Perilaku Kesehatan di kalangan Transgender (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Perilaku Detection dan Prevention Dalam Teori Tindakan Sosial di Kota Surabaya) Disusun oleh : Shinta Anggraeni Kusuma Ningrum NIM: 071211433033 PROGRAM STUDI S1 SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA SEMESTER GENAP TAHUN 2016 Perilaku Kesehatan di kalangan Transgender (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Perilaku Detection dan Prevention Dalam Teori Tindakan Sosial di Kota Surabaya) Oleh : Shinta Anggraeni Kusuma Ningrum ABSTRAK Perilaku prevention dan detection merupakan perilaku kesehatan yang mencoba mencegah dari beberapa masalah kesehatan yang masuk. Dalam kasus Transgender, perilaku tersebut berkaitan dengan pencegahan Transgender untuk menghindari permasalahan PMS. Dari aspek tersebut penelitian ini mencoba melihat perilaku kesehatan Transgender dalam mencegah PMS. Penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif dengan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada informan yang diambil menggunakan teknik purposive. Analisis permasalahan dalam penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu teori tindakan sosial Max Weber dan teori tindakan kesehetan Malinowsky. Dalam penelitian ini, upaya detection dan juga prevention yang dilakukan oleh Transgender sangatlah berbeda-beda. Bedasarkan hasil penelitian ini, upaya detection maupun prevention yang dilakukan oleh Transgender dapat dikategorikan dalam dimensi rasional maupun non rasional. Dalam upaya detection, tindakan yang dilakukan oleh Transgender dapat dilakukan sebagai rasional. Kondisi tersebut dikarenakan tindakan yang diambil oleh Transgender secara rasional sesuai dengan tujuan Transgender untuk menghindari PMS. Sedangkan untuk prevention uapaya yang dilakukan oleh Transgender sangatlah bervariasi, mulai dari dengan cara yang rasional berupa pemakaian alat kontrasepsi sampai pada batasan yang tidak rasional dengan cara berganti pasangan dan juga melakukan suntik hormon, kedua tindakan tersebut tidak di kategorikan sebagai rasional dikarenakan tujuan transgender melakukan tersebut agar nyaman melakukan hubungan dengan pasanganya. Kata Kunci: Prevention, Detection, Transgender, dan PMS Abstract Behavior detection is prevention and health behavior Several tried to Prevent of health problems that in .in the case of transgender, Reviews These are behaviors relates to the prevention transgender to avoid problems pms Reviews These aspects .of this study tries to see transgender health behavior in Preventing pms .this research using interpretative paradigm using a qualitative descriptive .The methodology of data collection was done by indepth interviews (in-depth interview to informants taken using a technique purposive .Analysis problems in this research using two the theory, that is the theory the social act of max weber and the theory the act of kesehetan malinowsky. In this research, Efforts detection and prevention Also done by transgender is very different .After the result of this research, detection and prevention Efforts done by transgender can be Described as in the rational and non-rational dimension .in an effort to detection, the act of done by transgender can be done as rational .Conditions were due to actions taken by transgender rationally consistent with the objectives of transgender to avoid pms .an effort to prevention, transmission of, and treatment in the disease .he said, this test not ie Because imposition anyone whether it is transvestites, gays, lesbians who want to maintain Reviews their health allowed to take this test. While for prevention undertakings done by transgender is very varied, starting from in a rational manner of the use of contraceptive until irrational to limits by means of changed couples and performed syringe hormone .Reproductive health are the condition of a healthy sexuality dealing with the functioning and the process of the reproductive system of both of Reviews These actions not in categorized as rational Because the purpose transgender do so that the comfortable intercourse with her partner very risk to pms Keyword: prevention, detection, transgender, and pms A. Pendahuluan PMS atau Seksually Transmitted Disease adalah suatu gangguan atau penyakit yang ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak hubungan seksual. PMS yang sering terjadi