BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Motivasi Berprestasi
2.1.1 Pengertian Motivasi Berprestasi
Setiap tingkah laku individu pada dasarnya dipengaruhi faktor-faktor
pendorong yang didasari oleh keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Handoko
dalam (Ninawati, 2002:77) mengemukakan bahwa faktor pendorong ini disebut
motif, yaitu suatu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat
sesuatu atau melakukan tindakan tertentu.Sedangkan motivasi dinyatakan sebagai
suatu
tenaga
atau
faktor
yang
menimbulkan,
mengarahkan,
dan
mengorganisasikan tingkah lakunya.
Robbins (2008:244) menyatakan motivasi sebagai suatu usaha yang sungguhsungguh untuk mencapai sesuatu atau sejumlah sasaran, usaha tersebut
terkoordinasi oleh kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya.
McClelland (Irwanto, 2002:206) menyatakan tiga kebutuhan utama yang
mendorong perilaku manusia, yaitu berprestasi, motivasi berafiliasi, dan motivasi
berkuasa.
McClelland, Atkinson, Clark dan Lowell (Woolfolk, 2004:384) menyatakan
bahwa orang-orang yang berusaha keras untuk berhasil dalam bidangnya,
pencapaian prestasi bukan untuk suatu pujian atau hadiah namun benar-benar
karena keinginan berprestasi. Motivasi berprestasi diartikan sebagai keinginan
untuk lebih dari yang lain atau dorongan untuk berusaha mencapai keunggulan
dan kesuksesan.Murray (Purwanto, 1997:20) mendefinisikan motivasi berprestasi
sebagai hasrat atau tendensi untuk mengerjakan suatu tugas yang sulit dengan
cepat dan sebaik mungkin.
Heckhausen (Purwanto, 1997:20) menyatakan bahwa motivasi berprestasi
merupakan usaha yang keras untuk meningkatan atau mempertahankan
kecakapan diri setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan
standar keunggulan sebagai pembanding. Standar keunggulan tersebut dapat
berupa kesempurnaan tugas lalu presentasi sendiri sebelumnya dan juga sebagai
presentasi untuk orang lain.
Monks dkk (1998, 188) menjelaskan kembali berupa standar suatu
keunggulan menurut Heckhausen, yaitu:
1. Prestasi orang lain yang artinya bahwa anak tersebut ingin berbuat lebih
baik daripada yang telah diperbuat oleh orang lain.
2. Prestasi diri sendiri yang lampau, artinya bahwa anak ingin berbuat
melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan yang lebih baik
daripada apa yang telah dihasilkannya semula.
3. Tugas yang harus dilakukannya, berarti bahwa ia ingin menyelesaikan
tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri menjadi tantangan bagi anak.
Adapun standar keunggulan siswa lain adalah standar keunggulan yang
berhubungan dengan pencapaian prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
prestasi yang dicapai oleh siswa lain (misalnya teman sekelas). Standar ini lebih
ditujukan kepada keinginan siswa untuk menjadi juara pertama dalam setiap
kompetisi.
Winkel (1997:96) menyatakan bahwa motivasi berprestasi sangat ditentukan
oleh hasrat (keinginan atau tekad) untuk berprestasi dengan baik menurut ukuran
dan pandangan sendiri, bukan menurut ukuran atau pandangan orang lain.
Dengan
demikian
achievement
motivation
dalam
rangka
(akademis)merupakan intensifikasi dari bentuk motivasi intrinsik.
belajar
Berdasarkan penjelesan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau dorongan dalam diri seseorang
dalam rangka mengatasi rintangan, bekerja keras untuk mencapai prestasi yang
membanggakan dan sesuai dengan yang diinginkan sebaik mungkin untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik dari pada sebelumnya atau mempertahankan
prestasi maksimal yang pernah diraihnya menurut ukuran dan pandangan sendiri,
bukan menurut ukuran pandangan orang lain.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Crow & Crow (1989:24) mengemukakan salah satu faktor yang
mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sikap terhadap lingkungan. Artinya
bahwa sikap terhadap lingkungan merupakan petunjuk tentang pandangan dan
penilaian individu terhadap lingkungan. Sikap positif terhadap lingkungan akan
meningkatkan motivasi berprestasi, dan sebaliknya sikap yang negatif terhadap
lingkungan akan menurunkan motivasi berprestasi seseorang tersebut.
