BAB II. ASAM NUKLEAT Pokok bahasan di dalam bab ini

advertisement
BAB II. ASAM NUKLEAT
Pokok bahasan di dalam bab ini menguraikan struktur molekul dan komponen
asam nukleat, termasuk macam-macam ikatan kimia yang menghubungkan komponenkomponen tersebut. Selain itu, dijelaskan pula perbedaan struktur antara DNA dan RNA,
serta sifat-sifat fisika-kimia dan spektroskopik-termal asam nukleat, khususnya DNA.
Dengan mempelajari pokok bahasan ini akan diperoleh gambaran mengenai perubahan
struktur yang terjadi pada asam nukleat yang dimanipulasi, dan juga mekanisme
manipulasi asam nukleat yang pada dasarnya berkaitan dengan sifat-sifat fisikakimianya.
Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan:
1. struktur molekul dan komponen-komponen asam nukleat, termasuk macam-macam
ikatan kimia yang terdapat di dalamnya,
2. perbedaan struktur antara DNA dan RNA,
3. cara pembacaan sekuens suatu molekul asam nukleat,
4. sifat-sifat fisika-kimia asam nukleat, dan
5. sifat-sifat spektroskopik-termal asam nukleat
Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok
bahasan ini dengan lebih baik adalah sejarah penemuan asam nukleat beserta percobaanpercobaan yang membuktikan bahwa DNA merupakan materi genetik pada sebagian
besar organisme dan RNA merupakan materi genetik pada virus tertentu. Pengetahuan
tersebut telah diperoleh melalui mata kuliah Genetika pada semester VI. Adapun urutan
bahasan di dalam bab ini adalah struktur molekul asam nukleat, sifat-sifat fisika-kimia
asam nukleat, dan sifat-sifat spektroskopik-temal asam nukleat.
Struktur Molekul
Asam nukleat merupakan salah satu makromolekul yang memegang peranan
sangat penting dalam kehidupan organisme karena di dalamnya tersimpan informasi
genetik. Asam nukleat sering dinamakan juga polinukleotida karena tersusun dari
sejumlah molekul nukleotida sebagai monomernya. Tiap nukleotida mempunyai struktur
15
yang terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa, dan basa nitrogen atau basa nukleotida
(basa N).
Ada
dua
macam
asam
nukleat,
yaitu
asam
deoksiribonukleat
atau
deoxyribonucleic acid (DNA) dan asam ribonukleat atau ribonucleic acid (RNA).
Dilihat dari strukturnya, perbedaan di antara kedua macam asam nukleat ini terutama
terletak pada komponen gula pentosanya. Pada RNA gula pentosanya adalah ribosa,
sedangkan pada DNA gula pentosanya mengalami kehilangan satu atom O pada posisi C
nomor 2’ sehingga dinamakan gula 2’-deoksiribosa (Gambar 2.1.b).
Perbedaan struktur lainnya antara DNA dan RNA adalah pada basa N-nya. Basa N,
baik pada DNA maupun pada RNA, mempunyai struktur berupa cincin aromatik
heterosiklik (mengandung C dan N) dan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan,
yaitu purin dan pirimidin. Basa purin mempunyai dua buah cincin (bisiklik), sedangkan
basa pirimidin hanya mempunyai satu cincin (monosiklik). Pada DNA, dan juga RNA,
purin terdiri atas adenin (A) dan guanin (G). Akan tetapi, untuk pirimidin ada
perbedaan antara DNA dan RNA. Kalau pada DNA basa pirimidin terdiri atas sitosin
(C) dan timin (T), pada RNA tidak ada timin dan sebagai gantinya terdapat urasil (U).
Timin berbeda dengan urasil hanya karena adanya gugus metil pada posisi nomor 5
sehingga timin dapat juga dikatakan sebagai 5-metilurasil.
O-
5’ CH 2OH
5’ CH 2OH
O
O
-
O - P-O
4’
H
O
gugus fosfat
H
1’
H
3’
2’ H
OH
a)
4’
H
H
OH
1’
H
3’
2’ H
OH
gula ribosa
H
gula 2-deoksiribosa
b)
NH2
O
6
N 1
5
2
4
N
7
NH2
6
HN 1
5
2
4
N
7
8
3
N
9
NH
adenin
O
4
N 3
4
5
HN 3
5
2
6
R
8
H2N
3
N
2
9
NH
6
O
O
1
NH
guanin
sitosin
c)
1
NH
timin (jika R = CH3)
urasil (jika R = H)
16
Gambar 2.1. Komponen-komponen asam nukleat
a) gugus fosfat
b) gula pentosa
c) basa N
Di antara ketiga komponen monomer asam nukleat tersebut di atas, hanya basa Nlah yang memungkinkan terjadinya variasi. Pada kenyataannya memang urutan
(sekuens) basa N pada suatu molekul asam nukleat merupakan penentu bagi
spesifisitasnya. Dengan perkataan lain, identifikasi asam nukleat dilakukan berdasarkan
atas urutan basa N-nya sehingga secara skema kita bisa menggambarkan suatu molekul
asam nukleat hanya dengan menuliskan urutan basanya saja.
