BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Perkawinan
1. Pengertian Kepuasan Perkawinan
Clayton (1975) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan merupakan
evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan
kondisi perkawinan. Kepuasaaan dalam perkawinan merupakan kesan subjektif
individu terhadap komponen perkawinannya secara keseluruhan yang meliputi
cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup (Blood dan
Wolfe, dalam Santrock, 2007).
Pinsof & Lebow (2005) menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai
suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu sikap
dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang
mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam perkawinan.
Adapun pengertian kepuasan perkawinan menurut Roach dkk (1981)
merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur
berdasarkan besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu
tertentu. Definisi mengenai kepuasaan perkawinan juga dikemukakan oleh
Bahr dkk (1983) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan, harapan dan
keinginan suami istri dalam perkawinan.
Klemer (1970) dalam bukunya Marriage and The Family menambahkan
bahwa kepuasan perkawinan yakni suatu hal yang dihasilkan dari penyesuaian
antara yang terjadi dengan yang diharapkan. Secara luas Spanier & Cole
(dalam Prasetya, 2007) mamberikan difinisi kepuasan perkawinan sebagai
evaluasi subjektif menganai perasaan seseorang atas pasangannya, atas
perkawinannya dan atas hubungannya dengan pasangannya. Singkatnya,
kepuasan perkawinan adalah penilaian umum subjektif atas perkawinan
(Ficham dalam Retno, 2011).
Dengan demikian dari beberapa pendapat dan teori di atas, disimpulkan
bahwa kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif tentang kualitas
perkawinan yang dijalani pasangan suami-istri secara menyeluruh.
2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan
Olson (2003) mengemukakan terdapat beberapa aspek yang dapat
diukur dalam kepuasan perkawinan, antara lain: komunikasi, kegiatan mengisi
waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manajemen keuangan,
hubungan seksual, keluarga, dan teman, kehadiran anak dan pengasuhan anak,
masalah kepribadian, dan peran egalitarian.
Clayton (1975) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang
dievaluasi oleh pasangan suami istri untuk menentukan kepuasan pernikahan
adalah:
a) Kemampuan sosial suami istri (marriage sociability), kemampuan
suami istri dalam persahabatan dengan orang lain selain keluarga,
pergaulan dengan masyarakat sekitar. Suami istri yang memiliki
kemampuan bersosialisasi dengan orang lain yang lebih baik akan
merasa bahagia dan masalah yang dihadapi akan berkurang.
b) Persahabatan dalam pernikahan (marriage companionship), hal-hal
yang termasuk dalam persahabatan suami istri meliputi perbincangan
menyenangkan antara suami istri, cara merasakan kegembiraan bersama
dan pergaulan yang menyenangkan antara keduanya. Suami istri yang
terpuaskan kehidupan akan merasakan bahwa hubungan yang mereka
2
tempuh dalam kehidupan pernikahan merupakan hubungan seperti dua
sahabat yang sangat dekat dan masing-masing berusaha menciptakan
hubungan yang menyenangkan.
c) Urusan ekonomi (economic affair), meliputi penggunaan uang untuk
kebutuhan keluarga maupun kebutuhan pnbadi, rekreasi, pekerjaan
suami maupun pekerjaan istri.
d) Kekuatan pernikahan (marriage power), meliputi sikap terhadap
pernikahan yang dijalani, adanya saling keterikatan, dan ekspresi
penghargaan antara suami istri.
e) Hubungan dengan keluarga besar (extra family relationship), meliputi
hubungan dengan keluarga diluar keluarga inti.
f) Persamaan ideology (ideological congruence), meliputi kesamaan
pandangan hidup, kesamaan pandangan tentang perilaku yang benar
dan baik.
g) Keintiman pernikahan (marriage intimacy), meliputi ekspresi kasih
sayang dan hubungan seks.
h) Taktik interaksi (interaction tactics), meliputi kerja sama, penyatuan
perbedaan, penyelesaian konflik.
Snyder (1979) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang bisa
dijadikan tolok ukur kepuasan perkawinan yaitu: (a) kecenderungan untuk
menilai perkawinan dengan kriteria yang diidealkan oleh masyarakat; (b)
kepuasan individu terhadap perkawinan secara umum; (c) kepuasan individu
terhadap afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan; (d) efektivitas
komunikasi
untuk
memecahkan
masalah
dan
kemampuan
mencari
penyelesaian bila ada perselisihan; (e) kesediaan dan kepuasan dalam
penggunaan waktu bersama pasangan; (f) penggunaan uang dalam keluarga;
3
(g) kepuasan seksual; (h) orientasi peran yang dipakai dalam perkawinan
maupun fungsi sebagai orang tua, termasuk di dalamnya peran jenis; (i)
kebahagiaan yang dialami oleh keluarga pada masa kecil; (j) kepuasan
terhadap anak-anak hasil perkawinan; dan (k) konflik perbedaan cara
mendidik anak.
Penelitian ini menggunakan aspek kepuasan perkawinan menurut
Clayton (1975) dengan pertimbangan aspek tersebut lebih lengkap dalam
menggambarkan kepuasan perkawinan yang dirasakan wanita
dengan
kondisi infertil primer, sehingga kemungkinan berfungsi baik dalam
pengukurannya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan
Salah satu faktor mendasar dari kepuasan perkawinan adalah
kemungkinan adanya perbedaan dalam apa yang laki-laki dan perempuan
harapkan dari sebuah perkawinan. Lavee & Ben-air menambahkan bahwa
perempuan cenderung mengharapkan ekspresi emosional dari pasangannya
(dalam Papalia, 2009).
Robinson dan Blanton (2003) mengemukakan beberapa faktor penting
dalam kepuasan perkawinan, yaitu:
a. Keintiman
Keintiman dalam pernikahan tidak hanya dipandang dari segi fisik yang
selalu bersama namun juga keintiman secara emosional dan spiritual.
