INDEKS Gambar Kulit depan : IGD Agus Harsanta, Karikatur Pilihan lomba karikatur MW THC 2007. Gambar kulit belakang : Partono, Karikatur Pilihan lomba karikatur MW THC 2007. • Catatan Redaksi : Jurnalisme Amplop 3 • Telesik : Iklan Politik dan Aksi “Tukang Plintir” 4 • Telisik : Kasus Penghentian Sinetron Hareem dan Demokrasi di Dunia Penyiaran 8 • Telisik : Refleksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers Tantangan Serius Justru dari Dalam 11 • Telisik : Infotainment Mengesksploitasi Tubuh Perempuan 15 • Opini : Bias Selebritas Dalam Panggung Politik di Indonesia 23 • Wawancara : Ichlasul Amal “Pers Harus Kembali Mentaati Kode Etik Pers” 27 • Wawancara : Sumita Tobing, Phd Televisi Kita : Tidak ada SDM yang all Out 30 • Ensiklopedi : Kominikasi Organisasi 32 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER ISSN 1411-5220 Penerbit: Media Center/The Habibie Center Alamat Redaksi: Jl. Kemang Selatan No.98 Jakarta Selatan Telp.: (021)781-7211 Fax.: (021)781-7212 Email: [email protected] Website:http://www.habibiecenter.or.id Penanggung Jawab : Ahmad Watik Pratiknya, Dewan Redaksi : A. Makmur Makka (Ketua) Mustofa Kamil Ridwan, Rahma Abdulkarim, Wenny Pahlemi, Redaktur Khusus : Afdal Makkuraga Putra, Kontributor : Intantri Kusmawarni, Teguh Apriliyanto. Sekretaris : Dewi Ratnawati Produksi: Ghazali H. Moesa. Disain Grafis : A. Mudjazir Unde. Jurnal MW The Habibie Center adalah publikasi bulanan di bawah naungan The Habibie Center. Redaksi menerima tulisan/artikel yang sesuai dengan visi dan misi jurnal ini. 2 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Catatan Redaksi J Jurnalisme Amplop urnalisme amplop adalah ungkapan yang mungkin sama tuanya dengan ungkapan klasik dalam dunia jurnalistik : “anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing adalah berita”. Dari dulu jurnalisme amplop dicela dan dihujat, tetapi praktik itu tidak ada matinya. Organisasi profesi wartawan, secara resmi sudah melarang pemberian amplop dan suap kepada anggota mereka, tetapi sampai sekarang larangan tersebut tidak ada yang berhasil secara tuntas. Praktik jurnalisme amplop dibiarkan tetap berlangsung karena ada semacam kesalahan persepsi mengenai penerimaan jasa dari pihak kedua kepada wartawan. Ada yang bersikap sangat keras, menyatakan pemberian apa saja yang diberikan pihak kedua atau sumber berita dianggap sebagai suap. Ada yang lebih lunak dan menganggap, jika pemberian tidak terangterangan berbentuk uang, bisa saja ditolerasi. Undangan pemerintah untuk menghadiri sebuah acara di luar kota, kemudian menyediakan fasilitas kendaraan, penginapan bahkan biasanya berikut uang jalan menurut standar resmi instansi pemerintah atau swasta, tidak bisa diartikan suap. Survei Aliansi Jurnlis Indonesia (AJI) tahun 2006, menunjukkan bahwa 85 persen dari 400 wartawan yang ditanya di 17 kota percaya bahwa menerima uang dari sumber berita dalam bentuk apapun bisa dikatagorikan suap, tetapi 65 persen setuju bahwa pemberian barang bernilai seperti Hp dan kamera, bukanlah suap. Begitu pula, 33 persen dari responden percaya bahwa mendapatkan biaya perjalanan dari sumber berita adalah berkatagori suap, sementara 65 persen menjawab, menerima biaya perjalanan bukanlah suap. Demikian sedikit gambaran, bagaimana persepsi mengenai penerimaan uang bagi wartawan, dikalangan wartawan dan organisasi wartawan pun sangat beragam. Tahun tujuh puluhan Harian Indonesia Raya pimpinan, wartawan kawakan Mochtar Lubis, rajin mengkampanyekan dan menyatakan perang terhadap wartawan amplop. Tetapi ketika ia, konon menerima penghargaan dalam bentuk mesin percetakan dari sebuah lembaga asing, kawan-kawannya para wartawan menyindir dan membuat rumor, apakah itu bukan amplop dalam bentuk yang lain ? Untuk beberapa media utama, praktik menerima amplop kepada wartawan mereka adalah tabu, wartawan mereka pun patuh. Tetapi ketika pata pimpinan redaksi mereka diundang pejabat tinggi negara keluar negeri dengan pesawat dan hotel yang dibiayai oleh rakyat dan negara, dianggap wajar-wajar saja. Itu di media utama, tetapi sejumlah besar koran-koran gurem, apalagi di daerah menghalalkan penerimaan amplop bagi wartawannya, karena rendahnya upah yang mereka berikan kepada wartawan. Yang terang-terangan adalah “wartawan bodrex” dan “wts” (wartawan tanpa surat kabar) yang parkir di gedung konvensi dan hotel, bersenjatakan kartu pers, mengejar-ngejar penyelenggara acara dan meminta uang transpor. Kini wartawan amplop tetap diperangi bebarapa media elektronik menyerukan jangan memberikan imbal jasa berupa uang kepada wartawan mereka, tetapi praktik wartawan amplop tetap saja eksis. Apa pun bentuk pemberian jasa kepada wartawan, sangat rentan memengaruhi lahirnya bias pemberitaan. Mencederai etika profesi dan integritas wartawan. Karena itu, mari jangan berhenti mengkampanyekan perlawanan pada jurnlalisme amplop.(MM) MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 3 Telisik Iklan Politik dan Aksi ‘Tukang Plintir’ S ebagai bagian siklus lima tahunan, Pemilu 2009 dinanti banyak pihak. Inilah saat tepat bagi para politisi dan pemburu kekuasaan mendapatkan legitimasi hukum untuk dikukuhkan menjadi penguasa. Berbagai cara dibuat memikat rakyat agar mau memilih mereka. Kursi Parlemen dan jabatan eksekutif pemerintahan adalah janji yang menawarkan perubahan kehidupan begitu menjanjikan. 4 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Telisik Sumber : www.itempoeti.wordpress.com/ “Pesta besar” yang menghabiskan biaya triliunan rupiah itu pun, ditunggu-tunggu banyak orang. Mulai dari para tukang sablon, pengusaha percetakan, para mekelar politik, konsultan politik beserta juru survei mereka, dan ahli komunikasi pemasaran siap membangun citra positif para kandidat. Dalam setiap Pemilu, dengan kepiawaiannya, para ahli komunikasi politik itu berperan sebagai spin doctor atau semacam ‘tukang plintir’ untuk membangun opini publik yang sesuai dengan kepentingan klien mereka. Di tangan merekalah, strategi Partai Politik (Parpol), calon anggota Parlemen dan bahkan Presiden untuk memenangkan hati rakyat dipertaruhkan. Melalui berbagai strategi komunikasi publik, digelarlah berbagai tema kampanye secara masif. Selama berbulan-bulan para ‘tukang plintir’ tersebut terus memutar otak dan berlomba-lomba membujuk target sasaran untuk menerima parpol dan calon yang ditawarkan sekaligus mengabaikan calon atau partai lawan. Selain melalui pembangunan opini ke media, para tukang plintir ini juga merancang iklan politik secara masif melalui semua lini, baik media cetak, elektronik maupun luar ruangan. Pengamat politik dan media Yandi Hermawandi1 mengibaratkan aksi para ‘tukang plintir’ yang harus memenangkan kliennya itu bak peran seorang penata rias wajah. Sang model akan menjadi lebih menarik setelah sentuhansentuhan make up memoles wajahnya. Parpol, calon legislatif, maupun Presiden/Wakil Presiden jika tampil menarik, salah satu faktornya akibat sentuhan sang penata rias tersebut. Istilah ‘tukang plintir’ atau spin doctor muncul di negara Barat pada dekade 1980-an. 2Tidak jelas siapa yang mempopulerkan konsep yang digunakan untuk menjelaskan aksi para PR (Public Relations) yang tugasnya membangun opini dan citra positif kliennya di media itu. Mereka umumnya mewakili perusahaan dan tokoh politik. Caranya adalah bagaimana mengontrol ‘plintiran’ (spin), arahan (direction) dan objek yang MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 5 Telisik menguntungkan klien dan menutupi kelemahan yang ada. Pembangunan citra perusahaan rokok dapat dijadikan contoh konkrit pentingnya aksi para ‘tukang plintir’ ini. Jelas-jelas rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, kematian jabang bayi dan melemaskan keperkasaan pria; namun para ‘tukang plintir’ itu tetap mampu membangun citra positif pabrik rokok sebagai agen pembangunan melalui sejumlah taktik manipulatif dan tidak jarang berbau penipuan atau penyamaran kebenaran. Citra pabrik rokok tetap dapat dibuat positif karena juga menebar bea siswa, membuat klub olah raga atau memberikan macammacam sumbangan. Dalam konteks pemenangan komunikasi politik, aksi para ‘tukang plintir’ itu tidak hanya mengarahkan opini media melalui supply berita yang telah ia kemas namun juga dilancarkan melalui berbagai bentuk iklan politik. Di Indonesia bahkan peran ‘tukang plintir’ sekaligus merangkap menjadi manajer kampanye parpol atau tokoh tertentu. Mereka menggunakan semua jalur komunikasi untuk membangun citra politik kliennya dengan merekayasa, membujuk, dan mengarahkan opini guna memenangkan kliennya. Tidak jarang mereka juga berhubungan dengan sejumlah pengamat politik atau ahli survei. 3 *** Hasil survey the Nielsen menunjukkan sepanjang kuartal pertama 2009, jumlah dana yang yang masuk dalam pusaran biaya iklan mencapai Rp 10,3 triliun, artinya naik 19 persen dibandingkan periode yang sama pada 2008. Kenaikan biaya iklan didominasi iklan politik yang melonjak 269 persen, naik dari Rp 289 miliar menjadi Rp 1,065 triliun. Angka ini 6 jauh melampaui jumlah iklan produk komunikasi yang sebelumnya paling royal beriklan. Dari empat puluh lebih parpol peserta Pemilu, Partai Golkar paling banyak beriklan, mencapai Rp 128 miliar, naik 2.888 persen dibanding periode sama tahun lalu yaitu Rp 4,28 miliar. Partai Demokrat menduduki posisi kedua, mencapai Rp 61 miliar atau naik 5.865 persen dari Rp 1 miliar pada kwartal pertama 2008. Melihat betapa gencarnya partai baru Gerindra di TV, dipastikan partai ini menguras uang yang tidak sedikit. Sayangnya, dalam pemaparan survey, the Nielsen gagal men- Margono4 misalnya, menilai muatan iklan-iklan politik yang lalu lalang di berbagai media masih belum memberikan pendidikan politik yang tepat kepada masyarakat. “Iklan politik yang ada banyak yang saling menjatuhkan. Iklan itu tidak dilengkapi dengan visi-misi mereka. “Itu dapat membuat masyarakat menjadi bingung,” katanya dapatkan angkat pasti dari Partai ini karena partai berlambang kepala burung garuda ini tidak ingin nilai iklannya disebutkan. Iklan kampanye partai politik di televisi sebenarnya sudah berjalan sejak rezim Orde Baru menguasai TVRI. Ketika itu melalui siaran berita, kegiatan kampanye partai politik seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar) sering ditampilkan dalam beberapa event. Hanya saja, kampanye Golkar yang menguasai kekuasaan ditayangkan 90 persen dan sisanya baru untuk PDI dan PPP sebagai partai penggembira. Kondisi serupa juga terjadi saat Pemilu 2009 ini. Partai Demokrat dan Golkar juga menguasai Iklan Politik. Maklum, partai pemerintah yang sedang berkuasa. Selain iklan lepas, kedua partai ini juga secara tidak langsung dapat mengklaim keberhasilannya melalui iklan para menteri dengan ‘kedok’ iklan layanan masyarakat.5 “Jer basuki mowo beo,” begitu istilah pepatah Jawa yang kira-kira bermakna tiada hasil tanpa adanya pengorbanan. Itu juga terjadi dalam konteks politik di Indonesia. Adalah sebuah kenyataan bahwa partaipartai yang saat ini mengirimkan wakilnya di Parlemen adalah partai yang tidak pelit dalam beriklan. Preferensi rakyat Indonesia yang memang cenderung gampang diinsinuasi melalui iklan itulah yang membuat mereka memilih partai yang telah dikenalinya tersebut. Ketua Hukum dan Perundangan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Hery Maraknya parpol dan sebentar lagi para kandidat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden beriklan di TV tidak lepas dari pertemuan kepentingan dua pihak tersebut. Di satu sisi, industri pertelevisian memandang aktifitas partai politik dan para politisi sebagai konsumen potensial untuk pendulangan uang. Disisi lain, partai politik memandang keberadaan televisi efektif untuk dijadikan media penyampaian visi dan misi agar sampai kepada masyarakat tanpa harus terjun langsung ke lapangan sekaligus sebagai media yang memungkinkan bisa menjerat hati masyarakat dalam “Jelas-jelas rokok dapat menyebabkan kanker paruparu, kematian jabang bayi dan melemaskan keperkasaan pria; namun para ‘tukang plintir’ itu tetap mampu membangun citra positif pabrik rokok.“ MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Telisik konteks pendulangan suara. Hasil Pemilu 2009 pun menegaskan arti penting iklan terhadap perolehan parpol yang dapat menempatkan wakilnya ke Parlemen. Kemenangan Partai Demokrat meraih 20 persen lebih suara tidak lepas dari masifnya iklan Partai berlambang bintang Marcedes Benz ini. Kemunculan Partai Gerindra yang baru dibangun kurang dari dua tahun, juga tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pencitraan Prabowo yang mengkomandani partai ini. *** Sekilas aksi ‘tukang plintir’ mengarahkan opini publik melalui macam-macam iklan politik adalah sesuatu yang wajar. Bukankah hal serupa juga dilaksanakan untuk menjual produk dan jasa lainnya, seperti pabrik rokok misalnya. Namun, jika dikaji lebih jauh, masyarakat seharusnya lebih kritis mencermati gencarnya macammacam iklan politik itu. Pandangan Sekretaris Jenderal Dewan Pers Lukas Luwarso 6 rasanya patut disimak. Ia mengatakan:” Apa yang dijual dalam iklan politik selain janji yang tidak harus ditepati juga hal yang bukan-bukan,yaitu bukan barang jasa, bukan janji.” Bagi Lukas, iklan politik sejatinya tidak dapat digolongkan dalam bentuk iklan. Alasan utama, janji-janji yang ditebarkan para politisi tidak gampang begitu saja dituntut layaknya iklan barang atau jasa. Maklum, para politisi tersebut mengumbar barang atau jasa yang belum kelihatan barang dan kemampuan jenis layananya. Lebih tajam Lukas mengatakan: “Jika diibaratkan produk barang, iklan politik seperti menjual properti atau bangunan yang pengembangnya tidak memiliki modal cukup, tidak memiliki lahan, dan belum memiliki ijin mendirikan bangunan. Jika diibaratkan produk jasa, iklan politik seperti menjanjikan pelayanan yang orangnya belum memiliki kompetensi dan tidak memiliki fasilitas kerja.” Lebih konkrit lagi, Lukas mengibaratkan politisi pengumbar iklan politik layaknya pengusaha restoran yang begitu lantang mempromosikan betapa lezat masakan olahan mereka. Betapa higines pengolahan makanan dan betapa bersih dan cozy suasana restoran itu. Namun, pembeli makanan tersebut harus ‘saweran’ untuk membeli tanah, membangun restoran, membeli panci, wajan dan sebagainya sekaligus barang mentah. Kalaupun makanan yang dihasilkan tidak lezat dan bergizi, itu bukan lagi urusan pemberi janji. “Iklan politik adalah anti iklan karena serba tidak sejalan dengan definisi iklan seperti dipahami dalam komunitas iklan,” tegas Lukas. Jika demikian adanya, rasanya tidak berlebihan jika rakyat Indonesia harus lebih jeli mencerna janji-janji politik yang ditawarkan calon pemimpinnya. Jumlah rupiah yang digelontorkan untuk biaya iklan politik nilainya mencapai triliunan rupiah. Sikap kritis terhadap iklan politik ini semakin relevan mengingat iklan politik semakin menjadi pilihan utama bagi para politisi untuk meraih kekuasaan. Jangan sampai rakyat dikelabuhi para petualang politik yang berkali-kali terbukti mengumbar janji yang tidak pasti. Bagi para ‘tukang plintir’, ada baiknya juga jika bersedia mempertimbangkan pesan Ketua Dewan Pers Ikhlasul Amal. Ditemui “Media Watch”, mantan Rektor UGM ini mengakui materi dan pesan komunikasi yang dibuat para PR itu memang belum ada satu rumusan apakah dapat dikatagorikan sebagai hasil kerja wartawan atau bukan. Tetapi, lanjut Ichlasul, dalam sosialisasi UU Pers dan berbagai kegiatan pelatihan Dewan Pers, selalu memasukkan PR sebagai bagian penting dari kegiatan jurnalistik. Paling tidak diberikan informasi yang cukup penting bahwa walaupun PR bukan wartawan tetapi sebagai sumber yang memberikan informasi, harusnya mereka terikat juga dalam kode etik jurnalistik sebagai bagian penting dari unsur pers. “Sayangnya, ini tidak bisa didorong karena mereka tidak masuk wartawan,” ungkap Ichlasul. (Teguh Apriliyanto). Sumber 1 Yandi Hermawandi, Kampanye dan Konsultan Politik. Selasa, 31/ 03/2009 10:38 WIB, www. detik.com 2 Wisegeek, What is a Spin Doctor?, 2009. http://www. wisegeek.com/what-is-a-spindoctor.htm 3 Yandi Hermawandi, 2009. 4 Persda Network, Iklan Parpol Bikin PPPI Gerah, Kamis, 12 Februari 2009 | 19:28 WIB, http:/ / bisniskeuangan.kompas.com/ read/xml/2009/02/12/19281122/ iklan.parpol.bikin.pppi.gerah 5 Persda Network, Biaya Iklan Parpol dan Capres Harus Diaudit, Senin, 24 November 2008 | 00:17 WIB, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/ xml/2008/11/24/00172888/ biaya.iklan. parpol.dan.capres. harus.diaudit 6 Lukas Luwarso, Iklan Politik, Etika. No.70/Februari 2009. *** MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 7 Telisik T IN EL DO EV NE ISI SI A Kasus Penghentian Sinetron Hareem dan Demokrasi di Dunia Penyiaran 8 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Indosiar menghentikan tayangan Sinetron Hareem. Sinetron ini dinilai mengandung unsur-unsur yang melecehkan agama Islam. Proses penghentian tayangan ini bisa dicatat sebagai langkah maju bagi kehidupan demokrasi di ranah penyiaran. Telisik S inetron Hareem ditayangkan di Indosiar tiap Senin hingga Sabtu pukul 19.0020.00 WIB sejak 26 Januari 2009 dan diberi kategori tayangan dewasa. Sinetron ini bercerita tentang seorang laki-laki bernama Doso yang menjalankan poligami. Ia memiliki empat istri. Ia digambarkan rajin sholat berjamaah. Istri keempatnya masih sangat muda. Doso digambarkan memperlakukan istrinya secara tidak manusiawi: istri digembok di dalam rumah, dll. Sinetron ini menuai protes dari masyarakat dan Majelis Ulama Indonesia yang mengadu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI Pusat meminta secara tegas kepada Indosiar untuk segera memperbaiki isi sinetron Hareem yang dinilai oleh MUI dan aduan 145 orang melecehkan agama Islam. KPI Pusat menegaskan kepada Indosiar jika peringatan tersebut tidak digubris, maka KPI Pusat berencana menghentikan sementara sinetron tersebut. Penegasan tersebut tertuang dalam surat peringatan KPI Pusat pada Indosiar, hari ini (4/2) (Sinetron Hareem Indosiar Terancam Dihentikan Sementara, http://www.kpi.go.id). Surat peringatan dari KPI Pusat tersebut mengatakan bahwa sinetron tersebut melanggar aturan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI, yakni mengenai materi agama, waktu siaran, dan penggolongan program siaran. Pasal 8 SPS menyatakan bahwa lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan keagamaan tertentu. Pasal 65 huruf f mengatakan bahwa tayangan untuk dewasa hanya boleh disiarkan pada pukul 22.00 sampai 03.00 dinihari. Lalu, dalam Pasal 62 ayat 1 disebutkan lembaga penyiaran televisi wajib menyertakan informasi tentang penggolongan program siaran berdasarkan usia khalayak penonton di setiap acara yang disiarkan. Merespon peringatan KPI terhadap sinetron yang ditayangkannya itu, Indosiar kemudian menghadirkan ustad di setiap akhir acara. Namun, penambahan ini dinilai justru sebagai pembenaran terhadap isi sinetron tersebut. KPI kemudian memberikan surat peringatan terakhir pada Indosiar terkait penayangan sinetron Hareem (KPI Pusat Minta Hareem Pindah Jam Tayang, http:// www.kpi.go.id). Surat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja, yang dilayangkan kepada Direktur Utama Indosiar itu meminta Indosiar untuk memindahkan jam tayang sinetron Hareem menjadi pukul 22.00 WIB. Menurut surat tersebut, keputusan ini diambil berdasarkan pemantauan KPI Pusat, aduan Majelis Ulama Indonesia serta masyarakat ke KPI Pusat. Menurut KPI Pusat, tayangan Sinetron Hareem merupakan tayangan untuk Dewasa. Secara tegas KPI Pusat juga MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 9 Telisik saja. SCTV pernah menghentikan penayangan sinetron Esmeralda gara-gara protes dari Front Pembela Islam. Kelompok masyarakat ini mendatangi stasiun TV tersebut pada 5 Mei 2000. FPI protes karena sosok Fatimah dalam sinetron Amerika Latin itu digambarkan judes serta gambaran negatif lainnya. Padahal Fatimah adalah nama putri Nabi Muhammad SAW yang berbudi pekerti baik. Maka, sejak 8 Mei 2000, penayangan sinetron Esmeralda dihentikan hingga episode 114 dari 134 yang direncanakan. meminta pemindahan jam tayang tersebut diberlakukan mulai Rabu (25 Maret 2009). Selain itu, KPI Pusat juga meminta Indosiar untuk tidak menayangkan tayangan mengandung unsur-unsur yang melecehkan agama Islam yang masih tetap terdapat di sinetron Hareem. Untuk ke depannya, KPI Pusat mengancam akan memberhentikan sementara tayangan Sineron Hareem, bila dari pihak Indosiar tidak menanggapi teguran keras yang diberikan. MUI kemudian mengirimkan surat ke Indosiar yang mendesak stasiun televisi tersebut untuk menghentikan tayangan sinetron Hareem tersebut. MUI dengan tegas mengatakan akan melakukan pemboikotan terhadap Indosiar kepada Umat Islam Seluruh Indonesia. Indosiar kemudian berinisatif untuk menghentikan sinetron Hareem mulai Selasa, 31 Maret 2009 (http://www.kpi.go.id/). Sejak tanggal itu, sinetron Hareem berubah menjadi Inayah. Sinetron Inayah ini ditayangkan tiap Senin hingga Sabtu pukul 19.30-21.00 WIB di Indosiar. Perubahan juga terjadi pada penampilan tokohtokoh sinetron Hareem itu. Pemeran perempuan tidak lagi mengenakan jilbab. Tokoh lakilakinya tidak lagi mengenakan peci serta baju koko. Tokoh Abi yang diperankan Teddy Syach berubah sebutannya menjadi Romo. Sebelumnya, istri-istri Doso dipanggil dengan sebutan Ummi sekarang menjadi Amih. Kasus penghentian penayangan program televisi bukan kali ini 10 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Saat itu kita belum memiliki UU No 32 Tahun 2002 mengenai Penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai amanat UU tersebut juga belum lahir. Situasinya berbeda ketika KPI menjadi salah satu pihak yang terlibat selain komponen masyarakat dan stasiun televisi itu sendiri tiap kali ada keberatan masyarakat terhadap tayangan televisi. Kini ada mekanisme pengaduan terhadap tayangan bermasalah yang disediakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Jadi, masyarakat tidak perlu mendatangi stasiun TV bersangkutan apalagi sampai merusak. Stasiun TV hendaknya juga lebih mendengar peringatan dari KPI yang notebene berdasar dari aspirasi masyarakat. Ini jauh lebih menguntungkan bagi stasiun televisi bersangkutan. Dengan demikian dapat terbangun hubungan yang harmonis antara ketiga pemangku kepentingan dalam ranah penyiaran. Terlepas dari masih lemahnya posisi Komisi ini di mata industri, kasus penghentian sinetron Hareem tersebut menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di ranah penyiaran menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. (wenny) Telisik Reļ¬eksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers Tantangan Serius Justru dari Dalam P ers yang bebas ternyata tidak otomatis menciptakan pers yang sehat. Indonesia adalah contoh nyata dari fenomena itu. Kendati indeks kemerdekaan pers berdasar standar Reporter sans Frontiers Paris di Indonesia mulai melorot di akhir jabatan Presiden Abdurrahman Wahid (2002) dan terus berlanjut di era Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; sejumlah kalangan sepakat bahwa pers di Indonesia relatif lebih bebas dibandingkan sejumlah negara di Asia. MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 11 Telisik terpojok. Di sisi lain, kalangan praktisi dan penggiat pengembangan pers di Indonesia juga semakin prihatin dengan kualitas media cetak dan terlebih media televisi yang jauh dari ciri pers yang berkualitas. Kondisi ini seolah membuat acara refleksi betul-betul menjadi acara keluh kesah penuh kegalauan. Contoh konkrit betapa amburadulnya kualitas media di Indonesia secara kasat mata dapat disaksikan ketika menghidupkan layar televisi. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia S. Djuarsa Sendjaja, yang menyoroti kemerdekaan pers dari perspektif media penyiaran, secara gamblang memotret persoalan yang membelit media penyiaran itu. Sumber : http//www.Google.com/ Pers yang bebas ternyata tidak otomatis menciptakan pers yang sehat. Indonesia adalah contoh nyata dari fenomena itu. Kendati indeks kemerdekaan pers berdasar standar Reporter sans Frontiers Paris di Indonesia mulai melorot di akhir jabatan Presiden Abdurrahman Wahid (2002) dan terus berlanjut di era Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah kalangan sepakat bahwa pers di Indonesia relatif lebih bebas dibandingkan sejumlah negara di Asia. Namun, atmosfir pers yang relatif merdeka itu, tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan pers yang sehat dan mencerahkan masyarakat, yaitu pers yang menarik, mencerdaskan, taat kode etik pers dan dibutuhkan khalayak luas. Kesimpulan di atas bukan muncul dari penilaian pengamat, tetapi justru datang dari kalangan praktisi pers dan pegiat pers yang selama ini terus berkecimpung dalam mengembangkan pers nasional. Diskusi hangat “Refleksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers di Indonesia” yang diselenggarakan Dewan Pers bersama Unesco di Jakarta Media Center, 5 Mei 2009 lalu, membuktikan kegalauan insan pers Indonesia. Skor Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia akhir-akhir ini memang kurang menggembirakan. Terlebih jika dikaitkan dengan kondisi di era Presiden BJ. Habibie atau di akhir pemerintahan Presiden Gus Dur sampai 2001, posisi Indonesia menjadi negara terbebas di Asia. Anggota Dewan Pers Leo Batubara mencatat sejumlah faktor kenapa posisi Indonesia terseok di peringkat 111 dari 173 negara yang diukur indeksnya. Ini disebabkan antara lain sikap penguasa yang kembali otoriter terhadap pers dan adanya kecenderungan politik hukum yang mengkriminalkan pers. Pemerintah dan masyarakat lebih cenderung menggunakan UU Pidana daripada UU pers. Pembahasan sejumlah UU pun berpotensi tinggi membuat kemerdekaan pers semakin 12 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Meluncurnya kualitas penyiaran ke titik nadir, menurut Sendjaja tidak lepas dari dibukanya kran kebebasan yang diberikan ke media penyiaran televisi. Jika di era rejim Soeharto, hanya keluarga Soeharto dan kroni-kroninya yang diberikan keistimewaan berbisnis media, maka struktur pasar di era reformasi dibuka bebas sejalan dengan penerapan liberalisasi ekonomi. Hambatan artifisial dan politik masuk pasar berkurang. Akibat pasar bebas, pemodal besar kini menguasai lanskap pertelevisian nasional. Merger dan akuisisi menjadi upaya untuk mendominasi pasar. Masalah krusial muncul, berupa praktik kepemilikan silang, monopoli, oligopoli, sistem stasiun berjaringan dan isi program media mengikuti selera dan didikte oleh rating. KPI, aku Sendjaja, kesulitan menertibkan lanskap pasar yang semakin tidak beraturan ini ketika masing-masing perundang-undangan justru saling bertubrukan. Sebagai contoh, ketika UU tentang Penyiaran melarang praktik monopoli dan oligopoli, justru UU tentang Perseroan Telisik Sendjaja menguraikan komodifikasi media penyiaran yang berisi selera rendah itu merupakan campuran unsur popolaritas, konflik, sensasi dan seks. Acaraacara yang mengandung unsur-unsur inilah yang justru mendapat rating tinggi di tengah masyarakat. Tidak mengherankan jika acara semacam ‘gosip-infotainment’, ‘reality show’ pengumbar nafsu dan amarah semacam “Termehek-mehek”, atau ‘talk show’ penuh materi cabul seperti “Bukan Empat Mata”, tetap menempati rating tinggi. “Tayangan-tayangan itu market driven, massive, low taste dan entertainment. Tayangan itu bisa masuk katagori yellow journalism,” ujar Sendjaja. Muatan acara yang cenderung low taste itu pun cenderung rentan akan pelanggaran etika jurnalisme dan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Mengutip pandangan pakar media Paul Johnson (1997), Sendjaja menilai tayangan-tayangan selera rendah itu penuh dengan informasi yang terdistorsi, menggambarkan dramatisasi dengan fakta palu, menganggu privacy, melakukan pembunuhan karakter, mengeksploitasi materi seks, meracuni pikiran anak-anak dan rentan penyalahgunaan kekuasaan. “Media adalah cermin masyarakat. Wajah media yang jelek, mungkin itu adalah wajah masyarakat kita yang juga buram,” Kata Sendjaja. Buruknya kualitas media nasional juga merembet ke media cetak. Anggota Dewan Pers Leo Batubara yang begitu rajin mengamati pers nasional mengkaji bahwa saat ini ada sekitar 1008 buah media cetak yang terbit di Indonesia. Itu sudak mencakup surat kabar harian, tabloid, majalah dan buletin. Dari jumlah itu, hanya sekitar 30 persen yang dapat hidup sehat secara ekonomis, artinya dapat memperoleh iklan secara signifikan sehingga dapat dikatagorikan sebagai media berkualitas, artinya: 1) menarik, 2) mencerahkan, 3) taat kode etik, dan 4) dibutuhkan khalayak umum. “ Tidak mengherankan jika acara semacam ‘gosipinfotainment’, ‘reality show’ pengumbar nafsu dan amarah semacam “Termehek-mehek”, atau ‘talk show’ penuh materi cabul seperti “Bukan Empat Mata”; tetap menempati rating tinggi. “ Terbuka men-dorong terjadinya akuisisi dan merger. “Bagi dunia penyiaran, pasar adalah rating dan rating itu celakanya ditentukan oleh selera rendah (low taste) yang ditawarkan televisi nasional,” paparnya. “Sebagian besar sisanya justru tidak mentaati lima fungsi pers dan kode etik jurnalistik. Akibat beroperasi tidak sehat inilah, urai Batubara, inti persolan pers nasional muncul. Para jurnalis yang bekerja di media yang tidak sehat bekerja pada atmosfir kerja yang jauh dari standar profesional. Maklum, tenaga kerja yang diharapkan dapat memenuhi standar kompetesni wartawan tida bersedia bekerja di bidang jurnalistik. “Tidak mengherankan dari sekitar 1000 penerbitan pers, hanya 30 persen layak bisnis dan mampu menggaji wartawannya secara profesional,” paparnya. Sebagai konsekuensi kondisi ini, wartawan dan pers abal-abal menjamur di tengah masyarakat. Kondisi ini menyebabkan penyimpangan fungsi pers ideal. Batubara mencatat lima hal yang dapat merusak citra pers nasional. Pertama, informasiyang dihasilkan tidak akurat, tidak benar dan tidak perlu fabrikasi. Kedua, beritanya tidak mencerdaskan melainkan cenderung membodohi. Ketiga, liputannya lebih banyak mengumbar masalah hiburan yang tidak dapat menambah kualitas kehidupan. Keempat, liputannya tentang pelaksanaan fungsi kontrol, bukan mengontrol pejabat, politisi, pengusaha tetapi untuk memeras. Terakhir, media tersebut eksis bukan karena ditopang dukungan pembaca tetapi hidup berkat amplop dan pemerasan. Maraknya budaya amplop tersebut, menurut Batubara, sesungguhnya berkorelasi dengan kondisi bangsa Indonesia. Adalah sesuatu yang mengherankan kenapa budaya amplop begitu marak di Indonesia sedangkan di Malaysia dan Singapura, wartawan amplop tidak dikenal. Catatan Transparansi Internasional menujukkan Malaysia termasuk 30 negara yang tingkat korupsinya kecil. Singapura termasuk negara bebas korupsi, posisinya ke empat di dunia. Sementara itu Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia, posisi keenam dari 160 negara di dunia. Temuan Transparansi Internasional menunjukkan habitat dimana pers Indonesia bergiat adalah lingkungan yang kotor. “Banyak pejabat, politisi dan pebisnis khususnya yang bermasalah, daripada berurusan dengan pers memilih menjadi pemasok amplop. Laku pejabat, politisi dan pebisnis seperti itu malah mengundang lebih banyak pers dan wartawan abal-abal,” katanya. MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009 13 Telisik dibandingkan elemen demokrasi lainnya di Indonesia,” katanya. Kondisi di Indonesia, berdasarkan kajian Ikhlasul, jauh lebih maju dibandingkan sejarah perkembangan demokrasi di dunia secara umum. Sebab, di negara lain, umumnya sejarah demokrasi baru mendorong dihasilkannya kebebasan pers. Ini berbeda dengan kondisi di Indonesia. Di akhir masa pemerintahan Soeharto, kebebasan pers mulai sedikit dibuka dan itu justru mendorong digulirkannya demokratisasi melalui agenda reformasi yang justru mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto. Uraian Batubara tersebut diamini Yopie Hidayat. Pemimpin Redaksi tabloid ekonomi ‘Kontan’ mengatakan persoalan media di Indonesia adalah lebih hakiki daripada sekadar masalah kebebesan pers atau kekerasan yang menimpa jurnalis. Masalah media di Indonesia adalah berkaitan dengan eksistensi media itu sendiri. Yopie mencatat ada sejumlah tantangan,yaitu: apakah media di Indonesia mampu mempertahankan netralitas dan tidak terjebak kepada kepentingan kekuasaan dan pemilik modal; bagaimana media di Indonesia mampu mengatasi tekanan pasar sehingga tidak terjebak pada eksploitasi selera rendah pasar; bagaimana media didukung oleh SDM yang berkualitas serta bagaimana media mengatasi tantangan kompetisi dengan media digital. Dalam tempo lima sampai sepuluh tahun ke depan, analisa Yopie, masyarakat di Indonesia akan menentukan apakah mereka masih memerlukan media dalam bentuk yang dikenal saat ini atau tidak. “Jika media gagal memenuhi tantangan ini, kita (media cetak, red) layak punah, seperti dinosaurus yang dulu menguasai bumi, ”tukasnya. Dari kondisi obyektif pers nasional di atas, jelaslah bahwa yang mengancam kemerdekaan pers di Indonesia sesungguhnya bukan dari kalangan ekternal tapi justru dari kalangan internal pers itu sendiri. Di tengah kegalauan yang meliputi hampir seluruh pembicara dan peserta diskusi, pandangan bijak justru disuarakan Ketua Dewan Pers Ikhlasul Amal. Memperhatikan kebebasan pers jika dikaitkan dengan sejumlah fenomena masyarakat yang justru semakin memprihatinkan, menurut mantan Rektor UGM ini, dikarenakan kebebasan pers sebagai elemen demokrasi sesungguhnya lebih maju daripada elemen demokrasi di Indonesia. Akibat adanya kebebesan pers inilah yang justru mendorong elemen-elemen masyarakat untuk menjadi masyarakat yang demokratis, yang salah satunya diwujudkan dengan struktur pemerintahan yang juga lebih demokratis. “Saya optimis sekali bahwa kebebasan pers di Indonesia sudah cukup maju dan lebih maju 14 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Tentang keluhan insan pers tentang kondisi masyarakat yang masih saja belum meningkat kualitas intelektualitasnya, dicerminkan dengan tetap rendahnya oplag media berkualitas dan semakin buruknya kualitas tayangan media penyiaran, Ikhlasul kembali mencoba berpikir bijak. Ia melihat kualitas kemerdekaan pers tidak akan terlalu maju jika tidak didukung kualitas ekonomi masyarakat yang dapat mendukung kebebasan pers berkembang dengan baik. “Kita seharusnya tidak berharap terlalu banyak karena bisa kecewa. Dan, itu jangan berlarut-larut karena dapat menutup kreatifitas termasuk kebebasan itu sendiri.” pesannya. Rasanya pesan Ikhlasul tetap relevan untuk direnungkan bagi insan pers, kecewa boleh-boleh saja, tetapi jangan terperosok terlalu dalam karena justru membunuh kreativitas. Refleksi sepuluh tahun bisa menjadi pengingat untuk tetap berjuang bagi kemerdekaan pers sekaligus membangun media yang sehat. Semoga. (Teguh Apriliyanto) Telisik Infotainment Mengeksploitasi Tubuh Perempuan P rogram Infotainment ternyata tidak hanya berisi gossip seputar orang ternama di Indonesia melainkan juga sarat dengan gambar perempuan seksi berpakaian minim. Program tersebut menjadikan tubuh seksi dan pakaian minim para selebriti sebagai komoditas dan andalan utama mereka. Potongan-potongan gambar perempuan seksi ini menjadi senjata untuk menarik pemirsa dan meraih rating tinggi yang pada gilirannya mendatangkan iklan yang banyak. MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 15 Telisik pertama program yang paling banyak melanggar aturan seksualitas yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tayangan yang berisi cerita seputar selebriti ini melakukan pelanggaran sebanyak 21 kali atau 52% dari seluruh jenis pelanggaran. Program musik adalah program paling banyak kedua melanggar aturan KPI dengan jumlah pelanggaran sebanyak 10 kali atau 25% dan tempat ketiga adalah program film/FTV dengan pelanggaran sebanyak 9 kali atau 23%. Grafik 1: Prosentase Program Melanggar dan Tidak Melanggar Selama Maret Hasil pantauan Tim Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan bahwa sepanjang bulan Maret 2009, dari 85 item acara atau program hiburan (Infotainment, Drama lepas/ FTV dan Musik) terdapat 19 acara atau (22%) berisi tayangan seksualitas. Program infotainment sendiri melanggar pasal yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebanyak 21 atau 52% dari seluruh jenis pelanggaran. Memang, kadar acara hiburan yang mengandung unsur seksualitas pada Maret tersebut masih berada dalam rentang ringan. Meskipun secara kuantitas tergolong ringan, tetap perlu diwaspadai karena tayangan seksualitas itu muncul pada program-program yang menjadi favorit pemirsa. Bila dilihat dari lokus masalah, 100% pelanggaran tayangan seksualitas berada pada gambar. Ini memang sesuai dengan karateristik TV yang selalu mengutamakan gambar dibanding dengan suara. (lihat tabel 1) Dari hasil pantauan selama Maret 2009, terungkap bahwa visualisasi adegan seksualitas dengan menampilkan pakaian minim, atau ketat yang menonjolkan bagian bagian-bagian tubuh yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual menempati peringkat pertama dengan 20 kali pelanggaran (50%) menyusul tempat kedua diduduki oleh tayangan yang menyiarkan adegan tarian, lirik lagi atau video klip yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau memberi kesan hubungan seks dengan jumlah pelanggaran sebanyak 11 kali atau 27,50%. Tempat ketiga adalah tayangan ciuman yang disertai hasrat seksual dengan jumlah pelanggaran sebanyak 6 kali atau 15%. (lihat grafik 2) Infotainment Paling Banyak Melanggar Temuan tim pemantau menunjukkan bahwa kategori Infotainment menempati peringkat Temuan ini semakin memperjelas bahwa Infotainment makin jauh dari mainstream jurnalisme. Menurut Rivers dkk fenomena infotainment merupakan buah dari tabloidisme yang mengandalkan cerita kemesuman dan aneka skandal. 