View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Bismillahiraahmanirahim.
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat
kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke
jalan yang diridhoi Allah SWT.
Skripsi yang berjudul “Pengakuan Masyarakat dan Perlindungan
Hak Asasi Manusia Bagi Kelompok Orientasi Seksual dan Identitas
Gender di Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
Terima Kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin
2. Prof. Dr. Farida Patintingi, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin dan para Wakil Dekan beserta
seluruh staf dan jajarannya.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H.,M.H. Selaku Pembimbing
Pertama dan Dr. Iin Karita Sakharina, S.H, M.A. Selaku
Pembimbing
Kedua.
Yang
telah
meluangkan
waktu
untuk
v
memberikan masukan, bimbingan, dan motivasi yang membangun
kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Dr. Masba Magassing, S.H.,M.H. Dr. Laode Abdul
Gani,S.H.,M.H. Birkah Latif, S.H.,M.H.,LLM. Selaku para penguji
yang sangat luar biasa dan banyak membantu dalam penyusunan
skripsi ini dengan gagasan dan sarannya yang sangat hebat.
5. Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua ayahanda H.
Masse dan ibunda Hj. Djohareng yang penulis sangat cintai dan
hormati yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, doa,
nasehat, dan motivasi hingga sampai detik ini penulis tetap kuat
dan bersemangat dalam menyelesaikan studi.
6. Kakak-kakak
tercinta Mardawati, Iriati Masse, Gustiawan dan
Herman yang selalu menjadi tempat terbaik untuk bercerita dan
mengadu serta mengeluarkan keluh kesah walaupun terpisah jarak
yang jauh.
7. Unit Kegiatan Mahasiswa di Universitas Hasanuddin dan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin yang menjadi tempat terbaik
belajar berorganisasi (UKM BSDK FH-UH, UKM Pantun dan Seni
Kreatif, UKM ALSA LC UNHAS, ILSA UNHAS).
8. Non Govermental Organization (NGO) Indonesian Future Leaders
Chapter Sulsel yang telah memberikan kepercayaan kepada
penulis untuk menjabat sebagai Presiden Chapter IFL Sulsel
hingga penulis menyelesaikan studi strata satu.
vi
9. Bapak Muhammad Nurkhoiron selaku kepala bagian pendidikan
dan penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Yang telah meluangkan waktunya memberikan bantuan selama
proses penelitian.
10. Seluruh fans yang tergabung dalam sahabat eko yang kini telah
mencapai followers sejumlah 8K, terimakasih atas dukungan dan
bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini, salam sahabat
eko.
11. Orang yang paling mengerti diakhir masa-masa perkulihan, teman
kerja proposal, skripsi, gosipi orang, paling nyaman kalau diajak
jalan, paling baik dan perhatian, para gadis yang jodohnya belum
dipertemukan oleh tuhan. Terimakasih banyak untuk kedua orang
ini “Olivia Yanuari Huslan dan Vera Burhamzah”. Terimakasih atas
bantuan, dorongan semangat, tawa dan kecerian diakhir masa
perkuliahan. Segera menyusul dan secepatnya dipertemukan
jodohnya.
12. Sahabat-sahabat terbaik di Gazebo Sektor VI, A. Anggy Hardiyanti,
Nur Ukasyah, Aldi Hamza, Andy Rezki Juliarno, Muh. Arham Arras,
Arlin Joemka Saputra, S.H., Dian Martin, Muh. Noartawira Sadirga
Saleh MD, S.H., Fatia Kurniasi, Febri Maulana,Firman Nasrullah,
Heriansya P, Lisa Rulyantini M, Maipa Deapati Siswadi Suarningrat,
Muhammad Nur Fajrin, Nisrina Atika, Nyoman Suarningrat Tri
Astika Siswadi, Achmad Fauzi Tilameo, Ramadan Satria Halim,
vii
Muh. Nur Fadli Imran, Wahyudi Kasrul, Yoga Alexander Rosera.
Mereka-mereka ini adalah pelengkap kebahagian penulis diakhir
cerita perjuangan mendapatkan gelar Sarja Hukum. Semoga S.H
segera tercantum dibelakang nama kita semua. Sukses dan
terimakasih sebanyak-banyaknya.
13. Best Team Moot Court Competition piala Bulaksumur 2 tahun 2014,
layaknya sebuah keluarga dan teman meraih kemenangan and we
got it. A. Anggy Hardiyanti dan Muh. Arham Arras (best official
team), Akbar Sarifuddin, Aprliani Kusuma Jaya, Ayu Nasriani
Saputri, Caecilia Birana, Dian Martin, Fatia Kurniasi, Febri Maulana,
Fenny
Afriyanti,
Fenty
Suarningrat Tri Astika,
Tangdilintin,
Ika
Ristiana,
Nyoman
Richard Wala Sondakh, Rusyaid Abdi,
Surahmat, S.H., Zulkurniawan A. terimakasih sayang-sayang atas
kenangan indah dan kebersamaan yang sangat hangat, salam
peradilan semu “Viva Justicia”
14. “Gengster” Aprliani Kusuma Jaya, Hj. Dian Furqani, Gadis Mentari,
Hasruddin Hasan, Ichwanul Reiza, S.H., Siti Nur Kholisa, Pratita
Nareswari, Nurul Arbiati dan Muh. Nur Fajrin. Terimakasih banyak
atas bantuan dan mohon maaf jika penulis sangat membiksuhkan.
15. Terima Kasih untuk CHIKEN BANANA KABINET “1st Internship
Republic Indonesian Embassy of Thailand” Destri Kristianti
Parubang, Fadila Jamila Irbar, Sri Septriani Arista Yufeni, S.H.,
viii
Indira Saraswati dan Muhammad Nur Fajrin. Kalian luar biasa
senang bisa perna kerja dalam team di luar negeri bersama kalian.
16. ALSA DEMIS 2012 terimakasih banyak teman-teman alsa yang
tidak bisa penulis tuliskan satu persatu, terimakasih atas segala
bantuan dan kenangan terbaik selama ini, pengalaman luar biasa
mengikuti event internasional alsa legal training and workshop
perdana.
17. Teman-teman International Law Corner 2012, kalian teman
sekelas disemester 5,6,7 terimakasih banyak atas kerjasamanya
dalam membantu bagian HI ketika melaksanakan kegiatan
internasional. Kalian luar biasa para calon Dubes, Astronot,
Konsultan Hukum, Pimpinan Kemenlu (amin).
18. Kakak-kakak volunteer di Klinik Hukum, Kak Rafika suante (Sidney
University) dan kak dede suate (pakar bahasa, segala jenis
bahasa), senang bisa beberapa kali
membantu kalian dalam
beberapa kegiatan klinik, teman kursus bahasa mandarin walaupun
akhirnya patah pulpen.
19. SMAN1 Mimika angkatan 2009 yang telah memberikan banyak
bantuan khusunya One Heart XII IPA 1 yang mempunyai peran
penting sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah dan kini telah
menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa. Terimakasih temanteman SMA.
ix
20. KKN UNHAS Gelombang 90’ Kec. Rilau Ale, Kab. Bulukumba
khususnya teman seposko di Desa Bontolohe, Kak Aby, Kak
Jeksen, Kak Marisa, Kak indah dan Kak Gio. Terimakasih atas
kisah menarik saat KKN.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada
kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran kami hargai
demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa yang akan datang.
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat
bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan.
Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 29 Februari 2016
Penulis,
x
ABSTRAK
EKO SETIAWAN (B111 12 065), Pengakuan Masyarakat dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Kelompok Orientasi Seksual dan
Identitas Gender di Indonesia. Di bawah bimbingan Muhammad Ashri
selaku pembimbing I dan Iin Karita Sakharina selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami sejauh
mana pengaruh, pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap
kelompok orientasi seksual dan identitas gender saat ini dan untuk
mengetahui bagaimana perlindungan hak asasi manusia terhadap
kelompok orientasi seksual dan identitas gender berdasarkan regulasi
hukum nasional dan hukum internasional.
Penelitian ini dilaksanakan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Jakarta, menggunakan teknik dan studi kepustakaan yang
relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen serta peraturan perundangundang yang berkaitan dengan masalah tersebut. Bedasarkan analisis
hukum terhadap fakta dan data tersebut, disimpulkan bahwa masih
banyak tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh
kelompok orientasi seksual dan identitas gender atau kelompok lesbian,
gay, biseksual dan transgender. Setiap warga negara Indonesia
mempunyai hak untuk pro atau kontra dengan kehadiran LGBT tetapi
yang perlu diperhatikan bahwa setiap manusia yang lahir memiliki
kedudukan yang sama dalam hukum dan setiap warga negara
Indonesia mempunyai kewajiban untuk tidak merampas dan saling
menghargai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa
melihat latar belakang kehidupan seseorang salah satunya orientasi
seksual dan identitas gendernya.
Kata kunci : Hak Asasi Manusia (HAM), Orientasi Seksual dan
Identitas Gender, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
xi ABSTRACT
EKO SETIAWAN (B111 12 065), the recognition of the community
and the protection of human rights For sexual orientation and Gender
Identity in Indonesia. Under the guidance of Muhammad Ashri as
supervisor I and Iin Karita Sakharina as supervisor II.
This research aims to know and understand the extent of the
influence, understanding and acceptance of society against sexual
orientation and gender identity at the moment and to find out how human
rights protections against sexual orientation and gender identity based on
the regulation of national law and international law.
This research was carried out at the Office of the national human rights
Commission Jakarta, using techniques and study the relevant libraries
namely literature, documents as well as laws-laws relating to the issue.
Based on the analysis of the facts and the law against such data, it was
concluded that many acts of discrimination and violence experienced by a
group of sexual orientation and gender identity or group of lesbian, gay,
bisexual and transgender people. Every citizen of Indonesia has the right
to the pros or cons with the LGBT presence but to note that every human
born has the same position in law and every citizen of Indonesia has an
obligation not to seize and appreciate fundamental rights possessed by
every human being regardless of the background of one's life one sexual
orientation and gender identity.
Keywords: human rights (human rights), sexual orientation and Gender
identity, the national human rights Commission (Komnas HAM)
xii DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
AIDS
Acquired Immuno Deficiency Syndrome
EKOSOB
Ekonomi, Sosial dan Budaya
DUHAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
FKWI
Forum Komunikasi Waria Indonesia
FPI
Front Pembela Islam
GWL-INA
Jaringan
Gay,
Waria
dan
Lelaki
yang
berhubungan Seks dengan Lelaki lain di
Indonesia
GWL
Jaringan Gay, Waria dan Lelaki
HIV
Human Immuno Deficiency Virus
ILGA
International Lesbian and Gay Conference
ICCPR
International Covenant on Civil and Political
Rights
ILO
International Labour Organization
LBH
Lembaga Bantuan Hukum
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komnas Perempuan
Komisi Nasional Perempuan
LGB
Lesbian, Gay, Biseksual
xii LGBT
LGBTIQ
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
Lesbian,
Gay,
Biseksual,
Transgender,
Interseks dan Queer
NGO
Non Government Organization
Perda
Peraturan Daerah
SOGI
Sexual Orientation and Gender Identity
UNAIDS
United Nations Programme on HIV/AIDS
UNDP
United Nations Development Programme
UDHR
Universal Declaration of Human Rights
USAID
United
States
Agency
for
International
Development
UU
Undang-Undang
UUD
Undang-Undang Dasar
Waria
Wanita Pria
Wadam
Wanita Adam
TDoR
Transgender Day of Remembrance
xiii DAFTAR ISI
Halaman Judul ..........................................................................................
i
Lembar Pengesahan Skripsi ...................................................................
ii
Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi ....................................................
iii
Persetujuan Pembimbing ........................................................................
iv
Kata Pengantar ........................................................................................
v
Abstrak ......................................................................................................
xi
Daftar Singkatan ......................................................................................
xii
Daftar Isi ....................................................................................................
xiv
Daftar Tabel ..............................................................................................
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B.
Rumusan Masalah ............................................................
10
C.
Tujuan Penelitian ..............................................................
10
D.
Manfaat Penelitian ............................................................
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum tentang Orientasi Seksual dan Identitas
Gender ..............................................................................
11
1. Definisi Orientasi Seksual dan Identitas Gender
11
xiv 2. Teori Diskriminasi dan
Prasangka Pada
Transgender dan Kelompok Minoritas Seksual .
3. Perbedaan
Transgender,
Transseksual,
Transvest, dan Interseks. .............................
B.
17
20
Tinjauan Umum tentang Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) .............................................................
22
1. Latar Belakang tentang Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) ...........................
22
2. Struktur Peraturan Perundang-Undangan Hak
Asasi Manusia Internasional (International Bill
of Rights) ...........................................................
C.
25
Kovenan Internasional tentang Sipil dan Politik (KIHSP) /
International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) .............................................................................
D.
29
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (KIHESB) / International Covenant on Economic,
Social and Culture Rights (ICESCR) ................................
E.
31
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan
Merendahkan Martabat Manusia ........................... ..........
34
F.
Deklarasi Montreal. ............................................................
36
G.
Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) ...
38
H.
Hak Asasi Manusia di Indonesia ........................................
40
I.
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
J.
Terkait Hak Asasi Manusia ................................................
47
Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Kedaulatan Nasional.
54
xv BAB III METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian ................................................................
56
B.
Tipe Penelitian ...................................................................
57
C.
Teknik Pengumpulan Data.................................................
57
D.
Jenis dan Sumber Penelitian ............................................
58
E.
Analisis Data ......................................................................
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum Kehidupan Orientasi Seksual dan
Identitas Gender dan Penerimaannya di Indonesia ..........
59
1. Calalai, Calabai, dan Bissu pada Suku Bugis di
Sulawesi Selatan ................................................
69
2. Laporan Pengaduan Tindakan Diskriminasi dan
Kekerasan pada LGBT di Komisi Nasional
Hak
Asasi Manusia......................................................
B.
77
Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Kelompok
Sexual Orientation and Gender Identity di Indonesia
Bedasarkan Regulasi Hukum Nasional dan Hukum
Internasional .....................................................................
85
1. Regulasi Hukum Nasional ..................................
85
2. Regulasi Hukum Internasional .. .........................
102
A.
Kesimpulan .........................................................................
110
B.
Saran .................................................................................
112
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
114
BAB V PENUTUP
xvi DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi
95
2. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak Atas Rasa Aman ...........
97
3. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi
105
4. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Atas Rasa Aman ...........
107
xvii BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia perlahan-lahan telah menerima bahwa manusia memiliki
perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal ras atau etnis, agama
dan perbedaan-perbedaan ini haruslah dihormati agar tidak digunakan
sebagai alasan untuk perlakuan diskriminasi, akan tetapi kebanyakan
negara masih belum menerima dua aspek dalam keanekaragaman
manusia.
Dalam
dasarwarsa-dasarwarsa
terakhir
ini,
pengunaan
dan
penyalahgunaan pengertian tentang Hak Asasi Manusia yang
selanjutnya disingkat HAM
menjadi lebih tersebar luas dari waktu-
waktu sebelumnya, sebagian karena sering terjadi pelanggaranpelanggaran atas hak-hak tersebut dan untuk sebagian lagi karena
kesadaran mengenai HAM sudah meluas, baik pada pihak individu
maupun pada pihak negara.1
Mencuatnya ke permukaan tentang HAM selama beberapa dekade
terakhir ini merupakan salah satu isu global yang banyak dihadapi oleh
negara-negara. Salah satunya adalah Indonesia baik perlindungan
1
Sadruddin Aga Khan, 1983, Komisi Independen Internasional Mengenai Masalah Masalah Kemanusiaan, Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas), Jakarta, hlm. 76. 1 nasional hak-hak asasi yang menyangkut kebijakan, rencana aksi
maupun implementasi instrumen-instrumen konvensional yang telah
diterima di Indonesia.2
Kewajiban
menghormati
HAM
tersebut
tercermin
dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan
pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan
kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,
kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan
agama dan kepercayaan itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran.
Sejarah
bangsa
Indonesia
hingga
kini
mencatat
berbagai
penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan
oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna
kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status
sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan
pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat
negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal
2
www.declarationofmontreal.org/declarationofmontreal_Bahasa.pdf.hlm.2. 2 (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam
kategori pelaggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Populasi masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam,
Katholik, Kristen protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Pada
umumnya ajaran agama-agama ini ditafsirkan secara konservatif
sehingga tidak setuju dengan kehadiran kelompok sexual orientation
and gender identity yang selanjutnya disingkat SOGI salah satu
contohnya
adalah
homoseksualitas,
karena
ditafsirkan
secara
konservatif sehingga memengaruhi pandangan masyarakat secara
keseluruhan dengan cara yang negatif, meskipun ada sejumlah
individu religius yang lebih progresif dan bersikap menerima walaupun
tidak semua.3
Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan
identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap
progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar
yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah
tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar.
Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender yang selanjutnya disingkat LGBT yang
3
Anonim, 2012, Hidup Sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisis Partisipasi tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), United States Agency for International Development (USAID) dan United Nation Development Programme (UNDP), Bali, hlm.10. 3 membuka diri. Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender
yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada
penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari
anggota keluarga, dan pada kenyataanya yang terjadi sekarang di
dunia telah perlahan-lahan menerima bahwa individu manusia memiliki
perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal rasa tau etnis, agama
dan bahwasanya perbedaan-perbedaan ini haruslah dihormati dan
tidak digunakan sebagai alasan untuk perlakuan diskriminasi akan
tetapi kebanyakan negara masih belum menerima dua aspek dalam
keanekaragaman manusia. Manusia mempunyai perbedaan dalam
orientasi seksual dan identitas gender, dua perempuan ataupun dua
laki-laki dapat saling jatuh cinta dan identitas seseorang dapat
ditentukan secara pribadi apakah sebagai perempuan atau laki-laki
ataupun bukan keduanya, adalah tidak ditentukan oleh jenis tubuh
dimana mereka dilahirkan.4
Tetapi bagaimana seharusnya ketika sikap penerimaan perbedaanperbedaan atau penghormatan terhadap hak seseorang tidak selaras
dengan peraturan undang-undang sebuah negara, misalnya peraturan
perundang-undangan di Indonesia hanya menetapkan dua gender
saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman
4
Ibid, hlm. 12. 4 tegas tentang pria dan wanita dalam undang-undang perkawinan.5
Ketentuan serupa pula yaitu identitas gender juga tertera dalam
undang-undang administrasi kependudukan.6 Ketentuan ini
bagi
orang-orang transgender menjadi masalah, karena perbedaan antara
pernyataan gender dan penampilan mereka dapat menyulitkan dalam
hal pelayanan jasa, melakukan perjalanan, mengurus izin usaha dan
lain sebagainya. Walaupun tidak ada undang-undang yang secara
eksplisit melarang pengungkapan dan penampilan gender yang
berlawanan ada segelintir orang mengubah gendernya dalam
dokumen pribadinya tanpa melakukan operasi perubahan kelamin
terlebih dahulu biasanya dengan maksud untuk menikah.
Penolakan
untuk
menerima
dan
menghormati
perbedaan-
perbedaan ini berati bahwa penindasan atas orang-orang yang
mempunyai orientasi seksual LGBT adalah tetap merupakan realitas
sehari-hari
dibanyak
wilayah
di
dunia.
Di
beberapa
negara,
diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT semakin memburuk, akan
tetapi semakin banyak pula individu dan kelompok-kelompok yang
berani memperjuangkan hak-hak LGBT disemua wilayah di dunia.
Terutama individu dan kelompok-kelompok di Asia, Afrika, Amerika
Latin dan Eropa Timur sudah tidak bisa lagi menerima prasangka dan
5
6
Lihat Undang-­‐undang No. 1 Tahun 1974. Lihat Undang-­‐undang No. 23 Tahun 2006. 5 diskriminasi, dan mulai menjadi tidak begitu sabar lagi untuk mencapai
kebebasan dan kesetaraan, akan tetapi kemajuan tersebut tidak
merata dan tidak otomatis. Di seluruh dunia, kita melihat kemajuankemajuan maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi saat ini.
Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
hal
tersebut
adalah
kedewasaan suatu bangsa untuk menerima sebuah perbedaan dan
tingkat kemajuaan bangsa tersebut.
