12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi Diri 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Eksistensi Diri
1. Pengertian Eksistensi Diri
Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo,
yang terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi,
atau hadir (Misiak & Sexton, 2005). Akar atau dasar eksistensi sendiri
bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang
tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian
(Rodgers & Thompson, 2015). Kondisi-kondisi inilah yang mendorong
manusia untuk mewujudkan eksistensi dirinya dengan merealisasikan
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang
bermakna.
Eksistensi manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh,
yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Sebagaimana diungkapkan
Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008) bahwa eksistensi adalah
makna dari keberadaan manusia yang mengedepankan masalah being-in-theworld, yaitu diri manusia tidak akan ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada
tanpa makhluk yang mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik
saja, melainkan dunia makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh
sebab itu, tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia
tempat eksistensi manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan
12
13
tempat dimana ia merasa bermakna sebagai individu; orang lain terhadap siapa
ia berbicara atau mengungkapkan perasaannya; tempat kerja dimana ia
mengekspresikan kemampuannya dan merasa menjadi manusia; sekolah
dimana ia belajar dan mengekspresikan keberadaannya; dan seterusnya).
Melalui dunianyalah makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain
(Abidin, 2002).
Dalam pandangan psikologi eksistensial, dikatakan bahwa eksistensi
merupakan
sebuah
cara
berada
manusia,
situasinya
dalam
dunia,
kebebasannya memilih tujuan hidup, serta berusaha memahami arti
kehidupannya sendiri (Chaplin, 2000). Eksistensi diri merupakan segala
kemungkinan yang apabila direalisasikan dapat mengarahkan individu pada
keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi dirinya sendiri, mengambil
tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan menyeleksi
kemungkinan-kemungkinan yang ada disediakan dalam kehidupan (Rodgers
& Thompson, 2015).
Loonstra, Brouwers, & Tomic (2007) mengartikan eksistensi diri
sebagai kesadaran manusia terhadap tujuan hidup dan dengan sepenuhnya
dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara hakiki. Menurut
Abidin (2002), kesadaran manusia pada dasarnya adalah intensionalitas (selalu
memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu) dan dunia manusia pada
dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan) manusia, serta ia hidup
dalam dunia yang telah “diciptakan” atau dimaknakannya. Para eksistensialis
lebih lanjut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai potensi
14
untuk menangani beberapa kondisi bawaannya dan membuat hidupnya
menjadi lebih bermakna. Corey (2003) memaparkan potensi manusia sebagai
berikut :
a. Kesadaran. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya
dan lingkungannya. Semakin besar kesadarannya, semakin banyak
kemungkinan dan peluang keberhasilan untuk menangani ketakutan dan
kecemasannya.
b. Keautentikan. Orang autentik memiliki ciri-ciri yaitu menyadari dirinya
dan hubungannya dengan lingkunganya, mampu membuat pilihan dan
menyadari bahwa keputusan merupakan konsekuensi yang tak bisa
dihindari, mengambil tanggung jawab untuk membuat pilihan, mengakui
bahwa ketidaksempurnaan kesadaran.
c. Kebebasan dan tanggung jawab. Jika manusia mau mengakui bahwa
dirinya memiliki kebebasan, maka di manapun mereka berada, mereka
mempunyai tanggung jawab.
d. Aktualisasi diri. Eksistensi memandang bahwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Manusia yang gagal
mencapai aktualisasi diri, berpotensi dihinggapi perasaan malu, bersalah
dan cemas, serta persepsi hidupnya tak bermakna.
e. Memaknakan hidup. Setiap manusia termotivasi untuk membuat hidupnya
menjadi bermakna. Untuk memaknakan hidupnya, manusia harus
memiliki keinginan untuk hidup, tidak merusak diri dan mau mencintai
diri sendiri serta orang lain bahkan lingkungan fisiknya.
15
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi diri
adalah cara individu memaknai keberadaan dirinya di dunia melalui berbagai
upaya dengan mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki untuk
mencapai keberadaan autentik dan membuat hidupnya menjadi bermakna.
2. Konsep Dasar Eksistensi Diri
Konsep dasar mengenai eksistensi diri digambarkan oleh Abidin
(2002) sebagai berikut :
a. Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu proses “menjadi” atau
“mengada”. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan berhenti, melainkan
lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran
tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensipotensinya.
b. Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat
kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu
mengarah ke luar dirinya dan melampui dirinya. Realitas yang semula
objektif, lalu diberi makna subjektif, sesuai dengan kebutuhannya.
c.
Eksistensi adalah ada-dalam-dunia. Manusia tidak hidup sendiri dan
berada dalam diri sendiri, melainkan berada-dalam-dunianya. Manusia
tidak bisa lepas dari (dan tidak dapat terealisasi tanpa) dunianya. Dunia
dalam arti ini terus berkembang dan bersifat subjektif, karena bersifat
terpusat pada manusia, sehingga setiap kontak manusia dengan sesuatu di
luar dirinya selalu ditandai oleh subjektifitasnya.
16
d.
Manusia hidup dalam mitwelt, eigenwelt, dan umwelt.
1) Umwelt adalah dunia objek-objek di sekitar kita, dunia yang bersifat
objektif. Umwelt adalah dunia kebutuhan biologis, dorongan hewani,
naluri tidak sadar, dan segala sesuatu yang biasanya dinamakan
“lingkungan”.
2) Mitwelt adalah dunia perhubungan antar manusia, terdapat perasaan
seperti benci dan cinta. Baik cinta dan benci, tidak pernah bisa
dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis dan tergantung
pada sejumlah faktor yang bersifat manusia, misalnya keputusan
pribadi dan komitmen terhadap orang lain.
3) Eigenwelt adalah kesadaran diri, perhubungan diri, dan secara khas
hadir dalam diri manusia. Eigenwelt merupakan pusat dari perspektif
manusia dan pusat dari perhubungan antara manusia dengan bendabenda atau orang lain. Eigenwelt juga berarti kesadaran, bahwa
manusia “ada” dan “keberadaannya” tidak dapat disangkal. Tanpa
kesadaran itu manusia kehilangan orientasi dan dengan demikian
kehilangan eksistensinya.
e. Eksistensi adalah “milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik.
Tidak ada pula dua pengalaman identik. Oleh sebab itu, eksistensi adalah
milik pribadi, yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun.
f. Eksistensi mendahului esensi. Hal ini berati bahwa nasib manusia dan
takdir manusia, struktur hidup manusia, dan konsep tentang manusia,
adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia.
17
g. Eksistensi adalah autentik atau tidak autentik. Menurut Heidegger dan
Sartre (dalam Abidin, 2002), eksistensi sebagian besar manusia adalah
tidak autentik. Manusia lupa akan dirinya sendiri, dikuasai oleh kekuatan
massa atau oleh pesona benda, mengabaikan hati nurani, gampang
terpengaruh oleh iklan menggoda, dan lain-lain. Padahal manusia bisa
memilih dan bertindak secara autentik; sadar diri, bertindak atas kekuatan
sendiri, bersedia mendengarkan hati nurani sendiri.
Lathief (2010) mengungkapkan pula bahwa konsep dasar eksistensi
diri berkaitan erat dengan hal-hal berikut ini :
a. Ada dan Ketiadaan (Being and Nothingness)
Makna ontologis kata “ada” dimaksudkan sebagai manusia hadir
dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar,
aktif dan berproses. Sedangkan ketiadaan (nothingness) merupakan ukuran
bagi ketidakberadaan manusia, suatu dimensi dimana manusia melakukan
regresi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek.
b. Ada-di-Dunia (Being-in-The-World)
Menurut Heidegger (dalam Lathief, 2010), konsep manusia “adadi-dunia”
mengandung
implikasi
bahwa
manusia
hidup
dan
mengungkapkan dirinya bahwa ia berada di tengah-tengah kehidupan yang
lain yang telah ditentukan oleh dirinya sendiri. Dunia manusia sendiri
digambarkan menjadi tiga, yaitu umwelt (lingkungan biologis atau fisik),
mitwelt (lingkungan manusia), dan eigenwelt (manusia itu sendiri
termasuk badannya).
