PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP PEMERINGKAT OBLIGASI PERUSAHAAN DI INDONESIA Lindrianasari, Junaidi Universitas Negeri Lampung Universitas Teknologi Yogyakarta ABSTRACT This study investigated the effect of financial performance of corporate to bond ratings in Indonesia. We used proxies of financial performance are Debt Equity Ratio, Current Ratio, Operating Profit Margin, Price to Earnings dan Return on Asset. Firstly, we have 12 proxies as financial performance, but after we operated stepwise testing of the proxies, we get 5 final variable independen., Dependent variables are bond rating from 32 corporate listed in Indonesian Stock Exchange. Multiple regression is used to examine all of the hyphoteses. From the testing used eviews, we find that only Current Ratio have significantly effect to bond rating. Keywords: Bond rating, Debt Equity Ratio, Current Ratio, Operating Profit Margin, Price to Earnings, Return on Asset. 1. Pendahuluan Penelitian bertujuan untuk menemukan bukti empiris adanya pengaruh kinerja keuangan terhadap pemeringkatan obligasi (bond rating). Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Lindrianasari (2004) dan Lindrianasari dan Wahyono (2006) dengan mengambil tahun observasi laporan keuangan 2005 dan peringkat obligasi yang dikeluarkan oleh PT Pefindo untuk bulan Januari 2006. Obligasi merupakan instrumen pasar modal yang menjadi salah satu sumber pendanaanyang berasal dari luar perusahaan (external financing). Di Indonesia, pemeringkatan efek dilakukan oleh agen pemeringkat independen yang tercatat di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yaitu PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dan PT Kasnic Credit Rating Indonesia. Peringkat obligasi merupakan salah satu bagian penting dalam investasi obligasi karena memiliki nilai informasi dan sinyal mengenai utang suatu perusahaan. Peringkat obligasi memberikan gambaran tentang kemampuan emiten dalam memenuhi kewajiban membayar bunga berikut dengan pokok pinjaman secara tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Peringkat obligasi umumnya diberikan oleh agen pemeringkat berdasarkan model prediksi agen pemeringkat. Metodologi pemeringkatan ini terutama memperhatikan risiko keuangan perusahaan. Perusahaan dengan risiko kecil akan memiliki peringkat yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Beberapa penelitian internasional yang telah ambil bagian dalam penelitian pemeringkatan obligasi, antara lain: 1. Horrigan (1966), mendapatkan 58% obligasi konsisten pada peringkatnya dari 70 obligasi yang diperingkat Moody’s dan 52% konsisten pada peringkatnya dari 60 obligasi yang diperingkat Standard & Poor’s periode 1961 – 1964. 2. Pinches dan Mingo (1973), diperoleh 65% konsisten pada peringkatnya dari 48 obligasi yang diperingkat Moody’s dalam periode 1967 – 1968. 3. Kaplan dan Urwitz (1979), diperoleh 71% konsisten pada peringkatnya dari 67 obligasi yang diperingkat Moody’s periode 1971 – 1972. Konsistensinya suatu peringkat obligasi dalam penelitian tersebut (lebih dari 50%) menunjukkan bahwa model kuantitatif peneliti yang berisi informasi laporan keuangan berhasil memprediksi peringkat obligasi atau dengan kata lain dalam memeringkat obligasi tersebut dipergunakan informasi yang berasal dari laporan keuangan. INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012 IV - 1 ESTIMASI LABA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN MANAJEMEN LABA DAN NON MANAJEMEN LABA Kristianto Purwoko Widodo, Desi Utami, Bambang Moertono Setiawan Universitas Teknologi Yogyakarta, [email protected]@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris mengenai estimasi laba perusahaan yang melakukan manajemen laba dan tidak melakukan manajemen laba. Manajemen laba perilaku manajemen dalam mengatur besarnya tingkat laba perusahaan. Manajemen laba diukur dengan tingkat discretionary accrual dengan pendekatan model Jones. Dengan menggunakan sampel 29 perusahaan manufaktur dari tahun 1999-2008 menunjukkan hipotesis yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan estimasi laba perusahaan yang melakukan manajemen laba dan manajemen laba secara statistik ditolak. Kata kunci: discretionary accrual, earnings management, estimasi, time series. 