Karya Tulis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai tindak kejahatan sering terjadi di masyarakat, misalnya pencurian,
perampokan, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Dari semua tindak kejahatan
tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, seperti
keterpaksaan seseorang melakukan tindak kejahatan pencurian yang dikarenakan
faktor ekonomi, faktor lingkungan atau terikut dengan lingkungan yang ada di
sekitarnya dan sebagainya. Kesemua tindak kejahatan yang terjadi tersebut harus
mendapat ganjaran yang setimpal atau seimbang, sehingga dengan demikian agar
ketertiban, ketentraman dan rasa keadilan di masyarakat dapat tercapai dengan baik.
Pada masa lalu, ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap
pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Setiap pemimpin formal
yang juga biasa bertindak sebagai Hakim, dapat menyelesaikan konflik segera setelah
perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para
pelanggar hukum untuk menunggu pelaksanaan hukuman. Seiring semakin
kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar
hokum merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, karena para Hakim
membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara sambil menunggu suatu
putusan, para pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan.
1
Pada masa yang lalu jenis hukuman masih bersifat pidana fisik, misalnya
pidana cambuk, potong tangan dan bahkan pidana mati (pemenggalan kepala) atau
gantung. Dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan, hukuman berubah menjadi
pidana penjara selama waktu yang ditentukan oleh Hakim. Seiring dengan itu,
eksistensi bangunan tempat penahanan sementara semakin diperlukan, apalagi
dengan adanya pidana pencabutan kemerdekaan.
Berbicara tentang penjara, di Indonesia secara kronologis sudah sejak zaman
Belanda dapat dirujuk pada Reglement Penjara Tahun 1917. Dalam Pasal 28 ayat (1)
Reglement tersebut dinyatakan bahwa, .penjara adalah tempat pembalasan yang
setimpal atau sama atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh
si pelaku tindak pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau
pelaku tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Reglement Penjara Tahun 1917 tersebut yang
sebagaimana telah disebut di atas, maka ada 2 (dua) hal yang dapat dilihat dari isi
pasal tersebut dan penjelasannya, yaitu bahwa pegawai-pegawai penjara diwajibkan
memperlakukan Narapidana atau pelaku tindak pidana secara prikemanusiaan dan
keadilan. dengan tujuan untuk mempengaruhi narapidana ke jalan perbaikan.
Selanjutnya dinyatakan lagi .akan tetapi dengan kesungguhan beserta
kekencangan yang patut. dengan tujuan tidak boleh ada persahabatan antara pegawai
penjara untuk senantiasa mempertahankannya, yang berarti mempertahankan sifat
dari pidana itu sendiri.( Bachtiar Agus Salim, 2003 : 209).
2
Terjadinya perkembangan atau pergeseran nilai dari tujuan atau inti pidana
penjara tersebut atau disebut dengan eksistensi sebelum menjadi Lembaga
Pemasyarakatan, yang dimulai dari tujuan balas dendam (retalisation) kepada pelaku
tindak pidana kemudian berubah menjadi pembalasan yang setimpal (retribution)
bagi si pelaku tindak pidana yang selanjutnya diikuti dengan tujuan untuk menjerakan
(deterence) si pelaku tindak pidana dan kemudian diikuti juga pada awal abad ke-19
sampai dengan permulaan abad ke-20, tujuan tersebut tidak lagi bersangkutan dengan
memidana
(punitive)
melainkan
bertujuan
untuk
memperbaiki
terpidana
(rehabilitation) dengan jalur resosialisasi.
Berbagai macam pengertian .tujuan. dari pidana penjara tersebut terdapat
banyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia, melalui Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) ke dalam Reglement Penjara Tahun 1917
memang masih ada yang beranggapan bahwa .tujuan. dari pidana penjara tersebut
adalah .pembalasan yang setimpal dengan mempertahankan sifat dari pidana
penjaranya. yang harus diutamakan. Tetapi pada akhir tahun 1963 yang dinyatakan
bahwa pidana penjara adalah pemasyarakatan. dan hal tersebut lebih mengarah atau
mengutamakan .pembinaan. (re-educatie and re-socialisatie). (Sudarto, 1984 : 32).
Sebenarnya
secara
umum
.pemasyarakatan.
tersebut
bisa
diartikan
memasyarakatkan kembali seseorang pelaku tindak pidana yang selama ini sudah
salah jalan yang merugikan orang lain atau masyarakat dan mengembalikannya
kembali ke jalan yang benar dengan cara membina orang yang bersangkutan tersebut
3
sehingga menguntungkan atau berguna bagi orang lain atau masyarakat pada
umumnya yang telah dirugikannya pada waktu dulu.
Adanya model atau cara pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari suatu dinamika, yang bertujuan untuk
lebih banyak memberi bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah
selesai menjalani masa hukumannya (bebas). Hal ini seperti yang juga terjadi
sebelumnya terhadap istilah penjara yang telah berubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan
Nomor J.H.G.8/506 Tanggal 17 Juni 1964.
Walaupun dalam operasional di lapangan, banyak kalangan yang tidak
mengetahui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk jajaran penegak hukum,
akan tetapi ada juga kalangan yang mengetahui hal tersebut seperti kalangan
akademisi. Dalam hal, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, instansi Pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan
instansi Kepolisian, Kejaksaan serta Pengadilan dalam sistem penegakan hokum
terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system.( Romli
Atmasasmita, 1995 : 140).
Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan
hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan konsepsi umum dari pemidanaan. Narapidana bukan saja sebagai
objek, melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-
4
waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilapan yang dapat dikenakan pidana,
sehingga harus diberantas atau dimusnahkan. Sementara itu, yang harus diberantas
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana tersebut berbuat hal-hal
yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban
sosial lainnya yang dapat dikenakan pidana. (C.I. Harsono, 1995 : 18-19).
Umumnya pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan Narapidana
atau anak pidana agar dapat menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya dan
mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. (C.I. Harsono, 1995 : 20).
Perkembangan selanjutnya, sistem pemasyarakatan yang sudah dilaksanakan
sejak tahun 1964 tersebut harus ditopang oleh payung hukum supaya lebih berarti
keberadaannya. Payung hukum yang menopang sistem pemasyarakatan tersebut
adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya
disebut UUP). Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut menguatkan usaha-usaha
untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan
bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.
Lembaga
Pemasyarakatan
sebagai
ujung
tombak
pelaksanaan
atas
pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui
pendidikan,
rehabilitasi
dan
reintegrasi.
Sejalan
dengan
peran
Lembaga
Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang
5
melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut sebagai
Pejabat Fungsional Penegak Hukum dan hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUP yang
menyatakan bahwa, .petugas pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak
hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pembimbingan, dan
pengamanan warga binaan.
Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga
Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi
masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Adi Sujatno, 2004 : 21)
Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau
keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan
maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan
yang telah selesai menjalani pidananya. (Adi Sujatno, 2004 : 22-23).
Namun demikian, setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu
permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta tujuan dari
pemasyarakatan tersebut sebagai tempat pembinaan Narapidana dan agar keberadaan
Narapidana tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Sebagai
contoh, meskipun sudah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan
6
di Lembaga Pemasyarakatan masih terdapat juga pengulangan tindak pidana
(residivis) oleh para Narapidana setelah selesai menjalani Pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Selain hal tersebut, efektif atau tidak sistem yang diterapkan di
Lembaga Pemasyarakatan sehingga Narapidana tersebut bisa berubah menjadi lebih
baik setelah bebas. Membekali Narapidana tersebut dengan pendidikan yang lebih
baik dengan teknologi tinggi bisa menjamin Narapidana dapat berubah menjadi lebih
baik perilakunya ataukah dapat membuat Narapidana menjadi lebih mahir di bidang
kejahatannya.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian
hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta
Medan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.
7
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan
pemberian hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita
Tanjung Gusta Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk
sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk
bidang Hukum Pidana pada khususnya yang berhubungan dengan Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.
2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu
para Narapidana yang dilakukan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II
A Wanita Tanjung Gusta Medan dan masyarakat pada umumnya supaya dapat
menerima para Narapidana yang telah menjalani pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Narapidana
Mengenai istilah narapidana dijelaskan sebagai berikut: narapidana adalah
manusia yang karena perbuatannya melanggar norma hukum, maka dijatuhi hukum
pidana oleh hakim (Santoso, 1987:36).
Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena
melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani
hukuman (Dirjosworo, 1992:192).
Narapidana adalah seorang yang merugikan pihak lain yang kurang
mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat serta tidak
menghormati hukum (Dirdjosworo, 1992:192).
Narapidana adalah orang tahanan, orang yang ditahan di lembaga
permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara (Simorangkir, 1987:102).
Narapidana adalah seorang anggota masyarakat yang dipisahkan dari
induknya dan selama masa waktu tetentu itu diproses dalam lingkungan tempat
9
tertentu dengan tujuan, metode dan sistem permasyarakatan, pada suatu saat
narapidana itu kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada
hukum (Purnomo, 1985:162). Pengertian narapidana tersebut adalah seseorang yang
telah melanggar kaidah atau norma hukum yang ada di masyarakat karena
tindakannya, sehingga dia dikenai sanksi berupa hukuman oleh keputusan
pengadilan.
Dengan demikian kesimpulan dari integrasi narapidana dalam masyarakat
adalah proses pembauran atau penggabungan seseorang yang telah melanggar kaidah
hukum sehingga ia dikenai sanksi berupa hukuman oleh keputusan pengadilan untuk
kembali ke dalam suatu kelompok sosial dengan tujuan agar dapat menyatu kembali
ke dalam lingkungan sosialnya.
B. Tujuan Pemidanaan
Adanya pemidanaan tidak dapat dihindarkan di dalam masyarakat, walaupun
harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir. Hal itu
merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat
menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan
masyarakat. Anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai
yang ditentukan masyarakat. Penyimpangan atas ketentuan-ketentuan itu akan
mengakibatkan celaan masyarakat dengan berbagai macam bentuknya, hal tersebut
merupakan upaya penekanan anggota masyarakat agar tidak bersifat asosial.
10
Pada tingkat akhir dalam dunia hukum digunakanlah upaya-upaya yang lebih
keras sifatnya sama, yaitu sebagai upaya menekan. Suatu perbuatan yang melawan
hak, misalnya dapat mengakibatkan kewajiban mengganti kerugian terhadap orang
yang dirugikan, hal ini merupakan sanksi perdata. Di samping sanksi perdata ada
sanksi-sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi pidana. Suatu pidana sebagai
sanksi dapat menjadi keras sekali dirasakan, hal ini kadang-kadang sampai
menghilangkan kemerdekaan seseorang beberapa bulan atau bahkan sampai beberapa
tahun lamanya dan ada kalanya kemerdekaan yang dirampas itu mempunyai arti
sangat besar terhadap sisa hidup orang yang dikenainya.
Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi terhadap
pelaku kejahatan. Penulis akan membatasi penggunaan pidana dalam batas-batasnya
dan juga harus diusahakan untuk lebih dahulu menerapkan sanksi-sanksi lain yang
tidak bersifat pidana. Pemidanaan sebaiknya hanya dilakukan apabila norma yang
bersangkutan begitu penting bagi kehidupan dan kemerdekaan anggota masyarakat
lainnya. Ada beberapa hal yang dapat ditentukan hakim dalam putusannya, artinya
ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidananya, antara
lain:
1. Apa yang disebut orang dengan koreksi adalah terhadap orang yang melanggar
terhadap suatu norma pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan,
bahwa hal itu tidak boleh terulang lagi. Pidana yang bersifat koreksi diarahkan
pada manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa tanggungjawab, dan dalam
11
kejadian tertentu itu melakukan kesalahan. Hal ini tidak dapat menjadi reaksi
terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan yang kurang berat,
terutama kejahatan yang dilakukan karena kelalaian terpidana.
2. Resosialisasi yang berarti usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke
dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa ia dapat hidup dalam
masyarakat dan tidak melakukan tindak kejahatan lagi. Jadi pidana yang bersifat
resosialisasi adalah untuk mereka yang masih bersama-sama dengan orang lain
hidup rukun dan damai dalam masyarakat.
3. Pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi apabila manusia
yang telah melakukan kejahatan berat dan dikhawatirkan akan ditakuti, di waktu
yang akan masih besar sekali kemungkinan ia akan melakukan delik-delik berat,
walaupun terhadapnya telah diadakan usaha-usaha resosialisasi. Mengenai hal ini,
bahwa masyarakat memang mempunyai hak, bahkan mempunyai kewajiban
melindungi dirinya terhadap berbagai kemungkinan yang besar resikonya. Hal ini
berarti bahwa dengan keadaan senyatanya adalah bagaimana membuat terpidana
untuk tidak melakukan delik-delik berat yang baru (Saleh, 1987:5-7).
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:24).
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan
antara istilah prevensi spesial dan prevensi general. Dengan prevensi spesial
pengaruh pidana terhadap terpidana, jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh
12
pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak
pidana lagi. Ini berarti tujuan si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik
dan berguna bagi masyarakat. Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh
pidana terhadap masyarakat pada umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu ingin
dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada
umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief,
1998: 17-18).
C. Lembaga Pemasyarakatan
1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan dahulu disebut penjara yang sering menerima
tuduhan sebagai sekolah kejahatan (School Of Crime). Adanya penilaian seperti itu,
mengakibatkan lembaga ini terpojok dan sulit untuk memperbaiki citranya. Sebutan
yang harus diterima oleh lembaga pemasyarakatan kerap kali mempengaruhi tugas
dan tanggung jawab pengelola, khususnya para staf. Sehingga diantara petugas/
pembina kurang serius menjalankan misi pemasyarakatan.
Bahwa sebelum ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan masih memakai Reglement Penjara stbl 1917 No 708. Reglement ini
mengatur untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam penjara. Tetapi Reglement
ini kurang pas atau tidak cocok untuk diterapkan, karena peraturan ini tidak efektif
dipergunakan lagi. Bahkan narapidana masih ada yang menjadi penjahat kambuhan
13
atau residivis, lagi pula sistem pemasyarakatan pada waktu itu bukan untuk membina
narapidana. Melainkan memberikan hukuman biasa saja, tidak merubah sikap dan
prilaku narapidana itu sendiri, sehingga reglement tersebut tidak dipakai lagi,, sudah
dihapuskan dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, undang-undang ini mengatur tentang bagaimana caranya merubah
dan memperbaiki prilaku narapidana adalah dengan cara membinanya.
Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang diatur didalam pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Bagi lembaga
pemasyarakatan tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas
tapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami
perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang
memandang narapidana orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat.
Petrus Irwan Pandjaitan Simorangkir (1995:63) mengemukakan bahwa pokok
dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita adalah :
1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia.
2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup diluar
masyarakat.
3. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan
supaya mempunyai mata pencaharian.
14
Selanjutnya lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk
semata-mata memidana narapidana, melainkan sebagai tempat untuk membina dan
mendidik orang-orang terpidana. Agar mereka setelah menjalankan pidana /
hukuman, mereka mempunyai untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar
lembaga pemasyarakatan, sebagai warga negara yang baik dan taat hukum. PAF.
Lamintang (1998:181), mengemukakan “rumusan tentang tujuan dari pidana penjara
yakni disamping menimbulkan rasa derita dari terpidana agar bertobat, mendidik ia
menjadi seorang anggota masyarakat Sosialis Indonesia yang berguna. Dengan
perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu ialah pemasyarakatan.
Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara itu
suatu pemasyarakatan, dan walaupun sebutan dari rumah-rumah penjara itu telah
diganti dengan sebutan lembaga-lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi dalam praktek
ternyata gagasan tersebut telah tidak didukung oleh suatu konsepsi jelas dan saranasarana yang memadai, bahkan peraturan-peraturan yang dewasa ini dipergunakan
sebagai pedoman untuk melaksanakan hukuman-hukuman didalam penjara.
Tujuan dari penempatan seseorang di dalam lembaga pemasyarakatan di
Indonesia ironisnya tidak diketahui oleh pihak kejaksaan, bahkan kadanag-kadang
juga oleh sebahagian dari para hakim, yakni yang masih memandang tujuan dari
penempatan seseorang didalam lembaga pemasyarakatan itu sebagai pembalasan.
