v. hubungan tata kelola pemerintahan, infrastruktur

advertisement
 V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 5.1 Hubungan Tata Kelola Infrastruktur di Indonesia Pemerintahan dengan Penyediaan Hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan penyediaan infrastruktur pada bagian ini dieksplorasi dengan korelasi pearson. Ada tiga aspek tata kelola pemerintahan yang diduga terkait dengan penyediaan infrastruktur, yaitu: interaksi Pemda dengan pelaku usaha, kapasitas dan integritas kepala daerah, dan kebijakan infrastruktur. Hambatan yang paling banyak dikeluhkan oleh para pelaku usaha adalah mengenai kondisi infrastruktur. Untuk itu dimensi interaksi Pemda dengan pelaku usaha menggambarkan bagaimana dari interaksi yang terjalin tersebut Pemda merespon dan menyelesaikan permasalahan yang ada. Masalah penyediaan infrastruktur sangat terkait dengan birokrasi dan keberpihakan. Untuk itu dengan kapasitas dan integritas kepala daerah diduga akan berpengaruh terhadap penyediaan infrastruktur melalui kebijakan dan tindakan yang bebas korupsi mengingat penyediaan infrastruktur sangat rawan terhadap terjadinya korupsi. Aspek kebijakan infrastruktur diharapkan menjadi pelengkap untuk memberikan gambaran terhadap penyediaan infrastruktur selama ini. Aspek ini merupakan potret penilaian pelaku usaha terhadap kondisi infrastruktur yang ada. Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Berdasarkan nilai korelasi pearson pada Tabel 13, terlihat bahwa dari sembilan variabel hanya ada tiga variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha yang berhubungan signifikan dengan infrastruktur jalan, yaitu adanya pengertian Pemda mengenai kebutuhan pelaku usaha, adanya diskusi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha, dan adanya penyediaan fasilitas pendukung oleh Pemda. Adapun infrastruktur air bersih dan listrik hanya berkorelasi secara signifikan dengan pengetahuan pelaku usaha mengenai keberadaan forum komunikasi.
78 Tabel 13 Nilai korelasi infrastruktur jalan dengan variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha tahun 2010 Variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha Q61: Keberadaan forum komunikasi Q62R1: Kepala daerah memberi solusi Q62R2: Solusi sesuai dengan harapan Q62R3: Institusi terkait menindaklanjuti Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan Q64R2: Mendiskusikan kebijakan publik Q64R3: Mendiskusikan permasalahan Q64R5: Penyediaan fasilitas pendukung Q71: Hambatan keseluruhan isu interaksi Pemda dengan pelaku usaha Infrastruktur Jalan Air Listrik 0,094 0,189*** 0,172*** 0,057 0,037 0,056 0,041 0,037 0,005 0,068 0,042 -0,005 0,106* 0,040 0,082 0,080 0,043 0,072 0,116* 0,049 0,034 0,118* 0,088 0,094 -0,028 -0,170 -0,016 Keterangan: *, dan *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10% dan 1%. Sumber: Data olahan Adanya pengertian Pemda akan kebutuhan pelaku usaha diharapkan akan meningkatkan respon Pemda dengan mengeluarkan kebijakan yang mendukung dunia usaha. Sedangkan adanya diskusi akan permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha juga diharapkan akan dapat dicarikan solusi bersama untuk mengatasinya sehingga kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Pemberian fasilitas dari Pemda yang mendukung dunia usaha, maka akan meningkatkan kinerja perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan output dan PDRB per kapita meningkat. Ketentuan mengenai fasilitas dukungan terhadap dunia usaha diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan perubahan kedua melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Menurut peraturan presiden tersebut, terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan, yaitu: (i) Dana Tanah (the Land Funds) merupakan dana yang dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan pengadaan tanah dan untuk mengatasi masalah ketidakpastian harga tanah., (ii) Pembiayaan 79 Infrastruktur (the Infrastructure Fund), (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Ketiga fasilitas tersebut telah berdiri dan beroperasi secara penuh dalam mendukung program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Oleh karena itu, semakin banyak pemberian fasilitas yang mendukung dunia usaha, maka akan membantu kinerja perusahaan sehingga perusahaan bekerja dengan lebih efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat daerah. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Kinerja pemerintahan, selain dipengaruhi oleh terlembaganya suatu sistem, juga tergantung pada pejabat pemerintah yang menjalankannya. Suatu sistem yang sudah terlembaga dengan baik dapat memberikan batas dan rambu-rambu yang kuat untuk meminimalisasi penyimpangan para pejabat pelaksananya. Namun dalam suatu sistem yang lemah, peran para pejabat yang melaksanakannya bisa mengabaikan sistem yang ada. Beberapa studi menunjukkan temuan tentang pentingnya peran kepala daerah (bupati/walikota) dalam tata kelola pemerintahan. Hasil studi JPIP tahun 2007 di Jawa Timur menemukan bahwa pengambil keputusan utama lahirnya inovasi daerah berada di tangan kepala daerah hingga mencapai 73 persen. Namun, berdasarkan nilai korelasi pearson pada Tabel 14, diketahui bahwa tidak ada satu pun varibel integritas dan kapasitas kepala daerah yang berkorelasi nyata terhadap infrastruktur jalan, air, dan listrik. Hal ini diduga karena hubungan antara integritas dan kapasitas tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada variabel struktural lainnya, seperti potensi wilayah dan APBD. Kepala daerah pada intinya hanya sebagai pengelola suatu daerah. Untuk pengembangan infrastruktur, seperti jalan, yang sifatnya barang publik, kepala daerah akan sangat bergantung kepada besaran APBD yang dikelolanya. Semakin besar APBD yang dikelolanya, dengan integritas dan kapasitasnya akan meningkatkan keberpihakan sehingga alokasi belanja infrastruktur jalan juga semakin besar. Namun jika APBD yang dikelolanya kecil, walaupun kepala daerahnya berintegritas tentunya akan mengalami kendala pendanaan, apalagi banyak alokasi lain yang juga urgen untuk kesejahteraan masyarakat. Sehingga kepala daerah yang berintegritas dan
80 berkapasitas merupakan syarat perlu pembangunan infrastruktur, dan masih bergantung pada faktor lainnya. Tabel 14 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel integritas dan kapasitas kepala daerah tahun 2010 Variabel kapasitas dan integritas kepala daerah Q79R1: Pemahaman kepala daerah mengenai persoalan pelaku usaha Q79R2: Pejabat daerah ditunjuk berdasarkan keterampilan yang relevan Q79R3: Kepala daerah tegas terhadap tindakan pemberantasan korupsi Q79R4: Kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi Q79R5: Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat Q82: Dampak keseluruhan kapsitas dan integritas kepala daerah Sumber: Data olahan Kebijakan Infrastruktur Infrastruktur Jalan Air Listrik 0,081 0,069 0,094 0,002 0,071 0,070 0,032 0,075 0,011 0,017 -0,058 0,022 0,031 0,104 0,079 0,029 0,017 0,082 Akses infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan penilaian pelaku usaha mengenai kondisi infrastruktur di daerah. Artinya, semakin baik tingkat akses masing-masing infrastruktur juga dinilai semakin bagus kondisi infrastrukturnya oleh para pelaku usaha. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi positif dan signifikan antara ketiga jenis infrastruktur yang dikaji dengan variabel kondisi infrastruktur (Tabel 15). Hubungan searah dan nyata antara infrastruktur fisik dan persepsi pelaku usaha memperkuat kualitas data yang digunakan. Tabel 15 Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel kebijakan infrastruktur tahun 2010 Variabel kebijakan infrastruktur Q114a: Kondisi infrastruktur Q114b: Lama perbaikan Q106: Pemakaian genset Q108: Lama pemadaman listrik Jalan 0,158** -0,099 Infrastruktur Air 0,305*** -0,091 Keterangan: ** dan *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 5% dan 1%. Sumber: Data olahan Listrik 0,243*** -0,002 -0,132 -0,254*** 81 Indeks Tata Kelola Pemerintahan Secara agregat tata kelola pemerintahan berhubungan positif dengan penyediaan infrastruktur, seperti terlihat pada Tabel 16. Adapun dari tiga aspek tata kelola yang diduga berhubungan dengan infrastruktur hanya aspek kebijakan infrastuktur yang berkorelasi nyata secara statistik. Tabel 16 Korelasi infrastruktur dengan indikator tata kelola tahun 2010 Indikator Infrastruktur Air bersih -0,007 0,038 0,207*** 0,157** Listrik 0,015 0,038 0,309*** 0,172*** Keterangan: *, **, *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10%, 5%, dan 1%. Sumber: Data olahan 5.2 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Interaksi Pemda denga pelaku usaha Kapasitas dan integritas kepala daerah Kebijakan infrastruktur Indeks tata kelola pemerintahan Jalan 0,089 0,025 0,171*** 0,157** Akses Lahan dan Kepastian Hukum Berdasarkan Tabel 17, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun variabel akses lahan yang berhubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diduga karena masalah akses lahan belum menjadi masalah utama bagi pelaku usaha, apalagi untuk keperluan tempat usaha masih bisa dilakukan dengan cara sewa. Selain itu, dengan perkembangan teknologi beberapa jenis usaha tidak memerlukan lahan yang luas. Walaupun terdapat permasalahan akses lahan, pelaku usaha masih tetap dapat menjalankan usahanya, sehingga perekonomian tetap tumbuh. Tabel 17 Korelasi akses lahan dan kepastian hukum dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel akses lahan dan kepastian hukum Q31: Lama penyelesaian sertifikat tanah Q34: Kemudahan memperoleh tanah Q38: Persepsi tidak ada penggusuran Q40: Persepsi tidak ada konflik tanah Q42: Hambatan keseluruhan isu tanah dan kepastian hukum Sumber: Data olahan
