BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara tropis sangat mendukung mikroba untuk
tumbuh subur, sehingga terus memunculkan masalah kesehatan seperti
meningkatnya angka penyakit endemik dan epidemik yang semakin tinggi dan
penyakit infeksi baru. Meningkatnya kejadian resistensi mikroba terhadap
antibiotik yang saat ini digunakan menjadi alasan untuk dikembangkannya obatobat untuk infeksi yang lebih baik. Mikroba yang telah mengalami resistensi
terhadap antibiotik diantaranya adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan Escherichia coli (Tenover, 2006).
Kini mulai dikembangkan jenis antimikroba yang diharapkan dapat
menurunkan perkembangan mikroba resisten atau yang disebut sebagai
antipatogenik dengan mekanisme kerjanya melalui penghambatan interaksi dan
komunikasi antar mikroba (quorum sensing inhibition). Dengan terhambatnya
komunikasi tersebut, mengakibatkan tidak tercapainya populasi mikroba yang
cukup untuk mengekspresikan beberapa faktor yang regulasinya diatur oleh
quorum sensing seperti virulensi (Mittal dkk., 2008), pembentukan biofilm (Ren
dkk., 2002), bioluminescence (Sitnikov dkk., 1995), produksi antibiotik, dan
bacterial swarming (Grossman, 1995). Oleh karena itu, quorum sensing menjadi
sangat penting bagi kelangsungan hidup dari mikroba tersebut.
1
2
P. aeruginosa merupakan bakteri patogen penyebab berbagai masalah
kesehatan yang paling banyak ditemukan pada kasus infeksi nokosomial atau
infeksi yang membahayakan jiwa pada pasien yang memiliki ketahanan tubuh
rendah (Van Delden dan Iglewsky, 1998). Mekanisme quorum sensing pada
P. aeruginosa ditunjukkan oleh penghambatan pembentukan pigmen pyocyanin
yang berfluoresensi hijau kebiruan. Untuk menunjukkan kaitan penghambatan
mekanisme tersebut dengan virulensi, pengujian perlu dilanjutkan dengan uji
motilitas tipe swimming, swarming dan twitching (Williams and Camara, 2009).
Resistensi mikroba terhadap antibiotik juga dapat diturunkan dengan
mengontrol dan mengurangi penggunaan antibiotik, dan penemuan antibiotik
baru. Salah satu sumber antibiotik baru adalah fungi endofit. Fungi endofit hidup
berkoloni dalam sel atau jaringan tanaman dan mampu menghasilkan metabolit
sekunder yang sama dengan inangnya, maupun metabolit sekunder lain (Ghimire
dan Hyde, 2004).
Purwantini (2010) berhasil mengisolasi tujuh macam fungi endofit dari
tanaman Artemisia annua L. Ekstrak etil asetat fungi endofit A. annua dengan
kode DP2 memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. aureus, E. coli, B. subtilis,
S. mutans, dan S. typhi (Sari, 2010).
Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas antibakteri dengan metode
mikrodilusi untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak DP2. Kemudian
dilakukan pengujian quorum sensing inhibition pada bakteri P. aeruginosa dengan
mekanisme penghambatan pembentukan pigmen pyocyanin.
3
B. Perumusan Masalah
1. Berapakah nilai KHM dari ekstrak fungi endofit A. annua kode DP2 dengan
menggunakan uji mikrodilusi?
2. Apakah fungi endofit A. annua kode DP2 dapat menghambat pembentukan
pigmen hijau sebagai aksi quorum sensing pada P. aeruginosa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bahan alam yang
bersifat antibakteri secara optimal untuk menemukan jenis antibakteri baru
yang lebih poten.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui seberapa besar potensi antibakteri dari ekstrak fungi
endofit A. annua kode DP2 dengan menggunakan parameter nilai KHM
yang diperoleh dari hasil uji dengan metode mikrodilusi.
b. Untuk mengetahui potensi penghambatan quorum sensing fungi endofit
A. annua kode DP2 terhadap P. aeruginosa.
D. Tinjauan Pustaka
1. Endofit
Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup berkoloni dan
menginfeksi jaringan tumbuhan inang, umumnya tumbuhan tingkat tinggi (Strobel
dan Daisy, 2003). Endofit mampu menghasilkan senyawa yang diduga hasil dari
4
transfer genetik dari tumbuhan inang ke dalam endofit dan terdapat pada hampir
semua jaringan tanaman, termasuk lumut (Tan dan Zou, 2001; Faeth, 2002).
