imajinasi dan transendensi: pembacaan destruktif heidegger atas

advertisement
IMAJINASI DAN TRANSENDENSI:
PEMBACAAN DESTRUKTIF HEIDEGGER
ATAS DOKTRIN SKEMATISME KANT
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai
Gelar Sarjana Filsafat Islam
Pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Diajukan oleh
Adry Nugraha
NIM: 0033118781
JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH .................................................... 1
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH .......................... 5
C. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 7
D. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8
E. METODE PENELITIAN ..................................................................... 9
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ....................................................... 9
BAB II
GAGASAN TRANSENDENSI DALAM KANT DAN
HEIDEGGER DAN PEMBACAAN DESTRUKTIF ATAS
“CRITIQUE” ........................................................................................... 11
A. TRANSENDENTALISME KANT DALAM “CRITIQUE OF PURE
REASON” ............................................................................................. 13
1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya Immanuel Kant ......................... 13
2. “Kritik Rasio Murni” sebagai Filsafat Transendental ...................... 14
3. Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis
Skema (Skematisme) dan Peran Imajinasi .......................................... 20
B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI
PEMAHAMAN ADA ......................................................................... 27
1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya ................................................... 27
2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi .................... 28
3. Destruksi Heidegger atas “Critique” Kant: Sebuah Tinjauan
Umum .................................................................................................. 34
VI
BAB III DESTRUKSI SKEMATISME: MEMBACA ULANG RELASI
ESENSIAL ANTARA IMAJINASI, INTUISI WAKTU DAN
RASIO MURNI ....................................................................................... 39
A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN
KE ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI ...........................
40
1. Representasi Waktu dalam Tiga Horizon Waktu: Imajinasi
Transendental sebagai Asal Mula Waktu ............................................ 43
2. Representasi Waktu sebagai Keseluruhan: Waktu sebagai Dasar
bagi Imajinasi Transendental (Temporalitas) ...................................... 46
B. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN KEDUDUKAN RASIO
DALAM DESTRUKSI HEIDEGGER ................................................ 48
C. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN GAGASAN TENTANG
TRANSENDENSI TERBATAS .......................................................... 53
D. IMPLIKASI KONSEP TRANSENDENSI HEIDEGGER
TERHADAP PEMIKIRAN ETIKA DAN KEAGAMAAN ............... 58
1. Destruksi atas “Critique” sebagai Ontologisasi Pemikiran Kant:
Konsekuensi Penting dalam Pemikiran Etika ...................................... 59
2. Transendensi dan Kecenderungan Religius: Pemahaman Ada
sebagai Efek Ketidakhadiran ............................................................... 64
BAB IV PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ......................... 70
A. KESIMPULAN .................................................................................... 70
B. REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN LEBIH LANJUT …….... 72
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 75
VII
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang telah
mengizinkan penulis merampungkan skripsi ini.
Sebagaimana kerja-kerja ilmiah lain, skripsi ini berisikan pembahasan
tentang sesuatu yang sebenarnya bukan hal asing. Tapi terkadang orang menjadi
kehilangan perhatian terhadap sesuatu yang telah begitu akrab, sehingga ketika
diungkapkan, ia menjadi tampak asing. Yang asing, namun sekaligus akrab, yang
penulis maksud di sini adalah fenomena transendensi. Ia akrab karena setiap
aktivitas pemahaman kita selalu ditandai oleh fenomena ini, namun menjadi asing
ketika ia berusaha ditegaskan (asserted) secara reflektif atau teoritis.
Dalam Islam, sebuah ajaran di mana hati kita tinggal di dalamnya, kita
dilatih untuk menjadi akrab dengan sesuatu yang transenden dan asing. Allah,
malaikat, iblis, surga, neraka adalah transenden dan “asing”. Semua itu berusaha
diakrabkan karena kita, demikian Islam mengajarkan kepada kita, selalu berada
dalam determinasi atau pengaruh hal-hal asing itu (petunjuk Allah, pembagian
kerja para malaikat, godaan iblis, atau harapan akan kebahagiaan sempurna di
surga), terlepas manusia mengakuinya atau tidak. Untuk mengakrabkan yang
asing itu, Islam pada saat yang sama melatih kita untuk menjadi asing terhadap
sesuatu yang akrab—misalnya dengan bertanya bagaimana: Kita diajak berpikir
tentang bagaimana kehidupan itu muncul dari kematian (misalnya, manusia yang
bermartabat muncul dari setetes air yang hina) atau bagaimana segala sesuatu itu
memiliki ukuran-ukuran yang proporsional dan akurat.
Dalam skripsi ini, penulis tidak hendak membahas konsep transendensi
dalam Islam, tetapi konsep transendensi dua pemikir Eropa yang terletak bermil-
iv
mil jauhnya dari kehidupan Islam. Mungkin saja konsep transendensi dua pemikir
ini tidak memiliki kaitan sama sekali dengan konsep transendensi dalam Islam.
Namun demikian, fenomena transendensi adalah fakta universal. Universal bukan
karena isinya tetapi bentuknya. Setiap kebudayaan mungkin memiliki ajaran atau
penafsiran yang berbeda tentang apa itu yang transenden, tetapi mungkinnya
penafsiran-penafsiran ini berdasar pada semacam struktur yang sama. Struktur
dari fenomena transendensi inilah yang berusaha penulis bahas dalam skripsi ini.
Menurut penulis, ada keuntungan tersendiri membahas struktur transendensi
dengan melacaknya pada para filsuf Eropa, terutama yang lahir di zaman modern,
karena konsep transendensi yang dibangunnya adalah hasil pergulatan dengan
berbagai perubahan orientasi dan pergeseran nilai masyarakat Eropa, suatu
perubahan yang lambat laun juga mulai dirasakan oleh kita, orang-orang yang
tinggal di Timur.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
pertama-tama kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Tatang Haetami dan
ibunda Yayat Khoeriyah atas dukungannya dan kesabarannya menunggu detikdetik terakhir masa kuliah penulis. Kemudian kepada Dr. H.M Amin Nurdin M.A.
(Dekan Fakultas Ushuludin), Drs. Agus Darmaji M.Fils. (Ketua Jurusan AqidahFilsafat), Drs. Ramlan A Ghani (Sekretaris Jurusan Aqidah-Filsafat), dan Dr.
Fariz Pari, M.Fils., selaku pembimbing skripsi, penulis ucapkan terima kasih atas
kebaikannya meluangkan waktu dan memberikan kesempatan kepada penulis
menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa penulis lupakan juga seluruh dosen Fakultas
Ushuludin dan Filsafat atas jasa mereka yang telah menempa intelektualisme
penulis.
v
Penulis juga berterima kasih kepada saudara-saudara tercinta yang juga
turut menunggu dan banyak membantu dalam kerja ini: H. Muhammad Iqbal, Lc.,
Dzulfikar S.Pd., Silma Juwita A.Ma., Budi Haryanto S.Pd., Kemal Abdul Malik
S.Ag., Nandang Nur Muhammad S.Ag, Eman, Abduh, Yanto, Mawan, Pendi,
Angga, Atep, Bambang, dan Fatoni. Terakhir, namun tetap istimewa, penulis
berterima kasih kepada teman-teman penulis: Akib, Saidiman, Cimong, Jejen,
Seif, Dubun, Agus, Lilis, Evi, Hajid, Acun, Faat, Shaleh dan Shaleh, Nugi, Zaim,
Iqbal Hasanudin, Bana dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan. Mereka
adalah teman-teman yang menyenangkan. Semoga skripsi ini secara khusus
bermanfaat untuk mereka, untuk dikomentari secara kritis atau mungkin dibantah
sama sekali.
Ciputat, Desember 2008
ADRY NUGRAHA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Di sepanjang sejarahnya, manusia tidak pernah berhenti berikhtiar
menafsirkan fenomena-fenomena transendensi yang mereka saksikan. Fenomena
transendensi yang saya maksudkan di sini merujuk pada dua hal: ia bisa merujuk
pada “sesuatu yang tersembunyi di seberang” penampakan yang terlihat, bisa juga
merujuk pada semacam “kemampuan untuk melampaui apa yang tampak sebagai
fenomena”—untuk yang terakhir ini saya menyebutnya kapasitas transendental.
Dalam kebudayaan-kebudayaan primitif, fenomena transendensi mula-mula
disadari dalam peristiwa gerak atau adanya kehidupan. Dalam kepercayaan
animisme misalnya, terdapat penafsiran bahwa di balik sesuatu yang hidup atau
yang bergerak, ada sesuatu yang tersembunyi yang memungkinkan gerak tersebut.
Sesuatu yang tersembunyi itu ditafsirkan sebagai roh atau entitas-entitas spiritual
yang karena ia hidup dan memiliki kehendak, maka manusia dianggap perlu untuk
memberinya persembahan-persembahan.
Penafsiran atas fenomena transendensi ini terus berlangsung, bahkan pada
zaman modern di mana sains mulai tumbuh dan spekulasi-spekulasi mistis mulai
ditransformasi ke dalam penyelidikan-penyelidikan rasional dan empiris
(metafisika). Kita dapat memulainya dari Descartes (1596-1650). Sebagai bapak
filsafat modern, Descartes memperkenalkan suatu metode penyelidikan yang
belum pernah dilakukan oleh para filsuf sebelumnya, yaitu metode keraguan.
Dengan metode keraguan, dia meragukan semua hal yang dia indera sebagai
sesuatu yang sejati (self-evident). Dalam keraguannya dia mengatakan bahwa bisa
2
saja apa yang kita lihat, dengar dan rasakan ini adalah ilusi atau pantulan dari
kenyataan yang sesungguhnya; bisa jadi apa yang kita lihat dan rasakan ini adalah
tipuan sempurna dari sesosok roh jahat. 1 Semua hal yang tertangkap oleh indera,
menurut Descartes selalu dapat diragukan dengan cara seperti ini; sebuah fakta
yang menunjukkan bahwa pengalaman inderawi kita adalah sesuatu yang tidak
kokoh, tidak sempurna dan senantiasa membutuhkan semacam fondasi yang ajeg.
Hanya ada satu hal yang tidak bisa diragukan menurutnya, yaitu fakta “aku yang
meragukan”. Kita dapat meragukan semua hal yang kita alami, tetapi “aku yang
meragukan” itu sendiri bukanlah sesuatu yang dapat diragukan. Pada titik ini,
Descartes sampai pada gagasan tentang “aku yang meragukan” sebagai “aku
berpikir” (cogito). Menurutnya, substansi “aku berpikir” inilah yang merupakan
fondasi bagi pengalaman. Sebagai fondasi yang self-evident, substansi “aku
berpikir” (res cogitans) bukanlah sesuatu yang berkeluasan sebagaimana dunia
yang kita alami (res extensa); ia melampaui (transcende) atau berada di seberang
(meta) kenyataan inderawi (physica). 2 Kita dapat menyebut cogito Descartes
sebagai “yang transenden”.
Bersamaan dengan lahir dan berkembangnya sains-sains positif,
pandangan Descartes di atas selanjutnya memancing perdebatan baru di wilayah
epistemologi dan metafisika. Kita dapat menyebut filsuf-filsuf seperti Leibniz,
Kant, Hegel, Hume, atau Husserl yang masing-masing melahirkan mazhabmazhab baru pemikiran. Namun demikian, perspektif cogito Descartes rupanya
1
Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd
Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 26
2
Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd
Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997). H. 30. lihat juga David West , An
Introduction to Continental Philosophy, (Cambridge: Polity Press, 1996), h. 13
3
masih terus dipertahankan sehingga pemikiran mereka tampak seperti sebuah
penafsiran ulang konsep cogito tersebut. 3
Upaya-upaya manusia untuk menafsirkan “yang transenden” barangkali
tidak dengan sendirinya menegaskan adanya “yang transenden” sebagai substansi
rahasia yang menjadi fondasi kenyataan--entah itu subek cogito, roh absolut,
tabula rasa, atau pun ego transendental--, tetapi jelas bahwa munculnya penafsiran
semacam ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kapasitas transendental.
Dengan kata lain, adanya penafsiran ini menunjukkan bahwa manusia mampu
melampaui (transcend) apa yang hadir sebagai fakta. Menurut saya, kapasitas
semacam ini penting dan menarik untuk diselidiki. Pasalnya, kapasitas
transendental ini tidak hanya terimplikasi dalam peristiwa penafsiran tentang
adanya “yang transenden” tetapi juga ditunjukkan dalam peristiwa pemahaman
sehari-hari manusia.
Pemahaman manusia adalah sejenis kapasitas transendental. Ketika
seorang penulis menulis sebuah karya dengan penanya, dia memahami apa itu
pena, buku, meja tempat dia menulis, dan pemahaman atas dirinya sebagai
seorang penulis. Aspek transendentalnya terletak pada kenyataan bahwa pena,
buku, atau pun meja yang hadir dalam indera-indera sensorisnya sebagai
kumpulan sensasi berupa warna, bentuk, kepadatan, bau, atau pun keluasan itu
tidak hadir dalam kesadarannya sebagai sensasi-sensasi inderawi yang berserakan
(chaotic), melainkan “melampaui”-nya (transcend), yaitu sebagai “sesuatu” yang
utuh, tertentu, dan dapat digunakan.
3
David West , An Introduction to Continental Philosophy, (Cambridge: Polity Press,
1996), h. 8-41
4
Jika
kita
mengartikan
transendensi
sebagai
“kemampuan
untuk
melampaui”, kita juga akan menemukan bahwa transendensi memiliki dimensi
keterarahan. Merujuk kembali pada contoh di atas, mungkinnya sang penulis
memahami pena yang digunakannya sebagai sesuatu yang utuh, tertentu dan dapat
digunakan, adalah karena pemahaman dia bukan hanya terarah pada sensasisensasi inderawi yang hadir dalam pikirannya, tetapi juga terarah pada “yang
bukan sensasi-sensasi inderawi” atau, lebih tepatnya, pada yang “bukan-entitas”
(non-entity). Dengan kata lain, kapasitas yang mengarahkan pikirannya pada nonentitas memungkinkan dia memahami sensasi-sensasi inderawi yang hadir
kepadanya sebagai “entitas” yang tertentu. Di sini, kita karenanya dapat
mendefinisikan fenomena transendensi lebih spesifik, yaitu sebagai keterarahan
pada yang bukan-entitas (non-entity), yang karena bukan-entitas, ia tidak dapat
didefinisikan.
Tetapi, jika pengetahuan dimungkinkan oleh adanya keterarahan pada nonentitas yang tak terdefinisikan, maka apakah yang dapat kita bicarakan tentang
non-entitas tersebut? Penyelidikan filosofis seperti apakah yang dapat dibangun
untuk menunjukkan bahwa keterarahan pada non-entitas ini bersifat konstitutif
terhadap pengetahuan akan entitas? Dalam pergulatan filsafat modern yang secara
umum dipengaruhi oleh paradigma Cartesian, pertanyaan semacam ini hampir
tidak ada sama sekali. Benar bahwa ketika Descartes meragukan representasi
inderawi sebagai representasi yang mensyaratkan adanya fondasi self-evident, dia
telah menangkap dimensi transendensi dalam pemahaman. Tetapi, segera setelah
Descartes menegaskan fondasi itu adalah “aku berpikir” sebagai res cogitans (res
= sesuatu/entitas) yang di dalamnya terkandung ide-ide bawaan (innate ideas),
5
hakikat transendensi sebagai keterarahan pada non-entitas menjadi luput dalam
penyelidikannya.
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Dalam skripsi ini, saya hendak mengulas pemikiran Heidegger tentang
transendensi. Saya memilih Heidegger karena dalam filsafatnya, gagasan
transendensi dikemukakan secara eksplisit. Dia mengatakan bahwa transendensi
itu tidak lain adalah pemahaman Ada. Dimensi keterarahan transendensi pada
non-entitas juga menjadi jelas dalam pemikirannya karena pemahaman Ada itu
bagi Heidegger adalah pemahaman terhadap non-entitas. Ada (Being) adalah nonentitas (non-beings). Pemikiran Heidegger tentang Ada ini dapat ditemukan dalam
karya utamanya, “Being and Time”, di mana dia mengungkapkan fenomena
pemahaman Ada, karakter dan strukturnya.
Namun demikian, dalam skripsi ini saya tidak mengulas pemikiran
transendental Heidegger secara langsung, dengan semata-mata merujuk pada
“Being and Time”, melainkan melalui pembacaan destruktifnya terhadap
“Critique of Pure Reason” Kant. Destruksi adalah pembacaan yang berusaha
mengeksplisitkan gagasan pemahaman Ada dalam suatu teks filosofis. Rencana
pembacaan destruktif ini sebenarnya merupakan bagian integral dalam “Being and
Time”, di mana Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga tokoh utama
dalam filsafat: Aristoteles, Descartes, dan Kant.
Pembacaan destruktif Heidegger atas Kant dapat ditemukan dalam “Kant
and the Problem of Metaphysics”, karya lain yang ditulis setelah “Being and
Time”. Dalam buku ini, Heidegger menafsirkan filsafat Kant dalam perspektif
pemahaman Ada. Kant sendiri memang mengatakan bahwa filsafatnya adalah
6
filsafat transendental, tetapi “filsafat transendental” yang dimaksud Kant di sini
adalah penyelidikan filosofis tentang cara bagaimana subjek memiliki
pengetahuan tentang objek. Terminologi “pemahaman Ada” Heidegger adalah
sesuatu yang asing bagi Kant. Namun demikian, menurut Heidegger, gagasan
pemahaman Ada sebenarnya selalu terimplikasi dalam setiap teks filosofis, dan
tugas pembacaan destruktif adalah mengeksplisitkannya. Karena itu, tidak heran
jika dalam “Kant and the Problem of Metaphysics”, Heidegger menafsirkan
filsafat transendental Kant sebagai filsafat tentang pemahaman Ada. Cara
pembacaan Heidegger ini memang membuat kita sulit membedakan mana
pemikiran Kant dan mana pemikiran Heidegger. Tetapi ini memberi keuntungan
tersendiri, karena Heidegger dengan demikian tidak hanya mempraktikkan suatu
jenis pembacaan tetapi juga mengemukakan gagasan transendensinya secara lebih
jelas dalam terminologi-terminologi tradisional yang lebih umum.
Terkait dengan pembacaan destruktif Heidegger, ada beberapa hal yang
perlu dikemukakan. Pertama, Heidegger bertolak dari doktrin skematisme Kant
untuk menemukan tesis tentang pemahaman Ada dalam pemikirannya. Doktrin
skematisme sendiri adalah doktrin penerapan konsep-konsep pada objek-objek
pengalaman, di mana terdapat tiga faktor pengetahuan yang terlibat dalam proses
tersebut: intuisi, rasio, dan imajinasi. Kedua, bertolak dari pembacaannya atas
beberapa problem dalam skematisme Kant, Heidegger menegaskan bahwa esensi
transendensi (kapasitas transendental), atau yang dalam Kant disebut pengetahuan
murni,
terletak
pada
imajinasi
transendental.
