sistem pengelolaan industri perikanan tangkap

advertisement
SISTEM PENGELOLAAN INDUSTRI PERIKANAN
TANGKAP TERPADU DI WPP LAUT ARAFURA
RIDWAN MULYANA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Pelaksanaan Ujian :
Ujian Tertutup : 18 Januari 2012
Dosen Penguji Luar Komisi :
1. Dr. Ir. M. Imron, MSi
2. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, MSi
Ujian Terbuka : 24 Januari 2012
Dosen Penguji Luar Komisi :
1. Prof. Dr. Daniel R. Monintja
2. Dr. Ir. Husni Mangga Barani, MSi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Disertasi yang berjudul “Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu
di WPP Laut Arafura” ini diajukan untuk sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
IPB Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan
berdasarkan penelaahan lapangan dan pengalaman pekerjaan terkait perikanan di
wilayah perairan Arafura. Subjek yang disajikan berkenaan dengan sistem
pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan perikanan di Laut Arafura.
Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc; Prof. Dr. Ir. Mulyono
S. Baskoro, M.Sc; dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si; selaku Komisi
Pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu penyelesaian disertasi ini.
Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dalam hal pemikiran
hingga terselesaikannya penulisan disertasi ini.
Disadari sepenuhnya bahwa sebagai suatu hasil proses belajar, uraian
dalam disertasi ini tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian
penulis berharap semoga isi disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan
pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perairan Arafura, dan di Indonesia pada
umumnya.
Bogor,
Januari 2012
Ridwan Mulyana
Judul Disertasi : Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu
di WPP Laut Arafura
Nama
: Ridwan Mulyana
NIM
: C 5610542024
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
M.Si
Anggota
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo,
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
IPB
Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 24 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Sistem Pengelolaan Industri
Perikanan Tangkap Terpadu di WPP Laut Arafura” adalah karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip
yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
Ridwan Mulyana
NRP. C 5610542024
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ABSTRACT
Ridwan MULYANA. The Integrated Capture Fisheries Industry System in
Arafura Sea. Under direction of John HALUAN, Mulyono S. BASKORO and
Sugeng H. WISUDO.
Fisheries has became an important sector for economic development in
Indonesia due to the large potency of fish resources. There are many ways of
people to harvest fish such traditional way (small scale) to modern industry.
Sometimes, high fishing intensity on waters lead to negative impacts in fisheries
sustainability as indicated by fish stock depletion, “overfishing”, destructive
fishing methods, fish habitat dan environment destruction, and social conflict.
Arafura Sea is one of the fishery region that highly fishing intensity occured by
industrial scale of fishing which using 30 GT of boat. In order to avoid the
negative impact of high fishing intensity, it’s important to determine the capture
fisheries management model which can maintain the fisheries sustainability and
optimalization of fishing capture in Arafura Sea.
The purposes of this research are to : (1) determine the state of fisheries
sustainability in Arafura Sea by type of fishing gear and dimension; (2) identify
the leverage factors in capture fisheries management; (3) determine the optimum
fishing unit (gear) as a basis of capture fisheries industry management; (4)
identify the capture fisheries industry management system.
The methods of research consists of RAPFISH (Rapid Appraisal of
Fisheries) method and LGP (Linear Goal Programming). RAPFISH method use
to determine the sustainablity state of fisheries in Arafura Sea by many
dimensions as ecology, economy, social, technology, and ethic. The output of
RAPFISH method are type of sustainability fishing gears and leverage factors of
fisheries sustainability. The result of RAPFISH method then processed by LGP to
determine the optimum allocation of fishing gears. This optimum allocation then
become a basis to capture fisheries industry management by fishing license. The
next step is to determine the model of capture fisheries industry management
including of leverage factors as feedback.
RAPFISH analysis shows that the fisheries sustainability in Arafura Sea is
sustainable enough (score 53.86). But this score is near to less sustainable so it’s
important to consider the precautionary approach in fisheries development on
Arafura Sea. Analysis by dimensions show that ecology dimension is sustainable
enough with highest score (72.43), technology dimension is sustainable enough
(score 64.84), social dimension is sustainable enough (score 51.52), economic
dimension is less sustainable (score 43.28), and ethic dimension is less sustainable
(score 37.27).
Result by type of fishing gear shows that squid jigging is sustainable
enough with highest score (62.15). Then bottom long line is sustainable enough
(score 58.04), and oceanic gillnet also sustainable enough (score 57.27). The two
other fishing gears are less sustainable : fish net (score 47.60) and shrimp net
(score 44.29). In generally, the sustainability of fisheries by type of fishing gears
mostly influenced by the character of fishing gear and fish as target of capture.
Leverage analysis shows the major influenced attributes are : (1) size of
fish, on ecology dimension; (2) job providing, on economic dimension; (3) FAD
and gear selectivity, on technology dimension; (4) education level, on social
dimension; and (5) just management, on ethic dimension. The less influenced
attributes are : (1) species, on ecology dimension; (2) subsidy, on economic
dimension; (3) fisheries socialisation; on social dimension; (4) on-board handling,
on technology dimension; and (5) mitigation-depletion of habitat/ ecosystem, on
ethic dimension.
The optimum analysis determined the allocation and type of fishing gears
which sustainable as : bottom long line (34985 GT), oceanic gillnet (24119 GT),
squid jigging (10423 GT). Then the optimum allocation of fish net is 187314 GT,
and shrimp net is 9789 GT.
The alternative of capture fishing industry management through licensing
mechanism can implemented by developing the optimum allocation and
determine the environment sustainability in feasibility assesment step as
mentioned on Ministrial of Marine and Fisheries Decree No. 14/2011. The
strategic framework of capture fishing industry system include the component
with steps as follows: (1) assesment the location; (2) determinate the state of
fisheries sustainability; (3) determinate the type of fishing gears which
sustainable; (4) determinate the leverage factors; (5) optimum allocation of
priority fishing gears which sustainable; (6) optimum allocation of all fishing
gears; and (7) fisheries management through fishing license considering feedback
from leverage factors.
Keywords: RAPFISH, optimalization, fisheries sustainability, Arafura Sea.
RINGKASAN
Ridwan MULYANA. Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Terpadu di WPP
Laut Arafura. Dibimbing oleh John HALUAN, Mulyono S. BASKORO dan
Sugeng H. WISUDO.
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang diandalkan dalam
rangka pembangunan ekonomi bangsa Indonesia antara lain karena ditunjang oleh
besarnya potensi sumberdaya ikan yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya ikan
sudah lama dilakukan masyarakat mulai dengan skala kecil sampai sampai skala
besar atau komersial dengan penggunaan kapal dan alat penangkap ikan modern.
Seringkali pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terkendalikan sehingga
menghasilkan dampak negatif bagi keberlanjutan perikanan yang diindikasikan
antara lain oleh penurunan stok sumberdaya ikan, overfishing, kerusakan habitat
dan lingkungan, konflik pemanfaatan sumberdaya dan sebagainya. Laut Arafura
merupakan salah satu WPP (wilayah pengelolaan perikanan) yang mendapatkan
tekanan pemanfaatan tinggi khususnya oleh pengoperasian kapal-kapal perikanan
skala industri berukuran diatas 30 GT (gross tonage). Untuk itu dalam rangka
mencegah dampak negatif pemanfaatan sumberdaya ikan diperlukan suatu model
pengelolaan industri perikanan tangkap yang dapat menjamin keberlanjutan
perikanan sekaligus pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal di Laut Arafura.
Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain : (1) Mengetahui status
keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat penangkap ikan
dan dimensi; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berpengaruh pada
pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian; (3)
Mengetahui alokasi optimal unit penangkapan ikan sebagai dasar pengembangan
industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian; dan (4) Mengidentifikasi
dan merumuskan sistem industri perikanan tangkap terpadu yang optimal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama-tama dengan
melakukan pengukuran status keberlanjutan perikanan tangkap di Laut Arafura
menurut dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika dengan
menggunakan RAPFISH atau Rapid Appraisal for Fisheries. Hasil analisis
RAPFISH berupa jenis alat penangkap ikan yang berkelanjutan kemudian diolah
dengan metode optimasi Linear Goal Programming (LGP) untuk mengetahui
alokasi optimalnya. Selanjutnya dilakukan analisis LGP lanjutan (tahap-2) untuk
mengetahui alokasi optimal seluruh jenis alat penangkapan ikan yang menjadi
dasar pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui mekanisme
perizinan. Tahap berikutnya adalah implementasi strategi pengelolaan industri
perikanan tangkap terpadu yang dituangkan kedalam model yang mencakup
umpan balik (feedback) berupa faktor-faktor yang berpengaruh sensitif hasil
analisis leverage.
Hasil analisis RAPFISH menunjukkan bahwa perikanan di Laut Arafura
berada dalam kondisi cukup berlanjut dengan skor 53,86. Meskipun demikian,
skor keberlanjutan ini mendekati kepada status kurang berlanjut sehingga
diperlukan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan
perikanan di Laut Arafura. Bila ditinjau berdasarkan dimensi, maka dimensi
ekologi memiliki skor keberlanjutan yang paling tinggi dengan nilai rata-rata
72,43 (cukup berlanjut), disusul oleh dimensi teknologi dengan nilai rata-rata
64,84 (cukup berlanjut), kemudian dimensi sosial dengan nilai rata-rata 51,52
(cukup berlanjut), serta dimensi ekonomi dengan nilai rata-rata 43,28 (kurang
berlanjut), sedangkan terendah adalah dimensi etika dengan nilai rata-rata 37,26
(kurang berlanjut).
Berdasarkan hasil analisis RAPFISH menurut jenis alat penangkap ikan
diketahui bahwa perikanan pancing cumi memiliki keberlanjutan yang paling
tinggi dibandingkan 4 jenis perikanan lainnya yaitu dengan skor 62,15 (cukup
berlanjut), disusul oleh perikanan pancing pawai dasar dengan skor 58,04 (cukup
berlanjut) dan gillnet dengan skor 57,27 (cukup berlanjut). Perikanan pukat ikan
dan pukat udang dalam kondisi kurang berlanjut masing-masing dengan skor
47,60 dan 44,29. Secara umum, keberlanjutan berdasarkan alat tangkap antara
lain dipengaruhi oleh sifat alat penangkap ikan (aktivitas dan selektivitas) serta
sifat sumberdaya ikan sebagai target penangkapan.
Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang paling
berpengaruh pada masing-masing dimensi adalah: (1) ukuran ikan pada dimensi
ekologi; (2) ketenagakerjaan pada dimensi ekonomi; (3) penggunaan FAD (fish
attracting devices) dan selektivitas alat pada dimensi teknologi; (4) tingkat
pendidikan pada dimensi sosial; dan (5) pilihan pengelolaan pada dimensi etika.
Ukuran ikan yang tertangkap (perubahannya) dapat menggambarkan secara jelas
kondisi keberlanjutan ekologi perairan Arafura. Sementara itu, secara ekonomi
jelas bahwa usaha perikanan tangkap memberikan sumbangan paling nyata dalam
bentuk penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang
terserap maka akan semakin besar kontribusi perikanan dari sisi ekonomi.
Penggunaan FAD (fish attracting devices) dan selektivitas alat penangkap ikan
merupakan bagian penting dari dimensi keberlanjutan teknologi karena
berhubungan langsung dengan kinerja usaha perikanan tangkap yang dilakukan.
Tingkat pendidikan dan pengaruh nelayan terhadap perikanan merupakan 2 atribut
paling penting pada dimensi sosial. Tingkat pendidikan nelayan atau pelaku
usaha perikanan akan mempengaruhi seluruh atribut sosial lainnya. Tingkat
pengetahuan yang tinggi akan meningkatkan pemahaman nelayan terhadap
peraturan, teknologi, lingkungan, etika dan sebagianya. Sementara itu, pengaruh
nelayan terhadap perikanan juga sangat besar pada dimensi sosial mengingat
kedudukan nelayan sebagai pelaku langsung (aktor utama) usaha perikanan
sekaligus posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Secara etika, usaha
perikanan memiliki nilai yang tinggi bila memperhatikan dan melibatkan aspek
masyarakat lokal dalam hal pengelolaannya.
Hasil analisis optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang
berkelanjutan menghasilkan jenis alat penangkap ikan prioritas dengan alokasinya
sebagai berikut : pancing rawai dasar 34.985 GT, gillnet oseanik 24.119 GT, dan
pancing cumi 10.423 GT. Sedangkan alokasi pukat ikan dan pukat udang masingmasing adalah 187.318 GT dan 9.789 GT.
Sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu diimplementasikan
melalui pengalokasian izin perikanan yang berlaku saat ini sesuai Permen
Kelautan dan Perikanan No. 14 Tahun 2011, dengan alternatif penyempurnaan
dalam hal pengalokasian jenis alat penangkap ikan yang optimal serta penentuan
kondisi lingkungan perairan yang lestari (berlanjut).
Kerangka strategi
pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu memiliki tahapan sebagai berikut:
(1) assesment perikanan; (2) penentuan status keberlanjutan perikanan di lokasi
perairan; (3) penentuan jenis alat penangkap ikan yang berkelanjutan; (4)
penentuan analisis pengungkit (leverage); (5) pengalokasian optimal alat
penangkap ikan prioritas yang berkelanjutan berdasarkan tujuan; (6)
pengalokasian optimal seluruh jenis alat penangkap ikan; (7) Pengelolaan industri
perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian perizinan perikanan dan
evaluasinya berdasarkan feedback faktor pengungkit.
ata kunci: RAPFISH, optimasi, keberlanjutan perikanan, Laut Arafura.
SISTEM PENGELOLAAN INDUSTRI PERIKANAN
TANGKAP TERPADU DI WPP LAUT ARAFURA
RIDWAN MULYANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak kedua dari enam bersaudara,
dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Desember 1971 dari
pasangan Bapak H. Abdul Rokhmat dan Ibu Hj.
Sumarnah.
Riwayat pendidikan penulis diawali pada
tahun 1978 di SDN Ciherang V Bogor, kemudian
melanjutkan sekolah di SMPN I Ciomas, Bogor pada
tahun 1984. Tahun 1990 Penulis menamatkan pendidikan
Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Bogor dan selanjutnya menempuh
pendidikan (S1) di Fakultas Perikanan (sekarang bernama Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan), Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) Institut
Pertanian Bogor (IPB) sampai dengan tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis
mulai bekerja sebagai staf pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian yang kini menjadi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). Sambil meniti karier pekerjaan, tahun 1996 –
1999 melalui beasiswa URGE (University Research Graduate Education)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan studi Master (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Program
Studi Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana.
Selanjutnya pada Tahun 2006
penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan (PSP), Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Sub-Program Studi
Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP).
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ….…………………...……………………………….……
iii
DAFTAR GAMBAR ………………...……………………………………….
iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………...……………………………………….
vii
1
PENDAHULUAN ……..……..…………………………………………..
1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Latar Belakang ……….…..………………………………….………
Identifikasi Masalah ….…..………………………………….………
Tujuan Penelitian ……...……………………………………………
Manfaat Penelitian …….……………………………………………..
Kerangka Pemikiran …………………………………………………
1
4
5
5
6
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….
8
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
Pembangunan Perikanan Tangkap ……………….…………………
Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap ……………….….…..
Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap ….………
WPP dan Pengelolaan Perikanan ………….…………..……………
Perikanan di Laut Arafura ……………………………….…………
Perikanan Berkelanjutan …………..…………..…………..………..
Teknik RAPFISH …………..…………..…………..………….…….
Perizinan dan Industri Perikanan Tangkap Terpadu …………..…..
8
9
12
14
16
40
42
45
METODE UMUM PENELITIAN …..…….……………..........………...
47
3.1
3.2
3.3
3.4
Waktu dan Tempat Penelitian ....…..………………………......…...
Ruang Lingkup Penelitian ….…………………………………...…..
Kerangka Metodologi ….…………………………………...………
Metodologi ……….......………….…………..………………………
3.4.1 Analisis RAPFISH .………………………………...…..…….
3.4.2 Analisis optimasi perikanan tangkap terpadu ….…………...
3.4.3 Pendekatan sistemik industri perikanan tangkap terpadu ....
Data dan Sumber Data …. ………………………………………….
47
48
48
50
50
53
54
56
HASIL DAN PEMBAHASAN …........…….………………………….…
57
4.1
57
57
70
84
95
106
2
3
3.5
4
Keberlanjutan Perikanan Laut Arafura Secara Multidimensi …….
4.1.1 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi …………….
4.1.2 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi ………….
4.1.3 Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial …………..….
4.1.4 Keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi ………….
4.1.5 Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika …………..…..
4.1.6 Status keberlanjutan perikanan di Arafura
secara keseluruhan ..………………………………………….
i
115
4.2
Keberlanjutan Perikanan Berbasis Optimasi
Alat Penangkap Ikan ………………………………………………..
4.2.1 Optimasi potensi sumberdaya ikan …………..…………….
4.3 Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu
melalui perizinan …………………………………………………….
4.3.1 Mekanisme perizinan saat ini …………..…………..……….
4.3.2 Alternatif penyempurnaan mekanisme perizinan ………….
125
125
127
KESIMPULAN DAN SARAN .....................…….………………….......
133
4.1 Kesimpulan …………..…………..…………..………….…………..
4.2 Saran ………….………….………….………….………….…………
133
134
DAFTAR PUSTAKA …………..…………..…………..…………..……
136
LAMPIRAN – LAMPIRAN …………..…………..…………..…………….
141
4
5
ii
118
118
DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Volume dan nilai produksi perikanan tangkap …...............................................
Kondisi potensi sumberdaya ikan di WPP ………………………............…….
Produksi ikan utama di WPP Laut Arafura, Laut Aru
dan Laut Timor Bagian Timur (2001-2005) dalam satuan ton ..........……..…...
Jumlah kapal di atas 30 GT yang mendapatkan izin penangkapan
di WPP Laut Arafura ……..................……………………………….............…
Distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap
di WPP Laut Arafura ……..................……………………………………........
Produktivitas kapal penangkap ikan
(Kepmen KP No. 60 Tahun 2010) ………....…………………………....……..
Komposisi hasil tangkapan (KKP, 2010) ………………………………............
Kapal pelaku IUU fishing di Maluku …………..…….………………………..
Dimensi dan atribut dalam analisis RAPFISH ……….………………………..
Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekologi ...................................................
Definisi atribut pada dimensi ekologi .................................................................
Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi .......................................
Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekonomi .................................................
Definisi atribut pada dimensi ekonomi ...............................................................
Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi .....................................
Atribut dan kriteria skor pada dimensi sosial ......................................................
Definisi atribut pada dimensi sosial ....................................................................
Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial .........................................
Atribut dan kriteria skor pada dimensi teknologi ..............................................
Definisi atribut pada dimensi teknologi .............................................................
Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi ...................................
Atribut dan kriteria skor pada dimensi etika .....................................................
Definisi atribut pada dimensi etika ....................................................................
Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi etika ..........................................
Hasil Analisis RAPFISH menurut jenis alat dan dimensi .................................
Potensi dan JTB sumberdaya ikan di Laut Arafura (ribu ton/tahun) ................
Perbandingan unit penangkapan optimal dan yang ada di Laut Arafura ...........
iii
10
13
21
24
26
27
29
39
50
58
58
66
71
71
79
85
85
90
95
96
102
107
107
112
116
118
123
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Perkembangan struktur armada perikanan tangkap (unit) ………..……………...
Perkembangan volume ekspor perikanan tangkap (ton) …………...….…………
Perkembangan nilai ekspor perikanan tangkap (ribu US$) ……….......................
WPP Laut Arafura (BRKP, 2007) .........................................................................
Ilustrasi potensi sumberdaya ikan di Papua dan Laut Arafura ..............................
Daerah penangkapan di perairan Papua (BRKP, 2007) ………………………….
Peta prakiraan daerah penangkapan ikan di wilayah perairan
Maluku dan Papua (KKP, 2008) …………………………………………………
Peta distribusi alat tangkap di perairan Papua dan Laut Arafura ...........................
Densitas kapal di WPP Laut Arafura (Ditjen Perikanan Tangkap, 2008) ……….
Tampilan hasil pemantauan kapal perikanan di Ditjen PSDKP …………..……...
Indikatif produktivitas alat tangkap di WPP Laut Arafura
berdasarkan Laporan Usaha Penangkapan Ikan, 2004 – 2007 …………….…….
Desain alat Pukat Ikan (KKP, 2006) …………………………………………..…
Desain alat Pukat Udang (KKP, 2006) …………………………….…………….
TED pada alat Pukat Udang (KKP, 2006) ....…………………………………….
Desain alat Jaring Insang, (KKP, 2006) …………………………………………
Desain Pancing Rawai Dasar (KKP, 2006) ……………………………………...
Desain alat Pancing Cumi (KKP, 2006) ………………………………………....
Peta zona kerawanan pelanggaran sumberdaya kelautan dan perikanan ……….
Segitiga keberlanjutan sistem perikanan (Charles, 2001) ……….……….………
Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan (Alder, et.al., 2000) …..
Peta pulau Papua dan sebagian Maluku (WPP Arafura) ………………………...
Kerangka metodologi penelitian ……….……….……….……….……….……...
Tahap dalam pendekatan/analisis sistem ……………………………………..….
Diagram input-output sistem ………………………………………………….....
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi ……….……….…...
Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi ekologi ……….……….……….……….……….……….………...
Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi ……….……….……….……….....
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi ……….………......
iv
11
11
12
17
18
20
22
23
25
25
28
32
33
34
35
36
37
38
42
44
47
49
55
56
66
68
68
80
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
Halaman
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi ekonomi .........................................................................................
Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi ……….……….……….……….
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial ……….……….……
Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi sosial …….……….……….……….……….……….……….……
Hasil analisis leverage pada dimensi sosial ……….……….……….……….….
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi ……….………...
Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi teknologi ……….……….……….……….……….……….……..
Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi ……….……….……….………
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika ……….……….…….
Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi etika …….……….……….……….……….……….……….……
Hasil analisis leverage pada dimensi etika …….……….……….……….……..
Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura
berdasarkan dimensi …….……….……….……….……….……….……….….
Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura
berdasarkan jenis alat penangkap ikan …….……….……….……….……….…
42
Alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP)
(Permen KP No. 14 Tahun 2011) …….……….……….……….……….………...
43
44
Alternatif alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP) .........................
Model pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu berkelanjutan ...............
v
81
82
91
92
93
103
104
105
112
113
114
116
117
128
129
132
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekologi ...........................................
Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekonomi ........................................
Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi sosial .............................................
Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi teknologi .......................................
Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi etika ..............................................
Analisis LINDO tahap pertama .........................................................................
Analisis LINDO tahap kedua ............................................................................
Dokumentasi survey lapangan .........................................................................
vi
141
142
143
144
145
146
147
148
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan
subsektor
perekonomian nasional.
perikanan
tangkap
semakin
penting
dalam
Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan
dalam PDB kelompok pertanian tahun 2004-2008 meningkat sebesar 27,06%.
selama kurun waktu tersebut sektor perikanan mengalami kenaikan rata-rata
tertinggi dibandingkan sektor perkebunan (21,22%), tanaman pangan (20,66%),
peternakan (19,87%), dan kehutanan (18,81%). Sementara itu, volume produksi
perikanan tangkap pada tahun 2010 mencapai 5,38 juta ton yang meningkat 5,42%
dibandingkan tahun sebelumnya. Dari sisi sumberdaya manusia, pada tahun 2010
jumlah nelayan mengalami peningkatan 0,21% dibandingkan tahun sebelumnya.
Volume ekspor juga meningkat dengan rata-rata sebesar 85,68% selama periode
2009 – 2010.
Potensi perikanan tangkap Indonesia berdasarkan data Kementerian
Kelautan dan Perikanan (2011) adalah 6,5 juta ton/tahun yang dikelompokkan
kedalam jenis-jenis ikan yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan
demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, cumi-cumi dan lobster. Apabila
kita membandingkan potensi lestari dengan tingkat produksi rata-rata sebesar 4,7
juta ton/tahun, maka secara agregat masih terdapat peluang pengembangan usaha
penangkapan ikan di perairan Indonesia. Ditinjau dari sisi pemasaran, ikan dan
produk turunannya merupakan komoditas yang memiliki demand relatif tinggi
baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Negara-negara tujuan ekspor
utama produk perikanan antara lain Jepang, China, USA, dan Uni Eropa.
Mengingat potensi dan perannya yang semakin besar bagi perekonomian
nasional maka sektor kelautan dan perikanan telah ditetapkan sebagai salah satu
pilar pembangunan ekonomi nasional ke depan. Hal tersebut untuk mendukung
pencapaian target pembangunan nasional yaitu mengembangkan perekonomian
(pro growth), memperluas lapangan kerja (pro job) dan meningkatkan pendapatan
nelayan guna menanggulangi kemiskinan (pro poor).
Meskipun baru dimulai tahun 1999 yang ditandai dengan berdirinya
Departemen Kelautan dan Perikanan yang kini menjadi Kementerian Kelautan
2
dan Perikanan (KKP), pilihan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan oleh
Pemerintah sangatlah tepat. Menurut Rokhmin Dahuri (2002), ada enam alasan
utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. Pertama,
Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar dan beragam. Kedua, Indonesia
memiliki keuntungan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor
kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang
dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan
dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkages) yang kuat
dengan industri-industri lainnnya. Keempat, Sumber daya di sektor kelautan dan
perikanan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable
resources); Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi
yang relatif tinggi yang ditunjukkan oleh Incremental Capital Output Ratio
(ICOR) yang rendah dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti
digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9.
Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan
input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar.
Sesuai amanat
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kini
dirubah menjadi UU No. 45 Tahun 2010, pelaksanaan pengelolaan perikanan oleh
Pemerintah ditujukan untuk : (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan
pembudi daya ikan-kecil; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3)
mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (4) meningkatkan ketersediaan dan
konsumsi sumber protein hewani; (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya
ikan; (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; (7)
meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8)
mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan (9) menjamin kelestarian
sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Untuk mencapai
tujuan tersebut, perlu diterapkan manajemen perikanan tangkap secara terpadu
dan terarah agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara
berkelanjutan dari generasi ke generasi. Penerapan manajemen perikanan yang
terpadu dan terarah juga merupakan wujud dari implementasi komitmen
Pemerintah Indonesia terhadap isu pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab
3
sebagaimana tertuang dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries
(FAO, 1995).
Meskipun potensi perikanan tangkap secara umum masih memungkinkan
untuk dikembangkan, sangat disayangkan bahwa di beberapa WPP telah
terindikasi overfishing. Selain isu overfishing, pembangunan perikanan tangkap
saat ini menghadapi beberapa persoalan yang mengancam keberlanjutan di masa
datang, antara lain : degradasi fisik habitat ikan dan lingkungan perairan,
ketimpangan pemanfaatan sumberdaya ikan antar Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP), illegal-unreported-unregulated (IUU) fishing, dan konflik pemanfaatan
sumberdaya ikan.
WPP Laut Arafura merupakan salah satu WPP di Indonesia yang penting
karena mengandung potensi sumberdaya ikan bernilai ekonomis tinggi seperti
ikan-ikan demersal dan udang sehingga disebut sebagai the golden fishing
ground. WPP Laut Arafura juga merupakan perairan yang rawan praktek IUU
fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan.
Nikijuluw (2008)
menyebutkan bahwa di WPP Arafura beroperasi sekitar 3.000 kapal secara ilegal.
Sementara itu, kapal perikanan yang beroperasi dengan izin penangkapan ikan
dari Ditjen Perikanan Tangkap (Pusat) banyak terkonsentrasi di Laut Arafura.
KKP mencatat terdapat kira-kira 1.000 kapal dengan beragam teknologi (alat
penangkap ikan) yang digunakan di WPP Laut Arafura.
Secara ekonomi,
keberadaan kapal-kapal dan industri perikanan tangkap terpadu telah memberikan
sumbangan yang cukup berarti dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP), penyerapan tenaga kerja, dan pembangunan ekonomi regional.
Arti penting dan strategis usaha perikanan di Laut Arafura di satu sisi,
serta di sisi lain realitas yang mengarah kepada pemanfaatan yang tidak
berkelanjutan menjadi permasalahan bagi penentuan ke depan arah dan kebijakan
perikanan di wilayah perairan Arafura.
Untuk merumuskan kebijakan
perikananan yang tepat tentunya diperlukan kajian komprehensif, termasuk status
keberlanjutan perikanan di wilayah perairan Arafura saat ini sebagai dasar bagi
pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu secara optimal yang terbukti
memberikan dampak signifikan bagi pembangunan ekonomi wilayah.
4
1.2 Identifikasi Masalah
Perhatian tentang pembangunan yang berkelanjutan semakin mengemuka
sejalan dengan keprihatinan masyarakat dunia atas ancaman degradasi atau
kemusnahan
sumber-sumber
pertumbuhan
pembangunan.
Keberlanjutan
merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat
memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Menurut
Smith (1993) dalam Fauzi (2005), sampai saat ini dirasakan masih terdapat
kesulitan
dalam
menganalisis/mengevaluasi
keberlanjutan
pembangunan
perikanan, khususnya dalam hal mengintegrasikan data dan informasi dari
keseluruhan komponen secara holistik, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi,
maupun etik.
Sejauh ini untuk mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasi
perikanan lebih difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target
terhadap referensi biologi atau referensi ekologi, seperti tingkat kematian ikan,
spawning biomass, atau struktur umur.
Selanjutnya menurut Fauzi (2005), pembangunan perikanan selain
memperhatikan aspek keberlanjutan juga harus didekati dengan pendekatan
holistik yang menyangkut berbagai dimensi.
mengakomodasi
berbagai
komponen
yang
Pendekatan holistik ini harus
menentukan
keberlanjutan
pembangunan perikanan menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi,
sosiologis, dan etis. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa atribut yang
harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator
keberlanjutan.
Kegiatan perikanan tangkap di WPP Laut Arafura khususnya yang
dilakukan oleh skala besar atau industri sudah lama menjadi perhatian
sehubungan dengan nilai strategis yang ditinjau dari berbagai aspek.
Secara
ekologis misalnya, perairan Laut Arafura kaya akan ikan ekonomis penting yang
pada akhirnya mendorong pemanfaatan secara berlebih. Di perairan ini juga
dilaporkan telah terjadi praktek penangkapan dengan tingkat discard dan hasil
tangkap sampingan (by-catch) yang tinggi. Banyaknya kapal perikanan skala
besar yang beroperasi di WPP Arafura tentunya memberikan kontribusi ekonomi
positif bagi Pemerintah dan bagi masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga
kerja atau sumber mata pencaharian nelayan.
Secara sosial, pemanfaatan
5
sumberdaya perikanan di WPP Laut Arafura berdampak pada pertumbuhan
komunitas, konflik pemanfaatan antara armada perikanan skala besar (bahkan
armada asing) dengan nelayan tradisional. Dari aspek teknologi, pemanfaatan
perikanan di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh armada/ jenis alat tangkap yang
digunakan. Alat tangkap utama yang digunakan di WPP Laut Arafura yaitu pukat
udang, pukat ikan, jaring insang oseanik, pancing cumi, dan bouke ami, dengan
masing-masing
karakteristik/spesifikasi,
selektivitas
dan
produktivitasnya.
Tinjauan dari dimensi etik terlihat dari maraknya kegiatan IUU fishing yang
terjadi, aspek kesetaraan antar pemanfaat sumberdaya ikan, dan sikap budaya
masyarakat terkait pemanfaatan sumberdaya ikan.
Untuk menjamin kegiatan perikanan tangkap di WPP Laut Arafura
diperlukan pengetahuan tentang status keberlanjutannya saat ini melalui
identifikasi dan analisis keberlanjutan berbasis alat tangkap dan penentuan alat
tangkap prioritas.
Berdasarkan alat tangkap atau armada penangkapan yang
sesuai maka dapat dikembangkan industri perikanan tangkap terpadu yang optimal
dan berkelanjutan di wilayah ini.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk :
(1) Mengetahui status keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan
jenis alat penangkap ikan dan dimensi;
(2) Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berpengaruh pada pengelolaan
industri perikanan tangkap di lokasi penelitian;
(3) Mengetahui alokasi optimal unit penangkapan ikan sebagasi dasar
pengembangan industri perikanan tangkap di lokasi penelitian;
(4) Mengidentifikasi /merumuskan sistem industri perikanan tangkap terpadu
melalui pengalokasian perizinan yang optimal.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah :
6
(1) Bahan masukan bagi perumusan kebijakan pengelolaan perikanan dalam
hal pengendalian dan penataan armada penangkapan ikan demi mencapai
sistem perikanan yang optimal dan berkelanjutan;
(2) Menyediakan informasi tentang status keberlanjutan perikanan tangkap
yang optimal bagi para pelaku bisnis sebagai dasar penyusunan strategi
pengembangan usaha;
(3) Menyediakan
informasi
untuk
pengembangan
metode
analisis
keberlanjutan perikanan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari
paradigma konservasi (ekologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian
ke paradigma sosial/komunitas.
Ketiga paradigma ini masih relevan dengan
pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Sebagai ilustrasi, keberhasilan
pembangunan tidak diukur dari tingginya produksi yang dihasilkan semata tetapi
bagaimana kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dan kesejahteraan nelayan
bisa ditingkatkan.
Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap manfaat
optimal dari kegiatan perikanan dan pandangan holistik terhadap manfaat tersebut
maka kegiatan perikanan harus memperhitungkan seluruh aspek dalam suatu
kerangka pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut Alder et al (2000),
pendekatan holistik harus mengakomodasikan berbagai komponen yang
menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan yaitu meliputi aspek ekologi,
ekonomi, teknologi, sosiologi, dan etis. Dari setiap komponen tersebut terdapat
atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan
sekaligus indikator keberlanjutan. Beberapa komponen indikator kebrlanjutan
tersebut antara lain :
(1) Ekologi : tingkat eksploitasi, keragaman rekrutmen, perubahan ukuran
tangkap, discard dan by-catch, serta produktivitas primer.
(2) Ekonomi : kontribusi pada GDP, penyerapan tenaga kerja, sifat
kepemilikan, tingkat subsidi, dan alternatif income.
(3) Sosial : pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan
pengetahuan lingkungan.
7
(4) Teknologi : lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat, FAD, ukuran
kapal, dan efek samping alat tangkap.
(5) Etika : kesetaraan, ilegal fishing, mitigasi habitat, mitigasi ekosistem,
dan sikap terhadap limbah dan by-catch.
Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya
pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana amanat FAO-Code of
Conduct for Responsible Fisheries.
Apabila kaidah-kaidah pembangunan
berkelanjutan dan holistik ini tidak dipenuhi pembangunan perikanan akan
mengarah kepada degradasi lingkungan, overeksploitasi, dan destructive fishing
practices.
Pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu kawasan atau perairan seperti
halnya di Laut Arafura sering mengarah kepada kerusakan dan ketidakmampuan
perairan untuk mendukung perekonomian masyarakat lebih lanjut. Hal ini terjadi
akibat pengelolaan yang tidak tepat yang disebabkan minimnya informasi atau
analisis sebagai bukti ilmiah terbaik yang menjadi landasan pengelolaan
perikanan.
Analisis tentang keberlanjutan perikanan sudah banyak dilakukan
namun hanya terbatas pada satu atau beberapa dimensi saja sehingga hasilnya
kurang mewakili seluruh aspek perikanan di lapangan.
Analisis keberlanjutan perikanan secara multidimensional di Laut Arafura
akan memberikan gambaran komprehensif kondisi keberlanjutan perikanan suatu
wilayah perairan sehingga dapat diketahui langkah apa yang harus dilakukan ke
depan terkait pembangunan perikanan di wilayah tersebut.
Hasil analisis
keberlanjutan berdasarkan alat tangkap menghasilkan jenis armada penangkapan
yang berlanjut untuk kemudian dipilih dan dikembangkan secara optimal sebagai
dasar pengembangan industri perikanan tangkap terpadu.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Perikanan Tangkap
Pembangunan subsektor perikanan tangkap oleh Pemerintah ditetapkan
dengan visi yaitu “Industri perikanan tangkap Indonesia yang lestari, kokoh, dan
mandiri pada tahun 2020”. Sedangkan misi pembangunan perikanan tangkap
adalah :
1) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perikanan.
2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengolah
hasil perikanan.
3) Menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya.