Pengaruh inteligensi dalam motivasi berprestasi dipengaruhi oleh inteligensi,
artinya inteligensi yang tinggi akan diikuti oleh motivasi berprestasi yang tinggi
dan sebaliknya inteligensi yang rendah akan diikuti motivasi berprestasi yang
rendah pula. Hal tersebut juga diperkuat oleh Handoko dalam (Ninawati,
2002:77) yang mengungkapkan bahwa motivasi dipengaruhi oleh pengalaman
masa lampau, taraf inteligensi, kemampuan fisik, situasi lingkungan, cita-cita
hidup, dan sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi motivasi berprestasi menurut Horner
(Sprinthall, 1990:529) adanya rasa takut akan sukses. Horner menuliskan bahwa
faktor penting dalam membentuk level terendah dari prestasi adalah adanya rasa
takut akan sukses. Dia juga menuliskan bahwa wanita, karena pemikiran dan
budaya mereka, cenderung lebih pada kondisi ini daripada laki-laki.
Heckhausen (Monks dkk, 1998:191) berpendapat bahwa tinggi rendahnya
motivasi berprestasi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; faktor
situasional, norma kelompok, tujuan yang ditetapkan, harapan-harapan yang
diinginkan, resiko yang ditimbulkan sebagai akibat dari prestasi yang diperoleh,
cita-cita yang mendasari, sikap kehidupan dan lingkungan, harga diri yang tinggi,
adanya rasa takut akan sukses atau adanya kecenderungan menghindari sukses,
pengalaman-pengalaman yang dimiliki, serta kemampuan yang terkandung di
dalam diri individu atau potensi dasar yang dimiliki.
Mussen dkk (1992:289) mengemukakan bahwa ada empat faktor yang
mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu :
1. Nilai pencapaian (nilai intensif)
Nilai pencapaian atau nilai intensif adalah nilai yang dilekatkan si
anak pada keberhasilan dalam bidang itu.Nilai pencapaian merupakan
pengaruh penting pada seleksi kegiatan bila mereka mempunyai pilihan.
2. Harapan akan keberhasilan
Anak yang berharap akan berhasil dan yang percaya bahwa mereka
memiliki kemampuan mengerjakan tugas pada kenyataannya memang
mengerjakan tugas dengan baik. Salah satu alasan untuk harapan siswa
yang tinggi adalah keberhasilan masa lalu.Tetapi harapan tinggi pada
gilirannya dapat memberi siswa perasaan efikasi yaitu suatu perasaan
mampu yang memuaskan dan mendorong mereka untuk mencoba lebih
giat di masa datang.
3. Atribusi mengenai keberhasilan dan kegagalan
Satu alasan mengapa anak dengan tingkat perfomansi yang sama
mungkin memiliki harapan-harapan keberhasilan yang berbeda adalah
karena mereka menafsirkan keberhasilan dan kegagalan mereka secara
berbeda. Konsep atribusi diterapkan pada motivasi berprestasi oleh
Bernard Weiner dan rekan-rekannya (Mussen dkk, 1992:290). Mereka
mengemukakan bahwa persepsi manusia mengenai sebab keberhasilan
dan kegagalan mereka sendiri merupakan faktor penentu yang penting
dari perilaku berprestasi dan harapan mengenai performansi masa depan.
4. Standar perfomansi
Sewaktu
mengevaluasi
performansi
diri
sendiri,
pasti
akan
dibandingkan dengan suatu standar keunggulan. Bila standar yang
digunakan adalah diri pribadi atau didasarkan pada performansi masa lalu
maka keduanya disebut standar otonom, sedangkan bila didasarkan pada
perbandingan dengan performansi orang lain maka standar ini disebut
dengan standar perbandingan sosial.