Kemajuan dalam menerapkan HAM LGBT menuntut perubahan
multi-lapisan disemua wilayah di dunia yaitu hak-hak harus dijamin,
peraturan perundang-undangan diubah, kebijakan baru dirancang dan
diterapkan, dan perlakuan secara
individu-individu
dan
institusional harus diadaptasi,
kelompok-kelompok
LGBT
adalah
agen
perubahan yang utama dan dibutuhkan pula pihak-pihak lain dalam
mewujudkan apa yang diharapkan oleh individu ataupun kelompokkelompok LGBT. 7
Komisi Internasional tentang Hak Asasi LGBT (The International
Gay and Lesbian Human Rights Commission) yang selanjutnya
disingkat IGLHRC merupakan satu organisasi penting di bawah
Perserikatan Bangsa Bangsa yang selanjutnya disingkat PBB yang
menangani pelanggaran HAM berbasis SOGI. Badan ini merupakan
7
www.declarationofmontreal.org/DeclarationofMontreal_Bahasa.pdf
tanggal 15 November 2015. diakses
pada
6 salah satu badan konsultasi yang diakui PBB dan didirikan di tahun
1990. IGHLCR juga berkontribusi pada pembuatan Prinsip-Prinsip
Yogyakarta (Yogyakarta Principles) di tahun 2010. Prinsip-prinsip
Yogyakarta
adalah
prinsip-prinsip
legal
internasional
mengenai
orientasi seksual, identitas gender dan Undang-undang Internasional
telah disampaikan kepada PBB dan pihak pemerintah dalam upaya
memastikan keberadaan universal perlindungan HAM. Kelompok yang
terdiri dari 29 ahli HAM internasional hari ini mengeluarkan pernyataan
mengenai prinsip-prinsip Yogyakarta mengenai aplikasi undangundang HAM Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual
dan identitas gender8.
Prinsip Yogyakarta sendiri berkiblat kepada
Universal Declaration of Human Right yang selanjutnya disingkat
UDHR sebagai induk dalam aturan tentang HAM.
Deklarasi universal mengenai hak-hak manusia yang selanjutnya
disingkat DUHAM
ialah suatu deklarasi itikad negara-negara, dan
tidak mempunyai daya mengikat, walaupun telah mempunyai dampak
penting sebagai hasil dalam hal-hal tekanan moril, namun bagian
terbesarnya, karena sifat persolan-persoalannya sendiri. Menyadari
deklarasi itikad ini perlu diterjemahkan kedalam tindakan nyata, SU
PBB dengan teguh meneruskan pekerjaan yang dimulai pada tahun
8
http://www.jurnalperempuan.org/keragaman-­‐gender-­‐dan-­‐seksualitas.html diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 13:21. 7 1948. Dua hasil paling penting ialah ikrar internasional (international
covenants) (i) mengenai hak-hak ekonomi,sosial dan kebudayaan dan
(ii) mengenai hak-hak sipil dan politik yang protokolnya bersifat
fakultatif. Tujuannya ialah memungkinkan negara-negara untuk
“secara sukarela mewajibkan diri menaati ketentuan-ketentuan baru
dari hukum internasional, dan membuat individu-individu menjadi
subyek-subyek dan bukan hanya obyek-obyek dari jurisprudensi itu”.
Ikrar-ikrar ini disusul oleh deklarasi mengenai penghapusan segala
bentuk-bentuk diskriminasi ras, dan konvensi internasional mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminsi ras yang diterima oleh SU
tahun 1965.9
HAM adalah hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati
sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa yang harus dihormati,
dilindungi, dan tidak layak untuk dirampas oleh siapa pun, namun
selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar terhadap
manusia lain, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk melindungi
kepentingan manusia sebagai individu, masyarakat, dan warga
negara, disahkanlah Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.10
9
Stephen B. Young, 1981, “between soverigns : A Re-­‐examination of the Refugee’s Status”, Harvard Law School, p.21. 10
Sumarsono, 2004, Pendidikan Kewarganegaraan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.23. 8 Situasi ini mencerminkan pertentangan antara
aliran klasik dan
aliran progresif mengenai hukum internasional. Karena usaha-usaha
dilakukan untuk memperlakukan individu-individu lebih dari pada
negara-negara, sebagai subyek hukum internasional, maka usaha
yang
sama
kuatnya
dilakukan
oleh
negara-negara
untuk
menyelamatkan hak-hak prerogative kedaulatannya. 11
Karena individulah yang pada hakikatnya menikmati sistem hukum
dan praktek internasional, maka perlunya HAM dihormati menjadi
semakin penting. Hak-hak ini seperti yang dimuat dalam deklarasi
universal mengenai HAM tahun 1948, terdiri dari seperangkat garis
pedoman,
kode
perilaku,
mengenai
bagaimana
dalam
suatu
masyarakat yang ideal, negara kebangsaan (nation state) harus
memperlakukan individu. Norma hukum (rule of law) harus merupakan
kekuasaan tertinggi dan pengadilan-pengadilan yang tidak berpihak
harus melaksanakannya, bahkan terhadap pemerintah-pemerintah.
Kepada negara diserukan untuk menghormati hak-hak pribadi dari
individu termaksuk haknya akan kebebasan berfikir, kebebasan
melakukan
kegiatan
keagamaan
dan
kebebasan
mempunyai
pendapat.12
11
Ibid, hlm.76. Sadruddin Aga Khan, Loc.cit, hlm.77. 12
9 B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pemahaman
dan
penerimaan
masyarakat
terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender ?
2. Bagaimanakah perlindungan hak-hak asasi manusia dalam
menyikapi kelompok orientasi seksual dan identitas gender
berdasarkan regulasi hukum nasional dan hukum internasional?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami pengaruh pemahaman dan
peneriman masyarakat terhadap kelompok orientasi seksual dan
identitas gender identity saat ini.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hakhak asasi manusia terhadap kelompok orientasi seksual dan
identitas gender berdasarkan regulasi hukum yang berlaku baik
hukum nasional maupun hukum internasional.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan dalam
menunjang pengembangan ilmu hukum bagi penulis pada
khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya.
2. Penelitian
ini
diharapkan
menjadi
bahan
masukan
dan
pertimbangan bagi seluruh lapisan masyarakat demi menciptakan
kehidupan yang damai dan saling toleransi antar umat manusia
demi menjaga ketertiban dunia.
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Orientasi Seksual dan Identitas
Gender
1. Definisi Orientasi Seksual dan Identitas Gender
Kata seks mengacu pada status biologis seseorang dan
biasanya dikategorikan sebagai laki-laki, perempuan, atau
interseks
(yaitu,
kombinasi
atipikal
fitur
yang
biasanya
membedakan laki-laki dari perempuan). Ketika membahas
tentang
Identitas
gender
maka
mengacu
kepada
"rasa
seseorang dari diri sendiri sebagai laki-laki, perempuan, atau
transgender” ketika seseorang identitas gender dan jenis
kelamin
biologis
yang
tidak
kongruen,
individu
dapat
mengidentifikasi sebagai transeksual atau sebagai kategori
transgender lain.
Identitas
seksual
berarti
bagaimana
seseorang
memandang dirinya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai
perempuan. Identitas seksual mengacu pada hasil pembagian
jenis
kelamin
secara
kromosomal,
kromatinal
(genetis),
11 gonadal, hormonal, dan somatis (fenotipis, biotipis),13 atau
dengan kata lain, identitas seksual mengacu pada kejantanan
(maleness) atau kebetinaan (femaleness) dari segi ragawi
(bentuk tubuh), khususnya alat kelamin luar, akan tetapi ada
penelitian yang menunjukkan bahwa identitas seksual bukan
merupakan
bawaan
saat
lahir,
tetapi
lebih
merupakan
pembelajaran melalui pengalaman yang diberikan secara tidak
resmi dan tidak terencana, bila seorang anak yang pada saat
dilahirkan diperlakukan menurut identitas seksualnya yang
berbeda dari jenis kelamin biologisnya, maka ia akan tumbuh
sesuai dengan identitas seksual yang diberikan kepadanya.14
Orientasi seksual merujuk pada seks dari orang-orang
kepada siapa seseorang secara seksual. Kategori orientasi
seksual biasanya telah menyatakan ketertarikannya kepada
anggota dari seks sendiri (gay atau lesbian atau sering disebut
homoseksual), atau ketertarikannya kepada anggota dari jenis
kelamin lainnya (heteroseksual), dan daya tarik kepada anggota
dari kedua jenis kelamin (biseksual).
Istilah
homoseksual
dan
heteroseksual
digunakan
merujuk pada orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual
13
Dede Oetomo, 2001, Memberi Suara pada yang Bisu, Galang Press, Yogyakarta, hlm.20. ibid, hlm.23. 14
12 menunjuk pada jenis kelamin pasangan erotis, cinta ataupun
afeksi yang dipilih. Orientasi seksual terbentuk mulai saat
hormon–hormon
seksual
berkembang,
yaitu
pada
saat
seseorang memasuki usia remaja. Sebelum masa tersebut,
ketertarikan kepada orang lain masih belum dapat dianggap
sebagai ketertarikan seksual.15 Seorang gay adalah seorang
homoseksual karena ia adalah laki-laki, sedangkan pasangan
erotis, cinta, ataupun afeksinya adalah juga laki-laki.
Homoseksual sendiri adalah ketertarikan kepada sesama
jenis kelamin biologisnya baik antara pria dan pria (Gay), wanita
dan wanita (Lesbian), wanita yang menyukai pria dan wanita
secara bersamaan atau pria yang menyukai wanita dan pria
dimomen yang sama (Bisexual).
Lesbian
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi sebagai
wanita dan tertarik kepada orang lain yang mengidentifikasi
sebagai perempuan.
Gay
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi sebagai lakilaki dan tertarik kepada orang lain yang mengidentifikasi
15
Ibid, hal.38. 13 sebagai
laki-laki.
Kaum
gay
masih
tetap
merasa
dan
menganggap dirinya sebagai laki-laki. Dalam mewujudkan
seksualitasnya, ada yang bertindak sebagai pihak pasif (seperti
peran perempuan dalam hubungan seksual) atau sering disebut
bottom dan ada yang bertindak sebagai pihak aktif (seperti
peran laki-laki) atau sering disebut top, tetapi masing-masing
tetap menganggap diri sebagai laki-laki, baik secara fisik
maupun psikis.16
Biseksual
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan seseorang yang tertarik kepada orang lain dari
jenis kelamin yang sama dan orang-orang dari jenis kelamin
yang berbeda.17 Sedangkan transgender lebih merujuk kepada
identitas gender, transgender adalah istilah yang secara umum
merujuk kepada individu yang memiliki peran dan perilaku yang
tidak sesuai dengan peran gender yang telah ditentukan oleh
masyarakat untuk jenis kelamin tertentu.18 Identitas gender
adalah perasaan dalam diri mengenai penghayatan sebagai
seorang laki-laki atau seorang perempuan, karena bersifat
sangat internal, identitas gender tidak dapat dilihat dan sangat
16
http://journal.unair.ac.id/download-­‐fullpapers-­‐jurnal%20shinstya.doc diakses pada tanggal 16 November 2015 pukul 13:23. 17
http://www.uqu.com.au/blog-­‐view/what-­‐does-­‐lgbtiq-­‐mean-­‐29 diakses pada 16 November 2015 Pukul 14:54. 18
Robert Crooks and Karla Baur, 2005, Our Sexuality, Belmont; wadsworth Learning, USA, p.45. 14 pribadi.19
Ekspresi gender adalah cara individu mengekspresikan
atau mengkomunikasikan gendernya.20 Ekspresi gender yaitu
mengacu pada cara di mana seseorang bertindak untuk
berkomunikasi gender dalam suatu budaya tertentu; misalnya,
dalam hal pakaian, pola komunikasi dan kepentingan. Ekspresi
gender seseorang memungkinkan ketidak konsistenan dengan
peran
gender
secara
sosial
dan
memungkinkan
tidak
mencerminkan identitas gendernya.21
Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang
cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya
sebagai mitra seksual. Homoseksual sudah dikenal sejak lama,
misalnya pada masyarakat Yunani Kuno.22 Di Inggris baru pada
akhir abad ke 17 homoseksualitas hanya dipandang sebagai
tingkah laku seksual belaka, namun juga peranan yang agak
rumit sifatnya, yang timbul dari keinginan-keinginan maupun
aktivitas para homoseks.23 Dalam penelitian yang terkenal
19
Deana F Morrow and Lori Mesingger, 2006, Sexual Orientation and Gender Expression in Social Work Practice; Working with Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender People, ; Columbia University Press, New York, p.365. 20
Ibid, hlm. 323. 21
http://apa.org/about/policy/transgender.aspx. diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 13:23. 22
Soerjono Soekanto, 2014, Sosiologi :Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 381. 23
Alfred C Kinsey, Wardell B Pomeroy, and Clyde E Martin, 1948, Sexual Behavior in the Human Male, W.B. Saunders Co, Philadelphia, p.181. 15 tentang seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37%
laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam
suatu masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar-benar
homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan erotisnya
pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya
karena rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya.
Temuan
ini
menjelaskan
bahwa
mempunyai
hubungan
homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks, yang
lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas
homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan
dirinya sebagai homoseks.24
Pada kebanyakan pria transgender biasanya mereka
tidak menyukai kegiatan yang biasanya dimiliki oleh pria, seperti
permainan
olahraga,
mereka
memilih
untuk
memainkan
boneka, berpakaian seperti perempuan dan berasosiasi dengan
perempuan. Mereka merasa sebagai perempuan yang terjebak
dalam tubuh laki-laki. Pada umumnya mereka tidak menggap
diri mereka homoseksual atau gay, tetapi mereka menganggap
diri mereka sebagai wanita dan wajar bila tertarik terhadap lakilaki dan mereka tidak menyukai jika disamakan dengan laki-laki
24
Jokie M.S Siahaan, 2009, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis, PT. Indeks, Jakarta, hlm.76. 16 gay.25 Mereka dianggap sebagai individu yang bermasalah oleh
keluarga mereka, sehingga mereka dikucilkan dan
memiliki
tendensi untuk bunuh diri atau memotong diri (self-mutilation).26
Sebagai
salah
satu
kelompok
minoritas,
kaum
transgender dan homoseksual kerap kali mengalami pelecehan
akibat adanya tindakan diskriminasi dan stigma yang ada di
masyarakat,
berikut
adalah
kumpulan
teori
mengenai
diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok orientasi seksual dan
identitas gender
2. Teori diskriminasi dan prasangka pada transgender dan
kelompok minoritas seksual
Pada umumnya kelompok orientasi seksual dan identitas
gender mengalami banyak diskriminasi, salah satu yang
menyebabkan
diskriminasi
adalah
rasa
takut
terhadap
kelompok orientasi seksual dan identitas gender seperti
transphobia untuk rasa takut kepada kelompok transgender dan
homophobia untuk rasa takut kepada kelompok homoseksual.
Transphobia adalah sikap, perilaku dan kepercayaan yang
25
Harry Benjamin, 1967, Dimension of Well-­‐Being; Research and Intervention, Istampa Sex Research,Taylor &Francis Ltd, vol 3, no2, Milan, p.107. 26
Ibid, hlm.324. 17 merendahkan individu transgender.27 Sama halnya dengan
transphobia, homophobia pun sama hanya saja objeknya yang
berbeda, homophobia adalah ketakutan berlebihan kepada
kelompok homoseksual Lesbian, Gay dan Biseksual yang
selanjutnya penulis singkat LGB.
Selain kekerasan atau violence, bentuk diskriminasi lain
yang juga sering dialami oleh kelompok LGBT
adalah hate
crimes. Hate crimes adalah tindakan kriminal yang dilakukan
terhadap individu, keluarga, atau terhadap barang kepemilikan
yang dilakukan oleh individu lain yang termotivasi baik secara
keseluruhan maupun parsial, tentang ras, agama, kecacatan
tubuh, ekspresi gender maupun orientasi seksual.28
Menurut laporan Federal Bureau of Investigation yang
selanjutnya disingkat FBI pada tahun 1996, bias terhadap
orientasi seksual menduduki peringkat ketiga terbanyak yang
dilakukan penduduk di Amerika Serikat, dimana bias terhadap
ras (kulit hitam) menduduki peringkat pertama dan bias
terhadap
kelompok
Yahudi
menduduki
peringkat
kedua
terbayak dalam kegiatan diskriminasi di Amerika Serikat.29
27
Deana F Morrow and Lori Mesingger, op.cit,hlm.265. Ibid, hlm. 269. 29
Ibid ,hlm. 243. 28
18 Tindak kekerasan, diskriminasi, hate crimes telah sedikit
banyak memberi dampak kepada kelompok minoritas seksual.
Penelitian clements-nolle, Marx dan Katz di tahun 2006
menunjukan bahwa pada kelompok transgender terdapat 32%
transgender yang melakukan percobaan bunuh diri, para
transgender tersebut melakukan tindakan percobaan bunuh diri
dikarenakan
peristiwa historis dalam hidup mereka, seperti
pernah depresi, penggunaan obat-obat terlarang, pernah
diperkosa,
pernah
megalami
diskriminasi
karena
gender
mereka, dan pernah menjadi korban kekerasan karena gender
mereka.30
Diskriminasi dan perilaku-perilaku ini dapat terjadi karena
empat faktor, yaitu: dinamika dalam hubungan pertemanan,
adanya
ideologi
dipandang
sebagai
pembangkit rasa senang, dan kekerasan dianggap
sebagai
pelindung
diri.31
anti-gay,
Pelaku
kekerasan
kekerasan
melakukan
tindakan
kekerasan karena ingin mendapatkan tempat dalam grupnya
(dinamika dalam hubungan pertemanan dimana di dalam
kelompok masyarakat biasanya terdapat ideologi anti-gay) dan
melakukan kekerasan sebagai upaya melindungi diri dari orang 30
Kristen Clements Nolle, Rani Marx, and Mitchell Katz, 2006, Attemted Suicides Among Transgender Person. Journal of Homosexuality,Taylor & Francis Group, vol 51, no 3, USA, p.53. 31
Deana F Morrow and Lori Mesingger, Loc.cit. 19 orang yang terlihat berbeda atau ada diluar grup, sehingga
dapat membangkitkan rasa senang karena mendapatkan
tempat di dalam kelompok dan merasa berhasil melindungi diri
dari individu yang dirasa mengancam, yaitu individu dari
kelompok minoritas seksual.32
3. Perbedaan transgender, transseksual, transvest, dan
interseks
Istilah transgender secara umum digunakan untuk
mendefinisikan individu yang memiliki penampilan maupun
perilaku yang tidak sesuai dengan peran gender tradisional.33
Transgender memiliki variasi dalam mengidentifikasi bagaimana
seharusnya laki-laki maupun perempuan menampilkan diri.
Para
transgender
sering
kali
berpenampilan
dengan
menggunakan pakaian lawan jenis (berbeda dengan seks
biologisnya) dalam variasi waktu tertentu.
Sedangkan transseksual menurut benjamin merujuk
pada individu yang memiliki keinginan tertentu, baik laki-laki
maupun perempuan, untuk merubah kelamin mereka. Bagi para
transseksual, kelamin yang mereka miliki merupakan sumber
rasa jijik, hal ini menyebabkan mereka menginginkan adanya
32
Ibid, hlm. 301. Robert Crooks and Karla Baur, op.cit, hlm.53. 33
20 perubahan pada kelamin mereka melalui operasi plastik.
34
Individu transseksual pada umunya mengalami perasaan
‘terjebak pada tubuh yang salah’. Kondisi ini dinamakan dengan
gender dysphoria. Transseksual pada umunya menginginkan
penampilan fisik mereka diubah agar menjadi sesuai dengan
penampilan fisik kelompok jenis kelamin lawan jenis mereka.
