filsafat ilmu geografi

advertisement
GEOGRAFI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU(*)
Oleh : Djoko Harmantyo(**)
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang filsafat ilmu biasanya diberikan kepada mahasiswa pascasarjana
khususnya program doktor sebagai pondasi dalam memahami filosofi bidang ilmunya
pada saat para mahasiswa melakukan kegiatan penelitian ilmiah atau seminar ilmiah.
Manfaat setelah memperoleh pengetahuan filsafat ilmu adalah semakin meningkatkan
kesadaran kita dalam meletakkan hakekat “kebenaran” tentang suatu hal pada tempat
yang tepat. Kita semakin menyadari bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan yang kita
peroleh ternyata bersifat relative (tidak bersifat absolute). Dalam konteks inilah latar
belakang tulisan ini dihadapkan pada persoalan bagaimana perkembangan ilmu geografi
(di Indonesia) saat ini. Masalah yang dibahas tampak sederhana namun menurut hemat
penulis hal yang sederhana tersebut justru memiliki implikasi yang sangat luas dan
mendalam.
Paling tidak ada dua pendapat terhadap perkembangan bidang ilmu geografi saat ini.
Pendapat pertama menganut faham geografi sebagai ilmu yang bersifat generalis yang
tidak memerlukan bidang spesialisasi. Pendapat kedua memiliki pemikiran bahwa
geografi dapat dikembangkan dalam spesialisasi spesialisasi (cabang atau bahkan ranting)
tertentu. Ke dua pendapat tersebut mengetengahkan kebenaran masing masing sebagai
dasar pertimbangan.
Tulisan ini disusun dengan maksud untuk menyegarkan kembali pemikiran kita
tentang dunia ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu geografi. Proses penyegaran
kembali ini perlu dilakukan karena kita ingin tetap memposisikan ilmu geografi sebagai
bidang ilmu yang diakui dan selalu relevan dengan dinamika perkembangan sains dan
teknologi dewasa ini. Dalam tulisan ini, dari berbagai buku pustaka, akan ditelaah tentang
apa sebenarnya substansi pengetahuan filsafat ilmu sebagai pengantar pokok bahasan.
Selanjutnya akan dielaborasi dua definisi geografi sebagai titik tolak telaah geografi
sebagai bidang ilmu, metode keilmuan beserta asumsi asumsinya dan selanjutnya
disampaikan beberapa pemikiran dari hasil telaah inti tulisan ini sebagai penutup .
Dalam tulisan ini juga akan ditunjukkan posisi pengetahuan tentang teknik mutakhir
seperti teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografi (GIS)
sebagai sarana analisis dalam studi geografi sehingga diperoleh kejelasan perbedaan
antara metode (keilmuan) dan teknik analisis penelitian.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------(*) makalah disampaikan dalam Seminar Filsafat Sains Geografi di Fakultas Geografi
UGM Yogyakarta tanggal 12 July 2008.
(**) staf pengajar Departemen Geografi FMIPA-UI.
Pada hakekatnya, jika tidak dalam membahas substansinya, menurut hemat penulis,
kata ilmu selalu dikaitkan dengan bidang telaahnya seperti ilmu ekonomi, ilmu sastra,
ilmu teknik atau ilmu geografi. Sedangkan kata sains biasanya dipakai dalam
mengelompokkan bidang ilmu seperti bidang sains dan teknologi atau dalam penyebutan
gelar akademik seperti Magister Sains bagi Master of Science. Oleh karena itu dalam
makalah ini penulis menggunakan kata filsafat ilmu geografi dan bukan filsafat sains
geografi.
Sudah semestinya bahwa hasil pemikiran dalam tulisan ini memerlukan kritik
sehingga dapat menghasilkan kesamaan pandangan dan bermanfaat bagi perkembangan
bidang ilmu geografi di Indonesia. Pada akhirnya, berbagai pemikiran yang dihasilkan
dalam seminar tentang filsafat ilmu geografi ini seyogyanya ditindaklanjuti oleh
pengelola program pendidikan khususnya pendidikan geografi di Indonesia sebagai
bahan untuk meninjau kembali kurikulum baik pada program Sarjana hingga program
Doktor. Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
APRESIASI TEORI
Haggett (2001) dalam bukunya: “Geography. A Global Synthesis” menyebutkan
berbagai definisi geografi (p. 763) dan salah satunya adalah “ Geography is an
integrative discipline that brings together the physical and human dimensions of the
world in the study of people, places, and environments” yang dirumuskan oleh American
Geographical Society tahun 1994. Dalam definisi tersebut tersirat pengertian yang jelas
bahwa geografi merupakan disiplin ilmu bersifat integratif yang mempelajari obyek studi
(penduduk, tempat dan lingkungannya) dalam dimensi fisik dan manusia. Sementara I
Made Sandy (1973) mengetengahkan sebuah definisi geografi sebagai bidang ilmu yang
mempelajari berbagai gejala di permukaan bumi dalam perspektif keruangan. Sandy
ingin menekankan bahwa gejala apapun dapat menjadi bidang telaah geografi jika
ditinjau dari sudut pandang keruangan.
