PTUN dan Kebenaran Formal Suatu Tinjauan

advertisement
PTUN dan Kebenaran Formal
Suatu Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia
Oleh: Umar Dani*
A. Pendahuluan
Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
telah menegaskan bahwa “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”, pasal tersebut memberikan kewenangan
kepada pengadilan tidak sebatas memeriksa dan memberikan putusan, lebih penting adalah
fungsi pengadilan untuk menyelesaikan sengketa. Secara gramatikal kata ‘menyelesaikan
sengketa’ kedudukannya setelah hakim memberikan putusan, dalam konteks ini dapat
dipahami bahwa suatu sengketa dianggap tuntas apabila kewajiban-kewajiban yang
ditentukan oleh hakim dalam putusannya telah dilaksanakan oleh pihak-pihak. Akan tetapi
ketika pihak-pihak tidak melaksanakan kewajiban tersebut sesungguhnya sengketa demikian
belumlah tuntas (belum selesai).
Hakekatnya Hakim merupakan bagian dari pengadilan hanya berwenang sebatas
memeriksa dan memutus perkara dalam rangka untuk menentukan hukum yang
dipertentangkan oleh pihak-pihak, urusan pelaksanaan putusan adalah di luar tugas yudisial
hakim, namun demikian penyelesaian sengketa tergantung pada kualitas dan nilai-nilai
keadilan serta kemanfaatan yang terkandung dalam putusan hakim.
Hakim peradilan tata usaha negara dalam menangani suatu sengketa sering
dibenturkan pada batasan penilaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, keterbatasan tersebut cenderung menggiring hakim untuk berpandangan
positivisme sehingga menciptakan putusan yang hanya mengejar kebenaran formal semata,
problem demikian banyak terjadi pada penyelesaian sengketa pertanahan, padahal sengketa
pertanahan dibeberapa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia sangat
mendominasi.
Pandangan positivisme dari Hakim peradilan tata usaha negara dalam penyelesaian
sengketa pertanahan tidak dapat dinilai negatif karena suasana demikian tercipta dari
kewenangan yang ada padanya, pandangan positivisme dan putusan yang formalistik juga
sejalan dengan semangat awal pembentukan peradilan tata usaha negara di Indonesia yaitu
lebih kepada menjalankan fungsi pengawasan eksternal pemerintah ketimbang menggali
kebenaran materil, sehingga penilaian hakim atas tindakan pejabat pemerintah terbatas pada
hal-hal yang menjadi kewajiban pejabat pemerintah ‘pada saat’ menerbitkan keputusan (ex
tunc), kewajiban-kewajiban tersebut lazimnya telah ditentukan secara limitatif dalam
peraturan perundang-undangan, sehingga hakim tata usaha negara hanya berfungsi untuk
menguji kesesuaian antara prosedur formal meurut bunyi undang-undang dengan tindakan
nyata pemerintah, dengan kata lain hakim hanya diberi kewenangan terbatas pada
membenarkan atau menyatakan salah prosedur yang telah diambil oleh pejabat pemerintah.
*
Hakim Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang
Saat ini sengketa pertanahan di Indonesia menjadi kewenangan dua badan peradilan,
hal-hal yang di luar kewenangan peradilan tata usaha negara menjadi kewenangan peradilan
umum untuk menyelesaikannya, dari kedua lembaga peradilan tersebut seringkali digunakan
pada saat yang bersamaan dan putusannya pun kadang kala tidak sejalan, perbedaan putusan
tersebut tidaklah dapat diartikan bahwa salah satu diantaranya ada yang salah, melainkan
keduanya berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing, peradilan tata usaha negara
menilai penerbitan objek sengketa berdasarkan perosedural formal (objek penilaiannya
adalah tindakan pejabat TUN), sedangkan peradilan umum menilai substansi sampai kepada
kebanaran materiil (objek penilaiannya adalah hubungan hukum orang dengan tanah). Dalam
situasi demikian bisa saja terjadi dalam sengketa pertanahan dimana tanah milik seseorang
telah dikuasai dan disertipikatkan atas nama orang lain kemudian digugat ke peradilan
perdata ia dimenangkan dan tanah tersebut terbukti hak miliknya, pada waktu bersamaan di
peradilan tata usaha negara ia dikalahkan karena kantor pertanahan pada waktu menerbitkan
sertipikat tersebut telah sesuai dengan prosedur formal, sehingga sertipikat atas nama orang
lain tersebut tidak dapat dibatalkan, persoalan demikian dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum.