Korelasi Pearson -0,016 -0,046 -0,091 0,023 -0,016 82 Perizinan Usaha Tabel 18 menunjukkan bahwa hanya dua variabel aspek perizinan usaha yang berkorelasi positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu: banyaknya kepemilikan TDP dan pengetahuan mengenai adanya mekanisme pengaduan. Banyaknya kepemilikan TDP dapat mengindikasikan kemudahan pengurusan izin usaha sehingga akan mendorong investor untuk membuka usahanya di daerah, yang pada akhirnya akan mendongkrak perekonomian daerah tersebut. Keberadaan mekanisme pengaduan dapat mengatasi permasalahan perizinan yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha yang mengetahui adanya mekanisme pengaduan maka pelaku usaha akan mengetahui kemana harus mengadu apabila mengalami kendala dalam pengurusan perizinan. Hal ini akan memudahkan penyelesaian permasalahan perizinan yang dihadapi, sehingga akan memperlancar kegiatan investasi yang pada akhirnya akan mendorong perekonomian. Tabel 18 Korelasi perizinan usaha dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel perizinan usaha Korelasi Pearson Q50aR1: Persentase perusahaan yang memiliki TDP Q51cR1: Persepsi kemudahan perolehan TDP Q51dR1: Rata-rata waktu perolehan TDP Q52cR1: Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha Q54R1: Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN Q54R2: Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah efisien Q54R3: Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas pungli Q57: Persentase yang mengetahui adanya mekanisme pengaduan Q59: Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya 0,251*** -0,069 0,045 -0,090 0,016 -0,001 0,027 0,224*** -0,050 Keterangan: *, **, *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10%, 5%, dan 1%. Sumber: Data olahan Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Terdapat enam variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha yang signifikan (Tabel 19). Keberadaan forum komunikasi, adanya solusi dari kepala daerah, adanya tindak lanjut dari instansi terkait terhadap solusi yang diberikan, adanya pengertian Pemda akan kebutuhan pelaku usaha, adanya pelibatan pelaku usaha dalam pembuatan kebijakan publik, dan pemberian fasilitas pendukung bagi para pelaku usaha berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan ekonomi.
83 Tabel 19 Korelasi interaksi pemerintah daerah-pelaku usaha dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha Korelasi Pearson Q61: Keberadaan forum komunikasi Q62R1: Kepala daerah memberikan solusi pelaku usaha Q62R2: Solusi sesuai dengan harapan pelaku usaha Q62R3: Institusi Pemda terkait menindaklanjuti Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan pelaku usaha Q64R2: Mendiskusikan kebijakan publik Q64R3: Mendiskusikan permasalahan pelaku usaha Q64R4: Mendiskusikan permasalahan pelaku usaha Q64R5: Penyediaan fasilitas pendukung pelaku usaha Q66: Kebijakan Pemda mendorong iklim investasi Q67: Kebijakan non-diskriminatif Q68R1: Pemda tidak meningkatkan biaya usaha Q68R2: Pemda tidak meningkatkan ketidakpastian usaha Q71: Keseluruhan isu interaksi Pemda dengan pelaku usaha 0,245*** 0,117* 0,090 0,108* 0,120* 0,145** 0,068 -0,020 0,063 0,131** -0,119 0,011 0,056 -0,055 Keterangan: *, **, *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10%, 5%, dan 1%. Sumber: Data olahan Keberadaan forum komunikasi menjadi prasarana pelaku usaha untuk menyampaikan keluhannya terkait dengan hambatan usaha yang dihadapinya. Jika forum komunikasi ini efektif maka keluhan dan masukan dari pelaku usaha akan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih memihak kepada kepentingan dunia usaha. Adanya solusi yang diberikan oleh kepala daerah terhadap setiaap permasalahan pelaku usaha juga akan mendukung berkembangnya dunia usaha. Tentu saja solusi yang diberikan oleh kepala daerah ini hanya akan efektif jika ada tindak lanjut dari instansi terkait. Untuk itu diperlukan pengawasan langsung oleh kepala daerah kepada setiap instansi agar setiap keputusan yang diambil dapat berjalan. Salah satu ciri tata kelola pemerintahan yang baik adalah adanya pelibatan masyarakat dapat pembuatan kebijakan publik. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil sesuai dengan aspirasi masyarakat, sehingga kebijakan tersebut efektif dan dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat, dalam hal ini pelaku usaha. Selain itu usaha yang dilakukan oleh Pemda untuk meningkatkan investasi seperti mengikuti pameran dapat mendorong invaetasi yang akan menggerakkan perekonomian.
