KATA PENGANTAR Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Bismillahiraahmanirahim. Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah SWT. Skripsi yang berjudul “Pengakuan Masyarakat dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Kelompok Orientasi Seksual dan Identitas Gender di Indonesia” merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan Terima Kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Prof. Dr. Dwia Ariestina Pulubuhu, MA. selaku Rektor Universitas Hasanuddin 2. Prof. Dr. Farida Patintingi, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan para Wakil Dekan beserta seluruh staf dan jajarannya. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H.,M.H. Selaku Pembimbing Pertama dan Dr. Iin Karita Sakharina, S.H, M.A. Selaku Pembimbing Kedua. Yang telah meluangkan waktu untuk v memberikan masukan, bimbingan, dan motivasi yang membangun kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. 4. Bapak Dr. Masba Magassing, S.H.,M.H. Dr. Laode Abdul Gani,S.H.,M.H. Birkah Latif, S.H.,M.H.,LLM. Selaku para penguji yang sangat luar biasa dan banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini dengan gagasan dan sarannya yang sangat hebat. 5. Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orangtua ayahanda H. Masse dan ibunda Hj. Djohareng yang penulis sangat cintai dan hormati yang tak henti-hentinya memberikan dukungan, doa, nasehat, dan motivasi hingga sampai detik ini penulis tetap kuat dan bersemangat dalam menyelesaikan studi. 6. Kakak-kakak tercinta Mardawati, Iriati Masse, Gustiawan dan Herman yang selalu menjadi tempat terbaik untuk bercerita dan mengadu serta mengeluarkan keluh kesah walaupun terpisah jarak yang jauh. 7. Unit Kegiatan Mahasiswa di Universitas Hasanuddin dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang menjadi tempat terbaik belajar berorganisasi (UKM BSDK FH-UH, UKM Pantun dan Seni Kreatif, UKM ALSA LC UNHAS, ILSA UNHAS). 8. Non Govermental Organization (NGO) Indonesian Future Leaders Chapter Sulsel yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menjabat sebagai Presiden Chapter IFL Sulsel hingga penulis menyelesaikan studi strata satu. vi 9. Bapak Muhammad Nurkhoiron selaku kepala bagian pendidikan dan penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Yang telah meluangkan waktunya memberikan bantuan selama proses penelitian. 10. Seluruh fans yang tergabung dalam sahabat eko yang kini telah mencapai followers sejumlah 8K, terimakasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini, salam sahabat eko. 11. Orang yang paling mengerti diakhir masa-masa perkulihan, teman kerja proposal, skripsi, gosipi orang, paling nyaman kalau diajak jalan, paling baik dan perhatian, para gadis yang jodohnya belum dipertemukan oleh tuhan. Terimakasih banyak untuk kedua orang ini “Olivia Yanuari Huslan dan Vera Burhamzah”. Terimakasih atas bantuan, dorongan semangat, tawa dan kecerian diakhir masa perkuliahan. Segera menyusul dan secepatnya dipertemukan jodohnya. 12. Sahabat-sahabat terbaik di Gazebo Sektor VI, A. Anggy Hardiyanti, Nur Ukasyah, Aldi Hamza, Andy Rezki Juliarno, Muh. Arham Arras, Arlin Joemka Saputra, S.H., Dian Martin, Muh. Noartawira Sadirga Saleh MD, S.H., Fatia Kurniasi, Febri Maulana,Firman Nasrullah, Heriansya P, Lisa Rulyantini M, Maipa Deapati Siswadi Suarningrat, Muhammad Nur Fajrin, Nisrina Atika, Nyoman Suarningrat Tri Astika Siswadi, Achmad Fauzi Tilameo, Ramadan Satria Halim, vii Muh. Nur Fadli Imran, Wahyudi Kasrul, Yoga Alexander Rosera. Mereka-mereka ini adalah pelengkap kebahagian penulis diakhir cerita perjuangan mendapatkan gelar Sarja Hukum. Semoga S.H segera tercantum dibelakang nama kita semua. Sukses dan terimakasih sebanyak-banyaknya. 13. Best Team Moot Court Competition piala Bulaksumur 2 tahun 2014, layaknya sebuah keluarga dan teman meraih kemenangan and we got it. A. Anggy Hardiyanti dan Muh. Arham Arras (best official team), Akbar Sarifuddin, Aprliani Kusuma Jaya, Ayu Nasriani Saputri, Caecilia Birana, Dian Martin, Fatia Kurniasi, Febri Maulana, Fenny Afriyanti, Fenty Suarningrat Tri Astika, Tangdilintin, Ika Ristiana, Nyoman Richard Wala Sondakh, Rusyaid Abdi, Surahmat, S.H., Zulkurniawan A. terimakasih sayang-sayang atas kenangan indah dan kebersamaan yang sangat hangat, salam peradilan semu “Viva Justicia” 14. “Gengster” Aprliani Kusuma Jaya, Hj. Dian Furqani, Gadis Mentari, Hasruddin Hasan, Ichwanul Reiza, S.H., Siti Nur Kholisa, Pratita Nareswari, Nurul Arbiati dan Muh. Nur Fajrin. Terimakasih banyak atas bantuan dan mohon maaf jika penulis sangat membiksuhkan. 15. Terima Kasih untuk CHIKEN BANANA KABINET “1st Internship Republic Indonesian Embassy of Thailand” Destri Kristianti Parubang, Fadila Jamila Irbar, Sri Septriani Arista Yufeni, S.H., viii Indira Saraswati dan Muhammad Nur Fajrin. Kalian luar biasa senang bisa perna kerja dalam team di luar negeri bersama kalian. 16. ALSA DEMIS 2012 terimakasih banyak teman-teman alsa yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu, terimakasih atas segala bantuan dan kenangan terbaik selama ini, pengalaman luar biasa mengikuti event internasional alsa legal training and workshop perdana. 17. Teman-teman International Law Corner 2012, kalian teman sekelas disemester 5,6,7 terimakasih banyak atas kerjasamanya dalam membantu bagian HI ketika melaksanakan kegiatan internasional. Kalian luar biasa para calon Dubes, Astronot, Konsultan Hukum, Pimpinan Kemenlu (amin). 18. Kakak-kakak volunteer di Klinik Hukum, Kak Rafika suante (Sidney University) dan kak dede suate (pakar bahasa, segala jenis bahasa), senang bisa beberapa kali membantu kalian dalam beberapa kegiatan klinik, teman kursus bahasa mandarin walaupun akhirnya patah pulpen. 19. SMAN1 Mimika angkatan 2009 yang telah memberikan banyak bantuan khusunya One Heart XII IPA 1 yang mempunyai peran penting sehingga penulis dapat melanjutkan kuliah dan kini telah menyelesaikan tugas sebagai mahasiswa. Terimakasih temanteman SMA. ix 20. KKN UNHAS Gelombang 90’ Kec. Rilau Ale, Kab. Bulukumba khususnya teman seposko di Desa Bontolohe, Kak Aby, Kak Jeksen, Kak Marisa, Kak indah dan Kak Gio. Terimakasih atas kisah menarik saat KKN. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran kami hargai demi penyempurnaan penulisan serupa dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi semua pihak yang membutuhkan. Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Makassar, 29 Februari 2016 Penulis, x ABSTRAK EKO SETIAWAN (B111 12 065), Pengakuan Masyarakat dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Kelompok Orientasi Seksual dan Identitas Gender di Indonesia. Di bawah bimbingan Muhammad Ashri selaku pembimbing I dan Iin Karita Sakharina selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami sejauh mana pengaruh, pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender saat ini dan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hak asasi manusia terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender berdasarkan regulasi hukum nasional dan hukum internasional. Penelitian ini dilaksanakan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jakarta, menggunakan teknik dan studi kepustakaan yang relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen serta peraturan perundangundang yang berkaitan dengan masalah tersebut. Bedasarkan analisis hukum terhadap fakta dan data tersebut, disimpulkan bahwa masih banyak tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok orientasi seksual dan identitas gender atau kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk pro atau kontra dengan kehadiran LGBT tetapi yang perlu diperhatikan bahwa setiap manusia yang lahir memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan setiap warga negara Indonesia mempunyai kewajiban untuk tidak merampas dan saling menghargai hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa melihat latar belakang kehidupan seseorang salah satunya orientasi seksual dan identitas gendernya. Kata kunci : Hak Asasi Manusia (HAM), Orientasi Seksual dan Identitas Gender, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) xi ABSTRACT EKO SETIAWAN (B111 12 065), the recognition of the community and the protection of human rights For sexual orientation and Gender Identity in Indonesia. Under the guidance of Muhammad Ashri as supervisor I and Iin Karita Sakharina as supervisor II. This research aims to know and understand the extent of the influence, understanding and acceptance of society against sexual orientation and gender identity at the moment and to find out how human rights protections against sexual orientation and gender identity based on the regulation of national law and international law. This research was carried out at the Office of the national human rights Commission Jakarta, using techniques and study the relevant libraries namely literature, documents as well as laws-laws relating to the issue. Based on the analysis of the facts and the law against such data, it was concluded that many acts of discrimination and violence experienced by a group of sexual orientation and gender identity or group of lesbian, gay, bisexual and transgender people. Every citizen of Indonesia has the right to the pros or cons with the LGBT presence but to note that every human born has the same position in law and every citizen of Indonesia has an obligation not to seize and appreciate fundamental rights possessed by every human being regardless of the background of one's life one sexual orientation and gender identity. Keywords: human rights (human rights), sexual orientation and Gender identity, the national human rights Commission (Komnas HAM) xii DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM AIDS Acquired Immuno Deficiency Syndrome EKOSOB Ekonomi, Sosial dan Budaya DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia FKWI Forum Komunikasi Waria Indonesia FPI Front Pembela Islam GWL-INA Jaringan Gay, Waria dan Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki lain di Indonesia GWL Jaringan Gay, Waria dan Lelaki HIV Human Immuno Deficiency Virus ILGA International Lesbian and Gay Conference ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights ILO International Labour Organization LBH Lembaga Bantuan Hukum Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas Perempuan Komisi Nasional Perempuan LGB Lesbian, Gay, Biseksual xii LGBT LGBTIQ Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer NGO Non Government Organization Perda Peraturan Daerah SOGI Sexual Orientation and Gender Identity UNAIDS United Nations Programme on HIV/AIDS UNDP United Nations Development Programme UDHR Universal Declaration of Human Rights USAID United States Agency for International Development UU Undang-Undang UUD Undang-Undang Dasar Waria Wanita Pria Wadam Wanita Adam TDoR Transgender Day of Remembrance xiii DAFTAR ISI Halaman Judul .......................................................................................... i Lembar Pengesahan Skripsi ................................................................... ii Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi .................................................... iii Persetujuan Pembimbing ........................................................................ iv Kata Pengantar ........................................................................................ v Abstrak ...................................................................................................... xi Daftar Singkatan ...................................................................................... xii Daftar Isi .................................................................................................... xiv Daftar Tabel .............................................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................ 10 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 10 D. Manfaat Penelitian ............................................................ 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender .............................................................................. 11 1. Definisi Orientasi Seksual dan Identitas Gender 11 xiv 2. Teori Diskriminasi dan Prasangka Pada Transgender dan Kelompok Minoritas Seksual . 3. Perbedaan Transgender, Transseksual, Transvest, dan Interseks. ............................. B. 17 20 Tinjauan Umum tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ............................................................. 22 1. Latar Belakang tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ........................... 22 2. Struktur Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional (International Bill of Rights) ........................................................... C. 25 Kovenan Internasional tentang Sipil dan Politik (KIHSP) / International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ............................................................................. D. 29 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) / International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) ................................ E. 31 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia ........................... .......... 34 F. Deklarasi Montreal. ............................................................ 36 G. Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) ... 38 H. Hak Asasi Manusia di Indonesia ........................................ 40 I. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional J. Terkait Hak Asasi Manusia ................................................ 47 Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Kedaulatan Nasional. 54 xv BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ................................................................ 56 B. Tipe Penelitian ................................................................... 57 C. Teknik Pengumpulan Data................................................. 57 D. Jenis dan Sumber Penelitian ............................................ 58 E. Analisis Data ...................................................................... 58 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kehidupan Orientasi Seksual dan Identitas Gender dan Penerimaannya di Indonesia .......... 59 1. Calalai, Calabai, dan Bissu pada Suku Bugis di Sulawesi Selatan ................................................ 69 2. Laporan Pengaduan Tindakan Diskriminasi dan Kekerasan pada LGBT di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia...................................................... B. 77 Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Kelompok Sexual Orientation and Gender Identity di Indonesia Bedasarkan Regulasi Hukum Nasional dan Hukum Internasional ..................................................................... 85 1. Regulasi Hukum Nasional .................................. 85 2. Regulasi Hukum Internasional .. ......................... 102 A. Kesimpulan ......................................................................... 110 B. Saran ................................................................................. 112 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 114 BAB V PENUTUP xvi DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi 95 2. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak Atas Rasa Aman ........... 97 3. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi 105 4. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Atas Rasa Aman ........... 107 xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia perlahan-lahan telah menerima bahwa manusia memiliki perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal ras atau etnis, agama dan perbedaan-perbedaan ini haruslah dihormati agar tidak digunakan sebagai alasan untuk perlakuan diskriminasi, akan tetapi kebanyakan negara masih belum menerima dua aspek dalam keanekaragaman manusia. Dalam dasarwarsa-dasarwarsa terakhir ini, pengunaan dan penyalahgunaan pengertian tentang Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disingkat HAM menjadi lebih tersebar luas dari waktu- waktu sebelumnya, sebagian karena sering terjadi pelanggaranpelanggaran atas hak-hak tersebut dan untuk sebagian lagi karena kesadaran mengenai HAM sudah meluas, baik pada pihak individu maupun pada pihak negara.1 Mencuatnya ke permukaan tentang HAM selama beberapa dekade terakhir ini merupakan salah satu isu global yang banyak dihadapi oleh negara-negara. Salah satunya adalah Indonesia baik perlindungan 1 Sadruddin Aga Khan, 1983, Komisi Independen Internasional Mengenai Masalah Masalah Kemanusiaan, Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas), Jakarta, hlm. 76. 1 nasional hak-hak asasi yang menyangkut kebijakan, rencana aksi maupun implementasi instrumen-instrumen konvensional yang telah diterima di Indonesia.2 Kewajiban menghormati HAM tersebut tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaan itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal 2 www.declarationofmontreal.org/declarationofmontreal_Bahasa.pdf.hlm.2. 2 (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelaggaran HAM yang berat (gross violation of human rights). Populasi masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam, Katholik, Kristen protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Pada umumnya ajaran agama-agama ini ditafsirkan secara konservatif sehingga tidak setuju dengan kehadiran kelompok sexual orientation and gender identity yang selanjutnya disingkat SOGI salah satu contohnya adalah homoseksualitas, karena ditafsirkan secara konservatif sehingga memengaruhi pandangan masyarakat secara keseluruhan dengan cara yang negatif, meskipun ada sejumlah individu religius yang lebih progresif dan bersikap menerima walaupun tidak semua.3 Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender yang selanjutnya disingkat LGBT yang 3 Anonim, 2012, Hidup Sebagai LGBT di Asia : Laporan Nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisis Partisipasi tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), United States Agency for International Development (USAID) dan United Nation Development Programme (UNDP), Bali, hlm.10. 