SISTEM PENGELOLAAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP TERPADU DI WPP LAUT ARAFURA RIDWAN MULYANA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Pelaksanaan Ujian : Ujian Tertutup : 18 Januari 2012 Dosen Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. M. Imron, MSi 2. Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, MSi Ujian Terbuka : 24 Januari 2012 Dosen Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Daniel R. Monintja 2. Dr. Ir. Husni Mangga Barani, MSi PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi yang berjudul “Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu di WPP Laut Arafura” ini diajukan untuk sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB Bogor. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan berdasarkan penelaahan lapangan dan pengalaman pekerjaan terkait perikanan di wilayah perairan Arafura. Subjek yang disajikan berkenaan dengan sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan perikanan di Laut Arafura. Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc; Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc; dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si; selaku Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu penyelesaian disertasi ini. Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dalam hal pemikiran hingga terselesaikannya penulisan disertasi ini. Disadari sepenuhnya bahwa sebagai suatu hasil proses belajar, uraian dalam disertasi ini tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian penulis berharap semoga isi disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perairan Arafura, dan di Indonesia pada umumnya. Bogor, Januari 2012 Ridwan Mulyana Judul Disertasi : Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu di WPP Laut Arafura Nama : Ridwan Mulyana NIM : C 5610542024 Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc M.Si Anggota Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, Anggota Diketahui, Ketua Program Studi IPB Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 24 Januari 2012 Tanggal Lulus : PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu di WPP Laut Arafura” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Ridwan Mulyana NRP. C 5610542024 © Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ABSTRACT Ridwan MULYANA. The Integrated Capture Fisheries Industry System in Arafura Sea. Under direction of John HALUAN, Mulyono S. BASKORO and Sugeng H. WISUDO. Fisheries has became an important sector for economic development in Indonesia due to the large potency of fish resources. There are many ways of people to harvest fish such traditional way (small scale) to modern industry. Sometimes, high fishing intensity on waters lead to negative impacts in fisheries sustainability as indicated by fish stock depletion, “overfishing”, destructive fishing methods, fish habitat dan environment destruction, and social conflict. Arafura Sea is one of the fishery region that highly fishing intensity occured by industrial scale of fishing which using 30 GT of boat. In order to avoid the negative impact of high fishing intensity, it’s important to determine the capture fisheries management model which can maintain the fisheries sustainability and optimalization of fishing capture in Arafura Sea. The purposes of this research are to : (1) determine the state of fisheries sustainability in Arafura Sea by type of fishing gear and dimension; (2) identify the leverage factors in capture fisheries management; (3) determine the optimum fishing unit (gear) as a basis of capture fisheries industry management; (4) identify the capture fisheries industry management system. The methods of research consists of RAPFISH (Rapid Appraisal of Fisheries) method and LGP (Linear Goal Programming). RAPFISH method use to determine the sustainablity state of fisheries in Arafura Sea by many dimensions as ecology, economy, social, technology, and ethic. The output of RAPFISH method are type of sustainability fishing gears and leverage factors of fisheries sustainability. The result of RAPFISH method then processed by LGP to determine the optimum allocation of fishing gears. This optimum allocation then become a basis to capture fisheries industry management by fishing license. The next step is to determine the model of capture fisheries industry management including of leverage factors as feedback. RAPFISH analysis shows that the fisheries sustainability in Arafura Sea is sustainable enough (score 53.86). But this score is near to less sustainable so it’s important to consider the precautionary approach in fisheries development on Arafura Sea. Analysis by dimensions show that ecology dimension is sustainable enough with highest score (72.43), technology dimension is sustainable enough (score 64.84), social dimension is sustainable enough (score 51.52), economic dimension is less sustainable (score 43.28), and ethic dimension is less sustainable (score 37.27). Result by type of fishing gear shows that squid jigging is sustainable enough with highest score (62.15). Then bottom long line is sustainable enough (score 58.04), and oceanic gillnet also sustainable enough (score 57.27). The two other fishing gears are less sustainable : fish net (score 47.60) and shrimp net (score 44.29). In generally, the sustainability of fisheries by type of fishing gears mostly influenced by the character of fishing gear and fish as target of capture. Leverage analysis shows the major influenced attributes are : (1) size of fish, on ecology dimension; (2) job providing, on economic dimension; (3) FAD and gear selectivity, on technology dimension; (4) education level, on social dimension; and (5) just management, on ethic dimension. The less influenced attributes are : (1) species, on ecology dimension; (2) subsidy, on economic dimension; (3) fisheries socialisation; on social dimension; (4) on-board handling, on technology dimension; and (5) mitigation-depletion of habitat/ ecosystem, on ethic dimension. The optimum analysis determined the allocation and type of fishing gears which sustainable as : bottom long line (34985 GT), oceanic gillnet (24119 GT), squid jigging (10423 GT). Then the optimum allocation of fish net is 187314 GT, and shrimp net is 9789 GT. The alternative of capture fishing industry management through licensing mechanism can implemented by developing the optimum allocation and determine the environment sustainability in feasibility assesment step as mentioned on Ministrial of Marine and Fisheries Decree No. 14/2011. The strategic framework of capture fishing industry system include the component with steps as follows: (1) assesment the location; (2) determinate the state of fisheries sustainability; (3) determinate the type of fishing gears which sustainable; (4) determinate the leverage factors; (5) optimum allocation of priority fishing gears which sustainable; (6) optimum allocation of all fishing gears; and (7) fisheries management through fishing license considering feedback from leverage factors. Keywords: RAPFISH, optimalization, fisheries sustainability, Arafura Sea. RINGKASAN Ridwan MULYANA. Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Terpadu di WPP Laut Arafura. Dibimbing oleh John HALUAN, Mulyono S. BASKORO dan Sugeng H. WISUDO. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang diandalkan dalam rangka pembangunan ekonomi bangsa Indonesia antara lain karena ditunjang oleh besarnya potensi sumberdaya ikan yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya ikan sudah lama dilakukan masyarakat mulai dengan skala kecil sampai sampai skala besar atau komersial dengan penggunaan kapal dan alat penangkap ikan modern. Seringkali pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terkendalikan sehingga menghasilkan dampak negatif bagi keberlanjutan perikanan yang diindikasikan antara lain oleh penurunan stok sumberdaya ikan, overfishing, kerusakan habitat dan lingkungan, konflik pemanfaatan sumberdaya dan sebagainya. Laut Arafura merupakan salah satu WPP (wilayah pengelolaan perikanan) yang mendapatkan tekanan pemanfaatan tinggi khususnya oleh pengoperasian kapal-kapal perikanan skala industri berukuran diatas 30 GT (gross tonage). Untuk itu dalam rangka mencegah dampak negatif pemanfaatan sumberdaya ikan diperlukan suatu model pengelolaan industri perikanan tangkap yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan sekaligus pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal di Laut Arafura. Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain : (1) Mengetahui status keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat penangkap ikan dan dimensi; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berpengaruh pada pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian; (3) Mengetahui alokasi optimal unit penangkapan ikan sebagai dasar pengembangan industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian; dan (4) Mengidentifikasi dan merumuskan sistem industri perikanan tangkap terpadu yang optimal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama-tama dengan melakukan pengukuran status keberlanjutan perikanan tangkap di Laut Arafura menurut dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika dengan menggunakan RAPFISH atau Rapid Appraisal for Fisheries. Hasil analisis RAPFISH berupa jenis alat penangkap ikan yang berkelanjutan kemudian diolah dengan metode optimasi Linear Goal Programming (LGP) untuk mengetahui alokasi optimalnya. Selanjutnya dilakukan analisis LGP lanjutan (tahap-2) untuk mengetahui alokasi optimal seluruh jenis alat penangkapan ikan yang menjadi dasar pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui mekanisme perizinan. Tahap berikutnya adalah implementasi strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu yang dituangkan kedalam model yang mencakup umpan balik (feedback) berupa faktor-faktor yang berpengaruh sensitif hasil analisis leverage. Hasil analisis RAPFISH menunjukkan bahwa perikanan di Laut Arafura berada dalam kondisi cukup berlanjut dengan skor 53,86. Meskipun demikian, skor keberlanjutan ini mendekati kepada status kurang berlanjut sehingga diperlukan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di Laut Arafura. Bila ditinjau berdasarkan dimensi, maka dimensi ekologi memiliki skor keberlanjutan yang paling tinggi dengan nilai rata-rata 72,43 (cukup berlanjut), disusul oleh dimensi teknologi dengan nilai rata-rata 64,84 (cukup berlanjut), kemudian dimensi sosial dengan nilai rata-rata 51,52 (cukup berlanjut), serta dimensi ekonomi dengan nilai rata-rata 43,28 (kurang berlanjut), sedangkan terendah adalah dimensi etika dengan nilai rata-rata 37,26 (kurang berlanjut). Berdasarkan hasil analisis RAPFISH menurut jenis alat penangkap ikan diketahui bahwa perikanan pancing cumi memiliki keberlanjutan yang paling tinggi dibandingkan 4 jenis perikanan lainnya yaitu dengan skor 62,15 (cukup berlanjut), disusul oleh perikanan pancing pawai dasar dengan skor 58,04 (cukup berlanjut) dan gillnet dengan skor 57,27 (cukup berlanjut). Perikanan pukat ikan dan pukat udang dalam kondisi kurang berlanjut masing-masing dengan skor 47,60 dan 44,29. Secara umum, keberlanjutan berdasarkan alat tangkap antara lain dipengaruhi oleh sifat alat penangkap ikan (aktivitas dan selektivitas) serta sifat sumberdaya ikan sebagai target penangkapan. Hasil analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang paling berpengaruh pada masing-masing dimensi adalah: (1) ukuran ikan pada dimensi ekologi; (2) ketenagakerjaan pada dimensi ekonomi; (3) penggunaan FAD (fish attracting devices) dan selektivitas alat pada dimensi teknologi; (4) tingkat pendidikan pada dimensi sosial; dan (5) pilihan pengelolaan pada dimensi etika. Ukuran ikan yang tertangkap (perubahannya) dapat menggambarkan secara jelas kondisi keberlanjutan ekologi perairan Arafura. Sementara itu, secara ekonomi jelas bahwa usaha perikanan tangkap memberikan sumbangan paling nyata dalam bentuk penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terserap maka akan semakin besar kontribusi perikanan dari sisi ekonomi. Penggunaan FAD (fish attracting devices) dan selektivitas alat penangkap ikan merupakan bagian penting dari dimensi keberlanjutan teknologi karena berhubungan langsung dengan kinerja usaha perikanan tangkap yang dilakukan. Tingkat pendidikan dan pengaruh nelayan terhadap perikanan merupakan 2 atribut paling penting pada dimensi sosial. Tingkat pendidikan nelayan atau pelaku usaha perikanan akan mempengaruhi seluruh atribut sosial lainnya. Tingkat pengetahuan yang tinggi akan meningkatkan pemahaman nelayan terhadap peraturan, teknologi, lingkungan, etika dan sebagianya. Sementara itu, pengaruh nelayan terhadap perikanan juga sangat besar pada dimensi sosial mengingat kedudukan nelayan sebagai pelaku langsung (aktor utama) usaha perikanan sekaligus posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Secara etika, usaha perikanan memiliki nilai yang tinggi bila memperhatikan dan melibatkan aspek masyarakat lokal dalam hal pengelolaannya. Hasil analisis optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan menghasilkan jenis alat penangkap ikan prioritas dengan alokasinya sebagai berikut : pancing rawai dasar 34.985 GT, gillnet oseanik 24.119 GT, dan pancing cumi 10.423 GT. Sedangkan alokasi pukat ikan dan pukat udang masingmasing adalah 187.318 GT dan 9.789 GT. Sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu diimplementasikan melalui pengalokasian izin perikanan yang berlaku saat ini sesuai Permen Kelautan dan Perikanan No. 14 Tahun 2011, dengan alternatif penyempurnaan dalam hal pengalokasian jenis alat penangkap ikan yang optimal serta penentuan kondisi lingkungan perairan yang lestari (berlanjut). Kerangka strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu memiliki tahapan sebagai berikut: (1) assesment perikanan; (2) penentuan status keberlanjutan perikanan di lokasi perairan; (3) penentuan jenis alat penangkap ikan yang berkelanjutan; (4) penentuan analisis pengungkit (leverage); (5) pengalokasian optimal alat penangkap ikan prioritas yang berkelanjutan berdasarkan tujuan; (6) pengalokasian optimal seluruh jenis alat penangkap ikan; (7) Pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian perizinan perikanan dan evaluasinya berdasarkan feedback faktor pengungkit. ata kunci: RAPFISH, optimasi, keberlanjutan perikanan, Laut Arafura. SISTEM PENGELOLAAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP TERPADU DI WPP LAUT ARAFURA RIDWAN MULYANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak kedua dari enam bersaudara, dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Desember 1971 dari pasangan Bapak H. Abdul Rokhmat dan Ibu Hj. Sumarnah. Riwayat pendidikan penulis diawali pada tahun 1978 di SDN Ciherang V Bogor, kemudian melanjutkan sekolah di SMPN I Ciomas, Bogor pada tahun 1984. Tahun 1990 Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Bogor dan selanjutnya menempuh pendidikan (S1) di Fakultas Perikanan (sekarang bernama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan), Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai dengan tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis mulai bekerja sebagai staf pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian yang kini menjadi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sambil meniti karier pekerjaan, tahun 1996 – 1999 melalui beasiswa URGE (University Research Graduate Education) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Master (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Program Studi Pembangunan, Fakultas Pasca Sarjana. Selanjutnya pada Tahun 2006 penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Program Studi Teknologi Kelautan (TKL), Sub-Program Studi Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (PPKP). DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ….…………………...……………………………….…… iii DAFTAR GAMBAR ………………...………………………………………. iv DAFTAR LAMPIRAN ……………...………………………………………. vii 1 PENDAHULUAN ……..……..………………………………………….. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Latar Belakang ……….…..………………………………….……… Identifikasi Masalah ….…..………………………………….……… Tujuan Penelitian ……...…………………………………………… Manfaat Penelitian …….…………………………………………….. Kerangka Pemikiran ………………………………………………… 1 4 5 5 6 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. 8 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 Pembangunan Perikanan Tangkap ……………….………………… Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap ……………….….….. Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap ….……… WPP dan Pengelolaan Perikanan ………….…………..…………… Perikanan di Laut Arafura ……………………………….………… Perikanan Berkelanjutan …………..…………..…………..……….. Teknik RAPFISH …………..…………..…………..………….……. Perizinan dan Industri Perikanan Tangkap Terpadu …………..….. 8 9 12 14 16 40 42 45 METODE UMUM PENELITIAN …..…….……………..........………... 47 3.1 3.2 3.3 3.4 Waktu dan Tempat Penelitian ....…..………………………......…... Ruang Lingkup Penelitian ….…………………………………...….. Kerangka Metodologi ….…………………………………...……… Metodologi ……….......………….…………..……………………… 3.4.1 Analisis RAPFISH .………………………………...…..……. 3.4.2 Analisis optimasi perikanan tangkap terpadu ….…………... 3.4.3 Pendekatan sistemik industri perikanan tangkap terpadu .... Data dan Sumber Data …. …………………………………………. 47 48 48 50 50 53 54 56 HASIL DAN PEMBAHASAN …........…….………………………….… 57 4.1 57 57 70 84 95 106 2 3 3.5 4 Keberlanjutan Perikanan Laut Arafura Secara Multidimensi ……. 4.1.1 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi ……………. 4.1.2 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi …………. 4.1.3 Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial …………..…. 4.1.4 Keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi …………. 4.1.5 Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika …………..….. 4.1.6 Status keberlanjutan perikanan di Arafura secara keseluruhan ..…………………………………………. i 115 4.2 Keberlanjutan Perikanan Berbasis Optimasi Alat Penangkap Ikan ……………………………………………….. 4.2.1 Optimasi potensi sumberdaya ikan …………..……………. 4.3 Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu melalui perizinan ……………………………………………………. 4.3.1 Mekanisme perizinan saat ini …………..…………..………. 4.3.2 Alternatif penyempurnaan mekanisme perizinan …………. 125 125 127 KESIMPULAN DAN SARAN .....................…….…………………....... 133 4.1 Kesimpulan …………..…………..…………..………….………….. 4.2 Saran ………….………….………….………….………….………… 133 134 DAFTAR PUSTAKA …………..…………..…………..…………..…… 136 LAMPIRAN – LAMPIRAN …………..…………..…………..……………. 141 4 5 ii 118 118 DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap …............................................... Kondisi potensi sumberdaya ikan di WPP ………………………............……. Produksi ikan utama di WPP Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur (2001-2005) dalam satuan ton ..........……..…... Jumlah kapal di atas 30 GT yang mendapatkan izin penangkapan di WPP Laut Arafura ……..................……………………………….............… Distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap di WPP Laut Arafura ……..................……………………………………........ Produktivitas kapal penangkap ikan (Kepmen KP No. 60 Tahun 2010) ………....…………………………....…….. Komposisi hasil tangkapan (KKP, 2010) ………………………………............ Kapal pelaku IUU fishing di Maluku …………..…….……………………….. Dimensi dan atribut dalam analisis RAPFISH ……….……………………….. Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekologi ................................................... Definisi atribut pada dimensi ekologi ................................................................. Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi ....................................... Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekonomi ................................................. Definisi atribut pada dimensi ekonomi ............................................................... Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi ..................................... Atribut dan kriteria skor pada dimensi sosial ...................................................... Definisi atribut pada dimensi sosial .................................................................... Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial ......................................... Atribut dan kriteria skor pada dimensi teknologi .............................................. Definisi atribut pada dimensi teknologi ............................................................. Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi ................................... Atribut dan kriteria skor pada dimensi etika ..................................................... Definisi atribut pada dimensi etika .................................................................... Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi etika .......................................... Hasil Analisis RAPFISH menurut jenis alat dan dimensi ................................. Potensi dan JTB sumberdaya ikan di Laut Arafura (ribu ton/tahun) ................ Perbandingan unit penangkapan optimal dan yang ada di Laut Arafura ........... iii 10 13 21 24 26 27 29 39 50 58 58 66 71 71 79 85 85 90 95 96 102 107 107 112 116 118 123 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Perkembangan struktur armada perikanan tangkap (unit) ………..……………... Perkembangan volume ekspor perikanan tangkap (ton) …………...….………… Perkembangan nilai ekspor perikanan tangkap (ribu US$) ………....................... WPP Laut Arafura (BRKP, 2007) ......................................................................... Ilustrasi potensi sumberdaya ikan di Papua dan Laut Arafura .............................. Daerah penangkapan di perairan Papua (BRKP, 2007) …………………………. Peta prakiraan daerah penangkapan ikan di wilayah perairan Maluku dan Papua (KKP, 2008) ………………………………………………… Peta distribusi alat tangkap di perairan Papua dan Laut Arafura ........................... Densitas kapal di WPP Laut Arafura (Ditjen Perikanan Tangkap, 2008) ………. Tampilan hasil pemantauan kapal perikanan di Ditjen PSDKP …………..……... Indikatif produktivitas alat tangkap di WPP Laut Arafura berdasarkan Laporan Usaha Penangkapan Ikan, 2004 – 2007 …………….……. Desain alat Pukat Ikan (KKP, 2006) …………………………………………..… Desain alat Pukat Udang (KKP, 2006) …………………………….……………. TED pada alat Pukat Udang (KKP, 2006) ....……………………………………. Desain alat Jaring Insang, (KKP, 2006) ………………………………………… Desain Pancing Rawai Dasar (KKP, 2006) ……………………………………... Desain alat Pancing Cumi (KKP, 2006) ……………………………………….... Peta zona kerawanan pelanggaran sumberdaya kelautan dan perikanan ………. Segitiga keberlanjutan sistem perikanan (Charles, 2001) ……….……….……… Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan (Alder, et.al., 2000) ….. Peta pulau Papua dan sebagian Maluku (WPP Arafura) ………………………... Kerangka metodologi penelitian ……….……….……….……….……….……... Tahap dalam pendekatan/analisis sistem ……………………………………..…. Diagram input-output sistem …………………………………………………..... Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi ……….……….…... Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi ekologi ……….……….……….……….……….……….………... Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi ……….……….……….………..... Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi ……….………...... iv 11 11 12 17 18 20 22 23 25 25 28 32 33 34 35 36 37 38 42 44 47 49 55 56 66 68 68 80 DAFTAR GAMBAR (lanjutan) Halaman 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi ekonomi ......................................................................................... Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi ……….……….……….………. Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial ……….……….…… Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi sosial …….……….……….……….……….……….……….…… Hasil analisis leverage pada dimensi sosial ……….……….……….……….…. Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi ……….………... Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi teknologi ……….……….……….……….……….……….…….. Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi ……….……….……….……… Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika ……….……….……. Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi etika …….……….……….……….……….……….……….…… Hasil analisis leverage pada dimensi etika …….……….……….……….…….. Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan dimensi …….……….……….……….……….……….……….…. Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat penangkap ikan …….……….……….……….……….… 42 Alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP) (Permen KP No. 14 Tahun 2011) …….……….……….……….……….………... 43 44 Alternatif alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP) ......................... Model pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu berkelanjutan ............... v 81 82 91 92 93 103 104 105 112 113 114 116 117 128 129 132 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekologi ........................................... Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekonomi ........................................ Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi sosial ............................................. Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi teknologi ....................................... Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi etika .............................................. Analisis LINDO tahap pertama ......................................................................... Analisis LINDO tahap kedua ............................................................................ Dokumentasi survey lapangan ......................................................................... vi 141 142 143 144 145 146 147 148 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perekonomian nasional. perikanan tangkap semakin penting dalam Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun 2004-2008 meningkat sebesar 27,06%. selama kurun waktu tersebut sektor perikanan mengalami kenaikan rata-rata tertinggi dibandingkan sektor perkebunan (21,22%), tanaman pangan (20,66%), peternakan (19,87%), dan kehutanan (18,81%). Sementara itu, volume produksi perikanan tangkap pada tahun 2010 mencapai 5,38 juta ton yang meningkat 5,42% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari sisi sumberdaya manusia, pada tahun 2010 jumlah nelayan mengalami peningkatan 0,21% dibandingkan tahun sebelumnya. Volume ekspor juga meningkat dengan rata-rata sebesar 85,68% selama periode 2009 – 2010. Potensi perikanan tangkap Indonesia berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) adalah 6,5 juta ton/tahun yang dikelompokkan kedalam jenis-jenis ikan yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, cumi-cumi dan lobster. Apabila kita membandingkan potensi lestari dengan tingkat produksi rata-rata sebesar 4,7 juta ton/tahun, maka secara agregat masih terdapat peluang pengembangan usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Ditinjau dari sisi pemasaran, ikan dan produk turunannya merupakan komoditas yang memiliki demand relatif tinggi baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Negara-negara tujuan ekspor utama produk perikanan antara lain Jepang, China, USA, dan Uni Eropa. Mengingat potensi dan perannya yang semakin besar bagi perekonomian nasional maka sektor kelautan dan perikanan telah ditetapkan sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional ke depan. Hal tersebut untuk mendukung pencapaian target pembangunan nasional yaitu mengembangkan perekonomian (pro growth), memperluas lapangan kerja (pro job) dan meningkatkan pendapatan nelayan guna menanggulangi kemiskinan (pro poor). Meskipun baru dimulai tahun 1999 yang ditandai dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan yang kini menjadi Kementerian Kelautan 2 dan Perikanan (KKP), pilihan orientasi pembangunan kelautan dan perikanan oleh Pemerintah sangatlah tepat. Menurut Rokhmin Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut yang besar dan beragam. Kedua, Indonesia memiliki keuntungan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya. Ketiga, industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkages) yang kuat dengan industri-industri lainnnya. Keempat, Sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources); Kelima, investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif tinggi yang ditunjukkan oleh Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang rendah dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9. Keenam, pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Sesuai amanat UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kini dirubah menjadi UU No. 45 Tahun 2010, pelaksanaan pengelolaan perikanan oleh Pemerintah ditujukan untuk : (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan-kecil; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani; (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diterapkan manajemen perikanan tangkap secara terpadu dan terarah agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Penerapan manajemen perikanan yang terpadu dan terarah juga merupakan wujud dari implementasi komitmen Pemerintah Indonesia terhadap isu pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab 3 sebagaimana tertuang dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995). Meskipun potensi perikanan tangkap secara umum masih memungkinkan untuk dikembangkan, sangat disayangkan bahwa di beberapa WPP telah terindikasi overfishing. Selain isu overfishing, pembangunan perikanan tangkap saat ini menghadapi beberapa persoalan yang mengancam keberlanjutan di masa datang, antara lain : degradasi fisik habitat ikan dan lingkungan perairan, ketimpangan pemanfaatan sumberdaya ikan antar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), illegal-unreported-unregulated (IUU) fishing, dan konflik pemanfaatan sumberdaya ikan. WPP Laut Arafura merupakan salah satu WPP di Indonesia yang penting karena mengandung potensi sumberdaya ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan-ikan demersal dan udang sehingga disebut sebagai the golden fishing ground. WPP Laut Arafura juga merupakan perairan yang rawan praktek IUU fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan. Nikijuluw (2008) menyebutkan bahwa di WPP Arafura beroperasi sekitar 3.000 kapal secara ilegal. Sementara itu, kapal perikanan yang beroperasi dengan izin penangkapan ikan dari Ditjen Perikanan Tangkap (Pusat) banyak terkonsentrasi di Laut Arafura. KKP mencatat terdapat kira-kira 1.000 kapal dengan beragam teknologi (alat penangkap ikan) yang digunakan di WPP Laut Arafura. Secara ekonomi, keberadaan kapal-kapal dan industri perikanan tangkap terpadu telah memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penyerapan tenaga kerja, dan pembangunan ekonomi regional. Arti penting dan strategis usaha perikanan di Laut Arafura di satu sisi, serta di sisi lain realitas yang mengarah kepada pemanfaatan yang tidak berkelanjutan menjadi permasalahan bagi penentuan ke depan arah dan kebijakan perikanan di wilayah perairan Arafura. Untuk merumuskan kebijakan perikananan yang tepat tentunya diperlukan kajian komprehensif, termasuk status keberlanjutan perikanan di wilayah perairan Arafura saat ini sebagai dasar bagi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu secara optimal yang terbukti memberikan dampak signifikan bagi pembangunan ekonomi wilayah. 4 1.2 Identifikasi Masalah Perhatian tentang pembangunan yang berkelanjutan semakin mengemuka sejalan dengan keprihatinan masyarakat dunia atas ancaman degradasi atau kemusnahan sumber-sumber pertumbuhan pembangunan. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Menurut Smith (1993) dalam Fauzi (2005), sampai saat ini dirasakan masih terdapat kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan, khususnya dalam hal mengintegrasikan data dan informasi dari keseluruhan komponen secara holistik, baik aspek ekologi, sosial, ekonomi, maupun etik. Sejauh ini untuk mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasi perikanan lebih difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi atau referensi ekologi, seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass, atau struktur umur. Selanjutnya menurut Fauzi (2005), pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek keberlanjutan juga harus didekati dengan pendekatan holistik yang menyangkut berbagai dimensi. mengakomodasi berbagai komponen yang Pendekatan holistik ini harus menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologis, dan etis. Dari setiap komponen atau dimensi ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan. Kegiatan perikanan tangkap di WPP Laut Arafura khususnya yang dilakukan oleh skala besar atau industri sudah lama menjadi perhatian sehubungan dengan nilai strategis yang ditinjau dari berbagai aspek. Secara ekologis misalnya, perairan Laut Arafura kaya akan ikan ekonomis penting yang pada akhirnya mendorong pemanfaatan secara berlebih. Di perairan ini juga dilaporkan telah terjadi praktek penangkapan dengan tingkat discard dan hasil tangkap sampingan (by-catch) yang tinggi. Banyaknya kapal perikanan skala besar yang beroperasi di WPP Arafura tentunya memberikan kontribusi ekonomi positif bagi Pemerintah dan bagi masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja atau sumber mata pencaharian nelayan. Secara sosial, pemanfaatan 5 sumberdaya perikanan di WPP Laut Arafura berdampak pada pertumbuhan komunitas, konflik pemanfaatan antara armada perikanan skala besar (bahkan armada asing) dengan nelayan tradisional. Dari aspek teknologi, pemanfaatan perikanan di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh armada/ jenis alat tangkap yang digunakan. Alat tangkap utama yang digunakan di WPP Laut Arafura yaitu pukat udang, pukat ikan, jaring insang oseanik, pancing cumi, dan bouke ami, dengan masing-masing karakteristik/spesifikasi, selektivitas dan produktivitasnya. Tinjauan dari dimensi etik terlihat dari maraknya kegiatan IUU fishing yang terjadi, aspek kesetaraan antar pemanfaat sumberdaya ikan, dan sikap budaya masyarakat terkait pemanfaatan sumberdaya ikan. Untuk menjamin kegiatan perikanan tangkap di WPP Laut Arafura diperlukan pengetahuan tentang status keberlanjutannya saat ini melalui identifikasi dan analisis keberlanjutan berbasis alat tangkap dan penentuan alat tangkap prioritas. Berdasarkan alat tangkap atau armada penangkapan yang sesuai maka dapat dikembangkan industri perikanan tangkap terpadu yang optimal dan berkelanjutan di wilayah ini. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk : (1) Mengetahui status keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat penangkap ikan dan dimensi; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang berpengaruh pada pengelolaan industri perikanan tangkap di lokasi penelitian; (3) Mengetahui alokasi optimal unit penangkapan ikan sebagasi dasar pengembangan industri perikanan tangkap di lokasi penelitian; (4) Mengidentifikasi /merumuskan sistem industri perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian perizinan yang optimal. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah : 6 (1) Bahan masukan bagi perumusan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengendalian dan penataan armada penangkapan ikan demi mencapai sistem perikanan yang optimal dan berkelanjutan; (2) Menyediakan informasi tentang status keberlanjutan perikanan tangkap yang optimal bagi para pelaku bisnis sebagai dasar penyusunan strategi pengembangan usaha; (3) Menyediakan informasi untuk pengembangan metode analisis keberlanjutan perikanan. 1.5 Kerangka Pemikiran Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (ekologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Ketiga paradigma ini masih relevan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Sebagai ilustrasi, keberhasilan pembangunan tidak diukur dari tingginya produksi yang dihasilkan semata tetapi bagaimana kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dan kesejahteraan nelayan bisa ditingkatkan. Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap manfaat optimal dari kegiatan perikanan dan pandangan holistik terhadap manfaat tersebut maka kegiatan perikanan harus memperhitungkan seluruh aspek dalam suatu kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Alder et al (2000), pendekatan holistik harus mengakomodasikan berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan yaitu meliputi aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologi, dan etis. Dari setiap komponen tersebut terdapat atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan. Beberapa komponen indikator kebrlanjutan tersebut antara lain : (1) Ekologi : tingkat eksploitasi, keragaman rekrutmen, perubahan ukuran tangkap, discard dan by-catch, serta produktivitas primer. (2) Ekonomi : kontribusi pada GDP, penyerapan tenaga kerja, sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan alternatif income. (3) Sosial : pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan pengetahuan lingkungan. 7 (4) Teknologi : lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat, FAD, ukuran kapal, dan efek samping alat tangkap. (5) Etika : kesetaraan, ilegal fishing, mitigasi habitat, mitigasi ekosistem, dan sikap terhadap limbah dan by-catch. Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana amanat FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries. Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik ini tidak dipenuhi pembangunan perikanan akan mengarah kepada degradasi lingkungan, overeksploitasi, dan destructive fishing practices. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu kawasan atau perairan seperti halnya di Laut Arafura sering mengarah kepada kerusakan dan ketidakmampuan perairan untuk mendukung perekonomian masyarakat lebih lanjut. Hal ini terjadi akibat pengelolaan yang tidak tepat yang disebabkan minimnya informasi atau analisis sebagai bukti ilmiah terbaik yang menjadi landasan pengelolaan perikanan. Analisis tentang keberlanjutan perikanan sudah banyak dilakukan namun hanya terbatas pada satu atau beberapa dimensi saja sehingga hasilnya kurang mewakili seluruh aspek perikanan di lapangan. Analisis keberlanjutan perikanan secara multidimensional di Laut Arafura akan memberikan gambaran komprehensif kondisi keberlanjutan perikanan suatu wilayah perairan sehingga dapat diketahui langkah apa yang harus dilakukan ke depan terkait pembangunan perikanan di wilayah tersebut. Hasil analisis keberlanjutan berdasarkan alat tangkap menghasilkan jenis armada penangkapan yang berlanjut untuk kemudian dipilih dan dikembangkan secara optimal sebagai dasar pengembangan industri perikanan tangkap terpadu. 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Perikanan Tangkap Pembangunan subsektor perikanan tangkap oleh Pemerintah ditetapkan dengan visi yaitu “Industri perikanan tangkap Indonesia yang lestari, kokoh, dan mandiri pada tahun 2020”. Sedangkan misi pembangunan perikanan tangkap adalah : 1) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perikanan. 2) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengolah hasil perikanan. 3) Menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. 4) Membangun industri nasional dan usaha perikanan tangkap yang berdaya saing. 5) Meningkatkan peran sub sektor perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional. Berdasarkan visi dan misi tersebut di atas, kebijakan pembangunan perikanan tangkap diarahkan untuk : (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan dalam negeri; (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Berdasarkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang telah direvisi menjadi UU No. 45 tahun 2010, tujuan pembangunan perikanan tangkap merupakan bagian integral dari tujuan pengelolaan perikanan yang meliputi : 1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan-kecil; 2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; 3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; 4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani; 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; 9 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 8. Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan 9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. Pembangunan usaha penangkapan dilakukan secara selektif dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan, guna mewujudkan usaha perikanan yang bertanggungjawab dalam rangka responsible fisheries di bidang penangkapan. Dalam kerangka ini dilakukan reorientasi terhadap tujuan pengembangan usaha yang semula lebih ke arah produksi menjadi ke arah pendapatan usaha, disertai dengan penyediaan Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan, standarisasi unit penangkapan, perekayasaan teknologi, diversifikasi usaha nelayan dan rehabilitasi sumberdaya ikan. Upaya pengembangan penangkapan ikan tersebut sekaligus untuk mengantisipasi isu yang berkembang di bidang penangkapan ikan. Isu tersebut yaitu adanya pemahaman bahwa sumberdaya ikan seolah-olah tidak terbatas, padahal jumlah tangkapan yang diperoleh pada saat ini ditetapkan sebesar 5,2 juta ton per tahun setelah memperhatikan potensi yang tersedia. Kondisi inilah yang cenderung menjadi gambaran bahwa nelayan akan tetap lekat dengan kemiskinan. Selain itu, banyak terjadi kerusakan terhadap lingkungan sumberdaya ikan sebagai akibat ulah manusia yang kurang bertanggungjawab, termasuk penggunaan bahan peledak, racun, maupun alat tangkap yang dilarang. 2.2 Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap Jika dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun, pelaksanaan pembangunan perikanan yang dilaksanakan selama ini secara keseluruhan telah menunjukkan hasil nyata. Hal ini dapat dilihat dari semakin luas dan terarahnya usaha peningkatan produksi dari perikanan tangkap, yang pada gilirannya telah meningkatkan pula konsumsi ikan, ekspor perikanan, pendapatan nelayan, 10 perluasan lapangan kerja, serta dukungan bagi pembangunan industri serta menunjang pembangunan daerah. Pada periode tahun 2009, volume produksi perikanan tangkap nasional meningkat sebesar 1,71% dari tahun sebelumnya, yaitu dari 5.196.328 ton pada tahun 2008 menjadi 5.285.020 ton pada tahun 2009. Nilai produksi perikanan tangkap selama periode yang sama juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 10,24% dari tahun sebelumnya. Volume dan nilai produksi ini merupakan penjumlahan dari kegiatan penangkapan di laut dan di perairan umum. Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan tangkap pada periode 2005 – 2009 diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Volume dan nilai produksi perikanan tangkap No Rincian 1 Produksi (Ton) - Laut 2 2005 4.705.869 2006 4.806.112 2007 5.044.737 2008 5.196.328 2009 5.285.020 4.408.499 4.512.191 4.734.280 4.701.933 4.789.410 - Perairan Umum Nilai (Rp. 1.000,-) 297.370 293.921 310.457 36.171.339 40.069.060 48.431.935 494.395 495.610 52.812.740 58.218.670 - Laut 33.255.308 37.162.918 45.025.651 49.162.910 54.328.080 3.649.830 3.890.590 - Perairan Umum 2.916.031 2.906.142 3.406.284 Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap (2010) Peningkatan produksi penangkapan tidak terlepas dari meningkatnya sarana perikanan tangkap yaitu perahu/kapal perikanan. Perkembangan total armada perikanan Indonesia periode 2005 – 2009 terus mengalami peningkatan dari skala menengah dan skala besar. Berdasarkan komposisinya, struktur armada perikanan tahun 2009 masih didominasi oleh jenis perahu tanpa motor yaitu 40%, selanjutnya perahu motor tempel sebesar 31%, perahu motor berukuran di bawah 30 Gross Tonage (GT) sebesar 28%, serta perahu motor berukuran di atas 30 GT sebesar 1%. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan struktur armada perikanan tangkap. 11 Gambar 1 Perkembangan struktur armada perikanan tangkap (unit) (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010) Dari sisi perdagangan, ekspor produk perikanan Indonesia mengalami fluktuasi. Selama periode 2005 – 2009, volume ekspor komoditas tuna/cakalang/tongkol cenderung naik sedangkan untuk komoditas ikan lainnya cenderung stabil. Pada tahun 2009 volume ekspor perikanan mencapai 130 ribu ton untuk komoditas tuna/cakalang/tongkol, dan 155 ribu ton untuk komoditas ikan lainnya (Gambar 2). Gambar 2 Perkembangan volume ekspor perikanan tangkap (ton) (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010) 12 Sementara itu, pada periode waktu yang sama nilai ekspor perikanan cenderung meningkat, baik untuk komoditas tuna/cakalang/tongkol maupun ikan lainnya. Nilai ekspor dari komoditas tuna/cakalang/tongkol memberikan kontribusi yang besar meskipun secara volume rendah, hal ini karena tuna/cakalang/tongkol lebih tinggi dibanding harga ikan lainnya. harga ikan Pada tahun 2009, nilai ekspor perikanan dari tuna/cakalang/tongkol mencapai 350 juta US$ dan dari ikan lainnya mencapai 240 juta US$ (Gambar 3). Gambar 3 Perkembangan nilai ekspor perikanan tangkap (ribu US$) (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Dari sisi sumberdaya manusia, kegiatan perikanan tangkap telah melibatkan/menyerap tenaga kerja (nelayan) cukup banyak dan jumlahnya mengalami peningkatan selama periode 2005 – 2009. Total nelayan terserap pada tahun 2005 adalah 2,6 juta orang meningkat menjadi 2,7 juta orang pada tahun 2010 (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). 2.3 Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) BRKP KKP tahun 2001, potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Indonesia diperkirakan 6,40 juta ton pertahun. Pada tahun 2011, KKP melakukan estimasi kembali angka potensi tersebut sehingga menjadi 6,5 juta ton pertahun. Dari potensi tersebut, JTB 13 (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80 % dari potensi atau sebesar 5,2 juta ton pertahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan laut di Indonesia tidak merata untuk setiap WPP, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi fully exploited dan over fished. Tabel 2 memperlihatkan kondisi potensi sumberdaya ikan berdasarkan WPP hasil kajian Komnas Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan. Tabel 2 Kondisi potensi sumberdaya ikan di WPP No 1 2 3 4 5 6 WPP WPP 571: Selat Malaka dan Laut Andaman WPP 711: Sel. Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan WPP 712: Laut Jawa WPP 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali WPP 714: Laut Banda WPP 715: Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor Jenis Ikan Demersal Udang Status stok (U,M,F,O,UN) O O Pelagiskecil Pelagis besar F UN Demersal Udang F M Pelagiskecil O Pelagis besar Demersal UN F Udang Pelagiskecil Pelagis besar F O UN Demersal Udang Pelagiskecil Pelagis besar F O M UN Demersal Udang Pelagiskecil U/UN UN M Pelagis besar Demersal M F–O Udang O Pelagiskecil M Pelagis besar UN Keterangan Pukat ikan kedalaman > 20 m, Ilegal fishing? Semua kategori spesies, ilegal fishing? Alat purse seine, ilegal fishing? Terutama Selat Malaka bagian Utara LCS bagian Utara, ilegal fishing? Barat Kalimantan, Lampara Dasar, semua kategori, ilegal fishing? Pelagis kecil neritik dan oseanik, ilegal fishing? Ilegal fishing? Pesisir Kalimantan (kecuali >40 m) Utara pesisir Jawa Non purse seine, spesies : tenggiri dan tongkol Termasuk perairan karang (O) Pantai Timur Kalimantan Kecuali ikan terbang (F) Demersal laut dalam (?) Purse seine, Kendari, Banda, Seram Tuna long line Pemanfaatan intensif di ZEEI, bycatch pukat udang Seluruh fishing ground telah dikenal dan dimanfaatkan sepenuhnya, ukuran mengecil Pemanfaatan oleh pukat ikan dan bycatch pukat udang - 14 Tabel 2 (lanjutan) No 7 WPP 716: Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut seram Demersal Udang Pelagiskecil Pelagis besar Status stok (U,M,F,O,UN) M M F 8 WPP 717 & 718: Laut Sulawesi, Laut Halmahera dan Samudera Pasifik WPP 572: Samudera Hindia Barat Sumatera dan Selat Sunda Demersal Udang Pelagiskecil Pelagis besar UN UN O WPP 573: Samudera Hindia selatan Jawa hingga Nusatenggara 9 10 WPP Jenis Ikan Demersal F Udang F Pelagiskecil Pelagis besar M F Demersal F Udang F Pelagiskecil Pelagis besar F F Keterangan Ilegal? Perlu sistem monitoring Kedalaman 0 – 150 m; perlu sistem monitoring, ikan fase juvenil banyak tertangkap, >150 m? Laut Sulawesi Fishing ground relatif sempit =< 200m; deep sea belum terjamah Fishing ground relatif sempit =< 200m; deep sea belum terjamah Terutama pelagis kecil oseanik Fishing ground di ZEE sampai ke laut bebas (high sea) Fishing ground sangat sempit, deep sea belum terjamah Fishing ground sangat sempit, deep sea belum terjamah Kecuali pelagis kecil oseanik : UN Fishing ground di laut bebas di luar ZEEI Sumber : Komnasjikan dalam BRKP (2007) Keterangan : O = overfished; F = fully exploited; M = moderate; UN = uncertain 2.4 WPP dan Pengelolaan Perikanan Dasar hukum WPP disebutkan dalam Kepmentan No. 995/Kpts/IK 210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) pada bagian Lampiran ditetapkan 9 (sembilan) WPP. Kesembilan WPP tersebut meliputi Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Makassar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Arafura, dan Samudera Hindia. Selanjutnya UU tentang Perikanan menyebutkan bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi : 15 (1) Perairan Indonesia (2) ZEE Indonesia (3) Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia Dengan berjalannya waktu serta perkembangan dalam pengelolaan perikanan perikanan dan mulai dikembangkannya konsep Monitoring, Control, and Surveillance (MCS), maka fungsi WPP selain diperlukan untuk penentuan potensi dan tingkat pemanfaatan juga dapat pula berperan sebagai dasar pengeloaan dalam hal perizinan dan pengawasan. Berdasarkan hal itu, maka Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati – Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) KKP telah menyempurnakan peta WPP tersebut menjadi WPP baru yang terdiri atas 11 WPP yang lebih memperhatikan karakteristik lingkungan, kaidah kartografi serta batas maritim khususnya batas ZEE dengan negara-negara tetangga. Pada tahun 2011, KKP melalui Kepmen No. 45 Tahun 2011 mengeluarkan nomenklatur WPP sebagai berikut : 1. WPP 571 : Selat Malaka 2. WPP 572 : Samudera Hindia Barat Sumatera 3. WPP 573 : Samudera Hindia Selatan Jawa 4. WPP 711 : Laut Cina Selatan 5. WPP 712 : Laut Jawa 6. WPP 713 : Selat Makassar - Laut Flores 7. WPP 714 : Laut Banda 8. WPP 715 : Teluk Tomini - Laut Seram 9. WPP 716 : Laut Sulawesi 10. WPP 717 : Samudera Pasifik 11. WPP 718 : Laut Arafura – Laut Timor Definisi ”pengelolaan sumberdaya perikanan”, mengacu kepada UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta 16 penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Definisi ini sama persis mengacu kepada FAO dalam Fisheries Technical Paper No. 424 yang diedit oleh Cochrane (2002) yaitu : ”The integrated process of information gathering, analysis, planning, consultation, decision-making, allocation of resources and formulation of implementation, with enforcement as necessary, of regulation or rules which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the resources and the accomplishment of other fisheries objectives”. Pengelolaan perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik. Tujuan dikelolanya perikanan antara lain tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus terjaga kelestariannya. Menurut Cochrane (2002), tujuan (goal) umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu : 1. untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi); 2. untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi); 3. untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi); 4. untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial). Lebih lengkap, tujuan pengelolaan perikanan ini tercantum pada pasal 3 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 2.5 Perikanan di Laut Arafura Laut Arafura merupakan salah satu perairan yang penting dan telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan perikanan nasional. Secara administratif Laut Arafura termasuk dalam wilayah Provinsi Papua dan sebagian termasuk wilayah Maluku, terutama yang berada di sekitar kepulauan Aru. 17 Perairan ini termasuk sebagian besar wilayah ZEE Indonesia yang langsung berhubungan dengan Laut Timor dan Laut Banda. Di sebelah Utara, sirkulasi massa air sangat dipengaruhi oleh Samudera Pasifik. Kedalaman Laut Arafura berkisar antara 5 sampai dengan 60 m atau rata-rata sekitar 30 meter dengan lapisan tebal berupa lumpur dan sedikit pasir yang mencakup hampir 70% luas perairan. Pada Gambar 4 diperlihatkan peta geografis Laut Arafura yang merupakan salah satu WPP yang ada di perairan Indonesia. Gambar 4 WPP Laut Arafura (BRKP, 2007) Pada tahun 2011, KKP menyebutkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di WPP Laut Arafura adalah 855,5 ribu ton/tahun yang dikelompokkan kedalam jenis-jenis ikan pelagis besar 50,9 ribu ton/tahun, ikan pelagis kecil 468,7 ribu ton/tahun, ikan demersal 284,7 ribu ton/tahun, udang penaeid 44,7 ribu ton/tahun, cumi-cumi 3,4 ribu ton/tahun, lobster 0,1 ribu ton/tahun, dan ikan karang konsumsi 3,1 ribu ton/tahun. Beberapa jenis sumberdaya ikan ekonomis penting yang dapat dijumpai antara lain udang windu, udang putih, kakap merah, kerapu, tenggiri, dan lain-lain. Pada Gambar 5 digambarkan ilustrasi potens 18 perikanan perairan sekitar Papua termasuk Laut Arafura di bagian selatan. Lebih lanjut, KKP (2011) menginformasikan status beberapa jenis sumberdaya ikan di WPP Laut Arafura yang kini menjadi WPP 718 : Laut Arafura dan Laut Timor yaitu sumberdaya ikan jenis demersal statusnya sudah overexploited, udang dalam status fully-exploited, ikan pelagis kecil dalam status moderate, dan pelagis besar statusnya tidak diketahui pasti. Gambar 5 Ilustrasi potensi sumberdaya ikan di Papua dan Laut Arafura Penelitian Suwartana (1986) dalam pendugaan stok (stock assesment) udang penaeid di Laut Arafura menggunakan data 1979 – 1982 pada perikanan trawl PT. Nusantara Fishery menunjukkan bahwa : (a) rata-rata hasil tangkapan 490 ton/tahun atau 283 kg/kapal/hari operasi; (b) nilai CPUE turun sebesar 46 x 10-4 untuk setiap kenaikan unit usaha; (c) nilai optimum effort adalah 33 x 103; (d) 19 nilai MSY sebesar 520 ton; (e) jumlah kapal dan waktu lama operasi sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan udang. Ikan cakalang merupakan ikan pelagis besar yang cukup dominan di perairan wilayah Timur termasuk Laut Arafura. Struktur populasi cakalang (Katsuwonus pelamis) di Maluku Utara berdasarkan penelitian Suwartana (1986) menggunakan data 1980 – 1982 diperoleh bahwa ukuran panjang baku ikan adalah sekitar 40,3 – 65,4 cm dan kelompok yang menonjol adalah ukuran 46,9 53,7 cm yang diduga berumur antara 2,5 – 3,5 tahun. Usaha penangkapan ikan di perairan Laut Arafura sudah lama dilakukan, dimulai oleh perusahaan patungan antara Indonesia dengan Jepang yang berpangkalan di Sorong dan Ambon, yang beberapa akhir tahun ini basis penangkapannya berkembang ke daerah Merauke, Tual, Benjina, Kendari, dan Bitung. Permasalahan penangkapan udang secara komersial dengan pukat tarik adalah banyak ikan demersal sebagai hasil tangkapan sampingan yang dibuang percuma. Produksi hasil tangkapan sampingan di perairan Arafura diperkirakan antara 40.000 sampai dengan 70.000 ton pertahun, dan sebagian dari hasil tangkapan sampingan tersebut dapat digolongkan kedalam kelompok ikan demersal konsumsi (BRKP, 2007). Jumlah tangkapan ikan demersal dan udang sejak beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai lebih 500.000 ton pertahun. Daerah penangkapan ikan dan udang di wilayah perairan Selatan Papua secara umum dapat dikelompokkan kedalam 4 kategori yaitu : (1) daerah penangkapan perikanan rakyat; (2) daerah penangkapan telur ikan torani; (3) daerah penangkapan pukat udang; dan (4) daerah penangkapan ikan komersial seperti pukat ikan dan gill net hanyut (Gambar 6). 20 Gambar 6 Daerah penangkapan di perairan Papua (BRKP, 2007) Berdasarkan data Statistik Perikanan, produksi perikanan tangkap periode 2004 – 2008 di WPP Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur ratarata mengalami kenaikan. Ikan hasil tangkapan utama di WPP tersebut antara lain: manyung, ekor kuning, selar, kuwe, layang, bawal hitam, kakap putih, tembang, beloso, gerot-gerot, kakap merah, kurisi, kuro/senangin, gulamah, cakalang, kembung, tenggiri, dan ikan lainnya. Produksi ikan-ikan tersebut pada periode 2004 – 2008 diperlihatkan pada Tabel 3. 21 Tabel 3 Produksi ikan utama di WPP Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur (2004-2008) dalam satuan ton No Jenis Ikan Species 1 2 Manyung Ekor kuning 3 4 Selar Kuwe 5 6 7 8 Layang Bawal hitam Kakap putih Tembang 9 Beloso 10 11 12 Gerot-gerot Kakap merah Kurisi Giant catfish Redbelly yellowtail fusilier Trevallies Jack trevallies Scad Black pomfret Barramundi Goldstrip sardinella Greater lizardfish Saddle grunt Red snappers 13 14 15 16 Kuro Gulamah Cakalang Kembung 17 Tenggiri Threadfin bream Threadfins Croackers Skipjack tuna Short-bodied mackerel Spanish mackerel 2004 11056 4069 Tahun 2005 2006 12871 11171 4948 4039 2007 12125 5727 2008 10296 5653 2564 2825 2832 3073 6258 4984 7789 5025 3495 3969 4298 7219 8259 10721 16884 14235 11070 12217 5450 5865 11731 3627 26105 3946 34110 6730 24142 4449 23895 4416 3424 3441 4015 11495 3717 2167 27012 2025 34930 2142 43229 2155 35112 1976 29288 4517 6035 15122 9414 4528 9809 4493 3583 13841 12154 6668 972 972 11847 7976 5845 5845 11737 11489 3381 3381 11677 17680 1161 1161 8661 10874 12492 15813 11429 Sumber : Statistik Perikanan Tangkap per WPP (2004-2008) Informasi tentang prakiraan daerah potensi dan daerah penangkapan sumberdaya ikan di perairan Indonesia termasuk WPP Laut Arafura berdasarkan hasil pengolahan citra satelit dapat diakses melalui situs KKP di internet sebagaimana pada Gambar 7. 22 Gambar 7 Peta prakiraan daerah penangkapan ikan di wilayah perairan Maluku dan Papua (KKP, 2008) Usaha penangkapan ikan di perairan Arafura sudah berkembang pesat dan diusahakan secara komersial, terutama untuk wilayah perairan di atas 12 mil dari garis pantai dan di wilayah ZEE Indonesia di bagian selatan perairan. Di wilayah perairan Papua dan sekitarnya, khususnya untuk wilayah kurang dari 12 mil ke arah pantai, penangkapan ikan dilakukan menggunakan alat tangkap antara lain : trammel net, bagan perahu, pancing ulur, bubu, huhate, tuna long line, mini purse seine dan gillnet. Di bagian Selatan pulau Papua (Laut Arafura) dominan digunakan alat tangkap pukat udang (Gambar 8). 23 Gambar 8 Peta distribusi alat tangkap di perairan Papua dan Laut Arafura Berdasarkan data perizinan usaha penangkapan ikan yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap (2011), usaha penangkapan ikan di Laut Arafura oleh kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT umumnya didominasi dengan alat tangkap : pukat ikan, pukat udang, jaring insang hanyut oseanik, rawai dasar, pancing cumi, dan jaring insang hanyut pantai. Pada Tabel 4 diuraikan jumlah kapal perikanan di atas 30 GT berdasarkan unit kapal penangkap dan ukuran GT yang diberikan izin penangkapan di WPP Laut Arafura. Kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di Laut Arafura umumnya berpangkapalan di 6 (enam) pelabuhan utama yaitu : Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, PPN Tual, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Kupang, PPP Sorong, dan Pelabuhan Umum (PU) Merauke. Namun demikian sebagian besar kapal-kapal tersebut dioperasikan oleh pelaku usaha yang berdomisili hukum di Jakarta. 24 Tabel 4 Jumlah kapal diatas 30 GT yang mendapatkan izin di WPP Laut Arafura No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Alat Tangkap Pukat Ikan Pukat Udang Jaring Insang Hanyut Oseanik Pancing Rawai Dasar Pancing Cumi Jaring Insang Hanyut Pantai Bouke Ami Hand Line Huhate Purse Seine Pelagis Kecil Jumlah Jumlah Unit 440 129 118 100 99 55 15 14 8 2 980 Jumlah GT 113.932 19.760 23.360 6.354 13.084 3.995 2.029 1.834 529 147 184.024 Sumber : Dit. PUP, Ditjen Perikanan Tangkap (2011) WPP Laut Arafura juga merupakan daerah operasi utama bagi kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT. Secara ekonomi, usaha perikanan tangkap di Laut Arafura adalah menguntungkan. Menurut Mangga Barani (2006), analisis ekonomi usaha perikanan tangkap di Laut Arafura tahun 2003 menunjukkan bahwa pukat udang dengan ukuran GT 100 – 150 GT mempunyai tingkat keuntungan rata-rata Rp 31.260 per kilogram dengan nilai Benefit-Cost Ratio (BCR) sebesar 3,52. Keuntungan dan nilai BCR ini merupakan tertinggi dibandingkan dengan usaha pukat udang dengan ukuran GT yang lainnya. Selanjutnya untuk perikanan pukat ikan di laut dalam menghasilkan nilai BCR rata-rata 1,53; sedangkan perikanan pancing rawai dasar mampu menghasilkan nilai BCR rata-rata 1,9. Tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 9 yang menunjukkan densitas kapal per luasan perairan di WPP tersebut (Ditjen Perikanan Tangkap, 2008). WPP lainnya dengan densitas kapal perikanan tergolong tinggi yaitu WPP Laut Cina Selatan dan Laut Natuna. 25 Gambar 9 Densitas kapal di WPP Laut Arafura Hal tersebut diperkuat oleh hasil pemantauan oleh PUSKODAL Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SKKP) menggunakan transmitter VMS (vessel monitoring system) yang diinstal pada kapal perikanan berukuran > 100 GT atau kapal asing. Pada Gambar 10 tampak tampilan layar di PUSKODAL KKP yang menunjukkan WPP Laut Arafura merupakan wilayah perairan utama tempat beroperasinya kapal-kapal perikanan. Gambar 10 Tampilan hasil pemantauan kapal perikanan di Ditjen PSDKP 26 Bila dikelompokkan berdasarkan ukuran (GT), kapal-kapal perikanan yang beroperasi di WPP Laut Arafura terutama didominasi ukuran lebih dari 200 GT dan 100 s/d 200 GT dengan komposisi didominasi oleh 5 jenis alat penangkap ikan yaitu : pukat ikan, gillnet oseanik, pukat udang, pancing rawai dasar, dan pancing cumi. Kapal pancing prawai dasar umumnya menggunakan kapal dengan ukuran yang lebih kecil (30 s/d 60 GT). Adapun lebih lengkap mengenai distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap diuraikan pada Tabel 5. Tabel 5 Distribusi kapal berdasarkan GT dan alat tangkap di WPP Laut Arafura No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Alat Tangkap Pukat Ikan Pukat Udang Jaring Insang Hanyut Oseanik Pancing Rawai Dasar Pancing Cumi Jaring Insang Hanyut Pantai Bouke Ami Hand Line Huhate Purse Seine Pelagis Kecil Jumlah 30-60 0 1 13 93 1 20 10 0 3 1 60-100 2 51 14 11 28 27 4 14 5 0 100-200 141 75 31 2 66 7 1 0 0 1 >200 297 2 60 1 4 1 0 0 0 0 Jumlah 440 129 118 107 99 55 15 14 8 2 980 Sumber : Dit. PUP, Ditjen Perikanan Tangkap (2011) Berdasarkan data Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (PUP), Ditjen Perikanan Tangkap (2010), usaha perikanan tangkap di WPP Laut Arafura dengan ukuran kapal di atas 30 GT dilakukan oleh 399 pelaku usaha, dengan rincian : perorangan (291), perusahaan swasta (94), PMA (10), PMDN (3), dan BUMN (1). Untuk kapal perikanan berukuran di atas 30 GT, KKP telah menetapkan produktivitas masing-masing berdasarkan alat tangkap tersebut, yang dituangkan kedalam Kepmen KP No. 60 Tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan sebagaimana diuraikan pada Tabel 6 berikut. 27 Tabel 6 Produktivitas kapal penangkap ikan (Kepmen KP No. 60 Tahun 2010) No Alat Tangkap 1 Pukat Udang 2 Pukat Ikan Laut di Arafura 3 Pukat Ikan Selat di Malaka 4 Pukat Ikan di Samudera Hindia (Barat Sumatera) Pukat Ikan di Laut Cina Selatan Long Line (Rawai Tuna) Bottom Long Line (Pancing Prawai Dasar) Purse Seine Pelagis Kecil Pantura Purse Seine Pelagis Kecil Selain Laut Jawa Purse Seine Pelagis Besar Tunggal Purse Seine Pelagis Besar Group Pole and Line (Huhate) Hand Line Jaring Insang Pantai Jaring Insang Dasar Jaring Insang Oseanik Sguid Jigging (Pancing Cumi) Bubu Bouke Ami/Bagan Apung 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Long Bag Set Net 20 Payang Sumber : KKP, 2010 Udang Ikan Ikan Udang Ikan Udang Ikan Udang Ikan Ikan Ikan Produktivitas (Ton/GT/tahun) 0,40 0,26 3,40 0,17 2,98 0,09 2,55 0,09 2,13 0,01 1,20 Ikan Ikan 1,19 1,28 Ikan Ikan Cakalang, Tuna Tuna Ikan Cucut/Pari Ikan Cumi-cumi Ikan Ikan dan Cumicumi Ikan Ikan 1,70 2,98 1,50 2,00 0,85 0,68 0,85 0,26 0,51 0,85 Hasil Tangkapan 0,85 0,85 Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa baik pukat udang maupun pukat ikan menghasilkan tangkapan berupa udang dan ikan meskipun komposisi produktivitasnya berbeda. Produktivitas penangkapan pukat udang adalah berupa udang sebanyak 0,4 ton/GT/tahun dan ikan 0,26 ton/GT/tahun. Sedangkan produktivitas penangkapan pukat ikan di Laut Arafura adalah berupa ikan sebanyak 3,40 ton/GT/tahun dan udang 0,17 ton/GT/tahun. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa penangkapan ikan dengan alat pukat ikan yang di lakukan di Arafura cenderung menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain seperti Selat Malaka, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan dengan alat yang sama. Berdasarkan analisis terhadap laporan kegiatan usaha penangkapan ikan yang diterima Ditjen Perikanan Tangkap, KKP dari pelaku usaha di Arafura 28 diperoleh angka produktivitas alat penangkap ikan. Gambar 11 memperlihatkan produktivitas indikatif yang bersumber dari laporan kegiatan usaha penangkapan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (PUP) untuk beberapa alat tangkap utama di WPP Laut Arafura. CPUE WPP L. ARAFURA (TON/GT) 1.40 1.20 Keterangan : 1.00 Pukat Ikan Pukat Udang Purse Seine Pelagis Kecil Gill Net Oseanik Pancing Cumi Rawai Dasar Bubu 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1 2 3 2004 4 1 2 3 2005 4 1 2 3 2006 4 1 2 3 4 2007 TAHUN Gambar 11 Indikatif produktivitas alat tangkap di WPP Laut Arafura berdasarkan Laporan Usaha Penangkapan Ikan Dit. PUP, 2004 – 2007 Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa angka produktivitas indikatif beberapa jenis alat tangkap berdasarkan pelaporan usaha penangkapan ikan pada tahun 2005 sampai dengan 2007 umumnya lebih rendah dibandingkan angka produktivitas Kepmen No. 60 Tahun 2010. Terlihat pula bahwa pukat ikan dan pukat udang mengalami penurunan produktivitas pada akhir tahun 2007 mendekati 0,2 ton/GT, demikian pula untuk purse seine pelagis kecil. Hasil survey BRKP yang dilaporkan dalam Jurnal Iptek Kelautan dan Perikanan Masa Kini (2004) menunjukkan bahwa kondisi perairan Laut Arafura sudah mulai tertekan, yang ditunjukkan oleh beberapa indikator sebagai berikut : 1. Rendahnya hasil tangkapan udang (1,19%) yang merupakan tujuan utama dari penangkapan pukat (trawl). 