Ketiga,
karena
imajinasi
transendental merupakan faktor esensial dalam pembentukan pengetahuan murni,
Heidegger melakukan pembacaan ulang terhadap konsep imajinasi tersebut dan
7
melihat kaitannya dengan rasio murni dan intuisi murni (waktu). Keempat,
bersamaan dengan itu, Heidegger juga pada akhirnya mengkaji ulang konsep rasio
murni dan intuisi murni (waktu) Kant dan dari sana menarik beberapa
konsekuensi cukup penting dalam pemikirannya tentang transendensi sebagai
pemahaman Ada.
Tesis-tesis di atas adalah tesis-tesis hasil destruksi, yang terbentuk dari
minat Heidegger terhadap tema transendensi, esensi, struktur, serta perannya
dalam pembentukan pengetahuan manusia tentang objek atau dunia. Jika kita
hendak menyederhanakan alur pembacaan destruktif Heidegger tersebut, kita
dapat mengatakan bahwa pembacaannya itu bertolak dari doktrin skematisme dan
berakhir pada konsepsi imajinasi transendental. Tentu saja, dalam destruksinya
terdapat juga tema-tema lain yang menjadi target pembacaannya, tetapi itu
dilakukan sejauh dalam kaitannya dengan imajinasi transendental; sebagai
konsekuensi dari hasil pembacaannya atas konsep imajinasi. Karena itu, fokus
ulasan tentang destruksi Heidegger atas Kant dalam skripsi ini diarahkan pada
tema skematisme dan imajinasi transendental.
C. TUJUAN PENELITIAN
Dengan menjelaskan konsep transendensi dalam Kant dan Heidegger serta
pembacaan destruktif atas pemikiran Kant, skripsi ini bertujuan:
1. Memahami fenomena dan struktur pemahaman transendental (kapasitas
transendental) dengan merujuk pada pemikiran Kant dan Heidegger.
2. Memahami gagasan transendensi Kant dalam perspektif pembacaan destruktif
Heidegger.
8
3. Mengulas tesis-tesis destruksi Heidegger atas doktrin skematisme Kant dan
membandingkannya dengan tesis-tesis Heidegger dalam “Being and Time”.
4. Mempertimbangkan
konsekuensi
pembacaan
destruktif
tersebut
dan
kemungkinan penafsiran baru dari titik tolak pemikirannya.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Barangkali telah banyak literatur-literatur berbahasa Indonesia yang
mengulas secara khusus pemikiran Heidegger. Sepanjang pengetahuan penulis,
literatur-literatur tersebut umumnya mengulas pemikiran Heidegger dalam Being
and Time, yaitu, pemikiran tentang Dasein yang dimaksudkan Heidegger sebagai
analisis eksistensial dalam rangka ontologi fundamental. Salah satu literatur yang
mengulas pemikiran Heidegger di level ini adalah buku yang ditulis oleh Dr.
Franky
Budy
Hardiman,
Heidegger
dan
Mistik
Keseharian:
Suatu
PengantarMenuju “Sein und Zeit” (Jakarta: Gramedia, 2003). Ada juga tulisan
lain berupa esai yang mengulas pemikiran Heidegger yang dibandingkan dengan
pemikiran Nietzsche, yaitu esai Fitzgerald K. Sitorus yang bertajuk Mengatasi
“Surga”, Mengiyakan “Dunia”: Tentang Pembacaan Heidegger atas Nietzsche
(Jurnal Filsafat Driyarkara: TH. XXVI NO 1). Ulasan yang sama juga ditemukan
dalam bab terakhir buku Nietzsche yang ditulis oleh St. Sunardi (Yogjakarta:
LKiS, 2001).
Hingga saat ini, penulis belum menemukan buku atau pun esai berbahasa
Indonesia yang secara khusus mengulas destruksi Heidegger terhadap doktrin
skematisme Kant. Karena itu, ulasan tersebut dirasa perlu, dan skripsi ini ditulis
untuk maksud tersebut, walaupun tentu saja ulasan saya tentang destruksi
Heidegger atas Kant masih sangat terbatas.
9
E. METODE PENELITIAN
Penulisan skripsi ini menggunakan metode analitis-kritis dan sepenuhnya
didasarkan pada khazanah kepustakaan. Referensi-referensi yang diacu dalam
skripsi ini dibagi ke dalam dua bagian: referensi primer dan referensi sekunder.
Referensi primer adalah referensi yang ditulis langsung oleh pemikir yang tengah
dikaji, baik dalam bentuk buku, esai, artikel, wawancara, surat, ataupun catatancatatan yang tidak terpublikasi. Sementara referensi sekunder adalah referensi
yang ditulis oleh para komentator yang berisikan komentar atas pemikiran tokoh
dalam salah satu segi atau berbagai segi gagasannya.
Penelitian ini tidak berusaha membandingkan secara rigid pemikiran
Immanuel Kant dengan Heidegger melainkan semata-mata mengulas pemikiran
Heidegger. Karena itu, analisis akan terutama diarahkan pada pemikiran
Heidegger dan pembacaannya terhadap Kant, bukan pemikiran Kant itu sendiri.
Dalam penulisan skripsi ini, saya mengacu pada teknik penulisan skripsi
yang dirumuskan oleh tim CEQDA, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) (Jakarta: CEQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007)
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian tentang latar belakang, perumusan dan tujuan
penelitian yang telah dikemukakan di atas, sistematika pembahasan akan disusun
sebagai berikut:
Bab I adalah pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang
permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
10
Bab II berisikan ulasan tentang konsep transendensi Kant dan Heidegger
yang dilanjutkan dengan tinjauan umum tentang destruksi Heidegger atas filsafat
Kant.
Bab III menguraikan isi dari destruksi Heidegger atas doktrin skematisme
Kant. Saya menguraikannya dengan cara melihat hubungan antara imajinasi
transendental, rasio murni dan intuisi murni, di mana imajinasi transendental
ditekankan sebagai faktor esensial dalam pembentukan transendensi (atau sintesis
murni). Dalam bab ini saya juga memasukkan beberapa konsekuensi dari
destruksi Heidegger atas Kant, di samping tesis destruktif Heidegger lainnya yang
menurut saya cukup penting untuk dibahas, yaitu, ide keterbatasan.
Bab IV adalah bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan
rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.
11
BAB II
GAGASAN TRANSENDENSI
DALAM KANT DAN HEIDEGGER
DAN PEMBACAAN DESTRUKTIF ATAS “CRITIQUE” ∗
Titik singgung pemikiran Immanuel Kant dan Martin Heidegger dapat
ditemukan dalam gagasan transendensi. Sebagaimana telah disinggung, kata
transendensi merujuk pada kemampuan manusia “melampaui” (transcend)
kenyataan faktual atau apa yang kita sebut sebagai “kesan-kesan” inderawi
(impressions). 1 Baik Kant atau pun Heidegger berusaha mengungkapkan gejala
transendensi dengan pendekatannya masing-masing. Kant mengemukakan
gagasan transendensinya dalam perspektif hubungan representatif subjek-objek;
objek dikenali oleh subjek ketika objek dalam wujudnya berupa kesan-kesan
(impressions) dihadirkan pada subjek untuk dideterminasi. Aspek determinasi
dalam proses representasi ini menurut Kant berciri transendental, karena di
dalamnya terdapat prinsip-prinsip normatif atau keniscayaan (necessity) yang
tidak memiliki sumbernya pada pengalaman akan kesan-kesan, melainkan
“melampaui”-nya (transcend). Heidegger sementara itu membangun gagasan
transendensinya dalam perspektif pemahaman-Ada. Dia melakukan analisisnya
dalam dua cara: analisis eksistensial dan destruksi sejarah ontologi. Yang pertama
berusaha memeriksa fenomena ketersingkapan Ada (pemahaman Ada). Yang
∗
Dalam skripsi ini saya, “Critique of Pure Reason” ditulis singkat menjadi “Critique”
sementara “Kant and the Problem of Metaphysics” ditulis singkat menjadi “Kant and the
Problem”.
1
Tentang arti transendensi, lihat dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia,
1996), h. 1118-1122. Transendensi berasal dari kata trans yang berarti seberang, atas,
melampaui, dan scandere (memanjat). Bandingkan dengan kata eksistensi yang berarti “tampil
keluar” (ex-sistere: ex: keluar, sistere: tampil) yang dalam tradisi filsafat sering disejajarkan
dengan momen aktualitas. Ibid., h. 183-184
12
kedua (destruksi) adalah sejenis pembacaan yang menelisik impuls-impuls
implisit dalam sebuah teks filosofis. Dengan pembacaan ini, Heidegger
memperlihatkan ketakterhindaran gagasan pemahaman Ada dalam teks yang
didestruksi dan, karenanya, analisis eksistensial menjadi sesuatu yang tak
terhindarkan juga.
Baik Kant atau pun Heidegger tumbuh dalam suasana pemikiran di mana
paradigma-paradigma sains mulai diyakini dan metafisika, sebagai disiplin yang
dulu pernah begitu akrab dengan doktrin-doktrin gereja, mulai dipertanyakan
keabsahannya sebagai sebuah disiplin. Suasana pemikiran ini menjadi alasan
mengapa Heidegger dan Kant meminati tema transendensi dalam filsafatnya.
Heidegger, juga Kant, sepakat akan ketidakmungkinan metafisika ditegakkan
sebagai disiplin ilmiah. Namun demikian, menurut mereka, setiap pertanyaan
metafisis (kosmologis, psikologis, teologis) merupakan kecenderungan alamiah
(natural propensity) yang merujuk pada struktur transendensi; struktur yang
bukan hanya menjadi dasar bagi munculnya pertanyaan-pertanyaan metafisis,
melainkan juga merupakan faktor konstitutif bagi mungkinnya penyelidikanpenyelidikan ilmiah dan ilmu-ilmu murni seperti matematika. Sains, metafisika
dan seluruh bentuk pengetahuan atau pemahaman manusia, menurut Kant dan
Heidegger, mengandaikan semacam kapasitas transendental.
Dalam dua bagian pertama dari bab ini, saya akan menjelaskan secara
garis besar bagaimana gagasan transendensi dikemukakan oleh Kant dan
Heidegger. Selanjutnya, ulasan bab diakhiri dengan penjelasan tentang tesis-tesis
dasar dalam pembacaan destruktif Heidegger atas konsep transendensi Kant, yang,
sebagaima akan kita lihat, bermuara di sekitar doktrin skematisme.
13
A. TRANSENDENTALISME KANT DALAM “CRITIQUE OF PURE
REASON”
1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) lahir di Konigsberg Prusia Timur, sebagai
anak keempat yang tumbuh dalam keluarga buruh sederhana. Keluarganya amat
kental dengan ajaran Kristen Pietis Luterean. Pendidikan akademisnya dimulai
ketika dia berusia delapan tahun. Dengan rekomendasi Franz Albert Schultz,
seorang pendeta dan teolog yang amat dihormati ibunya, dia masuk ke Collegium
Fredericianum pada tahun 1732. Di sekolah ini dia mengikuti studi-studi klasik
dan bahasa Latin. 2
Karir pemikiran Kant bisa dikatakan lambat. Baru pada tahun 1770, Kant
ditunjuk sebagai ketua bidang studi logika dan metafisika di universitas
Konigsberg. Dalam pidato inagurasinya, dia menyatakan minatnya untuk
merekonstruksi filsafat. Minat tersebut baru dibuktikan sepuluh tahun kemudian,
tepatnya ketika Kant menginjak usia 50-an, dengan terbitnya Critique of Pure
Reason. 3 Buku tersebut seringkali dianggap sebagai karya puncak Immanuel
Kant. Menyusul terbitnya Critique, Kant menulis karya-karya berikutnya dalam
rentang waktu yang relatif singkat, di antaranya: Prolegomena to Any Future
Metaphysics (1782), Foundation for the Metaphysics of Morals (1785),
Metaphysical Foundation of Natural Science (1786), Critique of Practical Reason
2
Ernst Cassirer, Kant’s Life and Thought, pen. James Haden (Yale University Press, 1981),
h. 13-14
3
Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd
Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 477
14
(1788), Critique of Judgment (1790), Religion Within the Limits of Reason Alone
(1793), Toward Eternal Peace (1795), dan Metaphysics of Morals (1797). 4
Sejak awal karir pemikirannya atau dalam karya-karya yang ditulisnya,
amat jelas bahwa Kant memiliki perhatian yang sangat besar terhadap metafisika.
Minat ini kenyataannya mencirikan suasana pemikiran Jerman abad delapan belas,
di mana metafisika mulai dipertanyakan dan berusaha diperbarui, fondasinya dan
nilai pengetahuannya. 5 Terbitnya Critique of Pure Reason karenanya penting
dilihat sebagai ikhtiar Kant mengklarifikasi problem-problem metafisika yang
muncul pada zamannya, di samping problem-problem pengetahuan secara umum.
2. “Kritik Rasio Murni” sebagai Filsafat Transendental
Umum diakui bahwa “Critique of Pure Reason” adalah karya monumental
Kant yang menjelaskan posisi pemikirannya yang orisinal. Sebagaimana
tergambarkan dalam judulnya, “Critique of Pure Reason” bermaksud menelisik
perihal rasio. Ulasan tersebut oleh Kant disebut “kritik” karena Kant bermaksud
menentukan batas-batas kemampuan rasio. 6 Kant membedakan antara kritik rasio
dengan penggunaan dogmatis (dogmatic employment) rasio. 7 Dengan penggunaan
dogmatis rasio Kant merujuk pada penyelidikan-penyelidikan metafisika pada
zamannya, di mana rasio dipaksa untuk menerka-nerka (random groping) wilyahwilayah di luar pengalaman (supersensible realm). Dalam arti ini, kritik rasio
bukan sejenis metafisika dalam “pengertiannya yang tradisional” karena rasio
4
Walter Kaufmann & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd
Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 477
5
Paul Guyer (ed.), The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University
Press), h. 1996 28-29
6
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 59
7
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 57
15
dalam “Kritik Rasio Murni” tidak digunakan untuk berspekulasi tentang wilayahwilayah di seberang fenomena atau penampakan melainkan untuk melihat dirinya
sebagai fakultas pengetahuan yang berisikan prinsip-prinsip atau konsep-konsep a
priori. Dalam kritik rasio murni, rasio digunakan untuk melihat rasio itu sendiri
dengan cara menganalisis cara kerjanya, pembentukan konsep-konsepnya dan
hubungannya dengan pengalaman.
“Kritik Rasio Murni” oleh Kant disebut juga filsafat transendental di mana
“transendental” berarti “tidak membicarakan objek” melainkan “cara”. 8 Dalam
“Kritik Rasio Murni”, Kant tidak membicarakan “objek-objek” pengetahuan (mis,
organ-organ tubuh, struktur materi, gerak benda, sifat-sifat cahaya, dan
sebagainya) melainkan “cara” bagaimana objek-objek tersebut “diketahui” oleh
subjek. Menurut Kant, cara subjek mengetahui objek adalah dengan
merepresentasikannya. Representasi terjadi melalui intuisi dan rasio dan
pengetahuan adalah representasi “sintetis” keduanya. Representasi intuisi adalah
representasi data-data pengalaman kepada subjek secara langsung (immediate
representation)—subjek
berhubungan
langsung
dengan
objek-objek
pengalaman—sementara representasi rasio adalah representasi determinatif atas
data-data yang dihadirkan intuisi untuk membentuk konsep-konsep—karenanya
disebut representasi tak langsung (mediate representation). Sintesis, sementara
itu, berarti momen diterapkannya konsep-konsep rasio pada objek-objek yang
diintuisi. Sebagai filsafat transendental, apa yang menjadi perhatian Kant dalam
“Critique”-nya adalah problem sintesis murni atau sintesis a priori ∗ , yaitu, sintesis
8
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 59
∗
A priori berati “mendahului pengalaman” sementara “murni” berarti “tidak didapat dari
pengalaman”. Dalam skripsi ini, dua istilah tersebut akan sering dipertukarkan dengan maksud
16
antara intuisi murni dan pikiran murni, karena menurut Kant dalam momen
sintesis ini kita dapat mengetahui secara esensial “cara” subjek membentuk
seluruh pengetahuannya (matematika, sains, bahkan metafisika), suatu tahap di
mana subjek memperlihatkan kapasitas transendentalnya (transendensi). 9
Filsafat transendental Kant sebagai penyelidikan terhadap “cara” subjek
mengetahui objek (modus pengetahuan subjek), dengan demikian, menemukan
arah penyelidikannya pada kemungkinan sintesis a priori. Pemikiran Kant tentang
sintesis a priori ini merupakan gagasan yang bisa dikatakan cukup baru pada
masanya karena dalam pemahaman tradisional, sintesis selalu berarti a posteriori
(setelah pengalaman atau hasil dari pengalaman); bahwa semua konsep yang
diterapkan pada pengalaman (sintesis) adalah berasal dari pengalaman. Apa yang
memungkinkan saya memahami konsep batu, misalnya, dan menerapkan konsep
tersebut dalam pengalaman adalah karena saya sebelumnya telah terlatih atau
terbiasa mengalami (melihat dan merasakan) berbagai jenis batu. Semua konsep
itu berasal dari pengalaman, dan karenanya, tidak ada sintesis yang mendahului
pengalaman. Dalam pandangan ini, rasio ditempatkan sebagai penerima data-data
pengalaman (impressions) dan hanya berperan merefleksikan data-data tersebut
menjadi ide-ide atau konsep-konsep—termasuk konsep kausalitas juga lebih
merupakan refleksi rasio atas pengalaman; bukan sesuatu yang “secara niscaya”
terjadi dalam pengalaman. 10 Salah satu konsekuensi fatal dari pandangan ini
adalah bahwa semua gagasan keniscayaan, baik menyangkut “substansi” suatu
yang sama. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 43
9
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 93
10
David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann &
Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New
Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 343-344
17
objek atau pun “relasi kausal” antar objek, karena tidak memiliki dasarnya dalam
pengalaman, maka ide keniscayaan itu tidak lain semata-semata kebiasaan
(custom). Pengalaman hanya memperlihatkan kepada kita fakta-fakta yang
bergantian berupa kesan-kesan (impressions), tidak lebih dari itu. 11
Dalam “Critique”, Kant menolak pandangan di atas dan menunjukkan
bahwa tidak semua konsep itu berasal dari pengalaman. Kant melakukan analisis
“deduktif” dalam “Critique”-nya untuk memperlihatkan bagaimana ketika subjek
merepresentasikan secara langsung objek-objek pengalaman melalui intuisi,
momen representasi tersebut selalu diikuti oleh determinasi rasio yang cara
kerjanya tidak ditentukan oleh pengalaman melainkan berdasarkan “aturanaturan” yang dia sebut konsep-konsep murni. Kant menyebutkan dua belas konsep
murni dalam “Critique”-nya yang terhimpun dalam empat kategori: kesatuan,
pluralitas, keseluruhan (kategori kuantitas), realitas, negasi, limitasi (kategori
kualitas), substansi, kausalitas, komunitas (kategori relasi), kemungkinan,
eksistensi, keniscayaan (kategori modalitas). 12 Konsep-konsep ini menurut Kant
tidak didapat dari pengalaman (pure) karena tidak satu pun dari konsep-konsep ini
menyatakan ciri fisik suatu objek. Sebaliknya, konsep-konsep ini mendahului
(prior) pengalaman dan menjadi syarat (conditions of possibility) bagi
terbentuknya pengetahuan. Kant sepakat bahwa pengalaman itu hanya
mengajarkan kepada kita fakta-fakta (matters of fact). Namun, karena itu pula
Kant berpendirian bahwa mesti ada aturan-aturan normatif yang menstruktur
pikiran (atau rasio) subjek yang dengannya aktivitas determinasi (determinasi
11
David Hume, An Enquiry Cocerning Human Understanding, dalam Walter Kaufmann &
Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic Classics, 2nd Edition, Volume III, (New
Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 367
12
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 113
18
rasio atas pengalaman) memiliki “bentuk” (form). Keniscayaan mungkin tidak
dapat ditemukan dalam fakta-fakta pengalaman tetapi ia dapat ditemukan dalam
struktur rasio subjek yang menyertainya. 13 Struktur rasio yang berisikan konsepkonsep murni itulah menurut Kant yang memungkinkan terbentuknya sintesis a
priori.
