12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Penuntut Umum
Ketentuan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana,
membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum.
Menurut ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa Jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk
bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
Hakim. Pengertian Jaksa dapat dihubungkan dengan aspek jabatan
sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan dengan aspek
fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan (Lilik
Mulyadi,1996: 24). Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, bahwa Jaksa
Penuntut Umum secara lengkap adalah Pejabat yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan
penetapan dan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (M. Yahya Harahap,1985: 387)..
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan mengatur mengenai tugas dan wewenang kejaksaan yang
berbunyi :
a. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) melakukan penuntutan;
12
2) melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
4) melakukan
penyidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan Undang-Undang;
5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan
yang dalam
pelaksanaannya
dikoordinasikan
dengan penyidik.
b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) pengawasan peredaran barang cetakan;
4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Penuntut Umum diberi wewenang dalam rangka mempersiapkan
tindakan penuntutan seperti yang dimaksud di atas dan dihubungkan
dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan,
antara lain sebagai berikut :
a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah
mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
suatu tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari
penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang
13
dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum.
b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan
kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b.
dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara
langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
c. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 Huruf b) dengan
memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal
138 ayat (1) dan (2).
d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25
dan Pasal 29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3), serta
mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
e. Atas
permintaan
tersangka
atau
terdakwa
mengadakan
penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
yang ditentukan (Pasal 31).
f. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan kerena tidak mungkin disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap
atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau
kuasanya (Pasal 45 ayat (1).
2. Tinjauan Tentang Penuntutan
a.
Pengertian Penuntutan
Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan
Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian Surat
Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di
persidangan
dan
kesimpulan
Penuntut
Umum
tentang
kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Pasal 1
butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8
Tahun 1981 mencantumkan definisi Penuntutan adalah
14
tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan meneurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim dalam persidangan.
b. Asas – asas dalam Penuntutan.
Berkaitan dengan wewenang penuntutan diatas, maka
dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asa
penuntutan yaitu (Djoko Prakoso, 1987: 209):
1) Asas Legalitas, yaitu Penuntut Umum diwajibkan menuntut
semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang
bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum.
2) Asas Oportunitas, yaitu Penuntut Umum tidak diharuskan
menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas
melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang
penuntutan yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, dalam
prakteknya asas yang sering dipergunakan adalah asas
oportunitas. Dengan prinsip Oportunitas, Jaksa sebagai
Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting,
yaitu untuk menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah
jelas dilakukan seseorang mengingat tujuan prinsip ini yaitu
kepentingan umum, maka Jaksa harus berhati-hati dalam
melakukan kekuasaan menyampingkan perkara pidana ini.
Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asas oportunitas ini ialah demi kepentingan negara
dan demi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, dan
yang berwenang menerapkan asas ini adalah Jaksa Agung
sebagai Penuntut Umum.
c. Hal-hal yang diuraikan dalam Surat Tuntutan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tidak
menyebutkan satu pasalpun yang mengatur tentang bentuk dan
15
susunan Surat Tuntutan, bentuk dan susunan Surat Tuntutan
dari masa ke masa selalu berkembang di dalam praktek
peradilan. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah untuk
disanggah oleh terdakwa/ penasehat hukumnya, maka Surat
Tuntutan harus dibuat dengan lengkap dan benar. Berikut ini
adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat
Tuntutan :
1) Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis;
2) Harus menggunakan susunan tata bahasa indonesia yang
baik dan benar;
3) Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah
dimengerti;
4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut
sumbernya.
Menurut praktek peradilan sistematika dari Surat Tuntutan
Pidana adalah sebagai berikut:
a) Pendahuluan
Sebagai Bangsa timur dan yang berketuhanan Yang
Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh
semua itu berkat dan ridlo Tuhan YME. Maka sudah
sepantasnya apabila dalam pendahuluan pertama-tama
memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang
penuh resiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana.