Hal mana dapat diketahui dari tuntutan pidana dari jaksa, atau dari
pertimbangan-pertimbangan tentang pidana yang perlu dijatuhkan bagi terdakwa
15
didalam putusan-putusan dari beberapa hakim, dimana mereka itu biasanya berbicara
tentang perlunya terdakwa dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. (RA.
Koesnoen, 1991:39)
Tujuan dari pemidanaan atau tujuan dari penempatan orang didalam lembaga
pemasyarakatan itu tidak akan pernah dapat dicapai dengan efektif dan efesien.
Selama masih terdapat perbedaan pandangan diantara para penyidik, jaksa, hakim,
dan para pelaksana pemasyarakatan tentang hakikat pemidanaan, khususnya tentang
hakikat penempatan orang didalam lembaga pemasyarakatan, karena timbulnya
kesadaran untuk kembali menjadi warga negara yang baik pada sebahagian para
narapidana itu tidak dihentikan oleh kerja keras lembaga pemasyarakatan, melainkan
ditentukan oleh kerja keras lembaga pemasyarakatan dan bantuan dari masyarakat itu
perlu disembuhkan dan bukan untuk diasingkan dari masyarakat.
Mengingat kenyataan bahwa sejumlah narapidana yang ditempatkan terlalu
lama didalam lembaga pemasyarakatan itu menjadi lebih rusak prilaku mereka
dibandingkan dengan keadaan mereka yang saat mereka dimasukkan kedalam
lembaga pemasyarakatan. Kiranya cukup bijaksana orang berkenan mendengar
nasihat mantan Menteri Kehakiman Belanda yang mengatakan bahwa ; hendaknya
pidana itu merupakan suatu ultimatum remedium, yang apabila ia dipandang sebagai
obat pemberiannya jangan sampai membuat penyakitnya sendiri menjadi lebih
parah.( Bachtiar Agus Salim, 1987:2)
16
Dari uraian diatas bahwa lembaga pemasyarakatan sebenarnya bukanlah
sekolah kejahatan yang merupakan tempat untuk makin mematangkan dan
memahirkan kejahatan. Tetapi tempat orang-orang tersesat dan bertobat dengan
mengayomi orang-orang tersesat dan memberikan pengajaran yang baik kepadanya.
Pembinan dilakukan secara terpadu dan meyeluruh bertujuan untuk memperbaiki
prilaku narapidana.
2. Tugas Dan Tanggung Jawab Pemasyarakatan
Setiap orang mempunyai hak diperlakukan sama didepan hukum dan juga
mempunyai hak untuk mendapat pengajaran yang baik. Begitu pula dengan
narapidana, memperlakukan narapidana tidak boleh pilih kasih atau diskriminatif.
Narapidana memiliki hak untuk merubah dirinya menjadi manusia yang berguna,
petugas/pembina lembaga pemasyarakatan bertanggung jawab dalam membina
narapidana, bila petugas / pembina tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Maka ia mendapat teguran oleh pimpinannya dan dikenakan sanksi.
Dalam pemasyarakatan justru tobat atau jera diharapkan akan dapat dicapai
melalui bimbingan, nasehat petunjuk, dan pembinaan yang dilandaskan kepada
persamaan hak asasi wajib antara pembina dan narapidana atau anak didik
pemasyarakatan. Tobat atau jera dan sekaligus kesadaran akan pentingnya
bermasyarakat dari narapidana dan anak didik yang bersangkutan. Bukan atas dasar
ketakutan atau tekanan-tekanan psikologis yang diberikan oleh petugas lembaga.(
Romli Atmasasmita, 1982:76)
17
Untuk melihat sejauh manakah peran dan kedudukan yang dibawakan oleh
Direktorat Jenderal pemasyarakatan adalah konsisten dengan tujuan “Criminal
Justice”, maka terlebih dulu perlu diketahui apakah yang merupakan tujuan dari
suatu “Criminal Justice”.
Tugas dan tanggung jawab ini diatur didalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dalam pasal 46 yang berbunyi : Kepala
lembaga pemasyarakatan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di
lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya. Selanjutnya di dalam pasal 47 berbunyi :
3. Kepala lembaga pemasyarakatan berwenang memberikan tindakan disiplin atau
menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang
melanggar
peraturan
keamanan
dan
ketertiban
dilingkungan
lembaga
pemasyarakatan yang dipimpinnya.
4. Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berupa :
a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atau anak pidana,
dan atau
b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin sebagaimana
dimaksud dlam ayat (1) wajib :
a. memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak
beretindak sewenang-wenang, dan
18
b. Mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan.
6. Bagi narapidana atau anak pidana yang pernah menjalani hukuman tutupan sunyi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran
atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling
lama 2 (dua kali 6 (enam) hari.
Dengan demikian tugas dan tanggung jawab ini dilakukan sepenuhnya oleh
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Kepala lembaga pemasyarakatan, untuk
kemajuan lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Dan juga angka kriminalitas
berkurang sehingga lembaga pemasyarakatan tidak lagi mengalami over capacity
(kelebihan kapasitas).
D. Sistem Pemasyarakatan
Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam sistem kepenjaraan
adalah Reglemnt Penjara. Undang-Undang ini telah digunakan sejak tahun 1917.
