Monitoring Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi COREMAP CTI KARANG MONITORING KESEHATAN TERUMBU DAN EKOSISTEM Tahun TERKAIT 2015 LAINNYA COREMAP CTI KABUPATEN SIKKA Editor : Prof. Dr. Suharsono Pusat Penelitian Oseanogra Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta - 2015 Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948 MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA KABUPATEN SIKKA Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta - 2015 Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948 PRAKATA Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya. Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut. Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini. Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, November 2015 Penyusun Dra. Sasanti R. Suharti, MSc i i ii ii RINGKASAN EKSEKUTIF Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere secara administratif merupakan bagian dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Daratan Flores. Wilayah Kabupaten ini merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km2. Terdapat 18 pulau baik yang didiami ataupun tidak didiami. Seiring dengan diberlakukan UU Otonomi daerah terjadi pemekaran wilayah kecamatan dari 12 Kecamatan menjadi 21 Kecamatan (BPS 2012). Dari 21 kecamatan, enam diantaranya masuk kedalam lokasi stasiun penelitian. Kekayaan sumberdaya kawasan pesisir di Kabupaten Sikka antara lain mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ekosistem perairan tersebut mampu memberikan tempat kepada biota-biota lain untuk tempat hidup dan berkembang di dalamnya, terutama biota ekonomis penting. Studi kesehatan terumbu karang di perairan Maumere telah dilakukan tahun 2006 untuk pengambilan data dasar (baseline data). Pemantauan berikutnya di lokasi yang sama yang telah dibuat permanen telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan 2013. Pada tahun 2013 ada penambahan bidang kajian penelitian dalam monitoring kesehatan terumbu karang yakni penelitian lamun dan mangrove sebagai ekosistem terkait. Penelitian monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait COREMAP III CTI pada tahun 2015 ini telah melakukan penelitian di lokasi yang sama seperti pada tahun 2013. Sebagian terbesar dari wilayah terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di perairan Sikka Flores masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten SIKKA. Fungsi dan manfaat ekosistem pesisir tersebut sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatnya atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP I, COREMAP II hingga COREMAP III CTI mengambil peran penting dalam pengelolaan atas kawasan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya tersebut. Monitoring adalah bagian terpenting dari pengelolaan, yang tujuannya menyediakan data dan informasi untuk menilai kondisi terkini dari objek yang diamati. Informasi ini penting untuk memprioritaskan kegiatan dan strategi konservasi Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data terbaru dari ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, sehingga data ini dapat digunakan untuk menilai dan mengelola wilayah pesisir di perairan Sikka. ii iii Metode yang digunakan dalam penelitian ini tergantung dari bidang yang dikaji. Untuk Sitem Informasi Geografi (SIG) adalah ground truth yang dipakai untuk Pemetaan Habitat. Sedangkan untuk penelitian karang pengambilan data menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) pada kedalaman dimana karang umum dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Untuk mengetahui persentasi tutupan dihitung dengan rumus: Untuk ikan karang pengambilan data dilakukan dengan sensus visual pada transek sabuk dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Untuk menghitung kepadatan ikan karang yang diamati dengan menggunakan rumus: Sedangkan untuk menghitung biomassa ikan karang digunakan rumus: W = a x Lb Metode pengambilan data untuk megabentos menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect” pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri transek. Sedangkan untuk penelitian lamun digunakan metoda transek kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch. Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical Photography. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi untuk Peta habitat laut dangkal dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas seperti dalam tabel berikut ini. Habitat Luas (Ha) Karang 3747,19 Pasir 3342,59 Lamun 994,10 Mangrove 480,16 Untuk penelitian karang hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension) diperoleh nilai persentase tutupan karang batu iii iv bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan MMRL 55. Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan. Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Untuk kelompok ikan pemakan karang (Coralivores) yang diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya ada 22 spesies. Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Dari hasil analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha. Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target. Total terdapat 534 individu megabenthos target Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan 53.44% Persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere secara keseluruhan tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ± 23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan 38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Akan iv v tetapi lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%, Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik. Keragaman jenis di tiap-tiap stasiun secara umum berkisar antara 13 - 50 spesies, sementarakKepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting pada masing-masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan dari 7 suku ikan ekonomis. Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun kebanyakan di dominasi oleh bulu babi. Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang didukung oleh kondisi perairan yang baik pula. Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang: 38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang). v vi DAFTAR ISI PRAKATA …………………………………………………………………………………… i RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iii ………………..……………………………………………………………... vii DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL …………….…………………………………..………………………. ix ……………….………………………………..…………………………. xi BAB I. PENDAHULUAN ……..……………………………………………………………. 1 TUJUAN PENELITIAN ……………………………………………………………. 1 LINGKUP PENELITIAN ………...…………………………………………………. 2 LOKASI PENELITIAN …………..…………………………………………………. 2 WAKTU PENELITIAN ………..……………………………………………………. 3 PELAKSANA PENELITIAN ……….………………………………………………. 3 BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA PEMETAAN HABITAT ……..……………….…………………………. 3 ……………….……………………………………………. 3 Pengolahan dan Analisa Data KARANG IKAN KARANG ……………………………………………… 5 ……………………...……………………………………………… 6 Analisis Data MEGA BENTOS ……………………..…………………………………………… 7 …………………………………………………………………… 7 ……………………………………………………………………………… 8 Analisis Penutupan Lamun MANGROVE ………………………………………………… 8 ………………………………….…………………………………… 9 Analisis Data ……………………………………..………………………… 10 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN SIG 3 ……………………………………….…………………………………… 4 Pengolahan dan Analisa Data LAMUN ……………………………………………… ……..………………….…………………………. 11 …………………………………………………………………………………. 11 Pra Pemrosesan …………..…………………………………….…………. 11 Peta Habitat Perairan Dangkal KARANG …………………………………………… 13 ……………………………………………………..……………………… 15 Tutupan Karang …………………………………….……………………… 15 Kondisi Umum Lokasi IKAN KARANG ………………………...……………………………… 16 ………………………..……………………………………………. 23 Jumlah Jenis …………………………………………………………………. 23 vi vii Kepadatan Ikan Karang ……………………………………………………. 26 Biomassa Ikan Karang ……………………….……………………………. 26 MEGA BENTOS ……………………..……………………………………………. 29 Komposisi Jenis dan Kepadatan Mega Bentos LAMUN ………………..…………………………………………..………………. 34 MANGROVE ………………..…………………………………………..…………… 36 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran …………………………………..………………. 39 ………………………………………………………..………………. 39 …………………………………………...…………………...………………. 40 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN …………………………………...…………………..………………. 41 …..………………………………………...…………………..……………… 43 vii viii …………...……………… 30 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 ……….………… 2 Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT …………………..…………... Gambar 3. Skema Transek Kuadrat ………………………..………………………….……. Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem ………..…… mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar ………… sebelum dilakukan proses penajaman citra. Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar …..… setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981). Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan ………..……… perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing- masing stasiun ………… Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun ……..……… pengamatan Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan …………… Maumere, Sikka, 2015 Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis ………… penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015 Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun ………… penelitian 5 8 10 Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae …..…… menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015 Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut …… lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015 Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting …………..…… berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015 Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di ……..…… stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015 Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan ……..…… Sikka -Maumere Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring ……….…… Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan …………..…… ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan) 25 12 13 14 16 16 22 23 24 26 28 28 29 36 38 viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat …………………………...………… 6 Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup Tabel 3: Kategori tutupan lamun ………… 6 ………….…………………..………………………. 9 Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka ……………… 10 Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas …………… 14 Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sika, Nusa Tenggara Timur. ………….… 14 Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015 ……..……… 25 Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih ……………………………. 27 Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setiap stasiun pengamatan Tabel 10. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Kabupaten Kabupaten Sikka, Maumere Tabel 11. Penyebaran Jenis Lamun pada Stasiun Monitoring ………… 29 ……………… 30 ………………….…… 34 Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring …………….…… 35 Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere. ……….… 37 ix xi xii BAB I. PENDAHULUAN Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang direncanakan berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi COREMAP. Pada COREMAP CTI ini ada penambahan lokasi baru yang sebelumnya tidak ada di COREMAP fase II. Lokasi lokasi baru yang ditambahkan adalah lokasi perairan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang pengelolaannya ada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan. Salah satu lokasi COREMAP adalah Kabupaten Sikka dengan Ibukota Maumere yang terletak di sebelah timur Pulau Flores Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut. Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km. (www.sikkakab.go.id). Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari terumbu karang tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores) maupun di pesisir (Winardi & Manuputty, 2007). Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup bagi banyak biota laut. Oleh karena itu, ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di perairan Sikka merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat besarnya ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem tersebut. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal (baseline study) mengenai kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan mega bentos, serta data awal mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove di perairan Sikka untuk COREMAP CTI. 1 1 2 LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup dalam rangka melakukan penelitian ini meliputi beberapa tahapan yakni: 1. Tahap persiapan, yakni melakukan komunikasi dengan instansi terkait di wilayah lokasi penelitian, kegiatan administrasi dan persiapan peralatan serta transportasi yang dibutuhkan dalam penelitian. 2. Pengumpulan Data, yakni melakukan pengambilan data yang dibutuhkan secara langsung di lapangan sesuai dengan tujuan kegiatan penelitian. 3. Analisa data, yaitu pengolahan data yang telah diperoleh agar data dapat tersaji dan dipahami. 4. Pelaporan yakni membuat laporan sementara dan laporan akhir sebagai bentuk pertanggung jawaban dari kegiatan yang telah dilakukan. LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di 14 stasiun pengamatan yang (Gambar 1). Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 2 3 WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di perairan Sikka pada 5-13 Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian awal (baseline study) di 3 ekosistem yaitu Ekositem karang yang meliputi Penelitian Karang, Ikan Karang dan Megabentos, Ekosistem Lamun dan ekosistem Mangrove serta Pemetaan habitat PELAKSANA PENELITIAN Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh para peneliti dan pembantu peneliti di lingkungan P2O LIPI di bidang SIG, karang, ikan karang, megabentos, dan mangrove. Sedangkan untuk bidang lamun dibantu dengan peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon dan 3 staf lokal dan 3 tenaga lokal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat. BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA PEMETAAN HABITAT/SIG Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Trimble Juno, kamera bawah air dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84. Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di perairan Maumere dan sekitarnya adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 112/66 perekaman 5 Mei 2015. Pemetaan habitat perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral. Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi 3 4 karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada saluran (band) yang berbeda (Richards, 1999). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan piksel citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood. Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan dangkal adalah saluran biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4), dan saluran inframerah dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada citra satelit. Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan memanfaatkan komposit citra RGB 562. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat (0,8646 um) yang peka terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal daun. Pada saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan diversivitasnya (keanekaragaman jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur internal dari vegetasi mangrove. Saluran inframerah tengah (1,6090 um) memiliki karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh serapan air sehingga tumbuhan mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini disebabkan karena tumbuhan mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang besar (Sato, 1996 dalam Hudaya, 2004). Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan yang terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis dengan membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir. Pengamatan dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya menggunakan alat receiver GPS. KARANG Pengamatan visual secara bebas mulai dari bagian pinggir pantai hingga ke bagian terumbu tempat dilakukannya transek di masing-masing stasiun penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum tentang stasiun penelitian. Selain itu juga dilakukan pengambilan data 4 5 menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian. Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut: Pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang garis transek mulai meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil dilakukan disebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi pengambilan foto ditampilkan pada gambar 2. Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT. Pengolahan dan Analisis Data Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1). Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame foto menggunakan rumus: 5 6 Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi kondisi terumbu karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) (Tabel 2). Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup. Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian 75 – 100 Sangat baik 50 – 74,9 Baik 25 – 49,9 Cukup 0 – 24,9 Kurang IKAN KARANG Pengambilan data dilakukan dengan sensus visual (English et al., 1994), dengan menggunakan alat selam (SCUBA) pada transek sabuk dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Unit analisis mencakup kelompok Coralivore (Chetodontidae) dan kelompok ikan ekonomis penting. Data yang dikumpulkan adalah jumlah jenis, panjang ikan (dalam centimeter) dan jumlah individu. Jenis, jumlah individu ikan dan perkiraan panjang ikan dicatat dalam data sheet kedap air. 6 7 Identifikasi jenis ikan menggunakan beberapa buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang (Allen et al. 2009; Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009), yaitu mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai ujung sirip ekor dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang taksiran (cm) dengan kelipatan 5. Analisis Data Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi selama penyelaman. Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan. Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat, dimana dengan menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui jalan subsitusi nilai panjang pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan. Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web “fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese & Pauly (2014). Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area pengamatan MEGA BENTOS Metode pengambilan data menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect” pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri transek. Metode pengambilan data megabenthos hanya menargetkan 8 biota yang menjadi target pendataan, yaitu: Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi (Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.), Lobster (Panulirus spp.) dan Bintag laut (Linchia Spp). 7 8 LAMUN Metode yang digunakan adalah transek kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch. Pengambilan data dilakukan pada tiga transek dengan jarak antar transek 50 m. Transek pertama dicatat posisi koordinatnya dan ditandai dengan patok besi yang dipasang pelampung. Transek nomor 2 dan 3 ditentukan ke arah sebelah kanan dengan posisi pengamat menghadap ke laut. Jarak antar kuadrat pada masing-masing transek adalah 10 m, dan kuadrat yang digunakan adalah ukuran 50 x 50 cm atau 0.25 m2 (Gambar 3). Kesehatan lamun ditentukan berdasarkan persentase penutupan lamun pada kuadrat ukuran 0.25 m2 yang dibagi lagi menjadi 4 kotak kecil. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil berdasarkan Saito and Atobe, (1970) dalam English et al., (1994) yang dimodifikasi.(Tabel 3). Pada masing masing kuadrat diamati juga substrat dan biota yang berasosiasi dengan lamun. Gambar 3. Skema Transek Kuadrat Analisis Penutupan Lamun Penutupan lamun dalam satu kuadrat dihitung dengan menjumlahkan nilai tutupan lamun pada setiap kotak kecil (4 kotak), dan hasilnya kemudian dikali dengan 100. Rumus penutupan lamun (%) adalah sebagai berikut: 8 9 Tabel 3: Kategori tutupan lamun Penentuan Status Padang Lamun Kriteria status padang lamun MANGROVE Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13 stasiun permanen di area KKPD Teluk Maumere. Sebaran dan deskripsi stasiun penelitian disajikan dalam Tabel 4. Stasiun permanen terdiri dari tiga plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji (2014). Setiap plot dibagi menjadi 4-9 kuadran dimana setiap kuadran diambil satu kali foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan. Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera 5 megapixel Himax Polymer Octacore. 9 10 Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka. Analisis Data Foto dianalisis dengan menggunakan software ImageJ dan Microsoft Excel untuk dihitung persentase tutupannya. Kondisi rata-rata tutupan mangrove dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu padat (>75%); sedang (antara 50 – 75%) dan jarang (<50%) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004. Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka. 10 11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN SIG Pra-pemrosesan Citra yang digunakan merupakan citra LANDSAT 8 level 1T, artinya citra tersebut sudah dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi (Orthorectified). Jika dibandingkan dengan peta dasar sebagai acuan yaitu peta Rupabumi Indonesia, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di peta dasar. Kualitas resolusi spasial citra LANDSAT multispektral dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan saluran pankromatik. Saluran pankromatik LANDSAT 8 memiliki resolusi spasial 15 meter x 15 meter, sedangkan multispektralnya hanya 30 meter x 30 meter. Teknik pan-sharpening dengan algoritma Gram-Schmidt digunakan untuk proses tersebut. Algoritma tersebut memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma pan-sharpening lainnya, serta direkomendasikan untuk berbagai aplikasi/pemanfaatan (Laben et al., 2000). Hasil dari proses tersebut adalah citra satelit multispektral dengan resolusi spasial 15 meter x 15 meter. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi DN seluruh liputan citra dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal dengan dark substraction. DN minimum didapatkan dari analisis histogram citra diliputan laut dalam. Hasil analisis pada tahapan tersebut disajikan pada Gambar 5. 11 12 Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra. Tahapan selanjutnya mempertajam citra oleh pengaruh indeks kedalaman menggunakan algorima sebagai mengambil nilai piksel yang menggambarkan substrat pasir dari lokasi yang dianggap paling dalam, berturut turut menuju ke arah payang dikemukakan oleh Lyzenga (1981) dengan persamaan sebagai berikut: Keterangan: σii, jj: varian band i, atau band j σij : covarian band ij Li : Nilai digital pada band i. Lj : Nilai digital pada band j. ki/kj : Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j. Nilai ki/kj diperoleh dengan pengambilan nilai piksel pasir pada kedalaman yang berbeda. Material pasir mudah dikenali pada citra komposit true color secara visual, yaitu berwarna cyan atau biru muda untuk pasir pada air dangkal, serta berangsur-angsur warna biru muda menjadi lebih gelap untuk pasir pada air yang lebih dalam. Nilai logaritmik piksel yang terrekam pada saluran 2 (B2), 3 (Band 3) dan 4 (Band 4) di plot dalam suatu grafik. Dalam menguji ketelitian 12 13 nilai ki/kj yang diperoleh yakni dengan melihat besarnya nilai R2. Idealnya nilai tersebut mendekati 1 atau umumnya 0.999. Namun demikian mengingat sulit nya mencari habitat pasir yang homogin dalam suatu citra, kadang hasil analisis tidak setajam yang diharapkan. Gambar 6 adalah citra hasil analisis menggunakan algoritma Lyzenga (1981). Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981). Peta Habitat Perairan Dangkal Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan, dapat dibuat peta habitat perairan dangkal sementara sebaran mangrove di delineasi secara manual menggunakan citra komposit RGB 562. Habitat perairan dangkal dilakukan menggunakan klasifikasi nearest likelyhood berdasar panduan data observasi lapangan. Substrat dasar perairan dapat dikelompokkan atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 5, luas masing masing klas disajikan pada Tabel 6, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 7. 13 14 Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas. Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur. Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur 14 15 KARANG Tutupan Karang Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension) diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan MMRL 55. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada masing-masing stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 8. Nilai persentase tutupan karang batu yang dicatat pada setiap stasiun merupakan gabungan jenis-jenis karang dari kelompok Acroporan dan Non-Acropora (Gambar 9.). Terumbu karang perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya merupakan tipe terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang dan luas tutupan yang cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Dari kategori abiotik lainnya, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble dominan, persentase tutupan DCA tertinggi ada di stasiun MMRL 37 (53,87%) dan terendah di stasiun MMRL 13 (10,13%). Hasil pengamatan substrat dan komponen biotik lainnya dengan metode CPCe pada setiap stasiun di perairan Kab. Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 4). Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang) terdapat di stasiun MMRL 74 (12,00%). Tingginya nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor alam maupun akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan bom dalam menangkap ikan. Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa lokasi (daerah) di perairan Indonesia. Secara keseluruhan lokasi monitoring kab. Sikka memiliki perairan yang jernih, namun kondisi persentase tutupan karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi yang rendah hingga sedang (1,80% - 34,47%). Tutupan karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya serta substrat yang beragam memberi peluang (tempat) yang cukup besar bagi kehadiran ikan maupun biota megabentos lainnya. 