Keterlibatan pasangan satu sama lain dalam situasi yang menyenangkan
maupun menyedihkan akan membantu terciptanya keintiman dalam
kehidupan rumah tangga. Selain hal tersebut, peningkatan keintiman juga
4
dapat dilakukan melalui kebersamaan, saling ketergantungan atau
interindependensi, dukungan, dan perhatian pada pasangan.
b. Komitmen
Faktor penting dalam kepuasan perkawinan juga ditinjau dari faktor
komitmen yang tidak hanya sekedar ditujukan terhadap institusi
perkawinan tetapi juga terhadap pasangannya. Komitmen yang dimaksud
meliputi: kematangan hubungan, penyesuaian diri dengan pasangan,
perkembangan pasangan, serta terhadap pengalaman, dan situasi baru yang
dialami oleh pasangan.
c. Komunikasi
Kepuasan sebuah perkawinan dilihat dari cara berkomunikasi yang
konstruktif. Arti dari komunikasi konstruktif adalah berbagi pikiran dan
perasaan, mendiskusikan masalah bersama-sama, dan mendengarkan sudut
pandang satu sama lain. Dengan terciptanya komunikasi konstruktif dapat
membantu mengantisipasi konflik dan menyesuaikan kesulitan yang
dialami pasangan.
d. Kongruensi
Arti kata kongruensi adalah kesesuaian dalam mempersepsi kekuatan dan
kelemahan dari hubungan perkawinan yang sedang dijalaninya. Pasangan
yang mempersepsikan hubungan perkawinannya kuat maka pasangan
tersebut akan merasa lebih nyaman dalam hubungannya. Oleh sebab itu,
kongruensi juga merupakan faktor penting dalam kepuasan perkawinan.
e. Keyakinan beragama
Pasangan yang dapat berbagi nilai-nilai agama yang dianutnya dan
beribadah bersama-sama dapat menciptakan ikatan yang kuat serta
berdampak
positif
bagi
kepuasan
5
perkawinan.
Seseorang
dapat
memperoleh dukungan sosial, emosional dan spiritual oleh pasangannya
melalui agama yang dianutnya.
Kepuasan perkawinan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor individual
yang berperan sebagai pendukung maupun panghambat perkawinan. Faktorfaktor tersebut adalah: (BP4, 1993)
a. Faktor pendukung kepuasan perkawinan yang pertama adalah rasa tertarik
pada pasangan baik fisik, psikologis maupun sosial; kedua yakni kesediaan
menyesuaikan diri dan merawat cinta. Penyesuaian diri merupakan syarat
utama mencapai kebahagiaan karena masing-masing pihak akan lebih
terbuka perasaannya untuk menerima curahan kebahagiaan dari pihak lain.
Dua individu dalam perkawinan selalu memiliki perbedaan yang mungkin
mendasari terbentuknya konflik. Kesediaan menyesuaikan diri dapat
mengubah perbedaan menjadi faktor yang memperkaya perasaan kedua
individu, memperluas wawasan dan memperbesar toleransi sehingga
memuaskan dan lebih mampu menghayati ekspresi cinta. Faktor ketiga,
perasaan menyatu merupakan wujud penyesuaian diri yang baik. Semua
sikap dan perilakunya merupakan pencerminan kerjasama menuju
kebahagiaan
bersama,
dengan
demikian
suami-istri
dapat
saling
mengawasi dan menaruh percaya meskipun secara fisik mereka berjauhan.
Faktor terakhir yaitu partisipasi dan perasaan memiliki. Partisipasi
merupakan usaha aktif individu untuk ikut serta ambil bagian dalam setiap
aktivitas pasangan. Hal ini akan menghasilkan kedekatan secara fisik dan
b.
psikologis.
Faktor
penghambat
kepuasan
perkawinan
yang
pertama
kekurangmampuan seseorang untuk mengenali pasangannya. Kepuasan
6
terhalang karena masing-masing pihak tidak mengetahui kehendak
pasangan atau bahkan tidak mengerti apa yang diinginkannya sendiri.
Faktor kedua, kepribadian kurang berkembang. Hambatan dalam
perkembangan kepribadian dapat menjadi kendala tercapainya kepuasan
perkawinan.
Kepribadian
kurang
berkembang
secara
langsung
mengganggu penyesuaian diri. Selain itu juga terdapat faktor penghambat
ketiga yaitu perbedaan latar belakang pendidikan, kebudayaan, dan
kebiasaan. Adanya perbedaan yang menyolok tentang usia, kepribadian,
pendidikan, dan kebudayaan sering menjadi penghambat. Faktor
penghambat yang terakhir adalah harapan yang tidak realistik dan konsep
perkawinan yang keliru. Seringkali individu memasuki dunia perkawinan
untuk mencapai kebahagiaan abadi, namun kenyatan tidak sesuai dengan
harapan sehingga menimbulkan ketidakpuasan.
4. Karakteristik-karakteristik Kepuasan Perkawinan
Pasangan suami istri walaupun mereka menjalani perkawinan yang
sama, tapi belum tentu mereka merasakan kepuasan yang serupa. Terdapat
beberapa karakteristik yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yang
dijalani oleh sepasang suami istri. Menurut Duvall & Miller (1985),
karakteristik yang mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang terbagi
menjadi dua, yakni:
a. Karakteristik masa lalu (backgroud characteristics)
Karakteristik masa lalu mencakup: kebahagiaan dalam pernikahan orang
tua, level kebahagiaan masa kanak-kanak, tingkat disiplin yang tidak
terlalu tinggi namun cukup tegas dalam pemberian hukuman, adanya
7
pendidikan seks yang memadahi dari orang tua, pendidikan minimal SMU
atau sederajad, dan masa perkenalan dengan pasangan yang cukup
sebelum berlanjut ke pernikahan.
b. Karakteristik masa kini (current characteristics)
Karakteristik masa kini mencakup: adanya
keterbukaan
dalam
mengungkapkan afeksi antara suami-istri, adanya rasa saling percaya dan
keyakinan kedua belah pihak, adanya persamaan antara suami istri, tidak
ada yang mendominasi pihak lain sehingga keputusan dibuat bersama dan
adanya keterbukaan, kebebasan dalam berkomunikasi antara dua belah
pihak secara emosional, sosial maupun seksual. Selain itu juag adanya
kebersamaan baik minat maupun teman dalam kehidupan sosial,
hubungan seksual yang dapat dinikmati kedua belah pihak, adanya tempat
tinggal yang relatif permanen, dan penghasilan yang memadahi.
Duvall dan Miller (1985) manambahkan bahwa diantara dua macam
karakteristik tersebut, karakteristik masa kini yang lebih berpengaruh
terhadap tercapainya harapan kepuasan perkawinan yang dijalani suami-istri.