adalah Gonorhoe, Sifilis, Harpes, namun yang paling terbesar diantaranya adalah AIDS, karena mengakibatkan sepenuhnya pada kematian pada penderitanya. AIDS tidak bisa diobati dengan antibiotik (Zohra dan Raharjo, 1999). Dianawati (2003) menyatakan bahwa masalah-masalah PMS yang sering timbul adalah Gonorhoe Penyakit ini ditularkan melaui hubungan seksual. Sebutan lain penyakit ini adalah kencing nanah. Penyakit ini menyerang organ reproduksi dan menyerang selaput lender, mucus, mata, anus dan beberapa organ tubuh lainnya. Bakteri yang membawa penyakit ini dinamakan Gonococcus. Selain penyakit gonorhoe, Sifilis adalah penyakit menular seksual. Penyakit ini disebut Raja Singa dan ditularkan melalui hubungan seksual atau penggunaan barang-barang dari seseorang yang tertular (Misalnya: baju, handuk, dan jarum suntik). Penyebab timbulnya penyakit ini adalah adanya kuman Treponema pallidum, kuman ini menyerang organ penting tubuh lainya seperti selaput lender, anus, bibir, lidah dan mulut. Penyakit menular seksual paling berbahaya adalah penyakit AIDS. Sebuah singkatan Acquired Immuno Deficiency Syndrom artinya suatu gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Pada dasarnya setiap orang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang dapat melindunginya dari berbagai serangan seperti virus, kuman, dan penyakit lainnya. Puluhan waria yang ada di Kabupaten Sidoarjo mengikuti Voluntary Consulting Test (VCT) sebagai salah satu langkah untuk menjaga kesehatan terutama penyebaran penyakit menular seksual. Pengelola program dan monitoring evaluasi (monev) Komis Penanggulangan AIDS (KPA) Sidoarjo Fery Efendi mengatakan, pemeriksaan kepada sekitar 70 waria, gay dan lesbian yang ada di Sidoarjo-surabaya ini rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengecek kesehatan mereka setiap tiga bulan sekali, katanya (senin 19/6). Ia mengemukakan, pemeriksaan tersebut perlu dilakukan, karena mayoritas dari mereka banyak yang menjajakan diri dan sangat mudah terkena penyakit seperti HIV AIDS. Oleh karena itu, konseling yang dilakukan ini merupakan salah satu di antara upaya untuk pencegahan, penularan, dan pengobatan pada penyakit tersebut. Ia mengatakan, tes ini tidak ada unsur pemaksaan karena siapapun baik itu waria, gay, lesbi yang ingin menjaga kesehatannya diperbolehkan mengikuti tes ini. Pada kegiatan yang di lakukan saat pembinaan mendapatkan konseling, tapi sifatnya tidak memaksa karena ini untuk kepentingan mereka sendiri. Ia mengatakan, jika salah satu di antara mereka dinyatakan positif terjangkit penyakit, maka mereka akan secara suka rela mau untuk menindak lanjuti permasalahannya dan mau mengobatinya. Selain itu manfaat dari tes ini dilaksanakan secara rutin, untuk mengontrol masingmasing dari mereka agar tetap sehat. Misalnya, tes yang pertama, kedua, ketiga negatif namun di tes yang keempat positif, jadi ini sebagai alat kontrol," kata Fery. Ia mengatakan, selama ini waria memang terbukti sehat pada masa tes yang pertama sampai ketiga, tapi saat tes yang keempat ataupun kelima sudah terjangkit penyakit alias terbukti positif. "Jadi, waria yang positif dapat diindikasikan bahwa mereka belum mematuhi peraturan dan melanggar tata tertib seperti selalu menggunakan kondom saat berhubungan badan. ( KPA, selasa 17sep 2013 ). Di sisi lain, kata dia, kegiatan ini juga dijadikan ajang silaturrahim antar waria yang tergabung dalam Persatuan Waria Sidoarjo (PERWASID) dan GAYa Nusantara Surabaya. Ketua PERWASID Saiku Kristina mengatakan bahwa dia dan teman-temanya berkumpul untuk saling mendukung, "Jika ada teman yang positif terjangkit penyakit, kami rangkul dan kami dukung untuk sembuh”. ( ketua PERWASID, 17 Sept 2013 ) Penelitian sebanyak 356 orang gay yang diwawancarai dan 40% diantaranya berperilaku beresiko terhadap penularan PMS (Fritzpatrick et.al, 1989) Munculnya persoalan kesehatan reproduksi yang menimpa kelompok marjial (remaja jalanan, gay, waria dan PSK), yang sangat beresiko terhadap PMS. Bagi transgender yang mengalami masalah kesehatan reproduksi harus mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yang benar (Lestari, 2006). Kesehatan reproduksi yang baik, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi remaja harus mendapat perhatian khusus, karena saat ini sudah terjadi pergeseran norma dalam masyarakat. Pergaulan remaja menjadi lebih longgar dan bebas yang ditunjang