Globalisasi, Aktor non-Negara dan Hak-hak Azasi Manusia 1 (DRAFT) Don K. Marut Direktur Eksekutif INFID Pengantar: Globalisasi secara signifikan sebenarnya telah melemahkan Negara. Kedaulatan Negara menjadi kabur dank arena itu kapasitas Negara sebagai actor utama dalam hubungan internasional dan sebagai kekuatan domestic untuk menyejahterakan rakyat menjadi semakin dipertanyakan. Di tingkat internasional secara substansial Negara melemah karena pergeseran pertanyaan dari “apa itu negara” menjadi “siapa itu Negara”. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa Negara dalam politik domestic dan internasional lebih banyak mewakili dan memperjuangkan kepentingan pemegang otoritas (keluarga, kelompok dan sebagainya yang secara kasat mata termanifestasi di depan public domestic dan dunia) daripada kepentingan seluruh warga Negara yang ada di dalam wilayah suatu Negara, yang menjadi sebab adanya Negara tersebut. 2 Di samping itu pemerintah yang memegang otoritas Negara seringkali takluk kepada kepentingan bisnis transnasional dan domestic serta tunduk kepada massa yang mengendalikan massa dan politik “bayangan” yang memiliki kapasitas untuk memobilisasi kekerasan dan kejahatan. 3 Munculnya kekuatan-kekuatan organisasi non-pemerintah yang memiliki jaringan mulai dari tingkat local sampai tingkat global, yang juga mempengaruhi kebijakan dan tata kelola pemerintahan mulai dari tingkat sub-nasional, nasional, regional sampai tingkat global. Organisasi-organisasi non-pemerintah ini juga terlibat dalam diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat dan issue yang dibelanya. Pada tingkat tertentu organisasi-organisasi ini juga bergandengan tangan dengan actor-aktor Negara untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dalam kancah diplomasi internasional. Karena itu pemisahan antara actor Negara dan non-negara di dalam era globalisasi yang mengaburkan batas teritori dan batas pengaruh (sphere of influence), menjadi semakin tidak relevan. Dalam kaitan globalisasi, di mana jaringan actor-aktor tersebut melibatkan actor-aktor mulai dari tingkat local sampai global, orang semakin cenderung menggunakan istinal “actor transnasional” daripada “actor non-negara”. Namun dalam 1 Paper pengantar untuk Seminar “Lumpuhnya system Keadilam: Tantangan Penegakan Hak-hak Azasi Manusia dan Peran Advokat untuk Kepentingan Publik”, yang diselenggarakan oleh ELSAM, Sawit Watch, HUMA, 3 – 5 Agustus 2010, Jakarta. 2 Jan Aart Scholte, “The Globalization of World Politics”, dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. (Oxford: Oxford University Press, 2001), hal. 13 – 32. 3 Eric Wilson (ed.). Government of the Shadows: Parapolitics and Criminal Sovereignty. (London: Pluto Press, 2009). 1 kaitan dengan Hak-hak azasi manusia, pemisahan antara actor Negara dan actor nonnegara masih sangat relevan. Masyarakat sipil dan Globalisasi Satu dari manfaat globalisasi dalam arti perluasan komunikasi dan informasi adalah menguatnya gerakan global mendukung demokratisasi, HAM, lingkungan, hak-hak masyarakat adat dan kesetaraan gender. Tanpa dukungan komunikasi dan informasi yang ekstensif dan intensif, solidaritas global untuk mempromosikan demokrasi dan HAM, lingkungan, hak-hak masyrakat adat dan kesetaraan gender akan mengalami hambatan yang berarti. (Kita mengalami sendiri pada jaman Orde Baru ketika semua informasi dan mobilisasi dari satu tempat ke tempat lain dikontrol oleh pusat). Gerakan dari apa yang disebut “globalisasi dari bawah” (“globalization from below” 4 ) atau “another world is possible” 5 merupakan gerakan counter terhadap globalisasi yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan manager-manager utang global. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa ini merupakan gerakan anti-globalisasi. Sebenarnya ini merupakan gerakan internasional melawan globalisasi neoliberal, atau anti terhadap globalisasi yang diorkestrasi oleh konduktor-konduktor utama seperti G8, IFIS (International Financial Institutions seperti Bank Dunia, IMF dan Bank-Bank Pembangunan Regional) dan perusahaan-perusahaan transnasional. Gerakan-gerakan globalisasi dari bawah ini semakin tahun semakin menguat, seiring dengan semakin menguatnya dominasi kekuatan kapitalis neoliberal global yang menguasai forum-forum pembuatan kebijakan global dan domestic. Pada tanggal 30 November 1999 di Seattle, pertemuan WTO diprotes oleh ribuan orang. Mereka berdemonstrasi dan berjuang melawan liberalisasi pasar, khususnya pada sector investasi publik dan pelayanan publik. Para demonstran meneriakkan slogan-slogan: “no globalization without participation”, “our world is not for sale”; “we are citizens, not only consumers”; “trade: clean, green and fair”; “WTO: capitalism without conscience”. Pada lubuk yang dalam dari protes-protes ini adalah bahwa ekonomi global tidak boleh diputuskan hanya oleh segelintir atau sekelompok kecil orang tanpa kesepakatan dan sepengetahuan public, tanpa proses demokratis; ekonomi global harus dikelola untuk manfaat bersama, untuk kemakmuran untuk semua, bukan hanya untuk sekelompok kecil perusahaan transnasional dan sekelompok kecil manager utang yang bekerja di lembagalembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF. 6 Pada tanggal 19 – 22 Juli 2001 di Genoa, Italia, rakyat berdemonstrasi melawan pertemuan G8. Orang-orang memprotes G8 yang memutuskan seluruh agenda untuk globalisasi dan dan kerangka kebijakan untuk semua lembaga-lembaga multilateral (World Bank, IMF and WTO). Pada tahun 2003 di Cancun, seorang petani Korea 4 Catatan kritis tentang ini bisa dibaca di Donatella della Porta, et.al, Globalization from Below: Transnational Activists and Protest Networks ( Menneapolis: University of Minnesota Press, 2006. 5 Lihat Susan George, Another World is Possible If… (London: Verso, 2004). 6 Lihat catatan-catatan kritis dari para aktivis dalam Tom Mertes (ed.), A Movement of Movements: Is Another World Really Possible? (London: Verso, 2004). 2 membakar dirinya sebagai protes terhadap pertemuan WTO, yang kemudian berkontribusi pada gagalnya pertemuan WTO tersebut untuk membuat kesepakatan. Untuk menandingi World Economic Forum yang menjadi ajang pertemuan para kapitalis global, forum warga, ormas, ornop, serikat buruh dan petani global bersatu membangun gerakan massif untuk mempromosikan “another world is possible” melalui World Social Forum yang diselenggarakan setiap tahun dengan variasi teknis penyelenggaraan bermacam-macam. Pada tingkat regional dan nasional juga sudah diselenggarakan forumforum social, dengan agenda yang sama untuk mempromosikan “another world that is fair, just, prosperous for all, democratic and respect to human rights”. 7 Gerakan-gerakan ini telah mendorong agenda reformasi PBB, yang dipandang sebagai badan tertinggi dari semua Negara, di mana semua Negara mempunyai hak suara dan posisi yang kurang lebih sama dan setara. Salah satu dari agenda reformasi PBB, yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi, adalah dikembalikannya lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia dan IMF) dan WTO ke dalam system PBB. Reformasi Bank Dunia dan IMF juga masih ada dalam agenda gerakan masyarakat sipil seluruh dunia. Kedua lembaga ini telah menjadi begitu independent sampai-sampai tidak ada satu pun Negara Anggota bisa mengontrol mereka, kecuali tentu saja Amerika Serikat. Para staff dari kedua lembaga ini sudah merasa memiliki otoritas eksklusif dan dapat mendiktekan resep-resep kebijakan ekonominya bukan untuk kepentingan Negara-negara sedang berkembang, tetapi untuk mengamankan pekerjaan mereka sendiri dengan meningkatkan utang pada Negara-negara sedang berkembang. Konsolidasi dan solidaritas masyarakat sipil global bisa dibangun karena adanya komunikasi dan informasi global yang ekstensif. Dalam rangka merebut keterwakilan masyarakat sipil di lembaga-lembaga internasional seperti PBB, WTO, Bank Dunia dan IMF, jaringan masyarakat sipil global dewasa ini bertambah solid, meskipun juga di sanasini