Tetapi selain keempat faktor tersebut Mussen dkk (1992:296) juga
menyebutkan bahwa nilai dari harapan orang tua juga berpengaruh pada
anak. Harapan dan tuntutan orang tua sehubungan dengan prestasi lebih
mungkin menaikkan motivasi berprestasi anak bila orang tua juga
membuat tuntutan untuk perilaku yang matang, dan tuntutan semacam itu
perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
Menurut Hawadi (2001:44) sebenarnya ada dua bentuk atau ragam
berprestasi yaitu motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi
ekstrinsik), yang artinya bahwa motif berprestasi ini muncul karena faktor
di luar dirinya baik itu dari lingkungan rumah maupun sekolah, dan
motivasi yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik), yang berarti
motif berprestasi
ini muncul tanpa dorongan dari pihak luar. Pada
kenyataannya ada siswa yang motif berprestasinya bersifat intrinsik
sedangkan pada orang lain bersifat ekstrinsik. Hal ini disebabkan karena
adanya :
A. Faktor Individual
Penelitian Harter (Hawadi, 2001:45) menunjukkan bahwa hanya
siswa yang mempersepsikan dirinya untuk berkompetensi dalam bidang
akademis yang mampu mengembangkan motivasi intrinsik.Siswa-siswa ini
dikatakannya lebih menyukai tugas-tugas yang menantang dan selalu
berusaha mencari kesempatan memuaskan rasa ingin tahunya.Sebaliknya
pada siswa-siswa dengan persepsi diri yang rendah akan lebih menyukai
tugas-tugas sekolah yang mudah dan tergantung pada pengarahan guru. Yang
termasuk faktor individual antara lain pengaruh orang tua.
Dari penelitian Ames dan Acter (Hawadi, 2001:45) terlihat bahwa
pada ibu yang amat menekankan nilai rapor pada anaknya, motivasi yang
berkembang
lebih
ke
arah
ekstrinsik,
sedangkan
ibu
yang
lebih
mengutamakan bagaimana anaknya bekerja dan melihat bahwa keberhasilan
adalah dari hasil usaha, maka motivasi yang berkembang lebih kearah
intrinsik.
a. Faktor Emosional
Besar kecilnya kelas berpengaruh terhadap pembentukan ragam
motivasi siswa.Kelas yang besar cenderung bersifat formal, penuh persaingan
dan kontrol dari guru.Dengan setting seperti ini maka setiap siswa cenderung
menekankan pentingnya kemampuan bukan pada penguasaan bahan
pelajaran.Sebaliknya, pada kelas yang kecil kesannya tidak formal, hal ini
membuat siswa dapat membuat pilihan-pilihan sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi berprestasi adalah sikap terhadap lingkungan, taraf
inteligensi, pengalaman masa lalu, kemampuan fisik, cita-cita hidup, adanya
rasa takut akan sukses, norma kelompok, tujuan yang ditetapkan, resiko yang
ditimbulkan harga diri yang tinggi, nilai pencapaian, harapan akan
keberhasilan,
atribusi
mengenai
keberhasilandan
kegagalan,
standar
performansi, nilai dan harapan orang tua.
2.1.3
Dimensi-Dimensi Motivasi Berprestasi
Ada 4 hal yang membedakan tingkat motivasi berprestasi tinggi dari
seseorang dan orang lain menurut McClelland (Reni Akbar, 2001:87) :
a. Tanggung jawab : seorang siswa yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi akan bertanggung jawab atas tugas atau pekerjaan yang diberikan
kepadanya. Siswa akan tugas yang diberikan.
b. Mempertimbangkan resiko : siswa yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi akan memilih dalam mengerjakan tugas. Siswa akan mengerjakan
tugas yang menantang namun masih dapat ia kerjakan yang
memungkinkannya untuk menyelesaikan dengan baik.
c. Memperhatikan umpan balik : siswa dengan motivasi berprestasi tinggi
akan menyukai pemberian umpan balik atas apa yang telah ia kerjakan.
d. Kreatif – inovatif : siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
cenderung bertindak kreatif. Siswa akan mencari cara agar ia dapat
menyelesaikan tugasnya dengan efektif dan efisien.
Dari uraian tokoh di atas, maka teori ini akan dijadikan instrument (alat
ukur) motivasi berprestasi.
