PENGGUNAAN RANJAU DARAT DITINJAU DARI CONVENTIONAL WEAPONS CONVENTATION 1980 CHAIRUL BARIAH, SH. Fakultas Hukum Bagian Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang merupakan permasalahan yang bersifat abadi. Perang sudah ada semenjak manusia itu ada. Sejarah perang itu sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia maka teknologi persenjataan dalam peperangan semakin berkembang pula. Manusia selalu berusaha mencari dan menemukan suatu bentuk sistem persenjataan yang memiliki daya musnah yang ampuh. Dalam peperangan para pihak yang bertikai akan selalu mengerahkan seluruh daya kekuatan persenjataannya. Mulai dari taktik perang sampai kepada penggunaan senjata seperti ranjau. Ranjau banyak dipergunakan dalam peperangan karena penggunaannya sangat membantu dalam menghancurkan kekuatan musuh. Jenisnyapun semakin berkembang seperti ranjau loncat, ranjau kupu-kupu, ranjau pancang, ranjau peledak, ranjau anti personil, dan lain-lain. Penggunaan ranjau darat ini sangat dikutuk karena ranjau tersebut tidak pandang bulu dalam menuntut korban yang mati mapun luka. Contoh, ranjau kupu-kupu yang umumnya memakan korban anak-anak. Ketika dijatuhkan dari pesawat, sayapnya membantu ranjau menyusup ke darat. Peledak cair terpicu ketika ranjau diambil. Biasanya mengamputasi jari atau tangan dengan cedera juga di dada atau di muka. Bertitik tolak kepada hal-hal tersebut di atas, maka negara-negara di dunia mulai memikirkan suatu bentuk peraturan yang bertujuan membatasi pemakaian senjata konvensional tertentu termasuk ranjau darat tersebut mengingat ranjau darat ini memakan korban yang tidak pandang buill serta berbahaya bagi penduduk sipil. Diantaranya dihasilkannya Conventional Weapons Convention 1980 khususnya dalam Protocol II yang memuat larangan atau pembatasan penggunaan ranjau. booby-traps, dan alat-alat lain. Dampak penggunaan ranjau darat bagi penduduk sipil ini juga terkait erat dengan Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak Azasi Manusia 1948 dan Deklarasi Hak Azasi Anak 1959. B. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian singkat seperti yang tersebut di atas maka penulis mencoba mengangkat permasalahan yang berkaitan dengan masalah penggunaan ranjau serta dampaknya terhadap penduduk sipil yang ditinjau dari hukum internasional. Adapun yang menjadi permasalahan yang dapat diuraikan di dalam penulisan ini adalah: 1. Sejauh manakah konsep dalam berperang di darat telah diatur dalam hukum internasional? 2. Bagaimana pula masalah penggunaan ranjau darat diatur dalam hukum internasional khususnya dalam Protocol II dari Conventional Weapons Convention 1980? © 2003 Digitized by USU digital library 1 C. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan tentang penggunaan ranjau darat dalam hukum internasional dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. D. Metodologi Penulisan ini mempergunakan studi kepustakaan sebagai bahan penulisan dengan mengacu kepada bahan-bahan referensi yang berkaitan baik dari buku-buku maupun surat kabar. Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah tipe penelitian deskriptif yang hendak menggambarkan bagaimanakah sesungguhnya konsep penggunaan ranjau darat tersebut dalam hukum internasional. II. PENGGUNAAN RANJAU DARAT DITINJAU DARI CONVENTIONAL WEAPONS CONVENTION 1980 A. Perang dan Hukum Perang Selama orang tidak menghendaki adanya perang karena bencana yang ditimbulkannya mengancam hidup dan kehidupan manusia. Banyak aspek yang terkait dengan perang itu sendiri baik itu ekonomi, politik, sosial budaya, maupun hukum. Keadaan ini menyebabkan perang menjadi sesuatu yang penting untuk dipelajari. Kenyataan ini tidak hanya berlaku di zaman modern di mana peralatan persenjataan semakin canggih tetapi jauh sebelum itu masalah peperangan telah dibahas. Misalnya dalam hukum internasional India Kuno terdapat ketentuan tentang hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang dan perlakuan tawanan perang. Yunani Kuno dan Roma mengenal ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. GPH. Haryomataram