ISSN : 2581 - 1096 Jurnal KOMPETENSI APARATUR Jurnal Kompetensi Aparatur merupakan media publikasi ilmiah berkala yang diterbitkan 2 (dua) kali setahun oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Penasehat Dr. A. Mudjib Afan, M.Kes Penanggung Jawab Mochammad Suluh, SH., M.Si Tim Penyusun Drs. Sudjud, M.Si Dra. Ec. Lilik Jumiati, M.Si Parlindungan, SH., M.Si Abdul Halim, S.Sos Wiwin Windriatmoko, S.Kom Ahmad Falih Hadika, S.Fil, MKP Tim Instrumen Dra. EC. RR. Budi Andajani Titin Arijatin Tim Editor Deddy Eko Wardyanto, A.Md Pradistya Aryo Saputra, SH Tim Redaksi Badi Nurhadi, S.Sos Dra. Sri Indrawati Miskari, S.Sos., MM Agus Darmawan, S.Sos Alamat Jl. Balongsari Tama Tandes, Surabaya – Jawa Timur Telp : 031CALL – 7412278, : 031 - 7412279 FOR Fax PAPERS Artikel dapat diketik dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, Menggunakan font TIMES NEW ROMAN ukuran 12, spasi 1, kertas ukuran A4, Jumlah halaman 15 – 20 ( termasuk lampiran) , Judul, Menggunakan huruf capital tebal (BOLD), ditulis dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris. Nama dan alamat penulis, nama ditulis dengan gelar dibawah judul, jika penulis lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung “dari” (bukan lambang “&”). Dicantumkan juga alamat bekerja/institusi serta alamat e-mail penulis. Abstrak, ditulis dalam dua bahasa : Indonesia dan Inggris. Tulisan cetak miring (italic), spasi tunggal, maksimal 500 kata. Kata Kunci, ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, Terdiri dari 3 – 5 kata, ditulis dengan huruf cetak miring (italic). Badan artikel terdiri dari Pendahuluan, Landasan Teori, Metode Penelitian , Hasil Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan dan Rekomendasi dan Referensi. Kirimkan artikel beserta CV ke email : [email protected]. Artikel yang masuk akan melalui proses penilaian redaksi dan penilaian substansi. Seluruh proses komunikasi akan dilakukan via Telp/SMS/WA. CP : Falih – 0856 4825 0086, Deddy – 081 330 185 450, Pradis – 0856 4948 2331 i Jurnal KOMPETENSI APARATUR Daftar Isi Analisa ANALISA STRATEGI REKRUETMEN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI 1 - 13 Dr. Akmal Boedianto, SH., M.Si TRANSFER PELATIHAN BERBASIS EXPERIENTIAL LEARNING DI SEKTOR PUBLIK STUDI PADA ALUMNI DIKLAT PRAJABATAN GOLONGAN III 15 - 32 Dr. Esti Sri Rahayu, SP., MP ADOPSI NILAI BENCHMARKING TO BEST PRACTICE DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT III PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR 35 - 45 Dr. Hary Wahyudi, SH., M.Si PERAN CHAMPION CHILD RIGHT MAINSTREAMING DALAM PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK DI JAWA TIMUR (STUDI ALUMNI DIKLAT TEKNIS PENINGKATAN KAPASITAS PENGARUSTAMAAN HAK ANAK) 47 - 65 Arie Cahyono, S.STP., M.Si PEMBERIAN KOMPENSASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG. (COMPENSATION TO IMPROVING THE PERFORMANCE OF THE STATE'S CIVIL APPARATUS (ASN) IN LOCAL GOVERNMENT OF MALANG) Rendra Kurnia Wardana ii 67 - 81 Jurnal KOMPETENSI APARATUR Salam Redaksi Dengan luapan kegembiraan dan penuh rasa syukur, sejenak kita sampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, dengan kuasa-Nya Badan Diklat Provinsi Jawa Timur dapat menerbitkan Jurnal ilmiah dengan judul Jurnal Kompetensi Aparatur. Jurnal Kompetensi Aparatur (JKA) yang ditangan pembaca sekarang ini, merupakan jurnal perdana milik Badan Diklat Provinsi Jawa Timur, Jurnal Volume 01 nomor 01 yang diterbitkan pada tahun 2017, pertama kalinya. JKA sebagai jurnal awal (masih) merupakan first project Jurnal Ilmiah milik Badan Diklat Provinsi Jawa Timur yang nantinya akan bermetamorfosis, dimana penyempurnaan-penyempurnaan masih sangat terasa diperlukan, masih jauh dari kriteria jurnal yang baik. Bagaimana seharusnya Jurnal yang baik dan apa manfaatnya? Jurnal yang baik idealnya adalah jurnal yang sudah mendapatkan akreditasi nasional. Di Indonesia, LIPI dan DIKTI menjadi lembaga yang berwenang menerbitkan akreditasi jurnal ilmiah. Prakarsa akreditasi jurnal ini sebenarnya bukanlah hal yang mutlak, namu perlu dilakukan sebagai rangkaian upaya standarisasi dalam pengelolaan jurnal sehingga bisa mencapai kualitas yang memadai. Memang, ketika langkah tersebut dilakukan memerlukan upaya yang serius dari seluruh pihak, dari penulis, reviewer dan sudah pasti pengelola jurnal tersebut. Prof. Wasmen Manalu, Tim Akreditasi Jurnal DIKTI pernah bertutur, bahwa pengelola jurnal adalah “orang gila”. Jika kita mengikuti instrument penilaian dari LIPI maupun Dikti, terdapat berbagai kriteria dan bobot penilaian yang digunakan. Ketika sebuah lembaga sudah memantapkan diri untuk menjadikan Jurnal Ilmiahnya masuk ke ranah akreditasi, maka lembaga tersebut harus siap untuk menikmati berbagai macam keruwetan dan rumitnya proses akreditasi. Misalnya saja, dalam keberkalaan terbitan. Jurnal sudah bisa “diikutkan” untuk proses akreditasi harus merupakan Jurnal yang berumur, artinya Jurnal yang baru saja “mengikrarkan diri” terbit sebagai Jurnal Ilmiah tidak serta merta dapat mendaftarkan diri untuk “diaudisi” sebagai kandidat Jurnal Akreditasi. Dari LIPI misalnya, memberi syarat Jurnal Ilmiah dapat diakreditasi haruslah minimal sudah terbit selama 6 (enam) kali terbitan. Jika suatu lembaga menerbitkan dalam satu tahun 2 kali terbitan, maka diperlukan waktu 3 tahun agar Jurnal tersebut sudah dapat masuk kandidat Jurnal Akreditasi. Kemudian, yang tidak kalah merepotkan adalah tata kelola jurnal. Penerbit Jurnal Ilmiah dalam suatu lembaga sangat tidak diperkenankan dan tidak memiliki otoritas untuk penilaian suatu tulisan. Tugas penerbit jurnal adalah semata mengurusi manajemen dan menjaga kesamaan gaya selingkung (style masing-masing jurnal). Yang memiliki otoritas penuh dalam penilaian tulisan adalah komunitas akademik yang diberbagai tempat lazim disebut reviewer. Satu artikel untuk Jurnal ilmiah, masing-masing didelegasikan kepada 2 (dua) orang reviewer yang kompeten, setelah sebelumnya dilakukan proses penyuntingan untuk memeriksa standarisasi tulisan agar sesuai dengan sistematika Jurnal. Jika satu artikel jurnal ilmiah tersebut ditolak oleh reviewer pertama, dan reviewer kedua menerima, perlu adanya pembanding dari reviewer ketiga untuk diputuskan. Status artikel jurnal yang dinilai kemudian memunculkan keputusan, diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan, ditolak. Ukuran penolakannya juga dilihat dari berbagai macam faktor, seperti kebaruan (novelti) dan pembeda (distingsi). iii Jurnal KOMPETENSI APARATUR Untuk Jurnal yang belum terakreditas, masalah klasik yang terjadi adalah minimnya penulis yang mengumpulkan artikel. Pengelola jurnal ilmiah sangat kesulitan menyaring tulisan karena minimnya artikel yang masuk ke redaksi. Namun, betapa gembiranya tatkala project Jurnal Kompetensi Aparatur ini mendapat respon positif dari berbagai penulis, khususnya para akademisi. Selanjutnya, dengan segala kerendahan hati, kami menyajikan lima artikel yang terdiri atas : 1. Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi, oleh Akmal Boedianto; 2. Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III, oleh Esti Sri Rahayu; 3. Adopsi Nilai Benchmarking to best practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur, oleh Hary Wahyudi; 4. Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak di Jawa Timur (Studi Alumni Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas Pengarustamaan Hak Anak), oleh Arie Cahyono; 5. Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang. (Compensation To Improving The Performance Of The State's Civil Apparatus (ASN) In Local Government Of Malang), oleh Rendra Kurnia Wardana. Semoga, dengan berbagai keterbatasan yang ada, Jurnal Kompetensi Aparatur ini dapat menjadi jurnal untuk meningkatkan kompetensi aparatur di negara Indonesia kita tercinta. Proses perubahan yang konstruktif dapat terjadi jika pengembangan wacana dan keilmuan seluruh stakeholder dapat terbangun melalui diskursus ilmiah yang dapat diimplementasikan melalui sebuah karya dan inovasi, semoga Jurnal Kompetensi Aparatur ini bisa menjadi wadah untuk itu. Redaksi iv Analisa ANALISA STRATEGI REKRUETMEN KEPEMIMPINAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS DEMOKRASI Dr. Akmal Boedianto, SH., M.Si Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Jl. Balongsari Tama Tandes Surabaya Email: [email protected] Naskah diterima: 6 Juli 2017, Naskah direvisi: 10 Juli 2017, Naskah disetujui: 20 Juli 2017 Abstrak Rekruitmen Kepemimpinan Poloyik dapat meeningkatkan Kualitas Demokrasi Dalam Memperkokoh Ketahanan-Nasional. konsepsi dan implementasi pandangan mengenai rekru-itmen kepemimpinan Partai Politik terhadap peningkatan kualitas pembangunan demokrasi untuk memperkokoh NKRI. Pancasila sebagai pemikiran mendasar dan landasan kenegaraan yang idiil telah menyediakan nilainilai filosofis untuk diwujudkan dalam kehidupan bernegara yang memperkokoh ketahanan nasional NKRI termasuk melalui Partai Politik. Kata Kunci : Rekruetmen, Elite Politik, Kualitas Demokrasi A. PENDAHULUAN Seorang ilmwuan politik, Karl W. Deutsch, sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Afan Gaffar Guru besar ilmu politik UGM pada saat lokakarya peningkatan kapasitas kelembagaan Eksekutif–Yudikatif beberapa waktu yang lalu mengumpakanan penyelenggara pemerintahan itu ibaratanya orang yang membawa kapal di tengah samudra yang luas. Kepala Pemerintahan Daerah yang dikenal sebagai Kepala Daerah dalam sebuah negara ibaratnya seorang Kapten Kapal yang tengah berlayar dalam sebuah samudra yang sangat luas. Kapten harus tahu kemana tujuan kapal beserta muatannya hendak dibawa berlayar. Di pelabuhan mana, pulau atau benua mana, dibarat ataukah di timur, utara atau selatan. Seorang kepala (pemimpin) pemerintahan dalam level apapun harus tahu visi, misi dan tujuan dari pemerintahannya. Ia harus mengendalikan laju kapal untuk dapat on the track kapal agar mencapai tujuan tersebut. Tugas yang kedua, seorang kapten kapal harus tahu lingkungan yang ada disekitar kapalnya, seperti seberapa jauh kedalaman laut, derasnya arus, tinggi dan besarnya ombakgelombang, arah dan kecepatan angin. Dia juga harus tahu membaca gejala di sekitarnya. Cuaca hari tertentu seperti apam apakah akan hujan ataukah badai. Dia juga harus mampu membawa kapalnya supaya tidak menabrak karang, dia harus mampu mengindarkan kapalnya supaya tidak bertabrakan dengan kapal atau lalu lintas berlayar lainnya. Seorang pemimpin pemerintahan juga sama seperti itu. Gubernur. Sekretaris Daerah, Kepala Badan, Kepala Dinas , Kepala Biro, Kepala Bidang, Kepala Bagian, Kasie, Kasubag, lurah/kepala desa harus tahu lingkungan organisasi, sumber daya, sosial yang ada dimana dia menjalankan roda pemerintahan. Bagaimana Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 1 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto masyarakat yang dilayani, kebutuhan dan harapan yang dilayani. Kalau ada aspirasi dan bagaimana mengartikulasikan dan meresponnya. Besarnya harapan dan arus tuntutan ibaratnya seperti besarnya arus ombak, angin dan badai yang merupakan tantangan agar supaya kapal itu berlayar dengan selamat sampai tujuan. Ketiga, seorang kapten kapal harus tahu kekuatan kapalnya. Kapasitas mesin kapalnya berapa, kecepatan pacu yang sesuai dengan kapasitas mesin, volume bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan kapal dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Dia juga harus memahami karakter mesin kapalnya, komponen teknis yang menjadi daya dorong kapalnya. Berapa jumlah awalnya, bagaimana karakter mereka. Seorang pemimpin pemerintahan pemerintahan juga harus seperti itu. Seberapa besar kekuatan pemerintahannya. Aparat birokrasinya seperti apa, sumber daya yang dimiliki dan seperti apa karakter mereka. Dengan mengetahui komponen kapalnya maka dia akan mampu mengkoordinasi semua kegiatan yang ada dalam kapalnya. Seorang Gubernur, Sekretaris Daerah, Kepala Badan, Kepala Dinas , Kepala Biro, Kepala Bidang, Kepala Bagian, Kasie, Kasubag, Lurah/Kepala Desa harus seperti itu. Ke empat, seorang Kapten harus mampu melakukan komunikasi dengan baik dengan pengatur lalu lintas pelayaran, dengan kapten kapal yang lain, harus mampu berkomunikasi dengan seluruh awak kapal dari Mualim sampai dengan Tukang Masak. Dia juga harus mampu berkomunikasi dengan baik dengan para penumpang kapal yang ada. Seorang pemimpin harus dapat membayangkan apa yang terjadi dalam kapal itu, jika kapten tidak mampu berkomunikasi dengan baik maka akan berakibat sangat fatal. Lantaran itu, seorang pemimpin pemerintahan harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan seluruh pemimpin lain-dalam level apapun. Kelima, seorang kapten kapal harus mampu melakukan pengaturan yang menyangkut pembagian tugas seluruh stafnya, mengatur para penumpang supaya tertib dan memahami aturan dalam kapal itu, mengatur penumpang supaya dapat bekerjasama satu sama lain, mengatur muatan supaya tidak berkurang atau tidak terlampau berlebihan. Pemimpin pemerintahan juga harus melakukan hal yang sama, yaitu melakukan regulasi yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya, membuat ketentuan dan aturan, menjalankan dan menegakkan norma-norma agar supaya semua berjalan sesuai dengan fungsi, dan tanggung jawab masing-masing, menjaga dan memelihara kesepakatan, dan lain sebagainya. Itulah hakikat dari kegiatan pemimpin pemerintahan. Dari sudut pandangan ini kita dengan jelas dapat melihat betapa pentingnya kondisi fisik seorang pemimpin pemerintahan. Dia harus memiliki fisik yang prima, karena dia harus selalu siap dua puluh empat jam menghadapi persoalan yang menjadi tanggung jawab kepemimpinannya. Seorang pemimpin adalah suri tauladan bagi segenap jajaran dibawahnya, yaitu kelebihan ilmu dengan penampilan yang menyakinkan. Pemerintahan adalah kegiatan penyelenggaraan negara guna memberikan pelayanan dan perlindungan kepada segenap warga masyarakat, melakukan pengaturan, meobilisasi semua sumber daya yang diperlukan, serta membina hubungan baik di dalam lingkungan negara ataupun dengan negara lain. Di tingkat lokal tentu saja membina hubungan dengan pemerintahan nasional, dan pemerintahan daerah yang lainnya. B. RUMUSAN PERMASALAHAN Pada umumnya, pelaksanaan pemerintahan dimanapun mempunyai dua tugas atau kewenangan utama, yaitu apa yang disebut dengan kewenangan yang bersifat administratif 2 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto dan kedua kewenangan politik. Tugas kewenangan administratif melekat pada jabatan seorang eksekutif yang sehari-harinya harus mengendalikan roda pemerintahannya. Seorang pemimpin politik setiap hari harus mengambil langkah dan kebijakan yang bersifat administratif seperti mengangkat, mempromosikan, mendemosi dan memberdayakan Staf. Menentukan pembagian tugas dengan jelas diantara para Staf. Kegiatan-kegitan yang menyangkut manajemen pemerintahan sehari-hari merupakan tugas dan kewenangan seorang kepala pemerintahan. Oleh kalangan ahli ilmu administrasi negara kegiatan ini mencakup perencanaan, pengorganisasian, penentuan Staf yang menjalankan tugas tertentu, memberikan pengarahan-pengarahan apa yang hendak dan harus dilakukan oleh kalangan Staf, melakukan koordinasi secara internal dan eksternal dengan berbagai macam lembaga atau instansi, dan mencari serta menentukan sumber daya keuangan bagi kegiatan tersebut. Kajian ini akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah “Bagaimanakan peran rekruetmean elite partai politik dalam meningkatkan kualitas pembangunan demokrasi?” C. METODE PENELITIAN DAN KAJIAN Menggunakan metoda deskriptif-analisis berarti penulisan yang dilakukan dengan menggambarkan kondisi nyata untuk ditelaah secara konsepsional dalam rangka mengembangkan langkah-langkah untuk membangun ketaha- nan nasional NKRI yang kuat. (“sta ute-ap-proach”) yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsepsional Dengan pendekatan normatif berarti penulisan ini bermula dari analisis terhadap ketentuan hukuk yang mengatur tentang Partai Politik dalam kaitannya dengan demokrasi dan ketahanan nasional NKRI. Melalui pendekatan konsepsional berarti penelaahan dilakukan dengan menggunakan konsepsi- konsepsi kepemimpinan, demokrasi dan ketahanan nasional sebagai sarana untuk membahas masalah rekruitmen kepemimpinan Partai Politik. D. LANDASAN TEORITIK Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan secara jelas tugas negara dan seluruh rakyat termasuk partai politik di Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksa-nakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pemahaman konstitusional tersebut tentu membawa serta pengertian betapa pentingnya menata Partai Politik dengan memahami tujuan Partai Politik secara umum sebagaimana tercantum dalam pasal 10 UU No 2 th 2008 tentang Partai Politik yang intinya menyatakan mewujutkan cita-cita bangsa, menjaga dan memelihara keutuhan NKRI, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan mewujutkan kesejahteraan rakyat serta tujuan khususnya yaitu meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat, memperjuangkan cita-cita partai, dan membangun etika dan budaya politik. Tujuan Partai Politik tersebut secara yuridis menghendaki terjadinya transformasi kepemerintahan dan kepemimpinan nasional yang muncul dari pengurus-pengurus Partai Politik. Jajaran pengurus Partai Politik tampak melakukan langkah-langkah politik untuk mendapatkan kekuasaan secara total dalam penyelenggaraan negara. Dari keten-tuan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 3 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto yuridis tersebut itulah Partai Politik merupakan pintu masuk pengembangan kepemimpinan nasional yang dapat memperkokoh NKRI. Formulasi yuridis yang diatur dalam UU Partai Politik tersebut mengagendakan perlunya pembinaan kepemimpinan Partai Politik secara profesional. Kualitas pembangunan demokrasi yang baik membutuhkan Partai Politik yang mampu menjalankan tujuannya secara profesional. Hal ini menghen- daki lahirnya kepepimpinan Partai Politik yang benar-benar memahami cita dasar NKRI. Partai Politik dapat menjalankan peran besar dalam mengamankan NKRI dengan menumbuhkan partisipasi politik masyarakat yang baik.. Politisi memiliki pula tanggungjawab besar untuk mengembangkan demokrasi Pancasila secara berkualitas demi terciptanya martabat politik yang melekat di Partai Politik. Terjadinya kekerasaan di banyak wilayah di Indonesia tampaknya juga melibatkan pelaku -pelaku politik yang tidak dewasa sehingga semakin memperburuk citra Partai Politik. Konstalasi tersebut merupakan petunjuk awal yang membuat kekuatan Partai Politik dianggap sebagai organisasi yang rekruitmen kepemimpinannya belum menunjukkan ke arah yang positif bagi pengembangan demokrasi. Partai Politik adalah pihak yang dituduh masyarakat sebagai tatanan yang melahirkan kepemimpinan di daerah maupun nasional yang mencerminkan kualitas Partai Politiknya. Hal ini disebabkan karena partai politik sudah tidak lagi mencantumkan Pancasila sebagai asas, munculnya pemimpin yang tidak dikenal oleh masyarakat dan juga terlalu banyaknya partai politik di Indonesia sehingga menyebabkan kontrol negara terhadap partai politik menjadi lemah. Partai Politik telah menjadi organisasi yang dianggap oleh masyarakat tidak memberikan kontribusi perubahan kepemimpinan yang berkualitas dalam pengembangan demokrasi. Kondisi demikian memang dipandang memiliki implikasi politik dan pemerintahan yang luas sehubungan dengan kedudukan Partai Politik sebagai organisasi penyalur aspirasi masyarakat. Kebuntuan kepemimpinan yang tidak sambung dengan kehendak rakyat cenderung melahirkan pola kepemim-pinan yang justru tidak demokratis, melainkan otoriter serta feodalisme. Semakin tinggi, karena Partai Politik dan calon-calon anggota legislatif dan calon-calon Kepala Daerah yang ditawarkan tidak memenuhi harapan masyarakat akibat rekruitmen kepemimpinan Partai Politik yang tidak ideal. Partai Politik pada ujung ceritanya akan menjadi penghambat demokrasi apabila tidak segera memperbaiki mekanisme rekruitmen kepemimpinan Partai Politik dalam kerangka bernegara yang demokratis demi ketahanan nasional. Rekruitmen adalah suatu sarana untuk menjaring atau mendapatkan sesuatu melalui mekanisme tertentu untuk memenuhi kebutuhan yang harus diisi dengan mempertimbangkan kondisi obyektif. Dengan rekruitmen ini berarti akan terjadi penyaringan secara sistematis terhadap calon-calon anggota atau pemimpin kelompok, sehingga terdapat seleksi yang tertentu bagi kepentingan kelompok tertentu. Kepemimpinan adalah suatu kemampuan atau seni untuk membuat. Suatu kelompok orang terarah pada sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpinnya. Dengan demikian kepemimpinan adalah suatu keadaan yang menyangkut kemampuan seseorang untuk mempengaruhi anggota kelompoknya sesuai dengan yang dicita- citakan. Organisasi partai politik yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan 4 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto negara, serta memelihara keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Kualitas adalah (ukuran) baik buruk suatu benda; taraf atau (kepandaian, kecerdasan dsb). Dalam hal ini kualitas demokrasi di Indonesia yaitu nilai-nilai Pancasila Pembangunan demokrasi seyogianya dimengerti seba-gai upaya untuk melakukan tindakan yang mengarah kepada keadaan yang lebih baik bagi nilai-nilai pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan akan kembali ke rakyat. Demokrasi yang berkualitas tampak membutuhkan Partai Politik yang mampu mengembangkan norma-norma demokrasi melalui rekruitmen kepemimpinan yang baik. Dalam tataran kenegaraan (termasuk di dalamnya kemasyarakatan dan kebangsaan) terdapat pesan paradigmatik bahwa Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional harus menjadi arus utama pengembangan kepemimpinan Partai Politik. Kepemimpinan Partai Politik yang dipersepsi publik belum responsif, belum aspiratif dan belum profesional harus menjadi dorongan bagi Partai Politik untuk menata sistem rekruitmennya. Suatu pola kepemimpinan yang bertumpu pada Pancasila, UUD 1945. E. ANALISA PEMBAHASAN Rekruitmen kepemimpinan partai politik yang akan menghasilkan pemimpin nasional maupun daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional yang meliputi politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan dalam rangka mencapai tujuan. Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawan Peraturan perundang-undangan sebagai perangkat hukum memang memiliki makna besar untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan hukum bagi seluruh warga NKRI termasuk Partai Politik. Untuk itulah semua elemen Partai Politik harus tunduk dan patuh pada ketentuan bernegara yang terformulasikan dalam peraturan perundang- undangan bidang politik. Tanpa ketaatan kepada regulasi yang mengatur kehidupan tata gerak Partai Politik sudah dipastikan dunia perpolitikan akan liar tanpa kendali negara Dengan demikian betapa pentingnya UU Partai Politik memberi arahan bagi bangunan nasional yang kepemimpinan Partai Politiknya direkruit secara matang dalam mengembangkan masyarakat yang demokratis. Sebelum UU Partai Politik diundangkan tampak bahwa regulasi politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern. Mengenai perangkat regulasi yang berkaitan dengan rekruitmen kepemimpinan Partai Politik dapat disarikan secara khusus antara lain adalah sebagai berikut Kemampuan seseorang untuk menjalankan roda kepemim-pinan di tubuh Partai Politik tentu saja juga harus memiliki kapasitas profesional agar Partai Politik mempunyai daya saing yang handal dengan SDM yang mampu mengembangkan demokrasi secara berkualitas guna memperkokoh NKRI. Sebagai pandangan harus diungkapkan pula bahwa teori yang terujuk merupakan bagian dari bahan untuk penguatan penulisan ini sebagai penulisan yang berbasis keilmuan (“scientific-mind”). a.Kondisi Rekruitmen Kepemimpinan Partai Politik PartaiPolitik memiliki perkembangan yang sejalan dengan perkembangan masyarakat di mana Partai Politik itu lahir, tumbuh dan berkembang. Untuk itu tidaklah berlebihan apabila dalam Penjelasan Umum (UU Partai Politik) memberikan diskripsi bahwa Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 5 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto dinamika peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka untuk mengetahui bagaimana kualitas kepemimpinan Partai Politik niscaya dibutuhkan pengetahuan untuk mengerti tentang keanggotaan Partai Politik dan rekruitmennya sebagai bagian dari tahapan kaderisasi Partai Politik saat ini secara yuridis. Pendidikan politik merupakan instrumen penting dalam mendewasakan kepemimpinan Partai Politik yang mampu melahirkan kepemimpinan Partai Politik yang demokratis bagi penguatan ketahanan nasional NKRI. Partai Politik memiliki peran besar untuk melakukan pendidikan politik dengan maksud utama untuk mengembangkan demokrasi yang partisipatoris dengan kader-kader Partai Politik yang mampu melahirkan kepemimpinan Partai Politik yang sejalan dengan pandangan dasar NKRI. Pendidikan politik sebagaimana dimaksud dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila. Untuk itulah secara ideologis harusnya semua pendidikan politik yang dilakukan oleh Partai Politik bersumberkan kepada Pancasila. Pendidikan politik yang diagendakan oleh Partai Politik seyogianya mampu menginternalisir nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan demokrasi yang berkualitas. Semua itu meneguhkan suatu refleksi dari mendesaknya kebutuhan suatu pendidikan politik yang mampu melahirkan kepemimpinan Partai Politik yang baik. Kepemimpinan Partai Politik yang berdasarkan Pancasila secara praksis tidak otomatis dapat diimplementasikan dalam dunia politik di Indonesia. Apa yang dirumuskan dalam UU Partai Politik saat ini membutuhkan penerapan serius dan dukungan publik agar tidak menjadi masalah domestik NKRI Implikasi Rekrutmen Rekruitmen kepemimpinan ditubuh partai masih menyisakan tanda tanya, karena Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Partai Politik dipahami tidak banyak yang mempunyai kemampuan kenegaraan yang matang. Partai Politik cenderung menampilkan konflik yang justru memperburuk citra Partai Politik sendiri. Kualitas SDM dan tata cara rekruitmen kepemimpinan yang feodalistik adalah parameter indikatif yang paling jelas tentang keruwetan Partai Politik. b. Kondisi Rekruitmen Kepemimpinan Yang Diharapkan Tidak ada demokrasi yang berkembang dalam sebuah negara tanpa adanya Partai Politik yang hidup dengan jiwa yang sangat demokratis. Untuk itulah adalah suatu kewajaran apabila Partai Politik beridiri untuk menegakkan demokrasi secara benar dengan tetap memperhatikan kondisi di mana Partai Politik tersebut berada. Partai Politik pada konsteks demokrasi dipastikan mempunyai kepentingan untuk menjaga dan mengembangkan demokrasi agar berkualitas untuk tetap dapat mempertahankan eksistensi dan fungsi Partai Politik bersangkutan. Partai Politik tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa penataan kehidupan demokrasi Anggota dan pimpinan Partai Politik seyogianya menyadari bahwa dirinya diadakan untuk