Murray (Alwisol, 2004:240) mengemukakan ciri-ciri individu yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi yaitu :
a. Lebih kompetitif
b. Lebih bertanggung jawab terhadap keberhasilan diri
c. Senang menetapkan tujuan yang menantang tetapi cukup realistis
d. Memilih tugas dengan tingkat kesulitan yang cukup, yang pasti
apakah bisa diselesaikan atau tidak
e. Senang dengan kinerja interpreneur yang beresiko tetapi cocok
dengan kemampuannya
f. Menolak kerja rutin
g. Bangga dengan pencapaian dan mampu menunda untuk memperoleh
kepuasan yang lebih besar
2.2 Remaja
Definisi remaja menurut Santrock (2008), adalah masa perkembangan transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif dan social-emosional. Masa remaja akhir ( late adolescence)
15-19 tahun, pada umur tersebut muncul minat yang lebih nyata untuk
berkarir, berhubungan dan eksploitasi identitas (Santrock, 2003).
2.4 Etnis dan Moral
2.4.1
Pengertian Etnis
Koentjaraningrat (1990:264) memberikan pengertian etnis adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering kali (tetapi tidak
selalu) dikuatkan oleh kesatuan bangsa. Kesatuan bangsa mengandung arti bahwa
mereka memiliki keseragaman budaya dan kebudayaan tertentu.
Menurut Tan (dalam Basti, 2002:42) pengertian etnis atau suku adalah
kategori sosial yang digunakan masyarakatuntuk membedakan suatu kelompok
tertentu yang mempunyai ciri-ciri berbeda dengan kelompok lain. Identifikasi
sebuah kelompok etnis menurut Weber (dalam Basti, 2002:43) diawali oleh
perasaan sadar akan kesamaan budaya. Weber yakin setiap aspek budaya menjadi
titik awal pembentukan kelompok etnis.Bahasa dan kepercayaan religius
merupakan aspek yang penting dalam identifikasi etnis. Demikian pula gaya
hidup, misalnya sandang, pangan, dan papan.
2.4.2 Etnis Jawa
A.
Identifikasi
Daerah kebudayan ditanah Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur
dari pulau Jawa. Sebelum terjadi perubahan status seperti sekarang ini, ada
daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Daerah-daerah
itu adalah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri.
Daerah diluar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Jawa, merupakan salah satu wilayah di nusantara yang memiliki sumbersumber kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam. Salah satu sumber dan
wujud kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah etika Jawa. Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa dalam etika Jawa terkandung tata nilai
kehidupan Jawa, seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbolsimbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, misalnya tepa slira,
rukun, andhap asor, unggah-ungguh, mawas diri, dan sebagainya.
Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa.Sama halnya
dengan daerah-daerah kejawen lainnya, di dalam wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat Jawa yang
masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada umumnya mereka
membentuk kesatuan-kesatuan hidup setempat yang menetap di desa-desa
(Koentjaraningrat (ed), 2002:329). Nilai-nilai budaya Jawa Yogyakarta dan juga
di wilayah kebudayaan Jawa lainnya dalam bentuk ungkapan-ungkapan atau
falsafah-falsafah.Ungkapan dan falsafah Jawa Yogyakarta tersebut lahir dari
lingkungan keraton, untuk kemudian menjadi konsep dasar perilaku masyarakat
di lingkungan tersebut (Kusrestuwardhani dkk, 2003:38).
B. Etika
Etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Ada dua
kaidah dasar dalam etika Jawa yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat. Rukun
bertujuan untuk mempertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam
keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Kaidah
hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya
(Suseno, 2001: 39). Sistem etis yang berprinsip pada rukun dan hormat akan
menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia
pada keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari
ketegangan emosional. Sistem ini di kenal dengan istilah harmoni maupun
selaras. Etika Jawa secara garis besar disampaikan melalui dua cara. Pertama,
melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya memberikan nasihat berupa
anjuran. Kedua, melalui pepali (wewaler) artinya larangan agar orang Jawa
menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasihat dan larangan merupakan inti budi
pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasihat dan larangan adalah keadaan
selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika bagi masyarakat Jawa merupakan
suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa disampaikan dari pihak tertentu
kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama (bertingkat). Etika Jawa
dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan hidup manusia (Endraswara,
2003: 37).
