Kasus Penghentian Sinetron Hareem dan

advertisement
INDEKS
Gambar Kulit depan : IGD Agus Harsanta,
Karikatur Pilihan lomba karikatur MW THC 2007.
Gambar kulit belakang : Partono, Karikatur
Pilihan lomba karikatur MW THC 2007.
• Catatan Redaksi : Jurnalisme Amplop
3
• Telesik : Iklan Politik dan Aksi “Tukang Plintir”
4
• Telisik : Kasus Penghentian Sinetron Hareem dan Demokrasi di Dunia Penyiaran
8
• Telisik : Refleksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers
Tantangan Serius Justru dari Dalam
11
• Telisik : Infotainment Mengesksploitasi Tubuh Perempuan
15
• Opini : Bias Selebritas Dalam Panggung Politik di Indonesia
23
• Wawancara : Ichlasul Amal “Pers Harus Kembali Mentaati Kode Etik Pers”
27
• Wawancara : Sumita Tobing, Phd Televisi Kita : Tidak ada SDM yang all Out
30
• Ensiklopedi : Kominikasi Organisasi
32
MEDIA
WATCH
THE HABIBIE CENTER
ISSN 1411-5220
Penerbit: Media Center/The Habibie Center Alamat Redaksi: Jl. Kemang Selatan No.98
Jakarta Selatan Telp.: (021)781-7211 Fax.: (021)781-7212
Email: [email protected] Website:http://www.habibiecenter.or.id
Penanggung Jawab : Ahmad Watik Pratiknya, Dewan Redaksi : A. Makmur Makka (Ketua) Mustofa Kamil Ridwan, Rahma Abdulkarim, Wenny Pahlemi,
Redaktur Khusus : Afdal Makkuraga Putra, Kontributor : Intantri Kusmawarni, Teguh Apriliyanto. Sekretaris : Dewi Ratnawati Produksi: Ghazali H. Moesa.
Disain Grafis : A. Mudjazir Unde.
Jurnal MW The Habibie Center adalah publikasi bulanan di bawah naungan The Habibie Center. Redaksi
menerima tulisan/artikel yang sesuai dengan visi dan misi jurnal ini.
2 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Catatan Redaksi
J
Jurnalisme
Amplop
urnalisme amplop adalah ungkapan yang mungkin sama tuanya dengan ungkapan
klasik dalam dunia jurnalistik : “anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang
menggigit anjing adalah berita”. Dari dulu jurnalisme amplop dicela dan dihujat,
tetapi praktik itu tidak ada matinya. Organisasi profesi wartawan, secara resmi sudah
melarang pemberian amplop dan suap kepada anggota mereka, tetapi sampai sekarang larangan
tersebut tidak ada yang berhasil secara tuntas.
Praktik jurnalisme amplop dibiarkan tetap berlangsung karena ada semacam kesalahan
persepsi mengenai penerimaan jasa dari pihak kedua kepada wartawan. Ada yang bersikap
sangat keras, menyatakan pemberian apa saja yang diberikan pihak kedua atau sumber berita
dianggap sebagai suap. Ada yang lebih lunak dan menganggap, jika pemberian tidak terangterangan berbentuk uang, bisa saja ditolerasi. Undangan pemerintah untuk menghadiri sebuah
acara di luar kota, kemudian menyediakan fasilitas kendaraan, penginapan bahkan biasanya
berikut uang jalan menurut standar resmi instansi pemerintah atau swasta, tidak bisa diartikan
suap.
Survei Aliansi Jurnlis Indonesia (AJI) tahun 2006, menunjukkan bahwa 85 persen dari 400
wartawan yang ditanya di 17 kota percaya bahwa menerima uang dari sumber berita dalam
bentuk apapun bisa dikatagorikan suap, tetapi 65 persen setuju bahwa pemberian barang bernilai
seperti Hp dan kamera, bukanlah suap.
Begitu pula, 33 persen dari responden percaya bahwa mendapatkan biaya perjalanan dari
sumber berita adalah berkatagori suap, sementara 65 persen menjawab, menerima biaya perjalanan
bukanlah suap. Demikian sedikit gambaran, bagaimana persepsi mengenai penerimaan uang
bagi wartawan, dikalangan wartawan dan organisasi wartawan pun sangat beragam.
Tahun tujuh puluhan Harian Indonesia Raya pimpinan, wartawan kawakan Mochtar Lubis,
rajin mengkampanyekan dan menyatakan perang terhadap wartawan amplop. Tetapi ketika ia,
konon menerima penghargaan dalam bentuk mesin percetakan dari sebuah lembaga asing,
kawan-kawannya para wartawan menyindir dan membuat rumor, apakah itu bukan amplop dalam
bentuk yang lain ?
Untuk beberapa media utama, praktik menerima amplop kepada wartawan mereka adalah
tabu, wartawan mereka pun patuh. Tetapi ketika pata pimpinan redaksi mereka diundang pejabat
tinggi negara keluar negeri dengan pesawat dan hotel yang dibiayai oleh rakyat dan negara,
dianggap wajar-wajar saja.
Itu di media utama, tetapi sejumlah besar koran-koran gurem, apalagi di daerah menghalalkan
penerimaan amplop bagi wartawannya, karena rendahnya upah yang mereka berikan kepada
wartawan. Yang terang-terangan adalah “wartawan bodrex” dan “wts” (wartawan tanpa surat
kabar) yang parkir di gedung konvensi dan hotel, bersenjatakan kartu pers, mengejar-ngejar
penyelenggara acara dan meminta uang transpor.
Kini wartawan amplop tetap diperangi bebarapa media elektronik menyerukan jangan
memberikan imbal jasa berupa uang kepada wartawan mereka, tetapi praktik wartawan amplop
tetap saja eksis.
Apa pun bentuk pemberian jasa kepada wartawan, sangat rentan memengaruhi lahirnya
bias pemberitaan. Mencederai etika profesi dan integritas wartawan. Karena itu, mari jangan
berhenti mengkampanyekan perlawanan pada jurnlalisme amplop.(MM)
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
3
Telisik
Iklan Politik dan Aksi
‘Tukang Plintir’
S
ebagai bagian siklus lima tahunan, Pemilu 2009 dinanti banyak
pihak. Inilah saat tepat bagi para
politisi dan pemburu kekuasaan
mendapatkan legitimasi hukum
untuk dikukuhkan menjadi penguasa. Berbagai cara dibuat memikat rakyat agar mau
memilih mereka. Kursi Parlemen dan jabatan
eksekutif pemerintahan adalah janji yang
menawarkan perubahan kehidupan begitu
menjanjikan.
4 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Telisik
Sumber : www.itempoeti.wordpress.com/
“Pesta besar” yang menghabiskan biaya triliunan rupiah itu pun,
ditunggu-tunggu banyak orang.
Mulai dari para tukang sablon,
pengusaha percetakan, para
mekelar politik, konsultan politik
beserta juru survei mereka, dan ahli
komunikasi pemasaran siap
membangun citra positif para
kandidat.
Dalam setiap Pemilu, dengan
kepiawaiannya,
para
ahli
komunikasi politik itu berperan
sebagai spin doctor atau semacam
‘tukang plintir’ untuk membangun
opini publik yang sesuai dengan
kepentingan klien mereka. Di
tangan merekalah, strategi Partai
Politik (Parpol), calon anggota
Parlemen dan bahkan Presiden
untuk memenangkan hati rakyat
dipertaruhkan. Melalui berbagai
strategi komunikasi publik,
digelarlah berbagai tema kampanye
secara masif. Selama berbulan-bulan
para ‘tukang plintir’ tersebut terus
memutar otak dan berlomba-lomba
membujuk target sasaran untuk
menerima parpol dan calon yang
ditawarkan sekaligus mengabaikan
calon atau partai lawan. Selain
melalui pembangunan opini ke
media, para tukang plintir ini juga
merancang iklan politik secara masif
melalui semua lini, baik media
cetak, elektronik maupun luar
ruangan.
Pengamat politik dan media
Yandi Hermawandi1 mengibaratkan aksi para ‘tukang plintir’ yang
harus memenangkan kliennya itu
bak peran seorang penata rias
wajah. Sang model akan menjadi
lebih menarik setelah sentuhansentuhan make up memoles
wajahnya. Parpol, calon legislatif,
maupun Presiden/Wakil Presiden
jika tampil menarik, salah satu
faktornya akibat sentuhan sang
penata rias tersebut.
Istilah ‘tukang plintir’ atau spin
doctor muncul di negara Barat pada
dekade 1980-an. 2Tidak jelas siapa
yang mempopulerkan konsep yang
digunakan untuk menjelaskan aksi
para PR (Public Relations) yang
tugasnya membangun opini dan citra
positif kliennya di media itu.
Mereka umumnya mewakili
perusahaan dan tokoh politik.
Caranya adalah bagaimana
mengontrol ‘plintiran’ (spin), arahan
(direction) dan objek yang
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
5
Telisik
menguntungkan klien dan
menutupi kelemahan yang ada.
Pembangunan citra perusahaan
rokok dapat dijadikan contoh
konkrit pentingnya aksi para ‘tukang
plintir’ ini. Jelas-jelas rokok dapat
menyebabkan kanker paru-paru,
kematian jabang bayi dan
melemaskan keperkasaan pria;
namun para ‘tukang plintir’ itu tetap
mampu membangun citra positif
pabrik rokok sebagai agen
pembangunan melalui sejumlah
taktik manipulatif dan tidak jarang
berbau penipuan atau penyamaran
kebenaran. Citra pabrik rokok tetap
dapat dibuat positif karena juga
menebar bea siswa, membuat klub
olah raga atau memberikan macammacam sumbangan.
Dalam konteks pemenangan
komunikasi politik, aksi para
‘tukang plintir’ itu tidak hanya
mengarahkan opini media melalui
supply berita yang telah ia kemas
namun juga dilancarkan melalui
berbagai bentuk iklan politik. Di
Indonesia bahkan peran ‘tukang
plintir’ sekaligus merangkap
menjadi manajer kampanye parpol
atau tokoh tertentu. Mereka
menggunakan semua jalur
komunikasi untuk membangun citra
politik kliennya dengan merekayasa, membujuk, dan mengarahkan opini guna memenangkan
kliennya. Tidak jarang mereka juga
berhubungan dengan sejumlah
pengamat politik atau ahli survei. 3
***
Hasil survey the Nielsen
menunjukkan sepanjang kuartal
pertama 2009, jumlah dana yang
yang masuk dalam pusaran biaya
iklan mencapai Rp 10,3 triliun,
artinya naik 19 persen dibandingkan periode yang sama pada 2008.
Kenaikan biaya iklan didominasi
iklan politik yang melonjak 269
persen, naik dari Rp 289 miliar
menjadi Rp 1,065 triliun. Angka ini
6
jauh melampaui jumlah iklan
produk komunikasi yang sebelumnya paling royal beriklan.
Dari empat puluh lebih parpol
peserta Pemilu, Partai Golkar
paling banyak beriklan, mencapai
Rp 128 miliar, naik 2.888 persen
dibanding periode sama tahun lalu
yaitu Rp 4,28 miliar. Partai
Demokrat menduduki posisi kedua,
mencapai Rp 61 miliar atau naik
5.865 persen dari Rp 1 miliar pada
kwartal pertama 2008. Melihat
betapa gencarnya partai baru
Gerindra di TV, dipastikan partai ini
menguras uang yang tidak sedikit.
Sayangnya, dalam pemaparan
survey, the Nielsen gagal men-
Margono4 misalnya, menilai muatan
iklan-iklan politik yang lalu lalang
di berbagai media masih belum
memberikan pendidikan politik
yang tepat kepada masyarakat.
“Iklan politik yang ada banyak yang
saling menjatuhkan. Iklan itu tidak
dilengkapi dengan visi-misi
mereka. “Itu dapat membuat
masyarakat menjadi bingung,”
katanya
dapatkan angkat pasti dari Partai ini
karena partai berlambang kepala
burung garuda ini tidak ingin nilai
iklannya disebutkan.
Iklan kampanye partai politik
di televisi sebenarnya sudah
berjalan sejak rezim Orde Baru
menguasai TVRI. Ketika itu melalui
siaran berita, kegiatan kampanye
partai politik seperti Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Golongan Karya (Golkar) sering
ditampilkan dalam beberapa event.
Hanya saja, kampanye Golkar yang
menguasai kekuasaan ditayangkan
90 persen dan sisanya baru untuk
PDI dan PPP sebagai partai
penggembira. Kondisi serupa juga
terjadi saat Pemilu 2009 ini. Partai
Demokrat dan Golkar juga
menguasai Iklan Politik. Maklum,
partai pemerintah yang sedang
berkuasa. Selain iklan lepas, kedua
partai ini juga secara tidak langsung
dapat mengklaim keberhasilannya
melalui iklan para menteri dengan
‘kedok’ iklan layanan masyarakat.5
“Jer basuki mowo beo,” begitu
istilah pepatah Jawa yang kira-kira
bermakna tiada hasil tanpa adanya
pengorbanan. Itu juga terjadi dalam
konteks politik di Indonesia. Adalah
sebuah kenyataan bahwa partaipartai yang saat ini mengirimkan
wakilnya di Parlemen adalah partai
yang tidak pelit dalam beriklan.
Preferensi rakyat Indonesia yang
memang cenderung gampang
diinsinuasi melalui iklan itulah
yang membuat mereka memilih
partai yang telah dikenalinya
tersebut. Ketua Hukum dan
Perundangan Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI) Hery
Maraknya parpol dan sebentar
lagi para kandidat Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden beriklan
di TV tidak lepas dari pertemuan
kepentingan dua pihak tersebut. Di
satu sisi, industri pertelevisian
memandang aktifitas partai politik
dan para politisi sebagai konsumen
potensial untuk pendulangan uang.
Disisi lain, partai politik memandang keberadaan televisi efektif
untuk dijadikan media penyampaian visi dan misi agar sampai kepada
masyarakat tanpa harus terjun
langsung ke lapangan sekaligus
sebagai media yang memungkinkan
bisa menjerat hati masyarakat dalam
“Jelas-jelas rokok dapat
menyebabkan kanker paruparu, kematian jabang bayi
dan melemaskan
keperkasaan pria; namun
para ‘tukang plintir’ itu tetap
mampu membangun citra
positif pabrik rokok.“
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Telisik
konteks pendulangan suara.
Hasil Pemilu 2009 pun menegaskan arti penting iklan terhadap
perolehan parpol yang dapat
menempatkan wakilnya ke Parlemen. Kemenangan Partai
Demokrat meraih 20 persen lebih
suara tidak lepas dari masifnya iklan
Partai berlambang bintang Marcedes Benz ini. Kemunculan Partai
Gerindra yang baru dibangun kurang
dari dua tahun, juga tidak dapat
dilepaskan dari keberhasilan
pencitraan Prabowo yang mengkomandani partai ini.
***
Sekilas aksi ‘tukang plintir’
mengarahkan opini publik melalui
macam-macam iklan politik adalah
sesuatu yang wajar. Bukankah hal
serupa juga dilaksanakan untuk
menjual produk dan jasa lainnya,
seperti pabrik rokok misalnya.
Namun, jika dikaji lebih jauh,
masyarakat seharusnya lebih kritis
mencermati gencarnya macammacam iklan politik itu. Pandangan
Sekretaris Jenderal Dewan Pers
Lukas Luwarso 6 rasanya patut
disimak. Ia mengatakan:” Apa yang
dijual dalam iklan politik selain
janji yang tidak harus ditepati juga
hal yang bukan-bukan,yaitu bukan
barang jasa, bukan janji.”