Tanaman yang mengandung endofit sering tumbuh lebih cepat dari
tanaman yang tidak terinfeksi. Adanya endofit dalam tumbuhan inang dapat
membantu dalam mengambil nutrisi seperti nitrogen dan fosfor (Tan and Zou,
2001). Hasil metabolit dari fungi endofit juga dapat membantu melindungi
tumbuhan terhadap serangan patogen seperti fungi, bakteri, insekta dan predator
lain (Strobel dan Daisy, 2003) dan mampu meningkatkan kemampuan adaptasi
inang terhadap stress lingkungan (Faeth, 2002). Dari berbagai penelitian dapat
disimpulkan bahwa simbiosis antara tumbuhan inang dan endofit adalah
mutualisme atau saling menguntungkan.
Fungi endofit merupakan potensi sumber produk alami baru dalam industri
farmasi, terutama oleh adanya metabolit sekunder yang dihasilkan oleh fungi
endofit yang melekat pada tumbuhan inang obat (Strobel dan Daisy, 2003).
Contohnya adalah fungi endofit Colletotrichum sp. yang diisolasi dari A. annua
menghasilkan artemisinin seperti pada tanaman inangnya, sehingga memiliki
aktivitas yang sama pula seperti artemisinin yang dihasilkan oleh tanamannya
(Wang dkk., 2002).
Endofit pada tanaman tergantung lingkungan dan habitatnya. Begitu pula
ketika endofit sudah diisolasi, media kultur yang digunakan sangat berpengaruh
terhadap jumlah endofit serta metabolit yang dihasilkan (Strobel dkk., 2005).
Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dan dibiakkan dalam media
pembenihan yang sesuai. Metabolit sekunder dari fungi endofit belum dieksporasi
5
secara luas, tetapi fungi ini menjanjikan sebagai sumber metabolit aktif karena
melimpahnya populasi endofit di alam dan kemampuannya untuk berasosiasi
terhadap organisme lain (Lee dkk., 1996). Metabolit sekunder tersebut ada yang
berupa antibiotik seperti munumbicin, antibiotik berspektrum luas yang dihasilkan
oleh endofit Streptomyces spp. strain NRRL 30562 yang diisolasi dari tanaman
Kennedianigriscans. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan Bacillus
anthracis dan Mycobacterium tuberculosis yang multiresisten terhadap berbagai
obat anti TBC (Castillo dkk., 2002). Contoh lainnya adalah fungi endofit
Pestalotiopsis microspora yang hidup pada tanaman Taxus taxifolia yang memiiki
efek sebagai anti kanker dengan
mekanisme pemacuan apoptosis karena
memproduksi senyawa asam toreyanat. Senyawa anti kanker ini dihasilkan dari
P. microspora yang ditanam dalam media Potato Dextrose Agar (PDA) dan
diekstrak dengan etil asetat (Lee dkk., 1996).
Endofit Artemisia annua L. Kode DP2
Fungi endofit yang berhasil diisolasi oleh Purwantini (2010) dengan kode
DP2 telah diketahui merupakan fungi dari genus Penicillium (Penicillium sp.).
Fungi ini menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dalam ekstrak etil asetat
terhadap B. subtilis, E. coli, S. aureus, S. mutans, dan S. typhi yang diujikan
dengan metode disc diffusion (Sari, 2010). Senyawa yang aktif sebagai antibakteri
dari DP2 merupakan senyawa berkromofor (Putri, 2011). Endofit DP2 diisolasi
dari tanaman Artemisia annua L. dari bagian daun dan dibiakkan pada media PDA
6
(Potato Dextrose Agar). Endofit mulai tumbuh pada hari keempat sampai ketujuh,
dan dimurnikan sehingga diperoleh kultur murni (Sari, 2006).
