DINAMIKA WILAYAH DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFIS* OIeh

advertisement
DINAMIKA WILAYAH DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFIS*
OIeh:
Djarot S. Widyatmoko
PENDAHULUAN
(Geography is about local variability within a general context - R.J. Johnston, 1984)
Dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini kita menjadi saksi
perubahan-perubahan yang begitu cepat di dunia ini. Kekhususan sifat suatu daerah
atau tempat yang telah menjadi trademark selama berpuluh-puluh tahun banyak yang
telah hilang atau paling tidak telah berubah bentuk. Pulau Bali yang saya tahu
sekarang, sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika saya melaksanakan KKL I
duapuluh tahun yang lalu. Riau Kepulauan yang dikenal dengan daerah penampungan
‘manusia
perahu’
dari
Vietnam,
kini
merupakan
kawasan
unggulan
bagi
pengembangan industri dan pariwisata nasional. Lebih dekat lagi, seperti Desa
Kasongan di Kabupaten Bantul: kini terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya,
daerah di sekitar Jalan Kaliurang, Condongcatur, Caturtunggal sudah berubah menjadi
kawasan permukiman padat penduduk dan pelayanan yang mungkin lebih padat
daripada beberapa daerah Kotamadya Yogyakarta sendiri. Dan tentunya masih banyak
lagi. Pada ‘kawasan tumbuh-cepat’, seperti koridor Merak-Jakarta-Bandung atau
koridor Surabaya-Malang, kecepatan perubahannya (the speed of change) mungkin
tidak dihitung dalam tahun, melainkan dalam bulan.
Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam contohcontoh di atas menunjukkan bahwa wilayah permukaan bumi merupakan organisme
yang dinamis. Bentuk, sifat, dan kecepatan dari dinamikanya merupakan fungsi dari
kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang berasal dari luar dan dari dalam wilayah itu
sendiri, maupun yang berasal dari perpaduan kekuatan-kekuatan yang bersifat khas
(unique) setempat dan yang bersifat umum (general). Dinamika wilayah memang
proses in situ atau setempat, namun keberadaan proses merupakan hasil perpaduan
dari dua kekuatan tersebut.
*Disajikan dalam Seminar Bulanan Fakultas Geografi UGM-Yogyakarta, April 1998
Universitas Gadjah Mada
Fenomena industri kerajinan gerabah adalah ciri khas Kasongan, yang merupakan
perpaduan dari inovasi lokal dalam teknik dan gaya gerabah yang disesuaikan dengan
selera pasar (baik regional, nasional, maupun internasional). Namun, surutberkembangnya industri gerabah Kasongan tergantung pada elastisitas kemampuan
pengrajin lokal terhadap inovasi baru akibat (perubahan) peningkatan mutu, selera,
dan jumlah permintaan pasar. Perubahan permintaan pasar ini pada dasarnya
merupakan respon terhadap perubahan-perubahan umum yang bersifat global, seperti
perubahan perilaku ekonomi dunia, kemajuan teknologi, keterbukaan negara, dan
sebagainya. Jadi, dinamika suatu tempat tidak dapat dipisahkan atau merupakan
bagian integral dari dinamika yang terjadi di tempat lain. Bentuk saling ketergantungan
antar tempat atau ruang ini (Interdependencies of places atau spatial interdependence)
merupakan fenomena geografi yang kini banyak diminati geografiwan, terutama untuk
menjawab peruhahan-perubahan pola keruangan kegiatan manusia akibat kuatnya
pengaruh arus globalisasi dan internasionalisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Knox
dan Marston (1998):
By studying spatial interdependence, geographers are able to address diversity
within the framework of a broader relationship; to see the uniqueness of
individual places and regions within the context of other places and regions
(and, indeed, the whole globe); and to see how general relationships play out
within particular setting.
MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH
Konsep ‘region’ atau wilayah memang masih merupakan perdebatan yang
panjang dalam dunia akademisi, namun dalam konteks perkembangan wilayah
(regional development) tampak terdapat konsesus yang menganggap wilayah sebagai
bagian
permukaan
bumi
dalam
lingkup
sub-nasional.
