BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai tindak kejahatan sering terjadi di masyarakat, misalnya pencurian, perampokan, penipuan, pembunuhan dan sebagainya. Dari semua tindak kejahatan tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, seperti keterpaksaan seseorang melakukan tindak kejahatan pencurian yang dikarenakan faktor ekonomi, faktor lingkungan atau terikut dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan sebagainya. Kesemua tindak kejahatan yang terjadi tersebut harus mendapat ganjaran yang setimpal atau seimbang, sehingga dengan demikian agar ketertiban, ketentraman dan rasa keadilan di masyarakat dapat tercapai dengan baik. Pada masa lalu, ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Setiap pemimpin formal yang juga biasa bertindak sebagai Hakim, dapat menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum untuk menunggu pelaksanaan hukuman. Seiring semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hokum merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, karena para Hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara sambil menunggu suatu putusan, para pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan. 1 Pada masa yang lalu jenis hukuman masih bersifat pidana fisik, misalnya pidana cambuk, potong tangan dan bahkan pidana mati (pemenggalan kepala) atau gantung. Dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan, hukuman berubah menjadi pidana penjara selama waktu yang ditentukan oleh Hakim. Seiring dengan itu, eksistensi bangunan tempat penahanan sementara semakin diperlukan, apalagi dengan adanya pidana pencabutan kemerdekaan. Berbicara tentang penjara, di Indonesia secara kronologis sudah sejak zaman Belanda dapat dirujuk pada Reglement Penjara Tahun 1917. Dalam Pasal 28 ayat (1) Reglement tersebut dinyatakan bahwa, .penjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau pelaku tindak pidana. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Reglement Penjara Tahun 1917 tersebut yang sebagaimana telah disebut di atas, maka ada 2 (dua) hal yang dapat dilihat dari isi pasal tersebut dan penjelasannya, yaitu bahwa pegawai-pegawai penjara diwajibkan memperlakukan Narapidana atau pelaku tindak pidana secara prikemanusiaan dan keadilan. dengan tujuan untuk mempengaruhi narapidana ke jalan perbaikan. Selanjutnya dinyatakan lagi .akan tetapi dengan kesungguhan beserta kekencangan yang patut. dengan tujuan tidak boleh ada persahabatan antara pegawai penjara untuk senantiasa mempertahankannya, yang berarti mempertahankan sifat dari pidana itu sendiri.( Bachtiar Agus Salim, 2003 : 209). 2 Terjadinya perkembangan atau pergeseran nilai dari tujuan atau inti pidana penjara tersebut atau disebut dengan eksistensi sebelum menjadi Lembaga Pemasyarakatan, yang dimulai dari tujuan balas dendam (retalisation) kepada pelaku tindak pidana kemudian berubah menjadi pembalasan yang setimpal (retribution) bagi si pelaku tindak pidana yang selanjutnya diikuti dengan tujuan untuk menjerakan (deterence) si pelaku tindak pidana dan kemudian diikuti juga pada awal abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, tujuan tersebut tidak lagi bersangkutan dengan memidana (punitive) melainkan bertujuan untuk memperbaiki terpidana (rehabilitation) dengan jalur resosialisasi. Berbagai macam pengertian .tujuan. dari pidana penjara tersebut terdapat banyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia, melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) ke dalam Reglement Penjara Tahun 1917 memang masih ada yang beranggapan bahwa .tujuan. dari pidana penjara tersebut adalah .pembalasan yang setimpal dengan mempertahankan sifat dari pidana penjaranya. yang harus diutamakan. Tetapi pada akhir tahun 1963 yang dinyatakan bahwa pidana penjara adalah pemasyarakatan. dan hal tersebut lebih mengarah atau mengutamakan .pembinaan. (re-educatie and re-socialisatie). (Sudarto, 1984 : 32). Sebenarnya secara umum .pemasyarakatan. tersebut bisa diartikan memasyarakatkan kembali seseorang pelaku tindak pidana yang selama ini sudah salah jalan yang merugikan orang lain atau masyarakat dan mengembalikannya kembali ke jalan yang benar dengan cara membina orang yang bersangkutan tersebut 3 sehingga menguntungkan atau berguna bagi orang lain atau masyarakat pada umumnya yang telah dirugikannya pada waktu dulu. Adanya model atau cara pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari suatu dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberi bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukumannya (bebas). Hal ini seperti yang juga terjadi sebelumnya terhadap istilah penjara yang telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 Tanggal 17 Juni 1964. Walaupun dalam operasional di lapangan, banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk jajaran penegak hukum, akan tetapi ada juga kalangan yang mengetahui hal tersebut seperti kalangan akademisi. Dalam hal, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, instansi Pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan serta Pengadilan dalam sistem penegakan hokum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system.( Romli Atmasasmita, 1995 : 140). Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum dari pemidanaan. Narapidana bukan saja sebagai objek, melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu- 4 waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilapan yang dapat dikenakan pidana, sehingga harus diberantas atau dimusnahkan. Sementara itu, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana tersebut berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lainnya yang dapat dikenakan pidana. (C.I. Harsono, 1995 : 18-19). Umumnya pemidanaan adalah suatu upaya untuk menyadarkan Narapidana atau anak pidana agar dapat menyesali segala perbuatan yang telah dilakukannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. (C.I. Harsono, 1995 : 20). Perkembangan selanjutnya, sistem pemasyarakatan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1964 tersebut harus ditopang oleh payung hukum supaya lebih berarti keberadaannya. Payung hukum yang menopang sistem pemasyarakatan tersebut adalah Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UUP). Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan atas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang 5 melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum dan hal ini sesuai dengan Pasal 8 UUP yang menyatakan bahwa, .petugas pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pembimbingan, dan pengamanan warga binaan. Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. (Adi Sujatno, 2004 : 21) Pelaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasi atau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. (Adi Sujatno, 2004 : 22-23). Namun demikian, setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ada hal-hal yang dapat dilihat sebagai suatu permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta tujuan dari pemasyarakatan tersebut sebagai tempat pembinaan Narapidana dan agar keberadaan Narapidana tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Sebagai contoh, meskipun sudah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan 6 di Lembaga Pemasyarakatan masih terdapat juga pengulangan tindak pidana (residivis) oleh para Narapidana setelah selesai menjalani Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selain hal tersebut, efektif atau tidak sistem yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga Narapidana tersebut bisa berubah menjadi lebih baik setelah bebas. Membekali Narapidana tersebut dengan pendidikan yang lebih baik dengan teknologi tinggi bisa menjamin Narapidana dapat berubah menjadi lebih baik perilakunya ataukah dapat membuat Narapidana menjadi lebih mahir di bidang kejahatannya. B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan. 7 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian hak-hak narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang Hukum Pidana pada khususnya yang berhubungan dengan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan. 2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baik itu para Narapidana yang dilakukan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan dan masyarakat pada umumnya supaya dapat menerima para Narapidana yang telah menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Narapidana Mengenai istilah narapidana dijelaskan sebagai berikut: narapidana adalah manusia yang karena perbuatannya melanggar norma hukum, maka dijatuhi hukum pidana oleh hakim (Santoso, 1987:36). Narapidana adalah manusia biasa seperti manusia lainnya hanya karena melanggar norma hukum yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman (Dirjosworo, 1992:192). Narapidana adalah seorang yang merugikan pihak lain yang kurang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat serta tidak menghormati hukum (Dirdjosworo, 1992:192). Narapidana adalah orang tahanan, orang yang ditahan di lembaga permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara (Simorangkir, 1987:102). Narapidana adalah seorang anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama masa waktu tetentu itu diproses dalam lingkungan tempat 9 tertentu dengan tujuan, metode dan sistem permasyarakatan, pada suatu saat narapidana itu kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum (Purnomo, 1985:162). Pengertian narapidana tersebut adalah seseorang yang telah melanggar kaidah atau norma hukum yang ada di masyarakat karena tindakannya, sehingga dia dikenai sanksi berupa hukuman oleh keputusan pengadilan. Dengan demikian kesimpulan dari integrasi narapidana dalam masyarakat adalah proses pembauran atau penggabungan seseorang yang telah melanggar kaidah hukum sehingga ia dikenai sanksi berupa hukuman oleh keputusan pengadilan untuk kembali ke dalam suatu kelompok sosial dengan tujuan agar dapat menyatu kembali ke dalam lingkungan sosialnya. B. Tujuan Pemidanaan Adanya pemidanaan tidak dapat dihindarkan di dalam masyarakat, walaupun harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir. Hal itu merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat. Anggota masyarakat diharapkan melakukan perbuatan-perbuatan sesuai yang ditentukan masyarakat. Penyimpangan atas ketentuan-ketentuan itu akan mengakibatkan celaan masyarakat dengan berbagai macam bentuknya, hal tersebut merupakan upaya penekanan anggota masyarakat agar tidak bersifat asosial. 10 Pada tingkat akhir dalam dunia hukum digunakanlah upaya-upaya yang lebih keras sifatnya sama, yaitu sebagai upaya menekan. Suatu perbuatan yang melawan hak, misalnya dapat mengakibatkan kewajiban mengganti kerugian terhadap orang yang dirugikan, hal ini merupakan sanksi perdata. Di samping sanksi perdata ada sanksi-sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi pidana. Suatu pidana sebagai sanksi dapat menjadi keras sekali dirasakan, hal ini kadang-kadang sampai menghilangkan kemerdekaan seseorang beberapa bulan atau bahkan sampai beberapa tahun lamanya dan ada kalanya kemerdekaan yang dirampas itu mempunyai arti sangat besar terhadap sisa hidup orang yang dikenainya. Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan. Penulis akan membatasi penggunaan pidana dalam batas-batasnya dan juga harus diusahakan untuk lebih dahulu menerapkan sanksi-sanksi lain yang tidak bersifat pidana. Pemidanaan sebaiknya hanya dilakukan apabila norma yang bersangkutan begitu penting bagi kehidupan dan kemerdekaan anggota masyarakat lainnya. Ada beberapa hal yang dapat ditentukan hakim dalam putusannya, artinya ada beberapa tujuan yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidananya, antara lain: 1. Apa yang disebut orang dengan koreksi adalah terhadap orang yang melanggar terhadap suatu norma pidana yang dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan, bahwa hal itu tidak boleh terulang lagi. Pidana yang bersifat koreksi diarahkan pada manusia yang pada dasarnya mempunyai rasa tanggungjawab, dan dalam 11 kejadian tertentu itu melakukan kesalahan. Hal ini tidak dapat menjadi reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan yang kurang berat, terutama kejahatan yang dilakukan karena kelalaian terpidana. 2. Resosialisasi yang berarti usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa ia dapat hidup dalam masyarakat dan tidak melakukan tindak kejahatan lagi. Jadi pidana yang bersifat resosialisasi adalah untuk mereka yang masih bersama-sama dengan orang lain hidup rukun dan damai dalam masyarakat. 3. Pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi apabila manusia yang telah melakukan kejahatan berat dan dikhawatirkan akan ditakuti, di waktu yang akan masih besar sekali kemungkinan ia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah diadakan usaha-usaha resosialisasi. Mengenai hal ini, bahwa masyarakat memang mempunyai hak, bahkan mempunyai kewajiban melindungi dirinya terhadap berbagai kemungkinan yang besar resikonya. Hal ini berarti bahwa dengan keadaan senyatanya adalah bagaimana membuat terpidana untuk tidak melakukan delik-delik berat yang baru (Saleh, 1987:5-7). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998:24). Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara istilah prevensi spesial dan prevensi general. Dengan prevensi spesial pengaruh pidana terhadap terpidana, jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh 12 pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Ini berarti tujuan si terpidana itu berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Dengan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 17-18). C. Lembaga Pemasyarakatan 1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan dahulu disebut penjara yang sering menerima tuduhan sebagai sekolah kejahatan (School Of Crime). Adanya penilaian seperti itu, mengakibatkan lembaga ini terpojok dan sulit untuk memperbaiki citranya. Sebutan yang harus diterima oleh lembaga pemasyarakatan kerap kali mempengaruhi tugas dan tanggung jawab pengelola, khususnya para staf. Sehingga diantara petugas/ pembina kurang serius menjalankan misi pemasyarakatan. Bahwa sebelum ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan masih memakai Reglement Penjara stbl 1917 No 708. Reglement ini mengatur untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam penjara. Tetapi Reglement ini kurang pas atau tidak cocok untuk diterapkan, karena peraturan ini tidak efektif dipergunakan lagi. Bahkan narapidana masih ada yang menjadi penjahat kambuhan 13 atau residivis, lagi pula sistem pemasyarakatan pada waktu itu bukan untuk membina narapidana. Melainkan memberikan hukuman biasa saja, tidak merubah sikap dan prilaku narapidana itu sendiri, sehingga reglement tersebut tidak dipakai lagi,, sudah dihapuskan dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, undang-undang ini mengatur tentang bagaimana caranya merubah dan memperbaiki prilaku narapidana adalah dengan cara membinanya. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang diatur didalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Bagi lembaga pemasyarakatan tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat. Petrus Irwan Pandjaitan Simorangkir (1995:63) mengemukakan bahwa pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita adalah : 1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia. 2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup diluar masyarakat. 3. Narapidana hanya dijatuhi hukuman kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan supaya mempunyai mata pencaharian. 14 Selanjutnya lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana narapidana, melainkan sebagai tempat untuk membina dan mendidik orang-orang terpidana. Agar mereka setelah menjalankan pidana / hukuman, mereka mempunyai untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar lembaga pemasyarakatan, sebagai warga negara yang baik dan taat hukum. PAF. Lamintang (1998:181), mengemukakan “rumusan tentang tujuan dari pidana penjara yakni disamping menimbulkan rasa derita dari terpidana agar bertobat, mendidik ia menjadi seorang anggota masyarakat Sosialis Indonesia yang berguna. Dengan perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu ialah pemasyarakatan. Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara itu suatu pemasyarakatan, dan walaupun sebutan dari rumah-rumah penjara itu telah diganti dengan sebutan lembaga-lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi dalam praktek ternyata gagasan tersebut telah tidak didukung oleh suatu konsepsi jelas dan saranasarana yang memadai, bahkan peraturan-peraturan yang dewasa ini dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan hukuman-hukuman didalam penjara. Tujuan dari penempatan seseorang di dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia ironisnya tidak diketahui oleh pihak kejaksaan, bahkan kadanag-kadang juga oleh sebahagian dari para hakim, yakni yang masih memandang tujuan dari penempatan seseorang didalam lembaga pemasyarakatan itu sebagai pembalasan. Hal mana dapat diketahui dari tuntutan pidana dari jaksa, atau dari pertimbangan-pertimbangan tentang pidana yang perlu dijatuhkan bagi terdakwa 15 didalam putusan-putusan dari beberapa hakim, dimana mereka itu biasanya berbicara tentang perlunya terdakwa dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. (RA. Koesnoen, 1991:39) Tujuan dari pemidanaan atau tujuan dari penempatan orang didalam lembaga pemasyarakatan itu tidak akan pernah dapat dicapai dengan efektif dan efesien. Selama masih terdapat perbedaan pandangan diantara para penyidik, jaksa, hakim, dan para pelaksana pemasyarakatan tentang hakikat pemidanaan, khususnya tentang hakikat penempatan orang didalam lembaga pemasyarakatan, karena timbulnya kesadaran untuk kembali menjadi warga negara yang baik pada sebahagian para narapidana itu tidak dihentikan oleh kerja keras lembaga pemasyarakatan, melainkan ditentukan oleh kerja keras lembaga pemasyarakatan dan bantuan dari masyarakat itu perlu disembuhkan dan bukan untuk diasingkan dari masyarakat. Mengingat kenyataan bahwa sejumlah narapidana yang ditempatkan terlalu lama didalam lembaga pemasyarakatan itu menjadi lebih rusak prilaku mereka dibandingkan dengan keadaan mereka yang saat mereka dimasukkan kedalam lembaga pemasyarakatan. Kiranya cukup bijaksana orang berkenan mendengar nasihat mantan Menteri Kehakiman Belanda yang mengatakan bahwa ; hendaknya pidana itu merupakan suatu ultimatum remedium, yang apabila ia dipandang sebagai obat pemberiannya jangan sampai membuat penyakitnya sendiri menjadi lebih parah.( Bachtiar Agus Salim, 1987:2) 16 Dari uraian diatas bahwa lembaga pemasyarakatan sebenarnya bukanlah sekolah kejahatan yang merupakan tempat untuk makin mematangkan dan memahirkan kejahatan. Tetapi tempat orang-orang tersesat dan bertobat dengan mengayomi orang-orang tersesat dan memberikan pengajaran yang baik kepadanya. Pembinan dilakukan secara terpadu dan meyeluruh bertujuan untuk memperbaiki prilaku narapidana. 2. Tugas Dan Tanggung Jawab Pemasyarakatan Setiap orang mempunyai hak diperlakukan sama didepan hukum dan juga mempunyai hak untuk mendapat pengajaran yang baik. Begitu pula dengan narapidana, memperlakukan narapidana tidak boleh pilih kasih atau diskriminatif. Narapidana memiliki hak untuk merubah dirinya menjadi manusia yang berguna, petugas/pembina lembaga pemasyarakatan bertanggung jawab dalam membina narapidana, bila petugas / pembina tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Maka ia mendapat teguran oleh pimpinannya dan dikenakan sanksi. Dalam pemasyarakatan justru tobat atau jera diharapkan akan dapat dicapai melalui bimbingan, nasehat petunjuk, dan pembinaan yang dilandaskan kepada persamaan hak asasi wajib antara pembina dan narapidana atau anak didik pemasyarakatan. Tobat atau jera dan sekaligus kesadaran akan pentingnya bermasyarakat dari narapidana dan anak didik yang bersangkutan. Bukan atas dasar ketakutan atau tekanan-tekanan psikologis yang diberikan oleh petugas lembaga.( Romli Atmasasmita, 1982:76) 17 Untuk melihat sejauh manakah peran dan kedudukan yang dibawakan oleh Direktorat Jenderal pemasyarakatan adalah konsisten dengan tujuan “Criminal Justice”, maka terlebih dulu perlu diketahui apakah yang merupakan tujuan dari suatu “Criminal Justice”. Tugas dan tanggung jawab ini diatur didalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dalam pasal 46 yang berbunyi : Kepala lembaga pemasyarakatan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya. Selanjutnya di dalam pasal 47 berbunyi : 3. Kepala lembaga pemasyarakatan berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban dilingkungan lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya. 4. Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa : a. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi narapidana atau anak pidana, dan atau b. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dlam ayat (1) wajib : a. memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak beretindak sewenang-wenang, dan 18 b. Mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib lembaga pemasyarakatan. 6. Bagi narapidana atau anak pidana yang pernah menjalani hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua kali 6 (enam) hari. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab ini dilakukan sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Kepala lembaga pemasyarakatan, untuk kemajuan lembaga pemasyarakatan itu sendiri. Dan juga angka kriminalitas berkurang sehingga lembaga pemasyarakatan tidak lagi mengalami over capacity (kelebihan kapasitas). D. Sistem Pemasyarakatan Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam sistem kepenjaraan adalah Reglemnt Penjara. Undang-Undang ini telah digunakan sejak tahun 1917. Suatu Undang-Undang yang sudah tidak layak dipakai lagi untuk diterapkan, karena bersumber dari hukum kolonial Belanda. Adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Reglement Penjara tidak dipakai lagi, karena tidak memperhatikan nasib narapidana. Sistem pemasyarakatan menurut Soedjono Dirdjosisworo (1998:199) adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus. Dalam membina terpidana diperkembangkan hidup kejiwaannya, 19 jasmaniahnya, pribadi, serta kemasyarakatannya dan dalam penyelenggaraannya, mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat. Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam semua segi kehidupannya dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar lembaga disesuaikan dengan kemajian sikap dan tingkah lakunya serta lama pidananya yang wajib dijalani. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dari lembaga benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik. Dengan demikian system pemasyarakatan merupakan suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan untuk meningkatkan kulitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memeprbaiki diri, dan tidak mengulasngi tindak pidana. Sehingga dapat diterima kembali dimasyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pengertian sistem pemasyarakatan ini diatur didalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan bunyinya sebagai berikut : Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahnnya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana. Sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam 20 pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berbunyi : sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Permasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Beberapa pasal tersebut diatas, seorang narapidana tidak dibiarkan begitu saja, tanpa pembimbingan maupun pelajaran yang bermanfaat untuknya. Jelas sekali Undang-Undang ini sangat memperhatikan perkembangan narapidana dan kualitas petugas/pembina dalam memberikan binaan dan bimbingan. Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu tatanan yang mengenai arah dan membina Warga Binaan Pemasyarakatan agar bertobat dan menjadi manusia yang bertanggung jawab. Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan. Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna didalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, 21 melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan apa yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu kemasyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat. Jadi titik tolak pemikiran Sahardjo, bahwa bukan saja masyarakat diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga sipelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak keluar dari lembaga pemasyarakatan, agar berguna bagi bangsa dan negara. Gagasan Bambang Poernomo (1996:11) sepuluh prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan adalah : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Pebjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbngan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila. 22 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Dari uaraian tersebut bahwa sistem pemasyarakatan merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan untuk membina narapidana, apabila suatu sistem itu ada yang kurang ataupun mengalami kemunduran. Maka sistem tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar misalnya petugas/pembina kurang adanya tenaga ahli seperti tenaga medis, psikiater, psikolog, guru agama, dan sebagainya. Tentu pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana tidak terlaksana. Untuk itu sistem pemasyarakatan perlu diselenggarakan dengan baik untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya. Bambang Poernomo (1996:89) menyebutkan sistem pemasyarakatan sebagai realisasi pembaharuan pidana penjara mengandung upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang dilaksanakan dengan semangat kemanusiaan dan perlakuan cara baru terhadap narapidana yang disusun dalam pedoman (manual) pembinaan sesuai dengan pokok-pokok Standard Minimum Rules. Bahwa sistem pemasyarakatan buykan mengakibatkan jenis pidana penjara diganti menjadi kebijakan pelaksanaan pidana (penal policy) sebagai berikut : 23 1. Sistem pemasyarakatan mengandung kebijakan pidana dengan upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang institusional (Institusional Treatment Of Offender) yang berupa aspek pidana yang dirasakan tidak enak (Custodial Treatment Of Offender) yang melalui langkah-langkah selektif dapat menuju kepada de institusionalisasi atas dasar kemanusiaan. 2. Sistem pemasyarakatan mengandung perlakuan terhadap narapidana (The Treatment Of Privoner) agar semakin terintegrasi dalam masyarakat dan memeperoleh bimbingan yang terarah berlandaskan pada pedoman pelaksanaan pembinaan (manual) disesuaikan standard minimum rules. Membangun suatu lembaga pemasyaraaktan tidaklah semudah yang diperkirakan orang karena ia harus memperhatikan pelbagai aspek anatara lain; aspek keamanan, kesehatan, dan sekaligus pembinaan. Walaupun nampaknya sistem pemasyarakatan memiliki latar belakang histories dan politis dalam pertumbuhannya. Sistem ini tidaklah memiliki perspektif teoritis yang memadai. Hal ini disebabkan dari sejak kelahiran sampai kepada perkembangannya, tidak diperoleh dan ataupun informasi yang menunjukkan bahwa memang sistem ini sejak semula diperlukan guna pembinaan narapidana dan karena itu perlu mengganti sistem kepenjaraan. Bambang Poernomo (1992:23) mengatakan bahwa tujuan penjatuhan hukuman bukanlah menghukum semata-mata atau membuat sipelanggar hukum menderita. Akan tetapi membimbing mereka menjadi warga masyarakat Sosialis Indonesia yang berguna. Dengan pernyataan ini beliau hendak mengkaitkan 24 gagsannya dengan Sosialis Indonesia yang menjadi ideologi pemerintah Indonesia pada waktu itu. Akan tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang menuju kearah formulasi teoritis. Usaha beliau untuk mengungkapkan korelasi yang berarti antara gagasan pemasyarakatan dengan Sosialisme Indonesia tidak berhasil. E. Metode Pembinaan Narapidana Untuk berhasilnya pembinaan terpidana diperlukan peerlengkapan- perlengkapan, terutama bermacam-macam bentuk lembaga yang sesuai dengan tingkatan pengembangan semua segi kehidupan terpidana dan tenaga-tenaga pembina yang cukup dan penuh rasa pengabdian. Usaha pembinaan terpidana dimulai sejak hari pertama ia masuk dalam lembaga hingga pada saat ia dilepaskan dari lembaga setelahnya dilanjutkan denganusaha pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila masih diperlukan. Usaha pembinaan dilakukan, dengan mengingat pribadi tiap-tiap terpidana, secara progresif sesuai dengan cepat atau lambatnya kemajuan sikap, tingkah laku terpidana. Secara berkala perkembangannya diteliti oleh suatu dewan pemasyarakatan yang menentukan rencana pembinaan untuk selanjutnya, dan penempatannya dalam lembaga yang sesuai. Usaha pembinaan ditujukan terhadap hidup kejiwaannya untuk memperkembangkan daya cipta, rasa, karsa, agar jujur halus sopan, susila serta dapat mengekang nafsunya serta suka mengabdi kepada Tuhan. 25 Untuk melakukan pembinaan tersebut maka diperlukan metode pembinaan. Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efesien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam bertingkah laku. Pembina narapidana harus megenal banyak metode pembinaan, sebelum melakukan pembinaan. Membina narapidana tidak dapat menyamaratakan pembinaan narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang kehidupan yang heterogen. Ada beberapa metode pembinaan narapidana, yaitu : 1. Metode Pembinaan Perorangan (Individual Treatment) Pembinaan perorangan diberikan kepada narapidana secara perorangan oleh petugas pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah-pisah, tetapi dibina dalam kelompok bersama dan penanganannya secara sendiri-sendiri. Permbinaan didalam lembaga pemasyarakatan tingkat kematangan intelektual, emosi, logika dari tiap-tiap narapidana tidaklah sama. Ketidaksamaan ini menuntut diterapkannya pembinaan secara perorangan karena untuk mengetahui sampai dimana tingkat intelektual, emosi, logika dari tiap-tiap narapidana itu sendiri. Narapidana sering atau tidak diperhatikan oleh para pembina. Para pembina mengadakan pembinaan secara kelompok dianggap dan dikuasai lebih cepat penyajiannya dan lebih mudah penyampainnya. 26 Pembinaan secara perorangan akan banyak bermanfaat jika narapidana juga mempunyai keamanan untuk merubah dirinya sendiri. Tanpa keamanan untuk merubah diri sendiri, akan sulit dicapai hasil pembinaan yang maksimal sekalipun keamanan untuk merubah diri sendiri dapat timbul baru setelah dilakukan pembinaan secara perorangan, tetapi hal itu akan membantu narapidana untuk mampu melakukan perubahan bagi diri sendiri. Pembinaan secara perorangan juga akan meletakkan diri petugas dengan narapidana, sehingga tidak timbul rasa takut dari narapidana terhadap petugas. Karena rasa takut akan menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak dapat diterima oleh narapidana secara maksimal, suatu hal yang tidak kita harapkan. Jika narapidana tidak mempunyai rasa takut kepada para pembina, akan membuka bAnyak kemungkinan bagi narapidana untuk mengeluarkan isi hatinya, unek-uneknya, tujuan hidupnya, kendala yang dihadapi dan para pembina dapat memberikan alternatif bagi pemecahannya. Metode pembinaan ini lebih menekankan pada dalam diri dan diluar diri sendiri, yaitu : a. Dalam Diri Sendiri Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri sendiri, bila seseorang belum sadar akan diri sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan membina diri sendiri. Jika seseorang belum sadar akan diri sendiri, belum 27 mengenal diri sendiri. Suatu kosekwensi logis yang harus diterima oleh lembaga pemasyarakatan. Jika narapidana telah mengenal diri sediri, adalah penyediaan sarana dan prasarana pembinaan sesuai dengan kebutuhan pembinaan setiap individu. Kalau sarana dan prasarana tidak pernah ada dan tidak pernah tersedia, niscaya kemauan untuk merubah diri sendiri akan menjadio sirna, dan narapidana tidak mempunyai motivasi untuk merubah diri sendiri. Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana dapat melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa tujuan, dan melihat kemasa depan suatu kehidupan dengan pasti. Kehidupan yang akan dipilihnya, narapidana berhak untuk memilih hidup sebagai manusia biasa, memilih hidup bukan sebagai narapidana. Semua manusia pasti tidak berharap untuk hidup sebagai narapidana. Agar mampu untuk hidup sebagai tidak berharap untuk hidup sebagai manusia biasa, narapidana harus mampu mengubah dirinya, harus mengenal dirinya. Pengenalan diri bukan saja akan mampu merubah narapidana, tetapi juga pembentukan mental yang positif. Dengan mental yang positif, dengan mental yang baik, narapidana akan mampu membentuk diri sendiri sebagai manusia yang baik, yang akan diterima kembali oleh masyarakat. Pembinaan secara perorangan yang baik, adalah pembinaan yang telah tumbuh dari dalam diri sendiri. Semakin sering 28 melakukan pembinaan diri sendiri, semakin akan tahu bahwa banyak hal yang menguasai ilmu pengetahuan yang belum dikuasai. b. Dari Luar Diri Sendiri Pembinaan dari luar diri sendiri, dapat merupakan pembinaan yang berasal atau sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana, atau pembinaan dari luar yang dianggap