18
c. Ada-Melampaui-Dunia (Being-over-The-World)
Menurut para psikoterapis eksistensialisme, “ada-melampauidunia” berarti berusaha mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang
dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang dihuninya dan memasuki
sebuah dunia baru, sehingga manusia selalu dalam proses mengatasi diri
(self transcending).
d. Relasi Aku-Engkau (The I-Thou Relationship)
Relasi sosial aku-engkau berarti bahwa individu sadar dan
menghargai individu lain sebagai subjek seperti dirinya, subjek dengan
dunianya sendiri, subjek yang selalu berproses, subjek yang memiliki
perasaan, pikiran dan keinginannya sendiri.
e. Intensionalitas (Intentionality)
Intensionalitas merupakan struktur eksistensi manusia yang berarti
bahwa manusia tidak pernah memikirkan atau membayangkan kekosongan
dan kesia-siaan (selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu).
f. Ada Autentik dan Tidak Autentik (Being Autentic and Inautentic)
Menurut Heidegger dan Sartre (dalam Lathief, 2010), eksistensi
manusia pada umumnya adalah tidak autentik seperti keharusan memilih,
memikul tanggung jawab, ketakutan, kecemasan, pengalaman kematian,
isolasi sosial, sampai pada ketidakbermaknaan (meaningless). Ada
autentik berarti bahwa manusia sanggup mengukuhkan dirinya (self
affirmation) tanpa menghindarkan atau mengingkari keniscayaan hidup
seperti ancaman, kecemasan, menentukan berbagai pilihan.
19
g. Kebebasan dan Tanggung Jawab (Independence and Responsibility)
Psikoterapis eksistensialisme selalu menekankan kebebasan dan
tanggung jawab sebagai struktur eksistensial manusia yang paling
mendasar, dimana kebebasan dikaitkan dengan tanggung jawab memilih
berbagai kemungkinan, membuat keputusan-keputusan, serta memilih
tindakan-tindakan sesuai dengan kapasitas autentik.
h. Kesadaran Diri (Self Consciousness)
Para psikoterapis memandang kesadaran diri sebagai kapasitas
yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi utuh.
Kierkegaard (dalam Lathief, 2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi
kesadaran diri manusia, maka semakin utuh pula pribadi manusia tersebut.
i. Eksistensi Bersifat Individual (Exsistence is Individual-Being)
Eksistensi adalah milik pribadi dan bersifat individual, yang
keberadaannya tidak mungkin bisa terwakili dengan keberadaan manusia
lain. Eksistensi manusia pertama-tama adalah bersifat individual
(individual being), baru kemudian menentukan eksistensial sosialnya
(social being) atau bereksistensi dalam masyarakat.
j. Eksistensi Mendahului Esensi (Existence Proceed Essence)
Konsep
psikoterapi
eksistensialisme
mengemukakan
bahwa
manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun bentuk dan
model eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan eksistensinya.
Manusia selalu mendapatkan kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang
baik dan apa yang kurang baik untuk membentuk dirinya sendiri.
20
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Diri
Abidin (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
eksistensi diri, antara lain :
a. Kematian (Ketiadaan)
Eksistensi manusia tidak lepas dari kematian. Kematian merupakan
akhir dari eksistensi manusia. Namun, kematian dapat membuat seseorang
menjadi diri yang autentik apabila ia dapat menerima kematian sebagai
suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Apabila manusia
dapat menerima kematian yang identik dengan ketiadaan dan kesendirian
yang mencekam dan menyeluruh, maka ia akan berusaha melepaskan diri
diri kontrol dengan orang lain. Kuasa atau kontrol orang lain inilah yang
membuat eksistensi seseorang dangkal atau tidak autentik.
b. Kecemasan
Kecemasan (angst atau anxiety) dalam hal ini berhubungan dengan
kebebasan. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang hidup bebas di
dunia. Namun, keebebasan tersebut justru membuat manusia menjadi
cemas karena selalu dihadapkan pada berbagai kemungkinan. Manusia
tidak pernah tahu apakah kemungkinan-kemungkinan tersebut akan baik
atau justru menghancurkan eksistensi dirinya. Dengan kata lain,
kecemasan tersebut disebabkan karena adanya kesadaran manusia akan
kebebasan dimana semua resikonya menuntut pertanggungjawaban.
21
c. Kehendak Bebas
Setiap saat manusia dihadapkan pada kondisi untuk memilih satu
atau beberapa kemungkinan-kemungkinan yang ada. Manusia berhak
sepenuhnya untuk memilih apa yang ia inginkan, dan karenanya manusia
disebut sebagai makhluk yang bebas. Tindakan-tindakan manusia pada
dasarnya mengisyaratkan adanya kehendak bebas, misalnya :
1) Penentuan diri (self determination). Dalam menentukan sebuah pilihan
dalam hidup, manusia dapat menerima masukan dari orang lain tentang
baik atau buruknya hal-hal yang sedang dihadapi. Walaupun demikian,
pada akhirnya penentuan pilihan tersebut bukan berasal dari orang lain,
melainkan keputusan dari diri sendiri.
2) Pilihan. Pilihan yang diambil akan menghasilkan tindakan yang
dilakukan saat ini.
3) Konsekuensi.
Tidak
semua
konsekuensi
sesuai
dengan
yang
diprediksikan. Terkadang, ada tindakan baik namun malah berakibat
buruk.
4) Pertanggungjawaban. Setiap manusia bertanggung jawab atas semua
konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya.
5) Karakter. Setiap pilihan tindakan yang diambil seseorang, menciptakan
pribadinya, misalnya apakah seseorang memilih menjadi seorang
pemarah, penyabar, atau pemberani. Ketika memilih, sesesorang akan
melakukan tindakan dan tindakan tersebut yang membentuk karakter
dirinya.
22
d. Waktu (Temporalitas)
Waktu dalam hal ini berkaitan dengan pengalaman manusia, tidak
ada kaitannya dengan waktu objektif yang diukur dengan satuan jam.
Pengalaman manusia dihayati tidak secara objektif, melainkan secara
subjektif. Setiap manusia menghayati masa lalu, masa kini, dan masa
depan secara berbeda. Masa depan merupakan sebuah ancaman bagi orang
yang cemas, namun merupakan peluang dalam membuka berbagai
kemungkinan bagi orang yang optimis.
e. Ruang (Spasialitas)
Ruang dalam hal ini adalah “ruang yang dihayati”. Setiap individu
menghayati ruang secara berbeda. Ruang spasial ditentukan oleh nada
(perasaan) dan detak (emosional) seseorang. Detak atau nada ruang batin
yang dihayati dapat dirasakan sebagai sesuatu yang penuh atau kosong,
bisa dirasakan sebagai sesuatu yang luas atau justru malah membatasi.
Cinta merupakan contoh perluasan ruang, walaupun berada jauh namun
terasa dekat dengan orang yang dikasihi. Sebaliknya, perasaan putus asa
membuat ruang terasa kosong dan penderitaan membuat ruang terasa
sempit.
f. Tubuh
Tubuh dalam hal ini bukanlah merupakan tubuh secara fisiologis,
melainkan tubuh yang dihayati, tubuh yang bermakna dan yang memberi
makna pada dunia. Makna terhadap tubuh bersifat subjektif. Tubuh
bermakna sebagai tubuh-subjek bagi diri sendiri, karena setiap tindakan
23
dilakukan melalui tubuh. Sedangkan bagi orang lain, tubuh merupakan
tubuh-objek, misalnya objek untuk dibedah saat operasi atau objek
pemenuhan kebutuhan seksual.
g. Diri Sendiri
Manusia memberi makna tidak hanya pada dunia, namun juga pada
diri sendiri. Makna terhadap diri sendiri juga dapat berbeda antara individu
satu dengan individu lainnya. Beberapa orang memaknai dirinya sebagai
orang yang kuat, namun beberapa lainnya memaknai dirinya sebagai orang
yang lemah. Tidak hanya kuat dan lemah, namun makna diri sendiri juga
dapat berupa optimistik atau pesimistik, menarik atau menyebalkan,
berkuasa atau tidak berdaya.
h. Rasa Bersalah
Manusia pada umumnya memiliki rasa bersalah ketika melakukan
tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain
dan lingkungan. Rasa bersalah juga muncul ketika manusia merasa telah
membuang waktu dan merasa gagal dalam mengaktualisasikan potensipotensi, bakat-bakat, dan kemampuan-kemampuan yang dimiliknya.
Kegagalan tersebut dapat terjadi bila seseorang terlalu konformis dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga bakat dan potensinya termatikan.