Hal yang membedakan transgender dan transseksual adalah
pada umumnya individu transgender tidak mengalami gender
dysphoria.35
Penggunaan pakaian lawan jenis kerap kali disebut
dengan istilah cross-dressing. Individu non-transseksual yang
melahirkan
cross-dressing,
kerap
kali
disebut
dengan
transvestisme. Transvest adalah istilah yang menjelaskan
individu yang mencapai kepuasan seksual mereka dengan cara
menggunakan pakaian atau atribut dari lawan jenis mereka.36
Yang
membedakan
transvestis
dan
transgender
adalah
transgender melakukan cross-dressing untuk mendapatkan
kepuasan secara psikososial, bukan kepuasan seksual.37
34
Harry Benjamin, op.cit., hlm.108. Robert Crooks and Karla Baur, Loc.cit. 36
Ibid, hlm.60. 37
Ibid, hlm.61. 35
21 Transseksual, transgender dan transvestis memiliki
kesamaan yaitu mereka semua melakukan cross-dressing
namun perkembangan genital mereka secara biologis tumbuh
dengan
baik
perkembangan
dan
sehat.
genital
Pada
seseorang
kenyataannya,
tidak
terdapat
tumbuh
dan
berkembangan dengan baik, keadaan tersebut dinamakan
dengan interseks, yaitu dimana keadaan individu memiliki dua
karakter jenis kelamin.38 Banyak orang yang menggunakan
istilah hermafrodit untuk menjelaskan keadaan ini, namun hal
dianggap kurang sesuai sehinggah istilah interseks lebih
banyak dan sering digunakan.39
B. Tinjauan umum tentang Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM)
1. Latar belakang tentang Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM)
PBB didirikan dengan tujuan utama untuk memelihara
perdamaian dan keamanan dan dengan demikian mencegah
persengketaan
atau
konflik
bersenjata
yang
mewarnai
hubungan internasional. Dua perang dunia dalam jangka
38
Ibid, hlm.63. Ibid, hlm.65. 39
22 waktu hanya 30 tahun telah memorak-porandakan Eropa Barat
dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia lainnya,
termaksuk Asia dan Pasifik. Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu
PBB telah mengadvokasi suatu sistem yang menjamin hak-hak
minoritas untuk melindungi bahasa, agama, dan budaya
tradisional
dan
rakyat
perwalian
yang
hidup
dibawah
kekuasaan asing (termasuk masyarakat yang dipindahkan
melintasi perbatasan, menyusul penetapan kembali batasbatas negara-negara Eropa oleh negara-negara pemenang
perang).40
Setelah
Perang
Dunia
II,
pendapat
umum
cenderung lebih menginginkan suatu pendekatan yang lebih
luas dengan menyepakati hak-hak minimum yang harus dapat
dinikmati oleh setiap orang, apakah dia orang asli, imigran
atau orang asing. Ini dianggap layak setelah perlakuaan
terhadap individu-individu
di Asia Tenggara dan Eropa
Tengah selama Perang Dunia II. Sudah terbukti betapa
sulitnya meramalkan siapa yang membutuhkan perlindungan
dan tentu tidak mungkin untuk menjamin perlindungannya.41
40
Perpindahan penduduk (transfer of population) yang terjadi, misalnya, antara Yunani dan Turki. Bahkan jaminan untuk kaum minoritas yang ditentukan oleh Liga Bangsa-­‐Bangsa dengan bubarnya Liga tersebut karena Jerman mengacuhkan peraturan-­‐peraturan yang dikeluarkan dengan impunitas (tanpa menderita sanksi apapun) dan kemudian perang dideklarasikan di Eropa. 41
23 Piagam PBB tidak mendefinisikan istilah HAM, tapi hanya
mengisyaratkannya saja. Oleh karenanya, tugas pertama komisi HAM
yang didirikan pada 1946 adalah untuk mengembangkan sebuah
definisi resmi secara universal. Pemikirannya adalah untuk maju dalam
tiga langkah berurutan : untuk menyatakan sebuah deklarasi sebagai
suatu dasar untuk sebuah konnvensi yang mengikat secara hukum
dan menciptakan mekanisme penerapan internasional. Dengan
demikian melihat ke belakang, hal ini cukup luar biasa bahwa dalam
perjalanannya selama dua tahun, masyarakat internasional dapat
sepakat pada sebuah deklarasi internasional, sedangkan adopsi
kedua kovenan HAM membutuhkan dua dekade dan pelaksanaannya
secara efisien masih tertunda. Pada satu sisi, keberhasilan ini tidak
hanya dikarenakan adanya komite pribadi dari individu yang menjadi
delegasi dalam komisi HAM seperti Eleanor Roosevelt (Amerika
Serikat) dan Rene Cassin (Perancis), tapi juga karena pada
kenyataannya masyarakat internasional pada 1940-an masih sedikit
dan perbedaan ideologi yang belum muncul kepermukaan.42
Hak
universal
untuk
semua
orang
meniadakan
rezim
perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai suatu solusi sederhana
42
Manfred Nowak, 2003, Introduction to the International Human Rights Regime, Diterjemahkan Oleh Sri Sulastini, 2003, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Institute dan Departemen Hukum dan HAM Indonesia, Jakarta, hlm.82. 24 bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya sampai
sekarang masih banyak kaum minoritas yang tertindas. Lebih jauh lagi,
PBB sendiri, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian ini, terus
berusaha untuk mengartikulasikan instrumen-instrumen tambahan
yang memuat hak-hak untuk perempuan, masyarakat adat, anak-anak
dan lain-lain.
2. Struktur Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia
Internasional (International Bill Of Rights)
Pada awalnya tanggungjawab Komisi Hak Asasi Manusia
meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu
daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang
terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat
ditegakan sehinggah memberi manfaat langsung bagi seluruh umat
manusia. Ini semua yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan
HAM Internasional, suatu cetak biru konstitusional untuk tata dunia
baru yang menentukan hak dan kebebasan yang disepakati dan dapat
ditegakan secara universal.
DUHAM adalah elemen pertama dari Peraturan PerundangUndangan HAM Internasional (international bill of rights), yakni suatu
tabulasi
hak
dan
kebebasan
fundamental.
Kovenan-kovenan
internasional menetapkan tabulasi hak yang mengikat secara hukum
25 dan protokol tambahan pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
Dan Politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap
kovenan menyediakan mekanisme bagi penegaklan hak-hak tersebut.
Walaupun sering kali dilupakan, DUHAM sendiri hanya
merupakan bagian pertama dari resolusi Sidang Umum yang terkait.
Ketika DUHAM diterima, resolusi itu juga menyuarakan kepada
masyarakat internasional untuk menyebar luaskan isi deklarasi
tersebut.43 Pengetahuan dan pemahaman global tentang hak-hak
dasar untuk semua yang diproklamasikan dalam DUHAM masih belum
tercapai sepenuhnya. Ini bukan hanya kesalahan negara-negara
kurang berkembang secara ekonomis. Hingga menjelang disahkannya
Undang-Undang HAM pada tahun 1990 di Inggris (yang kemudian
berdampak pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi HAM Eropa
dalam hukum domestik sebagai satu-satunya instrument hak asasi
manusia internasional yang mendapatkan status seperti itu), banyak
orang di negara tersebut, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi,
akan mengalami kesulitan bila diminta untuk menyebutkan hak-hak
dasar mereka.
Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup
sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya,
43
Resolusi 217, Bagian D. 26 ekonomi dan sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif.
Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam pasal 29 (1) :
“semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat dimana hanya
didalamnya
perkembangan
kepribadiannya
secara
bebas
dan
sepenuhnya dimungkinkan”. Instrumen-instrumen yang dikeluarkan
setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi kewajiban.44
DUHAM tetap menjadi akar dari kebanyakan instrumen hak
asasi manusia internasional, bahkan 60 tahun setelah penetapannya.
Preambul dari hampir semua instrumen HAM yang diterima PBB juga
memberikan penghormatan kepada DUHAM. Pada tingkat regional,
banyak instrumen yang mencerminkan nilai deklarasi tersebut dan
mengakui
pentinganya
DUHAM
dalam
pernyataan-pernyataan
mukadimahnya. Deklarasi Bandung 1955 juga merujuk kepada
DUHAM dan ketentuan-ketentuan HAM PBB, bahkan pada tingkat
nasional
banyak negara telah mengadopsi elemen-elemen
dari
deklarasi tersebut ke dalam Bill of Human Rights yang tercantum
dalam undang-undang dasar mereka. Undang-undang dasar
baru
Afrika Selatan menetapkan suatu penyataan tentang hak dan
kebebasan yang sangat mutakhir. Walaupun penyataan itu ditarik dari
DUHAM, namun ia mencerminkan perjalanan DUHAM selama 50
44
Namun perlu dicatat ada bagian khusus tentang kewajiban dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat. 27 tahun diterima, sehinggah juga mencakup hak-hak yang tercantum
dalam instrumen-instrumen yang diterima setelah DUHAM, seperti
Konvensi Hak Anak.
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang di cerminkan dalam
DUHAM tetap menjadi kriteria kunci diakuinya suatu negara atau rezim
baru oleh negara lainnya. Disamping itu, penghormatan terhadap HAM
secara nyata adalah persyaratan keanggotaan berbagai organisasi
internasional dan regional, termasuk PBB. Tidak satu pun negara
dapat menanggung kerugian yang dapat timbul dari pengabaian HAM.
Sebaliknya mereka harus memastikan penghormatan terhadap hak
dan kebebasan yang diartikulasikan dalam deklarasi sebagai suatu
standar minimum. Mungkin benar untuk mengatakan bahwa tidak ada
instrumen internasional lain yang memiliki dampak seperti itu.45
Sebagaimana yang sudah dinyatakan sebelumnya, hak-hak
yang ditabulasikan dalam DUHAM pada akhirnya berkembang menjadi
dua kovenan internasional yang mengikat secara hukum yaitu
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(KIHESB). Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
45
Elemen-­‐elemen humaniter dalam Konvensi Jenewa dan Den Hag juga diakui dengan tingkatan yang serupa, namun instrumen-­‐instumen tersebut memang dapat ditegakan secara hukum, menuntut pertanggungjawaban individu, dan merupakan bagian yang lebih khusus dalam aturan hak asasi manusia internasional, yakni berbeda di dalam ranah hukum humaniter dan pidana intenasional. 28 Budaya (KIHESB) mulai berlaku beberapa bulan sebelum Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan lebih sedikit
jumlah negara yang meratifikasinya.46
C. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) /
International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR)
Pada umumnya hak sipil dan politik dianggap sebagai hak
generasi pertama, sementara hak ekonomi,sosial dan budaya adalah
hak generasi kedua, sedangkan hak generasi ketiga adalah hak
kolektif atau hak kelompok. Jadi dua kovenan kembar tersebut secara
tradisional dibagi menjadi hak generasi pertama dan kedua, dan
keduanya juga menetapkan hak kolektif yang sangat penting, yakni
hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP)
memberikan dampak hukum kepada pasal 3-21 DUHAM. Kebanyakan
hak dalam kovenan tersebut dapat juga ditemukan dalam konvensi
Eropa tantang HAM dan Konvensi Inter Amerika. Piagam Afrika
tentang HAM dan rakyat mencakup hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tambahan.Semua hak dalam kovenan ini merupakan hak untuk semua
orang.
46
Untuk informasi terakhir tentang ratifikasi dan laporan negara bias diliat di situs Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-­‐Bangsa di http://www.ohcrc.org. 29 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP)
mengandung hak-hak demokratis yang esensial, kebanyakan terkait
dengan berfungsinya suatu negara dan hubungannya dengan warga
negaranya. Hak untuk hidup dan kebebasan jelas merupakan hal yang
harus dihormati oleh negara. Kebebasan individu dapat meningkatkan
kualitas hidup dan menggambarkan hubungan antar negara dan tiap
individu. Partisipasi politik dan kebebasan untuk berekspresi jelas
terkait dengan demokrasi dan konsep kebebasan politik dalam suatu
Negara, namun demikian, semua HAM mencerminkan pembatasan
pada tingkat tertentu yang sengaja dibuat suatu negara untuk warga
negaranya. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan jarang sekali dapat
bersifat absolute, mereka biasanya dapat dikualifikasikan.Jadi sebuah
negara boleh, misalnya, membatasi hak seseorang atas privasi absolut
ketika negara perlu masuk kedalam rumah orang tersebut untuk
melakukan investigasi tindak pidana.
Untuk menunjukan lingkup dan penerapan tiap hak atau
kebebasan, adalah penting untuk melihat contoh hak seperti hak untuk
menentukan
nasib
sendiri,
hak
untuk
hidup,
kebebasan
menyampaikan pendapat, hak beragama dan berkeyakian.
30 D. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya
(KIHESB)/ International
Covenant On Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR)
Sebagaimana diketahui, DUHAM dibagi dalam dua Kovenan
Internasional yang secara hukum mengikat. Walaupun terdapat
perbedaan dalam jumlah negara yang sudah meratifikasi setiap
kovenan tersebut, hal itu tidak dapat dipandang bahwa kovenan yang
satu lebih penting dari yang lain. Kedua kovenan ini merupakan bagian
intergral
Peraturan
(International
Perundang-Undangan
HAM
Internasional
Bill Of Human Rights). Isi kedua kovenan dan juga
instrumen-instrumen yang dibuat sesudahnya tersebut tergabung
dalam DUHAM. Dalam banyak hal, pembagian hak-hak antara kedua
kovenan dan juga instrumen-instrumen yang dibuat sesudahnya
tersebut tergabung dalam DUHAM. Dalam banyak hal,
pembagian
hak-hak antara dua kovenan masih merupakan sisa-sisa dari
keterangan perang dingin terdapat garis pemisah antara mereka yang
mengadvokasikan bahwa semua hak harus diperlakukan secara sama
dengan mereka yang melihat bahwa hak ekonomi dan sosial sebagai
hak-hak yang berbeda dari hak asasi lainnya dan tidak dapat
ditegakkan dengan cara yang sama.
31 Hak
dan
kebebasan
yang
tercantum
dalam
Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) merupakan hakhak dan kebebasan yang termuat dibagian akhir DUHAM. Hampir tidak
satu pun dari hak-hak tersebut yang terdapat didalam konvensi Eropa
tentang HAM. Beberapa dari hak-hak tersebut juga terdapat di dalam
konvensi antar-Amerika tentang HAM dan piagam Afrika tentang HAM
dan rakyat.
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP)
bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai
digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan
keinginan akan sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran,
terencana yang pusta atau bebas (laissez-faire) atau pendekatan
tertentu. Hak-hak yang diakui dalam Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) dapat diwujudkan dalam konteks sistem
ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan sifat saling
tergantung dan tidak terbagi-baginya kedua perangkat HAM tersebut,
diakui dan dicerminkan dalam sistem yang bersangkutan.47
Sebagai bagian integral dari dari sistem HAM, banyak hak sipil
dan politik yang bergantung pada hak ekonomi,sosial dan budaya.
47
Komisi untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, komentar umum 3, dari Dok.PBB E/1991/23,Paragraf 8. 32 Dengan demikian, kedua sistem ini saling bergantung. Hak atas
partisipasi politik
dan
48
didasarkan
membutuhkan pendidikan49 dan hak untuk hidup
pada
perawatan-perawatan
kesehatan
50
yang
memadai.51
Terdapat lebih banyak variasi pada tingkat nasional berkenaan
dengan hak ekonomi dan sosial karena negara-negara menganut
sistem kesejateraan yang berbeda-beda untuk membantu mereka
yang
berpendapatan
kurang,
dan
untuk
memastikan
mereka
mempunyai akses untuk kepada pelayanan dasar. Hak atas
pendidikan, hak pekerja, hak atas standar hidup yang layak dengan
akses ke makanan, dan air bersih, serta hak atas perumahan yang
layak akan dibahas sebagi contoh-contoh hak ekomoni,sosial dan
budaya. Sebagaimana akan dapat terlihat nantinya, hak hak ini sering
kali bergantung dengan hak sipil dan politik.
48
Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 13 Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya 50
Pasal 6 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik 51
Pasal 12 Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya 49
33 E. Konvensi
Menentang
Penghukuman
Lain
Penyiksaan
Yang
Kejam,
Dan
Perlakuan
Atau
Tidak
Manusiawi
Dan
dan
perlakuan
atau
Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi
menetang
penyiksaan
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat adalah luar biasa, karena instrumen ini membahas satu hak
tunggal yang tercantum dalam DUHAM52 dan kovenan internasional
hak sipil dan politik.53 Instrumen tersendiri lainnya membahas dasar
diskriminasi (seperti gender, ras) atau kelompok yang rentan
didefinisikan secara khusus (anak, pekerja migran dan lain-lain).
Indonesia telah mengesahkan konvensi tersebut walaupun tidak
mengesahkan protokol opsionalnya.
Penyiksaan dipandang secara paling serius oleh komunitas
internasional. Memang terdapat bukti yang menunjukan bahwa
pelarangan
penyiksaan
dalam
kenyataan
adalah
jus
cogens.
Pelarangan ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non
52
Pasal 5 DUHAM “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina”. 53
Pasal 7 DUHAM “Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”. 34 derogable)
dan
melakukan
penyiksaan
merupakan
kejahatan
internasional menurut statuta roma mahkama pidana internasional.
Pasal 1 konvensi ini menetapkan lingkup perlakuan yang
dicakup oleh konvensi yaitu “untuk maksud konvensi ini, istilah
“penyiksaan” berarti tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit
atau penderitaan yang berat, fisik maupun mental, secara sengaja
dilakukan terhadap seseorang untuk maksud seperti mendapatkan
dari orang tersebut
atau orang ketiga, informasi atau pengakuan,
menghukumnya atas tindakan yang dilakukan atau disangka dilakukan
olehnya atau untuk mengintimidasi atau memaksanya atau orang
ketiga, atau karena alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi
apapun ketika, apabila rasa sakit atau penderitaan demikian dilakukan
oleh atau atas hasutan atau atas persetujuan atau persetujuan diamdiam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kepastian
penyiksaan tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang sematamata timbul dari, inheren dalam, atau yang terjadi sebagai akibat
sanksi hukum.
Definisi ini mungkin merupakan definisi penyiksaan yang paling
kompherensif yang ditetapkan dewasa ini dan di perlakukan sebagai
rujukan oleh badan-badan internasional, regional dan nasional.
Pembukaan konvensi ini pun menyatakan bahwa konvensi ini
menghormati pasal 5 DUHAM dan pasal 7 Kovenan Internasional
35 tentang Hak Sipil dan Politik. Larangan terhadap penyiksaan bersifat
mutlak sehingga semua negara wajib “mengambil tindakan legislatif,
administratif, yudisial atau tindakan lainnya yang efektif”54 untuk
memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada keadaan luar biasa
yang dapat digunakan untuk membenarkan penyiksaan.55
F. Deklarasi Montreal
Dunia telah perlahan-lahan menerima bahwa individu manusia
memiliki perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal rasa tau
etnis, dan agama, dan bahwa perbedaan-perbedaan ini haruslah
dihormati dan tidak digunakan sebagai alasan untuk perlakuan
diskriminasi. Akan tetapi kebanyakan negara masih belum menerima
dua
aspek
dari
keanekaragaman
manusia,
bahwa
manusia
mempunyai perbedaan dalam orientasi seksual dan identitas gender.
Tujuan dari deklarasi ini adalah untuk membuat daftar dan
menjelaskan
perubahan-perubahan
yang
kita
perlukan,
dan
membangun agenda untuk aksi global.
Dalam deklarasi montreal meminta untuk menjaga dan
melindungi hak-hak paling mendasar dari orang-orang LGBT, hak-hak
yang telah jelas ditetapkan dan tidak kontrovensial menurut hukum,
seperti perlindungan dari kekuasaan negara dan perseorangan,
54
Pasal 2 ayat 1. Pasal 16. 55
36 kebebasan
untuk
berekspresi,
berkumpul
dan
membentuk
perkumpulan, kebebasan untuk melakukan aktifititas seksual dengan
sesama jenis (antara orang dewasa yang konsensual dan tidak
dilakukan di depan publik).
Tujuh puluh lima negara lebih dari sepertiga jumlah negara di
dunia
masih
mempunyai
peraturan
perundang-undangan
yang
melarang perilaku seksual sesama jenis. Perilaku yang tidak
membahayan orang. Dibawah standar internasional HAM, hal ini
merupakan pelanggaran hak-hak pribadi, sebagaimana diakui oleh
Komite PBB untuk HAM dalam keputusan Toonen yang diambil di
tahun 1994, dan hal tersebut juga merupakan diskriminasi, sebuah
penolakan untuk mengakui kesetaraan martabat dan harga diri
individu-individu LGBT.
Sebuah dunia dimana hak asasi LGBT dilanggar secara
sistematis, adalah dunia dimana tidak seorang pun merasa aman.
Semua HAM adalah bersifat universal, tak terbagi dan saling
tergantung dan terhubung (konferensi dunia untuk HAM, Wina 1993).
Identitas dan perilaku LGBT telah ada dan akan terus ada
disetiap budaya dan wilayah dunia, hal ini sebenarnya hanya
merupakan bagian dari kondisi manusia. Melawan ketidak pedulian
dan prasangka tetap menjadi prioritas kami yang nomor satu.
Informasi yang lebih banyak mengenai orang-orang LBGT, dan
37 bertambahnya orang-orang LGBT sendiri yang bersedia untuk terbuka
dengan identitasnya.
Orang-orang LGBT tidak hidup disebuah pulau, akan tetapi
merupakan bagian dari semua masyarakat, dan berhak untuk
mengharapkan
bahwa
situasi
dan
permintaan
mereka
dipertimbangkan dalam membuat sebuah kebijakan publik. Ini hanya
bias dicapai apabila pergerakan internasional HAM LGBT dilakukan
dalam perjuangan yang lebih luas, seperti misalnya perjuangan untuk
perdagangan dan pembangunan yang adil, hak-hak ekonomi dan
sosial diseluruh dunia, serta stabilitas dan perdamaian internasional.
