BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Kepuasan Perkawinan Clayton (1975) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi perkawinan. Kepuasaaan dalam perkawinan merupakan kesan subjektif individu terhadap komponen perkawinannya secara keseluruhan yang meliputi cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup (Blood dan Wolfe, dalam Santrock, 2007). Pinsof & Lebow (2005) menjelaskan kepuasan perkawinan sebagai suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu sikap dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam perkawinan. Adapun pengertian kepuasan perkawinan menurut Roach dkk (1981) merupakan persepsi terhadap kehidupan perkawinan seseorang yang diukur berdasarkan besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Definisi mengenai kepuasaan perkawinan juga dikemukakan oleh Bahr dkk (1983) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan, harapan dan keinginan suami istri dalam perkawinan. Klemer (1970) dalam bukunya Marriage and The Family menambahkan bahwa kepuasan perkawinan yakni suatu hal yang dihasilkan dari penyesuaian antara yang terjadi dengan yang diharapkan. Secara luas Spanier & Cole (dalam Prasetya, 2007) mamberikan difinisi kepuasan perkawinan sebagai evaluasi subjektif menganai perasaan seseorang atas pasangannya, atas perkawinannya dan atas hubungannya dengan pasangannya. Singkatnya, kepuasan perkawinan adalah penilaian umum subjektif atas perkawinan (Ficham dalam Retno, 2011). Dengan demikian dari beberapa pendapat dan teori di atas, disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif tentang kualitas perkawinan yang dijalani pasangan suami-istri secara menyeluruh. 2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan Olson (2003) mengemukakan terdapat beberapa aspek yang dapat diukur dalam kepuasan perkawinan, antara lain: komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manajemen keuangan, hubungan seksual, keluarga, dan teman, kehadiran anak dan pengasuhan anak, masalah kepribadian, dan peran egalitarian. Clayton (1975) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang dievaluasi oleh pasangan suami istri untuk menentukan kepuasan pernikahan adalah: a) Kemampuan sosial suami istri (marriage sociability), kemampuan suami istri dalam persahabatan dengan orang lain selain keluarga, pergaulan dengan masyarakat sekitar. Suami istri yang memiliki kemampuan bersosialisasi dengan orang lain yang lebih baik akan merasa bahagia dan masalah yang dihadapi akan berkurang. b) Persahabatan dalam pernikahan (marriage companionship), hal-hal yang termasuk dalam persahabatan suami istri meliputi perbincangan menyenangkan antara suami istri, cara merasakan kegembiraan bersama dan pergaulan yang menyenangkan antara keduanya. Suami istri yang terpuaskan kehidupan akan merasakan bahwa hubungan yang mereka 2 tempuh dalam kehidupan pernikahan merupakan hubungan seperti dua sahabat yang sangat dekat dan masing-masing berusaha menciptakan hubungan yang menyenangkan. c) Urusan ekonomi (economic affair), meliputi penggunaan uang untuk kebutuhan keluarga maupun kebutuhan pnbadi, rekreasi, pekerjaan suami maupun pekerjaan istri. d) Kekuatan pernikahan (marriage power), meliputi sikap terhadap pernikahan yang dijalani, adanya saling keterikatan, dan ekspresi penghargaan antara suami istri. e) Hubungan dengan keluarga besar (extra family relationship), meliputi hubungan dengan keluarga diluar keluarga inti. f) Persamaan ideology (ideological congruence), meliputi kesamaan pandangan hidup, kesamaan pandangan tentang perilaku yang benar dan baik. g) Keintiman pernikahan (marriage intimacy), meliputi ekspresi kasih sayang dan hubungan seks. h) Taktik interaksi (interaction tactics), meliputi kerja sama, penyatuan perbedaan, penyelesaian konflik. Snyder (1979) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang bisa dijadikan tolok ukur kepuasan perkawinan yaitu: (a) kecenderungan untuk menilai perkawinan dengan kriteria yang diidealkan oleh masyarakat; (b) kepuasan individu terhadap perkawinan secara umum; (c) kepuasan individu terhadap afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan; (d) efektivitas komunikasi untuk memecahkan masalah dan kemampuan mencari penyelesaian bila ada perselisihan; (e) kesediaan dan kepuasan dalam penggunaan waktu bersama pasangan; (f) penggunaan uang dalam keluarga; 3 (g) kepuasan seksual; (h) orientasi peran yang dipakai dalam perkawinan maupun fungsi sebagai orang tua, termasuk di dalamnya peran jenis; (i) kebahagiaan yang dialami oleh keluarga pada masa kecil; (j) kepuasan terhadap anak-anak hasil perkawinan; dan (k) konflik perbedaan cara mendidik anak. Penelitian ini menggunakan aspek kepuasan perkawinan menurut Clayton (1975) dengan pertimbangan aspek tersebut lebih lengkap dalam menggambarkan kepuasan perkawinan yang dirasakan wanita dengan kondisi infertil primer, sehingga kemungkinan berfungsi baik dalam pengukurannya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Salah satu faktor mendasar dari kepuasan perkawinan adalah kemungkinan adanya perbedaan dalam apa yang laki-laki dan perempuan harapkan dari sebuah perkawinan. Lavee & Ben-air menambahkan bahwa perempuan cenderung mengharapkan ekspresi emosional dari pasangannya (dalam Papalia, 2009). Robinson dan Blanton (2003) mengemukakan beberapa faktor penting dalam kepuasan perkawinan, yaitu: a. Keintiman Keintiman dalam pernikahan tidak hanya dipandang dari segi fisik yang selalu bersama namun juga keintiman secara emosional dan spiritual. Keterlibatan pasangan satu sama lain dalam situasi yang menyenangkan maupun menyedihkan akan membantu terciptanya