2. Bakteri Uji
a. Pseudomonas aeruginosa
Gambar 1. Pseudomonas aeruginosa (Todar, 2012)
P. aeruginosa adalah bakteri Gram negatif aerob obligat, berkapsul,
mempunyai flagella polar sehingga bersifat motil, berukuran sekitar 0,51,0 µm. Bakteri ini tidak menghasilkan spora dan tidak dapat
menfermentasikan
karbohidrat
(Toyofoku,
2011).
P.
aeruginosa
merupakan bakteri patogen oportunistik, artinya bakteri akan memulai
infeksi saat sistem imun inangnya lemah (Moore dkk., 2006).
P. aeruginosa juga dapat membentuk biofilm yang terbuat dari kapsul
glikokalis untuk mengurangi keefektifan mekanisme sistem imun inang
sehingga dapat mempertahankan hidup lebih lama (Esmaeli, 2011).
P. aeruginosa digolongkan ke dalam true Pseudomonas, termasuk di
7
dalamnya P. fluorescens dan P. putida, karena mengandung pigmen larut
air yang dapat berfluoresens, dan pada P. aeruginosa berwarna hijau
kebiruan. Fluoresensi hijau kebiruan yang ditimbulkan ini merupakan
perpaduan bermacam pigmen. Fluoresensi kuning kehijauan muncul
karena adanya pyoverdine dan warna hijau kebiruan yang terlihat jelas di
bawah UV 366 nm oleh adanya pyocyanin. Selain itu, P. aeruginosa juga
mengandung pyorubin yang berwana merah (Moore dkk., 2006).
P. aeruginosa memproduksi alginat yang menginfeksi paru-paru dari
penderita cystic fibrosis dan mengakibatkan masalah pernapasan yang
serius (Govan, 1988).
b. Escherichia coli
Gambar 2. Escherichia coli (Todar, 2012)
E. coli merupakan bakteri Gram negatif dari famili Enterobacteriaceae
yang hidup dalam usus kolon manusia dan usus hewan berdarah panas
(Waites dkk., 2001). Bakteri ini tidak berspora, berbentuk basil dengan
diameter 0,5 µm dan panjang 1,0-3,0 µm, dan merupakan bakteri anaerob
8
fakultatif (Welch, 2006). Bakteri ini dapat memfermentasi laktosa dan
mampu memproduksi indol dan toxin yang dapat menyebabkan diare
(Ryan dan Ray, 2004). E. coli mempunyai periplasman single layer
dengan peptidoglikan, bergerak menggunakan peritrichous flagella, dan
hidup baik pada suhu 15-48oC dengan pH 5,5-8,0 (Welch, 2006).
c. Staphylococcus aureus
Gambar 3. Staphylococcus aureus (Todar, 2012)
Bakteri S. aureus termasuk famili Staphylococcaceae dalam kelompok
bakteri Gram positif. Hidup berkoloni seperti buah anggur dengan
diameter sel 0,8-1,0 µm. S. aureus dapat membentuk koloni dalam jumlah
besar yang berwarna kuning. S. aureus merupakan penyebab infeksi kulit
seperti bisul dan furuncules, dan selain itu dapat menyebabkan pneumonia,
mastitis, phlebitis, meningitis, dan urinary tract infections (Todar, 2008;
Benzon, 2001).
9
d. Bacillus subtilis
Gambar 4. Bacillus subtilis (Todar, 2012)
Bacillus subtilis merupakan famili Bacillaceae, yang dapat hidup pada
suhu rendah maupun tinggi, yaitu berkisar antara 5-20 oC dan 45-55oC
(Zeigler dan Perkins, 2009). Termasuk dalam kelompok Gram positif,
bersifat fakultatif anaerob, khemoheterotropik, dan mempunyai lebar 0,52,5 µm dengan panjang 1,2-10 µm (Waites dkk., 2001). Tidak seperti
bakteri lain dari genus Bacillus, B. subtilis tidak menyebabkan penyakit,
justru dapat memproduksi enzim amilase dan protease dan digunakan
sebagai inang untuk produksi protein dan vitamin. Bacillus subtilis
mempunyai sel vegetatif berupa spora dan mempunyai flagella sebagai alat
gerak (Waites dkk., 2001).
3.
