AKTIVITAS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR Oleh: Tatang Herman1 1. Pendahuluan Beberapa waktu silam, pembelajaran matematika di SD difokuskan pada kemampuan dasar matematika yang lebih dikenal dengan keterampilan berhitung. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan berhitung tampaknya bukan merupakan kemampuan dasar lagi yang begitu urgen dalam kehidupan. Dalam era informasi global, hampir pada setiap sektor kehidupan kita dituntut untuk menggunakan keterampilan intelegen dalam menginterpretasi, menyelesaikan masalah, ataupun untuk mengontrol proses komputer. Kebanyakan lapangan kerja dewasa ini lebih banyak menuntut kemampuan berpikir matematis, seperti menganalisis, mengevaluasi, dan menggeneralisasi daripada keterampilan mekanistis. Selain itu kemampuan afektif (bersikap), seperti disiplin, tekun, penuh tanggung jawab, produktif, dan mau bekerja keras juga merupakan watak yang harus dimiliki tenaga profesional. Dengan demikian, yang dimaksud kemampuan dasar matematika pada zaman sekarang tidak sama dengan keterampilan berhitung di waktu silam, manun merupakan kemampuan dalam berpikir matematis. Pada era informasi global ini, semua pihak berpeluang mendapatkan informasi secara melimpah, cepat, dan mudah dari berbagai sumber dan dari berbagai penjuru dunia. Untuk itu, manusia dituntut memiliki kemampuan dalam memperoleh, memilih, mengelola, dan menindaklanjuti informasi itu untuk dimanfaatkan dalam kehidupan yang dinamis, sarat tantangan, dan penuh kompetisi. Ini semua menuntut kita memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika. Hal ini dimungkinkan karena tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut Depdiknas [1] adalah: (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, (3) mengembangkan kemampuan memecahkan 1 Drs. Tatang Herman, M. Ed., dosen di Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. 1 masalah, dan (4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan gagasan. 2. Visi Kurikulum 2004 Tujuan kurikulum seperti yang dikemukakan di atas, tidak lain merupakan pengembangan daya matematis (mathemathical power). Hal ini bertalian erat dengan kemampuan siswa dalam mengeksplorasi, memprediksi, menerapkan beragam metode matematis dalam menyelesaikan masalah nonrutin, mengkomunikasikan gagasan, dan bernalar logis. Dengan kata lain, Kurikulum 2004 memandang matematika paling tidak dalam empat hal, yaitu: matematika sebagai pemecahan masalah, matematika sebagai komunikasi, matematika sebagai penalaran, dan koneksi matematis. Keempat tema ini harus dikembangkan dalam setiap kegiatan pembelajaran dan untuk setiap bahasan matematika. a. Matematika sebagai pemecahan masalah Matematika dipandang sebagai pemecahan masalah bukanlah berarti siswa belajar sekedar menyelesaikan masalah. Pemecahan masalah jangan dipandang sebagai topik khusus yang terpisah, tetapi harus dijadikan fokus utama dalam kegiatan pembelajaran matematika. Seperti halnya disebutkan dalam Kurikulum 2004, “Diharapkan, dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah-masalah yang kontekstual, siswa secara bertahap, dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika” [1]. Hal ini berarti bahwa melalui pemecahan masalah siswa belajar dan mengerjakan matematika melalui kegiatan inkuiri dan proses menemukan solusi. Aktivitas seperti ini menurut Pape [8], memfasilitasi siswa untuk memahami konsep matematika secara mendalam. Dengan demikian, pemecahan masalah matematis yang lebih merupakan cara berpikir dan bernalar, memiliki potensi yang besar untuk menggapai pemahaman matematika. b. Matematika sebagai komunikasi Komunikasi matematis yang dimaksud di sini adalah kemampuan untuk berbicara, menulis, mendeskripsikan, dan menjelaskan gagasan-gagasan matematis. Simbol-simbol dalam matematika, termasuk di dalamnya diagram dan grafik, harus dikuasai sebagai cara untuk mengekspresikan idea matematis kepada orang lain. Ini berarti siswa bukan saja harus belajar 2 menginterpretasikan bahasa matematika, namun juga menggunakan bahasa mereka sendiri. Belajar berkomunikasi dalam belajar matematika dapat menciptakan kegiatan interaktif dan eksploratif di dalam kelas, sehingga dapat memicu siswa untuk melakukan aktivitas matematika [9]. c. Matematika sebagai penalaran Penalaran biasanya menyatu dalam pemecahan masalah. Kegiatan mengamati dan menemukan pola, proses mendapatkan solusi, dan memutuskan apakah jawaban yang diperoleh benar