keintiman dalam kehidupan rumah tangga. Selain hal tersebut, peningkatan keintiman juga 4 dapat dilakukan melalui kebersamaan, saling ketergantungan atau interindependensi, dukungan, dan perhatian pada pasangan. b. Komitmen Faktor penting dalam kepuasan perkawinan juga ditinjau dari faktor komitmen yang tidak hanya sekedar ditujukan terhadap institusi perkawinan tetapi juga terhadap pasangannya. Komitmen yang dimaksud meliputi: kematangan hubungan, penyesuaian diri dengan pasangan, perkembangan pasangan, serta terhadap pengalaman, dan situasi baru yang dialami oleh pasangan. c. Komunikasi Kepuasan sebuah perkawinan dilihat dari cara berkomunikasi yang konstruktif. Arti dari komunikasi konstruktif adalah berbagi pikiran dan perasaan, mendiskusikan masalah bersama-sama, dan mendengarkan sudut pandang satu sama lain. Dengan terciptanya komunikasi konstruktif dapat membantu mengantisipasi konflik dan menyesuaikan kesulitan yang dialami pasangan. d. Kongruensi Arti kata kongruensi adalah kesesuaian dalam mempersepsi kekuatan dan kelemahan dari hubungan perkawinan yang sedang dijalaninya. Pasangan yang mempersepsikan hubungan perkawinannya kuat maka pasangan tersebut akan merasa lebih nyaman dalam hubungannya. Oleh sebab itu, kongruensi juga merupakan faktor penting dalam kepuasan perkawinan. e. Keyakinan beragama Pasangan yang dapat berbagi nilai-nilai agama yang dianutnya dan beribadah bersama-sama dapat menciptakan ikatan yang kuat serta berdampak positif bagi kepuasan 5 perkawinan. Seseorang dapat memperoleh dukungan sosial, emosional dan spiritual oleh pasangannya melalui agama yang dianutnya. Kepuasan perkawinan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor individual yang berperan sebagai pendukung maupun panghambat perkawinan. Faktorfaktor tersebut adalah: (BP4, 1993) a. Faktor pendukung kepuasan perkawinan yang pertama adalah rasa tertarik pada pasangan baik fisik, psikologis maupun sosial; kedua yakni kesediaan menyesuaikan diri dan merawat cinta. Penyesuaian diri merupakan syarat utama mencapai kebahagiaan karena masing-masing pihak akan lebih terbuka perasaannya untuk menerima curahan kebahagiaan dari pihak lain. Dua individu dalam perkawinan selalu memiliki perbedaan yang mungkin mendasari terbentuknya konflik. Kesediaan menyesuaikan diri dapat mengubah perbedaan menjadi faktor yang memperkaya perasaan kedua individu, memperluas wawasan dan memperbesar toleransi sehingga memuaskan dan lebih mampu menghayati ekspresi cinta. Faktor ketiga, perasaan menyatu merupakan wujud penyesuaian diri yang baik. Semua sikap dan perilakunya merupakan pencerminan kerjasama menuju kebahagiaan bersama, dengan demikian suami-istri dapat saling mengawasi dan menaruh percaya meskipun secara fisik mereka berjauhan. Faktor terakhir yaitu partisipasi dan perasaan memiliki. Partisipasi merupakan usaha aktif individu untuk ikut serta ambil bagian dalam setiap aktivitas pasangan. Hal ini akan menghasilkan kedekatan secara fisik dan b. psikologis. Faktor penghambat kepuasan perkawinan yang pertama kekurangmampuan seseorang untuk mengenali pasangannya. Kepuasan 6 terhalang karena masing-masing pihak tidak mengetahui kehendak pasangan atau bahkan tidak mengerti apa yang diinginkannya sendiri. Faktor kedua, kepribadian kurang berkembang. Hambatan dalam perkembangan kepribadian dapat menjadi kendala tercapainya kepuasan perkawinan. Kepribadian kurang berkembang secara langsung mengganggu penyesuaian diri. Selain itu juga terdapat faktor penghambat ketiga yaitu perbedaan latar belakang pendidikan, kebudayaan, dan kebiasaan. Adanya perbedaan yang menyolok tentang usia, kepribadian, pendidikan, dan kebudayaan sering menjadi penghambat. Faktor penghambat yang terakhir adalah harapan yang tidak realistik dan konsep perkawinan yang keliru. Seringkali individu memasuki dunia perkawinan untuk mencapai kebahagiaan abadi, namun kenyatan tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan ketidakpuasan. 4. Karakteristik-karakteristik Kepuasan Perkawinan Pasangan suami istri walaupun mereka menjalani perkawinan yang sama, tapi belum tentu mereka merasakan kepuasan yang serupa. Terdapat beberapa karakteristik yang berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yang dijalani oleh sepasang suami istri. Menurut Duvall & Miller (1985), karakteristik yang mempengaruhi kepuasan perkawinan seseorang terbagi menjadi dua, yakni: a. Karakteristik masa lalu (backgroud characteristics) Karakteristik masa lalu mencakup: kebahagiaan dalam pernikahan orang tua, level kebahagiaan masa kanak-kanak, tingkat disiplin yang tidak terlalu tinggi namun cukup tegas dalam pemberian hukuman, adanya 7 pendidikan seks yang memadahi dari orang tua, pendidikan minimal SMU atau sederajad, dan masa perkenalan dengan pasangan yang cukup sebelum berlanjut ke pernikahan. b. Karakteristik masa kini (current characteristics) Karakteristik masa kini mencakup: adanya keterbukaan dalam mengungkapkan afeksi antara suami-istri, adanya rasa saling percaya dan keyakinan kedua belah pihak, adanya persamaan antara suami istri, tidak ada yang mendominasi pihak lain sehingga keputusan dibuat bersama dan adanya keterbukaan, kebebasan dalam berkomunikasi antara dua belah pihak secara emosional, sosial maupun seksual. Selain itu juag adanya kebersamaan baik minat maupun teman dalam kehidupan sosial, hubungan seksual yang dapat dinikmati kedua belah pihak, adanya tempat tinggal yang relatif permanen, dan penghasilan yang memadahi. Duvall dan Miller (1985) manambahkan bahwa diantara dua macam karakteristik tersebut, karakteristik masa kini yang lebih berpengaruh terhadap tercapainya harapan kepuasan perkawinan yang dijalani suami-istri. 