BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) dan Homoseksualitas 2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Homoseksual Istilah homoseksual pertama kali diciptakan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman yang bernama Karoly Maria Benkert. Homo sendiri berasal dari kata yunani yang berarti sama dan seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan adanya ketertarikan secara emosional maupun seksual terhadap sesama jenis kelamin, misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas dan homoseksualitas telah dimulai sejak zaman Yunani kuno pada diskusi filosofis Symposium Plato dengan teori Queer Kontemporer. Hal yang timbul dari sejarah tersebut adalah ide hukum alam dan beberapa interpretasi hukum yang melarang homoseksual. Dengan munculnya gerakan pembebasan gay di era pembebasan gay pasca-Stonewall, perspektif terang-terangan gay dan lesbian mulai diajukan dalam bidang politik dan filsafat (Stanford, 2011). Pada abad ke-20 berlangsung huru-hara Stonewall ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar. Perlawanan ini merupakan langkah awal dari waria dan gay dalam mempublikasikan keberadaan mereka. Serta muncul pula gejala penyakit baru yang kemudian dinamakan AIDS. 9 10 Penyakit ini pertama kali ditemukan di kalangan gay di kota kota besar Amerika Serikat, kemudian ternyata diketahui bahwa HIV adalah virus penyebab AIDS Penularan HIV pertama kali ditularkan melalui hubungan seks anal antar laki-laki (Stanford, 2011). Di Indonesia sendiri pada tahun 1982 telah muncul organisasi gay terbuka, yang merupakan organisasi gay terbuka yang pertama di Indonesia, setelah itu diikuti dengan organisasi lainnya seperti Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY), Indonesian Gay Society (IGS), dan GAYA NUSANTARA (GN) Surabaya. Setelah banyaknya kemunculan-kemunculan tersebut, organisasi gay mulai menjamur di berbagai kota besar seperti di Jakarta, Pekanbaru, Bandung, Denpasar, Malang dan Ujung Padang. Sebenarnya beberapa laki-laki menyadari bahwa dirinya homoseksual atau gay. Mereka melakukan hubungan seksual jangka panjang dengan wanita dan kadang-kadang melakukan hubungan seks dengan pria dan sering tanpa diketahui pasangan wanitanya. Dalam kasus ini, hubungan seks mungkin dilakukan antar pria, karena memang hanya pria saja yang tersedia sebagai pasangan seks. Perilaku homoseksual juga sudah dikenal manusia sejak zaman Nabi Luth, yaitu kaum Sodom dan Gomorah. Hingga kini keberadaannya tetap ada, bahkan Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa seperti Belanda dan Denmark, justru telah mensahkan perkawinan sejenis (Rhamadani, 2010). Dalam publikasi National Academy of Science tahun 1991 mengenai sejarah homoseksual diceritakan adanya upaya ilmuwan menguak tabir homoseksual yang pernah dilakukan. Pada tahun 1991, ilmuwan dari California melaporkan hasil CT scaning (penyinaran) terhadap otak pria gay dan pria bukan gay, yang ternyata berbeda. Kemudian tahun 1993, ilmuwan dari National Institut of Health (N.I.H.) di 11 Marylnd Amerika menemukan adanya unsur DNA pada kromosom X yang menentukan orientasi seksual seseorang. Sementara itu, temuan menggemparkan terjadi dalam riset yang dikemukakan Ward dari N.I.H. dalam eksperimennya, mereka menggunakan sejumlah lalat yang telah ditransplantasi gen tunggal. Kemudian kumpulan lalat tersebut dimasukan ke dalam botol. Hasilnya menunjukkan, lalat betina cenderung berada pada bagian atas dan bawah botol. Sedangkan lalat jantan hanya berada pada bagian tengah dan membentuk ikatan rantai atau bergerombol. Yang menakjubkan, lalat jantan ternyata berperilaku homoseksual, sedangkan lalat betina tidak (Ward, 1995). Laporan tersebut kemudian menjadi rujukan sejumlah ilmuwan bahwa perilaku homoseksual memiliki asal usul genetik atau sifat alami (natural), sama seperti warna kulit, rambut, mata dan lain-lain. Namun demikian, hasil riset itu masih menyisakan pertanyaan, mengapa lalat jantan itu berperilaku homoseksual, sedangkan lalat betina tidak. Dan sampai saat ini banyak perdebatan mengenai penyebab dan asal-usul orientasi homoseksual dapat terjadi pada manusia, dan masih belum mendapatkan jawaban yang pasti. Berdasarkan pada Pedoman dan Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ), perilaku homoseksual merupakan gangguan kejiwaan yang muncul berdasarkan faktor genetik. Tetapi dalam perkembangannya homoseksual bukan lagi dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang timbul dari pola asuh orang tua dalam keluarga, namun lebih kepada faktor lingkungan yang mendorong seseorang untuk berorientasi homoseksual. Dalam lima tahun belakangan ini faktor lingkungan sosial lebih mempengaruhi orientasi homoseksual mulai dari karir atau pekerjaan, 12 komunitas orang yang bergabung dalam klub-klub tertentu serta dengan diikuti kejadian-kejadian yang membuat traumatik seseorang (Chaerunnisa, 2008). Barulah kemudian setelah sejumlah penemuan ilmiah terutama oleh American Psychiatric Association (APA) tahun 1970, semakin menguatkan teori bahwa homoseksual bukanlah suatu penyimpangan psikologis, juga bukan penyakit, dan bukan pula sesuatu yang abnormal sebagaimana dipahami oleh sebagian besar masyarakat selama ini, melainkan suatu keberagaman orientasi seksual seseorang (Mulia, 2010 : 17). 2.1.2 Pengertian 1. Pengertian Seks dan Seksualitas Masyarakat kebanyakan sudah pernah mendengar dan menyebut kata Seks, namun belum mengetahui apa arti kata Seks yang sesungguhnya. Banyak yang menganggap bahwa Seks memiliki arti hubungan badan atau kelamin antara perempuan dengan laki-laki yang sudah menikah. Dan tidak sedikit pula yang memandang tabu apabila mendengar kata Seks dan tidak etis membicarakannya. Padahal kata Seks merupakan kata yang memiliki makna yang sangat sederhana yaitu jenis kelamin biologis, dimana kata Seks diambil dari bahasa Inggris yaitu Sex. Atau definisi lengkapnya, Seks adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan secara kodrati atau yang ada semenjak kita dilahirkan, dimana perbedaan biologis tersebut yang mencakup perbedaan genetik, anatomi maupun hormonal yang sifatnya tidak dapat dipertukarkan (Youth Centre PKBI DIY, 2009). Sedangkan seksualitas mengandung makna yang sangat luas karena menyangkut aspek kehidupan yang menyeluruh, terkait dengan jenis kelamin 13 biologis (seks) maupun sosial (gender), orientasi seksual, identitas gender, identitas seksual, erotisme, kesenangan, keintiman, dan reproduksi (Plu Satu Hati, 2009). Seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau birahi manusia (the socially constructed expression of erotic desire), dan dalam realitas sosial, seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, agama dan spiritual (Rhamadani, 2010). Dimana seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan atau nilai-nilai, kebiasaan, dan tingkah laku. Seksualitas sejatinya merupakan hal yang positif, selalu berhubungan dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. Sayangnya, masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai hal yang negatif, sehingga tidak pantas atau tabu dibicarakan (Plu Satu Hati, 2009). 