HAM LGBT mungkin tampaknya seperti hanya impian di wilayah dunia
dimana pembebasan diri dari kemiskinan dan kekerasan merupakan
agenda sehari-hari. Walaupun demikian, usaha untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut juga sebaiknya mengikut sertakan usaha
untuk perbaikan kondisi hidup individu-individu LGBT.
G. Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles)
Prinsip-prinsip Yogyakarta tentang penerapan hukum HAM
Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas
gender adalah
seperangkat
prinsip-prinsip
yang
berkaitan
dengan orientasi seksual dan identitas gender, dimaksudkan untuk
menerapkan
standar
hukum HAM internasional
untuk
mengatasi
pelecehan HAM terhadap LGBT. Prinsip-prinsip yang dikembangkan
38 pada pertemuan komisi ahli hukum internasional (International Service
for Human Rights) dan ahli HAM dari seluruh dunia di Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 2006. Dokumen penutup
berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat oleh para ahli,
bersama dengan rekomendasi kepada pemerintah, lembaga antar
pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan PBB itu sendiri Prinsipprinsip yang dinamai Yogyakarta, kota di mana konferensi diadakan.
Prinsip-prinsip ini belum diadopsi oleh Serikat, dalam perjanjian, dan
dengan demikian tidak dengan sendirinya menjadi bagian yang
mengikat secara hukum dari hukum HAM internasional namun prinsip
dimaksudkan untuk melayani sebagai bantuan interpretatif terhadap
perjanjian HAM.
Diantara ke-29 orang yang menandatangani prinsip itu antara
lain
adalah
Mary
Scheinin, Elizabeth
Robinson, Manfred
Evatt, Philip
Jahangir, Paul
Hunt, Sanji
Pant, Stephen
Whittle dan Wan
Alston, Edwin
Mmasenono
Yanhai.
Nowak, Martin
Cameron, Asma
Monageng, Sunil
Para
Babu
penandatangan
bertujuan bahwa prinsip-prinsip Yogyakarta harus diadopsi sebagai
sebuah standar universal,menegaskan standar hukum internasional
yang
mengikat
dengan
yang
semua
negara
harus
mematuhinya namun beberapa negara telah menyatakan keberatan.
39 Sejalan dengan gerakan menuju pembentukan HAM bagi
semua orang, prinsip-prinsip Yogyakarta yang secara khusus ditujukan
kepada orientasi seksual dan identitas gender.
Prinsip-prinsip yang
dikembangkan dalam menanggapi pola pelecehan dilaporkan dari
seluruh dunia. Contoh dari pelecehan ini termasuk dari kekerasan
seksual dan pemerkosaan, penyiksaan dan perlakuan buruk eksekusi
di luar hukum, pembunuhan demi kehormatan, invasi privasi,
penangkapan yang sewenang-wenang dan pemenjaraan, pelecehan
medis, penolakan terhadap kebebasan berbicara dan berkumpul dan
diskriminasi, prasangka dan stigmatisasi dalam kerja, kesehatan,
pendidikan,
perumahan,
ke pengadilan dan imigrasi.
hukum
keluarga,
akses
Ini diperkirakan mempengaruhi jutaan
orang yang, atau telah, ditargetkan atas dasar dirasakan atau orientasi
seksual aktual atau identitas gender.
H. Hak Asasi Manusia Di Indonesia
Diskursus mengenai HAM ditandai dengan perdabatan yang
sangat intensif dalam tiga periode sejara ketatanegaraan, yaitu mulai
dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti
dengan periode konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal
40 bangkitnya orde baru (tahun 1966-1968).
56
Dalam ketiga periode
inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari
kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat
serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut
wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau
konstitusi.
Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu
sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini
diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi presiden Indonesia
oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap
HAM, ditandai dengan diterimanya HAM kedalam konstitusi dan
lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang HAM.
Beda halnya dengan periode orde baru yang
melancarkan
“black-campaign” terhadap isu HAM. Pembahasan rancangan undangundang HAM di Dewan Perwakilan Rakyat
tidak memakan waktu
yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus
untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang tersebut
56
T. Mulya Lubis, 1993, in search of human rights: legal political dilemmas of indonesia’s new order, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, hlm.43. 41 dilahirkan sebagai turunan dari ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998
tentang HAM.
Undang-Undang No 39 Tahun 1998 tentang HAM memuat
pengakuan
yang
luas
terhadap HAM. Hak-hak
yang
dijamin
didalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil
dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada
pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan, dan
masyarakat adat (indigenous people). Undang-undang tersebut
dengan gamblang mengakui paham “natural rights” melihat HAM
sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan
kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instumeninstrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration Of Human
Rights,
International
Covenan
On
Civil
And
Political
Rights,
International Covenan On Economic,Social And Cultural Rights,
International Covenan On The Rights Of Child, dan seterusnya.
Dengan
demikian
boleh
dikatakan
undang-undang
ini
telah
mengadopsi norma-norma yang terdapat didalam berbagai instrumen
HAM tersebut.
Di samping memuat norma-norma hak, undang-undang nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM juga memuat aturan mengenai Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya penulis singkat Komnas
42 HAM mulai pasal 75 – 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi,
keanggotaan, serta struktur kelembagaan
Komnas HAM. Komnas
HAM berdiri berdasarkan keputusan presiden No. 50 Tahun 1993,
maka setelah disahkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
landasan hukumnya diperkuat dengan undang-undang. Hal yang
menarik dalam undang-undang
ini adalah tentang partisipasi
masyarakat mulai dari pasal 100-103. Aturan ini jelas memberikan
pengkuan legal terhadap keabsahan advokasi HAM “human rights
defenders” selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan
pembentukan pengadilan HAM yang harus dibentuk paling lama dalam
jangka waktu empat tahun setelah berlakunya undang-undang
tersebut.
Hak-hak yang diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 antara lain adalah hak untuk hidup, yang merupakan
hak mutlak setiap orang dan termasuk dalam kategori non-derogable
rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi.57 Hak untuk hidup ini
meliputi, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya,
hak atas hidup tentram aman, damai bahagia, sejahtera lahir dan
57
Pasal 28I UUD 1945 Amandemen 2 : “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi didepan hukum, hak untuk tidk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusiayang tidak dapat dikurangi dalam kehidupan apapun” 43 batin, serta hak atas lingkungan yang baik dan sehat.58 Pasal 6
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau
International
Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR)
menyatakan hak untuk hidup harus dilindungi oleh hukum dan atas
hak ini tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang.59 Hak ini
sebenarnya sudah tertuang dalam undang-undang dasar 1954
terutama pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (2), Pasal
28H.60
Selain itu terdapat pula hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan yang tertuang dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk
suatu keluarga dan melanjutakan keturunan melalui pernikahan yang
sah dan hanya dapat berlangsung atas kehendak kedua calon suami
dan istri yang bersangkutan sesuai peraturan perundangan, dalam hal
58
Pasal 9 UUD Nomor 39 Tahun 19991 Javaid Rehman, 2003, International Human Rights Law, Pearson education limited, great Britain, p.69. 60
Pasal 27 ayat (2) : “tiap-­‐tiap warga negara berhak atas perkerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28A: “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya” Pasal 28D Ayat (2) : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28H Ayat (1) : “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. 59
44 ini Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan.61
Begitu pula dinyatakan dalam pasal 28B ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 hasil amandemen ke-2.
Hak untuk mengembangkan diri tertuang dalam pasal 11-16
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang memberi jaminan
perlindungan hak untuk mengembangkan diri dalam Pasal 28B ayat
(2) dan Pasal 28F.62
Hak untuk memperoleh keadilan
tertuang dalam Pasal 7
DUHAM, Pasal 26 International Covenant On Civil And Political Rights
(ICCPR), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D UUD 1945 yang mempunyai
pernyataan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama
dalam hukum atau yang sering didengar dengan sebutan equality
before the law.
Hak-hak yang diatur dalam hak untuk memperoleh keadilan
pada dasarnya adalah asas-asas dalam hukum pidana dan hukum
acara tetapi tidak terbatas pada hukum pidana dan hukum acara. Di
61
Dalam Undang-­‐Undang Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah menurut ketentuan agama masing-­‐masing. 62
Pasal 28B ayat (2) :”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28F “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, sertaberhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segalla jenis saluran yang tersedia”. 45 antaraya bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik
dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi .63
Prinsip-prinsip yang tercakup dalam bagian empat UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 diantaranya adalah peradilan yang
bebas serta tidak memihak (Pasal 17), praduga tak bersalah
(presumption of innocence) (Pasal 18), Nullum delictum siena previa
lege
poenale
(Pasal
18
Ayat
[2]),
ketentuan
yang
lebih
menguntungkan (Pasal 18 Ayat [3]), hak untuk mendapat bantuan
hukum (Pasal 18 Ayat [4]),
ne bis in idem Pasal 18 Ayat (4)),
hukuman perampasan kekayaan (Pasal 19).
Hak atas kebebasan pribadi merupakan salah satu hak yang
paling mendasar bagi setiap orang karena menyangkut juga hak
menentukan nasib sendiri. Dari berbagai hak yang dilindungi dalam
HAM, hak atas kebebasan pribadi dan kebebasan bereksperimen,
mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul adalah hak yang
paling penting.64 Perlindungan hak atas kebebasan pribadi diatur
dalam Pasal 20-43 meliputi hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
bebas memilih agama, hak untuk bebas memilih dan dipilih, hak untuk
63
Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999. Javaid Rehman, op.cit, hlm.77. 64
46 berkumpul dan berserikat, hak untuk menyampaikan pendapat, hak
atas status kewarganegaraan dan hak untuk bertempat tinggal.
Hak atas rasa aman meliputi hak-hak yang dapat dilindungi
secara
fisik
maupun
psikologis
diantaranya
hak
suaka,
hak
perlindungan, hak rasa aman, hak surat rahasia, hak bebas dari
penyiksaan, dan hak tidak diperlaukan sewenang-wenang.
Hak atas kesejahteraan meliputi hak atas kepemilikian sesuatu,
tetapi
jika
diperlukan
untuk
kepentingan
umum
kita
harus
menyerahkan demi kepentingan umum. Hak untuk turut serta dalam
pemerintahan meliputi hak untuk memilih dan dipilih serta hak untuk
mengajukan pendapat.
I.
Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Terkait
Hak Asasi Manusia
Dua
teori
utama
mengenai
hubungan
antara
hukum
internasional dan hukum nasional yaitu monisme dan dualisme.
Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya.
Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupak suatu sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum
internasional mempunyai suatu karakter yang berbeda secara intrinsik
47 (intrinsically) dari hukum nasional karena melibatkan sejumlah besar
sistem hukum domestik, teori dualisme kadang kadang dinamakan
teori “pluralistik”, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan
tidak membingungkan.
Pada abad kesembilan belas dan kedua puluh berkembang
tendensi kuat kearah pandangan dualis, hal ini merupakan sebagian
akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnya dari Hegel) yang menekankan
kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian lagi merupakan akibat
munculnya pembuat UU di negara-negara modern dengan kedaulatan
hukum yang lengkap.65
Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para
penulis positivis, Triepel dan Anzilotti. Bagi para positivis dengan
konsep
teori
kehendak
(consensual)
mereka
tentang
hukum
internasional, merupakan hal yang wajar apabila hukum nasional
sebagai suatu sistem yang terpisah. Dengan demikian, menurut
Triepel terdapat dua perbedaan fundamental diantara kedua sistem
hukum tersebut, yaitu: subyek-subyek hukum nasional adalah individuindividu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah
semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negar dan sumber
65
J.G.Starke, 1988,Introduction To International Law,Diterjemahkan Oleh Bambang Iriana Djajaatmadja,S.H.,2004,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.96 48 hukum keduanya berbeda, sumber hukum nasional adalah kehendak
bersama (gemeinwille) dari negara-negara.66
Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia
membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut
prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sistem itu
ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh
prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara
harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh
prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antar negara-negara
harus dijunjung tinggi. Dengan demikian kedua sistem itu sama sekali
terpisah sehingga tidak mungkin akan terjadi pertentangan diantara
keduanya,
yang
mungkin
ada
adalah
pertunjukan-pertunjukan
(renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain dari pada itu
tidak terdapat hubungan apa-apa.67
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualis,
pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai
suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang
66
Ibid, hlm.97 Ibid. 67
49 mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individuindividu atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.68
Menurut kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak
mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut
merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu
pengetahuan hukum. Dengan demikian suatu konstruksi selain
monisme, khususnya dualisme, bermuara pada suatu penyangkalan
karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulispenulis monistis tidak akan berpendapat lain selain menyataka bahwa
kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidahkaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di
dalam suatu struktur hukum.69
Namun ada penulis-penulis lain yang mendukung monisme
bedasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata,
dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah
yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum
nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum
universal yang mengikat seganap umat manusia baik secara kolektif
68
Ibid. Ibid, hlm.98. 69
50 maupun individual. Dengan kata lain individual yang sesungguhnya
menjadi akibat kesatuan dari semua hukum tersebut.70
Inggris menganut suatu ajaran bahwa hukum internasional
adalah hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran
ini lazim dikenal dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation
doctrine).
Doktrin ini mula mula dikemukakan oleh ahli hukum terkenal
Blackstone dalam abad ke delapan belas mula-mula dirumuskan
sebagai berikut:
“the law of nations, wherever any question arises which is
properly the object of its jurisdiction is here adopted in its full extent
by the common law, and it is held to be part of the law of the
land”.71
Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian
hukum inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVII dan
XIX dalam beberapa putusan pengadilan yang terkenal.
Akan tetapi, kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti
bahwa doktrin itu tidak lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya
laku doktrin dalam hukum positif yang belaku di Inggris harus pula
70
Ibid. Ibid, hlm.99. 71
51 dibedakan
antara
hukum
kebiasaan
internasional
(customary
international law) dan hukum internasional yang tertulis (traktat,
konvensi atau perjanjian).
Sepanjang mengenai hukum kebiasaan internasional dapat
dikatakan
bahwa
doktrin
inkorporasi
ini
berlaku
dengan
dua
pengecualian yakni, bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional
itu tidak bertentangan dengan suatu undang-undang, baik yang lebih
tua maupun yang diundangkan kemudian, dan sekali ruang lingkup
suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh
keputusan mahkama yang tertinggi, maka semua pengadilan terkait
oleh keputusan itu sekalipun kemudian terjadi perkembangan suatu
ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bertentangan. Selain
itu, ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bersangkutan
harus merupakan ketentuan yang umum yang diterima masyarakat
internasional.72
Apa yang diuraikan diatas tidak selalu berarti bahwa suatu
ketentuan
hukum
kebiasaan
internasional
begitu
saja
secara
otomatisakan diterapkan oleh semua pengadilan di Inggris. Di samping
beberapa pengecualian yang telah diuraikan diatas, pengadilan di
Inggris dalam persoalan yang menyangkut hukum internasional terkait
72
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty, 2003, pengantar hukum internasional ,PT.Alumni, Bandung, hlm.82. 52 oleh tindakan atau sikap pemerintah dalam beberapa hal seperti,
pernyataan perang, perebutan wilayah atau tindakan nasionalisasi
tidak boleh lagi diragukan keabsahannya oleh pengadilan dan
pengadilan terkait untuk mengakui penyataan pemerintah mengenai
hal yang termaksuk wewenang prerogatifnya seperti misalnya tentang
pengakuan suatu pemerintahan atau negara, kedaulatan suatu
pemerintahan atau wakil-wakilnya.73
Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh
kesadaran mengenai kedudukan kita dalam masyarakat internasional
yang sedang berkembang, menurut pendapat penulis merupakan
suatu sikap yang wajar. Bahkan apabila sikap yang tidak menerima
begitu saja kaidah hukum internasional tradisional itu disertai dengan
suatu sikap yang wajar, artinya apabila dalam kita bersikap hendak
mengadakan perubahan ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan
kewajaran (reasonableness) dan kepekaan (sensitivity) terhadap hak
dan kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional sebagai
keseluruhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia yang akan dapat
menyalahkan kita.74
73
Ibid, hlm 82. Ibid, hlm.90. 74
53 J. HAM dalam Konteks Kedaulatan Nasional
Perkembangan HAM hingga saai ini menyajikan berbagai
ilustrasi yang sangat mengesankan mengenai ketegangan-ketegangan
antara kedaulatan nasional dan perlindungan HAM internasional.
Sebelum perang dunia II dapat dikatakan tidak pernah terpikirkan
bahwa hukum internasional akan mengintervensin hubungan antar
negara-negara
dengan
warga
negara
masing-masing.
Pada
kenyataannya, barulah setelah peristiwa holocaust Nazi perubahan
bertahap dalam benak banyak orang mulai terjadi. Piagam PBB
memang menekankan pemajuan HAM sebagai salah satu dari
tujuannya, namun pada saat bersamaan, dalam pasal 2 (7) piagam
tersebut menekankan prinsip non-intervensi terhadap masalahmasalah dalam negeri. Ini berarti bahwa pada masa perang dingin apa
yang disebut sebagai ‘pelayanan nasehat’ dapat diberikan dengan
persetujuan negara terkait, hal yang sama tidak berlaku untuk
tindakan-tindakan perlindungan HAM internasional tanpa kehendak
pemerintahan yang bersangkutan.75
Menyusul akhir Perang Dingin, PBB dalam konferensi HAM
Dunia II, mengesahkan perlindungan HAM internasional sebagai
kepedulian yang legitimate. Sejak itu penerapan pasal 2(7) piagam
75
Manfred Nowak, op.cit. hlm.33. 54 PBB dalam masalah-masalah HAM
tidak lagi memiliki legitimasi.
Dalam kasus-kasus dimana pelanggaran HAM dianggap sangat
serius, yakni bila mana mereka mengancam perdamaian dan
keamanan internasional, dewan keamanan sendiri akan melakukan
intervensi dan menetapkan tindakan-tindakan mengikat sesuai dengan
Bab VII Piagam PBB.76
Hukum internasional klasik merupakan hubungan antar negaranegara yang berdaulat, sedangkan pada masa kini hubungan antar
negara terutama ditentukan melalui perjanjian-perjanjian bilateral atau
kesepakatan-kesepakatan
kerangka
kerja
multiteral
yang
organisasi-organisasi
selesai
dibuat dalam
internasional.
Hukum
internasional pada dasarnya disusun atas dasar prinsip timbal balik,
yaitu keberadaan kepentingan yang saling menggantungkan. Pada
prinsipnya, sistem ini juga bekerja untuk perlindungan hak-hak
perorangan dalam konteks kekebalan diplomatik dan hukum humaniter
internasional. 77
76
Ibid, hlm.34 Ibid, hlm.35. 77
55 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi penelitian
Dalam
skripsi
ini
penulis
melakukan
penelitian
untuk
memperoleh data atau menghimpun berbagai informasi, fakta dan
data yang diperlukan. Untuk mendapatkan data dan informasi yang
diperlukan
berkaitan
dengan
permasalahan
dan
pembahasan
penulisan skripsi ini, maka penulis memilih dengan melakukan
penelitian di beberapa lokasi, yaitu:
1. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, Makassar.
2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar.
3. Perpustakaan Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta.
4. Perpustakaan Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.
6. Kantor
Komisi
Nasional
Anti
Kekerasan
Terhadap
Perempuan (National Commission on Violence Agains
Women) Komnas Perempuan, Jakarta.
Sedangkan penelitian untuk sumber-sumber lain Seperti
internet penulis melakukan pencarian pada situs-situs yang dianggap
56 berhubungan
dengan
tulisan
ini
misalnya
www.id.undp.org,
www.hrc.orgdan penulis melakukan penelitian di lapangan untuk
wawancarai responden (kelompok orientasi seksual dan identitas
gender / LGBT) terkait tulisan ini.
B. Tipe penelitian
Yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis dalam
proses penelitian menggunakan wawancara, dimana peneliti akan
mencari responden yang terkait tulisan ini dan melakukan wawancara
singkat untuk memperoleh data
dan juga
penulis melakukan
penelitian menggunakan cara penelusuran literatur atau kepustakaan
(libary research), dokumen-dokumen, studi internet yang berkenaan
dengan kajian dalam penulisan skripsi ini.
C. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh
data dan informasi melalui wawancara
peneliti akan mendatangi
lokasi-lokasi tempat kelompok LGBT berkumpul atau komunitas LGBT
yang ada di Jakarta dan Makassar seperti Salon Kecantikan,
Sekretariat Forum LGBTQ Di Jakarta, dan tempat yang sering
dijadikan tempat berkumpul oleh kelompok LGBT. Sedangkan melalui
studi kepustakaan (library research) penelitian ini dilakukan dengan
cara menelaah bahan bahan pustaka yang relevan dengan penelitian
57 berupa literatur-literatur, karya ilmiah, konvensi-konvensi yang terkait,
peraturan perundang-undangan, dan hasil-hasil penelitian.
D. Jenis dan sumber penelitian
Jenis data yang diperoleh dalam proses penelitian ini dalam
bentuk data primer dan data sekunder, data primer yaitu data yang
diperoleh dari wawancara. Sedangkan data sekunder yaitu data yang
dikumpulkan oleh penulis dalam proses penelitian dengan cara
penelusuran literatur atau kepustakaan, dokumen-dokumen serta arsip
arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas melalui
studi kepustakaan dan studi internet.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dan berhasil dikumpulkan selama proses
penelitian dalam bentuk data primer dan data sekunder diolah dengan
menggunakan analisis normatif secara deskriptif. Analisa ini dimaksud
untuk mengolah data sekunder yang telah diperoleh agar menjadi
sebuah karya ilmiah atau skripsi yang terpadu dan sistematis.
58 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kehidupan Kelompok Orientasi Seksual dan
Identitas Gender Serta Penerimaannya di Indonesia.
Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar dalam martabat
dan hak-haknya. Semuanya manusia memiliki sifat universal, saling
bergantung, tak dapat dibagi dan saling berhubungan. Orientasi
seksual78 dan identitas gender79 bersifat menyatu dengan martabat
dan kemanusian setiap orang tak boleh menjadi dasar bagi adanya
diskriminasi ataupun kekerasan.
Masyarakat Indonesia masih kebingungan untuk membedakan
antara waria dan gay, padahal keduanya berbeda satu sama lain.80
Kelihatanya gay Indonesia mulai menyebut diri mereka gay dan lesbi
78
Orientasi seksual dipahami sebagai sesuatu yang mengarah kepada kapasitas setiap orang akan ketertarikan emosi, rasa sayang dan seksual (dan hubungan intim serta hubungan seks) terhadap individu yang berbeda gender atau sejenis atau lebih dari satu gender 79
Identitas gender dipahami sebagai sesuatu yang mengarah kepada pengalaman pribadi dan internal yang sangat mendalam dirasakan oleh setiap orang tentang gendernya yang dapat saja atau tidak berhubungan dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat kelahiran, termasuk perasaan pribadi terhadap tubuh (yang mungkin melibatkan jika dipilih dengan bebas perubahan penampakan fisik atau fungsi secara medis atau cara lain), serta ekspresi lain gender termasuk cara berpakaian, cara bertutur-­‐kata dan lagak-­‐lagu. 80
Secara historis, waria dianggap sebagai bagian dari lingkungan sosial rendahan, bercita rasa dan berpendidikan rendah. Mereka bekerja sebagai penjual dipasar atau sebagai pekerja sebagai pekerja seks dan pada masa kini diasosiasikan dengan salon dan perias pengantin (Boelistroff, 2004) 59 pada tahun 1970 sampai awal 1980an.81 Terminologi gay dan lesbian
ini cenderung tidak dipelajari dari orangtua, tetangga dan guru-guu
melainkan dari media massa, termaksud juga dari kolom-kolom gosip
dan pertunjukan yang disiakan pada televisi dan film-film impor juga
mengambil peranan penting. Ini disebabkan sebagian besar gay dan
lesbian di Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris serta tidak
berpergian ke negeri-negeri barat, sekalipun ada peranan media
massa yang cenderung memanipulasi berita. Ide gay dan lesbian
dibentuk melalui kondisi keterpencilan dari gay barat dan subjektivitas
lesbian.82
Banyak kemajuan yang telah dibuat untuk memastikan bahwa
semua orang dengan orientasi seksual dan identitas gender apapun
boleh hidup dengan martabat dan penghormatan yang sejajar dengan
keyakinan yang mereka miliki.
memiliki
hukum
kesetaraan
dan
dan
Dewasa ini banyak negara telah
undang-undang
non-diskriminasi
yang
tanpa
menjamin
hak-hak
pembeda-bedaan
jenis
kelamin, orientasi seksual atau identitas gender.83
81
Memang benar bahwa waria dan gay ataupun lesbian adalah subjektivitas yang harus dipahami secara khusus namun demikian, kekhususan ini tidak lantas berarti bahwa wilayah tersebut dapat dipetakan secara tegas, ada saja terjadi kekaburan misalnya , dengan kasus beberapa orang yang berpindah-­‐pindah diantara gay dan waria ( Baca Boellstroff, 2005) 82
Anonim, op.cit, hlm.32 83
Ibid, hlm.33 60 Namun demikian, pelanggaran HAM yang ditujukan kepada
orang-orang karena orientasi seksual atau identitas gender yang ada
atau yang
mereka yakini merupakan suatu pola global yang
mendarah-daging yang perlu diperhatikan secara serius. Pelanggaranpelanggran tersebut termasuk kasus-kasus pembunuhan yang tidak
diadili, penyiksaan dan perlakuan keji, penyerangan seksual dan
pemerkosaan, penyerbuan
wenang,
penolakan
kerja
wilayah pribadi, penahanan sewenangdan
kesempatan
pendidikan,
serta
diskriminasi serius yang berkaitan dengan nikmat HAM lainnya.
Pelanggaran-pelanggaran ini sering ditambah dengan pengalaman
bentuk-bentuk kekerasan, kebencian, diskriminasi dan pengucilan lain
misalnya hal-hal yang berdasarkan pada ras, umur, agama, kecacatan
ataupun status ekonomi, sosial dan status lainnya.84
Banyak negara
dan masyarakat memaksakan norma-norma
orientasi seksual dan gender terhadap individu melalui adat-istiadat,
hukum serta kekerasan. Negara dan masyarakat juga mencari-cari
cara untuk mengontrol bagaimana para individu menjalani hubungan
pribadi dan bagaimana mereka mengidentifikasi diri mereka. Peraturan
ketertiban terhadap seksualitas tetap merupakan suatu kekuatan di
84
Ibid. 61 balik berlangsungnya kekerasan berdasarkan gender dan ketidaksetaraan gender. 85
Penulis melakukan penelitian lapangan di Komnas HAM dan
Komnas Perempuan pada akhir tahun 2015 dan mengumpulkan data
dari Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada Maret 2014 yang
mencatat, terdapat 279.688 kasus kekerasan terhadap perempuan
yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2013. 65% kasus
kekerasan dialami oleh istri, 21% kekerasan dalam pacaran, 7%
kekerasan terjadi terhadap anak perempuan dan 6% kekerasan terjadi
dalam relasi lain. Data tersebut masih terbatas pada kasus yang
terungkap oleh Komnas perempuan. Jika kita lihat lebih spesifik lagi,
perempuan dalam komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender,
Interseks dan Queer yang kemudian disingkat LGBTIQ juga sering
mendapat stigma, diskriminasi, dan kekerasan.86
Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi
terhadap komunitas LGBT menunjukkan bahwa 89,3% LGBT di
Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual,
identitas gender, dan ekspresi gendernya; dimana 79,1% responden
menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan psikis, 46,3%
85
Ibid. Muhammad Nurkhoiron, Wawancara, Bagian Pendidikan dan Penyuluhan di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 28 Desember 2015. 86
62 responden menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 26,3%
kekerasan ekonomi, 45,1% kekerasan seksual, dan 63,3% kekerasan
budaya. Bahkan kekerasan kerap dialami saat usia sekolah dalam
bentuk bullying87, 17,3% LGBT pernah berfikir untuk bunuh diri, dan
16,4% pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali.
Dalam penelitian ini juga tercatat bahwa, lesbian dan transgender
male to female (waria) mendapat lebih banyak kekerasan fisik dan
psikis.88
Meskipun fakta yang diperoleh cukup membuat miris terhadap
penghormahatan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan tetapi sistem
internasional telah melihat langkah-langkah besar terhadap kesetaran
gender dan perlindungan dari tindak kekerasan di dalam masyarakat,
komunitas maupun keluarga. Selain itu, mekanisme HAM utama dari
PBB telah menegaskan kewajiban semua negara untuk menjamin
perlindungan secara efektif terhadap semua orang dari diskriminasi
yang didasarkan pada orientasi seksual ataupun identitas gender.
Salah satu langkah besar yang dibuat oleh orang-orang yang
masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan adalah dibuatnya
87
Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang. 88
http://aruspelangi.org/publikasi/siaran-­‐pers/pres-­‐rilis-­‐lgbti-­‐dan-­‐kekerasan-­‐terhadap-­‐perempuan-­‐
one-­‐billion-­‐rising-­‐indonesia-­‐14-­‐februari-­‐2015/ diakses pada tanggal 16 Januari 2016 pukul 13:05. 63 sebuah laporan LGBT Nasional Indonesia yang diteliti secara teknisi
oeh United Nations Development Programme yang selanjutnya
disingkat
UNDP
dan
United
States
Agency
for
International
Development yang selanjutnya disingkat USAID sebagai bagian dari
prakasra ‘Being LBGT in Asia (Hidup Sebagai LGBT di Asia). UNDP
bekerja sebagai mitra dengan seluruh lapisan masyarakat untuk
membantu bangsa-bangsa yang mampu bertahan terhadap krisis,
serta
mendorong
dan
melestarikan
pertumbuhan
yang
dapat
meningkatkan kualitas hidup semua orang. Dengan kehadiran
langsung di 177 negara dan wilayah teritorial, UNDP menyediakan
sudut pandang global dengan wawasan lokal untuk membantu
memberdayakan kehidupan manusia dan membangun negara-negara
yang tangguh. Laporan ini mengulas lingkungan hukum dan sosial
yang dihadapi oleh kelompok LGBT di Indonesia. Laporan ini hasil
dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan di
Nusa Dua, Bali, Indonesia pada bulan Juni 2013. Dialog menghadirkan
71 peserta dari 49 lembaga yanng mewakili keseluruhan keragaman
orientasi LGBT di Indonesia, wakil-wakil pemerintahan pusat, lembaga
hak asasi nasional, organisasi bantuan hukum dan organisasi
masyarakat
madani,
serta
beberapa
tokoh
agama
yang
diselanggarakan oleh UNDP bersama USAID sebagai mitra kerja.
64 Beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di
wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu, identitas homoseksual
baru muncul di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Baru pada
akhir tahun 1960-an, gerakan LGBT mulai berkembang melalui
kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita
transgender, atau kemudian dikenal sebagai waria. Mobilisasi pria gay
dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan
media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di seluruh
Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan dorongan dengan
maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai
organisasi di lebih banyak lokasi. Pada dasawarsa tersebut juga terjadi
sejumlah pertemuan nasional awal, dengan disertai beberapa
perkembangan
penting
dalam
gerakan
LGBT,
antara
lain
pembentukan aliansi dengan berbagai organisasi feminis, kesehatan
seksual dan reproduktif, gerakan pro-demokrasi dan HAM, serta
kalangan akademisi. Setelah peristiwa dramatis tahun 1998 yang
membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintah
indonesia, gerakan LGBT berkembangan lebih bedar dan luas dengan
pengorganisasian yang lebih kuat di tingkat nasional , program yang
mendapat pendanaan secara formal, serta penggunaan wacana HAM
untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan di tingkat nasional.
Namun keberhasilan ini sangatlah sederhana dipandang secara
65 keseluruhan, dengan banyaknya organisasi dan individu yang berhasil
melakukan
perubahan-perubahan
kecil
perubahan
besar,
perundang-undangan
baik
dalam
namun
tanpa
terjadi
maupun
penerimaan oleh masyarakat.89
Sebagai gambaran umum tentang HAM LGBT di Indonesia,
hukum nasional dalam arti luas tidak memberikan dukungan bagi
kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan
sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang
LGBT
tidak
diperkenankan.
Tidak
ada
undang-undang
anti
diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual
atau identitas gender. 90
Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki
dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih
untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami
masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang
terkait. Sejumlah perda melarang homoseksual sebagai tindak pidana
karena dipandang sebagai perbuatan yanng tidak bermoral, meskipun
empat
dari
lima
perda
yang
terkait
secara
tegas
mengatur
hukumannya. Penulis akan memaparkan salah satu perda yang
melarang homoseksual yaitu perda kota Palembang No 2 Tahun 2004
89
Anonim, Op.cit, hlm 67 Ibid. 90
66 tentang Pemberantasan Pelacuran, pada pasal 8 perda tersebut
menyatakan bahwa homoseks, lesbi, sodomi dan pelacuran seksual
termasuk dalam perbuatan pelacuran. Rido Triawan ketua Arus
Pelangi sebuah LSM yang mengadvokasi LGBT
menilai bahwa
masyarakat masih mengalami homophobia dan masih melekat dalam
cara berfikir para pengambil kebijakan publik.91
Kebijakan yang terkait dengan hak-hak LGBT cukup bervariasi,
dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan
memberikan dukungan bagi kelompok LGBT, serta mengungkapkan
dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV. Namun
secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari
berbagai serangan oleh para aktivis Islamis garis keras dan preman92.
Sementara orang LGBT yang tergolong
gelandangan karena
berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semenamena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan.
Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan
identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap
progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar
yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah
91
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16815/hukum-­‐tak-­‐mampu-­‐hilangkan-­‐homophobia diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 12:43. 92
Dalam KBBI Preman adalah sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras dan lain sebagainya) 67 tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar.
Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang
membuka diri. Orang dengan SOGI yang beragam mungkin mendapat
sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir
mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga.
Terkait dengan sikap penerimaan yang kontras oleh masyarakat
terhadap kelompok LGBT penulis melihat terdapat beberapa daerah di
Indonesia yang memiliki penerimaan yang lebih baik terhadap
kelompok SOGI. Banyak aliran kepercayaan di antara suku-suku asli
Kalimantan dan Sulawesi menyertakan peran iman atau dukun yang
melibatkan praktek kedi (transvestisme)93 atau setidaknya menerima
perilaku transgender. Homoseksualitas pria yang diritualkan juga
ditemukan dalam praktek keagamaan melanesia94 di Papua dan
sejumlah masyarakat di daerah lain. Dengan masuknya agama kristen
dan islam, sebagian besar praktek tersebut kemudian dibungkam atau
didorong ke bawah permukaan.95
93
Transvestisme adalah kenikmatan seksual yang berasal dari berdandan atau menyamar dalam pakaian lawan jenis, dengan keinginan kuat untuk tampil sebagai anggota lawan jenis. 94
Orang Melanesia di Papua memiliki pengetahuan agama mencakup dunia sakral dan manusia Papua yang misteri. Mereka memiliki suatu pandangan dunia dan manusia memiliki erat hubungannya antara yang material dan spiritual. Mereka tidak memisahkan dan memilah-­‐memilah seperti yang sering dilakukan dalam Kekristenan Barat. Pandangan dunia orang Melanesia Papua mencakup yang material dan spiritual, yang sekuler dan sakral, dan keduanya berfungsi bersama-­‐
sama. 95
Anonim, op.cit, hlm 30 68 Penulis akan membahas penerimaan terhadap kelompok SOGI
yang dikaji dari sudut kebudayaan, dan kebudayaan yang diangkat
adalah kebudayaan yang berada dari beberapa daerah suku Bugis di
Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-16 berdasarkan sumber-sumber
Portugis dapat diketahui bahwa paling tidak sejak abad tersebut Bissu
merupakan penghubung antar umat manusia dengan dunia dewata,
serta memiliki pasangan mistis dari makhluk kahyangan serta Bissu
adalah
wanita
adam
(wadam)
yang
biasanya
berperilaku
homoseksual. Pada bagian selanjutnya penulis akan memaparkan
tentang Bissu, Calabai dan Calalai yang berperilaku homoseksual dan
termasuk
dalam
kelompok
SOGI
sehingga
pembaca
mampu
mengetahui bagaimana gambaran penerimaan masyarakat zaman
dahulu kala terhadap kelompok SOGI yang sudah sejak lama ada.
1. Bissu, Calalai dan Calabai
pada Suku Bugis di Sulawesi
Selatan
Transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke modern
sebenarnya melawati proses panjang dan kompleks. Banyak unsur
kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula yang
perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak
abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru meskipun
tetap ada jejak kesinambungan dengan masa silam dan kini menjadi
69 bagian dari kebudayaan Bugis modern, namun ada pula unsur-unsur
budaya zaman lampau yang sudah lenyap lama sekali. Selanjutnya,
objek-objek, norma dan pola-pola perilaku yang sama sekali baru telah
dan masih terus muncul menggantikannya. Sebagian besar di
antaranya tidak lagi berkaitan dengan ciri khas orang Bugis dan hanya
merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud Sulawesi
Selatan, keindonesiaannya, dan Asia Tenggara. Benang-benang
budaya aneka warna tersebut kemudian tersulam menjadi layar
pancawarna yang melatar belakangi budaya masyarakat Bugis
dewasa ini.
Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat
lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masingmasing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak menganggap lakilaki maupun perempuan lebih dominan satu sama lain. Kriteria
pembedaan peran gender lebih berdasarkan kecenderungan sosial
dalam perilakuan individu umumnya96. Orang Bugis menerapkan
prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka,
di mana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan
garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki maupun
perempuan mempunyai peran sejajar walaupun berbeda dalam
96
Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Nanar dan Forum Jakarta Paris, Jakarta, hlm.185. 70 kehidupan sosial. Perbedaan inilah yang menjadi dasar kemitraan
mereka dalam menjalankan peran masing-masing.97
Pada zaman La Galigo, Bissu dapat dikatakan memiliki posisi di
luar sistem kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta,
dukun, serta ahli ritual trance (kemasukan oleh roh), yang dalam
bahasa Bugis disebut a’soloreng. Mereka merupakan penghubung
antara umat manusia dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan
mistis dari makhluk kahyangan. Berdasarkan sumber-sumber Portugis
yang ditulis pada abad ke-16 dapat diketahui bahwa paling tidak pada
abad itu, bissu adalah wadam dan biasanya berperilaku homoseksual.
Suatu hal yang sangat mengejutkan bagi orang Portugis, karena pada
masa itu, di Eropa, orang yang diketahui melakukan kegiatan
homoseksual akan dibakar hidup-hidup. Sementara di sini, mereka
justru dijadikan pendeta. Naskah La Galigo sendiri tidak memberi
petunjuk apakah “jenis kelamin” para bissu memang sudah demikian
halnya sejak dahulu kala. Dari nama-nama bissu juga tidak bisa
diketahui apakah mereka lahir sebagai perempuan atau laki-laki.
Dalam beberapa kasus tertentu, terdapat pula bangsawan yang
97
Ibid,hlm.97 71 menjadi bissu, misalnya saudara kembar
Sawerigading yaitu We
Tenriabeng dan seorang anak perempuannya, We Tenridio.98
Menjadi seorang bissu sering kali bukan menjadi pilihan, tetapi
merupakan panggilan makhluk gaib yang kelak akan menjadi
“mempelai gaib” sang bissu. Bahkan para bissu, laki-laki maupun
perempuan,
meski
dalam
kehidupan
sehari-hari
mempunyai
pasangan, kelak tetap saja akan memiliki dua pasang gaib, satu
perempuan dan satu laki-laki. “Panggilan gaib” untuk menjadi bissu
sering ditandai oleh suatu gejala psikosomatis seperti tiba-tiba menjadi
bisu ataupun tiba-tiba tidak sadarkan diri sehinggah membutuhkan
penyembuhan ritual. Setelah itu, diikuti dengan tahapan berikutnya,
yakni masa pembimbingan oleh seorang bissu
pembimbing, dan
diakhiri dengan upacara pelantikan seorang bissu baru, sebagai mana
banyak digambarkan pada sejumlah teks La Galigo. Hingga kini,
sebagaian besar ritual tersebut masih dijalankan oleh kaum bissu.99
Banyak upacara yang dipimpin oleh para bissu digambarkan
dalam teks La Galigo. Upacara yang paling banyak dibicarakan dalam
teks La Galigo
adalah hal-hal yang berkaitan dengan upacara
perkawinan dan kelahiran anak. Hal ini mungkin bukan suatu
kebetulan belaka, karena lewat perkawinan dan kelahiran anak, “darah
98
Ibid. Ibid. 99
72 putih”100 yang diterima dari dewata dijaga kemurniannya, dilestarikan
dan diwariskan turun-temurun di muka bumi. Maka hingga kini
bangsawan
Bugis
menggunakannya
sebagai
acuan
dalam
menentukan
aturan upacara-upacara untuk kalangan lapisan atas.
