1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dalam perkembangan manusia, tiap tahap perkembangan yang dilalui selalu memerlukan pemenuhan kebutuhan berprestasi. Sejak usia dini manusia berusaha menunjukkan prestasi kepada lingkungannya, keberhasilan seseorang menunjukkan prestasi kepada lingkungannya akan mempengaruhi penilaian lingkungan terhadap dirinya, selanjutnya penilaian lingkungan tersebut akan mempengaruhi kebanggaan diri. Pada masa remaja prestasi menjadi masalah yang sangat serius karena remaja mulai menyadari bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masa remaja adalah kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan nyata, berbeda dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya yang lebih banyak berupa kegiatan permainan. Pada masa remaja seseorang mulai menyadari bahwa kesuksesankesuksesan dan kegagalan-kegagalan yang dialami di masa remaja merupakan prediktor untuk keberhasilan hidup di masa dewasa (Santrock, 2007 a). Dikaitkan dengan teori Havighurst (1957) yang memandang bahwa tiap fase kehidupan manusia mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan, manusia dituntut untuk selalu berusaha menyelesaikannya di tiap fase kehidupannya, kegagalan dalam menyelesaikan tugas di suatu fase akan berpengaruh terhadap penyelesaian tugas di fase berikutnya. Seorang anak yang gagal menyelesaikan tugas perkembangan di fase anak-anak, misalnya ia tidak mampu berbicara maka hambatan berkomunikasi ini akan mempengaruhi 2 interaksi dia dengan orang lain. Sebaliknya anak yang mampu menyelesaikan tugas perkembangan ini dengan baik maka kesempatan dia untuk memahami berbagai permasalahan di lingkungan dia akan lebih terbuka. Apabila pandangan Havighurst dikaitkan dengan pandangan Erikson (dikutip dari Lerner, 1976) maka untuk tercapainya integritas ego sebagai puncak perkembangan manusia di usia tua orang diharapkan mempunyai prestasi yaitu berhasil menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dalam fase-fase kehidupan yang dilaluinya. Dalam pandangan Abraham Maslow (dikutip dari Petri, 1981) kebutuhan berprestasi merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Dalam perkembangan manusia sejak usia dini sampai usia tua ia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang ingin dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diklasifikasikan secara bertingkat mulai dari kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis sampai pada kebutuhan yang tertinggi dalam kehidupan manusia yaitu aktualisasi diri. Setiap orang akan berusaha mencapai aktualisasi diri dengan berbagai cara, hanya tidak semua orang dapat mencapainya karena harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya terlebih dahulu. Salah satu persyaratan untuk dapat mencapai aktualisasi diri adalah terpenuhinya kebutuhan berprestasi, dengan berprestasi orang akan dihargai oleh lingkungannya. Keberhasilan untuk menunjukkan prestasi dan dihargai oleh orang lain akan menjadi dasar untuk melangkah lebih lanjut mencapai aktualisasi diri. Prestasi dalam bidang akademik sebagai salah satu prestasi yang penting dalam kehidupan manusia menjadi perhatian banyak pihak, dengan tercapainya prestasi yang memuaskan di suatu lembaga pendidikan akan terbuka peluang untuk meningkatkan prestasi dalam bidang lain. Seorang remaja yang tamat 3 SMA dengan prestasi tinggi akan terbuka peluang bagi dia untuk diterima di perguruan tinggi yang berkualitas, begitu juga seseorang yang mempunyai prestasi akademik yang tinggi di perguruan tinggi ternama akan memudahkan bagi dia untuk diterima bekerja di tempat yang membanggakan. Apabila pencapaian prestasi akademik dikaitkan dengan fase-fase perkembangan manusia, maka pencapaian prestasi akademik di masa remaja tidak lepas dari karakteristik khas remaja. Menurut Santrock (2007 a) dorongandorongan yang menonjol pada masa remaja adalah : Pertama, dorongan otonomi yang tinggi. Dorongan ini bisa berdampak positif yaitu remaja makin bertanggung jawab dengan keputusan-keputusan yang diambil sehingga semakin matang dan mandiri. Dalam kaitannya dengan pencapaian prestasi akademik di perguruan tinggi dorongan ini sangat besar perannya, karena tanpa harus diawasi oleh orang tua remaja akan berusaha mencapai