2. Pengertian Sistem dan Dimensi Seksualitas Menurut Whisik dan Pierce dalam Praptoraharjo (1998) menggambarkan mengenai sistem seksualitas manusia mencakup konteks seks, identitas seksual, identitas gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Berikut penjelasannya: a. Identitas seksual merupakan penerimaan seseorang terhadap kategori jenis kelamin tertentu, apakah seseorang mengaku sebagai laki-laki atau perempuan. Dimana penerimaan terhadap identitas seksual tidak selalu berkaitan dengan jenis kelamin biologis orang bersangkutan. Identitas seksual ini ada beberapa macam, yang dikenal masyarakat umum adalah identitas seksual sebagai laki-laki dan perempuan. Namun ada beberapa identitas seksual lainnya, seperti: 14 1) Transseksual merupakan seseorang yang hidup atau menginginkan hidup sebagai lawan dari jenis kelamin yang dimilikinya. Biasanya seseorang baru disebut transseksual ketika sudah bergati kelamin. 2) Questioning merupakan istilah yang biasa digunakan bagi seseorang yang sedang dalam proses mempertanyakan siapa dirinya, apa identitas seksualnya termasuk apa orientasi seksualnya. 3) Interseksual merupakan seseorang yang memiliki kelamin ganda atau yang sering disebut dengan Hermafrodit. Dimana penentuan kecondongan dari identitas seksualnya nanti adalah sangat tergantung dari pandangan dan identifikasi diri seseorang tersebut. 4) Queer merupakan istilah yang muncul untuk merangkul banyaknya variasi seksualitas manusia yang tidak bisa ataupun tidak mau dimasukkan dalam satu kelompok tertentu. b. Identitas gender merupakan definisi kelaki-lakian atau keperempuanan yang dikontruksikan secara kultural. Identitas gender ini diterima oleh seseorang serta terwujud dalam tindakan, perilaku, dan nilai-nilai pribadi. Identitas gender diperoleh seseorang melalui proses sosialisasi gender yang dialami mulai dari lahir hingga pengakuan terhadap dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminin, yang semuanya berada dalam konteks kultural dari orang yang bersangkutan. Selain itu ada yang namanya transgender atau waria merupakan seseorang yang hidup atau menginginkan hidup sebagai anggota gender yang lain. Seorang transgender tidak menginginkan pergantian alat kelamin. Dan apabila terdapat kecenderungan 15 bahwa dia tidak mengidentifikasikan gendernya sebagai laki-laki ataupun perempuan, hal tersebut dinamakan Androgenous (Plu Satu Hati, 2009). c. Orientasi seksual menurut Youth Centre PKBI DIY (2009) merupakan ketertarikan secara emosional dan seksual terhadap jenis kelamin tertentu. Dimana secara garis besar ada tiga macam orientasi seksual yaitu: 1) Heteroseksual merupakan ketertarikan secara emosional dan seksual terhadap lawan dari jenis kelaminnya. 2) Homoseksual merupakan ketertarikan secara emosional dan seksual terhadap sesama jenis kelaminnya. Apabila seorang perempuan memiliki ketertarikan baik secara emosional maupun seksual dengan perempuan lainnya maka dia disebut dengan Lesbian. Sedangkan apabila laki-laki memiliki ketertarikan baik secara emosional maupun seksual dengan laki-laki lainnya disebut dengan Gay. 3) Biseksual merupakan ketertarikan secara emosional dan seksual terhadap sesama dan lawan jenis kelaminnya baik dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam yaktu yang berlainan. d. Perilaku Seksual merupakan cara seseorang bertindak atau berperilaku secara seksual maupun erotis dalam melakukan aktivitas seksual. Perilaku seksual mencakup orang-orang yang melakukan keintiman dengan orang lain maupun dirinya sendiri (autoseksual) dan juga mencakup perilaku yang diarahkan untuk memperoleh kenikmatan erotis. Menurut Rhamadani tahun 2010, perilaku seksual terdiri atas dua yakni hubungan seksual (intercourse) dan selain hubungan seksual (non intercourse). Perilaku seksual selain hubungan seksual (non intercourse) diantaranya seperti berpegangan tangan, 16 berpelukan, berciuman dan masturbasi. Sedangkan yang termasuk hubungan seksual (intercourse) yakni : 1) Orogenital merupakan hubungan seksual dengan melakukan rangsangan melalui mulut pada organ seks pasangannya. Orogenital disebut juga oral seks yang berarti hubungan seksual secara oral (mulut) dengan alat kelamin. Jika yang melakukan oral seks adalah laki-laki, sebutannya cunnilingus. Sedangkan jika yang melakukan oral seks adalah perempuan maka sebutannya fellatio. 2) Anogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan dengan memasukkan penis ke dalam anus atau anal, sehingga anogenital disebut juga dengan anal seks. 3) Genitogenital merupakan hubungan seksual yang dilakukan antara kelamin dengan kelamin yaitu hubungan seksual yang memasukkan penis ke dalam vagina atau hubungan seksual secara vaginal. 3. Pengertian LSL Menurut CDC (Centers Diseases Control and Prevention) pada sistem surveilansnya tahun 2009, terminologi Men Who Have Sex With Men (MSM), yang dalam Bahasa Indonesia disebut LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki), mengindikasi perilaku seksual pada LSL yang dapat menularkan HIV, dan tidak tidak ada korelasinya dengan identitas seksual, identitas gender, dan orientasi seksual. Jadi dengan kata lain pengertian LSL tidak dilihat dari latar belakang identitas dan orientasi seksualnya melainkan dilihat dari perilaku dan pasangan seksualnya. Hal tersebut berarti tidak memikirkan apakah seseorang adalah gay, biseksual, 17 maupun laki-laki heteroseksual, ketiganya dapat dimasukkan dalam kategori LSL, apabila mereka sudah pernah melakukan hubungan seksual (oral maupun anal seks) dengan laki-laki lainnya baik dengan alasan finansial, hasrat sensual, karena cobacoba dan berbagai motif seksual lainnya. Hampir sama seperti yang diklasifikasikan oleh YGD Bali bahwa LSL yang dijangkau adalah termasuk laki-laki gay, biseksual, heterosekual ataupun laki-laki yang memiliki pekerjaan sebagai PSL termasuk pelangan dari PSL tersebut. Kebanyakan individu dan masyarakat berfikir bahwa orientasi heteroseksual dan homoseksual adalah pola yang berbeda dan dapat mudah didefenisikan. Kenyataannya, kecenderungan akan pasangan seksual dari jenis kelamin yang sama tidaklah selalu merupakan keputusan yang tetap dapat dibuat sekali dan mengikat untuk selamanya. Sebagai contoh, tidaklah jarang bagi seorang individu, terutama laki-laki untuk melakukan eksperimen homoseksual di masa remaja, namun tidak melakukan menjadi homoseksual di masa dewasa. Sementara beberapa individu menjadi heteroseksual di masa remaja, namun kemudian menjadi homoseksual di masa dewasa (Halonen dan Santrock, 1996). Dari ulasan di atas, berarti orientasi seksual seseorang dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaaan. Maka dari itu kemungkinan besar seorang laki-laki dapat berperilaku sebagai LSL. Seperti yang dimuat dalam tulisan Boellstorff tahun 2010 yang mengatakan bahwa ribuan laki-laki di Indonesia telah teridentifikasi pernah melakukan hubungan dengan laki-laki lainnya. Namun sebenarnya, apapun alasan seseorang berperilaku sebagai LSL, namun yang paling penting adalah bagaimana agar perilaku tersebut tidak menjadi perilaku seksual yang berisiko terkait penularan 18 HIV, sehingga tidak akan terjadi pembedaan atau diskriminasi di masyarakat, karena pada dasarnya setiap manusia berhak memilih perilaku dan pasangan seksualnya. 