Oleh karena kebutuhan akan tanah kian lama kian meningkat sejalan dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk sedangkan ketersediaan tanah terbatas, sudah dapat
dipastikan kedepan akan banyak terjadi persoalan yang berhubungan dengan tanah dengan
ragam persoalaannya, situasi demikian diharuskan pemerintah segera mencari solusi yang
tepat untuk menangani sengketa pertanahan dengan membentuk hukum yang konstruktif dan
menyerahkan kepada peradilan yang dipandang kompeten dengan persoalaan yang dihadapi
secara tuntas, dan tidak memaksakan kepada salah satu badan peradilan untuk menyelesaikan
secara keseluruhan segala sesuatu yang menyangkut tentang tanah, karena konsep hukum
pertanahan bersumber dari hukum publik sedangkan pemanfaatannya menimbulkan
hubungan hukum privat, sehingga tidak mungkin permasalahan hukum yang berada di ranah
hukum publik dan privat diselesaikan dalam satu peradilan.
B. Tanah adalah Objek Hukum Publik (Public Rechts)
Pada mulanya konsep tanah yang berlaku di tanah air mengacu pada hukum barat hal
tersebut dilatarbelakangi oleh penerapan asas konkordansi yang diberlakukan oleh Hindia
Belanda pada wilayah jajahannya termasuk Indonesia, akan tetapi tidak selamanya konsep
barat sesuai dengan konsep pribumi, dari sejarah hukum pertanahan yang diterapkan di tanah
air ternyata tidak cocok untuk terus dipertahankan, maka dengan beberapa konsep baru
memunculkan semangat pembaruan dibidang pertanahan yang berlandaskan semangat
nasionalisme, konsep baru tersebut berakar dari hukum adat sehingga timbul gerakan land
reform secara mendasar hingga melahirkan konsep tentang tanah yang diberlakukan
sekarang. Pada mulanya Tanah termasuk ke dalam kelompok “BENDA” sebagaimana yang
tertuang dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) artinya tanah
termasuk bagian dari benda tidak bergerak dan termasuk ke dalam pengaturan hukum privat
(perdata), oleh karenanya pada waktu Buku II KUHPerdata masih diberlakukan maka hukum
acara yang dipergunaka adalah Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) / Reglement tot
Regeling van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg).
Sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, maka pada tanggal 24
September 1960 diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan mencabut
keberlakuan Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih
berlaku, dengan diberlakukan UUPA beserta peraturan pelaksananya memberi peran sangat
besar kepada negara untuk mengatur peruntukan tanah, peran negara tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang meyatakan bahwa; “Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk”:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dari konsepsi Pasal 2 ayat (2) terutama huruf b dan huruf c UUPA di atas menunjukkan
dengan tegas bahwa hukum pertanahan bukan lagi masuk ke ranah hukum privat akan tetapi
masuk ke ranah hukum publik, ada juga sebagian orang berpandangan bahwa pengaturan
tanah termasuk hukum publik dengan karakteristik privat, pandangan tersebut tidak lepas
dari kedudukan sertipikat hak milik yang memiliki dua karakteristik yaitu selain sebagai
keputusan tata usaha negara juga merupakan bukti hak yang kekuatan pembuktiannya
sempurna sebagai akta otentik (vide pasal 13 ayat 4 jo pasal 19 UUPA).
Kewenangan mengatur terlihat dari fungsi kontrol negara terhadap tanah-tanahnya
yang mengharuskan masyarakat untuk memiliki tanah melalui satu pintu yaitu kantor
pertanahan.
Pengakuan
negara
atas
kepemilikan
tanah
selain
berdasarkan
penetapan/keputusan negara, juga ada yang bersumber dari pengakuan masyarakat.
1. Lahirnya hak atas tanah berdasarkan penetapan/keputusan negara
Pada dasarnya permukaan bumi (tanah) dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Atas dasar
tersebut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria memberi akses kepada
sesorang atau badan hukum perdata untuk mempergunakan, memanfaatkan serta memiliki
permukaan bumi dalam suatu hak yang dijamin oleh negara, hak-hak tersebut adalah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA yaitu Hak Milik, Hak Guana Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil
Hutan dan Hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut, untuk menjamin kepastian
hukum atas hak-hak tersebut oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia, dapat dilihat dari norma yang terkandung dalam PP No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, terutama pada Pasal 5 yang menyatakan bahwa
menyatakan “Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh badan pertanahan nasional”.
Dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran tanah pada intinya menegaskan bahwa setiap hak atas tanah musti
harus diakui oleh negara melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berkantor pusat
di Jakarta kantor wilayah disetiap provinsi dan kantor-kantor disatiap kabupaten/kota.