5. Indikator dalam Kepuasan Perkawinan
Lauer dan Lauer mengindikasikan kepuasan perkawinan (dalam Baron &
Byrne, 2003) ke dalam empat indikator, yaitu:
a. Persahabatan (friendship)
Indikator pertama terkait dengan persahabatan yakni menganggap
pasangan adalah teman baik sehingga terdapat kerjasama dalam suatu
8
hubungan yang bersifat suka rela. Persahabatan juga menjelaskan tentang
bagaimana untuk dapat menyukai pribadi pasangan. Umumnya terdapat
kecenderungan untuk memilih pasangan dengan memilih seseorang yang
memiliki banyak kesamaan, misalnya saja kesamaan minat, latar belakang
termasuk kepribadiannya. Namun, kesamaan bukanlah segalanya,
kebutuhan tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara paling baik bukan
oleh pasangan hidup yang serupa, tetapi oleh seseorang yang justru dapat
melengkapi apa yang kita tidak miliki.
b. Komitmen (commitment)
Indikasi berikutnya adalah mengenai komitmen, menganggap pernikahan
sebagai komitmen jangka panjang, sesuatu yang suci, dan sebagai
stabilitas sosial.
c. Persamaan (Similarity)
Indikator kepuasan perkawinan yang ke-tiga adalah mempunyai
persamaan tujuan dalam pernikahan, mempunyai persamaan dalam
menunjukkan kasih sayang setelah memasuki kehidupan pernikahan, dan
mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual.
d. Perasaan positif (positive feeling)
Indikator terakhir terkait dengan kepuasan perkawinan ialah perasaan
positif dalam menjalani kehidupan pernikahan. Perasaan positif tersebut
terbagi menjadi tiga, yaitu: merasakan pasangan lebih menarik,
merasakan kebahagiaan bersama pasangan, dan merasa bangga dengan
pencapaian pasangan.
B. Self-esteem
1. Pengertian Self-esteem
Harga diri (self-esteem) yang sering disebut juga sebagai martabat diri
(self-worth) atau gambaran diri (self-image), adalah suatu dimensi global dari
9
diri (Santrock, 2007). Beberapa peneliti terkadang tidak selalu membuat
perbedaan yang jelas antara harga diri dan konsep diri, terkadang mereka
mencampur-adukkan istilah-istilah tersebut. Terdapat perbedaan yang jelas
mengenai harga diri dan konsep diri, istilah harga diri lebih menekankan
evaluasi diri yang bersifat global, sedangkan konsep diri merupakan suatu
bentuk evaluasi diri yang menyangkut bidang tertentu. Santrock (2007)
menyebutkan bahwa harga diri disebut juga kelangsungan hidup dari jiwa yang
merupakan sarana bagi pertumbuhan eksistensi seseorang. Dalam Baron dan
Byrne (1994) harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu,
sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif negatif.
Sedangkan penilaian Coopersmith (1967) menilai harga diri sebagai penilaian
yang dirancangkan oleh individu berdasarkan pandangan individu terhadap
dirinya yang dinyatakan dalam sikap menerima atau menolak dirinya.
Chaplin (2004) mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian diri yang
dipengaruhi oleh sikap interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain
terhadap individu. Pendapat lain mengenai self-esteem juga disampaikan oleh
Papalia dkk (2004) yang menyatakan self-esteem merupakan citra diri atau
evaluasi diri yang positif yang dirasakan atau dipersepsikan oleh seseorang.
Lebih lanjut Branden (1992) menilai self-esteem sebagai kecenderungan
seseorang memandang dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
tantangan kehidupan dan mencapai hak untuk merasa bahagia. Guindon (2010)
menekankan self-esteem sebagai sikap, komponen evaluatif pada diri sendiri
yang mencakup penilaian afektif pada konsep diri yang terdiri dari perasaan
10
berharga dan penerimaan diri yang berkembang, dikelola sebagai konsekuensi
kesadaran atas kompetensi dan umpan balik dari dunia luar.
Jadi self-esteem merupakan cara seseorang bersikap terhadap dirinya
sendiri yang diperoleh dari penilaian pribadinya.
2. Aspek-aspek Self Esteem
Coopersmith (1967) menguraikan empat aspek self-esteem, yaitu:
a. Keberartian diri (significance)
Keberartian diri dapat diukur melalui perhatian dan kasih sayang yang
ditunjukkan oleh lingkungan.
b. Kekuatan individu (power)
Kekuatan di sini berarti kemampuan individu untuk mempengaruhi orang
lain, serta mengontrol atau mengendalikan orang lain, di samping
mengendalikan dirinya sendiri. Apabila individu mampu mengontrol diri
sendiri dan orang lain dengan baik maka hal tersebut akan mendorong
terbentuknya harga diri yang positif atau tinggi, demikian juga sebaliknya.
Kekuatan juga dikaitkan dengan inisiatif. Pada individu yang memiliki
kekuatan tinggi akan memiliki inisiatif yang tinggi, demikian pula
sebaliknya individu yang memiliki kekuatan rendah akan menunjukan
inisiatif yang rendah pula.
c. Kompetensi (competence)
Kompetensi diartikan sebagai memiliki usaha yang tinggi untuk
mendapatkan prestasi yang baik, sesuai dengan tahapan usianya. Apabila
usaha individu sesuai dengan tuntutan dan harapan, itu berarti invidu
memiliki kompetensi yang dapat membantu membentuk harga diri yang
tinggi. Sebaliknya apabila individu sering mengalami kegagalan dalam
meraih prestasi atau gagal memenuhi harapan dan tuntutan, maka individu
11
tersebut merasa tidak kompeten. Hal tersebut dapat membuat individu
mengembangkan harga diri yang rendah.
d. Ketaatan individu dan kemampuan memberi contoh (virtue)
Ketaatan individu terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak melakukan
tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku di
masyarakat akan membuat individu tersebut diterima dengan baik oleh
masyarakat. Demikian juga bila individu mampu memberikan contoh atau
dapat menjadi panutan yang baik bagi lingkungannya, akan diterima secara
baik oleh masyarakat. Jadi, ketaatan individu terhadap aturan masyarakat
dan kemampuan individu memberi contoh bagi masyarakat dapat
menimbulkan penerimaan lingkungan yang tinggi terhadap individu
tersebut. Penerimaan lingkungan yang tinggi ini mendorong terbentuknya
harga diri yang tinggi.