prestasi setinggitingginya. Kedua, dorongan untuk patuh pada ajakan peer group. Pada masa remaja tekanan dari kelompok sangat kuat, sehingga untuk dapat diterima oleh kelompok, remaja mau patuh mengikuti ajakan kelompok. Kepatuhan yang berlebihan terhadap ajakan kelompok dapat berdampak negatif dan positif terhadap pencapaian prestasi akademik di perguruan tinggi. Apabila peer group remaja adalah orang-orang yang mempunyai dorongan berprestasi rendah maka remaja kurang terpacu untuk berprestasi. Sebaliknya apabila peer group nya adalah orang-orang yang mempunyai dorongan berprestasi tinggi maka remaja akan terpacu untuk mencapai prestasi yang tinggi.. Ketiga, pencarian identitas diri. “Siapa saya ?”, “Apa yang akan saya lakukan dalam hidup saya ?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak muncul pada waktu seseorang masih anak-anak, pertanyaan seperti ini baru muncul pada waktu seseorang sudah menginjak remaja. Pada masa remaja secara perlahan orang merealisasikan apa 4 yang menjadi harapan-harapannya (hidup seperti apa yang ingin dijalani nanti). Kemantapan remaja menemukan identitas diri pada masa remaja akhir akan sangat menentukan dorongan dia untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara optimal sehingga dapat mencapai prestasi yang tinggi. Keempat, Emosi yang tidak stabil. Perubahan emosi remaja disebabkan oleh faktor hormonal dan faktor pengalaman. Pengalaman menegangkan yang ikut mempengaruhi emosi remaja antara lain pengalaman seksual dan hubungan romantis. Dalam kaitannya dengan pencapaian prestasi akademik, bagi remaja yang mampu mengelola emosinya maka gejolak emosi tersebut dapat diarahkan untuk pencapaian prestasi yang tinggi, sebaliknya bagi yang tidak mampu, gejolak emosi akan menghambat pencapaian prestasi akademik. Apabila karakteristik remaja dikaitkan dengan pencapaian prestasi akademik maka dapat disebutkan bahwa remaja yang mampu mengaktualisasikan potensi dirinya secara optimal adalah remaja yang mempu mengarahkan dan mengendalikan berbagai potensi dan dorongan yang ada dalam dirinya ke arah yang positif. Pencapaian pengalaman yang prestasi sangat akademik besar pada masa pengaruhnya remaja terhadap merupakan perkembangan kepribadian seseorang. Remaja yang berhasil menunjukkan prestasi akademik yang membanggakan dihadapan orang lain, baik itu teman-teman di sekolah, guru-guru, maupun orang tua akan merasa dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Dikaitkan dengan pendapatnya Charles Cooley (dikutip dari Watson, Tregerthan, & Frank, 1984), penilaian diri merupakan refleksi dari penilaian orang lain yang ada disekitarnya, apabila seseorang merasa dinilai positif oleh orangorang di sekitarnya maka persepsi dirinya akan meningkat, ia merasa bangga terhadap dirinya. Penilaian diri yang positif ini selanjutnya akan sangat mempengaruhi kemampuan beradaptasi dalam kehidupan sosial. Orang yang 5 menilai dirinya positif serta berani mengambil resiko akan mampu mengarahkan dirinya menuju kematangn diri, yaitu menemukan jati diri, mempunyai otonomi yang kuat, tegas dalam bertindak, serta mampu mengaktualisasikan potensi dirnya secara optimal. Dari apa yang telah dikemukakan nampak bahwa pencapaian prestasi akademik yang tinggi sangat penting dalam perjalanan hidup manusia, lebih-lebih lagi pada masa remaja akhir yang merupakan masa transisi menuju masa dewasa. Keberhasilan menunjukkan prestasi akademik di masa remaja akhir merupakan tonggak awal untuk menunjukkan keberhasilan di masa dewasa. Mengingat begitu pentingnya peran prestasi akademik dalam perkembangan seseorang menuju kematangan diri maka sangat penting untuk diketahui faktor-faktor apa yang berperan dalam pencapaian prestasi akademik tersebut, mengapa ada remaja yang mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi, sedangkan yang lainnya tidak dapat mewujudkannya. Pemahaman terhadap faktor-faktor yang sangat berperan dalam pencapaian prestasi akademik merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan, karena dengan pemahaman tersebut akan dapat diambil langkah-langkah yang terarah dan efektif untuk mewujudkan prestasi akademik yang membanggakan. Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang berperan dalam pencapaian prestasi akademik, penelitian model prestasi akademik yang dilakukan oleh Grolnick, Ryan & Deci (1991) melibatkan delapan variabel penelitian, yaitu : keterlibatan ibu dalam pendidikan, keterlibatan ayah dalam pendidikan, dorongan otonomi dari ibu, dorongan otonomi dari ayah, pemahaman tentang kontrol, perasaan mempunyai kompetensi, otonomi, dan prestasi akademik. Sebagai variabel exogenous adalah : keterlibatan ibu dalam pendidikan, keterlibatan 6 ayah dalam pendidikan, dorongan otonomi dari ibu, dan dorongan otonomi dari ayah. Sebagai variabel endogenous adalah : pemahaman tentang kontrol, perasaan mempunyai kompetensi, otonomi, dan prestasi akademik. Dari analisis yang dilakukan secara simultan terhadap delapan variabel tersebut diperoleh hasil : perasaan mempunyai kompetensi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pencapaian prestasi akademik. Perkembangan perasaan mempunyai kompetensi sangat dipengaruhi oleh dorongan otonomi dari ayah. Dari hasil yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut dapat disebutkan bahwa orang akan dapat mencapai prestasi akademik yang tinggi apabila keyakinan akan kemampuan diri tinggi. Orang akan memiliki keyakinan akan kemampuan diri tinggi apabila orang tua (terutama ayah) memberi dorongan untuk mandiri. Turner & Johnson (2003) meneliti model prestasi dengan melibatkan tujuh variabel, yaitu : pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, efikasi diri orang tua, keyakinan dalam mengasuh anak, hubungan orang tua dengan anak, kemahiran anak, dan prestasi anak. Sebagai variabel exogenous adalah : pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan efikasi diri orang tua. Sebagai variabel endogenous adalah : keyakinan dalam mengasuh anak, hubungan orang tua dengan anak, kemahiran anak, dan prestasi anak. Hasil analisis data menunjukkan efikasi diri orang tua sangat mempengaruhi kehangatan hubungan antara orang tua dengan anak, kehangatan hubungan antara orang tua dengan anak sangat mempengaruhi ketrampilan (kemahiran) kemahiran anak mempengaruhi prestasi anak. anak, selanjutnya Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pembelajar mencapai prestasi yang tinggi sangat ditentukan oleh kehangatan hubungan pembelajar dengan orang tuanya. Penelitian model prestasi akademik yang dilakukan oleh Dharmayana (2010) melibatkan lima variabel penelitian, yaitu : kompetensi emosi, keterikatan 7 pada sekolah, inteligensi, rerata nilai ujian nasional SMP, dan prestasi akademik. Sebagai variabel exogenous adalah : kompetensi emosi, inteligensi, dan rerata nilai ujian nasional SMP. Sebagai variabel endogenous adalah keterikatan pada sekolah dan prestasi akademik. Dari analisis yang dilakukan secara simultan diperoleh hasil keterikatan pada sekolah sangat berpengaruh terhadap prestasi akademik. Disamping itu kompetensi emosi juga berperan secara tidak langsung terhadap prestasi akademik. Dari tiga model yang telah dikemukakan nampak bahwa pencapaian prestasi akademik sangat ditentukan oleh proses internal, antara lain : perasaan mempunyai kompetensi, kepercayaan diri, dan kemahiran. Peningkatan (perkembangan) proses internal sangat ditentukan oleh stimulus dari luar atau proses eksternal, antara lain : otonomi orang tua, kehangatan hubungan orang tua dengan anak. Orang tua yang mempunyai dorongan otonomi tinggi akan mampu menjadi model yang membanggakan bagi anak-anaknya sehingga anakanak akan terpacu untuk mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri. Begitu juga hubungan hangat antara orang tua dengan anak akan mempengaruhi penilaian diri anak. Anak-anak yang diasuh dengan penuh kehangatan akan berkembang. menilai positif dirinya sehingga kepercayaan dirinya Otonomi dan kehangatan hubungan merupakan aspek-aspek dalam pola asuh autoritatif, sehingga dapat disebutkan bahwa pola asuh autoritatif merupakan salah satu faktor eksternal yang menentukan perkembangan proses internal. Sejalan dengan tiga model yang telah dikemukakan, teori kognitif sosial berpandangan bahwa pencapaian prestasi akademik sangat ditentukan oleh : 1. Model-model yang pernah diamati oleh pembelajar 2. Proses internal dalam diri pembelajar, antara lain : harapan dan efikasi diri 8 3. Tingkah laku berorientasi tujuan pembelajar 4. Tingkah laku