BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menegaskan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Pengertian Jaksa dapat dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian Penuntut Umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan (Lilik Mulyadi,1996: 24). Dari ketentuan Pasal 1 angka 6 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, dapat disimpulkan, bahwa Jaksa Penuntut Umum secara lengkap adalah Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan penetapan dan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,1985: 387).. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan mengatur mengenai tugas dan wewenang kejaksaan yang berbunyi : a. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1) melakukan penuntutan; 12 2) melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang; 5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. c. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: 1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 2) pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3) pengawasan peredaran barang cetakan; 4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Penuntut Umum diberi wewenang dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan seperti yang dimaksud di atas dan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, antara lain sebagai berikut : a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan suatu tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang 13 dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12). c. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 Huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2). d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23). e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31). f. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau membahayakan kerena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1). 2. Tinjauan Tentang Penuntutan a. Pengertian Penuntutan Surat Tuntutan atau dalam bahasa lain disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang memuat pembuktian Surat Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan Penuntut Umum tentang kesalahan terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 mencantumkan definisi Penuntutan adalah 14 tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan meneurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim dalam persidangan. b. Asas – asas dalam Penuntutan. Berkaitan dengan wewenang penuntutan diatas, maka dalam hukum acara pidana di Indonesia dikenal dua asa penuntutan yaitu (Djoko Prakoso, 1987: 209): 1) Asas Legalitas, yaitu Penuntut Umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum. 2) Asas Oportunitas, yaitu Penuntut Umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum. Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang penuntutan yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, dalam prakteknya asas yang sering dipergunakan adalah asas oportunitas. Dengan prinsip Oportunitas, Jaksa sebagai Penuntut Umum mempunyai kekuasaan yang amat penting, yaitu untuk menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah jelas dilakukan seseorang mengingat tujuan prinsip ini yaitu kepentingan umum, maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan menyampingkan perkara pidana ini. Dengan demikian kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas ini ialah demi kepentingan negara dan demi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, dan yang berwenang menerapkan asas ini adalah Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum. c. Hal-hal yang diuraikan dalam Surat Tuntutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menyebutkan satu pasalpun yang mengatur tentang bentuk dan 15 susunan Surat Tuntutan, bentuk dan susunan Surat Tuntutan dari masa ke masa selalu berkembang di dalam praktek peradilan. Agar supaya Surat Tuntutan tidak mudah untuk disanggah oleh terdakwa/ penasehat hukumnya, maka Surat Tuntutan harus dibuat dengan lengkap dan benar. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Tuntutan : 1) Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis; 2) Harus menggunakan susunan tata bahasa indonesia yang baik dan benar; 3) Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah dimengerti; 4) Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya. Menurut praktek peradilan sistematika dari Surat Tuntutan Pidana adalah sebagai berikut: a) Pendahuluan Sebagai Bangsa timur dan yang berketuhanan Yang Maha Esa, segala hasil apapun bentuknya yang kita peroleh semua itu berkat dan ridlo Tuhan YME. Maka sudah sepantasnya apabila dalam pendahuluan pertama-tama memuji syukur atas dapat diselesaikannya sidang yang penuh resiko sehingga sampai dibacakan tuntutan pidana. Disamping itu tidak salah apabila terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang terkait yang mendukung kelancaran jalannya sidang sampai selesai. b) Identitas Terdakwa Identitas terdakwa harus ditulis dengan jelas, lengkap sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) a KUHAP dengan urutan sebagai berikut: (1) Nama lengkap 16 (2) Tempat lahir (3) Umur dan tanggal lahir (4) Jenis kelamin (5) Kebangsaan (6) Tempat tinggal (7) Agama dan pekerjaan Penulisan identitas harus cermat sesuai dengan identitas yang ditulis dalam dakwaan, penulisan