pengaruh kinerja keuangan terhadap pemeringkat obligasi

advertisement
PENGARUH KINERJA KEUANGAN
TERHADAP PEMERINGKAT OBLIGASI PERUSAHAAN DI INDONESIA
Lindrianasari, Junaidi
Universitas Negeri Lampung
Universitas Teknologi Yogyakarta
ABSTRACT
This study investigated the effect of financial performance of corporate to bond ratings in
Indonesia. We used proxies of financial performance are Debt Equity Ratio, Current Ratio, Operating
Profit Margin, Price to Earnings dan Return on Asset. Firstly, we have 12 proxies as financial
performance, but after we operated stepwise testing of the proxies, we get 5 final variable
independen., Dependent variables are bond rating from 32 corporate listed in Indonesian Stock
Exchange. Multiple regression is used to examine all of the hyphoteses. From the testing used eviews,
we find that only Current Ratio have significantly effect to bond rating.
Keywords: Bond rating, Debt Equity Ratio, Current Ratio, Operating Profit Margin, Price to Earnings,
Return on Asset.
1. Pendahuluan
Penelitian bertujuan untuk menemukan bukti empiris adanya pengaruh kinerja keuangan
terhadap pemeringkatan obligasi (bond rating). Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian
Lindrianasari (2004) dan Lindrianasari dan Wahyono (2006) dengan mengambil tahun observasi laporan
keuangan 2005 dan peringkat obligasi yang dikeluarkan oleh PT Pefindo untuk bulan Januari 2006.
Obligasi merupakan instrumen pasar modal yang menjadi salah satu sumber pendanaanyang
berasal dari luar perusahaan (external financing). Di Indonesia, pemeringkatan efek dilakukan oleh agen
pemeringkat independen yang tercatat di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yaitu PT Pemeringkat
Efek Indonesia (Pefindo) dan PT Kasnic Credit Rating Indonesia. Peringkat obligasi merupakan salah satu
bagian penting dalam investasi obligasi karena memiliki nilai informasi dan sinyal mengenai utang suatu
perusahaan. Peringkat obligasi memberikan gambaran tentang kemampuan emiten dalam memenuhi
kewajiban membayar bunga berikut dengan pokok pinjaman secara tepat waktu dan dalam jumlah yang
sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Peringkat obligasi umumnya diberikan oleh agen pemeringkat
berdasarkan model prediksi agen pemeringkat. Metodologi pemeringkatan ini terutama memperhatikan
risiko keuangan perusahaan. Perusahaan dengan risiko kecil akan memiliki peringkat yang tinggi,
demikian pula sebaliknya.
Beberapa penelitian internasional yang telah ambil bagian dalam penelitian pemeringkatan
obligasi, antara lain:
1. Horrigan (1966), mendapatkan 58% obligasi konsisten pada peringkatnya dari 70 obligasi yang
diperingkat Moody’s dan 52% konsisten pada peringkatnya dari 60 obligasi yang diperingkat
Standard & Poor’s periode 1961 – 1964.
2. Pinches dan Mingo (1973), diperoleh 65% konsisten pada peringkatnya dari 48 obligasi yang
diperingkat Moody’s dalam periode 1967 – 1968.
3. Kaplan dan Urwitz (1979), diperoleh 71% konsisten pada peringkatnya dari 67 obligasi yang
diperingkat Moody’s periode 1971 – 1972.
Konsistensinya suatu peringkat obligasi dalam penelitian tersebut (lebih dari 50%) menunjukkan bahwa
model kuantitatif peneliti yang berisi informasi laporan keuangan berhasil memprediksi peringkat
obligasi atau dengan kata lain dalam memeringkat obligasi tersebut dipergunakan informasi yang berasal
dari laporan keuangan.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
IV - 1
ESTIMASI LABA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN MANAJEMEN LABA
DAN NON MANAJEMEN LABA
Kristianto Purwoko Widodo, Desi Utami, Bambang Moertono Setiawan
Universitas Teknologi Yogyakarta,
[email protected]@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris mengenai estimasi laba perusahaan yang
melakukan manajemen laba dan tidak melakukan manajemen laba. Manajemen laba perilaku
manajemen dalam mengatur besarnya tingkat laba perusahaan. Manajemen laba diukur dengan
tingkat discretionary accrual dengan pendekatan model Jones. Dengan menggunakan sampel 29
perusahaan manufaktur dari tahun 1999-2008 menunjukkan hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
terdapat perbedaan estimasi laba perusahaan yang melakukan manajemen laba dan manajemen laba
secara statistik ditolak.