regulasi diri pembelajar 5. Adanya reinforcement dan hukuman yang mengarahkan perilaku pembelajar. (Omrod, 2006) Dalam pandangan teori kognitif sosial pencapaian prestasi akademik yang tinggi ditentukan oleh (1) adanya suatu stimulus dari luar (model-model yang diamati pembelajar dan adanya reinforcement dan hukuman yang mengarahkan perilaku pembelajar), dan (2) adanya suatu proses internal dalam diri organisme (harapan, efikasi diri, tingkah laku berorientasi tujuan dan tingkah laku regulasi diri). Dengan demikian dapat disebutkan bahwa model teoritis yang dapat menunjukkan faktor stimulus dan faktor proses internal yang paling berperan dalam pencapaian prestasi akademik merupakan jawaban dari pertanyaan : “faktor-faktor apa yang menentukan pencapaian prestasi akademik yang tinggi ?”. Syah (2004) mengemukakan bahwa faktor personal internal yang ikut berperan dalam pencapaian prestasi akademik adalah : inteligensi, sikap, minat, bakat, motivasi. Disamping faktor-faktor tersebut Bandura (1997) mengemukakan bahwa faktor personal internal yang juga sangat berperan dalam pencapaian prestasi akademik adalah efikasi diri dan harapan-harapan. Goleman (2001) berpendapat bahwa faktor internal yang sangat berperan dalam pencapaian prestasi akademik adalah kecerdasan emosional. Dari beberapa faktor personal internal tersebut yang dipilih sebagai variabel dalam penelitian ini adalah faktorfaktor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap prestasi akademik ditinjau dari dasar teori dan koefisien korelasinya. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) inteligensi, (2) efikasi diri, dan (3) kecerdasan emosional. 9 Menurut Nick (2007) inteligensi dapat menjadi prediktor terhadap berbagai prestasi dalam kehidupan sehari-hari, salah satu peran inteligensi yang sangat meyakinkan adalah dalam pencapaian prestasi akademik. Inteligensi merupakan prediktor terbaik untuk prestasi di sekolah. Koefisien korelasi antara skor IQ dengan prestasi di sekolah adalah sekitar 0,50, itu berarti IQ menjelaskan sekitar 25% dari hasil ujian yang diperoleh oleh seorang siswa, 75% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain. Sejalan dengan pendapat Nick, penelitian Alsa & Bachroni (1981) menunjukkan ada korelasi yang sangat meyakinkan antara inteligensi dengan prestasi belajar. Sementara itu penelitian Hadjam (1985) terhadap pelajar SMA kelas 2 juga menunjukkan ada korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar. Begitu juga penelitian Rustam (1988) terhadap siswasiswa Sekolah Dasar juga menunjukkan ada korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar. Makuling (1993) dalam peneltiannya terhadap mahasiswa FKIP juga menunjukkan ada korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar. Begitu juga penelitian terhadap pelajar SMK yang dilakukan Riatmadewita (2002) menunjukkan ada korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar bidang studi dasar keteknikan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat disebutkan bahwa inteligensi berperan dalam pencapaian prestasi akademik. Bandura (1997) mengemukakan bahwa kemampuan mengarahkan berbagai potensi dan dorongan yang ada dalam diri sangat berkaitan dengan efikasi diri, yaitu keyakinan mampu mengorganisir, dan keyakinan mampu melakukan tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Orang yang memiliki taraf efikasi diri tinggi akan mampu menggunakan potensi dirinya secara optimal, sehingga dalam proses pendidikan akan mampu mengaktualisasikan potensi diri menjadi prestasi yang tinggi. Sejalan dengan pendapat Bandura tersebut, banyak peneliti melakukan penelitian mengenai peran efikasi diri 10 terhadap pencapaian prestasi, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Pajares & Miller (1994), hasilnya menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi matematika. Begitu juga penelitian Dimyati (2000) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi polo air. Sejalan dengan itu penelitian Chemers, Hu, & Garcia (2001) juga menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi mahasiswa di tahun pertama. Penelitian Vancouver, Thompson, & Williams (2001) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi kerja. Penelitan Bell & Kozlowski (2002) juga menunjukkan