Sedangkan aspek-aspek harga diri menurut Maslow (1994) adalah :
a. Aspek penilaian diri adalah penilaian yang dibuat seseorang untuk menilai
keadaan dirinya yang meliputi keadaan fisik, kemampuan, keberhasilan,
dan keberhargaan diri.
b. Aspek penerimaan diri adalah kesediaan seseorang untuk menerima
keadaan diri seperti apa adanya.
c. Aspek penyesuaian diri adalah tempat dimana seseorang dapat berinteraksi
dengan orang lain.
Penelitian ini menggunakan aspek self-esteem menurut Coopersmith
(1967)
dengan
pertimbangan
aspek
tersebut
lebih
lengkap
dalam
menggambarkan tingkatan self-esteem yang dirasakan wanita dengan kondisi
infertil primer, sehingga kemungkinan berfungsi baik dalam pengukurannya.
3. Klasifikasi Self Esteem
12
Coopersmith (1967) mengklasifikasikan self-esteem ke dalam tiga
tingkatan, yaitu self-esteem tinggi, sedang dan rendah. Berikut merupakan
penjelasan pengklasifikasian harga diri:
a. Self-esteem tinggi
Self-esteem tinggi ditandai dengan sikap tidak bergantung (independent),
kreatif, ekspresif, asertif, terlibat secara aktif dalam diskusi, tidak hanya
sebagai pendengar, berani mengungkapkan pendapat, cenderung tidak
mengalami kesulitan dalam beradaptasi, mau menerima kritik dan
perbedaan pendapat, perhatian dan optimis.
b. Self-esteem sedang
Self-esteem sedang memiliki ciri sikap yang hampir mirip dengan ciri
sikap self-esteem tinggi, hanya bedanya, pada harga diri sedang seseorang
masing menunjukkan kebimbangan dalam menilai dirinya sehingga masih
memerlukan dukungan sosial.
c. Self-esteem rendah
Self-esteem rendah ditandai dengan sikap rendah diri, kurang ekspresif,
kurang aktif, lebih suka sebagai pendengar dan pengikut saat melakukan
aktivitas sosial, kurang berani mengemukakan pendapat, takut terhadap
pendapat yang bertentangan dengan dirinya, merasa tidak dicintai, kurang
dapat menerima kritikan dan mudah tersinggung.
Pengelompokan self-esteem juga dilakukan oleh Myers & Michelle
(dalam Wahyu & Intaglia, 2011) menjadi dua yakni self-esteem tinggi dan
rendah, berikut kecenderungan dari masing-masing kelompok:
a. Self-esteem tinggi
Seseorang dengan self-esteem tinggi memiliki ciri yang diantaranya
menghormati diri sendiri, menganggap diri berharga, percaya diri, optimis,
13
mau belajar, terkendali dan disiplin. Selain itu, orang dengan harga diri
tinggi mampu memberikan penghormatan pada orang lain dan tidak
menganggap dirinya sempurna atau tidak lebih baik dari orang lain, namun
bukan berarti dirinya lebih buruk daripada orang lain.
b. Self-esteem rendah
Seseorang dengan self-esteem rendah memiliki ciri yang diantaranya
menolak dirinya sendiri secara verbal dan aktif, tidak puas dengan dirinya,
tidak menyukai gambaran dirinya dengan bentuk hubungan dengan orang
lain, mudah tersinggung dan memandang rendah orang lain. Selain itu
seseorang dengan harga diri rendah sangan menonjolkan bahwa dirinya
tidak menyukai gambaran dirinya sendiri dan menginginkan yang berbeda
namun di dalam dirinya tidak memiliki keyakinan dapat berubah.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem: (Potter etc al, 2005)
a. Pengantar sukses dan gagal
Pengalaman hidup sebelumnya dapat mempengaruhi kesuksesan
seseorang.
b. Motivasi dan evaluasi diri
Memberikan gagasan yang dapat memotivasi dan evaluasi diri adalah
proses mental yang berkelanjutan. Nilai diri atau harga diri merupakan
kebutuhan manusia menurut hierarki Maslow orang akan merasa berharga
dalam hidupnya karena memiliki harga diri.
c. Koping individu
Individu perlu mengembangkan koping untuk menghadapi stressor yang
muncul. Self-esteem juga dipengaruhi oleh sejumlah koping yang mereka
miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup. Seseorang dengan
harga diri tinggi cenderung menunjukkan keberhasilan yang diraihnya
sebagai kualitas dan upaya diri.
14
5. Fungsi Self-esteem
Perasaan self-esteem terbagi atas perasaan self-esteem positif dan
perasaan self-esteem negatif. Dikatakan sebagai perasaan self-esteem positif
apabila individu dapat menghargai diri sendiri dengan baik. Sebaliknya,
dikatakan perasaan self-esteem negatif apabila seseorang tidak dapat
menghargai dirinya sendiri secara baik (Walgito, 2004).
Pendapat Dodgson & Wood (dalam Baron, 2004) menyatakan bahwa
pengalaman kegagalan mendorong mereka dengan self-esteem negatif untuk
memfokuskan diri pada kelemahan mereka, tetapi bagi mereka dengan selfesteem positif, mereka memfokuskan diri pada kekuatan mereka. Pendapat dari
ahli tersebut menguatkan bahwa pengalaman kegagalan memperoleh keturunan
serta tekanan batin akibat komentar negatif yang dialami wanita kondisi infertil
dengan self-esteem negatif dapat berakibat pada ketidakpuasan dalam
kehidupan perkawinan yang dijalani sehingga akan memunculkan bentukbentuk ketidakpuasan dan kekecewaan.
Pada lain sisi, self-esteem juga memiliki fungsi penting sebagai
perlindungan diri terhadap kondisi yang dialami individu. Ketika ada
gangguan-gangguan dalam kehidupan perkawinannya, wanita dengan selfesteem positif mampu memegang kendali atas kondisi emosinya dan berupaya
mempertahankan
komitmen
perkawinan
dengan
suaminya
sehingga
memperolah kepuasan dalam kehidupan perkawinannya. Segala bentuk
komentar dan cibiran dari masyarakat yang diterima wanita dengan kondisi
infertil, apabila dari dalam dirinya sendiri sudah memiliki self-esteem negatif
maka wanita ini akan menerima komentar tersebut begitu saja dan membiarkan
15
kehidupannya ‘dilumpuhkan’ oleh komentar dan cibiran tersebut. Dalam hal
inilah self-esteem berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yang dijalani
wanita dengan kondisi infertil.