mengatakan apabila perang itu dianggap semacam hubungan atau relasi antara dua negara atau lebih, maka seperti halnya hubungan antar negara, maka perang itu juga harus diatur. Dan hukum perang inilah yang hendak mengatur hak dan kewajiban pihak berperang, dan juga hubungan antara pihak berperang dengan pihak ketiga yang tetap netral (Haryomataram, 1994 : 7). Perang sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa secara paksa memang diperbolehkan tetapi dalam prakteknya, umumnya sebelum pihak-pihak yang bertikai melakukan perang sebagai jalan terakhir, negara-negara di dunia lainnya yang tidak terlibat selalu menyerukan agar penyelesaian pertikaian dilakukan dengan upaya diplomasi di antara para pihak mengingat dampak dari peperangan itu sendiri dapat mempengaruhi terutama stabilitas keamanan maupun aspek-aspek lainnya dari negara-negara lain yang berada dalam suatu kawasan maupun negaranegara yang tidak berada dalam suatu kawasan dengan pihak yang bertikai tetapi memiliki suatu kepentingan tertentu dengan para pihak yang bertikai baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan di luar batasbatas kemanusiaan dari para komandan pihak-pihak yang bertikai maka negaranegara di dunia memikirkan untuk menciptakan suatu aturan internasional yang mengatur peperangan tersebut. Hukum perang yang diadakan tersebut hendak mengatur hak-hak dan kewajiban dari para pihak yang bertikai. Perkembangan hukum perang itu dimulai sejak abad ke-19. Sampai abad 19 belum ada ketentuan tertulis yang mengikat para pihak yang berperang dalam menggunakan Angkatan Bersenjata mereka. Berdasarkan pengalaman sampai Perang Dunia II dapat dikatakan bahwa hukum perang cukup ditaati, walaupun pelanggaran-pelanggaran juga banyak sekali. © 2003 Digitized by USU digital library 2 Dalam perkembangan selanjutnya hukum perang tersebut mengatur akan dua hal pokok, yaitu: a. Hukum yang mengatur cara-cara berperang dan alat-alat yang boleh dipakai dalam perang. Hal ini lebih dikenal dengan Hague Convention at au Hague Laws of War. b. Hukum yang mengatur perlindungan penduduk sipil dan para kombatan. Hal ini lebih dikenal dengan Genewa Convention atau Genewa Laws Of War. Khusus mengenai kekuatan mengikat dari hukum perang dapat dijelaskan bahwa setelah kebiasaan cara berperang menjadi hukum-hukum perang, maka ia mengikat belligerent dalam segala keadan kecuali dalam tindakan-tindakan balasan terhadap belligerent sebagai akibat dari pada tindakan-tindakan illegal oleh anggotaanggota angkatan perangnya atau oleh warga negara lainnya. Khusus mengenai aturan perang di darat telah disetujui suatu Konvensi pada Konferensi Perdamaian yang pertama tahun 1899. Sejarah dari konvensi ini dapat ditemukan kembali dalam "Instruction for the Government of Armies of the United States in the Field" yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat pada tanggal 24 April 1863 sepanjang Perang Saudara. lnstruksi ini dikeluarkan oleh Prof. Francois Lieber Columbia College, New York. Usaha tersebut merupakan usaha pertama dalam kodifikasi hukum perang. Masalah kodifikasi diperbincangkan kembali pada Konferensi Perdamaian Den Haag 1899. Pada waktu itu oleh hampir semua negara yang hadir. Kemudian pada tahun 1907 pada Konferensi Perdamaian Kedua 1907, konvensi tersebut ditinjau kembali dan diganti dengan Konvensi IV yang dikenal dengan Aturan-aturan Den Haag (Hague Regulations). Aturan inilah yang menjadi dasar dari pada instruksi yang harus dikeluarkan oleh setiap negara pada angkatan perangnya masing-masing. Terdapat 3 (tiga) asas dalam Hukum Perang: a. Asas Kepentingan Militer Dalam suatu pertempuran pihak yang satu sudah tentu memenangkan pertempuran dengan menundukkan pihak lain dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tentunya dalam hal ini pihak-pihak yang bertikai boleh menggunakan segala macam bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dengan persyaratan harus memperhatikan asas kedua dan ketiga. Dengan perkataan lain semua usaha boleh dilakukan asal tidak bertentangan dengan hukum internasional dan merupakan dasar bagi semua tindakan guna memenangkan pertempuran. Dalam perkembangan lebih lanjut terutama dalam menerapkan pasal-pasal dari Hague Rules asas ini tidak perlu diperhitungkan lagi. b. Asas Perikemanusiaan Asas ini merupakan hakekat dari hukum perang. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengurangi penderitaan dalam peperangan sebagai akibat tindakan militer. Asas ini sangat sukar untuk diterapkan karena tidak terdapat suatu kriteria sampai seberapa jauh suatu peralatan bersenjata dianggap mengakibatkan penderitaan di luar batas. Oleh karena itu asas ini sering bertentangan dengan asas pertama. c. Asas Kesatriaan Asas kesatriaan ini adalah sisa dari peninggalan dari kebiasaan perang zaman "Ridderorlogan".' Intinya adalah larangan untuk melakukan tipu muslihat dalam peperangan yang bertentangan dengan dasar-dasar kesatriaan. Misalnya penggunaan bendera putih untuk menyerang ataupun penggunaan seragam lawan guna kepentingan penipuan. Oleh karena itu hukum perang itu bertujuan: a. melindungi, baik kombatan maupun non-kombatan, dari penderitaan yang tidak perlu; © 2003 Digitized by USU digital library 3 b. menjamin hak-hak asasi manusia yang fundamentil bagi mereka yang jatuh dalam tangan musuh; c. mencegah dilakukan perang secara kejam tanpa mengenal batas. Dalam prakteknya maksud baik dari pengadaan hukum perang maupun asas yang terdapat di dalamnya tidak selalu diperhatikan. Prinsip-prinsip kemanusiaan sering dikalahkan oleh kepentingan militer karena bagaimanapun juga para pihak yang bertikai selalu berusaha memenangkan pertempuran meskipun untuk mencapai tujuan itu harus mengorbankan segalanya termasuk pula masalah pemakaian persenjataan seperti halnya ranjau darat tersebut. Oleh karena itu sulit untuk menentukan konsep yang bagaimana yang harus dipilih dalam suatu pertempuran. Apakah konsep yang mempergunakan segala jenis senjata sehingga waktu peperangan dapat dipersingkat dengan jumlah korban yang tidak begitu banyak ataukah konsep peperangan yang membatasi penggunaan senjata tertentu tetapi memakan waktu yang cukup lama dengan jumlah korban yang banyak selama dalam waktu pertempuran tersebut. Ranjau loncat misalnya ketika terpicu Valmara 69 melompat ke udara sebelum menyebarkan pecahan 1000 metal. Siapapun berada dalam jarak 25 meter mungkin tewas, sedangkan orang yang berada sekitar 100 meter cedera (Harian Kompas, 11 Oktober 1997: 7). Ranjau darat murah harganya, mudah didapat dan ukurannya sebesar kepalan tangan seorang anak. Ranjau tersebut mempunyai kekuatan untuk membuat cacat, membunuh, menghancurkan rute perjalanan dan merupakan jebakan bagi para penduduk sipil yang tidak berdosa baik itu selama perang berlangsung maupun sesudahnya. Meskipun di kemudian hari telah diciptakan suatu Conventional Weapons Convention 1980 khususnya yang terdapat dalam Protocol on Prohibitions or Restriction on the use of Mines, Booby-traps and other Devices (Protocol II) sebagai salah satu perangkat hukum tentang penggunaan senjata dalam pertempuran termasuk penggunaan ranjau darat namun negara-negara di dunia belum sepenuhnya menaati ketentuan tersebut malah penggunaannya semakin merajalela. Pembatasan pemakaian ranjau darat dalam suatu pertempuran tidak mendapat perhatian yang serius dari pihak-pihak yang bertikai. Selain itu hukum perang yang tergolong sebagai jus in bello seakan-akan hanya tinggal slogan saja tanpa makna. Seharusnya suatu negara yang berada dalam keadaan state of war dengan negara lain wajib memperhatikan perangkat hukum yang meskipun tujuan perang itu adalah untuk menguasai lawan. Suatu alat yang dipandang dari segi kepentingan militer sangat besar manfaatnya mungkin harus dilarang karena bertentangan dengan asas perikemanusiaan seperti ranjau darat tersebut. B. Konsep dalam Berperang di Darat Dalam Konvensi Den Haag III tahun 1907 tentang pernyataan perang pasal 1 dinyatakan bahwa negara-negara pihak tidak diperkenankan melakukan permusuhan tanpa sebelumnya memberikan peringatan berupa pernyataan perang atau "ultimatum" dan harus menyebutkan apa