Perasaan bersalah juga muncul ketika terjadi putusnya keintiman,
komunikasi, atau berkurangnya rasa cinta terhadap sesama.
24
Rollo May (dalam Bastaman, 1996) juga mengemukakan tiga faktor
yang mempengaruhi eksistensi diri, berkaitan dengan modus (bentuk) dunia
manusia yaitu :
a. Umwelt. Umwelt secara harfiah berarti dunia sekitar (world around), yaitu
dunia fisik biologis yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut
lingkungan
(environment).
Dapat
dikatakan
umwelt
lebih
tepat
diterjemahkan sebagai alam sekitar.
b. Mitwelt. Mitwelt secara harfiah berarti dunia bersama (with world), yang
diterjemahkan sebagai masyarakat.
c. Eigenwelt.
Eigenwelt
adalah
dunia
pribadi
(own
world),
yang
diterjemahkan sebagai diri. Manusia menyadari diri sendiri, mampu
melakukan distansi dengan diri dan lingkungannya, serta mampu
mentransendensikan diri (kemampuan seseorang untuk menyadari dan
menilai pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang untuk
diproyeksikan ke masa depan.
4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Eksistensi Diri
Ciri-ciri individu yang memiliki eksistensi diri menurut Smith (2003)
adalah sebagai berikut :
a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan
kelemahan diri sendiri, apa yang mampu dilakukan, dan bagaimana cara
melakukannya.
25
b. Kepercayaan diri, yaitu kemampuan individu untuk melihat sisi positif dari
suatu peristiwa.
c. Harga diri, yaitu bagaimana individu memfokuskan pada orang yang
dilayani atau individu mampu bekerja.
d. Kesadaran akan peran, yaitu kesadaran mengenai pentingnya peran yang
ada dalam dirinya untuk segera direalisasikan.
e. Kesadaran akan kekuatan misi pribadi, yaitu visi tentang apa yang perlu
dilakukan dan semangat serta fokus dalam melakukannya.
f. Daya tarik pribadi, yaitu sesuatu yang menjadi daya tarik individu
sehingga dapat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap dirinya.
g. Kesadaran akan keunikan diri, yaitu tidak membanding-bandingkan diri
dengan orang lain atau mengkhawatirkan apa yang tidak dimiliki diri.
h. Konsistensi terhadap kehidupan, yaitu tidak terombang-ambing dengan
setiap ide atau peluang baru atau perubahan kejadian.
i. Ketenangan dan kedamaian, yaitu tetap berkepala dingin meskipun
menghadapi banyak masalah.
5. Dinamika dan Perkembangan Eksistensi Diri
a. Dinamika Eksistensi Diri
Dalam pandangan psikologi eksistensial, manusia memiliki
kebebasan untuk memilih dan ia sendiri bertanggung jawab atas
eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan
fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukan
26
individu adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan
akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya (Calvin dan
Lindzey, 1993).
Menurut Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993), meskipun
manusia itu bebas memilih, seringkali ditemui rasa kecemasan,
pengasingan, kebosanan, kompulsi, dan berbagai macam gangguan lain.
Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
1) Kebebasan memilih tidak menjamin bahwa pilihan tersebut merupakan
pilihan yang bijaksana (menyadari kemungkinan-kemungkinan dan
tetap terbuka supaya kemungkinan-kemungkinan tersebut menyiapkan
dirinya) karena memilih satu atau yang lainnya adalah sama, meskipun
tentu saja konsekuensi-konsekuensinya akan berbeda secara radikal.
2) Hal yang tidak dapat diatasi oleh manusia adalah rasa bersalah yang
dimilikinya akibat kegagalannya melaksanakan peran untuk memenuhi
semua kemungkinan yang dimilikinya.
3) Adanya rasa takut terhadap ketiadaan atau ketidakpastian dalam
menjalani hidup yang bisa menyebabkan pengasingan dan isolasi dari
dunia.
b. Perkembangan Eksistensi Diri
Konsep eksistensial tentang perkembangan yang paling penting
adalah konsep tentang “menjadi”. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi
selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mentransendensi
atau mengatasi diri sendiri. Tujuannya ialah untuk menjadi manusia
27
sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan ada-di-dunia. Hal ini
merupakan projek tanpa berkesudahan dan sia-sia karena pilihan terhadap
salah satu kemungkinan selalu berarti penolakan terhadap semua
kemungkinan lainnya. Meskipun demikian, tetap merupakan tanggung
jawab seseorang sebagai seorang manusia bebas untuk merealisasikan
sebanyak mungkin kemungkinan ada di dunianya (Calvin dan Lindzey,
1993).
Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa
kehidupan atau setidak-tidaknya eksistensi manusia sebagai ada di dunia
ini berakhir dalam kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh
setiap orang. Oleh karena itu, eksistensi manusia dapat disebut “ada
sampai mati” yang berarti bahwa kesudahan dari ada di dunia yang tidak
dapat dielakkan ini memberikan manusia tanggung jawab untuk
memanfaatkan semaksimal mungkin setiap saat dalam eksistensinya dan
memenuhi eksistensinya tersebut.
6. Proses Pencapaian Eksistensi Diri
Langle, Orgler, & Kundi (2003) memaparkan proses pencapaian
eksistensi diri yang terjadi melalui tahapan berikut :
a. Perception
Perception berkaitan dengan fakta bahwa manusia berada di dunia
dan dunia mempunyai hukumnya sendiri yang harus manusia sesuaikan.
Manusia memahami atau mempersepsikan objek di dunia sebagai sebuah
28
arti yang terus berkembang. Dalam berinteraksi dengan dunia, penting
bagi individu untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan
mempelajari berbagai kondisi maupun situasi yang dihadapi. Sebuah
kehidupan yang bermakna selalu berhadapan dengan perubahan-perubahan
faktual dan kemungkinannya, sampai individu memperoleh suatu
kebenaran yang hakiki. Distorsi realitas atau ketidakmampuan untuk
menerima perubahan tersebut bisa menjadi halangan untuk mencapai
langkah selanjutnya.
Dalam memaknai kehidupan di dunia, manusia diharapkan mampu
berperan aktif dengan siap untuk mengisi space, mengandalkan support
yang didapat, dan percaya terhadap protection yang dianugerahkan
kepadanya. Jika seseorang bisa memenuhi tiga hal tersebut, maka ia akan
dapat merasa percaya berada di dunia (being here). Keseluruhan dari
pengalaman ini adalah kepercayaan fundamental (a fundamental trust),
sebuah kepercayaan bahwa individu mempunyai support yang mendalam
dan abadi di dalam hidupnya. Bagaimanapun hal tersebut tidak cukup
untuk mendapatkan protection, space, dan support. Individu juga harus
meraih beberapa kondisi ini, membuat keputusan terhadapnya, serta
menerimanya. Peran aktif individu pada kondisi fundamental dari ‘being
here’ adalah menerima aspek positif dan bertahan terhadap efek
negatifnya. Menerima berarti siap untuk mengisi ‘space’ tempat
keberadaan diri, mengandalkan support yang didapat dan percaya terhadap
protection yang dianugrahkan pada diri individu. Bertahan berarti
29
mengharuskan diri untuk menerima kesulitan apapun, ancaman dan
menoleransi apa-apa yang tidak dapat diubah.
b. Recognition of Values
Recognition of values berkaitan dengan fakta bahwa manusia hidup
dan dirinyalah yang berperan dalam mengisi kehidupannya tersebut.
Manusia diharapkan mampu memahami hubungan kualitatif antara objek
yang ditemui maupun antara objek dengan diri manusia itu sendiri. Hal ini
dilandasi oleh pengenalan individu terhadap perasaan atau emosi serta
evaluasi dari reaksi-reaksi dalam menerima dan mengimajinasikan objek.
Individu kini mengorientasikan dan mengalihkan perhatian kepada hal-hal
di luar dirinya. Perhatian individu yang semula terarah pada kepentingan
pribadi pun dialihkan pada kepentingan sosial.