Suatu Undang-Undang yang sudah tidak layak dipakai lagi untuk diterapkan, karena
bersumber dari hukum kolonial Belanda. Adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan, Reglement Penjara tidak dipakai lagi, karena tidak
memperhatikan nasib narapidana.
Sistem pemasyarakatan menurut Soedjono Dirdjosisworo (1998:199) adalah
suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan
memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat
sekaligus. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya,
19
jasmaniahnya, pribadi, serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya,
mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan
masyarakat.
Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam semua segi kehidupannya dan
pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar
lembaga disesuaikan dengan kemajian sikap dan tingkah lakunya serta lama
pidananya yang wajib dijalani. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu
lepas dari lembaga benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik.
Dengan demikian system pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
pancasila
yang
dilaksanakan
untuk
meningkatkan
kulitas
Warga
Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memeprbaiki diri, dan tidak mengulasngi
tindak pidana. Sehingga dapat diterima kembali dimasyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. Pengertian sistem pemasyarakatan ini diatur didalam pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan bunyinya
sebagai berikut : Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahnnya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana. Sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
20
pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
berbunyi
:
sistem
pemasyarakatan
berfungsi
menyiapkan
Warga
Binaan
Permasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab.
Beberapa pasal tersebut diatas, seorang narapidana tidak dibiarkan begitu saja,
tanpa pembimbingan maupun pelajaran yang bermanfaat untuknya. Jelas sekali
Undang-Undang ini sangat memperhatikan perkembangan narapidana dan kualitas
petugas/pembina dalam memberikan binaan dan bimbingan.
Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu tatanan yang mengenai arah dan
membina Warga Binaan Pemasyarakatan agar bertobat dan menjadi manusia yang
bertanggung jawab.
Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan
sistem pemasyarakatan. Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi
perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi
dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam
masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah
tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan,
melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan,
21
melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan
seseorang dan apa yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu kemasyarakat
lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat.
Jadi titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja masyarakat diayomi
dengan adanya tindak pidana, tetapi juga sipelaku tindak pidana perlu diayomi dan
diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak keluar dari lembaga
pemasyarakatan, agar berguna bagi bangsa dan negara.
Gagasan Bambang Poernomo (1996:11) sepuluh prinsip-prinsip untuk
bimbingan dan pembinaan adalah :
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup
sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Pebjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbngan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat dari pada
sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu
atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan
yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila.
22
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia
telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.
10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan.
Dari uaraian tersebut bahwa sistem pemasyarakatan merupakan langkah awal
yang harus dilaksanakan untuk membina narapidana, apabila suatu sistem itu ada
yang kurang ataupun mengalami kemunduran. Maka sistem tersebut tidak dapat
berjalan dengan lancar misalnya petugas/pembina kurang adanya tenaga ahli seperti
tenaga medis, psikiater, psikolog, guru agama, dan sebagainya. Tentu pelaksanaan
pembinaan terhadap narapidana tidak terlaksana. Untuk itu sistem pemasyarakatan
perlu diselenggarakan dengan baik untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan
menjadi manusia seutuhnya.
Bambang Poernomo (1996:89) menyebutkan sistem pemasyarakatan sebagai
realisasi pembaharuan pidana penjara mengandung upaya baru pelaksanaan pidana
penjara yang dilaksanakan dengan semangat kemanusiaan dan perlakuan cara baru
terhadap narapidana yang disusun dalam pedoman (manual) pembinaan sesuai
dengan pokok-pokok Standard Minimum Rules. Bahwa sistem pemasyarakatan
buykan mengakibatkan jenis pidana penjara diganti menjadi kebijakan pelaksanaan
pidana (penal policy) sebagai berikut :
23
1. Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru
pelaksanaan pidana penjara yang institusional (Institusional Treatment Of
Offender) yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (Custodial
Treatment Of Offender) yang melalui langkah-langkah selektif dapat menuju
kepada de institusionalisasi atas dasar kemanusiaan.
2. Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana (The
Treatment Of Privoner) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan
memeperoleh bimbingan yang terarah berlandaskan pada pedoman pelaksanaan
pembinaan (manual) disesuaikan standard minimum rules.
Membangun suatu lembaga pemasyaraaktan tidaklah semudah yang
diperkirakan orang karena ia harus memperhatikan pelbagai aspek anatara lain; aspek
keamanan, kesehatan, dan sekaligus pembinaan. Walaupun nampaknya sistem
pemasyarakatan memiliki latar belakang histories dan politis dalam pertumbuhannya.
Sistem ini tidaklah memiliki perspektif teoritis yang memadai. Hal ini disebabkan
dari sejak kelahiran sampai kepada perkembangannya, tidak diperoleh dan ataupun
informasi yang menunjukkan bahwa memang sistem ini sejak semula diperlukan
guna pembinaan narapidana dan karena itu perlu mengganti sistem kepenjaraan.
Bambang Poernomo (1992:23) mengatakan bahwa tujuan penjatuhan
hukuman bukanlah menghukum semata-mata atau membuat sipelanggar hukum
menderita. Akan tetapi membimbing mereka menjadi warga masyarakat Sosialis
Indonesia
yang berguna. Dengan pernyataan ini beliau hendak mengkaitkan
24
gagsannya dengan Sosialis Indonesia yang menjadi ideologi pemerintah Indonesia
pada waktu itu. Akan tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang menuju kearah formulasi
teoritis. Usaha beliau untuk mengungkapkan korelasi yang berarti antara gagasan
pemasyarakatan dengan Sosialisme Indonesia tidak berhasil.