84 Program Pengembangan Usaha Swasta Berdasarkan hasil korelasi Perason pada Tabel 16, terlihat bahwa tidak ada variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diduga karena informasi mengenai adanya PPUS tidak diketahui oleh para pelaku usaha. Secara rata-rata hanya sekitar 68 persen pelaku usaha yang mengetahui adanya PPUS. Bahkan terdapat 28 kabupaten/kota yang pelaku usahanya sama sekali tidak mengetahui bahwa Pemda setempat mempunyai PPUS, beberapa diantaranya: Kabupaten Solok, Kota Solok, Kota Pariaman, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Pringsewu. Tabel 20 Korelasi program pengembangan usaha swasta dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel program pengembangan usaha swasta Korelasi Pearson Q73a: Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS Q73b: Tingkat partisipasi dalam PPUS Q74a: Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha Q75: Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan 0,020 0,100 0,039 0,020 Keterangan: *, **, *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10%, 5%, dan 1%. Sumber: Data olahan Minimnya manfaat dan keikutsertaan PPUS ini perlu menjadi bahan untuk dievaluasi. Sedikitnya peserta dari perusahaan yang ikut dalam program pengembangan tersebut dapat terjadi karena terbatasnya informasi mengenai program atau mungkin besarnya biaya yang dikenakan untuk mengikuti program tersebut. Selain itu, kurang bermanfaatnya program ini dapat disebabkan oleh penyelenggaraan program yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha. Oleh karena itu, wajar jika PPUS yang diselenggarakan oleh Pemda memiliki tingkat partisipaasi dan manfaat yang rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan PPUS tidak mempunyai pengaruh terhadap pelaku usaha, sehingga tidak berdampak bagi pengembangan usaha dan peningkatan output secara keseluruhan, sehingga tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa hanya dua variabel integritas dan kapasitas kepala daerah yang mempunyai hubungan yang signifikan. Varibel
85 kepala daerah yang paham akan dunia usaha dan penunjukan pejabat berdasarkan kompetensinya berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Tabel 21 Korelasi kapasitas dan integritas kepala daerah dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel kapasitas dan integritas kepala daerah Q79R1: Kepala daerah paham persoalan pelaku usaha Q79R2: Pejabat daerah punya keterampilan yang relevan Q79R3: Kepala daerah tegas terhadap korupsi Q79R4: Kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi Q79R5: Kepala daerah merupakan figur pemimpin yang kuat Q82: Dampak keseluruhan kapsitas dan integritas kepala daerah Keterangan: * merupakan tingkat signifikansi taraf 10%. Sumber: Data olahan Korelasi Pearson 0,122* 0,115* 0,101 -0,022 0,103 0,044 Kepala daerah yang paham akan kebutuhan pelaku usaha akan membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung kelancaran usaha, sehingga perekonomian akan meningkat. Sedangkan pejabat yang ahli tentunya akan bekerja dengan lebih cepat dan benar sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil akan dapat dijalankan secara efektif. Pejabat yang ahli juga akan lebih mengetahui permasalahan, sehingga dapat memberikan solusi yang tepat. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Tabel 22 menunjukkan bahwa tidak ada variabel keamanan dan penyelesaian konflik yang berkorelasi secara signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diduga karena keadaan keamanan dan penyelesaian konflik dinilai masih relatif baik oleh para pelaku usaha. Berdasarkan persepsi pelaku usaha tingkat kejadian pencurian di tempat usaha dinilai masih rendah. Tabel 22 Korelasi keamanan dan penyelesaian konflik dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel keamanan dan penyelesaian konflik Q118bR1: Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Q120R1: Polisi selalu bertindak tepat waktu Q120R2: Solusi polisi menguntungkan perusahaan Q120R3: Solusi polisi meminimalisir kerugian usaha Q121R1: Polisi tepat waktu dalam menangani demosntrasi buruh Q121R2: Solusi polisi meminimalisir waktu dan biaya Q122: Keseluruhan keamanan dan penyelesaian masalah Sumber: Data olahan
Korelasi Pearson -0,045 0,018 -0,009 0,013 0,002 0,015 0,042 86 Biaya Transaksi Berdasarkan Tabel 23 terlihat bahwa tidak ada satu pun variabel aspek biaya transaksi yang berkorelasi secara signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diduga karena tingkat biaya transaksi masih dinilai relatif ringan oleh para pelaku usaha, sehingga tidak menjadi hambatan yang berarti. Tabel 23 Korelasi biaya transaksi dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel biaya transaksi Q84cR1: Tingkat hambatan retribusi daerah Q84cR2: Tingkat hambatan pajak daerah Q86a: Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda Q86cR1: Tingkat hambatan donasi resmi Q86cR2: Tingkat hambatan donasi tidak resmi Q90bR1: Tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi Q92: Biaya transaksi keseluruhan tidak menghambat perusahaan Sumber: Data olahan Kebijakan Infrastruktur Korelasi Pearson 0,040 -0,022 -0,007 0,041 0,006 -0,046 -0,008 Berdasarkan Tabel 24 dapat disimpulkan bahwa kualitas kelima jenis infrastruktur, yaitu jalan, penerangan jalan, air bersih, listrik, dan telepon, berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diduga bahwa dengan kualitas infrastruktur baik maka kegiatan perekonomian berjalan dengan lebih efisien, output akan meningkat, dan ekonomi tumbuh. Hal ini juga sejalan dengan nilai korelasi antara akses infrastruktur fisik dengan persepsi kualitas infrastruktur yang signifikan. Selain itu, lamanya pemadaman listrik berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin lama pemadaman listrik yang terjadi maka kegiatan produksi akan terganggu, output yang dihasilkan berkurang, sehingga secara umum ekonomi justru tumbuh negatif. Hal ini dikarenakan listrik merupakan energi utama yang digunakan dalam proses produksi. Sehingga apabila pasokan listrik berkurang, seperti karena terjadi pemadaman, maka proses produksi akan terhenti. Pemadaman listrik juga menyebabkan pelaku usaha harus mengeluarkan pengeluaran lebih jika ingin tetap berproduksi, misalnya dengan membeli atau menyewa diesel. Hal ini akan membebani proses produksi, sehingga yang terjadi justru inefisiensi.