Ketika seseorang memiliki ‘space’ di dunia, ia dapat mengisinya
dengan kehidupan secara sederhana. ‘Being there’ tidaklah cukup,
manusia menginginkan eksistensinya menjadi baik. Untuk mendapatkan
hidup yang diinginkan dan dicintai, terdapat tiga hal yang harus diraih
yaitu relationship, time, dan closeness. Jika ketiganya terpenuhi, ia akan
mendapatkan keharmonisan antara dunia dengan dirinya, dan ia akan
merasakan kedalaman hidup. Pengalaman ini merupakan bentuk
‘fundamental value’, sebuah perasaan yang paling dalam terhadap nilai
kehidupan (value of life). Hal ini mewarnai emosi individu dan
merepresentasikan ukuran terhadap apapun yang mungkin dirasakan untuk
menjadi berharga. Tidak hanya relationship, time, dan closeness, namun
30
partisipasi aktif serta persetujuan diri juga diperlukan. Ketika individu
berpaling pada sesuatu atau seseorang, membiarkan diri tersentuh, ia akan
merasakan pengalaman hidup yang bersemangat. Tidak hanya pengalaman
hidup bersemangat, secara seimbang ia juga mengalami pengalaman
seperti kehilangan dan kesedihan.
c. Freedom
Freedom berkaitan dengan fakta bahwa manusia bebas menjadi
dirinya sendiri dan menentukan dunianya. Hal ini mengacu pada
kemampuan manusia dalam menentukan diri dan dunianya, termasuk
menentukan tindakan maupun arah hidupnya. Individu harus sadar dengan
pilihan yang ia ambil dan konsekuensinya. Ada suatu saat dimana
seseorang akan dipaksa untuk memutuskan sebuah pilihan, akan tetapi
tetap diri individulah yang menyadari dan memutuskan pilihannya sendiri.
Keputusan saja tidak cukup, individu harus bertindak dan berkomitmen
pada pilihannya. Pada intinya, keputusan ini bisa berarti sebagai kesetiaan
hidup seseorang atas tujuan yang ia pilih.
Untuk menemukan inti atau keaslian diri seseorang, hal tersebut
dapat dibangun melalui attention, justice, dan appreciation. Diperlukan
pula partisipasi aktif individu dengan mengatakan “ya” untuk dirinya
sendiri. Dirinya harus melihat orang lain serta bertemu mereka, dan pada
saat yang sama, ia juga harus menggambarkan dirinya sendiri, berdiri
sendiri, serta menolak apapun yang tidak sesuai dengan akalnya.
31
Encounter (pertemuan) dan regret (penyesalan) adalah dua cara
yang dilakukan individu agar bisa hidup otentik tanpa berakhir dalam
kesendirian. Encounter merupakan jembatan yang diperlukan untuk
menghubungkan pada orang lain. Itu membuat individu memahami esensi
orang lain serta dirinya sendiri; menemukan 'I' pada 'you'. Dengan
partisipasi diri dan apresiasi dari orang lain menciptakan apresiasi yang
sama bagi ‘siapa saya’.
d. Responsibility
Responsibility berkaitan dengan fakta bahwa manusia harus
menemukan tujuan hidup di dunia dan menentukan masa depannya. Hal
ini mengacu pada bagaimana individu mewujudkan keputusan dan rencana
yang sudah ia pilih untuk masa depan dan tujuan hidupnya. Jika individu
bisa berada di sini, mencintai hidup dan menemukan diri didalamnya,
maka terpenuhilah kondisi untuk menuju kondisi fundamental keempat,
keberadaan individu mengakui hidupnya dan apa saja tentangnya. Tahap
ini merupakan bentuk dari pemenuhan eksistensial dan inti dari penentuan
dalam menempatkan keputusan seseorang secara praktis. Manusia
diharapkan mampu berperan aktif melalui field of activity, a structural
context, dan a value to be realized in the future, untuk memeriksa apakah
yang dilakukan adalah benar-benar hal yang baik untuk orang lain, untuk
masa depan, dan untuk lingkungannya. Keseluruhan pengalaman ini
mengarahkan pada meaning of life dan sense of fulfillment.
32
B. Tuna Daksa
1. Pengertian Tuna Daksa
Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi, kurang,
dan “daksa” berarti tubuh. Tuna daksa sama dengan beberapa istilah yang
berkembang seperti cacat fisik, cacat tubuh, tuna tubuh, crippled, physically
handicaped, physically disabled, non ambulatory, having organic problems,
orthopedically impairment, dan orthopedically handicapped. Istilah ini
ditujukan kepada orang yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna dan
dimaksudkan untuk menyebut seseorang yang memiliki ketunaan pada
anggota tubuhnya, bukan ketunaan pada inderanya (Chori, 1995).
Tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau
dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference
dalam Somantri, 2007). Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi
yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan
pada tulang dan otot sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk
mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Astati (2000) mendefinisikan tuna daksa sebagai penyandang bentuk
ketunaan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan
perkembangan keutuhan pribadi. Individu tuna daksa adalah individu yang
33
mengalami ketunaan menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) dan syaraf
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Hermanto, 2012).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuna daksa
adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan dalam
beraktivitas karena tidak berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya
anggota tubuh tertentu sehingga membatasi individu dalam bergerak.
2. Faktor-faktor Penyebab Ketunadaksaan
Somantri
(2007)
mengemukakan
bahwa
ketunadaksaan
dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :
1) Faktor keturunan.
2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan.
3) Usia ibu yang sudah lanjut pada saat melahirkan anak.
4) Pendarahan pada saat kehamilan.
5) Keguguran yang dialami ibu.
b. Sebab-sebab yang timbul saat kelahiran :
1) Penggunaan alat-alat bantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacuum,
dan lain-lain) yang tidak lancar.
2) Penggunaa obat bius saat proses kelahiran.
c. Sebab-sebab setelah kelahiran :
1) Infeksi.
2) Trauma.
34
3) Tumor.
4) Kondisi-kondisi lainnya.
3. Klasifikasi Tuna Daksa
Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tuna daksa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi :
1) Club-foot (kaki seperti tongkat).
2) Club-hand (tangan seperti tongkat).
3) Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki).
4) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan
yang lainnya).
5) Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).
6) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
7) Cretinism (kerdil/katai).
8) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
9) Hydrocepalus (kepala yang besar berisi cairan).
10) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
11) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut).
12) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).
35
13) Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh
tertentu).
14) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).
15) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).
16) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
b. Kerusakan pada saat kelahiran, meliputi :
1) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik
waktu kelahiran).
2) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
c. Infeksi, meliputi :
1) Tuberkulosis tulang (menyerang sendi pada sehingga menjadi kaku).
2) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsung tulang
karena bakteri).
3) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).
4) Pott’s disease (tuberkulosis sumsung tulang belakang).
5) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan
permanen pada tulang).
6) Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain.
d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, meliputi :
1) Amputasi.
2) Kecelakaan akibat luka bakar.
3) Patah tulang.
36
e. Tumor, meliputi :
1) Oxostosis (tumor tulang).
2) Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di dalam
tulang).
f. Kondisi-kondisi lainnya, meliputi :
1) Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk).
2) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).
3) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).
4) Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan).
5) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi menyebabkan kerusakan
tulang dan sendi)
6) Scoliosis (tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha yang miring).
C. Tuna Daksa Akibat Kecelakaan
1. Pengertian Tuna Daksa Akibat Kecelakaan
Erikson (dalam Damayanti & Rostiana, 2003) mengungkapkan istilah
non normatif untuk kejadian yang datangnya tidak dapat diduga dan tidak
diharapkan. Salah satu kejadian non normatif adalah kecelakaan yang
mengakibatkan ketunadaksaan dan membuat anggota tubuh kehilangan
fungsinya. Bentuk kecelakaan ini bisa berupa kecelakaan saat berkendara,
cedera saat bencana alam, maupun cedera saat melakukan aktivitas sehari-hari
(Baltus dalam Tentama, 2010).
37
Tuna daksa sendiri diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu
mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena tidak berfungsinya otot,
tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu sehingga membatasi
individu dalam bergerak. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa tuna daksa akibat kecelakaan merupakan kondisi dimana individu
mengalami keterbatasan pada tubuhnya untuk bergerak karena tidak
berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu
akibat kecelakaan yang terjadi, baik kecelakaan saat berkendara, bencana,
maupun kecelakaan saat melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Penyandang Tuna Daksa Akibat
Kecelakaan
a. Perkembangan Fisik Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan
Somantri (2007) mengungkapkan bahwa perkembangan manusia
secara umum dapat dibedakan dalam aspek fisik dan psikologis. Aspek
fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh
individu. Namun pada penyandang tuna daksa, potensi tersebut tidak utuh
karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Usaha yang dilakukan
penyandang tuna daksa untuk agar tetap mampu mengaktualisasikan diri
secara utuh di tengah ketidaksempurnaannya adalah dengan mengkompensasikan dengan bagian tubuh lain yang tidak mengalami ketunaan. Sebagai
contoh, penyandang tuna daksa yang mengalami masalah atau kerusakan
38
pada tangan kanan, maka tangan kiri akan lebih berkembang sebagai
kompensasi kekurangan yang dialami tangan kanan.