E. Metode Pembinaan Narapidana
Untuk
berhasilnya
pembinaan
terpidana
diperlukan
peerlengkapan-
perlengkapan, terutama bermacam-macam bentuk lembaga yang sesuai dengan
tingkatan pengembangan semua segi kehidupan terpidana dan tenaga-tenaga pembina
yang cukup dan penuh rasa pengabdian.
Usaha pembinaan terpidana dimulai sejak hari pertama ia masuk dalam
lembaga hingga pada saat ia dilepaskan dari lembaga setelahnya dilanjutkan
denganusaha pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi
pemerintah atau swasta bila masih diperlukan. Usaha pembinaan dilakukan, dengan
mengingat pribadi tiap-tiap terpidana, secara progresif sesuai dengan cepat atau
lambatnya kemajuan sikap, tingkah laku terpidana. Secara berkala perkembangannya
diteliti oleh suatu dewan pemasyarakatan yang menentukan rencana pembinaan untuk
selanjutnya, dan penempatannya dalam lembaga yang sesuai.
Usaha
pembinaan
ditujukan
terhadap
hidup
kejiwaannya
untuk
memperkembangkan daya cipta, rasa, karsa, agar jujur halus sopan, susila serta dapat
mengekang nafsunya serta suka mengabdi kepada Tuhan.
25
Untuk melakukan pembinaan tersebut maka diperlukan metode pembinaan.
Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan agar dapat
secara efektif dan efesien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan
perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau
dalam bertingkah laku.
Pembina narapidana harus megenal banyak metode pembinaan, sebelum
melakukan pembinaan. Membina narapidana tidak dapat menyamaratakan pembinaan
narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang
kehidupan yang heterogen.
Ada beberapa metode pembinaan narapidana, yaitu :
1. Metode Pembinaan Perorangan (Individual Treatment)
Pembinaan perorangan diberikan kepada narapidana secara perorangan oleh
petugas pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah-pisah, tetapi dibina
dalam kelompok bersama dan penanganannya secara sendiri-sendiri. Permbinaan
didalam lembaga pemasyarakatan tingkat kematangan intelektual, emosi, logika dari
tiap-tiap narapidana tidaklah sama. Ketidaksamaan ini menuntut diterapkannya
pembinaan secara perorangan karena untuk mengetahui sampai dimana tingkat
intelektual, emosi, logika dari tiap-tiap narapidana itu sendiri.
Narapidana sering atau tidak diperhatikan oleh para pembina. Para pembina
mengadakan pembinaan secara kelompok dianggap dan dikuasai lebih cepat
penyajiannya dan lebih mudah penyampainnya.
26
Pembinaan secara perorangan akan banyak bermanfaat jika narapidana juga
mempunyai keamanan untuk merubah dirinya sendiri. Tanpa keamanan untuk
merubah diri sendiri, akan sulit dicapai hasil pembinaan yang maksimal sekalipun
keamanan untuk merubah diri sendiri dapat timbul baru setelah dilakukan pembinaan
secara perorangan, tetapi hal itu akan membantu narapidana untuk mampu melakukan
perubahan bagi diri sendiri.
Pembinaan secara perorangan juga akan meletakkan diri petugas dengan
narapidana, sehingga tidak timbul rasa takut dari narapidana terhadap petugas.
Karena rasa takut akan menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak dapat diterima
oleh narapidana secara maksimal, suatu hal yang tidak kita harapkan. Jika narapidana
tidak mempunyai rasa takut kepada para pembina, akan membuka bAnyak
kemungkinan bagi narapidana untuk mengeluarkan isi hatinya, unek-uneknya, tujuan
hidupnya, kendala yang dihadapi dan para pembina dapat memberikan alternatif bagi
pemecahannya.
Metode pembinaan ini lebih menekankan pada dalam diri dan diluar diri
sendiri, yaitu :
a. Dalam Diri Sendiri
Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri sendiri, bila
seseorang belum sadar akan diri sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan
membina diri sendiri. Jika seseorang belum sadar akan diri sendiri, belum
27
mengenal diri sendiri. Suatu kosekwensi logis yang harus diterima oleh lembaga
pemasyarakatan. Jika narapidana telah mengenal diri sediri, adalah penyediaan
sarana dan prasarana pembinaan sesuai dengan kebutuhan pembinaan setiap
individu. Kalau sarana dan prasarana tidak pernah ada dan tidak pernah tersedia,
niscaya kemauan untuk merubah diri sendiri akan menjadio sirna, dan narapidana
tidak mempunyai motivasi untuk merubah diri sendiri.
Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri
sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana dapat
melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa tujuan, dan
melihat kemasa depan suatu kehidupan dengan pasti. Kehidupan yang akan
dipilihnya, narapidana berhak untuk memilih hidup sebagai manusia biasa, memilih
hidup bukan sebagai narapidana. Semua manusia pasti tidak berharap untuk hidup
sebagai narapidana. Agar mampu untuk hidup sebagai tidak berharap untuk hidup
sebagai manusia biasa, narapidana harus mampu mengubah dirinya, harus mengenal
dirinya.