3 membuka diri. Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga, dan pada kenyataanya yang terjadi sekarang di dunia telah perlahan-lahan menerima bahwa individu manusia memiliki perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal rasa tau etnis, agama dan bahwasanya perbedaan-perbedaan ini haruslah dihormati dan tidak digunakan sebagai alasan untuk perlakuan diskriminasi akan tetapi kebanyakan negara masih belum menerima dua aspek dalam keanekaragaman manusia. Manusia mempunyai perbedaan dalam orientasi seksual dan identitas gender, dua perempuan ataupun dua laki-laki dapat saling jatuh cinta dan identitas seseorang dapat ditentukan secara pribadi apakah sebagai perempuan atau laki-laki ataupun bukan keduanya, adalah tidak ditentukan oleh jenis tubuh dimana mereka dilahirkan.4 Tetapi bagaimana seharusnya ketika sikap penerimaan perbedaanperbedaan atau penghormatan terhadap hak seseorang tidak selaras dengan peraturan undang-undang sebuah negara, misalnya peraturan perundang-undangan di Indonesia hanya menetapkan dua gender saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman 4 Ibid, hlm. 12. 4 tegas tentang pria dan wanita dalam undang-undang perkawinan.5 Ketentuan serupa pula yaitu identitas gender juga tertera dalam undang-undang administrasi kependudukan.6 Ketentuan ini bagi orang-orang transgender menjadi masalah, karena perbedaan antara pernyataan gender dan penampilan mereka dapat menyulitkan dalam hal pelayanan jasa, melakukan perjalanan, mengurus izin usaha dan lain sebagainya. Walaupun tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang pengungkapan dan penampilan gender yang berlawanan ada segelintir orang mengubah gendernya dalam dokumen pribadinya tanpa melakukan operasi perubahan kelamin terlebih dahulu biasanya dengan maksud untuk menikah. Penolakan untuk menerima dan menghormati perbedaan- perbedaan ini berati bahwa penindasan atas orang-orang yang mempunyai orientasi seksual LGBT adalah tetap merupakan realitas sehari-hari dibanyak wilayah di dunia. Di beberapa negara, diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT semakin memburuk, akan tetapi semakin banyak pula individu dan kelompok-kelompok yang berani memperjuangkan hak-hak LGBT disemua wilayah di dunia. Terutama individu dan kelompok-kelompok di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur sudah tidak bisa lagi menerima prasangka dan 5 6 Lihat Undang-­‐undang No. 1 Tahun 1974. Lihat Undang-­‐undang No. 23 Tahun 2006. 5 diskriminasi, dan mulai menjadi tidak begitu sabar lagi untuk mencapai kebebasan dan kesetaraan, akan tetapi kemajuan tersebut tidak merata dan tidak otomatis. Di seluruh dunia, kita melihat kemajuankemajuan maupun kemunduran-kemunduran yang terjadi saat ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah kedewasaan suatu bangsa untuk menerima sebuah perbedaan dan tingkat kemajuaan bangsa tersebut. Kemajuan dalam menerapkan HAM LGBT menuntut perubahan multi-lapisan disemua wilayah di dunia yaitu hak-hak harus dijamin, peraturan perundang-undangan diubah, kebijakan baru dirancang dan diterapkan, dan perlakuan secara individu-individu dan institusional harus diadaptasi, kelompok-kelompok LGBT adalah agen perubahan yang utama dan dibutuhkan pula pihak-pihak lain dalam mewujudkan apa yang diharapkan oleh individu ataupun kelompokkelompok LGBT. 7 Komisi Internasional tentang Hak Asasi LGBT (The International Gay and Lesbian Human Rights Commission) yang selanjutnya disingkat IGLHRC merupakan satu organisasi penting di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yang selanjutnya disingkat PBB yang menangani pelanggaran HAM berbasis SOGI. Badan ini merupakan 7 www.declarationofmontreal.org/DeclarationofMontreal_Bahasa.pdf tanggal 15 November 2015. diakses pada 6 salah satu badan konsultasi yang diakui PBB dan didirikan di tahun 1990. IGHLCR juga berkontribusi pada pembuatan Prinsip-Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles) di tahun 2010. Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah prinsip-prinsip legal internasional mengenai orientasi seksual, identitas gender dan Undang-undang Internasional telah disampaikan kepada PBB dan pihak pemerintah dalam upaya memastikan keberadaan universal perlindungan HAM. Kelompok yang terdiri dari 29 ahli HAM internasional hari ini mengeluarkan pernyataan mengenai prinsip-prinsip Yogyakarta mengenai aplikasi undangundang HAM Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas gender8. Prinsip Yogyakarta sendiri berkiblat kepada Universal Declaration of Human Right yang selanjutnya disingkat UDHR sebagai induk dalam aturan tentang HAM. Deklarasi universal mengenai hak-hak manusia yang selanjutnya disingkat DUHAM ialah suatu deklarasi itikad negara-negara, dan tidak mempunyai daya mengikat, walaupun telah mempunyai dampak penting sebagai hasil dalam hal-hal tekanan moril, namun bagian terbesarnya, karena sifat persolan-persoalannya sendiri. Menyadari deklarasi itikad ini perlu diterjemahkan kedalam tindakan nyata, SU PBB dengan teguh meneruskan pekerjaan yang dimulai pada tahun 8 http://www.jurnalperempuan.org/keragaman-­‐gender-­‐dan-­‐seksualitas.html diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 13:21. 7 1948. Dua hasil paling penting ialah ikrar internasional (international covenants) (i) mengenai hak-hak ekonomi,sosial dan kebudayaan dan (ii) mengenai hak-hak sipil dan politik yang protokolnya bersifat fakultatif. Tujuannya ialah memungkinkan negara-negara untuk “secara sukarela mewajibkan diri menaati ketentuan-ketentuan baru dari hukum internasional, dan membuat individu-individu menjadi subyek-subyek dan bukan hanya obyek-obyek dari jurisprudensi itu”. Ikrar-ikrar ini disusul oleh deklarasi mengenai penghapusan segala bentuk-bentuk diskriminasi ras, dan konvensi internasional mengenai penghapusan segala bentuk diskriminsi ras yang diterima oleh SU tahun 1965.9 HAM adalah hak dasar yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa yang harus dihormati, dilindungi, dan tidak layak untuk dirampas oleh siapa pun, namun selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar terhadap manusia lain, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk melindungi kepentingan manusia sebagai individu, masyarakat, dan warga negara, disahkanlah Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.10 9 Stephen B. Young, 1981, “between soverigns : A Re-­‐examination of the Refugee’s Status”, Harvard Law School, p.21. 10 Sumarsono, 2004, Pendidikan Kewarganegaraan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.23. 8 Situasi ini mencerminkan pertentangan antara aliran klasik dan aliran progresif mengenai hukum internasional. Karena usaha-usaha dilakukan untuk memperlakukan individu-individu lebih dari pada negara-negara, sebagai subyek hukum internasional, maka usaha yang sama kuatnya dilakukan oleh negara-negara untuk menyelamatkan hak-hak prerogative kedaulatannya. 11 Karena individulah yang pada hakikatnya menikmati sistem hukum dan praktek internasional, maka perlunya HAM dihormati menjadi semakin penting. Hak-hak ini seperti yang dimuat dalam deklarasi universal mengenai HAM tahun 1948, terdiri dari seperangkat garis pedoman, kode perilaku, mengenai bagaimana dalam suatu masyarakat yang ideal, negara kebangsaan (nation state) harus memperlakukan individu. Norma hukum (rule of law) harus merupakan kekuasaan tertinggi dan pengadilan-pengadilan yang tidak berpihak harus melaksanakannya, bahkan terhadap pemerintah-pemerintah. Kepada negara diserukan untuk menghormati hak-hak pribadi dari individu termaksuk haknya akan kebebasan berfikir, kebebasan melakukan kegiatan keagamaan dan kebebasan mempunyai pendapat.12 11 Ibid, hlm.76. Sadruddin Aga Khan, Loc.cit, hlm.77. 12 9 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender ? 2. Bagaimanakah perlindungan hak-hak asasi manusia dalam menyikapi kelompok orientasi seksual dan identitas gender berdasarkan regulasi hukum nasional dan hukum internasional? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan memahami pengaruh pemahaman dan peneriman masyarakat terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender identity saat ini. 2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hakhak asasi manusia terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender berdasarkan regulasi hukum yang berlaku baik hukum nasional maupun hukum internasional. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan dalam menunjang pengembangan ilmu hukum bagi penulis pada khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya. 2. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi seluruh lapisan masyarakat demi menciptakan kehidupan yang damai dan saling toleransi antar umat manusia demi menjaga ketertiban dunia. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Orientasi Seksual dan Identitas Gender 1. Definisi Orientasi Seksual dan Identitas Gender Kata seks mengacu pada status biologis seseorang dan biasanya dikategorikan sebagai laki-laki, perempuan, atau interseks (yaitu, kombinasi atipikal fitur yang biasanya membedakan laki-laki dari perempuan). Ketika membahas tentang Identitas gender maka mengacu kepada "rasa seseorang dari diri sendiri sebagai laki-laki, perempuan, atau transgender” ketika seseorang identitas gender dan jenis kelamin biologis yang tidak kongruen, individu dapat mengidentifikasi sebagai transeksual atau sebagai kategori transgender lain. Identitas seksual berarti bagaimana seseorang memandang dirinya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Identitas seksual mengacu pada hasil pembagian jenis kelamin secara kromosomal, kromatinal (genetis), 11 gonadal, hormonal, dan somatis (fenotipis, biotipis),13 atau dengan kata lain, identitas seksual mengacu pada kejantanan (maleness) atau kebetinaan (femaleness) dari segi ragawi (bentuk tubuh), khususnya alat kelamin luar, akan tetapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa identitas seksual bukan merupakan bawaan saat lahir, tetapi lebih merupakan pembelajaran melalui pengalaman yang diberikan secara tidak resmi dan tidak terencana, bila seorang anak yang pada saat dilahirkan diperlakukan menurut identitas seksualnya yang berbeda dari jenis kelamin biologisnya, maka ia akan tumbuh sesuai dengan identitas seksual yang diberikan kepadanya.14 Orientasi seksual merujuk pada seks dari orang-orang kepada siapa seseorang secara seksual. Kategori orientasi seksual biasanya telah menyatakan ketertarikannya kepada anggota dari seks sendiri (gay atau lesbian atau sering disebut homoseksual), atau ketertarikannya kepada anggota dari jenis kelamin lainnya (heteroseksual), dan daya tarik kepada anggota dari kedua jenis kelamin (biseksual). Istilah homoseksual dan heteroseksual digunakan merujuk pada orientasi seksual seseorang. Orientasi seksual 13 Dede Oetomo, 2001, Memberi Suara pada yang Bisu, Galang Press, Yogyakarta, hlm.20. ibid, hlm.23. 14 12 menunjuk pada jenis kelamin pasangan erotis, cinta ataupun afeksi yang dipilih. Orientasi seksual terbentuk mulai saat hormon–hormon seksual berkembang, yaitu pada saat seseorang memasuki usia remaja. Sebelum masa tersebut, ketertarikan kepada orang lain masih belum dapat dianggap sebagai ketertarikan seksual.15 Seorang gay adalah seorang homoseksual karena ia adalah laki-laki, sedangkan pasangan erotis, cinta, ataupun afeksinya adalah juga laki-laki. Homoseksual sendiri adalah ketertarikan kepada sesama jenis kelamin biologisnya baik antara pria dan pria (Gay), wanita dan wanita (Lesbian), wanita yang menyukai pria dan wanita secara bersamaan atau pria yang menyukai wanita dan pria dimomen yang sama (Bisexual). Lesbian adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi sebagai wanita dan tertarik kepada orang lain yang mengidentifikasi sebagai perempuan. Gay adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengidentifikasi sebagai lakilaki dan tertarik kepada orang lain yang mengidentifikasi 15 Ibid, hal.38. 13 sebagai laki-laki. Kaum gay masih tetap merasa dan menganggap dirinya sebagai laki-laki. Dalam mewujudkan seksualitasnya, ada yang bertindak sebagai pihak pasif (seperti peran perempuan dalam hubungan seksual) atau sering disebut bottom dan ada yang bertindak sebagai pihak aktif (seperti peran laki-laki) atau sering disebut top, tetapi masing-masing tetap menganggap diri sebagai laki-laki, baik secara fisik maupun psikis.16 Biseksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tertarik kepada orang lain dari jenis kelamin yang sama dan orang-orang dari jenis kelamin yang berbeda.17 Sedangkan transgender lebih merujuk kepada identitas gender, transgender adalah istilah yang secara umum merujuk kepada individu yang memiliki peran dan perilaku yang tidak sesuai dengan peran gender yang telah ditentukan oleh masyarakat untuk jenis kelamin tertentu.18 Identitas gender adalah perasaan dalam diri mengenai penghayatan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan, karena bersifat sangat internal, identitas gender tidak dapat dilihat dan sangat 16 http://journal.unair.ac.id/download-­‐fullpapers-­‐jurnal%20shinstya.doc diakses pada tanggal 16 November 2015 pukul 13:23. 17 http://www.uqu.com.au/blog-­‐view/what-­‐does-­‐lgbtiq-­‐mean-­‐29 diakses pada 16 November 2015 Pukul 14:54. 18 Robert Crooks and Karla Baur, 2005, Our Sexuality, Belmont; wadsworth Learning, USA, p.45. 14 pribadi.19 Ekspresi gender adalah cara individu mengekspresikan atau mengkomunikasikan gendernya.20 Ekspresi gender yaitu mengacu pada cara di mana seseorang bertindak untuk berkomunikasi gender dalam suatu budaya tertentu; misalnya, dalam hal pakaian, pola komunikasi dan kepentingan. Ekspresi gender seseorang memungkinkan ketidak konsistenan dengan peran gender secara sosial dan memungkinkan tidak mencerminkan identitas gendernya.21 Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual. Homoseksual sudah dikenal sejak lama, misalnya pada masyarakat Yunani Kuno.22 Di Inggris baru pada akhir abad ke 17 homoseksualitas hanya dipandang sebagai tingkah laku seksual belaka, namun juga peranan yang agak rumit sifatnya, yang timbul dari keinginan-keinginan maupun aktivitas para homoseks.23 Dalam penelitian yang terkenal 19 Deana F Morrow and Lori Mesingger, 2006, Sexual Orientation and Gender Expression in Social Work Practice; Working with Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender People, ; Columbia University Press, New York, p.365. 20 Ibid, hlm. 323. 21 http://apa.org/about/policy/transgender.aspx. diakses pada tanggal 12 November 2015 pukul 13:23. 22 Soerjono Soekanto, 2014, Sosiologi :Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 381. 23 Alfred C Kinsey, Wardell B Pomeroy, and Clyde E Martin, 1948, Sexual Behavior in the Human Male, W.B. Saunders Co, Philadelphia, p.181. 15 tentang seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar-benar homoseksual dan mengekspresikan kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks, yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan dirinya sebagai homoseks.24 Pada kebanyakan pria transgender biasanya mereka tidak menyukai kegiatan yang biasanya dimiliki oleh pria, seperti permainan olahraga, mereka memilih untuk memainkan boneka, berpakaian seperti perempuan dan berasosiasi dengan perempuan. Mereka merasa sebagai perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Pada umumnya mereka tidak menggap diri mereka homoseksual atau gay, tetapi mereka menganggap diri mereka sebagai wanita dan wajar bila tertarik terhadap lakilaki dan mereka tidak menyukai jika disamakan dengan laki-laki 24 Jokie M.S Siahaan, 2009, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis, PT. Indeks, Jakarta, hlm.76. 16 gay.25 Mereka dianggap sebagai individu yang bermasalah oleh keluarga mereka, sehingga mereka dikucilkan dan memiliki tendensi untuk bunuh diri atau memotong diri (self-mutilation).26 Sebagai salah satu kelompok minoritas, kaum transgender dan homoseksual kerap kali mengalami pelecehan akibat adanya tindakan diskriminasi dan stigma yang ada di masyarakat, berikut adalah kumpulan teori mengenai diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok orientasi seksual dan identitas gender 2. Teori diskriminasi dan prasangka pada transgender dan kelompok minoritas seksual Pada umumnya kelompok orientasi seksual dan identitas gender mengalami banyak diskriminasi, salah satu yang menyebabkan diskriminasi adalah rasa takut terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender seperti transphobia untuk rasa takut kepada kelompok transgender dan homophobia untuk rasa takut kepada kelompok homoseksual. Transphobia adalah sikap, perilaku dan kepercayaan yang 25 Harry Benjamin, 1967, Dimension of Well-­‐Being; Research and Intervention, Istampa Sex Research,Taylor &Francis Ltd, vol 3, no2, Milan, p.107. 26 Ibid, hlm.324. 17 merendahkan individu transgender.27 Sama halnya dengan transphobia, homophobia pun sama hanya saja objeknya yang berbeda, homophobia adalah ketakutan berlebihan kepada kelompok homoseksual Lesbian, Gay dan Biseksual yang selanjutnya penulis singkat LGB. Selain kekerasan atau violence, bentuk diskriminasi lain yang juga sering dialami oleh kelompok LGBT adalah hate crimes. Hate crimes adalah tindakan kriminal yang dilakukan terhadap individu, keluarga, atau terhadap barang kepemilikan yang dilakukan oleh individu lain yang termotivasi baik secara keseluruhan maupun parsial, tentang ras, agama, kecacatan tubuh, ekspresi gender maupun orientasi seksual.28 Menurut laporan Federal Bureau of Investigation yang selanjutnya disingkat FBI pada tahun 1996, bias terhadap orientasi seksual menduduki peringkat ketiga terbanyak yang dilakukan penduduk di Amerika Serikat, dimana bias terhadap ras (kulit hitam) menduduki peringkat pertama dan bias terhadap kelompok Yahudi menduduki peringkat kedua terbayak dalam kegiatan diskriminasi di Amerika Serikat.29 27 Deana F Morrow and Lori Mesingger, op.cit,hlm.265. Ibid, hlm. 269. 29 Ibid ,hlm. 243. 