Small for Gestational Age: What We Have Worried about? DR. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA (K) Terminologi small for gestational age (SGA) mengacu pada ukuran bayi pada saat lahir, yaitu bayi yang lahir dengan berat badan di bawah persentil 10% atau < 2 SD menurut usia kehamilannya. Sedangkan intrauterine growth restriction (IUGR) adalah kegagalan janin untuk bertumbuh sesuai dengan usia kehamilannya. IUGR dinilai berdasarkan hasil pengukuran sebanyak dua kali atau lebih dalam rentang waktu yang berbeda, kemudian dibandingkan dan disimpulkan apakah janin tumbuh dengan baik. Bayi yang lahir dengan SGA belum tentu mengalami IUGR, dan begitu pula sebaliknya. Bayi yang lahir dengan SGA jika ia bertumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan janin maka tidak termasuk IUGR, kecuali jika kurva pertumbuhan janinnya mendatar (flat). Dengan kata lain, SGA merupakan kondisi di mana janin gagal mencapai berat badan yang seharusnya pada usia kehamilan tertentu; sedangkan IUGR adalah janin tidak dapat tumbuh untuk mencapai berat badan potensialnya sehingga mempengaruhi kesejahteraan janin. Small for gestational age (SGA) bukan hanya masalah tentang berat badan atau perawakan yang kecil, akan tetapi merupakan masalah generasi. Bayi yang lahir dengan SGA mempunyai mortalitas dan morbiditas perinatal yang lebih tinggi dibandingkan bayi non-SGA. Setelah melewati masa perinatal, bayi SGA yang survive seringkali mengalami masalah dalam tumbuh kembangnya, dan juga mempunyai faktor risiko untuk mengalami penyakit degeneratif pada masa yang akan datang. SGA dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor maternal, antara lain: a. infeksi antepartum, b. hipertensi pada kehamilan, eklampsia, pre-eklampsia, c. diabetes mellitus, d. hipoksemia, e. penggunaan obat-bat terlarang, merokok, f. penyakit kronik, g. gangguan uptake nutrisi ibu 2. Faktor janin, antara lain: a. gangguan uptake nutrisi janin, b. faktor genetik, c. anomali atau infeksi kongenital, d. kehamilan ganda. 3. Faktor plasenta dan abnormalitas uterus, antara lain: a. serviks pendek, b. incompetent cervix c. plasenta previa, d. solusio plasenta. Penanganan bayi dengan SGA mencakup 3 tahap, yaitu penangan antenatal, perinatal, dan post-natal. 1. Penanganan antenatal Penanganan antenatal yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian konseling mengenai diagnosis, risiko dan gejala sisa dalam hal pertumbuhan fisik dan perkembangan, dan risiko untuk mengalami IUGR pada kehamilan berikutnya. Ibu juga perlu diberikan konseling mengenai asupan gizi yang baik pada saat hamil untuk mencegah terjadinya hambatan pertumbuhan janin jika ditemukan faktor risiko berupa malnutrisi atau gangguan uptake nutrisi ibu. 2. Penanganan perinatal (pada saat kelahiran). Hal yang perlu diperhatikan pada saat kelahiran bayi dengan SGA antara lain: a. Diperlukan adanya tim resusitasi neonatus yang mampu menangani asfiksia dan sindrom aspirasi mekonium. b. Pemberian perhatian khusus untuk mencegah terjadinya hipotermia dan hipoglikemia. c. Bayi yang mengalami IUGR lebih rentan untuk mengalami hipoksemia selama proses kelahiran karena adanya insufisiensi utero-plasental, serta lebih rentan untuk mengalami kompresi tali pusat akibat kurangnya cairan amnion dan tali pusat yang cenderung tipis. 3. Penanganan post-natal. Bayi yang lahir dengan SGA mempunyai kecenderungan untuk mengalami mortalitas dan morbiditas post-natal, di antaranya: a. hipertensi pulmonal persisten, b. hipotermia, c. hipo/hiperglikemia, d. gagal ginjal akut, e. perforasi gastrointestinal, f. imunidefisiensi, g. gangguan pertumbuhan dan perkembangan, h. peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler pada saat dewasa, dll. Diibutuhkan pengkajian dan penanganan yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu untuk bayi yang lahir dengan SGA. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bayi dengan SGA mempunyai risiko mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi non-SGA. Akan tetapi, outcome jangka panjang yang paling sering terjadi pada bayi dengan SGA adalah outcome neurologis. Bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan sejak dalam kandungan mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami gangguan neurobehavior jangka panjang. Bayi yang menunjukkan adanya bukti gangguan pertumbuhan lingkar kepala pada gambaran ultrasonografi sebelum trimester ke tiga kemungkinan besar akan mengalami keterlambatan perkembangan neurologis dan intelektual. Risiko gangguan neurodevelopmental pada bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan intrauterin atau lahir dengan SGA 5-10x lipat lebih tinggi daripada bayi non-SGA. Gangguan neurodevelopmental pada SGA bergantung pada derajat keparahan hambatan pertumbuhan intrauterin. Bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan otak pada usia kehamilan di atas 35 minggu cenderung mengalami gangguan neurodevelopmental yang lebih ringan. Sedangkan jika gangguan pertumbuhan otak terjadi pada usia