29 2. Banyaknya trash fish berupa bangkai ikan sebesar 25,91% dari total hasil tangkapan. 3. Komposisi jenis ikan relatif sedikit dengan didominasi jenis ikan pemakan bangkai (scavenger) yaitu sejenis gulamah (Scanidae) dan kepiting (Crabs) masing-masing sebanyak 38,47% dan 32,02% dari total hasil tangkapan. 4. Kondisi perairan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah yaitu 1% dengan penyebaran hampir merata terutama di dasar perairan. Pada jurnal yang sama, BRKP menyimpulkan bahwa stok ikan kakap merah (Lutjanidae) di perairan Arafura diduga telah berada pada tingkat ‘fully exploited’, bahkan sudah ‘overfished’ yang disebabkan oleh laju pergerakan yang lambat (low rate of movement). Survey Balai Riset Perikanan Laut KKP Tahun 2007, yang dikutip oleh Maharaja (2008), menunjukkan terjadi kecenderungan penurunan laju tangkap trawl di Laut Arafura yakni hasil tangkapan ikan 458 kg/jam pada tahun 2002, 589 kg/jam pada tahun 2003, kemudian menjadi 302 kg/jam pada tahun 2006. Komposisi umum hasil tangkapan dari alat tangkap utama di WPP Laut Arafura dituangkan kedalam Kepmen No. 60 tahun 2010 sebagaimana diuraikan pada Tabel 7 berikut. Tabel 7 Komposisi hasil tangkapan (KKP, 2010) Jenis Alat Tangkap Pukat Udang Jenis Ikan Nama Lokal Udang Putih Udang Windu Udang lainnya Jumlah Gulamah Kakap Kuwe Bawal Hitam Bawal Putih Layur Moluska Petek Beloso Kurisi Kerong-kerong Gerot-gerot Lainnya Jumlah Nama Latin Penaeus merguiensis Penaeus monodon Scianidae Lutjanidae Caranx sexfasciatus Formio niger Pampus argentus Trichiurus savala Leioghnatidae Saurida spp Nemipteridae Therapon spp Pomadasys spp - Persentase 40,0 28,0 32,0 100,0 33,7 1,7 0,3 0,6 0,9 1,3 0,9 18,2 6,0 7,5 6,9 6,8 15,2 100,0 30 Tabel 7 (lanjutan) Jenis Alat Tangkap Pukat Ikan Jaring Insang Hanyut Oseanik Pancing Rawai Dasar Pancing Cumi Jenis Ikan Nama Lokal Udang Putih Udang lainnya Jumlah Kurisi Kuwe, Selar Gulamah Hiu, Cucut Manyung Kakap Kembung Layur Biji Nangka Pisang-pisang Pari Petek Golok-golok Cumi Gerot-gerot Kacangan Kerapu Bawal Hitam Lidah, Sebelah Sardine Bawal Putih Senangin Beloso Lainnya Jumlah Cakalang Tongkol Yellowfin “round” Tenggiri Cucut Lainnya Jumlah Kakap Kuwe, selar Manyung Cucut Kerapu Kurisi Pari Remang Lainnya Jumlah Oceanic squid Nama Latin Penaeus merguiensis Nemipteridae Caranx sexfasciatus Scianidae Hemigalidae Arius spp Lutjanidae Rastrelliger sp Trichiurus savala Mullidae Caesio sp Rhinobatidae Leioghnatidae Chirocentrus dorab Loligo spp Pomadasys spp Sphyraena spp Epinephelus spp Formio niger Cynoglosus Clupeidae Pampus argentus Eletheronemo tetradactylum Saurida spp Katsuwonus pelamis Auxis thazard Thunus alalunga Scomberomorus spp Hemigalidae Lutjanidae Caranx sexfasciatus Arius spp Hemigalidae Epinephleus Nemipteridae Rhinobatidae Congresox tabalon Loligo spp Persentase 80,0 20,0 100,0 12,0 7,0 10,0 3,0 8,0 5,0 5,0 5,0 9,9 2,8 2,3 9,5 1,1 1,1 0,6 0,5 0,5 0,3 0,3 3,9 0,1 0,1 5,4 6,6 100,0 40,0 10,0 20,0 5,0 5,0 20,0 100,0 30,0 3,0 5,0 15,0 15,0 10,0 10,0 5,0 7,0 100,0 100,0 Adapun informasi mengenai jenis-jenis alat tangkap utama yang digunakan di WPP Laut Arafura adalah sebagai berikut : 31 (1) Pukat Ikan Pukat Ikan atau Fish Net adalah jenis penangkap ikan berbentuk kantong bersayap yang dalam operasinya dilengkapi 2 buah papan pembuka mulut (otter board), tujuan utamanya untuk menangkap ikan perairan pertengahan (mid water) dan ikan perairan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya ditarik melayang di atas dasar hanya oleh 1 (satu) buah kapal bermotor. Dasar Hukum Pengoperasian pukat ikan adalah : (1) Pasal 31 ayat (1) huruf d. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (2) Pasal 16 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Pukat ikan hanya diizinkan pengoperasiannya di Wilayah Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Cina Selatan, ZEEI Laut Arafura, ZEEI Samudera Hindia, dan ZEEI Selat Malaka. Hasil tangkapan utama Pukat Ikan adalah jenis-jenis ikan yang hidup di perairan pertengahan. Sebagai hasil sampingan kadang-kadang tertangkap juga ikan demersal terutama pada saat tertentu dimana ikan demersal sedang melakukan migrasi vertikal (diurnal migration). Pada Gambar 12 diperlihatkan desain gambar pukat ikan. Pukat Ikan dioperasikan dengan cara ditarik menelusuri permukaan dasar perairan oleh kapal bermotor dengan lama penarikan 1 – 2 jam tergantung keadaan daerah penangkapannya. Daerah penangkapan yang dipilih adalah yang permukaannya rata, berdasar lumpur atau lumpur pasir atau berpasir. Operasi penangkapan dapat dilakukan baik siang atau malam hari tergantung keadaan. Dalam operasi penangkapan, setiap unit alat tangkap Pukat Ikan hanya boleh ditarik oleh 1 (satu) kapal penangkap. 32 Gambar 12 Desain alat Pukat Ikan (KKP, 2006) (2) Pukat Udang Pukat udang adalah jenis jaring berbentuk kantong dengan sasaran tangkapannya udang. Jaring dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board) dan Turtle Exchuder Device/TED (Alat pemisah/untuk meloloskan penyu), tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya menyapu dasar perairan dan hanya boleh ditarik oleh satu kapal motor. Dasar Hukum Pengoperasian pukat udang yaitu : (1) Pasal 1 Keputusan Presiden RI No. 85 tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. Dengan tidak mengurangi ketentuan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 dan Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982, pukat udang dapat digunakan di perairan Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan Laut Arafura dengan batas koordinat 130o BT ke Timur, kecuali di perairan pantai dari masing-masing pulau tersebut yang dibatasi oleh garis isobat 10 (sepuluh) meter; (2) Pasal 31 ayat (1) huruf g. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI; (3) Pasal 16 ayat (1) huruf d. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. 33 Pukat udang dapat dipergunakan menangkap udang di perairan kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan laut Arafura dengan batas koordinat 130° BT ke timur kecuali di perairan pantai dari masing-masing pulau tersebut yang dibatasi oleh garis isobat 10 (sepuluh) meter. Hasil tangkapan utama Pukat Udang adalah jenis-jenis udang seperti udang putih (Penaeus indicus, Penaeus merguiensis), udang krosok (Metapenolopsis sp) udang bago (Penaeus monodon) dan jenis ikan sampingan berupa ikan-ikan demersal antara lain Petek (Leiognatus sp), Kuniran (Upeneaus sp). Metode pengoperasian Pukat Udang yaitu dengan cara ditarik menelusuri dasar perairan menggunakan kapal bermotor. Lama penarikan pukat antara 1 – 2 jam tergantung keadaan daerah penangkapan. Daerah penangkapan yang dipilih yang permukannya rata, berdasar lumpur atau lumpur pasir. Operasi penangkapannya dapat dilakukan pada siang maupun malam hari tergantung keadaan. Dalam operasi penangkapan, setiap unit alat tangkap Pukat Udang hanya boleh ditarik oleh 1 (satu) kapal penangkap. Desain gambar pukat udang dan TED yang digunakan diperlihatkan masing-masing pada Gambar 13 dan Gambar 14. Gambar 13 Desain alat Pukat Udang (KKP, 2006) 34 Gambar 14 TED pada alat Pukat Udang (KKP, 2006) (3) Jaring Insang Jaring insang atau Gill net adalah alat penangkap ikan berupa lembaran jaring berbentuk empat persegi panjang, pada bagian atasnya dilengkapi tali ris dan pelampung sedangkan bagian bawah dilengkapi dengan tali ris dan pemberat (tapi ada juga yang tanpa ris bawah, dan pemberatnya dapat juga berupa beberapa baris mata jaring yang terbuat dari saran/coplymers PVD; dioperasikan di lapisan permukaan, pertengahan atau dasar perairan arus laut. Dasar hukum pengoperasian jaring insang hanyut yaitu : (1) Pasal 31 ayat (1) huruf e. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (2) Pasal 16 ayat (1) huruf e. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Prinsip pengoperasian gill net adalah dengan cara dibentangkan melintang arus selama beberapa jam. Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini dapat dihanyutkan (drift gill net), dilabuh (set gill net) dan dilingkarkan (encircling gill net). Besarnya ukuran mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Ikan tertangkap pada jaring secara terjerat 35 (gilled) pada bagian belakang lubang penutup insang (operculum), dan terbelit atau terpuntal (entangled). Daerah operasi jaring insang menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Hasil tangkapan Gill net permukaan berupa jenis-jenis ikan pelagis, untuk gill net dasar hasil tangkapannya berupa jenis-jenis ikan demersal. Gambar 15 memperllihatkan gambar desain alat tangkap jaring insang. Gambar 15 Desain alat Jaring Insang, (KKP, 2006) (4) Rawai Dasar Ada beberapa jenis rawai dasar, salah satu diantaranya adalah rawai hiu botol. Rawai ini mempunyai mata pancing yang banyak yang digantungkan pada suatu tali yang panjang (main line) melalui tali penghubung yang disebut tali cabang (branch line). Agar mata pancing dapat berada disekitar dasar perairan secara menetap maka alat ini dilengkapi dengan pemberat dan pelampung yang maksudnya agar tali utama yang menjadi gantungan pancing (tali cabang) menetap pada posisi dan kedalaman tertentu. Karena tali cabang relatif pendek yaitu (sekitar 5-10 m) maka untuk menjamin mata pancing berada di sekitar dasar, tali pelampung relatif panjang sesuai dengan kedalaman perairan tempat operasi. Dasar hukum pengoperasian pancing prawai dasar yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b. dan ayat (3) PP No.54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 36 Metode penangkapan rawai dasar yaitu dengan cara dipasang relatif menetap di dasar perairan dengan menggunakan jangkar, untuk menghindari tersangkutnya dengan benda atau karang yang ada di dasar perairan. Ciri khas alat tangkap rawai dasar ini adalah menggunakan pemberat dan tali cabangnya relatif lebih pendek. Pancing Rawai dasar dapat dioperasikan pada semua wilayah perairan territorial Indonesia, dan wilayahnya operasinya pada Jalur I, II, dan III. Hasil tangkapan utama dari Pancing rawai dasar adalah jenis-jenis ikan yang hidup didasar perairan. Sebagai hasil sampingan kadang-kadang tertangkap juga ikan pelagis kecil terutama pada saat tertentu dimana ikan pelagis sedang melakukan migrasi. Pada Gambar 16 diperlihatkan gambar desain pancing rawai dasar. Gambar 16 Desain Pancing Prawai Dasar (KKP, 2006) (5) Pancing Cumi Pancing cumi (squid jigger) adalah pancing ulur yang terdiri dari banyak mata pancing yang disusun menyerupai jangkar. Pada beberapa sentimeter diatas mata pancing tersebut diikatkan umpan. Pancing ini khusus untuk menangkap cumi-cumi. Cumi-cumi dapat tertangkap karena terkait sewaktu pancing disentak ke atas. Dalam pengoperasiannya biasanya menggunakan perahu/kapal yang dilengkapi dengan peralatan lampu sebagai penghimpun bawanan ikan. 37 Dasar hukum pengoperasian pancing cumi adalah : (1) Pasal 31 ayat (1) huruf f. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (2) Pasal 16 ayat (1) huruf f. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Metode penggunaan Squid Jigger dengan cara menurunkan pancing secara tegak lurus kedalam air kemudian menggerak-gerakkan ke atas dan ke bawah dan sekali-sekali disentak ke atas. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dengan alat bantu lampu. Squid Jigger diijinkan pengoperasiannya di seluruh laut wilayah dan ZEEI. Hasil tangkapan squid jigger adalah cumi-cumi atau juga kembung, tondipang, selar, kuwe, malalugis dan lain-lain. Gambar 17 memperlihatkan gambar desain alat pancing cumi. Gambar 17 Desain alat Pancing Cumi (KKP, 2006) Ditinjau dari aspek pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, wilayah perairan Arafura merupakan wilayah yang rawan kegiatan IUU fishing baik dari dalam maupun luar negeri yang dipicu oleh nilai ekonomi sumberdaya 38 yang tinggi serta dari lemahnya pengawasan. Menurut Nikijuluw (2005) dalam Wisudo (2011), ditaksir sekitar 1 juta ton setiap tahunnya ikan dicuri armada perikanan asing atau sekitar Rp 2 milyar dolar AS yang hilang akibat kegiatan tersebut. Jauh lebih besar lagi kerugian negara bila diperhitungkan tenaga kerja yang tidak terserap, industri pengolahan ikan yang macet karena tidak ada bahan baku, serta deplesai sumberdaya ikan. Menurut Nurani et. al. (2006), IUU fishing (khususnya di Utara Papua) banyak dilakukan oleh kapal asing dari negara Filipina, Taiwan, RC, Korea dan lain-lain. Beberapa faktor penting terkait keberadaan IUU fishing di perairan ZEE Indonesia antara lain : (1) terjadinya overfishing di negara-negara tetangga; (2) lokasi perairan berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara tetangga; (3) armada asing menggunakan teknologi canggih yang belum dimiliki armada perikanan Indonesia; (4) masih lemahnya kekuatan armada lokal untuk mengeksploitasi sumberdaya; dan (5) lemahnya upaya pengawasan. Pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa perairan Arafura merupakan salah satu zona rawan pelanggaran kegiatan penangkapan ikan. Gambar 18 Peta zona kerawanan pelanggaran sumberdaya kelautan dan perikanan 39 Untuk memberantas IUU fishing, sejak tahun 2003 KKP telah menggiatkan pengawasan melalui patroli sendiri maupun operasi gabungan dengan TNI-AL, TNI-AU dan Kepolisian. Pada tahun 2003 telah dibangun pangkalan kapal pengawas Kapal HIU 005 milik KKP di Merauke. Tahun 2003 operasi pengawasan KKP telah menindak 4 kapal ikan Indonesia dan 2 kapal ikan asing pelaku IUU fishing. Operasi gabungan pada tahun 2003 dengan TNI-AL telah menangkap10 kapal pelaku IUU fishing yang diadhoc ke Lanal Tual dan Merauke. Pada tahun yang sama, operasi dengan TNI-AU di Arafura telah mendeteksi 241 kapal ikan berukuran > 50 meter tanpa bendera, tanpa nama, dan tanpa kode yang diduga merupakan kapal trawl ganda (pair trawl). IUU fishing oleh kapal-kapal perikanan umumnya berupa : kapal tidak dilengkapi izin penangkapan, satu kapal untuk lebih dari satu izin penangkapan, dokumen izin penangkapan palsu, transhipment, pelanggaran ketetuan dalam perizinan seperti alat tangkap (jenis dan ukuran), daerah operasi (fishing ground), dan ABK. Pada Tabel 8 diperlihatkan kapal perikanan pelaku IUU fishing yang diproses di Maluku pada tahun 2005. Tabel 8 Kapal pelaku IUU fishing di Maluku No 1 2 3 Nama Kapal Snukk-9 Bintuni Jaya 28 Harapan Tunas Jaya 4 Bali Jaya 5 6 7 8 9 10 11 12 Mitra 829 Fu Yuan Yu 163 Fu Yuan Yu 164 Kompak 29 Kompak 30 Fu Yuan Yu F 66 Insiko – 1604 Sheng Yih – No. 808 13 Bahari Timur – 121 14 Mutiara Jaya - 16 Sumber : Jurnal Barracuda (2005) Pelanggaran Izin kadaluarsa Tanpa dokumen • Komposisi ABK • Keimigrasian (Dahsuskim) • Komposisi ABK • Keimigrasian (Dahsuskim) Transhipment Dokumen palsu Dokumen palsu Pair trawl Pair trawl Transhimpent bukan dalam group Komposisi ABK • Transhipment di tengah laut • Membawa jaring lain (gill net) • Transhipment di tengah laut • Komposisi ABK tidak sesuai • Mesh size jaring tidak sesuai • Spesifikasi jaring tidak sesuai • Spesifikasi mesin utama tudak sesuai 40 2.6 Perikanan Berkelanjutan Definisi tentang perikanan berkelanjutan yang umum digunakan adalah berdasarkan dokumen Burtland, Our Common Future, yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Keberlanjutan membutuhkan pemahaman yang luas (wide recognition) dalam sebuah bentuk integrasi yang mencakup aspek ekologi, sosial, ekonomi dan institusi (Charles, 2001). Wacana keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipelopori sejak lama oleh para ilmuwan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan manusia dalam melakukan kegiatan perikanan tersebut. Kemudian pada tahun 1950-an, dominasi paradigma konservasi ini mendapat tantangan dari paradigma lain yang disebut sebagai paradigma rasionalitas (rationalization paradigm). Paradigma ini memfokuskan pada keberlanjutan perikanan yang rasional secara ekonomi (economically rational or efficient fishery) dan mendasarkan argumentasinya pada konsep pencapaian keuntungan maksimal dari sumberdaya bagi pemiliknya. Hall (1998) menyatakan bahwa asumsi keberlanjutan paling tidak terletak pada tiga aksioma dasar : 1. Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif dalam jangka panjang. 2. Menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic well-being. 3. Mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan. Konsep ini dirasakan masih sangat normatif sehingga aspek operasional dari konsep keberlanjutan ini pun banyak mengalami kendala. Perman et al.,(1996) mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian : 41 1. Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption). 2. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang. 3. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining). 4. Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam. 5. Keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi. Charles (2001) seperti yang dikutip oleh Kusumastanto menambahkan wacana baru tentang perlunya paradigma sosial dan komunitas (community paradigm). Dalam paradigma baru ini, keberlanjutan perikanan dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan”. Artinya, keberlanjutan perikanan diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional fisheries yang terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka jangka panjang (long-term resilience) menjadi variabel yang penting dalam paradigma ini. Perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi semata (as rents) tapi lebih dari itu untuk keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable community) yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi (institutional sustainability) yang mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi dan komunitas perikanan (Gambar 19). Wisudo (2011) menekankan pentingnya pembangunan perikanan tangkap nasional yang berkelanjutan atau bertanggung jawab sesuai amanat nasional dan internasional melalui suatu terobosan yaitu dengan melakukan ‘reinventing’ 42 (penemuan kembali) pembangunannya. Pembangunan perikanan tangkap nasional ke depan harus dilakukan dengan mengintegrasi dan mensinergikan kebutuhan-kebutuhan dari semua aspek yang terlibat dalam sistem perikanan tangkap secara optimum sesuai daya dukung (carrying capacity) serta sekaligus menentukan indikator keberlanjutan yang tepat sebagai penentu keberhasilannya. ecological sustainability Institutional sustainability economic sustainability community sustainability Gambar 19 Segitiga keberlanjutan sistem perikanan (Charles, 2001) 2.7 Teknik RAPFISH Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat dipahami, sampai sekarang masih dihadapi kesulitan dalam menganalisis atau mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri, khususnya ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen (secara holistik), baik aspek ekologi, sosial, ekonomi, maupun etik. Sejauh ini, untuk mengevaluasi keberlanjutan dalam eksploitasi perikanan lebih difokuskan pada penentuan status stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi atau, pada beberapa kasus, referensi ekologi, seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass atau struktur umur (Smith, 1993). Menurut Fauzi dan Anna (200), salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk evaluasi status keberlanjutan dari perikanan tersebut adalah Rapfish, yaitu suatu teknik multi-diciplinary rapid appraisal terbaru untuk 43 mengevaluasi comparative sustainability dari perikanan berdasarkan sejumlah besar atribut yang mudah diskoring. Dalam Rapfish, perikanan dapat saja didefinisikan sebagai suatu entitas dalam lingkup luas, seperti misalnya perikanan di WPP, atau dalam lingkup sempit, misalnya dalam satu jurisdiksi, target spesies, tipe alat tangkap, atau kapal. Sejumlah atribut perikanan dapat dibandingkan, atau bahkan trajektori waktu dari individual perikanan dapat diplot. Atribut dari setiap dimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan, serta dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh. Ordinasi dari set atribut digambarkan menggunakan multi-dimensional scaling (MDS). Rapfish akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumber daya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995). Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) adalah teknik terbaru yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MultiDimensional Scaling (MDS) yaitu teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam Rapfish menyangkut aspek keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan sustainability, sebagaimana diisyaratkan dalam FAO-Code of Conduct. Prosedur Rapfish menurut Alder et. al. (2010) mengikuti struktur pada Gambar 20. Secara umum, analisis Rapfish dimulai dengan me-review atribut dan mendefinisikan perikanan yang akan dianalisis (misalnya vessel-base, area-base, atau berdasarkan periode waktu), kemudian dilanjutkan dengan skoring, yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish. Setelah itu dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif dari perikanan terhadap ordinasi good dan bad dengan skala 0 – 100. Skala penilaian kriteria keberlanjutan yang digunakan 44 menurut Kavanagh (2001) yaitu : 0 – 25 (buruk), 26 – 50 (kurang), 51 – 75 (cukup), 76 – 100 (baik). Gambar 20 Elemen proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan (Alder, et.al., 2000) Selanjutnya, analisis Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk menentukan aspek ketidak-pastian dan anomali dari atribut yang dianalisis. Pemilihan MDS dalam analisis Rapfish dilakukan mengingat metode multivariate analysis yang lain, seperti factor analysis dan Multi-Attribute Utility Theory (MAUT), terbukti tidak melahirkan hasil yang stabil (Pitcher and Preikshot, 2001). Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin dari titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Di dalam penelitian, prosedur analisis Rapfish dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Analisis terhadap data perikanan melalui data statistik, studi literatur, dan pengamatan di lapangan. 2. Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur dengan MS Excell. 45 3. Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma. 4. Melakukan "rotasi" untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad dan good dengan Excell dan Visual Basic. 5. Melakukan sensitivity analysis (leverage analysis) dan Monte Carlo analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian. 2.8 Perizinan dan Industri Perikanan Tangkap Terpadu Perizinan pada hakekatnya adalah alat pengendalian (input control) pemanfaatan sumberdaya ikan yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan. Tujuan-tujuan pengelolaan tersebut bersifat kompleks antara lain mencakup : kelestarian sumberdaya ikan, kesejahteraan nelayan, penerimaan negara, dan lain-lain. Pemerintah Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UU No. 45 Tahun 2010 tentang Perikanan serta Permen Kelautan dan Perikanan (KP) No. 39 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, membagi otoritas atau kewenangan pemberian perizinan berdasarkan ukuran GT kapal perikanan yaitu : kewenangan Pusat untuk kapal berukuran lebih atau sama dengan 30 GT, dan kewenangan Daerah untuk kapal berukuran kurang dari 30 GT. Selain itu, kewenangan Pusat berlaku pula untuk perizinan kapal dengan menggunakan unsur asing, baik modal maupun tenaga kerja yang digunakan. Secara umum dikenal 2 jenis izin perikanan yaitu : izin usaha perikanan dan izin penangkapan/ pengangkutan ikan. Surat izin usaha perikanan (SIUP) diberikan kepada badan usaha atau perseorangan untuk berusaha di bidang penangkapan ikan, sedangkan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) diberikan kepada masing-masing kapal yang alokasinya telah tercantum dalam SIUP untuk melaksanakan operasi penangkapan/pengangkutan ikan. Sejak dikeluarkannya Permen 05 Tahun 2008 yang kini direvisi menjadi Permen KP No. 12 Tahun 2009 dan terakhir Permen KP No. 39 Tahun 2011 maka usaha perikanan tangkap harus dilaksanakan secara terpadu. Usaha perikanan tangkap terpadu didefinisikan sebagai usaha perikanan yang minimal terdiri dari 2 (dua) jenis kegiatan yakni penangkapan dan pengolahan ikan. Usaha perikanan tangkap terpadu ini dapat juga meliputi pemasaran, jasa dan lain-lain. Dengan 46 demikian, setiap badan usaha atau perorangan yang melakukan usaha penangkapan ikan wajib pula melakukan pengolahan ikan sehingga dapat memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, serta peningkatan pendapatan/ kesejahteraan masyarakat. Usaha perikanan tangkap terpadu memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai yang disuplai oleh industri pendukung atau industri terkait di hulu maupun hilir. 47 3 METODE UMUM PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2010 yang meliputi tahap-tahap : persiapan, pengumpulan data primer/sekunder, dan pengolahan/analisa data. Pengumpulan data primer dilakukan di di sentra-sentra utama usaha perikanan yang berbasis di Laut Arafura seperti Ambon, Tual, Kaimana, dan Merauke. Secara geografis WPP Laut Arafura berada di wilayah perairan provinsi Papua Tengah, Papua Timur dan sebagian kecil Maluku (Gambar 21). 132o 136o 140o 0o 4o 8o Gambar 21 Peta pulau Papua dan sebagian Maluku (WPP Arafura) 48 3.2 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian adalah sebagai berikut : 1. Review terhadap dimensi dan komponen keberlanjutan perikanan melalui studi literatur dan analisis. 2. Mengevaluasi status keberlanjutan perikanan di lokasi penelitian. 3. Membandingkan keberlanjutan berdasarkan jenis alat tangkap sebagai dasar pengembangan industri perikanan tangkap terpadu. 4. Melakukan optimasi sistem pengelolaan yang berkelanjutan terhadap industri perikanan tangkap terpadu di lokasi penelitian. 5. Merumuskan sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui mekanisme pengalokasian izin perikanan. Lingkup sasaran penelitian adalah usaha perikanan tangkap skala industri di WPP Laut Arafura yaitu dengan batasan definisi usaha perikanan tangkap yang menggunakan kapal berukuran diatas 30 GT atau mendapatkan izin perikanan dari Pemerintah. Adapun tahapan kegiatan penelitian meliputi pembuatan dan penyempurnaan proposal, pembuatan kuesioner, organisasi pembiayaan, pengumpulan data, pengolahan data, penulisan draft laporan, seminar, dan penulisan laporan akhir. Selain pengumpulan data di lapangan, seluruh kegiatan dilakukan di Bogor. 3.3 Kerangka Metodologi Kerangka metodologi penelitian sebagaimana diuraikan pada Gambar 22 yang meliputi analisis keberlanjutan perikanan secara multidimensional serta analisis optimasi usaha atau industri penangkapan berbasis alat tangkap. Selanjutnya diidentifikasi sistem pengelolaan industri perikanan tangkap yang berkelanjutan. 49 Mulai Tujuan Penelitian Deskripsi Umum Kondisi Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Aspek ekologi (dan stok) Aspek ekonomi Aspek sosial Aspek teknologi Pengolahan dan Analisis Data DESKRIPTIF Skoring atribut RAPFISH Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Alat Tangkap Berkelanjutan Atribut-atibut Sensitif OPTIMASI Alokasi optimal alat tangkap prioritas Pengalokasian Unit Penangkapan Ikan Implementasi Sistem Pengelolaan Industri Perikanan Tangkap Terpadu Selesai Gambar 22 Kerangka metodologi penelitian Aspek etika 50 3.4 Metodologi 3.4.1 Analisis RAPFISH Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam Rapfish menyangkut aspek keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Dimensi dan atribut yang digunakan mengacu kepada Pitcher dan Preikshot (2001), dalam penelitian ini sedikit dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian dan kondisi lapangan (Tabel 9). Prosedur analisis Rapfish dimulai dengan me-review atribut dan mendefinisikan/mengelompokkan perikanan yang akan dianalisis, penelitian ini mendefinisikan perikanan berdasarkan alat penangkap ikan di WPP Laut Arafura. Hal ini dilakukan dengan menganalisis alat tangkap yang dominan berdasarkan data sekunder. Tahap selanjutnya adalah skoring terhadap atribut yang diperoleh, yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan Rapfish. Setelah itu dilakukan MDS untuk menentukan posisi relatif dari perikanan terhadap ordinasi good dan bad. Selanjutnya, analisis Monte Carlo dan Leverage dilakukan untuk menentukan aspek ketidakpastian dan anomali dari atribut yang dianalisis. Proses ini dilakukan dengan bantuan Aplikasi MS Excel. Tabel 9 Dimensi dan atribut dalam analisis RAPFISH Dimensi Ekologi Ekonomi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Atribut Status eksploitasi Keragaman rekrutmen Jarak migrasi Tingkatan kolaps Ukuran ikan tangkapan Tangkapan pra-maturity Discarded by catch Spesies tangkapan Kontribusi pada PNBP Gaji atau upah rata-rata 11 12 13 Pembatasan masuk Sifat pemasaran Pendapatan lain 14 Ketenagakerjaan Kriteria Under exploited s/d kolaps Nilai koefisien keragaman Jumlah yurisdiksi terkait daur hidup Pengurangan lokasi area tangkap Perubahan selama 5 tahun terakhir Proporsi terhadap hasil tangkapan Proporsi terhadap target hasil tangkapan Jumlah spesies termasuk by-catch Rendah s/d tinggi Perbandingan gaji nelayan terhadap lain pekerja Open access s/d banyak Kuota s/d ’share’ Penangkapan dilakukan sambilan s/d fulltime Proporsi aktivitas ini terhadap lain perikanan 51 Tabel 9 (lanjutan) Dimensi Sosial Teknologi Etika No 15 Kepemilikan Atribut Kriteria Profit perikanan terutama untuk lokal s/d asing Lokal s/d asing Tidak ada s/d penuh Rendah s/d tinggi 16 17 18 19 Pasar utama Subsidi Konsumsi BBM Sosialisasi penangkapan 20 Pendatang baru Proporsi selama 10 tahun terakhir 21 Sektor penangkapan Proporsi RTP nelayan dalam komunitas 22 Pengetahuan lingkungan Tidak tahu s/d banyak mengetahui 23 Tingkat pendidikan Terhadap rata-rata penduduk 24 Status konflik Keberadaan konflik dengan perikanan/sektor lain 25 Keterlibatan tenaga kerja lokal Rendah s/d tinggi 26 Pengaruh nelayan Terhadap regulasi aktual 27 Pendapatan penangkapan Proporsi terhadap total pendapatan keluarga 28 Partisipasi keluarga Adanya anggota keluarga menjual atau memproses hasil tangkapan 29 Lama trip Rata-rata hari setiap trip 30 Penyebarannya 31 Tempat pendaratan (pelabuhan perikanan) Pengolahan pra-jual 32 Penanganan di kapal Teknologi yang digunakan 33 Selektivitas alat tangkap Tingkat selektivitas dan upaya peningkatannya 34 Ada tidaknya FADs 35 Penggunaan FADs (fish attracting devices) Ukuran kapal 36 Perubahan daya tangkap Perubahan selama 5 tahun terakhir 37 Efek samping alat tangkap Tidak ada efek s/d efek merusak 38 Keterpautan historis dan/atau geografis Kedekatan dan keterkaitan 39 Pilihan perikanan Keberadaan pilihan kegiatan perikanan 40 Kesetaraan berkegiatan Ketepatan/keadilan pengelolaan Pertimbangan basis tradisi atau historis 41 42 Mitigasi-Destruksi habitat Tingkat mitigasi dan destruksi 43 Mitigasi-deplesi ekosistem Tingkat mitigasi dan deplesi 44 Penangkapan yang melanggar aturan Keberadaan pelaggaran kegiatan perikanan 45 Buangan dan limbah Keberadan buangan/limbah Target sosialisasi Keberadaan pengolahan pra-jual Rata-rata panjang kapal Pola pengelolaan dengan keterlibatan masyarakat Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi Menurut Fauzi dan Anna (2005), teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut : 52 d = √ ( │x 1 – x 2 │2 + │y1 – y2 │2 + │z1 – z2│2 + …. ) …. (1) Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian ( d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal ( δ ij ) sebagaimana persamaan berikut : d ij = α + β δ ij + ε ………………………………….... (2) Selanjutnya menurut Alder et. al. (2000) dalam Fauzi dan Anna (2005) untuk meregresikan persamaan (2) digunakan algrotima ALSCAL. Metode ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat (squared distance = d ijk ) terhadap data kuadrat (titik asal = o ijk ), yang dalam tiga dimensi (i,j,k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut : .……..... (3) dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis : ………..….… (4) Untuk mengukur kondisi fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Godness of fit dalam MDS tidak lain adalah mengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 ( S < 0,25). 