1 STUDI ETNOMATEMATIKA: ESKPLORASI TEKNIK MENGHITUNG BENIH IKAN ALA PETERNAK SUNDA Ipah Muzdalipah 1) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi No. 24 Kotak Pos 164 Tasikmalaya 46115 * Penulis Korespondensi: E-mail: [email protected] Abstrak: Konsep etnomatematika yang dicetuskan D’Ambrosio memandang bawah budaya dan matematika sebagai dua hal yang saling berhubungan dan bisa saling dijelaskan oleh setiap aktivitas matematis masyarakat sehari-hari. Namun faktanya matematika lebih dipandang formal berada di sekolah sehingga terjadi kolonialisasi antara matematika dan budaya (culturally-free). Padahal ada banyak konteks budaya yang mengandung unsur etnomatematika dan bisa ditelaah melalui penelitian, salah satunya cara berhitung para peternak ikan di Sunda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi teknik menghitung benih ikan di masyarakat Sunda dan mengaitkannya ke dalam konsep-konsep matematika serta menggali bagaimana proses pembentukan pengetahuan berhitung mereka dari sudut pandang matematika modeling dan antroplogi budaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian ini memiliki urgensi dalam pengembangan pendidikan matematika yang lebih luwes dengan sudut pandang baru sebagai antisipasi terhadap pandangan matematika yang terlalu formal dan telah menjadi bagian dari isu global. Kata Kunci: ikan. Etnomatematika, matematika, budaya sunda, menghitung, benih 2 2012; Tandililing, 2013), dan Sidoarjo PENDAHULUAN Matematika dan budaya merupakan dua hal yang berhubungan erat dan bisa saling dijelaskan melalui aktivitas kehidupan masyarakat (Clements, 1996; Orey&Rosa, 2006, 2007; Pais, 2013). Masyarakat menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-harinya sehingga matematika telah menyatu dengan budaya. Oleh karena itu, matematika selalu ada dalam kegiatan sosial dan aktivitas manusia (Schoenfeld; 1992, yang dilaporkan di Akiachak, Alaska (Engblom-Bradley, 2006), Aborigin (Barta&Shockey, 2006), Afrika (Sharp&Stevens, matematika dalam aktivitas keseharian manusia tidak hanya Chahine&Kinuthia, atau kalangan akademisi saja, tetapi matematika juga hadir dalam kehidupan masyarakat tradisional atau masyarakat adat. Misalnya di Tasikmalaya, Jawa Barat, masyarakat tradisional Kampung (Muzdalipah&Yulianto, 2015), mereka mampu merancang bangunbangun geometri, aktivitas bermain, membuat peralatan berburu, kerajinankerajinan berbentuk geometris secara naluriah pendidikan tanpa formal 2013), Liberia (Sternstein, 2008), Mexico (Gilsdorf, 2009, Hirsch-Dubin, 2009), Iceland Eropa (Bjarnadottir, 2010), Suku Inca di Peru (Leonard&Shakiban, 2010), Papua New Guinea (Owens, 2010), Micronesia Noblitt&Richter, pernah tentang mengikuti konsep- konsep geometri. Hal ini juga terjadi di beberapa masyarakat adat lainnya seperti Baduy (Setyawan, dkk, 2014), Cirebon (Asnawatis, dkk, 2014), Dayak (Hartoyo, 2013), Portugal (Palhares&Sousa, 2015). Peneliti memandang bahwa konsep terdapat di budaya masyarakat modern Naga 2007; (Goetzfridt, 2010), India (Naresh, 2010; Gravemeijer; 1994). Keterlibatan (Rachmawati, 2012), juga di dunia seperti etnomatematika seperti yang dilaporkan para peneliti di atas juga terdapat di budaya masyarakat Sunda. Peneliti yang telah lama hidup di budaya Sunda melihat ada satu konsep berhitung masyarakat yang belum terekspose oleh publikasi ilmiah, yakni teknik berhitung para peternak ikan khususnya dalam menghitung benih Ikan Gurame yang menggunakan basis bilangan enam yang dibaca dengan menggunakan konsep aritmetika jam (enam). Menghitung benih ikan dalam jumlah ribuan akan sangat