harus benar dan tidak boleh keliru, apabila terdapat kesalahan, meskipun tidak akan dibatalkan oleh Hakim, akan memberikan kesempatan kepada terdakwa/kuasa hukumnya sebagai alasan dalam mengajukan pembelaannya. c) Surat dakwaan Isi surat tuntutan, surat dakwaan juga harus ditulis kembali secara lengkap dengan maksud sebagai dasar untuk menilai pembuktian yang didapat dalam sidang pengadilan apakah sesuai dengan perbuatan materiil dan memenuhi unsur delik yang terdapat dalam surat dakwaan. Surat dakwaan juga diperlukan berhubung setiap bentuk surat dakwaan membutuhkan cara pembuktian yang berbedabeda. d) Hasil pembuktian Hasil dari pembuktian adalah merupakan keseluruhan fakta yang terungkap di dalam proses persidangan, baik yang berasal dari keterangan saksi, ahli, terdakwa sendiri maupun alat-alat bukti yang lain yang berdasarkan UndangUndang. Hasil pembuktian tersebut dituliskan ke dalam surat tuntutan, tentunya hanya pada fakta-fakta yang relevan sedangkan yang tidak relevan dan tidak penting tidak perlu dituliskan. 17 e) Barang bukti Barang bukti adalah benda sitaan yang oleh penyidik telah diserahkan kepada Penuntut Umum untuk diajukan ke muka persidangan dalam usaha pembuktian tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila dalam proses persidangan terdapat barang bukti, maka barang bukti juga harus disebutkan/dituliskan dalam surat tuntutan digunakan untuk menguatkan pembuktian. Barang bukti yang dimaksud harus ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. f) Analisa Fakta Analisis Fakta adalah meliputi : 1. Kompilasi fakta-fakta yang didapat dari dalam persidangan yang ada hubungannya dengan perbuatan materiil yang didakwakan dan sesuai dengan unsur tindak pidana yang didakwakan. 2. Mengaitkan fakta-fakta antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya sehingga tergambar tindak pidana yang didakwakan. 3. Mengaitkan fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti dengan barang bukti yang dapat mmenguatkan pembuktian. 4. Analisis fakta adalah dipergunakan untuk menyiapkan waktu menguraikan unsur yuridis. Kesuaian antara keterangan alat bukti saksi adalah merupakan kunci berhasilnya pembuktian, sebab walaupun ada beberapa orang saksi tetapi kalau tidak ada kesesuaian satu sama lainbukan merupakan alat bukti yang berarti sesuai dengan Putusan MA No. 18 K/Kr/1977 tanggal 17 April 1977. 18 g) Analisa Hukum Analisis hukum dubuat berdasarkan analisis fakta dari hasil pembuktian yang terungkap di pengadilan, di dalam surat dakwaan atas suatu tindak pidana sudah tercantum perbuatan materiil yang mengandung unsur delik, unsur dan perbuatan materiil mana harus dibuktikan dengan keterangan dari alat bukti di dalam sidang pengadilan. Tidak semua peraturan perundangan secara harfiah dapat diterapkan atas suatu perbuatan, Undang-Undang perlu ditafsirkan untuk diterapkan pada suatu perbuatan yang beraneka ragam yang sering tidak ada bandingannya dalam Undang-Undang. Dengan demikian Penuntut Umum dalam menyusun analisis hukum atas suatu perbuatan harus mengikuti perkembangan hukum dan kemajuan teknologi sehingga tidak dimungkinkan satu kejahatan pun yang lepas dari jangkauan aturan hukum. h) Pembuktian Surat Dakwaan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa surat tuntutan adalah memuat pembuktian dari surat dakwaan. Maksud dari pembuktian surat dakwaan adalah membuktikan atas dakwaan Penuntut Umum. Jadi, dalam membuktikan surat dakwaan harus menyesuaikan dengan bentuk dari surat dakwaan Penuntut Umum. i) Tuntutan Pidana Apabila analisis hukum sudah dibuat dan semua unsur delik yang didakwakan dapat dibuktikan sesuai dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa berdasarkan fakta-fakta dari hasil pembuktian di dalam sidang, baru Penuntut Umum menuntut terdakwa dan berat atau ringannya tuntutan tergantung kualifikasi tindak pidana yang dilakukan. Suatu tindak pidana diancam dengan 19 pidana berat apabila mengandung unsur melawan hukum yang memberatkan pidana, dimana dalam pasal tersebut sudah ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan serta jenis barang yang menjadi obyek tindak pidana sehingga dinilai memberatkan, maka perlu ancaman pidana yang lebih berat dari tindak pidana yang biasa. Penuntut Umum juga harus mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan juga hal-hal yang memberatkan dalam penentuan berat ringannya tuntutan pidana,. Oleh karena itu perlu disampaikan/dituliskan dalam surat tuntutan tentang hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, misalnya, 1. Hal-hal yang memberatkan. (a) Perbuatan para Terdakwa menimbulkan banyak kerugian baik materiil maupun imateriil bagi korban; (b) Terdakwa sudah pernah dihukum (dalam kasus yang sama/tidak); (c) Selalu bersikap arogan sehingga menghambat persidangan, dll 2. Hal-hal yang meringankan. (a) Terdakwa belum pernah dihukum; (b) Sebagai penopang hidup keluarganya; (c) Sopan dalam persidangan, dll 3. Tinjauan tentang Acara Pemeriksaan Untuk dapat membedakan acara pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dapat dilihat dari jenis tindak pidana yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan. a. Perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan pembuktiannya sulit atau mudah; 20 b. Berat ringannya ancaman pidana atas perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan; c. Jenis