atau salah, merupakan aktivitas yang melibatkan penalaran logis. Bila penalaran merupakan bagian dari keseluruhan matematika, siswa belajar bahwa matematika bukanlah koleksi dari aturan-aturan yang sulit dipahami, namun sebagai suatu sistem yang penuh makna dan bernilai guna. d. Koneksi matematis Terdapat tiga hal dalam koneksi matematis. Pertama, koneksi yang menyangkut di dalam dan antar idea matematika. Misalnya, menjumlahan dan pengurangan memiliki konekasi yang sangat erat. Demikian juga dengan pecahan yang terkait dengan konsep desimal dan persen. Kedua, simbol dan prosedur matematika harus dihubungkan secara jelas dengan pengetahuan konseptual dan representasinya [10]. Aturan seperti, menukarbalikan pembilang dan penyebut kemudian mengalikannya, dalam pembagian pecahan tidak perlu diberikan tanpa dukungan pemahaman konsep pembagian pecahan yang baik. Ketiga, matematika harus dikoneksikan dengan dunia nyata dan dengan disiplin lain. Anak harus melihat bahwa matematika memiliki peranan yang penting dalam seni, sain, bahasa, atau bidang lainnya. 3. Matematika dan Belajar Matematika Di SD seringkali matematika dipertukarkan dengan aritmetik (berhitung). Oleh karena itu tidak sedikit orang, bahkan guru sekalipun, yang beranggapan bahwa matematika adalah sama dengan keterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian dari bilangan bulat, pecahan, dan desimal. Mereka percaya bahwa melatih ketrampilan berhitung sudah sama dengan memberikan kemampuan dasar matematika yang diperlukan pada tingkat sekolah dasar. Padahal aritmetika hanyalah bagian dari matematika yang mempelajari bilangan, termasuk di dalamnya berhitung (komputasi). 3 Matematika bukan hanya sekedar berhitung, namun pengertiannya lebih luas dari itu. Matematika dapat dipandang sebagai ilmu tentang pola dan hubungan [8]. Siswa perlu menjadi sadar bahwa diantara idea-idea matematika terdapat saling keterkaitan. Siswa harus mampu melihat apakah suatu gagasan atau konsep matematika identik atau berbeda dengan konsepkonsep yang pernah dipelajarinya. Misalnya, menjelang kelas dua siswa dapat memahami bahwa fakta dasar penjumlahan 2 + 3 = 5 berkaitan dengan fakta dasar lain 5 - 2 = 3. Ditinjau dari karakteristik keterurutan dari idea-idea yang terstruktur dengan rapi dan konsisten, matematika dinyatakan juga sebagai seni [8]. Oleh karena itu siswa jangan memandang matematika sebagai ilmu yang rumit, memusingkan, dan sukar tetapi siswa perlu memaklumi bahwa daibalik itu terdapat suatu keteraturan yang runtut dan konsisten. Mateamtika diartikan juga sebagai cara berfikir sebab dalam matematika tersaji strategi untuk mengorganisasi, menganalisis, dan mensintesis informasi dalam memcahkan permasalahan [8]. Seperti orang menulis sistem persamaan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu matematika dapat dipandang sebagai bahasa dan sebagai alat [8]. Sebagai bahasa matematika menggunakan definisi-definisi yang jelas dan simbol-simbol khusus dan sebagai alat matematika digunakan setiap orang dalam kehidupannya. Perlu diketahui bahwa kebanyakan anak pada awal masuk SD belajar mulai dari situasi-situasi nyata atau dari contoh-contoh yang spesifik bergerak ke hal-hal yang lebih umum. Oleh karena itu, adalah kurang tepat jika guru memulai konsep “bulat” melalui definisi. Namun akan lebih menguntungkan apabila guru memulainya dengan memperkenalkan benda-benda yang sering dilihat anak seperti kelereng, bola pingpong, bola sepak, balon dan sejenisnya. Melalui benda-benda itu anak akan mencoba mengklasifikasikan benda yang disebut bulat. Kegiatan mengkasifikasikan seperti ini dapat membiasakan anak mengamati dan memaknai suatu objek sehingga sampai pada pemahaman tentang bulat. Tentu saja matemtika dapat diajarkan melalui melihat, mendengar, membaca, mengikuti perintah, mengimitasi, mempraktekan, dan menyelesaikan latihan. Perlu diingat, bahwa itu semua mengundang peran-serta guru yang seimbang dalam membimbing dan mengarahkannya. Pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur adalah, apakah dengan cara seperti ini anak benar-benar dapat memahami konsep yang diberikan dan memaknainya dengan baik? Memang, keberhasilan dari kegiatan belajar siswa dipengaruhi banyak hal, seperti pengalaman, kemampuan, kematangan, dan motivasi, sehingga teori belajar selengkap 4 manapun belum tentu efektif untuk semua anak dan semua topik. Namun secara umum bagaimana anak belajar matematika telah banyak dikaji dan dikembangkan. Pengalaman akan benda-benda kongkrit yang dekat dengan anak sangat membantu melandasi pemahaman konsep abstrak matematika ([2], [8]). Guru harus terampil membangun jembatan penghubung antara pengalaman kongkrit yang dimiliki kebanyakan anak dengan konsep-konsep matematika yang abstrak. Oleh karena itu benda-benda nyata atau benda-benda manipulatif akan sangat membantu anak dalam memahami matematika. Dengan demikian, alat peraga dan bahan ajar, memiliki peranan yang penting dalam kegiatan pembelajaran matematika di sekolah dasar. 