Perilaku Konsumtif Berdasarkan Faktor Demografi dan Money

advertisement
1.
Pendahuluan
Awalnya konsumen membeli barang hanya untuk mencukupi kebutuhan
sehari – hari saja. Hal ini berkembang seiring dengan perkembangan jaman
membeli menjadi suatu kegemaran tersendiri. Perilaku membeli didasarkan pada
kesenangan individu. Perilaku membeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup
ini sering dikenal sebagai perilaku boros atau perilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) adalah perilaku yang
tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Konsumen biasanya
membeli barang karena barang tersebut bermerek, itu semua disebabkan konsumen
ingin menaikkan status dilingkungan sekitar. Tanpa melihat manfaat dari barang
yang dimilikinya. Sedangkan menurut Engel dan Miniard (1994), perilaku
konsumtif dikaitkan dengan gaya hidup seseorang, tidak hanya dilihat dari sisi
materialnya saja. Jadi misalkan seseorang menghabiskan banyak waktu dan uang
untuk hal – hal yang tidak berguna, maka orang tersebut dapat dimasukkan ke
dalam katergori berperilaku konsumtif. Menurut Mangkunegara (dalam Yustisisari,
2009) mengatakan bahwa bagi produsen usia remaja adalah salah satu pasar yang
potensial, hal ini dikarenakan pada usia remaja pola konsumsi terbentuk. Pada usia
remaja kebanyakan ingin penempilannya menarik dibandingkan dengan yang lain.
Menurut Wiguna (2008) mengatakan bahwa mengatur arus uang
sebenarnya merupakan hal yang paling penting. Seseorang sulit dalam melakukan
pengaturan keuangan dengan baik dan benar pada kehidupannya. Hal ini terjadi
pada mahasiswa, mahasiswa merupakan masa peralihan antara remaja menjadi
dewasa. Mahasiswa biasanya ingin diakui keberadaanya, tidak jarang mahasiswa
membeli barang dilihat dari mereknya bukan dari manfaat yang nantinya akan dia
14
nikmati. Mahasiswa lebih rela mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan
barang yang mampu menaikkan kedudukannya atau keberadaanya yang ingin
diakui. Dengan adanya perilaku konsumtif ini sering kali mahasiswa membeli
barang yang sedang trend, mengikuti gaya berpakaian artis idolanya, dan lain
sebagainya. Pada kenyataannya perilaku konsumtif ini membawa dampak negatif,
diantaranya: uang saku yang diberikan oleh orang tua selalu habis dengan cepat,
menyulitkan orang tua, budaya konsumtif ini akan terbiasa seumur hidup, perilaku
konsumtif akan membuat remaja berpikiran bahwa kesenangan dan kebahagiaan
hanya diperoleh melalui materi saja. Menurut Kholilah (dalam Suyasa dan
Fransisca, 2005) secara psikologis perilaku konsumtif menyebabkan seseorang
mengalami kecemasan dan rasa tidak aman. Kecemasan seseorang dapat terjadi jika
seseorang menginginkan barang tapi tidak didukung oleh finansial dia, sehingga
timbul rasa cemas karena keinginannya tidak terpenuhi.
Faktor demografi dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan
uangnya, seperti diantaranya jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, usia, dan lain
sebagainya. Demografi adalah ilmu yang mempelajari struktur, proses, dan kualitas
sumber daya manusia (Mantra, 2003). Lewat demografi dapat melihat seseorang
berperilaku boros atau tidak. Selain faktor demografi juga terdapat faktor
kepercayaan yaitu money attitude. Faktor ini juga mempengaruhi seseorang dalam
perilaku konsumtif, karena uang yang setiap manusia miliki tidak hanya dilihat
untuk berbelanja saja namun penilaian tersendiri terhadap uang yang mereka miliki.
Money attitude mengcover seseorang dalam kehidupannya (Al-Amoodi, 2006).
Pandangan seseorang terhadap uang merupakan kekuatan dan kesuksesan bagi
dirinya seperti dalam penelitian Yamauchi dan Templer (1982).
15
Pada penelitian sebelumnya memang sudah ada yang membahas tentang
perilaku konsumtif, namun penelitian tersebut kebanyakan tentang perilaku
konsumtif yang dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit maupun kartu ATM.
Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Soewanoto dan Supramono (2008)
tentang personality traits terhadap penyalahgunaan kartu kredit pada pegawai di
perguruan tinggi swasta. Serta penelitian tentang gaya hidup dan personality traits
yang dikaitkan dengan pengelolaan uang saku dalam penelitian (Angela, 2009).
Pada penelitian kali ini akan dilihat perilaku konsumtif dalam penggunaan uang
saku dan menambahkan faktor demografi dan money attitude. Bedasarkan
permasalahan yang diuraikan di atas, masalah yang akan diteliti adalah:
a. Apakah terdapat perbedaan perilaku konsumtif bedasarkan faktor
demografi mahasiswa FEB UKSW?
b. Apakah terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan money
attitude mahasiswa FEB UKSW?
Manfaat dalam penelitian kali ini, yaitu:
Dapat membantu seseorang dalam pemahaman akibat dari perilaku konsumtif serta
diharapkan seseorang dapat mengontrol penggunaan uang saku.
16
2.
Telaah Pustaka
Perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) adalah perilaku yang
tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Menurut Dahlan (dalam
Sumartono, 2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu perilaku
yang ditandai adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal
yang dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar –
besarnya serta adannya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh
suatu keinginan untuk memenuhi kesenangan semata. Sementara Tambunan (2001),
perilaku
konsumtif
biasanya
menunjuk
pada
perilaku
konsumen
yang
memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang atau jasa
yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Perilaku konsumtif merupakan perilaku yang memanfaatkan nilai uang
lebih besar tanpa pertimbangan yang rasional untuk mendapatkan barang yang
bukan merupakan kebutuhan pokok serta adanya anggapan hal bahwa barang yang
dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik. Sebenarnya
pola konsumsi seseorang mulai terbentuk dari masa remaja, masa remaja adalah
masa ketika seseorang itu ingin dirinya diakui oleh sekelilingnya. Menurut
Mangkunegara (dalam Yustisisari, 2009), bagi produsen usia remaja adalah salah
satu pasar yang potensial, hal ini dikarenakan pada usia remaja pola konsumsi
terbentuk. Tidak hanya itu remaja juga sering terbujuk oleh iklan, ikut – ikutan
trend, cenderung lebih boros.
Hal ini sering dimanfaatkan oleh produsen untuk menjual barangnya.
Terutama mahasiswa, mereka membeli kebutuhan bukan kebutuhan pokoknya.
