4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Bawal Putih Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1998), genus Pampus memiliki badan sangat lebar, seperti belah ketupat, gepeng. Pada ikan dewasa tidak ditemukan sirip perut. Ada 5 – 10 duri lepas yang berada di depan jari-jari sirip punggung. Duri tersebut seperti mata pisau kecil, di bagian depan dan belakang duri berbentuk runcing. Sirip punggung berjari-jari lemah 38 – 43 buah, sedangkan di sirip dubur terdapat jari-jari lemah 38 – 43 buah. Sirip ekor bercagak agak kuat dengan lembaran bawah lebih panjang. Menurut Saanin (1984), bawal Putih (Pampus argenteus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Sub kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub cordo : Stromatidea Famili : Stomateidae Genus : Pampus Spesies : Pampus argenteus Nontji (1993) menyatakan bahwa bawal putih mempunyai warna keperak – perakan, memiliki sirip dada yang tidak runcing ujungnya dan sirip dubur lebih panjang dari pada sirip punggung. Bawal putih sering dijumpai di muara - muara sungai. Makanan bawal putih adalah zooplankton seperti udang rebon. Pola makan ikan bawal adalah bergerombol bersama kelompoknya (Euphrasen, 1788). Morfologi bawal putih seperti tampak dalam Gambar 1. 5 Gambar 1 Bawal putih (Pampus argenteus). Sumber : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/themes/animals/sea/b_putih.htm Jenis Pampus argenteus menempati perairan pantai, perairan payau, dan dapat hidup di perairan tawar. (Beaufort dan Chapman vide Burhanudin et al, 1986). Herianti dan Parwati (1987) menyatakan bahwa bawal putih termasuk ikan dasar yang cenderung berada di kedalaman antara 15 – 25 m. 2.2 Unit Penangkap Ikan 2.2.1 Kapal / perahu Kapal perikanan merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan seperti dalam aktivitas penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya perikanan, pengelolaan usaha budidaya, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas riset, trainning dan inspeksi sumberdaya perairan (Nomura dan Yamazaki, 1977). Menurut Fyson (1985), kapal ikan adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang dilihat dari segi ukuran, perlengkapan dek, kapasitas muatan, akomodasi, mesin dan perlengkapannya yang fungsinya berhubungan dengan aktivitas penangkapan ikan. 6 Nomura dan Yamazaki (1977) menyatakan bahwa syarat-syarat umum kapal ikan untuk operasi penangkapan ikan adalah : 1) Kekuatan struktur badan kapal; 2) Menunjang keberhasilan operasi pengkapan ikan; 3) Mempunyai stabilitas yang tinggi; dan 4) Fasilitas yang lengkap untuk penyimpanan ikan hasil tangkapan. Kapal gillnet dirancang agar memiliki lambung cukup besar untuk mempermudah penyimpanan dan penanganan alat tangkap dan hasil tangkapan. Kapal gillnet tidak boleh terlalu tinggi, sehingga mempermudah proses penarikan jaring dan tidak mengurangi kestabilan kapal (Nugraha, 2004). Perahu yang digunakan pada unit penangkapan gillnet umumnya perahu katir atau jukung. Perahu atau kapal gillnet terbuat dari kayu dan dilengkapi mesin tempel / outboard engine (Nurhaeti, 2002). 2.2.2 Alat tangkap gillnet Menurut Ayodhyoa (1981), gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Subani dan Barus (1989) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang (gillnet) adalah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung pada tali ris atas dan pemberat pada tali ris bawah. Kadang-kadang tanpa tali ris bawah. Pelampung dipasang pada lembaran jaring bagian atas, di bagian bawah dipasang pemberat (sinker). Dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu buoyancy dari pelampung yang bergerak menuju ke atas dan sinking force dari pemberat ditambah berat jaring di dalam air yang bergerak menuju ke bawah, maka jaring terentang. Perimbangan dua gaya inilah yang akan menentukan rentangan tersebut (Ayodhyoa, 1981). Gillnet termasuk alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan cara menunggu ikan terjerat atau terpuntal jaring di perairan. Pengoperasian gillnet di perairan dilakukan dengan cara dipasang melintang terhadap arus dengan tujuan untuk menghadang ikan. Dengan penghadangan ini diharapkan ikan akan 7 menabrak jaring atau terjerat di bagian insangnya pada mata jaring (gilled), ataupun terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring (Ayodhyoa, 1981). Alat penangkap bawal putih yang umum digunakan nelayan di perairan Pangandaran adalah gillnet atau dikenal dengan nama jaring insang (Dinas Perikanan Ciamis, 2006). 