gaya bahasa terjemahan surah ar-rahman dalam al-qur`ân al

advertisement
GAYA BAHASA TERJEMAHAN SURAH AR-RAHMAN
DALAM AL-QUR’ÂN AL-KARÎM BACAAN MULIA
KARYA H. B. JASSIN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh
Povi Maspupah
NIM 1112013000053
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i
ii
iii
ABSTRAK
Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Gaya Bahasa Terjemahan
Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B.
Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yang bertujuan
untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yang
disertai dengan teknik sadap, catat, rekam, simak libat cakap, dan metode analisis
isi atau dokumen. Analisis dokumen digunakan untuk mencari dan
mengklasifikasikan bentuk penggunaan gaya bahasa, membedah makna yang
terkandung dalam setiap terjemahan ayat surah Ar-Rahman, khususnya yang
mengandung gaya bahasa. Adapun hasil analisis dan mengenai implikasi
penelitian terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, disajikan
dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu menggambarkan dan
menguraikannya dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka.
Hasil yang diperoleh setelah melakukan penelitian yaitu ditemukan 22 jenis
gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia karya H. B. Jassin. Gaya bahasa tersebut, di antaranya adalah gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, di
antaranya adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis,
asindeton, polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan
apostrof, dan gaya bahasa kiasan, di antaranya adalah gaya bahasa simile,
personifikasi, sinekdoke, dan antonomasia. Selanjutnya, ditemukan gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat, terdiri dari gaya bahasa repetisi, paralelisme,
klimaks, antiklimaks, dan antitesis. Gaya bahasa retoris paling banyak ditemukan
dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia
karya H. B. Jassin. Penelitian ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia di sekolah, pada materi yang memuat gaya bahasa, seperti
materi puisi, terutama dalam hal pemberian contoh.
Kata Kunci: Gaya Bahasa, H. B. Jassin, Surah Ar-Rahman, Bacaan Mulia.
iv
ABSTRACT
Povi Maspupah (NIM: 1112013000053). “Figurative Language of The
Most Gracious Translation in the Al-Qur’ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.
Jassin and the Implication for Indonesian Language and Literature
Education”. Faculty of Educational Sciences. Syarif Hidayatullah State Islamic
University of Jakarta. Advisor: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2016.
It is a qualitative descriptif research, which aims to describe the use of
figurative language of the most gracious: a translation of the Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia by H. B. Jassin and its implication for Indonesian language and
literature learning at school.
The method used in this research is simak (observation) method, followed by
sadap (tapping), catat (note), rekam (record), simak libat cakap techniques, and
content or document analysis method. Document analysis is used to conduct and
classify the form of figurative language usage, to reveal the meaning contained
within each verse translation of the most gracious, especially which contains
figurative language. As for the research result is presented using a qualitative
descriptive method, which describes and analyses it in the form of word.
The research result reveals that 22 types of figurative language are found in
the most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.
Jassin. There are 22 types of figurative language. They are figurative language
based on the real or not real meaning, consistsing of rhetoric language, which in
turn consisting of inversion, alliteration, assonance, ellipsis, apofasis, asyndeton,
polysyndeton, pleonasm, tautology, prolepsis, erotesis, periphrasis, apostroph, and
figurative language based on unreal meaning, which include simile,
personification, sinekdoke, and antonomasia. Furthermore, there are figurative
language based on the sentence structure, consisting of repetition, paralelism,
climax, anticlimax, and antithesis. The rhetoric language is mostly found in the
most gracious translation in the Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia by H. B.
Jassin. This research can be applied to Indonesian language and literature learning
at school, on the material which discusses figurative language, like poetry,
especially in providing examples.
Keywords: Figurative language, H. B. Jassin, The Most Gracious, Bacaan Mulia.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan banyak nikmat
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Selawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada seorang nabi dan rasul,
yang memberikan peringatan kepada orang-orang kufur dan menyampaikan kabar
gembira kepada insan-insan yang beriman, yakni Nabi Muhammad Saw.
Skripsi berjudul “Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, disusun guna memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) pada Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penulisan skripsi ini, tentu tidak lepas dari dukungan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M. A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai
pembimbing skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu,
memberikan nasihat, dan motivasi kepada penulis.
3. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah
memberikan banyak ilmu, terutama selama proses perkuliahan, memberikan
nasihat, dan motivasi kepada penulis.
4. Keluarga besar penulis, terutama Ibu dan Bapak yang senantiasa mendoakan,
memberikan dukungan berupa materi, perhatian, nasihat, dan motivasi kepada
penulis.
5. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
angkatan 2012, yang telah memberikan banyak pengalaman, memberikan
vi
dukungan, dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Putri Anggraeni
Ruminto, Ulfah Sundusiah, dan Yayah Nur Asyani.
Semoga segala kebaikan berbagai pihak, mendapat balasan dari Allah Swt.
Sesuai dengan firmanNya dalam surah Ar-Rahman, bahwa sesungguhnya tidak
ada balasan untuk kebaikan selain dengan kebaikan. Selain itu, pada skripsi ini,
tentulah tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Untuk itu, penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak, terutama bagi para mahasiswa dan para peneliti selanjutnya
yang tertarik kepada bidang linguistik.
Jakarta, 10 Desember 2016
Penulis
Povi Maspupah
NIM. 1112013000053
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................. i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH...................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ............................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah ......................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ......................................................................... .... 7
E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN
A. Landasan Teori
1. Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa ...................................................... 9
b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa ....................................................... 10
2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik
a. Fonologi ............................................................................... 36
b. Sintaksis ............................................................................... 37
c. Semantik ............................................................................... 41
viii
d. Pragmatik .............................................................................. 41
3. Terjemah
a. Pengertian Terjemah ............................................................ 42
b. Macam-Macam terjemah ..................................................... 44
c. Persyaratan Terjemahan ..................................................... 49
d. Persyaratan Penerjemah ....................................................... 51
e. Tahap-Tahap Penerjemahan ................................................ 52
4. Alquran
a. Pengertian Alquran .............................................................. 54
b. Isi Kandungan Alquran ........................................................ 56
B. Penelitian yang Relevan ................................................................... 57
BAB III METODE PENELITIAN
1. Sumber Data ............................................................................... 65
2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 66
3. Metode Analisis Data ................................................................. 67
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Biografi H. B. Jassin ................................................................... 69
B. Surah Ar-Rahman ....................................................................... 74
C. Hasil Penelitian
1. Temuan Data .......................................................................... 77
2. Analisis dan Deskripsi Data ................................................... 80
D. Impilkasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah.................................................................. 139
BAB IV PENUTUP
A.
Simpulan ..................................................................................... 143
B.
Saran ........................................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 146
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2
: Daftar Uji Referensi
Lampiran 3
: Surah Ar-Rahman dan Terjemahannya dalam Al-Qurân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
Lampiran 4
: Hasil Kegiatan Mengaji
Lampiran 5
: Pedoman Transliterasi
Lampiran 6
: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 7
: Biodata Penulis
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak hanya mempunyai gaya dalam
berpakaian, berbicara, mengajar, belajar, berjalan, memimpin, dan
mendidik anak, tetapi juga gaya dalam berbahasa yang disebut gaya
bahasa. Gaya bahasa merupakan gaya seseorang dalam menggunakan
bahasa. Bentuk penggunaan gaya bahasa pun tentu berbeda-beda. Gaya
bahasa tersebut, akan menjadi ciri khas yang membedakan seseorang
dengan orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, sesungguhnya manusia
banyak menggunakan gaya bahasa untuk menyatakan maksud, pikiran, dan
perasaan.
Gaya bahasa tidak saja digunakan dalam komunikasi lisan, tetapi juga
tulisan, seperti yang dilakukan oleh para penulis terutama para penulis teks
sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Bentuk pengunaan
gaya bahasa seperti daun melambai-lambai, angin berbisik ke telingaku,
dan gadis itu mematung, merupakan bentuk penggunaan gaya bahasa yang
banyak ditemukan dalam teks sastra. Perlu diketahui juga, bahwa
penggunaan gaya bahasa tidak saja dapat ditemukan dalam teks sastra,
tetapi dalam teks-teks lain seperti teks pidato, jurnal, artikel, esai, dan
Alquran terjemahan.
Berkaitan dengan Alquran terjemahan, dalam skripsi ini penulis akan
memfokuskan analisis pada penggunaan gaya bahasa dalam Alquran
terjemahan. Alasannya, penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran
terjemahan belum banyak yang melakukan, terutama mahasiswa jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian justru lebih banyak
dilakukan pada teks-teks sastra dan tindakan kelas yang berhubungan
dengan pendidikan. Oleh karena itu, penulis lebih memilih melakukan
1
2
analisis gaya bahasa dalam Alquran terjemahan. Lebih dari sepuluh
penelitian mengenai gaya bahasa yang pernah dilakukan, tiga di antaranya
adalah skripsi karya Hendryanoor Setiawan yang berjudul “Gaya Bahasa
Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam Iklan Display
Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta, tahun 2012,1 skripsi karya Novita Rihi Amalia yang berjudul
“Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi
Karya Andrea Hirata”, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, tahun 2010, 2 dan skripsi karya Evi
Selulawati yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan
Cerpen Laluba Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M.
C. Escher: Analisis Stilistika”, program studi Indonesia, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, tahun 2012.3
Dari sekian banyak versi Alquran terjemahan, penulis lebih memilih
Alquran terjemahan karya H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia. Kehadiran Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yang banyak menuai
kontroversi, sang penerjemah bukan dari kalangan para ulama, melainkan
seorang sastrawan, merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Selain
itu, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, jika
dibandingkan dengan Alquran terjemahan versi lain, terutama versi
Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud Yunus, mempunyai
perbedaan-perbedaan. Salah satu dari perbedaan tersebut adalah dari segi
diksi dan tipografi. H. B. Jassin sebagai seorang sastrawan, mencoba untuk
menerjemahkan Alquran secara puitis. Menurutnya, bahasa Alquran
sungguh luar biasa puitisnya, sayang sekali jika tidak diterjemahkan
1
Hendryanoor Setiawan, “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur Kalimat dalam
Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian Jogja”, Skripsi, (Universitas Negeri
Yogyakarta, 2012), Tidak dipublikasikan.
2
Novita Rihi Amalia, “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi
Karya Andrea Hirata”, Skripsi, (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), Tidak dipublikasikan.
3
Evi Selulawati, “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila
Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis Stilistika”, Skripsi, (Universitas
Indonesia, 2012).
3
dengan bahasa yang puitis pula. Alquran terjemahan H.B. Jassin adalah
Alquran terjemahan dalam bentuk puisi. Sebuah puisi pada umumnya
dapat dilihat pada bentuk visualnya, yakni berbeda dari prosa, ditulis tidak
baris demi baris yang panjangnya memenuhi lebar halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya hanya memehuni sebagian lebar
halaman.4 Serangkaian kata terjemahan Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia, disajikan rata tengah, dengan posisi terjemahan bahasa Indonesia di
sebelah kiri ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab.
H. B. Jassin sebagai sang penerjemah, adalah seorang sastrawan
sekaligus kritikus sastra yang terkenal dan mendapat julukan “Paus
Sastra”. Julukan tersebut, diberikan oleh Gayus Siagian pada satu
kesempatan simposium sastra Fakultas Sastra UI, Desember 1956, 5
sebagai penghargaan dari apa yang telah dilakukannya, yaitu kecintaan,
ketekunan, dan perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap sastra
Indonesia. Selain itu, bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
pengabdian konkret H. B. Jassin pada dunia kesusastraan Indonesia.6
Lebih lanjut, kata paus di dalam agama Katolik merupakan pemimpin
tertinggi yang berkedudukan di Vatikan. Namun, ini bukan berarti bahwa
H. B. Jassin adalah seorang pemimpin tertinggi beragama Katolik. H. B.
Jassin bukanlah pengikut paus. H. B. Jassin adalah penganut Islam.
Adapun kata paus, digunakan untuk menggambarkan sifatnya yang suka
bertenang-tenang, mirip dengan ikan paus.7
Kemampuan dan kelihaian H. B. Jassin menggunakan gaya bahasa
dalam
teks-teksnya
terutama
teks
sastra
fiksi,
baik
itu
untuk
menyampaikan maksud maupun untuk memperindah cerita, sudah tidak
diragukan lagi. Banyak sekali penghargaan-penghargaan yang diraih H. B.
Jassin atas karya-karyanya. Namun, bagaimanakah jika sang “Paus Sastra”
4
H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan
Provinsi DKI Jakarta. 2000), h.26.
5
Hawe Setiawan, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia 2, (Bandung: PT Kiblat Buku Utama,
2008), h. 99.
6
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 287-288.
7
H.B. Jassin, Op. Cit., h.78.
4
ini menerjemahkan Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia? Apakah sang “Paus Sastra” juga menggunakan kelihaiannya
menggunakan gaya bahasa dalam menerjemahkan ayat-ayat Alquran
seperti pada teks-teks sastra tanpa melenceng dari arti yang dikandungnya?
Bagaimanakah bentuk penggunaan gaya bahasanya? Hal inilah yang
kemudian ingin sekali penulis kaji lebih mendalam, dengan memilih AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin sebagai sumber primer
dalam mengkaji gaya bahasa. Hanya saja, analisis akan difokuskan pada
terjemahan surah Ar-Rahman. Alasannya, surah Ar-Rahman adalah surah
yang menarik dan unik. Menarik dan uniknya surah Ar-Rahman ini karena
memuat kalimat yang digunakan berulang-ulang, yaitu sebanyak 31 kali.
Pengulangan kalimat tersebut, juga merupakan salah satu bentuk
penggunaan gaya bahasa yang sangat jelas terlihat, berbeda dengan surahsurah lainnya. Persajakan akhir ayat dalam surah Ar-Rahman begitu indah
dan rapi. Persajakan akhir seperti alif nun, alif mim, alif ra, dan nun
membuat surah ini sangat indah.
Lebih lanjut, penelitian mengenai gaya bahasa terjemahan surah ArRahman ini, dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh materi gaya
bahasa. Menyajikan contoh gaya bahasa, tidak hanya terbatas pada karya
sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, tetapi juga pada terjemahan
ayat-ayat Alquran pun dapat ditemukan berbagai contoh penggunaan gaya
bahasa yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya. Sehingga,
akan menambah pengetahuan siswa terhadap materi gaya bahasa, yang
biasanya merupakan bagian dari materi seperti puisi, cerpen, dan drama.
Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan
berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan
atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan
tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang
diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai
terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari
5
membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat,
mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan
mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran
membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan
membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah
agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu
mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan
informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis
karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.8 Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada umumnya, materi gaya bahasa
merupakan bagian dari materi puisi, cerpen, novel, atau drama. Melalui
kegiatan membaca dan menulis, siswa dan guru dapat mencari,
menemukan, menyajikan dan menganalisis contoh gaya bahasa, baik dari
teks sastra, maupun dalam Alquran terjemahan berbahasa Indonesia, untuk
menambah pengetahuan dan mengasah pemahaman.
Penelitian terhadap Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.
Jassin ini memang sudah pernah dilakukan, dengan berbagai fokus
penelitian yang berbeda, seperti skripsi Siti Rohmanatin Fitriani berjudul
“Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B.
Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir
Hadis, 20039 dan skripsi Ahmad Muh. Ikhlas berjudul “Transformasi
Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās
(Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B.
Jassin”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas
8
J. S. Badudu, Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 14-15.
9
Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H.
B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan.
6
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016. 10 Hal
tersebut, jelas berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan.
Penulis lebih memfokuskan kajian pada persoalan gaya bahasa dan
implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
sekolah. Dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang telah
dipaparkan di atas, dengan penuh semangat dan keyakinan, pada skripsi ini
penulis memutuskan untuk mengambil judul penelitian “Gaya Bahasa
Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia
Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di Sekolah”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut.
1. Kemampuan H. B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran tanpa
melenceng dari arti yang dikandung ayat.
2. Bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
3. Sebab-sebab penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman
dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
4. Hubungan penggunaan gaya bahasa dengan kalimat pada ayat-ayat lain
dan isi kandungan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
5. Pemberian contoh materi gaya bahasa di sekolah yang hanya terfokus
pada buku ajar dan teks-teks sastra.
C. Pembatasan Masalah
Adapun dalam penelitian ini, masalah-masalah akan dibatasi pada
persoalan mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al10
Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis
Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,
Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan.
7
Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
a. Bagaimana bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin?
b. Bagaimana implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.
b. Mendeskripsikan implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
mengingatkan kembali kepada penulis dan pembaca, mengenai materi
pelajaran bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Islam, yaitu
mengenai gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, terjemahan, macammacam terjemahan, syarat terjemahan, persyaratan penerjemah, tahapan
penerjemahan, Alquran, dan mengenai riwayat hidup H. B. Jassin.
Landasan-landasan teori tersebut, diharapkan mampu menjadi dasar
pemikiran, menyumbangkan pemahaman, dan menjadi referensi bagi
8
penulis dan pembaca, baik dalam proses pembelajaran, maupun dalam
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan sikap positif baik
bagi penulis maupun pembaca, karena banyak hal yang dapat diambil,
dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, dan
senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Adanya penelitian ini, diharapkan juga mampu membentuk semangat,
memberikan motivasi kepada penulis dan pembaca untuk selalu
membaca Alquran, mengkaji, dan mengamalkan ajaran di dalamnya.
Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu membentuk karakter
penulis dan pembaca menjadi pribadi yang kritis, mampu mengetahui,
memahami, dan menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungan sekitar, dijadikan bahan penelitian dan evaluasi diri dengan
mengambil nilai-nilai positif untuk diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-sehari. Penelitian ini juga bisa dijadikan sebagai bahan yang
dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia, sebagai motivasi, dan referensi bagi guru-guru bahasa
Indonesia dalam memberikan contoh-contoh materi pelajaran, juga bagi
peneliti lain yang berminat terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia dalam penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai persoalan
gaya bahasa dalam Alquran terjemahan yang tidak hanya terdapat pada
surah Ar-Rahman, serta sebagai inovasi bagi pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia di sekolah.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN
A. Landasan Teori
1. Gaya Bahasa
a. Pengertian Gaya Bahasa
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap dalam
bukunya Telaah Wacana memaparkan pengertian gaya bahasa dengan
mengambil
penjelasan
dari
Harimurti
Kridalaksana.
Mereka
memaparkan, ”Gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu:
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau
menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu; keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.”11
Sementara itu, pendapat Gorys Keraf mengenai gaya bahasa,
dipaparkan sebagai berikut.
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada
lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada
keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan katakata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style
menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. 12
Lebih lanjut, terkait dengan persoalan gaya bahasa, Gorys Keraf
memaparkan,
Bila dilihat secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah
cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah
11
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta: The
Intercultural Intitute, 2009), Cet. I, h. 159.
12
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cet. XIV, h.
112.
9
10
laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini,
maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik
perhatian orang banyak”, “Cara menulisnya lain daripada
kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”, yang
memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis”
dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah
cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat
menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang
mempergunakan bahasa itu.13
Selanjutnya, pengertian mengenai gaya bahasa juga dipaparkan
oleh Diah Erna Triningsih. Beliau menyatakan, “Gaya bahasa adalah
cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”14
Sementara itu, Abd. Rohman memaparkan persoalan gaya bahasa
dalam istilah Arab. Beliau menyatakan,
Dalam bahasa Arab gaya bahasa disebut dengan istilah uslub, yang
secara etimologis berarti jalan di antara pepohonan, seni, bentuk,
madzhab, dan seterusnya. Adapun secara terminologis, kata uslub
diartikan dengan istilah metode pengungkapan yang dipilih
pengarang dalam menyusun ujaran serta memilih kosa kata yang
diungkapkannya.15
Berdasarkan berbagai pemaparan mengenai gaya bahasa di atas,
maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara
seseorang menggunakan bahasa, yang kemudian menjadi ciri khas
orang tersebut yang membedakan dengan orang lain, dan digunakan
untuk memberikan efek-efek tertentu dalam setiap kalimatnya.
b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Banyak ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai jenis-jenis
gaya bahasa, sehingga gaya bahasa banyak jenisnya. Pada bagian ini,
penulis telah melakukan pendataan terhadap jenis-jenis gaya bahasa
13
Keraf, Ibid., h. 113.
Diah Erna Triningsih, Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia, (Klaten: PT
Intan Pariwara, 2009), h. 8.
15
Abd. Rohman, Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah, (Malang: UIN
Malang Press, 2007), h. 71.
14
11
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gorys Keraf,
Henry Guntur Tarigan, Okke Kusuma Sumantri Zaimar, dan Ayu
Basoeki Harahap. Adapun klasifikasi gaya bahasa menurut Gorys
Keraf, terbagi menjadi gaya bahasa berdasarkan segi nonbahasa dan
gaya bahasa berdasarkan segi bahasa, yang terdiri atas gaya bahasa
berdasarkan pemilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang
terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat,
dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. 16 Sementara
itu, klasifikasi gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan terbagi
menjadi gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya
bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.17 Selanjutnya,
klasifikasi gaya bahasa menurut Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan
Ayu Basoeki Harahap terbagi menjadi majas berdasarkan persamaan
makna, majas berdasarkan perbandingan makna, majas berdasarkan
oposisi makna, majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan
acuan, dan majas yang mengambil bentuk majas lain.18 Pada bagian ini,
penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai penggunaan gaya
bahasa dilihat dari segi linguistiknya. Berdasarkan hasil pembacaan
terhadap buku-buku ahli yang membahas mengenai jenis-jenis gaya
bahasa, secara keseluruhan gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi
51 jenis. Berikut penulis paparkan mengenai penjelasan jenis-jenis gaya
bahasa tersebut.
1. Klimaks
Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan
pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasangagasan sebelumnya. Contoh:
Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran harapan,
dan pengalaman harapan.19
16
Keraf, Op. Cit., h. 116-117.
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 6.
18
Zaimar, Op. Cit., h. 163-176.
19
Keraf, Op. Cit., h. 124.
17
12
2. Antiklimaks
Antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya
diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting.
Contoh:
Ketua pengadilan negeri itu merupakan orang yang kaya,
pendiam, dan tidak terkenal namanya.20
3. Paralelisme
Gorys Keraf menyatakan, “Paralelisme adalah gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau
frasa-frasa yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama.” Contoh:
Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah,
harus diadili kalau bersalah. (Tidak baik: Baik golongan yang
tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili
kalau bersalah.)21
Sementara itu, Abdul Chaer menyatakan, “Kesejajaran atau
paralelisme adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara
membentuk beberapa kalimat dengan unsur-unsur yang mirip atau
hampir sama, baik tentang jumlah, isi, maupun pola kata yang
digunakan.”22 Lebih lanjut, Niknik M. Kuntarto menyatakan, “Agar
kalimat yang Anda buat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran
dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentukbentuk yang sama pada kata-kata yang berparalel.”23
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa gaya bahasa paralelisme adalah gaya bahasa yang diwujudkan
20
Keraf, Ibid., h. 125.
Ibid., h. 126.
22
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet.
I, h. 377.
23
Niknik M. Kuntarto, Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir, (Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2013), Cet. XII, h. 177.
21
13
melalui kesejajaran pemakaian kata-kata dalam bentuk gramatikal
yang sama.
4. Antitesis
Gorys Keraf menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang
mengandung
gagasan-gagasan
yang
bertentangan,
dengan
menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.”24
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa Antitesis
merupakan perbandingan antara dua antonim (kata-kata yang
mengandung arti semantik berlawanan). Majas ini menggunakan dua
kata yang berlawanan. Contoh:
Kelulusan Putri dalam ujian sungguh melegakan dada, tetapi
kemampuan
membiayainya
di
perguruan
tinggi
justru
menyesakkan dada mereka.25
Sementara itu, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap memaparkan,
Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan
dua kata (bentuk lain) yang disandingkan agar lebih jelas dan
menonjol kontrasnya. Kedua kata (bentuk lain) mengandung
makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi
tidak bersifat implisit. Contoh:”Besar kecil, tua muda, kaya
miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang. Ketiga kata
majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan
satu sama lain.”26
Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung kata-kata atau
kelompok kata yang bertentangan.
24
Keraf, Loc. Cit., h. 126.
Triningsih, Op. Cit., h. 37.
26
Zaimar, Op. Cit., h. 170.
25
14
5. Repetisi
Gorys Keraf menyatakan, “Repetisi adalah pengulangan bunyi,
suka kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk
memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.”27 Sementara
itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa repetisi adalah majas
yang mengandung perulangan berkali-kali kata atau kelompok kata
yang sama. Contoh:
Anakku! Rajinlah belajar demi masa depan,
Rajinlah belajar mengangkat derajat keluarga!
Rajinlah belajar menuntut ilmu, rajinlah belajar mencapai citacita.
Rajinlah belajar diiringi doa Bunda, rajinlah belajar anakku,
Tuhan selalu bersamamu.28
Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap menyatakan, “Dalam repetisi (pengulangan), seluruh kata
(atau bentuk lain) diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata
saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat.”29
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan
pengulangan bunyi, kata, atau beberapa kata yang dianggap penting.
6. Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan
bunyi konsonan yang sama. Misalnya:
Takut titik lalu tumpah.
Keras-keras kerak kena air lembut juga.30
27
Keraf, Op. Cit., h. 127.
Triningsih, Op. Cit., h. 46.
29
Zaimar, Op. Cit., h. 163.
30
Keraf, Op. Cit., h. 130.
28
15
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa
aliterasi merupakan majas yang memanfaatkan kata-kata yang
memiliki persamaan bunyi pada awal kata (permulaan kata), bukan
perulangan konsonan yang sama seperti yang dikemukakan oleh
Gorys Keraf. Contoh:
Kalau kanda kala kacau
Biar bibir biduan bicara31
Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa aliterasi.
7. Asonansi
Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan
bunyi vokal yang sama. Misalnya:
Ini muka penuh luka siapa punya
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.32
8. Anastrof
Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat
perangainya.
Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam
bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji
berkibar.33
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut anastrof dengan
istilah inversi. Inversi merupakan gaya bahasa yang mementingkan
bagian kalimat selain subjek sehingga bagian yang dipentingkan itu
31
Triningsih, Op. Cit., h. 44-45.
Keraf, Loc. Cit., h. 130.
33
Ibid.
32
16
berada sebagai subjek. Contoh: Sungguh nyaman dan damai lebaran
tahun ini.34
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan
membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
9. Apofasis atau Preterisio
Gorys Keraf menyatakan pendapatnya mengenai gaya bahasa
apofasis atau preterisio. Beliau memaparkan,
Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di
mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi
tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu
berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura
melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya
memamerkannya. Misalnya:
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka
sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti
membiarkan Anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara
telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.35
10. Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara
mengalihkan amanat atau pembicaraan, dari hadirin kepada sesuatu
yang tidak hadir. Misalnya:
Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan
bebaskanlah
Kami dari belenggu penindasan ini.
Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk
tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam
keadilan dan kemerdekaan seperti
perjuangkan.36
34
Triningsih, Op. Cit., h. 44.
Keraf, Op. Cit., h. 130-131.
36
Ibid., h. 131.
35
yang pernah kamu
17
11. Asindeton
Asindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
pemakaian beberapa kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak
dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik
penghabisan orang melepaskan nyawa.37
12. Polisindeton
Polisindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
pemakaian beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan
dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya:
Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah
dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal
merontokkan bulu-bulunya?38
13. Kiasmus
Kiasmus merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian,
baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan
satu sama lain, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila
dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya:
Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan
kami untuk melanjutkan usaha itu.39
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa
kiasmus merupakan majas yang berisi perulangan dan sekaligus
merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.
37
Keraf, Ibid., h. 131.
Ibid.
39
Ibid., h. 132.
38
18
Contoh:
Apa yang akan terjadi jika pria berlagak seperti wanita dan
wanita berlagak seperti pria? Akan tetapi, inilah yang terjadi
saat ini.40
14. Elipsis
Elipsis merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara
menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi
atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga
struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Misalnya:
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak
apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ...41
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa
elipsis merupakan sebuah majas yang dihasilkan dengan cara
membuang atau menghilangkan kata yang memenuhi bentuk kalimat
berdasarkan tata bahasa. Contoh:
Pada waktu pulang membawa banyak barang berharga serta
perabot rumah tangga. (penghilangan subjek: mereka)42
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
elipsis adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghilangkan
suatu unsur kalimat.
15. Eufemismus
Eufemismus merupakan gaya bahasa
berupa ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapanungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan yang mungkin
40
Triningsih, Op. Cit., h. 46.
Keraf, Loc. Cit., h. 132.
42
Triningsih, Op. Cit., h. 43.
41
19
dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan
sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya:
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati)
Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila)
Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran
seperti anak-anak lainnya (= bodoh)43
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut Eufemismus
dengan kata Eufemisme. Beliau memaparkan bahwa Eufemisme
merupakan ungkapan yang lebih halus yang dipakai untuk
mengantikan ungkapan yang dirasa kasar, dianggap merugikan, atau
tidak menyenangkan.44 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar
dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Eufemisme adalah
ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal
ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung,
bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak
kasar.”45
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
eufimismus
adalah
gaya
bahasa
yang
diwujudkan
dengan
menggunakan ungkapan yang lebih halus, untuk menggantikan
ungkapan yang dirasa kasar.
16. Litotes
Gorys Keraf menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang
dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu
pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.”46 Henry
Guntur Tarigan juga memaparkan pendapatnya mengenai litotes.
Beliau menyatakan, ”Litotes merupakan majas yang menyatakan
43
Keraf, Loc. Cit., h. 132.
Triningsih, Loc. Cit., h. 43.
45
Zaimar, Op. Cit., h. 180.
46
Keraf, Op. Cit., h. 132-133.
44
20
sesuatu lebih rendah atau dikecilkan dari keadaan yang sebenarnya
dengan tujuan untuk merendahkan diri.”47
Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap memaparkan bahwa litotes berbeda dengan hiperbola,
digunakan untuk melemahkan nilai yang dikemukakan atau
diungkapkan si pengujar, dengan tujuan bersopan-santun. Contoh:
silahkan singgah di gubuk saya.48
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
litotes adalah penggunaan kata-kata dengan tujuan merendahkan diri.
17. Histeron Proteron
Histeron Proteron merupakan gaya bahasa yang dihasilkan
dengan cara menampilkan kebalikan dari sesuatu yang logis atau
kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu
yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya:
Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat
berteduh dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.49
18. Pleonasme
Pada dasarnya, pleonasme merupakan gaya bahasa yang
menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan
untuk menyatakan gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme apabila
kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya:
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya
sendiri.
Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.
47
Triningsih, Op. Cit., h. 39.
Zaimar, Op. Cit., h. 178.
49
Keraf, Op. Cit., h. 133.
48
21
Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu
tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan katakata: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang
merah itu.50
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap
memaparkan, “Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang
berbeda. Sebenarnya komponen makna yang ada pada kata pertama,
telah hadir pada wilayah makna kata berikutnya. Orang sering
mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah.”51
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
pleonasme
adalah
gaya
bahasa
yang
diwujudkan
dengan
menggunakan kata-kata yang berlebihan. Jika kata-kata yang
berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh.
19. Tautologi
Pada dasarnya, tautologi sama seperti pleonasme, merupakan
gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada
yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Sebuah acuan disebut
tautologi apabila kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung
pengulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya:
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
Globe itu bundar bentuknya.
Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu
sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut
sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan
bundar sudah tercakup dalam globe.52
50
Keraf, Ibid., h. 133.
Zaimar, Op. Cit., h.164.
52
Keraf, Op. Cit., h. 133-134.
51
22
20. Perifrasis
Perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata lebih
banyak dari yang diperlukan. Perifrasis hampir sama seperti
pleonasme, hanya perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata
yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.
Misalnya:
Ia telah beristirahat dengan damai (= mati, atau meninggal)
Jawaban dari permintaan sudara adalah tidak (= ditolak)53
21. Prolepsis atau antisipasi
Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dengan
mempergunakan kata-kata atau sebuah kata lebih dahulu sebelum
peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak
mengenal orang itu.
Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya
segera
meninggalkan tempat tu.
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru.54
22. Erotesis atau pertanyaan retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang
digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dengan
tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang
wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban.55
Misalnya:
Bukankah kita adalah makhlukNya yang harus beriman dan
bertakwa kepadaNya?
53
Keraf, Ibid., h. 134.
Ibid.
55
Ibid.
54
23
23. Silepsis
Silepsis merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan
menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya
hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal
benar, tetapi secara semantik tidak benar.
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.56
24. Zeugma
Zeugma merupakan gaya bahasa yang diwujudkan melalui kata
yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya
hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun
secara gramatikal). Misalnya:
Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir
orang itu.
Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat
kepada kami.57
25. Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang mulamula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Misalnya:
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah
lima kali.58
26. Hiperbol
Gorys Keraf menyatakan, “Hiperbol semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesarbesarkan sesuatu hal.”59 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan
56
Keraf, Ibid., h. 135.
Ibid.
58
Ibid.
59
Ibid.
57
24
menamakan hiperbol dengan istilah hiperbola. Beliau menyatakan,
“Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada
suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat atau meningkatkan
kesan dan pengaruh.”60 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki
Harahap memaparkan, “Hiperbola adalah ucapan (ungkapan,
pernyataan) kiasan yang membesar-besarkan sesuatu (berlebihlebihan).”61 Contoh:
Citaku kepadamu seluas samudra, hingga tak sanggup aku
hidup tanpamu. Jika kau mati, maka akupun akan ikut mati.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
hiperbola adalah gaya bahasa yang diwujudkan melalui pemakaian
kata yang berlebihan, untuk membesar-besarkan sesuatu hal.
27. Paradoks
Paradoks
merupakan
gaya
bahasa
yang
mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh:
Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang
melimpah-limpah.62
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap
memaparkan
bahwa
paradoks
merupakan
pernyataan
yang
berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar
biasa. Bisa juga dikatakan bahwa paradoks merupakan suatu
proposisi yang salah sekaligus juga benar. Contoh: Meskipun hatinya
sangat panas, kepalanya tetap dingin.63
60
Triningsih, Loc. Cit., h. 39.
Zaimar, Op. Cit., h. 176.
62
Keraf, Op. Cit., h. 136.
63
Zaimar, Op. Cit., h. 170-171.
61
25
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan
menyajikan gagasan yang bertentangan dari sesuatu yang nyata.
28. Oksimoron
Gorys Keraf menyatakan, “Oksimoron merupakan gaya bahasa
yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang
bertentangan.”64 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan
bahwa oksimoron merupakan majas yang mengandung pertentangan
dengan menggunakan kata-kata berlawanan dalam frasa yang sama.
Contoh: Bahan-bahan nuklir dapat digunakan untuk kesejahteraan
manusia, tetapi juga dapat memusnahkannya.65
29. Persamaan atau Simile
Persamaan atau Simile merupakan perbandingan yang bersifat
eksplisit. Artinya, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu
hal sama dengan hal yang lain. Untuk itu, perbandingan tersebut
memerlukan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana,
dan sebagainya. Misalnya:
Kikirnya seperti kepiting batu
Bibirnya seperti delima merekah
Matanya seperti bintang timur66
Sementara itu, Diah Erna Triningsih mengemukakan pendapat
Henry Guntur Tarigan mengenai simile. Bila Gorys Keraf
menyebutnya dengan istilah persamaan, maka Henry Guntur Tarigan
lebih
memilih
istilah
perumpamaan.
Menurutnya,
“Majas
Perumpamaan merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua
hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Perbandingan tersebut
ditandai dengan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana,
64
Keraf, Loc. Cit.
Triningsih, Op. Cit., h. 40.
66
Keraf, Op. Cit., h. 138.
65
26
dan sejenisnya.”67 Selanjutnya, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan
Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam simile terdapat dua kata
(atau bentuk lainnya) yang masing-masing menampilkan konsep dan
acuan yang berbeda.”68
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
simile adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membandingkan
dua hal atau lebih dengan menggunakan kata-kata seperti laksana,
bak, bagaikan, dan seperti.
30. Metafora
Gorys Keraf menyatakan, “Metafora adalah semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk
yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata,
dan sebagainya.69 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan
bahwa kata metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang
berarti „memindahkan‟. Metafora merupakan sebuah analogi yang
membandingkan dua benda secara langsung dalam bentuk singkat.
Contoh:
Kita harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah
gugur sebagai bunga bangsa.
Bunga bangsa= orang berjasa; pemuda
Jangan pernah percaya dengan mulut manis lintah darat itu
karena ia hanya ingin meraup keuntungan.
Lintah darat= orang yang membungakan uang dengan
memungut bunga terlalu tinggi.70
67
Triningsih, Op. Cit., h. 35.
Zaimar, Op. Cit., h. 165.
69
Keraf, Op. Cit., h. 139.
70
Triningsih, Loc. Cit., h. 35.
68
27
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
langsung dalam bentuk yang singkat.
31. Alegori
Gorys Keraf menyatakan, “Alegori adalah suatu cerita singkat
yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah
sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.” 71
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa alegori
adalah cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. Alegori
merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan dan bertujuan
menyampaikan pesan moral.72 Lebih lanjut, M. Zainal Falah
memberikan sebuah contoh mengenai gaya bahasa alegori. Berikut
adalah contoh alegori yang dikemukakan M. Zainal Falah dalam
buku Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia.
Hati-hatilah dalam mengarungi samudra yang penuh bahaya
gelombang, topan, dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi
senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya
akan tercapai tanah tepian yang menjadi idaman.
Kata “samudra” yang dimaksud pengarang adalah kehidupan.73
32. Parabel
Gorys Keraf menyatakan, “Parabel adalah suatu kisah singkat
dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung
tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita
fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk
71
Keraf, Op. Cit., h. 140.
Triningsih, Op. Cit., h. 36.
73
M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: CV Karyono, 1996), Cet.
V., h. 41.
72
28
menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.”74
Sebagai contoh yaitu cerita Kisah Mahabrata dan Kisah Ramayana.
33. Fabel
Gorys Keraf menyatakan, “Fabel merupakan suatu metafora
berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatangbinatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah sebagai manusia.”75 Sebagai contoh cerita Anak Katak
Hijau yang Nakal dan Kancil Mencuri Mentimun.
34. Personifikasi
Gorys Keraf menyatakan, “Personifikasi atau Prosopopoeia
adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan bendabenda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan.76 Sementara itu, Henry Guntur
Tarigan menyebut personifikasi dengan istilah penginsanan. Beliau
menyatakan, “Personifikasi atau penginsanan merupakan majas yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan
tindakan seperti yang dilakukan manusia.”77
Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki
Harahap memaparkan bahwa personifikasi merupakan majas yang
menyatakan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat
seperti manusia. Contoh: Rani tidur di teras, dibelai angin sepoisepoi.78
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
personifikasi adalah gaya bahasa yang menyatakan benda mati
seolah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia.
74
Keraf, Loc. Cit., h. 140.
Ibid.
76
Ibid.
77
Triningsih, Loc. Cit., h. 36.
78
Zaimar, Op. Cit., h. 168.
75
29
35. Alusi
Gorys Keraf menyatakan bahwa alusi merupakan acuan yang
berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah
Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut
memperjuangkan persamaan haknya.79 Sementara itu, Henry Guntur
Tarigan memaparkan bahwa alusi merupakan majas yang menunjuk
pada suatu peristiwa atau tokoh secara tidak langsung, berdasarkan
praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh
pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca
untuk menangkap acuan tersebut. Contoh:
Dapatkah kau membayangkan perjuangan KAMI dan KAPI
pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan
keadilan di tanah air ini?80
Berdasarkan pemaparan dari dua ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya
bahasa alusi.
36. Eponim
Gorys Keraf menyatakan,”Eponim adalah suatu gaya bahasa
yang diwujudkan dengan penggunaan nama seseorang yang begitu
sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai
untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk
menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan
kecantikan.”81
79
Keraf, Op. Cit., h. 141.
Triningsih, Op. Cit., h. 42-43.
81
Keraf, Loc. Cit.
80
30
37. Epitet
Epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau
ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya:
Lonceng pagi untuk ayam jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja rimba untuk singa, dan sebagainya.82
38. Sinekdoke
Mengenai sinekdoke, Gorys Keraf menyatakan,
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani
synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama.
Sinekdoke
adalah
semacam
bahasa
figuratif
yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan
untuk menyatakan sebagian (totum pro parte).83
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa
Sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan nama bagian
sebagai pengganti nama keseluruhan (pars pro toto) atau
menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama sebagian (totem
pro parte). Contoh:
Bagaimana kita dapat hidup dengan tenang jika belum
memiliki lantai tempat menetap di Jakarta?
Indonesia memenangkan kejuaraan bulu tangkis tingkat
internasional.84
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap
memaparkan bahwa dalam sinekdoke adanya kedekatan acuan yang
disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian dari acuan
yang kedua (pars pro toto) atau acuan yang pertama mencakup
acuan yang kedua (totem pro parte). Contoh: Telah lama ia tak
82
Keraf, Ibid., h. 141.
Ibid., h. 142.
84
Triningsih, Op. Cit., h. 42.
83
31
nampak batang-hidungnya. (sebagian menggantikan keseluruhan)
dan Italia mengalahkan Inggris dengan telak. (keseluruhan untuk
sebagian)85
39. Metonimia
Metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah
kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian
yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil
penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab,
sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Contoh:
Ia membeli sebuah chevrolet.
Saya minum satu gelas, ia dua gelas.
Ialah yang menyebabkana air mata yang gugur.
Pena lebih berbahaya dari pedang.
Ia telah memeras keringat habis-habisan.86
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa
metonimia merupakan majas yang menggunakan nama ciri atau
nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai
penggantinya. Contoh:
Ayah baru saja membeli Honda dengan harga lima belas juta
rupiah.87
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki
Harahap
memaparkan bahwa dalam metonimi yang menjadi landasan adalah
hubungan kontiguitas acuan. Hubungan-hubungan itu dapat bersifat
parsial, seperti contoh: “Gedung putih itu telah mengumumkan
perang.”, bersifat temporal, seperti contoh “Mingguan itu berisi
85
Zaimar, Op. Cit., h. 175.
Keraf, Loc. Cit., h. 142.
87
Triningsih, Op. Cit., h. 41-42.
86
32
gosip saja.”, dan bersifat kausal, seperti contoh “Paman Hamzah
adalah seorang kuli tinta.”88
Berdasarkan pemaparan empat ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya
bahasa metonimia.
40. Antonomasia
Antonomasia merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk
menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Misalnya:
Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.89
41. Hipalase
Hipalase merupakan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu
digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata lain. Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah
adalah manusianya, bukan bantalnya).90
42. Ironi
Ironi atau sindiran gaya bahasa yang mengatakan sesuatu hal
dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung
dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya:
Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di
dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!91
Sementara Itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa ironi
merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan sindiran atau ejekan
88
Zaimar, Op. Cit., h. 173-174.
Keraf, Loc. Cit., h. 142.
90
Ibid.
91
Ibid., h. 143.
89
33
secara halus, tetapi cukup menyinggung perasaan orang lain.
Contoh:
Aku bangga dengan sikap hematmu, hingga uang tabungan ini
terkuras habis hanya untuk berfoya-foya.92
Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap
memaparkan bahwa dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu
yang sebaliknya dari apa yang ingin dikatakan. Perlu diingat bahwa
dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-bulanan), yaitu yang dituju
oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat
tergantung dari konteks.93
Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan
maksud yang berlainan dari serangkaian kata-katanya.
43. Sinisme
Sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian,
mengandung ejekan. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah,
maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Misalnya:
Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero
jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini.94
44. Sarkasme
Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi
dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Misalnya:
Mulut kau harimau kau
Lihat sang Raksasa itu (Maksudnya si Cebol)
Kelakuanmu memuakkan saya.95
92
Triningsih, Op. Cit., h. 40.
Zaimar , Op. Cit., h. 171.
94
Keraf, Loc. Cit., 143.
95
Ibid., h. 143-144.
93
34
45. Satire
Satire merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan
untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung
kritik tentang kelemahan manusia, dengan tujuan agar diadakan
perbaikan secara etis maupun estetis.96
46. Inuendo
Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyataan
yang sebenarnya. Inuendo merupakan sebuah kritik secara tidak
langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat
sambil lalu. Misalnya:
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu
kebanyakan minum.
Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatannya.97
47. Antifrasis
Antifrasis merupakan sebuah ironi yang berwujud penggunaan
sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap
sebagai ironi. Misalnya:
Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol)98
48. Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia merupakan kiasan dengan menggunakan
kemiripan. Pun atau Paronomasia menggunakan permainan kata
yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan
besar dalam maknanya.
Tanggal dua gigi saya tanggal dua
“Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”99
96
Keraf, Ibid., h. 144.
Ibid.
98
Ibid., h. 144-145.
99
Ibid., h. 145.
97
35
Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa
paronomasia merupakan gaya bahasa yang berwujud penjajaran kata
yang berbunyi sama, tetapi berlainan makna atau kata-kata yang
memiliki persamaan bunyi, tetapi berbeda maknanya. Contoh:
Ketika saya sibuk mengukur kelapa di dapur, burung balam
tetangga terdengar sedang mengukur bersahut-sahutan.100
49. Gradasi
Gradasi merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu
rangkaian dan urutan kata yang secara sintaksis bersamaan memiliki
satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan di antaranya
paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan
yang bersifat kuantitatif. Contoh:
Jasmani dan rohani yang diberikan Tuhan; Tuhan Yang Maha
Pengasih.101
50. Depersonifikasi
Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Gaya
bahasa ini menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda
alam, atau benda lainnya. Contoh: Aku heran melihat Tono
mematung.102
51. Paralipsis
Paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk
menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan hal yang tersirat
dalam kalimatnya. Contoh:
100
Triningsih, Loc. Cit., h. 40.
Ibid., h. 44.
102
Zaimar, Op. Cit., h. 168.
101
36
Pak guru sering memuji anak itu, yang (maafkan saya) saya maksud
memarahinya.103
Berdasarkan hasil penggabungan jenis-jenis gaya bahasa dari
para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa banyak
jenisnya, lebih dari lima puluh gaya bahasa. Masing-masing para ahli
mempunyai kategori pengklasifikasian jenis gaya bahasa yang
berbeda-beda.
Pada
skripsi
ini,
penulis
lebih
memilih
pengklasifikasian gaya bahasa menurut Gorys Keraf, karena lebih
lengkap dan disertai contoh yang mudah dipahami, untuk diterapkan
dan dijadikan acuan dalam kegiatan analisis data. Selain itu, Gorys
Keraf menggunakan istilah “gaya bahasa” bukan “majas”. Hal
tersebut, lebih sesuai dengan judul penelitian yang dilakukan
penulis.
2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik
a.
Fonologi
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi bahasa.
104
Secara etimologi, kata
fonolgi terbentuk dari kata fon yang bermakna bunyi dan logi yang
bermakna ilmu.
105
Pada umumnya, bunyi bahasa diklasifikasikan
menjadi bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita
suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi bergetar
ketika dilalui arus udara yang dipompakan paru-paru. Selanjutnya, arus
udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan-apa-apa,
kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu, sesuai dengan jenis
vokal yang dihasilkan.106
103
Triningsih, Op. Cit., h. 41.
Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 102.
105
Ibid.
106
Ibid., h. 113.
104
37
Selanjutnya, bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita
suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut
atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat
artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah
arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara,
tidak mendapat hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi
konsonan, arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan.
Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak, sedangkan bunyi
vokal semuanya adalah bersuara.107
b. Sintaksis
Secara etimologis, sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis. Di
dalam bahasa Inggris, sintaksis dikenal dengan istilah syntax. Semantara
itu, dari sisi kaidah penyerapan bahasa asing, istilah sintaksis dalam
bahasa Indonesia memiliki kedekatan dengan istilah bahasa Belanda
syntaxis. Adapun pembahasa sintaksis secara berturut-turut dimulai dari
frasa, klausa, sampai pada tataran kalimat.108
1.
Frasa
Frasa merupakan satuan gramatikal berupa gabungan kata dan
bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang
mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. 109 Ciri utama
frasa ialah berupa kelompok kata, tidak predikatif, dan tidak
melampaui batas fungsi atau hanya menduduki satu fungsi. Tidak
melampaui batas fungsi sintaksis maksudnya frasa itu hanya
menduduki satu fungsi. Frasa itu bisa menduduki fungsi subjek saja,
atau menduduki fungsi predikat saja, atau menduduki fungsi objek
saja, atau menduduki fungsi pelengkap saja, atau menduduki fungsi
107
Chaer, Ibid., h. 113.
La Ode Sidu, Sintaksis Bahasa Indonesia, (Kendari: Unhalu Press, 2013), h. 21.
109
Ibid.
108
38
keterangan saja. Dengan demikian, frasa merupakan konstituen
pengisi fungsi-fungsi sintaksis.110
2.
Klausa
Klausa merupakan kelompok kata yang predikatif. Klausa
merupakan tataran di dalam sintaksis yang berada di atas tataran
frasa dan di bawah kalimat. Ciri utama klausa adalah ciri predikat,
yang kehadirannya adalah wajib.111 Di pihak lain, S. Effendi, Djoko
Kentjono, dan Basuki Suhardi menyatakan, “Klausa adalah satuan
gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frasa; di dalamnya
terdapat satu hubungan predikatif (atau hubungan subjek-predikat).
Klausa pada umumnya merupakan konstituen dasar kalimat.”112
3. Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri
sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, dan juga terdiri atas klausa.
Kalimat boleh terdiri atas satu klausa atau lebih. Kalimat dalam
bentuk tulisan memiliki kriteria yang mengikat, seperti huruf kapital
di awal kalimat dan diakhiri dengan salah satu tanda perhentian
seperti titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!). 113
Kalimat umumnya berwujud serangkaian kata yang disusun
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tiap kata dalam kalimat,
mempunyai tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan kategori sintaksis,
fungsi sintaksis, dan peran semantisnya.
a. Kategori Sintaksis
Bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis utama,
yaitu verba atau kata kerja, nomina atau kata benda, adjektiva
atau kata sifat, dan adverbia atau kata keterangan. Selain itu, ada
110
Sidu, Ibid., h. 23.
Ibid., h. 42-43.
112
S. Effendi, dkk., Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2015), h. 36.
113
Sidu, Op. Cit., h. 62.
111
39
juga kelompok lain yang dinamakan kata tugas, yang terdiri atas
beberapa subkelompok kecil, misalnya preposisi atau kata depan,
konjungtor atau kata sambung, dan partikel.114
b. Fungsi Sintaksis
Setiap kata atau frasa dalam kalimat mempunyai fungsi yang
mengaitkannya dengan kata atau frasa lain yang ada dalam
kalimat tersebut. Fungsi itu bersifat sintaksis, artinya berkaitan
dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat. Adapun fungsi
sintaksis utama dalam bahasa adalah predikat, subjek, objek,
pelengkap, dan keterangan.115 Predikat dalam bahasa Indonesia
dapat berwujud frasa verbal, adjektival, nominal, numeral dan
preposisional. Selain predikat, kalimat umumnya mempunyai
subjek yang biasanya terletak di depan predikat. Subjek dapat
berwujud nomina, tetapi pada keadaan tertentu kategori kata lain
juga dapat menduduki fungsi subjek. Ada juga kalimat yang
mempunyai objek. Pada umumnya, objek yang berupa frasa
nominal berada di belakang predikat yang berupa frasa verbal
transitif aktif. Objek tersebut berfungsi sebagai subjek jika
kalimat tersebut diubah menjadi pasif.116
Selanjutnya, yang dinamakan pelengkap atau komplemen
mirip dengan objek. Pelengkap pada umumnya berupa frasa
nominal dan frasa nominal itu juga berada di belakang predikat
verbal. Perbedaan yang penting adalah pelengkap tidak dapat
menjadi subjek dalam kalimat pasif. Di sisi lain, pelengkap mirip
dengan keterangan juga. Kedua-duanya membatasi acuan
konstruksi yang bergabung dengannya. Perbedaannya ialah
pelengkap pada umumnya wajib hadir untuk melengkapi
114
Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), h. 35-36.
115
Ibid., h. 36.
116
Ibid., h. 36-37.
40
konstruksinya, sedangkan keterangan tidak. Tempat keterangan
biasanya bebas, sedang tempat pelengkap selalu di belakang
verba(beserta objeknya). Keterangan ada yang menyatakan alat,
tempat, cara, waktu, kesertaan, atau tujuan.117
c. Peran Semantis
Pada dasarnya, setiap kalimat memerikan suatu peristiwa yang
melibatkan satu peserta atau lebih, dengan peran semantis yang
berbeda-beda. Peserta tersebut dinyatakan dengan nomina atau frasa
nominal. Peran semantis terdiri atas pelaku, sasaran, pengalam,
pemeruntung, dan atribut. Adapun penjelasan mengenai peran
semantis tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pelaku
Pelaku adalah peserta yang melakukan perbuatan dan
dinyatakan oleh verba predikat. Peserta umumnya manusia atau
binatang. Peran pelaku merupakan peran semantis utama subjek
kalimat aktif dan pelengkap pasif.
2) Sasaran
Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan dan
dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran merupakan peran
utama objek atau pelengkap.
3) Pengalam
Pengalam adalah peserta yang mengalami keadaan atau
peristiwa dan dinyatakan predikat. Peran pengalam merupakan
peran unsur subjek yang predikatnya adjektiva atau verba
taktransitif yang lebih menyatakan keadaan.
4) Peruntung
Peruntung adalah peserta yang beruntung dan yang
memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan
117
Alwi, dkk., Ibid., h. 38.
41
yang dinyatakan oleh predikat. Partisipan peruntung biasanya
berfungsi sebagai objek, atau pelengkap, atau sebagai subjek
verba jenis menerima atau mempunyai.
5) Atribut
Kalimat yang berpredikat nomina, predikat tersebut
mempunyai peran semantis atribut.118
c. Semantik
Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata semantics dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut diperkenalkan oleh
organisasi filologi Amerika pada tahun 1894. Secara terminologi, semantik
adalah bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa.119 Sementara itu, Drs.
Aminuddin memaparkan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa
Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah
teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”, dengan
anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik
merupakan bagian dari lingustik.120
d. Pragmatik
Kata pragmatik berasal dari bahasa Inggris pragmatics dan dari bahasa
Yunani pragmatikos. Pragma memiliki arti persoalan yang ada di tangan,
tindakan, dengan analogi pada lingusitik. Pragmatik merupakan ilmu yang
menelaah tentang relasi antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar bagi
pemahaman bahasa atau menelaah tentang kemampuan pemakai bahasa
menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks
secara tepat. Pragmatik mempunyai tiga konsep dasar yaitu tindak
komunikatif, peristiwa komunikatif, dan situasi komunikatif.121
118
Alwi, dkk., Ibid., h. 334-335.
Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, (Jakarta: Tanspustaka,
2011), h. 4.
120
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru, 1988), h. 15.
121
Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 2.
119
42
Lebih lanjut, terkait dengan pragmatik, Brown dan Levinson
menyatakan bahwa dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya,
penutur menggunakan strategi linguistik yang berbeda-beda. Strategi
tersebut adalah strategi kurang sopan, agak sopan, sopan, dan paling sopan.
Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan parameter pragmatik. Ada tida
parameter pragmatik, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Tingkat jarak sosial
Dalam tingkat ini, penuutur dan lawan tutur ditentukan berdasarkan
paremeter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang
sosiokultural.
2. Tingkat status sosial
Dalam tingkat ini, penutur dan lawan tutur didasarkan pada
kedudukan asimetrik. Contoh: di ruang praktik seorang dokter memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi, di jalan
raya polisi dapat menilangnya bila dokter tersebut melakukan
pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini, polisi memiliki
kedudukan yang lebih tinggi.
3. Tingkat peringkat tindak tutur
Tingkat ini didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu
dengan tindak tutur yang lain. Misalnya, di dalam situasi normal,
meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan,
atau tidak mengenakkan. Akan tetapi, di dalam situasi yang mendesak,
semisal untuk mengantar orang sakit keras, tindakan itu wajar-wajar
saja.122
3. Terjemah
a.
Pengertian Terjemah
Mildred L. Larson dalam bukunya Meaning-based Translation: a
Guide to Cross-Language Equivalence memaparkan, “Translation, by
dictionary definition, consists of changing from one state or form to
122
Hindun, Ibid., h. 18-19.
43
another, to turn into one‟s own or another‟s language.”123 (“Terjemah,
berdasarkan makna dalam kamus, yaitu perubahan bentuk dari satu
bentuk ke bentuk lain, atau mengubah ke dalam bahasa kita sendiri atau
ke dalam bahasa lain.”) Lebih lanjut, Eugene A. Nida dan Charles R.
Taber juga memaparkan pendapatnya mengenai terjemah, mereka
menyatakan, “Translating consists in reproducing in the receptor
language the closest natural equevalent of the source-language
message, first in the terms of meaning and secondly in terms of style.”124
(“Penerjemahan merupakan upaya mereproduksi pesan ke dalam bahasa
sasaran dengan persamaan atau padanan yang wajar dan paling dekat
dengan bahasa sumber, pertama dari segi makna dan kedua dari segi
gayanya.”)
Miftah Faridl dan Agus Syihabudin menjelaskan mengenai
pengertian terjemah secara bahasa, dengan mengambil penjelasan dari
Manahilul „Irfan fi „Ulumil Qur‟an, yang menerangkan bahwa lafaz
tarjamah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukkan salah satu
dari empat makna berikut.
a. Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum
mendapatkannya.
b. Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya.
c. Menafsirkan suatu kalam dengan bahasa yang lainnya.
d. Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang
lainnya.125
Tidak hanya menjelaskan pengertian terjemah secara bahasa,
Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga menjelaskan pengertian
terjemah menurut „urf, yakni kelaziman percakapan bagi umumnya
123
Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence,
(America: University Press of America, 1984), h. 3.
124
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation,
(Netherlands: The United Bible Societies, 1969), h. 12.
125
Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, Alquran Sumber Hukum Islam yang Pertama,
(Bandung: Pustaka, 1989), h. 305.
44
manusia. Dari segi ini, mereka menjelaskan bahwa terjemah berarti
memindahkan kalam dari suatu bahasa ke bahasa lain, yakni
mengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam lain dalam
bahasa lain dan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam
pengertian.126
Terjemah secara etimologi berarti mengungkapkan makna untuk
menjelaskan. Adapun secara terminologi berarti mengungkapkan
perkataan dengan bahasa lain.127 Jika terjemah dikaitkan dengan
Alquran, maka terjemah Alquran artinya memindahkan Alquran pada
bahasa lain yang bukan bahasa Arab agar dapat dibaca orang yang tidak
mengerti bahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah
SWT, dengan perantara terjemahan ini.128 Hafidz Abdurrahman juga
memaparkan
hal
yang
sama
mengenai
terjemah
“Pengalihbahasaan Al-Quran ke dalam bahasa non-Arab.”
Alquran,
129
Dengan
demikian, setelah memahami pemaparan terjemah dari beberapa
pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menerjemahkan
Alquran berarti mengungkapkan makna yang terdapat dalam Alquran
dengan menggunakan bahasa lain, agar dapat dibaca, dimengerti, dan
dipahami orang lain yang tidak mengerti bahasa Arab di dalam Alquran.
b. Macam-Macam Terjemah
Berbicara mengenai terjemah, lebih lanjut Syaikh Muhammad
memaparkan bahwa terdapat dua macam terjemah, yaitu terjemah
harfiah dan maknawiah. Berikut merupakan penjelasan yang lebih rinci
mengenai kedua macam terjemah tersebut.
126
Faridl, Ibid.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan Dasar-Dasar
Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh Ummu Saniyyah, (Solo: Al-Qowam,
2014), h. 56.
128
Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj. dari AtTibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna H. S., (Bandung: Al-Ma‟arif,
1987), h. 276.
129
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Quran, (Jakarta: Wadi Press, 2011), h.
175.
127
45
1) Terjemah Harfiah, yaitu menempatkan terjemahan masing-masing
kata pada tempatnya.
2) Terjemah maknawiah atau tafsiriah, yaitu mengungkapkan makna
atau suatu perkataan dengan bahasa lain, tanpa memerhatikan kosa
kata dan urutannya.130
Miftah Faridl dan Agus Syihabudin juga sependapat dengan Syaikh
Muhammad bahwa macam terjemah terbagi menjadi dua, yakni
terjamah secara harfiah dan maknawiah atau tafsiriah. Mereka
menyatakan,
Tarjamah secara harfiah ialah memindahkan sejumlah kata (kalimat)
dari suatu bahasa kepada bahasa lain dengan kosa kata dan susunan
bahasa yang sesuai dengan bahasa aslinya. Adapun tarjamah secara
maknawiah atau tafsiriah ialah menerangkan pengertian yang
terkandung dalam suatu kalam dengan bahasa yang lain dan tidak
terikat oleh kosa kata dan susunan bahasa aslinya. 131
Muhammad Thalib juga memaparkan persoalan mengenai macammacam
terjemah.
Menurutnya,
macam-macam
terjemah
dapat
dibedakan berdasarkan metode penerjemahan yang dilakukan. Beliau
menyatakan,
secara umum, ada dua metode dalam menerjemahkan Alquran.
Pertama, terjemah harfiyah. Yaitu, memindahkan pengertian dari
satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunan dan
makna asli yang terkandung di dalam teks yang diterjemahkan.
Kedua, terjemah maknawiyah atau tafsiriyah. Dalam metode ini
menerangkan atau menjelaskan makna yang terkandung dalam satu
bahasa dengan bahasa lain tanpa memperhatikan susunan dalam
bahasa aslinya.132
Mohammad Aly Ash Shabuny juga memaparkan pendapatnya
mengenai
macam-macam
terjemah,
tetapi
beliau
langsung
mengkhususkan pada terjemah Alquran. Adapun macam-macam
terjemah Alquran, secara umum sama seperti yang telah dikemukakan
130
Al-Utsaimin, Op. Cit., h. 56-57.
Faridl, Op. Cit., h. 307.
132
Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan Aqidah,
Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah, (Yogyakarta: Ma‟had An-nabawy, 2011), Cet. II, h. 242.
131
46
oleh pendapat para ahli, meliputi terjemah harfiah dan tafsiriah.
Terjemah harfiah yaitu terjemah yang dihasilkan dengan cara
menerjemahkan Alquran kepada bahasa lain, seperti Indonesia, Inggris,
Jerman, dan Perancis. Lafaz, kosa kata, jumlah dan susunannya
diterjemahkan dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya.