2.1.3 Perilaku Penggunaan Kondom di Kalangan LSL 1. Perilaku Barebacking Sex di Kalangan LSL LSL sering dikaitkan dengan risiko penularan HIV, bukan karena orangnya, melainkan cara berhubungan seksual dan faktor risiko lainnya yang menjadikan kelompok LSL merupakan kelompok yang berisiko tinggi atau menjadi populasi kunci dalam penularan dan penyebaran HIV. Perilaku seksual berisiko yang dimaksud adalah berhubugan anal seks dengan tidak menggunakan kondom dan pelicin serta kecenderungan kelompok LSL untuk berganti-ganti pasangan seksual sangatlah tinggi, hal tersebut dikarenakan tidak adanya hubungan atau ikatan atau status yang jelas diantara kelompok LSL. Walaupun bukan hanya kelompok LSL saja yang bisa melakukan anal seks dan tidak memakai kondom saat berhubungan seksual, namun kelompok LSL sangat mendominasi perilaku berisiko tersebut. Menurut laporan terakhir dari Bimbi dan Parsons tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar dari kelompok LSL sudah meninggalkan praktik-praktik atau perilaku seksual yang aman dengan mencari secara aktif pasangan seks laki-laki lainnya dengan tujuan untuk Unprotected Anal Intercourse (UAI), yang merupakan perilaku berisiko untuk penularan HIV yang secara umum disebut dengan Barebaking. Istilah ‘Barebacking’ muncul di kalangan komunitas gay di pertengahan tahun 1990, dan sebuah penelitian menyebutkan bahwa para gay telah mengerti 19 bahwa Barebacking merupakan perlaku anal seks tanpa menggunakan kondom yang dilakukan karena kesengajaan (Halkitis and Parsons, 2003). Dengan demikian, walaupun perilaku seksual memiliki kesamaan sampai pada level fisik, namun dalam literatur akademis menyebutkan bahwa Bareback Seks berbeda dari UAI dalam hal kesengajaan melakukannya. Beberapa literatur telah menyebutkan bahwa Barebacking kemungkinan mewakili perbedaan terhadap tipetipe pengalaman seksual dari perilaku seksual berisiko lainnya. Akan tetapi, walaupun para peneliti telah secara relatif konsisten dalam menggunakan istilah Barebacking sebagai perilaku anal seks yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dan disengaja yang dilakukan dengan para partner kasual (bukan partner seks tetap) yang berhubungan dengan risiko penularan HIV, namun pengertian dari Barebacking selalu berubah setiap saat. Namun persepsi di dalam komunitas LSL mengartikan secara sederhana bahwa Barebacking sebagai anal seks yang tidak menggunakan kondom (Parsons dan Bimbi, 2007 : 277). 2. Rendahnya Penggunaan Kondom di Kalangan LSL Kondom merupakan metode yang paling baik untuk melindungi diri dari penularan HIV (Davis dan Weller, 1999), dan kondom mempunyai potensi yang besar untuk menjaga agar epidemi HIV tidak lebih meluas asalkan dipakai secara konsisten (Walque dan Kline, 2009). Penggunaan kondom secara berkelanjutan menjadi hal yang sangat penting untuk menurunkan insiden penyakit di kalangan masyarakat yang telah seksual aktif, dan promosi mengenai penggunaan kondom yang benar dan konsisten merupakan pondasi pencegahan HIV di seluruh dunia. Dari semua penyebab kegagalan kondom, dapat diperhitungkan dan diestimasikan bahwa 20 efektifitas pemakaian kondom secara konsisten untuk pencegahan HIV yang menduduki penyebab kegagalan paling utama yaitu sebesar 90% ke atas (Westercamp, 2009: 3). Di Indonesia sendiri menurut STBP tahun 2011 mengatakan bahwa penggunaan Kondom konsisten masih tetap rendah untuk setiap tipe pasangan seksual dan LSL yang mengalami kondom robek pada saat digunakan berhubungan seksual cenderung meningkat. Kisaran kuantitatif dapat dilihat dalam Grafik 2.1. Sumber: STBP 2011 Grafik 2. 1 Pemakaian Kondom di Kalangan LSL menurut STBP 2011 Sebesar 88% LSL mengaku pernah menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks anal dengan pria. 54% LSL menggunakan kondom pada saat hubungan seks anal terakhir dengan pria, dan 22% menggunakan kondom secara konsisten pada seks anal satu bulan terakhir. Kurang dari satu pertiga LSL menggunakan kondom secara konsisten pada setiap tipe pasangan seksualnya. Kisaran 66% LSL (Bandung) dan 94% (Malang) melakukan seks anal secara reseptif 21 selama sebulan terakhir, sedangkan proporsi LSL yang mengaku melakukan seks anal secara insertif selama sebulan terakhir terendah di Bandung yaitu 71% dan tertinggi di Semarang yaitu 99%. Sebanyak 21% LSL menggunakan kondom secara konsisten pada hubungan seks anal secara reseptif satu bulan terakhir. 23% LSL menggunakan kondom secara konsisten pada hubungan seks anal secara insertif dalam satu bulan terakhir. Dan 12% LSL mengalami kondom robek pada saat digunakan ketika berhubungan seks selama tiga bulan terakhir. Angka tersebut cenderung meningkat bila dibandingkan dengan hasil STBP 2007 untuk kota yang sama. Situasi pemakaian kondom di Bali, menurut Survei Perilaku Populasi Paling berisiko dan Kepuasan Layanan di Bali tahun 2010 untuk LSL adalah sering mengalami kenaikan dan penurunan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Grafik 2.2, Grafik 2.3 dan Grafik 2.4. 100 80 79 58 60 42 40 20 20 Ya Tidak 0 2009 2010 Sumber: Survei Perilaku Populasi Paling berisiko dan Kepuasan Layanan di Bali tahun 2010 untuk LSL Grafik 2. 2 Presentase LSL berdasarkan Pembelian Kondom Sebulan Terakhir Tahun 2009 dan 2010 22 Dari Grafik 2.2 terlihat bahwa terdapat penurunan pembelian kondom dari tahun 2009 ke tahun 2010. Dan pada Grafik 2.3 memperlihatkan bahwa ketidakmudahan mendapatkan kondom di kalangan LSL cenderung meningkat dari tahun 2009 ke tahun 2010. Dan pada Grafik 2.4 memperlihatkan masih rendahnya pemakaian kondom baik pada pasangan tetap maupun tidak tetap cenderung masih sangat rendah atau belum mencapai 50%. Sumber: Survei Perilaku Populasi Paling berisiko dan Kepuasan Layanan di Bali tahun 2010 untuk LSL Grafik 2. 3 Presentase LSL berdasarkan Kemudahan Mendapatkan Kondom Tahun 2009 dan 2010 23 64% 42% 47% Pasangan Tetap Pasangan Tidak Tetap Semua Pasangan 2009 2010 Sumber: Survei Perilaku Populasi Paling berisiko dan Kepuasan Layanan di Bali tahun 2010 untuk LSL Grafik 2. 4 Persentase Pemakaian Kondom Konsisten pada LSL dalam Sebulan Terakhir, Tahun 2009 dan 2010 3. Faktor Risiko Rendahnya Pemakaian Kondom di kalangan LSL Menggunakan atau tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual di kalangan LSL dipengaruhi oleh banyak faktor risiko. Dari sekian banyak literatur dan penelitan yang meneliti tentang faktor risiko yang berhubungan atau mempengaruhi pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL, maka dapat dirangkum dalam beberapa poin, yaitu: a. Konsumsi dan penyalahgunaan substansi tertentu Konsumsi dan penyalahgunaan substansi ini berhubungan dengan kegiatan sebelum dilakukannya hubungan seksual. Substansi tersebut berupa alkohol, obat-obatan terlarang, obat perangsang maupun obat penambah stamina yang dikonsumsi oleh LSL maupun pasangan seksualnya secara bersamaan maupun terpisah, sebelum melakukan hubungan seksual. Alkohol 24 merupakan substansi yang paling lazim digunakan dalam konteks hubungan seksual, akan tetapi menghubungkan konsumsi alkohol dengan konteks faktor risiko hubungan seksual telah menghasilkan hasil yang berbeda-beda. Di beberapa studi menemukan bahwa minum alkohol berhubungan dengan angka risiko perilaku seksual, akan tetapi di studi-studi lainnya tidak ditemukan hubungan antara konsumsi alkohol dengan peningkatan risiko dalam berhubungan seksual (Kalichman, 2003). Dalam penelitian yang dilakukan Berg tahun 2007, yang meneliti kelompok Barebacking Sex dan Non-Barebacking Sex. Dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kelompok MSM atau LSL, yang mengidentifikasi dirinya sebagai Barebacker lebih sering mengonsumsi alkohol, narkoba ataupun obat perangsang dan penambah stamina sebelum berhubungan seksual daripada kelompok Non-Barebacker. Dalam studi lain yaitu studi yang mencari determinan terhadap hubungan antara sensation seeking, konsumsi alkohol dan perilaku seksual berisiko di kalangan laki-laki gay dan biseksual, menemukan bahwa konsumsi alkohol berhubungan dengan UAI pada pasangan seksual kasual (Dolezal et al., 2000). Karena berada di bawah pengaruh alkohol, narkoba dan obat perangsang, maka kebanyakan manusia tidak akan berpikir dengan jernih, termasuk berpikir untuk menggunakan kondom saat berhubungan seks, walaupun tingkat pengetahuannya tinggi dan kondom selalu tersedia di dalam sakunya. Apalagi hal tersebut diperkuat dengan adanya norma kelompoknya untuk melakukan Unprotected Sex (Parsons dan Bimbi, 2007: 277-287). Sensation Seeking erat kaitannya dengan konsumsi substansi yang 25 telah dijelaskan di atas karena dengan mengonsumsi substansi-substansi tersebut dapat menstimulasi dan meningkatkan sensasi seksual yang disesuaikan dengan karakteristik personal seseorang. b. Internet Sexual Seeking and Risk Taking Konteks dari seleksi pasangan dan negosiasi seksual yang berlangsung telah mengalami perubahan atau revolusi dengan adanya internet. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa individual yang berisiko terhadap infeksi HIV menggunakan pencarian online dan sukses menemukan banyak pasangan seksual (Horvath et al. 2006: 1-2). Seperti yang pernah dilaporkannya bahwa hampir 16% orang dewasa yang berkunjung di Public Helath Clinic di Colorado, telah menggunakan internet untuk mencari pasangan seksual. Studi lain juga melaporkan bahwa 65% orang diindikasi pernah berhubungan seksual dengan pasangan sesual yang mereka temui di internet. Kelompok LSL yang posistif HIV memiliki riwayat hubungan seksual lebih sering melakukan UAI (Unprotected Anal Intercourse) (Halkitis et all, 2003). Dan untuk mendapatkan pasangan seksual mereka memanfaatkan jejaring sosial dan internet yang bertujuan untuk menemukan pasangan yang berbeda-beda yang disebut dengan Sexual Sensation Seeking. Kelompok LSL yang mengidentifikasikan diri sebagai kelompok Barebacker memiliki skor yang lebih tinggi yang mengindikasikan tingginya kecenderungan untuk melakukan Sexual Sensation Seeking, setelah diukur menggunakan SSSS (Sexual Sensation Seeking Scale) (Kalichman et al, 1994). 26 Fenomena penggunaan intenet untuk mencari dan bertemu pasangan seksual lebih banyak terjadi di kalangan gay dan biseksual daripada di kalangan pasangan heteroseksual. Para peneliti telah mulai mengidentifikasi apakah pencarian seksual secara online berhubungan dengan perilaku seksual berisiko dengan melihat banyak penemuan yang bertentangan satu sama lainnya. Salah satu penelitian melaporkan adanya hubungan antara UAI, yang merupakan perilaku yang berisiko terhadap penularan HIV, dengan pencarian pasangan melalui media online dan offline, namun hasilnya masih samarsamar. Banyak lagi penelitian yang saling bertentangan yang menyebutkan bahwa ada ataupun tidak ada hubungannya penggunaan internet untuk mencari dan bertemu pasangan seksual dengan perilaku seksual berisiko seperti UAI secara pasti. c. Type of Sexual Partnership Pasangan seksual memiliki tipe yang berbeda tergantung persepsi, kebutuhan dan besar kecilnya emosi yang dilibatkan dalam hubungan tersebut. Ada beberapa tipe pasangan seksual yaitu diantara pasangan seksual tetap, kasual (tidak tetap), dan komersial. Pasangan seksual tetap merupakan pasangan reguler atau pasangan utama dari banyak pasangan yang dimilki oleh seorang LSL. Pasangan seksual tetap dikatakan sebagai satu variabel yang terkuat diprediksikan menyebabkan terjadinya UAI termasuk di kalangan LSL. Hubungan seksual dengan pasangan tetap di kalangan LSL selalu ada, namun memperoleh sorotan yang minimal, kemungkinan wajar menyiratkan asumsi 27 bahwa hubungan seksual sesama jenis adalah hubungan yang bersifat hasrat dan nafsu belaka daripada hubungan seksual di kalangan heteroseksual, sehingga menjadikan perilaku tersebut sebagai perilaku yang berisiko karena cenderung berganti-ganti pasangan, dan hal tersebut kurang dianggap penting untuk melihat perilaku individu LSL itu sendiri. Padahal faktanya, dalam studi deskriptif banyak LSL atau laki-laki gay mendiskripsikan dirinya memiliki pasangan dengan hubungan seksual primer (Crawford, 2003). Tipe hubungan di kalangan LSL memberikan sebuah isu dalam pencegahan HIV maupun IMS, termasuk perbedaan antara hubungan seksual yang berisiko dengan pasangan tetap maupun tidak tetap (kasual), HIV positif dengan HIV negatif, dan penglibatan emosi dalam hubungan tersebut. Hubungan seksual dengan pasangan primer di kalangan LSL kemungkinan memiliki hubungan yang sangat kompleks terhadap perilaku seksual bersisiko secara nyata. Banyak LSL yang mungkin melakukan pendekatan dengan membuat suatu hubungan yang spesial dengan pasangannya yang bertujuan untuk melakukan perilaku seksual yang tidak aman. Seperti yang juga terdapat pada penelitian Wolffers tahun 1999, yang mejelaskan terjadinya perbedaan pemakaian kondom terhadap tipe pasangan seksual di kalangan WPS, dimana apabila pasangan tersebut merupakan tamu (pasangan komersial), maka akan lebih cenderung memakai kondom. Sebaliknya apabila berhubungan seks dengan pasangan tetap, maka penggunaan kondom akan menurun, dikarenakan saling mengenal dan memilki kedekatan emosi serta saling mengetahui kesehatan pasangannya. 28 Untuk pasangan seksual komersial dapat berupa hubungan PSL dengan pelanggannya, ataupun seorang LSL yang berhubungan dengan pasangan seksualnya dengan tujuan untuk mendapatkan tunjangan ekonomi maupun penghidupan finansial yang lebih baik. Menurut studi yang dilakukan di Pakistan, proporsi terbesar yang menjadi pasangan dari kelompok LSL adalah para PSL. Bertentangan dengan trend pemakaian kondom di kalangan WPS, proporsi terbesar LSL yang dilaporkan konsisten memakai kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan seksual yang bukan PSL dibandingkan dengan pasangan seksual yang merupakan PSL. Berarti penemuan tersebut menjelaskan bahwa pemakaian kondom yang konsisten saat berhubungan seksual cenderung pada pasangan seksual primer daripada pasangan seksual komersial, sehingga penemuan ini menjadi bertentangan dengan penemuan yang dibahas oleh Crawford tahun 2003 dan Wolffers tahun 1999. Hal tersebut menyiratkan bahwa karakteristik LSL di suatu tempat sangat mempengaruhi konsistensi pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan tipe-tipe pasangan seksual tertentu. 2.1.4 Kesehatan Seksual dan Reproduksi pada LSL Perilaku Barebaking di kalangan LSL merupakan permasalahan kesehatan masyarakat karena perilaku tersebut dapat mengantarkan pada penularan IMS dan HIV di kalangan pasangan yang HIV positif kepada yang lainnya. Di USA, angka IMS seperti Sifilis di kalangan LSL telah meningkat di tahun-tahun terakhir ini dan 29 dari tahun 2003 ke 2004 kasus baru penularan HIV di kalangan LSL meningkat sebesar 8% (CDC 2006). Menurut CDC (2011) estimasi angka infeksi baru HIV di USA (Grafik 2.5) adalah mencapai total 41.540 kasus di masing-masing subpopulasi. Dari estimasi tersebut, memperlihatkan bahwa LSL mendominasi kasus HIV yaitu sebanyak 28.200 kasus, dimana 11.400 dari LSL berkulit putih, 10.800 LSL berkulit hitam dan 6.000 dari LSL Hispanic. Mayoritas dari infeksi baru di kalangan LSL berkulit hitam terjadi di kalangan LSL berkulit hitam muda dengan rentang kelompok umur 13 sampai dengan 29 tahun yaitu mencapai 6.500 kasus baru. Sedangkan infeksi baru pada LSL berkulit putih hampir sama di hampir semua kelompok umur (13-29, 30-39, 40-49 tahun) yaitu rata-data 3.200 kasus sampai dengan 3.400 kasus baru. Dan di subpopulasi LSL Hispanic paling banyak terjadi di kalangan generasi muda 13-29 tahun yaitu sebanyak 2.700 kasus baru. 12.000 11.400 10.800 10.000 8.000 6.000 6.000 5.400 1.200 940 Black Female… 1.700 Black Male IDUs Black Heterosex… Black Heterosex… Hispanic MSM Black MSM White MSM 0 1.700 White Heterosex… 2.400 2.000 Hispaninc Heterosex… 4.000 Sumber: Laporan CDC 2011 Grafik 2. 