BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi Diri 1. Pengertian Eksistensi Diri Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo, yang terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi, atau hadir (Misiak & Sexton, 2005). Akar atau dasar eksistensi sendiri bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian (Rodgers & Thompson, 2015). Kondisi-kondisi inilah yang mendorong manusia untuk mewujudkan eksistensi dirinya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang bermakna. Eksistensi manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Sebagaimana diungkapkan Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008) bahwa eksistensi adalah makna dari keberadaan manusia yang mengedepankan masalah being-in-theworld, yaitu diri manusia tidak akan ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada tanpa makhluk yang mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik saja, melainkan dunia makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh sebab itu, tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan 12 13 tempat dimana ia merasa bermakna sebagai individu; orang lain terhadap siapa ia berbicara atau mengungkapkan perasaannya; tempat kerja dimana ia mengekspresikan kemampuannya dan merasa menjadi manusia; sekolah dimana ia belajar dan mengekspresikan keberadaannya; dan seterusnya). Melalui dunianyalah makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain (Abidin, 2002). Dalam pandangan psikologi eksistensial, dikatakan bahwa eksistensi merupakan sebuah cara berada manusia, situasinya dalam dunia, kebebasannya memilih tujuan hidup, serta berusaha memahami arti kehidupannya sendiri (Chaplin, 2000). Eksistensi diri merupakan segala kemungkinan yang apabila direalisasikan dapat mengarahkan individu pada keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi dirinya sendiri, mengambil tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan yang ada disediakan dalam kehidupan (Rodgers & Thompson, 2015). Loonstra, Brouwers, & Tomic (2007) mengartikan eksistensi diri sebagai kesadaran manusia terhadap tujuan hidup dan dengan sepenuhnya dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara hakiki. Menurut Abidin (2002), kesadaran manusia pada dasarnya adalah intensionalitas (selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu) dan dunia manusia pada dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan) manusia, serta ia hidup dalam dunia yang telah “diciptakan” atau dimaknakannya. Para eksistensialis lebih lanjut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai potensi 14 untuk menangani beberapa kondisi bawaannya dan membuat hidupnya menjadi lebih bermakna. Corey (2003) memaparkan potensi manusia sebagai berikut : a. Kesadaran. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya dan lingkungannya. Semakin besar kesadarannya, semakin banyak kemungkinan dan peluang keberhasilan untuk menangani ketakutan dan kecemasannya. b. Keautentikan. Orang autentik memiliki ciri-ciri yaitu menyadari dirinya dan hubungannya dengan lingkunganya, mampu membuat pilihan dan menyadari bahwa keputusan merupakan konsekuensi yang tak bisa dihindari, mengambil tanggung jawab untuk membuat pilihan, mengakui bahwa ketidaksempurnaan kesadaran. c. Kebebasan dan tanggung jawab. Jika manusia mau mengakui bahwa dirinya memiliki kebebasan, maka di manapun mereka berada, mereka mempunyai tanggung jawab. d. Aktualisasi diri. Eksistensi memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Manusia yang gagal mencapai aktualisasi diri, berpotensi dihinggapi perasaan malu, bersalah dan cemas, serta persepsi hidupnya tak bermakna. e. Memaknakan hidup. Setiap manusia termotivasi untuk membuat hidupnya menjadi bermakna. Untuk memaknakan hidupnya, manusia harus memiliki keinginan untuk hidup, tidak merusak diri dan mau mencintai diri sendiri serta orang lain bahkan lingkungan fisiknya. 15 Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi diri adalah cara individu memaknai keberadaan dirinya di dunia melalui berbagai upaya dengan mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki untuk mencapai keberadaan autentik dan membuat hidupnya menjadi bermakna. 2. Konsep Dasar Eksistensi Diri Konsep dasar mengenai eksistensi diri digambarkan oleh Abidin (2002) sebagai berikut : a. Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu proses “menjadi” atau “mengada”. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan berhenti, melainkan lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensipotensinya. b. Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu mengarah ke luar dirinya dan melampui dirinya. Realitas yang semula objektif, lalu diberi makna subjektif, sesuai dengan kebutuhannya. c. Eksistensi adalah ada-dalam-dunia. Manusia tidak hidup sendiri dan berada dalam diri sendiri, melainkan berada-dalam-dunianya. Manusia tidak bisa lepas dari (dan tidak dapat terealisasi tanpa) dunianya. Dunia dalam arti ini terus berkembang dan bersifat subjektif, karena bersifat terpusat pada manusia, sehingga setiap kontak manusia dengan sesuatu di luar dirinya selalu ditandai oleh subjektifitasnya. 16 d. Manusia hidup dalam mitwelt, eigenwelt, dan umwelt. 1) Umwelt adalah dunia objek-objek di sekitar kita, dunia yang bersifat objektif. Umwelt adalah dunia kebutuhan biologis, dorongan hewani, naluri tidak sadar, dan segala sesuatu yang biasanya dinamakan “lingkungan”. 2) Mitwelt adalah dunia perhubungan antar manusia, terdapat perasaan seperti benci dan cinta. Baik cinta dan benci, tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis dan tergantung pada sejumlah faktor yang bersifat manusia, misalnya keputusan pribadi dan komitmen terhadap orang lain. 3) Eigenwelt adalah kesadaran diri, perhubungan diri, dan secara khas hadir dalam diri manusia. Eigenwelt merupakan pusat dari perspektif manusia dan pusat dari perhubungan antara manusia dengan bendabenda atau orang lain. Eigenwelt juga berarti kesadaran, bahwa manusia “ada” dan “keberadaannya” tidak dapat disangkal. Tanpa kesadaran itu manusia kehilangan orientasi dan dengan demikian kehilangan eksistensinya. e. Eksistensi adalah “milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik. Tidak ada pula dua pengalaman identik. Oleh sebab itu, eksistensi adalah milik pribadi, yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun. f. Eksistensi mendahului esensi. Hal ini berati bahwa nasib manusia dan takdir manusia, struktur hidup manusia, dan konsep tentang manusia, adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia. 17 g. Eksistensi adalah autentik atau tidak autentik. Menurut Heidegger dan Sartre (dalam Abidin, 2002), eksistensi sebagian besar manusia adalah tidak autentik. Manusia lupa akan dirinya sendiri, dikuasai oleh kekuatan massa atau oleh pesona benda, mengabaikan hati nurani, gampang terpengaruh oleh iklan menggoda, dan lain-lain. Padahal manusia bisa memilih dan bertindak secara autentik; sadar diri, bertindak atas kekuatan sendiri, bersedia mendengarkan hati nurani sendiri. Lathief (2010) mengungkapkan pula bahwa konsep dasar eksistensi diri berkaitan erat dengan hal-hal berikut ini : a. Ada dan Ketiadaan (Being and Nothingness) Makna ontologis kata “ada” dimaksudkan sebagai manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan ketiadaan (nothingness) merupakan ukuran bagi ketidakberadaan manusia, suatu dimensi dimana manusia melakukan regresi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek. b. Ada-di-Dunia (Being-in-The-World) Menurut Heidegger (dalam Lathief, 2010), konsep manusia “adadi-dunia” mengandung implikasi bahwa manusia hidup dan mengungkapkan dirinya bahwa ia berada di tengah-tengah kehidupan yang lain yang telah ditentukan oleh dirinya sendiri. Dunia manusia sendiri digambarkan menjadi tiga, yaitu umwelt (lingkungan biologis atau fisik), mitwelt (lingkungan manusia), dan eigenwelt (manusia itu sendiri termasuk badannya). 