Berdasarkan dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa geografi adalah bidang
ilmu yang bersifat integratif yang mempelajari gejala gejala yang terjadi di muka bumi
(dalam dimensi fisik dan dimensi manusia) dengan menggunakan perspektif keruangan
(spatial perspective). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “aspek keruangan”lah
yang menjadi ciri pembeda bidang geografi dengan bidang ilmu lain.
Menurut pengertian di atas maka tidaklah sukar untuk menjelaskan makna filosofis
diagram Fenneman (Jensen, 1980 p.4) maupun diagram Haggett (2001 p. 766) yang pada
prinsipnya menunjukkan keterkaitan dan pendekatan bidang kajian geografi dengan
bidang kajian ilmu ilmu lainnya. Gejala sosial yang berlangsung di muka bumi jika
ditelaah melalui perspektif keruangan membentuk bidang kajian geografi sosial. Melalui
proses yang sama lahir bidang kajian geografi ekonomi, geografi politik, geografi budaya
dan lain lain. Bagian bidang ilmu alam seperti geologi difokuskan pada pengetahuan
geomorfologi, klimatologi dari meteorologi, biogeografi dari biologi dan seterusnya.
g
Gambar 1. Lingkungan sekitar bidang ilmu Geografi (modifikasi Fenneman 1919 dalam
Jensen, 1980).
Interkoneksi berbagai bidang ilmu dengan bidang geografi menunjukkan fenomena di
mana perkembangan bidang ilmu geografi dapat dikatakan sangat ditentukan oleh
kemampuan geograf dalam memperoleh informasi perkembangan bidang ilmu lainnya.
Hasil riset bidang ilmu lain akan memperkaya (proliferate) cakupan penelitian geografi.
Demikian pula, hasil riset geografi tentang topik tertentu (secara terbatas) dapat memicu
perkembangan bidang ilmu lainnya. Dalam konteks ini maka terbuka ruang terbentuknya
gejala divergensi bidang ilmu (termasuk geografi) dalam berbagai cabang ilmu yang
bersifat lebih spesifik (spesialisasi). Namun demikian, spesialisasi di bidang ilmu
geografi tidaklah semudah seperti membentuk spesialisasi anak, spesialisasi tht anak atau
anak tht (?) pada bidang ilmu kedokteran atau lainnya.
Dalam perspektif keilmuan, pada dasarnya semua ilmu memiliki kesamaan filosofi
yang disebut dengan metode keilmuan. Masing masing ilmu memiliki cara yang sama
untuk mencari pengetahuan antara lain melalui kerangka berpikir rasionalisme dan
empirisme. Perlu disampaikan kembali pemikiran para ahli seperti, John Dewey (18591952) menyusun formulasi perkawinan cara berpikir rasionalisme dan empirisme yang
telah digunakan oleh Galileo, Newton maupun Charles Darwin pada era sebelumnya
(Suriasumantri, 1983 p. 28). Secara ringkas dijelaskan bahwa rasionalisme adalah
kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedang empirisme adalah kerangka
pengujian dalam memastikan suatu kebenaran pengetahuan sah secara keilmuan.