Bagi Lukas, iklan politik
sejatinya tidak dapat digolongkan
dalam bentuk iklan. Alasan utama,
janji-janji yang ditebarkan para
politisi tidak gampang begitu saja
dituntut layaknya iklan barang atau
jasa. Maklum, para politisi tersebut
mengumbar barang atau jasa yang
belum kelihatan barang dan
kemampuan jenis layananya.
Lebih tajam Lukas mengatakan: “Jika diibaratkan produk
barang, iklan politik seperti
menjual properti atau bangunan
yang pengembangnya tidak
memiliki modal cukup, tidak
memiliki lahan, dan belum
memiliki ijin mendirikan bangunan.
Jika diibaratkan produk jasa, iklan
politik seperti menjanjikan pelayanan yang orangnya belum
memiliki kompetensi dan tidak
memiliki fasilitas kerja.”
Lebih konkrit lagi, Lukas
mengibaratkan politisi pengumbar
iklan politik layaknya pengusaha
restoran yang begitu lantang
mempromosikan betapa lezat
masakan olahan mereka. Betapa
higines pengolahan makanan dan
betapa bersih dan cozy suasana
restoran itu. Namun, pembeli
makanan tersebut harus ‘saweran’
untuk membeli tanah, membangun
restoran, membeli panci, wajan dan
sebagainya sekaligus barang
mentah. Kalaupun makanan yang
dihasilkan tidak lezat dan bergizi,
itu bukan lagi urusan pemberi janji.
“Iklan politik adalah anti iklan
karena serba tidak sejalan dengan
definisi iklan seperti dipahami
dalam komunitas iklan,” tegas
Lukas.
Jika demikian adanya, rasanya
tidak berlebihan jika rakyat
Indonesia harus lebih jeli mencerna
janji-janji politik yang ditawarkan
calon pemimpinnya. Jumlah rupiah
yang digelontorkan untuk biaya
iklan politik nilainya mencapai
triliunan rupiah. Sikap kritis
terhadap iklan politik ini semakin
relevan mengingat iklan politik
semakin menjadi pilihan utama
bagi para politisi untuk meraih
kekuasaan. Jangan sampai rakyat
dikelabuhi para petualang politik
yang
berkali-kali
terbukti
mengumbar janji yang tidak pasti.
Bagi para ‘tukang plintir’, ada
baiknya juga jika bersedia
mempertimbangkan pesan Ketua
Dewan Pers Ikhlasul Amal. Ditemui
“Media Watch”, mantan Rektor
UGM ini mengakui materi dan
pesan komunikasi yang dibuat para
PR itu memang belum ada satu
rumusan apakah dapat dikatagorikan sebagai hasil kerja wartawan
atau bukan. Tetapi, lanjut Ichlasul,
dalam sosialisasi UU Pers dan
berbagai kegiatan pelatihan Dewan
Pers, selalu memasukkan PR
sebagai bagian penting dari
kegiatan jurnalistik. Paling tidak
diberikan informasi yang cukup
penting bahwa walaupun PR bukan
wartawan tetapi sebagai sumber
yang memberikan informasi,
harusnya mereka terikat juga dalam
kode etik jurnalistik sebagai bagian
penting dari unsur pers.
“Sayangnya, ini
tidak bisa
didorong karena mereka tidak
masuk wartawan,” ungkap Ichlasul.
(Teguh Apriliyanto).
Sumber
1
Yandi Hermawandi, Kampanye
dan Konsultan Politik. Selasa, 31/
03/2009 10:38 WIB, www.
detik.com
2
Wisegeek, What is a Spin
Doctor?, 2009. http://www.
wisegeek.com/what-is-a-spindoctor.htm
3
Yandi Hermawandi, 2009.
4
Persda Network, Iklan Parpol
Bikin PPPI Gerah, Kamis, 12
Februari 2009 | 19:28 WIB, http:/
/ bisniskeuangan.kompas.com/
read/xml/2009/02/12/19281122/
iklan.parpol.bikin.pppi.gerah
5
Persda Network, Biaya Iklan
Parpol dan Capres Harus Diaudit,
Senin, 24 November 2008 |
00:17 WIB, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/
xml/2008/11/24/00172888/
biaya.iklan. parpol.dan.capres.
harus.diaudit
6
Lukas Luwarso, Iklan Politik,
Etika. No.70/Februari 2009.
***
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
7
Telisik
T
IN EL
DO EV
NE ISI
SI
A
Kasus
Penghentian
Sinetron Hareem
dan Demokrasi di
Dunia Penyiaran
8
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Indosiar menghentikan
tayangan Sinetron Hareem.
Sinetron ini dinilai
mengandung unsur-unsur
yang melecehkan agama
Islam. Proses penghentian
tayangan ini bisa dicatat
sebagai langkah maju bagi
kehidupan demokrasi di
ranah penyiaran.
Telisik
S
inetron Hareem ditayangkan di Indosiar tiap Senin
hingga Sabtu pukul 19.0020.00 WIB sejak 26 Januari
2009 dan diberi kategori tayangan
dewasa. Sinetron ini bercerita
tentang seorang laki-laki bernama
Doso yang menjalankan poligami.
Ia memiliki empat istri. Ia digambarkan rajin sholat berjamaah. Istri
keempatnya masih sangat muda.
Doso digambarkan memperlakukan
istrinya secara tidak manusiawi: istri
digembok di dalam rumah, dll.
Sinetron ini menuai protes dari
masyarakat dan Majelis Ulama
Indonesia yang mengadu ke Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). KPI
Pusat meminta secara tegas kepada
Indosiar untuk segera memperbaiki
isi sinetron Hareem yang dinilai
oleh MUI dan aduan 145 orang
melecehkan agama Islam. KPI Pusat
menegaskan kepada Indosiar jika
peringatan tersebut tidak digubris,
maka KPI Pusat berencana menghentikan sementara sinetron
tersebut. Penegasan tersebut
tertuang dalam surat peringatan KPI
Pusat pada Indosiar, hari ini (4/2)
(Sinetron Hareem Indosiar Terancam Dihentikan Sementara,
http://www.kpi.go.id).
Surat peringatan dari KPI Pusat
tersebut mengatakan bahwa
sinetron tersebut melanggar aturan
yang terdapat dalam Pedoman
Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar
Program Siaran (SPS) KPI, yakni
mengenai materi agama, waktu
siaran, dan penggolongan program
siaran.
Pasal 8 SPS menyatakan
bahwa lembaga penyiaran dilarang
menyiarkan program yang mengandung serangan, penghinaan atau
pelecehan terhadap pandangan dan
keyakinan keagamaan tertentu.
Pasal 65 huruf f mengatakan
bahwa tayangan untuk dewasa
hanya boleh disiarkan pada pukul
22.00 sampai 03.00 dinihari. Lalu,
dalam Pasal 62 ayat 1 disebutkan
lembaga penyiaran televisi wajib
menyertakan informasi tentang
penggolongan program siaran
berdasarkan usia khalayak penonton
di setiap acara yang disiarkan.
Merespon peringatan KPI
terhadap sinetron yang ditayangkannya itu, Indosiar kemudian
menghadirkan ustad di setiap akhir
acara. Namun, penambahan ini
dinilai justru sebagai pembenaran
terhadap isi sinetron tersebut. KPI
kemudian memberikan surat
peringatan terakhir pada Indosiar
terkait penayangan sinetron
Hareem (KPI Pusat Minta Hareem
Pindah Jam Tayang, http://
www.kpi.go.id). Surat yang
ditandatangani Ketua KPI Pusat,
Sasa Djuarsa Sendjaja, yang
dilayangkan kepada Direktur Utama
Indosiar itu meminta Indosiar untuk
memindahkan jam tayang sinetron
Hareem menjadi pukul 22.00 WIB.
Menurut surat tersebut,
keputusan ini diambil berdasarkan
pemantauan KPI Pusat, aduan
Majelis Ulama Indonesia serta
masyarakat ke KPI Pusat. Menurut
KPI Pusat, tayangan Sinetron
Hareem merupakan tayangan untuk
Dewasa. Secara tegas KPI Pusat juga
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
9
Telisik
saja. SCTV pernah menghentikan
penayangan sinetron Esmeralda
gara-gara protes dari Front Pembela
Islam. Kelompok masyarakat ini
mendatangi stasiun TV tersebut
pada 5 Mei 2000. FPI protes karena
sosok Fatimah dalam sinetron
Amerika Latin itu digambarkan
judes serta gambaran negatif
lainnya. Padahal Fatimah adalah
nama putri Nabi Muhammad SAW
yang berbudi pekerti baik. Maka,
sejak 8 Mei 2000, penayangan
sinetron Esmeralda dihentikan
hingga episode 114 dari 134 yang
direncanakan.
meminta pemindahan jam tayang
tersebut diberlakukan mulai Rabu
(25 Maret 2009).
Selain itu, KPI Pusat juga
meminta Indosiar untuk tidak
menayangkan tayangan mengandung unsur-unsur yang melecehkan agama Islam yang masih tetap
terdapat di sinetron Hareem. Untuk
ke depannya, KPI Pusat mengancam akan memberhentikan
sementara tayangan Sineron
Hareem, bila dari pihak Indosiar
tidak menanggapi teguran keras
yang diberikan.
MUI kemudian mengirimkan
surat ke Indosiar yang mendesak
stasiun televisi tersebut untuk
menghentikan tayangan sinetron
Hareem tersebut. MUI dengan
tegas mengatakan akan melakukan
pemboikotan terhadap Indosiar
kepada Umat Islam Seluruh
Indonesia.
Indosiar kemudian berinisatif
untuk menghentikan sinetron
Hareem mulai Selasa, 31 Maret
2009 (http://www.kpi.go.id/).
Sejak tanggal itu, sinetron Hareem
berubah menjadi Inayah. Sinetron
Inayah ini ditayangkan tiap Senin
hingga Sabtu pukul 19.30-21.00
WIB di Indosiar. Perubahan juga
terjadi pada penampilan tokohtokoh sinetron Hareem itu.
Pemeran perempuan tidak lagi
mengenakan jilbab. Tokoh lakilakinya tidak lagi mengenakan peci
serta baju koko. Tokoh Abi yang
diperankan Teddy Syach berubah
sebutannya menjadi Romo.
Sebelumnya, istri-istri Doso
dipanggil dengan sebutan Ummi
sekarang menjadi Amih.
Kasus penghentian penayangan program televisi bukan kali ini
10 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Saat itu kita belum memiliki
UU No 32 Tahun 2002 mengenai
Penyiaran. Komisi Penyiaran
Indonesia sebagai amanat UU
tersebut juga belum lahir.
Situasinya berbeda ketika KPI
menjadi salah satu pihak yang
terlibat selain komponen masyarakat dan stasiun televisi itu sendiri
tiap kali ada keberatan masyarakat
terhadap tayangan televisi. Kini ada
mekanisme pengaduan terhadap
tayangan bermasalah yang
disediakan oleh Komisi Penyiaran
Indonesia. Jadi, masyarakat tidak
perlu mendatangi stasiun TV
bersangkutan apalagi sampai
merusak. Stasiun TV hendaknya
juga lebih mendengar peringatan
dari KPI yang notebene berdasar dari
aspirasi masyarakat. Ini jauh lebih
menguntungkan bagi stasiun
televisi bersangkutan. Dengan
demikian dapat terbangun
hubungan yang harmonis antara
ketiga pemangku kepentingan
dalam ranah penyiaran. Terlepas
dari masih lemahnya posisi Komisi
ini di mata industri, kasus
penghentian sinetron Hareem
tersebut menunjukkan bahwa
kehidupan demokrasi di ranah
penyiaran menunjukkan perubahan
yang cukup signifikan. (wenny)
Telisik
Reļ¬‚eksi Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers
Tantangan Serius
Justru dari Dalam
P
ers yang bebas ternyata tidak otomatis menciptakan
pers yang sehat. Indonesia adalah contoh nyata dari
fenomena itu. Kendati indeks kemerdekaan pers
berdasar standar Reporter sans Frontiers Paris di Indonesia
mulai melorot di akhir jabatan Presiden Abdurrahman
Wahid (2002) dan terus berlanjut di era Presiden Megawati
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; sejumlah
kalangan sepakat bahwa pers di Indonesia relatif lebih
bebas dibandingkan sejumlah negara di Asia.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
11
Telisik
terpojok.
Di sisi lain, kalangan praktisi
dan penggiat pengembangan pers
di Indonesia juga semakin prihatin
dengan kualitas media cetak dan
terlebih media televisi yang jauh
dari ciri pers yang berkualitas.
Kondisi ini seolah membuat acara
refleksi betul-betul menjadi acara
keluh kesah penuh kegalauan.
Contoh konkrit betapa amburadulnya kualitas media di Indonesia
secara kasat mata dapat disaksikan
ketika menghidupkan layar televisi.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia
S. Djuarsa Sendjaja, yang menyoroti kemerdekaan pers dari
perspektif media penyiaran, secara
gamblang memotret persoalan yang
membelit media penyiaran itu.
Sumber : http//www.Google.com/
Pers yang bebas ternyata tidak
otomatis menciptakan pers yang
sehat. Indonesia adalah contoh
nyata dari fenomena itu. Kendati
indeks kemerdekaan pers berdasar
standar Reporter sans Frontiers Paris
di Indonesia mulai melorot di akhir
jabatan Presiden Abdurrahman
Wahid (2002) dan terus berlanjut
di era Presiden Megawati dan
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono, sejumlah kalangan
sepakat bahwa pers di Indonesia
relatif lebih bebas dibandingkan
sejumlah negara di Asia.
Namun, atmosfir pers yang
relatif merdeka itu, tidak selalu
diikuti dengan pertumbuhan pers
yang sehat dan mencerahkan
masyarakat, yaitu pers yang
menarik, mencerdaskan, taat kode
etik pers dan dibutuhkan khalayak
luas. Kesimpulan di atas bukan
muncul dari penilaian pengamat,
tetapi justru datang dari kalangan
praktisi pers dan pegiat pers yang
selama ini terus berkecimpung
dalam mengembangkan pers
nasional. Diskusi hangat “Refleksi
Sepuluh Tahun Kemerdekaan Pers
di Indonesia” yang diselenggarakan
Dewan Pers bersama Unesco di
Jakarta Media Center, 5 Mei 2009
lalu, membuktikan kegalauan insan
pers Indonesia.
Skor Indeks Kemerdekaan Pers
Indonesia akhir-akhir ini memang
kurang menggembirakan. Terlebih
jika dikaitkan dengan kondisi di era
Presiden BJ. Habibie atau di akhir
pemerintahan Presiden Gus Dur
sampai 2001, posisi Indonesia
menjadi negara terbebas di Asia.
Anggota Dewan Pers Leo Batubara
mencatat sejumlah faktor kenapa
posisi Indonesia terseok di
peringkat 111 dari 173 negara yang
diukur indeksnya. Ini disebabkan
antara lain sikap penguasa yang
kembali otoriter terhadap pers dan
adanya kecenderungan politik
hukum yang mengkriminalkan
pers. Pemerintah dan masyarakat
lebih cenderung menggunakan UU
Pidana daripada UU pers.