18 c. Ada-Melampaui-Dunia (Being-over-The-World) Menurut para psikoterapis eksistensialisme, “ada-melampauidunia” berarti berusaha mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang dihuninya dan memasuki sebuah dunia baru, sehingga manusia selalu dalam proses mengatasi diri (self transcending). d. Relasi Aku-Engkau (The I-Thou Relationship) Relasi sosial aku-engkau berarti bahwa individu sadar dan menghargai individu lain sebagai subjek seperti dirinya, subjek dengan dunianya sendiri, subjek yang selalu berproses, subjek yang memiliki perasaan, pikiran dan keinginannya sendiri. e. Intensionalitas (Intentionality) Intensionalitas merupakan struktur eksistensi manusia yang berarti bahwa manusia tidak pernah memikirkan atau membayangkan kekosongan dan kesia-siaan (selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu). f. Ada Autentik dan Tidak Autentik (Being Autentic and Inautentic) Menurut Heidegger dan Sartre (dalam Lathief, 2010), eksistensi manusia pada umumnya adalah tidak autentik seperti keharusan memilih, memikul tanggung jawab, ketakutan, kecemasan, pengalaman kematian, isolasi sosial, sampai pada ketidakbermaknaan (meaningless). Ada autentik berarti bahwa manusia sanggup mengukuhkan dirinya (self affirmation) tanpa menghindarkan atau mengingkari keniscayaan hidup seperti ancaman, kecemasan, menentukan berbagai pilihan. 19 g. Kebebasan dan Tanggung Jawab (Independence and Responsibility) Psikoterapis eksistensialisme selalu menekankan kebebasan dan tanggung jawab sebagai struktur eksistensial manusia yang paling mendasar, dimana kebebasan dikaitkan dengan tanggung jawab memilih berbagai kemungkinan, membuat keputusan-keputusan, serta memilih tindakan-tindakan sesuai dengan kapasitas autentik. h. Kesadaran Diri (Self Consciousness) Para psikoterapis memandang kesadaran diri sebagai kapasitas yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi utuh. Kierkegaard (dalam Lathief, 2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi kesadaran diri manusia, maka semakin utuh pula pribadi manusia tersebut. i. Eksistensi Bersifat Individual (Exsistence is Individual-Being) Eksistensi adalah milik pribadi dan bersifat individual, yang keberadaannya tidak mungkin bisa terwakili dengan keberadaan manusia lain. Eksistensi manusia pertama-tama adalah bersifat individual (individual being), baru kemudian menentukan eksistensial sosialnya (social being) atau bereksistensi dalam masyarakat. j. Eksistensi Mendahului Esensi (Existence Proceed Essence) Konsep psikoterapi eksistensialisme mengemukakan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun bentuk dan model eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan eksistensinya. Manusia selalu mendapatkan kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik untuk membentuk dirinya sendiri. 20 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Diri Abidin (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi diri, antara lain : a. Kematian (Ketiadaan) Eksistensi manusia tidak lepas dari kematian. Kematian merupakan akhir dari eksistensi manusia. Namun, kematian dapat membuat seseorang menjadi diri yang autentik apabila ia dapat menerima kematian sebagai suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Apabila manusia dapat menerima kematian yang identik dengan ketiadaan dan kesendirian yang mencekam dan menyeluruh, maka ia akan berusaha melepaskan diri diri kontrol dengan orang lain. Kuasa atau kontrol orang lain inilah yang membuat eksistensi seseorang dangkal atau tidak autentik. b. Kecemasan Kecemasan (angst atau anxiety) dalam hal ini berhubungan dengan kebebasan. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang hidup bebas di dunia. Namun, keebebasan tersebut justru membuat manusia menjadi cemas karena selalu dihadapkan pada berbagai kemungkinan. Manusia tidak pernah tahu apakah kemungkinan-kemungkinan tersebut akan baik atau justru menghancurkan eksistensi dirinya. Dengan kata lain, kecemasan tersebut disebabkan karena adanya kesadaran manusia akan kebebasan dimana semua resikonya menuntut pertanggungjawaban. 21 c. Kehendak Bebas Setiap saat manusia dihadapkan pada kondisi untuk memilih satu atau beberapa kemungkinan-kemungkinan yang ada. Manusia berhak sepenuhnya untuk memilih apa yang ia inginkan, dan karenanya manusia disebut sebagai makhluk yang bebas. Tindakan-tindakan manusia pada dasarnya mengisyaratkan adanya kehendak bebas, misalnya : 1) Penentuan diri (self determination). Dalam menentukan sebuah pilihan dalam hidup, manusia dapat menerima masukan dari orang lain tentang baik atau buruknya hal-hal yang sedang dihadapi. Walaupun demikian, pada akhirnya penentuan pilihan tersebut bukan berasal dari orang lain, melainkan keputusan dari diri sendiri. 2) Pilihan. Pilihan yang diambil akan menghasilkan tindakan yang dilakukan saat ini. 3) Konsekuensi. Tidak semua konsekuensi sesuai dengan yang diprediksikan. Terkadang, ada tindakan baik namun malah berakibat buruk. 4) Pertanggungjawaban. Setiap manusia bertanggung jawab atas semua konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. 5) Karakter. Setiap pilihan tindakan yang diambil seseorang, menciptakan pribadinya, misalnya apakah seseorang memilih menjadi seorang pemarah, penyabar, atau pemberani. Ketika memilih, sesesorang akan melakukan tindakan dan tindakan tersebut yang membentuk karakter dirinya. 22 d. Waktu (Temporalitas) Waktu dalam hal ini berkaitan dengan pengalaman manusia, tidak ada kaitannya dengan waktu objektif yang diukur dengan satuan jam. Pengalaman manusia dihayati tidak secara objektif, melainkan secara subjektif. Setiap manusia menghayati masa lalu, masa kini, dan masa depan secara berbeda. Masa depan merupakan sebuah ancaman bagi orang yang cemas, namun merupakan peluang dalam membuka berbagai kemungkinan bagi orang yang optimis. e. Ruang (Spasialitas) Ruang dalam hal ini adalah “ruang yang dihayati”. Setiap individu menghayati ruang secara berbeda. Ruang spasial ditentukan oleh nada (perasaan) dan detak (emosional) seseorang. Detak atau nada ruang batin yang dihayati dapat dirasakan sebagai sesuatu yang penuh atau kosong, bisa dirasakan sebagai sesuatu yang luas atau justru malah membatasi. Cinta merupakan contoh perluasan ruang, walaupun berada jauh namun terasa dekat dengan orang yang dikasihi. Sebaliknya, perasaan putus asa membuat ruang terasa kosong dan penderitaan membuat ruang terasa sempit. f. Tubuh Tubuh dalam hal ini bukanlah merupakan tubuh secara fisiologis, melainkan tubuh yang dihayati, tubuh yang bermakna dan yang memberi makna pada dunia. Makna terhadap tubuh bersifat subjektif. Tubuh bermakna sebagai tubuh-subjek bagi diri sendiri, karena setiap tindakan 23 dilakukan melalui tubuh. Sedangkan bagi orang lain, tubuh merupakan tubuh-objek, misalnya objek untuk dibedah saat operasi atau objek pemenuhan kebutuhan seksual. g. Diri Sendiri Manusia memberi makna tidak hanya pada dunia, namun juga pada diri sendiri. Makna terhadap diri sendiri juga dapat berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Beberapa orang memaknai dirinya sebagai orang yang kuat, namun beberapa lainnya memaknai dirinya sebagai orang yang lemah. Tidak hanya kuat dan lemah, namun makna diri sendiri juga dapat berupa optimistik atau pesimistik, menarik atau menyebalkan, berkuasa atau tidak berdaya. h. Rasa Bersalah Manusia pada umumnya memiliki rasa bersalah ketika melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan. Rasa bersalah juga muncul ketika manusia merasa telah membuang waktu dan merasa gagal dalam mengaktualisasikan potensipotensi, bakat-bakat, dan kemampuan-kemampuan yang dimiliknya. Kegagalan tersebut dapat terjadi bila seseorang terlalu konformis dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bakat dan potensinya termatikan. Perasaan bersalah juga muncul ketika terjadi putusnya keintiman, komunikasi, atau berkurangnya rasa cinta terhadap sesama. 