31 BAB III PEMBAHASAN Algoritma Self Organizing Map (SOM

advertisement
BAB III
PEMBAHASAN
Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang
diperkenalkan oleh Professor Teuvo Kohonen pada tahun 1982. Self Organizing
Map merupakan salah satu bentuk topologi dari Unsupervised Artificial Neural
Network (Unsupervised ANN) dimana dalam proses pelatihannya tidak
memerlukan pengawasan (target output). Self Organizing Map digunakan untuk
mengelompokkan (clustering) data berdasarkan karakteristik atau fitur-fitur data.
(Shieh & Liao, 2012).
Dalam algoritma Self Organizing Map, data input berupa vektor yang
terdiri dari n komponen (tuple) yang akan dikelompokkan dalam maksimum m
buah kelompok (disebut vektor contoh). Output jaringan adalah kelompok yang
paling dekat atau mirip dengan input yang diberikan. Ada beberapa ukuran
kedekatan yang dapat dipakai. Ukuran yang sering dipakai adalah Eucledian
distance yang paling minimum (Siang, 2009).
Vektor bobot untuk sebuah unit cluster menggambarkan sebuah contoh
dari pola input yang dikumpulkan dalam cluster. Selama proses Self Organizing
Map, unit cluster yang mempunyai bobot dicocokkan dengan pola input yang
terdekat dan dipilih sebagai pemenang (winner). Unit pemenang dan unit
tetangganya, dalam hal ini adalah topologi dari unit cluster akan memperbaiki
bobot mereka masing-masing (Kristanto, 2004).
31
A. Arsitektur dan Algoritma Pembelajaran Self Organizing Map
Self Organizing Map atau SOM merupakan suatu algoritma pembelajaran
yang baik dalam mengeksporasi data mining dan memiliki kemampuan cukup
baik untuk pembentukan model cluster.
Self Organizing Map merupakan algoritma yang melakukan pemetaan dari
data yang ada di ruang vektor berdimensi tinggi ke ruang vector dua dimensi yang
terletak pada lokasi yang berdekatan. Self Organizing Map terdiri dari dua lapisan
(layer), yaitu lapisan input dan lapisan output. Setiap neuron dalam lapisan input
terhubung dengan setiap neuron pada lapisan output. Setiap neuron pada lapisan
output merepresentasikan kelas (cluster) dari input yang telah diberikan.
Self Organizing Map merupakan generalisasi dari jaringan kompetitif, dan
merupakan jaringan tanpa supervise (Siang, 2009). Self Organizing Map disusun
oleh sebuah lapisan unit input yang dihubungkan seluruhnya ke lapisan unit
output, yang kemudian unit-unit diatur di dalam topologi khusus seperti struktur
jaringan (Jain & Martin, 1998). Secara umum arsitektur jaringan Self Organizing
Map dapat dilihat pada gambar 3.1
Gambar 3.1 Arsitektur Self Organizing Map
32
dengan
adalah vektor input dengan n dimensi dan
adalah vektor output
dengan m dimensi.
Salah satu algoritma pembelajaran untuk Self Organizing Map adalah
algoritma pembelajaran kompetitif dengan metode Kohonen (Kusumadewi, 2003).
Pada algoritma pembelajaran Self Organizing Map, akumulasi sinyal yang didapat
tidak perlu diaktivasi, karena fungsi aktivasi tidak memberikan pengaruh pada
pemilihan winner neuron yang akan memperbarui bobotnya dan bobot
tetangganya. Dengan demikian, pada proses pelatihan error tidak dihitung pada
setiap iterasi pelatihan. Kriteria berhentinya proses pelatihan dalam Self
Organizing Map akan menggunakan jumlah iterasi tertentu.
Pada Gambar 3.2, jika neuron yang di tengah adalah winner neuron untuk
suatu input vektor, maka neighbor neuron untuk winner neuron ini adalah mereka
yang terletak di dalam lingkaran area, yang didefinisikan dengan Nc(t1), Nc(t2),
…dst. Nc(t1) adalah batas area pada iterasi ke-1, Nc(t2) adalah batas area pada
iterasi ke-2, dan seterusnya. Neuron yang secara topografi terletak jauh dari
winner neuron tidak diupdate.
Gambar 3. 2 Ilustrasi Self Organizing Map
33
Secara ringkas algoritma Self Organizing Map digambarkan seperti tampak
pada diagram alir pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Diagram Alir Self Organizing Map (SOM)
Berikut adalah algoritma Self Organizing Map yang digunakan dalam
pembentukan cluster berdasarkan Gambar 3.3:
1. Pada langkah awal, seluruh data dampak bencana tanah longsor dan faktor
penyebab terjadinya tanah longor menurut provinsi dijadikan data input. Data
input yang digunakan adalah data yang berbentuk matrik
, dimana i
adalah jumlah provinsi dan j adalah jumlah variabel. Selanjutnya, dilakukan
proses clustering menggunakan metode Self Organizing Map.
2. Pada perhitungan menggunakan metode SOM, diawali dengan inisialisasi
bobot secara random (acak). Dalam Matlab2011b digunakan sintaks
net.IW{1,1}
3. Menetapkan nilai parameter epoch maksimum.
34
4. Untuk setiap data dilakukan perhitungan terhadap bobot menggunakan rumus
Euclidean Distance. Kemudian dipilih nilai terkecil.
5. Data yang memiliki nilai terkecil dari langkah 4 digunakan untuk proses
update bobot. Dalam menentukan bobot terbaru pada waktu t, maka
diasumsikan obyek saat ini x(i) dan centroid yang terbentuk
. Kemudian
untuk menentukan centroid yang baru untuk waktu berikutnya t+1
(3.1)
α adalah learning rate. Pada langkah selanjutnya nilai learning rate yang
digunakan adalah learning_rate_new=
dimana nilai b berada di antara 0
dengan 1. Pada akhir iterasi, nilai α akan menuju nilai learning rate minimum.
6. Melakukan pengecekan syarat berhenti, Iterasi akan berhenti apabila threshold
terpenuhi, untuk mencapai nilai threshold terpenuhi. Adapun nilai treshold
dikatakan terpenuhi apabila nilai parameter telah terpenuhi.
7. Selanjutnya dilakukan proses pengelompokkan atau clusterisasi, disini
menggunakan rumus Euclidean.
8. Hasil akhir dari proses ini yaitu data ter-cluster
1. Membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map
Dalam proses membangun suatu jaringan, hal pertama yang harus dilakukan
adalah dengan menentukan input jaringan. Pada software Matlab, untuk
membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map digunakan intruksi
sebagai berikut :
Net =selforgmap([a b])
Net=configure(net,NameofData)
35
dengan
[a b]
: ukuran matriks neuron yang akan dihasilkan pada output.
Matriks
ini
nantinya
akan
digunakan
untuk
menklasifikasikan vektor input.
NameofData : nama data yang digunakan ketika input
Penentuan nilai a dan b akan mempengaruhi hasil output. Hal ini disebabkan
karena jumlah cluster pada akhir proses pembelajaran algoritma self organizing
map akan sama banyak dengan hasil perkalian a dan b. Sebagai contoh jika
ditentukan nilai a adalah 2 dan nilai b adalah 3 maka jaringan akan menghasilkan
output neuron sebanyak 6 neuron. Penentuan nilai a dan b juga akan
mempengaruhi topologi neuron output. Sebagai contoh, pada model dengan hasil
6 neuron, maka terdapat 2 kemungkinan bentuk jaringan yang dapat dibangun,
yaitu jaringan dengan nilai a adalah 1 dan b adalah 6, dan jaringan dengan nilai a
adalah 2 dan b adalah 3. Kedua jaringan ini pada hasil output akan
mengelompokkan objek ke dalam 6 neuron, meskipun demikian topologi yang
dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda. karena topologi yang dihasilkan
oleh kedua model jaringan ini berbeda maka hasil yang diperoleh dapat berbeda,
meskipun tidak ada jaminan bahwa jaringan dengan penghubung tunggal antar
neuron lebih baik atau lebih buruk bila dibandingkan dengan jaringan dengan
penghubung jamak antar neuron.
36
2. Prosedur Pembentukan Cluster dengan Algoritma Self Organizing Map
a. Deskripsi data
Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Naryanto (2011), Dinata (2013)
dan Insani (2016), penanggulangan bencana yang mencakup tiga tahap, yaitu pra
bencana, saat bencana, dan pasca bencana akan berjalan secara efisien jika
diketahui informasi terkait tentang faktor terjadinya bencana tanah longsor dan
dampak dari peristiwa bencana tanah longsor di Indonesia. Informasi terkait denga
faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah
longsor dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan jenis penanggulangan
pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu, pada penelitian ini faktor
terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah
longsor akan digunakan sebagai variabel dengan 33 provinsi di Indonesia yang
digunakan sebagai sampel. Hal ini disebabkan karena pengambilan data pada
provinsi di Indonesia yang hanya mengambil pada tahun-tahun tertentu dengan
yang didasarkan pada kelengkapan data dari sumber data. Variabel ditentukan dari
hasil penelitian terdahulu terkait bencana tanah longsor dan berita acara yang
dirilis oleh BNPB. Adapun variabel yang digunakan adalah :
Tabel 3.1 Variabel Input dan Satuan yang Digunakan
Kode
Variabel
Satuan
Keterangan
Persentase keluarga yang tidak
Persen (%)
Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup
memiliki kendaraan bermotor
Persentase
keluarga
yang
mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014
Persen (%)
memiliki kendaraan bermotor
Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup
mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014
37
Kode
Variabel
Lokasi
kemiringan
lahan
Satuan
Keterangan
Unit
Lahan curam adalah lahan dengan kemiringan
curam
lebih dari 25 derajat yang diambil pada tahun
2011.
