1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Birokrasi yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Birokrasi yang diciptakan bertujuan untuk mempermudah setiap urusan
negara dan warga negara dalam melegalkan setiap aktivitasnya baik dalam proses
administrasi, pendataan, pengesahan, izin, yang harus diproses oleh negara di
dalam birokrasi, sebab tujuan dari hadirnya birokrasi tersebut adalah untuk
mempermudah kinerja pemerintah dalam melayani publik untuk mendapatkan
haknya. Menurut Michael G. Roskin, et al, “menyebutkan pengertian birokrasi
bagi mereka birokrasi adalah "setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri
atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk
melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para
pengambil keputusan (decision makers). Idealnya, birokrasi merupakan suatu
sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa
guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan
efisien”. Dari penegrtian tersebut dapat dilihat hadirnya birokrasi merupakan
menjadi suatu wadah yang sangat membatu aktifitas negara dan warga negara
dalam menerima dan memberikan tanggung jawabnya. Menurut Bintoro
Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan
demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang
1
Universitas Sumatera Utara
banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi
tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas
dari birokrasi.
Namun terdapat sisi buruk dari administrasi yang terdapat didalam
birokrasi, hal ini senantiasa dikeluhkan oleh masyarakat bagaimana kesalnya
masyarakat yang menjadi bulan-bulanan petugas dari meja satu kemeja yang
lainnya untuk melakukan urusan administrasi dalam organisasi publik, banyaknya
alasan klasik yang dilontarkan oleh pegawai birokrasi menanggapi pertanyaan
masyarakat yang ingin mengurus berkas-berkas administrasinya, alasan tersebut
dapat berupa pimpinan yang masih keluar kota dalam rangka urusan dinas,
banyaknya masyarakat yang telah terlebih dahulu mengurus surat menyuratnya,
menyelibnya berkas sehinnga tidak dapat diproses. Tidak jarang hal ini memakan
jangka waktu yang cukup lama. Isu tentang Red Tape merupakan persoalan yang
klasik, namun tak kunjung terpecahkan, dapat diketahui bahwa prsoalan ini
merupakan akbat dari faktor
Weber menganggap keberadaan Birokrasi merupakan suatu yang tidak
rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will
pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau
tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu,
Tujuan dari birokrasi memang untuk mempermudah setiap urusan
birokrasi tetapi para birokratnyalah yang akhirnya menghianati fungsi dari
2
Universitas Sumatera Utara
birokrasi yang kerap memperlambat setiap kinerja sehingga yang terjadi ialah
infesesiesi dan tidak efektif.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh bapak Susilo Bambang Yudoyono
selaku mantan presiden presiden republik indonesia yang mengatakan “mutu
pelayanan publik saat ini berada pada titik nadir yang menjadi salah satu sebab
keterpurukan yang berkepanjangan. Kegeraman mantan presiden Susilo Bambang
Yodoyono tidak akan efektif mengubah prilaku birokrasi bila tidak ditopang oleh
efek sadar dan upaya nyata dan terukur dalam meningkatkan etos kerja dan
kinerja birokrasi pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undangundang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN). 1
Hal serupa juga di dukung oleh pendapat kepala negara republik indonesia
saat ini jokowidodo, yang mengatakan Birokrasi harus berubah untuk dapat
menghadapi kompetisi. Etos kerja dan budaya kerja harus berubah."Jika tidak
berubah, kita akan tertinggal dari negara lain. Ada 2 pilihan bagi para pejabat,
berubah atau dicopot," tegas Presiden Joko Widodo pada Rapat Kerja Pemerintah
dengan
peserta
para
Menteri,
Kepala
LPNK
dan
jajaran
Eselon
1
kementerian/lembaga di Auditorium Kementerian PUPR, Red tape ataupun proses
birokrasi yang berbelit belit merupakan suatu penyakit birokrasi yang telah
diketahui dan hampir dirasakan oleh setiap masyarakat, hal ini tidak hanya
dirasakan oleh masyarakat kecil saja, namun para kepala pemerintahan negara ini
1
Pasal 3 undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang bersih dari
korupsi, kolusi dab nepotisme (UU KKN)
3
Universitas Sumatera Utara
juga telah menyatakan salah satu penghambat proses pembangunan adalah
masalah birokrasi yang berbelit-belit hal ini dikarnakan terlalu banyak aturan yang
justru mempersulit dan bukan sebaliknya, hal serupa juga dirasakan oleh para
investor yang ingin mengurus surat izin untuk melakukan investasi, sulitnya
proses administrasi yang panjang dan kurangnya transparansi atas proses
administrasi menyebabkan masyarakat ataupun pelanggan negara terpaksa
melakukan hal-hal kecurangan seperti memeberikan uang pelicin agar setaip
urusan administrasi dapat segera diselesaikan.
Red tape ini dapat disebabkan oleh banyak hal tetapi seperti yang di
kemukakan oleh mantan kepala negara republik indonesia Susilo Bambang
Yudoyono yang menegaskan bahwa mengubah prilaku birokrasi bila tidak
ditopang oleh efek sadar dan upaya nyata dan terukur dalam meningkatkan etos
kerja dan kinerja birokrasi pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3
Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU KKN). Tentu akan sulit Memang,
konsep reformasi administrasi yang tertata dan mekanisme pelayanan yang
terukur adalah aspek krusial bagi efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Namun, faktor yang terpenting yang dapat memengaruhi kinerja birokrasi adalah
etos kerja yang harus dimiliki oleh setiap birokrat dalam melaksanakan fungsi dan
tugas administrasinya secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi, mutlak perlu
disoroti dari sudut pandang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku dalam
suatu birokrasi tertentu.
4
Universitas Sumatera Utara
Melalui penerapan konsep pelayanan publik yang beretos kerja tinggi,
reformis, terukur, berorientasi kepada kinerja dan diikuti oleh asas umum seperti
keterbukaan, integritas, akuntabilitas, legalitas, nondiskriminasi atau perlakuan
yang sama, proporsionalitas, dan konsistensi, akan menghasilkan pelayanan
publik yang dikehendaki sebagai perwujudan dari good governance. Dengan
demikian, kinerja birokrasi akan mengalami perbaikan baik mutu maupun
performance dan kepuasan publik dapat terwujud secara nyata dan terukur.
Birokrasi harus dapat melayani rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, unit-unit pelayanan teknis maupun tempat-tempat pelayanan publik
mulai dari kantor gubernur sampai ke kantor kelurahan harus ada aparatur
pemerintahan yang siap melayani rakyat. “Sebagai abdi masyarakat, abdi negara
dia (pegawai) harus melayani, nah cara pandang seperti inilah yang diminta bapak
presiden untuk disosialisasikan tentang kedisiplinan ditingkatkan, budaya kerja
diperbaiki dan tentunya peningkatan kualitas pelayanan.
Oleh karena itu Red tape yang dipengaruhi oleh etoskerja birokrasi
merupakan topik yang menarik untuk dikaji guna menemukan solusi dalam
penanggulangannya. Alasan kedua mengapa topik ini menarik untuk di teliti
dikarnakan setiap hal yang berkenaan denagn aktifitas di dalam suatu negara
harus memiliki legalitas negara melalui birokrasi dan red tipe ini merupakan salah
satu penyakit yang meneybabkan masyarakat geram dan enggan mendengar kata
Birokrasi. Penelitian ini akan dilaksanakan pada Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Serdang Bedagai
5
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
permasalahan yang menjadi perhatian penulis ialah “ Apakah Ada Pengaruh
Etos Kerja Birokrasi Terhadap Red Tape”
1.3. Tujuan Penelitian.
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah tertentu tentu
mepunyai jalan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Tujuan
penelitian adalah suatu pernyataan yang disusun berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah yang mendasari dilakukannya penelitian. Adapun yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah :
a) untuk mengetahui pemahaman pegawai tentang hal yang mendasari etos
kerja birokrasi pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Serdang
Bedagai.
b) untuk mengetahui kelancaran sistem dan prosedur Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Serdang Bedagai dalam melaksanakan pelayanannya.
c) untuk mengetahui adakah pengaruh etos kerja terhadap Red Tape pada
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Serdang Bedagai.
6
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian sebagai berikut:
a) Sebagai kontribusi bagi dunia pendidikan, khususnya dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan.
b) Sebagai bahan informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian
dimasa yang akan datang.