5 Situasi HIV pada Beberapa Subpopulasi di USA tahun 2008 30 Dalam studi di 21 kota besar di USA tahun 2008, kelompok LSL memiliki level infeksi HIV yang tinggi dan banyak dari mereka yang terinfeksi tidak mengetahuinya. Secara garis besar satu dari lima LSL yang berpartisipasi dalam studi ini telah terinfeksi HIV (19 %). Dan dari mereka yang telah terinfeksi HIV hampir setengahnya (44%) tidak peduli dengan status HIV-nya. Selain HIV, AIDS juga mengklaim hidup banyak LSL. Sejak dimulainya epidemi, lebih dari 286.000 LSL meninggal dunia akibat AIDS. Banyak faktor-faktor yang kompleks yang menyebabkan peningkatan risiko infeksi HIV menurut laporan CDC tahun 2011, yaitu diantaranya: 1. Prevalensi HIV yang tinggi Tingginya prevalensi HIV di kalangan laki-laki gay dan biseksual, memiliki arti bahwa kelompok LSL memiliki risiko yang lebih besar terhadap penularan dan infeksi HIV di setiap hubungan seksual dengan pasangan seksualnya, terutama dengan pasangan seskual yang lebih tua. Untuk LSL muda berkulit hitam yang berhubungan dengan pasangan seksual berkulit hitam yang lebih tua (yang mana prevalensi HIV-nya tinggi) juga akan membuat peningkatan risiko infeksi HIV. 2. Kurangnya pengetahuan tentang status HIV Beberapa studi menunjukkan bahwa individu-individu yang mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV, telah mengambil langkah untuk melindungi pasangan-pasangan seksual mereka. Namuan belum banyak LSL yang peduli dengan status HIV mereka dan kemungkinan tidak mengetahui dapat dan telah menularkan virus ke LSL lainnya. Selain itu, beberapa LSL kemungkinan membuat kesalahan asumsi atau memiliki 31 ketidakakuratan informasi tentang status HIV pada pasangan seksual mereka. Dan sangat sulit memastikan bahwa LSL yang telah seksual aktif telah melakukan tes untuk HIV paling tidak secara rutin atau di waktuwaktu yang diperlukan. 3. Kepuasan diri terhadap risiko Di kalangan LSL terutama yang masih muda, kepuasan diri terhadap HIV kemungkinan memainkan peranan kunci dalam risiko HIV, dimana sejak para LSL tersebut secara personal tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang epidemi AIDS. Selain itu, ada tantangan lainnya untuk para LSL termasuk memelihara secara konsisten perilaku seksual yang aman di setiap waktu, meremehkan risiko personal dan kepercayaan yang salah yang disebabkan perlakuan terdahulu, dimana mereka memiliki kepercayaan bahwa HIV bukanlah ancaman kesehatan dalam jangka panjang. Maka dari itu setidaknya kepada pihak-pihak yang peduli dan bergerak dalam bidang penanggulangan HIV harus menjangkau masing-masing generasi dalam kelompok LSL dan mengembangkan program yang dapat menolong para LSL yang tersisa atau yang belum terinfeksi terhadap epidemi HIV dan AIDS. 4. Diskriminasi sosial dan isu-isu budaya Bagi beberapa LSL faktor-faktor sosial dan ekonomi termasuk homophobia, stigma dan kurangnya akses ke pelayanan kesehatan kemungkinan besar dapat meningkatkan perilaku berisiko atau menjadi halangan untuk mendapatkan pelayanan pencegahan terhadap HIV. 32 5. Penyalahgunaan narkotika Beberapa LSL menggunakan alkohol dan obat-obatan terlarang yang berkontribusi untuk meningkatkan risiko infeksi HIV dan beberapa IMS. Penggunaan substansi tersebut dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui perilaku seksual yang berisiko ketika berada dibawah pengaruh substansi tersebut dan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril berganti-gantian. Di Indonesia sendiri untuk keadaan kesehatan kelompok LSL tidak jauh berbeda dengan di USA, hanya saja tidak ada pembedaan menggunakan subpopulasi dan ras warna kulit. Keadaan kesehatan LSL terutama kesehatan seksual dan reproduksinya dapat dilihat dalam Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011 pada LSL yang dilakukan di 5 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Malang dan Surabaya dengan mengumpulkan data perilaku dan biologis. Sumber: STBP 2011 Grafik 2.6 Situasi HIV dan Beberapa IMS di Daerah Jakarta, Bandung, Surabaya dan Malang 33 Dari laporan STBP 2011 diketahui bahwa LSL di Indonesia diestimasikan berjumlah antara 432.729 sampai dengan 1.358.572 dengan rata-rata 695.026 pada tahun 2009. Dalam Grafik 2.6 memperlihatkan bahwa prevalensi IMS masih tinggi dan terjadi peningkatan prevalensi Sifilis dan HIV dua sampai dengan lima kali dibanding tahun 2007.Prevalensi IMS seperti Klamidia dan Gonore rektal berkisar antara 25% di Surabaya dan 46% di Bandung. Prevalensi Sifilis paling tinggi terdapat di Jakarta (17%) dan terendah di Malang (3%). Prevalensi HIV diantara LSL berkisar dari 2.4% di Semarang sampai yang tertinggi 17% di Jakarta. 2.2 Konsep Perilaku Kesehatan 2.2.1 Batasan Perilaku: Teori S-O-R Skiner Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk termasuk binatang dan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya. Secara singkat, aktivitas manusia tersebut dikelompokan menjadi dua yakni, aktivitas-aktivitas yang diamati oleh orang lain misalnya berjalan, bernyanyi, tertawa, dan sebagainya, serta aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya. Skinner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia terjadi melalui proses “Stimulus Organisme 34 Respons”, sehingga teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” (stimulus-organismerespons). Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu : a. Respondent respons atau refleksif, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut elicting stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan, cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata tertutup, dan sebagainya. Respon-dent respons juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah akan menimbulkan rasa sedih, mendengar berita suka atau gembira akan menimbulkan rasa suka cita. b. Operant respons atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respon. Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah sebagai respon terhadap gaji yang cukup. Kemudian karena kerja baik tersebut, menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut sebagai reinforcer untuk memperoleh promosi pekerjaan. Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Perilaku tertutup (Covert behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan 35 sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobsevable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur dari pengetahuan dan sikap. Contohnya, ibu hamil tahu pentingnya periksa hamil untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri (pengetahuan), kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganya dimana tempat periksa hamil yang dekat (sikap). b. Perilaku terbuka (Overt behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “obsevable behavior”. Contohnya, seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas atau ke bidan praktik, seorang penderita TB paru minum obat anti TB secara teratur, seorang anak menggosok gigi setelah makan, dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut adalah berbentuk tindakan nyata, dalam bentuk kegiatan, atau dalam bentuk praktik (practice). TEORI “S-O-R” STIMULUS ORGANISME RESPONS TERTUTUP Pengetahuan Sikap RESPONS TERBUKA Praktik Tindakan Bagan 2. 