Semua itu semata – mata hanya untuk diakui eksistensinya dengan membeli barang
17
yang sedang trend atau mengikuti gaya artis idolanya. Sekarang ini mahasiswa
lebih banyak memperhatikan merek barang yang dia akan beli dibandingkan
dengan kegunaan dari barang tersebut. Menurut Sumartono (2002) dalam membeli
barang konsumen (mahasiswa) sering memperhatikan hal – hal, seperti membeli
produk karena ada hadiah, kemasan menarik, menjaga penampilan dan gengsi,
adanya penilaian bahwa harga barang yang tinggi akan menimbulkan rasa percaya
diri yang tinggi pula, mencoba menggunakan dua produk yang berbeda, dan
membeli produk hanya sekedar simbol status saja.
Demografi merupakan studi ilmiah tentang kependudukan yang berkaitan
dengan jumlah atau ukuran penduduk, struktur, serta perkembangan penduduk (
United Nations Multilingual Demograhic ). Demografi adalah ilmu yang
mempelajari struktur, proses, dan kualitas sumber daya manusia (Mantra, 2003).
Sedangkan menurut Robb dan Sharpe (2009), demografi adalah suatu studi yang
mempelajari karakteristik, sikap, dan perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti jenis kelamin, status pendidikan, dan pendapatan. Hal yang
sama dikemukakan oleh Swastha dan Handoko (1987) yang dikutip oleh
Andrawina (2011) faktor demografi yang mempengaruhi keputusan konsumen
adalah usia, pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan tingkat
penghasilan.
Demografi adalah suatu ilmu yang mempelajari karakteristik, sikap,
proses, perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis
kelamin, status pendidikan, dan pendapatan. Dalam penelitian kali ini faktor
demografi yang mempengaruhi perilaku konsumtif, diantaranya:
18
a. Jenis Kelamin
Menurut Robb dan Sharpe (2009) (dalam Setyawan, 2011) jenis kelamin adalah
suatu konsep karakteristik yang membedakan seseorang antara laki – laki dan
perempuan. Dalam hal berperilaku konsumtif, biasanya perempuan lebih
konsumtif dibandingkan laki – laki. Hal ini terlihat perempuan lebih banyak
membelanjakan uangnya daripada laki – laki untuk keperluan penampilan seperti
pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu (Rosandi, 2004). Dalam perilaku
membeli, laki – laki lebih mudah terpengaruh, sering tertipu karena tidak sabar
dalam memilih, dan kurang menikmati kegiatan berbelanja. Sedangkan
perempuan, lebih tertarik pada warna dan bentuk tanpa melihat kegunaannya,
tidak mudah terpengaruh bujukan penjual, dan senang dalam melakukan
kegiatan berbelanja walaupun hanya window shopping (melihat – lihat saja tanpa
membeli) (Tambunan, 2001).
b. Pendapatan
Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang
dalam suatu periode. Hal ini menitik beratkan pada total kuantitatif pengeluaran
terhadap konsumsi selama satu periode (standart akuntansi keuangan no 23).
Semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang semakain sering juga
seseorang ingin membelanjakan segala sesuatu yang dilihatnya, hal ini
dikarenakan oleh sifat konsumtif yang dimiliki oleh setiap individu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Sumaryono (2008) banyaknya uang
akan mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang. Menurut Zoero (2006) dalam
penelitian Angela (2009) mengatakan uang saku dianggap tidak penting,
terutama yang biasanya diberi dengan pola pemberian harian. Dalam pemberian
19
harian, cenderung jumlah uang terlihat sedikit dan mahasiswa justru lebih
konsumtif dalam penggunaan uang saku tersebut.
c. Usia
Menurut McKay, Atkinson, dan Crame (2008) yang dikutip oleh Wiharjo (2012)
menjelaskan bahwa orang tua lebih cenderung melakukan tindakan menabung
dan menggambarkan dirinya bukan sebagai pembeli impulsif. Sedangkan pada
usia remaja, mereka ingin keberadaannya diakui oleh lingkungan tempat dia
bersosialisasi serta usia remaja merupakan sasaran utama bagi produsen untuk
menawarkan berbagai macam produknya (Wagner, 2009). Usia mempengaruhi
pandangan terhadap uang dan berujung pada keputusan keuangan.
Money attitude setiap orang berbeda – beda, dapat dilihat dari cara
pandang orang terhadap uang yang dimiliki. Perubahan cara pendang orang
tergantung dari kebudayaan orang tersebut. Money attitude ini mengcover semua
kehidupan seseorang (Al-Amoodi, 2006). Dengan adanya uang seseorang dibuat
untuk merasa tenang untuk menjalani setiap kegiatan yang ada. Yamauchi dan
Templer (1982) yang mengemukakan tentang Money Attitude Scale (MAS)
menemukan dimensi dalam money attitude, yaitu:
a. Power prestige
Power prestige ini merupakan dimensi yang pertama dari money attitude. Pada
penelitian Yamauchi dan Templer (1982), menunjukan bahwa orang yang
memiliki skor paling tinggi menganggap uang sebagai simbol kesuksesan.
Dalam dimensi ini uang dianggap sebagai alat kekuasaan, yang nantinya uang
tersebut akan digunakan untuk membeli seperti mobil, motor, pakaian, dan lain –
lain. Menurut Walker&Garmin (1992) dalam Wong (2010), uang yang
menjadikan dasar seseorang dalam melihat kekuatan dari orang lain serta
20
menjadi faktor daya tarik seseorang. Sementara menurut Csikszentmihalyi &
Rochberg-Halton (1981) yang dikutip oleh Al – Amoodi (2006) uang merupakan
simbol dan status bagi orang yang memilikinya dan akhirnya keberadaan orang
tersebut lebih dinilai lingkungannya.
b. Retention – time
Retention – time merupakan dimensi kedua dari money attitude. Retention – time
mengacu pada perilaku membelanjakan uang perlu perencanaan sebelumnya
(Yamauchi dann Templer, 1982). Retention time merupakan perencanaan dalam
penggunaan uang seseorang dan dalam membeli barang harus terencana
sebelumnya (Wong, 2010). Menurut Setyawan (2011) retention – time
merupakan salah satu sikap psikologis seseorang yang mengacu pada perilaku
dimana seseorang tidak ingin menghabiskan uangnya. Dalam menggunakan
uang seseorang akan berhati – hati dan uang harus direncanakan terlebih dahulu
sehingga uang yang dipakai nantinya memberikan manfaat.
c. Distrust
Dimensi yang ketiga adalah distrust. Menurut Yamauchi dan Templer, ciri – ciri
dari dimensi money attitude yang satu ini adalah adanya sikap ragu – ragu dan
curiga. Distrust disebut dengan “price sensitivity”(Yamauchi dan Templer,
1982), karena seorang konsumen sangat sensitif terhadap harga dari suatu barang
yang akan dibelinya. Hal ini biasanya menyebabkan perilaku konsumtif.
Menurut Tokunga (1993) yang dikutip oleh Al – Amoodi (2006), konsumen
yang tergantung pada kartu kredit dalam membeli akan ragu – ragu dalam
membeli barang.
