BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fletcher (1980, dalam Siegal, 1980) mengatakan penginderaan jauh mempunyai kemampuan dalam memahami dan mempelajari objek dari jarak jauh, sekaligus usaha manusia untuk meningkatkan kemampuan dalam menemukan sumber daya yang penting dan informasi tentang kondisi lingkungan. Memasuki akhir abad 20, perkembangan teknologi telah mampu membantu manusia untuk menemukan data yang melebihi persepsi, memperoleh data dari luar angkasa yang sebelumnya tidak dapat dijangkau, dan menyusun akusisi data dengan basis global. Penemuan ini mampu meningkatkan evolusi dalam perkembangan teknologi penginderaan jauh baik dari segi teknologi maupun teknik pengolahan datanya. Teknik Penginderaan jauh telah digunakan secara rutin untuk beberapa bidang terutama pada objek yang nampak pada permukaan bumi seperti pertanian, kelautan, dan eksplorasi sumber daya alam (Fletcher, 1980 dalam Siegal, 1980). Perkembangan teknik penginderaan jauh semakin canggih seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri baik dari wahana yang membawanya maupun dari segi sensor. Kemampuan sensor dalam merekam saluran spektral banyak dimulai dari era sensor Landsat MSS (Multispectral Scanner) yang dilucurkan pada tanggal 5 Maret 1978 yang dibawa oleh Landsat 1, 2, dan 3. Perangkat data Landsat MSS pada saluran gelombang tampak Infra-merah dekat, merupakan yang pertama dikembangkan untuk identifikasi mineral oksida besi dengan rasio citra. Kemudian dilanjutkan oleh sensor Landsat TM 5/7 (Thematic Mapper) yang secara ektensif telah digunakan untuk pemetaan dengan kajian geologi selama bertahun-tahun hingga sekarang (Van der Meer et al., 2011). Perkembangan teknologi sensor satelit yang mampu merekam julat spektral yang lebih sempit, mengarahkan pada sebuah penemuan sistem citra yang membawa saluran spektral yang lebih banyak. Sistem Sensor satelit yang dapat membawa saluran tersebut disebut sebagai citra “Hiperspektral”. Pemanfaatan teknik penginderaan jauh sistem hiperspektral yang berasal dari wahana luar angkasa, pertama kali setelah diluncurkannya satelit EO-1 yang membawa dua sensor ALI dan Hyperion. Satelit tersebut diluncurkan pada 21 November 2000 dari stasiun peluncuran luar angkasa milik NASA (National Atmospheric and Space Administration) dengan misi Earth Observing Mission One (EO-1). Sensor Hyperion sendiri memiliki resolusi spasial sebesar 30 meter dengan liputan perekaman sejauh 7,5 kilometer (Bishop et al., 2011). Hyperion memiliki saluran spektral sebanyak 242 band yang mampu merekam pada gelombang-tampak inframerah dekat (Visibel-Near Infrared; 0,4 µm – 0,9 µm) dan gelombang-pendek Infra-merah (Short-wave Infrared; 1,0 µm – 2,5 µm) (Raj, 2015). Sensor hiperspektral Hyperion telah bekerja secara signifikan dan berimprovisasi dengan baik dalam studi tentang ekplorasi mineral secara detail karena kemampuannya untuk membedakan jenis mineral dan bentuk suatu alterasi secara spesifik. Hyperion telah digunakan secara ekstensif di tempat yang telah terkalibrasi di Amerika Serikat atau wilayah lain yang terkenal dengan kondisinya yang kering atau Arid terutama di daerah Australia dan Amerika Selatan, yang telah dibuktikan untuk lokasinya dan karakterisasi dari alterasi mineral dan zonanya (Bishop et al., 2011). Perkembangan teknologi hiperspektral baik dari segi sensor dan teknik analisisnya telah membantu manusia dalam memahami pendekatan penginderaan jauh untuk eksplorasi mineral (Raj, 2015). Hal tersebut didukung oleh kemampuannya untuk merekam respon spektral objek yang menjadi konsen di penginderaan jauh geologi yaitu respon terhadap material yang menjadi komposisi lapisan kulit di permukaan bumi berupa tanah, mineral, dan batuan (Hunt, 1980 dalam Siegal, 1980) secara lebih spesifik. Penggunaan citra hiperspektral Hyperion secara signifikan telah membantu proses pemetaan dan identifikasi mineral (Bishop et al., 2011; Kodikara, 2011) salah satunya adalah untuk identifikasi mineral oksida besi yang terdapat di dalam tanah pada permukaan bumi (Raj, 2015). Tanah adalah material lepas-lepas di permukaan bumi yang menjadi media alami tempat tumbuhnya tanaman. Tanah merupakan material yang telah mengalami proses pelapukan yang berada diantara atmosfer yang berada di permukaan bumi dan batuan induk di bawah permukaan sedalam 200 cm. Tanah terdiri dari partikel padat yang dapat berupa mineral atau bahan organik yang telah melapuk disertai zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang diantara partikelpartikel tersebut (USDA, 1988 dalam Jensen, 2007). Tanah sangat penting untuk menyokong kehidupan di bumi karena berpengaruh pada ketahanan pangan dan air. Selain itu, keberadaan bahan organik dan mineral pada tanah juga berpengaruh terhadap tingkat penggunaan tanah yang diwujudkan dalam menejemen lahan dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan (Khasanah, 2013). Mineral adalah kandungan yang essensial keberadaanya di dalam tanah. Mineral oksida besi merupakan salah satu mineral metal oksida yang paling berlimpah kandungannya di dalam tanah (Schwertmann dan Taylor, 1989). Mineral oksida besi dapat mempengaruhi kondisi tanah walaupun pada jumlah konsentrasi yang sangat kecil. Oksida besi dapat mempengaruhi warna tanah, agregrat tanah, kapasitas tukar anion dan kation pada permukaan tanah (Cornell dan Schwertmann, 1996). Identifikasi tanah yang paling mudah adalah dengan melihat warna yang terdapat pada tanah tersebut. Kandungan mineral oksida besi pada tanah akan menyebabkan tanah mejadi berwarna kemerahan, kecoklatan, atau kekuningan yang berasosiasi dengan oksida besi (Schwertmann dan Taylor, 1989). Warna kemerahan tersebut jika dilihat dari pendekatan penginderaan jauh, disebabkan oleh aktivitas pantulan yang sangat kuat pada spektrum merah dan serapan yang juga kuat pada spektrum biru (Danoedoro, 2012). Tanah yang mengandung oksida besi dapat ditemukan di beberapa kawasan topografi Karst Gunungsewu di Pulau Jawa yang biasanya berwarna kemerahan. Berdasarkan sistem klasifikasi tanah digolongkan pada jenis tanah mediteran merah kuning atau dalam istilah yang lebih umum dikenal dengan tanah terra rossa (Soepraptohardjo, 1961). Warna yang terdapat pada tanah terra rossa umumnya muncul akibat pengendapan-pengendapan besi oksida dari larutan alkalis yang bersentuhan dengan batu kapur (Vinassa de Regny, 1964 dalam Darmawijaya, 1990). Tanah yang mengandung oksida besi tersebut juga dapat ditemukan di Perbukitan disekitarnya yang termasuk dalam Formasi Nglanggeran. 1.2. Perumusan masalahan Tanah dipermukaan bumi memiliki nilai pantulan spektral yang dapat dipengaruhi oleh kandungan material di dalam tanah salah satunya adalah mineral oksida besi. Kandungan mineral oksida besi dalam tanah akan mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi yang akan memberikan ciri khas tersendiri pada tanah, contohnya adalah munculnya warna kemerahan, kecoklatan, dan kekuningan (Cornell dan Schwertmann, 2003). Informasi nilai pantulan spektral pada tanah dapat di peroleh melalui perekaman langsung menggunakan spektrometer lapangan atau melalui citra hiperspektral. Citra hiperspektral memiliki kemampuan untuk merekam julat panjang gelombang yang sempit (10 nm) sehigga mampu memberikan gambaran informasi spektral tanah secara lebih detail. Penelitian tentang tanah di Indonesia yang menggunakan citra hiperspektral masih sangat minim dilakukan, karena kondisi alam Indonesia yang terletak pada iklim tropis sehingga banyak liputan citra yang tertutup oleh vegetasi maupun awan. Selain itu, terbatasnya ketersediaan data hiperspektral juga menjadi kendala dalam penelitian menggunakan citra hiperspektral. Identifikasi tanah yang mengandung mineral oksida besi masih banyak dilakukan dengan metode kuantitatif. Metode tersebut hanya akan mengetahui kandungan mineral oksida besi yang berada di dalam tanah dan belum mampu memberikan gambaran tentang persebaran secara spasial. Teknik penginderaan jauh mampu memberikan gambaran secara spasial tentang fenomena persebaran tersebut. Namun, diperlukan sebuah metode untuk mengkombinasikan teknik penginderaan jauh dan metode kuantitatif agar dapat memberikan gambaran tentang kandungan mineral oksida besi, sekaligus persebarannya dipermukaan bumi. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan maka timbul pertanyaan penelitian, sebagai berikut: a. Bagaimana hubungan antara respon spektral tanah yang terekam pada spektrometer dengan tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya? b. Seberapa akurat citra Hyperion yang digunakan untuk memetakan persebaran tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain : a. Untuk mengkaji hubungan antara respon spektral tanah yang terekam pada spektrometer dengan tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya. b. Untuk mengetahui tingkat akurasi citra Hyperion untuk persebaran tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya. 1.5. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain: a. Mengetahui hubungan antara respon spektral tanah yang terekam pada spektrometer dengan tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya. b. Memberikan informasi tentang persebaran persebaran tanah yang mengandung mineral oksida besi di pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya. 1.6. Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: a. Analisa hubungan antara respon spektral tanah yang terekam pada spektrometer dengan tanah yang mengandung oksida besi pada topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya. b. Peta sebaran tanah yang mengandung mineral oksida besi di topografi Karst Pegunungan Sewu dan sekitarnya.