1 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai memandang tabloidisme memperlakukan berita sebagai seks atau skandal selebritas sebagai kebenaran.2 Infotainment lantas menjelma menjadi industri hiburan, memandang kehidupan sehari-hari selebritas adalah bagian dari komoditas. Bila dilihat dari Kode Etik Jurnalisme Pasal 9: “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk Berikut tabel masing-masing program melakukan pelanggaran (lihat tabel: 2) Tabel 1 : Lokus Masalah Lokus Jumlah Persen Gambar 40 100 % Suara 0 0 Gambar dan Suara 0 0 Jumlah 40 100% 16 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Telisik Grafik 2: Visualisasi Adegan Seksualitas ketiga Indosiar dengan frekuensi pelanggaran sebanyak 5 kali atau 12,50%. Perlu diperhatikan bahwa semua pelanggaran Trans 7 tersebut terdapat dalam program infotainment yang bertajuk I Gosip. Untuk RCTI, pelanggaran mereka umumnya disumbang oleh Go Spot. Adapun untuk SCTV, pelanggaran umumnya terjadi pada program musik Inbox. (lihat tabel 4 dan grafik 4) Tabel 4: Frekuensi Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun TV kepentingan publik.” Tafsir ini menunjukkan bahwa wartawan harus menghargai privasi sumber beritanya. Dalam prakteknya jelas sekali infotainment jauh dari hal ini. Pasal Dilanggar 27 paling sering Hasil pantauan selama Maret 2009 menunjukkan pasal 27 SPS masih dominan dilanggar oleh stasiun TV. Pelanggaran yang terjadi pada pasal ini mencapai 20 frekuensi atau sebanyak 50% dari seluruh pasal tentang seksualitas di Standar Program Siaran KPI. Pasal 27 mengatur tentang penggambaran manusia telanjang dan penggambaran bagian-bagian tubuh yang dianggap merangsang (seperti, paha, payudara, dll). Pasal yang paling banyak dilanggar selanjutnya adalah pasal 21 dengan 11 kali pelanggaran atau 27,50%. Peringkat ketiga ditempati pasal 18 dengan 6 frekuensi pelanggaran atau 15%. (lihat tabel 3 dan grafik 3) mendongkrak rating dan memikat penonton. Trans 7 Paling Banyak Melanggar Stasiun manakah yang paling banyak melanggar pasal yang terdapat pada Standar Program Siaran yang ditetapkan oleh KPI selama bulan Maret? Hasil pantauan menunjukkan bahwa Trans 7 melakukan pelanggaran paling banyak dengan frekuensi 11 kali atau 27,50%. Di tempat kedua adalah RCTI dan SCTV dengan masing-masing pelanggaran 9 kali atau 22,50% disusul ditempat Grafik 4: Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun Infotainment “Demam” Julia Perez dan Dewi Persik. Hasil pantauan Tim KPI menunjukkan bahwa program infotainment paling banyak melanggar aturan, yakni sebanyak 21 kali atau tertinggi dari semua kategori. Pelanggaran terbanyak dilakukan oleh I Gosip Pagi dan I Gosip Siang yang disiarkan Trans 7. Pelanggaran I Gosip Pagi terjadi pada 19 Maret 2009 pukul 07:30, 23 Maret 2009 dan 24 Maret 2009. Topik liputan infotainment I Fenomena pasal 27 ini nampaknya belum bergeser dari tahun 2008. Ini menunjukkan bahwa TV masih menjadikan bagian-bagian tubuh perempuan sebagai bahan jualan untuk MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009 17 Telisik b a g i a n dadanya. Gambar ini d i n i l a i Pasal Jumlah bermasalah No. SPS Pelanggaran Presentase % k a r e n a k a r e n a 1 Pasal 18 6 15.00 melanggar 2 Pasal 19 2 5.00 S t a n d a r Program 3 Pasal 20 0 0.00 Siaran (SPS) 4 Pasal 21 11 27.50 Pasal 27 ayat 3 yang di5 Pasal 22 0 0.00 tetapkan 6 Pasal 23 1 0.00 K o m i s i 7 Pasal 24 0 0.00 Penyiaran Indonesia 8 Pasal 25 0 0.00 ( K P I ) . 9 Pasal 26 0 0.00 Gambar ini bermasalah 10 Pasal 27 20 50.00 k a r e n a mengeksploitasi Gosip Pagi pada edisi 19 Maret bagian tubuh (payudara) si artis 2009 tersebut adalah Damien Bikin yang dianggap membangkitkan Panas Jupe. Damien tertangkap birahi. kamera jalan dengan model asal Sementara itu, I Gosip Siang Malaysia. Dalam tayangan ini Julia 20 Maret 2009 menampilkan berita Perez terlihat mengenakan baju mengenai kedua kakak beradik dengan model yang sangat minim Sarah dan Rahma Azhari yang sehingga terlihat hampir seluruh mengadukan nasibnya ke Mahpayudaranya. Adegan ini jelas kamah Konstitusi terkait foto-foto melanggar Standar Program Siaran bugil mereka yang beredar di (SPS) Pasal 27 ayat 3, yakni internet. lembaga penyiaran televisi dilarang Sayangnya, program infotainmenyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan ment ini turut menampilkan foto pengambilan gambar close-up) mereka berdua yang sedang mandi bagian-bagian tubuh yang lazim bersama di bawah pancuran. dianggap membangkitkan birahi, Tampak mereka tidak mengenakan seperti paha, pantat, payudara, dan penutup dada. Foto itu memang kabur dan bagian tubuh kedua orang alat kelamin. itu dikaburkan dengan warna putih Demikian juga pada tayangan oleh stasiun TV bersangkutan. I Gosip Pagi edisi 20 Maret 2009, Namun penonton masih bisa jelas Trans 7 menurunkan berita hiburan melihat foto tersebut. mengenai Dewi Persik yang Foto itu ditampilkan sebanyak menggugurkan kandungan. Di sana, terdapat potongan gambar tiga (3) kali masing-masing Dewi Persik berpakaian seksi. berdurasi tiga detik. Tayangan Dewi Persik tampak mengenakan acara ini bermasalah karena baju putih bergaris biru model melanggar Standar Program Siaran kemben yang sangat rendah (SPS) Pasal 27 ayat 2, yakni sehingga terlihat sebagian besar lembaga penyiaran televisi dilarang Tabel 3 : Frekuensi Pelanggaran Tiap Pasal 18 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 menyiarkan gambar manusia telanjang atau yang mengesankan telanjang, baik bergerak atau diam. Memang, adegan tersebut ditayangkan sebagai latar belakang berita bukan peristiwa itu sendiri. Namum, tayangan yang berulang dengan durasi yang cukup panjang cukup mampu mengarahkan perhatian penonton ke adegan tersebut. Bukan tidak mungkin foto yang ditayangkan tersebut justru menarik perhatian penonton dan membuat mereka penasaran untuk mendapatkan foto-foto lainnya di internet. Dengan kata lain, tayangan tersebut dapat mendorong penonton untuk mendapatkan yang lebih dari apa yang mereka tonton di televisi. Pelanggaran yang sama juga dilakukan oleh Trans TV, saudara tua Trans 7, lewat program infotainment Insert Sore, 21 Maret 2009 pukul 17:00. Program infotainment ini banyak menampilkan gambar-gambar seksi Julia Perez. Ini mungkin hendak membenarkan atau membuktikan narasi yang menyertai tayangan tersebut, yakni Julia Perez gemar mengenakan pakaian seksi. Di layar televisi tampak kemesraan kedua pasangan tersebut. Si suami merangkul, memeluk dan mencium Julia. Adegan seperti ini muncul sebanyak tiga (3) kali dengan durasi yang cukup panjang sekira tiga hingga lima detik. Adegan ini sepertinya biasa dan tidak bermasalah apalagi dalam konteks suami istri. Namun, adegan yang diulang tersebut tidak cukup pantas ditayangkan di televisi yang banyak disaksikan anak-anak. Kemesraan semacam itu sebaiknya tidak perlu hadir dan dibesar-besarkan. Dua gambar tersebut sangat mengganggu dan melanggar aturan yang dibuat KPI. Pertama, gambar seksi Julia Perez memakai baju Telisik model tank top berdada rendah sehingga terlihat jelas lekukan dan belahan dadanya. Kedua, gambar atau foto seksi Julia mengenakan baju merah menyala model kemben yang sangat rendah sehingga payudaranya terlihat setengahnya. Kedua gambar ini bermasalah karena melanggar Standar Program Siaran (SPS) Pasal 27 ayat 3, yakni lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan pengambilan gambar close-up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin. Tayangan infotainment kali ini tampaknya memang sedang mengeksploitasi bagian tubuh Julia Perez. Bagian tubuh perempuan ini kemudian dijadikan isi utama tayangan mereka. Stasiun televisi bersangkutan terlihat tidak peka pada dampak yang mungkin muncul dari tayangan tersebut. Sekilas seperti tidak akan berdampak apa-apa pada penonton karena gambar seksi itu ditampilkan hanya beberapa detik. Namun, bila itu ditayangkan secara berulang bukan tidak mungkin berpengaruh pada tingkat sensitivitas penonton. Penonton menjadi terbiasa terhadap gambar atau tayangan yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Pelanggaran serupa juga terjadi pada program Espresso, Infotainment yang disirakan ANTV. Dalam edisi 21 Maret 2009 pukul 10:0011:00 diceritakan bahwa dunia entertainment bisa digunakan sebagai jalan meraih popularitas. Seorang selebriti bisa berangkat dari dunia tarik suara lalu menyebrang ke jalur sinetron atau sebaliknya. Salah satu contoh selebriti yang disebut adalah Julia Perez. Pada saat menyebut Julia Perez itulah ANTV menampilkan cuplikan lagu Julia Perez yang berjudul Belah Duren. Dalam cuplikan itu Julia Perez terlihat mengenakan busana tank top ketat sehingga payudaranya terlihat sangat jelas. Selama bulan Maret 2009, infotainment “demam” Julia Perez dan Dewi Persik. Hampir di setiap infotainment selalu menghadirkan kisah sensasional kedua pesohor ini. Program infotainment memanfaatkan dan mengeksploitasi kisah mereka berdua. Dengan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertama, infotainment mencederai esensi jurnalisme. Jurnalisme selalu berangkat pada fakta demi kepentingan publik, sedangkan jurnalisme infotainment berlandaskan pada gossip pada wilayah privasi. Kedua, Infotainment menjadi sarana mengumbar pornografi dan seksualitas. Cerita-cerita artis dalam infotainment senantiasa dibumbui dengan gambar-gambar yang mengesploitasi tubuh perempuan dan sehingganya berpotensi membangkitkan nafsu birahi. Musik “Keranjingan” The Changcuters Bila di Infotainment ada Julia Peres dan Dewi Persik yang selalu tampil sensasional. Di kategori musik ada Cangcuters dengan lagu “main serong”. Hal tersebut dapat dilihat pada penampilan mereka di acara Dahsyatnya Week End Mau Ulang Tahun, Minggu, 22 Maret 2009 yang disiarkan RCTI. Dalam video klip yang berjudul “Main Serong” ditampilkan adegan yang memberi kesan hubungan seks yang dilakukan oleh sepasang pemuda yang sedang main serong. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap SPS pasal 21 (2) mengenai muatan seks dalam video klip lagu. Adengan yang sama kembali diulangi pada penampilan mereka pada acara Inboks yang disiarkan di SCTV 26 Maret 09 jam 7:30. “INBOX” adalah program musik perpaduan antara live dan tampilan video musik yang dibawakan oleh trio MC, Nicky Tirta, Magdalena, dan Ricky Harun. Lokasi acara ini berpindah dari 1 kota ke kota yang lain. Selain INBOX, SCTV juga melakukan pelanggaran pada acara Music by Request, yang disiarkan pada 28 Maret pukul 14:30. Pelanggaran dalam acara ini terkait dengan lirik lagu “Mari Bercinta” yang dapat diasosiasikan dengan hubungan seks. Perhatikan kutipan lagunya berikut; Grafik 3: Frekuensi Pelanggaran Tiap Pasal MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 19 Telisik kamu inginkan aku peluk aku cium aku kamu inginkan aku ingin bercinta denganku tapi malam ini bukan hanya untukmu malam ini kita bercinta bersama uhuuuuuuu... Lirik tersebut terlihat sangat sensual dan seolah-olah menjadikan wanita semata sebagai obyek seks. Hal ini secara umum melanggar SPS pasal 21 mengenai muatan seks dalam lagu. Selain liriknya, penampilan penari latar mereka menampilkan gerakan-gerakan yang sensual, apalagi tubuh penari tersebut dibalut dengan pakaian yang menonjolkan bagian tubuh yang lazim membangkitkan nafsu birahi. “Music By Request” adalah program musik yang menampilkan band-band papan atas yang sedang naik daun yang menyanyikan lagu- lagu andalannya secara live. Dalam acara ini pemirsa dapat memilih lagu-lagu yang disukainya serta menyampaikan pesan singkat melalui SMS yang ditampilkan dalam running text sepanjang acara berjalan. Pelanggaran juga dilakukan oleh acara Klik yang disiarkan ANTV, 20 Maret 09 jam 15:0016:00. Klik menampilkan adegan mesra antara Ariel (vokalis group Peterpan) dengan seorang perempuan bintang klip lagu yang berjudul “Kisah Cintaku”. Disana digambarkan seorang perempuan menyandarkan kepalanya ke bahu Ariel beberapa kali mempelihatkan adegan yang hampir berciuman. Di kategori Film/FTV, pelanggaran terbanyak disumbang oleh SCTV lewat dua FTV mereka yakni Gala Keluarga: Kukejar Cintamu Sampai ke Bali yang siarkan 21 Maret 09 pukul 22:00 dan Cintaku Nyangkut Di Bali, 27 Maret 09. Dalam Kukejar Cintamu Sampai ke Bali, dikisahkan Rama mengejar kekasihnya, Luna yang pergi ke Bali u n t u k Tabel 4 : Frekuensi Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun mengobati rasa luka Jumlah h a t i n y a No. Stasiun TV Pelanggaran Persen s e t a l a h dikhianati 1 RCTI 9 22.50 oleh Rama. 2 SCTV 9 22.50 R a m a bertanya 3 INDOSIAR 5 12.50 k e s a n a 4 TPI 0 0.00 kemari untuk menemukan 5 ANTV 3 7.50 L u n a 6 METRO TV 0 0.00 bersama salah satu 7 TRANS 7 11 27.50 sahabatnya, 8 TRANS TV 3 7.50 Leon. Di Bali, Luna 9 TV ONE 0 0.00 menyembuhkan 10 GLOBAL TV 0 0.00 lukanya 20 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 bersama dengan sahabatnya Siena. Siapa yang menyangka bahwa Siena adalah teman lama Leon, dan ketika mengenal Rama, Siena menyukai Rama. Luna mengira sahabat dan kekasihnya telah mengkhianatinya, namun Siena akhirnya bisa meyakinkan