perkara yang akan diajukan ke muka sidang pengadilan. Atas perbedaan kategori dari tiap-tiap perkara yang akan di ajukan ke muka sidang pengadilan, menurut KUHAP ada tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan: a. Acara pemeriksaan biasa di atur dalam KUHAP bagian ketiga Bab XVI b. Acara pemeriksaan singkat di atur dalam KUHAP bagian kelima bab XVI c. Acara pemeriksaan cepat diatur dalam KUHAP bagian keenam bab XVI, yang terdiri dari: 1) Acara pemeriksaan perkara tindak pidana ringan 2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Macam-macam acara pemeriksaan: a) Acara Pemeriksaan Biasa Mengajukan berkas perkara dengan acara biasa adalah sikap yang hati-hati dalam menangani suatu perkara, lebihlebih apabila perkara itu sulit pembuktiannya atau menarik perhatian masyarakat. Setelah Penuntut Umum mempelajari hasil penyidikan dan telah memahami benar kasus posisi perkara, tindak pidana yang telah terjadi, alat-alat bukti yang telah dikumpulkan selama tahap penyidikan serta berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka Penuntut Umum membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan surat dakwaan, rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidikan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan, 21 surat dakwaan mempunyai peranan penting dalam sidang pengadilan: a) Dasar pemeriksaan di sidang pengadilan negeri. b) Dasar penuntutan pidana (Requisitoir) c) Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelaan d) Dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan e) Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding, kasasi, P.K bahkan kasasi demi kepentingan hukum) Mengingat pentingnya surat dakwaan untuk dapat dibuktikan bahwa perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan itu benar-benar telah terjadi dan Hakim yakin bahwa terdakwa yang salah, maka surat dakwaan perlu dibuat dengan bentuk tertentu, dengan tujuan jangan terjadi sesuatu yang merupakan tindak pidana dan sifatnya menggangu keamanan, ketertiban hukum dalam masyarakat lepas dari tuntutan. Berkaitan dengan pelimpahan berkas acara pemeriksaan dari penuntut ke pengadilan diatur dalam Pasal 152 ayat (1) dan (2) KUHAP. Menurut Pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pertama-tama Hakim ketua membuka sidang, dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum selanjutnya menayakan identitas terdakwa dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan identitas terdakwa dan sesudah itu Penuntut Umum membacakan surat dakwaan baru sampai pada tahap pemeriksaan perkara. 22 Pertama-tama pada permulaan sidang, yang didengar keterangan saksi korban, keterangan terdakwa baru didengar setelah saksi-saksi yang lain didengar keterangannya. Bahwa memeriksa suatu perkara di muka pengadilan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil dari tindak pidana yang di dakwakan apakah telah terjadi dan dapat dinyatakan bersalah. Untuk mencari kebenaran materiil, perlu mengingat asas pemeriksaan di sidang pengadilan: a. Asas terbuka untuk umum ; b. Asas langsung; c. Asas pemeriksaan secara bebas; d. Asas praduga tak bersalah; e. Asas penyelenggaraan peradilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; f. Asas untuk memperoleh bantuan hukum; g. Asas perlakuan yang sama di muka hukum; h. Asas perlindungan hak asasi. Sistem hukum pembuktian hukum acara pidana dengan sebutan “Sistem negatif menurut Undang-Undang” seperti yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya” Sistem menurut Undang-Undang tersebut mempunyai maksud supaya terdakwa dapat dinyatakan salah diperlukan bukti minimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang (Pasal 183 KUHAP). 23 b) Acara Pemeriksaan Singkat Pengertian tentang acara pemeriksaan singkat pada dasarnya dapat disimpulkan dari Pasal 203 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana”. Berdasarkan rumusan di atas maka acara pemeriksaan singkat adalah pemeriksaan perkara yang oleh Penuntut Umum pembuktian dan penerapan hukum mudah dan sifatnya sederhana serta bukan tindak pidana ringan atau perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Kata “mudah” dalam Kamus Besar Bahasa Pendidikan Indonesia dan yang dikeluarkan Kebudayaan tercantum Departemen artinya:”tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan; tidak sukar, tidak berat, gampang.” Pembuktian dan penerapan hukum dengan demikian, gampang, tidak sukar, tidak memerlukan banyak pikiran dalam mengerjakannya. Pelimpahan perkara dalam acara pemeriksaan singkat tanpa disertai surat dakwaan hanya dicatat dalam berita acara dan dalam berita acara tindak pidana yang didakwakan antara lain: 1) Unsur tindak pidana yang didakwakan; 2) Menyebut tempat dan waktu tindak pidana dilakukan; 3) Perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. Catatan tentang dakwaan dalam acara pemeriksaan singkat tersebut diatur dalam Pasal 143 ayat (2) b KUHAP yang berbunyi:“Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.” 