Quorum Sensing
Quorum sensing pada bakteri terjadi karena bakteri memproduksi dan
melepaskan molekul sinyal kimia yang disebut autoinducer yang konsentrasinya
10
meningkat sebanding dengan peningkatan populasi sel, dan ketika konsentrasi
autoinducer mencapai batas minimal yang dibutuhkan, bakteri dapat meregulasi
transkripsi gen dan memberikan respon berupa perilaku tertentu. Dengan
demikian, bakteri dapat menyinkronkan perilaku tertentu pada populasi sehingga
dapat berfungsi seperti organisme multiseluler (Waters dan Bassler, 2005).
Autoinducer berbeda pada bakteri Gram positif dan negatif. Pada bakteri
Gram positif biasanya berupa oligopeptida termodifikasi dan pada bakteri Gram
negatif berupa N-acyl homoserine lactones (N-AHL). Sel bakteri memproduksi
autoinducer yang akan berdifusi keluar sel dan terakumulasi di sekitarnya. Setelah
mencapai konsentrasi tertentu akan berdifusi kembali ke sel bakteri untuk
meregulasi transkripsi gen tertentu seperti biofilm (McLean dkk., 1997),
bioluminescence (Nelson, 1977), dan swarming (Eberl dkk., 1996).
Molekul induk
R gugus
Gambar 5. Struktur AHL (Waters dan Bassler, 2005)
11
Contoh pada bakteri Gram negatif Vibrio fischeri, terdapat dua macam
protein LuxI dan LuxR yang mengendalikan ekspresi dari operon luciferase
(luxICDABE) dalam produksi cahaya. LuxI mensintesis autoinducer, yaitu AHL,
sedangkan LuxR merupakan aktivator transkripsi DNA-binding atau reseptor
autoinducer sitoplasmik. AHL berdifusi keluar masuk sel sesuai produksinya, dan
kadarnya meningkat sebanding dengan meningkatnya densitas sel (Kaplan dan
Greenberg, 1985). Ketika signal mencapai ambang konsentrasi kritikal, AHL akan
berikatan dengan LuxR dan kompleks ini akan mengaktivasi transkripsi dari
operon luciferase (Stevens, dkk., 1994). Kompleks LuxR-AHL juga menginduksi
ekspresi LuxI karena juga disandi oleh operon luciferase. Konfigurasi ini
mengakibatkan lingkungan dijenuhi dengan signal. Hal ini menciptakan positive
feedback loop sehingga terjadi mekanisme quorum-sensing dan menghasilkan
cahaya.
Mekanisme quorum sensing diperkirakan merupakan mekanisme bakteri
patogen untuk meminimalisasi respon sistem kekebalan tubuh dengan cara
menunda faktor virulensi yang dapat merusak jaringan inang sampai dicapai
jumlah bakteri yang cukup untuk menimbulkan infeksi (Henzer and Givskov,
2003). Sehingga inaktivasi sistem quorum sensing pada bakteri akan menurunkan
produksi faktor virulensi secara signifikan, sehingga terjadinya infeksi dapat
dicegah.
Contoh
penelitian
mengenai
quorum
sensing
inhibition
yaitu
penghambatan produksi violacein pada Chomobacterium violaceum oleh ekstrak
vanila (Choo dkk., 2005). C. violaceum merupakan bakteri Gram negatif yang
12
mensintesis pigmen berwarna ungu violet violacein sebagai mekanisme quorum
sensing dengan autoinducer N-hexanoyl homoserine lactone (HHL) (Lichstein
dan van de Sand, 1945). Penelitian pada bakteri P. aeruginosa oleh Rasmussen
dkk. (2005) menunjukkan aktivitas penghambatan quorum sensing oleh ekstrak
bawang putih.
4. Fermentasi
Fermentasi
dalam
mikrobiologi
industri
merupakan
proses
pengembangbiakan mikroorganisme untuk mengubah bahan dasar menjadi produk
yang dikehendaki dalam kultur mikroba tertentu, dalam hal ini yaitu metabolit
sekunder. Contoh fermentasi dalam bidang mikrobiologi adalah produksi
antibiotik streptomisin dan penisilin.
Menurut Rahman (1992), dalam pengambilan hasil fermentasi, terdapat
tahapan-tahapan yang tergantung pada bahan awal, konsentrasi awal, kestabilan
produk, dan tingkat kemurnian produk akhir yang diinginkan.