tidak efektif jika dibaca dengan pelafalan biasa (umum), selain memerlukan kecermatan juga memerlukan waktu yang 3 lama. Namun mereka memiliki cara padahal kebanyakan dari mereka tidak tersendiri bagaimana menghitung jumlah lulus Sekolah Dasar. ikan secara efektif tanpa alat bantu Di sisi lain, Morris Kline teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa berpendapat bahwa matematika sekolah masyarakat secara matematis telah mahir saat ini berdiri sendiri dengan begitu menggunakan konsep bilangan dalam formal dam seakan terlepas dari budaya kehidupan sehari-hari. Konsep basis (Francois&Kerkhove, bilangan merupakan bagian dari topik Bahkan, matematika dianggap sebagai teori bilangan yang dipelajari di sekolah sesuatu yang netral dan terbebas dari maupun perguruan tinggi. Namun dalam budaya (culturally-free) (Rosa&Orey, praktiknya, konteks basis bilangan jarang 2011). Hal inilah yang ditegaskan oleh ditemukan siswa secara nyata dalam Turmudi (2009:4) bahwa matematika kehidupan sehari-hari. yang jauh dari kehidupan sehari hari ini 2010:123). Teknik berhitung benih ikan orang adalah buah dari paradigma absolut yang Sunda merupakan bagian dari budaya berkembang di masyarakat yaitu suatu yang kajian pandangan yang menganggap bahwa matematika. Rosa (2000) menerangkan matematika adalah ilmu pengetahuan bahwa yang bisa didekati matematika dari pada budaya sempurna dengan kebenaran masyarakat bisa dikaji dari perspektif objektif, jauh dari urusan kehidupan etnomatematika, baik dari pemodelan manusia. matematis merasakan maupun dari pendekatan Akibatnya, siswa kurang dari belajar manfaat antropologi budaya. Dari aspek pemodelan matematis bisa digali Padahal jika dikembangkan lebih mereka dalam ada banyak cara mengajarkan menggambarkan cara berpikir matematis. matematika dari budaya atau lingkungan Pemodelan matematis yang diangkat dari sekitar. Beragam aktivitas masyarakat cara berpikir masyarakat inilah yang akan sehari-hari mengandung unsur-unsur menambah kekayaan kajian pendidikan matematika seperti membilang, matematika. Dari konsep atropologi, mengukur, membuat rancang bangun peneliti bisa mengkaji epistimological bahkan permainan tradisional yang masih studies bagaimana asal-usul mereka digemari anak-anak sampai saat ini memperoleh teknik berhitung tersebut (Muzdalipah bagaimana proses matematika (Karnilah, dkk, 2012). & Yulianto, 2015), 4 termasuk teknik menghitung benih ikan etnomatematika dalam pendidikan bisa seperti para digunakan untuk mengungkap ide-ide peternak ikan di masyarakat Sunda. Hal pada aktivitas budaya atau kelompok ini didukung oleh Clements (Karnilah, sosial sehingga dapat dimanfaatkan untuk 2013: 2) bahwa permasalahan yang pengembangan kurikulum dari, oleh dan terkait dengan budaya mau tidak mau untuk kelompok tersebut (Borba, 1990; akan belajar Barton, 1996; Gerdes, 1996; Alangui, bahkan 2010). yang digunakan mengelilingi mengajar oleh proses matematika, Borba (Peared, mengelilingi pula semua bentuk-bentuk mengemukakan matematika “ethnomathematics (selain pendidikan matematika). 