MEMBUAT BELANJA YANG TINGGI UNTUK TUJUAN POLITIS, FORMAT APBKAPBA SANGAT BERBAHA YA Posted on Maret 29, 2011 by Lembaga Pengawasan Pelayanan Publik BANDA ACEH – Kondisi keuangan kabupaten/kota termasuk provinsi yang tercermin dalam APBK maupun APBA dinilai oleh para pakar ekonomi sangat berbahaya karena tidak sesuai antara kebutuhan yang telah direncanakan dengan kemampuan penerimaan daerah. Ekonom dari Unsyiah, Dr Nazamuddin mengatakan, untuk mengatasi krisis keuangan daerah, eksekutif dan legislatif harus melakukan rasionalisasi dalam menyusun belanja pembangunan. Maksudnya, kata Nazamuddin, usulan besaran belanja harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan yang bisa dicapai pada akhir tahun. Nazamuddin menawarkan solusi antara lain efisienkan penggunaan belanja rutin pegawai, operasional kantor, dan belanja dewan. Menurut Nazamuddin, kemampuan PAD terhadap pendapatan dan belanja daerah juga sangat kecil, berkisar 2,5-10 persen atau jauh di bawah rata-rata nasional yang telah mencapai 20 persen. Terjadinya krisis keuangan di kabupaten/kota selama ini, kata Nazamuddin karena legislatif dan eksekutifnya terlalu bernapsu membuat belanja yang tinggi untuk tujuan politis, tapi kemampuan penerimaan PAD sangat rendah, termasuk provinsi. Nazamuddin mencontohkan format APBA 2011. Menurutnya, jika dibanding dengan penerimaan dari pusat tahun ini yang hanya Rp 5,5 triliun, idealnya RAPBA 2011 cukup pada besaran Rp 6,8 triliun. Ini dimaksudkan agar selisih antara belanja dengan penerimaan bisa ditutupi dengan PAD, Silpa tahun lalu atau sisa tender dan penerimaan sah lainnya. “Kalau selisihnya terlalu jauh, akan menyulitkan penyusunan RAPBA tahun berikutnya. Tapi kalau penerimaan sumber lokalnya bisa mencapai target dan dapat menutupi selisih penerimaan tersebut, silakan,” tandasnya. Dililit utang Penilaian yang lebih kurang sama disampaikan pakar Akutansi Fakultas Ekonomi Unsyiah, Dr Hasan Basri. Menurutnya, usulan belanja pembangunan yang disahkan DPRK pada 2011 ini umumnya belum mencerminkan kemampuan penerimaan keuangan daerahnya masing-masing. “Akibatnya banyak usulan program baru yang telah disahkan dalam APBK tidak bisa dilaksanakan, karena kondisi keuangan dalam posisi bahaya, seperti terlilit utang uang bank dan banyak proyek yang telah dikerjakan rekanan belum terbayar,” kata Hasan Basri kepada Serambi, Minggu (27/3). Terkait dengan kondisi keuangan di kabupaten/kota, Pakar Akutansi Fakultas Ekonomi Unsyiah, Dr Hasan Basri mencontohkan Kabupaten Bireuen dan Pemko Langsa yang hingga kini belum mengesahkan RAPBK 2011, karena keuangan daerah bermasalah. Pemkab Bireuen, kata Hasan terlilit utang proyek dengan pihak rekanan dan masyarakatnya sebesar Rp 30 miliar. Bupati dan Ketua DPRK Bireuen menyampaikan laporan tunggakan proyek APBK 2008-2010 kepada gubernur dengan harapan pihak provinsi bisa membantu. Kondisi serupa juga dihadapi Pemko Langsa yang juga belum mengesahkan RAPBK 2011. Pemko Langsa tahun ini juga harus membayar utang yang telah jatuh tempo Rp 21,8 miliar ke Bank BPD Aceh. Wali Kota Langsa juga minta bantu gubernur. “Kalau kita hitung dari tahun lalu, sudah tiga daerah yang mengalami masalah keuangan sangat parah dan minta pemerintah provinsi menalangi krisis keuangan tersebut, yaitu Pemkab Aceh Utara, Pemkab Bireuen, dan Pemko Langsa,” ujar Hasan Basri. Menurut jebolan University Sain Malaysia itu, berdasarkan analisa pihaknya, kesulitan keuangan yang sama bisa terjadi pada 20 kabupaten/kota lain. Sebab, kata Hasan Basri, antara belanja yang diusul dalam APBK 2011 dengan sumber penerimaan dari pusat seperti DAU, DAK, DBH Pajak, DBH Migas, dana penyesuaian dan penerimaan lainnya yang sah terjadi selisih yang sangat jauh. Contohnya, Aceh Utara menetapkan belanja pembangunan 2011 mencapai Rp 1,073 triliun, sedangkan penerimaan dari pusat cuma Rp 691,3 miliar atau terjadi selisih Rp 382,5 miliar Seharusnya, kata Hasan, selisih ini harus dicari atau ditutupi dengan sumber pendapatan asli daerah (PAD), Silpa, dan sumber penerimaan sah lainnya. Format APBK Aceh Timur juga menunjukkan kemiripan. Belanja pembangunan diusul Rp 700,703 miliar sedangkan penerimaan dari pusat Rp 606,872 miliar atau terjadi selisih Rp 93,8 miliar. Data dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA), kemampuan penerimaan PAD Aceh Timur 2010 hanya Rp 9,3 miliar. “Kalau realisasi PAD-nya hanya sebesar itu, tahun depan daerah ini bakal mengalami kesulitan keuangan yang lebih parah lagi,” ujar Hasan Basri. Fakta yang terjadi saat ini, lanjut Hasan Basri, target PAD dibengkakkan tiap tahun untuk tujuan politis, sedangkan realisasinya jauh di bawah target. Sumber: serambinews.com Sumber: http://wartakontraktor.wordpress.com/2011/03/29/me mbuat-belanja-yang-tinggi-untuk-tujuan-politisformat-apbk-apba-sangat-berbahaya/ (downloaded 3 Dec 2014)