Falsafah ilmu
Mengutip pendapat Montello (2006) bahwa tidak ada jawaban yang tepat dari
pertanyaan apa yang dimaksud dengan scientific approach. Salah satu pengertian tentang
ilmu adalah “Science is a personal and social human endeavor in which ideas and
empirical evidence are logically applied to create and evaluate knowledge about reality”.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “empirical evidence” dalam pengertian di atas
adalah sesuatu yang diturunkan dari kegiatan observasi suatu masalah secara sistematis
melalui penalaran yang sering menggunakan alat bantu teknologi. Montello berpendapat
bahwa secara filosofis, makna empirisme tidak selalu berupa pengalaman manusia sejak
lahir. Empirisme ilmu berusaha untuk dapat diulang, dapat diakumulasikan dan secara
umum dapat diobservasi. Ilmu menganut prinsip prinsip logika formal dan informal dan
paling tidak mengikuti prinsip (1) harus menghindari kontradiksi (2) semakin tinggi
tingkat keyakinan terhadap suatu gejala seiring semakin tingginya observasi yang
dilakukan (3) pola keteraturan suatu kejadian pada masa lalu memiliki peluang terjadi
pada masa yang akan datang.
Suriasumatri (1983) menyatakan bahwa kegiatan ilmu adalah suatu proses berpikir
untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek yang
diamati belum tentu sama dengan pengetahuan yang diperoleh orang lain yang
mengamati obyek yang sama apabila dilakukan pancaindra manusia pada skala observasi
atau dalam medium yang berbeda melalui perspektif yang berbeda. Sebuah pohon kelapa
tampak sangat tinggi jika diamati pada jarak dekat dan tampak pendek jika diamati pada
kejauhan atau sebuah tongkat lurus akan tampak melengkung jika berada di dalam air,
adalah sekedar contoh sederhana.
Para ahli filsafat ilmu menyatakan bahwa dalam lingkungan keilmuan, kebenaran
secara keilmuan bersifat tidak mutlak. Sifat tidak mutlak tersebut juga terjadi jika
kebenaran keilmuan dihadapkan pada kebenaran menurut agama, kebenaran menurut seni
atau kebenaran menurut filosofinya. Kebenaran teknologi cloning sampai saat ini
misalnya tidak diakui sebagai kebenaran menurut agama. Lukisan wanita telanjang
sebagai kebenaran seni pada umumnya tidak dapat dibenarkan oleh agama atau
dibuktikan secara keilmuan. Gambar 1 menjelaskan sebuah skema sederhana dari proses
berpikir manusia dalam kehidupan sehari hari..
AGAMA
ILMU
Kebenaran
relatif
SENI
FILSAFAT
Gambar 23. Kebenaran berdasarkan perspektif proses berpikir manusia.
Mengingat tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak maka dapat diduga dari tulisan
ini akan muncul banyak pendapat atau pandangan yang berbeda. Berdasarkan judul di
atas, untuk mengurangi beda pendapat, dalam tulisan ini penulis membatasi pengertian
filsafat menurut Socrates (470-399 SM) dalam Suriasumantri (1983 p.4) sebagai berikut:
“filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya”. Radikal, menyeluruh dan sedalam-dalamnya
mengandung makna membutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh suatu
pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam.
Selanjutnya dikatakan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
mempunyai ciri tertentu. Bidang ilmu yang satu dapat dibedakan dari bidang ilmu lainnya
didasarkan pada jawaban atas ke tiga pertanyaan pokok sebagai ciri ilmunya yaitu (1)
dasar ontologi ilmu, (2) dasar epistemologi ilmu dan (3) dasar axiologi ilmu. Apa yang
ingin diketahui atau apa yang menjadi bidang telaah ilmu merupakan pertanyaan dasar
ontologi. Bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh merupakan dasar pertanyaan
epistemologi (teori pengetahuan). Sedangkan apa kegunaan ilmu adalah pertanyaan dari
segi axiologinya (teori tentang nilai). Jawaban dari ke tiga pertanyaan dasar tersebut
merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Tidak jarang dijumpai keadaan di mana suatu penelitian belum menjelaskan kegunaan
hasil penelitian sebagai jawaban pertanyaan dasar yang ke tiga, walaupun masalah (apa
yang ingin diketahui) dan metodenya (bagaimana cara`memperoleh pengetahuan)
dituliskan secara jelas. Pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan penelitian seyogyanya
merupakan pengetahuan yang mendalam dan dapat dibuktikan memenuhi kaidah
keilmuan (dikatakan sah secara keilmuan).
Penelitian ilmiah
Pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir yang teratur dan sistematis
dikenal sebagai produk kegiatan penelitian ilmiah atau penelitian yang memenuhi syarat
keilmuan. Kegiatan berpikir teratur dan sistematis mengantar kita dalam memasuki dunia
keilmuan. Sebuah gejala di muka bumi misalnya, sebagai sebuah fakta, terjadi secara
beraturan dan tidak terjadi secara kebetulan karena dapat dijelaskan dalam kerangka
konsep keilmuan. Siklus hidrologi merupakan contoh gejala alam yang berlangsung
secara teratur dan sistematis.