Disamping itu tidak salah apabila terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang terkait yang
mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai.
b) Identitas Terdakwa
Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap
sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a
KUHAP dengan urutan sebagai berikut:
(1) Nama lengkap
16
(2) Tempat lahir
(3) Umur dan tanggal lahir
(4) Jenis kelamin
(5) Kebangsaan
(6) Tempat tinggal
(7) Agama dan pekerjaan
Penulisan identitas harus cermat sesuai dengan identitas
yang ditulis dalam dakwaan, penulisan harus benar dan
tidak boleh keliru, apabila terdapat kesalahan, meskipun
tidak akan dibatalkan oleh Hakim, akan memberikan
kesempatan kepada terdakwa/kuasa hukumnya sebagai
alasan dalam mengajukan pembelaannya.
c) Surat dakwaan
Isi surat tuntutan, surat dakwaan juga harus ditulis
kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk
menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan
apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi
unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat
dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat
dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbedabeda.
d) Hasil pembuktian
Hasil dari pembuktian adalah merupakan keseluruhan
fakta yang terungkap di dalam proses persidangan, baik
yang berasal dari keterangan saksi, ahli, terdakwa sendiri
maupun alat-alat bukti yang lain yang berdasarkan UndangUndang. Hasil pembuktian tersebut dituliskan ke dalam
surat tuntutan, tentunya hanya pada fakta-fakta yang
relevan sedangkan yang tidak relevan dan tidak penting
tidak perlu dituliskan.
17
e) Barang bukti
Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik
telah diserahkan kepada Penuntut Umum untuk diajukan ke
muka persidangan dalam usaha pembuktian tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila dalam proses
persidangan terdapat barang bukti, maka barang bukti juga
harus disebutkan/dituliskan dalam surat tuntutan digunakan
untuk
menguatkan
pembuktian.
Barang bukti
yang
dimaksud harus ada hubungannya dengan tindak pidana
yang dilakukan terdakwa.
f) Analisa Fakta
Analisis Fakta adalah meliputi :
1. Kompilasi
fakta-fakta
yang
didapat
dari
dalam
persidangan yang ada hubungannya dengan perbuatan
materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur
tindak pidana yang didakwakan.
2. Mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu
dengan yang lainnya sehingga tergambar tindak pidana
yang didakwakan.
3. Mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti
dengan
barang
bukti
yang
dapat
mmenguatkan
pembuktian.
4. Analisis fakta adalah dipergunakan untuk menyiapkan
waktu menguraikan unsur yuridis.
Kesuaian antara keterangan alat bukti saksi adalah
merupakan kunci berhasilnya pembuktian, sebab walaupun
ada beberapa orang saksi tetapi kalau tidak ada kesesuaian
satu sama lainbukan merupakan alat bukti yang berarti
sesuai dengan Putusan MA No. 18 K/Kr/1977 tanggal 17
April 1977.
18
g) Analisa Hukum
Analisis hukum dubuat berdasarkan analisis fakta dari
hasil pembuktian yang terungkap di pengadilan, di dalam
surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum
perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, unsur dan
perbuatan
materiil
mana
harus
dibuktikan
dengan
keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan.
Tidak semua peraturan perundangan secara harfiah dapat
diterapkan atas suatu perbuatan, Undang-Undang perlu
ditafsirkan untuk diterapkan pada suatu perbuatan yang
beraneka ragam yang sering tidak ada bandingannya dalam
Undang-Undang. Dengan demikian Penuntut Umum dalam
menyusun analisis hukum atas suatu perbuatan harus
mengikuti perkembangan hukum dan kemajuan teknologi
sehingga tidak dimungkinkan satu kejahatan pun yang lepas
dari jangkauan aturan hukum.
h) Pembuktian Surat Dakwaan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa surat
tuntutan adalah memuat pembuktian dari surat dakwaan.
Maksud
dari
pembuktian
surat
dakwaan
adalah
membuktikan atas dakwaan Penuntut Umum. Jadi, dalam
membuktikan surat dakwaan harus menyesuaikan dengan
bentuk dari surat dakwaan Penuntut Umum.
i) Tuntutan Pidana
Apabila analisis hukum sudah dibuat dan semua unsur
delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan
perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan
fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, baru
Penuntut Umum menuntut terdakwa dan berat atau
ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana
yang dilakukan. Suatu tindak pidana diancam dengan
19
pidana berat apabila mengandung unsur melawan hukum
yang memberatkan pidana, dimana dalam pasal tersebut
sudah ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan
serta jenis barang yang menjadi obyek tindak pidana
sehingga dinilai memberatkan, maka perlu ancaman pidana
yang lebih berat dari tindak pidana yang biasa.
Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan hal-hal
yang meringankan dan juga hal-hal yang memberatkan
dalam penentuan berat ringannya tuntutan pidana,. Oleh
karena itu perlu disampaikan/dituliskan dalam surat
tuntutan tentang hal-hal yang memberatkan dan hal-hal
yang meringankan, misalnya,
1. Hal-hal yang memberatkan.
(a) Perbuatan para Terdakwa menimbulkan banyak
kerugian baik materiil maupun imateriil bagi korban;
(b) Terdakwa sudah pernah dihukum (dalam kasus yang
sama/tidak);
(c) Selalu
bersikap
arogan
sehingga
menghambat
persidangan, dll
2. Hal-hal yang meringankan.
(a) Terdakwa belum pernah dihukum;
(b) Sebagai penopang hidup keluarganya;
(c) Sopan dalam persidangan, dll
3. Tinjauan tentang Acara Pemeriksaan
Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan dapat dilihat dari jenis tindak pidana yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan.
a. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan
pembuktiannya sulit atau mudah;
20
b. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan
diajukan ke muka sidang pengadilan;
c. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan.
Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan di
ajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis
acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan:
a. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga
Bab XVI
b. Acara pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian
kelima bab XVI
c. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam
bab XVI, yang terdiri dari:
1) Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan
2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Macam-macam acara pemeriksaan:
a) Acara Pemeriksaan Biasa
Mengajukan berkas perkara dengan acara biasa adalah
sikap yang hati-hati dalam menangani suatu perkara, lebihlebih apabila perkara itu sulit pembuktiannya atau menarik
perhatian masyarakat. Setelah Penuntut Umum mempelajari
hasil penyidikan dan telah memahami benar kasus posisi
perkara, tindak pidana yang telah terjadi, alat-alat bukti yang
telah dikumpulkan selama tahap penyidikan serta berpendapat
bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka
Penuntut Umum membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1)
KUHAP.
Hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat
dakwaan, rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada
hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan
penyidikan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan,
21
surat dakwaan mempunyai peranan penting dalam sidang
pengadilan:
a) Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan negeri.
b) Dasar penuntutan pidana (Requisitoir)
c) Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelaan
d) Dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan
e) Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi,
P.K bahkan kasasi demi kepentingan hukum)
Mengingat
pentingnya
surat
dakwaan
untuk
dapat
dibuktikan bahwa perbuatan yang disebutkan dalam surat
dakwaan itu benar-benar telah terjadi dan Hakim yakin bahwa
terdakwa yang salah, maka surat dakwaan perlu dibuat dengan
bentuk tertentu, dengan tujuan jangan terjadi sesuatu yang
merupakan tindak pidana dan sifatnya menggangu keamanan,
ketertiban hukum dalam masyarakat lepas dari tuntutan.
Berkaitan dengan pelimpahan berkas acara pemeriksaan dari
penuntut ke pengadilan diatur dalam Pasal 152 ayat (1) dan (2)
KUHAP.
Menurut Pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.” Pertama-tama Hakim ketua
membuka sidang, dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum
selanjutnya menayakan identitas terdakwa dan sesudah itu
Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dan sesudah itu
Penuntut Umum membacakan identitas terdakwa dan sesudah
itu Penuntut Umum membacakan surat dakwaan baru sampai
pada tahap pemeriksaan perkara.
22
Pertama-tama pada permulaan sidang, yang didengar
keterangan saksi korban, keterangan terdakwa baru didengar
setelah saksi-saksi yang lain didengar keterangannya.
Bahwa memeriksa suatu perkara di muka pengadilan adalah
untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil dari tindak
pidana yang di dakwakan apakah telah terjadi dan dapat
dinyatakan bersalah. Untuk mencari kebenaran materiil, perlu
mengingat asas pemeriksaan di sidang pengadilan:
a. Asas terbuka untuk umum ;
b. Asas langsung;
c. Asas pemeriksaan secara bebas;
d. Asas praduga tak bersalah;
e. Asas penyelenggaraan peradilan secara cepat, sederhana,
dan biaya ringan;
f. Asas untuk memperoleh bantuan hukum;
g. Asas perlakuan yang sama di muka hukum;
h. Asas perlindungan hak asasi.
Sistem hukum pembuktian hukum acara pidana dengan sebutan
“Sistem negatif menurut Undang-Undang” seperti yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:“Hakim tidak boleh
menjatuhkan
pidana
kepada
seseorang
kecuali
dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Sistem menurut Undang-Undang tersebut mempunyai
maksud supaya terdakwa dapat dinyatakan salah diperlukan
bukti minimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang (Pasal
183 KUHAP).
23
b) Acara Pemeriksaan Singkat
Pengertian tentang acara pemeriksaan singkat pada
dasarnya dapat disimpulkan dari Pasal 203 ayat (1) KUHAP,
yang berbunyi: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak
termasuk ketentuan Pasal 205 dan menurut Penuntut Umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana”.