2.2.3 Nelayan Nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya. Orang yang hanya melakukan pekerjaan membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu / kapal tidak termasuk dalam kategori nelayan (Monintja, 1989). Jumlah nelayan dalam satu Unit Penangkapan gillnet antara 2-3 orang, satu juru mudi dan dua ponggawa. Juru mudi bertugas mengemudikan perahu dan menentukan daerah penangkapan ikan, nelayan lain bertugas merapikan dan menyiapkan jaring untuk setting dan hauling (Nurhaeti, 2002). 2.3 Metode Operasi Gillnet Gillnet biasanya dipasang melintang terhadap arus dengan tujuan menghadang ikan. Bottom gillnet dioperasikan di dasar perairan untuk menangkap ikan damersal, surface gillnet untuk dioperasikan di permukaan untuk menangkap ikan pelagis, midwater gillnet untuk dioperasikan di kolom perairan untuk menangkap ikan pelagis (Martasuganda, 2002). Pengoperasian gillnet biasanya dimulai pada pukul 03.00-10.00 pagi yaitu dilakukan sehari one day fishing. Tahap operasi gillnet yaitu persiapan, pemasangan jaring (setting) dan penarikan (hauling) (Nurhaeti, 2002). Menurut Nurhaeti (2002) tahap persiapan pada pengoperasian gillnet, yaitu penyediaan perbekalan, bahan bakar, mesin dan jaring, setelah itu nelayan membawa unit penangkapan ikan dari fishing base ke fishing ground. Tahap selanjutnya yaitu pemasangan dan penebaran jaring. Penebaran dimulai dengan penurunan pelampung tanda pertama dan tali selambar belakang yang terhubung langsung dengan badan jaring. Selanjutnya melemparkan jangkar dan tali pemberat utama yang menghubungkan jangkar dan badan jaring, kemudian badan 8 jaring diturunkan sampai akhir menurunkan pelampung tanda yang kedua. Setelah seluruh rangkaian jaring diturunkan, selanjutnya jaring direndam 1-2 jam. Tahap akhir adalah penarikan keseluruhan alat tangkap ke kapal. Hasil tangkapan dinaikkan ke atas kapal kemudian dilepas dari jaring dan dimasukkan ke dalam wadah berisi es. 2.4 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih Ade dan Bathia vide Burhanuddin et al. (1986) menyatakan bahwa jenis bawal putih hidup di perairan yang keadaan dasarnya terdiri dari lumpur atau berlumpur sampai kedalaman 100 m. Kuthalingan vide Burhanuddin et al. (1986) menyatakan bahwa daerah penangkapan Pampus argenteus terdapat pada kedalaman 10-75 m dengan keadaan dasar lumpur berpasir. Daerah yang paling produktif adalah pada kedalaman 10-50 m di muka muara sungai. Widodo vide Burhanuddin et al. (1986) dalam penelitiannya di perairan Laut Jawa mendapatkan hasil tangkapan bawal putih dengan trawl menurut kedalaman, sedimen perairan dan salinitas sebagaimana disajikan pada Tabel 1 Tabel 2 dan Tabel 3. Berdasarkan Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa bawal putih banyak tertangkap pada kedalaman 21-40 m dengan dasar perairan berkarang dan salinitas 32 ppt. Tabel 1 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per kedalaman perairan No Kedalaman (m) Hasil tangkapan (%) 1 0 – 20 1 2 21 – 40 0.1 3 41 – 60 0 4 > 60 0.2 Sumber : Widodo vide Burhanuddin et al 1986 Tabel 2 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per jenis sendimen dasar perairan No Jenis Sendimen Hasil tangkapan (%) 1 Lumpur 0.3 2 Pasir 0.2 3 Karang 0.4 Sumber : Widodo vide Burhanuddin et al 1986 9 Tabel 3 Jumlah hasil tangkapan bawal putih berdasarkan angka salinitas No Salinitas Hasil tangkapan (%) 1 31 0.3 2 32 0.6 3 33 0.2 Sumber : Widodo vide Burhanuddin et al 1986 Daerah penyebaran bawal putih ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia, terutama Laut Jawa, bagian Timur Sumatera, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, dan utara sampai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan dan Filipina (Direktorat Jenderal Perikanan, 1998). 