Terjemah semacam ini, sama dengan meletakkan sinonim kata pada
sesamanya. Sedang yang dimaksud terjemah secara tafsiriah, yaitu
menerjemahkan arti ayat-ayat Alquran dimana sang penerjemah sama
sekali tidak terikat dengan lafaznya, tetapi yang menjadi perhatiannya
adalah arti Alquran diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat
oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penerjemah hanya berpegang pada
bahasa asal, memahaminya, kemudian dituangkan ke dalam bentuk
bahasa lain. Arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal, tanpa
memaksakan diri membahas dan meneliti setiap lafaz.133
Sementara itu, Rochayah Machali memaparkan pendapat NewMark
mengenai metode-metode penerjemahan. NewMark menyatakan bahwa
terdapat dua metode dalam melakukan penerjemahan, yaitu metode
yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (Bsu) dan
metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Pada
metode pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan
setepat-tepatnya
makna
kontekstual
Tsu,
meskipun
ditemukan
hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa. Pada metode kedua,
penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan
yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu. 134 Berikut
merupakan pemaparan mengenai beberapa metode penerjemahan yang
selanjutnya dipaparkan oleh Rochayah Machali berdasarkan pendapat
Newmark.
133
Ash Shabuny, Op. Cit., h. 277.
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin
menjadi Penerjemah Profesional, (Bandung: Kaifa, 2009), h. 76.
134
47
1. Penerjemahan kata demi kata
Pada metode ini, kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah
versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar konteks, dan
kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Pada
umumnya, metode ini digunakan sebagai tahap prapenerjemahan
pada penerjemahan teks yang sangat sukar.135
2. Penerjemahan harfiah
Pada metode ini, penerjemah mencari padanan konstruksi
gramatikal Bsu yang terdekat dengan Tsa. Kemudian, penerjemahan
kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini digunakan
sebagai metode tahap awal pengalihan bukan sebagai metode yang
lazim.136
3. Penerjemahan setia
Pada metode ini, penerjemah memproduksi makna kontekstual
Tsu, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata
yang bermuatan budaya dialihbahsakan, tetapi penyimpangan dari
segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Terjemahan ini
terasa kaku, sehingga harus diserasikan dengan kaidah Tsa. 137
4. Penerjemahan semantis
Pada metode ini, hasil terjemahan menjadi lebih lentur, karena
dapat dikompromikan dengan struktur gramatikal bahasa sasaran dan
masih mempertimbangkan unsur-unsur bahasa sumber selama masih
dalam batas kewajaran. Hasil terjemahannya pun lebih dapat
dimengerti.138
135
Machali, Ibid., h. 78.
Ibid.
137
Ibid., h. 79.
138
Ibid., h. 80.
136
48
5. Penerjemahan adaptasi (Termasuk Saduran)
Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan sangat bebas
dan dekat dengan bahasa sasaran. Istilah “Saduran” dapat
dimasukkan di sini asalkan dalam penyaduran, tidak mengorbankan
hal-hal penting dalam Tsu, misalnya tema, karakter atau alur.
Metode ini, biasanya dipakai untuk menerjemahkan puisi, atau
drama. Dalam terjemahan ini, terdapat peralihan budaya Bsu ke
budaya Bsa. Contoh penerjemahan ini adalah drama Shakespeare
berjudul “Machbeth” yang disadur oleh W. S. Rendra dan dimainkan
di Taman Ismail Marzuki Jakarta di tahun 1994. Rendara dalam
penyaduran drama tersebut, mempertahankan semua karakter, alur
dalam naskah asli, tetapi dialognya disesuaikan dengan budaya
Indonesia.139
6. Penerjemahan bebas
Pada metode ini, penerjemahan dilakukan dengan lebih
mengutamakan isi dengan mengorbankan bentuk teks bahasa
sumber. Metode ini biasanya berbentuk parafrase yang dapat lebih
panjang atau pendek. Beberapa ahli menyatakan bahwa terjemahan
metode ini bukan merupakan karya terjemahan karena terjadinya
perubahan yang cukup drastis.140
7. Penerjemahan idiomatik (Idiomatic translation)
Pada metode ini, penerjemah memproduksi pesan dalam teks
bahasa sumber dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan
idiomatik yang tidak terdapat dalam versi aslinya. 141
139
Machali, Ibid., h. 80-81.
Ibid., h. 81-82.
141
Ibid., h. 82.
140
49
8. Penerjemahan komunikatif
Pada metode ini, penerjemah menerjemahkan teks
dengan
memproduksi makna kontekstual sehingga baik dari aspek
kebahasaan maupun isi, langsung dapat dimengerti oleh pembaca.142
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan mengenai beberapa
metode di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat delapan metode yang
dikemukan Rochayah Machali berdasarkan pendapat Newmark, metode
yang dijelaskan pada nomor 1 sampai 4, merupakan metode yang lebih
berorientasi atau lebih menekankan ada bahasa sumber. Sementara itu,
metode yang dijelaskan pada nomor 5 sampai 8, merupakan metode yang
lebih menekankan atau lebih berorientasi pada bahasa sasaran.
Penulis juga menyimpulkan bahwa nama atau macam terjemahan, dapat
dilihat dari segi metode yang digunakan penerjemah dalam melakukan
penerjemahannya. Seperti halnya seorang penerjemah yang melakukan
penerjemahan dengan metode harfiah, maka terjemahannya dikatakan
sebagai terjemahan harfiah, begitupun yang lainnya. Beberapa pendapat
menyatakan metode terjemahan ada dua, yakni harfiah dan maknawiah,
sedangkan Newmark menyatakan metode terjemahan terbagi atas
delapan metode, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
c. Persyaratan Terjemahan
Terjemahan secara tafsiriah atau maknawiah mempunyai syaratsyarat sebagai berikut.
1) Hendaknya terjemahan dapat memenuhi semua pengertian dan
maksud dari bahasa aslinya dengan benar.
2) Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan
dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar
meskipun tanpa melihat kepada bahasa aslinya itu.
142
Machali, Ibid., h. 83.
50
Adapun persyaratan terjemahan secara harfiah adalah sebagai
berikut.
1) Kedua persyaratan tersebut di atas.
2) Kosa kata-kosa kata dalam bahasa terjemahan harus sama dengan
kosa kata-kosa kata bahasa asli.
3) Ada persamaan antara kedua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa
asli)
mengenai
kata
ganti
dan
kata
penghubung
yang
menghubungkan kosa kata-kosa kata untuk menyusun kalimat.
143
Adapun mengenai syarat-syarat terjemahan, baik terjemahan harfiah
maupun tafsiriah menurut Mohammad Aly Ash Shabuny adalah sebagai
berikut.
a. Penerjemah hendaknya mengetahui dua bahasa (bahasa asli dan
bahasa terjemahan).
b. Mendalami
dan
menguasai
uslub-uslub
dan
keistimewaan-
keistimewaan bahasa yang hendak diterjemahkan.
c. Hendaknya
shighoh
(bentuk)
terjemahan
itu
benar,
karena
kemungkinan dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya.
d. Terjemahan itu bisa memenuhi semua arti dan maksud bahasa asli
dengan lengkap dan sempurna.144
Persyaratan yang dikemukakan oleh Mohammad Aly Ash Shabuny
lebih
bersifat
umum,
menyangkut
persyaratan
terjemahan
dan
penerjemah. Sedang untuk terjemah harfiah, di samping syarat-syarat di
atas, disyaratkan pula dua syarat berikut ini.
a. Adanya kosa-kata kosa-kata yang sempurna dalam bahasa terjemahan
sama dengan kosa-kata kosa-kata bahasa asli.
143
Faridl, Loc. Cit., h. 307.
Ash Shabuny, Loc. Cit., h. 277.
144
51
b. Harus adanya persesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan
kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu jumlah dengan
jumlah yang lain untuk menyusun kalimat.145
d. Persyaratan Penerjemah
Seorang penerjemah harus mempunyai persyaratan-persyaratan
sebagai berikut.
1) Penerjemah menguasai dua bahasa; bahasa asli dan bahasa
terjemahan.
2) Menguasai
gaya
bahasa-gaya
bahasa
dan
keistimewaan-
keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.146
Sementara itu, Solihin Bunyamin Ahmad memaparkan pendapatnya
mengenai persoalan menerjemahkan Alquran. Beliau mengatakan bahwa
untuk dapat menerjemahkan Alquran, paling tidak ada beberapa langkah
yang harus dipenuhi. Pertama, menguasai komponen kalimat dalam
bahasa Arab. Kedua, menguasai kata-kata tak berubah (tak berakar kata),
seperti huruf bermakna, kata ganti, kata penghubung, dan kata tunjuk.
Ketiga, menguasai
rumus-rumus
Granada147
beserta aplikasinya.
Keempat, latihan yang istikamah meskipun sedikit.148
Selanjutnya, Solihin Bunyamin Ahmad juga memaparkan bahwa
dalam menerjemahkan Alquran, ada beberapa alat pokok yang harus
dimiliki orang yang hendak menerjemahkan Alquran, agar dapat
menerjemahkan dengan baik. Alat-alat pokok tersebut di antaranya
adalah Alquran, rumus Granada, kamus Arab-Indonesia, Alquran
145
Ash Shabuny, Ibid.
Faridl, Loc. Cit., h. 307.
147
Granada adalah salah satu metode penerjemahan Alquran yang diperkenalkan oleh Solihin
Bunyamin Ahmad, Lc., dalam bukunya Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa
Menerjemah Al-Qur‟an. Dalam metode ini, terdapat 4 langkah menerjemahkan Alquran, yaitu
menguasai komponen kalimat dalam bahasa Arab, menguasai kata-kata tak berubah, menguasai
rumus-rumus granada, dan latihan yang istikamah.
148
Solihin Bunyamin Ahmad, Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa Menerjemah
AL-Qur‟an, (Jakarta: Granada Nadia, 2001), h. 81.
146
52
terjemahan Departemen Agama, dan niat yang kuat. 149 Alat-alat tersebut,
tentu akan sangat membantu proses penerjemahan, sehingga hasil
terjemahan tidak keliru. Selanjutnya, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy
memaparkan pendapatnya mengenai hal-hal yang harus diperhatikan
seseorang yang akan menerjemahkan ayat-ayat Alquran. Beliau
menayatakan,
Jika kita hendak menterjemahkan sesuatu ayat, maka hendaklah kita
perhatikan tafsir lafadh ayat yang kita maksudkan, agar terjemahan
kita itu tepat sebagai yang dimaksud. Sering kali orang
menterjemahkan ayat dengan berpegang kepada bahasa „Arab yang
telah ada padanya, dengan tidak memperhatikan makna-makna yang
dimaksudkan dari pada kalimat-kalimat yang hendak diterjemahkan.
Lantaran inilah sering kita jumpai terjemahan yang keliru.” 150
Dengan demikian, dari beberapa penjelasan mengenai terjemahan
khususnya terjemahan Alquran, dapat disimpulkan bahwa dalam
menerjemahkan Alquran, terdapat persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi, baik dari segi terjemahan maupun penerjemah, agar hasil
terjemahan sesuai dengan isi dan maksud yang dikandung bahasa asal.
Persyaratan-persyaratan
tersebut,
harus
benar-benar
diperhatikan
penerjemah dalam menerjemahkan ayat Alquran.
e. Tahap-Tahap Penerjemahan
Rochayah Machali memaparkan bahwa terdapat tiga tahapan dalam
melaksanakan penerjemahan. Tahapan-tahapan tersebut di antaranya
adalah tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian. Adapun penjelasan
mengenai tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tahap Analisis
Pada tahap analisis teks yang akan diterjemahkan, terdapat
pedoman sederhana yang dapat kita manfaatkan. Rochayah Machali
mengutip
pendapat
Halliday dan
Hasan
yang
menyarankan
penggunaan tiga unsur penting dalam menganalisis teks, yaitu field
149
Ibid., h. 81-82.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), h. 208.
150
53
(pokok masalah), tenor (suasana umum), dan mode (cara).151 Analisis
teks perlu dilakukan oleh penerjemah agar teks sumber dapat
dipahami benar isinya, terutama dari segi field, dan agar teks sumber
dapat dipahami bentuknya, baik dari segi cara penyampaian (mode)
maupun dari segi pencerminan (tenor) dalam kalimat.152
2. Tahap Pengalihan
Sesudah tahap analisis teks selesai dilakukan, maka selanjutnya
yang harus dilakukan penerjemah adalah tahap pengalihan. Tahap
pengalihan ini berarti mengalihkan teks sumber ke dalam teks sasaran.
Tahap pengalihan ini sebagai upaya menggantikan unsur Tsu dengan
unsur Tsa yang sepadan. Pada tahap ini, maksud yang disampaikan
dalam Tsu harus sepadan dengan maksud dalam Tsa.153 Hal yang
perlu diperhatikan adalah apabila Tsu yang diterjemahkan sangat
sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda dan emosi, dan
sebagainya, maka penerjemah dapat mengulang secara terus menerus
dari tahap analisis ke pengalihan, begitu pula sebaliknya. 154
3. Tahap Penyerasian
Setelah tahap analisis dan pengalihan dilaksanakan dengan baik,
maka selanjutnya beralih ke tahap penyerasian. Pada tahap ini,
penerjemah dapat menyesuaikan bahasanya yang dirasa masih kaku
untuk disesuaikan dengan bahasa sasaran. Pada tahap ini, penerjemah
sudah tidak lagi kembali ke tahap sebelumnya yakni tahap analisis dan
pengalihan karena tahap sebelumnya sudah dilaksanakan dengan baik,
dan tahap penyerasian merupakan tahap akhir. Pada tahap ini,
penerjemah dapat melakukan penyerasian sendiri atau dengan bantuan
orang lain. Namun, akan lebih baik jika penyerasian dilakukan oleh
orang lain. Alasannya, penerjemah biasanya merasa sulit mengoreksi
151
Machali, Op. Cit., h. 65.
Ibid., h. 67.
153
Ibid., h. 60-61
154
Ibid., h. 64.
152
54
pekerjaannya sendiri karena merasa terjemahannya sudah bagus dan
memakai peristilahan yang tepat. Penerjemahan sebaiknya dilakukan
oleh suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah hanya bertugas
menerjemahkan sedang penyerasian dilakukan oleh orang lain.
Namun, tidak ada salahnya jika penerjemah yang melakukan
penyerasian
terhadap
hasil
terjemahannya.
Hanya
saja,
teks
terjemahannya harus disimpan beberapa lama agar si penerjemah lupa
atau tidak ingat lagi proses pengambilan keputusan pada saat
menerjemahkan.155
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang
hendak melakukan penerjemahan, terdapat tiga tahap yang harus
dilewati, yaitu tahap analisis, pengalihan, dan penyerasian.
4. Alquran
a. Pengertian Alquran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alquran bermakna kitab
suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw., dengan perantaraan malaikat Jibril, untuk
dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman
hidup bagi umat manusia.156 Sementara itu, A. Aziz Salim
Basyarahil mengetengahkan pengertian Alquran yang lebih singkat,
beliau memaparkan bahwa Alquran adalah kalam ilahi yang
diwahyukan kepada Rosulullah.157 Selanjutnya, Mudzakir AS
memaparkan pendapat para ulama yang menyebutkan bahwa
Alquran merupakan kalam atau firman Allah yang diturunkan
155
Machali, Ibid., h. 64-65.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 44.
157
A. Aziz Salim Basyarahil, 33 Masalah Agama, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 27.
156
55
kepada Nabi Muhammad Saw., mukjizat lafaz dan mmaknanya,
yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.158
Harry
Gaylord
Dorman,
dalam
bukunya
Towards
Understanding Islam mengatakan,
Kitab Quran ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan
oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya. Ia merupakan suatu
mukjizat yang tetap aktual hingga kini untuk membuktikan
kebenarannya dan kebenaran Muhammad. Mutu keajaiban
terletak pada gayanya yang begitu sempurna dan agung, sehingga
tidak mungkin ada seorang manusia atau setan sekalipun yang
dapat mengarang satu surat, walau yang terpendek, dapat
menandinginya; dan sebagian dari keajaibannya lagi terletak pada
isi ajarannya, nubuatnya tentang masa depan, dan keteranganketerangan yang demikian tepatnya, sehingga meyakinkan bahwa
tidak mungkin Muhammad yang buta huruf itu dapat menulis
sendiri.159
Di lain pihak, Abdul Hamid menyatakan bahwa Alquran bagi
kaum muslimin merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril. Alquran
memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa, berada di luar
kemampuan seluruh makhlukNya.160 Lebih lanjut, Baharudin Lopa
memaparkan bahwa Alquran merupakan petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa. Segala gerak kehidupan manusia di dunia, sudah
dijelaskan oleh Allah dalam Alquran. Manusia diberi kebebasan oleh
Allah, untuk memilih tindakannya. Kebebasan itu dibatasi oleh
tanggung jawab manusia sesuai dengan petunjuk Alquran dalam
memanfaatkan kebebasan tersebut.161
Dengan demikian, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
Alquran merupakan pedoman hidup umat manusia untuk mencapai
158
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj. dari
Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007), Cet. 10,
h. 444.
159
Syahminan Zaini dan Ananto Kusuma Seta, Bukti-Bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu
Allah, (Malang: Kalam Mulia Jakarta, 1986), h. 43.
160
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Pranadamedia Group, 2016), h. 1.
161
Baharuddin Lopa, Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1996), h. 19.
56
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya, hanya
harus disertai dengan tanggung jawab masing-masing. Allah telah
menunjukkan jalan yang baik dan buruk.
b. Isi Kandungan Alquran
Drs. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Ulumul Quran
mengatakan bahwa isi ajaran Alquran pada hakikatnya mengandung
lima prinsip, tujuan pokok diturunkan Alquran kepada Nabi
Muhammad SAW untuk diteruskan kepada umat manusia dan
menyampaikan lima prinsip yang terdapat di dalam Alquran sebagai
berikut.
a) Tauhid (doktrin tentang kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b) Janji dan ancaman Tuhan.
c) Ibadah.
d) Jalan dan cara mencapai kesuksesan.
e) Cerita-cerita atau sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi
Muhammad.162
Selain Drs. Masjfuk Zuhdi, Edward Gibbon, seorang sejarawan
termasyhur karena karyanya The History of the Decline and Fall of
the Roman Empire mengatakan,
Alquran itu tidak hanya memuat perkara agama saja akan tetapi
juga memuat hukum syariah dan segala yang tertulis di dalamnya
itu adalah pangkal peradaban. Alquran adalah suatu kitab agama,
kitab kemajuan, kitab kenegaraan, persaudaraan, kemahkamahan,
dan undang-undang ketentaraan dalam Islam. Alquran
mengandung mulai dari soal ibadah sampai kepada pekerjaan
sehari-hari, dari membicarakan soal kerohanian sampai
membicarakan soal kejasmanian, dari hak-hak umat hingga hakhak dari anggota daripadanya, dari membahas soal perangai
hingga membahas soal hukum siksa, dari soal dunia hingga soal
pembahasan alam di akhirat nanti. Semua itu ada disebut di
dalamnya.163
162
163
Zaini, Op. Cit., h. 35.
Ibid., h. 38.
57
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa Alquran adalah firman Allah yang telah
menyatakan kelengkapan isinya dan dapat menjelaskan segala
sesuatu persoalan yang pernah, sedang, dan akan dihadapi manusia
dalam kaitannya dengan sistem Tuhan, manusia, dan alam.
B. Penelitian Relevan
Penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan penulis lakukan di
antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Skripsi Ahmad Muh. Ikhlas, berjudul “Transformasi Nilai-Nilai
Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah
Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Jurusan Alquran dan Tafsir, 2016.
Tujuan skripsi ini adalah untuk membedah transformasi melalui
pendekatan stilistik, dengan metode komparasi. Persamaan dengan
penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti AlQurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaan
terletak pada segi fokus penelitian. Muh. Ikhlas meneliti tentang
transformasi nilai-nilai estetis Alquran dalam terjemahan puitis ayatayat qisas, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada terjemahan surah
Ar-Rahman.164
2.
Skripsi Nuri Qomariah Maritta, berjudul “Konsep Geologi Laut dalam
Al-Quran dan Sains; Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat AnNaml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir
Hadis, 2010. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
164
Ahmad Muh. Ikhlas, “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam Terjemahan Puitis
Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān Al-Karīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”,
Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak Dipublikasikan.
58
metode kepustakaan. Adapun metode penafsirannya menggunakan
metode maudhu‟i, dan metode dekriptif kualitatif dalam pembahasan.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah fokus
penelitian. Maritta meneliti tentang Konsep Geologi Laut dalam
Al-Quran dan Sains, sedang penulis meneliti gaya bahasa pada
terjemahan surah Ar-Rahman.165
3.
Skripsi Siti Rohmanatin Fitriani, berjudul “Perbandingan Penafsiran
A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an
Al-Karīm Bacaan Mulia”, Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarya, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis,
2003. Tujuan dari skripsi ini adalah meneliti aspek-aspek metodologi
penafsiran yang digunakan A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan H.
B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia, persamaan dan
perbedaan penafsiran, dan implikasi perbedaan dan persamaan
tersebut pada hasil penafsiran. Adapun metode yang digunakan adalah
metode deskriptif-komparatif. Persamaannya dengan penelitian yang
dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, sedang perbedaannya adalah pada
fokus penelitian. Fitriani meneliti perbandingan penafsiran A. Hassan
dalam Tafsīr Al-Furqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm
Bacaan Mulia, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah
Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.
Jassin.166
165
Nuri Qomariah Maritta, “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains; Analisa Surat ArRaẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat Al-Furqân [25]:53”, Skripsi, (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Tidak Dipublikasikan.
166
Siti Rohmanatin Fitriani, “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr Al-Furqān dan
H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarya, 2003), Tidak Dipublikasikan.
59
4.
Skripsi Muhammad Mujadid Syarif, berjudul “Hikmah Tikrar dalam
Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan AlMisbah)”, Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau,
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, 2015. Metode yang
digunakan adalah metode muqaran, yaitu menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai kata secara berurutan, kemudian membandingkan
penafsiran antara tafsir Al-Azhar dan tafsir Al-Misbah. Tujuan skripsi
ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis tikrar dalam surah Ar-Rahman
dan mengetahui penafsiran Buya Hamka dan Quraish Shihab tentang
ayat tikrar dalam surah Ar-Rahman. Persamaannya dengan penelitian
yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman,
sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Syarif meneliti
hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah,
sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman
dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.167
5.
Jurnal Fadhli Lukman, berjudul “Epistemologi Intuitif dalam Resepsi
Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an”, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Metode yang digunakan dalam
penulisan jurnal ini adalah metode deskriptif-analitis. Persamaannya
dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti
surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian.
Syarif meneliti hikmah tikrar dan perbandingan tafsir Al-Azhar dan
Al-Misbah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.
Jassin.168
167
Muhammad Mujadid Syarif, “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi Komparatif
Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Sunan Syarif Kasim Riau,
2015), Tidak Dipublikasikan.
168
Fadhli Lukman, Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur‟an,
Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies, 2015, pp. 37-55.
60
6.
Skripsi Adelina Qurrotul Aini, berjudul “Pertemuan Dua Laut Dalam
QS. ar-Rahmān (Analisis QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut
Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”, Program
Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Jurusan Ushuluddin , Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Kudus. 2016. Persamaannya dengan penelitian
yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman,
sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Aini meneliti
pertemuan dua laut dalam surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti
gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.169
7.
Skripsi Irfan Afandi berjudul “Al-Idafah fi Surah Al-Rahman Dirasah
Nahwiah”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011. Pada penelitian ini,
peneliti mencari kemudian memetakan dan menganalisis surat ArRahman yang masuk dalam kategori idhofah. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teori sintaksis.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya adalah pada
fokus penelitian. Afandi meneliti Al-Idafah fi Surah Al-Rahman
Dirasah Nahwiah, sedang penulis meneliti gaya bahasa terjemahan
surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H.
B. Jassin.
8.
Skripsi Nurus Saniyatin Rofi‟ah, berjudul “Konsep Pendidik Menurut
Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 1-4”, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, Semarang, 2013. Skripsi ini membahas tentang konsep
pendidik menurut Al-Qur‟an surah Ar-Rahman ayat 1-4. Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui adanya konsep pendidik dalam Al-Qur‟an
169
Adelina Qurrotul Aini, “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis QS. arRahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”,
Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2016), Tidak Dipublikasikan.
61
surah Ar-Rahman ayat 1-4. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan. Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam surah ArRahman ayat 1-4 terdapat beberapa konsep pendidik, meliputi: (1)
Pendidik yang memiliki kepribadian kasih sayang, (2) Pendidik harus
berilmu pengetahuan, (3) Pendidik yang dapat mengembangkan
potensi anak didiknya, (4) Pendidik yang memiliki keahlian
berinteraksi. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis
adalah sama-sama meneliti surah Ar-Rahman, sedang perbedaannya
adalah pada fokus penelitian. Rofi‟ah meneliti konsep pendidik
menurut surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti gaya bahasa
terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qurân Al-Karîm Bacaan
Mulia karya H. B. Jassin.170
9.
Skripsi Yusie Nilam Sari, berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang
Terkandung dalam Surat Ar Rahman Ayat 1-4”, Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, Tahun 2013. Adapun hasil
dari penelitian tersebut adalah dalam surah Ar-Rahman ayat 1-4,
terdapat nilai-nilai pendidikan, yaitu pendidikan kasih sayang yang
sungguh merupakan rahmat yang seharusnya menjadi aset kita untuk
memulai apapun karena dengan kasih sayang hidup penuh dengan
cinta dan kebahagiaan, pendidikan syukur, yang mengajarkan kita
untuk selalu bersyukur atas kemurahan nikmat-nikmat Allah yang
selalu tercurah kepada hambaNya yang mau bersyukur, pendidikan
Alquran, penting dimiliki karena ia merupakan pondasi kurikulum
pendidikan di dunia Islam dan merupakan syiar agama yang mampu
menguatkan aqidah dan mengokohkan iman, pendidikan kreativitas
yang
memberi
kesempatan
kepada
peserta
didik
untuk
mengembangkan potensi kreatifnya, pendidikan bebas berpendapat
170
Nurus Saniyatin Rofi‟ah, “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah Ar-Rahman Ayat 14”, Skripsi, (Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2013), Tidak Dipublikasikan.
62
merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, yaitu kebebasan
manusia untuk menyampaikan aspirasi, inovasi, dan gagasan secara
menyeluruh yang dilakukan dengan berbagai cara yang diizinkan.
Yusi meneliti surah Ar-Rahman, sedang penulis meneliti terjemahan
surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H.
B. Jassin. Selanjutnya, Yusie juga meniliti tentang nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam surah Ar-Rahman, sedangkan
penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman.171
10. Tesis dari Suniarti Sunny, S. Pd. I., yang berjudul “Gaya Bahasa
dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, program studi Agama
dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan gaya
bahasa dan makna dalam surah Ar-Rahman. Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah Metode simak yang terdiri atas teknik
sadap, simak bebas libat cakap, dan teknik catat. Metode analisisnya
dengan
menggunakan
purposive
sampling
yaitu
dengan
mengumpulkan data-data kemudian diklasifikasikan dan dianalisis.
Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah pertama, ditemukannya
gaya bahasa berdasarkan nada, yakni ditemukan gaya bahasa
sederhana, mulia, dan bertenaga. Kedua, gaya bahasa berdasarkan
struktur kalimat, ditemukan gaya bahasa klimaks, antiklimaks,
repetisi, paralelisme, dan antitesis. Ketiga, gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna, ditemukan gaya bahasa retoris dan kiasan.
Adapun persamaannya dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu
dari segi subjeknya sama-sama meneliti gaya bahasa, hanya saja
perbedaannya terletak pada segi objeknya, Suniarti meneliti gaya
bahasa pada Alquran surah Ar-Rahman, sedangkan penulis meneliti
171
Yusie Nilam Sari, “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat Ar Rahman
Ayat 1-4”, Skripsi, (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2013), Tidak
Dipublikasikan.
63
gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman pada Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.172
11. Skripsi Deni Wahyudin, berjudul “Analisis Homonim terhadap Kata
Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan
Mahmud Yunus)”, Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Tujuan skripsi tersebut adalah
mengetahui perbedaan makna antara dua versi terjemahan terhadap
dua ayat tersebut, mengetahui pengaruh terjemahan terhadap teologi
umat Islam. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari skripsi ini adalah hasil
terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus secara makna sama,
sehingga menimbulkan pemahaman yang sama ketika membacanya.
Hal yang membedakannya adalah dalam gaya bahasa dan diksi saja.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah samasama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin,
sedang perbedaannya adalah pada fokus penelitian. Wahyudin
meneliti homonim terhadap kata kufr dalam Alquran (Studi
Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus), sedang
penulis meneliti gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQurân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin173
12. Skripsi Nasrulloh, berjudul “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim
Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin (Analisis terhadap Karya H. B.
Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan
Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Jurusan
Terjemah, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003. Adapun tujuan dari skripsi ini yaitu: (1) dapat
172
Suniarti Sunny, “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”, Tesis,
(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), Tidak Dipublikasikan.
173
Deni Wahyudin, “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi Komparatif:
Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”, Skripsi, ( UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010),
Tidak Dipublikasikan.
64
menambah wawasan tentang berbagai pola penerjemahan Alquran; (2)
mengetahui tentang penggunaan dan pemilihan kata yang dipakai
dalam melakukan kegiatan penerjemahan kitab sehingga dapat
ditentukan penerjemahan yang baik; (3) Sebagai upaya memahami
substansi yang terkandung pada tiap-tiap ayat dalam surah Ar-Rahman
dan berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan datanya adalah
menggunakan metode dokumenter, yaitu mencari data dari dokumendokumen yang berkaitan dengan H. B. Jassin terutama yang bertajuk
hasil terjemahannya. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan
penulis adalah sama-sama meneliti Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia
karya H. B. Jassin dan surah Ar Rahaman. Perbedaannya adalah
Nasrulloh melakukan perbandingan dengan terjemahan Departemen
Agama
Republik
Indonesia,
sedang
penulis
tidak
meneliti
perbandingan tersebut. Penulis memfokuskan analisis pada gaya
bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia.174
Itulah beberapa penelitian sebelumnya yang hampir serupa dengan
penelitian penulis. Adapun penelitian yang dilakukan penulis adalah
“Gaya Bahasa Terjemahan Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”.
174
Nasrulloh, “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin
(Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan Perbandingannya dengan
Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia)”, Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2003), Tidak Dipublikasikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Nana Syaodih
Sukmadinata menyatakan, “Penelitian kualitatif (Qualitative research) adalah
suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran
secara individual maupun kelompok.”175 Lebih lanjut, beliau juga menyatakan,
“Penelitian deskriptif (Descriptive research) adalah suatu metode penelitian yang
ditujukan
untuk
menggambarkan
fenomena-fenomena
yang
ada,
yang
berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.”176 Pada penelitian ini, hal yang
dianalisis dan dideskripsikan adalah fenoma penggunaan bahasa secara tertulis,
yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan Alquran surah Ar-Rahman
dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.
Penelitian kualitatif mempunyai dua tujuan, yaitu menggambarkan dan
mengungkapkan dan menggambarkan dan menjelaskan.177 Sesuai dengan tujuan
tersebut, pada penelitian ini penulis juga menggambarkan, mengungkapkan, dan
menjelaskan bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin dan implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dengan menggunakan
deskripsi kata-kata. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, pada bab ini
penulis paparkan mengenai hal-hal berikut.
A. Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumendokumen tertulis dan manusia. Data-data tersebut terbagi menjadi dua bagian,
yaitu data primer dan sekunder. Data primer pada penelitian ini bersumber
175
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. VIII, h. 60.
176
Ibid., h.54.
177
Ibid., h. 60.
65
66
dari dokumen tertulis, yaitu terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân
Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Adapun data sekunder, selain
bersumber dari data tertulis seperti buku-buku, jurnal, kitab-kitab, dan tafsirtafsir yang relevan dengan penelitian, juga bersumber dari manusia, seperti
pemaparan dari ahli atau guru agama Islam terkait surah Ar-Rahman,
khususnya mengenai gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pengamatan. Dalam penelitian bahasa, metode pengamatan disebut
dengan metode “simak” yang dapat dilakukan dengan memaksimalkan
pancaindra.178 Dinamakan metode simak, karena cara yang digunakan untuk
memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah
menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara
lisan, tetapi juga secara tulisan.179 Metode simak memiliki teknik dasar yang
disebut dengan teknik sadap. Dalam praktiknya, teknik sadap ini kemudian
diikuti oleh teknik lanjutan, yang berupa teknik catat dan teknik rekam.180
Data-data yang bersumber dari dokumen tertulis, baik data primer
maupun sekunder, dikumpulkan menggunakan metode simak, dengan teknik
sadap dan catat. Dalam hal ini, penulis mengamati penggunaan bahasa pada
dokumen-dokumen tertulis dan melakukan penyadapan terhadap dokumen
yang relevan dengan penelitian. Sementara itu, data-data yang bersumber dari
manusia, dikumpulkan dengan menggunakan metode simak libat cakap,
teknik sadap, catat, dan rekam. Dalam hal ini, penulis tidak hanya melakukan
penyimakan dan penyadapan penggunaan bahasa secara lisan, melainkan ikut
terlibat dalam pembicaraan tersebut, yang juga disertai dengan kegiatan
pencatatan dan perekaman ketika proses pembicaraan dimulai. Perekaman
178
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.168.
Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 132-133.
180
Ibid., h. 133.
179
67
dilakukan agar penulis dapat mendengarkan dan mengingat kembali kegiatan
yang telah dilaksanakan dengan informan. Adapun kegiatan pembicaraan
yang dimaksud penulis adalah kegiatan mengaji bersama guru agama Islam
atau ahli agama yang memaparkan penjelasan mengenai kajian surah ArRahman.
C. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode analisis isi atau dokumen dan deskriptif. Analisis
dokumen adalah kajian atas dokumen yaitu tulisan yang memberikan catatan
atau bukti tentang sesuatu.181 Metode tersebut digunakan untuk membedah
bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, mengidentifikasi makna
yang terkandung dalam gaya bahasa, maksud yang terkandung dalam ayat,
fungsi atau kedudukan gaya bahasa dalam struktur kalimat bahasa Indonesia
dan kalimat bahasa Arab, dan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain,
seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia dan Mahmud
Yunus. Bentuk penggunaan gaya bahasa yang diperoleh, diberikan
pengkodean
dalam
bentuk
angka,
untuk
selanjutnya
didaftar
dan
diklasifikasikan menurut jenis-jenis gaya bahasa dari teori yang dijadikan
pedoman. Setelah itu, data akan dianalisis lebih lanjut dan mendalam.
Adapun data berupa bentuk penggunaan gaya bahasa tersebut, akan disajikan
dengan menggunakan metode deskriptif. Mulyana menyatakan, “Metode
desktiptif dapat digunakan untuk memerikan, menggambarkan, menguraikan,
dan menjelaskan fenomena objek penelitian.”182 Metode deskriptif dilakukan
penulis untuk menggambarkan, memaparkan, dan menjelaskan bentuk
penggunaan gaya bahasa surah Ar- Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penjelasan atau penggambaran tersebut
181
Kinayati Djojosuroto dan M. L. A. Sumaryati, Bahasa dan Sastra: Penelitian, Analisis, dan
Pedoman Apresiasi, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2014), Cet. IV, h.152.
182
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), Cet. I, h. 83.
68
dipaparkan dengan menggunakan kata-kata bukan dalam bentuk angka.
Setelah analisis selesai dilakukan, penulis memaparkan mengenai implikasi
dari penelitian gaya bahasa surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia karya H. B. Jassin, terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah. Terakhir, adalah pemaparan simpulan dan saran.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Biografi H. B. Jassin
H. B. Jassin memiliki nama lengkap Hans Bague Jassin. H. B. Jassin
lahir di Gorontalo, Sulawesi, 31 Juli 1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret
2000. H. B. Jassin berpendidikan HIS Gorontalo (1932), HBS-B 5 tahun di
Medan (1939), tamat Fakultas Sastra UI (1957), kemudian memperdalam
pengetahuan di Universitas Yale, AS (1958-1959) dan menerima Doctor
Honoris Causa dari UI (1975).183 Sebagai seorang penggiat sastra, H. B.
Jassin pernah menjadi pegawai Kantor Asisten Residen Gorontalo (1939),
redaktur Balai Pustaka (1940-1942), dosen Fakultas Sastra UI (1953-1959,
sejak 1973 hingga pensiun menjadi Lektor tetap), dan pegawai Lembaga
Bahasa Nasional (sekarang: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional;
1954-1973). H. B. Jassin pernah pula menjadi redaktur Pujangga Baru (19401942), Panji Pustaka (1942-1945), Panca Raya (1945-1947), Mimbar
Indonesia (1947-1956), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (19521963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969),
Medan Ilmu Pengetahuan, Buku Kita, Horison (1966-2000), dan Bahasa dan
Sastra (1975). Selain itu, H. B Jassin juga menjadi anggota Akademi Jakarta
sejak 1970 dan Ketua Yayasan Dokumentasi H. B. Jassin sejak 1976. 184
Lebih lanjut, John H. McGlynn menyatakan bahwa H. B. Jassin telah dan
hampir sendirian merencanakan jalur dan mendokumentasikan perkembangan
sastra Indonesia. Pekerjaan tersebut, sungguh sangat berharga dan berarti,
secara khusus bagi mereka yang mempelajari sastra Indonesia kontemporer.
Dokumentasinya sangat cermat dan mendalam, menyediakan bahan yang
sangat diperlukan dalam pembelajaran sejarah kesusastraan Indonesia. 185
183
Setiawan, dkk., Op. Cit., h. 14-15.
Ibid., h. 15.
185
John H. McGlynn, Bahasa dan Sastra, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 106.
184
69
70
Tahun 1969-1970, H. B. Jassin diajukan ke pengadilan guna
mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki
Panji Kusmin yang dimuat majalah Sastra edisi Agustus 1968. Adapun
perkara mengenai cerpen Langit Makin Mendung, dikenal sebagai peristiwa
“Heboh Sastra”, karena pemuatan cerpen tersebut banyak menimbulkan
protes di kalangan masyarakat Islam, seperti masyarakat Islam di Sumatra
Utara. Peristiwa tersebut, menarik perhatian banyak orang karena melibatkan
seorang tokoh penting dan terkenal dalam sastra yaitu H. B. Jassin. Peristiwa
yang dikenal sebagai “Heboh Sastra” tersebut, kemudian dimuat dalam buku
Pledoi Sastra Kontroversi Cerpen Langit makin Mendung Karya Ki Panji
Kusmin (2004) karya Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani. H. B. Jassin
pun menulis buku Heboh sastra 1968: Suatu Pertanggungjawaban (1970).186
Adapun karya-karya H. B. Jassin, di antaranya adalah Tifa Penyair dan
Daerahnya (1952), Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV (1954,1967), Heboh Sastra 1968 (1970), Sastra Indonesia Sebagai Warga
Sastra Dunia (1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), dan SuratSurat 1943-1983 (1984).187 Selain itu, ada juga buku dan bunga rampai yang
disuntingnya dan buku hasil terjemahan-terjemahannya. Di antara hasil
terjemahannya adalah Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Kematian Arsiti,
istrinya, menjadi salah satu latar belakang H. B. Jassin dekat dengan Alquran
dan memutuskan untuk membuat terjemahan Alquran versinya, yaitu dengan
menggunakan bahasa sastra yang indah. Setelah kematian istrinya, H. B.
Jassin merasa terpukul dan sulit menerima kenyataan. Lebih-lebih, seminggu
setelah kematiannya, yaitu setelah orang-orang yang mengajikannya telah
bubar. Kesepian tersebut benar-benar membuat H. B Jassin tambah bersedih
dan dari sana timbullah satu dorongan yang kuat dalam dirinya untuk
melanjutkan sendiri kegiatan mengaji. Di malam ke delapan itu, H. B. Jassin
mengaji dengan niat memberikan sedekah untuk istrinya yang telah tiada.
Dari satu ayat, dua ayat, sampai selanjutnya H. B. Jassin merasa asyik. Dari
186
Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 88-89.
187
Setiawan, dkk., Loc. Cit., h. 15.
71
membaca itulah, kemudian H. B. Jassin mulai ingin mengetahui artinya. Di
sana, H. B. Jassin menemukan sesuatu yang luar biasa, yaitu bahasa yang
begitu indah, membuat H. B. Jassin semakin yakin bahwa tidak mungkin
manusia yang menciptakannya. Akhirnya, H. B. Jassin pun memahami dan
meresapi firman-firman Allah yang telah masuk ke dalam jiwanya. 188
Setelah H. B. Jassin melarutkan diri dalam ayat-ayat Alquran yang begitu
indah, dalam, tinggi, dan luas, timbul dalam hatinya bahwa segala sesuatu
memerlukan pemikiran-pemikiran. Di dalam ayat-ayat Alquran, H. B. Jassin
menemukan berbagai persoalan untuk mengenal lebih dalam tentang pribadi
dan permasalahan. Hal tersebut, membuat H. B. Jassin tidak lagi goyah,
menghafal surah-surah, zikir, dan mengucapkan asma Allah, hingga setiap
saat H. B. Jassin selalu merasa dilindungi. Dari membaca dan memahami
Alquran inilah timbul keinginan untuk membuat terjemahan dengan bahasa
yang puitis. Setelah melewati proses lebih dari 15 tahun, terjemahan itu dapat
terbit, Bacaan Mulia.189 Ide mengenai menerjemahkan Alquran, sebenarnya
jauh-jauh hari telah terlintas dalam benak H. B. Jassin, yaitu ketika tahun
1953 mengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia, di samping sebagai
seorang mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa sastra, diwajibkan pula
belajar bahasa Arab, Sansekerta, dan Jawa.190
Pikiran untuk menerjemahkan Alquran secara puitis timbul pada diri
H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy
Quran yang diperoleh dari Haji Kasim Mansur, tahun 1969. Itulah terjemahan
yang dirasa H.B. Jassin paling indah disertai keterangan-keterangan yang
indah dan universal sifatnya. Dalam menerjemahakan Alquran, H.B. Jassin
bertolak dari kitab induk Alquranulkarim dan di samping itu menggunakan
sebagai perbandingan, yaitu terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa asing
dan bahasa Indonesia, juga beberapa kamus Arab-Inggris. H.B. Jassin
memaparkan bahwa terjemahannya bukanlah dari terjemahan Yusuf Ali
188
H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 152.
Ibid., h. 152-153.
190
Ibid., h. 155.
189
72
ataupun terjemahan lainnya. Susunan sajak terjemahan dalam bahasa
Indonesia adalah susunannya, sedang susunan sajak dalam bahasa Arab
disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam bahasa Indonesia.191
Berikut penulis sajikan beberapa sumber bacaan yang dijadikan referensi H.
B. Jassin dalam menerjemahkan Alquran.
a. Alquran
Al-Quranu‟l karim teks Arab dipergunakan sebagai induk.
b. Terjemahan-Terjemahan
1. Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur‟an. Dar al Arabia, Beirut,
Lebanon. 1968.
2. Al-Qur‟an Terdjemah Indonesia, karya Angkatan Darat. 1970.
3. Amir-Ali, Hasyim. The Message of the Qur‟an. Presented in
Perspective. Charles E. Tuttle Company, Rutland, Vermont & Tokyo.
Japan. 1974.
4. Arberry, Arthur J. The Koran Interpreted. OUP London. 1971.
5. Bakry, H.M. Kasim, Imam M. Nur Idris, dan A.Dt. Madjoindo. AlQuranul-Hakim beserta Terdjemah dan Tafsirnja. Penerbit Djambatan.
Jil. I 1961. Jil. II 1964. Mestinya 6 jilid; jilid-jilid berikutnya belum
terbit.
6. Bell, Richard. The Qur‟an. Translated with a critical rearrengement of
the Surahs. T. & T. Clark, Edinburgh, repr. 1960. 1st pr. 1937.2 vols.
7. Blachere, Regis. Le Coran. G. P. Maisonneuve & Larose, Paris. 1966.
8. Dawood, N.J. The koran. Penguin Books, repr. 1971. 1st publ. 1956.
9. Depatermen Agama. Al-Quraan dan Terdjemahannya. Penerbit:
Proyek Penerbitan Kitab Suci Al-Qur‟an Departemen Agama (1972).
10. Hamidy, H. Zainudin dan Fachruddin Hs. Tafsir Quran. Penerbit
Widjaya, Djakarta, 1961, cet. 3. Cet 1?
11. Hassan, A. Al-furqan. Tintamas, Djakarta, 1962, Cet. 4. Cet. 1
diterbitkan oleh Firma Salim Nabhan, Surabaja, 1953 (?)
191
H. B. Jassin, Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia Ibid., h.24-25.
73
12. Joenoes, Mahmoed. Tafsir Quran Karim. Pustaka Mahmudiah, Jakarta,
cet. 10, 1961. Cet. 1, 1938.
13. Kramers, J. H. De koran. Agon Elsevier, Amsterdam/Brussel, 1969.
14. Paret, Rudi . Der Koran. Uebersetzung. W. Kohlhammer Verlag,
Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971.
15. Paret, Rudi. Der Koran Kommentar und Konkordanz, W. Kohlhammer
Verlag. Stuttgart Berlin Koeln Mainz, 1971.
16. Pickthall, M. The Meaning of the Glorious Koran. The New American
Library. New York, 1936.
17. Rodwell, J. M. The Koran. Everyman‟s Library No. 380. Repr. 1850.
1st pr. 1909.
18. Sale, George. The koran. Translated into English from the original
Arabic. Frederick Warne and Co. Ltd. London and New York, t.t.
19. Zafrulla Khan, Muhammad. The Quran. Curzon Press, London-Dublin,
1972. Cet. 2.
c.
Sejarah dan Pengantar Tafsir
1.
Aboebakar, H. Sedjarah Al-Qur‟an. Sinar-Bupemi, Surabaja-Malang,
1956, cet. 4. Cet. 1 1948.
2.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
Penerbit Bulan Bintang, Djakarta. 1965, cet. 4.
3.
ʼ Azzam, Abd-al-Rahman. The Eternal Message of Muhammad. A
Mentor Book, 1965.
4.
Beeston, F. L. Baidawi‟s Commentary on Surah 12 of the Quran.
OUP London,1963.
5.
Watt, W. Montgomery
:
Bell‟s
Introduction
to
the
Qur‟an.
Edinburgh University Press, Edinburgh, 1970. Companion to the
Qur‟an. Based on the Arberry Translation. George Allen and Unwin
Ltd., 1967.
74
d. Kamus dan Konkordansi
1.
Flugel, Gustavus. Corcordantiae Corani Arabicae, 1842.
2.
Hava S. J., J. G. Arabic-English Dictionary. Catholic Press, Beirut,
1951.
3.
Penrice, John. A Dictionary and Glossary of the Koran. Curzon Press
Ltd. New Edition 1971. 1 st publ. 1873.
4.
Salmone, H. Anthony. An advanced Leaner‟s Arabic-English
Dictionary. Libairie du Liban, Beirut, 1972.192
Itulah sumber-sumber bacaan yang digunakan H. B. Jassin dalam
menerjemahkan Alquran. Jassin belajar mendalami agama Islam, mendalami
Alquran, dan membaca banyak buku-buku terjemahan Alquran dan tafsir-tafsir
selama lebih dari 10 tahun. H.B. Jassin belajar bahasa Arab dari A.S. Alatas dan
agama Islam dari Prof. Hussein Djajadiningrat. Terutama berkat Arabic Grammar
karangan Thatcher.193
B. Surah Ar-Rahman
1.
Hubungan Surah Ar-Rahman dengan Surah Sebelumnya
Surah Ar-Rahman terdiri atas 78 ayat, termasuk golongan surahsurah madaniah, diturunkan setelah surah Ar-Ra‟du. Dinamakan “ArRahman”, karena diambil dari perkataan “Ar-Rahman” yang terdapat
pada ayat pertama surah ini. Ar-Rahman adalah salah satu dari namanama Allah Swt. Sebagian besar ayat dari surat ini, menerangkan
kepemurahan Allah Swt kepada hambaNya, yaitu dengan memberikan
nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat.194
Ahmad Mustafa Al-Maragi, dalam tafsir Al-Maragi memaparkan bahwa
surah Ar-Rahman, memiliki hubungan dengan surah sebelumnya, yaitu
192
H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), Cet. 3, h. 890-
891.
193
H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur`anulkarim Bacaan Mulia, Op. Cit., h.71.
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha
Putra, 1971), h. 884.
194
75
surah Al-Qamar. Adapun hubungan-hubungan tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Pada surah Ar-Rahman, terdapat rincian tentang orang-orang yang
berdosa dan bertakwa.
b. Pada surah lalu (Al-Qamar), Allah menyebutkan bermacam-macam
bencana yang menimpa umat telah lalu, dan menerangkan di setiap
macam
bencana
tersebut,
bahwa
Alquran
benar-benar
telah
dimudahkan untuk mengingatkan, menyadarkan, dan mengancam
manusia. Sementara itu, pada surah Ar-Rahman, Allah menyebutkan
tentang bermacam-macam nikmat di dunia dan di akhirat.
c. Firman Allah surah Ar-Rahman, seolah merupakan jawaban atas
pertanyaan, “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa
itu?” juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi
dengan RahmatNya?” 195
Selanjutnya, TM Hasbi Ash Shiddieqi memaparkan bahwa surah ArRahman membicarakan mengenai nikmat-nikmat Allah, dimulai dari
nikmat paling besar yang diberikan Allah kepada manusia yakni berupa
Alquran, kemudian nikmat-nikmat yang terbentang di alam, tentang
kejadian jin dan manusia, keadaan hari kiamat dan neraka. Pada akhirnya,
dijelaskan pula mengenai surga dan segala nikmat yang terdapat di
dalamnya, yang disediakan untuk orang-orang yang beriman dan
bertakwa.196 Lebih lanjut, TM Hasbi Ash Shiddieqi juga memaparkan
hubungan atau persesuain surah Ar-Rahman dengan surah sebelumnya.
Beliau menyatakan,
1. Dalam surah ini dijelaskan keadaan orang-orang yang mendustakan
Allah dan orang-orang yang taqwa kepadaNya yang dalam surat
telah lalu diterangkan secara ijmal (dalam ayat 47 dan 54).
2. Dalam surat yang telah lalu disebutkan satu persatu bencana yang
telah menimpa ummat-ummat yang telah lalu dan diterangkan di
tiap-tiap selesai dari menerangkan sesuatu bencana, bahwa Al195
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir Al-Maragi oleh
Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk., (Semarang: CV Toha Putra), h. 183-184.
196
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, (Bandung: Alma‟arif), h. 1310.
76
Qur‟an ini diturunkan kepada manusia dengan dimudahkan mereka
untuk memahaminya.
3. Dalam surat ini diterangkan Allah berbagai rupa nikmat baik bersifat
keagamaan maupun bersifat keduniaan yang dilimpahkan kepada
hamba-hambaNya yang beriman. Dan diakhiri tiap-tiap ni‟mat ini
dengan sesuatu pertanyaan tentang ni‟mat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan?
4. Firman Allah: Ar Rahman „Allamal Qur‟ana, adalah sebagai
jawaban bagi pertanyaan: Apakah yang dilakukan oleh Raja yang
maha Kuasa itu?, yang terdapat pada akhir ayat yang menutup surat
yang telah lalu.197
Sementara itu, Muhammad Quraish Shihab memaparkan bahwa di
dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai nikmat di dunia
dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang disampaikan Allah,
Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan redaksi yang sama. Ayat
tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31 kali. Delapan pertanyaan
berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di dunia, tujuh pertanyaan
berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di akhirat, delapan pertanyaan
berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga pertama,
dan delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang diperoleh di
dalam surga ke dua.198
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa surah
Ar-Rahman memiliki hubungan dengan surah Al-Qamar. Firman Allah
surah Ar-Rahman, merupakan jawaban atas pertanyaan pada surah AlQamar, yaitu “Apakah yang dilakukan oleh Raja Yang Maha Kuasa itu?”,
juga “Faidah apakah yang Dia berikan kepada penduduk bumi dengan
rahmatNya?”.
2. Isi Kandungan Surah Ar-Rahman
Di dalam Alquran terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia, disebutkan beberapa pokok-pokok isi kandungan surah Ar197
Ash Shiddieqy, Ibid.
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. VI, h. 231.
198
77
Rahman. Berikut adalah pemaparan mengenai pokok-pokok isi kandungan
surah Ar-Rahman.
a. Keimanan
Allah mengajar manusia pandai berbicara; pohon-pohonan dan
tumbuh-tumbuhan tunduk kepada Allah; semua makhluk akan hancur
kecuali Allah; Allah selalu dalam kesibukan; seluruh alam merupakan
nikmat Allah terhadap manusia; manusia diciptakan dari tanah dan jin
dari api.
b. Hukum-hukum
Hukum di sini berkaitan dengan kewajiban mengukur, menakar,
dan menimbang dengan adil.199
Sementara itu, TM Hasbi Ash Shiddieqi dalam tafsir Al Bayaan
dijelaskan bahwa di antara kandungan surah Ar-Rahman adalah sebagai
berikut.
1) Alquran adalah nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada
manusia.
2) Nikmat-nikmat yang terkembang di langit dan di bumi.
3) Kejadian manusia dan jin.
4) Sifat hari kiamat.
5) Sifat ahli neraka.
6) Keadaan surga dan segala isinya yang disediakan untuk golongan
Sabiqin dan Ashhabil-Yamin.200
C. Hasil Penelitian
1. Temuan Data
Berdasarkan hasil analisis terhadap gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin,
penulis menemukan 22 jenis gaya bahasa. Adapun gaya bahasa yang
ditemukan adalah gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, repetisi,
199
200
Departemen Agama Republik Indonesia, Loc. Cit., h. 884.
Ash Shiddieqy, Tafsir Al Bayaan II, Op. Cit., h. 1318.
78
paralelisme,
elipsis,
apofasis,
asindeton,
polisindeton,
tautologi,
pleonasme, klimaks, antiklimaks, sinekdoke, prolepsis, erotesis, simile,
personifikasi, antonomasia, perifrasis, apostrof, dan antitesis. Berikut
penulis sajikan tabel temuan jenis gaya bahasa terjemahan surah ArRahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin.
Tabel Temuan Data
No
Jenis Gaya Bahasa
Ayat dalam Surah Ar-Rahman
1.
Inversi
7,10, 22, 48, 50, 52, dan 64.
2.
Aliterasi
Semua terjemahan ayat surah ArRahman (Ayat ke-1 sampai 78)
3.
Asonansi
Semua terjemahan ayat surah ArRahman (Ayat ke-1 sampai 78)
4.
Repetisi
13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34,
36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,
57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75,
77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan
68.
5.
Paralelisme
17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan
78.
6.
Elipsis
3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70, 72,
dan 74.
7.
Apofasis
33
8.
Asindeton
24, 54, dan 78.
9.
Polisindeton
33 dan 35
10.
Pleonasme
12, 37, 44, 66, dan 72.
11.
Tautologi
64
12.
Klimaks
33 dan 44
13.
Antiklimaks
14, 24, 31, 37, dan 56.
79
14.
Sinekdoke
4, 10, 27, 37, 41, dan 56.
15.
Prolepsis
35, 41, 54, 76, dan 39.
16.
Erotesis
13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34,
36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,
57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75,
77, dan 60.
17.
Simile
14, 24, 37, dan 58.
18.
Personifikasi
6 dan 19
19.
Antonomasia
1
20.
Perifrasis
41
21.
Apostrof
31 dan 33
22.
Antitesis
12
Berdasarkan
tabel
temuan
data
di
atas,
penulis
dapat
mengklsifikasikan jenis-jenis gaya bahasa tersebut, yaitu berdasarkan
langsung tidaknya makna dan berdasarkan struktur kalimat. Gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris,
yaitu gaya bahasa inversi, aliterasi, asonansi, elipsis, apofasis, asindeton,
polisindeton, pleonasme, tautologi, prolepsis, erotesis, perifrasis, dan
apostrof, dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile, personifikasi,
sinekdoke, dan antonomasia. Adapun gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan
anitesis. Jadi, jumlah keseluruhan jenis gaya bahasa yang ditemukan
dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan
Mulia karya H. B. Jassin, adalah 22 jenis gaya bahasa. Gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna berjumlah 17 gaya bahasa,
sedangkan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat berjumlah 5 gaya
bahasa. Dengan demikian, gaya bahasa yang paling banyak ditemukan
adalah gaya bahasa retoris, berjumlah 13 jenis gaya bahasa, sedangkan
yang paling sedikit ditemukan adalah gaya bahasa kiasan, berjumlah 4
jenis gaya bahasa.
80
2. Analisis dan Deskripsi Data
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan
analisis temuan data, yaitu bentuk penggunaan gaya bahasa terjemahan
surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B.
Jassin, yang disertai dengan sedikit perbandingan dengan terjemahan lain,
seperti terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, dan
terjemahan Mahmud Yunus. Hal tersebut dilakukan, guna mengetahui
pemilihan kata, penyesuaian bunyi, dan pola penyusanan kata dalam
kalimat setiap terjemahan. Perbandingan tidak dilakukan pada setiap jenis
gaya bahasa yang ditemukan, tetapi pada bagian yang dianggap perlu ada
sedikit perbandingan. Berikut merupakan deskripsi analisis jenis-jenis
gaya bahasa yang ditemukan.
1. Inversi
Gaya bahasa inversi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan
melalui pembalikan susunan kata dari yang biasa. Gaya bahasa
tersebut, terdapat pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-7, 10, 22,
48, 50, 52, dan 64.
a. Terjemahan ayat ke-7
Terjemahan ayat ke-7 yaitu, “Langit Ia tinggikan dan
diadakan-Nya neraca (keadilan)”.201
1) Segi Sintaksis
Langit Ia tinggikan
O S
P
(Bentuk inversi)
Ia tinggikan langit
S
P
O
(Pola umum)
Klausa Langit Ia tinggikan, merupakan bentuk inversi,
karena adanya pembalikan susunan kata. Kata Langit sebagai
objek, menjadi berada di posisi subjek, sedang pronomina Ia
(Allah) sebagai subjek, menjadi berada di posisi predikat. Kata
201
H. B. Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
81
langit sebagai objek, berada mendahului pronomina Ia sebagai
subjeknya. Begitupun dengan klausa diadakan-Nya neraca
(keadilan). Susunan pola tersebut, tidak mengikuti pola
kalimat pada umumnya, yaitu subjek, predikat, objek,
pelengkap, dan keterangan jika ada.
2) Segi Semantik
Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-7, masing-masing
mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan maknamakna tersebut, berdasarkan yang tercantum dalam Al-Qur‟an
The Great Miracle.202
Kata
Makna
wassamâ‟a
dan langit
rafa„ahâ
dia telah meninggikannya
wawađa„a
dan dia meletakkan
Almîzâna
Timbangan
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat
bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah meninggikan langit
dan meletakkan timbangan. Kata rafa„ahâ merupakan fi„il
mâđi yang dilekatkan dengan ha sebagai damir yang merujuk
ke assamâ‟a (langit). Dalam kalimat bahasa Indonesia, damir
biasa disebut sebagai pronomina (kata yang dipakai untuk
menggantikan orang atau benda). Damir ha dalam struktur
kalimat bahasa Arab ayat ke-7, berarti pronomina -nya dalam
kalimat bahasa Indonesia.
Sementara itu, fi„il mâđi dalam kalimat bahasa Indonesia,
disebut sebagai kata kerja bentuk lampau yang bermakna telah.
202
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2013), Cet. I, h. 1059.
82
Begitupun kata wađa„a, merupakan fi„il mâđi (kata kerja
bentuk lampau). Baik kata rafa„a maupun wađa„a, dua-duanya
adalah kata kerja bentuk aktif, yang bermakna rafa„a telah
meninggikan, dan wađa„a telah meletakkan. Jika kedua kata
kerja tersebut dimaknakan kata kerja pasif menjadi ditinggikan
dan diletakkan, maka bukan rafa„a dan wađa„a lagi, melainkan
berubah menjadi rufi„a dan wuđi„a (đumma awwaluhu
wakusira mâ qabla akhirihi).
Kata Kerja
Makna
Bentuk Aktif
rafa„a
Kata Kerja
Makna
Bentuk Pasif
telah
rufi„a
Ditinggikan
wuđi„a
Diletakkan
meninggikan
wađa„a
telah
meletakkan
Dengan demikian, kata rufi„a berarti telah ditinggikan dan
kata wuđi„a berarti telah diletakkan. Sementara itu, H. B. Jassin
menerjemahkan kata wađa„a menjadi diadakan (kata kerja
bentuk pasif).
Setelah meninjau konstituen-konstituen yang membangun
ayat ke-7 tadi, dapat kita lihat bahwa H. B. Jassin
menerjemahkannya sesuai dengan urutan konstituen-konstituen
yang membangun kalimat ayat ke-7, dengan menyebutkan kata
langit terlebih dahulu. Sehingga, pada terjemahannya terjadilah
pembalikan susunan kata. Jika kita bandingkan dengan
terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, maka
akan nampak seperti berikut ini.
83
H. B. Jassin
Departemen Agama Republik
Indonesia
Langit Ia tinggikan Dan Allah telah meninggikan langit
dan
diadakan-Nya dan
neraca (keadilan)
Dia
meletakkan
neraca
(keadilan)203
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa Departemen
Agama Republik Indonesia, memilih pola kalimat yang biasa,
yaitu subjek, predikat, dan objek, yang berbeda dengan pola
kalimat yang dipilih H. B. Jassin.
Persoalan pembalikan susunan kata seperti pada ayat ke-7,
juga terjadi pada terjemahan ayat ke-10. Terjemahan ayat ke10 yaitu, “Bumi Ia bentangkan untuk semua insan”.204 Pada
kalimat tersebut, kata Bumi sebagai objek, berada di posisi
subjek mendahului pronomina Ia (Allah) sebagai subjeknya.