Bukti ikut campurnya tanah dapat juga dilihat dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah yaitu pada Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) huruf k yang intinya
menyatakan ‘pelayanan bidang pertanahan’ merupakan kewenangan pemerintah daerah
(provinsi/kabupaten/kota), oleh karena tanah-tanah masyarakat berada di tingkat
kelurahan dan desa maka melalui Permendagri No. 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa pelayanan tersebut
diarahkan ke tingkat pemerintahan desa. Pasal 1 ayat (1) huruf u Permendagri No. 30
Tahun 2006 dan lampirannya pada poin 21 huruf b memberi wewenang kepada
pemerintahan Desa untuk membuat surat keterangan atas tanah, bentuk konkrit yang
sering ditemui dalam praktek adalah Surat Keterangan Tanah (SKT) yang didaftarkan di
Desa atau Kelurahan, Surat Pengakuah Hak (SPH) yang diketahui oleh pemerintah
setempat, Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK), dan Surat
Pernyataan Tanah Tidak Dalam Sengketa serta contoh-contoh lain yang melibatkan
permerintah di dalamnya.
2. Lahirnya hak atas tanah berdasarkan pengakuan masyarakat
Pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi”.
Terhadap keberadaan tanah adat, tanah ulayat, hutan adat dan lain sebagainya
sepanjang masih ada dan diakui oleh masyarakat setempat tetap diakui oleh negara, hal
yang sama juga terhadap tanah negara yang dikuasai oleh masyarakat sejak sebelum
UUPA secara turun temurun dengan itikad baik dan tanpa sengketa, penguasaan terhadap
tanah-tanah oleh perseorangan demikian juga diakui oleh negara, kelompok ini biasanya
terdapat diperkampungan dan pedesaan, dimana bangunan rumah dan perkebunan yang
mereka tempati kebanyakan tidak disertipikatkan akan tetapi tanah dan bangunan serta
perkebunan miliknya tersebut telah didiami secara turun temurun dan diakui oleh
masyarakat setempat. Terhadap tanah-tanah yang dikuasai masyarakat lebih dari 20 (dua
puluh) tahun tanpa ada sengketa maka menurut hukum, tanah tersebut harus diakui
sebagai tanah milik yang bersangkutan. Guna tertib pertanahan kedepan kelompok ini
juga diupayakan untuk mendaftarkan tanahnya ke kantor pertanahan supaya keberadaan
tanah-tanah yang dikuasai ataupun di hak-i oleh masyarakat dapat diketahui oleh
pemerintah.
C. Keterbatasan Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui PTUN
Tidak jarang pemanfaatan dan peruntukan tanah menimbulkan konflik didalamnya
sehingga kantor pertanahan tidak dapat menindak lanjuti permohonan untuk mendaftarkan
tanah yang masih dalam masalah hukum, dari permasalahan ini muncul peran pegadilan
untuk menyelesaikannya. Pengertian ‘pengadilan’ disini juga termasuk ke dalam bagian dari
negara, dengan demikian pengadilan harus mampu menentukan salah satu pihak yang berhak
atas tanah yang dipersengketakan, pedoman hakim (pengadilan) dalam menentukan siapa
yang berhak adalah mengacu kepada ketentuan-ketentuan UUPA dan beberapa peraturan
pelaksananya.
Lahirnya kewenangan pengadilan tata usaha negara dalam sengketa pertanahan
karena sertipikat hak atas tanah masuk dalam rumusan pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.
51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa: “Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Meskipun sertipikat hak atas tanah masuk dalam rumusan pasal yang menjadi
kewenangn PTUN untuk mengadilinya, akan tetapi tidak semua sengketa yang objeknya
sertipkat hak atas tanah menjadi kewenangan PTUN, tergantung pada latar belakang dan
karakteristik yang menjadi pokok permasalahan dalam gugatan, hanya permasalahan yang
menyangkut prosedur penerbitan sertipikat sajalah yang menjadi kewenangan PTUN, apabila
hal-hal yang dipertentangkan menyangkut keabsahan syarat-syarat pengajuan sertipikat
antara lain, keabsahan akta jual beli, keabsahan alas hak pemohon, dan keabsahan syaratsyarat yang lain hal demikian di luar kewenangan peradilan tata usaha negara mengadilinya,
sengketa demikian harus terlebih dahulu diselesaikan ke peradilan perdata untuk menentukan
keabsahan syarat-syarat tersebut, pendapat demikian terkondisi dari penalaran sebagian besar
hakim tata usaha negara terhadap sengketa pertanahan.