Namun demikian, gagasan sintesis adalah gagasan keterikatan konsep pada
pengalaman. Suatu konsep dapat dikatakan sah jika konsep tersebut dapat
diterapkan pada pengalaman. Karena itu, bagi Kant, walaupun konsep-konsep a
priori itu adalah konsep-konsep yang mendahului pengalaman, konsep-konsep
tersebut hanya memiliki “arti” sejauh mereka dapat diterapkan pada pengalaman
(pada objek-objek pengalaman). Dengan kata lain, konsep-konsep murni tersebut
tidak memiliki validitasnya ketika mereka dipisahkan dari pengalaman. Pada titik
ini, Kant menegaskan batas-batas rasio, dan itulah yang dia maksud dengan
“kritik” rasio murni. Rasio murni—fakultas yang mensuplai konsep-konsep
murni—dieksplorasi
secara
menyeluruh
untuk
dipertimbangkan
(kritik)
kemampuan dan batas-batasnya dalam membentuk pengetahuan. 14 Sebagai kritik
rasio murni, filsafat transendental Kant memperlihatkan antinomi-antinomi rasio
untuk melihat mungkin tidaknya rasio memiliki pengetahuan tentang hal-hal di
luar pengalaman (meta-fisika). Kant menemukan dalam analisis antinominya,
bahwa ketika rasio dibiarkan berspekulasi tentang hal-hal di luar pengalaman,
tesis-tesis rasio menyangkut hal-hal tersebut akan selalu menemukan anti-
13
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 44
14
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 14, 32
19
tesisnya, yang keduanya (tesis dan antitesis) sah secara rasional. 15 Dari sudut
pandang inilah, Kant berkesimpulan bahwa metafisika sebagai salah satu produk
kerja rasio tidak dapat dikatakan “ilmiah” karena konsep-konsep yang
dikemukakannya tidak dapat diterapkan dalam pengalaman.
Tentang
sikapnya
terhadap
metafisika,
Kant
sejak
awal
dalam
pengantarnya sudah menunjukkan sikap ketidakpuasan. Baginya metafisika
adalah spekulasi sembarang atas kenyataan-kenyataan di luar pengalaman yang
tidak bisa dibuktikan dan selalu berakhir pada antinomi, sebagaimana yang dia
uraikan di beberapa sub-bab terakhir “Critique”-nya (The Antinomy of Pure
Reason). Sikap kritis ini terutama terbangun di bawah pengaruh Hume, seorang
eksponen mazhab empirisme radikal yang mempertanyakan kapasitas rasio dalam
membentuk pengetahuan secara a priori, dan bahwa pengalaman merupakan
sumber
ultim
bagi
pengetahuan. 16
Namun
demikian,
walaupun
Kant
berpandangan kritis terhadap metafisika dan sepakat dengan empirisme dalam
beberapa tesis tentang rasio dan pengalaman, dia menunjukkan bahwa metafisika
merupakan gejala transendensi yang sudah selalu ada pada manusia. Hal ini bisa
dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan: “Apakah yang dapat kita
ketahui?”, “apakah yang harus kita lakukan?”, dan “apakah yang dapat kita
harapkan?”. Bagi Kant, pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang mengimplikasikan bahwa manusia selalu terarah pada hal-hal yang
15
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 385
16
Ernst Cassirer, Kant’s Life and Thought, pen. James Haden (Yale University Press,
1981), h. 84-85
20
melampaui pengalaman, melampaui fakta-fakta, dan itu adalah sejenis
kemampuan transendental bagi Kant. 17
Persoalannya bagi Kant adalah: “apakah hakikat dari transendensi
tersebut?”. Dalam “Critique” kita menemukan jawabannya dalam analisis
pembentukan sintesis murni di mana rasio memiliki peran krusial. Transendensi
bagi Kant adalah momen terbentuknya sintesis murni (sintesis a priori), dan rasio
murni adalah faktor esensial dalam proses tersebut yang berfungsi menyuplai
konsep-konsep murni sebagai aturan determinasi pikiran.
3. Transendensi Subjek dalam Momen Sintesis Murni: Analisis Skema
(Skematisme) dan Peran Imajinasi
Dalam “Critique” kita menemukan bahwa konsep transendensi Kant
didefinisikan sebagai pengetahuan murni (disebut juga pengetahuan a priori).
Pengetahuan, sementara itu, didefinisikan sebagai representasi sintetis intuisi dan
pikiran. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang “menghadirkan” (representing)
data-data pengalaman yang berciri partikular secara langsung. 18 Pikiran (rasio)
sementara itu adalah fakultas (kemampuan mental) yang menetapkan keumumankeumuman (generalities) dari data-data yang dihadirkan oleh intuisi—keumumankeumuman itu Kant menyebutnya “konsep”.19 Pengetahuan sebagai sintesis
berarti terbentuknya relasi konseptual antara pikiran dan intuisi. Prinsip ini
berlaku juga dalam pengetahuan a priori sebagai pengetahuan yang tidak didapat
dari pengalaman (tidak terkondisikan oleh pengalaman akan objek-objek). Dengan
17
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 56, 635
18
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 65-66
19
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 92-97
21
kata lain, pengetahuan a priori juga dinyatakan sebagai representasi sintetis antara
rasio dan intuisi. Hanya saja, representasi sintetis yang terjadi adalah sintesis
“intuisi murni” dan “pikiran murni” (rasio murni), sehingga sintesis dalam
pengetahuan a priori disebut “sintesis murni” atau “sintesis a priori”. Pertanyaan
dapat dikemukakan: jika dengan “murni” berarti “tidak diperoleh dari
pengalaman” lantas pengetahuan apakah yang dihasilkan dari sintesis intuisi
murni dan rasio murni?; apakah yang diketahui dalam momen transendensi
sebagai pengetahuan murni?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengenal
konsep kunci dalam pemikiran Kant tentang pengetahuan sebagai sintesis. Momen
pengetahuan sebagai sintesis mengandung pengertian bahwa terbentuknya
pengetahuan itu bukanlah ketika konsep itu terbentuk melainkan ketika konsep itu
dapat diterapkan pada objek. Demikian halnya dalam pengetahuan murni atau
transendensi sebagai hasil dari sintesis murni; ia terbentuk ketika konsep-konsep
murninya dapat diterapkan pada objek-objek pengalaman. Pertanyaan Kant adalah
“bagaimana sintesis semacam itu mungkin?”. Upaya Kant untuk menjelaskan
mungkinnya “sintesis murni” (baca: mungkinnya konsep-konsep murni diterapkan
pada objek-objek pengalaman) dapat ditemukan dalam salah satu bagian penting
“Critique”-nya, The Schematism of The Pure Concept of Understanding, di mana
Kant menjelaskan bahwa konsep-konsep yang diterapkan pada objek selalu
mengandaikan pembentukan “skema”. 20
Skema adalah representasi prosedur universal yang dengannya suatu
konsep dapat memberikan gambaran universal tentang objek secara tidak terbatas
20
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 180
22
pada objek-objek tertentu. 21 Sementara konsep hanya menyatakan “ciri-ciri
umum” (ens commun) suatu objek, skema menyatakan ciri umum tersebut sebagai
aturan pemahaman (rule) bagi semua objek, yang aktual dan yang mungkin,
dalam bentuk “gambaran” atau “citra” (image) skematik. ∗ Peristiwa terbentuknya
skema dapat dengan mudah ditemukan dalam ilustrasi peristiwa pemahaman
sehari-hari. Ketika saya melihat meja dan memahaminya, misalnya, hal itu
menunjukkan terjadinya sintesis antara konsep meja dengan sensasi-sensasi meja
(warna, bentuk, kepadatan, bau dan sebagainya) yang diintuisi. Namun demikian,
meja yang saya pahami sekarang ini melampaui “sekadar” penggabungan konsep
dan intuisi. Saya bukan hanya dapat menggambarkan “detail-detail” dari meja
tersebut atau menangkap “ciri umum” dari detail-detail tersebut tetapi juga
menangkap “aturan umum” tentang bagaimana meja itu seharusnya, “aturan”
yang tidak hanya berlaku bagi meja yang sedang saya lihat tetapi bagi semua meja
yang “mungkin” saya lihat. 22
Representasi skema merupakan gagasan niscaya dalam menjelaskan proses
sintesis sebagai peristiwa penerapan konsep pada objek-objek pengalaman. Tanpa
skema, tidak akan ada sintesis yang itu berarti penerapan konsep-konsep ke dalam
pengalaman menjadi tidak mungkin.
Dalam “Critique”, persoalan yang hendak dijawab oleh Kant adalah
penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek pengalaman. Penerapan
konsep-konsep ini tidak seperti penerapan konsep-konsep empiris (konsep meja,
21
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 182-3
∗
Secara harfiah, skema berarti diagram atau rancangan yang berisikan petunjuk-petunjuk
dasar tentang sesuatu.
22
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 182
23
batu, buku, kuda dan sebagainya) yang mengandaikan skema empiris—
sebagaimana sudah dijelaskan di atas dengan contoh konsep meja. Untuk konsepkonsep murni, penerapannya pada objek-objek pengalaman (sintesis murni)
mengandaikan pembentukan skemanya sendiri yang oleh Kant disebut skema
transendental. Skema ini, karena sifat murninya (transendental), tidak
merepresentasikan aturan-aturan konseptual bagi objek-objek inderawi (skema
empiris). Skema transendental, menurut Kant, “tidak lain adalah determinasi
waktu” berdasarkan aturan-aturan konsep murni dalam kaitannya dengan
rangkaian waktu (time-series), isi waktu (time-content), urutan waktu (timeorder), dan cakupan waktu (time-scope) dari suatu objek. 23 Skema substansi,
misalnya, menyatakan hubungan antara yang tetap dan yang berubah dalam
waktu. 24 Skema ini merupakan determinasi waktu suatu objek dalam kaitannya
dengan tatanan waktunya (time order). Contoh lain dari kategori yang sama
adalah skema kausalitas—substansi dan kausalitas berada dalam satu kategori,
yaitu, kategori relasi. Skema kausalitas menyatakan hubungan urutan waktu (time
order) dari dua peristiwa objek di mana ketika yang satu dialami (mis, air
dimasak), yang lain menyusul (mis, air menjadi panas). Demikian, determinasi
waktu merupakan wujud penerapan konsep-konsep murni pada objek-objek
pengalaman.
Kant mengantisipasi kemungkinan pandangan bahwa konsep substansi,
atau konsep-konsep murni lainnya, itu muncul dari determinasi waktu. Karena itu,
dia menegaskan bahwa determinasi waktu hanya mungkin sejauh ia mengikuti
23
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 185
24
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 184-185
24
aturan-aturan determinasi (konsep-konsep murni) yang sudah sejak awal (a priori)
terbentuk. Dalam contoh skema substansi misalnya, determinasi tentang apa yang
bertahan dan yang berubah dalam waktu hanya mungkin dalam kaitannya dengan
konsep substansi. Tanpa konsep substansi, tidak ada aturan untuk menentukan apa
yang bertahan dan apa yang berubah dalam waktu. 25 Konsep-konsep murni bagi
Kant adalah aturan-aturan determinasi yang terbentuk mendahului
peristiwa
determinasi.
Sekarang kita sudah sampai pada posisi untuk menjawab pertanyaan
“apakah yang diketahui dalam pengetahuan murni?”. Dari penjelasan di atas,
pertanyaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain: “apakah yang diketahui dalam
skema transendental?”. Dalam kasus skema konsep empiris (skema empiris), apa
yang direpresentasikan adalah aturan-aturan konseptual bagi objek dan karena
setiap konsep empiris memiliki sumbernya dalam pengalaman, maka tidak sulit
untuk menemukan kesejajaran antara skema konsep empiris dengan objeknya;
misalnya, “aturan” binatang berkaki empat (skema) dengan kucing yang berkaki
empat (objek penerapan). Skema transendental, sementara itu, hanya merupakan
determinasi waktu dan apa yang diketahui dalam determinasi waktu tersebut
adalah “bukan apa pun” (nothing). 26 “Bukan apa pun” di sini jangan ditafsirkan
“semata-mata ketiadaan” (mere nothing) karena dalam kenyataannya “nothing” di
sini memiliki peran konstituif dalam pengetahuan empiris. Karena sifat murninya
dan karena fungsi konstitutifnya terhadap pengetahuan empiris, Kant menyebut
25
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 184
26
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 137, 267-268
25
representasi jenis ini sebagai pengetahuan murni—kadang-kadang disebut juga
pengetahuan a priori atau pengetahuan transendental.
Menarik memperhatikan gagasan Kant tentang skema. Setidaknya ada dua
hal yang bisa ditekankan di sini. Pertama, representasi skema, sebagai representasi
yang memediasi penerapan konsep pada pengalaman, memiliki sifat intelektual
(nalar/rasional), di satu sisi, dan sensibel di sisi lain (intuitif). Kedua, sebagai
representasi yang memiliki karakter ambivalen, representasi skema adalah
representasi orisinal; ia bukan hasil dari penggabungan antara intuisi dan rasio.
Karena itu, walaupun Kant memperkenalkan konsep sintesis dan bahwa skema
adalah produk sintesis, dia tidak memaksudkan dengan kata “sintesis” itu sebagai
produk kombinasi intuisi dan rasio. Sejak dalam pengantar “Critique”, Kant sudah
mengantisipasi kemungkinan salah penafsiran atas konsep sintesis yang
diperkenalkannya ini:
“Sebagai pengantar atau antisipasi kita hanya perlu mengatakan bahwa ada dua
sumber pengetahuan manusia, yaitu, sensibilitas ∗ dan pemahaman, yang
mungkin keduanya berasal dari sumber yang sama (common root) yang kita tidak
mengetahuinya”. 27
Kant memang tidak mengatakan apakah “sumber yang sama” tersebut.
Namun maksudnya cukup jelas, Kant hendak mengatakan bahwa ada
kemungkinan sintesis itu tidak terbentuk sebagai hasil penggabungan intuisi-rasio;
sebaliknya, rasio dan intuisi justru adalah produk atau momen ganda dari sintesis.
∗
Sensibilitas (dari kata inggris “sensible” yang berarti “dapat terindra”) adalah kapasitas
penerimaan objek secara langsung oleh subjek. Bagi Kant kapasitas ini menunjukkan bahwa
subjek memiliki intuisi untuk menerima afeksi-afeksi dari objek. Immanuel Kant, Critique of Pure
Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 65
27
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 61
26
Menurut hemat saya, hal ini juga menjadi alasan mengapa dalam salah satu subbab “Critique”-nya, Transcendental Doctrin of Schematisme, dia mengisyaratkan
keterbatasan analisanya terhadap fenomena skema sebagai representasi sintetis,
sebagai berikut:
“skematisme pemahaman kita, dalam penerapannya terhadap penampakanpenampakan (appearances) dan bentuk-bentuknya, adalah seni yang tersembunyi
di kedalaman jiwa manusia, yang modus-modus nyata dari aktivitasnya tidak
mengizinkan kita untuk mengungkapnya, dan membiarkan kita mengamatinya
dengan seksama”. 28
Bersamaan dengan analisisnya atas skema (skematisme), Kant juga
menunjukkan adanya fakultas lain, yang sebagaimana skema, memiliki karakter
ambivalen. Kant menyebutnya “imajinasi” dan menurutnya fakultas (kekuatan
mental) inilah yang memungkinkan terbentuknya skema, dan, karenanya sintesis.
Fakultas ini niscaya terandaikan karena setiap jenis representasi selalu
mengandaikan fakultasnya tersendiri. Sebagaimana representasi data-data
partikular mengandaikan fakultas intuisi atau representasi konsep mengandaikan
fakultas rasio, demikian halnya dengan representasi skematik yang mengandaikan
fakultas imajinasi. Selanjutnya, pada level pengetahuan murni, di mana sintesis
yang terbentuk adalah sintesis murni dan skema yang direpresentasikan adalah
skema
transendental,
Kant
mengasumsikan
adanya
fakultas
imajinasi
transendental, lawan dari imajinasi empiris, yang memungkinkan pembentukan
skema transendental, dan karena itu, sintesis murni. 29
28
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 183
29
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 142-143
27
Dengan demikian, sejauh ini kita dapat membuat kesimpulan bahwa
konsep transendensi Kant melibatkan tiga jenis fakultas pengetahuan: rasio murni,
intuisi murni (waktu), dan imajinasi transendental. Tiga fakultas ini secara
bersamaan membentuk apa yang oleh Kant disebut sintesis murni yang tidak lain
adalah transendensi atau pengetahuan murni, suatu tahap pengetahuan di mana
skema transendental direpresentasikan. Konsep transendensi ini rupanya masih
menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut terutama berkaitan dengan
hubungan antara rasio, intuisi dan imajinasi, dan hakikat imajinasi itu sendiri
sebagai faktor pembentuk sintesis melalui skema, yang sebagaimaan akan kita
lihat, menjadi perhatian utama dalam pembacaan destruktif Heidegger.