53 3.4.2 Analisis optimasi perikanan tangkap terpadu Analisis optimasi perikanan tangkap terpadu dilakukan dengan menggunakan linear goal programming (LGP) yaitu teknis yang digunakan untuk menganalisis kebutuhan optimum dari suatu kegiatan dengan tujuan ganda. Menurut Stevenson (1989), goal programming meupakan variasi dari model linear programming yang digunakan untuk menangani masalah yang mempunyai banyak sasaran. Model linear goal programming merupakan perluasan dari model linear programming yang ditambah dengan sepasang variabel deviasional yang akan muncul pada fungsi tujuan dan fungsi kendala tujuan (goal constraint). Fungsi variabel deviasional adalah menampung penyimpangan atau deviasi yang akan terjadi pada nilai ruas kiri suatu persamaan kendala terhadap nilai ruas kanannya. Dalam penelitian ini, model linear goal programming digunakan untuk menentukan alokasi unit penangkapan untuk komoditi atau jenis sumberdaya ikan. Faktor atau variabel yang diperhatikan antara lain adalah ketersediaan sumberdaya ikan. Mengacu kepada Haluan et al (2004), Siswanto (1990), dan Muslich (1993), model LGP untuk penentuan alokasi optimum dari berbagai alat tangkap yang digunakan pada suatu lokasi adalah : Fungsi tujuan : Z = ∑ ( DBi + DAi ) ............................................................... (5) Fungsi pembatas : DB 1 – DA1 + a 11 x 1 + a 12 x 2 + ...... + a 1n x n = b 1 ............................. (6) DB 2 – DA2 + a 21 x 1 + a 22 x 2 + ...... + a 2n x n = b 2 ............................. (7) DB m – DAm + a m1 x 1 + a m2 x 2 + ...... + a mn x n = b m ...................... (8) dimana : Z = total deviasi yang akan diminumumkan. Total deviasi merupakan penjumlahan dari deviasi fungsi pembatas ke-1 sampai ke-m. 54 DB i = deviasi bawah pembatas ke-i DAi = deviasi atas pembatas ke-i b i = kapasitas/ketersediaan pembatas ke-i a ij = parameter fungsi pembatas ke-i pada variabel keputusan ke-j Pembatas ke-i = potensi sumberdaya ikan, dan lain-lain x j = variabel putusan ke-j (jumlah dan alat tangkap) x j , DAi , DB i > 0, untuk i = 1, 2, ...., m; dan j = 1, 2, ...., n 3.4.3 Pendekatan sistemik industri perikanan tangkap terpadu Pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan persoalan yang terdiri dari : (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi masalah (3) formulasi permasalahan, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial, dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Langkah ke-1 sampai ke-6 dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal dengan analisis sistem (Eriyatno, 1998). Gambar 23 memperlihatkan tahapan dari analisis sistem sebagaimana disebutkan. Analisis sistem antara lain mencakup : 1) analisis kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu, misalnya : Pemerintah (Pusat dan Daerah), pelaku usaha (nelayan, pemilik kapal, pengolah, pemasar ikan), masyarakat dan lain-lain. Analisis kebutuhan diperoleh melalui wawancara langsung responden yang mewakili masing-masing aktor. 2) identifikasi dan formulasi permasalahan yang mencakup pengelolaan perikanan optimal berkelanjutan. Identifikasi dilakukan berdasarkan wawancara langsung dan data sekunder. 3) pembentukan alternatif sistem. Sistem direpresentasikan melalui diagram input-output dan diagram umpan balik yang menggambarkan seluruh komponen sistem pengelolaan perikanan yang diteliti termasuk hubungan antar elemen didalamnya serta batasan-batasan yang digunakan. 55 Kebutuhan Dasar Analsis Kebutuhan Tidak absah ? lengkap ? Ya Pernyataan kebutuhan Formulasi permasalahan Tidak cukup ? Ya Identifikasi Sistem Diagram Lingkar Diagram Kotak Gelap Tidak Lengkap ? Ya INPUT-OUTPUT parameter rancang bangun Rekayasa Awal Model Tidak OK ? Ya Diagram Alir Deskriptif Gambar 23 Tahap dalam pendekatan/analisis sistem Selanjutnya menurut Eriyatno (1998) dalam transformasi input menjadi output sistem, elemen atau entity dari suastu sistem perlu dibedakan dari subsistem yang membangunnya. Subsistem dibangun oleh bagian-bagian dari sistem yang masih berhubungan satu dengan yang lainnya pada tingkat resolusi tertinggi, sedangkan elemen dari suatu sistem adalah bagian sistem yang terpisah pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing subsistem saling berinteaksi 56 untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antar beberapa subsistem terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input sistem lain. Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dari suatu sistem dapat disajikan dalam bentuk matematik, operasi logic, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Gambar 24 mengilustrasikan diagram input-output atau kotak gelap. Input lingkungan Input terkontrol Output dikehendaki SISTEM Input tidak terkontrol Output tidak dikehendaki MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 24 Diagram input-output sistem 3.5 Data dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam analisis status keberlanjutan mencakup atribut (indikator-indikator) dari beberapa dimensi keberlanjutan mengacu kepada Pitcher dan Preikshot (2001) yang telah dimodifikasi. Indikator keberlanjutan perikanan tersebut berjumlah 45 dari 5 dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika. Jenis data yang diperlukan antara lain data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data untuk RAPFISH antara lain melalui : studi literatur, survey/pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan responden menggunakan kuesioner, dan analisis data primer dan sekunder. 57 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keberlanjutan Perikanan Laut Arafura Secara Multidimensi 4.1.1 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi Menurut Fauzi dan Anna (2002), konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan secara ekologi (ecological sustainability) yakni memelihara keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta peningkatan kapasitas dan ekosistem menjadi perhatian utama. Secara ekologi, kegiatan perikanan dapat berkelanjutan apabila dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan pokok diantaranya adalah terjaminnya tingkat pertumbuhan, terjaganya daya dukung lingkungan perairan, dan tingkat pemanfaatan yang terkendali. Menurut King and Ilgorm (1989), pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan secara ekologi juga diartikan sebagai suatu upaya konservasi stok untuk menghindari penangkapan yang berlebihan. Penentuan atribut pada dimensi ekologi dilakukan dengan mengacu pada indikator yang digunakan dalam RAPFISH dan disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Keberlanjutan perikanan dalam dimensi ekologi pada pendekatan RAPFISH ini terdiri atas 9 atribut mengacu Pitcher and Preikshot (2001) yang dimodifikasi, antara lain: status eksploitasi, keragaman rekruitmen, perubahan trophic level, jarak migrasi, tingkatan kolaps, perubahan ukuran ikan tangkapan, tangkapan pra-maturity, discarded by catch, dan spesies tangkapan. Atribut dimensi ekologi diuraikan pada Tabel 10 sedangkan definsi dari masing-masing atribut pada dimensi ekologi diuraikan pada Tabel 11. 1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi ekologi (1) Status eksploitasi Berdasarkan data KKP (2011), status sumberdaya ikan di Arafura secara umum dalam keadaan overexploited. Data KKP tersebut menyebutkan status eksploitasi di Laut Arafura yaitu overexploited untuk ikan demersal, fully- 58 exploited untuk udang, dan moderate untuk ikan pelagis kecil (warna hijau). Jenis-jenis ikan demersal yang sudah overexploited yaitu : manyung, kurisi, kuniran, swanggi, beloso, gulamah, dan kakap merah. Tabel 10 Atribut dan kriteria skor pada dimensi ekologi No. Atribut 1. Status eksploitasi Skor Kriteria pemberian skor 0; 1; 2; 3 Skala : under- (0); fully- (1); heavy-(2); over-exploited (3); 2. Keragaman rekrutmen 0; 1; 2 Koefisien keragaman: < 40% (0); 40 - 100% (1); > 100% (2) 3. Perubahan trophic level 0; 1; 2 Penurunan trophic level dalam ekosistem: tidak (0); perlahan (1); cepat (2) 4. Jarak migrasi 0; 1; 2 Jumlah jurisdiksi yang terkait selama daurhidup: 1-2 (0); 3-4 (1); >4 (2) 5. Tingkatan kolaps 0; 1; 2 Pengurangan lokasi area tangkap: tidak (0); sedikit (1); banyak dan cepat (2) 6. Ukuran ikan tangkapan 0; 1; 2 Didaratkan berubah 5 tahun terakhir?: tidak berubah (0); ya gradual (1); ya cepat (2) 7. Tangkapan pra-maturity 0; 1; 2 Terhadap hasil tangkapan: tidak ada (0); beberapa (>30%) (1); > 60% (2) 8. Discarded by catch 0; 1; 2 Terhadap target hasil tangkapan: rendah 0-10% (0); sedang (10 - 40%) (1); > 40% (2) 9. Spesies tangkapan 0; 1; 2 Termasuk by-catch: 1 - 10 (0); 10 - 100 (1); >100 (2) Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi Tabel 11 Definisi atribut pada dimensi ekologi No. 1. Atribut Status eksploitasi 2. Keragaman rekruitmen 3. Perubahan trophic level 4. 5. 6. Jarak migrasi Tingkatan kolaps Ukuran ikan tangkapan 7. Tangkapan pre-maturity 8. Discarded by catch 9. Spesies tangkapan Definisi Perbandingan potensi dan produksi/tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan atau jumlah individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan penangkapan untuk pertama kali setiap tahun (misalnya akibat terjadinya perubahan musim) Perubahan jenis ikan sasaran dan atau perubahan ukuran (pada jenis ikan yang sama) dibandingkan dengan ukuran yang lazim ditangkap Jarak migrasi dari jenis ikan sasaran selama daur hidupnya Tingkatan berkurangnya lokasi penangkapan ikan Keragaman ukuran ikan yang ditangkap menurut operasi penangkapan dalam periode waktu tertentu Proporsi produksi jenis ikan target yang belum dewasa terhadap total total produksi Sejumlah ikan tangkapan yang tidak dimanfaatkan atau dibuang nelayan karena tidak memiliki nilai ekonomis penting atau pertimbangan lain Jumlah species tangkapan yang diperoleh dari operasi penangkapan ikan, termasuk jenis by catch Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) 59 Penggunaan pukat ikan di Laut Arafura dan perairan lain pada umumnya memberikan dampak eksploitasi yang tinggi pada sumberdaya ikan oleh karena alat ini sangat produktif dan bersifat aktif. Status eksploitasi ikan pelagis kecil sebagai target penangkapan pukat ikan terindikasi moderat, ikan demersal juga sering tertangkap alat ini dan kondisinya sudah overfished. Pukat ikan pada masa lalu dikenal sebagai pukat harimau (trawl) yang mampu mengeruk ikan pada kolom perairan maupun bagian dasar perairan. Produktivitas pukat ikan berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010 sangat tinggi yaitu mencapai 3,57 ton/GT/tahun. Berdasarkan hal tersebut maka status eksploitasi perikanan pukat ikan dapat diberikan skor 2. Penggunaan gillnet oseanik tidak terlalu memberikan dampak eksploitasi yang tinggi pada sumberdaya ikan karena alat ini bersifat selektif dan pasif. Produktivitas gillnet oseanik mencapai 0,85 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun 2010). Target spesies gillnet oseanik adalah ikan-ikan pelagis yang kondisinya masih moderate atau belum diketahui dengan pasti (uncertain). Status eksploitasi untuk perikanan gillnet oseanik layak diberikan skor 0. Untuk pukat udang, meskipun produktivitasnya hanya 0,4 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun 2010) tetapi status eksploitasi sumberdaya udang di Arafura sebagai target spesies sudah mengalami fully-exploited. Selain itu, sumberdaya udang juga sangat rentan oleh karena penyebarannya yang terbatas dan tidak melakukan migrasi atau ruaya. Status eksploitasi untuk perikanan pukat udang dapat diberikan skor 3. Pada perikanan pancing cumi, eksploitasi sumberdaya cumi-cumi dilakukan seiring datangnya musim yaitu pada Juni – Desember. Status sumberdaya cumi di WPP Arafura masih underexploited (BRKP-LIPI, 2001). Produktivitas pancing cumi hanya 0,26 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun 2010) dan alat ini tergolong sangat selektif. Status eksploitasi untuk perikanan pancing cumi dapat diberi skor 0. Pancing rawai dasar termasuk alat penangkap ikan yang selektif dan bersifat pasif. Produktivitas pancing rawai dasar mencapai 1,2 ton/GT/tahun. Meskipun ikan demersal sebagai target spesies statusnya sudah overexploited tetapi kontribusi perikanan pancing rawai dasar terhadap kondisi ini 60 diperkirakan kecil oleh karena sifatnya yang selektif. Kontribusi perikanan terhadap tingkat eksploitasi ikan demersal lebih banyak disebabkan oleh penggunaan alat tangkap jenis pukat. Skor status eksploitasi untuk perikanan pancing rawai dasar diberikan nilai 1. (2) Keragaman rekrutmen Menurut Cadima (2003), rekrutmen ke fase eksploitasi adalah jumlah individu suatu stok ikan yang memasuki kawasan penangkapan untuk pertama kali setiap tahun. Rekrutmen ikan pada suatu kawasan perairan secara sederhana dapat ditandai dengan kehadiran kelompok ikan muda sebagai sasaran tangkapan. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara di lapangan, ikan-ikan yang tertangkap oleh pukat udang dan kadang-kadang oleh pukat ikan ditemui ikanikan muda jenis demersal, udang maupun pelagis, antara lain: peperek, beloso, udang, kurisi, kembung, layang dan kadang-kadang cumi-cumi. Dengan asumsi bahwa ikan target spesies berkorelasi dengan jenis alat penangkap ikan yang digunakan maka untuk semua jenis alat penangkap ikan dimana dijumpai target spesies berukuran kecil (recruiter) maka alat tersebut jelas memiliki nilai tingkat keragaman tertentu. Hasil tangkapan pukat udang cukup baik menggambarkan komposisi ikan secara umum untuk seluruh jenis alat penangkap ikan. Menurut Purbayanto (2008) bahwa hasil penelitian KM. Bawal Putih II yang menggunakan pukat udang pada periode 1995-1998 melaporkan bahwa produksi rata-rata antara udang dan ikan memiliki rasio 1:9 yang berarti setiap 1 kg udang yang tertangkap maka terdapat juga ikan yang tertangkap sebanyak 9 kg. Berdasarkan informasi ini, koefisien keragaman dari rekrutmen jenis-jenis ikan yang ditangkap oleh kelima alat tangkap di atas dapat ditentukan secara garis besar. Sesuai pilihan yang disediakan dalam atribut RAPFISH, untuk keragaman rekrutmen perikanan pukat udang dan pukat ikan tinggi diperkirakan masing-masing sekitar 60%. Sedangkan pada perikanan gillnet oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi diperkirakan cukup rendah yaitu masing-masing 20%. Perkiraan ini ditetapkan sebagai gambaran umum dan memerlukan klarifikasi melalui suatu kajian khusus 61 yang bertujuan mengukur recruitment variability secara spesifik. Dengan demikian keragaman rekrutmen untuk semua jenis alat penangkap ikan diperkirakan berkisar 20 sampai 60% sehingga berdasarkan ketentuan RAPFISH skornya adalah 1. (3) Jarak migrasi Sumberdaya ikan di perairan secara umum hidup pada bagian dasar perairan (jenis udang dan ikan demersal), dan pada bagian kolom perairan (jenis ikan pelagis dan cumi). Ikan-ikan tangkapan utama di perairan ini yaitu udang, kakap merah, kakap putih, kembung, kuwe, tenggiri, kuro/senangin, manyung, dan lain-lain adalah jenis ikan yang beruaya tidak terlalu jauh, apalagi jika dibandingkan ikan tuna sebagai Highly Migratory Species (HMS). Ikan-ikan yang tertangkap oleh pukat ikan umumnya tidak bermigrasi jauh sehingga sedikit keterkaitan dengan wilayah yurisdiksi lain selain pada fishing ground yang bersangkutan. Asumsi yang digunakan adalah satu yurisdiksi merupakan satu WPP sehingga bisa meliputi perairan nasional maupun ZEEI. Pukat ikan menangkap target ikan-ikan pelagis atau demersal dan juga udang sebagai by-catch. Ikan-ikan pelagis tergolong jenis ikan yang dapat beruaya tetapi masih dalam WPP Arafura saja yaitu di wilayah perairan Papua dan Maluku. Skor untuk jarak migrasi perikanan pukat ikan nilainya 0. Pukat udang adalah alat penangkap ikan yang memiliki target spesies udang sebagai spesies yang hidup menetap atau sedentary species (tidak melakukan ruaya). Analog dengan pukat ikan, bahwa pukat udang juga menangkap jenis-jenis ikan dan cumi sebagai spesies non-target. Skor untuk jarak migrasi perikanan pukat ikan juga bernilai 0. Ikan-ikan yang tertangkap dengan gillnet oseanik umumnya dari jenis pelagis besar dan kecil yang dapat bermigrasi secara terbatas di wilayah perairan Papua dan Maluku (satu WPP) sehingga skor jarak migrasinya juga 0. Pancing rawai dasar khusus menangkap ikan demersal yang tidak melakukan ruaya sehingga skor jarak ruayanya adalah 0. 62 Ikan cumi sebagai target spesies pancing cumi tidak melakukan ruaya jauh sehingga tidak ada yurisdiksi lain di perairan Arafura yang terkait. Skor jarak migrasi pancing cumi juga bernilai 0. (4) Tingkatan kolaps Tingkatan kolaps perairan berkaitan erat dengan kondisi sumberdaya ikan sebagai dampak pengoperasian jenis alat penangkap ikan. Pukat ikan dan pukat udang di Arafura merupakan alat yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap ekologi disamping dampak lainnya sehingga Pemerintah telah membatasi daerah operasi kedua jenis alat penangkapan ikan ini (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). Daerah operasi penangkapan pukat ikan khusus skala besar diprioritaskan di ZEEI. Untuk pukat udang dibatasi hanya pada koordinat tertentu saja. Skor tingkatan kolaps untuk pukat ikan dan pukat udang adalah 1. Pengoperasian gillnet oseanik dapat dianggap tidak berdampak nyata bagi kolaps-nya perikanan sehingga Pemerintah tidak membatasi daerah operasi alat ini di seluruh wilayah perairan. Pengaturan terhadap alat tangkap gillnet antara lain terbatas pada panjang jaring, tinggi atau kedalamanjaring, dan mesh-size (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Demikian pula untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar tidak ada pembatasan wilayah penangkapan atau ada pengurangan lokasi penangkapan karena alat ini sangat selektif (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Skor tingkatan kolaps untuk gillnet oseanik, pacing cumi dan pancing rawai dasar yaitu 0. (5) Ukuran ikan tangkapan Studi kasus eksperimental double-rig shrimp trawl telah dilakukan pada ikan gulamah yaitu tertangkap dengan ukuran 13 cm pada perairan yang tinggi eksploitasinya (Pulau Dolak), dibandingkan pada perairan yang lebih rendah eksploitasinya (Agats) yaitu ukurannya mencapai 19 cm (Purbayanto et al, 2006). Secara umum terjadi penurunan ukuran ikan hasil tangkapan di Laut Arafura (BRKP, 2007). Hal ini diperkuat dengan survey responden pukat ikan dan pukat udang di lapangan bahwa memang terjadi perubahan ukuran ikan secara gradual. Skor perubahan ukuran ikan untuk pukat ikan dan pukat udang dinilai 1. 63 Oleh karena sifatnya yang selektif, ikan-ikan yang tertangkap gillnet oseanik tidak menunjukkan perubahan ukuran tangkapan yang mengindikasikan overfished. Perubahan ukuran ikan mungkin bisa dijumpai pada daerah perairan dimana jenis alat penangkap ikan lainnya terutama pukat dioperasikan pada wilayah perairan yang sama. Skor perubahan ukuran ikan untuk gillnet oseanik dinilai 0. Berdasarkan studi lapangan pada perikanan pancing cumi, ukuran cumi tertangkap cenderung stabil karena sifatnya pancing cumi yang selektif, sehingga skor untuk pancing cumi dapat diberikan nilai 0. Pada perikanan pancing rawai dasar, secara gradual terdapat perubahan ukuran ikan target (demersal) walaupun sedikit, umumnya adalah akibat penggunaan jenis alat penangkap lainnya. Skor perubahan ukuran ikan untuk pancing rawai dasar dapat dinilai 1. (6) Tangkapan yang belum dewasa Penelaahan aspek-aspek biologi yang berkaitan dengan umur dan pertumbuhan untuk jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh kelima alat tangkap ini masih terbatas. Untuk itu, pemahaman tentang aspek biologi perikanan ini didasari atas estimasi proporsi tertangkapnya ikan yang belum dewasa terhadap total ikan yang tertangkap. Proporsi tangkapan ikan yang masih muda (pra-maturity) cukup besar pada penggunaan pukat ikan akibat dampak “sapuan” kantong jaring (cod-end). Hasil sampling di perairan Arafura didapatkan ikan juvenil seperti tembang, bulu ayam, dan julung-julung dalam kelimpahan yang tinggi (Purbayanto, et al, 2006). Hasil wawancara dengan pelaku usaha pukat ikan bahwa proporsi hasil tangkapan pre-maturity rata-rata hampir mencapai 30% dari total hasil tangkapan. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk pukat ikan dinilai 1. Pada perikanan pukat udang, meskipun terdapat aturan penggunaan meshsize minimal 30 mm dan pemakaian TED atau BED, ternyata proporsi tangkapan ikan yang masih muda (pra-maturity) adalah besar. Purbayanto, et al (2006) menemukan bahwa hasil sampling di Teluk Kaimana, Papua didapatkan juvenil 64 jenis udang dogol dan udang jerbung dalam kelimpahan yang tinggi. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk pukat udang adalah tinggi sehingga dinilai 2. Pada perikanan gillnet oseanik hampir tidak ada hasil tangkapan pramaturity karena alat ini bersifat selektif, demikian pula untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar. Skor tangkapan yang belum dewasa untuk ketiga jenis alat penangkap ikan tersebut dinilai 0. (7) Discarded dan by catch Pada perikanan pukat ikan, jumlah ikan tangkapan pukat ikan yang discard dan by-catch cukup banyak mengingat keragaman jenis dan ukuran ikan yang bisa ditangkap. Berdasarkan survey responden bahwa discarded-by catch pukat ikan secara umum mencapai 10 sampai 40% dari total hasil tangkapan. Skor discarded-by catch untuk perikanan pukat ikan dinilai 1. Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah yang tertinggi dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang tercatat 332.186 ton/tahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard (Purbayanto, et al., 2006). Skor discarded-by catch untuk pukat udang dinilai 2. Pada perikanan gillnet oseanik, pancing cumi dan pancing rawai dasar hampir tidak ada ikan yang terbuang atau discard karena ikan yang tertangkap umumnya terseleksi dan dalam kondisi kualitas yang baik. Skor discarded-by catch untuk ketiga jenis alat penangkap ikan ini dinilai 0. (8) Spesies tangkapan Banyak spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pukat udang. Hasil tangkapan utama pukat udang adalah udang jerbung dan udang windu, sedangkan hasil tangkapan sampingannya meliputi 26 spesies yang didominasi oleh lemuru, ikan juwi, bilis, kembung, dan beloso (Purbayanto, et al, 2006). Sementara itu, berdasarkan Kepmen KP No. 60 tahun 2010 terdapat 13 jenis spesies ikan dan lebih dari 2 jenis udang yang dapat tertangkap oleh pukat udang. Skor spesies tangkapan untuk pukat udang dinilai 1. Sama halnya pada pukat udang, spesies yang dapat tertangkap oleh pukat ikan sangat banyak meliputi jenis-jenis ikan pelagis, ikan demersal, dan udang. 65 Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, alat ini mampu menangkap jenisjenis ikan dan udang, dimana komposisi spesies hasil tangkapannya sangat beragam yaitu kurisi, kuwe,selar, gulamah, hiu, cucut, manyung, kakap, kembung, layur, biji nangka, pisang-pisang, pari, petek, golok-golok, cumi, gerot-gerot, kacangan, kerapu, bawal hitam, lidah, sebelah, sardine, bawal putih, senangin, beloso, udang putih, dan udang lainnya. Skor spesies tangkapan alat pukat ikan sama tingginya dengan pukat udang yaitu 1. Spesies yang dapat tertangkap oleh gillnet oseanik terbatas hanya meliputi jenis-jenis ikan tertentu saja. Berdasarkan Permen KP No. 60 tahun 2010, hasil tangkapan alat ini meliputi cakalang, tongkol, tuna, tenggiri, cucut, dan lainnya. Skor spesies tangkapan untuk perikanan gillnet oseanik dinilai 0. Spesies ikan yang dapat tertangkap oleh pencing cumi sangat sedikit. Selain cumi, dapat pula tertangkap ikan namun dalam jenis yang sangat sedikit. Pada Permen KP No. 60 tahun 2010 disebutkan bahwa jenis ikan yang tertangkap pancing cumi hanyalah cumi-cumi. Skor untuk spesies tangkapan pancing cumi yaitu 0. Pada perikanan pancing rawai dasar juga tidak banyak spesies yang dapat tertangkap melainkan hanya ikan-ikan demersal saja. Jenis-jenis ikan yang dapat tertangkap pancing rawai dasar antara lain : kakap, kuwe, selar, manyung, cucut, dan kerapu (Permen KP No. 60 tahun 2010). Skor spesies tangkapan pancing rawai dasar dinilai 0. 2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi ekologi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 1. Nilai ini yang menentukan posisi relatif dari setiap perikanan terhadap ordinasi yang berada pada kisaran baik (good) dengan nilai 100, dan buruk (bad) dengan nilai nol. Selanjutnya jika nilai dimensi ekologi pada Tabel 12 tersebut di plotkan dalam gambar ordinansi, maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana Gambar 25. 66 Tabel 12 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi No. Jenis Perikanan 1. 2. 3. 4. 5. Indeks Keberlanjutan Perikanan 52,51 99,97 38,50 99,97 85,19 75,23 Pukat Ikan Gillnet Oseanik Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata-rata indeks Status Keberlanjutan Kurang Baik Buruk Baik Baik Cukup RAPFISH Ordination 60 Up Other Distingishing Features 40 20 PUD PIK PAC Bad GIL 0 0 20 40 60 PRD 80 Good Real Fisheries Reference anchors 100 Anchors -20 -40 Down -60 Fisheries Status Gambar 25 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi (keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD = pancing rawai dasar) Analisis ordinansi dalam dimensi ekologi dengan jumlah iterasi sebanyak 3 (tiga) kali ini, menghasilkan nilai kuadrat korelasi (R2) dan nilai stress (S). Nilai stress mencerminkan ketepatan (goodness of fit) dalam multi-dimensional scaling 67 (MDS), yang menunjukan ukuran seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Nilai stress yang rendah menunjukkan goodness fit berkategori sempurna (perfect), sementara nilai stress yang tinggi menunjukkan kondisi sebaliknya. Dengan demikian, analisis dimensi ekologi dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup (fair), mengingat nilai stress yang diperoleh adalah sebesar 14,19% (< 25 %). Nilai koefisien determinasi (nilai kepercayaan) atau R2 untuk dimensi ekologi adalah lebih besar dari 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang dapat dijelaskan oleh teknik analisis ini terindikasi memadai. Sementara itu, analisis yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinansi tersebut dilakukan dengan simulasi Monte Carlo. Simulasi ini bertujuan untuk melihat tingkat gangguan (pertubation) terhadap nilai ordinansi sehingga dapat diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat dipercaya (Spence and Young 1978 yang dikutip dalam Purnomo et al., 2002), dan dilakukan dengan iterasi sebanyak 30 kali. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 26. Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa ukuran ikan tangkapan (perubahannya) merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di Laut Arafura. Hal ini dapat dilihat dari nilai root mean square (rms) change yang ditunjukan oleh Gambar 27, dimana atribut ukuran ikan tangkapan nilainya paling tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya (4,22%). Kondisi ukuran ikan tangkapan ini dapat menjadi indikasi utama kondisi ekologi Laut Arafura. 68 Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60 Other Distingishing Features 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -20 -40 -60 Fisheries Status Gambar 26 Kestabilan nilai ordinansi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi ekologi (Ket.: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi) Leverage of Attributes 1,11 spesies tangkapan 2,24 discard & by-catch 2,59 Attribute tangkapan pre-maturity 4,22 ukuran ikan tangkapan 2,21 tingkatan kolaps jarak migrasi 3,47 keragaman rekrutmen 2,10 1,85 status eksploitasi 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 27 Hasil analisis leverage pada dimensi ekologi 69 3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi Secara ekologi, perairan Laut Arafura dalam status baik dengan skor ratarata 75,23. Pancing cumi dan gillnet oseanik memberikan kontribusi keberlanjutan ekologi yang tinggi dengan skor disusul oleh pancing rawai dasar. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan sangat tinggi. Tingkat selektivitas ketiga alat penangkapan ikan tersebut yang menjamin bahwa ukuran ikan-ikan yang ditangkap dapat terjaga sehingga tidak terjadi perubahan (mengecil). Disamping itu, ketiga alat tersebut dalam pengoperasiannya bersifat pasif. Hal ini berbeda dengan pengoperasian pukat ikan dan pukat udang yang mengejar ikan target dengan cara dihela. Alat tangkap yang secara ekologi kurang berlanjut adalah pukat ikan dengan skor 58,51; sedangkan pukat udang secara eokologi statusnya buruk dengan skor 38,50. Sifat selektivitas alat serta cara pengoperasiannya juga mempengaruhi atribut ekologi lainnya secara positif seperti sedikitnya bycatch dan discard, tidak banyaknya jenis spesies ikan yang tertangkap, sedikitnya tangkapan pre-maturity (bahkan tidak ada), rendahnya dampak terhadap status eksploitasi, perubahan trophic level, serta kolaps-nya perikanan. Ukuran ikan tangkapan (perubahannya) merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan secara ekologi di Laut Arafura. Hal ini ditunjukkan oleh persentase nilai perubahan rms yang paling tinggi (4,22%) dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Ukuran ikan merupakan atribut yang paling efektif karena berkaitan langsung dengan ikan sebagai target usaha penangkapan. Berbeda dengan atribut lainnya yang memang berpengaruh tetapi hubungannya dengan usaha penangkapan relatif tidak secara langsung. Atribut yang paling kurang berpengaruh pada dimensi ekologi adalah jumlah spesies ikan tangkapan yaitu dengan nilai perubahan rms = 1,11%. Hal ini terjadi karena ketertangkapan jenis-jenis ikan yang sama oleh alat penangkap ikan yang berbeda. Sebagai contoh adalah jenis ikan yang ditangkap pukat ikan dapat tertangkap pula oleh pukat udang, gillnet oseanik, dan pancing rawai dasar. Hal ini sering dijumpai pada perikanan di wilayah tropis yang memiliki banyak jenis 70 spesies ikan (multispesies) dan penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang beragam (multigear). Untuk meningkatkan keberlanjutan ekologi perikanan di Laut Arafura maka perlu diprioritaskan alat penangkap ikan yang bersifat selektif untuk menjamin konsistensi ukuran ikan yang ditangkap yaitu yang memang pas ukurannya. Agar keberlanjutannya secara ekologi dapat meningkat, selektivitasnya pukat ikan dan pukat udang perlu lebih ditingkatkan. Pengaturan mesh-size dan daerah operasi pukat ikan dan pukat udang harus dibarengi dengan pengawasannya di lapangan. Disamping itu dapat diterapkan management measures berupa closed-season pada saat ikan belum dewasa atau belum waktunya ditangkap, atau closed-area pada daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan ikan (spawning ground) serta daerah ikan-ikan juvenil. 4.1.2 Keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi Penentuan atribut pada dimensi ekonomi dilakukan dengan mengunakan indikator yang digunakan oleh RAPFISH yang disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Penentuan keberlanjutan perikanan tangkap dalam dimensi ekonomi pada pendekatan RAPFISH ini didasarkan atas 10 atribut ekonomi berdasarkan Pitcher and Preiksot (2001) yang dimodifikasi sesuai kondisi lapangan (Tabel 13), sedangkan definisinya diuraikan pada Tabel 14. Atribut pada dimensi ekonomi antara lain : kontribusi pada PNBP, gaji/upah rata-rata, pembatasan masuk, sifat pemasaran, pendapatan lain, ketenagakerjaan, kepemilikan, pasar utama, subsidi, dan konsumsi BBM. Modifikasi yang dilakukan untuk atribut pada dimensi ini adalah: (1) penggunaan atribut kontribusi PNBP sebagai pengganti kontribusi PDB; dan (2) penambahan atribut konsumsi energi (BBM). Atribut kontribusi PNBP dianggap lebih relevan dan mencerminkan langsung peran ekonomi usaha perikanan skala besar (diatas 30 GT) melalui perizinan. Kontrribusi PNBP juga lebih mudah untuk dihitung dan didapatkan datanya. Sedangkan konsumsi BBM merupakan salah satu isu strategis di Laut Arafura karena ketergantungan kapal perikanan kepada ketersediaan BBM sementara suplainya semakin terbatas. 71 Tabel 13 Atribut dan skor kriteria pada dimensi ekonomi No. 1. 2. 3. 4. Atribut Kontribusi PNBP Gaji/upah rata-rata Pembatasan masuk Sifat pemasaran Skor 0; 1; 2 0; 1; 2 0; 1; 2 0; 1; 2 Kriteria pemberian skor Rendah (0); medium (l); tinggi (2) Nelayan terhadap lain pekerja: < (0); = (1); > (2) hampir tidak (0); beberapa (1); banyak (2) Kuota/”share"? tidak (0); beberapa (1); campuran atau lainnya (2) 5. Pendapatan lain 0; 1; 2; 3 Penangkapan dilakukan: sambilan (0); partime (l); musiman (2); full time (3) 6. Ketenagakerjaan 0; 1; 2 Aktivitas ini terhadap lain perikanan: <10% (0); 1020% (1); >20 (2) 7. Kepemilikan 0; 1; 2 Profit perikanan terutama untuk: lokal (0); campuran (1); asing (2) 8. Pasar utama 0; 1; 2 Lokal (0); nasional (1); internasional (2) 9. Subsidi 0; 1; 2 Tidak (0); beberapa (1); hampir seluruh (2) 10. Konsumsi BBM 0;1;2 Rendah (0); sedang (1); tinggi (2) Sumber :Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi Tabel 14 Definisi atribut pada dimensi ekonomi No. 1. Atribut Kontribusi PNBP Definisi Besarnya kontribusi kegiatan perikanan terhadap PNBP selama periode waktu tertentu 2. Gaji/upah rata-rata Perbandingan penghasilan dari kegiatan perikanan dengan sektor lain 3. Pembatasan masuk Ada tidaknya pembatasan jumlah pelaku usaha perikanan tangkap 4. Sifat pemasaran Pemasaran atau penjualan hasil tangkapan yang lazim berlaku atau pembatasan kuota jumlah ikan yang akan dijual antar pulau atau di ekspor dengan aturan tertentu. 5. Pendapatan lain Adanya pendapatan selain dari kegiatan penangkapan ikan 6. Ketenagakerjaan Proporsi jumlah kesempatan kerja yang disediakan oleh sektor perikanan 7. Kepemilikan Dukungan modal yang tersedia untuk aktivitas perikanan tangkap, baik oleh kemampuan sendiri atau pinjaman bank dan bantuan modal asing dalam hal kepemilikan peralatan usaha yang dioperasikan 8. Pasar utama wilayah tujuan pemasaran yang menjadi pasar utama apakah lokal atau nasional atau internasional. 