bab viii kesimpulan dan saran

advertisement
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
tneCpK[yon\
tancep kayon103
Dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati Manunggaling Kawula Gusti pada
arsitektur Jawa’ dihasilkan beberapa konsekuensi yang tidak hanya berlaku pada
ranah filsafat arsitektur tapi juga pada konsep perancangan arsitektural dan
pemahaman ‘Jawa’. Konsekuensinya kesimpulan terbagi menjadi beberapa bagian
baik arsitektur maupun non-arsitektur.
8.1. Konsekuensi Pemahaman Jawa
Penetapan bahwa Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan
Jawa atau yang lebih dikenal dengan Negarigung (Koentjaraningrat, 1994), perlu
dicermati, sebab penetapan itu hanya berlaku pada pemahaman politikkebudayaan. Penggunaan pemikiran Koentjaraningrat tersebut tepat jika disadari
betul bahwa alur telaahnya ada pada alur politik-kebudayaan. Dalam kasus
arsitektural pada penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini terbukti Klaten dan Bantul
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi ‘pusat’ dalam pemikiran
filsafat arsitektur Jawa. Bahkan jika ditarik kepada kesimpulan yang ekstrim, tiap
arsitektur Jawa adalah ‘pusat’ bagi sekelilingnya, karena di tiap karya arsitektur
Jawa terdapat ‘perkawinan’ bapa-angkasa dan ibu-bumi. Tiap karya arsitektur
Jawa adalah samudra manthan dan/atau axis mundi/the center of the world.
103
Adegan jejer yang dilakukan pada bagian akhir dari babak pathet manyura pada pagelaran wayang kulit
purwa. Adegan ini dapat dikatakan sebagai adegan penutup dari seluruh rangkaian cerita yang dibawakan
dalang pada suatu pagelaran wayang kulit purwa. Pada adegan ini, ditampilkan adegan hadirnya sejumlah
besar tokoh-tokoh wayang yang menjadi pemenang perang brubuh secara lengkap. Setelah itu, dalang akan
melakukan antawacana / dialog pendek sebagai penutup cerita. Dan selanjutnya, wayang gunungan atau
kayon akan diambil oleh dhalang dan ditancapkan di tengah-tengah geber/ kelir wayang (layar wayang)
menandakan bahwa seluruh pagelaran telah selesai. Dari peristiwa penancapan wayang berbentuk gunungan
atau kayon oleh dalang inilah kemudian timbul istilah tancep kayon. (Palgunadi, 2002, p. 166)
Jadi perlu kehati-hatian dan kecermatan memahami Negarigung dalam
penelitian arsitektur Jawa, apakah hal itu sesuai dengan bahasan dan alur pikir
yang ingin dibangun atau perlu membuat batasan teritori tersendiri.
8.2. Konsekuensi Filsafat Jawa
Tinjauan kritis juga berlaku pada tataran filsafat Jawa. Disertasi
Zoetmulder dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris sama sekali tidak menyebut
tentang Manunggaling Kawula Gusti. Pemahaman tersebut muncul pada bab VII
yang menjabarkan kondisi bersatunya antara Tuhan dan manusia. Namun saat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat Manunggaling Kawula Gusti
itu muncul sebagai judul utama. Tidak hanya dari penambahan kalimat saja pada
bagian judul buku, disertasi Zoetmulder memahami ‘perpaduan/penyatuan’ antara
Tuhan dan manusia sebagai sebuah keadaan/tempat yang statis, atau dengan kata
lain kondisi itu tercapai saat manusia telah meninggal (terekspresi dalam kata
mulih).
Dua hal ini yang kemudian menjadi catatan tersendiri dalam penelitian
‘konsekuensi filsafati’ ini. Hal tentang penambahan kalimat Manunggaling
Kawula Gusti
ternyata pada Serat Dewaruci, sebab tidak ditemukan kata
manunggaling dalam serat tersebut, yang ada adalah Pamoring. Jika kemudian
diperhatikan lebih kritis, penelitian Zoetmulder berada pada ranah filsafat
teologis. Konsekuensinya, perlu dilakukan ‘penterjemahan’ dari filsafat teologis
ke filsafat arsitektural. Dengan demikian dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’
ini digunakan kata pamoring yang mempunyai kaitan dengan pemahaman
amor/awor dan makna dari omah.