Pembahasan sejumlah UU pun
berpotensi tinggi membuat
kemerdekaan pers semakin
12 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Meluncurnya kualitas penyiaran ke titik nadir, menurut Sendjaja
tidak lepas dari dibukanya kran
kebebasan yang diberikan ke media
penyiaran televisi. Jika di era rejim
Soeharto, hanya keluarga Soeharto
dan kroni-kroninya yang diberikan
keistimewaan berbisnis media,
maka struktur pasar di era reformasi
dibuka bebas sejalan dengan
penerapan liberalisasi ekonomi.
Hambatan artifisial dan politik
masuk pasar berkurang.
Akibat pasar bebas, pemodal
besar kini menguasai lanskap
pertelevisian nasional. Merger dan
akuisisi menjadi upaya untuk
mendominasi pasar. Masalah krusial
muncul, berupa praktik kepemilikan silang, monopoli, oligopoli,
sistem stasiun berjaringan dan isi
program media mengikuti selera
dan didikte oleh rating. KPI, aku
Sendjaja, kesulitan menertibkan
lanskap pasar yang semakin tidak
beraturan ini ketika masing-masing
perundang-undangan justru saling
bertubrukan. Sebagai contoh, ketika
UU tentang Penyiaran melarang
praktik monopoli dan oligopoli,
justru UU tentang Perseroan
Telisik
Sendjaja
menguraikan
komodifikasi media penyiaran yang
berisi selera rendah itu merupakan
campuran unsur popolaritas,
konflik, sensasi dan seks. Acaraacara yang mengandung unsur-unsur
inilah yang justru mendapat rating
tinggi di tengah masyarakat. Tidak
mengherankan jika acara semacam
‘gosip-infotainment’, ‘reality show’
pengumbar nafsu dan amarah
semacam “Termehek-mehek”, atau
‘talk show’ penuh materi cabul
seperti “Bukan Empat Mata”, tetap
menempati
rating
tinggi.
“Tayangan-tayangan itu market
driven, massive, low taste dan
entertainment. Tayangan itu bisa
masuk katagori yellow journalism,”
ujar Sendjaja.
Muatan acara yang cenderung
low taste itu pun cenderung rentan
akan pelanggaran etika jurnalisme
dan melanggar Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program
Siaran. Mengutip pandangan pakar
media Paul Johnson (1997),
Sendjaja menilai tayangan-tayangan
selera rendah itu penuh dengan
informasi yang terdistorsi,
menggambarkan dramatisasi
dengan fakta palu, menganggu
privacy, melakukan pembunuhan
karakter, mengeksploitasi materi
seks, meracuni pikiran anak-anak
dan rentan penyalahgunaan
kekuasaan. “Media adalah cermin
masyarakat. Wajah media yang
jelek, mungkin itu adalah wajah
masyarakat kita yang juga buram,”
Kata Sendjaja.
Buruknya kualitas media
nasional juga merembet ke media
cetak. Anggota Dewan Pers Leo
Batubara yang begitu rajin
mengamati pers nasional mengkaji
bahwa saat ini ada sekitar 1008 buah
media cetak yang terbit di
Indonesia. Itu sudak mencakup surat
kabar harian, tabloid, majalah dan
buletin. Dari jumlah itu, hanya
sekitar 30 persen yang dapat hidup
sehat secara ekonomis, artinya
dapat memperoleh iklan secara
signifikan
sehingga
dapat
dikatagorikan sebagai media
berkualitas, artinya: 1) menarik, 2)
mencerahkan, 3) taat kode etik, dan
4) dibutuhkan khalayak umum.
“
Tidak mengherankan jika
acara semacam ‘gosipinfotainment’, ‘reality show’
pengumbar nafsu dan
amarah semacam
“Termehek-mehek”, atau
‘talk show’ penuh materi
cabul seperti “Bukan Empat
Mata”; tetap menempati
rating tinggi.
“
Terbuka men-dorong terjadinya
akuisisi dan merger. “Bagi dunia
penyiaran, pasar adalah rating dan
rating itu celakanya ditentukan oleh
selera rendah (low taste) yang
ditawarkan televisi nasional,”
paparnya.
“Sebagian besar sisanya justru tidak
mentaati lima fungsi pers dan kode
etik jurnalistik.
Akibat beroperasi tidak sehat
inilah, urai Batubara, inti persolan
pers nasional muncul. Para jurnalis
yang bekerja di media yang tidak
sehat bekerja pada atmosfir kerja
yang jauh dari standar profesional.
Maklum, tenaga kerja yang
diharapkan dapat memenuhi standar
kompetesni wartawan tida bersedia
bekerja di bidang jurnalistik.
“Tidak mengherankan dari sekitar
1000 penerbitan pers, hanya 30
persen layak bisnis dan mampu
menggaji wartawannya secara
profesional,” paparnya.
Sebagai konsekuensi kondisi
ini, wartawan dan pers abal-abal
menjamur di tengah masyarakat.
Kondisi
ini
menyebabkan
penyimpangan fungsi pers ideal.
Batubara mencatat lima hal yang
dapat merusak citra pers nasional.
Pertama, informasiyang dihasilkan
tidak akurat, tidak benar dan tidak
perlu fabrikasi. Kedua, beritanya
tidak mencerdaskan melainkan
cenderung membodohi. Ketiga,
liputannya lebih banyak mengumbar masalah hiburan yang tidak
dapat menambah kualitas kehidupan. Keempat, liputannya
tentang pelaksanaan fungsi kontrol,
bukan mengontrol pejabat, politisi,
pengusaha tetapi untuk memeras.
Terakhir, media tersebut eksis
bukan karena ditopang dukungan
pembaca tetapi hidup berkat
amplop dan pemerasan.
Maraknya budaya amplop
tersebut, menurut Batubara,
sesungguhnya berkorelasi dengan
kondisi bangsa Indonesia. Adalah
sesuatu yang mengherankan
kenapa budaya amplop begitu
marak di Indonesia sedangkan di
Malaysia dan Singapura, wartawan
amplop tidak dikenal. Catatan
Transparansi Internasional menujukkan Malaysia termasuk 30 negara
yang tingkat korupsinya kecil.
Singapura termasuk negara bebas
korupsi, posisinya ke empat di
dunia. Sementara itu Indonesia
termasuk salah satu negara terkorup
di dunia, posisi keenam dari 160
negara di dunia.
Temuan Transparansi Internasional menunjukkan habitat
dimana pers Indonesia bergiat
adalah lingkungan yang kotor.
“Banyak pejabat, politisi dan
pebisnis khususnya yang bermasalah, daripada berurusan dengan
pers memilih menjadi pemasok
amplop. Laku pejabat, politisi dan
pebisnis seperti itu malah
mengundang lebih banyak pers dan
wartawan abal-abal,” katanya.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009
13
Telisik
dibandingkan elemen demokrasi
lainnya di Indonesia,” katanya.
Kondisi di Indonesia, berdasarkan kajian Ikhlasul, jauh lebih
maju dibandingkan sejarah perkembangan demokrasi di dunia
secara umum. Sebab, di negara
lain, umumnya sejarah demokrasi
baru mendorong dihasilkannya
kebebasan pers. Ini berbeda
dengan kondisi di Indonesia. Di
akhir masa pemerintahan Soeharto,
kebebasan pers mulai sedikit
dibuka dan itu justru mendorong
digulirkannya demokratisasi
melalui agenda reformasi yang
justru mengakhiri kekuasaan
Presiden Soeharto.
Uraian Batubara tersebut
diamini Yopie Hidayat. Pemimpin
Redaksi tabloid ekonomi ‘Kontan’
mengatakan persoalan media di
Indonesia adalah lebih hakiki
daripada sekadar masalah kebebesan pers atau kekerasan yang
menimpa jurnalis. Masalah media
di Indonesia adalah berkaitan
dengan eksistensi media itu sendiri.
Yopie mencatat ada sejumlah
tantangan,yaitu: apakah media di
Indonesia mampu mempertahankan
netralitas dan tidak terjebak kepada
kepentingan kekuasaan dan pemilik
modal; bagaimana media di
Indonesia mampu mengatasi
tekanan pasar sehingga tidak
terjebak pada eksploitasi selera
rendah pasar; bagaimana media
didukung oleh SDM yang berkualitas serta bagaimana media
mengatasi tantangan kompetisi
dengan media digital.
Dalam tempo lima sampai
sepuluh tahun ke depan, analisa
Yopie, masyarakat di Indonesia
akan menentukan apakah mereka
masih memerlukan media dalam
bentuk yang dikenal saat ini atau
tidak. “Jika media gagal memenuhi
tantangan ini, kita (media cetak,
red) layak punah, seperti dinosaurus
yang dulu menguasai bumi,
”tukasnya.
Dari kondisi obyektif pers
nasional di atas, jelaslah bahwa
yang mengancam kemerdekaan
pers di Indonesia sesungguhnya
bukan dari kalangan ekternal tapi
justru dari kalangan internal pers itu
sendiri. Di tengah kegalauan yang
meliputi hampir seluruh pembicara
dan peserta diskusi, pandangan
bijak justru disuarakan Ketua
Dewan Pers Ikhlasul Amal.
Memperhatikan kebebasan pers jika
dikaitkan dengan sejumlah fenomena masyarakat yang justru
semakin memprihatinkan, menurut
mantan Rektor UGM ini, dikarenakan kebebasan pers sebagai
elemen demokrasi sesungguhnya
lebih maju daripada elemen
demokrasi di Indonesia. Akibat
adanya kebebesan pers inilah yang
justru mendorong elemen-elemen
masyarakat untuk menjadi masyarakat yang demokratis, yang salah
satunya diwujudkan dengan struktur
pemerintahan yang juga lebih
demokratis. “Saya optimis sekali
bahwa kebebasan pers di Indonesia
sudah cukup maju dan lebih maju
14 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Tentang keluhan insan pers
tentang kondisi masyarakat yang
masih saja belum meningkat
kualitas intelektualitasnya, dicerminkan dengan tetap rendahnya
oplag media berkualitas dan
semakin buruknya kualitas
tayangan media penyiaran, Ikhlasul
kembali mencoba berpikir bijak.
Ia melihat kualitas kemerdekaan
pers tidak akan terlalu maju jika
tidak didukung kualitas ekonomi
masyarakat yang dapat mendukung kebebasan pers berkembang dengan baik. “Kita
seharusnya tidak berharap terlalu
banyak karena bisa kecewa. Dan,
itu jangan berlarut-larut karena
dapat menutup kreatifitas termasuk
kebebasan itu sendiri.” pesannya.
Rasanya pesan Ikhlasul tetap
relevan untuk direnungkan bagi
insan pers, kecewa boleh-boleh
saja, tetapi jangan terperosok terlalu
dalam karena justru membunuh
kreativitas. Refleksi sepuluh tahun
bisa menjadi pengingat untuk tetap
berjuang bagi kemerdekaan pers
sekaligus membangun media yang
sehat. Semoga. (Teguh Apriliyanto)
Telisik
Infotainment
Mengeksploitasi
Tubuh Perempuan
P
rogram Infotainment ternyata tidak
hanya berisi gossip seputar orang ternama di Indonesia melainkan juga sarat
dengan gambar perempuan seksi berpakaian
minim. Program tersebut menjadikan tubuh
seksi dan pakaian minim para selebriti sebagai komoditas dan andalan utama mereka.
Potongan-potongan gambar perempuan seksi ini menjadi senjata untuk menarik pemirsa
dan meraih rating tinggi yang pada gilirannya
mendatangkan iklan yang banyak.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
15
Telisik
pertama program yang paling
banyak melanggar aturan seksualitas
yang dibuat oleh Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI). Tayangan yang
berisi cerita seputar selebriti ini
melakukan pelanggaran sebanyak
21 kali atau 52% dari seluruh jenis
pelanggaran. Program musik adalah
program paling banyak kedua
melanggar aturan KPI dengan
jumlah pelanggaran sebanyak 10
kali atau 25% dan tempat ketiga
adalah program film/FTV dengan
pelanggaran sebanyak 9 kali atau
23%.
Grafik 1: Prosentase Program Melanggar dan Tidak Melanggar
Selama Maret
Hasil pantauan Tim Komisi
Penyiaran
Indonesia
(KPI)
menunjukkan bahwa sepanjang
bulan Maret 2009, dari 85 item
acara atau program hiburan
(Infotainment, Drama lepas/ FTV
dan Musik) terdapat 19 acara atau
(22%) berisi tayangan seksualitas.
Program infotainment sendiri
melanggar pasal yang ditetapkan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebanyak 21 atau 52% dari seluruh
jenis pelanggaran.
Memang, kadar acara hiburan
yang mengandung unsur seksualitas
pada Maret tersebut masih berada
dalam rentang ringan. Meskipun
secara kuantitas tergolong ringan,
tetap perlu diwaspadai karena
tayangan seksualitas itu muncul pada
program-program yang menjadi
favorit pemirsa.
Bila dilihat dari lokus masalah,
100% pelanggaran tayangan
seksualitas berada pada gambar. Ini
memang sesuai dengan karateristik
TV yang selalu mengutamakan
gambar dibanding dengan suara.
(lihat tabel 1)
Dari hasil pantauan selama
Maret 2009, terungkap bahwa
visualisasi adegan seksualitas
dengan menampilkan pakaian
minim, atau ketat yang menonjolkan bagian bagian-bagian tubuh
yang lazim diasosiasikan dengan
daya tarik seksual menempati
peringkat pertama dengan 20 kali
pelanggaran (50%) menyusul
tempat kedua diduduki oleh
tayangan yang menyiarkan adegan
tarian, lirik lagi atau video klip yang
dapat dikategorikan sensual,
menonjolkan seks, membangkitkan
hasrat seksual atau memberi kesan
hubungan seks dengan jumlah
pelanggaran sebanyak 11 kali atau
27,50%. Tempat ketiga adalah
tayangan ciuman yang disertai
hasrat seksual dengan jumlah
pelanggaran
sebanyak 6 kali
atau 15%. (lihat
grafik 2)
Infotainment
Paling Banyak
Melanggar
Temuan
tim pemantau
menunjukkan
bahwa kategori
Infotainment
menempati
peringkat
Temuan ini semakin memperjelas bahwa Infotainment makin
jauh dari mainstream jurnalisme.
Menurut Rivers dkk fenomena
infotainment merupakan buah dari
tabloidisme yang mengandalkan
cerita kemesuman dan aneka
skandal. 1 Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel sebagai memandang
tabloidisme memperlakukan berita
sebagai seks atau skandal selebritas
sebagai kebenaran.2 Infotainment
lantas menjelma menjadi industri
hiburan, memandang kehidupan
sehari-hari selebritas adalah bagian
dari komoditas.
Bila dilihat dari Kode Etik
Jurnalisme Pasal 9: “Wartawan
Indonesia menghormati hak
narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk
Berikut tabel masing-masing
program melakukan pelanggaran
(lihat tabel: 2)
Tabel 1 : Lokus Masalah
Lokus
Jumlah
Persen
Gambar
40
100 %
Suara
0
0
Gambar dan Suara
0
0
Jumlah
40
100%
16 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Telisik
Grafik 2: Visualisasi Adegan Seksualitas
ketiga Indosiar dengan frekuensi
pelanggaran sebanyak 5 kali atau
12,50%.
Perlu diperhatikan bahwa
semua pelanggaran Trans 7 tersebut
terdapat
dalam
program
infotainment yang bertajuk I Gosip.