hasil serupa yaitu ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi kerja. Penelitian Lane, Lane, & Cockerton (2003) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi. Penelitian Pietsch, Walker, & Chapman (2003) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi matematika. Penelitian Brown, Jones, & Leigh (2005) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi. Penelitian Porter (2005) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi kerja. Penelitian Vancouver, More, & Yoder (2008) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi kerja. Penelitian Rahimi & Abedini (2009) menunjukkan ada korelasi antara efikasi diri dengan prestasi listening. Meta analisis yang dilakukan oleh Rustika (2009) terhadap sebelas penelitian empiris menunjukkan hasil r = 0,470. sehingga dapat disebutkan bahwa efikasi diri berperan dalam pencapaian prestasi akademik. Goleman (2001) mengemukakan bahwa orang yang memiliki taraf kecerdasan emosional tinggi akan lebih mampu menggunakan potensi dirinya secara optimal dalam proses pendidikan karena ia mampu mengenali dan mengendalikan gejolak emosinya dengan baik serta mempunyai dorongan berprestasi yang tinggi, sehingga prestasi akademik yang dicapai akan lebih tinggi. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara 11 kecerdasan emosional dengan prestasi akademik adalah penelitian Marquez, Martin, & Brackettt (2006) yang menunjukkan ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Hassan, Sulaiman, & Ishak (2009) menunjukkan ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Penelitian Pishghadam (2009) menunjukkan ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Penelitian Bradberry & Su (2006) mengenai hubungan antara beberapa aspek dalam kecerdasan emosional dengan prestasi kerja menunjukkan hasil sebagai berikut : ada korelasi positif antara kesadaran diri dengan prestasi kerja; ada korelasi positif antara pengaturan diri dengan prestasi kerja; ada korelasi positif antara pengaturan hubungan dengan prestasi kerja. Penelitian Aryani (2007) juga menunjukkan ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi. Sejalan dengan itu penelitian Risma (2005) menunjukkan kecerdasan emosional berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Dari apa yang telah dikemukakan dapat disebutkan bahwa kecerdasan emosional berperan dalam pencapaian prestasi akademik. Dari apa yang telah dikemukakan maka dapat disebutkan bahwa ketiga faktor internal yang telah disebutkan yaitu : Inteligensi, efikasi diri dan kecerdasan emosional merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan proses internal dalam pencapaian prestasi akademik. Stimulus dari luar yang berupa model, reinforcement dan hukuman akan dapat diproses menjadi informasi yang positif apabila ketiga faktor tersebut mendukung. Menurut Bandura (1997) taraf efikasi diri seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan memahami hubungan sebab akibat atau taraf inteligensi. Penelitian Kumar & Lal (2006) terhadap 200 remaja menunjukkan ada perbedaan taraf inteligensi antara orang yang memiliki taraf efikasi diri tinggi dengan orang 12 yang memiliki taraf efikasi diri rendah (orang yang memiliki taraf efikasi diri tinggi taraf inteligensinya lebih tinggi dibandingkan dengan orang memiliki taraf efikasi diri rendah). Disamping ditentukan oleh taraf inteligensi, taraf efikasi diri juga ditentukan oleh kemampuan mengenali kelebihan dan kekurangan diri secara cermat atau kecerdasan emosional. Hasil penelitian Fabio & Palazzeschi (2008) menunjukkan ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan efikasi diri. Begitu juga penelitian Villanueva & Sanches (2007) menunjukkan hasil ada korelasi yang sangat meyakinkan antara kecerdasan emosional dengan efikasi kepemimpinan. Sejalan dengan itu, penelitian Marquez, Martin, & Brackett (2006) terhadap pelajar SMA menunjukkan ada korelasi antara kecerdasan emosional dengan kepercayaan diri. Begitu juga penelitian Shah & Thingujam (2008) menunjukkan penilaian terhadap emosi diri (kesadaran diri) berkorelasi positif dengan perencanaan pemecahan masalah (efikasi diri). Dari hasil-hasil penelitian yang telah dikemukakan maka dapat disebutkan bahwa inteligensi dan kecerdasan emosional mempunyai