Hal lain yang menjadi konsekuensi pada filsafat Jawa adalah kisah
Dewaruci mempunyai kesetaraan makna dengan kisah samudra manthan dan
tantrisme,
ketiganya
berbicara
tentang
dialektika
monistik.
Penelitian
‘konsekuensi filsafati’ ini memang tidak menelusur secara sejarah atau mengkaji
secara arkeologi budaya, namun yang perlu menjadi catatan adalah adanya
kesamaan ide dasar dari ketiganya.
8.3. Konsekuensi Filsafat Arsitektur
Pada bagian ini akan disimpulkan konsekuensi yang terjadi pada filsafat
arsitektur, baik filsafat arsitektur Heidegger maupun filsafat arsitektur Jawa.
8.3.1. Filsafat Arsitektur Heidegger
Filsafat Arsitektur Heidegger merupakan karya dari Heidegger itu sendiri,
bukan hasil dari interpretasi pemikiran filsafat ke dalam ranah arsitektur. Filsafat
arsitektur memang juga mampu dikembangkan dengan melakukan interpretasi
pemikiran filsafati ke dalam ranah arsitektur, seperti dari pemikiran Derrida yang
diinterpretasi oleh Peter Eisenmann, atau pemikiran Deleuze-Guattari yang
diinterpretasi oleh Greg Lynn. Namun filsafat arsitektur dari Heidegger adalah
buah pikir dari Heidegger bukan hasil dari interpretasi. Pemikiran Heidgger juga –
diduga - terpengaruh dengan pemikiran filsafati ‘timur’ dengan kemampuan
pemikiran metafisikanya.
Filsafat arsitektur Heidegger bukan hanya Building Dwelling Thinking,
tapi terdapat
juga di The Things
dan ….Poetically,
Man
Dwells….
Konsekuensinya perlu dirumuskan ulang filsafat arsitektur Heidegger yang
menampung pemikiran dari ketiga kertas kerja tersebut. Filsafat arsitekur
Heidegger dapat dirumuskan sebagai berikut:
a) Bangunan Idea (The Things’ Building): pemahaman mendasar bahwa
‘bangunan’ bukan saja dipandang secara ‘fisik’ tapi juga ‘meta-fisik’.
‘Bangunan’ bisa berupa konstruksi berpikir yang menampung
idea/gagasan. ‘Bangunan’ dalam pemikiran Heidegger adalah sebuah
‘kelowongan’ yang mampu menampung sesuatu. ‘Bangunan’ bukanlah
semata fisik berbatas, tapi sebuah potensi penampungan yang
mengumpulkan dan menyatukan (das Verweilen).
b) Hunian Empat Dimensi (The Fourfold Dwelling). ‘Bangunan Idea’
tersebut antara lain menampung ‘idea/gagasan’ tentang ‘berhuni’.
Telah dijelaskan di atas bahwa ‘kelowongan’ yang terdapat dalam
‘bangunan idea’ tersebut bersifat mengumpulkan dan menyatukan.
Dalam ‘hunian empat dimensi’ inilah Heidegger mengumpulkan dan
menyatukan 4 unsur yaitu ‘bumi/earth’; langit/sky; ke-manusiaan/mortal dan ke-tuhan-an/divinities.
c) Berpikir
Puitik
(Poetically
Thinking).
Dengan
gagasan
‘mengumpulkan dan menyatukan’ empat unsur dalam ‘bangunan
idea’-nya Heidegger tidak hanya berpikir rasional, tapi juga berpikir
secara intuitif. Kemampuan berpikir rasional-intuitif inilah yang
diduga
terpengaruh
dari
pemikiran
‘timur’.
Rasional-intuitif
merupakan cara berpikir Heidegger secara puitik untuk menunjukkan
kebenaran hakiki suatu hunian/dwelling.