Kata kunci: discretionary accrual, earnings management, estimasi, time series.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu parameter penting dalam laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja
manajemen adalah laba (Widiyoko dan Hadi, 2005). Oleh sebab itu, manajemen perusahaan berusaha
agar laporan keuangannya menyajikan kinerja yang baik dengan cara mengatur atau mengelola tingkat
laba yang dilaporkan melalui metoda-metoda dan estimasi-estimasi akuntasi tertentu, sehingga
didapatkan laba yang diharapkan. Tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengatur besarnya tingkat
laba inilah yang disebut dengan earnings management. Manajemen laba adalah campur tangan
manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual (DA) dengan pendekatan
model Jones (1991).
Paper ini menganalisis tentang estimasi laba perusahaan yang melakukan manajemen laba dan
non manajemen laba. Masalah akan terjadi ketika laba sebagai alat prediksi dalam peramalan laba
mendatang dihadapkan pada praktik manajemen laba yang dilakukan manajer. Karena keputusan
investasi membutuhkan informasi laba mendatang, maka peramalan laba seharusnya
mempertimbangkan kualitas laba. Laba yang sudah menjalani tindakan perataan laba semu adalah
termasuk laba yang tidak atau kurang berkualitas dibandingkan dengan laba yang belum menjalani
tindakan perataan laba semu (Sugiri, 2003). Kusuma (2006) juga menjelaskan bahwa relevansi laba suatu
perusahaan yang terindikasi melakukan manajemen laba seharusnya akan lebih rendah dari perusahaan
yang tidak melakukan manajemen laba. Relevansi laba yang terindikasi adanya manajemen laba akan
mempengaruhi prediksi laba karena setelah direkayasa laba yang dilaporkan tidak sepenuhnya
mencerminkan realitas ekonomik. Hal ini menunjukkan bahwa prediksi laba suatu perusahaan yang
terindikasi melakukan manajemen laba seharusnya akan berbeda dengan perusahaan yang tidak
melakukan manajemen laba. Untuk memprediksi laba mendatang dalam pengambilan keputusan
investasi maka investor perlu mempertimbangkan kualitas laba.
Sloan (1996) menguji apakah harga saham mencerminkan informasi tentang future earning yang
terkandung dalam komponen-komponen akrual dan arus kas dari current earnings dengan menggunakan
sampel data selama 30 tahun dari tahun 1962 sampai tahun 1991 tidak termasuk bank. Hasil penelitian
mengindikasikan bahwa komponen arus kas lebih berpengaruh terhadap presistensi laba. Hasil penelitian
juga telah memberikan bukti bahwa perilaku harga saham tidak mencerminkan informasi yang
terkandung dalam komponen akrual dan komponen arus kas dari current earnings (Sugiri, 2003).
IV - 2
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Drs. Rokhmat, MM., Akt.
Universitas Teknologi Yogyakarta
ABSTRAK
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah diakui memiliki peran strategis sebagai lembaga
intermediasi aktivitas perekonomian pedesaan yang selama ini belum terjangkau jasa pelayanan
lembaga perbankan konvensional. Secara faktual LKM diakui telah menunjukkan keberhasilan, namun
masih bias pada usaha-usaha non pertanian. Hal ini dikarenakan skim perkreditan LKM untuk
usahatani belum mendapat prioritas, atau masih kecilnya alokasi dana yang disalurkan untuk
mendukung usaha tani. Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek
legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, capacity building kelayakan ekonomi usahatani,
karakteristik usaha tani. Sedangkan untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM
pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.