Seringkali dalam praktek pada saat persidangan terungkap fakta bahwa akta jual beli
sebagai salah satu syarat pengajuan sertipikat yang digugat ternyata direkayasa, fakta
tersebut terungkap dengan jelas, misalnya; Penggugat dapat membuktikan bahwa pada saat
terjadi jual beli ternyata penjual telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, dari fakta
demikian berdasarkan logika hukum yang seharusnya menjelma sebagai pengetahuan hakim
sudah wajib kiranya mengemukakan fakta yang sebenarnya, kemudian ketika mau
dikonfrontir dengan pembeli (pemegang sertipikat) pada saat persidangan juga tidak
ditemukan keberadaannya. Dalam posisi kasus demikian kantor pertanahan tidak dapat
dipersalahkan, karena kantor pertanahan pada saat proses penerbitan sertipikat hanya
diwajibkan sebatas menilai bentuk formal dari akta jual beli, dan terbatas pada pemeriksaan
kelengkapan syarat semata, kantor pertanahan tidak mempunyai kewenangan untuk
menyatakan sah atau tidak sah akta jual beli, komentar yang acapkali dikemukankan kantor
pertanahan dalam masalah ini adalah pada saat proses penerbitan sertipikat tidak/belum ada
sanggahan dari pihak manapun dan baru diketahui pada saat persidangan.
Meskipun pada asasnya suatu keputusan apabila dikemudian hari diketahui terdapat
kekurangan/cacad/tuna maka pejabat yang bersangkutan harus membatalkannya. Dalam
kondisi demikian oleh karena diketahui cacad akta jual beli tersebut pada saat persidangan di
pengadilan maka kantor pertanahan biasanya tidak serta merta membatalkan sertipikat akan
tetapi harus menunggu putusan pengadilan, sedangkan peradilan tata usaha negara tidak
dapat menjangkau keabsahan akta jual beli, sengketa demikian cenderung disarankan untuk
diselesaikan di peradilan perdata, sehingga pencari keadilan harus menempuh dua kali proses
persidangan dalam satu kasus.
Pada Pasal 85 ayat (4) undang-undang tentang peradilan tata usaha negara
menyatakan bahwa “Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan
persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim
Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang
berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai
putusan perkara pidananya dijatuhkan”, apabila dicermati maksud dari pasal tersebut adalah
memberi kewenangan kepada hakim tata usaha negara untuk menyelesaikan sengketa
tersebut hingga tuntas, tidak serta-merta apabila ada indikasi akta jual beli dipalsukan
sengketanya diserahkan kepada peradilan perdata. Hal kedua yang patut diketahui maksud
dari pasal 85 ayat (4) itu diadakan juga memberi peluang hakim tata usaha negara untuk
menilai secara ex nunc, karena ketika ada putusan pidana menyatakan bahwa surat itu palsu,
hakim tata usaha negara terikat kepada putusan pidana walaupun pada saat menerbitkan
sertipkat pihak kantor pertanahan belum mengetahui adanya pemalsuan.
Kekakuan dalam penegakan hukum administrasi dipengaruhi oleh faham positivisme
yang memandang hakikat hukum tidak lain dari pada norma-norma positif dalam peraturan
perundang-undangan, akhirnya hakim hanya mengedepankan kepastian hukum melalui
pendekatan legalistik formal pada ketentuan undang-undang, akibatnya dalam penegakan
hukum demikian kebenaran materil yang mengandung unsur keadilan dan kemanfaatan
terabaikan. Satu contoh dalam kasus konkrit ada sebuah Gambar Situasi (GS) atas nama
orang lain menghalangi seseorang untuk membuat sertipikat, kemudian digugat di
pengadilan tata usaha negara, pada saat pemeriksaan dipersidangan ternyata orang yang
namanya tertera dalam GS tersebut sudah mengakui bahwa GS tersebut salah dan tanah yang
dimaksud dalam GS tersebut bukan tanah miliknya, kemudian kantor pertanahan juga secara
tidak langsung mengakui hal tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada pengadilan, dari
fakta hukum ini sudah jelas GS yang disengketakan tidak perlu dipertahankan dan tidak
memberikan manfaat bagi siapapun, akan tetapi persoalannya adalah gugatan yang diajukan
telah melewati tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari, atas fakta-fakta tersebut hakim
mencoba mengabaikan tenggang waktu pengajuan gugatan demi mencapai hakekat keadilan
dan kemanfaatan dan akhirnya memutuskan bahwa GS tersebut dibatalkan, akan tetapi tidak
semua hakim melakukan pendekatan yang sama, putusan hakim tersebut dibatalkan oleh
tingkat banding dengan alasan telah lewat tenggang waktu, pembatalan tersebut cukup
beralasan karena menurut hukum acara peratun gugatan dibatasi oleh waktu.