Pengenalan diri bukan saja akan mampu merubah narapidana, tetapi juga
pembentukan mental yang positif. Dengan mental yang positif, dengan mental yang
baik, narapidana akan mampu membentuk diri sendiri sebagai manusia yang baik,
yang akan diterima kembali oleh masyarakat. Pembinaan secara perorangan yang
baik, adalah pembinaan yang telah tumbuh dari dalam diri sendiri. Semakin sering
28
melakukan pembinaan diri sendiri, semakin akan tahu bahwa banyak hal yang
menguasai ilmu pengetahuan yang belum dikuasai.
b. Dari Luar Diri Sendiri
Pembinaan dari luar diri sendiri, dapat merupakan pembinaan yang berasal
atau sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana, atau pembinaan dari luar yang
dianggap oleh pembina perlu dilakukan. Pembinaan dari luar dapat berupa pembinaan
secara umum, seperti penghayatan danb pengamalan pancasiala, kesadaran hukum,
etika, agama, dan lain sebagainya. Sedangkan pembinaan secara khusus dapat berupa
konsultasi pribadi, psikologi, pembinaan hukum, etika, pendidikan, keahlian dan lain
sebagainya. Pembinaan dari luar diri sendiri, biasanya didasari atas analisa data
pribadi seorang narapidana, yang mengharuskan seorang narapidana mendapat
pembinaan yang telah ditentukan oleh pembina. Jadi kebutuhan pembinaan
ditentukan oleh pembina, disini dituntut keahlian pembina untuk menyampaikan
materi pembinaan sesuai yang diharapkan.
Salah satu pembinaan dari luar diri sendiri yang paling penting adalah
pengenalan diri sendiri, mengajak narapidana untuk mengenal segala sesuatu yang
dimiliki oleh diri sendiri. Mengenal diri sendiri bearti mengenal segala sesuatu yang
dimiliki oleh diri sendiri. Seperti sifat, kebiasaan, kelebihan, kekurangan, kepandaian,
keterampilan, cara berpikir, hal-hal yang telah dilakukan dan hal-hal yang akan
dilakukan, dan lain sebagainya. Dalam mengenal diri sendiri, pembina harus mampu
menanggalkan semua beban pikiran, status keadaan diluar dirinya, sehingga
29
narapidana dapat meneliti diri sendiri dengan tenang, serius dan tidak terpengaruh
oleh hal-hal diluar dirinya.
Dengan begitu narapidana dapat mengetahui jati dirinya, siapa ia yang
sebenarnya dan mampu merubah hidupnya, bahwa kita harus melakukan hal-hal yang
positif yang bermanfaat untuk menjalani kehidupan kita sendiri. Jika kita tidak
melakukannya, maka kita menjadi orang yang tersesat, tidak ada tujuan hidup, tidak
memiliki semangat hidup. Untuk membina narapidana dengan baik pembina harus
mampu meningkatkan emosional narapidana, memberikan pendidikan yang
menunjang intelektualitas narapidana.
2. Pembinaan Secara Kelompok (Classical Treatment)
Dalam pembinaan secara kelompok, peran kelompok harus tetap dilibatkan,
baik secara individual maupun secara kelompok. Jadi bukan hanya pembina saja yang
aktif, yang dibina juga harus aktif. Narapidana yang pasif harus ditumbuhkan,
sehingga ikut aktif dan berpartisipasi dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak
harus datang dari pembina, tetapi dapat juga datang dari narapidana, atau materi
pembinaan yang menjadi kesepakatan bersama.
Untuk mencapai hasil yang maksimal narapidana dapat menyusun pembinaan
bagi dirinya sendiri, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok. Dalam pembinaan
secara kelompok, kita harus mampu mengajak narapidana untuk memahami nilainilai positif yang tumbuh dimasyarakat atau kelompok. Untuk dijadikan bahan
pembinaan secara kelompok, karena setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
30
Narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga).
Sehingga nilai positif yang tumbuh dalam keluarga, kelompok masyarakat, akan
sangat berguna sekali bagi pemahaman hidup bermasyarakat, hidup salaing
ketergantungan.
a. Nilai Positif Di Masyarakat
Narapidana harus mengerti dan memahami, serta mampu menjalankan nilainilai positif yang tumbuh di masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat yang
heterogen yang terdiri dari suku bangsa, budaya, dan agama. Namun demikian, kita
memiliki nilai-nilai yang universal, yang berlaku umum, yang positif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam pembinaan narapidana secara kelompok, nilai-nilai positif yang
tumbuh dan hidup dalam masyarakat dapat disampaikan dengan metode ceramah,
simulasi, diskusi, atau permainan peran. Metode pembinaan dengan ceramah dapat
dilakukan dalam ruang kelas atau dalam ruang terbuka, dengan diselingi tanya jawab
diakhir ceramah. Metode simulasi, dapat dilakukan dengan mengambil salah satu
topik dari materi yang akan disampaikan, dengan diberikan masalah-masalah yang
harus dipecahkan.
Dengan menerapkan beberapa metode pembinaan secara kelompok,
diharapkan materi pembinaan tidak terbuang secara sempurna. Sehingga materi
pembinaan tidak terbuang secara percuma atau sia-sia.
31
b. Nilai Positif Dalam Keluarga
Sebuah keluarga dibentuk dengan tujuan yang pasti, mempunyai tahap-tahap
pembentukan dan mempunyai batas waktu mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan
tersebut. Sebuah keluarga mempunyai nilai-nilai positif, mempunyai tata cara,
mempunyai peraturan, sekalipun tidak dibuat secara tertulis. Nilai-nilai positif dalam
keluarga akan menjadi pegangan dan motivasi, bagi anggota keluarga dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Nilai-nilai positif yang tumbuh dan hidup didalam keluarga antara lain;
mencintai dan melayani, tolong-menolong, menghormati orang yang lebih tua, dapat
dan mau mengerti orang lain, integritas keluarga, loyalitas terhadap keluarga, jujur,
pemaaf, tidak serakah, dan masih banyak lagi.