B. MARTIN HEIDEGGER: TRANSENDENSI SEBAGAI PEMAHAMAN
ADA
1. Sekilas Biografi Hidup dan Karya
Martin Heidegger (1889-1976) dikenal sebagai filsuf paling orisinal dan
berpengaruh abad 20. Lahir di Messkirch, Baden, Jerman, dia belajar teologi
Katolik Roma dan kemudian filsafat di Universitas Freiburg, di mana dia menjadi
asisten Edmund Husserl, seorang pendiri fenomenologi. Heidegger memulai karir
mengajarnya di Freiburg pada tahun 1915. Sejak 1923 sampai 1928 dia mengajar
di Universitas Marburg. Dia kemudian kembali ke Freiburg pada tahun 1928,
menggantikan posisi Husserl sebagai profesor filsafat. Karena dukungan
publiknya atas Adolf Hitler dan Partai Nazi pada tahun 1933 dan 1934, aktivitas
profesional Heidegger terbatas hingga tahun 1945, dan kontroversi menyangkut
pendirian universitasnya terus berlanjut hingga pensiunnya pada tahun 1959.
28
Di antara Karya-karya Heidegger adalah sebagai berikut: Basic Problems
of Phenomenology; Being and Time; Early Greek Thinking; Existence and Being;
History of the Concept of Time; Kant and the Problem of Metaphysics; The
Essence of Truth.
2. Transendensi atau Eksistensi dan Gagasan Destruksi
Seperti Critique of Pure Reason bagi Kant, Being and Time adalah karya
utama Heidegger yang menandai puncak karir pemikirannya. Di dalamnya
Heidegger mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari
fenomena pemahaman atas Ada (pemahaman ontologis), yang dia bedakan dari
pemahaman atas pengada (pemahaman ontis)—Heidegger menegaskan perbedaan
antara Ada dan pengada yang selanjutnya dia sebut “perbedaan ontologis”
(ontologische differenz). 30 Jika saya memahami bahwa benda yang saya pegang
ini adalah palu maka itu berarti saya memahami palu tersebut secara ontis
sekaligus ontologis. Pemahaman ontis atas palu adalah pemahaman terhadap ciriciri fisik atau material pada palu tersebut: warna, bobot, bentuk, kehalusan atau
ukuran. Sementara pemahaman ontologis atas palu berarti saya memahami modus
Ada (mode of Being) palu tersebut; memahami Ada-nya. Modus-Ada palu yang
saya pahami ini, dalam perspektif Heidegger, didefinisikan berdasarkan
keberfungsian palu dalam suatu konteks referensial; yakni dalam hubungannya
dengan gergaji, kayu, paku yang semua itu memiliki referensi terakhir, yaitu,
pembuatan rumah saya dan pemenuhan diri saya sebagai si pembuat rumah.
Totalitas referensial inilah yang menjadikan palu Ada sebagai palu; hanya dalam
30
Heidegger, Martin, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter
(Bloomington: Indiana University Press, 1982), dalam “Translator Introduction” oleh Alfred
Hofstadter, h. xviii
29
konteks referensial, sebuah palu dapat meng-Ada (to-be) sebagai palu. Tanpa
totalitas tersebut palu tidak dapat dipahami sebagai palu melainkan sebagai entitas
homogen (tak terbedakan) yang sekadar memiliki bentuk, warna, atau ukuran
sebagaimana entitas-entitas lain. Contoh yang serupa dapat dibuat, misalnya:
kapur, penghapus, papan tulis, dan seorang guru yang sedang menerangkan
pelajaran. 31
Gagasan terpenting dari Heidegger tentang fenomena pemahaman Ada
adalah adanya entitas yang memahami Ada, yaitu, manusia. Pemahaman Ada oleh
manusia menunjukkan bahwa Ada itu tersingkap pada manusia, atau, manusia
tersingkap pada Ada--terkadang Heidegger mengilustrasikan ketersingkapan Ada
ini sebagai peristiwa penyinaran (lichtung) di mana Ada menyinari manusia dan
dengan sinar itu manusia menyinari entitas-entitas lain. Dalam ketersingkapan
Ada inilah manusia dapat memahami Ada-dirinya dan Ada-nya entitas-entitas
lain. 32 Dalam Being and Time, Heidegger menggunakan istilah Dasein untuk
menyebut manusia, yang berarti Ada-Di sana (Da-Sein / There-Being). Dengan
memakai istilah ini, Heidegger hendak menekankan dinamika pemahaman Ada
manusia, bukan struktur biologisnya (warna kulit, organ-organ tubuh, postur dan
sebagainya). Selain itu, dengan istilah ini pula, Heidegger hendak menekankan
aspek ke-di-sana-an (The There/Da) Da-sein yang berarti bahwa pemahaman Ada
Dasein (atau ketersingkapan Ada) itu selalu terjadi atau terikat dalam konteks
dunia (um welt gebunden).
31
Ilustrasi-ilustrasi yang lengkap dan mudah tentang ini dapat ditemukan dalam Hubert L
Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time Division I
(Cambridge: The MIT Press), h. 89-107
32
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 125
30
Ini terjadi karena pemahaman Ada selalu berarti pemahaman akan cara
atau modus Ada-nya sesuatu (mode of Being of beings). Ketika Dasein
mengatakan “palu ini Ada”, Dasein mengerti “arti” Ada sekaligus modus Ada
palu tersebut. Demikian halnya, ketika Dasein mengatakan “saya Ada”
menunjukkan bahwa dia mengerti “arti” Ada sekaligus cara Ada dirinya (to be
itself). Selanjutnya, karena setiap modus Ada itu selalu terbangun dalam totalitas
referensial modus-modus Ada—lihat kembali contoh di atas—yang sudah selalu
tersedia dalam dunia (mis, palu, gergaji, paku, rumah, guru, dokter, dan
sebagainya), maka pemahaman Ada tersebut hanya dapat terwujud dalam dunia.
Tanpa dunia, pemahaman Ada hanya akan menjadi sejenis dorongan-dorongan
hampa. Dengan demikian, konsep Da-sein mencakup dua gagasan sekaligus:
pemahaman Ada dan kebertempatan pemahaman tersebut dalam dunia. 33
Dalam Being and Time, Heidegger menyebut pemahaman Ada sebagai
transendensi atau eksistensi yang keduanya memiliki arti sama atau setidaknya
berdekatan, yaitu, “melampaui”. 34 Pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada
adalah momen transendensi karena dalam pemahaman Ada, Dasein seolah seolaholah “melampaui” dimensi ontis dari pengada-pengada untuk memahami Adanya. Sebagaimana sudah dikatakan, Ada selalu berarti Ada-nya sesuatu (Being of
beings) atau cara Ada sesuatu (way of Being of beings) sehingga kenyataan Dasein
memahami Ada berarti dia pada saat yang sama memahami cara Ada entitasentitas, termasuk cara Ada dirinya sebagai entitas yang memahami Ada.
33
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 54
34
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 10, 110. Lihat juga William J Richardson, Heidegger, Through
Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), h. 39, 114
31
Pemahaman Ada tentu saja bukan pemahaman eksplisit atas Ada karena
jika kita (Dasein) ditanya apa itu Ada tentu kita tidak dapat menjawabnya secara
memuaskan, atau lebih buruk lagi, tidak dapat mengungkapkan gagasan apa pun
dari kata tersebut. Namun demikian, pemahaman Ada adalah fakta yang jelas.
Fakta ini dapat ditemukan dalam semua modus pemahaman sehari-hari manusia.
Kita terbiasa mengatakan “batu ini ada”, “palu ini [adalah] berat”, “saya adalah
Ki Joko”, dan sebagainya, yang semua itu menunjukkan bahwa kita telah mengerti
arti Ada walaupun secara tidak eksplisit. Heidegger menyebut pemahaman Ada
yang tidak eksplisit ini “pemahaman pra-ontologis”, suatu tahap pemahaman di
mana Ada belum dibicarakan atau ditafsirkan secara diskurif yang di sepanjang
sejarah
pemikiran
disebut
ontologi
(on:
Ada,
logos:
diskursus
atau
pembicaraan). 35
Dalam Being and Time, Heidegger berusaha mendiskursuskan Ada,
karenanya, melakukan semacam penyelidikan ontologis. Namun demikian,
ontologi Heidegger bukan semacam pendefinisian secara lengkap arti Ada,
sebagaimana dalam ontologi tradisional di mana Ada sering ditafsirkan dengan
berbagai cara: monad, res cogitans, roh absolut, kehendak untuk berkuasa, ego
transendental dan sebagainya. Sejak awal dalam Being and Time, Heidegger
menegaskan secara terbatas bahwa: 1) Ada itu adalah konsep yang paling
universal. Semua pengada atau entitas, apa pun itu, selalu dapat dilekatkan kata
Ada padanya (mis, batu ada, manusia ada, Tuhan ada, jin ada, payung ada, dan
sebagainya). 2) Ada itu adalah konsep yang jelas dengan sendirinya (self-evident
concept); setiap orang sudah begitu saja menggunakan kata “ada” dalam
35
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 10-11
32
pembicaraannya tanpa dia tahu secara tegas arti dari kata tersebut. 3) Ada adalah
konsep yang tidak dapat didefinisikan (undefinable concept) berdasarkan jenis
(genus) dan cirinya (differentia) seolah-olah Ada itu semacam entitas yang
memiliki perilaku tertentu, bentuk tertentu atau warna tertentu. 36 Lalu bagaimana
Ada itu diselidiki jika ia bukanlah pengada sama sekali? Heidegger memahami
ontologinya sebagai fenomenologi, yaitu, diskursus tentang fenomena pemahaman
Ada dan, menurutnya, setiap pembicaraan tentang Ada (ontologi) harus dimulai
dari fenomena pemahaman Ada (fenomenologi). Fenomena pemahaman Ada
adalah satu-satunya petunjuk untuk memulai pembicaraan tentang Ada. Dia
mengatakan: “Hanya sebagai fenomenologi, ontologi itu mungkin”. 37
Analisis pemahaman Ada, atau disebut juga analisis eksistensial, adalah
gagasan orisinal Heidegger. Dia sendiri mengakui bahwa titik tolak analisisnya
belum pernah dilakukan oleh para filsuf di sepanjang sejarah filsafat Barat, dan itu
bukan tanpa alasan. Menurutnya, luputnya fenomena pemahaman Ada dari
perhatian para filsuf adalah karena mereka telah melupakan pertanyaan tentang
arti Ada (question of Being). Kelupaan ini adalah efek dari kelupaan yang lebih
fundamental, yaitu, kelupaan akan perbedaan antara Ada dan pengada (perbedaan
ontologis). Benarkah demikian? Dalam skripsi ini saya tidak akan mengulas
tahap-tahap kelupaan tersebut. Apa yang terpenting dalam pandangan Heidegger
ini adalah bahwa, walaupun Ada itu terlupakan, pemahaman Ada selalu
terandaikan dalam penyelidikan para filsuf. Bahkan, pemahaman Ada sang filsuf
sendiri selalu terikat oleh konsep-konsep tradisi di mana dia hidup, yang dengan
36
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 2-3
37
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 31
33
itu dia membangun sistem pemikirannya. 38 Karena itu, menurut Heidegger, kita
dapat membaca ulang suatu teks pemikiran untuk memeriksa fenomena
pemahaman Ada yang terimplikasi dalam teks tersebut, dan melihat seberapa kuat
jejaring konseptual tradisi yang menghambat seorang filsuf untuk melihat
fenomena tersebut secara jelas dan mempertimbangkannya sebagai potensi
pemikiran.
Heidegger menyebut pembacaan semacam ini “destruksi” yang secara
harfiah berarti “merusak”. 39 Namun demikian, kenyataannya, destruksi Heidegger
justru memiliki nilai korektif terhadap teks yang didestruksi walaupun benar juga
bahwa dalam cara pembacaannya Heidegger kerap membahasakan ulang cara
argumentasi dari teks yang didestruksi, yang pada taraf tertentu terkesan merusak.
Terlebih dengan destruksinya, Heidegger tidak bermaksud menemukan intensi
sesungguhnya dari sang pengarang melainkan elemen utama persoalan yang
memberi orientasi pada sang pengarang, betapapun sang pengarang tidak
menyadarinya. Destruksi berusaha mengangkat unsur vital dari suatu pemikiran
yang seringkali tersamarkan oleh konsep-konsep tradisi yang sudah mengakar
kuat. Dalam konteks destruksi, unsur vital tersebut tidak lain adalah fenomena
pemahaman Ada, atau, ketakterhindaran persoalan tentang arti Ada.
Dalam Being and Time, Heidegger merencanakan destruksinya atas tiga
filsuf: Aristoteles, Descartes dan Immanuel Kant, yang sebagaimana kita tahu
urung diwujudkan. 40 Rencana pembacaan destruktif tersebut baru terealisasi
38
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 17-18
39
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 20-21
40
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 35
34
kemudian dalam karya yang berbeda, salah satunya adalah Kant and the Problem
of Metaphysics (selanjutnya ditulis “Kant and the Problem”) yang terdiri dari
empat bab pembacaan Heidgger atas pemikiran Kant dalam “Critique”. Dalam
“Kant and the problem”, Heidegger menjelaskan motif pemikiran Kant sebagai
ontologi fundamental, atau, penyelidikan terhadap kapasitas transendental subjek
yang dengannya metafisika sebagai ilmu atau pun kecenderungan alamiah dapat
dikemukakan batas-batasnya (bab I). Penyelidikan ini tentu saja memiliki nilai
epistemologis pada akhirnya, karena kapasitas transendental tersebut bukan hanya
memungkinkan metafisika tetapi juga pengetahuan secara umum, tidak terkecuali
sains-sains positif. Dalam tiga bab terakhir, Heidegger menjelaskan tahap-tahap
penyelidikan Kant tentang keniscayaan terbentuknya skema oleh imajinasi
transendental (bab II); imajinasi sebagai esensi transendensi dalam kaitannya
dengan waktu (bab III); konsekuensi pemikiran Kant tentang imajinasi terhadap
ide keterbatasan (bab IV).
3. Destruksi Heidegger atas “Critique” Kant: Sebuah Tinjauan Umum
Destruksi Heidegger atas “Critique” terutama menekankan pembacaannya
pada doktrin skematisme; doktrin tentang penerapan konsep dalam pengalaman
atau doktrin tentang pembentukan skema. Dalam doktrin inilah menurut
Heidegger gagasan transendensi sebagai pemahaman Ada dapat diungkapkan,
terlepas apakah Kant menyadarinya atau tidak. Dengan kata lain, Kant mungkin
tidak menyebut-nyebut istilah “pemahaman Ada” dalam kaitannya dengan skema
transendental. Kant hanya mengatakan bahwa apa yang diketahui dalam skema
transendental sebagai produk sintesis murni adalah “bukan apa pun” (nothing),
karena itu Kant menyebutnya pengetahuan transendental atau pengetahuan
35
murni. 41 Dalam pembacaan Heidegger, gagasan ini sebenarnya merujuk pada
fenomena pemahaman Ada atau pengetahuan ontologis karena sebagaimana
dalam pengetahuan murni, apa yang diketahui dalam pengetahuan ontologis juga
“bukanlah apa pun” (nothing). Ada itu sendiri adalah bukan apa pun.
Dengan titik tolak pemahaman Ada, terdapat beberapa tesis dasar dalam
destruksi Heidegger atas skematisme yang perlu dikemukakan di sini. Pertama,
menurut Heidegger esensi transendensi terletak pada imajinasi transendental,
bukan pada rasio murni. Itu berarti bahwa pemahaman Ada sebagai momen
transendensi subjek tidak terbentuk melalui rasio murni melainkan imajinasi
transendental. Pembacaan ini sebenarnya didasarkan pada argumen Kant sendiri
ketika dia mengatakan dalam doktrin skematismenya bahwa penerapan konsepkonsep murni ke dalam pengalaman (sintesis murni) hanya mungkin oleh adanya
mediasi skema transendental yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Dengan
demikian, Kant sendiri sebenarnya mengakui bahwa imajinasi memiliki peran
sentral dalam membentuk pengetahuan transendental (pengetahuan murni/sintesis
murni), walaupun dalam kenyataannya, Kant tidak banyak membicarakan
imajinasi transendental dalam “Critique”-nya melainkan justru cenderung
menekankan aspek rasio sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis
murni (transendensi).
Kedua, menurut Heidegger, karena Kant cenderung menekankan rasio
murni sebagai faktor esensial dalam pembentukan sintesis murni atau skema
transendental (pengetahuan murni), Kant menurut Heidegger telah mereduksi
konsep pemahaman Ada ke dalam salah satu modus pemahaman Ada, yaitu
41
Pengetahuan murni berarti pengetahuan yang tidak diperoleh dari pengalaman akan
objek-objek. Itu berarti dalam pengetahuan murni tidak ada pengetahuan apa pun tentang ciri fisik
suatu objek. Apa yang diketahui dalam pengetahuan murni “bukanlah apa pun” (nothing).
36
modus pemahaman kategorial, di mana pemahaman atau pengetahuan ditafsirkan
sebagai
proses
determinasi
konseptual
atas
waktu
(time-determination)
berdasarkan aturan-aturan konsep murni (substansi, kausalitas, kualitas dan
seterusnya); sesuatu dianggap terpahami karena sesuatu tersebut tercakup dalam
konsep atau kategori. Dalam destruksi Heidegger sementara itu, karena skema
transendental adalah momen sintesis orisinal sebagaimana Kant sendiri secara
implisit mengakuinya, maka pemahaman Ada tidak terbatas pada pemahaman
kategorial. Orisinalitas skema transendental bagi Heidegger menunjukkan bahwa
apa yang direpresentasikan dalam skema tersebut mestilah lebih luas dari sekadar
determinasi rasio. Dengan demikian, dalam destruksi Heidegger, gagasan Kant
tentang rasio sebagai dasar pengetahuan transendental, dipersoalkan.
Ketiga, destruksi Heidegger juga berusaha meradikalkan gagasan Kant
tentang waktu dalam kaitannya dengan imajinasi transendental. Kaitan ini sudah
dapat dilihat dalam “Critique” ketika Kant mengatakan bahwa skema
transendental tidak lain adalah determinasi waktu dan bahwa imajinasi
transendental merupakan faktor esensial dalam proses determinasi tersebut. Atas
dasar pandangan ini, Heidegger meradikalkan gagasan waktu Kant dengan
menegaskan bahwa waktu sebenarnya adalah momen temporal dari imajinasi
transendental. Berbeda dari Kant, Heidegger tidak mendefinisikan waktu sebagai
rangkaian “sekarang” (sequence of nows) yang bergantian, melainkan proses
mewaktu (temporalitas) yang mencirikan imajinasi transendental dalam aktivitas
sintetisnya. Perlu diketahui bahwa dengan pembacaan ini, Heidegger sebenarnya
hendak memperlihatkan bagaimana konsep waktu berkaitan dengan pemahaman
37
Ada, sebuah tema yang menjadi motif pemikiran Heidegger dalam “Being and
Time” (Ada dan Waktu).