4) Membangun industri nasional dan usaha perikanan tangkap yang
berdaya saing.
5) Meningkatkan
peran
sub
sektor
perikanan
tangkap
terhadap
pembangunan perekonomian nasional.
Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, kebijakan pembangunan
perikanan tangkap diarahkan untuk : (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai
salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan
dalam negeri; (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan
tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan
keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3)
penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap
berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan.
Berdasarkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah direvisi
menjadi UU No. 45 tahun 2010, tujuan pembangunan perikanan tangkap
merupakan bagian integral dari tujuan pengelolaan perikanan yang meliputi :
1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan-kecil;
2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani;
5. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
9
7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
8. Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
tata ruang.
Pembangunan usaha penangkapan dilakukan secara selektif dalam rangka
memanfaatkan
potensi
sumberdaya
yang
tersedia
secara
optimal
dan
berkelanjutan, guna mewujudkan usaha perikanan yang bertanggungjawab dalam
rangka responsible fisheries di bidang penangkapan.
Dalam kerangka ini
dilakukan reorientasi terhadap tujuan pengembangan usaha yang semula lebih ke
arah produksi menjadi ke arah pendapatan usaha, disertai dengan penyediaan
Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan, standarisasi unit penangkapan,
perekayasaan teknologi, diversifikasi usaha nelayan dan rehabilitasi sumberdaya
ikan.
Upaya pengembangan penangkapan ikan tersebut sekaligus untuk
mengantisipasi isu yang berkembang di bidang penangkapan ikan. Isu tersebut
yaitu adanya pemahaman bahwa sumberdaya ikan seolah-olah tidak terbatas,
padahal jumlah tangkapan yang diperoleh pada saat ini ditetapkan sebesar 5,2 juta
ton per tahun setelah memperhatikan potensi yang tersedia. Kondisi inilah yang
cenderung menjadi gambaran bahwa nelayan akan tetap lekat dengan kemiskinan.
Selain itu, banyak terjadi kerusakan terhadap lingkungan sumberdaya ikan
sebagai akibat ulah manusia yang kurang bertanggungjawab, termasuk
penggunaan bahan peledak, racun, maupun alat tangkap yang dilarang.
2.2 Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap
Jika dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun, pelaksanaan
pembangunan perikanan yang dilaksanakan selama ini secara keseluruhan telah
menunjukkan hasil nyata. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya
usaha peningkatan produksi dari perikanan tangkap, yang pada gilirannya telah
meningkatkan pula konsumsi ikan, ekspor perikanan, pendapatan nelayan,
10
perluasan lapangan kerja, serta dukungan bagi pembangunan industri serta
menunjang pembangunan daerah.
Pada periode tahun 2009, volume produksi perikanan tangkap nasional
meningkat sebesar 1,71% dari tahun sebelumnya, yaitu dari 5.196.328 ton pada
tahun 2008 menjadi 5.285.020 ton pada tahun 2009. Nilai produksi perikanan
tangkap selama periode yang sama juga mengalami peningkatan yaitu sebesar
10,24% dari tahun sebelumnya.
Volume dan nilai produksi ini merupakan
penjumlahan dari kegiatan penangkapan di laut dan di perairan umum.
Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan tangkap pada periode 2005 –
2009 diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap
No
Rincian
1 Produksi (Ton)
- Laut
2
2005
4.705.869
2006
4.806.112
2007
5.044.737
2008
5.196.328
2009
5.285.020
4.408.499
4.512.191
4.734.280
4.701.933
4.789.410
- Perairan Umum
Nilai (Rp. 1.000,-)
297.370
293.921
310.457
36.171.339 40.069.060 48.431.935
494.395
495.610
52.812.740 58.218.670
- Laut
33.255.308 37.162.918 45.025.651
49.162.910
54.328.080
3.649.830
3.890.590
- Perairan Umum
2.916.031
2.906.142
3.406.284
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap (2010)
Peningkatan produksi penangkapan tidak terlepas dari meningkatnya
sarana perikanan tangkap yaitu perahu/kapal perikanan.
Perkembangan total
armada perikanan Indonesia periode 2005 – 2009 terus mengalami peningkatan
dari skala menengah dan skala besar. Berdasarkan komposisinya, struktur armada
perikanan tahun 2009 masih didominasi oleh jenis perahu tanpa motor yaitu 40%,
selanjutnya perahu motor tempel sebesar 31%, perahu motor berukuran di bawah
30 Gross Tonage (GT) sebesar 28%, serta perahu motor berukuran di atas 30 GT
sebesar 1%. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan struktur armada perikanan
tangkap.
11
Gambar 1 Perkembangan struktur armada perikanan tangkap (unit)
(Ditjen Perikanan Tangkap, 2010)
Dari sisi perdagangan, ekspor produk perikanan Indonesia mengalami
fluktuasi.
Selama periode 2005 – 2009, volume ekspor komoditas
tuna/cakalang/tongkol cenderung naik sedangkan untuk komoditas ikan lainnya
cenderung stabil. Pada tahun 2009 volume ekspor perikanan mencapai 130 ribu
ton untuk komoditas tuna/cakalang/tongkol, dan 155 ribu ton untuk komoditas
ikan lainnya (Gambar 2).
Gambar 2 Perkembangan volume ekspor perikanan tangkap (ton)
(Ditjen Perikanan Tangkap, 2010)
12
Sementara itu, pada periode waktu yang sama nilai ekspor perikanan cenderung
meningkat, baik untuk komoditas tuna/cakalang/tongkol maupun ikan lainnya.
Nilai ekspor dari komoditas tuna/cakalang/tongkol memberikan kontribusi yang
besar
meskipun
secara
volume
rendah,
hal
ini
karena
tuna/cakalang/tongkol lebih tinggi dibanding harga ikan lainnya.
harga
ikan
Pada tahun
2009, nilai ekspor perikanan dari tuna/cakalang/tongkol mencapai 350 juta US$
dan dari ikan lainnya mencapai 240 juta US$ (Gambar 3).
Gambar 3 Perkembangan nilai ekspor perikanan tangkap (ribu US$)
(Ditjen Perikanan Tangkap, 2010).
Dari sisi sumberdaya manusia, kegiatan perikanan tangkap telah
melibatkan/menyerap tenaga kerja (nelayan) cukup banyak dan jumlahnya
mengalami peningkatan selama periode 2005 – 2009. Total nelayan terserap pada
tahun 2005 adalah 2,6 juta orang meningkat menjadi 2,7 juta orang pada tahun
2010 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010).
2.3 Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap
Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) BRKP KKP tahun
2001, potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Indonesia diperkirakan 6,40 juta
ton pertahun. Pada tahun 2011, KKP melakukan estimasi kembali angka potensi
tersebut sehingga menjadi 6,5 juta ton pertahun.
Dari potensi tersebut, JTB
13
(Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80 % dari potensi
atau sebesar 5,2 juta ton pertahun.
Pemanfaatan sumberdaya ikan laut di Indonesia tidak merata untuk setiap
WPP, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi fully exploited dan over
fished. Tabel 2 memperlihatkan kondisi potensi sumberdaya ikan berdasarkan
WPP hasil kajian Komnas Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan.
Tabel 2 Kondisi potensi sumberdaya ikan di WPP
No
1
2
3
4
5
6
WPP
WPP 571: Selat
Malaka
dan
Laut Andaman
WPP 711: Sel.
Karimata, Laut
Natuna dan Laut
Cina Selatan
WPP 712: Laut
Jawa
WPP 713: Selat
Makassar, Teluk
Bone,
Laut
Flores dan Laut
Bali
WPP 714: Laut
Banda
WPP 715: Laut
Aru,
Laut
Arafura
dan
Laut Timor
Jenis Ikan
Demersal
Udang
Status stok
(U,M,F,O,UN)
O
O
Pelagiskecil
Pelagis besar
F
UN
Demersal
Udang
F
M
Pelagiskecil
O
Pelagis besar
Demersal
UN
F
Udang
Pelagiskecil
Pelagis besar
F
O
UN
Demersal
Udang
Pelagiskecil
Pelagis besar
F
O
M
UN
Demersal
Udang
Pelagiskecil
U/UN
UN
M
Pelagis besar
Demersal
M
F–O
Udang
O
Pelagiskecil
M
Pelagis besar
UN
Keterangan
Pukat ikan kedalaman > 20 m,
Ilegal fishing?
Semua kategori spesies, ilegal
fishing?
Alat purse seine, ilegal fishing?
Terutama Selat Malaka bagian
Utara
LCS bagian Utara, ilegal fishing?
Barat
Kalimantan,
Lampara
Dasar, semua kategori, ilegal
fishing?
Pelagis kecil neritik dan oseanik,
ilegal fishing?
Ilegal fishing?
Pesisir Kalimantan (kecuali >40
m)
Utara pesisir Jawa
Non purse seine, spesies : tenggiri
dan tongkol
Termasuk perairan karang (O)
Pantai Timur Kalimantan
Kecuali ikan terbang (F)
Demersal laut dalam (?)
Purse seine, Kendari, Banda,
Seram
Tuna long line
Pemanfaatan intensif di ZEEI,
bycatch pukat udang
Seluruh fishing ground telah
dikenal
dan
dimanfaatkan
sepenuhnya, ukuran mengecil
Pemanfaatan oleh pukat ikan dan
bycatch pukat udang
-
14
Tabel 2 (lanjutan)
No
7
WPP 716: Laut
Maluku, Teluk
Tomini dan Laut
seram
Demersal
Udang
Pelagiskecil
Pelagis besar
Status stok
(U,M,F,O,UN)
M
M
F
8
WPP 717 &
718:
Laut
Sulawesi, Laut
Halmahera dan
Samudera
Pasifik
WPP
572:
Samudera
Hindia
Barat
Sumatera
dan
Selat Sunda
Demersal
Udang
Pelagiskecil
Pelagis besar
UN
UN
O
WPP
573:
Samudera
Hindia selatan
Jawa
hingga
Nusatenggara
9
10
WPP
Jenis Ikan
Demersal
F
Udang
F
Pelagiskecil
Pelagis besar
M
F
Demersal
F
Udang
F
Pelagiskecil
Pelagis besar
F
F
Keterangan
Ilegal?
Perlu sistem monitoring
Kedalaman 0 – 150 m; perlu sistem
monitoring, ikan fase juvenil
banyak tertangkap, >150 m?
Laut Sulawesi
Fishing ground relatif sempit =<
200m; deep sea belum terjamah
Fishing ground relatif sempit =<
200m; deep sea belum terjamah
Terutama pelagis kecil oseanik
Fishing ground di ZEE sampai ke
laut bebas (high sea)
Fishing ground sangat sempit, deep
sea belum terjamah
Fishing ground sangat sempit, deep
sea belum terjamah
Kecuali pelagis kecil oseanik : UN
Fishing ground di laut bebas di luar
ZEEI
Sumber : Komnasjikan dalam BRKP (2007)
Keterangan : O = overfished; F = fully exploited; M = moderate; UN = uncertain
2.4 WPP dan Pengelolaan Perikanan
Dasar hukum WPP disebutkan dalam Kepmentan No. 995/Kpts/IK
210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan (JTB) pada bagian Lampiran ditetapkan 9 (sembilan) WPP.
Kesembilan WPP tersebut meliputi Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Laut Jawa,
Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Arafura, dan Samudera Hindia.
Selanjutnya UU tentang Perikanan menyebutkan bahwa Wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan
meliputi :
15
(1) Perairan Indonesia
(2) ZEE Indonesia
(3) Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia
Dengan berjalannya waktu serta perkembangan dalam pengelolaan
perikanan perikanan dan mulai dikembangkannya konsep Monitoring, Control,
and Surveillance (MCS), maka fungsi WPP selain diperlukan untuk penentuan
potensi dan tingkat pemanfaatan juga dapat pula berperan sebagai dasar
pengeloaan dalam hal perizinan dan pengawasan. Berdasarkan hal itu, maka
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati – Badan Riset Kelautan
dan Perikanan (BRKP) KKP telah menyempurnakan peta WPP tersebut menjadi
WPP baru yang terdiri atas 11 WPP yang lebih memperhatikan karakteristik
lingkungan, kaidah kartografi serta batas maritim khususnya batas ZEE dengan
negara-negara tetangga. Pada tahun 2011, KKP melalui Kepmen No. 45 Tahun
2011 mengeluarkan nomenklatur WPP sebagai berikut :
1. WPP 571 : Selat Malaka
2. WPP 572 : Samudera Hindia Barat Sumatera
3. WPP 573 : Samudera Hindia Selatan Jawa
4. WPP 711 : Laut Cina Selatan
5. WPP 712 : Laut Jawa
6. WPP 713 : Selat Makassar - Laut Flores
7. WPP 714 : Laut Banda
8. WPP 715 : Teluk Tomini - Laut Seram
9. WPP 716 : Laut Sulawesi
10. WPP 717 : Samudera Pasifik
11. WPP 718 : Laut Arafura – Laut Timor
Definisi ”pengelolaan sumberdaya perikanan”, mengacu kepada UU No.
31 Tahun 2004 tentang perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta
16
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati.
Definisi ini sama persis mengacu kepada FAO dalam Fisheries
Technical Paper No. 424 yang diedit oleh Cochrane (2002) yaitu : ”The
integrated process of information gathering, analysis, planning, consultation,
decision-making, allocation of resources and formulation of implementation, with
enforcement as necessary, of regulation or rules which govern fisheries activities
in order to ensure the continued productivity of the resources and the
accomplishment of other fisheries objectives”.
Pengelolaan perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi,
ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik. Tujuan dikelolanya perikanan antara
lain tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus
terjaga kelestariannya. Menurut Cochrane (2002), tujuan (goal) umum dalam
pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi,
dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh
masing-masing tujuan tersebut yaitu :
1. untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang
diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi);
2. untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik
serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang
terkait (tujuan ekologi);
3. untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi);
4. untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau
masyarakat yang terlibat (tujuan sosial).
Lebih lengkap, tujuan pengelolaan perikanan ini tercantum pada pasal 3
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2.5 Perikanan di Laut Arafura
Laut Arafura merupakan salah satu perairan yang penting dan telah
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan perikanan nasional. Secara
administratif Laut Arafura termasuk dalam wilayah Provinsi Papua dan sebagian
termasuk wilayah Maluku, terutama yang berada di sekitar kepulauan Aru.
17
Perairan ini termasuk sebagian besar wilayah ZEE Indonesia yang langsung
berhubungan dengan Laut Timor dan Laut Banda. Di sebelah Utara, sirkulasi
massa air sangat dipengaruhi oleh Samudera Pasifik. Kedalaman Laut Arafura
berkisar antara 5 sampai dengan 60 m atau rata-rata sekitar 30 meter dengan
lapisan tebal berupa lumpur dan sedikit pasir yang mencakup hampir 70% luas
perairan.
Pada Gambar 4 diperlihatkan peta geografis Laut Arafura yang
merupakan salah satu WPP yang ada di perairan Indonesia.
Gambar 4 WPP Laut Arafura (BRKP, 2007)
Pada tahun 2011, KKP menyebutkan bahwa potensi sumberdaya
perikanan di WPP Laut Arafura adalah 855,5 ribu ton/tahun yang dikelompokkan
kedalam jenis-jenis ikan pelagis besar 50,9 ribu ton/tahun, ikan pelagis kecil 468,7
ribu ton/tahun, ikan demersal 284,7 ribu ton/tahun, udang penaeid 44,7 ribu
ton/tahun, cumi-cumi 3,4 ribu ton/tahun, lobster 0,1 ribu ton/tahun, dan ikan
karang konsumsi 3,1 ribu ton/tahun. Beberapa jenis sumberdaya ikan ekonomis
penting yang dapat dijumpai antara lain udang windu, udang putih, kakap merah,
kerapu, tenggiri, dan lain-lain. Pada Gambar 5 digambarkan ilustrasi potens
18
perikanan perairan sekitar Papua termasuk Laut Arafura di bagian selatan. Lebih
lanjut, KKP (2011) menginformasikan status beberapa jenis sumberdaya ikan di
WPP Laut Arafura yang kini menjadi WPP 718 : Laut Arafura dan Laut Timor
yaitu sumberdaya ikan jenis demersal statusnya sudah overexploited, udang dalam
status fully-exploited, ikan pelagis kecil dalam status moderate, dan pelagis besar
statusnya tidak diketahui pasti.
Gambar 5 Ilustrasi potensi sumberdaya ikan di Papua dan Laut Arafura
Penelitian Suwartana (1986) dalam pendugaan stok (stock assesment)
udang penaeid di Laut Arafura menggunakan data 1979 – 1982 pada perikanan
trawl PT. Nusantara Fishery menunjukkan bahwa : (a) rata-rata hasil tangkapan
490 ton/tahun atau 283 kg/kapal/hari operasi; (b) nilai CPUE turun sebesar 46 x
10-4 untuk setiap kenaikan unit usaha; (c) nilai optimum effort adalah 33 x 103; (d)
19
nilai MSY sebesar 520 ton; (e) jumlah kapal dan waktu lama operasi sangat
berpengaruh terhadap hasil tangkapan udang.
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis besar yang cukup dominan di
perairan wilayah Timur termasuk Laut Arafura.
Struktur populasi cakalang
(Katsuwonus pelamis) di Maluku Utara berdasarkan penelitian Suwartana (1986)
menggunakan data 1980 – 1982 diperoleh bahwa ukuran panjang baku ikan
adalah sekitar 40,3 – 65,4 cm dan kelompok yang menonjol adalah ukuran 46,9 53,7 cm yang diduga berumur antara 2,5 – 3,5 tahun.
Usaha penangkapan ikan di perairan Laut Arafura sudah lama dilakukan,
dimulai oleh perusahaan patungan antara Indonesia dengan Jepang yang
berpangkalan di Sorong dan Ambon, yang beberapa akhir tahun ini basis
penangkapannya berkembang ke daerah Merauke, Tual, Benjina, Kendari, dan
Bitung. Permasalahan penangkapan udang secara komersial dengan pukat tarik
adalah banyak ikan demersal sebagai hasil tangkapan sampingan yang dibuang
percuma. Produksi hasil tangkapan sampingan di perairan Arafura diperkirakan
antara 40.000 sampai dengan 70.000 ton pertahun, dan sebagian dari hasil
tangkapan sampingan tersebut dapat digolongkan kedalam kelompok ikan
demersal konsumsi (BRKP, 2007). Jumlah tangkapan ikan demersal dan udang
sejak beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai lebih 500.000 ton pertahun.
Daerah penangkapan ikan dan udang di wilayah perairan Selatan Papua secara
umum dapat dikelompokkan kedalam 4 kategori yaitu : (1) daerah penangkapan
perikanan rakyat; (2) daerah penangkapan telur ikan torani; (3) daerah
penangkapan pukat udang; dan (4) daerah penangkapan ikan komersial seperti
pukat ikan dan gill net hanyut (Gambar 6).
20
Gambar 6 Daerah penangkapan di perairan Papua (BRKP, 2007)
Berdasarkan data Statistik Perikanan, produksi perikanan tangkap periode
2004 – 2008 di WPP Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur ratarata mengalami kenaikan. Ikan hasil tangkapan utama di WPP tersebut antara
lain: manyung, ekor kuning, selar, kuwe, layang, bawal hitam, kakap putih,
tembang, beloso, gerot-gerot, kakap merah, kurisi, kuro/senangin, gulamah,
cakalang, kembung, tenggiri, dan ikan lainnya. Produksi ikan-ikan tersebut pada
periode 2004 – 2008 diperlihatkan pada Tabel 3.
21
Tabel 3 Produksi ikan utama di WPP Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor
Bagian Timur (2004-2008) dalam satuan ton
No
Jenis Ikan
Species
1
2
Manyung
Ekor kuning
3
4
Selar
Kuwe
5
6
7
8
Layang
Bawal
hitam
Kakap putih
Tembang
9
Beloso
10
11
12
Gerot-gerot
Kakap
merah
Kurisi
Giant catfish
Redbelly
yellowtail
fusilier
Trevallies
Jack
trevallies
Scad
Black
pomfret
Barramundi
Goldstrip
sardinella
Greater
lizardfish
Saddle grunt
Red snappers
13
14
15
16
Kuro
Gulamah
Cakalang
Kembung
17
Tenggiri
Threadfin
bream
Threadfins
Croackers
Skipjack tuna
Short-bodied
mackerel
Spanish
mackerel
2004
11056
4069
Tahun
2005
2006
12871 11171
4948
4039
2007
12125
5727
2008
10296
5653
2564
2825
2832
3073
6258
4984
7789
5025
3495
3969
4298
7219
8259
10721
16884
14235
11070
12217
5450
5865
11731
3627
26105
3946
34110
6730
24142
4449
23895
4416
3424
3441
4015
11495
3717
2167
27012
2025
34930
2142
43229
2155
35112
1976
29288
4517
6035
15122
9414
4528
9809
4493
3583
13841
12154
6668
972
972
11847
7976
5845
5845
11737
11489
3381
3381
11677
17680
1161
1161
8661
10874
12492
15813
11429
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap per WPP (2004-2008)
Informasi tentang prakiraan daerah potensi dan daerah penangkapan
sumberdaya ikan di perairan Indonesia termasuk WPP Laut Arafura berdasarkan
hasil pengolahan citra satelit dapat diakses melalui situs KKP di internet
sebagaimana pada Gambar 7.
22
Gambar 7 Peta prakiraan daerah penangkapan ikan di wilayah perairan Maluku
dan Papua (KKP, 2008)
Usaha penangkapan ikan di perairan Arafura sudah berkembang pesat dan
diusahakan secara komersial, terutama untuk wilayah perairan di atas 12 mil dari
garis pantai dan di wilayah ZEE Indonesia di bagian selatan perairan. Di wilayah
perairan Papua dan sekitarnya, khususnya untuk wilayah kurang dari 12 mil ke
arah pantai, penangkapan ikan dilakukan menggunakan alat tangkap antara lain :
trammel net, bagan perahu, pancing ulur, bubu, huhate, tuna long line, mini purse
seine dan gillnet. Di bagian Selatan pulau Papua (Laut Arafura) dominan
digunakan alat tangkap pukat udang (Gambar 8).
23
Gambar 8 Peta distribusi alat tangkap di perairan Papua dan Laut Arafura
Berdasarkan data perizinan usaha penangkapan ikan yang dikeluarkan
Ditjen Perikanan Tangkap (2011), usaha penangkapan ikan di Laut Arafura oleh
kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT umumnya didominasi dengan alat
tangkap : pukat ikan, pukat udang, jaring insang hanyut oseanik, rawai dasar,
pancing cumi, dan jaring insang hanyut pantai. Pada Tabel 4 diuraikan jumlah
kapal perikanan di atas 30 GT berdasarkan unit kapal penangkap dan ukuran GT
yang diberikan izin penangkapan di WPP Laut Arafura.
Kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di Laut Arafura umumnya
berpangkapalan di 6 (enam) pelabuhan utama yaitu : Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Ambon, PPN Tual, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Kendari, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kupang, PPP Sorong, dan Pelabuhan
Umum (PU) Merauke. Namun demikian sebagian besar kapal-kapal tersebut
dioperasikan oleh pelaku usaha yang berdomisili hukum di Jakarta.
24
Tabel 4 Jumlah kapal diatas 30 GT yang mendapatkan izin di WPP Laut Arafura
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Alat Tangkap
Pukat Ikan
Pukat Udang
Jaring Insang Hanyut Oseanik
Pancing Rawai Dasar
Pancing Cumi
Jaring Insang Hanyut Pantai
Bouke Ami
Hand Line
Huhate
Purse Seine Pelagis Kecil
Jumlah
Jumlah Unit
440
129
118
100
99
55
15
14
8
2
980
Jumlah GT
113.932
19.760
23.360
6.354
13.084
3.995
2.029
1.834
529
147
184.024
Sumber : Dit. PUP, Ditjen Perikanan Tangkap (2011)
WPP Laut Arafura juga merupakan daerah operasi utama bagi kapal-kapal
perikanan berukuran di atas 30 GT. Secara ekonomi, usaha perikanan tangkap di
Laut Arafura adalah menguntungkan. Menurut Mangga Barani (2006), analisis
ekonomi usaha perikanan tangkap di Laut Arafura tahun 2003 menunjukkan
bahwa pukat udang dengan ukuran GT 100 – 150 GT mempunyai tingkat
keuntungan rata-rata Rp 31.260 per kilogram dengan nilai Benefit-Cost Ratio
(BCR) sebesar 3,52.
Keuntungan dan nilai BCR ini merupakan tertinggi
dibandingkan dengan usaha pukat udang dengan ukuran GT yang lainnya.
Selanjutnya untuk perikanan pukat ikan di laut dalam menghasilkan nilai BCR
rata-rata 1,53; sedangkan perikanan pancing rawai dasar mampu menghasilkan
nilai BCR rata-rata 1,9.
Tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura dapat
dilihat pada ilustrasi Gambar 9 yang menunjukkan densitas kapal per luasan
perairan di WPP tersebut (Ditjen Perikanan Tangkap, 2008). WPP lainnya dengan
densitas kapal perikanan tergolong tinggi yaitu WPP Laut Cina Selatan dan Laut
Natuna.
25
Gambar 9 Densitas kapal di WPP Laut Arafura
Hal tersebut diperkuat oleh hasil pemantauan oleh PUSKODAL Ditjen
Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SKKP)
menggunakan transmitter VMS (vessel monitoring system) yang diinstal pada
kapal perikanan berukuran > 100 GT atau kapal asing. Pada Gambar 10 tampak
tampilan layar di PUSKODAL KKP yang menunjukkan WPP Laut Arafura
merupakan wilayah perairan utama tempat beroperasinya kapal-kapal perikanan.
Gambar 10 Tampilan hasil pemantauan kapal perikanan di Ditjen PSDKP
26
Bila dikelompokkan berdasarkan ukuran (GT), kapal-kapal perikanan yang
beroperasi di WPP Laut Arafura terutama didominasi ukuran lebih dari 200 GT
dan 100 s/d 200 GT dengan komposisi didominasi oleh 5 jenis alat penangkap
ikan yaitu : pukat ikan, gillnet oseanik, pukat udang, pancing rawai dasar, dan
pancing cumi. Kapal pancing prawai dasar umumnya menggunakan kapal dengan
ukuran yang lebih kecil (30 s/d 60 GT).
Adapun lebih lengkap mengenai
distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap diuraikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap di WPP Laut Arafura
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Alat Tangkap
Pukat Ikan
Pukat Udang
Jaring Insang Hanyut Oseanik
Pancing Rawai Dasar
Pancing Cumi
Jaring Insang Hanyut Pantai
Bouke Ami
Hand Line
Huhate
Purse Seine Pelagis Kecil
Jumlah
30-60
0
1
13
93
1
20
10
0
3
1
60-100
2
51
14
11
28
27
4
14
5
0
100-200
141
75
31
2
66
7
1
0
0
1
>200
297
2
60
1
4
1
0
0
0
0
Jumlah
440
129
118
107
99
55
15
14
8
2
980
Sumber : Dit. PUP, Ditjen Perikanan Tangkap (2011)
Berdasarkan data Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (PUP),
Ditjen Perikanan Tangkap (2010), usaha perikanan tangkap di WPP Laut Arafura
dengan ukuran kapal di atas 30 GT dilakukan oleh 399 pelaku usaha, dengan
rincian : perorangan (291), perusahaan swasta (94), PMA (10), PMDN (3), dan
BUMN (1).
Untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT, KKP telah menetapkan
produktivitas masing-masing berdasarkan alat tangkap tersebut, yang dituangkan
kedalam Kepmen KP No. 60 Tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap
Ikan sebagaimana diuraikan pada Tabel 6 berikut.
27
Tabel 6 Produktivitas kapal penangkap ikan (Kepmen KP No. 60 Tahun 2010)
No
Alat Tangkap
1
Pukat Udang
2
Pukat Ikan Laut di Arafura
3
Pukat Ikan Selat di Malaka
4
Pukat Ikan di Samudera Hindia (Barat
Sumatera)
Pukat Ikan di Laut Cina Selatan
Long Line (Rawai Tuna)
Bottom Long Line (Pancing Prawai
Dasar)
Purse Seine Pelagis Kecil Pantura
Purse Seine Pelagis Kecil Selain Laut
Jawa
Purse Seine Pelagis Besar Tunggal
Purse Seine Pelagis Besar Group
Pole and Line (Huhate)
Hand Line
Jaring Insang Pantai
Jaring Insang Dasar
Jaring Insang Oseanik
Sguid Jigging (Pancing Cumi)
Bubu
Bouke Ami/Bagan Apung
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Long Bag Set Net
20
Payang
Sumber : KKP, 2010
Udang
Ikan
Ikan
Udang
Ikan
Udang
Ikan
Udang
Ikan
Ikan
Ikan
Produktivitas
(Ton/GT/tahun)
0,40
0,26
3,40
0,17
2,98
0,09
2,55
0,09
2,13
0,01
1,20
Ikan
Ikan
1,19
1,28
Ikan
Ikan
Cakalang, Tuna
Tuna
Ikan
Cucut/Pari
Ikan
Cumi-cumi
Ikan
Ikan dan Cumicumi
Ikan
Ikan
1,70
2,98
1,50
2,00
0,85
0,68
0,85
0,26
0,51
0,85
Hasil Tangkapan
0,85
0,85
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa baik pukat udang maupun pukat
ikan menghasilkan tangkapan berupa udang dan ikan meskipun komposisi
produktivitasnya berbeda. Produktivitas penangkapan pukat udang adalah berupa
udang sebanyak 0,4 ton/GT/tahun dan ikan 0,26 ton/GT/tahun.
Sedangkan
produktivitas penangkapan pukat ikan di Laut Arafura adalah berupa ikan
sebanyak 3,40 ton/GT/tahun dan udang 0,17 ton/GT/tahun.
Tabel 4 juga
memperlihatkan bahwa penangkapan ikan dengan alat pukat ikan yang di lakukan
di Arafura cenderung menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah lain seperti Selat Malaka, Samudera Hindia, dan Laut Cina
Selatan dengan alat yang sama.
Berdasarkan analisis terhadap laporan kegiatan usaha penangkapan ikan
yang diterima Ditjen Perikanan Tangkap, KKP dari pelaku usaha di Arafura
28
diperoleh angka produktivitas alat penangkap ikan. Gambar 11 memperlihatkan
produktivitas indikatif yang bersumber dari laporan kegiatan usaha penangkapan
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (PUP) untuk beberapa alat tangkap
utama di WPP Laut Arafura.
CPUE WPP L. ARAFURA (TON/GT)
1.40
1.20
Keterangan :
1.00
Pukat Ikan
Pukat Udang
Purse Seine Pelagis Kecil
Gill Net Oseanik
Pancing Cumi
Rawai Dasar
Bubu
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
1
2
3
2004
4
1
2
3
2005
4
1
2
3
2006
4
1
2
3
4
2007
TAHUN
Gambar 11 Indikatif produktivitas alat tangkap di WPP Laut Arafura berdasarkan
Laporan Usaha Penangkapan Ikan Dit. PUP, 2004 – 2007
Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa angka produktivitas
indikatif beberapa jenis alat tangkap berdasarkan pelaporan usaha penangkapan
ikan pada tahun 2005 sampai dengan 2007 umumnya lebih rendah dibandingkan
angka produktivitas Kepmen No. 60 Tahun 2010. Terlihat pula bahwa pukat ikan
dan pukat udang mengalami penurunan produktivitas pada akhir tahun 2007
mendekati 0,2 ton/GT, demikian pula untuk purse seine pelagis kecil.
Hasil survey BRKP yang dilaporkan dalam Jurnal Iptek Kelautan dan
Perikanan Masa Kini (2004) menunjukkan bahwa kondisi perairan Laut Arafura
sudah mulai tertekan, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berikut :
1. Rendahnya hasil tangkapan udang (1,19%) yang merupakan tujuan
utama dari penangkapan pukat (trawl).
29
2. Banyaknya trash fish berupa bangkai ikan sebesar 25,91% dari total
hasil tangkapan.
3. Komposisi jenis ikan relatif sedikit dengan didominasi jenis ikan
pemakan bangkai (scavenger) yaitu sejenis gulamah (Scanidae) dan
kepiting (Crabs) masing-masing sebanyak 38,47% dan 32,02% dari
total hasil tangkapan.
4. Kondisi perairan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah yaitu
1% dengan penyebaran hampir merata terutama di dasar perairan.
Pada jurnal yang sama, BRKP menyimpulkan bahwa stok ikan kakap
merah (Lutjanidae) di perairan Arafura diduga telah berada pada tingkat ‘fully
exploited’, bahkan sudah ‘overfished’ yang disebabkan oleh laju pergerakan yang
lambat (low rate of movement). Survey Balai Riset Perikanan Laut KKP Tahun
2007, yang dikutip oleh Maharaja (2008), menunjukkan terjadi kecenderungan
penurunan laju tangkap trawl di Laut Arafura yakni hasil tangkapan ikan 458
kg/jam pada tahun 2002, 589 kg/jam pada tahun 2003, kemudian menjadi 302
kg/jam pada tahun 2006.
Komposisi umum hasil tangkapan dari alat tangkap utama di WPP Laut
Arafura dituangkan kedalam Kepmen No. 60 tahun 2010 sebagaimana diuraikan
pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Komposisi hasil tangkapan (KKP, 2010)
Jenis Alat
Tangkap
Pukat Udang
Jenis Ikan
Nama Lokal
Udang Putih
Udang Windu
Udang lainnya
Jumlah
Gulamah
Kakap
Kuwe
Bawal Hitam
Bawal Putih
Layur
Moluska
Petek
Beloso
Kurisi
Kerong-kerong
Gerot-gerot
Lainnya
Jumlah
Nama Latin
Penaeus merguiensis
Penaeus monodon
Scianidae
Lutjanidae
Caranx sexfasciatus
Formio niger
Pampus argentus
Trichiurus savala
Leioghnatidae
Saurida spp
Nemipteridae
Therapon spp
Pomadasys spp
-
Persentase
40,0
28,0
32,0
100,0
33,7
1,7
0,3
0,6
0,9
1,3
0,9
18,2
6,0
7,5
6,9
6,8
15,2
100,0
30
Tabel 7 (lanjutan)
Jenis Alat
Tangkap
Pukat Ikan
Jaring Insang
Hanyut Oseanik
Pancing Rawai
Dasar
Pancing Cumi
Jenis Ikan
Nama Lokal
Udang Putih
Udang lainnya
Jumlah
Kurisi
Kuwe, Selar
Gulamah
Hiu, Cucut
Manyung
Kakap
Kembung
Layur
Biji Nangka
Pisang-pisang
Pari
Petek
Golok-golok
Cumi
Gerot-gerot
Kacangan
Kerapu
Bawal Hitam
Lidah, Sebelah
Sardine
Bawal Putih
Senangin
Beloso
Lainnya
Jumlah
Cakalang
Tongkol
Yellowfin “round”
Tenggiri
Cucut
Lainnya
Jumlah
Kakap
Kuwe, selar
Manyung
Cucut
Kerapu
Kurisi
Pari
Remang
Lainnya
Jumlah
Oceanic squid
Nama Latin
Penaeus merguiensis
Nemipteridae
Caranx sexfasciatus
Scianidae
Hemigalidae
Arius spp
Lutjanidae
Rastrelliger sp
Trichiurus savala
Mullidae
Caesio sp
Rhinobatidae
Leioghnatidae
Chirocentrus dorab
Loligo spp
Pomadasys spp
Sphyraena spp
Epinephelus spp
Formio niger
Cynoglosus
Clupeidae
Pampus argentus
Eletheronemo
tetradactylum
Saurida spp
Katsuwonus pelamis
Auxis thazard
Thunus alalunga
Scomberomorus spp
Hemigalidae
Lutjanidae
Caranx sexfasciatus
Arius spp
Hemigalidae
Epinephleus
Nemipteridae
Rhinobatidae
Congresox tabalon
Loligo spp
Persentase
80,0
20,0
100,0
12,0
7,0
10,0
3,0
8,0
5,0
5,0
5,0
9,9
2,8
2,3
9,5
1,1
1,1
0,6
0,5
0,5
0,3
0,3
3,9
0,1
0,1
5,4
6,6
100,0
40,0
10,0
20,0
5,0
5,0
20,0
100,0
30,0
3,0
5,0
15,0
15,0
10,0
10,0
5,0
7,0
100,0
100,0
Adapun informasi mengenai jenis-jenis alat tangkap utama yang
digunakan di WPP Laut Arafura adalah sebagai berikut :
31
(1) Pukat Ikan
Pukat Ikan atau Fish Net adalah jenis penangkap ikan berbentuk kantong
bersayap yang dalam operasinya dilengkapi 2 buah papan pembuka mulut (otter
board), tujuan utamanya untuk menangkap ikan perairan pertengahan (mid water)
dan ikan perairan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya ditarik
melayang di atas dasar hanya oleh 1 (satu) buah kapal bermotor.
