perilaku etis dalam pengambilan keputusan akuntan

advertisement
PERILAKU ETIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN AKUNTAN DALAM PERSPEKTIF
ETIKA ISLAM
Hadi Pramono
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Abstract
The existention of public accountant profession will impact to the countries economic
condition. Economic problems (economic crisis) and phenomena in a country can also
influenced by the mistakes that made by the public acc ountants when they giving information
about company financial performances. The mistakes mislead the financial community and the
government, that they will also made mistakes in the decision making process.
The principles, parameters, and philosophy axioms in Islam ethics do not make
controversy with the accountant ethics profession, about the profession responsibility, general
interest, itegrity, objectivity, competency and professional prudencity, secrecy, professional
behaviour, and technical standards. If the Islam ethics combine with the public accountant
ethics profession values, there will create good social system, because Islam also emphasize to
the equilibrium and wholesome, as a horizontal dimension in Islam.
Kata kunci : Islam ethics, ethics beh avior, public accountant
A. Pendahuluan
P
erilaku beretika diperlukan oleh
masyarakat agar semua sisi kehi dupan dapat berjalan dengan baik
dan teratur. Kebutuhan akan etika
dalam masyarakat penting, sehingga banyak
diantara nilai-nilai etika yang dimasukkan
dalam undang-undang. Walaupun ada
beberapa nilai etika dalam masyarakat tidak
dapat dimasukkan dalam undang -undang
karena sifat nilai tertentu yang memerlukan
pertimbangan.
Sebagian
orang
mendefinisikan perilaku tidak ber -etika
sebagai perilaku yang berbeda dari sesuatu
yang seharusnya dilakukan.
Terdapat
dua alasan utama mengapa orang tidak
beretika:
1. Standar etika seseorang berbeda dari
masyarakat secara keselu-ruhan
2. Seseorang
memutuskan
untuk
bertindak semaunya. (Arens, 1993)
Sebagaimana profesi yang lain,
profesi akuntan di Indonesia pada masa
yang akan datang menghadapi tantangan
yang semakin berat. Untuk itu persiapan
yang berkaitan dengan profesionalisme
profesi mutlak diperlukan. Seseorang
akuntan dikatakan profesional apabila
memenuhi tiga syarat, yaitu: berkeahlian
(skill), berpengetahuan dan berkarakter
(Ludigdo 1999).
Karakter menunjukkan personality
seorang profesional, yang diantaranya
diwujudkan dalam sikap dan tindakan
etisnya. Sikap dan tindakan etis akuntan
akan sangat menentukan posi sinya di
masyarakat pemakai jasa profesionalnya.
Hal ini pada akhirnya akan menentukan
keberadaannya dalam peta persaingan di
antara rekan profesi dari negara lainnya.
Berkembangnya profesi akuntan
telah banyak diakui oleh berbagai kala ngan. Kebutuhan dunia usaha, pemerintah,
dan masyarakat luas akan jasa akuntan
inilah yang menjadi pemicu perkembangan
tersebut. Namun demikian, masyarakat
belum sepenuhnya menaruh kepercayaan
terhadap profesi akuntan. Krisis keper cayaan yang menimpa akuntan di Indonesia
semakin terlihat jelas seiring dengan
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
Masalah utama yang paling sering
dipersoalkan dalam masalah ketidak
percayaan ini adalah etika profesi dari para
akuntan tersebut dalam melaksanakan
pekerjaannya. Hal ini tentu ber kaitan
dengan proses kerja dan pengambilan
keputusan akuntan dalam menjalankan
tugas profesinya, misalnya memberikan
pendapat atas laporan keuangan suatu
entitas ekonomi yang diperiksanya. Hasil
dari pengambilan keputusan akuntan publik
yang berupa opini mengenai kewa-jaran
atas suatu laporan keuangan ini yang
dijadikan dasar dalam pengambilan kepu tusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (suatu entitas
ekonomi) yang mengeluarkan laporan
keuangan ini, misalnya pemerintah,
investor, kreditur dan pengguna yang
lainnya. Jika krisis yang terjadi di Indonesia
dikaitkan dengan kesalahan akuntan publik,
seperti pernyataan yang dike -luarkan oleh
Megawati Soekarnoputri pada saat masih
menjadi presiden, ini tentunya berkaitan
dengan kesalahan pengambilan keputusan
akuntan publik dalam mem -berikan
pendapatnya atas laporan keuangan atau
kondisi keuangan dari perusahaan yang
diaudit. Problema ini tentu berkaitan
dengan berbagai praktek pelanggaran moral
yang dilakukan oleh akuntan sebagaimana
laporan Dewan Kehormatan IAI dan
pengurus Pusat IAI.
Pengambilan keputusan adalah
unsur yang penting dalam kehidupan
organisasi. Individu (misalnya, akuntan)
maupun organisasi (maisalnya, kantor
akuntan publik) selalu berhubungan dengan
tahapan pengambilan keputu san dalam
kegiatannya. Pengambilan kepu -tusan yang
tidak tepat akan menimbulkan masalah di
kemudian hari, untuk itu dalam mengambil
keputusan dituntut kehati -hatian dan
kecermatan.
Peran Akuntan Publik dalam Pereko -nomian
Profesi akuntan publik dikenal o leh
masyarakat dari jasa audit yang disediakan
bagi pemakai informasi keuangan. Pihak pihak di luar perusahaan memerlukan
informasi mengenai perusahaan untuk
pengambilan keputusan tentang hubungan
mereka dengan perusahaan, dan pada
umumnya dalam pengambila n keputusan
mereka mendasarkan pada informasi yang
disediakan oleh manajemen dalam laporan
keuangan perusahaan.