Nukleosida dan nukleotida
Penomoran posisi atom C pada cincin gula dilakukan menggunakan tanda aksen
(1’, 2’, dan seterusnya), sekedar untuk membedakannya dengan penomoran posisi pada
cincin basa. Posisi 1’ pada gula akan berikatan dengan posisi 9 (N-9) pada basa purin
atau posisi 1 (N-1) pada basa pirimidin melalui ikatan glikosidik atau glikosilik
(Gambar 2.2). Kompleks gula-basa ini dinamakan nukleosida.
Di atas telah disinggung bahwa asam nukleat tersusun dari monomer-monomer
berupa nukleotida, yang masing-masing terdiri atas sebuah gugus fosfat, sebuah gula
pentosa, dan sebuah basa N. Dengan demikian, setiap nukleotida pada asam nukleat
dapat dilihat sebagai nukleosida monofosfat. Namun, pengertian nukleotida secara
umum sebenarnya adalah nukleosida dengan sebuah atau lebih gugus fosfat. Sebagai
contoh, molekul ATP (adenosin trifosfat) adalah nukleotida yang merupakan nukleosida
dengan tiga gugus fosfat.
Jika gula pentosanya adalah ribosa seperti halnya pada RNA, maka nukleosidanya
dapat berupa adenosin, guanosin, sitidin, dan uridin. Begitu pula, nukleotidanya akan
ada empat macam, yaitu adenosin monofosfat, guanosin monofosfat, sitidin monofosfat,
dan uridin monofosfat. Sementara itu, jika gula pentosanya adalah deoksiribosa seperti
halnya pada DNA, maka (2’-deoksiribo)nukleosidanya terdiri atas deoksiadenosin,
deoksiguanosin, deoksisitidin, dan deoksitimidin.
Ikatan fosfodiester
17
Selain ikatan glikosidik yang menghubungkan gula pentosa dengan basa N, pada
asam nukleat terdapat pula ikatan kovalen melalui gugus fosfat yang menghubungkan
antara gugus hidroksil (OH) pada posisi 5’ gula pentosa dan gugus hidroksil pada posisi
3’ gula pentosa nukleotida berikutnya. Ikatan ini dinamakan ikatan fosfodiester karena
secara kimia gugus fosfat berada dalam bentuk diester (Gambar 2.2).
OO
-
P
ikatan glikosidik
O 5’
O
ikatan 3’-5’fosfodiester
1’
3’
O
O
-
P
G
ikatan glikosidik
O 5’
O
ikatan 3’-5’fosfodiester
1’
3’
O
O-
C
P
ikatan glikosidik
O 5’
1’
A
O
3’OH
Gambar 2.2. Ikatan fosfodiester dan ikatan glikosidik pada asam nukleat
Oleh karena ikatan fosfodiester menghubungkan gula pada suatu nukleotida
dengan gula pada nukleotida berikutnya, maka ikatan ini sekaligus menghubungkan
kedua nukleotida yang berurutan tersebut. Dengan demikian, akan terbentuk suatu rantai
polinukleotida yang masing-masing nukleotidanya satu sama lain dihubungkan oleh
ikatan fosfodiester.
Kecuali yang berbentuk sirkuler, seperti halnya pada kromosom dan plasmid
bakteri, rantai polinukleotida memiliki dua ujung. Salah satu ujungnya berupa gugus
fosfat yang terikat pada posisi 5’ gula pentosa. Oleh karena itu, ujung ini dinamakan
ujung P atau ujung 5’. Ujung yang lainnya berupa gugus hidroksil yang terikat pada
posisi 3’ gula pentosa sehingga ujung ini dinamakan ujung OH atau ujung 3’. Adanya
ujung-ujung tersebut menjadikan rantai polinukleotida linier mempunyai arah tertentu.