Di samping hal tersebut, kerusakan pada salah satu bagian tubuh
tidak jarang juga menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya,
misalnya kerusakan pada salah satu sendi paha akan berakibat pada
miringnya letak tulang pinggul. Secara umum, perkembangan fisik tuna
daksa akibat kecelakaan sama dengan individu normal kecuali pada bagian
tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian tubuh lain yang terpengaruh
oleh kerusakan tersebut (Somantri, 2007).
b. Perkembangan Emosi Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan
Beberapa
ketunadaksaan
penelitian
terjadi
turut
menunjukkan
bahwa
usia
mempengaruhi
perkembangan
ketika
emosi
penyandang tuna daksa. Individu yang menjadi tuna daksa sejak kecil
mengalami perkembangan emosi secara bertahap, sedangkan individu
yang mengalami ketunadaksaan setelah besar misalnya akibat kecelakaan,
mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak dan sebelumnya pernah
menjalani kehidupan sebagai orang normal sehingga keadaan tuna daksa
dianggap sebuah kemunduran dan sulit untuk diterima individu tersebut.
Dukungan orang tua dan orang-orang sekitar merupakan hal yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan emosi penyandang tuna daksa,
khususnya tuna daksa akibat kecelakaan (Somantri, 2007).
Penelitian Fitzgerald (dalam Somantri, 2007) menunjukkan bahwa
reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi
39
penyandang tuna daksa yang tidak jarang berakibat lebih berat dari akibat
ketunadaksaannya. Hasil dari peneltiain ini berkaitan dengan sikap orang
tua dan orang-orang di sekitar penyandang tuna daksa. Terdapat orang tua
yang sering memperlakukan penyandang tuna daksa dengan sikap terlalu
melindungi, serta ada pula orang tua yang bersikap menolak kehadiran
penyandang tuna daksa tersebut. Perlakuan ini seringkali menyebabkan
penyandang tuna daksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut
menghadapi lingkungan. Selain itu, kegiatan fisik atau jasmani yang tidak
dapat dilakukan oleh penyandang tuna daksa dapat mengakibatkan
timbulnya problem emosi seperti mudang tersinggung, marah, rendah diri,
kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi (Astati, 2000).
Damayanti & Rostiana (2003) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang
turut berperan dalam dinamika emosi penyandang tuna daksa adalah
coping, self efficacy, serta dukungan sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan
emosi penyandang tuna daksa akibat kecelakaan sangat dipengaruhi oleh
sikap lingkungan terhadap dirinya. Apabila lingkungan bersikap menolak
(rejection) terhadap kehadiran penyandang tuna daksa, maka dirinya akan
cenderung bersikap rendah diri, pesimistis, pemalu, dan menutup diri dari
lingkungan. Sebaliknya, apabila lingkungan memperlakukan penyandang
tuna daksa dengan berlebihan (over protective), maka akan menumbuhkan
sikap ketergantungan pada diri tuna daksa.
40
c. Perkembangan Kepribadian Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan
Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan satu dengan yang
lain saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain.
Kondisi penyandang tuna daksa secara berkesinambungan mengubah dan
memodifikasi beberapa atau bahkan semua dimesi perkembangan dalam
berbagai taraf. Somantri (2007) menyebutkan bahwa perkembangan
kepribadian individu tuna daksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh :
1) Tingkat ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan.
Dreikurs (dalam Somantri, 2007) mengungkapkan bahwa
penyandang
tuna
daksa
merumuskan
responnya
terhadap
ketunadaksaan sesuai “gaya hidup”. Gaya hidup ini menurut Adler
(dalam Somantri, 2007) terbentuk pada masa anak-anak melalui
hambatan
dan
Ketunadaksaan
pengalaman
merupakan
yang
dihadapi
individu
faktor
penting
yang
tersebut.
menentukan
perkembangan kepribadian individu.
2) Usia ketika ketunadaksaan terjadi.
Keadaan tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar
akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik,
namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan
psikologis yang bersangkutan.
3) Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan.
Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan menunjukkan
pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu terutama
41
mengenai gambaran tubuh (body image). Kondisi tuna daksa
umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat oleh orang lain,
meskipun ada variasinya. Ketunadaksaan tersebut ada yang mencolok
tetapi ada juga yang tidak mudah terlihat oleh orang lain. Ada
kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga mudah mengundang
rasa kasihan, akan tetapi ada pula ketunadaksaan yang akibat
kesulitannya tidak jelas. Faktor tampak dan tidaknya ketunadaksaan ini
memiliki pengaruh yang demikian besar dalam menentukan sikap
lingkungan
terhadap
penyandang
tuna
daksa
maupun
sikap
penyandang tuna daksa terhadap lingkungannya.
Penyandang tuna daksa pada umumnya menunjukkan sikap
rendah diri, cemas, dan agresif. Hal demikian berhubungan dengan
gambaran tubuh yang dimilikinya. Di samping itu, pengaruh
ketunadaksaan
terhadap
perkembangan
kepribadian
individu
ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami
ketunadaksaan tersebut.
4) Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat.
Sikap orang tua dan lingkungan yang menunjukkan sikap
menolak akan mengakibatkan penyandang tuna daksa mengalami rasa
rendah diri, merasa tidak berdaya, frustasi, merasa bersalah, serta
merasa benci dengan dirinya sendiri. Pembentukan self respect pada
penyandang tuna daksa yang terpenting adalah dengan menghargai,
yaitu dengan jalan menerima apa adanya sehingga tuna daksa merasa
42
dianggap sebagai seorang pribadi atau individu. Ketiadaan self respect
pada penyandang tuna daksa akan mengakibatkan mudah timbulnya
ketegangan. Sedikit saja penyandang tuna daksa mengalami kesulitan,
maka dirinya akan merasa bahwa hal tersebut tidak akan mungkin
dapat dihadapi.
5) Sikap masyarakat terhadap penyandang tuna daksa.
Sikap
menunjukkan
masyarakat
pengaruh
terhadap
yang
penyandang
sangat
tuna
menentukan
daksa
terhadap
perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan. Hal tersebut
erat kaitannya dengan pandangan masyarakat yang melihat bahwa
ukuran keberhasilan seseorang adalah dari prestasi yang dicapainya.
Keterbatasan penyandang tuna daksa menghambat untuk mencapai
prestasi seperti orang normal lain dan hal tersebut menimbulkan rasa
tidak aman serta kecemasan yang menganggu kepribadian penyandang
tuna daksa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan
kepribadian penyandang tuna daksa antara lain dipengaruhi oleh tingkat
ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan, usia saat ketunadaksaan
terjadi, tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan, dukungan keluarga dan
dukungan masyarakat, serta sikap masyarakat terhadap penyandang tuna
daksa.
43
3. Permasalahan yang Muncul pada Penyandang Tuna Daksa Akibat
Kecelakaan
Berbagai permasalahan seringkali muncul pada penyandang tuna daksa,
khususnya akibat kecelakaan. Caroline (dalam Gemari, 2006) menyebutkan
bahwa penyandang tuna daksa cenderung bersikap apatis, malu, rendah diri,
sensitif, dan kadang-kadang muncul sikap egois terhadap lingkungannya.
Anggapan bahwa dirinya tuna daksa, tidak berguna, dan menjadi beban bagi
orang lain menjadikan penyandang tuna daksa bersikap malas belajar, malas
bermain, dan perilaku salah suai lainnya terlebih pada penyandang tuna daksa
akibat kecelakaan. Ketunadaksaan yang diakibatkan kecelakaan merupakan
suatu
hal
berat
sehingga
tidak mengherankan jika
penyandangnya
memperlihatkan gejolak emosi terhadap perubahan kondisinya.