28 18 Tindak kekerasan, diskriminasi, hate crimes telah sedikit banyak memberi dampak kepada kelompok minoritas seksual. Penelitian clements-nolle, Marx dan Katz di tahun 2006 menunjukan bahwa pada kelompok transgender terdapat 32% transgender yang melakukan percobaan bunuh diri, para transgender tersebut melakukan tindakan percobaan bunuh diri dikarenakan peristiwa historis dalam hidup mereka, seperti pernah depresi, penggunaan obat-obat terlarang, pernah diperkosa, pernah megalami diskriminasi karena gender mereka, dan pernah menjadi korban kekerasan karena gender mereka.30 Diskriminasi dan perilaku-perilaku ini dapat terjadi karena empat faktor, yaitu: dinamika dalam hubungan pertemanan, adanya ideologi dipandang sebagai pembangkit rasa senang, dan kekerasan dianggap sebagai pelindung diri.31 anti-gay, Pelaku kekerasan kekerasan melakukan tindakan kekerasan karena ingin mendapatkan tempat dalam grupnya (dinamika dalam hubungan pertemanan dimana di dalam kelompok masyarakat biasanya terdapat ideologi anti-gay) dan melakukan kekerasan sebagai upaya melindungi diri dari orang 30 Kristen Clements Nolle, Rani Marx, and Mitchell Katz, 2006, Attemted Suicides Among Transgender Person. Journal of Homosexuality,Taylor & Francis Group, vol 51, no 3, USA, p.53. 31 Deana F Morrow and Lori Mesingger, Loc.cit. 19 orang yang terlihat berbeda atau ada diluar grup, sehingga dapat membangkitkan rasa senang karena mendapatkan tempat di dalam kelompok dan merasa berhasil melindungi diri dari individu yang dirasa mengancam, yaitu individu dari kelompok minoritas seksual.32 3. Perbedaan transgender, transseksual, transvest, dan interseks Istilah transgender secara umum digunakan untuk mendefinisikan individu yang memiliki penampilan maupun perilaku yang tidak sesuai dengan peran gender tradisional.33 Transgender memiliki variasi dalam mengidentifikasi bagaimana seharusnya laki-laki maupun perempuan menampilkan diri. Para transgender sering kali berpenampilan dengan menggunakan pakaian lawan jenis (berbeda dengan seks biologisnya) dalam variasi waktu tertentu. Sedangkan transseksual menurut benjamin merujuk pada individu yang memiliki keinginan tertentu, baik laki-laki maupun perempuan, untuk merubah kelamin mereka. Bagi para transseksual, kelamin yang mereka miliki merupakan sumber rasa jijik, hal ini menyebabkan mereka menginginkan adanya 32 Ibid, hlm. 301. Robert Crooks and Karla Baur, op.cit, hlm.53. 33 20 perubahan pada kelamin mereka melalui operasi plastik. 34 Individu transseksual pada umunya mengalami perasaan ‘terjebak pada tubuh yang salah’. Kondisi ini dinamakan dengan gender dysphoria. Transseksual pada umunya menginginkan penampilan fisik mereka diubah agar menjadi sesuai dengan penampilan fisik kelompok jenis kelamin lawan jenis mereka. Hal yang membedakan transgender dan transseksual adalah pada umumnya individu transgender tidak mengalami gender dysphoria.35 Penggunaan pakaian lawan jenis kerap kali disebut dengan istilah cross-dressing. Individu non-transseksual yang melahirkan cross-dressing, kerap kali disebut dengan transvestisme. Transvest adalah istilah yang menjelaskan individu yang mencapai kepuasan seksual mereka dengan cara menggunakan pakaian atau atribut dari lawan jenis mereka.36 Yang membedakan transvestis dan transgender adalah transgender melakukan cross-dressing untuk mendapatkan kepuasan secara psikososial, bukan kepuasan seksual.37 34 Harry Benjamin, op.cit., hlm.108. Robert Crooks and Karla Baur, Loc.cit. 36 Ibid, hlm.60. 37 Ibid, hlm.61. 35 21 Transseksual, transgender dan transvestis memiliki kesamaan yaitu mereka semua melakukan cross-dressing namun perkembangan genital mereka secara biologis tumbuh dengan baik perkembangan dan sehat. genital Pada seseorang kenyataannya, tidak terdapat tumbuh dan berkembangan dengan baik, keadaan tersebut dinamakan dengan interseks, yaitu dimana keadaan individu memiliki dua karakter jenis kelamin.38 Banyak orang yang menggunakan istilah hermafrodit untuk menjelaskan keadaan ini, namun hal dianggap kurang sesuai sehinggah istilah interseks lebih banyak dan sering digunakan.39 B. Tinjauan umum tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1. Latar belakang tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB didirikan dengan tujuan utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan dan dengan demikian mencegah persengketaan atau konflik bersenjata yang mewarnai hubungan internasional. Dua perang dunia dalam jangka 38 Ibid, hlm.63. Ibid, hlm.65. 39 22 waktu hanya 30 tahun telah memorak-porandakan Eropa Barat dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia lainnya, termaksuk Asia dan Pasifik. Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu PBB telah mengadvokasi suatu sistem yang menjamin hak-hak minoritas untuk melindungi bahasa, agama, dan budaya tradisional dan rakyat perwalian yang hidup dibawah kekuasaan asing (termasuk masyarakat yang dipindahkan melintasi perbatasan, menyusul penetapan kembali batasbatas negara-negara Eropa oleh negara-negara pemenang perang).40 Setelah Perang Dunia II, pendapat umum cenderung lebih menginginkan suatu pendekatan yang lebih luas dengan menyepakati hak-hak minimum yang harus dapat dinikmati oleh setiap orang, apakah dia orang asli, imigran atau orang asing. Ini dianggap layak setelah perlakuaan terhadap individu-individu di Asia Tenggara dan Eropa Tengah selama Perang Dunia II. Sudah terbukti betapa sulitnya meramalkan siapa yang membutuhkan perlindungan dan tentu tidak mungkin untuk menjamin perlindungannya.41 40 Perpindahan penduduk (transfer of population) yang terjadi, misalnya, antara Yunani dan Turki. Bahkan jaminan untuk kaum minoritas yang ditentukan oleh Liga Bangsa-­‐Bangsa dengan bubarnya Liga tersebut karena Jerman mengacuhkan peraturan-­‐peraturan yang dikeluarkan dengan impunitas (tanpa menderita sanksi apapun) dan kemudian perang dideklarasikan di Eropa. 41 23 Piagam PBB tidak mendefinisikan istilah HAM, tapi hanya mengisyaratkannya saja. Oleh karenanya, tugas pertama komisi HAM yang didirikan pada 1946 adalah untuk mengembangkan sebuah definisi resmi secara universal. Pemikirannya adalah untuk maju dalam tiga langkah berurutan : untuk menyatakan sebuah deklarasi sebagai suatu dasar untuk sebuah konnvensi yang mengikat secara hukum dan menciptakan mekanisme penerapan internasional. Dengan demikian melihat ke belakang, hal ini cukup luar biasa bahwa dalam perjalanannya selama dua tahun, masyarakat internasional dapat sepakat pada sebuah deklarasi internasional, sedangkan adopsi kedua kovenan HAM membutuhkan dua dekade dan pelaksanaannya secara efisien masih tertunda. Pada satu sisi, keberhasilan ini tidak hanya dikarenakan adanya komite pribadi dari individu yang menjadi delegasi dalam komisi HAM seperti Eleanor Roosevelt (Amerika Serikat) dan Rene Cassin (Perancis), tapi juga karena pada kenyataannya masyarakat internasional pada 1940-an masih sedikit dan perbedaan ideologi yang belum muncul kepermukaan.42 Hak universal untuk semua orang meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai suatu solusi sederhana 42 Manfred Nowak, 2003, Introduction to the International Human Rights Regime, Diterjemahkan Oleh Sri Sulastini, 2003, Pustaka Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Institute dan Departemen Hukum dan HAM Indonesia, Jakarta, hlm.82. 24 bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya sampai sekarang masih banyak kaum minoritas yang tertindas. Lebih jauh lagi, PBB sendiri, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian ini, terus berusaha untuk mengartikulasikan instrumen-instrumen tambahan yang memuat hak-hak untuk perempuan, masyarakat adat, anak-anak dan lain-lain. 2. Struktur Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional (International Bill Of Rights) Pada awalnya tanggungjawab Komisi Hak Asasi Manusia meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat ditegakan sehinggah memberi manfaat langsung bagi seluruh umat manusia. Ini semua yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan HAM Internasional, suatu cetak biru konstitusional untuk tata dunia baru yang menentukan hak dan kebebasan yang disepakati dan dapat ditegakan secara universal. DUHAM adalah elemen pertama dari Peraturan PerundangUndangan HAM Internasional (international bill of rights), yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Kovenan-kovenan internasional menetapkan tabulasi hak yang mengikat secara hukum 25 dan protokol tambahan pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap kovenan menyediakan mekanisme bagi penegaklan hak-hak tersebut. Walaupun sering kali dilupakan, DUHAM sendiri hanya merupakan bagian pertama dari resolusi Sidang Umum yang terkait. Ketika DUHAM diterima, resolusi itu juga menyuarakan kepada masyarakat internasional untuk menyebar luaskan isi deklarasi tersebut.43 Pengetahuan dan pemahaman global tentang hak-hak dasar untuk semua yang diproklamasikan dalam DUHAM masih belum tercapai sepenuhnya. Ini bukan hanya kesalahan negara-negara kurang berkembang secara ekonomis. Hingga menjelang disahkannya Undang-Undang HAM pada tahun 1990 di Inggris (yang kemudian berdampak pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi HAM Eropa dalam hukum domestik sebagai satu-satunya instrument hak asasi manusia internasional yang mendapatkan status seperti itu), banyak orang di negara tersebut, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi, akan mengalami kesulitan bila diminta untuk menyebutkan hak-hak dasar mereka. Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, 43 Resolusi 217, Bagian D. 26 ekonomi dan sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam pasal 29 (1) : “semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat dimana hanya didalamnya perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan”. Instrumen-instrumen yang dikeluarkan setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi kewajiban.44 DUHAM tetap menjadi akar dari kebanyakan instrumen hak asasi manusia internasional, bahkan 60 tahun setelah penetapannya. Preambul dari hampir semua instrumen HAM yang diterima PBB juga memberikan penghormatan kepada DUHAM. Pada tingkat regional, banyak instrumen yang mencerminkan nilai deklarasi tersebut dan mengakui pentinganya DUHAM dalam pernyataan-pernyataan mukadimahnya. Deklarasi Bandung 1955 juga merujuk kepada DUHAM dan ketentuan-ketentuan HAM PBB, bahkan pada tingkat nasional banyak negara telah mengadopsi elemen-elemen dari deklarasi tersebut ke dalam Bill of Human Rights yang tercantum dalam undang-undang dasar mereka. Undang-undang dasar baru Afrika Selatan menetapkan suatu penyataan tentang hak dan kebebasan yang sangat mutakhir. Walaupun penyataan itu ditarik dari DUHAM, namun ia mencerminkan perjalanan DUHAM selama 50 44 Namun perlu dicatat ada bagian khusus tentang kewajiban dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat. 27 tahun diterima, sehinggah juga mencakup hak-hak yang tercantum dalam instrumen-instrumen yang diterima setelah DUHAM, seperti Konvensi Hak Anak. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang di cerminkan dalam DUHAM tetap menjadi kriteria kunci diakuinya suatu negara atau rezim baru oleh negara lainnya. Disamping itu, penghormatan terhadap HAM secara nyata adalah persyaratan keanggotaan berbagai organisasi internasional dan regional, termasuk PBB. Tidak satu pun negara dapat menanggung kerugian yang dapat timbul dari pengabaian HAM. Sebaliknya mereka harus memastikan penghormatan terhadap hak dan kebebasan yang diartikulasikan dalam deklarasi sebagai suatu standar minimum. Mungkin benar untuk mengatakan bahwa tidak ada instrumen internasional lain yang memiliki dampak seperti itu.45 Sebagaimana yang sudah dinyatakan sebelumnya, hak-hak yang ditabulasikan dalam DUHAM pada akhirnya berkembang menjadi dua kovenan internasional yang mengikat secara hukum yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan 45 Elemen-­‐elemen humaniter dalam Konvensi Jenewa dan Den Hag juga diakui dengan tingkatan yang serupa, namun instrumen-­‐instumen tersebut memang dapat ditegakan secara hukum, menuntut pertanggungjawaban individu, dan merupakan bagian yang lebih khusus dalam aturan hak asasi manusia internasional, yakni berbeda di dalam ranah hukum humaniter dan pidana intenasional. 28 Budaya (KIHESB) mulai berlaku beberapa bulan sebelum Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan lebih sedikit jumlah negara yang meratifikasinya.46 C. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) / International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) Pada umumnya hak sipil dan politik dianggap sebagai hak generasi pertama, sementara hak ekonomi,sosial dan budaya adalah hak generasi kedua, sedangkan hak generasi ketiga adalah hak kolektif atau hak kelompok. Jadi dua kovenan kembar tersebut secara tradisional dibagi menjadi hak generasi pertama dan kedua, dan keduanya juga menetapkan hak kolektif yang sangat penting, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) memberikan dampak hukum kepada pasal 3-21 DUHAM. Kebanyakan hak dalam kovenan tersebut dapat juga ditemukan dalam konvensi Eropa tantang HAM dan Konvensi Inter Amerika. Piagam Afrika tentang HAM dan rakyat mencakup hak-hak dan kewajiban-kewajiban tambahan.Semua hak dalam kovenan ini merupakan hak untuk semua orang. 46 Untuk informasi terakhir tentang ratifikasi dan laporan negara bias diliat di situs Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-­‐Bangsa di http://www.ohcrc.org. 29 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) mengandung hak-hak demokratis yang esensial, kebanyakan terkait dengan berfungsinya suatu negara dan hubungannya dengan warga negaranya. Hak untuk hidup dan kebebasan jelas merupakan hal yang harus dihormati oleh negara. Kebebasan individu dapat meningkatkan kualitas hidup dan menggambarkan hubungan antar negara dan tiap individu. Partisipasi politik dan kebebasan untuk berekspresi jelas terkait dengan demokrasi dan konsep kebebasan politik dalam suatu Negara, namun demikian, semua HAM mencerminkan pembatasan pada tingkat tertentu yang sengaja dibuat suatu negara untuk warga negaranya. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan jarang sekali dapat bersifat absolute, mereka biasanya dapat dikualifikasikan.Jadi sebuah negara boleh, misalnya, membatasi hak seseorang atas privasi absolut ketika negara perlu masuk kedalam rumah orang tersebut untuk melakukan investigasi tindak pidana. Untuk menunjukan lingkup dan penerapan tiap hak atau kebebasan, adalah penting untuk melihat contoh hak seperti hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk hidup, kebebasan menyampaikan pendapat, hak beragama dan berkeyakian. 30 D. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (KIHESB)/ International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) Sebagaimana diketahui, DUHAM dibagi dalam dua Kovenan Internasional yang secara hukum mengikat. Walaupun terdapat perbedaan dalam jumlah negara yang sudah meratifikasi setiap kovenan tersebut, hal itu tidak dapat dipandang bahwa kovenan yang satu lebih penting dari yang lain. Kedua kovenan ini merupakan bagian intergral Peraturan (International Perundang-Undangan HAM Internasional Bill Of Human Rights). Isi kedua kovenan dan juga instrumen-instrumen yang dibuat sesudahnya tersebut tergabung dalam DUHAM. Dalam banyak hal, pembagian hak-hak antara kedua kovenan dan juga instrumen-instrumen yang dibuat sesudahnya tersebut tergabung dalam DUHAM. Dalam banyak hal, pembagian hak-hak antara dua kovenan masih merupakan sisa-sisa dari keterangan perang dingin terdapat garis pemisah antara mereka yang mengadvokasikan bahwa semua hak harus diperlakukan secara sama dengan mereka yang melihat bahwa hak ekonomi dan sosial sebagai hak-hak yang berbeda dari hak asasi lainnya dan tidak dapat ditegakkan dengan cara yang sama. 31 Hak dan kebebasan yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) merupakan hakhak dan kebebasan yang termuat dibagian akhir DUHAM. Hampir tidak satu pun dari hak-hak tersebut yang terdapat didalam konvensi Eropa tentang HAM. Beberapa dari hak-hak tersebut juga terdapat di dalam konvensi antar-Amerika tentang HAM dan piagam Afrika tentang HAM dan rakyat. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran, terencana yang pusta atau bebas (laissez-faire) atau pendekatan tertentu. Hak-hak yang diakui dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik (KIHSP) dapat diwujudkan dalam konteks sistem ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan sifat saling tergantung dan tidak terbagi-baginya kedua perangkat HAM tersebut, diakui dan dicerminkan dalam sistem yang bersangkutan.47 Sebagai bagian integral dari dari sistem HAM, banyak hak sipil dan politik yang bergantung pada hak ekonomi,sosial dan budaya. 47 Komisi untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, komentar umum 3, dari Dok.PBB E/1991/23,Paragraf 8. 32 Dengan demikian, kedua sistem ini saling bergantung. Hak atas partisipasi politik dan 48 didasarkan membutuhkan pendidikan49 dan hak untuk hidup pada perawatan-perawatan kesehatan 50 yang memadai.51 Terdapat lebih banyak variasi pada tingkat nasional berkenaan dengan hak ekonomi dan sosial karena negara-negara menganut sistem kesejateraan yang berbeda-beda untuk membantu mereka yang berpendapatan kurang, dan untuk memastikan mereka mempunyai akses untuk kepada pelayanan dasar. Hak atas pendidikan, hak pekerja, hak atas standar hidup yang layak dengan akses ke makanan, dan air bersih, serta hak atas perumahan yang layak akan dibahas sebagi contoh-contoh hak ekomoni,sosial dan budaya. Sebagaimana akan dapat terlihat nantinya, hak hak ini sering kali bergantung dengan hak sipil dan politik. 