15 16 Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun 100.00 CORAL (HC) 90.00 RECENT DEAD CORAL (DC) 80.00 DEAD CORAL WITH ALGAE (DCA) SOFT CORAL (SC) Persentase (%) 70.00 SPONGE (SP) 60.00 FLESHY SEAWEED (FS) OTHER BIOTA (OT) 50.00 RUBBLE (R) 40.00 SAND (S) 30.00 SILT (SI) ROCK (RK) 20.00 10.00 0.00 MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL 06 13 21 37 47A 55 65 69 74 75 78 79 80 88 Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun pengamatan. Kondisi Umum Lokasi Stasiun MMRL 06 Lokasi pengamatan terletak desa Hewuli, Kecamatan Alok, pesisir P. Flores . Lokasi berada pada gosong sekitar 500 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan 16 17 mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir putih dan pecahan karang yang ditumbuhi algae. Rataan karang memiliki luas antar 50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa karang gundus (rampart reef). Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O.Beberapa karang yang sering dijumpai pada lokasi ini adalah dari keluarga Acroporidae dan Poritidae. Namun persentase tutupan karang pada kategori jelek (12,20%) Persentase tutupan ”DCA” sebesar 43,47 % . Persentase tututpan algae 0,27%, biota lain (other biota) 2,6%. Untuk kategori abiotik, dicatat persentase tutupan :rubble” 2,20% dan pasir 32,33%. Kondisi tutupan pasir yang cukup luas dapat mengurangi daya recoveri dari karang. Hal ini dikarenakan subtrat dasar pasir tidak cukup kokoh digunakan sebagai inisiasi pertumbuhan karang. Kaki karang pada lokasi ini mencapai kedalaman 30m. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari marga Porites lutea, Acropora latistella dan Montipora sp.. Pada lokasi ditemukan juga karang lunak dari marga Sinularia spStasiun. Stasiun MMRL 13 Lokasi pengamatan terletak di pesisir P. Flores tapatnya di desa Wailiti, Kec. Alok Barat dekat dengan resort. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan tumbuhan asosiasi mangrove. Terumbu karang merupakan tipe terumbu karang tepi dan terdapat goba yang berkembang baik. Rataan karang sampai ke tubir kurang lebih 100-200m dengan pertumbuhan karang berupa “patches” dari marga Acroporidae dan Poritidae. Daerah tubir didominasi oleh karang dari keluarga Acroporidae dan Fungiidae. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 5 m. Substrat dasar berupa pecahan karang mati dengan pasir berwarna coklat. Lokasi transek berada pada dengan tingkat kemiringan 20O. Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini dapat dikategori “jelek” (7,8%). Persentase tutupan karang lunak 0,27% , sponge 1,73% dan makroalgae 0,07%. Untuk kategori abiotik dicatat “rubble” 2,20% dan pasir 0,07%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan adalah Acropora clathrata, Fungia danai dan Oxypora glabra. Stasiun MMRL 21 Lokasi pengamatan di pesisir P. Flores tepatnya berada pada Desa Waiara, Kec. Kewapante. Pantai terdiri pasir dan pecahan karang mati. Vegetasi daratan berupa pohon kelapa dan semak.Rataan terumbu karang terdiri dari pecahan karang yang telah ditumbuhi oleh alga. Pertumbuhan karang berupa “patches” dari keluarga Poritidae. Rataan terumbu cukup luas kurang lebih mencapai 100-200m. Lokasi pengamtan berada sekitar 100m dari pantai di sebelah 17 18 timur pantai terdapat mushola dan 2 menara BTS. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 8 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Subtrat dasar berupa pecahan karang dan karang mati yang telah ditumbuhi alga diselingi dengan pasir. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 43,4 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 23,4 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 6,93% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi ini adalah Porites lutea, Porites lobata dan Coeloseris sp. Stasiun MMRL 37 Lokasi terletak di pesisir utara P. Flores tepatnya berada di desa Weigete, Kec. Kewapante . Lokasi berada pada gosong sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon kelapa dengan tower BTS dibelakang vegetasi pohon kelapa. Lokasi transek berada di kedalaman 6-9 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Substrat dasar didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi oleh alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 5 O. Rataan karang mencapai luas hingga 100m dengan pertumbuhan karang berupa “patches” diselingi dengan pasir. Pada area tubir karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari keluarga Faviidae dan Poritidae. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 53,87 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 11,93 % dan karang lunak 2,47 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 10,2% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang keras yang mendominasi lokasi ini adalah Favites sp., Porites lutea, dan Porites cylindrica. Stasiun MMRL 47A Lokasi pengamatan diubah dikarenakan pada lokasi tahun sebelumnya laju sedimentasi cukup tinggi. Lokasi pengamatan terletak di P. Flores berada dekat dengan selat antara P. Flores dan P. Dambilah. Secara administrasi masuk kedalam desa Darat Pantai, Kec. Talibura. Lokasi ini merupakan salah satu dive spot di Kab. Sikka. Lokasi berada sekitar 300 m dari pelabuhan tradisional dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Perairan dekat pantai bersubstrat dasar pasir dengan bulu babi yang jumlahnya cukup banyak. Kondisi cuaca pada saat pengamatan cerah dengan angin yang tidak begitu kuat. Lokasi trasek berada pada kedalaman 6-9 m dengan jarak pandang mencapai 10 m. Substrat dasar berupa pasir diselingi dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada slope dengan tingkat kemiringan 50O. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari marga Acropora sp., Seriatopora sp. dan Montipora sp. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 18,53 % dan karang lunak 4,2 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 32,13% masuk dalam kondisi “cukup”. 18 19 Stasiun MMRL 55 Lokasi pengamatan terletak di P. Flores sebelah timur. Secara administrasi masuk kedalam desa Wailamung, Kec. Talibura Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan berpasir putih. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan disamping lokasi ada lokasi pembudidayaan kerang mutiara. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 5,87 % dan karang lunak 4,67 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 21,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan Favites sp.. sementara karang lunak yang sering dijumpai adalah Dendronepthia sp. Stasiun MMRL 65 Lokasi pengamatan terletak di P. Babi sebelah timur. Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Secara administrasi masuk kedalam desa Pemaan, Kec. Alok Timur. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon lamtoro. Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 13,2 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 44,27 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Montipora stellata, Montipora undata dan Seriatopora caliendrum. Stasiun MMRL 69 Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan P. Besar desa Ujung Karang, Kec. Alok Timur. Pada saat pengamtan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cuku tenang, Berada sekitar 200m dari pantai. Pantai berpasir putih dengan vegetasi dominan adalah pohon kelapa. Di sebelah timur pantai terdapat sekolahan. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 9 m , subtrat pasir, pecahan karang, karang mati yang telah ditumbuhi alga. Air cukup keruh dengan jarak pandang ±5 m. Karang tumbuh berupa spot-spot yang mengelompok. Karang lunak didominasi oleh jenis Lobophytum sp. dan Sinularia sp. dengan tutupan sebesar 2,93 %. Kategori bentik ”DCA” tercatat sebesar 42,27 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini mencapai 34,47% 19 20 masuk dalam kategori ”cukup”. Karang yang mendominasi lokasi ini adalah Acropora microphthalma, Porites sp., Isopora brugemani dan Favia sp Stasiun MMRL 74 Lokasi terletak di P. Besar sebelah selatan di dekat ujung bagian barat di desa Waylago, Kec. Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 300 m dari pemukiman penduduk. Pantai berpasir dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Cuaca pada saat pengambilan agak mendung dan angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air llaut mauoun dasar laut cukup tenang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6 m dengan kondisi perairan yang jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada pada lereng yang landai dengan sudut kemiringan 3045o. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang diselingi dengan pasir. Karang keras yang dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga Porites dan Acropora, ditemukan juga beberapa juvenil karang yang berukuran < 10 cm. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 14,8 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 73,93 %. Tutupan karang hidup tercatat sebesar 1,8 %, terdiri dari karang non-Acropora, dan masuk dalam kategori ”jelek”. Dilihat dari jumlah pecahan karang yang cukup tinggi kerusakan dapat disebabkan oleh adanya praktek penggunaan bom ikan serta kerusakan yang diakibatkan oleh jangkar kapal. Stasiun MMRL 75 Lokasi pengamatan terletak di Pulau Besar bagian selatan desa Kojadoi, Kec. Alok Timur. Kondisi pantai berbatu dengan vegetasi pohon kelapa dan tumbuhan pantai yang cukup banyak. Lokasi pengamatan berdekatan dengan pemukiman yang cukup kecil berjarak ± 400 m dari lokasi. Cuaca pada saat pengamatan dalam keadaan cerah dan tenang. Pengamatan dilakukan pada kedalaman 6 m dengan kondisi perairan jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada di lereng landai dengan kemiringan sekitar 30O. Dasar laut bersubstrat pasir berseling dengan pecahan karang dan karang mati yang ditumbuhi alga. Karang keras didominasi keras jenis Porites sp. dengan bentuk tumbuh boulder kecil dan Pocillopora sp. bercabang. Diketemukan juga beberapa jenis soft coral seperti Lobophytum sp. dan Sinularia sp. dengan tutupan mencapai angka 4,33%. Tutupan karang hidup sebesesar 26,47% dan masuk kedalam kategori “cukup”. Stasiun MMRL 78 Lokasi pengamatan terletak di P. Dambilah sebelah timur berada dekat dengan selat antara P. Dambilah dan daratan utama (p. Flores). Secara administrasi masuk kedalam desa Pangabatang, Kec. Alok Timur Daratan berupa pantai berpasir putih dengan beberapa pohon 20 21 mangrove. Kondisi cuaca dalam keadaan cerah dan angina tidak begitu kencang. Lokasi transek berada pada kedalaman 6 m dengan jarak pandang mencapai ± 15 m. Lokasi berada di lereng dengan kemiringn sekitar 45O. Substrat dasar berupa pasir putih dengan pecahan karang. Pada lokasi banyak ditemui karang lunak dari marga Sarcophyton sp. dan Dendronephthya sp.. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi transek adalah dari marga Acropora sp. dan Pocillopora sp.. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 36,87 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 17,83 % dan karang lunak 9,6 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,60% masuk dalam kondisi “jelek”. Stasiun MMRL 79 Lokasi pengamatan terletak di P. Dambilah sebelat barat berbatasan dengan P. Besar. Secara administrasi masuk kedalam desa Parumaan, Kec. Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 3 km dari timur pemukiman penduduk. Pantai berbatu dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Cuaca pada saat pengambilan cerah dan angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air laut maupun dasar laut cukup tenang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6-10 m dengan kondisi perairan yang jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada pada lereng yang landai dengan sudut kemiringan 30-45o. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang diselingi dengan pasir. Karang keras yang dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga Porites dan Acropora. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 23,67 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 34,8 %. Karang tumbuh berupa spot-spot, tutupan karang hidup tercatat sebesar 8,6 %, masuk dalam kategori ”jelek”. Karang keras dengan pertumbahan masif mendominasi. Karang jenis porites lobata dan Acropora sp sering dijumpai pada lokasi ini. Stasiun MMRL 80 Lokasi pengamatan terletak di bagian timur pulau pemanah kecil tepatnya di desa Pemana, Kec. Alok. Cuaca pada saat pengambilan dalam kondisi cerah dan permukaan laut yang cukup tenang. Lokasi pengamatan merupakan pulau kecil tidak berpenghuni pantai pasir putih dengan vegetasi berupa semak. Panjang reef ± 100m dari pantai. Lokasi transek berada pada slope dengan kemiringan hampir 90O. Pada lokasi transek bentuk pertumbuhan karang keras yang umum dijumpai adalah jenis Pocillopora sp. dan Acropora sp. dengan bentuk tumbuh bercabang. Pertumbuhan karang berupa spot (kelompok) kecil yang dijumpai dengan koloni yang kecil. Dasar laut bersubtrat pasir diselingin dengan beberapa karang mati yg telah ditumbuhi alga dan pecahan2 karang. Selain itu juga ditemukan karang lunak sebesar 6,33%. Karang lunak yang ditemukan pada lokasi adalah Sarcophyton sp. dan Lobophytum sp. 21 22 Tutupan karang hidup dicatat sangat rendah yaitu 8,60 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori sangat “jelek’. Karang mati yang telah ditumbuhi algae ditemukan sebesar 39,40%. Tingginya nilai karang mati yang telah ditumbuhi oleh coraline alga dapat dijadikan subtrat dasar yang cukup kuat untuk pertumbuhan anakan karang. Stasiun MMRL 88 Lokasi ini merupakan gosong kecil yang berada sekitar 1 km dari lampu suar berada di desa Gunungsari, Kec. Alok. Pada saat pengambilan data cuaca dalam keadaan cerah. Air laut dalam posisi surut, arah angin dari tenggara menuju barat laut. Arus permukaan dan dasar perairan cukup kuat, di lokasi ini dijumpai tumpukan pecahan karang mati yang telah ditumbuhi alga. Dasar perairan berupa pasir putih serta pecahan karang mati yang banyak ditumbuhi oleh karang lunak dan sponge, kondisi perairan jernih dengan jarak pandang sekitar 20 m. Lokasi transek berada pada kedalaman 15 meter. Dan berada pada dasar laut yang cukup rata dengan sudut kemiringan sekitar 5O. Pertumbuhan karang di lokasi ini kurang baik, berupa kelompok kecil yang dijumpai dengan ukuran koloni yang kecil (< 50 cm). Umumnya karang memiliki bentuk pertumbuhan karang seperti bongkahan (massive) didominasi oleh Porites sp.. Karang lunak didominasi oleh jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. Tutupan karang hidup sangat rendah yaitu 6,80%. Komponen substrat yang cukup tinggi adalah ”karang mati ditumbuhi alga” 23,27%. Selanjutnya tutupan pasir (S) 10,07 %, sedangkan rubble 6,83 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori sangat ”jelek”. Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 22 23 IKAN KARANG Jumlah Jenis Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan. Ke tujuh suku tersbut yaitu suku Acanthuridae (butana), Haemulidae (bibir tebal/kaneke), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (Lencam), Scaridae (kakatua), Serranidae (kerapu), dan Siganidae (baronang). Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian ternyata bervariasi cukup lebar (Gambar 10). Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Adapun lokasi penelitian yang mempunyai jumlah jenis yang tergolong sedang adalah pada stasiun MMRL 55, MMRL 69, MMRL 75 dan MMRL 88. 30 Jumlah Jenis 25 27 21 24 27 26 27 22 20 15 17 21 19 16 11 10 7 7 5 0 Stasiun Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015 23 24 Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian monitoring, perairan Maumere, kabupaten Sikka, 2015 Untuk kelompok ikan pemakan karang (Coralivores) yang dalam hal ini diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya ada 22 spesies ikan kepe-kepe, tetapi tidak semua lokasi dapat dijumpai ikan kepe-kepe sebanyak itu. Lokasi stasiun yang memiliki kelimpahan ikan kepe-kepe yang relatif tinggi adalah MMRL 69, MMRL 55 dan MMRL 75. Lokasi stasiun yang memiliki jumlah jenis tertinggi adalah MMRL 75 (Tabel 7, Gambar 13). Jadi dapat diprediksi bahwa stasiun MMRL 75 memiliki kondisi kompleksitas dasar terumbu karang yang relatif baik. Jenis kepe-kepe yang paling umum ditemukan dalam jumlah tinggi dan menyebar di semua lokasi penelitian adalah jenis Chaetodon kleinii, yaitu jenis yang mampu beradaptasi pada semua kondisi terumbu karang dan juga ditemukan pada kondisi karang rusak sekalipun. Sementara, jenis yang tidak menyebar merata adalah jenis Chaetodon unimaculata, yaitu hanya ditemukan pada stasiun MMRL 75. 24 25 MMRL 55 MMRL 65 MMRL 21 MMRL 13 MMRL 06 Stasiun MMRL 37 MMRL 47a MMRL 78 MMRL 79 MMRL 74 MMRL 75 MMRL 69 MMRL 80 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Jumlah Jenis Ikan Indikator (Chaetodontidae) Menurut Letak Stasiun di Perairan Maumere 2015 MMRL 88 Jumlah Jenis Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015 Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 20015 25 26 Kepadatan Ikan Karang Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Variasi kepadatan antar stasiun penelitian cukup lebar, terkecil 24 ekor/350m2 pada stasiun MMRL 13 dan terbesar 400 ekor/350m2 pada stasiun MMRL 79 (Gambar 14). Kepadatan Ikan Karang dari 7 Suku ikan ekonomis penting (individu/350m2) 450 400 326 350 Jumlah (ekor) 400 383 300 338 305 310 266 250 200 165 150 174 164 170 109 100 24 50 55 0 MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL 88 80 69 75 74 79 78 47a 37 06 13 21 65 55 Stasiun Penelitian Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015 Biomassa Ikan Karang Sediaan ikan karang menurut jenis, suku dan biomassanya untuk ikan ekonomis penting (7 suku) untuk masing-masing lokasi penelitian secara detail disajikan pada Tabel 8. Dari hasil analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha. Lokasi yang memiliki sediaan ikan karang tertinggi adalah termasuk stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 88, dimana lokasi tersebut memiliki biomassa ikan karang di atas 1,4 ton/ha. Lokasi dengan biomassa kategori sedang atau sekitar nilai rata-rata adalah termasuk stasiun MMRL 06, MMRL 37, MMRL 55, MMRL 69, MMRL 75, dan MMRL 80. Sebaliknya lokasi yang tergolong paling rendah biomassanya (> 200 kg/ha) adalah termasuk MMRL 13, MMRL 21, MMRL 65 dan MMRL 74 (Gambar 15). 