2.5 Produktivitas Primer dan Klorofil-a Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa anorganik. Biasanya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor atau produksi total. Jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan tumbuhan untuk respirasi adalah produksi primer bersih (Nybakken, 1992). Fitoplankton dikenal sebagai produsen primer yang terpenting dalam ekosistem laut. Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang hidupnya melayang-layang dalam air. Pergerakannya pasif tergantung pada gerakan air (Odum, 1971). Fitoplankton dapat berbentuk sel, koloni atau filamen. Sebagai organisme autotrof, fitoplankton yang dapat menghasilkan makanannya sendiri melalui proses fotosintesis. Fitoplankton memiliki klorofil yang dapat mengkonversi energi radiasi metahari menjadi energi potensial kimia. Klorofil yang dimiliki oleh semua fitoplankton adalah klorofil-a. Klorofila merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a. Biomassa fitoplankton didefinisikan sebagai berat dari fitoplankton per unit volume atau luas area. Unit umum yang digunakan adalah mg/m3, g/m2, kg/ha. Sama halnya dengan tumbuh-tumbuhan hijau yang lain, plankton membuat ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan anorganik yang sederhana 10 (Hutabarat dan Evans, 1984). Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator produktivitas primer suatu perairan yang dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terkandung dalam satuan luas/volume air laut pada suatu interval waktu (gr/m3/thn), atau dalam satuan-satuan yang lain. Fotosintesis adalah suatu proses permulaan yang penting dimana mereka dapat membuat atau mensintesa glukosa (karbohidrat) dari ikatan-ikatan anorganik karbondioksida (CO2) dan air(H2O). Hal ini menyangkut serangkaian reaksi-reaksi yang dapat disingkat sebagai berikut (Nybakken 1992): Karbondioksida + air ======ÎGlukosa + Oksigen 6 CO2 + 6 H2O ======Î C6H12O6 + 6 O2 Faktor pembatas dari produktivitas fitoplankton yaitu cahaya dan kadar zat hara. Fotosintesis hanya bisa terjadi bila ada cahaya. Fitoplankton produktif hanya pada lapisan atas dimana intensitas cahaya cukup untuk melangsungkan fotosintesis. Perairan pantai memiliki kadar zat hara yang lebih tinggi dari pada perairan lepas pantai. Hal ini menyebabkan produktifitas primer perairan pantai 10 kali lebih besar dari perairan lepas pantai. Perairan pantai memiliki sejumlah besar unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalm bentuk PO4 dan NO3 melalui run off dari daratan (Nybakken, 1992). Pada tempat yang jauh dari pantai masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain seperti upwelling. Upwelling adalah naiknya massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Proses upwelling ini adalah suatu proses dimana massa air didorong ke atas dari kedalaman 100-200m. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan kaya akan zat-zat hara ke permukaan (Nontji, 1993). Selanjutnya Nybakken (1992) mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi produksi fitoplankton di lautan adalah turbulensi (percampuran vertikal) air laut dan pemangsaan (grazing) oleh zooplankton. Percampuran vertikal bukan saja menaikkan zat hara mendekati permukaan, tetapi juga mengangkut sel-sel fitoplankton ke bawah menjauhi permukaan air. Bila percampuran berlangsung dengan intensif, sel-sel fitoplankton mungkin akan 11 tinggal lebih lama di bawah daerah eufotik. Pemangsaan yang dilakukan oleh zooplankton