Lokasi
kemiringan
lahan
Unit
Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki
landai
kemiringan kurang dari 15 derajat. Data diambil
pada tahun 2011.
Lokasi
kemiringan
lahan
Unit
Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki
sedang
kemiringan antara 15 sampai 25 derajat. Data
diambil pada tahun 2011.
Persentase
keluarga
yang
Persen (%)
Jenis sampah yang dihitung adalah sampah
memilah sampah dan sebagian
organic maupun non organik. Keluarga yang
dimanfaatkan
masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang
secara
rutin
memilah
dan
memanfaatkan
sampah. Data diambil pada tahun 2014
Persentase
keluarga
yang
Persen (%)
Jenis sampah yang dihitung adalah sampah
memilah sampah kemudian
organic maupun non organik. Keluarga yang
dibuang
masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang
secara rutin memilah sampah. Data diambil pada
tahun 2014.
Persentase keluarga yang tidak
Persen (%)
memilah sampah
Jenis sampah yang dihitung adalah sampah
organik maupun non organik. Data diambil pada
tahun 2014
38
Kode
Variabel
Satuan
Keterangan
Frekuensi terjadinya gempa
Jumlah
Kejadian gempa bumi dihitung seluruhnya, baik
bumi
Frekuensi jumlah hujan
Kejadian
mm
tektonik maupun vulkanik.
Frekuensi yang dihitung adalah kerapatan curah
hujan yang dihiung dengan satuan mm
Frekuensi jumlah hari hujan
Jumlah Hari Jumlah hari hujan yang dihitung adalah jumlah
hari dimana hujan turun dengan mengabaikan
volume curah hujan
Frekuensi terjadi kebakaran
Jumlah
Jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
hutan dan lahan
kejadian
dihitung adalah kejadian bencana kebakaran
yang terjadi karena fenomena alam ataupun
karena kesalahan manusia dengan mengabaikan
besar dampak yang ditimbulkan.
Jumlah luas lahan sangat kritis
Hektar (Ha)
Lahan yang masuk dalam kategori sangat kritis
adlah lahan yang sama sekali tidak dapat
dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan
sangat rendah
Jumlah luas lahan kritis
Hektar (Ha)
Lahan yang masuk dalam kategori lahan kritis
adalah lahan yang tidak produktif mski telah
dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan
rendah.
39
Kode
Variabel
Satuan
Keterangan
Persentase keluarga dengan
Persen (%)
Sumur resapan air yang dihitung adalah sumur
kepemilikian sumur resapan
resapan air yang berada di tanah warga dengan
air
mengabaikan jumlah sumur resapan. Data
Diambil pada tahun 2014.
Persentase
keluarga dengan
Persen (%)
Lubang resapan biopori yang dihitung adalah
kepemilikian lubang resapan
lubang resapan yang berada di tanah warga
biopori
dengan mengabaikan luas area lubang resapan
air. Data Diambil pada tahun 2014
Persentase keluarga dengan
kepemilikan
taman/
Persen (%)
tanah
Taman/ tanah berumput yang dihitung adalah
Taman/ tanah berumput yang berada di tanah
berumput
warga dengan mengabaikan luas taman/ tanah
berumput. Data Diambil pada tahun 2014
Frekuensi terjadinya bencana
Jumlah
Jumlah kejadian dihitung baik keseluruhan, baik
tanah longsor
kejadian
yang menimbulkan
korban
dan
kerusakan
maupun yang tidak
Jumlah korban meninggal
Jiwa
Korban meninggal yang dihitung adalah yang
terkena
dampak
bencana,
tidak
termasuk
relawan.
Jumlah korban hilang
Jiwa
Korban hilang dihitung adalah korban yang tidak
ditemukan baik karena tertimbun atau terisolasi
40
Kode
Variabel
Jumlah korban terluka
Satuan
Keterangan
Jiwa
Korban terluka yang dihitung yaitu semua
korban luka dampak bencana, baik ringan
maupun berat, dan tidak termasuk relawan.
Jumlah korban menderita
Jiwa
Korban menderita yang dihitung adalah yang
menderita secara finansial dan psikologis.
Jumlah korban mengungsi
Jiwa
Korban mengungsi yang dihitung adalah korban
bencana yang meninggalkan lokasi bencana pada
waktu pasca bencana.
Jumlah rumah rusak berat
Unit
Rumah
rusak
berat
adalah
rumah
yang
ditemukan kerusakan pada sebagian besar
komponen bangunan, baik stuktural maupun
non-struktural, seperti dinding rubuh, lantai retak
merekah, dan lain sebagainya.
Jumlah rumah rusak sedang
Unit
Rumah rusak sedang adalah rumah ditemukan
kerusakan
pada
sebagian
komponen
non
struktural atau komponen struktural seperti,
struktur atap, struktur lantai dan lain sebagainya.
Jumlah rumah rusak ringan
Unit
Rumah
rusak
ringan
adalah
rumah
yang
ditemukan kerusakan terutama pada komponen
non-struktural, seperti penutup atap, langitlangit, penutup lantai, dan dinding pengisi.
41
Kode
Variabel
Satuan
Keterangan
Jumlah fasilitas peribadatan
Unit
Fasilitas peribadatan mencakup masjid, gereja,
yang rusak
vihara dan fasilitas peribadatan lainnya
Jumlah fasilitas pendidikan
Unit
Fasilitas pendidikan meliputi sekolah, kampus,
yang rusak
Jumlah
fasilitas
perpustakaan, dan fasilita pendidikan lainnya
kesehatan
Unit
Fasilitas
yang rusak
kesehatan
puskesmas,
apotik
meliputi
dan
rumah
fasilitas
sakit,
kesehatan
lainnya.
Panjang jalan yang terkena
KM
Panjang jalan yang dihitung adalah yang terkena
dampak bencana
dampak longsoran, dan yang terkena dampak
tidak
langsung
(timbulnya
retakan
karena
bencana). Adapun jalan yang diukur adalah jalan
utama, seperti jalan penghubung antar desa.
b. Normalisasi Data
Sebelum dilakukan proses pembelajaran (training), data input harus
dinormalisasi terlebih dahulu. Normalisasi adalah penskalaan terhadap nilai-nilai
input sedemikian sehingga data-data input masuk dalam suatu range tertentu. Pada
pembelajaran algoritma Self Organizing Map proses normalisasi perlu dilakukan
agar rentang nilai pada masing-masing variabel tidak terpaut jauh.
Proses normalisasi dapat dilakukan dengan metode Min-Max Normalization
(Martiana, 2013). Pada metode ini, untuk memetakan suatu nilai
42
pada variabel
dengan range nilai minimum dan nilai maksimum dari atribut tersebut ke range
nilai yang baru, dilakukan perhitungan sebagai berikut
(3.2)
dengan :
: nilai
yang baru setelah dinormalisasi
: nilai
yang lama sebelum dinormalisasi
: nilai maksimum dari variabel
: nilai minimum dari variabel
: nilai maksimum yang baru pada variabel
: nilai minimum yang baru pada variabel
Berikut akan digunakan persamaan 3.2 dengan memanfaatkan variabel
persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor di Indonesia ( ).
Berikut adalah data persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan
bermotor:
Tabel 3.2 Persentase Keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor
Provinsi
Persentase
Provinsi
Persentase
Aceh
24.63
Nusa Tenggara Barat
45.87
Sumatera Utara
26.61
Nusa Tenggara Timur
67.29
Sumatera Barat
23.81
Kalimantan Barat
20.95
Riau
12.07
Kalimantan Tengah
17.22
43
Provinsi
Persentase
Provinsi
Persentase
Jambi
16.06
Kalimantan Selatan
16.29
Sumatera Selatan
19.92
Kalimantan Timur
8.68
Bengkulu
18.94
Sulawesi Utara
49.42
Lampung
18.90
Sulawesi Tengah
30.02
Kep, Bangka Belitung
9.51
Sulawesi Selatan
29.56
Kepulauan Riau
9.53
Sulawesi Tenggara
33.10
DKI Jakarta
18.75
Gorontalo
45.43
Jawa Barat
36.08
Sulawesi Barat
38.37
Jawa Tengah
26.85
Maluku
58.08
DI Yogyakarta
18.54
Maluku Utara
49.19
Jawa Timur
23.20
Papua Barat
44.54
Banten
24.09
Papua
71.39
Bali
13.69
Dari tabel 3.2 diperoleh persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan
bermotor dengan nilai minimum 8.68 persen dan nilai maksimum 71.39 persen.