Luna bahwa ia harus bisa mendengarkan kata hatinya sendiri. Di dalam film ini terdapat tiga (3) pelanggaran. Dalam pelanggaran pertama, ditampilkan pelanggaran terhadap SPS pasal 18 (1), di mana hasrat seks terlihat jelas dari sosok banci yang ditemui oleh Rama dan Leon. Ia berkali kali menggoyanggoyangkan dadanya, sembari menjilat-jilat. Begitupula dengan tindakan Rama yang menarik pakaian yang digunakan oleh orang tersebut. Dalam pelanggaran kedua, pelanggaran terhadap SPS pasal 18(1) ditunjukkan dalam pembicaraan antara Rama dengan Leon mengenai gadis-gadis bule yang lewat di depan mereka dengan menggunakan pakaian yang seksi (bikini). Tampilan para gadis bule berpakaian bikini juga merupakan pelanggaran terhadap SPS pasal 27 (3) mengenai menyajikan tayangan yang mengeksploitasi bagian tubuh seperti dada dan paha. Pada pelanggaran ketiga, ditampilkan Siena menggunakan pakaian dengan potongan leher yang rendah sedang mendengarkan curahan hati Luna. Tampilan seperti ini seharusnya tidak perlu ada, sehingga merupakan eksploitasi terhadap bagian tubuh, atau SPS pasal 27 (3). Sementara itu Dalam FTV “Cintaku Nyangkut di Bali” diceritakan tentang Cindy yang baru saja dicampakkan oleh pacarnya, Anton, karena ia mencintai wanita lain. Karena masalah itu, sidang skripsinya jadi kacau berantakan. Telisik Grafik 4: Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun TV berikut: · Visualisasi adegan seksualitas dengan menampilkan pakaian minim, atau ketat yang menonjolkan bagian bagian-bagian tubuh yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual menempati peringkat pertama dengan 20 kali pelanggaran (50%). Demi mengejar Anto, Cindy datang ke Bali, dan berusaha bertemu dan menarik hatinya lagi. Cindy juga menyamar sebagai Shinta, koki di hotel tempatnya menginap. Ternyata di sana ia justru bertemu dengan Roni, anak pemilik hotel, yang awalnya mencintai Lily, kekasih baru Anton. Namun seiring dari kedekatan dan kesamaan nasib, akhirnya Roni dan Cindy saling jatuh cinta. Sementara Lily dan Anton nyaris saja dipecat karena bermesraan di hotel tempat mereka bekerja. Pelanggaran dalam Gala Sinema ini lebih banyak dalam bentuk penggambaran baik secara implisit dan eksplisit berciuman bibir. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap SPS pasal 18 (2) yang ditampilkan berulang. Seperti misalnya, Anto berciuman dengan kekasihnya, sementara Cindy memotretnya dari kejauhan. Selain itu ada adengan Cindy yang menggunakan pakaian seksi terlihat menonjolkan pahanya sedang menerima telpon dari Tia. Demikian juga dengan Tia yang menggunakan celana yang sangat pendek sehingga menunjukkan sebagian pahanya. Adegan ini dapat dikategorikan melanggar pasal 27 SPS mengenai ekploitasi bagian tubuh wanita. Pelanggaran lain dilakukan oleh Indosiar, lewat FTV Anakku Buah Hatiku yang ditayangkan, Minggu 29 Maret 09 pukul 15:00. Film lepas episode ini bercerita tentang kakak beradik, Rayni dan Ryan, umur mereka berjarak cukup jauh, Rayni berusia 19 tahun, sedangkan Ryan berusia 7 tahun. Rayni merasa kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya, sehingga dirinya mencari hiburan di luar rumah, dan menyukai dunia gemerlap (dugem). Rayni berteman dengan Joseph, yang ternyata remaja yang nakal. Rayni diperkosa, hingga akhirnya ia pun hamil di luar nikah. Meski orangtuanya meminta Rayni untuk menggugurkan kandungan, ia tetap bersikeras akan menjaganya. Tayangan ini bersisi adegan paksaan pemerkosaan, dan juga tarian-tarian di intro film, yang menggambarkan wanita sebagai obyek seks, dengan menari di atas meja. Adegan tersebut dapat diindikasi melanggar pasal 20 dan 21 SPS. · Selama Maret 2009 menujukkan pasal 27 masih dominan dilanggar oleh stasiun TV. Pelanggaran yang terjadi pada pasal ini mencapai 20 frekuensi atau sebanyak 50% dari seluruh pasal tentang seksualitas yang terdapat pada Standar Program Siaran KPI. · Trans 7 melakukan pelanggaran paling banyak dengan frekuensi 11 kali atau 27,50%. Tempat kedua ditempati oleh RCTI dan SCTV dengan masing-masing pelanggaran 9 kali atau 22,50% disusul di tempat ketiga Indosiar dengan frekuensi pelanggaran sebanyak 5 kali atau 12,50%. · Infotainment menempati peringkat pertama program yang paling banyak melanggar aturan mengenai tayangan seksualitas KPI. Tayangan yang berisi cerita seputar selebriti ini melanggar ketentuan sebanyak 21 kali atau 52% dari seluruh jenis pelanggaran. Peringkat kedua program yang paling banyak melanggar adalah Program musik dengan jumlah pelanggaran sebanyak 10 kali atau 25%. Peringkat ketiga ditempati program film/FTV dengan pelanggaran sebanyak 9 kali atau 23%. (Afdal Makkuraga Putra) (Sumber) 1 Lihat Bimo Nugroho dan Teguh Imawan, Infotainment, 2005 hal. 33. 2 Ibid. Kesimpulan Hasil pantauan Maret 2009 menghasilkan kesimpulan sebagai MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 21 Opini Bias Selebritas Dalam Panggung Politik di Indonesia oleh. Ilham Prisgunanto* Perhatikanlah fenomena yang terjadi dalam panggung politik di Indonesia saat ini. Terdapat pertarungan antara sosok dan isi pesan dimenangkan oleh sosok. Dengan demikian isi pesan dalam komunikasi tidak dianggap SHQWLQJGLEDQGLQJNDQVRVRNSUR¿O\DQJDGD%XNWL nyatanya adalah begitu spektakulernya suara yang didapat oleh para artis dan selebritas kita dalam Pemilu legislatif pada tahun 2009 kemarin. 22 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Opini B agaimana komunikasi politik di Indonesia? Apakah isinya sudah memberikan kepada arah pendidikan politik yang mapan dan demokratis? Itulah pertanyaan mendasar yang penulis ambil dari sebuah artikel dari buku babon komunikasi politik yang ditulis oleh Bruce I. Newman and Richard M. Perloff tentang Political Marketing: theory, research and application dalam Handbook of Political Communication Research Lynda Lee Kaid (ed.) (London: Lawrence Erlbaum, 2004). Dalam tulisan tersebut jelas bahwa perbedaan mendasar antara komunikasi pemasaran politik dengan produk terletak pada tujuan akhir dari proses pemasarannya. Pada komunikasi pemasaran produk tujuan yang hendak dicapai sesuai hukum ekonomi adalah imbas sesaat perubahan sikap konsumen, semakin cepat dan melakukan tindakan beli adalah baik dan efektif. Berbeda dengan itu, komunikasi pemasaran politik lebih menekankan pada pengarahan dukungan publik dengan mengutamakan unsur pendidikan politik yang dewasa, bijaksana, demokratis dan sehat. Bila tujuan yang dimaksud tidak tercapai berarti komunikasi pemasaran politik bangsa Indonesia belum sesuai dengan esensi yang sesungguhnya. Bila mengamati gaya komunikasi pemasaran politik Parpol, Capres dan Caleg di Indonesia begitu jauh dari harapan dari buku tersebut. Semua menganggap, bahwa citra maya dan sementara (pseudeo) itu penting dan pemberi suara (voter) adalah pihak awam dalam memilih sehingga tidak perlu diberikan pendidikan politik yang demokratis. Situasi sedemikian menyebabkan Parpol, Caleg, Capres dan Cawapres terjebak dalam bayang- bayang layaknya komunikasi pemasaran produk yang dikenal dengan pengaruh bias-bias selebritis yang dimasukkan (endorse) dalam sebuah produk. Mereka-mereka itu lebih mengutamakan sosok daripada pesan yang ada, dan ini sudah penulis prediksikan jauh setelah Indonesia mengadakan Pemilu langsung terdahulu (Prisgunanto, 2009:22). Tak heran bila akhirnya Parpol, Caleg, Capres dan Cawapres tak ada bedanya dengan selebritis yang lebih dipamerkan, seperti layaknya patung yang diberi riasan wajah, stelan baju bermerek, aksesoris dan tidak lupa senyuman yang semuanya adalah palsu. Dengan demikian jelas, bila mereka (Parpol, Caleg, Capres dan Cawapres) itu dipertandingkan dengan selebritis maka penulis dapat prediksikan pasti mereka kalah karena kurang pengalaman dan bisa bermain panggung. Oleh sebab itu, kehadiran Dedi Mizwar untuk maju menjadi Presiden dan Dhani Ahmad menjadi Wakil Presiden merupakan lawan yang terberat dan bukan main-main bagi mereka. Dedi Mizwar dengan cap ‘Nagabonar’-nya bisa menyaingi para mantan para Jenderal yang akan naik dan Dhani Ahmad dengan kemampuan diplomasi mengiring pers saat perang urat syaraf dengan istrinya Maia Estianti pasti akan disamakan dengan presiden SBY dan Jusuf Kala ketika menghadapi kenaikan BBM dunia. Buktinya, sebutlah sejumlah nama selebritis yang mampu memenangkan Pilkada beberapa waktu lalu, seperti DedeYusuf dan Rano Karno yang jalan melenggang ke Pemerintahan karena unggul dalam dominasi bias selebritas. Para selebritis ini bisa memikat pemberi suara (voter) dan meminta dukungannya untuk mempercayai dan memberikan suaranya. Tanpa ragu lagi voter yang sudah larut dalam bias selebritas langsung memilih. Rano Karno “Si Doel Anak Sekolahan” dan Dede Yusuf “si Jojo dalam Jendela Rumah Kita”. Dramaturgi Panggung Politik Konsepsi teoritik dramaturgi dari pemikiran Erving Goffman dan Kenneth Burke memberikan pandangan nyata bahwa dunia ini seperti panggung sandiwara, dimana setiap orang memiliki lakon dan alur cerita yang jelas (Goffman and Burke dalam Mulyana, 2007). Manusia berupaya memahami identitas diri dengan memposisikan lakon mereka dalam kehidupan yang dianggap sebagai panggung. Goffman sendiri membagi dramaturgis menjadi panggung depan (front stage) dan belakang (back stage). Pembagian domain ini memberi pemahaman terhadap perbedaan peran dan konsep diri manusia. Pada panggung depan (front stage) manusia akan diisi dengan lakon-lakon yang penuh kepalsuan, kebohongan atas tuntutan skenario. Olah vokal dan mimik wajah diatur sedemikian rupa agar pesan yang disisipkan bisa dimengerti dan dipahami penonton. Panggung juga dimanipulir demi kepentingan pengarahan emosi penonton. Panggung depan (front stage) begitu membius dan mampu membawa orang kepada fantasi-fantasi dan khayalan yang mereka miliki. Pesan-pesan moral yang disisipkan dalam setiap episode akan begitu mudah diingat, dicerna dan ditelan bulat-bulat meski belum tentu benar. Bayangkan rakyat yang seharihari sudah hidup menderita, sulit, miskin dan terhimpit tentu saja secara naluriah ingin keluar dari alam itu. Sejak membuka mata mereka sudah ditimpa himpitan hidup yang sangat berat. Ketika mereka melarikan diri dengan MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 23 Opini menonton sinetron, film dan drama teater seolah-olah mereka menjadi lakon dalam kisah tersebut, larut dalam suasana hati dan bisa melupakan himpitan hidup. Tokoh idola dan antagonis begitu dekat dengan mereka, selebitis dianggap sebagai pahlawan yang bisa melawan kesulitan hidup meski sesaat. Panggung belakang (back stage) berisi tentang kondisi sesungguhnya dari pelakon dalam kehidupan sehari-hari bukan dalam kehidupan glamour artis. Lakonnya tidak dimanipulir dan mengada-ada, semua berjalan seperti apa adanya dalam kehidupan rutin sehari-hari. Mulyana melengkapi konsepsi Goffman dengan panggung tengah (middle stage) yang menjelaskan hubungan antar tokoh dan pelakon dalam ikatan emosional kuat atas dasar kesamaan senasib dan profesi (Ibid, 2007). Kenyataannya panggung politik di Indonesia saat ini begitu menjemukan dan tidak mengakomodir fantasi dan khayalan voter. Ibarat gerbong keretanya berbeda, tetapi penumpang dan awaknya sama pemain terdahulu yang berusaha mencari kesempatan baru dalam pelanggengan kekuasaan. Semua yang dilakoni mereka jauh dari yang diinginkan dan dianggap tidak mengikuti keinginan penonton (rakyat). Mereka menari dan berlakon sendiri bukan atas genderang dan tarikan musik yang diinginkan penonton. Tarian dan lakon mereka semu dan penuh dengan kepalsuan yang hanya membela atas nama kepentingan kelompok saja. Lakon-lakon yang dimainkan monoton, mudah ditebak dan membosankan serta hanya itu-itu saja. Berbeda dengan para selebritis yang begitu jujur, polos dan apa adanya semua tentang dirinya. Dalam pemberitaan infotainment mereka menangis, tertawa dan terkejut sesungguhnya tidak berpura-pura tidak seperti berita politik. Bila mereka bekerja menjadi pemeran dalam sinetron, film dan drama teater terlihat begitu menjalani sesuai skenario yang ada, tidak seperti panggung politik yang tidak jelas dan terlalu kompleks. Selebritis bisa menyenangkan dan membuai hati rakyat yang sedang kesulitan. Sikap selebritis yang menasihati, setia kawan, tidak munafik dan terbuka. Berbeda dengan pelaku politik yang selalu berubah-ubah, tidak bisa memberikan keteladanan, suka selingkuh, munafik, korup dan mudah mengorbankan teman politik. Bukti nyata perhatikan kasus pecahnya koalisi antara Susilo Bambang Yudhoyono (disingkat SBY) dengan Jusuf Kalla (disingkat JK). Media massa serentak menampilkan kasus ini secara besarbesaran dengan mendramatisasi dengan balutan kepentingan ideologi tersendiri. Kebohongan dan kepalsuan ditampilkan dengan sembrono oleh