24 Rollo May (dalam Bastaman, 1996) juga mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi eksistensi diri, berkaitan dengan modus (bentuk) dunia manusia yaitu : a. Umwelt. Umwelt secara harfiah berarti dunia sekitar (world around), yaitu dunia fisik biologis yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut lingkungan (environment). Dapat dikatakan umwelt lebih tepat diterjemahkan sebagai alam sekitar. b. Mitwelt. Mitwelt secara harfiah berarti dunia bersama (with world), yang diterjemahkan sebagai masyarakat. c. Eigenwelt. Eigenwelt adalah dunia pribadi (own world), yang diterjemahkan sebagai diri. Manusia menyadari diri sendiri, mampu melakukan distansi dengan diri dan lingkungannya, serta mampu mentransendensikan diri (kemampuan seseorang untuk menyadari dan menilai pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang untuk diproyeksikan ke masa depan. 4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Eksistensi Diri Ciri-ciri individu yang memiliki eksistensi diri menurut Smith (2003) adalah sebagai berikut : a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, apa yang mampu dilakukan, dan bagaimana cara melakukannya. 25 b. Kepercayaan diri, yaitu kemampuan individu untuk melihat sisi positif dari suatu peristiwa. c. Harga diri, yaitu bagaimana individu memfokuskan pada orang yang dilayani atau individu mampu bekerja. d. Kesadaran akan peran, yaitu kesadaran mengenai pentingnya peran yang ada dalam dirinya untuk segera direalisasikan. e. Kesadaran akan kekuatan misi pribadi, yaitu visi tentang apa yang perlu dilakukan dan semangat serta fokus dalam melakukannya. f. Daya tarik pribadi, yaitu sesuatu yang menjadi daya tarik individu sehingga dapat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap dirinya. g. Kesadaran akan keunikan diri, yaitu tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain atau mengkhawatirkan apa yang tidak dimiliki diri. h. Konsistensi terhadap kehidupan, yaitu tidak terombang-ambing dengan setiap ide atau peluang baru atau perubahan kejadian. i. Ketenangan dan kedamaian, yaitu tetap berkepala dingin meskipun menghadapi banyak masalah. 5. Dinamika dan Perkembangan Eksistensi Diri a. Dinamika Eksistensi Diri Dalam pandangan psikologi eksistensial, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan ia sendiri bertanggung jawab atas eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukan 26 individu adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya (Calvin dan Lindzey, 1993). Menurut Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993), meskipun manusia itu bebas memilih, seringkali ditemui rasa kecemasan, pengasingan, kebosanan, kompulsi, dan berbagai macam gangguan lain. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu : 1) Kebebasan memilih tidak menjamin bahwa pilihan tersebut merupakan pilihan yang bijaksana (menyadari kemungkinan-kemungkinan dan tetap terbuka supaya kemungkinan-kemungkinan tersebut menyiapkan dirinya) karena memilih satu atau yang lainnya adalah sama, meskipun tentu saja konsekuensi-konsekuensinya akan berbeda secara radikal. 2) Hal yang tidak dapat diatasi oleh manusia adalah rasa bersalah yang dimilikinya akibat kegagalannya melaksanakan peran untuk memenuhi semua kemungkinan yang dimilikinya. 3) Adanya rasa takut terhadap ketiadaan atau ketidakpastian dalam menjalani hidup yang bisa menyebabkan pengasingan dan isolasi dari dunia. b. Perkembangan Eksistensi Diri Konsep eksistensial tentang perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang “menjadi”. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mentransendensi atau mengatasi diri sendiri. Tujuannya ialah untuk menjadi manusia 27 sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan ada-di-dunia. Hal ini merupakan projek tanpa berkesudahan dan sia-sia karena pilihan terhadap salah satu kemungkinan selalu berarti penolakan terhadap semua kemungkinan lainnya. Meskipun demikian, tetap merupakan tanggung jawab seseorang sebagai seorang manusia bebas untuk merealisasikan sebanyak mungkin kemungkinan ada di dunianya (Calvin dan Lindzey, 1993). Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa kehidupan atau setidak-tidaknya eksistensi manusia sebagai ada di dunia ini berakhir dalam kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh setiap orang. Oleh karena itu, eksistensi manusia dapat disebut “ada sampai mati” yang berarti bahwa kesudahan dari ada di dunia yang tidak dapat dielakkan ini memberikan manusia tanggung jawab untuk memanfaatkan semaksimal mungkin setiap saat dalam eksistensinya dan memenuhi eksistensinya tersebut. 6. Proses Pencapaian Eksistensi Diri Langle, Orgler, & Kundi (2003) memaparkan proses pencapaian eksistensi diri yang terjadi melalui tahapan berikut : a. Perception Perception berkaitan dengan fakta bahwa manusia berada di dunia dan dunia mempunyai hukumnya sendiri yang harus manusia sesuaikan. Manusia memahami atau mempersepsikan objek di dunia sebagai sebuah 28 arti yang terus berkembang. Dalam berinteraksi dengan dunia, penting bagi individu untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan mempelajari berbagai kondisi maupun situasi yang dihadapi. Sebuah kehidupan yang bermakna selalu berhadapan dengan perubahan-perubahan faktual dan kemungkinannya, sampai individu memperoleh suatu kebenaran yang hakiki. Distorsi realitas atau ketidakmampuan untuk menerima perubahan tersebut bisa menjadi halangan untuk mencapai langkah selanjutnya. Dalam memaknai kehidupan di dunia, manusia diharapkan mampu berperan aktif dengan siap untuk mengisi space, mengandalkan support yang didapat, dan percaya terhadap protection yang dianugerahkan kepadanya. Jika seseorang bisa memenuhi tiga hal tersebut, maka ia akan dapat merasa percaya berada di dunia (being here). Keseluruhan dari pengalaman ini adalah kepercayaan fundamental (a fundamental trust), sebuah kepercayaan bahwa individu mempunyai support yang mendalam dan abadi di dalam hidupnya. Bagaimanapun hal tersebut tidak cukup untuk mendapatkan protection, space, dan support. Individu juga harus meraih beberapa kondisi ini, membuat keputusan terhadapnya, serta menerimanya. Peran aktif individu pada kondisi fundamental dari ‘being here’ adalah menerima aspek positif dan bertahan terhadap efek negatifnya. Menerima berarti siap untuk mengisi ‘space’ tempat keberadaan diri, mengandalkan support yang didapat dan percaya terhadap protection yang dianugrahkan pada diri individu. Bertahan berarti 29 mengharuskan diri untuk menerima kesulitan apapun, ancaman dan menoleransi apa-apa yang tidak dapat diubah. b. Recognition of Values Recognition of values berkaitan dengan fakta bahwa manusia hidup dan dirinyalah yang berperan dalam mengisi kehidupannya tersebut. Manusia diharapkan mampu memahami hubungan kualitatif antara objek yang ditemui maupun antara objek dengan diri manusia itu sendiri. Hal ini dilandasi oleh pengenalan individu terhadap perasaan atau emosi serta evaluasi dari reaksi-reaksi dalam menerima dan mengimajinasikan objek. Individu kini mengorientasikan dan mengalihkan perhatian kepada hal-hal di luar dirinya. Perhatian individu yang semula terarah pada kepentingan pribadi pun dialihkan pada kepentingan sosial. Ketika seseorang memiliki ‘space’ di dunia, ia dapat mengisinya dengan kehidupan secara sederhana. ‘Being there’ tidaklah cukup, manusia menginginkan eksistensinya menjadi baik. Untuk mendapatkan hidup yang diinginkan dan dicintai, terdapat tiga hal yang harus diraih yaitu relationship, time, dan closeness. Jika ketiganya terpenuhi, ia akan mendapatkan keharmonisan antara dunia dengan dirinya, dan ia akan merasakan kedalaman hidup. Pengalaman ini merupakan bentuk ‘fundamental value’, sebuah perasaan yang paling dalam terhadap nilai kehidupan (value of life). Hal ini mewarnai emosi individu dan merepresentasikan ukuran terhadap apapun yang mungkin dirasakan untuk menjadi berharga. Tidak hanya relationship, time, dan closeness, namun 30 partisipasi aktif serta persetujuan diri juga diperlukan. Ketika individu berpaling pada sesuatu atau seseorang, membiarkan diri tersentuh, ia akan merasakan pengalaman hidup yang bersemangat. Tidak hanya pengalaman hidup bersemangat, secara seimbang ia juga mengalami pengalaman seperti kehilangan dan kesedihan. c. Freedom Freedom berkaitan dengan fakta bahwa manusia bebas menjadi dirinya sendiri dan menentukan dunianya. Hal ini mengacu pada kemampuan manusia dalam menentukan diri dan dunianya, termasuk menentukan tindakan maupun arah hidupnya. Individu harus sadar dengan pilihan yang ia ambil dan konsekuensinya. Ada suatu saat dimana seseorang akan dipaksa untuk memutuskan sebuah pilihan, akan tetapi tetap diri individulah yang menyadari dan memutuskan pilihannya sendiri. Keputusan saja tidak cukup, individu harus bertindak dan berkomitmen pada pilihannya. Pada intinya, keputusan ini bisa berarti sebagai kesetiaan hidup seseorang atas tujuan yang ia pilih. Untuk menemukan inti atau keaslian diri seseorang, hal tersebut dapat dibangun melalui attention, justice, dan appreciation. Diperlukan pula partisipasi aktif individu dengan mengatakan “ya” untuk dirinya sendiri. Dirinya harus melihat orang lain serta bertemu mereka, dan pada saat yang sama, ia juga harus menggambarkan dirinya sendiri, berdiri sendiri, serta menolak apapun yang tidak sesuai dengan akalnya. 