Walaupun
demikian,
diskonsensus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan pewilayahan
(regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan
(homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas
(functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut, namun
cukup dikatakan disini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila diterapkan pada
bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan melahirkan variasi
Universitas Gadjah Mada
keruangan (spatial variation). Variasi keruangan akan menimbulkan berbagai bentuk
interaksi keruangan (spatial interaction) antar masing-masing tempat (individual
places) dan tentunya interaksi keruangan menghasilkan bentuk-bentuk saling
ketergantungan antar tempat (interdependency of places). Dengan analogi semacam
ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan pencerminan dari azas-azas
geografi (khususnya spatial analysis): location, distance, space, accessiblity, dan
spatial interaction.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah dinamika wilayah itu? Dan mengapa
terjadi dinamika? Gambar 1 di bawah ini mungkin dapat digunakan sebagai landasan
untuk menjawab kedua pertanyaan tesebut. Ujud kompak dari suatu wilayah dapat
berupa perkotaan, perdesaan, DAS (dearah aliran sungai), dan ad hock region (dapat
berupa wilayah perencanaan, atau wilayah-wilayah khusus Iainnya). Dinamika wilayah
tentunya tidak diekspresikan dalam bentuk perpindahan lokasi suatu wilayah dari
lokasi yang satu ke lokasi yang lain namun lebih merujuk pada perubahan unsur-unsur
wilayah (HINCO. Human-institution-Natural-Capital-Others) yang disebabkan oleh
adanya ‘intervensi’ dari agen perubahan (agents of change) baik yang bersifat alami
maupun buatan manusia, atau bahkan kombinasi keduanya. Seperti yang tampak
dalam Gambar I dinamika wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang saling
kait mengkait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan: iklim,
bencana alam, ekonomi, demografi, politik, budaya, teknologi, sosial, baik dalam skala
makro maupun mikro. Dampak pengaruh dari agen-agen perubahan tidak berarti akan
menghasilkan respon yang sama terhadap semua wilayah namun oleh faktor-faktor
lokal (local factors) suatu wilayah pengaruh tersebut dimodifikasi. Di samping itu,
kekuatan pengaruh masing-masing agen perubahan juga tidak sama kuat dan
kombinasi dari beberapa agen perubahan juga menghasil pengaruh yang berbeda
pula. Kompleksitas hubungan dan pengaruh agen-agen perubahan ini tercermin dalam
variasi dinamika yang dihasilkan. Sifat dan pengaruh agen perubahan terhadap
wilayah tidak selalu searah, karena perubahan yang dihasilkan akan menimbulkan
umpan-balik terhadap dinamika wilayah itu sendiri (lihat Gambar 1). Sehingga gerakan
pengaruh-mempengaruhi ini bak spiral yang terus berputar baik ke atas maupun ke
bawah. Ke atas berarti perubahan-perubahan yang terjadi dianggap membawa
‘kemajuan’, sedangkan ke bawah berarti sebaliknya.
Universitas Gadjah Mada
Memang tidak ada hal yang baru dalam analisis dinamika wilayah ini. Namun
yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang
terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar
kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan
harga tempe dan tahu di Pasar Demangan menjadi dua kali lipat dipicu oleh
pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala,
namun juga ‘rentetan’ pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung
akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan
derajat ‘diet’ masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengkait dengan melibatkan
variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan
analisis saling-ketergantungan keruangan menjadi lebih kompleks dan perubahan
menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.
Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dan momentum analisis
dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel
Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua
wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-periphery,
dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke dalam sistem
dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu tidak selamanya
suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan bukti timbul
tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat, Amerika Utara, dan
Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian besar wilayah Afrika,
Timur-tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang negara-negara industri
baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah wilayah semi-periphery.
Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah periphery sekarang ini
‘dahulu pernah’ sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah core yang sekarang ada,
‘dahulu’ adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan antara core-semiperipheryperiphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti bahwa masing-masing saling
membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat posisi atau statusnya dengan
memperkuat efektivitas wilayahnya dalam meningkatkan daya saing kemampuan
domestik (Knox, 1994).
Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan satusatunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi.
Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-
Universitas Gadjah Mada
wilayah permukaan bumi melalui proses-proses perubahan baik ekonomi, lingkungan,
politik, maupun budaya (Knox dan Marston, 1998). Gejala globalisasi dan
internasionalisasi (ekonomi) akhir abad ke-20 ditandai dengan munculnya tiga wilayah
yang mendominasi produksi dan perdagangan dunia: Amerika Utara, Mayarakat
Ekonomi Eropa (MEE), serta Asia Timur dan Asia Tenggara (menguasai hampir 80%
ekspor dunia dan Iebih dari 60% produksi manufaktur dunia); deregulasi sistem
keuangan dunia: mempermudah pergerakan investasi ke seluruh pelosok bumi
(terutama di tiga wilayah di atas) baik melalui subtitusi-impor maupun foreign direct
investment-FDI; dan internasionalisasi ‘proses produksi’, terutama perusahaan multi
nasional (Transnasional Corporations-TNCs): menyebabkan tata pembagian tenagakerja internasional baru (the new international division of labor-NIDL).
Penganut teori gelombang-panjang (long-wave theory) mempercayai adanya
pengaruh daur inovasi teknologi terhadap perkembangan ekonomi global. Sejak tahun
1780, telah terselesaikan empat gelombang-K (K-waves: K adalah inisial dari
Kondratiev, seorang ekonom Rusia pencetus teori ini pada tahun 1920) dimana
masing-masing gelombang memakan waktu sekitar 50 tahun. Setiap gelombang-K
selalu berkaitan dengan difusi inovasi teknologi pokok dan hal tersebut berpengaruh
pada bentuk dan sifat produksi, distribusi, dan organisasi (Golledge dan Stimson,
1997). Kita sekarang sedang berada pada era gelombang-K kelima yang baru pada
tahap awal : ‘era teknologi informasi’ - TI, yang ditandai dengan kemajuan pesat pada
teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dampak utama dari gelombang terakhir ini
adalah pengkerutan jarak (the shrinking of distance) geografis, yang berarti pula aliran
(barang, orang, informasi) dan perubahan (baik produksi, distribusi, dan organisasi)
menjadi ‘lebih cepat’.
Proses globalisasi (ekonomi) dan perubahan teknologi (terutama di bidang
transportasi dan telekomunikasi) lebih memperkuat dan membesar jaringan kota-kota
di dunia (terutama kota-kota besar/metropolitan), dan yang Iebih penting, terutama
bagi geografiwan, adalah semakin kuatnya peranan kota sebagai agen perubahan
wilayah. Namun, sifat hubungan antar kota ini tidak seimbang dan cenderung
eksploitatif, yaitu menguntungkan kota-kota dengan kekuatan kontrol yang besar.
Sistem kota-kota dunia sekarang ini didominasi oleh kota dunia (world cities). Kota
dunia adalah kota yang menjadi pusat kendali bisnis dunia, termasuk di dalamnya
adalah pusat kekuatan ekonomi, budaya, dan politik yang menentukan bentuk dan
Universitas Gadjah Mada
arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat
tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di
wilayah core, yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota
dengan kekuatan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara
adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul, Osaka, dan
Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-ibukota negara
namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta termasuk dalam
kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota semacam ini, maka sudah
sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan berkembang terlebih dahulu
adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan dengan kota-kota dunia. Dicken
(1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling dinamis di dunia pada saat ini terpusat
di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika Utara, dan wilayah Asia Timur dan
Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang menjadi ‘trend’ perkembangan saat ini,
seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-Malaysia-Singapura, Indonesia-MalaysiaThailand, dst sebenarnya merupakan implikasi dari perkembangan (ekonomi) global
yang ditimbulkan oleh dinamika kota-kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI
Singapura-Johor-Riau merupakan contoh nyata kerjasama regional yang mengangkat
wilayah sekitar negara-kota Singapura masuk ke dalam jaringan global dengan
Singapura sebagai ‘jangkar’ dan ‘motor penggerak’nya.
Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang ‘aktif berkembang’ sudah pasti
dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di
Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta:
JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah Propinsi Jawa
Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon, JakartaMerak/Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di sekitar
Surabaya: GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-Malang.
Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan Ujung
Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai jaringan
intemasional yang cukup kuat.
Lalu, bagaimana dengan JOGLOSEMAR: Jogjakarta, Solo, dan Semarang?
Universitas Gadjah Mada
JOGLOSEMAR: WILAYAH APA?
Sesuai dengan keinginan kita untuk ‘menggarap’ wilayah JOGLOSEMAR ini
setelah penelitian terpadu di DAS Progo dianggap selesai, maka timbul dalam benak
saya pertanyaan di atas. Tentunya pertanyaan ini hanya merupakan ‘bagian kecil dari
tugas kita’ untuk menjawabnya dalam penelitian-penelitian yang akan dilakukan
nantinya.
Akronim JOGLOSEMAR sebenarnya dengan jelas menunjuk pada tiga kota
besar (bahkan dapat disebut tiga kota terbesar) di wilavah bagian tengah Pulau Jawa:
Jogjakarta (atau Yogyakarta?), Solo, dan Semarang. Oleh karena kedudukan geografis
ketiga kota tersebut ‘agak’ berdekatan dan berbentuk segitiga, maka orang sering
mengidentikan wilayah di sekitar tiga kota ini sebagai Segitiga Pertumbuhan
JOGLOSEMAR atau disingkat SP JOGLOSEMAR. Istilah SP ini memang marak
digunakan dalam kurun lima tahun belakangan ini yang umumnya merujuk pada aspek
pengembangan ekonomi wilayah yang ditimbulkan oleh ‘linkages’ tiga kota utamanya.
Kentalnya muatan ekonomi dalam memandang SP ini disebabkan kerjasamakerjasama ekonomi sering dijadikan landasan pembentukan SP (Muta’ali, 1997).
Dalam artikel ini saya tidak akan membahas Iebih jauh mengenai SP (karena sudah
menjadi bagiannya Sdr. Lutfi Muta’Ali dan Sdr. Baiquini), namun cukup bagi saya untuk
mengatakan bahwa konsep SP ini membawa konsekuensi yang berat namun sekaligus
menarik bagi geografiwan untuk terlibat di dalamnya.
Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi tantangan geografiwan, yaitu
konseptualisasi, deleniasi, dan kontribusi analisis. Sebagai konsep yang masih relatif
baru, pengertian SP ini masih ‘labil’ sehingga diperlukan ‘manuver-manuver’
geografiwan untuk memperoleh klarifikasi konsep yang ‘applicable’. Aspek kedua
mungkin bagian yang paling sulit bagaimana SP ini diberi batas keruangannya.
Sebagaimana halnya dengan diskonsensus persoalan regionalization, deleniasi SP
membutuhkan
argumen-argumen
yang
secara
teoritis
dan
praktis
dapat
dipertanggung-jawabkan. Dan untuk aspek yang terakhir diperlukan konsolidasi
pemikiran-pemikiran geografis untuk menjawab tantangan ‘baru’, yang mungkin
relevan dengan pertanyaan: apa bentuk kontribusi geografiwan?
Universitas Gadjah Mada
PENUTUP: KONTRIBUSI ANALISIS GEOGRAFIS
Immanuel Kant (1724-1804) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua: khusus
dan umum. Khusus berarti mempelajari disiplin-disiplin tertentu, seperti fisika, kimia,
biologi, dan sebagainya; sedang untuk yang umum hanya ada dua: mempelajari
sesuatu dalam waktu adalah ilmu sejarah dan mempelajari sesuatu dalam ruang
adalah ilmu geografi (Knox dan Marston, 1998). Jadi, memang sudah sejak lama
pengertian tentang ruang mengakar dalam studi-studi geografis, bahkan secara
ekstrim disebutkan bahwa ‘kajian tentang ruang’ adalah domain ilmu geografi. Jika
ruang geografis secara sempit dapat diartikan sebagai wilayah permukaan bumi, maka
sudah sewajarnya bila geografiwan sangat berkepentingan dengan kajian dinamika
wilayah. Lalu, bagaimana bentuk kontribusinya?
Sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum geografi tidak mempunyai
obyek material khusus (Hinderink, 1981). Bahkan Johnston (1981) menyebutnya
sebagai “the study of the earth’s suface as the space within which the human
population lives”. Konsekuensinya adalah bahwa segala fenomena yang ada dan atau
terjadi di dalam wilayah dapat dijadikan obyek kajian geografis. Sehingga tidak terlalu
keliru bila ada yang beranggapan bahwa geography is what geographers do. Namun
demikian, tidak berarti bahwa ilmu geografi. tidak berciri. Seperti yang tampak dalam
Gambar 2 studi-studi geografis dikenal sebagai studi yang menaruh perhatian pada
organisasi keruangan (spatial organization) baik Iingkungan alamiah (natural
environment) maupun kegiatan-kegiatan manusia (human activities). Di samping itu,
studi-studi geografis juga sangat concern terhadap fenomena yang ditimbulkan oleh
atau proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan
Iingkungannya (human-environment relationships). Last but not least, studi geografi
selalu dikenal dengan ‘peta’nya, baik sebagai alat analisis maupun sebagai hasil
kajiannya. Kemajuan teknologi fotografi dan kedirgantaraan telah membawa studi
geografi berkembang lebih jauh dengan menggunakan citra penginderaan jauh dalam
mengkaji fenomena di permukaan bumi ini. Bahkan dalam era teknologi informasi,
geografiwan telah berhasil menyumbangkan karya emasnya bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan pembangunan dunia lewat geographic information systems atau
GIS.
Universitas Gadjah Mada
Dengan ciri-ciri di atas kontribusi nyata geografi terhadap studi dinamika
wilayah, menurut hemat saya, terletak pada pendekatan-pendekatan atau hampiranhampirannya (approaches) terhadap persoalan-persoalan wilayah (baik teoritis
maupun terapan). Ada tiga pendekatan atau hampiran yang digunakan dalam studi
geografis, yaitu keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah (Bintarto dan Surastopo,
1979; Hinderink, 1981). Analisa keruangan (baik pola maupun distribusi keruangan)
merupakan pencerminan dan concern studi geografi terhadap organisasi keruangan.
Dalam Gambar 2 ditunjukkan bahwa ada lima konsep dasar yang digunakan dalam
analisis keruangan, yakni lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan
(Knox dan Marston, 1998). Analisa ekologi merupakan pencerminan concern studi
geografi terhadap hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam analisa ekologi
ini, teori ekosistem memegang peranan yang penting (Bintarto dan Surastopo, 1979).
Sedangkan analisa kompleks wilayah yang merupakan paduan dari dua analisa
tersebut sebelumnya sebenarnya merupakan kulminasi studi geografi terhaclap
persoalan-persoalan wilayah. Wilayah tidak lagi dilihat dan dihampiri secara
sepenggal-sepenggal, namun sebagai entitas yang utuh, satu kesatuan. Analisa
kompleks wilayah menjadi lebih penting kegunaannya dalam intra-regional analysis
(Bendavid-Val, 1991).
Dengan ketiga pendekatan di atas, respon geografiwan terhadap studi
dinamika wilayah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu studi yang bersifat
teoritis (theoretical) dan studi yang bersifat terapan (applied). Teoritis berarti
berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan
teori-teori dalam ilmu geografi; terapan berarti menjawab persoalan-persoalan di dalam
wilayah untuk kegunaan-kegunaan praktis. Seperti yang tampak dalam Gambar I
bahwa persoalan-persoalan wilayah muncul ke permukaan sebagai akibat lanjutan dari
perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur wilayah. Penanganan persoalanpersoalan wilayah melalui pengembangan kebijakan-kebijakan dan perencanaan akan
menimbulkan persoalan-persoalan baru baik yang diharapkan maupun yang tidak,
yang pada akhirnya akan mempengaruhi kembali dinamika wilayah. Begitu seterusnya,
sehingga sesungguhnya peranan geografiwan dalam mengkaji dinamika wilayah tak
ada putusnya: selalu ada persoalan-persoalan baru yang membutuhkan kontribusi
analisis geografis. Timbul pertanyaan: lalu, bagaimana prakteknya?