pers dalam upaya mencemoohkan dan memojokkan perilaku politik. Pecahnya hubungan harmonis SBY dan JK yang kemudian dilanjutkan dengan munculnya koalisi-koalisi yang dianggap sempalan dan menyesatkan. Munculnya calon-calon presiden lain ini dipandang negatif dan makin mengerogoti citra negatif dari para pelaku politik di Indonesia. Kepalsuan yang dibalut oleh sikap dualisme kepentingan dalam pemahaman tidak ada teman sejati menjadi begitu mengakar kepada para politisi di Indonesia. Saling tuduh, sikut dan jatuhkan adalah biasa dan terjadi dalam dunia kotor politik. Berbeda dengan para selebritis yang selalu berupaya 24 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 menutupi dan menyelimuti keburukan teman sesama. Selebritis dianggap sebagai kelompok tertentu yang solid dan menyatu, tidak terpecahkan. Banyaknya infotainment membawa orang kepada pembenaran bahwa selebritis adalah kelompok eksklusif yang berbeda dalam masyarakat biasa. Mereka lebih mumpuni dan memiliki jiwa yang unggul daripada orang kebanyakan. Tak heran bila saat ini kedudukan dan panggung selebritis lebih berkilau dan dielu-elukan oleh rakyat daripada panggung politik, karena memang menampilkan sosok yang sesungguhnya. Selebritis yang memaki akan meminta maaf, selebritis yang mau bercerai, putus cinta dan menikah akan membuat konferensi pers untuk memberitahukan khalayak, selebritis yang berhasil dan gagal juga akan cerita. Jadi jangan ragukan Caleg, Capres dan Cawapres dari kalangan selebritis, karena dari mereka bisa jadi kebangkrutan kepercayaan politik rakyat saat ini dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, mulai sekarang hentikanlah semua pesan politik yang tidak mendidik dan membohongi rakyat. Buailah mereka dengan apa yang inginkan. Berusaha mendengarkan apa yang mereka inginkan adalah sesuatu yang bijak. Bukan arogansi diri dalam upaya mengklaim kebenaran atas konsepsi pribadi. *Penulis Buku Komunikasi dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD. Bibliografi Jaeni (2007). Komunikasi Seni Pertunjukkan: membaca teater rakyat Indonesia (Sandiwara Cirebon). Bandung: Etnoteater Publishing. Kaid, Lynda Lee (ed.). (2004). Opini Handbook of Political Communication Research. London: Lawrence Erlbaum kasi Politik dan Alienasi Penduduk Asli,” Sinar Harapan, 12 September 2006. Littlejohn, Steven (1999). Human communication theories. Belmont: Wadworth. Prisgunanto, Ilham (2009). Komunikasi & Polisi: Dilengkapi dengan kasus-kasus mutakhir. Jakarta: Prisani Cendekia. Prisgunanto, Ilham (2006). Komunikasi Pemasaran: Strategi dan Taktik. Jakarta: Ghalia Indonesia Prisgunanto, Ilham(2005). Praktik ilmu komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Jakarta: Teraju: Mizan, 2006. Prisgunanto, Ilham, “Komuni- Putnam, Linda L and Michael Pacanowsky (eds.) (1983). Communication and organizations: an interpretive approach. London:Sage Robert F. Bales (1979), Interactional Process Analysis: a method for the study of small Groups (reading, MA: AddisonWesley, 1950); Personality and interpersonal behavior (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1970); Robert F. Bales, Stephen P. Cohen, and Stephen A. Williamson, SYMLOG: a system for the Multiple Level Observation of Group (London: Collier). Samovar, Larry. A and Richard E. Porter (2004). Communication between culture. Belmont: Wadworth. MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /73/2009 25 Profil W A W A N C A R A Ichlasul Amal Ikhlasul Amal: “Pers Harus Kembali Mentaati Kode Etik Pers” D i tengah skeptisme dan kekecewaan masyarakat yang menilai pers nasional gagal memerankan fungsinya yang ideal, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal tetap berprasangka baik. Doktor ilmu politik UGM yang telah memasuki usia pensiun ini, tetap yakin jikalau media di Indonesia dapat berperan strategis dalam proses demokratisasi di Indonesia. 26 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Profil Di tengah skeptisme dan kekecewaan masyarakat yang menilai pers nasional gagal memerankan fungsinya yang ideal, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal tetap berprasangka baik. Doktor ilmu politik UGM yang telah memasuki usia pensiun ini, tetap yakin bahwa media di Indonesia dapat berperan strategis dalam proses demokratisasi di Indonesia. Keterbukaan yang saat ini dinikmati rakyat Indonesia adalah buah dari perjuangan pers yang telah memperjuangkan demokratisasi pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto. Bagi Ichlasul yang telah akrab dengan dunia pergerakan sejak mahasiswa (Angkatan ’66), perslah yang memelopori demokratisasi di Indonesia, bukannya demokrasi yang mendorong terjadinya kemerdekaan pers. Optimisme mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (19982002) yang ikut turun demonstrasi bersama mahasiswa memperjuangkan reformasi pada 1998 tersebut bisa jadi tetap diperlukan untuk tetap menggairahkan semangat para pekerja media yang resah untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai ideal. Pada acara: ‘Refleksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers’ di Jakarta Media Center awal Mei 2009 misalnya, memunculkan hiruk pikuk otokritik, kekesalan dan kekecewaan para praktisi pers nasional. Anggota Dewan Pers Leo Batubara menilai betapa media cetak dan elektronik masih kerap melanggar kode etik jurnalistik dan gagal memerankan fungsi pers yang ideal. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia S Djuarsa Senjadja menekankan komodifikasi isi media TV nasional yang lebih banyak berisi adukan materi popularitas, konflik, sensasi dan seks. Tidak heran acara ‘infotainment’, ‘reality show’ maupun ‘talk show’ syarat dengan muatan yang mengekploitasi selera rendah tersebut. “Dikaitkan dengan kaidah jurnalistik, tayangan-tayangan termasuk katagori ‘yellow journalism’ (koran kuning yang mengumbar materi kekerasan dan seksualitas, red),” katanya. Berikut wawancara singkat “Media Watch” dengan Ichlasul di sela-sela diskusi hangat para insan pers yang terus berusaha menyuarakan kemerdekaan pers sekaligus menyadari tantangan pers semakin berat di masa depan. Kasus penahanan Ketua KPK Antasari Azhar kembali menyadarkan kita bahwa antara pers atau media dan ‘kekuasaan’ masih terlibat hubungan kolusi tidak sehat. Mengapa ini masih terjadi? Saya tertarik dengan komentar banyak orang, dengan adanya kasus Antasari Azhar, yang paling senang itu media. Banyak berita menyoroti kasus ini. Dan media itu jadi laku keras. Orang pasti membaca itu. Bagaimanaun juga media kan bisnis, tidak bisa lepas dari itu. Kita yang tinggal di Yogja, pernah mengamati tiras Jawa Pos naik pada waktu Perang Irak. Memang, ada peristiwa-peristiwa tertentu yang diharapkan dapat diperoleh dari media. Kalau kita mengharapkan media, betul betul suci, tidak mau mengeksploitasi kejadian itu, kita yang salah... Bagaimana dengan fenomena hubungan khusus antara pemilik media dengan kekuasaan? Bukankah ini akan mempengaruhi independensi dan obyekivitas media karena menjadi alat kekuasaan? Saya kira, sebagai gejala umum, itu ada dimana-mana. Masalahnya bukan kekuasaan secara langung mempergunakan media. Tetapi, yang jelas, media sangat lapar sekali pada informasi yang salah satunya datang dari kekuasaan. Seringkali kekuasaan itu melempar informasi yang dalam tanda petik sudah dimanipulasi. Itu bisa lewat media dan gampang sekali terjadi karena media sangat sensitif sekali pada berita semacam itu. Selaku Ketua Dewan Pers ada saran bagaimana seharusnya media mensikapi kecenderungan ini? Ya hati-hatilah. Nanti medianya juga tidak laku. Masyarakat akan tahu.... Lalu, bagaimana kekuasaan seharusnya memperlakukan media? Jangan bilang hanya pada kekuasaan. Memang, pada negara yang sedang berkembang, sumber informasi itu paling banyak datang dari kekuasaan. Tetapi, di negaranegara yang sudah maju, sumber informasi juga datang dari swastaswasta yang memiliki kekuatan ekonomi. Itu bisa saja dipakai. Kalau kita lihat, dulu kasus ‘Watergate’, itu kan bukan dari kekuasaan tetapi dari sektor swasta. Di negara-negara maju, itu tidak terkait dengan “kekuasaan” tetapi bahwasanya informasi itu bisa saja dari lembaga-lembaga yang lain, itulah fungsi pers yang harus tetap mencari informasi itu. Apa perlu dibuat semacam aturan tertentu? Itu bisa saja ya tetapi itu tidak bisa dibuat suatu rumusan atau aturan. Yang jelas, dalam kode etik tidak boleh membuat berita bohong, tidak boleh membuat berita yang belum diverifikasi. Itu mesti begitu. Pers harus kembali mentaati Kode Etik Pers. Bisa saja dibuat aturan. Namun, kalau aturan MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /73/2009 27 Profil itu tidak berlaku dan tidak dapat dijalankan, bagaimana? Itu kan sama saja. Sekarang kita bisa menyarankan supaya kode etik tetap menjadi pegangan dari para wartawan. Jangan samapai terlanjur terlibat dalam hal-hal kolusi seperti itu. Kalau alat kekuasaan itu memberikan informasi yang benar dan tidak direkayasa, itu tidak apaapa karena masyarakat butuh tentang informasi itu. Tetapi, informasi dari kekuasaan, biasanya sudah dimanipulasi. Karena itu, saya dengar ada cerita di belakang ini macam-macam. Ada kaitannya dengan Pemilu dan sebagainya, apa itu betul? Saya sendiri tidak tahu.... Ini sedikit lain ya, saya melihat kasus Antasari, media terlalu besar memberitakannya. Saya lihat di TV itu disiarkan berulang-ulang. Berita itu sebetulnya sudah lama tetapi terus diputar. Itu sudah over expose. Paling memprihatinkan sebetulnya berita TV. Kalau di surat kabar memuat materi yang sama dua kali kan tidak mungkin. Kalau di TV bisa berkali-kali. Itu terlalu over expose. *** Selama dua periode kepengurusannya dari 2003 sampai Sekarang, Amal menegaskan, Dewan Pers berupaya untuk terus meningkatkan profesionalisme pers Indonesia. Jika pers sudah profesional, ia mengangankan makin lama semakin sedikit pengaduan dari masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan pers. Dewan Pers, ujarnya, nanti hanya menerima tembusan bahwa sengketa antara pers dan masyarakat sudah terselesaikan lewat mekanisme pers yang baik. Amal gembira angka pengaduan masyarakat yang masuk ke Dewan Pers selama 2003-2007 semakin menurun. Itu menunjuk- kan kinerja pers semakin positifnya dalam merespons keluhan yang diajukan pembaca. “Nyatanya, sekarang Dewan Pers lebih banyak menerima tembusan. Inilah yang sejak awal kami inginkan. Hak jawab disampaikan langsung ke media bersangkutan,” ujar Guru Besar FISIP yang masih aktif mengajar ini. Berkaitan dengan berita Pemilu 2009, Anda kesan khusus? Kualitas pemberitaan media dalam Pemilu 2009, saya kira cukup imbang. Yang banyak dikeluarkan adalah hasil quick count. Itu yang sangat memengaruhi sikap masyarakat. Pada dasarnya, pemberitaan cukup imbang, apalagi di surat kabar cetak, itu sangat menonjol. Memang, ada sedikit harapan yang meleset. Harapannya, dengan Pemilu 2009, media di daerahdaerah akan banyak iklan. Tetapi, kenyataannya tidak. Di Yogja, tidak ada caleg atau partai yang iklan di pers. Ada iklan tetapi kecil-kecil kayak iklan mobil. Tidak ada yang besar. Tidak ada iklan yang berlangsung selama satu bulan terus menerus.... Bagaimana Anda menilai peran media dalam memunculkan tokoh-tokoh baru yang diperkirakan muncul pada Pemilu 2009 dalam kepemimpinan Indonesia? Saya kira, persoalan munculnya pemimpin bukan hanya dari media.... Lain ya kalau dibandingkan kemunculan Barack Obama di amerika Serikat. Memang, ada yang sependapat seperti itu, misalnya Rizal Malarangeng. Dia tadinya percaya dapat menjadi pemimpin hanya lewat iklan. Tetapi, akhirnya dia sadar juga, untuk menjadi pemimpin di Indonesia tidak hanya melalui iklan.... Karena itu, dia 28 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 akhirnya berhenti juga beriklan. Bukannya tugas media untuk mencari tokoh-tokoh besar yang belum muncul di masyarakat tapi sudah berbuat banyak untuk lingkungannya? Iya, itu idealnya namun itu susah. Masalahnya, media seringkali lebih suka menginterview politisi atau orang-orang yang sudah jadi. Kalau orang itu belum menonjol dan diintervew, lalu siapa yang akan baca media mereka? Harusnya media memunculkan pemimpin yang terpendam, yang sudah berprestasi di lapangan. Namun, kalau tidak ada bagaimana. Contohnya, Drajat Wibowo, itu sosok yang kompeten. Tetapi, dia kan kalah sama Mandra..... Masyarakat mungkin lebih suka baca soal Mandra. Jadi, ini juga karena ada faktor masyarakatnya. Ini karena kultur. Rizal Ramli itu memiliki ide-ide bagus tetapi popularitasnya ternyata tidak naiknaik. Media juga memiliki pertimbangan bisnis. Media akan berpikir ulang kalau sosok semacam ini dinaikkan tetapi surat kabarnya tidak laku, bagaimana? Sekarang kondisinya seperti itu. Sudah