Dalam konteks kegiatan penelitian, mengenali sebuah fakta, merumuskan masalah,
menyusun hipotesa, melakukan analisis dan menarik kesimpulan merupakan contoh
proses berpikir teratur dan sistematis. Menurut Sandy (1973) hal tersebut adalah ciri
sebuah ilmu termasuk ilmu geografi. Sebuah kesimpulan penelitian mencerminkan
“pengetahuan” yang dihasilkan dari rasa “ingin tahu” (curiousity) yang diungkap dalam
kalimat pertanyaan penelitian (research question).
Para peneliti, pada instansi pertama umumnya menghadapi persoalan bagaimana
merumuskan pertanyaan penelitian yang benar agar memperoleh pengetahuan baru yang
bermakna. Sebagian besar waktu (hampir 50%) dihabiskan untuk merumuskan masalah,
selebihnya untuk mengumpulkan data, melakukan analisis dan menarik kesimpulan. Jika
rumusan pertanyaannya benar maka akan diperoleh jawaban yang benar, jika cara yang
digunakan untuk menjawab benar. Sebaliknya, jika pertanyaan penelitiannya diungkap
dalam kalimat yang tidak jelas maka jawabannya pasti sulit diperoleh atau bahkan tidak
akan ditemukan, bagaimanapun caranya meneliti. Hal yang sama jika dikaitkan dengan
kebenaran data yang digunakan dalam penelitian (garbage in garbage out).
Dalam upaya menjawab masalah, ada tiga pilihan metode yang dapat digunakan yaitu
metode deduktif, metode induktif dan gabungan metode deduktif dan induktif. Namun
demikian saat ini gabungan ke dua metode deduktif dan metode induktif menjadi pilihan
banyak peneliti dalam menetapkan metode penelitiannya. Pilihan ini dilandasi pada
pemikiran bahwa apa yang diteliti merupakan usaha untuk memperkuat konsep atau teori
yang sudah ada dan adanya keinginan untuk menghasilkan konsep atau teori baru.
Metode metode yang dimaksud merupakan penjabaran konsep berpikir epistemologis
dalam upaya menjawab pertanyaan yang diajukan. Sehubungan dengan hal itu ada
perbedaan pilihan metode dalam penelitian bidang pengetahuan alam dan bidang
pengetahuan sosial terkait dengan karakteristik masalah dan jumlah variable penelitian.
Sebuah dalil fisika seperti teori gravitasi misalnya, akan berlaku kapanpun dan
dimanapun. Di sisi lain, teori sosial yang berlaku di Negara maju tidak selalu tepat
digunakan untuk mengatasi masalah sosial di Negara berkembang karena karakteristik
masalah dan variable yang terkait berbeda.
Sebagaimana telah diuraikan, walaupun ada perbedaan namun setiap bidang ilmu
memiliki kesamaan metode keilmuan yaitu kerangka berpikir rasional dan empiris. Oleh
karena itu adanya konsep dan landasan teori yang kuat dan dengan dukungan data atau
fakta empirislah kekuatan suatu penelitian ditentukan., apapun bidang ilmunya. Hasil
dari penelitian demikianlah kita mampu memperoleh pengetahuan baru yang sangat
bermanfaat. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pengetahuan
baru tersebut adalah digunakannya asumsi asumsi yang tepat.
Dalam mengenali obyek empiris dalam ranah keilmuan kita memerlukan arah dan
landasan analisis yang dikenal sebagai asumsi. Suriasumantri (1983 p.8) menyatakan
bahwa ada tiga asumsi dasar agar pengetahuan baru yang dihasilkan diakui
kebenarannya yaitu:
(1) bahwa obyek tertentu memiliki keserupaan satu sama lain.
(2) bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu.
(3) bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.
Asumsi pertama berkaitan dengan metode keilmuan yang paling sederhana yaitu
penerapan konsep klasifikasi. Asumsi ke dua berkaitan dengan konsep kelestarian yang
bersifat relatif artinya suatu benda akan berubah dalam waktu singkat dan ada yang
berubah dalam jangka waktu panjang. Asumsi ke tiga berkaitan dengan konsep
determinisme artinya setiap gejala memiliki pola tertentu yang bersifat tetap dengan
urutan kejadian yang sama.