Kata Kunci: LKM, Intermediasi, Perbankan Konvensional, Usahatani
1. Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, yang tersebar luas di seluruh
kawasan di Nusantara. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan sebutan
negara agraris dengan tanahnya yang subur, yang sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia
bermatapencaharian sebagai petani yang tinggal di pedesaan.
Pertanian merupakan sektor primer dalam perekonomian Indonesia. Artinya pertanian
merupakan sektor utama yang menyumbang hampir dari setengah perekonomian Indonesia. Pertanian
juga memiliki peran nyata sebagai penghasil devisa negara melalui ekspor. Oleh karena itu pembangunan
di dalam sektor pertanian sanagtlah penting agar dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun di luar
negeri.
Agar sektor pertanian dapat terus memberikan peran pada perekonomian Indonesia maka perlu
adanya suatu perencanaan pembangunan dan investasi. Dengan adanya investasi di sektor ini diharapkan
akan memicu kenaikan output , yang kemudian akan berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan,
kesempatan kerja, serta mendorong tumbuhnya perekonomian Indonesia.
Keberhasilan pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan
Ekonomi Nasional, banyak disokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar
masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak
mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia ada di pedesaan dengan pekerjaan sebagai petani,
namun perkembangan kemajuan dan produktivitas usahatani kalah dengan perkembangan sektor
lainnya, baik dagang, industry maupun jasa. Guna mendorong peningkatan produktivitas usahatani
sangat dibutuhkan inovasi, teknologi dan modal. Saat ini telah tersedia berbagai sumber pendanaan baik
lembaga keuangan formal ( perbankan) maupun kelembagaam non formal, yang dapat dimanfaatkan oleh
petani untuk pengelolaan usahatani, dan penerapan teknologi pada sektor pertanian. Namun pada
umumnya petani tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, sehingga ia akan
memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal, misalnya rentenir, dan tengkulak (
pembeli hasil pertanian secara kontrak/mengikat di depan ). Praktek ini jika diperhitungkan dengan
tingkat bunga bank menjadi sangat tinggi, bahkan bisa disebut irrasional. Oleh karena itu maka
masyarakat pedesaan khusunya para petani sangat membutuhkan adanya lembaga keuangan yang dapat
diakses mereka dengan beban yang wajar.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan salah satu lembaga keuangan yang kini sedang
dikembangkan di negeri kita. Dalam perspektif pembangunan ekonomi perdesaan, menarik untuk
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
IV - 3
TRANSPARANSI INFORMASI SUKU BUNGA DASAR KREDIT
PADA KREDIT UMKM
Junaidi, Maria Magdalena Esa K., Nurdiono
Universitas Teknologi Yogyakarta
Universitas Lampung
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi
Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit
UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK
hendaknya difokuskan pada segmen ritel, khususnya kredit UMKM. Kebijakan moneter melalui
penurunan suku bunga BI Rate dan upaya mengendalikan kestabilan nilai tukar memberikan peluang
bagi pengusaha UMKM untuk meningkatkan akses kredit serta membentuk optimisme pelaku usaha
UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah kredit yang
disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Sampel dipilih
dengan purposive sampling95 bank pada tahun 2011, dengan waktu pengamatan 1 tahun (12
bulan).Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kredit yang
disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak ada penurunan suku bunga kredit UMKM sesudah dilakukan publikasi
SBDK.
Kata kunci: Suku bunga,transparansi, kredit, bank
1. Pendahuluan
1. 1 Latar Belakang Masalah
Pada 8 Februari 2011 Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal
Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Surat edaran ini mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah dan PBI Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005. Dalam Surat Edaran
nomor 13/5/DPNP, bank umum diwajibkan untuk mempublikasikan suku bunga dasar kreditnya melalui
media yang telah ditentukan.
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi
bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. SBDK merupakan hasil
perhitungan dari tiga komponen yakni Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead,dan
marjin keuntungan (profit margin). Perhitungan SBDK dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu kredit
korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan non KPR). Transparansi informasi SBDK merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG) dan mendorong persaingan
yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih
baik. Ariyanto (2004), menurut Koskela dan Stendbacka (2000) persaingan antar bank akan menekan
tingkat suku bunga kredit, sehingga mengurangi probability risk of default debitur yang pada akhirnya
akan menjamin kestabilan sistem perbankan.