Berdasarkan rumusan di atas maka acara pemeriksaan
singkat adalah pemeriksaan perkara yang oleh Penuntut Umum
pembuktian dan penerapan hukum mudah dan sifatnya
sederhana serta bukan tindak pidana ringan atau perkara
pelanggaran lalu lintas jalan. Kata “mudah” dalam Kamus
Besar Bahasa
Pendidikan
Indonesia
dan
yang dikeluarkan
Kebudayaan
tercantum
Departemen
artinya:”tidak
memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan;
tidak sukar, tidak berat, gampang.”
Pembuktian dan penerapan hukum dengan demikian,
gampang, tidak sukar, tidak memerlukan banyak pikiran dalam
mengerjakannya. Pelimpahan perkara dalam acara pemeriksaan
singkat tanpa disertai surat dakwaan hanya dicatat dalam berita
acara dan dalam berita acara tindak pidana yang didakwakan
antara lain:
1) Unsur tindak pidana yang didakwakan;
2) Menyebut tempat dan waktu tindak pidana dilakukan;
3) Perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa.
Catatan tentang dakwaan dalam acara pemeriksaan singkat
tersebut diatur dalam Pasal 143 ayat (2) b KUHAP yang
berbunyi:“Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu
dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”
24
Setelah Hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum lalu
menanyakan identitas terdakwa, seterusnya Penuntut Umum
menyampaikan kepada Hakim tentang tindak pidana yang
didakwakan yang diucapkan secara lisan dan panitera mencatat
dakwaan yang diucapkan oleh jaksa atau Penuntut Umum yang
fungsinya sebagai pengganti surat dakwaan seperti dalam acara
pemeriksaan
biasa.Melimpahkan
perkara
dengan
acara
pemeriksaan singkat mempunyai tujuan agar perkara hari itu
juga dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya murah.
c) Acara Pemeriksaan Cepat.
Pemeriksaan acara pemeriksaan cepat diatur dalam bagian
keenam Bab XVI terdiri dari:
-
Paragraf I:Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
-
Paragraf II:Acara Pemeriksaan Perkara Pelangaran Lalu
Lintas Jalan
1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Menurut pasal 205 ayat (1), ialah perkara yang diancam
dendan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan
dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500, dan
penghinaan
ringan
kecuali
yang
ditentukan
dalam
paragraph II (pelangaran Lalu Lintas jalan). Bahwa setiap
pengadilan
negeri
telah
menetapkan
jadwal
dalam
memeriksa perkara tindak pidana ringan pada hari yang
telah ditentukan dalam satu bulan dan frekuensinya
tergantung banyak sedikitnya perkara yang dilimpahkan ke
pengadilan negeri. Dalam pasal 206 KUHAP, berbunyi:
“Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari
untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak
pidana ringan.”
25
Penyidik
memberitahukan
secara
tertulis
kepada
terdakwa tentang hari tanggal, jam dan tempat ia harus
menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat
dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama
berkas dikirim ke pengadilan. Pemberitahuan tersebut
dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya
untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, jam, tanggal,
dan tempat yang ditentukan. Perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan yang di terima harus
segera disidangkan hari itu juga. Pemeriksaan perkara tanpa
berita acara pemeriksaan sidang dan dakwaan cukup dicatat
dalam buku register yang sekaligus dianggap dan dijadilkan
berita acara pemeriksaan sidang. Dalam pasal 205 ayat (3)
yang berbunyi:“Dalam Acara Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (10, pengadilan mengadili dengan
Hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali
dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekan
terdakwa dapat minta banding.”
Dapat ditarik suatu kesimpulan dari bunyi pasal 205
ayat (3) KUHAP, maka:
a. Sidang perkara dengan acara pemeriksaan ringan
dengan Hakim tunggal.
b.
Putusan Hakim terdiri dari 2 macam:
i)
Putusan berupa pidana denda dan atas keputusan
tersebut terhukum tidak dapat naik banding.
ii)
Putusan yang berupa perampasan kemerdekaan,
terhukum diberi hak untuk naik banding ke
pengadilan tinggi.
26
2. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Pelangaran Lalu lintas
Acara pemeriksaan cepat yang kedua ialah acara
pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang diatur dalam
Pasal 211 KUHAP yang berbunyi: “Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan pada paragraph ini ialah
perkara
pelanggaran
tertentu
terhadap
peraturan
perUndang-Undang lalu lintas jalan”.