Keempat, imajinasi transendental adalah konsekuensi keterbatasan, yaitu,
keterbatasan
intuisi,
dan
sebagai
konsekuensi
keterbatasan,
imajinasi
transendental itu sendiri bersifat terbatas. Konsekuensinya, transendensi sebagai
pemahaman Ada juga terbatas dan merupakan konsekuensi keterbatasan. Sekadar
untuk diketahui, Heidegger mengungkapkan konsep transendensi terbatas ini
dalam “Kant and the Problem” dan “Being and Time”. Dalam “Kant and the
Problem”,
Heidegger
memperlihatkan
keterbatasan
transendensi
sebagai
keterbatasan imajinasi transendental dalam kaitannya dengan intuisi terbatas
manusia; imajinasi terandaikan karena intuisi manusia tidak menciptakan objek
yang diintuisinya. Dalam “Being and Time”, sementara itu, ide keterbatasan
berkaitan dengan sifat temporal pemahaman Ada, yaitu karakter proyektif yang
terarah pada masa depan yang tidak pernah terpenuhi dan selalu ditandai oleh
kebeluman (not yet).
Dalam bab berikutnya, saya akan menjelaskan poin-poin destruksi
Heidegger atas doktrin skematisme sebagaimana disebutkan di atas. Perlu diingat
bahwa apa yang terpenting dalam pemikiran Heidegger adalah gagasan tentang
Ada, modus-modusnya, bentuk-bentuk dan karakter pemahamannya. Gagasan ini
selalu menjadi motif utama pemikiran Heidegger, dalam “Being and Time” atau
pun dalam pembacaan destruktifnya atas doktrin skematisme Kant.
Dalam “Critique”, sebagaimana telah dikatakan, Heidegger menemukan
gagasan pemahaman Ada dalam analisis skematisme Kant, sebuah analisis dimana
konsep-konsep seperti skema transendental, imajinasi transendental, rasio murni,
38
dan intuisi waktu dijelaskan hubungan-hubungannya. Heidegger menekankan
faktor imajinasi transendental dalam hal ini dan berusaha melihat konsep-konsep
lain dalam hubungannya dengan imajinasi transendetal. Pembacaan ini beralasan
bagi Heidegger karena imajinasi transendental adalah fakultas sentral yang
memungkinkan terbentuknya sintesis murni; terbentuknya pemahaman Ada.
Hasilnya adalah suatu pemikiran Kant dalam terang yang lain. Jika pemikiran
Kant dalam “Critique” adalah pemikiran tentang hakikat rasio murni dan batasbatasnya, maka pemikiran Kant yang didestruksi dalam “Kant and the Problem”
adalah pemikiran tentang esensi imajinasi transendental dan batas-batasnya.
39
BAB III
DESTRUKSI SKEMATISME:
MEMBACA ULANG RELASI ESENSIAL ANTARA
IMAJINASI, INTUISI WAKTU DAN RASIO MURNI
Sebagaimana telah diulas sebelumnya, transendensi dalam pemikiran Kant
dinyatakan dalam gagasan sintesis murni, di mana konsep-konsep murni dapat
diterapkan
pada
objek-objek
pengalaman
melalui
representasi
skema
transendental. Kant menyebut doktrin penerapan konsep-konsep ini “skematisme”
dan pada doktrin inilah Kant mengemukakan kaitan antara imajinasi, waktu dan
rasio murni. Dari titik tolak doktrin skema (skematisme) ini, Heidegger
menemukan bahwa intuisi murni—dalam hal ini waktu—dan konsep-konsep
murni yang dibentuk oleh rasio murni, tidak dapat dilepaskan dari peran imajinasi
transendental dalam pembentukannya. Kenyataannya, dalam destruksi Heidegger,
waktu dan rasio murni itu sendiri bersumber dari imajinasi transendental
(Einbildung-Kraft). Penafsiran ini tentu saja amat radikal dan melampaui tesis
pemikiran Kant sendiri. Namun menurut Heidegger gagasan ini sebenarnya sudah
implisit dalam pandangan Kant ketika dia mengatakan bahwa imajinasi
transendental, sebagai fakultas yang terandaikan dalam proses sintesis, berciri
intelektual (rasional) sekaligus sensibel (intuitif).
Bab ini akan menguraikan bagaimana Heidegger, dengan minat
pemikirannya pada fenomena pemahaman Ada, membaca ulang secara destruktif
hubungan antara rasio murni dan intuisi murni dengan imajinasi transendental.
Dalam bagian pertama bab ini, saya akan mengulas hubungan imajinasi
transendetal dengan waktu yang diawali dengan klarifikasi konsep waktu Kant.
40
Bagian kedua mengulas hubungan antara imajinasi transendental dengan rasio
murni. Bagian ketiga berisikan pembacaan Heidegger atas konsep imajinasi
transendental sebagai konsekuensi keterbatasan. Pembacaan ini saya sisipkan
dalam bab ini karena gagasan keterbatasan Heidegger berkaitan langsung dengan
karakter intuitif dan intelektual dari imajinasi. Selanjutnya, pada bagian terakhir
saya akan memberikan ulasan ringkas tentang implikasi pemikiran transendental
Heidegger dalam pemikiran etika dan keagamaan; tinjauan singkat tentang
keunggulan dan kelemahan analisis Heidegger dan pembacaannya atas Kant.
Penting untuk terus diingat bahwa pembacaan Heidegger bagaimanapun
dilatarbelakangi oleh minatnya pada fenomena pemahaman Ada. Sebagaimana
telah dikatakan, motif destruksi Heidegger adalah mengeksplisitkan fenomena
pemahaman Ada dalam teks yang didestruksi. Karena itu, pembacaannya atas
imajinasi transendental dan hubungannya dengan intuisi murni dan rasio murni,
harus juga dilihat sebagai ikhtiar menegaskan fenomena transendensi sebagai
pemahaman Ada, karakternya dan kedudukannya dalam struktur pemahaman atau
struktur eksistensi manusia.
A. WAKTU DAN IMAJINASI TRANSENDENTAL: PEMBACAAN KE
ARAH TEMPORALITAS TRANSENDENSI
Kant memahami waktu sebagai sejenis intuisi murni. Kant menyebutnya
intuisi karena menurutnya waktu dihadirkan secara langsung atau terberi begitu
saja dalam bentuk afeksi ∗ . Waktu juga disebut “murni” karena waktu tidak lain
∗
Afeksi berasal dari bahasa Latin “afficere” yang berarti pengaruh atau dorongan yang
biasanya diasosiasikan dengan timbulnya perasaan. Intuisi adalah fakultas pengetahuan yang
dengannya objek-objek atau hal-hal lain mengafeksi subjek secara langsung. Waktu adalah sejenis
afeksi yang bersifat murni. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 19
41
adalah bentuk dari proses intuisi subjektif.1 Ketika subjek merepresentasikan datadata pengalaman melalui intuisinya, intuisi subjek tidak hanya terarah pada apa
yang diintuisi melainkan juga pada proses mengintuisi itu sendiri, dengan kata
lain, pada dirinya sendiri (self-intuiting). Intuisi subjek, karenanya, tidak hanya
terafeksi oleh objek-objek pengalaman melainkan juga oleh aktivitasnya sendiri
sebagai proses mengintuisi. Pada titik inilah, menurut Kant, intuisi waktu
terandaikan (presupposed). Ketika intuisi mengintuisi aktivitas intuitifnya (selfintuiting), intuisi merepresentasikan atau “merasakan” perubahan-perubahan
dalam proses mengintuisi. 2 Perubahan-perubahan tersebut bukanlah semacam
perpindahan posisi dalam ruang, melainkan pergantian-pergantian (succession)
kehadiran dalam waktu. Dalam proses itu, intuisi waktu menjadi niscaya karena
tanpanya, pergantian-pergantian tersebut tidak akan dapat direpresentasikan
sebagai pergantian-pergantian dalam waktu. Waktu memungkinkan setiap proses
mengintuisi direpresentasikan sebagai “yang telah berlalu”, “yang sedang terjadi”,
atau “mungkin terjadi” dan itu, menurutnya, menunjukkan bahwa waktu terintuisi
“lebih dulu” (a priori). 3 Namun demikian, waktu bukanlah sesuatu yang terintuisi
dari luar subjek. Kant menolak eksistensi absolut waktu. Intuisi waktu hanya
1
Selain waktu, Kant juga sebenarnya mengenal jenis intuisi murni lainnya, yaitu, ruang.
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press,
1964), h. 68. Namun, karena pembacaan Heidegger terbatas pada konsep waktu Kant, maka
demikian pula skripsi ini. Tentang hal ini, lihat Martin Heidegger, Kant and the Problem of
Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 31-34
2
Dalam Critique Kant menyebut fenomena intuisi atas intuisi (self-intuition) sebagai sejenis
penginderaan yang mengarah ke dalam yang karenanya disebut indera-dalam (inner-sense).
Lawan dari indera-dalam adalah indera-luar (outer-sense), yaitu ketika intuisi mengintuisi objekobjek pengalaman; mengarah keluar. Bentuk dari intuisi-luar adalah ruang; bentuk dari intuisidalam adalah waktu. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New
York: St Martin Press, 1964), h. 67
3
Tentang karakter “a priori” waktu, lihat Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen.
Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 76-79
42
dapat muncul bersamaan dengan dinamika suksesif intuisi subjek. Karena itu,
waktu sepenuhnya berciri subjektif dan karena itu pula ia disebut murni.
Waktu, lanjut Kant, direpresentasikan secara “tak terbatas” (unlimited)
seperti sebuah garis yang memanjang terus ke depan dan ke belakang, tanpa tepi
(unlimited). Tentu saja kita dapat mengatakan “dulu”, “sekarang”, dan “nanti”
yang menunjukkan bahwa waktu itu terbagi-bagi ke dalam bentuk waktu yang
berbeda-beda yang masing-masing memiliki batas (limit). Tetapi menurut Kant,
“bagian-bagian (parts) waktu yang berbeda tidak lain hanyalah pembatasan
(limitation) atas waktu sebagai efek dari proses intuisi subjek yang terjadi secara
suksesif. 4 Dengan kata lain, waktu yang berbeda sebenarnya merujuk pada waktu
yang satu dan sama (one and the same time)”. 5 Di sini kita melihat bagaimana
waktu dalam konsepsi Kant dipahami sebagai keseluruhan tak terbatas yang
direpresentasikan (represented whole) yang walaupun terbagi ke dalam batasbatas atau bagian-bagian (dulu, sekarang, nanti), ia tetap dihadirkan atau
direpresentasikan sebagai keseluruhan. 6
Dalam pembacaan Heidegger, waktu yang direpresentasikan sebagai
“keseluruhan tak terbatas” yang memungkinkan setiap bagian-bagian waktu selalu
terpahami sebagai keseluruhan menunjukkan bahwa waktu memiliki karakter
sintetisnya sendiri yang terbedakan dari sintesis konseptual. “Representasi
keseluruhan [waktu] tidak terberi melalui konsep, karena konsep hanya berisi
4
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 100
5
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 75
6
Sebagaimana waktu, Kant juga menggambarkan ruang sebagai garis memanjang (satu
dimensi) yang bagian-bagiannya tidak lain adalah ruang yang satu dan sama; ruang, sebagaimana
waktu, direpresentasikan sebagai “tak terbatas”. Perbedaannya, jika bagian-bagian ruang (samping,
depan, atas) diintuisi secara serentak (simultaneous) maka bagian-bagian waktu diintuisi secara
bergantian (successive). Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith
(New York: St Martin Press, 1964), h. 75
43
representasi parsial”. 7 Konsep hanya merepresentasikan ciri-ciri umum suatu
objek (common properties) yang sebenarnya hanyalah sebagian saja dari ciri
objek. Konsep buku, misalnya, hanya merepresentasikan ciri-ciri umum buku
(mis, tumpukan kertas tulis berbentuk segi empat) yang tidak sepenuhnya
menggambarkan buku yang direpresentasikan (mis, tumpukan kertas tulis
berbentuk segi empat + berwarna kuning dan bergambar Ronaldinho). Berbeda
dari representasi konseptual, representasi intuitif waktu merangkum seluruh
bagian-bagian waktu secara penuh. Hal ini karena waktu bukanlah hasil abstraksi
atas waktu-waktu yang berbeda, melainkan “sesuatu” yang terintuisi secara
langsung dan a priori sebagai keseluruhan tak terbatas (unlimited whole); waktuwaktu yang berbeda adalah wujud terbatas dari waktu yang sama.
Pada titik pembacaan ini, Heidegger dalam “Kant and the Problem”
sampai pada kesimpulan bahwa apa yang memungkinkan terjadinya sintesis
waktu adalah waktu itu sendiri. Lalu bagaimanakah hubungannya dengan
imajinasi transendental? Tentang hal ini, Heidegger mengatakan bahwa imajinasi
transendental memiliki dasarnya pada waktu; waktu adalah asal mula imajinasi.
Bagaimanakah itu dijelaskan? Dan apakah arti destruksi Heidegger ketika dia
mengatakan bahwa waktu adalah dasar atau sumber bagi imajinasi transendental?
1. Representasi Waktu dalam Tiga Horizon Waktu: Imajinasi Transendental
sebagai Asal Mula Waktu
Untuk
menunjukkan
bahwa
waktu
adalah
asal
mula
imajinasi
transendental, Heidegger pertama-tama menunjukkan sebaliknya, bahwa imajinasi
transendental adalah asal mula waktu (origin of time). Dasarnya adalah pandangan
7
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 75
44
Kant sendiri dalam “Critique” ketika dia mengatakan bahwa dalam setiap momen
suksesif waktu, selalu terjadi sintesis di dalamnya. Dengan suksesi waktu Kant
memahaminya sebagai suksesi waktu “sekarang”, yaitu sekarang yang sedang
berlangsung, sekarang yang telah berlalu, dan sekarang yang mungkin terjadi. 8
Dengan kata lain, Kant menggambarkan waktu sebagai titik-titik waktu
“sekarang” yang muncul bergantian (sequence of nows). Selanjutnya, menurut
Kant, masing-masing waktu “sekarang” adalah horizon waktu bagi tiga jenis
sintesis empiris: sintesis aprehensi, sintesis reproduksi dan sintesis rekognisi.
Sebagai sintesis empiris, modus-modus sintesis ini adalah “penghadiran” dengan
cara “menyatukan”. Apa yang disatukan adalah sesuatu yang berasal dari objek
berupa data-data inderawi partikular yang senantiasa “berada dalam waktu”
(within time)—berada dalam horizon waktu sekarang yang berbeda-beda. Sintesis
aprehensi, misalnya, mensintesiskan data-data objek di waktu sekarang yang
sedang berlangsung; sintesis reproduksi mensintesiskan partikularitas data-data
inderawi yang hadir di waktu sekarang yang telah berlalu; sintesis rekognisi
mensintesiskan partikularitas data-data inderawi yang hadir di waktu sekarang
yang akan datang (belum terealisasi namun mungkin terealisasi). 9
Sintesis aprehensi adalah sintesis penghadiran (presenting). Sintesis
reproduksi adalah sintesis ingatan (recollecting). Sintesis rekognisi adalah sintesis
harapan atau antisipasi (anticipating). Ketiga sintesis ini menurut Heidegger
saling mengandaikan satu sama lain karena terbentuknya pengetahuan adalah
terbentuknya sintesis tiga jenis representasi sintetis ini. Sintesis aprehensi tidak
8
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 124-131
9
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 125-128
45
mungkin terjadi tanpa adanya sintesis reproduksi; menghadirkan objek yang hadir
di waktu sekarang selalu mengandaikan penghadiran objek tersebut sebagai objek
yang pernah ada di waktu lalu (sekarang yang telah berlalu). 10 Tanpa
menghadirkan kembali (baca: mengingat) masa “lalu” objek, sintesis aprehensi
akan selalu gagal karena objek “sekarang” tidak dapat dibandingkan dengan masa
lalunya sehingga tidak dapat dikenali (identified) sebagai objek yang hadir
“sekarang”. 11 Namun demikian, sintesis ingatan (recollection) hanya mungkin
jika dalam sintesis terjadi antisipasi (anticipating). Dengan kata lain, ketika subjek
mensintesiskan data-data pengalaman, dalam peristiwa itu mesti terjadi antisipasi
dalam hal manakah dari data-data yang disintesiskan tersebut memiliki
kemungkinan untuk hadir kembali. Data-data yang memiliki kemungkinan untuk
hadir kembali itu selanjutnya dipertahankan atau diingat (recollected) dalam
proses antisipasi yang dengan demikian memungkinkan data-data yang diingat itu
dibandingkan dengan objek “sekarang”. Antisipasi memungkinkankan adanya
ingatan, yang dengannya penghadiran juga menjadi mungkin. Karena itu, menurut
Heidegger, masa depan sebagai antisipasi memiliki kedudukan primer karena ia
merupakan kondisi ultim bagi pembentukan dua modus waktu lainnya (dulu dan
sekarang). 12
Dalam pembacaan Heidegger, pengandaian tentang keniscayaan imajinasi
transendental dalam tiga modus sintesis ini bertolak dari kenyataan bahwa sintesis
empiris selalu terkondisikan dalam sintesis murni dan bahwa setiap sintesis selalu
10
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 125-128
11
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 128-132
12
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 131
46
meniscayakan adanya kerja imajinasi. Menurut Heidegger, bertolak dari
argumentasi Kant, sintesis empiris terbentuk oleh imajinasi empiris, sementara
sintesis murni terbentuk oleh imajinasi transendental. Karena itu, sebagaimana
sintesis empiris selalu mengandaikan sintesis murni, demikian halnya imajnasi
empiris selalu mengandaikan imajinasi transendental. Ketiga jenis sintesis empiris
di atas sebagai produk imajinasi empiris dengan demikian mengandaikan tiga
jenis sintesis murni yang dibentuk oleh imajinasi transendental. Tetapi apakah
yang direpresentasikan dalam tiga jenis sintesis murni tersebut? Pada level
murninya, masing-masing sintesis tidak menghadirkan objek menurut ciri
waktunya, melainkan waktu itu sendiri. Demikian misalnya, sintesis aprehensi
pada level “murni”-nya tidak menghadirkan objek yang hadir di waktu
“sekarang”, tetapi menghadirkan waktu “sekarang” itu sendiri. Sintesis “murni”
reproduksi tidak menghadirkan objek yang pernah hadir di waktu “lalu”, tetapi
waktu “lalu” itu sendiri dalam kaitannya dengan waktu “sekarang”. Demikian
halnya, sintesis “murni” rekognisi bukan menghadirkan kemungkinan objek di
masa “depan”, tetapi masa “depan” itu sendiri sebagai antisipasi kemungkinankemungkinan. Ketiga sintesis murni di atas, yang menghadirkan tiga horizon
waktu, adalah produk imajinasi transendental dan dalam arti inilah menurut
Heidegger imajinasi transendental dipahami sebagai “asal mula” waktu. 13
2. Representasi Waktu sebagai Keseluruhan: Waktu sebagai Dasar bagi
Imajinasi Transendental (Temporalitas)
Berdasarkan uraian di atas, imajinasi transendental menghadirkan waktu
melalui pembentukan tiga jenis sintesis murni (aprehensi murni, reproduksi
13
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 123-125
47
murni, dan rekognisi murni) yang masing-masing menghadirkan tiga horizon
waktu yang berbeda (“sekarang”, “masa lalu”, dan “masa depan”). Tetapi
pengetahuan adalah tersintesiskannya tiga horizon waktu sehingga pertanyaan
Heidegger adalah “apakah yang memungkinkan sintesis tiga horizon waktu
tersebut? 14 Heidegger dalam Kant and the Problem memperlihatkan bahwa tiga
horizon waktu di atas sebenarnya merujuk pada horizon waktu yang satu dan
sama (one and same). “Sekarang”, “masa lalu”, atau “masa depan” adalah tiga
ekspresi dari waktu yang sama. Pandangan ini didasarkan pada tesis Kant sendiri
bahwa waktu selalu direpresentasikan sebagai keseluruhan. Perbedaan waktu
tidak lain adalah pembatasan (limitation) atas keseluruhan waktu sebagai efek
dari proses representasi yang berciri suksesif. 15 Dengan demikian, menurut
Heidegger, apa yang memungkinkan imajinasi transendental dapat membentuk
tiga horizon waktu dan mensintesiskannya adalah waktu itu sendiri dan atas dasar
inilah, menurut Heidegger, waktu dipahami sebagai asal mula imajinasi
transendental. 16
Pandangan Heidegger tentang hubungan waktu dan imajinasi transendental
ini sepintas tampak tidak konsisten. Namun demikian, uraian Heidegger tersebut
dapat disimpulkan sebagai berikut: jika waktu dilihat dalam perbedaannya (dulu,
sekarang, nanti), maka imajinasi transendental adalah asal mula bagi waktu.