Dasar Hukum Pengoperasian pukat ikan adalah : (1) Pasal 31 ayat (1)
huruf d. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001
tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia;
(2) Pasal 16 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan
Ikan. Pukat ikan hanya diizinkan pengoperasiannya di Wilayah Perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Cina Selatan, ZEEI Laut Arafura,
ZEEI Samudera Hindia, dan ZEEI Selat Malaka.
Hasil tangkapan utama Pukat
Ikan adalah jenis-jenis ikan yang hidup di perairan pertengahan. Sebagai hasil
sampingan kadang-kadang tertangkap juga ikan demersal terutama pada saat
tertentu dimana ikan demersal sedang melakukan migrasi vertikal (diurnal
migration). Pada Gambar 12 diperlihatkan desain gambar pukat ikan.
Pukat Ikan dioperasikan dengan cara ditarik menelusuri permukaan dasar
perairan oleh kapal bermotor dengan lama penarikan 1 – 2 jam tergantung
keadaan daerah penangkapannya. Daerah penangkapan yang dipilih adalah yang
permukaannya rata, berdasar lumpur atau lumpur pasir atau berpasir. Operasi
penangkapan dapat dilakukan baik siang atau malam hari tergantung keadaan.
Dalam operasi penangkapan, setiap unit alat tangkap Pukat Ikan hanya boleh
ditarik oleh 1 (satu) kapal penangkap.
32
Gambar 12 Desain alat Pukat Ikan (KKP, 2006)
(2) Pukat Udang
Pukat udang adalah jenis jaring berbentuk kantong dengan sasaran
tangkapannya udang. Jaring dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut
jaring (otter board) dan Turtle Exchuder Device/TED (Alat pemisah/untuk
meloloskan penyu), tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar
(demersal), yang dalam pengoperasiannya menyapu dasar perairan dan hanya
boleh ditarik oleh satu kapal motor.
Dasar Hukum Pengoperasian pukat udang yaitu : (1) Pasal 1 Keputusan
Presiden RI No. 85 tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. Dengan tidak
mengurangi ketentuan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 dan Instruksi
Presiden Nomor 11 tahun 1982, pukat udang dapat digunakan di perairan
Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan Laut Arafura dengan batas
koordinat 130o BT ke Timur, kecuali di perairan pantai dari masing-masing pulau
tersebut yang dibatasi oleh garis isobat 10 (sepuluh) meter; (2) Pasal 31 ayat (1)
huruf g. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001
tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI; (3) Pasal 16 ayat (1)
huruf d. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003
tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
33
Pukat udang dapat dipergunakan menangkap udang di perairan kepulauan
Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan laut Arafura dengan batas koordinat 130° BT
ke timur kecuali di perairan pantai dari masing-masing pulau tersebut yang
dibatasi oleh garis isobat 10 (sepuluh) meter.
Hasil tangkapan utama Pukat
Udang adalah jenis-jenis udang seperti udang putih (Penaeus indicus, Penaeus
merguiensis), udang krosok (Metapenolopsis sp) udang bago (Penaeus monodon)
dan jenis ikan sampingan berupa ikan-ikan demersal antara lain Petek (Leiognatus
sp), Kuniran (Upeneaus sp).
Metode pengoperasian Pukat Udang yaitu dengan cara ditarik menelusuri
dasar perairan menggunakan kapal bermotor. Lama penarikan pukat antara 1 – 2
jam tergantung keadaan daerah penangkapan. Daerah penangkapan yang dipilih
yang permukannya rata, berdasar lumpur atau lumpur pasir.
Operasi
penangkapannya dapat dilakukan pada siang maupun malam hari tergantung
keadaan. Dalam operasi penangkapan, setiap unit alat tangkap Pukat Udang
hanya boleh ditarik oleh 1 (satu) kapal penangkap. Desain gambar pukat udang
dan TED yang digunakan diperlihatkan masing-masing pada Gambar 13 dan
Gambar 14.
Gambar 13 Desain alat Pukat Udang (KKP, 2006)
34
Gambar 14 TED pada alat Pukat Udang (KKP, 2006)
(3) Jaring Insang
Jaring insang atau Gill net adalah alat penangkap ikan berupa lembaran
jaring berbentuk empat persegi panjang, pada bagian atasnya dilengkapi tali ris
dan pelampung sedangkan bagian bawah dilengkapi dengan tali ris dan pemberat
(tapi ada juga yang tanpa ris bawah, dan pemberatnya dapat juga berupa beberapa
baris mata jaring yang terbuat dari saran/coplymers PVD; dioperasikan di lapisan
permukaan, pertengahan atau dasar perairan arus laut.
Dasar hukum
pengoperasian jaring insang hanyut yaitu : (1) Pasal 31 ayat (1) huruf e.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang
Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (2)
Pasal 16 ayat (1) huruf e. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
Prinsip pengoperasian gill net adalah dengan cara dibentangkan melintang
arus selama beberapa jam. Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini
dapat dihanyutkan (drift gill net), dilabuh (set gill net) dan dilingkarkan
(encircling gill net). Besarnya ukuran mata jaring bervariasi disesuaikan dengan
sasaran ikan yang akan ditangkap. Ikan tertangkap pada jaring secara terjerat
35
(gilled) pada bagian belakang lubang penutup insang (operculum), dan terbelit
atau terpuntal (entangled).
Daerah operasi jaring insang menyebar hampir di seluruh perairan
Indonesia.
Hasil tangkapan Gill net permukaan berupa jenis-jenis ikan
pelagis, untuk gill net dasar hasil tangkapannya berupa jenis-jenis ikan demersal.
Gambar 15 memperllihatkan gambar desain alat tangkap jaring insang.
Gambar 15 Desain alat Jaring Insang, (KKP, 2006)
(4) Rawai Dasar
Ada beberapa jenis rawai dasar, salah satu diantaranya adalah rawai hiu
botol. Rawai ini mempunyai mata pancing yang banyak yang digantungkan pada
suatu tali yang panjang (main line) melalui tali penghubung yang disebut tali
cabang (branch line). Agar mata pancing dapat berada disekitar dasar perairan
secara menetap maka alat ini dilengkapi dengan pemberat dan pelampung yang
maksudnya agar tali utama yang menjadi gantungan pancing (tali cabang)
menetap pada posisi dan kedalaman tertentu. Karena tali cabang relatif pendek
yaitu (sekitar 5-10 m) maka untuk menjamin mata pancing berada di sekitar dasar,
tali pelampung relatif panjang sesuai dengan kedalaman perairan tempat operasi.
Dasar hukum pengoperasian pancing prawai dasar yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b.
dan ayat (3) PP No.54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
36
Metode penangkapan rawai dasar yaitu dengan cara dipasang relatif
menetap di dasar perairan dengan menggunakan jangkar, untuk menghindari
tersangkutnya dengan benda atau karang yang ada di dasar perairan. Ciri khas
alat tangkap rawai dasar ini adalah menggunakan pemberat dan tali cabangnya
relatif lebih pendek.
Pancing Rawai dasar dapat dioperasikan pada semua wilayah perairan
territorial Indonesia, dan wilayahnya operasinya pada Jalur I, II, dan III.
Hasil
tangkapan utama dari Pancing rawai dasar adalah jenis-jenis ikan yang hidup
didasar perairan. Sebagai hasil sampingan kadang-kadang tertangkap juga ikan
pelagis kecil terutama pada saat tertentu dimana ikan pelagis sedang melakukan
migrasi. Pada Gambar 16 diperlihatkan gambar desain pancing rawai dasar.
Gambar 16 Desain Pancing Prawai Dasar (KKP, 2006)
(5) Pancing Cumi
Pancing cumi (squid jigger) adalah pancing ulur yang terdiri dari banyak
mata pancing yang disusun menyerupai jangkar. Pada beberapa sentimeter diatas
mata pancing tersebut diikatkan umpan. Pancing ini khusus untuk menangkap
cumi-cumi. Cumi-cumi dapat tertangkap karena terkait sewaktu pancing disentak
ke atas. Dalam pengoperasiannya biasanya menggunakan perahu/kapal yang
dilengkapi dengan peralatan lampu sebagai penghimpun bawanan ikan.
37
Dasar hukum pengoperasian pancing cumi adalah : (1) Pasal 31 ayat (1)
huruf f. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001
tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia; (2) Pasal 16 ayat (1) huruf f. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan
Ikan.
Metode penggunaan Squid Jigger dengan cara menurunkan pancing secara
tegak lurus kedalam air kemudian menggerak-gerakkan ke atas dan ke bawah dan
sekali-sekali disentak ke atas. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari
dengan alat bantu lampu. Squid Jigger diijinkan pengoperasiannya di seluruh laut
wilayah dan ZEEI. Hasil tangkapan squid jigger adalah cumi-cumi atau juga
kembung, tondipang, selar, kuwe, malalugis dan lain-lain.
Gambar 17
memperlihatkan gambar desain alat pancing cumi.
Gambar 17 Desain alat Pancing Cumi (KKP, 2006)
Ditinjau dari aspek pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan,
wilayah perairan Arafura merupakan wilayah yang rawan kegiatan IUU fishing
baik dari dalam maupun luar negeri yang dipicu oleh nilai ekonomi sumberdaya
38
yang tinggi serta dari lemahnya pengawasan. Menurut Nikijuluw (2005) dalam
Wisudo (2011), ditaksir sekitar 1 juta ton setiap tahunnya ikan dicuri armada
perikanan asing atau sekitar Rp 2 milyar dolar AS yang hilang akibat kegiatan
tersebut. Jauh lebih besar lagi kerugian negara bila diperhitungkan tenaga kerja
yang tidak terserap, industri pengolahan ikan yang macet karena tidak ada bahan
baku, serta deplesai sumberdaya ikan.
Menurut Nurani et. al. (2006), IUU fishing (khususnya di Utara Papua)
banyak dilakukan oleh kapal asing dari negara Filipina, Taiwan, RC, Korea dan
lain-lain. Beberapa faktor penting terkait keberadaan IUU fishing di perairan ZEE
Indonesia antara lain : (1) terjadinya overfishing di negara-negara tetangga; (2)
lokasi perairan berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara tetangga; (3)
armada asing menggunakan teknologi canggih yang belum dimiliki armada
perikanan Indonesia; (4) masih lemahnya kekuatan armada lokal untuk
mengeksploitasi sumberdaya; dan (5) lemahnya upaya pengawasan. Pada Gambar
18 memperlihatkan bahwa perairan Arafura merupakan salah satu zona rawan
pelanggaran kegiatan penangkapan ikan.
Gambar 18 Peta zona kerawanan pelanggaran sumberdaya
kelautan dan perikanan
39
Untuk memberantas IUU fishing, sejak tahun 2003 KKP telah
menggiatkan pengawasan melalui patroli sendiri maupun operasi gabungan
dengan TNI-AL, TNI-AU dan Kepolisian.
Pada tahun 2003 telah dibangun
pangkalan kapal pengawas Kapal HIU 005 milik KKP di Merauke. Tahun 2003
operasi pengawasan KKP telah menindak 4 kapal ikan Indonesia dan 2 kapal ikan
asing pelaku IUU fishing. Operasi gabungan pada tahun 2003 dengan TNI-AL
telah menangkap10 kapal pelaku IUU fishing yang diadhoc ke Lanal Tual dan
Merauke.
Pada tahun yang sama, operasi dengan TNI-AU di Arafura telah
mendeteksi 241 kapal ikan berukuran > 50 meter tanpa bendera, tanpa nama, dan
tanpa kode yang diduga merupakan kapal trawl ganda (pair trawl).
IUU fishing oleh kapal-kapal perikanan umumnya berupa : kapal tidak
dilengkapi izin penangkapan, satu kapal untuk lebih dari satu izin penangkapan,
dokumen izin penangkapan palsu, transhipment, pelanggaran ketetuan dalam
perizinan seperti alat tangkap (jenis dan ukuran), daerah operasi (fishing ground),
dan ABK. Pada Tabel 8 diperlihatkan kapal perikanan pelaku IUU fishing yang
diproses di Maluku pada tahun 2005.
Tabel 8 Kapal pelaku IUU fishing di Maluku
No
1
2
3
Nama Kapal
Snukk-9
Bintuni Jaya 28
Harapan Tunas Jaya
4
Bali Jaya
5
6
7
8
9
10
11
12
Mitra 829
Fu Yuan Yu 163
Fu Yuan Yu 164
Kompak 29
Kompak 30
Fu Yuan Yu F 66
Insiko – 1604
Sheng Yih – No. 808
13
Bahari Timur – 121
14
Mutiara Jaya - 16
Sumber : Jurnal Barracuda (2005)
Pelanggaran
Izin kadaluarsa
Tanpa dokumen
• Komposisi ABK
• Keimigrasian (Dahsuskim)
• Komposisi ABK
• Keimigrasian (Dahsuskim)
Transhipment
Dokumen palsu
Dokumen palsu
Pair trawl
Pair trawl
Transhimpent bukan dalam group
Komposisi ABK
• Transhipment di tengah laut
• Membawa jaring lain (gill net)
• Transhipment di tengah laut
• Komposisi ABK tidak sesuai
• Mesh size jaring tidak sesuai
• Spesifikasi jaring tidak sesuai
• Spesifikasi mesin utama tudak sesuai
40
2.6 Perikanan Berkelanjutan
Definisi tentang perikanan berkelanjutan yang umum digunakan adalah
berdasarkan dokumen Burtland, Our Common Future, yaitu pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi
mendatang
untuk
memenuhi
kebutuhannya
(WCED,
1987).
Keberlanjutan membutuhkan pemahaman yang luas (wide recognition) dalam
sebuah bentuk integrasi yang mencakup aspek ekologi, sosial, ekonomi dan
institusi (Charles, 2001).
Wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma
konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori sejak lama oleh para
ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai
konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan
perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya
dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan manusia
dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut.
Kemudian pada tahun 1950-an, dominasi paradigma konservasi ini
mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma
rasionalitas (rationalization paradigm). Paradigma ini memfokuskan pada
keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi (economically rational or
efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep pencapaian
keuntungan maksimal dari sumberdaya bagi pemiliknya.
Hall (1998) menyatakan bahwa asumsi keberlanjutan paling tidak terletak
pada tiga aksioma dasar :
1. Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif
dalam jangka panjang.
2. Menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap
economic well-being.
3. Mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan.
Konsep ini dirasakan masih sangat normatif sehingga aspek operasional
dari konsep keberlanjutan ini pun banyak mengalami kendala. Perman et
al.,(1996) mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual keberlanjutan ini
dengan mengajukan lima alternatif pengertian :
41
1. Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang
diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi
tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption).
2. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam dikelola
sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa
mendatang.
3. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam (natural capital
stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining).
4. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola untuk
mempertahankan produksi jasa sumber daya alam.
5. Keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum keseimbangan
dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.
Charles (2001) seperti yang dikutip oleh Kusumastanto menambahkan
wacana baru tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas (community
paradigm). Dalam paradigma baru ini, keberlanjutan perikanan dicapai melalui
pendekatan “kemasyarakatan”.
Artinya, keberlanjutan perikanan diupayakan
dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan
sebagai sebuah sistem komunitas.
Konsep-konsep traditional fisheries yang
terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil tangkap, penggunaan
teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas
perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya
ketahanan perikanan dalam jangka jangka panjang (long-term resilience) menjadi
variabel yang penting dalam paradigma ini. Perikanan yang berkelanjutan bukan
semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau
keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu untuk keberlanjutan
komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan
institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari
perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya
keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan (Gambar 19).
Wisudo (2011) menekankan pentingnya pembangunan perikanan tangkap
nasional yang berkelanjutan atau bertanggung jawab sesuai amanat nasional dan
internasional melalui suatu terobosan yaitu dengan melakukan ‘reinventing’
42
(penemuan kembali) pembangunannya.
Pembangunan perikanan tangkap
nasional ke depan harus dilakukan dengan mengintegrasi dan mensinergikan
kebutuhan-kebutuhan dari semua aspek yang terlibat dalam sistem perikanan
tangkap secara optimum sesuai daya dukung (carrying capacity) serta sekaligus
menentukan indikator keberlanjutan yang tepat sebagai penentu keberhasilannya.
ecological
sustainability
Institutional
sustainability
economic
sustainability
community
sustainability
Gambar 19 Segitiga keberlanjutan sistem perikanan (Charles, 2001)
2.7 Teknik RAPFISH
Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat
dipahami, sampai sekarang masih dihadapi kesulitan dalam menganalisis atau
mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri, khususnya ketika
dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan
komponen (secara holistik), baik aspek ekologi, sosial, ekonomi, maupun etik.
Sejauh ini, untuk mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasi perikanan lebih
difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target terhadap referensi
biologi atau, pada beberapa kasus, referensi ekologi, seperti tingkat kematian ikan,
spawning biomass atau struktur umur (Smith, 1993).
Menurut Fauzi dan Anna (200), salah satu alternatif pendekatan sederhana
yang dapat digunakan untuk evaluasi status keberlanjutan dari perikanan tersebut
adalah Rapfish, yaitu suatu teknik multi-diciplinary rapid appraisal terbaru untuk
43
mengevaluasi comparative sustainability dari perikanan berdasarkan sejumlah
besar atribut yang mudah diskoring.
Dalam Rapfish, perikanan dapat saja
didefinisikan sebagai suatu entitas dalam lingkup luas, seperti misalnya perikanan
di WPP, atau dalam lingkup sempit, misalnya dalam satu jurisdiksi, target spesies,
tipe alat tangkap, atau kapal. Sejumlah atribut perikanan dapat dibandingkan, atau
bahkan trajektori waktu dari individual perikanan dapat diplot. Atribut dari setiap
dimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan,
serta dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh. Ordinasi
dari set atribut digambarkan menggunakan multi-dimensional scaling (MDS).
Rapfish akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif
mengenai kondisi sumber daya perikanan, khususnya perikanan di daerah
penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan
yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, sebagaimana disyaratkan dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries (FAO, 1995). Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries)
adalah teknik terbaru yang dikembangkan oleh University of British Columbia,
Kanada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari
perikanan secara multidisipliner.
Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi
(menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MultiDimensional Scaling (MDS) yaitu teknik statistik yang mencoba melakukan
transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam
Rapfish menyangkut aspek keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial,
dan etik. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan
sustainability, sebagaimana diisyaratkan dalam FAO-Code of Conduct. Prosedur
Rapfish menurut Alder et. al. (2010) mengikuti struktur pada Gambar 20.
Secara umum, analisis Rapfish dimulai dengan me-review atribut dan
mendefinisikan perikanan yang akan dianalisis (misalnya vessel-base, area-base,
atau berdasarkan periode waktu), kemudian dilanjutkan dengan skoring, yang
didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish. Setelah itu dilakukan
MDS untuk menentukan posisi relatif dari perikanan terhadap ordinasi good dan
bad dengan skala 0 – 100. Skala penilaian kriteria keberlanjutan yang digunakan
44
menurut Kavanagh (2001) yaitu : 0 – 25 (buruk), 26 – 50 (kurang), 51 – 75
(cukup), 76 – 100 (baik).
Gambar 20 Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan
(Alder, et.al., 2000)
Selanjutnya, analisis Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk
menentukan aspek ketidak-pastian dan anomali dari atribut yang dianalisis.
Pemilihan MDS dalam analisis Rapfish dilakukan mengingat metode multivariate analysis yang lain, seperti factor analysis dan Multi-Attribute Utility
Theory (MAUT), terbukti tidak melahirkan hasil yang stabil (Pitcher and
Preikshot, 2001). Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati dipetakan ke
dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan
ada sedekat mungkin dari titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang
sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, objek atau
titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan.
Di dalam penelitian, prosedur analisis Rapfish dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu :
1. Analisis terhadap data perikanan melalui data statistik, studi literatur, dan
pengamatan di lapangan.
2. Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur dengan MS Excell.
45
3. Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan
ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma.
4. Melakukan "rotasi" untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad
dan good dengan Excell dan Visual Basic.
5. Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) dan Monte Carlo
analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.
2.8 Perizinan dan Industri Perikanan Tangkap Terpadu
Perizinan pada hakekatnya adalah alat pengendalian (input control)
pemanfaatan sumberdaya ikan yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
pengelolaan. Tujuan-tujuan pengelolaan tersebut bersifat kompleks antara lain
mencakup : kelestarian sumberdaya ikan, kesejahteraan nelayan, penerimaan
negara, dan lain-lain. Pemerintah Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UU No.
45 Tahun 2010 tentang Perikanan serta Permen Kelautan dan Perikanan (KP) No.
39 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, membagi otoritas atau
kewenangan pemberian perizinan berdasarkan ukuran GT kapal perikanan yaitu :
kewenangan Pusat untuk kapal berukuran lebih atau sama dengan 30 GT, dan
kewenangan Daerah untuk kapal berukuran kurang dari 30 GT.
Selain itu,
kewenangan Pusat berlaku pula untuk perizinan kapal dengan menggunakan unsur
asing, baik modal maupun tenaga kerja yang digunakan. Secara umum dikenal 2
jenis izin perikanan yaitu : izin usaha perikanan dan izin penangkapan/
pengangkutan ikan. Surat izin usaha perikanan (SIUP) diberikan kepada badan
usaha atau perseorangan untuk berusaha di bidang penangkapan ikan, sedangkan
surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI)
diberikan kepada masing-masing kapal yang alokasinya telah tercantum dalam
SIUP untuk melaksanakan operasi penangkapan/pengangkutan ikan.
Sejak dikeluarkannya Permen 05 Tahun 2008 yang kini direvisi menjadi
Permen KP No. 12 Tahun 2009 dan terakhir Permen KP No. 39 Tahun 2011 maka
usaha perikanan tangkap harus dilaksanakan secara terpadu. Usaha perikanan
tangkap terpadu didefinisikan sebagai usaha perikanan yang minimal terdiri dari 2
(dua) jenis kegiatan yakni penangkapan dan pengolahan ikan. Usaha perikanan
tangkap terpadu ini dapat juga meliputi pemasaran, jasa dan lain-lain. Dengan
46
demikian, setiap badan usaha atau perorangan yang melakukan usaha
penangkapan ikan wajib pula melakukan pengolahan ikan sehingga dapat
memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, serta
peningkatan pendapatan/ kesejahteraan masyarakat.
Usaha perikanan tangkap
terpadu memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai yang disuplai
oleh industri pendukung atau industri terkait di hulu maupun hilir.
47
3 METODE UMUM PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2010 yang
meliputi tahap-tahap : persiapan, pengumpulan data primer/sekunder, dan
pengolahan/analisa data. Pengumpulan data primer dilakukan di di sentra-sentra
utama usaha perikanan yang berbasis di Laut Arafura seperti Ambon, Tual,
Kaimana, dan Merauke. Secara geografis WPP Laut Arafura berada di wilayah
perairan provinsi Papua Tengah, Papua Timur dan sebagian kecil Maluku
(Gambar 21).
132o
136o
140o
0o
4o
8o
Gambar 21 Peta pulau Papua dan sebagian Maluku (WPP Arafura)
48
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian adalah sebagai berikut :
1. Review terhadap dimensi dan komponen keberlanjutan perikanan
melalui studi literatur dan analisis.
2. Mengevaluasi status keberlanjutan perikanan di lokasi penelitian.
3. Membandingkan keberlanjutan berdasarkan jenis alat tangkap sebagai
dasar pengembangan industri perikanan tangkap terpadu.
4. Melakukan optimasi sistem pengelolaan yang berkelanjutan terhadap
industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian.
5. Merumuskan sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu
melalui mekanisme pengalokasian izin perikanan.
Lingkup sasaran penelitian adalah usaha perikanan tangkap skala industri
di WPP Laut Arafura yaitu dengan batasan definisi usaha perikanan tangkap yang
menggunakan kapal berukuran diatas 30 GT atau mendapatkan izin perikanan dari
Pemerintah.
Adapun tahapan kegiatan penelitian meliputi pembuatan dan
penyempurnaan
proposal,
pembuatan
kuesioner,
organisasi
pembiayaan,
pengumpulan data, pengolahan data, penulisan draft laporan, seminar, dan
penulisan laporan akhir. Selain pengumpulan data di lapangan, seluruh kegiatan
dilakukan di Bogor.
3.3 Kerangka Metodologi
Kerangka metodologi penelitian sebagaimana diuraikan pada Gambar
22 yang meliputi analisis keberlanjutan perikanan secara multidimensional serta
analisis optimasi usaha atau industri penangkapan berbasis alat tangkap.
Selanjutnya diidentifikasi sistem pengelolaan industri perikanan tangkap yang
berkelanjutan.
49
Mulai
Tujuan Penelitian
Deskripsi Umum
Kondisi Lokasi Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Aspek ekologi
(dan stok)
Aspek ekonomi
Aspek sosial
Aspek teknologi
Pengolahan dan
Analisis Data
DESKRIPTIF
Skoring
atribut
RAPFISH
Status Keberlanjutan
Perikanan Tangkap
Alat Tangkap
Berkelanjutan
Atribut-atibut
Sensitif
OPTIMASI
Alokasi optimal alat
tangkap prioritas
Pengalokasian Unit Penangkapan
Ikan
Implementasi Sistem Pengelolaan Industri
Perikanan Tangkap Terpadu
Selesai
Gambar 22 Kerangka metodologi penelitian
Aspek etika
50
3.4 Metodologi
3.4.1 Analisis RAPFISH
Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada
urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu
teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam
dimensi yang lebih rendah.
Dimensi dalam Rapfish menyangkut aspek
keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Dimensi dan
atribut yang digunakan mengacu kepada Pitcher dan Preikshot (2001), dalam
penelitian ini sedikit dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian dan kondisi
lapangan (Tabel 9).
Prosedur analisis Rapfish dimulai dengan me-review atribut dan
mendefinisikan/mengelompokkan perikanan yang akan dianalisis, penelitian ini
mendefinisikan perikanan berdasarkan alat penangkap ikan di WPP Laut Arafura.
Hal ini dilakukan dengan menganalisis alat tangkap yang dominan berdasarkan
data sekunder. Tahap selanjutnya adalah skoring terhadap atribut yang diperoleh,
yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish.
Setelah itu
dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif dari perikanan terhadap ordinasi
good dan bad. Selanjutnya, analisis Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk
menentukan aspek ketidakpastian dan anomali dari atribut yang dianalisis. Proses
ini dilakukan dengan bantuan Aplikasi MS Excel.
Tabel 9 Dimensi dan atribut dalam analisis RAPFISH
Dimensi
Ekologi
Ekonomi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Atribut
Status eksploitasi
Keragaman rekrutmen
Jarak migrasi
Tingkatan kolaps
Ukuran ikan tangkapan
Tangkapan pra-maturity
Discarded by catch
Spesies tangkapan
Kontribusi pada PNBP
Gaji atau upah rata-rata
11
12
13
Pembatasan masuk
Sifat pemasaran
Pendapatan lain
14
Ketenagakerjaan
Kriteria
Under exploited s/d kolaps
Nilai koefisien keragaman
Jumlah yurisdiksi terkait daur hidup
Pengurangan lokasi area tangkap
Perubahan selama 5 tahun terakhir
Proporsi terhadap hasil tangkapan
Proporsi terhadap target hasil tangkapan
Jumlah spesies termasuk by-catch
Rendah s/d tinggi
Perbandingan gaji nelayan terhadap lain
pekerja
Open access s/d banyak
Kuota s/d ’share’
Penangkapan dilakukan sambilan s/d fulltime
Proporsi aktivitas ini terhadap lain perikanan
51
Tabel 9 (lanjutan)
Dimensi
Sosial
Teknologi
Etika
No
15
Kepemilikan
Atribut
Kriteria
Profit perikanan terutama untuk lokal s/d
asing
Lokal s/d asing
Tidak ada s/d penuh
Rendah s/d tinggi
16
17
18
19
Pasar utama
Subsidi
Konsumsi BBM
Sosialisasi penangkapan
20
Pendatang baru
Proporsi selama 10 tahun terakhir
21
Sektor penangkapan
Proporsi RTP nelayan dalam komunitas
22
Pengetahuan lingkungan
Tidak tahu s/d banyak mengetahui
23
Tingkat pendidikan
Terhadap rata-rata penduduk
24
Status konflik
Keberadaan konflik dengan perikanan/sektor
lain
25
Keterlibatan tenaga kerja lokal
Rendah s/d tinggi
26
Pengaruh nelayan
Terhadap regulasi aktual
27
Pendapatan penangkapan
Proporsi terhadap total pendapatan keluarga
28
Partisipasi keluarga
Adanya anggota keluarga menjual atau
memproses hasil tangkapan
29
Lama trip
Rata-rata hari setiap trip
30
Penyebarannya
31
Tempat pendaratan (pelabuhan
perikanan)
Pengolahan pra-jual
32
Penanganan di kapal
Teknologi yang digunakan
33
Selektivitas alat tangkap
Tingkat selektivitas dan upaya
peningkatannya
34
Ada tidaknya FADs
35
Penggunaan FADs (fish attracting
devices)
Ukuran kapal
36
Perubahan daya tangkap
Perubahan selama 5 tahun terakhir
37
Efek samping alat tangkap
Tidak ada efek s/d efek merusak
38
Keterpautan historis dan/atau
geografis
Kedekatan dan keterkaitan
39
Pilihan perikanan
Keberadaan pilihan kegiatan perikanan
40
Kesetaraan berkegiatan
Ketepatan/keadilan pengelolaan
Pertimbangan basis tradisi atau historis
41
42
Mitigasi-Destruksi habitat
Tingkat mitigasi dan destruksi
43
Mitigasi-deplesi ekosistem
Tingkat mitigasi dan deplesi
44
Penangkapan yang melanggar aturan
Keberadaan pelaggaran kegiatan perikanan
45
Buangan dan limbah
Keberadan buangan/limbah
Target sosialisasi
Keberadaan pengolahan pra-jual
Rata-rata panjang kapal
Pola pengelolaan dengan keterlibatan
masyarakat
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi
Menurut Fauzi dan Anna (2005), teknik ordinasi (penentuan jarak) di
dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n
dapat ditulis sebagai berikut :
52
d =
√ ( │x 1 – x 2 │2 + │y1 – y2 │2 + │z1 – z2│2 + …. )
….
(1)
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS
kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian ( d ij ) dari titik i ke
titik j dengan titik asal ( δ ij ) sebagaimana persamaan berikut :
d ij = α + β δ ij + ε …………………………………....
(2)
Selanjutnya menurut Alder et. al. (2000) dalam Fauzi dan Anna (2005)
untuk meregresikan persamaan (2) digunakan algrotima ALSCAL.
Metode
ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat (squared distance = d ijk ) terhadap data
kuadrat (titik asal = o ijk ), yang dalam tiga dimensi (i,j,k) ditulis dalam formula
yang disebut S-Stress sebagai berikut :
.…….....
(3)
dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis :
………..….…
(4)
Untuk mengukur kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan
titik asal menjadi sangat penting. Godness of fit dalam MDS tidak lain adalah
mengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari suatu titik dapat
mencerminkan data aslinya.
Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari
besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang
rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan
sebaliknya. Dalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan nilai stress yang lebih
kecil dari 0,25 ( S < 0,25).
53
3.4.2 Analisis optimasi perikanan tangkap terpadu
Analisis
optimasi
perikanan
tangkap
terpadu
dilakukan
dengan
menggunakan linear goal programming (LGP) yaitu teknis yang digunakan untuk
menganalisis kebutuhan optimum dari suatu kegiatan dengan tujuan ganda.
Menurut Stevenson (1989), goal programming meupakan variasi dari model
linear programming yang digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai
banyak sasaran.
Model linear goal programming merupakan perluasan dari model linear
programming yang ditambah dengan sepasang variabel deviasional yang akan
muncul pada fungsi tujuan dan fungsi kendala tujuan (goal constraint). Fungsi
variabel deviasional adalah menampung penyimpangan atau deviasi yang akan
terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai ruas kanannya.
Dalam penelitian ini, model linear goal programming digunakan untuk
menentukan alokasi unit penangkapan untuk komoditi atau jenis sumberdaya
ikan.
Faktor atau variabel yang diperhatikan antara lain adalah ketersediaan
sumberdaya ikan.
Mengacu kepada Haluan et al (2004), Siswanto (1990), dan Muslich
(1993), model LGP untuk penentuan alokasi optimum dari berbagai alat tangkap
yang digunakan pada suatu lokasi adalah :
Fungsi tujuan :
Z = ∑ ( DBi + DAi ) ...............................................................
(5)
Fungsi pembatas :
DB 1 – DA1 + a 11 x 1 + a 12 x 2 + ...... + a 1n x n = b 1
.............................
(6)
DB 2 – DA2 + a 21 x 1 + a 22 x 2 + ...... + a 2n x n = b 2
.............................
(7)
DB m – DAm + a m1 x 1 + a m2 x 2 + ...... + a mn x n = b m
......................
(8)
dimana :
Z = total deviasi yang akan diminumumkan. Total deviasi merupakan
penjumlahan dari deviasi fungsi pembatas ke-1 sampai ke-m.
54
DB i = deviasi bawah pembatas ke-i
DAi = deviasi atas pembatas ke-i
b i = kapasitas/ketersediaan pembatas ke-i
a ij = parameter fungsi pembatas ke-i pada variabel keputusan ke-j
Pembatas ke-i = potensi sumberdaya ikan, dan lain-lain
x j = variabel putusan ke-j (jumlah dan alat tangkap)
x j , DAi , DB i > 0, untuk i = 1, 2, ...., m; dan j = 1, 2, ...., n
3.4.3 Pendekatan sistemik industri perikanan tangkap terpadu
Pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan persoalan yang
terdiri dari : (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi masalah (3) formulasi
permasalahan, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi
fisik, sosial, dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan.
Langkah ke-1 sampai ke-6 dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal
dengan analisis sistem (Eriyatno, 1998). Gambar 23 memperlihatkan tahapan dari
analisis sistem sebagaimana disebutkan.
Analisis sistem antara lain mencakup :
1) analisis kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem pengelolaan industri
perikanan tangkap terpadu, misalnya : Pemerintah (Pusat dan Daerah),
pelaku usaha (nelayan, pemilik kapal, pengolah, pemasar ikan),
masyarakat dan lain-lain.
Analisis kebutuhan diperoleh melalui
wawancara langsung responden yang mewakili masing-masing aktor.
2) identifikasi dan formulasi permasalahan yang mencakup pengelolaan
perikanan optimal berkelanjutan.
Identifikasi dilakukan berdasarkan
wawancara langsung dan data sekunder.
3) pembentukan alternatif sistem. Sistem direpresentasikan melalui diagram
input-output dan diagram umpan balik yang menggambarkan seluruh
komponen sistem pengelolaan perikanan yang diteliti termasuk hubungan
antar elemen didalamnya serta batasan-batasan yang digunakan.
55
Kebutuhan Dasar
Analsis Kebutuhan
Tidak
absah ?
lengkap ?
Ya
Pernyataan kebutuhan
Formulasi permasalahan
Tidak
cukup ?
Ya
Identifikasi Sistem
Diagram Lingkar
Diagram Kotak Gelap
Tidak
Lengkap ?
Ya
INPUT-OUTPUT
parameter rancang
bangun
Rekayasa Awal Model
Tidak
OK ?