5. Indikator dalam Kepuasan Perkawinan Lauer dan Lauer mengindikasikan kepuasan perkawinan (dalam Baron & Byrne, 2003) ke dalam empat indikator, yaitu: a. Persahabatan (friendship) Indikator pertama terkait dengan persahabatan yakni menganggap pasangan adalah teman baik sehingga terdapat kerjasama dalam suatu 8 hubungan yang bersifat suka rela. Persahabatan juga menjelaskan tentang bagaimana untuk dapat menyukai pribadi pasangan. Umumnya terdapat kecenderungan untuk memilih pasangan dengan memilih seseorang yang memiliki banyak kesamaan, misalnya saja kesamaan minat, latar belakang termasuk kepribadiannya. Namun, kesamaan bukanlah segalanya, kebutuhan tertentu dari seseorang dapat dipenuhi secara paling baik bukan oleh pasangan hidup yang serupa, tetapi oleh seseorang yang justru dapat melengkapi apa yang kita tidak miliki. b. Komitmen (commitment) Indikasi berikutnya adalah mengenai komitmen, menganggap pernikahan sebagai komitmen jangka panjang, sesuatu yang suci, dan sebagai stabilitas sosial. c. Persamaan (Similarity) Indikator kepuasan perkawinan yang ke-tiga adalah mempunyai persamaan tujuan dalam pernikahan, mempunyai persamaan dalam menunjukkan kasih sayang setelah memasuki kehidupan pernikahan, dan mempunyai persamaan tentang kehidupan seksual. d. Perasaan positif (positive feeling) Indikator terakhir terkait dengan kepuasan perkawinan ialah perasaan positif dalam menjalani kehidupan pernikahan. Perasaan positif tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu: merasakan pasangan lebih menarik, merasakan kebahagiaan bersama pasangan, dan merasa bangga dengan pencapaian pasangan. B. Self-esteem 1. Pengertian Self-esteem Harga diri (self-esteem) yang sering disebut juga sebagai martabat diri (self-worth) atau gambaran diri (self-image), adalah suatu dimensi global dari 9 diri (Santrock, 2007). Beberapa peneliti terkadang tidak selalu membuat perbedaan yang jelas antara harga diri dan konsep diri, terkadang mereka mencampur-adukkan istilah-istilah tersebut. Terdapat perbedaan yang jelas mengenai harga diri dan konsep diri, istilah harga diri lebih menekankan evaluasi diri yang bersifat global, sedangkan konsep diri merupakan suatu bentuk evaluasi diri yang menyangkut bidang tertentu. Santrock (2007) menyebutkan bahwa harga diri disebut juga kelangsungan hidup dari jiwa yang merupakan sarana bagi pertumbuhan eksistensi seseorang. Dalam Baron dan Byrne (1994) harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif negatif. Sedangkan penilaian Coopersmith (1967) menilai harga diri sebagai penilaian yang dirancangkan oleh individu berdasarkan pandangan individu terhadap dirinya yang dinyatakan dalam sikap menerima atau menolak dirinya. Chaplin (2004) mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap interaksi, penghargaan, dan penerimaan orang lain terhadap individu. Pendapat lain mengenai self-esteem juga disampaikan oleh Papalia dkk (2004) yang menyatakan self-esteem merupakan citra diri atau evaluasi diri yang positif yang dirasakan atau dipersepsikan oleh seseorang. Lebih lanjut Branden (1992) menilai self-esteem sebagai kecenderungan seseorang memandang dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan kehidupan dan mencapai hak untuk merasa bahagia. Guindon (2010) menekankan self-esteem sebagai sikap, komponen evaluatif pada diri sendiri yang mencakup penilaian afektif pada konsep diri yang terdiri dari perasaan 10 berharga dan penerimaan diri yang berkembang, dikelola sebagai konsekuensi kesadaran atas kompetensi dan umpan balik dari dunia luar. Jadi self-esteem merupakan cara seseorang bersikap terhadap dirinya sendiri yang diperoleh dari penilaian pribadinya. 2. Aspek-aspek Self Esteem Coopersmith (1967) menguraikan empat aspek self-esteem, yaitu: a. Keberartian diri (significance) Keberartian diri dapat diukur melalui perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh lingkungan. b. Kekuatan individu (power) Kekuatan di sini berarti kemampuan individu untuk mempengaruhi orang lain, serta mengontrol atau mengendalikan orang lain, di samping mengendalikan dirinya sendiri. Apabila individu mampu mengontrol diri sendiri dan orang lain dengan baik maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya harga diri yang positif atau tinggi, demikian juga sebaliknya. Kekuatan juga dikaitkan dengan inisiatif. Pada individu yang memiliki kekuatan tinggi akan memiliki inisiatif yang tinggi, demikian pula sebaliknya individu yang memiliki kekuatan rendah akan menunjukan inisiatif yang rendah pula. c. Kompetensi (competence) Kompetensi diartikan sebagai memiliki usaha yang tinggi untuk mendapatkan prestasi yang baik, sesuai dengan tahapan usianya. Apabila usaha individu sesuai dengan tuntutan dan harapan, itu berarti invidu memiliki kompetensi yang dapat membantu membentuk harga diri yang tinggi. Sebaliknya apabila individu sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi atau gagal memenuhi harapan dan tuntutan, maka individu 11 tersebut merasa tidak kompeten. Hal tersebut dapat membuat individu mengembangkan harga diri yang rendah. d. Ketaatan individu dan kemampuan memberi contoh (virtue) Ketaatan individu terhadap aturan dalam masyarakat serta tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat akan membuat individu tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat. Demikian juga bila individu mampu memberikan contoh atau dapat menjadi panutan yang baik bagi lingkungannya, akan diterima secara baik oleh masyarakat. Jadi, ketaatan individu terhadap aturan masyarakat dan kemampuan individu memberi contoh bagi