Oleh karena itu, agaknya masuk akal jika disimpulkan bahwa ceritacerita tersebut memang sengaja ditulis untuk dijadikan contoh tentang
apa yang harus dilakukan dalam upacara tersebut. Cerita mengenai
ritual-ritual lain, termasuk yang dilakukan kalangan biasa, sebagian
dilakukan secara turun-temurun lewat tradisi lisan.101 Dari pemaparan
diatas dan penelitian lapangan di daerah Bone dan Segeri, Sulawesi
Selatan penulis menarik kesimpulan bahwa masih ada beberapa
daerah di Bugis yang menentukan jadwal panen, atau penetuan
tanggal untuk merayakan upacara-upacara adat berdasarkan saran
dari bissu, padahal masyarakat mengetahui bahwa bissu berperilaku
homoseksual dan itu adalah salah satu bentuk penerimaan oleh
masyarakat yang masih mempercayai keahlian dari seorang bissu.
Membicarakan gender orang Bugis tidak akan pernah lengkap
tanpa membahas keberadaan dan peran penting yakni Calabai102 dan
100
Darah putih ( Darah Takku’) adalah tumbuhan yang menyerupai kaktus, dari jenis Euphorbiacae. Darah putih juga diartikan derajat kebangsawan yang menjelaskan silsilah garis keturunan dari leluhur dewata. 101
Christian Pelras, Loc.cit. 102
Jenis kelamin ketiga. Calabai yang secara etimologis berarti ‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah laki-­‐laki yang bertingkah laku seperti perempuan. 73 Calalai.103 . James Brooke juga menyinggungnya dalam jurnal
perjalanan ke Wajo pada 1840:104
“ Kebiasaan paling aneh yang saya temukan adalah
adanya lelaki berpakaian seperti perempuan, dan
perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan
hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup
berprilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu.
Tampaknya, ada kecenderungan di kalangan orang tua
anak laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat
keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan
penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak
tersebut kepada salah seorang raja, di mana dia akan
mengabdi. Biasanya, anak lelaki ini kemudian akan
banyak berpengaruh dan menjadi orang kepercayaan
tuan mereka.”
Calabai ada di hampir semua kampung Bugis, tampil baik
dalam pakaian perempuan penuh atau sebagian saja. Mereka juga
terlibat dalam semua pekerjaan perempuan, seperti memasak,
menumbuk padi, atau mencuci pakaian. Meskipun, jika berbicara
tentang mereka sebagaian anak muda akan tersenyum simpul dan
ulama aliran keras mengancam, tetapi
dari sudut pandang umum
betul-betul mengherankan betapa mereka sebenarnya diterima baik
oleh masyarakat dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Bahkan
sebagian besar anggota masyarakat manaruh hormat kepada mereka.
Kebanyakan Calabai
tinggal bersama orang tuanya atau saudara
103
Jenis kelamin ke empat. Calalai yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah perempuan yang bertingak laku seperti laki-­‐laki 104
Christian Pelras, Loc.cit. 74 perempuannya yang sudah menikah, sebagian lagi hidup sendiri. Ada
pula yang hidup satu atap dengan lelaki muda, dan meski seks tabu
dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat Bugis. Biasanya
pasangan Calabai adalah lelaki normal, bahkan sebagian di antaranya
kemudian kawin dan beranak pinak. Calabai yang hidup sendiri
umumnya dipandang impoten. Hidup sendiri, mungkin juga merupakan
pilihan hidup untuk berpantang seks guna menghindari perbuatan
yang dianggap dosa dalam Islam atau untuk menambah kekuatan
magis lewat jalan asketisme.105 Berpantang seks biasanya juga
dijadikan oleh pria heteroseksual setegah baya untuk tujuan sama.106
Pada
periode
yang
sama,
orang
homoseksual
yang
dikeramatkan juga terdapat di Jawa, pada kaum shaman Bare e di
Sulawesi Tengah, Bali, Dayak, dan penduduk asli Taiwan, serta
Philipina, dan Polonesia.107
Tidak
semua bissu itu adalah Calabai dan hanya sedikit
Calabai yang menjadi bissu. Mungkin kondisi ambivalen108 mereka
yang menyebabkan Calabai
dikeramatkan. Sehubungan dengan
105
Kehendak atau kecenderungan menghindari dari kenyataan dengan mencari hiburan dan kententraman di dalam khayal atau situasi rekaan (KBBI) 106
Christian Pelras, Op.cit.hlm.189. 107
Ibid. 108
Ambivalensi merupakan keadaan perasaan yang terjadi secara bersamaan yakni, antara perasaan yang bertentangan terhadap seseorang. Ambivalensi dialami dan dirasakan secara psikologis oleh seseorang dengan perasaan yang tidak menyenangkan ketika aspek-­‐aspek positif dan negatif hadir di dalam pikiran seseorang di waktu yang sama. 75 perkembangan zaman bissu asli sudah hampir lenyap, maka
kebanyak Calabai biasanya menjalankan peran mereka sebelumnya
dalam hal penyelenggaraan dan perayaan pesta perkawinan. Mereka
disewa untuk mengurus masalah-masalah praktis seperti dekorasi
rumah, masak-memasak, dandan dan pakaian pasangan pengantin,
serta sewa hiasan dan pernah pernik kedua mempelai dan
rombongan-rombongannya.
Sering
kali
mereka
juga
akan
melaksanakan acara-acara ritual tradisional selaku indo-botting.109
Aktivitas ini menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar
calabai dan membuat sebagian mereka hidup berkecukupan. Potensi
ini
menjelaskan
mengapa
ketika
seorang
anak
lelaki
mulai
menunjukan tanda-tanda sikap feminim, seperti bermain permainan
anak perempuan atau berpakaian seperti perempuan, banyak orang
tua tidak menghalanginya.
Calabai bersikeras bahwa mereka bukan sekedar lelaki yang
ingin berubah menjadi perempuan, dan tidak ada yang berkeinginan
untuk menjalani operasi perubahan kelamin. Mereka mengatakan
bahwa mereka menikmati kemampuan mereka menggabungkan
maskulin yang dibawah sejak lahir dangan feminisme yang baru
disadari setelah berangkat remaja. Mereka pun menegaskan adanya
keturunan dan sifat agresif kaum lelaki sejalan dengan sifat feminim
109
Orang tua pengantin. 76 kaum perempuan yang mereka miliki. Mereka bebas bergaul, baik
dengan laki-laki maupun perempuan, tetapi mereka harus mematuhi
larangan hubungan seksual dengan perempuan. Pada abad ke-16
bissu calabai yang terbukti melakukan hubungan seks dengan
perempuan akan dihukum mati dengan merebusnya hidup-hidup
dalam gala atau minyak mendidih.110
Calalai juga ada yang hidup dengan perasaan perempuannya.
Mereka melakukan hubungan seks (konon) dengan bantuan semacam
alat kelamin lelaki terbuat dari usus hewan yang diisi lilin. Jumlah
mereka lebih sedikt dibandingkan calabai, dan tingkat toleransi
masyarakat juga jauh lebih rendah terhadap mereka. Mereka hanya
memiliki status individual sebagai anggota masyarakat biasa, dan tidak
memperoleh
peran
sosial
atau
ritual,
meskipun
dalam
perkembangannya pernah juga ada penguasa dari kaum calalai.111
2. Laporan pengaduan tindakan diskriminasi dan kekerasan pada
LGBT di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Penulis
telah menghimpun data terkait pengaduan LGBT di
Komnas HAM pada tahun 2013-2014, data terkait pengaduan LGBT
di Komnas HAM didapatkan di bagian pengaduan Komnas HAM.
Pihak Komnas HAM memberikan data rahasia tetapi identitas pelapor
110
Christian Pelras, op.cit, hlm.192 Ibid. 111
77 tidak dicantumkan dalam data yang diperoleh untuk menjaga
kerahasian pelapor.
Dari data yang diperoleh terdapat 5 (lima) kasus pengaduan
isu LGBT di Komnas HAM pada tahun 2013-2015 yang diadukan
oleh
beberapa
oraganisasi
LGBTIQ
yaitu
terkait
perihal
penyampaian informasi tindak lanjut penanganan kasus pembubaran
pentas budaya, audiensi penyampaian berbagai tindak kekerasan
dan diskriminasi dalam ruang publik yang dialamin oleh LGBTIQ
serta tuntutan persamaan hak sebagai warga negara Indonesia
dalam rangka peringatan hari mengenang kekerasan dan diskriminasi
terhadap transgender se-dunia, penyampaian klarifikasi dan tindak
lanjut pelayanan kasus penyerangan aksi damai transgender day of
remembrance 2014 di tugu Yogyakarta, pemberitahuan proses
perkembangan penanganan kasus penyerangan pasca aksi damai
transgender day of remembrance 2014 dan diskusi penyampaian
oleh jaringan GWL-INA terkait rekapitulasi kasus pelanggaran HAM
LGBT di Indonesia.
Laporan-laporan tersebut dilaporkan oleh organisasi LGBTIQ
Indonesia, peserta aksi damai transgender day of remembrance 2014
dan kaun Transgender/LGBT itu sendiri, sedangkan pihak yang
diadukan adalah Polda Metro Jaya, Pemerintah Republik Indonesia,
78 Polda DI Yogyakarta dan penyidik Polresta Yogyakarta. Adapun
tindakan
yang
dilakukan
oleh
pihak
yang
diadukan
adalah
pembubaran paksa pentas budaya di Gedung Nyi Ageng Serang,
Kuningan, Jakarta Selatan yang diadakan oleh kurang lebih 800
Waria yang tergabung dalam Forum Komunikasi Waria Indonesia
yang selanjutnya disingkat FKWI. Kegiatan ini dibubarkan paksa oleh
Forum Pembela Islam yang selanjutnya disingkat FPI bersama Polda
Metro Jaya dengan alasan tidak mengantongi izin keramaian dari
kepolisian dan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Padahal
FKWI sebelumnya sudah mengirimi dan membayar biaya untuk
penyewaan gedung untuk kegiatan pentas kesenian tari-tarian dan
pakaian adat dengan tujuaan pembinaan positif untuk kelompok
waria. Banyak pihak mengecewakan aksi Polri yang mengakomodasi
tuntutan FPI yaitu Arus Pelangi, LBH Jakarta, FKWI dan Forum
LGBTIQ Indonesia.112 Organisasi yang melaporkan kasus tersebut
meminta hak mereka yaitu hak atas kebebasan pribadi termasuk hak
atas keutuhan pribadi113, hak atas keyakinan politik dan kebebasan
112
http://berita9.com/2012/12/05/pembubaran-­‐paksa-­‐pentas-­‐budaya-­‐waria-­‐dinilai-­‐melanggar-­‐
ham/diakses pada tanggal 16 januari 2016 pukul 14:55 113
Pasal 7 ICCPR dan Pasal 21 UU No.39 Tahun 1999 79 berpendapat114, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat115,
hak menyampaikan pendapat di muka umum116.
Tindakan selanjutnya yang dilaporkan pada Komnas HAM
adalah tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia perihal audiensi penyampaian
berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi dalam ruang publik yang
dialami oleh LGBTIQ serta tuntutan persamaan hak sebagai warga
negara
Indonesia
kekerasan
dan
dalam
rangka
diskriminasi
peringatan
terhadap
hari
transgender
mengenang
se-dunia,
organisasi LGBTIQ Indonesia meminta Republik Indonesia untuk
menjamin hak atas rasa aman, tentram dan perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuatu sesuatu.
Peserta aksi damai transgender day of remembrance 2014 juga
menuntut hak atas kebebasan pribadi, mendirikan parpol, LSM atau
organisasi lainnya atas kasus dalam tindak lanjut penyerangan aksi
damai transgender day of remembrance 2014 di Yogyakarta yang
dilakukan oleh Polda Yogyakarta. Masih dalam kasus yang sama
laporan selanjutnya ditujukan kepada Penyidik Polresta Yogyakarta
114
Pasal 19 DUHAM, Pasal 19 (1) ICCPR, Pasal 28 E (2) UUD 1945 dan Pasal 23 (1) UU No.39 Tahun 1999. 115
Pasal 20 (1) DUHAM, Pasal 21 ICCPR, Pasal 28 dan 28E UUD 1945, Pasal 24 (1)(2) UU No. 39 Tahun 1999. 116
Pasal 19 ICCPR, Pasal 28 dan 28E UUD 1945, Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999. 80 atas penyidikan yang sangat lambat dan kaum LGBT yang menjadi
korban dalam kegiatan trangsender day of remembrance 2014
meminta hak memperoleh keadilan karena melihat kesewenangwenangan proses hukum di kepolisian/militer/PPNS.
Organisasi LGBTIQ Indonesia juga meminta Pemerintah
Republik Indonesia menjamin hak atas rasa aman, tentram dan
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuatu sesuatu.
Selain data yang didapatkan dari bagian pengaduan Komnas
HAM, penulis juga mengumpulkan data penyataan sikap atau press
release terkait tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh
kelompok LGBT di Indonesia, yang sebagian besar melanggar HAM
dan tidak sesuai dengan perlindungan atau perlakuan dalam
menghargai HAM seseorang.
press release yang diedarkan oleh arus pelangi terkait
penyerangan paksa aksi transgender day of remembrance 2014 di
Yogyakarta
pada
tanggal
20
November
2014.
Peringatan
transgender day of remembrance dilaksanakan untuk mengenang
para transgender yang dibunuh karena hate crime atau kejahatan
yang
berbasis
kebencian,
melihat
Indonesia
memiliki
tingkat
81 kekerasan yang tinggi pada transgender. Acara tersebut mendapat
kekerasan dari sekelompok masyarakat. Korban dari kekerasan
tersebut diinisialkan namanya sebut saja Al, Fa,Ha, Mus dan Ber. Al
dikerasi saat mengendarai sebuah motor kemudian rambutnya
ditarik, motornya ditendang dan kepalanya dipukul dengan bambu
oleh tiga orang asing yang mengaku sebagai polisi, sedangkan Ber
yang bersama Al pada saat itu dipukul dibagian kepala belakang,
pinggang dan lengan. Saat berusaha kabur bersama Fa, motor Ber
dan Fa ditarik oleh pelaku untungnya motor tersebut tidak sampai
jatuh. Disaat yang sama Mus yang dituduh sebagi pimpinan aksi,
ditendang sampai jatuh dan dipukuli oleh lebih dari satu orang
pelaku. Ha juga terjatuh dan dipukuli oleh 2-3 orang menggunakan
bambu dan tangan kosong, kepalanya nyaris diinjak dan helm Ha
pecah.
Kejadian ini jelas mencederai semangat transgender day of
remembrance, HAM, kebhinekaan dan tentu saja jauh dari citra
Yogyakarta yang berhati nyaman. Penyerangan seperti ini terlalu
sering terjadi di kota Yogyakarta, kasus LKIS tahun 2012, kasus
Sapta Dharma, penyerangan warga yang sedang beribadah.
Parahnya meski kasus-kasus tersebut telah dilaporkan, hinggah kini
sama sekali belum ada kejelasan atas penyelesaiannya.
82 Penulis juga akan menampilkan beberapa pengakuan dari para
transgender terkait tindakan diskriminasi dan kekerasan dalam
peringatan hari mengenang kekerasan dan diskriminasi terhadap
transgender se-dunia yang dihimpun oleh arus pelangi dan dikemas
dalam sebuah video yang diunggah di Youtube.117
Video tersebut menggambarkan curahan hati para transgender
atas rasa kesedihan yang sangat dalam karena tindakan diskriminasi
dan kekerasan yang tidak manusiawi yang dilakukan kepada para
transgender di Indonesia. Contohnya pada maret 2012, tiga orang
waria pekerja seks terbunuh di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Pada
jasad mereka ditemukan timah panas yang diduga milik oknum
kepolisian. Kemudian pada 29 Oktober 2005, waria Vera terbunuh di
Purwokerto,
Jawa
Tengah.
Terdapat
bekas
tusukan
dan
penganiayaan dijasad tersebut, waria Elly Susana ditemukan
meninggal secara
mengenaskan di kali Cideng, Gambir, Jakarta
Barat pada 17 November 2007, selain itu pemukulan waria Gina di
Yogyakarta juga sangat begitu menyedihkan yang dilakukan pada 1
Maret 2008, kota Makassar pun sempat dikejutkan dengan berita
waria Memey dibusur di Makassar oleh sekelompok anak muda yang
mengendarai sepeda motor didepan Rumah Sakit Pelamonia
117
https://www.youtube.com/watch?v=VM01YLiby8I ditonton pada tanggal 16 Januari
pukul 14:00 WITA 83 Makassar pada dini hari usai melakukan sosialisasi LGBT pada 27
Agustus 2012, pada 10 Maret 2010, waria Shakira Harahap terbunuh
di taman Lawang, Jakarta. Jasadnya ditemukan peluru yang
diperkirakan milik okmun kepolisian dan pada 17 Juni 2013, waria
bernama Ayu Basalamah ditemukan terbunuh di salonnya di
Kotamobagu, Sulawesi Utara.
Selain
menceritakan
kesedihan
akibat
kekerasan
dan
diskriminasi terhadap rekan waria mereka, para waria dalam video
tersebut menyampaikan pesan “kami ada, kami sama, jangan
diperlakukan berbeda, transgender warga negara Indonesia dan
punya hak yang sama”.
Penulis juga telah melakukan pendekatan di lapangan terkait
kehidupan transgender di kota Makassar dan menggunakan
beberapa titik lokasi seperti salon kecantikan, bar, tempat hiburan
malam, bahkan di tempat keramaian. Banyak hal yang membuat
penulis bergelinang air mata mendengarkan cerita hidup kelompok
transgender ketika tuntutan hidup yang keras membuat mereka
mencari penghasilan dengan cara yang sebenarnya mereka tidak
sukai tetapi keterbatasan skill dan kepercayaan dari masyarakat
membuat ruang gerak mereka terbatas. Walaupun ada transgender
yang mempunyai skill tetapi penerimaan baik perusahaan, instansi
84 pemerintah dan lain sebagainya sangat kurang merespon kehadiran
transgender bahkan tidak sedikit yang masih mengalami transphobia.
Hal tersebutlah yang terkadang membuat kelompok transgender
hidup dalam keterbatasan.
Selanjutnya penulis akan menjawab rumusan permasalahan
kedua dalam skripsi ini tentang bagaimana perlindungan HAM
terrhadap SOGI berdasarkan regulasi hukum nasional dan hukum
internasional.
B. Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Kelompok Orientasi
Seksual dan Identitas Gender di Indonesia Bedasarkan Regulasi
Hukum Nasional dan Hukum Internasional.
1. Regulasi Hukum Nasional
Sebelum penulis memaparkan regulasi hukum nasional
terkait perlindungan HAM kepada kelompok SOGI, penulis
akan memaparkan terlebih dahulu Peraturan PerundangUndangan di Indonesia yang terkait batasan-batasan hak
yang secara tidak langsung maupun langsung ditujukan
kepada kelompok SOGI. Perlu diketahui sebelumnya bahwa
Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan pada
tahun 1983 mengubah klasifikasi homoseksual dalam
85 Pedoman
Diagnosa
dan
Klasifikasi
Gangguan
Jiwa
(PPDGJ), maka dari itu homoseksual bukan gangguan jiwa
seperti stigma yang telah lahir di masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos
No.8/2012) diatur tentang orang yang disebut sebagai
penyandang masalah kesejahteraan sosial. Diantaranya
mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang
dalam kehidupan sosial, yaitu waria, pria gay dan wanita
lesbian. Solusi untuk hal ini secara kurang jelas disebut
sebagai “rehabilitasi”. Penyusunan peraturan ini tampaknya
dilakukan tanpa berkonsultasi dengan orang-orang yang
dimaksudkan untuk dibantu dalam ketentuan tersebut.
Selain itu masih belum jelas pula tentang pelaksanaannya.