1.5. Kerangka Teori
1.5.1 Birokrasi
Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara
ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam
organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor (1911), dan Weber
(1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model birokrasi guna
meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max Weber adalah sosok yang
dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber (1948), organisasi birokrasi yang
ideal menyertakan delapan karakteristik struktural.
1.
Peraturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan dan
arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas organisasi.
Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah dan panduan
spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas organisasi.
2. Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada divisi
pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam menyelesaikan
7
Universitas Sumatera Utara
tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam
aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
3. Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota
organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu,
membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota
organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
4. Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik yang
mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang
dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan
pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan
kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
5. Kemampuan tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung
jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu
yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya tugas organisasi
yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota organisasi tertentu yang
melaksanakan tugasnya-tugasnya.
6. Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di antara
anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja tugas
organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus berkonsentrasi
pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan kebutuhan sendiri.
Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi dari tugas-tugas
organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas yang rendah dari
anggota organisasi individu.
8
Universitas Sumatera Utara
7. Penguraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota
organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya.
Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang keinginan
perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian
tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas perusahaan. Menurut
prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan dengan kaidah dan panduan
pemangkasan yang logis dan bisa diprediksikan.
Menurut Jan-jan Erik Lane di dalam tulisannya yang berjudul
“Introdiuction: The Concep Of Bureaucrasy “ dalam Bureaucrcy And Public
Choice
(1987:1_31)
adalah
Profesional
Administration
(Administrasi
Profesional). Administrasi profesional merupakan pendekatan sosiologis yang
memandang birokrasi sebagai sebuah bagian dari tipe organisasi. Referensi
utamanya adalah tipe ideal birokrasi Max Waber yang memuat sejumlah unsur
sebagai berikut 2:
a) Pembagian divisi pegawai yang terdevenisi secara jelas.
b) Struktur otoritas impersonal.
c) Memiliki jenjan hirarki.
d) Bergantung pada aturan formal.
e) Menggunakan sistem merit pada pegawai.
f) Ketersediaan karir.
2
Jan erik lane. 1987. Introduction dalam Bureaucrasy and public choicw. Hal 1-32
9
Universitas Sumatera Utara
g) Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota organisasi dan
kehidupan pribadi.
Max waber menyatakan pula bahwa sebagai bentuk representasi
organisasi, aktivitas Birokrasi merupakanrasionalisasi aktivitas kolektif guna
mencapai tingkatan tertinggi dan efesiensi.
Dalam konteks birokrasi pemerintahan, Randaal B. Repley dan Grace A
menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan berhubungan dengan unsur-unsur
publik. Pada level yang umum, apabila birokrasi memberikan pelayanan
publik dengan baik maka birokrasi tersebut mampu menunjukan sejumlah
indikasi prilaku berikut 3:
a) Memproses pekerjaan secara stabil dan giat;
b) Memperlakukan individu yang berhubungan denganya secara adil dan
berimbang;
c) Memperkerjakan
dan
mempertahankan
pegawai
berdasarkan
kualifikasi profesional dari orientasi terhadap keberhasilan program;
d) Mempromosikan staff berdasarkan sistem merit dan hasil pekerjaan
yang lebih baik yang dapat dibuktikan;
e) Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai
sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan.
3
Randal B. Replay dan Grace A. Franklin. 1982. policy implementation and bureaucracy, hal 2
10
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan tujuan penyediaan birokrasi pemerintah sebagaimana diuraikan
oleh Ripley Franklin adalah sebagai berikut : 4
a) Menyediakan sejumlah layanan sebagai hakikat dari tanggung
jawab pemerintah
b) Memajukan kepentingan sektor ekonomi spesifik seperti pertanian,
buruh, atau segmen tertentu dari bisnis privat
c) Membuat regulasi atas berbagai aktivitas privat
d) Mendistribusikan sejumlah keuntungan seperti pendapatan, hakhak dan lain-lain.
Brown dalam tulisannya Bureaucracy as an Issue in thrid world
management; an African case study dalam Public Administration development
volume. Brown menyusun defisini birokrasi dengan mendasarkan aumsinya
terhadap (bagaimana) secara aktual mereka bekerja.
Fritz Morstein Marx, Pengertian Birokrasi adalah suatu tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintah modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang
bersifat spesialis, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh
aparatur pemerintah.
Pengertian Birokrasi menurut Peter A. Blau dan Charles H. Page,
Birokrasi adalah suatu tipe dari organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai
4
Replay Randal B. dan Grace A, op.cit. hal 7
11
Universitas Sumatera Utara
tugas-tugas administratif yang besar, yaitu dengan cara mengkoordinir secara
sistematik pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang.
Menurut Jay M Shafritz dan E. W Russel merumuskan birokrasi sebagai :
•
Semua Kantor Pemerintah
Semua kantor yang melaksanakan fungsi publik yang dijalankan oleh pemerintah.
•
Semua Pegawai Pemerintah
Semua pegawai pemerintah dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yang dipilih
maupun yang diangkat.
•
Karakteristik Negatif
Segala sesuatu yang menunjukkan karakterisitik negatif birokrasi seperti korupsi,
kaku, prosedural, berbelit-belit dan inefisiensi.
•
Karakteristik Struktural menurut Max Weber
Birokrasi identik dengan karakteristik struktural yang dikemukakan oleh Max
Weber, seperti adanya pembidangan tugas yang jelas, prinsip hierarki, spesialisasi
dan formalisme
Menurut
Brown
(1989) Mengemukakan
definisi
birokrasi
yang
minimalis, yakni mengemukakan asumsi yang se-minimal mungkin tentang
12
Universitas Sumatera Utara
bagaimana birokrasi seharusnya bekerja dan lebih banyak melihat pada birokrasi
sesungguhnya.
Menurut Turner dan David Hulme (1997) Mendefinisikan birokrasi
sama dengan administrasi negara yaitu dengan melihat aspek-aspek unik dalam
administrasi negara seperti keterkaitan administrasi negara dengan pemerintah
atau negara, keterkaitan dengan hukum, dan adanya aspek akuntabilitas publik.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan Birokrasi merupakan
suat wadah organisasi yang luas yang tersusun secara jenjan jabatan yang hirarki,
yang memiliki fungsi dan tanggung jawab tertentu, dan berfungsi sebagai pelayan
publik dibidang administrasi. Defenisi yang kemudian dihasilkan dari pendekatan
tersebut menyatakan bahwa birokrasi adalah sisten stratifikasi hirarki pegawai
dimana orang dipekerjakan untuk upah dan gaji.
1.5.2. Etos Kerja
Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai ataupun
kualitas, standar moral dan penilaian.etika juga mencakup sebagai peneran konsep
seperti benar dan salah, baik, burluk dan tanggung jawab dan etika memandang
dari sudut pandang normatif. Etika nilai dari tingkah laku manusia menjadi
persoalan maksudnya adlah tingkah laku yang penuh tanggung jawab terhadap
diri sendiri, masyarakat, alam, maupun terhadap Tuhan.
Etika juga merupakan pemikiran sistematis tentang moral, dan etika larih
diakibatkan keambrukan moral manusia, hal ini menyebapkan kekacauan dan
13
Universitas Sumatera Utara
kelemahan bagi manusia, sehingga dibutuhkannya pengendalian yang dapat
mengukur apakah sesuatu itu baik atau tidak baik untuk dilakukan, maka muculah
nilai-nilai yang mampu memberikan kekuatan moral bagi manusia. Nilai-nilai
yang menjadi dasar kuat adalah kepribadian moral yang kuat sebagai berikut:
1. Nilai Kejujuran hal ini di jadikan dasar yang kuat bagi manusia untuk
dapat bertindak sebagaimana dirinya sendiri. Sebab bagaimana mungkin
seseorang dapat melangkah jika ia tidak berani menjadi dirinya sediri.
2. Nilai Tanggung Jawab merupakan kesedian untuk melakukan apa yang
harus dilakukan. Hal ini menyatakan bahwa perlunya kesadaran untuk
melakukan yang menjadi bagian manusia tersebut, sehingga tidak
menimbulkan konflik.
3. Nilai Kemandirian Moral
artinya tidak ikut-ikutan dengan berbagai
pandangan moral.manusia sudah mapu mempertahankan moral yang
memang dianggapnya baik dan sesuai dengan kepribadiannya.