4. Pembelajaran Matematika Kegiatan guru mengajar tidak bisa dilepaskan dari peristiwa siswa belajar. Oleh karena itu, mengajar matematika dengan efektif bergantung pada pemahaman bagaimana siswa belajar. Proses mengkonstruksi jembatan yang menghubungkan situasi kongkrit ke situasi simbolik dan membantu anak melintasi jembatan tersebut, merupakan kegiatan pembelajaran matematika yang ideal. Berikut ini adalah beberapa prinsip praktis dalam pembelajaran matematika berlandaskan hasil berbagai penelitian, pengalaman, dan kajian tentang bagaimana anak belajar matematika ([3], [4], [5], [[6], [7], [8], dan [9]). Walau setiap prinsip ditulis secara terpisah, hal ini tidak berarti menunjukkan prioritas atau tidak saling terkait. a. Mulailah dari apa yang diketahui anak, bukan dari apa yang diketahui guru Tampaknya hal biasa kalau guru menganggap bahwa di awal pertemuan, anak belum tahu apa-apa mengenai materi pelajaran yang akan diberikan. Guru umumnya cenderung memulai pembelajaran dari apa yang mereka ketahui, bukan dari apa yang telah anak ketahui. Padahal pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka miliki dapat dijadikan modal awal untuk mereka belajar matematika. Jika anak memahami berdasarkan apa yang telah mereka ketahui sangat membantu mereka dalam proses mengerti sehingga dapat membangun pemahaman yang kokoh. b. Sajikan matematika dalam suasana menyenangkan Dari sudut pandang psikologi pendidikan, menyajikan matematika dalam suasana anak tegang atau ketakutan tentu tidak kondusif untuk dapat berpikir secara optimal. Suasana belajar yang baik bagi anak memerlukan iklim belajar yang menyenangkan dan sikap guru yang terbuka. 5 Guru yang mampu menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar, berbagi pendapat dan perasaan dengan siswa cenderung dapat menjadikan siswa menyenangi matematika dan termotivasi untuk mempelajarinya. c. Beri siswa kesempatan untuk banyak berbicara, bekerja, dan menulis matematika Benda manipulatif, konteks dalam kehidupan, atau model matematika lainnya dapat memberikan kesempatan anak dalam berpikir, bicara, mendengarkan, dan menulis matematika. Dengan memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan matematika secara lisan ataupun tertulis, akan menstimulasi pemahaman mendalam mengenai konsep dan prosedur matematika. d. Gunakan bahasa atau konteks yang dikenal anak sebagai strategi awal Anak akan mengalamai kesulitan jika dihadapkan langsung dengan konsep-konsep matematika yang abstrak. Penggunaan bahasa atau konteks yang dekat dengan anak akan memberikan banyak kesempatan kepadanya untuk berpikir, berbicara, mendengarkan, dan menulis matematika. Misalnya, daripada melatih siswa kelas 6 untuk menghitung 1541 : 72 dengan pembagian cara ke bawah, akan lebih bermakna bagi siswa jika disajikan dalam suatu konteks seperti berikut. Murid kelas 6 akan berdarmawisata ke Yogyakarta yang berjarak 1541 km dari Bandung. Jika bis yang mereka tumpangi rata-rata menempuh 72 km setiap jamnya, perkirakan berapa jamkah mereka di perjalanan? e. Kaitkan konsep matematika dengan konsep lain Pemahaman terhadap konsep-konsep matematika bukan merupakan pemahaman yang terkotak-kotak namun merupakan pemahaman relasional dalam jaringan konsep dan prosedur. Oleh karena itu, koneksi di dalam konsep dan antar konsep matematika perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan pembelajaran matematika. Di samping itu, di SD guru kebanyakan masih berperan sebagai guru kelas, sehingga memadukan matematika dalam suatu konteks dengan sain, bahasa, atau bidang studi lain tidak mustahil dapat meningkatkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar matematika. Selain itu mereka dapat menyadari bahwa matematika itu ada bukan hanya untuk matematika, namun diperlukan juga dalam bidang lain. 6 f. Manfaatakan hasil rekayasa teknologi Kebanyakan dari kita masih menyangsikan akan peranan