Untuk RCTI, pelanggaran mereka
umumnya disumbang oleh Go
Spot. Adapun untuk SCTV,
pelanggaran umumnya terjadi pada
program musik Inbox. (lihat tabel
4 dan grafik 4)
Tabel 4: Frekuensi Pelanggaran
Tiap-tiap Stasiun TV
kepentingan publik.” Tafsir ini
menunjukkan bahwa wartawan
harus menghargai privasi sumber
beritanya. Dalam prakteknya jelas
sekali infotainment jauh dari hal ini.
Pasal
Dilanggar
27
paling
sering
Hasil pantauan selama Maret
2009 menunjukkan pasal 27 SPS
masih dominan dilanggar oleh
stasiun TV. Pelanggaran yang
terjadi pada pasal ini mencapai 20
frekuensi atau sebanyak 50% dari
seluruh pasal tentang seksualitas di
Standar Program Siaran KPI. Pasal
27
mengatur
tentang
penggambaran manusia telanjang
dan penggambaran bagian-bagian
tubuh yang dianggap merangsang
(seperti, paha, payudara, dll).
Pasal yang paling banyak
dilanggar selanjutnya adalah pasal
21 dengan 11 kali pelanggaran
atau 27,50%. Peringkat ketiga
ditempati pasal 18 dengan 6
frekuensi pelanggaran atau 15%.
(lihat tabel 3 dan grafik 3)
mendongkrak rating dan memikat
penonton.
Trans 7 Paling Banyak
Melanggar
Stasiun manakah yang paling
banyak melanggar pasal yang
terdapat pada Standar Program
Siaran yang ditetapkan oleh KPI
selama bulan Maret? Hasil pantauan
menunjukkan bahwa Trans 7
melakukan pelanggaran paling
banyak dengan frekuensi 11 kali
atau 27,50%. Di tempat kedua
adalah RCTI dan SCTV dengan
masing-masing pelanggaran 9 kali
atau 22,50% disusul ditempat
Grafik 4: Pelanggaran Tiap-tiap
Stasiun
Infotainment “Demam” Julia
Perez dan Dewi Persik.
Hasil pantauan Tim KPI
menunjukkan bahwa program
infotainment paling banyak
melanggar aturan, yakni sebanyak
21 kali atau tertinggi dari semua
kategori. Pelanggaran terbanyak
dilakukan oleh I Gosip Pagi dan I
Gosip Siang yang disiarkan Trans
7. Pelanggaran I Gosip Pagi terjadi
pada 19 Maret 2009 pukul 07:30,
23 Maret 2009 dan 24 Maret 2009.
Topik liputan infotainment I
Fenomena pasal 27 ini
nampaknya belum bergeser dari
tahun 2008. Ini menunjukkan
bahwa TV masih menjadikan
bagian-bagian tubuh perempuan
sebagai bahan jualan untuk
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009
17
Telisik
b a g i a n
dadanya.
Gambar ini
d i n i l a i
Pasal
Jumlah
bermasalah
No.
SPS
Pelanggaran
Presentase % k a r e n a
k a r e n a
1
Pasal 18
6
15.00
melanggar
2
Pasal 19
2
5.00
S t a n d a r
Program
3
Pasal 20
0
0.00
Siaran (SPS)
4
Pasal 21
11
27.50
Pasal 27 ayat
3 yang di5
Pasal 22
0
0.00
tetapkan
6
Pasal 23
1
0.00
K o m i s i
7
Pasal 24
0
0.00
Penyiaran
Indonesia
8
Pasal 25
0
0.00
( K P I ) .
9
Pasal 26
0
0.00
Gambar ini
bermasalah
10
Pasal 27
20
50.00
k a r e n a
mengeksploitasi
Gosip Pagi pada edisi 19 Maret bagian tubuh (payudara) si artis
2009 tersebut adalah Damien Bikin yang dianggap membangkitkan
Panas Jupe. Damien tertangkap birahi.
kamera jalan dengan model asal
Sementara itu, I Gosip Siang
Malaysia. Dalam tayangan ini Julia
20 Maret 2009 menampilkan berita
Perez terlihat mengenakan baju
mengenai kedua kakak beradik
dengan model yang sangat minim
Sarah dan Rahma Azhari yang
sehingga terlihat hampir seluruh
mengadukan nasibnya ke Mahpayudaranya. Adegan ini jelas
kamah Konstitusi terkait foto-foto
melanggar Standar Program Siaran
bugil mereka yang beredar di
(SPS) Pasal 27 ayat 3, yakni
internet.
lembaga penyiaran televisi dilarang
Sayangnya, program infotainmenyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan ment ini turut menampilkan foto
pengambilan gambar close-up) mereka berdua yang sedang mandi
bagian-bagian tubuh yang lazim bersama di bawah pancuran.
dianggap membangkitkan birahi, Tampak mereka tidak mengenakan
seperti paha, pantat, payudara, dan penutup dada. Foto itu memang
kabur dan bagian tubuh kedua orang
alat kelamin.
itu dikaburkan dengan warna putih
Demikian juga pada tayangan
oleh stasiun TV bersangkutan.
I Gosip Pagi edisi 20 Maret 2009,
Namun penonton masih bisa jelas
Trans 7 menurunkan berita hiburan
melihat foto tersebut.
mengenai Dewi Persik yang
Foto itu ditampilkan sebanyak
menggugurkan kandungan. Di
sana, terdapat potongan gambar tiga (3) kali masing-masing
Dewi Persik berpakaian seksi. berdurasi tiga detik. Tayangan
Dewi Persik tampak mengenakan acara ini bermasalah karena
baju putih bergaris biru model melanggar Standar Program Siaran
kemben yang sangat rendah (SPS) Pasal 27 ayat 2, yakni
sehingga terlihat sebagian besar lembaga penyiaran televisi dilarang
Tabel 3 : Frekuensi Pelanggaran Tiap Pasal
18 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
menyiarkan gambar manusia
telanjang atau yang mengesankan
telanjang, baik bergerak atau diam.
Memang, adegan tersebut ditayangkan sebagai latar belakang berita
bukan peristiwa itu sendiri.
Namum, tayangan yang berulang
dengan durasi yang cukup panjang
cukup mampu mengarahkan
perhatian penonton ke adegan
tersebut. Bukan tidak mungkin foto
yang ditayangkan tersebut justru
menarik perhatian penonton dan
membuat mereka penasaran untuk
mendapatkan foto-foto lainnya di
internet. Dengan kata lain, tayangan tersebut dapat mendorong
penonton untuk mendapatkan yang
lebih dari apa yang mereka tonton
di televisi.
Pelanggaran yang sama juga
dilakukan oleh Trans TV, saudara
tua Trans 7, lewat program
infotainment Insert Sore, 21 Maret
2009 pukul 17:00. Program
infotainment ini banyak menampilkan gambar-gambar seksi Julia
Perez. Ini mungkin hendak membenarkan atau membuktikan narasi
yang menyertai tayangan tersebut,
yakni Julia Perez gemar mengenakan pakaian seksi. Di layar
televisi tampak kemesraan kedua
pasangan tersebut. Si suami
merangkul, memeluk dan mencium
Julia. Adegan seperti ini muncul
sebanyak tiga (3) kali dengan durasi
yang cukup panjang sekira tiga
hingga lima detik. Adegan ini
sepertinya biasa dan tidak
bermasalah apalagi dalam konteks
suami istri. Namun, adegan yang
diulang tersebut tidak cukup pantas
ditayangkan di televisi yang banyak
disaksikan anak-anak. Kemesraan
semacam itu sebaiknya tidak perlu
hadir dan dibesar-besarkan.
Dua gambar tersebut sangat
mengganggu dan melanggar aturan
yang dibuat KPI. Pertama, gambar
seksi Julia Perez memakai baju
Telisik
model tank top berdada rendah
sehingga terlihat jelas lekukan dan
belahan dadanya.
Kedua, gambar atau foto seksi
Julia mengenakan baju merah
menyala model kemben yang
sangat rendah sehingga payudaranya terlihat setengahnya. Kedua
gambar ini bermasalah karena
melanggar Standar Program Siaran
(SPS) Pasal 27 ayat 3, yakni
lembaga penyiaran televisi dilarang
menyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan
pengambilan gambar close-up)
bagian-bagian tubuh yang lazim
dianggap membangkitkan birahi,
seperti paha, pantat, payudara, dan
alat kelamin. Tayangan infotainment kali ini tampaknya memang
sedang mengeksploitasi bagian
tubuh Julia Perez. Bagian tubuh
perempuan ini kemudian dijadikan
isi utama tayangan mereka. Stasiun
televisi bersangkutan terlihat tidak
peka pada dampak yang mungkin
muncul dari tayangan tersebut.
Sekilas seperti tidak akan berdampak apa-apa pada penonton
karena gambar seksi itu ditampilkan
hanya beberapa detik. Namun, bila
itu ditayangkan secara berulang
bukan tidak mungkin berpengaruh
pada tingkat sensitivitas penonton.
Penonton menjadi terbiasa terhadap
gambar atau tayangan yang
mengeksploitasi tubuh perempuan.
Pelanggaran serupa juga terjadi
pada program Espresso, Infotainment yang disirakan ANTV. Dalam
edisi 21 Maret 2009 pukul 10:0011:00 diceritakan bahwa dunia
entertainment bisa digunakan
sebagai jalan meraih popularitas.
Seorang selebriti bisa berangkat
dari dunia tarik suara lalu
menyebrang ke jalur sinetron atau
sebaliknya. Salah satu contoh
selebriti yang disebut adalah Julia
Perez. Pada saat menyebut Julia
Perez itulah ANTV menampilkan
cuplikan lagu Julia Perez yang
berjudul Belah Duren. Dalam
cuplikan itu Julia Perez terlihat
mengenakan busana tank top ketat
sehingga payudaranya terlihat
sangat jelas.
Selama bulan Maret 2009,
infotainment “demam” Julia Perez
dan Dewi Persik. Hampir di setiap
infotainment selalu menghadirkan
kisah sensasional kedua pesohor ini.
Program infotainment memanfaatkan dan mengeksploitasi kisah
mereka berdua.
Dengan fakta-fakta di atas,
dapat disimpulkan bahwa, pertama,
infotainment mencederai esensi
jurnalisme. Jurnalisme selalu
berangkat pada fakta demi
kepentingan publik, sedangkan
jurnalisme infotainment berlandaskan pada gossip pada wilayah
privasi.
Kedua, Infotainment menjadi
sarana mengumbar pornografi dan
seksualitas. Cerita-cerita artis dalam
infotainment senantiasa dibumbui
dengan gambar-gambar yang
mengesploitasi tubuh perempuan
dan sehingganya berpotensi
membangkitkan nafsu birahi.
Musik “Keranjingan” The
Changcuters
Bila di Infotainment ada Julia
Peres dan Dewi Persik yang selalu
tampil sensasional. Di kategori
musik ada Cangcuters dengan lagu
“main serong”. Hal tersebut dapat
dilihat pada penampilan mereka di
acara Dahsyatnya Week End Mau
Ulang Tahun, Minggu, 22 Maret
2009 yang disiarkan RCTI. Dalam
video klip yang berjudul “Main
Serong” ditampilkan adegan yang
memberi kesan hubungan seks
yang dilakukan oleh sepasang
pemuda yang sedang main serong.
Hal ini merupakan pelanggaran
terhadap SPS pasal 21 (2) mengenai
muatan seks dalam video klip lagu.
Adengan yang sama kembali
diulangi pada penampilan mereka
pada acara Inboks yang disiarkan di
SCTV 26 Maret 09 jam 7:30.
“INBOX” adalah program
musik perpaduan antara live dan
tampilan video musik yang
dibawakan oleh trio MC, Nicky
Tirta, Magdalena, dan Ricky Harun.
Lokasi acara ini berpindah dari 1
kota ke kota yang lain.
Selain INBOX, SCTV juga
melakukan pelanggaran pada acara
Music by Request, yang disiarkan
pada 28 Maret pukul 14:30.
Pelanggaran dalam acara ini terkait
dengan lirik lagu “Mari Bercinta”
yang dapat diasosiasikan dengan
hubungan seks. Perhatikan kutipan
lagunya berikut;
Grafik 3: Frekuensi Pelanggaran Tiap Pasal
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
19
Telisik
kamu inginkan aku
peluk aku
cium aku
kamu inginkan aku
ingin bercinta denganku
tapi malam ini bukan hanya
untukmu
malam ini kita bercinta
bersama
uhuuuuuuu...
Lirik tersebut terlihat sangat
sensual dan seolah-olah menjadikan
wanita semata sebagai obyek seks.
Hal ini secara umum melanggar SPS
pasal 21 mengenai muatan seks
dalam lagu. Selain liriknya,
penampilan penari latar mereka
menampilkan gerakan-gerakan
yang sensual, apalagi tubuh penari
tersebut dibalut dengan pakaian
yang menonjolkan bagian tubuh
yang lazim membangkitkan nafsu
birahi.
“Music By Request” adalah
program musik yang menampilkan
band-band papan atas yang sedang
naik daun yang menyanyikan lagu-
lagu andalannya secara live. Dalam
acara ini pemirsa dapat memilih
lagu-lagu yang disukainya serta
menyampaikan pesan singkat
melalui SMS yang ditampilkan
dalam running text sepanjang acara
berjalan.
Pelanggaran juga dilakukan
oleh acara Klik yang disiarkan
ANTV, 20 Maret 09 jam 15:0016:00. Klik menampilkan adegan
mesra antara Ariel (vokalis group
Peterpan) dengan seorang perempuan bintang klip lagu yang berjudul
“Kisah Cintaku”. Disana digambarkan seorang perempuan menyandarkan kepalanya ke bahu Ariel
beberapa kali mempelihatkan
adegan yang hampir berciuman.
Di kategori Film/FTV,
pelanggaran terbanyak disumbang
oleh SCTV lewat dua FTV mereka
yakni Gala Keluarga: Kukejar
Cintamu Sampai ke Bali yang
siarkan 21 Maret 09 pukul 22:00
dan Cintaku Nyangkut Di Bali, 27
Maret 09.
Dalam Kukejar Cintamu
Sampai ke Bali, dikisahkan Rama
mengejar kekasihnya, Luna yang
pergi ke Bali
u n t u k
Tabel 4 : Frekuensi Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun
mengobati
rasa
luka
Jumlah
h a t i n y a
No.
Stasiun TV
Pelanggaran
Persen
s e t a l a h
dikhianati
1
RCTI
9
22.50
oleh Rama.
2
SCTV
9
22.50
R a m a
bertanya
3
INDOSIAR
5
12.50
k e s a n a
4
TPI
0
0.00
kemari untuk
menemukan
5
ANTV
3
7.50
L u n a
6
METRO TV
0
0.00
bersama
salah satu
7
TRANS 7
11
27.50
sahabatnya,
8
TRANS TV
3
7.50
Leon.
Di
Bali, Luna
9
TV ONE
0
0.00
menyembuhkan
10
GLOBAL TV
0
0.00
lukanya
20 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
bersama dengan sahabatnya Siena.
Siapa yang menyangka bahwa
Siena adalah teman lama Leon, dan
ketika mengenal Rama, Siena
menyukai Rama. Luna mengira
sahabat dan kekasihnya telah mengkhianatinya, namun Siena akhirnya
bisa meyakinkan Luna bahwa ia
harus bisa mendengarkan kata
hatinya sendiri.