oleh perkembangan media massa yang semakin maju baik media cetak maupun media elektronik (Permata, 2003). Kesehatan reproduksi merupakan keadaan seksualitas yang sehat yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi. Seksualitas dalam dalam hal ini berkaitan erat dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia dan dampaknya bagi kehidupan fisik dan biologis manusia. Termasuk didalamnya bagaimana menjaga kesehatannya dari gangguan seperti PMS dan HIV/AIDS (Herbaleng, 2001). PMS menjadi sangat serius, karena dapat menyerang dalam cakupan luas ke seluruh penjuru dunia. PMS juga dapat dengan mudah menyebar dari satu orang kepada orang lain. PMS yang dapat menularkan pada komunitas homoseksual adalah Gonorhoe, Sipilis, dan Harpes kelamin. Tetapi yang paling besar diantaranya adalah HIV/AIDS, karena mengakibatkan kematian pada penderitanya, karena AIDS tidak bisa diobati dengan antibiotik (Zohra dan Raharjo, 1999). Kesehatan seksual adalah sesuatu yang berbeda, jika kesehatan reproduksi lebih fokus kepada bagaimana kita menjaga kebersihan dan kesehatan alat reproduksi agar tidak terkena infeksi menular seksual dan bekerja sesuai fungsi reproduksi. Kebanyakan waria tidak menggunakan organ reproduksi sesuai fungsinya yaitu untuk meneruskan keturunan, namun tetap menggunakan organ tersebut untuk memperoleh kenikmatan seksual. Kesehatan seksual memiliki pemahaman yang lebih luas lagi mencakup tahapan dari kesejahteraan fisik, emosi, mental dan sosial yang berhubungan dengan seksualitas. Termasuk bagaimana kita berinteraksi dengan pasangan, terkait posisi tawar dan kesetaraan hubungan. Tidak semua dari kita memiliki aktivitas seksual yang sama. Banyak dari kita bahkan terpaksa harus berhubungan seks dengan pria yang tidak kita sukai. Perilaku seksual pada manusia dapat diartikan sebagai aktifitas yang kompleks dan tidak hanya terbatas pada melepaskan ketegangan melalui orgasme. Secara garis besar perilaku seks dapat dikelompokkan menjadi perilaku yang normal dan perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang normal memiliki makna perilaku yang tidak merugikan diri sendiri dan dilakukan kepada lawan jenis dan diakui masyarakat. Perilaku seksual yang menyimpang menurut Hawkins dalam Kaplan (1997) memiliki makna sebagai perilaku seksual yang cenderung destruktif bagi diri sendiri maupun orang lain (Hartanto, 2006). Bentuk perilaku seksual mulai dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting (bercumbu berat) sampai berhubungan seksual. Perilaku seks aman adalah perilaku seks tanpa mengakibatkan terjadinya pertukaran cairan vagina dengan sperma. Hubungan seks tanpa menggunakan kondom merupakan perilaku seks tidak aman dari penularan penyakit menular seksual. Penelitian menunjukkan (Dalam Triningsih, 2006) bahwa perilaku seksual pada gay dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu: 1) Perilaku oral genital, memeluk, dan mencium, 2) Seks anal, 3) Tindakan alternatif seperti fisting (Berupa tangan tapi bukan mengepal, dimasukkan kedalam rectum pasangan). Terlepas dari kenyataan bahwa efek samping dapat terjadi, sebagian besar waria atau transgender akan transisi tanpa menderita efek samping yang serius. Terapi hormonal juga menyebabkan perubahan fisik dan psikologis yang membuat pasien merasa lebih seperti identitas gender mereka, membatasi morbiditas psikiatri dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebaliknya, menolak untuk mengelola terapi hormon untuk pasien merupakan faktor risiko untuk pengobatan diri dengan hormon yang diperoleh secara ilegal dan penggunaan jarum suntik untuk pengobatan hormone Female To Male transeksual mendapat terapi hormonal dengan testosteron. Pemberian testosteron akan menyebabkan terhentinya menstruasi umumnya dalam bulan pertama, pendalaman suara, peningkatan rambut wajah dan tubuh, peningkatan ukuran klitoris, peningkatan libido, dan kemampuan untuk membangun dan mempertahankan massa otot. Penting untuk diingat bahwa testosteron tidak akan mengurangi ukuran payudara. Pria transeksual Banyak akan lulus sebagai laki-laki (yaitu terlihat laki-laki ke dunia luar) setelah satu tahun pengobatan, tetapi efek penuh testosteron yang dapat memakan waktu hingga 10 tahun. Beberapa efek samping dari testosteron adalah meningkatnya kulit berminyak, jerawat, berat badan, dan sakit kepala. Risiko kesehatan dari pengobatan testosteron adalah