Dengan menggunakan persamaan 3.2 data akan dinormalkan dengan nilai
maksimum 1 dan nilai minimum 0. Maka untuk normalisasi data variabel
Provinsi Aceh adalah sebagai berikut :
44
pada
Sehingga diperoleh bahwa hasil normalisasi data variabel
pada Provinsi
Aceh adalah 0.23453. Hasil selanjutnya untuk normalisasi data pada variabel
adalah sebagai berikut
Tabel 3.3 Hasil Normalisasi Data Variabel
Provinsi
Persentase
Provinsi
Persentase
Aceh
0.254345
Nusa Tenggara Barat
0.593047
Sumatera Utara
0.285919
Nusa Tenggara Timur
0.93462
Sumatera Barat
0.241269
Kalimantan Barat
0.195663
Riau
0.054058
Kalimantan Tengah
0.136182
Jambi
0.117685
Kalimantan Selatan
0.121352
Sumatera Selatan
0.179238
Kalimantan Timur
0
Bengkulu
0.16361
Sulawesi Utara
0.649657
Lampung
0.162972
Sulawesi Tengah
0.340297
Kep, Bangka Belitung
0.013236
Sulawesi Selatan
0.332961
Kepulauan Riau
0.013554
Sulawesi Tenggara
0.389412
DKI Jakarta
0.16058
Gorontalo
0.586031
Jawa Barat
0.436932
Sulawesi Barat
0.473449
Jawa Tengah
0.289746
Maluku
0.787753
DI Yogyakarta
0.157232
Maluku Utara
0.645989
Jawa Timur
0.231542
Papua Barat
0.571839
Banten
0.245734
Papua
1
Bali
0.079892
45
Penentuan nilai maksimum dan minimum yang baru untuk variabel akan
disamakan pada rentang 0 sampai dengan 1. Hasil selanjutnya untuk normalisasi
seluruh variabel data input akan ditampilkan pada lampiran 2.
c. Pembentukan Cluster
Pembentukan cluser terbaik meliputi penentuan jumlah neuron output yang
akan digunakan dalam mengklasifikasikan data input. Penentuan jumlah neuron
ini menjadi penting karena pada output, data akan diklasifikasi menjadi clustercluster yang jumlahnya sama dengan jumlah neuron input. Tidak ada aturan pasti
dalam menentukan jumlah neuron, maka dari itu penentuan jumlah neuron
dilakukan dengan cara mengelompokkan data dengan pembentukan kelompok
yang mungkin dilakukan pada data input.
Setelah menentukan banyak neuron, melakukan pelatihan (training) pada
jaringan yang telah dibangun dan dikonfigurasikan dengan data input. Hal ini
dilakukan agar bobot awal yang sebelumnya ditentukan secara random (acak)
akan diupdate bobotnya dengan dilakukan pelatihan (training) pada jaringan.
Pelatihan jaringan pada algoritma Self Organizing Map akan berhenti apabila
telah mencapai iterasi maksimum. Pada skripsi ini, iterasi maksimum ditentukan
sebanyak 1000 iterasi untuk seluruh model yang akan dibentuk. Untuk pelatihan
jaringan dengan 1000 iterasi pada software Matlab digunakan sintaks
net.trainparam.epochs=1000;
net=train(net,data)
46
Setelah pelatihan jaringan telah mencapai iterasi maksimum, maka dapat
dimunculkan nilai dari bobot akhir. Kemudian langkah selanjutnya adalah
menentukan jarak antara salah satu data input ke masing-masing neuron yang
telah ditentukan. Masing-masing input dihitung jaraknya dengan neuron dengan
menggunakan persamaan eucledian distance. Setelah diperoleh jarak antara input
dengan masing-masing neuron, kemudian jarak antara data input dengan salah
satu neuron dibandingkan dengan jarak antara data input dengan neuron lainnya
yang masih dalam satu pelatihan (training). Pemilihan cluster terbaik dilakukan
dengan menentukan nilai Davies Bouldin Index dari masing masing model,
kemudian dibandingkan dengan nilai Davies Bouldin Index dari model yang
lainnya.
Dalam rangka penentuan jarak, diperlukan bobot akhir yang telah memenuhi
treshold pelatihan (training). Pada Matlab2011b, digunakan sintaks net.WI{1,1}
untuk memunculkan bobot akhir. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan lebih
lanjut mengenai penentuan jarak dan penentuan nilai Davies Bouldin Index.
Indeks ini menjadi penting nantinya karena meskipun tidak ada aturan dalam
menentukan jumlah cluster, akan tetapi dengan menggunakan indeks ini maka
akan ditentukan satu model pembentukan cluster terbaik dari proses algoritma Self
Organizing Map.
Pada algoritma Self Organizing Map, pembentukan cluster didasarkan pada
pengukuran jarak dari data input menuju neuron yang ditentukan untuk
meminimumkan jarak. Pengukuran jarak dilakukan pada seluruh data input
dengan memanfaatkan nilai dari normalisasi data dan bobot akhir dari model
47
pembentukan cluster. Berikut ini akan digunakan persamaan 2.3 dengan
memanfaatkan hasil normalisasi data pada lampiran 2. Berikut adalah data hasil
normalisasi untuk Provinsi Aceh (lampiran 2)
Tabel 3.4 Data Hasil Normalisasi untuk Provinsi Aceh
Variabel
Data Normalisasi
Variabel
Data Normalisasi
0.254345
0.09894
0.805546
0.787703
0.693285
0.045842
0.545854
0.02904
0.279379
0.050633
0.294657
0.027397
0.295789
0.057674
0.618305
0.375738
0.709677
0.021185
0.24564
0.024096
0.027742
0.028302
0.146739
0
0.106234
0
0.17012
0
0.073973
0.028395
Kemudian berikut adalah bobot akhir untuk model 2 cluster yang diperoleh
dengan menggunakan sintaks net.IW{1,1} pada Matlab R2011b (lampiran 3):
48
Tabel 3.5 Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster
Variabel
Neuron 1
Neuron 2
0.348914
Variabel
Neuron 1
Neuron 2
0.363339
0.175183
0.393993
0.665662
0.702639
0.56635
0.342393
0.119897
0.713447
0.02488
0.943117
0.198274
0.988293
0.040307
0.854798
0.169282
0.845898
0.030185
0.968354
0.234277
0.50054
0.043783
0.89863
0.38042
0.361492
0.029688
0.588159
0.595059
0.402784
0.021627
0.8103
0.187345
0.516129
0.019995
0.979767
0.399001
0.457728
0.008526
0.954217
0.511798
0.54908
0.017537
0.746855
0.081313
0.057065
0.016983
0.62987
0.150604
0.03468
0.037475
0.858974
0.179882
0.064477
0.038462
0.555556
0.126712
0.14589
0.059165
0.165092
Berdasarkan data hasil normalisasi dan bobot akhir dari data input Provinsi
Aceh, maka dapat ditentukan jarak antara neuron 1 dan neuron 2 dengan data
input Provinsi Aceh. Dengan menggunakan Eulcedian Distance maka dapat
ditentukan jarak inter-cluster data pada Provinsi Aceh ke masing-masing cluster.
49
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat ditentukan bahwa jarak data input
Provinsi Aceh dengan neuron 1 adalah 1.22873 dan 8.355261987 menuju neuron
2. Hasil selanjutnya untuk pengukuran jarak inter-cluster dengan model 2 cluster
pada data Provinsi di Indonesia ditampilkan pada tabel 3.6
Tabel 3.6 Hasil Penentuan jarak inter-cluster untuk model 2 Cluster
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep, Bangka
Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Jarak inter-cluster
Neuron 1
Neuron2
Provinsi
Jarak inter-cluster
Neuron 1
Neuron2
1.059239
1.861766
0.646923
0.878249
1.155025
1.519668
0.535926
7.980898251
8.903682686
11.04041274
10.47028513
10.92125456
11.3323463
9.861366374
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
0.633345
11.54353969
Sulawesi Selatan
1.315625
8.18669635
0.617065
1.695931
12.96255
8.149487
2.49624
3.352092
0.938294
0.911133
11.27028711
11.79594585
1.074597879
1.091968726
11.45160779
5.696632716
10.11591651
9.775899808
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
1.295533
0.645623
0.395872
0.821558
0.877804
0.980984
1.556857
10.8805594
11.3853839
10.8227673
10.5994132
11.0061983
11.3638504
9.86020501
1.228073 8.622531106
50
1.006555
10.4494678
2.564208 9.88624854
0.979144 11.3273205
1.889993 12.6025547
0.463075 10.6796804
1.342332 11.2183817
1.12292 10.1252997
0.584682 10.2615239
dengan bentuk topologi bobot sebagai berikut
Gambar 3. 4. Topologi Bobot Model 2 cluster
Berdasarkan gambar 3.4, dapat terlihat bahwa neuron dan data input provinsi
di Indonesia di representasikan ke dalam dua dimensi. Pada gambar 3.4, neuron
ditampilkan dalam bentuk dot berwarna biru, sedangkan untuk data input provinsi
di Indonesia ditampilkan dalam bentuk dot berwarna hijau. Adapun bobot
penghubung antar neuron ditampilkan dalam bentuk garis berwarna merah.
Berdasarkan tabel 3.6 diketahui jarak inter-cluster untuk masing masing
neuron pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Karena tujuan
pembentukan cluster sendiri adalah untuk mengelompokkan unit-unit
yang
hampir sama pada suatu daerah tertentu dan memaksimumkan perbedaan antar
cluster yang dibentuk. Sehingga unit-unit input akan dikelompokkan ke neuron
yang paling dekat dengan unit input.