masyarakat dapat menimbulkan penerimaan lingkungan yang tinggi terhadap individu tersebut. Penerimaan lingkungan yang tinggi ini mendorong terbentuknya harga diri yang tinggi. Sedangkan aspek-aspek harga diri menurut Maslow (1994) adalah : a. Aspek penilaian diri adalah penilaian yang dibuat seseorang untuk menilai keadaan dirinya yang meliputi keadaan fisik, kemampuan, keberhasilan, dan keberhargaan diri. b. Aspek penerimaan diri adalah kesediaan seseorang untuk menerima keadaan diri seperti apa adanya. c. Aspek penyesuaian diri adalah tempat dimana seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Penelitian ini menggunakan aspek self-esteem menurut Coopersmith (1967) dengan pertimbangan aspek tersebut lebih lengkap dalam menggambarkan tingkatan self-esteem yang dirasakan wanita dengan kondisi infertil primer, sehingga kemungkinan berfungsi baik dalam pengukurannya. 3. Klasifikasi Self Esteem 12 Coopersmith (1967) mengklasifikasikan self-esteem ke dalam tiga tingkatan, yaitu self-esteem tinggi, sedang dan rendah. Berikut merupakan penjelasan pengklasifikasian harga diri: a. Self-esteem tinggi Self-esteem tinggi ditandai dengan sikap tidak bergantung (independent), kreatif, ekspresif, asertif, terlibat secara aktif dalam diskusi, tidak hanya sebagai pendengar, berani mengungkapkan pendapat, cenderung tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi, mau menerima kritik dan perbedaan pendapat, perhatian dan optimis. b. Self-esteem sedang Self-esteem sedang memiliki ciri sikap yang hampir mirip dengan ciri sikap self-esteem tinggi, hanya bedanya, pada harga diri sedang seseorang masing menunjukkan kebimbangan dalam menilai dirinya sehingga masih memerlukan dukungan sosial. c. Self-esteem rendah Self-esteem rendah ditandai dengan sikap rendah diri, kurang ekspresif, kurang aktif, lebih suka sebagai pendengar dan pengikut saat melakukan aktivitas sosial, kurang berani mengemukakan pendapat, takut terhadap pendapat yang bertentangan dengan dirinya, merasa tidak dicintai, kurang dapat menerima kritikan dan mudah tersinggung. Pengelompokan self-esteem juga dilakukan oleh Myers & Michelle (dalam Wahyu & Intaglia, 2011) menjadi dua yakni self-esteem tinggi dan rendah, berikut kecenderungan dari masing-masing kelompok: a. Self-esteem tinggi Seseorang dengan self-esteem tinggi memiliki ciri yang diantaranya menghormati diri sendiri, menganggap diri berharga, percaya diri, optimis, 13 mau belajar, terkendali dan disiplin. Selain itu, orang dengan harga diri tinggi mampu memberikan penghormatan pada orang lain dan tidak menganggap dirinya sempurna atau tidak lebih baik dari orang lain, namun bukan berarti dirinya lebih buruk daripada orang lain. b. Self-esteem rendah Seseorang dengan self-esteem rendah memiliki ciri yang diantaranya menolak dirinya sendiri secara verbal dan aktif, tidak puas dengan dirinya, tidak menyukai gambaran dirinya dengan bentuk hubungan dengan orang lain, mudah tersinggung dan memandang rendah orang lain. Selain itu seseorang dengan harga diri rendah sangan menonjolkan bahwa dirinya tidak menyukai gambaran dirinya sendiri dan menginginkan yang berbeda namun di dalam dirinya tidak memiliki keyakinan dapat berubah. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem Ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem: (Potter etc al, 2005) a. Pengantar sukses dan gagal Pengalaman hidup sebelumnya dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. b. Motivasi dan evaluasi diri Memberikan gagasan yang dapat memotivasi dan evaluasi diri adalah proses mental yang berkelanjutan. Nilai diri atau harga diri merupakan kebutuhan manusia menurut hierarki Maslow orang akan merasa berharga dalam hidupnya karena memiliki harga diri. c. Koping individu Individu perlu mengembangkan koping untuk menghadapi stressor yang muncul. Self-esteem juga dipengaruhi oleh sejumlah koping yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup. Seseorang dengan harga diri tinggi cenderung menunjukkan keberhasilan yang diraihnya sebagai kualitas dan upaya diri. 14 5. Fungsi Self-esteem Perasaan self-esteem terbagi atas perasaan self-esteem positif dan perasaan self-esteem negatif. Dikatakan sebagai perasaan self-esteem positif apabila individu dapat menghargai diri sendiri dengan baik. Sebaliknya, dikatakan perasaan self-esteem negatif apabila seseorang tidak dapat menghargai dirinya sendiri secara baik (Walgito, 2004). Pendapat Dodgson & Wood (dalam Baron, 2004) menyatakan bahwa pengalaman kegagalan mendorong mereka dengan self-esteem negatif untuk memfokuskan diri pada kelemahan mereka, tetapi bagi mereka dengan selfesteem positif, mereka memfokuskan diri pada kekuatan mereka. Pendapat dari ahli tersebut menguatkan bahwa pengalaman kegagalan memperoleh keturunan serta tekanan batin akibat komentar negatif yang dialami wanita kondisi infertil dengan self-esteem negatif dapat berakibat pada ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan yang dijalani sehingga akan memunculkan bentukbentuk ketidakpuasan dan kekecewaan. Pada lain sisi, self-esteem juga memiliki fungsi penting sebagai perlindungan diri terhadap kondisi yang dialami individu. Ketika ada gangguan-gangguan dalam kehidupan perkawinannya, wanita dengan selfesteem positif mampu memegang kendali atas kondisi emosinya dan berupaya mempertahankan komitmen perkawinan dengan suaminya sehingga memperolah kepuasan dalam kehidupan perkawinannya. Segala bentuk komentar dan cibiran dari masyarakat yang diterima wanita dengan kondisi infertil, apabila dari dalam dirinya sendiri sudah memiliki self-esteem negatif maka wanita ini akan menerima komentar tersebut begitu saja dan membiarkan 15 kehidupannya ‘dilumpuhkan’ oleh komentar dan cibiran tersebut. Dalam hal inilah self-esteem berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan yang dijalani wanita dengan kondisi infertil. Jadi kesimpulan fungsi self-esteem yang pertama sebagai fokus pandang seseorang menghadapi permasalahan kehidupannya, apakah berfokus pada masalah dan cibiran orang lain sehingga akan memunculkan bentukbentuk ketidakpuasan menjalani kehidupan atau berfokus pada solusi dan kekuatan yang dimiliki sehingga terwujud kepuasan dan kebahagiaan. Fungsi yang kedua adalah sebagai perlindungan diri terhadap kondisi yang dialami, sehingga wanita dengan infertil primer mampu memegang kendali atas kondisi emosinya. 