Fermentasi dapat menghasilkan : a) Biomassa (sel-sel mikrobia), misalnya
protein sel tunggal; b) Enzim, misalnya amilase dan protease; c) Metabolit, yaitu
metabolit primer seperti polisakarida dan asam nukleat, dan metabolit sekunder
misalnya antibiotika; d) Produk rekombinan, misalnya insulin dan interferon; dan
e) Biokonversi, misalnya konversi asam asetat dari etanol, aseton dari propanol,
sorbosa dari sorbitol serta produk steroid, antibiotika dan prostaglandin (Stanburry
dkk., 1995).
13
Berdasarkan proses fermentasinya metode fermentasi dibagi menjadi
batch culture, fed-batch culture, dan continuous culture. Batch culture merupakan
sistem fementasi tertutup, artinya semua nutrisi yang dibutuhkan mikroba selama
pertumbuhan dan pembentukan produk berada di dalam satu fermentor. Jadi tidak
ada penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi berlangsung.
Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan dapat meminimalisir
terjadinya kontaminasi. Tetapi kultur mikroba yang difermentasi dapat menua,
tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba, dapat tercampurnya metabolit toksik
dengan produk, dan sulit untuk digunakan dalam skala besar.
Pada fed-batch culture, media pertumbuhan ditambahkan ke dalam batch
secara terus-menerus setelah penanaman atau pada tengah proses batch culture
berlangsung tanpa menghilangkan cairan kultur (Harada dkk., 1997). Proses ini
dapat mengoptimalkan pertumbuhan mikroba, mudah dalam pengontrolan
konsentrasi media, dan tingkat kebutuhan oksigen dapat dikontrol. Tetapi sistem
ini membutuhkan pengetahuan mengenai profil pertumbuhan mikroba, kontrol
sistem yang lebih ketat, dan membutuhkan peralatan dan operator yang lebih
terlatih dalam pelaksanaannya.
Continuous culture biasanya digunakan dalam skala industri. Media
pertumbuhan ditambahkan dengan kecepatan yang sama secara terus-menerus
setelah penanaman dan pada saat bersamaan cairan kultur dikeluarkan dari wadah
fermentasi. Proses ini dapat memperpanjang fase pertumbuhan eksponensial.
Keuntungan sistem ini adalah mempunyai produktivitas dan kecepatan
pertumbuhan dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat dijalankan, dan
14
dapat digunakan model sel amobil. Namun dilarang digunakan untuk
memproduksi produk farmasi karena tidak sesuai dengan kaidah Good
Manufacturing Practice, resiko kontaminasi yang besar, produk belum terbentuk
secara optimal, dan mudah timbul evolusi pada mikroba (McNeil and Harvey,
2008).
5. Media
Media merupakan bahan yang bernutrisi ditujukan untuk pertumbuhan
mikroorganisme
di
laboratorium.
Berdasarkan
konsistensinya,
media
dikelompokkan menjadi media cair dan media padat. Media padat menggunakan
Agar, suatu kompleks polisakarida yang diperoleh dari alga merah. Agar
merupakan agen pengeras yang sangat bagus karena tidak dapat didegradasi oleh
mikroorganisme (Pratiwi, 2008).
Menurut Green (2009) terdapat 3 macam media berdasarkan kandungan
nutrisinya, yaitu media umum, media selektif, dan media diferensial. Media
umum adalah media yang dipakai secara general untuk menumbuhkan berbagai
macam mikroorganisme. Biasanya digunakan untuk mikroorganisme yang belum
banyak diketahui sehingga harus melalui proses identifikasi dan klasifikasi
terlebih dahulu untuk menentukan media yang optimal untuk menumbuhakan.
