterjemahkan 1 Hendryanoor Setiawan, “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Skripsi, (Universitas Negeri Yogyakarta, 2012), Tidak dipublikasikan. 2 Novita Rihi Amalia, “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”, Skripsi, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), Tidak dipublikasikan. 3 Evi Selulawati, “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”, Skripsi, (Universitas Indonesia, 2012). 3 dengan bahasa yang puitis pula. Alquran terjemahan H.B. Jassin adalah Alquran terjemahan dalam bentuk puisi. Sebuah puisi pada umumnya dapat dilihat pada bentuk visualnya, yakni berbeda dari prosa, ditulis tidak baris demi baris yang panjangnya memenuhi lebar halaman, akan tetapi baris demi baris yang panjangnya hanya memehuni sebagian lebar halaman.4 Serangkaian kata terjemahan Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, disajikan rata tengah, dengan posisi terjemahan bahasa Indonesia di sebelah kiri ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab. H. B. Jassin sebagai sang penerjemah, adalah seorang sastrawan sekaligus kritikus sastra yang terkenal dan mendapat julukan “Paus Sastra”. Julukan tersebut, diberikan oleh Gayus Siagian pada satu kesempatan simposium sastra Fakultas Sastra UI, Desember 1956, 5 sebagai penghargaan dari apa yang telah dilakukannya, yaitu kecintaan, ketekunan, dan perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap sastra Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pengabdian konkret H. B. Jassin pada dunia kesusastraan Indonesia.6 Lebih lanjut, kata paus di dalam agama Katolik merupakan pemimpin tertinggi yang berkedudukan di Vatikan. Namun, ini bukan berarti bahwa H. B. Jassin adalah seorang pemimpin tertinggi beragama Katolik. H. B. Jassin bukanlah pengikut paus. H. B. Jassin adalah penganut Islam. Adapun kata paus, digunakan untuk menggambarkan sifatnya yang suka bertenang-tenang, mirip dengan ikan paus.7 Kemampuan dan kelihaian H. B. Jassin menggunakan gaya bahasa dalam teks-teksnya terutama teks sastra fiksi, baik itu untuk menyampaikan maksud maupun untuk memperindah cerita, sudah tidak diragukan lagi. Banyak sekali penghargaan-penghargaan yang diraih H. B. Jassin atas karya-karyanya. Namun, bagaimanakah jika sang “Paus Sastra” 4 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. 2000), h.26. 5 Hawe Setiawan, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia 2, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2008), h. 99. 6 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 287-288. 7 H.B. Jassin, Op. Cit., h.78. 4 ini menerjemahkan Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia? Apakah sang “Paus Sastra” juga menggunakan kelihaiannya menggunakan gaya bahasa dalam menerjemahkan ayat-ayat Alquran seperti pada teks-teks sastra tanpa melenceng dari arti yang dikandungnya? Bagaimanakah bentuk penggunaan gaya bahasanya? Hal inilah yang kemudian ingin sekali penulis kaji lebih mendalam, dengan memilih AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin sebagai sumber primer dalam mengkaji gaya bahasa. Hanya saja, analisis akan difokuskan pada terjemahan surah Ar-Rahman. Alasannya, surah Ar-Rahman adalah surah yang menarik dan unik. Menarik dan uniknya surah Ar-Rahman ini karena memuat kalimat yang digunakan berulang-ulang, yaitu sebanyak 31 kali. Pengulangan kalimat tersebut, juga merupakan salah satu bentuk penggunaan gaya bahasa yang sangat jelas terlihat, berbeda dengan surahsurah lainnya. Persajakan akhir ayat dalam surah Ar-Rahman begitu indah dan rapi. Persajakan akhir seperti alif nun, alif mim, alif ra, dan nun membuat surah ini sangat indah. Lebih lanjut, penelitian mengenai gaya bahasa terjemahan surah ArRahman ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh materi gaya bahasa. Menyajikan contoh gaya bahasa, tidak hanya terbatas pada karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, tetapi juga pada terjemahan ayat-ayat Alquran pun dapat ditemukan berbagai contoh penggunaan gaya bahasa yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya. Sehingga, akan menambah pengetahuan siswa terhadap materi gaya bahasa, yang biasanya merupakan bagian dari materi seperti puisi, cerpen, dan drama. Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari 5 membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat, mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.8 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada umumnya, materi gaya bahasa merupakan bagian dari materi puisi, cerpen, novel, atau drama. Melalui kegiatan membaca dan menulis, siswa dan guru dapat mencari, menemukan, menyajikan dan menganalisis contoh gaya bahasa, baik dari teks sastra, maupun dalam Alquran terjemahan berbahasa Indonesia, untuk menambah pengetahuan dan mengasah pemahaman. Penelitian terhadap Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin ini memang sudah pernah dilakukan, dengan berbagai fokus penelitian yang berbeda, seperti skripsi Siti Rohmanatin Fitriani berjudul “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 20039 dan skripsi Ahmad Muh. Ikhlas berjudul “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas 8 J. S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 14-15. 9 Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan. 6 Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016. 10 Hal tersebut, jelas berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis lebih memfokuskan kajian pada persoalan gaya bahasa dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah dipaparkan di atas, dengan penuh semangat dan keyakinan, pada skripsi ini penulis memutuskan untuk mengambil judul penelitian “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. 1. Kemampuan H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran tanpa melenceng dari arti yang dikandung ayat. 2. Bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin. 3. Sebab-sebab penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin. 4. Hubungan penggunaan gaya bahasa dengan kalimat pada ayat-ayat lain dan isi kandungan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin. 5. Pemberian contoh materi gaya bahasa di sekolah yang hanya terfokus pada buku ajar dan teks-teks sastra. C. Pembatasan Masalah Adapun dalam penelitian ini, masalah-masalah akan dibatasi pada persoalan mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al10 Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan. 7 Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. D. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin? b. Bagaimana implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. b. Mendeskripsikan implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan mengingatkan kembali kepada penulis dan pembaca, mengenai materi pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam, yaitu mengenai gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, terjemahan, macammacam terjemahan, syarat terjemahan, persyaratan penerjemah, tahapan penerjemahan, Alquran, dan mengenai riwayat hidup H. B. Jassin. Landasan-landasan teori tersebut, diharapkan mampu menjadi dasar pemikiran, menyumbangkan pemahaman, dan menjadi referensi bagi 8 penulis dan pembaca, baik dalam proses pembelajaran, maupun dalam penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap positif baik bagi penulis maupun pembaca, karena banyak hal yang dapat diambil, dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, dan senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Adanya penelitian ini, diharapkan juga mampu membentuk semangat, memberikan motivasi kepada penulis dan pembaca untuk selalu membaca Alquran, mengkaji, dan mengamalkan ajaran di dalamnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu membentuk karakter penulis dan pembaca menjadi pribadi yang kritis, mampu mengetahui, memahami, dan menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dijadikan bahan penelitian dan evaluasi diri dengan mengambil nilai-nilai positif untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari. Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sebagai motivasi, dan referensi bagi guru-guru bahasa Indonesia dalam memberikan contoh-contoh materi pelajaran, juga bagi peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai persoalan gaya bahasa dalam Alquran terjemahan yang tidak hanya terdapat pada surah Ar-Rahman, serta sebagai inovasi bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap dalam bukunya Telaah Wacana memaparkan pengertian gaya bahasa dengan mengambil penjelasan dari Harimurti Kridalaksana. Mereka memaparkan, ”Gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu: pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.”11 Sementara itu, pendapat Gorys Keraf mengenai gaya bahasa, dipaparkan sebagai berikut. Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan katakata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. 12 Lebih lanjut, terkait dengan persoalan gaya bahasa, Gorys Keraf memaparkan, Bila dilihat secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah 11 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009), Cet. I, h. 159. 12 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. XIV, h. 112. 9 10 laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis” dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu.13 Selanjutnya, pengertian mengenai gaya bahasa juga dipaparkan oleh Diah Erna Triningsih. Beliau menyatakan, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”14 Sementara itu, Abd. Rohman memaparkan persoalan gaya bahasa dalam istilah Arab. Beliau menyatakan, Dalam bahasa Arab gaya bahasa disebut dengan istilah uslub, yang secara etimologis berarti jalan di antara pepohonan, seni, bentuk, madzhab, dan seterusnya. Adapun secara terminologis, kata uslub diartikan dengan istilah metode pengungkapan yang dipilih pengarang dalam menyusun ujaran serta memilih kosa kata yang diungkapkannya.15 Berdasarkan berbagai pemaparan mengenai gaya bahasa di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara seseorang menggunakan bahasa, yang kemudian menjadi ciri khas orang tersebut yang membedakan dengan orang lain, dan digunakan untuk memberikan efek-efek tertentu dalam setiap kalimatnya. b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa Banyak ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai jenis-jenis gaya bahasa, sehingga gaya bahasa banyak jenisnya. Pada bagian ini, penulis telah melakukan pendataan terhadap jenis-jenis gaya bahasa 13 Keraf, Ibid., h. 113. Diah Erna Triningsih, Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia, (Klaten: PT Intan Pariwara, 2009), h. 8. 15 Abd. Rohman, Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 71. 14 11 yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gorys Keraf, Henry Guntur Tarigan, Okke Kusuma Sumantri Zaimar, dan Ayu Basoeki Harahap. Adapun klasifikasi gaya bahasa menurut Gorys Keraf, terbagi menjadi gaya bahasa berdasarkan segi nonbahasa dan gaya bahasa berdasarkan segi bahasa, yang terdiri atas gaya bahasa berdasarkan pemilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. 16 Sementara itu, klasifikasi gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan terbagi menjadi gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.17 Selanjutnya, klasifikasi gaya bahasa menurut Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap terbagi menjadi majas berdasarkan persamaan makna, majas berdasarkan perbandingan makna, majas berdasarkan oposisi makna, majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan acuan, dan majas yang mengambil bentuk majas lain.18 Pada bagian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai penggunaan gaya bahasa dilihat dari segi linguistiknya. Berdasarkan hasil pembacaan terhadap buku-buku ahli yang membahas mengenai jenis-jenis gaya bahasa, secara keseluruhan gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi 51 jenis. Berikut penulis paparkan mengenai penjelasan jenis-jenis gaya bahasa tersebut. 1. Klimaks Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasangagasan sebelumnya. Contoh: Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran harapan, dan pengalaman harapan.19 16 Keraf, Op. Cit., h. 116-117. Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6. 18 Zaimar, Op. Cit., h. 163-176. 19 Keraf, Op. Cit., h. 124. 17 12 2. Antiklimaks Antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Ketua pengadilan negeri itu merupakan orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya.20 3. Paralelisme Gorys Keraf menyatakan, “Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.” Contoh: Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus diadili kalau bersalah. (Tidak baik: Baik golongan yang tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili kalau bersalah.)21 Sementara itu, Abdul Chaer menyatakan, “Kesejajaran atau paralelisme adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara membentuk beberapa kalimat dengan unsur-unsur yang mirip atau hampir sama, baik tentang jumlah, isi, maupun pola kata yang digunakan.”22 Lebih lanjut, Niknik M. Kuntarto menyatakan, “Agar kalimat yang Anda buat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentukbentuk yang sama pada kata-kata yang berparalel.”23 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa paralelisme adalah gaya bahasa yang diwujudkan 20 Keraf, Ibid., h. 125. Ibid., h. 126. 22 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet. I, h. 377. 23 Niknik M. Kuntarto, Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), Cet. XII, h. 177. 21 13 melalui kesejajaran pemakaian kata-kata dalam bentuk gramatikal yang sama. 4. Antitesis Gorys Keraf menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.”24 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa Antitesis merupakan perbandingan antara dua antonim (kata-kata yang mengandung arti semantik berlawanan). Majas ini menggunakan dua kata yang berlawanan. Contoh: Kelulusan Putri dalam ujian sungguh melegakan dada, tetapi kemampuan membiayainya di perguruan tinggi justru menyesakkan dada mereka.25 Sementara itu, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua kata (bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua kata (bentuk lain) mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi tidak bersifat implisit. Contoh:”Besar kecil, tua muda, kaya miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang. Ketiga kata majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan satu sama lain.”26 Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung kata-kata atau kelompok kata yang bertentangan. 24 Keraf, Loc. Cit., h. 126. Triningsih, Op. Cit., h. 37. 26 Zaimar, Op. Cit., h. 170. 25 14 5. Repetisi Gorys Keraf menyatakan, “Repetisi adalah pengulangan bunyi, suka kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.”27 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa repetisi adalah majas yang mengandung perulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang sama. Contoh: Anakku! Rajinlah belajar demi masa depan, Rajinlah belajar mengangkat derajat keluarga! Rajinlah belajar menuntut ilmu, rajinlah belajar mencapai citacita. Rajinlah belajar diiringi doa Bunda, rajinlah belajar anakku, Tuhan selalu bersamamu.28 Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata (atau bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat.”29 Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan pengulangan bunyi, kata, atau beberapa kata yang dianggap penting. 6. Aliterasi Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi konsonan yang sama. Misalnya: Takut titik lalu tumpah. Keras-keras kerak kena air lembut juga.30 27 Keraf, Op. Cit., h. 127. Triningsih, Op. Cit., h. 46. 29 Zaimar, Op. Cit., h. 163. 30 Keraf, Op. Cit., h. 130. 28 15 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa aliterasi merupakan majas yang memanfaatkan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi pada awal kata (permulaan kata), bukan perulangan konsonan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf. Contoh: Kalau kanda kala kacau Biar bibir biduan bicara31 Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa aliterasi. 7. Asonansi Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi vokal yang sama. Misalnya: Ini muka penuh luka siapa punya Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.32 8. Anastrof Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.33 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut anastrof dengan istilah inversi. Inversi merupakan gaya bahasa yang mementingkan bagian kalimat selain subjek sehingga bagian yang dipentingkan itu 31 Triningsih, Op. Cit., h. 44-45. Keraf, Loc. Cit., h. 130. 33 Ibid. 32 16 berada sebagai subjek. Contoh: Sungguh nyaman dan damai lebaran tahun ini.34 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat. 9. Apofasis atau Preterisio Gorys Keraf menyatakan pendapatnya mengenai gaya bahasa apofasis atau preterisio. Beliau memaparkan, Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Misalnya: Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan Anda menipu diri sendiri. Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.35 10. Apostrof Apostrof merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara mengalihkan amanat atau pembicaraan, dari hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya: Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah Kami dari belenggu penindasan ini. Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti perjuangkan.36 34 Triningsih, Op. Cit., h. 44. Keraf, Op. Cit., h. 130-131. 36 Ibid., h. 131. 35 yang pernah kamu 17 11. Asindeton Asindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan pemakaian beberapa kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya: Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.37 12. Polisindeton Polisindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan pemakaian beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya: Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?38 13. Kiasmus Kiasmus merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.39 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa kiasmus merupakan majas yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. 37 Keraf, Ibid., h. 131. Ibid. 39 Ibid., h. 132. 38 18 Contoh: Apa yang akan terjadi jika pria berlagak seperti wanita dan wanita berlagak seperti pria? Akan tetapi, inilah yang terjadi saat ini.40 14. Elipsis Elipsis merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya: Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...41 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa elipsis merupakan sebuah majas yang dihasilkan dengan cara membuang atau menghilangkan kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh: Pada waktu pulang membawa banyak barang berharga serta perabot rumah tangga. (penghilangan subjek: mereka)42 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa elipsis adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghilangkan suatu unsur kalimat. 15. Eufemismus Eufemismus merupakan gaya bahasa berupa ungkapan- ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan yang mungkin 40 Triningsih, Op. Cit., h. 46. Keraf, Loc. Cit., h. 132. 42 Triningsih, Op. Cit., h. 43. 41 19 dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya: Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati) Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila) Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (= bodoh)43 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut Eufemismus dengan kata Eufemisme. Beliau memaparkan bahwa Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus yang dipakai untuk mengantikan ungkapan yang dirasa kasar, dianggap merugikan, atau tidak menyenangkan.44 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Eufemisme adalah ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar.”45 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa eufimismus adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan ungkapan yang lebih halus, untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar. 16. Litotes Gorys Keraf menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.”46 Henry Guntur Tarigan juga memaparkan pendapatnya mengenai litotes. Beliau menyatakan, ”Litotes merupakan majas yang menyatakan 43 Keraf, Loc. Cit., h. 132. Triningsih, Loc. Cit., h. 43. 45 Zaimar, Op. Cit., h. 180. 46 Keraf, Op. Cit., h. 132-133. 44 20 sesuatu lebih rendah atau dikecilkan dari keadaan yang sebenarnya dengan tujuan untuk merendahkan diri.”47 Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa litotes berbeda dengan hiperbola, digunakan untuk melemahkan nilai yang dikemukakan atau diungkapkan si pengujar, dengan tujuan bersopan-santun. Contoh: silahkan singgah di gubuk saya.48 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa litotes adalah penggunaan kata-kata dengan tujuan merendahkan diri. 17. Histeron Proteron Histeron Proteron merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan cara menampilkan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya: Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang. Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.49 18. Pleonasme Pada dasarnya, pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya: Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya. 47 Triningsih, Op. Cit., h. 39. Zaimar, Op. Cit., h. 178. 49 Keraf, Op. Cit., h. 133. 48 21 Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan katakata: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah itu.50 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya komponen makna yang ada pada kata pertama, telah hadir pada wilayah makna kata berikutnya. Orang sering mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah.”51 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan kata-kata yang berlebihan. Jika kata-kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh. 19. Tautologi Pada dasarnya, tautologi sama seperti pleonasme, merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Sebuah acuan disebut tautologi apabila kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung pengulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya: Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya. Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan bundar sudah tercakup dalam globe.52 50 Keraf, Ibid., h. 133. Zaimar, Op. Cit., h.164. 52 Keraf, Op. Cit., h. 133-134. 51 22 20. Perifrasis Perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perifrasis hampir sama seperti pleonasme, hanya perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya: Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal) Jawaban dari permintaan sudara adalah tidak (= ditolak)53 21. Prolepsis atau antisipasi Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dengan mempergunakan kata-kata atau sebuah kata lebih dahulu sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu. Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat tu. Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru.54 22. Erotesis atau pertanyaan retoris Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dengan tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban.55 Misalnya: Bukankah kita adalah makhlukNya yang harus beriman dan bertakwa kepadaNya? 53 Keraf, Ibid., h. 134. Ibid. 55 Ibid. 54 23 23. Silepsis Silepsis merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.56 24. Zeugma Zeugma merupakan gaya bahasa yang diwujudkan melalui kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal). Misalnya: Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.57 25. Koreksio atau Epanortosis Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang mulamula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.58 26. Hiperbol Gorys Keraf menyatakan, “Hiperbol semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesarbesarkan sesuatu hal.”59 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan 56 Keraf, Ibid., h. 135. Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid. 57 24 menamakan hiperbol dengan istilah hiperbola. Beliau menyatakan, “Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan pengaruh.”60 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan, “Hiperbola adalah ucapan (ungkapan, pernyataan) kiasan yang membesar-besarkan sesuatu (berlebihlebihan).”61 Contoh: Citaku kepadamu seluas samudra, hingga tak sanggup aku hidup tanpamu. Jika kau mati, maka akupun akan ikut mati. Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang diwujudkan melalui pemakaian kata yang berlebihan, untuk membesar-besarkan sesuatu hal. 27. Paradoks Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah-limpah.62 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa paradoks merupakan pernyataan yang berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar biasa. Bisa juga dikatakan bahwa paradoks merupakan suatu proposisi yang salah sekaligus juga benar. Contoh: Meskipun hatinya sangat panas, kepalanya tetap dingin.63 60 Triningsih, Loc. Cit., h. 39. Zaimar, Op. Cit., h. 176. 62 Keraf, Op. Cit., h. 136. 63 Zaimar, Op. Cit., h. 170-171. 61 25 Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menyajikan gagasan yang bertentangan dari sesuatu yang nyata. 28. Oksimoron Gorys Keraf menyatakan, “Oksimoron merupakan gaya bahasa yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.”64 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa oksimoron merupakan majas yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata berlawanan dalam frasa yang sama. Contoh: Bahan-bahan nuklir dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, tetapi juga dapat memusnahkannya.65 29. Persamaan atau Simile Persamaan atau Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit. Artinya, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu hal sama dengan hal yang lain. Untuk itu, perbandingan tersebut memerlukan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya: Kikirnya seperti kepiting batu Bibirnya seperti delima merekah Matanya seperti bintang timur66 Sementara itu, Diah Erna Triningsih mengemukakan pendapat Henry Guntur Tarigan mengenai simile. Bila Gorys Keraf menyebutnya dengan istilah persamaan, maka Henry Guntur Tarigan lebih memilih istilah perumpamaan. Menurutnya, “Majas Perumpamaan merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Perbandingan tersebut ditandai dengan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, 64 Keraf, Loc. Cit. Triningsih, Op. Cit., h. 40. 66 Keraf, Op. Cit., h. 138. 65 26 dan sejenisnya.”67 Selanjutnya, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam simile terdapat dua kata (atau bentuk lainnya) yang masing-masing menampilkan konsep dan acuan yang berbeda.”68 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa simile adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membandingkan dua hal atau lebih dengan menggunakan kata-kata seperti laksana, bak, bagaikan, dan seperti. 30. Metafora Gorys Keraf menyatakan, “Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya.69 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa kata metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti „memindahkan‟. Metafora merupakan sebuah analogi yang membandingkan dua benda secara langsung dalam bentuk singkat. Contoh: Kita harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur sebagai bunga bangsa. Bunga bangsa= orang berjasa; pemuda Jangan pernah percaya dengan mulut manis lintah darat itu karena ia hanya ingin meraup keuntungan. Lintah darat= orang yang membungakan uang dengan memungut bunga terlalu tinggi.70 67 Triningsih, Op. Cit., h. 35. Zaimar, Op. Cit., h. 165. 