Ya
Diagram Alir
Deskriptif
Gambar 23 Tahap dalam pendekatan/analisis sistem
Selanjutnya menurut Eriyatno (1998) dalam transformasi input menjadi
output sistem, elemen atau entity dari suastu sistem perlu dibedakan dari
subsistem yang membangunnya. Subsistem dibangun oleh bagian-bagian dari
sistem yang masih berhubungan satu dengan yang lainnya pada tingkat resolusi
tertinggi, sedangkan elemen dari suatu sistem adalah bagian sistem yang terpisah
pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing subsistem saling berinteaksi
56
untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar beberapa subsistem terjadi karena
output dari suatu sistem dapat menjadi input sistem lain. Proses transformasi
yang dilakukan oleh suatu elemen dari suatu sistem dapat disajikan dalam bentuk
matematik, operasi logic, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal
dengan konsep kotak gelap (black box). Gambar 24 mengilustrasikan diagram
input-output atau kotak gelap.
Input lingkungan
Input terkontrol
Output dikehendaki
SISTEM
Input tidak terkontrol
Output tidak dikehendaki
MANAJEMEN
PENGENDALIAN
Gambar 24 Diagram input-output sistem
3.5 Data dan Sumber Data
Data yang diperlukan dalam analisis status keberlanjutan mencakup atribut
(indikator-indikator) dari beberapa dimensi keberlanjutan mengacu kepada Pitcher
dan Preikshot (2001) yang telah dimodifikasi. Indikator keberlanjutan perikanan
tersebut berjumlah 45 dari 5 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan
etika. Jenis data yang diperlukan antara lain data primer dan data sekunder.
Metode pengumpulan data untuk RAPFISH antara lain melalui : studi literatur,
survey/pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan responden
menggunakan kuesioner, dan analisis data primer dan sekunder.
57
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keberlanjutan Perikanan Laut Arafura Secara Multidimensi
4.1.1
Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi
Menurut Fauzi dan Anna (2002), konsep pembangunan perikanan yang
berkelanjutan secara ekologi (ecological sustainability) yakni memelihara
keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta
peningkatan kapasitas dan ekosistem menjadi perhatian utama. Secara ekologi,
kegiatan perikanan dapat berkelanjutan apabila dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratan pokok diantaranya adalah terjaminnya tingkat pertumbuhan,
terjaganya daya dukung lingkungan perairan, dan tingkat pemanfaatan yang
terkendali. Menurut King and Ilgorm (1989), pengelolaan sumberdaya perikanan
yang berkelanjutan secara ekologi juga diartikan sebagai suatu upaya konservasi
stok untuk menghindari penangkapan yang berlebihan.
Penentuan atribut pada dimensi ekologi dilakukan dengan mengacu pada
indikator yang digunakan dalam RAPFISH dan disesuaikan dengan kondisi aktual
kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Keberlanjutan perikanan dalam
dimensi ekologi pada pendekatan RAPFISH ini terdiri atas 9 atribut mengacu
Pitcher and Preikshot (2001) yang dimodifikasi, antara lain: status eksploitasi,
keragaman rekruitmen, perubahan trophic level, jarak migrasi, tingkatan kolaps,
perubahan ukuran ikan tangkapan, tangkapan pra-maturity, discarded by catch,
dan spesies tangkapan.
Atribut dimensi ekologi diuraikan pada Tabel 10
sedangkan definsi dari masing-masing atribut pada dimensi ekologi diuraikan
pada Tabel 11.
1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi ekologi
(1) Status eksploitasi
Berdasarkan data KKP (2011), status sumberdaya ikan di Arafura secara
umum dalam keadaan overexploited. Data KKP tersebut menyebutkan status
eksploitasi di Laut Arafura yaitu overexploited untuk ikan demersal, fully-
58
exploited untuk udang, dan moderate untuk ikan pelagis kecil (warna hijau).
Jenis-jenis ikan demersal yang sudah overexploited yaitu : manyung, kurisi,
kuniran, swanggi, beloso, gulamah, dan kakap merah.
Tabel 10 Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekologi
No.
Atribut
1. Status eksploitasi
Skor
Kriteria pemberian skor
0; 1; 2; 3 Skala : under- (0); fully- (1); heavy-(2); over-exploited
(3);
2. Keragaman rekrutmen
0; 1; 2
Koefisien keragaman: < 40% (0); 40 - 100% (1); >
100% (2)
3. Perubahan trophic level 0; 1; 2
Penurunan trophic level dalam ekosistem: tidak (0);
perlahan (1); cepat (2)
4. Jarak migrasi
0; 1; 2
Jumlah jurisdiksi yang terkait selama daurhidup: 1-2 (0); 3-4 (1); >4 (2)
5. Tingkatan kolaps
0; 1; 2
Pengurangan lokasi area tangkap: tidak (0); sedikit (1);
banyak dan cepat (2)
6. Ukuran ikan tangkapan 0; 1; 2
Didaratkan berubah 5 tahun terakhir?: tidak berubah (0);
ya gradual (1); ya cepat (2)
7. Tangkapan pra-maturity 0; 1; 2
Terhadap hasil tangkapan: tidak ada (0); beberapa
(>30%) (1); > 60% (2)
8. Discarded by catch
0; 1; 2
Terhadap target hasil tangkapan: rendah 0-10% (0);
sedang (10 - 40%) (1); > 40% (2)
9. Spesies tangkapan
0; 1; 2
Termasuk by-catch: 1 - 10 (0); 10 - 100 (1); >100 (2)
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi
Tabel 11 Definisi atribut pada dimensi ekologi
No.
1.
Atribut
Status eksploitasi
2.
Keragaman rekruitmen
3.
Perubahan trophic level
4.
5.
6.
Jarak migrasi
Tingkatan kolaps
Ukuran ikan tangkapan
7.
Tangkapan pre-maturity
8.
Discarded by catch
9.
Spesies tangkapan
Definisi
Perbandingan potensi dan produksi/tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan
Kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan
atau jumlah individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan
penangkapan untuk pertama kali setiap tahun (misalnya akibat
terjadinya perubahan musim)
Perubahan jenis ikan sasaran dan atau perubahan ukuran (pada
jenis ikan yang sama) dibandingkan dengan ukuran yang lazim
ditangkap
Jarak migrasi dari jenis ikan sasaran selama daur hidupnya
Tingkatan berkurangnya lokasi penangkapan ikan
Keragaman ukuran ikan yang ditangkap menurut operasi
penangkapan dalam periode waktu tertentu
Proporsi produksi jenis ikan target yang belum dewasa
terhadap total total produksi
Sejumlah ikan tangkapan yang tidak dimanfaatkan atau
dibuang nelayan karena tidak memiliki nilai ekonomis penting
atau pertimbangan lain
Jumlah species tangkapan yang diperoleh dari operasi
penangkapan ikan, termasuk jenis by catch
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001)
59
Penggunaan pukat ikan di Laut Arafura dan perairan lain pada umumnya
memberikan dampak eksploitasi yang tinggi pada sumberdaya ikan oleh karena
alat ini sangat produktif dan bersifat aktif. Status eksploitasi ikan pelagis kecil
sebagai target penangkapan pukat ikan terindikasi moderat, ikan demersal juga
sering tertangkap alat ini dan kondisinya sudah overfished. Pukat ikan pada masa
lalu dikenal sebagai pukat harimau (trawl) yang mampu mengeruk ikan pada
kolom perairan maupun bagian dasar perairan.
Produktivitas pukat ikan
berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010 sangat tinggi yaitu mencapai 3,57
ton/GT/tahun. Berdasarkan hal tersebut maka status eksploitasi perikanan pukat
ikan dapat diberikan skor 2.
Penggunaan gillnet oseanik tidak terlalu memberikan dampak eksploitasi
yang tinggi pada sumberdaya ikan karena alat ini bersifat selektif dan pasif.
Produktivitas gillnet oseanik mencapai 0,85 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60
tahun 2010).
Target spesies gillnet oseanik adalah ikan-ikan pelagis yang
kondisinya masih moderate atau belum diketahui dengan pasti (uncertain). Status
eksploitasi untuk perikanan gillnet oseanik layak diberikan skor 0.
Untuk pukat udang, meskipun produktivitasnya hanya 0,4 ton/GT/tahun
(Permen KP No. 60 tahun 2010) tetapi status eksploitasi sumberdaya udang di
Arafura sebagai target spesies sudah mengalami fully-exploited.
Selain itu,
sumberdaya udang juga sangat rentan oleh karena penyebarannya yang terbatas
dan tidak melakukan migrasi atau ruaya. Status eksploitasi untuk perikanan pukat
udang dapat diberikan skor 3.
Pada perikanan pancing cumi, eksploitasi sumberdaya cumi-cumi
dilakukan seiring datangnya musim yaitu pada Juni – Desember.
Status
sumberdaya cumi di WPP Arafura masih underexploited (BRKP-LIPI, 2001).
Produktivitas pancing cumi hanya 0,26 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun
2010) dan alat ini tergolong sangat selektif. Status eksploitasi untuk perikanan
pancing cumi dapat diberi skor 0. Pancing rawai dasar termasuk alat penangkap
ikan yang selektif dan bersifat pasif. Produktivitas pancing rawai dasar mencapai
1,2 ton/GT/tahun. Meskipun ikan demersal sebagai target spesies statusnya sudah
overexploited tetapi kontribusi perikanan pancing rawai dasar terhadap kondisi ini
60
diperkirakan kecil oleh karena sifatnya yang selektif.
Kontribusi perikanan
terhadap tingkat eksploitasi ikan demersal lebih banyak disebabkan oleh
penggunaan alat tangkap jenis pukat. Skor status eksploitasi untuk perikanan
pancing rawai dasar diberikan nilai 1.
(2) Keragaman rekrutmen
Menurut Cadima (2003), rekrutmen ke fase eksploitasi adalah jumlah
individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan penangkapan untuk pertama
kali setiap tahun. Rekrutmen ikan pada suatu kawasan perairan secara sederhana
dapat ditandai dengan kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara di lapangan, ikan-ikan yang
tertangkap oleh pukat udang dan kadang-kadang oleh pukat ikan ditemui ikanikan muda jenis demersal, udang maupun pelagis, antara lain: peperek, beloso,
udang, kurisi, kembung, layang dan kadang-kadang cumi-cumi. Dengan asumsi
bahwa ikan target spesies berkorelasi dengan jenis alat penangkap ikan yang
digunakan maka untuk semua jenis alat penangkap ikan dimana dijumpai target
spesies berukuran kecil (recruiter) maka alat tersebut jelas memiliki nilai tingkat
keragaman tertentu.
Hasil tangkapan pukat udang cukup baik menggambarkan komposisi ikan
secara umum untuk seluruh jenis alat penangkap ikan.
Menurut Purbayanto
(2008) bahwa hasil penelitian KM. Bawal Putih II yang menggunakan pukat
udang pada periode 1995-1998 melaporkan bahwa produksi rata-rata antara udang
dan ikan memiliki rasio 1:9 yang berarti setiap 1 kg udang yang tertangkap maka
terdapat juga ikan yang tertangkap sebanyak 9 kg. Berdasarkan informasi ini,
koefisien keragaman dari rekrutmen jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh kelima
alat tangkap di atas dapat ditentukan secara garis besar. Sesuai pilihan yang
disediakan dalam atribut RAPFISH, untuk keragaman rekrutmen perikanan pukat
udang dan pukat ikan tinggi diperkirakan masing-masing sekitar 60%. Sedangkan
pada perikanan gillnet oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi
diperkirakan cukup rendah yaitu masing-masing 20%. Perkiraan ini ditetapkan
sebagai gambaran umum dan memerlukan klarifikasi melalui suatu kajian khusus
61
yang bertujuan mengukur recruitment variability secara spesifik.
Dengan
demikian keragaman rekrutmen untuk semua jenis alat penangkap ikan
diperkirakan berkisar 20 sampai 60% sehingga berdasarkan ketentuan RAPFISH
skornya adalah 1.
(3) Jarak migrasi
Sumberdaya ikan di perairan secara umum hidup pada bagian dasar
perairan (jenis udang dan ikan demersal), dan pada bagian kolom perairan (jenis
ikan pelagis dan cumi). Ikan-ikan tangkapan utama di perairan ini yaitu udang,
kakap merah, kakap putih, kembung, kuwe, tenggiri, kuro/senangin, manyung,
dan lain-lain adalah jenis ikan yang beruaya tidak terlalu jauh, apalagi jika
dibandingkan ikan tuna sebagai Highly Migratory Species (HMS).
Ikan-ikan yang tertangkap oleh pukat ikan umumnya tidak bermigrasi jauh
sehingga sedikit keterkaitan dengan wilayah yurisdiksi lain selain pada fishing
ground yang bersangkutan.
Asumsi yang digunakan adalah satu yurisdiksi
merupakan satu WPP sehingga bisa meliputi perairan nasional maupun ZEEI.
Pukat ikan menangkap target ikan-ikan pelagis atau demersal dan juga
udang sebagai by-catch.
Ikan-ikan pelagis tergolong jenis ikan yang dapat
beruaya tetapi masih dalam WPP Arafura saja yaitu di wilayah perairan Papua dan
Maluku. Skor untuk jarak migrasi perikanan pukat ikan nilainya 0.
Pukat udang adalah alat penangkap ikan yang memiliki target spesies
udang sebagai spesies yang hidup menetap atau sedentary species (tidak
melakukan ruaya).
Analog dengan pukat ikan, bahwa pukat udang juga
menangkap jenis-jenis ikan dan cumi sebagai spesies non-target. Skor untuk jarak
migrasi perikanan pukat ikan juga bernilai 0.
Ikan-ikan yang tertangkap dengan gillnet oseanik umumnya dari jenis
pelagis besar dan kecil yang dapat bermigrasi secara terbatas di wilayah perairan
Papua dan Maluku (satu WPP) sehingga skor jarak migrasinya juga 0. Pancing
rawai dasar khusus menangkap ikan demersal yang tidak melakukan ruaya
sehingga skor jarak ruayanya adalah 0.
62
Ikan cumi sebagai target spesies pancing cumi tidak melakukan ruaya jauh
sehingga tidak ada yurisdiksi lain di perairan Arafura yang terkait. Skor jarak
migrasi pancing cumi juga bernilai 0.
(4) Tingkatan kolaps
Tingkatan kolaps perairan berkaitan erat dengan kondisi sumberdaya ikan
sebagai dampak pengoperasian jenis alat penangkap ikan. Pukat ikan dan pukat
udang di Arafura merupakan alat yang dapat memberikan dampak signifikan
terhadap ekologi disamping dampak lainnya sehingga Pemerintah telah
membatasi daerah operasi kedua jenis alat penangkapan ikan ini (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2005). Daerah operasi penangkapan pukat ikan khusus skala besar
diprioritaskan di ZEEI. Untuk pukat udang dibatasi hanya pada koordinat tertentu
saja. Skor tingkatan kolaps untuk pukat ikan dan pukat udang adalah 1.
Pengoperasian gillnet oseanik dapat dianggap tidak berdampak nyata bagi
kolaps-nya perikanan sehingga Pemerintah tidak membatasi daerah operasi alat ini
di seluruh wilayah perairan. Pengaturan terhadap alat tangkap gillnet antara lain
terbatas pada panjang jaring, tinggi atau kedalamanjaring, dan mesh-size (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2010). Demikian pula untuk perikanan pancing cumi dan
pancing rawai dasar tidak ada pembatasan wilayah penangkapan atau ada
pengurangan lokasi penangkapan karena alat ini sangat selektif (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2010). Skor tingkatan kolaps untuk gillnet oseanik, pacing cumi dan
pancing rawai dasar yaitu 0.
(5) Ukuran ikan tangkapan
Studi kasus eksperimental double-rig shrimp trawl telah dilakukan pada
ikan gulamah yaitu tertangkap dengan ukuran 13 cm pada perairan yang tinggi
eksploitasinya (Pulau Dolak), dibandingkan pada perairan yang lebih rendah
eksploitasinya (Agats) yaitu ukurannya mencapai 19 cm (Purbayanto et al, 2006).
Secara umum terjadi penurunan ukuran ikan hasil tangkapan di Laut Arafura
(BRKP, 2007). Hal ini diperkuat dengan survey responden pukat ikan dan pukat
udang di lapangan bahwa memang terjadi perubahan ukuran ikan secara gradual.
Skor perubahan ukuran ikan untuk pukat ikan dan pukat udang dinilai 1.
63
Oleh karena sifatnya yang selektif, ikan-ikan yang tertangkap gillnet
oseanik tidak menunjukkan perubahan ukuran tangkapan yang mengindikasikan
overfished. Perubahan ukuran ikan mungkin bisa dijumpai pada daerah perairan
dimana jenis alat penangkap ikan lainnya terutama pukat dioperasikan pada
wilayah perairan yang sama. Skor perubahan ukuran ikan untuk gillnet oseanik
dinilai 0.
Berdasarkan studi lapangan pada perikanan pancing cumi, ukuran cumi
tertangkap cenderung stabil karena sifatnya pancing cumi yang selektif, sehingga
skor untuk pancing cumi dapat diberikan nilai 0. Pada perikanan pancing rawai
dasar, secara gradual terdapat perubahan ukuran ikan target (demersal) walaupun
sedikit, umumnya adalah akibat penggunaan jenis alat penangkap lainnya. Skor
perubahan ukuran ikan untuk pancing rawai dasar dapat dinilai 1.
(6) Tangkapan yang belum dewasa
Penelaahan aspek-aspek biologi yang berkaitan dengan umur dan
pertumbuhan untuk jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh kelima alat tangkap ini
masih terbatas.
Untuk itu, pemahaman tentang aspek biologi perikanan ini
didasari atas estimasi proporsi tertangkapnya ikan yang belum dewasa terhadap
total ikan yang tertangkap.
Proporsi tangkapan ikan yang masih muda (pra-maturity) cukup besar
pada penggunaan pukat ikan akibat dampak “sapuan” kantong jaring (cod-end).
Hasil sampling di perairan Arafura didapatkan ikan juvenil seperti tembang, bulu
ayam, dan julung-julung dalam kelimpahan yang tinggi (Purbayanto, et al, 2006).
Hasil wawancara dengan pelaku usaha pukat ikan bahwa proporsi hasil tangkapan
pre-maturity rata-rata hampir mencapai 30% dari total hasil tangkapan. Skor
tangkapan yang belum dewasa untuk pukat ikan dinilai 1.
Pada perikanan pukat udang, meskipun terdapat aturan penggunaan meshsize minimal 30 mm dan pemakaian TED atau BED, ternyata proporsi tangkapan
ikan yang masih muda (pra-maturity) adalah besar. Purbayanto, et al (2006)
menemukan bahwa hasil sampling di Teluk Kaimana, Papua didapatkan juvenil
64
jenis udang dogol dan udang jerbung dalam kelimpahan yang tinggi.
Skor
tangkapan yang belum dewasa untuk pukat udang adalah tinggi sehingga dinilai 2.
Pada perikanan gillnet oseanik hampir tidak ada hasil tangkapan pramaturity karena alat ini bersifat selektif, demikian pula untuk perikanan pancing
cumi dan pancing rawai dasar. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk ketiga
jenis alat penangkap ikan tersebut dinilai 0.
(7) Discarded dan by catch
Pada perikanan pukat ikan, jumlah ikan tangkapan pukat ikan yang
discard dan by-catch cukup banyak mengingat keragaman jenis dan ukuran ikan
yang bisa ditangkap. Berdasarkan survey responden bahwa discarded-by catch
pukat ikan secara umum mencapai 10 sampai 40% dari total hasil tangkapan.
Skor discarded-by catch untuk perikanan pukat ikan dinilai 1.
Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah yang tertinggi
dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang tercatat 332.186
ton/tahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard (Purbayanto, et al.,
2006). Skor discarded-by catch untuk pukat udang dinilai 2.
Pada perikanan gillnet oseanik, pancing cumi dan pancing rawai dasar
hampir tidak ada ikan yang terbuang atau discard karena ikan yang tertangkap
umumnya terseleksi dan dalam kondisi kualitas yang baik. Skor discarded-by
catch untuk ketiga jenis alat penangkap ikan ini dinilai 0.
(8) Spesies tangkapan
Banyak spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pukat udang.
Hasil
tangkapan utama pukat udang adalah udang jerbung dan udang windu, sedangkan
hasil tangkapan sampingannya meliputi 26 spesies yang didominasi oleh lemuru,
ikan juwi, bilis, kembung, dan beloso (Purbayanto, et al, 2006). Sementara itu,
berdasarkan Kepmen KP No. 60 tahun 2010 terdapat 13 jenis spesies ikan dan
lebih dari 2 jenis udang yang dapat tertangkap oleh pukat udang. Skor spesies
tangkapan untuk pukat udang dinilai 1.
Sama halnya pada pukat udang, spesies yang dapat tertangkap oleh pukat
ikan sangat banyak meliputi jenis-jenis ikan pelagis, ikan demersal, dan udang.
65
Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, alat ini mampu menangkap jenisjenis ikan dan udang, dimana komposisi spesies hasil tangkapannya sangat
beragam yaitu kurisi, kuwe,selar, gulamah, hiu, cucut, manyung, kakap, kembung,
layur, biji nangka, pisang-pisang, pari, petek, golok-golok, cumi, gerot-gerot,
kacangan, kerapu, bawal hitam, lidah, sebelah, sardine, bawal putih, senangin,
beloso, udang putih, dan udang lainnya. Skor spesies tangkapan alat pukat ikan
sama tingginya dengan pukat udang yaitu 1.
Spesies yang dapat tertangkap oleh gillnet oseanik terbatas hanya meliputi
jenis-jenis ikan tertentu saja. Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, hasil
tangkapan alat ini meliputi cakalang, tongkol, tuna, tenggiri, cucut, dan lainnya.
Skor spesies tangkapan untuk perikanan gillnet oseanik dinilai 0.
Spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pencing cumi sangat sedikit.
Selain cumi, dapat pula tertangkap ikan namun dalam jenis yang sangat sedikit.
Pada Permen KP No. 60 tahun 2010 disebutkan bahwa jenis ikan yang tertangkap
pancing cumi hanyalah cumi-cumi. Skor untuk spesies tangkapan pancing cumi
yaitu 0.
Pada perikanan pancing rawai dasar juga tidak banyak spesies yang dapat
tertangkap melainkan hanya ikan-ikan demersal saja. Jenis-jenis ikan yang dapat
tertangkap pancing rawai dasar antara lain : kakap, kuwe, selar, manyung, cucut,
dan kerapu (Permen KP No. 60 tahun 2010). Skor spesies tangkapan pancing
rawai dasar dinilai 0.
2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi
Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi ekologi
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekologi
sebagaimana disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 1. Nilai ini yang menentukan
posisi relatif dari setiap perikanan terhadap ordinasi yang berada pada kisaran
baik (good) dengan nilai 100, dan buruk (bad) dengan nilai nol. Selanjutnya jika
nilai dimensi ekologi pada Tabel 12 tersebut di plotkan dalam gambar ordinansi,
maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana Gambar 25.
66
Tabel 12 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi
No. Jenis Perikanan
1.
2.
3.
4.
5.
Indeks Keberlanjutan
Perikanan
52,51
99,97
38,50
99,97
85,19
75,23
Pukat Ikan
Gillnet Oseanik
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata-rata indeks
Status
Keberlanjutan
Kurang
Baik
Buruk
Baik
Baik
Cukup
RAPFISH Ordination
60
Up
Other Distingishing Features
40
20
PUD
PIK
PAC
Bad
GIL
0
0
20
40
60
PRD
80
Good
Real Fisheries
Reference anchors
100
Anchors
-20
-40
Down
-60
Fisheries Status
Gambar 25
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi
(keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL=
gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD = pancing rawai
dasar)
Analisis ordinansi dalam dimensi ekologi dengan jumlah iterasi sebanyak
3 (tiga) kali ini, menghasilkan nilai kuadrat korelasi (R2) dan nilai stress (S). Nilai
stress mencerminkan ketepatan (goodness of fit) dalam multi-dimensional scaling
67
(MDS), yang menunjukan ukuran seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik
dapat mencerminkan data aslinya.
Nilai stress yang rendah menunjukkan
goodness fit berkategori sempurna (perfect), sementara nilai stress yang tinggi
menunjukkan kondisi sebaliknya. Dengan demikian, analisis dimensi ekologi
dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup (fair),
mengingat nilai stress yang diperoleh adalah sebesar 14,19% (< 25 %). Nilai
koefisien determinasi (nilai kepercayaan) atau R2 untuk dimensi ekologi adalah
lebih besar dari 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang
dapat dijelaskan oleh teknik analisis ini terindikasi memadai.
Sementara itu, analisis yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan
hasil analisis ordinansi tersebut dilakukan dengan simulasi Monte Carlo.
Simulasi ini bertujuan untuk melihat tingkat gangguan (pertubation) terhadap
nilai ordinansi sehingga dapat diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat
dipercaya (Spence and Young 1978 yang dikutip dalam Purnomo et al., 2002),
dan dilakukan dengan iterasi sebanyak 30 kali. Hasil simulasi Monte Carlo untuk
dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 26.
Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage
pada RAPFISH memperlihatkan bahwa ukuran ikan tangkapan (perubahannya)
merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di
Laut Arafura. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square (rms) change yang
ditunjukan oleh Gambar 27, dimana atribut ukuran ikan tangkapan nilainya paling
tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya (4,22%). Kondisi ukuran ikan
tangkapan ini dapat menjadi indikasi utama kondisi ekologi Laut Arafura.
68
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60
Other Distingishing Features
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-20
-40
-60
Fisheries Status
Gambar 26 Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada
dimensi ekologi (Ket.: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan;
ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi)
Leverage of Attributes
1,11
spesies tangkapan
2,24
discard & by-catch
2,59
Attribute
tangkapan pre-maturity
4,22
ukuran ikan tangkapan
2,21
tingkatan kolaps
jarak migrasi
3,47
keragaman rekrutmen
2,10
1,85
status eksploitasi
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 27 Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi
69
3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi
Secara ekologi, perairan Laut Arafura dalam status baik dengan skor ratarata 75,23.
Pancing cumi dan gillnet oseanik memberikan kontribusi
keberlanjutan ekologi yang tinggi dengan skor disusul oleh pancing rawai dasar.
Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan
sangat tinggi. Tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan tersebut yang
menjamin bahwa ukuran ikan-ikan yang ditangkap dapat terjaga sehingga tidak
terjadi perubahan (mengecil).
Disamping itu, ketiga alat tersebut dalam
pengoperasiannya bersifat pasif. Hal ini berbeda dengan pengoperasian pukat
ikan dan pukat udang yang mengejar ikan target dengan cara dihela. Alat tangkap
yang secara ekologi kurang berlanjut adalah pukat ikan dengan skor 58,51;
sedangkan pukat udang secara eokologi statusnya buruk dengan skor 38,50. Sifat
selektivitas alat serta cara pengoperasiannya juga mempengaruhi atribut ekologi
lainnya secara positif seperti sedikitnya bycatch dan discard, tidak banyaknya
jenis spesies ikan yang tertangkap, sedikitnya tangkapan pre-maturity (bahkan
tidak ada), rendahnya dampak terhadap status eksploitasi, perubahan trophic level,
serta kolaps-nya perikanan.
Ukuran ikan tangkapan (perubahannya) merupakan atribut yang sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan secara ekologi di Laut Arafura.
Hal ini ditunjukkan oleh persentase nilai perubahan rms yang paling tinggi
(4,22%) dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Ukuran ikan merupakan
atribut yang paling efektif karena berkaitan langsung dengan ikan sebagai target
usaha penangkapan. Berbeda dengan atribut lainnya yang memang berpengaruh
tetapi hubungannya dengan usaha penangkapan relatif tidak secara langsung.
Atribut yang paling kurang berpengaruh pada dimensi ekologi adalah
jumlah spesies ikan tangkapan yaitu dengan nilai perubahan rms = 1,11%. Hal ini
terjadi karena ketertangkapan jenis-jenis ikan yang sama oleh alat penangkap ikan
yang berbeda. Sebagai contoh adalah jenis ikan yang ditangkap pukat ikan dapat
tertangkap pula oleh pukat udang, gillnet oseanik, dan pancing rawai dasar. Hal
ini sering dijumpai pada perikanan di wilayah tropis yang memiliki banyak jenis
70
spesies ikan (multispesies) dan penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang
beragam (multigear).
Untuk meningkatkan keberlanjutan ekologi perikanan di Laut Arafura
maka perlu diprioritaskan alat penangkap ikan yang bersifat selektif untuk
menjamin konsistensi ukuran ikan yang ditangkap yaitu yang memang pas
ukurannya.
Agar
keberlanjutannya
secara
ekologi
dapat
meningkat,
selektivitasnya pukat ikan dan pukat udang perlu lebih ditingkatkan. Pengaturan
mesh-size dan daerah operasi pukat ikan dan pukat udang harus dibarengi dengan
pengawasannya di lapangan.
Disamping itu dapat diterapkan management
measures berupa closed-season pada saat ikan belum dewasa atau belum
waktunya ditangkap, atau closed-area pada daerah pemijahan (spawning ground)
dan daerah asuhan ikan (spawning ground) serta daerah ikan-ikan juvenil.
4.1.2 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi
Penentuan atribut pada dimensi ekonomi dilakukan dengan mengunakan
indikator yang digunakan oleh RAPFISH yang disesuaikan dengan kondisi aktual
kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian.
Penentuan keberlanjutan
perikanan tangkap dalam dimensi ekonomi pada pendekatan RAPFISH ini
didasarkan atas 10 atribut ekonomi berdasarkan Pitcher and Preiksot (2001) yang
dimodifikasi sesuai kondisi lapangan (Tabel 13), sedangkan definisinya diuraikan
pada Tabel 14. Atribut pada dimensi ekonomi antara lain : kontribusi pada
PNBP, gaji/upah rata-rata, pembatasan masuk, sifat pemasaran, pendapatan lain,
ketenagakerjaan, kepemilikan, pasar utama, subsidi, dan konsumsi BBM.
Modifikasi yang dilakukan untuk atribut pada dimensi ini adalah: (1) penggunaan
atribut kontribusi PNBP sebagai pengganti kontribusi PDB; dan (2) penambahan
atribut konsumsi energi (BBM). Atribut kontribusi PNBP dianggap lebih relevan
dan mencerminkan langsung peran ekonomi usaha perikanan skala besar (diatas
30 GT) melalui perizinan. Kontrribusi PNBP juga lebih mudah untuk dihitung
dan didapatkan datanya. Sedangkan konsumsi BBM merupakan salah satu isu
strategis di Laut Arafura karena ketergantungan kapal perikanan kepada
ketersediaan BBM sementara suplainya semakin terbatas.
71
Tabel 13 Atribut dan skor kriteria pada dimensi ekonomi
No.
1.
2.
3.
4.
Atribut
Kontribusi PNBP
Gaji/upah rata-rata
Pembatasan masuk
Sifat pemasaran
Skor
0; 1; 2
0; 1; 2
0; 1; 2
0; 1; 2
Kriteria pemberian skor
Rendah (0); medium (l); tinggi (2)
Nelayan terhadap lain pekerja: < (0); = (1); > (2)
hampir tidak (0); beberapa (1); banyak (2)
Kuota/”share"? tidak (0); beberapa (1); campuran atau
lainnya (2)
5. Pendapatan lain
0; 1; 2; 3 Penangkapan dilakukan: sambilan (0); partime (l);
musiman (2); full time (3)
6. Ketenagakerjaan
0; 1; 2
Aktivitas ini terhadap lain perikanan: <10% (0); 1020% (1); >20 (2)
7. Kepemilikan
0; 1; 2
Profit perikanan terutama untuk: lokal (0); campuran
(1); asing (2)
8. Pasar utama
0; 1; 2
Lokal (0); nasional (1); internasional (2)
9. Subsidi
0; 1; 2
Tidak (0); beberapa (1); hampir seluruh (2)
10. Konsumsi BBM
0;1;2
Rendah (0); sedang (1); tinggi (2)
Sumber :Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi
Tabel 14 Definisi atribut pada dimensi ekonomi
No.
1.
Atribut
Kontribusi PNBP
Definisi
Besarnya kontribusi kegiatan perikanan terhadap PNBP
selama periode waktu tertentu
2.
Gaji/upah rata-rata
Perbandingan penghasilan dari kegiatan perikanan dengan
sektor lain
3.
Pembatasan masuk
Ada tidaknya pembatasan jumlah pelaku usaha perikanan
tangkap
4.
Sifat pemasaran
Pemasaran atau penjualan hasil tangkapan yang lazim berlaku
atau pembatasan kuota jumlah ikan yang akan dijual antar
pulau atau di ekspor dengan aturan tertentu.
5.
Pendapatan lain
Adanya pendapatan selain dari kegiatan penangkapan ikan
6.
Ketenagakerjaan
Proporsi jumlah kesempatan kerja yang disediakan oleh
sektor perikanan
7.
Kepemilikan
Dukungan modal yang tersedia untuk aktivitas perikanan
tangkap, baik oleh kemampuan sendiri atau pinjaman bank
dan bantuan modal asing dalam hal kepemilikan peralatan
usaha yang dioperasikan
8.
Pasar utama
wilayah tujuan pemasaran yang menjadi pasar utama apakah
lokal atau nasional atau internasional.
9.
Subsidi
Ada tidaknya (menurut kelengkapan fasilitas usaha perikanan
tangkap) subsidi dari pemerintah
10. Konsumsi BBM
Berapa besar pengaruh BBM terhadap kegiatan perikanan
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001)
72
1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi ekonomi
(1) Kontribusi pada PNBP
Pemilihan PNBP sebagai salah satu bentuk manfaat ekonomi dari usaha
perikanan adalah sangat relevan yaitu diperoleh dari perizinan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Pusat (Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan
Perikanan) untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT. Sesungguhnya banyak
bentuk manfaat ekonomi lainnya yang diperoleh dari kegiatan perikanan misalnya
PDRB atau PAD (Penerimaan Asli Daerah).
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) merupakan salah satu jenis
penerimaan Pemerintah selain pajak. PNBP perizinan merupakan salah satu jenis
PNBP dari sektor kelautan dan perikanan yang ketentuannya diatur dalam PP No.
19 tahun 2006 tentang Tarif Atas PNBP yang Berlaku pada Bidang Kelautan dan
Perikanan. Kategori PNBP perizinan meliputi 2 macam yaitu PPP (Pungutan
Pengusahaan Perikanan) dan PHP (Pungutan Hasil Perikanan). PPP diperoleh
pada saat pelaku usaha mengurus penerbitan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan
Ikan), sedangkan PHP diperoleh jika kapal yang berizin sudah dioperasikan atau
sudah memperoleh SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan).
Nilai PPP adalah
perkalian dari Tarif/GT kapal perikanan dengan besarnya GT kapal secara total.
Sedangkan nilai PHP merupakan perkalian antara produktivitas penangkap, harga
patokan ikan (HPI) , dan faktor 2,5% (usaha skala komersil).
Kontribusi PNBP dari perizinan pukat ikan cukup tinggi karena nilai
pungutan perikanan (PPP dan PHP) pukat ikan adalah besar. Dari sisi PPP saja,
tarif pukat ikan di Arafura tinggi mencapai Rp 150.000 per GT kapal. Sebagai
contoh, pada tahun 2009 Pemerintah telah mengeluarkan SIUP untuk 235.389 GT
kapal pukat ikan sehingga dengan nilai tarif/GT pukat ikan = Rp 150.000 maka
diperoleh PPP = Rp 35,3 milyar.
Selain itu, sumbangan PHP pukat ikan juga
cukup besar karena nilai produktivitas pukat ikan merupakan tertinggi
dibandingkan dengan alat penangkap lain yaitu 3,57 ton/GT/tahun (Permen
Kelautan dan Perikanan No. 60 tahun 2010 tentang produktivitas kapal
73
perikanan). Berdasarkan hal tersebut maka skor kontribusi PNBP untuk pukat
ikan adalah tinggi yaitu 2.
Kontribusi perikanan pukat udang pada PNBP termasuk tinggi pula. Tarif
pukat udang di Arafura adalah paling tinggi dibanding alat tangkap apapun yaitu
Rp 181.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pukat udang Arafura yang
dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 35.608 GT yang
berarti telah menyumbang PPP = Rp 6,4 milyar.
Produktivitas pukat udang
sebesar 0,4 ton/GT/tahun dan harga udang yang tinggi (HPI = Rp 45.000)
memberikan sumbangan PHP yang cukup besar. Skor kontribusi PNBP untuk
pukat udang layak diberikan nilai 2.