terdapat friksi. Jaringan masyarakat global ini, yang memiliki hubungan yang kuat dengan akar rumput dan kelompok-kelompok tertindas yang diwakilinya, merupakan modal yang kuat untuk melawan globalisasi yang didominasi perusahaan-perusahaan transnasional dan manager utang global. Berbagai NGO internasional dan nasional sudah bersatu menjadi organisasi jaringan yang kuat. Contoh: ACT (Action by Churches Together), Oxfam Internasional, Caritas Internasional, Action Aid, World Vision International (yang mengubah nama sesuai Negara dimana dia bekerja – di Indonesia disebut Wahana Visi Indonesia/WVI), CIVICUS, UBUNTU, Global Network for National Platforms NGOs, Jubilee Movements, Bette Aid, Climate Justice Now dan sebagainya. Konsolidasi dan solidaritas di antara masyarakat sipil ini dimaksudkan untuk memperkuat representasi rakyat biasa dan orang miskin dan tertindas di dalam forumforum pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan global, serta untuk memberi tantangan yang berarti terhadap kekuatan-kekuatan globalisasi neoliberal tersebut. Konsolidasi solidaritas social dan kemanusiaan global ini mulai menemukan momentumnya dan mendapatkan peluang untuk membangun solidaritas sampai ke akar 7 Francisco Whitaker Ferreira, Towards a New Politics: What Future for the World Social Forum? (Delhi: Vasudhaiva Kutumbakam Publication, 2006). 3 rumput ketika Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) dan Gerakan Penghapusan Kemiskinan (GCAP) mulai menyebar ke seluruh dunia. MDGs dan Gerakan penghapusan Kemiskinan yang sudah mengglobal merupakan momentum yang penting untuk membangun gerakan globalisasi dari bawah. MDGs dan komitmen masing-masing Negara untuk mencapai target-targetnya dan untuk menyumbang pembiayaan usaha-usaha tersebut merupakan capaian yang amat berarti dari gerakan global untuk melawan ketidakmerataan dalam kemakmuran dan pembangunan ekonomi di dunia. MDGs menempatkan hak-hak azasi manusia secara holistic sebagai fondasi utama. Solidaritas global Perempuan yang semula dipandang sebagai gerakan elitis sekarang sudah menjadi gerakan dan solidaritas dari bawah di mana semakin meluasnya kesadaran perempuan untuk meningkatkan dan merebut martabat kemanusiaan perempuan. Perempuan (terutama perempuan miskin dan tertindas) adalah yang paling besar mendapat dampak buruk dari globalisasi ekonomi neoliberal. Solidaritas dan gerakan perempuan dari bawah makin lama makin menemukan kekuatan yang semakin berarti karena diterimanya tuntutan-tuntutan perempuan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, politik dan social di tingkat global, nasional dan local (meskipun perlu dicatat bahwa di beberapa tempat yang terjadi justru sebaliknya). PBB pun telah membentuk Komisi khusus Perempuan. Sudah muncul dan menguat pula jaringan usaha-usaha ekonomi alternative seperti usahausaha mikro dan menengah. Penguatan gerakan kredit mikro untuk orang miskin sebenarnya sudah dimulai sejak awal 1970-an di Kanada, Bangladesh, Philippines, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Usaha-usaha ini sudah terbukti menjadi jaring pengaman bagi rakyat miskin ketika menghadapi tekanan karena goncangan ekonomi dan politik di berbagai Negara. Grameen Bank di Bangladesh, Jaringan Kredit Mikro dan Perkumpulan Perempuan Usaha Kecil dan Menengah (the Association of Women Small and Medium Enterprises) di Filipina, Indonesia dan Thailand; koperasi kredit di Malaysia dan Indonesia merupakan inisiatif local yang bertumbuh dari kelompok-kelompok miskin dan sekarang sudah menjadi gerakan global. Di samping itu, muncul juga organisasi-organisasi yang didirikan oleh orang-orang kaya dunia yang memberi sumbangan pendanaannya untuk Negara-negara miskin bahkan lebih besar dari jumlah ODA dari Negara-negara maju tertentu. Bill and Melinda Gates Foundation, Samaritan Purse dari Bill Graham, Clinton Foundation, Open Society dan Soros Foundation dari George Soros adalah beberapa contoh dari organisasi-organisasi yang menjadi sumber pendanaan