Di dalam film ini terdapat tiga
(3) pelanggaran. Dalam pelanggaran
pertama, ditampilkan pelanggaran
terhadap SPS pasal 18 (1), di mana
hasrat seks terlihat jelas dari sosok
banci yang ditemui oleh Rama dan
Leon. Ia berkali kali menggoyanggoyangkan dadanya, sembari
menjilat-jilat. Begitupula dengan
tindakan Rama yang menarik
pakaian yang digunakan oleh orang
tersebut.
Dalam pelanggaran kedua,
pelanggaran terhadap SPS pasal
18(1) ditunjukkan dalam pembicaraan antara Rama dengan Leon
mengenai gadis-gadis bule yang
lewat di depan mereka dengan
menggunakan pakaian yang seksi
(bikini). Tampilan para gadis bule
berpakaian bikini juga merupakan
pelanggaran terhadap SPS pasal 27
(3) mengenai menyajikan tayangan
yang mengeksploitasi bagian tubuh
seperti dada dan paha.
Pada pelanggaran ketiga,
ditampilkan Siena menggunakan
pakaian dengan potongan leher
yang rendah sedang mendengarkan
curahan hati Luna. Tampilan seperti
ini seharusnya tidak perlu ada,
sehingga merupakan eksploitasi
terhadap bagian tubuh, atau SPS
pasal 27 (3).
Sementara itu Dalam FTV
“Cintaku Nyangkut di Bali”
diceritakan tentang Cindy yang baru
saja dicampakkan oleh pacarnya,
Anton, karena ia mencintai wanita
lain. Karena masalah itu, sidang
skripsinya jadi kacau berantakan.
Telisik
Grafik 4: Pelanggaran Tiap-tiap Stasiun TV
berikut:
· Visualisasi adegan seksualitas
dengan menampilkan pakaian
minim, atau ketat yang menonjolkan bagian bagian-bagian
tubuh yang lazim diasosiasikan
dengan daya tarik seksual
menempati peringkat pertama
dengan 20 kali pelanggaran
(50%).
Demi mengejar Anto, Cindy datang
ke Bali, dan berusaha bertemu dan
menarik hatinya lagi. Cindy juga
menyamar sebagai Shinta, koki di
hotel tempatnya menginap.
Ternyata di sana ia justru bertemu
dengan Roni, anak pemilik hotel,
yang awalnya mencintai Lily,
kekasih baru Anton. Namun seiring
dari kedekatan dan kesamaan nasib,
akhirnya Roni dan Cindy saling
jatuh cinta. Sementara Lily dan
Anton nyaris saja dipecat karena
bermesraan di hotel tempat mereka
bekerja.
Pelanggaran dalam Gala
Sinema ini lebih banyak dalam
bentuk penggambaran baik secara
implisit dan eksplisit berciuman
bibir. Hal ini merupakan bentuk
pelanggaran terhadap SPS pasal 18
(2) yang ditampilkan berulang.
Seperti misalnya, Anto berciuman
dengan kekasihnya, sementara
Cindy memotretnya dari kejauhan.
Selain itu ada adengan Cindy
yang menggunakan pakaian seksi
terlihat menonjolkan pahanya
sedang menerima telpon dari Tia.
Demikian juga dengan Tia yang
menggunakan celana yang sangat
pendek sehingga menunjukkan
sebagian pahanya. Adegan ini dapat
dikategorikan melanggar pasal 27
SPS mengenai ekploitasi bagian
tubuh wanita.
Pelanggaran lain dilakukan
oleh Indosiar, lewat FTV Anakku
Buah Hatiku yang ditayangkan,
Minggu 29 Maret 09 pukul 15:00.
Film lepas episode ini bercerita
tentang kakak beradik, Rayni dan
Ryan, umur mereka berjarak cukup
jauh, Rayni berusia 19 tahun,
sedangkan Ryan berusia 7 tahun.
Rayni merasa kurang diperhatikan
oleh kedua orang tuanya, sehingga
dirinya mencari hiburan di luar
rumah, dan menyukai dunia
gemerlap (dugem).
Rayni berteman dengan
Joseph, yang ternyata remaja yang
nakal. Rayni diperkosa, hingga
akhirnya ia pun hamil di luar nikah.
Meski orangtuanya meminta Rayni
untuk menggugurkan kandungan, ia
tetap bersikeras akan menjaganya.
Tayangan ini bersisi adegan paksaan
pemerkosaan, dan juga tarian-tarian
di intro film, yang menggambarkan
wanita sebagai obyek seks, dengan
menari di atas meja. Adegan
tersebut dapat diindikasi melanggar
pasal 20 dan 21 SPS.
· Selama Maret 2009 menujukkan
pasal 27 masih dominan dilanggar oleh stasiun TV. Pelanggaran
yang terjadi pada pasal ini
mencapai 20 frekuensi atau
sebanyak 50% dari seluruh pasal
tentang seksualitas yang terdapat
pada Standar Program Siaran KPI.
· Trans 7 melakukan pelanggaran
paling banyak dengan frekuensi
11 kali atau 27,50%. Tempat
kedua ditempati oleh RCTI dan
SCTV dengan masing-masing
pelanggaran 9 kali atau 22,50%
disusul di tempat ketiga Indosiar
dengan frekuensi pelanggaran
sebanyak 5 kali atau 12,50%.
· Infotainment menempati peringkat pertama program yang
paling banyak melanggar aturan
mengenai tayangan seksualitas
KPI. Tayangan yang berisi cerita
seputar selebriti ini melanggar
ketentuan sebanyak 21 kali atau
52% dari seluruh jenis pelanggaran. Peringkat kedua program
yang paling banyak melanggar
adalah Program musik dengan
jumlah pelanggaran sebanyak 10
kali atau 25%. Peringkat ketiga
ditempati program film/FTV
dengan pelanggaran sebanyak 9
kali atau 23%. (Afdal Makkuraga
Putra)
(Sumber)
1
Lihat Bimo Nugroho dan Teguh
Imawan, Infotainment, 2005 hal.
33.
2
Ibid.
Kesimpulan
Hasil pantauan Maret 2009
menghasilkan kesimpulan sebagai
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
21
Opini
Bias Selebritas
Dalam Panggung
Politik di Indonesia
oleh. Ilham Prisgunanto*
Perhatikanlah fenomena yang terjadi dalam panggung
politik di Indonesia saat ini. Terdapat pertarungan antara
sosok dan isi pesan dimenangkan oleh sosok. Dengan
demikian isi pesan dalam komunikasi tidak dianggap
SHQWLQJGLEDQGLQJNDQVRVRNSUR¿O\DQJDGD%XNWL
nyatanya adalah begitu spektakulernya suara yang didapat
oleh para artis dan selebritas kita dalam Pemilu legislatif
pada tahun 2009 kemarin.
22 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Opini
B
agaimana komunikasi
politik di Indonesia?
Apakah isinya sudah
memberikan kepada arah
pendidikan politik yang mapan dan
demokratis? Itulah pertanyaan
mendasar yang penulis ambil dari
sebuah artikel dari buku babon
komunikasi politik yang ditulis oleh
Bruce I. Newman and Richard M.
Perloff tentang Political Marketing:
theory, research and application
dalam Handbook of Political
Communication Research Lynda
Lee Kaid (ed.) (London: Lawrence
Erlbaum, 2004). Dalam tulisan
tersebut jelas bahwa perbedaan
mendasar antara komunikasi
pemasaran politik dengan produk
terletak pada tujuan akhir dari proses
pemasarannya. Pada komunikasi
pemasaran produk tujuan yang
hendak dicapai sesuai hukum
ekonomi adalah imbas sesaat
perubahan sikap konsumen,
semakin cepat dan melakukan
tindakan beli adalah baik dan
efektif.
Berbeda dengan itu, komunikasi pemasaran politik lebih
menekankan pada pengarahan
dukungan publik dengan mengutamakan unsur pendidikan politik
yang dewasa, bijaksana, demokratis
dan sehat. Bila tujuan yang
dimaksud tidak tercapai berarti
komunikasi pemasaran politik
bangsa Indonesia belum sesuai
dengan esensi yang sesungguhnya.
Bila mengamati gaya komunikasi
pemasaran politik Parpol, Capres
dan Caleg di Indonesia begitu jauh
dari harapan dari buku tersebut.
Semua menganggap, bahwa citra
maya dan sementara (pseudeo) itu
penting dan pemberi suara (voter)
adalah pihak awam dalam memilih
sehingga tidak perlu diberikan
pendidikan politik yang demokratis.
Situasi sedemikian menyebabkan Parpol, Caleg, Capres dan
Cawapres terjebak dalam bayang-
bayang layaknya komunikasi
pemasaran produk yang dikenal
dengan pengaruh bias-bias selebritis
yang dimasukkan (endorse) dalam
sebuah produk. Mereka-mereka itu
lebih mengutamakan sosok daripada
pesan yang ada, dan ini sudah
penulis prediksikan jauh setelah
Indonesia mengadakan Pemilu
langsung terdahulu (Prisgunanto,
2009:22). Tak heran bila akhirnya
Parpol, Caleg, Capres dan Cawapres
tak ada bedanya dengan selebritis
yang lebih dipamerkan, seperti
layaknya patung yang diberi riasan
wajah, stelan baju bermerek,
aksesoris dan tidak lupa senyuman
yang semuanya adalah palsu.
Dengan demikian jelas, bila
mereka (Parpol, Caleg, Capres dan
Cawapres) itu dipertandingkan
dengan selebritis maka penulis
dapat prediksikan pasti mereka
kalah karena kurang pengalaman
dan bisa bermain panggung. Oleh
sebab itu, kehadiran Dedi Mizwar
untuk maju menjadi Presiden dan
Dhani Ahmad menjadi Wakil
Presiden merupakan lawan yang
terberat dan bukan main-main bagi
mereka. Dedi Mizwar dengan cap
‘Nagabonar’-nya bisa menyaingi
para mantan para Jenderal yang akan
naik dan Dhani Ahmad dengan
kemampuan diplomasi mengiring
pers saat perang urat syaraf dengan
istrinya Maia Estianti pasti akan
disamakan dengan presiden SBY
dan Jusuf Kala ketika menghadapi
kenaikan BBM dunia.
Buktinya, sebutlah sejumlah
nama selebritis yang mampu
memenangkan Pilkada beberapa
waktu lalu, seperti DedeYusuf dan
Rano Karno yang jalan melenggang
ke Pemerintahan karena unggul
dalam dominasi bias selebritas. Para
selebritis ini bisa memikat pemberi
suara (voter) dan meminta
dukungannya untuk mempercayai
dan memberikan suaranya. Tanpa
ragu lagi voter yang sudah larut
dalam bias selebritas langsung
memilih. Rano Karno “Si Doel Anak
Sekolahan” dan Dede Yusuf “si Jojo
dalam Jendela Rumah Kita”.
Dramaturgi Panggung Politik
Konsepsi teoritik dramaturgi
dari pemikiran Erving Goffman dan
Kenneth Burke memberikan
pandangan nyata bahwa dunia ini
seperti panggung sandiwara,
dimana setiap orang memiliki lakon
dan alur cerita yang jelas (Goffman
and Burke dalam Mulyana, 2007).
Manusia berupaya memahami
identitas diri dengan memposisikan
lakon mereka dalam kehidupan
yang dianggap sebagai panggung.
Goffman sendiri membagi
dramaturgis menjadi panggung
depan (front stage) dan belakang
(back stage). Pembagian domain
ini memberi pemahaman terhadap
perbedaan peran dan konsep diri
manusia.
Pada panggung depan (front
stage) manusia akan diisi dengan
lakon-lakon yang penuh kepalsuan,
kebohongan atas tuntutan skenario.
Olah vokal dan mimik wajah diatur
sedemikian rupa agar pesan yang
disisipkan bisa dimengerti dan
dipahami penonton. Panggung juga
dimanipulir demi kepentingan
pengarahan emosi penonton.
Panggung depan (front stage) begitu
membius dan mampu membawa
orang kepada fantasi-fantasi dan
khayalan yang mereka miliki.
Pesan-pesan moral yang disisipkan
dalam setiap episode akan begitu
mudah diingat, dicerna dan ditelan
bulat-bulat meski belum tentu
benar.
Bayangkan rakyat yang seharihari sudah hidup menderita, sulit,
miskin dan terhimpit tentu saja
secara naluriah ingin keluar dari
alam itu. Sejak membuka mata
mereka sudah ditimpa himpitan
hidup yang sangat berat. Ketika
mereka melarikan diri dengan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
23
Opini
menonton sinetron, film dan drama
teater seolah-olah mereka menjadi
lakon dalam kisah tersebut, larut
dalam suasana hati dan bisa
melupakan himpitan hidup. Tokoh
idola dan antagonis begitu dekat
dengan mereka, selebitis dianggap
sebagai pahlawan yang bisa
melawan kesulitan hidup meski
sesaat.
Panggung belakang (back
stage) berisi tentang kondisi
sesungguhnya dari pelakon dalam
kehidupan sehari-hari bukan dalam
kehidupan glamour artis. Lakonnya
tidak dimanipulir dan mengada-ada,
semua berjalan seperti apa adanya
dalam kehidupan rutin sehari-hari.
Mulyana melengkapi konsepsi
Goffman dengan panggung tengah
(middle stage) yang menjelaskan
hubungan antar tokoh dan pelakon
dalam ikatan emosional kuat atas
dasar kesamaan senasib dan profesi
(Ibid, 2007).
Kenyataannya panggung
politik di Indonesia saat ini begitu
menjemukan dan tidak mengakomodir fantasi dan khayalan
voter. Ibarat gerbong keretanya
berbeda, tetapi penumpang dan
awaknya sama pemain terdahulu
yang berusaha mencari kesempatan
baru dalam pelanggengan kekuasaan. Semua yang dilakoni mereka
jauh dari yang diinginkan dan
dianggap tidak mengikuti keinginan
penonton (rakyat). Mereka menari
dan berlakon sendiri bukan atas
genderang dan tarikan musik yang
diinginkan penonton. Tarian dan
lakon mereka semu dan penuh
dengan kepalsuan yang hanya
membela atas nama kepentingan
kelompok saja. Lakon-lakon yang
dimainkan monoton, mudah
ditebak dan membosankan serta
hanya itu-itu saja.
Berbeda dengan para selebritis
yang begitu jujur, polos dan apa
adanya semua tentang dirinya.
Dalam pemberitaan infotainment
mereka menangis, tertawa dan
terkejut sesungguhnya tidak
berpura-pura tidak seperti berita
politik. Bila mereka bekerja
menjadi pemeran dalam sinetron,
film dan drama teater terlihat begitu
menjalani sesuai skenario yang ada,
tidak seperti panggung politik yang
tidak jelas dan terlalu kompleks.
Selebritis bisa menyenangkan dan
membuai hati rakyat yang sedang
kesulitan. Sikap selebritis yang
menasihati, setia kawan, tidak
munafik dan terbuka. Berbeda
dengan pelaku politik yang selalu
berubah-ubah,
tidak
bisa
memberikan keteladanan, suka
selingkuh, munafik, korup dan
mudah mengorbankan teman
politik.