Kelemahan penanganan sengketa pertanahan di PTUN tidak lepas dari semangat yang
terkandung dalam hukum formil yaitu bertujuan sekedar pengawasan atas tindakan
pemerintah bukan semangat menyelesaiakan sengketa, sedangkan hukum formil tersebut
menjadi acuan hakim dalam menjalankan fungsinya, ketentuan-ketentuan yang terkandung di
dalam hukum acara memaksa cara pandang hakim terhadap hukum itu kaku dan normatifprosedural dalam melakukan konkretisasi hukum, oleh karena kekauan yang telah tertata
sedemikian rupa sehingga keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan
normatif undang-undang dapat dianggap sebagai suatu kesalahan.
D. Faktor Utama Tidak Tuntasnya Sengketa Pertanahan Di PTUN
Tidak tuntasnya peradilan tata usaha negara mengadili sengketa pertanahan timbul dari
pemahaman bahwa peradilan tata usaha negara tidak berwenang mengadili “sengketa
kepemilikan”, dan tidak berwenang menilai “akta jual beli” padahal kedua alasan tersebut
merupakan rangkaian proses yang tidak bisa dilepaskan dari keabsahan sertipikat secara
materil. Jika pemahaman ini tetap dipertahankan dapat dipastikan keberadaan PTUN dalam
menenagani sengketa pertanahan lebih kepada kebenaran formal bukan mengejar
kemanfaatan dan keadilan masayarakat. Dari kendala di atas maka penting kiranya untuk
menelusuri terlebih dahulu pengertian dan nilai-nilai hukum yang terkandung di dalam
pemahaman salama ini menyengkut istilah ‘kepemilikan tanah’ dan ‘akta jual beli’ itu
sendiri.
1. Pengertian ‘hak milik’
Pengertian hak milik ditemukan dalam buku II KUHPerdata yaitu pada Pasal 570
berbunyi; “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan
untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang
dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang
pantas, berdasarkan ketentuan ketentuan perundang-undangan”.
Pasal 571 KUHPerdata berbunyi; “Hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik
atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Di atas sebidang tanah,
pemilik boleh mengusahakan segala tanaman dan mendirikan bangunan yang
dikehendakinya, hal ini tidak mengurangi pengecualian-pengecualian tersebut dalam Bab
IV dan VI buku ini. Di bawah tanah itu ia boleh membangun dan menggali sesuka hatinya
dan mengambil semua hasil yang diperoleh dari galian itu; hal ini tidak mengurangi
perubahan-perubahan dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang
pertambangan, pengambilan bara, dan barang-barang semacam itu.
Pasal 572 KUHPerdata berbunyi; “Setiap hak milik harus dianggap bebas.
Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas barang orang lain, harus membuktikan hak
itu”. Kemudian pada Pasal 574 KUHPerdata menyebutkan; “Pemilik barang berhak
menuntut siapa pun juga yang menguasai barang itu, supaya mengembalikannya dalam
keadaan sebagaimana adanya.
Oleh karena buku II KUHPerdata dicabut maka ketentuan-ketentuan tentang bumi
air dan ruang angkasa termasuk ‘tanah’ telah dinyatakan tidak berlaku lagi, maka segala
seseuatu yang menyangkut tanah tidak dapat dipertahankan dengan hukum materil dalam
KUHPerdata akan tetapi harus tunduk kepada UUPA dan aturan pelaksananya.
Norma-norma hukum yang menunjukkan bahwa kepemilikan tanah merupakan
lingkup hukum publik termasuk penentuan kepemikiannya adalah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 4 UUPA, yaitu;
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undangundang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 9 ayat (2) UUPA menyatakan “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik lakilaki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya”. Kemudian dalam Pasal 11 UUPA menyebutkan “(1) Hubungan hukum
antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas”.
Batasan-batasan kepemilikan tanah juga diatur dalam peraturan pelaksana dari
UUPA salah satunya sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Pada Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan bahwa “Dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara
individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah
dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota”. Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) telah
ditetapkan bahwa “Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memberi keputusan
mengenai pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha
(dua hektar)”.