akan mengurangi jumlah biomassa fitoplankton. Sebagai produsen terpenting di perairan, fitoplankton merupakan makanan untuk sebagian besar mahluk hidup di perairan. Fitoplankton merupakan makanan dari zooplankton, dan ikan-ikan kecil. Zooplankton merupakan makanan dari crustacea dan ikan-ikan kecil. Crustacea merupakan makanan dari ikan, termasuk bawal putih. Semakin banyak kandungan klorofil-a yang terdapat pada fitoplankton di perairan maka akan semakin mengundang datangnya ikan di perairan tersebut. Tipe jejaring makanan yang umum terjadi pada ekosistem laut membentuk piramida makanan (food piramid) seperti disajikan pada Gambar 2. Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ke tingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat di atasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai panas (Nontji, 2005). Dari 10 unit bahan senyawa organik yang dihasilkan oleh fitoplankton hanya 1 unit bahan senyawa organik yang diserap oleh konsumen pertama (herbivora), dan seterusnya hingga kepada karnivor puncak (top carnivore). K3 K2 K1 H PP PP=Produsen primer berupa fitoplankton, H=Herbivora berupa zooplaknton, K=Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil, K2=Karnivora kedua berupa ikan ikan yang lebih besar, K3=Karnivor ketiga berupa ikan besar Gambar 2 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai produsen primer di laut (Nontji, 2005). Lebih dari 90% fitoplankton disusun oleh alga. Fitoplankton laut terutama disusun oleh diatom, dinoflagellata, cocolitophora, dan beberapa flagellata. Organisme fitoplankton memegang peranan penting secara ekologis karena dapat dipakai sebagai pembanding terhadap produktivitas primer terbesar di laut. Fitoplankton dapat menjadi penyedia makanan bagi seluruh konsumen dan menyumbang energi bagi biota bentik di tempat yang dangkal. Produktivitas 12 primer perairan terbuka adalah total fitoplankton yang terdapat pada perairan yang dapat didekati melalui kandungan klorofil maupun kelimpahan volumenya (Basmi, 1995). Nybakken (1992) menyatakan bahwa rantai makanan yang terjadi di laut diawali dari fitoplankton yang merupakan produsen membentuk makanan sendiri melalui proses fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton (herbivora). Selanjutnya zooplankton dimakan oleh ikan penyaring (seperti cucut, ikan terbang dan salem). Pemangsaan terus meningkat ke tingkat trofik yang lebih tinggi yaitu predator dan predator puncak, hal ini terlihat pada Gambar 3. Alga : (1) kokolitofor, (2) dinoflagellata. Herbivora : (3) euphasiid, (4) kopepoda, (5) udang. Penyaring : (6) ikan mesopelagik yang bermigrasi vertikal, (7) ikan terbang, (8) amfipoda, (9) lantera, (10) ikan matahari. Predator : (11) ikan mesopelagik, (12) makarel ular, (13) cumi-cumi, (14) lumba-lumba. Predator tertinggi : (15) tuna dan cakalang, (16) lancefish, (17) setuhuk, (18) hiu ukuran sedang, (19) hiu besar. Gambar 3 Rantai makanan di laut tropis (Nybakken, 1992). 13 2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Penginderaan atau sensor wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan suatu objek di permukaan bumi, di mana tiap-tiap obyek memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda (Kushardono, 2003). Secara umum bentuk organisasi sistem penginderaaan jauh dapat dijelaskan seperti berikut, yaitu pertama-tama pancaran dan pantulan benda-benda di permukaan bumi ditangkap oleh sistem sensor pada satelit, kemudian pancaran dan pantulan itu dirubah menjadi sinyal-sinyal yang kemudian dikirim ke stasiun penerima di bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk citra analog (dalam bentuk hasil cetakan foto) atau digital. Data citra tersebut dapat dimanfaatkan sesuai bidang tertentu melalui pengolahan lebih lanjut. Sejak adanya teknologi komputer, pengolahan data dan interpretasi secara digital banyak dilakukan dalam bidang penginderaan jauh. Unit terakhir dari sistem