KEDUDUKAN HUKUM KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN TERHADAP OBJEK JAMINAN YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI THE LEGAL POSITION OF CREDITORS AS MORTGAGE RIGHT HOLDERS IN RELATION WITH COLLATERAL OBJECTS CONFISCATED BY THE STATE IN CORRUPTION CASES Munirah, Aswanto, Nurfaidah Said Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Munirah, S.H Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 0812 4224 1389 Email : [email protected] Abstrak : Kedudukan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Objek Jaminan Yang Dirampas Oleh Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi serta upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi tersebut. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Maros dan Kejaksaan Negeri Maros dan Koperasi Karyawan Semen Tonasa Pangkep. Penelitian ini bersifar deskriptif dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang dikumpul berupa data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perampasan yang dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang pasti terhadap objek jaminan yang terpasang Hak Tanggungan dalam tindak pidana korupsi, telah mengabaikan hak-hak kreditor pemegang Hak Tanggungan. Kepastian dan perlindungan yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan apabila berhadapan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan adanya konflik kepentingan antara kepentingan negara dan kepentingan kreditor pemegang Hak tanggungan yang menempatkan kepentingan negara didahulukan dari kepentingan kreditor. Kreditor pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan upaya-upaya hukum dalam mendapatkan hak-haknya berupa pelunasan atas semua piutangpiutangnya apabila kreditor merasa keberatan dengan putusan pengadilan tersebut. Upaya-upaya hukum dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Dalam kaitan ini, kreditor dapat menempuh upaya hukum baik litigasi maupun non litigasi. Kata kunci: Perampasan terhadap objek Hak Tanggungan, perlindungan kreditor pemegang Hak Tanggungan. Abstract : The legal position of creditor as mortgage right holders in relation with collateral objects confiscated by the state in corruption cases. This research aims to find out and understand how the legal protection is given to creditors as mortgage right holders in relation with collateral objects confiscated by the state in corruption cases and the legal action can be done by the creditors. The research location were the District Court of Maros, the Attorney’s Office at Maros and the Cooperation of Semen Tonasa Employers at Pangkep. This study was conducted as an empirical juridical research. It had the descriptive analysis characteristic, relying on primary and secondary data.The results reveal that the confiscation conducted by prosecutor (as the executors of court decision with definite legal force) on collateral objects attached with mortgage rights in corruption cases has ignored the rights of creditors as the holders of mortgage rights. This certainty and the protection mentioned in the regulation of mortgage rights cannot be implemented when it deals with the regulation of corruption eradication. This is due to the conflict of interest between the state and the creditors (the state is considered more important than the creditors). If the creditors do not agree with court decisions, they can take several legal actions to get their right back, that is to receive repayment of the loan. The actions can be done through the courts (litigation) or out of the court (non litigation). Keyword :confiscation of objects with mortgage rights, protection on creditors as the mortgage right holders PENDAHULUAN Dalam perjanjian utang piutang, baik dalam lembaga perbankan maupun non bank hampir setiap pinjaman yang disalurkan oleh pihak kreditor selalu meminta agunan atau jaminan dari debitor. Hal ini merupakan implikasi dari prinsip kehati-hatian, hal tersebut dapat dipahami karena jika suatu kredit dilepas tanpa agunan maka memiliki risiko yang sangat besar, jika debitor wanprestasi atau tidak mampu lagi membayar kreditnya, pihak kreditor dapat memanfaatkan jaminan untuk menarik kembali dana yang disalurkan dengan melakukan eksekusi terhadap jaminan tersebut. Dalam hubungan perutangan dimana ada kewajiban untuk pemenuhan prestasi dari debitor dan merupakan hak atas prestasi dari kreditor, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan perutangan yang sudah dapat ditagih (openbaar) jika debitor tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditor mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya (hak verhaal; hak eksekusi) terhadap harta kekayaan debitor yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditor itu dilakukan dengan cara penjualan/mencairkan benda-benda jaminan dari kreditor di mana hasilnya adalah untuk pemenuhan hutang debitor. (Sofwan,1980). Hak Tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain, dalam arti bahwa apabila debitor wanprestasi, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum hak atas tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Di Indonesia pengaturan tentang Hak Tanggungan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya di sebut UUHT). UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan yang menjadi objek hak tanggungan tersebut dirampas oleh negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi.Untuk mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan sarana berupa pidana tambahan. Dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), sanksi pidana yang dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi yaitu pidana mati, pidana penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 a). perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b). pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c). penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d). pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditor dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitor wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditor sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitor yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitor dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitor tersebut berada dalam ketidakmampuan membayar atau debitor tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan melakukan perampasan terhadap barang barang yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitor tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan eksekusi. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi. METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maros dengan alasan terdapat putusan kasus tindak pidana korupsi yang putusan pengadilannya telah berkekuatan hukum tetap dimana dalam amar putusannya menyatakan barang bukti berupa tanah dan bangunan yang ditelah dilakukan penyitaan kemudian dirampas untuk kepentingan negara, masih terpasang Hak Tanggungan. Sedangkan di Kabupaten Pangkep dengan alasan bahwa Kreditor Pemegang Hak Tanggungan yaitu Koperasi Karyawan Semen Tonasa berkedudukan di Kabupaten Pangkep. Penelitian ini bersifat yuridis empiris yang ditetapkan dengan purposive sampling. Data yang diteliti meliputi data primer yang dikumpulkan melalui penelitian dilapangan melalui teknik wawancara terhadap responden yang terpilih. Data sekunder bersumber dari keterangan atau fakta-fakta yang sudah tersedia ditempat penelitian, yang terdiri dari literatur-literatur yang berhubungan dengan objek penelitian yang dikaji, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara kepada para responden. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk menjelaskan hubungan antara fenomena yang diteliti dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder diolah secara kualitatif untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang disita oleh negara dalam tindak pidana korupsi serta upaya-upaya hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang disita oleh negara dalam tindak pidana korupsi kemudian dideskripsikan. HASIL Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bagian Pembinaan (Kasubag Bin) Kejaksaan Negeri Maros, Kamaluddin, S.H., pihak kejaksaan tidak serta merta menyita barang-barang milik tersangka atau terdakwa. Apabila barang-barang tersebut ditengarai merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka penyitaan itu dapat saja dilakukan untuk diperhitungkan dengan jumlah kerugian keuangan negara akibat dari perbuatan terdakwa. Dengan dijaminkannya barang-barang yang didapat dari hasil korupsi merupakan salah satu modus operandi koruptor untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil korupsinya, dengan pemikiran barang itu tidak mungkin disita karena sudah menjadi jaminan kepada pihak ketiga. Hasil wawancara dengan Titik Idha Nuryanti, Kaur Sumber Daya Manusia dan Tata Usaha Kopkar Semen Tonasa, eksekusi terhadap jaminan dari debitor tidak serta merta dilakukan apabila debitor wansprestasi. Hal tersebut dilakukan karena pihak Kopkar Semen Tonasa masih menunggu iktikad baik dari debitor untuk melakukan pelunasan utangnya dan eksekusi Hak Tanggungan adalah langkah terakhir kalau sudah