alasannya melakukan perang itu. Hal ini penting tidak hanya bagi pihak lawannya tetapi juga pihak-pihak yang tidak turut terlibat dalam menentukan sikap politiknya. Pasal 2 juga menyebutkan bahwa suatu negara dalam keadaan perang harus menyampaikan kepada negara-negara netral atau tidak berpihak. Dengan adanya Kelog Briand Pact maka tidak ada lagi negaranegara yang menyatakan perang karena takut dituduh sebagai agressor. Dalam pertempuran, pihak-pihak yang bertikai akan selalu berusaha untuk membunuh atau menawan kombatan lawannya sebanyak-banyaknya, dan di samping itu akan berusaha menghancurkan peralatan musuh sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai tujuan itu semua cara dapat dilakukan dengan menggunakan semua © 2003 Digitized by USU digital library 4 alat yang tidak dilarang oleh hukum perang. Pemilihan cara dan alat berperang dibatasi. Demikian pula halnya dengan penggunaan alat dalam berperang. Ada alat yang diperbolehkan dan ada pula yang dilarang. Dalam penerapannya sulit sekali untuk membatasi pemakaian alat berperang tersebut. Adanya dominasi asas kepentingan militer dalam pertempuran telah mengakibatkan asas perikemanusiaan sulit untuk diperhatikan secara sungguh-sungguh. Alat-alat yang besar manfaatnya untuk menghancurkan kekuatan musuh sulit untuk dilarang begitu saja. Hukum perang tidak banyak mengatur tentang penggunaan alat berperang. Pasal 22 Hague Regulations dicantumkan prinsip pemakaian senjata. Dalam pasal tersebut dinyatakan "The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is limited". Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai: "Hak belligerent untuk melukai lawan adalah terbatas”. Dalam Hague Regulations juga dilarang: a. penggunaan racun atau senjata yang beracun. b. penggunaan senjata, peluru, atau alat lain yang direncanakan untuk menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Ketentuan ini juga telah diperkuat dengan Resolusi XXVIII Konferensi Internasional Palang Merah XX di Willa, Austria, selanjutnya diperkuat lagi oleh PBB dalam Resolusi 2444 (XXIII) tanggal 19 Desember 1968. Ketentuan inilah yang menjadi dasar diadakannya pembatasan segala jenis senjata yang boleh dipergunakan dalam peperangan dengan tujuan hanya untuk menyelamatkan generasi manusia yang akan datang. Dengan diciptakannya ketentuan tersebut, terlihat bagaimana besarnya pengaruh pemakaian senjata atau teknologi perang lainnya bagi kemanusiaan sehingga melalui ketentuan internasional tersebut orang telah memikirkan adanya kepentingan militer dan kemanusiaan. Dalam pasal 27 Peraturan Perang di Darat tersebut dinyatakan: "Dalam tindakan penyerangan dan pemboman, semua usaha harus diambil guna menyelamatkan sejauh mungkin gedung-gedung yang berhubungan dengan keagamaan, barang seni, ilmiah atau yang bertujuan kemanusiaan, monumen bersejarah, dengan ketentuan barang-barang tersebut tidak dipergunakan pada saat itu untuk tujuan militer". Tentunya ketentuan tersebut juga berlaku bagi penggunaan ranjau darat. Selanjutnya dalam pasal 26 dinyatakan pula: "Perwira sebagai komandan pasukan perang sebelum melakukan pemboman haruslah menyampaikan peringatan pada penguasa-penguasa setempat dengan segala wewenang yang ada padanya kecuali dalam tindakan penyerbuan". Hanya sewaktu akan melakukan penyerbuan, tindakan penyerangan atau pemboman tidak perlu disampaikan pada penguasapenguasa kota yang bersangkutan. Walaupun pasal tersebut hanya berlaku pada pemboman namun prinsip pemakaian peringatan dari komandan pasukan penyerang kepada penguasapenguasa setempat dengan segala wewenang yang ada padanya juga berlaku dalam pemasangan ranjau darat terlebih bila pemasangan ranjau darat tersebut ditujukan bagi perlindungan suatu kawasan di mana kemungkinan besar pasukan musuh akan melintas. Khusus bagi tindakan penyerbuan, komandan pasukan penyerang meskipun tidak ada keharusan untuk memberitahukan penguasa-penguasa setempat yang bersangkutan namun pihak penyerang dapat dikecam oleh dunia internasional bilamana Pihak penyerang tidak memperhitungkan segala kemungkinan