1 Teori Stimulus-Organisme-Respons (S-O-R) (Skinner, 1938) 36 2.2.2 Perilaku Kesehatan Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner tersebut, maka perilaku kesehatan (health behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah dan melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu, perilaku kesehatan pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku-perilaku (overt dan covert behavior) dalam mencegah dan menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah, atau penyebab masalah kesehatan (perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan (perilaku promotif). b. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior). Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit 37 atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional (dukun, sinshe, paranormal), maupun pengobatan modern atau profesional (rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan sebagainya). 2.2.3 Domain Perilaku Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku tertutup (covert), dan perilaku terbuka (overt) seperti telah diuraikan sebelumnya, tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang adalah sangat kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area, wilayah, ranah atau domain perilaku ini, yakni kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh para ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat perilaku sebagai berikut : 38 a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut dangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu : 1) Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaanpertanyaan pemancing ingatan. 2) Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. 39 4) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis apabila orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. 5) Sintetis (synthetis) Sintetis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponenkomponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintetis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang telah ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. b. Sikap (Attitude) Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Jadi di sini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindroma atau 40 kumpulan gelaja dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain. Newcomb tahun 1935, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan atau reaksi tertutup). STIMULUS (Rangsangan) PROSES STIMULUS REAKSI TERBUKA (Tindakan) REAKSI TERTUTUP (Sikap) Bagan 2. 2 Komponen Pokok Sikap (Newcomb, 1935) Menurut Allport (1954) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu : 1) Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. Sikap orang terhadap penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta. 2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang 41 tersebut terhadap objek. Seperti contoh di atas tersebut, berarti bagaimana orang menilai terhadap penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau penyakit yang membahayakan. 3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya, tentang contoh sikap terhadap penyakit kusta di atas adalah apa yang dilakukan seseorang bila ia menderita kusta. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Contoh, seorang ibu mendengar (tahu) penyakit demam berdarah (penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya keluarganya, terutama anaknya tidak kena penyakit demam berdarah. Dalam hal ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat (kecenderungan bertindak) untuk melakukan 3M agar anaknya tidak terserang demam berdarah. Ibu ini mempunyai sikap-sikap tertentu (berniat melakukan 3M) terhadap objek tertentu yakni penyakit demam berdarah. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: 1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). 42 2) Menanggapi (responding) Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. 3) Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon. 4) Bertanggung jawab (responsible) Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus bisa mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain. c. Tindakan atau praktik (Practice) Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Misalkan seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa hamil itu penting untuk kesehatannya dan janinnya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa hamil. Agar sikap ini meningkat menjadi tindakan, maka diperlukan bidan, Posyandu, atau Puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas tersebut mudah dicapainya. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak akan 43 memeriksakan kehamilannya. Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu: 1) Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. 2) Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. 3) Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. 2.3 Teori Perilaku Kesehatan 2.3.1 Teori Health Belief Model The Health Belief Model (HBM) merupakan model psikologikal yang berusaha untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku-perilaku kesehatan dengan memfokuskan pada sikap dan kepercayaan seseorang. HBM dikembangkan pada tahun 1950-an sebagai bagian dari upaya dengan cara sosial psikologis di United States Public Health Services, untuk menjelaskan kurangnya partsipasi masyarakat dalam skrining kesehatan dan program-program pencegahan. Sejak saat itu, HBM telah diadaptasi untuk meneliti variasi dari perilaku kesehatan baik jangka panjang 44 maupun jangka pendek, termasuk perilaku seksual yang berisiko dan penularan HIV dan AIDS. Teori HBM dikembangkan oleh banyak ahli seperti Hochbaum (1958) dan Rosentock (1960). Dan di tahun-tahun ke belakang teori ini disempurnakan lagi oleh Kirscht dan Becker (1974). Berdasarkan teori ini maka ada beberapa pertimbangan yang menentukan perubahan perilaku kesehatan seseorang yaitu: 1. Perceived Susceptibility, yang berarti anggapan akan adanya ancaman penyakit yang bisa menimpa seseorang. Ini berarti bahwa seseorang baru akan bertindak jika telah merasakan adanya ancaman suatu penyakit terhadap dirinya. 2. Perceived Severity, yaitu pertimbangan terhadap tingkat keseriusan suatu ancaman, dimana makin serius suatu ancaman penyakit makin kuat dorongan seseorang bertindak untuk menghindarinya. 3. Perceived Benefits, yaitu pertimbangan keuntungan yang selalu menjadi salah satu pertimbangan utama dalam mengambil suatu tindakan. Jika tindakan atau perubahan perilaku yang dianjurkan dipandang menguntungkan maka seseorang cenderung akan bertindak atau berubah perilakuanya. Keuntungan ini bisa berupa pertimbangan bahwa tindakan atau perilaku yang diambil akan efektif dan efesien dalam menghindari suatu ancaman. 4. Perceived Barriers, merupakan pertimbangan hambatan yang mungkin akan dihadapi dalam mengambil suatu tidakan atau perubahan perilaku. Hambatan tersebut bisa berupa pertimbangan biaya yang mahal, 45 mengandung bahaya, tidak menyenangkan ataupun memakan waktu yang lama. 5. Other Variables, yaitu variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi tindakan atau perubahan perilaku seperti faktor umur, pendidikan, psikologi dan faktor-faktor sosial lainnya. 