48 Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 13 Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya 50 Pasal 6 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik 51 Pasal 12 Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya 49 33 E. Konvensi Menentang Penghukuman Lain Penyiksaan Yang Kejam, Dan Perlakuan Atau Tidak Manusiawi Dan dan perlakuan atau Merendahkan Martabat Manusia Konvensi menetang penyiksaan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah luar biasa, karena instrumen ini membahas satu hak tunggal yang tercantum dalam DUHAM52 dan kovenan internasional hak sipil dan politik.53 Instrumen tersendiri lainnya membahas dasar diskriminasi (seperti gender, ras) atau kelompok yang rentan didefinisikan secara khusus (anak, pekerja migran dan lain-lain). Indonesia telah mengesahkan konvensi tersebut walaupun tidak mengesahkan protokol opsionalnya. Penyiksaan dipandang secara paling serius oleh komunitas internasional. Memang terdapat bukti yang menunjukan bahwa pelarangan penyiksaan dalam kenyataan adalah jus cogens. Pelarangan ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non 52 Pasal 5 DUHAM “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina”. 53 Pasal 7 DUHAM “Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”. 34 derogable) dan melakukan penyiksaan merupakan kejahatan internasional menurut statuta roma mahkama pidana internasional. Pasal 1 konvensi ini menetapkan lingkup perlakuan yang dicakup oleh konvensi yaitu “untuk maksud konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit atau penderitaan yang berat, fisik maupun mental, secara sengaja dilakukan terhadap seseorang untuk maksud seperti mendapatkan dari orang tersebut atau orang ketiga, informasi atau pengakuan, menghukumnya atas tindakan yang dilakukan atau disangka dilakukan olehnya atau untuk mengintimidasi atau memaksanya atau orang ketiga, atau karena alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi apapun ketika, apabila rasa sakit atau penderitaan demikian dilakukan oleh atau atas hasutan atau atas persetujuan atau persetujuan diamdiam pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kepastian penyiksaan tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang sematamata timbul dari, inheren dalam, atau yang terjadi sebagai akibat sanksi hukum. Definisi ini mungkin merupakan definisi penyiksaan yang paling kompherensif yang ditetapkan dewasa ini dan di perlakukan sebagai rujukan oleh badan-badan internasional, regional dan nasional. Pembukaan konvensi ini pun menyatakan bahwa konvensi ini menghormati pasal 5 DUHAM dan pasal 7 Kovenan Internasional 35 tentang Hak Sipil dan Politik. Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga semua negara wajib “mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan lainnya yang efektif”54 untuk memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada keadaan luar biasa yang dapat digunakan untuk membenarkan penyiksaan.55 F. Deklarasi Montreal Dunia telah perlahan-lahan menerima bahwa individu manusia memiliki perbedaan-perbedaan dalam jenis kelamin, asal rasa tau etnis, dan agama, dan bahwa perbedaan-perbedaan ini haruslah dihormati dan tidak digunakan sebagai alasan untuk perlakuan diskriminasi. Akan tetapi kebanyakan negara masih belum menerima dua aspek dari keanekaragaman manusia, bahwa manusia mempunyai perbedaan dalam orientasi seksual dan identitas gender. Tujuan dari deklarasi ini adalah untuk membuat daftar dan menjelaskan perubahan-perubahan yang kita perlukan, dan membangun agenda untuk aksi global. Dalam deklarasi montreal meminta untuk menjaga dan melindungi hak-hak paling mendasar dari orang-orang LGBT, hak-hak yang telah jelas ditetapkan dan tidak kontrovensial menurut hukum, seperti perlindungan dari kekuasaan negara dan perseorangan, 54 Pasal 2 ayat 1. Pasal 16. 55 36 kebebasan untuk berekspresi, berkumpul dan membentuk perkumpulan, kebebasan untuk melakukan aktifititas seksual dengan sesama jenis (antara orang dewasa yang konsensual dan tidak dilakukan di depan publik). Tujuh puluh lima negara lebih dari sepertiga jumlah negara di dunia masih mempunyai peraturan perundang-undangan yang melarang perilaku seksual sesama jenis. Perilaku yang tidak membahayan orang. Dibawah standar internasional HAM, hal ini merupakan pelanggaran hak-hak pribadi, sebagaimana diakui oleh Komite PBB untuk HAM dalam keputusan Toonen yang diambil di tahun 1994, dan hal tersebut juga merupakan diskriminasi, sebuah penolakan untuk mengakui kesetaraan martabat dan harga diri individu-individu LGBT. Sebuah dunia dimana hak asasi LGBT dilanggar secara sistematis, adalah dunia dimana tidak seorang pun merasa aman. Semua HAM adalah bersifat universal, tak terbagi dan saling tergantung dan terhubung (konferensi dunia untuk HAM, Wina 1993). Identitas dan perilaku LGBT telah ada dan akan terus ada disetiap budaya dan wilayah dunia, hal ini sebenarnya hanya merupakan bagian dari kondisi manusia. Melawan ketidak pedulian dan prasangka tetap menjadi prioritas kami yang nomor satu. Informasi yang lebih banyak mengenai orang-orang LBGT, dan 37 bertambahnya orang-orang LGBT sendiri yang bersedia untuk terbuka dengan identitasnya. Orang-orang LGBT tidak hidup disebuah pulau, akan tetapi merupakan bagian dari semua masyarakat, dan berhak untuk mengharapkan bahwa situasi dan permintaan mereka dipertimbangkan dalam membuat sebuah kebijakan publik. Ini hanya bias dicapai apabila pergerakan internasional HAM LGBT dilakukan dalam perjuangan yang lebih luas, seperti misalnya perjuangan untuk perdagangan dan pembangunan yang adil, hak-hak ekonomi dan sosial diseluruh dunia, serta stabilitas dan perdamaian internasional. HAM LGBT mungkin tampaknya seperti hanya impian di wilayah dunia dimana pembebasan diri dari kemiskinan dan kekerasan merupakan agenda sehari-hari. Walaupun demikian, usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut juga sebaiknya mengikut sertakan usaha untuk perbaikan kondisi hidup individu-individu LGBT. G. Prinsip-Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles) Prinsip-prinsip Yogyakarta tentang penerapan hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan orientasi seksual dan identitas gender adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum HAM internasional untuk mengatasi pelecehan HAM terhadap LGBT. Prinsip-prinsip yang dikembangkan 38 pada pertemuan komisi ahli hukum internasional (International Service for Human Rights) dan ahli HAM dari seluruh dunia di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 2006. Dokumen penutup berisi 29 prinsip yang diadopsi dengan suara bulat oleh para ahli, bersama dengan rekomendasi kepada pemerintah, lembaga antar pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan PBB itu sendiri Prinsipprinsip yang dinamai Yogyakarta, kota di mana konferensi diadakan. Prinsip-prinsip ini belum diadopsi oleh Serikat, dalam perjanjian, dan dengan demikian tidak dengan sendirinya menjadi bagian yang mengikat secara hukum dari hukum HAM internasional namun prinsip dimaksudkan untuk melayani sebagai bantuan interpretatif terhadap perjanjian HAM. Diantara ke-29 orang yang menandatangani prinsip itu antara lain adalah Mary Scheinin, Elizabeth Robinson, Manfred Evatt, Philip Jahangir, Paul Hunt, Sanji Pant, Stephen Whittle dan Wan Alston, Edwin Mmasenono Yanhai. Nowak, Martin Cameron, Asma Monageng, Sunil Para Babu penandatangan bertujuan bahwa prinsip-prinsip Yogyakarta harus diadopsi sebagai sebuah standar universal,menegaskan standar hukum internasional yang mengikat dengan yang semua negara harus mematuhinya namun beberapa negara telah menyatakan keberatan. 39 Sejalan dengan gerakan menuju pembentukan HAM bagi semua orang, prinsip-prinsip Yogyakarta yang secara khusus ditujukan kepada orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam menanggapi pola pelecehan dilaporkan dari seluruh dunia. Contoh dari pelecehan ini termasuk dari kekerasan seksual dan pemerkosaan, penyiksaan dan perlakuan buruk eksekusi di luar hukum, pembunuhan demi kehormatan, invasi privasi, penangkapan yang sewenang-wenang dan pemenjaraan, pelecehan medis, penolakan terhadap kebebasan berbicara dan berkumpul dan diskriminasi, prasangka dan stigmatisasi dalam kerja, kesehatan, pendidikan, perumahan, ke pengadilan dan imigrasi. hukum keluarga, akses Ini diperkirakan mempengaruhi jutaan orang yang, atau telah, ditargetkan atas dasar dirasakan atau orientasi seksual aktual atau identitas gender. H. Hak Asasi Manusia Di Indonesia Diskursus mengenai HAM ditandai dengan perdabatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejara ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal 40 bangkitnya orde baru (tahun 1966-1968). 56 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “friendly” terhadap HAM, ditandai dengan diterimanya HAM kedalam konstitusi dan lahirnya peraturan perundang-undangan dibidang HAM. Beda halnya dengan periode orde baru yang melancarkan “black-campaign” terhadap isu HAM. Pembahasan rancangan undangundang HAM di Dewan Perwakilan Rakyat tidak memakan waktu yang lama dan pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang tersebut 56 T. Mulya Lubis, 1993, in search of human rights: legal political dilemmas of indonesia’s new order, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, hlm.43. 41 dilahirkan sebagai turunan dari ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM. Undang-Undang No 39 Tahun 1998 tentang HAM memuat pengakuan yang luas terhadap HAM. Hak-hak yang dijamin didalamnya mencakup mulai dari pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan, dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-undang tersebut dengan gamblang mengakui paham “natural rights” melihat HAM sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instumeninstrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration Of Human Rights, International Covenan On Civil And Political Rights, International Covenan On Economic,Social And Cultural Rights, International Covenan On The Rights Of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan undang-undang ini telah mengadopsi norma-norma yang terdapat didalam berbagai instrumen HAM tersebut. Di samping memuat norma-norma hak, undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya penulis singkat Komnas 42 HAM mulai pasal 75 – 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komnas HAM. Komnas HAM berdiri berdasarkan keputusan presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan undang-undang. Hal yang menarik dalam undang-undang ini adalah tentang partisipasi masyarakat mulai dari pasal 100-103. Aturan ini jelas memberikan pengkuan legal terhadap keabsahan advokasi HAM “human rights defenders” selain itu, undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan pengadilan HAM yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya undang-undang tersebut. Hak-hak yang diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain adalah hak untuk hidup, yang merupakan hak mutlak setiap orang dan termasuk dalam kategori non-derogable rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi.57 Hak untuk hidup ini meliputi, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, hak atas hidup tentram aman, damai bahagia, sejahtera lahir dan 57 Pasal 28I UUD 1945 Amandemen 2 : “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi didepan hukum, hak untuk tidk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusiayang tidak dapat dikurangi dalam kehidupan apapun” 43 batin, serta hak atas lingkungan yang baik dan sehat.58 Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan hak untuk hidup harus dilindungi oleh hukum dan atas hak ini tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang.59 Hak ini sebenarnya sudah tertuang dalam undang-undang dasar 1954 terutama pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H.60 Selain itu terdapat pula hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang tertuang dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutakan keturunan melalui pernikahan yang sah dan hanya dapat berlangsung atas kehendak kedua calon suami dan istri yang bersangkutan sesuai peraturan perundangan, dalam hal 58 Pasal 9 UUD Nomor 39 Tahun 19991 Javaid Rehman, 2003, International Human Rights Law, Pearson education limited, great Britain, p.69. 60 Pasal 27 ayat (2) : “tiap-­‐tiap warga negara berhak atas perkerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28A: “setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya” Pasal 28D Ayat (2) : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28H Ayat (1) : “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. 59 44 ini Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.61 Begitu pula dinyatakan dalam pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke-2. Hak untuk mengembangkan diri tertuang dalam pasal 11-16 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang memberi jaminan perlindungan hak untuk mengembangkan diri dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28F.62 Hak untuk memperoleh keadilan tertuang dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 26 International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D UUD 1945 yang mempunyai pernyataan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum atau yang sering didengar dengan sebutan equality before the law. Hak-hak yang diatur dalam hak untuk memperoleh keadilan pada dasarnya adalah asas-asas dalam hukum pidana dan hukum acara tetapi tidak terbatas pada hukum pidana dan hukum acara. Di 61 Dalam Undang-­‐Undang Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah menurut ketentuan agama masing-­‐masing. 62 Pasal 28B ayat (2) :”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28F “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, sertaberhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segalla jenis saluran yang tersedia”. 45 antaraya bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi .63 Prinsip-prinsip yang tercakup dalam bagian empat UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 diantaranya adalah peradilan yang bebas serta tidak memihak (Pasal 17), praduga tak bersalah (presumption of innocence) (Pasal 18), Nullum delictum siena previa lege poenale (Pasal 18 Ayat [2]), ketentuan yang lebih menguntungkan (Pasal 18 Ayat [3]), hak untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 18 Ayat [4]), ne bis in idem Pasal 18 Ayat (4)), hukuman perampasan kekayaan (Pasal 19). Hak atas kebebasan pribadi merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi setiap orang karena menyangkut juga hak menentukan nasib sendiri. Dari berbagai hak yang dilindungi dalam HAM, hak atas kebebasan pribadi dan kebebasan bereksperimen, mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul adalah hak yang paling penting.64 Perlindungan hak atas kebebasan pribadi diatur dalam Pasal 20-43 meliputi hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas memilih agama, hak untuk bebas memilih dan dipilih, hak untuk 63 Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999. Javaid Rehman, op.cit, hlm.77. 64 46 berkumpul dan berserikat, hak untuk menyampaikan pendapat, hak atas status kewarganegaraan dan hak untuk bertempat tinggal. Hak atas rasa aman meliputi hak-hak yang dapat dilindungi secara fisik maupun psikologis diantaranya hak suaka, hak perlindungan, hak rasa aman, hak surat rahasia, hak bebas dari penyiksaan, dan hak tidak diperlaukan sewenang-wenang. Hak atas kesejahteraan meliputi hak atas kepemilikian sesuatu, tetapi jika diperlukan untuk kepentingan umum kita harus menyerahkan demi kepentingan umum. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan meliputi hak untuk memilih dan dipilih serta hak untuk mengajukan pendapat. I. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional Terkait Hak Asasi Manusia Dua teori utama mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yaitu monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya. Menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupak suatu sistem hukum yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakter yang berbeda secara intrinsik 47 (intrinsically) dari hukum nasional karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme kadang kadang dinamakan teori “pluralistik”, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak membingungkan. Pada abad kesembilan belas dan kedua puluh berkembang tendensi kuat kearah pandangan dualis, hal ini merupakan sebagian akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnya dari Hegel) yang menekankan kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian lagi merupakan akibat munculnya pembuat UU di negara-negara modern dengan kedaulatan hukum yang lengkap.65 Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para penulis positivis, Triepel dan Anzilotti. Bagi para positivis dengan konsep teori kehendak (consensual) mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Dengan demikian, menurut Triepel terdapat dua perbedaan fundamental diantara kedua sistem hukum tersebut, yaitu: subyek-subyek hukum nasional adalah individuindividu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negar dan sumber 65 J.G.Starke, 1988,Introduction To International Law,Diterjemahkan Oleh Bambang Iriana Djajaatmadja,S.H.,2004,Sinar Grafika, Jakarta, hlm.96 48 hukum keduanya berbeda, sumber hukum nasional adalah kehendak bersama (gemeinwille) dari negara-negara.66 Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sistem itu ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda, yaitu perjanjian antar negara-negara harus dijunjung tinggi. Dengan demikian kedua sistem itu sama sekali terpisah sehingga tidak mungkin akan terjadi pertentangan diantara keduanya, yang mungkin ada adalah pertunjukan-pertunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain dari pada itu tidak terdapat hubungan apa-apa.67 Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualis, pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang 66 Ibid, hlm.97 Ibid. 67 49 mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individuindividu atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.68 Menurut kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualisme, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulispenulis monistis tidak akan berpendapat lain selain menyataka bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidahkaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum.69 Namun ada penulis-penulis lain yang mendukung monisme bedasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat seganap umat manusia baik secara kolektif 68 Ibid. Ibid, hlm.98. 