Jadi terdapat dua kepentingan yang
berlawanan dalam situasi yang seperti ini, di
satu pihak manajemen peru -sahaan ingin
menyampaikan
informasi
mengenai
pertanggungjawaban pengelo -laan dana
yang berasal dari pihak luar, di pihak lain,
pihak luar perusahaan ingin memperoleh
informasi yang andal dari manajemen
perusahaan
mengenai
per tanggungjawaban dana yang mereka
investasikan. Oleh karena itu Aku ntan
publik didalam melaksanakan pekerjaan
senantiasa berpedoman dengan standar
professional akuntan publik (SPAP) sehingga
didalam kinerjanya selalu tetap di dalam
etika profesi.
Etika, Moral dan Etika Profesi Akuntan
Etika, dalam bahasa latin "ethica",
berarti falsafah moral. Ia merupakan
pedoman cara bertingkah laku yang baik
dari sudut pandang budaya, susila serta
agama. Sedangkan menurut Keraf (1997),
etika secara harfiah berasal dari kata Yunani
ethos (jamaknya: ta etha), yang artinya
sama persis dengan moralitas, yaitu adat
kebiasaan yang baik. Adat kebiasaan yang
baik ini lalu menjadi sistem nilai yang
berfungsi sebagai pedoman dan tolak ukur
tingkah laku yang baik dan buruk.
Barney (1992 dalam Beekun 1997),
menyatakan :
“Ethics may be defined as th e set of moral
principles that distinguish what is right from
what is wrong. It is a normative field
because it prescribes what one should do or
abstain from doing."
Etika ini menurut Beekun (1997)
adalah studi yang bersifat normatif sebab
etika menjelaskan apa yang seharusnya
dilakukan seseorang dan apa yang seha rusnya tidak dilakukan seseorang.
Sedangkan etika bisnis, didefi nisikan Beekun sebagai “ management
ethics or organizational ethics”, yaitu etika
manajemen atau etika organisasional, yang
cakupannya menurut Beekun secara
sederhana terbatas pada organisasi organisasi bisnis.
Sedangkan Kell (1992), berpen dapat bahwa etika profesi lebih daripada
prinsip-prinsip moral. Etika profesi men cakup standar-standar sikap bagi seorang
profesional yang didesin baik praktkan
maupun edalistik.
Istilah etika jika dilihat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1998), memiliki
tiga arti, yang salah satunya adalah nilai
mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masya -rakat. Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa etika merupakan sepe -rangkat
aturan / norma / pedoman yang mengatur
perilaku manusia, baik yang harus dilakukan
maupun yang harus ditinggalkan yang
dianut oleh sekelompok/ segolongan
manusia/masyarakat/ profesi.
Chua dkk. 1994 (dalam Ludigdo
1999) mengungkapkan bahwa etika profe sional juga berkaitan dengan perilaku
moral. Dalam hal ini perilaku moral lebih
terbatas pada pengertian yang meliputi
kekhasan pola etis yang diharapkan untuk
profesi tertentu.
Setiap profesi yang member ikan
pelayanan jasa pada masyarakat harus
memiliki kode etik yang merupakan sepe rangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur
tentang perilaku profesional. Alasan yang
mendasari
diperlukannya
perilaku
profesional yang tinggi pada setiap profesi
adalah kebutuhan akan keper-cayaan publik
terhadap kualitas jasa yang diberikan
profesi terlepas dari yang dila -kukan secara
perorangan.
Kepercayaan masyarakat terhadap
kualias jasa profesional akan meningkat, jika
profesi mewujudkan standar kerja dan
perilaku yang tinggi dan memenuhi semua
kebutuhan. Etika meliputi sifat –sifat
manusia yang disiplin atas diri sendiri mele bihi
persyaratan/kewajiban
menurut
undang–undang. Bagi akuntan, kode etik
merupakan prinsip moral yang mengatur
hubungan antara sesama rekan akuntan
dengan para langganannya serta hubungan
antara sesama rekan dengan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat, pemerintah dan
dunia usaha terhadap cara pelaporan,
nasehat yang diberikan, serta jasa -jasa yang
diberikan ditentukan oleh keahlian,
kebebasan tindakan dan pikiran, serta
integritas moral.
Moral mengajarkan bagaimana
orang harus bersikap, ajaran moral berisi
rumusan-rumusan sistematik terhadap
anggapan tentang hal-hal yang bernilai
serta kewajiban manusia, baik sebagai
pribadi, sebagai anggota masyarakat
maupun sebagai auditor. Dalam hubungan
ini, berdasarkan nilai-nilai tradisional terdapat tiga sistem norma moral, yaitu:
1. Norma berdasarkan keyakinan akan
kewajiban mutlak (antologis),
2. Norma berdasarkan tujuan perbuatan
(teleologis), dan
3. Norma berdasarkan hubungan-hubungan dengan orang lain (relasional).
Untuk mencari kebenaran moral
yang tepat atau etika yang benar, maka
ketiga sistem norma tersebut biasanya
dipadukan. Penilaian moral atas sikap dan
perbuatan harus dilihat dari kewajiban yang
muncul, baik dari keyakinan akan
kewajibannya sendiri, tujuan yang hendak
dicapai, maupun dari suatu hubungan
dengan sesama yang tercermin dalam sikap,
tingkah-laku
atau
tindakan
yang
bersangkutan. Dengan cara demikian etika
dan moral dapat dijadikan pedoman, baik
dalam menjalankan tugas selaku auditor
maupun dalam bermasyarakat. Moralitas
merupakan salah satu instrumen kema syarakatan, yang tidak hanya serupa dengan
hukum di satu pihak dan konvensi atau
etika di lain pihak, bahkan memiliki
pertimbangan-pertimbangan yang jauh
lebih tinggi tentang apa yang disebut
kebenaran, kewajiban, dan keharusan.