Pola kalimat tersebut, jelas berbeda dengan pola kalimat pada
umumnya, yaitu subjek, predikat, dan objek.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kasus
pembalikan susunan kata pada terjemahan ayat ke-7 dan 10
adalah objek berada mendahului subjek.
b. Terjemahan ayat ke-64
Pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50, 52, dan 64, pembalikan
susunan
kata
berbeda
dengan
pembalikan
susunan
kata
sebelumnya. Pada terjemahan ayat-ayat tersebut, pembalikan
susunan kata yang terjadi adalah pola S-P (Subjek-Predikat)
menjadi P-S (Predikat-Subjek). Melalui terjemahan ayat ke-64,
penulis akan membahas gaya bahasa inversi P-S. Adapun
203
204
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Op. Cit., h. 885.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
84
terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau tua warnanya (Karena daun
yang rimbun)”.205
1) Segi Sintaksis
Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)
P
(inversi)
S
Warnanya hijau tua (Karena daun yang rimbun) (pola umum)
S
P
Pala kalimat inversi, kata warnanya yang menduduki fungsi
subjek, berada di belakang frasa Hijau tua yang menduduki fungsi
predikatnya. Jadi, frasa Hijau tua mendahului kata warnanya yang
menduduki fungsi subjek. Kata warnanya, biasa diletakkan di awal
sebelum menyebutkan jenis warna seperti merah, kuning, dan
hijau. Jika terjemahan tersebut mengikuti susunan kalimat pada
umumnya, maka menjadi “Warnanya hijau tua”. Pada kalimat
Warnanya hijau tua, posisi kata Warnanya adalah sebagai subjek,
juga sebagai yang diterangkan (D), sedang frasa hijau tua sebagai
predikat juga sebagai yang menerangkan (M). Sementara itu, pada
kalimat Hijau tua warnanya terjemahan H. B. Jassin, frasa hijau
tua sebagai predikat juga sebagai yang menerangkan (M) berada di
awal, sedang kata warnanya sebagai subjek juga sebagai yang
diterangkan (D) berada di akhir. Jadi, jelas terlihat adanya
pembalikan susunan kata S-P menjadi P-S. Frasa hijau tua
menerangkan bahwa warna kedua surga adalah hijau tua, bukan
merah, kuning, maupun biru.
205
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 753.
85
2) Segi Semantik
Ditinjau dari segi semantik, kata mudhâmmatâni berarti
keduanya hijau tua. Kata mudhâmmatâni, merupakan bentuk
tatsniyah yang berarti menunjuk kepada dua hal. Dalam ayat
ke-64, kedua hal tersebut menunjuk kepada jannatâni (dua
surga) pada ayat ke-62. Pada gramatika bahasa Arab, kata
mudhâmmatâni merupakan na„at dari jannatâni pada ayat ke62 sebagai man„utnya. Pada kalimat bahasa Indonesia, na„at
adalah sifat dan man„ut adalah yang disifati sifat tersebut.
Pembahasan mengenai pembalikan susunan kata seperti pada
ayat ke-64, telah mewakili pembahasan pembalikan susunan
kata pada terjemahan ayat ke-22, 48, 50 dan 52, karena
permasalahannya sama, yaitu berupa predikat mendahului
subjeknya. Selain itu, terjemahan ayat ke-22, 48, 50, dan 52,
masing-masing didahului juga oleh fungsi keterangan, yaitu
keterangan tempat yang sifatnya manasuka.
2. Aliterasi
Gaya bahasa aliterasi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan
dengan pengulangan bunyi konsonan yang sama. Gaya bahasa
tersebut, terdapat pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman, dari
ayat ke-1 sampai 78. Pada pembahasan ini, penulis hanya membahas
gaya bahasa pada terjemahan ayat yang dapat mewakili seluruh
bentuk penggunaan gaya bahasa aliterasi, karena secara umum, gaya
bahasa
tersebut
memiliki
fungsi
yang
sama,
yaitu
untuk
mempertahankan keindahan dan persamaan bunyi, juga adanya
kerapian penggunaan kata-kata, dan menyajikan kata-kata agar tidak
terasa kaku.
86
a. Bunyi [m]
Terjemahan ayat ke-2 surah Ar-Rahman yaitu, “Mengajari
(Muhammad) Al-Qur‟an”.206
Pada
terjemahan tersebut, terdapat
pengulangan bunyi
konsonan yang sama, yaitu [m] pada Mengajari dan Muhammad.
Pengulangan tersebut, dilakukan untuk mempertahankan keindahan
dan persamaan bunyi. Bunyi [m] merupakam konsonan nasal, yang
dihasilkan dengan menghalangi sepenuhnya aliran udara di rongga
mulut, tetapi membuka jalan ke luar bagi aliran udara melalui
rongga hidung.207
b. Bunyi [n]
Terjemahan ayat ke-3 yaitu, “Menciptakan insan”.208
Pada
terjemahan tersebut, terdapat
pengulangan bunyi
konsonan yang sama, yaitu [n] pada kata Menciptakan dan insan.
Adanya
pengulangan
konsonan
tersebut,
berfungsi
untuk
menghadirkan persamaan dan keindahan bunyi. Bunyi [n] sama
seperti bunyi [m] yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu
merupakan konsonan nasal dan cara menghasilkannya pun sama.
Hanya, bunyi [n] memiliki daerah artikulasi yang berbeda dengan
bunyi [m]. Bunyi [n] merupakan konsonan nasal alveolar,
sedangkan bunyi [m] merupakan konsonan nasal bilabial.
c. Bunyi [t], [h], [r], [d], [b], [ŋ]
Terjemahan ayat ke-5 yaitu, “Matahari dan bulan (beredar)
dengan perhitungan”.209
206
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749.
Djoko Kentjono, Tata Bunyi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1985), h. 9.
208
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
209
Ibid.
207
87
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan
yang sama, yaitu [t] dan [h] pada Matahari dan perhitungan, [r]
pada Matahari, beredar, dan perhitungan, [d] pada dan dan
dengan, [n] pada dan, bulan, dengan, dan perhitungan, [b] pada
bulan dan beredar, [ŋ] pada dengan dan perhitungan. Pengulangan
bunyi konsonan yang sama nampak terlihat banyak dibanding ayat
ke-2 dan 3. Sementara itu, fungsi pengulangan bunyi konsonan
yang sama pun tetap sama, yaitu untuk mempertahankan
persamaan dan keindahan bunyi.
Bunyi [t] merupakan konsonan hambat alveolar tak bersuara,
yang dibentuk dengan pita suara yang tidak bergetar, [d]
merupakan konsonan hambat alveolar bersuara, yang dibentuk
dengan pita suara yang bergetar, [b] merupakan konsonan hambat
bilabial bersuara, yang dihasilkan dengan pita suara yang bergetar,
[r] merupakan konsonan getar alveolar bersuara, yang dihasilkan
dengan pita suara yang bergetar, [h] merupakan konsonan frikatif
glotal tak bersuara, yang dihasilkan pita suara yang tidak bergetar,
[ŋ] merupakan konsonan rangkap, juga merupakan konsonan nasal
velar bersuara.210 Adapun pembahasan mengenai bunyi [n], telah
dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.
d. Bunyi [p] dan [k]
Terjemahan ayat ke-6 yaitu, “Tanaman merambat dan
pohonan, Keduanya sujud kepada Tuhan”.211
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi [t]
pada Tanaman, merambat, dan Tuhan, [n] pada Tanaman, dan,
pohonan, dan Tuhan, [m] pada Tanaman dan merambat, [d] pada
dan, keduanya, dan kepada, [p] pada pohonan dan kepada, [h] pada
210
211
Alwi, dkk., Op. Cit., h. 66.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
88
pohonan dan Tuhan, [k] pada keduanya dan kepada. Pengulangan
bunyi konsonan yang sama pada terjemahan tersebut, nampak
terlihat banyak. Di antaranya, terdiri atas bunyi konsonan yang
telah hadir dan telah dibahas pada terjemahan ayat sebelumnya, ada
pula bunyi konsonan yang baru muncul, yaitu [p] dan [k]. Bunyi
[p] pada kata pohon dan kepada, merupakan konsonan hambat
bilabial tak bersuara, yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir
bawah terkatup rapat, sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk
sementara waktu sebelum ketupan dilepaskan, sementara bunyi [k]
pada keduanya dan kepada, merupakan konsonan hambat velar tak
bersuara.212
e. Bunyi [l] dan [s]
Terjemahan ayat ke-19, “Ia lepaskan kedua lautan yang
saling bertemu”.213
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan
yang sama, yaitu [l] pada lepaskan, lautan, dan saling, [s] pada
lepaskan dan saling, [k] pada lepaskan dan kedua, [n] pada
lepaskan dan lautan, [ŋ] sebagai konsonan rangkap pada yang dan
saling, [t] pada lautan dan bertemu. Pengulangan bunyi konsonan
yang sama pada terjemahan tersebut, nampak telah hadir dan
dijelaskan pada terjemahan ayat sebelumnya, kecuali pada bunyi [l]
dan [s]. Bunyi [l] pada kata lepaskan, lautan, dan saling,
merupakan konsonan lateral alveolar bersuara, dan [s] pada kata
lepaskan dan saling, merupakan konsonan frikatif alveolar tak
bersuara, yang dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada
gusi atas, sambil melepaskan udara melalui samping lidah,
sehingga
212
menimbulkan
bunyi
desis.214
Alwi, dkk., Loc. Cit.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.
214
Alwi, dkk., Op. Cit. h. 67.
213
Pengulangan
bunyi
89
konsonan yang sama tersebut, terjadi hampir di semua konstituen
yang membangun konstruksi kalimat terjemahan.
f. Bunyi [j]
Terjemahan ayat ke-43 yaitu, “Inilah neraka Jahanam yang
didustakan orang durjana”.215
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi
konsonan yang sama, yaitu [n] pada Inilah, neraka, Jahanam,
didustakan, dan durjana, [h] pada Inilah dan Jahanam, [r] pada
neraka, orang, dan durjana, [k] pada neraka dan didustakan, [j]
pada Jahanam dan durjana, [d] pada didustakan dan durjana, dan
[ŋ] pada yang dan orang. Semua pengulangan bunyi konsonan
yang sama pada terjemahan tersebut, telah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [j]. Adapun bunyi [j] pada
kata jahanam dan durjana, merupakan konsonan afrikatif palatal
bersuara, yang dihasilkan dengan daun lidah ditempelkan pada
langit-langit keras, kemudian dilepaskan secara perlahan hingga
udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis. Sementara itu,
pita suara dalam keadaan bergetar.216 Adapun mengenai bunyi yang
lainnya, telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.
g. Bunyi [g]
Terjemahan ayat ke-62 yaitu, “Selain yang dua itu ada lagi
dua sorga”.217
Pada
terjemahan tersebut, terdapat
pengulangan bunyi
konsonan yang sama, yaitu [s] pada Selain dan sorga, [l] pada
Selain dan lagi, [d] pada dua dan ada. Adapun bunyi [l] dan [d],
telah penulis paparkan pada pembahasan sebelumnya. Sementara
215
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.
Alwi, dkk., Op. Cit., h. 68.
217
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753.
216
90
itu, bunyi [g] pada kata lagi dan sorga, merupakan konsonan
hambat velar bersuara yang dihasilkan dengan menempelkan
belakang lidah pada langit-langit lunak. Udara untuk sementara
waktu dihambat di sini, kemudian dilepaskan.218 Pengulangan
bunyi konsonan yang sama tersebut, terdapat hampir di semua
konstituen yang membangun konstruksi kalimat terjemahan,
kecuali pada kata yang. Adapun fungsi adanya bentuk penggunaan
gaya
bahasa
aliterasi, sama
dengan terjemahan-terjemahan
sebelumnya.
h. Bunyi [y]
Terjemahan ayat ke-12 yaitu, “Juga padi-padian yang berkulit,
Dan tumbuh-tumbuhan yang harum baunya”.219
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan konsonan
yang sama, yaitu [d] pada padi-padian dan dan, [n] pada padipadian, dan, dan tumbuh-tumbuhan, [y] dan [ŋ] pada yang, [r] pada
berkulit dan harum, [b] pada berkulit, tumbuh-tumbuhan, dan
baunya, [t] pada berkulit dan tumbuh-tumbuhan, [h] pada tumbuhtumbuhan, dan harum. Pengulangan bunyi konsonan yang sama
pada terjemahan tersebut, rata-rata sudah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya, kecuali bunyi [y]. Adapun bunyi [y] pada
kata yang, merupakan konsonan semivokal palatal bersuara, yang
dihasilkan dengan mendekatkan depan lidah pada langit-langit
keras, tetapi tidak sampai menghambat udara yang keluar dari paruparu.220 Adapun fungsi adanya bentuk gaya bahasa aliterasi tetap
sama seperti pada terjemahan ayat-ayat sebelumnya. Terlihat pula
bahwa hampir pada semua konstituen yang membangun konstruksi
218
Alwi, dkk., Op. Cit., h. 67.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
220
Alwi, dkk., Op. Cit., h. 70.
219
91
kalimat terjemahan tersebut, bentuk pengulangan bunyi konsonan
yang sama terjadi, kecuali pada kata juga.
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa aliterasi,
dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa aliterasi terdapat pada
seluruh terjemahan ayat surah Ar-Rahman. Penggunaan gaya
bahasa aliterasi dihasilkan dengan pengulangan bunyi konsonan
yang sama, yaitu [b], [d], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s],
[t], [y], dan [ŋ]. Secara umum, terjemahan ayat-ayat yang telah
dibahas, mewakili keseluruhan bentuk penggunaan gaya bahasa
aliterasi pada terjemahan ayat lain, karena bunyi-bunyi ([b], [d],
[g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [p], [r], [s], [t], [y], dan [ŋ]) tersebutlah
yang bermunculan dan mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk
memberikan kesan keindahan dan persamaan bunyi.
H. B. Jassin sangat mempertahankan persamaan bunyi pada
setiap kata, dengan memilih padanan kata yang memiliki makna
terjemahan yang sama dan dengan bunyi-bunyi yang hampir sama,
untuk mempertahankan keindahan terjemahannya, tanpa melenceng
dari maksud yang dikandung setiap ayat. Keputusan H. B. Jassin
mempertahankan
persamaan
bunyi
dalam
setiap
kata,
menyebabkan adanya ketidakkonsistenan dalam memilih atau
menggunakan kata. Misalnya, penggunaan kata insan dan manusia.
Adakalanya, H. B. Jassin lebih memilih kata insan, karena katakata sebelumnya berbunyi [n], seperti jin dan insan, bukan jin dan
manusia. Namun, di terjemahan ayat yang lain, H. B. Jassin justru
lebih menggunakan kata manusia. Selain itu, penggunaan kata
gadis-gadis dan hauri-hauri. Adakalanya, H. B. Jassin memilih
kata hauri-hauri dibanding gadis-gadis atau bidadari-bidadari,
begitupun sebaliknya, untuk mempertahankan keindahan dan
persamaan bunyi dengan kata sebelumnya, yang membangun suatu
konstruksi kalimat.
92
3. Asonansi
Asonansi merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan
pengulangan bunyi vokal yang sama. Pada terjemahan surah ArRahman, terdapat gaya bahasa asonansi, yaitu pada semua terjemahan
ayat surah Ar-Rahman, dari ayat ke-1 sampai ke-78. Secara umum,
penggunaan
gaya
bahasa
asonansi
ditandai
dengan
adanya
pengulangan bunyi vokal yang sama, yaitu [a], [i], [u], [e], [o], dan
[ǝ ]. Pengulangan bunyi vokal yang sama ini, memberikan efek
keindahan dan persamaan bunyi pada setiap konstituen yang
membangun suatu konstruksi kalimat terjemahan setiap terjemahan
ayat.
a. Bunyi [a] dan [u]
Terjemahan
ayat
ke-1
yaitu,
“(Tuhan)
Yang
Maha
221
Pemurah”.
1) Segi Fonologi
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan bunyi
vokal yang sama, yaitu [u] pada Tuhan dan pemurah, dan [a]
pada semua kata yang membangun kalimat terjemahan. Bunyi
[a] lebih dominan dibanding dengan bunyi [u]. Bunyi [a]
terdapat pada setiap kata yang menyusun kalimat terjemahan
tersebut,
sehingga
menyebabkan
timbulnya
kerapian
pemakaian kata, keindahan bunyi, dan persamaan bunyi, yaitu
[a]. Bunyi [a], merupakan vokal rendah dan vokal tengah,
diucapkan dengan bentuk bibir yang normal (tidak dimajukan),
bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar,222
seperti pada kata-kata yang membangun kalimat terjemahan
ayat ke-1, yaitu Tuhan, Yang, Maha, dan Pemurah. Sementara
itu, untuk bunyi [u], hanya terdapat pada kata Tuhan dan
Pemurah. Bunyi [u] merupakan vokal tinggi-belakang, tetapi
221
222
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
Alwi, dkk., Op. Cit., h. 57.
93
yang meninggi adalah belakang lidah. Bunyi [u] diucapkan
dengan kedua bibir agak maju dan sedikit membundar.223
2) Segi sintaksis
kalimat (Tuhan) Yang Maha Pemurah, termasuk ke dalam
jenis kalimat deklaratif, yaitu menyatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat Ar-Raẖ mân, Maha pemurah. Hal tersebut
dibuktikan dengan telah diajarkanNya Alquran kepada Nabi
Muhammad, diciptakanNya manusia yang pandai dalam
bericara, diberikan dan disediakaNnya nikmat-nikmat di dunia
dan di akhirat. Ditinjau dari segi fungsinya dalam kalimat, kata
Tuhan menduduki fungsi subjek, dan Yang Maha Pemurah
menduduki fungsi predikat. Kalimat tersebut, dibangun atas
satu klausa, yang terdiri atas subjek dan predikat. Pada struktur
bahasa Arab, kata Ar-Raẖ mânu menjadi mubtada dari khabar
a„llamal-Qur‟âna. Mubtada merupakan subjek dan khabar
merupakan gabungan dari predikat dan objek dalam struktur
kalimat bahasa Indonesia, karena pada struktur bahasa Arab
ayat ke-2, a„llamal-Qur‟âna merupakan khabar jumlah. Secara
semantik, kata Ar-Raẖ mânu bermakna (Tuhan) Yang Maha
Pemurah. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi
kepemurahan Allah.
b. Bunyi [i]
Selain bunyi [a] dan [u] pada ayat ke-1, ada juga bunyi [i]
pada terjemahan ayat ke-3, yaitu “Menciptakan insan”.224
1) Segi Fonologi
Pada terjemahan tersebut, terlihat adanya bunyi vokal
yang sama yaitu [a] dan [i] pada semua kata yang membangun
223
224
Alwi, dkk., Ibid.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
94
kalimat terjemahan tersebut, yaitu kata Menciptakan dan insan.
Bunyi [a] telah dijelaskan sebelumnya pada terjemahan ayat
ke-1. Bunyi [i] dihasilkan dengan sudut bibir direntangkan ke
samping sehingga bentuknya lebar. Bunyi [i] merupakan vokal
tinggi-depan yang dihasilkan dengan kedua bibir agak
terentang ke samping.225
2) Segi Sintaksis
Ditinjau dari fungsi sintaksisnya, kalimat tersebut terdiri
atas konstituen yang menduduki fungsi predikat dan objek,
meskipun konstituen yang menduduki fungsi subjeknya tidak
dihadirkan. Kata Menciptakan menduduki fungsi predikat,
yang merupakan suatu pekerjaan membuat atau menghasilkan
sesuatu, kata insan menduduki fungsi objek, yang merupakan
wujud hasil kegiatan menciptakan atau objek yang diciptakan
subjek, sedang kata Tuhan (tidak dihadirkan dalam kalimat),
menduduki fungsi subjek, yang merupakan pelaku dalam
melakukan kegiatan menciptakan.
3) Segi Semantik
Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituenkonstituen yang membangun ayat ke-3, masing-masing
membawa makna. Berikut penulis sajikan makna-makna
tersebut berdasarkan pada Al-Quran The Great Miracle.226
225
226
Kata
Makna
Khalaqa
dia telah mencipatakan
al-insâna
manusia.
Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059.
95
Pada struktur kalimat bahasa Arab, kata Khalaqa
berfungsi sebagai fi„il (kata kerja), dalam hal ini adalah jenis
fi„il mâđi, yang memiliki makna lampau (kata kerja bentuk
lampau). Maka dari itu, kata Khalaqa bermakna dia telah
menciptakan. Fi„il dalam gramatika bahasa Arab, merupakan
predikat dalam gramatika bahasa Indonesia, yaitu pekerjaan
yang dilakukan oleh Fâ„il dalam gramatika bahasa Arab,
Subjek dalam gramatika bahasa Indonesia. Jadi, Fi„il adalah
predikat, sedang Fâ„il adalah Subjek. Fâ„il dalam kata
Khalaqa merujuk kepada Tuhan, sedang kata al-insâna
berfungsi sebagai maf„ul. Maf„ul dalam gramatika bahasa
Arab, merupakan objek dalam gramatika bahasa Indonesia.
Jika terjemahan kata-kata tersebut disusun ke dalam kalimat
bahasa Indonesia, maka menjadi Dia telah menciptakan
manusia.
Untuk terjemahan ayat ini, H. B. Jassin lebih memilih kata
insan dibanding kata manusia, karena untuk mempertahankan
persamaan bunyi, agar terdengar lebih indah. H. B. Jassin,
mengikuti bunyi akhir [n] pada kata mencipatakan, sehingga
memilih kata insan agar bunyinya sama dengan bunyi akhir
kata menciptakan yaitu [n].
c. Bunyi [ǝ ]
Selanjutnya, untuk mewakili adanya persamaan bunyi vokal
[ǝ ] pada terjemahan surah Ar-Rahman, penulis akan memaparkan
persamaan pada terjemahan ayat ke-6. Adapun terjemahan ayat
ke-6, yaitu, “Tanaman merambat dan pohonan, Keduanya sujud
kepada Tuhan”.227
227
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
96
1) Segi Fonologi
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat pengulangan
bunyi vokal yang sama, yaitu [a] pada semua konstituen yang
membangun kalimat tersebut, kecuali pada kata sujud, [ǝ ]
pada kata merambat, Keduanya, dan kepada, dan [u] pada
Keduanya, sujud, dan Tuhan. Untuk bunyi [a] dan [u],
penulis telah memaparkan penjelasannya pada bagian awal,
sedang untuk selanjutnya, penulis akan memfokuskan
pembahasan pada persamaan bunyi [ǝ ]. Adanya bunyi [ǝ ]
pada kata merambat, Keduanya, dan kepada. Bunyi [ǝ ]
merupakan vokal sedang-tengah, yang dihasilkan dengan
bagian tengah lidah agak dinaikkan dan bentuk bibir yang
netral.228
2) Segi Sintaksis
Berdasarkan fungsi sintaksisnya, konstituen-konstituen
yang membangun kalimat Tanaman merambat dan pohonan,
Keduanya sujud kepada Tuhan, masing-masing menduduki
fungsi sintaksis yang berbeda, yaitu Tanaman merambat dan
pohonan menduduki fungsi subjek, kata sujud menduduki
fungsi predikat, dan kepada Tuhan menduduki fungsi
keterangan.
3) Segi Semantik
Sementara itu, secara semantik, konstituen-konstituen
yang membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung
makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna
tersebut berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.229
228
229
Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1060.
97
Kata
Makna
Wannajmu
dan tanaman merambat
Wasysyajaru
dan pohon-pohon
Yasjudâni
keduanya sujud
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat
bahasa Indonesia, maka menjadi “Tanaman yang merambat
dan pepohonan, keduanya sujud (kepada Tuhan)”.
Kata yasjudâni merupakan bentuk tatsniyah dari kata
yasjudu yang ditambahkan huruf alif dan nun sebagai ciri
tatsniyahnya. Tatsniyah, berarti menunjukkan kepada dua,
dalam hal ini adalah tanaman yang merambat dan pepohonan.
Di dalam Al-Qur‟an The Great Miracle dijelaskan bahwa
Kata annajmu merupakan tumbuh-tumbuhan yang tidak
memiliki batang, sedang asysyajaru merupakan pepohonan
yang memilik dahan dan batang. Annajmu, dapat juga
diartikan sebagai bintang.230
d. Bunyi [o]
Terjemahan ayat ke-11 yaitu, “Di atasnya tumbuh buahbuahan, Dan pohon korma dengan selodang”.231
1) Segi Fonologi
Pada terjemahan tersebut, terdapat pengulangan bunyi
vokal yang sama, yaitu [a] pada kata atasnya, buah-buahan,
Dan, korma, dengan, dan selodang, [u] pada kata tumbuh dan
buah-buahan, [o] pada pohon, korma, dan selodang. Untuk
bunyi [a] dan [u], pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan, sehingga pada terjemahan ayat ini, penulis akan
230
231
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1059.
Jassin, Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 749.
98
memfokuskan pada persamaan bunyi [o]. Bunyi [o]
merupakan vokal sedang-belakang, yang dihasilkan dengan
bentuk bibir kurang bundar dibanding [u].232
Pada terjemahan tersebut, H. B. Jassin secara gamblang
mempertahankan persamaan bunyi [o], terutama pada kata
korma yang menyerasikan bunyi [o] pada kata pohon dan
selodang. Kata korma, bukan merupakan kata baku, sedang
yang baku adalah kurma. Pada kata tersebut, yang ada adalah
bunyi [u] bukan [o]. Namun, untuk mempertahankan
persamaan bunyi dan keindahan persajakan, maka H. B.
Jassin lebih memilih kata korma dibanding kata kurma,
meski kata tersebut tidak baku.
2) Segi Semantik
Secara
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat ke-11 masing-masing memiliki makna
tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makan tersebut
berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.233
Kata
Makna
Fîhâ
di dalamnya
Fâkihatun
buah-buahan
Wannakhlu
dan pohon kurma
Żâtu
yang mempunyai
al-akmâmi
kelopak mayang
Setelah melihat makna konstituen-konstituen yang
membangun ayat tersebut, terlihat pula keinginan H. B. Jassin
dalam hal mempertahankan persamaan bunyi vokal. Untuk
masalah
232
233
kata
korma,
telah
dipaparkan
Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.
sebelumnya.
99
Selanjutnya, H. B. Jassin lebih memilih menggunakan kata
selodang untuk menggantikan kelopak mayang. Kata
selodang dipilih H. B. Jassin dibanding kelopak mayang.
Selain
terlihat
lebih
simpel,
kata
selodang
juga
mempertahankan persamaan bunyi [o] yang terdapat pada
pohon dan korma.
e. Bunyi [e]
Selanjutnya, bunyi [e] dapat kita lihat pada terjemahan ayat
ke-37. Adapun ayat ke-37 yaitu, “Bila langit pecah terbelah
kemerah-merahan seperti bunga mawar Yang merah laksana
minyak berkilauan”.234
Bunyi [e] pada terjemahan tersebut, terdapat pada kata
kemerah-merahan dan merah. Bunyi [e] merupakan vokal sedangdepan, yang dihasilkan dengan daun lidah dinaikkan, tetapi agak
lebih rendah daripada [i]. Kemudian, disertai dengan bentuk bibir
yang netral, tidak terentang dan juga tidak membundar.235 Dengan
demikian, adanya pengulangan bunyi vokal yang sama, berfungsi
untuk menciptakan persamaan dan keindahan bunyi setiap
konstituen yang membangun sebuah kalimat.
Secara umum, pembahasan mengenai persamaan bunyi vokal
[a], [i], [u], [e], [o], dan [ǝ ] pada ayat ke-1, 3, 6, 11, dan 37,
mewakili persamaan bunyi vokal yang ada pada terjemahan ayat
surah Ar-Rahman yang lain, karena memiliki fungsi yang sama.
Hanya, persamaan bunyi vokal [e] penggunaannya lebih sedikit,
sedang yang paling dominan adalah bunyi vokal [a].
234
235
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.
Alwi, dkk., Loc. Cit., h. 57.
100
4. Repetisi
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa repetisi,
berupa pengulangan kata, frasa, klausa atau kalimat yang sama. Gaya
bahasa tersebut, terdapat pada ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat
ke-16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53,
55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Adapun terjemahan
ayat-ayat tersebut yaitu,
“Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu (manusia)
dan kamu (jin) dustakan?”.
Kalimat tersebut berjumlah 31 kali dalam 78 ayat surah ArRahman, dimulai dari ayat ke-13, kemudian diulang pada ayat ke-16,
18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57,
59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77. Pengulangan tersebut,
termasuk ke dalam gaya bahasa repetisi karena penggunaan
kalimatnya diulang-ulang, bukan hanya satu sampai tiga kali,
melainkan hingga puluhan kali. Pengulangan hingga puluhan kali,
jarang sekali dilakukan. Pengulangan seperti ini, mengandung suatu
maksud yang perlu dipahami oleh makhluk-makhlukNya, yaitu
golongan jin dan manusia.
Sementara itu, dalam kitab tafsir Jalalen, dijelaskan bahwa
kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, termasuk ke dalam jenis
istifham taqriri, yaitu kalimat tanya yang digunakan untuk
menguatkan nikmat-nikmat Allah (kepemurahan Allah) dan mendesak
yang diajak komunikasi (jin dan manusia) supaya mengakui terhadap
segala hal yang telah dipaparkan Allah mengenai berbagai nikmat
yang telah diberikan, baik nikmat dunia, maupun akhirat. Kalimat
tersebut, tidak membutuhkan jawaban dari makhlukNya (jin dan
manusia), tetapi kehadirannya untuk mendesak agar makhlukNya
menyadari dan mengakui bahwa nikmat Allah sungguh luar biasa
melimpahnya, tidak ada satupun yang luput dari nikmat Allah, dan
101
mengingatkan agar tidak mengingkari nikmat-nikmat tersebut, dalam
hal ini adalah kufur nikmat.
Jadi, istifham dalam ayat ini mengandung makna taqrir atau
menetapkan. Demikian itu disebutkan karena ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui Jabir r. a. yang telah
menceritakan bahwa Rasul membacakan kepada kami surah ArRahman hingga selesai. Kemudian beliau bersabda “Mengapa kalian
ini diam saja?” Sungguh jin lebih baik jawabannya daripada kalian,
karena sesungguhnya tiada sekali-kali aku bacakan kepada mereka
ayat ini.236
1) Segi Sintaksis
Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat terjemahan tersebut termasuk
ke dalam jenis kalimat tanya, karena menggunakan kata tanya mana
yang dilekatkan dengan partikel –kah hingga menjadi manakah.
Kemudian, di akhir kalimat tersebut ditandai dengan tanda tanya (?)
yang merupakan salah satu ciri dari kalimat tanya dalam ragam tulis.
Partikel -kah yang melekat di akhir kata mana, memberikan efek
penegasan pertanyaan. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tanya banyak
macamnya, seperti kalimat tanya yang membutuhkan jawaban Ya atau
Tidak, kalimat tanya yang membutuhkan jawaban berupa penjelasan
atau pemaparan, dan kalimat tanya retoris yang tidak membutuhkan
jawaban dari lawan bicaranya.
Dengan demikian, jika dilihat berdasarkan karakteristiknya,
kalimat “Maka karunia manakah dari Tuhanmu, Yang kamu
(manusia) dan kamu (jin) dustakan?”, termasuk ke dalam jenis
kalimat tanya retoris, yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat
tersebut, merupakan salah satu bentuk komunikasi Allah dengan
makhlukNya secara tidak langsung. Artinya, Allah tidak langsung
236
Imam Jalaluddin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Terjemahan Tafsir Jalalain
Berikut Asbaabun Nuzuul, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1999), Cet. IV, h. 2339.
102
berhadapan dengan makhlukNya, yaitu jin dan manusia, tetapi melalui
firmanNya dalam Alquran surah Ar-Rahman. Kalimat tersebut, bukan
berarti mengharapkan makhlukNya untuk menjawab seperti nikmat
yang ini dan nikmat yang itu, melainkan supaya timbulnya rasa
mengakui dalam hati dan menyadari bahwa benar nikmat yang telah
diberikan Allah begitu melimpah, tidak ada satupun yang luput dari
nikmatNya. Maka, dengan timbulnya rasa tersebut, membuat
makhlukNya menjadi tidak mengingkari nikmat-nikmat yang telah
Allah berikan, sehingga terhindar dari kufur nikmat.