69 50 maupun individual. Dengan kata lain individual yang sesungguhnya menjadi akibat kesatuan dari semua hukum tersebut.70 Inggris menganut suatu ajaran bahwa hukum internasional adalah hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine). Doktrin ini mula mula dikemukakan oleh ahli hukum terkenal Blackstone dalam abad ke delapan belas mula-mula dirumuskan sebagai berikut: “the law of nations, wherever any question arises which is properly the object of its jurisdiction is here adopted in its full extent by the common law, and it is held to be part of the law of the land”.71 Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVII dan XIX dalam beberapa putusan pengadilan yang terkenal. Akan tetapi, kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin itu tidak lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif yang belaku di Inggris harus pula 70 Ibid. Ibid, hlm.99. 71 51 dibedakan antara hukum kebiasaan internasional (customary international law) dan hukum internasional yang tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian). Sepanjang mengenai hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa doktrin inkorporasi ini berlaku dengan dua pengecualian yakni, bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional itu tidak bertentangan dengan suatu undang-undang, baik yang lebih tua maupun yang diundangkan kemudian, dan sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh keputusan mahkama yang tertinggi, maka semua pengadilan terkait oleh keputusan itu sekalipun kemudian terjadi perkembangan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bertentangan. Selain itu, ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bersangkutan harus merupakan ketentuan yang umum yang diterima masyarakat internasional.72 Apa yang diuraikan diatas tidak selalu berarti bahwa suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional begitu saja secara otomatisakan diterapkan oleh semua pengadilan di Inggris. Di samping beberapa pengecualian yang telah diuraikan diatas, pengadilan di Inggris dalam persoalan yang menyangkut hukum internasional terkait 72 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty, 2003, pengantar hukum internasional ,PT.Alumni, Bandung, hlm.82. 52 oleh tindakan atau sikap pemerintah dalam beberapa hal seperti, pernyataan perang, perebutan wilayah atau tindakan nasionalisasi tidak boleh lagi diragukan keabsahannya oleh pengadilan dan pengadilan terkait untuk mengakui penyataan pemerintah mengenai hal yang termaksuk wewenang prerogatifnya seperti misalnya tentang pengakuan suatu pemerintahan atau negara, kedaulatan suatu pemerintahan atau wakil-wakilnya.73 Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran mengenai kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang berkembang, menurut pendapat penulis merupakan suatu sikap yang wajar. Bahkan apabila sikap yang tidak menerima begitu saja kaidah hukum internasional tradisional itu disertai dengan suatu sikap yang wajar, artinya apabila dalam kita bersikap hendak mengadakan perubahan ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan kewajaran (reasonableness) dan kepekaan (sensitivity) terhadap hak dan kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional sebagai keseluruhan sehingga tidak ada seorang pun di dunia yang akan dapat menyalahkan kita.74 73 Ibid, hlm 82. Ibid, hlm.90. 74 53 J. HAM dalam Konteks Kedaulatan Nasional Perkembangan HAM hingga saai ini menyajikan berbagai ilustrasi yang sangat mengesankan mengenai ketegangan-ketegangan antara kedaulatan nasional dan perlindungan HAM internasional. Sebelum perang dunia II dapat dikatakan tidak pernah terpikirkan bahwa hukum internasional akan mengintervensin hubungan antar negara-negara dengan warga negara masing-masing. Pada kenyataannya, barulah setelah peristiwa holocaust Nazi perubahan bertahap dalam benak banyak orang mulai terjadi. Piagam PBB memang menekankan pemajuan HAM sebagai salah satu dari tujuannya, namun pada saat bersamaan, dalam pasal 2 (7) piagam tersebut menekankan prinsip non-intervensi terhadap masalahmasalah dalam negeri. Ini berarti bahwa pada masa perang dingin apa yang disebut sebagai ‘pelayanan nasehat’ dapat diberikan dengan persetujuan negara terkait, hal yang sama tidak berlaku untuk tindakan-tindakan perlindungan HAM internasional tanpa kehendak pemerintahan yang bersangkutan.75 Menyusul akhir Perang Dingin, PBB dalam konferensi HAM Dunia II, mengesahkan perlindungan HAM internasional sebagai kepedulian yang legitimate. Sejak itu penerapan pasal 2(7) piagam 75 Manfred Nowak, op.cit. hlm.33. 54 PBB dalam masalah-masalah HAM tidak lagi memiliki legitimasi. Dalam kasus-kasus dimana pelanggaran HAM dianggap sangat serius, yakni bila mana mereka mengancam perdamaian dan keamanan internasional, dewan keamanan sendiri akan melakukan intervensi dan menetapkan tindakan-tindakan mengikat sesuai dengan Bab VII Piagam PBB.76 Hukum internasional klasik merupakan hubungan antar negaranegara yang berdaulat, sedangkan pada masa kini hubungan antar negara terutama ditentukan melalui perjanjian-perjanjian bilateral atau kesepakatan-kesepakatan kerangka kerja multiteral yang organisasi-organisasi selesai dibuat dalam internasional. Hukum internasional pada dasarnya disusun atas dasar prinsip timbal balik, yaitu keberadaan kepentingan yang saling menggantungkan. Pada prinsipnya, sistem ini juga bekerja untuk perlindungan hak-hak perorangan dalam konteks kekebalan diplomatik dan hukum humaniter internasional. 77 76 Ibid, hlm.34 Ibid, hlm.35. 77 55 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi penelitian Dalam skripsi ini penulis melakukan penelitian untuk memperoleh data atau menghimpun berbagai informasi, fakta dan data yang diperlukan. Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan penulisan skripsi ini, maka penulis memilih dengan melakukan penelitian di beberapa lokasi, yaitu: 1. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, Makassar. 2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. 3. Perpustakaan Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta. 4. Perpustakaan Universitas Indonesia, Jakarta. 5. Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. 6. Kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (National Commission on Violence Agains Women) Komnas Perempuan, Jakarta. Sedangkan penelitian untuk sumber-sumber lain Seperti internet penulis melakukan pencarian pada situs-situs yang dianggap 56 berhubungan dengan tulisan ini misalnya www.id.undp.org, www.hrc.orgdan penulis melakukan penelitian di lapangan untuk wawancarai responden (kelompok orientasi seksual dan identitas gender / LGBT) terkait tulisan ini. B. Tipe penelitian Yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis dalam proses penelitian menggunakan wawancara, dimana peneliti akan mencari responden yang terkait tulisan ini dan melakukan wawancara singkat untuk memperoleh data dan juga penulis melakukan penelitian menggunakan cara penelusuran literatur atau kepustakaan (libary research), dokumen-dokumen, studi internet yang berkenaan dengan kajian dalam penulisan skripsi ini. C. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi melalui wawancara peneliti akan mendatangi lokasi-lokasi tempat kelompok LGBT berkumpul atau komunitas LGBT yang ada di Jakarta dan Makassar seperti Salon Kecantikan, Sekretariat Forum LGBTQ Di Jakarta, dan tempat yang sering dijadikan tempat berkumpul oleh kelompok LGBT. Sedangkan melalui studi kepustakaan (library research) penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah bahan bahan pustaka yang relevan dengan penelitian 57 berupa literatur-literatur, karya ilmiah, konvensi-konvensi yang terkait, peraturan perundang-undangan, dan hasil-hasil penelitian. D. Jenis dan sumber penelitian Jenis data yang diperoleh dalam proses penelitian ini dalam bentuk data primer dan data sekunder, data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara. Sedangkan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh penulis dalam proses penelitian dengan cara penelusuran literatur atau kepustakaan, dokumen-dokumen serta arsip arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas melalui studi kepustakaan dan studi internet. E. Analisis Data Data yang diperoleh dan berhasil dikumpulkan selama proses penelitian dalam bentuk data primer dan data sekunder diolah dengan menggunakan analisis normatif secara deskriptif. Analisa ini dimaksud untuk mengolah data sekunder yang telah diperoleh agar menjadi sebuah karya ilmiah atau skripsi yang terpadu dan sistematis. 58 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kehidupan Kelompok Orientasi Seksual dan Identitas Gender Serta Penerimaannya di Indonesia. Semua manusia terlahir merdeka dan sejajar dalam martabat dan hak-haknya. Semuanya manusia memiliki sifat universal, saling bergantung, tak dapat dibagi dan saling berhubungan. Orientasi seksual78 dan identitas gender79 bersifat menyatu dengan martabat dan kemanusian setiap orang tak boleh menjadi dasar bagi adanya diskriminasi ataupun kekerasan. Masyarakat Indonesia masih kebingungan untuk membedakan antara waria dan gay, padahal keduanya berbeda satu sama lain.80 Kelihatanya gay Indonesia mulai menyebut diri mereka gay dan lesbi 78 Orientasi seksual dipahami sebagai sesuatu yang mengarah kepada kapasitas setiap orang akan ketertarikan emosi, rasa sayang dan seksual (dan hubungan intim serta hubungan seks) terhadap individu yang berbeda gender atau sejenis atau lebih dari satu gender 79 Identitas gender dipahami sebagai sesuatu yang mengarah kepada pengalaman pribadi dan internal yang sangat mendalam dirasakan oleh setiap orang tentang gendernya yang dapat saja atau tidak berhubungan dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat kelahiran, termasuk perasaan pribadi terhadap tubuh (yang mungkin melibatkan jika dipilih dengan bebas perubahan penampakan fisik atau fungsi secara medis atau cara lain), serta ekspresi lain gender termasuk cara berpakaian, cara bertutur-­‐kata dan lagak-­‐lagu. 80 Secara historis, waria dianggap sebagai bagian dari lingkungan sosial rendahan, bercita rasa dan berpendidikan rendah. Mereka bekerja sebagai penjual dipasar atau sebagai pekerja sebagai pekerja seks dan pada masa kini diasosiasikan dengan salon dan perias pengantin (Boelistroff, 2004) 59 pada tahun 1970 sampai awal 1980an.81 Terminologi gay dan lesbian ini cenderung tidak dipelajari dari orangtua, tetangga dan guru-guu melainkan dari media massa, termaksud juga dari kolom-kolom gosip dan pertunjukan yang disiakan pada televisi dan film-film impor juga mengambil peranan penting. Ini disebabkan sebagian besar gay dan lesbian di Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris serta tidak berpergian ke negeri-negeri barat, sekalipun ada peranan media massa yang cenderung memanipulasi berita. Ide gay dan lesbian dibentuk melalui kondisi keterpencilan dari gay barat dan subjektivitas lesbian.82 Banyak kemajuan yang telah dibuat untuk memastikan bahwa semua orang dengan orientasi seksual dan identitas gender apapun boleh hidup dengan martabat dan penghormatan yang sejajar dengan keyakinan yang mereka miliki. memiliki hukum kesetaraan dan dan Dewasa ini banyak negara telah undang-undang non-diskriminasi yang tanpa menjamin hak-hak pembeda-bedaan jenis kelamin, orientasi seksual atau identitas gender.83 81 Memang benar bahwa waria dan gay ataupun lesbian adalah subjektivitas yang harus dipahami secara khusus namun demikian, kekhususan ini tidak lantas berarti bahwa wilayah tersebut dapat dipetakan secara tegas, ada saja terjadi kekaburan misalnya , dengan kasus beberapa orang yang berpindah-­‐pindah diantara gay dan waria ( Baca Boellstroff, 2005) 82 Anonim, op.cit, hlm.32 83 Ibid, hlm.33 60 Namun demikian, pelanggaran HAM yang ditujukan kepada orang-orang karena orientasi seksual atau identitas gender yang ada atau yang mereka yakini merupakan suatu pola global yang mendarah-daging yang perlu diperhatikan secara serius. Pelanggaranpelanggran tersebut termasuk kasus-kasus pembunuhan yang tidak diadili, penyiksaan dan perlakuan keji, penyerangan seksual dan pemerkosaan, penyerbuan wenang, penolakan kerja wilayah pribadi, penahanan sewenangdan kesempatan pendidikan, serta diskriminasi serius yang berkaitan dengan nikmat HAM lainnya. Pelanggaran-pelanggaran ini sering ditambah dengan pengalaman bentuk-bentuk kekerasan, kebencian, diskriminasi dan pengucilan lain misalnya hal-hal yang berdasarkan pada ras, umur, agama, kecacatan ataupun status ekonomi, sosial dan status lainnya.84 Banyak negara dan masyarakat memaksakan norma-norma orientasi seksual dan gender terhadap individu melalui adat-istiadat, hukum serta kekerasan. Negara dan masyarakat juga mencari-cari cara untuk mengontrol bagaimana para individu menjalani hubungan pribadi dan bagaimana mereka mengidentifikasi diri mereka. Peraturan ketertiban terhadap seksualitas tetap merupakan suatu kekuatan di 84 Ibid. 61 balik berlangsungnya kekerasan berdasarkan gender dan ketidaksetaraan gender. 85 Penulis melakukan penelitian lapangan di Komnas HAM dan Komnas Perempuan pada akhir tahun 2015 dan mengumpulkan data dari Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada Maret 2014 yang mencatat, terdapat 279.688 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2013. 65% kasus kekerasan dialami oleh istri, 21% kekerasan dalam pacaran, 7% kekerasan terjadi terhadap anak perempuan dan 6% kekerasan terjadi dalam relasi lain. Data tersebut masih terbatas pada kasus yang terungkap oleh Komnas perempuan. Jika kita lihat lebih spesifik lagi, perempuan dalam komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer yang kemudian disingkat LGBTIQ juga sering mendapat stigma, diskriminasi, dan kekerasan.86 Fakta penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap komunitas LGBT menunjukkan bahwa 89,3% LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan karena orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gendernya; dimana 79,1% responden menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan psikis, 46,3% 85 Ibid. Muhammad Nurkhoiron, Wawancara, Bagian Pendidikan dan Penyuluhan di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 28 Desember 2015. 86 62 responden menyatakan pernah mengalami kekerasan fisik, 26,3% kekerasan ekonomi, 45,1% kekerasan seksual, dan 63,3% kekerasan budaya. Bahkan kekerasan kerap dialami saat usia sekolah dalam bentuk bullying87, 17,3% LGBT pernah berfikir untuk bunuh diri, dan 16,4% pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali. Dalam penelitian ini juga tercatat bahwa, lesbian dan transgender male to female (waria) mendapat lebih banyak kekerasan fisik dan psikis.88 Meskipun fakta yang diperoleh cukup membuat miris terhadap penghormahatan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan tetapi sistem internasional telah melihat langkah-langkah besar terhadap kesetaran gender dan perlindungan dari tindak kekerasan di dalam masyarakat, komunitas maupun keluarga. Selain itu, mekanisme HAM utama dari PBB telah menegaskan kewajiban semua negara untuk menjamin perlindungan secara efektif terhadap semua orang dari diskriminasi yang didasarkan pada orientasi seksual ataupun identitas gender. Salah satu langkah besar yang dibuat oleh orang-orang yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan adalah dibuatnya 87 Bullying adalah sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang. 88 http://aruspelangi.org/publikasi/siaran-­‐pers/pres-­‐rilis-­‐lgbti-­‐dan-­‐kekerasan-­‐terhadap-­‐perempuan-­‐ one-­‐billion-­‐rising-­‐indonesia-­‐14-­‐februari-­‐2015/ diakses pada tanggal 16 Januari 2016 pukul 13:05. 63 sebuah laporan LGBT Nasional Indonesia yang diteliti secara teknisi oeh United Nations Development Programme yang selanjutnya disingkat UNDP dan United States Agency for International Development yang selanjutnya disingkat USAID sebagai bagian dari prakasra ‘Being LBGT in Asia (Hidup Sebagai LGBT di Asia). UNDP bekerja sebagai mitra dengan seluruh lapisan masyarakat untuk membantu bangsa-bangsa yang mampu bertahan terhadap krisis, serta mendorong dan melestarikan pertumbuhan yang dapat meningkatkan kualitas hidup semua orang. Dengan kehadiran langsung di 177 negara dan wilayah teritorial, UNDP menyediakan sudut pandang global dengan wawasan lokal untuk membantu memberdayakan kehidupan manusia dan membangun negara-negara yang tangguh. Laporan ini mengulas lingkungan hukum dan sosial yang dihadapi oleh kelompok LGBT di Indonesia. Laporan ini hasil dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia pada bulan Juni 2013. Dialog menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yanng mewakili keseluruhan keragaman orientasi LGBT di Indonesia, wakil-wakil pemerintahan pusat, lembaga hak asasi nasional, organisasi bantuan hukum dan organisasi masyarakat madani, serta beberapa tokoh agama yang diselanggarakan oleh UNDP bersama USAID sebagai mitra kerja. 64 Beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu, identitas homoseksual baru muncul di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an, gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita transgender, atau kemudian dikenal sebagai waria. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di seluruh Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan dorongan dengan maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai organisasi di lebih banyak lokasi. Pada dasawarsa tersebut juga terjadi sejumlah pertemuan nasional awal, dengan disertai beberapa perkembangan penting dalam gerakan LGBT, antara lain pembentukan aliansi dengan berbagai organisasi feminis, kesehatan seksual dan reproduktif, gerakan pro-demokrasi dan HAM, serta kalangan akademisi. Setelah peristiwa dramatis tahun 1998 yang membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintah indonesia, gerakan LGBT berkembangan lebih bedar dan luas dengan pengorganisasian yang lebih kuat di tingkat nasional , program yang mendapat pendanaan secara formal, serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan di tingkat nasional. Namun keberhasilan ini sangatlah sederhana dipandang secara 65 keseluruhan, dengan banyaknya organisasi dan individu yang berhasil melakukan perubahan-perubahan kecil perubahan besar, perundang-undangan baik dalam namun tanpa terjadi maupun penerimaan oleh masyarakat.89 Sebagai gambaran umum tentang HAM LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberikan dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. 