69 Keraf, Op. Cit., h. 139. 70 Triningsih, Loc. Cit., h. 35. 68 27 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. 31. Alegori Gorys Keraf menyatakan, “Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.” 71 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa alegori adalah cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. Alegori merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan dan bertujuan menyampaikan pesan moral.72 Lebih lanjut, M. Zainal Falah memberikan sebuah contoh mengenai gaya bahasa alegori. Berikut adalah contoh alegori yang dikemukakan M. Zainal Falah dalam buku Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Hati-hatilah dalam mengarungi samudra yang penuh bahaya gelombang, topan, dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya akan tercapai tanah tepian yang menjadi idaman. Kata “samudra” yang dimaksud pengarang adalah kehidupan.73 32. Parabel Gorys Keraf menyatakan, “Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk 71 Keraf, Op. Cit., h. 140. Triningsih, Op. Cit., h. 36. 73 M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: CV Karyono, 1996), Cet. V., h. 41. 72 28 menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.”74 Sebagai contoh yaitu cerita Kisah Mahabrata dan Kisah Ramayana. 33. Fabel Gorys Keraf menyatakan, “Fabel merupakan suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatangbinatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.”75 Sebagai contoh cerita Anak Katak Hijau yang Nakal dan Kancil Mencuri Mentimun. 34. Personifikasi Gorys Keraf menyatakan, “Personifikasi atau Prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan bendabenda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.76 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut personifikasi dengan istilah penginsanan. Beliau menyatakan, “Personifikasi atau penginsanan merupakan majas yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan tindakan seperti yang dilakukan manusia.”77 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa personifikasi merupakan majas yang menyatakan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. Contoh: Rani tidur di teras, dibelai angin sepoisepoi.78 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang menyatakan benda mati seolah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. 74 Keraf, Loc. Cit., h. 140. Ibid. 76 Ibid. 77 Triningsih, Loc. Cit., h. 36. 78 Zaimar, Op. Cit., h. 168. 75 29 35. Alusi Gorys Keraf menyatakan bahwa alusi merupakan acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.79 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa alusi merupakan majas yang menunjuk pada suatu peristiwa atau tokoh secara tidak langsung, berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap acuan tersebut. Contoh: Dapatkah kau membayangkan perjuangan KAMI dan KAPI pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan keadilan di tanah air ini?80 Berdasarkan pemaparan dari dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa alusi. 36. Eponim Gorys Keraf menyatakan,”Eponim adalah suatu gaya bahasa yang diwujudkan dengan penggunaan nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan.”81 79 Keraf, Op. Cit., h. 141. Triningsih, Op. Cit., h. 42-43. 81 Keraf, Loc. Cit. 80 30 37. Epitet Epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya: Lonceng pagi untuk ayam jantan Puteri malam untuk bulan Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.82 38. Sinekdoke Mengenai sinekdoke, Gorys Keraf menyatakan, Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).83 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa Sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan (pars pro toto) atau menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama sebagian (totem pro parte). Contoh: Bagaimana kita dapat hidup dengan tenang jika belum memiliki lantai tempat menetap di Jakarta? Indonesia memenangkan kejuaraan bulu tangkis tingkat internasional.84 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam sinekdoke adanya kedekatan acuan yang disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian dari acuan yang kedua (pars pro toto) atau acuan yang pertama mencakup acuan yang kedua (totem pro parte). Contoh: Telah lama ia tak 82 Keraf, Ibid., h. 141. Ibid., h. 142. 84 Triningsih, Op. Cit., h. 42. 83 31 nampak batang-hidungnya. (sebagian menggantikan keseluruhan) dan Italia mengalahkan Inggris dengan telak. (keseluruhan untuk sebagian)85 39. Metonimia Metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Contoh: Ia membeli sebuah chevrolet. Saya minum satu gelas, ia dua gelas. Ialah yang menyebabkana air mata yang gugur. Pena lebih berbahaya dari pedang. Ia telah memeras keringat habis-habisan.86 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa metonimia merupakan majas yang menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Contoh: Ayah baru saja membeli Honda dengan harga lima belas juta rupiah.87 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam metonimi yang menjadi landasan adalah hubungan kontiguitas acuan. Hubungan-hubungan itu dapat bersifat parsial, seperti contoh: “Gedung putih itu telah mengumumkan perang.”, bersifat temporal, seperti contoh “Mingguan itu berisi 85 Zaimar, Op. Cit., h. 175. Keraf, Loc. Cit., h. 142. 87 Triningsih, Op. Cit., h. 41-42. 86 32 gosip saja.”, dan bersifat kausal, seperti contoh “Paman Hamzah adalah seorang kuli tinta.”88 Berdasarkan pemaparan empat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa metonimia. 40. Antonomasia Antonomasia merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Misalnya: Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.89 41. Hipalase Hipalase merupakan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Misalnya: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya).90 42. Ironi Ironi atau sindiran gaya bahasa yang mengatakan sesuatu hal dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya: Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!91 Sementara Itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa ironi merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan sindiran atau ejekan 88 Zaimar, Op. Cit., h. 173-174. Keraf, Loc. Cit., h. 142. 90 Ibid. 91 Ibid., h. 143. 89 33 secara halus, tetapi cukup menyinggung perasaan orang lain. Contoh: Aku bangga dengan sikap hematmu, hingga uang tabungan ini terkuras habis hanya untuk berfoya-foya.92 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang ingin dikatakan. Perlu diingat bahwa dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-bulanan), yaitu yang dituju oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat tergantung dari konteks.93 Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan maksud yang berlainan dari serangkaian kata-katanya. 43. Sinisme Sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian, mengandung ejekan. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Misalnya: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.94 44. Sarkasme Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Misalnya: Mulut kau harimau kau Lihat sang Raksasa itu (Maksudnya si Cebol) Kelakuanmu memuakkan saya.95 92 Triningsih, Op. Cit., h. 40. Zaimar , Op. Cit., h. 171. 94 Keraf, Loc. Cit., 143. 95 Ibid., h. 143-144. 93 34 45. Satire Satire merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia, dengan tujuan agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis.96 46. Inuendo Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuendo merupakan sebuah kritik secara tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat sambil lalu. Misalnya: Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum. Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.97 47. Antifrasis Antifrasis merupakan sebuah ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi. Misalnya: Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol)98 48. Pun atau Paronomasia Pun atau paronomasia merupakan kiasan dengan menggunakan kemiripan. Pun atau Paronomasia menggunakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Tanggal dua gigi saya tanggal dua “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”99 96 Keraf, Ibid., h. 144. Ibid. 98 Ibid., h. 144-145. 99 Ibid., h. 145. 97 35 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa paronomasia merupakan gaya bahasa yang berwujud penjajaran kata yang berbunyi sama, tetapi berlainan makna atau kata-kata yang memiliki persamaan bunyi, tetapi berbeda maknanya. Contoh: Ketika saya sibuk mengukur kelapa di dapur, burung balam tetangga terdengar sedang mengukur bersahut-sahutan.100 49. Gradasi Gradasi merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian dan urutan kata yang secara sintaksis bersamaan memiliki satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan di antaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Contoh: Jasmani dan rohani yang diberikan Tuhan; Tuhan Yang Maha Pengasih.101 50. Depersonifikasi Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Gaya bahasa ini menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda alam, atau benda lainnya. Contoh: Aku heran melihat Tono mematung.102 51. Paralipsis Paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan hal yang tersirat dalam kalimatnya. Contoh: 100 Triningsih, Loc. Cit., h. 40. Ibid., h. 44. 102 Zaimar, Op. Cit., h. 168. 101 36 Pak guru sering memuji anak itu, yang (maafkan saya) saya maksud memarahinya.103 Berdasarkan hasil penggabungan jenis-jenis gaya bahasa dari para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa banyak jenisnya, lebih dari lima puluh gaya bahasa. Masing-masing para ahli mempunyai kategori pengklasifikasian jenis gaya bahasa yang berbeda-beda. Pada skripsi ini, penulis lebih memilih pengklasifikasian gaya bahasa menurut Gorys Keraf, karena lebih lengkap dan disertai contoh yang mudah dipahami, untuk diterapkan dan dijadikan acuan dalam kegiatan analisis data. Selain itu, Gorys Keraf menggunakan istilah “gaya bahasa” bukan “majas”. Hal tersebut, lebih sesuai dengan judul penelitian yang dilakukan penulis. 2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik a. Fonologi Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi bahasa. 104 Secara etimologi, kata fonolgi terbentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi yang bermakna ilmu. 105 Pada umumnya, bunyi bahasa diklasifikasikan menjadi bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan paru-paru. Selanjutnya, arus udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan-apa-apa, kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu, sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan.106 103 Triningsih, Op. Cit., h. 41. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 102. 105 Ibid. 106 Ibid., h. 113. 104 37 Selanjutnya, bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi konsonan, arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan. Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak, sedangkan bunyi vokal semuanya adalah bersuara.107 b. Sintaksis Secara etimologis, sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Di dalam bahasa Inggris, sintaksis dikenal dengan istilah syntax. Semantara itu, dari sisi kaidah penyerapan bahasa asing, istilah sintaksis dalam bahasa Indonesia memiliki kedekatan dengan istilah bahasa Belanda syntaxis. Adapun pembahasa sintaksis secara berturut-turut dimulai dari frasa, klausa, sampai pada tataran kalimat.108 1. Frasa Frasa merupakan satuan gramatikal berupa gabungan kata dan bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. 109 Ciri utama frasa ialah berupa kelompok kata, tidak predikatif, dan tidak melampaui batas fungsi atau hanya menduduki satu fungsi. Tidak melampaui batas fungsi sintaksis maksudnya frasa itu hanya menduduki satu fungsi. Frasa itu bisa menduduki fungsi subjek saja, atau menduduki fungsi predikat saja, atau menduduki fungsi objek saja, atau menduduki fungsi pelengkap saja, atau menduduki fungsi 107 Chaer, Ibid., h. 113. La Ode Sidu, Sintaksis Bahasa Indonesia, (Kendari: Unhalu Press, 2013), h. 21. 109 Ibid. 108 38 keterangan saja. Dengan demikian, frasa merupakan konstituen pengisi fungsi-fungsi sintaksis.110 2. Klausa Klausa merupakan kelompok kata yang predikatif. Klausa merupakan tataran di dalam sintaksis yang berada di atas tataran frasa dan di bawah kalimat. Ciri utama klausa adalah ciri predikat, yang kehadirannya adalah wajib.111 Di pihak lain, S. Effendi, Djoko Kentjono, dan Basuki Suhardi menyatakan, “Klausa adalah satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frasa; di dalamnya terdapat satu hubungan predikatif (atau hubungan subjek-predikat). Klausa pada umumnya merupakan konstituen dasar kalimat.”112 3. Kalimat Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, dan juga terdiri atas klausa. Kalimat boleh terdiri atas satu klausa atau lebih. Kalimat dalam bentuk tulisan memiliki kriteria yang mengikat, seperti huruf kapital di awal kalimat dan diakhiri dengan salah satu tanda perhentian seperti titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!). 113 Kalimat umumnya berwujud serangkaian kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat, mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan kategori sintaksis, fungsi sintaksis, dan peran semantisnya. a. Kategori Sintaksis Bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis utama, yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan. Selain itu, ada 110 Sidu, Ibid., h. 23. Ibid., h. 42-43. 112 S. Effendi, dkk., Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), h. 36. 113 Sidu, Op. Cit., h. 62. 111 39 juga kelompok lain yang dinamakan kata tugas, yang terdiri atas beberapa subkelompok kecil, misalnya preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung, dan partikel.114 b. Fungsi Sintaksis Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Adapun fungsi sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.115 Predikat dalam bahasa Indonesia dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal, numeral dan preposisional. Selain predikat, kalimat umumnya mempunyai subjek yang biasanya terletak di depan predikat. Subjek dapat berwujud nomina, tetapi pada keadaan tertentu kategori kata lain juga dapat menduduki fungsi subjek. Ada juga kalimat yang mempunyai objek. Pada umumnya, objek yang berupa frasa nominal berada di belakang predikat yang berupa frasa verbal transitif aktif. Objek tersebut berfungsi sebagai subjek jika kalimat tersebut diubah menjadi pasif.116 Selanjutnya, yang dinamakan pelengkap atau komplemen mirip dengan objek. Pelengkap pada umumnya berupa frasa nominal dan frasa nominal itu juga berada di belakang predikat verbal. Perbedaan yang penting adalah pelengkap tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif. Di sisi lain, pelengkap mirip dengan keterangan juga. Kedua-duanya membatasi acuan konstruksi yang bergabung dengannya. Perbedaannya ialah pelengkap pada umumnya wajib hadir untuk melengkapi 114 Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 35-36. 115 Ibid., h. 36. 116 Ibid., h. 36-37. 40 konstruksinya, sedangkan keterangan tidak. Tempat keterangan biasanya bebas, sedang tempat pelengkap selalu di belakang verba(beserta objeknya). Keterangan ada yang menyatakan alat, tempat, cara, waktu, kesertaan, atau tujuan.117 c. Peran Semantis Pada dasarnya, setiap kalimat memerikan suatu peristiwa yang melibatkan satu peserta atau lebih, dengan peran semantis yang berbeda-beda. Peserta tersebut dinyatakan dengan nomina atau frasa nominal. Peran semantis terdiri atas pelaku, sasaran, pengalam, pemeruntung, dan atribut. Adapun penjelasan mengenai peran semantis tersebut adalah sebagai berikut. 1) Pelaku Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dan dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya manusia atau binatang. Peran pelaku merupakan peran semantis utama subjek kalimat aktif dan pelengkap pasif. 2) Sasaran Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan dan dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran merupakan peran utama objek atau pelengkap. 3) Pengalam Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau peristiwa dan dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan peran unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba taktransitif yang lebih menyatakan keadaan. 4) Peruntung Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan 117 Alwi, dkk., Ibid., h. 38. 41 yang dinyatakan oleh predikat. Partisipan peruntung biasanya berfungsi sebagai objek, atau pelengkap, atau sebagai subjek verba jenis menerima atau mempunyai. 5) Atribut Kalimat yang berpredikat nomina, predikat tersebut mempunyai peran semantis atribut.118 c. Semantik Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantics dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut diperkenalkan oleh organisasi filologi Amerika pada tahun 1894. Secara terminologi, semantik adalah bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa.119 Sementara itu, Drs. Aminuddin memaparkan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”, dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari lingustik.120 d. Pragmatik Kata pragmatik berasal dari bahasa Inggris pragmatics dan dari bahasa Yunani pragmatikos. Pragma memiliki arti persoalan yang ada di tangan, tindakan, dengan analogi pada lingusitik. Pragmatik merupakan ilmu yang menelaah tentang relasi antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar bagi pemahaman bahasa atau menelaah tentang kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pragmatik mempunyai tiga konsep dasar yaitu tindak komunikatif, peristiwa komunikatif, dan situasi komunikatif.121 118 Alwi, dkk., Ibid., h. 334-335. Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, (Jakarta: Tanspustaka, 2011), h. 4. 120 Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 15. 121 Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 2. 119 42 Lebih lanjut, terkait dengan pragmatik, Brown dan Levinson menyatakan bahwa dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya, penutur menggunakan strategi linguistik yang berbeda-beda. Strategi tersebut adalah strategi kurang sopan, agak sopan, sopan, dan paling sopan. Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik. Ada tida parameter pragmatik, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Tingkat jarak sosial Dalam tingkat ini, penuutur dan lawan tutur ditentukan berdasarkan paremeter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. 2. Tingkat status sosial Dalam tingkat ini, penutur dan lawan tutur didasarkan pada kedudukan asimetrik. Contoh: di ruang praktik seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya bila dokter tersebut melakukan pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini, polisi memiliki kedudukan yang lebih tinggi. 3. Tingkat peringkat tindak tutur Tingkat ini didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Misalnya, di dalam situasi normal, meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan, atau tidak mengenakkan. Akan tetapi, di dalam situasi yang mendesak, semisal untuk mengantar orang sakit keras, tindakan itu wajar-wajar saja.122 3. Terjemah a. Pengertian Terjemah Mildred L. Larson dalam bukunya Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence memaparkan, “Translation, by dictionary definition, consists of changing from one state or form to 122 Hindun, Ibid., h. 18-19. 43 another, to turn into one‟s own or another‟s language.”123 (“Terjemah, berdasarkan makna dalam kamus, yaitu perubahan bentuk dari satu bentuk ke bentuk lain, atau mengubah ke dalam bahasa kita sendiri atau ke dalam bahasa lain.”) Lebih lanjut, Eugene A. Nida dan Charles R. Taber juga memaparkan pendapatnya mengenai terjemah, mereka menyatakan, “Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equevalent of the source-language message, first in the terms of meaning and secondly in terms of style.”124 (“Penerjemahan merupakan upaya mereproduksi pesan ke dalam bahasa sasaran dengan persamaan atau padanan yang wajar dan paling dekat dengan bahasa sumber, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gayanya.”) Miftah Faridl dan Agus Syihabudin menjelaskan mengenai pengertian terjemah secara bahasa, dengan mengambil penjelasan dari Manahilul „Irfan fi „Ulumil Qur‟an, yang menerangkan bahwa lafaz tarjamah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukkan salah satu dari empat makna berikut. a. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mendapatkannya. b. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya. c. Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa yang lainnya. d. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lainnya.125 Tidak hanya menjelaskan pengertian terjemah secara bahasa, Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga menjelaskan pengertian terjemah menurut „urf, yakni kelaziman percakapan bagi umumnya 123 Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence, (America: University Press of America, 1984), h. 3. 124 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation, (Netherlands: The United Bible Societies, 1969), h. 12. 125 Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, Alquran Sumber Hukum Islam yang Pertama, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 305. 44 manusia. Dari segi ini, mereka menjelaskan bahwa terjemah berarti memindahkan kalam dari suatu bahasa ke bahasa lain, yakni mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam lain dalam bahasa lain dan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian.126 Terjemah secara etimologi berarti mengungkapkan makna untuk menjelaskan. Adapun secara terminologi berarti mengungkapkan perkataan dengan bahasa lain.127 Jika terjemah dikaitkan dengan Alquran, maka terjemah Alquran artinya memindahkan Alquran pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah SWT, dengan perantara terjemahan ini.128 Hafidz Abdurrahman juga memaparkan hal yang sama mengenai terjemah “Pengalihbahasaan Al-Quran ke dalam bahasa non-Arab.” Alquran, 129 Dengan demikian, setelah memahami pemaparan terjemah dari beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menerjemahkan Alquran berarti mengungkapkan makna yang terdapat dalam Alquran dengan menggunakan bahasa lain, agar dapat dibaca, dimengerti, dan dipahami orang lain yang tidak mengerti bahasa Arab di dalam Alquran. b. Macam-Macam Terjemah Berbicara mengenai terjemah, lebih lanjut Syaikh Muhammad memaparkan bahwa terdapat dua macam terjemah, yaitu terjemah harfiah dan maknawiah. Berikut merupakan penjelasan yang lebih rinci mengenai kedua macam terjemah tersebut. 126 Faridl, Ibid. Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh Ummu Saniyyah, (Solo: Al-Qowam, 2014), h. 56. 128 Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj. dari AtTibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna H. S., (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), h. 276. 129 Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Quran, (Jakarta: Wadi Press, 2011), h. 175. 127 45 1) Terjemah Harfiah, yaitu menempatkan terjemahan masing-masing kata pada tempatnya. 2) Terjemah maknawiah atau tafsiriah, yaitu mengungkapkan makna atau suatu perkataan dengan bahasa lain, tanpa memerhatikan kosa kata dan urutannya.130 Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga sependapat dengan Syaikh Muhammad bahwa macam terjemah terbagi menjadi dua, yakni terjamah secara harfiah dan maknawiah atau tafsiriah. Mereka menyatakan, Tarjamah secara harfiah ialah memindahkan sejumlah kata (kalimat) dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan bahasa yang sesuai dengan bahasa aslinya. Adapun tarjamah secara maknawiah atau tafsiriah ialah menerangkan pengertian yang terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dan tidak terikat oleh kosa kata dan susunan bahasa aslinya. 131 Muhammad Thalib juga memaparkan persoalan mengenai macammacam terjemah. Menurutnya, macam-macam terjemah dapat dibedakan berdasarkan metode penerjemahan yang dilakukan. Beliau menyatakan, secara umum, ada dua metode dalam menerjemahkan Alquran. Pertama, terjemah harfiyah. Yaitu, memindahkan pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunan dan makna asli yang terkandung di dalam teks yang diterjemahkan. Kedua, terjemah maknawiyah atau tafsiriyah. Dalam metode ini menerangkan atau menjelaskan makna yang terkandung dalam satu bahasa dengan bahasa lain tanpa memperhatikan susunan dalam bahasa aslinya.132 Mohammad Aly Ash Shabuny juga memaparkan pendapatnya mengenai macam-macam terjemah, tetapi beliau langsung mengkhususkan pada terjemah Alquran. Adapun macam-macam terjemah Alquran, secara umum sama seperti yang telah dikemukakan 130 Al-Utsaimin, Op. Cit., h. 56-57. Faridl, Op. Cit., h. 307. 132 Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan Aqidah, Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah, (Yogyakarta: Ma‟had An-nabawy, 2011), Cet. II, h. 242. 131 46 oleh pendapat para ahli, meliputi terjemah harfiah dan tafsiriah. Terjemah harfiah yaitu terjemah yang dihasilkan dengan cara menerjemahkan Alquran kepada bahasa lain, seperti Indonesia, Inggris, Jerman, dan Perancis. Lafaz, kosa kata, jumlah dan susunannya diterjemahkan dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya. Terjemah semacam ini, sama dengan meletakkan sinonim kata pada sesamanya. Sedang yang dimaksud terjemah secara tafsiriah, yaitu menerjemahkan arti ayat-ayat Alquran dimana sang penerjemah sama sekali tidak terikat dengan lafaznya, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah arti Alquran diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penerjemah hanya berpegang pada bahasa asal, memahaminya, kemudian dituangkan ke dalam bentuk bahasa lain. Arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal, tanpa memaksakan diri membahas dan meneliti setiap lafaz.133 Sementara itu, Rochayah Machali memaparkan pendapat NewMark mengenai metode-metode penerjemahan. NewMark menyatakan bahwa terdapat dua metode dalam melakukan penerjemahan, yaitu metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (Bsu) dan metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Pada metode pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun ditemukan hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa. Pada metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu. 134 Berikut merupakan pemaparan mengenai beberapa metode penerjemahan yang selanjutnya dipaparkan oleh Rochayah Machali berdasarkan pendapat Newmark. 133 Ash Shabuny, Op. Cit., h. 277. Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin menjadi Penerjemah Profesional, (Bandung: Kaifa, 2009), h. 76. 134 47 1. Penerjemahan kata demi kata Pada metode ini, kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Pada umumnya, metode ini digunakan sebagai tahap prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sangat sukar.135 2. Penerjemahan harfiah Pada metode ini, penerjemah mencari padanan konstruksi gramatikal Bsu yang terdekat dengan Tsa. Kemudian, penerjemahan kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini digunakan sebagai metode tahap awal pengalihan bukan sebagai metode yang lazim.136 3. Penerjemahan setia Pada metode ini, penerjemah memproduksi makna kontekstual Tsu, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahsakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Terjemahan ini terasa kaku, sehingga harus diserasikan dengan kaidah Tsa. 137 4. Penerjemahan semantis Pada metode ini, hasil terjemahan menjadi lebih lentur, karena dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran dan masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih dalam batas kewajaran. Hasil terjemahannya pun lebih dapat dimengerti.138 135 Machali, Ibid., h. 78. Ibid. 137 Ibid., h. 79. 