alat-alat canggih, seperti kalkulator dan komputer dalam pembelajaran matematika. Para orang tua dan guru masih banyak yang beranggapan bahwa kalkulator akan membuat anak bodoh, tidak mampu berhitung, dan akan membuat anak bergantung pada alat. Anggapan ini sama sekali tidak benar sepanjang guru bisa memanfaatkan alat-alat itu dalam kegiatan pembelajaran yang tepat. g. Gunakan media yang mudah diperoleh dan menarik Penggunaan media atau alat peraga (benda manipulatif) dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan terutama bagi siswa sekolah dasar. Hal ini disebabkan pemikiran mereka yang belum bisa langsung menerima hal-hal yang abstrak. Selain itu, melalui alat peraga anak bisa belajar matematika dengan bantuan objek-objek nyata, mendorong melakukan percobaan dan pengamatan, dan mencoba menyingkap hal-hal baru bagi mereka. h. Biasakan menggunakan pendekatan problem solving Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah membentuk siswa agar mampu berpikir komprehensif dan strategis, seperti berpikir logis, sistematis, kritis dan kreatif. Pendekatan problem solving dalam belajar matematika diyakini efektif untuk melatih siswa berpikir komprehensif dan strategis melalui pemecahan masalah matematika. Oleh karena itu untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan, kemampuan siswa dalam pemecahan masalah perlu dikembangkan terus dalam setiap kesempatan pembelajaran. i. Biasakan siswa untuk aktif bekerjasama dalam kelompok Siswa membangun pengetahuannya melalui struktur pemahaman yang telah diperoleh dari proses belajar atau pengalaman. Jika siswa mendapatkan pengetahuan baru, maka persepsi dan konsep lama yang telah ada di kepalanya akan mengklarifikasi struktur pemahaman yang telah ada dan selanjutnya membentuk struktur pemahaman baru yang makin luas. Proses pengkonstruksian ini bisa lebih cepat apabila dilakukan siswa melalui kegiatan interaktivitas dengan sesama siswa dan atau dengan guru. 5. Penutup Hasil penelitian dan juga pengalaman di lapangan banyak memberi rekomendasi bahwa terdapat nilai tambah yang berarti dalam kegiatan pembelajaran matematika manakala siswa 7 belajar mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Kegiatan pembelajaran yang mendukung pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa sendiri dapat dilakukan melalui aktivitas hand-on, berbicara, menjelaskan, mengklarifikasi menyusun dan menguji konjektur, dan merefleksi dari apa yang telah mereka lakukan. Dalam hal ini guru memiliki peran yang sangat sentral dalam membantu dan mengarahkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya. Pendek kata, guru dituntut terampil dalam memilih dan memilah aktivitas pembelajaran sesuai dengan kondisi dan potensi yang ada, menjaga iklim belajar yang kondusif, dan mengorganisasi kelas secara dinamis agar semua siswa berpartisipasi dalam aktivitas mengabstraksi dan mengkonstrusi matematika. Referensi [1] Depdiknas, (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depdiknas. [2] Hiebert, J. & Carpenter, T. P. (1992). Learning and Teaching with Understanding. Dalam D.A. Grouws (Ed.). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. Reston, VA: NCTM. [3] Killpatrick, J. Swaford, J., & Findell, B. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Washington: National Academic Press. [4] Koehler, M.S. & Grouws, D.A. (1992). Mathematics Teaching Practice and Their Effects. Dalam D.A. Grouws (Ed.). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. Reston, VA: NCTM. [5] NationalCouncil of Teachers of Mathematics (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. [6] Pape, S.J. (2004). Middle School Children’s Problem-Solving Behavior: A Cognitive Analysis for a Reading Comprehension Perspective. Journal for Research in Mathematics Education, 35(3). pp.187-219. [7] Renga, S. & Dalla, L. (1993). Affect A Ctritical Component of Mathematical Learning in Early Chilhood. Dalam R.J. Jensen (Ed.) Research Ideas for the Classroom: Early Chilhood Mathematics. Reston, VA: NCTM. [8] Reys, R.E., Suydam, M.N., Linquist, M.M., & Smith, N.I. (1998). Helping Children Learn Mathematics. Boston: Allyn and Bacon. [9] Van de Walle, J.A. (1998). Elementary and Middle School Mathematics: Teaching Developmentally. New York: Addison Wesley Longman, Inc. [10] Zazkis, R. & Liljedahl, P. (2004). Understanding Primes: The Role of Representation. Journal for Research in Mathematics Education, 35(3). pp.164-186.. 8 9