31 Encounter (pertemuan) dan regret (penyesalan) adalah dua cara yang dilakukan individu agar bisa hidup otentik tanpa berakhir dalam kesendirian. Encounter merupakan jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan pada orang lain. Itu membuat individu memahami esensi orang lain serta dirinya sendiri; menemukan 'I' pada 'you'. Dengan partisipasi diri dan apresiasi dari orang lain menciptakan apresiasi yang sama bagi ‘siapa saya’. d. Responsibility Responsibility berkaitan dengan fakta bahwa manusia harus menemukan tujuan hidup di dunia dan menentukan masa depannya. Hal ini mengacu pada bagaimana individu mewujudkan keputusan dan rencana yang sudah ia pilih untuk masa depan dan tujuan hidupnya. Jika individu bisa berada di sini, mencintai hidup dan menemukan diri didalamnya, maka terpenuhilah kondisi untuk menuju kondisi fundamental keempat, keberadaan individu mengakui hidupnya dan apa saja tentangnya. Tahap ini merupakan bentuk dari pemenuhan eksistensial dan inti dari penentuan dalam menempatkan keputusan seseorang secara praktis. Manusia diharapkan mampu berperan aktif melalui field of activity, a structural context, dan a value to be realized in the future, untuk memeriksa apakah yang dilakukan adalah benar-benar hal yang baik untuk orang lain, untuk masa depan, dan untuk lingkungannya. Keseluruhan pengalaman ini mengarahkan pada meaning of life dan sense of fulfillment. 32 B. Tuna Daksa 1. Pengertian Tuna Daksa Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi, kurang, dan “daksa” berarti tubuh. Tuna daksa sama dengan beberapa istilah yang berkembang seperti cacat fisik, cacat tubuh, tuna tubuh, crippled, physically handicaped, physically disabled, non ambulatory, having organic problems, orthopedically impairment, dan orthopedically handicapped. Istilah ini ditujukan kepada orang yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna dan dimaksudkan untuk menyebut seseorang yang memiliki ketunaan pada anggota tubuhnya, bukan ketunaan pada inderanya (Chori, 1995). Tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference dalam Somantri, 2007). Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. Astati (2000) mendefinisikan tuna daksa sebagai penyandang bentuk ketunaan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Individu tuna daksa adalah individu yang 33 mengalami ketunaan menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) dan syaraf sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Hermanto, 2012). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuna daksa adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena tidak berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu sehingga membatasi individu dalam bergerak. 2. Faktor-faktor Penyebab Ketunadaksaan Somantri (2007) mengemukakan bahwa ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran : 1) Faktor keturunan. 2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan. 3) Usia ibu yang sudah lanjut pada saat melahirkan anak. 4) Pendarahan pada saat kehamilan. 5) Keguguran yang dialami ibu. b. Sebab-sebab yang timbul saat kelahiran : 1) Penggunaan alat-alat bantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacuum, dan lain-lain) yang tidak lancar. 2) Penggunaa obat bius saat proses kelahiran. c. Sebab-sebab setelah kelahiran : 1) Infeksi. 2) Trauma. 34 3) Tumor. 4) Kondisi-kondisi lainnya. 3. Klasifikasi Tuna Daksa Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tuna daksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi : 1) Club-foot (kaki seperti tongkat). 2) Club-hand (tangan seperti tongkat). 3) Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki). 4) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya). 5) Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka). 6) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup). 7) Cretinism (kerdil/katai). 8) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal). 9) Hydrocepalus (kepala yang besar berisi cairan). 10) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang). 11) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut). 12) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha). 35 13) Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu). 14) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang). 15) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar). 16) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis). b. Kerusakan pada saat kelahiran, meliputi : 1) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran). 2) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah). c. Infeksi, meliputi : 1) Tuberkulosis tulang (menyerang sendi pada sehingga menjadi kaku). 2) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsung tulang karena bakteri). 3) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan). 4) Pott’s disease (tuberkulosis sumsung tulang belakang). 5) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen pada tulang). 6) Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain. d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, meliputi : 1) Amputasi. 2) Kecelakaan akibat luka bakar. 3) Patah tulang. 36 e. Tumor, meliputi : 1) Oxostosis (tumor tulang). 2) Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di dalam tulang). f. Kondisi-kondisi lainnya, meliputi : 1) Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk). 2) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung). 3) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung). 4) Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan). 5) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi menyebabkan kerusakan tulang dan sendi) 6) Scoliosis (tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha yang miring). C. Tuna Daksa Akibat Kecelakaan 1. Pengertian Tuna Daksa Akibat Kecelakaan Erikson (dalam Damayanti & Rostiana, 2003) mengungkapkan istilah non normatif untuk kejadian yang datangnya tidak dapat diduga dan tidak diharapkan. Salah satu kejadian non normatif adalah kecelakaan yang mengakibatkan ketunadaksaan dan membuat anggota tubuh kehilangan fungsinya. Bentuk kecelakaan ini bisa berupa kecelakaan saat berkendara, cedera saat bencana alam, maupun cedera saat melakukan aktivitas sehari-hari (Baltus dalam Tentama, 2010). 37 Tuna daksa sendiri diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena tidak berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu sehingga membatasi individu dalam bergerak. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tuna daksa akibat kecelakaan merupakan kondisi dimana individu mengalami keterbatasan pada tubuhnya untuk bergerak karena tidak berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu akibat kecelakaan yang terjadi, baik kecelakaan saat berkendara, bencana, maupun kecelakaan saat melakukan aktivitas sehari-hari. 2. Pertumbuhan dan Perkembangan Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan a. Perkembangan Fisik Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan Somantri (2007) mengungkapkan bahwa perkembangan manusia secara umum dapat dibedakan dalam aspek fisik dan psikologis. Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh individu. Namun pada penyandang tuna daksa, potensi tersebut tidak utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Usaha yang dilakukan penyandang tuna daksa untuk agar tetap mampu mengaktualisasikan diri secara utuh di tengah ketidaksempurnaannya adalah dengan mengkompensasikan dengan bagian tubuh lain yang tidak mengalami ketunaan. Sebagai contoh, penyandang tuna daksa yang mengalami masalah atau kerusakan 38 pada tangan kanan, maka tangan kiri akan lebih berkembang sebagai kompensasi kekurangan yang dialami tangan kanan. Di samping hal tersebut, kerusakan pada salah satu bagian tubuh tidak jarang juga menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya, misalnya kerusakan pada salah satu sendi paha akan berakibat pada miringnya letak tulang pinggul. Secara umum, perkembangan fisik tuna daksa akibat kecelakaan sama dengan individu normal kecuali pada bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut (Somantri, 2007). b. Perkembangan Emosi Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan Beberapa ketunadaksaan penelitian terjadi turut menunjukkan bahwa usia mempengaruhi perkembangan ketika emosi penyandang tuna daksa. Individu yang menjadi tuna daksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi secara bertahap, sedangkan individu yang mengalami ketunadaksaan setelah besar misalnya akibat kecelakaan, mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak dan sebelumnya pernah menjalani kehidupan sebagai orang normal sehingga keadaan tuna daksa dianggap sebuah kemunduran dan sulit untuk diterima individu tersebut. Dukungan orang tua dan orang-orang sekitar merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi penyandang tuna daksa, khususnya tuna daksa akibat kecelakaan (Somantri, 2007). Penelitian Fitzgerald (dalam Somantri, 2007) menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi 39 penyandang tuna daksa yang tidak jarang berakibat lebih berat dari akibat ketunadaksaannya. Hasil dari peneltiain ini berkaitan dengan sikap orang tua dan orang-orang di sekitar penyandang tuna daksa. Terdapat orang tua yang sering memperlakukan penyandang tuna daksa dengan sikap terlalu melindungi, serta ada pula orang tua yang bersikap menolak kehadiran penyandang tuna daksa tersebut. Perlakuan ini seringkali menyebabkan penyandang tuna daksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut menghadapi lingkungan. Selain itu, kegiatan fisik atau jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh penyandang tuna daksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi seperti mudang tersinggung, marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi (Astati, 2000). Damayanti & Rostiana (2003) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang turut berperan dalam dinamika emosi penyandang tuna daksa adalah coping, self efficacy, serta dukungan sosial. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan emosi penyandang tuna daksa akibat kecelakaan sangat dipengaruhi oleh sikap lingkungan terhadap dirinya. Apabila lingkungan bersikap menolak (rejection) terhadap kehadiran penyandang tuna daksa, maka dirinya akan cenderung bersikap rendah diri, pesimistis, pemalu, dan menutup diri dari lingkungan. Sebaliknya, apabila lingkungan memperlakukan penyandang tuna daksa dengan berlebihan (over protective), maka akan menumbuhkan sikap ketergantungan pada diri tuna daksa. 40 c. Perkembangan Kepribadian Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan satu dengan yang lain saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain. Kondisi penyandang tuna daksa secara berkesinambungan mengubah dan memodifikasi beberapa atau bahkan semua dimesi perkembangan dalam berbagai taraf. Somantri (2007) menyebutkan bahwa perkembangan kepribadian individu tuna daksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh : 1) Tingkat ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan. Dreikurs (dalam Somantri, 2007) mengungkapkan bahwa penyandang tuna daksa merumuskan responnya terhadap ketunadaksaan sesuai “gaya hidup”. Gaya hidup ini menurut Adler (dalam Somantri, 2007) terbentuk pada masa anak-anak melalui hambatan dan Ketunadaksaan pengalaman merupakan yang dihadapi individu faktor penting yang tersebut. menentukan perkembangan kepribadian individu. 2) Usia ketika ketunadaksaan terjadi. Keadaan tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik, namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis yang bersangkutan. 3) Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan. Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu terutama 41 mengenai gambaran tubuh (body image). Kondisi tuna daksa umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat oleh orang lain, meskipun ada variasinya. Ketunadaksaan tersebut ada yang mencolok tetapi ada juga yang tidak mudah terlihat oleh orang lain. Ada kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga mudah mengundang rasa kasihan, akan tetapi ada pula ketunadaksaan yang akibat kesulitannya tidak jelas. Faktor tampak dan tidaknya ketunadaksaan ini memiliki pengaruh yang demikian besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap penyandang tuna daksa maupun sikap penyandang tuna daksa terhadap lingkungannya. Penyandang tuna daksa pada umumnya menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Hal demikian berhubungan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya. Di samping itu, pengaruh ketunadaksaan terhadap perkembangan kepribadian individu ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami ketunadaksaan tersebut. 4) Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat. Sikap orang tua dan lingkungan yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan penyandang tuna daksa mengalami rasa rendah diri, merasa tidak berdaya, frustasi, merasa bersalah, serta merasa benci dengan dirinya sendiri. Pembentukan self respect pada penyandang tuna daksa yang terpenting adalah dengan menghargai, yaitu dengan jalan menerima apa adanya sehingga tuna daksa merasa 42 dianggap sebagai seorang pribadi atau individu. Ketiadaan self respect pada penyandang tuna daksa akan mengakibatkan mudah timbulnya ketegangan. Sedikit saja penyandang tuna daksa mengalami kesulitan, maka dirinya akan merasa bahwa hal tersebut tidak akan mungkin dapat dihadapi. 5) Sikap masyarakat terhadap penyandang tuna daksa. Sikap menunjukkan masyarakat pengaruh terhadap yang penyandang sangat tuna menentukan daksa terhadap perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan. Hal tersebut erat kaitannya dengan pandangan masyarakat yang melihat bahwa ukuran keberhasilan seseorang adalah dari prestasi yang dicapainya. Keterbatasan penyandang tuna daksa menghambat untuk mencapai prestasi seperti orang normal lain dan hal tersebut menimbulkan rasa tidak aman serta kecemasan yang menganggu kepribadian penyandang tuna daksa tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kepribadian penyandang tuna daksa antara lain dipengaruhi oleh tingkat ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan, usia saat ketunadaksaan terjadi, tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan, dukungan keluarga dan dukungan masyarakat, serta sikap masyarakat terhadap penyandang tuna daksa. 