Moralitas dapat mengatur sampai sebe rapa jauh seseorang memiliki dorongan
untuk melaksanakan tindakan -tindakannya
sesuai dengan etika dan moral. (Sotedjo,
2003).
Etika profesi akuntan di Indonesia
diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia.
Kode Etik ini mengikat para anggota IAI di
satu sisi dan dapat dipergunakan oleh
akuntan lainnya yang bukan atau belum
menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Kode Etik
Akuntan Indonesia yang baru tersebut
terdiri dari tiga bagian (Prosiding kongres
VIII, 1998), yaitu :
1. Kode Etik Umum. Terdiri dari 8 prinsip
etika profesi, yang merupakan landasan
perilaku etika profesional, memberikan
kerangka dasar bagi Aturan Etika, dan
mengatur pelaksa-naan pemberian jasa
profesional oleh anggota, yang meliputi
:
Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan
Umum, Integritas, Obyektifitas, Kom petensi dan Kehati-hatian Profesionalnya,
Kerahasiaan,
Perilaku
Profesional, dan Standar Teknis.
2. Kode Etik Akuntan Kompart emen. Kode
Etik Akuntan Kompartemen disahkan
oleh Rapat Anggota Kompar -temen dan
mengikat
selurus
anggota
Kompartemen yang bersangkutan.
3. Interpretasi
Kode
Etik
Akuntan
Kompartemen. Interpretasi Kode Etik
Akuntan Kompartemen merupakan
panduan penerapan Kode Etik Akuntan
Kompartemen.
4. Pernyataan Etika Profesi yang berlaku
saat itu dapat dipakai sebagai inter pretasi dan atau Aturan Etika sampai
dikeluarkannya Aturan dan Interpretasi
baru untuk mengantikannya.
Orientasi Etika
Orientasi etika berkaitan dengan
konsep diri dan sikap pribadi dalam
memandang dan melakukan pertimbangan
pertimbangan moral. Menurut Cohen
(1980) orientasi setiap individu pertama tama ditentukan oleh kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan
pengalaman pribadi dan sistem
nila i
individu yang akan menentukan harapan harapan atau tujuan dalam setiap sikap
yang pada akhirnya akan menentukan
tindakan apa yang akan diambil.
Penelitian-penelitian di bidang
psikologi membuktikan bahwa orientasi
etika dikendalikan oleh dua karakter ya tiu
idealisme dan relativisme. Idealisme
mengacu pada suatu hal yang dipercaya
oleh individu dengan konsekuensi yang
dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar
nilai-nilai moral. Sedangkan relativisme
adalah suatu sikap penolakan terhadap
nilai-nilai etika moral yang absolut dalam
mengarahkan sikap etis. Kedua konsep itu
bukan merupakan dua hal yang berla wanan tetapi lebih merupakan skala yang
terpisah.
Pengaruh Etika dalam Pengambilan
Keputusan
Pertimbangan etis dalam pengam bilan keputusan harus diper timbangkan,
karena merupakan suatu kriteria yang
penting dalam pengambilan keputusan.
Ada lima kriteria dalam mengambil
keputusan yang etis, yaitu:
1. Utilitarian
Keputusan-keputusan yang diamabil
semata-mata atas dasar hasil atau
konsekuensi mereka. Tujua nnya adalah
memberikan kebaikan yang terbesar
untuk jumlah yang terbesar.
Pandangan ini cenderung mendomi nasi pengambilan keputusan bisnis,
seperti efisiensi, prokduktifitas dan laba
yang tinggi.
2 Universalisme (duty)
Ini menekankan pada baik buruk nya
perilaku
tergantung
pada
niat
(intention) dari keputusan atau peri laku. Paham ini adalah kebalikan
(contrast) dari utilitarianisme.
Berdasarkan prinsip Immanuel Kant
(categorical imperative), paham ini
mempunyai dua prinsip. Pertama,
seseorang seharusnya memilih suatu
perbuatan, hanya jika dia menerima
atau membiarkan orang lain di muka
bumi ini, dalam situasi yang serupa
dengannya, untuk memilih melakukan
perbuatan yang sama. Kedua, orang orang lain harus diperlakukan sebagai
akhir (tujuan), bukan sekedar alat untuk
mencapai tujuan.
Konsekuensinya, pendekatan ini mem fokuskan diri pada suatu kewajiban
(duty), yaitu bahwa individu harus
mempedulikan individu lainnya atau
mempedulikan aspek kemanusiaan. Jika
seseorang berbuat dengan niat
(intention) untuk melakukan duty ini,
berarti perbuatannya dinilai etis. Jika
tidak ada niatan ini, berarti per buatannya tidaklah etis.
3 Penekanan pada hak
Kriteria ini memberikan kesempatan
kepada individu untuk mengambil
keputusan yang konsisten dengan
kebebasandan keistimewaan mendasr
seperti dikemukakan dalam dokumen dokumen (contoh Piagam Hak Asasi).
Suatu tekanan pada hak dalam
pengambilan keputusan berarti meng hormati dan melindungi hak dasar dari
individu.
4 Penekanan pada keadilan
Ini mensyaratkan individu untuk menegakan dan memperkuat aturan -aturan
yang adil dan tidak berat sebelah
sehingga ada pembagian manfat dan
biaya yang pantas. Keadilan distributif,
perilaku didasarkan pada satu nilai:
keadilan.
Terdapat lima prinsip keadilan distri butif:
a. Setiap orang mendapatkan hasil
bersama yang setara (equal share),
b. Setiap orang mendapatkan sesuai
kebutuhan individualnya,
c. Setiap orang mendapatkan sesuai
usaha individualnya,
d. Setiap orang mendapatkan sesuai
kontribusi sosialnya, dan
e. Setiap orang mendapatkan sesuai
prestasinya (merit system).