Heidegger menulis karya filsafat yang kemudian dikenal dengan Being
and Time (dalam bahasa Jerman berjudul‘Sein und Zeit’), karya inilah yang
kemudian dikenal sebagai karya masterpiece dari Heidegger. Akan tetapi perlu
menjadi catatan bahwa ternyata filsafat Being and Time bukanlah kerja Heidegger
yang utuh dan sempurna, sebab karya tersebut adalah karya yang ‘belum selesai’.
Heidegger hanya menyelesaikan satu bagian – itupun belum sempurna karena
masih menyisakan satu divisi lagi – dari tiga bagian yang direncanakan. Namun
Heidegger cukup rajin menulis dan banyak tulisan-tulisannya dalam bentuk
makalah kuliah atau seminar. Karena bentuknya yang cukup pendek dan ringkas,
penelitian tentang filsafat Heidegger – terutama untuk filsafat arsitektur – perlu
memperhatikan karya-karya lain untuk mendapatkan gambaran utuh terhadap
pemikiran Heidegger akan suatu hal.
8.3.2. Filsafat Arsitektur Jawa
Filsafat Arsitektur Jawa (yang bersumber pada filsafat Pamoring Kawula
Gusti) tidak berbicara pada tataran material/fisik, tapi pada tataran nonmaterial/meta-fisik atau juga sering juga disebut tan-ragawi, namun lebih khusus
lagi pada aspek spiritual. Namun cara berpikir filsafat arsitektur Jawa terjadi
secara gradual/ bertahap. Hal ini yang dipahami sebagai dialektika filsafat
arsitektur Jawa. Tahapan itu adalah :
a) Dialog Dualistik-Kontras, yaitu dialog yang lebih berada pada ranah
praksis keilmuan. Dialog ini lebih mengutamakan perbedaan. Dengan
acuan pada pemikiran Heidegger, dialog dualistik-kontras lebih
mengutamakan rasional dengan cara pemahaman ‘mata’ atau
‘pembacaan’ fisikal/material.
b) Dialog Dualistik-Mediatif, yaitu dialog yang berada pada ranah
teoritikal keilmuan. Tataran ini lebih mementingkan ‘kesamaan’.
Heidegger memahami ‘ranah’ ini melalui pemahaman intuitif. Di sini
bukan lagi memahami ‘yang hadir’ tapi sesuatu yang ‘tidak hadir’ di
balik ‘kehadiran’, atau sering disebut dengan pemahaman meta-fisik.
c) Monolog Monistik-Spiritual, adalah tingkat tertinggi yang berada pada
ranah filsafati keilmuan. Pada tataran inilah Heidegger tidak/belum
mampu ‘mengapainya’. Monolog monistik-spiritual adalah suatu
pemahaman akan adanya ke-tunggal-an/keperpaduan dari segala yang
berpasangan. Alat pahamnya bukan lagi rasional dan intuitif (cara
‘baca’dengan alat paham mata) tapi rasa/pure feeling (cara
‘dengar’dengan alat paham ‘telinga’). Arsitektur Jawa mengenal tipe
atap tajug yang melingkupi suatu tempat ‘khusus’ (biasanya cungkup
makam atau atap tempat ibadah – Masjid), namun ‘jejak/trace’
tersebut terlacak juga pada hunian orang Jawa yaitu dengan elemen
struktur ander.
Sedangkan dalam pemahaman sumbu horisontal,
monolog monistik-spiritual terjadi di bagian terjauh, yaitu di senthong
tengah pada hunian arsitektur Jawa omah; atau pada Masjid Agung
jika pada kompleks Masjid Agung (Surakarta dan/atau Yogyakarta).
Tahapan berpikir di atas, terutama pada monolog monistik-spiritual
merupakan pembeda sekaligus sebagai aspek yang belum/tidak dibahas dalam
filsafat arsitektur Heidegger. Filsafat arsitektur Jawa tidak hanya ‘mengumpulkan
dan menyatukan’ tapi lebih pada proses ‘perkawinan’. Jika dalam Heidegger
dikumpulkan 4 dimensi – yang sebenarnya hanyalah dialog dualistik – maka
dalam filsafat arsitektur Jawa ‘meng-kawin-kan’ dua sumbu, yaitu dua sumbu
horisontal – manusia dengan manusia; dan manusia dengan alam – serta satu
sumbu vertikal yaitu antara manusia dengan Sang Pencipta. ‘Pengumpulan dan
penyatuan’ tidak membawa dampak generatif bagi ‘penghuni’ arsitektural.