43 3. Permasalahan yang Muncul pada Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan Berbagai permasalahan seringkali muncul pada penyandang tuna daksa, khususnya akibat kecelakaan. Caroline (dalam Gemari, 2006) menyebutkan bahwa penyandang tuna daksa cenderung bersikap apatis, malu, rendah diri, sensitif, dan kadang-kadang muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Anggapan bahwa dirinya tuna daksa, tidak berguna, dan menjadi beban bagi orang lain menjadikan penyandang tuna daksa bersikap malas belajar, malas bermain, dan perilaku salah suai lainnya terlebih pada penyandang tuna daksa akibat kecelakaan. Ketunadaksaan yang diakibatkan kecelakaan merupakan suatu hal berat sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap perubahan kondisinya. Kondisi ketunadaksaan permanen, khususnya tuna daksa akibat kecelakaan seringkali menjadi penghambat individu dalam melakukan penyesuaian pribadi maupun sosial karena memiliki perkembangan fisik kurang memadai atau memiliki ciri-ciri fisik kurang menarik, akan menghadapi banyak masalah yang jarang dapat diatasi dengan baik (Hurlock, 2006). Feist & Feist (2006) mengungkapkan bahwa kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut secara keseluruhan. Menurut Setyaningsih & Abdullah (2010), penyandang tuna daksa mempunyai keterbatasan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya, bahkan ketunadaksaan yang dialami dapat menjadi hambatan yang membatasi kesempatan dan kemampuannya. Selain itu, 44 penyandang tuna daksa seringkali menghadapi masalah baik dari segi emosi, sosial, dan pekerjaan akibat ketunadaksaan yang dialami (Damayanti & Rostiana, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih & Abdullah (2010) menemukan bahwa ketidakpuasan semakin dirasakan penyandang tuna daksa apabila berada dalam kehidupan sosial. Masyarakat umum memandang penyandang tuna daksa tidak mampu melakukan aktivitas secara mandiri karena kekurangan yang dimiliki sehingga dirinya merasa kurang memiliki kebebasan menentukan sikap. Celaan dan hinaan juga kerap diterima penyandang tuna daksa akibat kecelakaan cenderung menyebabkan individu cenderung merasa sensitif, egois, dan pesimis menatap masa depan. Kondisi tersebut senada dengan pendapat Goffman (dalam Johnson, 1990) yang menyebutkan bahwa masalah sosial utama yang dialami penyandang tuna daksa adalah adanya stigma masyarakat bahwa tuna daksa tidak mampu melakukan aktivitas dalam segala hal. Di sisi lain, penyandang tuna daksa menganggap bahwa keterbatasan fisik yang dimiliki adalah kekurangan yang kurang pantas ia alami. Hal ini seringkali dapat menjadi pemicu munculnya pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengakhiri hidupnyanya sendiri (Setyaningsih & Abdullah, 2010). Berbagai permasalahan yang dialami penyandang tuna daksa di atas, dibagi dalam dua kategori yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal (Kementerian Kesehatan, 2014). Kedua hal tersebut dijelaskan lebih rinci sebagai berikut : 45 a. Permasalahan internal, yaitu masalah yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri yang terdiri dari : 1) Gangguan atau kerusakan organ fungsi fisik sebagai akibat ketunadaksaan maupun kerusakan organ yang menyebabkan berbagai hambatan dalam kehidupan individu. 2) Gangguan, hambatan atau kesulitan dalam orientasi, mobilitas, komunikasi, aktivitas, penyesuaian diri, penyesuaian sosial, kepercayaan diri, gangguan belajar, keterampilan, dan pekerjaan. b. Permasalahan eksternal, yaitu masalah yang berasal dari luar diri individu yang terdiri dari : 1) Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah penyandang tuna daksa. 2) Stigma (kutukan, nasib), isolasi, dan perlindungan yang berlebihan. 3) Kurangnya peran keluarga dan masyarakat terhadap permasalahan penyandang tuna daksa dan penanganannya. 4) Kurangnya upaya pemenuhan hak-hak penyandang tuuna daksa dalam berbagai aspek kehidupan. 5) Masih banyaknya penyandang tuna daksa yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tingkat pendidikan masih sangat rendah. 6) Masih banyaknya keluarga yang menyembunyikan atau menutupi bila memiliki anggota keluarga penyandang tuna daksa. 7) Peran dunia usaha belum maksimal. 46 Hutapea (2011) juga memaparkan beberapa permasalahan pokok yang seringkali dialami penyandang tuna daksa yaitu : a. Sosialisasi Terdapat dua faktor dalam aspek sosialisasi yang menjadi penghambat bagi penyandang tuna daksa, yaitu faktor internal dan dari eksternal. Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan seringkali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain sehingga menjadi penghambat individu untuk bersosialisasi dengan orang lain. Lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang tuna daksa untuk dapat melakukan mobilitas sosial. b. Pekerjaan Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang tuna daksa adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang berbeda, menjadikannya kurang bebas bergerak seperti orang pada umumnya. Hal ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa mereka kurang berkompeten untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena keterbatasan yang dimilikinya. Padahal penyandang tuna daksa juga perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya. c. Mencari pasangan Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah, dan berkeluarga terlebih ketika individu memasuki tahap dewasa awal 47 karena hal itu merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan. Namun kondisi fisik yang berbeda, membuat penyandang tuna daksa membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka menikah, mereka hanya akan mempersulit hidup pasangannya nanti. Selain itu, masyarakat juga memiliki anggapan bahwa memiliki menantu yang memiliki kekurangan fisik merupakan suatu hal yang memalukan. d. Emosi Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki penyandang tuna daksa akan membuat dirinya memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering berprasangka dan menjadi mudah curiga terhadap orang lain. Berbagai uraian di atas menggambarkan bahwa permasalahanpermasalahan yang seringkali dialami penyandang tuna daksa memang cukup kompleks dan datang baik dari sisi internal maupun eksternal individu. Kondisi-kondisi ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan bagaimana fungsional individu dalam menjalani kehidupannya sehingga dapat berjalan dengan baik. 48 D. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah adolescene – adolescre yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Kata adult berasal dari bentuk lampau adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2006). Menurut Papalia (2009), masa dewasa awal adalah masa dimana seseorang menghadapi segalanya sendirian, mengurus dan mengatur rumah, serta membuktikan apa yang telah mereka impikan yang dimulai dari usia 20 tahun hingga 40 tahun. Desmita (2012) mengatakan bahwa usia dewasa awal berkisar antara 20 tahun hingga 45 tahun. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Hurlock (2006) mengungkapkan masa dewasa awal dimulai dari 18 sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa ini adalah periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Santrock (2002) menggolongkan usia dewasa awal berkisar antara 20 tahun hingga 30 tahun. Masa tersebut merupakan masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth) adalah transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang 49 merupakan periode kesementaraan ekonomi dan pribadi yang rata-rata terjadi dua sampai delapan tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Hal yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 18 hingga 45 tahun, masa dimana individu menghadapi segalanya sendiri, mengalami perubahan fisik maupun psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, serta masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dewasa awal diharapkan mampu mandiri baik secara ekonomi maupun dalam membuat keputusan. 2. Ciri-ciri Masa Dewasa Awal Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap polapola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Hurlock (2006) menyebutkan beberapa ciri masa dewasa awal, yaitu : a. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Pengaturan Penjajakan yang terlalu singkat mengakibatkan terbentuknya bibit ketidakpuasan karena terlalu cepat memilih. Masa dewasa awal merupakan masa penjajakan dalam berbagai hal seperti penjajakan 50 pekerjaan maupun teman hidup. Banyak individu dewasa awal mencoba berbagai pekerjaan untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan kemampuan mereka dan yang akan memberi kepuasan yang lebih permanen. Banyak juga individu yang mendekati teman lawan jenis mereka untuk mengetahui siapa yang akan dijadikan pendamping hidup. Pola perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang terbentuk pada masa dewasa awal cenderung akan menjadi kekhasannya selama hidupnya. Setiap peruahan yang terjadi pada pola ini akan menimbulkan gangguan emosional. Tidak disanksikan lagi, berbagai ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan yang didapati individu pada usia ini adalah akibat belum memiliki pola, sikap dan nilai yang mendorong individu menemukan kepuasan sepanjang hidup. b. Masa Dewasa Awal sebagai Usia Reproduktif Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Individu yang menikah akan berperan sebagai orang tua pada saat ia berusia dua puluhan atau tiga puluhan. Individu yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikannya atau telah memulai karirnya tidak akan menjadi orang tua sebelum ia merasa bahwa ia mampu berkeluarga. c. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Bermasalah Masa dewasa awal disibukkan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama kehidupan orang dewasa. Individu dewasa awal berupaya menyesuaikan 51 diri dalam kehidupan pernikahan, peran sebagai orang tua, dan karir mereka. Masalah-masalah yang harus dihadapi individu dewasa awal memerlukan waktu dan energi yang cukup banyak sehngga berbagai penyesuaian diri tidak akan dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pria dewasa awal pada umumnya menyesuaikan diri terlebih dahulu terhadap pekerjaan, dan baru kemudian memusatkan perhatian pada upaya penyesuaian diri yang berkaitan dengan masalah peran sebagai orang tua. Ada banyak alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah pada masa dewa awal terasa begitu sulit. Pertama, individu dewasa awal tidak memiliki persiapan untuk mengahadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi sebagai individu dewasa. Pendidikan di sekolah lanjutan dan sekolah tinggi hanya memberikan latihan kerja yang terbatas dan hampir tidak ada sekolah yang memberikan kursus-kursus mengenai masalahmasalah umum yang ditemui dalam pernikahan, penyesuaian diri, peran sebagai orang tua. Kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan secara serempak biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil. Sulit bagi individu dewaa awal untuk berhasil dalam memilih karir sekaligus pasangan hidup. Ketiga, individu dewasa awal tidak memperoleh bantuan dalam masalah mereka. Banyak individu dewasa awal membanggakan status mereka yang baru sehingga mereka enggan untuk mengakui bahwa mereka belum siap mengahdapi status tersebut. 52 d. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Ketegangan Emosional Individu dalam kelompok usia hampir dewasa atau baru saja dewasa pada umumnya merupakan usia sekolah dan di ambang memasuki dunia pekerjaan. Emosi yang menggebu-gebu ketika mereka melihat perbedaan masih terbawa pada saat awal memasuki usia dewasa. Sekitar awal atau pertengahan tiga puluhan, kebanyakan individu telah mampu memecahkan masalah mereka dengan cukup baik sehingga stabil dan tenang secara emosional. Ketegangan emosi yang berlanjut sampai usia tiga puluhan menandakan bahwa individu tersebut memiliki keresahan. Keresahan yang terjadi merupakan masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian masalah. e. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Keterasingan Sosial Berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan dewasa, yitu karir, pernikahan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya menjadi renggang. Keterlibatan individu dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Akibatnya, individu akan mengalami keterasingan sosial atau Erikson menyebutnya dengan “krisis keterasingan”. Banyak individu dewasa awal yang semenjakan kanak-kanak hingga remaja terbiasa tergantung pada persahabatan dalam kelompok mereka merasa kesepian apabila pekerjaan mereka memisahkan mereka dengan kelompok. 53 3. Aspek Perkembangan Masa Dewasa Awal Santrock (2012) mengemukakan bahwa masa dewasa awal merupakan masa transisi baik secara fisik, transisi dalam hal intelektual, dan peran sosial dengan penjelasan sebagai berikut : a. Aspek Perkembangan Fisik Menurut Santrock (2002), dewasa awal merupakan masa peralihan dari masa remaja untuk memasuki masa tua. Penampilan fisik yang benarbenar matang mendukung individu untuk siap melakukan tugas-tugas seperti bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Individu dapat bertindak secara bertanggung jawab untuk dirinya sendiri maupun orang lain (termasuk keluarganya). Segala tindakannya sudah dikenakan aturanaturan hukum yang berlaku, artinya apabila terjadi pelanggaran akibat dari tindakannya, maka ia akan memperoleh sanksi hukum yang berlaku. Masa ini ditandai pula dengan adanya perubahan fisik, misalnya tumbuh bulubulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi. Bagi sebagian besar individu, puncak dari kemampuan fisik dicapai pada usia dewasa awal antara usia 19 dan 26. Tidak hanya mencapai puncak kemampuan fisik saja pada awal masa dewasa, dalam masa ini kita juga dalam kondisi yang paling sehat. Hanya sedikit orang dewasa awal yang mengalami masalah kesehatan kronis. b. Aspek Perkembangan Kognitif Menurut Piaget, berpikir operasional formal, yang dimulai dari usia 11 hingga 15 tahun merupakan tahap kognitif yang terakhir. Santrock 54 (2002) mengatakan bahwa jika dilihat dari segi kuantitatif jumlah pengetahuan orang dewasa lebih besar dibandingkan dengan remaja. Secara kualitatif tahap perkembangan kognitif orang dewasa tidak berbeda dari remaja. Beberapa ahli menyatakan bahwa di masa dewasa awal, idealisme yang terdapat pada tahap operasional formal mengalami kemunduruan yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis. Masa perkembangan kognitif dewasa awal ditandai dengan adanya keinginan mengaktualisasikan segala ide dan pemikiran yang dimatangkan selama duduk di pendidikan tinggi. Individu yang memasuki dewasa awal biasanya individu yang telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan ketrampilan matang sehingga individu siap untuk menerapkan keahlian tersebut ke dalam dunia pekerjaan. Individu dewasa awal memecahkan masalah secara sistematik dan mampu mengmbangkan daya inisiatif dan kreatifnya sehingga ia memperoleh pengalaman baru. c. Aspek Perkembangan Sosio-Emosional Sebagian besar individu dewasa awal telah menyelesaikan pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi dan kemudian mereka memasuki jenjang karir dalam pekerjaannya. Menurut Erikson dalam Papalia (2009) mengatakan bahwa individu dewasa awal berada dalam tahap perkembangan psikososial intimacy vs isolation. Individu dewasa awal merupakan masa dimana individu menjalin komitmen pribadi dengan orang lain. Individu dewasa awal juga akan memasuki kehidupan 55 pernikahan, pembentukan keluarga baru, mengasuh anak-anak dan tetap harus memperhatikan orang tua. Ketika individu tidak menjalin komitmen pribadi dengan orang lain, individu beresiko menjadi terisolasi dan terpaku pada diri sendiri. 4. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Santrock (2002) mengungkapkan bahwa tugas perkembangan individu dewasa awal adalah memilih pasangan dan belajar untuk hidup bersama orang lain dalam hubungan intim, membangun keluarga, dan membesarkan anak. Di sisi lain, individu dewasa awal diharapkan mampu memiliki kemandirian dalam karir dan dalam setiap pengambilan keputusan. Tugas perkembangan tersebut dijabarkan secara rinci sebagai berikut : 1) Karir dan Pekerjaan Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah kemandirian dalam karir dan pekerjaan. Masa ini dikaitkan khususnya ketika seleksi dan masuk kerja serta penyesuain diri terhadap pekerjaan tersebut. Memasuki sebuah pekerjaan menandakan dimulainya peran dan tanggung jawab baru bagi individu. Tuntutan peran karir terhadap kompetensi sangat tinggi dan permintaan adalah nyata bagi orang dewasa. Ketika individu memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama kalinya, mereka mungkin dihadapkan pada masalah dann kondisi yang tidak mereka antisipasi sebelumnya. Transisi diperlukan ketika individu mencoba untuk menyesuaikan diri dengan peran yang baru. Memenuhi tuntutan karir dan 56 menyesuaikan diri dengan peran yang baru adalah penting bagi individu pada fase dewasa awal. Menurut Levinson (dalam Santrock, 2002), sekali individu memasuki satu pekerjaan, ia harus membangun identitas pekerjaan yang berbeda dan menempatkan dirinya dalam dunia kerja. Sejalan dengan hal tersebut, ia mungkin gagal, keluar, atau memulai jalan baru. Individu dewasa awal mungkin tetap bertahan pada satu jalur atau mencoba beberapa arah baru sebelum menetap secara mantap pada satu jalur. Proses penyesuaian ini bisa berlangsung beberapa tahun untuk mengeksplorasi dunia kerja, menjadi akrab dengan industri dan serikat buruh, maupun melampaui status magang menjadi peran kerja yang tetap. 2) Pernikahan dan Keluarga Tahun-tahun awal masa dewasa adalah saat ketika individu biasanya membangun hubungan yang intim dengan individu yang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain dengan membangun sebuah keluarga. Menurut Santrock (2002), siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak, keluarga dengan anak remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut. Perkembangan dalam masa dewasa awal sering melibatkan keseimbangan yang membingungkan antara keintiman dan komitmen pada 57 satu sisi, dan kemandirian dan kebebasan di sisi yang lain. Ketika individu mencoba memantapkan suatu identitas, mereka menghadapi kesulitan mengatasi peningkatan kemandirian dari orang tua, membangun hubungan intim dengan individu lain, dan meningkatkan komitmen persahabatan mereka, dan di sisi lain mereka harus dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan melakukan sesuatu tanpa selalu harus mengikuti apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengemukakan beberapa tugas perkembangan dewasa awal, antara lain : 1) Memilih Pasangan Hidup Individu dewasa awal akan berupaya mencari teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Individu tersebut akan menentukan kriteria tertentu seperti usia, pendidikan, pekerjaan atau bahkan suku bangsa sebagai syarat bagi pasangan hidupnya. 2) Mulai Membina Keluarga Usia dewasa awal sebagian dari mereka merupakan individu yang telah lulus SMA maupun kuliah sehingga setelah itu mereka memasuki dunia kerja guna mengejar karir mereka. Melalui pekerjaan, individu akan membuktikan kemapanan dirinya secara ekonomi, artinya individu yang bersangkutan sudah tidak lagi bergantung dengan orang tua. Sikap mandiri juga menjadi salah satu persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga. Setelah itu, individu harus membangun, membina dan 58 menyesuaikan diri dengan kehidupan rumah tangga termasuk mengasuh dan mendidik anak. 3) Memulai Kehidupan Bekerja Meniti karir setelah menyelesaikan pendidikan di SMA maupun kuliah merupakan langkah untuk memantapkan ekonomi rumah tangga. Individu akan berupaya menekuni pekerjaan yang sedang digelutinya, apabila individu merasa cocok, maka individu tersebut akan merasa puas dengan pekerjaannya. Masa dewasa awal merupakan masa untuk mencapai puncak prestasi sehingga dengan semangat dan penuh idealisme, individu akah bekerja dan bersaing dengan teman sebaya atau teman kerjanya untuk menunjukkan prestasi kerja. 4) Menerima Langsung Tanggung Jawab Negara Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membayar pajak, mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan, dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Tugas perkembangan ini merupakan tugas yang harus dipenuhi oleh individu dewasa awal sesuai dengan norma sosial budaya yang berlaku di masyarakat. E. Lokasi Penelitian Peneliti memilih lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo karena di daerah ini dijumpai beberapa penyandang tuna daksa dewasa awal akibat 59 kecelakaan sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengambilan data subjek. Kabupaten Sukoharjo juga merupakan salah satu daerah yang memiliki komunitas penyandang tuna daksa bernama “SEHATI” dan ditemui pula penyandang tuna daksa yang relevan dengan karakteristik penelitian. Domisili peneliti yang terletak di Sukoharjo mempermudah diadakannya penelitian mengenai eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan ini. F. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan fenomena yang menarik yang memerlukan pemahaman dan pemerolehan data yang mendalam pada kasus penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Individu yang sebelumnya mempunyai fisik yang utuh, kini dihadapkan pada keterbatasan dan berbagai permasalahan baru akibat kecelakaan berkaitan dengan hilangnya fungsi tubuh maupun kondisi fisiknya yang berubah, bahkan semakin krusial ketika memasuki masa dewasa awal yang dituntut dalam hal kemandirian, tanggung jawab pribadi, serta berbagai tuntutan interaksional. Berbagai pengalaman hidup penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan menjadikan peneliti tertarik untuk melihat proses pencapaian eksistensi diri yang dilakukan sebagai usaha untuk mendapatkan kehidupan yang bermakna melalui potensi-potensi yang dimiliki. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui “Bagaimana proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan?” G. Kerangka Berpikir Latar Belakang Kehidupan Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan Riwayat Kecelakaan Latar belakang kecelakaan yang menyebabkan subjek menjadi tuna daksa. Kondisi Internal Kondisi Eksternal Kondisi Kesulitan Fisik Stigma Masyarakat Kondisi Psikologis Dukungan Keluarga Aksesibilitas yang Diperoleh Tugas Perkembangan Dewasa Awal Hubungan dan Peran Sosial Pendidikan dan pengembangan karir Membangun hubungan intim dengan lawan jenis Proses Pencapaian Eksistensi Diri PERCEPTION RECOGNITION OF VALUES FREEDOM RESPONSIBILITY Pemaknaan yang semakin jelas (settle) akan arti kehidupan di dunia. Penerimaan dan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan faktual yang terjadi dalam hidup dan kemungkinannya sampai memperoleh kebenaran yg hakiki. Mampu untuk mengisi space, mengandalkan support yang didapat, dan percaya terhadap protection yang dianugerahkan. Mampu bertahan atas kesulitan dan ancaman apapun serta mentoleransi segala hal yang tidak dapat diubah. Peran diri individu dalam mengisi kehidupannya. Pemahaman individu atas hubungan kualitatif berlandaskan pengenalan perasaan atau emosi serta evaluasi dari reaksireaksi dalam menerima objek. Terjadi perpindahan arah kepentingan, yaitu perhatian yang semula terarah pada kepentingan pribadi, kini dialihkan pada kepentingan sosial. Mencapai keharmonisan antara dunia dan dirinya serta merasakan kedalaman hidup yang ditunjukkan dengan berpartisipasi aktif mengisi kehidupan melalui relationship, time, dan closeness. Individu menentukan dirinya sendiri dan dunianya, termasuk menentukan tindakan maupun arah hidupnya. Sadar atas pilihan yang diambil dan konsekuensi dari pilihan tersebut. Bertindak dan berkomitmen terhadap pilihan yang diambil (mampu mengambil sikap yang tegas terhadap segala sesuatu di luar diri). Menemukan inti atau keaslian diri yang dibangun melalui attention (pemahaman) secara mendalam, prinsip justice (keadilan), dan appreciation (penghargaan) terhadap diri dan orang lain. Individu menemukan tujuan hidup di dunia dan menentukan masa depan. Berperan aktif memenuhi eksistensi diri melalui field of activity (bertindak secara nyata), a structural context (memiliki konteks struktural yang lebih luas terhadap orientasi hidup), dan a value to be realized in the future (berjuang mencapai tujuan hidup besar di masa depan) Pencapaian meaning of life dan sense of fulfillment. Gambaran Pencapaian Eksistensi Diri pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan Gambar 2. 1. Kerangka Berpikir Eksistensi Diri pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal akibat Kecelakaan 60