Mengacu pada grand desain pendidikan karakter yang dikembangkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1995, etika Jawa yang
masih relevan untuk menjawab tantangan masa kini sehingga dapat dimanfaatkan
untuk sumber pendidikan karakter dan budi pekerti bagi siswa antara lain sebagai
berikut.
1. Urip samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya.
Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak
memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya.
Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip hidup ini juga
melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang
Maha Kuasa. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing
pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
2. Memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesagesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan
dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak (Herusatoto,
2000:83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat
menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat
menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi
orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan
dapat melahirkan penyelesaian yang baik.
3. Aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat
diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja
dumeh kuasa, aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan
watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung maksud “jangan
mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap
rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling” dibandingkan dengan orang lain di
sekitarnya.
4. Tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke
awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain
berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik
terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira adalah sikap individu
untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. (Suseno, 2001: 61)
Wujud sikap tepa slira adalah sikap menjaga hubungan baik dengan sesama
sebagai anggota masyarakat.
5. Jujur
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun
menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki
oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti,
jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan.
Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat
kerugian.
6. Kerja keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi
kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan
mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.
Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu
siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan
hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa
bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih
mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi perkara belakangan,
sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe. Etos kerja ini sangat luar
biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang besar. Orang yang bekerja
dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan dalam membangun bangsa.
7. Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia
Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal
glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan
secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi
seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang
seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu
harus dihindari karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria
sejati.
2.4.3 Etnis Batak
A.
Identifikasi
Suku bangsa Batak mendiami wilayah Sumatera Utara. Suku bangsa Batak
terdiri atas beberapa bagian kecil, seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak
Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Karakteristik
budaya Batak, diantaranya mengenal adanya marga.
Suku bangsa Batak, lebih khusus terdiri atas sub bagian suku bangsa :
1. Toba
Mendiami daerah induk yang meliputi daerah danau Toba, pulau Samosir,
Dataran Tinggi Toba, Asahan, Silindung, daerah antara Barus dan
Sibolga, dan daerah pegunungan Pahae dan Habinsaran
2. Karo
Mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi Karo, Langkat
Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian dari Dairi.
3. Simalungun
Mendiami daerah induk Simalungun.
4. Pakpak
Mendiami daerah induk Dairi.
5. Angkola
Mendiami daerah induk Angkola dan Sipirok, sebagian dari Sibolga dan
Batang Toru, dan bagian utara dari Padang Lawas.
6. Mandailing
Mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian selatan dari
Padang Lawas (Koentjaraningrat (ed), 2002:94-95).
Dalam budaya Batak, mereka menjunjung tinggi musyawarah dalam
setiap pengambilan keputusan baik dalam lingkup kecil (keluarga) maupun
luas (pemerintahan) dan adat yang mengatur kehidupan tiap individu maupun
seluruh marga. Pelanggaran terhadap adat mendapat sanksi masyarakat
berupa pengucilan dari pergaulan hidup masyarakatnya Etnis Batak, mereka
sebagai masyarakat yang keras dan gigih dalam pendiriannya. Ini terlihat dari
bagaimana mereka selalu memprioritaskan kerja kerasnya dan komitmennya
terhadap suatu pekerjaan dan dalam berorganisasi pun mereka sangat solid.
2.4.4
Etnis Minang
A. Identifikasi
Suku bangsa Minangkabau menempati wilayah Provinsi Sumatera Barat,
suku bangsa Minangkabau sering dinamakan pula suku bangsa Padang. Dalam
pandangan orang Minangkabau, daerah asal dibagi ke dalam bagian-bagian
khusus yaitu darat dan pesisir. Daerah darat dianggap sebagai daerah asal dan
daerah utama dari pemangku adat Minangkabau. Secara tradisional, daerah darat
dibagi ke dalam tiga luhak (kabupaten), yaitu Tanah Datar, Agam, dan Limo
Puluah Koto (Koentjaraningrat (ed), 2002:248).
