KAJIAN POTENSI PAD DI PROVINSI RIAU YANG BERSUMBER DARI “BY-PRODUCT” (LIMBAH SAWIT, GREEN COKE MIGAS) SERTA SEKTOR TRANSPORTASI MIGAS DAN KELISTRIKAN Desentralisasi pada dasarnya merupakan transfer dari wewenang dan tanggung jawab untuk fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintahan di bawahnya (daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota). Perubahan kebijakan pemerintahan tersebut terwujud dengan keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengalami perkembangan dan penyesuaian menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, yang kemudian berubah lagi menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014. Paradigma baru otonomi daerah yang sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Pasal 18 ayat (1) yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Hak dan kewajiban daerah seperti yang dikemukakan diatas diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maksudnya untuk dijabarkan dalam rencana kerja pemerintahan daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan-perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam prinsip-prinsip Good Governance. Penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan kepada daerah kabupaten/kota disertai juga dengan penyerahan kewenangan kepada daerah dalam mencari sumber- sumber pembiayaan untuk menyelenggarakan urusan-urusan tersebut. Sumber-sumber pembiayaan itu berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat dan sumbersumber lain yang sah. Di antara berbagai sumber pembiayaan tersebut, PAD merupakan sumber yang mempunyai arti penting karena mencerminkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Kenyataan menunjukkan banyak daerah yang masih tergantung pada bantuan pemerintah pusat dalam pembiayaannya karena minimnya PAD. Padahal banyak daerah kabupaten/kota yang memiliki potensi PAD yang cukup besar, tetapi potensi-potensi tersebut belum dapat digali dengan baik. Hal ini memberikan tantangan kepada daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD dari sektor-sektor potensial melalui kebijakan intensifikasi maupun ekstensifikasi penggalian PAD dari berbagai sektor yang potensial. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat karena mereka yang sesungguhnya adalah pemilik dari otonomi daerah tersebut. Hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi melalui desentralisasi menjadi berstatus otonomi dengan jalan menjelmakannya sebagai daerah otonom. Salah satu potensi strategis bagi peningkatan PAD di Provinsi Riau adalah berasal dari byproduct. Secara definisi, byproduct adalah suatu hasil sampingan yang diperoleh dari suatu proses produksi selain dari yang dihasilkan oleh produk utamanya ataupun hasil sampingan dari suatu jenis produk pangan yang bukan merupakan hasil utamanya. Byproduct akan memiliki nilai ekonomis tinggi apabila memiliki jumlah yang banyak, diserap oleh pasar dan memiliki nilai jual tinggi. Contoh by product yang fenomenal adalah dari pabrik kelapa sawit (PKS). CPO merupakan produk utama PKS, dengan prosentase produk sekitar 22,5 % dari bahan baku tandan buah segar (TBS). Masih terdapat sekitar 77,5 % produk sampingan yang terdiri dari 11,5 % air, 21,5 % tandan kosong, 20,5 % (biji, cangkang dan kernel), 11,5 % serat, 12 % ampas, dan lain-lain. Suatu PKS dengan kapasitas produksi 60 ton/jam dan beroperasi selama 20 jam/hari, bermakna akan menghasilkan produk cangkang dengan nilai ekonomi Rp. 18.000.000.000,00 per bulan (asumsi 1 ton cangkang memiliki nilai jual Rp. 500.000). Nilai tersebut baru berasal dari satu PKS, dan dari byproduct cangkang kelapa sawit. Demikian halnya dengan kilang proses minyak dan gas bumi, terdapat byproduct antara lain green petroleum coke yang memiliki nilai ekonomi. Kebalikan dengan byproduct industri yang memiliki nilai ekonomi, transportasi migas melalui pipa dan transmisi jaringan listrik adalah memiliki penurunan nilai ekonomi. Daerah atau wilayah yang dilalui pipa transportasi migas dan transmisi jaringan listrik akan mengalami konsekuensi penurunan nilai ekonomi karena adanya risiko yang dimunculkan oleh sistem transportasi dan jaringan tersebut. Sebagai kompensasi dari hal tersebut, perlu ada pengaturan take and balance yang berhubungan dengan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi jalur pipa migas dan jaringan transmisi listrik. Hal inilah yang mendorong Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau bekerjasama dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada untuk melakukan kajian potensi PAD di Provinsi Riau yg bersumber dari "byproducts" (limbah sawit, green coke migas) serta sektor transportasi migas dan kelistrikan. Kajian ini menguraikan tentang tatanan regulasi dan perundangan nasional, potensi byproduct, potensi sektor transportasi migas dan kelistrikan di Provinsi Riau, dalam rangka memposisikan pemerintah daerah untuk bertindak secara strategis dan efektif mengeluarkan regulasi daerah bagi sebesar kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah Provinsi Riau, khususnya Kabupaten Pelalawan dan Kota Dumai. Beberapa analisis dan kebijakan daerah diusulkan dalam kajian ini dalam rangka: (1) mengoptimalkan potensi byproduct khususnya di Kabupaten Pelalawan dan Kota Dumai, (2) memberikan ruang bagi daya dukung aspek teknologi, sosial ekonomi, konservasi dan lingkungan, sehingga byproduct memberikan efek domino peningkatan PAD (3) menjadikan byproduct sebagai elaborasi sektor jasa dan perdagangan daerah, dan (4) menumbuhkan kesadaran bahwa kesejahteraan nasional dan daerah adalah tanggung jawab semua pihak, (5) tinjauan ulang proses perizinan daerah berkaitan dengan transportasi migas dan transimisi listrik agar proporsional dengan domino efeknya. Untuk mengoptimalkan program keberpihakan pemerintah kepada kesejahteraan masyarakat pada daerah penghasil/pengelola migas dan PKS, perlu dibentuk badan usaha daerah atau special purpose companyuntuk bertindak sebagai pelaku pengelola byproduct, hasil yang didapatkan akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk perbaikan layanan umum dan infrastruktur. Perlu diupayakan keterbukaan kepada pihak pengelola Migas dan PKS dalam mengungkap real produksi yang dihasilkan, serta pengelolaan byproduct. Dibutuhkan tindakan strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau dalam mengupayakan adanya regulasi berkenaan dengan pemanfaatan byproduct kepada Pemerintah Pusat dan DPR.