FILSAFAT ILMU GEOGRAFI
Berdasarkan hal hal yang telah diuraikan sebelumnya sampailah kita pada pertanyaan
bagaimana menjelaskan geografi sebagai bidang ilmu yang dapat disejajarkan dengan
bidang bidang ilmu lainnya? Untuk menjawab hal itu maka akan ditelaah secara singkat
bagaimana ilmu geografi menjawab ke tiga pertanyaan dasar ontologi ilmu, epistemologi
ilmu dan axiologi ilmu.
Ontologi ilmu geografi
Mengacu pengertian geografi yang telah disampaikan di atas maka dapat dijelaskan
bahwa apa yang ingin diketahui ilmu geografi adalah “berbagai gejala keruangan dari
penduduk, tempat beraktifitas dan lingkungannya baik dalam dimensi fisik maupun
dimensi manusia”. Perbedaan dan persamaan pola keruangan (spatial pattern) dari
struktur, proses dan perkembangannya adalah penjelasan lebih lanjut dari apa yang ingin
diketahui bidang ilmu geografi.
Sebagai salah satu penjelasan lebih rinci, pola keruangan dari gejala yang berlangsung
di muka bumi biasanya disajikan dalam model simbolik (dalam bentuk peta). Peta region
misalnya, menggambarkan informasi keruangan atau informasi geografis dalam tingkatan
kelas (klasifikasi) dari mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi dari suatu
obyek. Di samping informasi kuantitatif, peta tersebut juga dapat memberikan informasi
arah dan laju perubahannya. Fakta spasial suatu gejala tertentu dapat dianalisis lebih jauh
untuk menghasilkan informasi keterkaitannya dengan gejala lainnya.
Obyek material studi geografi meliputi lapisan atmosfer, lapisan litosfer, lapisan
hidrosfer dan lapisan biosfer (pengetahuan ini telah dijadikan bahan ajar geografi di
tingkat SLTP/SLTA). Pengetahuan pengetahuan tersebut sangat diperlukan dalam
menjelaskan berbagai gejala keruangan dari suatu obyek yang diteliti untuk dapat
memenuhi sifat integratif sebagaimana telah didefinisikan di atas. Berikut disampaikan
contoh sederhana elaborasi hasil penelitian yang memperlihatkan sifat integratif.
1. Fakta penelitian yang menunjukkan pola kerusakan bangunan semakin besar jika
jarak lokasi bangunan ke pusat gempa semakin dekat dapat dijelaskan dari
pengetahuan geologi dan fisika yang menyatakan bahwa besaran enersi yang
didifusikan semakin kecil jika semakin jauh dari pusat gempa karena mengalami
hambatan struktur batuan yang dilewatinya sebagai media difusi.
2. Penelitian tentang bentang alam (geomorfologi) di suatu daerah memperlihatkan
hubungannya dengan aktivitas penduduk di mana ada kecenderungan kegiatan
penduduk terkonsentrasi di wilayah dataran alluvial dibanding unit bentang alam
lainnya. Hal ini dapat dijelaskan antara lain berdasarkan teori ekonomi (efisiensi
biaya dan aksesibilitas). Teori pusat (central place theory) Christaller dengan
model hexagonalnya yang terkenal menggunakan salah satu asumsi yaitu hanya
berlaku pada daerah yang memiliki bentang alam homogin.
3. Faktor fisik menentukan perbedaan pola spasial migrasi penduduk, misalnya di
daerah dataran dan di daerah pegunungan, di samping dapat dijelaskan dari teori
gravitasi atau push-pull factor.
Pengetahuan tentang berbagai gejala (fisik maupun sosial) yang berlangsung di muka
bumi yang direpresentasikan sebagai gejala keruangan (spatial phenomena) suatu obyek
tertentu (yang dapat diamati oleh panca indra manusia) merupakan jawaban dari “apa
yang ingin diketahui” ilmu geografi. Persoalan selanjutnya adalah “ bagaimana ilmu
geografi menjawab pertanyaan tersebut”. Berkenaan dengan itu secara singkat akan
ditelaah tentang epistemology ilmu geografi.