peran yang besar terhadap perkembangan efikasi diri. Dalam kaitannya dengan stimulus lingkungan yang mempunyai peran besar terhadap perubahan faktor internal (efikasi diri dan kecerdasan emosional), Darling (1999) mengemukakan bahwa pola asuh autoritatif paling banyak memberikan dampak positif terhadap perkembangan kepribadian anak karena adanya keseimbangan antara tuntutan terhadap anak supaya menjadi anak yang patuh terhadap aturan dan penghargaan terhadap anak supaya menjadi individu yang dihormati. Perkembangan efikasi diri akan sangat dipengaruhi oleh pola asuh autoritatif karena faktor-faktor yang memacu perkembangan efikasi diri (pengalaman berhasil, model-model yang dilihat, persuasi verbal dari orang lain, serta perubahan fisiologis dan suasana hati) dapat dibangkitkan atau disajikan 13 oleh pola asuh ini. Hasil penelitian Taris & Semin (1998) terhadap 253 remaja menunjukkan ada korelasi positif antara pengasuhan care/involvement (autoritatif) dengan efikasi diri. Begitu juga penelitian Wulansari (2002) terhadap 101 mahasiswa menunjukkan hasil ada korelasi positif antara persepsi terhadap pola asuh autoritatif orang tua dengan efikasi diri. Pola asuh autoritatif disamping berpengaruh terhadap perkembangan efikasi diri juga berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional. Pemberian kasih sayang dan penerapan disiplin yang dilakukan oleh orang tua autoritatif akan memacu perkembangan aspek-aspek kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial). Penelitian Tendean (2001) menunjukkan ada korelasi positif antara persepsi pola asuh orang tua demokratis (autoritatif) dengan kecerdasan emosional. Dari hasil penelitian yang telah ditunjukkan serta teori yang melatar-belakanginya maka dapat disebutkan bahwa pola asuh autoritatif berpengaruh terhadap perkembangan efikasi diri dan kecerdasan emosional. B. Rumusan Permasalahan Pencapaian prestasi akademik yang tinggi merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan remaja. Model teoritis yang menunjukkan faktorfaktor yang berperan dalam pencapaian prestasi akademik merupakan jawaban dari pertanyaan: “mengapa ada remaja yang mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi sedangkan yang lainnya tidak ?”. Dengan demikian yang perlu dicari jawabannya adalah: apakah model teoritis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik pada remaja yang disusun berdasarkan teori kognitif sosial yang menempatkan pola asuh autoritatif sebagai faktor 14 stimulus, inteligensi faktor g, efikasi diri, dan kecerdasan emosional sebagai faktor proses internal, dan prestasi akademik sebagai faktor tingkah laku sesuai dengan data empiris ? Rincian permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh inteligensi faktor g, efikasi diri, dan kecerdasan emosional terhadap prestasi akademik ? 2. Bagaimana pengaruh inteligensi faktor g dan kecerdasan emosional terhadap efikasi diri ? . 3. Bagaimana pengaruh pola asuh autoritatif terhadap efikasi diri dan kecerdasan emosional ? C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah membuktikan model teoritis yang diajukan sesuai dengan data empiris, sehingga mampu menjadi jawaban atas pertanyaan faktor-faktor apa yang menentukan pencapaian prestasi akademik ? . 2. Manfaat Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoritis kepada ilmu pengetahuan khususnya kepada teori kognitif sosial tentang “model teoritis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik pada remaja”, Dalam teori kognitif sosial belum pernah dikemukakan tentang peran pola asuh autoritatif sebagai faktor stimulus dalam menentukan pencapaian prestasi akademik pembelajar, hanya dikemukakan tentang besarnya peran model yang 15 diamati oleh pembelajar serta peran reinforcement dan hukuman dalam pencapaian prestasi akademik. Hasil analisis data dalam penelitian ini akan bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana peran pola asuh autoritatif dalam teori kognitif sosial, bagaimana pola asuh autoritatif berperan sebagai faktor stimulus mempengaruhi proses internal seseorang dalam pencapaian prestasi akademik. Secara rinci hasil analisis data akan menunjukkan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung pola asuh autoritatif terhadap efikasi