Pengertian kepemilikan yang dimaksud oleh UUPA adalah khusus mengenai
‘kepemilikan atas tanah’ dengan demikian sudah jelas dan terang bahwa kepemilikan atas
tanah adalah masuk wilayah hukum publik, oleh karena sertipikat masuk kewenangan
PTUN untuk menilai keabsahannya secara otomatis juga kepemilikan diwilayah hukum
publik juga menjadi kewenangan PTUN bukan peradilan perdata. Kemudian apabila
dicermati dari kaedah-kaedah yang terkandung dalam buku II KUHPerdata tidak menitik
beratkan kepada sengketa yang ‘melahirkan hak’ akan tetapi lebih kepada sengketa yang
‘mempertahankan hak’, artinya sengketa dimana haknya sudah ada namun dikuasai orang
lain dalam suasana hukum privat, sehingga seseorang yang mengaku mempunyai hak
tersebut harus dapat membuktikan alas haknya.
Contoh sengketa kepemilikan diranah hukum privat adalah;
1.
Orang atau hukum perdata menguasai tanah orang lain diluar hak yang ada padanya;
2.
Sengketa yang timbul akibat hubungan perikatan;
3.
Sengketa mengenai ganti rugi, dan lain sebagainya;
Dari contoh sengketa tersebut dapat dipahami bahwa sengketa yang diakibatkan
oleh perbuatan orang baik secara melawan hukum ataupun secara ingkar janji menguasai
hak orang lain, artinya orang yang merasa dirugikan tersebut telah mempunyai hak
sebagai dasar gugatannya, lebih tegas lagi sengketa perdata adalah sengketa untuk
mempertahankan hak dimana sebelumnya ia telah mempunyai hak. Dasar pengujiannya
adalah KUHPerdata tentang perikatan dan/atau perbuatan melawan hukum.
Sedangkan sengketa kepemilikan yang timbul dalam ranah hukum publik adalah
sengketa untuk menentukan hak/melahirkan hak yang acuannya adalah UUPA, contohnya
adalah Sengketa yang timbul akibat penetapan suatu hak oleh negara kepada orang atau
badan hukum perdata, termasuk di dalamnya adalah sengketa pemberian izin oleh negara
kepada orang atau badan hukum perdata untuk melakukan aktivitas di atas maupun di
dalam permukaan bumi.
Jadi kesimpulannya hanya sengketa kepemilikan terhadap barang-barang non tanah
yang dapat dipastikan menjadi wilayah hukum perdata, sedangkan sengketa kepemilikan
yang objeknya tanah tidak serta merta berada di wilayah perdata akan tetapi dilihat dari
karakteristik sengketanya, karena selain diranah perdata juga ada sengketa pertanahan
yang masuk wilayah administrasi (hukum publik) bahkan ada perbuatan melawan hukum
diranah pidana sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), disebut ‘kejahatan pertanahan’ sebab objek atau tujuannya adalah untuk
menguasai tanah, seperti kejahatan terhadap penyerobotan tanah (Pasal 167 KUHP),
kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat (Pasal 263, 264, 266, dan 274 KUHP) dan
kejahatan terhadap penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KUHP).
Dari uraian di atas ketika dalam suatu sengketa di PTUN terdapat sengketa
kepemiliikan maka hakim hendaknya tidak serta merta menyerahkan persoalannya ke
peradilan perdata. Sengketa yang timbul akibat kantor pertanahan menerbitkan sertipikat
adalah sepenuhnya menjadi objek sengketa di PTUN dan diharapkan kedepan
penyelesaiannya sampai tuntas, termasuk menentukan keabsahan alas hak pemohon dan
semua tindakan pendahuluan yang dijadikan syarat-syarat suatu permohonan. Akan tetapi
acap kali hakim tata usaha berpandangan sepotong-sepotong sehingga akta jual beli
dianggap bukan termasuk rentetan penerbitan sertipikat namun merupakan penetapan
mandiri, sehingga proses penilian terhenti manakala ada permasalahan di akta jual beli,
padahal akta jual beli juga masuk wilayah hukum publik, karena kedudukan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pembantu kantor pertanahan dalam rangka
pemberian hak, PPAT disini bukan dalam jabatannya sebagai notaries karena PPAT juga
bisa dari camat sebagaimana disebut dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 2 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1998 tentang
Pelimpahan Wewenang Pengangkatan dan Pemberhentian Camat Sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah, disebutkan bahwa Camat dapat diangkat menjadi PPAT oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional apabila dalam wilayah tersebut belum banyak terdapat
PPAT atau formasi PPAT di wilayah Kabupaten atau Kotamadya tersebut belum tertutup,
dari fungsi PPAT tersbut jelas sekelai bahwa kedudukan PPAT disini dalam rangka
perpanjangan tangan negara untuk mengontrol khusus terhadap perpindahan hak atas
tanah.