4. Nilai Keberanian moral kemampuan untuk selalu membetuk penilaian
sendiri tentang norma. Hal ini berti manusia tersebut harus mampu menilai
suatu paham normaataupun nilai yang dianggapnya baik ataupun buruk.
5. Kerendahan hati kekuatan batin untu melihat sesuai dengan keadaan.
Berarti rela menerima keadaan dan kenyataan yang sedang terjadi dan
mencoba untuk menyesuaikan kemampuan diri dengan keadaan serta
bertanggung jawab atas keadaan tersebut dan kerendahan hati ini harus
dibarengi dengan pemikiran yang Realistik dan rasional.
14
Universitas Sumatera Utara
Kaitannya dengan dengan etos kerja adalah dimana etika yang
melatarbelakangi setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manusia, seperti
yang diketahui tindakan manusia akan di pengaruhi melalui apa yang mereka
lihat, dengar dan baca, sehingga muncul suatu konsep yang dapat menilai apakah
susuatu itu baik atau buruk, hal ini lah yang terkait dengan moral yaitu paham
yang me nganngap sesuatu itu bernilai, untuk itu didalam melakukan pekerjaan
manusia cenderung akan menerapkan nilai-nilai yang telah dipahami dan
menjadikannya sebagai sebuh petunjuk dalam bekerja, tentu saja nilai-nilai ini
tidak terlepas dari motivasi, keinginan, serta, cita-cita dari individu itu sendri,
sehingga nilai yang dianggap baik bagi seseorang belum tentu dikatakan baik
secara universal.
Setiap pekerjaan yang dilakukan manusia tidak akan terleas dari hubungan
manusia terhadap hal yang berpengaruh terhadap kehidupannya, dan bagaimana
manusia tersebut dapat melakukan sebuah pekerjaan, tentu saja salah satu yang
mempengaruhi prilaku manusia adalah nilai budaya yang melingkarinya maka,
maka kuckhon menggambarkan lima masalah hakekat hidup manusia.
1. Hakekat dari kehidupan manusia.
2. Hakekat kehidupan manusia dengan karya
3. Hakekat manusia dengan waktu.
4. Hakekat hubungan manisia dengan sesama manusia.
5. Hakekat hubungan manusia dengan alam.
15
Universitas Sumatera Utara
Dari kelima pandangan nilai diatas masing-masing memiliki pengertian
tersendiri yang memang menjadi salah satu penetu arah prilaku manusia.
1. Hakekat dari kehidupan manusia.
Masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan dalam memahami
arti dari hidup. Hal ini mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam
menjalani kehidupannya. Namun, banyak kebudayaan yang menganggap
hidup itu baik. Jadi, variasi budaya mempengaruhi pemikiran-pemikiran
manusia
2. Hakekat manusia dengan karya
hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang
memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup
(survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan
tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan
dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk
mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan
kepada status.
3. Hakekat manusia dengan waktu.
orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting
masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam
perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan
yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan
hidup masyarakatnya.
4. Hakekat hubungan manisia dengan sesama manusia.
16
Universitas Sumatera Utara
menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan
hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah,
mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang menekankan
hubungan horizontal (koleteral) antar individu, cenderung untuk
mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat
dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang
menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan
orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini
banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja
pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social
masyarakatnya.
5. Hakekat hubungan manusia dengan alam.
berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang
percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia.
Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin
mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan
berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Weber mencatat beberapa etos kerja kelompok kerja keristen calvinis
sebagai pelopor kapitalisme, sebagai berikut: tanggung jawab langsung Kepada
Tuhan, kejujuran dan perbuatan, kerja keras, hemat, pembagian waktu secara
mdetodik dalam kehidupan sehari-hari, rasional, dan menekankan kepada
17
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab individu. 5Menurut waber Kata etos berasal dari bahasa Yunani
yang berarti adat kebiasaan, watak (karakter), moral(etika), cara mengerjakan
sesuatu.
Dalam pemaknaan lainnya, etos kerja berarti watak dankebiasaan
manusia, perhatian dan moral kerja manusia, dalam mengerjakan sesuatu yang
telah menjadi rutinitas kehidupan. Melalui etos, manusia dapat menilai
dan mengevalusasi tindakan nyaberdasar motivasi yang diembannya. Pada
hakikatnya, manusia terbagi dalam dua entitas yakni sebagai makhluk politik
(zoon politicon) dan makhluk sosial (homo socius) sekaligus pula sebagai
makhluk ekonomi (homo economicus).
memaknai etos secara beragam. Dalam ranah politicoon dansocius, etos dimaknai
sebagai bentuk kolektivitas mencapai kesejahteraan sehingga tercapailah apa yang
dimaknai sebagai homo hominu socius . Sedangkan di ranah ekonomi, manusia
cenderung bersaing dalam mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga
manusia sebagai aktor ekonomi kerap dideskripsikan sebagai serigala sesama
(homo homini lupus)
Namun demi menghindari sifat serigala tersebut, etos memberi pencerahan
terhadap manusia bahwa hakikat bekerja adalah nalar manusia. Tanpa etos,
manusia menjadi serigala dan menuruti nafsu hewaniahnya saja dalam
bekerja. Maka dengan etos, manusia akan menjadi beribawa dalam bekerja.
Agama memiliki korelasi kuat dalam upaya membentuk dan mengkreasi etos
ekonomi tersebut. Substansi yang paling utama dalam membentuk etos ekonomi
dalam agama tersebutsebenarnya adalah masalah spiritualisme dalam membentuk
5
Weber.1958. Dalam tesisnya mengenai kebangkitan kapitalisme modern di eropa pada
permulaan abad ke-19. Hal 174
18
Universitas Sumatera Utara
semangat bekerja. Namun demikian, tentunya agak tak lazim bagaimana
mengkorelasikan spiritualisme sebagai dimensi imateriil dengan ekonomi sebagai
materiil. Hal itulah yang kemudian dikatakan filsuf Nietzsche sebagai. “sesuatu
yang mustahil” Tidak ada lagi pengharapan. Tujuan bekerja menjadi
berubah,bekerja hanya untuk kebutuhan perut. Bekerja sebagai siksaan, atau
bekerja dianggap sebagaihukuman. Setidaknya etos ekonomi tersebut yang
berkembang terlebih dahulu sebelum etika Prostestan Weber lahir. Etos tersebut
sekiranya ingin mengatakan bahwa bekerja adalah berdosa karena hanya
memikirkan duniawi saja, manusia harusnya menjadi pribadi yang alim sehingga
mendapatkan kemuliaan dari Tuhan.
Dalam tulisan Max Waber The Protestan Etika And The Spirit Of
Capitalisem, waber menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan
kerja keras dari bisnis barat di dorong oleh perkembangan etika protestan yang
muncul pada abad keenambelas dan gerakan oleh dokrin calvinisme yaitu doktrin
tentang takdir. Pemahaman tentang takdir menuntut adanya kepercayaan bahwa
Tuhan telah memutuskan tentang keselamatan dan kecelakaan. Selain itu doktrin
tersebut menegaskan bahwa tidak seorangpun yang terpilih.dalam kondisi ini
waber, pemeluk calvinisme merasa “panik terhadap keselamatan”cara untuk
menenagkan kepanikan tersebut adalah orang harus berfikir bahwa seseorang
harus tidak akan berhasil tanpa diberkati Tuhan. Oleh karena itu keberhasilan
adalah tanda dari keterpilihan. Untuk mencapai keberhasilan seseorang harus
melakukan aktivitas kehidupan, yang ditandai oleh disiplin dan berjasa, yang
didorong oleh ajaran keagamaan. Menurut Waber etika kerja dari calvinisme yang
19
Universitas Sumatera Utara
berkombinasi dengan semangat kapitalisme membawa masyarakat barat kepada
perkembangan masyarakat kaptalis modren. Jadi, doktin calvinisme tentang takdir
memberikan daya dorong psikologis bagi rasionalisasi (Damsar 2002)
Penelaahan lain mengenai hubungan nilai-nilai dengan etos kerja yaitu
etika samurai yang sesuai dengan ajaran-ajaran Tokugawa. Menurut ajaran
Tokugawa etika kewajiban keluarga mendorong terbentuknya seperangkat nilai
etika kejujuran, kualitas dan nama baik yang selalu dijunjung tinggi yang
kemudian didukung oleh nilai-nilai universal dalam
yang mendukung
keberhasilan negara jepang menjadi negara maju. Menurut Robert N. Bellah
melihat adanya tiga karateristik pokok dan ajaran dan tuntutan persyaratan etika
ini.