Jadi kesimpulan fungsi self-esteem yang pertama sebagai fokus
pandang seseorang menghadapi permasalahan kehidupannya, apakah berfokus
pada masalah dan cibiran orang lain sehingga akan memunculkan bentukbentuk ketidakpuasan menjalani kehidupan atau berfokus pada solusi dan
kekuatan yang dimiliki sehingga terwujud kepuasan dan kebahagiaan. Fungsi
yang kedua adalah sebagai perlindungan diri terhadap kondisi yang dialami,
sehingga wanita dengan infertil primer mampu memegang kendali atas kondisi
emosinya.
6. Sumber-sumber Self-esteem
Michener dkk (2004) mengungkapkan terdapat tiga sumber utama selfesteem, yakni:
a. Family experience
Hubungan orang tua-anak dikatakan penting untuk perkembangan selfesteem. Pengaruh keluarga terhadap self-esteem menunjukkan konsep diri
yang dibangun mencerminkan gambaran diri yang dikomunikasikan atau
disampaikan oleh orang-orang yang terpenting dalam hidup (significant
others).
b. Performance feedback
Umpan balik (feedback) yang terus menerus terhadap kualitas performa
kita seperti kesuksesan dan kegagalan dapat mempengaruhi self-esteem.
c. Social comparison
16
Perasaan memiliki kompetensi tertentu didasarkan pada hasil performa
yang dibandingkan baik dengan hasil yang diharapkan diri sendiri maupun
hasil performa orang lain.
C. Penghargaan Suami
1. Pengertian Penghargaan Suami
Menurut Dixon (2009), secara singkat penghargaan (respect) dapat
disebut sebagai “the single most powerful ingredient in nourishing
relationships and creating a just society”, atau dengan kata lain dapat diartikan
bahwa respect adalah faktor dasar yang paling inti atau paling besar
pengaruhnya untuk menjalani sebuah relasi intim. Ini dapat diartikan juga
bahwa penghargaan yang diberikan oleh suami ini, hendak menyampaikan
besar nilai (value) pasangan bagi dirinya selama menjalani sebuah relasi intim.
Blader dan Tyler (2009), menjelaskan respect adalah evaluasi suami
yang berupa pengertian dan penerimaan terhadap kondisi pasangan sehingga
berpengaruh terhadap penilaian terhadap pasangannya. Kutipan teori mengenai
respect tersebut oleh Blader dan Tyler (2009) adalah sebagai berikut:
Respect refers to evaluations by people of their standing and
accaptance within their group (it is an intragroup evaluative
judgement). The core premise underlying the importance of respect
is that someone’s standing whithin their group shapes the social
identity they form around the group as well as the implications of
group membership on their self-concept.
Sarafino (1994) menambahkan definisi penghargaan pasangan
merupakan penilaian positif pada pasangan, setuju dengan ide dan
17
perasaan pasangan, umpan balik, bantuan benda, dan waktu untuk
meringankan beban pasangannya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli
mengenai penghargaan suami tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
penghargaan suami adalah pemberian nilai (value) berupa pengertian dan
penerimaan terhadap kondisi pasangan untuk menunjukkan betapa
berharganya pasangan tersebut bagi dirinya.
2. Aspek-aspek Penghargaan Suami
Aspek penghargaan oleh suami dikaitkan dengan penerimaan, perhatian,
dan afeksi yang ditunjukkan oleh suami (Maslow dalam Schultz, 1991).
a. Penerimaan merupakan suatu keadaan dimana pasangan memiliki penilaian
positif terhadap pasangannya, serta mengakui segala kelebihan maupun
kekurangan yang ada dalam diri pasangan dan dapat menyesuaikan diri
dengannya. Hjelle & Zeigler (1992) menambahkan penerimaan sebagai
sikap menerima pasangan dengan keterbatasan, kelemahan dan kerapuhan
pasangannya, bebas dari rasa menyalahkan, malu, dan juga dari kecemasan
akan penilaian orang lain terhadap pasangannya.
b. Perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis oleh pasangan yang
menyebabkan bertambahnya aktivitas, daya konsentrasi, dan pembatasan
fokus sehingga mengabaikan hal-hal lain diluar perasaan pasangannya.
c. Afeksi diartikan sebagai dorongan kasih sayang, perasaan yang kuat,
suasana hati, dan perasaan-perasaan yang menyertai kesadaran. Menurut
kamus psikologi, afeksi merupakan cinta kasih, perasaan-perasaan, dan
emosi yang dibedakan dengan aspek pengenalan (cognitive) dan
penerangan (conotative) kepribadian.
18
Coopersmith (dalam Dewi, 2014) menambahkan beberapa aspek-aspek
penghargaan pasangan yang meliputi:
a. Acceptance
Suami tidak bereaksi menolak apapun kondisi istri baik secara verbal
maupun non-verbal.
b. Understanding
Suami memahami kondisi istri serta hal-hal yang menyangkut kebutuhan
istri lahir batin.
c. Communication
Terjalin komunikasi yang hangat antara suami dan istri dalam kehidupan
berumah tangga.
d. Attitude
Suami tidak menunjukkan perbedaan perlakuan yang ekstrem terhadap
istri terkait kondisi yang sedang dialami.
e. Treatment
Suami mengupayakan penanganan khusus bagi istri agar kondisi yang
dialami istri tidak membahayakan bagi dirinya sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan penghargaan (respect) oleh suami adalah
bagaimana seorang suami menghargai istrinya (respecting others) dengan
memberikan penerimaan, perhatian, dan afeksi terhadap apapun kondisi istri.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penghargaan Suami
Beberapa faktor berikut dapat mempengaruhi penghargaan (respect):
(Dixon, Graber, & Brooks-Gunn, 2008)
a. Kesesuaian tingkah laku dan nilai-nilai yang positif
Respect hanya dapat dicapai apabila ada kesesuaian atau kongruensi antara
tingkah laku dan nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif adalah suatu
kebiasaan dalam berpikir yang dimiliki oleh individu, nilai-nilai tersebut
antara lain adalah: cinta kasih, kerendahan hati, kebersamaan, kejujuran,
19
toleransi, dan kesederhanaan. Tingkah laku yang mengarah pada nilai-nilai
positif tersebut akan membawa individu mengarahkan tindakannya kepada
respect.