Yang sering terjadi dibanyak tempat adalah pelaksanaan
razia terhadap orang-orang seperti itu, yang kemudian
dikirim
ke
pusat-pusat
rehabilitasi
yang
melakukan
pembinaan bagi mereka untuk berintegrasi ke dalam
masyarakat.118
Orang-orang
yang
dianggap
gelandangan
(seperti
tunawisma, pekerja seks yang berpraktek di jalanan dan
waria yang berkeliaran malam hari dijalanan dan taman
118
Anonim, op.cit, hlm 28 86 umum) secara teratur
terjaring dalam razia sebelum
penyelengaraan acara-acara besar atau dalam rangka
penertiban kartu tanda penduduk yang selanjutnya disingkat
KTP. Para waria, yang sering disamaratakan dengan
pekerja
seks
wanita
(beberapa
mungkin
diantaranya
lesbian), dan pria gay yang gender non-conforming (tidak
menyesuaikan peran gendernya), seringkali menjadi obyek
dari program-program semacam ini, yang dapat melibatkan
perlakuan buruk, baik fisik, seksual maupun verbal, serta
praktek pemerasan.119
Peraturan undang-undang Indonesia hanya menetapkan
dua gender saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat
ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita
dalam undang-undang
perkawinan (UU No.1/1974) dan
ketentuan serupa mengenai isi KTP yang ditetapkan dalam
undang-undang
administrasi
kependudukan
(UU
No.23/2006). Ketentuan ini bagi orang transgender menjadi
masalah karena perbedaan antara pernyataan gender
dengan penampilan mereka dapat menyulitkan dalam hal
memperoleh layanan jasa, melakukan perjalanan, mengurus
izin usaha dan lain sebagainya. Kadang-kadang, berkat
119
Loc.cit. 87 hasil
advokasi
organisasi
transgender
atau
layanan
penanggulangan Acquired Immuno Deficiency Syndrome
yang selanjutnya disingkat AIDS, pemerintah daerah bisa
memberikan dispensasi, meskipun hal tersebut tidak selalu
memungkinkan dan dapat berubah sewaktu-waktu. 120
Di rumah sakit rumah sakit besar, bayi interseks yang
lahir dengan alat kelamin yang jelas terlihat meragukan,
seringkali menjalani operasi perbaikan apabila orang tuanya
mampu. Konsultasi dilakukan dengan tokoh atau pejabat
agama, padahal mereka minim pengetahuan tentang
interseks sehinggah tidak banyak membantu. Mereka yang
memiliki indikator kelamin yang tidak begitu jelas baru
berkonsultasi
pada layanan kesehatan setelah mereka
dewasa dan mengalami kesulitan dalam menentukan
identifikasi gender.121
Walaupun
tidak
ada
undang-undang
yang secara
eksplisit melarang pengungkapan dan penampilan gender
yang berlawanan, ada beberapa kasus dimana orang
mengubah gendernya dalam dokumen pribadinya biasanya
120
Anonim, op.cit, hlm 24 Ibid, hlm.25. 121
88 dengan maksud untuk menikah, mereka kemudian dituntut
dan dihukum dengan tuduhan pemalsuan identitas.122
Terdapat kemungkinan bagi orang yang telah menjalani
operasi perubahan kelamin untuk mengajukam perubahan
gender di pengadilan. Hal ini berdasarkan yurisprudensi
putusan pengadilan dalam kasus perubahan gender secara
legal atas seorang transeksual pria menjadi wanita, yaitu
Vivian Rubianti (lahir dengan nama Iwan Rubianto pada
tahun 1973)123
Hubungan seks suka sama suka antara orang dewasa
(dalam undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun
2002 ditetapkan sebagai umur 18 tahun) yang memiliki jenis
kelamin atau gender yang sama tidak dianggap melanggar
pasal pidana dalam KUHP, yang sebagian besar merupakan
adaptasi dari Wetboek Van Strafrech Voor Nederlands Indie
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda).124
Terdapat
lima
pengecualian
yang
menganggap
homoseksual sebagai tindakan yang melanggar peraturan
daerah setempat :125
122
Ibid, hlm.26 Ibid. 124
Ibid. 125
Ibid. 123
89 1. Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat (No.
13/2002) di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini
menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks
oleh laki-laki (tanpa menyebutkan apakah bersifat
penetratif atau menerima) sebagai perbuatan tidak
bermoral,
sebagaimana
halnya
prostitusi,
perizinahan,
perjudian
konsumsi
minuman
dan
beralkohol.
2. Perda Kota tentang Pemberantasan Pelacuran (No.
2/2004)
di Palembang, ibukota Provinsi Sumatera
Selatan. Perda ini serupa dengan perda Provinsi,
hanya menggunakan istilah “pelacuran” dan bukan
“maksiat”.
3. Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat (No.
10/2007) di Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
Perda
ini
dalam
menyebutkan
heteroseksual
definisinya
perbuatan
yang
“tidak
tentang
“pelacur”
homoseksual
normal”
dan
(disamping
perbuatan yang “normal”). Tidak ada penjelasan
tentang apa yang merupakan perbuatan “normal”
atau
“tidak
normal”.
Perda
ini
juga
melarang
pembentukan organisasi “yang mengarah kepada
90 perbuatan asusila”
yang tidak bisa diterima oleh
budaya masyarakat setempat. Hal ini kemudian
dijelaskan dengan menyebutkan contoh organisasi
lesbian, gay dan sejenisnya.
4. Perda
Kota
tentang
Pembangunan
Tata
Nilai
Kehidupan Kemasyarakatan yang Berlandaskan pada
Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial
Masyarakat (No.12/2009) di Tasikmalaya, Jawa
Barat. Perda ini melarang perzinahan dan pelacuran,
baik heteroseksual maupun homoseksual.
5. Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan
dan Penindakan Penyakit Sosial (No. 9/2010) di
Pandang Panjang, Sumatera Barat. Bagian definisi
istilah
secara
tegas
menyebutkan
hubungan
“homoseksual dan lesbian” dan selanjutnya hubungan
tersebut melarang orang yang “menawarkan diri
untuk terlibat dalam hubungan homoseksual maupun
lesbian, baik dengan atau tanpa menerima upah”.
Empat perda pertama di atas hanya mengatur secara
samar-samar tentang hukuman atas perbuatan asusila tersebut.
secara umum disebutkan tentang “ketentuan perundang-
91 undangan yang berlaku”, yang dimaksud sebagai perundangundangan nasional. Namun Perda kelima secara tegas
menetapkan hukuman bagi berbagai perbuatan asusila tersebut
setinggi-tingginya tiga bulan penjara atau denda sebesar Rp.
10.000.000.126
Terdapat Perda lain tentang perbuatan asusila yang
telah
disahkan
oleh
DPRD
Provinsi
Nanggroeh
Aceh
Darussalam pada tahun 2009,127 yang memidanakan seks atas
dasar suka sama suka oleh pria dewasa dan wanita dewasa,
namun rancangan Perda ini belum ditandatangani oleh
Gubernur Provinsi tersebut.128
Menarik
untuk
diperhatikan
bahwa
waria
(wanita
transgender) sama sekali tidak disebutkan dalam Perda-Perda
tersebut. Hal ini tampaknya menjadi konsekuensi logis dari
asumsi keberadaan hanya dua gender saja dalam undangundang negara. Menurut undang-undang Republik Indonesia
mereka tetap saja disebut pria.129
126
Ibid, hlm.26. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah khusus yang secara resmi menjalankan pemerintahan bedasarkan syariah Islam 128
Anonim, op.cit, hlm 27 129
Ibid. 127
92 Undang-undang
Pornografi
(UU
No.44/2008)
memasukan istilah “persenggaman yang menyimpang” sebagai
salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian
istilah ini mencakup antara lain persenggaman atau aktifitas
seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbi dan homoseksual. Meskipun larangan berlaku terhadap
produksi dan penyebaran pornografi, undang-undang ini
dipahami oleh banyak pria gay dan wanita lesbian sebagai
hukum yang memidanakan hubungan homoseksualitas. Sekali
lagi, cukup menarik karena bahwa kaum transgender tidak
disebutkan dalam aturan di atas. 130
Peraturan Pemerintah No. 54/2007 tentang Adopsi Anak
secara tegas menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi
tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Adopsi untuk orang
yang belum kawin tidak diperkenankan.131
Dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang
HAM (UU.No 39/1999) terdapat jaminan perlindungan terhadap
praktek diskriminasi atas dasar apapun. Demikian pula,
Undang-Undang Tenaga Kerja (UU.No 13/2003) melarang
130
Ibid. Ibid. 131
93 diskriminasi dalam hubungan kerja. Namun hal ini sangat sedikit
diketahui di lingkungan komunitas LGBT, dan belum pernah
diterapkan di pengadilan dalam perkara yang menentang
diskriminasi terhadap kelompok LGBT.132
Komisi Penyiaran Indonesia yang selanjutnya disingkat
KPI dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program
siaran tahun 2012 melarang program yang meng-stigmatisasi
orang yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender
tertentu. Cukup beralasan untuk percaya bahwa aturan tersebut
merupakan hasil advokasi organisasi-organisasi LGBT yang
berkampanye melawan program yang mengstigmatisasi orang
LGBT dan orang-orang yang mengekspresikan non konformitas
dalam hal gender.133
Undang-undang Perkawinan
(UU No. 1/1974) secara
tegas mendefinisikan perkawinan sebagai pemersatu antara
seorang pria dan seorang wanita. Belum ada usaha yang
dilakukan oleh aktivis LGBT untuk menuntut reformasi undangundang tersebut. Tetapi ada pernyataan dari Menteri Agama
132
Ibid. Ibid. 133
94 dan mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama yang menentang
reformasi hukum semacam itu.134
Selanjutnya penulis akan memaparkan perlindungan
HAM kepada semua manusia termaksud kelompok SOGI
berdasarkan
regulasi
hukum
nasional
yang
berlaku
di
Indonesia.
Tabel 1. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak atas Kebebasan
Pribadi
No.
1.
Kelompok Hak
Atas
Kebebasan
Pribadi
Hak
untuk
tidak
diperbudak
atau
diperhamba
dan larangan
perdagangan
wanita
UUD 1945
Dalam UUD 45
perbudakan dan
perdagangan
budak tidak diatur
UU 39/1999
Pasal 20
(1) tidak seorang pun
boleh
diperbudak atau
diperhamba.
(2)
perbudakan
atau
perhambaan, perdagangan
budak,
perdagangan
wanita
dan
segala
perbuatan apapun yang
tujuannya serupa, dilarang
UU LAINNYA
Pasal 324 KUHP
barang
siapa
dengan
ongkos
sendiri
atau
ongkos orang lain
menjalankan
perniagaan budak
belian
atau
melakukan
perbuatan
perniagaan budak
belian
atau
dengan sengaja
turut
campur
dalam
segala
sesuatu,
baik
dengan langsung
maupun dengan
tidak
langsung
dihukum penjara
selama-lamanya
12 tahun
134
Ibid. 95 2.
Hak
atas
keutuhan
pribadi
3.
Hak
atas
keyakinan
politik
dan
kebebasan
berpendapat.
4.
Hak
atas
kebebasan
berkumpul dan
berserikat
Pasal 28E
(2) setiap orang
berhak
atas
kebebasan
meyakini
kepercayaan,
menyatakan
pikiran dan sikap
sesuai
dengan
hati nurani
Pasal
28
kemerdekaan
berserikat
dan
berkumpul
mengeluarkan
pikiran
dengan
lisan dan tulisan
dan sebagainya,
ditetapkan
dengan undangundang
Pasal 28 E
(3) setiap orang
berhak
atas
kebebasan
berserikat,
berkumpul, dan
mengeluarkan
pendapat.
Pasal 21 setiap orang
berhak
atas
keutuhan
pribadi,
baik
rohani
maupun jasmani dan oleh
karena itu tidak boleh
menjadi objek penelitian
tanpa persetujuan darinya.
Pasal 23
UU Pemilu
(1) setiap orang bebas
untuk
memilih
dan
mempunyai
keyakinan
politiknya.
(UU No 12 tahun
2003)
(2) setiap orang bebas
untuk
mempunyai,
mengeluarkan
dan
menyebarluaskan
pendapat
sesuai
hati
nuraninya secara lisan dan
atau tulisan melalui media
cetak maupun elektronik
dengan
memperhatikan
nilai-nilai
agama,
kesusilaan,
ketertiban,
kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa.
Pasal 24
(UU No 31 tahun
2002)
(1) setiap orang berhak
untuk berkumpul, berapat
dan
berserikat
untuk
maskud-maksud damai
(UU No 12 tahun
2002)
(2) setiap warga negera
atau kelompok masyarakat
berhak mendirikan partai
politik, lembaga swadaya
masyarakat
atau
organisasi lainnya untuk
berperan
serta
dalam
jalannya pemerintahan dan
penyelenggaran
negara
sejalan dengan tuntutan
perlindungan, penegakan
dan pemajuan hak asasi
manusia sesuai dengan
peraturan
perundangundangan.
(UU No 17 tahun
2013)
UU Partai Politik
UU Ormas
(UU No 17 tahun
2013)
UU Kemerdekaan
Menyampaikan
Pendapat
(UU No 9 tahun
1998)
UU Partai Politik
UU Ormas
UU
Ketenagakerjaan
(UU No 13 tahun
2003)
96 5.
Hak
menyampaikan
pendapat
dimuka umum
dan
hak
mogok
Dalam UUD 45
hak mogok tidak
diatur. Sementara
itu
hak
untuk
menyampaikan
pendapat dimuka
umum, termasuk
dalam pasal 28
dan 28E seperti
yang
telah
disebutkan
di
atas. UUD 45
tidak memisahkan
bentuk-bentuk
penyampaian
pendapat dalam
pasal
yang
berbeda seperti
dalam UU No 39
tahun 1999 yang
meletakkannya
pada pasal 23
dan 25.
Pasal 25
setiap orang berhak untuk
menyampaikan pendapat
dimuka umum, termasuk
hak untuk mogok sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan.
UU No 9 Tahun
1998
UU No 13 Tahun
2003
tentang
ketenagakerjaan
pasal 137-149
Tabel 2. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak atas Rasa Aman
No
1.
Kelompok Hak
Atas Rasa
Aman
Hak
untuk
mencari suaka
untuk
memperoleh
perlindungan
politik
dari
negara lain
UUD 1945
Pasal 28 G
(2)
Setiap
orang
berhak
untuk bebas dari
penyiksaan atau
perlakuan yang
merendahkan
derajat martabat
manusia
dan
berhak
memperoleh
suaka
politik
dari negara lain
UU 39/1999
UU LAINNYA
Pasal 28
(1) Setiap orang berhak
mencari
suaka
untuk
memperoleh perlindungan
politik dari negara lain.
(2)
Hak
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku bagi mereka
yang melakukan kejahatan
nonpolitik atau perbuatan
yang bertentangan dengan
tujuan
dan
prinsip
Perserikatan
BangsaBangsa.
97 2.
3.
Hak
atas
perlindungan diri
pribadi, keluarga
kehormatan,
martabat
dan
hak miliknya
hak
atas
pengakuan
di
depan
hukum
sebagai
manusia pribadi
dimana saja ia
berada
Pasal 28
(1) Setiap orang
berhak
atas
perlindungan diri
pribadi,
keluarga,
kehormatan,
martabat,
dan
harta
benda
yang di bawah
kekuasaannya,
serta
berhak
atas rasa aman
dan
perlindungan
dari
ancaman
ketakutan untuk
berbuat
atau
tidak
berbuat
sesuatu
yang
merupakan hak
asasi
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak
atas
perlindungan
diri
pribadi,
keluarga,
kehormatan, martabat, dan
hak miliknya
Pasal 28 D
Pasal 29
(1) Setiap orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan,
dan
kepastian
hukum yang adil
serta perlakuan
yang
sama
dihadapan
hukum
(2) Setiap orang berhak
atas pengakuan di depan
hukum sebagai manusia
pribadi di mana saja ia
berada
Kitab UndangUndang Hukum
Pidana (KUHP)
kejahatan
terhadap nyawa
(antara lain pasal
338,339, 340)
kejahatan
terhadap tubuh
misalnya
penganiayan
(pasal 351-356)
kejahatan
terhadap
kesusilaan,
misalnya
permerkosaan
(pasal 285)
Pasal 28 I
(1) Hak untuk
hidup, hak untuk
tidak
disiksa,
hak
untuk
kemerdekaan
pikiran dan hati
nurani,
hak
beragama, hak
untuk
tidak
diperbudak, hak
untuk
diakui
sebagai pribadi
dihadapan
98 hukum, dan hak
untuk
tidak
dituntut
atas
dasar
hukum
yang
berlaku
surut adalah hak
asasi manusia
yang tidak dapat
dikurangi dalam
keadaan
apapun
4.
5
hak atas rasa
aman
dan
tentram
serta
perlindungan
terhadap
ancaman
ketakutan untuk
berbuat
atau
tidak
berbuat
sesuatu
Pasal 28 G
Pasal 30
(1) Setiap orang
berhak
atas
perlindungan diri
pribadi,
keluarga,
kehormatan,
martabat,
dan
harta
benda
yang di bawah
kekuasaannya,
serta
berhak
atas rasa aman
dan
perlindungan
dari
ancaman
ketakutan untuk
berbuat
atau
tidak
berbuat
sesuatu
yang
merupakan hak
asas
Setiap orang berhak atas
rasa aman dan tenteram
serta
perlindungan
terhadap
ancaman
ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu.
hak untuk tidak
diganggu
tempat
kediamannya
Pasal 28 G
Pasal 31
(1) Setiap orang
berhak
atas
perlindungan diri
pribadi,
keluarga,
kehormatan,
martabat,
dan
harta
benda
yang di bawah
kekuasaannya,
serta
berhak
atas rasa aman
dan
perlindungan
(1)
Tempat
kediaman
siapapun
tidak
boleh
diganggu.
KUHP, Pasal 368,
48 tentang daya
paksa
KUHP, Pasal 167
tentang memaksa
masuk
rumah
tanpa hak
(2)
Menginjak
atau
memasuki
suatu
pekarangan
tempat
kediaman atau memasuki
suatu rumah bertentangan
dengan kehendak orang
yang mendiaminya, hanya
diperbolehkan dalam halhal yang telah ditetapkan
99 dari
ancaman
ketakutan untuk
berbuat
atau
tidak
berbuat
sesuatu
yang
merupakan hak
asas
6
7
hak untuk bebas
dan
menjaga
rahasia dalam
hubungan surat
menyurat
termasuk
komunikasi
melalui sarana
elektronik.
hak untuk bebas
dari penyiksaan,
penghukuman
atau perlakuan
yang kejam ,
tidak manusiawi,
merendahkan
derajat
dan
martabat
kemanusiaan
oleh Undang-undang.
Pasal 32
Pasal 28 G
(2) Setiap orang
berhak
untuk
bebas
dari
penyiksaan atau
perlakuan yang
merendahkan
derajat martabat
manusia
dan
berhak
memperoleh
suaka
politik
dari negara lain.
Kemerdekaan dan rahasia
dalam hubungan suratmenyurat
termasuk
hubungan
komunikasi
melalui sarana elektronik
tidak
boleh
diganggu,
kecuali atas perintah hakim
atau kekuasaan lain yang
sah
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
Pasal 33
KUHP Pasal 234
pemalsuan merek
dan materai
UU No 36 tahun
1999
tentang
telekomunikasi
pasal
22
dan
pasal 56
UU RI No.5 tahun
1999
(1) Setiap orang berhak
untuk
bebas
dari
penyiksaan, penghukuman,
atau perlakuan yang kejam,
tidak
manusiawi,
merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaannya
Pasal 28 I
(1) Hak untuk
hidup, hak untuk
tidak
disiksa,
hak
untuk
kemerdekaan
pikiran dan hati
nurani,
hak
beragama, hak
untuk
tidak
diperbudak, hak
untuk
diakui
sebagai pribadi
dihadapan
hukum, dan hak
100 untuk
tidak
dituntut
atas
dasar
hukum
yang
berlaku
surut adalah hak
asasi manusia
yang tidak dapat
dikurangi dalam
keadaan
apapun
8
9
hak untuk bebas
dari
penghilangan
paksa
dan
penghilangan
nyawa
hak untuk tidak
ditangkap,
ditahan, disiksa,
dikucilkan,
diasingkan atau
dibuang secara
sewenangwenang
Pasal 28 I
Pasal 33
(1) Hak untuk
hidup, hak untuk
tidak
disiksa,
hak
untuk
kemerdekaan
pikiran dan hati
nurani,
hak
beragama, hak
untuk
tidak
diperbudak, hak
untuk
diakui
sebagai pribadi
dihadapan
hukum, dan hak
untuk
tidak
dituntut
atas
dasar
hukum
yang
berlaku
surut adalah hak
asasi manusia
yang tidak dapat
dikurangi dalam
keadaan
apapun
(2) Setiap orang berhak
untuk bebas dari
penghilangan paksa dan
penghilangan nyawa
KUHP Pasal 328
penculikan
Pasal
338
pembunuhan
Pasal
340
pembunuhan
berencana
Pasal 34
Pasal 333 KUHP
Setiap orang tidak boleh
ditangkap, ditahan, disiksa,
dikucilkan, diasingkan, atau
dibuang secara sewenangwenang
Pasal
17-19
ketentuan tentang
penangkapan
Pasal
20-30
ketentuan tentang
penahanan
Pasal
77-83
ketentuan tentang
pra pradilan
101 10
hak untuk hidup
di dalam tatanan
masyarakat dan
kenegaraan
yang
damai,
aman
dan
tentram
yang
menghormati,
melindungi dan
melaksakan
sepenuhnya
HAM
dan
kewajiban dasar
manusia
Pasal 35
Setiap
orang
berhak hidup di
dalam tatanan
masyarakat dan
kenegaraan
yang
damai,
aman,
dan
tenteram, yang
menghormati,
melindungi, dan
melaksanakan
sepenuhnya hak
asasi manusia
dan kewajiban
dasar manusia
sebagaimana
diatur
dalam
Undang-undang
ini.