berulang kali dilakukan penagihan secara baikbaik tetapi utangnya belum juga dibayar. Kopkar Semen Tonasa sangat dirugikan dengan adanya penyitaan tersebut. Jaminan itu sudah atas nama Kopkar Semen Tonasa, jadi yang berhak melakukan eksekusi adalah Kopkar Semen Tonasa. Pihak kami mempunyai dasar yang kuat sebagai pihak yang harus melakukan eksekusi, karena objek tersebut sudah terpasang Hak Tanggungan atas nama Kopkar Semen Tonasa. Jadi kalau pengadilan memutuskan objek tersebut bisa disita dimana fungsinya jaminan tersebut. Lebih lanjut Titik Idha Nuryanti mengemukakan, kami juga baru mengalami kasus seperti ini. Biasanya kalau debitor wanprestasi dan sudah beberapa kali diberi peringatan, pihak kami (Kopkar Semen Tonasa) langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan dan selama ini tidak menemui kendala yang berarti. Baru pada kasus ini kami tidak bisa berbuat apa-apa, kalau itu sudah berhubungan dengan pemerintah kami cuma bisa mengalah. Hal senada disampaikan oleh Imran Bustamin, Kaur Perdagangan Umum dan Distributor Semen Kopkar Semen Tonasa, ketika ada pemberitahuan dari pihak kejaksaan bahwa tanah beserta ruko yang menjadi jaminan pada Kopkar Semen Tonasa dilakukan penyitaan, kami tidak bisa berbuat banyak, kami hanya mengajukan persyaratan bahwa silahkan disita asalkan utangutang beserta klaim keterlambatan dari debitor diselesaikan lebih dahulu. Kami dari pihak Kopkar Semen Tonasa berusaha lebih kooperatif dan ingin mengambil jalan tengah, meskipun pada akhirnya yang dilunasi cuma utang pokok saja, segala klaim-klaim keterlambatan (denda) tidak diperhitungkan lagi, dari pada kami tidak mendapatkan pembayaran sama sekali. Seharusnya Kopkar Semen Tonasa tidak boleh dirugikan dengan adanya kasus yang menimpa bapak Agus Dwikora karena kami tidak tahu menahu dan tidak pernah terlibat dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh bapak Agus Dwikora, dan kami baru mengetahui kasus tersebut setelah ada pemberitahuan dari pihak Kejaksaan Maros. Hasil wawancara dengan Samsidar Nawawi, SH., MH., dan Fajar, S.H., keduanya hakim di Pengadilan Negeri Maros, bahwa dalam memutus suatu perkara tindak pidana korupsi, hakim tidak mempertimbangkan barang-barang yang menjadi objek sitaan terikat jaminan kepada pihak ketiga. Apabila didalam persidangan terbukti bahwa barang tersebut didapat dari hasil korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, yang jelas sudah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan dalam amar putusan akan dirampas untuk kepentingan negara. Apabila pihak ketiga tersebut merasa berkeberatan dengan putusan yang dijatuhkan hakim, pihak kreditor tersebut berhak untuk melakukan gugatan secara perdata dalam hal ini wanprestasi dalam perjanjian utang piutang. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya putusan pengadilan berupa perampasan terhadap barang-barang yang terbukti dari hasil korupsi yang sementara terpasang Hak Tanggungan, memberi konsekuensi yang merugikan terhadap Kopkar Semen Tonasa sebagai pemegang Hak Tanggungan. Dengan adanya perampasan tersebut hak-hak dari Kopkar Semen Tonasa berupa pelunasan atas piutangnya telah diabaikan. UUHT tidak memberikan kepastian dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan bila diperhadapkan dengan tindak pidana korupsi. UUHT hanya mempunyai kedudukan yang kuat dan preferen bila diperhadapkan dengan pihak swasta. Tapi apabila UUHT berhadapan dengan negara dalam hal ini Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka segala perlindungan yang termuat dalam pasal-pasal UUHT cenderung diabaikan dan tidak bisa dilaksanakan. Hukum jaminan dalam bahasa Belanda disebut zekerheidstelling atau dalam Bahasa Inggris disebut security of law. Zekerheidstelling terdiri dari kata zekerheid yang berarti kepastian, dan stelling yang berarti mengatur suatu kedudukan. Dengan demikian memberikan kepastian kedudukan. Atau secara singkat zekerheidstelling diartikan memberikan jaminan. Sedangkan secara terminologis zekerheidstelling atau hukum jaminan adalah segenap aturan hukum yang dimaksudkan untuk mengatur berbagai bentuk hubungan hukum yang bertujuan memberikan jaminan kepastian terpenuhinya suatu prestasi yang ditentukan atau hak-hak para pihak yang mengadakan perjanjian, dengan cara salah satu pihak memberikan suatu jaminan (benda/personal) pada pihak lain, sedangkan pihak lainnya memberikan kredit atau pinjaman uang. (Said,2010). Pengaturan mengenai jaminan Hak Tanggungan diatur dalam UUHT, yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain melaksanakan amanat UUPA, kelahiran UUHT didasarkan pula pada pertimbangan untuk memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemberian kredit dengan membebankan hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit serta untuk menciptakan unifikasi hukum jaminan hak atas tanah. (Salim,2004). Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas utang debitor kepadanya. (Harsono, 2008). Didalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu pemberi Hak Tanggungan, Penerima atau pemegang Hak Tanggungan. Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT menyatakan: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT diatas, dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi Hak Tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi Hak Tanggungan. Sebagai pemberi Hak Tanggungan tersebut, bisa orang perseorangan atau badan hukum dan pemberinya pun tidak harus debitor sendiri, bisa saja orang lain atau bersama-sama dengan debitor, dimana bersedia menjamin pelunasan utang debitor. (Usman,2011). Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, baik perseorangan maupun badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan dalam Pasal 9 UUHT menyatakan: Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Berbeda dengan pemberi Hak Tanggungan, terhadap penerima dan pemegang Hak Tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus. sekalipun dalam praktiknya bagian yang terbesar menggunakan lembaga Hak Tanggungan itu bank, sebuah badan hukum, tetapi tidak tertutup bagi orang perseorangan untuk juga memanfaatkan lembaga Hak Tanggungan. Dengan begitu ditegaskan, bahwa yang bertindak sebagai kreditor pemegang Hak Tanggungan bisa juga orang perseorangan. Ini yang ditegaskan dalam Pasal 9 UUHT diatas dan penegasan ini memang sangat bermanfaat, karena ia bisa menghilangkan keragu-raguan yang mungkin ada dalam masyarakat. (Satrio,1997). Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditor dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitor wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditor sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitor yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang dikemukakan Poerwadarminta, secara harfiah korupsi dapat diartikan dalam beberapa pengertian berupa : a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak jujuran b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Yunara,2012). Sudarto, menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga sipembuat bertambah kaya; b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum. Melawan hukum disini diartikan secara formil dan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik; c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan negara atau perekonomian negara. Bahwa perbuatannya secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara harus dibuktikan adanya secara objektif. Dalam hal ini hakim kalau perlu dapat mendengar saksi ahli atau lebih dari satu orang untuk mengetahui kapan ada keadaan yang “merugikan” itu. Dari rumusan ini tampak bahwa delik ini merupakan delik materil. (Hartanti,2009). Sebagaimana kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Agus Dwikora, dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) bidang tanah seluas 225 m2 berikut 1 (satu) bangunan ruko yang berdiri diatasnya yang terletak di Jalan Kariango (Kompleks Griya Maros), Kelurahan Bontoa, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, dirampas untuk negara, dengan ketentuan hasil pelelangan yang disetorkan ke kas negara diperhitungkan sepenuhnya dengan uang pengganti. Dari putusan tersebut diatas diketahui bahwa barang bukti yang disita dalam tahap penyidikan dan dalam amar putusan dirampas untuk negara dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Agus Dwikora, masih terpasang Hak Tanggungan dengan pemegang Hak Tanggungan Koperasi Karyawan Semen Tonasa yang bekedudukan di Kabupaten Pangkep. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT, apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Title eksekutorial terdapat dalam sertipikat hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan Hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 didalam Penjelasan Umum menyebutkan kalau Undang-Undang ini menerapkan pembuktian terbalik terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang di duga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Kata-kata “bersifat terbatas” di dalam memori Pasal 37 dikatakan, apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya, “terdakwa tidak melakukan tindak melakukan tindak pidana korupsi”. Hal itu tidak berarti terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.