Kondisi ketunadaksaan permanen, khususnya tuna daksa akibat
kecelakaan seringkali menjadi penghambat individu dalam melakukan
penyesuaian pribadi maupun sosial karena memiliki perkembangan fisik
kurang memadai atau memiliki ciri-ciri fisik kurang menarik, akan
menghadapi banyak masalah yang jarang dapat diatasi dengan baik (Hurlock,
2006). Feist & Feist (2006) mengungkapkan bahwa kekurangan yang terdapat
pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut
secara keseluruhan. Menurut Setyaningsih & Abdullah (2010), penyandang
tuna daksa mempunyai keterbatasan kemampuan untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan hidupnya, bahkan ketunadaksaan yang dialami dapat menjadi
hambatan yang membatasi kesempatan dan kemampuannya. Selain itu,
44
penyandang tuna daksa seringkali menghadapi masalah baik dari segi emosi,
sosial, dan pekerjaan akibat ketunadaksaan yang dialami (Damayanti &
Rostiana, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih & Abdullah (2010)
menemukan bahwa ketidakpuasan semakin dirasakan penyandang tuna daksa
apabila berada dalam kehidupan sosial. Masyarakat umum memandang
penyandang tuna daksa tidak mampu melakukan aktivitas secara mandiri
karena kekurangan yang dimiliki sehingga dirinya merasa kurang memiliki
kebebasan menentukan sikap. Celaan dan hinaan juga kerap diterima
penyandang tuna daksa akibat kecelakaan cenderung menyebabkan individu
cenderung merasa sensitif, egois, dan pesimis menatap masa depan. Kondisi
tersebut senada dengan pendapat Goffman (dalam Johnson, 1990) yang
menyebutkan bahwa masalah sosial utama yang dialami penyandang tuna
daksa adalah adanya stigma masyarakat bahwa tuna daksa tidak mampu
melakukan aktivitas dalam segala hal. Di sisi lain, penyandang tuna daksa
menganggap bahwa keterbatasan fisik yang dimiliki adalah kekurangan yang
kurang pantas ia alami. Hal ini seringkali dapat menjadi pemicu munculnya
pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengakhiri
hidupnyanya sendiri (Setyaningsih & Abdullah, 2010).
Berbagai permasalahan yang dialami penyandang tuna daksa di atas,
dibagi dalam dua kategori yaitu permasalahan internal dan permasalahan
eksternal (Kementerian Kesehatan, 2014). Kedua hal tersebut dijelaskan lebih
rinci sebagai berikut :
45
a. Permasalahan internal, yaitu masalah yang berasal dari dalam diri individu
itu sendiri yang terdiri dari :
1) Gangguan atau kerusakan organ fungsi fisik sebagai akibat
ketunadaksaan maupun kerusakan organ yang menyebabkan berbagai
hambatan dalam kehidupan individu.
2) Gangguan, hambatan atau kesulitan dalam orientasi, mobilitas,
komunikasi,
aktivitas,
penyesuaian
diri,
penyesuaian
sosial,
kepercayaan diri, gangguan belajar, keterampilan, dan pekerjaan.
b. Permasalahan eksternal, yaitu masalah yang berasal dari luar diri individu
yang terdiri dari :
1) Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah penyandang
tuna daksa.
2) Stigma (kutukan, nasib), isolasi, dan perlindungan yang berlebihan.
3) Kurangnya peran keluarga dan masyarakat terhadap permasalahan
penyandang tuna daksa dan penanganannya.
4) Kurangnya upaya pemenuhan hak-hak penyandang tuuna daksa dalam
berbagai aspek kehidupan.
5) Masih banyaknya penyandang tuna daksa yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan tingkat pendidikan masih sangat rendah.
6) Masih banyaknya keluarga yang menyembunyikan atau menutupi bila
memiliki anggota keluarga penyandang tuna daksa.
7) Peran dunia usaha belum maksimal.
46
Hutapea (2011) juga memaparkan beberapa permasalahan pokok yang
seringkali dialami penyandang tuna daksa yaitu :
a. Sosialisasi
Terdapat dua faktor dalam aspek sosialisasi yang menjadi
penghambat bagi penyandang tuna daksa, yaitu faktor internal dan dari
eksternal. Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri,
merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan
seringkali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain
sehingga menjadi penghambat individu untuk bersosialisasi dengan orang
lain. Lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama
bagi penyandang tuna daksa untuk dapat melakukan mobilitas sosial.
b. Pekerjaan
Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang tuna daksa
adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang berbeda, menjadikannya
kurang bebas bergerak seperti orang pada umumnya. Hal ini membuat
kebanyakan orang beranggapan bahwa mereka kurang berkompeten untuk
melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang
lain karena keterbatasan yang dimilikinya. Padahal penyandang tuna daksa
juga perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan
pengetahuan yang dimilikinya.
c. Mencari pasangan
Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah,
dan berkeluarga terlebih ketika individu memasuki tahap dewasa awal
47
karena hal itu merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus
diselesaikan. Namun kondisi fisik yang berbeda, membuat penyandang
tuna daksa membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit
teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan
kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal.
Mereka juga beranggapan apabila mereka menikah, mereka hanya akan
mempersulit hidup pasangannya nanti. Selain itu, masyarakat juga
memiliki anggapan bahwa memiliki menantu yang memiliki kekurangan
fisik merupakan suatu hal yang memalukan.
d. Emosi
Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki penyandang tuna
daksa akan membuat dirinya memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan
tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka
mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap
menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering
berprasangka dan menjadi mudah curiga terhadap orang lain.
Berbagai uraian di atas menggambarkan bahwa permasalahanpermasalahan yang seringkali dialami penyandang tuna daksa memang cukup
kompleks dan datang baik dari sisi internal maupun eksternal individu.
Kondisi-kondisi ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan bagaimana
fungsional individu dalam menjalani kehidupannya sehingga dapat berjalan
dengan baik.
48
D. Dewasa Awal
1. Pengertian Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah
adolescene – adolescre yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Kata
adult berasal dari bentuk lampau adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi
kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Orang
dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa
lainnya (Hurlock, 2006).
Menurut Papalia (2009), masa dewasa awal adalah masa dimana
seseorang menghadapi segalanya sendirian, mengurus dan mengatur rumah,
serta membuktikan apa yang telah mereka impikan yang dimulai dari usia 20
tahun hingga 40 tahun. Desmita (2012) mengatakan bahwa usia dewasa awal
berkisar antara 20 tahun hingga 45 tahun. Berbeda dengan kedua pendapat di
atas, Hurlock (2006) mengungkapkan masa dewasa awal dimulai dari 18
sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa ini adalah periode penyesuaian
diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.
Santrock (2002) menggolongkan usia dewasa awal berkisar antara 20
tahun hingga 30 tahun. Masa tersebut merupakan masa untuk bekerja dan
menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu
untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa
muda (youth) adalah transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang
49
merupakan periode kesementaraan ekonomi dan pribadi yang rata-rata terjadi
dua sampai delapan tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang
diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa
dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat
keputusan. Hal yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa
adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang
lebih tetap.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal
adalah individu yang berada pada rentang usia antara 18 hingga 45 tahun,
masa dimana individu menghadapi segalanya sendiri, mengalami perubahan
fisik maupun psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif,
serta masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dewasa
awal diharapkan mampu mandiri baik secara ekonomi maupun dalam
membuat keputusan.
2. Ciri-ciri Masa Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap polapola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Hurlock (2006)
menyebutkan beberapa ciri masa dewasa awal, yaitu :
a. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Pengaturan
Penjajakan yang terlalu singkat mengakibatkan terbentuknya bibit
ketidakpuasan karena terlalu cepat memilih. Masa dewasa awal
merupakan masa penjajakan dalam berbagai hal seperti penjajakan
50
pekerjaan maupun teman hidup. Banyak individu dewasa awal mencoba
berbagai pekerjaan untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan
kemampuan mereka dan yang akan memberi kepuasan yang lebih
permanen. Banyak juga individu yang mendekati teman lawan jenis
mereka untuk mengetahui siapa yang akan dijadikan pendamping hidup.
Pola perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang terbentuk pada masa
dewasa awal cenderung akan menjadi kekhasannya selama hidupnya.
Setiap peruahan yang terjadi pada pola ini akan menimbulkan gangguan
emosional.