oleh pembina perlu dilakukan. Pembinaan dari luar dapat berupa pembinaan secara umum, seperti penghayatan danb pengamalan pancasiala, kesadaran hukum, etika, agama, dan lain sebagainya. Sedangkan pembinaan secara khusus dapat berupa konsultasi pribadi, psikologi, pembinaan hukum, etika, pendidikan, keahlian dan lain sebagainya. Pembinaan dari luar diri sendiri, biasanya didasari atas analisa data pribadi seorang narapidana, yang mengharuskan seorang narapidana mendapat pembinaan yang telah ditentukan oleh pembina. Jadi kebutuhan pembinaan ditentukan oleh pembina, disini dituntut keahlian pembina untuk menyampaikan materi pembinaan sesuai yang diharapkan. Salah satu pembinaan dari luar diri sendiri yang paling penting adalah pengenalan diri sendiri, mengajak narapidana untuk mengenal segala sesuatu yang dimiliki oleh diri sendiri. Mengenal diri sendiri bearti mengenal segala sesuatu yang dimiliki oleh diri sendiri. Seperti sifat, kebiasaan, kelebihan, kekurangan, kepandaian, keterampilan, cara berpikir, hal-hal yang telah dilakukan dan hal-hal yang akan dilakukan, dan lain sebagainya. Dalam mengenal diri sendiri, pembina harus mampu menanggalkan semua beban pikiran, status keadaan diluar dirinya, sehingga 29 narapidana dapat meneliti diri sendiri dengan tenang, serius dan tidak terpengaruh oleh hal-hal diluar dirinya. Dengan begitu narapidana dapat mengetahui jati dirinya, siapa ia yang sebenarnya dan mampu merubah hidupnya, bahwa kita harus melakukan hal-hal yang positif yang bermanfaat untuk menjalani kehidupan kita sendiri. Jika kita tidak melakukannya, maka kita menjadi orang yang tersesat, tidak ada tujuan hidup, tidak memiliki semangat hidup. Untuk membina narapidana dengan baik pembina harus mampu meningkatkan emosional narapidana, memberikan pendidikan yang menunjang intelektualitas narapidana. 2. Pembinaan Secara Kelompok (Classical Treatment) Dalam pembinaan secara kelompok, peran kelompok harus tetap dilibatkan, baik secara individual maupun secara kelompok. Jadi bukan hanya pembina saja yang aktif, yang dibina juga harus aktif. Narapidana yang pasif harus ditumbuhkan, sehingga ikut aktif dan berpartisipasi dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus datang dari pembina, tetapi dapat juga datang dari narapidana, atau materi pembinaan yang menjadi kesepakatan bersama. Untuk mencapai hasil yang maksimal narapidana dapat menyusun pembinaan bagi dirinya sendiri, baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, kita harus mampu mengajak narapidana untuk memahami nilainilai positif yang tumbuh dimasyarakat atau kelompok. Untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok, karena setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. 30 Narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga). Sehingga nilai positif yang tumbuh dalam keluarga, kelompok masyarakat, akan sangat berguna sekali bagi pemahaman hidup bermasyarakat, hidup salaing ketergantungan. a. Nilai Positif Di Masyarakat Narapidana harus mengerti dan memahami, serta mampu menjalankan nilainilai positif yang tumbuh di masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat yang heterogen yang terdiri dari suku bangsa, budaya, dan agama. Namun demikian, kita memiliki nilai-nilai yang universal, yang berlaku umum, yang positif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam pembinaan narapidana secara kelompok, nilai-nilai positif yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat dapat disampaikan dengan metode ceramah, simulasi, diskusi, atau permainan peran. Metode pembinaan dengan ceramah dapat dilakukan dalam ruang kelas atau dalam ruang terbuka, dengan diselingi tanya jawab diakhir ceramah. Metode simulasi, dapat dilakukan dengan mengambil salah satu topik dari materi yang akan disampaikan, dengan diberikan masalah-masalah yang harus dipecahkan. Dengan menerapkan beberapa metode pembinaan secara kelompok, diharapkan materi pembinaan tidak terbuang secara sempurna. Sehingga materi pembinaan tidak terbuang secara percuma atau sia-sia. 31 b. Nilai Positif Dalam Keluarga Sebuah keluarga dibentuk dengan tujuan yang pasti, mempunyai tahap-tahap pembentukan dan mempunyai batas waktu mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut. Sebuah keluarga mempunyai nilai-nilai positif, mempunyai tata cara, mempunyai peraturan, sekalipun tidak dibuat secara tertulis. Nilai-nilai positif dalam keluarga akan menjadi pegangan dan motivasi, bagi anggota keluarga dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Nilai-nilai positif yang tumbuh dan hidup didalam keluarga antara lain; mencintai dan melayani, tolong-menolong, menghormati orang yang lebih tua, dapat dan mau mengerti orang lain, integritas keluarga, loyalitas terhadap keluarga, jujur, pemaaf, tidak serakah, dan masih banyak lagi. Menurut Manual Pemasyarakatan, pembina terhadap narapidana itu didasarkan padsa lamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim, dan dihubungkan dengan urgensi pembinaan, dikenal tiga tingkat pembinaan, masing-masing yakni : a. Pembinaan tingkat nasional yang berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana lebih dari lima tahun. b. Pembinaan tinmgkat regional yang berlaku bagi mereka yaqng dijatuhi pidana antara satu sampai dengan lima tahun. c. Pembinaan tingkat lokal yang berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana kurang dari satu tahun. 