Pada pH netral adanya gugus fosfat akan menyebabkan asam nukleat bermuatan
negatif. Inilah alasan pemberian nama ’asam’ kepada molekul polinukleotida meskipun
di dalamnya juga terdapat banyak basa N. Kenyataannya, asam nukleat memang
merupakan anion asam kuat atau merupakan polimer yang sangat bermuatan negatif.
18
Sekuens asam nukleat
Telah dikatakan di atas bahwa urutan basa N akan menentukan spesifisitas suatu
molekul asam nukleat sehingga biasanya kita menggambarkan suatu molekul asam
nukleat cukup dengan menuliskan urutan basa (sekuens)-nya saja. Selanjutnya, dalam
penulisan sekuens asam nukleat ada kebiasaan untuk menempatkan ujung 5’ di sebelah
kiri atau ujung 3’ di sebelah kanan. Sebagai contoh, suatu sekuens DNA dapat dituliskan
5’-ATGACCTGAAAC-3’ atau suatu sekuens RNA dituliskan 5’-GGUCUGAAUG-3’.
Jadi, spesifisitas suatu asam nukleat selain ditentukan oleh sekuens basanya, juga
harus dilihat dari arah pembacaannya. Dua asam nukleat yang memiliki sekuens sama
tidak berarti keduanya sama jika pembacaan sekuens tersebut dilakukan dari arah yang
berlawanan (yang satu 5’→ 3’, sedangkan yang lain 3’→ 5’).
Struktur tangga berpilin (double helix) DNA
Dua orang ilmuwan, J.D.Watson dan F.H.C.Crick, mengajukan model struktur
molekul DNA yang hingga kini sangat diyakini kebenarannya dan dijadikan dasar dalam
berbagai teknik yang berkaitan dengan manipulasi DNA. Model tersebut dikenal sebagai
tangga berplilin (double helix). Secara alami DNA pada umumnya mempunyai struktur
molekul tangga berpilin ini.
Model tangga berpilin menggambarkan struktur molekul DNA sebagai dua rantai
polinukleotida yang saling memilin membentuk spiral dengan arah pilinan ke kanan.
Fosfat dan gula pada masing-masing rantai menghadap ke arah luar sumbu pilinan,
sedangkan basa N menghadap ke arah dalam sumbu pilinan dengan susunan yang sangat
khas sebagai pasangan - pasangan basa antara kedua rantai. Dalam hal ini, basa A pada
satu rantai akan berpasangan dengan basa T pada rantai lainnya, sedangkan basa G
berpasangan dengan basa C. Pasangan-pasangan basa ini dihubungkan oleh ikatan
hidrogen yang lemah (nonkovalen). Basa A dan T dihubungkan oleh ikatan hidrogen
rangkap dua, sedangkan basa G dan C dihubungkan oleh ikatan hidrogen rangkap tiga.
Adanya ikatan hidrogen tersebut menjadikan kedua rantai polinukleotida terikat satu
sama lain dan saling komplementer. Artinya, begitu sekuens basa pada salah satu rantai
diketahui, maka sekuens pada rantai yang lainnya dapat ditentukan.
19
Oleh karena basa bisiklik selalu berpasangan dengan basa monosiklik, maka jarak
antara kedua rantai polinukleotida di sepanjang molekul DNA akan selalu tetap. Dengan
perkataan lain, kedua rantai tersebut sejajar. Akan tetapi, jika rantai yang satu dibaca
dari arah 5’ ke 3’, maka rantai pasangannya dibaca dari arah 3’ ke 5’. Jadi, kedua rantai
tersebut sejajar tetapi berlawanan arah (antiparalel).
3’
5’
5’
3’
Gambar 2.3. Model struktur tangga berpilin DNA
P = fosfat S =gula
A = adenin, G = guanin, C = sitosin, T =timin
Jarak antara dua pasangan basa yang berurutan adalah 0,34 nm. Sementara itu, di
dalam setiap putaran spiral terdapat 10 pasangan basa sehingga jarak antara dua basa
yang tegak lurus di dalam masing-masing rantai menjadi 3,4 nm. Namun, kondisi
semacam ini hanya dijumpai apabila DNA berada dalam medium larutan fisiologis
dengan kadar garam rendah seperti halnya yang terdapat di dalam protoplasma sel hidup.