Kontribusi pada PNBP dari perikanan gillnet oseanik cukup tinggi namun
lebih rendah dari pukat ikan dan pukat udang. Tarif gillnet di Arafura adalah Rp
30.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi gillnet Arafura yang dikeluarkan
Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 53.418 GT yang berarti telah
menyumbang PPP = Rp 1,6 milyar. Sumbangan PHP gillnet oseanik juga cukup
besar dengan angka produktivitas 0,85 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun
2010). Untuk itu, skor kontribusi PNBP untuk gillnet oseanik layak diberi nilai 1.
Kontribusi PNBP dari perikanan pancing cumi cukup rendah dibanding
alat penangkap ikan lainnya. Tarif pancing cumi (squid jigging) = Rp 20.000 per
GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pancing cumi Arafura yang dikeluarkan
Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 20.956 GT yang berarti telah
menyumbang PPP = Rp 419 juta. Berdasarkan Permen KPNo. 60 tahun 2010,
produktivitas pancing cumi hanya 0,26 ton/GT/tahun sehingga sumbangannya
terhadap PHP juga rendah.
Skor kontribusi PNBP untuk pancing cumi layak
diberi nilai 0.
Kontribusi perikanan pancing rawai dasar pada PNBP cukup rendah. Tarif
pancing rawai dasar di Laut Arafura adalah terendah setelah pancing cumi yaitu
Rp 25.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pancing rawai dasar Arafura
yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 243 GT yang
berarti telah menyumbang PPP = Rp 6 juta. Berdasarkan Permen KP No. 60
74
tahun 2010, produktivitas pancing rawai dasar = 1,2 ton/GT/tahun. Sama halnya
dengan pancing cumi, skor kontribusi PNBP untuk pancing rawai dasar layak
diberikan nilai 0.
(2) Gaji atau upah rata-rata
Walaupun nelayan pada umumnya dikenal sebagai kelompok masyarakat
yang berpenghasilan rendah, namun nelayan atau ABK pada usaha perikanan
komersil atau skala besar (diatas 30 GT) secara umum berpenghasilan cukup
tinggi dan rata-rata di atas UMR (Upah Minimum Regional). UMR tahun 2010
yang berlaku di Kawasan Timur sekitar Arafura yaitu Maluku rata-rata Rp.
1.036.000 perbulan, sedangkan untuk Papua lebih tinggi yaitu 1.298.500 perbulan.
Nilai rata-rata UMR tersebut didapatkan dari rata-rata setiap sektor misalkan
perminyakan, pertambangan, perdagangan/jasa, properti, dan non-sektor (blog
wordpress.com). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan dari
kelima usaha perikanan tangkap tersebut, seluruhnya berada di atas UMR. Hal ini
diperkuat oleh hasil wawancara dengan responden pada masing-masing jenis alat
penangkap ikan. Berdasarkan hal tersebut, gaji atau upah nelayan/ABK untuk
kelima jenis alat tangkap adalah lebih tinggi dari UMR apalagi ditambah dengan
bonus hasil penangkapan (skor 2).
(3) Pembatasan masuk
Secara prinsip, pemberian izin usaha perikanan merupakan upaya untuk
membatasi eksploitasi sumberdaya ikan ager tidak terjadi open-access dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan. Pemberian izin perikanan oleh Pemerintah juga
mempertimbangkan dinamika usaha perikanan dan kondisi sumberdaya ikan.
Mempertimbangkan dampak yang diakibatkan, izin perikanan untuk pukat
ikan dan pukat udang telah dibatasi yakni tidak ada izin baru yang dikeluarkan
kecuali dalam rangka perpanjangan izin atau mengganti izin yang sudah tidak
berlaku (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Oleh karena itu, pembatasan masuk
untuk pukat ikan dan pukat udang tergolong ketat (skor 2). Izin perikanan untuk
gillnet oseanik masih terbuka namun perlu dilakukan secara hati-hati sehingga
75
layak diberikan skor 1. Izin untuk pancing rawai dasar masih terbuka lebar karena
jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi tetap diperlukan asas kehati-hatian
mengingat sumberdaya ikan demersal sudah dalam kondisi over exploited (skor
1).
Izin untuk pancing cumi masih terbuka luas dibandingkan keempat alat
penangkap lainnya karena pancing cumi masih relatif terbatas dan tergolong
sangat selektif (skor 0).
(4) Sifat pemasaran
Tidak ada pembatasan (kuota) terhadap pemasaran ikan-ikan hasil
tangkapan di Laut Arafura. Hal ini antara lain karena perairan Arafura bukan
merupakan wilayah RFMO (Regional Fisheries Management Organization).
Oleh karena itu, untuk seluruh jenis perikanan (alat penangkap ikan) di Laut
Arafura bebas memasarkan hasil tangkapannya sesuai dengan kapasitas volume
penangkapan. Skor sifat pemasaran untuk seluruh jenis perikanan adalah 0.
(5) Pendapatan lain
Sumber pendapatan lain bagi nelayan/ABK kapal perikanan bergantung
kepada ketersediaan waktu luang yang dimiliki.
Dapat diasumsikan bahwa
nelayan akan memiliki pendapatan lain (alternatif) jika memiliki cukup waktu
diluar kegiatan utamanya. Dalam konteks waktu tersebut, dikenal istilah nelayan
penuh yaitu yang seluruh waktunya digunakan untuk menangkap ikan; nelayan
sambilan utama yang sebagian besar waktunya digunakan untuk menangkap ikan;
dan nelayan sambilan tambahan yang sebagian kecil saja waktunya sebagai
nelayan (Statistik Perikanan Tangkap tahun 2009).
Secara umum, usaha penangkapan ikan skala besar (diatas 30 GT) atau
skala komersial sudah dilakukan secara full-time sehingga nelayan/ABK tidak
memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan lain. Hal ini diperkuat dengan
hasil wawancara dengan responden untuk seluruh jenis alat penangkap ikan.
Disamping itu, trip pada perikanan skala besar juga cukup lama sehingga jarang
sekali nelayan menganggur. Trip untuk perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik
bisa mencapai lebih dari 1 bulan dan dilakukan sepanjang tahun. Berbeda dengan
76
perikanan lainnya, untuk perikanan pancing cumi penangkapannya tidak
dilakukan
sepanjang
tahun
karena
terbatasnya
musim
cumi
sehingga
nelayan/ABK pancing cumi masih memiliki alternatif pendapatan lain berupa
penangkapan ikan selain perikanan cumi atau non-perikanan pada saat tidak
melaut.
Berdasarkan hal tersebut, skor pendapatan lain untuk semua jenis
perikanan kecuali perikanan cumi adalah full-time (skor 3). Untuk perikanan
cumi umumnya ABK/nelayan melakukan sambilan pada saat tidak musim
tangkap (skor 1).
(6) Ketenagakerjaan (proporsi pekerjaan)
Prosentase jumlah tenaga kerja nelayan yang mengunakan masing-masing
alat penangkap ikan dibandingkan dengan total pekerjaan perikanan di Laut
Arafura antara lain dapat dilihat dari proporsi jumlah alat tangkap yang digunakan
oleh nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Berdasarkan data
Ditjen Perikanan Tangkap (2011), di Laut Arafura beroperasi 980 kapal berukuran
diatas 30 GT dengan urutan alat penangkap ikan mulai dari yang paling banyak
sampai yang paling sedikit yaitu : pukat ikan 440 unit (44,89%), pukat udang 129
unit (13,16%), gillnet oseanik 118 unit (12,04%), pancing rawai dasar 100 unit
(10,20%), pancing cumi 99 unit (10,10%), dan sisanya merupakan alat penangkap
ikan lainnya. Disamping itu, jumlah serapan tenaga kerja per kapal perikanan
juga dapat memberikan informasi tentang proporsi ketenagakerjaan.
Data
perizinan menunjukkan bahwa rata-rata serapan nelayan atau ABK kapal ikan
ukuran diatas 30 GT adalah antara 15 s/d 35 orang per kapal.
Tenaga kerja yang terserap pada pukat ikan lebih banyak dibanding pada
perikanan lain. Pukat ikan adalah perikanan dengan jumlah armada terbesar dan
memiliki rata-rata serapan tenaga kerja tinggi (25 orang/kapal). Oleh karena itu
perikanan pukat ikan memberikan proporsi tenaga kerja yang tinggi yaitu
diperkirakan lebih dari 30% dari keseluruhan perikanan (skor 2). Satu unit kapal
pukat udang rata-rata menyerap 15 orang tenaga kerja. Sebagai jumlah armada
kedua terbesar di Arafura maka pukat udang memberikan porsi tenaga kerja yang
77
cukup tinggi terhadap keseluruhan perikanan (skor 1). Meskipun jumlah gillnet
oseanik merupakan urutan ke-3 terbanyak, tetapi dengan rata-rata serapan tenaga
kerja sekitar 25 orang/kapal maka proporsi ketenagakerjaannya lebih tinggi
dibandingkan pukat udang, yaitu dengan rata-rata lebih dari 10-20% dari
keseluruhan perikanan (skor 2).
Pancing rawai dasar dan pancing cumi
merupakan dua alat penangkap ikan yang proporsinya rendah yaitu masingmasing dibawah 10% dari jumlah total perikanan. Nilai ketenagakerjaan dua alat
penangkap ini rendah (skor 0).
(7) Kepemilikan
Profit dari usaha penangkapan ikan terutama dinikmati oleh pelaku usaha
dalam negeri. Permen KP No. 12 tahun 2010 yang direvisi menjadi Permen KP
No. 39 tahun 2011 tentang usaha perikanan tangkap menyebutkan bahwa izin
usaha perikanan hanya diberikan untuk warga negara Indonesia. Sistem lisensi
izin untuk asing pada masa lalu sudah dihapuskan. Unsur asing masih diberikan
kesempatan hanya dalam bentuk joint venture bekerjasama dengan perusahaan
Indonesia. Perikanan pukat ikan, pukat udang, dan gillnet oseanik sangat diminati
oleh pihak asing baik melalui pola kerjasama dengan pelaku usaha nasional
maupun joint venture. Skor kepemilikan untuk ketiga jenis perikanan tersebut
dapat diberikan nilai 1. Sedangkan untuk perikanan pancing rawai dasar dan
pancing cumi umumnya didominasi pelaku usaha nasional (skor 0).
(8) Pasar utama
Ikan merupakan komoditas yang disukai seluruh masyarakat dunia.
Permintaan masyarakat (demand) terhadap ikan dan produk turunannya cenderung
naik disebabkan meningkatnya kesadaran manusia terhadap ikan sebagai makanan
yang sehat, berprotein tinggi, dan bebas penyakit. Produk perikanan juga pada
umumnya diekspor ke negara lain karena harganya lebih tinggi.
Pasar hasil tangkapan pukat ikan, pukat udang, gillnet oseanik, dan
pancing rawai dasar di Arafura didominasi untuk ekspor ke negara-negara asing
terutama RRC dan Thailand, sebagian lagi dipasarkan untuk domestik (Ditjen
78
Perikanan Tangkap, 2009). Hal ini karena produk-produk ikan demersal, udang
dan pelagis sangat diminati oleh masyarakat asing dan harga jualnya juga lebih
tinggi. Skor pasar utama untuk kempat jenis alat penangkap ikan tersebut adalah
2. Pasar hasil tangkapan pancing cumi di Arafura juga diminati oleh asing tetapi
jumlahnya masih terbatas akibat pengaruh musim (skor 1).
(9) Subsidi
Subsidi yang umum dikenal pada usaha perikanan tangkap adalah subsidi
harga bahan bakar. Pada masa lalu kebijakan subsidi bahan bakar turut mewarnai
usaha perikanan tangkap untuk semua skala usaha, baik yang menggunakan kapal
impor maupun bukan impor. Tetapi saat ini dilakukan pengetatan subsidi agar
diberikan lebih selektif kepada yang berhak. Subsidi dalam bentuk non-BBM
umumnya diberikan Pemerintah untuk nelayan skala kecil atau tradisional.
Tidak ada subsidi untuk usaha perikanan pukat ikan, pukat udang, dan
gillnet oseanik skala besar, baik dalam bentuk bantuan permodalan/usaha, bahan
bakar (BBM), atau lainnya.
Ketiga jenis perikanan tersebut umumnya
menggunakan kapal impor atau ABK asing.
Skor subsidi untuk ketiga jenis
perikanan tersebut dapat dinilai 0.
Untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar ada beberapa unit
perikanan yang memperoleh subsidi karena banyak usaha perikanan tersebut yang
dilakukan oleh perseorangan atau menggunakan kapal buatan dalam negeri,
misalnya dalam bentuk bantuan permodalan/usaha, bahan bakar (BBM), atau
lainnya (Ditjen Perikanan Tangkap, 2009). Skor subsidi untuk kedua jenis
perikanan tersebut adalah 1.
(10) Konsumsi BBM
Berdasarkan hasil survey, semua jenis perikanan dengan kapal berukuran
diatas 30 GT mengkonsumsi BBM dalam jumlah yang sangat tinggi. Survey
terhadap responden masing-masing pemilik kapal menyebutkan bahwa porsi
konsumsi BBM terhadap biaya operasional pada usaha perikanan di Laut Arafura
79
mencapi 45 sampai 65%. Skor konsumsi BBM untuk seluruh jenis perikanan
yaitu 2.
2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi
Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi ekonomi
menunjukan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekonomi
sebagaimana disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 2.
Tabel 15 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kegiatan Perikanan
Tangkap
Pukat Ikan
Gillnet Oseanik
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata-rata indeks
Indeks Keberlanjutan
Perikanan
50,65
35,99
47,79
57,17
44,38
47,20
Status
Keberlanjutan
Cukup
Kurang
Kurang
Cukup
Kurang
Kurang
Selanjutnya jika nilai dimensi ekologi pada Tabel 15 tersebut di plotkan
dalam gambar ordinansi, maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana
Gambar 28. Berdasarkan dimensi ekonomi, perikanan pancing cumi memiliki
nilai kerberlanjutan yang paling tinggi dengan status cukup (57,17); disusul oleh
pukat ikan dengan status cukup (50,65); pukat udang dengan status kurang
(47,79); pancing rawai dasar dengan status kurang (44,38); dan gillnet oseanik
dengan status kurang (35,99).
Simulasi RAPFISH untuk dimensi ekonomi
menghasilkan parameter statistik berupa nilai stress = 13,9% dan R2 = 92,1%.
Analisis dimensi ekonomi dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of
fit kategori cukup (fair), mengingat nilai stress yang diperoleh adalah sebesar
13,9% (< 25%). Nilai koefisien determinasi (nilai kepercayaan) atau R2 untuk
dimensi ekonomi sebesar 92,1% yang berarti memadai.
Sementara analisis yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan hasil
analisis ordinansi, dilakukan dengan simulasi Monte Carlo yang ditujukan untuk
melihat tingkat gangguan (pertubation) terhadap nilai ordinansi sehingga dapat
diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat dipercaya (Spence and Young, 1978
80
yang dikutip dalam Purnomo et al., 2002), dilakukan dengan iterasi sebanyak 30
kali. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi ekonomi dapat dilihat pada
Gambar 29.
Analisis sensitivitas pada dimensi ekonomi dengan metode analisis
leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa ketenagakerjaan dan sifat
pemasaran merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan di Laut Arafura pada dimensi ekonomi. Ketenagakerjaan dan sifat
pemasaran memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberlanjutan
ini yaitu dengan nilai perubahan rms masing-masing 7,06% dan 6,87%. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai utama ekonomi dari usaha perikanan di Laut Arafura
adalah kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja/ABK. Selanjutnya faktor
sifat pemasaran juga mendominasi pengaruh keberlanjutan perikanan dari aspek
ekonomi karena pasar merupakan faktor pendorong usaha perikanan, dan
sebagaimana hasil penelitian diketahui bahwa pasar produk perikanan dari Laut
Arafura tidak mengenal pembatasan atau kuota.
RAPFISH Ordination
60
Up
Other Distingishing Features
40
PUD
20
PIK
GIL
Bad
0
0
PRD
Good
Real Fisheries
Reference anchors
20
40
60
80
100
Anchors
PAC
-20
-40
Down
-60
Fisheries Status
Gambar 28
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi
(keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet
oseanik, PAC= pancing cumi, PRD = pancing rawai dasar)
81
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60
Other Distingishing Features
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-20
-40
-60
Fisheries Status
Gambar 29
Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada
dimensi ekonomi (Ket.: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan;
ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi)
Subsidi merupakan atribut yang paling kurang pengaruhnya terhadap
keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi, hal ini dibuktikan dengan hasil
survey lapangan bahwa perikanan komersil di Laut Arafura tetap eksis walaupun
tidak ada subsidi karena memiliki modal yang sangat kuat. Nilai perubahan rms
untuk subsidi hanya mencapai 1,39%. Atribut lainnya yang kurang berpengaruh
terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi adalah kontribusi PNBP
yaitu dengan nilai perubahan rms 2,08%.
analisis sensitivitas pada dimensi ekonomi.
Gambar 30 memperlihatkan hasil
82
Leverage of Attributes
konsumsi energi/ BBM
2,54
subsidi
1,39
pasar utama
4,60
Attribute
kepemilikan/ transfer
4,82
ketenagakerjaan
7,06
pendapatan lain
3,90
sifat pemasaran
6,87
pembatasan masuk
5,37
Gaji/ upah rata-rata
3,87
kontribusi PNBP
2,08
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 30 Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi
3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi
Secara ekonomi, perikanan di Laut Arafura kurang berlanjut yaitu dengan
rata-rata skor 47,20. Pancing cumi dan pukat ikan merupakan alat penangkap
ikan yang statusnya cukup berlanjut secara ekonomi yaitu dengan skor masingmasing 57,17 dan 50,45. Sementara itu tiga jenis alat penangkap lainnya dalam
kondisi kurang berlanjut yaitu pukat udang, pancing rawai dasar, dan gillnet
oseanik.
Gillnet oseanik merupakan alat penangkap ikan dengan skor
keberlanjutan ekonomi terendah (35,99). Status keberlanjutan ekonomi pancing
cumi terutama ditunjang oleh sifat pemasaran cumi-cumi yang sangat terbuka luas
dan tidak ada pembatasan sehingga mendorong pemanfaatan sumberdaya cumicumi lebih intensif dan menguntungkan. Disamping itu keberlanjutan ekonomi
juga tidak terlepas dari pengaruh atribut-atribut dimensi lainnya misalkan ukuran
ikan cumi-cumi tertangkap yang cenderung tidak berubah (pada dimensi ekologi)
sehingga menjamin kualitas dan harga cumi-cumi yang stabil dan lebih baik.
Dalam simulasi RAPFISH, semua atribut yang digunakan mempengaruhi seluruh
kinerja pada setiap dimensi.
83
Pukat ikan tergolong alat tangkap yang cukup berlanjut secara ekonomi
karena produktivitasnya yang sangat tinggi yaitu 3,57 ton/GT/tahun sehingga
mampu memberikan nilai ekonomi yang tinggi pula.
Disamping itu
ketenagakerjaan yang terserap dari pukat ikan juga tinggi. Pukat udang juga
memiliki produktivitas dan nilai ketenagakerjaan yang cukup tinggi sehingga
posisinya keberlanjutannya berada diurutan ketiga setelah pukat ikan.
Alat
penangkap ikan yang paling rendah keberlanjutan secara ekonomi adalah gillnet
oseanik karena trip dan operasionalnya tinggi (sama dengan pukat ikan dan pukat
udang), serta selektivitasnya juga tinggi sehingga kurang produktif.
Atribut ketenagakerjaan dan sifat pemasaran merupakan atribut-atribut
yang paling besar pengaruhnya dalam keberlanjutan secara ekonomi. Serapan
tenagakerja merupakan hal yang paling penting menyangkut berapa banyak tenaga
kerja yang terlibat dan mendapatkan manfaat ekonomi dari usaha perikanan. Sifat
pemasaran juga berpengaruh besar karena pasar produk perikanan dari Laut
Arafura
tidak
dibatasi
yang
akhirnya
mendorong
dilakukannya
usaha
penangkapan ikan lebih intensif guna memperoleh keuntungan yang tinggi.
Kondisi ini berbeda dengan usaha penangkapan ikan yang dilakukan pada daerah
RFMO misalnya Samudera Hindia untuk perikanan tuna dimana IOTC atau
organisasi perikanan tuna Samudera Hindia membatasi kuota jumlah ikan tuna
yang boleh ditangkap.
Atribut yang kurang berpengaruh pada keberlanjutan ekonomi adalah
subsidi dan kontribusi PNBP. Meskipun secara ekonomi berpengaruh terhadap
kinerja usaha, tetapi subsidi ini sifatnya tidak mutlak bagi usaha perikanan skala
industri/besar. Hal ini disebabkan industri perikanan memiliki permodalan yang
kuat sehingga tetap eksis walaupun tidak ada subsidi.
Kondisi ini tentunya
berbeda dengan usaha perikanan tangkap skala kecil. Kontribusi PNBP juga tidak
memberikan pengaruh besar pada keberlanjutan ekonomi yang diduga bahwa
tarifnya yang berlaku sekarang masih rendah dan kondusif bagi usaha perikanan.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai tarif PNBP yang pantas diberlakukan.
Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan ekonomi perikanan tangkap di
Laut Arafura perlu ditingkatkan penyerapan tenaga kerja (pro-job) pada usaha
84
perikanan tangkap misalnya melalui restrukturisasi armada dengan menggunakan
kapal yang berukuran besar, serta industrialisasi perikanan mulai dari kegiatan
penangkapan, pengolahan, pemasaran sampai dengan jasa terkait.
Tidak
dianjurkan untuk melakukan pembatasan pasar hasil tangkapan ikan dari perairan
Arafura misalnya dengan memasukkan Laut Arafura sebagai wilayah RFMO yang
pada akhirnya akan merugikan industri perikanan tangkap nasional.
4.1.3 Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
Penentuan atribut yang menjadi indikator pada dimensi sosial ini yaitu
dengan mengunakan indikator yang keluarkan oleh program RAPFISH, namun
telah disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi
penelitian. Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri
dari 10 atribut berdasarkan kerangka Pitcher dan Preikshot (2001) yaitu
sosialisasi
penangkapan,
sektor
penangkapan,
pengetahuan
lingkungan,
pendatang baru, tingkat pendidikan, status konflik, pelibatan tenaga kerja lokasl,
pengaruh nelayan, pendapatan penangkapan, dan pastisipasi keluarga. Tabel 16
memperlihatkan atribut dan kriteria skor keberlanjutan perikanan pada dimensi
sosial. Dalam memudahkan penentuan skor dari masing-masing atribut, Tabel 17
memberikan pengertian atau definisi dari masing-masing atribut pada dimensi
sosial. Sementara dalam kaitannya dengan kondisi keberlanjutan, penggunaan
atribut-atribut dalam dimensi sosial ini mengandung suatu maksud dan deskripsi
tertentu kaitannya dengan evaluasi status keberlanjutan.
1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi sosial
(1) Sosialisasi penangkapan
Pada perikanan komersial yang umumnya menggunakan kapal perikanan
berukuran besar (diatas 30 GT), pekerja/ABK bekerja langsung sebagai individual
profesional, bukan berdasarkan adanya keterkaitan dengan pemilik usaha atau
juga
bukan
karena
adanya
kelompok/koperasi (skor 0).
hubungan
sebagai
sesama
anggota
suatu
85
Tabel 16 Atribut dan kriteria skor pada dimensi sosial
No. Atribut
Skor
1. Sosialisasi penangkapan 0; 1; 2
Kriteria pemberian skor
Nelayan bekerja: individu pada suatu perusahaan
(0); keluarga (1); kelompok (2)
2. Pendatang baru
0; 1; 2 Selama 5 tahun terakhir:< 10% (0); 10 - 20% (1); >
20% (2)
3. Sektor penangkapan
0; 1; 2 RTP dalam komunitas: < 10% (0); 10 - 30% (1); >30
(2)
4. Pengetahuan lingkungan 0; 1; 2 Terhadap sumberdaya ikan & lingkungan:
kosong (0); beberapa (1); banyak (2)
5. Tingkat pendidikan
0; 1; 2 Terhadap rata-rata tingkat pendidikan penduduk:
rendah (0); sama (l); diatas (2)
6. Status konflik
0; 1; 2 Konflik dengan perikanan/sektor lain: tidak (0);
beberapa (1); banyak (2)
7. Pelibatan naker lokal
0; 1; 2 Tidak terlibat (0); moderat (1); tinggi (2)
8. Pengaruh nelayan
0; 1; 2 Terhadap regulasi aktual: hampir tidak (0); beberapa
(1); banyak (2)
9. Pendapatan
0; 1; 2 Terhadap total pendapatan keluarga: < 50% (0); 50 Penangkapan
80% (1); > 80% (2)
10. Pastisipasi keluarga
0; 1
Anggota keluarga menjual/memproses hasil tangkapan:
tidak (0); ya (1)
Sumber : Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi
Tabel 17 Definisi atribut pada dimensi sosial
No.
Atribut
1.
Sosialisasi penangkapan
Definisi
Keterlibatan nelayan dalam usaha perikanan, sebagai individu,
keluarga atau kelompok
2.
Pendatang baru
Penambahan jumlah nelayan (termasuk kapal baru) yang
berkecimpung pada penangkapan ikan menurut waktu tertentu
3.
Sektor penangkapan
Proporsi jumlah nelayan (berdasarkan kegiatan perikanan) di
wilayah administratif terhadap jumlah penduduk sektor perikanan
di wilayah administratif tersebut
4.
Pengetahuan lingkungan Derajat pengetahuan nelayan mengenai isu-isu lingkungan seperti
illegal fishing, pencemaran laut, kerusakan terumbu karang
5.
Tingkat pendidikan
Proporsi nelayan yang mengikuti/menyelesaikan pendidikan
formal
6.
Status konflik
Ada tidaknya frekuensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut
dan atau perebutan DPI baik antar nelayan atau yang berkaitan
degan kepentingan sektor lain
7.
Pelibatan naker lokal
Tingkat keterlibatan tenaga kerja lokal atau nasional dalam usaha
perikanan tangkap
8.
Pengaruh nelayan
Keterkaitan nelayan dalam proses penyusunan regulasi
pengelolaan perikanan langsung maupun tidak langsung
9.
Pendapatan
Kontribusi pendapatan yang bersumber dari usaha penangkapan
penangkapan
ikan terhadap keseluruhan pendapatan yang diperoleh keluarga
10. Pastisipasi keluarga
Ada tidaknya peran anggota keluarga dalam memasarkan hasil
tangkapan dan atau melakukan pengelolaan ikan hasil tangkapan
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi
86
(2) Pendatang baru dalam perikanan
Pada awalnya pendatang baru pukat ikan beberapa tahun terakhir
cenderung meningkat 10 – 20%, namun kini sudah tidak ada lagi pendatang baru
(new entrains) sejak adanya kebijakan pembatasan izin perikanan pukat ikan (skor
0). Demikian pula untuk perikanan pukat udang mengalami kebijakan pengetatan
izin perikanan sehingga tidak ada lagi pendatang baru (skor 0). Pendatang baru
pada perikanan gillnet oseanik cenderung meningkat rata-rata 10 – 20%. Hal ini
karena Pemerintah masih memberikan kelonggaran terhadap pengembangan
perikanan gillnet oseanik (skor 1). Pendatang baru pada perikanan cumi juga
cenderung meningkat sama halnya pada perikanan gillnet oseanik (skor 1). Pada
perikanan pancing rawai dasar sangat sedikit pendatang baru yakni kurang dari
10% (skor 0).
(3) Sektor penangkapan
Nilai proporsi RTP suatu perikanan terhadap komunitas sangat ditentukan
oleh jumlah unit perikanan tersebut dan jumlah tenaga kerja yang diserapnya.
Pengertian komunitas disini disederhanakan yaitu komunitas perikanan pada
obyek yang diteliti yakni perikanan skala besar (diatas 30 GT). Pada perikanan
pukat ikan, proporsi RTP terhadap komunitas merupakan tertinggi dibanding
perikanan lainnya yaitu kira-kira mencapai lebih 40%, karena jumlah pukat ikan
merupakan yang terbesar dan mampu menyerap tenaga kerja kira-kira 15 orang
per kapalnya (skor 2). Proporsi RTP perikanan gillnet oseanik dan pukat udang
kira-kira mencapai 10 – 40% dengan asumsi bahwa kapal gillnet oseanik dan
pukat udang masing-masing mampu menyerap tenaga kerja 15 orang per kapalnya
(skor 1). Pada perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar, proporsi RTP
dalam komunitas lebih rendah terutama karena jumlah armada yang lebih sedikit
dibanding perikanan pukat ikan, pukat udang, dan gillnet (skor 0).
(4) Pengetahuan lingkungan
Berdasarkan hasil survey responden, secara rata-rata pengetahuan terhadap
lingkungan para perkerja perikanan (nelayan/ABK) pada semua jenis perikanan
87
skala besar pada dasarnya sudah cukup baik, tetapi belum cukup mengetahui lebih
jauh aspek lingkungan dalam kaitannya dengan penangkapan yang dilakukan. Hal
ini lebih disebabkan karena faktor pengalaman melaut yang cukup. Untuk semua
jenis perikanan, skor pengetahuan lingkungan adalah 1.
(5) Tingkat pendidikan/ pengetahuan
Tingkat pendidikan/pengetahuan nelayan atau ABK nelayan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan usaha penangkapan ikan. Pengetahuan yang
diperoleh nelayan diperoleh dari pendidikan atau latihan serta pengalaman selama
melakukan operasi penangkapan ikan di laut.
Menurut Mustaruddin (2006),
pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh nelayan di wilayah
perairan (termasuk kawasan konservasi) antara lain : (1) pengetahuan umum
tentang penangkapan di laut; (2) tentang jenis ikan dan biota laut yang dilindungi;
(3) teknik-teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, teknik pengoperasian
armada, teknik memilih fishing ground, dan sebagainya; (4) pemahaman tentang
perangkat hukum kegiatan penangkapan.
Berdasarkan hasil survey responden, untuk pekerja (nelayan/ABK) ketiga
jenis perikanan utama yaitu pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik umumnya
memiliki pendidikan yang setaraf dengan golongan penduduk lainnya. Bahkan
pada perikanan skala besar tersebut, para ABK tidak sedikit yang mengecap
pendidikan kejuruan di bidang perikanan (skor 1). Hal ini sedikit berbeda dengan
perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar dimana hasil survey responden
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pekerjanya rata-rata sedikit lebih rendah
dibanding golongan penduduk lainnya (skor 0). .
(6) Status konflik
Konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan
bagian dari dinamika usaha perikanan. Hal ini terjadi karena sumber daya ikan
laut masih dipahami sebagai common property (milik bersama).
Menurut
Rusmilyansari (2010), terdapat 5 indikator penyebab konflik yang secara
signifikan memberikan kontribusi terhadap faktor penyebab konflik. Indikator
tersebut antara lain : (1) kompetensi dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam; (2)
88
keberadaan pihak yang bertolak belakang; (3) kondisi perekonomian masyarakat;
(4) jumlah pihak yang terlibat; dan (5) latar belakang budaya dan adat.
Maanema et. al. (2006)
menyebutkan bahwa
konflik pengelolaan
sumberdaya perikanan di Laut Arafura umumnya dipicu oleh : (1) ketidakjelasan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan; (2) tingkat pengetahuan masyarakat
yang masih rendah; dan (3) komunikasi antar pengguna sumberdaya belum tertata.
Pada hampir seluruh jenis perikanan di Laut Arafura kadang-kadang dijumpai
konflik di lapangan berupa perebutan daerah penangkapan sesama jenis
perikanan, gesekan dengan jenis perikanan yang lain, atau konflik vertikal dengan
perikanan skala yang berbeda (skala kecil). Skor konflik untuk seluruh jenis
perikanan kecuali pancing cumi adalah 1. Pada perikanan pancing cumi jarang
sekali ditemui konflik (skor 0).
Beberapa hal yang menyebabkan jarangnya
konflik pada perikanan pancing cumi antara lain : (1) spesifiknya jenis ikan yang
ditangkap yaitu cumi sebagai target spesies sehingga tidak bersinggungan dengan
alat penangkap ikan lainnya; dan (2) pengoperasian pancing cumi terbatas hanya
pada saat musim cumi saja.
(7) Keterlibatan tenaga kerja lokal
Tenaga kerja merupakan bagian penting dari unit penangkapan ikan yang
berperan dalam melaksanakan seluruh kegiatan penangkapan ikan.
Pada
perikanan skala industri atau skala besar sudah terdapat pembagian tugas dan
tanggung jawab pekerja dalam kegiatan penangkapan ikan. Beberapa posisi atau
jabatan dalam suatu unit penangkapan ikan skala industri antara lain : nakhoda,
operator permesinan (juru mesin), ABK, operator alat tangkap, juru masak, dan
lain-lain disesuaikan dengan kebutuhan di kapal. Pada perikanan pukat ikan dan
gillnet oseanik di Laut Arafura umumnya menggunakan kapal dengan ukuran GT
yang besar dan peralatan yang modern sehingga memerlukan keahlian khusus,
disamping itu dalam hal kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang terampil maka
pada perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik umumnya masih mempekerjakan
ABK asing. Disamping itu kedua jenis perikanan tersebut 5-10 tahun terakhir
mengalami perkembangan yang pesat melalui pengadaan dalam negeri maupun
89
impor kapal. Jabatan yang umumnya masih dipegang oleh tenaga kerja warga
negara asing adalah nakhoda dan juru mesin. Berdasarkan hal tersebut maka
atribut keterlibatan tenaga kerja lokal pada perikanan pukat ikan dan gillnet
oseanik diberikan skor 1.
Pada perikanan pukat udang, pancing rawai dasar dan pancing cumi
keterlibatan tenaga kerja lokal adalah tinggi karena penguasaan teknologi
penangkapan ikan ketiga jenis perikanan tersebut sudah cukup lama dikuasai
masyarakat Indonesia.
Perikanan pukat udang lebih dulu berkembang
dibandingkan dengan pukat ikan dan gillnet oseanik yaitu pada 1970 – 1980
mengalami masa kejayaan (Murdiyanto, 2011).
Untuk perikanan pancing
disebabkan karena penggunaan ukuran kapal dengan GT yang tidak terlalu besar
sehingga banyak diusahakan masyarakat. Skor keterlibatan tenaga kerja lokal
pada perikanan pukat udang, pancing rawai dasar, dan pancing cumi diberikan
skor 2.
(8) Pengaruh nelayan
Pada perikanan skala besar (diatas 30 GT), nelayan atau pelaku usaha
perikanan tangkap memiliki pengaruh signifikan terhadap regulasi perikanan, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh secara langsung yaitu
disampaikan kepada Pemerintah pada saat sosialisasi atau tatap muka (audiensi),
sedangkan secara tidak langsung yaitu melalui kelompok/asosiasi yang
menaunginya. Pada saat proses penyusunan kebijakan atau peraturan di bidang
penangkapan ikan, Pemerintah pun selalu mengundang pelaku usaha atau asosiasi
untuk memberikan masukan.
Beberapa asosiasi/organisasi kenelayanan atau
usaha perikanan antara lain : ASTUIN (Asosiasi Tuna Indonesia), ATLI (Asosiasi
Tuna Longline Indonesia), ASPINTU (Asosiasi Pengusaha Ikan Non Tuna),
GAPPINDO (Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia), dan lain-lain. Skor
pengaruh nelayan untuk semua jenis perikanan adalah 2.
90
(9) Pendapatan penangkapan
Pendapatan dari usaha penangkapan skala besar umumnya mendominasi
penghasilan utama keluarga nelayan karena berkaitan dengan profesi dimana
mereka menghabiskan seluruh waktunya sebagai nelayan/ABK di laut (full-time)
dengan trip yang cukup lama. Hasil wawancara dengan responden terungkap
bahwa proporsi pendapatan pada pukat ikan, pukat udang, gillnet oseanik dan
pancing rawai dasar kira-kira mencapai 50 – 80% dari total pendapatan keluarga.
Hal ini terjadi pada seluruh jenis perikanan komersil di Arafura kecuali pada
perikanan pancing cumi yang hanya melakukan operasi penangkapan pada saat
musim saja dengan waktu yang terbatas (nelayan sambilan). Skor pendapatan
penan gkapan untuk seluruh jenis perikanan adalah 1, kecuali pada pancing cumi
yaitu 0.