87 Tabel 24 Korelasi kebijakan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Variabel kebijakan infrastruktur Q114aR1: Kondisi infrastruktur jalan Q114aR2: Kondisi infrastruktur penerangan jalan Q114aR3: Kondisi infrastruktur air bersih Q114aR4: Kondisi infrastruktur listrik Q114aR5: Kondisi infrastruktur telepon Q114bR1: Lama perbaikan infrastruktur jalan (-) Q114bR2: Lama perbaikan infrastruktur penerangan jalan (-) Q114bR3: Lama perbaikan infrastruktur air bersih (-) Q114bR4: Lama perbaikan infrastruktur listrik (-) Q114bR5: Lama perbaikan infrastruktur telepon (-) Q106: Pemakaian genset (-) Q108: Lama pemadaman listrik (-) Q116: Dampak keseluruhan isu infrastruktur Korelasi Pearson 0,219*** 0,195*** 0,135** 0,200*** 0,196*** -0,077 -0,041 -0,010 -0,028 -0,006 -0,072 -0,181*** 0,121* Keterangan: *, **, *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 10%, 5%, dan 1%. Sumber: Data olahan Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah Secara agregat kemudahan perizinan usaha dan kondisi infrastruktur akan mendorong peningkatan perekonomian, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tata kelola pemerintahan daerah secara keseluruhan berkorelasi positif, yang berarti bahwa semakin baik tata kelola pemerintahan daerah maka ada kecendurungan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut juga semakin tinggi (Tabel 25). Tabel 25 Korelasi indeks tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 Indikator tata kelola pemerintahan daerah Akses Lahan Usaha dan Kepastian Usaha Izin Usaha Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota Biaya Transaksi Kebijakan Infrastruktur Daerah Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Kualitas Peraturan Derah Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah Korelasi Pearson -0,095 0,156** 0,092 0,096 0,088 -0,090 0,191*** 0,004 -0,073 0,169*** Keterangan: ** dan *** masing-masing merupakan tingkat signifikansi taraf 5% dan 1%. Sumber: Data olahan
88 Hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi diatas menyiratkan bahwa walaupun secara disagregat terdapat hubungan yang nyata, namun secara agregat belum tentu hubungannya nyata. Hal ini diduga sebagai salah satu sebab penelitian McCulloch dan Malesky (2011) hanya menemukan hubungan yang sedikit dengan variabel agregat. 5.3 Pengaruh Tata Kelola Infrastruktur di Indonesia Pemerintahan Terhadap Penyediaan Hasil eksplorasi model infrastruktur, dengan memperhatikan asumsi model, didapatkan model terbaik seperti pada Tabel 26. Berdasarkan hasil estimasi model infrastruktur jalan (kolom 2), diketahui bahwa tata kelola pemerintahan daerah mempunyai pengaruh terhadap penyediaan infrastruktur jalan melalui adanya diskusi kebijakan publik, lama perbaikan jalan dan ketegasan kepala daerah terhadap korupsi. Adapun faktor struktural yang memengaruhi infrastruktur jalan adalah interaksi belanja infrastruktur dengan ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi. Dari hasil estimasi model tersebut juga terlihat bahwa kesenjangan akses jalan lebih baik di daerah kota dan Jawa. Diskusi kebijakan publik merupakan bentuk sarana partisipasi publik yang merupakan salah satu pokok dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan adanya diskusi kebijakan publik menjadikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah sesuai dengan permasalahan dan harapan pelaku usaha, yaitu peningkatan kualitas infrastruktur yang menjadi fokus utama pelaku usaha. Hasil studi TKED 2010, infrastruktur masih merupakan kendala utama dalam menjalankan usaha. Lamanya waktu perbaikan jalan yang rusak berpengaruh negatif terhadap akses infrastruktur jalan. Secara rata-rata, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki jalan yang rusak adalah sekitar 73 hari atau lebih dari 2 bulan. Lamanya waktu perbaikan jalan bisa disebabkan karena masih rendahnya respon pemerintah daerah terhadap permasalahan infrastruktur jalan, minimnya dana yang disediakan untuk pemeliharaan jalan, atau masalah administrasi pencairan dana APBD yang masih belum efisien. Proyek pengadaan infrastruktur fisik cenderung rawan terhadap perilaku tindakan korupsi, sehingga hasilnya seringkali tidak sesuai dengan yang