seperti lingkaran setan. Orangnya yang ada dulu, lalu di- Profil blow up atau mem-blow up orang yang berpotensi jadi pemimpin. Yang jelas, media umumnya tidak mau menghabiskan waktu terlalu lama. Media juga tidak mau memblow up orang yang potensial. *** Pria berdarah Jawa Pendalungan ini ini lahir di Jember 1 Agustus 1942. Ia menjadi rektor setelah mendapat nilai tertinggi dalam pemilihan rektor oleh Senat Universitas. Bersamaan deengan pelantikannya, mahasiswa bergolak dan berdemonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun. Mantan Ketua Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jogja 19671968, ini memilih berseberangan dengan Soeharto dan memilih bersama mahasiswa yang tengah menyuarakan reformasi. Ichlasul tak sekadar turut turun meramaikan unjuk rasa mahasiswa, tetapi juga memfasilitasinya dengan menyediakan panggung lengkap dengan pengeras suara. Ia juga menjamin kepada para mahasiswa bahwa selama unjuk rasa berada di dalam kampus, aparat tidak bisa menangkap mereka. Pendapatpendapat Ichlasul tentang politik nasional sering dikutip pers sampai sekarang. Selain sebagai rektor, berbagai jabatan akademis pernah didudukinya, di antaranya, Dekan Fisipol UGM (1988-1994) dan Direktur Program Pascasarjana UGM (1994-1998). Apa aktivitas Bapak setelah memasuki masa pensiun? Saya masih banyak sekali mengajar. Saya pensiun baru tahun kemarin. Umur saya sekarang masih 66 tahun, hampir mendekati 67.... Apa pertimbangan Bapak tidak mau menerima jabatan Menteri yang ditawarkan Presiden Soeharto maupun Presiden Habibie? Dahulu, waktu ada tawaran Pak Habibie, itu jelas. Itu tanggungjawab saya untuk mahasiswa sehingga saya dihalang-halangi oleh mahasiswa pergi ke Jakarta. Saya mengerti juga, bagaimana pun kalau saya yang mencentuskan reformasi di sana (Yogja, red), lalu saya tinggal, tentu ada yang mempertanyakaannya bahwa saya melakukan upaya gerakan reformasi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Setelah satu dekade lebih, bagaimana evaluasi Anda tentang perkembangan reformasi di Indonesia? Sudah puas? Masalahnya bukan puas atau tidak puas tetapi ujung masalah reformasi adalah adanya transparansi dan menghilangkan KKN. Itu paling utama. Sekarang sudah menuju ke sana. Walaupun masih ada ketidakpuasan dimana-mana, misalnya kenapa partai masih seperti ini... dan sebagaiya. Itu mungkin satu proses yang mungkin memerlukan waktu panjang, Itu tidak bisa instan. Kita dulu juga tidak meramalkan perjalanan reformasi bisa sejauh ini. Semangatnya waktu itu adalah menuntut transparansi dan menghilangkan represi dari kekuasaan. Apa yang masih ingin Anda capai? Umur saya sudah hampir 67 tahun. Saya bergulir saja lah.....Saya mulai dari dulu bergulir saja. Saya tidak punya cita-cita ingin jadi apa.... Ikuti arah saja. Tiba-tiba, saya ditawari jawbatan tertentu, ya saya terima. Saya tetap masih mengajar. Subjeknya macam-macam. Ada politik. Ada masalah desentralisasi. Saya merasa kalau tidak mengajar, saya bisa cepet tua..... (Teguh Apriliyanto) *** Data Pribadi Ichlasul Amal Lahir : Jember, Jawa Timur, 1 Agustus 1942 Agama : Islam Ayah : H. Achmad Ibu : Siti Fatma Istri : Ery Hariati Anak : Amelin Herani dan Akmal Herawan Pendidikan : SR, Jember (1955), SMP Jember (1958), SMA Jember (1961), Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (S 1, 1967), Ilmu Politik Northern Illinois University, Illinois, Amerika Serikat (MA, 1974), dan Ilmu Politik di Monash University, Melbourne, Australia (Ph.D., 1984) · Dekan Fisipol Universitas Gajah Mada (1988-1994) · Direktur Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (19941998) · Rektor Universitas Gajah Mada (1998-2002) Buku : · Indonesian Foreign: Its Continuity and Change, Fisipol UGM, Yogyakarta (1975) · Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta (1986) · Metodologi Ilmu Politik, PAU Studi Sosial UGM, Yogyakarta (1987) · Regional and Central Government in Indonesian Politics (1949-1979), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1992) · Hubungan Pusat Daerah dalam Pembangunan (bersama Macandrews), Rajawali Press, Jakarta (1993). MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 29 Profil Wawancara Sumita Tobing, Phd (Pakar Media,Mantan Dirut TVRI 2001-03) Televisi kita: Tidak ada SDM yang all out 1. “Kita tidak memiliki SDM (man power) yang benar-benar all out membidangi industri pertelevisian. Budaya kita masih budaya hit and run. Suka lompat sana-lompat sini dan lari sana lari sini mencari ’keuntungan’ sesaat saja.” 2. “Saya tanya Anda, mana ada program televisi nasional kita yang membekas di hati Anda. T. Pengamatan Anda tentang kualitas dan kinerja pekerja media saat ini? K ita tidak memiliki SDM (man power) yang benarbenar all out mem-bidangi industri per-televisian. Budaya kita masih budaya hit and run. Suka lompat sana-lompat sini dan lari sana lari sini mencari ’keuntungan’ sesaat saja. Dan meninggalkan apa yang sebenarnya belum dikerjakan optimal. Namun ada juga yang sukses dengan cara seperti ini dengan belajar sendiri. Mungkin ada baiknya saya ceritakan pengalaman saya. Saya sebenarnya mengambil studi hukum, namun tahun 1970 ada penerimaan tenaga untuk TVRI Medan maka saya melamar dan diterima. Saya masih menjadi wartawan WASPADA saat itu. Saya belajar autodidak. Apalagi ada pelatihan gratis selama 7 bulan yang diberikan Friederich Eber Stiftung. Saya benar-benar beruntung bisa belajar sendiri untuk terjun dalam industri pertelevisian. Setelah saya menyelesaikan program Master di Amerika tahun 1981, saya kembali dan membuat program siaran bahasa Inggris di TVRI. Lalu tahun 1987 saya mendapat beasiswa dari Deppen untuk mengambil program Doktor di Amerika lagi. Setelah sempat membesarkan SCTV, saya diangkat menjadi Direktur TVRI tahun 20012003. Jadi sekilas Anda bisa melihat bahwa man power kita masih hit and run, dan bagi yang serius menekuninya dengan belajar sendiri seperti saya, hal itu bisa Anda nilai sendiri. Namun sejujurnya kita belum memiliki institusi yang sungguh memperhatikan man power ’sejati ’bagi industri pertelevisian. T. Anda tadi mensinyalir bahwa industri pertelevisian kita masih ’jauh’ dari aspek edukatifjurnalistiknya namun lebih 30 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 dominan aspek bisnis dan hiburan yang dangkal . J.Saya sepakat dengan Anda. Saya masih tetap berpendapat bahwa meskipun berpuluh-puluh stasiun televisi lahir di negeri ini, belum ada yang menjalankan fungsi edukatif dan jurnalistik secara benar. Semua televisi menawarkan program yang sama. Kenapa? Mereka suka meniru-niru acara yang mungkin dalam kalkulasi bisnisnya mendatangkan iklan. Padahal mereka lupa, bahwa kue iklan tetap segitu-segitu saja dan stasiun televisi terus bertambah.Saya tanya Anda, mana ada program televisi nasional kita yang membekas di hati Anda. Sinetron yang hampir sama muncul di stasiun berbeda. Dan itu tidak akan melekat dalam memori pemirsa. Akan muncul programprogram tiruan baru. Kita tidak bisa tampil beda. Mestinya kita belajar dari program televisi Amerika yang selalu ada aspek mencerdaskan pemirsanya, bukan ’membuai’ pemirsanya untuk berkhayal seperti di beberapa sinetron kita. Mana ada peran pembantu yang tampil jelek Sumita Tobing, di sinetron kita. Tidak adaPhd yang Profil alamiah. Terlalu banyak artifisialnya. Dan, itu tidak akan bertahan lama dalam ingatan pemirsa. Anda belum tahu bagaimana saya mengusung program Liputan 6 SCTV . Saya melihat langsung bagaimana hasil naskah liputan dan foto liputan. Semuanya harus alamiah, komplit dan tidak asal jadi serta tampil beda. Begitulah acara ini bertahan sampai sekarang, walupun sudah banyak perubahan. Dari sisi jurnalistiknya pun demikian. Saya yang langsung membimbing bagaimana mereka mewawancarai narasumber dan pertanyaan yang cepat,tepat dan enak didengar pemirsa. Anda pasti pernah dengar Ira Koesno ,Arif Suditomo, dan masih banyak lain lagi. Saya berupaya menampilkan acara yang berfungsi edukatif bagi pemirsa dengan sajian jurnalistik yang berkualitas dan natural. Itu saja. T, Kebebasan pers, mulai dari Pak Harto sampai SBY ternyata memang semakin berkembang .Apa komentar Anda? J.Pertanyaan ini patut dicermati agak serius. Kenapa, orang tidak sadar bahwa Bung Karno memerintah 23 tahun, lalu pak Harto 32 tahun. Khusus Pak Harto yang ingin saya komentari. Yang turun hanyalah pak Harto namun orang-orang didikan pak Harto masih berseliweran dimana-mana. Juga masuk di industri pertelevisian saat ini. Sama halnya terjadi tahun 1976 dimana pak Harto membeli satelit agar TVRI bisa menjadi political control-nya maka sama halnya dengan peran televisi saat ini yang jauh dari fungsi edukasi, mencerdaskan bangsanya. Kebebasan pers lebih disambut hangat oleh budaya hit and run para elite, jugta para pekerja industri televisi. Mereka terkena musibah culture schock, gegar budaya. Mestinya semakin banyak televisi maka semakin cepat kita mencerdaskan bangsa dan mensejahterahkan rakyat. Yang terjadi justeru jauh dari harapan. Televisi terkontaminasi oleh invasi bisnis yang tidak sehat. Mestinya program acara yag berkarakter lokal kebangsaan,. Saat ini malahan meniru-niru agar cepat mendapat kue iklan. Kebebasan pers kedengarannya bagus. Namun sayang tidak dimanfaatkan dengan bagi masyarakat. T. Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI), apa cuma simbol saja atau sudah banyak berkontribusi? J. Saya pikir ada kerancuan fungsi antara KPI dan Depkominfo. Salah satu contoh adalah memberi ijin frekuensi. Sempat terjadi kesimpangsiuran, apakan Depkominfo atau KPI yang memberikan ijin frekuensi. Meskipun akhirnya disepakati bahwa Depkominfo memberi ijin atas rekomendasi KPI. Jika terjadi seperti ini, siapa yang memantau isinya? Ini sepert ada kerancuan. Kalau di Amerika cuma satu lembaga yang memberi ijin sekaligus memantau, yaitu FCC. T.Apa fungsi edukatif (mencerdaskan bangsa) dari tumbuh suburnya stasiun-stasiun baru televisi di Indonesia?. Berbicara tentang industri pertelevisian di Indonesia, saya perlu mulai dari latar belakang didirikannya TVRI tahun 1961 oleh Bung Karno. TVRI didirikan hanya karena Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games. Sesuatu yang sungguh di luar dugaan dan spektakuler. Padahal, mendirikan televisi itu tidak gampang. Karena, saya perpendapat bahwa industri pertelevisian adalah industri berteknologi tinggi dalam berkomunikasi bagi kultur yang juga sudah maju seperti di Amerika dan Eropa. Anda bisa bayangkan, apakah rakyat Indonesia tahun 60an sudah siap menyambut televisi? Saya kira tidak. Masyarakat kita masih menikmati kultur agrarisnya alias mental petani. Ini benar-benar proyek dadakan yang dibangun Bung Karno menyambut Asian Games 1961. Saya selalu berpendapat bahwa dunia pertelevisian mesti mengemban tugas mencerdaskan bangsa agar segera mensejahterakn rakyatnya. Bukan industri ‘gagahgahan atau ikut-ikutan”. Jadi, dampak lahirnya TVRI pada awal mulanya hanya untuk menyiarkan perhelatan akbar Asian Games. Bung Karno memang suka yang spektakuler dan itu pun terjadi. Yang jelas, di era Bung Karno, TVRI tidak mengemban fungsi edukatifnya. ini sekedar proyek kebanggaan nasional agar tidak kalah bersaing dengan negaranegara lain. Selanjutnya di Era Pak Harto, sangat jelas kelihatan bahwa TVRI menjadi corongnya pemerintah saja. Mulai dari ambisi besar pak Harto membeli satelit tahun 1976 yang bisa me-relay TVRI dari pusat ke daerah. Ini benar-benar mematikan fungsi TV lokal yang mestinya mandiri. Namun sejak adanya satelit itu, TVRI lokal seakan-akan mati. Semua diatur dari pusat. Saya sudah bergabung dengan TVRI Medan tahun 1970, jadi saya bisa merasakan itu. Ini seperti political control dari Pak Harto. Jadi, fungsi edukatif TVRI yang Anda tanyakan, jauh dari yang diharapkan. Bayangkan saja, Indonesia adalah negara keempat setelah Amerika Serikat, Canada, Jepang yang menerapkan sistem relay via Satelit. Selain sebagai political control-nya pak Harto, TVRI adalah satu-satunya televisi penyuplai Bersambung ke halaman :35 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 31 Ensiklopedi Komunikasi Organisasi Aplikasi Komunikasi Organisasi Komunikasi Organisasi (organizational communication) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang paling dinamis, karena kerap mengalami perubahan sesuai perubahan dan kebutuhan zaman. 