2. Akta Jual Beli
Perbuatan “jual beli” merupakan bahagian dari hukum perikatan sebagaimana
dimaksud dalam Buku III KUHPerdata, jual beli sebetulnya merupakan persetujuan antara
pihak-pihak dimana salah satu pihak bersedia melepaskan hak miliknya kepada orang lain
dengan syarat-syarat tertentu. Dalam KUHPerdata perbuatan demikian apabila pihakpihak telah setuju akan akadnya maka dapat melakukan kesepakatannya itu tanpa harus
melibatkan pihak ketiga, akan tetapi dalam perkembangannya untuk mencegah perbuatan
melawan hukum atau perbuatan ingkar janji dari salah satu pihak terhadap objek jual beli
maka kecenderungan dilakukan secara tertulis untuk mempermudah segi pembuktian.
Syarat-syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang Sah menurut Pasal 1320 antara lain
adalah 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Sejalan dengan dicabutnya Buku II KUHPerdata dan menempatkan bumi dan
permukaannya menjadi objek pengaturan negara, maka jual beli terhadap bidang tanah
juga tidak dapat disamakan dengan jual beli barang tidak bergerak lainnya. Jual beli yang
objeknya tanah merupakan peralihan hak yang harus melibatkan pemerintah didalamnya,
oleh sebab itu pada Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa: “Dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan
Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.
Untuk pendaftaran peralihan hak (balik nama sertipikat) hanya dapat dilakukan
apabila ada bukti peralihannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 (1) dan ayat (2) PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah adalah sebagai berikut:
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor
Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di
antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak
dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar
kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang
bersangkutan.
Demikian juga dalam rangka pendaftaran tanah apabila bukti kepemikin awal telah
dialihkan kepada seseorang maka harus dapat dibuktikan dengan peralihan hak atas tanah
melalui akta PPAT, dengan demikian akta PPAT tersebut merupakan rangkaian proses
penerbitan sertipkat. Oleh karenanya PTUN dalam melakukan penilaian terhadap proses
penerbitan sertipikat tidak boleh terhenti/terputus oleh penentuan keabsahan akta jual beli,
karena kedudukan PPAT disini bertindak selaku pembantu Kator pertanahan dalam
rangka pendaftaran hak untuk pertama kali maupun perpindahan hak, kedudukan
demikian adalah selaku Pejabat Tata Usaha Negara.
Sering muncul pertanyaan apakah akta jual beli merupakan keputusan tata usaha
negara (KTUN) atau bukan? karena PPAT dalam konteks jual beli tidak membuat suatu
keputusan akan tetapi hanya bertindak selaku lembaga pengesah saja, kemudian PPAT
juga tidak mempunyai kehendak sehingga tidak termasuk tindakan sepihak, jawaban atas
pertanyaan ini mungkin relevan untuk membantu keterbatasan PTUN dalam
menyelesaikan sengketa tanah secara tuntas, walaupun agak berbeda dengan pemahaman
yang sedang berkembang.
Pada hakekatnya ketika PPAT menanggapi permohonan dari pihak-pihak yang akan
melakukan jual-beli baik dengan membuat akta maupun menolak membuat akta tindakan
demikian sudah tergolong ke dalam ‘keputusan PPAT’. Kemudian PPAT dalam
menjalankan fungsinya tidak secara otomatis apabila ada pihak-pihak yang melakukan
perjanjian jual beli langsung di sahkan, akan tetapi PPAT harus menilai terlebih dahulu
kelengkapan syarat dari si penjual dan pembeli dengan ketentuan peraturan perundangundangan, jika salah satu syarat tidak terpenuhi, misalnya; si penjual atau kuasanya tidak
ada tidak hadir, isteri dari penjual kebaratan, tidak diperlihatkannya asli alas hak yang
diperjual belikan atau belum lunas pembayarannya, objek tanah yang diperjanjikan di luar
daerah kerjanya, maka PPAT dapat menolak untuk membuat akta jual beli yang
dimohonkan.
Dalam PP No. 24 Tahun 1997 telah ditentukan sedemikan rupa syarat-syarat PPAT
dalam membuat akta jual beli antara lain pada Pasal 38 dan Pasal 39 antara lain sebagai
berikut:
Pasal 38:
(1) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para
pihak yang melakukan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi
dalam perbuatan hukum itu.
(2) Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri.
Pasal 39:
(1)
PPAT menolak untuk membuat akta, jika:
a.
Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan
atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan; atau
b.
Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
1) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2); dan
2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak
di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak
yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
c.
Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d.
Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak
yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e.
Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat
atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f.
Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai
data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g.
Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
(2)
Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pihakpihak yang bersangkutan beserta alasannya
Penilaian PPAT terhadap dapat atau tidak dapat dibuat akta jual beli tersebut
haruslah mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan harus memperhatikan asasasas umum pemerintahan yang baik terutama ketentuan yang diatur dalam PP No. 24
Tahun 1997 jo. Permenag/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997 dan PP No. 37 Tahun 1998.
Tindakan PPAT dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebutlah yang mustinya harus
dikontrol oleh PTUN, dan bukan terhadap isi perjanjian didalamnya, dengan demikian
pengesahan PPAT terhadap jual-beli telah dapat ditafsirkan sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final serta telah menimbulkan akibat
hukum bagi yang dituju.
Kemudian PPAT tidak mempunyai kehendak dalam rangka membuat akta jual beli,
tindakan tanpa kehendak PPAT tersebut sama halnya dengan permohonan IMB dimana
kedudukan Bupati/Walikota atau Dinas Tata Kota tidak mempunyai kehendak untuk itu
akan tetapi atas permohonan dan karena kewajibannya maka harus ditindak lanjuti dengan
mengabulkan atau menolak IMB yang dimohonkan, demikian juga penerbitan sertipikat
hak milik dalam hal ini Kantor Pertanahan tidak memiliki kehendak untuk itu akan tetapi
atas dasar permohonan. Dengan kata lain PPAT dalam hal menolak atau mengesahkan
akta jual beli yang dimohonkan adalah perbuatan sepihak PPAT karena PPAT tidak
terikat dengan perjanjian didalamnya.
E. Kesimpulan
Tuntas atau tidaknya penyelesaian sengketa pertanahan di PTUN kedapan tergantung
pada pemahaman hakim atas kewenangannya terhadap keabsahan Akta Jual Beli dan
keabsahan alas hak pemohon lainnya, karena akta jual beli dan alas hak pemohon merupakan
rangkaian proses penerbitan sertipkat yang tidak dapat dipisahkan dengan keabsahan
sertipikat itu sendiri secara materil, dalam putusan hakim nantinya dapat diketahui apakah
sertipkat yang digugat mengandung cacad materil ataukah mengandung cacad formil.
Kemudian terhadap sengketa peralihan sertipikat, PTUN tidak dapat menilai proses balik
nama tanpa bisa menilai akta jual beli itu sendiri, karena sesungguhnya pokok persoalannya
bukan terletak di sertipikat balik nama tetapi ada diproses jual beli, hanya saja peralihan hak
belumlah final pada proses jual beli sebelum ada penetapan dari kantor pertanahan, oleh
sebab itu penilaian hakim sebenarnya juga menjangkau proses akta jual beli.
Kompleksnya bentuk dan ragam sengketa yang timbul dalam bidang pertanahan yang
dapat terjadi di ranah hukum tata usaha negara, ranah hukum perdata, dan bahkan diranah
pidana menunjukkan sengketa tanah berada dilintas sektor hukum maka tidak mungkin
diserahkan kepada satu badan peradilan melainkan harus mengkualifisir sengketa tersebut
agar dapat diselesaikan oleh peradilan yang berwenang secara tuntas. Apabila seluruh
sengketa pertanahan diserahkan kepada peradilan perdata sama artinya hakim perdata diberi
kewenangan untuk menilai perbuatan pemerintah/negara hal tersebut bertentangan dengan
prinsip dasar hukum privat (perdata) itu sendiri.
F. Saran
1. Agar dibahas dalam rakornas tentang kedudukan Akta Jual Beli apakah masuk dalam
kategori Keputusan TUN atau tidak, hal ini penting guna penyelesaian sengketa
pertanahan secara tuntas di PTUN sekaligus untuk mewujudkan putusan PTUN yang
mengandung nilai kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.
2. Agar DPR dalam menyusun rancangan undang-undang (RUU) tentang Pertanahan bisa
melahirkan peraturan yang produktif dan proporsional.
DAFTAR BACAAN
1. UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
2. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara;
4. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum;
5. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA);
6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah;
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHperdata) / Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie (B.W);
8. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
9. H.I.R (Herzien Inlandsch Reglement) dan R.Bg (Reglement tot Regeling van Het
Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java en Madura);
10. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
11. PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Gunan Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
12. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
13. Permenag/Ka. BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah;
14. Permenag/Ka. BPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara;
15. Permenag/Ka. BPN No. 1 Tahun 1998 tentang Pelimpahan Wewenang Pengangkatan dan
Pemberhentian Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
16. Permendagri No. 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan
Kabupaten/Kota kepada Desa;
Download