menggunakan Partai Politik sebagai instrumen demokrasi yang meneguhkan bahwa nilai- nilai demokrasi Pancasila itu baik dan memperkokoh ketahanan nasional NKRI itu 6 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto mutlak sebagai sesuatu yang logis sebagai Warga NKRI. Partai Politik yang tidak mengembangkan kehidupan demokrasi yang Pancasilais dan memperkokok ketahanan NKRI adalah Partai Politik yang semestinya tidak berada di NKRI. Maka adalah tugas dan tanggung jawab Partai Politik sendiri untuk menentukan siapa -siapa yang pantas menjadi anggota dan pimpinan Partai Politik yang hidup di NKRI. Pimpinan Partai Politik musti dibekali suatu ajaran atau paham yang mampu membawa Partai Politiki tetap dalam garis edar kenegaraan NKRI yang berdirinya berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Rekruitmen keanggotaan dan kepemimpinan Partai Politik yang bersumberkan pada nilainilai demokrasi Pancasila pada akhirnya adalah kebutuhan yang harus dilakukan oleh semua komponen Partai Politik yang ada di seluruh wiilayah NKRI c.Indikator Keberhasilan Rekruitmen Kepemimpinan Politik Keberasilan rekruitmen kepemimpinan Partai Politik tercipta apabila mekanisme rekruitmen keanggotaan Partai Politik sebagaimana diatur dalam AD dan ART Partai Politik terlaksana. Rekruitmen keanggotaan dan kader Partai Politik merupakan pijakan awal untuk keberhasilan seleksi lahirnya pemimpin-pemimpin Partai Politik yang handal. Dengan melihat sistem rekruitmen keanggotaan Partai Politik yang diatur dalam AD/ART Partai Politik semestinya Akan tercipta kader-kader Partai Politik yang sejalan dengan pemahaman Partai Politik yang bersangkutan Perkembangan demokrasi dikatakan berhasil apabila kedaulatan rakyat mendapatkan tempat yang proporsional serta penghargaan yang besar dari Partai Politik. Masyarakat dan anggota Partai tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan masa tanpa cita-cita. Partai Politik dengan caranya sendiri untuk melakukan rekruitmen kepemimpinan melalui tahapan awal keanggotaan Partai Politik jelas memiliki cita-cita untuk merealisasikan tujuan Partai Politiknya sesuai dengan koridor yang tersedia. NKRI telah mengeluarkan beragam regulasi Partai Politik untuk mampu mengembangkan demokrasi Pancasila secara berkualitas agar terwujud kepemimpinan nasional yang berasal dari Partai Politik tetapi tetap teguh dalam lingkup geografis NKRI. Kepemimpinan nasional maupun kepemimpinan Partai Politik harus disadari sesungguhnya akan tumbuh dengan baik dalam sistuasi Partai Politik yang mampu mengemban demokrasi secara komplit. Keanggotaan Partai Politik dengan segala hak dan kewanjibannya harus digunakan sebagai indikator berhasil tidaknya Partai Politik menyusun strategi pengembangan kepemimpinan yang matang. Partai Politik harus mampu mengembangkan tatanan demokrasi secara total yang dalam NKRI tentu berpegang teguh kepada Pancasila. Oleh karena itulah harus dimengerti dengan benar bahwa keberhasilan Partai Politik untuk menggalang anggota dan kader yang mengamalkan Pancasila adalah indikatoir filosofis paling mendasar mengenai keberhasilan Partai Politik untuk untuk menciptakan Partai Politik yang Pancasilais. Kepemimpinan Partai Politik yang dalam Anggaran Dasarnya secara tegas mengamanatkan Pancasila sebagai patokan kehidupan merupakan bentuk yang paling Kepemimpinan Partai Politik yang lahir secara prosedural demokratis diseyogiakan melahirkan kepemimpinan Partai Politik yang demokratis. Hal ini berarti bahwa apabila rekruitmen Partai Politik yang sejak awal menggunakan nilai- nilai dasar Pancasila maka diharapkan akan tercipta kader Partai Politik dan keanggotaan Partai Politik yang selalu sedia mengamankan Pancasila. Kaderisasi Partai Politik dalam mempersiapkan kepemimpinan internal Partai sangat berpengaruh signifikan secara nasional. NKRI akan selalu berkembang demokrasi Pancasilanya dengan ketahanan nasional yang kokoh apabila Partai-partai Politik mampu melakukan seleksi keanggotaan dan kader kepemimpinan yang sesuai dengan jiwa terdalam Pancasila Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 7 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto Melalui sistem keanggotaan dan kaderisasi yang baik dalam Partai Politik akan melahirkan kepemimpinan Partai Politik yang demokratis dan sanggup memperkokoh ketahanan nasional NKRI. Untuk itulah persyaratan keanggotaan Partai Politik adalah sistem filter yang baik untuk menjaring calon-calon pimpinan Partai Politik. Berdasarkan uraian di atas, maka Indikator Keberhasilan Rekruitmen Kepemimpinan Partai Politik guna Meningkatkan Kualitas Pembangunan Demokrasi dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional adalah sebagai berikut : Mekanisme rekruitmen keanggotaan partai politik sesuai dan konsisten dengan AD dan ART Partai Politik; Kepemimpinan Partai Politik lahir secara prosedural demokratis; Rekruitmen Kepemimpinan Partai Politik sejak awal menggunakan nilai-nilai dasar Pancasila maka diharapkan akan tercipta kader Partai Politik dan keanggotaan Partai Politik yang selalu sedia mengamankan Pancasila; Kedaulatan rakyat mendapat-kan tempat yang proporsional serta penghargaan yang besar dari Partai Politik; Rekruitmen kepemimpinan melalui tahapan awal keanggotaan Partai Politik jelas memiliki cita- cita untuk merealisasikan tujuan Partai Politiknya sesuai dengan koridor yang tersedia; serta Demokrtatisasi keanggotaan Partai Politik pada akhirnya melahirkan demokratsiasi kepemimpinan Partai Politik yang memiliki daya juang untuk mengembangkan demokrasi Pancasila serta NKRI Untuk itu, mengawali konsep rekruitmen kepemimpinan partai politik guna meningkatkan kualitas demokrasi dalam rangka memperkokoh ketahan nasional berikut disajikan variable yang digunakan sebagai indikator keberhasilan yang diharapkan dapat memberikan keyakinan kepada para pihak yang selanjutnya akan mengem-bangkan dan mengambil langkah strategis dalam pembangunan nasional : a. Meningkatnya pencerminan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinan parpol, dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : 1) Terumuskannya dan tersosialisinya konsep kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila melalui : a) Pemerintah (Pusat/Daerah) bekerjasama melakukan penetapan visi kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila secara konseptual; b) Pemerintah dan seluruh komponen bangsa melakukan penataan kerangka berpikir dan perilaku yang mencerminkan kepemimpinan yang negarawan yaitu kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilainilai Pancasila; 2) Tersosialisasinya konsep kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila, baik secara langsung (tatap muka dengan pemimpin parpol), maupun tidak langsung dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta tokoh lainnya yang berpeluang menjadi pejabat publik melalui kendaraan partai politik 3) Terlaksananya transformasi konsep kepemimpinan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila pada setiap jenjang pendidikan dan kehidupan bermasyarakat/bernegara, melalui kegiatan : a) Pemerintah bersama seluruh tokoh masyarakat secara proaktif memberikan keteladanan dalam pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila, mulai lingkungan keluarga hingga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara b) Pemerintah dan seluruh tokoh masyarakat berupaya mensosialisasikan pentingnya pelestarian nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila melalui jalur pendidikan formal dan non formal; 8 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto 4) Terfasilitasinya penyiapan kader kepemimpinan/pemimpin melalui jalur partai yang telah disempurnakan dengan kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila, melalui kegiatan : a) Para pemimpin organisasi politik melalukan kaderisasi secara fair, matang, profesional, berjenjang dan berkesinambungan sehingga kualitas (kepemimpinan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila) yang diharapkan dapat terpenuhi; b) Proses kaderisasi kepemimpinan parpol dilaksanakan secara transparan dan adil melalui fit and proper test sehingga masyarakat tidak keliru dalam memilih pemimpinnya; c) Pembudayaan wawasan kepemimpinan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila yang diimbangi dengan mensosialisaikan melalui jalur non formal dan memberikan kesempatan kepada Parpol untuk mengikuti pendidikan-pendidikan formal di pemerintahan. 5) Tersedianya mentor yang berkualitas sehingga mampu menjadi tauladan bagai generasi muda di bawahnya dalam mengimplementasikan kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila; Meningkatnya kemampuan partai politik dalam memproduksi kader-kader partai politik yang memadai untuk menjalankan organisasi partai politik. Partai harus dapat mendidik kader sehingga mereka mempunyai karakter dan mentalitas bahwa keberadaannya sebagai kader partai adalah panggilan hidup, karena cita-cita atau karena keyakinan. Mereka juga harus digembleng agar mempunyai keterampilan menerjemahkan ideologi partai menjadi kebijakan publik. Selain itu mereka juga harus dididik mempunyai semangat kebersamaan dan kesetaraan. Artinya, sebagai kader mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk meniti karier sampai jenjang tertinggi pada partai yang bersangkutan b. Meningkatnya pendidikan politik bagi kader-kader partai politik, dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : 1) Terfasilitasinya Penyelenggaraan Pendidikan Politik dan Pengembangan Sistem Politik bagi kader-kader Parpol. 2) Terfasilitasinya penyelenggaraan pendidikan politik dan pengembangan sistem politik yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensi kader-kader parpol terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, 3) Terfasilitasnya partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kader-kadernya; 4) Terfasilitasinya pendidikan politik dan pengembangan budaya politik dalam kehidupan parpol; 5) Terfasilitasinya pembenahan secara sistematik ketembagaan, tata kerja, personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur politik maupun di tingkat infrastruktur politik; Terfasilitasinya pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin pengembangan etika politik dan budaya politik yang positif – konstruktif c. Meningkatnya kontrol negara terhadap partai politik, dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : Terbitnya regulasi yang mewajibkan agar Partai Politik menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Ini adalah upaya legal yang harus ditempuh oleh NKRI demi Demokrasi Pancasila yang berkualitas Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 9 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto Terlaksananya revisi UU Partai Politik yang membenarkan adanya asas yang tidak menggunakan Pancasila. Langkah untuk mengubahan regulasi politik yang tidak secara tegas menjadikan Partai Politik berasaskan Pancasila harus dilakukan sebagai upaya pembangunan demokrasi Pancasila yang berkualitas bagi upaya untuk memperkokoh ketahanan NKRI. Hanya melalui komitmen semua Partai Politik yang secara sadar sebagai komponen NKRI yang harus berasaskan Pancasila dapat dibangun demokrasi yang berkualitas dan kokohnya ketahanan nasional NKRI. Partai Politik yang mampu mengkristalisasi nilai- nilai Pancasila secara komprehensif adalah Partai Politik yang tidak menjadi hambatan pembangunan Demokrasi Pancasila yang berkualitas maupun ketahanan nasional NKRI yang kokoh. 3) Meningkatnya pengawasan dan penerapan sanksi terhadap parpol sebagai bentuk kontrol negara dilakukan oleh sejumlah instansi, yakni Departemen Kehakiman, Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri, Pengadilan, Mahkamah Agung, serta-jika sudah berbentuk-Mahkamah Konstitusi 4) Terciptanya anggota Parpol agar senantiasa mentaati/ menegakkan AD/ART parpol yang diikutinya; Kebijaksanaan untuk mengembangkan demokrasi Pancasila yang berkualitas melalui rekruitmen kepemimpinan Partai Politik demi kokohnya ketahanan nasional jelas membutuhkan strategi yang tepat. Untuk menindaklanjuti, maka perlu adanya penjabaran kebijaksanaan melalui strategi yang dapat mendukung tercapainya rekruitmen kepemimpinan partai politik guna meningkatkan kualitas pembangunan demokrasi dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional. Adapun strategi yang dikembangkan adalah : a. Strategi 1 : Menciptakan sistem rekruitmen kepemimpinan parpol yang mencerminkan nilai-nil Partai Politik menjadi sangat tidak merefleksikan nilai dasar Pancasila secara tepat. Pancasila pun ditafsir secara serampangan dan jauh dari kaidah awalnya untuk menata semua perikehidupan Konstalasi inilah yang perlu diterangkan bahwa memang terdapat dugaan bahwa kepemimpinan Partai Politik saat ini disinyalir tidak mengembangkan Pancasila, sehingga Pancasila seperti “kata biasa” yang tidak memiliki makna filosofis. Kefilsafatan Pancasila sesunggungnya tidak perlu diragukan karena pandangan filsafati merupakan pandangan ilmiah yang mendalam. Meragukan Pancasila atas nama keilmuan merupakan tindakan yang tidak ilmiah. Pancasila sendiri adalah ilmiah untuk menjadi pijakan Partai Politik dalam melakukan rekruitmen kepemimpinan. b. Strategi 2 : Meningkatkan pendidikan politik kader politik Partai Politik di Indonesia dewasa ini mengalami dinamika yang secara historis menunjukkan adanya pengulangan kembali sejarah perkembangan Partai Politik dalam konsteks ideologi. Pada masa pemerintahan Orde Lama bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan kenegaraan yang multipartai dengan segala instabilitas politik nasional. Banyaknya Partai Politik pada era kepemimpinan Presiden Soekarno telah membawa kehidupan yang bisa saja dilihat sebagai tatanan kenegaraan yang demokratis, tetapi amat sangat tidak stabil, sehingga pembangunan nasional terhambat. Partai Politik bebas tumbuh tanpa kendali negara dan berideologi yang sektoral sesuai dengan komunitas masyarakat yang membentuknya. Akibatnya adalah perpecahan 10 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto politik masyarakat dan kemapanan pemerintahan menjadi terganggu dengan konsekuensi terjauh tidak terwujudnya ketentraman kehidupan bernegara Ego politik muncul sebagai akibat buruk dari kehidupan multipartai yang mengedepankan ideologi “internal”. Paham-paham lokal dan komunal yang sangat ekstrim terhadap Pancasila tumbuh sebagai kekuatan yang sangat tidak kondusif bagi ketahanan nasional NKRI. c.Strategi 3 : Meningkatkan kontrol negara terhadap partai politik. Strategi tersebut dibutuhkan karena dalam perkem-bangan politik di NKRI terdapat kecenderungan bahwa Partai Politik sebagai kendala pengembangan demokrasi yang berku-alitas yang mampu memperkokoh ketahanan nasional NKRI. Dalam kerangka kepemimpinan Partai Politik sebenarnya terdapat kendala utama yang harus diupayakan solusinya, yaitu negara telah melegalkan asas non -Pancasila. Pasal 9 UU Partai Politikl sebagaimana diketahui menentukan bahwa Asas Partai menginterpretasikan rumusan tersebut dengan menafikan Pancasila. Maka sebagaimana diketahui di atas bahwa terdapat Partai- partai Politik di bumi Pancasila yang tidak berasas Pancasila. Partai Politik dapat berargumentasi bahwa Partai Politik tersebut tidak melakukan pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tetapi dapat mengabaikan atau mengucilkan Pancasila secara elementer. Oleh karena itulah Taskap ini mendesak Pemerintah untuk bersikap tegas dengan membuat regulasi berasama DPRD agar Partai Politik menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Ini adalah upaya legal yang harus ditempuh oleh NKRI demi Demokrasi Pancasila yang berkualitas dan ketahanan nasional yang semakin kokoh tanpa hambatan ideologis. d. Strategi 4 : Meningkatkan kontrol negara terhadap partai politik. Upaya yang dilakukan untuk menjalankan Strategi 4 adalah menugaskan pemerintah untuk bersikap tegas dengan membuat regulasi berasama DPR - RI agar Partai Politik menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Ini adalah upaya legal yang harus ditempuh oleh NKRI demi Demokrasi Pancasila yang berkualitas. Pemerintah perlu melakukan kajian untuk merevisi ketentuan UU Partai Politik yang membenarkan adanya asas yang tidak menggunakan Pancasila merupakan bentuk titik krusial politik di Indonesia. Langkah untuk mengubah regulasi politik yang tidak secara tegas menjadikan Partai Politik berasaskan Pancasila harus dilakukan sebagai upaya pembangunan demokrasi Pancasila yang berkualitas bagi upaya untuk memperkokoh ketahanan NKRI. Hanya melalui komitmen semua Partai Politik yang secara sadar sebagai komponen NKRI yang harus berasaskan Pancasila dapat dibangun demokrasi yang berkualitas dan kokohnya ketahanan nasional NKRI. Partai Politik yang mampu mengkristalisasi nilai-nilai Pancasila secara komprehensif adalah Partai Politik yang tidak menjadi hambatan pembangunan Demokrasi Pancasila yang berkualitas. Pelaksanaan demokrasi sebagai amanat rakyat tetaplah harus berjalan diatas koridor nilai-nilai luhur pancasila dan diperlukan adanya pengawasan negara terhadap partai politik-partai politik, bahkan pengawasan yang diakukan perlu dibarengi dengan sanksi. Penjatuhan sanksi diatur dalam sebuah peraturan pemerintah dilakukan secara berjenjang dan melalui prosedur yang ditetapkan. Langkah seperti ini memerlukan keberanian pemerintah dan seharusnya pemerintah memliki keberanian karena diberikan wewenang untuk itu. Sejumlah instansi yakni Departemen Kehakiman, Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri, Pengadilan, Mahkamah Agung, serta Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang ada untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran yang dilakukan partai politik. Agar efektif mungkin sekali waktu Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 11 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto pemerintah atas nama negara dapat menggugat atau menuntut pimpinan partai politik yang terbukti melaksanakan kegiatan, dan memiliki perilaku dan pikiran yang nyata– nyata bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. E. PENUTUP Kesimpulan a. Mekanisme rekruitmen kepemimpinan Partai Politik di Indonesia secara yuridis normatif dilakukan melalui pentahapan keanggotaan, kader dan pengurus Partai Politik. Ketentuan normatif yang diperintahkan oleh regulasi yuridis tidak serta merta ditaati secara sosiologis oleh Partai Politik melalui Anggarann Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga Partai Politik. Rekruitmen kepemimpinan Partai Politik secara yuridis maupun politis dewasa ini lebih mengandalkan kerangka dasar kepepimpinan feodalistik yang jauh dari nilai-nilai dasar Pancasila. . Rekruitmen kepemimpinan Partai Politik di Indonesia belum mampu meningkatkan kualitas pembangunan demokrasi Pancasila untuk memperkokoh ketahanan nasional NKRI. Suksesi kepemimpinan Partai Politik yang berkembang justru berlawanan dengan semangat demokrasi Pancasila yang berjiwa mulia b. Peran strategis mekanisme rekruitmen kepemimpinan Partai Politik yang didasarkan pada profesionalitas dan demokrasi Pancasila akan meningkatkan kualitas demokrasi. Partai Politik akan mempunyai peran besar bagi pembangunan demokrasi yang berkualitas dalam suatu bangsa dan dapat memperkokoh ketahanan nasional NKRI apabila mampu melaksanakan ideologi negara secara komprehensif. Tumbuhnya Partai Politik yang lebih menonjolkan ciri kepartainnya daripada asas bernegara merupakan kendala besar untuk membangun demokrasi yang bermutu untuk mewujudkan ketahanan nasional NKRI yang kokoh. Partai Politik sebagai sarana demokrasi yang paling demokratis tidak memiliki andil dalam pembangunan demokrasi Pancasila apabila tidak berasaskan kepada Pancasila. Hanya melalui Partai Politik yang berasaskan Pancasila akan dapat melahirkan kememimpinan yang baik. Saran Beranjak dari kesimpulan tersebut di atas perlu disusun langkah-langkah dan upaya yang mengarah kepada pembangunan politik mengenai mekanisme rekruitmen kepemimpinan PartaiPolitik) dengan melakukan pengembangan kapasitas Demokrasi Pancasila. Pancasila harus dijadikan sebagai ideologi bernegara oleh Partai Politik apapun basis sosial-budayanya. Untuk itulah guna menunjang kesimpulan yang telah terurai di atas, maka dibutuhkan perubahan dan terobosan pembaruan pandangan yang mendasar sebagai saran berikut: a. Melakukan revisi terhadap regulasi kepartaian agar semua Partai Politik berasaskan implikasi praktis terhadap kualitas pengembangan demokrasi di Indonesia. Penguatan demokrasi secara berkualitas dalam kepemimpinan nasional sangat dipengaruhi oleh mekanisme rekruitmen kepemimpinan Partai Politik, maka pimpinan Partai Politik dalam lingkup kenegaraan yang demokratis wajib berkomitmen untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi Partai Politik untuk meraih kekuasaan di NKRI. b. Partai Politik dalam melakukan rekruitmen kepemimpinan Partai Politik harus diselenggarakan secara demokratis dengan pertimbangan utama bahwa pengurus Partai Politik sangat potensial memegang tampuk kekuasaan negara yang harus mampu 12 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa Strategi Rekruetmen Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kualitas Demokrasi Akmal Boedianto mengembangkan demokrasi Pancasila secara berkualitas dalam rangka mempertahankan NKRI. Pendidikan politik bagi anggota Partai Politik perlu segera dilakukan oleh partai politik dengan fasilitasi pemerintah baik pusat maupun daerah. Karena dari siniliah munculnya kader partai dan kemudian munculnya kepemimpinan nasional dan daerah. c. Membuka dialog seluas -luasnya dengan jajaran pimpinan partai politik dan tokoh tokoh masyarakat tentang perlunya pembatasan jumlah partai politik minimal 3 (tiga) dan maksimal 10 (sepuluh) partai politik. Pembatasan partai akan membuat masyarakat mudah memberikan hak politiknya sehingga kesadaran politik masyarakat akan naik secara kualitas. d. Pemerintah perlu diberi payung hukum untuk menjalankan fungsi pelayanan, pengayoman, pengawasan dan pembinaan dalam kehidupan politik agar pelaksanaan demokrasi tetap berjalan diatas koridor nilai -niai pancasila. DAFTAR PUSTAKA Surbakti, Ramlan, 1999, ”Implikasi UU Politik terhadap Politik Lokal”, Widyapraja, Media Informasi Pemerintahan No.32, Tahun XXII Mosca, Gaetano, 1989, The Ruling Class, penerjemah Hamah D.Kahn, Arthur Livingstone, McGraw Hill, New York Lasswell, D.Harold, 1952, The Comparative Study of Elites, Hoover Institute Studies, Series B, Elites, No.1 Stanford Keller, Suzanne, 1986, Penguasa dan Kelompok Elite : Peran Elit Penentu dalam Masyarakat Modern, Rajawali Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 13 Analisa TRANSFER PELATIHAN BERBASIS EXPERIENTIAL LEARNING DI SEKTOR PUBLIK Studi pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Dr. Esti Sri Rahayu, SP., MP Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Jl. Balongsari Tama Tandes Surabaya Email: [email protected] Naskah diterima: 1 Juli 2017, Naskah direvisi: 10 Juli 2017, Naskah disetujui: 21 Juli 2017 Abstract Learning transfer was defined as the effective and continuing application, by trainees to their jobs, of the knowledge and skill gained in training (Broad and Newstrom, 1992). This is not only important for individual as a trainee, but also important to view it as a holistic process that include trainees and environmental influences. One of training program in public sector that requires advanced study was pre-service training that held for applicant of civil servant onboarding. This study aimed to know : 1) how experiential learning approach used in training can push trainees to perform training transfer; 2) how trainee characteristics, training design and organizational environment influence training transfer in public sector, and 3) to what extent training transfer resulting performance change. Using qualitative approach by interviewing alumni of pre-service training program with different job task and experience, the findings show that : first, alumni underwent transfer at phase of generalization under conscious maintenance when they actualizing training matters at workplace. Second, training intervention design using experiential learning approach and involving supervisor can enhance self efficacy and motivation. Third, trainees with openness to experience, high cognitive capability and self efficacy, as well as opportunities to perform, may obtained higher transfer level. Future research about transfer determinants in whole process from transfer generalization, partial transfer to optimal transfer, and how transfer level be reached are needed. Keywords : learning transfer, experiential learning, public sector A. PENDAHULUAN Problematika tentang learning transfer merupakan diskursus yang menarik baik secara empirik maupun teoritik serta memperoleh minat penelitian dari berbagai bidang kajian, mencakup psikologi, pendidikan dan manajemen. Dalam berbagai bahasan dan penelitian, learning transfer merujuk pada transfer of training (transfer pelatihan), yang didefinisikan sebagai suatu tingkatan dimana pembelajar mengaplikasikan pengetahuan, ketrampilan dan sikap secara efektif yang diperoleh dari hasil pelatihan kedalam lingkungan pekerjaan (Newstrom, 1984; Wexley & Latham, 1991). Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 15 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Di lingkungan pemerintah, sejauh ini problematika learning transfer pasca pelatihan belum mendapatkan perhatian yang memadai dan belum dikaji secara mendalam, meskipun secara formal sudah ada panduan mengenai evaluasi pasca pelatihan berupa evaluasi dampak diklat. Di sisi lain, evaluasi pasca pelatihan yang pernah dilakukan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 menunjukkan bahwa dari 82% alumni pelatihan yang menyusun rencana tindak lanjut, hanya 19% yang menyatakan bahwa pengembangan hasil pelatihannya sesuai dengan rencana, sedangkan 58% menyatakan kurang sesuai dengan rencana, 15% menyatakan belum melaksanakan dan 8% tidak melaksanakan. Masih dari sisi alumni pelatihan, 40% menyatakan telah mengembangkan hasil pelatihan secara optimal, 44% menyatakan pengembangan kurang optimal dan sisanya 16% tidak mengembangkan hasil pelatihan. Dari data tersebut tampak bahwa transfer pelatihan di sektor publik perlu dipelajari lebih dalam, apakah pembelajar melakukan transfer pelatihan, bagaimana prosesnya, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi transfer pelatihan, serta sejauhmana hasil atau perubahan kinerja sebagai dampak transfer. Reviu Tentang Transfer Pelatihan Transfer pelatihan tidak hanya menjadi urusan individu dari pihak pembelajar, namun sebagai sebuah proses yang harus dipandang secara holistik, baik dari sisi pembelajar maupun lingkungan yang mempengaruhinya, sifatnya kompleks, multi-aspek dan kadang rumit, namun perlu dipahami karena sangat penting dalam kaitannya dengan pendidikan dan pelatihan (Subedi, 2004). Studi tentang transfer pelatihan terus berkembang sejak Baldwin & Ford (1988), baik studi determinan, model, proses maupun studi literatur, yang masing-masing mengangkat setting maupun fokus yang beragam. Penelitian mengenai pengalaman transfer pembelajar pernah diteliti oleh Toll (2004) yang mengambil partisipan dari departemen yang berbeda dan pelatihan yang berbeda pula, dengan melakukan kajian dari sisi teori pembelajaran orang dewasa (adult learning), yakni self directed learning, situated cognition dan transformational learning. Dari pengalaman pembelajar disimpulkan bahwa transfer dan teori adult learning saling mendukung, akan tetapi teori adult learning memberikan pemahaman yang lebih luas dan komprehensif bagi pembelajar dalam memaknai pengalaman transfer. Penelitian tentang apakah seseorang yang mengikuti pelatihan melakukan transfer dan apakah transfer tersebut menghasilkan peningkatan kinerja dilakukan oleh Ward (2008), yang subyeknya melibatkan peserta program pelatihan pengembangan kepemimpinan berbasis action learning. Hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi yang ditransfer di tempat kerja sebesar 50% - 80%, dimana iklim organisasi dilaporkan dapat mendukung transfer melebihi hambatan yang ada. Kinerja juga dirasakan meningkat oleh sebagian besar partisipan, namun tidak tampak hubungan linier yang jelas antara kompetensi yang ditransfer oleh partisipan dengan peningkatan kinerja yang dirasakan. Oleh karena penelitian ini mempertimbangkan faktor desain pelatihan dan iklim organisasi, maka disarankan agar penelitian mendatang mencakup keseluruhan sistem transfer yakni desain pelatihan, iklim organisasi dan karakteristik pembelajar. Penelitian yang mengangkat karakteristik pembelajar diperlukan karena berpotensi dalam mempengaruhi transfer. Dalam perkembangan berikutnya, faktor karakteritik pembelajar diteliti oleh Phipps (2011) melalui riset berjudul “Self-monitoring and Organizational Identification as Moderators of The Effects of Proactive Personality on The Transfer of Learning in the 16 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Workplace: A Theoretical Inquiry”. Kemampuan praktisi untuk mengidentifikasi individu yang sukses dalam mentransfer pembelajaran bermanfaat untuk organisasi. Individu dengan prototipe kepribadian proaktif mengidentifikasi peluang dan bertindak, menunjukkan inisiatif, melakukan tindakan dan memelihara sampai terjadi perubahan berarti. Ini memiliki implikasi untuk pengembangan sumber daya manusia karena individu mungkin lebih sukses dalam transfer pembelajaran dilatarbelakangi oleh keinginan bertindak dan membuat perubahan positif untuk lingkungan kerja. Meskipun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap learning transfer cukup kompleks, namun Grossman dan Salas (2011) berargumen bahwa organisasi tidak perlu memasukkan setiap faktor yang berkaitan dengan transfer pembelajaran dalam program pelatihan, tetapi lebih baik memanfaatkan serangkaian best practice atau faktor-faktor utama yang berdampak signifikan terhadap outcomes transfer tersebut. Sementara itu, Furman & Sibthorp (2013) mengemukakan tentang pentingnya mengungkit (leveraging) transfer pelatihan melalui experiential learning dengan beberapa metode diantaranya melalui problem based learning dan project based learning. Penelitian transfer pelatihan cukup banyak dilakukan, sebagian besar membahas determinan dengan model kuantitatif meski ada diantaranya yang kualitatif. Diantara penelitian tersebut ada yang dilakukan pada kelompok mahasiswa di universitas (Leberman, 1999), pada kelompok manajer, senior officer dan junior officer pasca pelatihan tertentu (Toll, 2004), pada kelompok pegawai farmasi pasca pelatihan leadership (Ward, 2008) dan pada kelompok profesi (Tillman-Provo, 2013). Sementara itu, studi khusus tentang transfer pelatihan pada pegawai baru dalam masa onboarding belum ditemui. Tujuan Studi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana proses transfer pelatihan terjadi pada alumni pendidikan dan pelatihan prajabatan, yakni dapat menjawab permasalahan pokok berikut : “Bagaimanakah learning transfer pembelajar pasca pendidikan dan pelatihan prajabatan golongan III di tempat kerja ?” Tujuan khususnya adalah : Untuk mengetahui bagaimana Diklat Prajabatan Golongan III yang menggunakan pendekatan experiential learning dapat mendorong terjadinya transfer pelatihan pada pembelajar Untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor karakteristik personal, desain pelatihan dan lingkungan kerja dapat mempengaruhi proses transfer pelatihan pada alumni Diklat Prajabatan Golongan III Untuk mengetahui sejauhmana perubahan yang terjadi pada alumni Diklat Prajabatan Golongan III sebagai hasil transfer pelatihan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 17 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu B. KERANGKA TEORI DAN ALUR PEMIKIRAN Pendekatan Experiential Learning Belajar dari pengalaman merupakan salah satu yang paling fundamental dan natural yang dialami oleh setiap orang. Begitu banyak teori belajar, pendidikan, pelatihan dan pengembangan yang dikembangkan terpisah satu sama lain dan tidak ada koherensi diantaranya. Kekuatan besar dari experiential learning adalah memberikan filosofi dasar bahwa aksi selama mengalami berbagai teori belajar secara bersama-sama dalam kesatuan yang lebih utuh. Teori experiential learning (ELT) memberikan model holistik dari proses belajar dan model multilinier dari pengembangan orang dewasa. Teori experiential learning menekankan peran sentral dari pengalaman dalam proses belajar, sebuah penekanan yang membedakan dari teori lainnya. Teori experiential learning yang populer dan digunakan secara luas diantaranya adalah Teori Kolb (1984). Dalam memformulasikan teori experiential learning / Experiential Learning Theory (ELT), Kolb (1984) mengkombinasi pragmatisme filosofis Dewey (learning through experience), psikologi sosial Lewin (ketegangan dialektikal antara teori dan pengalaman) dan epistemologi genetik perkembangan kognitif Piaget (belajar untuk belajar/learning to learn), juga kontributor teori belajar lainnya (James, Jung, Freire, Rogers). Kerangka ELT memberikan gambaran holistik dari proses belajar dan model multi-linier perkembangan orang dewasa. ELT umumnya mendefinisikan learning sebagai proses melalui mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dihasilkan dari kombinasi penyerapan dan transformasi pengalaman (Kolb, 1984). Lebih spesifik lagi, ELT dibangun dari enam proposisi : 1. Pembelajaran dimaknai sebagai proses bukan hasil. Pendidikan harus dimaknai sebagai rekonstruksi pengalaman yang berkesinambungan, proses dan tujuan pendidikan adalah satu dan sama. 2. Pembelajaran merupakan proses berkesinambungan yang bersumber dari pengalaman. Ini sering disebut relearning. Kolb dan Kolb (2005a) menyatakan “Learning is best facilitated by a process that draws out the students’ belief and ideas about a topic so that they can be examined, tested, and integrated with new, more refined ideas” 3. Pembelajaran memerlukan pemecahan konflik dialektikal melawan metode/ cara. Konflik, perbedaan dan pertentangan mendorong proses belajar. Dalam proses belajar, seseorang bergerak maju mundur terhadap refleksi, aksi, perasaan dan pikiran. 4. Pembelajaran merupakan proses yang holistik dan adaptif. Karenanya pembelajaran tidak sekedar pencapaian kognitif, tetapi juga domain lain termasuk pembelajaran persepsi, perilaku dan afektif. 5. Pembelajaran melibatkan komunikasi transaksional : interaksi sinergis antara manusia dan lingkungan. Mengembangkan dari teori Piaget, Kolb dan Kolb (2005a) mengemukakan bahwa manusia belajar melalui ekuilibrasi proses dialektikal mengasimilasi pengalaman baru kedalam konsep saat ini dan mengakomodasi konsep saat ini kedalam pengalaman baru. 6. Pembelajaran merupakan sarana memproduksi pengetahuan. Berakar dari filosofi konstruktivisme, ELT memprediksi bahwa pengetahuan personal pembelajar merupakan dasar dimana pengetahuan sosial diciptakan dan diciptakan kembali 18 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu (Kolb, 1984). Sementara, paradigma belajar-mengajar tradisional (model transmisi) dimana pengetahuan diperlakukan sebagai produk transmisi linier dari pengajar ke siswa. Proses Transfer Transfer dikonseptualisasi sebagai sebuah proses dengan bermacam tahapan yang melaluinya transfer dapat dilacak. Pendekatan proses merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi ketika pembelajar mengujicobakan ketrampilan, mempraktekkan, tidak melanjutkan pemanfaatan atau gagal untuk menggunakan ketrampilan tersebut. Pendekatan proses juga memampukan para praktisi untuk mengukur transfer pada berbagai titik pada suatu kontinum waktu dan tingkat transfer pada titik tersebut. Ini merupakan tingkat transfer yang dapat diterima dan tingkat yang optimal. Untuk proses transfer, Foxon (1993) mengajukan tahapan sebagaimana Gambar 1. Gambar 1. Tahapan Proses Transfer Tiap tahap merupakan prasyarat untuk tahap berikutnya dan sampai dengan tahap akhir dicapai, pembelajar mungkin berbalik kepada perilaku sebelum pelatihan disebabkan kegagalan transfer. Resiko kegagalan transfer yang terbesar ada di awal tahap. Selengkapnya proses transfer adalah sebagai berikut : Transfer intention (intensi/niat transfer). Ini merupakan motivasi pembelajar di akhir pelatihan untuk mengaplikasikan hasil belajar kedalam tempat kerja. Transfer initiation (inisiasi transfer). Inisiasi merujuk pada upaya untuk mengaplikasikan hasil pelatihan dan merupakan precursor penting untuk transfer secara parsial dan pemeliharaan transfer. Upaya pemanfaatan pelatihan mungkin berhenti disebabkan berbagai alasan baik personal maupun organisasional. Partial transfer (transfer parsial). Hal ini terjadi ketika hanya beberapa ketrampilan yang ditransfer (sementara yang lain tidak disebabkan berbagai macam alasan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 19 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu misalnya kurangnya kesempatan, kurang percaya diri, kegagalan penguasaan ketrampilan selama pelatihan, motivasi rendah, dan sebagainya). Transfer maintenance (mempertahankan/memelihara transfer). Hal ini merupakan representasi dua tahap terakhir dari proses transfer dan merujuk pada upaya mempertahankan aplikasi hasil belajar seiring berjalannya waktu, sehingga kinerja meningkat secara permanen (Baldwin & Ford, 1988; Georgenson, 1982). Pada tahap awal pemeliharaan pembelajar membuat pilihan sadar untuk memanfaatkan ketrampilan ketika penggunaannya sesuai. Ketika pemanfaatan ketrampilan telah mengalami kemajuan pada penggunaan alam bawah sadar, ketrampilan terintegrasi dalam perilaku kerja dan transfer terjadi sepenuhnya. Transfer failure (kegagalan transfer). Meskipun upaya mengaplikasikan ketrampilan (transfer initiation) atau aplikasi sporadik (partial transfer) oleh pembelajar kemungkinan gagal untuk dalam mengintegrasikan pelatihan kedalam perilaku kerja, dan kadangkala menghentikan upaya untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan baru. Transfer gagal ketika transfer maintenance atau partial transfer tidak tercapai. Faktor-faktor Pendorong Transfer Dalam konteks transfer di lingkungan kerja, menurut Baldwin dan Ford (1988) terdapat beberapa variabel yang menentukan efektivitas learning transfer yang dapat dikategorikan kedalam 3 aspek, yakni karakteristik pembelajar, desain dan substansi program pelatihan dalam menunjang transfer, serta lingkungan pekerjaan, yakni variabel sistem sosial dan iklim transfer. Beberapa faktor yang termasuk dalam karakteristik pembelajar antara lain : kemampuan, personalitas dan motivasi. Desain pelatihan mencakup prinsip-prinsip pembelajaran, sekuensi dan muatan pelatihan. Sedangkan lingkungan pekerjaan terkait dengan dukungan lingkungan dan kesempatan untuk memanfaatkan hasil pelatihan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Leimbach (2010) menunjukkan bahwa kesiapan pembelajar atau learner readiness yang meliputi motivasi belajar, persepsi manfaat, keselarasan dengan karier dan self efficacy memiliki kontribusi terhadap efektivitas learning transfer hingga 70%. Sedangkan, desain pelatihan yang meliputi praktek dan modellling, penetapan tujuan dan review aplikasi memberi kontribusi sampai 37% terhadap efektivitas learning transfer (Leimbach, 2010). Pemanfaatan metode praktek dan modeling perilaku dinyatakan mampu meningkatkan learning transfer. Demikian pula, apabila pembelajar memahami dengan jelas tujuan pembelajaran mereka, maka dapat berkontribusi dalam meningkatkan learning transfer. Dampak hasil pelatihan juga dapat ditingkatkan ketika desain pelatihan memberikan review bagaimana aplikasi pelatihan tersebut di tempat kerja. Berikutnya, learning transfer akan berhasil apabila didukung oleh organisasi (organizational alignment). Aspek organisasi yang berpengaruh meliputi: dukungan pimpinan, dukungan sejawat, relevansi pelatihan dengan tugas pekerjaan dan budaya organisasi, khususnya budaya belajar. Level Transfer Bertolak dari definisi bahwa learning transfer adalah aplikasi yang efektif dan berkelanjutan oleh pembelajar terhadap kinerja individu, organisasi atau komunitas 20 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu sebagai tanggung jawab atas hasil dari aktivitas pelatihan, maka terjadinya transfer pelatihan mensyaratkan adanya perubahan dan/atau peningkatan kinerja, baik individu maupun organisasi pascapelatihan. Untuk mengukur perubahan atau level transfer, dapat digunakan beberapa pendekatan yakni pendekatan evaluasi program pelatihan oleh Kirkpatrick (1996), level transfer oleh Guskey (2000) dan tipe perubahan sebagai hasil transfer yang dikemukakan oleh Kirwan (2009). Kirkpatrick (1996) membagi evaluasi program pelatihan kedalam 4 level, yakni level reaction, learning, behavior dan result. Pada level reaksi, evaluasi dilakukan untuk mengukur bagaimana peserta pelatihan bereaksi terhadap program pelatihan - apa persepsi peserta ? apakah mereka menyukainya ? apakah materinya relevan dengan pekerjaan ? Level berikutnya yakni learning, merupakan evaluasi yang mengukur sejauhmana peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan diperoleh melalui pelatihan. Metode pengukurannya dapat secara formal maupun informal, penilaian tim maupun self assessment. Intinya adalah sejauhmana hasil belajar diperoleh atau terjadi melalui pelatihan. Level ketiga adalah behavior atau perilaku. Evaluasi pada level ini mengukur perubahan perilaku peserta pelatihan, yakni apakah pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh digunakan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Sedangkan level keempat yakni result, mengukur dampak pelatihan terhadap peningkatan kinerja organisasi. Guskey (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pertanyaan yang perlu dijawab terkait transfer pelatihan : 1) apakah peserta menggunakan pengetahuan dan ketrampilan baru dalam bekerja dan 2) apakah pembelajaran diterjemahkan kedalam perubahan perilaku dan aktivitas profesional pegawai ? Berkaitan dengan hal tersebut ada lima level transfer yang mirip dengan jenis transfer, yaitu : 1) level mekanis atau near transfer, dimana seseorang mengimplementasikan ide baru dengan cara mekanistis dan tidak terkoordinasi; 2) level rutin atau lateral, dimana seseorang membangun pola reguler dari pengetahuan dan ketrampilan dengan sedikit perubahan; 3) level penyaringan atau vertikal, dimana pembelajar menilai dampak belajar dan membuat perubahan untuk meningkatkan efektivitasnya; 4) level integrasi atau far transfer, dimana pembelajar menciptakan upaya yang cermat untuk mengkoordinasikan aplikasinya dengan pihak lain yang terlibat dalam pemanfaatan pengetahuan dan ketrampilan; 5) level pembaruan, atau high road, dimana seseorang secara aktif mencari alternatif yang efektif untuk membangun pola. Kirwan (2009) menggunakan aspek penilaian outcomes belajar yang diletakkan oleh Golembiewski, Billingsley & Yeager (1976) yang mengajukan tiga tipe perubahan – alfa, beta dan gamma. Perubahan alfa digambarkan oleh Kirwan (2009) sebagai perbedaan langsung pada level pengetahuan dan ketrampilan dalam beberapa dimensi dengan skala yang pasti. Contoh sederhana adalah kursus tentang bagaimana membuat spreadsheet, membuat reservasi travel, atau kemampuan bernegosiasi harga produk. Perubahan beta dapat digambarkan sebagai rekalibrasi skala pengukuran, dimana peserta menilai ulang level pengetahuan sebelumnya dengan dua dimensi pengukuran. Contoh, seseorang mungkin merasa mengikuti suatu program namun merasa tidak mempelajari sesuatu yang baru, sifatnya hanya penguatan saja, hal yang mungkin terjadi adalah bahwa pengetahuan dan ketrampilan prosedural ditempatkan dalam konteks deklaratif, sehingga mereka memiliki framework dimana mereka dapat menempatkan apa yang diketahui. Disamping itu, intervensi memungkinkan seseorang memiliki kesempatan memahami kompetensi tertentu yang relevan (contoh bagaimana mengelola kinerja). Perubahan gamma dapat digambarkan sebagai rekonseptualisasi, atau perubahan mayor dalam kerangka acuan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 21 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu dimana pembelajaran terjadi. Contoh perubahan gamma mencakup bagaimana sekembalinya peserta dari program pelatihan dengan self-insight yang lebih besar menyangkut gaya, kekuatan dan kelemahan atau kebutuhan pengembangan. Mungkin mereka menemukan kejelasan tentang peran, perluasan wawasan dan apa yang mungkin terkait peran. Kerangka Pemikiran LEARNING TRANSFER PROSES MAINTENANCE GENERALISASI METODE EXPERIENTIAL LEARNING FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG KARAKTERISTIK PEMBELAJAR LINGKUNGAN ORGANISASI DESAIN PELATIHAN HASIL TRANSFER Level Perubahan Tipe Perubahan Gambar 2. Kerangka Pemikiran (Logical Framework) Learning Transfer pada Alumni Diklat Prajabatan 22 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu C. METODE Studi ini didasarkan hasil penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Melalui pendekatan penelitian kualitatif, dapat diperoleh pemahaman tentang persepsi pembelajar tentang pengalaman transfer, pemahaman yang mendalam terhadap materi pembelajaran, isu transfer, dan juga hal-hal yang terkait dengan proses pembelajaran dan transfer di tempat kerja. Guna menjawab problem penelitian, peneliti menempatkan alumni Diklat Prajabatan Golongan III yang diselenggarakaan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur sebagai Informan ditentukan melalui pemilihan alumni secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan latar belakang tugas pekerjaan ( bidang tugas) dan pengalaman (ragam usia dan pengalaman kerja), yang juga mempertimbangkan proporsi alumni. Informan yang terpilih adalah : 4 orang guru, 1 orang perawat, 1 orang staf teknis dan 2 orang staf administrasi. Informan merupakan alumni yang sebagian mengikuti Diklat Prajabatan Golongaan III Tahun 2015, dan sebagian lagi Tahun 2016. Adapun Diklat yang diikuti menggunakan pendekatan experiential learning, yang prosesnya digambarkan sebagaimana Gambar 3. Metode pencarian data melalui wawancara langsung kepada informan pada bulan Desember 2015 dan Agustus 2016, selain itu juga dilakukan studi dokumen sebagai penunjang. Data yang diperoleh melalui wawancara meliputi : pengalaman, pandangan, karakter dan sikap pribadi; pengalaman learning transfer; pandangan alumni mengenai desain pelatihan; aspek lingkungan kerja; tindak lanjut dan harapan tentang transfer hasil diklat; informasi pelengkap lainnya. Sedangkan data yang diperoleh melalui studi dokumen meliputi : desain dan kurikulum pelatihan, lingkup tugas pekerjaan alumni, tingkat pemahaman terhadap substansi transfer pembelajaran, dan laporan hasil transfer (laporan aktualisasi peserta pelatihan) sebagai pendukung. Concrete experience pengamatan, pengalaman film reviu,contoh kasus Reflective observation Active experimentation diskusi, self dialogue, mengkritisi, menceritakan value, verifikasi value menerapkan value, implementasi rancangan aktualisasi Abstract conceptualization membuat rancangan aktualisasi Gambar 3. Pendekatan experiential learning dalam Diklat Prajabatan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 23 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Data yang diperoleh melalui wawancara meliputi hal-hal di bawah ini, yang kemudian diberikan kode untuk mempermudah dalam analisis berikutnya : Pengalaman, pandangan, karakter dan sikap pribadi Pengalaman learning transfer Pandangan alumni mengenai desain pelatihan Aspek lingkungan kerja Tindak lanjut dan harapan tentang transfer hasil diklat Informasi pelengkap lainnya Data yang terkumpul diolah melalui beberapa tahap, yaitu : 1) memindahkan data yang telah didapat kedalam bentuk verbatim sehingga didapatkan gambaran umum dari hasil wawancara; 2) mencari padatan faktual, tema dan kategori berdasarkan transkrip yang telah dibuat; 3) melakukan koding pada kategori-kategori yang ditentukan dari data olahan sementara; 4) melakukan analisis intrasubjek dengan mengaitkannya dengan teori serta konsep yang terkait dengan penelitian; 5) melakukan analisis antarsubjek dengan membandingkan data dari setiap subjek. Pada tahap ini dilakukan interpretasi dengan memberi arti pada data sehingga tercapai tujuan penelitian. D. HASIL PENELITIAN Tahapan Transfer Ruang lingkup transfer dalam penelitian ini mencakup 3 (tiga) dimensi, yakni: 1) bagaimana alumni mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh dalam seting pembelajaran diaplikasikan pada seting pekerjaan (generalization); 2) bagaimana alumni berkembang kearah perubahan sebagai hasil belajar dari pengalaman belajar yang bertahan seiring waktu (maintenance); serta 3) sejauhmana alumni menyesuaikan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari dalam program pelatihan, termasuk melahirkan pendekatan dan strategi baru dalam menghadapi situasi kerja yang berbeda atau baru (adaptability). Dimensi generalisasi dilalui oleh pembelajar Diklat Prajabatan ketika sebagai peserta menjalani tahap aktualisasi nilai-nilai dasar profesi ASN selama dua minggu. Dalam masa aktualisasi tersebut, peserta melakukan serangkaian kegiatan yang sebelumnya telah dirancang dan dikonsultasikan dengan pembimbing (coach) dan disempurnakan melalui seminar rancangan aktualisasi. Dengan kata lain, generalisasi dilakukan secara terprogram serta dalam pelaksanaannya pun dalam supervisi mentor (dalam hal ini atasan). Oleh karenanya, alumni tidak mengalami kesulitan yang berarti, hanya sedikit kasus situasional yang menyebabkan aktualisasi tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Dimensi maintenance adalah bagaimana alumni merawat dan mengembangkan hasil aktualisasi seiring berjalannya waktu ketika fase generalisasi sudah terlewati, atau alumni tidak lagi dalam kewajiban menjalani diklat. Ketika penelitian ini dilakukan, alumni telah menjalani pascadiklat selama sekitar 3 - 6 bulan sejalan dengan rekomendasi Kirkpatrick (1994) yang menyatakan bahwa evaluasi transfer dilakukan pada 3 – 6 bulan pasca diklat. Pada akhir diklat, peserta memang wajib membuat komitmen tertulis untuk menindaklanjuti hasil diklat, namun demikian dalam masa maintenance sudah tidak ada kewajiban yang mengikat secara formal dan tidak lagi dalam pengawasan yang ketat, sehingga alumni sendirilah yang memegang kendali terhadap learning transfer. Setelah 24 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu alumni kembali bekerja dan tidak dibawah supervisi untuk mengaktualisasikan hasil diklat, melalui penelitian ini ingin diketahui apakah ketika kewajiban berlalu alumni diklat masih mengingat dan mempraktekkan nilai-nilai dasar profesi sesuai harapan. Dimensi adaptability pada alumni Diklat Prajabatan terjadi terutama karena mereka merupakan pegawai baru yang diberikan bekal pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai profesi sekaligus mengaktualisasikannya, sementara sejawat di lingkungan kerja umumnya belum mengenal dengan baik berbagai perubahan paradigma yang terjadi di lingkungan aparatur. Alumni menyadari bahwa tantangan transfer lebih disebabkan budaya kerja yang masih menggunakan “pola lama”, dalam arti belum menerapkan nilai-nilai dasar profesi. Faktor-faktor Pendukung / Penghambat Transfer Dalam melakukan transfer pelatihan, alumni Diklat Prajabatan dihadapkan pada berbagai faktor yang mempengaruhi proses learning transfer, yang digolongkan kedalam 3 (tiga) aspek yakni karakteristik pembelajar, desain pelatihan dan lingkungan kerja. Ketiga aspek tersebut didapati bervariasi antar individu, pembeda utamanya adalah karakteristik personal dan lingkungan kerja. Namun demikian ada beberapa hal yang kecenderungannya mirip, misalnya tentang persepsi terhadap transfer of value yang dinilai penting serta perlunya menyiasati lingkungan kerja yang tidak sepenuhnya kondusif untuk transfer. Aspek karakteristik pembelajar, yakni kemampuan kognitif, pribadi yang terbuka, keterbukaan terhadap pengalaman baru, afeksi positif, self efficacy, motivasi dan pengalaman kerja diketahui mempengaruhi learning transfer, namun karena terintegrasi dalam proses pembelajaran, maka secara umum proses generalisasi transfer berjalan lancar. Aspek desain pelatihan yang menjadi penekanan utama dalam penelitian ini adalah relevansi materi terhadap tugas pekerjaan, sebab relevansi materi diklat menjadi alasan kuat apakah materi diterapkan secara optimal atau tidak. Semua informan memandang bahwa muatan pelatihan (training content) penting dan relevan untuk tugas pekerjaan, sehingga menimbulkan niat transfer. Aspek desain pelatihan berikutnya yang juga penting menurut Baldwin & Ford (1988) adalah prinsip pembelajaran (principles of learning). Prinsip pembelajaran yang diterapkan pada Diklat Prajabatan adalah experiential learning yang mengadopsi Teori Kolb (1984) yang membagi siklus belajar menjadi 4 (empat) mode, yakni concrete experience, reflective observation, abstract conceptualization dan active experimentation. Dari keempat mode tersebut, yang mendapat perhatian lebih oleh informan adalah ketika menyusun rancangan aktualisasi (abstract conceptualization) dan implementasi rancangan aktualisasi (active experimentation), serta proses evaluasi melalui seminar hasil. Aspek lingkungan pekerjaan yang mempengaruhi transfer meliputi dukungan atasan dan dukungan sejawat, serta kesempatan memanfaatkan hasil diklat (opportunity to use). Dalam kurikulum Diklat Prajabatan, ada tahap aktualisasi yang melibatkan mentor (atasan) sebagai bagian dari proses diklat. Mentor berperan dalam membimbing peserta ketika implementasi aktualisasi (kegiatan di unit kerja). Hal ini memberi pengaruh positif terhadap kualitas dukungan, sebab mentor juga bertanggung jawab terhadap keberhasilan peserta. Tingkat dukungan yang tinggi dari atasan menjadi motivasi tersendiri bagi peserta diklat untuk melakukan transfer dengan sebaik-baiknya. Dukungan atasan dan rekan kerja lebih bermakna pada tahap maintenance, yakni pada pasca pelatihan ketika transfer bukan lagi sebagai kewajiban yang mengikat secara formal. Faktor berikutnya yang menentukan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 25 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu transfer adalah kesempatan memanfaatkan hasil diklat (opportunity to use). Adanya kesempatan yang lebih luas atau pemberdayaan dari atasan / lingkungan pekerjaan dapat semakin menguatkan proses transfer nilai melalui peningkatan self efficacy dan motivasi. Level Transfer Temuan transfer pelatihan berikutnya yang digali antara lain : Apakah terjadi perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku? Sejauhmana perubahan tersebut terjadi dan berdampak? Adakah peningkatan kinerja yang dialami? Untuk mengukur perubahan atau level transfer pada alumni Diklat Prajabatan, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yakni pendekatan evaluasi program pelatihan oleh Kirkpatrick (1996), level transfer oleh Guskey (2000) dan tipe perubahan sebagai hasil transfer yang dikemukakan oleh Kirwan (2009). Berdasarkan evaluasi Kirkpatrick, dikatakan terjadi transfer apabila berada pada level 3 dan level 4, yakni level perilaku (behavior) dan level hasil (results). Perubahan level perilaku dialami oleh informan yang merasakan adanya perubahan sikap dan perilaku kerja pasca pelatihan. Selanjutnya berdasarkan level transfer menurut Guskey (2000), maka para informan berada pada level yang berbeda-beda, ada yang berada pada level penyaringan / vertikal dengan membuat perubahan untuk meningkatkan efektivitas kinerja. Bahkan seorang informan mengalami level transfer sampai pada far transfer atau level integrasi, ditunjukkan melalui upaya untuk berperan lebih nyata bagi terjadinya perubahan di lingkungan kerjanya. Pembahasan Pendekatan experiential learning yang digunakan dalam Diklat Prajabatan dapat mendorong terjadinya learning transfer. Dari sisi proses diklat, pendekatan EL mengharuskan pembelajar membuat pilihan secara sadar untuk melakukan transfer parsial dibawah supervisi. Ketika pemanfaatan hasil diklat terjadi secara kontinyu dan telah mengalami kemajuan pada penggunaan alam bawah sadar, maka ketrampilan terintegrasi dalam perilaku kerja, dan transfer terjadi sepenuhnya. Dari sisi teori pembelajaran orang dewasa (adult learning theory), Diklat Prajabatan dengan pendekatan EL mampu memenuhi 3 (tiga) kebutuhan pembelajar dewasa, yakni kebutuhan mengkoneksikan pengalaman hidup dengan mental kritis, kemauan untuk membangun pembelajaran secara mandiri, dan keinginan untuk menerapkan muatan pendidikan dengan konteks yang relevan. Pengalaman pembelajar Diklat Prajabatan yang mengalami experiential learning menguatkan orientasi belajar aliran constructivist, yakni bahwa pengetahuan terikat pada konteks dan para individu membuat makna pribadi dari pengalaman belajar. Ketika seorang pembelajar mengikuti pelatihan, masalah pasca pelatihan yang sering muncul adalah, apakah hasil pelatihan aplikabel untuk diterapkan dan apakah ada intensi dan komitmen untuk mentransfer hasil pelatihan tersebut di tempat kerja. Aplikabel berkaitan dengan relevansi pelatihan dengan tugas pekerjaan, sedangkan intensi dalam teori planned of behavior berkaitan dengan sikap pribadi, norma subyektif dan perceived behavioral control. Dengan pendekatan experiential learning yang di dalamnya terdapat tahap aktualisasi di tempat kerja, maka masalah kesenjangan (gap) antara dunia pelatihan dan dunia kerja dapat diminimalisir, sementara intensi transfer didorong melalui kewajiban aktualisasi yang melekat dalam proses diklat (norma subyektif) dan kesempatan untuk mengelola transfer pelatihan (perceived behavior control). Oleh karena itu, generalisasi transfer dapat diwujudkan melalui pelatihan dengan pendekatan experiential learning, sedangkan untuk pemeliharaannya (transfer maintenance) bergantung pada karakteristik pembelajar dan lingkungan kerja. 