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu parameter penting dalam laporan keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba (Widiyoko dan Hadi, 2005). Oleh sebab itu, manajemen perusahaan berusaha agar laporan keuangannya menyajikan kinerja yang baik dengan cara mengatur atau mengelola tingkat laba yang dilaporkan melalui metoda-metoda dan estimasi-estimasi akuntasi tertentu, sehingga didapatkan laba yang diharapkan. Tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mengatur besarnya tingkat laba inilah yang disebut dengan earnings management. Manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Manajemen laba diukur dengan menggunakan proksi Discretionary Accrual (DA) dengan pendekatan model Jones (1991). Paper ini menganalisis tentang estimasi laba perusahaan yang melakukan manajemen laba dan non manajemen laba. Masalah akan terjadi ketika laba sebagai alat prediksi dalam peramalan laba mendatang dihadapkan pada praktik manajemen laba yang dilakukan manajer. Karena keputusan investasi membutuhkan informasi laba mendatang, maka peramalan laba seharusnya mempertimbangkan kualitas laba. Laba yang sudah menjalani tindakan perataan laba semu adalah termasuk laba yang tidak atau kurang berkualitas dibandingkan dengan laba yang belum menjalani tindakan perataan laba semu (Sugiri, 2003). Kusuma (2006) juga menjelaskan bahwa relevansi laba suatu perusahaan yang terindikasi melakukan manajemen laba seharusnya akan lebih rendah dari perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba. Relevansi laba yang terindikasi adanya manajemen laba akan mempengaruhi prediksi laba karena setelah direkayasa laba yang dilaporkan tidak sepenuhnya mencerminkan realitas ekonomik. Hal ini menunjukkan bahwa prediksi laba suatu perusahaan yang terindikasi melakukan manajemen laba seharusnya akan berbeda dengan perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba. Untuk memprediksi laba mendatang dalam pengambilan keputusan investasi maka investor perlu mempertimbangkan kualitas laba. Sloan (1996) menguji apakah harga saham mencerminkan informasi tentang future earning yang terkandung dalam komponen-komponen akrual dan arus kas dari current earnings dengan menggunakan sampel data selama 30 tahun dari tahun 1962 sampai tahun 1991 tidak termasuk bank. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa komponen arus kas lebih berpengaruh terhadap presistensi laba. Hasil penelitian juga telah memberikan bukti bahwa perilaku harga saham tidak mencerminkan informasi yang terkandung dalam komponen akrual dan komponen arus kas dari current earnings (Sugiri, 2003). IV - 2 INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012 FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Drs. Rokhmat, MM., Akt. Universitas Teknologi Yogyakarta ABSTRAK Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah diakui memiliki peran strategis sebagai lembaga intermediasi aktivitas perekonomian pedesaan yang selama ini belum terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan konvensional. Secara faktual LKM diakui telah menunjukkan keberhasilan, namun masih bias pada usaha-usaha non pertanian. Hal ini dikarenakan skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, atau masih kecilnya alokasi dana yang disalurkan untuk mendukung usaha tani. Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, capacity building kelayakan ekonomi usahatani, karakteristik usaha tani. Sedangkan untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit. Kata Kunci: LKM, Intermediasi, Perbankan Konvensional, Usahatani 1. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, yang tersebar luas di seluruh kawasan di Nusantara. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang terkenal dengan sebutan negara agraris dengan tanahnya yang subur, yang sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani yang tinggal di pedesaan. Pertanian merupakan sektor primer dalam perekonomian Indonesia. Artinya pertanian merupakan sektor utama yang menyumbang hampir dari setengah perekonomian Indonesia. Pertanian juga memiliki peran nyata sebagai penghasil devisa negara melalui ekspor. Oleh karena itu pembangunan di dalam sektor pertanian sanagtlah penting agar dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun di luar negeri. Agar sektor pertanian dapat terus memberikan peran pada perekonomian Indonesia maka perlu adanya suatu perencanaan pembangunan dan investasi. Dengan adanya investasi di sektor ini diharapkan akan memicu kenaikan output , yang kemudian akan berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan, kesempatan kerja, serta mendorong tumbuhnya perekonomian Indonesia. Keberhasilan pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Ekonomi Nasional, banyak disokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan. Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia ada di pedesaan dengan pekerjaan sebagai petani, namun perkembangan kemajuan dan produktivitas usahatani kalah dengan perkembangan sektor lainnya, baik dagang, industry maupun jasa. Guna mendorong peningkatan produktivitas usahatani sangat dibutuhkan inovasi, teknologi dan modal. Saat ini telah tersedia berbagai sumber pendanaan baik lembaga keuangan formal ( perbankan) maupun kelembagaam non formal, yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk pengelolaan usahatani, dan penerapan teknologi pada sektor pertanian. Namun pada umumnya petani tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, sehingga ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal, misalnya rentenir, dan tengkulak ( pembeli hasil pertanian secara kontrak/mengikat di depan ). Praktek ini jika diperhitungkan dengan tingkat bunga bank menjadi sangat tinggi, bahkan bisa disebut irrasional. Oleh karena itu maka masyarakat pedesaan khusunya para petani sangat membutuhkan adanya lembaga keuangan yang dapat diakses mereka dengan beban yang wajar. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan salah satu lembaga keuangan yang kini sedang dikembangkan di negeri kita. Dalam perspektif pembangunan ekonomi perdesaan, menarik untuk INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012 IV - 3 TRANSPARANSI INFORMASI SUKU BUNGA DASAR KREDIT PADA KREDIT UMKM Junaidi, Maria Magdalena Esa K., Nurdiono Universitas Teknologi Yogyakarta Universitas Lampung [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK hendaknya difokuskan pada segmen ritel, khususnya kredit UMKM. Kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga BI Rate dan upaya mengendalikan kestabilan nilai tukar memberikan peluang bagi pengusaha UMKM untuk meningkatkan akses kredit serta membentuk optimisme pelaku usaha UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Sampel dipilih dengan purposive sampling95 bank pada tahun 2011, dengan waktu pengamatan 1 tahun (12 bulan).Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kredit yang disalurkan kepada debitur UMKM sebelum dan sesudah transparansi informasi SBDK. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada penurunan suku bunga kredit UMKM sesudah dilakukan publikasi SBDK. Kata kunci: Suku bunga,transparansi, kredit, bank 1. Pendahuluan 1. 1 Latar Belakang Masalah Pada 8 Februari 2011 Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran nomor 13/5/DPNP perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit (prime lending rate). Surat edaran ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah dan PBI Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 7/50/PBI/2005. Dalam Surat Edaran nomor 13/5/DPNP, bank umum diwajibkan untuk mempublikasikan suku bunga dasar kreditnya melalui media yang telah ditentukan. Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) adalah suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen yakni Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead,dan marjin keuntungan (profit margin). Perhitungan SBDK dihitung untuk 3 jenis kredit yaitu kredit korporasi, kredit ritel, dan kredit konsumsi (KPR dan non KPR). Transparansi informasi SBDK merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan Good Corporate Governance (GCG) dan mendorong persaingan yang sehat dalam industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang lebih baik. Ariyanto (2004), menurut Koskela dan Stendbacka (2000) persaingan antar bank akan menekan tingkat suku bunga kredit, sehingga mengurangi probability risk of default debitur yang pada akhirnya akan menjamin kestabilan sistem perbankan. Indonesia bukan negara pertama yang menerapkan kebijakan untuk mempublikasikan SBDK. Beberapa negara seperti India, Peru, Malaysia, dan Singapura sudah lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut. Di Malaysia SBDK biasa disebut Base Lending Rate. Perbankan di Malaysia diwajibkan mempublikasikan Base Lending Rate (BLR) kepada nasabah melalui situs, koran, dan papan pengumuman di setiap kantor bank. Kebijakan tersebut pada akhirnya mampu membuat BLR menjadi seragam dan kompetitif. Pada 2010, hanya 3 bank dari 23 perusahaan perbankan di Malaysia yang mengumumkan BLR berbeda. Bank of Tokyo- Mitsubishi UFJ (Malaysia) Berhad dan The Royal Bank of Scotland Berhad masing-masing mengumumkan BLR 6,00% p.a. (per annum). Sementara JP Morgan Chase Bank Berhad IV - 4 INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012 menawarkan BLR 6,20% p.a. Sedangkan 20 bank lainnya mengumumkan BLR yang sama, yakni 6,30% p.a. Keberhasilan Bank Sentral Malaysia menciptakan industri perbankan yang kompetitif membuat Bank Indonesia optimis, bahwa kebijakan transparansi SBDK akan meningkatkan efisiensi perbankan dan membuat industri perbankan mampu berkompetisi secara nasional maupun internasional. Optimisme Bank Indonesia ternyata masih diragukan beberapa kalangan. Diantaranya menyebutkan bahwa kebijakan tersebut akan tersandung masalah kartel atau malah akan menyebabkan kartel suku bunga perbankan yang dilakukan oleh beberapa bank. Surat edaran nomor 13/5/DPNP efektif berlaku tanggal 31 Maret 2011. Untuk tahap awal, bank yang diwajibkan mempublikasikan informasi SBDK adalah semua bank umum yang pada dan/atau setelah tanggal 28 Februari 2011 berdasarkan posisi Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih. Dipilihnya bank dengan total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) karena bank tersebut dinilai memiliki kemampuan secara teknis untuk melakukan publikasi khususnya melalui website, dan kemampuan untuk bersaing dengan bank lain,jika publikasi SBDK berhasil mendorong kompetisi antar bank. Pada akhirnya semua bank akan diwajibkan mempublikasikan SBDK jika dinilai telah siap secara teknis dan siap berkompetisi. Kewajiban tersebut bersifat permanen. Bank tetap wajib mempulikasikan SBDK meskipun dalam perjalanannya total aset bank tersebut turun menjadi kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah). Publikasi informasi SBDK dilakukan melalui papan pengumuman di setiap kantor bank, halaman utama website bank (jika bank memiliki website), dan surat kabar yang dilakukan bersamaan dengan pengumuman Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Sebelumnya masyarakat tidak mempunyai informasi yang cukup dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan kredit dari bank. Berlakunya surat edaran tersebut diharapkan akan meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan kepada nasabah, serta mengurangi kesenjangan informasi antara masyarakat yang ingin menyimpan dana dan masyarakat yang ingin meminjam dana. Selama ini masyarakat yang ingin menyimpan dana di bank baik dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito dengan mudah memperoleh informasi mengenai suku bunga yang diperoleh. Suku bunga yang relatif tinggi adalah suku bunga kredit UMKM, sehingga kompetisi di bidang ini perlu ditingkatkan. Untuk itu kebijakan transparansi SBDK hendaknya difokuskan pada segmen ritel, khususnya kredit UMKM. Suarakarya (2011), menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi, tingginya suku bunga perbankan nasional membuat produsen barang dalam negeri tidak dapat bersaing ketika menghadapi barang impor. Ketidaktahuan nasabah tentang bagaimana suku bunga kredit dihitung menyebabkan bank bisa menetapkan suku bunga lebih tinggi dari seharusnya. Tingginya suku bunga kredit juga diakui oleh Bank Indonesia. Perbankan terlihat sangat sulit untuk mengubah suku bunga kredit. Bahkan ketika BI Rate turun sebesar 25 bps menjadi 6,50% pada Agustus 2009, suku bunga kredit bank umum tidak