2. Regulasi Hukum Internasional
Hak atas kebebasan pribadi yang disebut dalam satu pasal
dengan hak atas rasa aman (security of person) dan hak hidup (rights
to life) dalam DUHAM. Hak ini termasuk dalam HAM tertentu yang
fundamental (basic rights) yang tidak dapat dipisahkan (inalienable)
dari individu dan tidak dapat disubordinasikan, dikurangi, atau
dikalahkan (underogable) oleh suatu kekuatan apapun oleh siapa pun
102 dan
kapanpun.
Disebut
demikian,
karena
tanpa
hak-hak
ini
pemenuhan penghormatan hak-hak lain tidak mungkin terjadi.135
Dalam International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) hak atas kebebasan pribadi disebutkan berbarengan dengan
hak atas keamanan pribadi seperti tertera dalam pasal 9. Hak ini,
dalam covenan itu, selalu dikaitkan dengan larangan penangkapan
dan penahanan sewenang-wenang. Penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang terhadap individu adalah suatu bentuk pelanggaran
nyata terhadap kebebasam individu. Hanya penangkapan dan
penahapan yang dilakukan dengan alasan prosedur yang sesuai
dengan hukum
yang dapat mengecualikan kebebasan individu.
Walaupun penangkapan dan penahanan dapat dibenarkan sepanjang
itu sesuai dengan ketentuan hukum, setiap individu diberikan hak
untuk diberitahukan alasan-alasan penangkapan atau penahanan
berikut kejahatan yang dituduhkan terhadapnya. Lebih jauh juga,
kovenan juga memberikan hak kepada individu guna meminta kepada
pengadilan untuk menguji keabsahan penangkapan atau penahanan
yang dikenakan terhadapnya. Jika penangkapan atau penahanan itu
135
Anonim, 2003, Hak Atas Kebebasan Pribadi dan Hak Atas Rasa Aman, Sentra HAM UI, Depok, hlm.3. 103 ternayata tidak sah, individu berhak atas kompensasi yang dapat
diberlakukan. 136
Pada tataran multilateral, tahun 1948, Majelis Umum PBB
memproklamirkan suatu penyataan umum tentang HAM yang juga
secara eksplisit menyebutkan hak ini dalam pasal 3 Universal
Declaration
of
Human Right. Dalam perkembangannya hak ini
dijabarkan lebih lanjut lagi kedalam beberapa hak yang dituangkan
dalam suatu instrument yang disebut international Covenant on Civil
and Politic Rights, suatu bentuk perjanjian multilateral yang memuat
tentang hak-hak sipil dan politik.137
Penulis pula akan menjabarkan jenis-jenis turunan dari hak atas
rasa aman dan kebebasan pribadi yang merupakan bagian penting
dalam perlindungan dan penegakan HAM secara universal, dan
penulis akan menjabarkan hal tersebut bedasarkan regulasi hukum
internasional.
136
Ibid, hlm.4. Ibid, hlm.5 137
104 Tabel 3. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak atas
Kebebasan Pribadi
NO
1
2
3
Kelompok
Hak Atas
Kebebasan
Pribadi
Hak
untuk
tidak
diperbudak
atau
diperhamba
dan larangan
perdagangan
wanita
DUHAM
Pasal 4
Pasal 8
tidak seorang pun boleh
diperbudak atau diperhamba.
Perbudakan dan perdagangan
budak dalam segala bentuk
harus dilarang
(1) tidak seorang pun boleh
diperbudak,
perbudakan
dan
pedagangan budak dalam segala
bentuk harus dilarang
Hak
atas
keutuhan
pribadi
Hak
atas
keyakinan
politik
dan
kebebasan
berpendapat.
ICCPR
(2) tidak seorang pun diperbolehkan
untuk diperhambakan
Pasal 7
tidak seorang pun boleh dikenai
penyiksaan atau perlakuan hukum
yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan
martabatnya,
khususnya tidak seorang pun tanpa
persetujuannya secara
sukarela
dapat dijadikan eksperimen medis
atau ilmiah
Pasal 19
Pasal 19
setiap orang berhak ataas
kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan
pendapat
termasuk kebebasan memiliki
pendapat tanpa gangguan dan
untuk mencari, menerima, dan
menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa
saja dengan tidak memandang
batas-batas (wilayah)
(1) setiap orang berhak untuk
berpendapat tanpa mendapatkan
campur tangan.
(2) setiap orang berhak atas
kebebasan
mengemukakan
pendapat; hak ini harus meliputi
kebebasan untuk mencari, menerima
dan memberikan informasi dan
semua jenis pemikiran, terlepas dari
pembatasan-pembatasan
secara
lisan, tulisan atau cetakan dalam
bentuk karya
seni atau melalui
sarana lain yang menjadi pilihannya
sendiri
(3) pelaksanaan hak-hak yang
diberikan dalam ayat 2, pasal ini
menimbulkan kewajiban-kewajiban
dan tanggungjawab khusus. Oleh
105 karena
itu
dapat
dikenai
pembatasan-pembatasan
tertentu,
tetapi hal ini hanya dapat dilakukan
sesuai
dengan
hukumm
dan
sepanjang diperlakukan untuk : a)
menghormati hak-hak dan nama baik
orang lain; b) melindungi keamanan
nasional dan ketertiban umum atau
kesahatan atau kesusilaan umum.
4
Hak
atas
kebebasan
berkumpul
dan berserikat
Pasal 20
Pasal 21
(1) setiap orang mempunyai hak
atas kebebasan berkumpul dan
berserikat secara damai.
Hak untuk berkumpul secara damai
harus
diakui.
Tidak
satupun
pembahasan
dapat
dikenakan
terhadap pelaksaan hak ini kecuali
yang ditentukan oleh hukum dan
yang diperlakukan
dalam suatu
masyarakat
demokratis
demi
kepentingan keamanan nasional atau
ketertiban
umum,
perlindungan
kesehatan atau kesusilaan umum
atau perlindungan terhadap hak-hak
dan kebebasan orang lain.
(2) tidak seorang pun boleh
dipaksa untuk memasuki suatu
perkumpulan
5
Hak
menyampaika
n
pendapat
dimuka umum
dan
hak
mogok
Dalam DUHAM hak mogok tidak
diatur.
Namun
dinyatakan
bahwa setiap orang berhak
mendirikan
dan
memasuki
serikat-serikat pekerja untuk
melindungi kepentingannya
Dalam ICCPR
hak mogok tidak
disebut. Tetapi diakui hak untuk
membentuk dan bergabung dengan
serikat pekerja;
Sementara
itu,
hak
menyampaikan
pendapat
dimuka umum sudah termasuk
dalam pasal 19 seperti yang
telah
disebutkan
di
atas.
DUHAM
tidak memisah kan
bentuk-bentuk
penyampaikan
pendapat dalam pasal yang
berbeda seperti dalam UU No
39
tahun
1999
yang
meletakannya pada pasal 23
dan 25.
Setiap
orang
berhak
untuk
berserikat dengan orang-orang lain,
termasuk hak untuk membentuk dan
bergabung pada serikat pekerjaan
untuk
melindungi
kepentingankepentingan sendiri. Sementara itu
hak menyampaikan pendapat dimuka
umum sudah termasuk dalam pasal
19 seperti yang telah disebutkan
diatas. ICCPR tidak memisahkan
bentuk-bentuk
penyampaikan
pendapat dalam pasal yang berbeda
seperti dalam UU No 39 tahun 1999
yang meletakannya pada pasal 23
dan 25
Pasal 22 (1)
106 Tabel 4. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak atas Rasa
Aman
No
Kelompok Hak
Atas
Rasa
Aman
1.
Hak
untuk
mencari suaka
untuk
memperoleh
perlindungan
politik
dari
negara lain
DUHAM
Pasal 13
Pasal 12
(2) Setiap orang berhak meninggalkan
suatu negeri, termasuk negerinya
sendiri, dan berhak kembali ke
negerinya.
(2) Setiap orang bebas untuk
meninggalkan negara mana
pun, termasuk negaranya
sendiri.
Pasal 14
(3) Hak-hak di atas tidak
boleh dikenai pembatasan
apapun kecuali pembatasan
yang ditentukan oleh hukum
guna melindungi keamanan
nasional
dan
ketertiban
umum, kesehatan atau moral
masyarakat, atau hak-hak dan
kebebasan dari orang lain,
dan yang sesuai dengan hakhak lain yang diakui dalam
Kovenan ini.
(1) Setiap orang berhak mencari dan
mendapatkan suaka di negeri lain
untuk melindungi diri dari pengejaran.
(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus
pengejaran yang benar-benar timbul
karena kejahatan-kejahatan yang tidak
berhubungan dengan politik, atau
karena
perbuatan-perbuatan
yang
bertentangan dengan tujuan dan dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 12
2.
Hak
atas
perlindungan
diri
pribadi,
keluarga
kehormatan,
martabat dan
hak miliknya
ICCPR
Tidak seorang pun boleh diganggu
urusan
pribadinya,
keluarganya,
rumah-tangganya
atau
hubungan
suart-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan
melakukan
pelanggaran
atas
kehormatan dan nama baiknya. Setiap
orang berhak mendapat perlindungan
hukum terhadap gangguan atau
pelanggaran seperti ini.
Pasal 17
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas
harta miliknya dengan semena-mena.
Pasal 17
(1) Tidak boleh seorang pun
yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah
dicampuri masalah-masalah
pribadinya,
keluarganya,
rumah atau hubungan surat
menyuratnya, atau secara
tidak
sah
diserang
kehormatan
dan
nama
baiknya.
(2) Setiap orang berhak atas
perlindungan hukum terhadap
campur tangan atau serangan
seperti tersebut di atas.
107 3.
4.
Hak
atas
pengakuan di
depan hukum
sebagai
manusia
pribadi dimana
saja ia berada
Hak untuk
tidak diganggu
tempat
kediamannya
Pasal 6
Pasal 16
Setiap orang berhak atas pengakuan di
depan hukum sebagai manusia pribadi
di mana saja ia berada.
Setiap orang berhak untuk
diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum di mana pun
ia berada
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum
dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua
berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi
yang bertentangan dengan Deklarasi
ini, dan terhadap segala hasutan yang
mengarah pada diskriminasi semacam
ini.
Pasal 12
Tidak seorang pun boleh diganggu
urusan
pribadinya,
keluarganya,
rumah-tangganya
atau
hubungan
surat-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan
melakukan
pelanggaran
atas
kehormatan dan nama baiknya. Setiap
orang berhak mendapat perlindungan
hukum terhadap gangguan atau
pelanggaran seperti ini.
Pasal 17
(1) Tidak boleh seorang pun
yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah
dicampuri masalah-masalah
pribadinya, keluarganya,
rumah atau hubungan surat
menyuratnya, atau secara
tidak sah diserang
kehormatan dan nama
baiknya.
(2) Setiap orang berhak atas
perlindungan hukum terhadap
campur tangan atau serangan
seperti tersebut di atas.
5.
Hak untuk
bebas dan
menjaga
rahasia dalam
hubungan
surat menyurat
termasuk
komunikasi
melalui sarana
elektronik.
Pasal 12
Pasal 17
Tidak seorang pun boleh diganggu
urusan
pribadinya,
keluarganya,
rumah-tangganya
atau
hubungan
surat-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan
melakukan
pelanggaran
atas
kehormatan dan nama baiknya. Setiap
orang berhak mendapat perlindungan
hukum terhadap gangguan atau
pelanggaran seperti ini.
(1) Tidak boleh seorang pun
yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah
dicampuri masalah-masalah
pribadinya, keluarganya,
rumah atau hubungan surat
menyuratnya, atau secara
tidak sah diserang
kehormatan dan nama
baiknya.
(2) Setiap orang berhak atas
108 perlindungan hukum terhadap
campur tangan atau serangan
seperti tersebut di atas.
6.
Hak untuk
bebas dari
penyiksaan,
penghukuman
atau perlakuan
yang kejam ,
tidak
manusiawi,
merendahkan
derajat dan
martabat
kemanusiaan
Pasal 5
Tidak seorang pun boleh disiksa atau
diperlakukan secara kejam,
diperlakukan atau dikukum secara tidak
manusiawi atau dihina.
Pasal 9
7.
Hak
untuk
tidak
ditangkap,
ditahan,
disiksa,
dikucilkan,
diasingkan
atau dibuang
secara
sewenangwenang
Tidak seorang pun boleh ditangkap,
ditahan atau dibuang dengan
sewenang-wenang
Pasal 7
Tidak seorang pun yang dapat
dikenakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain
yangkeji, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat.
Pada khususnya, tidak
seorang pun dapatdijadikan
obyek eksperimen medis atau
ilmiah tanpa persetujuan yang
diberikan secara bebas.
Pasal 9
(1) Setiap orang berhak atas
kebebasan dan keamanan
pribadi. Tidak seorang pun
dapat ditangkap atau ditahan
secara sewenang-wenang.
Tidak seorang pun dapat
dirampas kebebasannya
kecuali berdasarkan alasanalasan yang sah, sesuai
dengan prosedur yang
ditetapkan oleh hukum.
Pasal 10
(1) Setiap orang yang
dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara
manusiawi dan dengan
menghormati martabat yang
melekat pada diri manusia.
109 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Setiap
warga
negara
Indonesia
mempunyai
kebebasan untuk menentukan standing position
menanggapi kehadiran kelompok SOGI / LGBT di
lingkungan sekitar, tetapi perlu diperhatikan walaupun
posisi beberapa individu kontra dengan kehadiran
SOGI/LGBT, kelompok SOGI/LGBT juga adalah
manusia sama dengan yang lain sehingga hak-hak
yang bersifat kodrati dan fundamental yang berasal
dari Tuhan
maupun pemerintah atau negara perlu
dihargai dan tetap dijunjung tinggi tanpa ada
diskriminasi dan kekerasan. Penerimaan masyarakat
atas
kelompok
SOGI/LGBT
beraneka
ragam
berdasarkan faktor budaya, adat istiadat, nilai-nilai
pancasila, nilai-nilai keagamaan, kepercayaan mistis,
dan lain sebagainya. Sebagai sesama umat manusia
dan
beragama
tidak
ada
salahnya
untuk
memberitahukan hal yang baik dan benar kepada
kelompok
SOGI/LGBT
terkait
tindakan
yang
dialaminya.
110 2. Perlindungan atas SOGI terkait hak asasi manusia
cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi
nasional yang mengakui dan memberikan dukungan
bagi kelompok LGBT namun secara umum pihak
kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari
berbagai serangan oleh aktivis yang kontra terhadap
LGBT. Sementara orang LGBT yang tergolong
gelandangan karena berkeliaran di tempat umum
dapat menjadi korban perlakuan semena-mena dan
pemerasan
yang
dilakukan
oleh
petugas
pemerintahan.
B. Saran
1. Komnas HAM sebagai suatu badan/lembaga yang
melindungi HAM di Negara Republik Indonesia
sebaiknya
kepada
melakukan
upaya-upaya
kelompok-kelompok
pendekatan
SOGI
maupun
masyarakat yang tidak termasuk dalam kelompok
tersebut agar tercipta kerukunan dan perdamaian
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam arti bukan
melakukan
stigma
pro
upaya
atau
pendekatan
kontra
untuk
tetapi
mengubah
upaya
untuk
111 menciptakan kedamaian tanpa adanya diskriminasi
dan kekerasan yang lahir.
2. Para pengambil kebijakan di negara ini perlu
memberikan kejelasan aturan terkait kelompok SOGI
dalam hal tindakan atau perlakuan berdasarkan nilainilai kemanusiaan. Penulis beranggapan bahwa
kelompok SOGI akan menghargai aturan yang
berlaku jika mereka diperlakukan dengan aturan yang
berlaku pula. Melihat kelompok SOGI kini banyak
berasal dari kaum berpendidikan hal ini secara
perlahan-lahan akan memperbaiki citra mereka atau
semakin
memperburuk
citra
mereka
akibat
pengetahuan yang dimiliki, sehingga perlu adanya
batasan yang jelas yang harus diberikan oleh
undang-undang terkait
hal ini agar tidak muncul
perdebatan yang panjang dan dapat menciptakan
toleransi dan kedamaian bangsa Indonesia dan hal itu
akan menunjukkan suatu kedewasaan berbangsa dan
bernegara.
112 DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Anomin. 2003. Hak Atas Kebebasan Pribadi dan Hak Atas Rasa Aman.
Sentra HAM Universitas Indonesia: Depok.
Anonim. 2012. Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia,
Tinjauan dan Analisis Partisipasi tentang Lingkungan Hukum dan
Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT). United State for International
Development (USAID) dan United Nation Development
Programme (UNDP): Bali.
Benjamin, Harry. 1967. Dimension of Well-Being; Research and Intervention.
Istampa Sex Research Taylor and Francis Ltd Vol.3: Milan.
Crooks, Robert and Karla Baur. 2005. Our Sexuality. Belmont Wadsworth
Learning: USA.
Iriana, Bambang (penerjemah). 1988. Introduction to International Law.
Terjemahan dari J.G Starke. Sinar Grafika: Jakarta.
Khan, Sadruddin Aga. 1983. Komisi Independen Mengenai Masalah Masalah
Kemanusiaan. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional
(Leppenas): Jakarta.
Kinsey, Alfred C.et.al. 1948. Sexual Behavior in the Human Male. W.B.
Saunders Co: Philadephia.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty. 2003. Pengantar Hukum Internasional.
PT. Alumni: Bandung.
113 Lubis, T Mulya. 1993. in Search of Human Right: Legal Political dilemmas of
Indonesia’s New Order. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Morrow, Deana F. 2006. Sexual Orientation and Gender Identity in Social
Work Practice; Working with Gay, Lesbian, Bisexual and
Transgender People. Columbia University Press: New York.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada yang Bisu. Galang Press:
Yogyakarta.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nanar dan Forum Jakarta Paris:
Jakarta.
Rehman, Javaid. 2003. International Human Rights Law. Pearson Education
Limited: Great Britain.
Siahaan, Jokie M.S. 2009. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis. PT.
Indeks: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
Sulastini, Sri (penerjemah). 2003. Introduction to the International Human
Rights Regime. Terjemahan dari Manfred Nowak. Pustaka HAM
Raoul Wellenberg Institute dan Departemen Hukum dan HAM
Indonesia: Jakarta.
Sumarsono. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan. PT.Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta
Young, Stephen B. 1981. Between Soverigns : A Re-examination of the
Refugge’s Status. Harvard Law School: USA.
114 INTERNET:
Arus
Pelangi. www.youtube.com/watch?v=VM01YLiby8I
tanggal 16 Januari 2016).
(diakses
pada
Arus Pelangi. www.aruspelangi.org/publikasi/siaranpers/press-rilis-lgbti-dankekerasan-terhadap-perempuan-one-billion-rising-indonesia-14februari-2015 (diakses pada tanggal 16 Januari 2016).
Hukum
Online. www.hukumonline.com/berita/baca/hol16815/hukum-takmampu-hilangkan-homophobia (diakses pada tanggal 4 Februari
2016).
Jurnal
Perempuan.
www.jurnalperempuan.org/keragaman-gender-danseksualitas.html (diakses pada tanggal 12 November 2015).
Universitas
Airlangga.
www.journal.unair.ac.id/download-fullpaperjurnal%20shinstya.doc. (diakses pada tanggal 16 November
2015).
University
of Queensland. www.uqu.com.au/blog-view/what-does-lgbtiqmean-29. (diakses pada tanggal 16 November 2015).
American
Psychological.
www.apa.org/about/policy/transgender.aspx
(diakses pada tanggal 12 November 2015).
Berita 9. www.berita9.com/2012/12/05/pembubaran-paksa-pentas-budayawaria-dinilai-melanggar-ham (diakses pada tanggal 16 Januari
2016).
115 
Download