Epistemologi ilmu geografi
Seperti bidang bidang ilmu lainnya, bidang ilmu geografi dapat menggunakan metode
deduktif, metode induktif atau gabungan ke dua metode tersebut, tergantung persoalan
yang ingin dijawab. Sebagai contoh sederhana, apabila ingin mengetahui hubungan
antara bentuk bentang alam dan pola sebaran pemukiman penduduk maka yang pertama
harus dilakukan adalah menjawab pertanyaan pertanyaan berikut:
- apakah terdapat hubungan logis antara bentuk bentang alam dan pola pemukiman?
- jika ya, apakah hubungannya bersifat satu arah atau dua arah?
- selanjutnya, apakah hal tersebut pernah diteliti dan teori apa yang digunakan peneliti
peneliti sebelumnya?
Apabila kerangka berpikir rasionalisme terpenuhi maka sebagai seorang peneliti kita
harus dapat membuktikan sendiri bagaimana hubungan dari gejala gejala tersebut dengan
menggunakan kerangka berpikir empirisme. Artinya, adanya dukungan teori dasar untuk
meneliti dan ketersediaan data empiris merupakan hal yang pokok untuk menemukan
jawaban yang benar dari pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya, peneliti harus
menetapkan metode apa yang akan digunakan :
1. Apabila telah ada konsep dan teori yang secara rasional dapat menjelaskan
hubungan logis ke dua variable tersebut, maka dapat dipilih metode deduktif
untuk memperkuat suatu teori yang sudah ada.
2. Apabila ingin mengetahui pola umum hubungan ke dua gejala tersebut di suatu
daerah yang lebih luas (misalnya untuk Indonesia) maka dapat menggunakan
metode induktif – deduktif. Perlu dicatat, data yang diperlukan dalam penggunaan
metode induktif adalah data sampling dalam statistik inferensial.
Dalam paragraph di atas dapat dicermati bahwa butir 1 menghasilkan pembuktian
teori tertentu untuk memperkuat atau apabila memenuhi syarat tertentu dapat
meningkatkan teori menjadi hukum yang bersifat universal (axioma). Sedangkan contoh
butir 2 menghasilkan pembuktian penemuan teori baru berdasarkan teori sebelumnya,
misalnya menghasilkan model prediksi. Mungkin kita perlu merenung, selama ini
penelitian apa yang telah kita lakukan untuk mengembangkan ilmu geografi ? Apakah
kita baru sebatas menerapkan konsep dan teori yang sudah ada atau sudah ada teori baru
yang kita hasilkan?
Metode atau teknik?
Setelah metode dipilih selanjutnya ditetapkan cara atau teknik apa yang akan
digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan dan analisis data penelitian. Metode
induktif misalnya, tidak dapat mengabaikan peranan statistik dalam pengumpulan,
pengolahan dan analisis data. Sampai di sini kita harus dapat membedakan makna metode
dan teknik atau cara penelitian. Overlay atau superimposed peta dapat dipandang sebagai
sebuah teknik analisis dan bukan metode analisis.
Menjadi lebih menarik jika selanjutnya ditelaah tentang pemanfaatan teknologi
informasi yang semakin intens di lingkungan penelitian geografi. Misalnya penggunaan
GIS (sebagai sebuah sistem) atau penggunaan data citra, sebagai upaya untuk
memperoleh data empiris dengan memanfaatkan sarana teknologi satelit. Sementara ini
kita sepakat bahwa ketersediaan sistem dan tekonologi tersebut sangat membantu
(mempermudah dan mempercepat) penelitian geografi dalam kegiatan pengumpulan
sampai analisis data hasil penelitian, sebagaimana kita menggunakan cara statistik.
Jelas kiranya bahwa dalam konteks penelitian geografi, teknologi RS dan GIS adalah
sebuah pilihan cara atau teknik dalam kita mengumpulkan data geografi, mengolah dan
menganalisis data. Pilihannya terletak pada sarana atau alat untuk analisis, yang dinilai
lebih baik dibanding teknik sebelumnya.
Sampai saat ini kita mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh dan teknologi
GIS merupakan produk dari R&D bidang ilmu teknik telekomunikasi, komputer dan
informatika. Bidang geografi lebih berperan dalam melakukan interpretasi secara lebih
cepat (karena memiliki bekal cukup pengetahuan fisik permukaan bumi) atau paling jauh
membuat pemodelan aplikasinya. Teknik teknik interpretasinyapun merupakan hasil
pengembangan para ahli bidang ilmu lain seperti fisika. Gambar 3 di bawah ini secara
sederhana ingin menunjukkan posisi pengetahuan PJ dan GIS dalam proses berpikir
keilmuan geografi.