Namun dalam arsitektur Jawa, ‘perkawinan’ dua sumbu tersebut membawa
dampak bagi ‘penghuninya’ yaitu ‘anak’ yang berwatak vertikal, mengacu pada
filsafati Sangkan Paraning Dumadi (kesadaran akan dari mana asal dirinya dan
kemana dia akan kembali) dan watak ‘horisontal’, yang mengacu pada nilai
filsafati Memayu Hayuning Bawana (kesadaran akan tugas untuk memperindah
kehidupan di dunia). Pada saat bersamaan arsitektur Jawa menjadi sarana
‘pengingat/reminder bagi orang Jawa terhadap nilai-nilai filosofi yang ada dalam
kehidupan mereka. Dengan demikian arsitektur Jawa juga mengandung dan
menyimpan nilai-nilai spritualitas dalam elemen-elemen arsitekturnya.
8.4. Konsekuensi Arsitektur
Bagian ini berbicara tentang konsekuensi pada tataran praksis arsitektural,
yaitu konsekuensi pada konsep perancangan dan konsekuensi pada aplikasi.
8.4.1. Konsekuensi Konsep Perancangan
Konsep dwelling dari Heidegger mempunyai konsekuensi bahwa tidak
hanya mengumpulkan fourfold dalam karya arsitektur tapi mempunyai dimensi
preservation/ pemeliharaan. Dengan demikian penerapan konsep dwelling dalam
arsitektur mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam sekelilingnya.
Heidegger memang hanya berbicara bumi-langit; kemanusiaan-ketuhanan, namun
makna dari empat elemen tersebut sangat luas. Bumi tempat manusia hidup harus
dijaga dan dipelihara supaya tidak mempengaruhi keberadaan langit – dan ini
yang bisa dikatakan aspek mistik dari Heidegger – dan keberadaan dan
keberlangsungan ketuhanan.
Konsep manjing dari filsafat arsitektur Jawa mempunyai konsekuensi juga.
Konsep manjing tidak hanya sekedar mengumpulkan dan memelihara tapi
mempunyai konsekuensi pada aspek generatif / berkembang biak dalam proses
perkawinan yang bertujuan pada ‘keberlanjutan/sustainable’, keberlangsungan
proses kehidupan. Konsep manjing adalah konsep yang memahami sebuah proses
kebaharuan dalam kehidupan, sebuah proses yang terus-menerus terjadi. Dimensi
konsep ini adalah sumbu horisontal – tercermin dalam filsafat memayu hayuning
bawana – dan sumbu vertikal – yang tercakup dalam filsafat sangkan paraning
dumadi.
Dengan
kata
lain,
penerapan
konsep
manjing
merupakan
pertanggungjawaban manusia Jawa terhadap alam sekelilingnya dan kepada Sang
Maha Peng-ada.
8.4.2. Konsekuensi Aplikasi Arsitektural
Konsekuensi aplikasi arsitektural dalam sudut pandang filsafat arsitektur
Heidegger tidak banyak hal baru yang bisa disimpulkan, karena hal itu telah
disajikan dengan sangat tepat dalam karya Peter Zumthor. Kepekaan memahami
site dan potensinya, serta keputusan arsitektural yang demikian detail
menunjukkan pemahaman yang luar biasa terhadap pemikiran Heidegger.
Totalitas tersebut juga tercermin dalam buku-buku yang ditulis oleh Zumthor
yang merupakan aplikasi teori arsitektural dari pemikiran Heidegger. Bahkan
tidak berhenti pada hal itu saja, Zumthor juga memilih bekerja di kota
Haldenstein, sebuah kota kecil di Pegunungan Alpen di Swiss, bersama sebuah
tim kecil terdiri dari 15 orang104. Pemilihan hunian Zumthor tersebut setara
dengan pondok Heidegger di Todtnauberg.