Contoh media umum adalah TSA (Trypticase Soy Blood Agar). Media selektif
digunakan untuk mengisolasi mikroorganisme tertentu secara khusus dan biasanya
untuk tujuan yang khusus pula. Misalnya TMA (Thayer Martin Agar) yang
digunakan untuk menumbuhakan Neisseria. Media selektif juga digunakan untuk
15
tujuan tertentu seperti misalnya untuk mengoptimalkan produksi senyawa tertentu
dari mikroorganisme. Media differensial digunakan selain untuk menumbuhkan
mikroorganisme, juga bertujuan untuk mengidentifikasi. Pengidentifikasian ini
salah satunya adalah melalui warna yang ditimbulkan pada koloni yang tumbuh
pada media tersebut. Misalnya MacConkey Agar untuk membedakan jenis bakteri
Enterobacteriaceae, misalnya bakteri Lactobacillus yang digunakan dalam
fermentasi dapat menghasilkan warna ungu. Contoh lain adalah Cetrimide Agar
yang khusus digunakan untuk biakan P. aeruginosa untuk menonjolkan pigmen
yang diproduksi oleh P. aeruginosa sehingga terlihat lebih jelas meskipun diamati
secara visual.
Untuk memperoleh metabolit sekunder dari fungi dilakukan fermentasi.
Ada tiga macam media fermentasi menurut Harvey dan McNeil (2008), yaitu
media sintetik, media semi sintetik, dan media kompleks.
Media sintetik merupakan media yang seluruhnya berupa bahan kimia
sintetik yang semua komponen dalam pembuatannya sudah diketahui dan dalam
jumlah dan konsentrasi tertentu. Media ini merupakan media sederhana yang
mengandung karbon, nitrogen, dan garam inorganik. Biasanya media ini
digunakan dalam skala penelitian untuk meningkatkan kandungan metabolit
tertentu, karena komponen yang digunakan dapat ditentukan sesuai kebutuhan.
Media semi sintetik mengandung media sintetik dalam jumlah besar dan
komponen non-sintetik untuk mengontrol komposisi media. Contoh komponen
non-sintetik adalah yeast extract yang merupakan sumber vitamin B. Media
kompleks berasal dari tumbuhan atau hewan yang tidak diketahui komposisi serta
16
perbandingan jumlah dan kadarnya, sehingga sangat bervariasi dalam setiap
batch-nya karena bahan pembuatan media dipengaruhi oleh musim dan
lingkungan. Biasanya digunakan untuk proses bioteknologi dalam skala besar.
Misalnya media yang berasal dari kentang, jagung, kedelai, dan tebu.
Media PDB (Potato Dextrose Broth) merupakan salah satu contoh media
semi sintetik untuk menumbuhkan yeast dan kapang. Media ini dibuat dari pati
kentang yang diperoleh dari hasil infusa dan dekstrosa. Infusa kentang
mengandung karbon, amilum dan vitamin yang mendorong sporulasi, produksi
pigmen, dan pertumbuhan fungi secara optimal, sedangkan dekstrosa berperan
sebagai sumber karbon dalam jumlah dan komposisi yang pasti (AOAC,1995;
MacFaddin, 1985).
Media yang digunakan untuk fermentasi mikroorganisme, selain karbon
dan nitrogen diperlukan pula air, mineral, growth factor, buffer, dan vitamin
(Stanbury dkk., 2003). Sumber karbon dibutuhkan untuk menghasilkan energi,
tumbuh, dan memproduksi metabolit. Contoh sumber karbon misalnya glukosa,
sukrosa, dan lemak. Nitrogen dibutuhkan untuk pertumbuhan dan sintesis protein
dan asam amino. Mineral yang dibutuhkan mikroorganisme misalnya magnesium,
fosfor, natrium, dan sulfur (Stanbury dkk., 2003). Vitamin dan growth factor
hanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit dan merupakan katalisis untuk
biosintesis. Vitamin yang penting misalnya tiamin, biotin, dan niasin. Growth
factor terdiri dari bahan organik yaitu vitamin, purin, pirimidin, dan asam amino
(Kampen, 1997; Harvey dan McNeil, 2008).
17
6. Uji Aktivitas Antimikroba
Uji aktivitas antimikroba merupakan pengukuran respon dari pertumbuhan
populasi mikroba terhadap agen antimikroba. Tujuan dari pengujian antimikroba
adalah untuk mengetahui potensi dari agen antimikroba, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan yang efektif dan efisien.
Uji aktivitas antibakteri menurut Pratiwi (2008) ada beberapa metode,
yaitu :
a. Metode difusi
1) Disc diffusion test (Kirby & Bauer)
Disc diffusion test dilakukan dengan mengukur diameter zona bening
(clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.
Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108
CFU/mL (Hermawan dkk., 2007).