5. Relativisme (self-interest)
Ini menekankan bahwa baik buruknya
perilaku manusia didasarkan pada
kepentingan atau kebutuhan pribadi
(self-interest and needs). Dengan
demikian, setiap individu akan mem punyai kriteria moral yang berbeda
dengan individu lainnya, atau akan
terjadi perbedaan kriteria moral dari
satu kultur ke kultur lainnya.
6 Eternal Law (scripture)
Ini menekankan bahwa baik buruknya
perilaku didasarkan pada hukum -hukum
yang diwahyukan dalam sebuah kitab
suci.
Dalam pengambilan keputusan yang
didasarkan etis, akan tampak perbe -daan
dari pengakuan etis itu sendiri di berbagai
kultur. Hal ini dikarenakan tidak ada standar
etis yang global.
Sikap dan Perilaku Etis
Definisi sikap, menurut Krech dan
Crutcfield (1983) adalah keadaan dalam diri
manusia yang menggerakkan untuk
bertindak, menyertai manusia dengan
perasaan
perasaan
tertentu
dalam
menganggapi obyek dan terbentuk atas
dasar
pengalaman-pengalaman.
Sikap
merupakan tenaga pendorong (motif) dari
seseorang untuk timbulnya sesuatu
perbuatan atau tingkah laku. Sikap yang ada
pada seseorang akan menentukan warna
atau corak pada tingkah laku orang
tersebut. Dengan mengetahui sikap sese orang maka akan dapat diduga respons atau
perilaku yang akan diambil oleh se seorang
terhadap masalah atau keadaan yang
dihadapkan padanya.
Selanjutnya pembentukan atau
perubahan sikap ditentukan oleh dua faktor
pokok, yaitu faktor individu dan faktor luar.
Faktor individu atau faktor dalam adalah
bagaimana individu menang -gapi dunia
luarnya secara selektif.
Sedangkan faktor luar atau ekstern adalah
hal-hal atau keadaan dari luar yang meru pakan rangsangan atau stimulus untuk
membentuk atau mengubah sikap.
Griffin dan Ebert (1998) mende finisikan perilaku etis sebagai perilaku yang
sesuai dengan norma-norma sosial yang
diterima secara umum sehubungan dengan
tindakan-tindakan yang bermanfaat dan
yang membahayakan. Perilaku kepribadian
merupakan karakteristik individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Karakteristik yang dimaksud meliputi: sifat,
kemampuan, nilai, ketrampilan, sikap serta
intelegensi yang muncul dalam pola
perilaku seseorang. Jadi perilaku meru pakan perwujudan atau manifestasi karak teristik seseorang dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang meliputi :
1. Faktor personal, yaitu faktor yang
berasal dari dalam diri individu yang
meliputi :
a. Faktor biologis manusia meli -puti:
genetika, sistem syaraf dan sistem
hormonal.
b. Faktor sosiopsikologis meliputi:
komponen afektif (emosional),
kognitif
(intelektual),
konatif
(kebiasaan dan kemauan).
c. Motif sosiogenis atau motif
sekunder, meliputi: motif ber prestasi, kebutuhan kasih sayang,
kebutuhan berkuasa.
2. Faktor situasional, yaitu faktor yang
berasal dari luar diri manusia sehingga
dapat
mengakibatkan
seseorang
cenderung berperilaku sesuai dengan
karakteristik kelom-pok atau organisasi
dimana ia ikut di dalamnya. Faktor ini
meliputi :
a. Aspek obyektif lingkungan (misal:
kondisi geografis, iklim, struktur
kelompok).
b. Lingkungan
psikososial
yang
dipersepsi oleh seseorang (misal:
iklim organisasi dan kelompok, etos
kerja, iklim institusional dan
budaya).
c. Stimulasi yang mendorong dan
memperteguh perilaku seseorang
(misal: orang lain dan situasi
pendorong perilaku).
Situasi sangat besar pengaruhnya
terhadap perilaku manusia, tetapi
manusia memberikan reaksi yang
berbeda-beda terhadap situasi yang
dihadapinya sesuai dengan karak teristik personal yang dimilikinya.
3. Faktor stimulasi yang mendorong dan
meneguhkan perilaku seseorang .
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
dan Perilaku Etis Akuntan
Berdasarkan pendapat dari bebe rapa penulis dan peneliti ada bebe -rapa
faktor yang memungkinkan ber -pengaruh
terhadap sikap dan perilaku etis akuntan.
Faktor-faktor tersebut antara lain ada lah:
1. Faktor Posisi/kedudukan.
Semakin tinggi posisi/kedudukan di KAP
(dalam hal ini Partner dan Manajer)
cenderung memiliki pemi-kiran etis
yang rendah, sehingga berakibat pada
rendahnya sikap dan perilaku etis
mereka.
2. Faktor Imbalan yang diterima (berupa
gaji/upah dan penghargaan/insentif).
Pada dasarnya seseorang yang bekerja,
mengharapkan imbalan yang sesuai
dengan pekerjaannya. Karena dengan
upah yang sesuai dengan peker jaannya, maka akan timbul pula rasa
gairah kerja yang semakin baik dan ada
kecenderungan untuk bekerja sejara
jujur disebabkan ada rasa timbal balik
yang selaras dan tercukupi kebutu hannya. Selain gaji/upah, seorang yang
bekerja membutuhkan penghargaan
atas hasil karya yang telah dilakukan,
baik penghargaan yang bersifat materiil
maupun non materiil. Jika ia
mendapatkan penghargaan sesuai
dengan karyanya maka si pekerja akan
berbuat sesuai aturan kerja dalam
rangka menjaga citra profesinya baik di
dalam maupun di luar pekerjaannya
(Anaraga 1998).