Di sisi lain, karya Adi Purnomo yang ‘terbaca’ secara pemahaman filsafat
arsitektur Heidegger dan ‘terdengar’ dalam pemahaman filsafat arsitektur Jawa,
membuktikan
bahwa
karya
kontemporer
arsitek
Indonesia
mempunyai
kemampuan untuk ‘terbaca’ sekaligus ‘terdengar’. Karya arsitektur memang
mempunyai kemampuan yang multitafsir, namun saat karya arsitektur mampu
dipahami dari dua sudut pandang yang berbeda (‘manca’ dan ‘jawa’), pada saat
itulah karya tersebut mempunyai nilai lebih. Kehadiran karya Adi Purnomo juga
sebagai konsekuensi definisi ‘Jawa’ yang mengacu pada kualitas kepribadian.
Arsitektur ‘Jawa’ tidak lagi terpaku pada ‘joglo’ atau ‘limasan’ tapi menembus
ruang dan waktu, sebab yang dipahami bukan lagi fisik tapi ‘semangat’ ke-Jawaannya105. Dengan demikian ke-ego kesukuan menjadi ‘luntur’, sesuai dengan
makna dari pernyataan berikut: luwih jawa tinimbang wong jawa. Sebuah
pernyataan yang menembus batas-batas ke-suku-an dan lebih mendepankan
mental/kualitas hidup kepribadian individu.
104
Sumber: http://www.pritzkerprize.com/laureates/2009/bio.html
Seperti yang didengungkan oleh Prijotomo dan Galih W. Pangarsa bahwa ‘arsitektur tradisional’ sudah
mati. Arsitektur Nusantara selayaknya mengikuti jaman dan perkembangan masa (arsitektur nusantara
mengkini).
105
8.5. Saran
[golek\
golek106
Sikap sombong yang amat tidak terpuji jika beranggapan bahwa semua
aspek arsitektural Jawa telah terjawab dalam disertasi ini. Ada begitu banyak
‘catatan kritis’ yang harus dilanjutkan penelitiannya. Dari sekian banyak ‘catatan’
yang tertinggal dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini adalah sudut tinjau
yang digunakan. Sudut pandang penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini berada pada
ranah filsafat ke ranah arsitektur, sehingga banyak pemahaman yang bersifat ideal
dan teks book. Unsur fenomena yang terjadi di masyarakat ‘kurang’ mendapat
perhatiaan. Inilah yang dapat diisi dalam penelitian lanjutan dengan dasar
penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Dengan kata lain melakukan pemeriksaan
terhadap pemahaman-pemahaman yang telah terungkap dalam penelitian
‘konsekuensi filsafati’ ini dengan menghadirkan kenyataan-kenyataan lapangan.
Kenyataan lapangan tersebut bisa berupa kenyataan lapangan di masa lalu atau
bahkan pergeseran nilai yang terjadi di masa sekarang.
Sudut tinjau ‘wayang’ mungkin akan semakin menarik dan jauh lebih
lengkap jika kemudian yang dihadirkan adalah sosok ‘Semar’ sebagai salah satu
tokoh ‘asli’ hasil pemikiran orang Jawa (tidak terdapat dalam cerita Mahabharata
atau Ramayana versi India atau versi ‘manca’ lain). Sosok ‘Semar’ sangatlah tepat
dijadikan landasan awal pemahaman monistik-spiritual sebab dalam diri Semarlah terkandung ‘ke-dewa-an’ dan ‘ke-manusia-an’ (dalam pengertian tamsil);
106
Suatu adegan yang pada dasarnya sudah berada diluar babak pathet manyura dan sudah pula di luar babak
pagelaran wayang kulit purwa, tetapi sering dimainkan oleh dalang setelah ia menyelesaikan seluruh
pagelaran wayang kulit purwa. Adegan golek dilaksanan oleh seorang dalang wayang kulit purwa
menggunakan wayang golek, yang kemudian disingkat penyebutannya menjadi golek. Istilah golek berarti
boneka. Dalam hal ini wayang yang dimainkan oleh dalang berbentuk wayang golek dan menggambarkan
seorang penari wanita, lengkap dengan riasan dan pakaian tarinya. Tujuan dari adegan ini adalah untuk
menyuruh penonton ‘mencari makna dan hakikat inti cerita pada pagelaran wayang kulit purwa’ yang telah
dibawakan sang dalang. Istilah golek dalam bahasa Jawa mempunyai dua pengertian yang berbeda. Pertama,
istilah golek dapat diartikan sebagai boneka. Kedua, istilah golek dapat juga diartikan sebagai mencari.