6. Sumber-sumber Self-esteem Michener dkk (2004) mengungkapkan terdapat tiga sumber utama selfesteem, yakni: a. Family experience Hubungan orang tua-anak dikatakan penting untuk perkembangan selfesteem. Pengaruh keluarga terhadap self-esteem menunjukkan konsep diri yang dibangun mencerminkan gambaran diri yang dikomunikasikan atau disampaikan oleh orang-orang yang terpenting dalam hidup (significant others). b. Performance feedback Umpan balik (feedback) yang terus menerus terhadap kualitas performa kita seperti kesuksesan dan kegagalan dapat mempengaruhi self-esteem. c. Social comparison 16 Perasaan memiliki kompetensi tertentu didasarkan pada hasil performa yang dibandingkan baik dengan hasil yang diharapkan diri sendiri maupun hasil performa orang lain. C. Penghargaan Suami 1. Pengertian Penghargaan Suami Menurut Dixon (2009), secara singkat penghargaan (respect) dapat disebut sebagai “the single most powerful ingredient in nourishing relationships and creating a just society”, atau dengan kata lain dapat diartikan bahwa respect adalah faktor dasar yang paling inti atau paling besar pengaruhnya untuk menjalani sebuah relasi intim. Ini dapat diartikan juga bahwa penghargaan yang diberikan oleh suami ini, hendak menyampaikan besar nilai (value) pasangan bagi dirinya selama menjalani sebuah relasi intim. Blader dan Tyler (2009), menjelaskan respect adalah evaluasi suami yang berupa pengertian dan penerimaan terhadap kondisi pasangan sehingga berpengaruh terhadap penilaian terhadap pasangannya. Kutipan teori mengenai respect tersebut oleh Blader dan Tyler (2009) adalah sebagai berikut: Respect refers to evaluations by people of their standing and accaptance within their group (it is an intragroup evaluative judgement). The core premise underlying the importance of respect is that someone’s standing whithin their group shapes the social identity they form around the group as well as the implications of group membership on their self-concept. Sarafino (1994) menambahkan definisi penghargaan pasangan merupakan penilaian positif pada pasangan, setuju dengan ide dan 17 perasaan pasangan, umpan balik, bantuan benda, dan waktu untuk meringankan beban pasangannya. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai penghargaan suami tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa penghargaan suami adalah pemberian nilai (value) berupa pengertian dan penerimaan terhadap kondisi pasangan untuk menunjukkan betapa berharganya pasangan tersebut bagi dirinya. 2. Aspek-aspek Penghargaan Suami Aspek penghargaan oleh suami dikaitkan dengan penerimaan, perhatian, dan afeksi yang ditunjukkan oleh suami (Maslow dalam Schultz, 1991). a. Penerimaan merupakan suatu keadaan dimana pasangan memiliki penilaian positif terhadap pasangannya, serta mengakui segala kelebihan maupun kekurangan yang ada dalam diri pasangan dan dapat menyesuaikan diri dengannya. Hjelle & Zeigler (1992) menambahkan penerimaan sebagai sikap menerima pasangan dengan keterbatasan, kelemahan dan kerapuhan pasangannya, bebas dari rasa menyalahkan, malu, dan juga dari kecemasan akan penilaian orang lain terhadap pasangannya. b. Perhatian merupakan pemusatan tenaga psikis oleh pasangan yang menyebabkan bertambahnya aktivitas, daya konsentrasi, dan pembatasan fokus sehingga mengabaikan hal-hal lain diluar perasaan pasangannya. c. Afeksi diartikan sebagai dorongan kasih sayang, perasaan yang kuat, suasana hati, dan perasaan-perasaan yang menyertai kesadaran. Menurut kamus psikologi, afeksi merupakan cinta kasih, perasaan-perasaan, dan emosi yang dibedakan dengan aspek pengenalan (cognitive) dan penerangan (conotative) kepribadian. 18 Coopersmith (dalam Dewi, 2014) menambahkan beberapa aspek-aspek penghargaan pasangan yang meliputi: a. Acceptance Suami tidak bereaksi menolak apapun kondisi istri baik secara verbal maupun non-verbal. b. Understanding Suami memahami kondisi istri serta hal-hal yang menyangkut kebutuhan istri lahir batin. c. Communication Terjalin komunikasi yang hangat antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga. d. Attitude Suami tidak menunjukkan perbedaan perlakuan yang ekstrem terhadap istri terkait kondisi yang sedang dialami. e. Treatment Suami mengupayakan penanganan khusus bagi istri agar kondisi yang dialami istri tidak membahayakan bagi dirinya sendiri. Jadi yang dimaksud dengan penghargaan (respect) oleh suami adalah bagaimana seorang suami menghargai istrinya (respecting others) dengan memberikan penerimaan, perhatian, dan afeksi terhadap apapun kondisi istri. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penghargaan Suami Beberapa faktor berikut dapat mempengaruhi penghargaan (respect): (Dixon, Graber, & Brooks-Gunn, 2008) a. Kesesuaian tingkah laku dan nilai-nilai yang positif Respect hanya dapat dicapai apabila ada kesesuaian atau kongruensi antara tingkah laku dan nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif adalah suatu kebiasaan dalam berpikir yang dimiliki oleh individu, nilai-nilai tersebut antara lain adalah: cinta kasih, kerendahan hati, kebersamaan, kejujuran, 19 toleransi, dan kesederhanaan. Tingkah laku yang mengarah pada nilai-nilai positif tersebut akan membawa individu mengarahkan tindakannya kepada respect. b. Tingkatan perkembangan moral Tingkatan respect yang dimiliki seorang individu sejalan dengan perkembangan moral yang ada pada dirinya. Perkembangan moral yang dimaksud adalah perkembangan moral menurut Kohlberg yang terdiri dari tahapan pre-conventional, conventional, dan post-conventional. Pada tahapan perkembangan moral pertama (pre-conventional), individu cenderung memandang respect sebagai sebuah kepatuhan semata. Pada tahapan conventional, respect dipandang sebagai suatu kesepakatan bersama, artinya seorang individu menaruh respect terhadap seseorang karena lingkungan masyarakat juga umumnya respect terhadap seseorang tersebut. Pada tahapan post-conventional, respect dipandang sebagai suatu kesadaran pribadi. c. Budaya Budaya berpengaruh terhadap cara pandang mengenai respect, maksudnya bahwa ada perbedaan cara pandang terhadap respect berdasarkan latar belakang budaya. Misalkan saja, masyarakat Afrika-Amerika memandang respect sebagai susuatu yang harus dimiliki individu yang lebih muda kepada individu yang lebih senior. Lain halnya dengan masyarakat Eropa yang memandang respect sebagai sesuatu yang harus dilakukan terhadap anak atau seseorang yang lebih muda dengan memperhatikan kebutuhan dan aspirasi mereka. D. Infertilitas 1. Pengertian Infertilitas 20 Infertilitas atau ketidaksuburan adalah suatu kondisi dimana pasangan suami-istri belum mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak dua sampai tiga kali seminggu dalam kurun waktu satu tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun (Purwoastusti, 2014). Definisi infertilitas menurut WHO (dalam Lisnawati, 2013) ialah tidak hamilnya pasutri yang berhubungan secara teratur selama satu tahun dan tanpa memakai alat kontrasepsi. Irianto (2014) menambahkan bahwa infertilitas merupakan ketidakmampuan biologis seseorang untuk memberikan kontribusi terhadap konsepsi (pembuahan). Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut infertilitas ialah apabila seorang istri tak kunjung hamil dalam waktu satu tahun padahal melakukan hubungan seksual rutin dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi apapun. 2. Jenis-jenis Infertilitas Jenis-jenis infertilitas terbagi menjadi tiga yaitu : (Jacoeb, 1993) a. Infertilitas primer Jika istri belum berhasil hamil walaupun bersenggama teratur dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan berturutturut. b. Infertilitas sekunder Jika istri pernah hamil akan tetapi tidak berhasil lagi walaupun bersenggama teratur dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan berturut-turut. c. Infertilitas idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya Bentuk infertilitas yang setelah pemeriksaan lengkap kedua pasangan dinyatakan normal dan ditangani selama 2 tahun tidak juga berhasil hamil. 21 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infertilitas Van Noord-Zaadstra et al menyebutkan penyebab infertilitas pada perempuan adalah kegagalan untuk memproduksi ovum; mucus di serviks yang mencegah sperma dari penetrasi atau penyakit pada saluran uterus yang mencegah implantasi dari ovum subur (dalam Papalia, 2009). Menurut Purwoastuti (2014) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi infertilitas, yaitu: a. Umur Fase reproduksi wanita dimulai setelah fase pubertas sampai sebelum fase menopause, akan tetapi kemampuan reproduksi wanita menurun drastis setelah umur 35 tahun. Ini dikarenakan, pada umur 35 tahun simpanan sel telur wanita menipis, mulai terjadi perubahan keseimbangan hormon dan kualitas sel telur yang dihasilkan pun menurun. b. Lama infertilitas Pasangan infertilitas yang terlambat ditangani semakin mempersukar harapan memiliki keturunan. Terlambat dalam artian umur makin tua, penyakit pada organ reproduksi yang makin parah, dan makin terbatasnya jenis pengobatan yang sesuai dengan pasangan tersebut. c. Stres Stres memicu pengeluaran hormon kortisol yang mempengaruhi pengaturan hormon reproduksi. d. Lingkungan Paparan terhadap racun seperti lem, bahan pelarut organik yang mudah menguap, silikon, pestisida, obat-obatan (misalnya: obat pelangsing), dan obat rekreasional (rokok, kafein, dan alkohol) dapat mempengaruhi sistem reproduksi. e. Hubungan seksual 22 Penyebab infertilitas ditinjau dari segi hubungan seksual meliputi: frekuensi, posisi, dan melakukannya tidak pada masa subur. f. Frekuensi Hubungan intim (koitus) atau onani (masturbasi) yang dilakukan setiap hari akan mengurangi jumlah dan kepadatan sperma. Frekuensi yang dianjurkan adalah 2-3 kali seminggu sehingga memberi waktu testis memproduksi sperma dalam jumlah cukup dan matang. g. Posisi Penetrasi adalah masuknya penis ke vagina sehingga sperma dapat dikeluarkan, yang nantinya akan bertemu sel telur yang ‘menunggu’ di saluran telur wanita. Penetrasi yang optimal dilakukan dengan cara posisi pria di atas, wanita di bawah. Sebagai tambahan, di bawah pantat wanita diberi bantal agar sperma dapat tertampung. Dianjurkan setelah wanita menerima sperma, wanita berbaring selama 10 menit sampai 1 jam bertujuan memberi waktu pada sperma bergerak menuju saluran telur untuk bertemu sel telur. h. Masa subur Satu sel telur dilepaskan oleh indung telur dalam setiap menstruasi, yaitu 14 hari sebelum menstruasi berikutnya, peristiwa itu disebut ovulasi. Sel telur kemudian