kerusakan bangunan yang berhubungan dengan keagamaan, barang seni, ilmiah dan sebagainya terutama yang bertujuan kepada masalah perlindungan penduduk sipil. © 2003 Digitized by USU digital library 5 C. Protocol ll dari Conventional Weapons Convention 1980 Pada tahun 1971 dan 1972 International Committee Red Cross (ICRC Palang Merah Internasional) mengadakan Conference of Governments Experts on the Reaffirmation and Development of International Law Applicable in Armed Conflicts. Draft tersebut diserahkan kepada Diplomatic Conference yang bersidang di Geneva pada tahun 1974 dan hanya mengatur tentang prinsip umum yang berlaku bagi senjata pada umumnya dan tidak menyinggung ketentuan tentang senjata tertentu. Namun demikian konferensi tersebut telah membentuk suatu Komite ad hoc untuk membahas masalah itu. Dalam suatu Resolusi Diplomatis dianjurkan supaya diadakan Conference of Governments paling lambat tahun 1979 untuk membahas "Larangan atau Pembatasan Senjata Konvensional Tertentu". Untuk itu diadakanlah Preparatry Conference dua kali yaitu pada bulan Agustus. Desember 1978 dan Maret-April 1979 di Geneva. Akhirnya konferensi tersebut diadakan di Geneva pada tanggal 10-28 September 1979 dan 15 September - 10 Oktober 1980. Konferensi tersebut dinamakan United Nations Conference on the Prohibitions or Restriction of Use of Certain Conventional Weapons Convention which may be deemed to be excessivelly injurious or to have indiscriminate effects. Selanjutnya pada tanggal 10 Oktober 1980 konferensi menyetujui dokumen-dokumen, yaitu: 1. Convention on Prohibitions or Restriction on the Use of Certain Conventional Weapons Convention which may be deemed to be: Excessivelly injurious or to have indiscriminate effects. 2. Protocol on Non-Detecable Fragments (Protocol I). 3. Protocol on Prohibitions or Restriction on the use of Mines, booby-traps and other devices (Protocol II). 4. Protocol on Prohibitions or Restriction of Use of Icendiary Weapons (Protocol III). Selain itu pula konferensi tersebut menghasilkan sebuah Resolusi yakni, Resolution on Small-Calibre Weapons Systems. Konvensi ini terdiri dari suatu preambul dan 11 buah pasal dengan perincian sebagai berikut : a. Protokol I tentang "Pecahan yang tidak dapat dilihat" terdiri dari satu pasal; b. Protokol II tentang "Ranjau, Booby-traps dan Alat lain" terdiri dari 9 pasal, dengan satu "Technical Annex". c. Protokol III tentang "Senjata Penyembur Api", terdiri dari dua pasal. Dalam kaitannya dengan prinsip pemakaian senjata khususnya dalam Preambul dapat kita jumpai beberapa butir ketentuan, antara lain: a. Butir 3 tentang hak para pihak dalam konflik untuk memilih cara dan alat berperang adalah tidak terbatas; b. Butir 4 tentang dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan luas untuk jangka waktu yang panjang. Konvensi ini mempunyai ruang lingkup seperti yang tersebut dalam pasal 1, yaitu: a. dalam situasi seperti yang ditentukan dalam pasal 2 Konvensi Geneva 1949, Pasal 2 mengenai berlakunya konvensi-konvensi, dalam paragraf 1 menyatakan bahwa, "Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata ("Anned Conflict") lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihak penandatangan, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu di antara mereka" (AK, 1985 : 86). b. dalam situasi yang ditentukan dalam pasal 1 ayat 4 Protokol tambahan I-1977, Pasal ini menentukan kapan berlakunya pasal Protokol tersebut. Protokol ini © 2003 Digitized by USU digital library 6 berlaku dalam setiap pertikaian senjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata. Protokol ini juga berlaku dalam keadaan yang dinamakan War of National Liberation atau CAR Conflicts di mana suatu bangsa (people) berjuang melawan dominasi kolonial, atau pendudukan asing, atau resim rasialis, dalam usaha mereka untuk mencapai kemerdekaan. Pasal 96 ayat 3 menentukan bagaimana caranya agar perjuangan semacam itu dapat digolongkan sebagai War of National Liberation maka "penguasa" (authority) dari bangsa itu harus mengeluarkan suatu deklarasi yang bersifat