bagi pembangunan dan bagi penguatan masyarakat di Negara-negara miskin dan sedang berkembang. Meskipun organisasi masyarakat sipil, khususnya ORNOP, telah berperan luas dalam bidang pembangunan, baik secara langsung sebagai actor dalam implementasi proyekproyek pembangunan (service delivery) termasuk melakukan pekerjaan pemberdayaan dan pendidikan, maupun secara tidak langsung melalui advokasi kebijakan dan hak-hak asasi manusia, pemerintah secara nasional dan internasional membutuhkan waktu yang lama untuk mengakui peran tersebut. Dalam forum-forum local, nasional dan 4 internasional masyarakat sipil, terutama ORNOP, dipandang sebagai pemain pinggirian atau bahkan lebih dari itu menjadi penghalang pemerintah. Di Negara-negara tertentu masyarakat sipil pun dipandang sebagai agen kapitalisme atau agen Negara-negara Utara yang berusaha merongrong pemerintah di Negara-negara sedang berkembang. Pandangan seperti ini masih cukup kuat, termasuk di Indonesia bahkan pada masa demokrasi sekarang ini. Wacana tentang peranan masyarakat sipil sebenarnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sudah semakin nyata dan terinstitusionalisasi secara kurang lebih sistematis. Kritik internal di dalam masyarakat sipil, khususnya ORNOP, sudah terakomodasi dengan baik meskipun tidak mempunyai formulasi yang baku. Perubahan-perubahan yang mendasar dalam organisasi, manajemen dan kapasitas personil juga sudah menjadi bagian dari perubahan yang terjadi di kalangan masyarakat sipil, terutama Ornop, ormas, dan kelompok-kelompok berbasis keagamaan yang kurang lebih inklusif. Demikian pun peran masyarakat sipil dalam pemberdayaan warga, penguatan ekonomi berbasis Komunitas atau kelompok serta pendidikan hak-hak asasi manusia dan pendidikan politik dan pendidikan keahlian sudah menjadi bagian integral dari pekerjaan masyarakat sipil terutama Ornop, ormas dan organisasi berbasis keagamaan. Dengan demikian, tidaklah wajar jika Negara (yang direpresentasi oleh pemerintah) masih menempatkan masyarakat sipil terutama Ornop, ormas dan organisasi berbasis keagamaan sebagai kekuatan yang mengancam Negara atau mengganggu kepentingan Negara. Justru sebaliknya Negara seharusnya membuka ruang yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berperan dalam pemberdayaan warga Negara, pembangunan ekonomi, pendidikan politik dan pendidikan keahlian teknis dari warga Negara, serta pendidikan HAM dan advokasi HAM dan kebijakan. Resolusi PBB Sejak awal berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah ada dorongan agar lembaga internasional tersebut mengakomodasi organisasi-organisasi non-pemerintah, sehingga Artikel 71 ECOSOC pun menyebutkan bahwa ECOSOC harus berkonsultasi dengan NGOs. NGOs sejak awal sudah memiliki status di dalam ECOSOC PBB, meskipun dengan syarat-syarat tertentu. Pada tahun 2002 Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan, dalam laporannya kepada General Assembly yang berjudul “Strengthening of the United Nations: an Agenda for Further Change” mengajukan rencananya kepada Majelis Umum PBB untuk membentuk sebuah panel khusus untuk mereview hubungan antara PBB dan masyarakat sipil. Sebagai tanggapan atas laporan tersebut Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 57/300 pada bulan Desember 2002 yang menyetujui rencana Kofi Anan tersebut untuk membentuk sebuah Panel of Eminent Persons. Panel ini dipimpin oleh mantan Presiden Brazil, Fernando Henrique Cardoso dan beranggotakan akademisi, politisi, dan aktivis masyarakat sipil. Pada tahun 2004 Panel ini menyelesaikan tugasnya dan menghasilkan 5 sebuah laporan yang berjudul: “We the Peoples: Civil Society, the United Nations and Global Governance”. 