89 diharapkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ketegasan kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi dapat mendorong efektifitas belanja infrastruktur. Hal ini terlihat dari perbedaan elastisitas belanja publik dengan elastisitas interaksi belanja infrastruktur dengan ketegasan kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi. Artinya, semakin tegas kepala daerah terhadap tindakan pemberantasan korupsi belanja publik semakin efektif mendorong penyediaan infrastruktur jalan. Tabel 26 Hasil estimasi model infrastruktur Dependent Variables: Infrastruktur lnJALAN lnAIR lnLISTRIK (1) (2) (3) (4) -0,00323 -0,00512 -0,00358 Q61: Keberadaan forum komunikasi Q64R1: Pemda mengerti kebutuhan usaha -0,00278 Q64R3: Diskusi kebijakan publik 0,01195* Q64R4: Tidak membentuk perusahaan 0,00246 Q64R5: Fasilitas pendukung usaha -0,00172 0,00781* Q71: Interaksi Pemda keseluruhan 0,00026 -0,01516 Q79R1: Kepala daerah paham persoalan -0,00693 -0,01765 Q79R2: Pejabat daerah kompeten -0,00304 0,00617 Q79R4: Kepala daerah tidak korupsi 0,00240 0,00857 Q79R5: Kepala daerah figur yang kuat -0,01010 0,02001 Q82: Kapasitas dan integritas kepala daerah 0,01080 Q108: Lama pemadaman listrik -0,08111** Q114bR1: Lama perbaikan jalan -0,00388*** Q114bR3: Lama perbaikan air bersih -0,01381*** Q114bR4: Lama perbaikan listrik 0,00077 lnPDRBKap(2009) 0,10997 1,03227*** 0,66217*** lnBIN -0,11122*** -0,12470 -0,01266 lnBIN*D79R3(Tegas terhadap korupsi) 0,00149* 0,00169 -0,00002 Dkota 2,31912*** 1,63410*** 0,98981*** DJawa 1,50216*** 0,73412 0,53095** Constant 4,71895*** 6,34636*** 3,48969*** Keterangan: *, ** dan *** masing-masing menyatakan signifikansi pada 10%, 5% dan 1% Sumber: Hasil olahan Variable Pemilihan sosok kepala daerah yang tegas dan tidak terlibat tindakan korupsi tidak mudah karena dalam era desentralisasi politik kepala daerah dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kementerian Dalam Negeri mencatat, selama periode 2004-2012 sudah 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah dijatuhi vonis berkekuatan
90 hukum tetap dan menjadi terpidana. Diduga salah satu penyebabnya adalah praktik politik uang dan mahalnya biaya pencalonan1. Tidak seimbangnya biaya modal kampanye dan dukungan partai dengan gaji yang diterima setelah terpilih memicu praktek korupsi oleh kepala daerah. Hal ini dukung penelitian Kis-Katos dan Sjahrir (2011) yang menyimpulkan bahwa desentralisasi politik justru berdampak negatif terhadap besaran belanja infrastruktur di Indonesia. Koefisien negatif belanja infrastruktur tidak berarti bahwa semakin besar belanja publik maka akan menurunkan akses infrastruktur. Hal tersebut lebih disebabkan karena alokasi dana untuk belanja publik sangat kecil, yaitu alokasi anggaran untuk jalan dan jembatan hanya sebesar Rp.52 juta per kilometer jalan, atau baru seperempat dari dana yang dibutuhkan untuk pemeliharaan berkala. Kurangnya dana pemeliharaan menjadi salah satu sebab bertambahnya panjang jalan tidak mantap, dari 100,7 juta km pada tahun 2001 menjadi 151,8 juta km pada tahun 2010 atau meningkat sekitar 50 persennya. Tingkat pendapatan per kapita tahun sebelumnya tidak berpengaruh signifikan terhadap infrastruktur jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan tingkat pendapatan belum diikuti dengan permintaan infrastruktur jalan. Hasil estimasi model infrastruktur air bersih sebagaimana pada kolom 3, menunjukkan bahwa hanya satu variabel tata kelola pemerintahan daerah yang memengaruhi akses air bersih, yaitu lama perbaikan air bersih. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan saluran PDAM pada saat mengalami masalah menyebabkan akses air bersih oleh pelanggan terganggu, sehingga volume air yang dikonsumsi juga berkurang. Lamanya waktu perbaikan air bersih perlu mendapat perhatian lebih oleh PDAM sebagai perusahaan yang bertanggung jawab terhadap penyediaan air bersih. Selain merugikan pelanggan dengan berkurangnya akses air bersih, sebenarnya hal ini juga akan merugikan perusahaan karenavolume air bersih yang dapat disalurkan berkurang sehingga pendapatan perusahaan juga berkurang. Pendapatan per kapita tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap akses air bersih. Peningkatan pendapatan akan mendorong peningkatan standar hidup. www.kompas.com. ICW: Evaluasi Biaya Politik Tinggi dalam Pilkada. [14 Agustus 2010]