penginderaan jauh adalah pengguna yang memanfaatkan hasil pengolahan dan interpretasi data penginderaan jauh untuk suatu target disiplin ilmu tertentu seperti pertanian, geologi, kelautan, kehutanan dan bidang-bidang lainnya (Kushardono, 2003). Hal ini jelas terlihat pada Gambar 4. Konsep dasar penginderaan jauh adalah berdasarkan pada teori radiasi yaitu semua benda pada suhu diatas 00 absolut atau -273 0C akan memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Oleh karena itu, selain matahari, obyek di bumi juga merupakan sumber radiasi, walaupun besaran dari komposisi spektralnya berbeda terhadap matahari (Lillesand dan Kiefer, 1990). 14 Gambar 4 Sistem penginderaan jauh perikanan dan kelautan (Kushardono, 2003). Sistem penginderaan jauh dipengaruhi oleh hamburan (scattering) dan serapan (absorbtion) dari atmosfer. Hamburan merupakan penyebaran arah radiasi oleh partikel-partikel di atmosfer yang tidak dapat diperkirakan. Hamburan biasa terjadi apabila radiasi tenaga berinteraksi dengan molekul dan partikel kecil atmosfer lainnya, adanya uap air dan debu di atmosfer, dan adanya air hujan. Hamburan menyebabkan adanya kabut tipis pada citra sehingga mengurangi kejelasan suatu citra. Serapan (absorbtion) merupakan penyerapan energi elektromagnetik pada panjang gelembang tertentu. Penyerapan radiasi matahari paling efisien dalam hal ini adalah oleh uap air (H2O), karbondioksida (CO2), dan ozon (O3) (Lillesand dan Kiefer, 1990). Kushardono (2003), menyebutkan berdasarkan sistem sensornya satelit penginderaan jauh dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu passive sensor dan active sensor. Satelit penginderaan jauh passive sensor menggunakan sistem optik. Contoh satelit dengan sensor ini adalah Ikonos, Landsat TM, NOAA, dan sebagainya. Kelemahannya adalah adanya pengaruh awan dalam pengamatan suatu obyek di bawah. Satelit penginderaan jauh dengan active sensor prinsipnya adalah dengan memancarkan suatu energi dengan menggunakan sistem yang 15 dipasang pada satelit ke suatu obyek yang diamati, kemudian berdasarkan besarnya energi yang kembali diperoleh data. Contoh dari satelit ini adalah sensor SAR (Syntetic Aperture Rader) pada satelit ERS dan JERS. Sensor ini dapat menembus awan sehingga bisa diperoleh data dari seluruh permukaan bumi. Berasarkan posisinya di angkasa, satelit penginderaan jauh terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu satelit orbit berputar dan satelit geostasioner. Satelit geostationer posisinya menetap di angkasa sekitar khatulistiwa dengan ketinggian sekitar 35.800 km dari permukaan bumi. Satelit ini umumnya digunakan sebagai satelit pemantau meteorologi seperti GMS himawari, METEOSAT, GOES dan INSAT. Data dari satelit ini dapat diperoleh setiap saat oleh stasiun di bumi yang dapat menjangkau wilayah orbitnya. Satelit orbit berputar memiliki ketinggian agak rendah (sekitar 800 km) dari permukaan bumi. Satelit ini berputar mengelilingi bumi melewati kutub utara dan kutub selatan (orbit polar), seperti satelit Ikonos, Landsat TM, NOAA, dan sebagainya. Namun, ada juga yang mengelilingi bumi melalui khatulistiwa, seperti satelit TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission) (Kushardono, 2003). Kandungan klorofil dalam perairan dapat dideteksi dengan menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Satelit yang mendeteksi klorofil-a perairan adalah satelit Terra dan Aqua yang membawa sensor MODIS. Satelit yang membawa cira MODIS terlihat pada Gambar 5. Peralatan MODIS dirancang bangun pada pertengahan tahun 1995. Satelit Terra pertama diluncurkan pada tanggal 8 Desember 1999 dan satelit Aqua tanggal 4 Mei 2002 (www.modis.gsfc.nasa.gov). Satelit Terra melintasi bumi dari arah utara ke selatan dan melewati khatulistiwa pada pukul 10.30 waktu lokal. Sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke utara dan melewati khatulistiwa pada pukul 13.30 waktu lokal. Lebar sapuan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km (www.modis.gsfc.nasa.gov). 