8 Laporan ini secara rinci merekomendasikan bagaimana PBB harus mengakomodasi dan meningkatkan kerjasama dengan masyarakat sipil dalam segala level, baik di tingkat komisi, Majelis Umum dan seluruh sidang-sidangnya maupun di dalam Dewan Keamanan PBB. Laporan ini menyebutkan bahwa global governance tidak lagi hanya menjadi wilayah pemerintah saja. Bertumbuhnya partisipasi dan pengaruh dari actoraktor non-negara turut mempeluas dan memperkuat demokrasi, dan membentuk kembali wajah multilateralisme. Masyarakat sipil juga merupakan penggerak utama (prime movers) dari beberapa inisiatif yang paling inovatif untuk mengatasi ancaman-ancaman global yang terus bermunculan. Karena itu laporan ini menekankan bahwa bergandengan dengan masyarakat sipil bukan hanya merupakan suatu pilihan, tetapi merupakan keharusan bagi PBB. Laporan tersebut menekankan bahwa keeterlibatan masyarakat sipil ini amat penting untuk membantu PBB mempermudah mengidentifikasi prioritas-prioritas global dengan lebih baik dan untuk memobilisasi semua sumberdaya untuk memecahkan berbagai masalah mulai dari tingkat local sampai tingkat global. Panel juga mengingatkan bahwa dibukanya PBB bagi pluralitas konstituensi dan actor bukan merupakan ancaman bagi pemerintah tetapi justru menjadi suatu cara yang kuat untuk memberdayakan prosesproses antar-pemerintah itu sendiri. Laporan Panel ini diterima oleh Sekretaris Jenderal PBB dan dilaporkan dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 13 September 2004. Sejak itu keterlibatan masyarakat sipil dalam semua sidang, pertemuan, diskusi baik formal maupun informal menjadi lebih intensif, dan proses akreditasi bagi masyarakat sipil menjadi lebih mudah. Sebagai catatan khusus (penting untuk melihat situasi di Indonesia), panel ini merekomendasikan dimulainya partisipasi tersebut dari tingkat Negara. Lembagalembaga PBB yang beroperasi di tingkat Negara harus melibatkan masyarakat sipil mulai dari perencanaan programnya sampai kepada implementasi program secara kolaboratif. Di Indonesia lembaga-lembaga PBB “hanya” bekerja sama dengan pemerintah. Kerjasama dengan masyarakat sipil, khususnya ORNOP, hanya terbatas sebagai pelaksana proyek-proyek kecil atau sub-kontraktor. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, birokrasi di PBB di dalam negeri sendiri yang kaku dan red-taped. Lembaga-lembaga PBB melihat ORNOP sama seperti pemerintah (birokrasi) melihat ORNOP. Kedua, lembaga-lembaga PBB tidak mau mengubah perjanjiannya dengan pemerintah Indonesia yang mengatakan bahwa lembaga-lembaga PBB ini bekerja melalui atau dengan lembaga-lembaga pemerintah. Di samping itu perluasan partisipasi masyarakat sipil di dalam PBB juga mensyaratkan dibukanya ruang yang lebih luas bagi masyarakat sipil untuk berdialog dengan pemerintah pada tingkat Negara. Itu tidak berarti bahwa masyarakat sipil harus 8 “We the Peoples: civil society, the United Nations and global governance: Report of the Panel of Eminent Persons on United Nations – Civil Society Relations”, PBB, June 2004. 6 menyamakan pandangan dan cara kerjanya dengan pemerintah di negaranya, tetapi kerjasama tersebut penting untuk memberikan masukan kebijakan dan assessment terhadap kebijakan pemerintah serta orientasi pembangunan yang diambil oleh pemerintah di negaranya. Sama seperti di tingkat global di PBB, di mana ruang untuk masyarakat sipil terbuka secara luas, di tingkat pemerintah pun seharusnya masyarakat sipil diberi ruang dan akses untuk berpartisipasi. Masyarakat Sipil sebagai Aktor Pembangunan Dalam beberapa tahun terakhir ada tiga proses pada tingkat internasional yang berjalan berbarengan untuk membahas masalah yang sama, yakni efektivitas bantuan Negaranegara maju kepada Negara-negara sedang berkembang atau Negara-negara miskin. Ketiga proses tersebut masing-masing difasilitasi oleh OECD DAC yang menyelenggarakan berbagai High Level Forum hampir setiap tahun. Keuda, proses yang difasilitasi oleh UNDESA melalui Development Cooperation Forum yang melibatkan pemerintah, parlemen, masyarakat sipil dan pemerintah daerah dari Utara dan Selatan, yang mencapai puncak pertemuannya akhir Juni dan awal Juli 2008 di New York. Proses ketiga adalah yang difasilitasi oleh UN ECOSOC melalui Financing for Development yang yang menyelenggarakan Konferensi Tingkat TInggi Doha pada bulan