21
d. Anxiety
Anxiety dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi konsumen dalam
berbelanja (Yamauchi dan Templer, 1982). Sehingga anxiety memiliki 2
karakteristik, yaitu uang dapat menimbulkan kecemasan dan dapat memberikan
perlindungan. Namun anxiety yang tinggi dapat menimbulkan kecemasan
kemudian nantinya akan berujung pada perilaku konsumtif (Edward, 1933;
Valence et al, 1988 dalam Al-Amoodi, 2006). Hal ini senada dengan Roberts
dan Jones (2001) perilaku konsumtif merupakan suatu tindakan untuk
mengurangi
kecemasan
seseorang
terhadap
uang.
Kebanyakan
orang
menganggap uang adalah sumber kecemasan. Dan menurut Wong, dalam
anxiety uang menjadi pemicu stress sehingga orang terdorong dalam melakukan
pembelian.
e. Quality
Suatu kualitas bagi seorang konsumen sangatlah penting, tidak peduli seberapa
mahal barang yang akan dibelinya (Yamauchi dan Templer, 1982 dalam
Setyawan, 2011). Kebanyakan orang ingin agar barang yang berkualitas dapat
mendukung penampilannya. Dalam kenyataanya seseorang dalam membeli
barang akan mempertimbangkan kualitas barang yang akan dibelinya itu, tidak
penting mengenai harga mahal barang tersebut.
2.1
Perumusan Hipotesis
Faktor demografi yang mempengaruhi perilaku konsumtif menurut Robb dan
Sharpe (2009) (dalam Setyawan, 2011), yaitu:
Jenis kelamin menurut Robb dan Sharpe ( 2009) yang dikutip oleh
Setyawan (2011) adalah suatu konsep karakteristik yang membedakan antara
laki – laki dan perempuan dalam berperilaku. Dalam penelitian Robb dan Sharpe
22
(2009) yang dikutip oleh Setyawan (2011) mahasiswa perempuan dibandingkan
laki – laki lebih memungkinkan dalam memiliki kartu kredit, serta mahasiswa
perempuan memiliki pengetahuan yang rendah tentang keuangan. Dalam hal
berperilaku konsumtif jenis kelamin sangat
berpengaruh, karena jika
diperhatikan antara perempuan dengan laki – laki, perempuan lebih senang
membelanjakan uang yang ia miliki hanya untuk mengikuti fashion yang sedang
trend. Seorang perempuan tidak ingin dirinya terlihat ketinggalan jaman karena
pakaiannya yang tidak sesuai dengan mode. Kebanyakan laki – laki tidak
menyukai berbelanja seperti yang dilakukan oleh perempuan (Tambunan, 2001).
H1:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan jenis kelamin
mahasiswa.
Besarnya uang saku yang dimiliki mahasiswa dapat mempengaruhi
perilaku konsumtif mereka. Hal ini dapat dilihat dari semakin tinggi uang saku,
semakin tinggi juga tingkat konsumsinya. Dalam Zoerow (2006) yang dikutip
oleh Angela (2006) mengatakan bahwa uang saku dianggap tidak terlalu penting,
apalagi bagi mahasiswa yang mendapatkan uang saku harian. Dalam pola
pemberian uang saku harian mahasiswa akan menganggap jumlah uang saku
tersebut sedikit dan cenderung akan cepat dalam penggunaannya. Tidak hanya
pada uang saku harian, kebanyakan mahasiswa dalam penggunaan uang saku
sering habis dan meminta uang saku tambahan dengan berbagai macam alasan.
H2:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan uang saku
mahasiswa.
23
Menurut McKay, Atkinson, dan Crame (2008) yang dikutip oleh Wiharjo
(2012) menjelaskan bahwa orang tua lebih cenderung melakukan tindakan
menabung dan menggambarkan dirinya bukan sebagai pembeli impulsif. Usia
mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan keuangan. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Wiharjo (2012), usia memiliki pengaruh terhadap
penggunaan kredit. Hal ini terlihat pada usia >50 tahun mereka lebih senang
untuk menabung dibandingkan dengan melakukan pembelanjaan ataupun kredit.
Sedangkan pada usia remaja akan cenderung membeli barang yang tidak
dibutuhkan atau tidak bermanfaat hanya untuk menaikan status sosial di
lingkungan dia berada (Wagner, 2009).
H3:
terdapat
perbedaan perilaku konsumtif
berdasarkan
usia
mahasiswa.
Money attitude dilihat dari money attitude scale menurut Yamauchi dan
Templer (1982) dalam (Al-Amodi, 2006), yaitu:
Power – prestige menjelaskan bahwa uang merupakan simbol dari
kekuasaan atau kekuatan (Yamauchi dan Templer, 1982). Sementara menurut
Csikszentmihalyi & Rochberg-Halton (1981) yang dikutip oleh Al – Amoodi
(2006) uang merupakan simbol dan status bagi orang yang memilikinya, pada
akhirnya keberadaan orang tersebut lebih dinilai lingkungan sekitar. Hal tersebut
mendorong orang berlomba – lomba untuk mendapatkan kekuasaan dan
pengakuan dari masyarakat sekitarnya. Tidak hanya orang yang sudah memiliki
penghasilan tersendiri, mahasiswa pun ingin mendapatkan pengakuan dari
lingkungan sekitarnya walaupun belum memiliki uang sendiri. Dapat dilihat dari
24
pergaulan dan penampilan mahasiswa, karena ingin diakui keberadaannya
mahasiswa sering kali berperilaku konsumtif untuk membeli barang – barang
yang terlihat mewah tanpa memperhatikan kegunaan dari barang tersebut.
H4:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan power –
prestige mahasiswa.
Retention – time mengacu pada perilaku membelanjakan uang perlu
melakukan perencanaan (Yamauchi dan Templer, 1982). Menurut Setyawan
(2011) retention – time merupakan salah satu sikap psikologis seseorang yang
mengacu pada perilaku dimana seseorang tidak ingin menghabiskan uangnya.
Perencanaan penggunaan uang sebelumnya
tidak akan sia – sia dalam
pembelanjaan. Dalam penelitian Setyawan (2011) tentang money attitude scale
terhadap pengguanaan kartu ATM mahasiswa menghasilkan adanya retention –
time yang tinggi dalam penggunaan kartu ATM, dengan kata lain mahasiswa
memiliki perencanaan tentang penggunaan keuangan. Dikarenakan setiap bulan
mahasiswa secara tidak langsung hanya dapat menggunakan uang yang telah
ditransfer atau dianggarkan oleh orang tuanya masing – masing melalui ATM.
Dalam penelitian Setyawan (2011) retention – time tidak memiliki pengaruh
terhadap perilaku konsumtif sehingga mahasiswa cenderung untuk tidak
berperilaku konsumtif.
H5:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan retention time mahasiswa.
25
Distrust merupakan suatu ketidakpercayaan seseorang terhadap harga
yang barang yang telah dibelinya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Robert
dan Jones (2001), distrust tidak mempengaruhi seseorang untuk berperilaku
konsumtif. Namun menurut Tokunga (1993) yang dikutip oleh Roberts dan
Jones (2001) menjelaskan bahwa seseorang yang sangat bergantung pada kartu
kredit
cenderung
akan
selalu
melakukan
pembelian.