Indonesia bukan negara pertama yang menerapkan kebijakan untuk mempublikasikan SBDK.
Beberapa negara seperti India, Peru, Malaysia, dan Singapura sudah lebih dulu menerapkan kebijakan
tersebut. Di Malaysia SBDK biasa disebut Base Lending Rate. Perbankan di Malaysia diwajibkan
mempublikasikan Base Lending Rate (BLR) kepada nasabah melalui situs, koran, dan papan pengumuman
di setiap kantor bank. Kebijakan tersebut pada akhirnya mampu membuat BLR menjadi seragam dan
kompetitif. Pada 2010, hanya 3 bank dari 23 perusahaan perbankan di Malaysia yang mengumumkan BLR
berbeda. Bank of Tokyo- Mitsubishi UFJ (Malaysia) Berhad dan The Royal Bank of Scotland Berhad
masing-masing mengumumkan BLR 6,00% p.a. (per annum). Sementara JP Morgan Chase Bank Berhad
IV - 4
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
menawarkan BLR 6,20% p.a. Sedangkan 20 bank lainnya mengumumkan BLR yang sama, yakni 6,30% p.a.
Keberhasilan Bank Sentral Malaysia menciptakan industri perbankan yang kompetitif membuat Bank
Indonesia optimis, bahwa kebijakan transparansi SBDK akan meningkatkan efisiensi perbankan dan
membuat industri perbankan mampu berkompetisi secara nasional maupun internasional. Optimisme
Bank Indonesia ternyata masih diragukan beberapa kalangan. Diantaranya menyebutkan bahwa kebijakan
tersebut akan tersandung masalah kartel atau malah akan menyebabkan kartel suku bunga perbankan
yang dilakukan oleh beberapa bank.
Surat edaran nomor 13/5/DPNP efektif berlaku tanggal 31 Maret 2011. Untuk tahap awal, bank
yang diwajibkan mempublikasikan informasi SBDK adalah semua bank umum yang pada dan/atau
setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai
total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih. Dipilihnya bank dengan total aset
Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) karena bank tersebut dinilai memiliki kemampuan
secara teknis untuk melakukan publikasi khususnya melalui website, dan kemampuan untuk bersaing
dengan bank lain,jika publikasi SBDK berhasil mendorong kompetisi antar bank. Pada akhirnya semua
bank akan diwajibkan mempublikasikan SBDK jika dinilai telah siap secara teknis dan siap berkompetisi.
Kewajiban tersebut bersifat permanen. Bank tetap wajib mempulikasikan SBDK meskipun dalam
perjalanannya total aset bank tersebut turun menjadi kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh
triliun rupiah).
Publikasi informasi SBDK dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman
utama website bank (jika bank memiliki website), dan surat kabar yang dilakukan bersamaan dengan
pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September,
dan Desember. Sebelumnya masyarakat tidak mempunyai informasi yang cukup dalam mengambil
keputusan untuk mendapatkan kredit dari bank. Berlakunya surat edaran tersebut diharapkan akan
meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan
risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, serta mengurangi kesenjangan informasi antara
masyarakat yang ingin menyimpan dana dan masyarakat yang ingin meminjam dana. Selama ini
masyarakat yang ingin menyimpan dana di bank baik dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito dengan
mudah memperoleh informasi mengenai suku bunga yang diperoleh.
Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini
perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK hendaknya difokuskan pada segmen ritel,
khususnya kredit UMKM. Suarakarya (2011), menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Sofyan Wanandi, tingginya suku bunga perbankan nasional membuat produsen barang dalam negeri tidak
dapat bersaing ketika menghadapi barang impor. Ketidaktahuan nasabah tentang bagaimana suku bunga
kredit dihitung menyebabkan bank bisa menetapkan suku bunga lebih tinggi dari seharusnya. Tingginya
suku bunga kredit juga diakui oleh Bank Indonesia. Perbankan terlihat sangat sulit untuk mengubah suku
bunga kredit. Bahkan ketika BI Rate turun sebesar 25 bps menjadi 6,50% pada Agustus 2009, suku bunga
kredit bank umum tidak banyak berubah. Penurunan suku bunga untuk kredit modal kerja hanya sebesar
15 bps, kredit investasi sebesar 10 bps, dan kredit konsumsi sebesar 4 bps. Penurunan suku bunga kredit
secara signifikan baru terlihat pada tahun 2010. Selama 2010 BI Rate tidak berubah, tetap pada besaran
6,50%, namun dalam satu tahun suku bunga kredit bank umum sedikit demi sedikit turun hingga
mencapai 86 bps untuk kredit modal kerja, 68 bps untuk kredit investasi, dan 189 bps untuk kredit
konsumsi. Grafik berikut ini menunjukkan perkembangan BI Rate dan suku bunga kredit bank umum
untuk kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), dan kredit konsumsi (KK) pada tahun 2009 dan
2010.
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
IV - 5
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN SOSIAL
(SOCIAL DISCLOSURE) DALAM LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN
PERUSAHAAN MANUFAKTUR
DI BURSA EFEK JAKARTA
Drs. Rokhmat, Akt., MM
Universitas Teknologi Yogyakarta
ABSTRAK
Pengungkapan sosial merupakan upaya untuk mengkomunikasikan dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan ekonomi suatu perusahaan, kepada publik. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor dalam perusahaan, yang diproksikan dalam
kepemilikan manajemen, leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas, mempengaruhi pengungkapan
sosial suatu perusahaan. Sampel yang digunakan adalah 60 perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta tahun 2006-2007. Pemilihan sampel dengan purposive sampling method. Dari hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara simultan terdapat adanya pengaruh yang signifikan
antara faktor-faktor perusahaan terhadap pengungkapan sosial perusahaan, dan variabel kepemilikan
manajemen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan sosial.
Kata kunci : Corporate Social Responsibility, Laporan Keuangan, Karakteristik Perusahaan, Social
Disclosure.
1. Pendahuluan
Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah suatu konsep
bahwa organisasi atau perusahaan harus berkomitmen untuk memiliki suatu tanggung jawab terhadap
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional
perusahaan.
Salah satu wujud tanggung jawab sosial perusahaan kepada publik adalah dibuatnya
pengungkapan sosial (social disclosure) pada laporan tahunannya. Melalui pengungkapan sosial tersebut,
masyarakat dapat memantau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
memenuhi tanggung jawab sosialnya.
Bila dahulu laporan tahunan (annual report), sebagai produk akuntansi, dimaksudkan sebagai
pertanggung-jawaban manajemen kepada pemegang saham (stockholders), kini paradigma tersebut
diperluas menjadi pertanggungjawaban kepada seluruh pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan
(stakeholders). Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan, telah ditemukan adanya perbedaan
luas pengungkapan sosial antara satu kelompok perusahaan dengan kelompok perusahaan yang lain.
Hackston dan Milne (Hall, 2002) dan Utomo (2000) menemukan adanya perbedaan luas pengungkapan
sosial yang signifikan antara kelompok perusahaan high profile dan kelompok perusahaan low profile.
Sementara itu, Parsa dan Ghaffari (2003) menemukan bukti adanya perbedaan luas pengungkapan sosial
antara kelompok perusahaan besar dan kelompok perusahaan kecil. Perbedaan luas pengungkapan sosial
antar kelompok perusahaan yang ditemukan pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya
perbedaan tingkat kepedulian (tanggung jawab) sosial antara satu kelompok perusahaan dengan
kelompok perusahaan lainnya.
Atas dasar kenyataan bahwa saat ini masih banyak perusahaan yang beroperasi hanya mengejar
keuntungan, tanpa menghiraukan dampak negatif yang dialami masyarakat akibat operasi perusahaan,
antara lain polusi udara, air, kebakaran hutan, dan lingkungan, maka penelitian ini mempunyai tujuan
untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan yang diproksi dalam kepemilikan manajemen, tingkat
leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap kuantitas pengungkapan sosial dalam laporan
tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) selama tahun 2006-2007.
Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh karakteristik perusahaan
terhadap pengungkapan sosial ?.
IV - 6
INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM
Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry
Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012
Download