Lebih lanjut, mengenai pemaparan tentang nikmat-nikmat Allah
dalam surah Ar-Rahman, Muhammad Quraish Shihab memaparkan
bahwa di dalam surah Ar-Rahman, Allah menyampaikan berbagai
nikmat di dunia dan di akhirat. Hampir pada setiap dua nikmat yang
disampaikan Allah, Alquran mengulangi satu pertanyaan dengan
redaksi yang sama. Ayat tersebut berarti “Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?” Pertanyaan itu, diulang sebanyak 31
kali. Delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di
dunia, tujuh pertanyaan berkaitan dengan ancaman dan siksa neraka di
akhirat, delapan pertanyaan berkaitan dengan nikmat Allah yang
diperoleh di dalam surga pertama, dan delapan pertanyaan berkaitan
dengan nikmat Allah yang diperoleh di dalam surga ke dua.237
Meskipun kalimat yang diulang tersebut tidak membutuhkan
jawaban dari makhlukNya, namun disunahkan untuk membaca Lâ
bisyai‟in minniՙ amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu, setelah
mendengar atau membaca Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân. Hal
tersebut dijelaskan pula dalam kitab tafsir Jalalen. Pada tafsir Al
Bayan II, juga dipaparkan mengenai hal tersebut. Prof. TM Hasbi Ash
Shiddieqi memaparkan,
Diriwayatkan oleh At-Turmudzy dari Jarir, bahwa pada suatu hari
di madinah, Nabi menemui shahabat-shahabat beliau, lalu
237
Shihab, Loc. Cit., h. 231.
103
membaca surat Ar-Rahman ini dari awal sampai ke akhirnya
mereka semuanya berdiam diri; karena itu, Nabi bersabda: Aku
telah membaca surat itu kepada jama‟ah jin pada malam hari.
Diwaktu dibacakan: “Fabiayyi„alaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan”,
mereka menjawab dengan perkataan mereka: “Laa bi syi-in min
ni‟amika rabbanaa nukadzdzibu falaka-l-hamdu = tak ada sesuatu
ni‟mat Engkau, kami dustakan; untuk engkaulah segala puji.”238
Dengan demikian, apabila setelah mendengar atau membaca
Fabiayyi âlâirabbikumâ tukażżibân, disunahkan untuk membaca Lâ
bisyai‟in minniՙ amika rabbanâ nukażżibu falakal-ẖ amdu. Mengenai
penggunaannya yang diulang-ulang, tentu menarik banyak perhatian.
Kita sebagai makhlukNya, tidak bisa menanyakan alasan mengapa
kalimat tersebut diulang-ulang kepada Allah. Namun, kita boleh
menanyakan pertanyaan tersebut kepada manusia yang mampu
menjawabnya.
Lebih lanjut, Bachtiar Surin memaparkan bahwa ayat yang
diulang sebanyak 31 kali ini, gunanya untuk lebih memantapkan
keimanan kepada Allah Yang Maha Rahman. Kemudian, beliau
memaparkan juga bahwa cara mengulang-ngulang kalimat seperti ini
seringkali terjadi pemakaiannya dalam percakapan orang Arab.
Misalnya, si A sudah banyak berbuat kebaikan kepada si B. Namun, si
B selalu memungkirinya. Lalu si A berkata: “Kamu tadinya tidak
mempunyai pakaian, lalu aku beri. Apakah kamu memungkirinya?
Juga tadinya kamu tidak mempunyai sepatu, lalu aku memberimu
sepatu juga. Apakah kamu memungkirinya lagi? Tadinya kamu tidak
mempunyai uang, lalu aku memberimu uang. Apakah kamu masih
memungkirinya?” Pertanyaan tersebut berlanjut sampai seterusnya
agar si mukhatab (orang yang diajak bicara) mengakui semuanya.
Begitupun pada kalimat yang diulang sebanyak 31 kali ini. Kalimat
tersebut ditujukan kepada jin dan manusia.239
238
Ash Shiddieqy, Op. Cit., h. 1309.
Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Firma
Sumatra, 1978), h. 873.
239
104
2) Segi Semantik
Adapun secara semantik, kalimat Fabiayyi âlâirabbikumâ
tukażżibân, tersusun atas rangkaian kata yang masing-masing
mempunyai makna. Berikut penulis paparkan makna-makna tersebut
berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.240
Kata
Makna
Fabiayyi
maka yang manakah
Âlâi
Nikmat
Rabbikumâ
Tuhan kalian berdua
Tukażżibân
yang akan kalian dustakan
Kumâ dalam rabbikumâ, merupakan bentuk tatsniyah dari ka.
Adapun tatsniyah, menunjuk kepada dua, dalam hal ini adalah jin dan
manusia. H. B. Jassin lebih memilih kata karunia untuk kata âlâi
dibanding dengan kata nikmat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata karunia bermakna kasih; belas kasih; pemberian atau anugerah
dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah, 241
sedang kata nikmat bermakna enak; lezat; merasa puas; senang;
pemberian atau karunia (dari Allah).242 H. B. Jassin memilih kata
karunia untuk mempertahankan persamaan dan keindahan bunyi,
yaitu bunyi vokal [a], sedang kata nikmat, diakhiri dengan bunyi [t].
Adapun bunyi yang dominan pada setiap kata yang membentuk
kalimat tersebut adalah bunyi [a]. Oleh karena itu, untuk
mempertahankan kesenadaan dan keindahan bunyi, H. B. Jassin
memilih kata karunia yang memiliki bunyi akhir [a].
240
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1059.
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., h. 629.
242
Ibid., h. 962.
241
105
3) Perbandingan dengan Terjemahan Lain
Berikut merupakan perbandingan terjemahan H. B. Jassin dengan
terjemahan lain.
H. B. Jassin
Departemen Agama
Mahmud Yunus
Republik Indonesia
Maka karunia
Maka nikmat Tuhan
Maka nikmat
manakah dari
kamu yang manakah
Tuhanmu yang
Tuhanmu, Yang kamu
yang kamu
manakah kamu
(manusia) dan kamu
(jin) dustakan?
dustakan?
243
dustakan, (hai
manusia dan
jin)?244
Pada ketiga terjemahan tersebut, perbedaan terletak pada segi
diksi, yaitu nikmat dan karunia. Selain itu, perbedaan juga terletak
pada segi susunan kata yang membangun kalimat tersebut.
4) Segi Pragmatik
Secara pragmatik, kalimat “Maka karunia manakah dari
Tuhanmu, Yang kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan?”
mengandung makna atau mengisyaratkan agar makhlukNya (jin dan
manusia) mengakui atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan
tidak melakukan perbuatan kufur nikmat, yaitu mengingkari dan
mengelak terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah berikan, dan tidak
bersyukur atas semua itu. Secara tidak langsung, Allah menyatakan
kepada makhlukNya bahwa tidak ada seorang pun dari makhlukmakhlukNya yang tidak mendapatkan nikmat dari Allah. Semuanya
telah diberikan nikmat-nikmat yang begitu melimpah, bahkan Allah
memaparkan bahwa kelak di akhirat pun, makhluk-makhlukNya yang
243
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885.
Mahmud Yunus, Tafsir Qurän Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 2004), Cet. 73., h.
244
793.
106
beriman dan bertakwa, akan mendapatkan nikmat-nikmat yang luar
biasa. Allah menunjukkan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Pemurah.
Maka, jangan sekali-kali mengingkari nikmat-nikmat yang telah
diberikanNya.
Selain pada terjemahan ayat-ayat di atas, gaya bahasa repetisi
juga terdapat pada terjemahan ayat ke-17, 56 dan 74, 48, 50, 52, 66,
68, dan ayat ke-78. Secara umum, pengulangan tersebut dilakukan
sebagai bentuk penekanan, penegasan, dan penguatan, baik dalam hal
ketuhanan yang merajai kedua Timur dan Barat (ayat ke-17),
persoalan bidadari yang suci dan belum terjamah oleh jin dan manusia
(ayat ke-56 dan 74), nikmat-nikmat di dalam kedua surga (48, 50, 52,
56, 66, 68), maupun derajat keagungan dan kemualiaan Allah yang
penuh dan tidak sedikit-sedikit atau setengah-setengah (ayat ke-78).
Secara umum, pengulangan yang dilakukan, berfungsi sebagai bentuk
penekanan, penegasan, dan penguatan, baik terhadap makna maupun
terhadap hal-hal yang Allah bicarakan, seperti persoalan nikmatnikmat yang telah Allah berikan dan siapkan kelak di surga. Selain itu,
pengulangan juga berfungsi sebagai bentuk keindahan dalam
menyusun serangkaian kata, menjaga irama, dan mencapai efek
keindahan yang luar biasa.
5. Paralelisme
Seperti yang telah dipaparkan dalam landasan teori mengenai
jenis-jenis gaya bahasa, paralelisme merupakan salah satu gaya bahasa
yang dihasilkan dengan usaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian
kata-kata yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat
ayat-ayat yang mengandung paralelisme, di antaranya adalah ayat ke17, 27, 29, 31, 33, 35, 39, 41, 54, dan 78.
107
a.
Terjemahan ayat ke-41
Terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-41 yaitu, “Orangorang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, Dan mereka
akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.245
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa
paralelisme yaitu pada fungsi predikat menggunakan frasa verba
akan dikenal dan akan dicekam. Kedua frasa yang menduduki
fungsi predikat tersebut, sama-sama berbentuk frasa verba,
dengan prefiks di- sebagai ciri pasif dari masing-masing verba
tersebut. Di sini terlihat bahwa H. B. Jassin mencoba untuk
melakukan
kesejajaran
dalam
pemakaian
kata-kata
yang
digunakan dalam terjemahannya, yaitu dengan memilih frasa
verba bentuk pasif dalam satu kalimat yang dihubungkan dengan
menggunakan
konjungsi
dan.
H.
B.
Jassin
mencoba
menggabungkan dua klausa dengan menggunakan bentuk kata
yang sama, yaitu kata kerja bentuk pasif, tidak yang satu pasif dan
satunya lagi aktif. Dengan demikian, kalimat dalam terjemahan
tersebut termasuk ke dalam jenis gaya bahasa paralelisme.
1) Segi Sintaksis
Ditinjau secara sintaksis, kalimat terjemahan tersebut
merupakan bentuk kalimat majemuk setara penjumlahan, karena
dibangun oleh dua klausa yang sederajat dan dihubungkan dengan
menggunakan konjungsi dan. Frasa Orang-orang durjana
menduduki fungsi subjek, frasa Akan dikenal menduduki fungsi
predikat,
frasa
pada
tanda-tandanya
menduduki
fungsi
keterangan, kata dan sebagai konjungsi penjumlahan, kata mereka
menduduki fungsi subjek, frasa akan dicekam menduduki fungsi
245
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 751.
108
predikat, dan frasa pada ubun-ubun dan kaki-kakinya menduduki
fungsi keterangan.
Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan
S
P
Keterangan Konjungtor
mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya
S
P
Keterangan
Terlihat dengan jelas, bahwa fungsi sintaksis dalam kalimat
terjemahan tersebut lebih dari satu, masing-masing fungsi ada
dua, jadi merupakan jenis kalimat majemuk setara yang dibangun
atas dua klausa yang sederajat, dan dihubungkan dengan
konjungsi dan. Frasa akan dikenal dan akan dicekam, di sini
terlihat sama-sama menduduki fungsi predikat dalam kedua
klausa yang membangun kalimat terjemahan tersebut. Hal
tersebut, merupakan bentuk kesejajaran dalam pemakaian katakata, sekaligus penekanan kata-kata yang dianggap penting,
seperti akan dikenal dan akan dicekam.
2) Segi Semantik
Sementara itu, ditinjau dari segi semantiknya, konstituenkonstituen
yang
membangun
ayat
ke-41,
masing-masing
mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan maknamakna
tersebut
berdasarkan pada
Al-Qur‟an The
Great
Miracle.246
246
Kata
Makna
yu„rafu
diketahui atau dikenal
Al-Mujrimûna
orang-orang yang berdosa
Bisîmâhum
dengan tanda-tanda mereka
fayu‟khażu
lalu dipegang atau diambil
Binnawâsî
dengan ubun-ubun
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.
109
Walaqdâmi
dan kaki-kakinya.
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi “Orang-orang yang berdosa akan
dikenal melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun
dan kaki-kakinya”. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan
dalam Al-Qur‟an The Great Miracle yaitu orang-orang yang
berdosa akan dikenal dengan tanda-tanda di wajah mereka,
bermuka gelap dan bermata juling, lalu malaikat akan mencekam
ubun-ubun dan kaki-kakinya dan melemparkannya ke neraka.247
3) Segi Pragmatik
Adapun
secara
mengisyaratkan
pragmatik,
agar
terjemahan
makhluk-makhluk
ayat
Allah
tersebut
senantiasa
melakukan kebaikan, mempunyai rasa takut, dan bertaubat
kepadaNya, atas dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidup di
dunia. Selain itu, terjemahan ayat tersebut juga merupakan sebuah
pernyataan sekaligus peringatan kepada makhluk-makhlukNya
bahwa orang-orang berdosa, kelak di akhirat akan disiksa dengan
siksaan yang amat pedih.
Kekonsistenan H. B. Jassin mengambil bentuk yang sama
dalam satu kontruksi kalimat adalah langkah yang lebih baik,
daripada memilih bentuk yang tidak sama dalam satu konstruksi
kalimat.
Artinya,
dengan
pemilihan
bentuk
yang
sama,
menyebabkan terciptanya kesamaan dan kesetaraan dalam
pemakaian bentuk kata-kata yang membangun satu kalimat.
Dengan demikian, terciptalah gaya bahasa paralelisme.
Pemaparan mengenai gaya bahasa paralelisme tadi, mewakili
gaya bahasa paralelisme yang ada pada terjemahan surah ArRahman pada ayat lain, yang telah disebutkan di atas. Kesejajaran
247
Ibid., h. 1064.
110
dalam
pemakaian
kata-kata,
ada
yang disajikan
dengan
menggunakan prefiks ber- (berbaring dan bergantung) pada
terjemahan ayat ke-54, frasa preposisional seperti di langit dan di
bumi pada terjemahan ayat ke-29, afiks ke-an (keagungan dan
kemuliaan) pada ayat ke-78, prefiks ke- (kedua) pada terjemahan
ayat ke-17, menggunakan bentuk dasar (kata agung dan mulia)
pada ayat ke-27, bentuk dasar juga terdapat pada (kata jin dan
insan) ayat ke-31, bentuk dasar (kata jin dan manusia) dan prefiks
me- (menembus) pada ayat ke-33, dan pada ayat ke-35 dan 39,
yang mempunyai kesejajaran yang sama, melalui penggunaan
bentuk dasar dan pemilihan kata yang sama. Adapun konjungsi
yang dipakai untuk menggabungkan serangkaian kata dalam
terjemahan adalah dan.
Meski gaya bahasa paralelisme terdapat pada ayat yang
berbeda-beda dan dalam kesejajaran bentuk kata yang berbeda
pula, namun memiliki fungsi yang sama. Adapun fungsi dari gaya
bahasa paralelisme adalah untuk menciptakan kesejajaran
pemakaian kata-kata, menciptakan kerapian dalam pemakaian
kata, dan menekankan atau menonjolkan kata-kata yang penting
dalam sebuah konstruksi yang sama. Keputusan H. B. Jassin
dalam memilih dan menggunakan kesejajaran dalam pemakaian
kata-kata, tidak menyebabkan terjadinya pelencengan makna dari
makna yang dikandung ayat.
6. Elipsis
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, juga terdapat gaya bahasa
elipsis, yaitu berupa penghilangan kata atau serangkaian kata pada
sebuah kalimat. Kata yang dihilangkan tersebut, akan dengan mudah
ditebak dan diisi oleh pembaca atau pendengar. Gaya bahasa tersebut,
terdapat pada terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 58, 68, 70,
72, dan 74.
111
a. Terjemahan ayat ke-3
Terjemahan ayat ke-3. yaitu, “Menciptakan insan”.248
1. Segi Sintaksis
Menciptakan insan
P
O
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat satu unsur kalimat
yang dihilangkan, yaitu unsur yang menduduki fungsi subjek.
Subjek dalam kalimat tersebut yaitu Allah. Kata Allah sebagai
subjek dari predikat kata menciptakan tidak hadir. Sementara
pada terjemahan tersebut, hanya terlihat kata menciptakan
yang menduduki fungsi predikat dan kata insan yang
menduduki fungsi objek. Walaupun kehadiran Allah sebagai
subjek dihilangkan, pembaca dapat dengan mudah mengisi
kekosongan tersebut, karena semua sudah mengetahui bahwa
Sang Maha Pencipta adalah Allah, termasuk menciptakan
insan. Hal tersebut sama seperti dalam situasi seorang guru
yang bertanya nama lengkap kepada murid barunya, dengan
mengatakan, “Siapa nama lengkapmu, Nak?”, kemudian siswa
barupun menjawab, “Laila Nurjannah”. Pada jawaban siswa
baru tersebut, terdapat kata-kata yang dihilangkan sebelum
kata Laila Nurjannah, yaitu frasa nama saya. Tanpa dihadirkan
pun, pembaca dapat dengan mudah mengisi bagian yang tidak
ada dan dapat dengan mudah memahaminya, bahwa nama
siswa baru tersebut adalah Laila Nurjannah. Penghilangan
kata-kata, biasanya dapat kita temukan pada komunikasi lisan
dan tulisan. Adapun penghilangan tersebut biasanya dilakukan
untuk membuat kalimat terlihat lebih simpel.
Pada ragam tulis, gaya bahasa elipsis ada yang ditandai
dengan tanda titik tiga (...), yang menunjukkan bahwa ada
248
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
112
unsur kalimat yang dihilangkan, yang dapat dengan mudah
diisi oleh si pembaca. Sementara itu pada ragam lisan, gaya
bahasa elipsis ditandai dengan pemberhentian pembicaraan,
seperti adanya jeda dan dengan penyebutan akhir kata yang
dipanjangkan. Adapula yang tidak menyebutkan unsur kalimat
yang sebenarnya sudah diketahui dan dapat dengan mudah
diisi dan dipahami oleh lawan tuturnya.
2. Perbandingan dengan Terjemahan Lain
Jika kita bandingkan dengan terjemahan Departemen
Agama Republik Indonesia, dan Mahmud Yunus, akan
nampak seperti berikut ini.
H.
B. Jassin
Departemen
Mahmud
Agama Republik
Yunus
Indonesia
Menciptakan insan
Dia
menciptakan Telah
manusia249
menjadikan
insan
(manusia)250
Pada terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia,
subjek terlihat hadir dalam kalimat, yaitu berupa pronomina
Dia yang merujuk kepada Allah. Sementara itu, pada
terjemahan Mahmud Yunus, sama seperti terjemahan H. B.
Jassin, terdapat penghilangan subjek yaitu Allah. Diksi yang
digunakan ketiga terjemahan tersebut berbeda.
b. Terjemahan ayat ke-4
Terjemahan ayat ke-4 yaitu, “Diajari-Nya fasih perkataan”.251
249
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur‟an dan Terjemahnya, Loc. Cit., h. 885.
Yunus, Tafsir Qurän Karim, Op. Cit., h. 792.
251
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 749.
250
113
1. Segi Sintaksis
Diajari-Nya fasih perkataan
P S
Pelengkap
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat penghilangan
unsur kalimat yang menduduki fungsi objek, yaitu kata
manusia sebagai makhluk yang diajarkan fasih perkataan oleh
Allah. Allah dalam kalimat tersebut diganti dengan pronomina
–Nya, yang menduduki fungsi subjek, sedang fasih perkataan
menduduki fungsi pelengkap. Meski kata manusia sebagai
objek yang diajari fasih perkataan dihilangkan, pembaca dapat
dengan mudah mengisi unsur yang dihilangkan tersebut dan
memahaminya. Ayat ini menerangkan kepada kita, bahwa
Allah telah mengajarkan manusia kemampuan berbicara. Lebih
lanjut, Al-Hasan mengatakan,
Yang dimaksudkan dengan al-bayan ialah pengujaran, yaitu
membaca Al-Qur‟an. Pembacaan itu dengan memudah-kan
pengujaran kepada hamba-hamba-Nya dan memudahkan
dalam mengartikulasikan huruf-huruf dari daerah
artikulator, yaitu tenggorokan, lidah, dan bibir sesuai
dengan keragaman artikulasi dan jenis hurufnya. 252
2. Segi Semantik
Semenetra itu, jika kita ditinjau dari segi semantiknya,
konstituen-konstituen yang membangun ayat tersebut, masingmasing mengandung makna tertentu. Berikut penulis paparkan
berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.253
Kata
252
Makna
aՙ llamahu
dia mengajarkannya
Al-bayâna
pandai berbicara
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj.
dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 oleh Syihabuddin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), h. 540.
253
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.
114
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat
bahasa Indonesia, maka menjadi
Dia mengajarkannya
(manusia) pandai berbicara. Hu pada kata aՙ llamahu
merupakan domir yang merujuk pada Al-insâna yang
bermakna manusia pada ayat ke-3. Penulisan pronomina –Nya
pada terjemahan H. B. Jassin merujuk kepada Allah bukan
manusia, sedang penulisan pronomina -nya barulah merujuk
kepada manusia. Pembahasan mengenai gaya bahasa elipsis
pada terjemahan ayat ke-3 dan 4, telah mewakili terjemahan
ayat yang lainnya, yang menghilangkan kata atau serangkaian
kata agar terlihat lebih simpel.
7. Apofasis
Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-33, terdapat gaya
bahasa apofasis. Gaya bahasa apofasis merupakan suatu gaya bahasa
yang dihasilkan dengan cara menggambarkan pernyataan penulis atau
pengarang yang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.
Bisa juga dikatakan bahwa penulis atau pengarang berpura-pura
membiarkan sesuatu berlalu tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.
Hal tersebut dapat kita lihat pada terjemahan ayat ke-33. Adapun
terjemahan tersebut yaitu,
“Hai kumpulan jin dan manusia! Jika sanggup kamu menembus
keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi, tembuslah! Tiada kamu
sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan (kami)”.254
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa apofasis, di
mana Allah menyatakan bahwa jika jin dan manusia sanggup
menembus keluar dari daerah-daerah langit dan bumi, maka
tembuslah! Sesungguhnya jin dan manusia tidak akan mampu
254
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.
115
menembusnya tanpa kekuasaan Allah. Allah menegaskan sesuatu
sekaligus menyangkalnya. Membiarkan suatu pernyataan dan perintah
diberitahukan, bahwa manusia dan jin Allah perintahkan untuk
menembus daerah-daerah langit dan bumi jika mereka sanggup.
Mengapa Allah memerintah dan membiarkan jin dan manusia
menembus daerah langit dan bumi? Karena sesungguhnya Allah Maha
mengetahui bahwa mereka tidak akan dapat menembusnya kecuali
dengan kekuasaan Allah. Di sini Allah membiarkan sesuatu terjadi
tetapi menyangkalnya. Membiarkan manusia dan jin menembus
daerah langit dan bumi, tetapi sekaligus menyangkalnya bahwa
mereka sesungguhnya tidak akan mampu melakukan semua itu.
Hanya Allahlah Yang Maha Kuasa.
Secara pragmatik, kalimat “Hai kumpulan jin dan manusia! Jika
sanggup kamu menembus keluar Dari daerah-daerah langit dan bumi,
tembuslah! Tiada kamu sanggup menembus(nya), Tanpa kekuasaan
(kami)”, sesungguhnya bukan memerintah dalam arti memerintah
yang sebenarnya, tetapi merupakan isyarat dan penegasan bahwa
makhlukNya (jin dan manusia) itu lemah, tidak mempunyai kekuatan
apapun untuk menembus daerah langit dan bumi, karena hanya
Allahlah Yang Mahakuasa. Sesuatu apapun tidak akan terjadi tanpa
izinNya. Maka, Allah menegaskan kepada makhluk-makhluknya
jangan sekali-kali mencoba menembus daerah langit dan bumi, karena
tidak akan mampu tanpa
kekuasaanNya.
Allah memerintah,
menyangkal dan menegaskan sesuatu dalam ayat ini. Hal tersebut
merupakan bentuk dari gaya bahasa apofasis.
8. Asindeton
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
asindeton, yaitu gaya bahasa yang dihasilkan dengan menyajikan
beberapa kata yang sederajat, dengan tidak menggunakan kata
penghubung. Gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah
116
Ar-Rahman ayat ke-24, 54, dan 78. Bentuk penggunaan gaya bahasa
tersebut, akan penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-78. Kedua
terjemahan ayat tersebut, dapat mewakili penggunaan gaya bahasa
pada terjemahan ayat ke-24 dan 54. Adapun terjemahan ayat ke-78
yaitu,
“Terpujilah
nama
Tuhanmu,
Penuh
Keagungan,
penuh
Kemuliaan”.255
Frasa penuh keagungan dan penuh kemuliaan, merupakan dua
buah frasa yang sederajat, tetapi tidak dihubungkan dengan
menggunakan kata penghubung, melainkan dengan tanda koma (,).
Padahal, dalam kata walikrâmi yang bermakna dan kemuliaan,
terdapat huruf w (dalam struktur kalimat bahasa Arab sebagai salah
satu huruf a„ţaf yang berfungsi untuk menghubungkan kata atau
susunan kata). Pada struktur kalimat bahasa Indonesia, huruf a„ţaf
tersebut adalah kata hubung (konjungsi) bermakna dan. Maka,
walikrâmi bermakna dan kemuliaan.
1) Segi Semantik
Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang
menyusun ayat ke-78, masing-masing mengandung makna
tertentu.
Berikut
penulis
sajikan
makna-makna
berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.256
255
256
Kata
Makna
Tabâraka
Mahasuci
Ismu
Nama
Rabbika
Tuhan kamu
Żî
Pemilik
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 754.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1065.
tersebut,
117
Aljalâli
Keagungan
Walikrâmi
dan kemuliaan.
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Mahasuci nama Tuhanmu pemilik
keagungan dan kemuliaan. Setelah melihat makna- makna yang
menyusun ayat ke-78, maka terlihat jelas bahwa dari makna
tersebut, tidak ada kata yang mengandung makna penuh,
begitupun kata walikrâmi bermakna dan kemuliaan bukan penuh
kemuliaan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya dengan penuh
kemuliaan bukan dan kemuliaan. H. B. Jassin menghilangkan
makna wa yang bermakna dan pada kata walikrâmi dan
menggantinya dengan kata penuh. Padahal, wa bukan bermakna
penuh. Dengan demikian, H. B. Jassin tidak menggunakan kata
penguhubung dalam menghubungkan kata-kata yang sederajat,
melainkan menggantinya dengan menggunakan tanda koma (,).
Hal tersebut, jelas merupakan bentuk dari gaya bahasa asindeton.
Terkait dengan ayat ini, Ahmad Mustafa Al-Maragi menyatakan,
Ayat ini merupakan pengajaran dari Allah SWT. Kepada
hamba-hambaNya, bahwa semua ini adalah termasuk rahmatNya. Karena Dia telah menciptakan langit dan bumi, surga dan
neraka, serta mengazab orang-orang yang bermaksiat serta
memberi pahala kepada orang-orang yang taat. Dan dengan
karuniaNya Dia menganugerahkan kepada mereka apa-apa
yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah di dengar oleh
telinga dan tak pernah terlintas pada hati seorang manusia
pun.257
Pembahasan
mengenai
gaya
bahasa
asindeton
pada
terjemahan ayat ke-78, mewakili gaya bahasa asindeton pada
terjemahan ayat-ayat yang lain.
257
Al-Maragi, Op. Cit., h. 227.
118
9. Polisindeton
Gaya bahasa polisindeton terdapat pada terjemahan ayat ke- 33
dan 35. Pada pembahasan ini, penulis akan membahasnya melalui
terjemahan ayat ke-35, yang dapat mewakili gaya bahasa polisindeton
pada terjemahan ayat ke-33. Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat
ke-35, terdapat gaya bahasa polisindeton, yaitu beberapa kata, frasa,
atau
klausa
dihubungkan
dengan
menggunakan
konjungsi.
Terjemahan ayat ke-35 yaitu,
“Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan
cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.258
Frasa kamu jin, kamu manusia, nyala api dan cairan tembaga,
dihubungkan dengan menggunakan konjungsi, tidak menggunakan
tanda koma (,). Gaya bahasa ini merupakan kebalikan dari gaya
bahasa asindeton.
Ditinjau
dari
segi
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna
tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan
pada Al-Qur‟an The Great Miracle.259
Kata
Makna
Yursalu
akan dikirimkan
a„laikumâ
atas kalian berdua
Syuwâťun
Nyala
Minnâri
dari api
wanuẖ âsun
dan cairan temabaga
Falâ
maka tidak
Tantaşirâni
kalian berdua menyelamatkan
diri
258
259
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1061.
119
Pada terjemahannya, H. B. Jassin menghubungkan frasa kamu jin
dan kamu manusia dengan menggunakan kata hubung dan, meskipun
pada kata a„laikumâ yang bermakna kepada kamu berdua, tidak ada
kata dan, sedang H. B. Jassin menerjemahkannya lebih jelas dan rinci
kata a„laikumâ, yaitu bermakna kepada kamu jin dan kamu manusia.
Begitupun pada frasa nyala api dan cairan tembaga, H. B. Jassin
menggunakan kata hubung dan untuk menghubungkan frasa-frasa
tersebut, tidak menggunakan tanda koma (,) seperti nyala api, cairan
tembaga. Jadi, dengan jelas H. B. Jassin pada terjemahan ayat ini
menggunakan gaya bahasa polisindeton.
10. Pleonasme
Pleonasme merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan
menggunakan kata-kata secara berlebihan. Jika kata-kata yang
berlebihan itu dihilangkan, makna yang terkandung dalam kalimatnya
tetap utuh. Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
pleonasme, di antaranya adalah pada ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72.
Untuk mewakili
pembahasan mengenai
bentuk gaya
bahasa
pleonasme pada ayat-ayat tadi, penulis akan memaparkan gaya bahasa
tersebut pada terjemahan ayat ke-12. Adapun terjemahan ayat ke-12
yaitu,
“Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum
baunya”.260
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa pleonasme
pada serangkaian kata yang harum baunya. Penggunaan kata-kata
tersebut jelas berlebihan, karena dengan menghadirkan kata harum
saja, tanpa menghadirkan kata baunya, kalimat tersebut tetap
mempunyai makna yang utuh.