26 27 Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih 27 Biomassa (Kg/ha) 28 4,000 3,800 3,600 3,400 3,200 3,000 2,800 2,600 2,400 2,200 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL MMRL 88 80 69 75 74 79 78 47a 37 06 13 21 65 55 Stasiun Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015 Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015 28 29 MEGA BENTOS Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa seluruh biota target ditemukan pada seluruh lokasi monitoring. Biota target yang ditemukan hampir diseluruh lokasi monitoring adalah bulu babi, keberadaan bulu babi tidak terlepas dari adanya alga yang menempel pada substrate sebagai makanan dari bulu babi tersebut. Biota yang paling jarang ditemukan adalah lobster, dari keempat belas lokasi monitoring hanya ditemukan 1 individu yang terlihat didalam transek pengamatan dan 1 individu yang terlihat diluar transek. Sedikitnya kemunculan lobster dimungkinkan karena banyaknya exploitasi pada lobster di wilayah perairan Sikka, mengingat lobster merupakan biota ekonomis tinggi. Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setia stasiun pengamatan No. Megabenthos STASIUN MMRL 88 1 Acanthaster planci 2 Bulu babi 3 Teripang 4 Kima 5 Drupella spp. 6 Lola 7 Lobster 8 Linchia Spp 80 69 75 74 79 78 + + + + + + + + + + + + + + + + 47A 37 06 13 21 65 55 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Megabenthos Perairan Sikka-Maumere Tahun 2015 Lola / Linchia Trochus sp 10.11% 0.37% Lobster 0.19% Teripang / Holothurian Kima / 1.69% Tridacna sp 10.67% Drupella sp 17.42% Acanthaster planci 0.37% Bulu babi/Echinoid 59.18% Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere 29 30 Komposisi jenis dan kepadatan megabenthos Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target. Total terdapat 534 individu megabenthos target memiliki pola persebaran seperti yang disajikan pada tabel dibawah ini : Tabel 10. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Kabupaten Kabupaten Sikka, Maumere No Megabenthos 1 Acanthaster planci 2 Bulu babi 3 Teripang 4 Kima 5 Drupella spp. 6 Lola 7 Lobster 8 Linckia Spp STASIUN MMRL MM RL 88 MM RL 69 MM RL 75 MM RL 74 MM RL 79 MM RL 78 + + + + + + + + + + + + + MM RL 8B MM RL 47A + + + + + MM RL 37 MM RL 06 MM RL 13 MM RL 21 MM RL 65 MM RL 55 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Dari data yang diperoleh dari pengamatan megabenthos, menunjukkan bahwa stasiun yang diamati memiliki keberagaman yang berbeda, keberagaman memiliki mulai dari 3 jenis oraganisme sampai dengan 6 organisme target. Yang paling rendah keberagamannya adalah stsiun MMRL 88, 69, 75, 13, 21dan 65 yaitu hanya terdapat 3 organisme target, sedangkan stasiun yang paling tinggi keberagamannya adalah MMRL 47A. Bulu babi Bulu babi ditemukan pada semua stasiun, namun paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL 88 sebanyak 236 individu. Ditemukannya bulu babi, terutama jenis Diadema setosum menunjukkan bahwa karang di wilayah tersebut relatif dalam kondisi tidak sehat. Bulu babi adalah indikator kesehatan karang, dimana kehadiran dalam jumlah besar mengindikasikan karang yang tidak sehat. Yang dimaksud adalah, ketika diadema muncul banyak di perairan hal ini disebabkan karena makanan diadema yaitu algae melimpah di lokasi tersebut, oleh karena itu diadema yang berperan sebagai grazer membantu karang dalam membersihkan algae-algae tersebut. Munculnya alga dalam jumlah yang besar di periran dapat mengakibatkan kompetisi tempat bagi karang dan mengancam kesehata ekosistem terumbu karang. Banyaknya jumlah diadema yang ditemukan dikarenakan berkurangnya jumlah predtor alami diadema yang dapat mengontrol populasi diadema. Predator alami diadema antara larger wrasses, triggerfishes, puffers dan porcupinefishes. 30 31 Kima Kima ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 78, 8B, 47A, 37, 06, 65 dan 55. Jumlah yang paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL 78 sebanyak 23 organisme. Rata-rata kima yang ditemukan masih berukuran kecil atau dibawah 10 cm, dengan demikian berarti kima yang ditemui masih berusia muda. Masih banyaknya jumlah kima yang ditemukan di sepuluh stasiun pengamatan menunjukkan tanda recovery kima yang masih bagus dan jumlah exploitasi kima yang masih terkendali. Bintang laut Biru Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada stasiun MMRL 74, 78, 8B, 47A, 37, 06, 21 dan 55. Jumlah individu yang didapatkan pada masing-masing stasiun relatif beragam, yaitu antara 1 – 23 individu yang ditemukan dalam transek. Beberapa stasiun lainnya yang di dalam transek tidak terdapat bintang laut biru sebenarnya juga dapat ditemukan bintang laut biru ini, akan tetapi karena posisinya berada di luar transek (terutama di sekitar rataan terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan. Namun demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut biru di luar tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir seragam. Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe pertumbuhan karang maupun di atas substrat pasir maupun batu. Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata ini bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan oleh nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya merata di seluruh perairan tropis. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan di perairan pantai barat Sumatra, jumlah individu yang didapatkan di perairan ini relatif banyak. Namun jika dibandingkan dengan hasil pengamatan di perairan Indonesia timur, jumlah ini relatif sedikit. Jumlah individu yang ditemukan kemungkinan pada suatu wilayah diduga karena pengaruh batasan geografis yang mempengaruhi sebarannya. Teripang Teripang paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 8B, 06, 13 dan 21 dengan jumlah yang mncul sama pada setiap stasiun sekitar satu sampai dengan tiga organisme. Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui pada setiap stasiun pengamatan diduga dikarenakan adanya penangkapan yang berlebih terhadap organisme ini. Penangkapan berlebih terjadi karene adanya permintaan yang tinggi. Sudah sejak lama teripang dikenal sebagai bahan obat yang 31 32 berkhasiat. Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui dikhawatirkan memberikan efek yang buruk terhadap kondisi kesehatan ekositem terumbu karang, mengingat fungsi ekologis teripang sebagai deposit feeder dan susspensi feeder dalam rantai makanan. Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui juga diduga disebabkan Karena teripang sendiri bergerak dan aktif pada malam hari, sehingga pada siang hari pada saat dilakukan monitoring tidak ditemukan banyak teripang yang muncul Lola Trochus niloticus (Linnaeus, 1767), merupakan gastropoda yang distribusinya menyebar di seluruh indo pasifik, diamana troca hidup di daerah terumbu karang hingga kedalaman 25 m (Woodhams, 2008). Kemunculan lola hanya terdapat pada stasiun MMRL 88 dan 55, dan hanya berjumlah 1 organisme pada setiap stasiun. Kehadiran lola sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya, karena sifat yang relatif menetap dan mempunyai pergerakan yang sangat terbatas, sehingga hewan ini secara langsung akan mudah terkena dampak dari perubahan lingkungan, terlebih secara umum gastropoda adalah deposit feeder dan suspension feeder sehingga makanan yang diperolehnya hanya tergantung apa yang ada di substrat atau tersaring saja. Berdasarkan analisa isi perut lola yang dilakukan oleh Soekendarsi et al. (1998) menunjukkan bahwa lola merupakan oragnisme grazer yang makanannya berupa micro algae (chrysophycées, chlorophycées, rhodophycées, cyanophycées), foraminifera, dan material yang tersuspensi yang bercampur detritus yang berada di pasir. Sebagaimana komponen biotik terumbu karang lainya lainnya, kehadiran gastropoda sangat ditentukan kondisi ekosistem terumbukarang yang ada. Hal ini karena kelimpahan dan distribusi gastropoda dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan setempat seperti faktor fisika-kimia (suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), pasang-surut, kandungan bahan organik dan ukuran butir), ketersediaan makanan, pemangsaan dan kompetisi (Suwondo et al., 2006). Pada kedaan surut, mangsa-mangsa tersebut berada di permukaan substrat sehingga memudahkan gastropoda untuk memakanya. Menurut Barnes dan Rupert (1994) ada 3 pola makan bentos, yaitu : sebagai suspension feeder yang memperoleh makananya dengan menyaring partikel-partikel melayang di perairan, sebagai deposit feeder yang mencari makanan pada sedimen dan mengasimilasikan material organic yang dapat dicerna dari sedimen. Material organic dalam sedimen biasanya disebut detritus. Dan sebagai detritus feeder tersebut khusus hanya makan detritus saja. 32 33 Lobster Lobster hanya ditemukan pada tasiun MMRL 47A. Sedikitnya jumlah lobster yang dijumpai dimungkinkan