B. Pola Pikir
1. Landasan Berpikir
Semua ketentuan adat Minang yang terhimpun dalam pepatah-petitih
adalah rasional atau masuk akal.Menurut Amir (1999) Orang Minang lebih
senang melakukan hal yang nyata, berkelana, dan merantau untuk mengubah
nasib diri dari pada melakukan dan membicarakan hal yang irrasional seperti
kuntilanak, babi ngepet dan lain sebagainya.
Kalau diperhatikan sejarah kehidupan orang Minang, mereka sering
mengadakan
perlawanan
menyenangkan.Kebiasaan
terhadap
merantau
kondisi
misalnya,
yang
merupakan
tidak
perlawanan
terhadap kendala yang dihadapi orang Minang.
2. Alue Patuik
Alue artinya alur atau jalur yang benar.Patuik artinya pantas, sesuai, atau
masuk akal. Alue patuik artinya orang Minang harus dapat meletakkan
sesuatu pada tempatnya.Tujuan utama dari prinsip ini adalah untuk
menciptakan keadilan dalam masyarakat dan sekaligus menghindari sengketa
antara anggota masyarakat. Dengan cara demikian akan tercapai kehidupan
yang rukun, aman, dan damai.
3. Anggo Tanggo
Anggo artinya anggaran seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga. Anggo Tanggo artinya peraturan atau segala yang ditentukan dan
harus dituruti.Tujuan yang ingin dicapai dengan prinsip ini adalah untuk
menciptakan disiplin dan ketertiban dalam lingkungan kekerabatan,
masyarakat, dan dalam mengatur nagari. Anggo Tanggo ini dihimpun dalam
apayang menurut adat disebut “Limbago nan sapuluah” yang menjadi dasar
dari Hukum Adat Minangkabau.Limbago nan sapuluah ini terdiri dari (Amir,
1999:78:80) :
a. Cupak (hukum) nan duo
: (i) Cupak Usali (Asli)
(ii) Cupak Buatan (Pelengkap)
b. Undang nan ampek
: (i) Undang-undang Luhak Rantau
(ii)
Nagari
Undang-undang
Pembentukan
(iii) Undang-undang Dalam Nagari
(iv) Undang-undang nan 20
c. Kato nan ampek
: (i) Kato Pusako
(ii) Kato Daulu
(iii) Kato Buatan (Kato Mufakat)
(iv) Kato Kamudian (Kato Bacari)
4. Raso jo Pareso
Raso artinya rasa, pareso artinya periksa atau teliti. Raso jo Pareso
artinya membiasakan mempertajam rasa kemanusiaan atau hati nurani yang
luhur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi masalah, kita (orang
Minang) dituntut membiasakan diri melakukan penelitian yang cermat untuk
mendapatkan kebenaran yang hakiki dan tidak tergesa-gesa dalam
bertindak.“Alue jo patuik, anggo jo tango, raso jo pareso” dalam adat
minang sering disebut dengan istilah “Tungku nan tigo sajarangan”(Amir,
1999:86).
C. Sifat-Sifat Orang Minang
1. Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu
membutuhkan orang lain untuk bisa hidup. Sudah merupakan hukum alam
dan merupakan takdir Tuhan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa
orang lain. Sifat dasar masyarakat Minang adalah kepemilikan bersama
(communal
bezit).Tiap
individu
menjadi
milik
bersama
dalam
kelompoknya.Sebaliknya tiap kelompok (suku) menjadi milik dari semua
individu yang menjadi anggota kelompok itu.Rasa saling memiliki ini
menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang tinggi, rasa
kebersamaan, dan rasa tolong menolong (Amir, 1999:98).
2. Sifat Pribadi Minang
Salah satu tujuan adat pada umumnya, adat Minang pada khususnya
adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya,
dan manusia yang beradab.Untuk mencapai masyarakat yang sedemikian,
diperlukan manusia-manusia dengan sifat-sifat dan watak tertentu.Sifat-sifat
yang ideal itu menurut adat Minang beberapa diantaranya sebagai berikut
(Amir, 1999:98-103).
a. Hiduik Baraka, Baukue jo Bajangko
Dalam menjalankan hidup dan kehidupan, orang Minang dituntut
untuk selalu memakai akalnya. Berukur dan berjangka artinya harus
mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat.