6. Self Efficacy, poin ini diambahkan oleh Bandura (1977) untuk melengkapi Health Belief Model. Variabel ini menyangkut kemampuan diri seseorang untuk bertindak atau mengubah perilakunya. Variabel ini jelas tampak pada tindakan atau perubahan perilaku yang kompleks. Kebiasaan ini menyangkut waktu yang lama dan memerlukan ketahanan individu untuk tetap konsisten terhadap jalan perubahan yang sukar dan memerlukan waktu yang panjang. Jika perubahan perilaku atau tindakan tersebut sifatnya sederhana dan dalam jangka waktu yang pendek maka variabel ini tidak akan tampak jelas peranannya. Penelitian teori HBM telah dipakai untuk meneliti keberagaman perilaku kesehatan pada populasi yang berbeda-beda. Dengan kedatangan dari HIV dan AIDS, teori HBM juga telah digunakan memperoleh pengertian dan pengetahuan yang lebih baik dari perilaku seksual berisiko (Rosenstock et al., 1994). Di telaah pustaka dari semua studi tentang teori HBM telah dipublikasikan dari tahun 1974 sampai dengan 1984, Perceived barriers menjadi variabel yang paling berpengaruh untuk memprediksikan dan menjelaskan kesehatan yang berhubungan dengan perilaku (Janz dan Becker, 1984). 46 Sociodemographic Factors (pendidikan, umur, jenis kelamin, ras, etnik) Expectations Perceived Benefits of Action Perceived Barriers of action Perceived Sef-Efficacy to perform action Threat Perceived Susceptibility Perceived severity of illhealth condition Behavior to reduce threat base on expectations Cues to Action Media Personal influence Reminders Sumber: Rosenstock I., Strecher, V., and Becker, M. (1994). Bagan 2. 3 Kerangka Teori Health Belief Model 2.3.2 Teori Stages of Change Para psikolog mengembangkan teori Stages of Change pada tahun 1992, yang memiliki lima tahapan yaitu: 1. Precontemplation, yaitu seorang individu memiliki suatu permasalahan dan memiliki kesadaran untuk berubah. Dalam prosesnya berisikan pemberian informasi dan pengetahuan, pemberian role playing dan lainnya. 2. Contemplation yaitu seorang individu mengenal permasalahan dan secara serius berpikir tentang perubahan. Dimana prosesnya berisikan tentang evaluasi diri. 47 3. Preparation for Action, yaitu seorang individu mengenal permasalahan dan bermaksud untuk mengubah perilaku sampai dengan bulan selanjutnya. Beberapa perubahan perilaku berusaha untuk dilaporkan, seperti penggunaan kondom secara konsisten. Proses di dalamnya berisikan komitmen atau kepercayaan dalam kemampuannya untuk berubah. 4. Action, yaitu seorang individu telah menetapkan perubahan perilaku secara konsisten selama kurang dari enam bulan. Di dalamnya berisikan proses peguatan manajemen diri serta dukungan sosial. 5. Maintenance, yaitu seorang individu memelihara perilaku barunya tersebut untuk 6 bulan atau lebih. 2.3.3 Teori Precede – Proceed Model Lawrence Green dan rekan-rekannya selama satu dasawarsa terakhir, mengembangkan Precede-Procede Model, yang sekarang terkenal untuk merencanakan program-program pendidikan kesehatan. Green menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor luar perilaku (non behavior causes). Meskipun model ini mendasarkan diri pada Model Kepercayaan Kesehatan atau Health Belief Model dan sistem-sistem konseptual lain, namun model Precede merupakan model sejati, yang lebih mengarah kepada upaya-upaya pragmatik mengubah perilaku kesehatan daripada sekedar upaya pengembangan teori. Green dan rekan-rekannya menganalisis kebutuhan kesehatan komunitas dengan cara 48 menetapkan lima diagnosis berbeda, yaitu diagnosis sosial, diagnosis epidemiologi, diagnosis perilaku, diagnosis pendidikan dan diagnosis administrasi atau kebijakan. Sesuai dengan perspektif perilaku, fase diagnosis pendidikan dan organisasi model Precede memberi penekanan pada faktor-faktor predisposisi, pemberdayaan, dan penguatan. Dua faktor pertama berkaitan dengan anteseden dari suatu perilaku tersebut, sedangkan faktor penguatan merupakan sinonim dari istilah konsekuen yang dipakai dalam analisis perilaku. Fase diagnosis pendidikan dan organisasi menguji hubungan antara kondisi perilaku dan lingkungan dengan status kesehatan atau kualitas hidup untuk menentukan apa penyebabnya. Fase ini mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diubah untuk memulai dan mempertahankan proses perubahan perilaku dan lingkungan. Faktor-faktor ini akan menjadi target antara dari program. Mereka mungkin terlihat sebagai proses perubahan yang harus dilakukan jika perubahan perilaku dan lingkungan harus segera terjadi. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor : 1. Faktor predisposisi (predisposing factors) Ialah faktor yang mempermudah atau mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu. Merupakan anteseden dari perilaku yang menggambarkan rasional atau motivasi melakukan suatu tindakan, nilai dan kebutuhan yang dirasakan, berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk bertindak. Mereka sebagian besar berada dalam domain psikologi. Secara umum, dapat dikatakan faktor predisposisi sebagai pertimbangan-pertimbangan personal dari suatu individu atau kelompok yang mempengaruhi terjadinya suatu perilaku. Pertimbangan tersebut dapat 49 mendukung atau menghambat terjadinya perilaku. Yang termasuk dalam kelompok faktor predisposisi adalah pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, kepercayaan. a. Keyakinan Keyakinan adalah suatu bagian dari faktor predisposisi atau sering disebut sebagai faktor yang berkaitan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk melakukan segala tindakan. Keyakinan merupakan sebuah pendirian bahwa suatu fenomena atau obyek bernilai benar atau nyata. Health Belief Model menjelaskan kaitan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan dengan pola keyakinan tertentu. Model tersebut berdasar asumsi-asumsi berikut tentang perubahan perilaku : 1) Orang harus mempercayai bahwa kesehatan dirinya terancam. Untuk penyakit yang tanpa gejala seperti hipertensi atau kanker stadium awal, orang harus percaya bahwa dirinya dapat terkena dan tidak merasakan gejalanya. 2) Orang harus meyakini keseriusan kondisi yang akan terjadi akibat sakit atau ketidaknyamanan yang dideritanya. 3) Dalam menilai keadaan, orang harus mempercayai bahwa keuntungan yang berawal dari perilaku yang diharapkan menimbulkan biaya dan ketidaknyamanan, tetapi masih mungkin untuk dilakukan. 4) Harus ada tanda atau sesuatu yang mempercepat orang tersebut merasa perlu untuk segera melakukan tindakan. 50 b. Nilai Budaya merupakan pandangan antar generasi dalam hal menggambarkan nilai yang diyakini oleh seseorang. Nilai cenderung mengelompok dalam golongan dan lintas generasi yang mempunyai kesamaan sejarah atau geografi. Nilai mendasarkan pada apa yang seseorang lakukan dilihat dari terminologi etika atau moral. Nilai berkisar antara benar dan salah, baik dan buruk dari perilaku tertentu. Dalam program promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan, seseorang tidak diminta untuk merubah nilai. Seseorang diminta membantu orang untuk mengenali inkonsistensi antara nilai yang mereka miliki dengan perilaku mereka. 