Acara pemeriksaan tindak pidana pelangaran lalu lintas
tidak perlu dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat
berita acara pemeriksaan cukup dibuat catatan dalam
catatan pemeriksaan memuat dakwaan dan pemberitahuan
yang harus segera diserahkan kepada pengadilan selambatlambanya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Dalam pemeriksaan sidang pengadilan apabila terdakwa
tidak hadir karena suatu halangan, maka terdakwa dapat
menunjuk seseorang dengan surat kuasa untuk mewakili di
sidang pengadilan.
4. Tinjauan Tentang Putusan Hakim
a. Pengertian Putusan
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam
sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontentius). Definisi mengenai putusan ini
banyak sekali disebabkan Indonesia mengadopsi peraturan
perUndang-Undangan dari Belanda beserta istilah-istilah
hukumnya, diterjemahkan oleh ahli bahasa, dan bukan oleh
ahli hukum. Hal ini mengakibatkan ketidakcermatan
penggunaan istilah-istilah hukum pada saat sekarang.
Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah
27
putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan
sesuatu yang sama sekali berbeda.
b. Jenis-jenis Putusan dalam Perkara Pidana
1. Putusan Sela
a) Putusan yang Menyatakan tidak Berwenang Mengadili
Putusan
yang
menyatakan
tidak
berwenang
mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai
dan jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan
maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi
kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan),
eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa
Pengadilan
Negeri
tersebut
tidak
berkompetensi
(wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk
mengadili perkara tersebut.
b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi
Hukum
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan
dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat
dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal
153 ayat (4) KUHAP. Mengenai surat dakwaan yang
batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi
yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor :
808/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985 yang menyatakan:
“Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak
lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”.
c) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan tidak dapat
Diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak
dapat
diterima
pada
dasarnya
termasuk
kekurangcermatan Penuntut Umum sebab putusan
tersebut dijatuhkan karena:
28
-
Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam
delik aduan tidak ada;
-
Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah
pernah diadili (nebis in idem); dan
-
Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa
(verjaring).
2. Putusan Akhir
a) Putusan Pemidanaan pada Terdakwa
Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan padanya (Pasal 193
ayat (1) KUHAP). Hakim dalam hal ini membutuhkan
kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami
setiap yang terungkap dalam persidangan. Untuk
mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil Hakim
harus memperhatikan :
1) Sifat tindak pidana,
2) Ancaman hukuman terhadap tindak pidana,
3) Keadaan dan suasana waktu dilakukannya
tindak pidana,
4) Pribadi terdakwa,
5) Sebab-sebab melakukan tindak pidana,
6) Sikap terdakwa dalam pemeriksaan, dan
7) Kepentingan umum
b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Lepas
dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan
ini
dijatuhkan
jika
pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut
bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas
29
dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP).Terdakwa lepas dari segala tuntutan
hukum dapat
-
disebabkan :
Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok
dengan tindak pidana,
-
Terdapat
keadaan-keadaan
istimewa
yang
menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum.
3. Putusan Bebas
Putusan
bebas
dijatuhkan
jika
pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal
191 ayat (1) KUHAP). Pada penjelasan pasal tersebut,
untuk menghindari penafsiran yang kurang tepat, yaitu
yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan
padanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti
menurut ketentuan hukum acara pidana.
5. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Penganiayaan
a. Pengertian tindak pidana penganiayaan
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum
pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang
mengatur tentang tindak pidana yang mengandung tiga unsur,
yaitu perbuatan yang dapat dipidana, orang yang dapat
dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa
Belanda disebut Strafbaar feit. Pompe mengatakan bahwa
tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan
terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan
30
tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana
perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman (Lamintang,
1997:182).
Moeljatno (1993:2) menggunakan istilah perbuatan pidana,
yang mendefinisikan sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh
satuan aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut. Berdasarkan pendapat Moeljatno
di
atas
penulis dapat menyatakan, bahwa menurut Moeljatno, suatu
perbuatan dapat dikategorikan tindak pidana apabila perbuatan
itu memenuhi unsur-unsur :
a) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia;
b)Yang memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil);
c) Bersifat melawan hukum (syarat materiil).
Undang-Undang tidak memberi penjelasan apakah yang
diartikan dengan “penganiayaan”, dan tidak dijelaskan isi
penganiayaan itu yang bagaimana, tetapi yang dirumuskan
hanya disebutkan akibatnya, namun dalam ilmu pengetahuan
penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dengan
sengaja menimbulkan nestapa (leed) rasa sakit atau merusak
kesehatan orang lain” (Soeharto RM,1993 : 36). Menurut M. H.