Tabel 3.7 Hasil Pembentukan Model 2 Cluster
Aceh
Eucledian
distance
1.228073
Sumatera Utara
1.059239
Provinsi
Cluster
Provinsi
1
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara
Timur
1
51
Eucledian
Cluster
distance
1.006555
1
2.564208
1
Provinsi
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep, Bangka
Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Eucledian
distance
1.861766
0.646923
0.878249
1.155025
1.519668
0.535926
Eucledian
Cluster
distance
0.979144
1
1.889993
1
0.463075
1
1.342332
1
1.12292
1
0.584682
1
Cluster
Provinsi
1
1
1
1
1
1
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
0.633345
1
Sulawesi Selatan
1.315625
1
0.617065
1.695931
1.074597879
1.091968726
2.49624
3.352092
0.938294
0.911133
1
1
2
2
1
1
1
1
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
1.295533
0.645623
0.395872
0.821558
0.877804
0.980984
1.556857
1
1
1
1
1
1
1
Tabel 3.7 menunjukkan model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Pada
cluster 1, terdapat 31 anggota dan untuk cluster 2 terdapat 2 anggota. Hasil
selanjutnya untuk model pembentukan cluster ditampilkan pada lampiran 4.
B. Penerapan Metode Davies Bouldin Index (DBI) dalam Menentukan
Cluster Terbaik dari Proses Algoritma Self Organizing Map
Davies Bouldin Index digunakan untuk validasi cluster, yaitu prosedur yang
mengevaluasi hasil analisis cluster secara kuantitatif dan objektif sehingga
dihasilkan kelompok optimum. Dalam skripsi ini, Davies Bouldin Index (DBI)
akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang
terbentuk. Pengukuran ini bertujuan untuk memaksimalkan jarak inter-cluster
antara satu cluster dengan cluster yang lain.
52
Berikut ini persamaan Davies Bouldin Index yang diperoleh dengan
menggunakan hasil penghitungan jarak inter-cluster pada model pembentukan
cluster dengan 2 cluster (lampiran 4).
Maka diperoleh nilai
‖ ̅
pada model 2 cluster
̅ ‖
Sehingga dapat ditentukan nilai
‖
‖
dan IDB
Untuk hasil penentuan nilai Davies Bouldin Index selengkapnya akan
ditampilkan pada lampiran 5.
C. Analisis Pembentukan Cluster dengan metode Self Organizing Map
Pemilihan model pembentukan cluster terbaik dilakukan dengan melihat hasil
penghitungan nilai Davies Bouldin Index. Untuk menentukan model pembentukan
53
cluster terbaik, maka dibentuk beberapa model pembentukan cluster dengan
jumlah cluster yang berbeda. Dalam penelitian ini, dibentuk 9 model
pembentukan cluster yang dimulai dengan membentuk model 2 cluster hingga
membentuk model 10 cluster menggunakan Matlab (lampiran 7). Berdasarkan
hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index untuk masing masing model
(lampiran 5), dapat dilihat bahwa dengan pembentukan model lebih dari 4 cluster,
terdapat cluster yang hanya memiliki satu anggota saja. Hal ini mungkin terjadi
apabila anggota input tersebut tidak sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain,
dalam pembentukan cluster, terdapat input yang memiliki karateristik khusus
sehingga tidak dapat dikelompokkan dengan yang lainnya. Dalam penelitian lain,
hal ini disebut dengan kasus khusus. Meski hanya memiliki satu anggota,
kelompok tersebut tetap dihitung sebagai cluster. Akan tetapi pada perhitungan
nilai Davies Bouldin Index¸ nilai
atau
akan selalu bernilai nol jika salah satu dari
menunjukkan cluster ke- atau cluster ke- yang hanya memiliki satu
anggota.
Berdasarkan nilai Davies Bouldin Index, diperoleh bahwa nilai Davies Bouldin
Index untuk model 8 cluster memiliki nilai minimum dengan nilai sebesar
0.173808643. hasil penentuan jarak inter-cluster dan pembentukan cluster untuk
model 8 cluster ditampilkan pada tabel 3.8.
54
Tabel 3.8 Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster untuk Model 9
Cluster
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep, Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Eucledian
distance
0.875
0.824781
1.08
0.283553
0.4201
0.820101
1.37E-30
0.182669
0.170635
0.158978
1.153046
0.838334
0.838334
0.001898
2.09E-30
0.555936
0.594471
Cluster
Provinsi
5
5
7
2
2
2
4
2
2
2
2
9
9
1
8
2
2
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Eucledian
distance
0.755604
9.7
0.478437
1.17E-30
0.167562
1.217905
0.708464
0.254085
1.008522
1.016041
0.333477
0.249417
0.339403
0.533828
0.559245
0.710331
Untuk penentuan kategori tingkat kerawanan bencana tanah longsor
didasarkan pada mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan
dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster. Mean yang
diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar untuk menganalisis karakteristik dari
suatu cluster secara umum. Maka untuk melihat karateristik dari masing-masing
cluster dilakukan penghitungan dan analisis terhadap nilai mean dari faktor-faktor
terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari
seluruh anggota cluster (lampiran 7).
55
Cluster
5
6
4
3
2
2
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
1. Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masingmasing Cluster
Analisis pada hasil pembentukan cluster akan difokuskan ke dua hal, yaitu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari terjadinya
bencana tanah longsor. Adapun variabel
sampai dengan
adalah variabel
yang menunjukkan faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan variabel
sampai dengan
menunjukkan dampak dari terjadinya bencana tanah
longsor. Analisis hasil pembentukan cluster adalah sebagai berikut
a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor
Persentase Kepemilikan Kendaraan
Bermotor
100
80
60
Tidak Memiliki
Kendaraan Bermotor
40
20
Memiliki Kendaraan
Bermotor
0
Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor
Dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, terdapat dua variabel input
yang akan dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memililiki kendaraan
bermotor dan persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor.
Secara umum, hampir seluruh cluster menunjukkan persentase keluarga yang
memiliki kendaraan bermotor lebih besar daripada persentase keluarga yang tidak
56
memiliki kendaraan bermotor dengan perbandingan yang berbeda-beda, hanya
pada cluster 6 yang memiliki kondisi yang sedikit berbeda. Pada wilayah cluster
6, persentase rata-rata keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih kecil
daripada persentase rata-rata keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor.
Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
b. Kemiringan Lahan
Kemiringan Lahan
7000
6000
5000
4000
Curam
3000
Landai
2000
Sedang
1000
0
Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 3.6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan
Sedang
Pada kategori kemiringan lahan, terdapat 3 variabel input yang dianalisis,
yaitu jumlah lokasi untuk lahan dengan kemiringan curam, landai dan sedang.
Secara umum, hampir pada seluruh wilayah cluster didominasi oleh lahan dengan
kemiringan curam, hanya pada cluster 6 jumlah lokasi lahan curam lebh sedikit
daripada jumlah lahan landai. Tentu saja banyaknya lahan dengan kemiringan
curam lebih berpotensi untuk menimbulkan bencana tanah longsor. Artinya lebih
dari separuh provinsi di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk
57
menimbulkan bencana tanah longsor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam
cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara umum, dari diagram diatas terlihat bahwa seluruh provinsi di
Indonesia memiliki jumlah lahan dengan kemiringan sedang yang sangat sedikit.
Dapat diambil informasi pula bahwa hampir seluruh cluster memiliki jumlah
lokasi lahan curam yang lebih banyak dari pada lahan landai dan lahan sedang,
hanya pada cluster 6 yang memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih sedikit
dari pada lahan landai. Adapun pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 memiliki
rata-rata jumlah lokasi lahan curam yang berbeda cukup signifikan dengan
wilayah cluster lainnya dengan rata-rata jumlah lokasi lahan curam lebih dari
4000 lokasi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi
Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa
Barat dan Provinsi Jawa Tengah.
Dari sembilan cluster yang terbentuk, cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi
yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan.
Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi,
sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka
cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada
wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. Sedangkan
pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik kemiringan lahan
yang hampir sama. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah
Provinsi DI Yogyakarta dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 7 adalah
Provinsi Sumatera Barat.
58
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa :
1) Cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan jumlah lahan curam, lahan
landai dan lahan sedang yang paling banyak bila dibandingkan dengan
wilayah cluster lainnya, namun yang paling signifikan perbedaanya adalah
jumlah lokasi lahan curam yang dapat menjadi potensi terjadi bencana tanah
longsor.
2) Cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster
lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam
pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila
membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7
memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini
lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1.
3) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 cenderung
memiliki karakteristik kondisi kemiringan lahan yang hampir sama.
c. Pemilahan Sampah
Persentase Keluarga berdasarkan
Pemilahan Sampah
100
80
Sampah Dipilah dan
Sebagian Dimanfaatkan
60
40
Sampah Dipilah
Kemudian Dibuang
20
Sampah Tidak Dipilah
0
Gambar 3.7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah
59
Pada kategori pemilahan sampah, terdapat 3 variabel input yang dianalisis,
yaitu persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan,
persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang dan persentase
keluarga yang tidak memilah sampah. Secara umum, dapat terlihat seperti yang
tertera pada diagram, bahwa persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada
seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik
yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang.