3. Faktor Pendidikan (formal, nonformal
dan informal).
Pendidikan
akuntansi
(pendidikan
formal) mempunyai pengaruh yang
besar terhadap perilaku etis akuntan
sebab pendidikan tinggi akuntansi tidak
saja
bertanggung
jawab
pada
pengajaran ilmu pengetahuan bisnis
dan akuntansi (tranformasi ilmu
pengetahuan) kepada mahasiswanya,
tetapi lebih dari itu juga bertanggung
jawab mendidik mahasiswanya agar
mempunyai kepribadian (personality)
yang utuh sebagai manusia. Selain itu
Hiltebeitel dan Jones (1992 dalam
Ludigdo 1999) melakukan penelitian
dengan eksperimen tentang penilaian
instruksi etis dalam pendidikan
akuntansi.
Hasilnya
menunjukkan
bahwa pengambilan keputusan etis
dipengaruhi oleh pengintegrasian etika
ke dalam mata kuliah yang diajarkan.
4. Faktor organisasional (perilaku atasan,
lingkungan kerja, budaya organisasi,
hubungan dengan rekan kerja).
Sangatlah umum terjadi bahwa sikap
atasan sangat berpengaruh terhadap
sikap bahawan. Bahkan bawahan
cenderung menerima dan mengikuti
sikap atasan tanpa landasan afektif
maupun kognitif yang relevan dengan
obyek sikapnya, tetapi semata -mata
didasari oleh kepercayaan yang men dalam kepada atasan atau oleh penga laman bahwa atasan selalu dapat ber pendapat/bersikap yang tepat dalam
segala situasi di masa lalu. Oleh kare nanya jika atasan cenderung mem berikan contoh perilaku etis maka
bawahan akan dengan mudahnya untuk
menerima dan mengikutinya
Selain itu perilaku atasan pada pekerja
(bawahan) merupakan dasar rasa
kepercayaan pekerja terhadap profesi di
mana ia bekerja. Komitmen atasan
merupakan wibawa dari profes i, bila
atasan tidak memberi contoh yang baik
pada bawahan maka akan menim bulkan sikap dan perilaku tidak baik
dalam diri bawahan sebab ia merasa
bahwa atasannya bukanlah pemimpin
yang baik. Kebudayaan di mana kita
hidup (kerja dan organisasi) dan dibe sarkan mempunyai pengaruh besar
terhasap pembentukan sikap dan
kepribadian seseorang. Tanpa disadari
kebudayaan dapat mewarnai sikap
anggota organisasi dan dengan demi kian ia juga memberi corak penga laman individu-individu yang ada di
dalamnya. Hanya individu yang telah
mapan dan kuatlah yang sikap dan
perilakunya tidak didominasi oleh
budaya di mana ia bekerja.
Lingkungan kerja turut menjadi faktor
yang mempengaruhi etika individu,
sebab dengan semakin seringnya
manajer dan karyawan melakukan
aktivitas yang tidak etis bahkan illegal
maka
banyak
perusahaan
yang
mengambil langkah mereka untuk
semakin berperilaku etis di ling -kungan
kerja antara lain dengan mene -tapkan
kode etik yang jelas tentang bagaimana
perusahaan dan karyawan harus
menjalankan bisnisnya. Jadi mereka
memutuskan untuk berperilaku etis
dalam rangka menghindari resiko yang
terjadi berdasarkan pengalaman orang
lain (Griffin dan Ebert 1998). Selain itu
lingkungan kerja (lingkungan fisik) yang
baik akan membawa pengaruh yang
baik pula pada segala pihak, termasuk
para pekerja, pimpinan, hasil pekerjaan
dan perilaku di dalamnya. Oleh karena
itu, pimpinan harus tahu dengan pasti
bagaimana menyesuaikan tempat kerja
untuk para pekerja (Anaraga 1998).
5. Faktor Lingkungan keluarga
Pada umumnya individu ce nderung
untuk memilih sikap yang konformis/
searah dengan sikap dan perilaku
orang-orang yang dianggapnya penting
(dalam hal ini anggota keluarga).
Kecenderungan ini antara lain dimo tivasi oleh keinginan untuk berafiliasi
dan keinginan untuk menghindari
konflik. Jadi jika lingkungan keluarga
bersikap dan berperilaku etis, maka
yang muncul adalah sikap dan perilaku
etis pula (Azwar 1998: 32).
6. Faktor Pengalaman Hidup.
Beberapa pengalaman hidup yang
relevan dapat mempengaruhi sikap etis
apabila pengalaman hidup tersebut
meninggalkan kesan yang kuat. Kesan
positif yang kuat dapat terbentuk
apabila pengalaman hidup tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional. Sikap etis secara
otomatis akan memunculkan perilaku
etis juga (Azwar 1998: 31). Ba rney (1992
dalam Beekun 1997), berpen -dapat
bahwa pengalaman hidup sese -orang
baik yang positif maupun negatif
merupakan kunci yang menjadi dasar
munculnya sikap dan perilaku selan jutnya. Apabila seseorang dapat
mengambil pelajaran dari pengalaman
masa lalunya maka akan menum buhkan sikap dan perilaku yang semakin
etis.
7. Faktor Religiusitas.
Keberagamaan
(religiusitas)
diwu judkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktivitas beragama bukan
hanya terjadi ketika seseorang mela kukan perilaku ritual (ibada h), tetapi
juga ketika melakukan aktivitas lain
yang didorong oleh kekuatan akhir.