Universitas Gadjah Mada
Ada dua hal pokok, menurut hemat saya, yang harus diperhatikan, yaitu lingkup
kajian dan prosedur. Untuk menentukan lingkup kajian dinamika wilayah, saya merujuk
pendapat Bendavid-Val (1991) seperti yang tercantum dalam Tabel I dan Tabel 2.
Beliau mengembangkan suatu kerangka analisa dalam studi intraregional yang
didasari oleh dua kajian pokok (lihat Tabel 1), yaitu kajian tentang “economics
characteristics of places and the interactions among them” dan “the overall
environment in regional subareas”, yang kemudian dijabarkan ke dalam lima belas
butir analisis (lihat Tabel 2): (1)Basic statistical compendium; (2)incomes measures;
(3)social
accounts;
(4)economic
composition
analysis;
(5)natural
resource
assessments; (6)linkage investigations; (7)flow studies; (8)friction analysis; (9)extended
commodity trade systems analysis; (10)economic base and accrual analysis; (I1)inputoutput analysis; (12)rural-urban exchange analysis; (13)access studies; (14)functional
analysis; (15)market center studies. Sedang untuk prosedur, saya rnerujuk pendapat
Nossin (1982) seperti yang tercantum dalam Gambar 3. Walaupun sebenarnya gambar
tesebut untuk menerangkan langkah-langkah yang perlu dalam suatu survey/penelitian
untuk pembangunan, namun ke-enam Iangkah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
bentuk penelitian geografis dalam studi dinamika wilayah. Ke-enam langkah tersebut,
menurut hemat saya, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok studi yang sifat
‘sequential’, yaitu: pertama, kelompok studi yang berkaitan dengan pembentukan bank
data yang bersifat komprehensif. Pada tahap ini, segala usaha dan perhatian dari
masing-masing ‘interest’ harus dicurahkan pada pembentukan ‘sistem informasi
wilayah’ yang terintegrasi. Dengan demikian, kedudukan dan peranan GIS dalam
kajian dinamika wilayah dapat sebagai ‘alat’ sekaligus ‘tujuan’ analisis. Pada tahap
kedua adalah pemanfaatan sistem informasi wilayah untuk menganalisis persoalanpersoalan wilayah. Pada tahap ini tidak diperlukan integrasi masing-masing interest:
mengkaji paling tidak lima belas topik penelitian seperti yang diusulkan oleh Avrom
Bendavid-Val. Dan tahap terakhir adalah keikutsertaan geografiwan dalam menjawab
persoalan-persoalan wilayah, terutarna dalam ‘intervensi’ kebijakan dan perencanaan.
Pada tahap ini perlu adanya seleksi persoalan-persoalan wilayah: dipilih persoalanpersoalan yang benar-benar ‘aktual’ dan ‘krusial’ dan mempunyai ‘dampak penting’
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan wilayah yang dikaji.
Usulan tiga tahapan tersebut menyiratkan bahwa penelitian dinamika wilayah
sebaiknya dilakukan terpadu dengan melibatkan banyak minat. Di samping itu,
penelitian dinamika wilayah tampaknya juga membutuhkan waktu cukup panjang, dan
Universitas Gadjah Mada
disertai dengan perencanaan yang cukup matang agar sasaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien.
Bagaimana dengan SP-JOGLOSEMAR? tentunya perlu kita pikirkan bersama.
REFERENSI
Bendavid-Val, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis For Practitioners. New
York: Preager
Bintarto, R. dan Surastopo H. 1979. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES
Golledge, RG. dan Stimson, R.J. 1997. Spatial Behaviour: A Geographic Perspective.