16 Gambar 5 Satelit yang membawa citra MODIS (www.modis.gsfc.nasa.gov). Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1 µm = 1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen citranya (pixels, picture element) berukuran 250 m untuk band 1–2, 500 m untuk band 3–7, dan 1.000 m untuk band 8–36 (www.modis.gsfc.nasa.gov). Spesifikasi dari satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Spesifikasi Ketinggian : 705 km Lama rekaman : 20.3 rpm Lebar sapuan : 2330 km dan 10 km pada jalur nadir Teleskop : 17.78 cm Ukuran : 1.0 x 1.6 x 1.0 m Berat : 228.7 kg Daya : 162.5 W Data : 10.6 Mbps (peak/day); 6.1 Mbps (per orbit) Kuantitas : 12 bit Resolusi spasial : 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36). Waktu : 6 tahun Sumber : (www.modis.gsfc.nasa.gov) 17 Aqua-MODIS memiliki kegunaan yang berbeda-beda pada masing-masing band. Masing-masing band memiliki interval panjang gelombang tertentu sesuai dengan kegunaannya. Panjang gelombang yang digunakan tiap kanal (band) dapat dilihat pada Lampiran 1. Produk MODIS untuk perairan termasuk warna perairan (Ocean color), suhu permukaan laut dan produksi primer perairan. Produk-produk ini dapat digunakan untuk keperluan penelitian sirkulasi lautan, biologi laut dan kimia laut termasuk siklus karbon di perairan. Air jernih menyerap tenaga relatif sedikit pada panjang gelombang kurang dari 0.6 µ. Transmisi yang tinggi menandai panjang gelombang tersebut dan mencapai maksimalnya pada bagian spektrum biru-hijau. Sejalan dengan itu, pantulan air berbeda oleh konsentrasi klorofil yang berbeda. Meningkatnya konsentrasi klorofil cenderung memperkecil pantulan pada spektrum hijau (Lillesand and Kiefer, 1990). Untuk perairan yang tidak tercemar dan tidak banyak mengandung detritus, hasil penginderaan jauh bukan hanya dapat menduga kandungan klorofil permukaan melainkan juga dapat menduga seluruh klorofil-a yang ada pada perairan eufotik (Setyobudiandi, 1996). 2.7 Sarana dan Prasarana Penangkapan di Perairan Pangandaran Sejak terjadinya bencana tsunami yang melanda Pangandaran dan sekitarnya, semua sarana dan prasarana penangkapan ikan di Pangandaran mengalami kerusakan. Setelah dilakukan rehabilitasi untuk sektor perikanan tangkap yang dilakukan pemerintah setempat, secara umum sarana dan prasarana penangkapan ikan di Pangandaran mengalami perbaikan walaupun masih ada kekurangan (Azam, 2009). Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang terdapat di kabupaten Ciamis sampai saat ini ada lima buah yang terdapat di lima kecamatan yaitu PPI Karapyak di kecamatan Kalipucang, PPI Pangandaran di Pangandaran, PPI Bojongsalawe di Parigi, PPI Batukaras di Cijualang, dan PPI Madasari di Cimerak (Azam, 2009). Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangandaran merupakan salah satu PPI yang paling ramai dan banyak dikunjungi oleh para pembeli, karena di 18 Pangandaran jumlah produksi hasil tangkapannya paling banyak diantara PPI yang lainnya. Selain itu juga karena PPI ini mempunyai aksesibilitas yang strategis dan letaknya menyatu dengan kegiatan pariwisata sehingga banyak wisatawan yang membeli produksi hasil tangkapan laut. Adapun sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran sampai saat ini diantaranya : gedung/kantor PPI Pangandaran, KUD Mina, Tempat pelelangan ikan (TPI), pabrik es dan fasilitas air bersih. Beberapa sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran terlihat pada Gambar 6. PPI Pangandaran saat ini mempunyai satu gedung baru yang letaknya cukup jauh dari gedung lama dan tempat pendaratan ikan. Setelah bencana tsunami melanda Pangandaran dan sekitarnya yang mengakibatkan rusaknya beberapa bangunan fisik di Pangandaran termasuk gedung lama PPI Pangandaran. Maka pemerintah melakukan pembangunan gedung PPI baru yang letaknya di Desa Babakan. Di sekitar