90 Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait. Sejumlah perda melarang homoseksual sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yanng tidak bermoral, meskipun empat dari lima perda yang terkait secara tegas mengatur hukumannya. Penulis akan memaparkan salah satu perda yang melarang homoseksual yaitu perda kota Palembang No 2 Tahun 2004 89 Anonim, Op.cit, hlm 67 Ibid. 90 66 tentang Pemberantasan Pelacuran, pada pasal 8 perda tersebut menyatakan bahwa homoseks, lesbi, sodomi dan pelacuran seksual termasuk dalam perbuatan pelacuran. Rido Triawan ketua Arus Pelangi sebuah LSM yang mengadvokasi LGBT menilai bahwa masyarakat masih mengalami homophobia dan masih melekat dalam cara berfikir para pengambil kebijakan publik.91 Kebijakan yang terkait dengan hak-hak LGBT cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT, serta mengungkapkan dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV. Namun secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh para aktivis Islamis garis keras dan preman92. Sementara orang LGBT yang tergolong gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semenamena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan. Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah 91 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16815/hukum-­‐tak-­‐mampu-­‐hilangkan-­‐homophobia diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 12:43. 92 Dalam KBBI Preman adalah sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras dan lain sebagainya) 67 tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan SOGI yang beragam mungkin mendapat sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga. Terkait dengan sikap penerimaan yang kontras oleh masyarakat terhadap kelompok LGBT penulis melihat terdapat beberapa daerah di Indonesia yang memiliki penerimaan yang lebih baik terhadap kelompok SOGI. Banyak aliran kepercayaan di antara suku-suku asli Kalimantan dan Sulawesi menyertakan peran iman atau dukun yang melibatkan praktek kedi (transvestisme)93 atau setidaknya menerima perilaku transgender. Homoseksualitas pria yang diritualkan juga ditemukan dalam praktek keagamaan melanesia94 di Papua dan sejumlah masyarakat di daerah lain. Dengan masuknya agama kristen dan islam, sebagian besar praktek tersebut kemudian dibungkam atau didorong ke bawah permukaan.95 93 Transvestisme adalah kenikmatan seksual yang berasal dari berdandan atau menyamar dalam pakaian lawan jenis, dengan keinginan kuat untuk tampil sebagai anggota lawan jenis. 94 Orang Melanesia di Papua memiliki pengetahuan agama mencakup dunia sakral dan manusia Papua yang misteri. Mereka memiliki suatu pandangan dunia dan manusia memiliki erat hubungannya antara yang material dan spiritual. Mereka tidak memisahkan dan memilah-­‐memilah seperti yang sering dilakukan dalam Kekristenan Barat. Pandangan dunia orang Melanesia Papua mencakup yang material dan spiritual, yang sekuler dan sakral, dan keduanya berfungsi bersama-­‐ sama. 95 Anonim, op.cit, hlm 30 68 Penulis akan membahas penerimaan terhadap kelompok SOGI yang dikaji dari sudut kebudayaan, dan kebudayaan yang diangkat adalah kebudayaan yang berada dari beberapa daerah suku Bugis di Sulawesi Selatan. Sejak abad ke-16 berdasarkan sumber-sumber Portugis dapat diketahui bahwa paling tidak sejak abad tersebut Bissu merupakan penghubung antar umat manusia dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan mistis dari makhluk kahyangan serta Bissu adalah wanita adam (wadam) yang biasanya berperilaku homoseksual. Pada bagian selanjutnya penulis akan memaparkan tentang Bissu, Calabai dan Calalai yang berperilaku homoseksual dan termasuk dalam kelompok SOGI sehingga pembaca mampu mengetahui bagaimana gambaran penerimaan masyarakat zaman dahulu kala terhadap kelompok SOGI yang sudah sejak lama ada. 1. Bissu, Calalai dan Calabai pada Suku Bugis di Sulawesi Selatan Transisi masyarakat Bugis dari era tradisional ke modern sebenarnya melawati proses panjang dan kompleks. Banyak unsur kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru meskipun tetap ada jejak kesinambungan dengan masa silam dan kini menjadi 69 bagian dari kebudayaan Bugis modern, namun ada pula unsur-unsur budaya zaman lampau yang sudah lenyap lama sekali. Selanjutnya, objek-objek, norma dan pola-pola perilaku yang sama sekali baru telah dan masih terus muncul menggantikannya. Sebagian besar di antaranya tidak lagi berkaitan dengan ciri khas orang Bugis dan hanya merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud Sulawesi Selatan, keindonesiaannya, dan Asia Tenggara. Benang-benang budaya aneka warna tersebut kemudian tersulam menjadi layar pancawarna yang melatar belakangi budaya masyarakat Bugis dewasa ini. Dalam masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat lain di dunia, lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masingmasing. Namun, pada hakekatnya orang Bugis tidak menganggap lakilaki maupun perempuan lebih dominan satu sama lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan kecenderungan sosial dalam perilakuan individu umumnya96. Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral mereka, di mana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki maupun perempuan mempunyai peran sejajar walaupun berbeda dalam 96 Christian Pelras, 2006, Manusia Bugis, Nanar dan Forum Jakarta Paris, Jakarta, hlm.185. 70 kehidupan sosial. Perbedaan inilah yang menjadi dasar kemitraan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.97 Pada zaman La Galigo, Bissu dapat dikatakan memiliki posisi di luar sistem kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta, dukun, serta ahli ritual trance (kemasukan oleh roh), yang dalam bahasa Bugis disebut a’soloreng. Mereka merupakan penghubung antara umat manusia dengan dunia dewata, serta memiliki pasangan mistis dari makhluk kahyangan. Berdasarkan sumber-sumber Portugis yang ditulis pada abad ke-16 dapat diketahui bahwa paling tidak pada abad itu, bissu adalah wadam dan biasanya berperilaku homoseksual. Suatu hal yang sangat mengejutkan bagi orang Portugis, karena pada masa itu, di Eropa, orang yang diketahui melakukan kegiatan homoseksual akan dibakar hidup-hidup. Sementara di sini, mereka justru dijadikan pendeta. Naskah La Galigo sendiri tidak memberi petunjuk apakah “jenis kelamin” para bissu memang sudah demikian halnya sejak dahulu kala. Dari nama-nama bissu juga tidak bisa diketahui apakah mereka lahir sebagai perempuan atau laki-laki. Dalam beberapa kasus tertentu, terdapat pula bangsawan yang 97 Ibid,hlm.97 71 menjadi bissu, misalnya saudara kembar Sawerigading yaitu We Tenriabeng dan seorang anak perempuannya, We Tenridio.98 Menjadi seorang bissu sering kali bukan menjadi pilihan, tetapi merupakan panggilan makhluk gaib yang kelak akan menjadi “mempelai gaib” sang bissu. Bahkan para bissu, laki-laki maupun perempuan, meski dalam kehidupan sehari-hari mempunyai pasangan, kelak tetap saja akan memiliki dua pasang gaib, satu perempuan dan satu laki-laki. “Panggilan gaib” untuk menjadi bissu sering ditandai oleh suatu gejala psikosomatis seperti tiba-tiba menjadi bisu ataupun tiba-tiba tidak sadarkan diri sehinggah membutuhkan penyembuhan ritual. Setelah itu, diikuti dengan tahapan berikutnya, yakni masa pembimbingan oleh seorang bissu pembimbing, dan diakhiri dengan upacara pelantikan seorang bissu baru, sebagai mana banyak digambarkan pada sejumlah teks La Galigo. Hingga kini, sebagaian besar ritual tersebut masih dijalankan oleh kaum bissu.99 Banyak upacara yang dipimpin oleh para bissu digambarkan dalam teks La Galigo. Upacara yang paling banyak dibicarakan dalam teks La Galigo adalah hal-hal yang berkaitan dengan upacara perkawinan dan kelahiran anak. Hal ini mungkin bukan suatu kebetulan belaka, karena lewat perkawinan dan kelahiran anak, “darah 98 Ibid. Ibid. 99 72 putih”100 yang diterima dari dewata dijaga kemurniannya, dilestarikan dan diwariskan turun-temurun di muka bumi. Maka hingga kini bangsawan Bugis menggunakannya sebagai acuan dalam menentukan aturan upacara-upacara untuk kalangan lapisan atas. Oleh karena itu, agaknya masuk akal jika disimpulkan bahwa ceritacerita tersebut memang sengaja ditulis untuk dijadikan contoh tentang apa yang harus dilakukan dalam upacara tersebut. Cerita mengenai ritual-ritual lain, termasuk yang dilakukan kalangan biasa, sebagian dilakukan secara turun-temurun lewat tradisi lisan.101 Dari pemaparan diatas dan penelitian lapangan di daerah Bone dan Segeri, Sulawesi Selatan penulis menarik kesimpulan bahwa masih ada beberapa daerah di Bugis yang menentukan jadwal panen, atau penetuan tanggal untuk merayakan upacara-upacara adat berdasarkan saran dari bissu, padahal masyarakat mengetahui bahwa bissu berperilaku homoseksual dan itu adalah salah satu bentuk penerimaan oleh masyarakat yang masih mempercayai keahlian dari seorang bissu. Membicarakan gender orang Bugis tidak akan pernah lengkap tanpa membahas keberadaan dan peran penting yakni Calabai102 dan 100 Darah putih ( Darah Takku’) adalah tumbuhan yang menyerupai kaktus, dari jenis Euphorbiacae. Darah putih juga diartikan derajat kebangsawan yang menjelaskan silsilah garis keturunan dari leluhur dewata. 101 Christian Pelras, Loc.cit. 102 Jenis kelamin ketiga. Calabai yang secara etimologis berarti ‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah laki-­‐laki yang bertingkah laku seperti perempuan. 73 Calalai.103 . James Brooke juga menyinggungnya dalam jurnal perjalanan ke Wajo pada 1840:104 “ Kebiasaan paling aneh yang saya temukan adalah adanya lelaki berpakaian seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki; bukan hanya untuk sementara waktu, tetapi seumur hidup berprilaku seperti jenis kelamin yang mereka tiru itu. Tampaknya, ada kecenderungan di kalangan orang tua anak laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak tersebut kepada salah seorang raja, di mana dia akan mengabdi. Biasanya, anak lelaki ini kemudian akan banyak berpengaruh dan menjadi orang kepercayaan tuan mereka.” Calabai ada di hampir semua kampung Bugis, tampil baik dalam pakaian perempuan penuh atau sebagian saja. Mereka juga terlibat dalam semua pekerjaan perempuan, seperti memasak, menumbuk padi, atau mencuci pakaian. Meskipun, jika berbicara tentang mereka sebagaian anak muda akan tersenyum simpul dan ulama aliran keras mengancam, tetapi dari sudut pandang umum betul-betul mengherankan betapa mereka sebenarnya diterima baik oleh masyarakat dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Bahkan sebagian besar anggota masyarakat manaruh hormat kepada mereka. Kebanyakan Calabai tinggal bersama orang tuanya atau saudara 103 Jenis kelamin ke empat. Calalai yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah perempuan yang bertingak laku seperti laki-­‐laki 104 Christian Pelras, Loc.cit. 74 perempuannya yang sudah menikah, sebagian lagi hidup sendiri. Ada pula yang hidup satu atap dengan lelaki muda, dan meski seks tabu dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat Bugis. Biasanya pasangan Calabai adalah lelaki normal, bahkan sebagian di antaranya kemudian kawin dan beranak pinak. Calabai yang hidup sendiri umumnya dipandang impoten. Hidup sendiri, mungkin juga merupakan pilihan hidup untuk berpantang seks guna menghindari perbuatan yang dianggap dosa dalam Islam atau untuk menambah kekuatan magis lewat jalan asketisme.105 Berpantang seks biasanya juga dijadikan oleh pria heteroseksual setegah baya untuk tujuan sama.106 Pada periode yang sama, orang homoseksual yang dikeramatkan juga terdapat di Jawa, pada kaum shaman Bare e di Sulawesi Tengah, Bali, Dayak, dan penduduk asli Taiwan, serta Philipina, dan Polonesia.107 Tidak semua bissu itu adalah Calabai dan hanya sedikit Calabai yang menjadi bissu. Mungkin kondisi ambivalen108 mereka yang menyebabkan Calabai dikeramatkan. Sehubungan dengan 105 Kehendak atau kecenderungan menghindari dari kenyataan dengan mencari hiburan dan kententraman di dalam khayal atau situasi rekaan (KBBI) 106 Christian Pelras, Op.cit.hlm.189. 107 Ibid. 108 Ambivalensi merupakan keadaan perasaan yang terjadi secara bersamaan yakni, antara perasaan yang bertentangan terhadap seseorang. Ambivalensi dialami dan dirasakan secara psikologis oleh seseorang dengan perasaan yang tidak menyenangkan ketika aspek-­‐aspek positif dan negatif hadir di dalam pikiran seseorang di waktu yang sama. 75 perkembangan zaman bissu asli sudah hampir lenyap, maka kebanyak Calabai biasanya menjalankan peran mereka sebelumnya dalam hal penyelenggaraan dan perayaan pesta perkawinan. Mereka disewa untuk mengurus masalah-masalah praktis seperti dekorasi rumah, masak-memasak, dandan dan pakaian pasangan pengantin, serta sewa hiasan dan pernah pernik kedua mempelai dan rombongan-rombongannya. Sering kali mereka juga akan melaksanakan acara-acara ritual tradisional selaku indo-botting.109 Aktivitas ini menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar calabai dan membuat sebagian mereka hidup berkecukupan. Potensi ini menjelaskan mengapa ketika seorang anak lelaki mulai menunjukan tanda-tanda sikap feminim, seperti bermain permainan anak perempuan atau berpakaian seperti perempuan, banyak orang tua tidak menghalanginya. Calabai bersikeras bahwa mereka bukan sekedar lelaki yang ingin berubah menjadi perempuan, dan tidak ada yang berkeinginan untuk menjalani operasi perubahan kelamin. Mereka mengatakan bahwa mereka menikmati kemampuan mereka menggabungkan maskulin yang dibawah sejak lahir dangan feminisme yang baru disadari setelah berangkat remaja. Mereka pun menegaskan adanya keturunan dan sifat agresif kaum lelaki sejalan dengan sifat feminim 109 Orang tua pengantin. 76 kaum perempuan yang mereka miliki. Mereka bebas bergaul, baik dengan laki-laki maupun perempuan, tetapi mereka harus mematuhi larangan hubungan seksual dengan perempuan. Pada abad ke-16 bissu calabai yang terbukti melakukan hubungan seks dengan perempuan akan dihukum mati dengan merebusnya hidup-hidup dalam gala atau minyak mendidih.110 Calalai juga ada yang hidup dengan perasaan perempuannya. Mereka melakukan hubungan seks (konon) dengan bantuan semacam alat kelamin lelaki terbuat dari usus hewan yang diisi lilin. Jumlah mereka lebih sedikt dibandingkan calabai, dan tingkat toleransi masyarakat juga jauh lebih rendah terhadap mereka. Mereka hanya memiliki status individual sebagai anggota masyarakat biasa, dan tidak memperoleh peran sosial atau ritual, meskipun dalam perkembangannya pernah juga ada penguasa dari kaum calalai.111 2. Laporan pengaduan tindakan diskriminasi dan kekerasan pada LGBT di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Penulis telah menghimpun data terkait pengaduan LGBT di Komnas HAM pada tahun 2013-2014, data terkait pengaduan LGBT di Komnas HAM didapatkan di bagian pengaduan Komnas HAM. Pihak Komnas HAM memberikan data rahasia tetapi identitas pelapor 110 Christian Pelras, op.cit, hlm.192 Ibid. 111 77 tidak dicantumkan dalam data yang diperoleh untuk menjaga kerahasian pelapor. Dari data yang diperoleh terdapat 5 (lima) kasus pengaduan isu LGBT di Komnas HAM pada tahun 2013-2015 yang diadukan oleh beberapa oraganisasi LGBTIQ yaitu terkait perihal penyampaian informasi tindak lanjut penanganan kasus pembubaran pentas budaya, audiensi penyampaian berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi dalam ruang publik yang dialamin oleh LGBTIQ serta tuntutan persamaan hak sebagai warga negara Indonesia dalam rangka peringatan hari mengenang kekerasan dan diskriminasi terhadap transgender se-dunia, penyampaian klarifikasi dan tindak lanjut pelayanan kasus penyerangan aksi damai transgender day of remembrance 2014 di tugu Yogyakarta, pemberitahuan proses perkembangan penanganan kasus penyerangan pasca aksi damai transgender day of remembrance 2014 dan diskusi penyampaian oleh jaringan GWL-INA terkait rekapitulasi kasus pelanggaran HAM LGBT di Indonesia. Laporan-laporan tersebut dilaporkan oleh organisasi LGBTIQ Indonesia, peserta aksi damai transgender day of remembrance 2014 dan kaun Transgender/LGBT itu sendiri, sedangkan pihak yang diadukan adalah Polda Metro Jaya, Pemerintah Republik Indonesia, 78 Polda DI Yogyakarta dan penyidik Polresta Yogyakarta. Adapun tindakan yang dilakukan oleh pihak yang diadukan adalah pembubaran paksa pentas budaya di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan yang diadakan oleh kurang lebih 800 Waria yang tergabung dalam Forum Komunikasi Waria Indonesia yang selanjutnya disingkat FKWI. Kegiatan ini dibubarkan paksa oleh Forum Pembela Islam yang selanjutnya disingkat FPI bersama Polda Metro Jaya dengan alasan tidak mengantongi izin keramaian dari kepolisian dan mendapatkan penolakan dari masyarakat. Padahal FKWI sebelumnya sudah mengirimi dan membayar biaya untuk penyewaan gedung untuk kegiatan pentas kesenian tari-tarian dan pakaian adat dengan tujuaan pembinaan positif untuk kelompok waria. Banyak pihak mengecewakan aksi Polri yang mengakomodasi tuntutan FPI yaitu Arus Pelangi, LBH Jakarta, FKWI dan Forum LGBTIQ Indonesia.112 Organisasi yang melaporkan kasus tersebut meminta hak mereka yaitu hak atas kebebasan pribadi termasuk hak atas keutuhan pribadi113, hak atas keyakinan politik dan kebebasan 112 http://berita9.com/2012/12/05/pembubaran-­‐paksa-­‐pentas-­‐budaya-­‐waria-­‐dinilai-­‐melanggar-­‐ ham/diakses pada tanggal 16 januari 2016 pukul 14:55 113 Pasal 7 ICCPR dan Pasal 21 UU No.39 Tahun 1999 79 berpendapat114, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat115, hak menyampaikan pendapat di muka umum116. Tindakan selanjutnya yang dilaporkan pada Komnas HAM adalah tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia perihal audiensi penyampaian berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi dalam ruang publik yang dialami oleh LGBTIQ serta tuntutan persamaan hak sebagai warga negara Indonesia kekerasan dan dalam rangka diskriminasi peringatan terhadap hari transgender mengenang se-dunia, organisasi LGBTIQ Indonesia meminta Republik Indonesia untuk menjamin hak atas rasa aman, tentram dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuatu sesuatu. Peserta aksi damai transgender day of remembrance 2014 juga menuntut hak atas kebebasan pribadi, mendirikan parpol, LSM atau organisasi lainnya atas kasus dalam tindak lanjut penyerangan aksi damai transgender day of remembrance 2014 di Yogyakarta yang dilakukan oleh Polda Yogyakarta. Masih dalam kasus yang sama laporan selanjutnya ditujukan kepada Penyidik Polresta Yogyakarta 114 Pasal 19 DUHAM, Pasal 19 (1) ICCPR, Pasal 28 E (2) UUD 1945 dan Pasal 23 (1) UU No.39 Tahun 1999. 