Tirtamimidjaja pengertian penganiayaan adalah “dengan
sengaja menyebabkan sakit atau luka pada oranglain., akan
tetapi suatu perbuatan itu tidak dapat dikatakan penganiayaan
apabilaperbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan
badan” (M.H Tirtamidjaja1995 :174). Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan diatur
dalam Bab XX Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang mengandung
pengertian
suatu
perbuatan
yang
dengan
sengaja
mengakibatkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang
lain.
31
Adapun unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah:
a) Adanya Kesengajaan;
b) Adanya Perbuatan;
c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju),yaitu:
(1) Rasa sakit pada tubuh; dan atau
(2) Luka pada tubuh.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dijelaskan :
Penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah setiap
perbuatan
yang
dilakukan
dengan
sengaja,
sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah
dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau
orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
setiap bentuk diskriminas, apabila rasa sakit atau penderitaan
tersebut
ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
pesetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat
publik.
b.
Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan
Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan dapat dibedakan atas
dasar-dasar tertentu (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 69-71) antara
lain:
1) Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa merupakan suatu tindakan hukum
yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini
berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini
ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud
32
oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan
rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak
semua perbuatan yang menimbulkan rasa sakit dikatakan
sebuah penganiayaan.
2) Penganiayaan Ringan (Lichte Mishandeling).
Penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau
penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa
menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam
penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP
sebagai berikut “Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353
KUHP dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai
penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus”.
R. Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, rumusan
Pasal 352 KUHP di atas merupakan peristiwa pidana
yang disebut penganiayaan ringan dan masuk kejahatan
ringan.
Adapun
syarat
utama
sehingga
dapat
dikategorikan sebagai penganiayaan ringan, yaitu:
a. Penganiayaan yang tidak menjadikan sakit , atau
b. Penganiayaan yang tidak menjadikan korban terhalang
melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Penganiaayaan ringan pada umumnya dilakukan
oleh
tersangka
terhadap
diri
korbannya
dengan
mempergunakan tangan seperti meninju, menampar,
menempeleng,
menggores
dengan
kuku
dan
lain
sebagainya dan atau memakai alat, akan tetapi tidak
menjadikan sakit atau terhalangnya pekerjaan atau jabatan
korban sehari-hari.
33
3) Penganiayaan Berencana
Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana
merumuskan sebagai berikut :
a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang
bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama
tujuh tahun.
c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang
bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada
suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk
mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.
4) Penganiayaan Berat
Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 KUHP
yang rumusannya adalah sebagai berikut :
a. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana
kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang
bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
5) Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 KUHP.
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355
KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :
a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
34
b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah
di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Penganiayaan
pasal 351 KUHP
Penuntutan oleh Penuntut Umum
dengan acara pemeriksaan biasa
Persidangan
tanggal 29 September 2014
Putusan Pengadilan Negeri No.
103/Pid.B/2014/PN Wno.
Tuntutan Penuntut Umum tidak
diterima
Upaya Hukum
35
Keterangan
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan
jawaban atas permasalahan hukum ini yaitu tinjauan tentang putusan pengadilan
negeri yang menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima serta
upaya hukumnya dalam perkara penganiayaan.
Permasalahan
mengenai
penganiayaan
sering terjadi
di
masyarakat.
Pengadilan merupakan tujuan akhir untuk mendapatkan keadilan dan untuk
mencapai hal tersebut harus melalui beberapa tahap pemeriksaan di pengadilan
yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga lahirnya putusan Hakim.
Tindak pidana penganiayaan ringan tersebut termasuk kejahatan ringan maka cara
pengajuan perkara ke Pengadilan harus dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat
yang diajukan oleh Penyidik selaku kuasa Penuntut Umum sebagaimana diatur
dalam Pasal 205 KUHAP, bukan diajukan oleh Penuntut Umum sebagaimana
yang dilakukan dalam perkara tersebut.
Pihak-pihak yang tidak terima terhadap putusan Hakim tersebut dapat
mengajukan upaya hukum dengan syarat putusan tersebut dinilai tidak memenuhi
nilai-nilai keadilan. Upaya hukum tingkat pertama adalah banding. Pihak yang
ingin mengajukan upaya hukum tersebut harus membuat memori banding yang
berisi alasan-alasan diajukannya upaya banding tersebut dan yang berhak
menentukan putusan akhir adalah Pengadilan Tinggi.
36
Download