Dalam
kasus
membelanjakan uangnya, seseorang terlebih dahulu akan mencari barang yang
sama di tempat lain hanya untuk membandingkan harga barang tersebut. Begitu
halnya dengan mahasiswa dalam membelanjakan uangnya akan meneliti harga
barang yang akan dibelinya pada toko yang berbeda. Sensitif tehadap harga akan
mempertimbangkan harga barang yang rendah (Yamauchi dan Templer, 1982
dalam Roberts dan Jones, 2001). Ketika harga rendah mereka akan cenderung
membelanjakan uangnya untuk barang tersebut, tanpa mempertimbangkan
kegunaan barang tersebut.
H6:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan distrust
mahasiswa.
Anxiety menurut Roberts dan Jones (2001) perilaku konsumtif
merupakan suatu tindakan untuk mengurangi kecemasan seseorang terhadap uang.
Dalam penelitiannya terdapat hubungan yang positif antara anxiety dengan
perilaku konsumtif, hal ini dapat dilihat dari seseorang yang memegang uang akan
menimbulkan kecemasan yang tinggi kemudian memilih untuk membelanjakan
uang tersebut. Uang dapat memprovokasi seseorang untuk melakukan tindakan
konsumtif (Edwards, 1993). Perilaku konsumtif ini spontan dilakukan oleh
26
seseorang untuk mengurangi ketegangan dalam memegang uang. Hal ini diduga
karena seseorang cemas dalam memegang uang yang ada karena tidak terlihat
ujudnya. Namun jika seseorang membelanjakan uangnya untuk barang yang
mereka inginkan, orang tersebut akan dapat memegang barang. Ada juga
kemungkinan jika seseorang memegang uang yang banyak akan terjadi kejadian
negatif, seperti pencurian, penjambretan, dan lain sebagainya. Begitu halnya pada
mahasiswa, mereka akan menghabiskan uang yang dimiliki untuk belanja, karena
dianggap uang sebagai suatu kecemasan. Mahasiswa akan merasa aman jika uang
terlihat wujudnya berupa barang.
H7:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan anxiety
mahasiswa.
Quality, seseorang percaya membeli barang seharusnya dengan kualitas
yang terbaik pula (Yamauchi dan Templer, 1982). Agar keberadaannya diakui
oleh lingkungan sekitar, orang akan memperhatikan kualitas barang yang akan dia
beli tanpa memperhatikan harga barang tersebut. Jika barang yang dibeli dengan
kualitas yang bagus maka orang tersebut akan merasa kalau penampilannya
sempurna. Sebagai contoh seseorang yang akan memebeli barang, akan melihat
barang dari kualitasnya tanpa memandang manfaat dan harga dari barang tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Wagner (2008) harga barang yang tinggi akan
menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi pula. Sehingga orang yang akan
berbelanja cenderung melihat kualitas dari sebuah barang. Begitu halnya dengan
mahasiswa, mereka akan membeli barang yang dapat mendukung penampilan di
27
lingkungan sekitarnya. Mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya
untuk mendapatkan barang yang berkualitas.
H8:
terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan quality
mahasiswa.
3.
Metode Penelitian
Populasi adalah sejumlah individu yang setidaknya mempunyai ciri atau
sifat yang sama (Hadi, 1990). Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan
sebagai unit analisis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Kristen Satya Wacana. Sampel ditentukan dengan menggunakan metode accidental
sampling, di mana penentuan sampel probabilitas menggunakan kuesioner yang
disebarkan kepada responden yang kebetulan ditemui oleh peneliti. Berdasarkan
rumus yang dikemukakan oleh Yamane (1973) yang dikutip oleh Supramono dan
Utami (2004), banyaknya sampel yang diambil dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut:
Populasi yang akan diambil yaitu mahasiswa angkatan 2009, 2010, dan 2011
dengan jumlah populasinya sebesar 1412 mahasiswa dari program studi
Manajemen Perusahaan, Sekretari, Manajemen, Ilmu Ekonomi, dan Akuntansi.
Dengan toleransi tingkat kesalahan 10%, maka didapatkan jumlah sampel dengan
menggunakan rumus diatas sebesar 93,39 sehingga sampel yang diambil minimal
93 responden dari mahasiswa FEB UKSW.
28
Metode pengukuran data, perilaku konsumtif adalah perilaku yang tidak
lagi berdasarkan pertimbangan yang rasional (Sumartono, 2002). Perilaku
konsumtif itu sendiri akan diukur dengan harga, merek produk, barang mewah,
pembelian yang tidak terencana, iklan menarik, intensitas dalam melakukan
belanja, dan pembelian berulang. Faktor demografi adalah ilmu yang memperlajari
struktur, proses, dan kualitas sumber daya manusia (Mantar, 2003). Faktor
demografi dalam penelitian ini akan diukur dengan jenis kelamin, uang saku, dan
usia. Sedangkan money attitude akan diukur dengan power – prestige, retention –
time, distrust, anxiety, dan quality. Untuk power – prestige akan diukur dengan
menggunakan 7 indikator yang terdiri dari: uang dapat memerintah orang lain, uang
dapat membuat orang terkesan, simbol kesuksesan, kesombongan, rasa hormat,
penilaian orang, dan menimbulkan rasa ingin tahu.
Retention – time akan diukur dengan menggunakan 7 indikator yang
terdiri dari: sisi perencanaan, perencanaan masa depan, menabung, mengkoreksi
ulang, mengikuti rencana keuangan, kehati – hatian dalam penggunaan uang, dan
uang untuk kebutuhan tidak terduga. Distrust akan diukur dengan menggunakan 5
indikator yang terdiri dari: pengeluhan harga, perbandingan barang, adanya keragu
– raguan, kecurigaan, dan perbandingan harga. Anxiety akan diukur dengan
menggunakan 5 indikator yang terdiri dari: mudah tergoda dengan yang dijual,
tergiur dengan adanya diskon, menghabiskan uang, kegugupan, dan kekhawatiran
dalam memegang uang. Sedangkan untuk quality akan diukur dengan
menggunakan 4 indikator yang terdiri dari: membeli dengan mengikuti trend,
barang terbaik, harga mahal, dan produk terkenal. Penelitian ini akan menggunakan
metode perskalaan, yaitu skala likert. Kategori jawaban yang disediakan ada 5,
29
yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju
(STS).
Metode pengumpulan data dan analisis data menggunakan metode
kuesioner. Dalam penelitian kali ini pembagian kuisioner akan dilakukan dengan
cara masuk ke kelas – kelas. Sebelum masuk ke kelas – kelas, akan dipilih kelas
mata kuliah yang mahasiswanya terdapat angkatan 2009, 2010, dan 2011. Dalam
pengisian kuisioner, responden akan ditunggu agar kuisioner tidak ada yang hilang
atau tidak terisi dengan baik. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda
mean. Karena dalam penelitian ini akan dilihat perbedaan perilaku konsumtif
berdasarkan faktor demografi dan money attitude
mahasiswa FEB UKSW.