Bukti nyata perhatikan kasus
pecahnya koalisi antara Susilo
Bambang Yudhoyono (disingkat
SBY) dengan Jusuf Kalla (disingkat
JK). Media massa serentak
menampilkan kasus ini secara besarbesaran dengan mendramatisasi
dengan balutan kepentingan
ideologi tersendiri. Kebohongan
dan kepalsuan ditampilkan dengan
sembrono oleh pers dalam upaya
mencemoohkan dan memojokkan
perilaku politik. Pecahnya
hubungan harmonis SBY dan JK
yang kemudian dilanjutkan dengan
munculnya koalisi-koalisi yang
dianggap sempalan dan menyesatkan. Munculnya calon-calon
presiden lain ini dipandang negatif
dan makin mengerogoti citra
negatif dari para pelaku politik di
Indonesia.
Kepalsuan yang dibalut oleh
sikap dualisme kepentingan dalam
pemahaman tidak ada teman sejati
menjadi begitu mengakar kepada
para politisi di Indonesia. Saling
tuduh, sikut dan jatuhkan adalah
biasa dan terjadi dalam dunia kotor
politik. Berbeda dengan para
selebritis yang selalu berupaya
24 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
menutupi dan menyelimuti
keburukan teman sesama. Selebritis
dianggap sebagai kelompok
tertentu yang solid dan menyatu,
tidak terpecahkan.
Banyaknya infotainment
membawa orang kepada pembenaran bahwa selebritis adalah
kelompok eksklusif yang berbeda
dalam masyarakat biasa. Mereka
lebih mumpuni dan memiliki jiwa
yang unggul daripada orang
kebanyakan. Tak heran bila saat ini
kedudukan dan panggung selebritis
lebih berkilau dan dielu-elukan
oleh rakyat daripada panggung
politik, karena memang menampilkan sosok yang sesungguhnya.
Selebritis yang memaki akan
meminta maaf, selebritis yang mau
bercerai, putus cinta dan menikah
akan membuat konferensi pers
untuk memberitahukan khalayak,
selebritis yang berhasil dan gagal
juga akan cerita. Jadi jangan
ragukan Caleg, Capres dan
Cawapres dari kalangan selebritis,
karena dari mereka bisa jadi
kebangkrutan kepercayaan politik
rakyat saat ini dapat dihilangkan.
Oleh sebab itu, mulai sekarang
hentikanlah semua pesan politik
yang tidak mendidik dan
membohongi rakyat. Buailah
mereka dengan apa yang inginkan.
Berusaha mendengarkan apa yang
mereka inginkan adalah sesuatu
yang bijak. Bukan arogansi diri
dalam upaya mengklaim kebenaran
atas konsepsi pribadi.
*Penulis Buku Komunikasi dan
Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi
UNPAD.
Bibliografi
Jaeni (2007). Komunikasi Seni
Pertunjukkan: membaca teater
rakyat Indonesia (Sandiwara
Cirebon). Bandung: Etnoteater
Publishing.
Kaid, Lynda Lee (ed.). (2004).
Opini
Handbook of Political Communication Research. London: Lawrence
Erlbaum
kasi Politik dan Alienasi Penduduk
Asli,” Sinar Harapan, 12 September
2006.
Littlejohn, Steven (1999).
Human communication theories.
Belmont: Wadworth.
Prisgunanto, Ilham (2009).
Komunikasi & Polisi: Dilengkapi
dengan kasus-kasus mutakhir.
Jakarta: Prisani Cendekia.
Prisgunanto, Ilham (2006).
Komunikasi Pemasaran: Strategi dan
Taktik. Jakarta: Ghalia Indonesia
Prisgunanto, Ilham(2005).
Praktik ilmu komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari. Jakarta:
Teraju: Mizan, 2006.
Prisgunanto, Ilham, “Komuni-
Putnam, Linda L and Michael
Pacanowsky (eds.) (1983). Communication and organizations: an
interpretive approach. London:Sage
Robert F. Bales (1979),
Interactional Process Analysis: a
method for the study of small
Groups (reading, MA: AddisonWesley, 1950); Personality and
interpersonal behavior (New York:
Holt, Rinehart & Winston, 1970);
Robert F. Bales, Stephen P. Cohen,
and Stephen A. Williamson,
SYMLOG: a system for the Multiple
Level Observation of Group
(London: Collier).
Samovar, Larry. A and Richard
E. Porter (2004). Communication
between culture. Belmont:
Wadworth.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /73/2009
25
Profil
W A W A N C A R A
Ichlasul Amal
Ikhlasul
Amal:
“Pers Harus Kembali
Mentaati Kode Etik Pers”
D
i tengah skeptisme dan
kekecewaan masyarakat yang menilai pers
nasional gagal memerankan
fungsinya yang ideal, Ketua
Dewan Pers Ichlasul Amal
tetap berprasangka baik.
Doktor ilmu politik UGM yang
telah memasuki usia pensiun
ini, tetap yakin jikalau media di
Indonesia dapat berperan
strategis dalam proses
demokratisasi di Indonesia.
26 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Profil
Di tengah skeptisme dan
kekecewaan masyarakat yang
menilai pers nasional gagal
memerankan fungsinya yang ideal,
Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal
tetap berprasangka baik.
Doktor ilmu politik UGM yang
telah memasuki usia pensiun ini,
tetap yakin bahwa media di
Indonesia dapat berperan strategis
dalam proses demokratisasi di
Indonesia. Keterbukaan yang saat
ini dinikmati rakyat Indonesia
adalah buah dari perjuangan pers
yang telah memperjuangkan
demokratisasi
pada
akhir
pemerintahan Presiden Soeharto.
Bagi Ichlasul yang telah akrab
dengan dunia pergerakan sejak
mahasiswa (Angkatan ’66), perslah
yang memelopori demokratisasi di
Indonesia, bukannya demokrasi
yang mendorong terjadinya
kemerdekaan pers.
Optimisme mantan Rektor
Universitas Gadjah Mada (19982002) yang ikut turun demonstrasi
bersama mahasiswa memperjuangkan reformasi pada 1998 tersebut
bisa jadi tetap diperlukan untuk
tetap menggairahkan semangat para
pekerja media yang resah untuk
tetap memperjuangkan nilai-nilai
ideal. Pada acara: ‘Refleksi Sepuluh
Tahun Kemerdekaan Pers’ di
Jakarta Media Center awal Mei
2009 misalnya, memunculkan hiruk
pikuk otokritik, kekesalan dan
kekecewaan para praktisi pers
nasional.
Anggota Dewan Pers Leo
Batubara menilai betapa media
cetak dan elektronik masih kerap
melanggar kode etik jurnalistik dan
gagal memerankan fungsi pers yang
ideal. Ketua Komisi Penyiaran
Indonesia S Djuarsa Senjadja
menekankan komodifikasi isi
media TV nasional yang lebih
banyak berisi adukan materi
popularitas, konflik, sensasi dan
seks. Tidak heran acara ‘infotainment’, ‘reality show’ maupun ‘talk
show’ syarat dengan muatan yang
mengekploitasi selera rendah
tersebut. “Dikaitkan dengan kaidah
jurnalistik, tayangan-tayangan
termasuk katagori ‘yellow
journalism’ (koran kuning yang
mengumbar materi kekerasan dan
seksualitas, red),” katanya.
Berikut wawancara singkat
“Media Watch” dengan Ichlasul di
sela-sela diskusi hangat para insan
pers yang terus berusaha menyuarakan kemerdekaan pers sekaligus
menyadari tantangan pers semakin
berat di masa depan.
Kasus penahanan Ketua KPK
Antasari Azhar kembali menyadarkan kita bahwa antara pers
atau media dan ‘kekuasaan’ masih
terlibat hubungan kolusi tidak
sehat. Mengapa ini masih terjadi?
Saya tertarik dengan komentar
banyak orang, dengan adanya kasus
Antasari Azhar, yang paling senang
itu media. Banyak berita menyoroti
kasus ini. Dan media itu jadi laku
keras. Orang pasti membaca itu.
Bagaimanaun juga media kan bisnis,
tidak bisa lepas dari itu. Kita yang
tinggal di Yogja, pernah mengamati
tiras Jawa Pos naik pada waktu
Perang Irak. Memang, ada
peristiwa-peristiwa tertentu yang
diharapkan dapat diperoleh dari
media. Kalau kita mengharapkan
media, betul betul suci, tidak mau
mengeksploitasi kejadian itu, kita
yang salah...
Bagaimana dengan fenomena
hubungan khusus antara pemilik
media dengan kekuasaan?
Bukankah ini akan mempengaruhi
independensi dan obyekivitas
media karena menjadi alat
kekuasaan?
Saya kira, sebagai gejala
umum, itu ada dimana-mana.
Masalahnya bukan kekuasaan
secara langung mempergunakan
media. Tetapi, yang jelas, media
sangat lapar sekali pada informasi
yang salah satunya datang dari
kekuasaan. Seringkali kekuasaan itu
melempar informasi yang dalam
tanda petik sudah dimanipulasi. Itu
bisa lewat media dan gampang
sekali terjadi karena media sangat
sensitif sekali pada berita semacam
itu.
Selaku Ketua Dewan Pers ada
saran bagaimana seharusnya
media mensikapi kecenderungan
ini?
Ya hati-hatilah. Nanti medianya juga tidak laku. Masyarakat
akan tahu....
Lalu, bagaimana kekuasaan
seharusnya memperlakukan
media?
Jangan bilang hanya pada
kekuasaan. Memang, pada negara
yang sedang berkembang, sumber
informasi itu paling banyak datang
dari kekuasaan. Tetapi, di negaranegara yang sudah maju, sumber
informasi juga datang dari swastaswasta yang memiliki kekuatan
ekonomi. Itu bisa saja dipakai.
Kalau kita lihat, dulu kasus
‘Watergate’, itu kan bukan dari
kekuasaan tetapi dari sektor swasta.
Di negara-negara maju, itu tidak
terkait dengan “kekuasaan” tetapi
bahwasanya informasi itu bisa saja
dari lembaga-lembaga yang lain,
itulah fungsi pers yang harus tetap
mencari informasi itu.
Apa perlu dibuat semacam
aturan tertentu?
Itu bisa saja ya tetapi itu tidak
bisa dibuat suatu rumusan atau
aturan. Yang jelas, dalam kode etik
tidak boleh membuat berita
bohong, tidak boleh membuat
berita yang belum diverifikasi. Itu
mesti begitu. Pers harus kembali
mentaati Kode Etik Pers. Bisa saja
dibuat aturan. Namun, kalau aturan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /73/2009
27
Profil
itu tidak berlaku dan tidak dapat
dijalankan, bagaimana? Itu kan
sama saja. Sekarang kita bisa
menyarankan supaya kode etik
tetap menjadi pegangan dari para
wartawan. Jangan samapai terlanjur
terlibat dalam hal-hal kolusi seperti
itu.
Kalau alat kekuasaan itu
memberikan informasi yang benar
dan tidak direkayasa, itu tidak apaapa karena masyarakat butuh
tentang informasi itu. Tetapi,
informasi dari kekuasaan, biasanya
sudah dimanipulasi. Karena itu, saya
dengar ada cerita di belakang ini
macam-macam. Ada kaitannya
dengan Pemilu dan sebagainya, apa
itu betul? Saya sendiri tidak tahu....
Ini sedikit lain ya, saya melihat
kasus Antasari, media terlalu besar
memberitakannya. Saya lihat di TV
itu disiarkan berulang-ulang. Berita
itu sebetulnya sudah lama tetapi
terus diputar. Itu sudah over
expose. Paling memprihatinkan
sebetulnya berita TV. Kalau di surat
kabar memuat materi yang sama
dua kali kan tidak mungkin. Kalau
di TV bisa berkali-kali. Itu terlalu
over expose.
***
Selama dua periode kepengurusannya dari 2003 sampai
Sekarang, Amal menegaskan,
Dewan Pers berupaya untuk terus
meningkatkan profesionalisme pers
Indonesia. Jika pers sudah
profesional, ia mengangankan
makin lama semakin sedikit
pengaduan dari masyarakat
mengenai pelanggaran yang
dilakukan pers. Dewan Pers,
ujarnya, nanti hanya menerima
tembusan bahwa sengketa antara
pers dan masyarakat sudah
terselesaikan lewat mekanisme pers
yang baik. Amal gembira angka
pengaduan masyarakat yang masuk
ke Dewan Pers selama 2003-2007
semakin menurun. Itu menunjuk-
kan kinerja pers semakin
positifnya dalam merespons
keluhan yang diajukan pembaca. “Nyatanya, sekarang
Dewan Pers lebih banyak
menerima tembusan. Inilah
yang sejak awal kami inginkan.
Hak jawab disampaikan
langsung ke media bersangkutan,” ujar Guru Besar FISIP
yang masih aktif mengajar ini.
Berkaitan dengan berita
Pemilu 2009, Anda kesan
khusus?
Kualitas pemberitaan
media dalam Pemilu 2009, saya
kira cukup imbang. Yang banyak
dikeluarkan adalah hasil quick
count. Itu yang sangat memengaruhi sikap masyarakat. Pada
dasarnya, pemberitaan cukup
imbang, apalagi di surat kabar
cetak, itu sangat menonjol.
Memang, ada sedikit harapan yang
meleset. Harapannya, dengan
Pemilu 2009, media di daerahdaerah akan banyak iklan. Tetapi,
kenyataannya tidak. Di Yogja, tidak
ada caleg atau partai yang iklan di
pers. Ada iklan tetapi kecil-kecil
kayak iklan mobil. Tidak ada yang
besar. Tidak ada iklan yang
berlangsung selama satu bulan terus
menerus....
Bagaimana Anda menilai
peran media dalam memunculkan
tokoh-tokoh baru yang diperkirakan muncul pada Pemilu 2009
dalam kepemimpinan Indonesia?
Saya kira, persoalan munculnya pemimpin bukan hanya dari
media.... Lain ya kalau dibandingkan kemunculan Barack Obama di
amerika Serikat. Memang, ada yang
sependapat seperti itu, misalnya
Rizal Malarangeng. Dia tadinya
percaya dapat menjadi pemimpin
hanya lewat iklan. Tetapi, akhirnya
dia sadar juga, untuk menjadi
pemimpin di Indonesia tidak hanya
melalui iklan.... Karena itu, dia
28 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
akhirnya berhenti juga beriklan.
Bukannya tugas media untuk
mencari tokoh-tokoh besar yang
belum muncul di masyarakat tapi
sudah berbuat banyak untuk
lingkungannya?
Iya, itu idealnya namun itu
susah. Masalahnya, media seringkali lebih suka menginterview
politisi atau orang-orang yang sudah
jadi. Kalau orang itu belum
menonjol dan diintervew, lalu siapa
yang akan baca media mereka?
Harusnya media memunculkan
pemimpin yang terpendam, yang
sudah berprestasi di lapangan.
Namun, kalau tidak ada bagaimana.
Contohnya, Drajat Wibowo, itu
sosok yang kompeten. Tetapi, dia
kan kalah sama Mandra.....
Masyarakat mungkin lebih suka
baca soal Mandra. Jadi, ini juga
karena ada faktor masyarakatnya.
Ini karena kultur. Rizal Ramli itu
memiliki ide-ide bagus tetapi
popularitasnya ternyata tidak naiknaik. Media juga memiliki
pertimbangan bisnis. Media akan
berpikir ulang kalau sosok semacam
ini dinaikkan tetapi surat kabarnya
tidak laku, bagaimana?