b. Tingkatan perkembangan moral
Tingkatan respect yang dimiliki seorang individu sejalan dengan
perkembangan moral yang ada pada dirinya. Perkembangan moral yang
dimaksud adalah perkembangan moral menurut Kohlberg yang terdiri dari
tahapan pre-conventional, conventional, dan post-conventional. Pada
tahapan perkembangan moral pertama (pre-conventional), individu
cenderung memandang respect sebagai sebuah kepatuhan semata. Pada
tahapan conventional, respect dipandang sebagai suatu kesepakatan
bersama, artinya seorang individu menaruh respect terhadap seseorang
karena lingkungan masyarakat juga umumnya respect terhadap seseorang
tersebut. Pada tahapan post-conventional, respect dipandang sebagai suatu
kesadaran pribadi.
c. Budaya
Budaya berpengaruh terhadap cara pandang mengenai respect, maksudnya
bahwa ada perbedaan cara pandang terhadap respect berdasarkan latar
belakang budaya. Misalkan saja, masyarakat Afrika-Amerika memandang
respect sebagai susuatu yang harus dimiliki individu yang lebih muda
kepada individu yang lebih senior. Lain halnya dengan masyarakat Eropa
yang memandang respect sebagai sesuatu yang harus dilakukan terhadap
anak atau seseorang yang lebih muda dengan memperhatikan kebutuhan
dan aspirasi mereka.
D. Infertilitas
1. Pengertian Infertilitas
20
Infertilitas atau ketidaksuburan adalah suatu kondisi dimana pasangan
suami-istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan
seksual sebanyak dua sampai tiga kali seminggu dalam kurun waktu satu tahun
dengan
tanpa
menggunakan
alat
kontrasepsi
dalam
bentuk
apapun
(Purwoastusti, 2014). Definisi infertilitas menurut WHO (dalam Lisnawati,
2013) ialah tidak hamilnya pasutri yang berhubungan secara teratur selama satu
tahun dan tanpa memakai alat kontrasepsi. Irianto (2014) menambahkan bahwa
infertilitas merupakan ketidakmampuan biologis seseorang untuk memberikan
kontribusi terhadap konsepsi (pembuahan).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut infertilitas ialah
apabila seorang istri tak kunjung hamil dalam waktu satu tahun padahal
melakukan hubungan seksual rutin dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi
apapun.
2. Jenis-jenis Infertilitas
Jenis-jenis infertilitas terbagi menjadi tiga yaitu : (Jacoeb, 1993)
a. Infertilitas primer
Jika istri belum berhasil hamil walaupun bersenggama teratur dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan berturutturut.
b. Infertilitas sekunder
Jika istri pernah hamil akan tetapi tidak berhasil lagi walaupun
bersenggama teratur dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan
selama 12 bulan berturut-turut.
c. Infertilitas idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya
Bentuk infertilitas yang setelah pemeriksaan lengkap kedua pasangan
dinyatakan normal dan ditangani selama 2 tahun tidak juga berhasil hamil.
21
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infertilitas
Van Noord-Zaadstra et al menyebutkan penyebab infertilitas pada
perempuan adalah kegagalan untuk memproduksi ovum; mucus di serviks yang
mencegah sperma dari penetrasi atau penyakit pada saluran uterus yang
mencegah implantasi dari ovum subur (dalam Papalia, 2009).
Menurut Purwoastuti (2014) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
infertilitas, yaitu:
a. Umur
Fase reproduksi wanita dimulai setelah fase pubertas sampai sebelum fase
menopause, akan tetapi kemampuan reproduksi wanita menurun drastis
setelah umur 35 tahun. Ini dikarenakan, pada umur 35 tahun simpanan sel
telur wanita menipis, mulai terjadi perubahan keseimbangan hormon dan
kualitas sel telur yang dihasilkan pun menurun.
b. Lama infertilitas
Pasangan infertilitas yang terlambat ditangani semakin mempersukar
harapan memiliki keturunan. Terlambat dalam artian umur makin tua,
penyakit pada organ reproduksi yang makin parah, dan makin terbatasnya
jenis pengobatan yang sesuai dengan pasangan tersebut.
c. Stres
Stres memicu pengeluaran hormon kortisol yang mempengaruhi
pengaturan hormon reproduksi.
d. Lingkungan
Paparan terhadap racun seperti lem, bahan pelarut organik yang mudah
menguap, silikon, pestisida, obat-obatan (misalnya: obat pelangsing), dan
obat rekreasional (rokok, kafein, dan alkohol) dapat mempengaruhi sistem
reproduksi.
e. Hubungan seksual
22
Penyebab infertilitas ditinjau dari segi hubungan seksual meliputi:
frekuensi, posisi, dan melakukannya tidak pada masa subur.
f. Frekuensi
Hubungan intim (koitus) atau onani (masturbasi) yang dilakukan setiap
hari akan mengurangi jumlah dan kepadatan sperma. Frekuensi yang
dianjurkan adalah 2-3 kali seminggu sehingga memberi waktu testis
memproduksi sperma dalam jumlah cukup dan matang.
g. Posisi
Penetrasi adalah masuknya penis ke vagina sehingga sperma dapat
dikeluarkan, yang nantinya akan bertemu sel telur yang ‘menunggu’ di
saluran telur wanita. Penetrasi yang optimal dilakukan dengan cara posisi
pria di atas, wanita di bawah. Sebagai tambahan, di bawah pantat wanita
diberi bantal agar sperma dapat tertampung. Dianjurkan setelah wanita
menerima sperma, wanita berbaring selama 10 menit sampai 1 jam
bertujuan memberi waktu pada sperma bergerak menuju saluran telur
untuk bertemu sel telur.
h. Masa subur
Satu sel telur dilepaskan oleh indung telur dalam setiap menstruasi, yaitu
14 hari sebelum menstruasi berikutnya, peristiwa itu disebut ovulasi. Sel
telur kemudian menunggu sperma di saluran telur (tuba falopi) selama
kurang lebih 48 jam, masa inilah yang disebut sebagai masa subur.
i. Kondisi reproduksi wanita
Kelainan terbanyak pada organ reprodusi wanita penyebab infertilitas
adalah endometriosis dan infeksi panggul, sedangkan kelainan lainnya
yang lebih jarang kejadiannya adalah mioma uteri, polip, kista, dan saluran
telur tersumbat (bisa satu atau dua yang tersumbat).
j. Kondisi reproduksi pria
23
Sperma berasal dari kata spermatozoa, yaitu sel kelamin jantan yang
memiliki bulu cambuk, berbentuk menyerupai kecebong, dan membawa
sifat dari bapak. Cairan nutrisi sperma berupa cairan putih, kental, dan
berbau khas yang disebut semen. Kualitas sperma menjadi faktor penting
dalam kehamilan.