Proses berpikir komperhensif
Proses menetapkan pilihan metode, Proses penarikan
I======================I=======================I==========I
dalam menyusun proposal
cara/teknik meneliti, proses kumpul,
kesimpulan
penelitian
olah dan analisis data
PJ dan GIS
Masalah penelitian
Pilihan metode, teknik
atau cara meneliti
Kesimpulan
Konsep ontology
ilmu
Konsep epistemology
ilmu
Konsep ontology
ilmu
Gambar 3. Posisi pengetahuan PJ dan GIS dalam konsep keilmuan geografi.
Geografi adalah bukan bidang ilmu tentang semua hal yang ada dalam kehidupan
manusia, walaupun ada yang berpendapat bahwa geografi adalah mothers of science atau
ilmu yang bersifat generalis. Sebuah kalimat yang sering diungkapkan adalah bahwa
“semua hal bisa di-geografi-kan sepanjang masih dapat dianalisis secara spasial”.
Kalimat ini sangat sederhana namun mempunyai implikasi yang sangat luas terutama
bagi para geograf yang kritis. Pertanyaan kritis yang kemudian dapat dikemukakan
adalah “apakah dapat dibuktikan bahwa semua hal dapat dianalisis dalam perspektif
spasial?”.
Oleh karena begitu banyak hal dapat digeografikan maka muncul usaha usaha
membuat spesialisasi geografi. Upaya untuk memikirkan spesialisasi di bidang ilmu
geografi layak untuk diapresiasi. Namun, cabang atau ranting ilmu yang dirumuskan
hendaknya memenuhi kaidah kaidah yang benar sehingga tidak menyimpang dari pohon
ilmunya. Salah satu contoh adalah pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu
informatika yang fokus dalam rekayasa teknik system pengolahan data menjadi
informasi. Demikian pula pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu
psikologi yang fokus dalam perilaku (behaviour) manusia. Sampai saat ini belum ada
yang mampu untuk mengspasialkan sebuah persepsi dan menyajikan serta
menjelaskannya dalam perspektif keruangan.
Axiologi ilmu geografi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peta dikatakan sebagai satu satunya
sarana untuk dapat menyajikan fakta geografi yang memenuhi pola berpikir keruangan,
secara cepat dan mudah dipahami. Dari sebuah peta dapat dikenali berbagai elemen
ukuran sebuah gejala seperti titik, garis, area, arah, jarak, luas, kepadatan, kerapatan dan
lainnya sebagai satuan ukuran karena bidang ilmu geografi harus dapat terukur. Dari
skala peta dapat dinilai tingkatan informasinya, dari yang bersifat umum sampai
informasi yang lebih rinci dari sebuah populasi.
Bidang ilmu geografi sampai saat ini masih eksis karena memang memiliki nilai
kegunaan bagi umat manusia baik untuk pengembangan keilmuannya maupun terapannya
untuk peningkatan kesejahteraan. Oleh karena ilmu bersifat netral maka pengetahuan
yang dihasilkan apakah bermanfaat atau bahkan menyebabkan bencana bagi umat
manusia pada dasarnya ditentukan oleh para ilmuwan itu sendiri.
Sebuah peta yang disajikan secara sengaja untuk menyesatkan pihak lain merupakan
sebuah bencana bagi penggunanya karena informasinya tidak tepat, akurat dan lengkap.
Akibatnya, pengguna peta tidak menemukan informasi yang dibutuhkan setelah
menghabiskan sumberdaya yang tidak sedikit. Dalam sebuah peperangan, peta dapat
menjadi senjata andal untuk mengecoh dan mengalahkan musuh karena legenda peta
sengaja diubah sehingga senjata musuh tidak mengenai sasaran.
Dalam kaitan ini suatu kegiatan analisis citra satelit yang dilakukan tanpa groundcheck yang cermat akan menghasilkan peta citra satelit yang menyesatkan. Apalagi jika
secara mentah mentah data citra digital digunakan untuk membuat pemodelan maka akan
dapat diduga informasi hasil interpretasi citra yang dihasilkan sulit dibuktikan
kebenarannya. Oleh karena itu, apapun kelemahan yang ada dengan menggunakan sarana
citra satelit perlu dikemukakan selengkapnya, bukan hanya keunggulannya. Di sini
menyangkut dasar epistemologisnya dimana “jika putih katakan putih” atau “jika ada
kelemahan katakan kelemahannya dengan jujur”.