32 Untuk melaksanaan pembinaan-pembinaan tersebut diatas, dikenal empat tahap proses pembinaan, masing-masing yaitu : a. Tahap Pertama Terhadap setiap narapidana yang ditempatkan didalam lembaga pemasyarakatan untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban mereka dari petugas instansi lain yang menangani perkara mereka. b. Tahap Kedua Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama-lamnya sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan. Maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memperlakukan tingkat pengawasan medium security. c. Tahap Ketiga Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung setengah dari masa pidananya yang sebebnarnya, dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan baik secara fisik 33 maupun secara mental dari segi keterampilan. Maka wadah proses pembina diperluas dengan memperolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan assimilasi, dengan masyarakat luar, berolahraga, bersama-sama dengan masyarakat luar, mengikuti pendidikan disekolah-sekolah umum, bekerja diluar lembaga pemasyarakatan, akan dalam pelaksanaannya tetap masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan dari petugas lembaga pemasyarakatan. d. Tahap Keempat Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana telah berlangsung dua pertiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang menetapkan tentang pengusulannya, ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan. 3. Pembinaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Didalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa dilaksanakan berdasarkan asas : a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbngan; 34 sistem pembinaan pemasyarakatan e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Selanjutnya pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berbunyi : (1) Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan. (2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan : (1) Petugas pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. (2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 35 Pada pasal Pemasyarakatan 9 Undang-Undang berbunyi dalam Nomor rangka 12 Tahun penyelenggaraan 1995 Tentang pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dari pasal-pasal diatas, bahwa pembinaan dilakukan dengan cara tersebut diatas dapat meningkatkan kualitas diri atau potensi narapidana, kerjasama Menteri dengan instansi pemerintah pembinaan dapat dilakukan secara menyeluruh, serta dapat meningkatkan kualitas lembaga pemasyarakatan dan memperbaiki citra lembaga pemasyarakatan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi : (1) Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadiann dan kemandirian. (2) Program pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. (3) Program pembimbingan diperuntukkan bagi klien. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 36 Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan : a. Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Kesadaran berbangsa dan bernegara; c. Intelektual; d. Sikap dan Prilaku; e. Kesehatan jasmani dan rohani; f. Kesadaran hukum; g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. Keterampilan kerja dan; i. Latihan kerja dan produksi. Metode pembinaan narapidana dilaksanakan secara fundamental, yang mengarah pada peningkatan keimanan dan ketakwaan. Dengan begitu narapidana telah sadar atas perbuatannya selama ini adalah salah dan melanggar hukum. Serta dapat mengembangkan keterampilan dan ide-ide bagi narapidana yang memiliki potensi, narapidana juga diberikan kebebasan, pembinaan tidak hanya dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan saja. Tetapi dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan dengan diberikan pengawasan kepadanya. Selanjutnya pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi : 1. Kepala LAPAS wajib melaksanakan pembinaan Narapidana. 37 2. Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala LAPAS wajib mengadakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian atas kegiatan program pembinaan. 3. Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diarahkan pada kemampuan Narapidana untuk berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Didalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, menyatakan : (1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan. (2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu : a. tahap awal b. tahap lanjutan c. tahap akhir. (3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ketahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Wali Narapidana. 4. Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil pengamatan, penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan. 5. Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 38 Pada pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi : (1) Dalam melaksanakan pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS disediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. (2) LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dalam beberapa klasifikasi dan spefikasi. (3) Ketentuan mengenai klasifikasi dan spefikasi LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Kemudian didalam pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan berbunyi : (1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 (2) huruf a, bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, meliputi : a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan 1/2 (satu perdua) dari masa pidana; dan b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana. 39 (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c, dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan. 40