Artinya kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah masih rendah.
Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat tidak terkelolanya sampah dengan
baik dapat mengakibatkan masalah lingkungan yang beragam, salah satunya
adalah tanah longsor.
Apabila melihat dari persentase pemanfaatan sampah, maka hampir persentase
keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah di seluruh provinsi di
Indonesia lebih rendah daripada persetase keluarga yang memanfaatkan sampah
setelah dipilah, hanya pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki kondisi
yang paling baik karena persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah
dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah
dipilah. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI
Yogyakarta, provinsi yang masuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur
dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
60
Kondisi yang sedikit berbeda juga ditemukan pada wilayah cluster 9. Pada
wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang
membuang sampah setelah dipilah hampir sama. Adapun provinsi yang masuk ke
dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dari hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1) Persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih
banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah
kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang.
2) Pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki persentase keluarga yang
memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase
keluarga yang membuang sampah setelah dipilah.
3) Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan
yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama.
4) Pada wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5, dan cluster 7 memiliki
karakteristik wilayah yang hampir sama bila dilihat dari faktor pemilahan
sampah.
d. Bencana Gempa Bumi
Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi
80
60
40
20
0
Cluster 1Cluster 2Cluster 3Cluster 4Cluster 5Cluster 6Cluster 7Cluster 8Cluster 9
Gambar 3.8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi
61
Pada kategori bencana gempa bumi, terdapat satu variabel input yang
dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana gempa bumi. Dari diagram diatas
terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 7 adalah wilayah yang rawan
terjadi bencana gempa bumi. Tercatat ada rata-rata 62 kasus terjadinya bencana
gempa bumi. Hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam penanganan pra bencana
karena semakin tinggi frekuensi terjadi bencana tanah longsor maka tinggi pula
potensi terjadinya bencana tanah longsor.
Adapun wilayah yang memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor
terendah adalah wilayah cluster 2 dan cluster 3 dengan jumlah kasus kejadian
bencana gempa bumi kurang dari 5 kasus. Sedangkan pada wilayah cluster
lainnya cenderung memiliki potensi terjadi gempa bumi yang cukup tinggi dengan
rata-rata lebih dari 10 kejadian.
e. Curah Hujan
Jumlah Curah Hujan
5000
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Jumlah Curah Hujan
Gambar 3.9 Diagram Jumlah Curah Hujan
62
Jumlah Hari Hujan
250
200
150
100
Jumlah Hari Hujan
50
0
Gambar 3.10 Diagram Jumlah Hari Hujan
Pada kategori curah hujan, terdapat 2 variabel yang dianalisis, yaitu jumlah
curah hujan dan jumlah hari hujan.
Apabila melihat jumlah curah hujan pada diagram diatas terlihat bahwa
karakteristik wilayah pada cluster 3, cluster 4 dan cluster 7 adalah wilayah yang
memiliki jumlah hujan cukup tertinggi bila dibandingkan dengan jumlah curah
hujan pada cluster lainnya dengan rata-rata jumlah curah hujan lebih dari 2500
mm yang beranggotakan Kalimantan Tengah pada cluster 3, Provinsi Bengkulu
pada cluster 4 dan Provinsi Sumatera Barat pada cluster 7. Adapun wilayah yang
memiliki jumlah curah hujan terendah adalah cluster 6 yang beranggotakan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya
cenderung memiliki karakteristik curah hujan yang hampir sama dengan rata-rata
curah hujan kurang dari 2000mm.
63
Apabila melihat dari jumlah hari hujan, maka cluster 4, cluster 7 dan cluster 8
memiliki jumlah hujan yang sangat banyak dengan rata-rata jumlah hari hujan
lebih dari 200 hari. Provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster-cluster ini
adalah Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Jawa Timur.
Adapun cluster
yang memiliki jumlah hari hujan yang paling sedikit adalah
cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan rata-rata 98
hari hujan. sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki karakteristik jumlah
hari hujan yang hampir sama dengan rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 hari.
f. Bencana Kebakaran
Frekuensi Terjadi Bencana Kebakaran
35
30
25
20
15
Jumlah Kejadian
10
5
0
Gambar 3.11 Jumlah Frekuensi Terjadinya Bencana Kebakaran
Pada kategori bencana kebakaran, terdapat satu variabel input yang dianalisis,
yaitu frekuansi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan. Secara umum dapat
dikatakan hampir seluruh wilayah di provinsi-provinsi di Indonesia memiliki
potensi untuk terjadi bencana kebakaran, hanya pada cluster 1 saja, kasus
64
kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Adapun provinsi yang termasuk
ke dalam cluster 1 adalah provinsi DI Yogyakarta.
Dari diagram diatas yang tersaji, terlihat bahwa wilayah yang masuk ke dalam
cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah kejadian bencana
kebakaran hutan dan lahan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan
wilayah cluster lainnya rata-rata kurang dari 15 kejadian. Dapat dikatakan juga
bahwa provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan
cluster 8 memiliki potensi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup
tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Sedangkan wilayah
cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 memiliki potensi terjadi kebakaran hutan dan
lahan yang cenderung sama dengan rata-rata kurang dari 11 kejadian.
g. Lahan Kritis
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Lahan Kritis
Lahan Sangat Kritis
Gambar 3.12 Diagram Keberadaan Lahan Kritis
Pada kategori lahan kritis, terdapat dua variabel input yang dianalisis, yaitu
luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis. Secara umum dapat dikatakan bahwa
di seluruh wilayah provinsi di Indonesia didominasi oleh lahan kritis. Hal ini
65
terlihat dari lahan kritis pada masing-maisng cluster memiliki luas rata-rata yang
lebih tinggi daripada luas rata-rata lahan sangat kritis, bahkan pada cluster 8 tidak
memiliki lahan yang masuk dalam kategori lahan sangat kritis.
Bila melihat luas lahan kritis maupun lahan sangat kritis pada masing masing
wilayah cluster 3, cluster 4 dan cluster 6 menjadi wilayah yang memiliki kondisi
lahan yang paling buruk dengan luas lahan kritis lebih dari 1000 hektar. Untuk
cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan yang cukup buruk dengan
rata-rata luas lahan kritis berkisar 500 hektar, sedangkan untuk cluster 1 dan
cluster 9 memiliki kondisi lahan yang lebih baik dengan luas rata-rata lahan kritis
tidak lebih dari 300 hektar. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 8 menjadi
wilayah dengan kondisi lahan yang paling baik karena memiliki lahan kritis
dengan luas tersempit, yaitu hanya 33 hektar.
Bila membandingkan keberadaan lahan sangat kritis antar wilayah cluster,
maka cluster 3 dan cluster 4 memiliki kondisi terburuk dengan luas lahan sangat
kritis yang yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan wilayah cluster
lainnya. Kondisi lahan pada wilayah cluster 2 dan cluster 5 sedikit lebih baik
dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar pada angka 100 sampai 170 hektar,
sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki rata-rata luas lahan kritis tidak
lebih dari 100 hektar. dari seluruh cluster yang terbentuk, bila keberadaan lahan
sangat kritis maka cluster 1 dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik ,
bahkan pada wilayah cluster 8 tidak ditemukan lahan yang masuk ke dalam
kategori lahan sangat kritis.
Berdasarkan hasil analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
66
1) Cluster 3 dan cluster 4, dan cluster 6 memiliki kondisi lahan yang sangat
buruk dengan rata-rata luas lahan kritis mencapai lebih dari 1000 hektar.
2) Cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan cukup buruk dengan
luas rata-rata lahan kritis dan lahan kritis sangat kritis berkisar 500 hektar.
Meskipun demikian, kondisi lahan pada cluster 2 sedikit lebih buruk daripada
cluster 5 dan cluster 7 dengan keberadaan lahan sangat kritis yang lebih luas.
Sedangkan kondisi lahan pada cluster 5 dan cluster 7 relatif sama.
3) Cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang cukup baik dengan
keberadaan lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar dan luas lahan sangat kritis
yang tidak lebih dari 40 hektar. Meski begitu, bila melihat pada luas lahan
kritis dan luas lahan sangat kritis pada masing masing cluster, cluster 9
memiliki kondisi yang lebih buruk daripada wilayah cluster 1 karena baik
luas lahan kritis maupun luas lahan sangat kritis pada wilayah cluster 9 lebih
luas daripada luas lahan krits dan lahan sangat kritis pada wilayah cluster 1.
4) Cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik bila dibandingkan wilayah
cluster lainnya karena wilayah ini memiliki luas lahan kritis tersempit dan
tidak ditemukannya lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis.
67
h. Daerah Resapan Air
Daerah Resapan Air
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Sumur Resapan
Lubang Resapan Biopori
Gambar 3.13 Diagram Persentase Keberadaan Daerah Resapan Air
Taman/ Tanah Berumput
60
50
40
30
Taman/ Tanah Berumput
20
10
0
Gambar 3.14 Diagram Persentase Keberadaan Taman/ Tanah Berumput
Pada kategori daerah resapan air, terdapat 3 variabel input yang dianalisis,
yaitu luas daerah sumur resapan, luas daerah lubang resapan/ biopori, dan luas
daerah taman/ tanah berumput. Secara umum, daerah resapan air diseluruh
provinsi di Indonesia didomiasi oleh taman/ tanah berumput dengan persentase
mencapai 90 persen dari luas daerah resapan air. Namun apabila dibandingkan
68
dengan rata-rata luas wilayah untuk masing-masing cluster, maka cluster 3 dan
cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini terlihat dari jumlah daerah
resapan air masing masing cluster yang mencapai 44.36 persen dan 41.43 persen.