260
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
120
Ditinjau
dari
segi
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat tersebut, masing-masing mengandung makna
tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan
pada Al-Quran The Great Miracle.261
Kata
Makna
walẖ abbu
dan biji-bijian
Żû
yang mempunyai
Al„aşfi
kulit,
warraiẖ ânu
dan tumbuh-tumbuhan yang
harum
Secara umum, penggunaan kata-kata yang berlebihan pada
terjemahan adalah untuk menambah efek suasana, baik ketika Allah
memaparkan bahwa ia telah meratakan bumi dengan berbagai isinya
seperti biji-bijian dan tumbuhan yang harum (ayat ke-12),
langit
terbelah (pada ayat ke-37), keadaan atau siksaan orang durjana yang
mengelilingi neraka jahanam (ayat ke-44), dua mata air yang
memancar di dalam kedua surga (ayat ke-66), maupun bidadaribidadari surga yang dipingit di rumah (ayat ke-72). Kata-kata seperti
baunya setelah kata harum (harum baunya) pada ayat ke-12, kata
pecah sebelum kata terbelah (pecah terbelah) pada ayat ke-37, kata
berputar sebelum kata berkeliling-keliling (berputar berkelilingkeliling) pada ayat ke-44, kata berlimpahan setelah kata memancar
(memancar berlimpahan) pada ayat ke-66, kata peranginan setelah
kata rumah (rumah peranginan) pada ayat ke-72, kata-kata yang
bercetak tebal tersebut, tidak dikandung dari masing-masing makna
kata yang membangun ayat-ayat tersebut, seperti kata yaţûfûna
bermakna mereka akan berkeliling, bukan berputar berkelilingkeliling (pada ayat ke-44), nađđâkhatâni bermakna keduanya
memancarkan (air) bukan memancar berlimpahan (pada ayat ke-66),
261
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle , Op. Cit., h. 1059.
121
dan filkhiyâmi bermakna dalam kemah-kemah bukan rumah
peranginan (pada ayat ke-72).
Dengan demikian, pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas
terdapat gaya bahasa pleonasme, yang digunakan H. B. Jassin untuk
menggambarkan dan memeroleh efek suasana yang menegangkan,
menakutkan (pada saat terbelahnya langit dan siksaan bagi orang
durjana) dan suasana keindahan surga yang membahagiakan, agar
tercipta suasana penggambaran yang hidup, yang membuat para
pembacanya seolah ikut melihat, merasakan, dan terhanyut dalam
cerita penggambaran terjadinya hari kiamat, siksa neraka, dan nikmat
surga. Sehingga, para pembaca menjadi takut dan sekaligus mejadi
senang.
11. Tautologi
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
tautologi, yaitu pada ayat ke-64. Terjemahan ayat ke-64 yaitu, “Hijau
tua warnanya (Karena daun yang rimbun)”.262
Pada terjemahan tersebut, terdapat penggunaan kata yang
berlebihan yaitu kata warnanya, yang sebenarnya mengulang dari
gagasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu kata hijau. Kata
hijau, sudah tentu menunjukkan warna. Jadi, tanpa kehadiran kata
warna pun, kata hijau sudah pasti menunjukkan warna.
a. Segi Sintaksis
Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)
P
S
Kalimat Hijau tua warnanya (Karena daun yang rimbun)
terdiri atas beberapa fungsi, yaitu frasa hijau tua menduduki fungsi
predikat, sedang kata warnanya menduduki fungsi subjek. Secara
262
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 753.
122
semantik, kata mudhâmmatâni bermakna keduanya hijau tua.
Adapun yang dimaksud hijau tua di sana adalah keadaan kedua
surga. Terlihat jelas, bahwa dalam konstituen yang membangun
kalimat tersebut, tidak ada kata warnanya, sebab hijau sudah
menunjukkan warna. Jadi, penggunaan kata warna sebaiknya
dihilangkan saja, agar tidak menimbulkan penggunaan kata yang
mengulang gagasan yang telah disebutkan sebelumnya. Tanpa
kehadiran kata warna pun, pembaca sudah dapat memahami bahwa
hijau tua adalah warna kedua suga.
12. Klimaks
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa klimaks
yang dihasilkan dengan cara menyajikan serangkaian kata menuju
pada pokok pembicaraan yang memiliki kepentingan lebih tinggi
dibanding serangkaian kata sebelumnya. Adapun gaya bahasa
tersebut, terdapat pada terjemahan ayat ke-33 dan 44. Namun, penulis
hanya akan membahas gaya bahasa klimaks pada ayat ke-44, yang
dapat mewakili terjemahan ayat ke-33. Terjemahan ayat ke-44 yaitu,
“Di tengah-tengahnya Dan di tengah air panas mendidih, Mereka
berputar berkeliling-keliling!”.263
a. Segi Sintaksis
Klausa Mereka berputar berkeliling-keliling, mempunyai
tingkat kepentingan yang lebih tingggi dibanding sebelumnya,
karena sebelumnya merupakan keterangan yang menjelaskan
bahwa mereka (orang-orang durjana) akan berkeliling-keliling di
tengah neraka jahanam. Frasa di tengah-tengahnya dan klausa dan
di tengah air panas mendidih, menduduki fungsi keterangan, yang
menunjukkan tempat. Kata mereka, menduduki fungsi subjek,
263
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751.
123
sedang frasa berputar berkeliling-keliling, menduduki fungsi
predikat. Jadi, kata-kata yang menduduki fungsi subjek dan
predikat, merupakan inti pembicaraan, yang memiliki tingkat
kepentingan yang lebih tinggi di banding dengan serangkaian kata
sebelumnya. Serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan,
berada mendahului subjek dan predikatnya, sehingga seolah
serangkaian kata yang menduduki fungsi keterangan tersebut
menjadi subjeknya. Dengan demikian, pada terjemahan kalimat
tersebut, terdapat gaya bahasa klimaks, karena menyajikan
serangkaian
kata
menuju
serangkaian
kata
yang
tingkat
kepentingannya lebih tinggi.
b. Segi Semantik
Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang
menyusun ayat ke-44, masing-masing mengandung makna tertentu.
Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada
Al-Qur‟an The Great Miracle. 264
Kata
Makna
Yatûfûna
mereka akan berkeliling
Bainahâ
di antaranya
Wabaina
dan di antara
ẖ amîmin
air mendidih
Ânin
sangat panas
Bila makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Mereka akan berkeliling di antaranya
dan di antara air panas yang mendidih. Pada struktur kalimat
bahasa Arab,
terlihat dengan jelas bahwa susunan kata yang
memiliki tingkat kepentingan lebih tinggi diletakkan di awal
kalimat, yaitu subjek kata mereka dan predikat frasa akan
264
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.
124
berkeliling ( dalam Arab yatûfûna). Sementara itu, H. B. Jassin
menempatkan lebih dulu keterangan di depan subjek dan
predikatnya. Padahal, dalam susunan konstituen-konstituen ayat
tersebut, subjek dan predikat diletakkan di awal, kemudian disusul
dengan keterangan.
c.
Segara Pragmatik
Secara pragmatik, terjemahan ayat tersebut merupakan sebuah
pemberitahuan yang mengandung peringatan dan ancaman bagi
para pendosa, bahwa kelak di hari kiamat, mereka akan menjadi
penghuni neraka jahanam, yang airnya mendidih dan sangat panas.
Ini merupakan sebuah balasan bagi para pendosa di dunia.
13. Antiklimaks
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
antiklimaks, yaitu pada ayat ke-14, 24, 31, 37, 56. Gaya bahasa
antiklimaks, merupakan kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Pada
gaya bahasa antiklimaks, serangkaian kata disusun dari yang
mempunyai kepentingan lebih tinggi menuju kepentingan yang
rendah. Dengan demikian, yang menjadi pokok pembicaraan terletak
di awal kalimat. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut
melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke-24 yaitu,
“Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan,
laksana gunung menjulang”.265
Pada terjemahan tersebut, yang menjadi pokok atau inti kalimat
adalah pembahasan bahwa Allah mempunyai bahtera-bahtera yang
berlayar tinggi. Hal tersebut dipaparkan pada bagian awal kalimat
hingga menuju bagian yang menerangkan bahtera-bahtera tersebut,
yaitu berupa pengibaratannya seperti gunung yang menjulang.
265
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.
125
Pengibaratan tersebut merupakan kalimat penjelas yang mendukung
serangkaian kata sebelumnya.
Secara semantik, konstituen-konstituen yang membangun ayat ke24, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut penulis
sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The
Great Miracle.266
Kata
Makna
Walahu
dan bagiNya
Al-jawâri
kapal-kapal
Al-munsyaâtu
yang tinggi (berlayar)
filbaẖ ri
di lautan
kala„lâmi
laksana gunung-gunung.
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar
tinggi di lautan laksana gunung-gunung. Pada kalimat tersebut, dapat
dilihat bahwa klausa Dan baginya kapal-kapal yang berlayar tinggi di
lautan, memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi dibanding
laksana
gunung-gunung.
Pengibaratan
tersebut,
merupakan
serangkaian kata penjelas klausa inti di dalam kalimat terjemahan
tersebut.
14. Sinekdoke
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
sinekdoke, yaitu pada ayat ke-4, 10, 27, 37, 41, 56. Adapun gaya
bahasa sinekdoke yang ditemukan adalah sinekdoke pars pro toto.
Pada pembahasan ini, penulis hanya akan membahas bentuk
penggunaan gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-27, yang dapat
mewakili bentuk penggunaan gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
266
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061.
126
pada terjemahan ayat lain. Adapun terjemahan surah Ar-Rahman ayat
ke-27 yaitu,
“Tapi kekal (selama-lamanya) Wajah Tuhanmu, Agung dan Mulia”.267
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto, yaitu menyatakan sebagian untuk keseluruhan. Pada
terjemahan tersebut, yang dimaksud dengan kata wajah, bukan berarti
wajah Allah yang kekal, tetapi zat Allah akan kekal selamanya beserta
sifat-sifatnya. Pada terjemahan ayat tersebut, H. B. Jassin juga
menggunakan catatan kaki untuk kata wajah, yang berarti kebesaran,
kemuliaan, dan keagungan Tuhan.
a. Segi Sintaksis
Ditinjau dari segi sintaksisnya, kata Tapi sebagai konjungtor,
frasa kekal (selama-lamanya) menduduki fungsi predikat, frasa
Wajah Tuhanmu menduduki fungsi subjek, dan frasa Agung dan
Mulia menduduki fungsi pelengkap.
b. Segi Semantik
Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituenkonstituen
yang
membangun
ayat
ke-27,
masing-masing
mengandung makna tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna
tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an The Great Miracle.268
267
268
Kata
Makna
Wayabqâ
dan tetap kekal
Wajhu
wajah (zat)
Rabbika
Tuhanmu
Żû
Mempunyai
Al-jalâli
kebesaran,
Walikrâmi
dan kemuliaan
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc.Cit., h. 750.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061.
127
Setelah melihat terjemahan kata-kata tersebut, nampak bahwa
tidak ada kata yang bermakna tapi seperti yang ada pada
terjemahan H. B. Jassin. Adapun kata Al-jalâli dan walikrâmi
dalam gramatika Arab, berfungsi sebagai na„at (sifat) dari rabbika
yang berfungsi sebagai man„utnya (yang disifati).
c. Segi Pragmatik
Ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan tersebut
selain berupa
pernyataan, juga
mengandung makna
yang
memberitahukan bahwa selain Allah, semua makhluk akan binasa.
Tidak ada satupun yang kekal dan dapat bertahan kecuali zat Allah
Yang Maha Agung dan Mulia. Dengan demikian, kata wajah bukan
berarti wajah Allah yang kekal, melainkan zat beserta sifat-sifatnya
yang kekal. Hal tersebut merupakan jenis gaya bahasa sinekdoke
pars pro toto.
15. Prolepsis
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
prolepsis, yaitu pada ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39. Berikut penulis
paparkan gaya bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-35.
Adapun terjemahan ayat ke-35 surah Ar-Rahman yaitu,
“Kepada kamu (jin) dan kamu (manusia) Dilepaskan nyala api dan
cairan tembaga. Maka tiadalah kamu dapat membela diri”.269
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa prolepsis,
berupa penggunaan serangkaian kata-kata yang membentuk kalimat,
dipaparkan sebelum peristiwa sebenarnya terjadi. Dalam Alquran,
semua kejadian yang akan datang, temasuk hari kiamat beserta nikmat
269
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 751.
128
bagi orang beriman dan bertakwa, dan siksaan bagi orang yang
berdosa, telah dipaparkan Allah dengan jelas. Peristiwa-peristiwa
tersebut, pasti akan terjadi. Ini merupakan pemberitahuan, sekaligus
peringatan kepada makhlukNya agar memilih jalan yang lurus, yaitu
jalan yang diridaiNya, jika ingin bahagia kelak di akhirat. Sebelum
hari itu tiba, Allah terlebih dahulu telah memaparkan peristiwaperistiwa tersebut di dalam Alquran, supaya makhlukNya dapat
mempersiapkan diri dengan beriman dan bertakwa kepadaNya. Pada
hari kiamat, Allah akan memberikan siksaan yang amat pedih bagi
makhlukNya yang durjana. Mereka pun tidak akan dapat membela diri
dan menghindar dari siksaan tersebut. Di antara siksaan tersebut
adalah akan dikeluarkannya nyala api dan cairan tembaga.
16. Erotesis
Gaya bahasa erotesis merupakan penggunaan sebuah kata tanya
yang kehadirannya tidak memerlukan jawaban, biasa juga disebut
sebagai retoris. Adapun pemaparan mengenai gaya bahasa tersebut,
penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke-60. Terjemahan ayat ke60 surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia yaitu,
“Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan?”.270
Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa erotesis, yaitu
penggunaan sebuah kata tanya yang kehadirannya tidak memerlukan
jawaban, melainkan jawaban itu sudah masing-masing diketahui
manusia. Berdasarkan pengetahuan manusia, bahwa tidak ada balasan
kebaikan selain kebaikan.
a. Segi Semantik
Ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen yang menyusun
ayat ke-60, masing-masing mengandung makna tertentu. Berikut
270
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 752.
129
penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada Al-Qur‟an
The Great Miracle.
Kata
Makna
Hal
tidak ada
Jazâu
balasan
Al-ihsâni
kebaikan
Illâ
kecuali
Al-ihsânu
kebaikan
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Tidak ada balasan untuk kebaikan selain
kebaikan. Kalimat tersebut, sesungguhnya tidak nampak seperti
kalimat tanya, meski ada haraf istifham (kata tanya dalam bahasa
Arab) yaitu kata hal yang berarti apakah. Pada Al-Qur‟an The Great
Miracle, kata hal dimaknai tidak ada bukan apakah. Sementara itu, H.
B. Jassin memaknainya dengan kata apakah, hingga terjemahan ayat
tersebut menjadi Apakah ada balasan kebaikan selain kebaikan?
Kalimat terjemahan H. B. Jassin tersebut merupakan bentuk kalimat
tanya retoris, yang tidak memerlukan jawaban, karena jawaban
tersebut masing-masing sudah diketahui atau sudah ada dalam diri
manusia, bahwa tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan.
Artinya, kebaikan pasti akan dibalas kebaikan pula.
Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan ayat tersebut, Ahmad
Mustafa Al-Maragi memaparkan bahwa menurut riwayat dari Anas
bin Malik, ia mengatakan bahwa Rasulullah pernah membaca Hal
Jaza‟ul Ihsani illal Ihsan, lalu bersabda, “Tahukah kamu apakah yang
difirmankan oleh Allah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan
rasulNya yang lebih tahu.” Kemudian, sabda Rasulullah, “Tiadalah
balasan dari orang yang aku anugerahi tauhid melainkan surga.”
Demikian diriwayatkan oleh Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan AlBaihaqi. Sedang menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, tiadalah
130
balasan bagi orang yang mengucapkan La ilaaha illallah semasa di
dunia melainkan surga di akhirat.271 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
b.
Segi Pragmatik
Sementara itu, ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan
tersebut merupakan bentuk komunikasi Allah kepada makhlukNya,
bahwa jika makhlukNya berbuat kebaikan selama hidup di dunia,
maka Allah telah merencanakan suatu kebaikan pula untuk mereka
kelak di akhirat. Artinya, Allah akan membalas kebaikan dengan
kebaikan, tidak dengan kejahatan. Selain itu, kalimat terjemahan
tersebut, juga merupakan isyarat agar makhlukNya senantiasa
mengingat dan berbuat kebaikan.
Pembahasan mengenai gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-60,
telah mewakili gaya bahasa pada terjemahan ayat ke-13, 16, 18, 21,
23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45,47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61,
63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77.
17. Simile
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa simile,
yaitu gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara eksplisit,
dengan menggunakan kata-kata seperti, laksana, bak, dan bagaikan.
Adapun gaya bahasa tersebut, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-14, 24, 37, dan 58. Berikut kami paparkan gaya
bahasa tersebut, melalui terjemahan ayat ke-24. Terjemahan ayat ke24 yaitu,
“Kepunyaan-Nya bahtera-bahtera, Berlayar tinggi lintas lautan,
laksana gunung menjulang”.272
271
272
Al-Maragi, Op. Cit., h. 221.
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.
131
Pada terjemahan ayat tersebut, terdapat gaya bahasa simile, yaitu
bahtera-bahtera yang berlayar tinggi, diibaratkan seperti gunung yang
menjulang. Pengibaratan tersebut, dilakukan dengan menggunakan
kata laksana. Hal yang disamakan yaitu kadar ketinggian layar
bahtera-bahtera dengan menjulangnya gunung. Kata yang digunakan
adalah kata laksana. Kata tersebut hadir untuk membandingkan
sesuatu hal yang dianggap memiliki persamaan.
Ditinjau
dari
segi
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat ke-24, masing-masing mengandung makna tertentu.
Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.273
Kata
Makna
Walahu
dan bagiNya
Al-jawâri
kapal-kapal
Al-munsyaâtu
yang tinggi (berlayar)
filbaẖ ri
di lautan
kala„lâmi
laksana gunung-gunung.
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Dan baginya kapal-kapal yang berlayar
tinggi di lautan laksana gunung-gunug. Pada kalimat tersebut, dapat
dilihat bahwa huruf k pada kata kala„lâmi mengandung makna seperti
atau laksana yang mengibaratkan dua hal tadi.
Secara keseluruhan, penggunaan gaya bahasa simile pada
terjemahan
surah
Ar-Rahman,
hanya
menggunakan
kata-kata
pengibaratan seperti, laksana, dan seakan-akan. Hanya, yang lebih
banyak adalah memakai kata seperti. Adapun fungsi gaya bahasa
simile pada setiap terjemahan ayat-ayat yang telah dijelaskan, adalah
273
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Loc. Cit., h. 1061.
132
untuk
memperindah
penyampaian,
memperjelas
maksud
dan
menambah efek suasana penggambaran sesuatu hal yang disampaikan.
18. Personifikasi
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang menjadikan benda
mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. Gaya
bahasa tersebut, terdapat pada terjemah surah Ar-Rahman ayat ke-6
dan 19. Berikut penulis paparkan gaya bahasa tersebut, melalui
terjemahan ayat ke-19. Adapun terjemahan ayat tersebut yaitu,
“Ia lepaskan kedua lautan yang saling bertemu”.274
Pada terjemahan tersebut, terdapat gaya bahasa personifikasi,
yang menjelaskan bahwa kedua lautan dapat saling bertemu. Pada
terjemahan ini, kedua lautan seolah-olah digambarkan memiliki sifat
seperti manusia, yaitu bisa saling bertemu. Untuk dapat saling
bertemu, tentu ada perjalanan yang dilakukan oleh kedua belah pihak,
atau oleh salah satunya.
Adapun maksud dari terjemahan ayat tersebut sebenarnya adalah
Allah membiarkan laut asin dan laut tawar saling bertetangga dan
bersentuhan tanpa terjadi saling melampaui satu sama lain. Artinya,
laut asin tidak dapat melampaui laut tawar sehingga menjadikan laut
tawar menjadi asin, begitupun sebaliknya. Allah telah membatasi
keduanya dengan suatu yang terdiri dari unsur-unsur bumi.275
19. Antonomasia
Gaya bahasa antonomasia, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-1. Terjemahan ayat tersebut yaitu,
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah”.276
274
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Loc. Cit., h. 750.
Al-Maragi, Op. Cit., h. 197.
276
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
275
133
Gaya bahasa antonomasia merupakan jenis gaya bahasa yang
digunakan untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau gelar
kehormatan. Pada terjemahan tersebut, penggunaan susunan kata Yang
Maha Pemurah untuk menyebutkan nama Allah, merupakan bentuk
penggunaan gaya bahasa antonomasia, karena menggantikan nama
Allah dengan penyebutan Yang Maha Pemurah. Allah sebagai sang
pencipta, juga sering disebut dengan menggunakan nama-namaNya
yang berjumlah 99, dan kita sebut sebagai Asmaul-Husna, yaitu namanama Allah yang begitu indah. Bentuk penggunaan Yang Maha
Bijaksana, Yang Mahan Pengampun, dan Yang Maha Esa untuk
menyebutkan atau menggantikan nama Allah, termasuk ke dalam gaya
bahasa antonomasia, sama seperti Yang Maha Pemurah. Tidak ada
seorang pun yang mempunyai sebutan Yang Maha Pemurah selain
Allah. Jika dilihat dari makna kata maha, memiliki arti sangat atau
amat. Jadi, Yang Maha Pemurah juga berarti Yang amat Pemurah.
Kata amat, memiliki tingkat intensitas yang lebih tinggi. Hadirnya
kata maha dalam susunan kalimat tersebut, tentu membawa dampak
arti bahwa Allah bukan hanya Sang Pemurah, tetapi Sang Maha
Pemurah.
Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, kata Arrahmân
bermakna Yang Maha Pemurah. Kepemurahan tersebut hanyalah
milik Allah. Allahlah yang mempunyai sifat Rahman, tiada yang lain
meski nama Allah tidak hadir dalam makna kata tersebut (Arrahmân).
Ditinjau dari segi sintaksis, kalimat tersebut merupakan jenis kalimat
deklaratif, yaitu sebuah kalimat pernyataan yang singkat dan jelas.
Pernyataan
tersebut
disampaikan
guna
memberitahukan
dan
mengingatkan bahwa Allah memiliki sifat rahman, yaitu Maha
Pemurah. Dengan demikian, Yang maha pemurah merupakan gaya
bahasa antonomasia. Hal tersebut sama halnya dengan penyebutan
Yang Mulia kepada raja di suatu kerajaan.
134
20. Perifrasis
Gaya bahasa perifrasis, terdapat pada terjemahan surah ArRahman ayat ke-41. Adapun terjemahan ayat ke-41 yaitu,
“Orang-orang durjana Akan dikenal pada tanda-tandanya, dan
mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya”.277
Klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya
dapat diganti dengan menggunakan satu kata saja, yaitu disiksa.
Bentuk tersebut, termasuk jenis gaya bahasa perifrasis, di mana
serangkaian kata-kata (klausa mereka akan dicekam pada ubun-ubun
dan kaki-kakinya), dapat diganti hanya dengan menggunakan satu
kata, yaitu disiksa. Kata disiksa sudah mewakili semua jenis siksaan
yang akan Allah berikan kepada para pendosa. Kalusa mereka akan
dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya, memberikan makna
bahwa orang-orang yang berdosa, pada hari kiamat akan disiksa
dengan sisksaan yang amat pedih. Salah satu jenis siksaan tersebut
yaitu akan dicekam ubun-ubun dan kaki-kakinya.
a. Segi Semantik
Sementara itu, ditinjau dari segi semantik, konstituen-konstituen
yang membangun ayat ke-41, masing-masing mengandung makna
tertentu. Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan
pada Al-Qur‟an The Great Miracle.278
277
278
Kata
Makna
yu„rafu
diketahui atau dikenal
Al-Mujrimûna
orang-orang yang berdosa
Bisîmâhum
dengan tanda-tanda mereka
fayu‟khażu
lalu dipegang atau diambil
Binnawâsî
dengan ubun-ubun
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Ibid., h. 751
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1063.
135
Walaqdâmi
dan kaki-kakinya
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi orang-orang yang berdosa akan dikenal
melalui tanda-tandanya, lalu akan dipegang ubun-ubun dan kakikakinya. Adapun maksud dari ayat tersebut, dijelaskan dalam AlQur‟an The Great Miracle yaitu orang orang yang berdosa dikenal
dengan tanda-tanda di wajah mereka, bermuka gelap dan bermata
juling, lalu malaikat akan mencekam ubun-ubun dan kaki-kakinya dan
melemparkannya ke neraka.279
b. Segi Pragmatik
Selanjutnya, jika ditinjau dari segi pragmatik, kalimat terjemahan
ayat ke-41, bukan hanya sekadar bentuk komunikasi Allah yang
menyampaikan informasi bahwa kelak orang-orang berdosa akan
disiksa, melainkan juga sebuah komunikasi yang mengandung
ancaman, peringatan, sekaligus anjuran untuk menjalankan kehidupan
dengan berpegang teguh pada Alquran. Maksud tersebut memang
tidak secara tersurat terkandung di dalam makna ayat, melainkan
manusia sebagai makhlukNya, harus memahami apa yang dimaksud
dengan ayat tersebut. Adapun inti dari ayat tersebut adalah orangorang yang berdosa, kelak akan disiksa dengan siksaan yang amat
pedih.
21. Apostrof
Pada terjemahan surah Ar-Rahman, terdapat gaya bahasa
apostrof, yaitu berupa pengalihan amanat atau pembicaraan kepada
sesuatu hal yang tidak hadir. Gaya bahasa tersebut terdapat pada ayat
ke-31 dan 33. Berikut penulis paparkan melalui terjemahan ayat ke31. Adapun terjemahan ayat ke-31 yaitu,
279
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Ibid., h. 1064.
136
“(Yakni) kami „kan membuat perhitungan terhadapmu, Hai (kedua
jenis makhluk) jin dan insan!”,280
Pada terjemahan kedua ayat tersebut, terdapat pengalihan amanat
kepada sesuatu yang tidak hadir, yaitu kepada objek yang tidak
terlihat oleh manusia (jin). Allah tidak hanya berkomunikasi dengan
manusia, tetapi juga jin. Pengalihan pembicaraan kepada jin, dengan
menyebutkan Hai jin pada ayat ke-31 dan Hai kumpulan jin pada ayat
ke-33, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, karena adanya
pengalihan pembicaraan pada sesuatu hal yang tidak hadir, yaitu jin
(makhluk yang gaib).
Gaya bahasa apostrof, biasanya dapat kita temukan pada pidatopidato yang di dalamnya terdapat pengalihan pembicaraan kepada
sesuatu hal yang tidak hadir, sesuai dengan tema pidato yang
disampaikan,
seperti
orator
mengatakan,
“Hai
para
pejuang
kemerdekaan!” dan “Hai para petinggi-petinggi negara!”. Penggunaan
kata-kata tersebut, merupakan bentuk gaya bahasa apostrof, sama
seperti pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-31 dan 33. Bagi
manusia, jin merupakan makhluk Allah yang tidak hadir. Maka, ketika
manusia membacakan ayat-ayat Alquran, kemudian pada terjemahan
ayat tersebut Allah menyapa atau menyeru kepada jin, itu termasuk
bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof, karena menyeru sesuatu hal
yang tidak hadir.
Ditinjau
dari
segi
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat ke-31, masing-masing mengandung makna tertentu.
Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.281
280
281
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 750.
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1061.
137
Kata
Makna
Sanafruġu
kami akan berurusan
Lakum
terhadap kalian
Ayyuha
Wahai
Śaqolâni
dua golongan (jin dan manusia)
Pada makna kata-kata tersebut, terlihat bahwa kata yang
berfungsi sebagai penyeru adalah kata ayyuha bermakna wahai, yang
menyeru dua golongan, yaitu jin dan manusia. Adapun yang dimaksud
dengan bentuk penggunaan gaya bahasa apostrof pada ayat tersebut,
yaitu berupa seruan terhadap jinnya, bukan terhadap manusia, karena
jin merupakan makhluk yang tidak hadir menurut manusia.
Adapun secara pragmatik, terjemahan ayat ke-31, selain sebagai
pemberitahuan bahwa kelak golongan jin dan manusia akan diberi
perhitungan oleh Allah, sesungguhnya merupakan suatu peringatan
dan acaman terhadap keduanya.
22. Antitesis
Pada terjemahan surah Ar-Rahman ayat ke-12, terdapat gaya
bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang berlawanan.
Adapun terjemahan ayat ke-12 yaitu,
“Juga padi-padian yang berkulit, Dan tumbuh-tumbuhan yang harum
baunya”.282
Pada terjemahan tersebut, pemakaian kata harum dan bau,
termasuk ke dalam gaya bahasa antitesis, karena kedua kata tersebut
merupakan kata-kata yang berlawanan makna, seperti besar dan kecil,
jauh dan dekat.
Ditinjau
dari
segi
semantik,
konstituen-konstituen
yang
membangun ayat ke-12, masing-masing mengandung makna tertentu.
282
Jassin, Al-Qurân Al-Karîm Bacaan Mulia, Op. Cit., h. 749.
138
Berikut penulis sajikan makna-makna tersebut, berdasarkan pada AlQur‟an The Great Miracle.283
Kata
Makna
walẖ abbu
dan biji-bijian
Żû
yang mempunyai
Al-a„şfi
Kulit
warraiẖ ânu
dan tumbuhan yang harum
Jika makna-makna tersebut disusun ke dalam kalimat bahasa
Indonesia, maka menjadi Dan biji-bijian yang mempunyai kulit, dan
tumbuhan
yang
harum.
Pada
terjemahannya,
H.
B.
Jassin
menggunakan kata bau setelah kata harum, yang keduanya
sesungguhnya mempunyai makna yang berlawanan. Harum bermakna
wangi atau sedap, sedang bau umumnya identik dengan hal-hal yang
tidak enak dicium oleh indra penciuman. Misalnya, seorang
perempuan berjalan melewati tempat pembuangan sampah, lalu ia
mengatakan, “Bau sekali tempat ini!”, atau dalam kegiatan
komunikasi sehari-hari yang lain juga dapat ditemukan penggunaan
kata bau yang umumnya digunakan untuk menyebutkan hal-hal yang
tidak enak dicium oleh indra penciuman, seperti busuk dan anyir.
Dengan demikian, pada terjemahan ayat ke-12, terdapat penggunaan
gaya bahasa antitesis, yaitu berupa penggunaan dua kata yang
berlawanan dalam satu kalimat, seperti harum dan bau.
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gaya bahasa yang
ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman Al-Qur‟ân Al-Karîm
Bacaan Mulia Karya H. B. Jassin, penulis menyatakan bahwa gaya
bahasa-gaya bahasa tersebut dipakai untuk menghasilkan keindahan
dan persamaan bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, memberikan
efek pada penggambaran suasana cerita, penekanan pada kata yang
283
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an The Great Miracle, Op. Cit., h. 1059.
139
dianggap penting, memperjelas dan menghidupkan penggambaran
sesuatu hal. Dari segi penyajian terjemahan, H. B. Jassin menyajikan
terjemahan dengan tipografi seperti puisi, yang berbeda dengan
terjemahan lain, seperti terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia dan Mahmud Yunus. Keputusan untuk mempertahankan
keindahan bunyi, memunculkan adanya ketidakkonsistenan H. B.
Jassin dalam menggunakan kata-kata, seperti kata insan dan manusia,
dan penggunaan kata hauri-hauri, gadis-gadis, dan bidadari-bidadari.
Namun demikian, terjemahan H. B. Jassin dengan berbagai diksi yang
digunakan, tetap menyampaikan maksud yang dikandung ayat surah
Ar-Rahman.
D. Implikasi Penelitian terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah
Penelitian mengenai gaya bahasa dalam Alquran terjemahan, dapat
diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
sekolah, terutama dalam hal pemberian contoh. Penilitian ini, dapat
menjadikan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembelajaran yang
unik, menarik, dan luas cakupannya. Luas cakupan yang dimaksud adalah
dalam hal pemberian dan pengembangan contoh materi pelajaran.
Mengkaji bahasa, tidak hanya terbatas pada mengkaji objek yang berupa
karya sastra seperti puisi, cerpen, novel, dan drama, atau aktivitas-aktivitas
sosial manusia yang berhubungan dengan bahasa, tetapi pada Alquran
terjemahan pun dapat ditemukan berbagai persoalan penggunaan bahasa
yang dapat dikaji, asalkan cermat memerhatikannya.