9. Subsidi Ada tidaknya (menurut kelengkapan fasilitas usaha perikanan tangkap) subsidi dari pemerintah 10. Konsumsi BBM Berapa besar pengaruh BBM terhadap kegiatan perikanan Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) 72 1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi ekonomi (1) Kontribusi pada PNBP Pemilihan PNBP sebagai salah satu bentuk manfaat ekonomi dari usaha perikanan adalah sangat relevan yaitu diperoleh dari perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat (Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT. Sesungguhnya banyak bentuk manfaat ekonomi lainnya yang diperoleh dari kegiatan perikanan misalnya PDRB atau PAD (Penerimaan Asli Daerah). PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) merupakan salah satu jenis penerimaan Pemerintah selain pajak. PNBP perizinan merupakan salah satu jenis PNBP dari sektor kelautan dan perikanan yang ketentuannya diatur dalam PP No. 19 tahun 2006 tentang Tarif Atas PNBP yang Berlaku pada Bidang Kelautan dan Perikanan. Kategori PNBP perizinan meliputi 2 macam yaitu PPP (Pungutan Pengusahaan Perikanan) dan PHP (Pungutan Hasil Perikanan). PPP diperoleh pada saat pelaku usaha mengurus penerbitan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan), sedangkan PHP diperoleh jika kapal yang berizin sudah dioperasikan atau sudah memperoleh SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan). Nilai PPP adalah perkalian dari Tarif/GT kapal perikanan dengan besarnya GT kapal secara total. Sedangkan nilai PHP merupakan perkalian antara produktivitas penangkap, harga patokan ikan (HPI) , dan faktor 2,5% (usaha skala komersil). Kontribusi PNBP dari perizinan pukat ikan cukup tinggi karena nilai pungutan perikanan (PPP dan PHP) pukat ikan adalah besar. Dari sisi PPP saja, tarif pukat ikan di Arafura tinggi mencapai Rp 150.000 per GT kapal. Sebagai contoh, pada tahun 2009 Pemerintah telah mengeluarkan SIUP untuk 235.389 GT kapal pukat ikan sehingga dengan nilai tarif/GT pukat ikan = Rp 150.000 maka diperoleh PPP = Rp 35,3 milyar. Selain itu, sumbangan PHP pukat ikan juga cukup besar karena nilai produktivitas pukat ikan merupakan tertinggi dibandingkan dengan alat penangkap lain yaitu 3,57 ton/GT/tahun (Permen Kelautan dan Perikanan No. 60 tahun 2010 tentang produktivitas kapal 73 perikanan). Berdasarkan hal tersebut maka skor kontribusi PNBP untuk pukat ikan adalah tinggi yaitu 2. Kontribusi perikanan pukat udang pada PNBP termasuk tinggi pula. Tarif pukat udang di Arafura adalah paling tinggi dibanding alat tangkap apapun yaitu Rp 181.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pukat udang Arafura yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 35.608 GT yang berarti telah menyumbang PPP = Rp 6,4 milyar. Produktivitas pukat udang sebesar 0,4 ton/GT/tahun dan harga udang yang tinggi (HPI = Rp 45.000) memberikan sumbangan PHP yang cukup besar. Skor kontribusi PNBP untuk pukat udang layak diberikan nilai 2. Kontribusi pada PNBP dari perikanan gillnet oseanik cukup tinggi namun lebih rendah dari pukat ikan dan pukat udang. Tarif gillnet di Arafura adalah Rp 30.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi gillnet Arafura yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 53.418 GT yang berarti telah menyumbang PPP = Rp 1,6 milyar. Sumbangan PHP gillnet oseanik juga cukup besar dengan angka produktivitas 0,85 ton/GT/tahun (Permen KP No. 60 tahun 2010). Untuk itu, skor kontribusi PNBP untuk gillnet oseanik layak diberi nilai 1. Kontribusi PNBP dari perikanan pancing cumi cukup rendah dibanding alat penangkap ikan lainnya. Tarif pancing cumi (squid jigging) = Rp 20.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pancing cumi Arafura yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 20.956 GT yang berarti telah menyumbang PPP = Rp 419 juta. Berdasarkan Permen KPNo. 60 tahun 2010, produktivitas pancing cumi hanya 0,26 ton/GT/tahun sehingga sumbangannya terhadap PHP juga rendah. Skor kontribusi PNBP untuk pancing cumi layak diberi nilai 0. Kontribusi perikanan pancing rawai dasar pada PNBP cukup rendah. Tarif pancing rawai dasar di Laut Arafura adalah terendah setelah pancing cumi yaitu Rp 25.000 per GT (PP No. 19 tahun 2006). Alokasi pancing rawai dasar Arafura yang dikeluarkan Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2009) mencapai 243 GT yang berarti telah menyumbang PPP = Rp 6 juta. Berdasarkan Permen KP No. 60 74 tahun 2010, produktivitas pancing rawai dasar = 1,2 ton/GT/tahun. Sama halnya dengan pancing cumi, skor kontribusi PNBP untuk pancing rawai dasar layak diberikan nilai 0. (2) Gaji atau upah rata-rata Walaupun nelayan pada umumnya dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, namun nelayan atau ABK pada usaha perikanan komersil atau skala besar (diatas 30 GT) secara umum berpenghasilan cukup tinggi dan rata-rata di atas UMR (Upah Minimum Regional). UMR tahun 2010 yang berlaku di Kawasan Timur sekitar Arafura yaitu Maluku rata-rata Rp. 1.036.000 perbulan, sedangkan untuk Papua lebih tinggi yaitu 1.298.500 perbulan. Nilai rata-rata UMR tersebut didapatkan dari rata-rata setiap sektor misalkan perminyakan, pertambangan, perdagangan/jasa, properti, dan non-sektor (blog wordpress.com). Selanjutnya, jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan dari kelima usaha perikanan tangkap tersebut, seluruhnya berada di atas UMR. Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan responden pada masing-masing jenis alat penangkap ikan. Berdasarkan hal tersebut, gaji atau upah nelayan/ABK untuk kelima jenis alat tangkap adalah lebih tinggi dari UMR apalagi ditambah dengan bonus hasil penangkapan (skor 2). (3) Pembatasan masuk Secara prinsip, pemberian izin usaha perikanan merupakan upaya untuk membatasi eksploitasi sumberdaya ikan ager tidak terjadi open-access dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Pemberian izin perikanan oleh Pemerintah juga mempertimbangkan dinamika usaha perikanan dan kondisi sumberdaya ikan. Mempertimbangkan dampak yang diakibatkan, izin perikanan untuk pukat ikan dan pukat udang telah dibatasi yakni tidak ada izin baru yang dikeluarkan kecuali dalam rangka perpanjangan izin atau mengganti izin yang sudah tidak berlaku (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Oleh karena itu, pembatasan masuk untuk pukat ikan dan pukat udang tergolong ketat (skor 2). Izin perikanan untuk gillnet oseanik masih terbuka namun perlu dilakukan secara hati-hati sehingga 75 layak diberikan skor 1. Izin untuk pancing rawai dasar masih terbuka lebar karena jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi tetap diperlukan asas kehati-hatian mengingat sumberdaya ikan demersal sudah dalam kondisi over exploited (skor 1). Izin untuk pancing cumi masih terbuka luas dibandingkan keempat alat penangkap lainnya karena pancing cumi masih relatif terbatas dan tergolong sangat selektif (skor 0). (4) Sifat pemasaran Tidak ada pembatasan (kuota) terhadap pemasaran ikan-ikan hasil tangkapan di Laut Arafura. Hal ini antara lain karena perairan Arafura bukan merupakan wilayah RFMO (Regional Fisheries Management Organization). Oleh karena itu, untuk seluruh jenis perikanan (alat penangkap ikan) di Laut Arafura bebas memasarkan hasil tangkapannya sesuai dengan kapasitas volume penangkapan. Skor sifat pemasaran untuk seluruh jenis perikanan adalah 0. (5) Pendapatan lain Sumber pendapatan lain bagi nelayan/ABK kapal perikanan bergantung kepada ketersediaan waktu luang yang dimiliki. Dapat diasumsikan bahwa nelayan akan memiliki pendapatan lain (alternatif) jika memiliki cukup waktu diluar kegiatan utamanya. Dalam konteks waktu tersebut, dikenal istilah nelayan penuh yaitu yang seluruh waktunya digunakan untuk menangkap ikan; nelayan sambilan utama yang sebagian besar waktunya digunakan untuk menangkap ikan; dan nelayan sambilan tambahan yang sebagian kecil saja waktunya sebagai nelayan (Statistik Perikanan Tangkap tahun 2009). Secara umum, usaha penangkapan ikan skala besar (diatas 30 GT) atau skala komersial sudah dilakukan secara full-time sehingga nelayan/ABK tidak memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan lain. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan responden untuk seluruh jenis alat penangkap ikan. Disamping itu, trip pada perikanan skala besar juga cukup lama sehingga jarang sekali nelayan menganggur. Trip untuk perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik bisa mencapai lebih dari 1 bulan dan dilakukan sepanjang tahun. Berbeda dengan 76 perikanan lainnya, untuk perikanan pancing cumi penangkapannya tidak dilakukan sepanjang tahun karena terbatasnya musim cumi sehingga nelayan/ABK pancing cumi masih memiliki alternatif pendapatan lain berupa penangkapan ikan selain perikanan cumi atau non-perikanan pada saat tidak melaut. Berdasarkan hal tersebut, skor pendapatan lain untuk semua jenis perikanan kecuali perikanan cumi adalah full-time (skor 3). Untuk perikanan cumi umumnya ABK/nelayan melakukan sambilan pada saat tidak musim tangkap (skor 1). (6) Ketenagakerjaan (proporsi pekerjaan) Prosentase jumlah tenaga kerja nelayan yang mengunakan masing-masing alat penangkap ikan dibandingkan dengan total pekerjaan perikanan di Laut Arafura antara lain dapat dilihat dari proporsi jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Berdasarkan data Ditjen Perikanan Tangkap (2011), di Laut Arafura beroperasi 980 kapal berukuran diatas 30 GT dengan urutan alat penangkap ikan mulai dari yang paling banyak sampai yang paling sedikit yaitu : pukat ikan 440 unit (44,89%), pukat udang 129 unit (13,16%), gillnet oseanik 118 unit (12,04%), pancing rawai dasar 100 unit (10,20%), pancing cumi 99 unit (10,10%), dan sisanya merupakan alat penangkap ikan lainnya. Disamping itu, jumlah serapan tenaga kerja per kapal perikanan juga dapat memberikan informasi tentang proporsi ketenagakerjaan. Data perizinan menunjukkan bahwa rata-rata serapan nelayan atau ABK kapal ikan ukuran diatas 30 GT adalah antara 15 s/d 35 orang per kapal. Tenaga kerja yang terserap pada pukat ikan lebih banyak dibanding pada perikanan lain. Pukat ikan adalah perikanan dengan jumlah armada terbesar dan memiliki rata-rata serapan tenaga kerja tinggi (25 orang/kapal). Oleh karena itu perikanan pukat ikan memberikan proporsi tenaga kerja yang tinggi yaitu diperkirakan lebih dari 30% dari keseluruhan perikanan (skor 2). Satu unit kapal pukat udang rata-rata menyerap 15 orang tenaga kerja. Sebagai jumlah armada kedua terbesar di Arafura maka pukat udang memberikan porsi tenaga kerja yang 77 cukup tinggi terhadap keseluruhan perikanan (skor 1). Meskipun jumlah gillnet oseanik merupakan urutan ke-3 terbanyak, tetapi dengan rata-rata serapan tenaga kerja sekitar 25 orang/kapal maka proporsi ketenagakerjaannya lebih tinggi dibandingkan pukat udang, yaitu dengan rata-rata lebih dari 10-20% dari keseluruhan perikanan (skor 2). Pancing rawai dasar dan pancing cumi merupakan dua alat penangkap ikan yang proporsinya rendah yaitu masingmasing dibawah 10% dari jumlah total perikanan. Nilai ketenagakerjaan dua alat penangkap ini rendah (skor 0). (7) Kepemilikan Profit dari usaha penangkapan ikan terutama dinikmati oleh pelaku usaha dalam negeri. Permen KP No. 12 tahun 2010 yang direvisi menjadi Permen KP No. 39 tahun 2011 tentang usaha perikanan tangkap menyebutkan bahwa izin usaha perikanan hanya diberikan untuk warga negara Indonesia. Sistem lisensi izin untuk asing pada masa lalu sudah dihapuskan. Unsur asing masih diberikan kesempatan hanya dalam bentuk joint venture bekerjasama dengan perusahaan Indonesia. Perikanan pukat ikan, pukat udang, dan gillnet oseanik sangat diminati oleh pihak asing baik melalui pola kerjasama dengan pelaku usaha nasional maupun joint venture. Skor kepemilikan untuk ketiga jenis perikanan tersebut dapat diberikan nilai 1. Sedangkan untuk perikanan pancing rawai dasar dan pancing cumi umumnya didominasi pelaku usaha nasional (skor 0). (8) Pasar utama Ikan merupakan komoditas yang disukai seluruh masyarakat dunia. Permintaan masyarakat (demand) terhadap ikan dan produk turunannya cenderung naik disebabkan meningkatnya kesadaran manusia terhadap ikan sebagai makanan yang sehat, berprotein tinggi, dan bebas penyakit. Produk perikanan juga pada umumnya diekspor ke negara lain karena harganya lebih tinggi. Pasar hasil tangkapan pukat ikan, pukat udang, gillnet oseanik, dan pancing rawai dasar di Arafura didominasi untuk ekspor ke negara-negara asing terutama RRC dan Thailand, sebagian lagi dipasarkan untuk domestik (Ditjen 78 Perikanan Tangkap, 2009). Hal ini karena produk-produk ikan demersal, udang dan pelagis sangat diminati oleh masyarakat asing dan harga jualnya juga lebih tinggi. Skor pasar utama untuk kempat jenis alat penangkap ikan tersebut adalah 2. Pasar hasil tangkapan pancing cumi di Arafura juga diminati oleh asing tetapi jumlahnya masih terbatas akibat pengaruh musim (skor 1). (9) Subsidi Subsidi yang umum dikenal pada usaha perikanan tangkap adalah subsidi harga bahan bakar. Pada masa lalu kebijakan subsidi bahan bakar turut mewarnai usaha perikanan tangkap untuk semua skala usaha, baik yang menggunakan kapal impor maupun bukan impor. Tetapi saat ini dilakukan pengetatan subsidi agar diberikan lebih selektif kepada yang berhak. Subsidi dalam bentuk non-BBM umumnya diberikan Pemerintah untuk nelayan skala kecil atau tradisional. Tidak ada subsidi untuk usaha perikanan pukat ikan, pukat udang, dan gillnet oseanik skala besar, baik dalam bentuk bantuan permodalan/usaha, bahan bakar (BBM), atau lainnya. Ketiga jenis perikanan tersebut umumnya menggunakan kapal impor atau ABK asing. Skor subsidi untuk ketiga jenis perikanan tersebut dapat dinilai 0. Untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar ada beberapa unit perikanan yang memperoleh subsidi karena banyak usaha perikanan tersebut yang dilakukan oleh perseorangan atau menggunakan kapal buatan dalam negeri, misalnya dalam bentuk bantuan permodalan/usaha, bahan bakar (BBM), atau lainnya (Ditjen Perikanan Tangkap, 2009). Skor subsidi untuk kedua jenis perikanan tersebut adalah 1. (10) Konsumsi BBM Berdasarkan hasil survey, semua jenis perikanan dengan kapal berukuran diatas 30 GT mengkonsumsi BBM dalam jumlah yang sangat tinggi. Survey terhadap responden masing-masing pemilik kapal menyebutkan bahwa porsi konsumsi BBM terhadap biaya operasional pada usaha perikanan di Laut Arafura 79 mencapi 45 sampai 65%. Skor konsumsi BBM untuk seluruh jenis perikanan yaitu 2. 2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi ekonomi menunjukan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara ekonomi sebagaimana disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 2. Tabel 15 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi No. 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan Perikanan Tangkap Pukat Ikan Gillnet Oseanik Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata-rata indeks Indeks Keberlanjutan Perikanan 50,65 35,99 47,79 57,17 44,38 47,20 Status Keberlanjutan Cukup Kurang Kurang Cukup Kurang Kurang Selanjutnya jika nilai dimensi ekologi pada Tabel 15 tersebut di plotkan dalam gambar ordinansi, maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana Gambar 28. Berdasarkan dimensi ekonomi, perikanan pancing cumi memiliki nilai kerberlanjutan yang paling tinggi dengan status cukup (57,17); disusul oleh pukat ikan dengan status cukup (50,65); pukat udang dengan status kurang (47,79); pancing rawai dasar dengan status kurang (44,38); dan gillnet oseanik dengan status kurang (35,99). Simulasi RAPFISH untuk dimensi ekonomi menghasilkan parameter statistik berupa nilai stress = 13,9% dan R2 = 92,1%. Analisis dimensi ekonomi dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup (fair), mengingat nilai stress yang diperoleh adalah sebesar 13,9% (< 25%). Nilai koefisien determinasi (nilai kepercayaan) atau R2 untuk dimensi ekonomi sebesar 92,1% yang berarti memadai. Sementara analisis yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinansi, dilakukan dengan simulasi Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat tingkat gangguan (pertubation) terhadap nilai ordinansi sehingga dapat diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat dipercaya (Spence and Young, 1978 80 yang dikutip dalam Purnomo et al., 2002), dilakukan dengan iterasi sebanyak 30 kali. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 29. Analisis sensitivitas pada dimensi ekonomi dengan metode analisis leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa ketenagakerjaan dan sifat pemasaran merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan di Laut Arafura pada dimensi ekonomi. Ketenagakerjaan dan sifat pemasaran memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberlanjutan ini yaitu dengan nilai perubahan rms masing-masing 7,06% dan 6,87%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai utama ekonomi dari usaha perikanan di Laut Arafura adalah kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja/ABK. Selanjutnya faktor sifat pemasaran juga mendominasi pengaruh keberlanjutan perikanan dari aspek ekonomi karena pasar merupakan faktor pendorong usaha perikanan, dan sebagaimana hasil penelitian diketahui bahwa pasar produk perikanan dari Laut Arafura tidak mengenal pembatasan atau kuota. RAPFISH Ordination 60 Up Other Distingishing Features 40 PUD 20 PIK GIL Bad 0 0 PRD Good Real Fisheries Reference anchors 20 40 60 80 100 Anchors PAC -20 -40 Down -60 Fisheries Status Gambar 28 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi (keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD = pancing rawai dasar) 81 Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60 Other Distingishing Features 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -20 -40 -60 Fisheries Status Gambar 29 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi ekonomi (Ket.: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi) Subsidi merupakan atribut yang paling kurang pengaruhnya terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi, hal ini dibuktikan dengan hasil survey lapangan bahwa perikanan komersil di Laut Arafura tetap eksis walaupun tidak ada subsidi karena memiliki modal yang sangat kuat. Nilai perubahan rms untuk subsidi hanya mencapai 1,39%. Atribut lainnya yang kurang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi adalah kontribusi PNBP yaitu dengan nilai perubahan rms 2,08%. analisis sensitivitas pada dimensi ekonomi. Gambar 30 memperlihatkan hasil 82 Leverage of Attributes konsumsi energi/ BBM 2,54 subsidi 1,39 pasar utama 4,60 Attribute kepemilikan/ transfer 4,82 ketenagakerjaan 7,06 pendapatan lain 3,90 sifat pemasaran 6,87 pembatasan masuk 5,37 Gaji/ upah rata-rata 3,87 kontribusi PNBP 2,08 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 30 Hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi 3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi ekonomi Secara ekonomi, perikanan di Laut Arafura kurang berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 47,20. Pancing cumi dan pukat ikan merupakan alat penangkap ikan yang statusnya cukup berlanjut secara ekonomi yaitu dengan skor masingmasing 57,17 dan 50,45. Sementara itu tiga jenis alat penangkap lainnya dalam kondisi kurang berlanjut yaitu pukat udang, pancing rawai dasar, dan gillnet oseanik. Gillnet oseanik merupakan alat penangkap ikan dengan skor keberlanjutan ekonomi terendah (35,99). Status keberlanjutan ekonomi pancing cumi terutama ditunjang oleh sifat pemasaran cumi-cumi yang sangat terbuka luas dan tidak ada pembatasan sehingga mendorong pemanfaatan sumberdaya cumicumi lebih intensif dan menguntungkan. Disamping itu keberlanjutan ekonomi juga tidak terlepas dari pengaruh atribut-atribut dimensi lainnya misalkan ukuran ikan cumi-cumi tertangkap yang cenderung tidak berubah (pada dimensi ekologi) sehingga menjamin kualitas dan harga cumi-cumi yang stabil dan lebih baik. Dalam simulasi RAPFISH, semua atribut yang digunakan mempengaruhi seluruh kinerja pada setiap dimensi. 83 Pukat ikan tergolong alat tangkap yang cukup berlanjut secara ekonomi karena produktivitasnya yang sangat tinggi yaitu 3,57 ton/GT/tahun sehingga mampu memberikan nilai ekonomi yang tinggi pula. Disamping itu ketenagakerjaan yang terserap dari pukat ikan juga tinggi. Pukat udang juga memiliki produktivitas dan nilai ketenagakerjaan yang cukup tinggi sehingga posisinya keberlanjutannya berada diurutan ketiga setelah pukat ikan. Alat penangkap ikan yang paling rendah keberlanjutan secara ekonomi adalah gillnet oseanik karena trip dan operasionalnya tinggi (sama dengan pukat ikan dan pukat udang), serta selektivitasnya juga tinggi sehingga kurang produktif. Atribut ketenagakerjaan dan sifat pemasaran merupakan atribut-atribut yang paling besar pengaruhnya dalam keberlanjutan secara ekonomi. Serapan tenagakerja merupakan hal yang paling penting menyangkut berapa banyak tenaga kerja yang terlibat dan mendapatkan manfaat ekonomi dari usaha perikanan. Sifat pemasaran juga berpengaruh besar karena pasar produk perikanan dari Laut Arafura tidak dibatasi yang akhirnya mendorong dilakukannya usaha penangkapan ikan lebih intensif guna memperoleh keuntungan yang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan usaha penangkapan ikan yang dilakukan pada daerah RFMO misalnya Samudera Hindia untuk perikanan tuna dimana IOTC atau organisasi perikanan tuna Samudera Hindia membatasi kuota jumlah ikan tuna yang boleh ditangkap. Atribut yang kurang berpengaruh pada keberlanjutan ekonomi adalah subsidi dan kontribusi PNBP. Meskipun secara ekonomi berpengaruh terhadap kinerja usaha, tetapi subsidi ini sifatnya tidak mutlak bagi usaha perikanan skala industri/besar. Hal ini disebabkan industri perikanan memiliki permodalan yang kuat sehingga tetap eksis walaupun tidak ada subsidi. Kondisi ini tentunya berbeda dengan usaha perikanan tangkap skala kecil. Kontribusi PNBP juga tidak memberikan pengaruh besar pada keberlanjutan ekonomi yang diduga bahwa tarifnya yang berlaku sekarang masih rendah dan kondusif bagi usaha perikanan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai tarif PNBP yang pantas diberlakukan. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan ekonomi perikanan tangkap di Laut Arafura perlu ditingkatkan penyerapan tenaga kerja (pro-job) pada usaha 84 perikanan tangkap misalnya melalui restrukturisasi armada dengan menggunakan kapal yang berukuran besar, serta industrialisasi perikanan mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan, pemasaran sampai dengan jasa terkait. Tidak dianjurkan untuk melakukan pembatasan pasar hasil tangkapan ikan dari perairan Arafura misalnya dengan memasukkan Laut Arafura sebagai wilayah RFMO yang pada akhirnya akan merugikan industri perikanan tangkap nasional. 4.1.3 Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial Penentuan atribut yang menjadi indikator pada dimensi sosial ini yaitu dengan mengunakan indikator yang keluarkan oleh program RAPFISH, namun telah disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari 10 atribut berdasarkan kerangka Pitcher dan Preikshot (2001) yaitu sosialisasi penangkapan, sektor penangkapan, pengetahuan lingkungan, pendatang baru, tingkat pendidikan, status konflik, pelibatan tenaga kerja lokasl, pengaruh nelayan, pendapatan penangkapan, dan pastisipasi keluarga. Tabel 16 memperlihatkan atribut dan kriteria skor keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial. Dalam memudahkan penentuan skor dari masing-masing atribut, Tabel 17 memberikan pengertian atau definisi dari masing-masing atribut pada dimensi sosial. Sementara dalam kaitannya dengan kondisi keberlanjutan, penggunaan atribut-atribut dalam dimensi sosial ini mengandung suatu maksud dan deskripsi tertentu kaitannya dengan evaluasi status keberlanjutan. 1) Kondisi masing-masing atribut pada dimensi sosial (1) Sosialisasi penangkapan Pada perikanan komersial yang umumnya menggunakan kapal perikanan berukuran besar (diatas 30 GT), pekerja/ABK bekerja langsung sebagai individual profesional, bukan berdasarkan adanya keterkaitan dengan pemilik usaha atau juga bukan karena adanya kelompok/koperasi (skor 0). hubungan sebagai sesama anggota suatu 85 Tabel 16 Atribut dan kriteria skor pada dimensi sosial No. Atribut Skor 1. Sosialisasi penangkapan 0; 1; 2 Kriteria pemberian skor Nelayan bekerja: individu pada suatu perusahaan (0); keluarga (1); kelompok (2) 2. Pendatang baru 0; 1; 2 Selama 5 tahun terakhir:< 10% (0); 10 - 20% (1); > 20% (2) 3. Sektor penangkapan 0; 1; 2 RTP dalam komunitas: < 10% (0); 10 - 30% (1); >30 (2) 4. Pengetahuan lingkungan 0; 1; 2 Terhadap sumberdaya ikan & lingkungan: kosong (0); beberapa (1); banyak (2) 5. Tingkat pendidikan 0; 1; 2 Terhadap rata-rata tingkat pendidikan penduduk: rendah (0); sama (l); diatas (2) 6. Status konflik 0; 1; 2 Konflik dengan perikanan/sektor lain: tidak (0); beberapa (1); banyak (2) 7. Pelibatan naker lokal 0; 1; 2 Tidak terlibat (0); moderat (1); tinggi (2) 8. Pengaruh nelayan 0; 1; 2 Terhadap regulasi aktual: hampir tidak (0); beberapa (1); banyak (2) 9. Pendapatan 0; 1; 2 Terhadap total pendapatan keluarga: < 50% (0); 50 Penangkapan 80% (1); > 80% (2) 10. Pastisipasi keluarga 0; 1 Anggota keluarga menjual/memproses hasil tangkapan: tidak (0); ya (1) Sumber : Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi Tabel 17 Definisi atribut pada dimensi sosial No. Atribut 1. Sosialisasi penangkapan Definisi Keterlibatan nelayan dalam usaha perikanan, sebagai individu, keluarga atau kelompok 2. Pendatang baru Penambahan jumlah nelayan (termasuk kapal baru) yang berkecimpung pada penangkapan ikan menurut waktu tertentu 3. Sektor penangkapan Proporsi jumlah nelayan (berdasarkan kegiatan perikanan) di wilayah administratif terhadap jumlah penduduk sektor perikanan di wilayah administratif tersebut 4. Pengetahuan lingkungan Derajat pengetahuan nelayan mengenai isu-isu lingkungan seperti illegal fishing, pencemaran laut, kerusakan terumbu karang 5. Tingkat pendidikan Proporsi nelayan yang mengikuti/menyelesaikan pendidikan formal 6. Status konflik Ada tidaknya frekuensi terjadinya konflik pemanfaatan ruang laut dan atau perebutan DPI baik antar nelayan atau yang berkaitan degan kepentingan sektor lain 7. Pelibatan naker lokal Tingkat keterlibatan tenaga kerja lokal atau nasional dalam usaha perikanan tangkap 8. Pengaruh nelayan Keterkaitan nelayan dalam proses penyusunan regulasi pengelolaan perikanan langsung maupun tidak langsung 9. Pendapatan Kontribusi pendapatan yang bersumber dari usaha penangkapan penangkapan ikan terhadap keseluruhan pendapatan yang diperoleh keluarga 10. Pastisipasi keluarga Ada tidaknya peran anggota keluarga dalam memasarkan hasil tangkapan dan atau melakukan pengelolaan ikan hasil tangkapan Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi 86 (2) Pendatang baru dalam perikanan Pada awalnya pendatang baru pukat ikan beberapa tahun terakhir cenderung meningkat 10 – 20%, namun kini sudah tidak ada lagi pendatang baru (new entrains) sejak adanya kebijakan pembatasan izin perikanan pukat ikan (skor 0). Demikian pula untuk perikanan pukat udang mengalami kebijakan pengetatan izin perikanan sehingga tidak ada lagi pendatang baru (skor 0). Pendatang baru pada perikanan gillnet oseanik cenderung meningkat rata-rata 10 – 20%. Hal ini karena Pemerintah masih memberikan kelonggaran terhadap pengembangan perikanan gillnet oseanik (skor 1). Pendatang baru pada perikanan cumi juga cenderung meningkat sama halnya pada perikanan gillnet oseanik (skor 1). Pada perikanan pancing rawai dasar sangat sedikit pendatang baru yakni kurang dari 10% (skor 0). (3) Sektor penangkapan Nilai proporsi RTP suatu perikanan terhadap komunitas sangat ditentukan oleh jumlah unit perikanan tersebut dan jumlah tenaga kerja yang diserapnya. Pengertian komunitas disini disederhanakan yaitu komunitas perikanan pada obyek yang diteliti yakni perikanan skala besar (diatas 30 GT). Pada perikanan pukat ikan, proporsi RTP terhadap komunitas merupakan tertinggi dibanding perikanan lainnya yaitu kira-kira mencapai lebih 40%, karena jumlah pukat ikan merupakan yang terbesar dan mampu menyerap tenaga kerja kira-kira 15 orang per kapalnya (skor 2). Proporsi RTP perikanan gillnet oseanik dan pukat udang kira-kira mencapai 10 – 40% dengan asumsi bahwa kapal gillnet oseanik dan pukat udang masing-masing mampu menyerap tenaga kerja 15 orang per kapalnya (skor 1). Pada perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar, proporsi RTP dalam komunitas lebih rendah terutama karena jumlah armada yang lebih sedikit dibanding perikanan pukat ikan, pukat udang, dan gillnet (skor 0). (4) Pengetahuan lingkungan Berdasarkan hasil survey responden, secara rata-rata pengetahuan terhadap lingkungan para perkerja perikanan (nelayan/ABK) pada semua jenis perikanan 87 skala besar pada dasarnya sudah cukup baik, tetapi belum cukup mengetahui lebih jauh aspek lingkungan dalam kaitannya dengan penangkapan yang dilakukan. Hal ini lebih disebabkan karena faktor pengalaman melaut yang cukup. Untuk semua jenis perikanan, skor pengetahuan lingkungan adalah 1. (5) Tingkat pendidikan/ pengetahuan Tingkat pendidikan/pengetahuan nelayan atau ABK nelayan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha penangkapan ikan. Pengetahuan yang diperoleh nelayan diperoleh dari pendidikan atau latihan serta pengalaman selama melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Menurut Mustaruddin (2006), pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh nelayan di wilayah perairan (termasuk kawasan konservasi) antara lain : (1) pengetahuan umum tentang penangkapan di laut; (2) tentang jenis ikan dan biota laut yang dilindungi; (3) teknik-teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, teknik pengoperasian armada, teknik memilih fishing ground, dan sebagainya; (4) pemahaman tentang perangkat hukum kegiatan penangkapan. Berdasarkan hasil survey responden, untuk pekerja (nelayan/ABK) ketiga jenis perikanan utama yaitu pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik umumnya memiliki pendidikan yang setaraf dengan golongan penduduk lainnya. Bahkan pada perikanan skala besar tersebut, para ABK tidak sedikit yang mengecap pendidikan kejuruan di bidang perikanan (skor 1). Hal ini sedikit berbeda dengan perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar dimana hasil survey responden menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pekerjanya rata-rata sedikit lebih rendah dibanding golongan penduduk lainnya (skor 0). . (6) Status konflik Konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan bagian dari dinamika usaha perikanan. Hal ini terjadi karena sumber daya ikan laut masih dipahami sebagai common property (milik bersama). Menurut Rusmilyansari (2010), terdapat 5 indikator penyebab konflik yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap faktor penyebab konflik. Indikator tersebut antara lain : (1) kompetensi dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam; (2) 88 keberadaan pihak yang bertolak belakang; (3) kondisi perekonomian masyarakat; (4) jumlah pihak yang terlibat; dan (5) latar belakang budaya dan adat. Maanema et. al. (2006) menyebutkan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya perikanan di Laut Arafura umumnya dipicu oleh : (1) ketidakjelasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan; (2) tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah; dan (3) komunikasi antar pengguna sumberdaya belum tertata. Pada hampir seluruh jenis perikanan di Laut Arafura kadang-kadang dijumpai konflik di lapangan berupa perebutan daerah penangkapan sesama jenis perikanan, gesekan dengan jenis perikanan yang lain, atau konflik vertikal dengan perikanan skala yang berbeda (skala kecil). Skor konflik untuk seluruh jenis perikanan kecuali pancing cumi adalah 1. Pada perikanan pancing cumi jarang sekali ditemui konflik (skor 0). Beberapa hal yang menyebabkan jarangnya konflik pada perikanan pancing cumi antara lain : (1) spesifiknya jenis ikan yang ditangkap yaitu cumi sebagai target spesies sehingga tidak bersinggungan dengan alat penangkap ikan lainnya; dan (2) pengoperasian pancing cumi terbatas hanya pada saat musim cumi saja. (7) Keterlibatan tenaga kerja lokal Tenaga kerja merupakan bagian penting dari unit penangkapan ikan yang berperan dalam melaksanakan seluruh kegiatan penangkapan ikan. Pada perikanan skala industri atau skala besar sudah terdapat pembagian tugas dan tanggung jawab pekerja dalam kegiatan penangkapan ikan. Beberapa posisi atau jabatan dalam suatu unit penangkapan ikan skala industri antara lain : nakhoda, operator permesinan (juru mesin), ABK, operator alat tangkap, juru masak, dan lain-lain disesuaikan dengan kebutuhan di kapal. Pada perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik di Laut Arafura umumnya menggunakan kapal dengan ukuran GT yang besar dan peralatan yang modern sehingga memerlukan keahlian khusus, disamping itu dalam hal kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang terampil maka pada perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik umumnya masih mempekerjakan ABK asing. Disamping itu kedua jenis perikanan tersebut 5-10 tahun terakhir mengalami perkembangan yang pesat melalui pengadaan dalam negeri maupun 89 impor kapal. Jabatan yang umumnya masih dipegang oleh tenaga kerja warga negara asing adalah nakhoda dan juru mesin. Berdasarkan hal tersebut maka atribut keterlibatan tenaga kerja lokal pada perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik diberikan skor 1. Pada perikanan pukat udang, pancing rawai dasar dan pancing cumi keterlibatan tenaga kerja lokal adalah tinggi karena penguasaan teknologi penangkapan ikan ketiga jenis perikanan tersebut sudah cukup lama dikuasai masyarakat Indonesia. Perikanan pukat udang lebih dulu berkembang dibandingkan dengan pukat ikan dan gillnet oseanik yaitu pada 1970 – 1980 mengalami masa kejayaan (Murdiyanto, 2011). Untuk perikanan pancing disebabkan karena penggunaan ukuran kapal dengan GT yang tidak terlalu besar sehingga banyak diusahakan masyarakat. Skor keterlibatan tenaga kerja lokal pada perikanan pukat udang, pancing rawai dasar, dan pancing cumi diberikan skor 2. (8) Pengaruh nelayan Pada perikanan skala besar (diatas 30 GT), nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap memiliki pengaruh signifikan terhadap regulasi perikanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu disampaikan kepada Pemerintah pada saat sosialisasi atau tatap muka (audiensi), sedangkan secara tidak langsung yaitu melalui kelompok/asosiasi yang menaunginya. Pada saat proses penyusunan kebijakan atau peraturan di bidang penangkapan ikan, Pemerintah pun selalu mengundang pelaku usaha atau asosiasi untuk memberikan masukan. Beberapa asosiasi/organisasi kenelayanan atau usaha perikanan antara lain : ASTUIN (Asosiasi Tuna Indonesia), ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia), ASPINTU (Asosiasi Pengusaha Ikan Non Tuna), GAPPINDO (Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia), dan lain-lain. Skor pengaruh nelayan untuk semua jenis perikanan adalah 2. 