(10)
Partisipasi keluarga
Tidak ada partisipasi atau keterlibatan anggota keluarga terkait penjualan
atau pengolahan hasil tangkapan karena usaha perikanan komersial dilakukan
secara profesional. Hal ini berbeda dengan nelayan skala kecil atau tradisional.
Skor partisipasi keluarga untuk seluruh jenis perikanan adalah 0.
2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
Nilai skor yang terdapat pada dimensi sosial selanjutnya dianalisis
menggunakan metode RAPFISH. Output yang diperoleh dengan metode
RAPFISH pada dimensi sosial menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan
tangkap secara sosial sebagaimana disajikan pada Tabel 18 dan Lampiran 3.
Tabel 18 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kegiatan Perikanan
Tangkap
Pukat Ikan
Gillnet Oseanik
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata-rata indeks
Indeks Keberlanjutan
Perikanan
52,93
50,62
54,36
53,91
54,13
53,19
Status
Keberlanjutan
Cukup
Kurang
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
91
Selanjutnya jika nilai dimensi teknologi pada Tabel 18 tersebut diplotkan
dalam
gambar
ordinansi
maka
akan
nampak
seperti
dapat
dilihat
sebagaimana Gambar 31. Analisis RAPFSIH untuk keberlanjutan perikanan dari
aspek sosial memberikan informasi bahwa untuk seluruh perikanan memberikan
hasil yang hampir sama, yaitu dengan rata-rata cukup (skor 53,19).
Status
keberlanjutan untuk semua jenis perikanan adalah cukup kecuali untuk gillnet
oseanik yaitu kurang. Nilai keberlanjutan untuk pukat udang = 54,36; pancing
rawai dasar = 54,13; pancing cumi = 53,91; pukat ikan = 52,93; dan gillnet
oseanik = 50,62.
Simulasi RAPFISH untuk dimensi sosial menghasilkan
parameter statistik yang memadai berupa nilai stress = 14,8% dan R2 = 92,6%.
Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 32.
RAPFISH Ordination
60
Up
Other Distingishing Features
40
20
Bad
0
0
Good
PIK PAC
Real Fisheries
Reference anchors
20
40
GIL
60
80
100
Anchors
PUD
PRD
-20
-40
Down
-60
Fisheries Status
Gambar 31
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
(keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet
oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar)
92
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60
Other Distingishing Features
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-20
-40
-60
Fisheries Status
Gambar 32
Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada
dimensi sosial (keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat
ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau
muda=p.cumi)
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diketahui bahwa beberapa atribut
yang paling berpengaruh pada dimensi sosial adalah tingkat pendidikan
nelayan/ABK yang terlibat pada operasional penangkapan, disusul oleh pengaruh
nelayan terhadap usaha perikanan, dan status konflik.
Gambar 33
memperlihatkan hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi. Nilai perubahan
rms masing-masing atribut yaitu 6,19% untuk tingkat pendidikan; 5,65% untuk
pengaruh nelayan; dan 5,22% untuk status konflik.
Hasil analisis leverage dimensi sosial pada Gambar 33 juga menunjukkan
bahwa beberapa atribut memiliki pengaruh yang sangat kecil pada dimensi sosial
adalah sosialisasi penangkapan, keterlibatan tenaga kerja lokal, dan pengetahuan
lingkungan. Nilai perubahan rms untuk masing-masing atribut yaitu 0,71% untuk
sosialisasi penangkapan; 0,94% untuk keterlibatan tenaga kerja lokal, dan 1,38%
untuk pengetahuan lingkungan.
93
Leverage of Attributes
pelibatan naker loka
0,94
partisipasi keuarga
2,33
pendapatan penangkapan
3,21
Attribute
pengaruh nelayan
5,65
status konflik
5,22
tingkat pendidikan
6,19
pengetahuan lingkungan
1,38
sektor penangkapan
4,12
pendatang baru
1,98
sosialisasi penangkapan
0,71
0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 33 Hasil analisis leverage pada dimensi sosial
3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial di Laut Arafura dalam kondisi
cukup berlanjut dengan rata-rata skor 53,19. Skor keberlanjutan sosial untuk
seluruh jenis alat penangkap ikan nilainya hampir seragam yakni berada pada
kisaran 50 – 54.
Hal ini menjelaskan bahwa aspek atau dampak sosial dari
seluruh jenis perikanan adalah hampir sama karena sifat komersial serta
penerapan prinsip-prinsip ekonomi yang rasional.
Kondisi ini berbeda bila
dibandingkan dengan perikanan skala kecil atau tradisional.
Gillnet oseanik merupakan alat penangkap ikan yang statusnya kurang
berlanjut secara sosial yang terutama dipengaruhi oleh atribut pendatang baru dan
keterlibatan tenaga kerja lokal. Untuk atribut sosial lainnya hampir seluruh jenis
alat penangkap ikan memiliki nilai yang sama. Pendatang baru pada perikanan
gillnet oseanik masih ada dan peluangnya terbuka karena pembatasan izin
perikanan gillnet oseanik tidak seketat pada pukat ikan dan pukat udang. Berbeda
dengan jenis perikanan lainnya kecuali pukat ikan, perikanan gillnet oseanik juga
rata-rata masih mempekerjakan ABK asing atau nilai keterlibatan tenaga kerja
94
lokalnya lebih rendah.
Tingkat pendidikan atau pengetahuan merupakan hal yang pokok
berpengaruh karena memberikan dampak bagi seluruh atribut sosial lainnya.
Pengetahuan nelayan misalnya akan merubah cara pandang terhadap budaya
kerja, kelestarian lingkungan, penanganan konflik dan sebagainya.
Atribut
pengaruh nelayan juga cukup kuat berpengaruh mengingat kedudukan nelayan
sebagai pelaku langsung (aktor utama) usaha perikanan sekaligus posisinya
sebagai bagian dari masyarakat.
Pengaruh nelayan akan memberikan input
terhadap arah atau kebijakan usaha perikanan. Pengaruh nelayan menunjukkan
tingkat partisipasi nelayan atau pelaku usaha terhadap usaha perikanan tangkap
yang dilakukan. Keberadaan konflik dalam perikanan juga memberikan pengaruh
cukup besar pada dimensi sosial oleh karena konflik merupakan bagian penting
dari identitas sosial dan sangat mungkin terjadi pada usaha perikanan, khususnya
di Laut Arafura sebagai fishing ground utama.
Sosialisasi penangkapan atau dalam hal ini adalah status nelayan/ABK
dalam pekerjaannya apakah individu, keluarga atau kelompok tidak menjadi
persoalan berarti karena pada skala besar lebih dituntut profesionalisme.
Keterlibatan tenaga kerja atau ABK lokal juga kurang memberikan pengaruh pada
dimensi sosial perikanan di Laut Arafura.
Hal ini disebabkan pada usaha
perikanan skala besar atau komersial bahwa perlakuan nelayan/ABK adalah sama
berdasarkan peran atau posisinya dalam usaha penangkapan, bukan berdasarkan
status sosialnya. Dengan demikian isu penggunaan tenaga kerja lokal pada usaha
perikanan di Arafura tidak memiliki pengaruh berarti terhadap keberlanjutan
secara sosial. Atribut pengetahuan lingkungan juga kecil sekali pengaruhnya bagi
keberlanjutan sosial yang menunjukkan bahwa faktor lingkungan belum menjadi
perhatian bagi usaha perikanan di Laut Arafura pada umumnya.
Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan sosial perikanan di Laut
Arafura dapat dilakukan cara-cara efektif yaitu meningkatkan pendidikan/
pengetahuan para pelaku usaha perikanan misalkan dengan memperbesar
kesempatan sekolah bagi nelayan (program sekolah murah atau gratis) atau
memberikan pendidikan dan pelatihan (diklat) terkait usaha penangkapan ikan dan
95
aturan-aturan terkait perikanan. Untuk meningkatkan keberlanjutan secara sosial
juga dapat dilakukan dengan memperbesar pengaruh nelayan terkait usaha
perikanan misalnya dengan keikutsertaan pada organisasi kenelayanan atau usaha
perikanan tangkap.
Hal lainnya yang memberikan pengaruh besar terhadap
keberlanjutan perikanan secara sosial adalah pengelolaan konflik perikanan.
Usaha perikanan tangkap sangat rawan terhadap konflik sehingga bila konflik ini
dapat diatasi atau dihilangkan maka keberlanjutan perikanan secara sosial akan
meningkat.
4.1.4 Keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
Penentuan atribut pada dimensi teknologi ini yaitu dengan mengunakan
indikator yang digunakan dari RAPFISH yang telah disesuaikan dengan kondisi
aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Analisis RAPFISH pada
dimensi teknologi dalam penelitian ini terdiri dari 9 atribut mengacu pada Pitcher
and Preikshot (2001) yang dimodifikasi, antara lain: lama trip, tempat pendaratan,
pengolahan pra-jual, penanganan di kapal, selektivitas alat tangkap, penggunaan
FADs, ukuran kapal, perubahan daya tangkap, dan efek samping alat tangkap.
Atribut-atribut pada dimensi teknologi beserta kriteria pemberian skor dapat
dilihat pada Tabel 19. Sedangkan pada Tabel 20 diuraikan pengertian atau definisi
dari masing-masing atribut pada dimensi teknologi.
Tabel 19 Atribut dan kriteria skor pada dimensi teknologi
No.
Atribut
1. Lama trip
Skor
0; 1; 2
Kriteria pemberian skor
Rata-rata hari setiap trip: < 1 hari (0); 1 bulan
(1); > 1 bulan (2)
2. Tempat pendaratan
0; 1; 2
Tersebar (0); agak terpusat (1); terpusat (2);
3. Pengolahan pra-jual
0; 1; 2
Tidak (0); beberapa (1 ); banyak (2)
4. Penanganan di kapal
0; 1; 2; 3 Tidak (0); beberapa (1); canggih (2); penggunaan
tangki hidup (3)
5. Selektivitas alat tangkap
0; 1; 2
Sedikit (0); beberapa (1); banyak (2)
6. Penggunaan FADs
0; 0,5 ;1
Tidak (0); menggunakan umpan (0,5); ada (1)
7. Ukuran kapal
0; 1; 2
Rata-rata panjang kapal: < 8 m (0); 8 – 17 m
(1); > 18m (2)
8. Perubahan daya tangkap
0; 1; 2
Dalam 5 tahun terakhir meningkat: tidak (0);
sedikit (1); banyak/cepat (2)
9. Efek samping alat tangkap 0; 1; 2
Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2)
Sumber : Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi
96
Tabel 20 Definisi atribut pada dimensi teknologi
No.
1.
Atribut
Lama trip
Definisi
Waktu (hari) yang dipakai untuk melakukan kegiatan operasi
penangkapan ikan di laut
2.
Tempat pendaratan
Lokasi dimana atau kemana nelayan mendaratkan hasil
operasi penangkapan ikan.
3.
Pengolahan pra-jual
Ada tidaknya dilakukannya pengelolaan ikan seperti
penggaraman dan pengeringan sebelum dilakukan penjualan
4.
Penanganan di kapal
Ada tidaknya dilakukannya penanganan terhadap ikan hasil
tangkapan di atas kapal sebelum di daratkan (termasuk
penggunaan es)
5.
Selektivitas alat
Banyaknya peningkatan selektivitas alat tangkap yang
tangkap
diupayakan, baik dari komponen-komponen alat maupun
dalam penanganan operasional peralatan tangkap
6.
Penggunaan FADs
Ada tidaknya penggunaan FAD’s untuk membantu dalam
penangkapan ikan
7.
Ukuran kapal
Ukuran secara kuantitatif besarnya ukuran kapal yang
digunakan dalam penangkapan ikan
8.
Perubahan daya
Besaran perkembangan kemampuan menangkap ikan dilihat
tangkap
dari banyaknya penambahan kapal dan trip penangkapan
dalam periode waktu tertentu
9.
Efek samping alat
Ada tidaknya efek samping dalam pengoperasian alat
tangkap
penangkapan ikan
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001)
1) Kondisi masing-masing atribut keberlanjutan dimensi teknologi
(1) Lama trip
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, waktu (hari)/trip yang dipakai
bagi semua jenis perikanan dengan ukuran kapal diatas 30 GT untuk melakukan
kegiatan operasi penangkapan ikan di laut berkisar satu minggu sampai dengan
dua bulan. Lamanya trip ini sangat tergantung pada ukuran kapal dan teknologi
yang digunakan (khususnya mesin dan penyimpanan ikan). Kapal dengan ukuran
GT lebih besar dan daya mesin yang tinggi mampu menjangkau fishing ground
yang lebih jauh. Lamanya trip ini juga dibatasi oleh sistem penyimpanan ikan
dimana pada kapal yang dilengkapi dengan sistem pendingin (cold room dan air
blast freezer) mampu melakukan trip yang lebih lama di laut.
Berdasarkan wawancara hasil responden dan pengamatan langsung,
perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik tergolong mampu melakukan trip di atas
1 bulan. Trip kapal pukat ikan merupakan yang paling lama yakni diatas 1 bulan
karena target ikan tangkapannya menyebar ke seluruh wilayah perairan di Laut
97
Arafura baik perairan pedalaman maupun ZEEI Arafura. Ukuran rata-rata GT
kapal pukat ikan ini juga sangat besar bisa sampai dengan 300 GT. Hal yang
sama ditemui untuk perikanan gillnet oseanik di Laut Arafura.
Skor untuk
perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik dinilai 2.
Trip kapal pukat udang lebih sedikit dibandingkan dengan trip pada pukat
ikan dan gillnet oseanik yaitu kurang dari 1 bulan. Pengamatan langsung di
lapangan untuk kapal pukat udang di basis perikanan Avona Kaimana, Papua
menunjukkan bahwa trip dilakukan antara 1 sampai dengan 2 minggu. Ukuran
kapal yang dipergunakan yaitu antara 50 s/d 100 GT dengan fishing ground udang
tidak terlalu jauh dari pantai.
Skor trip untuk perikanan pukat udang dapat
diberikan nilai 1.
Untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar, trip
penangkapannya paling lama rata-rata 2 minggu (Ditjen Perikanan Tangkap,
2010). Skor untuk pancing cumi dan pancing rawai dasar dinilai 1.
(2) Tempat pendaratan
Tempat pendaratan atau pelabuhan perikanan bagi kapal perikanan yang
beroperasi di Laut Arafura umumnya tersebar dengan skala kelas PPI (Pangkalan
Pendaratan Ikan), PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) maupun PPN (Pelabuhan
Perikanan Nusantara).
Mempertimbangkan fasilitas serta ketersediaan sarana
operasional penangkapan yang ada di pelabuhan perikanan, kapal perikanan skala
besar (diatas 30 GT) umumnya menggunakan fasilitas kelas PPN.
Wilayah
perairan Laut Arafura juga memiliki beberapa fasilitas setara pelabuhan perikanan
yang dibangun dan dikelola oleh swasta antara lain : pelabuhan PT. Maritim
Timur Jaya di Tual (Maluku Tenggara); pelabuhan PT. Benjina Resources di
Benjina (Maluku Tenggara); pelabuhan Avona, Kaimana (Papua Barat); dan
pelabuhan Kimaam di Merauke (Papua).
Hampir seluruh jenis perikanan yang beroperasi di Laut Arafura
memanfaatkan pelabuhan perikanan yang ada. Pelabuhan perikanan bagi seluruh
jenis kapal perikanan di Arafura (kecuali pukat udang) terdapat di Tual, Ambon,
98
Merauke, Benjina, Kimaam (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010).
Skor tempat
pendaratan untuk keempat jenis perikanan tersebut diberikan nilai 0.
Pelabuhan perikanan tempat pendaratan kapal pukat udang di Arafura
umumnya hanya terkonsentrasi di Avona, Papua Barat dan di perairan sekitar
Ambon (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010).
Hal ini terkait dengan kedekatan
pelabuhan dengan fishing ground udang yang spesifik. Sebagai contoh yaitu
pelabuhan Avona merupakan basis kapal pukat udang karena lokasinya berada
sangat dekat dengan fishing ground. Skor tempat pendaratan untuk pukat udang
dapat diberikan nilai 1.
(3) Pengolahan pra-jual
Pengolahan pra-jual untuk ikan-ikan yang ditangkap seluruh jenis alat
penangkap ikan umumnya sudah ada walaupun jumlahnya kurang dibandingkan
kapasitas ikan yang ditangkap. Ikan-ikan yang ditangkap dari perikanan pukat
ikan, gillnet oseanik dan pancing rawai dasar umumnya diolah terlebih dahulu
dalam bentuk yang paling sederhana yaitu dibekukan atau diolah lebih lanjut
dalam bentuk fillet, tepung ikan dan value added. Pembekuan dengan freezer
pada UPI (unit pengolahan ikan) atau di atas kapal (on-board processing) umum
dilakukan pada usaha perikanan di Laut Arafura. Pemerintah telah mengupayakan
agar ikan-ikan yang ditangkap lebih banyak diolah terlebih dahulu sebelum
dipasarkan, yaitu melalui Keputusan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan (P2HP), KKP tentang jenis-jenis ikan yang harus diolah dan yang tidak
memerlukan pengolahan. Skor untuk perikanan pukat ikan, gillnet oseanik dan
pancing rawai dasar adalah 1.
Kapal pukat udang di Arafura umumnya melakukan pengolahan udang
dalam bentuk pembekuan dan pengemasan di atas kapal atau processing on-board
(survey lapangan, 2010). Skor pengolahan pra-jual untuk pukat udang dinilai 2.
Kebanyakan cumi-cumi yang ditangkap oleh pancing cumi diproses dan dijual
sudah diolah secara beku (survey lapangan, 2010). Skor pengolahan pra-jual
untuk perikanan pancing cumi dinilai 2.
99
(4) Penanganan di kapal
Berdasarkan survey lapangan, kapal-kapal perikanan skala besar (diatas 30
GT) yang beroperasi di Laut Arafura sudah memiliki teknologi yang lebih tinggi
dalam hal penanganan hasil tangkapan (handling) diatas kapal.
Untuk
keseluruhan jenis perikanan, penanganan hasil tangkapan diatas kapal (on-board)
dilengkapi dengan palkah dan ruang pendingin (freezer room), bahkan beberapa
menggunakan air blast freezer untuk pembekuan secara cepat. Pada beberapa
kapal pancing rawai dasar bahkan dilengkapi dengan sarana penyimpan atau
penampung ikan hidup. Skor penanganan di kapal untuk semua jenis perikanan
dinilai 2, kecuali untuk perikanan pancing cumi yaitu 2,5.
(5) Selektivitas alat tangkap dan upaya peningkatannya
Selektivitas suatu alat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu alat
penangkap ikan untuk menangkap ikan dengan suatu ukuran tertentu atau spsies
tertentu dalam suatu populasi (Fridman, 1986).
Menurut South East Asian
Fisheries Development Center (1999), selektivitas alat didefinisikan sebagai :
gear selectivity is a property of fishing gear that reduces/excludes the capture of
unwanted sizes of fish and incidental catch.
Pukat ikan tergolong sebagai alat penangkap ikan yang selektivitasnya
rendah.
Pemerintah telah mengupayakan pengaturan ukuran mesh-size pada
bagian kantong jaring (cod end) yaitu minimal 50 mm (Ditjen Perikanan Tangkap,
2006). Skor selektivitas untuk pukat ikan dapat dinilai 0. Selektivitas gillnet
oseanik adalah tinggi karena ikan yang tertangkap hanyalah yang memiliki ukuran
tertentu saja sesuai ukuran mata jaring.
Pengaturan terhadap gillnet oseanik
terbatas pada panjang bentangan jaring, tinggi atau kedalaman jaring, dan ukuran
mesh-size (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010).
Skor selektivitas untuk gillnet
oseanik dinilai 2.
Pukat udang sama halnya dengan pukat ikan sebagai alat penangkap ikan
yang selektivitasnya rendah. Meskipun demikian, pukat udang dilengkapi dengan
BED atau TED untuk mengurangi by-catch atau tangkapan sampingan. Mengenai
pengaruh TED pada pengoperasian pukat udang ini cukup signifikan. Penelitian
100
di Laut Arafura oleh Mahiswara dan A.P. Anung Widodo dari BRPL
menyimpulkan bahwa TED dapat mengurangi HTS (Hasil Tangkap Sampingan)
atau by-catch sebesar 37,5% per haul, namun dibarengi dengan penurunan hasil
pukat udang 21,5% per haul. TED ini juga terbukti mampu meloloskan penyu.
Berdasarkan hal itu, skor selektivitas untuk pukat udang dinilai 1.
Pancing cumi dan pancing rawai dasar dinilai memilki selektivitas yang
sangat tinggi, dan pada pengooperasiannya tidak lagi memerlukan alat tambahan
untuk meningkatkan selektivitas (survey lapangan, 2010). Skor selektivitas untuk
kedua alat penangkap ikan tersebut dinilai 2.
(6) Penggunaan FADs (Fish Aggregating Device’s)
Penggunaan alat bantu penangkapan semisal rumpon, umpan (bait) atau
lampu pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan produktivitas penangkapan.
FAD dalam bentuk rumpon sama sekali tidak digunakan pada seluruh jenis
perikanan di Laut Arafura. Bahkan pada perikanan pukat ikan, pukat udang dan
gillnet oseanik sama sekali tidak menggunakan FAD. Skor 0 dalam penggunaan
FAD dapat diberikan untuk ketiga jenis perikanan tersebut.
Pada perikanan pancing cumi, untuk membantu mengkonsentrasikan target
penangkapan maka digunakan FAD berupa lampu.
Jumlah lampu yang
dipergunakan pada kapal pancing cumi bisa mencapai puluhan unit dengan
kekuatan per unit-nya bisa mencapai 2000 Watt. Penggunaan lampu sebagai
attractor pada perikanan pancing cumi diduga memberikan dampak negatif bagi
ekosistem perairan sekitar. Skor FAD untuk pancing cumi dapat dinilai 1.
Atraktor pada perikanan pancing rawai dasar adalah berupa umpan (bait)
yang dikaitkan pada mata pancing (hook). Jenis umpan umumnya adalah ikan
dengan karakteristik yang menarik misalnya warna tubuh yang mengkilat.
Pemilihan jenis ikan yang tepat sebagai umpan dapat menentukan mudah tidaknya
ikan target tertangkap sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas
alat pancing (hook rate). Skor FAD untuk pancing rawai dasar dapat diberikan
nilai 0,5.
101
(7) Ukuran kapal
Ukuran kapal digunakan untuk merefleksikan kekuatan kapal yang
digunakan dalam operasi penangkapan ikan karena berkorelasi dengan kekuatan
mesin, daya muat kapal dan GT pada umumnya. Salah satu jenis ukuran kapal
yang populer digunakan yaitu LOA (length over all) yang merupakan panjang
total kapal mulai dari ujung depan sampai dengan ujung belakang kapal. Dalam
konteks perikanan, sesungguhnya faktor yang paling tepat merefleksikan kekuatan
kapal adalah ukuran GT (gross tonage) karena berkaitan langsung dengan daya
muat (kapasitas) kapal untuk mengangkut hasil tangkapan.
Berdasarkan data perizinan usaha perikanan Ditjen Perikanan Tangkap dan
hasil pengukuran lapangan terhadap kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
Laut Arafura diketahui bahwa ukuran kapal pukat ikan, pukat udang dan gillnet
oseanik rata-rata di atas 17 meter. Sedangkan untuk kapal pancing cumi dan
pancing rawai dasar sedikit lebih kecil dengan ukuran antara 8 sampai 17 meter.
Skor ukuran kapal untuk perikanan pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik
diberikan nilai 2, sedangkan untuk pancing cumi dan pancing rawai dasar
diberikan nilai 1.
(8) Perubahan daya tangkap
Daya tangkap terkait erat dengan kemampuan atau kapasitas seluruh
komponen terkait penangkapan antara lain ukuran kapal (mesin atau GT), alat
penangkap ikan, dan operator penangkapan.
Perubahan terhadap salah satu
komponen tersebut di atas akan menyebabkan perubahan daya tangkap pada
operasi penangkapan.
Pada perikanan skala besar (diatas 30 GT) di laut Arafura beberapa tahun
terakhir hampir dipastikan tidak ada perubahan daya tangkap karena tidak mudah
untuk mengganti mesin atau alat tangkap.
Hal ini karena pada kapal-kapal
tersebut menggunakan mesin berukuran besar yang diinstal langsung pada kapal
(in-board)
sehingga tidak mudah untuk mengganti atau melakukan bongkar
pasang mesin dan juga alat penangkap ikan. Terlebih lagi adanya ketentuan
Pemerintah yang menyatakan bahwa setiap perubahan pada spesifikasi mesin
102
(merk, nomor seri, atau daya) dan alat tangkap harus dilakukan cek fisik kapal dan
perubahan izin penangkapannya yang prosesnya memakan waktu dan biaya. Skor
0 untuk perubahan daya tangkap seluruh jenis alat penangkap ikan.
(9) Efek samping alat tangkap
Pengoperasian alat penangkap ikan di Laut Arafura secara umum
memberikan efek samping bagi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Efek
samping pengoperasian pukat ikan terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan
perairan cukup besar antara lain diindikasikan oleh tingginya by-cath dan discard
serta ketertangkapan ikan kecil (juvenil). Bahkan pada perikanan pukat udang
lebih besar yaitu ditambah adanya dampak terhadap lingkungan dasar perairan
(sea bed) dan habitat ikan akibat sapuan atau “garukan” alat. Skor efek samping
pukat ikan diberi nilai 1 sedangkan untuk pukat udang layak diberi nilai 2.
Sifat selektivitas gillnet oseanik dan pancing rawai dasar menjadikan efek
samping kedua alat penangkap ikan ini terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan
adalah rendah. Skor untuk kedua jenis alat penangkap ikan ini adalah 0. Pancing
cumi merupakan alat penangkap ikan yang tergolong selektif. Namun demikian
pengoperasian pancing cumi dapat memberikan dampak negatif terhadap
sumberdaya dan lingkungan perairannya karena penggunaan cahaya dengan
intensitas yang sangat tinggi. Skor untuk pancing cumi dapat diberi kan nilai 1.
2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
Hasil RAPFISH menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan
tangkap pada dimensi teknologi sebagaimana pada Tabel 21 dan Lampiran 4.
Tabel 21 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kegiatan Perikanan
Tangkap
Pukat Ikan
Gillnet Oseanik
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata-rata indeks
Indeks Keberlanjutan
Perikanan
51,03
69,66
58,87
64,20
66,80
62,11
Status
Keberlanjutan
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
Cukup
103
Selanjutnya jika nilai dimensi teknologi pada Tabel 21 tersebut diplotkan
dalam gambar ordinansi maka akan nampak sebagaimana Gambar 34 dibawah
ini.
RAPFISH Ordination
60
Up
Other Distingishing Features
40
20
PUD
PAC
Bad
Good
0
Real Fisheries
Reference anchors
0
20
40
60
PIK
80
PRD
100
Anchors
GIL
-20
-40
Down
-60
Fisheries Status
Gambar 34
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
(keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet
oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar)
Berdasarkan dimensi teknologi, perikanan gillnet memiliki kerberlanjutan
yang paling tinggi (69,66); disusul oleh pancing prawai dasar (66,80); pancing
cumi (64,20); pukat udang (58,87); dan pukat ikan (51,03).
Gambar 36
memperlihatkan keberlanjutan perikanan dari dimensi teknologi bahwa seluruh
jenis perikanan dalam status cukup berlanjut.
Secara umum atau rata-rata,
perikanan pada dimensi teknologi di Laut Arafura dalam keadaan cukup berlanjut
dengan skor 62,11.
Analisis ordinansi dalam dimensi teknologi dengan jumlah iterasi
sebanyak 2 (dua) kali, menghasilkan nilai kuadrat korelasi (R2 ) = 93,2% dan
nilai stress (S) = 13,9%.
Analisis dimensi teknologi dalam penelitian ini
menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup (fair) mengingat nilai stress
104
yang diperoleh adalah sebesar < 25%. Koefisien determinasi (nilai kepercayaan)
atau R2 untuk dimensi teknologi bernilai lebih besar 0,90.
Sementara itu hasil analisis Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat
tingkat kestabilan dari hasil analisis ordinansi dengan iterasi 30 kali dapat
dilihat pada Gambar 35.
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60
Other Distingishing Features
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-20
-40
-60
Fisheries Status
Gambar 35
Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo
pada dimensi sosial (keterangan: kuning=pukat udang;
biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet
oseanik; hijau muda=p.cumi)
Analisis sensitivitas pada dimensi teknologi dengan metode analisis
leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa penggunaan FAD (fish
attracting devices), selektivitas alat, dan ukuran kapal merupakan atribut yang
sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi di
Laut Arafura. Nilai perubahan rms ketiga alat penangkap ikan tersebut masingmasing yaitu 5,78% untuk penggunaan FAD; 5,72% untuk selektivitas alat; dan
5,35% untuk ukuran kapal.
Atribut yang paling sedikit memberikan pengaruh pada keberlanjutan dari
aspek teknologi adalah penanganan di atas kapal yaitu dengan nilai perubahan rms
105
2,07%.
Pada Gambar 36 diperlihatkan hasil analisis leverage keberlanjutan
perikanan dari dimensi teknologi.
Leverage of Attributes
2,29
efek samping alat
perubahan daya-tangkap
3,37
5,35
Attribute
ukuran kapal
penggunaan FAD
5,78
selektivitas alat
5,72
2,07
penanganan diatas kapal
4,57
pengolahan pra-jual (UPI)
tempat pendaratan ikan
3,11
lama trip
2,29
0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 36 Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi
3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
Keberlanjutan perikanan di Laut Arafura pada dimensi teknologi adalah
cukup berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 62,11. Semua jenis alat penangkap
ikan dalam kondisi cukup berlanjut secara teknologi.
Urutan keberlanjutan
ekonomi dari yang tertinggi sampai terendah yaitu : gillnet oseanik, pancing rawai
dasar, pancing cumi, pukat udang, dan pukat ikan. Hal ini erat kaitannya dengan
tingkat selektivitas alat penangkap ikan. Gillnet oseanik dan golongan pancing
merupakan alat penangkapan ikan yang tergolong selektif sehingga skor
keberlanjutan teknologinya tinggi. Gillnet juga merupakan alat penangkap ikan
yang tidak menggunakan FAD.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi
antara lain : penggunaan FAD, selektivitas alat dan ukuran kapal. Hal ini sangat
logis karena ketiga faktor tersebut merupakan komponen utama dari teknologi
106
yang dipergunakan pada unit penangkapan ikan. Penggunaan FAD dalam operasi
penangkapan akan memberikan dampak eksploitasi ikan yang lebih besar
sehingga menyebabkan kurangnya keberlanjutan dari sisi teknologi.
Hal ini
berbeda dengan selektivitas alat yaitu jika alat penangkap ikan semakin selektif
maka kontribusinya terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi
akan semakin baik. Sementara itu, ukuran kapal yang digunakan berbanding
terbalik dengan keberlanjutan perikanan pada aspek teknologi.
Ukuran kapal
yang besar berkorelasi dengan besarnya produktivitas dan kapasitas palkah.
Atribut yang paling sedikit memberikan pengaruh pada keberlanjutan dari
aspek teknologi adalah penanganan di atas kapal. Hal ini mengindikasikan bahwa
penanganan di atas kapal (handling) belum sepenuhnya diperhatikan dalam usaha
perikanan tangkap di Arafura.
Belum semua usaha perikanan di Arafura
menerapkan teknologi atau cara-cara penanganan yang baik terhadap ikan di atas
kapal.
Untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan dari aspek teknologi di Laut
Arafura perlu ditempuh antara lain : peningkatan selektivitas alat penangkap ikan,
mereduksi penggunaan FAD, dan penggunaan ukuran kapal yang efisien. Ketiga
hal ini dapat dilakukan melalui rekayasa teknologi.
4.1.5 Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika
Penentuan atribut yang menjadi indikator pada dimensi etika ini yaitu
dengan mengunakan indikator yang keluarkan oleh program RAPFISH, namun
telah disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi
penelitian. Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri
dari 8 atribut mengacu pada Pitcher dan Preikshot (2001) yang dimodifikasi,
antara lain: keterpautan historis dan/atau geografis, pilihan perikanan, kesetaraan
berkegiatan, ketepatan pengelolaan, mitigasi-destruksi habitat, mitigasi-destruksi
ekosistem, penangkapan yang melanggar aturan, serta buangan dan limbah. Tabel
22 memperlihatkan atribut dan kriteria skor sedangkan Tabel 23 memperlihatkan
definisi atribut yang digunakan.
107
Tabel 22 Atribut dan kriteria skor pada dimensi etika
No. Atribut
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Skor
Kriteria pemberian skor
0;1;2;3
Kedekatan secara geografis dan hubungan sejarah:
Kedekatan dan
tidak dekat dan tidak tergantung (0); tidak dekat
ketergantungan
dan cukup tergantung (1); dekat dan cukup
tergantung (2); dekat dan sangat tergantung (3)
0;1;2
Pilihan perikanan: tidak ada (0); beberapa (1);
Pilihan perikanan
banyak (2)
0;1;2
Mempertimbangkan basis tradisi/sejarah: tidak (0);
Kesetaraan berkegiatan
ya (1); perikanan tradisional (2)
0;1;2;3;4
Pola pengelolaan: tidak ada (0); konsultatif (1); coKeadilan pengelolaan
management/leader pemerintah (2); comanagement/leader masy. (3); murni comanagement yg setara (4)
0;1;2;3;4
Kerusakan dan mitigasinya terhadap habitat ikan:
Mitigasi-Destruksi habitat
banyak kerusakan (0); beberapa kerusakan (1);
tidak ada kerusakan atau mitigasi (2); beberapa
mitigasi (3); banyak mitigasi (4)
0;1;2;3;4
Kerusakan dan mitigasinya yang berdampak pada
Mitigasi-deplesi ekosistem
ekosistem: banyak kerusakan (0); beberapa
kerusakan (1); tidak ada kerusakan atau mitigasi
(2); beberapa mitigasi (3); banyak mitigasi (4)
0;1;2
Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2)
Penangkapan yang
melanggar aturan
0;1;2
Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2)
Buangan dan limbah
8.
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi
Tabel 23 Definisi atribut pada dimensi etika
Atribut
Definisi
1.
Kedekatan dan ketergantungan
perikanan
Kedekatan secara geografis wilayah dan keterkaitan
usaha perikanan secara historis
2.
Pilihan perikanan
Keberadaan pilihan kegiatan
daripada yang dilakukan
3.
Kesetaraan berkegiatan
Pertimbangan basis tradisi atau historis dalam
melakukan usaha perikanan
4.
Keadilan pengelolaan
Derajat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
5.
Mitigasi-Destruksi habitat
Tingkat mitigasi dan destruksi terhadap habitat
sumberdaya ikan
6.
Mitigasi-deplesi ekosistem
Tingkat mitigasi dan deplesi yang mengakibatkan
perubahan ekosistem
7.
Penangkapan yang melanggar
aturan
Keberadaan pelaggaran dalam kegiatan perikanan
yang dilakukan ( IUU fishing)
8.
Buangan dan limbah
Keberadan buangan/limbah yang disebabkan
kegiatan perikanan
No
Sumber : Pitcher and Preikshot (2001)
perikanan
selain
108
1) Kondisi masing-masing atribut keberlanjutan pada dimensi etika
(1) Keterpautan historis dan/ atau geografis
Usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial memiliki kedekatan dan
ketergantungan terhadap aspek geografis dan historis karena sejak dahulu Laut
Arafura dikenal sebagai fishing ground perikanan dan diusahakan oleh masyarakat
walaupun dimulai secara tradisional.
Potensi sumberdaya ikan yang cukup
melimpah terutama udang dan ikan demersal pada akhirnya mendorong
pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura secara komersial.
Sejarah
perkembangan perikanan di Laut Arafura merupakan bagian dari sejarah
perikanan nasional. Menurut Murdiyanto (2011), perkembangan perikanan di
Indonesia dimulai tahun 1950-an yaitu dengan diujicobakannya trawl oleh
Yayasan Perikanan Laut (YPL) Makassar.