Sekarang kondisinya seperti
itu. Sudah seperti lingkaran setan.
Orangnya yang ada dulu, lalu di-
Profil
blow up atau mem-blow up orang
yang berpotensi jadi pemimpin.
Yang jelas, media umumnya tidak
mau menghabiskan waktu terlalu
lama. Media juga tidak mau memblow up orang yang potensial.
***
Pria berdarah Jawa Pendalungan
ini ini lahir di Jember 1 Agustus
1942. Ia menjadi rektor setelah
mendapat nilai tertinggi dalam
pemilihan rektor oleh Senat
Universitas. Bersamaan deengan
pelantikannya, mahasiswa bergolak
dan berdemonstrasi menuntut
Presiden Soeharto turun. Mantan
Ketua Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia (IPMI) cabang Jogja 19671968, ini memilih berseberangan
dengan Soeharto dan memilih
bersama mahasiswa yang tengah
menyuarakan reformasi. Ichlasul tak
sekadar turut turun meramaikan
unjuk rasa mahasiswa, tetapi juga
memfasilitasinya dengan menyediakan panggung lengkap dengan
pengeras suara. Ia juga menjamin
kepada para mahasiswa bahwa
selama unjuk rasa berada di dalam
kampus, aparat tidak bisa
menangkap mereka. Pendapatpendapat Ichlasul tentang politik
nasional sering dikutip pers sampai
sekarang. Selain sebagai rektor,
berbagai jabatan akademis pernah
didudukinya, di antaranya, Dekan
Fisipol UGM (1988-1994) dan
Direktur Program Pascasarjana UGM
(1994-1998).
Apa aktivitas Bapak setelah
memasuki masa pensiun?
Saya masih banyak sekali
mengajar. Saya pensiun baru tahun
kemarin. Umur saya sekarang masih
66 tahun, hampir mendekati 67....
Apa pertimbangan Bapak
tidak mau menerima jabatan
Menteri yang ditawarkan Presiden
Soeharto maupun Presiden
Habibie?
Dahulu, waktu ada tawaran Pak
Habibie, itu jelas. Itu tanggungjawab saya untuk mahasiswa
sehingga saya dihalang-halangi oleh
mahasiswa pergi ke Jakarta. Saya
mengerti juga, bagaimana pun kalau
saya yang mencentuskan reformasi
di sana (Yogja, red), lalu saya
tinggal, tentu ada yang mempertanyakaannya bahwa saya
melakukan upaya gerakan
reformasi hanya untuk kepentingan
diri sendiri.
Setelah satu dekade lebih,
bagaimana evaluasi Anda tentang
perkembangan reformasi di
Indonesia? Sudah puas?
Masalahnya bukan puas atau
tidak puas tetapi ujung masalah
reformasi adalah adanya transparansi
dan menghilangkan KKN. Itu paling
utama. Sekarang sudah menuju ke
sana. Walaupun masih ada
ketidakpuasan dimana-mana,
misalnya kenapa partai masih
seperti ini... dan sebagaiya. Itu
mungkin satu proses yang mungkin
memerlukan waktu panjang, Itu
tidak bisa instan. Kita dulu juga tidak
meramalkan perjalanan reformasi
bisa sejauh ini. Semangatnya
waktu itu adalah menuntut
transparansi dan menghilangkan
represi dari kekuasaan.
Apa yang masih ingin Anda
capai?
Umur saya sudah hampir 67
tahun. Saya bergulir saja lah.....Saya
mulai dari dulu bergulir saja. Saya
tidak punya cita-cita ingin jadi
apa.... Ikuti arah saja. Tiba-tiba, saya
ditawari jawbatan tertentu, ya saya
terima. Saya tetap masih mengajar.
Subjeknya macam-macam. Ada
politik. Ada masalah desentralisasi.
Saya merasa kalau tidak mengajar,
saya bisa cepet tua..... (Teguh
Apriliyanto)
***
Data Pribadi Ichlasul Amal
Lahir : Jember, Jawa Timur, 1
Agustus 1942
Agama : Islam
Ayah : H. Achmad
Ibu : Siti Fatma
Istri : Ery Hariati
Anak : Amelin Herani dan
Akmal Herawan
Pendidikan : SR, Jember
(1955), SMP Jember (1958), SMA
Jember (1961), Jurusan Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas
Gajah Mada (S 1, 1967), Ilmu
Politik Northern Illinois University,
Illinois, Amerika Serikat (MA,
1974), dan Ilmu Politik di Monash
University, Melbourne, Australia
(Ph.D., 1984)
· Dekan Fisipol Universitas Gajah
Mada (1988-1994)
· Direktur Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada (19941998)
· Rektor Universitas Gajah Mada
(1998-2002)
Buku :
· Indonesian Foreign: Its Continuity
and Change, Fisipol UGM,
Yogyakarta (1975)
· Teori-Teori Mutakhir Partai Politik,
Tiara Wacana, Yogyakarta (1986)
· Metodologi Ilmu Politik, PAU
Studi Sosial UGM, Yogyakarta
(1987)
· Regional and Central Government in Indonesian Politics
(1949-1979), Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
(1992)
· Hubungan Pusat Daerah dalam
Pembangunan
(bersama
Macandrews), Rajawali Press,
Jakarta (1993).
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
29
Profil
Wawancara
Sumita Tobing, Phd (Pakar Media,Mantan Dirut TVRI 2001-03)
Televisi kita: Tidak ada SDM
yang all out
1. “Kita tidak memiliki SDM (man
power) yang benar-benar all out
membidangi industri pertelevisian. Budaya kita masih
budaya hit and run. Suka lompat
sana-lompat sini dan lari sana
lari sini mencari ’keuntungan’
sesaat saja.”
2. “Saya tanya Anda, mana ada
program televisi nasional kita
yang membekas di hati Anda.
T. Pengamatan Anda tentang
kualitas dan kinerja pekerja media
saat ini?
K
ita tidak memiliki SDM
(man power) yang benarbenar all out mem-bidangi
industri per-televisian.
Budaya kita masih budaya hit and
run. Suka lompat sana-lompat sini
dan lari sana lari sini mencari
’keuntungan’ sesaat saja. Dan
meninggalkan apa yang sebenarnya
belum dikerjakan optimal. Namun
ada juga yang sukses dengan cara
seperti ini dengan belajar sendiri.
Mungkin ada baiknya saya
ceritakan pengalaman saya. Saya
sebenarnya mengambil studi
hukum, namun tahun 1970 ada
penerimaan tenaga untuk TVRI
Medan maka saya melamar dan
diterima. Saya masih menjadi
wartawan WASPADA saat itu. Saya
belajar autodidak. Apalagi ada
pelatihan gratis selama 7 bulan
yang diberikan Friederich Eber
Stiftung. Saya benar-benar
beruntung bisa belajar sendiri untuk
terjun dalam industri pertelevisian.
Setelah saya menyelesaikan
program Master di Amerika tahun
1981, saya kembali dan membuat
program siaran bahasa Inggris di
TVRI. Lalu tahun 1987 saya
mendapat beasiswa dari Deppen
untuk mengambil program Doktor
di Amerika lagi. Setelah sempat
membesarkan SCTV, saya diangkat
menjadi Direktur TVRI tahun 20012003. Jadi sekilas Anda bisa melihat
bahwa man power kita masih hit
and run, dan bagi yang serius
menekuninya dengan belajar
sendiri seperti saya, hal itu bisa
Anda nilai sendiri. Namun
sejujurnya kita belum memiliki
institusi
yang
sungguh
memperhatikan man power ’sejati
’bagi industri pertelevisian.
T. Anda tadi mensinyalir
bahwa industri pertelevisian kita
masih ’jauh’ dari aspek edukatifjurnalistiknya namun lebih
30 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
dominan aspek bisnis dan hiburan
yang dangkal .
J.Saya sepakat dengan Anda.
Saya masih tetap berpendapat
bahwa meskipun berpuluh-puluh
stasiun televisi lahir di negeri ini,
belum ada yang menjalankan fungsi
edukatif dan jurnalistik secara
benar. Semua televisi menawarkan
program yang sama. Kenapa?
Mereka suka meniru-niru acara yang
mungkin dalam kalkulasi bisnisnya
mendatangkan iklan. Padahal
mereka lupa, bahwa kue iklan tetap
segitu-segitu saja dan stasiun
televisi terus bertambah.Saya tanya
Anda, mana ada program televisi
nasional kita yang membekas di hati
Anda. Sinetron yang hampir sama
muncul di stasiun berbeda. Dan itu
tidak akan melekat dalam memori
pemirsa. Akan muncul programprogram tiruan baru. Kita tidak bisa
tampil beda. Mestinya kita belajar
dari program televisi Amerika yang
selalu ada aspek mencerdaskan
pemirsanya, bukan ’membuai’
pemirsanya untuk berkhayal seperti
di beberapa sinetron kita. Mana ada
peran pembantu yang tampil jelek
Sumita
Tobing,
di sinetron kita.
Tidak
adaPhd
yang
Profil
alamiah. Terlalu banyak artifisialnya. Dan, itu tidak akan bertahan
lama dalam ingatan pemirsa. Anda
belum tahu bagaimana saya
mengusung program Liputan 6
SCTV . Saya melihat langsung
bagaimana hasil naskah liputan dan
foto liputan. Semuanya harus
alamiah, komplit dan tidak asal jadi
serta tampil beda. Begitulah acara
ini bertahan sampai sekarang,
walupun sudah banyak perubahan.
Dari sisi jurnalistiknya pun
demikian. Saya yang langsung
membimbing bagaimana mereka
mewawancarai narasumber dan
pertanyaan yang cepat,tepat dan
enak didengar pemirsa. Anda pasti
pernah dengar Ira Koesno ,Arif
Suditomo, dan masih banyak lain
lagi. Saya berupaya menampilkan
acara yang berfungsi edukatif bagi
pemirsa dengan sajian jurnalistik
yang berkualitas dan natural. Itu
saja.
T, Kebebasan pers, mulai dari
Pak Harto sampai SBY ternyata
memang semakin berkembang
.Apa komentar Anda?
J.Pertanyaan ini patut dicermati
agak serius. Kenapa, orang tidak
sadar bahwa Bung Karno
memerintah 23 tahun, lalu pak
Harto 32 tahun. Khusus Pak Harto
yang ingin saya komentari. Yang
turun hanyalah pak Harto namun
orang-orang didikan pak Harto
masih berseliweran dimana-mana.
Juga masuk di industri pertelevisian
saat ini. Sama halnya terjadi tahun
1976 dimana pak Harto membeli
satelit agar TVRI bisa menjadi
political control-nya maka sama
halnya dengan peran televisi saat
ini yang jauh dari fungsi edukasi,
mencerdaskan bangsanya. Kebebasan pers lebih disambut hangat oleh
budaya hit and run para elite, jugta
para pekerja industri televisi.
Mereka terkena musibah culture
schock, gegar budaya. Mestinya
semakin banyak televisi maka
semakin cepat kita mencerdaskan
bangsa dan mensejahterahkan
rakyat. Yang terjadi justeru jauh dari
harapan. Televisi terkontaminasi
oleh invasi bisnis yang tidak sehat.
Mestinya program acara yag
berkarakter lokal kebangsaan,. Saat
ini malahan meniru-niru agar cepat
mendapat kue iklan. Kebebasan
pers kedengarannya bagus. Namun
sayang tidak dimanfaatkan dengan
bagi masyarakat.
T. Komisi
Penyiaran
Indonesia ( KPI), apa cuma simbol
saja atau sudah banyak berkontribusi?
J. Saya pikir ada kerancuan
fungsi antara KPI dan Depkominfo.
Salah satu contoh adalah memberi
ijin frekuensi. Sempat terjadi
kesimpangsiuran, apakan Depkominfo
atau
KPI
yang
memberikan ijin frekuensi.
Meskipun akhirnya disepakati
bahwa Depkominfo memberi ijin
atas rekomendasi KPI. Jika terjadi
seperti ini, siapa yang memantau
isinya? Ini sepert ada kerancuan.
Kalau di Amerika cuma satu
lembaga yang memberi ijin
sekaligus memantau, yaitu FCC.
T.Apa fungsi edukatif
(mencerdaskan bangsa) dari
tumbuh suburnya stasiun-stasiun
baru televisi di Indonesia?.
Berbicara tentang industri
pertelevisian di Indonesia, saya
perlu mulai dari latar belakang
didirikannya TVRI tahun 1961 oleh
Bung Karno. TVRI didirikan hanya
karena Indonesia akan menjadi tuan
rumah Asian Games. Sesuatu yang
sungguh di luar dugaan dan
spektakuler. Padahal, mendirikan
televisi itu tidak gampang. Karena,
saya perpendapat bahwa industri
pertelevisian adalah industri
berteknologi tinggi dalam
berkomunikasi bagi kultur yang juga
sudah maju seperti di Amerika dan
Eropa. Anda bisa bayangkan,
apakah rakyat Indonesia tahun 60an sudah siap menyambut televisi?
Saya kira tidak. Masyarakat kita
masih menikmati kultur agrarisnya
alias mental petani. Ini benar-benar
proyek dadakan yang dibangun
Bung Karno menyambut Asian
Games 1961.
Saya selalu berpendapat bahwa
dunia
pertelevisian
mesti
mengemban tugas mencerdaskan
bangsa agar segera mensejahterakn
rakyatnya. Bukan industri ‘gagahgahan atau ikut-ikutan”. Jadi,
dampak lahirnya TVRI pada awal
mulanya hanya untuk menyiarkan
perhelatan akbar Asian Games.
Bung Karno memang suka yang
spektakuler dan itu pun terjadi.
Yang jelas, di era Bung Karno, TVRI
tidak
mengemban
fungsi
edukatifnya. ini sekedar proyek
kebanggaan nasional agar tidak
kalah bersaing dengan negaranegara lain.
Selanjutnya di Era Pak Harto,
sangat jelas kelihatan bahwa TVRI
menjadi corongnya pemerintah
saja. Mulai dari ambisi besar pak
Harto membeli satelit tahun 1976
yang bisa me-relay TVRI dari pusat
ke daerah. Ini benar-benar
mematikan fungsi TV lokal yang
mestinya mandiri. Namun sejak
adanya satelit itu, TVRI lokal
seakan-akan mati. Semua diatur dari
pusat. Saya sudah bergabung
dengan TVRI Medan tahun 1970,
jadi saya bisa merasakan itu. Ini
seperti political control dari Pak
Harto. Jadi, fungsi edukatif TVRI
yang Anda tanyakan, jauh dari yang
diharapkan. Bayangkan saja,
Indonesia adalah negara keempat
setelah Amerika Serikat, Canada,
Jepang yang menerapkan sistem
relay via Satelit.
Selain sebagai political
control-nya pak Harto, TVRI adalah
satu-satunya televisi penyuplai
Bersambung ke halaman :35
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
31
Ensiklopedi
Komunikasi
Organisasi
Aplikasi Komunikasi Organisasi
Komunikasi Organisasi (organizational communication)
merupakan salah satu bentuk komunikasi yang paling dinamis,
karena kerap mengalami perubahan sesuai perubahan dan
kebutuhan zaman.