karena adanya tekanan yang tinggi atau tingkat penangkapan yang tinggi pada organisme ini, mengingta organisme ni memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemungkinan lain dari tidak ditemukannya lobster adalah sifat alami lobster sebagai hewan noktunal atau hewan yang aktif bergerak di malam hari, sehingga pada siang hari sulit ditemukan. Druppela spp. dan Acanthaster planci Druppela spp. dan Acanthaster planci merupakan predator hewan karang yang keberadaannya jika berlebihan akan sangat merugikan ekositem terumbu karang. Bintang laut berduri yang dikenal dengan nama Crown of Thorns Starfish merupakan predator ganas bagi biota pembentuk terumbu karang. Bintang laut memangsa karang dengan menyelimuti permukaan terumbu karang dengan perutnya dan menghasilkan enzim pencerna yang merusak jaringan lunak karang. Bintang laut Acanthaster planci hanya ditemukan pada stasiun MMRL 78 dan 47A, dan hanya berjumlah 1 organisme pada setiap stasiun pengamatan. Organisme tersebut merupakan salah satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa karang yang ada, Acanthaster planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa oleh Acanthaster planci. Hewan ini langsung memakan jaringa hewan karang yang mampu memakan terumbu karang hidup sekitar 5-13 m2. Hal ini tentu saja mampu menimbulkan kerusakan karang jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata karang yang hanya 1-2 cm per tahun. Druppela spp. ditemukan pada stasiun MMRL 69, 75, 79, 78, 47A, 37, 06, 65, dan 55. Druppela spp. paling banyak ditemukan pada stasiun 47A dengan jumlah 31 Organisme. Siput pemakan polip karang Drupella spp.. Keberadaan biota ini terhadap terumbu karang harus diwaspadai karena banyaknya jumlah individu yang ditemukan menjadi peringatan yang berpotensi memicu kerusakan karang. Keberadaan siput ini di lapangan diindikasikan dengan adanya pemutihan karang pada beberapa stasiun. Pada karang yang terlihat mengalami pemutihan, siput ini biasanya ditemukan hidup secara berkoloni dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10 individu. Bahkan pada Sasiun MMRL 47A dalam satu koloni ditemukan lebih dari 10 individu yang bergerombol di karang bercabang. Sedangkan pada karang yang tidak terlihat mengalami pemutihan, siput ini ditemukan hidup secara soliter atau sendirian. Beberapa individu siput ini ditemukan berada di karang mati atau substrat batu yang ditumbuhi oleh algae, dan 33 34 kemungkinan microalgae mengjadi sumber makanannya. Drupella spp. merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian, terlihat siput ini juga memakan polip karang pada jenis karang dengan tipe pertumbuhan karang submasif maupun karang daun. LAMUN Perairan Kabupaten Sikka/Maumere dengan beberapa pulau kecilnya umumnya memiliki topografi pantai tidak landai tetapi agak terjal dengan substrat dasar perairan didominasi oleh pasir kasar dan pasir bercampur karang. Pada perairan ini ditemukan lamun pada jarak 10 – 50 meter dari batas pasang tertinggi. Lamun ini ditemukan tumbuh dengan subur dan membentuk padang yang luas serta terlihat cukup padat. Kondisi ini didukung oleh perairan yang jernih dan jauh dari pemukiman penduduk sehingga dampak aktivitas manusia terlihat tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Jenis-jenis lamun yang ditemukan terdiri dari delapan spesies pada delapan stasiun monitoring. Spesies Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundatadan Enhalus acoroides.memiliki penyebaran yang luas karena ditemukan pada semua stasiun monitoring, sedangkan Halodule uninervis hanya ditemukan pada stasiun 7 (Kojagete) (Tabel 11). Tabel 11. Penyebaran Jenis Lamun pada Stasiun Monitoring Jenis Lamun Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Siringodium isoetifolium Halophila ovalis Halodule uninervis Halodule pinifolia Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan 53.44% (Tabel 12.) Stasiun 7 (Kojagete) tercatat memiliki jumlah spesies terbanyak, namun yang memiliki persenatse penutupan tertinggi adalah stasiun 3 (Pangabatang), dimana C. rotundata memiliki persentase 34 35 penutupan tertinggi yaitu 48.00%. C. rotundata dan T. hemprichii tercatat mendominasi daerah monitoring, karena selain memiliki penyebaran yang luas juga memiliki persentase penutupan relatif lebih tinggi dibandingkan spesies-spesies yang lain, kemudian diikuti oleh spesies S. isoetifolium,sedangkan E. acoroideswalaupun memiliki penyebaran yang luas, namun memiliki persentase penutupan yang relatifkecil. Kehadiran jenis-jenis lamun ini didukung oleh kondisi substrat berpasir, pasir kasar dan pasir bercampur patahan karang. Penyebaran lamun berdasarkan substrat ini dapat dibagi atas beberapa zonasi. Zonasi pertama, dari arah darat ke laut ditemukan mangrove yang tumbuh pada substrat pasir, kemudian kira-kira 10 meter ke arah laut ditemukan H. pinifolia, selanjutnya T. hemprichii yang berasosiasi dengan S. isoetifolium yang tumbuh pada substrat pasir kasar dan ke arah tubir dijumpai E.acoroides pada substrat pasir campur patahan karang. Zonasi seperti ini dijumpai pada stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) serta stasiun 5 dan 6 (Pulau Besar). Zonasi ke dua adalah daerah Pangabatang (stasiun 3). Stasiun ini dimulai dari arah darat dengan substrat pasir putih, kemudian pada jarak 20 meter ke arah laut ditemukan C. rotundata yang melimpah dan mendominasi perairan ini dari depan sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah zonasi dijumpai T. hemprichii yang berasosiasi dengan C. rotundata dan ke arah tubir dijumpai E.acoroides. Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring Jenis Lamun Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Siringodium isoetifolium Halophila ovalis Halodule uninervis Halodule pinifolia Rerata total penutupan lamun(%) 1 2 3 2.60 5.60 26.45 6.70 3.45 1.20 8.75 16.56 10.63 2.50 12.50 4.00 19.95 48.00 7.00 2.50 53.00 53.44 0.30 72.25 Stasiun 4 5 2.33 24.17 6.04 14.33 17.50 64.37 7.50 22.50 19.17 2.92 11.67 63.76 6 7 8 9.57 19.29 11.96 2.04 12.14 8.57 30.71 8.21 10.00 7.73 22.61 14.43 4.09 7.05 3.86 4.55 0.45 65.00 64.77 72.14 24.29 0.36 Zonasi yang berikut adalah daerah Kojagete (stasiun7). Daerah ini lebih bervariasi, dimana dari arah darat ditemukan tumbuhan pantai pada substrat pasir kasar. Pada jarak 50 meter ditemukan lamun yang bervariasi antara jenis H. pinifolia, C. rotundata dan T. hemprichii. T. hemprichii ditemukan mulai dari arah darat sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah dijumpai S isoetifolium yang berasosiasi dengan C. serulata, C. rotundata, H. ovalis dan H. uninervis, serta ke arah tubir dijumpai E. acoroides. Perairan ini lebih keruh karena gelombang cukup besar sehingga mengaduk substrat dasar perairan. 35 36 Sesuai fungsinya sebagai tempat mencari makan, tempat berlindung, dan tempat memijah maka pada daerah lamun ditemukan asosiasi beberapa biota. Selain ikan ditemukan juga teripang pada stasiun 2 (Wailiti), bulu babi pada stasiun 3 dan 7 (Pangabatang dan Kojagete), ular dan dugong pada stasiun 5 (Margajong Pulau besar). Makroalgae ditemukan pada semua stasiun monitoring sedangkan karang mati dijumpai pada stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti). Persentase Penutupan (%) 80 70 60 Halodule pinifolia 50 Halodule uninervis 40 Halophila ovalis 30 Siringodium isoetifolium 20 Cymodocea serrulata 10 Cymodocea rotundata 0 Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Stasiun Monitoring Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring. MANGROVE Analisis foto menemukan bahwa persentase tutupan kanopi mangrove dalam 13 stasiun permanen KKPD Teluk Maumere ditunjukkan pada Tabel 13. Secara keseluruhan persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ± 23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan 38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%. Kedua stasiun tersebut terletak pada satu desa yaitu Kojadoi pada Pulau Besar bagian selatan. Dari 13 stasiun permanen, lebih dari 50% jumlah stasiun memiliki persentase tutupan mangrove yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya regulasi berupa peraturan desa yang sebagai dasar hukum perlindungan pesisir (Gambar 16). 36 37 Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere. NO STASIUN DESA ∑JENIS DALAM PLOT 1 MMRM01 Kojadoi 2 MMRM02 3 JENIS DOMINAN % TUTUPAN STATUS 1 Sonneratia caseolaris 38.82 ± 26.89 Jarang Kojadoi 2 Rhizophora apiculata 87.50 ± 5.20 Padat MMRM03 Kojegete 4 R. apiculata 86.41 ± 4.52 Padat 4 MMRM04 Parumaan 1 S. alba 75.72 ± 7.33 Padat 5 MMRM05 Kojagete 2 R. apiculata 85.31 ± 3.68 Padat 6 MMRM06 Nebe 2 R. apiculata 77.38 ± 5.48 Padat 7 MMRM07 Darat Pantai 1 Ceriops tagal 72.83 ± 10.33 Sedang 8 MMRM08 Darat Pantai 4 R. apiculata 80.44 ± 8.70 Padat 9 MMRM09 Darat Pantai 1 S. alba 42.40 ± 25.38 Jarang 10 MMRM10 Nangahale 2 R. apiculata 82.20 ± 6.59 Padat 11 MMRM11 Kota Uneng 3 S. alba 62.55 ± 24.85 Sedang 12 MMRM12 Talibura 2 S. alba 55.98 ± 10.35 Sedang 13 MMRM13 Magepanda 5 Avicennia marina 51.40 ± 25.91 Sedang 64.59 ± 23.93 Sedang TOTAL Stasiun MMRM01 merupakan salah satu stasiun yang unik dan mirip dengan MMRM09 dengan persentase tutupan yang rendah (jarang). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan mangrove di daerah tersebut untuk pakan ternak kambing. Hal ini menyebabkan rendahnya tutupan kanopi. Jenis S. alba di lokasi tersebut memiliki tegakan dengan diameter 4 – 30 cm namun ketinggiannya hanya sampai 2 meter dan terpangkas. Jenis mangrove yang biasanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, seperti Sonneratia dan Avicennia. Kusmana et al. (1996) menyebutkan jenis Avicennia kaya akan vitamin B, C, mineral makro dan mikro. 37 38 Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan) Seluruh lokasi yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata memiliki persentase tutupan mangrove yang tergolong padat kecuali stasiun MMRM04 yang didominasi mono-spesies Sonneratia alba. Jenis R. apiculata tumbuh berdekatan antara satu tegakan dengan lainnya namun Sonneratia memiliki kemampuan mengeluarkan alelopati yang mampu menghambat pertumbuhan jenis baru di area perakarannya ((Li et al. 2004). Hal ini mengakibatkan jarak antar tegakan pada zona Sonneratia tergolong lebih jauh dibandingkan dengan Rhizophora. Selanjutnya hal ini yang memungkinkan persentase tutupan kanopi pada wilayah Sonneratia lebih rendah dibandingkan dengan Rhizophora pada kondisi alamiah. Seperti halnya pada wilayah Desa Kota Uneng (MMRM11), Talibura (MMRM12), dan Parumaan (MMRM04) yang didominasi secara alami oleh Sonneratia alba termasuk dalam kategori tutupan sedang. Stasiun MMRM13 (Desa Magepanda) merupakan stasiun permanen dengan jumlah jenis (lima jenis) yang paling banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya. Variasi tipe substrat yang beragam ditemukan di wilayah ini, namun didominasi oleh lumpuran pada zona dekat laut dan pasir pada zona dekat darat. Variabilitas ini memberikan kemungkinan variasi jenis yang lebih lebar dibandingkan stasiun mono-species seperti MMRM01, MMRM4, MMRM7, MMRM9. Pada stasiun 13 ditemukan jenis yang cenderung tumbuh pada substrat berpasir (S. alba; Avicennia marina) dan berlumpur (R. apiculata; R. stylosa) serta campuran pasir-lumpur (Ceriops tagal). 38 39 BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SIG Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Jumlah data ground truth akan membantu dalam meningkatkan ketelitian peta. Klas lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%, sementara pada lamun yang mempunyai kerapatan < 40%, yang terekam dalam citra adalah substrat dasarnya. KARANG Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik, meskipun demikian dari pengamatan lapangan ditemukan adanya beberapa juvenile karang yang memberikan harapan adanya proses pemulihan. IKAN KARANG Total keragaman ikan karang di perairan terumbu karang Sikka, Flores yang berasal dari 8 suku yang terdiri dari 1 suku yang bersifat coralivores dan 7 suku ikan ekonomis penting sebesar 92 spesies, dimana variasi jumlah jenis cukup lebar untuk masing-masing stasiun. Secara umum keragaman jenis di tiap-tiap stasiun berkisar antara 13 - 50 spesies. Kepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting pada masingmasing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan dari 7 suku ikan ekonomis. Komposisi dari ikan karang yang termasuk 7 suku ikan ekonomis adalah 16 % termasuk karnivora dan 84 % termasuk herbivora. Kelompok ikan pemakan karang/coralivores (kepe-kepe) dijumpai sebanyak 22 spesies dan pada masing-masing lokasi hanya dijumpai di bawah 15 spesies dengan kepadatan tertinggi 55 ekor/350m2. 39 40 MEGA BENTOS Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun kebanyakan di dominasi oleh bulu babi sebanyak 316 individu. Bulu babi merupakan organisme dominan yang ditemukan dalam seluruh stasiun pengamatan. Drupella ditemukan sebanyak 93 individu, Linkia ditemukan sebanyak 54 individu dan kima ditemukan sebanyak 57 individu. Druppela juga merupakan salah satu megabenthos yang paling sering dijumpai (9 dari 14 stasiun) dengan jumlah 93 individu. Seluruh stasiun yang diamati sedikit ditemukan adanya Acanthaster planci, biota tersebut dikenal sebgai biota predator karang, tidak ditemukannya biota tersebut pada seluruh stasiun memberikan damak positif bagi pertumbuhan karang untuk melakukan recovery. Sedikit ditemukananya lobster pada seluruh stasiun (hanya stasiun 47A) juga mengindikasikan akan adanya exploitasi yang tinggi atau penangkapan secara berlebih terhadap biota ekonomis tinggi ini. LAMUN Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang didukung oleh kondisi perairan yang baik pula. Kondisi ini perlu dipertahankan atau ditingkatkan mengingat fungsinya yang begitu penting dalam suatu perairan. MANGROVE Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang: 38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang). Persentase tutupan mangrove dipengaruhi oleh antropogeni (pemanfaatan mangrove oleh masyarakat) dan alamiah (jenis yang mendominasi). SARAN Lokasi yang perlu mendapat perhatian serius untuk direhabilitasi adalah stasiun MMRL 13, MMRL 21 dan MMRL 74 Lokasi yang perlu dikonservasi adalah stasiun MMRL 62, MMRL 69, MMRL 75, MMRL 78, MMRL 79, dan MMRL 80. 40 41 DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach 2009. Reef Fish Identification, Tropical Pacifi c. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 pp. Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang. Oseana XXXIV(3): 19-24. Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p. Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Ekosistem Mangrove. COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta. English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Froese, R. and D. Pauly. Editors. 2014. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (04/2014). Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18. Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto Bawah Air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3): 377-390. Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effi siensi dan akurasi pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 41 Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130. Hudaya, A. 2004. Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Pemetaan Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Skripsi S-1. Yogyakarta: Kohler, K.E. and S.M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Computers and Geosciences. 32(9) : 1259-1269Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82. Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 2001. Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc. Seaford VIC 3198. Australia. 41 42 Kusmana, C., A. Suryani, Y. Hartati dan P. Oktadiyani. 2009. Pemanfaatan jenis pohon Mangrove api - api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan Obat - obatan. IPB, Bogor. Li, M., B. Liao, S. Zheng and Y. Chen. 2004. Allelopathic effects of Sonneratia apetala extracts on growth performance of some indigenous mangroves. Forest Research, 17: 641–64 Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82. Mediapalu.com. 2011. Terumbu karang NTT rusak berat. http://mediapalu.com/? p=8572. Upload 25 Juli 2011. Richards, J.A. 1999. Remote Sensing Digital Image Analysis. Berlin: Springer-Verlag. p. 240. Siringoringo, R.M. & Y. Tuti. 2008. Studi baseline terumbu karang di lokasi DPL Kabupaten Sikka. Laporan COREMAP II-LIPI, Jakarta, 97 hal. Soekendarsi E., Palinggi A., and Santosa S. 1998. Stomach content in relation to shell length, width and weight of the gastropod Trochus niloticus L. Proceedings of the Eighth Workshop of the Tropical Marine Mollusc Programme (TMMP), Thailand, 18–28 August 1997. Part 1 18: 73–76. Suwondo., E. Febrita., dan F. Sumanti. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove di Kepulauan Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal Biogenesis, Vol. 2(1): 25-29. Wilson J.R. & Green A.L. 2009. Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai Kesehatan Terumbu Karang dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia (Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC Indonesia MarineProgram No 1/09. 46 hal. Winardi & A.E.W. Manuputty. 2007. Monitoring Ekologi Sikka. Laporan COREMAP II-LIPI, Jakarta, 68 hal. 42 43 LAMPIRAN Kegiatan Monitoring Kesehatan Terumbu Krang dan Ekosistem Terkait Lainnya di Kabupaten Sikka, Juni 2015 Persiapan Penelitian Semua tim yang terlibat berkumpul untuk membicarakan persiapan penelitian Kegiatan lapangan Tim RHM: Karang, ikan karang dan mega bentos Persiapan tim menuju lokasi penelitian Tim menuju lokasi penelitian 43 44 Pemasangan transek permanen, dan pelaksanaan Underwater Photo Transect (UPT) Tim ikan dan megabentos sedang melakukan kegiatan monitoring Kegiatan monitoring ekosistem Mangrove 44 45 Selesai dari lapangan dan kegiatan membersihkan alat penelitian Kegiatan kompilasi dan analisa data 45 46