42) bahwa as a field of knowledge intrinsically linked to a Dari sudut pandang pendidikan, teknik 1996: menghitung di this way tightly linked to its reality ... and masyarakat Sunda menyediakan konsep being expressed by a language, usually yang dalam different untuk mathematics”, dengan demikian melalui bisa kurikulum benih ikan cultural group and its interest, being in dikembangkan dan pembelajaran from the one used menyadari keberadaan matematika yang pendekatan sesungguhnya. Konteks budaya inilah kurikulum tidak hanya mengajarkan yang akan melatih cara berpikir siswa matematika sebagai sebuah kemampuan yang mampu memberikan pengalaman yang biasa diukur dengan ‘menghitung’ belajar melainkan lebih nyata (Hadi, 2005; Stathopoulou, dkk, 2014). Pengalaman belajar yang nyata harus menjadi etnomatematika by mengajarkan maka bagaimana memandang matematika sebagai bahasa. Bishop (Gerdes, 1996: 927) perhatian penting agar siswa tidak merasa berpendapat bahwa asumsi dasar dan bosan dalam belajar dan memperoleh ekstrem motivasi yang lebih berarti di sekolah penelitian etnomatematika yang memang (Kohn, masih seumuran bayi. Secara spesifik, 1993; Appelbaum&Clacrk, perlu dikemukakan dalam asumsi tersebut berbunyi “semua bentuk 2001). Salah satu pendekatan yang bisa formal pendidikan matematika adalah digunakan untuk menggali keterkaitan proses interaksi budaya, sehingga setiap budaya dan matematika adalah dengan siswa (juga guru) memiliki pengalaman etnomatematika. berupa konflik-konflik budaya di dalam Penelitian 5 proses tersebut. Hal ini sesuai dengan kolonialisasi antara konsep pendidikan matematika yang matematika digagas oleh pencetus etnomatematika pendidikan matematika yang saat ini D’Ambrosoi (Gerdes, 1996: 912) yang terkesan sangat formal, berdiri sendiri, mengatakan bahwa kaku dan terpisah dari budaya dan dan real pendidikan mathematics “pada masa sebelum sekolah dan kehidupan sehari-hari. Hasil dari studi ini (juga) luar sekolah hampir semua bisa anak menjadi pembelajaran yang bisa dikaji oleh siswa 'matherate' artinya mereka mampu maupun mahasiswa sebagai konteks mengembangkan matematis yang menjembatani mereka di untuk dunia telah kemampuan menggunakan menghitung, dan bilangan, dijadikan sebagai konteks kepada kesadaran bermatematika. menggunakan beberapa pola inferensi, namun sekolah menyediakan pendekatan yang formal mengenai fakta-fakta tersebut yang mengakibatkan LANDASAN TEORI Etnomatematika dan Perkembangannya Konsep penyumbatan psikologis”. etnomatematika lahir sebagai pendekatan matematika dari sisi Teori yang berkembang di pendidikan budaya yang memandang matematika matematika belum berdasar pada asumsi sebagai sebuah kajian ilmu yang lebih tersebut. Oleh karena itu, penelitian luas dan luwes dibanding sekedar yang etnomatematika ini perlu mendapatkan diajarkan di sekolah. Etnomatematika ruang dari pendidikan matematika. dipopulerkan D’Ambrosio (1990) dalam Berdasarkan uraian di atas, peneliti tulisannya “ethnomathematics” yang tertarik untuk melawan kolonialisasi kemudian dikembangkan oleh Barton dalam pendidikan matematika dengan (1996) pendekatan etnomatematika dengan cara “ethnomathematics: Exploring Cultural mengeksplorasi teknik menghitung benih Diversity in Mathematics” dan Gerdes ikan yang dilakukan oleh masyarakat (1996) Sunda yang tergolong khas. Selain itu, “ethnomathematics peneliti memandang bahwa penelitian ini education”. merupakan etnomatematika secara cepat berkembang upaya untuk melawan dalam tulisannya dengan and Hasil-hasil tulisannya mathematics penelitian dengan beragam pendekatan yang salah 6 satunya secara intens diteliti oleh Rosa&Orey (2000-2016). abad ke 19 dimana saat itu pengaruh budaya barat sangat kuat terhadap negara-negara Sejarah Pendekatan Matematika dari Sisi Budaya dan Lahirnya Etnomatematika Upaya untuk melihat matematika dengan pendekatan lain telah dimulai sejak tahun 1911-1917 yang digagas oleh Spengler. Spengler menulis bahwa matematika adalah bagian dari budaya dan menunjukkan bahwa budaya dan matematika bisa saling dijelaskan melalui segala aktivitas sehari-hari manusia (Spengler, 1926). Kemudian tahun 1980an mulai banyak matematikawan yang juga mulai melirik matematika dari pendekatan budaya, namun dalam skala yang terbatas yakni hanya dilakukan oleh forum-forum pendidikan yang mencoba melihat pendidikan matematika dari aspek sosial saja. Akhirnya, D’Ambrosio mulai menggagas konsep yang disebut “etnomatematika” pada tahun 1984 yang diseminasikan pada The 5th Internasional Conference on Mathematics Education Salah satu yang mendasari lahirnya konsep etnomatematika sebagai upaya kolonialisasi kajian matematika yang awalnya dipandang bebas dari budaya dunia, termasuk Indonesia (Gerdes, 1996). Hal ini juga berpengaruh terdapat kurikulum pendidikan matematika di sekolah yang mengakibatkan matematika di sekolah dipandang sangat formal. Bahkan D’Ambrosio (Gerdes, 1996) menyatakan bahwa sekolah telah menyediakan pendekatan yang begitu formal dalam membentuk pola berpikir matematis siswa sehingga mengakibatkan hambatan-hambatan psikologis. Sejak saat itu, etnomatematika mulai dipandang sebagai pendekatan yang penting sebagai bagian dari ranah penelitian dibidang matematika. Barton (1996) mendefinisikan etnomatematika sebagai sebuah kajian penelitian yang mengamati tentang bagaimana kelompok memahami, mengartikulasikan, menggunakan konsep masyarakat atau dan ide-ide matematis. Barton menjelaskan bahwa sesuatu yang matematis tidak selalu telah (ICME-5) (Barton, 1996). mengurangi di (culturally-free). Pandangan ini telah berkembang sejak menjadi bagian dari matematika, kadang karena belum bisa diterima oleh para matematikawan. Misalnya kasus jembatan Konigsberg, selama berabadabad hanya merupakan teka-teki sebelum menjadi bagian dari teori graph dalam 7 matematika. Baru setelah ramai dikaji menghidupkan oleh para matematikawan permasalahan matematika dan pendidikan matematika ini bisa menjadi bagian dari matematika. di negara berkembang (Gerdes, 1996). Berdasarkan uraian yang dikemukakan kembali politik dari Berdasarkan pendapat-pendapat di Barton (1996) tersebut, jelas bahwa atas, etnomatematika bukanlah matematika etnomatematika merupakan studi tentang melainkan sebuah wilayah studi atau antropologi, budaya atau sejarah yang kajian bisa penelitian yang kemudian maka dapat dikaji disintesis dari sudut berpotensi menjadi ranah dari pendidikan matematika; definisi matematika. bergantung pada Etnomatematika terus mengalami bahwa pandang etnomatematika siapa yang menyatakannya dan praktik-praktik yang perkembangan tren dalam penelitian lebih spesifik; ranah pendidikan matematika. Hal ini ditandai digunakan dengan munculnya matematikawan yang budaya; etnomatematika mengakibatkan intens dalam penelitian etnomatematika suatu konsep yang relatif. sangat kajian yang bergantung pada yang kemudian memberikan beragam definisi dari etnomatematika, antara lain etnomatematika merupakan teori yang membangun pemeriksaan radikal Perkembangan Etnomatematika Begg&Hamilton menjelaskan ada (2001) beberapa alasan terhadap pendidikan (Ascher, M. & pentingnya mengkaji etnomatematika Ascher, R., 1986), etnomatematika dapat setidaknya dari dua pendekatan, yakni menyediakan bahan-bahan untuk pendekatan budaya dan pendidikan. Dari motivasi dan pendekatan budaya, bisa jadi dalam suatu pengorganisasian kembali matematika aktivitas yang sama pada masyarakat (Zaslavsky, etnomatematika yang berbeda pola pikir matematis yang adalah sebuah bangunan teoretis untuk digunakan juga berbeda sehingga dengan meningkatkan pendididkan dan dikaji mendalam bisa saja menjadi pembelajaran (Bishop, 1994), referensi mendasar untuk perkembangan