Persentase ini lebih besar dari pada persentase daerah resapan air di wilayah lain
yang bahkan tidak mencapai angka 30 persen.
Bila melihat dari data persentase luas daerah resapan air, masyakarat di
wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 memiliki kesadaran akan penyediaan
daerah resapan air yang cukup tinggi. Persentase rata-rata luas daerah sumur
resapan air pada cluster 1 mencapai angka 7.3 persen, sedangkan untuk persentase
rata-rata luas daerah lubang resapan/ biopori mencapai angka 2.81 persen.
persentase ini lebih baik bila dibandingkan dengan persentase luas wilayah daerah
resapan air di cluster lain yang bahkan tidak mencapai 1 persen untuk kategori
sumur resapan dan lubang resapan air/biopori.
Secara umum, penanganan pra bencana apabila melihat dari masalah
ketersediaan daerah resapan air, maka untuk seluruh wilayah dapat difokuskan
kepada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyediaan daerah
sumur resapan dan lubang resapan/ biopori. Sedangkan untuk penanganan
ketersediaan daerah taman/ tanah berumput dapat difokuskan ke wilayah-wilayah
yang masuk ke dalam cluster 1 yang memiliki persentase daerah taman/ tanah
berumput yang kecil.
69
i. Bencana Tanah Longsor
Frekuensi Terjadi Bencana Tanah Longsor
1200
1000
800
600
Frekuensi
400
200
0
Gambar 3.15 Frekuensti Terjadinya Bencana Tanah Longsor
Pada kategori bencana tanah longsor terdapat 1 variabel input yang dianalisis,
yaitu frekuensi terjadinya bencana tanah longsor. Dari data nilai mean faktorfaktor terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9
menjadi wilayah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan rata-rata
kejadian bencana tanah longsor mencapai lebih dari 100 kejadian. Bahkan
frekuensi terjadi bencana tanah longsor pada wilayah cluster 9 mencapai 1113
peristiwa.
Kemudian wilayah lain yang memiiki frekuensi terjadi bencana tanah longsor
yang cukup signifikan adalah cluster 8 dengan 336 peristiwa dan wilayah cluster 7
dengan 172 peristiwa. Cluster 1 dan cluster 6 memiliki rata-rata jumlah peristiwa
bencana tanah longsor yang cukup banyak dengan rata-rata kejadian bencana
70
tanah longsor mencapai lebih dari 50 peristiwa. Adapun cluster 2 dan cluster 5
memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup rendah dengan ratarata 27 kejadian. Sedangkan pada cluster 4 frekuensi terjadi bencana tanah longsor
rata-rata mencapai 17 kejadian. Dari seluruh cluster, yang terbentuk, cluster 3
adalah wilayah yang memiliki frekuensi terjadi tanah longsor yang terendah
dengan rata-rata 4 kejadian.
Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa :
1) Wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan frekuensi
kejadian bencana tanah longsor yang sangat tinggi dengan jumlah kejadian
lebih dari 100 peristiwa. Adapun cluster 4 menjadi wilayah yang paling tinggi
frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dengan rata-rata 1113 peristiwa
tanah longsor.
2) Wilayah cluster 1 dan cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana
tanah longsor sedang dengan rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor
lebih dari 50 kejadian. Meskipun pada kenyataanya jumlah frekuensi terjadi
bencana tanah longsor di wilayah cluster 1 dan cluster 6 cukup berbeda,
namun pada proses pra bencana kedua cluster ini dapat dikategorikan pada
karakteristik yang sama.
3) Wilayah cluster 2 dan cluster 8 adalah wilayah dengan frekuensi bencana
tanah longsor yang rendah karena rata-rata jumlah kejadian rata-rata 27
kejadian. Sedangkan di bawah kedua cluster ini ada cluster 4 dengan 17
kejadian.
71
4) Wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor
terendah dengan rata-rata 13 peristiwa tanah longsor
j. Korban Bencana
100%
90%
80%
70%
Mengungsi
60%
Menderita
50%
Terluka
40%
Hilang
30%
Meninggal
20%
10%
0%
Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 3. 16 Diagram Jumlah Korban Akibat Bencana Tanah Longsor
Pada kategori korban bencana tanah longsor, terdapat 5 variabel input yang
dianalisis, yaitu jumlah korban mengungsi, korban menderita, korban terluka,
korban hilang dan korban meninggal. Secara umum, dapat terlilhat bahwa potensi
timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor sangat
kecil. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya jumlah korban hilang dan terluka yang
ditimbulkan dari bencana tanah longsor. Sebaliknya, potensi timbulnya korban
mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Bila melihat
jumlah korban pada masing masing-masing wilayah cluster, maka cluster 2,
cluster 3, cluster 4, cluster 6, dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita,
sedangkan pada wilayah cluster1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi
oleh korban mengungsi.
72
Bila melihat dari jumlah korban yang ditimbulkan maka cluster 5 menjadi
wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan
wilayah cluster lainnya. Rata-rata setiap kejadian bencana tanah longsor
menimbulkan 89 korban jiwa, diikuti dengan cluster 8 dengan rata-rata 75 korban
per kejadian bencana. Adapun pada cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang
jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa, cluster 2
dan cluster 9 dengan rata-rata 33 korban jiwa, sedangkan pada cluster 1, cluster 3
jumlah korban yang jatuh rata-rata 24 korban jiwa. Dari seluruh cluster yang
terbentuk, cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit
dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor.
Dari hasil analisis di atas maka disimpulkan bahwa :
1) Potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah
longsor cukup kecil, sedangkan potensi timbulnya korban mengungsi, korban
menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Adapun kondisi pada cluster
9 sedikit berbeda, karena pada wilayah ini potensi adanya korban terluka
sama besar dengan potensi adanya korban meninggal.
2) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6 dan cluster 8 didominasi oleh
korban menderita
3) Wilayah cluster 1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban
mengungsi.
4) Wilayah cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang
paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata
73
setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan korban sebanyak 89
korban jiwa, diikuti oleh wilayah cluster 8 dengan 75 korban jiwa.
5) Pada wilayah cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana
tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa
6) Pada wilayah cluster 2 dan cluster 9 jumlah korban yang jatuh rata-rata 33
korban jiwa.
7) Wilayah cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit
dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor
k. Kerusakan Rumah
100%
90%
80%
70%
60%
Rusak Ringan
50%
Rusak Sedang
40%
Rusak Berat
30%
20%
10%
0%
Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 3.17 Diagram Jumlah Kerusakan Rumah
Pada kategori kerusakan rumah, terdapat 3 variabel yang akan dianalisis,
yaitu jumlah rumah rusak ringan, jumlah rumah rusak sedang dan jumlah rumah
rusak berat. Secara umum, dampak kerusakan yang diberikan oleh bencana tanah
74
longsor pada rumah warga cukup besar. Hal ini terlihat dari 9 cluster yang
terbentuk, hanya cluster 5 dan cluster 8 yang memiliki rumah rusak berat yang
lebih sedikit dari pada jumlah rumah rusak ringan maupun rumah rusak sedang.
Bila melihat jumlah korban pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan
rumah yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor didominasi oleh kerusakan
berat dan kerusakan ringan, dengan jumlah rata-rata rumah rusak berat lebih
banyak daripada jumlah rumah rusak ringan. Sehingga pada rencana pra bencana,
potensi dampak kerusakan pada rumah perlu menjadi prioritas dalam
penanganannya. Namun secara umum, jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh
bencana tanah longsor pada rumah warga cukup besar, dengan minimal ada 3
rumah warga yang rusak di setiap kejadian bencana tanah longsor.
l. Fasilitas Umum
100%
90%
80%
70%
60%
50%
Fasilitas Kesehatan
40%
Fasilitas Pendidikan
30%
Fasilitas Peribadatan
20%
10%
0%
Gambar 3.18 Diagram Jumlah Kerusakan Pada Fasilitas Umum
75
Pada kategori kerusakan pada fasilitas umum, terdapat 3 variabel yang
dianalisis yaitu kerusakan pada fasilitas kesehatan, kerusakan pada fasilitas
pendidikan dan kerusakan pada fasilitas peribadatan. Bila melihat dari jumlah
kerusakan pada masing-masing fasilitas umum, potensi timbulnya kerusakan pada
fasilitas umum, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun peribadatan sangat
kecil. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah fasilitas umum yang rusak akibat
bencana tanah longsor. Dengan kata lain, tidak setiap kejadian bencana tanah
longsor menimbulkan kerusakan pada fasilitas umum. Namun meski begitu,
kemungkinan timbulnya kerusakan pada fasilitas umum tetap ada, meski dengan
potensi yang sangat kecil.
m. Kerusakan Jalan
Panjang Jalan (km)
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Panjang Jalan (km)
Gambar 3.19 Diagram Panjang Jalan yang Terkena Dampak Tanah Longsor
76
Pada kategori kerusakan pada jalan, terdapat 1 variabel yang dianalisis yaitu
kerusakan pada jalan. Secara umum, potensi adanya kerusakan pada jalan akibat
dari bencana tanah longsor cukup tinggi.