Menurut Manual Pemasyarakatan, pembina terhadap narapidana itu
didasarkan padsa lamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim, dan dihubungkan
dengan urgensi pembinaan, dikenal tiga tingkat pembinaan, masing-masing yakni :
a. Pembinaan tingkat nasional yang berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana lebih
dari lima tahun.
b. Pembinaan tinmgkat regional yang berlaku bagi mereka yaqng dijatuhi pidana
antara satu sampai dengan lima tahun.
c. Pembinaan tingkat lokal yang berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana kurang
dari satu tahun.
32
Untuk melaksanaan pembinaan-pembinaan tersebut diatas, dikenal empat
tahap proses pembinaan, masing-masing yaitu :
a. Tahap Pertama
Terhadap setiap narapidana yang ditempatkan didalam lembaga pemasyarakatan
untuk
mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa
sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang
diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari teman sepekerjaan
mereka, dari orang yang menjadi korban mereka dari petugas instansi lain yang
menangani perkara mereka.
b. Tahap Kedua
Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung
selama-lamnya sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut
pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan,
antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada
peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan.
Maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memperlakukan
tingkat pengawasan medium security.
c. Tahap Ketiga
Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung
setengah dari masa pidananya yang sebebnarnya, dan menurut Dewan Pembina
Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan baik secara fisik
33
maupun secara mental dari segi keterampilan. Maka wadah proses pembina
diperluas dengan memperolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan
assimilasi, dengan masyarakat luar, berolahraga, bersama-sama dengan
masyarakat luar, mengikuti pendidikan disekolah-sekolah umum, bekerja diluar
lembaga pemasyarakatan, akan dalam pelaksanaannya tetap masih berada
dibawah pengawasan dan bimbingan dari petugas lembaga pemasyarakatan.
d. Tahap Keempat
Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana telah berlangsung dua
pertiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan
bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang
menetapkan
tentang
pengusulannya,
ditentukan
oleh
Dewan
Pembina
Pemasyarakatan.
3. Pembinaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
Didalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan
menyebutkan
bahwa
dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Pengayoman;
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. Pendidikan;
d. Pembimbngan;
34
sistem
pembinaan
pemasyarakatan
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Selanjutnya pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan berbunyi :
(1) Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan
oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pada
pasal
8
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan menyatakan :
(1) Petugas pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di
bidang
pembinaan,
pengamanan,
dan
pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan.
(2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
35
Pada
pasal
Pemasyarakatan
9
Undang-Undang
berbunyi
dalam
Nomor
rangka
12
Tahun
penyelenggaraan
1995
Tentang
pembinaan
dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama
dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau
perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Dari pasal-pasal diatas, bahwa pembinaan dilakukan dengan cara tersebut
diatas dapat meningkatkan kualitas diri atau potensi narapidana, kerjasama Menteri
dengan instansi pemerintah pembinaan dapat dilakukan secara menyeluruh, serta
dapat meningkatkan kualitas lembaga pemasyarakatan dan memperbaiki citra
lembaga pemasyarakatan.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi :
(1) Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan
pembimbingan kepribadiann dan kemandirian.
(2) Program
pembinaan
diperuntukkan
bagi
Narapidana
dan
Anak
Didik
Pemasyarakatan.
(3) Program pembimbingan diperuntukkan bagi klien.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
36
Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan :
a. Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Kesadaran berbangsa dan bernegara;
c. Intelektual;
d. Sikap dan Prilaku;
e. Kesehatan jasmani dan rohani;
f. Kesadaran hukum;
g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat;
h. Keterampilan kerja dan;
i. Latihan kerja dan produksi.
Metode pembinaan narapidana dilaksanakan secara fundamental, yang
mengarah pada peningkatan keimanan dan ketakwaan. Dengan begitu narapidana
telah sadar atas perbuatannya selama ini adalah salah dan melanggar hukum. Serta
dapat mengembangkan keterampilan dan ide-ide bagi narapidana yang memiliki
potensi, narapidana juga diberikan kebebasan, pembinaan tidak hanya dilakukan
didalam
lembaga
pemasyarakatan
saja.
Tetapi
dilakukan
diluar
lembaga
pemasyarakatan dengan diberikan pengawasan kepadanya.
Selanjutnya pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi :
1. Kepala LAPAS wajib melaksanakan pembinaan Narapidana.
37
2. Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala
LAPAS wajib mengadakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas
kegiatan program pembinaan.
3. Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diarahkan pada
kemampuan Narapidana untuk berintegrasi secara sehat dengan masyarakat.
Didalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, menyatakan :
(1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan.
(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga)
tahap, yaitu :
a. tahap awal
b. tahap lanjutan
c. tahap akhir.
(3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ketahap lain ditetapkan melalui sidang
Tim
Pengamat
Pemasyarakatan
berdasarkan
data
dari
Pembina
Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Wali Narapidana.
4. Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil pengamatan,
penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan.
5. Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
38
Pada pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi :
(1) Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS disediakan
sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
(2) LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dalam beberapa klasifikasi
dan spefikasi.
(3) Ketentuan mengenai klasifikasi dan spefikasi LAPAS sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Kemudian didalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi :
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 (2) huruf a, bagi
Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana
sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b,
meliputi :
a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai
dengan 1/2 (satu perdua) dari masa pidana; dan
b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama
sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana.
39
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c,
dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa
pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
40
Download