gedung PPI sudah dibangun beberapa sarana diantaranya fasilitas air bersih, musholla, dan gedung TPI baru akan tetapi sarana tersebut belum dapat dioperasikan karena letaknya cukup jauh dari tempat pendaratan ikan yang biasa digunakan nelayan Pangandaran. Di daerah PPI Pangandaran sedang dibangun proyek pembangunan kolam pelabuhan, akan tetapi sampai saat ini proses pembangunannya terhambat. PPI Pangandaran saat ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kabupaten Ciamis di bawah pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis. Aktivitas di gedung PPI Pangandaran digunakan oleh para pegawai PPI, dan sesekali digunakan untuk kegiatan rapat dengan nelayan Pangandaran (Azam, 2009). Menurut Azam (2009) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Pangandaran sampai saat ini belum mempunyai kolam khusus pelabuhan. Nelayan masih memanfaatkan daerah alami yaitu teluk Pananjung sebagai tempat untuk mendaratkan hasil tangkapannya, baik itu nelayan pantai timur maupun nelayan pantai barat. Nelayan Pangandaran mendaratkan perahunya dengan cara mengikatkan tali tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang. KUD Minasari didirikan pada tanggal 2 Januari 1962 dengan nama KPL (Koperasi Perikanan Laut). Dalam perkembangannya KUD ini mengalami tiga 19 kali perubahan nama, dan pada tanggal 2 November 2000 berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) Minasari. Dalam pelaksanaannya KUD ini diawasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis dan kantor Koperasi serta instansi terkait kabupaten Ciamis. Aktivitas KUD Minasari tidak hanya bertumpu pada aktivitas perikanan laut, tetapi juga membantu dalam hal pelayanan nelayan seperti usaha simpan pinjam (Azam, 2009). a. Gedung PPI Pangandaran. b. Gedung TPI Lama c. Gedung KUD Minasari d. Gedung TPI Baru Gambar 6 Beberapa sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran. KUD Minasari sebagai pengelola TPI Pangandaran memiliki peranan sebagai juru tawar, juru karcis, kasir dan keamanan. Atas jasa tersebut KUD Minasari mendapatkan pemasukan dari potongan atau retribusi sebesar 5 % dari 20 setiap nelayan yang melelangkan ikan. TPI Pangandaran didirikan pada tahun 1973 oleh pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Perikanan, TPI ini bertujuan untuk membantu pengembangan usaha perikanan tangkap di Pangandaran khususnya dalam pengaturan tata niaga. Dengan adanya TPI memudahkan para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya. Berdasarkan SK Pemda TK. II Kabupaten Ciamis No. 503. 3047/1993 maka mulai tanggal 1 Oktober 1987 TPI Pangandaran dikelola oleh KUD Minasari, yang bertindak sebagai penyelenggara pelelangan dan Dinas Perikanan Kabupaten Ciamis sebagai penanggung jawab TPI Pangandaran. Sesuai Perda Gubernur Jawa Barat No. 15 tahun 1984, Pemda melalui TPI menarik retribusi lelang sebesar 5 %, dengan rincian 3 % diperoleh dari hasil penjualan kepada pembeli/bakul, dan retribusi lelang sebesar 2 % kepada nelayan atau penjual (Azam, 2009). PPI Pangandaran saat ini mempunyai 2 gedung TPI yaitu TPI lama di Pangandaran yang letaknya cukup strategis yaitu berdekatan dengan tempat pendaratan ikan dan kantor KUD sehingga memudahkan para nelayan dan TPI baru yang letaknya dekat gedung kantor PPI, dimana TPI baru ini letaknya kurang strategis sehingga sampai saat ini belum bisa dioperasikan. Aktivitas di TPI berjalan setiap hari mulai dari pagi hingga siang hari. Adapun pembeli atau bakul yang datang ke TPI Pangandaran berasal dari daerah Kota Banjar, daerah Pangandaran dan sekitarnya. Pembeli tersebut umumnya menjual kembali ikanikan di pasar dan ada juga yang menjadi pengelola rumah makan. Pabrik es di Pangandaran terdiri dari 2 unit, yang berlokasi kurang lebih 3 km dari TPI Pangandaran. Pabrik es didirikan untuk menyediakan kebutuhan es para nelayan Pangandaran dalam melakukan penanganan terhadap hasil tangkapan. Sampai saat ini kebutuhan air tawar untuk kebutuhan perbekalan melaut nelayan Pangandaran disediakan oleh KUD Minasari. Fasilitas air tawar ini terletak di belakang gedung TPI Pangandaran dengan menggunakan bak air berukuran 3x0,5x1 meter. 