hepatotoksisitas, resistensi insulin, perubahan negatif dalam profil lipid (penurunan HDL dan peningkatan trigliserida) dan homosistein, polisitemia pada mereka yang berisiko karena efek erythropoeitic, dan Sindrom ovarium polikistik mungkin. Ada terus menjadi setidaknya risiko teoritis untuk payudara, ovarium, endometrium dan kanker serviks. Pembedahan termasuk mastektomi bilateral atau sedot lemak, metoidoplasty (membuat penis mikro dengan memutuskan ligamen suspensorium yang mengelilingi klitoris yang membesar) atau Phaloplasti (menggunakan kulit dan transfer jaringan musle dari pangkal paha, lengan atau paha), vaginectomy, histerektomi ditambah salpingo-ooforektomi, scrotoplasty, dan perpanjangan uretra. Untuk perawatan kesehatan lanjutan dari seorang pria transeksual, pedoman skrining standar harus diikuti untuk semua organ yang dimiliki pasien. Pada pencegahan yang tepat dan praktek promosi kesehatan, dan perawatan yang paling efektif. Pada tahun 1999 Departemen Kesehatan Masyarakat Massachusetts mendanai proyek yang disebut "Gay, Lesbian, Kesehatan Proyek Akses Biseksual dan Transgender" yang mengembangkan standar praktek untuk perawatan kualitas penduduk LGBT. Standar didasarkan pada penghapusan diskriminasi, penuh dan akses yang sama ke pelayanan perawatan kesehatan bagi semua pasien, penghapusan stigmatisasi dan penciptaan lingkungan perawatan kesehatan di mana semua pasien merasa aman datang "keluar" untuk penyedia pelayanan kesehatan. Salah satu aspek penting dari standar adalah bahwa mereka menangani penjangkauan masyarakat dan promosi kesehatan sehingga mendorong masuknya penduduk LGBT dalam membuat keputusan untuk mengikuti dan menjalani tipe layanan kesehatan yang di adakan dari pemerintah (http://www.genderandhealth.ca/en/modules) B. Fokus Penelitian 1. Bagaimana perilaku kesehatan yang dikembangkan oleh Transgender terkait kesehatan reproduksi agar terhindar dari PMS ( penyakit menular seksual ) ? C. Kerangka Teori Menurut Malinowski, salah satu hal yang membuat manusia berperilaku adalah adanya kebutuhan-kebutuhan biologis. Kebutuhan itu meliputi: kebutuhan akan makan, reproduksi, kenyamanan tubuh, dan keamanan (Budiman, 1984: 36). Dalam hal ini, seseorang termotivasi mempunyai kebutuhan akan keamanan bagi tubuhnya terhadap ancaman penyakit. Hal inilah yang kemudian memicu hadirnya perilaku kesehatan, guna meningkatkan kesehatannya dan mengurangi kekhawatiran yang disebabkan adanya ancaman gangguan kesehatan (penyakit). Perilaku kesehatan yang dilakukan sebagai respon terhadap ancaman gangguan kesehatan ini ialah sesuai dengan inti pemikiran Parsons bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh individu selalu diarahkan pada tujuan (Johnson: 106). Sementara menurut Lawrence Green, ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan, yaitu: faktor pemudah (Predisposing Factors) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan / keyakinan, dan nilai-nilai. Faktor kedua adalah faktor pendukung (Enabling Factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik. Sedangkan faktor ketiga yaitu faktor pendorong (Reinforcing Factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku kesehatan petugas lain sebagai kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 164). Perilaku untuk meningkatkan kesehatan tidak hanya dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang lain di sekitar individu yang bersangkutan. Seperti diketahui, bahwa setiap individu adalah anggota masyarakat yang memiliki peranan. Dengan memiliki peranan, maka mereka mempunyai hak-hak tertentu sesuai dengan peranan yang dimainkan dalam berinteraksi (Horton, 1987: 19). Peranan kelompok-kelompok struktur seperti keluarga, teman, dan anggota komunitas memang tidak kecil, dalam perilaku kesehatan yang hendak dilakukan oleh seseorang. Perilaku kesehatan yang dilakukan oleh individu merupakan suatu proses interaksi sosial karena tidak hanya melibatkan individu yang bersangkutan, tetapi juga keluarga, kerabat, teman-teman dan komunitas sperti halnya ketika secara sosiologis perilaku individu sebenarnya dapat digerakkan dan didasarkan oleh berbagai hal. Pertama menurut Max Weber yang sangat di kenal dengan teori tindakan (Action Theory) bahwa perilaku atau tindakan individu sangat dipengaruhi oleh pengalaman, presepsi, pemahaman dan penafsiran atau suatu obyek stimulus dan situasi tertentu. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), yakni perilaku atau usaha seseorang untuk memelihara dan menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha penyembuhan jika sakit. Perilaku pencarian dan penggunaan system / fasilitas pelayanan kesehatan atau perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior ) yaitu upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku yang ditampakkan mulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai dengan mencari pengobatan ke luar negeri. Namun pendapat weber ini di kritisi oleh sosiolog lain yakni Talcot Parson yang menyebutkan bahwa aksi atau tindakan bukanlah suatu perilaku (Behavior) sebab aksi merupakan proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parson bahwa tindakan indivdu dan kelompok sangat dipengaruhi oleh 3 sistem yakni sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian. Selanjutnya tindakan sosial yang dilakukan juga sangat bergantung pada sistem ataun tipe kepribadian yang dimilikinya (sebagaimana dikutip dalam Sorlita Sarwono ; 1993 ). Berdasarkan teori fungsionalisme struktural maka waria sebagai bagian dari sebuah pranata dan struktur sosial bisa dikatakan memiliki dua kecenderungan yaitu fungsional dan dis-fungsional (Merton, 1968) bagi suatu unit sosial tertentu. Waria sebagai pekerja seks komersial fungsional bagi para lelaki homoseksual, begitu pula ia fungsional bagi pengelola salon kecantikan sebagai sumber daya manusia yang murah lagi terlatih. Sedangkan waria disfungsional bagi norma-norma sistem kelembagaan agama agama, maupun sosial yang terkait. Sebenarnya menjadi potret keberagaman sosial dalam masyarakat yang bersifat heterogen, adalah fungsi manifest dari komunitas trangender dan transeksual. Namun kenyataannya fungsi laten dari waria lah yang lebih disorot oleh masyarakat. Yaitu sebagai pekerja seks komersial, sebagai buruh berbiaya rendah dan media penyebaran penyakit HIV/AIDS. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan Metode Kualitatif. Metode ini merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah yang terdapat pada kehidupan manusia (Ardly, 2014). Pada penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya dengan memfokuskan pada Club Gay di daerah Jemur Sari dan Pup yang berada di Ciputra World Surabaya. karena realitas yang dimiliki di lokasi tersebut sangat eksis dan lokasi tersebut memiliki kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian ini mengingat tempat tersebut adalah salah satu berkumpulnya transgender dan LGBT. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi non partisipan untuk memperoleh data untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya E. Hasil Penelitian Perilaku kesehatan Transgeder agar terhindar dari Penyakit Menular Seksual Transgender adalah pilihan dari gay yang lebih nyaman menjadi seorang wanita. Perubahan yang para subjek alami itu berdeda – beda. Perubahan seksual menimbulkan daya tarik untuk merubah dirinya menjadi perempuan. Secara fisik mereka tidak merubah dirinya seperti perempuan tetapi secara biologis mereka tidak merubah alat kelaminnya menjadi perempuan. Kondisi tersebut Sama halnya dengan memiliki rasa ketertarikan kepada lakilaki. Dalam memperluas konsepsi mereka mengenai seks dan gender, peserta sering mencoba untuk membentuk identitas yang orisinil untuk diri mereka sendiri. Identitas gender tidak hanya didasarkan pada rasa keaslian atau orisinalitas, bagaimanapun, sumber daya material dan kebutuhan untuk melindungi diri dari diskriminasi atau bahaya yang di alami ketika melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Namun dengan adanya pikiran raisional yang para transgender ini melihat adanya potensi penyakit menular seksual akibat gaya seksual mereka yang menyimpang. Akan kesadaran yang mereka alami mereka melakukan preventention dalam pencegahan penularan penyakit menular seksual. Dengan cara mendatangi layanan kesehatan yang ada di surabaya seperti rumah sakit dan puskesmas. Layanan kesehatan yang ada disurabaya memberikan fasilitas gratis untuk layanan kesehatan para pelaku LGBT ( lesbi, gay, biseksual, transgender ), dengan cara mengajak para LGBT untuk memeriksakan kesehatan mereka, memeriksa darah mereka untuk melihat apakah mereka terjangkit penyakit menular seksual atau tidak. Meronsen tubuh mereka yang bertujuan untuk mengetahui apakah tubuh mereka sehat serta memberikan pemeriksaan daerah “anus” untuk mengetahui apakah mereka terjangkit virus akibat berhubungan seksual atau tidak. Mengecek urin mereka yang bertujuan kusus untuk melihat apakah mereka makai obat obatan yang berbahaya atau tidak. Pemeriksaan yang dilakukan oleh para informan menyatakan pemeriksaan yang mereka jalani yaitu 3 bulan sekali. Namun pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit menyediakan cek kesehatan setiap hari, hanya khusus kaum LGBT pelayanan kesehatan mengadakan pemeriksaan sebulan sekali yang diperuntukan untuk para pelaku seksual tersebut. Tidak ada studi ilmiah yang mampu menyimpulkan apakah upaya mengubah orientasi seksual berhasil mengubah orientasi seksual seseorang. Upaya-upaya tersebut menjadi pertentangan antara nilai-nilai yang dipegang oleh beberapa organisasi berbasis agama, di satu sisi, dan yang dimiliki oleh organisasi hak asasi lesbian, gay, dan biseksual dan Lembaga profesional dan ilmiah, di sisi lain. Konsensus lama dari ilmu-ilmu perilaku dan ilmu sosial dan pakar kesehatan dan kejiwaan adalah bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia Istilah "laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki" (LSL) dan "perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan" (PSP) mengacu kepada orang-orang yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama terlepas dari bagaimana mereka mengidentifikasi diri -sehubungan dengan banyak yang memilih untuk tidak menerima identitas-identitas sosial sebagai lesbian, gay dan bIstilah-istilah ini sering digiseksual. menggunakan dalam literatur medis dan penelitian sosial untuk menggambarkan kelompok-kelompok tersebut dalam penelitian, tanpa perlu mempertimbangkan isu-isu seksual identitas diri. Namun, istilah-istilah ini dilihat sebagai masalah karena "mengaburkan dimensi sosial dari seksualitas, merusak pelabelan pada orang-orang lesbian, gay, dan biseksual, dan tidak cukup menjelaskan variasi dalam perilaku seksual. LSL dan PSP aktif secara seksual satu sama lain untuk berbagai alasan terutama kepuasan seksual, keintiman dan ikatan. Berbeda dengan manfaatnya, perilaku seksual dapat menjadi vektor penyakit. Seks yang aman dinilai sangat relevan guna mengurangi dampak buruk. Saat ini Amerika Serikat melarang laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) untuk menjadi donor darah "karena mereka, sebagai kelompok memiliki tingkat risiko HIV lebih tinggi untuk HEPATITIS B dan infeksi tertentu lainnya yang dapat ditularkan melalui transfusi. Britania Raya dan banyak negara Eropa menerapkan larangan yang sama. Kegiatan pokok dari area pengobatan, perawatan dan dukungan adalah sebagi berkut : 1. Penguatan dan pengembangan layanan kesehatan yang kompeten 2. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, koinfeksi dan pengobatan ARV serta dukungan pemeriksaan berkala; 3. Perawatan berbasis masyarakat dan dukungan bagi ODHA, termasuk dukungan psikologis dan sosial; 4. Pendidikan dan pelatihan mengenai pengobatan untuk memberdayakan ODHA untuk menangani kesehatan mereka; 5. Peningkatan kepatuhan beribat secara teratur; 6. Peningkatan pencegahan penularan dari ODHA (positive prevention) Konsep Rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama konsep ini sama pentingnya dengan konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Webeer melihat perkembangan masyarakat Barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini tercermin dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial; juga terungkapkan dalam evolusi musik Barat. Meskipun musik sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa musik juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan Barat yang modern. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. Perhatian Weber pada teori-teori tindakan berorientasi tujuan dan motivasi pelaku, tidak berarti bahwa ia hanya tertarik pada kelompok kecil, dalam hal ini interaksi spesifik antar individu. Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus (pemacu, penggerak) dengan respon (reaksi). Baginya tugas analisis sosiologi terdiri dari “penafsiran tindakan menurut makna subjektifnya. Dan dari tindakan yang dilakukan oleh transgender untuk melakukan pembataan maupun pemeriksaan ke dokter dapat di anggap sebagai bentuk rasionalitas dari perilaku kesehatan trangender. Meskipun demikan. Perilaku kesehatan tersebut dapat di fokuskan pada upaya Prevention maupun detection dari trangender untuk m terhindari PMS. Dimensi Perilaku Prevention Dan Detection dalam Kesehatan Transgender Prevention dan Detektion adalah perilaku kesehatan yang dilakukan dilakukan oleh trandgender untuk Beradaptasi trangender dengan lingkungan sosialnya baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi sosial. Difinisi mengenahi perilaku tersebut dapat dilihat dari tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia itu sendiri, dan perilaku memiliki arti yang sangat luas yang dimana, bentuk perilaku itu bisa berjalan, berbicara, bekerja, ataupun melakukan aktivitas lainnya. Perilaku seseorang tidak bisa terlepas dari setting sosial yang ada disekitarnya. Apabila dikaitkan dengan kesehatan, seseorang menginginkan dirinya untuk dapat hidup dengan sehat dan terhindar dari sakit ataupun penyakit, tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang pasti pernah merasakan sakit. Perilaku seksual Transgender dapat mengakibatkan banyak penyakit menular seksual, salah satu penyakit yang membahayakan adalah HIV, AIDS, SIFILIS dan penyakit menular lainnya. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja terutama transgender. Berbicara lebih jauh terkait dengan trandgender dapat diartikan dengan beberapa difinisi. Transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan kelamin yang dimilikinya. F. Kesimpulan Studi ini melibatkan tiga persoalan sekaligus, pertama persoalan teoritis, kedua adalah persoalan empiris, dan ketiga persoalan bagaimana menjelaskan perbedaan penting antara analisis tindakan sosial Max Weber dengan perilaku prevention dan detection bagi transgender dalam menghindari PMS. Pertama, usaha untuk menguak tindakan sosial Transgender dalam perspektif teori tindakan sosial Max Weber. Teori tindakan sosial ini mencoba membagi perilaku manusia dalam dua dimensi, yaitu dimensi rasional dan dimensi non rasional dan dalam pemikiran ini mencoba melihat upaya Transgender dalam prevention maupun detection. Di lihat dari sisi raionalitas Max Weber. Kedua, persoalan empiris, yaitu bagaimana memahami dan kemudian menjelaskan tindakan sosial transgender dalam melakukan tindakan pervention maupun detection. Pemaparan penggalian tindakan subjektif dalam trangender dilakukan dengan beberapa fase. Beberapa fase yang dilewati dalam proses ini, yaitu fase pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan hasil wawancara, pemaparan hasil wawancara, dan analisis hasil wawancara. Ketiga, mendasarkan pada teori tindakan sosial yang meletakkan analisisnya pada persoalan tindakan, historis, dan kehidupan sehari-hari. Esensi teori tindakan sosial, yakni memahami keberadaan struktur-stuktur sosial transgender sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas. Rangkaian benang merah dalam kesimpulan ini dapat dijelaskan sebaagi berikut: 1) Pada dasarnya upaya detection yang dilakukan oleh Transgender dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan ke praktisi kesehatan. Akan tetapi dalam upaya pemeriksaan ke praktisi kesehatan informan dalam penelitian memiliki perbedaan dalam upaya detection, misalanya yang dilakukan oleh JJ, untuk detection yang dilakukan oleh subjek yaitu dengan melakukan upaya cek darah, cek urin dan cek lubang anus. Sedangkan F untuk upaya detection, hanya sebatas periksa kesehatan, itupun yang disesuaikan dengan program dari pemerintah. Sedangkan yang dilakukan oleh BGS meskipun periksa ke praktisi kesehatan dia hanya melakukan pencegahan dengan meminum vitamin dan pil antibody saja. Sedangkan untuk upaya prevention dilakukan dengan cara bereda-beda misalnya JJ dia melakukan prevention dengan suntik hormon. Sedangkan yang dilakukan F dengan cara membatasi hubungan sex sedangkan yang dilakukan oleh BGS upaya prevention dengan cara memakai pil hormon dan 2) Aspek rasionalitas dalam upaya prevention maupun detection yang dilakukan oleh Trandgender dapat dikategorikan dalam dimensi rasionalitas. Kategori tersebut di dasarkan pada aspek tujuan dari upaya prevention maupun detection yaqng dilakukan oleh Transgender. Dalam upaya tersebut kategori rasionalitas dapt dilihat dari upaya Transgender memiliki tujuan agar tindakan tersebut dapat menjadi Transgender aman dalam melakukan hubungan dengan pasanganya. Dari titik pemikiran Transgender yang memiliki tujuan untuk aman dengan pasanganya tersebut maka tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan rasional. 