Bila melihat panjang jalan yang rusak akibat bencana tanah longsor pada
masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan pada jalan yang ditimbulkan oleh
bencana tanah longsor pada wilayah cluster 7 menjadi yang paling besar dengan
panjang jalan yang rusak mencapai 178.99 km. Pada wilayah cluster 8 dan cluster
9 dampak kerusakan pada jalan cukup besar dengan rata-rata hampir mencapai
111 km, sedangkan pada cluster 1 dan cluster 6 jumlah kerusakan pada jalan
tergolong sedang dengan panjang rata-rata jalan yang rusak mencapai 72.6 km.
Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 2, cluster 3 dan cluster 4 memiliki
panjang jalan rusak yang paling pendek dengan panjang jalan yang rusak bahkan
tidak mencapai 4 km.
Bila membandingkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor dan panjang
jalan yang rusak, maka cluster 5, cluster 6 dan cluster 7 menjadi wilayah dengan
potensi kerusakan pada jalan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah
cluster lainnya. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada
jalan tetap ada. Hal ini perlu menjadi pertimbangan karena pada proses
penanggulangan pasca bencana, akses jalan yang baik menjadi faktor penting
dalam kelancaran penanggulangan bencana.
77
2. Analisis Cluster Berdasarkan Faktor dan Dampak Terjadinya Bencana
Tanah Longsor di Indonesia
Dari hasil analisis variabel input diatas maka dapat ditentukan karakter dari
masing-masing
wilayah
cluster.
Adapun
analisis
karakter
cluster
dari
pembentukan model 8 cluster adalah sebagai berikut :
a. Cluster 1
Cluster 1 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan nilai Eucledian Distance sebesar 0.001898. Karena cluster 1 hanya
memiliki satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik
wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling mempengaruhi terjadinya bencana tanah longsor
adalah minimnya daerah tanah berumput. Hal ini diperparah dengan rendahnya
kesadaran masyakarat akan pemilahan sampah. Meskipun begitu luas daerah
sumur resapan dan lubang resapan pada wilayah cluster ini lebih tinggi daripada
wilayah cluster lainnya. Untuk faktor yang masuk ke dalam kategori kepemilikan
kendaraan bermotor, keberadaan lahan dengan kemiringan curam, luas lahan kritis
masih berada dalam jumlah yang tidak begitu besar sehingga dampak yang
diberikan tidak terlalu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi dan kebakaran
hutan dan lahan di wilayah cluster 1 sangat rendah.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
78
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 1 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang cukup tinggi dengan rata-rata mencapai 74 kejadian. Meskipun demikian,
rata-rata jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit
dengan 24 korban jiwa yang didominasi oleh korban mengungsi pada setiap
kejadian bencana. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada
fasilitas umum dan kerusakan jalan. Adapun kerusakan pada rumah warga cukup
banyak dengan jumlah rata-rata rumah rusak mencapai 3 unit.
b. Cluster 2
Dari hasil output Minitab, Cluster 2 memiliki 11 anggota. Anggota dari
cluster 2 ditunjukkan pada tabel berikut.
Provinsi
Eucledian Distance
Provinsi
Eucledian Distance
Riau
0.283553
DKI Jakarta
1.153046
Jambi
0.4201
Banten
0.555936
Sumatera Selatan
0.820101
Bali
0.594471
Lampung
0.182669
Kalimantan Selatan
0.167562
Kep, Bangka Belitung
0.170635
Kalimantan Timur
1.217905
Kepulauan Riau
0.158978
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor
79
adalah
kepemilikan
kendaraan
bermotor,
tingginya
frekuensi
terjadinya
kebakaran, minimnya daerah resapan air dan tingginya jumlah curah hujan.
Adapun untuk faktor yang masuk ke dalam kategori keberadaan lahan dengan
kemiringan curam, pengolahan sampah, keberadaan lahan kritis dan persentase
daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar bila
dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya sehingga dampak yang diberikan
tidak begitu besar. Adapun potensi bencana gempa bumi di wilayah cluster 2
paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah longsor,
wilayah cluster 2 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor yang
cukup rendah. Meski begitu, jumlah rumah rusak yang diakibatkan oleh bencana
tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata rumah rusak mencapai 6 unit. Adapun
jumlah korban jiwa yang ditimbulkan dari bencana tanah cukup sedikit dengan
rata-rata 28 korban jiwa per kejadian tanah longsor yang didominasi oleh korban
menderita. Bencana tanah longsor juga tidak berdampak begitu besar pada fasilitas
umum dan kerusakan jalan.
c. Cluster 3
Cluster 3 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Kalimantan Tengah dengan
nilai Eucledian Distance sebesar 9.7
. Karena cluster 3 hanya memiliki
80
satu anggota maka karakteristiknya akan sama dengan karakteristik wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana alam tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor
adalah curah hujan yang tinggi, potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang
cukup tinggi, dan keberadaan lahan kritis. Adapun faktor yang masuk ke dalam
kategori kepemilikan kendaraan bermotor, keberadaan lahan curam, daerah
resapan air, pemilahan sampah serta ketersediaan daerah resapan air berada pada
jumlah yang tidak begitu besar bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya
sehingga tidak memberikan dampak yang begitu besar. Wilayah cluster ini juga
memiliki tingkat pemilahan sampah yang sangat baik dengan lebih dari 20 persen
warganya memilah sampah. Adapun wilayah cluster 3 memiliki frekuensi terjadi
gempa bumi paling rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 3 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang paling rendah dengan rata-rata 4 kejadian. Jumlah korban jiwa yang
ditimbulkan dari bencana tanah cukup paling banyak dengan rata-rata 25 korban
jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Bencana tanah longsor
juga tidak memberikan dampak kerusakan pada akses jalan .Meskipun demikian,
bencana tanah longsor tidak berdampak begitu besar pada fasilitas umum dan
rumah warga bila dibandingkan dengan wilayah cluster lain.
81
d. Cluster 4
Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 4
memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut
Provinsi
Eucledian Distance
Bengkulu
1.37
Kalimantan Barat
0.478437
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor
pada wilayah cluster 4 adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pemilahan
sampah, tingginya curah hujan yang diperparah dengan jumlah hari hujan yang
sangat banyak, dan keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor kepemilikan
kendaan bermotor, keberadaan lahan curam, frekeunsi terjadinya gempa bumi, dan
frekuensi terjadi kebakaran memiliki jumlah yang tidak begitu besar apabila
dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya.
Kondisi lain dari wilayah cluster 4 yang sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan wilayah cluster lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Rata-rata
keberadaan daerah resapan air berupa rumput mencapai 50 persen sedangkan
untuk daerah resapa air berupa sumur resapan dan lubang biopori sangat rendah.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 4 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
82
yang cukup rendah bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan
rata-rata 17 peristiwa bencana tanah longsor. Selain itu, bencana tanah longsor
juga memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dengan jumlah rata-rata
rumah yang rusak mencapai 3 unit. Bencana tanah longsor juga menimbulkan
korban jiwa yang cukup banyak, yaitu rata-rata mencapai 15 korban jiwa yang
didominasi oleh korban menderita. Selain itu, kerusakan pada fasilitas umum dan
jalan yang disebabkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 4 sangat
kecil.
e. Cluster 5
Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 5
memiliki 13 anggota. Anggota dari cluster 5 ditunjukkan pada tabel berikut.
Provinsi
Eucledian Distance
Provinsi
Eucledian Distance
Aceh
0.875
Gorontalo
0.333477
Sumatera Utara
0.824781
Sulawesi Barat
0.249417
Nusa Tenggara Barat
0.755604
Maluku
0.339403
Sulawesi Utara
0.708464
Maluku Utara
0.533828
Sulawesi Tengah
0.254085
Papua Barat
0.559245
Sulawesi Selatan
1.008522
Papua
0.710331
Sulawesi Tenggara
1.016041
83
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor,
faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah
longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, rendahnya kesadaran
masyarakat akan pemilahan sampah, banyaknya jumlah hari hujan, dan
keberadaan lahan kritis. Adapun untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan
bermotor, frekuensi terjadi bencana gempa bumi, dan frekuensi terjadi bencana
kebakaran berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan
dengan wilayah cluster lainnya.
Adapun kondisi wilayah cluster 5 yang sedikit berbeda bila dibandingkan
dengan wilayah lainnya adalah keberadaan daerah resapan air. Pada wilayah
cluster 5 hanya berupa tanah berumput, sedangkan untuk tanah resapan berupa
sumur resapan dan lubang biopori cenderung sedikit.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 5 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang cukup tinggi dengan rata-rata jumlah kejadian mencapai 42 peristiwa.