Irianto (2014) menambahkan, terdapat 11 faktor yang meningkatkan
penyebab infertilitas:
a. Usia
Kesuburan seorang wanita mulai menurun setelah berumur sekitar 32
tahun dan terus berlanjut, sedangkan pada laki-laki kesuburannya akan
menurun setelah usia 40 tahun.
b. Merokok
Merokok secara signifikan dapat meningkatkan resiko kemandulan, baik
pada pria maupun wanita. Merokok juga dapat merusak efek dari
pengobatan kesuburan. Bahkan saat wanita sedang dalam keadaan hamil,
merokok memiliki resiko lebih besar mengalami keguguran.
c. Konsumsi alkohol
Kehamilan pada wanita dipengaruhi oleh besarnya jumlah konsumsi
alkohol. Kecanduan alkohol juga dapat menurunkan kesuburan dan jumlah
sperma pada pria.
d. Obesitas (kelebihan berat badan)
Di negara maju, kelebihan berat badan (obesitas) dan gaya hidup
“sedentary” ditemukan sebagai penyebab utama infertilitas pada wanita.
24
Sedangkan seorang pria dengan berat badan lebih memiliki resiko
mengalami produksi sperma yang tidak normal.
e. Gangguan pola makan
Wanita dengan berat badan berlebih sering diakibatkan oleh gangguan pola
makan tidak teratur yang berpengaruh langsung terhadap kesuburan.
f. Vegetarian
Seorang vegetarian “tulen” harus memastikan asupan zat besi, asam folat,
zinc dan vitamin B-12 cukup memadahi untuk menghindari masalah
kesuburan.
g. Olahraga berlebih
Seorang wanita yang melakukan latihan “berat” selama lebih dari tujuh
jam setiap minggunya dapat mengalami masalah ovulasi.
h. Kurang olahraga
Pola hidup “sedentari” atau kurang aktivitas fisik dihubungkan langsung
dengan kesuburan yang rendah baik untuk pria maupun wanita.
i. Infeksi menular seksual (IMS)
Penyakit menular seksual dapat merusak tuba falopii serta membuat buah
zakar pria mengalami peradangan yang menyebabkan infertilitas.
j. Bahan kimia
Sejumlah pestisida, herbisida, logam berat (timah) dan bahan pelarut
buatan telah dikaitkan dengan masalah kesuburan baik pada pria maupun
wanita.
k. Stres
Studi penunjukkan bahwa ovulasi pada wanita dan produksi sperma pada
pria dapat dipengaruhi oleh tekanan mental (stres). Jika setidaknya satu
pasangan mengalami stres, akan berdampak pada kurangnya frekuensi
hubungan seksual pasangan, sehingga kesempatan terjadinya konsepsi juga
sangat rendah.
Alam dan Hadibroto (2007) memberikan beberapa faktor penyebab
infertil yang mendukung pendapat sebelumnya, yaitu :
25
a.
Penyakit menahun, terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup
b.
parah, dapat mempengaruhi kesuburan.
Kurang seringnya berhubungan seks, pada hubungan seks yang dilakukan
kurang dari tiga kali seminggu, sperma kurang mendapat kesempatan
c.
untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur.
Gangguan pada alat reproduksi.
E. Hubungan antara Self Esteem dan Penghargaan Suami dengan Kepuasan
Perkawinan pada Wanita dengan Infertil primer
Wanita secara kodrati merupakan pemangku keturunan atau sebagai
penerus generasi keluarga. Data penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan
wanita yang memutuskan untuk menikah sering kali didasarkan pada rasa cinta
dengan pasangannya dan mengharapkan memperoleh keturunan dari laki-laki
yang dicintainya. Studi mengenai ibu-ibu rumah tangga menunjukkan bahwa
jumlah paling besar dari ibu-ibu tersebut menyatakan bahwa fungsi keibuan
merupakan submber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Hanya
sedikit dari ibu-ibu yang menyatakan bahwa fungsi istri yang menjdi sumber
kepuasan bagi hidupnya. Tampaknya menjadi seorang ibu lebih membanggakan
daripada menjadi seorang istri. Hal inilah yang membuat seorang wanita yang
sudah menikah namun belum juga dikaruniai anak dihadapkan pada kondisi yang
stresful. Infertilitas merupakan suatu kondisi dimana seorang wanita tidak mampu
menghasilkan keturunan setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan
hubungan seksual. Kondisi infertil bukan tergolong sebagai penyakit yang
berbahaya atau penyakit yang mematikan, namun kondisi infertil ini
mengakibatkan dampak psikologis yang sangat berat. Ryff (1995) menjelaskan
dampak psikologis yang muncul akibat kondisi infertil adalah rasa bersalah
26
terhadap pasangan, frustasi, tidak berguna, serta rendah diri, dan hal itu
berdampak sangat buruk terhadap hubungan suami-istri yang mengakibatkan
hubungan pasangan ini menjadi kurang harmonis dan tidak lagi mesra dan hangat.
Perkawinan dipandang sebagai langkah penyatuan kedua individu dengan
tujuan mencapai kepuasan terhadap kehidupan perkawinannya. Kasdu (2001) juga
menambahkan bahwa tujuan sebuah perkawinan tidak terlepas dari keinginan
memperoleh keturunan. Keturunan itu sendiri dipandang Herrick (1998) sebagai
tolok ukur sebuah kepuasan perkawinan yang dijalani pasangan suami-istri.
Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara menyeluruh mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan kondisi perkawinan. Kepuasan perkawinan
merupakan evaluasi subjektif, yang artinya setiap orang bahkan antara suami
maupun istri yang sama-sama menjalani sebuah perkawinan yang sama, belum
tentu mengungkapkan hal yang serupa mengenai perkawinan mereka. Perjalanan
dalam perkawinan tidak selalu berjalan indah, ada saat-saat perkawinan harus
menghadapi konflik di dalamnya. Sawitri Sadarjoen, seorang psikolog perkawinan
menerangkan bahwa sumber konflik penyebab ketidakharmonisan keluarga tidak
lepas dari masalah uang dan hubungan seksual. Badai perkawinan pada tahuntahun awal pernikahan menurut Prof.dr. Marlina, SpKJ., mencakup 2 tahap yakni
tahap penyesuaian diri, dimulai pada tahun 2 sampai tahun ke-3 dan tahap
penemuan peran diri pada tahun ke 6 sampai tahun ke-7 pernikahan. Jika
demikian, tidaklah heran apabila keturunan menjadi penyebab konflik yang besar
dalam kehidupan rumah tangga, karena pada tahun-tahun awal perkawinan
seorang wanita belajar menyesuaikan diri dan menemukan peran baru selain
menjadi seorang wanita dan istri.
27
Salah satu faktor dasar kebutuhan yang berpengaruh terhadap penilaian
kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif seorang wanita itu sendiri terhadap
dirinya. Evaluasi subjektif mengenai diri sendiri adalah istilah untuk menyebut
self-esteem. Harga diri (self-esteem) sangat penting bagi seseorang terutama bagi
wanita dengan kondisi infertil. Harga diri disebut-sebut sebagai salah satu hal
terpenting karena harga diri berperan dalam perkembangan kepribadian seseorang
dalam menjalani kehidupannya. Harga diri telah terbentuk pada awal kehidupan
seseorang, dimulai dari hubungan dengan keluarga, bagaimana orang-orang
terpenting dalam hidup seseorang membangun gambaran dirinya. Selain itu
umpan balik (feed back) dari lingkungan terhadap kualitas performa seseorang,
seperti kesuksesan maupun kegagalan dalam kehidupan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan harga diri (dalam Michener dkk, 2004). Tanpa harga diri
yang tinggi, seseorang akan lebih mudah merasa tertekan dan takut dalam
menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Tidak hanya sebatas
mempengaruhi perasaan, harga diri juga berpengaruh besar terhadap perilaku.
Wanita dengan kondisi infertil yang memiliki harga diri tinggi, tidak akan
melakukan
hal-hal
negatif
dan
menerima
keadaan
dirinya
dengan
mengembangkan perasaan positif. Selain itu, harga diri tinggi dapat menuntun
wanita dengan kondisi infertil ke arah keputusan-keputusan untuk berperilaku
rasional. Lain halnya dengan pengalaman kegagalan memperoleh keturunan yang
dialami oleh wanita infertil dengan harga diri rendah dapat berakibat pada
ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinannya seperti pendapat Dodgson &
Wood (dalam Baron, 2004) yang menyatakan bahwa pengalaman kegagalan
28
mendorong mereka dengan self-esteem yang rendah untuk memfokuskan diri
hanya pada kelemahan mereka.
Kebutuhan dasar setiap individu adalah dicintai dan dihargai oleh orang
lain. Penghargaan akan dianggap biasa oleh seseorang apabila seseorang tersebut
menunjukan performa atau prestasi yang luar biasa. Akan tetapi, penghargaan oleh
orang lain akan dianggap sangat berarti ketika seseorang merasa keadaannya tidak
seberuntung orang-orang disekitarnya. Hal ini juga berlaku bagi wanita dengan
kondisi infertil, disaat dirinya merasa tidak seberuntung orang-orang disekitarnya
dibutuhkan pasangan yang memberikan penghargaan bagi dirinya. Penghargaan
(respect) yang diberikan oleh suami berkaitan dengan penerimaan, perhatian, dan
afeksi yang ditunjukan oleh pasangan. Dengan adanya penghargaan oleh suami
akan mendorong sang istri untuk dapat menerima kondisinya sendiri dan
mengembangkan harga diri yang tinggi sehingga akan berpengaruh pada kepuasan
perkawinan yang dijalaninya. Penelitian sebelumnya yang mendukung pendapat
bahwa ada korelasi antara kepuasan perkawinan dengan stres infertil yaitu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurul (2012) pada wanita yang mengalami
infertilitas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres
infertil dan kepuasan perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita dengan
kondisi infertil primer yang memiliki harga diri (self-esteem) yang tinggi disertai
juga dengan pemberian penghargaan (respect) oleh suami akan dapat mancapai
kepuasan perkawinan yang menjadi harapan besar dalam pernikahan. Hal ini
ditandai dengan kebahagiaan yang dapat dirasakan kedua belah pihak dan
29
keberhasilan dalam menghadapi setiap problematika perkawinan dengan tetap
pada keputusan yang sejalan antara suami-istri.
E. Kerangka Berpikir
Maslow (dalam Schultz, 1991) mengungkapkan melalui hierarki
kebutuhan bahwa penghargaan terbagi menjadi 2 yakni penghargaan atas diri
sendiri (self-esteem) dan penghargaan dari orang lain. Kedua unsur penghargaan
ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena satu unsur bekerja dari
dalam dan lainnya dari luar. Atas dasar teori inilah, penulis berasumsi bahwa
kepuasan
perkawinan
dipengaruhi
secara
bersama-sama
oleh
variabel
penghargaan yang bergerak dari dalam (self-esteem) dan variabel penghargaan
dari luar dalam hal ini ialah penghargaan suami.
Pola hubungan antara variabel-variabel penelitian tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
H1
Kepuasan
Perkawinan
pada
Penghargaan
Gambar 1. Pola Hubungan antar Variabel Penelitian
Wanita dengan
Suami
Keterangan:
Infertil Primer
H1
= Hubungan antara self-esteem dan penghargaan suami dengan
kepuasan perkawinan pada wanita dengan infertil primer.
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, rumusan hipotesis penelitian
disajikan berikut ini.
Ada hubungan yang positif Self-esteem dan Penghargaan Suami dengan
Kepuasan Perkawinan pada Wanita dengan Infertil Primer.
30
31
Download