Sebelum menentukan uji statistik yang akan dipakai, data pertama – tama diuji
reliabilitas dan validitas data. Hasil uji reliabilitas dan validitas menunjukkan
bahwa data tersebut reliabel dan valid (Lampiran 2).
30
4.
Analisis data dan pembahasan
Analisis data
Gambaran umum responden
Dalam penelitiaan ini, karakteristik responden dibagi berdasarkan
angkatan, jenis kelamin, usia, uang saku, suku, dan asal daerah.
Tabel 4.1
Karakteristik responden
Karakteristik
Perempuan
Jenis
Laki - laki
kelamin
Total
19-21,5
Usia
21,5-24
Total
≤ 900rb
Uang saku ≥ 900rb
Total
Cina
Jawa
Suku
Lain - lain
Total
Pulau Jawa
Asal daerah Luar Pulau Jawa
Total
Jumlah
71
59
130
111
19
130
93
37
130
47
70
13
130
114
16
130
Persentase
54,62
45,38
100
85,38
14,62
100
71,54
28,46
100
36,15
53,85
10,00
100
87,69
12,31
100
Sumber: data primer 2012
Dalam penelitian ini diambil 130 responden dari 1412 mahasiswa
UKSW, masing – masing untuk jenis kelamin antara responden laki – laki
dan wanita dengan jumlah berbeda. Untuk responden perempuan lebih
banyak dengan persentase 54,62 % (71 responden). Untuk usia responden
yang paling banyak pada range 19 – 21,5 tahun dengan persentase 85,38%
(111 responden) dan range usia 21,5 – 24 memiliki jumlah responden
sebanyak 19 responden dengan persentase 14,62%. Masing – masing
responden memiliki uang saku yang berbeda, uang saku responden ≤ Rp
31
900.000 memiliki jumlah 93 responden (71,54%) dan untuk uang saku
responden ≥ Rp 900.000 jumlah respondennya sebanyak 37 responden
dengan persentase sebesar 28,46%. Untuk suku jumlah responden yang paling
banyak adalah suku Jawa dengan jumlah responden 70 dan persentase
53,85%. Sedangkan suku terendahnya terdapat pada kelompok suku lain –
lain yaitu 13 responden dengan 10%. Pada asal daerah jumlah responden
terbannyak terdapat pada pulau Jawa dengan jumlah responden 114 dan
persentase 87,69%.
Perilaku konsumtif
Perilaku konsumtif responden dalam penelitian ini, diukur dengan
menggunakan 7 pertanyaan. Hasil pengukurannya dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 4.2
Perilaku Konsumtif
No
1
2
Pernyataan
Median
Rata - rata
Standar
deviasi
1,08
0,90
Tidak mempertimbangkan harga
2
2,18
Memperhatikan merek produk
4
3,84
Barang mewah untuk menjaga
3
2
2,46
1,00
penampilan
4
Pembelian tidak terencana
3
2,83
1,09
5
Membeli karena iklan menarik
2
2,62
1,02
Melakukan pembelian lebih dari
6
3
2,72
1,09
1 kali
7
Membeli produk baru
2
2,19
1,18
Rata – rata
2,75
2,69
1,05
Sumber: data primer 2012
Keterangan: 1 – 3: kategori tidak konsumtif, 3.01 – 5: kategori konsumtif.
Dalam pengukuran untuk perilaku konsumtif akan dikelompokan
menjadi konsumtif dan tidak konsumtif. Untuk range yang menunjukkan
konsumtif pada 1 – 2,5 orang tersebut akan dikatakan tidak konsumtif dan 2,5
– 5 orang tersebut dapat dikatakan konsumtif. Pada rata – rata total untuk
perilaku konsumtif, responden tergolong konsumtif dengan angka 2,69. Pada
32
masing – masing pertanyaan perilaku konsumtif ada nilai yang menunjukkan
angka tertinggi sebesar 3,84. Rata – rata tertinggi terletak pada pernyataan
dalam membeli produk, saya akan memperhatikan merek produk tersebut.
Dan rata – rata terendah terdapat pada pernyataan saat saya tertarik membeli
barang elektronik, saya tidak akan mempertimbangkan harganya.
Money attitude
Pengukuran untuk money attitude dengan menggunakan 5 dimensi
berdasarkan penelitian Yamauchi dan Templer (1982) dengan 5, yaitu power
prestige, retention time, distrust, anxiety,dan quality. Hasil pengukurannya
disajikan sebagai berikut:
33
Tabel 4.3
Money Attitude
Power Prestige
No Pernyataan
1
2
3
4
5
6
Memerintah orang lain
Membuat orang lain terkesan
Simbol kesuksesan
Menyombongkan diri
Menghormati orang
Penilaian keberhasilan
Ingin tahu jumlah uang yang dimiliki
7
orang lain
Rata – rata
Retention time
1 Perencanaan keuangan
2 Menyisihkan uang untuk masa depan
3 Menabung untuk masa tua
4 Mengecek ulang uang yang digunakan
5 Mengikuti perencanaan keuangan
6 Hati - hati dalam penggunaan uang
7 Kebutuhan tidak terduga
Rata – rata
Distrust
1 Pengeluhan harga
2 Menemukan barang yang lebih baik
3 Ragu - ragu dalam menghabiskan uang
4 Curiga penjual mengambil untung besar
5 Melakukan cek harga
Rata – rata
Anxiety
1 Sulit melewatkan barang murah
2 Terganggu dengan diskon besar
3 Menghabiskan uang agar lebih baik
4 Kegugupan jika tidak ada uang
5 Khawatir dengan uang yang dimiliki
Rata – rata
Quality
1 Membeli produk yang sedang trend
Mengeluarkan uang banyak untuk
2
barang terbaik
3 Membeli barang dengan harga mahal
4 Membeli produk terkenal
Rata – rata
Median
Rata – rata
1,00
1,00
2,00
1,00
3,00
2,00
1,57
1,48
2,36
1,55
2,53
2,45
Standar
deviasi
0,84
0,72
1,11
0,73
1,15
1,13
2,00
2,22
1,11
1,71
2,02
0,97
4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
4,00
3,95
3,83
3,76
3,99
3,71
3,77
3,92
3,85
0,87
0,86
0,83
0,83
0,87
0,72
0,88
0,84
3,00
4,00
3,00
4,00
3,50
3,50
2,90
3,77
3,34
3,56
3,40
3,39
0,86
0,69
0,91
0,87
0,95
0,86
3,00
3,00
2,00
3,50
3,00
2,90
3,14
2,85
1,96
3,22
2,6
2,75
0,97
1,00
0,94
1,13
0,82
0,97
3,00
2,98
0,87
3,02
2,12
2,83
2,74
1,10
0,88
0,93
0,95
3,00
2,00
3,00
2,75
Keterangan: skala 1 – 3 dikategorikan rendah, skala 3,01 – 5 dikategorikan tinggi.