Esensi dasar axiology ilmu geografi erat kaitannya dengan ontologinya dan karena itu
sebaik-baiknya pengetahuan yang dihasilkan sangat tergantung dari yang memiliki
pengetahuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa moral pemilik ilmu
tersebut merupakan factor yang menentukan apa sebenarnya nilai manfaat pengetahuan
yang dimiliki bagi umat manusia.
PENUTUP
Berdasarkan kajian literature dan hasil elaborasi terhadap berbagai pemikiran para ahli
dalam tulisan ini secara singkat dapat disampaikan hal hal sebagai berikut :
1. Dari sudut pandang metode keilmuan, hubungannya dengan ruang muka bumi
merupakan ciri bidang ilmu geografi yang menjadi pembeda dengan bidang ilmu
lainnya. Karena mempelajari berbagai gejala dan hubungannya dengan ruang
muka bumi maka peta merupakan sarana paling efektif untuk analisis.
2. Rumusan spesialisasi di bidang ilmu geografi (membuat cabang atau ranting)
yang ada di lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia masih harus diuji lebih
lanjut melalui telaah kritis tiga pertanyaan dasar keilmuan : ontology,
epistemology dan axiology
3. Terbentuknya suatu spesialisasi ilmu memiliki konsekuensi lebih lanjut yaitu
keinginan untuk membentuk program studi baru di lingkungan bidang ilmu
geografi. Berdasarkan fakta yang ada proses ini justru menimbulkan masalah
karena ternyata setelah dikaji lebih lanjut prodi baru tersebut tidak dalam pohon
ilmu geografi atau hanya merupakan pengetahuan dasar (obyek material). Hal
yang mengkawatirkan adalah karena sudah terlanjur maka ada upaya adjustment
terhadap konsep dasar agar tetap tampak bernaung di bawah pohon ilmu geografi.
4. Mengingat karakteristik bidang ilmu geografi maka alternative terbaik untuk
mengakomodasi para geograf yang kritis adalah dengan menetapkan bidang
bidang peminatan yang ingin diintroduksi sesuai perkembangan kebutuhan
masyarakat. Hal ini berarti perhatian kita fokuskan pada aspek dasar ontology
ilmu dan dasar axiology ilmu.
5. Persoalan yang sedang dihadapi dalam mengembangkan ilmu geografi di
Indonesia saat ini adalah bagaimana sosok ilmu geografi sudah dapat dikenal
mulai dari siswa SD sampai SMA. Fakta menunjukkan bahwa betapa tidak
mudahnya belajar geografi secara utuh jika pada tingkat SD dan SMP masih di
dalam pelajaran IPS dan di kelas 3 IPA SMA tidak diberikan sehingga tidak
masuk sebagai mata ujian nasional.
Bahan bacaan
1. Anonymous 2003 ;”Pengembangan Penelitian Interdispliner di Perguruan
Tinggi”. Proc. Seminar nasional Lembaga Penelitian, UGM, Yogyakarta.
2. Anonymous 2000 ;” Benchmark Statements. The Quality Assurance Agency for
Higher Education in Geography.”.http://www.qaa.ac.uk.
3. Haggett, P, 2001 ;”Geography. A Global Synthesis”. Prentice Hall, New York
4. Jensen, AH, 1983 ;” Geography. Its history and concepts”. McGraw Hill, NY.
5. Kasali, R, 2005; “Change!”. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
6. Montello, D.R. and Paul C. Sutton, 2006;”An Introduction to Scientific Research
Methods in Geography”, Sage Publ. Inc. California, USA.
7. Osborne, R, 2001;”Filsafat Untuk Pemula”. Cet. Ke-8 Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
8. Soetrisno dan SR. Hanafie, 2007;”Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian” Penerbit
Andi Offset, Yogyakarta.
9. Sandy, IM, 1973 ; “Esensi Geografi”. Jurusan Georafi FMIPA-UI, Jakarta.
10. Sumantri, JS, 1983 ;” Ilmu dalam Perspektif” PT Gramedia, Jakarta.
11. Wattimena, RAA, 2008;”Filsafat dan Sains”Penerbit Grasindo, Jakarta.
Download