26 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Dalam model Baldwin & Ford (1988), aspek karakteristik pembelajar, desain pelatihan dan lingkungan kerja mempengaruhi learning transfer secara terpisah/independen, sementara dalam penelitian ini ditemukan bahwa motivasi dan self efficacy dapat diintervensi melalui proses pembelajaran dan bimbingan. Pelibatan atasan sebagai mentor yang melakukan supervisi ketika transfer berlangsung merupakan dukungan organisasional yang penting bagi pembelajar. Karakteristik pembelajar merupakan aspek penting yang menentukan sejauhmana learning transfer terjadi. Intervensi pelatihan yang sama tetapi diterima oleh karakteristik pembelajar yang berbeda akan menghasilkan level trasfer yang berbeda. Keterbukaan terhadap pengalaman baru dapat mendorong seseorang untuk mencari pengalaman baru pula terkait hasil transfer, tidak hanya sekedar menjalankan kewajiban dan rutinitas. Self efficacy yang tinggi juga berperan dalam membangun ketahanan seseorang menghadapi tantangan lingkungan pekerjaan termasuk tantangan memelihara dan melakukan adaptasi transfer (transfer maintenance and transfer adaptability). Dua faktor personal tersebut dapat berperan optimal apabila mendapat dukungan organisasi berupa pemberian kepercayaan dan pemberdayaan. Dalam Model Baldwin & Ford (1988), karakteristik pembelajar dan lingkungan kerja memiliki hubungan langsung dengan kondisi transfer (yang merupakan transfer outcomes), sedangkan desain pelatihan masih melalui variabel perantara, yakni hasil belajar dan retensi. Dalam penelitian ini, intervensi pelatihan tidak berhenti pada variabel hasil belajar dan retensi, namun diintegrasikan untuk masuk wilayah kondisi transfer (transfer outcomes). Demikian pula dilihat dari model Foxon (1993) yang menggambarkan proses transfer kedalam 5 (lima) tahap secara berurutan, yaitu : intensi, inisiasi, transfer parsial, conscious maintenance dan unconscious maintenance, maka desain pelatihan dapat dikondisikan agar pembelajar dapat berada pada tahap transfer parsial. Sedangkan Teori Kolb tentang experiential learning yang diterapkan dalam diklat dapat menjembatani ranah training outputs dan training outcomes yang umumnya terdapat masalah kesenjangan. Dengan EL maka pembelajar Diklat Prajabatan difasilitasi untuk sampai pada generalisasi transfer (transfer outcomes). Hal ini terjadi karena pendekatan active experimentation yang diwujudkan dalam aktualisasi merupakan bentuk konkret mentransfer pengetahuan dan ketrampilan. Ilustrasi tentang hal ini disajikan pada Gambar 4. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 27 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Acceptable Transfer Optimal Transfer Conscious maintenance Unconsious maintenance Partial transfer Transfer initiation Transfer intention Training inputs Concrete experience Reflective observation Training outputs Abstract conceptualization Training outcomes Active experimentation Gambar 4. Pendekatan EL pada Diklat Prajabatan dan Tahapan Proses Transfer Keterbatasan Penelitian Dari serangkaian studi transfer pelatihan yang ditujukan bagi alumni Diklat Prajabatan Golongan III ini diperoleh beberapa temuan penting yang dapat melengkapi penelitian terdahulu, baik menyangkut penjelasan faktor-faktor penentu transfer yang dialami pembelajar, proses atau tahapan transfer, maupun hasil transfer. Namun demikian ada beberapa keterbatasan yang perlu kajian lebih lanjut agar hasil penelitian mendatang lebih lengkap dan komprehensif. Pertama, dalam penelitian ini faktor karakteristik pembelajar, desain pelatihan dan lingkungan kerja dikaitkan dengan proses dan hasil transfer, namun karena penelitian bersifat kualitatif maka tidak dapat menjelaskan faktor-faktor mana yang sesungguhnya dominan menentukan transfer, baik pada tahap generalisasi maupun pada tahap maintenance yang mungkin pola pengaruhnya berbeda. Untuk itu perlu penelitian yang lebih fokus pada dominasi faktor-faktor transfer di tiap tahapan. Kedua, level dan tipe transfer yang dialami oleh alumni diklat dikupas secara umum untuk memberi gambaran bahwa ada perbedaan antar individu dalam mencapai hasil transfer. Kasus yang menonjol ditemui dalam penelitian ini yakni dicapainya level transfer yang tinggi oleh seorang informan, yang dari sini diperoleh kesimpulan sementara bahwa ketiga aspek yang kuat, karaktersitik personal, persepsi terhadap diklat dan lingkungan kerja, menjadi pendorong dicapainya level transfer yang tinggi. Namun 28 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu demikian masih diperlukan studi lebih lanjut yang khusus meneliti mengapa dan bagaimana perbedaan level transfer dapat terjadi pada intervensi diklat yang sama. Ketiga, dalam penelitian ini informan bekerja di bidang tugas atau profesi yang berbeda, yakni tenaga fungsional, tenaga teknis dan tenaga administrasi. Setiap bidang tugas atau profesi memiliki kekhasan masing-masing, situasi, kondisi dan otonomi tugas, yang mungkin dapat berpengaruh terhadap proses transfer. Penelitian ini tidak membahas spesifikasi tugas dan mempelajari secara umum saja. E. PENUTUP Kesimpulan a. Pengalaman transfer pelatihan melalui pendekatan experiential learning Pengalaman transfer pelatihan dialami ketika pembelajar Diklat Prajabatan berada pada tahap aktualisasi materi pelatihan di tempat kerja, namun transfer tersebut hanya pada dimensi generalisasi dan masih bersifat transfer parsial yang dilakukan dengan sadar (conscious maintenance). Pendekatan experiential learning (EL) sebagaimana disarankan oleh peneliti terdahulu yakni Furman & Sibthorp (2013) ternyata dapat mengoptimalkan transfer karena setiap mode dalam siklus EL diintegrasikan kedalam proses pembelajaran mulai dari kelas pelatihan sampai implementasinya di tempat kerja. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi learning transfer Karakteristik pembelajar merupakan aspek yang variannya luas, ada yang bersifat disposisi yang melekat pada kepribadian namun ada juga yang dapat diintervensi. Motivasi dan self efficacy merupakan faktor karakteristik pembelajar yang dapat diintervensi, tiap pembelajar dikondisikan memiliki goal setting, ada proses internalisasi nilai, persuasi verbal, yang mendorong motivasi dan self efficacy alumni. Aspek lingkungan kerja berupa dukungan atasan yang dikondisikan selama proses diklat meningkatkan self efficacy alumni untuk mentransfer hasil diklat dan memeliharanya pasca diklat. c. Perubahan akibat transfer pelatihan dan levelnya Alumni yang memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru, kapabilitas tinggi dan kesempatan unjuk kerja yang lebih luas bisa mencapai level transfer yang tinggi, yakni level integrasi atau far transfer, dimana pembelajar menciptakan upaya yang cermat untuk mengkoordinasikan aplikasinya dengan pihak lain yang terlibat dalam pemanfaatan pengetahuan dan ketrampilan. Sedangkan berkaitan dengan tipe perubahan yang merujuk Kirwan (2009), alumni diklat mengalami tipe perubahan yang berbeda-beda, ada yang mengalami perubahan beta yakni hanya berupa penguatan saja, namun ada juga yang mengalami perubahan gamma, dimana pasca diklat alumni memiliki self-insight yang lebih besar dan semakin menyadari kebutuhan pengembangan dirinya. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mempelajari lebih dalam bagaimana level transfer dan tipe perubahan bisa terjadi pada pembelajar. Implikasi Teoritik Mengacu pada beberapa teori dan model yang terkait learning transfer, maka penelitian ini memiliki implikasi sebagai berikut : Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 29 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu a. Pendekatan experiential learning sebagai salah satu manifestasi pembelajaran orang dewasa dapat mendorong transfer, hal ini menguatkan rekomendasi Furman & Sibthorp (2013), tentang penerapan experiential learning untuk meningkatkan transfer b. Melalui desain pelatihan yang memfasilitasi praktek atau aksi di tempat kerja, maka model Baldwin & Ford (1988) yang menampilkan fase training output yang meliputi hasil belajar dan retensi masih termasuk kedalam proses intervensi pelatihan, sehingga desain pelatihan dapat secara langsung mempengaruhi generalisasi transfer c. Desain pelatihan dapat memberikan pengaruh terhadap faktor karakteristik pembelajar dan lingkungan kerja, dengan demikian hasil ini dapat melengkapi model Baldwin & Ford, yakni ada garis pengaruh dari desain pelatihan menuju karakteristik pembelajar dan lingkungan kerja, khususnya melalui pemberian motivasi, peningkatan self efficacy dan pelibatan atasan. d. Theory of Planned Behavior dapat menjadi acuan pencapaian learning transfer utamanya dapat mendorong intensi, karenanya dapat memperkaya pandangan konseptual dan teoritik untuk menguji learning transfer, melengkapi apa yang disampaikan Thayer & Teachout (1995) sebelumnya. Rekomendasi Beberapa rekomendasi dihasilkan dari penelitian ini, baik untuk penelitian lebih lanjut maupun sebagai bahan masukan bagi lembaga diklat aparatur khususnya untuk Diklat Prajabatan, antara lain : a. Generalisasi transfer (transfer generalization) dan pemeliharaan transfer (transfer maintenance) merupakan dua tahap / dimensi yang berkaitan namun memiliki ‘perjalanan’ yang berbeda. Penelitian ini tidak mengungkap secara lebih rinci dan mendalam tentang apa dan bagaimana faktor-faktor transfer berpengaruh terhadap perjalanan keduanya sebagai sebuah continuum, sehingga penelitian mendatang disarankan untuk mempelajarinya secara lebih utuh. b. Perbedaan level transfer dan tipe perubahan antar alumni merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, yang dari penelitian ini diduga karena beberapa faktor pendorong antara lain kapabilitas, motivasi, self efficacy dan kesempatan unjuk kerja. Untuk menyelidiki fenomena tersebut, diperlukan penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif yang dapat mengungkapkan apa dan bagaimana perbedaan level transfer bisa terjadi pada pembelajar dengan intervensi pelatihan yang sama. c. Implementasi hasil pelatihan yang diwujudkan dalam tahap aktualisasi Diklat Prajabatan merupakan bentuk generalisasi transfer yang bersifat parsial, dan dalam jangka waktu tersebut masih dilakukan dengan sadar (conscious maintenance), sementara target utamanya adalah bagaimana transfer tersebut berlanjut secara optimal dan dilakukan dibawah sadar (unconscious maintenance). Untuk itu diperlukan sistem monitoring yang komprehensif dan berkesinambungan. d. Pemberian kesempatan unjuk kerja dan pengembangan diri dapat memberi ruang bagi alumni untuk lebih mengaktualisasikan dirinya, oleh karena itu pemberdayaan alumni pasca diklat merupakan faktor penting yang dapat diterapkan guna mengembangkan hasil transfer. 30 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu e. Penguatan komitmen transfer melalui forum / jejaring alumni yang terjalin secara informal pada kasus penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi antar alumni, terutama yang seprofesi, memiliki pengaruh yang positif bagi keberlanjutan transfer, sebab dapat menjadi sarana saling mendorong, saling berbagi ilmu, bahkan berkompetisi secara sehat. Contoh tersebut dapat diterapkan dengan membangun forum alumni yang dapat dikelompokkan menurut daerah, profesi atau menurut pertimbangan tertentu. DAFTAR PUSTAKA Baldwin, T.T. and J.K. Ford. (1988). Transfer of Training: A Review and Directions for Future Research. Personnel Psychology, 41, 63-105. Broad, M. L. (1997). Overview of transfer of training: From learning to performance. Performance Improvement Quarterly, 10(2), 7-21. Foxon, M. J. (1993). A Process Approach to The Transfer of Training Part 1: The Impact of Motivation and Supervisor Support on Transfer Maintenance. The Australian Journal of Educational Technology, 9(2), 130-143. Furman, N & Jim Sibthorp. (2013). Leveraging Experiential Learning Technique for Transfer. New Directions for Adult and Continuing Education. Vol. 2013, Issue 137: 17 – 26, Spring 2013. Guskey, T. R. (2000). Evaluating professional development. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. Holton, E. F., & Baldwin, T. T. (2003). Improving learning transfer in organizations. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Kirkpatrick, D. (1996). Development. Revisiting Kirkpatrick’s four-level-model. Training & Kirwan, C. (2009). Improving Learning Transfer. A Guide to Getting More out of What You put into Your Training. Gower Publishing Limited. England. Kolb, D. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Development. New Jersey: Prentice-Hall. Learning and Leberman, Sarah Isabella (1999). The Transfer of Learning from the Classroom to the Workplace : A New Zealand Case Study. Thesis. Victoria University. McKeough, A., Lupert, J., & Marini, A. (1995). Teaching for transfer: Fostering generalization in learning. Mahwah, NJ: Erlbaum. Phipps, Simone T.A & Leon C. Prito (2011). Self Monitoring and Organizational Identification as Moderators of the Effects of Proactive Personality on the Transfer of Learning in the Workplace : A Theoritical Inquiry. International Journal of Management. 28 (2), 509 – 518. Subedi, B.S. (2004). Emerging Trends of Research on Transfer of Learning. International Education Journal Vol 5, No 4, 2004 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 31 Transfer Pelatihan Berbasis Experiential Learning Di Sektor Publik Studi Pada Alumni Diklat Prajabatan Golongan III Esti Sri Rahayu Thayer, P. W., & Teachout, M. S. (1995). A climate for transfer model (Report No. AL/HR-TP-1995-0035). Brooks Air Force Base, TX: Technical Training Research Division, Armstrong Laboratory. Ward, R.C. (2008). Assessing Learning Transfer And Performance Improvement in an Action Learning Leadership Development Program. Dissertation. Teachers College. Columbia University. Yorks, L., Lamm, S., & O'Neil, J. (1999). Transfer of learning from action learning programs to the organizational setting. In L. York, J. O'Neil. & V. J. Marsick (Eds.), Action learning: Successful strategies for individual, team and organizational development. San Francisco: Berett-Koehler Communications. 32 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Analisa ADOPSI NILAI BENCHMARKING TO BEST PRACTICE DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT III PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR DR. Hary Wahyudi Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Jl. Balongsari Tama Tandes Surabaya Email: [email protected] Naskah diterima: 24 Juni 2017, Naskah direvisi: 8 Juli 2017, Naskah disetujui: 19 Juli 2017 Abstract Benchmarking to Best Practice is intended to allow participants to identify the success of innovations, obstacles in its implementation as well as the strategies undertaken in order to overcome obstacles. So that when the implementation is done, there is already an alternative treatment to be carried out. When the concept of change is associated with the issue of free trade, the role of the domestic trade is increasingly important and strategic. The implication their we face is the integration of the domestic market into the global market, especially with the emergence of the Asean Economic Community (AEC) which had begun since 2015. Benchmarking is an approach that continuously measure and compare goods and services, and processes and practices to the stringent standards set by competitors, or those their considered to excel in the field. Through benchmarking, an organization can determine how far they have been compared to their best. Benchmarking should involve research and understanding of its own internal working procedures, search for "best practices" in organizations or institutions, and then match it to be identified and eventually adapting these practices within their own organizations to improve performance. Basically, benchmarking is a way of learning from others systematically, and change what needs to be changed in the School of Ledership. Keywords : Benchmarking, Best Practices, School of Entrepreneurial Ledership. A. LATAR BELAKANG Peningkatan kompetensi aparatur sipil negera merupakan salah satu program prioritas nasinal, dalam kerangka hal tersebut penyelenggaraan kediklatan aparatur merupakan hal yang tak bisa dihindarkan karena merupakan suatu kebutuhan. Termasuk program diklat kepemipinan. Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah Propinsi Jawa Timur menyelenggarakan Diklat Kepemimpinan Tingkat III Angkatan 50, yang dalam satau satu rangkaian tahapan pembelajaran melakukan Benchmarking to Best Practice. Hal dimaksud sebagaimana diamanatkan dalam peraturan Kepala LAN dalam penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan Pola Baru. Pemerintah Provinsi Kalimanaten Selatan dipilih menjadi Lokus yang dikunjungi karena dianggap telah berhasil Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 35 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi melaksanakan kinerja yang baik (Best Practice) yang bisa dicontoh, dikaji, didalami untuk diterapkan di Pemerintah Provinsi Jawa Timur serta pemerintah daerah masing-masing peserta diklat dengan melakukan penyesuaian agar sesuai dengan konteks yang cocok dengan kondisi setempat. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dijadikan mitra strategis dalam proses benchmarking karena memiliki gambaran yang mirip dengan Pemerintah Provinisi Jawa Timur, terkait dengan pasca diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya adanya perubahan kewenangan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perhubungan. Sebagaimana amanat dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut, kewenangan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Sekolah Menengah (SMA/SMK) menjadi kewengan pemerintah provinsi, pengelolaan kewenangan dalam menata dan mengurus terminal, angkutan juga terjadi peralihan kewenangan, demikian juga dalam sektor kesehatan. Proses Benchmarking to Best Practice ditujukan agar peserta bisa dengan mudah melihat keberhasilan inovasi yang dilakukan berikut hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya serta strategi yang dilakukan dalam rangka mengatasi hambatan sehingga ketika mempraktekkannya nanti sudah mendapatkan formula penanganan yang hendak dilakukan. B. PENGERTIAN BENCHMARKING Pengertian benchmarking secara sederhana adalah suatu proses membandingkan dan mengukur suatu kegiatan organisasi terhadap proses operasi yang terbaik di kelompoknya, sebagai inspirasi dalam meningkatkan kinerja organisasi. Jadi intisari benchmarking adalah untuk memungkinkan organisasi dapat membandingkan dengan organisasi kompetitor dan selanjutnya menjadi alat strategi bagi manajemen untuk meningkatkan kinerjanya. Benchmarking adalah pendekatan yang secara terus menerus mengukur dan membandingkan produk barang dan jasa, dan proses-proses dan praktik-praktiknya terhadap standar ketat yang ditetapkan oleh para pesaing atau mereka yang dianggap unggul dalam bidang tersebut. Dengan melakukan atau melalui benchmarking, suatu organisasi dapat mengetahui telah seberapa jauh mereka dibandingkan dengan yang terbaiknya. Benchmarking harus melibatkan dan pemahaman tentang prosedur kerja internal sendiri, kemudian mencari ”praktik terbaik” pada organisasi atau lembaga lain, kemudian mencocokkannya dengan yang telah diidentifikasi dan akhirnya mengadaptasi praktik-praktik itu dalam organisasinya sendiri untuk meningkatkan kinerjanya. Pada dasarnya, benchmarking adalah suatu cara belajar dari orang lain secara sistematis, dan mengubah apa kita kerjakan. Berbagai definisi benchmarking antara lain 1) merupakan suatu proses untuk mengukur kinerja terhadap perusahaan yang terbaik dalam kelasnya, kemudian menggunakan analisis untuk memenuhi dan melebihi perusahaan tersebut. 2) pencarian praktek terbaik yang mengarah kepada kinerja yang sangat baik apabila praktek-praktek tersebut diterapkan .(3) proses identifikasi dan pembelajaran dari praktek terbaik dimanapun di dunia dan 4) perbandingan sistematis terhadap proses dan kinerja untuk menciptakan standar baru dan atau meningkatkan proses . 36 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Adapun prasyarat untuk melalukan benchmarking, antara lain: 1. Kemauan dan komitmen. 2. Keterkaitan tujuan strategik. 3. Tujuan untuk menjadi terbaik, bukan hanya untuk perbaikan. 4. Keterbukaan terhadap ide-ide. 5. Pemahaman terhadap proses, produk dan jasa yang ada. 6. Proses terdokumentasi, 7. Kerendahan hati untuk menerima hal baru; Dalam melakukan benchmarking, maka semua orang yang berhubungan dengan suatu proses harus memiliki pemahaman yang sama terhadap proses yang bersangkutan. Adanya informasi atau dokumentasi sebelum adanya perubahan berguna dalam pengukuran peningkatan kinerja setelah dilaksanakannya benchmarking. Hal yang harus diantisasi adalah adanya mitra benchmarking belum tentu akrab dengan proses yang dimiliki suatu organisasi, memerlukan ketrampilan analisis proses,, komunikasi, dan pembentukan tim. C. Proses Tahapan dan Manfaat Benchmarking Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahan lainnya. Ruang lingkupnya makin diperluas yakni dari produk dan jasa, menjalar kearah proses, fungsi, kinerja organisasi, logistik, pemasaran, dll. Benchmarking juga berwujud perbandingan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang tentang praktik dan hasil dari perusahaan yang terbaik dimanapun perusahaan itu berada. Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen lainnya, kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan di- benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktik bisnis. Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat dikelompokkan dalam beberapa langkah : 1. Menentukan Apa yang Akan Di-benchmark Hampir segala hal dapat di-benchmark: suatu proses lama yang memerlukan perbaikan; suatu permasalahan yang memerlukan solusi; suatu perancangan proses baru; suatu proses yang upaya-upaya perbaikannya selama ini belum berhasil. Perlu dibentuk suatu Tim Peningkatan Mutu yang akan menyelidiki proses dan permasalahannya. Tim ini akan mendefinisikan proses yang menjadi target, batas-batasnya, operasi-operasi yang dicakup dan urutannya, dan masukan (input) serta keluarannya (output). 2. Menentukan Apa yang Akan Diukur Ukuran atau standar yang dipilih untuk dilakukan benchmark-nya harus yang paling kritis dan besar kontribusinya terhadap perbaikan dan peningkatan mutu. Tim yang bertugas me-review elemen-elemen dalam proses dalam suatu bagan alir dan melakukan diskusi tentang ukuran dan standar yang menjadi fokus. Tim yang bertugas dapat pula melakukan wawancara dengan pihak yang berkepentingan terhadap proses tersebut (dapat pula dipandang sebagai pelanggan) tentang tuntutan dan kebutuhan mereka dan menghubungkan atau mengkaitkan tuntutan tersebut kepada ukuran dan standar kinerja proses. Tim kemudian menentukan ukuran-ukuran atau standar yang paling kritis yang akan secara signifikan meningkatkan mutu proses dan hasilnya. Juga dipilih informasi Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 37 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi seperti apa yang diperlukan dalam proses benchmarking ini dari organisasi lain yang menjadi tujuan benchmarking. 