32 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
Ensiklopedi
P
ada akhirnya banyak orang
berpendapat komunikasi
organisasi memiliki kemampuan dalam management of change dalam sebuah
institusi. Komunikasi Organisasi
merupakan komunikasi yang paling
banyak dipergunakan dalam
organisasi, terutama korporasi untuk
menjalankan kehidupannya sehingga dapat mencapai cita-cita yang
disebut sebagai visi jangka panjang
(long-term vision) dan pendek
(short-term vision) dan berakhir
pada terselesaikannya konflikkonflik internal dan eksternal dalam
koridor “win-win solotion”.
Kemajuan yang dilakukan
dunia manufaktur dan konglomerasi
yang termasuk perusahaanperusahaan transnasional versi
“Fortune 500”, Toyota Corporation,
Microsoft Corporation, Citi-bank,
General Electric, General Motor
dan Hyundai diakui karena
komunikasi organisasinya berjalan
dengan baik.
Masyarakat industri Jepang
menyebutkan komunikasi organisasi dibutuhkan untuk menciptakan
konsep “Wa” (harmonisasi) dalam
organisasi. Jeffrey K. Liker penulis
buku “The Toyota Way” menyebutkan dasar utama dari keberhasilan
Toyota adalah kultur yang
diterapkan melalui aplikasi
komunikasi organisasi perusahaan.
Kultur merasuk ke dalam
komunikasi organisasi memerlukan
daya upaya dan waktu yang tidak
sedikit. Memang terkadang
komunikasi organisasi dianggap
sepele, namun akan mampu
menghasilkan produk-produk yang
berkualitas tinggi dengan cacat
produksi yang lebih sedikit. Prinsip
utama “The Toyota Way” adalah
memberikan pelayanan prima
(customer satisfaction) melalui
produksi mobil berbiaya produksi
rendah.
Demikianlah praktik mudah
penerapan komunikasi organisasi
perusahaan yang jelas terlihat dalam
industri besar. Praktik efisiensi
konsisten yang diterapkan Toyota
di seluruh pabrik yang tersebar di
berbagai
penjuru
dunia
menunjukkan keberhasilan dari
komunikasi organisasi yang ada.
Toyota menjadikan kualitas,
pengembangan produk dan
komitmen kepada pelanggan
sebagai hal utama yang perlu
diperhatikan. Hasilnya adalah kisah
sukses yang luar biasa dan
menjadikan perusahaan ini sebagai
otomotif nomor satu di dunia.
Hakikat
Organisasi
Komunikasi
James R. Taylor dalam
“Rethinking the theory of
Organizational Communication,
How to read an Organization
Series: Communication and
Information Science”, menjelaskan
komununikasi
organisasi
(organizational communication)
merupakan faktor penentu
suksesnya suatu organisasi yang
bertujuan menjadi sistem demi
menyamakan gerak, membentuk
harmonisasi
organ-organ,
penyelarasan berbagai konflik
internal, pencitraan, pencapaian
tujuan, bahkan pengembangan
organisasi.
Masyarakat
merupakan
organisasi, kita lahir di organisasi,
belajar di organisasi dan banyak
menghabiskan waktu hidup kita
untuk bekerja di organisasi
(Littlejohn, 2002). Komunikasi
merupakan kegiatan yang paling
sering dilakukan dalam organisasi
sekitar 75%-95%. Dari kegiatan
tersebut dapat dirinci 5% untuk
menulis, 10% baca, 35% bicara dan
50% mendengar. Komunikasi
organisasi dilakukan sebanyak 44%
untuk komunikasi rutin; 26% untuk
pengembangan SDM (sumber daya
manusia) seperti penilaian karya-
wan, konseling, pelatihan, seleksi,
promosi karyawan, dan lain-lain.
Sedangkan 19% untuk keperluan
traditional management seperti
pengawasan, memberi instruksi,
melapor, dan lain-lain. Ditambah
lagi 11% untuk jaringan (networking) seperti; koordinasi antar
bagian lain, mencari informasi
pesaing, dan lain-lain.
Organisasi sendiri diartikan
sebagai sebuah kelompok individu
yang diorganisasi untuk mencapai
tujuan tertentu (Devito, 1997).
Jumlah anggota organisasi bervariasi
mulai dari satu organisasi ke
organisasi lain, tiga atau empat
orang dalam bekerja, bahkan
sampai seribu karyawan yang
tersebar di seluruh dunia. Artinya
komunikasi organisasi diartikan
dengan sebuah struktur besar dalam
suatu sistem. Di era abad ke-21 ini
manusia dalam bekerja dituntut
dinamis, memperluas jaringan dan
mampu mencari pengalaman baru
dalam berinteraksi. Hal sedemikian
dianggap sebagai asimilasi dari
praktik penerapan komunikasi
organisasi. Apalagi penggunaan
gawai berbantuan teknologi
informasi internet yang saat ini
menuntut efisiensi dan efektivitas
yang tinggi dalam aktivitas kerja.
Diakui
bahwa
studi
komunikasi
organisasi
interdisipliner. Bidang-bidang studi
yang menggunakan kajian
komunikasi organisasi begitu
kompleks dan bervariasi, seperti:
manajemen, sosiologi, psikologi
sosial, dan lain-lain. Teori-teori
komunikasi organisasi selalu
berkaitan dengan ilmu-ilmu kajian
lainnya, dan dalam memahaminya
seseorang perlu terlebih dahulu
memahami akar kemunculan teori
komunikasi organisasi itu sendiri.
Dari terminologi bahasa istilah
komunikasi organisasi terbagi
menjadi dua, yakni; organisasi dan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /73/2009
33
Ensiklopedi
Komunikasi sendiri dapat
didefinisikan meminjam konsep
Pace & Wayne (2005) sebagai
tindakan komunikasi akan sangat
dipengaruhi oleh dua hal, yakni;
penciptaan pesan (atau biasanya
disebut dengan penciptaan
pertunjukkan (display) dan
penafsiran pesan atau penafsiran
sebuah pertunjukkan. Goldhaber
menambahkan, bahwa setiap
manusia dalam kaitan dengan
organisasi akan dihubungan dengan
pertunjukkan yang sedang berjalan.
Maksudnya adalah manusia tidak
dapat tidak menunjukkan bahwa
mereka tidak mengeluarkan pesan
(Goldhaber, 1979). Di perkantoran
pertunjukkan pesan dimaksud bisa
dalam bentuk memo, laporan,
pidato dan neraca keuangan yang
merepresentasikan gagasan-gagasan
si pengirim pesan. Oleh sebab itu
dalam menafsirkan pesan akan
“
Komunikasi akan sangat
dipengaruhi oleh dua hal,
yakni; penciptaan pesan
(atau biasanya disebut
dengan penciptaan
pertunjukkan (display) dan
penafsiran pesan atau
penafsiran sebuah
pertunjukkan.
“
komunikasi. Kata ’organisasi’ dapat
diartikan seperti rangkaian mekanis
layaknya sebuah mesin yang
berhubungan satu dengan yang lain
dan memiliki bagian-bagian untuk
dapat memproduksi sebuah produk
atau layanan dari masukan (input)
sampai luaran (output) dari suatu
sistem. Organisasi juga terkadang
dianalogikan dengan sesuatu yang
hidup secara natural tumbuh dan
berkembang layaknya organisme,
seperti: tumbuhan, binatang dan
manusia. Mereka lahir, tumbuh dan
berkembang sesuai dengan
lingkungan dan tuntutan zaman
yang melingkupinya. Ada juga yang
menganggap organisasi seperti
layaknya otak manusia yang
memiliki proses informasi,
intelegensia dan konseptualisasi
perencanaan. Pada perkembangan
selanjutnya organisasi kerap
dianggap masuk dalam tatanan
realitas budaya karena menciptakan
makna, memiliki nilai dan norma
yang dipersuasikan oleh cerita dan
ritual yang terbagikan. Dalam
organisasi dikenal juga dengan
konsep individualistik atau
hubungan antar individu yang akan
memunculkan hubungan dyaadic.
Hubungan keintiman ini akan
sangat mengarah kepada adanya
hubungan konsepsi jaringan dalam
komunikasi organisasi. Manusia
berkomunikasi satu dengan yang
lain dan selalu dikaitan dengan
penggunaan saluran komunikasi
untuk
menjadi
instrumen
penyampaian pesan.
muncul proses pemindahan
(transfer),
dan
pertukaran
(exchange) pesan. Di sinilah letak
penting realitas budaya yang
disebutkan oleh para aliran
subyektivis. Keberadaan artefak,
gerak tubuh dan tindakan akan
melukiskan makna yang manusia
miliki lewat petunjukkan yang
secara tidak langsung digelar.
Taylor (1993) menyebutkan, bahwa
tujuan dibuatnya teori komunikasi
untuk menjembatani jurang
pemisah dalam organisasi, sehingga
proses dapat berjalan secara baik
dan mencapai tujuan organisasi.
Pertarungan Paradigma
Memang dalam memahami
34 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
komunikasi organisasi akan menjadi
sulit, sebab ada pertarungan
paradigma di dalamnya. Pace &
Wayne (dalam Mulyana, 2005)
menyebutkan bahwa esensi makna
komunikasi organisasi sangat
dipengaruhi oleh dari paradigma
pemahaman orang. Cara berpikir
(paradigma) inilah yang menjiwai
pemahaman komunikasi organisasi
tersebut selanjutnya.
Disebutkan, bahwa ada dua
aliran paradigma dalam memahami
komunikasi organisasi. Pertama
adalah paradigma obyektif (yang
kemudian disebut sebagai kaum
obyektivis) dan paradigma
subyektif (atau kemudian dikenal
dengan istilah kaum subyektivis).
Pertentangan dikedua kubu sangat
jelas dalam tarikan konsep dan
pemahaman teoritik tentang
komunikasi organisasi. Aliran
obyektivis akan menganggap
bahwa komunikasi organisasi itu
seperti
layaknya
mesin,
berkoordinasi dan tunduk pada teori
sistem yang digunakan oleh
Anthony
Giddens.
Dalam
memahami sebuah sistem tentu saja
manusia dalam organisasi tidak
dianggap sebagai manusia, hanya
sebuah alat saja. Mereka akan
tunduk pada kekuatan (power) dari
kewenangan pimpinan.
Berbeda dengan itu dalam
paradigma subyektivis tidak ada
dehumanisasi, yang ada malah
komunikasi organisasi dianggap
sebagai proses interaksi yang
bermakna. Di sini peran konteks
budaya menjadi sesuatu yang
penting. Tidak ada sistem birokrasi
struktur yang menghilangkan peran
manusia secara utuh. Manusia
dilihat per-individu bukan sistem
yang tidak bernyawa. Komunikasi
organisasi dianggap sebagai sebuah
proses pemberian makna pesan
yang dinegosiasikan antara para
peserta. Peran orang-orang dan
Ensiklopedi
proses penciptaan makna-makna
dalam proses komunikasi. Makna
itu bukan organisasi tersebut,
melainkan transaksi itu sendiri
(Pace, 1993:33).
Pada
kenyataannya
komunikasi organisasi lahir dalam
nuansa aliran obyektivis, oleh sebab
itu teori-teori komunikasi organisasi
lebih didominasi dalam koridorkoridor obyektivis dalam semangat
revolusi industri. Tentu saja kaum
industri melakukan pengembangan
kajian komunikasi organisasi untuk
mendapatkan laba dan meningkatkan produktivitas. Pendekatan
dasar yang disukai teoritis
paradigma ini adalah mencapai
efisiensi internal organisasi dengan
membagi-bagi tugas ke dalam
peran-peran spesialis dengan
melengkapi pada prosedur-prosedur
dan peraturan-peraturan yang
terkini, serta menetapkan hirarki
kekuasaan dengan pengawasan
yang sangat ketat untuk menjamin
agar peraturan-peraturan dan
prosedur dipatuhi. Oleh sebab itu
kajian teoritik kaum obyektivis
sering disebut dengan teori-teori
klasik strukturalis yang berbau
sistemik dan birokrasi.
Berbeda dengan pendekatan
obyektif, pendekatan subyektif
lebih memandang komunikasi
organisasi sebagai sebuah proses
penciptaan makna atas interaksi
pada anggota kelompok yang
dianggap merupakan bagian satu
kesatuan dari organisasi. Proses
interaksi tersebutlah yang dapat
dikatakan
sebagai
sebuah
organisasi. Komunikasi organisasi
adalah perilaku pengorganisasian
yang terjadi antar kelompok dalam
organisasi dan bagaimana mereka
terlibat dalam proses transaksi
tersebut (Pace, 1993:33). Pemberian
makna atau realita melalui interaksi
yang berlangsung dalam organisasi
dapat diasumsikan sebagai
komunikasi organisasi. Lebih lanjut
akan dijelaskan beberapa kajian
teoritik komunikasi organisasi
dalam perspektif komunikasi
organisasi, seperti; teori naratif,
teori hubungan antar manusia,
komunikasi dalam budaya
organisasi dan kajian teoritik
konvergensi simbolik. Hingga saat
ini masih sangat jarang ahli
komunikasi mau mengembangkan
kajian komunikasi organisasi dalam
mazhab subyektivistik, karena
selama ini sistem pendidikan di
Indonesia yang secara tidak
langsung membuat masyarakat
berpandangan obyektivis.(Ilham
Prisgunanto)
Bibliografi
Aubrey, Fisher, B. & Adams,
K. L (1994). Interpersonal communication. London: Mc Graw Hill.
Devito, J.A (1997). Komunikasi antar Manusia. Jakarta:
Profesional Books.
Littlejohn, Stephen. W (2002).
Theories of human communication.
Belmont : Wadsworth.
Miller, K (2001). Communication theories. Texas: Mc Graw Hill.
Miller, K (2001). Organizational communication, Theory and
Practice 3 th Edition. Wadsworth.
Pace, R.W. & Faules, D.F.
(1998). Komunikasi Organisasi.
Bandung: Rosdakarya.
Taylor, James R. (2000),
Rethinking the Theory of
Organizational Communication,
How to Read An Organization.
Series: Communication and
Information Science
Sumber
1
Penulis Buku Komunikasi dan
Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi
PPS-UNPAD
Televisi kita ...Sambungan
dari halaman :31
informasi langsung tentang aktivitas
perusahaan asing di Indonesia. Pak
Harto mau agar dunia internasional
melihat bahwa perusahaan asing di
sini dari hari kehari berjalan aman
dan terus berkembang. Saya bisa
ambil contoh tentang Amerika
Serikat dengan Freeport- nya.
Secara tidak langsung, ini pun
political control, bukan sekedar
promosi bisnis negeri ini. Sungguh
jauh dari fungsi edukatif
mencerdaskan hidup bangsa
Indonesia sendiri.
T. Harapan Anda ke depan?
J.Sebagai salah satu praktisi
industri pertelevisian di tanah air
ini, saya sangat mengharapkan agar
muncul generasi penerus yang
sungguh all out berkiprah di bidang
ini. Orang yang berintegritas dan
tidak terkontaminasi sistim yang
memangkas idealismenya. Karena
tujuan utama industri pertelevisian
adalah mencerdaskan hidup bangsa
untuk meraih kesejahteraan
hidupnya.Agar rakyat bisa mengerti
apa artinya demokrasi, kebebasan,
bagaimana mempertahankan NKRI,
dan lain-lain. Mari kita belajar dari
negara-negara maju seperti
Amerika, Jepang Canada. Lihatlah,
industri pertelevisian kita yang
masih lebih terpaku dengan
program acara ’suka meniru’
daripada menghasilkan yang
original. (justin djogo-dja)
***
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /73/2009
35
Download