Pertama, ajaran untuk bekerja secara tekun dan bersungguh-sungguh,
khususnya dibidan kerja yang telah dipilih, persyaratan ini menempati posisi
sentral dari ajaran dan tuntunan etika.
Kedua, ajaran untuk memiliki sikap pertapa dan hemat dalam kondisi
barang, misalnya, dapat dilihat dari berbagai anjuran dan pribahsa yang muncul
waktu ini, misalnya untuk tidak melupakan bekerja tekun pada pagi dan sore hari,
himbauan bekerja keras, berikap kepaladingin terhadap konsumsi barang mewah,
dan juga terlihat pada anjuran yang tegas untuk tidak berjudi dan lebih baik
mengambil sedikit dari pada banyak.
Ketiga, sekalipun pencarian keuntungan secara tidak halal dilarang, namun
usaha keras mengejar mengumpulkan keuntungan yang diperoleh dari usaha-
20
Universitas Sumatera Utara
usaha yang normal diberikan dan disediakan legitimasinya dalam ajaran agama
melalui doktrin spirit dan Bodhisatta.
Dalam GBHN 1993, sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas
manusia indonesia yang maju dan mandiri. Dalam pelita VI telah di isyaratkan
bahwa ada faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan: 6
1) Partisipasi sosial dan,
2) Sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja ini di sebut juga sebagai
etos Budaya. Secara operasional etos budaya ini jga di kenal sebagai etos
kerja.
Menurut Geertz etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia
yang di pancarkan hidup dan etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai.
Maka hal ini bisa di pertanyakan apakah kerja dalam arti khusus, usaha komersial,
dianggap suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri, ataukah
sesuatu yang terkait dengan identitas diri yang bersikap sakral. Identitas diri
dalam hal ini adalah sesuatu yang telah diberikan oleh agama, etos kerja sangat
terkait dengan irama karakter, kualitas hidup, gaya moral estetika dan suasana
perasaan seseorang. 7
6
GBHN 1993, Sasaran umum PJP II Dalam departemen pendidikan dan kebudayaan,
1996/1997, Persepsi Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu
Daerah Riau. hal 57
7
Gertz. 1982. Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997 Persepsi Tentang
Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau. Hal 57
21
Universitas Sumatera Utara
Etos kerja merupakan sikap yang muncul atas kehendak otonom dan
kesadaran diri sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap
kerja. Secara imperikal kita mengenal etos kerja yang tinggi dan rendah. 8
Etos kerja merupakan bagian dari sistem nilai menurut kluckhohn yang di
kutip dari koentjaraningrat ada lima dasar dalam kehidupan manusia yang
berkaitan dengan nilai budaya, yankni masalah yang berkenaan dengan hakekat
hidup, karya, waktu, alam, hubungan antar manusia. 9
Etos kerja menurut adbullah, dapat dilihat dari dua segi pertama, di
manakah kedudukan kerja dalam hirarki nilai. Dalam hal ini apakah kerja
dianggap sebagai suatu tyang dilakukan secara “Terpaksa” sebagai pilihan utama
atau bahkan sebagai “Panggilan“ suci sebagai ibadah, kedua apakah di dalam
hirarki nilai itu ada perbedaan dasar memilih dari berbagai jenis pekerjaan yang
tersedia. Apakah ada derajat penilaian bahwa pekejaan yang satu lebih penting
dari pekerjaan yang lainnya.
Menurut Toto Tasmara, (2002) Etos kerja adalah totalitas kepribadian
dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan
makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal
yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara
manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja
berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:
8
Usman Pelly. 1992. Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997 Persepsi
Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau Hal 12
9
Koentjaraningrat. 1981. Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997
Persepsi Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau. Hal
28
22
Universitas Sumatera Utara
a) Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik,
baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
b) Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang
sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
c) Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang
dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan
dan kesungguhan.
d) Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros,
sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e) Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang
dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan
kegiatan individu sebagai seorang pengusaha atau manajer. Menurut A. Tabrani
Rusyan, (1989) fungsi etos kerja adalah:
a) pendorang timbulnya perbuatan.
b) penggairah dalam aktivitas.
c) penggerak, seperti; mesin bagi mobil, maka besar kecilnya motivasi yang
akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
Menurut Gregory (2003) sejarah membuktikan negara yang dewasa ini
menjadi negara maju, dan terus berpacu dengan teknologi/informasi tinggi pada
dasarnya dimulai dengan suatu etos kerja yang sangat kuat untuk berhasil. Maka
tidak dapat diabaikan etos kerja merupakan bagian yang patut menjadi perhatian
23
Universitas Sumatera Utara
dalam keberhasilan suatu perusahaan, perusahaan besar dan terkenal telah
membuktikan bahwa etos kerja yang militan menjadi salah satu dampak
keberhasilan perusahaannya. Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan
kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal
yang
merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi
terhadap tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia
kerja menetapkan etos kerja seseorang (Siregar, 2000 : 25)
Konsep etos kerja dalam arti modren pertama kali dikembangkan oleh
filsuf immanuel kant yang menyatakan bahwa etos kerja merupakan kehendak
otonom sebagai chiri khas setiap moral dam kaitan etos kerja, etos kerja berarti
sikap kehendak yang dituntut terhadap kegiatan tertentu yang mempergunakan
etos kerja dalam arti yang luas, yaitu sebagaimana sistem tata nilai mental,
tanggung jawab dan kewajiban.
Etos kerja juga merupakan semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika
yang harus dilakukan di tempat kerja seperti: disiplin jujur, tanggung jawab,
tekun, sabar, berwawasan kreatif, bersemangat, mampu bekerjasama, sadar
lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun.
Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup,
kebiasaan seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia
mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling
komprehensif mengenai tatanan. Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif
24
Universitas Sumatera Utara
sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam
kehidupannya (Khasanah, 2004:8).
Indikator etos kerja adalah ciri–ciri dari orang yang sudah memiliki etos
kerja, jika sifat etos kerja yang baik sudah tertanam disetiap diri pegawai maka
pegawai disuatu instansi itu akan mampu memberikan dampak yang baik
terhadap hasil kerja yang dicapainya. Tentunya hal ini sudah kita inginkan sejak
lama, jika etos kerja ini sudah tertanam maka sifat karyawan akan berubah
menjadi, tangguh,cerdas, terampil, mandiri dan memiliki rasa kesetiakawanan
serta pekerja keras, hemat, produktif, berdisiplin, dan beroreantasi ke masa depan
untuk menciptakaan keadaan yang lebih baik.
Jansen Sinamo ( 2005 ) Berpendapat bahwa ada delapan faktor untuk
memiliki etos kerja yang baik, yakni:
1.
Pekerja sudah berperinsip bahwa kerja adalah rahmat, disini dapat diartikan
bahwa pekerjaannya itu tulus penuh syukur dan ikhlas,
2.
Kerja adalah amanah, disini dapat pula di pahami bahwa seorang pegawai dalam
melakukan pekerjaannya sudah penuh dengan tanggung jawab.
3.
Kerja adalah panggilan, dapat diartikan seorang pekerja harus bekerja tuntas
penuh integritasi.
4.
Kerja adalah aktualisasi, dapat diartikan setiap pekerja dalam bekerja
harus penuh semangat.
5.
Kerja adalah Ibadah, dapat diartikan setiap pekerja harus serius dan penuh
kecintaansehingga bernialai ibadah
6.
Kerja adalah seni, setiap pekerja harus kreatif dengan penuh kreativitas.
25
Universitas Sumatera Utara
7.
Kerja adalah kehormatan, bekerja harus tekun penuh keunggulan.
8. Kerja adalah pelayanan, dapat diartikan bahwa setiap pekerja harus bekerja paling
sempurna dan penuh kerendahan hati.