Selanjutnya tahun 1970 – 1980
merupakan masa kejayaan trawl udang, serta berkembangnya secara pesat
teknologi penangkapan ikan seperti gillnet, pancing, purse seine, dan sebagainya.
Dengan demikian pada hakikatnya pengembangan perikanan skala
komersial atau skala besar (diatas 30 GT) secara kultural bukanlah hal baru bagi
masyarakat. Skor keterpautan historis dan/ atau geografis untuk seluruh jenis
perikanan dapat diberikan nilai 2.
(2) Pilihan perikanan
Banyak pilihan kegiatan/usaha perikanan lainnya di Laut Arafura antara
lain : pukat ikan, pukat udang, gillnet, pancing cumi, pancing rawai dasar, dan
lain-lain. Disamping itu terdapat pula jenis alat penangkapan lain diluar 5 jenis
yang dominan. Hal ini membuat masyarakat atau nelayan/ABK di Laut Arafura
memiliki keleuasaan untuk memilih kegiatan perikanan yang diinginkan. Skor
pilihan perikanan untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 2.
(3) Kesetaraan kesempatan perikanan
Meskipun usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial historis memiliki
kaitan erat dengan masyarakat sekitarnya, tetapi masuknya usaha perikanan
komersial atau skala besar (diatas 30 GT) adalah dilakukan dengan pertimbangan
109
kelayakan teknis dan ekonomis, sedikit sekali yang mempertimbangkan aspek
tradisi atau sejarah perikanan di lokasi. Skor kesetaraan kesempatan perikanan
untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 0.
(4) Keadilan dalam hal pengelolaan (pelibatan nelayan/ABK)
Kaitannya dengan pihak lain terhadap pengelolaan/kegiatan usaha yang
dilakukan, perikanan skala komersial sangat sedikit mengakomodir nelayan/ABK
dalam hal pengelolaan/operasional. Peran masing-masing pelaku yang terlibat
dalam operasi penangkapan ikan skala komersial (diatas 30 GT) disesuaikan
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Pembagian tugas sudah dilakukan secara
profesional sehingga kebijakan atau keputusan yang strategis tentang pengelolaan
atau operasional penangkapan terbatas hanya oleh pimpinan atau manajer bagian
penangkapan beserta nakhoda kapal.
Hal ini berlaku untuk seluruh jenis
perikanan sehingga skornya sama yaitu 0.
(5) Mitigasi – destruksi habitat
Pengoperasian alat penangkap ikan yang tergolong selektif seperti pancing
cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet oseanik pada umumnya
tidak
menimbulkan kerusakan habitat sehingga upaya mitigasinya juga tidak terlalu
signifikan. Untuk ketiga jenis perikanan ini dapat diberikan skor 2.
Pengoperasian pukat udang dapat menimbulkan kerusakan habitat
sumberdaya ikan karena alat penangkap ikan ini kurang selektif dan banyak
menghasilkan by-catch dan discard. Disamping itu efek “sapuan” pada bagian
kantong jaring dapat merusak kondisi substrat tempat hidup habitat ikan dan
udang. Skor mitigasi – destruksi untuk perikananpukat udang diberikan nilai 0.
Sama halnya dengan perikanan pukat udang, pengoperasian pukat ikan
mampu merusak habitat sumberdaya ikan tetapi dampaknya tidak sebesar pada
pukat udang karena pukat ikan lebih banyak beroperasi pada bagian kolom
perairan.
Skor kerusakan habitat untuk perikanan pukat ikan lebih kecil
dibandingkan dengan perikanan pukat udang sehingga dapat dinilai 1.
110
(6) Mitigasi – destruksi ekosistem
Destruksi terhadap eskosistem yang diakibatkan pengoperasian alat
penangkap ikan dapat dianalogikan dengan destruksi pada habitat sumberdaya
ikan. Hal ini dipahami karena habitat merupakan bagian dari ekosistem yang
lebih besar. Habitat sumberdaya ikan yang mengalami kerusakan selanjutnya
akan membuat ketidakseimbangan interaksi dalam ekosistem, misalnya antar
spesies dalam satu habitat maupun antar habitat satu dengan yang lainnya.
Interaksi yang terjadi contohnya adalah hubungan mangsa-memangsa (predatorprey), simbiosis dan rantai makanan. Dalam interaksi yang lebih luas maka
ekosistem juga menyangkut biota lain selain ikan serta keseluruhan organisme
yang ada di laut dan daratan pesisir.
Berdasarkan hal tersebut maka penentuan skor mitigasi – destruksi
ekosistem dapat mengacu kepada skor mitigasi – deplesi habitat. Pada jenis
perikanan yang selektif seperti gillnet dan pancing dapat dikatakan sangat kecil
dampak kerusakannya terhadap ekosistem sehingga diberikan nilai skor 2. Pada
perikanan pukat udang banyak mengakibatkan kerusakan ekosistem sehingga
skornya adalah 0, sedangkan pada pukat ikan dapat diberikan skor 1.
(7) Penangkapan yang melanggar aturan
Perairan Laut Arafura merupakan salah satu kawasan yang rawan kegiatan
IUU Fishing (illegal unreported unregulated fishing). Kegiatan IUU Fishing di
laut Arafura dapat berupa pencurian ikan, penggunaan alat dan metode
penangkapan yang dilarang (pengeboman ikan, penggunaan racun, penggunaan
pair trawl), pengoperasian kapal tanpa dokumen perizinan, penggunaan izin
palsu, transhipment, dan lain-lain. IUU Fishing dapat dilakukan oleh kapal-kapal
asing maupun kapal domestik.
Berdasarkan wawancara dengan pengawas perikanan di lapangan, kapalkapal yang sering tertangkap melakukan IUU fishing adalah kapal-kapal jenis
pukat ikan dan gillnet oseanik (skor 2). Selanjutnya adalah kapal pukat udang
walaupun tidak sebanyak pada pukat ikan dan gillnet oseanik (skor 1). Sedangkan
111
untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar tingkat pelanggaran sangat
sedikit (skor 0).
(8) Buangan dan limbah (termasuk organisme)
Limbah merupakan hasil samping yang tidak diharapkan atau tidak
dimanfaatkan dari suatu kegiatan.
Kegiatan
perikanan
umumnya
menghasilkan limbah baik dalam bentuk organik maupun an-organik. Bentuk
organik misalnya berupa sisa-sisa ikan mati/ busuk, organisme lain yang mati
tertangkap kemudian dibuang seperti kura-kura atau burung laut, bahkan ikan
spesies target maupun non-target penangkapan dapat juga dibuang sebagai discard
oleh sebab-sebab tertentu misalkan terbatasnya kapasitas palkah ikan. Bentuk
limbah atau buangan an-organik yang umum dari kegiatan perikanan contohnya
adalah tumpahan minyak yang mencemari perairan (oil spill).
Sebagaimana telah diuraikan pada dimensi ekologi, pengoperasian kapalkapal besar di Arafura terutama yang menggunakan alat penangkap ikan berupa
pukat yang ditarik (pukat udang dan pukat ikan) memberikan limbah yang cukup
besar berupa discard. Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah
yang tertinggi dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang
tercatat 332.186 ton/tahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard
(Purbayanto, et al., 2006). Skor buangan untuk perikanan pukat udang adalah
tertinggi yaitu 2.
Discard juga ditemui pada perikanan pukat ikan tetapi
jumlahnya tidak sebanyak pada pukat udang (skor 1). Sedangkan pada perikanan
dengan alat penangkap ikan yang selektif yaitu gillnet oseanik, pancing cumi, dan
pancing rawai dasar discard atau limbah yang dihasilkan sangat sedikit (skor 0).
2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika
Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi etika
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap sebagaimana
disajikan pada Tabel 24 dan Lampiran 5.
112
Tabel 24 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi etika
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kegiatan Perikanan
Tangkap
Pukat Ikan
Gillnet Oseanik
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata-rata indeks
Indeks Keberlanjutan
Perikanan
26,46
37,51
21,19
46,57
46,57
35,66
Status
Keberlanjutan
Kurang
Kurang
Buruk
Kurang
Kurang
Kurang
Selanjutnya jika nilai dimensi etika pada Tabel 24 tersebut diplotkan
dalam gambar ordinansi maka akan nampak sebagaimana Gambar 37.
RAPFISH Ordination
60
Up
Other Distingishing Features
40
PIK
20
PUD
Bad
0
0
GIL
Good
Real Fisheries
Reference anchors
20
40
60
80
100
Anchors
PRD
-20
PAC
-40
Down
-60
Fisheries Status
Gambar 37
Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika
(keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet
oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar)
Sementara itu hasil analisis Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat
tingkat kestabilan dari hasil analisis ordinansi dengan iterasi 30 kali dapat
dilihat pada Gambar 38. Keberlanjutan perikanan dari dimensi etika secara ratarata memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dimensi lainnya yaitu 35,66
atau dengan status kurang berlanjut. Berdasarkan dimensi etika, semua jenis
113
perikanan yang beroperasi di Arafura berada dalam status kurang berlanjut. Nilai
keberlanjutan masing-masing perikanan yaitu: pancing cumi dan pancing rawai
dasar (masing-masing 46,6); gillnet oseanik (37,5); pukat ikan (26,5); dan
terendah adalah pukat udang (21,2) seperti terlihat pada Gambar 37. Simulasi
RAPISH untuk dimensi etika ini menghasilkan parameter statistik yang memadai
yaitu nilai stress = 14,2% dan R2 = 94,3%.
Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
60
Other Distingishing Features
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
-20
-40
-60
Fisheries Status
Gambar 38 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada
dimensi etika (keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan;
ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi)
Berdasarkan analisis sensitivitas diketahui bahwa atribut utama yang
paling berpengaruh untuk dimensi etika adalah keadilan dalam hal pengelolaan
(Gambar 39). Keadilan yang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam hal
pengelolaan atau pemanfaatan perikanan, yang ditunjukkan oleh nilai perubahan
rms tertinggi yaitu 6,59%.
114
Leverage of Attributes
3,06
buangan dan limbah
4,27
illegal fishing
Attribute
mitigasi-deplesi
ekosistem
2,41
2,80
mitigasi-destruksi habitat
keadilan dalam
pengelolaan
6,59
5,67
kesetaraan kesempatan
5,52
pilihan perikanan
kedekatan/ ketergantungan
4,59
0
1
2
3
4
5
6
7
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute
Removed (on Statis scale 0 to 100)
Gambar 39 Hasil analisis leverage pada dimensi etika
Analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa mitigasi-deplisi habitat dan
ekosistem merupakan atribut yang kurang memiliki pengaruh bagi keberlanjutan
perikanan secara etika. Nilai perubahan rms untuk mitigasi-deplisi ekosistem
adalah terkecil yaitu 2,41% sedangkan mitigasi-deplisi habitat 2,80%.
3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial
Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika di Laut Arafura adalah kurang
berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 35,66.
dibanding keberlanjutan pada dimensi lainnya.
Nilai ini merupakan terendah
Skor keberlanjutan perikanan
dimensi etika yang paling rendah adalah pada perikanan pukat udang (skor 21,19).
Hal ini dikontribusikan terutama oleh bycatch dan discard yang tertinggi
dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu pula perikanan pukat udang
termasuk sering melakukan IUU fishing disamping pukat ikan dan gillnet oseanik.
Secara etika, usaha perikanan akan memiliki nilai yang tinggi bila
memperhatikan dan melibatkan aspek masyarakat lokal dalam kegiatannya.
Keadilan pengelolaan akan mempengaruhi tingkat penerimaan atau penolakan
115
masyarakat terhadap usaha perikanan yang dilakukan. Sebagai contoh di Papua,
sejak tahun 1980-an sudah terdapat perusahaan perikanan yang eksis karena selain
membuka lahan perekonomian baru juga memfasilitasi masyarakat setempat
untuk memperoleh kebutuhan dasar dan mata pencaharian.
Oleh karena itu
keadilan (pilihan) dalam hal pengelolaan sangat besar pengaruhnya pada
keberlanjutan dimensi etika.
Hasil analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa pengaruh atribut
mitigasi-deplesi ekosistem terhadap keberlanjutan secara etika sangat rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa usaha perikanan di Arafura juga kurang memperhatikan
aspek mitigasi atau pencegahan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap
ekosistem (dan habitat) sehingga atribut ini hasilnya kurang sensitif.
Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan perikanan dari aspek etika
perlu ditempuh antara lain peningkatan keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan usaha perikanan. Perlu dibuat aturan yang tegas terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan usaha perikanan tangkap terhadap ekosistem dan habitat
serta upaya pencegahannya pada kegiatan perikanan di Laut Arafura.
4.1.6 Status keberlanjutan perikanan di Arafura secara keseluruhan
Berdasarkan hasil analisis RAPFISH secara keseluruhan diketahui bahwa
perikanan tangkap di perairan Arafura cukup berlanjut yaitu dengan skor 54,68.
Bila dirinci berdasarkan masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi
ekologi, sosial, dan teknologi dalam kondisi cukup berlanjut, sedangkan aspek
ekonomi dan etika dalam kondisi kurang berlanjut. Bila diuraikan berdasarkan
perikanan (alat tangkap) maka perikanan pancing cumi, pancing rawai dasar, dan
gillnet dalam status cukup berlanjut, sedangkan perikanan pukat udang dan pukat
ikan berada dalam status kurang berlanjut. Hasil analisis RAPFISH selengkapnya
diuraikan pada Tabel 25 berikut.
116
Tabel 25 Hasil analisis RAPFISH menurut jenis alat dan dimensi
Alat Penangkap
Ikan (API)
Pukat Ikan
Gillnet
Pukat Udang
Pancing Cumi
Pancing Rawai Dasar
Rata2 Dimensi
Ranking Dimensi
Kriteria Dimensi
Dimensi atau Aspek
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Etika
52,51
99,97
38,50
99,97
85,19
75,23
1
Cukup
50,65
35,99
47,79
57,17
44,38
47,20
4
Kurang
52,93
50,62
54,36
53,91
54,13
53,19
3
Cukup
51,03
69,66
58,87
64,20
66,80
62,11
2
Cukup
26,46
37,51
21,19
46,57
46,57
35,66
5
Kurang
Rata2
(API)
46,71
58,75
44,14
64,36
59,41
54,68
-
Ranking
(API)
Kriteria
(API)
4
3
5
1
2
-
Kurang
Cukup
Kurang
Cukup
Cukup
-
Secara grafis, status keberlanjutan perikanan di Arafura berdasarkan
dimensi diperlihatkan pada Gambar 40, sedangkan berdasarkan alat penangkap
ikan diperlihatkan pada Gambar 41.
EKOLOGI
100
75
50
ETIKA
EKONOMI
25
0
TEKNOLOGI
PUKAT IKAN
PUKAT UDANG
PANCING RAWAI DASAR
SOSIAL
GILLNET
PANCING CUMI
Gambar 40 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan
di Laut Arafura berdasarkan dimensi
Pada Gambar 40 terlihat bahwa keberlanjutan berdasarkan ekologi
memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan dimensi lainnya yang
ditunjukkan oleh garis-garis bidang lebih yang mengarah ke sudut bagian atas
117
(sudut ekologi). Nilai rata-rata keberlanjutan ekologi ini 75,23 dengan status
cukup berlanjut. Sedangkan keberlanjutan pada dimensi etika merupakan yang
paling rendah dengan nilai rata-rata 35,66 (kurang berlanjut).
Keberlanjutan perikanan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang
ditunjukkan Gambar 41 memperlihatkan bahwa perikanan pancing cumi adalah
paling berlanjut dengan skor rata-rata 64,36.
Sedangkan yang paling rendah
nilainya adalah perikanan pukat udang dengan nilai rata-rata 44,14 atau statusnya
kurang berlanjut. Gambar 41 memperlihatkan juga bahwa keberlajutan secara
ekologi seluruh jenis alat penangkap ikan merupakan yang tertinggi yaitu
ditunjukkan oleh ukuran poligon ekologi (garis berwarna biru) dari seluruh jenis
alat penangkap ikan.
PUKAT IKAN
100
75
50
PANC. RAWAI DASAR
GILLNET
25
0
PANCING CUMI
EKOLOGI
PUKAT UDANG
EKONOMI
SOSIAL
T EKNOLOGI
ET IKA
Gambar 41 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan
di Laut Arafura berdasarkan jenis alat
penangkap ikan
118
4.2 Keberlanjutan Perikanan Berbasis Optimasi Alat Penangkap Ikan
4.2.1
Optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan
Sebagai dasar untuk mengetahui jumlah unit penangkapan ikan yang
optimal di Laut Arafura maka digunakan data potensi sumberdaya ikan. Data
potensi yang digunakan adalah hasil estimasi KKP yang tercantum pada Kepmen
No. 45 tahun 2011 dengan pertimbangan antara lain:
1) Data
tersebut
adalah
data
yang
digunakan
Pemerintah
dalam
pengalokasian izin usaha penangkapan ikan;
2) Data ini mengelompokkan sumberdaya ikan berdasarkan jenis, tidak
berdasarkan spesies mengingat sumberdaya ikan di perairan Arafura atau
di daerah tropis sifatnya multispesies dan jumlah masing-masing
spesiesnya sedikit;
3) Penelitian ini mengarah kepada keberlanjutan perikanan skala besar
(industri) yaitu dengan basis kapal perikanan yang mendapatkan izin dari
Pemerintah Pusat (Ditjen Perikanan Tangkap, KKP) yaitu kapal-kapal
perikanan berukuran lebih dari atau sama dengan 30 GT;
4) Lebih lanjut bila diperlukan pemanfaatan berdasarkan spesies dapat
dilakukan dengan melihat komposisi hasil tangkapan ikan yang sudah
dianalisis dan dituangkan kedalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 60 tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Perikanan.
Data potensi sumberdaya ikan (MSY) dan Jumlah Tangkap yang
Diperbolehkan (JTB) di perairan Arafura diuraikan pada Tabel 26.
Tabel 26 Potensi dan JTB sumberdaya ikan di Laut Arafura (ribu ton/tahun)
Jenis sumberdaya ikan
Ikan pelagis kecil
Ikan pelagis besar
Ikan demersal
Udang penaeid
Ikan karang konsumsi
Lobster
Cumi-cumi
Sumber : KKP (2011)
Potensi (MSY)
JTB (80% MSY)
468,66
374,93
50,86
40,69
284,70
227,76
44,70
35,76
3,10
2,48
0,10
0,08
3,39
2,71
119
Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan hasil penelitian
KKP tentang produktivitas kapal penangkap ikan serta komposisi jenis ikan hasil
tangkapan yang dituangkan kedalam Permen KP No. 60 tahun 2010 maka dapat
diketahui jenis-jenis alat penangkap ikan yang berkorelasi dengan jenis
sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapannya. Sumberdaya ikan jenis
lobster tidak diperhitungkan dengan asumsi sebagai by-catch jenis-jenis alat
penangkap ikan yang ada, disamping itu potensinya juga sedikit.
Untuk mengetahui pengalokasian optimum dari komoditas sumberdaya
ikan di Laut Arafura maka dilakukan metode Linear Goal Programming (LGP)
dengan software LINDO (Linear Interactive Descrete Optimizer).
1) Sumberdaya ikan pelagis kecil
Potensi (JTB) ikan pelagis kecil yang ada di Laut Arafura mencapai
374,93 ribu ton/tahun (BRKP, 2001). Ikan pelagis kecil di Laut Arafura dapat
ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pukat ikan (X1) dan pukat udang
(X2). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan pelagis kecil diasumsikan 2
ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat ikan. Sementara
itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan pelagis kecil diasumsikan
0,03 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat pukat udang.
Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk
pemanfaatan ikan pelagis kecil yaitu :
DB1 – DA1 + 2 X1 + 0,03 X2 = 374930
2) Sumberdaya ikan pelagis besar
Potensi (JTB) ikan pelagis besar di Laut Arafura mencapai 40,69 ribu
ton/tahun. Ikan pelagis kecil di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat
penangkap ikan berupa pukat ikan (X1), pukat udang (X2), dan gillnet oseanik
(X3). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan pelagis besar diasumsikan
0,4 ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat ikan.
Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan pelagis besar
diasumsikan 0,03 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat
120
pukat udang. Sedangkan produktivitas gillnet oseanik untuk menangkap ikan
pelagis besar diasumsikan 0,85 ton/GT/tahun yang merupakan total nilai
produktivitas gillnet oseanik untuk menangkap ikan pelagis besar. Berdasarkan
hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan
ikan pelagis besar yaitu :
DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690
3) Sumberdaya ikan demersal
Potensi (JTB) ikan demersal di Laut Arafura mencapai 161,87 ribu
ton/tahun. Ikan demersal di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat
penangkap ikan berupa pukat ikan (X1), pukat udang (X2), dan pancing rawai
dasar (X4).
Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan demersal
diasumsikan 1 ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat
ikan. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan demersal
diasumsikan 0,2 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat
pukat udang. Sedangkan produktivitas pancing rawai dasar untuk menangkap
ikan demersal diasumsikan 1,1 ton/GT/tahun dari total produktivitas 1,2
ton/GT/tahun untuk pancing rawai dasar.
Berdasarkan hal tersebut maka
persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan ikan demersal :
DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760
4) Sumberdaya udang
Potensi (JTB) udang di Laut Arafura mencapai 34,48 ribu ton/tahun.
Udang di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa
pukat ikan (X1) dan pukat udang (X2).
Produktivitas pukat ikan untuk
menangkap udang adalah 0,17 ton/GT/tahun yang merupakan total produktivitas
alat. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap udang adalah 0,4
ton/GT/tahun yang merupakan total produktivitas alat. Berdasarkan hal tersebut
maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan udang yaitu:
DB4 – DA4 + 0,17 X1 + 0,4 X2 = 35760
121
5) Sumberdaya cumi-cumi
Potensi (JTB) cumi-cumi di Laut Arafura mencapai 2,71 ribu ton/tahun.
Cumi-cumi di Laut Arafura hanya ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan
berupa pancing cumi atau squid jigging (X5). Produktivitas pancing cumi untuk
menangkap cumi-cumi adalah 0,26 ton/GT/tahun yang merupakan total
produktivitas alat. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal
constraint) untuk pemanfaatan cumi-cumi yaitu :
DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710
6) Sumberdaya ikan karang konsumsi
Potensi (JTB) ikan karang konsumsi di Laut Arafura mencapai 2,48 ribu
ton/tahun. Ikan karang konsumsi di Laut Arafura ditangkap oleh jenis alat
penangkap ikan berupa pancing rawai dasar (X4). Produktivitas pancing rawai
dasar menangkap ikan karang konsumsi 0,1 ton/GT/tahun dari total produktivitas
alat pancing rawai dasar 1,2 ton/GT/tahun.
Berdasarkan hal tersebut maka
persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk ikan karang konsumsi yaitu :
DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480
Berdasarkan hasil analisis RAPFISH diketahui bahwa terdapat 3 jenis alat
penangkap ikan yang tergolong cukup berlanjut sehingga dapat diprioritaskan
untuk dikembangkan di Laut Arafura yakni gillnet oseanik, pancing rawai dasar
dan pancing cumi. Terhadap ketiga jenis alat tangkap ini selanjutnya dilakukan
optimasi tahap pertama dengan tujuan utama memperoleh jumlah optimumnya.
Persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama yaitu :
DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690 .............
(9)
DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760 ....................
(10)
DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710 ............................................
(11)
DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480 ..............................................
(12)
Persamaan (9) sampai (12) adalah persamaan optimasi pemanfaatan ikan
pelagis besar, ikan demersal, ikan karang konsumsi dan cumi-cumi. Pada tahap
122
ini persamaan untuk ikan pelagis kecil dan udang belum digunakan karena
diasumsikan merupakan target utama pukat ikan dan pukat udang sebagai jenis
alat penangkap ikan yang statusnya kurang berlanjut.
Analisis LINDO tahap pertama menghasilkan jumlah optimum gillnet
oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi yaitu :
•
Gillnet Oseanik (X3) = 24.119 GT
•
Pancing Rawai Dasar (X4) = 24.800 GT
•
Pancing Cumi (X5) = 10.423 GT
Penyelesaian persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Untuk mengetahui alokasi keseluruhan jenis alat penangkap ikan yang ada
maka dilanjutkan dengan analisis optimasi tahap kedua. Pada tahap kedua ini
dimasukkan persamaan optimasi untuk ikan pelagis kecil dan udang, serta hasil
alokasi optimum gillnet oseanik, pukat ikan, dan pukat udang pada tahap pertama
sebagai pembatas.
Tujuan optimasi tahap kedua adalah memperoleh jumlah
optimal seluruh alat penangkap ikan.
Persamaan optimasi tahap kedua sebagai berikut :
DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690 ................
(13)
DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760 ........................
(14)
DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710 ................................................
(15)
DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480 ..................................................
(16)
DB1 – DA1 + 2 X1 + 0,03 X2 = 374930 .................................
(17)
DB4 – DA4 + 0,17 X1 + 0,4 X2 = 35760 ................................
(18)
X3 ≥ 24.119 ...................................................................................
(19)
X4 ≥ 24.800 ...................................................................................
(20)
X5 ≥ 10.423 ....................................................................................
(21)
123
Analisis optimasi LINDO tahap kedua menghasilkan jumlah optimum
untuk seluruh jenis alat penangkap ikan termasuk pukat ikan dan pukat udang,
sebagai berikut :
•
Pukat Ikan (X1) = 187.318 GT
•
Pukat Udang (X2) = 9.789 GT
•
Gillnet Oseanik (X3) = 24.119 GT
•
Pancing Rawai Dasar (X4) = 34.985 GT
•
Pancing Cumi (X5) = 10.423 GT
Penyelesaian persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama dapat
dilihat pada Lampiran 7. Dalam hal ini digunakan asumsi bahwa potensi
sumberdaya ikan termanfaatkan seluruhnya oleh industri perikanan tangkap.
Berdasarkan hasil tersebut diperoleh perbandingan antara jumlah optimum alat
penangkap ikan dengan jumlah yang ada saat ini di Laut Arafura sebagaimana
pada Tabel 27. .
Tabel 27 Perbandingan unit penangkapan optimal dan yang ada di Laut Arafura
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Jenis alat penangkap
ikan
Pukat Ikan
Pukat Udang
Gillnet Oseanik
Pancing Rawai Dasar
Pancing Cumi
Jumlah optimal
(GT)
187.318
9.789
24.119
34.985
10.423
Jumlah yang
ada (GT)
113.932
19.760
23.360
6.354
13.084
Selisih +/(GT)
73.386
9.971
759
28.631
2.661
Analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan menunjukkan bahwa
untuk alat penangkap ikan yang berkelanjutan yaitu gillnet oseanik dan pancing
rawai dasar masih bisa dikembangkan menuju optimal, sedangkan pancing cumi
sedikit melebihi nilai optimal. Gillnet oseanik masuk dalam kategori optimal
namun masih bisa ditambah 759 GT (3 unit), pancing rawai dasar masih sangat
besar peluangnya untuk ditambah yaitu 28.631 GT (477 unit).
Pancing cumi merupakan alat tangkap yang cukup berlanjut berdasarkan
analisis RAPFISH namun hasil optimasi menunjukkan bahwa kondisi saat ini dari
124
segi alokasi penangkapan sudah melebihi kapasitas optimal sebesar 2.661 GT (17
unit).
Kondisi ini bisa terjadi disebabkan analisis RAPFISH melihat
keberlanjutan dari seluruh dimensi sedangkan analisis optimasi melihat
keberlanjutan dari satu aspek saja yaitu ketersediaan stok ikan. Sebagai ilustrasi
memang alat pancing cumi cukup berlanjut tetapi kalau jumlahnya berlebihan
maka akan mengganggu keberlanjutan perikanan misalnya antara lain karena
penggunaan FAD yang tinggi.
Pukat udang merupakan alat tangkap yang sudah melebihi alokasi
optimum sehingga jumlahnya dapat dikurangi.
Namun demikian pukat ikan
meskipun tergolong kurang berlanjut tetapi jumlahnya di Arafura saat ini belum
optimal khususnya untuk menangkap ikan pelagis kecil yang potensinya sangat
besar. Untuk alat penangkap ikan yang statusnya kurang berlanjut yaitu pukat
ikan dan pukat udang apabila akan dikembangkan harus dipersyaratkan
peningkatan keberlanjutan perikanannya, antara lain :
(1) Pengurangan dampak ekologi yang diakibatkan pengoperasian pukat
udang dan pukat ikan dengan cara memperbaiki kondisi habitat dan
lingkungan sumberdaya ikan misalnya melalui pemulihan sumberdaya
ikan, dan memperbaiki aturan tentang mata jaring, penerapan open-closed
season dan open-closed area.
(2) Peningkatan
penyerapan
tenaga
kerja
melalui perluasan
industri
pengolahan, pemasaran dan jasa terkait perikanan.
(3) Peningkatan SDM mencakup keterampilan, sikap dan perilaku nelayan
yang terlibat di usaha penangkapan ikan, termasuk penyadaran terhadap
lingkungan dan aturan yang berlaku.
(4) Intervensi atau inovasi teknologi pukat udang dan pukat ikan yang
produktif tetapi tidak mengancam keberlanjutan perikanan.
(5) Menerapkan model co-management antara pelaku usaha perikanan dengan
masyarakat setempat.
Dapat juga dikembangkan kompensasi dalam
bentuk lain misalnya model kemitraan, bantuan usaha atau corporate
social responsibility.
125
Data untuk mengkonversi jumlah GT menjadi unit kapal digunakan dari
data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap (2011) yang menunjukkan ukuran GT
dominan masing-masing alat penangkap ikan di Laut Arafura sebagai berikut :
pukat ikan ( GT>200) seingga 1 unit = 200 GT; pukat udang (100 – 200 GT)
sehingga 1 unit rata-ratanya 150 GT; gillnet oseanik (GT>200) sehingga
digunakan 1 unit = 200 GT; pancing rawai dasar (60 GT) sehingga 1 unit = 60
GT; dan pancing cumi (100 – 200 GT) sehingga 1 unit rata-rata 150 GT.
4.3 Pengelolaan industri perikanan tangkap melalui perizinan
4.3.1 Mekanisme perizinan saat ini
Secara umum dikenal 2 jenis izin perikanan yaitu izin usaha perikanan
(SIUP) dan izin operasional kapal perikanan. Izin operasional kapal perikanan
terdiri dari 2 macam yiatu izin penangkap ikan (SIPI) dan izin kapal pengangkut
ikan (SIKPI). Izin operasional didapatkan setelah pemohon atau pelaku usaha
memperoleh SIUP.
Izin yang terkait dengan pengalokasian sumberdaya ikan
adalah SIUP.
Pengelolaan izin perikanan tangkap diatur melalui Permen No. 14 Tahun
2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang diubah atau disempurnakan dengan
Permen KP No. 49 Tahun 2011. Mekanisme perizinan yang tercantum pada
Permen KP No. 14 Tahun 2011 kurang lebih sama dengan Permen sebelumnya
yaitu Permen KP No. 12 Tahun 2009 sebagai hasil penyempurnaan Permen KP
No. 5 Tahun 2008.
Berdasarkan peraturan tersebut, mekanisme perizinan
mencakup tata cara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI mulai dari permohonan
sampai dengan pemrosesan izin (verifikasi kelengkapan permohonan, penilaian
kelayakan usaha, pemeriksaan ketersediaan sumberdaya ikan, pembayaran
pungutan, serta pencetakan surat izin). Mekanisme perizinan SIUP dimulai dari
pengajuan permohonan penerbitan SIUP oleh pelaku usaha (pemohon) kepada
Pemerintah.
Terhadap permohonan tersebut selanjutnya dilakukan penelitian
kelengkapan
persyaratan
dan
penilaian
kelayakan
usaha
dengan
mempertimbangkan ketersediaan dan kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan
lingkungannya.
Setelah memperhatikan ketersediaan sumberdaya ikan dan
126
lingkungannya serta permohonan dianggap layak maka dilakukan proses
pencetakan surat pembayaran pungutan (PPP) untuk dibayar oleh Pemohon.
Setelah Pemohon melunasi pungutan maka dilakukan pencetakan dokumen SIUP
yang berisi alokasi jumlah kapal dan wilayah perairan penangkapan yang
diperbolehkan. Bila Alokasi tidak direalisasikan setelah jangka waktu tertentu
maka harus dikembalikan kepada Pemerintah.
Tahapan yang paling penting terkait pemberian alokasi perizinan antara lain :
1) Penilaian kelayakan usaha
Penilaian kelayakan usaha meliputi kelayakan aspek sumberdaya ikan,
aspek teknis (kapal, alat penangkap ikan, pelabuhan, pemasaran, tenaga
kerja), dan aspek finansial usaha.
Aspek kelayakan sumberdaya ikan
menyangkut ketersediaan potensi sumberdaya ikan dan kelestariannya di
wilayah pengelolaan perikanan (WPP).
2) Pemeriksaan (checking) ketersediaan alokasi sumberdaya ikan
Ketersediaan alokasi sumberdaya ikan dan jenis alat penangkapan ikan
merupakan bagian penting dari penilaian aspek kelayakan usaha. Oleh
karena itu, angka ketersediaan alokasi perlu akurat dan merupakan data
terbaru (up-dated). Angka alokasi yang diberikan bersumber pada angka
stok sumberdaya ikan atau pertimbangan ilmiah lainnya. Sebagai landasan
internal di Ditjen Perikanan Tangkap, sudah ada Surat Keputusan (SK)
Dirjen Perikanan Tangkap No. 2 Tahun 2012 yang mengatur
pengalokasian usaha penangkapan ikan di setiap WPP. SK Dirjen tersebut
yang akan diperbaharui setiap tahunnya, mengatur jenis-jenis alat
penangkap ikan tertentu yang diperbolehkan atau tidak serta jumlah
alokasi GT-nya. Landasan untuk menghitung alokasi pada SK tersebut
adalah angka potensi secara umum yang tertuang pada Permen KP No. 24
Tahun 2011, serta dengan mempertimbangkan produksi perikanan
berdasarkan laporan kegiatan usaha, produktivitas penangkapan ikan, hasil
rencana pengelolaan perikanan (RPP), dan porsi izin daerah. Penglokasian
jumlah alat penangkapan ikan atau jumlah GT ini belum dilakukan
127
optimasi yang memperhitungkan jumlah potensi seluruh sumberdaya ikan
dan seluruh produktivitas jenis alat penangkap ikan.
3) Pemeriksaan (checking) kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya
Kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya merupakan pertimbangan
yang rasional untuk memberikan izin usaha pada suatu wilayah perairan
mengingat dampak yang bisa ditimbulkan dari usaha perikanan tangkap.
Faktor ini belum menjadi perhatian penting pemberian izin perikanan saat
ini. Sebagai pertimbangan adalah kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan
di WPP secara umum.
Mekanisme yang dilakukan sudah cukup baik terutama dalam hal
penyediaan data alokasi untuk perizinan yaitu dengan dipertimbangkannya
beberapa aspek. Namun demikian mekanisme ini belum menetapkan tingkat
optimal pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya ikan yang ada dengan jenis alat
tangkap yang tersedia. Disamping itu mekanisme ini belum mengakomodir aspek
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya secara holistik. Pada Gambar 42
diperlihatkan alur mekanisme pengelolaan perikanan tangkap melalui alokasi
perizinan (SIUP) yang berlaku saat ini.
4.3.2 Alternatif penyempurnaan mekanisme perizinan
Mekanisme izin yang ditawarkan tidak mengubah prosedur perizinan
secara umum namun memberikan alternatif dalam hal pengalokasian jenis alat
penangkap ikan yang optimal serta penentuan kondisi lingkungan perairan yang
lestari (berlanjut). Kedua hal tersebut menjadi kunci bagi penilaian kelayakan
usaha perikanan tangkap yang diajukan sebagaimana tercantum pada Pasal 9 Ayat
(1) Permen KP No. 14 Tahun 2011 yang diubah menjadi Permen KP No. 49
Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Gambar 43 memperlihatkan
alternatif alur mekanisme pengelolaan perikanan tangkap melalui alokasi
perizinan.
128
Start
Pemohon mengajukan
surat permohonan
Poten
si
Permohonan izin usaha
Produ
ktivits
Data
Lain
Analisis ketersediaan alokasi
Data
Alokasi
Penilaian Kelayakan
usaha dan kelengkapan
dokumen
Checking ketersediaan alokasi
Alokas
i ada?