New York: The Guilford Press
Hinderink, J. 1981. Geography and the Study of Development. The Indonesian Journal
of Geography. Vol. 11(42): 9-18
Johnston, R.J. (eds.). 1981. The Dictionary of Human Geography. Oxford: Blackwell
Johnston, R.J. 1984. The World is our oyster. Transactions, Institute of British
Geographers. Vol. 9: 443-459
Knox, P.L. 1995. The world Cities and the Organization of Global Space. dalam
Johnston, RJ. et al .(editors). Geographies of Global Change: Remapping the
World in the Late Twentieth Century. Oxford: Blackwell
Knox, P.L. dan Agnew J. 1994. The Geography of the World Economy: An Introduction
to Economic Geography. Edisi kedua. London: Edward Arnold.
Knox, P.L. dan Marston, S. A. 1998. Places and Regions in Global Context: Human
Geography. New Jersey: Prentice Hall
Muta’ali, Lutfi. 1997. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam Pembangunan
Wilayah. BEM Fakultas Geografi-UGM, Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada
Universitas Gadjah Mada
TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH
Pada dasarnya perkembangan wilayah tidak akan berlangsung secara serentak dan
bersamaan dengan intensitas yang sama, namun melalui tahapan-tahapan atau
gradasi. Teori tahapan ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari pertumbuhan wilayah.
Disamping dikaji faktor-faktor penentu perkembangan wilayah, kemajuan suatu wilayah
juga dapat diidentifikasi dari tahapan perkembangan. Teori tahapan ini sering juga
disebut teori transformasi sektor, hal ini disebabkan perkembangan wilayah biasanya
memiliki keterkaitan yang erat dengan perubahan atau pergeseran sektor. Berikut
penjelasannya.
1. Teori Pentahapan Perpektif Klasik
Pertumbuhan ekonomi wilayah selalu diikuti relokasi sumberdaya dan transformasi
ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari variabel struktur ekonomi, tenaga kerja, dan
pergeseran sektoral. James Stuart dan Adam Smith menjelaskan 3 tahapan, yaitu
(1) tahap dominasi pertanian, yang menentukan perkembangan dan distribusi
penduduk, memunculkan sektor pendukung, yaitu (2) kegiatan ekonomi beragam,
khususnya jasa dan perdagangan, yang mendukung pertanian. Selanjutnya (3)
Industrialisasi, untuk peningkatan produktivitas dan memenuhi kebutuhan. Khusus
sektor perdagangan Smith, menekankan adanya inter dan intra region. Dalam
bahasa sekarang, hal di atas sering disebut Transformasi Sektoral.
Friedrich List (1844), mengungkap tentang lima tahap perkembangan wilayah
(masyarakat) yaitu: (1) kehidupan masyarakat primitif, (2) perkebunan, (3)
pertanian, (4) pertanian dan manufaktur, (5) pertanian dan perdagangan.
Hildebrand (1864) berdasarkan hubungan pertukaran ada (1) barter, (2) ekonomi
uang, dan (3) ekonomi kredit. Bucker (1893) berdasarkan transaksi ekonomi :
ekonomi rumah tangga (konsumsi dan produksi terbatas), ekonomi kota (Produksi
umum), dan ekonomi nasional (produksi dan distribusi). Gras (1922) mendasarkan
pada ekonomi spasial, mengelompokkan dalam lima tahapan, yaitu (1) ekonomi
nomaden, (2) ekonomi perdesaan, (3) ekonomi perkotaan, (4) ekonomi nasional,
dan (5) ekonomi global (dunia). Sebelumnya tokoh sosialis terkemuka Karl Marx,
membagi tiga lembaga ekonomi, yaitu feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme.
Universitas Gadjah Mada
Secara sederhana berdasarkan beberapa tahapan tersebut diatas, suatu wilayah
dapat dinilai tingkat perkembangannya, tentunya dengan mendasarkan variabel
penilainya. lntinya apakah masih pada tahap awal perkembanagn, proses, atau
tahapan lanjut.
2. Teori Tahap Tinggal Landas
Perlu dijelaskan tersendiri karena Indonesia beberapa periode yang lalu kental
dengan pentahapan ini (mafia Barkeley, Wijojo Nitisastro Cs arsitek pembangunan
Indonesia). Pencetusnya adalah WW Rostow (1960), yang mengelompokkan
tahapan pembangunan dalam lima tahap.