Dapat disimpulkan bahwa etos kerja memang merupakan otoritas otonom
dari setiap individu, dalam hal ini etos kerja dikaitkan dengan sikap pandangan
dan tanggun jawab atas pekerjaan, disiplin, pekerja keras, dan memiliki karakter
serta budaya yang membangun kinerja Birokrasi 10
Indikator-Indikator Etos Kerja
a) Mempunyai semangat positif terhadap hasil kerja manusia.
b) Mepertahankan pandangan tentang kerja, sedagai suatu yang luhur
bagi eksistensi manusia.
c) Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi
kehidupan manusia.
d) Kerja dihayati sebagai suatu proses yang menumbuhkan ketekunan
dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
e) Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
10
Khal 1961, dalam II Dalam departemen pendidikan dan kebudayaan, 1996/1997
Persepsi Tentang Etoskerja:Kaitannya Dengan Nilai Budaya Masyarakat Melayu Daerah Riau hal
59
26
Universitas Sumatera Utara
1.5.3. Patologi Birokrasi
Dalam sejarahnya, patologi birokrasi (Bureaupathology) dikenal sejak
hadirnya rutinitas kegiatan yang menyibukkan para birokrat itu sendiri dan
menciptakan aktifitas yang berbelit-belit. Kemudian kondisi ini dikenal dengan
istilah Red Tape (pita merah).
Yakni birokrasi yang berbelit-belit sehingga menciptakan perilaku
birokrasi yang sangat bertentangan dengan tujuan mulia kehadiran birokrasi itu
sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kajian dan eksprimen terhadap patologi
birokrasi pun kian berkembang dan menghasilkan banyak pandangan atau teori
tentang patologi birokrasi.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW
Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan
yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik,
melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilakuperilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Secara umum,
Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat
perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik
yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal
Victor A Thompson menggambarkan fitur dari patologi birokrasi seperti
“sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas dan
27
Universitas Sumatera Utara
prosedur, perlawanan terhsadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari
otoritas dan status.”
Sayangnya, pada kenyataannya negara berkembang telah menjadi ‘ruang
dan tempat’ tumbuh suburnya patologi birokrasi. Seperti Indonesia sebagai negara
berkembang masih dalam selimut patologi birokrasi, mulai dari birokrasi pusat
hingga birokrasi di daerah. Bahwa ternyata desentralisasi atau otonomi daerah
yang sedang dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi
birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin mengukuhkan
patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat,
a) Betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter,
paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan
lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam
kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau
partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi.
b) Birokrasi kita kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk
menyelenggarakan pembangunan dan over (berlebih) dalam segi kuantitas.
Fakta ini telah kita saksikan, birokrasi kita masih saja lemah secara sumber
daya manusia. Dan sangat wajar lemah, karena dalam proses
rekrutmennya selama ini bukan atas dasar kualitas, dan inilah salah satu
produk patologi birokrasi tersebut. Secara kuantitas, jelas birokrasi
Indonesia sangat gemuk dan over lembaga dalam menangani sektor-sektor
yang pada dasarnya sama. Sehingga sering kita menyaksikan di kantor-
28
Universitas Sumatera Utara
kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang tidak bekerja dan
terjadinya tumpang tindih dalam penanganan masalah dalam memberikan
pelayanan publik.
c) Birokrasi kita masih lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi
ketimbang kepentingan masyarakat. Telah menjadi sebuah realitas yang
berkepanjangan. Bahwa mental dan kultur birokrasi kita masih berazas
manfaat pribadi atau kelompok serta sangat pragmatis dan mengabaikan
kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di mana para birokrat
kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil secara tidak layak bila
dibandingkan gaji yang ditetapkan.
d) Birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi. Bahwa
banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan pembangunan
hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi esensi, manfaat dan
dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering bersifat seremonial.
e) Birokrasi kita masih asik dengan jalannya sendiri tanpa mengperhitungkan
atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita, khususnya di daerah,
masih jauh dari pengawasan yang seyogianya. Artinya, lepas dari proses
politik dan pengawasan publik secara kuat.
Kondisi yang mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya patologi birokrasi
adalah akibat pembiaran terhadap lahir dan tumbuhnya benih-benih gejala
patologi birokrasi itu sendiri. Menurut Sondang P. Siagian, gejala patologi dalam
birokrasi bersumber pada lima masalah pokok.
29
Universitas Sumatera Utara
a) persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan
bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima
sogok, dan nepotisme.
b) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana
berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu
pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
c) Tindakan
pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan”
pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
d) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif,
seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
akibat
situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif
terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang
memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
Prof.Dr.Sondang P.Siagian, MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi:
Analisis,Identifikasi dan Terapinya” menyebut serangkaian contoh penyakit
(patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit - penyakit tersebut dapat
dikategorikan dalam lima macam :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat
dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain,
penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan
intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
30
Universitas Sumatera Utara
2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan
ketrampilan
para
petugas
pelaksana
berbagai
kegiatan
operasional.Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan
ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa
puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan
kebingungan.
3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi
melanggar norma hukum dan peraturan perundang - undangan yang
berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi,
ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat
disfungsional atau negatif.Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak
sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di
lingkungan pemerintah.Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi
bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja
kurang kondusif
Menurut F.W. Riggs dalam model admininstrasi sala yaitu sebutan
Administrasi dari negara-negara berkembang atau masyarakat yang sedang
berkembang. Di dalam model ini riggs mencoba menggambarkan bahwa
administrasi pada saat itu merupakan suatu faktor yang diabaikan dalam proses
pembangunan serta menurunnya ekonomi. Buruknya administrasi akhirnya
merugikan lebih dari 90% usaha pembangunan saluran pengairan di china dilain
31
Universitas Sumatera Utara
pihak laporan tentang kuba yang mencatatat bahwa sebagian besar pekerja
perusahaan industri gulannya adalah pegawai Negeri, meskipun dari beberapa
pegawai tersebut ditemukan pegawai yang bekerja dengan penuh rasa tanggung
jawab, tetapi ada pula yang menganggap “ pekerjaan pemerintah sebagai suatu
pekerjaan yang sangat enteng. Di kebanyakan departemen sejumlah pegai jarang
muncul sama sekali kecuali dalam pemberian gaji, dan mereka yang secara teratur
masuk kantor terbukti tidak banyak mendapatkan pekerjaan, bukan saja hanya
karna
tidak
becus,
tetapi
juga
kerena
kurangnya
pengawasan
dan
pengorganisasian atau pelimpahan wewenang. Munculnya kabar bahwa “
rendahnya tingkat gaji pegawai dan kurangnya kesadaran untuk berperan serta
dalam pekerjaan dilaporkan menjadi penguji kejujuran pegawai. Hal lain yang
merupakan masalah ataupun patologi bagi birokrasi merupakan adanya kelebihan
tenaga kerja, tugas-tugas tidak dirumuskan dengan baik dan koordinasi dilakukan
tanpa menimbang efesiensi, kemajuan bergantung ada senioritas dan bukan
berdasarkan kemampuan dan jasa, ditambah lagi dengan kepegawaian yang kaku
dan lebih ditunjukan untuk melindungi pegawai pemerintah dari pada untuk
meningkatkan efesiensi administrasi itu sendiri.
Masalah lainnya ialah pemusatan yang berlebilahan dan kelemahan
koordinasi, pemusatan yang berlebilah dimaksudkan sebagai sentralisasi yang
berlebihan telah mempersempit ruang inisiatif dan sedikitnya pelimpahan hal ini
menyebabkan pejabat tinggi menjadi sasaran tekanan yang tidak semestinya
sehingga semakin tinggi tingkat pemerintah, semakin terlibat pula ia dengan
berbagai persoalan masyarakat yang sepele, sehingga membutuhkan waktu yang
32
Universitas Sumatera Utara
lama dan pekerjaan yang berbelit-belit, untuk itu dibutuhkan adanya koordinasi
agar setiap departemen memiliki kepala bagiannya tersendiri yang mampu
menanggungjawapi di dalam bidangnya namun muncul masalah baru dimana
kurang tersedianya teanga ahli yang mampu mengemban tugasnya, serta
kesimpangsiuran struktur yang sudah ada dan justru menambah konflik dan
kompetisi didalam tubuh birokrasi itu sendiri, serta meningkatkan beban puncak
hirarki dalam melaksanakan koordinasi.