3) Dan terakir upaya prevention dan detection dapat dilihat sebagai rasional intrumental ketika kedua upaya tersebut antara sarana yang diambil oleh Transgender dalam melakukan kedua upaya tersebut melalui sarana yang rasional. Dalam penelitian inin yang untuk upaya detection semua informan melalui proses tersebut dengan cara rasional. Kondisi tersebut tidak lepas dari upaya detection yang dilakukan oleh trandgender dengan cara pemeriksaan ke dokter. Tetapi, untuk upaya prevention dalam penelitian ini memiliki kategori yang berbedabeda. Untuk kategori rasional tindakan prevention dengan di lakukan memakai kondom, sedangkan untuk tindakan yang tidak rasional adalah dengan melakukan suntik hormon dan berganti pasangan. kedua tindakan tersebut dilakukan dikarenakn berorientasi pada kenyhamanan hubungan. Bukan atas dasar keamanan bagi kesehatan. G. Saran Dalam penelitian ini, transgender untuk menghindari PMS dengan melakukan beberapa aspek, maka dari itu saran untuk penelitian ini kepada para transgender, meskipun yang sudah memutuskan utuk menjadi transgender harus tetap peduli kepada kesehatan karena perilaku yang Transgender lakukan menimbulkan efek penyakit berbahaya dimasa depan. Dan untuk praktisi kesehatan harus lebih terbuka terhadap Transgender yang melakukan pemeriksaan kesehatan, terakhir untuk akademisi harus lebih memperdalami kajian tentang Transgender beserta melihatnya tidak hanya dari sisi perilaku menyimpang. Untuk pelayanan kesehatan yang berada disurabaya, diharapkan lebih bisa mengakomodir golongan Transgender agar lebih menjaga dan merawat sistem reproduksi mereka. Sedangkan untuk kajian sosiologi kesehatan, diharapkan lebih bisa menelaah perilaku kesehatan bagi para pelaku Transgender. DAFTAR PUSTAKA BUKU 1. Ariadi, Septi Sosiologi kesehatan (sos - 229), Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2011 2. Johnson, D. P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (R. M. Lawang, Trans.) Jakarta: PT Gramedia. 3. Notoatmojo, Soekidjo, 2003 Pendidikan dan Perilaku Kesehatan ; Jakarta : Rineka Cipta 4. Notoatmodjo S. 2005. Promosi Kesehatan teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta 5. Ritzer George, 2012. Teori Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 6. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman 2004. Sociological Theory (terjemahan: Teori sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Potmodern. cetakan ketujuh Desember 2011). Kreasi Wawancara Yogyakarta: Yogyakarta. 7. Ratnawati R. 2002. Perilaku Waria Pekerja Seks Komersial (PSK) Dalam Upaya Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) Dan AIDS Di Kota Madiun Tahun 2002. [Skripsi] Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair 8. Sugiyono.2014. “ Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif R & D.” Bandung Alfabeta 9. Sugiono. 2009. “Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif. Kualitatif, dan R & D.“ Bandung: Alfabet 10. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1992 11. Triningsih AH. 2006. Analisis Jaringan Komunikasi Mengenai Kesehatan Seksual Kaum Gay di Yogyakarta. [Skripsi] Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. UPN 12. White, Kevin. Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit. Jakarta : Rajawali Pers, 2011 INTERNET Saragih ,Tindakah Sosial Menurut Max Weber. Diakses pada 15 Agustus 2015. http://kumpulanmakalahsosiologi.blogspot.co.id/2014/06/makalah-sosiologi-nitya-xd.html dampak transgender terhadap kesehatan reproduksi - Penelusuran Google http://chiskaoktaviani.blogspot.co.id/2015/11/makalah-transgender-atau-transeksual.html (http://id.wikipedia.org/wiki/transgender (28/05/2010) Anugrah. 2010. hasil-penelitian-tentang-waria.html(28/05/2010)) Budi. 2009. Fenomena Transgender dan Hukum Operasi Kelamin (http://www. generas imuslim.com /fiqih-kontemporer/351-fenomena-transgender-danhukum- operasi-kelamin (28/05/2010)) KOMPAS. 2010. Penyerbuan Pelatihan Wari “Waria: Pandang Kami sebagaiSaudara” (http://regional.kompas.com /read/2010/04/30/20073523/ Waria: Pandang Kami sebagai Saudara (28/05/2010)) Fauzi SL. 2008. Homoseksual Pada Remaja. Diakses : 14 September 2008. http://luthfis.wordpress.com/2008/03/11/homoseksual-pada-remaja/ Kalina O. et.al. 2009. Psychological and Behavioural Factors Associated with Sexual Risk Behaviour Among Slovak Students. BMC Publich Health Journal. Vol. 9. No 15