90 (9) Pendapatan penangkapan Pendapatan dari usaha penangkapan skala besar umumnya mendominasi penghasilan utama keluarga nelayan karena berkaitan dengan profesi dimana mereka menghabiskan seluruh waktunya sebagai nelayan/ABK di laut (full-time) dengan trip yang cukup lama. Hasil wawancara dengan responden terungkap bahwa proporsi pendapatan pada pukat ikan, pukat udang, gillnet oseanik dan pancing rawai dasar kira-kira mencapai 50 – 80% dari total pendapatan keluarga. Hal ini terjadi pada seluruh jenis perikanan komersil di Arafura kecuali pada perikanan pancing cumi yang hanya melakukan operasi penangkapan pada saat musim saja dengan waktu yang terbatas (nelayan sambilan). Skor pendapatan penan gkapan untuk seluruh jenis perikanan adalah 1, kecuali pada pancing cumi yaitu 0. (10) Partisipasi keluarga Tidak ada partisipasi atau keterlibatan anggota keluarga terkait penjualan atau pengolahan hasil tangkapan karena usaha perikanan komersial dilakukan secara profesional. Hal ini berbeda dengan nelayan skala kecil atau tradisional. Skor partisipasi keluarga untuk seluruh jenis perikanan adalah 0. 2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial Nilai skor yang terdapat pada dimensi sosial selanjutnya dianalisis menggunakan metode RAPFISH. Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi sosial menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap secara sosial sebagaimana disajikan pada Tabel 18 dan Lampiran 3. Tabel 18 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial No. 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan Perikanan Tangkap Pukat Ikan Gillnet Oseanik Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata-rata indeks Indeks Keberlanjutan Perikanan 52,93 50,62 54,36 53,91 54,13 53,19 Status Keberlanjutan Cukup Kurang Cukup Cukup Cukup Cukup 91 Selanjutnya jika nilai dimensi teknologi pada Tabel 18 tersebut diplotkan dalam gambar ordinansi maka akan nampak seperti dapat dilihat sebagaimana Gambar 31. Analisis RAPFSIH untuk keberlanjutan perikanan dari aspek sosial memberikan informasi bahwa untuk seluruh perikanan memberikan hasil yang hampir sama, yaitu dengan rata-rata cukup (skor 53,19). Status keberlanjutan untuk semua jenis perikanan adalah cukup kecuali untuk gillnet oseanik yaitu kurang. Nilai keberlanjutan untuk pukat udang = 54,36; pancing rawai dasar = 54,13; pancing cumi = 53,91; pukat ikan = 52,93; dan gillnet oseanik = 50,62. Simulasi RAPFISH untuk dimensi sosial menghasilkan parameter statistik yang memadai berupa nilai stress = 14,8% dan R2 = 92,6%. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 32. RAPFISH Ordination 60 Up Other Distingishing Features 40 20 Bad 0 0 Good PIK PAC Real Fisheries Reference anchors 20 40 GIL 60 80 100 Anchors PUD PRD -20 -40 Down -60 Fisheries Status Gambar 31 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial (keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar) 92 Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60 Other Distingishing Features 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -20 -40 -60 Fisheries Status Gambar 32 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi sosial (keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi) Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diketahui bahwa beberapa atribut yang paling berpengaruh pada dimensi sosial adalah tingkat pendidikan nelayan/ABK yang terlibat pada operasional penangkapan, disusul oleh pengaruh nelayan terhadap usaha perikanan, dan status konflik. Gambar 33 memperlihatkan hasil analisis leverage pada dimensi ekonomi. Nilai perubahan rms masing-masing atribut yaitu 6,19% untuk tingkat pendidikan; 5,65% untuk pengaruh nelayan; dan 5,22% untuk status konflik. Hasil analisis leverage dimensi sosial pada Gambar 33 juga menunjukkan bahwa beberapa atribut memiliki pengaruh yang sangat kecil pada dimensi sosial adalah sosialisasi penangkapan, keterlibatan tenaga kerja lokal, dan pengetahuan lingkungan. Nilai perubahan rms untuk masing-masing atribut yaitu 0,71% untuk sosialisasi penangkapan; 0,94% untuk keterlibatan tenaga kerja lokal, dan 1,38% untuk pengetahuan lingkungan. 93 Leverage of Attributes pelibatan naker loka 0,94 partisipasi keuarga 2,33 pendapatan penangkapan 3,21 Attribute pengaruh nelayan 5,65 status konflik 5,22 tingkat pendidikan 6,19 pengetahuan lingkungan 1,38 sektor penangkapan 4,12 pendatang baru 1,98 sosialisasi penangkapan 0,71 0 1 2 3 4 5 6 7 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 33 Hasil analisis leverage pada dimensi sosial 3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial Keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial di Laut Arafura dalam kondisi cukup berlanjut dengan rata-rata skor 53,19. Skor keberlanjutan sosial untuk seluruh jenis alat penangkap ikan nilainya hampir seragam yakni berada pada kisaran 50 – 54. Hal ini menjelaskan bahwa aspek atau dampak sosial dari seluruh jenis perikanan adalah hampir sama karena sifat komersial serta penerapan prinsip-prinsip ekonomi yang rasional. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan perikanan skala kecil atau tradisional. Gillnet oseanik merupakan alat penangkap ikan yang statusnya kurang berlanjut secara sosial yang terutama dipengaruhi oleh atribut pendatang baru dan keterlibatan tenaga kerja lokal. Untuk atribut sosial lainnya hampir seluruh jenis alat penangkap ikan memiliki nilai yang sama. Pendatang baru pada perikanan gillnet oseanik masih ada dan peluangnya terbuka karena pembatasan izin perikanan gillnet oseanik tidak seketat pada pukat ikan dan pukat udang. Berbeda dengan jenis perikanan lainnya kecuali pukat ikan, perikanan gillnet oseanik juga rata-rata masih mempekerjakan ABK asing atau nilai keterlibatan tenaga kerja 94 lokalnya lebih rendah. Tingkat pendidikan atau pengetahuan merupakan hal yang pokok berpengaruh karena memberikan dampak bagi seluruh atribut sosial lainnya. Pengetahuan nelayan misalnya akan merubah cara pandang terhadap budaya kerja, kelestarian lingkungan, penanganan konflik dan sebagainya. Atribut pengaruh nelayan juga cukup kuat berpengaruh mengingat kedudukan nelayan sebagai pelaku langsung (aktor utama) usaha perikanan sekaligus posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Pengaruh nelayan akan memberikan input terhadap arah atau kebijakan usaha perikanan. Pengaruh nelayan menunjukkan tingkat partisipasi nelayan atau pelaku usaha terhadap usaha perikanan tangkap yang dilakukan. Keberadaan konflik dalam perikanan juga memberikan pengaruh cukup besar pada dimensi sosial oleh karena konflik merupakan bagian penting dari identitas sosial dan sangat mungkin terjadi pada usaha perikanan, khususnya di Laut Arafura sebagai fishing ground utama. Sosialisasi penangkapan atau dalam hal ini adalah status nelayan/ABK dalam pekerjaannya apakah individu, keluarga atau kelompok tidak menjadi persoalan berarti karena pada skala besar lebih dituntut profesionalisme. Keterlibatan tenaga kerja atau ABK lokal juga kurang memberikan pengaruh pada dimensi sosial perikanan di Laut Arafura. Hal ini disebabkan pada usaha perikanan skala besar atau komersial bahwa perlakuan nelayan/ABK adalah sama berdasarkan peran atau posisinya dalam usaha penangkapan, bukan berdasarkan status sosialnya. Dengan demikian isu penggunaan tenaga kerja lokal pada usaha perikanan di Arafura tidak memiliki pengaruh berarti terhadap keberlanjutan secara sosial. Atribut pengetahuan lingkungan juga kecil sekali pengaruhnya bagi keberlanjutan sosial yang menunjukkan bahwa faktor lingkungan belum menjadi perhatian bagi usaha perikanan di Laut Arafura pada umumnya. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan sosial perikanan di Laut Arafura dapat dilakukan cara-cara efektif yaitu meningkatkan pendidikan/ pengetahuan para pelaku usaha perikanan misalkan dengan memperbesar kesempatan sekolah bagi nelayan (program sekolah murah atau gratis) atau memberikan pendidikan dan pelatihan (diklat) terkait usaha penangkapan ikan dan 95 aturan-aturan terkait perikanan. Untuk meningkatkan keberlanjutan secara sosial juga dapat dilakukan dengan memperbesar pengaruh nelayan terkait usaha perikanan misalnya dengan keikutsertaan pada organisasi kenelayanan atau usaha perikanan tangkap. Hal lainnya yang memberikan pengaruh besar terhadap keberlanjutan perikanan secara sosial adalah pengelolaan konflik perikanan. Usaha perikanan tangkap sangat rawan terhadap konflik sehingga bila konflik ini dapat diatasi atau dihilangkan maka keberlanjutan perikanan secara sosial akan meningkat. 4.1.4 Keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi Penentuan atribut pada dimensi teknologi ini yaitu dengan mengunakan indikator yang digunakan dari RAPFISH yang telah disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Analisis RAPFISH pada dimensi teknologi dalam penelitian ini terdiri dari 9 atribut mengacu pada Pitcher and Preikshot (2001) yang dimodifikasi, antara lain: lama trip, tempat pendaratan, pengolahan pra-jual, penanganan di kapal, selektivitas alat tangkap, penggunaan FADs, ukuran kapal, perubahan daya tangkap, dan efek samping alat tangkap. Atribut-atribut pada dimensi teknologi beserta kriteria pemberian skor dapat dilihat pada Tabel 19. Sedangkan pada Tabel 20 diuraikan pengertian atau definisi dari masing-masing atribut pada dimensi teknologi. Tabel 19 Atribut dan kriteria skor pada dimensi teknologi No. Atribut 1. Lama trip Skor 0; 1; 2 Kriteria pemberian skor Rata-rata hari setiap trip: < 1 hari (0); 1 bulan (1); > 1 bulan (2) 2. Tempat pendaratan 0; 1; 2 Tersebar (0); agak terpusat (1); terpusat (2); 3. Pengolahan pra-jual 0; 1; 2 Tidak (0); beberapa (1 ); banyak (2) 4. Penanganan di kapal 0; 1; 2; 3 Tidak (0); beberapa (1); canggih (2); penggunaan tangki hidup (3) 5. Selektivitas alat tangkap 0; 1; 2 Sedikit (0); beberapa (1); banyak (2) 6. Penggunaan FADs 0; 0,5 ;1 Tidak (0); menggunakan umpan (0,5); ada (1) 7. Ukuran kapal 0; 1; 2 Rata-rata panjang kapal: < 8 m (0); 8 – 17 m (1); > 18m (2) 8. Perubahan daya tangkap 0; 1; 2 Dalam 5 tahun terakhir meningkat: tidak (0); sedikit (1); banyak/cepat (2) 9. Efek samping alat tangkap 0; 1; 2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) Sumber : Pitcher & Preikshot (2001) dimodifikasi 96 Tabel 20 Definisi atribut pada dimensi teknologi No. 1. Atribut Lama trip Definisi Waktu (hari) yang dipakai untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan di laut 2. Tempat pendaratan Lokasi dimana atau kemana nelayan mendaratkan hasil operasi penangkapan ikan. 3. Pengolahan pra-jual Ada tidaknya dilakukannya pengelolaan ikan seperti penggaraman dan pengeringan sebelum dilakukan penjualan 4. Penanganan di kapal Ada tidaknya dilakukannya penanganan terhadap ikan hasil tangkapan di atas kapal sebelum di daratkan (termasuk penggunaan es) 5. Selektivitas alat Banyaknya peningkatan selektivitas alat tangkap yang tangkap diupayakan, baik dari komponen-komponen alat maupun dalam penanganan operasional peralatan tangkap 6. Penggunaan FADs Ada tidaknya penggunaan FAD’s untuk membantu dalam penangkapan ikan 7. Ukuran kapal Ukuran secara kuantitatif besarnya ukuran kapal yang digunakan dalam penangkapan ikan 8. Perubahan daya Besaran perkembangan kemampuan menangkap ikan dilihat tangkap dari banyaknya penambahan kapal dan trip penangkapan dalam periode waktu tertentu 9. Efek samping alat Ada tidaknya efek samping dalam pengoperasian alat tangkap penangkapan ikan Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) 1) Kondisi masing-masing atribut keberlanjutan dimensi teknologi (1) Lama trip Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, waktu (hari)/trip yang dipakai bagi semua jenis perikanan dengan ukuran kapal diatas 30 GT untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan di laut berkisar satu minggu sampai dengan dua bulan. Lamanya trip ini sangat tergantung pada ukuran kapal dan teknologi yang digunakan (khususnya mesin dan penyimpanan ikan). Kapal dengan ukuran GT lebih besar dan daya mesin yang tinggi mampu menjangkau fishing ground yang lebih jauh. Lamanya trip ini juga dibatasi oleh sistem penyimpanan ikan dimana pada kapal yang dilengkapi dengan sistem pendingin (cold room dan air blast freezer) mampu melakukan trip yang lebih lama di laut. Berdasarkan wawancara hasil responden dan pengamatan langsung, perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik tergolong mampu melakukan trip di atas 1 bulan. Trip kapal pukat ikan merupakan yang paling lama yakni diatas 1 bulan karena target ikan tangkapannya menyebar ke seluruh wilayah perairan di Laut 97 Arafura baik perairan pedalaman maupun ZEEI Arafura. Ukuran rata-rata GT kapal pukat ikan ini juga sangat besar bisa sampai dengan 300 GT. Hal yang sama ditemui untuk perikanan gillnet oseanik di Laut Arafura. Skor untuk perikanan pukat ikan dan gillnet oseanik dinilai 2. Trip kapal pukat udang lebih sedikit dibandingkan dengan trip pada pukat ikan dan gillnet oseanik yaitu kurang dari 1 bulan. Pengamatan langsung di lapangan untuk kapal pukat udang di basis perikanan Avona Kaimana, Papua menunjukkan bahwa trip dilakukan antara 1 sampai dengan 2 minggu. Ukuran kapal yang dipergunakan yaitu antara 50 s/d 100 GT dengan fishing ground udang tidak terlalu jauh dari pantai. Skor trip untuk perikanan pukat udang dapat diberikan nilai 1. Untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar, trip penangkapannya paling lama rata-rata 2 minggu (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Skor untuk pancing cumi dan pancing rawai dasar dinilai 1. (2) Tempat pendaratan Tempat pendaratan atau pelabuhan perikanan bagi kapal perikanan yang beroperasi di Laut Arafura umumnya tersebar dengan skala kelas PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan), PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) maupun PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara). Mempertimbangkan fasilitas serta ketersediaan sarana operasional penangkapan yang ada di pelabuhan perikanan, kapal perikanan skala besar (diatas 30 GT) umumnya menggunakan fasilitas kelas PPN. Wilayah perairan Laut Arafura juga memiliki beberapa fasilitas setara pelabuhan perikanan yang dibangun dan dikelola oleh swasta antara lain : pelabuhan PT. Maritim Timur Jaya di Tual (Maluku Tenggara); pelabuhan PT. Benjina Resources di Benjina (Maluku Tenggara); pelabuhan Avona, Kaimana (Papua Barat); dan pelabuhan Kimaam di Merauke (Papua). Hampir seluruh jenis perikanan yang beroperasi di Laut Arafura memanfaatkan pelabuhan perikanan yang ada. Pelabuhan perikanan bagi seluruh jenis kapal perikanan di Arafura (kecuali pukat udang) terdapat di Tual, Ambon, 98 Merauke, Benjina, Kimaam (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Skor tempat pendaratan untuk keempat jenis perikanan tersebut diberikan nilai 0. Pelabuhan perikanan tempat pendaratan kapal pukat udang di Arafura umumnya hanya terkonsentrasi di Avona, Papua Barat dan di perairan sekitar Ambon (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Hal ini terkait dengan kedekatan pelabuhan dengan fishing ground udang yang spesifik. Sebagai contoh yaitu pelabuhan Avona merupakan basis kapal pukat udang karena lokasinya berada sangat dekat dengan fishing ground. Skor tempat pendaratan untuk pukat udang dapat diberikan nilai 1. (3) Pengolahan pra-jual Pengolahan pra-jual untuk ikan-ikan yang ditangkap seluruh jenis alat penangkap ikan umumnya sudah ada walaupun jumlahnya kurang dibandingkan kapasitas ikan yang ditangkap. Ikan-ikan yang ditangkap dari perikanan pukat ikan, gillnet oseanik dan pancing rawai dasar umumnya diolah terlebih dahulu dalam bentuk yang paling sederhana yaitu dibekukan atau diolah lebih lanjut dalam bentuk fillet, tepung ikan dan value added. Pembekuan dengan freezer pada UPI (unit pengolahan ikan) atau di atas kapal (on-board processing) umum dilakukan pada usaha perikanan di Laut Arafura. Pemerintah telah mengupayakan agar ikan-ikan yang ditangkap lebih banyak diolah terlebih dahulu sebelum dipasarkan, yaitu melalui Keputusan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), KKP tentang jenis-jenis ikan yang harus diolah dan yang tidak memerlukan pengolahan. Skor untuk perikanan pukat ikan, gillnet oseanik dan pancing rawai dasar adalah 1. Kapal pukat udang di Arafura umumnya melakukan pengolahan udang dalam bentuk pembekuan dan pengemasan di atas kapal atau processing on-board (survey lapangan, 2010). Skor pengolahan pra-jual untuk pukat udang dinilai 2. Kebanyakan cumi-cumi yang ditangkap oleh pancing cumi diproses dan dijual sudah diolah secara beku (survey lapangan, 2010). Skor pengolahan pra-jual untuk perikanan pancing cumi dinilai 2. 99 (4) Penanganan di kapal Berdasarkan survey lapangan, kapal-kapal perikanan skala besar (diatas 30 GT) yang beroperasi di Laut Arafura sudah memiliki teknologi yang lebih tinggi dalam hal penanganan hasil tangkapan (handling) diatas kapal. Untuk keseluruhan jenis perikanan, penanganan hasil tangkapan diatas kapal (on-board) dilengkapi dengan palkah dan ruang pendingin (freezer room), bahkan beberapa menggunakan air blast freezer untuk pembekuan secara cepat. Pada beberapa kapal pancing rawai dasar bahkan dilengkapi dengan sarana penyimpan atau penampung ikan hidup. Skor penanganan di kapal untuk semua jenis perikanan dinilai 2, kecuali untuk perikanan pancing cumi yaitu 2,5. (5) Selektivitas alat tangkap dan upaya peningkatannya Selektivitas suatu alat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu alat penangkap ikan untuk menangkap ikan dengan suatu ukuran tertentu atau spsies tertentu dalam suatu populasi (Fridman, 1986). Menurut South East Asian Fisheries Development Center (1999), selektivitas alat didefinisikan sebagai : gear selectivity is a property of fishing gear that reduces/excludes the capture of unwanted sizes of fish and incidental catch. Pukat ikan tergolong sebagai alat penangkap ikan yang selektivitasnya rendah. Pemerintah telah mengupayakan pengaturan ukuran mesh-size pada bagian kantong jaring (cod end) yaitu minimal 50 mm (Ditjen Perikanan Tangkap, 2006). Skor selektivitas untuk pukat ikan dapat dinilai 0. Selektivitas gillnet oseanik adalah tinggi karena ikan yang tertangkap hanyalah yang memiliki ukuran tertentu saja sesuai ukuran mata jaring. Pengaturan terhadap gillnet oseanik terbatas pada panjang bentangan jaring, tinggi atau kedalaman jaring, dan ukuran mesh-size (Ditjen Perikanan Tangkap, 2010). Skor selektivitas untuk gillnet oseanik dinilai 2. Pukat udang sama halnya dengan pukat ikan sebagai alat penangkap ikan yang selektivitasnya rendah. Meskipun demikian, pukat udang dilengkapi dengan BED atau TED untuk mengurangi by-catch atau tangkapan sampingan. Mengenai pengaruh TED pada pengoperasian pukat udang ini cukup signifikan. Penelitian 100 di Laut Arafura oleh Mahiswara dan A.P. Anung Widodo dari BRPL menyimpulkan bahwa TED dapat mengurangi HTS (Hasil Tangkap Sampingan) atau by-catch sebesar 37,5% per haul, namun dibarengi dengan penurunan hasil pukat udang 21,5% per haul. TED ini juga terbukti mampu meloloskan penyu. Berdasarkan hal itu, skor selektivitas untuk pukat udang dinilai 1. Pancing cumi dan pancing rawai dasar dinilai memilki selektivitas yang sangat tinggi, dan pada pengooperasiannya tidak lagi memerlukan alat tambahan untuk meningkatkan selektivitas (survey lapangan, 2010). Skor selektivitas untuk kedua alat penangkap ikan tersebut dinilai 2. (6) Penggunaan FADs (Fish Aggregating Device’s) Penggunaan alat bantu penangkapan semisal rumpon, umpan (bait) atau lampu pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan produktivitas penangkapan. FAD dalam bentuk rumpon sama sekali tidak digunakan pada seluruh jenis perikanan di Laut Arafura. Bahkan pada perikanan pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik sama sekali tidak menggunakan FAD. Skor 0 dalam penggunaan FAD dapat diberikan untuk ketiga jenis perikanan tersebut. Pada perikanan pancing cumi, untuk membantu mengkonsentrasikan target penangkapan maka digunakan FAD berupa lampu. Jumlah lampu yang dipergunakan pada kapal pancing cumi bisa mencapai puluhan unit dengan kekuatan per unit-nya bisa mencapai 2000 Watt. Penggunaan lampu sebagai attractor pada perikanan pancing cumi diduga memberikan dampak negatif bagi ekosistem perairan sekitar. Skor FAD untuk pancing cumi dapat dinilai 1. Atraktor pada perikanan pancing rawai dasar adalah berupa umpan (bait) yang dikaitkan pada mata pancing (hook). Jenis umpan umumnya adalah ikan dengan karakteristik yang menarik misalnya warna tubuh yang mengkilat. Pemilihan jenis ikan yang tepat sebagai umpan dapat menentukan mudah tidaknya ikan target tertangkap sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas alat pancing (hook rate). Skor FAD untuk pancing rawai dasar dapat diberikan nilai 0,5. 101 (7) Ukuran kapal Ukuran kapal digunakan untuk merefleksikan kekuatan kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan karena berkorelasi dengan kekuatan mesin, daya muat kapal dan GT pada umumnya. Salah satu jenis ukuran kapal yang populer digunakan yaitu LOA (length over all) yang merupakan panjang total kapal mulai dari ujung depan sampai dengan ujung belakang kapal. Dalam konteks perikanan, sesungguhnya faktor yang paling tepat merefleksikan kekuatan kapal adalah ukuran GT (gross tonage) karena berkaitan langsung dengan daya muat (kapasitas) kapal untuk mengangkut hasil tangkapan. Berdasarkan data perizinan usaha perikanan Ditjen Perikanan Tangkap dan hasil pengukuran lapangan terhadap kapal-kapal perikanan yang beroperasi di Laut Arafura diketahui bahwa ukuran kapal pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik rata-rata di atas 17 meter. Sedangkan untuk kapal pancing cumi dan pancing rawai dasar sedikit lebih kecil dengan ukuran antara 8 sampai 17 meter. Skor ukuran kapal untuk perikanan pukat ikan, pukat udang dan gillnet oseanik diberikan nilai 2, sedangkan untuk pancing cumi dan pancing rawai dasar diberikan nilai 1. (8) Perubahan daya tangkap Daya tangkap terkait erat dengan kemampuan atau kapasitas seluruh komponen terkait penangkapan antara lain ukuran kapal (mesin atau GT), alat penangkap ikan, dan operator penangkapan. Perubahan terhadap salah satu komponen tersebut di atas akan menyebabkan perubahan daya tangkap pada operasi penangkapan. Pada perikanan skala besar (diatas 30 GT) di laut Arafura beberapa tahun terakhir hampir dipastikan tidak ada perubahan daya tangkap karena tidak mudah untuk mengganti mesin atau alat tangkap. Hal ini karena pada kapal-kapal tersebut menggunakan mesin berukuran besar yang diinstal langsung pada kapal (in-board) sehingga tidak mudah untuk mengganti atau melakukan bongkar pasang mesin dan juga alat penangkap ikan. Terlebih lagi adanya ketentuan Pemerintah yang menyatakan bahwa setiap perubahan pada spesifikasi mesin 102 (merk, nomor seri, atau daya) dan alat tangkap harus dilakukan cek fisik kapal dan perubahan izin penangkapannya yang prosesnya memakan waktu dan biaya. Skor 0 untuk perubahan daya tangkap seluruh jenis alat penangkap ikan. (9) Efek samping alat tangkap Pengoperasian alat penangkap ikan di Laut Arafura secara umum memberikan efek samping bagi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Efek samping pengoperasian pukat ikan terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan perairan cukup besar antara lain diindikasikan oleh tingginya by-cath dan discard serta ketertangkapan ikan kecil (juvenil). Bahkan pada perikanan pukat udang lebih besar yaitu ditambah adanya dampak terhadap lingkungan dasar perairan (sea bed) dan habitat ikan akibat sapuan atau “garukan” alat. Skor efek samping pukat ikan diberi nilai 1 sedangkan untuk pukat udang layak diberi nilai 2. Sifat selektivitas gillnet oseanik dan pancing rawai dasar menjadikan efek samping kedua alat penangkap ikan ini terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan adalah rendah. Skor untuk kedua jenis alat penangkap ikan ini adalah 0. Pancing cumi merupakan alat penangkap ikan yang tergolong selektif. Namun demikian pengoperasian pancing cumi dapat memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan perairannya karena penggunaan cahaya dengan intensitas yang sangat tinggi. Skor untuk pancing cumi dapat diberi kan nilai 1. 2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi Hasil RAPFISH menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi teknologi sebagaimana pada Tabel 21 dan Lampiran 4. Tabel 21 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi No. 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan Perikanan Tangkap Pukat Ikan Gillnet Oseanik Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata-rata indeks Indeks Keberlanjutan Perikanan 51,03 69,66 58,87 64,20 66,80 62,11 Status Keberlanjutan Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup 103 Selanjutnya jika nilai dimensi teknologi pada Tabel 21 tersebut diplotkan dalam gambar ordinansi maka akan nampak sebagaimana Gambar 34 dibawah ini. RAPFISH Ordination 60 Up Other Distingishing Features 40 20 PUD PAC Bad Good 0 Real Fisheries Reference anchors 0 20 40 60 PIK 80 PRD 100 Anchors GIL -20 -40 Down -60 Fisheries Status Gambar 34 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi (keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar) Berdasarkan dimensi teknologi, perikanan gillnet memiliki kerberlanjutan yang paling tinggi (69,66); disusul oleh pancing prawai dasar (66,80); pancing cumi (64,20); pukat udang (58,87); dan pukat ikan (51,03). Gambar 36 memperlihatkan keberlanjutan perikanan dari dimensi teknologi bahwa seluruh jenis perikanan dalam status cukup berlanjut. Secara umum atau rata-rata, perikanan pada dimensi teknologi di Laut Arafura dalam keadaan cukup berlanjut dengan skor 62,11. Analisis ordinansi dalam dimensi teknologi dengan jumlah iterasi sebanyak 2 (dua) kali, menghasilkan nilai kuadrat korelasi (R2 ) = 93,2% dan nilai stress (S) = 13,9%. Analisis dimensi teknologi dalam penelitian ini menunjukkan kondisi goodness of fit kategori cukup (fair) mengingat nilai stress 104 yang diperoleh adalah sebesar < 25%. Koefisien determinasi (nilai kepercayaan) atau R2 untuk dimensi teknologi bernilai lebih besar 0,90. Sementara itu hasil analisis Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan dari hasil analisis ordinansi dengan iterasi 30 kali dapat dilihat pada Gambar 35. Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60 Other Distingishing Features 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -20 -40 -60 Fisheries Status Gambar 35 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi sosial (keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi) Analisis sensitivitas pada dimensi teknologi dengan metode analisis leverage pada RAPFISH memperlihatkan bahwa penggunaan FAD (fish attracting devices), selektivitas alat, dan ukuran kapal merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi di Laut Arafura. Nilai perubahan rms ketiga alat penangkap ikan tersebut masingmasing yaitu 5,78% untuk penggunaan FAD; 5,72% untuk selektivitas alat; dan 5,35% untuk ukuran kapal. Atribut yang paling sedikit memberikan pengaruh pada keberlanjutan dari aspek teknologi adalah penanganan di atas kapal yaitu dengan nilai perubahan rms 105 2,07%. Pada Gambar 36 diperlihatkan hasil analisis leverage keberlanjutan perikanan dari dimensi teknologi. Leverage of Attributes 2,29 efek samping alat perubahan daya-tangkap 3,37 5,35 Attribute ukuran kapal penggunaan FAD 5,78 selektivitas alat 5,72 2,07 penanganan diatas kapal 4,57 pengolahan pra-jual (UPI) tempat pendaratan ikan 3,11 lama trip 2,29 0 1 2 3 4 5 6 7 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100) Gambar 36 Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi 3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi Keberlanjutan perikanan di Laut Arafura pada dimensi teknologi adalah cukup berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 62,11. Semua jenis alat penangkap ikan dalam kondisi cukup berlanjut secara teknologi. Urutan keberlanjutan ekonomi dari yang tertinggi sampai terendah yaitu : gillnet oseanik, pancing rawai dasar, pancing cumi, pukat udang, dan pukat ikan. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat selektivitas alat penangkap ikan. Gillnet oseanik dan golongan pancing merupakan alat penangkapan ikan yang tergolong selektif sehingga skor keberlanjutan teknologinya tinggi. Gillnet juga merupakan alat penangkap ikan yang tidak menggunakan FAD. Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan dimensi teknologi antara lain : penggunaan FAD, selektivitas alat dan ukuran kapal. Hal ini sangat logis karena ketiga faktor tersebut merupakan komponen utama dari teknologi 106 yang dipergunakan pada unit penangkapan ikan. Penggunaan FAD dalam operasi penangkapan akan memberikan dampak eksploitasi ikan yang lebih besar sehingga menyebabkan kurangnya keberlanjutan dari sisi teknologi. Hal ini berbeda dengan selektivitas alat yaitu jika alat penangkap ikan semakin selektif maka kontribusinya terhadap keberlanjutan perikanan pada dimensi teknologi akan semakin baik. Sementara itu, ukuran kapal yang digunakan berbanding terbalik dengan keberlanjutan perikanan pada aspek teknologi. Ukuran kapal yang besar berkorelasi dengan besarnya produktivitas dan kapasitas palkah. Atribut yang paling sedikit memberikan pengaruh pada keberlanjutan dari aspek teknologi adalah penanganan di atas kapal. Hal ini mengindikasikan bahwa penanganan di atas kapal (handling) belum sepenuhnya diperhatikan dalam usaha perikanan tangkap di Arafura. Belum semua usaha perikanan di Arafura menerapkan teknologi atau cara-cara penanganan yang baik terhadap ikan di atas kapal. Untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan dari aspek teknologi di Laut Arafura perlu ditempuh antara lain : peningkatan selektivitas alat penangkap ikan, mereduksi penggunaan FAD, dan penggunaan ukuran kapal yang efisien. Ketiga hal ini dapat dilakukan melalui rekayasa teknologi. 4.1.5 Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika Penentuan atribut yang menjadi indikator pada dimensi etika ini yaitu dengan mengunakan indikator yang keluarkan oleh program RAPFISH, namun telah disesuaikan dengan kondisi aktual kegiatan perikanan tangkap di lokasi penelitian. Analisis RAPFISH pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari 8 atribut mengacu pada Pitcher dan Preikshot (2001) yang dimodifikasi, antara lain: keterpautan historis dan/atau geografis, pilihan perikanan, kesetaraan berkegiatan, ketepatan pengelolaan, mitigasi-destruksi habitat, mitigasi-destruksi ekosistem, penangkapan yang melanggar aturan, serta buangan dan limbah. Tabel 22 memperlihatkan atribut dan kriteria skor sedangkan Tabel 23 memperlihatkan definisi atribut yang digunakan. 107 Tabel 22 Atribut dan kriteria skor pada dimensi etika No. Atribut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Skor Kriteria pemberian skor 0;1;2;3 Kedekatan secara geografis dan hubungan sejarah: Kedekatan dan tidak dekat dan tidak tergantung (0); tidak dekat ketergantungan dan cukup tergantung (1); dekat dan cukup tergantung (2); dekat dan sangat tergantung (3) 0;1;2 Pilihan perikanan: tidak ada (0); beberapa (1); Pilihan perikanan banyak (2) 0;1;2 Mempertimbangkan basis tradisi/sejarah: tidak (0); Kesetaraan berkegiatan ya (1); perikanan tradisional (2) 0;1;2;3;4 Pola pengelolaan: tidak ada (0); konsultatif (1); coKeadilan pengelolaan management/leader pemerintah (2); comanagement/leader masy. (3); murni comanagement yg setara (4) 0;1;2;3;4 Kerusakan dan mitigasinya terhadap habitat ikan: Mitigasi-Destruksi habitat banyak kerusakan (0); beberapa kerusakan (1); tidak ada kerusakan atau mitigasi (2); beberapa mitigasi (3); banyak mitigasi (4) 0;1;2;3;4 Kerusakan dan mitigasinya yang berdampak pada Mitigasi-deplesi ekosistem ekosistem: banyak kerusakan (0); beberapa kerusakan (1); tidak ada kerusakan atau mitigasi (2); beberapa mitigasi (3); banyak mitigasi (4) 0;1;2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) Penangkapan yang melanggar aturan 0;1;2 Tidak ada (0); beberapa (1); banyak (2) Buangan dan limbah 8. Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) dimodifikasi Tabel 23 Definisi atribut pada dimensi etika Atribut Definisi 1. Kedekatan dan ketergantungan perikanan Kedekatan secara geografis wilayah dan keterkaitan usaha perikanan secara historis 2. Pilihan perikanan Keberadaan pilihan kegiatan daripada yang dilakukan 3. Kesetaraan berkegiatan Pertimbangan basis tradisi atau historis dalam melakukan usaha perikanan 4. Keadilan pengelolaan Derajat keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan 5. Mitigasi-Destruksi habitat Tingkat mitigasi dan destruksi terhadap habitat sumberdaya ikan 6. Mitigasi-deplesi ekosistem Tingkat mitigasi dan deplesi yang mengakibatkan perubahan ekosistem 7. Penangkapan yang melanggar aturan Keberadaan pelaggaran dalam kegiatan perikanan yang dilakukan ( IUU fishing) 8. Buangan dan limbah Keberadan buangan/limbah yang disebabkan kegiatan perikanan No Sumber : Pitcher and Preikshot (2001) perikanan selain 108 1) Kondisi masing-masing atribut keberlanjutan pada dimensi etika (1) Keterpautan historis dan/ atau geografis Usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial memiliki kedekatan dan ketergantungan terhadap aspek geografis dan historis karena sejak dahulu Laut Arafura dikenal sebagai fishing ground perikanan dan diusahakan oleh masyarakat walaupun dimulai secara tradisional. Potensi sumberdaya ikan yang cukup melimpah terutama udang dan ikan demersal pada akhirnya mendorong pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura secara komersial. Sejarah perkembangan perikanan di Laut Arafura merupakan bagian dari sejarah perikanan nasional. Menurut Murdiyanto (2011), perkembangan perikanan di Indonesia dimulai tahun 1950-an yaitu dengan diujicobakannya trawl oleh Yayasan Perikanan Laut (YPL) Makassar. Selanjutnya tahun 1970 – 1980 merupakan masa kejayaan trawl udang, serta berkembangnya secara pesat teknologi penangkapan ikan seperti gillnet, pancing, purse seine, dan sebagainya. Dengan demikian pada hakikatnya pengembangan perikanan skala komersial atau skala besar (diatas 30 GT) secara kultural bukanlah hal baru bagi masyarakat. Skor keterpautan historis dan/ atau geografis untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 2. (2) Pilihan perikanan Banyak pilihan kegiatan/usaha perikanan lainnya di Laut Arafura antara lain : pukat ikan, pukat udang, gillnet, pancing cumi, pancing rawai dasar, dan lain-lain. Disamping itu terdapat pula jenis alat penangkapan lain diluar 5 jenis yang dominan. Hal ini membuat masyarakat atau nelayan/ABK di Laut Arafura memiliki keleuasaan untuk memilih kegiatan perikanan yang diinginkan. Skor pilihan perikanan untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 2. (3) Kesetaraan kesempatan perikanan Meskipun usaha perikanan di Laut Arafura secara sosial historis memiliki kaitan erat dengan masyarakat sekitarnya, tetapi masuknya usaha perikanan komersial atau skala besar (diatas 30 GT) adalah dilakukan dengan pertimbangan 109 kelayakan teknis dan ekonomis, sedikit sekali yang mempertimbangkan aspek tradisi atau sejarah perikanan di lokasi. Skor kesetaraan kesempatan perikanan untuk seluruh jenis perikanan dapat diberikan nilai 0. (4) Keadilan dalam hal pengelolaan (pelibatan nelayan/ABK) Kaitannya dengan pihak lain terhadap pengelolaan/kegiatan usaha yang dilakukan, perikanan skala komersial sangat sedikit mengakomodir nelayan/ABK dalam hal pengelolaan/operasional. Peran masing-masing pelaku yang terlibat dalam operasi penangkapan ikan skala komersial (diatas 30 GT) disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Pembagian tugas sudah dilakukan secara profesional sehingga kebijakan atau keputusan yang strategis tentang pengelolaan atau operasional penangkapan terbatas hanya oleh pimpinan atau manajer bagian penangkapan beserta nakhoda kapal. Hal ini berlaku untuk seluruh jenis perikanan sehingga skornya sama yaitu 0. (5) Mitigasi – destruksi habitat Pengoperasian alat penangkap ikan yang tergolong selektif seperti pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet oseanik pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan habitat sehingga upaya mitigasinya juga tidak terlalu signifikan. Untuk ketiga jenis perikanan ini dapat diberikan skor 2. Pengoperasian pukat udang dapat menimbulkan kerusakan habitat sumberdaya ikan karena alat penangkap ikan ini kurang selektif dan banyak menghasilkan by-catch dan discard. Disamping itu efek “sapuan” pada bagian kantong jaring dapat merusak kondisi substrat tempat hidup habitat ikan dan udang. Skor mitigasi – destruksi untuk perikananpukat udang diberikan nilai 0. Sama halnya dengan perikanan pukat udang, pengoperasian pukat ikan mampu merusak habitat sumberdaya ikan tetapi dampaknya tidak sebesar pada pukat udang karena pukat ikan lebih banyak beroperasi pada bagian kolom perairan. Skor kerusakan habitat untuk perikanan pukat ikan lebih kecil dibandingkan dengan perikanan pukat udang sehingga dapat dinilai 1. 110 (6) Mitigasi – destruksi ekosistem Destruksi terhadap eskosistem yang diakibatkan pengoperasian alat penangkap ikan dapat dianalogikan dengan destruksi pada habitat sumberdaya ikan. Hal ini dipahami karena habitat merupakan bagian dari ekosistem yang lebih besar. Habitat sumberdaya ikan yang mengalami kerusakan selanjutnya akan membuat ketidakseimbangan interaksi dalam ekosistem, misalnya antar spesies dalam satu habitat maupun antar habitat satu dengan yang lainnya. Interaksi yang terjadi contohnya adalah hubungan mangsa-memangsa (predatorprey), simbiosis dan rantai makanan. Dalam interaksi yang lebih luas maka ekosistem juga menyangkut biota lain selain ikan serta keseluruhan organisme yang ada di laut dan daratan pesisir. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan skor mitigasi – destruksi ekosistem dapat mengacu kepada skor mitigasi – deplesi habitat. Pada jenis perikanan yang selektif seperti gillnet dan pancing dapat dikatakan sangat kecil dampak kerusakannya terhadap ekosistem sehingga diberikan nilai skor 2. Pada perikanan pukat udang banyak mengakibatkan kerusakan ekosistem sehingga skornya adalah 0, sedangkan pada pukat ikan dapat diberikan skor 1. (7) Penangkapan yang melanggar aturan Perairan Laut Arafura merupakan salah satu kawasan yang rawan kegiatan IUU Fishing (illegal unreported unregulated fishing). Kegiatan IUU Fishing di laut Arafura dapat berupa pencurian ikan, penggunaan alat dan metode penangkapan yang dilarang (pengeboman ikan, penggunaan racun, penggunaan pair trawl), pengoperasian kapal tanpa dokumen perizinan, penggunaan izin palsu, transhipment, dan lain-lain. IUU Fishing dapat dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun kapal domestik. Berdasarkan wawancara dengan pengawas perikanan di lapangan, kapalkapal yang sering tertangkap melakukan IUU fishing adalah kapal-kapal jenis pukat ikan dan gillnet oseanik (skor 2). Selanjutnya adalah kapal pukat udang walaupun tidak sebanyak pada pukat ikan dan gillnet oseanik (skor 1). Sedangkan 111 untuk perikanan pancing cumi dan pancing rawai dasar tingkat pelanggaran sangat sedikit (skor 0). (8) Buangan dan limbah (termasuk organisme) Limbah merupakan hasil samping yang tidak diharapkan atau tidak dimanfaatkan dari suatu kegiatan. Kegiatan perikanan umumnya menghasilkan limbah baik dalam bentuk organik maupun an-organik. Bentuk organik misalnya berupa sisa-sisa ikan mati/ busuk, organisme lain yang mati tertangkap kemudian dibuang seperti kura-kura atau burung laut, bahkan ikan spesies target maupun non-target penangkapan dapat juga dibuang sebagai discard oleh sebab-sebab tertentu misalkan terbatasnya kapasitas palkah ikan. Bentuk limbah atau buangan an-organik yang umum dari kegiatan perikanan contohnya adalah tumpahan minyak yang mencemari perairan (oil spill). Sebagaimana telah diuraikan pada dimensi ekologi, pengoperasian kapalkapal besar di Arafura terutama yang menggunakan alat penangkap ikan berupa pukat yang ditarik (pukat udang dan pukat ikan) memberikan limbah yang cukup besar berupa discard. Pada perikanan pukat udang, discard dan by-catch adalah yang tertinggi dibanding alat penangkap ikan lainnya. By-catch pukat udang tercatat 332.186 ton/tahun, sebagian besarnya dibuang ke laut sebagai discard (Purbayanto, et al., 2006). Skor buangan untuk perikanan pukat udang adalah tertinggi yaitu 2. Discard juga ditemui pada perikanan pukat ikan tetapi jumlahnya tidak sebanyak pada pukat udang (skor 1). Sedangkan pada perikanan dengan alat penangkap ikan yang selektif yaitu gillnet oseanik, pancing cumi, dan pancing rawai dasar discard atau limbah yang dihasilkan sangat sedikit (skor 0). 2) Status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika Output yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi etika menunjukkan nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap sebagaimana disajikan pada Tabel 24 dan Lampiran 5. 112 Tabel 24 Indeks keberlanjutan perikanan pada dimensi etika No. 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan Perikanan Tangkap Pukat Ikan Gillnet Oseanik Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata-rata indeks Indeks Keberlanjutan Perikanan 26,46 37,51 21,19 46,57 46,57 35,66 Status Keberlanjutan Kurang Kurang Buruk Kurang Kurang Kurang Selanjutnya jika nilai dimensi etika pada Tabel 24 tersebut diplotkan dalam gambar ordinansi maka akan nampak sebagaimana Gambar 37. RAPFISH Ordination 60 Up Other Distingishing Features 40 PIK 20 PUD Bad 0 0 GIL Good Real Fisheries Reference anchors 20 40 60 80 100 Anchors PRD -20 PAC -40 Down -60 Fisheries Status Gambar 37 Posisi status keberlanjutan perikanan pada dimensi etika (keterangan: PIK= pukat ikan, PUD= pukat udang, GIL= gillnet oseanik, PAC= pancing cumi, PRD= pancing rawai dasar) Sementara itu hasil analisis Monte Carlo yang ditujukan untuk melihat tingkat kestabilan dari hasil analisis ordinansi dengan iterasi 30 kali dapat dilihat pada Gambar 38. Keberlanjutan perikanan dari dimensi etika secara ratarata memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dimensi lainnya yaitu 35,66 atau dengan status kurang berlanjut. Berdasarkan dimensi etika, semua jenis 113 perikanan yang beroperasi di Arafura berada dalam status kurang berlanjut. Nilai keberlanjutan masing-masing perikanan yaitu: pancing cumi dan pancing rawai dasar (masing-masing 46,6); gillnet oseanik (37,5); pukat ikan (26,5); dan terendah adalah pukat udang (21,2) seperti terlihat pada Gambar 37. Simulasi RAPISH untuk dimensi etika ini menghasilkan parameter statistik yang memadai yaitu nilai stress = 14,2% dan R2 = 94,3%. Rapfish Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60 Other Distingishing Features 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -20 -40 -60 Fisheries Status Gambar 38 Kestabilan nilai ordinasi dengan analisis Monte Carlo pada dimensi etika (keterangan: kuning=pukat udang; biru=pukat ikan; ungu=p.rawai dasar; pink=gillnet oseanik; hijau muda=p.cumi) Berdasarkan analisis sensitivitas diketahui bahwa atribut utama yang paling berpengaruh untuk dimensi etika adalah keadilan dalam hal pengelolaan (Gambar 39). Keadilan yang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam hal pengelolaan atau pemanfaatan perikanan, yang ditunjukkan oleh nilai perubahan rms tertinggi yaitu 6,59%. 114 Leverage of Attributes 3,06 buangan dan limbah 4,27 illegal fishing Attribute mitigasi-deplesi ekosistem 2,41 2,80 mitigasi-destruksi habitat keadilan dalam pengelolaan 6,59 5,67 kesetaraan kesempatan 5,52 pilihan perikanan kedekatan/ ketergantungan 4,59 0 1 2 3 4 5 6 7 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Statis scale 0 to 100) Gambar 39 Hasil analisis leverage pada dimensi etika Analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa mitigasi-deplisi habitat dan ekosistem merupakan atribut yang kurang memiliki pengaruh bagi keberlanjutan perikanan secara etika. Nilai perubahan rms untuk mitigasi-deplisi ekosistem adalah terkecil yaitu 2,41% sedangkan mitigasi-deplisi habitat 2,80%. 3) Pembahasan keberlanjutan perikanan pada dimensi sosial Keberlanjutan perikanan pada dimensi etika di Laut Arafura adalah kurang berlanjut yaitu dengan rata-rata skor 35,66. dibanding keberlanjutan pada dimensi lainnya. Nilai ini merupakan terendah Skor keberlanjutan perikanan dimensi etika yang paling rendah adalah pada perikanan pukat udang (skor 21,19). Hal ini dikontribusikan terutama oleh bycatch dan discard yang tertinggi dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Selain itu pula perikanan pukat udang termasuk sering melakukan IUU fishing disamping pukat ikan dan gillnet oseanik. Secara etika, usaha perikanan akan memiliki nilai yang tinggi bila memperhatikan dan melibatkan aspek masyarakat lokal dalam kegiatannya. Keadilan pengelolaan akan mempengaruhi tingkat penerimaan atau penolakan 115 masyarakat terhadap usaha perikanan yang dilakukan. Sebagai contoh di Papua, sejak tahun 1980-an sudah terdapat perusahaan perikanan yang eksis karena selain membuka lahan perekonomian baru juga memfasilitasi masyarakat setempat untuk memperoleh kebutuhan dasar dan mata pencaharian. Oleh karena itu keadilan (pilihan) dalam hal pengelolaan sangat besar pengaruhnya pada keberlanjutan dimensi etika. Hasil analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa pengaruh atribut mitigasi-deplesi ekosistem terhadap keberlanjutan secara etika sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan di Arafura juga kurang memperhatikan aspek mitigasi atau pencegahan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap ekosistem (dan habitat) sehingga atribut ini hasilnya kurang sensitif. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan perikanan dari aspek etika perlu ditempuh antara lain peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan usaha perikanan. Perlu dibuat aturan yang tegas terhadap dampak negatif yang ditimbulkan usaha perikanan tangkap terhadap ekosistem dan habitat serta upaya pencegahannya pada kegiatan perikanan di Laut Arafura. 4.1.6 Status keberlanjutan perikanan di Arafura secara keseluruhan Berdasarkan hasil analisis RAPFISH secara keseluruhan diketahui bahwa perikanan tangkap di perairan Arafura cukup berlanjut yaitu dengan skor 54,68. Bila dirinci berdasarkan masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi ekologi, sosial, dan teknologi dalam kondisi cukup berlanjut, sedangkan aspek ekonomi dan etika dalam kondisi kurang berlanjut. Bila diuraikan berdasarkan perikanan (alat tangkap) maka perikanan pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet dalam status cukup berlanjut, sedangkan perikanan pukat udang dan pukat ikan berada dalam status kurang berlanjut. Hasil analisis RAPFISH selengkapnya diuraikan pada Tabel 25 berikut. 116 Tabel 25 Hasil analisis RAPFISH menurut jenis alat dan dimensi Alat Penangkap Ikan (API) Pukat Ikan Gillnet Pukat Udang Pancing Cumi Pancing Rawai Dasar Rata2 Dimensi Ranking Dimensi Kriteria Dimensi Dimensi atau Aspek Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Etika 52,51 99,97 38,50 99,97 85,19 75,23 1 Cukup 50,65 35,99 47,79 57,17 44,38 47,20 4 Kurang 52,93 50,62 54,36 53,91 54,13 53,19 3 Cukup 51,03 69,66 58,87 64,20 66,80 62,11 2 Cukup 26,46 37,51 21,19 46,57 46,57 35,66 5 Kurang Rata2 (API) 46,71 58,75 44,14 64,36 59,41 54,68 - Ranking (API) Kriteria (API) 4 3 5 1 2 - Kurang Cukup Kurang Cukup Cukup - Secara grafis, status keberlanjutan perikanan di Arafura berdasarkan dimensi diperlihatkan pada Gambar 40, sedangkan berdasarkan alat penangkap ikan diperlihatkan pada Gambar 41. EKOLOGI 100 75 50 ETIKA EKONOMI 25 0 TEKNOLOGI PUKAT IKAN PUKAT UDANG PANCING RAWAI DASAR SOSIAL GILLNET PANCING CUMI Gambar 40 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan dimensi Pada Gambar 40 terlihat bahwa keberlanjutan berdasarkan ekologi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan dimensi lainnya yang ditunjukkan oleh garis-garis bidang lebih yang mengarah ke sudut bagian atas 117 (sudut ekologi). Nilai rata-rata keberlanjutan ekologi ini 75,23 dengan status cukup berlanjut. Sedangkan keberlanjutan pada dimensi etika merupakan yang paling rendah dengan nilai rata-rata 35,66 (kurang berlanjut). Keberlanjutan perikanan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan yang ditunjukkan Gambar 41 memperlihatkan bahwa perikanan pancing cumi adalah paling berlanjut dengan skor rata-rata 64,36. Sedangkan yang paling rendah nilainya adalah perikanan pukat udang dengan nilai rata-rata 44,14 atau statusnya kurang berlanjut. Gambar 41 memperlihatkan juga bahwa keberlajutan secara ekologi seluruh jenis alat penangkap ikan merupakan yang tertinggi yaitu ditunjukkan oleh ukuran poligon ekologi (garis berwarna biru) dari seluruh jenis alat penangkap ikan. PUKAT IKAN 100 75 50 PANC. RAWAI DASAR GILLNET 25 0 PANCING CUMI EKOLOGI PUKAT UDANG EKONOMI SOSIAL T EKNOLOGI ET IKA Gambar 41 Diagram layang-layang keberlanjutan perikanan di Laut Arafura berdasarkan jenis alat penangkap ikan 118 4.2 Keberlanjutan Perikanan Berbasis Optimasi Alat Penangkap Ikan 4.2.1 Optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan Sebagai dasar untuk mengetahui jumlah unit penangkapan ikan yang optimal di Laut Arafura maka digunakan data potensi sumberdaya ikan. Data potensi yang digunakan adalah hasil estimasi KKP yang tercantum pada Kepmen No. 45 tahun 2011 dengan pertimbangan antara lain: 1) Data tersebut adalah data yang digunakan Pemerintah dalam pengalokasian izin usaha penangkapan ikan; 2) Data ini mengelompokkan sumberdaya ikan berdasarkan jenis, tidak berdasarkan spesies mengingat sumberdaya ikan di perairan Arafura atau di daerah tropis sifatnya multispesies dan jumlah masing-masing spesiesnya sedikit; 3) Penelitian ini mengarah kepada keberlanjutan perikanan skala besar (industri) yaitu dengan basis kapal perikanan yang mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat (Ditjen Perikanan Tangkap, KKP) yaitu kapal-kapal perikanan berukuran lebih dari atau sama dengan 30 GT; 4) Lebih lanjut bila diperlukan pemanfaatan berdasarkan spesies dapat dilakukan dengan melihat komposisi hasil tangkapan ikan yang sudah dianalisis dan dituangkan kedalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 60 tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Perikanan. Data potensi sumberdaya ikan (MSY) dan Jumlah Tangkap yang Diperbolehkan (JTB) di perairan Arafura diuraikan pada Tabel 26. Tabel 26 Potensi dan JTB sumberdaya ikan di Laut Arafura (ribu ton/tahun) Jenis sumberdaya ikan Ikan pelagis kecil Ikan pelagis besar Ikan demersal Udang penaeid Ikan karang konsumsi Lobster Cumi-cumi Sumber : KKP (2011) Potensi (MSY) JTB (80% MSY) 468,66 374,93 50,86 40,69 284,70 227,76 44,70 35,76 3,10 2,48 0,10 0,08 3,39 2,71 119 Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan hasil penelitian KKP tentang produktivitas kapal penangkap ikan serta komposisi jenis ikan hasil tangkapan yang dituangkan kedalam Permen KP No. 60 tahun 2010 maka dapat diketahui jenis-jenis alat penangkap ikan yang berkorelasi dengan jenis sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapannya. Sumberdaya ikan jenis lobster tidak diperhitungkan dengan asumsi sebagai by-catch jenis-jenis alat penangkap ikan yang ada, disamping itu potensinya juga sedikit. Untuk mengetahui pengalokasian optimum dari komoditas sumberdaya ikan di Laut Arafura maka dilakukan metode Linear Goal Programming (LGP) dengan software LINDO (Linear Interactive Descrete Optimizer). 1) Sumberdaya ikan pelagis kecil Potensi (JTB) ikan pelagis kecil yang ada di Laut Arafura mencapai 374,93 ribu ton/tahun (BRKP, 2001). Ikan pelagis kecil di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pukat ikan (X1) dan pukat udang (X2). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan pelagis kecil diasumsikan 2 ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat ikan. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan pelagis kecil diasumsikan 0,03 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat pukat udang. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan ikan pelagis kecil yaitu : DB1 – DA1 + 2 X1 + 0,03 X2 = 374930 2) Sumberdaya ikan pelagis besar Potensi (JTB) ikan pelagis besar di Laut Arafura mencapai 40,69 ribu ton/tahun. Ikan pelagis kecil di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pukat ikan (X1), pukat udang (X2), dan gillnet oseanik (X3). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan pelagis besar diasumsikan 0,4 ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat ikan. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan pelagis besar diasumsikan 0,03 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat 120 pukat udang. Sedangkan produktivitas gillnet oseanik untuk menangkap ikan pelagis besar diasumsikan 0,85 ton/GT/tahun yang merupakan total nilai produktivitas gillnet oseanik untuk menangkap ikan pelagis besar. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan ikan pelagis besar yaitu : DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690 3) Sumberdaya ikan demersal Potensi (JTB) ikan demersal di Laut Arafura mencapai 161,87 ribu ton/tahun. Ikan demersal di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pukat ikan (X1), pukat udang (X2), dan pancing rawai dasar (X4). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap ikan demersal diasumsikan 1 ton/GT/tahun dari total produktivitas 3,4 ton/GT/tahun alat pukat ikan. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap ikan demersal diasumsikan 0,2 ton/GT/tahun dari total produktivitas 0,26 ton/GT/tahun alat pukat udang. Sedangkan produktivitas pancing rawai dasar untuk menangkap ikan demersal diasumsikan 1,1 ton/GT/tahun dari total produktivitas 1,2 ton/GT/tahun untuk pancing rawai dasar. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan ikan demersal : DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760 4) Sumberdaya udang Potensi (JTB) udang di Laut Arafura mencapai 34,48 ribu ton/tahun. Udang di Laut Arafura dapat ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pukat ikan (X1) dan pukat udang (X2). Produktivitas pukat ikan untuk menangkap udang adalah 0,17 ton/GT/tahun yang merupakan total produktivitas alat. Sementara itu Produktivitas pukat udang untuk menangkap udang adalah 0,4 ton/GT/tahun yang merupakan total produktivitas alat. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan udang yaitu: DB4 – DA4 + 0,17 X1 + 0,4 X2 = 35760 121 5) Sumberdaya cumi-cumi Potensi (JTB) cumi-cumi di Laut Arafura mencapai 2,71 ribu ton/tahun. Cumi-cumi di Laut Arafura hanya ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pancing cumi atau squid jigging (X5). Produktivitas pancing cumi untuk menangkap cumi-cumi adalah 0,26 ton/GT/tahun yang merupakan total produktivitas alat. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk pemanfaatan cumi-cumi yaitu : DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710 6) Sumberdaya ikan karang konsumsi Potensi (JTB) ikan karang konsumsi di Laut Arafura mencapai 2,48 ribu ton/tahun. Ikan karang konsumsi di Laut Arafura ditangkap oleh jenis alat penangkap ikan berupa pancing rawai dasar (X4). Produktivitas pancing rawai dasar menangkap ikan karang konsumsi 0,1 ton/GT/tahun dari total produktivitas alat pancing rawai dasar 1,2 ton/GT/tahun. Berdasarkan hal tersebut maka persamaan kendala tujuan (goal constraint) untuk ikan karang konsumsi yaitu : DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480 Berdasarkan hasil analisis RAPFISH diketahui bahwa terdapat 3 jenis alat penangkap ikan yang tergolong cukup berlanjut sehingga dapat diprioritaskan untuk dikembangkan di Laut Arafura yakni gillnet oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi. Terhadap ketiga jenis alat tangkap ini selanjutnya dilakukan optimasi tahap pertama dengan tujuan utama memperoleh jumlah optimumnya. Persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama yaitu : DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690 ............. (9) DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760 .................... (10) DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710 ............................................ (11) DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480 .............................................. (12) Persamaan (9) sampai (12) adalah persamaan optimasi pemanfaatan ikan pelagis besar, ikan demersal, ikan karang konsumsi dan cumi-cumi. Pada tahap 122 ini persamaan untuk ikan pelagis kecil dan udang belum digunakan karena diasumsikan merupakan target utama pukat ikan dan pukat udang sebagai jenis alat penangkap ikan yang statusnya kurang berlanjut. Analisis LINDO tahap pertama menghasilkan jumlah optimum gillnet oseanik, pancing rawai dasar dan pancing cumi yaitu : • Gillnet Oseanik (X3) = 24.119 GT • Pancing Rawai Dasar (X4) = 24.800 GT • Pancing Cumi (X5) = 10.423 GT Penyelesaian persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama dapat dilihat pada Lampiran 6. Untuk mengetahui alokasi keseluruhan jenis alat penangkap ikan yang ada maka dilanjutkan dengan analisis optimasi tahap kedua. Pada tahap kedua ini dimasukkan persamaan optimasi untuk ikan pelagis kecil dan udang, serta hasil alokasi optimum gillnet oseanik, pukat ikan, dan pukat udang pada tahap pertama sebagai pembatas. Tujuan optimasi tahap kedua adalah memperoleh jumlah optimal seluruh alat penangkap ikan. Persamaan optimasi tahap kedua sebagai berikut : DB2 – DA2 + 0,4 X1 + 0,03 X2 + 0,85 X3 = 40690 ................ (13) DB3 – DA3 + X1 + 0,2 X2 + 1,1 X4 = 227760 ........................ (14) DB5 – DA5 + 0,26 X5 = 2710 ................................................ (15) DB6 – DA6 + 0,1 X4 = 2480 .................................................. (16) DB1 – DA1 + 2 X1 + 0,03 X2 = 374930 ................................. (17) DB4 – DA4 + 0,17 X1 + 0,4 X2 = 35760 ................................ (18) X3 ≥ 24.119 ................................................................................... (19) X4 ≥ 24.800 ................................................................................... (20) X5 ≥ 10.423 .................................................................................... (21) 123 Analisis optimasi LINDO tahap kedua menghasilkan jumlah optimum untuk seluruh jenis alat penangkap ikan termasuk pukat ikan dan pukat udang, sebagai berikut : • Pukat Ikan (X1) = 187.318 GT • Pukat Udang (X2) = 9.789 GT • Gillnet Oseanik (X3) = 24.119 GT • Pancing Rawai Dasar (X4) = 34.985 GT • Pancing Cumi (X5) = 10.423 GT Penyelesaian persamaan LINDO untuk optimasi tahap pertama dapat dilihat pada Lampiran 7. Dalam hal ini digunakan asumsi bahwa potensi sumberdaya ikan termanfaatkan seluruhnya oleh industri perikanan tangkap. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh perbandingan antara jumlah optimum alat penangkap ikan dengan jumlah yang ada saat ini di Laut Arafura sebagaimana pada Tabel 27. . Tabel 27 Perbandingan unit penangkapan optimal dan yang ada di Laut Arafura No. 1. 2. 3. 4. 5. Jenis alat penangkap ikan Pukat Ikan Pukat Udang Gillnet Oseanik Pancing Rawai Dasar Pancing Cumi Jumlah optimal (GT) 187.318 9.789 24.119 34.985 10.423 Jumlah yang ada (GT) 113.932 19.760 23.360 6.354 13.084 Selisih +/(GT) 73.386 9.971 759 28.631 2.661 Analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan menunjukkan bahwa untuk alat penangkap ikan yang berkelanjutan yaitu gillnet oseanik dan pancing rawai dasar masih bisa dikembangkan menuju optimal, sedangkan pancing cumi sedikit melebihi nilai optimal. Gillnet oseanik masuk dalam kategori optimal namun masih bisa ditambah 759 GT (3 unit), pancing rawai dasar masih sangat besar peluangnya untuk ditambah yaitu 28.631 GT (477 unit). Pancing cumi merupakan alat tangkap yang cukup berlanjut berdasarkan analisis RAPFISH namun hasil optimasi menunjukkan bahwa kondisi saat ini dari 124 segi alokasi penangkapan sudah melebihi kapasitas optimal sebesar 2.661 GT (17 unit). Kondisi ini bisa terjadi disebabkan analisis RAPFISH melihat keberlanjutan dari seluruh dimensi sedangkan analisis optimasi melihat keberlanjutan dari satu aspek saja yaitu ketersediaan stok ikan. Sebagai ilustrasi memang alat pancing cumi cukup berlanjut tetapi kalau jumlahnya berlebihan maka akan mengganggu keberlanjutan perikanan misalnya antara lain karena penggunaan FAD yang tinggi. Pukat udang merupakan alat tangkap yang sudah melebihi alokasi optimum sehingga jumlahnya dapat dikurangi. Namun demikian pukat ikan meskipun tergolong kurang berlanjut tetapi jumlahnya di Arafura saat ini belum optimal khususnya untuk menangkap ikan pelagis kecil yang potensinya sangat besar. Untuk alat penangkap ikan yang statusnya kurang berlanjut yaitu pukat ikan dan pukat udang apabila akan dikembangkan harus dipersyaratkan peningkatan keberlanjutan perikanannya, antara lain : (1) Pengurangan dampak ekologi yang diakibatkan pengoperasian pukat udang dan pukat ikan dengan cara memperbaiki kondisi habitat dan lingkungan sumberdaya ikan misalnya melalui pemulihan sumberdaya ikan, dan memperbaiki aturan tentang mata jaring, penerapan open-closed season dan open-closed area. (2) Peningkatan penyerapan tenaga kerja melalui perluasan industri pengolahan, pemasaran dan jasa terkait perikanan. (3) Peningkatan SDM mencakup keterampilan, sikap dan perilaku nelayan yang terlibat di usaha penangkapan ikan, termasuk penyadaran terhadap lingkungan dan aturan yang berlaku. (4) Intervensi atau inovasi teknologi pukat udang dan pukat ikan yang produktif tetapi tidak mengancam keberlanjutan perikanan. (5) Menerapkan model co-management antara pelaku usaha perikanan dengan masyarakat setempat. Dapat juga dikembangkan kompensasi dalam bentuk lain misalnya model kemitraan, bantuan usaha atau corporate social responsibility. 125 Data untuk mengkonversi jumlah GT menjadi unit kapal digunakan dari data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap (2011) yang menunjukkan ukuran GT dominan masing-masing alat penangkap ikan di Laut Arafura sebagai berikut : pukat ikan ( GT>200) seingga 1 unit = 200 GT; pukat udang (100 – 200 GT) sehingga 1 unit rata-ratanya 150 GT; gillnet oseanik (GT>200) sehingga digunakan 1 unit = 200 GT; pancing rawai dasar (60 GT) sehingga 1 unit = 60 GT; dan pancing cumi (100 – 200 GT) sehingga 1 unit rata-rata 150 GT. 4.3 Pengelolaan industri perikanan tangkap melalui perizinan 4.3.1 Mekanisme perizinan saat ini Secara umum dikenal 2 jenis izin perikanan yaitu izin usaha perikanan (SIUP) dan izin operasional kapal perikanan. Izin operasional kapal perikanan terdiri dari 2 macam yiatu izin penangkap ikan (SIPI) dan izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Izin operasional didapatkan setelah pemohon atau pelaku usaha memperoleh SIUP. Izin yang terkait dengan pengalokasian sumberdaya ikan adalah SIUP. Pengelolaan izin perikanan tangkap diatur melalui Permen No. 14 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap yang diubah atau disempurnakan dengan Permen KP No. 49 Tahun 2011. Mekanisme perizinan yang tercantum pada Permen KP No. 14 Tahun 2011 kurang lebih sama dengan Permen sebelumnya yaitu Permen KP No. 12 Tahun 2009 sebagai hasil penyempurnaan Permen KP No. 5 Tahun 2008. Berdasarkan peraturan tersebut, mekanisme perizinan mencakup tata cara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI mulai dari permohonan sampai dengan pemrosesan izin (verifikasi kelengkapan permohonan, penilaian kelayakan usaha, pemeriksaan ketersediaan sumberdaya ikan, pembayaran pungutan, serta pencetakan surat izin). Mekanisme perizinan SIUP dimulai dari pengajuan permohonan penerbitan SIUP oleh pelaku usaha (pemohon) kepada Pemerintah. Terhadap permohonan tersebut selanjutnya dilakukan penelitian kelengkapan persyaratan dan penilaian kelayakan usaha dengan mempertimbangkan ketersediaan dan kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan lingkungannya. Setelah memperhatikan ketersediaan sumberdaya ikan dan 126 lingkungannya serta permohonan dianggap layak maka dilakukan proses pencetakan surat pembayaran pungutan (PPP) untuk dibayar oleh Pemohon. Setelah Pemohon melunasi pungutan maka dilakukan pencetakan dokumen SIUP yang berisi alokasi jumlah kapal dan wilayah perairan penangkapan yang diperbolehkan. Bila Alokasi tidak direalisasikan setelah jangka waktu tertentu maka harus dikembalikan kepada Pemerintah. Tahapan yang paling penting terkait pemberian alokasi perizinan antara lain : 1) Penilaian kelayakan usaha Penilaian kelayakan usaha meliputi kelayakan aspek sumberdaya ikan, aspek teknis (kapal, alat penangkap ikan, pelabuhan, pemasaran, tenaga kerja), dan aspek finansial usaha. Aspek kelayakan sumberdaya ikan menyangkut ketersediaan potensi sumberdaya ikan dan kelestariannya di wilayah pengelolaan perikanan (WPP). 