Riggs juga menyatakan bahwa ada beberapa faktor dasar yang menyebabkan
masalah-masalah birokrasi yang terkait dengangan nilai dan pandangan
administrator dalam bekerja, hal ini disoroti Riggs dari cara negara-negara
berkembang menanggapipencapaian hasil jika dibandingkan dengan jepang yang
menekan pada produktivitas dimana partai-partai bersaing untuk memenangkan
suara dalam pemilu, dan kelompok-kelompok penekan dan kepentingan yang
terorganisasi serta kolompok masyarakat profesional saling berpadu untuk
mendesak para pejabat pemrintah memenuhi tuntutan mereka jika para pejabat itu
ingin mempertahankan jabatannya dan mendapatkan promosi. Lain hal nya di
negara-negara berkembang. Birokrasi tampaknya membuat aturannya sendiri
untuk mempertahankan keberadaannya, senioritas, hubungan patron, aturan
jabatan yang ketat, kerja sambilan, dan korupsi. Semua hal ini merupakan
pertanda bahwa tekanan utama kaum administrator tidak ditujukan untuk
meningkatkan hasil kerja. Mereka lebih menganggap penting hubungan dengan
para keluarga dan klik yang berpengaruh dengan memberikan waktu, upeti kepada
mereka yang berstatus dan beruang dan seterusnya. Hal ini sungguh
33
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan kelemahn politik adminstrasi di negara berkembangyang
menjadi bukti atas pernyataan ini ialah bahwa birokrasi secara politis lebih
dominan sebagai alat pelaksana pemerintah, sehingga para administrator lebih
berurusan dengan mereka sebagai “pejabat”ketimbang berlaku sebagai “pelayan
masyarakat”yang harus menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang dialtikulasikan.
Dari hal ini dapat digambarkan bahwa para pegawai adminitrasi berkerja hanyan
sebatas untuk mendapatkan pekerjaan, kesejahteraan, dan jabatan sebagai tujuan
akhir, sehingga Administrasi tampak lebih terkait dengan masalah perlindungan
den pengokohan status hubungan-hugungan hak istimewa daripada mencapai
sasaran organisasi.
Keterbatasan ruang telah menghalangi pengulasan nila-nilai kebudayaan
dan faktor-faktor sosial politik yang lain yang mempengaruhi pekerjaan
administrasi, seperti perbedaan di dalam penafsiran peranan hukum dan hubungan
hirarkis individu struktur keluarga dan pendidikan anak, konepsi individu tentang
dirinya sendiri dan peranan yang akan dijalankanya, kelenturan dan daya tahan
perjanjian, pandangan hidup yang bersifat pindah-pindah versus menetap,
kesadaran
penggunaan
waktu
dan
ramalan
keadaan
mendatang,
serta
keberagaman versus kekhasan pengharapan di dalam hubungan-hubungan
kelembagaan.dari hal ini dapat dilihat tidak ada faktor tunggal yang
mempengaruhi prilaku administrator dan secara pribadipenyebab dari masalahmasalah tersebut tidat terlepas dara pandangan nilai dan kebudayaan.
34
Universitas Sumatera Utara
Ciri Karakteristik SALA sebagai Model SAN dalam Masyarakat Prismatik
1. Heterogenitas (heteregonity) : fungsi administrasi kekeluargaan dengan
struktur
jabatan
baru.
Fungsi-fungsi
administratif
yang
semula
dilaksanakan atas dasar hubungan kekeluargaan tetap dilanjutkan tetapi
secara sembunyi-sembunyi, sementara itu disusun struktur jabatan kantor
yang baru guna menggantikan organisasi atas dasar kekeluargaan tadi dan
selanjutnya sebagai pantas-pantas disiapkan seperangkat norma untuk
dipatuhi (walaupun nyatanya norma tersebut diabaikan).
2. Nepotisme (Nepotism) : universalistik dengan hubungan kekerabatan.
Dalam masyarakat tradisonal jelas-jelas keluarga merupakan landasan bagi
pemerintahan dan administrasi negara, dan wajar apabila jabatan-jabatan
dalam administrasi negara disediakan bagi anggota keluarga (nepotisme).
Dalam masyarakat yang sedang berkembang (prismatic society), sering
terdapat seorang Presiden atau Perdana Menteri yang dipilih, tetapi
menyerahkan kedudukannya kepada anak, menantu, kemenakan atau
keluarga dekatnya, yang seharusnya kedudukan tersebut digantikan oleh
seseorang melalui pemilihan. Jabatan-jabatan dalam administrasi negara
dijabat oleh orang-orang atas dasar norma yang bersifat universalistik,
tetapi nyatanya diam-diam diisi oleh orang-orang yang punya hubungan
kekerabatan. Hal-hal demikian ini menjadi salah satu ciri dalam pengadaan
pegawai dari model Sala.
3.
Tindan (Overlapping) : antara pekerjaan kantor dengan urusan keluarga.
Pengaruh keluarga atau kerabat mengatasi pelaksanaan fungsi dinas/kantor
35
Universitas Sumatera Utara
sedemikian rupa sehingga peraturan/hukum dilaksanakan seenak-enaknya
terhadap keluarga, sebaliknya sekeras-kerasnya terhadap pihak-pihak di
luar kerabat. Hal ini berlaku juga terhadap pelaksanaan kontrak, pembelian
perbekalan, pengadaan barang, pembayaran pajak, pemberian lisensi,
pemberian ijin dan lain sebagainya. Bagi pihak luar pegawai-pegawai dari
model sala ini nampak bersifat individualistik, karena mereka menilai
kepentingan keluarga lebih tinggi daripada kepentingan dinas, pemerintah,
kadang-kadang bahkan kepentingan negara.
4. Poly communal / plural community : Mobilitas cukup tinggi tetapi tingkat
asimilasi rendah. Pengelompokan atas dasar keluarga menumbuhkan
solidaritas kelompok. Dalam negara berkembang solidaritas kelompok
didapat atas dasar etnis, agama, ras yang bersifat mobil karena faktor
komunikasi yang relatif baik, tetapi belum tercapai asimilasi dengan
penguasa (elite) karena sebagian dari anggota kelompok masih buta
aksara,
sehingga
melahirkan
beberapa
kelompok
masyarakat
(communities) tertentu.
5. Clect yang mencakup klik, klub dan sekte (Clicques, Clubs, Sects) :
Organisasi primer/tradisional dikelola secara modern atau sebaliknya.
Clect dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi yang memiliki fungsifungsi secara relatif bercampur baur bersifat semi tradisonal, tetapi
diorganisir secara asoasional modern. Sekte oposisi dari partai-partai
politik dan gerakan dalam masyarakat prismatik dapat digolongkan
sebagai clect. Suatu organisasi mungkin jatuh dikuasai oleh satu
36
Universitas Sumatera Utara
clecttertentu yang anggota-anggotanya sangat kuat solidaritasnya dan
sangat kompak menghadapi clect yang lain. Kekuasaan yang ada seakanakan dimonopoli oleh clect dimana pihak luar tidak dapat ikut serta.
Dalam keadaan demikian berkembangkah suap, uang pelicin, upeti atau
pungutan liar (pungli) guna mendapatkan pelayanan atau fasilitas.
6. Formalisme (Formalism) : Ekonomi bazaar-canteen. Pelaksanaan
peraturan tersurat tidak sama dengan yang tersirat. Pelaksanaannya bisa
diibaratkan sebagai bazar di mana tidak ada kepastian harga bersama-sama
dengan kantin yang sudah ada kepastian harga dalam mengatur segala
sesuatu dalam kehidupan masyarakat. Komisi tidak wajar seakan-akan
dibenarkan, harga barang yang dibeli oleh dinas dinaikkan di atas harga
pasar (mark-up), di mana selisih harga diserahkan kepada pejabat sebagai
’komisi’. Korupsi seolah-olah dilembagakan diikuti dengan mutasi
periodik bergilir diantara jabatan-jabatan ’basah’ dan jabatan-jabatan
’kering’.