1) Masyarakat Tradisional, berciri statis dan didominasi kegiatan pertanian
(subsisten).
2) Masa Persiapan, dicirikan adanya perubahan kekakuan tradisional dimana
telah terjadi mobilitas sosial, geografi, pekerjaan. Selain itu fungsi produksi
pertanian dan industri telah berkembang meskipun lambat.
3) Masa Tinggal Landas, dicirikan adanya investasi mencapai 10% dari
pendapatan wilayah, muncul kegiatan manufaktur “leading and propulsive
Industry” , butuh modal skala besar, ada kerangka kerja yang jelas (sosial,
politik, kelembagaan).
4) Masa
Pendewasaan,
dicirikan
investasi
meningkat
hingga
20%
dari
pendapatan wilayah, efisiensi sektor unggulan (spesialisasi), penduduk dan
pendapatan perkapita meningkat.
5) Konsumsi Masyarakat Tinggi, dicirikan sektor unggulan bergerak ke barang
konsumsi dan jasa, pola konsumsi dan produk non basic membesar,
pendapatan tinggi
Perkembangan tidak mesti urut, tetapi bisa meloncat.
3. Teori Transformasi Sektoral
Dikemukakan pertama kali oleh Alan Fisher dengan mengenalkan sektor primer,
sekunder, dan tersier. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara
pertumbuhan ekonomi wilayah dengan perubahan sektoral dan transformasi
penduduk (secara spasial). Perkembangan wilayah akan selalu diiringi (ditandai)
dengan pergeseran peran atau dominasi dari (1) sektor primer, pertanian dan
pertambangan ke (2) sektor sekunder, manufaktur dan konstruksi, ke (3) sektor
Universitas Gadjah Mada
tersier, seperti perdagangan dan jasa. Perubahan ini tidak hanya dari struktur
pendapatan regional, tetapi juga perubahan struktur tenaga kerja.
Sebagai contoh pada tahapan industrialisasi (modifikasi dari Rostow), (1) non
industrialisasi, jika sumbangan PDB sektor industri terhadap pendapatan nasional
atau wilayah < 10%; (2) menuju industrialisasi, antara 10-20%; (3) semi
industrialisasi antara 20-30%, dan (4) industrialisasi penuh, jika PDB sektor industri
mencapai lebih dari 30%.
Kuznet, berdasarkan perubahan sektoral menemukan perkembangan wilayah
melalui tahap
1) ekonomi subsisten yang swasembada
2) spesialisasi pada kegiatan primer dan perdagangan antar wilayah
3) introduksi kegiatan industry
4) diversifikasi industrialisasi
5) spesialisasi industri jasa
Selain itu dikemukakan, wilayah disebut maju jika tingkat pengeluaran dan
pendapatan tinggi, produktivitas tinggi, transformasi struktur ekonomi cepat,
kecenderungan ekspor.
4. Teori Transformasi Spasial (Tinjauan Geografi)
Aspek spasial atau keruangan, yang menjadi penciri geografi adalah wujud spasial
dari ekonomi wilayah. Dengan kata lain transformasi sektoral akan berakibat
kepada transformasi spasial. Transformasi spasial dapat dilihat dari perubahan
landuse (konversi lahan), ciri-ciri kekotaan (kepadatan, kawasan terbangun,
fasilitas, proporsi pekerja non pertanian), serta sistem kota-kota, dimana ada
perubahan dari kota kecil-menengah-besar-metropolitan-megaurban. kota besar (
metropolitan ), kota menengah ( secondaiy city ) dan kota kecil (small city ).
Atau Core-Semi perypheri-Perypheri.
Dari berbagai uraian di atas, belum terjelaskan tentang transformasi spasial
(geografi) yang terjadi. Apakah perlu muncul tersendiri ataukah cukup implisit
dalam uraian di atas. Sebagai misal teoRI pentahapan geografis. Berikan
Penjelasan, tentang Tahapan Perkembangan Wilayah dalam Perspektif Geografis!
(Tugas).
Universitas Gadjah Mada
Download