Dimensi religiusitas ada empat, yaitu:
keyakinan, peribadatan, penghayatan,
pengamalan, dan pengetahuan. Kelima
dimensi tersebut tidak bertentangan
dengan Islam sebab di samping Islam
mengajarkan konsep sikap dan perlaku
etis, ia juga menjadi stimulus dan dapat
memperteguh sikap dan perilaku etis
tersebut. Agama sebagai suatu sistem,
mempunyai
pengaruh
dalam
pembentukan sikap karena ia mele takkan dasar konsep moral dalam di ri
individu. Pemahaman akan baik dan
buruk, garis pemisah antara sesuatu
yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan, diperoleh dari pemahaman
dan pengetahuan terhadap ajaran
agama (Azwar 1998). Akhlaq atau
perilaku etika yang baik akan muncul
dari seseorang yang memiliki aqidah
yang lurus. Ia akan tetap tegar dan
berpegang pada aqidah yang diyakini
dan akhlaq yang dimilikinya walaupun
lingkungan (faktor ekstern) men -dukung
untuk berperilaku tidak baik. Dan ia
akan menjadikan aqidah dan akhlaq
yang diyakini tersebut sebagai totak
ukur dalam berperilaku.
8. Faktor Hukum (sistem hukum dan
sanksi yang diberikan)
Hukum yang berlaku pada suatu profesi
hendaklah mengandung muatan etika
agar aggota profesi merasa terayomi.
Demikian halnya dengan sanksi yang
dikenakan harus tegas dan jelas
sehingga anggota cenderung tidak
mengulang kesalahan yang sama dalam
kesempatan yang berbeda.
9. Faktor Emotional Quotient (EQ).
EQ adalah bagaimana seseorang itu
pandai mengendalikan perasaan dan
emosi pada setiap kondisi yang
melingkupinya. EQ lebih penting dari
pada IQ. Bagaimanapun juga seseorang
yang cerdas bukanlah hanya cerdas
dalam hal intelektualnya saja tetapi
intelektualitas tanpa adanya EQ dapat
melahirkan perilaku yang tidak etis.
Sekitar empat belas abad yang lalu
Rasulullah SAW telah bersabda, “Orang
yang cerdas adalah orang yang bisa
menguasai emosinya dan berbuat untuk
(masa depan) setelah matinya”. (HR.
Ahmad, Al Hakim dan At Tirmidzi).
Sedangkan menurut Azwar (1998: 36),
sikap merupakan pernyataan yang
didasari oleh emosi berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk ego. Sikap yang
dipengaruhi oleh emosional tersebut
dapat bersifat sementara dan dapat
pula merupakan sikap yang lebih
persisten (bertahan lama).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peri -laku
Etis Individu dalam Islam
Beekun memandang bahwa peri laku etika individu dipengaruhi oleh 3 (tiga)
faktor, yaitu:
1. Interpretasi-interpretasi hukum,
2. Faktor-faktor organisasional, dan
3. Faktor-faktor individual.
Interpretasi hukum (legal interpretation) adalah tafsiran-tafsiran yang
dilakukan oleh para ahli hukum terhadap
teks-teks hukum. Dalam masyarakat Barat,
interpretasi ini seringkali didasarkan pada
nilai-nilai atau standar-standar yang temporal. Implikasinya, dalam masyarakat
Barat, pada satu saat sebuah perilaku bisa
dianggap legal, sedangkan pada waktu
lainnya dapat dianggap ilegal. Dalam
masyarakat Islam, interpretasi hukum dida sarkan pada ijtihad untuk menghasilkan
hukum yang baku.
Faktor-faktor
organisasional
(organizational factors) adalah faktor
berupa kumpulan peraturan suatu organi sasi bisnis, yang biasa dikenal dengan istilah
“kode etik”. Namun demikian, apa yang
dianggap etis dalam sebuah peru -sahaan,
bisa jadi tetap tidak patut dilak -sanakan.
Misalnya, perusahaan yang berbisnis
minuman
keras,
walaupun
segala
transaksinya dilakukan dengan penuh
kejujuran, tetap saja keseluruhan organi sasinya dianggap salah dan tidak etis. Maka
dari itu, menurut Beekun, kode etik Islam
dalam sebuah organisasi bisnis tak hanya
mengatur perilaku antar in dividu dalam
interaksi bisnis, tetapi juga harus mengatur
halal haramnya objek bisnis yang dijalankan.
Faktor-faktor individual (individual
factors) adalah faktor-faktor yang terdapat
pada pribadi, yang terwujud dalam berbagai
nilai-nilai yang menjadi keyakinan individu
tersebut. Nilai-nilai ini mencakup: tingkatan
moral
individu,
nilai-nilai
personal,
pengaruh keluarga, pengaruh teman
pergaulan, pengalaman hidup, dan faktor
situasional.
Tingkatan moral individu ter gantung sejauh mana individu dapat
mengendalikan aspek jiwanya ( nafs),
apakah akan mempunyai tipe jiwa
ammarah (Qs. Yûsuf [12]: 53) yang
cenderung kepada kejahatan dan dosa, atau
tipe lawwamah (Qs. al-Qiyâmah [75]: 2),
yang cenderung kepada kebaikan, dan tipe
mutmainah (Qs. al-Fajr [89]: 27), sebuah
tipe tertinggi, yang ditandai dengan
ketenteraman jiwa yang penuh.
Sedangkan nilai-nilai personal,
berkaitan dengan penekanan atau inten sitas nilai tertentu yang mungkin berbeda
antara satu individu dengan individu
lainnya. Orang yang mementingkan n ilai
kejujuran, akan berbeda perilaku etikanya
dengan orang yang tidak mementingkan
nilai kejujuran. Pengaruh keluarga juga
menjadi satu faktor dalam faktor -faktor
individual. Sebab standar moral individu
pada awalnya sangatlah dipengaruhi oleh
keluarganya.