NovemberDesember 2008. Dalam semua proses internasional tersebut keterlibatan organisasi-organisasi masyarakat sipil sangat penting, dan masyarakat sipil menjadikan forum-forum tersebut sebagai arena untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan nasional dan global, dan lembaga-lembaga internasional. Apa kaitan antara proses-proses di tingkat internasional ini dengan ekonomi dalam negeri Indonesia? Dalam semua proses tersebut, meskipun ada penekanan terhadap pentingnya country ownership, alignment to national system, accountability to beneficiaries, results measured by the level of achievements on the poor people’s livelihood dan sebagainya, secara fundamental sebenarnya para donor dan intelektual Utara melihat batas ekonomi dan politik sudah tidak bisa lagi dikendalikan oleh kedaulatan dalam konsep Westphalian. Konsep kedaulatan semakin kabur dan dianggap outdated. Kedaulatan Negara tidak hanya dipandang secara moral berbahaya, tetapi juga secara politik tidak mempunyai kekuatan lagi. 9 Bahkan kelompok pemikir yang paling progresif dan emansipatoris sekalipun berpandangan bahwa kedaulatan itu harus sudah dibuang jauh jika kita mau memiliki kontrol yang kuat atas berbagai elemen yang menentukan kehidupan kemanusiaan seperti HAM, keadilan gender, kebijakan ekonomi dan sosial, identitas kultural dan perlindungan terhadap lingkungan. Di dalam konteks seperti inilah kita melihat dunia sekarang dan posisi Indonesia. Indonesia cuma dilihat sebagai sebuah wilayah di muka bumi yang memiliki resources, dan bisa dijadikan sebagai medan pasar di mana para aktor pasar global bisa bersaing secara bebas untuk merebut hak atas sumberdaya-sumberdaya tersebut. Interaksi antarpemerintah di tingkat internasional menjadi rentan terhadap pencaplokan dan dominasi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi global yang hanya mencari keuntungan dari Negara9 Lihat Christopher J. Bickerton, Philip Cunliffe and Alexander Gourevitch (eds.). Politics without Sovereignty: A Critique of Contemporary International Relations (London: UCL Press, 2007). 7 negara miskin dan sedang berkembang dengan menguasai perjanjian-perjanjian multilateral dan bilateral. Jika pemerintah yang mewakili Negara-bangsa dikuasai kelompok kapitalis domestik yang tidak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat, semua perjanjian internasional antar-pemerintah sulit diharapkan bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat di dalam negeri. Pemerintah seperti ini hanya akan mewakili kepentingan kapitalis global dan domestic dan akan mengabaikan atau bahkan tidak mewakili kepentingan nasional. Perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan utang luar negeri adalah contoh-contoh yang paling jelas bagaimana pemerintah tidak mempertimbangkan secara sistematis tentang kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Pada awal pemerintahan Orde Baru, misalnya, sebuah komisi yang dibentuk oleh Presiden Bank Dunia untuk membuat studi tentang kerja Bank Dunia di beberapa Negara, antara lain Indonesia, telah mengingatkan bahwa Indonesia pada masa Orde Lama sudah menderita apa yang disebut sebagai patologi utang (aid pathology): utang dipakai hanya untuk dihambur-hamburkan dalam proyek politik, padahal pada waktu itu utang luar negeri Indonesia berjumlah US$ 2,6 milyar. 10 Studi tersebut juga menggambarkan bagaimana perdagangan untuk komoditi strategis dikuasai oleh pedagang-pedagang luar negeri yang berpusat di Singapura, dan Indonesia hanya bersandar pada komoditas pertanian untuk subsistensi. Studi tersebut tidak dijadikan sebagai peringatan oleh pemerintah sejak zaman Orde Baru sampai sekarang; pemerintah tetap masuk ke lubang yang sama (utang luar negeri) dan menjadikan rejim utang sebagai panduan pemikiran kebijakan anggaran. Masyarakat sipil yang telah diakui oleh PBB sebagai actor penting dalam global governance perlu dan harus berpartisipasi di dalam perjanjian-perjanjian antarpemerintah ini. Dalam High Level Meeting yang diselenggarakan