banyak berubah. Penurunan suku bunga untuk kredit modal kerja hanya sebesar 15 bps, kredit investasi sebesar 10 bps, dan kredit konsumsi sebesar 4 bps. Penurunan suku bunga kredit secara signifikan baru terlihat pada tahun 2010. Selama 2010 BI Rate tidak berubah, tetap pada besaran 6,50%, namun dalam satu tahun suku bunga kredit bank umum sedikit demi sedikit turun hingga mencapai 86 bps untuk kredit modal kerja, 68 bps untuk kredit investasi, dan 189 bps untuk kredit konsumsi. Grafik berikut ini menunjukkan perkembangan BI Rate dan suku bunga kredit bank umum untuk kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI), dan kredit konsumsi (KK) pada tahun 2009 dan 2010. INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012 IV - 5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN SOSIAL (SOCIAL DISCLOSURE) DALAM LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK JAKARTA Drs. Rokhmat, Akt., MM Universitas Teknologi Yogyakarta ABSTRAK Pengungkapan sosial merupakan upaya untuk mengkomunikasikan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi suatu perusahaan, kepada publik. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor dalam perusahaan, yang diproksikan dalam kepemilikan manajemen, leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas, mempengaruhi pengungkapan sosial suatu perusahaan. Sampel yang digunakan adalah 60 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2006-2007. Pemilihan sampel dengan purposive sampling method. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara simultan terdapat adanya pengaruh yang signifikan antara faktor-faktor perusahaan terhadap pengungkapan sosial perusahaan, dan variabel kepemilikan manajemen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengungkapan sosial. Kata kunci : Corporate Social Responsibility, Laporan Keuangan, Karakteristik Perusahaan, Social Disclosure. 1. Pendahuluan Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi atau perusahaan harus berkomitmen untuk memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Salah satu wujud tanggung jawab sosial perusahaan kepada publik adalah dibuatnya pengungkapan sosial (social disclosure) pada laporan tahunannya. Melalui pengungkapan sosial tersebut, masyarakat dapat memantau aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosialnya. Bila dahulu laporan tahunan (annual report), sebagai produk akuntansi, dimaksudkan sebagai pertanggung-jawaban manajemen kepada pemegang saham (stockholders), kini paradigma tersebut diperluas menjadi pertanggungjawaban kepada seluruh pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholders). Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan, telah ditemukan adanya perbedaan luas pengungkapan sosial antara satu kelompok perusahaan dengan kelompok perusahaan yang lain. Hackston dan Milne (Hall, 2002) dan Utomo (2000) menemukan adanya perbedaan luas pengungkapan sosial yang signifikan antara kelompok perusahaan high profile dan kelompok perusahaan low profile. Sementara itu, Parsa dan Ghaffari (2003) menemukan bukti adanya perbedaan luas pengungkapan sosial antara kelompok perusahaan besar dan kelompok perusahaan kecil. Perbedaan luas pengungkapan sosial antar kelompok perusahaan yang ditemukan pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan tingkat kepedulian (tanggung jawab) sosial antara satu kelompok perusahaan dengan kelompok perusahaan lainnya. Atas dasar kenyataan bahwa saat ini masih banyak perusahaan yang beroperasi hanya mengejar keuntungan, tanpa menghiraukan dampak negatif yang dialami masyarakat akibat operasi perusahaan, antara lain polusi udara, air, kebakaran hutan, dan lingkungan, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menguji pengaruh karakteristik perusahaan yang diproksi dalam kepemilikan manajemen, tingkat leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap kuantitas pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) selama tahun 2006-2007. Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial ?. IV - 6 INTERNATIONAL SEMINAR & NATIONAL SYMPOSIUM Global Competitiveness through Research Supporting Commercial Industry Universitas Teknologi Yogyakarta - 23 June 2012