3. Menentukan Benchmark Langkah kemudian adalah menentukan organisasi yang akan menjadi tujuan benchmarking ini. Pertimbangan yang perlu adalah tentunya memilih organisasi lain tersebut yang memang dipandang mempunyai reputasi baik bahkan terbaik dalam kategori ini. 4. Pengumpulan Data/Kunjungan Tim mengumpulkan data tentang ukuran dan yang telah dipilih terhadap organisasi yang akan di-benchmark. Pencarian informasi ini dapat dimulai dengan yang telah dipublikasikan: misalkan hasil-hasil studi, survei pasar, survei pelanggan, jurnal, majalah dan lain-lain. Barangkali juga ada lembaga yang menyediakan bank data tentang benchmarking untuk beberapa aspek dan kategori tertentu. Tim dapat juga merancang dan mengirimkan kuesioner kepada lembaga yang akan dibenchmark, baik itu merupakan satu-satunya cara mendapatkan data dan informasi atau sebagai pendahuluan sebelum nantinya dilakukan kunjungan langsung. Pada saat kunjungan langsung (site visit), tim benchmarking mengamati proses yang menggunakan ukuran dan standar yang berkaitan dengan data internal yang telah diidentifikasi dan dikumpulkan sebelumnya. Tentu akan lebih baik jika ada beberapa obyek atau proses yang dikunjungi sehingga informasi yang didapat akan lebih lengkap. Asumsi yang perlu diketahui adalah bahwa organisasi atau lembaga yang dikunjungi mempunyai keinginan yang sama untuk mendapatkan informasi yang sejenis dari lembaga yang mengunjunginya yaitu adanya keinginan timbal balik untuk saling membenchmark. Para pelaku benchmarking telah dapat menyimpulkan bahwa kunjungan langsung kepada organisasi dengan praktik terbaik dapat menghasilkan pandangan dan pemahaman yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan cara-cara pengumpulan data yang manapun. Kunjungan ini memungkinkan kita untuk secara langsung berhubungan dengan “pemilik proses” yaitu orang-orang yang benar-benar menjalankan atau mengelola proses tersebut. 5. Analisis Data Tim kemudian membandingkan data yang diperoleh dari proses yang di-benchmark dengan data proses yang dimiliki (internal) untuk menentukan adanya kesenjangan (gap) di antara mereka. Tentu juga perlu membandingkan situasi kualitatif misalnya tentang sistem, prosedur, organisasi, dan sikap. Tim mengindentifikasi mengapa terjadi kesenjangan (perbedaan) dan apa saja yang dapat dipelajari dari situasi ini. Satu hal yang sangat penting adalah menghindari sikap penolakan; jika memang ada perbedaan yang nyata maka kenyataan itu harus dapat diterima dan kemudian disadari bahwa harus ada hal-hal yang diperbaiki. 6. Merumuskan Tujuan dan Rencana Tindakan Tim selanjutnya menentukan target perbaikan terhadap proses. Target-target ini harus dapat dicapai dan realistis dalam pengertian waktu, sumber daya, dan kemampuan yang ada saat ini; juga sebaiknya terukur, spesifik, dan didukung oleh manajemen dan orangorang yang bekerja dalam proses tersebut. Kemudian tim dapat diperluas dengan melibatkan multidisiplin yang akan memecahkan persoalan dan mengembangkan suatu rencana untuk memantapkan tindakan spesifik yang akan diambil, tahapan-tahapan waktunya, dan siapa-siapa yang harus bertanggung jawab. 38 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Hasil ini akan diserahkan kepada para pelaksana penjaminan mutu (executive) untuk kemudian memantau kemajuan dan mengidentifikasi persoalan-persoalan yang timbul. Ukuran dan standar dievaluasi secara bertahap, barangkali diperlukan penyesuaianpenyesuaian terhadap rencana untuk dapat mengatasi halangan dan persoalan yang muncul. Juga para pelaksana memerlukan umpan balik dari mereka yang berkepentingan terhadap proses dan hasilnya (stakeholders). Proses benchmarking ini mempunyai banyak keuntungan. Benchmarking mendorong terciptanya suatu budaya perbaikan terus menerus, menghargai orang lain dan prestasinya dan membangun indera dan intuisi akan pentingnya perbaikan yang dijalankan terus menerus tersebut. Jika suatu jaringan dan kemitraan dalam benchmarking telah terbentuk maka berbagai praktik baik dan terbaik dapat saling dibagi di antara mereka. Manfaat benchmarking adalah dapat mengurangi biaya karena kesalahan, menurunkan pencegahan sebelum kesalahan terjadi dan penyederhanaan proses. Tujuan Untuk menentukan kunci atau rahasia sukses dari organisasi pesaing yang paling unggul. Indikator kerberhasilan Terjadinya perubahan budaya organisasi yang lebih baik, terjadinya perbaikan kinerja dan meningkatnya kemampuan SDM. Pelaksanaan kegiatan benchmarking adalah: (1) memilih jasa atau produk yang akan dibandingkan, (2) mengidentifikasi kunci atau rahasia sukses dari produk tersebut, (3) memilih organisasi mitra se bagai pembanding, (4) mengumpulkan data dan informasi serta praktek-prakteknya, (5) melakukan analisis untuk mendapatkan peluang guna perbaikan, dan (6) implementasikan praktek-praktek terbaik. Manfaat Benchmarking antara lian untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik; meningkatkan kesadaran akan perubahan kebutuhan pelanggan, Menndorong inovasi, pembembangan rekesempatan dan mengembangkan realistis, tujuan peregangan, juga menyiapkan rencana tindakan yang realistis D. TUJUAN BENCHMARKING Latar pemilihan unsur terpilih yang hendak di benchmarking antara lain untuk melakukan pengamatan dan mempelajari best practice mitra Bench Marking , Melakukan identifikasi praktekter baik mitra Bench Marking untuk keunggulan organisasi kita dalam pengelolaan program di masa mendatang. Identifikasi perbedaan praktek mitra Benchmarking untuk keunggulan organaisasi, Melakukan pertukaran informasi, Mengoreksi unsur-unsur yang di benchmark, Memanfaatkan hasil analisis, Memanfaatkan hasil lesson learnt dan menggabungkan dengan rencana organisasi, Memperhatikan proses adaptasi dan adopsi dalam penerapan program baru untuk meningkatkan kinerja organisasi, Mempersiapkan rencana perubahan pengelolaan program organisasi dengan mengadopsi dan mengadaptasi best practice mitra benchmarking, Mengimplementasikan rencana perubahan pengelolaan program organisasi, Melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan lingkungan stratejik organisasi. Beberapa pertanyaan dalam rancang bangun benchmarking antara lain ; a) seberapa bagus yang kita kerjakan dibandingkan instutusi lain, b) Kita ingin menjadi seperti apa, c) Siapa yang saat ini kinerjanya terbaik, d) Bagaimana mereka dapat mencapai kinerja terbaik tersebut, e) Bagaimana kita mengadopsi apa yang mereka lakukan untuk institusi kita, f) Bagaimana kita bisa menunjukkan bahwa kita lebih baik dibandingkan mereka.. Mengidentifikasi mitra benchmarking, dengan langkah : 1) Membandingkan organisasi sendiri (khususnya sesuai area dan fokus perubahan) dengan organisasi yang akan ditetapkan sebagai lokus benchmarking, 2). Mengidentifikasi kemungkinan best practice (praktekterbaik) yang bisa diadopsi, 3) Identifikasi permasalahan instansi dalam Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 39 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi pengelolaan program (yang berkaitan dengan fokus perubahan), 4) Mempelajari best practice apa yang diperlukan organisasi (diperlukan untuk mendukung perubahan). Selanjutnya menentukan apa yang akan di ukur/dibandingkan dalam benchmarking, dengan langkah : 1)Tentukan indikator kinerjanya (indikator kinerja output /kegiatan atau indikator kinerja outcome/program), 2).Tentukan kinerja organisasi sekarang berdasarkan indikator kinerja yang ditetapkan (kondisi sekarang). Mengidentifikasi mitra benchmarking, dengan langkah : Membandingkan organisasi sendiri (khususnya sesuai area dan fokus perubahan) dengan organisasi yang akan ditetapkan sebagai lokus benchmarking, Mengidentifikasi kemungkinan best practice (praktekterbaik) yang bisa diadopsi. E.ADOPSI BEST PRACTICES Pembelajaran benchmarking dengan mengadopsi best practice birokrasi pemerintahan yang menjadi mitra sinergi yang hendak di benchmark, yakni menggali data dan informasi terkait kebijakan, implementasi kebijakan pemerintah terhadap tema yang diusung. Pembelajaran benchmarkong dilaksanakan dengan menggunakan metode experiential learning, diskusi interaktif dan presentasi dari stakeholder yang terkait dengan tema, selanjutnya keberhasilan benchamrk dinilai dari kemampuan mengidentifikasi, mengadopsi atau mengadaptasi best practice untuk mengelola perubahan yang inovatif sesuai tema pada instansi masing-masing. Selanjutnya mendorong kemampuan kemampuan menyusun Rencana Aksi perubahan nstansional melalui pembelajaran identifikasi permasalahan tingkat instansional sesuai tema, penetapan area perubahan dan penyusunan Rencana Aksi RB Instansional sesuai tema yang diadopsi hasil dari pembelajaran benchmarking. Setidaknya ada 3 (tiga) jenis kompetensi yang diadopsi selama melaksanakan benchmarking untuk dilakukan adaptasi di instansi masing-masing, yakni : a. Adopsi best practices kompetensi kepemimpinan manajerial yang diadaptasi dari pengalaman best practices kepemimpinan, yang bisa dipetik dan dijadikan nilainilai dalam proyek perubahan; b. Adopsi best practices kompetensi teknis fungsional yang diadopsi dari best practices pengalaman bekerja secara teknis fungsional, yang bisa dipetik dan dijadilan nilai-nilai dalam proyek perubahan; c. Adposi kompetensi sosial kultural yang diadopsi dari pengalaman kerja best practices berkaitan dengan pengamalaman memimpin masyarakat majemuk yang memiliki wawasan kebangsaan, yang dijadikan nilai-nilai dalam proyek perubahan; Pengalaman pembelajaran studi lapangan peserta Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan, mendapatkan pembelajaran yang penting pada saat ceremonial, paparan narasumber, kunjungan lokus dan pendalaman materi, hal tersebut bisa diambil /diadopsi sebagai nilai-nilai yang nantinya dbisa dimodifikasi/disesuaikan pada instansi peserta, antara lain : A.Adopsi best practice komptensi kepemimpinan manajerial; 1.Seorang pemimpin mampu menyesuaikan model kepemimpinannya sesuai keadaan atau jamanya. Seorang pemimpin hadir dan dibentuk jamannya, seorang pemimpin mampu menghadapi persoalan dan memberikan alternatif solusi sesuai keadaan jaman. 40 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Lantaran itu, dalam memimpin proyek perubahan instansional, maka seorang project leader mampu memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan instansinya dengan proyek perubahan; 2.Seorang pemimpin memiliki semangat untuk selalu membangun jejarinng kerja dan membangun hubungan personal dengan baik, bahkan menempatkan posisi mereka seperti keluarga. Lantaran itu dalam mengimplementasikan project leader proyek perubahan mampu mengadopsi nilai-nilai kekeluargaan yang didalamnya terkadung kepercayaan, kepedulian dalam menjalin jejaring kerja dengan stake holder dalam proyek perubahan, baik stake holder internal, stakholder eksternal, stakehoder kunci, stakeholder utama dan stakeholder pendukung; 3.Pemimpin yang berkarakter karier adalah pemimpin yang senantiasa bermotivasi untuk memaksimalkan potensi diri dan memberikan yang terbaik dari dirinya, motivasi tidak ditujukan untuk berkompetisi namun untuk mengakualisasi motivasi dirinya. Adopsi yang bisa diadaptasi dalam proyek perubahan adalah adanya semagat untuk memotivasi anggota tim proyek perubahan untuk termotivasi mengembangkan potensi secara maksimal dalam menjalankan peran penugasan menjalankan proyek perubahan 4. Pemimpin yang selalu menjaga adanya semangat kebersamaan, meyadari makna kebajikan, peran kerjasama, keberhasilan bersama, menyadari potensi pribadi dan potensi bersama menjadi kepemimpinan manajerial, bukan kepemimpinan yang one man show, namun kepemimpinan dengan kemampuan manajerial yang dapat mengiernalisasi peran kerja sama, sinergi, dan keberhasilan bersama. Adopsi yang bisa diadaptasi dalam proyek perubahan adalah adanya semagat kekompakan dalam anggota tim proyek perubahan untuk mengatasi resistensi yang ada dan mengakomodir usulan yang muncul agar resistensi dapat teratasi dengan semangat soliditas kebersamaan dalam mewujudkn tujuan proyek perubahan; a. Adanya semanat keberanian untuk mengeluarkan, mengekspresikan potensi dan kebajikan yang dimiliki, menunjukkan sikap dan perilaku dalam membangun semangat kebersamaan serta kemampuan kemampuan menunjukkan kepemimpinan sinergistik yaitu kemampuan melakukan perubahan secara bersama-sama dengan berbagai pihak terkait dengan menghasilkan aksi yang saling menguatkan untuk mengatasi masalah, melalui kerjasama dalam kepemimpinan birokrasi inklusif dan sinergistik, berbagi pengalaman self assessment. b. Kepemimpinan kompetensi transformasional yaitu kemampuan dalam memimpin inovasi peningkatan mutu pelayanan, menunjukkan kesadaran diri terhadap kekuatan karakter dan kebajikan (virtues) yang dimilikinya, mengenali peluang dan ancaman perubahan lingkungan strategis, dan mengenali langkah-langkah yang tepat untuk memunculkan potensi inovatif suatu organisasi. Kompetensi mengelola perubahan melalui menyusunan konsep perubahan, merencanakan perubahan, menerapkan teknik-teknik perubahan dalam organisasi, mengatasi permasalahan dan dampak perubahan serta memelihara kesinambungan perubahan. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 41 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Kepemimpinan deengan kemampuan membangun koalisi yang efektif dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal untuk mengelola perubahan yang inovatif melalui pembelajaran pemetaan pemangku kepentingan, strategi berkomunikasi dan membangun koalisi yang efektif. 1.Bidang IT dalam pemanfaatn Sosial Media a. Pembentukan group WhasAp (WA) “PATEN Nganglik” Yang beranggotakan Camat, Sekcam, Kasie, Staf Pelaksana PATEN yang berisi pengangan keluhan dan pelaksanaan operasional pelayanan PATEN bagi masyarakat; Hal ini bisa diadopsi dan diterapkan, diimplemntasi pada lembaga-lembaga kecamatan pesesrta bertugas diinstansi masing-masing; b. Pembentukan grup WhasAp (WA) “Manggala Praja” Yang beranggotakan Bupati, Wakil, Bupati, Sekda, Asisten, Staf Ahli dan kepala OPD yang ditujukan untuk mempermudah komunikasi antara pejabat dilingkungan Kabupaten Sleman, sehingga lebih efektik, efisien dan menghindari kesan birokratis dan ceremonial; Hal ini bisa diadopsi dan diterapkan, diimplemntasi pada lembagalembaga kecamatan pesesrta bertugas diinstansi masing-masing, dengan mengusulkan kepada kepala daerah untuk dilakuan hal serupa, terutama kabupaten peserta yang belum membentuk hal tersebut; c. Pembentukan grup WhasAp (WA) “Penewu Sleman” Yang beranggotakan para camat sekabupaten Sleman yang beranggotakan para camat, sebagai sarana komunikasi dan mobilisasi informasi terkait sharing pendapat dan pengalaman dalam pengelolaan tata pembangunan dan pelayanan publik di kecamatan; Hal ini juga bisa diadopsi dan diadaptasi oleh para camat dilingkungan masingmasing dengan menyesuaikan muatan-muatan informasi yang bisa disesuiakan dengan kebutuhan; d. Pembentukan grup WhasAP (WA) “Jarkom Camat-Tapem” Grup ini beranggotakan para Camat dan Pejabat Tata Pemerintahan Umum Kabupaten Sleman yang berisi jaringan komunikasi tentang kebijakan, informasi, regulasi yang bisa disharingkan pada grup WA. Hal ini juga bisa diadopsi dan diadaptasi oleh para camat dilingkungan masingmasing dengan menyesuaikan muatan-muatan informasi yang bisa disesuiakan dengan kebutuhan; e. Pembentukan grup WhasAp (WA) “Forum Camat-Kepala Desa” Grup ini beranggotakan para camat dan kades diwilayah masing-masing, hal ini bermanfaat dalam menjalin hubungan kerja, pribadi, silahturahmi antar camat dan kepala desa, sekaligus dapat digunakan mendeteksi secara diri dan antisipasi gejolak atau dinamika sosial, politik, keamanan yang mungkin terjadi diwilayahnya. Hal ini juga bisa diadopsi oleh instansi peserta diklat diwilayah masing-masingmasing, sehigga harmonisasi hubungan lebih terjalin dengan baik; f. Pemanfaatan teknologi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik melalui face book, SMS , maupun kontak pengaduan yang telah disediakan; Hal ini juga dapat diadiposi bagi peserta yang belum menerapkan tekologi dalam memberikan layanan informasi dan pengaduan dari masyarakat 2. Bidang Kearifan Lokal keistemewaan Jogja 42 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi 3. 4. Keistimewaan Jogja dan kepatuhan pada raja sangat kental terasa kental dalam keseharian masyarakat dan pergaulan tata pemerintahannya, baik dalam acara formal ceremonial dan peragulan sehari-hari yang tetap menjaga budaya menghormati bagi tamu dengan bahasa kromo jawa khas keraton, mesti gempuran teknologi masuk namun tetap mampu mempertahankan tradisi leluhur yang merupakan kearifan lokalnya. Kearifan nampak dalam memodifikasi paterm/slogan human development indeks : Sehat, Cerdas, Kaya diganti dengan Senang, Bahagia , Mulia yang merupakan penyesuian dengan kultur setempat, akhibatnya meskipun dari sisi ekonomi rendah dari kabupaten lain, namun dari kebagian lebih tinggi dari yang lain, yang diindikasikan harapan hidup yang tinggi se indonesia (76 tahun) Kondisi tersebut juga bisa diterapkan dalam tata pemerintahan dan pergaulan peserta diinstansinya masing-masing, dengan tetap menjaga tradisi luhur kultur setempat Menjaga komitmen dan Kekompakan Kinerja Camat Sleman secara rutin menerapkan rapat staf secara rutin, mingguan atau bulanan selalu ada kegiatan rapat staf yang dilaksanakan secara terbuka diantara sesama pegawai ASN, disamping itu dalam mematrikan semangat kebersamaan pada tiap sudut ruangan dikecamatan dipasang beberapa kalimat yang memberikan semangat nilai-nilai komitmen dalam meningkatkan kinerja instansi, seprti : Jangan Melupakan Pengalaman Masa Lalu, Agar Tidak tersesat dimasa Depan”; “Arsip Senantiasa Menceritakan Kejujuran pada Masanya, Maka menjaga Arsip sama dengan menjaga Kejujuran”, kecamatan Ngaglik juga memberikan SMS layanan pengaduan yang ditangani oleh seksi pelayanan. Hal-hal tersebut dapat diadopsi dan diinstansi peserta dengan menanamkan nilai-nilai semangat peningkatan kinerja, sesuai dengan kinerja instansinya; Secara konsekwen melaksanakan standarisasi pelayanan (SOP). Beberapa SOP yang telah dilaksanakan secara berkelanjutan antara lain : SOP yang berlau secara eksternal, yakni SOP Pelayanan Ijin Gangguan (HO), SOP Pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), SOP Pelayanan Kartu Keluarga, SOP Pelayanan Surat Keterangan Tinggal Sementara, SOP Pelayanan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, SOP Surat Masuk yang berlaku internal. Ada beberapa kewengan kecamatan namun belum ada SOP antara lain : Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan Hidup (SPPL), Surat Keterangan Tata Bangunan dan Lingkungan (SKTBL). Perihal yang dapat diadopsi adalah adanya komitmen untuk melakukan standarisasi penyelenggaraan perijinan bagi masyarakat dan layanan yang belum terstandarkan untuk segera dibuatkan SOP, termasuk Ijin Usaha Mikro Kecil. Adanya SOP yang berkesinambungan membawa impikasi turunnya anggaran yang lumayan besar, sebesar Rp 2 milyar, tidak termasuk anggaran kelurahan; Dalam meningkatkan kinerja dengan mengikutkan bimtek dan diklat serta worskhop bagi pegawai kecamatan; Maka adopsi kinerja yang diambil adalah adanya kesepakatan dan adanya maklumat dalam memberikan layanan kepada masyarakat, namun maklumat layanan tidak terpampang secara memadai, hanya dalam satu lembar kertas dan ditempel di papan informasi; 5. Pemanfaatan aula pendopo untuk kegiatan potensi warga Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 43 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Camat Ngaglik dan perangkatnya juga memberikan ruang bagi warga yang hendak memasarkan usahanya untuk didisplaykan/ disajikan diruang bale pendopo, hal ini nampak pada saat studi lapagan ada seorang ibu yang menawarkan TuperWere, serta memberikan kesempatan kepada beberapa warga yang menawarkan jasa pemotretan dan penjualan foto. Hal yang dapat diadopsi adalah adanya sifat entreneur perangkat yang mendorong warga untuk melakukan usaha mandiri, usaha mandiri bisa disajikan / ditawarkan pada event-event tertentu. Hal ini bisa digiatkan pada instansi masingmasing perserta; 6.Implementasi aplikasi IT kusus untuk warga Ngaglik belum dapat dioperasikan, aplikasi yang khusus untuk layanan perijinan belum dapat dioperasikan, karena masih dalam tahap finalisasi konsep aplikasi. Pembelajaran yang bisa diadopsi adalah kegigihan untuk terus memperjuangkan gagasan penggunaan IT meski ada halangan dalam implementasinya, tetap terus berupaya dan beriktiar untuk memberikan pelayanan publik; F. PENUTUP Kesimpulan Pelaksanaan Benchmarking to Best Practice sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dan mengetahui kiat-kiat sukses yang dilakukan oleh lokus yang dikunjungi sehingga memudahkan untuk mengadopsi, mengadaptasi, dan memodifikasi sesuai Proyek Perubahan yang dilakukan agar mencapai target yang telah ditentukan. . Beberapa hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan penerapan benchmarking, antara lain: 1. Soliditas Tim . Perlu pelibatan terhadap orang-orang yang berhubungan dan menjalankan proses organisasi sehari-hari dalam pelaksanaan benchmarking. Tim terlalu memaksakan aspek pengumpulan dan jumlah data. Padahal aspek yang paling penting adalah proses ketika anggota tim mengadaptasi pada instansinya, Namun hal tersebut agak sudah diterapkan yang disebabkan anggota tim benchmarking dari beragam instansi yang berbeda dan keanggotaan pada Tim yang Adhoc.. 2 Kekurang dekatan terhadap mitra. Mitra benchmarking memberikan akses untuk mengamati prosesnya dan juga menyediakan waktu dan personil kuncinya untuk membantu proses benchmarking kepada organisasi lain, namun tidak terjadi dalam proses ini, karena proses akses dalam waktu singkat. Hal yang dapat diadopsi dan diadaptasi dalam proyek perubahan antara lain : a. Dalam Proyek Perubahan harus mengikuti standar baik dalam hal merencanakan maupun implementasi serta mengikuti kaidah-kaidah dari pedoman yang telah disusun. b. Proyek Perubahan yang baik juga memerlukan pengawasan baik dari pimpinan maupun stakeholder yang lain, agar Proyek Perubahan tidak disalahgunakan, baik dari sisi administrasi, keuangan, dan kewenangan. c. Memberikan penghargaan terhadap stakeholder yang telah berjasa dalam Proyek Perubahan dalam mencapai target yang telah ditentukan 44 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Adopsi Nilai Benchmarking To Best Practice Diklat Kepemimpinan Tingkat III Pemerintah Provinsi Jawa Timur Hary Wahyudi Rekomendasi Pelaksanaan Benchmarking to Best Practice untuk angkatan berikutnya sebaiknya menuju ke lokus yang sama dengan latar belakang instansi peserta dan pada 2 (dua) Pemerintah Daerah yang berbeda sehingga memudahkan untuk membandingkan antara inovasi pada masing-masing daerah. DAFTAR PUSTAKA Allan, F.C. (1993), ªBenchmarking: practical aspects for information professionalsº, Special Libraries, Vol. 84 No. 3, pp. 123-30. Camp, R. The search for industry best practices that lead to superior performance. Productivity Press.1989. J. Nazarko, 2007, in National Institute of Public Administration, Jakarta, Indonesia Partovi, F.Y. (1994), ªDetermining what to benchmark: an analytic hierarchy approachº, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 14 No. 6, pp. 25-39. Peraturan Kepala LAN No. 16 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan II, National Institute of Public Administration, Jakarta, Indonesia Peraturan Kepala LAN No. 17 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan III, National Institute of Public Administration, Jakarta, Indonesia Peraturan Kepala LAN No. 19 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan IV, National Institute of Public Administration, Jakarta, Indonesia Pryor, L.S. and Katz, S.J. (1993), ªHow benchmarking goes wrong (and how to do it right)º, Planning Review, Vol. 21 No. 1, pp. 6-11. Watson, Gregory (2010). Strategic Bechmarking. London: SAGE Publications. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 45 Analisa PERAN CHAMPION CHILD RIGHT MAINSTREAMING DALAM PENGEMBANGAN KEBIJAKAN KABUPATEN/KOTA LAYAK ANAK DI JAWA TIMUR (Studi Alumni Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas Pengarusutamaan Hak Anak) Arie Cahyono, S.STP., M.Si Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur Jl. Balongsari Tama Tandes Surabaya Email: [email protected] Naskah diterima: 11 Juli 2017, Naskah direvisi: 22 Juli 2017, Naskah disetujui: 24 Juli 2017 Abstract Child protection as part of the focus of quality human development in Indonesia, based on the national commitment that has been contained in the 1945 Constitution article 28 b which asserts that every child has the right to live, grow and develop and is entitled to protection from violence and discrimination . Internalization of child protection in ASN training is a step forward, considering that children become cross cutting issues that can be implemented in all OPDs. About who does what, especially the child-friendly district / city development policy (KLA) is the mandate of the Law for local governments to divide up all the roles of the OPD to realize the KLA. Education and training bodies East Java has conducted Technical Training on Capacity Building of Human Resources for Facilitator of Mainstreaming Child Rights in KLA policy development in East Java. What is done is significant with the acceleration of KLA development in the Regency / City in East Java, especially for the alumni of the training area. A. LATAR BELAKANG Anak merupakan amanah dan karunia yang teramat sangat berharga diberikan Tuhan Yang Maha Esa pada kehidupan kita untuk senantiasa dijaga, asah, asih dan asuh serta dilindungi dari perlakuan salah, penelantaran, pengabaian maupun tindak kekerasan. Jika dilihat dari perspektif sebagai suatu bangsa, anak merupakan asset utama sebagai aktor penerus terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dari pembangunan nasional. Issue perlindungan anak telah menggelobal baik dari ranah domestik hingga pada tataran internasional. Sejarah panjang telah mencatat bagaimana komitmen dunia akan perjuangan perlindungan anak mulai dirintis pada tahun 1924, untuk pertama kalinya deklarasi hak anak diadopsi secara internasional oleh liga bangsa-bangsa, deklarasi ini dikenal juga sebagai deklarasai Jenewa. Hingga pada tahun 1959 majelis umum Perserkatan Bangsa-Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak merupakan deklarasi kedua, yang selanjutnya pada tanggal 2 September 1990, Konvensi Hak Anak (KHA) diberlakukan sebagai hukum internasional (Susilowati dkk., 2003 : 11). Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 47 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono Issue perlindungan anak telah menggelobal baik dari ranah domestik hingga pada tataran internasional. Berbagai macam forum dan kesepakatan bersama di tingkat dunia telah disepakati diantaranya Konvensi Hak Anak PBB, Agenda Habitat, World Fit For Children, dan MDG’s merupakan bukti betapa tingginya komitmen dunia akan perlindungan bagi anak. Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen terhadap perlindungan anak. Hal ini disadari komitmen tersebut mempunyai dasar latar belakang yang jelas manakala dilihat dari peta permasalahan anak di Indonesia. Peta permasalahan anak di Indonesia terbagai dalam 3 (tiga) domain yaitu pertama, situasi dan kondisi anak di bidang kesehatan. Kondisi kesehatan anak pada setiap tahapan usia mempunyai kecenderungan dan kekhususan. Pada bayi, maka kondisi yang sering terjadi adalah : Asfiksia, Berat Badan Lahir Rendah dan penyakit-penyakit infeksi seperti radang paru dan diare. Pada tahap usia balita, kondisi yang sering terjadi adalah : masalah kekurangan gizi, infeksi saluran pernafasan akut, diare dan gangguan tumbuh kembang. Selanjutnya pada usia sekolah dan remaja, mereka sering mengalami anemia, cacingan dan perilaku hidup yang tidak sehat. Selain itu ada masalah kecacatan sering dialami pula oleh anak. Pada masa remaja, masalah yang sering juga ditemui adalah obesitas (kegemukan), infeksi HIV/AIDS, merokok, penggunaan Napza dan banyak pula remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yang berakhir pada aborsi. Di lain pihak mereka juga mengalami kekerasan. Situasi kesehatan pada umumnya dapat terlihat pada tingkat kesejahteraan anak dan juga orang tuanya, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Kondisi kesehatan anak sangat terkait dengan kondisi sosial ekonomi pada umumnya. Kemiskinan menurunkan kualitas kesehatan anak yang sering digunakan adalah keadaan gizi anak. Secara umum status gizi penduduk membaik dari waktu ke waktu. Indikator prosentase penderita gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita menurun dari 37,47 persen pada tahun 1989 menjadi 26,36 persen pada tahun 1999 dan terus membaik menjadi 27,30 persen pada tahun 2002. pada namun meningkat kembali menjadi 28,17 persen pada tahun 2005. Target penurunan pada tahun 2015 adalah 18,7%. Kedua situasi pendidikan anak, berdasarkan Human Development Report 2004 menunjukan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk usia sekolah tahun 1999 hanya 6,7 tahun dan meningkat menjadi 7,1 tahun pada tahun 2002. Data ini menunjukan walaupun pendidikan meningkat namun secara umum hanya sampai tingkat SLTP kelas 1 dan pada tahun 2002 rata-rata lama sekolah untuk laki-laki 7,6 tahun (SLTP Kelas 2) lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya 6,5 tahun (SLTP kelas 1). Pada tahun 2004 dan 2005 rata-rata lama sekolah meningkat menjadi 7,2 tahun dan 7,3 tahun. Pada masa tersebut rata-rata lama sekolah laki-laki adalah 7,8 tahun lebih tinggi dari perempuan yang hanya 6,8 tahun (BPS, Inkesra: 2005). Ketiga situasi anak yang memerlukan perlindungan pada pekerja anak, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun di Indonesia selama periode tahun 2001-2002 selalu di atas 500.000 anak atau di atas 6 % dari jumlah anak usia 10-14 tahun. Pada tahun 2003, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun mengalami penurunan menjadi sekitar 367.610 anak (43,62%), namun kembali mengalami kenaikan sekitar 488.850 anak (5,83%) pada tahun 2004. sedangkan pada tahun 2005, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun kembali menurun sekitar 383.210 anak (4,43%). Dari data tersebut, bisa diperkirakan bahwa pada kurun waktu tahun 2001-2005, dalam setiap anak usia 10-14 tahun terdapat 4 sampai 6 pekerja anak, yang memiliki kondisi yang pasti berbeda dengan anak-anak lainya di usia yang sama, bahkan kehilangan hak dan kesempatan untuk hidup selayaknya anak dalam usia tersebut. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) anak usia 10-14 tahun menurut 48 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono provinsi berdasarkan Sakernas November 2005 di seluruh Indonesia mencapai rata-rata 4,43%. Artinya, dari 100 anak usia 10-14 tahun terdapat 4 anak yang menjadi pekerja anak. Kualitas hidup manusia sangat ditentukan sejak usia dini. Anak merupakan generasi penerus bangsa, merekalah yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa mendatang. Oleh sebab itu, pemenuhan hak dan perlindungan anak menjadi prioritas dalam pembangunan. Dari seluruh jumlah penduduk sebanyak 245,425 juta jiwa, 49,65 persen diantaranya adalah perempuan dan 50,35 persen laki-laki (BPS, Susenas 2013). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komposisi penduduk menurut jenis kelamin berimbang. Bila dilihat menurut kelompok umurnya, dari jumlah tersebut 33,4 persen atau 82,083 juta jiwa adalah anak-anak (penduduk usia di bawah 18 tahun), terdiri dari 42,012 juta anak laki-laki dan 40,071 juta anak perempuan. Jumlah anak yang begitu besar atau lebih dari sepertiga jumlah penduduk secara keseluruhan, maka peningkatan kualitas hidup anak perlu mendapat perhatian serius. Berinvestasi untuk anak adalah investasi sepertiga lebih penduduk Indonesia. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar penting bagi penyusunan kebijakan yang tepat bagi anak. Kualitas hidup anak dilihat dari capaian bidang pendidikan, salah satu indikatornya dapat diamati dari Angka Partisipasi Sekolah (APS). Untuk anak usia 7-17 tahun APS tahun 2012 sebesar 91,46 persen (BPS, Susenas 2012). Secara umum APS anak perempuan pada setiap jenjang sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan APS anak laki-laki. Kualitas kesehatan anak antara lain dapat diamati dari Angka Kematian Bayi (AKB). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012) AKB tercatat sebesar 40 setiap 1000 bayi lahir hidup atau turun 58,7 persen dibandingkan tahun 1991 (97 kematian per 1000 kelahiran hidup). Kualitas hidup anak juga ditentukan dari perlindungan terhadap tindak kekerasan. (Renstra Kementerian PPPA 2015-2019) Hasil survei Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan tahun 2013 menemukan bahwa anak usia 13-17 tahun menunjukkan 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional/fisik/seksual dalam 12 bulan terakhir. Anak mengahadapi resiko kekerasan fisik, emosional, seksual di rumah maupun di luar rumah. Hukuman corporal/fisik sering digunakan sebagai upaya mendisiplinkan anak di keluarga. Data menunjukkan bahwa 26 persen anak menjadi korban dari hukuman fisik (BPS, 2014). Orang tua berperan sebagai pelaku utama dan yang paling sering melakukan kekerasan terhadap anak di rumah. Secara khusus, anak yang tinggal dalam “keluarga yang rusak” (broken home) atau anak di institusi (termasuk didalamnya panti asuhan) memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik, emosional, dan pengabaian (PUSKAP UI, 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia dengan sampel 10.760 anak berusia 10-18 tahun di empat provinsi (Aceh, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua) menemukan bahwa kekerasan seksual terjadi di seluruh konteks, termasuk di rumah dan dalam bentuk kontak fisik maupun non kontak fisik. Persentasenya bervariasi antar daerah, misalnya di Kabupaten Jayawijaya, 23 persen anak meleporkan mengalami kekeresan seksual, sedangkan di Jayapura, Provinsi Papua hanya 14 persen. Smentara itu, jumlah kasus kekerasan seksual relative rendah di Banda aceh 2 persen), Provinsi Aceh sebesar 5 persen (Universitas Indonesia, 2009). Kekerasan seksual terhadap anak-anak meyebabkan terkikisnya fondasi kehidupan mereka, padahal anak-anak membutuhkan kehidupan secara sehat dan produktif. Secara global, studi Sumner, et all, (2015), menunjukkan bahwa paparan kekerasan selama masa kecil dapat meningkatkan kerentanan terhadap mental dan masalah kesehatan fisik, mulai dari depresi dan kehamilan yang tidak diinginkan terhadap penyakit Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 49 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono kardiovaskular, diabetes, dan penyakit menular seksual, termasuk human immunodeficiency virus (HIV) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada awal tahun 2015 telah melakukan konsultasi secara on line yang melibatkan lebih dari 4000 anak, remaja dan pemuda dengan rentang usia 14-25 tahun melalui internet (portal titter @UReport-id) terkait Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) memperoleh beberapa masukan diantaranya perlunya program terkait kesejahteraan sosial, pendidikan pengasuhan untuk keluarga, penegakan hukum serta peningkatan kesadaran masyarakat, sebagaimana tertuang dalam StratNas KPPPA (2016 :4) Upaya pengintegrasian hak anak ke dalam isu sentral pembangunan suatu Negara bukanlah hal yang baru. Berbagai Negara telah sejak lama melakukan upaya serupa dengan satu harapan yang memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Mengetahui sejarah dan proses perkembangnya intregrasi hak anak ke dalam pembangunan dari Negara laun dapat menyakinkan kita tentang perlunya kesungguhan kita dalam melaksanakan perlindungan anak. Perlindungan anak sendiri sebagai bagian dari fokus pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas di Indonesia, berpijak pada komitmen nasional yang telah tertuang ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 b yang menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menggulirkan kebijakan pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak di Indonesia. KLA merupakan sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak dan perlindungan anak (permeneg pppa nomor 11 tahun 2011). Sebagai pilot project pertama kali ada 5 kabupaten/kota sejak tahun 2006 diantaranya Sidoarjo, Gorontalo, Kutai Kartanegara, Jambi, dan Surakarta. Perkembangannya selanjutnya Kabupaten/Kota Layak Anak yang disingkat KLA didefinisikan sebagai Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Mempercepat pemahaman KLA bagi Aparatur Pemerintah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan telah menyelenggarakan Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak pada Tahun 2016. Diklat ini diikuti oleh 30 (tiga puluh) orang peserta dari OPD Pemerintah Propinsi dan OPD Kabupaten/Kota di Jawa Timur. 50 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalahnya adalah bagaimana peran alumni Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak dalam pengembangan kebijakan KLA di Jawa Timur. Adapun pertanyaan penelitiannya antara lain : a. Manfaat apa yang dirasakan para alumni diklat pasca mengikuti Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak Tahun 2016? b. Apa saja yang dilakukan alumni dalam menjalankan tugasnya sebagai fasilitator PUHA dilapangan? c. Inovasi apa saja yang dilakukan alumni pasca mengikuti diklat? d. Apa yang menjadi motivasi alumni sebagai champion PUHA di masing-masing kabupaten dalam memperjuangan perlindungan anak? e. Kendala apa saja yang dialami dalam usaha memperjuangkan perlindungan anak di kabupaten? C. METODOLOGI Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif disini dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melelui prosedur statistic atau bentuk hitungan lainnya. Pengambilan penelitian kualitatif disini dirasa peneliti sangat tepat, karena penelitian kualitatif bias dilakukan oleh peneliti di bidang ilmu social dan perilaku, juga oleh para peneliti dibidang yang menyoroti masalah yang terkait dengan perilaku dan perenan manusia. Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti organisasi, kelompok, dan individu. Berbicara tentang metodologi penelitian tidak terlepas dari sekumpulan peraturan, kegiatan dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi juga merupakan analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode, sedang penelitian sendiri merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan. Selain itu pula dapat didefiniskan sebagai suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Setiap orang yang terlibat dalam sebuah penelitian mempunyai motivasi yang berbeda, diantaranya dipengaruhi oleh tujuan dan profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan penelitian pada dasarnya sama yaitu merupakan sebuah refleksi dari sebuah keinginan yang selalu berusaha untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan yang demikian ini merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi untuk melakukan penelitian. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada, demikian menurut Denzin dan Lincoln. Dari segi pengertian ini, para penulis masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian kualitatif adalah berbagai metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Penelitian kualitatif merupakan satu aktivitas yang menempatkan pengamat di dalam dunia. Penelitian kualitatif terdiri atas serangkaian praktik material interpretif yang membuat dunia bisa disaksikan . Praktik tersebut mengubah dunia menjadi serangkaian representasi, meliputi catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman, dan memo tentang diri. Di tingkat ini, penelitian kualitatif mencakup pendekatan naturalistik interpretif terhadap dunia. Hal ini berarti bahwa para peneliti kualitatif mempelajari bendabenda didalam setting alaminya, berupaya memahami, atau menginterpretasikan, fenomena berdasarkan makna-makna yang dilekatkan manusia padanya. Penelitian kualitatif meliputi Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 51 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono penggunaan dan pengumpulan beraneka ragam data empiris yang sedang dipelajari-studi kasus; pengalaman pribadi; intropeksi; kisah perjalanan hidup; wawancara; artefak; teks dan produksi kultural; teks-teks observasional; historis; interaksional; dan visual yang melukiskan aneka momen dan makna rutin serta problematis di dalam kehidupan individu. Lebih lanjut Jan Jonker etc (2011) menyatakan bahwa inti dari penelitian kualitatif adalah peneliti mencoba memahami (dan menjelaskan) bagaimana orang mengalami situasi (kerja) mereka. Dalam penelitian kualitatif menawarkan peneliti kebebasan untuk mengkontribusikan interpretasi sendiri untuk memperluas metodologi penelitiannya. Populasi penelitian adalah alumni Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak. Random sampling informan dalam penelitian ini diambil khusus alumni Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak yang berasal dari Kabupaten Blitar, Kota Blitar, Kabupaten Probolinggo, Kota Mojokerto, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Nganjuk. Diantaranya adalah : a. Kepala Seksi Edukasi Publik Dinas PPPA Kota Blitar sebagai responden pertama. b. Kepala Bidang PUG dan PUHA Dinas PPKBP3A Kabupaten Blitar sebagai responden kedua. c. Kepala Seksi PP pada Dinas PPKB Kabupaten Probolinggo Blitar sebagai responden ketiga. d. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Nganjuk Blitar sebagai responden keempat. e. Kepala Seksi PPA Dinas PPKB Kabupaten Bojonegoro Blitar sebagai responden kelima. f. Kepala Seksi Penguatan PUG dan PUHA Dinas P3AKB Kota Mojokerto Blitar sebagai responden keenam. Adapun pertimbangannya adalah alumni dimaksud masih bekerja atau berkecimpung dalam tugasnya pada dinas atau OPD yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mengingat penyesuaian restrukturisasi OPD baru banyak alumni diklat dimaksud, yang mengalami mutasi jabatan bukan pada pos jabatan terkait perlindungan anak. Adapun teknik pengumpulan data dalam studi penelitian ini diantaranya dengan menggunakan beberapa cara yaitu wawancara, observasi, dokumen dan focus group discussion. D. LANDASAN TEORITIK Teori peran atau dengan istilah lainnya role theory merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu. Istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seseorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Peranan atau role menurut (Cohen, 1992: 25) juga memiliki beberapa bagian, yaitu: 1. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan. 2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang diharapkan masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan tertentu. 3. Konflik peranan (Role Conflick) adalah suatu kondisi yang dialami seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain. 4. Kesenjangan Peranan (Role Distance) adalah Pelaksanaan Peranan secara emosional. 5. Kegagalan Peran (Role Failure) adalah kagagalan seseorang dalam menjalankan peranan tertentu. 52 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono 6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya kita contoh, tiru, diikuti. 7. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan seseorang dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya. 8. Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidakserasiaan yang bertentangan satu sama lain. Peran dalam penelitian disini dimaksudkan adalah peran alumni diklat melalui kapasitasnya sebagai pejabat pada OPD perlindungan anak di Kabupaten. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berkuasa memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (perwujudan diri). Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi seperti perwujudan diri mulai mengembalikan perilaku seseorang. Hal yang penting dalam pemikiran Maslow ini bahwa kebutuhan yang telah dipenuhi memberi motivasi. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima uang yang cukup untuk pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya intensitasnya lagi. Jadi bila suatu kebutuhan mencapai puncaknya, kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku. Kemudian kebutuhan kedua mendominasi, tetapi walaupun kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku hanya intensitasnya yang lebih kecil. Kelima tingkat kebutuhan itu, menurut Maslow, ialah berikut ini: 1) Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis (Physiological Needs) Kebutuhan yang bersifat fisiologis ini merupakan kebutuhan yang paling dasar, paling kuat dan paling jelas diantara segala kebutuhan manusia. Kebutuhan ini menyangkut kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Menurut Maslow, selama hidupnya, praktis manusia selalu mendambakan sesuatu. Manusia adalah binatang yang berhasrat dan jarang mencapai taraf kepuasan yang sempurna, kecuali untuk suatu saat yang terbatas. Begitu suatu hasrat berhasil dipuaskan, segera muncul hasrat lain sebagai gantinya. 2) Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan perlindungan, keamanan hukum kebebasan dari rasa takut dan kecemasan. Kebutuhan fisiologis dan keamanan pada dasarnya adalah kebutuhan mempertahankan kehidupan. Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan hidup jangka pendek, sedang keamanan adalah pertahanan hidup jangka panjang. Menurut Maslow, kebutuhan rasa aman sudah dirasakan individu sejak kecil ketika ia mengeksplorasi lingkungannya. Seperti anak-anak, orang dewasapun membutuhkan rasa aman, hanya saja kebutuhan tersebut lebih kompleks. 3) Kebutuhan cinta dan memiliki – dimiliki (Belongingness and Love Needs) Kebutuhan ini muncul ketika kebutuhan sebelumnya telah terpenuhi. Kebutuhan ini terus penting sepanjang hidup, sebab setiap orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Maslow mengatakan bahwa kita semua membutuhkan rasa diingini dan diterima oleh orang lain. Ada yang memuaskan kebutuhan ini melalui berteman, berkeluarga atau berorganisasi. 4) Kebutuhan harga diri (Self Esteem Needs) Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu dan perasaan berguna dan penting didunia. Sebaliknya, frustasi Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 53 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono karena kebutuhan harga diri tak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inferior, lemah, pasif, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup dan rendah diri dalam bergaul. 5) Kebutuhan aktualisasi diri (Self – Actualization Needs) Kebutuhan ini akan timbul pada seseorang bila kebutuhankebutuhan lainnya telah terpenuhi. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Menurut Maslow, salah satu prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah terpuaskannya berbagai kebutuhan yang lebih rendah, yaitu kebutuhan-kebutuhan fisiologis, rasa aman, memiliki dan cinta serta penghargaan. Penelitian yang sangat berpengaruh pada implementasi Konvensi Hak Anak dan kemudian diadopsi oleh UNICEF dan UNHABITAT melalui “Child Friendly City Inniciative” adalah penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lynch, arsitek dari Massachusetts Institute of Technology. Penelitian dengan judul ”Persepsi anak terhadap ruang” dilaksanakan di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City, dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara dan menggambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai: komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; adanya pemberian kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka (Hamid Pattilima,2010) Dengan ini kami menyerukan kepada segenap anggota masyarakat untuk bergabung dengan kami dalam gerakan global yang akan membantu membangun suatu dunia yang layak bagi anak dengan jalan mengokohkan komitmen kami kepada prinsipprinsip dan tujuan berikut ini : 1) Dahulukan kepentingan anak. Dalam segala tindakan yang berhubungan dengan anak, kepentingan terbaik dari anak itulah yang harus menjadi pertimbangan utama. 2) Berantas kemiskinan: tanamkan investasi pada anak. Kami tegaskan kembali ikrar kami untuk mematahkan lingkaran kemiskinandalam satu generasi saja, bersatu dalam keyakinan bahwa investasi pada anak dan kesadaran akan hak-hak mereka merupakan cara-cara paling efektif untuk memberantas kemiskinan. Kita harus bertindak cepat untuk menghapus bentuk terburuk dari perubahan anak. 3) Jangan sampai seorang anakpun tertinggal. Setiap anak perempuan dan anak lakilaki dilahirkan dalam keadaan merdeka dan setara dalam martabat dan hak azazi ; oleh karenanya, segala bentuk diskriminasi yang menyangkut anak-anak harus diakhiri. 4) Perawatan bagi setiap anak. Anak harusmendapatkan awal yang terbaik dalam kehidupan. Ketahanan (survival) mereka, perlindungan, pertumbuhan dan perkembangan dalam kesehatan yang baik dan dengan nutrisi yang tepat merupakan landasan utama bagi perkembangan umat manusia. Kami akan menggalang usaha untuk membasmi penyakit menular, menangani penyebab-penyebab utama dari malnutrisi dan memberi makanan kepada anak-anak dalam lingkungan yang aman yang menjadikan mereka sehat jasmani, siaga mental, secara sosial kompeten dan mampu untuk belajar. 5) Didiklah setiap anak. Semua anak perempuan dan anak laki-laki harus mendapatkan akses terhadap dan dapat menyelesaikan pendidikan dasar yang gratis, diwajibkan 54 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono dan bermutu baik sebagai batu pertama dari pendidikan dasar yang menyeluruh. Ketidak srimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah harus ditiadakan. 6) Lindungi anak terhadap penganiayaan dan eksploitasi. Anak harus dilindungi terhadap setiap tindakan kekerasan, penganiayaan, eksploitasi dan diskriminasi, juga terhadap segala bentuk terorisme dan penyanderaan. 7) Lindungi anak dari peperangan. Anak-anak harus dilindungi dari rasa ngeri yang timbul akibat konflik bersenjata. Anak-anak yang tinggal di daerah pendudukan asing harus pula dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum humanitarian internasional. 8) Berantas HIV/AIDS. Anak-anak dan keluarga-keluarga mereka harus dilindungi dari dampak yang menghancurkan dari HIV/AIDS. 9) Dengarkan anak dan pastikan partisipasi mereka. Anak-anak dan remaja adalah waraganegara yang penuh akal, yang mampu membantu pembangunan masadepan lebih baik bagi semua orang. Kita harus menghormati hak mereka untuk menyatakan perasaan mereka dan ikut serta dalam segala hal menyangkut mereka sesuai usia dan kematangan mereka. 10) Lingkungan bumi bagi anak. Kita harus mengamankan lingkungan alam kita, dengan keberagaman hidupnya, keindahan dan sumber –sumber dayanya, yang semuanya meningkatkan mutu kehidupan, bagi generasi masa kini dan masa yang akan datang. Kami akan memberikan segenap bantuan untuk melindungi anak-anak dan meminimalkan dampak bencana alan serta degradasi lingkungan terhadap mereka. Amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pada pasal 21 menekankan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Kebijakan tersebut dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota Layak Anak. Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Terdapat beberapa perbedaan indikator KLA tahun 2015 dengan 2017 dimana indicator variabel KLA 2015 masih menggunakan 31 indikator sedangkan pada tahun 2017 hanya sejumlah 24 indikator, lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 55 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono No Klaster KLA Tahun 2015 KLA TAHUN 2017 1 Kelembagaan Jumlah Peraturan Perundangundangan atau Kebijakan Pemenu han Hak dan Perlindungan Anak Persentase Anggaran Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Jumlah Sumber Daya Manusia (S DM) Terlatih KHA Tersedia Peraturan/Kebijakan Daerah tentang Kabupaten/K ota Layak Anak Terlembaga Kabupaten/Kota Layak Ank (KLA) Keterlibatan lembaga masyar akat, dunia usaha, dan media massa dalam Pemenuhan Hak dan Perlindungan Khusus A nak Keterlibatan Lembaga Masyarakat dan Media Massa dalam Pemenu han Hak dan Perlindungan Anak Keterlibatan Dunia Usaha dalam P emenuhan Hak dan Perlindungan Anak Jumlah Kegiatan Inovatif 2 56 Cluster I : hak Sipil dan Kebebasan Persentase Anak yang Diregistrasi dan Mendapatkan Kutipan Akta K elahiran Tersedia Fasilitas Informasi Laya k Anak Persentase Forum Anak, termasuk Kelompok Anak, yang Ada di Ka bupaten/Kota, Kecamatan dan Des a/Kelurahan Jumlah Kegiatan Peningkatan Kap asitas Forum Anak Persentase Anak yang Diregi strasi dan Mendapatkan Kuti pan Akta Kelahiran Tersedia Fasilitas Informasi Layak Anak (ILA) Terlembaga partisipasi anak Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono 3 4 Cluster II : Lingkungan Keluarga dan pengasuhan alternatif Persentase Usia Perkawinan Perta ma di Bawah 18 Tahun Ketersediaan Lembaga Konsultasi bagi Orang Tua/Keluarga yang Me nyediakan Layanan Pengasuhan da n Perawatan Anak Tersedia Program Pengasuhan Be rkelanjutan (Continuum of Care for Children) Cluster III : Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan Angka Kematian Bayi (AKB) Prevalensi Gizi Buruk, Gizi Kuran g, Stunting dan Gizi Lebih pada Balita Persentase ASI Eksklusif Persentase Puskesmas Ramah Anak (PRA) Persentase Imunisasi Dasar Lengkap Jumlah Lembaga yang Memberikan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, Pencegahan dan Penanganan NAPZA, HIV/AI DS, Pelayanan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, dan Pelayanan Kesehatan bagi Anak Penyandang Disabilitas Persentase Anak dari Keluarga Miskin yang Memperoleh Akses Peningkatan Kesejahteraan Persentase Rumah Tangga dengan Akses Air Bersih Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Persentase Perkawinan Anak Tersedia Lembaga Konsultasi Penyedia Layanan Pengasuhan Anak bagi Orang Tua/Keluarga Persentase lembaga pengasuhan alternatif terstan darisasi Tersedia infrastruktur (sarana dan prasana) di ruang publik yang ramah anak Persentase Persalinan di Fasil itas Pelayanan Kesehatan Prevalensi kekurangan gizi pada balita Persentase Cakupan Pemberi an Makan pada Bayi dan Anak (PMBA) Usia diBawah 2 Tahun Persentase Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Pelayanan Ramah Anak Persentase Rumah Tangga de ngan Akses Air Minum dan Sanitasi Tersedia kawasan tanpa rokok 57 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono 5 Cluster IV : Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya 6 Cluster V : Perlindungan Khusus 58 Angka Partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini Persentase Pengembangan A nak Usia Dini Holistik dan Integratif (PAUD-HI) Persentase Wajib Belajar Pendidi Persentase Wajib Belajar 12 kan 12 Tahun Tahun Persentase Sekolah Ramah Anak Persentase sekolah ramah (SRA) anak Jumlah Sekolah yang Memiliki Pr Tersedia fasilitas untuk Kegi ogram, Sarana dan Prasarana Perj atan Budaya, Kreativitas, da alanan Anak yang Aman ke dan d n Rekreatif yang Ramah ari Sekolah Anak Tersedia Fasilitas untuk Kegiatan Kreatif dan Rekreatif yang Ramah Anak, di Luar Sekolah Persentase Anak yang Mendapat a. Anak Korban Kekerasan y Layanan dalam Kategori Perlindu ang terlayani ngan Khusus b. Persentase anak yang dibe baskan dari Pekerja Anak (P A) dan bentukbentuk pekerjaan terburuk u ntuk anak (BPTA Jumlah Proses Diversi yang Diup a. Anak Korban Pornografi, ayakan bagi Anak yang Berkonfli NAPZA dan HIV/AIDS yan k dengan Hukum g terlayani b. Anak korban bencana dan konflik yang terlayani Tersedia Mekanisme Penanggula Anak penyandang disabilitas ngan Bencana yang Memperhatik , kelompok minoritas dan ter an Kepentingan Terbaik Anak isolasi yang terlayani Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono Cluster V : Perlin Persentase Anak yang Dibebaskan d a. Kasus Anak yang Berhadap dungan Khusus ari Bentukan dengan Hukum (ABH) Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (khusus pelaku) yang Terselesaikan melalui Pendeka tan Keadilan Restoratif dan Di versi b. Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme c. Perlindungan Anak Korban Stigmatisasi akibat dari pelabe lan terkait dengan kondisi orang tuanya Sumber : Diolah penulis dari permeneg pppa nomor 11 tahun 2011 & Indikator terbaru 2017 ANALISA PEMBAHASAN A. Manfaat Diklat Manfaat yang dirasakan alumni pasca mengikuti Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak cukup beragam, dan kesemuanya menunjukkan nilai positif dan signifikan dengan output diklat. Sebagaimana responden pertama, menyampaikan : “Diklat fasilitator PUHA sungguh sangat bermanfaat bagi saya dalam menjalankan tugas di perlindungan anak, banyak hal baru yang saya pelajari dan bisa diaktualisasikan ditempat tugas” Responden kedua : “Ada banyak hal yang saya pelajari terutama dalam memfasilitasi sebuah kegiatan, yang semula belum cukup percaya diri sekarang justru jauh lebih percaya diri terlebih ilmu yang didapatkan sangat aplikatif terkait perlindungan anak termasuk implementasi KLA di Kabupaten Blitar” Responden ketiga: “Banyak hal yang semula masih bias justru pada saat diklat menjadi terang benderang, dan semakin memahami bahwa issu perlindungan anak sebagai cross cutting issues lintas OPD. Sungguh kegiatan diklat yang sangat bermanfaat, lengkap holistic dan aplikatif” Hampir sama dengan responden sebelumnya, responden keempat menyampaikan bahwa “Ilmu yang disampaikan oleh narasumber diklat sangat aplikatif, kurikulumnya sangat tepat aplikatif dan semakin membuat saya memahami bahwa anak menjadi cross cutting issue yang harus dikerjakan lintas OPD” Sedangkan responden kelima merasakan “Saya semakin paham dan mengerti apa yang harus saya kerjakan dilapangan terkait perlindungan anak” Responden terakhir menyampaiakan bahwa “saya jadi tambah mengerti dan memahami serta mengaktualisasikan bagaimana koordinasi lintas OPD dalam perlindungan anak termasuk pengisian indicator KLA kemarin” Keenam responden sepakat bahwa Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak sangat bermanfaat bagi mereka dalam Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 59 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono mendukung tugas-tugas mereka utamanya berkaitan perlindungan anak, terlebih implementasinya dalam kebijakan pengembangan KLA dimasing-masing kabupaten. B. Peran Fasilitator Peran sebagai fasilitator yang dilakukan oleh responden pertama ada dua sebagaimana tupoksinya yaitu penanganan kasus perlindungan perempuan dan anak pada P2TP2A Kota Blitar serta sebagai narasumber pada forum sosialisasi perlindungan anak di Kota Blitar. Sedangkan responden kedua lebih variatif diantaranya keterlibatannya sebagai fasilitator pada capacity building Forum Anak Kabupaten Blitar, fasilitator pada sosialisasi perlindungan anak lintas OPD, Advokasi aktif dalam mempertahankan OPD PPPA bersama Bagian Organisasi dan Bappeda sehingga pada aspek kelembagaan mempertahankan Dinas PPKBP3A pada eselon 2 dan dua eselon tiga yang membidangi urusan anak. Responden ketiga terlibat bukan hanya fasilitasi tapi juga advokasi yaitu fasilitator pelatihan KHA pada dinas pendidikan dan dinas kesehatan, fasilitator pada PATBM serta advokasi KLA pada pengambil keputusan di DPRD Kabupaten Probolinggo. Keterlibatan responden keempat sebagai fasilitator PUHA berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan setempat bertindak sebagai fasilitator road show KHA pada 8 (delapan) SMP dan SMA di Kabupaten Nganjuk serta roadshow sosialisasi perlindungan anak pada kecamatan dan desa se Kabupaten Nganjuk. Senada dengan responden sebelumnya keterlibatan responden kelima aktif terlibat sebagai fasilitator pada pembentukan gugus tugas KLA pada tingkat kecamatan dan desa serta berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan dalam pelatihan KHA bagi Kepala Sekolah di Kabupaten Bojonegoro. Sedangkan responden keenam terlibat aktif sebagai fasilitator pada advokasi gugus tugas KLA, menginisiasi bersama OPD lintas sektor pembuatan Perda KLA, Fasilitator pada capacity building forum anak kecamatan dan kelurahan. Keenam responden terlibat aktif tidak hanya sebagai fasilitator tapi juga sebagai inisiator serta advokasi isu perlindungan anak lintas OPD dan pada masyarakat umum. Bahkan keterlibatan mereka dalam inisiasi pembuatan perda KLA patut kiranya menjadi sebuah prestasi tersendiri. Peranan nyata atau anacted role merupakan suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan, dalam hal ini para alumni diklat teknis dimaksud, telah menjalankan sebagaimana tugas pokok dan fungsi yang semestinya mereka jalankan. Hal ini ditunjang juga posisi mereka yang membidangi urusan perlindungan anak di masing-masing OPD baik itu pada tataran mereka di eselon III maupun eselon IV. C. Inovasi Pengembangan KLA Inovasi pengembangan KLA yang dilakukan oleh responden pertama adalah terlibat sebagai tutor KLA pada semua OPD di Kota Blitar dengan model DESK KLA Kota Blitar. Dengan adanya Desk KLA ini terjadi sinkronisasi program terkait KLA. Sedangkan responden kedua, Inisiator isu anak dalam kelembagaan OPD serta program “BAJUKU LIBAS DOSA” (Bangkit Menuju Keluarga Religius Sejahtera dengan Orientasi Surga) merupakan program gerankan merangkul tokoh-tokoh agama untuk terlibat dalam penanaman karakter anak sejak dini sebagai wujud 60 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono nyata perlindungan anak di Kabupaten Blitar. Selain itupula berperan juga dalam tutor aktif Desk KLA Kabupaten Blitar. Responden ketiga merespon inovasi kelokalan dengan pemanfaatan potensi local yaitu Kegiatan Gemar Makan Ikan sejak usia dini serta advokasi usulan perda inisiasi perlindungan anak di Kabupaten Probolinggo. Berkolaborasi dengan dinas pendidikan menyasar pada Sekolah Ramah Anak (SRA) serta sosialisasi PATBM di tingkat grass root. Inovasi pengembangan KLA yang dilakukan oleh responden keempat antara lain Inisiasi Desa Layak Anak di Kabupaten Nganjuk, Optimalisasi peran Forum Anak Kabupaten Nganjuk sebagai konselor sebaya yang terlibat program pembekalan siswa baru, serta Integrasi Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak melibatkan FORPIMDA. Responden kelima merespon inovasi dalam pembuatan kebijakan yang respobsif anak yaitu menyusun Peraturan Bupati Bojonegoro tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak, Inisiasi Sekolah Ramah Anak (SRA), Puskesmas Ramah Anak (PRA) serta kolaborasi Dinas Pendidikan dengan pengenalan kepemimpinan sejak dini yaitu Kang Yoto Leadership Talent (KYLT). Sedangkan responden keenam, variatif capaiannya yaitu inisiasi penyusunan Perda KLA, Kolaborasi OPD terkait Taman Bermain Anak, Optimalisasi Program 1819 di seluruh wilayah kelurahan se Kota Mojokerto terkait jam wajib belajar anak di lingkungan masyarakat. Berikut tabel capaian usulan KLA dengan nominal point pada masing-masing Kabupaten yaitu : Responden Kota Blitar Point Usulan KLA 2017 741,85 Kabupaten Blitar 740 Kabupaten Probolinggo 903 Kabupaten Nganjuk 480 Kabupaten Bojonegoro 832 Kota Mojokerto 600 Capaian nominal usulan KLA untuk Kabupaten Nganjuk lebih kecil disebabkan pada saat pengisian indicator KLA tersebut Kabupaten Nganjuk ada musibah tanah longsor, sehingga konsentrasi sektap KLA lebih pada penangangan korban. Ini disebabkan bidang PPPA menyatu dengan Dinas Sosial sehingga sangat gemuk dengan fungsi dan tidak ditunjang dengan komposisi SDM yang ada. D. Motivasi yang Melandasi Para Champion Child Right Mainstreaming Berbagai motivasi yang melatar belakangi responden yaitu responden pertama menyampaikan “bahwa dalam menjalankan perannya sebagai agen perubahan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 61 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono perlindungan anak atau champion PUHA secara pribadi dimanapun ditempatkan saya selalu all out atau totalitas pada sebuah pekerjaan”. Sementara itu responden kedua menyampaikan bahwa “pada awal mula di mutasi menghandle perlindungan anak sejak tahun 2009, padahal backgroundnya adalah merasa passionnya di Dinas Perindustrian Perdagangan dan saat itu masih belum ada chemistry. Namun setelah dijalani dan berbenturan langsung dengan kasuskasus dan permasalahan perlindungan anak akhirnya kesadaran itu muncul. Terlebih pasca mengikuti Diklat teknis fasilitator PUHA kesadaran itu mulai mendarah daging. Contohnya pernah saya naik mobil dan melihat orang tua yang maksudnya ingin menghibur anaknya dengan berbocengan dan anaknya naik berdiri diatas motor bersama orang tua ibu dan bapaknya, itupun saya ingatkan Pak, Bu yogane dilenggahaken kemawon supados aman (Pak Bu putranya didudukkan saja biar aman). Jadi sekarang ini tidak lagi beranggapan ini sebagai tugas tapi lebih dari pada itu, terlebih saya sebagai seorang Ibu rumah tangga yang juga mempunyai anak”. Senada dengan responden kedua, responden ketiga justru mengungkapkan motivasi yang mendasarinya aktif sebagai champion PUHA adalah “motivasi saya sebagai Ibu rumah tangga yang juga mempunyai anak yang harus dilindungi. Saya beranggapan bahwa anak-anak di Kabupaten Probolinggo itu adalah anak-anak kita. Masalah mereka adalah masalah kita bersama. Yang kita perjuangkan, yang kita lindungi adalah anak-anak penerus kita” Responden keempat lebih mengedepankan kepentingan anak dimana memberi ruang partisipasi pada anak adalah untuk kepentingan mereka dan anak-anak harus dilindungi terlebih jika mereka berada pada posisi rentan. Responden kelima justru lebih mengedepankan posisinya dalam menjalankan peran sebagai pejabat eselon IV yang membidangi perlindungan anak dan harus professional. Berbeda dengan responden kelima, responden keenam justru mengetengahkan bahwa motivasi yang mendasari saya adalah saya sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai anak, saya sebagai orangtua dari anak-anak saya, saya ingin anak-anak saya maju, berprestasi dan terlindungi. Dana saya yakin keinginan ini juga sama dengan yang diinginkan oleh semua orangtua. Oleh karena itu saya berjuang untuk anak-anak tersebut, semua anak-anak Kota Mojokerto adalah anak saya, dan akan saya lakukan yang terbaik untuk mereka” Apabila dilihat dari peran para alumni serta inovasi dalam aktualisasi maupun didukung motivasi para champion PUHA dapat dikelompokkan berdasarkan teori motivasi Moslow sebagai berikut : Responden 62 Motivasi Moslow Pertama Kebutuhan harga diri (Self Esteem Needs) Kedua Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) Kebutuhan cinta dan memiliki – dimiliki (Belongingness and Love Needs) Kebutuhan aktualisasi diri (Self – Actualization Needs) Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono Keempat Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) Kebutuhan cinta dan memiliki – dimiliki (Belongingness and Love Needs) Kebutuhan aktualisasi diri (Self – Actualization Needs) Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) Kelima Kebutuhan harga diri (Self Esteem Needs) Keenam Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs) Kebutuhan cinta dan memiliki – dimiliki (Belongingness and Love Needs) Kebutuhan aktualisasi diri (Self – Actualization Needs) Ketiga E. Kendala Memperjuangkan Perlindungan Anak Keenam responden ternyata sepakat kendala yang mereka alami dalam memperjuangkan perlindungan anak di daerah antara lain : a. Issue anak masih dimaknai parsial bahwa itu tugas pokok dan fungsi dari OPD perlindungan anak saja, padahal issue anak merupakan cross cutting issues dari semua OPD. b. Regulasi perda masih terbatas dan belum mendukung sepenuhnya pada cluster KLA terbaru. c. Keterbatasan advokasi secara holistic dan berkesinambungan bagi pihak pengampu kepentingan terkait perlindungan anak. d. Keterbatasan jumlah SDM yang memahami isu perlindungan anak yang diterjemahkan dalam penganggaran responsive hak anak pada masing-masing OPD. PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil temuan dan analisa penelitian ini adalah sebagai berikut : Pertama, keenam responden sepakat bahwa Diklat Teknis Peningkatan Kapasitas SDM Fasilitator Pengarusutamaan Hak Anak sangat bermanfaat bagi mereka dalam mendukung tugas-tugas mereka utamanya berkaitan perlindungan anak, terlebih implementasinya dalam kebijakan pengembangan KLA dimasing-masing kabupaten. Kedua, peranan nyata atau anacted role merupakan suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan, dalam hal ini para alumni diklat teknis dimaksud telah menjalankan sebagaimana tugas pokok dan fungsi yang semestinya mereka jalankan. Hal ini ditunjang juga posisi mereka yang membidangi urusan perlindungan anak di masing-masing OPD baik itu pada tataran mereka di eselon III maupun eselon IV. Ketiga, banyak hal terkait inovasi yang dijalankan pasca mengikuti diklat di masingmasing kabupaten menunjukkan signifikansi antara hasil pelatihan dengan kenyataan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 63 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono dilapangan. Bahkan ke enam kabupaten/kota dimaksud secara cepat merespon pengisian indicator KLA tahun 2017 dengan nilai point yang bervariasi. Keempat, setidaknya ada tiga responden yang mempunyai kesamaan motivasi Kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs), Kebutuhan cinta dan memiliki – dimiliki (Belongingness and Love Needs), serta Kebutuhan aktualisasi diri (Self – Actualization Needs). Sementara kedua responden yang sama yaitu Kebutuhan harga diri (Self Esteem Needs). Dan satu responden saja termotivasi kebutuhan akan rasa aman (Safety Needs). Kelima, kendala yang mereka alami dalam memperjuangkan perlindungan anak di daerah antara lain : Issue anak masih dimaknai parsial bahwa itu tugas pokok dan fungsi dari OPD perlindungan anak saja, padahal issue anak merupakan cross cutting issues dari semua OPD ; regulasi perda masih terbatas dan belum mendukung sepenuhnya pada cluster KLA terbaru ; keterbatasan advokasi secara holistic dan berkesinambungan bagi pihak pengampu kepentingan terkait perlindungan anak ; Keterbatasan jumlah SDM yang memahami isu perlindungan anak yang diterjemahkan dalam penganggaran responsive hak anak pada masing-masing OPD. Saran Pertama, advokasi KIE terkait issue perlindungan anak pada semua OPD harus terus dilakukan secara holistic dan berkesinambungan. Kedua, diklat teknis PUHA mengasah pada kemampuan teknis manajerial serta aplikatif, sehingga perlu menjadi prsayarat standar kompetensi yang mesti dimiliki pejabat yang membidangi perlindungan anak dengan kata lain wajib hukumnya sebagai salah satu prasyarat. Ketiga, perlunya internalisasi perlindungan anak dalam diklat ASN mengingat permasalahan anak menjadi cross cutting issue lintas OPD. Keempat, secara teknis Diklat terkait KLA bisa diperluas secara khusus seperti Diklat Teknis Puskesmas Ramah Anak, Diklat Teknis Sekolah Ramah Anak maupun Diklat Teknis Fasilitasi P2TP2A dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Alex, Sobur, Psikologi Umum, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003, hal. 273 Cahyono, Arie, 2010, Menggagas Pembangunan Yang Berpihak Pada Anak, Catatan Kritis Child Mainstreaming Dalam Pembangunan di Era Otonomi Daerah, Sidoarjo, Jamil Publishing. Cohen, Bruce. J. (1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Denzin, Norman K, Lincoln, Yvona S, The Sage Handbook of Qualitative Research 1, terjemahan Dariyatno, Pustaka Pelajar, 2011, hal 3-4 Deklarasi Anak di Sidang PBB pada Special Session yang ke 27, 10 Mei 2002, Unicef. Jonker, Jan, Barthan JW Pennink, Sari Wahyuni, Metodologi Penelitian, Salemba Empat, 2011, hal 84-85 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016. Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020, Jakarta. Moleong, Lexy, Prof. Dr, Metodologi Penelitian, Remaja Rosda Karya, 2005, hal 5 Patilima, Hamid. (2004). Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota – Studi Kasus Di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia. 64 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Peran Champion Child Right Mainstreaming Dalam Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak Di Jawa Timur Arie Cahyono Susilowati, Umi, dkk, 2003. Pengertian Konvensi Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI & UNICEF, Jakarta. Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, 2009, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritis Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 4. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 65 Analisa PEMBERIAN KOMPENSASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG COMPENSATION TO IMPROVING THE PERFORMANCE OF THE STATE'S CIVIL APPARATUS (ASN) IN LOCAL GOVERNMENT OF MALANG Rendra Kurnia Wardana Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Malang Jl. Tugu No.1, Malang Email : [email protected] Naskah diterima: 15 Juli 2017, Naskah direvisi: 24 Juli 2017, Naskah disetujui: 27 Juli 2017 Abstract As one way of improving performance for the Civil State Apparatus (ASN) is the awarding of compensation provided in a fair, viable and worthy. Nowadays, is taboo in the awarding of compensation received by the same earnings both for a dilligent apparatus and lazy performers. As the organizer of a Government, the Civil State Apparatus (ASN) is expected to improve the performance in itself in order to provide maximum service to the community. Financial and Asset Management Agency Regional of of Malang (BPKAD) is attempting to give a reciprocal form of granting compensation is appropriate for any Civil State Apparatus (ASN) in the Local Government of Malang. The purpose of this research is to know the description of the grant of the compensation received by the Civil State Apparatus (ASN). The method used is descriptive research methods with qualitative approaches. This research result that Local Government strives to compensate for any Civil State Apparatus through the awarding of additional allowances and salaries earnings given each month. Although in practice it still felt has not met the fundamental fairness and equitable income, Local Government seeks to improve the welfare apparatus for the realization of the civil State Apparatus (ASN) which has quality in performing. Keywords : Compensation, Civil State Apparatus (ASN), Improving Performance Abstrak Sebagai salah satu cara peningkatan kinerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah pemberian kompensasi yang diberikan secara adil, pantas dan layak. Pada era saat ini, menjadi hal yang tabu dalam pemberian kompensasi yang diterima dengan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 67 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana besaran yang sama baik bagi aparatur yang rajin dan malas berkinerja. Sebagai penyelenggara pemerintahan, Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan meningkatkan kinerja yang ada pada dirinya dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Badan Pengelola Keuangan Aset Daerah (BPKAD) Kota Malang berupaya untuk memberikan timbal balik berupa pemberian kompensasi yang pantas bagi setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota Malang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran pemberian kompensasi yang diterima oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memberikan hasil bahwa Pemerintah Kota Malang berupaya memberikan kompensasi bagi setiap Aparatur Sipil Negara melalui pemberian gaji dan adanya tambahan tunjangan penghasilan yang diberikan setiap bulan. Meskipun dalam pelaksanaannya masih dirasakan belum memenuhi asas keadilan dan pemerataan pendapatan, Pemerintah Kota Malang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur untuk mewujudkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki kualitas dalam berkinerja. Kata Kunci : Kompensasi, Aparatur Sipil Negara (ASN), Peningkatan Kinerja A. PENDAHULUAN Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, Pemerintah Daerah diberikan keleluasaan berekspresi dalam membangun serta memajukan wilayahnya. Melalui UndangUndang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perkembangan penyelenggaraan pemerintahan semakin dinamis dalam bingkai otonomi daerah, menjadikan provinsi, kabupaten dan kota untuk berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dengan berbagai pendekatan yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberhasilan dalam pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari peran penyelenggara pemerintahan, yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN). Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik serta perekat dan pemersatu bangsa, artinya bahwa Aparatur Sipil Negara memiliki peran sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (Pasal 12 UU nomor 5 Tahun 2014). Melihat peran Aparatur Sipil Negara (ASN) yang vital sebagai sumber daya manusia yang ada di dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri, memberikan penekanan bahwa setiap aparatur yang ada merupakan investasi yang besar bagi organisasi. Menurut Stockey (2003) bahwa human capital merupakan konsep yang menjelaskan manusia dalam organisasi dan bisnis merupakan asset yang penting dan beresensi yang memiliki sumbangan terhadap pengembangan dan pertumbuhan sama seperti halnya asset fisik seperti mesin dan modal kerja. Sikap, skill dan kemampuan manusia memiliki kontribusi 68 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana terhadap kinerja dan produktivitas organisasi. Pengeluaran untuk pelatihan, pengembangan, kesehatan dan dukungan merupakan investasi dan bukan hanya biaya tapi merupakan investasi. Peran yang begitu penting dilaksanakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai ujung tombak pelayanan kepada masyarakat, tentunya dituntut memiliki kinerja yang baik serta memiliki produktivitas kinerja yang tinggi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Dengan tuntutan yang tinggi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) di dalam organisasi pemerintah, perlu adanya upaya dalam mengembangkan serta mengoptimalkan kinerja aparatur dengan mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja pegawai itu sendiri. Salah satunya adalah dengan pemberian kompensasi yang adil, pantas dan layak bagi aparatur untuk meningkatkan produktivitas, kualitas serta pelayanan kepada masyarakat secara maksimal. Bagi sebagian pegawai, harapan untuk mendapatkan uang adalah satu-satunya alasan untuk bekerja, namun yang lain juga berpendapat bahwa uang hanya salah satu faktor dari banyak kebutuhan yang terpenuhi melalui bekerja. Seseorang yang bekerja akan merasa lebih dihargai oleh masyarakat di sekitarnya, dibandingkan yang tidak bekerja. Mereka akan merasa lebih dihargai lagi apabila menerima berbagai fasilitas dan simbol-simbol status lainnya dari organisasi dimana mereka bekerja. Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa kesediaan pegawai untuk mencurahkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tenaga, dan waktunya, sebenarnya mengharapkan adanya imbalan dari organisasinya yang dapat memuaskan kebutuhan dari seorang aparatur. Menurut Yusuf dalam Hendarto (2016:9) menjelaskan arti kompensasi bahwa keseluruhan balas jasa yang diterima oleh pegawai sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaan di organisasi dalam bentuk uang atau lainnya, yang dapat berupa gaji, upah, bonus, insentif dan tunjangan lainnya seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, uang makan, uang cuti dan lainnya. Sedangkan menurut Hasibuan (2002), kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Tujuan pemberian kompensasi antara lain adalah sebagai ikatan kerjasama, kepuasan kerja, pengadaan efektif, motivasi, stabilitas karyawan, disiplin, serta pengaruh serikat buruh dan pemerintah. Menurut Keith Davis dan Werther W.B dalam Sjafri Mangkuprawira (2001:196) kompensasi merupakan sesuatu yang diterima karyawan sebagai penukar dari konstribusi jasa mereka pada perusahaan. Kompensasi yang diberikan secara layak akan menjadi lecutan semangat bagi pegawai untuk berkontribusi secara nyata dan positif terhadap organisasi, mereka akan termotivasi untuk mencapai sasaran dan target yang ditetapkan oleh organisasi. Sebaliknya, apabila kompensasi yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan serta tidak sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, maka rentan bagi pegawai untuk mudah meninggalkan pekerjaannya serta dapat menghambat tercapainya tujuan dari organisasi itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2011) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kompensasi terhadap efisiensi Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 69 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana kepuasan kerja pegawai di Lingkungan Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara. Kemudian dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Agus (2015) bahwa ada pengaruh antara kompensasi kerja dengan kinerja pegawai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur. Walaupun kompensasi yang diterima pegawai Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur memiliki pengaruh positif untuk dapat meningkatkan kinerja pegawai tetapi pengaruh yang terjadi tersebut belumlah maksimal atau belum memenuhi tujuan yang ingin dicapai. Didukung juga penelitian yang diluar negeri yang dilakukan oleh Hamzah, et al (2014) menjelaskan bahwa adanya rekruitmen, seleksi karyawan serta pemberian kompensasi yang adil akan meningkatkan kinerja pegawai di Malaysian Skills Institute (MSI). Di dalam penelitian ini merekomendasikan adanya peningkatan mutu dalam rekruitmen pegawai, serta seleksi karyawan dan pemberian kompensasi bagi para pegawai MSI. Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hassan (2016) menjelaskan bahwa Studi tersebut mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara sumber daya manusia (SDM) dengan praktek (kompensasi, perencanaan karir, penilaian kinerja, pelatihan, dan keterlibatan karyawan) serta kinerja karyawan pada perusahaan Industri Tekstil di Pakistan. Studi tersebut mengungkapkan bahwa kinerja karyawan dapat ditingkatkan dengan memberikan karyawan kesempatan untuk mengambil keputusan yang efektif. Pelatihan dan keterlibatan karyawan menjadi hal yang positif bagi organisasi. Dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia apabila dilaksanakan dengan baik maka dapat meningkatkan tingkat kinerja karyawan. Penelitian ini merekomendasikan kinerja dalam pekerjaan harus dipertimbangkan sebagai faktor penting untuk menentukan kompensasi kinerja karyawan. Manajemen harus menghargai kontribusi dan ide-ide yang dimiliki oleh karyawan dan memberdayakan karyawan untuk memaksimalkan kemampuan individunya dalam membuat keputusan yang efektif. Pemerintah Kota Malang sebagai penyelenggara urusan pemerintah daerah yang berkedudukan di wilayah Kota Malang memiliki hak otonomi daerah, salah satunya adalah mengelola aparatur daerah. Dalam konteks pemerintah daerah, aparatur daerah dapat bekerja dengan baik apabila kompensasi yang diberikan kepadanya dapat mendukung kebutuhan hidupnya. Di samping itu latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja pegawai juga berpengaruh terhadap perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kompensasi yang diberikan dalam bentuk gaji yang diberikan kepada pegawai negeri dirasakan belum memadai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, Pemerintah Kota Malang berupaya memberikan kompensasi tambahan berupa tunjangan penghasilan per bulan yang diberikan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Malang sebagai upaya dari pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada aparatur daerah. Berdasarkan uraian di atas, mendasari penulis untuk melakukan penelitian terkait pemberian kompensasi dalam meningkatkan kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kota Malang, sedangkan rumusan masalah adalah apa dan bagaimana kompensasi yanag diberikan Pemerintah Kota Malang kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Malang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk 70 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana mendeskripsikan serta mengetahui bentuk bentuk kompensasi yang diberikan Pemerintah Kota Malang kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Malang. B. LANDASAN TEORI a. Definisi Kompensasi Tujuan dari seseorang ingin bekerja adalah untuk mendapatkan gaji serta menghidupi keluarganya dengan layak. Pekerjaan yang mereka lakukan pada intinya agar mereka mendapat imbalan yang pantas atas jerih payah yang telah mereka keluarkan. Memang, tidak semua orang beranggapan bahwa bekerja hanya untuk mendapatkan imbalan uang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa setidaknya gaji yang didapatkan menjadi faktor penting bagi seseorang untuk mau bekerja. Dengan mendapatkan gaji yang lebih tinggi, maka pengakuan terhadap kinerja mereka begitu diapresiasi oleh organisasi, meskipun tidak serta merta akan meningkatkan produktivitas serta tercapainya tujuan organisasi karena kompensasi merupakan salah satu faktor dari beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Menurut Samsudin dalam Hendarto (2016:9) kompensasi adalah setiap bentuk pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari pekerjaannya karyawan itu. Sedangkan menurut Handoko dalam Supardy, et al (2014:6), menyatakan bahwa berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan). Menurut Rivai (2004 : 358) kompensasi terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut : 1. Kompensasi Finansial, Kompensasi finansial terdiri atas dua yaitu kompensasi langsung dan kompensasi tidak langsung (tunjangan). a. Kompensasi finansial langsung terdiri atas pembayaran pokok (gaji, upah), pembayaran prestasi, pembayaran insentif, komisi, bonus, bagian keuntungan, opsi saham, sedangkan pembayaran tertangguh meliputi tabungan hari tua, saham komulatif. b. Kompensasi finansial tidak langsung terdiri atas proteksi yang meliputi asuransi, pesangon, sekolah anak, pensiun. Kompensasi luar jam kerja meliputi lembur, hari besar, cuti sakit, cuti hamil, sedangkan berdasarkan fasilitas meliputi rumah, biaya pindah, dan kendaraan. 2. Kompensasi Non Finansial. Kompensasi non finansial terdiri atas karena karir yang meliputi aman pada jabatan, peluang promosi, pengakuan karya, temuan baru, prestasi istimewa, sedangkan lingkungan kerja meliputi dapat pujian, bersahabat, nyaman bertugas, menyenangkan dan kondusif. Seperti yang terlihat pada kerangka sebagai berikut : Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 71 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana Gambar 1. Kerangka Kompensasi Menurut J. Long dalam Supardy, et al (2014) dalam modul yang berjudul Kompensasi mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian (parsial) dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luaEkuits maka sistem kompensasi tidak dapat terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi. Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua jenis reward tersebut adalah : a. Ekstrinsik kompensasi, yang memuaskan kebutuhan dasar untuk survival dan Security dan juga kebutuhan sosial dan pengakuan. Pemuasan ini diperoleh dari faktor-faktor yang ada di sekeliling para karyawan di sekitar pekerjaannya, misalnya : upah, pengawasan, co worker dan keadaan kerja. b. Intrinsik kompensasi, yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya untuk kebanggaan, penghargaan, serta pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman/variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilai-nilai organisasional. Tujuan pemberian kompensasi menurut Institute of International Management Science (2012), menyebutkan tujuan dari kompensasi adalah : a. Keadilan; b. Menarik Sumber Daya Manusia (SDM); 72 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana c. d. e. f. g. Mempertahankan SDM; Kepastian keadilan; Perilaku baru yang diinginkan; Kontrol biaya ; Kepatuhan terhadap hukum; h. Kemudahan penggunaan. b. Aparatur Pemerintah Setiap organisasi memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai penggerak roda organisasi dalam rangka mencapai tujuan dari organisasi. Menurut A.W. Widjaja (2006:113) dalam bukunya “Administrasi Kepegawaian” berpendapat bahwa : “Pegawai adalah merupakan tenaga kerja manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal pokok dalam usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi)”. Pengertian lainnya menurut Salam (2004,h.169) menjelaskan bahwa: “aparatur pemerintah adalah pekerja yang digaji pemerintah melaksanakan tugas- tugas teknis pemerintahan melakukan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan ketentuan yang berlaku”. Dapat disimpulkan bahwa aparatur pemerintah adalah pegawai yang diberikan gaji oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya untuk mencapai tujuan pemerintahan itu sendiri yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. c. Pengertian Kinerja Istilah kinerja berasal dari kata Job performance atau performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang (Mangkunegara, 2008:67). Biasanya orang yang kinerjanya tinggi disebut orang yang produktif dan sebaliknya orang yang tingkat kinerjanya tidak mencapai standar dikatakan sebagai orang yang tidak produktif atau berperforma rendah. Kinerja merupakan catatan keluaran akhir pada suatu fungsi jabatan atau seluruh aktivitas kerja dalam suatu periode tertentu yang merupakan kombinasi antara kemampuan dan usaha untuk menghasilkan apa yang dikerjakan, kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan atau kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi (Nasution, 2005). Menurut (Hasibuan 2004 : 94) Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Menurut Maryoto, (2000:91), kinerja karyawan adalah hasil kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misal standar, target/sasaran atau kriteria yang telah disepakati bersama. Gibson (1996:70) menyatakan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku. Kinerja individu merupakan dasar dari kinerja organisasi. Kinerja adalah tingkat terhadap para pegawai dalam mencapai persyaratan pekerjaan secara efisien dan efektif (Simamora, 2006:34). Kinerja pegawai merupakan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 73 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang dapat dilihat secara nyata dengan standar kerja yang telah ditetapkan organisasi. Kemudian Robbins (2008) mendefinisikan kinerja yaitu suatu hasil yang dicapai oleh pegawai dalam pekerjaanya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan. Robbins berpendapat bahwa kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O); artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Moeheriono, 2009). Berdasarkan pengertian kinerja dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan erat kaitannya dengan hasil pekerjaan seseorang dalam suatu organisasi atau perusahaan. Hasil dari pekerjaan tersebut dapat menyangkut kualitas pekerjaan, kuantitas, kemampuan dalam bekerjasama dan ketepatan waktu. d. Penilaian Kinerja Meggison (Mangkunegara, 2005:9) mendefinisikan evaluasi/penilaian kinerja adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya, Andew E. Sikula yang dikutip Mangkunegara (2000:69) mengemukakan bahwa penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa objek orang ataupun sesuatu (barang). Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak (2005:105) yang menyatakan evaluasi kinerja adalah penilaian pelaksanaan tugas (performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit kerja organisasi atau perusahaan. Penilaian kinerja adalah salah satu tugas yang perlu dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan. Penilaian kinerja faktor kunci dalam mengembangkan organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Kegiatan penilaian kinerja menjadi pentingkarena dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang kinerja mereka. e. Manfaat dan Tujuan Penilaian Kinerja Hasil dari penilaian kinerja merupakan hal yang bermanfaat dalam menentukan perencanaan kebijakan organisasi ke depan. Menurut Mangkunegara (2005:11), manfaat dari penilaian kinerja adalah : 1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa; 2. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya 3. Sebagai dasar mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan; 4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan; 5. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang ada di dalam organisasi; 74 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana 6. Sebagai kriteria menentukan, seleksi, dan penempatan karyawan; 7. Sebagai alat memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan; 8. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description). Menurut Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa manfaat evaluasi kinerja adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan Kinerja. Terutama bila hasil evaluasi kinerja menunjukkan kinerja seseorang rendah atau dibawah standar yang telah ditetapkan, maka orang yang bersangkutan dan atasannya akan segera membuat segala upaya untuk meningkatkan kinerja tersebut, misalnya dengan bekerja lebih keras dan tekun. Untuk itu, setiap pekerja perlu menyadari dan memiliki kemampuan tertentu sebagai dasar untuk mengembangkan diri lebih lanjut, keinginan untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan kerja, sikap tertarik pada pekerjaan dan etos kerja yang tinggi, dan keyakinan untuk berhasil. 2. Pengembangan SDM. Evaluasi kinerja sekaligus mengidenfikasi kekuatan dan kelemahan setiap individu, serta potensi yang dimilikinya. Dengan demikian manajemen dan individu dimaksud dapat mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan dan potensi individu yang bersangkutan, serta mengatasi dan mengkompensasi kelemahan – kelemahannya melalui program pelatihan. Manajemen dan individu, baik untuk memenuhi kebutuhan perusahaan atau organisasi, maupun dalam rangka pengembangan karier mereka masing- masing. 3. Pemberian Kompensasi. Melalui evaluasi kinerja individu, dapat diketahui siapa yang memberikan kontribusi kecil dalam pencapaian hasil akhir organisasi atau perusahaan. Pemberian imbalan atau kompensasi yang adil haruslah didasarkan kepada kinerja atau kontribusi setiap orang kepada perusahaan. Pekerja yang menampilkan evaluasi kinerja yang tinggi patut diberi kompensasi, antara lain berupa: pemberian penghargaan dan atau uang ; pemberian bonus yang lebih besar daripada pekerja lain, dan atau percepatan kenaikan pangkat dan gaji. 4. Program Peningkatan Produktivitas. Dengan mengetahui kinerja masing-masing individu, kekuatan dan kelemahan masing-masing serta potensi yang mereka miliki manajemen dapat menyusun program peningkatan produktivitas perusahaan. 5. Program Kepegawaian. Hasil evaluasi kinerja sangat bermanfaat untuk menyusun program-program kepegawaian, termasuk promosi, rotasi dan mutasi, serta perencanaan karier pegawai. 6. Menghindari Perlakuan Diskriminasi. Hasil evaluasi kinerja dapat menghindari perlakuan diskriminasi dan kolusi, karena setiap tindakan kepegawaian akan didasarkan kepada kriteria obyektif, yaitu hasil evaluasi kinerja. Dapat disimpulkan secara garis besar bahwa manfaat penilaian kinerja adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan potensi dari sumber daya manusia yang ada di dalam organisasi; Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 75 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana b. Mengukur kemampuan pegawai dalam bekerja sebagai dasar pemberian reward maupun punishment bagi pegawai; c. Sebagai alat evaluasi secara keseluruhan untuk pegawai maupun organisasi dalam rangka penentuan perencanaan kebijakan-kebijakan organisasi ke depan. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni untuk membuat gambaran mengenai situasi atau fenomena. Metode penelitian kualitatif sebagaimana yang diungkapkan Bogdan dan Taylor (L.J. Moleong, 2011:4) sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu, metode penelitian kualitatif menurut Syaodih Nana, (2007:60) adalah cara untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Lokasi penelitian berada pada lingkungan Pemerintah Kota Malang dengan mengkaji pemberian kompensasi yang diberikan kepada aparatur sipil negara (ASN) Kota Malang melalui penghitungan beban kerja serta pembobotan yang dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Malang. Metode yang digunakan dalam rangka pengumpulan data, diantaranya: 1. Studi Literatur, merupakan pengumpulan bahan referensi, acuan, dan identifikasi awal dalam kajian yaitu berupa kajian-kajian lainnya yang relevan, jurnal-jurnal baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dan juga perundangundangan atau peraturan-peraturan pemerintah yang relevan dengan fokus kajian. 2. Metode wawancara mendalam (in-depth interview) dilaksanakan untuk lebih menggali informasi yang lebih detail dan mendalam dari output yang diinginkan. D. PEMBAHASAN a. Dasar Perhitungan Kompensasi Menurut Gomez-Mejia, et al. (1995), dasar perhitungan kompensasi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu menggunakan pendekatan pekerjaan atau jabatan (job-based approaches) dan menggunakan pendekatan keterampilan (skill- based approaches). 1. Kompensasi berdasarkan jabatan atau pekerjaan Ada tiga komponen kunci untuk mengembangkan rencana kompensasi berdasarkan jabatan. Pertama, mewujudkan keadilan internal melalui evaluasi jabatan; kedua, mewujudkan keadilan eksternal melalui survei pasar; dan ketiga, mencapai keadilan individu (Gomez-Mejia, et al., 1995). Metode evaluasi jabatan memusatkan diri pada jabatan sebagai unit kepentingan. Beberapa metode mengevaluasi jabatan secara keseluruhan, sedangkan beberapa lainnya menggunakan faktor-faktor yang dapat dikompensasi. Metode evaluasi jabatan yang sudah sangat populer dipakai untuk mengevaluasi posisi eksekutif, manajer dan professional maupun posisi teknik, administrasi dan manufaktur adalah metode Hay Guide Chart-Profile. 76 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana Secara operasional, sistem ini mengandalkan tiga faktor utama yang bisa dikompensasi, yaitu pemecahan masalah (problem solving), kecakapan (know how) dan pertanggungjawaban (accountability). Menurut metode ini, faktor-faktor yang penting mempunyai nilai tinggi, sedangkan faktor-faktor yang kurang penting mempunyai nilai yang lebih rendah. Evaluasi jabatan ini hanya untuk internal organisasi bukan untuk menghitung tingkat upah di pasar atau organisasi lain. Selain itu evaluasi jabatan ini hanya fokus pada nilai tugas masing-masing jabatan, bukan pada orang yang melaksanakannya (Schuler dan Jackson, 1999; Gomez-Mejia et al., 1995). 2. Kompensasi berdasarkan keterampilan Para akademisi dan konsultan menegaskan bahwa pembayaran kompensasi berdasarkan jabatan dapat dengan mudah disalahgunakan dan sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan pada dewasa ini. Menurut Bridges (1994), Murlis dan Fitt (1991) dalam Schuler dan Jackson (1999), pendekatan- pendekatan kompensasi berdasarkan jabatan yang konvensional: (1) Mendukung organisasi hierarkis kaku yang menekan motivasi serta kreativitas pegawai, (2) Beranggapan bahwa orang adalah komoditas yang dapat dibentuk untuk “cocok dengan” peran-peran yang telah ditentukan, (3) Tidak cocok untuk organisasi yang lebih ramping saat ini, dimana tim-tim kecil dan fleksibel yang terdiri dari orang-orang dengan aneka keterampilan secara ekonomis lebih masuk akal daripada sejumlah individu dengan satu keterampilan, (4) Tidak cocok dalam sektor jasa, dimana keberhasilan masa depan terletak pada pengetahuan yang dimiliki pekerja ketimbang jabatan yang diberikan kepada mereka. Menurut Lawler (1983), alasan digunakannya keterampilan sebagai dasar perhitungan kompensasi adalah : (a) Pegawai yang berkemampuan tinggi atau yang mampu mengembangkan keterampilannya dapat menerima kompensasi yang lebih tinggi, walaupun jabatannya tetap. (b) Nilai individu akan lebih tersorot daripada nilai pekerjaan yang dilakukannya. Pegawai yang memiliki kemampuan dan keterampilan tentu akan tertarik pada organisasi yang memberikan kompensasi berdasarkan kemampuan dan keterampilan, sebab pada umumnya pegawai yang mempunyai keterampilan lebih, mengharapkan kompensasi yang lebih banyak pula. Menurut Dessler (2000) terdapat empat perbedaan antara kompensasi berdasarkan keterampilan (skill-based pay) dan kompensasi berdasarkan pekerjaan atau jabatan (jobbased pay) yaitu: tes kompetensi, efek perubahan jabatan, senioritas, dan peluang promosi. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 77 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana b. Kriteria Tambahan Penghasilan Berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan berdasarkan beban kerja kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), kriteria tambahan penghasilan PNS berdasarkan sebagai berikut : 1. PNS yang telah melakukan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan ketentuan hari dan jam kerja efektif diberikan Tambahan Penghasilan berdasarkan beban kerja. 2. Diberikan kepada PNS berdasarkan besaran bobot jabatan masing masing PNS dan besaran harga yang telah ditetapkan. 3. 3. Bobot jabatan untuk masing-masing jabatan dan besaran harga untuk setiap satuan bobot jabatan dalam rangka pemberian tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja yang diterima oleh PNS ditetapkan dalam Keputusan Walikota. 4. Jumlah Tambahan Penghasilan berdasarkan beban kerja yang diterima oleh PNS setiap bulan diperoleh dari hasil perkalian antara bobot jabatan dengan besaran harga untuk setiap satuan bobot jabatan yang telah ditetapkan. c. Ketentuan Pemberian Tambahan Penghasilan Pegawai Tambahan penghasilan selain berdasarkan beban kerja, juga dipengaruhi oleh tingkat kehadiran aparatur sipil negara (ASN) yang ditentukan berdasarkan indikator pegawai yang meliputi : 1. Keterlambatan masuk kerja; 2. Kepulangan mendahului jam pulang kerja; 3. Ketidakhadiran kerja. Dalam melakukan penghitungan tingkat kehadiran PNS dinas luar, meliputi mengikuti diklat, melaksanakan perjalanan dinas luar daerah/negeri dan melaksanakan tugas kedinasan lainnya, dihitung sebagai hari masuk kerja. Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja, tidak diberikan kepada : 1. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS); 2. Tenaga pendidik/guru/kepala sekolah/pengawas sekolah/penilik/pamong belajar; 3. PNS yang diberhentikan sementara/dinonaktifkan; 4. PNS yang diberhentikan dengan hormat atau tidak hormat; 5. PNS yang diperbantukan/dipekerjakan/dititipkan pada Badan/Instansi lain di luar lingkungan Pemerintah Daerah; 6. PNS yang melaksanakan tugas belajar; 7. PNS yang diberikan cuti di luar tanggungan negara atau dalam bebas tugas untuk menjalani masa persiapan pensiun; 8. PNS dengan status titipan di luar lingkungan Pemerintah Daerah; dan 9. PNS pindahan dari instansi lain di tahun anggaran berjalan. d. Metode Penghitungan Indikator kehadiran PNS yang terlambat 1. Terlambat sampai dengan 30 menit tanpa keterangan sah. TL 1 = 100 – (0,5 x jumlah hari keterlambatan) 78 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana 2. Terlambat lebih dari 30 menit sampai 60 menit tanpa keterangan sah. TL 2 = 100 – (1 x jumlah hari keterlambatan) 3. Terlambat lebih dari 60 menit sampai 90 menit tanpa keterangan sah. TL 3 = 100 – (1,25 x jumlah hari keterlambatan) 4. Terlambat lebih dari 90 menit tanpa keterangan sah dan/tidak mengisi daftar hadir masuk kerja. TL 4 = 100 – (1,5 x jumlah hari keterlambatan) Indikator kehadiran PNS yang pulang sebelum waktunya 1. Pulang sebelum waktunya sampai dengan 30 menit tanpa keterangan sah. PSW 1 = 100 – (0,5 x jumlah hari keterlambatan) 2. Pulang sebelum waktunya lebih dari 30 menit sampai 60 menit tanpa keterangan sah. PSW 2 = 100 – (1 x jumlah hari keterlambatan) 3. Pulang sebelum waktunya dari 60 menit sampai 90 menit tanpa keterangan sah. PSW 3 = 100 – (1,25 x jumlah hari keterlambatan) 4. Pulang sebelum waktunya lebih dari 90 menit tanpa keterangan sah dan/tidak mengisi daftar hadir masuk kerja. PSW 4 = 100 – (1,5 x jumlah hari keterlambatan) Indikator ketidakhadiran PNS 1. Tidak hadir karena sakit dengan dilampiri surat keterangan sakit dari dokter. S = 100 – (4 x jumlah hari ketidakhadiran) 2. Tidak hadir karena cuti tahunan, cuti besar, cuti bersalin dan cuti karena alasan penting. C = 100 – (4 x jumlah hari ketidakhadiran) 3. Tidak hadir karena cuti sakit dengan dilampiri surat keterangan sakit dari dokter. CS = 100 – (3 x jumlah hari ketidakhadiran) 4. Tidak hadir karena ijin dilampiri dengan surat ijin. I = 100 – (5 x jumlah hari ketidakhadiran) 5. Tidak hadir tanpa keterangan yang sah. TK = 100 – (6 x jumlah hari ketidakhadiran) Prestasi kehadiran dirumuskan sebagai berikut : Prestasi kehadiran = 100 – {1300 – (Jumlah TL (1-4) + Jumlah PSW (1-4) + S + C + CS + I + TK)} Sehingga besaran Tambahan Penghasilan yang diberikan PNS dapat dirumuskan sebagai berikut : TP PNS = (prestasi kehadiran/100) x poin bobot jabatan x harga satuan bobot jabatan Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 79 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana E. PENUTUP Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Pemerintah Kota Malang berupaya memberikan kompensasi bagi setiap Aparatur Sipil Negara melalui pemberian gaji dan adanya tambahan tunjangan penghasilan yang diberikan setiap bulan. Meskipun dalam pelaksanaannya masih dirasakan belum memenuhi asas keadilan dan pemerataan pendapatan, Pemerintah Kota Malang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur sipil negara (ASN) Kota Malang. 2. Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Malang akan memberikan peluang dalam penambahan kompensasi bagi ASN dengan menimbang kemampuan belanja Pemerintah Kota Malang. 3. Setiap kompensasi yang diberikan kepada ASN memberikan kewajiban bagi aparatur untuk bekerja secara maksimal dalam rangka pemberian pelayanan yang maksimal kepadda masyarakat serta tujuan pembangunan daerah dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Al Qudah, Hamzah M, Dr. Abdullah Osman, Hamzah Edris. The Effect Of Human Resources Management Practices On Employee Performance. INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH VOLUME 3, ISSUE 9, SEPTEMBER 2014. Anwar Prabu Mangkunegara. 2005. Evaluasi Kinerja. Bandung : Refika Aditama Artha Wijaya, Regieansyah. 2014. Pengaruh Kemampuan dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variavel Moderasi di Universitas Komputer Indonesia, Universitas Komputer Indonesia, Bandung. Dessler, G. 2000. Human Resource Management. 8th edition. New Jersey: Prentice- Hall, Inc.GomezHandoko, T. Hani. (2000). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta: BPFE Hassan, Saira. 2016. Impact of HRM Practices on Employee’s Performance. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences Vol.6, No.1, January 2016, pp. 15–22. Hasibuan, Malayu SP, 2002. Perilaku Manajemen Organisasi. Bumi Aksara. Jakarta. Hendarto, M. Arief. 2016. Pengaruh Kompensasi Finansial, Gaya Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan di PT IDK 1 Medan. FIE-USU. Universitas Sumatera Utara. Mangkuprawira, Sjafri, Drs., Ir. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Marandeka, Agus. 2015. Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Kalimantan Timur. eJournal Ilmu Administrasi Bisnis, 2015, 3 (2): 507-518 ISSN 2355-5408, ejournal.adbisnis.fisip-unmul.ac.id Mejia, L.R., D.B. Balkin, dan R.L. Cardy. 1995. Managing Human Resources. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Mondy, R.W., R.M. Noe, dan S.R. Premeaux. 1999. Human Resource Management. 7th edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 80 Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 Pemberian Kompensasi Dalam Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) Di Lingkungan Pemerintah Kota Malang Rendra Kurnia Wardana Pariaribo, Noack (2014). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Pegawai Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Di Kabupaten Supiori. Thesis, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Rival, Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Rajawali Pers Schuler, R.S., dan S.E. Jackson. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia: Menghadapi Abad Ke-21. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Safitri, Dewi. 2011. Pengaruh Kompensasi Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai (Studi Pada Kantor Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Ilmu Administrasi. Universitas Sumatera Utara. Simanjuntak, Payaman J. 2005. Manajemen dan Evaluasi Kerja. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Wijayanti, Dwi Wahyu. 2012. Pengaruh Kepemimpinan Dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Daya Anugerah Semesta Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Zusnita, Wa Ode. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan. Pekbis Jurnal, Vol.6, No.1, Maret 2014: 1-13. Jurnal Kompetensi Aparatur/Volume 1/No. 1/2017 81