Namun, jika waktu dilihat dalam keseluruhannya (sebagai representasi
keseluruhan), maka waktu adalah asal mula imajinasi transendental.
14
William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1963), h. 142
15
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 139-140
16
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 137
48
Namun demikian, menurut saya, dengan mengatakan bahwa imajinasi
transendental sebagai asal mula waktu, atau, waktu sebagai asal mula
transendental, Heidegger sebenarnya tidak sedang mengubah pandangannya. Dia
hanya ingin mengatakan bahwa imajinasi transendental itu mewaktu (temporal).
Dengan pembacaan ini Heidegger sebenarnya hendak memperkenalkan konsep
waktu “Being and Time” ke dalam Critique of Pure Reason, yaitu, waktu dalam
arti mewaktu (time-ing). Heidegger memperkenalkan konsep waktu sebagai gerak
dinamis yang menandai proses pemahaman Ada atau pengetahuan murni, yang
dalam Kant, diasumsikan sebagai “produk” imajinasi transendental. Karena itu,
mengatakan bahwa imajinasi transendental itu mewaktu (temporal) sama dengan
mengatakan bahwa transendensi sebagai pemahaman Ada itu terbentuk dalam
horizon waktu; memiliki karakter waktu. Pandangan ini tak diragukan lagi
merupakan pandangan yang khas “Being and Time” di mana Heidegger
memperlihatkan kaitan antara Ada (Being) dengan waktu (Time). 17
B. IMAJINASI TRANSENDENTAL DAN KEDUDUKAN RASIO DALAM
DESTRUKSI HEIDEGGER
Kita telah mendiskusikan bagaimana sifat intuitif imajinasi (determinasi
waktu oleh imajinasi) diradikalkan oleh Heidegger sebagai sifat temporal (sifat
mewaktu) imajinasi, yang karenanya juga merekonstruksi konsep waktu Kant.
Masalah selanjutnya adalah: Bagaimanakah Heidegger meradikalkan karakter
intelektual dari imajinasi? Dan konsekuensi apakah yang lahir dari pembacaan
ulang atas rasio dalam kaitannya dengan imajinasi transendental?
17
Martin Heidegger, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996), h. 15
49
Pemikiran Heidegger dalam “Kant and the Problem” adalah pemikiran
Kant yang dibaca dari perspektif terbalik. Dalam “Critique” Kant mengemukakan
gagasan imajinasi melalui pendekatan rasio dan intuisi; sebaliknya, dalam “Kant
and the Problem” Heidegger justru berusaha melihat rasio murni dan intuisi murni
dari titik tolak imajinasi transendental. Pembacaan ini dilakukan karena menurut
Heidegger, imajinasi transendental itu adalah pusat transendensi (centre for
transcendence);
fakultas
yang
memungkinkan
sintesis
murni
melalui
pembentukan skema transendental (esensi sintesis murni). Menganalisis rasio
murni dan intuisi murni dari titik tolak imajinasi transendental, karenanya, berarti
melihat bagaimana dua fakultas pengetahuan tersebut (rasio dan intuisi) terpusat
pada imajinasi transendental. 18
Dalam pembacaan Heidegger, imajinasi sebagai esensi sintesis murni atau
sebagai pusat transendensi menunjukkan bahwa konsep-konsep murni yang
dihasilkan rasio murni memiliki dasarnya pada imajinasi transendental,
sebagaimana waktu memiliki dasarnya pada imajinasi transendental. Alasannya
terletak dalam pembacaan Heidegger atas konsep skema Kant:
Heidegger sepakat dengan Kant bahwa skema merupakan bentuk
representasi sintetis intuisi-rasio. Heidegger bahkan mempertegas bahwa apa yang
direpresentasikan dalam skema bukanlah sesuatu yang dapat dianalisa atau
digambarkan dengan pendekatan rasio-intuisi. Terandaikannya skema bagi
Heidegger menunjukkan bahwa representasi yang tampil dalam kesadaran subjek
bukanlah representasi rasio (konsep-konsep) atau pun representasi intuisi. Kant
sendiri mengakui bahwa kita tidak pernah dapat mengetahui bagaimana skema itu
18
William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1963), h. 137
50
ditampilkan dalam kesadaran (kesadaran subjek) atau bagaimana ia terbentuk.
Kita mungkin bisa menganalisis bentuk-bentuk dari representasi intuisi sebagai
berciri partikular sebagaimana kita juga dapat menganalisis representasi konsep
sebagai sesuatu yang berciri umum. Tetapi representasi skema tidak dapat
dianalisis dengan cara demikian karena ia bukan konsep dan juga bukan data-data
intuisi, melainkan sintesis keduanya. Sebagai sintesis keduanya, skema itu
melampaui keduanya.
Heidegger tidak menjelaskan dalam Kant and the Problem apakah yang
dimaksud dengan “melampaui” tersebut. Namun demikian, bagi Heidegger jelas
bahwa jika representasi skema mesti terandaikan mendahului (a priori)
representasi intuisi dan rasio untuk memungkinkan sintesis keduanya, maka itu
berarti skema menjadi dasar (origin) bagi representasi intuisi dan rasio. 19 Hal ini
berlaku juga bagi skema transendental yang didefinisikan oleh Kant sebagai
determinasi waktu (time determination); sebagai momen sintesis murni yang
memungkinkan konsep-konsep murni dapat diterapkan pada objek-objek
pengalaman. Karena itu, jika rasio murni adalah fakultas pengetahuan yang
merepresentasikan konsep-konsep murni dan intuisi murni adalah fakultas yang
merepresentasikan waktu, maka baik konsep-konsep murni atau pun waktu
memiliki dasarnya pada skema transendental. Tetapi skema transendental adalah
produk imajinasi transendental sehingga, menurut Heidegger, kita juga bisa
mengatakan bahwa rasio murni dan intuisi murni (waktu) tidak lain adalah dua
momen imajinasi transendental.20
19
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 76, 79
20
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 87-93,99
51
Dalam kaitannya dengan konsep-konsep murni, pandangan Heidegger di
atas dapat dinyatakan secara ringkas sebagai berikut: bukan konsep-konsep murni
yang memberikan kontribusi bagi pembentukan skema transendental melainkan
skema transendental itulah yang memberikan kontribusi bagi pembentukan
konsep-konsep murni.
Selanjutnya, dengan mengatakan bahwa rasio memiliki dasarnya pada
imajinasi transendental atau bahwa konsep-konsep murni bersumber dari skema
transendental, pembacaan Heidegger juga mengarah pada pandangan bahwa
pemahaman-pemahaman konseptual (produk rasio) tidak lain adalah derivasi dari
pemahaman pada level skema (transendensi). Tesis ini memang tidak
dikemukakan secara eksplisit dalam “Kant and the Problem”, tetapi indikasinya
sangat gamblang terutama jika kita membandingkannya dengan konsep
transendensi yang dikembangkan Heidegger dalam “Being and Time”, di mana
transendensi yang terbentuk melalui skema transendental dipahami sebagai
fenomena pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada.
Fenomena pemahaman Ada, sebagaimana dapat kita temukan dalam
“Being and Time” atau pun dalam “Kant and the Problem”, dicirikan setidaknya
oleh tiga hal: Ada terpahami secara pra-ontologis, bersifat temporal (mewaktu),
dan ditandai oleh keterlibatan dengan dunia. 21 Ketika Kant mengatakan bahwa
pemahaman terbentuk melalui proses sintesis di mana rasio dengan konsepkonsep murninya memiliki peran esensial, bagi Heidegger Kant telah mereduksi
pemahaman Ada (transendensi) menjadi semata-mata pemahaman kategorial
(substansi, kausalitas, dan sebagainya).
21
Karakter pemahaman Ada ini hanya secara jelas dan lengkap dijelaskan dalam “Being
and Time”.
52
Suatu entitas menurut Heidegger tidak terpahami cara meng-Ada nya (its
mode of Being) semata-mata berdasarkan konsep-konsep seperti substansi, esensi,
kausalitas, posibilitas, dan seterusnya, melainkan berdasarkan totalitas referensial
entitas tersebut dalam merealisikan dorongan manusia (Dasein) untuk meng-Ada
(drive-to-Be/Seinkonnen). Misalnya, sebuah kapur, dalam perspektif Kant,
dipahami karena substansinya yang berwarna putih, sementara dalam perspektif
Heidegger, kapur tersebut dipahami dalam totalitas referensialnya dengan papan
tulis, penghapus, penggaris yang semuanya terungkap (disclosed) karena
dorongan Dasein untuk meng-Ada (mis, meng-Ada sebagai dosen). Bentuk
pemahaman yang terakhir ini bagi Heidegger bersifat pra-ontologis, terikat
dengan dunia (kontekstual), dan mewaktu. Sementara dalam Kant, pemahaman
berdasarkan konsep-konsep murni itu bersifat sadar (reflektif), lepas dari
“dunia” ∗ , dan berada dalam rangkaian waktu “sekarang”. 22
Titik tolak penting yang perlu terus diingat dalam pemikiran Heidegger,
baik dalam “Being and Time” atau pun dalam Kant and the Problem adalah
fenomena pemahaman Ada. Dalam pembacaannya terhadap Kant, Heidegger
menemukan fenomena pemahaman tersebut pada doktrin penerapan konsep
(skematisme), yaitu, momen terbentuknya skema transendental oleh imajinasi
transendental—ini tentu saja terlepas dari apakah Kant sendiri memaksudkannya
demikian atau tidak. Secara konseptual, Heidegger menyejajarkan pemahaman
Ada dengan skema transendental karena pada titik itulah transendensi terbentuk;
∗
Maksudnya: lepas dari konteks referensialitas cara meng-Ada entitas-entitas lain.
Bedakan dengan konsep “mewaktu” Heidegger.
22
53
dan Dasein sebagai entitas yang terbuka pada Ada disejajarkan dengan imajinasi
transendental. 23
Apa yang membedakan Heidegger dari Kant adalah gagasan bahwa skema
transendental (atau pemahaman Ada) itu adalah fakta terjelas dalam kehidupan
sehari-hari manusia (Dasein) dibandingkan fakta rasio yang ditafsirkan sebagai
dasar pemahaman oleh Kant. Rasio yang ditafsirkan sebagai fakultas aturan bagi
pemahaman dan karenanya menjadi dasar pemahaman, menurut Heidegger, bisa
“ya” bisa juga “tidak” (perhaps ultimate intelligibility). 24 Kenyataannya,
fenomena pemahaman Ada bagi Heidegger adalah fenomena yang jauh lebih
kompleks dari sekadar pembentukan konsep-konsep. Seorang jawa yang
memahami dirinya sebagai jawa mengandaikan pemahaman akan keterkaitan
seluruh modus Ada entitas (aksesoris, gestur, busana, bahasa dan sebagainya)
yang semua itu terungkap (discovered) dalam rangka realisasi-diri seorang jawa
(meng-Ada sebagai jawa). Fenomena ini tentu tidak dapat dijelaskan dengan
perspektif pembentukan konsep-konsep dan penerapannya ke dalam pengalaman
sebagaimana dalam paradigma Kant.
C.
IMAJINASI
TRANSENDENTAL
DAN
GAGASAN
TENTANG
TRANSENDENSI TERBATAS
Heidegger tidak sekadar menunjukkan bahwa imajinasi transendental itu
adalah fakultas pemahaman Ada yang bersifat temporal, pra-ontologis, dan
terlibat dengan dunia. Sebagai fakultas transendental, imajinasi transendental juga
mengeksplisitkan aspek lain dari pemikiran Kant, yaitu ide keterbatasan. Gagasan
23
William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1963), h. 153-154
24
Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time
Division I (Cambridge: The MIT Press), h. 155-161
54
keterbatasan dalam pemikiran Kant sudah sejak awal ditegaskan oleh Heidegger
dalam bab pertama Kant and the Problem. Dia menafsirkan bahwa salah satu
“motif” dari upaya filsofis Kant dalam “Critique” tidak lain adalah menentukan
batas-batas
pengetahuan
metafisis-dogmatis. 25
Upaya
tersebut,
menurut
Heidegger, ditempuh dalam bentuk penyelidikan terhadap struktur rasio karena
menurut Kant rasio adalah fakultas pengetahuan yang mensuplai konsep-konsep
murni pemahaman, sebagai faktor esensial dalam pembentukan pengetahuan. 26
Sebagai faktor esensial pengetahuan, Kant menunjukkan pada saat yang sama
bahwa rasio itu terbatas. Keterbatasan rasio itu terletak pada kenyataan bahwa
konsep-konsep murni yang dihasilkan rasio bukanlah konsep-konsep yang
memberikan informasi tentang kenyataan eksternal, melainkan semata-mata
aturan pemahaman yang hanya berfungsi sebagai aturan jika mereka diterapkan ke
dalam pengalaman. Karena itulah, menurut Kant, suatu pemikiran yang sematamata mendasarkan dirinya pada rasio (mere reason) semisal metafisika tidaklah
memberikan pengetahuan apa pun tentang kenyataan, kecuali sebagai spekulasispekulasi yang diselubungi antinomi-antinomi. 27
Dalam destruksi Heidegger, sementara itu, ketergantungan rasio pada
intuisi yang ditegaskan oleh Kant menunjukkan bahwa esensi keterbatasan itu
terletak pada intuisi. 28 Pada level intuisi lah menurut Heidegger pengetahuan
manusia mula-mula terbentuk, suatu pandangan yang Kant sendiri menyetujuinya
25
Penafsiran ini kenyataannya sudah mulai umum bahkan di kalangan komentatorkomentator pemikiran Kant sendiri. Lihat misalnya salah satu komentar Paul Guyer dalam
pengantarnya untuk The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge University Press,
1996), h. 1-25
26
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 9
27
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 6
28
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 14-16
55
dalam beberapa paragraf “Critique”-nya. Karena itu, menurut Heidegger,
penyelidikan terhadap esensi keterbatasan pengetahuan manusia harus bertolak
dari keterbatasan intuisi sebagai aspek fundamental pengetahuan:
Intuisi manusia itu terbatas karena intuisi manusia tidak menciptakan
objek yang diintuisinya. Intuisi manusia sekadar bersifat reseptif (menerima). Ia
adalah sejenis fakultas pemahaman yang memungkinkan manusia (Kant: subjek)
terafeksi oleh objek-objek di sekitarnya yang memang sudah ada. Lawan dari
intuisi terbatas manusia (finite intuition) adalah intuisi ilahi yang tak terbatas
(Divine Intuition). Intuisi ilahi, Heidegger mengutip Kant, bersifat kreatif, yaitu,
menciptakan objek yang diintuisinya. Karena itu, intuisi ilahi tidak memerlukan
fakultas lain semisal rasio yang berfungsi menyatukan data-data atau objek-objek
intuisi dalam rangka membentuk pemahaman. Rasio adalah konsekuensi langsung
dari intuisi terbatas (finite intuition). 29 Bagi intuisi ilahi, proses “pemahaman”
atau pengetahuan adalah efek dari keterbatasan. Intuisinya sudah lebih dari
memadai dibandingkan pemahaman rasional (berdasarkan nalar/rasio), karena itu
intusi ilahi tidak membutuhkan pemahaman demikian. Jika kita mengikuti alur
logis dari pengandaian ini, maka apa yang terintuisi dalam intuisi ilahi adalah
keseluruhan kenyataan-pada-dirinya (numena/thing in itself). Sementara apa yang
terintuisi dalam intuisi terbatas adalah kenyataan parsial yang berjarak terhadap
subjek, yang kompleksitasnya tidak terkuasai oleh intuisi terbatas subjek. Karena
itu kenyataan yang tampak pada intuisi terbatas hanyalah kenyataan sebagaimana
ia
ditampakan
29
(fenomena/appearance),
bukan
kenyataan
pada
dirinya
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 17
56
(numena/the thing-in-itself). Intuisi terbatas hanya menerima “pantulan” dari
kenyataan yang sesungguhnya. 30
Dalam Kant and the Problem, pembacaan Heidegger menyangkut tema
keterbatasan diarahkan pada ciri terbatas imajinasi transendental. Sebagaimana
rasio adalah konsekuensi lebih jauh dari keterbatasan intuisi, demikian halnya
dengan imajinasi transendental. Imajinasi transendental bersifat terbatas karena
imajinasi tidak menciptakan objek apa pun. Walaupun imajinasi transendental
sebagai fakultas yang mengkonstitusi transendensi memiliki fungsi pengetahuan,
dalam transendensi itu sendiri tidak ada “sesuatu” pun yang diketahui. Dalam
bahasa Kant, apa yang diketahui dalam transendensi (sintesis murni/skema
transendental) adalah ketiadaan, nothing. Heidegger menafsirkan “ketiadaan”
tersebut sebagai Ada (non-beings/bukan-sesuatu) dan transendensi karenanya
adalah pemahaman Ada. Tetapi itu tidak mengubah arti “ketiadaan” sebagaimana
yang dipahami oleh Kant. Ada, bagi Heidegger, juga bukanlah apa pun (nothing).