Di dalam pelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan
berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan mendengarkan
atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan
tersebut, berhubungan dengan materi pelajaran bahasa Indonesia yang
diajarkan, seperti materi gaya bahasa. Materi gaya bahasa, dapat dikuasai
terutama melalui keterampilan membaca dan menulis. Adapun tujuan dari
140
membaca adalah agar siswa mampu memahami isi bacaan secara tepat,
mencari sumber, mengumpulkan informasi, memanfaatkan informasi, dan
mampu menyerap isi bacaan. Selain itu, agar siswa memiliki kegemaran
membaca, meningkatkan pengetahuan, dan memanfaatkan kegiatan
membaca dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan dari menulis adalah
agar siswa mampu menuangkan pengalaman dan gagasan, mampu
mengungkapkan perasaan secara tertulis dengan jelas, mampu menuliskan
informasi sesuai dengan pokok bahasan dan keadaan, dan mampu menulis
karangan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.284
Setiap guru bahasa harus dapat membantu serta membimbing para
pelajar
untuk
mengembangkan
serta
meningkatkan
keterampilan-
keterampilan yang mereka butuhkan dalam membaca. Usaha yang dapat
dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan membaca itu antara lain:
a. Guru dapat menolong para pelajar memperkaya kosa kata mereka
dengan jalan:
1. Memperkenalkan sinonim kata, antonim kata, parafrase, kata-kata
yang berdasar sama;
2. Memperkenalkan imbuhan, yang mencakup awalan, sisipan, dan
akhiran;
3. Mengira-ngira atau mereka makna kata dari konteks atau hubungan
kalimat;
4. Kalau perlu, menjelaskan arti sesuatu kata abstrak dengan
mempergunakan bahasa daerah atau bahasa ibu pelajar.
b. Guru dapat membantu para pelajar untuk memahami makna, struktur
kata, kalimat, dan sebagainya dengan cara yang telah dikemukakan di
atas disertai latihan seperlunya.
c. Kalau perlu dapat memberikan serta menjelaskan kawasan atau
pengertian kiasan, sindiran, ungkapan, pepatah, peribahasa, dan lainlain dalam bahasa daerah atau bahasa ibu para pelajar.
d. Guru dapat menjamin serta dapat memastikan pemahaman para pelajar
dengan berbagai cara.
e. Guru dapata meningkatkan kecepatan para pelajar.285
284
J. S. Badudu, Loc. Cit., h. 14-15.
Henry Guntur Tarigan, Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 2013), h. 14-16.
285
141
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mengenai
gaya bahasa di sekolah, terutama perihal contoh-contohnya, dapat dipelajari
melalui keterampilan membaca. Selain melalui kegiatan membaca, untuk
melatih pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, terutama gaya bahasa,
dapat pula melalui kegiatan menulis, seperti menulis puisi dengan
menggunakan gaya bahasa yang telah dipelajari siswa. Guru harus mampu
memperkenalkan dan mengajak siswa untuk mengetahui dan memahami
materi pelajaran, dalam hal ini adalah gaya bahasa, agar menambah
pengetahuan dan mengasah pemahaman siswa, juga mereka menjadi tahu
bahwa materi gaya bahasa, tidak hanya terdapat pada sebuah LKS, buku
paket bahasa Indonesia, dan teks sastra, tetapi juga pada Alquran
terjemahan. Bagi guru bahasa Indonesia yang beragama Islam, mencari
contoh-contoh gaya bahasa di dalam Alquran terjemahan tentu mudah
dilakukan, karena pada dasarnya, materi mengenai gaya bahasa sudah
dikuasai, hanya tinggal mencari dengan bekal pengetahuan yang telah
dimiliki, dan menyajikannya semenarik mungkin kepada siswa. Menyajikan
dan mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan kehidupan nyata
siswa, sangat baik. Dengan begitu, siswa tidak hanya mendapatkan ilmu
pengetahuan bahasa Indonesia, tetapi juga agama.
Peran guru sebagai pengajar dan pendidik sangat dibutuhkan. Selain
kompeten dalam bidangnya, guru juga harus memiliki wawasan yang luas.
Ngalim Purwanto menyatakan bahwa seorang guru, selain mempunyai
pengetahuan yang dalam
tentang mata pelajaran yang sudah menjadi
tugasnya, akan lebih baik jika guru itu mengetahui pula tentang segala
sesuatu yang penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam
masyarakat. Guru haruslah mempunyai perhatian intelektual yang luas dan
tidak kunjung padam.. Para Guru harus mengetahui lebih banyak tentang
dunia.286
286
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), h. 148.
142
Menjadi guru, jangan hanya terfokus memberikan dan menjelaskan
contoh yang telah tersedia di dalam teks atau buku ajar bahasa Indonesia,
tetapi juga harus banyak memberikan contoh-contoh di luar teks, dan
mengaitkannya dengan kehidupan nyata siswa. Guru bisa mengambil
terjemahan surah Alquran, satu atau dua ayat, bisa juga lebih. Hal tersebut
tentu dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi pelajaran.
Penulis sangat yakin, contoh-contoh mengenai materi pelajaran bahasa
Indonesia dapat diambil dari Alquran terjemahan. Tentunya, terjemahan
yang dipakai adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya
contoh penggunaan gaya bahasa yang dapat ditemukan dalam Alquran
terjemahan, tetapi juga seperti kalimat tanya, perintah, kalimat aktif, dan
kalimat pasif. Dengan demikian, secara tidak langsung guru mengajarkan
ilmu tentang bahasa Indonesia sekaligus juga mengajarkan ilmu agama
khususnya mengenai surah-surah dalam Alquran yang dikaitkan dengan
materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa, dapat kita temukan
pada materi pelajaran mengenai puisi, cerpen, bahkan terdapat materi yang
khusus mempelajari gaya bahasa.
Bagi guru yang beragama Islam, hal ini dapat dilakukan sedikit-sedikit
untuk mendekatkan siswa yang bergama Islam, dekat dengan Alquran
sebagai pedomannya. Apalagi, ini dapat sekali diterapkan pada sekolahsekolah seperti MTs dan sekolah Islam lainnya. Dengan cara apapun, hal
tersebut dapat dilakukan. Jika dalam satu kelas terdapat nonmuslim,
pemberian contoh yang umum dapat dilakukan seperti memberikan contoh
yang terdapat pada teks puisi, cerpen, dan drama, hanya tinggal dikemas
melalui cara guru tersebut dalam mengelola kelas. Selain itu, guru dapat
mengkondisikan pemberian tugas, mencari contoh gaya bahasa dalam
Alquran terjemahan dan dalam teks sastra seperti puisi dan cerpen. Jadi,
pengetahuan siswa dan guru pun menjadi luas. Tidak ada salah dan ruginya
melakukan hal tersebut, malah itu lebih baik. Sambil menyelam minum air,
belajar bahasa Indonesia, juga belajar agama Islam.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka penulis dapat
mengambil dua kesimpulan yang dapat menjawab dua pertanyaan dalam
rumusan masalah. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Ditemukan 22 jenis gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Jenis-jenis gaya
bahasa tersebut di antaranya adalah gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna, terdiri dari gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa
inversi (pada terjemahan ayat ke-7, 10, 22, 48, 50, 52, dan 64.),
aliterasi (pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), asonansi
(pada semua terjemahan ayat surah Ar-Rahman), elipsis (pada
terjemahan ayat ke-3, 4, 22, 27, 29, 33, 35, 41, 58, 60, 68, 70, 72, dan
74), apofasis (pada terjemahan ayat ke-33), asindeton (pada terjemahan
ayat ke-24, 54, dan 78.), polisindeton (pada terjemahan ayat ke-33 dan
35), pleonasme (pada terjemahan ayat ke-12, 37, 44, 66, dan 72),
tautologi (pada terjemahan ayat ke-64), prolepsis (pada terjemahan
ayat ke-35, 41, 54, 76, dan 39), erotesis (pada terjemahan ayat ke-13,
16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55,
57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, dan 60), perifrasis (pada
terjemahan ayat ke-41), dan apostrof (pada terjemahan ayat ke-31 dan
33), dan gaya bahasa kiasan, yaitu gaya bahasa simile (pada
terjemahan ayat ke-58, 37, 24, dan 14), personifikasi (pada terjemahan
ayat ke-6 dan 19), antonomasia (pada terjemahan ayat ke-1), dan
sinekdoke (sinekdoke jenis pars pro toto pada terjemahan ayat ke-4,
10, 27, 37, 41, dan 56). Selanjutnya, gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat, yaitu gaya bahasa repetisi (pada terjemahan ayat ke-13, 16,
143
144
18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57,
59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77, 78, 17, 56, 74, 48, 50, 52, 66, dan
68), paralelisme (pada terjemahan ayat ke-17, 27, 29, 31, 33, 35, 39,
41, 54, dan 78), klimaks (pada terjemahan ayat ke-33 dan 44),
antiklimaks (pada terjemahan ayat ke-14, 24, 31, 37, dan 56), dan
antitesis (pada terjemahan ayat ke-12). Gaya bahasa retoris paling
banyak ditemukan dalam terjemahan surah Ar-Rahman dalam AlQur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin. Penggunaan gaya
bahasa tersebut, dipilih untuk menghasilkan keindahan dan persamaan
bunyi, kekayaan dan kepadatan makna, menghidupkan penggambaran
suasana cerita, menekankan hal-hal (kata, frasa, klausa atau kalimat)
yang dianggap penting, memperjelas pesan yang disampaikan,
menghindari kekakuan penggunaan bahasa, terutama dalam hal diksi,
mempersingkat penyampaian pesan, dan memperindah penyebutan
suatu hal, tanpa melenceng dari maksud yang dikandung ayat.
2. Implikasi penelitian gaya bahasa terjemahan surah Ar-Rahman dalam
Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia karya H. B. Jassin terhadap
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yaitu, menjadikan
pembelajaran bahasa Indonesia pembelajaran yang unik, menarik, dan
luas cakupan dalam hal pemberian dan pengembangan contoh. Guru
dapat memberikan contoh di luar contoh yang terdapat di dalam buku
ajar, dengan mengaitkan pada kehidupan nyata siswa, selama masih
relevan dengan materi pelajaran. Pembelajaran mengenai gaya bahasa,
tidak saja dapat ditemukan pada teks sastra, tetapi juga pada Alquran
terjemahan bahasa Indonesia. Sehingga, guru harus memiliki
kemampuan untuk menyajikan contoh-contoh gaya bahasa dalam
Alquran terjemahan. Ini sangat baik dilakukan, karena baik guru
maupun siswa menjadi mempunyai wawasan yang luas dan secara
tidak langsung belajar bahasa Indonesia sekaligus agama Islam,
mendekatkan kita kepada pedoman hidup umat Islam.
145
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya, yang mempunyai minat dan ketertarikan
terhadap bahasa, penelitian mengenai aspek linguistik bahasa
Indonesia dalam Alquran terjemahan, perlu dilanjutkan. Tidak hanya
mengenai persoalan gaya bahasa, tetapi juga banyak aspek lingustik
lain yang dapat diteliti. Penelitian-penelitian yang sudah ada, terkait
dengan aspek lingustik bahasa Indonesia dalam Alquran terjemahan,
dapat dijadikan sebagai pengetahuan, pembelajaran, dan referensi
penelitian selanjutnya.
2. Bagi guru mata pelajaran bahasa Indonesia, pengembangan dan
penyajian contoh-contoh materi pelajaran, khususnya mengenai gaya
bahasa, disarankan untuk tidak hanya menyajikan dan menerangkan
contoh-contoh yang sudah tertera di dalam buku ajar, tetapi juga harus
mampu menyajikan contoh di luar buku ajar siswa, seperti di dalam
Alquran terjemahan bahasa Indonesia dan teks-teks lain. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan, selama masih relevan dengan materi
pelajaran. Guru juga disarankan memberikan tugas kepada siswa,
untuk mencari contoh-contoh di dalam terjemahan Alquran dan teksteks lain, tidak melulu pada buku paket dan LKS, agar mempunyai
pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas dan mendalam. Siswa
tidak hanya mampu memahami contoh yang sudah tersedia dalam
buku ajar, tetapi juga mereka mampu menemukan berbagai contoh di
dalam teks lain dengan pengetahuan dan pemahaman materi yang telah
dimiliki. Dengan demikian, guru harus mempunyai pengetahuan yang
luas dan mampu mengaitkan contoh-contoh materi pelajaran dengan
kehidupan nyata.
3. Bagi para siswa, sebaiknya tidak hanya menerima contoh materi
pelajaran bahasa Indonesia khususnya gaya bahasa dari guru di
sekolah, tetapi juga harus mencarinya di rumah, dari berbagai teks
bahasa Indonesia, termasuk Alquran terjemahan bahasa Indonesia,
untuk
mengasah
pemahaman
dalam
penguasaan
materi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz. Metode Praktis Memahami Al-Quran. Jakarta: Wadi Press.
2011.
Ahmad, Solihin Bunyamin. Metode Granada Sistem 8 Jam (4 Langkah) Bisa
Menerjemah AL-Qur‟an. Jakarta: Granada Nadia. 2001.
Aini, Adelina Qurrotul. “Pertemuan Dua Laut Dalam QS. ar-Rahmān (Analisis
QS. ar-Rahmān [55] Ayat 19-22 Menurut Fakhruddin ar-Rāzī Dalam Kitab
Tafsīr Mafātīḥ al-Gaib)”. Skripsi. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Kudus. 2016. Tidak Dipublikasikan.
Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Terjemahan Tafsir
Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul. Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun
Abu Bakar, L. C. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cet. IV. 1999.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Terj. dari Tafsir AlMaragi oleh Bahrun Abu Bakar, L. C., dkk. Semarang: CV Toha Putra.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran. Terj.
dari Mabāhiṡ fī „Ulumil Qurān oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa. 2007.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Shalih. Ushulun Fit Tafsir: Pengantar dan
Dasar-Dasar Mempelajari Ilmu Tafsir. Terj. dari Ushûlun Fît Tafsîr oleh
Ummu Saniyyah. Solo: Al-Qowam. 2014.
Alwi, Hasan., dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka. 2003.
Aly Ash Shabuny, Mohammad. Pengantar Study Al-Qur‟an (AT-TIBYAN). Terj.
dari At-Tibyan Fiulumil Qur‟an oleh Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna
H. S. Bandung: Al-Ma‟arif. 1987.
Amalia, Novita Rihi . “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan Novel
Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”. Skripsi. Universitas Sebelas Maret
Surakarta. 2010. Tidak dipublikasikan.
Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
1988.
146
147
A. Nida, Eugene dan Charles R. Taber. The Theory and Practice of Translation.
Netherlands: The United Bible Societies. 1969.
Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir. Terj. dari Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid
4 oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.
Ash-Shiddieqi, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-quran/Tafsir.
Jakarta: Bulan Bintang. 1980.
-----. Tafsir Al Bayaan II. Bandung: Alma‟arif.
Badudu, J. S. Pintar Berbahasa Indonesia 1, Petunjuk Guru Bahasa Indonesia,
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Kelas 1. Jakarta: Balai Pustaka. 1996.
Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Cet. I. 1998.
Departemen Agama Republik Indonesia. Alqur‟an dan Terjemahnya. Semarang:
Karya Toha Putra. 1971.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Dewan Redaksi. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004.
Djojosuroto, Kinayati dan M. L. A. Sumaryati. Bahasa dan Sastra: Penelitian,
Analisis, dan Pedoman Apresiasi. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia. Cet.
IV. 2014.
Effendi, S., dkk. Tata Bahasa Dasar Bahasa Indonesia. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2015.
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah sastra Indonesia. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Faridl, Miftah dan Agus Syihabuddin. Alquran Sumber Hukum Islam yang
Pertama. Bandung: Pustaka. 1989.
Falah, M. Zainal. Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Yogyakarta: CV Karyono.
Cet. V. 1996.
Fitriani, Siti Rohmanatin. “Perbandingan Penafsiran A. Hassan dalam Tafsīr AlFurqān dan H. B. Jassin dalam Al-Qur‟an Al-Karīm Bacaan Mulia”. Skripsi.
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarya. 2003. Tidak
Dipublikasikan.
148
Hamid, Abdul. Pengantar Studi Al-Qur‟an. Jakarta: Pranadamedia Group. 2016.
Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Nufa Citra Mandiri. 2012.
H. McGlynn, John. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antar Bangsa. 2002.
Jassin, H. B. Al-Qur‟ân Al-Karîm Bacaan Mulia. Jakarta: Djambatan. Cet. 3.
1991.
-----Kontroversi Al-Qur‟anulkarim Bacaan Mulia. Jakarta: Dinas Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta. 2000.
Ikhlas, Ahmad Muh. “Transformasi Nilai-Nilai Estetis Al-Qurān dalam
Terjemahan Puitis Ayat-Ayat Qisās (Telaah Stilistik atas “Al-Qurān AlKarīm Bacaan Mulia” Karya H. B. Jassin”. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2016. Tidak Dipublikasikan.
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an The Great Miracle. Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri. Cet. I. 2013.
Kentjono, Djoko. Tata Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1985.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cet.
XIV. 2004.
L. Larson, Mildred. Meaning-based Translation: a Guide to Cross-Language
Equivalence. America: University Press of America. 1984.
Lopa, Baharuddin. Alqur‟an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa. 1996.
Lukman, Fadhli. Epistemologi Intuitif dalam Resepsi Estetis H.B. Jassin terhadap
Al-Qur‟an. Journal of Qur‟ān and Hadīts Studies. 4. 2015.
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda
yang Ingin menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: Kaifa. 2009.
Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Maritta, Nuri Qomariah. “Konsep Geologi Laut dalam Al-Quran dan Sains;
Analisa Surat Ar-Raẖ mân [55]:19-20, Surat An-Naml [27]:61, dan Surat AlFurqân [25]:53”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan.
149
M. Kuntarto, Niknik. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir. Jakarta:
Mitra Wacana Media. Cet. XII 2013.
Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet. I. 2005.
Nasrulloh. “Tinjauan terhadap Al-quran Al-Karim Bacaan Mulia Karya H. B.
Jassin (Analisis terhadap Karya H. B. Jassin pada Surat Ar Rahman dan
Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama Republik
Indonesia)”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2003. Tidak
Dipublikasikan.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2007.
Rofi‟ah, Nurus Saniyatin. “Konsep Pendidik Menurut Al-Qur‟an Surah ArRahman Ayat 1-4”. Skripsi. Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
Semarang. 2013. Tidak Dipublikasikan.
Rohman, Abd. Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah
Malang: UIN Malang Press. 2007.
Salim Basyarahil, A. Aziz. 33 Masalah Agama. Jakarta: Gema Insani Press. 1994.
Sari, Yusie Nilam. “Nilai-Nilai Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Surat
Ar Rahman Ayat 1-4”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh
Jakarta. 2013. Tidak Dipublikasikan.
Selulawati, Evi. “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba
Karya Nukila Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisis
Stilistika”. Skripsi. Universitas Indonesia. 2012. Tidak Dipublikasikan.
Setiawan, Hawe, dkk. Ensiklopedi Sastra Indonesia 2. Bandung: PT Kiblat Buku
Utama. 2008.
Setiawan, Hendryanoor . “Gaya Bahasa Dilihat Berdasarkan Diksi dan Struktur
Kalimat dalam Iklan Display Wacana Iklan Rawit pada Surat Kabar Harian
Jogja”. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. 2012. Tidak dipublikasikan.
Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. Cet. VI. 1997.
Sidu, La Ode. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: Unhalu Press. 2013.
150
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta:
Tanspustaka, 2011.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Cet. VIII. 2012.
Sunny, Suniarti. “Gaya Bahasa dalam Surat Ar-Rahman (Kajian Stilistika)”.
Tesis. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014. Tidak
Dipublikasikan.
Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an Huruf Arab dan Latin. Bandung:
Firma Sumatra. 1978.
Syarif, Muhammad Mujadid. “Hikmah Tikrar dalam Surah Ar-Rahman (Studi
Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah)”. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Sunan Syarif Kasim Riau. 2015.Tidak Dipublikasikan.
Tarigan, Henry Guntur. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa. 2013.
-----. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa. 1985.
Thalib, Muhammad. Koreksi Tarjamah Harfiyah Alquran Kemenag RI: Tinjauan
Aqidah, Syari‟ah, Mu‟amalah, Iqtishadiyah. Yogyakarta: Ma‟had Annabawy. Cet. II. 2011.
Triningsih, Diah Erna. Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia.
Klaten: PT Intan Pariwara. 2009.
Wahyudin, Deni. “Analisis Homonim terhadap Kata Kufr dalam Alquran (Studi
Komparatif: Terjemahan H. B. Jassin dan Mahmud Yunus)”. Skripsi. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. Tidak Dipublikasikan.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qurän Karim. Jakarta: PT Hidakarya Agung. Cet. 73.
2004.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana.
Jakarta: The Intercultural Intitute. Cet. I. 2009.
Zaini, Syahminan dan Ananto Kusuma Seta. Bukti-Bukti Kebenaran Alquran
Sebagai Wahyu Allah. Malang: Kalam Mulia Jakarta. 1986.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi yang digunakan dalam skripsi ini mengacu pada
pedoman transliterasi dari buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
1. Konsonan
Huruf Arab
Huruf Latin
‫ا‬
Tidak dilambangkan
‫خ‬
Ś
‫ح‬
ẖ
‫خ‬
Kh
‫ذ‬
Ż
‫ش‬
Sy
‫ص‬
Ş
‫ض‬
Đ
‫ﻄ‬
ţ
‫ﻅ‬
ť
‫ﻉ‬
„
‫ﻍ‬
ġ
‫ﺓ‬
h
2. Vokal
a. Vokal Tunggal
Tanda
Huruf Latin
‫ﹷ‬
a
‫ﹷ‬
i
‫ﹷ‬
u
b. Vokal Rangkap
Tanda dan Huruf
Huruf Latin
ْ‫ٮَي‬
ai
ْ‫ٮَو‬
au
Contoh:
َ‫ = كَحَب‬kataba
َ‫عرِف‬
ُ = „urifa
َ‫ = كَيْف‬kaifa
َ‫ = حَوْل‬ẖ aula
3. Mâdd (Panjang)
Harakat dan Huruf
Huruf dan Tanda
‫ٮَا‬
â
ْ‫ٮِي‬
î
ْ‫ُٮو‬
û
Contoh:
َ‫ = كَان‬kâna
َ‫قِيْم‬
= qîla
‫ = دَعَا‬da„â
‫ل‬
ُ ْ‫يَ ُقو‬
= yaqûlu
4. Tâ’ Marbûţah
Tâ’ Marbûţah hidup transliterasinya adalah /t/.
Tâ’ Marbûţah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbûţah diikuti
oleh katan yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka Tâ‟ Marbûţah itu ditransilterasikan dengan /h/. Contoh:
‫ = حديقة انحيونات‬ẖ adîqat al- ẖ ayawânât atau ẖ adîqatul ẖ ayawânât
‫ = حمزﺓ‬ẖ amzah
5. Syaddah
Syaddah /tasydîd diteransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
ُ‫ =اَنْمَد‬al-maddu
‫ = ُيكَرِ ُر‬yukarriru
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyah diteransilterasikan dengan
huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda
sambung/hubung.
ُ‫ = اَنّصَهَاﺓ‬aş-şalâtu
Contoh:
b. Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyah diteransliterasikan sesuai
dengan bunyinya.
Contoh:
‫ق‬
ُ َ‫ = اَنْفَه‬al-falaqu
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif. Contoh:
‫ث‬
ُ ْ‫ = أَكَه‬akaltu
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof. Contoh:
َ‫ = جَأْ ُكُهون‬ta‟kulûna
ٌ‫ = شَيْء‬Syai‟un
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
‫ = اَنْمَدِيْنَ ُة انْ ُمنَوَرَ ُﺓ‬al-Madînatul Munawwarah
ْ‫ = اَنْمَسْ ُعوْدِي‬al-Mas‟ûdî
Lampiran 6
RENCANAAN PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
KELAS VII SEMESTER II (DUA)
Disusun oleh:
Povi Maspupah
SMP ISLAM HARAPAN IBU
Jl. H. Banan No. 1 Komp. Deplu Pondok Pinang
Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Telp. 75911228 (Ext. 110-117) Fax 7652116
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
A. Sekolah
: SMP Islam Harapan Ibu
B. Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
C. Kelas / Semester
: VII / 2
D. Standar Kompetensi
: Menulis
Memahami menulis puisi
E. Kompetensi Dasar
: Menulis kreatif puisi berkenaan dengan peristiwa
yang pernah dialami
F. Indikator Kompetensi
:
1. Mampu menentukan bahan dan menulis lirik puisi tetang peristiwa yang
dialami
2. Mampu menulis puisi dengan gaya bahasa dan rima yang menarik
3. Mampu menyunting puisi yang ditulis sendiri
G. Alokasi Waktu
: 2 X 40 menit
H. Tujuan Pembelajaran
: Siswa mampu menulis puisi berdasarkan peristiwa
yang dialami dan mampu menyunting puisi tersebut.
I. Materi Pelajaran
:
a. Puisi
b. Gaya Bahasa
c. Menyunting
J. Metode Pembelajaran
a. Ceramah
b. Tanya Jawab
c. Penugasan
:
K. Strategi Pembelajaran
: Cooperative Learning
L. Teknik Pembelajaran
: Student Active Learning
M. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran:
a. Kegiatan Awal
Apersepsi
1. Guru memberikan salam, menyapa siswa, memimpin doa,
dan
mengabsen siswa.
2. Guru mengkondisikan kesiapan siswa dan memberikan motivasi kepada
siswa sebelum belajar.
3. Guru bertanya mengenai meteri pelajaran pertemuan lalu, dan meminta
siswa mengumpulkan tugas pertemuan lalu.
4. Guru memberitahukan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator
kompetensi, dan tujuan belajar yang akan dicapai.
b. Kegiatan Inti
 Eksplorasi
1. Guru menyampaikan pemaparan terkait dengan pembahasan yang
akan disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru dan siswa melakukan tanya jawab.
3. Guru menugaskan siswa untuk membuat sebuah puisi berdasarkan
peristiwa yang dialami
 Elaborasi
1. Siswa mengerjakan tugas membuat puisi dengan menggunakan
gaya bahasa.
2. Guru memantau dan mengarahkan kegiatan siswa.
3. Guru menunjuk beberapa siswa untuk membacakan hasil kerjanya.
 Konfirmasi
1. Guru dan siswa memberikan apresiasi terhadap keberhasilan siswa
dalam mengerjakan tugas
2. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan hasil kerja
siswa.
c. Kegiatan Penutup
1. Guru menunjuk beberapa siswa untuk menyimpulkan materi
pelajaran yang telah disampaikan
2. Guru memberikan apresiasi dan umpan balik terhadap kesimpulan
yang yang disampaikan siswa.
3. Guru menegaskan kembali kesimpulan secara jelas kepada siswa.
4. Guru memberikan tugas individu kepada siswa.
5. Siswa
mengumpulkan
hasil
pekerjaannya
pada
pertemuan
selanjutnya.
6. Guru menginformasikan materi pertemuan selanjutnya.
7. Guru menutup pembelajaran dengan doa dan mengucapkan salam.
N. Sumber dan Media Pembelajaran
a. Buku utama pelajaran bahasa Indonesia
b. Infokus
c. Power Point
O. Penilaian
1. Prosedur Penilaian
a. Penilaian Proses
Menggunakan
format
pengamatan
dilakukan
dalam
kegiatan
pembelajaran sejak dari kegiatan awal sampai dengan kegiatan akhir.
b. Penilaian Hasil Belajar
Menggunakan instrumen penilaian hasil belajar dengan tes tulis
berbentuk esai (terlampir).
2. Instrumen Penilaian
a. Penilaian Proses: Penilaian sikap individu
b. Penilaian Hasil Belajar : Esai atau uraian
Jakarta, 08 Februari
2016
Mengetahui
Kepala SMP Islam Harapan Ibu,
Guru praktikan bahasa
Indonesia
Dra. Hj. Budi Suci Nurani, M. Pd
Povi Maspupah
Lampiran
Penilaian Tanpa Tes
a. Penilaian Proses
Penilaian Sikap Individu
Aspek
No
Nama Peserta
Didik
Jumlah
Tekun
Aktif
Keterangan Skor:
1 = Kurang
2 = Cukup
3 = Baik
4 = Sangat Baik
Skor Maksimal = 16
Nilai = Skor Perolehan X 100
Skor Maksimal
Teliti
Rasa Ingin
Tahu
Nilai
b. Penilaian Hasil Belajar
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan tepat!
1. Buatlah sebuah puisi tentang pengalaman pribadi dengan menggunakan
gaya bahasa yang telah dipelajari!
2. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam
puisimu!
3. Carilah contoh gaya bahasa metafora dalam Alquran terjemahan bahasa
Indonesia! Jelaskan!
4. Carilah contoh gaya bahasa simile dalam Alquran terjemahan bahasa
Indonesia! Jelaskan!
5. Carilah contoh gaya bahasa personifikasi dalam Alquran terjemahan
bahasa Indonesia! Jelaskan!
Keterangan Skor:
Skor maksimal= 20
Jumlah Skor Maksimal= 100
Perhitungan nilai akhir dalam skala 0-100 adalah sebagai berikut:
Nilai = Perolehan Skor X 100
Jumlah Skor Maksimal
Lampiran 7
BIODATA PENULIS
Povi Maspupah, lahir di Tasikmalaya, 30 Juni 1993.
Wanita berdarah Sunda ini, menempuh pendidikan
formalnya di SD Negeri Bungursari Tasikmalaya, SMP
Negeri 16 Tasikmalaya, SMA Negeri 1 Anjatan
Indramayu, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama
menempuh pendidikannya, terutama di SMP dan SMA,
wanita ini banyak mengikuti organisasi sekolah, di
antaranya adalah OSIS, PRAMUKA, BINA VOKAL,
dan SANGGAR SENI. Mengikuti berbagai organisasi di sekolah, baginya sangat
menyenangkan, karena selain mendapat pengetahuan dari materi pelajaran, juga
mendapat pengetahuan dan pengalaman-pengalaman dari berorganisasi. Di dalam
organisasi yang digelutinya, wanita yang sangat menyukai seni ini pernah
menjabat sebagai wakil ketua OSIS (SMP dan SMA), Ketua OSIS (SMA), dan
ketua BINA VOKAL ( SMA). Sementara itu, di Universitas Islam Negeri syarif
Hidayatullah Jakarta, wanita ini pun ikut bergabung dalam organisasi yang
dinamakan Pojok Seni Tarbiyah, khusunya dalam elemen tari tradisional.
Selama menempuh pendidikannya, wanita ini seringkali mengikuti berbagai
perlombaan, seperti lomba baca puisi, menulis puisi, bintang DAI, Musabaqah
Tilawatil Qur‟an (MTQ), baca cerita Islami (pada Festival Anak Saleh Indonesia),
cerdas cermat, debat antarmahasiswa PBSI dalam kegiatan Bulan Bahasa, dan
tahfiz Al-qur‟an. Semua lomba yang pernah diikutinya, senantiasa membuahkan
hasil yang baik, atas kehendak Yang Maha Kuasa. Wanita yang dilahirkan dan
dibesarkan di lingkungan pesantren ini bercita-cita menjadi seorang guru.
Download