Tidak
disanksikan
lagi,
berbagai
ketidakpuasan
dan
ketidakbahagiaan yang didapati individu pada usia ini adalah akibat belum
memiliki pola, sikap dan nilai yang mendorong individu menemukan
kepuasan sepanjang hidup.
b. Masa Dewasa Awal sebagai Usia Reproduktif
Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam
hidup orang dewasa. Individu yang menikah akan berperan sebagai orang
tua pada saat ia berusia dua puluhan atau tiga puluhan. Individu yang
belum menikah hingga menyelesaikan pendidikannya atau telah memulai
karirnya tidak akan menjadi orang tua sebelum ia merasa bahwa ia mampu
berkeluarga.
c. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Bermasalah
Masa dewasa awal disibukkan dengan masalah-masalah yang
berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama
kehidupan orang dewasa. Individu dewasa awal berupaya menyesuaikan
51
diri dalam kehidupan pernikahan, peran sebagai orang tua, dan karir
mereka.
Masalah-masalah yang harus dihadapi individu dewasa awal
memerlukan waktu dan energi yang cukup banyak sehngga berbagai
penyesuaian diri tidak akan dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pria
dewasa awal pada umumnya menyesuaikan diri terlebih dahulu terhadap
pekerjaan, dan baru kemudian memusatkan perhatian pada upaya
penyesuaian diri yang berkaitan dengan masalah peran sebagai orang tua.
Ada banyak alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah
pada masa dewa awal terasa begitu sulit. Pertama, individu dewasa awal
tidak memiliki persiapan untuk mengahadapi jenis-jenis masalah yang
perlu diatasi sebagai individu dewasa. Pendidikan di sekolah lanjutan dan
sekolah tinggi hanya memberikan latihan kerja yang terbatas dan hampir
tidak ada sekolah yang memberikan kursus-kursus mengenai masalahmasalah umum yang ditemui dalam pernikahan, penyesuaian diri, peran
sebagai orang tua.
Kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan secara
serempak biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil. Sulit bagi
individu dewaa awal untuk berhasil dalam memilih karir sekaligus
pasangan hidup. Ketiga, individu dewasa awal tidak memperoleh bantuan
dalam masalah mereka. Banyak individu dewasa awal membanggakan
status mereka yang baru sehingga mereka enggan untuk mengakui bahwa
mereka belum siap mengahdapi status tersebut.
52
d. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Ketegangan Emosional
Individu dalam kelompok usia hampir dewasa atau baru saja
dewasa pada umumnya merupakan usia sekolah dan di ambang memasuki
dunia pekerjaan. Emosi yang menggebu-gebu ketika mereka melihat
perbedaan masih terbawa pada saat awal memasuki usia dewasa. Sekitar
awal atau pertengahan tiga puluhan, kebanyakan individu telah mampu
memecahkan masalah mereka dengan cukup baik sehingga stabil dan
tenang secara emosional. Ketegangan emosi yang berlanjut sampai usia
tiga puluhan menandakan bahwa individu tersebut memiliki keresahan.
Keresahan yang terjadi merupakan masalah penyesuaian diri yang harus
dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian
masalah.
e. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Keterasingan Sosial
Berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam
pola kehidupan dewasa, yitu karir, pernikahan dan rumah tangga,
hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya menjadi renggang.
Keterlibatan individu dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus
berkurang. Akibatnya, individu akan mengalami keterasingan sosial atau
Erikson menyebutnya dengan “krisis keterasingan”. Banyak individu
dewasa awal yang semenjakan kanak-kanak hingga remaja terbiasa
tergantung pada persahabatan dalam kelompok mereka merasa kesepian
apabila pekerjaan mereka memisahkan mereka dengan kelompok.
53
3. Aspek Perkembangan Masa Dewasa Awal
Santrock (2012) mengemukakan bahwa masa dewasa awal merupakan
masa transisi baik secara fisik, transisi dalam hal intelektual, dan peran sosial
dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Aspek Perkembangan Fisik
Menurut Santrock (2002), dewasa awal merupakan masa peralihan
dari masa remaja untuk memasuki masa tua. Penampilan fisik yang benarbenar matang mendukung individu untuk siap melakukan tugas-tugas
seperti bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Individu dapat bertindak
secara bertanggung jawab untuk dirinya sendiri maupun orang lain
(termasuk keluarganya). Segala tindakannya sudah dikenakan aturanaturan hukum yang berlaku, artinya apabila terjadi pelanggaran akibat dari
tindakannya, maka ia akan memperoleh sanksi hukum yang berlaku. Masa
ini ditandai pula dengan adanya perubahan fisik, misalnya tumbuh bulubulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi.
Bagi sebagian besar individu, puncak dari kemampuan fisik
dicapai pada usia dewasa awal antara usia 19 dan 26. Tidak hanya
mencapai puncak kemampuan fisik saja pada awal masa dewasa, dalam
masa ini kita juga dalam kondisi yang paling sehat. Hanya sedikit orang
dewasa awal yang mengalami masalah kesehatan kronis.
b. Aspek Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, berpikir operasional formal, yang dimulai dari usia
11 hingga 15 tahun merupakan tahap kognitif yang terakhir. Santrock
54
(2002) mengatakan bahwa jika dilihat dari segi kuantitatif jumlah
pengetahuan orang dewasa lebih besar dibandingkan dengan remaja.
Secara kualitatif tahap perkembangan kognitif orang dewasa tidak berbeda
dari remaja. Beberapa ahli menyatakan bahwa di masa dewasa awal,
idealisme yang terdapat pada tahap operasional formal mengalami
kemunduruan yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih
realistis dan pragmatis.
Masa perkembangan kognitif dewasa awal ditandai dengan adanya
keinginan mengaktualisasikan segala ide dan pemikiran yang dimatangkan
selama duduk di pendidikan tinggi. Individu yang memasuki dewasa awal
biasanya individu yang telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan matang sehingga individu siap untuk menerapkan keahlian
tersebut ke dalam dunia pekerjaan. Individu dewasa awal memecahkan
masalah secara sistematik dan mampu mengmbangkan daya inisiatif dan
kreatifnya sehingga ia memperoleh pengalaman baru.
c. Aspek Perkembangan Sosio-Emosional
Sebagian besar individu dewasa awal telah menyelesaikan
pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi dan kemudian mereka
memasuki jenjang karir dalam pekerjaannya. Menurut Erikson dalam
Papalia (2009) mengatakan bahwa individu dewasa awal berada dalam
tahap perkembangan psikososial intimacy vs isolation. Individu dewasa
awal merupakan masa dimana individu menjalin komitmen pribadi dengan
orang lain. Individu dewasa awal juga akan memasuki kehidupan
55
pernikahan, pembentukan keluarga baru, mengasuh anak-anak dan tetap
harus memperhatikan orang tua. Ketika individu tidak menjalin komitmen
pribadi dengan orang lain, individu beresiko menjadi terisolasi dan terpaku
pada diri sendiri.
4. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal
Santrock (2002) mengungkapkan bahwa tugas perkembangan individu
dewasa awal adalah memilih pasangan dan belajar untuk hidup bersama orang
lain dalam hubungan intim, membangun keluarga, dan membesarkan anak. Di
sisi lain, individu dewasa awal diharapkan mampu memiliki kemandirian
dalam karir dan dalam setiap pengambilan keputusan. Tugas perkembangan
tersebut dijabarkan secara rinci sebagai berikut :
1) Karir dan Pekerjaan
Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah kemandirian
dalam karir dan pekerjaan. Masa ini dikaitkan khususnya ketika seleksi
dan masuk kerja serta penyesuain diri terhadap pekerjaan tersebut.
Memasuki sebuah pekerjaan menandakan dimulainya peran dan tanggung
jawab baru bagi individu. Tuntutan peran karir terhadap kompetensi sangat
tinggi dan permintaan adalah nyata bagi orang dewasa. Ketika individu
memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama kalinya, mereka mungkin
dihadapkan pada masalah dann kondisi yang tidak mereka antisipasi
sebelumnya. Transisi diperlukan ketika individu mencoba untuk
menyesuaikan diri dengan peran yang baru. Memenuhi tuntutan karir dan
56
menyesuaikan diri dengan peran yang baru adalah penting bagi individu
pada fase dewasa awal.