Perbedaannya, dengan menggunakan kata “Ada” Heidegger menjadi lebih mudah
untuk menunjukkan bagaimana “ketiadaan” tersebut mengkonstitusi pemahaman
atau pengetahuan empiris Dasein. Demikian misalnya, Heidegger akan selalu
mengatakan bahwa pemahaman terhadap suatu entitas adalah karena entitas itu
Ada; karena entitas tersebut terpahami cara-Adanya dan bahwa cara Ada suatu
entitas selalu terkait secara referensial dengan cara Ada entitas-entitas lain.
Tentu saja transendensi adalah sejenis kemampuan. Namun kemampuan di
sini bukanlah kemampuan untuk membuat objek, melainkan kemampuan
30
Namun demikian, bagi Heidegger, “kenyataan pantulan” atau pun “kenyataan yang
sesungguhnya” adalah kenyataan yang sama. Istilah penampakan (pantulan) dan kenyataan
sesungguhnya bagi Heidegger sebenarnya adalah perbedaan intuisi ilahi dan intuisi terbatas.
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft (Bloomington: Indiana
University Press, 1997), h. 22-23.
57
memahami objek, memahami cara meng-Ada nya. Ada hanya memiliki fungsi
pemahaman, bukan fungsi penciptaan. Menjadi paham bagi Heidegger tidaklah
membuat intuisi terbatas subjek menjadi tidak terbatas. Karena itu, alih-alih
mengatakan bahwa transendensi adalah keistimewaan yang dimiliki subjek, bagi
Heidegger lebih tepat mengatakan bahwa transendensi adalah ciri keterbatasan.
Transendensi adalah konsekuensi keterbatasan. 31 Pada level ini, kita tentu dapat
membuat pertanyaan spekulatif: apakah transendensi itu diperlukan jika manusia
menciptakan objeknya sendiri?
Ide tentang transendensi terbatas (finite transcenedence) tampak juga
dalam sifat temporal imajinasi transendental. Sebagaimana telah sedikit
disinggung, temporalitas imajinasi transendental berbeda dari konsep waktu Kant
yang dipahami sebagai urutan “sekarang” (sequence of nows). Temporalitas atau
kemewaktuan bagi Heidegger adalah gagasan keterarahan imajinasi transendental
pada kemungkinan; sejenis antisipasi atau ekspektasi yang terarah pada masa
depan—dalam
terminologi
Kantian
disebut
sintesis
rekognisi
murni.
Kemewaktuan semacam ini harus dipahami sebagai ciri keterbatasan menurut
Heidegger, karena “keterarahan pada kemungkinan” yang dimaksud di sini
bukanlah semacam perencanaan yang dengan rencana tersebut manusia
memegang kendali atas dirinya atau entitas-entitas selainnya. Antisipasi itu lebih
tepat digambarkan sebagai semata-mata dorongan atau impuls untuk meng-Ada
(drive-to-be/seinkonnen). Dalam “Being and Time”, Heidegger menerapkan
konsep ini secara lebih jelas, di mana Dasein (sinonim dari imajinasi
transendental) yang selalu terarah pada kemungkinan menunjukkan bahwa Dasein
31
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 53
58
tidak pernah mengalami sudah; dorongan untuk meng-Ada bukanlah semacam
dorongan yang dapat dipenuhi seperti halnya dorongan rasa lapar atau haus. 32
Dalam Heidegger, dorongan untuk meng-Ada adalah dorongan primordial yang
selalu hadir dalam setiap aktivitias pemahaman manusia. Dorongan tersebut tidak
hilang disebabkan seseorang telah mencapai cita-citanya. 33 Ketika seorang guru
sedang mengajar, dia selalu berada dalam dorongan tersebut dan hanya jika
dorongan itu tetap ada, dia dapat mempraktikkan (memahami) perannya sebagai
guru. Dengan demikian, Dasein tidak pernah mengalami sudah; Dasein selalu
mengalami kebeluman yang dengan kebeluman tersebut Dasein selalu berada
dalam kondisi realisasi-diri terus menerus, sebuah kenyataan yang bagi
Heidegger menunjukkan bahwa Dasein selalu berada dalam keterbatasan.
Tapi tidakkah dengan mengatakan itu menunjukkan bahwa transendensi
bukan semata-mata konsekuensi keterbatasan, melainkan keterbatasan itu sendiri?
Kenyataannya Heidegger berpendapat demikian. Bagi Heidegger, transendensi
adalah keterbatasan itu sendiri. 34
D. IMPLIKASI KONSEP TRANSENDENSI HEIDEGGER TERHADAP
PEMIKIRAN ETIKA DAN KEAGAMAAN
Di luar konteks pemikiran Heidegger, kita dapat menemukan beberapa
konsekuensi pemikirannya yang signifikan dalam berbagai tradisi pemikiran.
Terkait dengan model pembacaan yang diperkenalkannya, pemikiran Heidegger
memiliki kontribusi besar terhadap munculnya tradisi tafsir baru yang dikenal
32
William J Richardson, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague:
Martinus Nijhoff, 1963), h. 38-39
33
Hubert L Dreyfus, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time
Division I (Cambridge: The MIT Press), h. 187
34
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 61. Lihat juga William J Richardson,
Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963), h. 135.
59
sebagai hermeneutika filosofis, suatu model pembacaan yang motif utamanya
tidak diarahkan pada intensi pengarang melainkan pada tegangan persoalan yang
terkandung dalam teks. Eksponen utama dari tradisi tafsir ini adalah Hans Georg
Gadamer, seorang murid langsung Heidegger. Selain itu, tidak bisa dihindarkan
juga kontribusi model pembacaan destruktif Heidegger terhadap dekonstruksi
Derrida, sebuah strategi pembacaan yang mengusut jalinan oposisi biner dalam
sebuah teks dan proses diseminasi makna yang terjadi di dalamnya.
Pemikiran Heidegger memang memiliki potensi pemikiran yang sangat
besar. Pengaruhnya cukup sepadan dengan pemikir-pemikir lain seperti Kant,
Hegel, Nietzsche atau pun Husserl. Tidak heran, jika pemikirannya sering diklaim
memberikan titik tolak penting bagi upaya-upaya baru dalam pemikiran filsafat,
terutama yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai posmodernisme. Namun
demikian, terkait dengan konsep transendensi dan praktik destruksi atas pemikiran
Kant, saya hanya akan menggarisbawahi beberapa implikasi penting pemikiran
Heidegger, yaitu dalam wilayah pemikiran etika dan keagamaan. Bersamaan
dengan pembahasan ini, saya juga hendak mengemukakan keterbatasan konsep
transendensi Heidegger, di samping potensi pemikirannya yang terbuka untuk
ditafsirkan ulang.
1. Destruksi atas “Critique” sebagai Ontologisasi Pemikiran Kant:
Konsekuensi Penting dalam Pemikiran Etika
Dalam “Kant and the Problem”, Heidegger tidak banyak berbicara tentang
etika. Heidegger hanya membicarakan etika tidak lebih dari lima halaman dalam
60
“Kant and the Problem”. 35 Itu pun sekadar untuk menunjukkan bahwa rasio, yang
teoritis (theoretical reason) atau pun praktis (practical reason), hanya memiliki
dasarnya pada imajinasi transendental. Dengan kata lain, fokus pembacaan
Heidegger adalah semata-mata pada imajinasi transendental dan proses
terbentuknya transendensi sebagai pemahaman Ada, sementara tema rasio
dianggap
sekunder
dalam
pembacaannya.
Perlakuan
Heidegger
dalam
pembacaannya terhadap konsep rasio Kant semacam ini menurut beberapa
komentator menjadi sejenis ontologisasi; Heidegger mereduksi gagasan
epistemologis dan etis Kantian menjadi sepenuhnya bersifat ontologis
(ontologisasi), yaitu, menjadi diskursus tentang Ada. Heidegger merangkum
semua pandangan epistemologis dan etis Kant kedalam satu kata, “Ada”.
Menurut hemat penulis, pada level “epistemologis” destruksi Heidegger
memang memperlihatkan keunggulan konsep transendensi yang dibangunnya,
yakni transendensi sebagai pemahaman Ada. Dia berhasil menunjukkan, bahkan
dalam argumen Kantian, keniscayaan transendensi sebagai pemahaman Ada
dalam teks “Critique”, yaitu dalam gagasan sintesis murni atau representasi skema
transendental
yang
dibentuk
oleh
imajinasi
transendental.
Sebagaimana
diperlihatkan dalam “Being and Time”, konsep pemahaman Ada Heidegger lebih
mampu menangkap fenomena pemahaman yang terbentuk dalam dunia sehari-hari
yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan perspektif pemahaman kategorial Kant
(pemahaman berdasarkan kategori-kategori). Hubungan-hubungan yang terjadi
antara manusia dengan dunianya (entitas-entitas dalam dunia) bagi Heidegger
tidak tampak seperti hubungan representatif subjek-objek sebagaimana dipahami
35
Lihat misalnya, Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard
Taft (Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 109-112
61
Kant; bukan regulasi rasio murni atas ciri-ciri partikular suatu objek hasil
representasi intuisi. Hubungan manusia dengan dunianya adalah hubungan
terlibat (involved) yang dibentuk oleh peristiwa ketersingkapan Ada yang
merupakan kondisi primordial bagi manusia yang memungkinkannya memahami
cara Ada setiap entitas dalam dunia, termasuk cara Ada dirinya (its Being).
Tentang hal ini, di atas telah disinggung bagaimana Ada tersebut tersingkap atau
terpahami secara referensial (terikat dalam dunia), mewaktu, dan pra-ontologis.
Sementara itu, pada level etis, ontologisasi dalam pembacaan Heidegger
membawanya pada sejenis pandangan moral yang indifferent; dia menjadi abai
dalam soal prinsip moral-normatif suatu tindakan. Karena itu, bagi beberapa
pemikir, terutama yang tergabung dalam mazhab Frankfurt (teori kritis) misalnya,
pemikiran ontologis Heidegger adalah pemikiran yang mandul ketika dihadapkan
pada problem-problem etis. Ini pernah diperlihatkan oleh Heidegger sendiri ketika
dia terlibat dengan partai Nazi dan secara resmi menyatakan dukungannya
terhadap Hitler pada tahun 1933 dan 1934. Dukungan ini bagi mereka memiliki
kaitan yang sangat jelas dengan pemikirannya. Pemikiran ontologis Heidegger
yang memusat pada Ada membuatnya hanya peduli pada cara bagaimana Ada itu
tersingkap dalam fenomena pemahaman sehari-hari Dasein atau bagaimana
Dasein memahami Ada dirinya (its Being) dan Ada-nya entitas-entitas (Being of
beings) dalam dunia. Dalam lingkup kekuasaan, pandangan semacam itu dapat
ditransformasi ke dalam bentuk penegasan-diri (realisasi-diri) suatu bangsa,
terlepas apakah penegasan diri tersebut ditandai dengan pemusnahan terhadap
suatu ras tertentu atau tidak, bermoral atau tidak. 36
36
Terry Eagleton, The Ideology of the Aesthetic, (Massachusetts: Blackwell Publishers,
1990), h. 310
62
Tentu saja kita masih bisa menemukan sisi normatif dalam pemikiran
Heidegger, tetapi yang normatif tersebut bukan semacam prinsip etis. Semua hal
yang normatif bagi Heidegger adalah produk keduniaan Dasein (faktisitas) yang
dari satu budaya ke budaya lain memiliki arti yang berbeda. Hara kiri di Jepang
adalah suatu praktik yang masuk akal sebagai simbol harga diri dan kehormatan,
namun tidak demikian halnya di Indonesia di mana bunuh diri diartikan sebagai
sikap frustasi dan putus asa. Yang normatif dalam pemikiran Heidegger itu tidak
lebih dari cara bagaimana Dasein hidup dalam dunianya, meng-Ada atau
merealisasikan dirinya sebagai ini atau itu. Apakah cara meng-Ada dibenarkan
atau tidak, masing-masing kebudayaan (dunia di mana Dasein hidup) memiliki
kode-kodenya sendiri. Karena itu, Heidegger tidak mengenal prinsip etika
universal sebagaimana Kant. Heidegger hanya mengenal yang normatif sebagai
produk faktisitas yang bersifat lokal; sementara yang universal adalah pemahaman
Ada itu sendiri.
Faktisitas menurut Heideger mendefinisikan Dasein tentang apa yang
harus dilakukan dan yang tidak, mana yang tepat dan mana yang tidak. Tentu saja
menurut Heidegger individu dalam kebudayaan dapat memberikan perlawanan
terhadap aturan-aturan normatif kebudayaannya dan dengan dalih HAM misalnya
berusaha mengubah praktik-praktik sosial yang berlaku (misalnya, hara kiri
ditentang). Namun masalahnya bagi Heidegger, tidak ada patokan universal
tentang yang baik dan yang buruk. Dalam perspektif Heideggerian, HAM itu
hanyalah modus tafsir dari cara meng-Ada Dasein yang lahir dari situasi kacau—
dan memang temuan-temuan baru dalam pemikiran moral selalu dilatarbelakangi
oleh setting sosial yang hancur. Apa yang kita sebut sebagai “kemajuan moral” itu
63
mungkin saja terjadi. Tetapi, dalam perspektif Heideggerian, kemajuan moral itu
hanya dapat dikatakan sebagai transformasi modus Ada dari bentuk yang satu ke
bentuk yang lain dan kita tidak dapat menyebutnya “kemajuan”.
Pergeseran dari rasio ke imajinasi transendental dalam pembacaan
Heidegger memandulkan kekuatan etis dalam pemikiran Kant. Tidak heran,
mengapa dalam lingkup etika, pandangan orisinal Kant tentang etika masih lebih
bergema dibandingkan Heidegger. Namun demikian, walaupun pandangan
ontologis Heidegger tidak begitu memberikan sumbangan positif bagi
tercegahanya kekerasan, bahkan rentan ditransformasi menjadi kekerasan,
pemikirannya memiliki fungsi etis dalam bentuk lain, yakni dalam hal sikap
terhadap alam (nature)--karenanya pemikiran dia sering menjadi rujukan populer
dalam kritik ekologi. 37
Dalam esai The Question Concerning Technology misalnya, Heidegger
menyinggung tema-tema lingkungan dalam kaitannya dengan esensi teknologi.
Namun demikian, dalam esai ini pun Heidegger sebenarnya tidak sedang
merumuskan suatu konsep etis. Dalam esai ini, dia hendak mengungkapkan esensi
teknologi sebagai modus pemahaman Ada tertentu yang secara khusus menandai
zaman modern. Dia menjelaskan esensi teknologi adalah sejenis modus
penyingkapan (mode of revealing); bukan sekadar seni manipulasi alam
sebagaimana
umum
dalam
pemikiran
pada
masanya.
Sebagai
modus
penyingkapan, teknologi memiliki karakter tak terkontrol. Teknologi menjadi
semacam imperatif yang menentukan cara Dasein mengambil sikap terhadap
alam. Heidegger menyebutnya “pembingkaian” (enframing); suatu disposisi
37
Terry Eagleton, The Ideology of the Aesthetic, (Massachusetts: Blackwell Publishers,
1990), hlm 310
64
(Gemut) di mana Dasein selalu berhadapan dengan alamnya sebagai sumber daya
(energi) yang dapat diolah, disimpan, dan didistribusikan.38 Dengan teknologi,
alam tidak tampil (revealed) sebagai alam melainkan sebagai sumber energi yang
berguna untuk melayani seluruh kebutuhan manusia setiap saat (available); entah
kebutuhan konsumsi atau kebutuhan peperangan. 39
Dalam esai ini, Heidegger melihat sisi yang riskan dalam teknologi. 40
Namun demikian, dia tidak memberikan semacam formula etis untuk mencegah
laju destruktif dari teknologi, yang bagi Heidegger jelas tidak mungkin. Dalam
esai tersebut, dia hanya merumuskan sejenis cara melihat terhadap teknologi
sebagai modus penyingkapan yang di dalamnya terdapat “bahaya”, dan
menurutnya, cara melihat semacam itu dengan sendirinya dapat menjadi kekuatan
yang menyelamatkan (saving power). 41
2. Transendensi dan Kecenderungan Religius: Pemahaman Ada sebagai Efek
Ketidakhadiran
Dalam pembacaan Heidegger, filsafat transendental Kant (analisis sitnesis
murni), selain dilihat sebagai analisis yang berusaha menunjukkan bagaimana
pengetahuan atau pemahaman itu mungkin, juga hendak menunjukkan bagaimana
metafisika sebagai kecenderungan alamiah (natural disposition) itu mungkin.
Kant sendiri mengindikasikan dalam “Critique”-nya bahwa metafisika sebagai
kecenderungan untuk menemukan fondasi-fondasi transendental di luar yang
38
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, pen.&ed.
William Levitt (New York: Harper & Row Publishers, 1977), h. 19, 24-25
39
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, pen.&ed.
William Levitt (New York: Harper & Row Publishers, 1977), h. 14-15,
40
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, pen.&ed.
William Levitt (New York: Harper & Row Publishers, 1977), h. 33
41
Menurut Heidegger, refleksi dan konfrontasi terhadap teknologi hanya dapat dilakukan
dalam bentuk seni. Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays,
pen.&ed. William Levitt (New York: Harper & Row Publishers, 1977), h. 35
65
empiris (kecenderungan metafisis) adalah sesuatu yang sah. Menurut Kant,
kecenderungan semacam ini memiliki dasarnya pada struktur transendental yang
sama dengan sains-sains positif, yaitu pada struktur sintesis murni. 42 Namun
demikian, menurut Kant, struktur sintesis murni hanya dapat melahirkan
pengetahuan jika konsep-konsep murni yang merupakan komponen dalam sintesis
tersebut dapat diterapkan pada pengalaman. Konsekuensinya, bagi Kant,
metafisika hanya mungkin sebagai kecenderungan alamiah, tetapi tidak sebagai
penyelidikan ilmiah. Pasalnya, konsep-konsep dalam metafisika bukanlah konsepkonsep yang dapat diterapkan dalam pengalaman, melainkan sekadar terkaanterkaan pikiran yang satu sama lain mungkin bertentangan namun tetap samasama rasional (antinomi). 43
Menurut hemat saya, filsafat transendental Kant (analisis sintesis murni)
semacam ini pada akhirnya bukan hanya relevan bagi pertanyaan tentang
bagaimana metafisika itu mungkin sebagai kecenderungan alamiah, tetapi juga
bagaimana agama itu mungkin sebagai kecenderungan alamiah—selanjutnya,
saya menyebutnya “kecenderungan religius”. Sebagaimana kecenderungan
metafisis, dengan kecenderungan religius saya memaksudkan kecenderungan pada
sesuatu yang absolut sebagai fondasi transendental. Karena itu, saya
menyejajarkan keduanya walaupun mungkin terdapat perbedaan yang prinsipil.