138 Ibid., h. 80. 136 48 5. Penerjemahan adaptasi (Termasuk Saduran) Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan sangat bebas dan dekat dengan bahasa sasaran. Istilah “Saduran” dapat dimasukkan di sini asalkan dalam penyaduran, tidak mengorbankan hal-hal penting dalam Tsu, misalnya tema, karakter atau alur. Metode ini, biasanya dipakai untuk menerjemahkan puisi, atau drama. Dalam terjemahan ini, terdapat peralihan budaya Bsu ke budaya Bsa. Contoh penerjemahan ini adalah drama Shakespeare berjudul “Machbeth” yang disadur oleh W. S. Rendra dan dimainkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta di tahun 1994. Rendara dalam penyaduran drama tersebut, mempertahankan semua karakter, alur dalam naskah asli, tetapi dialognya disesuaikan dengan budaya Indonesia.139 6. Penerjemahan bebas Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan lebih mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber. Metode ini biasanya berbentuk parafrase yang dapat lebih panjang atau pendek. Beberapa ahli menyatakan bahwa terjemahan metode ini bukan merupakan karya terjemahan karena terjadinya perubahan yang cukup drastis.140 7. Penerjemahan idiomatik (Idiomatic translation) Pada metode ini, penerjemah memproduksi pesan dalam teks bahasa sumber dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak terdapat dalam versi aslinya. 141 139 Machali, Ibid., h. 80-81. Ibid., h. 81-82. 141 Ibid., h. 82. 140 49 8. Penerjemahan komunikatif Pada metode ini, penerjemah menerjemahkan teks dengan memproduksi makna kontekstual sehingga baik dari aspek kebahasaan maupun isi, langsung dapat dimengerti oleh pembaca.142 Dengan demikian, berdasarkan pemaparan mengenai beberapa metode di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat delapan metode yang dikemukan Rochayah Machali berdasarkan pendapat Newmark, metode yang dijelaskan pada nomor 1 sampai 4, merupakan metode yang lebih berorientasi atau lebih menekankan ada bahasa sumber. Sementara itu, metode yang dijelaskan pada nomor 5 sampai 8, merupakan metode yang lebih menekankan atau lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Penulis juga menyimpulkan bahwa nama atau macam terjemahan, dapat dilihat dari segi metode yang digunakan penerjemah dalam melakukan penerjemahannya. Seperti halnya seorang penerjemah yang melakukan penerjemahan dengan metode harfiah, maka terjemahannya dikatakan sebagai terjemahan harfiah, begitupun yang lainnya. Beberapa pendapat menyatakan metode terjemahan ada dua, yakni harfiah dan maknawiah, sedangkan Newmark menyatakan metode terjemahan terbagi atas delapan metode, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. c. Persyaratan Terjemahan Terjemahan secara tafsiriah atau maknawiah mempunyai syaratsyarat sebagai berikut. 1) Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan maksud dari bahasa aslinya dengan benar. 2) Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu. 142 Machali, Ibid., h. 83. 50 Adapun persyaratan terjemahan secara harfiah adalah sebagai berikut. 1) Kedua persyaratan tersebut di atas. 2) Kosa kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata-kosa kata bahasa asli. 3) Ada persamaan antara kedua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa asli) mengenai kata ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk menyusun kalimat. 143 Adapun mengenai syarat-syarat terjemahan, baik terjemahan harfiah maupun tafsiriah menurut Mohammad Aly Ash Shabuny adalah sebagai berikut. a. Penerjemah hendaknya mengetahui dua bahasa (bahasa asli dan bahasa terjemahan). b. Mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan- keistimewaan bahasa yang hendak diterjemahkan. c. Hendaknya shighoh (bentuk) terjemahan itu benar, karena kemungkinan dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya. d. Terjemahan itu bisa memenuhi semua arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.144 Persyaratan yang dikemukakan oleh Mohammad Aly Ash Shabuny lebih bersifat umum, menyangkut persyaratan terjemahan dan penerjemah. Sedang untuk terjemah harfiah, di samping syarat-syarat di atas, disyaratkan pula dua syarat berikut ini. a. Adanya kosa-kata kosa-kata yang sempurna dalam bahasa terjemahan sama dengan kosa-kata kosa-kata bahasa asli. 143 Faridl, Loc. Cit., h. 307. Ash Shabuny, Loc. Cit., h. 277. 144 51 b. Harus adanya persesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu jumlah dengan jumlah yang lain untuk menyusun kalimat.145 d. Persyaratan Penerjemah Seorang penerjemah harus mempunyai persyaratan-persyaratan sebagai berikut. 1) Penerjemah menguasai dua bahasa; bahasa asli dan bahasa terjemahan. 2) Menguasai gaya bahasa-gaya bahasa dan keistimewaan- keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.146 Sementara itu, Solihin Bunyamin Ahmad memaparkan pendapatnya mengenai persoalan menerjemahkan Alquran. Beliau mengatakan bahwa untuk dapat menerjemahkan Alquran, paling tidak ada beberapa langkah yang harus dipenuhi. Pertama, menguasai komponen kalimat dalam bahasa Arab. Kedua, menguasai kata-kata tak berubah (tak berakar kata), seperti huruf bermakna, kata ganti, kata penghubung, dan kata tunjuk. Ketiga, menguasai rumus-rumus Granada147 beserta aplikasinya. Keempat, latihan yang istikamah meskipun sedikit.148 Selanjutnya, Solihin Bunyamin Ahmad juga memaparkan bahwa dalam menerjemahkan Alquran, ada beberapa alat pokok yang harus dimiliki orang yang hendak menerjemahkan Alquran, agar dapat menerjemahkan dengan baik. Alat-alat pokok tersebut di antaranya adalah Alquran, rumus Granada, kamus Arab-Indonesia, Alquran 145 Ash Shabuny, Ibid. Faridl, Loc. Cit., h. 307. 147 Granada adalah salah satu metode penerjemahan Alquran yang diperkenalkan oleh Solihin Bunyamin Ahmad, Lc., dalam bukunya Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa Menerjemah Al-Qur‟an. Dalam metode ini, terdapat 4 langkah menerjemahkan Alquran, yaitu menguasai komponen kalimat dalam bahasa Arab, menguasai kata-kata tak berubah, menguasai rumus-rumus granada, dan latihan yang istikamah. 148 Solihin Bunyamin Ahmad, Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa Menerjemah AL-Qur‟an, (Jakarta: Granada Nadia, 2001), h. 81. 146 52 terjemahan Departemen Agama, dan niat yang kuat. 149 Alat-alat tersebut, tentu akan sangat membantu proses penerjemahan, sehingga hasil terjemahan tidak keliru. Selanjutnya, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy memaparkan pendapatnya mengenai hal-hal yang harus diperhatikan seseorang yang akan menerjemahkan ayat-ayat Alquran. Beliau menayatakan, Jika kita hendak menterjemahkan sesuatu ayat, maka hendaklah kita perhatikan tafsir lafadh ayat yang kita maksudkan, agar terjemahan kita itu tepat sebagai yang dimaksud. Sering kali orang menterjemahkan ayat dengan berpegang kepada bahasa „Arab yang telah ada padanya, dengan tidak memperhatikan makna-makna yang dimaksudkan dari pada kalimat-kalimat yang hendak diterjemahkan. Lantaran inilah sering kita jumpai terjemahan yang keliru.” 150 Dengan demikian, dari beberapa penjelasan mengenai terjemahan khususnya terjemahan Alquran, dapat disimpulkan bahwa dalam menerjemahkan Alquran, terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, baik dari segi terjemahan maupun penerjemah, agar hasil terjemahan sesuai dengan isi dan maksud yang dikandung bahasa asal. Persyaratan-persyaratan tersebut, harus benar-benar diperhatikan penerjemah dalam menerjemahkan ayat Alquran. e. Tahap-Tahap Penerjemahan Rochayah Machali memaparkan bahwa terdapat tiga tahapan dalam melaksanakan penerjemahan. Tahapan-tahapan tersebut di antaranya adalah tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian. Adapun penjelasan mengenai tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Tahap Analisis Pada tahap analisis teks yang akan diterjemahkan, terdapat pedoman sederhana yang dapat kita manfaatkan. Rochayah Machali mengutip pendapat Halliday dan Hasan yang menyarankan penggunaan tiga unsur penting dalam menganalisis teks, yaitu field 149 Ibid., h. 81-82. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 208. 150 53 (pokok masalah), tenor (suasana umum), dan mode (cara).151 Analisis teks perlu dilakukan oleh penerjemah agar teks sumber dapat dipahami benar isinya, terutama dari segi field, dan agar teks sumber dapat dipahami bentuknya, baik dari segi cara penyampaian (mode) maupun dari segi pencerminan (tenor) dalam kalimat.152 2. Tahap Pengalihan Sesudah tahap analisis teks selesai dilakukan, maka selanjutnya yang harus dilakukan penerjemah adalah tahap pengalihan. Tahap pengalihan ini berarti mengalihkan teks sumber ke dalam teks sasaran. Tahap pengalihan ini sebagai upaya menggantikan unsur Tsu dengan unsur Tsa yang sepadan. Pada tahap ini, maksud yang disampaikan dalam Tsu harus sepadan dengan maksud dalam Tsa.153 Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila Tsu yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda dan emosi, dan sebagainya, maka penerjemah dapat mengulang secara terus menerus dari tahap analisis ke pengalihan, begitu pula sebaliknya. 154 3. Tahap Penyerasian Setelah tahap analisis dan pengalihan dilaksanakan dengan baik, maka selanjutnya beralih ke tahap penyerasian. Pada tahap ini, penerjemah dapat menyesuaikan bahasanya yang dirasa masih kaku untuk disesuaikan dengan bahasa sasaran. Pada tahap ini, penerjemah sudah tidak lagi kembali ke tahap sebelumnya yakni tahap analisis dan pengalihan karena tahap sebelumnya sudah dilaksanakan dengan baik, dan tahap penyerasian merupakan tahap akhir. Pada tahap ini, penerjemah dapat melakukan penyerasian sendiri atau dengan bantuan orang lain. Namun, akan lebih baik jika penyerasian dilakukan oleh orang lain. Alasannya, penerjemah biasanya merasa sulit mengoreksi 151 Machali, Op. Cit., h. 65. Ibid., h. 67. 153 Ibid., h. 60-61 154 Ibid., h. 64. 152 54 pekerjaannya sendiri karena merasa terjemahannya sudah bagus dan memakai peristilahan yang tepat. Penerjemahan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah hanya bertugas menerjemahkan sedang penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun, tidak ada salahnya jika penerjemah yang melakukan penyerasian terhadap hasil terjemahannya. Hanya saja, teks terjemahannya harus disimpan beberapa lama agar si penerjemah lupa atau tidak ingat lagi proses pengambilan keputusan pada saat menerjemahkan.155 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang hendak melakukan penerjemahan, terdapat tiga tahap yang harus dilewati, yaitu tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian. 4. Alquran a. Pengertian Alquran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alquran bermakna kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan perantaraan malaikat Jibril, untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia.156 Sementara itu, A. Aziz Salim Basyarahil mengetengahkan pengertian Alquran yang lebih singkat, beliau memaparkan bahwa Alquran adalah kalam ilahi yang diwahyukan kepada Rosulullah.157 Selanjutnya, Mudzakir AS memaparkan pendapat para ulama yang menyebutkan bahwa Alquran merupakan kalam atau firman Allah yang diturunkan 155 Machali, Ibid., h. 64-65. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 44. 157 A. Aziz Salim Basyarahil, 33 Masalah Agama, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 27. 156 55 kepada Nabi Muhammad Saw., mukjizat lafaz dan mmaknanya, yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.158 Harry Gaylord Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam mengatakan, Kitab Quran ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya. Ia merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini untuk membuktikan kebenarannya dan kebenaran Muhammad. Mutu keajaiban terletak pada gayanya yang begitu sempurna dan agung, sehingga tidak mungkin ada seorang manusia atau setan sekalipun yang dapat mengarang satu surat, walau yang terpendek, dapat menandinginya; dan sebagian dari keajaibannya lagi terletak pada isi ajarannya, nubuatnya tentang masa depan, dan keteranganketerangan yang demikian tepatnya, sehingga meyakinkan bahwa tidak mungkin Muhammad yang buta huruf itu dapat menulis sendiri.159 Di lain pihak, Abdul Hamid menyatakan bahwa Alquran bagi kaum muslimin merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Alquran memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, berada di luar kemampuan seluruh makhlukNya.160 Lebih lanjut, Baharudin Lopa memaparkan bahwa Alquran merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Segala gerak kehidupan manusia di dunia, sudah dijelaskan oleh Allah dalam Alquran. Manusia diberi kebebasan oleh Allah, untuk memilih tindakannya. Kebebasan itu dibatasi oleh tanggung jawab manusia sesuai dengan petunjuk Alquran dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.161 Dengan demikian, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Alquran merupakan pedoman hidup umat manusia untuk mencapai 158 Manna‟ Khalil Al-Qattan, Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj. dari Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), Cet. 10, h. 444. 159 Syahminan Zaini dan Ananto Kusuma Seta, Bukti-Bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu Allah, (Malang: Kalam Mulia Jakarta, 1986), h. 43. 160 Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2016), h. 1. 161 Baharuddin Lopa, Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 19. 56 kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya, hanya harus disertai dengan tanggung jawab masing-masing. Allah telah menunjukkan jalan yang baik dan buruk. b. Isi Kandungan Alquran Drs. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Ulumul Quran mengatakan bahwa isi ajaran Alquran pada hakikatnya mengandung lima prinsip, tujuan pokok diturunkan Alquran kepada Nabi Muhammad SAW untuk diteruskan kepada umat manusia dan menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Alquran sebagai berikut. a) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa). b) Janji dan ancaman Tuhan. c) Ibadah. d) Jalan dan cara mencapai kesuksesan. e) Cerita-cerita atau sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi Muhammad.162 Selain Drs. Masjfuk Zuhdi, Edward Gibbon, seorang sejarawan termasyhur karena karyanya The History of the Decline and Fall of the Roman Empire mengatakan, Alquran itu tidak hanya memuat perkara agama saja akan tetapi juga memuat hukum syariah dan segala yang tertulis di dalamnya itu adalah pangkal peradaban. Alquran adalah suatu kitab agama, kitab kemajuan, kitab kenegaraan, persaudaraan, kemahkamahan, dan undang-undang ketentaraan dalam Islam. Alquran mengandung mulai dari soal ibadah sampai kepada pekerjaan sehari-hari, dari membicarakan soal kerohanian sampai membicarakan soal kejasmanian, dari hak-hak umat hingga hakhak dari anggota daripadanya, dari membahas soal perangai hingga membahas soal hukum siksa, dari soal dunia hingga soal pembahasan alam di akhirat nanti. Semua itu ada disebut di dalamnya.163 162 163 Zaini, Op. Cit., h. 35. Ibid., h. 38. 57 Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Alquran adalah firman Allah yang telah menyatakan kelengkapan isinya dan dapat menjelaskan segala sesuatu persoalan yang pernah, sedang, dan akan dihadapi manusia dalam kaitannya dengan sistem Tuhan, manusia, dan alam. B. Penelitian Relevan Penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan penulis lakukan di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Skripsi Ahmad Muh. Ikhlas, berjudul “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016. Tujuan skripsi ini adalah untuk membedah transformasi melalui pendekatan stilistik, dengan metode komparasi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti AlQurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaan terletak pada segi fokus penelitian. Muh. Ikhlas meneliti tentang transformasi nilai-nilai estetis Alquran dalam terjemahan puitis ayatayat qisas, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada terjemahan surah Ar-Rahman.164 2. Skripsi Nuri Qomariah Maritta, berjudul “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains; Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat AnNaml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 2010. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah 164 Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan. 58 metode kepustakaan. Adapun metode penafsirannya menggunakan metode maudhu‟i, dan metode dekriptif kualitatif dalam pembahasan. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah fokus penelitian. Maritta meneliti tentang Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada terjemahan surah Ar-Rahman.165 3. Skripsi Siti Rohmanatin Fitriani, berjudul “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 2003. Tujuan dari skripsi ini adalah meneliti aspek-aspek metodologi penafsiran yang digunakan A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia, persamaan dan perbedaan penafsiran, dan implikasi perbedaan dan persamaan tersebut pada hasil penafsiran. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif-komparatif. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Fitriani meneliti perbandingan penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.166 165 Nuri Qomariah Maritta, “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains; Analisa Surat ArRaẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Tidak Dipublikasikan. 166 Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan. 59 4. Skripsi Muhammad Mujadid Syarif, berjudul “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan AlMisbah)”, Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 2015. Metode yang digunakan adalah metode muqaran, yaitu menghimpun ayat-ayat yang mempunyai kata secara berurutan, kemudian membandingkan penafsiran antara tafsir Al-Azhar dan tafsir Al-Misbah. Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tikrar dalam surah Ar-Rahman dan mengetahui penafsiran Buya Hamka dan Quraish Shihab tentang ayat tikrar dalam surah Ar-Rahman. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Syarif meneliti hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.167 5. Jurnal Fadhli Lukman, berjudul “Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode deskriptif-analitis. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Syarif meneliti hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.168 167 Muhammad Mujadid Syarif, “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau, 2015), Tidak Dipublikasikan. 168 Fadhli Lukman, Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an, Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies, 2015, pp. 37-55. 60 6. Skripsi Adelina Qurrotul Aini, berjudul “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”, Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Jurusan Ushuluddin , Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus. 2016. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Aini meneliti pertemuan dua laut dalam surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.169 7. Skripsi Irfan Afandi berjudul “Al-Idafah fi Surah Al-Rahman Dirasah Nahwiah”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011. Pada penelitian ini, peneliti mencari kemudian memetakan dan menganalisis surat ArRahman yang masuk dalam kategori idhofah. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teori sintaksis. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Afandi meneliti Al-Idafah fi Surah Al-Rahman Dirasah Nahwiah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. 8. Skripsi Nurus Saniyatin Rofi‟ah, berjudul “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 1-4”, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013. Skripsi ini membahas tentang konsep pendidik menurut Al-Qur‟an surah Ar-Rahman ayat 1-4. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui adanya konsep pendidik dalam Al-Qur‟an 169 Adelina Qurrotul Aini, “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis QS. arRahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”, Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2016), Tidak Dipublikasikan. 61 surah Ar-Rahman ayat 1-4. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam surah ArRahman ayat 1-4 terdapat beberapa konsep pendidik, meliputi: (1) Pendidik yang memiliki kepribadian kasih sayang, (2) Pendidik harus berilmu pengetahuan, (3) Pendidik yang dapat mengembangkan potensi anak didiknya, (4) Pendidik yang memiliki keahlian berinteraksi. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Rofi‟ah meneliti konsep pendidik menurut surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.170 9. Skripsi Yusie Nilam Sari, berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat Ar Rahman Ayat 1-4”, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, Tahun 2013. Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah dalam surah Ar-Rahman ayat 1-4, terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu pendidikan kasih sayang yang sungguh merupakan rahmat yang seharusnya menjadi aset kita untuk memulai apapun karena dengan kasih sayang hidup penuh dengan cinta dan kebahagiaan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas kemurahan nikmat-nikmat Allah yang selalu tercurah kepada hambaNya yang mau bersyukur, pendidikan Alquran, penting dimiliki karena ia merupakan pondasi kurikulum pendidikan di dunia Islam dan merupakan syiar agama yang mampu menguatkan aqidah dan mengokohkan iman, pendidikan kreativitas yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi kreatifnya, pendidikan bebas berpendapat 170 Nurus Saniyatin Rofi‟ah, “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 14”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013), Tidak Dipublikasikan. 62 merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, yaitu kebebasan manusia untuk menyampaikan aspirasi, inovasi, dan gagasan secara menyeluruh yang dilakukan dengan berbagai cara yang diizinkan. Yusi meneliti surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Selanjutnya, Yusie juga meniliti tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surah Ar-Rahman, sedangkan penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman.171 10. Tesis dari Suniarti Sunny, S. Pd. I., yang berjudul “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, program studi Agama dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan gaya bahasa dan makna dalam surah Ar-Rahman. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Metode simak yang terdiri atas teknik sadap, simak bebas libat cakap, dan teknik catat. Metode analisisnya dengan menggunakan purposive sampling yaitu dengan mengumpulkan data-data kemudian diklasifikasikan dan dianalisis. Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah pertama, ditemukannya gaya bahasa berdasarkan nada, yakni ditemukan gaya bahasa sederhana, mulia, dan bertenaga. Kedua, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, ditemukan gaya bahasa klimaks, antiklimaks, repetisi, paralelisme, dan antitesis. Ketiga, gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, ditemukan gaya bahasa retoris dan kiasan. Adapun persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dari segi subjeknya sama-sama meneliti gaya bahasa, hanya saja perbedaannya terletak pada segi objeknya, Suniarti meneliti gaya bahasa pada Alquran surah Ar-Rahman, sedangkan penulis meneliti 171 Yusie Nilam Sari, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat Ar Rahman Ayat 1-4”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2013), Tidak Dipublikasikan. 63 gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman pada Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.172 11. Skripsi Deni Wahyudin, berjudul “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”, Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Tujuan skripsi tersebut adalah mengetahui perbedaan makna antara dua versi terjemahan terhadap dua ayat tersebut, mengetahui pengaruh terjemahan terhadap teologi umat Islam. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah hasil terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus secara makna sama, sehingga menimbulkan pemahaman yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah dalam gaya bahasa dan diksi saja. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Wahyudin meneliti homonim terhadap kata kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus), sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin173 12. Skripsi Nasrulloh, berjudul “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin (Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Jurusan Terjemah, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003. Adapun tujuan dari skripsi ini yaitu: (1) dapat 172 Suniarti Sunny, “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, Tesis, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), Tidak Dipublikasikan. 173 Deni Wahyudin, “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”, Skripsi, ( UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Tidak Dipublikasikan. 64 menambah wawasan tentang berbagai pola penerjemahan Alquran; (2) mengetahui tentang penggunaan dan pemilihan kata yang dipakai dalam melakukan kegiatan penerjemahan kitab sehingga dapat ditentukan penerjemahan yang baik; (3) Sebagai upaya memahami substansi yang terkandung pada tiap-tiap ayat dalam surah Ar-Rahman dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan metode dokumenter, yaitu mencari data dari dokumendokumen yang berkaitan dengan H. B. Jassin terutama yang bertajuk hasil terjemahannya. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan surah Ar Rahaman. Perbedaannya adalah Nasrulloh melakukan perbandingan dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, sedang penulis tidak meneliti perbandingan tersebut. Penulis memfokuskan analisis pada gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia.174 Itulah beberapa penelitian sebelumnya yang hampir serupa dengan penelitian penulis. Adapun penelitian yang dilakukan penulis adalah “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. 174 Nasrulloh, “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin (Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Tidak Dipublikasikan. BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Nana Syaodih Sukmadinata menyatakan, “Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran secara individual maupun kelompok.”175 Lebih lanjut, beliau juga menyatakan, “Penelitian deskriptif (Descriptive research) adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.”176 Pada penelitian ini, hal yang dianalisis dan dideskripsikan adalah fenoma penggunaan bahasa secara tertulis, yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan Alquran surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan, yaitu menggambarkan dan mengungkapkan dan menggambarkan dan menjelaskan.177 Sesuai dengan tujuan tersebut, pada penelitian ini penulis juga menggambarkan, mengungkapkan, dan menjelaskan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dengan menggunakan deskripsi kata-kata. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, pada bab ini penulis paparkan mengenai hal-hal berikut. A. Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumendokumen tertulis dan manusia. Data-data tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini bersumber 175 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. VIII, h. 60. 176 Ibid., h.54. 177 Ibid., h. 60. 65 66 dari dokumen tertulis, yaitu terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Adapun data sekunder, selain bersumber dari data tertulis seperti buku-buku, jurnal, kitab-kitab, dan tafsirtafsir yang relevan dengan penelitian, juga bersumber dari manusia, seperti pemaparan dari ahli atau guru agama Islam terkait surah Ar-Rahman, khususnya mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan. Dalam penelitian bahasa, metode pengamatan disebut dengan metode “simak” yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan pancaindra.178 Dinamakan metode simak, karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga secara tulisan.179 Metode simak memiliki teknik dasar yang disebut dengan teknik sadap. Dalam praktiknya, teknik sadap ini kemudian diikuti oleh teknik lanjutan, yang berupa teknik catat dan teknik rekam.180 Data-data yang bersumber dari dokumen tertulis, baik data primer maupun sekunder, dikumpulkan menggunakan metode simak, dengan teknik sadap dan catat. Dalam hal ini, penulis mengamati penggunaan bahasa pada dokumen-dokumen tertulis dan melakukan penyadapan terhadap dokumen yang relevan dengan penelitian. Sementara itu, data-data yang bersumber dari manusia, dikumpulkan dengan menggunakan metode simak libat cakap, teknik sadap, catat, dan rekam. Dalam hal ini, penulis tidak hanya melakukan penyimakan dan penyadapan penggunaan bahasa secara lisan, melainkan ikut terlibat dalam pembicaraan tersebut, yang juga disertai dengan kegiatan pencatatan dan perekaman ketika proses pembicaraan dimulai. Perekaman 178 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.168. Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132-133. 180 Ibid., h. 133. 179 67 dilakukan agar penulis dapat mendengarkan dan mengingat kembali kegiatan yang telah dilaksanakan dengan informan. Adapun kegiatan pembicaraan yang dimaksud penulis adalah kegiatan mengaji bersama guru agama Islam atau ahli agama yang memaparkan penjelasan mengenai kajian surah ArRahman. C. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis isi atau dokumen dan deskriptif. Analisis dokumen adalah kajian atas dokumen yaitu tulisan yang memberikan catatan atau bukti tentang sesuatu.181 Metode tersebut digunakan untuk membedah bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, mengidentifikasi makna yang terkandung dalam gaya bahasa, maksud yang terkandung dalam ayat, fungsi atau kedudukan gaya bahasa dalam struktur kalimat bahasa Indonesia dan kalimat bahasa Arab, dan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain, seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus. Bentuk penggunaan gaya bahasa yang diperoleh, diberikan pengkodean dalam bentuk angka, untuk selanjutnya didaftar dan diklasifikasikan menurut jenis-jenis gaya bahasa dari teori yang dijadikan pedoman. Setelah itu, data akan dianalisis lebih lanjut dan mendalam. Adapun data berupa bentuk penggunaan gaya bahasa tersebut, akan disajikan dengan menggunakan metode deskriptif. Mulyana menyatakan, “Metode desktiptif dapat digunakan untuk memerikan, menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan fenomena objek penelitian.”182 Metode deskriptif dilakukan penulis untuk menggambarkan, memaparkan, dan menjelaskan bentuk penggunaan gaya bahasa surah Ar- Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penjelasan atau penggambaran tersebut 181 Kinayati Djojosuroto dan M. L. A. Sumaryati, Bahasa dan Sastra: Penelitian, Analisis, dan Pedoman Apresiasi, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2014), Cet. IV, h.152. 182 Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. I, h. 83. 68 dipaparkan dengan menggunakan kata-kata bukan dalam bentuk angka. Setelah analisis selesai dilakukan, penulis memaparkan mengenai implikasi dari penelitian gaya bahasa surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Terakhir, adalah pemaparan simpulan dan saran. BAB IV HASIL PENELITIAN A. Biografi H. B. Jassin H. B. Jassin memiliki nama lengkap Hans Bague Jassin. H. B. Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi, 31 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. H. B. Jassin berpendidikan HIS Gorontalo (1932), HBS-B 5 tahun di Medan (1939), tamat Fakultas Sastra UI (1957), kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Yale, AS (1958-1959) dan menerima Doctor Honoris Causa dari UI (1975).183 Sebagai seorang penggiat sastra, H. B. Jassin pernah menjadi pegawai Kantor Asisten Residen Gorontalo (1939), redaktur Balai Pustaka (1940-1942), dosen Fakultas Sastra UI (1953-1959, sejak 1973 hingga pensiun menjadi Lektor tetap), dan pegawai Lembaga Bahasa Nasional (sekarang: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional; 1954-1973). H. B. Jassin pernah pula menjadi redaktur Pujangga Baru (19401942), Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Mimbar Indonesia (1947-1956), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (19521963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Medan Ilmu Pengetahuan, Buku Kita, Horison (1966-2000), dan Bahasa dan Sastra (1975). Selain itu, H. B Jassin juga menjadi anggota Akademi Jakarta sejak 1970 dan Ketua Yayasan Dokumentasi H. B. Jassin sejak 1976. 184 Lebih lanjut, John H. McGlynn menyatakan bahwa H. B. Jassin telah dan hampir sendirian merencanakan jalur dan mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Pekerjaan tersebut, sungguh sangat berharga dan berarti, secara khusus bagi mereka yang mempelajari sastra Indonesia kontemporer. Dokumentasinya sangat cermat dan mendalam, menyediakan bahan yang sangat diperlukan dalam pembelajaran sejarah kesusastraan Indonesia. 185 183 Setiawan, dkk., Op. Cit., h. 14-15. Ibid., h. 15. 185 John H. McGlynn, Bahasa dan Sastra, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 106. 184 69 70 Tahun 1969-1970, H. B. Jassin diajukan ke pengadilan guna mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968. Adapun perkara mengenai cerpen Langit Makin Mendung, dikenal sebagai peristiwa “Heboh Sastra”, karena pemuatan cerpen tersebut banyak menimbulkan protes di kalangan masyarakat Islam, seperti masyarakat Islam di Sumatra Utara. Peristiwa tersebut, menarik perhatian banyak orang karena melibatkan seorang tokoh penting dan terkenal dalam sastra yaitu H. B. Jassin. Peristiwa yang dikenal sebagai “Heboh Sastra” tersebut, kemudian dimuat dalam buku Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit makin Mendung Karya Ki Panji Kusmin (2004) karya Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani. H. B. Jassin pun menulis buku Heboh sastra 1968: Suatu Pertanggungjawaban (1970).186 Adapun karya-karya H. B. Jassin, di antaranya adalah Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV (1954,1967), Heboh Sastra 1968 (1970), Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), dan SuratSurat 1943-1983 (1984).187 Selain itu, ada juga buku dan bunga rampai yang disuntingnya dan buku hasil terjemahan-terjemahannya. Di antara hasil terjemahannya adalah Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Kematian Arsiti, istrinya, menjadi salah satu latar belakang H. B. Jassin dekat dengan Alquran dan memutuskan untuk membuat terjemahan Alquran versinya, yaitu dengan menggunakan bahasa sastra yang indah. Setelah kematian istrinya, H. B. Jassin merasa terpukul dan sulit menerima kenyataan. Lebih-lebih, seminggu setelah kematiannya, yaitu setelah orang-orang yang mengajikannya telah bubar. Kesepian tersebut benar-benar membuat H. B Jassin tambah bersedih dan dari sana timbullah satu dorongan yang kuat dalam dirinya untuk melanjutkan sendiri kegiatan mengaji. Di malam ke delapan itu, H. B. Jassin mengaji dengan niat memberikan sedekah untuk istrinya yang telah tiada. Dari satu ayat, dua ayat, sampai selanjutnya H. B. Jassin merasa asyik. Dari 186 Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 88-89. 187 Setiawan, dkk., Loc. Cit., h. 15. 71 membaca itulah, kemudian H. B. Jassin mulai ingin mengetahui artinya. Di sana, H. B. Jassin menemukan sesuatu yang luar biasa, yaitu bahasa yang begitu indah, membuat H. B. Jassin semakin yakin bahwa tidak mungkin manusia yang menciptakannya. Akhirnya, H. B. Jassin pun memahami dan meresapi firman-firman Allah yang telah masuk ke dalam jiwanya. 188 Setelah H. B. Jassin melarutkan diri dalam ayat-ayat Alquran yang begitu indah, dalam, tinggi, dan luas, timbul dalam hatinya bahwa segala sesuatu memerlukan pemikiran-pemikiran. Di dalam ayat-ayat Alquran, H. B. Jassin menemukan berbagai persoalan untuk mengenal lebih dalam tentang pribadi dan permasalahan. Hal tersebut, membuat H. B. Jassin tidak lagi goyah, menghafal surah-surah, zikir, dan mengucapkan asma Allah, hingga setiap saat H. B. Jassin selalu merasa dilindungi. Dari membaca dan memahami Alquran inilah timbul keinginan untuk membuat terjemahan dengan bahasa yang puitis. Setelah melewati proses lebih dari 15 tahun, terjemahan itu dapat terbit, Bacaan Mulia.189 Ide mengenai menerjemahkan Alquran, sebenarnya jauh-jauh hari telah terlintas dalam benak H. B. Jassin, yaitu ketika tahun 1953 mengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia, di samping sebagai seorang mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa sastra, diwajibkan pula belajar bahasa Arab, Sansekerta, dan Jawa.190 Pikiran untuk menerjemahkan Alquran secara puitis timbul pada diri H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang diperoleh dari Haji Kasim Mansur, tahun 1969. Itulah terjemahan yang dirasa H.B. Jassin paling indah disertai keterangan-keterangan yang indah dan universal sifatnya. Dalam menerjemahakan Alquran, H.B. Jassin bertolak dari kitab induk Alquranulkarim dan di samping itu menggunakan sebagai perbandingan, yaitu terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa asing dan bahasa Indonesia, juga beberapa kamus Arab-Inggris. H.B. Jassin memaparkan bahwa terjemahannya bukanlah dari terjemahan Yusuf Ali 188 H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 152. Ibid., h. 152-153. 190 Ibid., h. 155. 189 72 ataupun terjemahan lainnya. Susunan sajak terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah susunannya, sedang susunan sajak dalam bahasa Arab disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam bahasa Indonesia.191 Berikut penulis sajikan beberapa sumber bacaan yang dijadikan referensi H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran. a. Alquran Al-Quranu‟l karim teks Arab dipergunakan sebagai induk. b. Terjemahan-Terjemahan 1. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur‟an. Dar al Arabia, Beirut, Lebanon. 1968. 2. Al-Qur‟an Terdjemah Indonesia, karya Angkatan Darat. 1970. 3. Amir-Ali, Hasyim. The Message of the Qur‟an. Presented in Perspective. Charles E. Tuttle Company, Rutland, Vermont & Tokyo. Japan. 1974. 4. Arberry, Arthur J. The Koran Interpreted. OUP London. 1971. 5. Bakry, H.M. Kasim, Imam M. Nur Idris, dan A.Dt. Madjoindo. AlQuranul-Hakim beserta Terdjemah dan Tafsirnja. Penerbit Djambatan. Jil. I 1961. Jil. II 1964. Mestinya 6 jilid; jilid-jilid berikutnya belum terbit. 6. Bell, Richard. The Qur‟an. Translated with a critical rearrengement of the Surahs. T. & T. Clark, Edinburgh, repr. 1960. 1st pr. 1937.2 vols. 7. Blachere, Regis. Le Coran. G. P. Maisonneuve & Larose, Paris. 1966. 8. Dawood, N.J. The koran. Penguin Books, repr. 1971. 1st publ. 1956. 9. Depatermen Agama. Al-Quraan dan Terdjemahannya. Penerbit: Proyek Penerbitan Kitab Suci Al-Qur‟an Departemen Agama (1972). 10. Hamidy, H. Zainudin dan Fachruddin Hs. Tafsir Quran. Penerbit Widjaya, Djakarta, 1961, cet. 3. Cet 1? 11. Hassan, A. Al-furqan. Tintamas, Djakarta, 1962, Cet. 4. Cet. 1 diterbitkan oleh Firma Salim Nabhan, Surabaja, 1953 (?) 191 H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia Ibid., h.24-25. 73 12. Joenoes, Mahmoed. Tafsir Quran Karim. Pustaka Mahmudiah, Jakarta, cet. 10, 1961. Cet. 1, 1938. 13. Kramers, J. H. De koran. Agon Elsevier, Amsterdam/Brussel, 1969. 14. Paret, Rudi . Der Koran. Uebersetzung. W. Kohlhammer Verlag, Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971. 15. Paret, Rudi. Der Koran Kommentar und Konkordanz, W. Kohlhammer Verlag. Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971. 16. Pickthall, M. The Meaning of the Glorious Koran. The New American Library. New York, 1936. 17. Rodwell, J. M. The Koran. Everyman‟s Library No. 380. Repr. 1850. 1st pr. 1909. 18. Sale, George. The koran. Translated into English from the original Arabic. Frederick Warne and Co. Ltd. London and New York, t.t. 19. Zafrulla Khan, Muhammad. The Quran. Curzon Press, London-Dublin, 1972. Cet. 2. c. Sejarah dan Pengantar Tafsir 1. Aboebakar, H. Sedjarah Al-Qur‟an. Sinar-Bupemi, Surabaja-Malang, 1956, cet. 4. Cet. 1 1948. 2. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Penerbit Bulan Bintang, Djakarta. 1965, cet. 4. 3. ʼ Azzam, Abd-al-Rahman. The Eternal Message of Muhammad. A Mentor Book, 1965. 4. Beeston, F. L. Baidawi‟s Commentary on Surah 12 of the Quran. OUP London,1963. 5. Watt, W. Montgomery : Bell‟s Introduction to the Qur‟an. Edinburgh University Press, Edinburgh, 1970. Companion to the Qur‟an. Based on the Arberry Translation. George Allen and Unwin Ltd., 1967. 74 d. Kamus dan Konkordansi 1. Flugel, Gustavus. Corcordantiae Corani Arabicae, 1842. 2. Hava S. J., J. G. Arabic-English Dictionary. Catholic Press, Beirut, 1951. 3. Penrice, John. A Dictionary and Glossary of the Koran. Curzon Press Ltd. New Edition 1971. 1 st publ. 1873. 4. Salmone, H. Anthony. An advanced Leaner‟s Arabic-English Dictionary. Libairie du Liban, Beirut, 1972.192 Itulah sumber-sumber bacaan yang digunakan H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran. Jassin belajar mendalami agama Islam, mendalami Alquran, dan membaca banyak buku-buku terjemahan Alquran dan tafsir-tafsir selama lebih dari 10 tahun. H.B. Jassin belajar bahasa Arab dari A.S. Alatas dan agama Islam dari Prof. Hussein Djajadiningrat. Terutama berkat Arabic Grammar karangan Thatcher.193 B. Surah Ar-Rahman 1. Hubungan Surah Ar-Rahman dengan Surah Sebelumnya Surah Ar-Rahman terdiri atas 78 ayat, termasuk golongan surahsurah madaniah, diturunkan setelah surah Ar-Ra‟du. Dinamakan “ArRahman”, karena diambil dari perkataan “Ar-Rahman” yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Ar-Rahman adalah salah satu dari namanama Allah Swt. Sebagian besar ayat dari surat ini, menerangkan kepemurahan Allah Swt kepada hambaNya, yaitu dengan memberikan nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat.194 Ahmad Mustafa Al-Maragi, dalam tafsir Al-Maragi memaparkan bahwa surah Ar-Rahman, memiliki hubungan dengan surah sebelumnya, yaitu 192 H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), Cet. 3, h. 890- 891. 193 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h.71. Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 1971), h. 884. 194 75 surah Al-Qamar. Adapun hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai berikut. a. Pada surah Ar-Rahman, terdapat rincian tentang orang-orang yang berdosa dan bertakwa. b. Pada surah lalu (Al-Qamar), Allah menyebutkan bermacam-macam bencana yang menimpa umat telah lalu, dan menerangkan di setiap macam bencana tersebut, bahwa Alquran benar-benar telah dimudahkan untuk mengingatkan, menyadarkan, dan mengancam manusia. Sementara itu, pada surah Ar-Rahman, Allah menyebutkan tentang bermacam-macam nikmat di dunia dan di akhirat. c. Firman Allah surah Ar-Rahman, seolah merupakan jawaban atas pertanyaan, “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa itu?” juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi dengan RahmatNya?” 195 Selanjutnya, TM Hasbi Ash Shiddieqi memaparkan bahwa surah ArRahman membicarakan mengenai nikmat-nikmat Allah, dimulai dari nikmat paling besar yang diberikan Allah kepada manusia yakni berupa Alquran, kemudian nikmat-nikmat yang terbentang di alam, tentang kejadian jin dan manusia, keadaan hari kiamat dan neraka. Pada akhirnya, dijelaskan pula mengenai surga dan segala nikmat yang terdapat di dalamnya, yang disediakan untuk orang-orang yang beriman dan bertakwa.196 Lebih lanjut, TM Hasbi Ash Shiddieqi juga memaparkan hubungan atau persesuain surah Ar-Rahman dengan surah sebelumnya. Beliau menyatakan, 1. Dalam surah ini dijelaskan keadaan orang-orang yang mendustakan Allah dan orang-orang yang taqwa kepadaNya yang dalam surat telah lalu diterangkan secara ijmal (dalam ayat 47 dan 54). 2. Dalam surat yang telah lalu disebutkan satu persatu bencana yang telah menimpa ummat-ummat yang telah lalu dan diterangkan di tiap-tiap selesai dari menerangkan sesuatu bencana, bahwa Al195 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir Al-Maragi oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk., (Semarang: CV Toha Putra), h. 183-184. 196 TM Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, (Bandung: Alma‟arif), h. 1310. 76 Qur‟an ini diturunkan kepada manusia dengan dimudahkan mereka untuk memahaminya. 3. Dalam surat ini diterangkan Allah berbagai rupa nikmat baik bersifat keagamaan maupun bersifat keduniaan yang dilimpahkan kepada hamba-hambaNya yang beriman. Dan diakhiri tiap-tiap ni‟mat ini dengan sesuatu pertanyaan tentang ni‟mat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? 4. Firman Allah: Ar Rahman „Allamal Qur‟ana, adalah sebagai jawaban bagi pertanyaan: Apakah yang dilakukan oleh Raja yang maha Kuasa itu?, yang terdapat pada akhir ayat yang menutup surat yang telah lalu.197 Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab memaparkan bahwa di dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai nikmat di dunia dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang disampaikan Allah, Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama. Ayat tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31 kali. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di dunia, tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di akhirat, delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga pertama, dan delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga ke dua.198 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa surah Ar-Rahman memiliki hubungan dengan surah Al-Qamar. Firman Allah surah Ar-Rahman, merupakan jawaban atas pertanyaan pada surah AlQamar, yaitu “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa itu?”, juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi dengan rahmatNya?”. 2. Isi Kandungan Surah Ar-Rahman Di dalam Alquran terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, disebutkan beberapa pokok-pokok isi kandungan surah Ar197 Ash Shiddieqy, Ibid. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. VI, h. 231. 198 77 Rahman. Berikut adalah pemaparan mengenai pokok-pokok isi kandungan surah Ar-Rahman. a. Keimanan Allah mengajar manusia pandai berbicara; pohon-pohonan dan tumbuh-tumbuhan tunduk kepada Allah; semua makhluk akan hancur kecuali Allah; Allah selalu dalam kesibukan; seluruh alam merupakan nikmat Allah terhadap manusia; manusia diciptakan dari tanah dan jin dari api. b. Hukum-hukum Hukum di sini berkaitan dengan kewajiban mengukur, menakar, dan menimbang dengan adil.199 Sementara itu, TM Hasbi Ash Shiddieqi dalam tafsir Al Bayaan dijelaskan bahwa di antara kandungan surah Ar-Rahman adalah sebagai berikut. 1) Alquran adalah nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada manusia. 2) Nikmat-nikmat yang terkembang di langit dan di bumi. 3) Kejadian manusia dan jin. 4) Sifat hari kiamat. 5) Sifat ahli neraka. 6) Keadaan surga dan segala isinya yang disediakan untuk golongan Sabiqin dan Ashhabil-Yamin.200 C. Hasil Penelitian 1. Temuan Data Berdasarkan hasil analisis terhadap gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, penulis menemukan 22 jenis gaya bahasa. Adapun gaya bahasa yang ditemukan adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, repetisi, 199 200 Departemen Agama Republik Indonesia, Loc. Cit., h. 884. Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, Op. Cit., h. 1318. 78 paralelisme, elipsis, apofasis, asindeton, polisindeton, tautologi, pleonasme, klimaks, antiklimaks, sinekdoke, prolepsis, erotesis, simile, personifikasi, antonomasia, perifrasis, apostrof, dan antitesis. Berikut penulis sajikan tabel temuan jenis gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin. Tabel Temuan Data No Jenis Gaya Bahasa Ayat dalam Surah Ar-Rahman 1. Inversi 7,10, 22, 48, 50, 52, dan 64. 2. Aliterasi Semua terjemahan ayat surah ArRahman (Ayat ke-1 sampai 78) 3. Asonansi Semua terjemahan ayat surah ArRahman (Ayat ke-1 sampai 78) 4. Repetisi 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan 68. 5. Paralelisme 17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan 78. 6. Elipsis 3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70, 72, dan 74. 7. Apofasis 33 8. Asindeton 24, 54, dan 78. 9. Polisindeton 33 dan 35 10. Pleonasme 12, 37, 44, 66, dan 72. 11. Tautologi 64 12. Klimaks 33 dan 44 13. Antiklimaks 14, 24, 31, 37, dan 56. 79 14. Sinekdoke 4, 10, 27, 37, 41, dan 56. 15. Prolepsis 35, 41, 54, 76, dan 39. 16. Erotesis 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, dan 60. 17. Simile 14, 24, 37, dan 58. 18. Personifikasi 6 dan 19 19. Antonomasia 1 20. Perifrasis 41 21. Apostrof 31 dan 33 22. Antitesis 12 Berdasarkan tabel temuan data di atas, penulis dapat mengklsifikasikan jenis-jenis gaya bahasa tersebut, yaitu berdasarkan langsung tidaknya makna dan berdasarkan struktur kalimat. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis, asindeton, polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan apostrof, dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile, personifikasi, sinekdoke, dan antonomasia. Adapun gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan anitesis. Jadi, jumlah keseluruhan jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, adalah 22 jenis gaya bahasa. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna berjumlah 17 gaya bahasa, sedangkan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat berjumlah 5 gaya bahasa. Dengan demikian, gaya bahasa yang paling banyak ditemukan adalah gaya bahasa retoris, berjumlah 13 jenis gaya bahasa, sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah gaya bahasa kiasan, berjumlah 4 jenis gaya bahasa. 80 2. Analisis dan Deskripsi Data Pada bagian ini, penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan analisis temuan data, yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, yang disertai dengan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain, seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, dan terjemahan Mahmud Yunus. Hal tersebut dilakukan, guna mengetahui pemilihan kata, penyesuaian bunyi, dan pola penyusanan kata dalam kalimat setiap terjemahan. Perbandingan tidak dilakukan pada setiap jenis gaya bahasa yang ditemukan, tetapi pada bagian yang dianggap perlu ada sedikit perbandingan. Berikut merupakan deskripsi analisis jenis-jenis gaya bahasa yang ditemukan. 1. Inversi Gaya bahasa inversi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan melalui pembalikan susunan kata dari yang biasa. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-7, 10, 22, 48, 50, 52, dan 64. a. Terjemahan ayat ke-7 Terjemahan ayat ke-7 yaitu, “Langit Ia tinggikan dan diadakan-Nya neraca (keadilan)”.201 1) Segi Sintaksis Langit Ia tinggikan O S P (Bentuk inversi) Ia tinggikan langit S P O (Pola umum) Klausa Langit Ia tinggikan, merupakan bentuk inversi, karena adanya pembalikan susunan kata. Kata Langit sebagai objek, menjadi berada di posisi subjek, sedang pronomina Ia (Allah) sebagai subjek, menjadi berada di posisi predikat. Kata 201 H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 81 langit sebagai objek, berada mendahului pronomina Ia sebagai subjeknya. Begitupun dengan klausa diadakan-Nya neraca (keadilan). Susunan pola tersebut, tidak mengikuti pola kalimat pada umumnya, yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan jika ada. 2) Segi Semantik Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-7, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan maknamakna tersebut, berdasarkan yang tercantum dalam Al-Qur‟an The Great Miracle.202 Kata Makna wassamâ‟a dan langit rafa„ahâ dia telah meninggikannya wawađa„a dan dia meletakkan Almîzâna Timbangan Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah meninggikan langit dan meletakkan timbangan. Kata rafa„ahâ merupakan fi„il mâđi yang dilekatkan dengan ha sebagai damir yang merujuk ke assamâ‟a (langit). Dalam kalimat bahasa Indonesia, damir biasa disebut sebagai pronomina (kata yang dipakai untuk menggantikan orang atau benda). Damir ha dalam struktur kalimat bahasa Arab ayat ke-7, berarti pronomina -nya dalam kalimat bahasa Indonesia. Sementara itu, fi„il mâđi dalam kalimat bahasa Indonesia, disebut sebagai kata kerja bentuk lampau yang bermakna telah. 202 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013), Cet. I, h. 1059. 82 Begitupun kata wađa„a, merupakan fi„il mâđi (kata kerja bentuk lampau). Baik kata rafa„a maupun wađa„a, dua-duanya adalah kata kerja bentuk aktif, yang bermakna rafa„a telah meninggikan, dan wađa„a telah meletakkan. Jika kedua kata kerja tersebut dimaknakan kata kerja pasif menjadi ditinggikan dan diletakkan, maka bukan rafa„a dan wađa„a lagi, melainkan berubah menjadi rufi„a dan wuđi„a (đumma awwaluhu wakusira mâ qabla akhirihi). Kata Kerja Makna Bentuk Aktif rafa„a Kata Kerja Makna Bentuk Pasif telah rufi„a Ditinggikan wuđi„a Diletakkan meninggikan wađa„a telah meletakkan Dengan demikian, kata rufi„a berarti telah ditinggikan dan kata wuđi„a berarti telah diletakkan. Sementara itu, H. B. Jassin menerjemahkan kata wađa„a menjadi diadakan (kata kerja bentuk pasif). Setelah meninjau konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-7 tadi, dapat kita lihat bahwa H. B. Jassin menerjemahkannya sesuai dengan urutan konstituen-konstituen yang membangun kalimat ayat ke-7, dengan menyebutkan kata langit terlebih dahulu. Sehingga, pada terjemahannya terjadilah pembalikan susunan kata. Jika kita bandingkan dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, maka akan nampak seperti berikut ini. 83 H. B. Jassin Departemen Agama Republik Indonesia Langit Ia tinggikan Dan Allah telah meninggikan langit dan diadakan-Nya dan neraca (keadilan) Dia meletakkan neraca (keadilan)203 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa Departemen Agama Republik Indonesia, memilih pola kalimat yang biasa, yaitu subjek, predikat, dan objek, yang berbeda dengan pola kalimat yang dipilih H. B. Jassin. Persoalan pembalikan susunan kata seperti pada ayat ke-7, juga terjadi pada terjemahan ayat ke-10. Terjemahan ayat ke10 yaitu, “Bumi Ia bentangkan untuk semua insan”.204 Pada kalimat tersebut, kata Bumi sebagai objek, berada di posisi subjek mendahului pronomina Ia (Allah) sebagai subjeknya. Pola kalimat tersebut, jelas berbeda dengan pola kalimat pada umumnya, yaitu subjek, predikat, dan objek. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus pembalikan susunan kata pada terjemahan ayat ke-7 dan 10 adalah objek berada mendahului subjek. b. Terjemahan ayat ke-64 Pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50, 52, dan 64, pembalikan susunan kata berbeda dengan pembalikan susunan kata sebelumnya. Pada terjemahan ayat-ayat tersebut, pembalikan susunan kata yang terjadi adalah pola S-P (Subjek-Predikat) menjadi P-S (Predikat-Subjek). Melalui terjemahan ayat ke-64, penulis akan membahas gaya bahasa inversi P-S. Adapun 203 204 Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Op. Cit., h. 885. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 84 terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)”.205 1) Segi Sintaksis Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun) P (inversi) S Warnanya hijau tua (Karena daun yang rimbun) (pola umum) S P Pala kalimat inversi, kata warnanya yang menduduki fungsi subjek, berada di belakang frasa Hijau tua yang menduduki fungsi predikatnya. Jadi, frasa Hijau tua mendahului kata warnanya yang menduduki fungsi subjek. Kata warnanya, biasa diletakkan di awal sebelum menyebutkan jenis warna seperti merah, kuning, dan hijau. Jika terjemahan tersebut mengikuti susunan kalimat pada umumnya, maka menjadi “Warnanya hijau tua”. Pada kalimat Warnanya hijau tua, posisi kata Warnanya adalah sebagai subjek, juga sebagai yang diterangkan (D), sedang frasa hijau tua sebagai predikat juga sebagai yang menerangkan (M). Sementara itu, pada kalimat Hijau tua warnanya terjemahan H. B. Jassin, frasa hijau tua sebagai predikat juga sebagai yang menerangkan (M) berada di awal, sedang kata warnanya sebagai subjek juga sebagai yang diterangkan (D) berada di akhir. Jadi, jelas terlihat adanya pembalikan susunan kata S-P menjadi P-S. Frasa hijau tua menerangkan bahwa warna kedua surga adalah hijau tua, bukan merah, kuning, maupun biru. 205 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 753. 85 2) Segi Semantik Ditinjau dari segi semantik, kata mudhâmmatâni berarti keduanya hijau tua. Kata mudhâmmatâni, merupakan bentuk tatsniyah yang berarti menunjuk kepada dua hal. Dalam ayat ke-64, kedua hal tersebut menunjuk kepada jannatâni (dua surga) pada ayat ke-62. Pada gramatika bahasa Arab, kata mudhâmmatâni merupakan na„at dari jannatâni pada ayat ke62 sebagai man„utnya. Pada kalimat bahasa Indonesia, na„at adalah sifat dan man„ut adalah yang disifati sifat tersebut. Pembahasan mengenai pembalikan susunan kata seperti pada ayat ke-64, telah mewakili pembahasan pembalikan susunan kata pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50 dan 52, karena permasalahannya sama, yaitu berupa predikat mendahului subjeknya. Selain itu, terjemahan ayat ke-22, 48, 50, dan 52, masing-masing didahului juga oleh fungsi keterangan, yaitu keterangan tempat yang sifatnya manasuka. 2. Aliterasi Gaya bahasa aliterasi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan pengulangan bunyi konsonan yang sama. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman, dari ayat ke-1 sampai 78. Pada pembahasan ini, penulis hanya membahas gaya bahasa pada terjemahan ayat yang dapat mewakili seluruh bentuk penggunaan gaya bahasa aliterasi, karena secara umum, gaya bahasa tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk mempertahankan keindahan dan persamaan bunyi, juga adanya kerapian penggunaan kata-kata, dan menyajikan kata-kata agar tidak terasa kaku. 86 a. Bunyi [m] Terjemahan ayat ke-2 surah Ar-Rahman yaitu, “Mengajari (Muhammad) Al-Qur‟an”.206 Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi konsonan yang sama, yaitu [m] pada Mengajari dan Muhammad. Pengulangan tersebut, dilakukan untuk mempertahankan keindahan dan persamaan bunyi. Bunyi [m] merupakam konsonan nasal, yang dihasilkan dengan menghalangi sepenuhnya aliran udara di rongga mulut, tetapi membuka jalan ke luar bagi aliran udara melalui rongga hidung.207 b. Bunyi [n] Terjemahan ayat ke-3 yaitu, “Menciptakan insan”.208 Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi konsonan yang sama, yaitu [n] pada kata Menciptakan dan insan. Adanya pengulangan konsonan tersebut, berfungsi untuk menghadirkan persamaan dan keindahan bunyi. Bunyi [n] sama seperti bunyi [m] yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu merupakan konsonan nasal dan cara menghasilkannya pun sama. Hanya, bunyi [n] memiliki daerah artikulasi yang berbeda dengan bunyi [m]. Bunyi [n] merupakan konsonan nasal alveolar, sedangkan bunyi [m] merupakan konsonan nasal bilabial. c. Bunyi [t], [h], [r], [d], [b], [ŋ] Terjemahan ayat ke-5 yaitu, “Matahari dan bulan (beredar) dengan perhitungan”.209 206 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749. Djoko Kentjono, Tata Bunyi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), h. 9. 208 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 209 Ibid. 207 87 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan yang sama, yaitu [t] dan [h] pada Matahari dan perhitungan, [r] pada Matahari, beredar, dan perhitungan, [d] pada dan dan dengan, [n] pada dan, bulan, dengan, dan perhitungan, [b] pada bulan dan beredar, [ŋ] pada dengan dan perhitungan. Pengulangan bunyi konsonan yang sama nampak terlihat banyak dibanding ayat ke-2 dan 3. Sementara itu, fungsi pengulangan bunyi konsonan yang sama pun tetap sama, yaitu untuk mempertahankan persamaan dan keindahan bunyi. Bunyi [t] merupakan konsonan hambat alveolar tak bersuara, yang dibentuk dengan pita suara yang tidak bergetar, [d] merupakan konsonan hambat alveolar bersuara, yang dibentuk dengan pita suara yang bergetar, [b] merupakan konsonan hambat bilabial bersuara, yang dihasilkan dengan pita suara yang bergetar, [r] merupakan konsonan getar alveolar bersuara, yang dihasilkan dengan pita suara yang bergetar, [h] merupakan konsonan frikatif glotal tak bersuara, yang dihasilkan pita suara yang tidak bergetar, [ŋ] merupakan konsonan rangkap, juga merupakan konsonan nasal velar bersuara.210 Adapun pembahasan mengenai bunyi [n], telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. d. Bunyi [p] dan [k] Terjemahan ayat ke-6 yaitu, “Tanaman merambat dan pohonan, Keduanya sujud kepada Tuhan”.211 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi [t] pada Tanaman, merambat, dan Tuhan, [n] pada Tanaman, dan, pohonan, dan Tuhan, [m] pada Tanaman dan merambat, [d] pada dan, keduanya, dan kepada, [p] pada pohonan dan kepada, [h] pada 210 211 Alwi, dkk., Op. Cit., h. 66. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 88 pohonan dan Tuhan, [k] pada keduanya dan kepada. Pengulangan bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, nampak terlihat banyak. Di antaranya, terdiri atas bunyi konsonan yang telah hadir dan telah dibahas pada terjemahan ayat sebelumnya, ada pula bunyi konsonan yang baru muncul, yaitu [p] dan [k]. Bunyi [p] pada kata pohon dan kepada, merupakan konsonan hambat bilabial tak bersuara, yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat, sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara waktu sebelum ketupan dilepaskan, sementara bunyi [k] pada keduanya dan kepada, merupakan konsonan hambat velar tak bersuara.212 e. Bunyi [l] dan [s] Terjemahan ayat ke-19, “Ia lepaskan kedua lautan yang saling bertemu”.213 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan yang sama, yaitu [l] pada lepaskan, lautan, dan saling, [s] pada lepaskan dan saling, [k] pada lepaskan dan kedua, [n] pada lepaskan dan lautan, [ŋ] sebagai konsonan rangkap pada yang dan saling, [t] pada lautan dan bertemu. Pengulangan bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, nampak telah hadir dan dijelaskan pada terjemahan ayat sebelumnya, kecuali pada bunyi [l] dan [s]. Bunyi [l] pada kata lepaskan, lautan, dan saling, merupakan konsonan lateral alveolar bersuara, dan [s] pada kata lepaskan dan saling, merupakan konsonan frikatif alveolar tak bersuara, yang dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas, sambil melepaskan udara melalui samping lidah, sehingga 212 menimbulkan bunyi desis.214 Alwi, dkk., Loc. Cit. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750. 214 Alwi, dkk., Op. Cit. h. 67. 213 Pengulangan bunyi 89 konsonan yang sama tersebut, terjadi hampir di semua konstituen yang membangun konstruksi kalimat terjemahan. f. Bunyi [j] Terjemahan ayat ke-43 yaitu, “Inilah neraka Jahanam yang didustakan orang durjana”.215 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi konsonan yang sama, yaitu [n] pada Inilah, neraka, Jahanam, didustakan, dan durjana, [h] pada Inilah dan Jahanam, [r] pada neraka, orang, dan durjana, [k] pada neraka dan didustakan, [j] pada Jahanam dan durjana, [d] pada didustakan dan durjana, dan [ŋ] pada yang dan orang. Semua pengulangan bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [j]. Adapun bunyi [j] pada kata jahanam dan durjana, merupakan konsonan afrikatif palatal bersuara, yang dihasilkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras, kemudian dilepaskan secara perlahan hingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu, pita suara dalam keadaan bergetar.216 Adapun mengenai bunyi yang lainnya, telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. g. Bunyi [g] Terjemahan ayat ke-62 yaitu, “Selain yang dua itu ada lagi dua sorga”.217 Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi konsonan yang sama, yaitu [s] pada Selain dan sorga, [l] pada Selain dan lagi, [d] pada dua dan ada. Adapun bunyi [l] dan [d], telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya. Sementara 215 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751. Alwi, dkk., Op. Cit., h. 68. 217 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753. 216 90 itu, bunyi [g] pada kata lagi dan sorga, merupakan konsonan hambat velar bersuara yang dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak. Udara untuk sementara waktu dihambat di sini, kemudian dilepaskan.218 Pengulangan bunyi konsonan yang sama tersebut, terdapat hampir di semua konstituen yang membangun konstruksi kalimat terjemahan, kecuali pada kata yang. Adapun fungsi adanya bentuk penggunaan gaya bahasa aliterasi, sama dengan terjemahan-terjemahan sebelumnya. h. Bunyi [y] Terjemahan ayat ke-12 yaitu, “Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya”.219 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan yang sama, yaitu [d] pada padi-padian dan dan, [n] pada padipadian, dan, dan tumbuh-tumbuhan, [y] dan [ŋ] pada yang, [r] pada berkulit dan harum, [b] pada berkulit, tumbuh-tumbuhan, dan baunya, [t] pada berkulit dan tumbuh-tumbuhan, [h] pada tumbuhtumbuhan, dan harum. Pengulangan bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, rata-rata sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [y]. Adapun bunyi [y] pada kata yang, merupakan konsonan semivokal palatal bersuara, yang dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paruparu.220 Adapun fungsi adanya bentuk gaya bahasa aliterasi tetap sama seperti pada terjemahan ayat-ayat sebelumnya. Terlihat pula bahwa hampir pada semua konstituen yang membangun konstruksi 218 Alwi, dkk., Op. Cit., h. 67. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 220 Alwi, dkk., Op. Cit., h. 70. 219 91 kalimat terjemahan tersebut, bentuk pengulangan bunyi konsonan yang sama terjadi, kecuali pada kata juga. Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa aliterasi, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa aliterasi terdapat pada seluruh terjemahan ayat surah Ar-Rahman. Penggunaan gaya bahasa aliterasi dihasilkan dengan pengulangan bunyi konsonan yang sama, yaitu [b], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s], [t], [y], dan [ŋ]. Secara umum, terjemahan ayat-ayat yang telah dibahas, mewakili keseluruhan bentuk penggunaan gaya bahasa aliterasi pada terjemahan ayat lain, karena bunyi-bunyi ([b], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s], [t], [y], dan [ŋ]) tersebutlah yang bermunculan dan mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk memberikan kesan keindahan dan persamaan bunyi. H. B. Jassin sangat mempertahankan persamaan bunyi pada setiap kata, dengan memilih padanan kata yang memiliki makna terjemahan yang sama dan dengan bunyi-bunyi yang hampir sama, untuk mempertahankan keindahan terjemahannya, tanpa melenceng dari maksud yang dikandung setiap ayat. Keputusan H. B. Jassin mempertahankan persamaan bunyi dalam setiap kata, menyebabkan adanya ketidakkonsistenan dalam memilih atau menggunakan kata. Misalnya, penggunaan kata insan dan manusia. Adakalanya, H. B. Jassin lebih memilih kata insan, karena katakata sebelumnya berbunyi [n], seperti jin dan insan, bukan jin dan manusia. Namun, di terjemahan ayat yang lain, H. B. Jassin justru lebih menggunakan kata manusia. Selain itu, penggunaan kata gadis-gadis dan hauri-hauri. Adakalanya, H. B. Jassin memilih kata hauri-hauri dibanding gadis-gadis atau bidadari-bidadari, begitupun sebaliknya, untuk mempertahankan keindahan dan persamaan bunyi dengan kata sebelumnya, yang membangun suatu konstruksi kalimat. 92 3. Asonansi Asonansi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan pengulangan bunyi vokal yang sama. Pada terjemahan surah ArRahman, terdapat gaya bahasa asonansi, yaitu pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman, dari ayat ke-1 sampai ke-78. Secara umum, penggunaan gaya bahasa asonansi ditandai dengan adanya pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [a], [i], [u], [e], [o], dan [ǝ ]. Pengulangan bunyi vokal yang sama ini, memberikan efek keindahan dan persamaan bunyi pada setiap konstituen yang membangun suatu konstruksi kalimat terjemahan setiap terjemahan ayat. a. Bunyi [a] dan [u] Terjemahan ayat ke-1 yaitu, “(Tuhan) Yang Maha 221 Pemurah”. 1) Segi Fonologi Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [u] pada Tuhan dan pemurah, dan [a] pada semua kata yang membangun kalimat terjemahan. Bunyi [a] lebih dominan dibanding dengan bunyi [u]. Bunyi [a] terdapat pada setiap kata yang menyusun kalimat terjemahan tersebut, sehingga menyebabkan timbulnya kerapian pemakaian kata, keindahan bunyi, dan persamaan bunyi, yaitu [a]. Bunyi [a], merupakan vokal rendah dan vokal tengah, diucapkan dengan bentuk bibir yang normal (tidak dimajukan), bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar,222 seperti pada kata-kata yang membangun kalimat terjemahan ayat ke-1, yaitu Tuhan, Yang, Maha, dan Pemurah. Sementara itu, untuk bunyi [u], hanya terdapat pada kata Tuhan dan Pemurah. Bunyi [u] merupakan vokal tinggi-belakang, tetapi 221 222 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. Alwi, dkk., Op. Cit., h. 57. 93 yang meninggi adalah belakang lidah. Bunyi [u] diucapkan dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.223 2) Segi sintaksis kalimat (Tuhan) Yang Maha Pemurah, termasuk ke dalam jenis kalimat deklaratif, yaitu menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat Ar-Raẖ mân, Maha pemurah. Hal tersebut dibuktikan dengan telah diajarkanNya Alquran kepada Nabi Muhammad, diciptakanNya manusia yang pandai dalam bericara, diberikan dan disediakaNnya nikmat-nikmat di dunia dan di akhirat. Ditinjau dari segi fungsinya dalam kalimat, kata Tuhan menduduki fungsi subjek, dan Yang Maha Pemurah menduduki fungsi predikat. Kalimat tersebut, dibangun atas satu klausa, yang terdiri atas subjek dan predikat. Pada struktur bahasa Arab, kata Ar-Raẖ mânu menjadi mubtada dari khabar a„llamal-Qur‟âna. Mubtada merupakan subjek dan khabar merupakan gabungan dari predikat dan objek dalam struktur kalimat bahasa Indonesia, karena pada struktur bahasa Arab ayat ke-2, a„llamal-Qur‟âna merupakan khabar jumlah. Secara semantik, kata Ar-Raẖ mânu bermakna (Tuhan) Yang Maha Pemurah. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kepemurahan Allah. b. Bunyi [i] Selain bunyi [a] dan [u] pada ayat ke-1, ada juga bunyi [i] pada terjemahan ayat ke-3, yaitu “Menciptakan insan”.224 1) Segi Fonologi Pada terjemahan tersebut, terlihat adanya bunyi vokal yang sama yaitu [a] dan [i] pada semua kata yang membangun 223 224 Alwi, dkk., Ibid. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 94 kalimat terjemahan tersebut, yaitu kata Menciptakan dan insan. Bunyi [a] telah dijelaskan sebelumnya pada terjemahan ayat ke-1. Bunyi [i] dihasilkan dengan sudut bibir direntangkan ke samping sehingga bentuknya lebar. Bunyi [i] merupakan vokal tinggi-depan yang dihasilkan dengan kedua bibir agak terentang ke samping.225 2) Segi Sintaksis Ditinjau dari fungsi sintaksisnya, kalimat tersebut terdiri atas konstituen yang menduduki fungsi predikat dan objek, meskipun konstituen yang menduduki fungsi subjeknya tidak dihadirkan. Kata Menciptakan menduduki fungsi predikat, yang merupakan suatu pekerjaan membuat atau menghasilkan sesuatu, kata insan menduduki fungsi objek, yang merupakan wujud hasil kegiatan menciptakan atau objek yang diciptakan subjek, sedang kata Tuhan (tidak dihadirkan dalam kalimat), menduduki fungsi subjek, yang merupakan pelaku dalam melakukan kegiatan menciptakan. 3) Segi Semantik Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-3, masing-masing membawa makna. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut berdasarkan pada Al-Quran The Great Miracle.226 225 226 Kata Makna Khalaqa dia telah mencipatakan al-insâna manusia. Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059. 95 Pada struktur kalimat bahasa Arab, kata Khalaqa berfungsi sebagai fi„il (kata kerja), dalam hal ini adalah jenis fi„il mâđi, yang memiliki makna lampau (kata kerja bentuk lampau). Maka dari itu, kata Khalaqa bermakna dia telah menciptakan. Fi„il dalam gramatika bahasa Arab, merupakan predikat dalam gramatika bahasa Indonesia, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh Fâ„il dalam gramatika bahasa Arab, Subjek dalam gramatika bahasa Indonesia. Jadi, Fi„il adalah predikat, sedang Fâ„il adalah Subjek. Fâ„il dalam kata Khalaqa merujuk kepada Tuhan, sedang kata al-insâna berfungsi sebagai maf„ul. Maf„ul dalam gramatika bahasa Arab, merupakan objek dalam gramatika bahasa Indonesia. Jika terjemahan kata-kata tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah menciptakan manusia. Untuk terjemahan ayat ini, H. B. Jassin lebih memilih kata insan dibanding kata manusia, karena untuk mempertahankan persamaan bunyi, agar terdengar lebih indah. H. B. Jassin, mengikuti bunyi akhir [n] pada kata mencipatakan, sehingga memilih kata insan agar bunyinya sama dengan bunyi akhir kata menciptakan yaitu [n]. c. Bunyi [ǝ ] Selanjutnya, untuk mewakili adanya persamaan bunyi vokal [ǝ ] pada terjemahan surah Ar-Rahman, penulis akan memaparkan persamaan pada terjemahan ayat ke-6. Adapun terjemahan ayat ke-6, yaitu, “Tanaman merambat dan pohonan, Keduanya sujud kepada Tuhan”.227 227 Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 96 1) Segi Fonologi Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [a] pada semua konstituen yang membangun kalimat tersebut, kecuali pada kata sujud, [ǝ ] pada kata merambat, Keduanya, dan kepada, dan [u] pada Keduanya, sujud, dan Tuhan. Untuk bunyi [a] dan [u], penulis telah memaparkan penjelasannya pada bagian awal, sedang untuk selanjutnya, penulis akan memfokuskan pembahasan pada persamaan bunyi [ǝ ]. Adanya bunyi [ǝ ] pada kata merambat, Keduanya, dan kepada. Bunyi [ǝ ] merupakan vokal sedang-tengah, yang dihasilkan dengan bagian tengah lidah agak dinaikkan dan bentuk bibir yang netral.228 2) Segi Sintaksis Berdasarkan fungsi sintaksisnya, konstituen-konstituen yang membangun kalimat Tanaman merambat dan pohonan, Keduanya sujud kepada Tuhan, masing-masing menduduki fungsi sintaksis yang berbeda, yaitu Tanaman merambat dan pohonan menduduki fungsi subjek, kata sujud menduduki fungsi predikat, dan kepada Tuhan menduduki fungsi keterangan. 3) Segi Semantik Sementara itu, secara semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.229 228 229 Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1060. 97 Kata Makna Wannajmu dan tanaman merambat Wasysyajaru dan pohon-pohon Yasjudâni keduanya sujud Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi “Tanaman yang merambat dan pepohonan, keduanya sujud (kepada Tuhan)”. Kata yasjudâni merupakan bentuk tatsniyah dari kata yasjudu yang ditambahkan huruf alif dan nun sebagai ciri tatsniyahnya. Tatsniyah, berarti menunjukkan kepada dua, dalam hal ini adalah tanaman yang merambat dan pepohonan. Di dalam Al-Qur‟an The Great Miracle dijelaskan bahwa Kata annajmu merupakan tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki batang, sedang asysyajaru merupakan pepohonan yang memilik dahan dan batang. Annajmu, dapat juga diartikan sebagai bintang.230 d. Bunyi [o] Terjemahan ayat ke-11 yaitu, “Di atasnya tumbuh buahbuahan, Dan pohon korma dengan selodang”.231 1) Segi Fonologi Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [a] pada kata atasnya, buah-buahan, Dan, korma, dengan, dan selodang, [u] pada kata tumbuh dan buah-buahan, [o] pada pohon, korma, dan selodang. Untuk bunyi [a] dan [u], pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan, sehingga pada terjemahan ayat ini, penulis akan 230 231 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1059. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749. 98 memfokuskan pada persamaan bunyi [o]. Bunyi [o] merupakan vokal sedang-belakang, yang dihasilkan dengan bentuk bibir kurang bundar dibanding [u].232 Pada terjemahan tersebut, H. B. Jassin secara gamblang mempertahankan persamaan bunyi [o], terutama pada kata korma yang menyerasikan bunyi [o] pada kata pohon dan selodang. Kata korma, bukan merupakan kata baku, sedang yang baku adalah kurma. Pada kata tersebut, yang ada adalah bunyi [u] bukan [o]. Namun, untuk mempertahankan persamaan bunyi dan keindahan persajakan, maka H. B. Jassin lebih memilih kata korma dibanding kata kurma, meski kata tersebut tidak baku. 2) Segi Semantik Secara semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-11 masing-masing memiliki makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makan tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.233 Kata Makna Fîhâ di dalamnya Fâkihatun buah-buahan Wannakhlu dan pohon kurma Żâtu yang mempunyai al-akmâmi kelopak mayang Setelah melihat makna konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, terlihat pula keinginan H. B. Jassin dalam hal mempertahankan persamaan bunyi vokal. Untuk masalah 232 233 kata korma, telah dipaparkan Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059. sebelumnya. 99 Selanjutnya, H. B. Jassin lebih memilih menggunakan kata selodang untuk menggantikan kelopak mayang. Kata selodang dipilih H. B. Jassin dibanding kelopak mayang. Selain terlihat lebih simpel, kata selodang juga mempertahankan persamaan bunyi [o] yang terdapat pada pohon dan korma. e. Bunyi [e] Selanjutnya, bunyi [e] dapat kita lihat pada terjemahan ayat ke-37. Adapun ayat ke-37 yaitu, “Bila langit pecah terbelah kemerah-merahan seperti bunga mawar Yang merah laksana minyak berkilauan”.234 Bunyi [e] pada terjemahan tersebut, terdapat pada kata kemerah-merahan dan merah. Bunyi [e] merupakan vokal sedangdepan, yang dihasilkan dengan daun lidah dinaikkan, tetapi agak lebih rendah daripada [i]. Kemudian, disertai dengan bentuk bibir yang netral, tidak terentang dan juga tidak membundar.235 Dengan demikian, adanya pengulangan bunyi vokal yang sama, berfungsi untuk menciptakan persamaan dan keindahan bunyi setiap konstituen yang membangun sebuah kalimat. Secara umum, pembahasan mengenai persamaan bunyi vokal [a], [i], [u], [e], [o], dan [ǝ ] pada ayat ke-1, 3, 6, 11, dan 37, mewakili persamaan bunyi vokal yang ada pada terjemahan ayat surah Ar-Rahman yang lain, karena memiliki fungsi yang sama. Hanya, persamaan bunyi vokal [e] penggunaannya lebih sedikit, sedang yang paling dominan adalah bunyi vokal [a]. 234 235 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751. Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57. 100 4. Repetisi Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa repetisi, berupa pengulangan kata, frasa, klausa atau kalimat yang sama. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat ke-16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Adapun terjemahan ayat-ayat tersebut yaitu, “Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan?”. Kalimat tersebut berjumlah 31 kali dalam 78 ayat surah ArRahman, dimulai dari ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat ke-16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Pengulangan tersebut, termasuk ke dalam gaya bahasa repetisi karena penggunaan kalimatnya diulang-ulang, bukan hanya satu sampai tiga kali, melainkan hingga puluhan kali. Pengulangan hingga puluhan kali, jarang sekali dilakukan. Pengulangan seperti ini, mengandung suatu maksud yang perlu dipahami oleh makhluk-makhlukNya, yaitu golongan jin dan manusia. Sementara itu, dalam kitab tafsir Jalalen, dijelaskan bahwa kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, termasuk ke dalam jenis istifham taqriri, yaitu kalimat tanya yang digunakan untuk menguatkan nikmat-nikmat Allah (kepemurahan Allah) dan mendesak yang diajak komunikasi (jin dan manusia) supaya mengakui terhadap segala hal yang telah dipaparkan Allah mengenai berbagai nikmat yang telah diberikan, baik nikmat dunia, maupun akhirat. Kalimat tersebut, tidak membutuhkan jawaban dari makhlukNya (jin dan manusia), tetapi kehadirannya untuk mendesak agar makhlukNya menyadari dan mengakui bahwa nikmat Allah sungguh luar biasa melimpahnya, tidak ada satupun yang luput dari nikmat Allah, dan 101 mengingatkan agar tidak mengingkari nikmat-nikmat tersebut, dalam hal ini adalah kufur nikmat. Jadi, istifham dalam ayat ini mengandung makna taqrir atau menetapkan. Demikian itu disebutkan karena ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui Jabir r. a. yang telah menceritakan bahwa Rasul membacakan kepada kami surah ArRahman hingga selesai. Kemudian beliau bersabda “Mengapa kalian ini diam saja?” Sungguh jin lebih baik jawabannya daripada kalian, karena sesungguhnya tiada sekali-kali aku bacakan kepada mereka ayat ini.236 1) Segi Sintaksis Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat terjemahan tersebut termasuk ke dalam jenis kalimat tanya, karena menggunakan kata tanya mana yang dilekatkan dengan partikel –kah hingga menjadi manakah. Kemudian, di akhir kalimat tersebut ditandai dengan tanda tanya (?) yang merupakan salah satu ciri dari kalimat tanya dalam ragam tulis. Partikel -kah yang melekat di akhir kata mana, memberikan efek penegasan pertanyaan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tanya banyak macamnya, seperti kalimat tanya yang membutuhkan jawaban Ya atau Tidak, kalimat tanya yang membutuhkan jawaban berupa penjelasan atau pemaparan, dan kalimat tanya retoris yang tidak membutuhkan jawaban dari lawan bicaranya. Dengan demikian, jika dilihat berdasarkan karakteristiknya, kalimat “Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan?”, termasuk ke dalam jenis kalimat tanya retoris, yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat tersebut, merupakan salah satu bentuk komunikasi Allah dengan makhlukNya secara tidak langsung. Artinya, Allah tidak langsung 236 Imam Jalaluddin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1999), Cet. IV, h. 2339. 