unilateral, yang ditujukan kepada Pemerintah Federal Switserland sebagai depositori, yang berisi pernyataan bahwa bangsa tersebut dalam perjuangan itu akan tunduk/ mengindahkan isi Protokol tersebut (Haryomataram, 1994 : 134-135). Khusus mengenai masalah pemakaian ranjau darat yang diatur dalam Protokoill dapat kita jumpai beberapa pasal yang mengaturnya. Sebagai ruang lingkup berlakunya Protokol ini dapat dapat kita lihat dalam pasal 1 di mana Protokol ini tidak berlaku bagi ranjau laut. Pada pasal 2 diatur beberapa pengertian penting antara lain, ranjau boobytraps, alat-alat (devices) lain, obyek militer, obyek sipil dan recording. Ranjau dirumuskan sebagai setiap munisi yang ditempatkan di bawah, di atas tanah dan dibuat supaya, dapat diledakkan/meledak apabila didekati atau disentuh oleh manusia atau kendaraan. Booby-traps adalah setiap alat atau material yang dirancang, dibangun atau disesuaikan untuk membunuh atau melukai dan yang bekerjanya secara tidak terduga apabila seseorang mengganggu (disturbs) atau mendekati obyek yang tampaknya tidak berbahaya atau melaksanakan suatu perbuatan yang tampaknya tidak membahayakan (apparently safe act) (Haryomataram, 1994 : 122-123). Selain itu Protokol tersebut juga mengatur I tentang penggunaan ranjau yang dipasang dari tempat jauh (remotely delivered mines). Penggunaan ranjau semacam itu dilarang kecuali apabila ranjau semacam itu hanya dipakai di dalam wilayah yang memang merupakan sasaran militer atau wilayah t yang berisi sasaran militer, dan: a. lokasi dari ranjau tersebut dapat dicatat dengan teliti, atau b. apabila dipakai suatu alat yang dapat mengamankan ranjau tersebut , yaitu suatu alat yang dapat bekerja sendiri untuk menjinakkan senjata tersebut apabila senjata itu sudah tidak berguna lagi dipandang dari kepentingan militer (Haryomataram, 1994: 123). Selanjutnya terhadap pemakaian ranjau darat yang dlpasang dalam suatu lokasi harus diadakan pencatatan (recording). Pencatatan ini diatur dalam pasal 7. Pencatatan ini penting agar diketahui di mana terdapat medan ranjau supaya apabila perang telah usai dan ranjau tersebut telah kehilangan arti militernya, ranjau dapat dijinakkan/diledakkan. Dengan demikian diharapkan tidak akan ada penduduk sipil yang tidak berdosa menjadi korban meledaknya ranjau (Haryoplataram, 1994 : 124). Oleh karena itu, peranan komandan dalam memberikan suatu perintah sangat penting. Antara yang diperintah dengan pemberi perintah (komandan) harus saling memahami perintah yang diberikan terutama perintah yang berkaitan dengan pemasangan ranjau darat di suatu lokasi tertentu agar tidak terjadi kerugian yang menimpa penduduk sipil ataupun mengurangi efek ledakan ranjau tersebut. Hal ini terkait pula dengan Protokol I dari Protokol Tambahan 1977. Protokol I ini mengatur Konflik bersifat lnternasional Konflik Bersenjata yang tidak Bersifat lnternasional (Non-International Armed Conflict). Untuk meningkatkan perlindungan terhadap penduduk sipil Protokol I memuat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh para Komandan/Perencana Serangan yang bertujuan untuk memperkecil / membatasi korban di kalangan dalam konflik dan harus mengambil tindakan yang seperlunya untuk mengurangi efek suatu serangan. Pada pasal 58 © 2003 Digitized by USU digital library 7 diatur tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi suatu efek serangan. Dalam hal ini pihak-pihak dalam konflik harus berusaha sedapat mungkin: a. Memindahkan penduduk sipil atau obyek sipil yang berada di sekitar obyek militer. b. Mencegah penempatan obyek militer di antara/dekat dengan wilayah berpenduduk padat (Haryomataram, 1994 : 109). Protokol II ini juga memuat aturan tentang kerjasama internasional dalam memindahkanl menjinakkan medan ranjau-ranjau dan booby-traps. Hal ini diatur dalam pasal 9 yang menyatakan bahwa, "Setelah permusuhan berakhir maka Pihakpihak dalam konflik harus mengadakan perjanjian, apabila perlu dengan negaranegara lain atau organisasi internasional untuk mengatur usaha memindahkan/ menjinakkan medan ranjau, ranjau