2. Faktor pemungkin (enabling factors) Ialah faktor yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku tertentu atau menungkinkan suatu motivasi direalisasikan. Yang termasuk dalam kelompok faktor pemungkin adalah ketersediaan pelayanan kesehatan, aksesibilitas dan kemudahan pencapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak maupun segi biaya dan sosial serta adanya peraturan-peraturan dan komitmen masyarakat dalam menunjang perilaku tersebut. Faktor pemungkin, seringkali merupakan kondisi dari lingkungan, memfasilitasi dilakukannya suatu tindakan oleh individu atau organisasi. Juga termasuk kondisi yang berlaku sebagai hambatan dari tindakan itu, seperti ketiadaan sarana transportasi yang menghambat partisipasi seseorang dalam program kesehatan. Faktor pemungkin juga meliputi ketrampilan baru yang diperlukan seseorang, organisasi atau masyarakat untuk membuat suatu perubahan perilaku atau lingkungan. 51 Faktor pemungkin menjadi target antara dari intervensi program pada masyarakat atau organisasi. Terdiri dari sumber daya dan ketrampilan baru untuk membuat suatu tindakan kesehatan dan tindakan organisasi yang dibutuhkan untuk merubah lingkungan. Sumber daya berupa organisasi dan aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan, petugas, sekolah, klinik penjangkauan atau sumber daya sejenis. Ketrampilan dalam pengaruhnya terhadap masyarakat, seperti melalui perubahan organisasi dan kegiatan sosial, dapat memungkinkan tindakan untuk secara langsung mempengaruhi lingkungan fisik atau lingkungan pelayanan kesehatan. Faktor pemungkin untuk perilaku pelayanan kesehatan meliputi sumber daya kesehatan seperti klinik penjangkauan, rumah sakit, ruang gawat darurat, penyedia layanan kesehatan serta fasilitas dan program lain. Biaya, jarak, ketersediaan sarana transportasi, jam buka dan lain sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi faktor risiko penyakit, baik kondisi yang bersifat sehat maupun tidak sehat. 3. Faktor penguat (reinforcing factors) Ialah faktor yang memperkuat (atau kadang-kadang justru dapat memperlunak) untuk terjadinya perilaku tersebut. Merupakan faktor yang memperkuat suatu perilaku dengan memberikan penghargaan secara terus menerus pada perilaku dan berperan pada terjadinya pengulangan. Faktor penguat merupakan konsekuensi dari tindakan yang menentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif dan akan mendapat dukungan sosial. Hal yang termasuk dalam kelompok faktor penguat meliputi 52 pendapat, dukungan sosial,pengaruh teman, kritik baik dari teman-teman sekerja atau lingkungan bahkan juga saran dan umpan balik dari petugas kesehatan. Faktor ini juga meliputi konsekuensi fisik dari perilaku, yang mungkin terpisah dari konteks sosial. Sebagai contoh adalah perasaan nyaman (atau sakit) yang disebabkan oleh latihan fisik. Keuntungan sosial (contohnya, pengakuan dari orang lain), keuntungan fisik (contohnya kenyamanan), penghargaan yang dapat diukur (contohnya, keuntungan ekonomi, bebas biaya), dan penghargaan imajinatif (contohnya, penghormatan dari orang lain, hubungan dengan orang terhormat yang mempunyai perilaku yang sama) semuanya memperkuat perilaku. Faktor penguat juga meliputi konsekuensi yang berlawanan atau hukuman, yang dapat membawa pada perilaku yang positif. Beberapa faktor penguat yang memberikan penguatan sosial dapat menjadi faktor pemungkin jika berubah menjadi dukungan sosial, seperti bantuan keuangan atau bantuan transport. Penguatan dapat bersifat imajinatif, seperti meniru suatu perilaku sesudah tertarik dengan seseorang dalam suatu iklan televisi yang terlihat sangat menikmati perilaku tersebut. Penguatan bersifat positif atau sebaliknya tergantung pada sikap dan perilaku orang-orang yang terkait, dan beberapa diantaranya mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku. Dukungan sosial atau masyarakat dapat mendorong tindakan individu untuk bekerja sama atau bergabung dengan kelompok yang membuat perubahan. Dukungan tersebut 53 dapat berasal dari anggota masyarakat, petugas kesehatan, dan praktisi promosi kesehatan. 2.3.4 Teori Snehandu B. Karr Karr seorang staf pengajar Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Universitas California di Los Angeles, mengidentifikasikan adanya 5 determinan perilaku, yaitu: 1. Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya. 2. Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam kehidupan seseorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian pula, untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat sekitarnya, paling tidak, tidak menjadi gunjingan atau bahan pembicaraan masyarakat. 3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. 4. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. Di Indonesia, terutama ibu-ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama lagi di pedesaan. Seorang istri, dalam pengambilan keputusan masih sangat tergantung kepada suami. 54 5. Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk bertindak apa pun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat. Kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada. Untuk membangun rumah yang sehat misalnya, jelas sangat tergantung pada kondisi ekonomi dari orang yang bersangkutan. Meskipun faktor yang lain masih tidak ada masalah, tetapi apabila kondisi dan situasinya tidak mendukung, maka perilaku tersebut tidak akan terjadi. Secara matematik, teori Karr ini dapat dirumuskan sebagai berikut: B = F (bi, ss, Ai, Pa, As) B = Behavior F = Fungsi Bi = Behavior intention Ss = Social Support Ai = Accessibility information Pa = Personal autonomy Aa = Action situation 2.3.5 Teori Perilaku WHO Tim kerja pendidikan kesehatan dari WHO merumuskan determinasi perilaku ini sangat sederhana. Mereka mengatakan, bahwa mengapa seseorang berperilaku, karena adanya alasan pokok (determinan), yaitu: 55 1. Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling) Hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan seseorang, atau lebih tepat diarikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku. 2. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal references). Di dalam masyarakat, dimana sikap paternalistik masih kuat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat. 3. Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Kalau dibandingkan dengan teori Green, sumber daya ini adalah sama dengan faktor enabling (sarana dan prasarana atau fasilitas). 4. Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku seseorang. Telah diuraikan terdahulu bahwa faktor sosio-budaya merupakan faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda, karena memang masing-masing etnis mempunyai budaya yang berbeda yang khas. Dari uraian tersebut, teori tim WHO ini dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut: B = F (Tf,, Pr, R, C) B = Behavior F = Fungsi 56 Tf = Thoughts and feeling Pr = Personal references C = Culture Dari pengalaman peneliti selama melakukan pengamatan dan petugas di lapangan (masyarakat), khususnya di pedesaan, dapat disimpulkan adanya urutan terjadinya perilaku sebagai berikut (khususnya perilaku orang dewasa). Persepsi Pengetahuan Pengalaman Keyakinan Fasilitas Keinginan Sosio-Budaya Motivasi Perilaku Niat Sikap Eksternal Internal Respon Bagan 2. 4 Skema Perilaku Teori Perilaku Menurut WHO Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku terjadi diawali dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non-fisik. Kemudian pengalaman dan lingkuungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini, dan sebagainya, sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak, dan akhirnya terjadilah perwujudan niat tersebut yang berupa perilaku.