24 Setelah Hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum lalu menanyakan identitas terdakwa, seterusnya Penuntut Umum menyampaikan kepada Hakim tentang tindak pidana yang didakwakan yang diucapkan secara lisan dan panitera mencatat dakwaan yang diucapkan oleh jaksa atau Penuntut Umum yang fungsinya sebagai pengganti surat dakwaan seperti dalam acara pemeriksaan biasa.Melimpahkan perkara dengan acara pemeriksaan singkat mempunyai tujuan agar perkara hari itu juga dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya murah. c) Acara Pemeriksaan Cepat. Pemeriksaan acara pemeriksaan cepat diatur dalam bagian keenam Bab XVI terdiri dari: - Paragraf I:Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan - Paragraf II:Acara Pemeriksaan Perkara Pelangaran Lalu Lintas Jalan 1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan Menurut pasal 205 ayat (1), ialah perkara yang diancam dendan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500, dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraph II (pelangaran Lalu Lintas jalan). Bahwa setiap pengadilan negeri telah menetapkan jadwal dalam memeriksa perkara tindak pidana ringan pada hari yang telah ditentukan dalam satu bulan dan frekuensinya tergantung banyak sedikitnya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan negeri. Dalam pasal 206 KUHAP, berbunyi: “Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.” 25 Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, jam, tanggal, dan tempat yang ditentukan. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang di terima harus segera disidangkan hari itu juga. Pemeriksaan perkara tanpa berita acara pemeriksaan sidang dan dakwaan cukup dicatat dalam buku register yang sekaligus dianggap dan dijadilkan berita acara pemeriksaan sidang. Dalam pasal 205 ayat (3) yang berbunyi:“Dalam Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10, pengadilan mengadili dengan Hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekan terdakwa dapat minta banding.” Dapat ditarik suatu kesimpulan dari bunyi pasal 205 ayat (3) KUHAP, maka: a. Sidang perkara dengan acara pemeriksaan ringan dengan Hakim tunggal. b. Putusan Hakim terdiri dari 2 macam: i) Putusan berupa pidana denda dan atas keputusan tersebut terhukum tidak dapat naik banding. ii) Putusan yang berupa perampasan kemerdekaan, terhukum diberi hak untuk naik banding ke pengadilan tinggi. 26 2. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Pelangaran Lalu lintas Acara pemeriksaan cepat yang kedua ialah acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 211 KUHAP yang berbunyi: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada paragraph ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perUndang-Undang lalu lintas jalan”. Acara pemeriksaan tindak pidana pelangaran lalu lintas tidak perlu dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat berita acara pemeriksaan cukup dibuat catatan dalam catatan pemeriksaan memuat dakwaan dan pemberitahuan yang harus segera diserahkan kepada pengadilan selambatlambanya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya. Dalam pemeriksaan sidang pengadilan apabila terdakwa tidak hadir karena suatu halangan, maka terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat kuasa untuk mewakili di sidang pengadilan. 4. Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Definisi mengenai putusan ini banyak sekali disebabkan Indonesia mengadopsi peraturan perUndang-Undangan dari Belanda beserta istilah-istilah hukumnya, diterjemahkan oleh ahli bahasa, dan bukan oleh ahli hukum. Hal ini mengakibatkan ketidakcermatan penggunaan istilah-istilah hukum pada saat sekarang. Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah 27 putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda. b. Jenis-jenis Putusan dalam Perkara Pidana 1. Putusan Sela a) Putusan yang Menyatakan tidak Berwenang Mengadili Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan), eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut. b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor : 808/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985 yang menyatakan: “Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”. c) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan tidak dapat Diterima Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 28 - Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada; - Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem); dan - Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring). 2. Putusan Akhir a) Putusan Pemidanaan pada Terdakwa Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil Hakim harus memperhatikan : 1) Sifat tindak pidana, 2) Ancaman hukuman terhadap tindak pidana, 3) Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana, 4) Pribadi terdakwa, 5) Sebab-sebab melakukan tindak pidana, 6) Sikap terdakwa dalam pemeriksaan, dan 7) Kepentingan umum b) Putusan yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas 29 dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat - disebabkan : Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana, - Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. 3. Putusan Bebas Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Pada penjelasan pasal tersebut, untuk menghindari penafsiran yang kurang tepat, yaitu yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 5. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Penganiayaan a. Pengertian tindak pidana penganiayaan Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana yang mengandung tiga unsur, yaitu perbuatan yang dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit. Pompe mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan 30 tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana perbuatan tersebut dapat dijatuhi hukuman (Lamintang, 1997:182). Moeljatno (1993:2) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang mendefinisikan sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh satuan aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Berdasarkan pendapat Moeljatno di atas penulis dapat menyatakan, bahwa menurut Moeljatno, suatu perbuatan dapat dikategorikan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi unsur-unsur : a) Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia; b)Yang memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil); c) Bersifat melawan hukum (syarat materiil). Undang-Undang tidak memberi penjelasan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan”, dan tidak dijelaskan isi penganiayaan itu yang bagaimana, tetapi yang dirumuskan hanya disebutkan akibatnya, namun dalam ilmu pengetahuan penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) rasa sakit atau merusak kesehatan orang lain” (Soeharto RM,1993 : 36). Menurut M. H. Tirtamimidjaja pengertian penganiayaan adalah “dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada oranglain., akan tetapi suatu perbuatan itu tidak dapat dikatakan penganiayaan apabilaperbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan” (M.H Tirtamidjaja1995 :174). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan diatur dalam Bab XX Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang mengandung pengertian suatu perbuatan yang dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain. 31 Adapun unsur-unsur tindak pidana penganiayaan adalah: a) Adanya Kesengajaan; b) Adanya Perbuatan; c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju),yaitu: (1) Rasa sakit pada tubuh; dan atau (2) Luka pada tubuh. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan : Penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminas, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan pesetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik. b. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 69-71) antara lain: 1) Penganiayaan Biasa Penganiayaan biasa merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud 32 oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan. 2) Penganiayaan Ringan (Lichte Mishandeling). Penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut “Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 KUHP dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus”. R. Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, rumusan Pasal 352 KUHP di atas merupakan peristiwa pidana yang disebut penganiayaan ringan dan masuk kejahatan ringan. Adapun syarat utama sehingga dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan, yaitu: a. Penganiayaan yang tidak menjadikan sakit , atau b. Penganiayaan yang tidak menjadikan korban terhalang melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Penganiaayaan ringan pada umumnya dilakukan oleh tersangka terhadap diri korbannya dengan mempergunakan tangan seperti meninju, menampar, menempeleng, menggores dengan kuku dan lain sebagainya dan atau memakai alat, akan tetapi tidak menjadikan sakit atau terhalangnya pekerjaan atau jabatan korban sehari-hari. 33 3) Penganiayaan Berencana Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut : a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun. c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”. 4) Penganiayaan Berat Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : a. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. 5) Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 KUHP. Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 34 b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penganiayaan pasal 351 KUHP Penuntutan oleh Penuntut Umum dengan acara pemeriksaan biasa Persidangan tanggal 29 September 2014 Putusan Pengadilan Negeri No. 103/Pid.B/2014/PN Wno. Tuntutan Penuntut Umum tidak diterima Upaya Hukum 35 Keterangan Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini yaitu tinjauan tentang putusan pengadilan negeri yang menyatakan tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima serta upaya hukumnya dalam perkara penganiayaan. Permasalahan mengenai penganiayaan sering terjadi di masyarakat. Pengadilan merupakan tujuan akhir untuk mendapatkan keadilan dan untuk mencapai hal tersebut harus melalui beberapa tahap pemeriksaan di pengadilan yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga lahirnya putusan Hakim. Tindak pidana penganiayaan ringan tersebut termasuk kejahatan ringan maka cara pengajuan perkara ke Pengadilan harus dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat yang diajukan oleh Penyidik selaku kuasa Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 205 KUHAP, bukan diajukan oleh Penuntut Umum sebagaimana yang dilakukan dalam perkara tersebut. Pihak-pihak yang tidak terima terhadap putusan Hakim tersebut dapat mengajukan upaya hukum dengan syarat putusan tersebut dinilai tidak memenuhi nilai-nilai keadilan. Upaya hukum tingkat pertama adalah banding. Pihak yang ingin mengajukan upaya hukum tersebut harus membuat memori banding yang berisi alasan-alasan diajukannya upaya banding tersebut dan yang berhak menentukan putusan akhir adalah Pengadilan Tinggi. 36