Menurut Levinson (dalam Santrock, 2002), sekali individu
memasuki satu pekerjaan, ia harus membangun identitas pekerjaan yang
berbeda dan menempatkan dirinya dalam dunia kerja. Sejalan dengan hal
tersebut, ia mungkin gagal, keluar, atau memulai jalan baru. Individu
dewasa awal mungkin tetap bertahan pada satu jalur atau mencoba
beberapa arah baru sebelum menetap secara mantap pada satu jalur. Proses
penyesuaian ini bisa berlangsung beberapa tahun untuk mengeksplorasi
dunia kerja, menjadi akrab dengan industri dan serikat buruh, maupun
melampaui status magang menjadi peran kerja yang tetap.
2) Pernikahan dan Keluarga
Tahun-tahun awal masa dewasa adalah saat ketika individu
biasanya membangun hubungan yang intim dengan individu yang lain.
Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu
sama lain dengan membangun sebuah keluarga. Menurut Santrock (2002),
siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi
orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui
pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga
dengan anak, keluarga dengan anak remaja, keluarga pada kehidupan usia
tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut.
Perkembangan dalam masa dewasa awal sering melibatkan
keseimbangan yang membingungkan antara keintiman dan komitmen pada
57
satu sisi, dan kemandirian dan kebebasan di sisi yang lain. Ketika individu
mencoba memantapkan suatu identitas, mereka menghadapi kesulitan
mengatasi peningkatan kemandirian dari orang tua, membangun hubungan
intim dengan individu lain, dan meningkatkan komitmen persahabatan
mereka, dan di sisi lain mereka harus dapat berpikir untuk dirinya sendiri
dan melakukan sesuatu tanpa selalu harus mengikuti apa yang dikatakan
atau dilakukan oleh orang lain.
Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengemukakan beberapa tugas
perkembangan dewasa awal, antara lain :
1) Memilih Pasangan Hidup
Individu dewasa awal akan berupaya mencari teman hidup yang
cocok untuk dijadikan pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Individu
tersebut akan menentukan kriteria tertentu seperti usia, pendidikan,
pekerjaan atau bahkan suku bangsa sebagai syarat bagi pasangan hidupnya.
2) Mulai Membina Keluarga
Usia dewasa awal sebagian dari mereka merupakan individu yang
telah lulus SMA maupun kuliah sehingga setelah itu mereka memasuki
dunia kerja guna mengejar karir mereka. Melalui pekerjaan, individu akan
membuktikan kemapanan dirinya secara ekonomi, artinya individu yang
bersangkutan sudah tidak lagi bergantung dengan orang tua. Sikap mandiri
juga menjadi salah satu persiapan untuk memasuki kehidupan rumah
tangga. Setelah
itu,
individu
harus membangun,
membina dan
58
menyesuaikan diri dengan kehidupan rumah tangga termasuk mengasuh
dan mendidik anak.
3) Memulai Kehidupan Bekerja
Meniti karir setelah menyelesaikan pendidikan di SMA maupun
kuliah merupakan langkah untuk memantapkan ekonomi rumah tangga.
Individu akan berupaya menekuni pekerjaan yang sedang digelutinya,
apabila individu merasa cocok, maka individu tersebut akan merasa puas
dengan pekerjaannya. Masa dewasa awal merupakan masa untuk
mencapai puncak prestasi sehingga dengan semangat dan penuh idealisme,
individu akah bekerja dan bersaing dengan teman sebaya atau teman
kerjanya untuk menunjukkan prestasi kerja.
4) Menerima Langsung Tanggung Jawab Negara
Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti membayar pajak, mengurus dan
memiliki surat-surat kewarganegaraan, dan menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat. Tugas perkembangan ini merupakan tugas yang
harus dipenuhi oleh individu dewasa awal sesuai dengan norma sosial
budaya yang berlaku di masyarakat.
E. Lokasi Penelitian
Peneliti memilih lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo karena di
daerah ini dijumpai beberapa penyandang tuna daksa dewasa awal akibat
59
kecelakaan sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengambilan data
subjek. Kabupaten Sukoharjo juga merupakan salah satu daerah yang memiliki
komunitas penyandang tuna daksa bernama “SEHATI” dan ditemui pula
penyandang tuna daksa yang relevan dengan karakteristik penelitian. Domisili
peneliti yang terletak di Sukoharjo mempermudah diadakannya penelitian
mengenai eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat
kecelakaan ini.
F. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan fenomena yang menarik yang
memerlukan pemahaman dan pemerolehan data yang mendalam pada kasus
penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Individu yang
sebelumnya mempunyai fisik yang utuh, kini dihadapkan pada keterbatasan dan
berbagai permasalahan baru akibat kecelakaan berkaitan dengan hilangnya fungsi
tubuh maupun kondisi fisiknya yang berubah, bahkan semakin krusial ketika
memasuki masa dewasa awal yang dituntut dalam hal kemandirian, tanggung
jawab pribadi, serta berbagai tuntutan interaksional. Berbagai pengalaman hidup
penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan menjadikan peneliti
tertarik untuk melihat proses pencapaian eksistensi diri yang dilakukan sebagai
usaha untuk mendapatkan kehidupan yang bermakna melalui potensi-potensi yang
dimiliki. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui “Bagaimana proses
pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat
kecelakaan?”
G. Kerangka Berpikir
Latar Belakang Kehidupan Penyandang Tuna
Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan
Riwayat
Kecelakaan
Latar belakang
kecelakaan
yang menyebabkan subjek
menjadi tuna
daksa.
Kondisi
Internal
Kondisi
Eksternal
Kondisi
Kesulitan Fisik
Stigma
Masyarakat
Kondisi
Psikologis
Dukungan
Keluarga
Aksesibilitas
yang Diperoleh
Tugas Perkembangan Dewasa Awal
 Hubungan dan Peran Sosial
 Pendidikan dan pengembangan karir
 Membangun hubungan intim dengan lawan jenis
Proses Pencapaian Eksistensi Diri
PERCEPTION
RECOGNITION OF
VALUES
FREEDOM
RESPONSIBILITY
 Pemaknaan yang
semakin jelas (settle)
akan arti kehidupan di
dunia.
 Penerimaan dan
penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan
faktual yang terjadi
dalam hidup dan
kemungkinannya
sampai memperoleh
kebenaran yg hakiki.
 Mampu untuk mengisi
space, mengandalkan
support yang didapat,
dan percaya terhadap
protection yang
dianugerahkan.
 Mampu bertahan atas
kesulitan dan
ancaman apapun serta
mentoleransi segala
hal yang tidak dapat
diubah.
 Peran diri individu dalam
mengisi kehidupannya.
 Pemahaman individu atas
hubungan kualitatif
berlandaskan pengenalan
perasaan atau emosi serta
evaluasi dari reaksireaksi dalam menerima
objek.
 Terjadi perpindahan arah
kepentingan, yaitu
perhatian yang semula
terarah pada kepentingan
pribadi, kini dialihkan
pada kepentingan sosial.
 Mencapai keharmonisan
antara dunia dan dirinya
serta merasakan
kedalaman hidup yang
ditunjukkan dengan
berpartisipasi aktif
mengisi kehidupan
melalui relationship,
time, dan closeness.
 Individu menentukan
dirinya sendiri dan
dunianya, termasuk
menentukan tindakan
maupun arah hidupnya.
 Sadar atas pilihan yang
diambil dan konsekuensi
dari pilihan tersebut.
 Bertindak dan
berkomitmen terhadap
pilihan yang diambil
(mampu mengambil
sikap yang tegas terhadap segala sesuatu di
luar diri).
 Menemukan inti atau
keaslian diri yang dibangun melalui attention
(pemahaman) secara
mendalam, prinsip
justice (keadilan), dan
appreciation
(penghargaan) terhadap
diri dan orang lain.
 Individu menemukan
tujuan hidup di dunia
dan menentukan
masa depan.
 Berperan aktif
memenuhi eksistensi
diri melalui field of
activity (bertindak
secara nyata), a
structural context
(memiliki konteks
struktural yang lebih
luas terhadap
orientasi hidup), dan
a value to be realized
in the future
(berjuang mencapai
tujuan hidup besar di
masa depan)
 Pencapaian meaning
of life dan sense of
fulfillment.
Gambaran Pencapaian Eksistensi Diri pada Penyandang
Tuna Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan
Gambar 2. 1. Kerangka Berpikir Eksistensi Diri pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal akibat Kecelakaan
60
Download