102 berhadapan dengan makhlukNya, yaitu jin dan manusia, tetapi melalui firmanNya dalam Alquran surah Ar-Rahman. Kalimat tersebut, bukan berarti mengharapkan makhlukNya untuk menjawab seperti nikmat yang ini dan nikmat yang itu, melainkan supaya timbulnya rasa mengakui dalam hati dan menyadari bahwa benar nikmat yang telah diberikan Allah begitu melimpah, tidak ada satupun yang luput dari nikmatNya. Maka, dengan timbulnya rasa tersebut, membuat makhlukNya menjadi tidak mengingkari nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, sehingga terhindar dari kufur nikmat. Lebih lanjut, mengenai pemaparan tentang nikmat-nikmat Allah dalam surah Ar-Rahman, Muhammad Quraish Shihab memaparkan bahwa di dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai nikmat di dunia dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang disampaikan Allah, Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama. Ayat tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31 kali. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di dunia, tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di akhirat, delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga pertama, dan delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga ke dua.237 Meskipun kalimat yang diulang tersebut tidak membutuhkan jawaban dari makhlukNya, namun disunahkan untuk membaca Lâ bisyai‟in minniՙ amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu, setelah mendengar atau membaca Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân. Hal tersebut dijelaskan pula dalam kitab tafsir Jalalen. Pada tafsir Al Bayan II, juga dipaparkan mengenai hal tersebut. Prof. TM Hasbi Ash Shiddieqi memaparkan, Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dari Jarir, bahwa pada suatu hari di madinah, Nabi menemui shahabat-shahabat beliau, lalu 237 Shihab, Loc. Cit., h. 231. 103 membaca surat Ar-Rahman ini dari awal sampai ke akhirnya mereka semuanya berdiam diri; karena itu, Nabi bersabda: Aku telah membaca surat itu kepada jama‟ah jin pada malam hari. Diwaktu dibacakan: “Fabiayyi„alaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan”, mereka menjawab dengan perkataan mereka: “Laa bi syi-in min ni‟amika rabbanaa nukadzdzibu falaka-l-hamdu = tak ada sesuatu ni‟mat Engkau, kami dustakan; untuk engkaulah segala puji.”238 Dengan demikian, apabila setelah mendengar atau membaca Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, disunahkan untuk membaca Lâ bisyai‟in minniՙ amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu. Mengenai penggunaannya yang diulang-ulang, tentu menarik banyak perhatian. Kita sebagai makhlukNya, tidak bisa menanyakan alasan mengapa kalimat tersebut diulang-ulang kepada Allah. Namun, kita boleh menanyakan pertanyaan tersebut kepada manusia yang mampu menjawabnya. Lebih lanjut, Bachtiar Surin memaparkan bahwa ayat yang diulang sebanyak 31 kali ini, gunanya untuk lebih memantapkan keimanan kepada Allah Yang Maha Rahman. Kemudian, beliau memaparkan juga bahwa cara mengulang-ngulang kalimat seperti ini seringkali terjadi pemakaiannya dalam percakapan orang Arab. Misalnya, si A sudah banyak berbuat kebaikan kepada si B. Namun, si B selalu memungkirinya. Lalu si A berkata: “Kamu tadinya tidak mempunyai pakaian, lalu aku beri. Apakah kamu memungkirinya? Juga tadinya kamu tidak mempunyai sepatu, lalu aku memberimu sepatu juga. Apakah kamu memungkirinya lagi? Tadinya kamu tidak mempunyai uang, lalu aku memberimu uang. Apakah kamu masih memungkirinya?” Pertanyaan tersebut berlanjut sampai seterusnya agar si mukhatab (orang yang diajak bicara) mengakui semuanya. Begitupun pada kalimat yang diulang sebanyak 31 kali ini. Kalimat tersebut ditujukan kepada jin dan manusia.239 238 Ash Shiddieqy, Op. Cit., h. 1309. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Firma Sumatra, 1978), h. 873. 239 104 2) Segi Semantik Adapun secara semantik, kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, tersusun atas rangkaian kata yang masing-masing mempunyai makna. Berikut penulis paparkan makna-makna tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.240 Kata Makna Fabiayyi maka yang manakah Âlâi Nikmat Rabbikumâ Tuhan kalian berdua Tukażżibân yang akan kalian dustakan Kumâ dalam rabbikumâ, merupakan bentuk tatsniyah dari ka. Adapun tatsniyah, menunjuk kepada dua, dalam hal ini adalah jin dan manusia. H. B. Jassin lebih memilih kata karunia untuk kata âlâi dibanding dengan kata nikmat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata karunia bermakna kasih; belas kasih; pemberian atau anugerah dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah, 241 sedang kata nikmat bermakna enak; lezat; merasa puas; senang; pemberian atau karunia (dari Allah).242 H. B. Jassin memilih kata karunia untuk mempertahankan persamaan dan keindahan bunyi, yaitu bunyi vokal [a], sedang kata nikmat, diakhiri dengan bunyi [t]. Adapun bunyi yang dominan pada setiap kata yang membentuk kalimat tersebut adalah bunyi [a]. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesenadaan dan keindahan bunyi, H. B. Jassin memilih kata karunia yang memiliki bunyi akhir [a]. 240 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059. Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 629. 242 Ibid., h. 962. 241 105 3) Perbandingan dengan Terjemahan Lain Berikut merupakan perbandingan terjemahan H. B. Jassin dengan terjemahan lain. H. B. Jassin Departemen Agama Mahmud Yunus Republik Indonesia Maka karunia Maka nikmat Tuhan Maka nikmat manakah dari kamu yang manakah Tuhanmu yang Tuhanmu, Yang kamu yang kamu manakah kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan? dustakan? 243 dustakan, (hai manusia dan jin)?244 Pada ketiga terjemahan tersebut, perbedaan terletak pada segi diksi, yaitu nikmat dan karunia. Selain itu, perbedaan juga terletak pada segi susunan kata yang membangun kalimat tersebut. 4) Segi Pragmatik Secara pragmatik, kalimat “Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan?” mengandung makna atau mengisyaratkan agar makhlukNya (jin dan manusia) mengakui atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan tidak melakukan perbuatan kufur nikmat, yaitu mengingkari dan mengelak terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan tidak bersyukur atas semua itu. Secara tidak langsung, Allah menyatakan kepada makhlukNya bahwa tidak ada seorang pun dari makhlukmakhlukNya yang tidak mendapatkan nikmat dari Allah. Semuanya telah diberikan nikmat-nikmat yang begitu melimpah, bahkan Allah memaparkan bahwa kelak di akhirat pun, makhluk-makhlukNya yang 243 Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885. Mahmud Yunus, Tafsir Qurän Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), Cet. 73., h. 244 793. 106 beriman dan bertakwa, akan mendapatkan nikmat-nikmat yang luar biasa. Allah menunjukkan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka, jangan sekali-kali mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikanNya. Selain pada terjemahan ayat-ayat di atas, gaya bahasa repetisi juga terdapat pada terjemahan ayat ke-17, 56 dan 74, 48, 50, 52, 66, 68, dan ayat ke-78. Secara umum, pengulangan tersebut dilakukan sebagai bentuk penekanan, penegasan, dan penguatan, baik dalam hal ketuhanan yang merajai kedua Timur dan Barat (ayat ke-17), persoalan bidadari yang suci dan belum terjamah oleh jin dan manusia (ayat ke-56 dan 74), nikmat-nikmat di dalam kedua surga (48, 50, 52, 56, 66, 68), maupun derajat keagungan dan kemualiaan Allah yang penuh dan tidak sedikit-sedikit atau setengah-setengah (ayat ke-78). Secara umum, pengulangan yang dilakukan, berfungsi sebagai bentuk penekanan, penegasan, dan penguatan, baik terhadap makna maupun terhadap hal-hal yang Allah bicarakan, seperti persoalan nikmatnikmat yang telah Allah berikan dan siapkan kelak di surga. Selain itu, pengulangan juga berfungsi sebagai bentuk keindahan dalam menyusun serangkaian kata, menjaga irama, dan mencapai efek keindahan yang luar biasa. 5. Paralelisme Seperti yang telah dipaparkan dalam landasan teori mengenai jenis-jenis gaya bahasa, paralelisme merupakan salah satu gaya bahasa yang dihasilkan dengan usaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat ayat-ayat yang mengandung paralelisme, di antaranya adalah ayat ke17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan 78. 107 a. Terjemahan ayat ke-41 Terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-41 yaitu, “Orangorang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, Dan mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.245 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa paralelisme yaitu pada fungsi predikat menggunakan frasa verba akan dikenal dan akan dicekam. Kedua frasa yang menduduki fungsi predikat tersebut, sama-sama berbentuk frasa verba, dengan prefiks di- sebagai ciri pasif dari masing-masing verba tersebut. Di sini terlihat bahwa H. B. Jassin mencoba untuk melakukan kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang digunakan dalam terjemahannya, yaitu dengan memilih frasa verba bentuk pasif dalam satu kalimat yang dihubungkan dengan menggunakan konjungsi dan. H. B. Jassin mencoba menggabungkan dua klausa dengan menggunakan bentuk kata yang sama, yaitu kata kerja bentuk pasif, tidak yang satu pasif dan satunya lagi aktif. Dengan demikian, kalimat dalam terjemahan tersebut termasuk ke dalam jenis gaya bahasa paralelisme. 1) Segi Sintaksis Ditinjau secara sintaksis, kalimat terjemahan tersebut merupakan bentuk kalimat majemuk setara penjumlahan, karena dibangun oleh dua klausa yang sederajat dan dihubungkan dengan menggunakan konjungsi dan. Frasa Orang-orang durjana menduduki fungsi subjek, frasa Akan dikenal menduduki fungsi predikat, frasa pada tanda-tandanya menduduki fungsi keterangan, kata dan sebagai konjungsi penjumlahan, kata mereka menduduki fungsi subjek, frasa akan dicekam menduduki fungsi 245 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 751. 108 predikat, dan frasa pada ubun-ubun dan kaki-kakinya menduduki fungsi keterangan. Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan S P Keterangan Konjungtor mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya S P Keterangan Terlihat dengan jelas, bahwa fungsi sintaksis dalam kalimat terjemahan tersebut lebih dari satu, masing-masing fungsi ada dua, jadi merupakan jenis kalimat majemuk setara yang dibangun atas dua klausa yang sederajat, dan dihubungkan dengan konjungsi dan. Frasa akan dikenal dan akan dicekam, di sini terlihat sama-sama menduduki fungsi predikat dalam kedua klausa yang membangun kalimat terjemahan tersebut. Hal tersebut, merupakan bentuk kesejajaran dalam pemakaian katakata, sekaligus penekanan kata-kata yang dianggap penting, seperti akan dikenal dan akan dicekam. 2) Segi Semantik Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-41, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan maknamakna tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.246 246 Kata Makna yu„rafu diketahui atau dikenal Al-Mujrimûna orang-orang yang berdosa Bisîmâhum dengan tanda-tanda mereka fayu‟khażu lalu dipegang atau diambil Binnawâsî dengan ubun-ubun Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063. 109 Walaqdâmi dan kaki-kakinya. Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi “Orang-orang yang berdosa akan dikenal melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun dan kaki-kakinya”. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan dalam Al-Qur‟an The Great Miracle yaitu orang-orang yang berdosa akan dikenal dengan tanda-tanda di wajah mereka, bermuka gelap dan bermata juling, lalu malaikat akan mencekam ubun-ubun dan kaki-kakinya dan melemparkannya ke neraka.247 3) Segi Pragmatik Adapun secara mengisyaratkan pragmatik, agar terjemahan makhluk-makhluk ayat Allah tersebut senantiasa melakukan kebaikan, mempunyai rasa takut, dan bertaubat kepadaNya, atas dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Selain itu, terjemahan ayat tersebut juga merupakan sebuah pernyataan sekaligus peringatan kepada makhluk-makhlukNya bahwa orang-orang berdosa, kelak di akhirat akan disiksa dengan siksaan yang amat pedih. Kekonsistenan H. B. Jassin mengambil bentuk yang sama dalam satu kontruksi kalimat adalah langkah yang lebih baik, daripada memilih bentuk yang tidak sama dalam satu konstruksi kalimat. Artinya, dengan pemilihan bentuk yang sama, menyebabkan terciptanya kesamaan dan kesetaraan dalam pemakaian bentuk kata-kata yang membangun satu kalimat. Dengan demikian, terciptalah gaya bahasa paralelisme. Pemaparan mengenai gaya bahasa paralelisme tadi, mewakili gaya bahasa paralelisme yang ada pada terjemahan surah ArRahman pada ayat lain, yang telah disebutkan di atas. Kesejajaran 247 Ibid., h. 1064. 110 dalam pemakaian kata-kata, ada yang disajikan dengan menggunakan prefiks ber- (berbaring dan bergantung) pada terjemahan ayat ke-54, frasa preposisional seperti di langit dan di bumi pada terjemahan ayat ke-29, afiks ke-an (keagungan dan kemuliaan) pada ayat ke-78, prefiks ke- (kedua) pada terjemahan ayat ke-17, menggunakan bentuk dasar (kata agung dan mulia) pada ayat ke-27, bentuk dasar juga terdapat pada (kata jin dan insan) ayat ke-31, bentuk dasar (kata jin dan manusia) dan prefiks me- (menembus) pada ayat ke-33, dan pada ayat ke-35 dan 39, yang mempunyai kesejajaran yang sama, melalui penggunaan bentuk dasar dan pemilihan kata yang sama. Adapun konjungsi yang dipakai untuk menggabungkan serangkaian kata dalam terjemahan adalah dan. Meski gaya bahasa paralelisme terdapat pada ayat yang berbeda-beda dan dalam kesejajaran bentuk kata yang berbeda pula, namun memiliki fungsi yang sama. Adapun fungsi dari gaya bahasa paralelisme adalah untuk menciptakan kesejajaran pemakaian kata-kata, menciptakan kerapian dalam pemakaian kata, dan menekankan atau menonjolkan kata-kata yang penting dalam sebuah konstruksi yang sama. Keputusan H. B. Jassin dalam memilih dan menggunakan kesejajaran dalam pemakaian kata-kata, tidak menyebabkan terjadinya pelencengan makna dari makna yang dikandung ayat. 6. Elipsis Pada terjemahan surah Ar-Rahman, juga terdapat gaya bahasa elipsis, yaitu berupa penghilangan kata atau serangkaian kata pada sebuah kalimat. Kata yang dihilangkan tersebut, akan dengan mudah ditebak dan diisi oleh pembaca atau pendengar. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70, 72, dan 74. 111 a. Terjemahan ayat ke-3 Terjemahan ayat ke-3. yaitu, “Menciptakan insan”.248 1. Segi Sintaksis Menciptakan insan P O Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat satu unsur kalimat yang dihilangkan, yaitu unsur yang menduduki fungsi subjek. Subjek dalam kalimat tersebut yaitu Allah. Kata Allah sebagai subjek dari predikat kata menciptakan tidak hadir. Sementara pada terjemahan tersebut, hanya terlihat kata menciptakan yang menduduki fungsi predikat dan kata insan yang menduduki fungsi objek. Walaupun kehadiran Allah sebagai subjek dihilangkan, pembaca dapat dengan mudah mengisi kekosongan tersebut, karena semua sudah mengetahui bahwa Sang Maha Pencipta adalah Allah, termasuk menciptakan insan. Hal tersebut sama seperti dalam situasi seorang guru yang bertanya nama lengkap kepada murid barunya, dengan mengatakan, “Siapa nama lengkapmu, Nak?”, kemudian siswa barupun menjawab, “Laila Nurjannah”. Pada jawaban siswa baru tersebut, terdapat kata-kata yang dihilangkan sebelum kata Laila Nurjannah, yaitu frasa nama saya. Tanpa dihadirkan pun, pembaca dapat dengan mudah mengisi bagian yang tidak ada dan dapat dengan mudah memahaminya, bahwa nama siswa baru tersebut adalah Laila Nurjannah. Penghilangan kata-kata, biasanya dapat kita temukan pada komunikasi lisan dan tulisan. Adapun penghilangan tersebut biasanya dilakukan untuk membuat kalimat terlihat lebih simpel. Pada ragam tulis, gaya bahasa elipsis ada yang ditandai dengan tanda titik tiga (...), yang menunjukkan bahwa ada 248 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 112 unsur kalimat yang dihilangkan, yang dapat dengan mudah diisi oleh si pembaca. Sementara itu pada ragam lisan, gaya bahasa elipsis ditandai dengan pemberhentian pembicaraan, seperti adanya jeda dan dengan penyebutan akhir kata yang dipanjangkan. Adapula yang tidak menyebutkan unsur kalimat yang sebenarnya sudah diketahui dan dapat dengan mudah diisi dan dipahami oleh lawan tuturnya. 2. Perbandingan dengan Terjemahan Lain Jika kita bandingkan dengan terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, dan Mahmud Yunus, akan nampak seperti berikut ini. H. B. Jassin Departemen Mahmud Agama Republik Yunus Indonesia Menciptakan insan Dia menciptakan Telah manusia249 menjadikan insan (manusia)250 Pada terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, subjek terlihat hadir dalam kalimat, yaitu berupa pronomina Dia yang merujuk kepada Allah. Sementara itu, pada terjemahan Mahmud Yunus, sama seperti terjemahan H. B. Jassin, terdapat penghilangan subjek yaitu Allah. Diksi yang digunakan ketiga terjemahan tersebut berbeda. b. Terjemahan ayat ke-4 Terjemahan ayat ke-4 yaitu, “Diajari-Nya fasih perkataan”.251 249 Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885. Yunus, Tafsir Qurän Karim, Op. Cit., h. 792. 251 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749. 250 113 1. Segi Sintaksis Diajari-Nya fasih perkataan P S Pelengkap Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat penghilangan unsur kalimat yang menduduki fungsi objek, yaitu kata manusia sebagai makhluk yang diajarkan fasih perkataan oleh Allah. Allah dalam kalimat tersebut diganti dengan pronomina –Nya, yang menduduki fungsi subjek, sedang fasih perkataan menduduki fungsi pelengkap. Meski kata manusia sebagai objek yang diajari fasih perkataan dihilangkan, pembaca dapat dengan mudah mengisi unsur yang dihilangkan tersebut dan memahaminya. Ayat ini menerangkan kepada kita, bahwa Allah telah mengajarkan manusia kemampuan berbicara. Lebih lanjut, Al-Hasan mengatakan, Yang dimaksudkan dengan al-bayan ialah pengujaran, yaitu membaca Al-Qur‟an. Pembacaan itu dengan memudah-kan pengujaran kepada hamba-hamba-Nya dan memudahkan dalam mengartikulasikan huruf-huruf dari daerah artikulator, yaitu tenggorokan, lidah, dan bibir sesuai dengan keragaman artikulasi dan jenis hurufnya. 252 2. Segi Semantik Semenetra itu, jika kita ditinjau dari segi semantiknya, konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masingmasing mengandung makna tertentu. Berikut penulis paparkan berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.253 Kata 252 Makna aՙ llamahu dia mengajarkannya Al-bayâna pandai berbicara Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 oleh Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 540. 253 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059. 114 Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dia mengajarkannya (manusia) pandai berbicara. Hu pada kata aՙ llamahu merupakan domir yang merujuk pada Al-insâna yang bermakna manusia pada ayat ke-3. Penulisan pronomina –Nya pada terjemahan H. B. Jassin merujuk kepada Allah bukan manusia, sedang penulisan pronomina -nya barulah merujuk kepada manusia. Pembahasan mengenai gaya bahasa elipsis pada terjemahan ayat ke-3 dan 4, telah mewakili terjemahan ayat yang lainnya, yang menghilangkan kata atau serangkaian kata agar terlihat lebih simpel. 7. Apofasis Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-33, terdapat gaya bahasa apofasis. Gaya bahasa apofasis merupakan suatu gaya bahasa yang dihasilkan dengan cara menggambarkan pernyataan penulis atau pengarang yang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Bisa juga dikatakan bahwa penulis atau pengarang berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Hal tersebut dapat kita lihat pada terjemahan ayat ke-33. Adapun terjemahan tersebut yaitu, “Hai kumpulan jin dan manusia! Jika sanggup kamu menembus keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi, tembuslah! Tiada kamu sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan (kami)”.254 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa apofasis, di mana Allah menyatakan bahwa jika jin dan manusia sanggup menembus keluar dari daerah-daerah langit dan bumi, maka tembuslah! Sesungguhnya jin dan manusia tidak akan mampu 254 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751. 115 menembusnya tanpa kekuasaan Allah. Allah menegaskan sesuatu sekaligus menyangkalnya. Membiarkan suatu pernyataan dan perintah diberitahukan, bahwa manusia dan jin Allah perintahkan untuk menembus daerah-daerah langit dan bumi jika mereka sanggup. Mengapa Allah memerintah dan membiarkan jin dan manusia menembus daerah langit dan bumi? Karena sesungguhnya Allah Maha mengetahui bahwa mereka tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuasaan Allah. Di sini Allah membiarkan sesuatu terjadi tetapi menyangkalnya. Membiarkan manusia dan jin menembus daerah langit dan bumi, tetapi sekaligus menyangkalnya bahwa mereka sesungguhnya tidak akan mampu melakukan semua itu. Hanya Allahlah Yang Maha Kuasa. Secara pragmatik, kalimat “Hai kumpulan jin dan manusia! Jika sanggup kamu menembus keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi, tembuslah! Tiada kamu sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan (kami)”, sesungguhnya bukan memerintah dalam arti memerintah yang sebenarnya, tetapi merupakan isyarat dan penegasan bahwa makhlukNya (jin dan manusia) itu lemah, tidak mempunyai kekuatan apapun untuk menembus daerah langit dan bumi, karena hanya Allahlah Yang Mahakuasa. Sesuatu apapun tidak akan terjadi tanpa izinNya. Maka, Allah menegaskan kepada makhluk-makhluknya jangan sekali-kali mencoba menembus daerah langit dan bumi, karena tidak akan mampu tanpa kekuasaanNya. Allah memerintah, menyangkal dan menegaskan sesuatu dalam ayat ini. Hal tersebut merupakan bentuk dari gaya bahasa apofasis. 8. Asindeton Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa asindeton, yaitu gaya bahasa yang dihasilkan dengan menyajikan beberapa kata yang sederajat, dengan tidak menggunakan kata penghubung. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah 116 Ar-Rahman ayat ke-24, 54, dan 78. Bentuk penggunaan gaya bahasa tersebut, akan penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-78. Kedua terjemahan ayat tersebut, dapat mewakili penggunaan gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-24 dan 54. Adapun terjemahan ayat ke-78 yaitu, “Terpujilah nama Tuhanmu, Penuh Keagungan, penuh Kemuliaan”.255 Frasa penuh keagungan dan penuh kemuliaan, merupakan dua buah frasa yang sederajat, tetapi tidak dihubungkan dengan menggunakan kata penghubung, melainkan dengan tanda koma (,). Padahal, dalam kata walikrâmi yang bermakna dan kemuliaan, terdapat huruf w (dalam struktur kalimat bahasa Arab sebagai salah satu huruf a„ţaf yang berfungsi untuk menghubungkan kata atau susunan kata). Pada struktur kalimat bahasa Indonesia, huruf a„ţaf tersebut adalah kata hubung (konjungsi) bermakna dan. Maka, walikrâmi bermakna dan kemuliaan. 1) Segi Semantik Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang menyusun ayat ke-78, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.256 255 256 Kata Makna Tabâraka Mahasuci Ismu Nama Rabbika Tuhan kamu Żî Pemilik Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 754. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1065. tersebut, 117 Aljalâli Keagungan Walikrâmi dan kemuliaan. Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Mahasuci nama Tuhanmu pemilik keagungan dan kemuliaan. Setelah melihat makna- makna yang menyusun ayat ke-78, maka terlihat jelas bahwa dari makna tersebut, tidak ada kata yang mengandung makna penuh, begitupun kata walikrâmi bermakna dan kemuliaan bukan penuh kemuliaan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya dengan penuh kemuliaan bukan dan kemuliaan. H. B. Jassin menghilangkan makna wa yang bermakna dan pada kata walikrâmi dan menggantinya dengan kata penuh. Padahal, wa bukan bermakna penuh. Dengan demikian, H. B. Jassin tidak menggunakan kata penguhubung dalam menghubungkan kata-kata yang sederajat, melainkan menggantinya dengan menggunakan tanda koma (,). Hal tersebut, jelas merupakan bentuk dari gaya bahasa asindeton. Terkait dengan ayat ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi menyatakan, Ayat ini merupakan pengajaran dari Allah SWT. Kepada hamba-hambaNya, bahwa semua ini adalah termasuk rahmatNya. Karena Dia telah menciptakan langit dan bumi, surga dan neraka, serta mengazab orang-orang yang bermaksiat serta memberi pahala kepada orang-orang yang taat. Dan dengan karuniaNya Dia menganugerahkan kepada mereka apa-apa yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah di dengar oleh telinga dan tak pernah terlintas pada hati seorang manusia pun.257 Pembahasan mengenai gaya bahasa asindeton pada terjemahan ayat ke-78, mewakili gaya bahasa asindeton pada terjemahan ayat-ayat yang lain. 257 Al-Maragi, Op. Cit., h. 227. 118 9. Polisindeton Gaya bahasa polisindeton terdapat pada terjemahan ayat ke- 33 dan 35. Pada pembahasan ini, penulis akan membahasnya melalui terjemahan ayat ke-35, yang dapat mewakili gaya bahasa polisindeton pada terjemahan ayat ke-33. Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-35, terdapat gaya bahasa polisindeton, yaitu beberapa kata, frasa, atau klausa dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Terjemahan ayat ke-35 yaitu, “Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.258 Frasa kamu jin, kamu manusia, nyala api dan cairan tembaga, dihubungkan dengan menggunakan konjungsi, tidak menggunakan tanda koma (,). Gaya bahasa ini merupakan kebalikan dari gaya bahasa asindeton. Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.259 Kata Makna Yursalu akan dikirimkan a„laikumâ atas kalian berdua Syuwâťun Nyala Minnâri dari api wanuẖ âsun dan cairan temabaga Falâ maka tidak Tantaşirâni kalian berdua menyelamatkan diri 258 259 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1061. 119 Pada terjemahannya, H. B. Jassin menghubungkan frasa kamu jin dan kamu manusia dengan menggunakan kata hubung dan, meskipun pada kata a„laikumâ yang bermakna kepada kamu berdua, tidak ada kata dan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya lebih jelas dan rinci kata a„laikumâ, yaitu bermakna kepada kamu jin dan kamu manusia. Begitupun pada frasa nyala api dan cairan tembaga, H. B. Jassin menggunakan kata hubung dan untuk menghubungkan frasa-frasa tersebut, tidak menggunakan tanda koma (,) seperti nyala api, cairan tembaga. Jadi, dengan jelas H. B. Jassin pada terjemahan ayat ini menggunakan gaya bahasa polisindeton. 10. Pleonasme Pleonasme merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan kata-kata secara berlebihan. Jika kata-kata yang berlebihan itu dihilangkan, makna yang terkandung dalam kalimatnya tetap utuh. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa pleonasme, di antaranya adalah pada ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72. Untuk mewakili pembahasan mengenai bentuk gaya bahasa pleonasme pada ayat-ayat tadi, penulis akan memaparkan gaya bahasa tersebut pada terjemahan ayat ke-12. Adapun terjemahan ayat ke-12 yaitu, “Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya”.260 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa pleonasme pada serangkaian kata yang harum baunya. Penggunaan kata-kata tersebut jelas berlebihan, karena dengan menghadirkan kata harum saja, tanpa menghadirkan kata baunya, kalimat tersebut tetap mempunyai makna yang utuh. 260 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 120 Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Quran The Great Miracle.261 Kata Makna walẖ abbu dan biji-bijian Żû yang mempunyai Al„aşfi kulit, warraiẖ ânu dan tumbuh-tumbuhan yang harum Secara umum, penggunaan kata-kata yang berlebihan pada terjemahan adalah untuk menambah efek suasana, baik ketika Allah memaparkan bahwa ia telah meratakan bumi dengan berbagai isinya seperti biji-bijian dan tumbuhan yang harum (ayat ke-12), langit terbelah (pada ayat ke-37), keadaan atau siksaan orang durjana yang mengelilingi neraka jahanam (ayat ke-44), dua mata air yang memancar di dalam kedua surga (ayat ke-66), maupun bidadaribidadari surga yang dipingit di rumah (ayat ke-72). Kata-kata seperti baunya setelah kata harum (harum baunya) pada ayat ke-12, kata pecah sebelum kata terbelah (pecah terbelah) pada ayat ke-37, kata berputar sebelum kata berkeliling-keliling (berputar berkelilingkeliling) pada ayat ke-44, kata berlimpahan setelah kata memancar (memancar berlimpahan) pada ayat ke-66, kata peranginan setelah kata rumah (rumah peranginan) pada ayat ke-72, kata-kata yang bercetak tebal tersebut, tidak dikandung dari masing-masing makna kata yang membangun ayat-ayat tersebut, seperti kata yaţûfûna bermakna mereka akan berkeliling, bukan berputar berkelilingkeliling (pada ayat ke-44), nađđâkhatâni bermakna keduanya memancarkan (air) bukan memancar berlimpahan (pada ayat ke-66), 261 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1059. 121 dan filkhiyâmi bermakna dalam kemah-kemah bukan rumah peranginan (pada ayat ke-72). Dengan demikian, pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas terdapat gaya bahasa pleonasme, yang digunakan H. B. Jassin untuk menggambarkan dan memeroleh efek suasana yang menegangkan, menakutkan (pada saat terbelahnya langit dan siksaan bagi orang durjana) dan suasana keindahan surga yang membahagiakan, agar tercipta suasana penggambaran yang hidup, yang membuat para pembacanya seolah ikut melihat, merasakan, dan terhanyut dalam cerita penggambaran terjadinya hari kiamat, siksa neraka, dan nikmat surga. Sehingga, para pembaca menjadi takut dan sekaligus mejadi senang. 11. Tautologi Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa tautologi, yaitu pada ayat ke-64. Terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)”.262 Pada terjemahan tersebut, terdapat penggunaan kata yang berlebihan yaitu kata warnanya, yang sebenarnya mengulang dari gagasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kata hijau. Kata hijau, sudah tentu menunjukkan warna. Jadi, tanpa kehadiran kata warna pun, kata hijau sudah pasti menunjukkan warna. a. Segi Sintaksis Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun) P S Kalimat Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun) terdiri atas beberapa fungsi, yaitu frasa hijau tua menduduki fungsi predikat, sedang kata warnanya menduduki fungsi subjek. Secara 262 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753. 122 semantik, kata mudhâmmatâni bermakna keduanya hijau tua. Adapun yang dimaksud hijau tua di sana adalah keadaan kedua surga. Terlihat jelas, bahwa dalam konstituen yang membangun kalimat tersebut, tidak ada kata warnanya, sebab hijau sudah menunjukkan warna. Jadi, penggunaan kata warna sebaiknya dihilangkan saja, agar tidak menimbulkan penggunaan kata yang mengulang gagasan yang telah disebutkan sebelumnya. Tanpa kehadiran kata warna pun, pembaca sudah dapat memahami bahwa hijau tua adalah warna kedua suga. 12. Klimaks Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa klimaks yang dihasilkan dengan cara menyajikan serangkaian kata menuju pada pokok pembicaraan yang memiliki kepentingan lebih tinggi dibanding serangkaian kata sebelumnya. Adapun gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan ayat ke-33 dan 44. Namun, penulis hanya akan membahas gaya bahasa klimaks pada ayat ke-44, yang dapat mewakili terjemahan ayat ke-33. Terjemahan ayat ke-44 yaitu, “Di tengah-tengahnya Dan di tengah air panas mendidih, Mereka berputar berkeliling-keliling!”.263 a. Segi Sintaksis Klausa Mereka berputar berkeliling-keliling, mempunyai tingkat kepentingan yang lebih tingggi dibanding sebelumnya, karena sebelumnya merupakan keterangan yang menjelaskan bahwa mereka (orang-orang durjana) akan berkeliling-keliling di tengah neraka jahanam. Frasa di tengah-tengahnya dan klausa dan di tengah air panas mendidih, menduduki fungsi keterangan, yang menunjukkan tempat. Kata mereka, menduduki fungsi subjek, 263 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751. 123 sedang frasa berputar berkeliling-keliling, menduduki fungsi predikat. Jadi, kata-kata yang menduduki fungsi subjek dan predikat, merupakan inti pembicaraan, yang memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi di banding dengan serangkaian kata sebelumnya. Serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan, berada mendahului subjek dan predikatnya, sehingga seolah serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan tersebut menjadi subjeknya. Dengan demikian, pada terjemahan kalimat tersebut, terdapat gaya bahasa klimaks, karena menyajikan serangkaian kata menuju serangkaian kata yang tingkat kepentingannya lebih tinggi. b. Segi Semantik Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang menyusun ayat ke-44, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle. 264 Kata Makna Yatûfûna mereka akan berkeliling Bainahâ di antaranya Wabaina dan di antara ẖ amîmin air mendidih Ânin sangat panas Bila makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Mereka akan berkeliling di antaranya dan di antara air panas yang mendidih. Pada struktur kalimat bahasa Arab, terlihat dengan jelas bahwa susunan kata yang memiliki tingkat kepentingan lebih tinggi diletakkan di awal kalimat, yaitu subjek kata mereka dan predikat frasa akan 264 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063. 124 berkeliling ( dalam Arab yatûfûna). Sementara itu, H. B. Jassin menempatkan lebih dulu keterangan di depan subjek dan predikatnya. Padahal, dalam susunan konstituen-konstituen ayat tersebut, subjek dan predikat diletakkan di awal, kemudian disusul dengan keterangan. c. Segara Pragmatik Secara pragmatik, terjemahan ayat tersebut merupakan sebuah pemberitahuan yang mengandung peringatan dan ancaman bagi para pendosa, bahwa kelak di hari kiamat, mereka akan menjadi penghuni neraka jahanam, yang airnya mendidih dan sangat panas. Ini merupakan sebuah balasan bagi para pendosa di dunia. 13. Antiklimaks Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa antiklimaks, yaitu pada ayat ke-14, 24, 31, 37, 56. Gaya bahasa antiklimaks, merupakan kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Pada gaya bahasa antiklimaks, serangkaian kata disusun dari yang mempunyai kepentingan lebih tinggi menuju kepentingan yang rendah. Dengan demikian, yang menjadi pokok pembicaraan terletak di awal kalimat. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke-24 yaitu, “Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan, laksana gunung menjulang”.265 Pada terjemahan tersebut, yang menjadi pokok atau inti kalimat adalah pembahasan bahwa Allah mempunyai bahtera-bahtera yang berlayar tinggi. Hal tersebut dipaparkan pada bagian awal kalimat hingga menuju bagian yang menerangkan bahtera-bahtera tersebut, yaitu berupa pengibaratannya seperti gunung yang menjulang. 265 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750. 125 Pengibaratan tersebut merupakan kalimat penjelas yang mendukung serangkaian kata sebelumnya. Secara semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke24, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.266 Kata Makna Walahu dan bagiNya Al-jawâri kapal-kapal Al-munsyaâtu yang tinggi (berlayar) filbaẖ ri di lautan kala„lâmi laksana gunung-gunung. Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar tinggi di lautan laksana gunung-gunung. Pada kalimat tersebut, dapat dilihat bahwa klausa Dan baginya kapal-kapal yang berlayar tinggi di lautan, memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi dibanding laksana gunung-gunung. Pengibaratan tersebut, merupakan serangkaian kata penjelas klausa inti di dalam kalimat terjemahan tersebut. 14. Sinekdoke Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa sinekdoke, yaitu pada ayat ke-4, 10, 27, 37, 41, 56. Adapun gaya bahasa sinekdoke yang ditemukan adalah sinekdoke pars pro toto. Pada pembahasan ini, penulis hanya akan membahas bentuk penggunaan gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-27, yang dapat mewakili bentuk penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto 266 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061. 126 pada terjemahan ayat lain. Adapun terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-27 yaitu, “Tapi kekal (selama-lamanya) Wajah Tuhanmu, Agung dan Mulia”.267 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa sinekdoke pars pro toto, yaitu menyatakan sebagian untuk keseluruhan. Pada terjemahan tersebut, yang dimaksud dengan kata wajah, bukan berarti wajah Allah yang kekal, tetapi zat Allah akan kekal selamanya beserta sifat-sifatnya. Pada terjemahan ayat tersebut, H. B. Jassin juga menggunakan catatan kaki untuk kata wajah, yang berarti kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Tuhan. a. Segi Sintaksis Ditinjau dari segi sintaksisnya, kata Tapi sebagai konjungtor, frasa kekal (selama-lamanya) menduduki fungsi predikat, frasa Wajah Tuhanmu menduduki fungsi subjek, dan frasa Agung dan Mulia menduduki fungsi pelengkap. b. Segi Semantik Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-27, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.268 267 268 Kata Makna Wayabqâ dan tetap kekal Wajhu wajah (zat) Rabbika Tuhanmu Żû Mempunyai Al-jalâli kebesaran, Walikrâmi dan kemuliaan Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc.Cit., h. 750. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061. 127 Setelah melihat terjemahan kata-kata tersebut, nampak bahwa tidak ada kata yang bermakna tapi seperti yang ada pada terjemahan H. B. Jassin. Adapun kata Al-jalâli dan walikrâmi dalam gramatika Arab, berfungsi sebagai na„at (sifat) dari rabbika yang berfungsi sebagai man„utnya (yang disifati). c. Segi Pragmatik Ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan tersebut selain berupa pernyataan, juga mengandung makna yang memberitahukan bahwa selain Allah, semua makhluk akan binasa. Tidak ada satupun yang kekal dan dapat bertahan kecuali zat Allah Yang Maha Agung dan Mulia. Dengan demikian, kata wajah bukan berarti wajah Allah yang kekal, melainkan zat beserta sifat-sifatnya yang kekal. Hal tersebut merupakan jenis gaya bahasa sinekdoke pars pro toto. 15. Prolepsis Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa prolepsis, yaitu pada ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-35. Adapun terjemahan ayat ke-35 surah Ar-Rahman yaitu, “Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.269 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa prolepsis, berupa penggunaan serangkaian kata-kata yang membentuk kalimat, dipaparkan sebelum peristiwa sebenarnya terjadi. Dalam Alquran, semua kejadian yang akan datang, temasuk hari kiamat beserta nikmat 269 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751. 128 bagi orang beriman dan bertakwa, dan siksaan bagi orang yang berdosa, telah dipaparkan Allah dengan jelas. Peristiwa-peristiwa tersebut, pasti akan terjadi. Ini merupakan pemberitahuan, sekaligus peringatan kepada makhlukNya agar memilih jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridaiNya, jika ingin bahagia kelak di akhirat. Sebelum hari itu tiba, Allah terlebih dahulu telah memaparkan peristiwaperistiwa tersebut di dalam Alquran, supaya makhlukNya dapat mempersiapkan diri dengan beriman dan bertakwa kepadaNya. Pada hari kiamat, Allah akan memberikan siksaan yang amat pedih bagi makhlukNya yang durjana. Mereka pun tidak akan dapat membela diri dan menghindar dari siksaan tersebut. Di antara siksaan tersebut adalah akan dikeluarkannya nyala api dan cairan tembaga. 16. Erotesis Gaya bahasa erotesis merupakan penggunaan sebuah kata tanya yang kehadirannya tidak memerlukan jawaban, biasa juga disebut sebagai retoris. Adapun pemaparan mengenai gaya bahasa tersebut, penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-60. Terjemahan ayat ke60 surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yaitu, “Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan?”.270 Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa erotesis, yaitu penggunaan sebuah kata tanya yang kehadirannya tidak memerlukan jawaban, melainkan jawaban itu sudah masing-masing diketahui manusia. Berdasarkan pengetahuan manusia, bahwa tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan. a. Segi Semantik Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang menyusun ayat ke-60, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut 270 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 752. 129 penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle. Kata Makna Hal tidak ada Jazâu balasan Al-ihsâni kebaikan Illâ kecuali Al-ihsânu kebaikan Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan. Kalimat tersebut, sesungguhnya tidak nampak seperti kalimat tanya, meski ada haraf istifham (kata tanya dalam bahasa Arab) yaitu kata hal yang berarti apakah. Pada Al-Qur‟an The Great Miracle, kata hal dimaknai tidak ada bukan apakah. Sementara itu, H. B. Jassin memaknainya dengan kata apakah, hingga terjemahan ayat tersebut menjadi Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan? Kalimat terjemahan H. B. Jassin tersebut merupakan bentuk kalimat tanya retoris, yang tidak memerlukan jawaban, karena jawaban tersebut masing-masing sudah diketahui atau sudah ada dalam diri manusia, bahwa tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan. Artinya, kebaikan pasti akan dibalas kebaikan pula. Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan ayat tersebut, Ahmad Mustafa Al-Maragi memaparkan bahwa menurut riwayat dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah pernah membaca Hal Jaza‟ul Ihsani illal Ihsan, lalu bersabda, “Tahukah kamu apakah yang difirmankan oleh Allah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan rasulNya yang lebih tahu.” Kemudian, sabda Rasulullah, “Tiadalah balasan dari orang yang aku anugerahi tauhid melainkan surga.” Demikian diriwayatkan oleh Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan AlBaihaqi. Sedang menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, tiadalah 130 balasan bagi orang yang mengucapkan La ilaaha illallah semasa di dunia melainkan surga di akhirat.271 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula. b. Segi Pragmatik Sementara itu, ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan tersebut merupakan bentuk komunikasi Allah kepada makhlukNya, bahwa jika makhlukNya berbuat kebaikan selama hidup di dunia, maka Allah telah merencanakan suatu kebaikan pula untuk mereka kelak di akhirat. Artinya, Allah akan membalas kebaikan dengan kebaikan, tidak dengan kejahatan. Selain itu, kalimat terjemahan tersebut, juga merupakan isyarat agar makhlukNya senantiasa mengingat dan berbuat kebaikan. Pembahasan mengenai gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-60, telah mewakili gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. 17. Simile Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa simile, yaitu gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara eksplisit, dengan menggunakan kata-kata seperti, laksana, bak, dan bagaikan. Adapun gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-14, 24, 37, dan 58. Berikut kami paparkan gaya bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke24 yaitu, “Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan, laksana gunung menjulang”.272 271 272 Al-Maragi, Op. Cit., h. 221. Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750. 131 Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa simile, yaitu bahtera-bahtera yang berlayar tinggi, diibaratkan seperti gunung yang menjulang. Pengibaratan tersebut, dilakukan dengan menggunakan kata laksana. Hal yang disamakan yaitu kadar ketinggian layar bahtera-bahtera dengan menjulangnya gunung. Kata yang digunakan adalah kata laksana. Kata tersebut hadir untuk membandingkan sesuatu hal yang dianggap memiliki persamaan. Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-24, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.273 Kata Makna Walahu dan bagiNya Al-jawâri kapal-kapal Al-munsyaâtu yang tinggi (berlayar) filbaẖ ri di lautan kala„lâmi laksana gunung-gunung. Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar tinggi di lautan laksana gunung-gunug. Pada kalimat tersebut, dapat dilihat bahwa huruf k pada kata kala„lâmi mengandung makna seperti atau laksana yang mengibaratkan dua hal tadi. Secara keseluruhan, penggunaan gaya bahasa simile pada terjemahan surah Ar-Rahman, hanya menggunakan kata-kata pengibaratan seperti, laksana, dan seakan-akan. Hanya, yang lebih banyak adalah memakai kata seperti. Adapun fungsi gaya bahasa simile pada setiap terjemahan ayat-ayat yang telah dijelaskan, adalah 273 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061. 132 untuk memperindah penyampaian, memperjelas maksud dan menambah efek suasana penggambaran sesuatu hal yang disampaikan. 18. Personifikasi Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menjadikan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemah surah Ar-Rahman ayat ke-6 dan 19. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-19. Adapun terjemahan ayat tersebut yaitu, “Ia lepaskan kedua lautan yang saling bertemu”.274 Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa personifikasi, yang menjelaskan bahwa kedua lautan dapat saling bertemu. Pada terjemahan ini, kedua lautan seolah-olah digambarkan memiliki sifat seperti manusia, yaitu bisa saling bertemu. Untuk dapat saling bertemu, tentu ada perjalanan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, atau oleh salah satunya. Adapun maksud dari terjemahan ayat tersebut sebenarnya adalah Allah membiarkan laut asin dan laut tawar saling bertetangga dan bersentuhan tanpa terjadi saling melampaui satu sama lain. Artinya, laut asin tidak dapat melampaui laut tawar sehingga menjadikan laut tawar menjadi asin, begitupun sebaliknya. Allah telah membatasi keduanya dengan suatu yang terdiri dari unsur-unsur bumi.275 19. Antonomasia Gaya bahasa antonomasia, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-1. Terjemahan ayat tersebut yaitu, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah”.276 274 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 750. Al-Maragi, Op. Cit., h. 197. 276 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 275 133 Gaya bahasa antonomasia merupakan jenis gaya bahasa yang digunakan untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau gelar kehormatan. Pada terjemahan tersebut, penggunaan susunan kata Yang Maha Pemurah untuk menyebutkan nama Allah, merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa antonomasia, karena menggantikan nama Allah dengan penyebutan Yang Maha Pemurah. Allah sebagai sang pencipta, juga sering disebut dengan menggunakan nama-namaNya yang berjumlah 99, dan kita sebut sebagai Asmaul-Husna, yaitu namanama Allah yang begitu indah. Bentuk penggunaan Yang Maha Bijaksana, Yang Mahan Pengampun, dan Yang Maha Esa untuk menyebutkan atau menggantikan nama Allah, termasuk ke dalam gaya bahasa antonomasia, sama seperti Yang Maha Pemurah. Tidak ada seorang pun yang mempunyai sebutan Yang Maha Pemurah selain Allah. Jika dilihat dari makna kata maha, memiliki arti sangat atau amat. Jadi, Yang Maha Pemurah juga berarti Yang amat Pemurah. Kata amat, memiliki tingkat intensitas yang lebih tinggi. Hadirnya kata maha dalam susunan kalimat tersebut, tentu membawa dampak arti bahwa Allah bukan hanya Sang Pemurah, tetapi Sang Maha Pemurah. Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, kata Arrahmân bermakna Yang Maha Pemurah. Kepemurahan tersebut hanyalah milik Allah. Allahlah yang mempunyai sifat Rahman, tiada yang lain meski nama Allah tidak hadir dalam makna kata tersebut (Arrahmân). Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat tersebut merupakan jenis kalimat deklaratif, yaitu sebuah kalimat pernyataan yang singkat dan jelas. Pernyataan tersebut disampaikan guna memberitahukan dan mengingatkan bahwa Allah memiliki sifat rahman, yaitu Maha Pemurah. Dengan demikian, Yang maha pemurah merupakan gaya bahasa antonomasia. Hal tersebut sama halnya dengan penyebutan Yang Mulia kepada raja di suatu kerajaan. 134 20. Perifrasis Gaya bahasa perifrasis, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-41. Adapun terjemahan ayat ke-41 yaitu, “Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.277 Klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya dapat diganti dengan menggunakan satu kata saja, yaitu disiksa. Bentuk tersebut, termasuk jenis gaya bahasa perifrasis, di mana serangkaian kata-kata (klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya), dapat diganti hanya dengan menggunakan satu kata, yaitu disiksa. Kata disiksa sudah mewakili semua jenis siksaan yang akan Allah berikan kepada para pendosa. Kalusa mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya, memberikan makna bahwa orang-orang yang berdosa, pada hari kiamat akan disiksa dengan sisksaan yang amat pedih. Salah satu jenis siksaan tersebut yaitu akan dicekam ubun-ubun dan kaki-kakinya. a. Segi Semantik Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-41, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.278 277 278 Kata Makna yu„rafu diketahui atau dikenal Al-Mujrimûna orang-orang yang berdosa Bisîmâhum dengan tanda-tanda mereka fayu‟khażu lalu dipegang atau diambil Binnawâsî dengan ubun-ubun Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063. 135 Walaqdâmi dan kaki-kakinya Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi orang-orang yang berdosa akan dikenal melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun dan kakikakinya. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan dalam AlQur‟an The Great Miracle yaitu orang orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tanda di wajah mereka, bermuka gelap dan bermata juling, lalu malaikat akan mencekam ubun-ubun dan kaki-kakinya dan melemparkannya ke neraka.279 b. Segi Pragmatik Selanjutnya, jika ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan ayat ke-41, bukan hanya sekadar bentuk komunikasi Allah yang menyampaikan informasi bahwa kelak orang-orang berdosa akan disiksa, melainkan juga sebuah komunikasi yang mengandung ancaman, peringatan, sekaligus anjuran untuk menjalankan kehidupan dengan berpegang teguh pada Alquran. Maksud tersebut memang tidak secara tersurat terkandung di dalam makna ayat, melainkan manusia sebagai makhlukNya, harus memahami apa yang dimaksud dengan ayat tersebut. Adapun inti dari ayat tersebut adalah orangorang yang berdosa, kelak akan disiksa dengan siksaan yang amat pedih. 21. Apostrof Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa apostrof, yaitu berupa pengalihan amanat atau pembicaraan kepada sesuatu hal yang tidak hadir. Gaya bahasa tersebut terdapat pada ayat ke-31 dan 33. Berikut penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke31. Adapun terjemahan ayat ke-31 yaitu, 279 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1064. 136 “(Yakni) kami „kan membuat perhitungan terhadapmu, Hai (kedua jenis makhluk) jin dan insan!”,280 Pada terjemahan kedua ayat tersebut, terdapat pengalihan amanat kepada sesuatu yang tidak hadir, yaitu kepada objek yang tidak terlihat oleh manusia (jin). Allah tidak hanya berkomunikasi dengan manusia, tetapi juga jin. Pengalihan pembicaraan kepada jin, dengan menyebutkan Hai jin pada ayat ke-31 dan Hai kumpulan jin pada ayat ke-33, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, karena adanya pengalihan pembicaraan pada sesuatu hal yang tidak hadir, yaitu jin (makhluk yang gaib). Gaya bahasa apostrof, biasanya dapat kita temukan pada pidatopidato yang di dalamnya terdapat pengalihan pembicaraan kepada sesuatu hal yang tidak hadir, sesuai dengan tema pidato yang disampaikan, seperti orator mengatakan, “Hai para pejuang kemerdekaan!” dan “Hai para petinggi-petinggi negara!”. Penggunaan kata-kata tersebut, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, sama seperti pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-31 dan 33. Bagi manusia, jin merupakan makhluk Allah yang tidak hadir. Maka, ketika manusia membacakan ayat-ayat Alquran, kemudian pada terjemahan ayat tersebut Allah menyapa atau menyeru kepada jin, itu termasuk bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof, karena menyeru sesuatu hal yang tidak hadir. Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-31, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.281 280 281 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750. Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061. 137 Kata Makna Sanafruġu kami akan berurusan Lakum terhadap kalian Ayyuha Wahai Śaqolâni dua golongan (jin dan manusia) Pada makna kata-kata tersebut, terlihat bahwa kata yang berfungsi sebagai penyeru adalah kata ayyuha bermakna wahai, yang menyeru dua golongan, yaitu jin dan manusia. Adapun yang dimaksud dengan bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof pada ayat tersebut, yaitu berupa seruan terhadap jinnya, bukan terhadap manusia, karena jin merupakan makhluk yang tidak hadir menurut manusia. Adapun secara pragmatik, terjemahan ayat ke-31, selain sebagai pemberitahuan bahwa kelak golongan jin dan manusia akan diberi perhitungan oleh Allah, sesungguhnya merupakan suatu peringatan dan acaman terhadap keduanya. 22. Antitesis Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-12, terdapat gaya bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang berlawanan. Adapun terjemahan ayat ke-12 yaitu, “Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya”.282 Pada terjemahan tersebut, pemakaian kata harum dan bau, termasuk ke dalam gaya bahasa antitesis, karena kedua kata tersebut merupakan kata-kata yang berlawanan makna, seperti besar dan kecil, jauh dan dekat. Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke-12, masing-masing mengandung makna tertentu. 282 Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749. 138 Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.283 Kata Makna walẖ abbu dan biji-bijian Żû yang mempunyai Al-a„şfi Kulit warraiẖ ânu dan tumbuhan yang harum Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa Indonesia, maka menjadi Dan biji-bijian yang mempunyai kulit, dan tumbuhan yang harum. Pada terjemahannya, H. B. Jassin menggunakan kata bau setelah kata harum, yang keduanya sesungguhnya mempunyai makna yang berlawanan. Harum bermakna wangi atau sedap, sedang bau umumnya identik dengan hal-hal yang tidak enak dicium oleh indra penciuman. Misalnya, seorang perempuan berjalan melewati tempat pembuangan sampah, lalu ia mengatakan, “Bau sekali tempat ini!”, atau dalam kegiatan komunikasi sehari-hari yang lain juga dapat ditemukan penggunaan kata bau yang umumnya digunakan untuk menyebutkan hal-hal yang tidak enak dicium oleh indra penciuman, seperti busuk dan anyir. Dengan demikian, pada terjemahan ayat ke-12, terdapat penggunaan gaya bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang berlawanan dalam satu kalimat, seperti harum dan bau. Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa yang ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin, penulis menyatakan bahwa gaya bahasa-gaya bahasa tersebut dipakai untuk menghasilkan keindahan dan persamaan bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, memberikan efek pada penggambaran suasana cerita, penekanan pada kata yang 283 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059. 