Pengaruh teman pergaulan juga
merupakan faktor yang mempengaruhi
perilaku etika individu. Pergaulan dengan
teman di sekolah, atau teman di ling kungan
rumah,
dapat
memberikan
pengaruh terhadap perilaku etika seseorang
Adapun pengalaman hidup, yang
dimaksud adalah suatu peristiwa yang
sangat berkesan bagi seseorang sehingga
mempengaruhi hidupnya di kemudian hari.
Sedangkan
faktor
situasional,
adalah kondisi-kondisi tertentu yang
membuat seseorang berperilaku tidak etis,
sebagai jalan keluar dari problem yang
dihadapinya.
Sistem Etika Islam
Sistem etika Islam (Islamic ethical
system) merupakan sesuatu sistem yang
unik, karena sistem etika Islam tidak
memisahkan sistem etik dengan agama dan
Islam menekankan pada keseim -bangan
kehidupan dunia dan akhirat, j adi ada
tuntutan untuk melakukan suatu tindakan
yang proporsional dan penga -wasan
tindakan, karena meyakini bahwa tindakan
yang dilakukan di dunia akan selalu
mendapatkan implikasi di kehidupan
akhirat.
Menurut Beekun terdapat bebe rapa parameter kunci un tuk sistem etika
Islam, yaitu:
1. Perilaku dinilai etis bergantung pada
niat baik masing-masing individu.
2. Niat yang baik harus diikuti oleh
perbuatan yang baik. Niat baik tidak
dapat mengubah perbuatan haram
menjadi halal.
3. Islam memberikan kebebasan indivi du
untuk mempercayai sesuatu atau
berbuat sesuatu, selama tidak mengor bankan nilai tanggungjawab dan
keadilan.
4. Harus ada kepercayaan bahwa Allah
memberikan kepada individu pembe basan (freedom) yang komplit, dari
sesuatu atau siapa pun selain Allah.
5. Keputusan mengenai keuntungan
mayoritas atau minoritas tidak diper lukan. Sebab etika bukanlah permainan
angka.
6. Islam menggunakan sistem pende -katan
terbuka kepada etika, tidak tertutup,
atau self-oriented system. Tak ada
egoisme dalam Islam.
7. Keputusan etis didasarkan pada
pembacaan simultan antara al -Qur’an
dan alam semesta.
8. Islam mendorong tazkiyah (penyucian
diri) di samping mendorong partisipasi
aktif dalam kehidupan.
9. Aksioma-Aksioma Filsafat Etika Islam
Menurut Beekun, terdapat lima kunci
aksioma filsafat etika Islam, yaitu:
1. Kesatuan (unity, tauhid), merupakan dimensi vertical dari Islam.
Implikasi dari aksioma ini adalah
tidak adanya unsur diskriminasi
dalam kehidupan
2. Keseimbangan (equalibrium, ‘adl),
merupakan dimensi horizontal
dalam Islam. Prinsip ini menganggap
bahwa
berbagai
aspek
kehidupan
manusia,
haruslah
menghasilkan sistem sosial yang
terbaik. Aplikasinya, tidak boleh
melakukan kecurangan/fraud dalam
bersikap dan bertindak..
3. Kehendak bebas (free will),
maksudnya adalah manusia mem punyai kemampuan berbuat tanpa
paksaan dari unsur eksternal, tetap
dalam parameter penciptaan Allah
dan adanya amanah Allah untuk
mengelola bumi dengan baik.
Aplikasinya semua individu mem punyai kebebasan dalam mene rima atau menolak suatu kontrak.
4. Tanggungjawab
(responsibility,
mas`uliyah), maknanya adalah
bahwa setiap manusia harus
bertanggung jawab terhadap segala
perbuatannya.Aplikasinya individu
tak dapat menyalahkan faktor
tekanan bisnis yang membuatnya
berbuat tidak etis, walaupun ada
tekanan dari faktor
ekstern
(lingkungan).
5. Kebajikan (benevolence, ihsan).
Suatu perilaku dituntut untuk
mendatangkan
kemaslahatan
kepada pihak lain walaupun itu
sebenarnya
bukanlah
suatu
kewajiban yang harus dikerjakan.
Aplikasinya setiap individu dituntut
untuk
memberikan
kebaikan
kepada pihak lain (masyarakat) atas
pengambilan
keputusan
yang
dilakukan
Pengambilan Keputusan Akuntan dengan
Etika Islam
Informasi keuangan disajikan oleh
manajemen kepada masyarakat keuangan
untuk memungkinkan masyarakat keuangan
menilai pertanggungjawaban keuangan
manajemen dan untuk menilai kemampuan
perusahaan
dalam
mengha -silkan
kembalian investasi (return on Investment)
dan posisi keuangan perusahaan.
Dalam teori agensi diyakini adanya
informasi asimetris yang disampaikan pihak
agen (manajemen) kepada pihak prinsipal
(pemilik), sehingga pihak prinsipal memer lukan jasa profesional (akuntan publik)
untuk menilai kewajaran laporan keuangan
yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar
informasi yang andal, masyarakat keuangan
akan memiliki dasar yang andal untuk
menyalurkan dana mereka ke usaha -usaha
yang beroperasi secara efisien dan memiliki
posisi keuangan yang sehat.
Profesi akuntan publik bertang gung jawab untuk menaikkan tingkat
keandalan laporan keuangan perusahaan perusahaan, sehingga masyarakat keuangan
memperoleh informasi keuangan yang
andal sebagai dasar uantuk memu -tuskan
alokasi sumber-sumber ekonomi.