Power prestige memiliki rata – rata total sebesar 2,02 yang berarti
memiliki power prestige rendah. Berarti mahasiswa cenderung tidak menilai
34
uang sebagai sumber dari kekuasaan, yang disini menunjukkan bahwa
mahasiswa cenderung tidak berperilaku konsumtif. Untuk pernyataan dengan
kategori tertinggi terdapat pada saya meghormati orang yang memiliki uang
yang lebih banyak dari saya (2,53). Dalam indikator power prestige terdapat
rata – rata terendah, yaitu pada pernyataan saya selalu ingin membuat orang
lain terkesan dengan uang yang saya miliki dengan jumlah rata – rata sebesar
1,48.
Retention time rata – rata totalnya adalah 3,85. Jika dilihat dari rata –
rata total dapat dikategorikan masuk dalan retention time yang tinggi. Rata –
rata ini menandakan seseorang tidak ingin menghabiskan uang yang
dimilikinya. Mahasiswa cenderung tidak berperiaku konsumtif, karena
mereka telah melakukan perencanaan sebelum menggunakan uangnya.
Distrust dilihat dari rata – rata total sebesar 3,39 yang berarti
memiliki distrust yang tinggi atau tergolong dalam kategori distrust, yaitu
dapat dikatakan seseorang tidak percaya dengan harga barang yang telah
dibelinya. Dalam hal ini karena tidak mempercayai harga barang yang akan
dibeli, justru tidak melakukan pembelian atau tidak berperilaku konsumtif.
Untuk rata – rata terendah sebesar 2,90 terdapat pada indikator saya
mengeluh dengn harga barang yang telah saya beli.
Anxiety memiliki rata – rata total sebesar 2,75 yang berarti tergolong
dalam kategori anxiety yang rendah. Dengan kata lain mahasiswa akan tidak
melakukan pembelian terhadap barang yang akan mereka beli untuk
menghindari kecemasan dalam memegang uang. Dalam anxiety terdapat rata
– rata terendah yaitu pada pernyataan saya menghabiskan uang agar saya
merasa lebih baik (1,96).
35
Dilihat dari rata – rata total quality yaitu sebesar 2,74 dapat
digolongkan dalam kategori quality yang rendah. Yang menandakan
seseorang tidak akan membeli suatu produk atau barang dengan
mempertimbangkan kualitas dari produk tersebut sehingga dalam hal ini
mahasiswa tidak akan berperilaku konsumtif. Dapat dilihat pada pernyataan
saya membeli barang dengan harga yang sangat mahal memiliki rata – rata
yang terendah yaitu 2,12.
Uji asumsi klasik
Normalitas
Setelah melakukan pengujian reliabilitas data kemudian diuji
normalitas, untuk menentukan alat uji berikutnya menggunakan parametrik
atau non parametik. Variabel yang diuji normalitas adalah perilaku konsumtif
dan money attitude. Dari hasil uji normalitas, data berdistribusi normal
sehingga alat uji menggunakan parametrik (ttest). Hasil uji normalitas dapat
dilihat pada bagian lampiran 2.
Uji hipotesis
Dalam penelitian kali ini alat uji statistika yang digunakan uji beda
mean yaitu ttest, dikarenakan data berdistribusi normal. Dan hasil ringkas uji
statistikanya sebagai berikut:
36
Tabel 4.4
Ttest Faktor Demografi dan Money Attitude dengan Perilaku Konsumtif
Faktor Demografi
Perilaku konsumtif
α
t/f
Jenis Kelamin
Money Attitude
Perilaku konsumtif
t
α
0,938
0,350
Power prestige
0,604
0,547
-2,287
0,024*
Retention time
0,82
0,414
Usia
Suku
1,104
0,486
0, 272
Distrust
0,935
0,352
0,617
Anxiety
-3,444
0,001*
Asal daerah
1,563
0,12
Quality
-4,587
0,000*
Jumlah uang saku
Sumber
: lampiran 2
Keterangan :* signifikansi 0,05
Dari hasil uji beda mean (t test) pada tabel diatas faktor demografi
yang memiliki beda dengan perilaku konsumif terdapat hanya pada jumlah
uang saku saja. Sedangkan jenis kelamin, usia, suku, dan asal daerah tidak
memiliki perbedaan dengan perilaku konsumtif. Begitu pula pada money
attitude hanya terdapat dua indikator yang memiliki beda, yaitu anxiety
(0,001) dan quality (0,000). Untuk power prestige (0,547), retention time
(0,414), dan distrust (0,352) tidak memiliki beda dengan perilaku konsumtif.
Pembahasan
Hasil yang didapat yaitu tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif
berdasarkan jenis kelamin baik laki – laki maupun perempuan. Dalam hal ini dapat
diduga karena laki – laki maupun perempuan cenderung tidak memiliki pengaturan
keuangan yang dia miliki. Mereka beranggapan bahwa uang yang dia miliki bukan
dari penghasilan sendiri namun berasal dari pemberian orang tua, laki – laki akan
bersikap mengikuti trend yang ada dan menjaga penampilannya seperti berdandan,
melakukan perawatan rambut, wajah dan tubuh (Wagner, 2009). Begitu halnya
dengan perempuan yang selalu memperhatikan penampilan dan merawat
penampilannya dengan membelanjakan uang untuk pakaian, aksesoris, dan sepatu
37
(Rosandi, 2004). Hal ini mahasiswa lakukan dimungkinkan untuk menarik lawan
jenisnya. Hal ini berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu dalam
Tambunan (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan laki – laki tidak menyukai
menghabiskan uangnya dibandingkan dengan wanita yang senang melakukan
kegiatan belanja. Serta dalam penelitian Utami dan Sumaryono (2008) yang
menjelaskan tentang wanita lebih konsumtif dibandingkan dengan laki – laki.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan jumlah uang saku
yang diterima. Dapat diduga banyak atau sedikit jumlah uang yang dimiliki oleh
mahasiswa akan mempengaruhi pola konsumtifnya. Dalam berperilaku konsumtif
mahasiswa ada kemungkinan menganggap ringan uang saku yang dimilikinya, jika
uang habis mereka akan dengan mudah untuk mendapatkannya lagi dengan cara
meminta kepada orang tua dengan berbagai macam alasan. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian sebelumnya, yaitu dalam penelitian Utami dan Sumaryono
(2008) yang menjelaskan semakin banyak uang yang dimiliki oleh tiap – tiap
individu akan mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang. Dapat dilihat
mahasiswa UKSW memiliki tingkat uang saku yang berbeda – beda dengan range
Rp 200.000 sampai Rp 3.000.000.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapat hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan usia mahasiswa. Hal ini dapat diduga
mahasiswa yang berumur 19 – 24 tahun memiliki pola konsumsi sama. Pada
rentang usia 19 – 24 tahun, mahasiswa tidak memikirkan masa depannya.