diri, serta pengaruh langsung pola asuh autoritatif terhadap kecerdasan emosional. Peran efikasi diri sebagai faktor proses internal dalam pencapaian prestasi akademik telah dikemukakan dalam teori kognitif sosial, hanya belum dikemukakan peran inteligensi faktor g dan kecerdasan emosional sebagai faktor proses internal dalam pencapaian prestasi akademik. Hasil analisis data dari penelitian ini akan bermanfaat menunjukkan peran inteligensi faktor g, efikasi diri dan kecerdasan emosional sebagai aspek mental yang menjembatani (proses internal) antara stimulus (pola asuh autoritatif) dengan perubahan tingkah laku (pencapaian prestasi akademik). Hasil analisis data akan menunjukkan bagaimana pengaruh langsung efikasi diri terhadap prestasi akademik, pengaruh langsung dan tidak langsung inteligensi faktor g terhadap prestasi akademik, serta pengaruh langsung dan tidak langsung kecerdasan emosional terhadap prestasi akademik. D. Keaslian Penelitian Dari penelusuran penulis terhadap hasil-hasil penelitian, baik hasil penelitian yang disimpan di perpustakaan maupun hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal di internet dan jurnal yang dicetak, penulis belum 16 menemukan penelitian yang mengkaji pola asuh autoritatif dan inteligensi sebagai variabel exogenous dan variabel efikasi diri, kecerdasan emosional dan prestasi akademik sebagai variabel endogenous. Pada penelitian-penelitian sebelumnya yang banyak dilakukan adalah menghubungkan inteligensi dengan prestasi belajar, seperti penelitian yang dilakukan oleh Alsa & Bachroni (1981); Hadjam (1985); Rustam (1988); Makuling (1993); Riatmadewita (2002). Dalam penelitian ini disamping diamati pengaruh langsung inteligensi terhadap prestasi akademik juga diamati pengaruh inteligensi terhadap prestasi akademik melalui efikasi diri. Peran efikasi diri terhadap pencapaian prestasi sudah banyak diteliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh Pajares & Miller (1994); Dimyati (2000); Chemers et al. (2001); Vancouver et al. (2001); Bell & Kozlowski (2002); Lane et al. (2003); Pietsch et al. (2003); Brown et al. (2005); Porter (2005); Vancouver et al. (2008); Rahimi & Abedini (2009). Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan kebanyakan menghubungkan langsung antara efikasi diri dengan prestasi, dalam penelitian ini efikasi diri diposisikan sebagai variabel yang menjembatani antara variabel pola asuh autoritatif dengan prestasi akademik, sebagai variabel yang menjembatani antara variabel inteligensi dengan variabel prestasi akademik, sebagai variabel yang menjembatani antara variabel kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Penelitian mengenai kecerdasan emosional telah banyak dilakukan, penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih banyak mengkaji pengaruh kecerdasan emosional terhadap prestasi secara langsung, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hassan, Sulaiman, & Ishak (2009); Bar-On (2010); Pishghadam (2009); Zee, Thijs, & Schakel (2002); Mestre, Guil, Lopes, Salovey, & Olarte (2006); Bradberry & Su (2006). Dalam penelitian ini, disamping diamati 17 pengaruh langsung kecerdasan emosional terhadap prestasi akademik, juga diamati pengaruhnya terhadap prestasi akademik melalui efikasi diri. Peran pola asuh autoritatif terhadap prestasi juga telah banyak diteliti, penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak menghubungkan antara pola asuh autoritatif dengan prestasi secara langsung, seperti penelitian Garg, Levin, Urajnik, & Kauppi (2005); Chao, (2001); Martinez & Garcia (2008); Kim & Chung (2003); Steinberg, Eisengart, & Cauffman (2006). Dalam penelitian ini pengaruh pola asuh autoritatif terhadap prestasi akademik dijembatani oleh efikasi diri dan kecerdasan emosional. Pada penelitian ini kelima variabel dikaji secara simultan, hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian-penelitian sebelumnya analisis data dilakukan secara sendiri-sendiri (tidak simultan). Disamping itu, dalam penelitian-penelitian sebelumnya belum pernah ada penelitian yang memposisikan variabel pola asuh autoritatif dan variabel inteligensi sebagai variabel exogenous dan variabel efikasi diri, kecerdasan emosional dan prestasi akademik sebagai variabel endogenous