32 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 Ensiklopedi P ada akhirnya banyak orang berpendapat komunikasi organisasi memiliki kemampuan dalam management of change dalam sebuah institusi. Komunikasi Organisasi merupakan komunikasi yang paling banyak dipergunakan dalam organisasi, terutama korporasi untuk menjalankan kehidupannya sehingga dapat mencapai cita-cita yang disebut sebagai visi jangka panjang (long-term vision) dan pendek (short-term vision) dan berakhir pada terselesaikannya konflikkonflik internal dan eksternal dalam koridor “win-win solotion”. Kemajuan yang dilakukan dunia manufaktur dan konglomerasi yang termasuk perusahaanperusahaan transnasional versi “Fortune 500”, Toyota Corporation, Microsoft Corporation, Citi-bank, General Electric, General Motor dan Hyundai diakui karena komunikasi organisasinya berjalan dengan baik. Masyarakat industri Jepang menyebutkan komunikasi organisasi dibutuhkan untuk menciptakan konsep “Wa” (harmonisasi) dalam organisasi. Jeffrey K. Liker penulis buku “The Toyota Way” menyebutkan dasar utama dari keberhasilan Toyota adalah kultur yang diterapkan melalui aplikasi komunikasi organisasi perusahaan. Kultur merasuk ke dalam komunikasi organisasi memerlukan daya upaya dan waktu yang tidak sedikit. Memang terkadang komunikasi organisasi dianggap sepele, namun akan mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas tinggi dengan cacat produksi yang lebih sedikit. Prinsip utama “The Toyota Way” adalah memberikan pelayanan prima (customer satisfaction) melalui produksi mobil berbiaya produksi rendah. Demikianlah praktik mudah penerapan komunikasi organisasi perusahaan yang jelas terlihat dalam industri besar. Praktik efisiensi konsisten yang diterapkan Toyota di seluruh pabrik yang tersebar di berbagai penjuru dunia menunjukkan keberhasilan dari komunikasi organisasi yang ada. Toyota menjadikan kualitas, pengembangan produk dan komitmen kepada pelanggan sebagai hal utama yang perlu diperhatikan. Hasilnya adalah kisah sukses yang luar biasa dan menjadikan perusahaan ini sebagai otomotif nomor satu di dunia. Hakikat Organisasi Komunikasi James R. Taylor dalam “Rethinking the theory of Organizational Communication, How to read an Organization Series: Communication and Information Science”, menjelaskan komununikasi organisasi (organizational communication) merupakan faktor penentu suksesnya suatu organisasi yang bertujuan menjadi sistem demi menyamakan gerak, membentuk harmonisasi organ-organ, penyelarasan berbagai konflik internal, pencitraan, pencapaian tujuan, bahkan pengembangan organisasi. Masyarakat merupakan organisasi, kita lahir di organisasi, belajar di organisasi dan banyak menghabiskan waktu hidup kita untuk bekerja di organisasi (Littlejohn, 2002). Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan dalam organisasi sekitar 75%-95%. Dari kegiatan tersebut dapat dirinci 5% untuk menulis, 10% baca, 35% bicara dan 50% mendengar. Komunikasi organisasi dilakukan sebanyak 44% untuk komunikasi rutin; 26% untuk pengembangan SDM (sumber daya manusia) seperti penilaian karya- wan, konseling, pelatihan, seleksi, promosi karyawan, dan lain-lain. Sedangkan 19% untuk keperluan traditional management seperti pengawasan, memberi instruksi, melapor, dan lain-lain. Ditambah lagi 11% untuk jaringan (networking) seperti; koordinasi antar bagian lain, mencari informasi pesaing, dan lain-lain. Organisasi sendiri diartikan sebagai sebuah kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). Jumlah anggota organisasi bervariasi mulai dari satu organisasi ke organisasi lain, tiga atau empat orang dalam bekerja, bahkan sampai seribu karyawan yang tersebar di seluruh dunia. Artinya komunikasi organisasi diartikan dengan sebuah struktur besar dalam suatu sistem. Di era abad ke-21 ini manusia dalam bekerja dituntut dinamis, memperluas jaringan dan mampu mencari pengalaman baru dalam berinteraksi. Hal sedemikian dianggap sebagai asimilasi dari praktik penerapan komunikasi organisasi. Apalagi penggunaan gawai berbantuan teknologi informasi internet yang saat ini menuntut efisiensi dan efektivitas yang tinggi dalam aktivitas kerja. Diakui bahwa studi komunikasi organisasi interdisipliner. Bidang-bidang studi yang menggunakan kajian komunikasi organisasi begitu kompleks dan bervariasi, seperti: manajemen, sosiologi, psikologi sosial, dan lain-lain. Teori-teori komunikasi organisasi selalu berkaitan dengan ilmu-ilmu kajian lainnya, dan dalam memahaminya seseorang perlu terlebih dahulu memahami akar kemunculan teori komunikasi organisasi itu sendiri. Dari terminologi bahasa istilah komunikasi organisasi terbagi menjadi dua, yakni; organisasi dan MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009 33 Ensiklopedi Komunikasi sendiri dapat didefinisikan meminjam konsep Pace & Wayne (2005) sebagai tindakan komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan penciptaan pertunjukkan (display) dan penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan. Goldhaber menambahkan, bahwa setiap manusia dalam kaitan dengan organisasi akan dihubungan dengan pertunjukkan yang sedang berjalan. Maksudnya adalah manusia tidak dapat tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mengeluarkan pesan (Goldhaber, 1979). Di perkantoran pertunjukkan pesan dimaksud bisa dalam bentuk memo, laporan, pidato dan neraca keuangan yang merepresentasikan gagasan-gagasan si pengirim pesan. Oleh sebab itu dalam menafsirkan pesan akan “ Komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan penciptaan pertunjukkan (display) dan penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan. “ komunikasi. Kata ’organisasi’ dapat diartikan seperti rangkaian mekanis layaknya sebuah mesin yang berhubungan satu dengan yang lain dan memiliki bagian-bagian untuk dapat memproduksi sebuah produk atau layanan dari masukan (input) sampai luaran (output) dari suatu sistem. Organisasi juga terkadang dianalogikan dengan sesuatu yang hidup secara natural tumbuh dan berkembang layaknya organisme, seperti: tumbuhan, binatang dan manusia. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang melingkupinya. Ada juga yang menganggap organisasi seperti layaknya otak manusia yang memiliki proses informasi, intelegensia dan konseptualisasi perencanaan. Pada perkembangan selanjutnya organisasi kerap dianggap masuk dalam tatanan realitas budaya karena menciptakan makna, memiliki nilai dan norma yang dipersuasikan oleh cerita dan ritual yang terbagikan. Dalam organisasi dikenal juga dengan konsep individualistik atau hubungan antar individu yang akan memunculkan hubungan dyaadic. Hubungan keintiman ini akan sangat mengarah kepada adanya hubungan konsepsi jaringan dalam komunikasi organisasi. Manusia berkomunikasi satu dengan yang lain dan selalu dikaitan dengan penggunaan saluran komunikasi untuk menjadi instrumen penyampaian pesan. muncul proses pemindahan (transfer), dan pertukaran (exchange) pesan. Di sinilah letak penting realitas budaya yang disebutkan oleh para aliran subyektivis. Keberadaan artefak, gerak tubuh dan tindakan akan melukiskan makna yang manusia miliki lewat petunjukkan yang secara tidak langsung digelar. Taylor (1993) menyebutkan, bahwa tujuan dibuatnya teori komunikasi untuk menjembatani jurang pemisah dalam organisasi, sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. Pertarungan Paradigma Memang dalam memahami 34 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 komunikasi organisasi akan menjadi sulit, sebab ada pertarungan paradigma di dalamnya. Pace & Wayne (dalam Mulyana, 2005) menyebutkan bahwa esensi makna komunikasi organisasi sangat dipengaruhi oleh dari paradigma pemahaman orang. Cara berpikir (paradigma) inilah yang menjiwai pemahaman komunikasi organisasi tersebut selanjutnya. Disebutkan, bahwa ada dua aliran paradigma dalam memahami komunikasi organisasi. Pertama adalah paradigma obyektif (yang kemudian disebut sebagai kaum obyektivis) dan paradigma subyektif (atau kemudian dikenal dengan istilah kaum subyektivis). Pertentangan dikedua kubu sangat jelas dalam tarikan konsep dan pemahaman teoritik tentang komunikasi organisasi. Aliran obyektivis akan menganggap bahwa komunikasi organisasi itu seperti layaknya mesin, berkoordinasi dan tunduk pada teori sistem yang digunakan oleh Anthony Giddens. Dalam memahami sebuah sistem tentu saja manusia dalam organisasi tidak dianggap sebagai manusia, hanya sebuah alat saja. Mereka akan tunduk pada kekuatan (power) dari kewenangan pimpinan. Berbeda dengan itu dalam paradigma subyektivis tidak ada dehumanisasi, yang ada malah komunikasi organisasi dianggap sebagai proses interaksi yang bermakna. Di sini peran konteks budaya menjadi sesuatu yang penting. Tidak ada sistem birokrasi struktur yang menghilangkan peran manusia secara utuh. Manusia dilihat per-individu bukan sistem yang tidak bernyawa. Komunikasi organisasi dianggap sebagai sebuah proses pemberian makna pesan yang dinegosiasikan antara para peserta. Peran orang-orang dan Ensiklopedi proses penciptaan makna-makna dalam proses komunikasi. Makna itu bukan organisasi tersebut, melainkan transaksi itu sendiri (Pace, 1993:33). Pada kenyataannya komunikasi organisasi lahir dalam nuansa aliran obyektivis, oleh sebab itu teori-teori komunikasi organisasi lebih didominasi dalam koridorkoridor obyektivis dalam semangat revolusi industri. Tentu saja kaum industri melakukan pengembangan kajian komunikasi organisasi untuk mendapatkan laba dan meningkatkan produktivitas. Pendekatan dasar yang disukai teoritis paradigma ini adalah mencapai efisiensi internal organisasi dengan membagi-bagi tugas ke dalam peran-peran spesialis dengan melengkapi pada prosedur-prosedur dan peraturan-peraturan yang terkini, serta menetapkan hirarki kekuasaan dengan pengawasan yang sangat ketat untuk menjamin agar peraturan-peraturan dan prosedur dipatuhi. Oleh sebab itu kajian teoritik kaum obyektivis sering disebut dengan teori-teori klasik strukturalis yang berbau sistemik dan birokrasi. Berbeda dengan pendekatan obyektif, pendekatan subyektif lebih memandang komunikasi organisasi sebagai sebuah proses penciptaan makna atas interaksi pada anggota kelompok yang dianggap merupakan bagian satu kesatuan dari organisasi. Proses interaksi tersebutlah yang dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang terjadi antar kelompok dalam organisasi dan bagaimana mereka terlibat dalam proses transaksi tersebut (Pace, 1993:33). Pemberian makna atau realita melalui interaksi yang berlangsung dalam organisasi dapat diasumsikan sebagai komunikasi organisasi. Lebih lanjut akan dijelaskan beberapa kajian teoritik komunikasi organisasi dalam perspektif komunikasi organisasi, seperti; teori naratif, teori hubungan antar manusia, komunikasi dalam budaya organisasi dan kajian teoritik konvergensi simbolik. Hingga saat ini masih sangat jarang ahli komunikasi mau mengembangkan kajian komunikasi organisasi dalam mazhab subyektivistik, karena selama ini sistem pendidikan di Indonesia yang secara tidak langsung membuat masyarakat berpandangan obyektivis.(Ilham Prisgunanto) Bibliografi Aubrey, Fisher, B. & Adams, K. L (1994). Interpersonal communication. London: Mc Graw Hill. Devito, J.A (1997). Komunikasi antar Manusia. Jakarta: Profesional Books. Littlejohn, Stephen. W (2002). Theories of human communication. Belmont : Wadsworth. Miller, K (2001). Communication theories. Texas: Mc Graw Hill. Miller, K (2001). Organizational communication, Theory and Practice 3 th Edition. Wadsworth. Pace, R.W. & Faules, D.F. (1998). Komunikasi Organisasi. Bandung: Rosdakarya. Taylor, James R. (2000), Rethinking the Theory of Organizational Communication, How to Read An Organization. Series: Communication and Information Science Sumber 1 Penulis Buku Komunikasi dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi PPS-UNPAD Televisi kita ...Sambungan dari halaman :31 informasi langsung tentang aktivitas perusahaan asing di Indonesia. Pak Harto mau agar dunia internasional melihat bahwa perusahaan asing di sini dari hari kehari berjalan aman dan terus berkembang. Saya bisa ambil contoh tentang Amerika Serikat dengan Freeport- nya. Secara tidak langsung, ini pun political control, bukan sekedar promosi bisnis negeri ini. Sungguh jauh dari fungsi edukatif mencerdaskan hidup bangsa Indonesia sendiri. T. Harapan Anda ke depan? J.Sebagai salah satu praktisi industri pertelevisian di tanah air ini, saya sangat mengharapkan agar muncul generasi penerus yang sungguh all out berkiprah di bidang ini. Orang yang berintegritas dan tidak terkontaminasi sistim yang memangkas idealismenya. Karena tujuan utama industri pertelevisian adalah mencerdaskan hidup bangsa untuk meraih kesejahteraan hidupnya.Agar rakyat bisa mengerti apa artinya demokrasi, kebebasan, bagaimana mempertahankan NKRI, dan lain-lain. Mari kita belajar dari negara-negara maju seperti Amerika, Jepang Canada. Lihatlah, industri pertelevisian kita yang masih lebih terpaku dengan program acara ’suka meniru’ daripada menghasilkan yang original. (justin djogo-dja) *** MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009 35