meningkatkan 1988), etnomatematika merupakan pendekatan matematika. secara ideologis untuk pengembangan dibuktikan oleh fakta bahwa sebagian kurikulum besar pola matematika diawali dengan (Pompeu 1994), etnomatematika merupakan alat untuk induksi Hal yang ini telah merupakan banyak hasil 8 pengamatan sebuah fenomena di sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi lapangan. Pendekatan ke dua yaitu dari (mathema) segi Etnomatematika pendidikan, bahwa pendidik matematika sebaiknya mempertimbangkan (D'Ambrosio, 1990). mengacu kelompok-kelompok kepada yang memilik ethno-education budaya, kode, simbol, mitos, dan cara- sehingga siswa benar-benar merasakan cara tertentu dalam penalaran matematis kebermanfaatan dari matematika itu yang sendiri. manusia dalam budaya. Oleh karena itu, Kemudian Bishop berkaitan dengan fenomena (2004) kajian etnomatematika bisa didekati menjelaskan beberapa aktivitas pada melalui tiga aspek yaitu, matematika, budaya sangat pemodelan matematis ide-ide berpikirnya, dan adalah perilaku masyarakat memungkinkan matematis, yang memuat salah satunya pada cara antropologi pada manusianya (Rosa&Orey, Counting atau membilang. Membilang 2013), yang mana ketiganya ada pada merupakan suatu budaya atau kebiasaan atau ritual aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan yang bisa ditanya tertentu. dengan “berapa banyak?”. Biasanya ini bisa dideskripsikan oleh benda-benda di sekitar seperti batu, tongkat, tali atau bahkan anggota tubuh seperti jari. Kerangka Etnomatematika: Matematika, Pemodelan Matematis, dan Antroplogi Budaya Gambar 2.1 Kerangka Etnomatematika sebagai paradigma Etnomatematika Rosa (2000) penelitian lebih luas dari sekedar konsep matematika, etnis, multikulturalisme. pada Etnomatematika sebagai titik temu Etnomatematika antara antropologi budaya, matematika, atau ras digambarkan sebagai seni dan teknik dan yang dikembangkan oleh anggota dari digunakan latar belakang budaya dan bahasa yang memahami dan menghubungkan ide-ide beragam matematika yang beragam pada praktik untuk memahami masalah pemodelan untuk matematis, membantu yang kita 9 yang ditemukan di masyarakat untuk masyarakat Sunda yang berada di daerah dikaji secara akademik ( Rosa, 2000). tropis. Etnomatematika sangat berkaitan Salah satu hal menarik yang ada di erat dengan pendidikan. Etnomatematika bisnis budidaya ikan tentunya adalah merupakan program yang bertujuan teknik menghitung ikan oleh peternak untuk mempelajari bagaimana siswa dalam transaksi jual beli benih ikan. Ada mengerti, memahami, mengartikulasikan, beberapa cara teknik jual beli benih ikan memproses, diantaranya dengan cara menghitung melakukan prosedur matematis, dan secara praktis mencoba jumlah benih ikan (satuan) atau dengan memecahkan masalah yang mereka temui cara dikilo. Teknologi terbaru yang dalam kehidupan sehari- hari (Rosa, ditemukan peneliti Institut Pertanian 2000). Sebagai seorang pendidik, guru Bogor (IPB) diberi nama “Fry Counter” harus hadirnya (Rakhmat, 2010). Lebih lanjut rakhmat dalam menjelaskan bahwa “produk Fry Counter mampu pengetahuan memediasi etnografi siswa belajar matematika (Borba, 1990). merupakan Teknik Menghitung Ikan Masyarakat masalah yang sering dikeluhkan oleh para Sunda pengusaha benih ikan pada proses jawaban penanganan Salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah kekayaan alam dan keberagaman hayati maupun hewaninya yang melimpah. Hal ini menjadikan bangsanya beragam kreatif budaya dan melahirkan dalam mengelola sumber daya alam yang ada, salah satunya pembudayaan ikan. Budidaya ikan menjadi