(Alfitra,2011). Kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai pihak yang dirugikan dengan adanya perampasan terhadap objek Hak Tanggungan dapat melakukan upaya hukum. Upaya hukum ini dapat dilakukan melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi (diluar pengadilan). Upaya hukum litigasi dapat berupa perlawanan terhadap putusan pengadilan atau gugatan kepada debitor berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata sedangkan upaya hukum non litigasi dapat berupa musyawarah, mediasi, dan arbitrase. Musyawarah merupakan alternatif pertama yang harus ditempuh para pihak sebelum menempuh upaya lain. Ada beberapa alasan kenapa penyelesaian sengketa secara musyawarah merupakan jalan terbaik penyelesaian sengketa, antara lain : a. proses musyawarah merupakan cara paling simple karena tidak perlu melibatkan pihak ketiga; b. proses musyawarah tidak memerlukan biaya; c. proses penyelesaian cepat dan sederhana; d. cara penyelesaian dapat disesuaikan dengan kemauan para pihak; e. penyelesaian secara musyawarah dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak. (Witanto, 2012). KESIMPULAN DAN SARAN Adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) berupa perampasan terhadap barang-barang yang terbukti dari hasil korupsi yang sementara terpasang Hak Tanggungan, memberi konsekuensi yang merugikan terhadap Kopkar Semen Tonasa sebagai pemegang Hak Tanggungan. Dengan adanya perampasan tersebut hakhak dari Kopkar Semen Tonasa berupa pelunasan atas piutangnya telah diabaikan. Dalam kasus tersebut UUHT tidak memberikan kepastian dalam memberi perlindungan terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan apabila berhadapan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan negara dan kepentingan kreditor pemegang Hak Tanggungan yang menempatkan kepentingan negara lebih didahulukan. Meskipun pada akhirnya kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap mendapat perlindungan hukum dengan pembayaran kepada Kopkar Semen Tonasa, tetapi Kopkar Semen Tonasa tetap mengalami kerugian karena pembayaran yang diterima hanya berupa utang pokok saja tanpa memperhitungkan denda-denda keterlambatan. Kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai pihak yang dirugikan dengan adanya perampasan terhadap barang-barang yang terbukti dari hasil korupsi yang sementara terpasang Hak Tanggungan dapat melakukan upaya-upaya hukum baik upaya hukum melaui pengadilan (litigasi) atau upaya hukum diluar pengadilan (non litigasi). Tetapi dalam kasus ini Kopkar Semen Tonasa sebagai pihak yang dirugikan tidak melakukan upaya hukum melalui pengadilan (litigasi) dengan pertimbangan hak yang akan dituntut tidak sebanding dengan waktu, tenaga dan biaya yang harus mereka keluarkan. Sebaiknya di dalam perjanjian utang piutang/perjanjian kredit sebagai dasar dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan klausul bahwa apabila jaminan yang diberikan oleh debitor tersangkut dalam suatu masalah hukum apakah mendapat gugatan dari pihak ketiga atau barang tersebut terbukti dari hasil kejahatan, maka debitor bersedia untuk mengganti jaminan tersebut dengan jaminan yang nilainya minimal sama dengan jaminan yang telah diberikan. Sebagai pihak yang dirugikan dalam perampasan terhadap objek Hak Tanggungan kreditor pemegang Hak Tanggungan sebagai pihak ketiga yang beriktikad baik seharusnya dapat melakukan upaya-upaya hukum baik berupa perlawanan terhadap putusan pengadilan maupun melakukan gugatan kepada pihak debitor sehingga bisa mendapatkan kepastian dalam mendapatkan kembali hak-haknya berupa pelunasan atas semua piutang-piutangya. DAFTAR PUSTAKA Alfitra, (2011) Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdana dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta. Hartanti, Evi, (2009), Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. Harsono, Boedi, (2008), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Jilid I, Djembatan, Jakarta. Said, Nurfaidah, (2010), Hukum Jaminan Fidusia Kajian Yuridis dan Filosofis UU No. 42 Tahun 1994, Kretakupa, Makassar. Satrio, J (1997), Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Salim HS, (2004), Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sofwan, Sri Soedewi Mascjchoen, (1980) Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta. Usman, Rachmadi, (2011), Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta. Witanto, D.Y, (2012) Dimensi Kerugian Negara dalam Hubungan Kontraktual, CV. Mandar Maju, Bandung. Yunara, Edi, (2012), Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.