2) Pemeriksaan (checking) ketersediaan alokasi sumberdaya ikan Ketersediaan alokasi sumberdaya ikan dan jenis alat penangkapan ikan merupakan bagian penting dari penilaian aspek kelayakan usaha. Oleh karena itu, angka ketersediaan alokasi perlu akurat dan merupakan data terbaru (up-dated). Angka alokasi yang diberikan bersumber pada angka stok sumberdaya ikan atau pertimbangan ilmiah lainnya. Sebagai landasan internal di Ditjen Perikanan Tangkap, sudah ada Surat Keputusan (SK) Dirjen Perikanan Tangkap No. 2 Tahun 2012 yang mengatur pengalokasian usaha penangkapan ikan di setiap WPP. SK Dirjen tersebut yang akan diperbaharui setiap tahunnya, mengatur jenis-jenis alat penangkap ikan tertentu yang diperbolehkan atau tidak serta jumlah alokasi GT-nya. Landasan untuk menghitung alokasi pada SK tersebut adalah angka potensi secara umum yang tertuang pada Permen KP No. 24 Tahun 2011, serta dengan mempertimbangkan produksi perikanan berdasarkan laporan kegiatan usaha, produktivitas penangkapan ikan, hasil rencana pengelolaan perikanan (RPP), dan porsi izin daerah. Penglokasian jumlah alat penangkapan ikan atau jumlah GT ini belum dilakukan 127 optimasi yang memperhitungkan jumlah potensi seluruh sumberdaya ikan dan seluruh produktivitas jenis alat penangkap ikan. 3) Pemeriksaan (checking) kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya Kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya merupakan pertimbangan yang rasional untuk memberikan izin usaha pada suatu wilayah perairan mengingat dampak yang bisa ditimbulkan dari usaha perikanan tangkap. Faktor ini belum menjadi perhatian penting pemberian izin perikanan saat ini. Sebagai pertimbangan adalah kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP secara umum. Mekanisme yang dilakukan sudah cukup baik terutama dalam hal penyediaan data alokasi untuk perizinan yaitu dengan dipertimbangkannya beberapa aspek. Namun demikian mekanisme ini belum menetapkan tingkat optimal pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya ikan yang ada dengan jenis alat tangkap yang tersedia. Disamping itu mekanisme ini belum mengakomodir aspek kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya secara holistik. Pada Gambar 42 diperlihatkan alur mekanisme pengelolaan perikanan tangkap melalui alokasi perizinan (SIUP) yang berlaku saat ini. 4.3.2 Alternatif penyempurnaan mekanisme perizinan Mekanisme izin yang ditawarkan tidak mengubah prosedur perizinan secara umum namun memberikan alternatif dalam hal pengalokasian jenis alat penangkap ikan yang optimal serta penentuan kondisi lingkungan perairan yang lestari (berlanjut). Kedua hal tersebut menjadi kunci bagi penilaian kelayakan usaha perikanan tangkap yang diajukan sebagaimana tercantum pada Pasal 9 Ayat (1) Permen KP No. 14 Tahun 2011 yang diubah menjadi Permen KP No. 49 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Gambar 43 memperlihatkan alternatif alur mekanisme pengelolaan perikanan tangkap melalui alokasi perizinan. 128 Start Pemohon mengajukan surat permohonan Poten si Permohonan izin usaha Produ ktivits Data Lain Analisis ketersediaan alokasi Data Alokasi Penilaian Kelayakan usaha dan kelengkapan dokumen Checking ketersediaan alokasi Alokas i ada? Layak & lengkap? Penerbitan Surat Perintah Bayar PNBP Sudah Bayar? Penerbitan SIUP (alokasi) direalis asikan? selesai Gambar 42. Alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP) (Permen KP No. 14 Tahun 2011) 129 Start Pemohon mengajukan surat permohonan Poten si Produ ktivits Data Lain Permohonan izin usaha Analisis optimasi alokasi Data alokasi optimal Penilaian Kelayakan usaha dan kelengkapan dokumen Checking alokasi yg optimal Alokasi opt.ada? Layak & lengkap Penerbitan Surat Perintah Bayar PNBP Sudah Bayar? Penerbitan SIUP (alokasi) WPP lestari? Checking kelestarian/ keberlanjutan WPP Data Status keberlanjutan per WPP Data alat yg berlanjut Analisis keberlanjutan direalis asikan? selesai Gambar 43. Alternatif alur mekanisme penerbitan alokasi perizinan (SIUP) 130 Hal-hal terkait mekanisme alternatif ini yaitu : 1) Pemeriksaan (checking) ketersediaan alokasi sumberdaya ikan Dengan landasan potensi sumberdaya ikan (Permen KP No. 45 Tahun 2011), nilai produktivitas alat penangkap ikan (Permen KP No. 60 Tahun 2010) dan variabel lain sebagai pendukung maka dilakukan optimasi untuk menentukan jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang bisa dialokasikan optimal. Variabel pendukung bisa ditambahkan kedalam persamaan optimasi misalnya hasil-hasil kesepakatan tentang peluang atau status perikanan. Alat bantu analisis yang digunakan adalah analisis optimasi dengan cara Linear Goal Programming (LGP). Output yang dihasilkan yaitu data alokasi optimal jenis alat penangkap ikan. 2) Pemeriksaan (checking) kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya Persyaratan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat direfleksikan sebagai keberlanjutan perikanan tangkap pada suatu wilayah perairan atau WPP. Oleh karena itu pada bagian ini sangat baik bila memanfaatkan multidimensional. hasil analisis keberlanjutan perikanan secara Hasil analisis keberlanjutan tidak hanya melihat keberlanjutan dari aspek sumberdaya ikan dan lingkungan saja tetapi seluruh aspek mencakup ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etika dari usaha perikanan tangkap pada suatu WPP. Analisis keberlanjutan juga merekomendasikan jenis-jenis alat penangkap ikan yang sifatnya berlanjut dan menjadi prioritas untuk dikembangkan. Dalam hal ini digunakan analisis RAPFISH. Output yang dihasilkan adalah data atau dokumen keberlanjutan perikanan berdasarkan WPP, serta data jenis alat tangkap yang statusnya berkelanjutan atau tidak. Pada mekanisme alternatif ini, data atau dokumen yang menjadi acuan untuk penilaian kelayakan usaha yaitu : 1) Data alokasi optimal jenis alat penangkap ikan per WPP, yang dihasilkan dari analisis optimasi alokasi dengan variabel potensi sumberdaya ikan (Kepmen KP No. 45 Tahun 2011), data produktivitas kapal penangkap ikan (Permen No. 60 Tahun 2010), data jenis alat penangkap ikan yang 131 berkelanjutan (hasil analisis RAPFISH) dan data pendukung lain yang terkait. 2) Data status keberlanjutan perikanan per WPP untuk menggambarkan tingkat kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan. Mekanisme alternatif ini tidak menyebabkan waktu proses perizinan menjadi lebih lama karena analisis data tidak dilakukan setiap ada permohonan izin melainkan cukup hanya sekali saja dan dilakukan up-dating secara cepat dengan bantuan program komputer. Secara umum, kerangka strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu sebagaimana Gambar 44 terdiri dari tahapan : 1) Assesment perikanan : aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etika; 2) Penentuan keberlanjutan perikanan di lokasi perairan : kondisi secara umum; 3) Penentuan alat penangkap ikan yang berkelanjutan : kondisi per alat penangkap ikan; 4) Penentuan analisis pengungkit (leverage) : faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan; 5) Pengalokasian optimal alat penangkap ikan prioritas yang berkelanjutan berdasarkan tujuan yang diinginkan; 6) Pengalokasian optimal seluruh jenis alat penangkap ikan; 7) Pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian perizinan perikanan dan evaluasinya berdasarkan feedback faktor pengungkit. 132 KEBERLANJUTAN PERIKANAN G L O B A L M A K R O E K O N O M I E K O L O G I S O S I A L T E K N O L O G I OPTIMASI POTENSI SDI E T I K A ANALISIS OPTIMASI TAHAP I POTENSI IKAN ALOKASI OPTIMAL ALAT TANGKAP YANG BERLANJUT ANALISIS OPTIMASI TAHAP II ANALISIS RAPFISH LEVE RAGE ALOKASI OPTIMAL SELURUH JENIS ALAT TANGKAP JENIS ALAT TANGKAP BERLANJUT PERIZINAN USAHA PERIKANAN TANGKAP ORDI NASI MONTE CARLO S P E S I F I K M I K R O feedback INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP TERPADU Gambar 44 Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu berkelanjutan 133 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Status perikanan di Arafura dalam keadaan cukup berlanjut dengan skor 53,86. 2. Berdasarkan jenis alat penangkap ikan, dari 5 jenis perikanan dominan yang digunakan maka terdapat 3 (tiga) dalam keadaan cukup berkelanjutan yaitu perikanan pancing cumi, pancing rawai dasar, dan gillnet. Sedangkan perikanan pukat ikan dan pukat udang dalam keadaan kurang berlanjut. Berdasarkan dimensi atau aspek, dimensi ekologi, teknologi, dan sosial dalam keadaan cukup berlanjut sedangkan aspek ekonomi dan etika dalam kondisi kurang berlanjut. 3. Atribut yang paling berpengaruh pada masing-masing dimensi keberlanjutan perikanan adalah : (1) ukuran ikan tangkapan pada dimensi ekologi; (2) ketenagakerjaan pada dimensi ekonomi; (3) penggunaan FAD (fish attracting devices) dan selektivitas alat pada dimensi teknologi; (4) tingkat pendidikan pada dimensi sosial; dan (5) keadilan dalam hal pengelolaan pada dimensi etika. Atribut yang paling sedikit pengaruhnya pada masing-masing dimensi adalah: (1) jumlah spesies tangkapan pada dimensi ekologi; (2) subsidi dan kontribusi PNBP pada dimensi ekonomi; (3) sosialisasi penangkapan pada dimensi sosial; (4) penanganan di atas kapal pada dimensi teknologi; dan (5) mitigasi-deplesi ekosistem/habitat pada dimensi etika. 4. Hasil analisis optimasi pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan menghasilkan jenis alat penangkap ikan prioritas dengan alokasinya sebagai berikut : pancing rawai dasar 34.985 GT; gillnet oseanik 24.119 GT; dan pancing cumi 10.423 GT. Sedangkan alokasi pukat ikan dan pukat udang masing-masing adalah 187.318 GT dan 9.789 GT. 5. Alat penangkapan ikan yang statusnya berkelanjutan dapat dikembangkan lebih lanjut pengalokasiannya kecuali untuk pancing cumi yang sudah mencapai optimum. Sedangkan pengalokasian untuk alat penangkapan 134 ikan yang kurang berlanjut bisa dilaksanakan dengan syarat antara lain : (1) Pengurangan dampak ekologi yang diakibatkan pengoperasian pukat udang dan pukat ikan dengan cara memperbaiki kondisi habitat dan lingkungan sumberdaya ikan misalnya melalui pemulihan sumberdaya ikan dan memperbaiki aturan tentang mata jaring, penerapan open-closed season dan open-closed area; (2) peningkatan penyerapan tenaga kerja melalui perluasan industri pengolahan, pemasaran dan jasa terkait perikanan; (3) peningkatan SDM nelayan atau pelaku usaha perikanan; (4) intervensi atau inovasi teknologi pukat udang dan pukat ikan yang produktif tetapi tidak mengancam keberlanjutan perikanan; (5) Peningkatan pola usaha penangkapan ikan yang mengakomodir pelibatan masyarakat (co-management); 6. Sistem pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu diimplementasikan melalui pengalokasian izin perikanan yang berlaku saat ini dengan alternatif penyempurnaan dalam hal pengalokasian jenis alat penangkap ikan yang optimal serta penentuan kondisi lingkungan perairan yang lestari (berlanjut). 7. Kerangka strategi pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu memiliki tahapan sebagai berikut : (1) assesment perikanan; (2) penentuan status keberlanjutan perikanan di lokasi perairan; (3) penentuan jenis alat penangkap ikan yang berkelanjutan; (4) penentuan analisis pengungkit (leverage); (5) pengalokasian optimal alat penangkap ikan prioritas yang berkelanjutan berdasarkan tujuan; (6) pengalokasian optimal seluruh jenis alat penangkap ikan; (7) Pengelolaan industri perikanan tangkap terpadu melalui pengalokasian perizinan perikanan dan evaluasinya berdasarkan feedback faktor pengungkit. 5.2 Saran 1. Upaya untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan di Arafura dapat ditempuh melalui intervensi atau kebijakan pada atribut yang sangat berpengaruh pada tiap-tiap dimensi, antara lain : 135 (1) Pengaturan perikanan (management measures) untuk mendukung perbaikan kondisi ekologi perikanan termasuk sumberdaya ikan. (2) Penyerapan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja lokal. (3) Peningkatan selektivitas alat penangkap ikan dan penggunaan FAD. (4) Peningkatan kualitas SDM melalui pengetahuan dan keterampilan bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan. (5) Peningkatan keadilan dan partisipasi masyarakat/ nelayan dalam usaha perikanan. 2. Perlu dipromosikan dan dikembangkan alat penangkapan ikan yang cukup berlanjut seperti pancing rawai dasar, gillnet oseanik dan pancing cumi. Untuk perikanan pukat udang dan pukat ikan diperlukan perbaikan status keberlanjutannya. 136 DAFTAR PUSTAKA Alder, J., T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris. 2000. How Good is Good?. A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. 136-182 p Baskoro, M.S., 2006. Alat Penangkap Ikan Berwawasan Lingkungan, dalam Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab : Kenangan Purnabakti Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja. Departemen PSP-IPB BRKP-DKP, 2004. Penelitian Bio-Ekologi Sumberdaya Perikanan (Ikan Demersal, Pelagis Besar dan Pelagis Kecil) di Perairan Laut Arafura, Laut Banda dan Sekitarnya, dalam Jurnal Bagian I Iptek Kelautan dan Perikanan Masa Kini BRKP-DKP, 2004. Sumberdaya Ikan Kakap Merah di Laut Arafura, dalam Jurnal Bagian I Iptek Kelautan dan Perikanan Masa Kini BRKP & LIPI, 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 125 hal Cadima, E.L., 2003. Fish Stock Assesment Manual. FAO Fisheries Technical Paper. Rome. 161 p Charles, A.T., 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science, UK. and Sons. 370 p Cochrane, K.L., 2002. A Fishery Manager’s Guidebook : Management Measures and Their Application. FAO Technical Paper 424. FAO Direktorat Pelabuhan Perikanan, 2008. Profil Pelabuhan Perikanan. Jakarta Direktorat PUP, 2008. Data Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Kumpulan Peraturan Alat Penangkapan Ikan. Jakarta. 2010 Ditjen Perikanan Tangkap, 2010. Statistik Perikanan Tangkap 2009 Ditjen Perikanan Tangkap, 2009. Rakor Pembinaan Perizinan Pusat – Daerah 2009: Press Release. Surabaya. 3 Maret 2009 Ditjen Perikanan Tangkap, 2009. Resume Rapat Pimpinan (Rapim) Ditjen Perikanan Tangkap April 2007 s/d Mei 2009. Jakarta. 2010 Ditjen Perikanan Tangkap, 2008. Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Tangkap, dalam Presentasi Sesditjen Perikanan Tangkap di Yogyakarta. Ditjen Perikanan Tangkap, 2005. Identifikasi Beberapa Alat Penangkapan Ikan Yang Diperbolehkan dan Yang Dilarang oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta Ditjen PSDKP, 2005. ”Illegal Fishing Terus Diburu”, dalam Jurnal ”Barracuda” No. 2 Volume II halaman 48. Agustus 2005 137 Eriyatno, 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. 147 hal FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries Fauzi, A.S., 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2006 Fauzi, A.S. dan Anna S., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005 Fridman A.L., 1986. Calculations of Fishing Gear Design. Manual. Rome: Fishing News Books. 241 p FAO Fishing Garcia, S., 1996. Indicators fo Sustainable Development of Fisheries. Paper presented at the 2nd Wolrd Fisheries Congress. Workshop on Fihesries Sustainability Indicators. Brisbane, Australia. http:/www.fao.org/publ. (5 Juli 2009) Hamdan, D.R. Monintja., J. Purwanto, S. Budiharsono, A. Purbayanto, 2006. Analisis Kebijakan Pengolahan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XV No. 3 Desember 2006. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor. Haluan, J., Tri Wiji N., Sugeng H.W., Eko Sri W., Mustaruddin, 2004. Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Departemen PSP-FPIK IPB. Bogor Hermawan M, F.A. Sondita, A.S. Fauzi, D.R. Monintja, 2006. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Buletin PSP Vol. XV No. 2. Agustus 2006. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor. Kavanagh, P., 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. RAPFISH Software Description (for Microsoft Excel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kavanagh, P. and Pitcher, T.J., 2004. Implementing Microsoft Excel Software for RAPFISH : A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall Vancouver, Canada, V6T IZ4 Kesteven, G.L., 1973. Manual of Fisheries Science. Part 1- An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No. 118. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. 43 hal Kepmen KP No. 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP negara Republik Indonesia King, M and Mc. Ilgrom A., 1989. Fisheries Biology and Management of Pasific Islands Student. International Development Program of Australian Universities and Colleges. 67 p KKP, 2007. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Law, AM. and Kelton WD., 2000. Simulation Modeling and Analysis. Boston: McGraw-Hill (Third Edition), 760 p 138 Maanema, M., A. Purbayanto, dan W. Oktariza, 2006. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Pesisir Laut Arafura dan Implikasinya Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. Hal 99 - 132 Mamuaya, G.E., J. Haluan, S.H. Wisudo, I.W. Astika, 2007. Status Kebelanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai: Penelaan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP Vol. XVI No. 1. April 2007. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor Mangga Barani, H., 2006. Kajian Usaha Perikanan Demersal di Laut Arafura : Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. Hal 99 132 Martosubroto, P., 2007. “Angka Potensi Perlu Disikapi dengan Bijak”. Paper pada Pertemuan FKPPS Tingkat Propinsi NTT, Maumere, 10-12 Mei 2006 Monintja, D.R., 2006. Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. 2006 Murdiyanto, B., 2011. Perikanan Tangkap : Dulu dan Sekarang. New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. Departemen PSP FPIK IPB Bogor. Intramedia Bogor. Hal 36 Muslich, M., 1993. Metode Kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 445 hal Mustaruddin, 2006. Model Pemanfaatan Sumberdaya Ikan dan Ekosistemnya melalui Kegiatan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut dalamPerspektif Kelembagaan : Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Departemen PSP – FPIK IPB. 119 hal Nikijuluw, V.P.H., 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan Pustaka Cidesindo. Jakarta Nikijuluw, V.P.H., 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Bagaimana dan Ke mana Bisnis Perikanan. PT Fery Agung Corporation (FERACO). Jakarta. 289 hal Nikijuluw, V.P.H., 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Penerbit Cidesindo. Jakarta. 196 hal Nurani, T.W., D.R. Monintja, Alfi R.L., 2006. Strategi Kebijakan untuk Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan yang IUU Fishing di Perairan ZEEI sebelah Utara Papua: Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Departemen PSPFPIK IPB. 144 -145 hal Nurhakim, S., 2007. WPP Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan : Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. PRPT-BRKP 139 Permen KP No. 60 Tahun 2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan Permen KP No. 49 Tahun 2011 revisi atas Permen KP No. 14 Tahun 2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Permen KP No. 12 Tahun 2009 revisi atas Permen KP No. 05 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pitcher, T.J., 1999. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Circular No. 947: 47 p Pitcher, T.J. and Preikshot D., 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research Report No. 49. Fisheries Center University of British Columbia, Vancouver. Page 255-270 Purbayanto, A. dan F.A. Sondita., 2006. Jenis, Sebaran, dan Keanekaragaman Sumberdaya Ikan Hasil Tangkapan di Tepian Laut Arafura. Paper pada Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK – IPB. Hal 67 – 92 Purnomo, A., Taryono H., Hasution Z., & Hartono T.T., 2002. Analisis RAPFISH Perikanan Selat Sunda (Laporan Teknis). Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 189 hal Purwanto, 2005. Memori Pelaksanaan Tugas Pelayanan Usaha Penangkapan dalam bidang Pelayanan Perizinan Usaha Penangkapan. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP. Jakarta RAPFISH Group UBC. 2005. Attributes of Rapfish Analysis For Ecological, Techical, Economic, Social, and Sustainability, and Ethical Status Evaluation Field (reviesed Dec, May 2000, Feb 2002, Jan 2003, Dec 2003). http:/www.fisheries. ubc.ca/publication/report. (5 Juli 2009) Rusmilyansari, 2010. Model pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap berbasis resolusi konflik. Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut: Marine Fisheries Vol 1. No. 2, November 2010. Hal 177 – 188 Siswanto, 1990. Sistem Komputer Manajemen LINDO. Penerbit Elex Media Komputindo. Gramedia. Jakarta. 242 hal South East Asian Fisheries Development Center. 1999. Responsible Fishing Operations. Regional Guidelines for Responsible Fisheries in Southeast Asia. SEAFDEC, Thailand. Stevenson, W.J., 1989. Introduction of Management Science. Richard D. Irwin Inc. USA Suwartana, 1986. Stock Assesment of The Penaeid Shrimp in The Trawl Fishing Ground at Arafura Sea, dalam Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 36 Tahun 1986 Hal 7-14. Balai Penelitian Perikanan Laut. Balitbang Pertanian Deptan. Jakarta Suwartana, 1986. Struktur Populasi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di 140 Maluku Tengah, dalam Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 36 Tahun 1986. Balai Penelitian Perikanan Laut. Balitbang Pertanian Deptan. Jakarta Suyasa, I.N., F.A. Sondita, V.P.H Nikijuluw, D.R. Monintja, 2007. Status Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil dan Faktor Penentu Efisiensi Usaha Perikanan di Pantai Utara Jawa. Buletin PSP Vol. XVI No. 1 Agustus 2007. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan UU No. 45 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Wiryawan, B., Sugeng H.W., Mulyono S.B., 2008. Permasalahan dalam Implementasi Konsep Pengembangan Perikanan Terpadu. Buletin PSP Vol. XVII No. 2 Agustus 2008. Departemen PSP, FPIK, IPB. Bogor Wisudo, S.H., 2011. Reinventing Pembangunan Perikanan Tangkap. New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. Departemen PSP FPIK IPB Bogor. Intramedia Bogor. Hal 14 141 Lampiran 1 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekologi. 2D MDS Results & Flipped & Scaled Rotated PUKAT IKAN 0.0366878 0.0041464 0.0367312 0.0037425 52.510223 GILLNET OSEANIK 1.5691968 0.0034515 1.5691398 -0.0138128 99.965164 PUKAT UDANG -0.4164775 0.0644819 -0.4157429 0.0690599 38.498211 PANCING CUMI 1.5694792 0.0034606 1.5694224 -0.0138068 99.973915 1.093426 -0.131274 1.0919155 -0.1432958 85.186699 1.5703211 0.0035135 1.5702647 -0.0137631 100 BAD -1.6586703 -0.0320136 -1.6589221 -0.0137633 0 UP -0.0452578 1.3948106 -0.0299096 1.3952241 50.446522 DOWN -0.0014674 -1.4455701 -0.0173714 -1.4454664 50.834805 1.346257 0.5935612 1.3527057 0.578714 93.262733 0.9550292 1.0433328 0.96645 1.0327625 81.301338 0.4811257 1.3079026 0.495486 1.3025301 66.716736 -0.5603172 1.3040042 -0.5459369 1.3100897 34.466423 -1.0252254 1.0673531 -1.0134206 1.0785679 19.989599 -1.420024 0.6085377 -1.4132432 0.6241235 7.6080732 -1.6390897 0.0157835 -1.6388168 0.0338156 0.6226101 -1.6390887 0.0157866 -1.6388159 0.0338187 0.6226396 -1.4040841 -0.5691798 -1.4102612 -0.5536979 7.7004194 -1.0194728 -1.0283566 -1.0307248 -1.0170783 19.453732 -0.5453953 -1.3071796 -0.5597439 -1.3010999 34.038853 0.5027972 -1.305804 0.4884006 -1.3112566 66.497322 0.9349778 -1.0253575 0.9236404 -1.0355819 79.975632 1.315273 -0.585391 1.3087531 -0.599826 91.901627 PANCING RAWAI DASAR GOOD ANCHORS: Stress = 0.1543489 Squared Correlation (RSQ) = 0.9430046 1 0.226452 9E+20 3 2 0.2236329 0.0028191 5214 3 0.2236899 -5.703E-05 Number of iterations = Memory needed (words) = Return value (error if > 0) Rotation angle (degrees) = Iteration 0 0.6303737 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 5 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 14 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 9 Row# of BAD fishery = 10 Row# of UP fishery = 11 Row# of DOWN fishery = 12 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 13 # attributes = Column letter of 1st attribute = 8 D Stress Delta 142 Lampiran 2 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi ekonomi. 2D MDS Results Rotated PUKAT IKAN 0.0984898 -0.4254684 GILLNET OSEANIK 0.4645342 -0.0540841 PUKAT UDANG 0.2344404 -0.5457347 PANCING CUMI -0.3406255 0.2324187 PANCING RAWAI DASAR 0.0419447 0.4232113 0.0486958 0.2490173 0.1570035 0.1626636 0.0087608 -1.5449127 -0.4527288 BAD 1.4647887 0.5569348 1.6086818 1.5658611 UP 0.4490753 -1.4602096 0.0386636 GOOD & Flipped & Scaled 0.4347002 50.646843 15.85128 0.199021 35.994152 8.332119 0.5919607 0.3286861 47.791615 57.169758 20.868553 8.5039606 0.0434293 0.0621395 0.0621389 44.379856 3.3680882 100 0 0 0.7070953 50.543488 50 DOWN -0.5057119 1.5255404 -0.005746 1.527215 1.6071668 49.144558 -50 ANCHORS: -1.2839488 -0.8591811 1.490541 0.4062069 96.278496 14.235114 -0.9888597 -1.2067298 1.3213124 0.8295623 90.947693 27.741936 -0.5624726 -1.4186444 0.9844654 1.1660855 80.336807 38.478443 -0.058681 -1.5323935 1.4341588 66.430756 47.031116 0.9341045 -1.2036597 1.4382503 33.487812 47.161652 Stress = Squared Correlation (RSQ) = 0.005898 1.5551237 0.5430118 0.5027762 0.8909218 1.2262862 1.4716431 1.5164758 1.2783839 0.9597173 0.5001991 -0.9703525 1.2649883 0.5176362 -1.34071 0.9873371 0.9570696 -1.5538431 0.5167778 1.3087969 -1.5768148 0.0287928 1.4857794 0.4559789 0.5119592 0.9028044 1.2539592 1.4724963 1.5079231 1.3624815 0.9841437 0.5288038 Stress Delta 1.2266471 -0.855306 1.4352124 -0.4225788 1.5402505 0.0357545 1.2749023 0.9676905 0.9248651 1.2625155 0.5110611 1.4940841 21.26099 39.593281 10.696814 28.620676 2.9679239 15.82305 15.058259 27.527868 0.1385911 Iteration 0.921361 1 0.2229799 9E+20 2 2 0.2220179 0.0009621 Number of iterations = Memory needed (words) = 5622 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = 1.2010287 0.8571054 198.54504 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 5 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 16 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 9 Row# of BAD fishery = 10 Row# of UP fishery = 11 Row# of DOWN fishery = 12 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 13 # attributes = Column letter of 1st attribute = 10 M 1.5556668 9.0557051 19.093891 33.568993 65.631409 79.473824 90.553444 96.128502 -38.73119 45.703442 -46.83371 42.193508 30.122934 15.595674 143 Lampiran 3 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi social. 2D MDS Results PUKAT IKAN Rotated 0.0893374 0.0336639 0.0798341 -0.0106297 -0.0731657 0.0055984 PUKAT UDANG 0.0975185 -0.1406039 0.1258598 PANCING CUMI 0.0830603 -0.1398298 0.1115813 GILLNET OSEANIK PANCING RAWAI DASAR 0.1119166 -0.0420251 0.1183914 GOOD 1.5545175 -0.3541873 BAD -1.585284 0.348155 0.3498045 1.5656022 -0.3873258 -1.5274618 1.5943443 1.6230519 0.0003952 0.0445469 1.6036192 0.1540585 1.4513669 0.5880049 1.167089 UP DOWN & Flipped & Scaled 0.0523539 0.0737215 0.1159251 0.1183258 0.0165807 0.0063015 0.0063015 1.8448691 -2.1205401 54.357983 -3.4479547 53.914196 -3.5234656 54.125858 -0.3233082 100 0 0 -0.6547329 1.6042049 50.433849 50 -1.575175 49.061565 -50 1.5313141 0.5004055 98.040962 15.282557 1.2880052 0.8906503 90.478668 27.556801 1.0222926 0.9157804 1.2524077 78.909531 38.935036 0.8395628 1.3496352 1.5003583 66.754227 46.733749 -0.1283973 1.5672839 1.5014567 35.917881 46.768295 -0.6489249 1.4337807 0.5246959 0.4674313 0.9462622 1.2575446 21.035324 39.096607 -1.0803123 1.1861995 -1.3132 0.9217644 9.630517 28.535421 -1.4219272 0.8300989 15.25971 -0.1021048 3.860127 -14.292788 -1.501743 -0.548497 -1.2444108 -1.0116374 -0.8658427 -1.2891432 0.0956435 -1.5460432 0.4308306 0.6262786 -1.4167147 0.9204366 1.0383652 -1.1334893 1.260758 1.325455 -0.753872 1.4580553 0.4996791 0.4399071 0.8630922 1.2588884 1.4470621 1.4878783 1.2458338 0.8794824 0.4463502 1.6849309 -1.5587376 -1.568841 1.4988563 1.3457907 0.9935635 0.5635469 Stress Delta ANCHORS: Stress = 0.1479257 Iteration Squared Correlation (RSQ) = 0.9256908 1 0.2293862 9E+20 2 2 0.2289569 0.0004293 Number of iterations = Memory needed (words) = 5622 Return value (error if > 0) Rotation angle (degrees) = 52.92746 50.620136 0 -12.608923 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 5 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 16 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 9 Row# of BAD fishery = 10 Row# of UP fishery = 11 Row# of DOWN fishery = 12 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 13 # attributes = Column letter of 1st attribute = 10 X 8.6175632 -27.60309 19.565149 -40.051937 32.930511 -45.970505 63.836792 -47.254284 79.054253 -39.641335 89.631798 -28.118608 95.764 -14.495441 144 Lampiran 4 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi teknologi. 2D MDS Results Rotated & Flipped & Scaled PUKAT IKAN 0.0206432 -0.1769384 0.0373904 -0.1741703 51.031734 -5.5181041 GILLNET OSEANIK 0.5945948 -0.5303657 0.6423754 -0.4713646 69.662247 -15.220572 PUKAT UDANG 0.3171753 0.2502928 0.2919126 0.2793452 58.869743 9.2877598 PANCING CUMI 0.485762 0.1955092 0.4649482 0.2408563 64.198372 8.0312185 PANCING RAWAI DASAR 0.5314282 -0.215059 0.5494848 -0.1635015 66.801674 -5.1698031 GOOD 1.6196491 -0.1600305 1.6275277 1.6197536 -0.0051463 100 0 -0.0051464 0 0.228496 1.5193945 59.0527 50 -1.5436853 38.367149 -50 BAD UP DOWN ANCHORS: Stress = Squared Correlation (RSQ) = -1.61289 0.1490447 0.4411169 1.4841471 -0.5190947 -1.5010928 0.2978536 0.3738643 1.5304624 0.3903301 1.4863628 0.534227 95.652824 17.837355 1.3037789 0.9002724 1.2121723 1.0202786 87.209129 33.705421 0.8941603 1.2455008 1.3249522 73.640312 43.652065 -0.0573768 1.5464556 0.7715545 0.2043075 1.5339738 43.58865 50.475967 -0.6151989 1.432638 1.3675796 26.822119 45.043716 -1.0829619 1.1394653 1.0312163 13.342061 34.062504 -1.4489634 0.7704999 -1.5842168 0.1953336 -1.5339162 -0.3692413 -1.273183 -0.8180359 -0.972217 -1.2232633 -0.748764 1.1864994 1.5157213 1.5956165 1.4918082 1.1895423 0.8513736 -0.0196609 -1.5250535 0.5585446 -1.4053189 1.0491315 1.373233 3.2036731 20.93433 0.743303 1.8219191 -0.5135627 3.9400783 -16.369711 -0.9355035 13.248353 -30.14476 -1.310245 23.662254 -42.378902 0.1255825 -1.5200013 53.747608 -49.226791 0.6897666 -1.3457768 71.121658 -43.538906 -1.0937599 1.1484723 -0.9889383 85.24749 -31.88924 -0.6813302 1.4318475 -0.5475332 93.97403 -17.478743 Stress Delta 0.1387014 Iteration 0.9315468 1 0.2204328 9E+20 3 2 0.2193464 0.0010864 5414 3 0.2194437 -9.722E-05 Number of iterations = Memory needed (words) = Return value (error if > 0) Rotation angle (degrees) = 0.6290898 0.0436614 0 -5.4616609 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = # reference fisheries = # anchor fisheries = Row# of 1st fishery = Row# of GOOD fishery = Row# of BAD fishery = 5 4 15 2 9 10 Row# of UP fishery = 11 Row# of DOWN fishery = Column letter with fisheries names = 12 A Row# of 1st anchor fishery = 13 # attributes = 9 Column letter of 1st attribute = AI 145 Lampiran 5 Hasil analisis ordinasi RAPFISH dimensi etika. 2D MDS Results Rotated & Flipped & Scaled PUKAT IKAN 0.6116652 -0.4758013 -0.4998167 0.592203 26.455721 GILLNET OSEANIK 0.1745175 -0.1725557 -0.1349806 0.2049684 37.507542 PUKAT UDANG 0.771479 -0.3910079 -0.6737307 0.5423597 21.187422 PANCING CUMI -0.244279 0.3615897 0.1640644 -0.4043541 46.566383 PANCING RAWAI DASAR -0.2442789 0.3615896 0.1640644 -0.404354 46.56638 GOOD -1.8957705 -0.3540176 1.927983 -0.0464308 100 BAD 1.3337438 0.3299147 -1.3731571 -0.0464304 0 UP 0.1677919 -1.5325215 0.153358 1.5340331 46.242058 DOWN -0.5230613 1.5004765 0.2008425 -1.5762885 47.680485 ANCHORS: -1.5793769 -0.8848506 1.7284327 0.5384353 93.955109 -1.1328076 -1.3054519 1.3786932 1.0424311 83.360603 Stress = Squared Correlation (RSQ) = -0.491562 -1.5421138 0.8003927 1.406812 65.8424 0.6642879 -1.2653666 -0.387715 1.3755392 29.851568 1.0438789 -0.8460981 -0.8459342 1.0440117 15.970934 1.2855207 -0.3876208 -1.1773207 0.6455455 5.9323874 1.3217522 0.2844643 -1.3520093 -0.0044505 0.6406225 1.3217494 0.2844633 -1.3520064 -0.0044502 0.6407092 1.0805929 0.8248534 -1.2280406 -0.5830783 4.3959527 0.69087 1.2095941 -0.9264846 -1.0402143 13.530855 0.1249726 1.4521717 -0.4231232 -1.3947716 28.778965 -1.0819882 1.2948879 0.7902362 -1.4909594 65.534729 -1.6088616 0.9172866 1.3839095 -1.230709 83.518616 -1.7908365 0.3361135 1.6823438 -0.6998477 92.55896 0.1419845 Iteration 0.942847 1 0.2241711 9E+20 3 2 0.2222876 0.0018835 5214 3 0.2222749 1.267E-05 Number of iterations = Memory needed (words) = Return value (error if > 0) Rotation angle (degrees) = 0 191.95718 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 5 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 14 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 9 Row# of BAD fishery = 10 Row# of UP fishery = 11 Row# of DOWN fishery = Column letter with fisheries names = Row# of 1st anchor fishery = # attributes = Column letter of 1st attribute = 12 A 13 8 AS Stress Delta 146 Lampiran 6 Analisis LINDO tahap pertama 147 Lampiran 7 Analisis LINDO tahap kedua 148 Lampiran 8 Dokumentasi survey lapangan Survey di Industri Perikanan Terpadu PT. Avona Mina Lestari, Papua Barat TED pada kapal pukat udang di Arafura 149 Lampiran 8 (Lanjutan) Pengukuran jaring pukat udang di Arafura (1) Wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 150 Lampiran 8 (Lanjutan) Mesin pada kapal pukat ikan di Arafura (merk Cummins) Pengukuran alat tangkap pukat ikan di Arafura (Merauke) 151 Lampiran 8 (Lanjutan) Kapal-kapal gillnet buatan RRC di Pelabuhan Ngadi, Maluku Tenggara (200-300 GT) ABK kapal gillnet asal RRC di Tual dan jaring gillnet yang digunakan 152 Lampiran 8 (lanjutan) Kapal pancing cumi dengan alat bantu lampu PANCING SQUID JIGGING Pancing cumi di Arafura