1
91 Salah satunya akan meningkatkan penggunaan air yang sehat dengan menggunakan air dari PDAM. Belanja infrastruktur tidak memengaruhi akses air bersih. Hal ini dikarenakan pengelolaan air bersih dilakukan secara independen oleh PDAM sebagai BUMD yang diberi tugas menyediaan air bersih. Oleh karena itu, kinerja perusahaan (corporate governance) lebih memengaruhi akses air bersih. Hal ini juga ditunjukkan dengan pengaruh signifikan lama waktu perbaikan air bersih. Perbaikan saluran air bersih menjadi tanggung jawab mutlak PDAM, sehingga waktu yang dibutuhkan tergantung kepada kinerja PDAM. Hasil estimasi model infrastruktur pada kolom 4 menunjukkan bahwa hanya variabel pendapatan per kapita tahun sebelumnya dan dummy kota dan kota Jawa yang memengaruhi akses listrik. Peningkatan pendapatan masyarakat akan meningkatkan standar hidup seperti meningkatkan penggunaan peralatan elektronik untuk keperluan sehari-hari. Hal ini akan meningkatkan konsumsi listrik, sehingga akses energi listrik akan meningkat. Tentunya hal ini harus diimbangi dengan penyediaan suplai listrik yang memadai oleh PLN. Serupa dengan akses air bersih, akses listrik juga tidak dipengaruhi oleh belanja infrastruktur pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan pengelolaan listrik dilakukan PT.PLN, sehingga kemungkinan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang lebih berpengaruh. Pemerintah daerah hanya dapat melakukan koordinasi, tidak dapat secara langsung memengaruhi kinerja perusahaan. Justru ada kemungkinan tata kelola pemerintah pusat lebih memengaruhi kinerja PLN karena kebijakan energi yang menentukan adalah pemerintah pusat, seperti adanya pemebrian subsidi listrik. 5.4 Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Analisis pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur menggunakan teknik ekonometrik two stage least square (2SLS). Metode two stage least square merupakan metode ordinary least square (OLS) yang dilakukan dalam dua tahap. Langkah pertama yaitu mengestimasi persamaan pertama, yaitu infrastruktur, dengan OLS biasa, selanjutnya adalah memprediksi
92 suatu variabel pada persamaan pertama yang nantinya hasil prediksi tersebut akan digunakan sebagai variabel yang sama pada persamaan kedua. Nilai korelasi antar infrastruktur tinggi dan signifikan (Lampiran 4), sehingga jika ketiga infrastruktur dimasukkan secara bersama-sama akan terjadi multikolonieritas. Hal ini akan menyebabkan estimasi koefisien bisa berbeda tanda, seperti koefisien infrastruktur listrik yang bernilai negatif sebagaimana pada Lampiran 5. Untuk menghilangkan pengaruh multikolonieritas, maka dibentuk tiga model pertumbuhan untuk masing-masing infrastruktur. Hasil eksplorasi model dengan 2SLS didapatkan model terbaik seperti pada Tabel 27. Berdasarkan hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi pada Tabel 27, terlihat bahwa tata kelola pemerintahan daerah berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan Pemda yang tidak meningkatkan biaya bagi pelaku usaha. Sedangkan tata kelola berpengaruh tidak langsung melalui infrastruktur jalan dan listrik. Tabel 27 Hasil estimasi model pertumbuhan (gPDRBKap1011) Variable lnPDRBKap10 Q40: Tidak ada konflik lahan Q54R2: Perizinan efisien Q68R1: Kebijakan tidak meningkatkan biaya Q106: Pemakaian genset lnJLN lnAIR lnLISTRIK lnMYS lnBM Constant Model 1 Model 2 Model 3 -1,684*** -1,890*** -2,097*** -0,044** -0,042** -0,042** -0,031** -0,032** -0,033** 0,028** 0,028** 0,026** 0,029** 0,028** 0,030*** 0,382** 0,312 0,826** 1,724 2,385 1,750 0,220 0,177 0,152 6,447 5,637 6,130 Keterangan: ** dan *** masing-masing menyatakan signifikansi pada 5%, dan 1% Sumber: Hasil olahan Ketiadaan konflik lahan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini mungkin dikarenakan pola hubungan ini tidak mencerminkan hubungan kausal, sehingga bisa jadi untuk daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi lah yang sering terjadi konflik lahan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong peningkatan permintaan lahan sehingga akan meningkatkan peluang terjadinya konflik lahan.