Mahasiswa cenderung berorientasi pendek yaitu menghabiskan uang saku hanya
untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. Hasil dari penelitian kali ini tidak
mendukung penelitian – penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa semakin
besar usia seseorang semakin konsumtif orang tersebut (Wiharjo, 2012). Terlihat
38
pada hasil penelitian usia >50 tahun cenderung menabung. Namun berbeda dalam
penelitian Wagner (2009) yang menjelaskan usia remaja merupakan usia dimana
dirinya ingin diakui keberadaannya, menyukai kegiatan – kegiatan di luar rumah
seperti shopping, menonton, dan makan di tempat yang berkelas. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wagner (2009).
Sedangkan untuk suku dan asal daerah didapat hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan suku ataupun asal daerah. Diduga
mahasiswa dalam penelitian ini baik yang berada di luar Salatiga maupun Salatiga
cenderung berperilaku konsumtif, karena mahasiswa cenderung mengikuti trend
yang sedang booming di daerah ini. Begitu pula dengan suku, dalam penelitan ini
suku tidak memiliki perbedaan dalam berperilaku kosumtif. Hal ini diduga baik
suku Jawa, Cina, dan lain – lain sama melakukan pembelian yang tidak terencana
atau berperilaku konsumtif untuk penampilannya.
Pada power prestige, tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif
berdasarkan power prestige. Di kalangan mahasiswa tidak dipungkiri lagi bahwa
pada mahasiswa berusaha membuat dirinya semenarik mungkin dari gaya
penampilan baik fasihon maupun barang elektronik. Namun ada kemungkinan
mereka tidak beranggapan semakin banyak uang yang dimiliki akan semakin diakui
oleh lingkungan mereka bersosialisasi atau dengan kata lain mahasiswa tidak
beranggapan uang merupakan simbol kekuasaan. Diduga mahasiswa hanya menilai
penampilan luarnya saja. Hasil berdasarkan Yamauchi dan Templer (1982)
mahasiswa tidak dapat tergolong dalam power prestige. Dalam penelitian kali ini
tidak sependapat dengan Al – Amoodi (2006) yang mengungkapkan uang adalah
simbol dari kesuksesan sehingga orang berlomba – lomba dalam mendapatkan
kekuasaan tersebut.
39
Tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan retention time.
Diduga untuk kalangan mahasiswa retention time atau perencanaan dalam
membelanjakan uang yang dimilikinya, mereka cenderung melakukan perencanaan
sebelum membelanjakan uang mereka. Ada kemungkinan kebiasaan mereka
shopping tidak bertujuan untuk membeli melainkan hanya window shopping
(Tambunan, 2001). Hal ini tidak sama dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Setyawan (2011) mengenai penggunaan kartu ATM pada
mahasiswa FEB UKSW, adanya retention time yang tinggi dalam penggunaan
kartu ATM. Hal ini dikarenakan setiap bulan mahasiswa hanya dapat menggunakan
uang yang telah ditransfer oleh orang tuanya.
Tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan distrust.
Dalam distrust, mahasiswa kemungkinan akan cenderung mencermati harga barang
yang ingin mereka beli, jadi ada kemungkinan mahasiswa tertarik dan kemudian
melakukan pembelian dengan mempertimbangkan harganya. Walaupun barang
tersebut mendukung penampilannya, mahasiswa akan lebih cermat dalam
memilihnya. Ada kemungkinan juga mahasiswa cenderung membeli barang dengan
model yang sama namun dengan harga lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan
dengan Tokunga (1993) yang dikutip oleh Robert dan Jones (2001) bahwa distrust
tidak memiliki pengaruh dengan perilaku konsumtif seseorang. Yamauchi dan
Templer mengungkapkan bahwa seseorang dalam membelanjakan uang yang
dimilikinya akan mengikuti harga barang yang akan mereka beli, jika harga barang
relatif rendah maka orang akan membelanjakan uangnya.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan anxiety. Hal ini
diduga karena mahasiswa memiliki kecemasan dengan uang yang mereka miliki
sehingga berujung dengan melakukan pembelanjaan tanpa batas atau berperilaku
40
kosumtif. Ada kemungkinan mahasiswa tergiur dengan barang yang telah diberikan
diskon, karena mereka berpikiran bahwa barang yang telah diberikan diskon harga
barang tersebut telah dinaikkan terlebih dahulu dan juga mahasiswa lebih nyaman
jika uang yang dia miliki dapat dibelanjakan barang yang dapat dilihat bahkan
mendukung penampilannya. Sama dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan
bahwa semakin banyak uang yang dimiliki seseorang, akan memberikan kecemasan
yang tinggi bagi pemiliknya dan memilih untuk membelanjakan uang tersebut
(Roberts dan Jones, 2001). Serta menurut Edwards (1993) uang akan dapat
memprovokasi seseorang untuk berperilaku konsumtif.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan quality mahasiswa.
Diduga mahasiswa FEB UKSW memang branded oriented. Walaupun dari
kalangan mahasiswa sebagian besar memang belum memiliki penghasilan atau
pendapatan sendiri tiap bulannya, mereka selalu ingin membeli barang yang
berkualitas. Jika mahasiswa yang branded oriented akan menilai bahwa harga
barang mencerminkan kualitas dari barang tersebut, maka mahasiswa akan membeli
barang dengan tanpa memperhatikan harga barang yang akan mahasiswa beli. Hal
ini diduga mahasiswa beranggapan jika kualitas barang yang baik terlihat dari
sebuah merek. Dalam pemikiran seperti ini mahasiswa akan membeli barang untuk
mendukung penampilannya dengan kualitas dan tentu saja dengan harga barang
yang relatif lebih tinggi. Mahasiswa FEB UKSW masuk dalam kategori quality
berdasarkan penelitian Yamauchi dan Templer (1982) yang mengatakan orang akan
memperhatikan kualitas produk agar keberadaanya diakui oleh lingkungannya.
41
5.
Penutup
Kesimpulan
Penelitian kali ini, untuk faktor demografi hanya pada bagian jumlah
uang saku yang memiliki beda dengan perilaku konsumtif mahasiswa. Semakin
banyak uang yang dimiliki akan semakin tinggi juga pola konsumsinya. Namun
untuk jenis kelamin, usia, suku, dan asal daerah tidak memiliki beda dengan
perilaku konsumtif. Sedangkan untuk money attitude hanya dua indikator yang
memiliki beda dengan perilaku konsumtif, yaitu anxiety dan quality. Mahasiswa
diduga cemas jika memegang uang dalam jumlah banyak sehingga mahasiswa
cenderung ingin membelanjakan barang – barang yang dinilai dapat mendukung
penampilannya, serta mahasiswa diduga memang branded oriented yang sangat
memperhatikan kualitas dari subuah barang dan menomer duakan harga. Untuk
power prestige, distrust, dan retention time tidak memiliki perbedaan dengan
perilaku konsumtif.
Hasil penelitian ini menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan
antara perilaku konsumtif dengan jumlah uang saku, anxiety, dan quality maka dari
itu:
1) Untuk mencegah perilaku konsumtif yang dikarenakan jumlah uang saku,
sebaiknya dalam pola pemberian uang saku oleh orang tua lebih memperhatikan
jumlah uang saku yang akan diberikan kepada mahasiswa. Hal ini karena
mahasiswa belum dapat bertanggung jawab dengan baik dalam mengelola uang
saku tiap bulannya.