OECD DAC dalam rangka merevisi Paris Declaration on Aid Effectiveness di Accra, Ghana, pada awal September 2008 yang lalu, masyarakat sipil diakui perannya sebagai aktor pembangunan di dalam kerangka bantuan dari Negara-negara Utara ke Negara-negara Selatan dan bantuan dari lembaga-lembaga multilateral ke Negara-negara Selatan. Meskipun rumusan peran masyarakat sipil di dalam kerangka bantuan luar negeri ini (ODA) masih terbatas, pengakuan tersebut membuka ruang bagi masyrakat sipil untuk terlibat di dalam memantau dan mempelajari semua dokumen perjanjian yang berkaitan dengan utang luar negeri. Dokumen Accra Agenda for Action memberikan peluang bagi masyarakat sipil untuk menjadi actor pembangunan yang independent, dan sekaligus menjadi watchdog bagi pemerintah dalam hubungan bantuan luar negeri termasuk memantau perjanjianperjanjian yang dilakukan oleh pemeritah dan lembaga-lembaga internasional. Smart dan Just Power Kekuasaan dan pengaruh sudah menjadi bagian dari interaksi global, nasional dan local di antara para actor. Di tingkat global kekuasaan (power) sudah menyebar bukan karena semakin banyaknya Negara yang sama-sama memiliki hak suara dalam semua forum dan lembaga internasional, tetapi juga karena semakin banyaknya dan menguatnya actor10 Lester B. Pearson et al., Partners in Development. 8 aktor non-negara yang bersifat transnasional yang mempengaruhi dan bahkan mengancam Negara. 11 Globalisasi pada dasarnya telah memperkuat pengaruh dari actoraktor non-negara. Di satu pihak globalisasi melemahkan kekuasaan Negara atas pergerakan barang, jasa, manusia dan gagasan lintas batas, sementara di pihak lain meningkatnya intensitas pergerakan lintas batas juga turut memperkuat posisi dan pengaruh actor-aktor non-negara. Didukung oleh internet, system perbankan yang berbasis elektronik dan komunikasi melalui handphone membantu mempermudah pergerakan actor-aktor non-negara. Di samping actor-aktor non-negara yang konvensional diakui umum, actor-aktor nonnegara selain bisnis legal transnasional juga terdapat organisasi-organisasi nonpemerintah yang bergerak secara transnasional dengan menggunakan berbagai media kekerasan untuk mencapai tujuannya. Aktor-aktor ini meliputi jaringan mafia narkotika, yang bentuknya tidak harus menjadi perusahaan, tetapi juga melalui organisasi-organisasi legal dan illegal. Organisasi-organisasi yang mendukung gerakan teroris atau membentuk diri sebagai kelompok teroris untuk mendukung operasi bisnis transnasional juga menguat karena globalisasi komunikasi dan informasi. Aktor-aktor non-negara seperti ini juga menancapkan pengaruhnya pada kekuasaan Negara sehingga Negara pun tidak mampu mengendalikan dan mencegah tindakantindakan kekerasan dan destruktif yang melanggar hak-hak warga yang lain. Aktor-aktor tersebut bisa menggunakan symbol keagamaan, etnik, ideology kepartaian atau ideology utopis yang tidak mempertimbangkan atau menghargai hak-hak azasi manusia. Aktoraktor non-negara yang tidak memiliki penghormatan terhadap HAM dan keadilan gender ini juga membangun kekuatan tersendiri, dan menjadikan kekerasan dan kekuatan persuasive yang sebagai alat perjuangan. Aktor-aktor tersebut juga didukung oleh kekuatan advokat yang handal dengan kemampuan komunikatif dan jaringan mulai dari tingkat local sampai tingkat global. Mereka bisa membangun kekuatan parapolitics yang seolah-olah memiliki kedaulatan tersendiri di dalam teritori yang sama dengan Negara yang konstitusional. Banyak dari actor-aktor ini yang juga memegang kendali kekuasaan pemerintahan dan birokrasi dan mampu memaksakan kekuatan birokrasi dan bisnis legal untuk menyalurkan anggaran khusus untuk membantu gerakan-gerakannya (security fiscalism). Tantangan terbesar dari masyarakat sipil pejuang HAM dan kepentingan public, di dalam arus globalisasi tidak hanya dari Negara yang sering mengabaikan hak-hak azasi manusia, tetapi dari sesama actor non-negara yag jauh lebih kuat dari kekuatan-kekuatan masyarakat sipil pendukung HAM. Aktor-aktor