93 Perizinan yang efisien juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini lebih dikarenakan pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang berarti banyaknya pelaku usaha yang mengurus perizinan justru dimanfaatkan oleh oknum aparat guna mengenakan biaya yang lebih tinggi untuk mempelancar proses perizinan. Adanya pengaruh negatif ketiadaan konflik lahan dan perizinan yang efisien mengindikasikan bahwa terjadinya pencari rente pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menegaskan penelitian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2011), bahwa pada daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi peluang bagi pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri semakin besar. Kebijakan pemda yang tidak meningkatkan biaya bagi pelaku usaha berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf 5 persen, ceteris paribus. Karena kebijakan pemda tidak meningkatkan biaya bagi pelaku usaha, hal ini menjadi stimulus bagi pelaku usaha untuk meningkatkan usahanya, sehingga perekonomian bergerak lebih cepat yang artinya pertumbuhan ekonomi meningkat. Pemakaian genset berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Genset digunakan karena tidak tersedia listrik yang memadai untuk melakukan usaha. Hal ini wajar mengingat tingkat elektrifikasi di Indonesia masih rendah, mmasih banyak daerah yang belum mempunyai akses listrik yang memadai. Namu bagi pelaku usaha, walaupun tidak tersedia listrik, usaha tetap harus berjalan sehingga digunakan genset sebagai substitusi listrik PLN. Sehingga wajar jika semakin tinggi pemakain genset maka semakin tinggi laju perekonomian. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa semakin tinggi pemakain genset berarti lebih bagus, karena akan tetap lebih efisien jika tersedia listrik. Peningkatan infrastruktur jalan dan listrik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan akses jalan akan mendorong efisiensi perekonomian sehingga output akan meningkat dan ekonomi tumbuh. Begitu juga dengan infrastruktur listrik, karena listrik merupakan energi penggerk usaha maka semakin tinggi akses listrik maka kegiatan usaha akan meningkat dan terjadi pertumbuhan ekonomi.
94 Rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini mungkin dikarenakan rata-rata lama sekolah yang mencerminkan kualitas penduduk masih rendah. Menurut Tournemaine (1997), penduduk yang berkualitas akan mendorong pertumbuhan dengan peningkatan produktivitas dan inovasi. Jika penduduknya berkualitas maka pertambahan jumlah penduduk akan mendorong pertambahan output lebih besar daripada pertambahan penduduk itu sendiri sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Berdasarkan kualitasnya, penduduk Indonesia masih rendah kualitasnya. Pada tahun 2010 rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru 7,9 tahun atau setara dengan SLTP kelas 8. Hal ini wajar mengingat sekitar 60 persen dari penduduk Indonesia masih berpendidikan SLTP ke bawah. Belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini mungkin dikarenakan penggunaan data yang pendek yaitu rata- rata pertumbuhan tiga tahun dan hanya satu tahun nilai belanja modal, padahal pengaruh dari belanja modal seperti pembangunan infrastruktur pengaruhnya tidak dirasakan pada saat itu. Selain itu bisa juga karenakan nilai belanja yang kecil, dengan proporsi belanja pemerintah daerah masih didominasi untuk pemenuhan belanja rutin (Gambar 18). 300.000,00 Belanja Pembangunan (Modal) 250.000,00 Belanja Rutin (dalamMilyarrupiah) 200.000,00 150.000,00 100.000,00 50.000,00 - 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 18 Perkembangan alokasi belanja APBD Kabupaten/Kota periode 2001- 2010 Signifikansi pengaruh infrastruktur jalan dan listrik terhadap pertumbuhan ekonomi menegaskan adanya pengaruh tidak langsung dari tata kelola pemerintahan. Peubah tata kelola pemerintahan yang secara tidak langsung 95 memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan infrastruktur jalan adalah adanya diskusi kebijakan publik, ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi, dan secara negatif oleh waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan jalan, dan. Sedangkan tata kelola pemerintahan memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan infrastruktur listrik dengan adanya pemberian fasilitas pendukung usaha dan secara negatif oleh lamanya pemadaman listrik. Selanjutnya hubungan antara tata kelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan seperti pada Gambar 19. Tata kelola pemerintahan  Tidak ada konflik tanah (-)  Perizinan yang efisien (-)  Kebijakan tidak meningkatkan biaya  Pemakaian genset  Pemberian fasilitas pendukung  Lama pemadaman listrik (-)  Diskusi kebijakan publik  Lama perbaikan jalan (-)  Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi Infrastruktur Listrik Infrastruktur Jalan PertumbuhanEkonomi Gambar 19 Hubungan tata kelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi 
Download