7. Mitos, formula dan kode (Mythos, Formula and Code) : Modern dalam
pemikiran tetapi pelaksanaan tradisional atau sebaliknya. Mitos, formula
dan kode sudah diciptakan mengikuti pokok-pokok pikiran modern, tatapi
dalam praktek tetap berlangsung tindakan-tindakan yang mengikuti norma
tradisional. Pemerintahan oleh rakyat, kedaulatan di tangan rakyat
(merupakan mitos modern), pejabat-pejabat eksekutif tertentu harus dipilih
dalam pemilihan umum, pegawai-pegawai pemerintah administrasi negara
adalah abdi masyarakat (merupakan formula modern), pemerintahan harus
37
Universitas Sumatera Utara
bertindak sesuai dengan hukum, administrasi negara dapat dituntut di
depan pengadilan administrasi (merupakan kode modern), tetapi pada
praktek kenyataannya rakyat dianggap sepi seolah-olah sebagai obyek
saja, sementara pejabat mengangkat dirinya dalam jabatan yang tidak
dibatasi, bukan administrasi yang menjadi public servants yang melayani,
tetapi sebaliknya menjadi master yang dilayani dan sebagainya.
8. Distribusi kekuasaan : Otoritas lawan kontrol. (Distribution of Power :
Authority versus Control). Kekuasaan seharusnya dibagi-bagi dengan
pendelegasian dalam rangka desentralisasi, akan tetapi prakteknya justru
sebaliknya sentralisasi yang berlaku. Pada sisi yang lain struktur
kekuasaannya sentralistik dan terpusat akan tetapi pengendalian atau
kontrolnya terpisah-pisah tersebar dilakukan oleh banyak pihak.
1.5.4. Red-Tape
Menurut kamus idiom bahasa inggris red tape merupakan proses birokrasi
yang rutin dan berbelit –belit meskipun tidak penting. Salah satu kelemahan yang
sering dikaitkan dengan birokrasi ialah “red-tape” . Istilah ini merujuk kepada
satu peraturan birokrasi yang sangat berlebihan sehingga menyebabkan kelewatan
kepada sesuatu urusan ataupun proses.
Konsep birokrasi yang disampaikan oleh Max Weber oleh sebagian ahli
organisasi dipandang sebagai organisasi yang kaku, berbelit-belit, terlalu formal
sehingga meninbulkan apa yang disebut dengan “The Red-Tape”.
38
Universitas Sumatera Utara
Bozeman dan Feneey red-tape seringkali dipergunakan sebagai sinonim
dari istilah prosedur, peraturan, dan regulasi, manakala ketiganya berjalan
menyimpang dan menjadi berlebih-lebihan, maka pada saat itulah red tape ada
dan berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk-bentuk red
tape, terdapat lima jenis bentuk red-tape yang kerap dijumpai pada birokrasi hal
ini meliputi, meliputi: persyaratan yang banyak, kurang relevan dan ketat; struktur
dan hierarki yang panjang, ketat dan berlebihan; prosedur atau tahapan yang rigid
atau rinci, kompleks, panjang, dan ketaatan secara berlebihan, serta berbelit-belit;
waktu yang lebih lama dari ketentuan, biaya yang lebih tinggi dari standar yang
telah ditetapkan; dan sikap dan perilaku petugas yang suka menunda dan acuh tak
acuh, mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, mengharapkan
imbalan, kurang menghargai masyarakat yang dilayani. Adapun perilaku
masyarakat wirausaha menghindari red-tape adalah dengan cara menelikung
(short cut behavior) dan menyuap (bribery behavior). Untuk itu penulis
menawarkan
pemutusan
red-tape
dengan
merampingkan
struktur
dan
menyederhanakan prosedur. dengan melalui tiga hierarki atau prosedur.
Victor A Thompson mengungkapkan Red Tape merupakan awal
kemunculan
dari
sebuah
Patologi
ini.
Red-Tape
disebabkan
adanya
kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang tercetak
dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya lebih memperefisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para birokrat terlalu
“patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi selain Red-Tape
39
Universitas Sumatera Utara
yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas, pertanggung
jawaban formal, dan lain sebagainya.
M Shafritz dan E. W Russel (1997) merumuskan birokrasi sebagai : (1)
Semua Kantor Pemerintah: Semua kantor yang melaksanakan fungsi publik yang
dijalankan oleh pemerintah. (2) Semua Pegawai Pemerintah:Semua pegawai
pemerintah dari tingkatan terendah hingga tertinggi, yang dipilih maupun yang
diangkat. (3) Karakteristik Negatif: Segala sesuatu yang menunjukkan
karakterisitik negatif birokrasi seperti korupsi, kaku, prosedural, berbelit-belit dan
inefisiensi. (4) Karakteristik Struktural menurut Max Weber: Birokrasi identik
dengan karakteristik struktural yang dikemukakan oleh Max Weber, seperti
adanya pembidangan tugas yang jelas, prinsip hierarki, spesialisasi dan
formalisme.
Red-tape dari birokrasi terkait dengan prosedur birokrasi yang berbelitbelit dan lamban dalam melakukan tugasnya. dalam kajian ilmu politik red tape of
beaurocration ini merupakan salah satu penyakit birokrasi yang klasik. Red tape’
maksudnya formalitas dan prosedussr berbelit-belit yang perlu dilalui, khususnya
melibatkan pengisian formulir atau penyerahan dokumentasi, sebelum bisa
diambil tindakan resmi.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpukan red-tape merupakan
salah satu patologi birokrasi yang menyerang sistem, prosedur, regulasi, serta
peraturan yang dijalankan secara berlebihan sehingga kehilangan relevansinya dan
40
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kekaburan aturan-aturan sehingga terjadinya birokrasi yang lambat
dan berbelit-belit.
Adapun indikator Red-Tape adalah sebagai berikut.
1. Prosedur, peraturan dan regulasi berjalan secara berlebihan dan
menyimpang sehingga menjadi berbelit-belit.
2. Terlalu patuh pada prosedur serta prosedur yang kurang jelas dan berbelitbelit.
3. Adanya formalitas yang berlebihan.
4. Birokrasi yang bersifat kaku, dan kurang menerima perubahan.
5. Struktur birokrasi yang panjang.
6. Waktu penyelesaian yang lebih lama dari ketentuan.
7. Biaya yang lebih tinggi dari ketentuan.
8. Sikap prilaku birokrat yang suka menunda-nunda pekerjaan.
9. Sikap prilaku birokrat yang lebih mengutamakan keluarga, sahabat, dan
kroni-kroni.
10. Sikap birokrat yang acuh-tak acuh dan kurang menghargai masyarakat
yang dilayani.
1.6 Definisi konsep
Konsep atau definisi konsep adalah generalisasi dari sekelompok
fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai
fenomena yang sama.” Konsep merupakan suatu kesatuan pengertian tentang
41
Universitas Sumatera Utara
suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam merumuskan kita harus dapat
menjelaskannya sesuai dengan maksud kita memakainya.
a) Birokrasi berhubungan dengan organisasi masyarakat yang disusun secara
ideal. Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di
dalam organisasi. Para teoritikus klasik seperti Fayol (1949), Taylor
(1911), dan Weber (1948), selama bertahun-tahun telah mendukung model
birokrasi guna meningkatkan efektivitas administrasi organisasi. Max
Weber adalah sosok yang dikenal sebagai bapak birokrasi. Menurut Weber
(1948), organisasi birokrasi yang ideal menyertakan delapan karakteristik
struktural.
1.
Peraturan yang disahkan, regulasi, dan prosedur yang distandarkan
dan arah tindakan anggota organisasi dalam pencapaian tugas
organisasi. Weber menggambarkan pengembangan rangkaian kaidah
dan panduan spesifik untuk merencanakan tugas dan aktivitas
organisasi.
2. Spesialisasi peran anggota organisasi memberikan peluang kepada
divisi pekerja untuk menyederhanakan aktivitas pekerja dalam
menyelesaikan tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang
rumit ke dalam aktivitas khusus tersebut, maka produktivitas pekerja
dapat ditingkatkan.
3. Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan
anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara
42
Universitas Sumatera Utara
individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara
anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
4. Pekerjaan personil berkualitas didasarkan pada kemampuan tehnik
yang mereka miliki dan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang
dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi
persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas
dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi
perusahaan.
5. Kemampuan tukar personil dalam peran organisasi yang bertanggung
jawab memungkinkan aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh
individu yang berbeda. Mampu tukar ini menekankan pentingnya
tugas organisasi yang relatif untuk dibandingkan dengan anggota
organisasi tertentu yang melaksanakan tugasnya-tugasnya.
6. Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan intra personil di
antara anggota organisasi mengarahkan individu ke dalam kinerja
tugas organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus
berkonsentrasi pada tujuan organisasi dan mengutamakan tujuan dan
kebutuhan sendiri. Sekali lagi, ini menekankan prioritas yang tinggi
dari tugas-tugas organisasi di dalam perbandingannya dengan prioritas
yang rendah dari anggota organisasi individu.
7. Penguraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua
anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung
43
Universitas Sumatera Utara
jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas
tentang keinginan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan
pencapaian tujuan organisasi membantu meningkatkan stabilitas
perusahaan. Menurut prinsip dasarnya, organisasi harus dijalankan
dengan kaidah dan panduan pemangkasan yang logis dan bisa
diprediksikan.
b) Menurut Geertz etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia
yang di pancarkan hidup, Etos adalah aspek evaluatif yang bersifat
menilai. Maka hal ini bisa di pertanyakan apakah kerja dalam arti khusus,
usaha komersial, dianggap suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu
imperatif dari diri, ataukah sesuatu yang terkait dengan identitas diri yang
bersikap sakral.Identitas diri dalam hal ini adalah sesuatu yang telah
diberikan oleh agama, etos kerja sangat terkait dengan irama karakter,
kualitas hidup, gaya moral estetika dan suasana perasaan seseorang.
c) Victor A Thompson menggambarkan fitur dari patologi birokrasi seperti
“sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas
dan prosedur, perlawanan terhsadap perubahan, dan desakan picik atas
hak-hak dari otoritas dan status.” Sayangnya, pada kenyataannya negara
berkembang telah menjadi ‘ruang dan tempat’ tumbuh suburnya patologi
birokrasi. Seperti Indonesia sebagai negara berkembang masih dalam
selimut patologi birokrasi, mulai dari birokrasi pusat hingga birokrasi di
daerah. Bahwa ternyata desentralisasi atau otonomi daerah yang sedang
44
Universitas Sumatera Utara
dan terus dijalani bangsa ini belum mampu menyingkirkan patologi
birokrasi. Bahkan di beberapa daerah kita menyaksikan semakin
mengukuhkan patologi birokrasi itu sendiri. Ciri ini dapat kita lihat,
1. Betapa administrasi publik kita masih kerap bersifat elitis, otoriter,
paternalistik, serta menjauh dari atau jauh dari masyarakat dan
lingkungannya. Bahwa keberadaan birokrasi belum menyatu dalam
kehidupan masyarakat dan belum mengakomodir kolektifitas atau
partisipasi semua unsur dalam agenda birokrasi.
2. Birokrasi kita kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas)
untuk menyelenggarakan pembangunan dan over (berlebih) dalam segi
kuantitas. Fakta ini telah kita saksikan, birokrasi kita masih saja lemah
secara sumber daya manusia. Dan sangat wajar lemah, karena dalam
proses rekrutmennya selama ini bukan atas dasar kualitas, dan inilah
salah satu produk patologi birokrasi tersebut. Secara kuantitas, jelas
birokrasi Indonesia sangat gemuk dan over lembaga dalam menangani
sektor-sektor yang pada dasarnya sama. Sehingga sering kita
menyaksikan di kantor-kantor pemerintahan kita banyak aparatur yang
tidak bekerja dan terjadinya tumpang tindih dalam penanganan
masalah dalam memberikan pelayanan publik.
3. Birokrasi kita masih lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi
ketimbang kepentingan masyarakat. Telah menjadi sebuah realitas
yang berkepanjangan. Bahwa mental dan kultur birokrasi kita masih
berazas manfaat pribadi atau kelompok serta sangat pragmatis dan
45
Universitas Sumatera Utara
mengabaikan kehendak rakyat. Kenyataan ini dekat dengan kita, di
mana para birokrat kita begitu kaya-kaya atau sejahtera secara materiil
secara tidak layak bila dibandingkan gaji yang ditetapkan.
4.
Birokrasi kita sering mengutamakan formalitas daripada substansi.
Bahwa banyak penyelenggaraan birokrasi kita dalam melaksanakan
pembangunan hanya bersifat sekedar tanpa mengoptimalkan sisi
esensi, manfaat dan dampak positifnya jauh ke depan. Serta sering
bersifat seremonial.
5. Birokrasi
kita
masih
asik
dengan
jalannya
sendiri
tanpa
mengperhitungkan atau mengakomodir aspirasi rakyat. Birokrasi kita,
khususnya di daerah, masih jauh dari pengawasan yang seyogianya.
Artinya, lepas dari proses politik dan pengawasan publik secara kuat.
d) Bozeman dan Feneey red-tape seringkali dipergunakan sebagai sinonim
dari istilah prosedur, peraturan, dan regulasi, manakala ketiganya berjalan
menyimpang dan menjadi berlebih-lebihan, maka pada saat itulah red tape
ada dan berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentukbentuk red tape, terdapat lima jenis bentuk red-tape yang kerap dijumpai
pada birokrasi hal ini meliputi, meliputi: persyaratan yang banyak, kurang
relevan dan ketat; struktur dan hierarki yang panjang, ketat dan berlebihan;
prosedur atau tahapan yang rigid atau rinci, kompleks, panjang, dan
ketaatan secara berlebihan, serta berbelit-belit; waktu yang lebih lama dari
ketentuan, biaya yang lebih tinggi dari standar yang telah ditetapkan; dan
sikap dan perilaku petugas yang suka menunda dan acuh tak acuh,
46
Universitas Sumatera Utara
mendahulukan keluarga, sahabat dan kroni-kroninya, mengharapkan
imbalan, kurang menghargai masyarakat yang dilayani. Adapun perilaku
masyarakat wirausaha
menghindari red-tape adalah dengan cara
menelikung (short cut behavior) dan menyuap (bribery behavior). Untuk
itu penulis menawarkan pemutusan red-tape dengan merampingkan
struktur dan menyederhanakan prosedur. dengan melalui tiga hierarki atau
prosedur.
1.7. Defenisi Operasional
Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan
bagaimana cara mengukur suatu variabel sehingga dalam pengukuran ini dapat di
ketahui dari indikator-indikator apa saja yang dianalisis dari variabel tersebut.
A. Variabel-variabel Etos kerja Sebagai Variabel Bebas (X)
a.) Mempunyai semangat positif terhadap hasil kerja manusia.
b.) Mepertahankan pandangan tentang kerja, sedagai suatu yang luhur
bagi eksistensi manusia.
c.) Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi
kehidupan manusia.
d.) Kerja dihayati sebagai suatu proses yang menumbuhkan ketekunan
dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
e.) Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah
47
Universitas Sumatera Utara
B. Red-Tape Sebagai Variabel Yang Terikat (Y)
Indikator terjadinya Red-Tape adalah:
1. Prosedur, peraturan dan regulasi berjalan secara berlebihan dan
menyimpang sehingga menjadi berbelit-belit.
2. Terlalu patuh pada prosedur serta prosedur yang kurang jelas dan
berbelit-belit.
3. Adanya formalitas yang berlebihan.
4. Birokrasi yang bersifat kaku, dan kurang menerima perubahan.
5. Struktur birokrasi yang panjang.
6. Waktu penyelesaian yang lebih lama dari ketentuan.
7. Biaya yang lebih tinggi dari ketentuan.
8. Sikap prilaku birokrat yang suka menunda-nunda pekerjaan.
9. Sikap prilaku birokrat yang lebih mengutamakan keluarga, sahabat dan
kroni-kroni.
10. Sikap birokrat yang acuh-tak acuh dan kurang menghargai masyarakat
yang dilayani.
48
Universitas Sumatera Utara
1.9. Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis,
defenisi konsep, defenisi operasional, sistematika penulisan.
BAB II
METODE PENELITIAN
Bab ini secara umum menguraikan tentang bentuk penelitian,
lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data,
teknik perumusan skor, dan teknik analisis data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI
Bab ini memuat tentang gambaran lokasi penelitian berupa tentang
sejarah , kondisi / situasi, visi dan misi serta struktur organisasi.
BAB IV
PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat tentang penyajian data yang dilakukan oleh
peneliti dengan cara menguraikan hasil penelitian yang diperoleh
dari lapangan dan melakukan analisis berdasarkan pada metode
yang digunakan
BAB V
ANALISIS DATA
49
Universitas Sumatera Utara
Bab ini memuat tentang pembahasan atau interprestasi dari datadata yang disajikan dalam bab sebelumnya.
BAB VI
PENUTUP.
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan
50
Universitas Sumatera Utara
Download