Kesalahan informasi disampaikan
oleh akuntan publik mengenai kewajaran
informasi keuangan perusahaan akan
memberikan dampak yang luas , bukan
hanya kepada masyarakat keuangan tetapi
juga terhadap perekonomian suatu negara.
Ada dua kemungkinan kesalahan yang
dilakukan oleh akuntan publik dalam hal
pemberian pendapat wajar atas laporan
keuangan:
1. Kesalahan yang tidak disengaja.
Kesalahan ini dapat terjadi jika akuntan
public tidak melakukan prinsip kehati hatian dalam melakukan proses peme riksaan dan tidak dimaksudkan secara
sengaja memberikan informasi yang
salah.
2. Kesalahan yang disengaja. Pemberian
informasi yang tidak benar kepada
masyarakat atas laporan keuangan yang
diaudit karena pelanggaran moral etika.
Dalam pengambilan keputusan
seorang akuntan dituntut untuk memiliki
integritas atas nilai-nilai etika dan moral,
sehingga informasi yang disampaikan
memiliki tingkat keandalan yang tin ggi dan
bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini sejalan
dengan parameter-parameter kunci dan
aksioma-aksioma filsafat dalam etika Islam.
Jika etika moral Islam dijadikan landasan
dalam pengambilan keputusan maka akan
menimbulkan keseimbangan dan kebaikan
yang berimplikasi pada tertatanya sistem
social yang baik karena jauh dari tindakan
dan sikap curang/fraud. Perilaku akuntan
dituntut
untuk
menda -tangkan
kemaslahatan
kepada
pihak
lain
(masyarakat) atas pengambilan keputusan
yang dilakukan sehingga masyarakat akan
dapat menikmati informasi yang dihasilkan.
Kesimpulan
Keberadaan profesi akuntan publik
sangat berpengaruh terhadap kehidupan
perekonomian suatu negara, karena dari
informasi yang diberikan, akan meng gerakan dana yang berada ditangan
masyarakat ke perusahaan yang dinyatakan mempunyai posisi keuangan yang
baik oleh akuntan publik.
Timbulnya masalah perekonomian
suatu negara (krisis ekonomi) juga dapat
dipengaruhi oleh kesalahan yang dilakukan
oleh akuntan publik dalam memberikan
informasi mengenai keadaan keuangan
suatu perusahaan sehingga masyarakat
keuangan dan pemerintah yang berke pentingan dengan perusahaan salah dalam
pengambilan keputusan.
Prinsip-prinsip,
parameter-parameter dan aksioma-aksioma filsafat dalam
etika Islam tidak menimbulkan pertentangan dengan etika profesi akuntan
mengenai
tanggung
jawab
profesi,
kepentingan umum, integritas, obyek tifitas, kompetensi dan kehati -hatian
profesional, kerahasiaan, perilaku profe sional, dan standar teknis. Bahkan jika etika
Islam digabungkan dengan nilai-nilai etika
profesi akuntan publik, akan memung -
kinkan tertatanya sistem sosial yang baik
karena Islam juga menekankan pada
keseimbangan (equalibrium, ‘adl) dan
kebaikan, yang merupakan dimensi
horizontal dalam Islam. Di mana prinsip ini
menganggap bahwa berbagai aspek
kehidupan manusia, haruslah mengha silkan sistem sosial yang terbaik dan
aplikasinya adalah akuntan publik tidak
boleh melakukan kecurangan/fraud dalam
bersikap dan bertindak serta perilaku
akuntan dituntut untuk mendatangkan
kemaslahatan
kepada
pihak
lain
(masyarakat) atas pengambilan keputusan
yang dilakukan.
Daftar Pustaka
Amstrong,
M.
1993.
“ Etics
and
Professionalism
in
Accounting
Education: A Sample Course ”.
Journal of Accounting Education.
11. pp 77- 92
Anoraga, Pandji, 1998. Psikologi Kerja.
Rineka Cipta. Jakarta.
Arens, Alvin A., dan J. K. Loebbecke, 1995.
Auditing. 6 th Edition. Prentice Hall.
Inc. Englewood. Clift.
Azwar, Saifuddin, 1998. Sikap Manusia,
Teori dan Pengukurannya. Edisi
Kedua. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.
Beekun, Rafik I., 1997. Islamic Busines
Ethics. International Institute of
Islamic Thougt. Virginia. USA.
Chua. F.C., M.H.B Perera and M.R.
Mathews. 1994. “Integration of
Ethic into Tertiary accounting
Programes in New Zealand and
Australia”.
Cohen, JR., L.W. Part and D.J. Sharp. 1996.
“Measuring the Ethical awareness
and Ethical Orientation of Canadian
Auditor”. Researc in Accounting. Vol
7,
Ikatan Akuntan Indonesia, 1998. Kode Etik
Akuntan Indonesia. Prosiding
Kongres VIII Ikatan Akuntan Indonesia.
Lampiran 2.
Ikatan Akuntan Indonesia, 1998. Standar
Profesi Akuntan Publik. Bagian
Penerbitan STIE YKPN. Yogjakarta.
Lampe, S.C and D.W. Finn. 1992 ” A model of
Auditors Ethical Decesion Process
Auditing”, Journal of Practice and
Theory.
Ludigdo, Unti dan Mas'ud Machfoedz, 1999.
Persepsi Akuntan dan Mahasiswa
terhadap Etika Bisnis. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia, Vol. 2. No. 1,
1-9.
Mulyadi, 2002, Auditing Edisi 6, Salemba
Empat, Jakarta
Stephen P. Robbins, 2003, Perilaku
Organisasi, PT. Indeks, Jakarta
Sutedjo, Profesinalisme Auditor dan
Tantangan yang Mengahadang ,
Pemeriksa No. 89, April - Mei 2003
Download