kehamilan yang lebih dini (di bawah 26 minggu), gangguan neurodevelopmental yang akan terjadi akan lebih berat. Pada kasus IUGR yang berat, bayi yang dilahirkan dapat mengalami cerebral palsy. Selain gangguan neurodevelopmental, outcome jangka panjang lainnya yang dapat terjadi pada bayi dengan SGA adalah sindrom metabolik. Bayi yang terlahir kecil untuk usia kehamilan tertentu dan mengalami pertumbuhan yang amat cepat pada masa bayi dan kanak-kanak mempunyai risiko yang tinggi untuk mengalami penyakit kronik pada masa yang akan datang, seperti sindrom metabolik. Resistensi insulin dapat terjadi pada anak yang lahir dengan SGA di usia 1 tahun, dan diabetes mellitus tipe 2 lebih sering dijumpai pada anak yang lahir dengan SGA dibandingkan dengan yang AGA. Anak yang lahir dengan SGA biasanya mempunyai perawakan yang lebih pendek daripada anak yang lahir dengan AGA. Bayi yang lahir dengan SGA biasanya mengalami pertumbuhan yang linier sejak lahir sampai usia 12 bulan. Bayi SGA akan mengejar ketinggalan pertumbuhannya sampai usia 2 tahun. Akan tetapi, bayi SGA yang lahir prematur jarang yang dapat mengejar ketinggalan pertumbuhannya secara penuh. Fenomena mengejar ketinggalan pertumbuhan (catch up growth) ini di satu sisi merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua anak dengan SGA. Di sisi lain, catch up growth yang tidak terpantau dengan baik akan menimbulkan masalah di kemudian hari, yaitu mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskuler, obesitas, resistensi insulin atau diabetes mellitus tipe 2. Hipotesis Barker (Barker & Osmond, 1986; barker, 1995) menyebutkan bahwa janin yang mengalami undernutrition berhubungan dengan obesitas, penyakit kardiovaskuler, dan diabetes mellitus tipe 2 pada saat dewasa. Hipotesis Thrifty Phenotype (Hales & Barker, 2011) menyebutkan bahwa respon adaptif dari lingkungan prenatal yang kekurangan (kekurangan nutrisi, dsb) akan menimbulkan respon maladaptif pada masa postnatal. Hipotesis DOHAD (Developmental Origin of Adult Health and Disease) (Gluckman et al 2005; Taylor & Poston, 2000), menyebutkan bahwa lingkungan janin pada saat prenatal, baik kekurangan nutrisi atau kelebihan nutrisi, meningkatkan risiko terjadinya obesitas pada masa dewasa beserta gejala sisa lainnya. Dari tiga hipotesis ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit yang dialami oleh manusia pada saat dewasa muda dihubungkan dengan keadaan pada saat masih berada di dalam kandungan, dan juga pada saat sebelum terjadinya konsepsi. Ibu yang mengalami malnutrisi, apabila ia hamil akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Bayi dengan berat badan lahir rendah jika tidak ditangani dengan baik akan menjadi generasi yang stunting. Generasi yang stunting ini akan menjadi orang dewasa yang stunting pula jika tidak mendapatkan makanan dan pelayanan kesehatan yang adekuat. Kemudian apabila ia hamil dan tidak mendapatkan asupan nutrisi yang adekuat akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, dan demikian seterusnya. Penanganan yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu diharapkan dapat memutus rantai ini. Pencegahan terjadinya stunting antara lain sebagai berikut: Saat hamil/dewasa Pada saat kelahiran Meningkatkan asupan makanan Inisiasi menyusu dini (IMD) pada satu jam pertama kelahiran Pemberian makanan yang tepat pada bayi yang terpapar HIV/AIDS, dan pemberian antiviral Usia 0-6 bulan Usia 6-24 bulan Pemberian ASI eksklusif Perkenalan dan pemberian MPASI yang aman dan adekuat Pemberian makanan yang tepat pada bayi yang terpapar HIV/AIDS, dan pemberian antiviral Lanjutkan pemberian ASI Mengonsumsi suplemen mikronutrien dan obat cacing Pemberian suplemen makanan yang difortifikasi untuk wanita yang malnutrisi Pemberian suplementasi vitamin A pada 8 minggu pertama setelah lahir Pemeriksaan antenatal rutin, dan tes skrining HIV Peningkatan asupan makanan bergizi, mengonsumsi makanan yang di-fortifikasi dan suplementasi mikronutrien pada wanita yang malnutrisi Pemberian makanan yang tepat pada bayi yang terpapar HIV/AIDS, dan pemberian antiviral Pemberian suplementasi mikronutrien, di antaranya vitamin A, multi-mikronutrien, terapi zinc pada diare, dan pemberian obat cacing Manajemen berbasis komunitas pada malnutrisi akut berat, manajemen pada malnutrisi sedang Mengonsumsi makanan yang difortifikasi, misalnya garam beryodium Pemberian suplementasi multi-mikronutrien Pencegahan dan pengobatan yang adekuat pada penyakit infeksi, cuci tangan menggunakan sabun, mengadakan perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih Peningkatan asupan makanan bergizi, mengonsumsi makanan yang di-fortifikasi dan suplementasi mikronutrien pada wanita yang malnutrisi Nutrisi merupakan hal penting yang harus diperhatikan sejak sebelum terjadinya konsepsi, pada saat orang tua merencanakan kehamilan. Jika asupan nutrisi sebelum dan selama hamil tidak adekuat akan mengganggu pertumbuhan janin, dan juga akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir dan pada saat beranjak dewasa.