atau booby-traps". Kerjasama dengan negaranegara lain dan organisasi internasional ini perlu karena ada kemungkinan bahwa Pihak-pihak dalam konflik tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pembersihan itu (Haryomataram, 1994 :125). Jumlah ranjau darat yang terdapat di bebrapa negara di dunia NEGARA JUMLAH RANJAU Ukraina 1j Bosnia/Kroasia 2j Nikaragua 0,1 j Yordania 0,2 j Afganistan 9 – 10 j Irak 5 – 10 j Kuwait 5j Sudan 1j Rwanda 50.000 Somalia 1j Kamboja 4–7j Angola 9j Mozambik 1–2j Keterangan: j=jutaan (Sumber: Harian Kompas, 11 Oktober 1997 : 7) III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan, yaitu : 1. Dari segi penggunaannya ranjau darat sangat efektif untuk menghancurkan kekuatan musuh. Daya ledaknya sangat ampuh untuk melumpuhkan saranasarana yang dipandang sangat penting bagi kepentingan musuh. 2. Penggunaan ranjau darat memang sudah sepantasnya dilarang ataupun setidaktidaknya dibatasi penggunaannya. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak negara di dunia yang terutama yang sedang terlibat konflik menggunakan ranjau darat tersebut tanpa batas dan mengabaikan aturan. Penyebaran secara acak yang dilakukan oleh negara-negara pengguna ranjau darat menunjukkan bahwa penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan diabaikan meskipun untuk ini telah ada Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak Azasi Manusia 1948 dan Deklarasi Hak Azasi Anak 1959 yang mutlak dijunjung tinggi serta dilaksanakan oleh negaranegara di dunia. © 2003 Digitized by USU digital library 8 3. Selain itu penyebaran ranjau darat secara acak yang dilakukan oleh negaranegara pengguna ranjau darat menunjukkan bahwa masih rendahnya perhatian negara-negara tersebut untuk mentaati ketentuan hukum perang, hanya akan menimbulkan korban jiwa ataupun setidak-tidaknya cacat tubuh bagi semua orang yang melintasi medan ranjau tanpa pandang bulu. B. Saran Negara-negara produsen ranjau darat hendaknya bersikap bijaksana dalam membatasi ataupun mengurangi jumlah produksi. Ada beberapa negara produsen ranjau darat yang dipandang memiliki andil besar tidak hanya dari segi kekuatan militer, politik, tetapi juga dari segi ekonomi seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia. Ketiga negara ini dipandang dari segi ekonomi sudah baik sekali sehingga bilamana mereka menghentikan produksi atau setidak-tidaknya membatasinya tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian mereka. Andil mereka di bidang politik internasional turut pula mempengaruhi keberhasilan kebijakan internasional dalam menghapuskan atau membatasi pemakaian ranjau darat tersebut. Selain itu pula negara-negara di dunia terutama yang sedang mengalami konflik hendaknya lebih memperhatikan keberadaan hukum perang serta melaksanakannya. Hal, ini terutama berkaitan erat dengan perlindungan penduduk sipil yang selalu diabaikan. Penggunaan ranjau darat ini juga memiliki dampak yang tidak hanya berhenti bila perang telah usai tetapi juga memiliki dampak saat situasi damai. Sisa-sisa peninggalan ranjau darat yang tidak terpakai lagi tetapi masih tertanam dan masih aktif yang belum dimusnahkan akan menimbulkan bencana bagi penduduk sipil yang melaksanakan aktivitas sehari-hari. Hal ini membutuhkan perhatian secara lebih khusus lagi bagi dunia internasional. DAFTAR PUSTAKA -----------, Berbagai Konsep Keamanan, Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York: 1986, AK, Syahman, Hukum Internasional Humanitera I Bagian Umum. Armico, Bandung: 1985 Brownlie, lan, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai, diterjemahkan oleh Beriansyah, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta: 1997. Harian Kompas, 11 Oktober 1991 Haryomataram, GPH, Sekelumit tentang Hukum Humaniter,Sebelas Maret, University Press, Surakarta: 1994 . Istanto, F. Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Andi Offset, Yokyakarta: 1992 Kusumaatmadja, Mochtar, Konvesi Djenewa tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban, Bandung: Binacipta, 1968 © 2003 Digitized by USU digital library 9