Dalam kaitannya dengan fenomena kecenderungan religius, filsafat
transendental Kant yang didestruksi menurut saya memberikan perspektif yang
lebih memadai. Sebagaimana telah disinggung, filsafat transendental Kant yang
42
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St
Martin Press, 1964), h. 56-57
43
Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997), h. 6 atau Immanuel Kant, Critique of Pure
Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York: St Martin Press, 1964), h. 385
66
didestruksi adalah filsafat tentang pemahaman Ada. Perspektif pemahaman Ada
ini memperjelas beberapa tesis Kant yang sebelumnya tidak begitu tampak dalam
“Critique”, seperti tesis tentang temporalitas imajinasi atau transendensi sebagai
konsekuensi
keterbatasan.
Tema-tema
ini
dapat
menjelaskan
mengapa
kecenderungan religius itu mungkin—walaupun kebanyakan istilah dalam
“Critique” sendiri tidak begitu fleksibel untuk digunakan di luar lingkup
penyelidikan
epistemologis
dan
metafisis—karena
tema-tema
tersebut
berhubungan secara formal dengan apa yang terjadi dalam setiap kecenderungan
religius.
Kecenderungan religius adalah kecenderungan manusia pada sesuatu yang
tersembunyi di balik penampakan; sesuatu yang sejati yang menjadi dasar
terwujudnya kenyataan, sesuatu yang diharapkan, tujuan dari kehidupan dan
kematian. Suatu perspektif Heideggerian atau pun “Filsafat transendental Kant
hasil destruksi” tentu akan berpandangan bahwa kebutuhan akan fondasi itu
adalah wujud dari karakter temporal transendensi; fenomena yang sudah selalu
jelas dalam praktik kehidupan sehari-hari manusia yang, bahkan pada tataran
sangat praktis, selalu ditandai oleh dorongan untuk meng-Ada. Dorongan ini
bersifat temporal karena meng-Ada selalu berarti “berada dalam kemungkinan”;
semacam keadaan terhempas terus menerus dalam jurang tanpa dasar. Karakter
temporal inilah yang membentuk kecemasan, harapan, ketakutan dan segala hal
yang mencirikan kondisi eksistensial manusia, yang karenanya agama lahir untuk
menjawabnya. Dengan kata lain, dimensi transendental manusia yang selalu
terarah pada kemungkinan itulah yang membentuk kecenderungan religius
sehingga agama menjadi sesuatu yang dapat diterima (acceptable).
67
Tetapi apakah yang dimaksud Heidegger dengan dorongan untuk mengAda atau pemahaman Ada? Apakah itu satu-satunya penafsiran atas fenomena
transendental? Adakah titik tolak lain untuk menafsirkan kecenderungan religius
yang dari titik tolak itu kita bisa menafsirkan ulang konsep transendensi
Heidegger (transendensi sebagai pemahaman Ada)?
Berbeda dari perspektif Heideggerian, saya ingin menafsirkan fenomena
kecenderungan religius di atas sebagai fenomena keterarahan pada “yang tidak
hadir”. Sesuatu dikatakan tidak hadir karena ia di luar panca indera kita;
melampaui kadar kemampuan nalar kita untuk memahaminya; sepenuhnya lain
dari yang dapat kita pahami. Namun demikian, “tidak hadir” tidak berarti “tidak
terpahami”. Ada upaya untuk menjelaskan bahwa “ketidakhadiran” tersebut juga
sebenarnya hadir, yaitu, dalam selubung tanda-tanda yang terpahami. Dalam
ajaran agama (Islam misalnya), di mana kecenderungan religius menemukan
bentuknya, Allah sebagai “yang tidak hadir” sebenarnya hadir dalam wujud tandatanda: tatanan harmonis dan seimbang alam semesta, proses penciptaan manusia
yang meliputi wujud dan daya hidupnya, dan sebagainya, yang semua itu
merupakan tanda dari kehadiran Allah. Dalam ajaran agama, kita mendapat
gambaran tentang kecenderungan religius sebagai suasana diliputi oleh
ketidakhadiran dan “ketidakhadiran yang meliputi tersebut” adalah tanda-tanda
dari kehadiran.
Tentu saja orang dapat berdebat tentang apakah tanda-tanda itu secara
niscaya merujuk pada suatu entitas ilahiah. Tetapi poinnya tidak terletak pada soal
apakah yang tidak hadir tersebut; poinnya terletak pada afeksi ketidakhadiran itu
sendiri sebagai disposisi alamiah, dan sebagai disposisi alamiah ia bersifat
68
konsitutif terhadap kecenderungan religius; disposisi alamiah ketidakhadiran
membuat manusia seolah tidak bisa menghindar dari pertanyaan tentang apa yang
tersembunyi di balik segala sesuatu yang tampak atau hadir.
Kita bisa mengatakan bahwa afeksi ketidakhadiran itu adalah efek dari
transendensi atau pemahaman Ada, suatu penafsiran yang mungkin lahir dari
perspektif Heideggerian. Tetapi, menurut saya, kita juga sebenarnya bisa
mengatakan sebaliknya; transendensi sebagai pemahaman Ada adalah efek dari
ketidakhadiran. Kenyataannya, Heidegger dalam Kant and the Problem pernah
menyejajarkan konsep Ada dengan Ketiadaan (no-thing) dan dia berkali-kali
dalam karya yang berbeda menegaskan bahwa Ada itu adalah bukan-pengada atau
bukan-entitas
(non-beings).
Apakah
yang
dimaksud
Heidegger
dengan
“ketiadaan” (no-thing) atau “bukan-pengada” (non-beings)? Apakah yang
dimaksud oleh Heidegger dengan “dorongan untuk meng-Ada” (drive-to-Be) yang
merupakan ciri temporal transendensi? Bukankah Heidegger sebetulnya sedang
membicarakan tentang sesuatu yang tidak hadir? Menurut saya, pemikiran
Heidegger tentang transendensi sebagai pemahaman Ada atau ketersingkapan Ada
pada kenyataannya merupakan proyeksi dari “afeksi ketidakhadiran” dan
karenanya kita bisa menjelaskan ulang seluruh tesis pemikiran Heidegger
berdasarkan konsep ketidakhadiran tersebut.
Apa yang saya jelaskan di atas, tentang transendensi dan kecenderungan
religius, hanyalah salah satu kemungkinan penerapan perspektif transendental
Heidegger untuk menjelaskan fenomena transendensi, dalam hal ini fenomena
kecenderungan religius. Namun, sebagaimana telah kita lihat, perspektif
transendental Heidegger tidak menutup kemungkinan bagi penafsiran lain atas
69
gejala eksistensi yang sama. Kita dapat menafsirkan kecenderungan religius
sebagai afeksi ketidakhadiran--bahkan, kita juga dapat menafsirkan bahwa
konsepsi transendensi Heidegger sendiri (transendensi sebagai pemahaman Ada)
adalah efek dari ketidakhadiran.
Sekadar tambahan, saya ingin mengatakan bahwa penafsiran ini
sebenarnya sudah terantisipasi oleh Heidegger. Dalam “Being and Time”
Heidegger pernah mengatakan bahwa pemikirannya adalah sejenis penafsiran
yang selalu mungkin untuk ditafsirkan ulang. Sebagai penafsiran, ia dibentuk
oleh: 1) pengandaian-pengandaian yang sudah ada sebelumnya (fore-having); 2)
pemilihan sudut pandang atau titik tolak yang digunakan (fore-sight), dan; 3)
konsepsi tertentu tentang materi yang ditafsirkan (fore-conception). 44 Tiga aspek
ini menurut Heidegger selalu menyertai setiap aktivitas penafsiran, termasuk
penafsirannya dalam “Being and Time” atau pun dalam pembacaan destruktifnya
atas doktrin skematisme Kant. Karena itu, terbuka kemungkinan bahwa
pembacaan Heidegger atas doktrin skematisme atau pun analisis eksistensialnya
dalam “Being and Time”, juga dapat ditafsirkan ulang, terutama jika kita bertolak
dari pengandaian yang berbeda. Jika dalam destruksinya atau pun dalam analisis
eksistensialnya Heidegger menggunakan paradigma pemahaman Ada untuk
menjelaskan fenomena transendensi, maka kita dapat memulai dari paradigma
lain, paradigma “ketidakhadiran” misalnya. Namun, ada satu hal yang selalu jelas,
yaitu bahwa selalu terdapat dikotomi yang menandai setiap kerja rohani manusia:
dikotomi antara entitas dan non-entitas (beings dan non-beings).
44
Dreyfus, Hubert L, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and Time
Division I (Cambridge: The MIT Press), h. 199.
70
BAB IV
PENUTUP:
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dari bab I hingga bab III
tentang fenomena transendensi dan konsepsinya dalam Kant dan Heidegger, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Fenomena transendensi adalah fenomena “purba”. Sejak manusia memulai
kehidupan berbudayanya, fenomena transendensi telah berusaha ditafsirkan
dengan berbagai cara. Usaha penafsiran ini tidak pernah tuntas. Ia terus
berlangsung bahkan hingga manusia memasuki fase kehidupannya yang
modern.
2. Kant dan Heidegger adalah dua di antara banyak filsuf yang hendak
menafsirkan fenomena transendensi. Kant memahami transendensi sebagai
dimensi normatif pengetahuan murni sementara Heidegger memahaminya
sebagai pemahaman Ada. Dua gagasan ini tampak berbeda, namun
sebagaimana ditunjukkan dalam destruksi Heidegger, gagasan transendensi
Kant sebenarnya adalah gagasan keterarahan pada “yang bukan-objek” atau
non-entitas (non-beings/no-thing) dan itu sama dengan pemahaman-Ada bagi
Heidegger--karena Ada adalah bukan-pengada (non-beings).
3. Sebagai keterarahan pada non-entitas, transendensi itu berciri temporal,
dengan kata lain, memiliki karakter waktu (mewaktu). Kenyataannya, apa
yang kita sebut sebagai “waktu” justru memiliki dasarnya pada temporalitas
transendensi. Temporalitas transendensi adalah asal mula pemahaman kita
71
tentang waktu. Tesis ini adalah tesis Heidegger yang dapat ditemukan baik
dalam “Being and Time” atau pun dalam “Kant and the Problem”. Dalam
“Kant and the Problem”, Heidegger menunjukkan sifat temporal transendensi
melalui destruksinya atas doktrin skematisme Kant. Dalam konteks destruksi
ini, gagasan transendensi dan sifat temporalnya berkaitan dengan konsep Kant
tentang imajinasi transendental, semacam fakultas pengetahuan yang
memediasi penerapan konsep-konsep murni ke dalam pengalaman melalui
determinasi waktu (sintesis murni dan pembentukan skema transendental).
4. Transendensi sebagai momen pemahaman Ada tidak dapat dilihat secara utuh
jika didekati dari perspektif hubungan representatif subjek-objek yang bersifat
“rasional” (ditentukan oleh kriteria-kriteria rasio). Mendekati fenomena
transendensi dari perspektif semacam ini dapat mereduksi pengertian
transendensi (pemahaman Ada) ke dalam pemahaman kategorial.
5. Transendensi adalah konsekuensi keterbatasan, yaitu keterbatasan intuisi
manusia. Intuisi manusia itu terbatas karena intuisi tersebut tidak menciptakan
objek apa pun. Selain dalam hubungannya dengan intuisi, transendensi dan ide
keterbatasan juga terkait dengan karakter temporal transendensi (dalam
konteks destruksi: temporalitas imajiansi transendental), di mana transendensi
selalu dicirikan oleh kebeluman.
6. Walaupun destruksi Heidgger memiliki keunggulan dalam perspektif
transendensinya, transendensi yang ditafsirkan sebagai pemahaman Ada
rupanya tidak dapat dijadikan titik tolak pemikiran etika. Pandangan salahbenar tentang suatu perbuatan dan benar (etika), dalam perspektif ini, hanya
akan dianggap sebagai produk lokalitas yang tidak dapat berlaku universal.
72
Karena itu, di sini kita melihat kelemahan dari pembacaan destruktif
Heidegger atas Kant; walaupun secara epistemologis pembacaannya
memberikan wawasan baru dalam pemahaman filsafat transendental Kant,
destruksinya justru mempersempit pandangan etika Kant.
7. Kapasitas transendental atau transendensi merupakan syarat kemungkinan
bagi pengetahuan, metafisika, bahkan kecenderungan religius. Hal ini
menunjukkan bahwa kapasitas transendental merupakan struktur yang
mendasari setiap segi eksistensi manusia; harapannya, kecemasannya,
ketakutannya; semua aktivitasnya, baik yang teoritis maupun praktis. Dalam
Heidegger, kita menemukan bahwa kapasitas transendental ini sebagai
pemahaman Ada. Namun demikian, konsep “pemahaman Ada” Heidegger
sendiri adalah suatu penafsiran yang selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang.
Kita misalnya dapat mengajukan paradigma lain di mana fenomena
transendensi (kapasitas transendental) dipahami sebagai efek ketidakhadiran.
B. REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN LEBIH LANJUT
Apa yang telah saya kemukakan dalam skripsi ini menyangkut tema
transendensi dalam pemikiran Heidegger atau pun Kant sangat jauh dari cukup.
Penelaahan lebih dalam tentang konsep ini dan penerapannya dalam studi-studi
lain masih perlu terus dilakukan. Karena itu, saya merekomendasikan beberapa
kemungkinan penelaahan lebih jauh sebagai berikut:
1. Studi atas pembacaan Heidegger terhadap konsep waktu Aristoteles dan
konsep Cogito Descartes sebagaimana yang direncanakan Heidegger sendiri
dalam “Being and Time”. Rujukan utama untuk studi ini dapat ditemukan
dalam beberapa karya Heidegger yang lain, salah satunya adalah “Basic
73
Problems of Phenomenology”. Ini penting dilakukan untuk melihat lebih jauh
pembacaan destruktif Heidegger dan membuktikan bahwa problem tentang
“arti” Ada selalu implisit dalam teks-teks filsafat.
2. Studi atas konsep estetika Heidegger. Heidegger memang tidak merumuskan
suatu konsep estetika tertentu. Namun demikian, perlu diketahui bahwa
pemikiran Heidegger sebenarnya sangat kental dengan nuansa estetis,
terutama dalam tahap pemikirannya paska “Being and Time” yang sering
dikenal dengan “Heidegger II”. Untuk studi ini, kita dapat merujuk pada
sejumlah esai yang ditulis Heidegger, misalnya dalam “Origin of the Work of
Art” atau dalam esai “The Question Concerning Technology”. Dalam studi ini
kita akan melihat titik tolak yang berbeda dari analisis Heidegger atas
fenomena pemahaman Ada. Jika dalam “Being and Time” Heidegger bertolak
dari entitas Dasein, dalam esai-esai ini, dalam “Origin of the Work of Art”
misalnya, dia bertolak dari definisi tentang apa itu “sesuatu” (thing/Sage).
3. Tinjauan kritis pemikiran Heidegger dari perspektif teori kritis, dengan
eksponen-eksponen utamanya seperti Horkheimer, Adrono, dan Habermas di
samping beberapa pemikir lainnya. Ini tampaknya penting dikaji karena kita
dapat melihat kelemahan-kelemahan pemikiran Heidegger dari sudut berbedabeda, misalnya, dari sudut etika, estetika, atau sosiologi.
4. Terkait dengan studi-studi keislaman, pemikiran Heidegger tampaknya perlu
ditransformasi terlebih dahulu untuk dapat digunakan sebagai pisau analisis.
Untuk tujuan ini, pemikiran Heidegger dapat ditransformasi misalnya ke
dalam suatu pandangan teologis atau ke dalam sejenis hermeneutika kitab
suci. Dalam bagian terakhir bab III, saya menyinggung kaitan antara konsep
74
transendensi Heidegger dengan fenomena kecenderungan religius. Tinjauan
ringkas yang tidak memadai ini barangkali dapat dipakai sebagai gambaran
awal tentang bagaimana perspektif Heidegger diterapkan dalam lingkup kajian
agama.
Wallahu A’lam
75
Daftar Pustaka:
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996)
Bertens, K, ETIKA, Seri Filsafat Atmajaya: 15 (Jakarta: Gramedia, 2001)
_________, Filsafat Barat Kontemporer, Perancis (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006)
Cassirer, Ernst, Kant’s Life and Thought, pen. James Haden (Yale University Press,
1981)
Dreyfus, Hubert L, Being-in-the-World, A Commentary on Heidegger’s Being and
Time Division I (Cambridge: The MIT Press)
Eagleton, Terry, The Ideology of the Aesthetic, (Massachusetts: Blackwell
Publishers, 1990)
Guyer, Paul (ed.), The Cambridge Companion to Kant (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996
Heidegger, Martin, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter
(Bloomington: Indiana University Press, 1982)
__________, Basic Writings, from Being and Time (1927) to The Task of Thinking
(1964), ed. David Farrel Krell (San Francisco: Harper Collins
Publishers, 1993)
____________, Being and Time, pen. Joan Stambaugh (Albany: State University of
New York, 1996)
__________, Existence and Being, pen. Werner Brock (Chicago: Henry Regnery
Company, 1949)
__________, History of the concept of time, pen. Theodore Kisiel (Bloomington:
Indiana University Press, 1985)
76
__________, Kant and the Problem of Metaphysics, pen. Richard Taft
(Bloomington: Indiana University Press, 1997)
__________, The Question Concerning Technology and Other Essays, pen.&ed.
William Levitt (New York: Harper & Row Publishers, 1977)
Inwood, Michael, A Heidegger Dictionary (Oxford: Blackwell Publisher, 1999)
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, pen. Norman Kemp Smith (New York:
St Martin Press, 1964)
Kaufmann, Walter & Forrest E. Baird (ed.), Modern Philosophy, Pilosophic
Classics, 2nd Edition, Volume III, (New Jersey: Prentice Hall, 1997)
Muller-Volmer, Kurt (ed.), The Hermeneutics Reader, Texts of the German
Tradition from the Enlightenment to the Present (New York:
Continuum, 1985)
Richardson, William J, Heidegger, Through Phenomenology to Thought (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1963)
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on language, Action
and Interpretation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995)
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, Dari Gatholoco ke Filsafat
Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, (Jakarta:
Kanisius, 2005)
Taminiaux, Jacques, Heidegger and the Project of Fundamental Ontology, pen. &
ed., Michael Gendre (Albany: State University of New York Press,
1991)
West, David, An Introduction to Continental Philosophy, (Cambridge: Polity Press,
1996)
Download