2) E-test
Metode ini digunakan untuk menentukan MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum), yaitu minimum
konsentrasi senyawa antibakteri yang dapat menghambat mikroba.
Menurut Wanger (2009), KHM sangat berpengaruh terhadap aktivitas
terapi suatu antibakteri. Nilai KHM 0.016 μg/mL memiliki perbedaan
yang sangat signifikan terhadap nilai KHM 1 μg/mL dalam terapi
antibakteri. Metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung
agen antimikroba dengan berbagai kadar tertentu dan diletakkan pada
18
permukaan media Agar yang ditanami mikroba. Area jernih
menunjukkan
aktivitas
antimikroba
dalam
menghambat
mikroorganisme.
3) Ditch-plate technique
Media Agar dalam petri dibuat parit dengan memotong pada bagian
tengah secara membujur, kemudian sampel uji yang berupa agen
antimikroba diletakkan pada parit. Mikroba uji (maksimal 6 jenis)
digoreskan ke dalam parit.
4) Cup-plate technique
Metode ini menggunakan sumuran pada media, yaitu dengan membuat
lubang pada Agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah
dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian
lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan
inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya
daerah hambatan di sekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).
5) Gradient-plate technique
Pada metode ini, digunakan agen antimikroba dari konsentrasi 0
hingga maksimal secara teoritis. Media Agar dicairkan dan
ditambahkan larutan uji. Kemudian dituang ke dalam petri dan
dibiarkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua dituang di atasnya dan
diinkubasi 24 jam agar agen antimikroba berdifusi dan media
memadat. Mikroba uji digoreskan dari konsentrasi tinggi ke rendah.
Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroba
19
maksimum yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan
hasil goresan.
b. Metode dilusi
Metode dilusi merupakan metode kuantitatif. Hasil metode dilusi diukur
sebagai MIC atau KHM.
1) Metode dilusi cair (broth dilution test/serial dilution)
Dilusi cair digunakan untuk mengukur KHM dan KBM (Kadar Bunuh
Minimum). Prinsip metode ini adalah sejumlah senyawa antimikroba
dibuat beberapa seri kadar dan diteteskan pada media cair yang telah
diinokulasikan standar mikroba uji. Larutan pada kadar terendah yang
terlihat jernih tanpa ada pertumbuhan mikroba ditetapkan sebagai
KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut dikultur ulang
pada media cair tanpa penambahan mikroba uji maupun agen
antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap jernih
setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM.
2) Metode dilusi padat (solid dilution test)
Prinsip metode ini sama dengan metode dilusi cair, tetapi
menggunakan media padat. Keuntungan metode ini adalah satu
konsentrasi agen antimikroba dapat diujikan pada beberapa mikroba
uji.
c. Metode mikrodilusi
Untuk menguji sampel dalam jumlah yang sedikit dalam mikrobiologi
klinik digunakan mikrodilusi. Metode ini menggunakan mikroplat yang
20
terdiri dari sejumlah sumuran. Prinsipnya sama dengan dilusi pada
umumnya, hanya menggunakan sampel dan jumlah bakteri yang lebih
sedikit, sehingga hasilnya lebih sensitif. Keuntungan metode ini adalah
reproduktivitas untuk uji tinggi, rendah sulfonamide, trimetoprim, dan
inhibitor
tetrasiklin,
mempunyai
hasil
yang
paling baik
dalam
pertumbuhan mikroorganisme (Qaiyumi, 2007). Selain itu, metode ini juga
mudah dilakukan, membutuhkan sampel dalam jumlah yang sedikit, dan
dapat melakukan uji dalam banyak perlakuan sekaligus dalam satu waktu
yang bersamaan, sehingga kondisi lingkungan pada tiap perlakuan sama
(Schwalbe dkk., 2007).
E. Keterangan Empiris
Dari penelitian ini ingin diketahui nilai KHM dari ekstrak DP2 sebagai
parameter potensi antibakteri yang diujikan terhadap P. aeruginosa, E. coli,
S. aureus, dan B. subtilis menggunakan metode mikrodilusi dan aktivitas quorum
sensing inhibitor senyawa aktif dari fungi endofit DP2 dari A. annua terhadap
P. aeruginosa.
Download