139 dianggap penting, memperjelas dan menghidupkan penggambaran sesuatu hal. Dari segi penyajian terjemahan, H. B. Jassin menyajikan terjemahan dengan tipografi seperti puisi, yang berbeda dengan terjemahan lain, seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus. Keputusan untuk mempertahankan keindahan bunyi, memunculkan adanya ketidakkonsistenan H. B. Jassin dalam menggunakan kata-kata, seperti kata insan dan manusia, dan penggunaan kata hauri-hauri, gadis-gadis, dan bidadari-bidadari. Namun demikian, terjemahan H. B. Jassin dengan berbagai diksi yang digunakan, tetap menyampaikan maksud yang dikandung ayat surah Ar-Rahman. D. Implikasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran terjemahan, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh. Penilitian ini, dapat menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembelajaran yang unik, menarik, dan luas cakupannya. Luas cakupan yang dimaksud adalah dalam hal pemberian dan pengembangan contoh materi pelajaran. Mengkaji bahasa, tidak hanya terbatas pada mengkaji objek yang berupa karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, atau aktivitas-aktivitas sosial manusia yang berhubungan dengan bahasa, tetapi pada Alquran terjemahan pun dapat ditemukan berbagai persoalan penggunaan bahasa yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya. Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari 140 membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat, mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.284 Setiap guru bahasa harus dapat membantu serta membimbing para pelajar untuk mengembangkan serta meningkatkan keterampilan- keterampilan yang mereka butuhkan dalam membaca. Usaha yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan membaca itu antara lain: a. Guru dapat menolong para pelajar memperkaya kosa kata mereka dengan jalan: 1. Memperkenalkan sinonim kata, antonim kata, parafrase, kata-kata yang berdasar sama; 2. Memperkenalkan imbuhan, yang mencakup awalan, sisipan, dan akhiran; 3. Mengira-ngira atau mereka makna kata dari konteks atau hubungan kalimat; 4. Kalau perlu, menjelaskan arti sesuatu kata abstrak dengan mempergunakan bahasa daerah atau bahasa ibu pelajar. b. Guru dapat membantu para pelajar untuk memahami makna, struktur kata, kalimat, dan sebagainya dengan cara yang telah dikemukakan di atas disertai latihan seperlunya. c. Kalau perlu dapat memberikan serta menjelaskan kawasan atau pengertian kiasan, sindiran, ungkapan, pepatah, peribahasa, dan lainlain dalam bahasa daerah atau bahasa ibu para pelajar. d. Guru dapat menjamin serta dapat memastikan pemahaman para pelajar dengan berbagai cara. e. Guru dapata meningkatkan kecepatan para pelajar.285 284 J. S. Badudu, Loc. Cit., h. 14-15. Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 14-16. 285 141 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mengenai gaya bahasa di sekolah, terutama perihal contoh-contohnya, dapat dipelajari melalui keterampilan membaca. Selain melalui kegiatan membaca, untuk melatih pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, terutama gaya bahasa, dapat pula melalui kegiatan menulis, seperti menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari siswa. Guru harus mampu memperkenalkan dan mengajak siswa untuk mengetahui dan memahami materi pelajaran, dalam hal ini adalah gaya bahasa, agar menambah pengetahuan dan mengasah pemahaman siswa, juga mereka menjadi tahu bahwa materi gaya bahasa, tidak hanya terdapat pada sebuah LKS, buku paket bahasa Indonesia, dan teks sastra, tetapi juga pada Alquran terjemahan. Bagi guru bahasa Indonesia yang beragama Islam, mencari contoh-contoh gaya bahasa di dalam Alquran terjemahan tentu mudah dilakukan, karena pada dasarnya, materi mengenai gaya bahasa sudah dikuasai, hanya tinggal mencari dengan bekal pengetahuan yang telah dimiliki, dan menyajikannya semenarik mungkin kepada siswa. Menyajikan dan mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan kehidupan nyata siswa, sangat baik. Dengan begitu, siswa tidak hanya mendapatkan ilmu pengetahuan bahasa Indonesia, tetapi juga agama. Peran guru sebagai pengajar dan pendidik sangat dibutuhkan. Selain kompeten dalam bidangnya, guru juga harus memiliki wawasan yang luas. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa seorang guru, selain mempunyai pengetahuan yang dalam tentang mata pelajaran yang sudah menjadi tugasnya, akan lebih baik jika guru itu mengetahui pula tentang segala sesuatu yang penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam masyarakat. Guru haruslah mempunyai perhatian intelektual yang luas dan tidak kunjung padam.. Para Guru harus mengetahui lebih banyak tentang dunia.286 286 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 148. 142 Menjadi guru, jangan hanya terfokus memberikan dan menjelaskan contoh yang telah tersedia di dalam teks atau buku ajar bahasa Indonesia, tetapi juga harus banyak memberikan contoh-contoh di luar teks, dan mengaitkannya dengan kehidupan nyata siswa. Guru bisa mengambil terjemahan surah Alquran, satu atau dua ayat, bisa juga lebih. Hal tersebut tentu dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi pelajaran. Penulis sangat yakin, contoh-contoh mengenai materi pelajaran bahasa Indonesia dapat diambil dari Alquran terjemahan. Tentunya, terjemahan yang dipakai adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya contoh penggunaan gaya bahasa yang dapat ditemukan dalam Alquran terjemahan, tetapi juga seperti kalimat tanya, perintah, kalimat aktif, dan kalimat pasif. Dengan demikian, secara tidak langsung guru mengajarkan ilmu tentang bahasa Indonesia sekaligus juga mengajarkan ilmu agama khususnya mengenai surah-surah dalam Alquran yang dikaitkan dengan materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa, dapat kita temukan pada materi pelajaran mengenai puisi, cerpen, bahkan terdapat materi yang khusus mempelajari gaya bahasa. Bagi guru yang beragama Islam, hal ini dapat dilakukan sedikit-sedikit untuk mendekatkan siswa yang bergama Islam, dekat dengan Alquran sebagai pedomannya. Apalagi, ini dapat sekali diterapkan pada sekolahsekolah seperti MTs dan sekolah Islam lainnya. Dengan cara apapun, hal tersebut dapat dilakukan. Jika dalam satu kelas terdapat nonmuslim, pemberian contoh yang umum dapat dilakukan seperti memberikan contoh yang terdapat pada teks puisi, cerpen, dan drama, hanya tinggal dikemas melalui cara guru tersebut dalam mengelola kelas. Selain itu, guru dapat mengkondisikan pemberian tugas, mencari contoh gaya bahasa dalam Alquran terjemahan dan dalam teks sastra seperti puisi dan cerpen. Jadi, pengetahuan siswa dan guru pun menjadi luas. Tidak ada salah dan ruginya melakukan hal tersebut, malah itu lebih baik. Sambil menyelam minum air, belajar bahasa Indonesia, juga belajar agama Islam. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka penulis dapat mengambil dua kesimpulan yang dapat menjawab dua pertanyaan dalam rumusan masalah. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Ditemukan 22 jenis gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Jenis-jenis gaya bahasa tersebut di antaranya adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa inversi (pada terjemahan ayat ke-7, 10, 22, 48, 50, 52, dan 64.), aliterasi (pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), asonansi (pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), elipsis (pada terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 41, 58, 60, 68, 70, 72, dan 74), apofasis (pada terjemahan ayat ke-33), asindeton (pada terjemahan ayat ke-24, 54, dan 78.), polisindeton (pada terjemahan ayat ke-33 dan 35), pleonasme (pada terjemahan ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72), tautologi (pada terjemahan ayat ke-64), prolepsis (pada terjemahan ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39), erotesis (pada terjemahan ayat ke-13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, dan 60), perifrasis (pada terjemahan ayat ke-41), dan apostrof (pada terjemahan ayat ke-31 dan 33), dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile (pada terjemahan ayat ke-58, 37, 24, dan 14), personifikasi (pada terjemahan ayat ke-6 dan 19), antonomasia (pada terjemahan ayat ke-1), dan sinekdoke (sinekdoke jenis pars pro toto pada terjemahan ayat ke-4, 10, 27, 37, 41, dan 56). Selanjutnya, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi (pada terjemahan ayat ke-13, 16, 143 144 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan 68), paralelisme (pada terjemahan ayat ke-17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan 78), klimaks (pada terjemahan ayat ke-33 dan 44), antiklimaks (pada terjemahan ayat ke-14, 24, 31, 37, dan 56), dan antitesis (pada terjemahan ayat ke-12). Gaya bahasa retoris paling banyak ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penggunaan gaya bahasa tersebut, dipilih untuk menghasilkan keindahan dan persamaan bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, menghidupkan penggambaran suasana cerita, menekankan hal-hal (kata, frasa, klausa atau kalimat) yang dianggap penting, memperjelas pesan yang disampaikan, menghindari kekakuan penggunaan bahasa, terutama dalam hal diksi, mempersingkat penyampaian pesan, dan memperindah penyebutan suatu hal, tanpa melenceng dari maksud yang dikandung ayat. 2. Implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yaitu, menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia pembelajaran yang unik, menarik, dan luas cakupan dalam hal pemberian dan pengembangan contoh. Guru dapat memberikan contoh di luar contoh yang terdapat di dalam buku ajar, dengan mengaitkan pada kehidupan nyata siswa, selama masih relevan dengan materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa, tidak saja dapat ditemukan pada teks sastra, tetapi juga pada Alquran terjemahan bahasa Indonesia. Sehingga, guru harus memiliki kemampuan untuk menyajikan contoh-contoh gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Ini sangat baik dilakukan, karena baik guru maupun siswa menjadi mempunyai wawasan yang luas dan secara tidak langsung belajar bahasa Indonesia sekaligus agama Islam, mendekatkan kita kepada pedoman hidup umat Islam. 145 B. Saran 1. Bagi peneliti selanjutnya, yang mempunyai minat dan ketertarikan terhadap bahasa, penelitian mengenai aspek linguistik bahasa Indonesia dalam Alquran terjemahan, perlu dilanjutkan. Tidak hanya mengenai persoalan gaya bahasa, tetapi juga banyak aspek lingustik lain yang dapat diteliti. Penelitian-penelitian yang sudah ada, terkait dengan aspek lingustik bahasa Indonesia dalam Alquran terjemahan, dapat dijadikan sebagai pengetahuan, pembelajaran, dan referensi penelitian selanjutnya. 2. Bagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia, pengembangan dan penyajian contoh-contoh materi pelajaran, khususnya mengenai gaya bahasa, disarankan untuk tidak hanya menyajikan dan menerangkan contoh-contoh yang sudah tertera di dalam buku ajar, tetapi juga harus mampu menyajikan contoh di luar buku ajar siswa, seperti di dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia dan teks-teks lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi pelajaran. Guru juga disarankan memberikan tugas kepada siswa, untuk mencari contoh-contoh di dalam terjemahan Alquran dan teksteks lain, tidak melulu pada buku paket dan LKS, agar mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam. Siswa tidak hanya mampu memahami contoh yang sudah tersedia dalam buku ajar, tetapi juga mereka mampu menemukan berbagai contoh di dalam teks lain dengan pengetahuan dan pemahaman materi yang telah dimiliki. Dengan demikian, guru harus mempunyai pengetahuan yang luas dan mampu mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan kehidupan nyata. 3. Bagi para siswa, sebaiknya tidak hanya menerima contoh materi pelajaran bahasa Indonesia khususnya gaya bahasa dari guru di sekolah, tetapi juga harus mencarinya di rumah, dari berbagai teks bahasa Indonesia, termasuk Alquran terjemahan bahasa Indonesia, untuk mengasah pemahaman dalam penguasaan materi. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Hafidz. Metode Praktis Memahami Al-Quran. Jakarta: Wadi Press. 2011. Ahmad, Solihin Bunyamin. Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa Menerjemah AL-Qur‟an. Jakarta: Granada Nadia. 2001. Aini, Adelina Qurrotul. “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”. Skripsi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus. 2016. Tidak Dipublikasikan. Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul. Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, L. C. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. IV. 1999. Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir AlMaragi oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk. Semarang: CV Toha Putra. Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj. dari Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2007. Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Shalih. Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh Ummu Saniyyah. Solo: Al-Qowam. 2014. Alwi, Hasan., dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2003. Aly Ash Shabuny, Mohammad. Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj. dari At-Tibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna H. S. Bandung: Al-Ma‟arif. 1987. Amalia, Novita Rihi . “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010. Tidak dipublikasikan. Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru 1988. 146 147 A. Nida, Eugene dan Charles R. Taber. The Theory and Practice of Translation. Netherlands: The United Bible Societies. 1969. Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000. Ash-Shiddieqi, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1980. -----. Tafsir Al Bayaan II. Bandung: Alma‟arif. Badudu, J. S. Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1. Jakarta: Balai Pustaka. 1996. Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cet. I. 1998. Departemen Agama Republik Indonesia. Alqur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Karya Toha Putra. 1971. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004. Djojosuroto, Kinayati dan M. L. A. Sumaryati. Bahasa dan Sastra: Penelitian, Analisis, dan Pedoman Apresiasi. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia. Cet. IV. 2014. Effendi, S., dkk. Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2015. Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah sastra Indonesia. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. Faridl, Miftah dan Agus Syihabuddin. Alquran Sumber Hukum Islam yang Pertama. Bandung: Pustaka. 1989. Falah, M. Zainal. Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Yogyakarta: CV Karyono. Cet. V. 1996. Fitriani, Siti Rohmanatin. “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr AlFurqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya. 2003. Tidak Dipublikasikan. 148 Hamid, Abdul. Pengantar Studi Al-Qur‟an. Jakarta: Pranadamedia Group. 2016. Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nufa Citra Mandiri. 2012. H. McGlynn, John. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antar Bangsa. 2002. Jassin, H. B. Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan. Cet. 3. 1991. -----Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia. Jakarta: Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. 2000. Ikhlas, Ahmad Muh. “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān AlKarīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2016. Tidak Dipublikasikan. Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an The Great Miracle. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Cet. I. 2013. Kentjono, Djoko. Tata Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004. L. Larson, Mildred. Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence. America: University Press of America. 1984. Lopa, Baharuddin. Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1996. Lukman, Fadhli. Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an. Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies. 4. 2015. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: Kaifa. 2009. Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. Maritta, Nuri Qomariah. “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains; Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat AlFurqân [25]:53”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan. 149 M. Kuntarto, Niknik. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir. Jakarta: Mitra Wacana Media. Cet. XII 2013. Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011. Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet. I. 2005. Nasrulloh. “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin (Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2003. Tidak Dipublikasikan. Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007. Rofi‟ah, Nurus Saniyatin. “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah ArRahman Ayat 1-4”. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang. 2013. Tidak Dipublikasikan. Rohman, Abd. Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah Malang: UIN Malang Press. 2007. Salim Basyarahil, A. Aziz. 33 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press. 1994. Sari, Yusie Nilam. “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat Ar Rahman Ayat 1-4”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta. 2013. Tidak Dipublikasikan. Selulawati, Evi. “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”. Skripsi. Universitas Indonesia. 2012. Tidak Dipublikasikan. Setiawan, Hawe, dkk. Ensiklopedi Sastra Indonesia 2. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. 2008. Setiawan, Hendryanoor . “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. 2012. Tidak dipublikasikan. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. VI. 1997. Sidu, La Ode. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: Unhalu Press. 2013. 150 Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Tanspustaka, 2011. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. VIII. 2012. Sunny, Suniarti. “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”. Tesis. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014. Tidak Dipublikasikan. Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin. Bandung: Firma Sumatra. 1978. Syarif, Muhammad Mujadid. “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau. 2015.Tidak Dipublikasikan. Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. 2013. -----. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 1985. Thalib, Muhammad. Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan Aqidah, Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah. Yogyakarta: Ma‟had Annabawy. Cet. II. 2011. Triningsih, Diah Erna. Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia. Klaten: PT Intan Pariwara. 2009. Wahyudin, Deni. “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan. Yunus, Mahmud. Tafsir Qurän Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung. Cet. 73. 2004. Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana. Jakarta: The Intercultural Intitute. Cet. I. 2009. Zaini, Syahminan dan Ananto Kusuma Seta. Bukti-Bukti Kebenaran Alquran Sebagai Wahyu Allah. Malang: Kalam Mulia Jakarta. 1986. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini mengacu pada pedoman transliterasi dari buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 1. Konsonan Huruf Arab Huruf Latin ا Tidak dilambangkan خ Ś ح ẖ خ Kh ذ Ż ش Sy ص Ş ض Đ ﻄ ţ ﻅ ť ﻉ „ ﻍ ġ ﺓ h 2. Vokal a. Vokal Tunggal Tanda Huruf Latin ﹷ a ﹷ i ﹷ u b. Vokal Rangkap Tanda dan Huruf Huruf Latin ْٮَي ai ْٮَو au Contoh: َ = كَحَبkataba َعرِف ُ = „urifa َ = كَيْفkaifa َ = حَوْلẖ aula 3. Mâdd (Panjang) Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda ٮَا â ْٮِي î ُْٮو û Contoh: َ = كَانkâna َقِيْم = qîla = دَعَاda„â ل ُ ْيَ ُقو = yaqûlu 4. Tâ’ Marbûţah Tâ’ Marbûţah hidup transliterasinya adalah /t/. Tâ’ Marbûţah mati transliterasinya adalah /h/. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbûţah diikuti oleh katan yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka Tâ‟ Marbûţah itu ditransilterasikan dengan /h/. Contoh: = حديقة انحيوناتẖ adîqat al- ẖ ayawânât atau ẖ adîqatul ẖ ayawânât = حمزﺓẖ amzah 5. Syaddah Syaddah /tasydîd diteransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah (digandakan). Contoh: ُ =اَنْمَدal-maddu = ُيكَرِ ُرyukarriru 6. Kata Sandang a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyah diteransilterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung. ُ = اَنّصَهَاﺓaş-şalâtu Contoh: b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyah diteransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: ق ُ َ = اَنْفَهal-falaqu 7. Penulisan Hamzah a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif. Contoh: ث ُ ْ = أَكَهakaltu b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh: َ = جَأْ ُكُهونta‟kulûna ٌ = شَيْءSyai‟un 8. Huruf Kapital Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya. Contoh: = اَنْمَدِيْنَ ُة انْ ُمنَوَرَ ُﺓal-Madînatul Munawwarah ْ = اَنْمَسْ ُعوْدِيal-Mas‟ûdî Lampiran 6 RENCANAAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS VII SEMESTER II (DUA) Disusun oleh: Povi Maspupah SMP ISLAM HARAPAN IBU Jl. H. Banan No. 1 Komp. Deplu Pondok Pinang Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp. 75911228 (Ext. 110-117) Fax 7652116 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran A. Sekolah : SMP Islam Harapan Ibu B. Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia C. Kelas / Semester : VII / 2 D. Standar Kompetensi : Menulis Memahami menulis puisi E. Kompetensi Dasar : Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa yang pernah dialami F. Indikator Kompetensi : 1. Mampu menentukan bahan dan menulis lirik puisi tetang peristiwa yang dialami 2. Mampu menulis puisi dengan gaya bahasa dan rima yang menarik 3. Mampu menyunting puisi yang ditulis sendiri G. Alokasi Waktu : 2 X 40 menit H. Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu menulis puisi berdasarkan peristiwa yang dialami dan mampu menyunting puisi tersebut. I. Materi Pelajaran : a. Puisi b. Gaya Bahasa c. Menyunting J. Metode Pembelajaran a. Ceramah b. Tanya Jawab c. Penugasan : K. Strategi Pembelajaran : Cooperative Learning L. Teknik Pembelajaran : Student Active Learning M. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran: a. Kegiatan Awal Apersepsi 1. Guru memberikan salam, menyapa siswa, memimpin doa, dan mengabsen siswa. 2. Guru mengkondisikan kesiapan siswa dan memberikan motivasi kepada siswa sebelum belajar. 3. Guru bertanya mengenai meteri pelajaran pertemuan lalu, dan meminta siswa mengumpulkan tugas pertemuan lalu. 4. Guru memberitahukan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator kompetensi, dan tujuan belajar yang akan dicapai. b. Kegiatan Inti Eksplorasi 1. Guru menyampaikan pemaparan terkait dengan pembahasan yang akan disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran. 2. Guru dan siswa melakukan tanya jawab. 3. Guru menugaskan siswa untuk membuat sebuah puisi berdasarkan peristiwa yang dialami Elaborasi 1. Siswa mengerjakan tugas membuat puisi dengan menggunakan gaya bahasa. 2. Guru memantau dan mengarahkan kegiatan siswa. 3. Guru menunjuk beberapa siswa untuk membacakan hasil kerjanya. Konfirmasi 1. Guru dan siswa memberikan apresiasi terhadap keberhasilan siswa dalam mengerjakan tugas 2. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan hasil kerja siswa. c. Kegiatan Penutup 1. Guru menunjuk beberapa siswa untuk menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan 2. Guru memberikan apresiasi dan umpan balik terhadap kesimpulan yang yang disampaikan siswa. 3. Guru menegaskan kembali kesimpulan secara jelas kepada siswa. 4. Guru memberikan tugas individu kepada siswa. 5. Siswa mengumpulkan hasil pekerjaannya pada pertemuan selanjutnya. 6. Guru menginformasikan materi pertemuan selanjutnya. 7. Guru menutup pembelajaran dengan doa dan mengucapkan salam. N. Sumber dan Media Pembelajaran a. Buku utama pelajaran bahasa Indonesia b. Infokus c. Power Point O. Penilaian 1. Prosedur Penilaian a. Penilaian Proses Menggunakan format pengamatan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran sejak dari kegiatan awal sampai dengan kegiatan akhir. b. Penilaian Hasil Belajar Menggunakan instrumen penilaian hasil belajar dengan tes tulis berbentuk esai (terlampir). 2. Instrumen Penilaian a. Penilaian Proses: Penilaian sikap individu b. Penilaian Hasil Belajar : Esai atau uraian Jakarta, 08 Februari 2016 Mengetahui Kepala SMP Islam Harapan Ibu, Guru praktikan bahasa Indonesia Dra. Hj. Budi Suci Nurani, M. Pd Povi Maspupah Lampiran Penilaian Tanpa Tes a. Penilaian Proses Penilaian Sikap Individu Aspek No Nama Peserta Didik Jumlah Tekun Aktif Keterangan Skor: 1 = Kurang 2 = Cukup 3 = Baik 4 = Sangat Baik Skor Maksimal = 16 Nilai = Skor Perolehan X 100 Skor Maksimal Teliti Rasa Ingin Tahu Nilai b. Penilaian Hasil Belajar Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan tepat! 1. Buatlah sebuah puisi tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari! 2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam puisimu! 3. Carilah contoh gaya bahasa metafora dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan! 4. Carilah contoh gaya bahasa simile dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan! 5. Carilah contoh gaya bahasa personifikasi dalam Alquran terjemahan bahasa Indonesia! Jelaskan! Keterangan Skor: Skor maksimal= 20 Jumlah Skor Maksimal= 100 Perhitungan nilai akhir dalam skala 0-100 adalah sebagai berikut: Nilai = Perolehan Skor X 100 Jumlah Skor Maksimal Lampiran 7 BIODATA PENULIS Povi Maspupah, lahir di Tasikmalaya, 30 Juni 1993. Wanita berdarah Sunda ini, menempuh pendidikan formalnya di SD Negeri Bungursari Tasikmalaya, SMP Negeri 16 Tasikmalaya, SMA Negeri 1 Anjatan Indramayu, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama menempuh pendidikannya, terutama di SMP dan SMA, wanita ini banyak mengikuti organisasi sekolah, di antaranya adalah OSIS, PRAMUKA, BINA VOKAL, dan SANGGAR SENI. Mengikuti berbagai organisasi di sekolah, baginya sangat menyenangkan, karena selain mendapat pengetahuan dari materi pelajaran, juga mendapat pengetahuan dan pengalaman-pengalaman dari berorganisasi. Di dalam organisasi yang digelutinya, wanita yang sangat menyukai seni ini pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS (SMP dan SMA), Ketua OSIS (SMA), dan ketua BINA VOKAL ( SMA). Sementara itu, di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta, wanita ini pun ikut bergabung dalam organisasi yang dinamakan Pojok Seni Tarbiyah, khusunya dalam elemen tari tradisional. Selama menempuh pendidikannya, wanita ini seringkali mengikuti berbagai perlombaan, seperti lomba baca puisi, menulis puisi, bintang DAI, Musabaqah Tilawatil Qur‟an (MTQ), baca cerita Islami (pada Festival Anak Saleh Indonesia), cerdas cermat, debat antarmahasiswa PBSI dalam kegiatan Bulan Bahasa, dan tahfiz Al-qur‟an. Semua lomba yang pernah diikutinya, senantiasa membuahkan hasil yang baik, atas kehendak Yang Maha Kuasa. Wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren ini bercita-cita menjadi seorang guru.