perhatian pemerintah untuk ditingkatkan produksinya dalam rangka mengimbangi permintaan produksi masyarakat (Putra, 2011). Oleh karena itu, tidak heran jika usaha peternakan ikan menjadi maestro di bidang wirausaha atas pascapanen masalah- di bidang perikanan”. Di masyarakat Sunda sendiri, penjualan ikan dengan teknik satuan (menghitung jumlah benih ikan) masih populer dibanding dikilo, fenomena khususnya berlaku pada penjual ikan Gurame dan Tambak yang relatif tinggi harganya. Dari etnomatematika, sudut teknik pandang menghitung benih ikan yang dilakukan para peternak ikan di Sunda mengandung banyak konsep-konsep matematika. Namun secara leterasi belum banyak peneliti yang menggali terutama etnomatematika mengaitkannya ke ini, dalam 10 konsep-konsep matematika. wawancara fenomena METODOLOGI PENELITIAN disusun sentral yang berdasarkan ditetapkan peneliti, sedangkan observasi etnografi Penelitian ini akan mengkaji teknik adalah metodenya, yakni peneliti harus menghitung benih ikan di masyarakat tinggal Sunda yang tersebar di wilayah Priangan masyarakat dari awal sampai penelitian Timur dianggap selesai. seperti Banjar, Ciamis, sampel (partisipan) penelitian ini pusposive sampling, berdasarkan pada dengan kehidupan Teknik analisis data yaitu untuk Tasikmalaya, Garut dan Majalengka. Pemilihan berbaur menganalisis data yang telah diperoleh teknik yakni teknik untuk menarik kesimpulan. Metode dengan analisis data yang digunakan adalah pertimbangan dan maksud tertentu sesuai analisis data kualitatif. Dalam penelitian pengambilan dengan sampel tujuan dilaksanakan. penelitian Pertimbangan ini tersebut kualitatif, analisis data dilakukan sejak antara lain karena peneliti memiliki akses awal dan sepanjang proses penelitian untuk melaksanakan penelitian kepada berlangsung. partisipan yang dipilih sehingga diharapkan partisipan dapat memberikan HASIL DAN PEMBAHASAN informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat menjawab pertanyaan dalam penelitian ini. Peneliti telah memiliki pengalaman penelitian dengan fokus yang berbeda sehingga sudah memperoleh akses yang mempermudah rencana penelitian ini. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan metode dengan wawancara menggunakan dan observasi etnografi yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai instrumen utama kepada setiap subjek. Pedoman DAFTAR PUSTAKA Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics. (Disetasi). University of Auckland, Auckland. Appelbaum, P., & Clacrk, S. (2001). Science! Fun? A Critical Analysis of Design/Content/Evaluation. Journal of Curriculum Studies, 33(5), 583-600. Ascher, M., & Ascher, R. (1986). Ethnomathematics. History of 11 science, 24(2), 125-144. Tersedia Online: http://articles.adsabs.harvard.edu//f ull/1986HisSc..24..125A/ 0000125.000.html [Diakses pada 26 Des 2016] Asnawati, S., Liliana, I.K.D., & Muhtarulloh, F. (2014). Penerapan Pembelajaran Inkuiri dengan Etnomatematik pada Materi Bidang Datar Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa. Jurnal Euclid, ISSN: 2355-1712. Vol. 2 No. 2 p. 251-365 Barta, J. & Shockey, T. (2006). The Mathematical Ways of an Aboriginal People: The Northen Ute. Journal of Mathematics and Culture V.1 No.1 ISSN. 15585336 p.79-89. Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education University of Auckland: Unpublished. Begg, A. & Hamilton,. (2001). Ethnomathematics: Why and What Esle?. ZDM, 33(3), p.1-4 Bjarnadottir, K. (2010). Ethnomathematics at the Margin of Europe – A Pagan Calendar. Journal of Mathematics and Culture V.5 No.1 ISSN. 15585336 p.21-42. Borba, M. C. (1990). Ethnomathematics and Education. For the learning of mathematics 10(1), 39-43. Bishop, A. (1994). Cultural Conflicts in Mathematics Education: Developing a Research Agenda. For the Learning of Mathematinl4. FLM Publishing Association, Vancouver, British Columbia, Canada Bihsop, A. (2004). The Relationship Between Mathematics Education and Culture. Iranian Mathematics Education Conference in Kermanshah, Iran. Chahine, I. & Kinuthia, W. (2013). Juxtaposing Form, Function, and Social Symbolism: An Ethnomathematical Analysis of Indigenous Technologies in The Zulu Culture. Journal of Mathematics and Culture V.7 No.1 ISSN. 1558-5336 p.1-30 Clements, K. (1996). Historical Perspective, dalam Internasional Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. D’Ambrosio, U. (1990). Etnomatemática [Ethnomathematics]. São Paulo, SP, Brazil: Editora Ática. Engblom-Bradley, Claudette. (2006). Learning The Yup’ik Way of Navigation: Studying Time, Position, and Direction. Journal of Mathematics and Culture V.1 No.1 ISSN. 1558-5336 p.90-126. Francois, K & Kerkhove, B.V. (2010). Ethnomathematics and Philosopy of Mathematics (Education). Dalam Philosophy of Mathematics: Sociological Aspectsand Mathematical Practice (hlm. 121-154). London: College Publication. Gerdes, P. (1996). "Ethnomathematics and Mathematics Education”, dalam Internasional Handbook of Mathematics Education. . 12 Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Gilsdorf, T.E. (2009). Mathematics of The Hnahnu: The Otomies. Journal of Mathematics and Culture V.4 No.1 ISSN. 1558-5336 p.84-105. Goetzfridt, N.J. (2010). Pacific Ethnomathematics: The Richness of Environment and Practice. Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.223-252. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik Banjarmasin: Penerbit Tulip Hartoyo, A. (2012). Eksplorasi Etnomatematika pada Budaya Masyarakat Daya Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggar Kalbar. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. 13 No.1 ISSN: 1412-565X p.14-23 Hirsch-Dubin, F.P. (2009). Mayan Elders, Mayan Mathematics, and The Weaving of Resistance in Maguey Bag Production. Journal of Mathematics and Culture V.4 No.1 ISSN. 1558-5336 p.63-83. Karnilah, N. (2013). Study Ethnomathematics: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Ada tBaduy. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Karnilah, N, Turmudi, & Juandi (2012). Eksplorasi Etnomatematika Dalam Produk Masyarakat Baduy. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung Kohn, A. (1993). Punished by Rewards: The Trouble With Gold Stars, Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes. New York: Houghton Mifflin. Leonard, M. & Shakiban, C. (2010). The Incan Abacus: A Curious Counting Device. Journal of Mathematics and Culture V.5 No.2 ISSN. 15585336 p.81-106. Muzdalipah, I. & Yulianto, E. (2015). Pengembangan Desain Pembelajaran Matematika untuk Siswa SD Berbasis Budaya dan Permainan Tradisional Masyarakat Kampung Naga. Jurnal Siliwangi. Seri Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Tahun 2015 Naresh, N. (2010). Bus Conductors’ Use of Mental Computation in Everyday Settings – Is it Their Ethnomathematics? Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.308-332. Noblitt, B. & Richter, B. (2013). Using Vedic Mathematics to Make Sense of The Finger Algorithm. Journal of Mathematics And Culture. V.7 No.1 ISSN 1558-5336. p.58-73 Orey, D.L. & Rosa, M. (2006). Ethnomathematics: Cultural Assetions and Challenges Toward Pedagogical Action. The Journal of Mathematics and Cultural Issue. ISSN: 1558-5336 Orey, D.L. & Rosa, M. (2007). Cultural Assetions and Challenges Toward Pedagogical Action of An Ethnomathematics Program. FLM Publishing Association Edmonton, Alberta. Canada. Orey, D.L. & Rosa, M. (2013). 