Bencana tanah longsor juga menimbulkan jumlah korban jiwa yang cukup banyak
dengan rata-rata 89 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban
mengungsi. Selain menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, bencana tanah
longsor pada wilayah cluster 5 ini juga memberikan dampak kerusakan pada jalan
yang sangat besar. Tercatat rata-rata 58 km jalan rusak akibat bencana tanah
longsor, namun demikian bila dibandingkan dengan jumlah kejadian bencana
84
tanah longsor, wilayah ini mengalami kerusakan jalan sepanjang kurang lebih 2
km per kejadian bencana. Adapun kerusakan pada fasilitas umum cukup rendah
dan kerusakan pada rumah warga yang cukup besar dengan rata-rata 8 unit rumah
per peristiwa.
f. Cluster 6
Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 6
memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai Eucledian
Distance sebesar 9.7
.
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor,
faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah
longsor adalah keberadaan lahan curam yang cukup banyak, tingginya frekuensi
terjadi bencana gempa bumi, dan luasnya lahan kritis. Adapun persentase warga
yang memilah sampah, jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan, dan keberadaan
daerah resapan air masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila
dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya.
Wilayah cluster 6 juga memiliki kondisi yang sedikit berbeda apabila
dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Pada wilayah ini persentase
kepemilikan kendaraan bermotor dan frekuensi terjadinya bencana kebakaran
paling rendah apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
85
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang cukup tinggi dengan rata-rata 57 peristiwa dengan rata-rata timbulnya
korban jiwa sebanyak 48 orang yang didominasi oleh korban menderita. Selain
itu, bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan cukup besar pada
rumah warga. Rata-rata terdapat 7 unit rumah warga yang rusak akibat bencana
tanah longsor. Bencana tanah longsor juga memberikan dampak kerusakan yang
cukup besar pada akses jalan dengan rata-rata 1.3 km jalan rusak. Meskipun
memberikan dampak kerusakan pada rumah warga dan jalan dengan jumlah yang
cukup besar, namun bencana tanah longsor tidak memberikan dampak kerusakan
yang cukup besar pada fasilitas umum.
g. Cluster 7
Cluster 7 memiliki satu anggota yaitu Provinsi Sumatera Barat dengan nilai
Eucledian Distance sebesar 1.08
.
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Dari hasil analisis data input faktor faktor terjadinya bencana tanah longsor,
faktor yang memberikan pengaruh cukup besar akan terjadinya bencana tanah
longsor adalah jumlah lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase
keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjadi bencana gempa bumi,
tingginya jumlah curah hujan yang diperparah dengan banyaknya jumlah hari
hujan. Untuk faktor lain seperti kepemilikan kendaraan bermotor, frekuensi terjadi
bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan daerah resapan air masih berada
86
pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan wilayah cluster
lainnya.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 7 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang cukup tinggi dengan rata-rata 172 peristiwa bencana tanah longsor dengan
rata-rata jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi
mencapai 51 korban jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi.
Selain korban jiwa, bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan yang
cukup besar pada rumah warga dan akses jalan. Rata-rata jumlah rumah yang
rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 4 unit rumah dan panjang jalan yang
rusak mencapai 1.04 km per peristiwa. Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh
bencana tanah longsor pada fasilitas umum masih tergolong rendah.
h. Cluster 8
Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 8 cluster, cluster 8
memiliki 1 anggota, yaitu Provinsi Jawa Timur dengan nilai Eucledian Distance
sebesar 2.09
.
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor
adalah jumlah lokasi lahan curam yang sangat banyak, rendahnya persentase
keluarga yang memilah sampah, tingginya frekuensi terjad bencana gempa bumi,
87
banyaknya jumlah hari hjan meski dengan intensitas sedang, dan tingginya
frekuensi bencana kebakaran. Adapun faktor lainnya seperti kepemilikan
kendaraan bermotor, keberadaan lahan kritis, dan keberadaan daerah resapan air
masih berada pada jumlah yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan
wilayah cluster lainnya
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 8 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
yang tinggi dengan rata-rata mencapai 336 kejadian dengan jumlah korban yang
jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 75 korban jiwa
per peristiwa yang didominasi oleh korban menderita. Selain korban jiwa, bencana
tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses jalan.
Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai 5 unit
rumah dan panjang jalan yang rusak mencapai 0.3 km per peristiwa. Adapun
kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada fasilitas umum
masih tergolong rendah.
i. Cluster 9
Dari hasil proses pembentukan cluster dengan model 9 cluster, cluster 9
memiliki 2 anggota. Anggota dari cluster 4 ditunjukkan pada tabel berikut
Provinsi
Eucledian Distance
Jawa Barat
0.838334
Jawa Tengah
0.838334
88
1) Analisis faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input faktor-faktor terjadinya bencana tanah
longsor, faktor yang paling berpengaruh akan terjadinya bencana tanah longsor
adalah keberadaan lahan curam, tingginya frekuensi bencana gempa bumi, dan
banyaknya jumlah hari hujan dengan intesitas sedang. Adapun faktor lainnya
seperti kepemilikan kendaraan bermotor, persentase keluarga yang memilah
sampah, frekuensi terjadi bencana kebakaran, keberadaan lahan kritis, dan
persentase daerah resapan air.
2) Analisis dampak terjadinya bencana tanah longsor
Berdasarkan hasil analisis data input dampak terjadinya bencana tanah
longsor, wilayah cluster 9 adalah wilayah dengan potensi bencana tanah longsor
paling tinggi dengan rata-rata mencapai 1113 kejadian dengan jumlah korban
yang jatuh akibat bencana tanah longsor cukup tinggi dengan rata-rata 36 korban
jiwa per peristiwa yang didominasi oleh korban mengungsi. Selain korban jiwa,
bencana tanah longsor juga menimbulkan kerusakan pada rumah warga dan akses
jalan. Rata-rata jumlah rumah yang rusak akibat bencana tanah longsor mencapai
8 unit rumah dan panjang jalan yang rusak hanya mencapai rata-rata 0.1 km per
peristiwa. Adapun jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor
pada fasilitas umum masih tergolong rendah.
Secara umum, hasil analisis dampak dan faktor terjadinya bencana tanah
longsor dapat dinyatakan dalam tabel berikut
89
Tabel 3.9 Hasil Analisis Dampak dan Faktor Terjadinya Tanah Longsor pada
Masing-Masing Cluster
Frekuensi
Dampak yang
Faktor yang paling
Cluster
tanah
Provinsi
paling
mempengaruhi
longsor
mempengaruhi
1
2
3
4
5
6
DI Yogyakarta
Derah tanah
berumput, tingkat
pemilahan sampah,
frekuensi tanah
longsor tinggi
Frekuesi tanah
longsor 74 kejadian
dengan 24korban
jiwa dan 3 unit
rumah rusak
Riau, Jambi, Lampung,
Kep. Bangka Belitung,
Kep. Riau, DKI
Jakarta, Banten, Bali,
Kalimantan Selatan,
Kalimatan Timur
Kebakaran, daerah
resapan air, curah
hujan
Frekuensi tanah
longsor rendah,
jumlah rumah rusak
6 unit, jumlah
korban rata-rata 28
jiwa
Kalimantan Tengah
Curah hujan,
kebakaran, lahan
kritis
Bengkulu
Pemilahan sampah,
curah hujan, jumlah
hari hujan, lahan
kritis
Frekuensi tanah
longsor 4 kejadian
dengan 25 korban
jiwa
Frekuensi tanah
longsor 17 kejadian,
jumlah rumah rusak
3 unit, jumlah
korban 15 jiwa
Aceh, Sumatera Utara,
Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Utara,
Sulawesi selatan,
Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Maluku,
Maluku Utara, Papua,
Papua Barat
Pemilahan sampah,
jumlah hari hujan,
keberadaan lahan
kritis, daerah resapan
biopori
Frekuensi tanah
longsor 42 kejadian
dengan 89 korban
jiwa, 8 unit rumah
rusak dan 1.3 km
jalan rusak
Nusa Tenggara Timur
Lahan curam, gempa
bumi, lahan kritis
Frekuensi tanah
longsor 57 peristiwa
dengan 48 korban
jiwa, 7 unit rumah
rusak dan 1.37 km
jalan rusak
74
28
4
17
27
57
90
Cluster
7
8
9
Frekuensi
tanah
longsor
Faktor yang paling
mempengaruhi
Provinsi
Dampak yang
paling
mempengaruhi
Sumatera Barat
Lahan curam,
pemilahan sampah,
gempa bumi, curah
hujan, jumlah hari
hujan
Frekuensi tanah
longsor 172 kejadian
dengan 51 korban
jiwa, 4 rumah rusak
dan 1.02km jalan
rusak
Jawa Timur
Curah hujan,
pemilahan sampah,
gempa bumi, jumlah
hari hujan,
kebakaran
Frekuensi tanah
longsor 336 kejadian
dengan 75 korban
jiwa, 5 rumah rusak
dan 0.3 km jalan
rusak
Jawa Barat, Jawa
Tengah
Lahan curam, gempa
bumi, kebakaran
lahan kritis, daerah
resapan air
Frekuensi tanah
longsor 1113
kejadian dengan 36
korban jiwa, 8
rumah rusak dan
0.1km jalan rusak
172
336
1113
Adapun hasil pembentukan model 9 cluster dapat representasikan dalam bentuk
peta seperti yang tersaji pada gambar 3.20.
Gambar 3.20 Peta Indonesia Berdasarkan Hasil Pembentukan model 9 Cluster
91
Download