21 2.8 Keadaan Geografis, Letak Topografis dan Luas Wilayah Pangandaran Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berada di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Ciamis berada pada koodinat 108o 20’108o 40’ Bujur Timur dan 07o 40’20’’ – 07o 41’20’’ Lintang Selatan dengan batasbatas wilayah sebagi berikut : a. Sebelah utara : Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan; b. Sebelah selatan : Samudera Hindia; c. Sebelah timur : Provinsi Jawa Tengah dan Kota Banjar; d. Sebelah barat : Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. Luas wilayah kabupaten Ciamis adalah 244.479 ha (6,42 % dari luas Provinsi Jawa Barat) dengan ketinggian antara 0-1000 meter di atas permukaan laut. Struktur wilayah kabupaten Ciamis secara garis besar terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah, dan pantai. Bagian utara merupakan pegunungan dengan ketinggian 500-1000 meter di atas permukaan laut, bagian tengah ke arah barat merupakan perbukitan dengan ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut, sedangkan bagian tengah ke timur merupakan daerah dataran rendah dan rawa dengan ketinggian 20-100 meter di atas permukaan laut serta bagian selatan merupakan daerah rawa dan pantai dengan ketinggian 0-25 meter di atas permukaan laut (Azam, 2009). Wilayah Kabupaten Ciamis memiliki wilayah pesisir dan laut dengan panjang garis pantai mencapai 91 km dengan luas laut mencapai 67.340 ha yang meliputi 6 (enam) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Pangandaran, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang, dan Kecamatan Cimerak (Azam, 2009). Kecamatan Pangandaran secara geografis berada pada koordinat 108o 41’ – 109o Bujur Timur dan 07o 41’ – 07o 50’ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara : Kota Madya Banjarsari; b. Sebelah selatan : Samudera Hindia; c. Sebelah timur : Kecamatan Padaherang; d. Sebelah barat : Kecamatan Parigi. 22 Luas wilayah Kecamatan Pangandaran mencapai 61 km2 dengan luas laut mencapai 13.320 ha (19,78 % dari luas laut yang temasuk kedalam kabupaten Ciamis). Kecamatan ini kemudian terbagi menjadi 8 desa yang terdiri dari 4 desa merupakan bukan desa pesisir diantaranya desa Sukahurip, desa Purbahayu, desa Pagergunung, dan desa Sidomulyo. Empat desa yang merupakan desa pesisir yaitu desa Babakan, Pangandaran, Pananjung, dan Wonoharjo (Azam, 2009). Secara umum Pangandaran beriklim tropis dengan 2 musim yaitu musim kemarau (musim timur) dan musim hujan (musim barat) dengan curah hujan ratarata per tahun sekitar 1.647 mm, kelembaban udara antara 85-89 % dengan suhu berkisar antara 20-30 oC. Musim timur dan musim barat secara langsung akan mempengaruhi musim penangkapan ikan di perairan Pangandaran. Musim timur terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, dimana saat terjadi musim ini laut tidak berombak besar dan perairan dalam keadaan tenang, sehingga operasi penangkapan ikan di laut tidak terganggu. Musim barat terjadi pada bulan November sampai April, dimana saat terjadi musim ini laut sedang dalam keadaan ombak besar, sehingga operasi penangkapan ikan di laut menjadi terganggu. Pada musim ini, curah hujan relatif banyak sehingga nelayan di Pangandaran hanya sedikit yang melakukan operasi penangkapan ikan. Wilayah ini memiliki panjang pantai 18 km dengan kemiringan pantai relatif datar yaitu 0o - 3o, dan elevasi 0-3 meter di atas permukaan laut. Keadaan tanah di Pangandaran terdiri dari pantai berpasir, pantai berkarang, dan pantai berbatu. Pantai selatan Pangandaran memiliki gelombang laut yang berbentuk berupa gelombang sweel atau gelombang laut lepas, dimana gelombang ini bisa terjadi di laut dalam (Azam, 2009).