2) Money attitude yang berupa anxiety memiliki beda dengan perilaku konsumtif.
Sebaiknya mahasiswa tidak membelanjakan semua uang yang dimilikinya,
dikarenakan bisa saja ada kebutuhan tidak terduga dan tidak memegang uang
42
tunai dalam jumlah banyak. Hal ini bisa saja mahasiswa lapar mata dan
membelanjakannya.
3) Pada quality sebaiknya mahasiswa dalam melakukan pembelian melihat harga
barang yang akan mahasiswa beli tidak hanya dilihat dari kualitas barang
tersebut.
Biasanya
mahasiswa
akan
langsung
membeli
barang
tanpa
memperhatikan harga maupun kegunaan karena faktor ketertarikan serta
didukung oleh kualitas.
Dalam penelitian ini, tidak memasukkan faktor eksternal seperti lingkungan
serta keluarga. Kebiasaan seseorang dalam membeli barang pada mulanya
terbentuk pada keluraga, biasanya seseorang akan melihat pola pembelanjaan orang
tuanya. Seperti contoh dalam membeli orang tua selalu membeli barang yang
bermerek dan malakukan pembelian berulang walaupun barang yang akan dibeli
telah dimiliki sebelumnya, anak – anak akan cenderung mengikuti kebiasaan yang
terjadi dalam keluarganya tersebut. Tidak dipungkiri pola membeli barang
terbentuk pada lingkungan tempat seseorang beradaptasi. Biasanya seseorang akan
mengikuti lingkungan tempat mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri dalam
melakukan pembelanjaan. Misalkan seseorang yang berada pada lingkungan yang
mewah cenderung akan membeli barang yang bermerek serta mahal, sehingga
orang tersebut akan berpikir dia tidak akan terkucilkan dari lingkungannya. Oleh
karena itu diharapkan dalam penelitian mendatang menambahkan faktor eksternal
khususnya lingkungan serta keluarga . Diduga pola konsumtif dapat diakibatkan
dari lingkungan tempat dia berkembang dan bergaul.
43
Referensi
Ajizah, E., 2010, Perilaku Konsumtif pada Remaja,
http://shareppba.wordpress.com/2010/01/18/perilaku-konsumtif-pada-remaja/.
Diunduh pada 30 Maret 2013.
Al – Amoodi, S. A. M., 2006, Exploring Money Attitudes and Credit Card Usage in
Compulsive Buying Among (MBA) Executive Students (U.S.M), Research
report submitted in partial fulfillment of requirements for thedegree of Master of
Business Administration.
Andrawina, A. A., 2011, Pengaruh Variabel Demografi Terhadap Minat dan
Perencanaan Keuangan Keluarga di Perumahan Watutelenan Pulisen Boyolali,
Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Angela, Luciana, 2009, Gaya Hidup dan Personality Traits Berkenaan Dengan
Pengelolaan Uang Saku Pada Mahasiswa FE UKSW, Skripsi, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Durvasula, S. dan Steven L., 2007, Money Attitudes, Materialism, and Achievement
Vanity: An Investigation of Young Chinese Consumers Perceptions,
Internasional Marketing Conference on Marketing and Society.
Edwards, E. A. (1993). Development of a New Scale for Measuring Compulsive
Buying Behavior. Financial Counseling and Planning, Vol 4.
Engel, B. dan Miniard, 1994, A socially Hamful Stereotype. In d. C. Reading In
Psychologycal Development Through Live, Holt, York.
Gasiorowska, A., 2008, The Relationship of Income And Money Attitudes To Subjective
Assessment of Financial Situation, Institute of Organization and Management,
Wroclaw University of Technology.
Hadi, S., 1994, Metodelogi Research II, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
Hotpascaman, S., 2009, Hubungan Antara Perilaku Konsumtif Dengan Konformitas
Pada Remaja, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara.
Http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/10/konsep-konsumsikonsumenkonsumtif-dankonsumerisme/. Diunduh pada 10 Februari 2013.
Indriani, I. dan Supramono, 2008, Pengaruh Personality Traits erhadap Penyalahgunaan
Kartu Kredit dengan Impulsiveness sebagai Variabel Intevening (Studi pada
44
Pegawai di Suatu Perguruan Tinggi Swasta, di Jawa Tengah), Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, Vol XIV No.2, Salatiga.
Mustafa, H., 2000, Teknik Sampling, dinduh pada 22 Oktober 20112.
Roberts, J. A. dan Jones, E., 2001, Money Attitudes, Credit Card Use, and Compulsive
Buying among American College Students, The Journal of Consumer Affairs,
Vol. 35, No. 21.
Robb, C. dan Deanna L. S., 2009, Effect Of Personal Financial Knowledge On College
Student’s Credit Card Behavior, Jurnal Of Financial And Planning, Vol.20.
Rosandi, A. F., 2004, Perbedaan Perilaku Konsumtif Antara Mahasiswa Pria dan
Wanita di Universitas Katolik Atma Jaya, Unika Atma Jaya, Jogjakarta.
Setyawan, Wisnu, 2011, Pengaruh Literasi Keuangan, Variabel Demografi, dan Money
Attitude Scale terhadap Perilaku Penggunaan ATM Mahasiswa, FEB UKSW,
Salatiga.
Sumartono, 2002, Terperangkap Dalam Iklan, Alfabeta, Bandung.
Supramono dan Utami, I., 2004, Desain Proposal Penelitian Akuntansi dan Keuangan,
Andi, Yogyakarta.
Suyasa, T. Y. S dan Fransisca, 2005, Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan
Metode Pembayaran, Jurnal Phronesis.
Tambunan, R. 2001, Remaja dan Perilaku Konsumtif, http://www.epsikologi.com/epsi/search.asp. Diunduh pada 16 Maret 2012.
Utami, Fika Ariani dan Sumaryono, 2008, Pembelian Impulsif Ditinjau Dari Kontrol
Diri Dan Jenis Kelamin Pada Remaja, Jurnal Psikologi Proyeksi, UGM, Vol.3
No.1 Februari.
Wiharjo, Katarina Kumalasari, 2012, Faktor Demografis dan Mental Accounting:
Penggunaan Kartu Kredit pada Karyawan Bank Bumi Arta Tbk. Cabang
Surakarta, Skripsi, Universitaas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Wong, Jim, 2010, An Analysis of Money Attitude: Their Relationship & Effects on
Personal Needs, Social Identity and Emotions, Journal Of Leadership,
Accountability And Ethics.
Yamauchi, Kent dan Donald Templer, 1982, The Development Of A Money Attitude
Scale, Journal Of Personality Assesment.
Yustisisari, Tiurma, 2009, Hubungan antara Perilaku Konsumtif Dengan Body Image
Pada Remaja Putri, Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
45
Download