DNA semacam ini dikatakan berada dalam bentuk B atau bentuk yang sesuai dengan
model asli Watson-Crick. Bentuk yang lain, misalnya bentuk A, akan dijumpai jika
DNA berada dalam medium dengan kadar garam tinggi. Pada bentuk A terdapat 11
pasangan basa dalam setiap putaran spiral. Selain itu, ada pula bentuk Z, yaitu bentuk
molekul DNA yang mempunyai arah pilinan spiral ke kiri. Bermacam-macam bentuk
DNA ini sifatnya fleksibel, artinya dapat berubah dari yang satu ke yang lain bergantung
kepada kondisi lingkungannya.
20
Modifikasi struktur molekul RNA
Tidak seperti DNA, molekul RNA pada umumnya berupa untai tunggal sehingga
tidak memiliki struktur tangga berpilin. Namun, modifikasi struktur juga terjadi akibat
terbentuknya ikatan hidrogen di dalam untai tunggal itu sendiri (intramolekuler).
Dengan adanya modifikasi struktur molekul RNA, kita mengenal tiga macam
RNA, yaitu RNA duta atau messenger RNA (mRNA), RNA pemindah atau transfer
RNA (tRNA), dan RNA ribosomal (rRNA). Struktur mRNA dikatakan sebagai struktur
primer, sedangkan struktur tRNA dan rRNA dikatakan sebagai struktur sekunder.
Perbedaan di antara ketiga struktur molekul RNA tersebut berkaitan dengan perbedaan
fungsinya masing-masing.
Sifat-sifat Fisika-Kimia Asam Nukleat
Di bawah ini akan dibicarakan sekilas beberapa sifat fisika-kimia asam nukleat.
Sifat-sifat tersebut adalah stabilitas asam nukleat, pengaruh asam, pengaruh alkali,
denaturasi kimia, viskositas, dan kerapatan apung.
Stabilitas asam nukleat
Ketika kita melihat struktur tangga berpilin molekul DNA atau pun struktur
sekunder RNA, sepintas akan nampak bahwa struktur tersebut menjadi stabil akibat
adanya ikatan hidrogen di antara basa-basa yang berpasangan. Padahal, sebenarnya
tidaklah demikian. Ikatan hidrogen di antara pasangan-pasangan basa hanya akan sama
kuatnya dengan ikatan hidrogen antara basa dan molekul air apabila DNA berada dalam
bentuk rantai tunggal. Jadi, ikatan hidrogen jelas tidak berpengaruh terhadap stabilitas
struktur asam nukleat, tetapi sekedar menentukan spesifitas perpasangan basa.
Penentu stabilitas struktur asam nukleat terletak pada interaksi penempatan
(stacking interactions) antara pasangan-pasangan basa. Permukaan basa yang bersifat
hidrofobik menyebabkan molekul-molekul air dikeluarkan dari sela-sela perpasangan
basa sehingga perpasangan tersebut menjadi kuat.
Pengaruh asam
Di dalam asam pekat dan suhu tinggi, misalnya HClO4 dengan suhu lebih dari
100ºC, asam nukleat akan mengalami hidrolisis sempurna menjadi komponen-
21
komponennya. Namun, di dalam asam mineral yang lebih encer, hanya ikatan glikosidik
antara gula dan basa purin saja yang putus sehingga asam nukleat dikatakan bersifat
apurinik.
Pengaruh alkali
Pengaruh alkali terhadap asam nukleat mengakibatkan terjadinya perubahan
status tautomerik basa. Sebagai contoh, peningkatan pH akan menyebabkan perubahan
struktur guanin dari bentuk keto menjadi bentuk enolat karena molekul tersebut
kehilangan sebuah proton. Selanjutnya, perubahan ini akan menyebabkan terputusnya
sejumlah ikatan hidrogen sehingga pada akhirnya rantai ganda DNA mengalami
denaturasi. Hal yang sama terjadi pula pada RNA. Bahkan pada pH netral sekalipun,
RNA jauh lebih rentan terhadap hidrolisis bila dibadingkan dengan DNA karena adanya
gugus OH pada atom C nomor 2 di dalam gula ribosanya.
Denaturasi kimia
Sejumlah bahan kimia diketahui dapat menyebabkan denaturasi asam nukleat
pada pH netral. Contoh yang paling dikenal adalah urea (CO(NH2)2) dan formamid
(COHNH2). Pada konsentrasi yang relatif tinggi, senyawa-senyawa tersebut dapat
merusak ikatan hidrogen. Artinya, stabilitas struktur sekunder asam nukleat menjadi
berkurang dan rantai ganda mengalami denaturasi.