13 Ethnomodeling As A Research Theoretical Framework on Ethnomathematics and Mathematical Modeling. Journal of Urban and Mathematics Education. V.6 No. 2. p.62-80. Owens, K. (2010). Papua New Guinea Indigenous Knowledges about Mathematical Concepts. Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.20-50. Rosa, M. (2000). From reality to mathematical modeling: A proposal for using ethnomathematical knowledge. (Master thesis). College of Education. California State Universi-ty, Sacramento. Rosa, M. &Orey, D. C. (2011).Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). hlm. 32-54. Pais, Alexandre. (2013). Ethnomathematics and The Limitation of Culture. FLM Publihsing Association, Frederiction, New Brunswicle. Canada. Palhares, P. & Sousa, F. (2015). The Ethnomathematics of A Fishing Community at Camara de Lobos Portugal. Journal of Mathematics And Culture. V.9 No.1 ISSN 15585336. p.12-29. Peared, R. (1996). Ethnomathematics. Dalam Review of Mathematics Education in Australia 1992-1995 Bill Atweh, Ed. (hlm. 41-49). Washington, D.C: ERIC Clearinghouse. Pompeu, G.Jr. (1994). Another Definition of Ethnomathematics? Newsletter of The Intenational Study Group of Ethnomathematics, 9(2). p.3 Putra, H.G.P. (2011). Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan Gurame yang Diberi Protein Rekombinan GH melalui Perendaman dengan Dosis Berbeda. Skripsi Mahasiswa IPB. Tidak Dipublikasikan. Rachmawati, I. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo. FMIPA UNESA. Rakhmat, A. (2010). IPB Temukan Teknlogi Hitung Cepat Benih Ikan. Koran Antara News. Tersedia online: http://www.antaranews.com/berita/ 220347/ipb-temukan-teknologihitung-cepat-benih-ikan. Diakses pada [9/2/2017]. Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense-Making in Mathematics. In D. Grouws (Ed.) Setyawan, A., etc. (2014). Study of Ethnomathematics: A Lesson from The Baduy Culture. Internasional Journal of Education and Research. ISSN: 201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online). Vol. 2 No. 10 p.681-688. Spengler, O. (1926). The decline ofthe west. Trans. Charles Francis Atkinson. New York: Knopf. Sharp, J. & Stevens, A. (2007). Culturally-Relevant Algebra Teaching: The Case of African Drumming. Journal of Mathematics and Culture V.2 No.1 14 ISSN. 1558-5336 p.37-57. Stathopoulou, C., Kotarinou, P., & Appelbaum, P. (2014). Ethnomathematical Research and Drama in Education Techniques: Developing A Dialogue in A Geometry Class of 10th Grade Students. Revista Latinoamericana de Etnomatematica, 8(2), 105-135 Sternstein, M. (2008). Mathematics and The Dan Culture. Journal of Mathematics and Culture V.3 No.1 ISSN. 1558-5336 p.1-13. Tandililing, Edy. (2013). Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan Etnomatematika Berbasis Budaya Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Sekolah. Prosiding FMIPA UNY 9 Novembver 2013. ISBN: 978-9791653-9-4. Turmudi.(2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cipta Pustaka WBI Evaluation Group. (2007). Fishbone Diagrams. [Online]. Tersedia: http://siteresources.worldbank.org/ WBI/resources/2137981194538727144/9FinalFishbone.pdf [3 Desember 2016]. Zaslavsky, C. (1988). Integrating Mathematics with the Study of Cultural Traditions. Tersedia Onlie: ftp://ftp.math.ethz.ch/hg/EMIS/jou rnals/ZDM/zdm013a4.pdf. [26 Desember 2016].