menunggu sperma di saluran telur (tuba falopi) selama kurang lebih 48 jam, masa inilah yang disebut sebagai masa subur. i. Kondisi reproduksi wanita Kelainan terbanyak pada organ reprodusi wanita penyebab infertilitas adalah endometriosis dan infeksi panggul, sedangkan kelainan lainnya yang lebih jarang kejadiannya adalah mioma uteri, polip, kista, dan saluran telur tersumbat (bisa satu atau dua yang tersumbat). j. Kondisi reproduksi pria 23 Sperma berasal dari kata spermatozoa, yaitu sel kelamin jantan yang memiliki bulu cambuk, berbentuk menyerupai kecebong, dan membawa sifat dari bapak. Cairan nutrisi sperma berupa cairan putih, kental, dan berbau khas yang disebut semen. Kualitas sperma menjadi faktor penting dalam kehamilan. Irianto (2014) menambahkan, terdapat 11 faktor yang meningkatkan penyebab infertilitas: a. Usia Kesuburan seorang wanita mulai menurun setelah berumur sekitar 32 tahun dan terus berlanjut, sedangkan pada laki-laki kesuburannya akan menurun setelah usia 40 tahun. b. Merokok Merokok secara signifikan dapat meningkatkan resiko kemandulan, baik pada pria maupun wanita. Merokok juga dapat merusak efek dari pengobatan kesuburan. Bahkan saat wanita sedang dalam keadaan hamil, merokok memiliki resiko lebih besar mengalami keguguran. c. Konsumsi alkohol Kehamilan pada wanita dipengaruhi oleh besarnya jumlah konsumsi alkohol. Kecanduan alkohol juga dapat menurunkan kesuburan dan jumlah sperma pada pria. d. Obesitas (kelebihan berat badan) Di negara maju, kelebihan berat badan (obesitas) dan gaya hidup “sedentary” ditemukan sebagai penyebab utama infertilitas pada wanita. 24 Sedangkan seorang pria dengan berat badan lebih memiliki resiko mengalami produksi sperma yang tidak normal. e. Gangguan pola makan Wanita dengan berat badan berlebih sering diakibatkan oleh gangguan pola makan tidak teratur yang berpengaruh langsung terhadap kesuburan. f. Vegetarian Seorang vegetarian “tulen” harus memastikan asupan zat besi, asam folat, zinc dan vitamin B-12 cukup memadahi untuk menghindari masalah kesuburan. g. Olahraga berlebih Seorang wanita yang melakukan latihan “berat” selama lebih dari tujuh jam setiap minggunya dapat mengalami masalah ovulasi. h. Kurang olahraga Pola hidup “sedentari” atau kurang aktivitas fisik dihubungkan langsung dengan kesuburan yang rendah baik untuk pria maupun wanita. i. Infeksi menular seksual (IMS) Penyakit menular seksual dapat merusak tuba falopii serta membuat buah zakar pria mengalami peradangan yang menyebabkan infertilitas. j. Bahan kimia Sejumlah pestisida, herbisida, logam berat (timah) dan bahan pelarut buatan telah dikaitkan dengan masalah kesuburan baik pada pria maupun wanita. k. Stres Studi penunjukkan bahwa ovulasi pada wanita dan produksi sperma pada pria dapat dipengaruhi oleh tekanan mental (stres). Jika setidaknya satu pasangan mengalami stres, akan berdampak pada kurangnya frekuensi hubungan seksual pasangan, sehingga kesempatan terjadinya konsepsi juga sangat rendah. Alam dan Hadibroto (2007) memberikan beberapa faktor penyebab infertil yang mendukung pendapat sebelumnya, yaitu : 25 a. Penyakit menahun, terutama kelainan hormonal dan infeksi yang cukup b. parah, dapat mempengaruhi kesuburan. Kurang seringnya berhubungan seks, pada hubungan seks yang dilakukan kurang dari tiga kali seminggu, sperma kurang mendapat kesempatan c. untuk bertemu sel telur di dalam saluran telur. Gangguan pada alat reproduksi. E. Hubungan antara Self Esteem dan Penghargaan Suami dengan Kepuasan Perkawinan pada Wanita dengan Infertil primer Wanita secara kodrati merupakan pemangku keturunan atau sebagai penerus generasi keluarga. Data penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan wanita yang memutuskan untuk menikah sering kali didasarkan pada rasa cinta dengan pasangannya dan mengharapkan memperoleh keturunan dari laki-laki yang dicintainya. Studi mengenai ibu-ibu rumah tangga menunjukkan bahwa jumlah paling besar dari ibu-ibu tersebut menyatakan bahwa fungsi keibuan merupakan submber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Hanya sedikit dari ibu-ibu yang menyatakan bahwa fungsi istri yang menjdi sumber kepuasan bagi hidupnya. Tampaknya menjadi seorang ibu lebih membanggakan daripada menjadi seorang istri. Hal inilah yang membuat seorang wanita yang sudah menikah namun belum juga dikaruniai anak dihadapkan pada kondisi yang stresful. Infertilitas merupakan suatu kondisi dimana seorang wanita tidak mampu menghasilkan keturunan setelah sekurang-kurangnya satu tahun melakukan hubungan seksual. Kondisi infertil bukan tergolong sebagai penyakit yang berbahaya atau penyakit yang mematikan, namun kondisi infertil ini mengakibatkan dampak psikologis yang sangat berat. Ryff (1995) menjelaskan dampak psikologis yang muncul akibat kondisi infertil adalah rasa bersalah 26 terhadap pasangan, frustasi, tidak berguna, serta rendah diri, dan hal itu berdampak sangat buruk terhadap hubungan suami-istri yang mengakibatkan hubungan pasangan ini menjadi kurang harmonis dan tidak lagi mesra dan hangat. Perkawinan dipandang sebagai langkah penyatuan kedua individu dengan tujuan mencapai kepuasan terhadap kehidupan perkawinannya. Kasdu (2001) juga menambahkan bahwa tujuan sebuah perkawinan tidak terlepas dari keinginan memperoleh keturunan. Keturunan itu sendiri dipandang Herrick (1998) sebagai tolok ukur sebuah kepuasan perkawinan yang dijalani pasangan suami-istri. Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi perkawinan. Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif, yang artinya setiap orang bahkan antara suami maupun istri yang sama-sama menjalani sebuah perkawinan yang sama, belum tentu mengungkapkan hal yang serupa mengenai perkawinan mereka. Perjalanan dalam perkawinan tidak selalu berjalan indah, ada saat-saat perkawinan harus menghadapi konflik di dalamnya. Sawitri Sadarjoen, seorang psikolog perkawinan menerangkan bahwa sumber konflik penyebab ketidakharmonisan keluarga tidak lepas dari masalah uang dan hubungan seksual. Badai perkawinan pada tahuntahun awal pernikahan menurut Prof.dr. Marlina, SpKJ., mencakup 2 tahap yakni tahap penyesuaian diri, dimulai pada tahun 2 sampai tahun ke-3 dan tahap penemuan peran diri pada tahun ke 6 sampai tahun ke-7 pernikahan. Jika demikian, tidaklah heran apabila keturunan menjadi penyebab konflik yang besar dalam kehidupan rumah tangga, karena pada tahun-tahun awal perkawinan seorang wanita belajar menyesuaikan diri dan menemukan peran baru selain menjadi seorang wanita dan istri. 27 Salah satu faktor dasar kebutuhan yang berpengaruh terhadap penilaian kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif seorang wanita itu sendiri terhadap dirinya. Evaluasi subjektif mengenai diri sendiri adalah istilah untuk menyebut self-esteem. Harga diri (self-esteem) sangat penting bagi seseorang terutama bagi wanita dengan kondisi infertil. Harga diri disebut-sebut sebagai salah satu hal terpenting karena harga diri berperan dalam perkembangan kepribadian seseorang dalam menjalani kehidupannya. Harga diri telah terbentuk pada awal kehidupan seseorang, dimulai dari hubungan dengan keluarga, bagaimana orang-orang terpenting dalam hidup seseorang membangun gambaran dirinya. Selain itu umpan balik (feed back) dari lingkungan terhadap kualitas performa seseorang, seperti kesuksesan maupun kegagalan dalam kehidupan sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga diri (dalam Michener dkk, 2004). Tanpa harga diri yang tinggi, seseorang akan lebih mudah merasa tertekan dan takut dalam menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Tidak hanya sebatas mempengaruhi perasaan, harga diri juga berpengaruh besar terhadap perilaku. Wanita dengan kondisi infertil yang memiliki harga diri tinggi, tidak akan melakukan hal-hal negatif dan menerima keadaan dirinya dengan mengembangkan perasaan positif. Selain itu, harga diri tinggi dapat menuntun wanita dengan kondisi infertil ke arah keputusan-keputusan untuk berperilaku rasional. Lain halnya dengan pengalaman kegagalan memperoleh keturunan yang dialami oleh wanita infertil dengan harga diri rendah dapat berakibat pada ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinannya seperti pendapat Dodgson & Wood (dalam Baron, 2004) yang menyatakan bahwa pengalaman kegagalan 28 mendorong mereka dengan self-esteem yang rendah untuk memfokuskan diri hanya pada kelemahan mereka. Kebutuhan dasar setiap individu adalah dicintai dan dihargai oleh orang lain. Penghargaan akan dianggap biasa oleh seseorang apabila seseorang tersebut menunjukan performa atau prestasi yang luar biasa. Akan tetapi, penghargaan oleh orang lain akan dianggap sangat berarti ketika seseorang merasa keadaannya tidak seberuntung orang-orang disekitarnya. Hal ini juga berlaku bagi wanita dengan kondisi infertil, disaat dirinya merasa tidak seberuntung orang-orang disekitarnya dibutuhkan pasangan yang memberikan penghargaan bagi dirinya. Penghargaan (respect) yang diberikan oleh suami berkaitan dengan penerimaan, perhatian, dan afeksi yang ditunjukan oleh pasangan. Dengan adanya penghargaan oleh suami akan mendorong sang istri untuk dapat menerima kondisinya sendiri dan mengembangkan harga diri yang tinggi sehingga akan berpengaruh pada kepuasan perkawinan yang dijalaninya. Penelitian sebelumnya yang mendukung pendapat bahwa ada korelasi antara kepuasan perkawinan dengan stres infertil yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurul (2012) pada wanita yang mengalami infertilitas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres infertil dan kepuasan perkawinan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wanita dengan kondisi infertil primer yang memiliki harga diri (self-esteem) yang tinggi disertai juga dengan pemberian penghargaan (respect) oleh suami akan dapat mancapai kepuasan perkawinan yang menjadi harapan besar dalam pernikahan. Hal ini ditandai dengan kebahagiaan yang dapat dirasakan kedua belah pihak dan 29 keberhasilan dalam menghadapi setiap problematika perkawinan dengan tetap pada keputusan yang sejalan antara suami-istri. E. Kerangka Berpikir Maslow (dalam Schultz, 1991) mengungkapkan melalui hierarki kebutuhan bahwa penghargaan terbagi menjadi 2 yakni penghargaan atas diri sendiri (self-esteem) dan penghargaan dari orang lain. Kedua unsur penghargaan ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena satu unsur bekerja dari dalam dan lainnya dari luar. Atas dasar teori inilah, penulis berasumsi bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi secara bersama-sama oleh variabel penghargaan yang bergerak dari dalam (self-esteem) dan variabel penghargaan dari luar dalam hal ini ialah penghargaan suami. Pola hubungan antara variabel-variabel penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini. H1 Kepuasan Perkawinan pada Penghargaan Gambar 1. Pola Hubungan antar Variabel Penelitian Wanita dengan Suami Keterangan: Infertil Primer H1 = Hubungan antara self-esteem dan penghargaan suami dengan kepuasan perkawinan pada wanita dengan infertil primer. G. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir, rumusan hipotesis penelitian disajikan berikut ini. Ada hubungan yang positif Self-esteem dan Penghargaan Suami dengan Kepuasan Perkawinan pada Wanita dengan Infertil Primer. 30 31