115 Pasal 20 (1) DUHAM, Pasal 21 ICCPR, Pasal 28 dan 28E UUD 1945, Pasal 24 (1)(2) UU No. 39 Tahun 1999. 116 Pasal 19 ICCPR, Pasal 28 dan 28E UUD 1945, Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999. 80 atas penyidikan yang sangat lambat dan kaum LGBT yang menjadi korban dalam kegiatan trangsender day of remembrance 2014 meminta hak memperoleh keadilan karena melihat kesewenangwenangan proses hukum di kepolisian/militer/PPNS. Organisasi LGBTIQ Indonesia juga meminta Pemerintah Republik Indonesia menjamin hak atas rasa aman, tentram dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuatu sesuatu. Selain data yang didapatkan dari bagian pengaduan Komnas HAM, penulis juga mengumpulkan data penyataan sikap atau press release terkait tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT di Indonesia, yang sebagian besar melanggar HAM dan tidak sesuai dengan perlindungan atau perlakuan dalam menghargai HAM seseorang. press release yang diedarkan oleh arus pelangi terkait penyerangan paksa aksi transgender day of remembrance 2014 di Yogyakarta pada tanggal 20 November 2014. Peringatan transgender day of remembrance dilaksanakan untuk mengenang para transgender yang dibunuh karena hate crime atau kejahatan yang berbasis kebencian, melihat Indonesia memiliki tingkat 81 kekerasan yang tinggi pada transgender. Acara tersebut mendapat kekerasan dari sekelompok masyarakat. Korban dari kekerasan tersebut diinisialkan namanya sebut saja Al, Fa,Ha, Mus dan Ber. Al dikerasi saat mengendarai sebuah motor kemudian rambutnya ditarik, motornya ditendang dan kepalanya dipukul dengan bambu oleh tiga orang asing yang mengaku sebagai polisi, sedangkan Ber yang bersama Al pada saat itu dipukul dibagian kepala belakang, pinggang dan lengan. Saat berusaha kabur bersama Fa, motor Ber dan Fa ditarik oleh pelaku untungnya motor tersebut tidak sampai jatuh. Disaat yang sama Mus yang dituduh sebagi pimpinan aksi, ditendang sampai jatuh dan dipukuli oleh lebih dari satu orang pelaku. Ha juga terjatuh dan dipukuli oleh 2-3 orang menggunakan bambu dan tangan kosong, kepalanya nyaris diinjak dan helm Ha pecah. Kejadian ini jelas mencederai semangat transgender day of remembrance, HAM, kebhinekaan dan tentu saja jauh dari citra Yogyakarta yang berhati nyaman. Penyerangan seperti ini terlalu sering terjadi di kota Yogyakarta, kasus LKIS tahun 2012, kasus Sapta Dharma, penyerangan warga yang sedang beribadah. Parahnya meski kasus-kasus tersebut telah dilaporkan, hinggah kini sama sekali belum ada kejelasan atas penyelesaiannya. 82 Penulis juga akan menampilkan beberapa pengakuan dari para transgender terkait tindakan diskriminasi dan kekerasan dalam peringatan hari mengenang kekerasan dan diskriminasi terhadap transgender se-dunia yang dihimpun oleh arus pelangi dan dikemas dalam sebuah video yang diunggah di Youtube.117 Video tersebut menggambarkan curahan hati para transgender atas rasa kesedihan yang sangat dalam karena tindakan diskriminasi dan kekerasan yang tidak manusiawi yang dilakukan kepada para transgender di Indonesia. Contohnya pada maret 2012, tiga orang waria pekerja seks terbunuh di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Pada jasad mereka ditemukan timah panas yang diduga milik oknum kepolisian. Kemudian pada 29 Oktober 2005, waria Vera terbunuh di Purwokerto, Jawa Tengah. Terdapat bekas tusukan dan penganiayaan dijasad tersebut, waria Elly Susana ditemukan meninggal secara mengenaskan di kali Cideng, Gambir, Jakarta Barat pada 17 November 2007, selain itu pemukulan waria Gina di Yogyakarta juga sangat begitu menyedihkan yang dilakukan pada 1 Maret 2008, kota Makassar pun sempat dikejutkan dengan berita waria Memey dibusur di Makassar oleh sekelompok anak muda yang mengendarai sepeda motor didepan Rumah Sakit Pelamonia 117 https://www.youtube.com/watch?v=VM01YLiby8I ditonton pada tanggal 16 Januari pukul 14:00 WITA 83 Makassar pada dini hari usai melakukan sosialisasi LGBT pada 27 Agustus 2012, pada 10 Maret 2010, waria Shakira Harahap terbunuh di taman Lawang, Jakarta. Jasadnya ditemukan peluru yang diperkirakan milik okmun kepolisian dan pada 17 Juni 2013, waria bernama Ayu Basalamah ditemukan terbunuh di salonnya di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Selain menceritakan kesedihan akibat kekerasan dan diskriminasi terhadap rekan waria mereka, para waria dalam video tersebut menyampaikan pesan “kami ada, kami sama, jangan diperlakukan berbeda, transgender warga negara Indonesia dan punya hak yang sama”. Penulis juga telah melakukan pendekatan di lapangan terkait kehidupan transgender di kota Makassar dan menggunakan beberapa titik lokasi seperti salon kecantikan, bar, tempat hiburan malam, bahkan di tempat keramaian. Banyak hal yang membuat penulis bergelinang air mata mendengarkan cerita hidup kelompok transgender ketika tuntutan hidup yang keras membuat mereka mencari penghasilan dengan cara yang sebenarnya mereka tidak sukai tetapi keterbatasan skill dan kepercayaan dari masyarakat membuat ruang gerak mereka terbatas. Walaupun ada transgender yang mempunyai skill tetapi penerimaan baik perusahaan, instansi 84 pemerintah dan lain sebagainya sangat kurang merespon kehadiran transgender bahkan tidak sedikit yang masih mengalami transphobia. Hal tersebutlah yang terkadang membuat kelompok transgender hidup dalam keterbatasan. Selanjutnya penulis akan menjawab rumusan permasalahan kedua dalam skripsi ini tentang bagaimana perlindungan HAM terrhadap SOGI berdasarkan regulasi hukum nasional dan hukum internasional. B. Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Kelompok Orientasi Seksual dan Identitas Gender di Indonesia Bedasarkan Regulasi Hukum Nasional dan Hukum Internasional. 1. Regulasi Hukum Nasional Sebelum penulis memaparkan regulasi hukum nasional terkait perlindungan HAM kepada kelompok SOGI, penulis akan memaparkan terlebih dahulu Peraturan PerundangUndangan di Indonesia yang terkait batasan-batasan hak yang secara tidak langsung maupun langsung ditujukan kepada kelompok SOGI. Perlu diketahui sebelumnya bahwa Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan pada tahun 1983 mengubah klasifikasi homoseksual dalam 85 Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan Jiwa (PPDGJ), maka dari itu homoseksual bukan gangguan jiwa seperti stigma yang telah lahir di masyarakat. Dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos No.8/2012) diatur tentang orang yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Diantaranya mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, yaitu waria, pria gay dan wanita lesbian. Solusi untuk hal ini secara kurang jelas disebut sebagai “rehabilitasi”. Penyusunan peraturan ini tampaknya dilakukan tanpa berkonsultasi dengan orang-orang yang dimaksudkan untuk dibantu dalam ketentuan tersebut. Selain itu masih belum jelas pula tentang pelaksanaannya. Yang sering terjadi dibanyak tempat adalah pelaksanaan razia terhadap orang-orang seperti itu, yang kemudian dikirim ke pusat-pusat rehabilitasi yang melakukan pembinaan bagi mereka untuk berintegrasi ke dalam masyarakat.118 Orang-orang yang dianggap gelandangan (seperti tunawisma, pekerja seks yang berpraktek di jalanan dan waria yang berkeliaran malam hari dijalanan dan taman 118 Anonim, op.cit, hlm 28 86 umum) secara teratur terjaring dalam razia sebelum penyelengaraan acara-acara besar atau dalam rangka penertiban kartu tanda penduduk yang selanjutnya disingkat KTP. Para waria, yang sering disamaratakan dengan pekerja seks wanita (beberapa mungkin diantaranya lesbian), dan pria gay yang gender non-conforming (tidak menyesuaikan peran gendernya), seringkali menjadi obyek dari program-program semacam ini, yang dapat melibatkan perlakuan buruk, baik fisik, seksual maupun verbal, serta praktek pemerasan.119 Peraturan undang-undang Indonesia hanya menetapkan dua gender saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita dalam undang-undang perkawinan (UU No.1/1974) dan ketentuan serupa mengenai isi KTP yang ditetapkan dalam undang-undang administrasi kependudukan (UU No.23/2006). Ketentuan ini bagi orang transgender menjadi masalah karena perbedaan antara pernyataan gender dengan penampilan mereka dapat menyulitkan dalam hal memperoleh layanan jasa, melakukan perjalanan, mengurus izin usaha dan lain sebagainya. Kadang-kadang, berkat 119 Loc.cit. 87 hasil advokasi organisasi transgender atau layanan penanggulangan Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS, pemerintah daerah bisa memberikan dispensasi, meskipun hal tersebut tidak selalu memungkinkan dan dapat berubah sewaktu-waktu. 120 Di rumah sakit rumah sakit besar, bayi interseks yang lahir dengan alat kelamin yang jelas terlihat meragukan, seringkali menjalani operasi perbaikan apabila orang tuanya mampu. Konsultasi dilakukan dengan tokoh atau pejabat agama, padahal mereka minim pengetahuan tentang interseks sehinggah tidak banyak membantu. Mereka yang memiliki indikator kelamin yang tidak begitu jelas baru berkonsultasi pada layanan kesehatan setelah mereka dewasa dan mengalami kesulitan dalam menentukan identifikasi gender.121 Walaupun tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang pengungkapan dan penampilan gender yang berlawanan, ada beberapa kasus dimana orang mengubah gendernya dalam dokumen pribadinya biasanya 120 Anonim, op.cit, hlm 24 Ibid, hlm.25. 121 88 dengan maksud untuk menikah, mereka kemudian dituntut dan dihukum dengan tuduhan pemalsuan identitas.122 Terdapat kemungkinan bagi orang yang telah menjalani operasi perubahan kelamin untuk mengajukam perubahan gender di pengadilan. Hal ini berdasarkan yurisprudensi putusan pengadilan dalam kasus perubahan gender secara legal atas seorang transeksual pria menjadi wanita, yaitu Vivian Rubianti (lahir dengan nama Iwan Rubianto pada tahun 1973)123 Hubungan seks suka sama suka antara orang dewasa (dalam undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002 ditetapkan sebagai umur 18 tahun) yang memiliki jenis kelamin atau gender yang sama tidak dianggap melanggar pasal pidana dalam KUHP, yang sebagian besar merupakan adaptasi dari Wetboek Van Strafrech Voor Nederlands Indie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda).124 Terdapat lima pengecualian yang menganggap homoseksual sebagai tindakan yang melanggar peraturan daerah setempat :125 122 Ibid, hlm.26 Ibid. 124 Ibid. 125 Ibid. 123 89 1. Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat (No. 13/2002) di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks oleh laki-laki (tanpa menyebutkan apakah bersifat penetratif atau menerima) sebagai perbuatan tidak bermoral, sebagaimana halnya prostitusi, perizinahan, perjudian konsumsi minuman dan beralkohol. 2. Perda Kota tentang Pemberantasan Pelacuran (No. 2/2004) di Palembang, ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini serupa dengan perda Provinsi, hanya menggunakan istilah “pelacuran” dan bukan “maksiat”. 3. Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat (No. 10/2007) di Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Perda ini dalam menyebutkan heteroseksual definisinya perbuatan yang “tidak tentang “pelacur” homoseksual normal” dan (disamping perbuatan yang “normal”). Tidak ada penjelasan tentang apa yang merupakan perbuatan “normal” atau “tidak normal”. Perda ini juga melarang pembentukan organisasi “yang mengarah kepada 90 perbuatan asusila” yang tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat setempat. Hal ini kemudian dijelaskan dengan menyebutkan contoh organisasi lesbian, gay dan sejenisnya. 4. Perda Kota tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat (No.12/2009) di Tasikmalaya, Jawa Barat. Perda ini melarang perzinahan dan pelacuran, baik heteroseksual maupun homoseksual. 5. Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial (No. 9/2010) di Pandang Panjang, Sumatera Barat. Bagian definisi istilah secara tegas menyebutkan hubungan “homoseksual dan lesbian” dan selanjutnya hubungan tersebut melarang orang yang “menawarkan diri untuk terlibat dalam hubungan homoseksual maupun lesbian, baik dengan atau tanpa menerima upah”. Empat perda pertama di atas hanya mengatur secara samar-samar tentang hukuman atas perbuatan asusila tersebut. secara umum disebutkan tentang “ketentuan perundang- 91 undangan yang berlaku”, yang dimaksud sebagai perundangundangan nasional. Namun Perda kelima secara tegas menetapkan hukuman bagi berbagai perbuatan asusila tersebut setinggi-tingginya tiga bulan penjara atau denda sebesar Rp. 10.000.000.126 Terdapat Perda lain tentang perbuatan asusila yang telah disahkan oleh DPRD Provinsi Nanggroeh Aceh Darussalam pada tahun 2009,127 yang memidanakan seks atas dasar suka sama suka oleh pria dewasa dan wanita dewasa, namun rancangan Perda ini belum ditandatangani oleh Gubernur Provinsi tersebut.128 Menarik untuk diperhatikan bahwa waria (wanita transgender) sama sekali tidak disebutkan dalam Perda-Perda tersebut. Hal ini tampaknya menjadi konsekuensi logis dari asumsi keberadaan hanya dua gender saja dalam undangundang negara. Menurut undang-undang Republik Indonesia mereka tetap saja disebut pria.129 126 Ibid, hlm.26. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah khusus yang secara resmi menjalankan pemerintahan bedasarkan syariah Islam 128 Anonim, op.cit, hlm 27 129 Ibid. 127 92 Undang-undang Pornografi (UU No.44/2008) memasukan istilah “persenggaman yang menyimpang” sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain persenggaman atau aktifitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbi dan homoseksual. Meskipun larangan berlaku terhadap produksi dan penyebaran pornografi, undang-undang ini dipahami oleh banyak pria gay dan wanita lesbian sebagai hukum yang memidanakan hubungan homoseksualitas. Sekali lagi, cukup menarik karena bahwa kaum transgender tidak disebutkan dalam aturan di atas. 130 Peraturan Pemerintah No. 54/2007 tentang Adopsi Anak secara tegas menetapkan bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Adopsi untuk orang yang belum kawin tidak diperkenankan.131 Dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang HAM (UU.No 39/1999) terdapat jaminan perlindungan terhadap praktek diskriminasi atas dasar apapun. Demikian pula, Undang-Undang Tenaga Kerja (UU.No 13/2003) melarang 130 Ibid. Ibid. 131 93 diskriminasi dalam hubungan kerja. Namun hal ini sangat sedikit diketahui di lingkungan komunitas LGBT, dan belum pernah diterapkan di pengadilan dalam perkara yang menentang diskriminasi terhadap kelompok LGBT.132 Komisi Penyiaran Indonesia yang selanjutnya disingkat KPI dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran tahun 2012 melarang program yang meng-stigmatisasi orang yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender tertentu. Cukup beralasan untuk percaya bahwa aturan tersebut merupakan hasil advokasi organisasi-organisasi LGBT yang berkampanye melawan program yang mengstigmatisasi orang LGBT dan orang-orang yang mengekspresikan non konformitas dalam hal gender.133 Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) secara tegas mendefinisikan perkawinan sebagai pemersatu antara seorang pria dan seorang wanita. Belum ada usaha yang dilakukan oleh aktivis LGBT untuk menuntut reformasi undangundang tersebut. Tetapi ada pernyataan dari Menteri Agama 132 Ibid. Ibid. 133 94 dan mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama yang menentang reformasi hukum semacam itu.134 Selanjutnya penulis akan memaparkan perlindungan HAM kepada semua manusia termaksud kelompok SOGI berdasarkan regulasi hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Tabel 1. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak atas Kebebasan Pribadi No. 1. Kelompok Hak Atas Kebebasan Pribadi Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba dan larangan perdagangan wanita UUD 1945 Dalam UUD 45 perbudakan dan perdagangan budak tidak diatur UU 39/1999 Pasal 20 (1) tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. (2) perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita dan segala perbuatan apapun yang tujuannya serupa, dilarang UU LAINNYA Pasal 324 KUHP barang siapa dengan ongkos sendiri atau ongkos orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuatan perniagaan budak belian atau dengan sengaja turut campur dalam segala sesuatu, baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun 134 Ibid. 95 2. Hak atas keutuhan pribadi 3. Hak atas keyakinan politik dan kebebasan berpendapat. 4. Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat Pasal 28E (2) setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani Pasal 28 kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undangundang Pasal 28 E (3) setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 21 setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani dan oleh karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Pasal 23 UU Pemilu (1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. (UU No 12 tahun 2003) (2) setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Pasal 24 (UU No 31 tahun 2002) (1) setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat dan berserikat untuk maskud-maksud damai (UU No 12 tahun 2002) (2) setiap warga negera atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaran negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan peraturan perundangundangan. (UU No 17 tahun 2013) UU Partai Politik UU Ormas (UU No 17 tahun 2013) UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU No 9 tahun 1998) UU Partai Politik UU Ormas UU Ketenagakerjaan (UU No 13 tahun 2003) 96 5. Hak menyampaikan pendapat dimuka umum dan hak mogok Dalam UUD 45 hak mogok tidak diatur. Sementara itu hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, termasuk dalam pasal 28 dan 28E seperti yang telah disebutkan di atas. UUD 45 tidak memisahkan bentuk-bentuk penyampaian pendapat dalam pasal yang berbeda seperti dalam UU No 39 tahun 1999 yang meletakkannya pada pasal 23 dan 25. Pasal 25 setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. UU No 9 Tahun 1998 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 137-149 Tabel 2. Perundang-Undangan Nasional tentang Hak atas Rasa Aman No 1. Kelompok Hak Atas Rasa Aman Hak untuk mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain UUD 1945 Pasal 28 G (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain UU 39/1999 UU LAINNYA Pasal 28 (1) Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. (2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan BangsaBangsa. 97 2. 3. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat dan hak miliknya hak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada Pasal 28 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi Pasal 29 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya Pasal 28 D Pasal 29 (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (antara lain pasal 338,339, 340) kejahatan terhadap tubuh misalnya penganiayan (pasal 351-356) kejahatan terhadap kesusilaan, misalnya permerkosaan (pasal 285) Pasal 28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan 98 hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 4. 5 hak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu Pasal 28 G Pasal 30 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asas Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. hak untuk tidak diganggu tempat kediamannya Pasal 28 G Pasal 31 (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan (1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu. KUHP, Pasal 368, 48 tentang daya paksa KUHP, Pasal 167 tentang memaksa masuk rumah tanpa hak (2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam halhal yang telah ditetapkan 99 dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asas 6 7 hak untuk bebas dan menjaga rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk komunikasi melalui sarana elektronik. hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam , tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan oleh Undang-undang. Pasal 32 Pasal 28 G (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan suratmenyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 33 KUHP Pasal 234 pemalsuan merek dan materai UU No 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi pasal 22 dan pasal 56 UU RI No.5 tahun 1999 (1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya Pasal 28 I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak 100 untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 8 9 hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa hak untuk tidak ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenangwenang Pasal 28 I Pasal 33 (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa KUHP Pasal 328 penculikan Pasal 338 pembunuhan Pasal 340 pembunuhan berencana Pasal 34 Pasal 333 KUHP Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenangwenang Pasal 17-19 ketentuan tentang penangkapan Pasal 20-30 ketentuan tentang penahanan Pasal 77-83 ketentuan tentang pra pradilan 101 10 hak untuk hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram yang menghormati, melindungi dan melaksakan sepenuhnya HAM dan kewajiban dasar manusia Pasal 35 Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. 2. Regulasi Hukum Internasional Hak atas kebebasan pribadi yang disebut dalam satu pasal dengan hak atas rasa aman (security of person) dan hak hidup (rights to life) dalam DUHAM. Hak ini termasuk dalam HAM tertentu yang fundamental (basic rights) yang tidak dapat dipisahkan (inalienable) dari individu dan tidak dapat disubordinasikan, dikurangi, atau dikalahkan (underogable) oleh suatu kekuatan apapun oleh siapa pun 102 dan kapanpun. Disebut demikian, karena tanpa hak-hak ini pemenuhan penghormatan hak-hak lain tidak mungkin terjadi.135 Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) hak atas kebebasan pribadi disebutkan berbarengan dengan hak atas keamanan pribadi seperti tertera dalam pasal 9. Hak ini, dalam covenan itu, selalu dikaitkan dengan larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap individu adalah suatu bentuk pelanggaran nyata terhadap kebebasam individu. Hanya penangkapan dan penahapan yang dilakukan dengan alasan prosedur yang sesuai dengan hukum yang dapat mengecualikan kebebasan individu. Walaupun penangkapan dan penahanan dapat dibenarkan sepanjang itu sesuai dengan ketentuan hukum, setiap individu diberikan hak untuk diberitahukan alasan-alasan penangkapan atau penahanan berikut kejahatan yang dituduhkan terhadapnya. Lebih jauh juga, kovenan juga memberikan hak kepada individu guna meminta kepada pengadilan untuk menguji keabsahan penangkapan atau penahanan yang dikenakan terhadapnya. Jika penangkapan atau penahanan itu 135 Anonim, 2003, Hak Atas Kebebasan Pribadi dan Hak Atas Rasa Aman, Sentra HAM UI, Depok, hlm.3. 103 ternayata tidak sah, individu berhak atas kompensasi yang dapat diberlakukan. 136 Pada tataran multilateral, tahun 1948, Majelis Umum PBB memproklamirkan suatu penyataan umum tentang HAM yang juga secara eksplisit menyebutkan hak ini dalam pasal 3 Universal Declaration of Human Right. Dalam perkembangannya hak ini dijabarkan lebih lanjut lagi kedalam beberapa hak yang dituangkan dalam suatu instrument yang disebut international Covenant on Civil and Politic Rights, suatu bentuk perjanjian multilateral yang memuat tentang hak-hak sipil dan politik.137 Penulis pula akan menjabarkan jenis-jenis turunan dari hak atas rasa aman dan kebebasan pribadi yang merupakan bagian penting dalam perlindungan dan penegakan HAM secara universal, dan penulis akan menjabarkan hal tersebut bedasarkan regulasi hukum internasional. 136 Ibid, hlm.4. Ibid, hlm.5 137 104 Tabel 3. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak atas Kebebasan Pribadi NO 1 2 3 Kelompok Hak Atas Kebebasan Pribadi Hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba dan larangan perdagangan wanita DUHAM Pasal 4 Pasal 8 tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. Perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk harus dilarang (1) tidak seorang pun boleh diperbudak, perbudakan dan pedagangan budak dalam segala bentuk harus dilarang Hak atas keutuhan pribadi Hak atas keyakinan politik dan kebebasan berpendapat. ICCPR (2) tidak seorang pun diperbolehkan untuk diperhambakan Pasal 7 tidak seorang pun boleh dikenai penyiksaan atau perlakuan hukum yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorang pun tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah Pasal 19 Pasal 19 setiap orang berhak ataas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas-batas (wilayah) (1) setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan. (2) setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri (3) pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam ayat 2, pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab khusus. Oleh 105 karena itu dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukumm dan sepanjang diperlakukan untuk : a) menghormati hak-hak dan nama baik orang lain; b) melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum atau kesahatan atau kesusilaan umum. 4 Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat Pasal 20 Pasal 21 (1) setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai. Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak satupun pembahasan dapat dikenakan terhadap pelaksaan hak ini kecuali yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlakukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau kesusilaan umum atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain. (2) tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan 5 Hak menyampaika n pendapat dimuka umum dan hak mogok Dalam DUHAM hak mogok tidak diatur. Namun dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya Dalam ICCPR hak mogok tidak disebut. Tetapi diakui hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja; Sementara itu, hak menyampaikan pendapat dimuka umum sudah termasuk dalam pasal 19 seperti yang telah disebutkan di atas. DUHAM tidak memisah kan bentuk-bentuk penyampaikan pendapat dalam pasal yang berbeda seperti dalam UU No 39 tahun 1999 yang meletakannya pada pasal 23 dan 25. Setiap orang berhak untuk berserikat dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat pekerjaan untuk melindungi kepentingankepentingan sendiri. Sementara itu hak menyampaikan pendapat dimuka umum sudah termasuk dalam pasal 19 seperti yang telah disebutkan diatas. ICCPR tidak memisahkan bentuk-bentuk penyampaikan pendapat dalam pasal yang berbeda seperti dalam UU No 39 tahun 1999 yang meletakannya pada pasal 23 dan 25 Pasal 22 (1) 106 Tabel 4. Instrumen Hukum Internasional tentang Hak atas Rasa Aman No Kelompok Hak Atas Rasa Aman 1. Hak untuk mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain DUHAM Pasal 13 Pasal 12 (2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya. (2) Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri. Pasal 14 (3) Hak-hak di atas tidak boleh dikenai pembatasan apapun kecuali pembatasan yang ditentukan oleh hukum guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang sesuai dengan hakhak lain yang diakui dalam Kovenan ini. (1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran. (2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 12 2. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat dan hak miliknya ICCPR Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan suart-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. Pasal 17 (2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena. Pasal 17 (1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. (2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas. 107 3. 4. Hak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi dimana saja ia berada Hak untuk tidak diganggu tempat kediamannya Pasal 6 Pasal 16 Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada Pasal 7 Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini. Pasal 12 Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. Pasal 17 (1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. (2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas. 5. Hak untuk bebas dan menjaga rahasia dalam hubungan surat menyurat termasuk komunikasi melalui sarana elektronik. Pasal 12 Pasal 17 Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya dengan sewenangwenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini. (1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. (2) Setiap orang berhak atas 108 perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas. 6. Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam , tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan Pasal 5 Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina. Pasal 9 7. Hak untuk tidak ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenangwenang Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang Pasal 7 Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yangkeji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapatdijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Pasal 9 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasanalasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Pasal 10 (1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. 109 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Setiap warga negara Indonesia mempunyai kebebasan untuk menentukan standing position menanggapi kehadiran kelompok SOGI / LGBT di lingkungan sekitar, tetapi perlu diperhatikan walaupun posisi beberapa individu kontra dengan kehadiran SOGI/LGBT, kelompok SOGI/LGBT juga adalah manusia sama dengan yang lain sehingga hak-hak yang bersifat kodrati dan fundamental yang berasal dari Tuhan maupun pemerintah atau negara perlu dihargai dan tetap dijunjung tinggi tanpa ada diskriminasi dan kekerasan. Penerimaan masyarakat atas kelompok SOGI/LGBT beraneka ragam berdasarkan faktor budaya, adat istiadat, nilai-nilai pancasila, nilai-nilai keagamaan, kepercayaan mistis, dan lain sebagainya. Sebagai sesama umat manusia dan beragama tidak ada salahnya untuk memberitahukan hal yang baik dan benar kepada kelompok SOGI/LGBT terkait tindakan yang dialaminya. 110 2. Perlindungan atas SOGI terkait hak asasi manusia cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT namun secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh aktivis yang kontra terhadap LGBT. Sementara orang LGBT yang tergolong gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semena-mena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan. B. Saran 1. Komnas HAM sebagai suatu badan/lembaga yang melindungi HAM di Negara Republik Indonesia sebaiknya kepada melakukan upaya-upaya kelompok-kelompok pendekatan SOGI maupun masyarakat yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut agar tercipta kerukunan dan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam arti bukan melakukan stigma pro upaya atau pendekatan kontra untuk tetapi mengubah upaya untuk 111 menciptakan kedamaian tanpa adanya diskriminasi dan kekerasan yang lahir. 2. Para pengambil kebijakan di negara ini perlu memberikan kejelasan aturan terkait kelompok SOGI dalam hal tindakan atau perlakuan berdasarkan nilainilai kemanusiaan. Penulis beranggapan bahwa kelompok SOGI akan menghargai aturan yang berlaku jika mereka diperlakukan dengan aturan yang berlaku pula. Melihat kelompok SOGI kini banyak berasal dari kaum berpendidikan hal ini secara perlahan-lahan akan memperbaiki citra mereka atau semakin memperburuk citra mereka akibat pengetahuan yang dimiliki, sehingga perlu adanya batasan yang jelas yang harus diberikan oleh undang-undang terkait hal ini agar tidak muncul perdebatan yang panjang dan dapat menciptakan toleransi dan kedamaian bangsa Indonesia dan hal itu akan menunjukkan suatu kedewasaan berbangsa dan bernegara. 112 DAFTAR PUSTAKA BUKU: Anomin. 2003. Hak Atas Kebebasan Pribadi dan Hak Atas Rasa Aman. Sentra HAM Universitas Indonesia: Depok. Anonim. 2012. Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisis Partisipasi tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). United State for International Development (USAID) dan United Nation Development Programme (UNDP): Bali. Benjamin, Harry. 1967. Dimension of Well-Being; Research and Intervention. Istampa Sex Research Taylor and Francis Ltd Vol.3: Milan. Crooks, Robert and Karla Baur. 2005. Our Sexuality. Belmont Wadsworth Learning: USA. Iriana, Bambang (penerjemah). 1988. Introduction to International Law. Terjemahan dari J.G Starke. Sinar Grafika: Jakarta. Khan, Sadruddin Aga. 1983. Komisi Independen Mengenai Masalah Masalah Kemanusiaan. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas): Jakarta. Kinsey, Alfred C.et.al. 1948. Sexual Behavior in the Human Male. W.B. Saunders Co: Philadephia. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty. 2003. Pengantar Hukum Internasional. PT. Alumni: Bandung. 113 Lubis, T Mulya. 1993. in Search of Human Right: Legal Political dilemmas of Indonesia’s New Order. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Morrow, Deana F. 2006. Sexual Orientation and Gender Identity in Social Work Practice; Working with Gay, Lesbian, Bisexual and Transgender People. Columbia University Press: New York. Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada yang Bisu. Galang Press: Yogyakarta. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Nanar dan Forum Jakarta Paris: Jakarta. Rehman, Javaid. 2003. International Human Rights Law. Pearson Education Limited: Great Britain. Siahaan, Jokie M.S. 2009. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologis. PT. Indeks: Jakarta. Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Sulastini, Sri (penerjemah). 2003. Introduction to the International Human Rights Regime. Terjemahan dari Manfred Nowak. Pustaka HAM Raoul Wellenberg Institute dan Departemen Hukum dan HAM Indonesia: Jakarta. Sumarsono. 2004. Pendidikan Kewarganegaraan. PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Young, Stephen B. 1981. Between Soverigns : A Re-examination of the Refugge’s Status. Harvard Law School: USA. 114 INTERNET: Arus Pelangi. www.youtube.com/watch?v=VM01YLiby8I tanggal 16 Januari 2016). (diakses pada Arus Pelangi. www.aruspelangi.org/publikasi/siaranpers/press-rilis-lgbti-dankekerasan-terhadap-perempuan-one-billion-rising-indonesia-14februari-2015 (diakses pada tanggal 16 Januari 2016). Hukum Online. www.hukumonline.com/berita/baca/hol16815/hukum-takmampu-hilangkan-homophobia (diakses pada tanggal 4 Februari 2016). Jurnal Perempuan. www.jurnalperempuan.org/keragaman-gender-danseksualitas.html (diakses pada tanggal 12 November 2015). Universitas Airlangga. www.journal.unair.ac.id/download-fullpaperjurnal%20shinstya.doc. (diakses pada tanggal 16 November 2015). University of Queensland. www.uqu.com.au/blog-view/what-does-lgbtiqmean-29. (diakses pada tanggal 16 November 2015). American Psychological. www.apa.org/about/policy/transgender.aspx (diakses pada tanggal 12 November 2015). Berita 9. www.berita9.com/2012/12/05/pembubaran-paksa-pentas-budayawaria-dinilai-melanggar-ham (diakses pada tanggal 16 Januari 2016). 115