Viskositas
DNA kromosom dikatakan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi karena
diameternya hanya sekitar 2 nm, tetapi panjangnya dapat mencapai beberapa sentimeter.
Dengan demikian, DNA tersebut berbentuk tipis memanjang. Selain itu, DNA
merupakan molekul yang relatif kaku sehingga larutan DNA akan mempunyai viskositas
yang tinggi. Karena sifatnya itulah molekul DNA menjadi sangat rentan terhadap
fragmentasi fisik. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri ketika kita hendak melakukan
isolasi DNA yang utuh.
Kerapatan apung
Analisis dan pemurnian DNA dapat dilakukan sesuai dengan kerapatan apung
(bouyant density)-nya. Di dalam larutan yang mengandung garam pekat dengan berat
22
molekul tinggi, misalnya sesium klorid (CsCl) 8M, DNA mempunyai kerapatan yang
sama dengan larutan tersebut, yakni sekitar 1,7 g/cm3. Jika larutan ini disentrifugasi
dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka garam CsCl yang pekat akan bermigrasi ke
dasar tabung dengan membentuk gradien kerapatan. Begitu juga, sampel DNA akan
bermigrasi menuju posisi gradien yang sesuai dengan kerapatannya. Teknik ini dikenal
sebagai sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan (equilibrium density
gradient centrifugation) atau sentrifugasi isopiknik.
Oleh karena dengan teknik sentrifugasi tersebut pelet RNA akan berada di dasar
tabung dan protein akan mengapung, maka DNA dapat dimurnikan baik dari RNA
maupun dari protein. Selain itu, teknik tersebut juga berguna untuk keperluan analisis
DNA karena kerapatan apung DNA (ρ) merupakan fungsi linier bagi kandungan GCnya. Dalam hal ini, ρ = 1,66 + 0,098% (G + C).
protein
CsCl 8M
sentrifugasi
DNA
RNA
Gambar 2.4. Sentrifugasi seimbang dalam tingkat kerapatan
Sifat-sifat Spektroskopik-Termal Asam Nukleat
Sifat spektroskopik-termal asam nukleat meliputi kemampuan absorpsi sinar UV,
hipokromisitas, penghitungan konsentrasi asam nukleat, penentuan kemurnian DNA,
serta denaturasi termal dan renaturasi asam nukleat. Masing-masing akan dibicarakan
sekilas berikut ini.
Absorpsi UV
Asam nukleat dapat mengabsorpsi sinar UV karena adanya basa nitrogen yang
bersifat aromatik; fosfat dan gula tidak memberikan kontribusi dalam absorpsi UV.
Panjang gelombang untuk absorpsi maksimum baik oleh DNA maupun RNA adalah
260 nm atau dikatakan λmaks = 260 nm. Nilai ini jelas sangat berbeda dengan nilai untuk
23
protein yang mempunyai λ maks = 280 nm.
Sifat-sifat absorpsi asam nukleat dapat
digunakan untuk deteksi, kuantifikasi, dan perkiraan kemurniannya.
Hipokromisitas
Meskipun λmaks untuk DNA dan RNA konstan, ternyata ada perbedaan nilai yang
bergantung kepada lingkungan di sekitar basa berada. Dalam hal ini, absorbansi pada λ
260 nm (A260) memperlihatkan variasi di antara basa-basa pada kondisi yang berbeda.
Nilai tertinggi terlihat pada nukleotida yang diisolasi, nilai sedang diperoleh pada
molekul DNA rantai tunggal (ssDNA) atau RNA, dan nilai terendah dijumpai pada DNA
rantai ganda (dsDNA). Efek ini disebabkan oleh pengikatan basa di dalam lingkungan
hidrofobik. Istilah klasik untuk menyatakan perbedaan nilai absorbansi tersebut adalah
hipokromisitas. Molekul dsDNA dikatakan relatif hipokromik (kurang berwarna) bila
dibandingkan dengan ssDNA. Sebaliknya, ssDNA dikatakan hiperkromik terhadap
dsDNA.
Penghitungan konsentrasi asam nukleat
Konsentrasi DNA dihitung atas dasar nilai A260-nya. Molekul dsDNA dengan
konsentrasi 1mg/ml mempunyai A260 sebesar 20, sedangkan konsentrasi yang sama
untuk molekul ssDNA atau RNA mempunyai A260 lebih kurang sebesar 25. Nilai A260
untuk ssDNA dan RNA hanya merupakan perkiraan karena kandungan basa purin dan
pirimidin pada kedua molekul tersebut tidak selalu sama, dan nilai A260 purin tidak sama
dengan nilai A260 pirimidin. Pada dsDNA, yang selalu mempunyai kandungan purin dan
pirimidin sama, nilai A260 -nya sudah pasti.