Kalimat golekana atau galeka berati carilah. Rupanya, sejumlah dalang ingin mengatakan dengan
menggunakan bahasa sandi/bahasa perlambang, bahwa seseorang yang telah menonton pagelaran wayang
kulit purwa seharusnya bisa mencari dan menemukan berbagai hikmah, pelajaran hidup, filsafat, atau
wejangan yagn dikandung dalam seluruh rangkaian cerita wayang yang telah dibawakan oleh dalang.
(Palgunadi, 2002, p. 167)
bukan laki bukan perempuan; tidak menangis, tidak tertawa serta perwujudan dari
liring sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil (KGPAA Mangkunagoro IV,
1975). Secara arsitektural juga dikenal dengan tipe Joglo Semar Tinandhu,
Limasan Semar Tinandhu, Limasan Semar Pinondhong dan Rumah Kampung
Semar Pinondhong, juga terdapat tipe atap untuk Masjid yaitu: Tajug Semar
Sinongsong, Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung dan Tajug Semar
Tinandhu (Hadiwidjojo & Prijotomo, 1993). Pertanyaan mendasar mengapa
elemen atap tersebut memakai sebutan ‘Semar’ dalam tipe atap yang digunakan?
Apakah ada kaitannya dengan monistik-spiritual? Hal-hal itulah yang belum bisa
terjawab tuntas dalam penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini. Sebuah peluang
‘penelitian’ lanjutan.
Hasil penelitian ‘konsekuensi filsafati’ juga bisa di-seret ke ranah urban
planning. Pemahaman Santoso terhadap kota-kota di Jawa (Santoso, 2008) dapat
menjadi ‘teori pembanding’ terhadap monolog monistik-spiritual, dengan
pertanyaan mendasar apakah dalam pemahaman kota Jawa terdapat aspek
spirtual? Asumsinya jika monistik menjadi nilai filsafati yang ada dalam
kehidupan orang Jawa, maka segala aspek ‘bentukan fisik’ akan mengacu pada
nilai tersebut, termasuk dalam perencanaan kotanya.
Aspek lain yang bisa diangkat dengan dasar penelitian ‘konsekuensi
filsafati’
ini
adalah
pada
kesetaraannya
terhadap
kebudayaan
di
Indonesia/nusantara yang berbasis pada kebudayaan agraris. Apakah monistikspiritual juga terjadi pada bentukan arsitektural pada kebudayaan berbasis agraris?
Atau bisa juga diperluas hingga suku bangsa berbasis maritim, seperti Bugis yang
mengenal posi’bola, sebagai tiang induk dalam hunian suku Bugis (Arifuddin &
Darjosanjoto, Vol.3. No.2. March, 2011, Part IV). Dan masih banyak aspek yang
bisa dikembangkan lagi.
Saran-saran diatas merupakan jabaran dari peluang-peluang penelitian
lanjutan. Saran tersebut disampaikan sebagai sebuah konsekuensi manfaat
penelitian yang membuka wawasan baru di bidang penelitian arsitektur.
Kumpulan saran yang berupa kumpulan topik penelitian tersebut seakan memberi
kesan bahwa penelitian ‘konsekuensi filsafati’ ini belum selesai dan hanya
memunculkan topik penelitian baru. Pada kenyataannya saran itu dimunculkan
karena memang ‘ruang lingkup’ penelitian arsitektural di bidang filsafat arsitektur
belum banyak dilakukan sehingga menimbulkan kesan tersebut. Inilah lahan
garapan yang begitu luas dan belum tergarap dengan baik.
Download