non-negara yang menguasai parapolitics bisa menggunakan soft dan hard power untuk mencapai tujuannya atau untuk menguasai kekuasaan pembuatan kebijakan suatu Negara atau suatu lembaga. Aktor-aktor ini bisa memobilisasi massa yang luar biasa untuk menunjukkan kekuatannya untuk mempengaruhi kekuasaan, dan sekaligus bisa menggunakan soft power dengan persuasi secara individual di antara warga Negara. Tidak kurang dari actor-aktor ini yang juga 11 Nayef R.F. Al-Rodhan. Neo-statecraft and Meta-geopolitics: Reconciliation of Power, Interests and Justice in the 21st Century (Zuerich: LIT, 2009), hal. 193. 9 menyusup masuk di dalam organisasi-organisasi non-pemerintah pejuang HAM dan pengentasan kemiskinan. Dalam konstelasi seperti ini masyarakat sipil yang legal dan mendukung terwujudnya hak-hak azasi manusia, keadilan gender, lingkungan yang berkelanjutan dan hak-hak masyarakat adat didorong untuk membangun kekuatan yang yang berbeda. Tidak hanya soft power, tetapi juga smart power dan just power. Pengorganisasian masyarakt (community organizing) sambil melakukan pendidika kritis penyadaran dan melakukan advokasi pada berbagai level sering dilakukan sebagai manifestasi membangun soft power. Tetapi pendampingan, pendidikan kritis dan advokasi tidak cukup tanpa strategi dan didukung kapasitas intelektual yang mumpuni, lintas sektoral, akomodatif, inklusif dan produk karya yang dapat dipertanggungjawabkan secara public dan terbuka sebagai alternative pilihan yang tepat untuk masyarakat umum, yang disampaikan atau dipaparkan dengan format dan cara yang elegan. Jika soft power bisa mengubah perilaku dan membangun kekuatan kolektif, smart power membangun kesadaran kritis dan pemahaman yang kritis terhadap kepentingan kolektif yang dibangun di atas fondasi HAM, keadilan gender, keberlanjutan lingkungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan minoritas. Ketidakadilan juga bermula dari pikiran. Ekonom Peter Bauer menyebutnya “class in mind”. Diskriminasi kelas, ras, golongan, agama, suku dan sebagainya juga bermuara dari pikiran dan perilaku. Karena itu actor-aktor non-negara yang menjunjung tinggi HAM, keadilan gender, keberlanjutan lingkungan, dan hak-hak masyarakat adapt dan minoritas juga mampu membangun just power yang bermuara dari pikiran, dan terungkap dalam tindakan-tindakan yang legalistis dan menjunjung tinggi HAM. Tantangan Para Pengacara Kepentingan Publik Dari paparan di atas ada tiga tantangan utama yang dihadapi oleh pengarara kepentingan public. Pertama, tantangan dari Negara sendiri yang seringkali menjadi actor utama yang tidak menjalankan funginya untuk memenuhi kepentingan umum. Negara bisa membuat peraturan perundang-undangan, kebijakan, perjanjian dengan Negara-negara lain atau lembaga-lembaga internasional tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat umum. Di dalam menjalankan fungsi ini Negara seringkali berjalan sendiri atau dikendalikan oleh kekuatan yang anti-HAM dan anti-rakyat. Kedua, dari actor-aktor non-negara bisnis yang masih jauh dari mengakomodasi dan mengimplementasikan HAM, keadilan gender, lingkungan, masyarakat adat dan minoritas. Bisnis secara umum dikendalikan oleh semangat mencari keuntungan. Issue HAM, keadilan, lingkungan dan masyarakat adapt sering dipandang sebagai hambatan utama dalam upaya mencapai keuntungan. Ketiga, dari actor-aktor non-negara yang secara jelas tidak mengakomodasi HAM, keadilan gender, hak-hak masyarakat adapt dan minoritas dan lingkungan karena konsepkonsep itu tidak ada di dalam kerangka berpikir actor-aktor parapolitics. Aktor-aktor ini 10 bisa hidup bertetangga dengan para pejuang HAM dan pengacara kepentingan public, dan bahkan juga akan meminta bantuan advokat kepentingan public. Di atas semua itu tantangan lain adalah bagaimana masyarakat sipil penjunjung HAM, keadilan gender, lingkungan, masyarakat adapt dan hak-hak minoritas membangun kekuatan yang lebih komprehensif, baik soft power, smart power maupun just power. Terima kasih. =*****= 11