Kemurnian asam nukleat
Tingkat kemurnian asam nukleat dapat diestimasi melalui penentuan nisbah A260
terhadap A280. Molekul dsDNA murni mempunyai nisbah
A260 /A280 sebesar 1,8.
Sementara itu, RNA murni mempunyai nisbah A260 /A280 sekitar 2,0. Protein, dengan
λmaks = 280 nm, tentu saja mempunyai nisbah A260 /A280 kurang dari 1,0. Oleh karena itu,
suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai A260 /A280 lebih dari 1,8 dikatakan
terkontaminasi oleh RNA. Sebaliknya, suatu sampel DNA yang memperlihatkan nilai
A260 /A280 kurang dari 1,8 dikatakan terkontaminasi oleh protein.
24
Denaturasi termal dan renaturasi
Di atas telah disinggung bahwa beberapa senyawa kimia tertentu dapat
menyebabkan terjadinya denaturasi asam nukleat. Ternyata, panas juga dapat
menyebabkan denaturasi asam nukleat. Proses denaturasi ini dapat diikuti melalui
pengamatan nilai absorbansi yang meningkat karena molekul rantai ganda (pada dsDNA
dan sebagian daerah pada RNA) akan berubah menjadi molekul rantai tunggal.
Denaturasi termal pada DNA dan RNA ternyata sangat berbeda. Pada RNA
denaturasi berlangsung perlahan dan bersifat acak karena bagian rantai ganda yang
pendek akan terdenaturasi lebih dahulu daripada bagian rantai ganda yang panjang.
Tidaklah demikian halnya pada DNA. Denaturasi terjadi sangat cepat dan bersifat
koperatif karena denaturasi pada kedua ujung molekul dan pada daerah kaya AT akan
mendestabilisasi daerah-daerah di sekitarnya.
Suhu ketika molekul asam nukleat mulai mengalami denaturasi dinamakan titik
leleh atau melting temperature (Tm). Nilai Tm merupakan fungsi kandungan GC sampel
DNA, dan berkisar dari 80 ºC hingga 100ºC untuk molekul-molekul DNA yang panjang.
DNA yang mengalami denaturasi termal dapat dipulihkan (direnaturasi) dengan
cara didinginkan. Laju pendinginan berpengaruh terhadap hasil renaturasi yang
diperoleh. Pendinginan yang berlangsung cepat hanya memungkinkan renaturasi pada
beberapa bagian/daerah tertentu. Sebaliknya, pendinginan yang dilakukan perlahanlahan dapat mengembalikan seluruh molekul DNA ke bentuk rantai ganda seperti
semula. Renaturasi yang terjadi antara daerah komplementer dari dua rantai asam
nukleat yang berbeda dinamakan hibridisasi.
Superkoiling DNA
Banyak molekul dsDNA berada dalam bentuk sirkuler tertutup atau closedcircular (CC), misalnya DNA plasmid dan kromosom bakteri serta DNA berbagai virus.
Artinya, kedua rantai membentuk lingkaran dan satu sama lain dihubungkan sesuai
dengan banyaknya putaran heliks (Lk) di dalam molekul DNA tersebut.
Sejumlah sifat muncul dari kondisi sirkuler DNA. Cara yang baik untuk
membayangkannya adalah menganggap struktur tangga berpilin DNA seperti gelang
25
karet dengan suatu garis yang ditarik di sepanjang gelang tersebut. Jika kita
membayangkan suatu pilinan pada gelang, maka deformasi yang terbentuk akan terkunci
ke dalam sistem pilinan tersebut. Deformasi inilah yang disebut sebagai superkoiling.
Interkalator
Geometri suatu molekul yang mengalami superkoiling dapat berubah akibat
beberapa faktor yang mempengaruhi pilinan internalnya. Sebagai contoh, peningkatan
suhu dapat menurunkan jumlah pilinan, atau sebaliknya, peningkatan kekuatan ionik
dapat menambah jumlah pilinan. Salah satu faktor yang penting adalah keberadaan
interkalator seperti etidium bromid (EtBr). Molekul ini merupakan senyawa aromatik
polisiklik bermuatan positif yang menyisip di antara pasangan-pasangan basa. Dengan
adanya EtBr molekul DNA dapat divisualisasikan menggunakan paparan sinar UV.
Download