Layak &
lengkap?
Penerbitan Surat
Perintah Bayar PNBP
Sudah
Bayar?
Penerbitan SIUP (alokasi)
direalis
asikan?
selesai
Gambar 42. Alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP)
(Permen KP No. 14 Tahun 2011)
129
Start
Pemohon mengajukan
surat permohonan
Poten
si
Produ
ktivits
Data
Lain
Permohonan izin usaha
Analisis optimasi alokasi
Data alokasi
optimal
Penilaian Kelayakan
usaha dan kelengkapan
dokumen
Checking alokasi yg optimal
Alokasi
opt.ada?
Layak &
lengkap
Penerbitan Surat Perintah
Bayar PNBP
Sudah
Bayar?
Penerbitan SIUP (alokasi)
WPP
lestari?
Checking kelestarian/
keberlanjutan WPP
Data Status
keberlanjutan
per WPP
Data alat yg
berlanjut
Analisis keberlanjutan
direalis
asikan?
selesai
Gambar 43. Alternatif alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP)
130
Hal-hal terkait mekanisme alternatif ini yaitu :
1) Pemeriksaan (checking) ketersediaan alokasi sumberdaya ikan
Dengan landasan potensi sumberdaya ikan (Permen KP No. 45 Tahun
2011), nilai produktivitas alat penangkap ikan (Permen KP No. 60 Tahun
2010) dan variabel lain sebagai pendukung maka dilakukan optimasi untuk
menentukan jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang bisa dialokasikan
optimal.
Variabel pendukung bisa ditambahkan kedalam persamaan
optimasi misalnya hasil-hasil kesepakatan tentang peluang atau status
perikanan. Alat bantu analisis yang digunakan adalah analisis optimasi
dengan cara Linear Goal Programming (LGP). Output yang dihasilkan
yaitu data alokasi optimal jenis alat penangkap ikan.
2) Pemeriksaan (checking) kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya
Persyaratan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat
direfleksikan sebagai keberlanjutan perikanan tangkap pada suatu wilayah
perairan atau WPP. Oleh karena itu pada bagian ini sangat baik bila
memanfaatkan
multidimensional.
hasil
analisis
keberlanjutan
perikanan
secara
Hasil analisis keberlanjutan tidak hanya melihat
keberlanjutan dari aspek sumberdaya ikan dan lingkungan saja tetapi
seluruh aspek mencakup ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika
dari usaha perikanan tangkap pada suatu WPP. Analisis keberlanjutan
juga merekomendasikan jenis-jenis alat penangkap ikan yang sifatnya
berlanjut dan menjadi prioritas untuk dikembangkan.
Dalam hal ini
digunakan analisis RAPFISH. Output yang dihasilkan adalah data atau
dokumen keberlanjutan perikanan berdasarkan WPP, serta data jenis alat
tangkap yang statusnya berkelanjutan atau tidak.
Pada mekanisme alternatif ini, data atau dokumen yang menjadi acuan
untuk penilaian kelayakan usaha yaitu :
1) Data alokasi optimal jenis alat penangkap ikan per WPP, yang dihasilkan
dari analisis optimasi alokasi dengan variabel potensi sumberdaya ikan
(Kepmen KP No. 45 Tahun 2011), data produktivitas kapal penangkap
ikan (Permen No. 60 Tahun 2010), data jenis alat penangkap ikan yang
131
berkelanjutan (hasil analisis RAPFISH) dan data pendukung lain yang
terkait.
2) Data status keberlanjutan perikanan per WPP untuk menggambarkan
tingkat kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan.
Mekanisme alternatif ini tidak menyebabkan waktu proses perizinan
menjadi lebih lama karena analisis data tidak dilakukan setiap ada permohonan
izin melainkan cukup hanya sekali saja dan dilakukan up-dating secara cepat
dengan bantuan program komputer.
Secara umum, kerangka strategi pengelolaan industri perikanan tangkap
terpadu sebagaimana Gambar 44 terdiri dari tahapan :
1) Assesment perikanan : aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etika;
2) Penentuan keberlanjutan perikanan di lokasi perairan : kondisi secara
umum;
3) Penentuan alat penangkap ikan yang berkelanjutan : kondisi per alat
penangkap ikan;
4) Penentuan analisis pengungkit (leverage) : faktor-faktor utama yang
berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan;
5) Pengalokasian optimal alat penangkap ikan prioritas yang berkelanjutan
berdasarkan tujuan yang diinginkan;
6) Pengalokasian optimal seluruh jenis alat penangkap ikan;
7) Pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian
perizinan perikanan dan evaluasinya berdasarkan feedback faktor
pengungkit.
132
KEBERLANJUTAN PERIKANAN
G
L
O
B
A
L
M
A
K
R
O
E
K
O
N
O
M
I
E
K
O
L
O
G
I
S
O
S
I
A
L
T
E
K
N
O
L
O
G
I
OPTIMASI POTENSI SDI
E
T
I
K
A
ANALISIS OPTIMASI TAHAP I
POTENSI
IKAN
ALOKASI
OPTIMAL
ALAT
TANGKAP
YANG
BERLANJUT
ANALISIS OPTIMASI TAHAP II
ANALISIS RAPFISH
LEVE
RAGE
ALOKASI OPTIMAL
SELURUH JENIS ALAT
TANGKAP
JENIS ALAT TANGKAP BERLANJUT
PERIZINAN USAHA
PERIKANAN TANGKAP
ORDI
NASI
MONTE
CARLO
S
P
E
S
I
F
I
K
M
I
K
R
O
feedback
INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP
TERPADU
Gambar 44 Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu berkelanjutan
133
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Status perikanan di Arafura dalam keadaan cukup berlanjut dengan skor
53,86.
2. Berdasarkan jenis alat penangkap ikan, dari 5 jenis perikanan dominan
yang digunakan maka terdapat 3 (tiga) dalam keadaan cukup berkelanjutan
yaitu perikanan pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet.
Sedangkan perikanan pukat ikan dan pukat udang dalam keadaan kurang
berlanjut. Berdasarkan dimensi atau aspek, dimensi ekologi, teknologi,
dan sosial dalam keadaan cukup berlanjut sedangkan aspek ekonomi dan
etika dalam kondisi kurang berlanjut.
3. Atribut
yang
paling
berpengaruh
pada
masing-masing
dimensi
keberlanjutan perikanan adalah : (1) ukuran ikan tangkapan pada dimensi
ekologi; (2) ketenagakerjaan pada dimensi ekonomi; (3) penggunaan FAD
(fish attracting devices) dan selektivitas alat pada dimensi teknologi; (4)
tingkat pendidikan pada dimensi sosial; dan (5) keadilan dalam hal
pengelolaan pada dimensi etika. Atribut yang paling sedikit pengaruhnya
pada masing-masing dimensi adalah: (1) jumlah spesies tangkapan pada
dimensi ekologi; (2) subsidi dan kontribusi PNBP pada dimensi ekonomi;
(3) sosialisasi penangkapan pada dimensi sosial; (4) penanganan di atas
kapal pada dimensi teknologi; dan (5) mitigasi-deplesi ekosistem/habitat
pada dimensi etika.
4. Hasil analisis optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang
berkelanjutan menghasilkan jenis alat penangkap ikan prioritas dengan
alokasinya sebagai berikut : pancing rawai dasar 34.985 GT; gillnet
oseanik 24.119 GT; dan pancing cumi 10.423 GT. Sedangkan alokasi
pukat ikan dan pukat udang masing-masing adalah 187.318 GT dan 9.789
GT.
5. Alat penangkapan ikan yang statusnya berkelanjutan dapat dikembangkan
lebih lanjut pengalokasiannya kecuali untuk pancing cumi yang sudah
mencapai optimum. Sedangkan pengalokasian untuk alat penangkapan
134
ikan yang kurang berlanjut bisa dilaksanakan dengan syarat antara lain :
(1) Pengurangan dampak ekologi yang diakibatkan pengoperasian pukat
udang dan pukat ikan dengan cara memperbaiki kondisi habitat dan
lingkungan sumberdaya ikan misalnya melalui pemulihan sumberdaya
ikan dan memperbaiki aturan tentang mata jaring, penerapan open-closed
season dan open-closed area; (2) peningkatan penyerapan tenaga kerja
melalui perluasan industri pengolahan, pemasaran dan jasa terkait
perikanan; (3) peningkatan SDM nelayan atau pelaku usaha perikanan; (4)
intervensi atau inovasi teknologi pukat udang dan pukat ikan yang
produktif
tetapi
tidak
mengancam
keberlanjutan
perikanan;
(5)
Peningkatan pola usaha penangkapan ikan yang mengakomodir pelibatan
masyarakat (co-management);
6. Sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu diimplementasikan
melalui pengalokasian izin perikanan yang berlaku saat ini dengan
alternatif penyempurnaan dalam hal pengalokasian jenis alat penangkap
ikan yang optimal serta penentuan kondisi lingkungan perairan yang lestari
(berlanjut).
7. Kerangka strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu
memiliki tahapan sebagai berikut : (1) assesment perikanan; (2) penentuan
status keberlanjutan perikanan di lokasi perairan; (3) penentuan jenis alat
penangkap ikan yang berkelanjutan; (4) penentuan analisis pengungkit
(leverage); (5) pengalokasian optimal alat penangkap ikan prioritas yang
berkelanjutan berdasarkan tujuan; (6) pengalokasian optimal seluruh jenis
alat penangkap ikan; (7) Pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu
melalui pengalokasian perizinan perikanan dan evaluasinya berdasarkan
feedback faktor pengungkit.
5.2 Saran
1. Upaya untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan di Arafura dapat
ditempuh melalui intervensi atau kebijakan pada atribut yang sangat
berpengaruh pada tiap-tiap dimensi, antara lain :
135
(1) Pengaturan perikanan (management measures) untuk mendukung
perbaikan kondisi ekologi perikanan termasuk sumberdaya ikan.
(2) Penyerapan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja lokal.
(3) Peningkatan selektivitas alat penangkap ikan dan penggunaan
FAD.
(4) Peningkatan kualitas SDM melalui pengetahuan dan keterampilan
bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan.
(5) Peningkatan keadilan dan partisipasi masyarakat/ nelayan dalam
usaha perikanan.
2. Perlu dipromosikan dan dikembangkan alat penangkapan ikan yang cukup
berlanjut seperti pancing rawai dasar, gillnet oseanik dan pancing cumi.
Untuk perikanan pukat udang dan pukat ikan diperlukan perbaikan status
keberlanjutannya.
136
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J., T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris. 2000. How Good
is Good?. A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the
Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. 136-182 p
Baskoro, M.S., 2006. Alat Penangkap Ikan Berwawasan Lingkungan, dalam
Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang
Bertanggungjawab : Kenangan Purnabakti Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja.
Departemen PSP-IPB
BRKP-DKP, 2004. Penelitian Bio-Ekologi Sumberdaya Perikanan (Ikan
Demersal, Pelagis Besar dan Pelagis Kecil) di Perairan Laut Arafura, Laut
Banda dan Sekitarnya, dalam Jurnal Bagian I Iptek Kelautan dan Perikanan
Masa Kini
BRKP-DKP, 2004. Sumberdaya Ikan Kakap Merah di Laut Arafura, dalam
Jurnal Bagian I Iptek Kelautan dan Perikanan Masa Kini
BRKP & LIPI, 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 125 hal
Cadima, E.L., 2003. Fish Stock Assesment Manual. FAO Fisheries Technical
Paper. Rome. 161 p
Charles, A.T., 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science, UK. and
Sons. 370 p
Cochrane, K.L., 2002. A Fishery Manager’s Guidebook : Management Measures
and Their Application. FAO Technical Paper 424. FAO
Direktorat Pelabuhan Perikanan, 2008. Profil Pelabuhan Perikanan. Jakarta
Direktorat PUP, 2008. Data Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta
Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Kumpulan Peraturan Alat Penangkapan Ikan.
Jakarta. 2010
Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Statistik Perikanan Tangkap 2009
Ditjen Perikanan Tangkap, 2009. Rakor Pembinaan Perizinan Pusat – Daerah
2009: Press Release. Surabaya. 3 Maret 2009
Ditjen Perikanan Tangkap, 2009. Resume Rapat Pimpinan (Rapim) Ditjen
Perikanan Tangkap April 2007 s/d Mei 2009. Jakarta. 2010
Ditjen Perikanan Tangkap, 2008. Kebijakan dan Program Pembangunan
Perikanan Tangkap, dalam Presentasi Sesditjen Perikanan Tangkap di
Yogyakarta.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2005. Identifikasi Beberapa Alat Penangkapan Ikan
Yang Diperbolehkan dan Yang Dilarang oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Jakarta
Ditjen PSDKP, 2005. ”Illegal Fishing Terus Diburu”, dalam Jurnal ”Barracuda”
No. 2 Volume II halaman 48. Agustus 2005
137
Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.
IPB Press. 147 hal
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries
Fauzi, A.S., 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan
Aplikasi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2006
Fauzi, A.S. dan Anna S., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
2005
Fridman A.L., 1986. Calculations of Fishing Gear Design.
Manual. Rome: Fishing News Books. 241 p
FAO Fishing
Garcia, S., 1996. Indicators fo Sustainable Development of Fisheries. Paper
presented at the 2nd Wolrd Fisheries Congress. Workshop on Fihesries
Sustainability Indicators. Brisbane, Australia. http:/www.fao.org/publ. (5
Juli 2009)
Hamdan, D.R. Monintja., J. Purwanto, S. Budiharsono, A. Purbayanto, 2006.
Analisis Kebijakan Pengolahan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di
Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XV No. 3
Desember 2006. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor.
Haluan, J., Tri Wiji N., Sugeng H.W., Eko Sri W., Mustaruddin, 2004.
Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Departemen PSP-FPIK IPB. Bogor
Hermawan M, F.A. Sondita, A.S. Fauzi, D.R. Monintja, 2006. Status
Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Buletin PSP Vol. XV No. 2.
Agustus 2006. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor.
Kavanagh, P., 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. RAPFISH
Software Description (for Microsoft Excel). University of British
Columbia, Fisheries Centre, Vancouver.
Kavanagh, P. and Pitcher, T.J., 2004. Implementing Microsoft Excel Software for
RAPFISH : A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. The
Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall
Vancouver, Canada, V6T IZ4
Kesteven, G.L., 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1- An Introduction to
Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. Food and
Agriculture Organization of The United Nations, Rome. 43 hal
Kepmen KP No. 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di
WPP negara Republik Indonesia
King, M and Mc. Ilgrom A., 1989. Fisheries Biology and Management of Pasific
Islands Student. International Development Program of Australian
Universities and Colleges. 67 p
KKP, 2007. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka
Law, AM. and Kelton WD., 2000. Simulation Modeling and Analysis. Boston:
McGraw-Hill (Third Edition), 760 p
138
Maanema, M., A. Purbayanto, dan W. Oktariza, 2006. Kondisi Sosial, Ekonomi,
dan Budaya Masyarakat Pesisir Laut Arafura dan Implikasinya Terhadap
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Perspektif Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan FPIK – IPB. Hal 99 - 132
Mamuaya, G.E., J. Haluan, S.H. Wisudo, I.W. Astika, 2007. Status Kebelanjutan
Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai: Penelaan Kasus di Kota
Manado. Buletin PSP Vol. XVI No. 1. April 2007. Departemen PSP,
FPIK, IPB. Bogor
Mangga Barani, H., 2006. Kajian Usaha Perikanan Demersal di Laut Arafura :
Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. Hal 99 132
Martosubroto, P., 2007. “Angka Potensi Perlu Disikapi dengan Bijak”. Paper
pada Pertemuan FKPPS Tingkat Propinsi NTT, Maumere, 10-12 Mei 2006
Monintja, D.R., 2006. Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap
Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK –
IPB. 2006
Murdiyanto, B., 2011. Perikanan Tangkap : Dulu dan Sekarang. New Paradigm
in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut Berkelanjutan. Departemen PSP FPIK IPB Bogor. Intramedia
Bogor. Hal 36
Muslich, M., 1993. Metode Kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta. 445 hal
Mustaruddin, 2006. Model Pemanfaatan Sumberdaya Ikan dan Ekosistemnya
melalui Kegiatan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kawasan
Konservasi Laut dalamPerspektif Kelembagaan : Kumpulan Pemikiran
Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab.
Departemen PSP – FPIK IPB. 119 hal
Nikijuluw, V.P.H., 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan
Pustaka Cidesindo. Jakarta
Nikijuluw, V.P.H., 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Bagaimana dan Ke mana
Bisnis Perikanan. PT Fery Agung Corporation (FERACO). Jakarta. 289
hal
Nikijuluw, V.P.H., 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan
Ilegal. Penerbit Cidesindo. Jakarta. 196 hal
Nurani, T.W., D.R. Monintja, Alfi R.L., 2006. Strategi Kebijakan untuk
Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan yang IUU Fishing di
Perairan ZEEI sebelah Utara Papua: Kumpulan Pemikiran Tentang
Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Departemen PSPFPIK IPB. 144 -145 hal
Nurhakim, S., 2007. WPP Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan :
Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. PRPT-BRKP
139
Permen KP No. 60 Tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan
Permen KP No. 49 Tahun 2011 revisi atas Permen KP No. 14 Tahun 2011 tentang
Usaha Perikanan Tangkap
Permen KP No. 12 Tahun 2009 revisi atas Permen KP No. 05 Tahun 2008 tentang
Usaha Perikanan Tangkap
Pitcher, T.J., 1999. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and
Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO
Fisheries Circular No. 947: 47 p
Pitcher, T.J. and Preikshot D., 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to
Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research Report
No. 49. Fisheries Center University of British Columbia, Vancouver. Page
255-270
Purbayanto, A. dan F.A. Sondita., 2006. Jenis, Sebaran, dan Keanekaragaman
Sumberdaya Ikan Hasil Tangkapan di Tepian Laut Arafura. Paper pada
Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura.
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. Hal 67 – 92
Purnomo, A., Taryono H., Hasution Z., & Hartono T.T., 2002. Analisis
RAPFISH Perikanan Selat Sunda (Laporan Teknis). Pusat Riset Wilayah
Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 189 hal
Purwanto, 2005. Memori Pelaksanaan Tugas Pelayanan Usaha Penangkapan
dalam bidang Pelayanan Perizinan Usaha Penangkapan. Direktorat
Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP. Jakarta
RAPFISH Group UBC. 2005. Attributes of Rapfish Analysis For Ecological,
Techical, Economic, Social, and Sustainability, and Ethical Status
Evaluation Field (reviesed Dec, May 2000, Feb 2002, Jan 2003, Dec 2003).
http:/www.fisheries. ubc.ca/publication/report. (5 Juli 2009)
Rusmilyansari, 2010. Model pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap
berbasis resolusi konflik. Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut:
Marine Fisheries Vol 1. No. 2, November 2010. Hal 177 – 188
Siswanto, 1990. Sistem Komputer Manajemen LINDO. Penerbit Elex Media
Komputindo. Gramedia. Jakarta. 242 hal
South East Asian Fisheries Development Center. 1999. Responsible Fishing
Operations. Regional Guidelines for Responsible Fisheries in Southeast
Asia. SEAFDEC, Thailand.
Stevenson, W.J., 1989. Introduction of Management Science. Richard D. Irwin
Inc. USA
Suwartana, 1986. Stock Assesment of The Penaeid Shrimp in The Trawl Fishing
Ground at Arafura Sea, dalam Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 36
Tahun 1986 Hal 7-14. Balai Penelitian Perikanan Laut. Balitbang Pertanian
Deptan. Jakarta
Suwartana, 1986. Struktur Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di
140
Maluku Tengah, dalam Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 36 Tahun
1986. Balai Penelitian Perikanan Laut. Balitbang Pertanian Deptan. Jakarta
Suyasa, I.N., F.A. Sondita, V.P.H Nikijuluw, D.R. Monintja, 2007. Status
Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dan Faktor Penentu Efisiensi Usaha
Perikanan di Pantai Utara Jawa. Buletin PSP Vol. XVI No. 1 Agustus 2007.
Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
UU No. 45 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
Wiryawan, B., Sugeng H.W., Mulyono S.B., 2008. Permasalahan dalam
Implementasi Konsep Pengembangan Perikanan Terpadu. Buletin PSP Vol.
XVII No. 2 Agustus 2008. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor
Wisudo, S.H., 2011. Reinventing Pembangunan Perikanan Tangkap. New
Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Laut Berkelanjutan.
Departemen PSP FPIK IPB Bogor.
Intramedia Bogor. Hal 14
141
Lampiran 1 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekologi.
2D MDS Results
& Flipped &
Scaled
Rotated
PUKAT IKAN
0.0366878
0.0041464
0.0367312
0.0037425
52.510223
GILLNET OSEANIK
1.5691968
0.0034515
1.5691398
-0.0138128
99.965164
PUKAT UDANG
-0.4164775
0.0644819
-0.4157429
0.0690599
38.498211
PANCING CUMI
1.5694792
0.0034606
1.5694224
-0.0138068
99.973915
1.093426
-0.131274
1.0919155
-0.1432958
85.186699
1.5703211
0.0035135
1.5702647
-0.0137631
100
BAD
-1.6586703
-0.0320136
-1.6589221
-0.0137633
0
UP
-0.0452578
1.3948106
-0.0299096
1.3952241
50.446522
DOWN
-0.0014674
-1.4455701
-0.0173714
-1.4454664
50.834805
1.346257
0.5935612
1.3527057
0.578714
93.262733
0.9550292
1.0433328
0.96645
1.0327625
81.301338
0.4811257
1.3079026
0.495486
1.3025301
66.716736
-0.5603172
1.3040042
-0.5459369
1.3100897
34.466423
-1.0252254
1.0673531
-1.0134206
1.0785679
19.989599
-1.420024
0.6085377
-1.4132432
0.6241235
7.6080732
-1.6390897
0.0157835
-1.6388168
0.0338156
0.6226101
-1.6390887
0.0157866
-1.6388159
0.0338187
0.6226396
-1.4040841
-0.5691798
-1.4102612
-0.5536979
7.7004194
-1.0194728
-1.0283566
-1.0307248
-1.0170783
19.453732
-0.5453953
-1.3071796
-0.5597439
-1.3010999
34.038853
0.5027972
-1.305804
0.4884006
-1.3112566
66.497322
0.9349778
-1.0253575
0.9236404
-1.0355819
79.975632
1.315273
-0.585391
1.3087531
-0.599826
91.901627
PANCING RAWAI DASAR
GOOD
ANCHORS:
Stress =
0.1543489
Squared Correlation (RSQ) =
0.9430046
1
0.226452
9E+20
3
2
0.2236329
0.0028191
5214
3
0.2236899
-5.703E-05
Number of iterations =
Memory needed (words) =
Return value (error if > 0)
Rotation angle (degrees) =
Iteration
0
0.6303737
RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS
# fisheries =
5
# reference fisheries =
4
# anchor fisheries =
14
Row# of 1st fishery =
2
Row# of GOOD fishery =
9
Row# of BAD fishery =
10
Row# of UP fishery =
11
Row# of DOWN fishery =
12
Column letter with fisheries names =
A
Row# of 1st anchor fishery =
13
# attributes =
Column letter of 1st attribute =
8
D
Stress
Delta
142
Lampiran 2 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekonomi.
2D MDS Results
Rotated
PUKAT IKAN
0.0984898
-0.4254684
GILLNET OSEANIK
0.4645342
-0.0540841
PUKAT UDANG
0.2344404
-0.5457347
PANCING CUMI
-0.3406255
0.2324187
PANCING RAWAI DASAR
0.0419447
0.4232113
0.0486958
0.2490173
0.1570035
0.1626636
0.0087608
-1.5449127
-0.4527288
BAD
1.4647887
0.5569348
1.6086818
1.5658611
UP
0.4490753
-1.4602096
0.0386636
GOOD
& Flipped & Scaled
0.4347002
50.646843
15.85128
0.199021
35.994152
8.332119
0.5919607
0.3286861
47.791615
57.169758
20.868553
8.5039606
0.0434293
0.0621395
0.0621389
44.379856
3.3680882
100
0
0
0.7070953
50.543488
50
DOWN
-0.5057119
1.5255404
-0.005746
1.527215
1.6071668
49.144558
-50
ANCHORS:
-1.2839488
-0.8591811
1.490541
0.4062069
96.278496
14.235114
-0.9888597
-1.2067298
1.3213124
0.8295623
90.947693
27.741936
-0.5624726
-1.4186444
0.9844654
1.1660855
80.336807
38.478443
-0.058681
-1.5323935
1.4341588
66.430756
47.031116
0.9341045
-1.2036597
1.4382503
33.487812
47.161652
Stress =
Squared Correlation (RSQ)
=
0.005898
1.5551237
0.5430118
0.5027762
0.8909218
1.2262862
1.4716431
1.5164758
1.2783839
0.9597173
0.5001991
-0.9703525
1.2649883
0.5176362
-1.34071
0.9873371
0.9570696
-1.5538431
0.5167778
1.3087969
-1.5768148
0.0287928
1.4857794
0.4559789
0.5119592
0.9028044
1.2539592
1.4724963
1.5079231
1.3624815
0.9841437
0.5288038
Stress
Delta
1.2266471
-0.855306
1.4352124
-0.4225788
1.5402505
0.0357545
1.2749023
0.9676905
0.9248651
1.2625155
0.5110611
1.4940841
21.26099
39.593281
10.696814
28.620676
2.9679239
15.82305
15.058259
27.527868
0.1385911
Iteration
0.921361
1
0.2229799
9E+20
2
2
0.2220179
0.0009621
Number of iterations =
Memory needed (words) =
5622
Return value (error if > 0)
0
Rotation angle (degrees) =
1.2010287
0.8571054
198.54504
RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS
# fisheries =
5
# reference fisheries =
4
# anchor fisheries =
16
Row# of 1st fishery =
2
Row# of GOOD fishery =
9
Row# of BAD fishery =
10
Row# of UP fishery =
11
Row# of DOWN fishery =
12
Column letter with fisheries names =
A
Row# of 1st anchor fishery =
13
# attributes =
Column letter of 1st attribute =
10
M
1.5556668
9.0557051
19.093891
33.568993
65.631409
79.473824
90.553444
96.128502
-38.73119
45.703442
-46.83371
42.193508
30.122934
15.595674
143
Lampiran 3 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi social.
2D MDS Results
PUKAT IKAN
Rotated
0.0893374
0.0336639
0.0798341
-0.0106297
-0.0731657
0.0055984
PUKAT UDANG
0.0975185
-0.1406039
0.1258598
PANCING CUMI
0.0830603
-0.1398298
0.1115813
GILLNET OSEANIK
PANCING RAWAI DASAR
0.1119166
-0.0420251
0.1183914
GOOD
1.5545175
-0.3541873
BAD
-1.585284
0.348155
0.3498045
1.5656022
-0.3873258
-1.5274618
1.5943443
1.6230519
0.0003952
0.0445469
1.6036192
0.1540585
1.4513669
0.5880049
1.167089
UP
DOWN
& Flipped & Scaled
0.0523539
0.0737215
0.1159251
0.1183258
0.0165807
0.0063015
0.0063015
1.8448691
-2.1205401
54.357983
-3.4479547
53.914196
-3.5234656
54.125858
-0.3233082
100
0
0
-0.6547329
1.6042049
50.433849
50
-1.575175
49.061565
-50
1.5313141
0.5004055
98.040962
15.282557
1.2880052
0.8906503
90.478668
27.556801
1.0222926
0.9157804
1.2524077
78.909531
38.935036
0.8395628
1.3496352
1.5003583
66.754227
46.733749
-0.1283973
1.5672839
1.5014567
35.917881
46.768295
-0.6489249
1.4337807
0.5246959
0.4674313
0.9462622
1.2575446
21.035324
39.096607
-1.0803123
1.1861995
-1.3132
0.9217644
9.630517
28.535421
-1.4219272
0.8300989
15.25971
-0.1021048
3.860127
-14.292788
-1.501743
-0.548497
-1.2444108
-1.0116374
-0.8658427
-1.2891432
0.0956435
-1.5460432
0.4308306
0.6262786
-1.4167147
0.9204366
1.0383652
-1.1334893
1.260758
1.325455
-0.753872
1.4580553
0.4996791
0.4399071
0.8630922
1.2588884
1.4470621
1.4878783
1.2458338
0.8794824
0.4463502
1.6849309
-1.5587376
-1.568841
1.4988563
1.3457907
0.9935635
0.5635469
Stress
Delta
ANCHORS:
Stress =
0.1479257
Iteration
Squared Correlation (RSQ) =
0.9256908
1
0.2293862
9E+20
2
2
0.2289569
0.0004293
Number of iterations =
Memory needed (words) =
5622
Return value (error if > 0)
Rotation angle (degrees) =
52.92746
50.620136
0
-12.608923
RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS
# fisheries =
5
# reference fisheries =
4
# anchor fisheries =
16
Row# of 1st fishery =
2
Row# of GOOD fishery =
9
Row# of BAD fishery =
10
Row# of UP fishery =
11
Row# of DOWN fishery =
12
Column letter with fisheries names =
A
Row# of 1st anchor fishery =
13
# attributes =
Column letter of 1st attribute =
10
X
8.6175632
-27.60309
19.565149
-40.051937
32.930511
-45.970505
63.836792
-47.254284
79.054253
-39.641335
89.631798
-28.118608
95.764
-14.495441
144
Lampiran 4 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi teknologi.
2D MDS Results
Rotated
& Flipped & Scaled
PUKAT IKAN
0.0206432
-0.1769384
0.0373904
-0.1741703
51.031734
-5.5181041
GILLNET OSEANIK
0.5945948
-0.5303657
0.6423754
-0.4713646
69.662247
-15.220572
PUKAT UDANG
0.3171753
0.2502928
0.2919126
0.2793452
58.869743
9.2877598
PANCING CUMI
0.485762
0.1955092
0.4649482
0.2408563
64.198372
8.0312185
PANCING RAWAI DASAR
0.5314282
-0.215059
0.5494848
-0.1635015
66.801674
-5.1698031
GOOD
1.6196491
-0.1600305
1.6275277
1.6197536
-0.0051463
100
0
-0.0051464
0
0.228496
1.5193945
59.0527
50
-1.5436853
38.367149
-50
BAD
UP
DOWN
ANCHORS:
Stress =
Squared Correlation (RSQ)
=
-1.61289
0.1490447
0.4411169
1.4841471
-0.5190947
-1.5010928
0.2978536
0.3738643
1.5304624
0.3903301
1.4863628
0.534227
95.652824
17.837355
1.3037789
0.9002724
1.2121723
1.0202786
87.209129
33.705421
0.8941603
1.2455008
1.3249522
73.640312
43.652065
-0.0573768
1.5464556
0.7715545
0.2043075
1.5339738
43.58865
50.475967
-0.6151989
1.432638
1.3675796
26.822119
45.043716
-1.0829619
1.1394653
1.0312163
13.342061
34.062504
-1.4489634
0.7704999
-1.5842168
0.1953336
-1.5339162
-0.3692413
-1.273183
-0.8180359
-0.972217
-1.2232633
-0.748764
1.1864994
1.5157213
1.5956165
1.4918082
1.1895423
0.8513736
-0.0196609
-1.5250535
0.5585446
-1.4053189
1.0491315
1.373233
3.2036731
20.93433
0.743303
1.8219191
-0.5135627
3.9400783
-16.369711
-0.9355035
13.248353
-30.14476
-1.310245
23.662254
-42.378902
0.1255825
-1.5200013
53.747608
-49.226791
0.6897666
-1.3457768
71.121658
-43.538906
-1.0937599
1.1484723
-0.9889383
85.24749
-31.88924
-0.6813302
1.4318475
-0.5475332
93.97403
-17.478743
Stress
Delta
0.1387014
Iteration
0.9315468
1
0.2204328
9E+20
3
2
0.2193464
0.0010864
5414
3
0.2194437
-9.722E-05
Number of iterations =
Memory needed (words) =
Return value (error if > 0)
Rotation angle (degrees) =
0.6290898
0.0436614
0
-5.4616609
RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS
# fisheries =
# reference fisheries =
# anchor fisheries =
Row# of 1st fishery =
Row# of GOOD fishery =
Row# of BAD fishery =
5
4
15
2
9
10
Row# of UP fishery =
11
Row# of DOWN fishery =
Column letter with fisheries names =
12
A
Row# of 1st anchor fishery =
13
# attributes =
9
Column letter of 1st attribute =
AI
145
Lampiran 5 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi etika.
2D MDS Results
Rotated
& Flipped & Scaled
PUKAT IKAN
0.6116652
-0.4758013
-0.4998167
0.592203
26.455721
GILLNET OSEANIK
0.1745175
-0.1725557
-0.1349806
0.2049684
37.507542
PUKAT UDANG
0.771479
-0.3910079
-0.6737307
0.5423597
21.187422
PANCING CUMI
-0.244279
0.3615897
0.1640644
-0.4043541
46.566383
PANCING RAWAI DASAR
-0.2442789
0.3615896
0.1640644
-0.404354
46.56638
GOOD
-1.8957705
-0.3540176
1.927983
-0.0464308
100
BAD
1.3337438
0.3299147
-1.3731571
-0.0464304
0
UP
0.1677919
-1.5325215
0.153358
1.5340331
46.242058
DOWN
-0.5230613
1.5004765
0.2008425
-1.5762885
47.680485
ANCHORS:
-1.5793769
-0.8848506
1.7284327
0.5384353
93.955109
-1.1328076
-1.3054519
1.3786932
1.0424311
83.360603
Stress =
Squared Correlation (RSQ)
=
-0.491562
-1.5421138
0.8003927
1.406812
65.8424
0.6642879
-1.2653666
-0.387715
1.3755392
29.851568
1.0438789
-0.8460981
-0.8459342
1.0440117
15.970934
1.2855207
-0.3876208
-1.1773207
0.6455455
5.9323874
1.3217522
0.2844643
-1.3520093
-0.0044505
0.6406225
1.3217494
0.2844633
-1.3520064
-0.0044502
0.6407092
1.0805929
0.8248534
-1.2280406
-0.5830783
4.3959527
0.69087
1.2095941
-0.9264846
-1.0402143
13.530855
0.1249726
1.4521717
-0.4231232
-1.3947716
28.778965
-1.0819882
1.2948879
0.7902362
-1.4909594
65.534729
-1.6088616
0.9172866
1.3839095
-1.230709
83.518616
-1.7908365
0.3361135
1.6823438
-0.6998477
92.55896
0.1419845
Iteration
0.942847
1
0.2241711
9E+20
3
2
0.2222876
0.0018835
5214
3
0.2222749
1.267E-05
Number of iterations =
Memory needed (words) =
Return value (error if > 0)
Rotation angle (degrees) =
0
191.95718
RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS
# fisheries =
5
# reference fisheries =
4
# anchor fisheries =
14
Row# of 1st fishery =
2
Row# of GOOD fishery =
9
Row# of BAD fishery =
10
Row# of UP fishery =
11
Row# of DOWN fishery =
Column letter with fisheries
names =
Row# of 1st anchor fishery
=
# attributes =
Column letter of 1st
attribute =
12
A
13
8
AS
Stress
Delta
146
Lampiran 6 Analisis LINDO tahap pertama
147
Lampiran 7 Analisis LINDO tahap kedua
148
Lampiran 8 Dokumentasi survey lapangan
Survey di Industri Perikanan Terpadu PT. Avona Mina Lestari, Papua Barat
TED pada kapal pukat udang di Arafura
149
Lampiran 8 (Lanjutan)
Pengukuran jaring pukat udang di Arafura (1)
Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon
150
Lampiran 8 (Lanjutan)
Mesin pada kapal pukat ikan di Arafura (merk Cummins)
Pengukuran alat tangkap pukat ikan di Arafura (Merauke)
151
Lampiran 8 (Lanjutan)
Kapal-kapal gillnet buatan RRC di Pelabuhan Ngadi, Maluku Tenggara (200-300 GT)
ABK kapal gillnet asal RRC di Tual dan jaring gillnet yang digunakan
152
Lampiran 8 (lanjutan)
Kapal pancing cumi dengan alat bantu lampu
PANCING SQUID JIGGING
Pancing cumi di Arafura
Download