b. Baso-Basi – Malu jo Sopan
Adat minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi
pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang, etika
menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu orang
Minang.
c. Tenggang Raso
Pergaulan yang baik adalah pergaulan yang dapat menjaga perasaan
orang lain. Karena itu adat mengajarkan supaya selalu berhati-hati dalam
pergaulan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang rasa
salah satu sifat yang dianjurkan adat.
d. Setia (Loyal)
Setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan
kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber dari lahirnya sifat setia kawan, cinta
kampung halaman, cinta tanah air, dan cinta bangsa. Dari sini pula berawal
sikap saling membantu, saling membela, dan saling berkorban untuk sesama.
2.4.5 Etnis Tionghoa
A.
Identifikasi
Orang Tionghoa yang ada di Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa
yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Ada empat bahasa
Cina di Indonesia, yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Para
imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira
pertengahan abad ke-19 berasal dari suku bangsa Hokkien yang berasal dari
provinsi Fukien bagian selatan.Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting
dalam pertumbuhan perdagangan orang Cina ke seberang lautan.
Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku bangsa
Hokkien telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada
orang Tionghoa di Indonesia.Diantara pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia
mereka lah yang paling berhasil. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari
mereka sangat ulet, tahan uji, dan rajin.Orang Hokkien dan keturunannya yang
telah berasimilasi sebagai keturunan paling banyak terdapat di Indonesia Timur,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pantai Barat Sumatera.
Orang Teo-Chiu dan Hakka (Khek) disukai sebagai kuli perkebunan dan
pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Biliton (Koentjaraningrat (ed),
2002:353). Orang Hakka adalah yang paling miskin diantara para perantau
Tionghoa. Kini banyak orang Hakka menetap di Jakarta dan Jawa Barat
(Koentjaraningrat (ed), 2002:354).
Orang Tionghoa sebagai kelompok etnis “asing” yang terbesar tidak
mempunyai daerah pijakan asal di Negara ini seperti kelompok etnis lainnya
yang mempunyai daerah asal mereka sendiri meskipun mereka menyebar
keseluruh Nusantara (Coppel, 1994:21). Para Warga Negara Indonesia (WNI)
keturunan Tionghoa yang telah lama berdiam di Indonesia, biasanya lebih luas
terpencar dimana-mana di seluruh kota, sedangkan orang Tionghoa asing imigran
yang baru datang cenderung untuk terpusat lebih banyak di daerah yang menjadi
pusat perdagangan atau Chinatown (BPS, dalam Coppel, 1994:30).
Walaupun banyak diantara orang Tionghoa di sana yang sudah lahir di
Indonesia, tetapi mereka masih juga disebut sebagai orang Tionghoa totok oleh
orang Indonesia asli (Koentjaraningrat (ed), 2002:354-355).
B. Pola Pikir
Leman
(2007)
menjelaskan
bahwa
etnis
Tionghoa
mendidik
dan
mengharapkan anaknya memiliki daya juang dalam mencapai target atau
kesuksesan, Masyarakat etnis Tionghoa mendidik anaknya untuk memiliki daya
juang sebagai bentuk perlawanan sejak jaman kolonial (Liem, 2000). Etnis
Tionghoa mempunyai kepercayaan diri tinggi dibanding dengan masyarakat
pribumi. Dengan keuletan yang dimiliki membuat keturunan Tionghoa merasa
hebat dalam segala bidang yang mereka tekuni. Besar kecilnya kesempatan,
mereka tidak pernah merasa takut untuk terus maju dan selalu fokus dengan
tujuan awal.
2.5
Kerangka Berpikir
Motivasi
Berprestasi
Etnis
Jawa
Batak
Minang
Tionghoa
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Rusyan dkk, (1992:99) mendefinisikan motivasi adalah penggerak tingkah
laku ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya suatu kebutuhan. Sementara
menurut McDonald (Rusyan dkk, 1992:100) yang dimaksud motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan
dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Robbins (Hariyanto, 2008:371) menyatakan motivasi sebagai suatu usaha
yang sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu atau sejumlah sasaran, usaha
tersebut
terkoordinasi
oleh
kemampuan
seseorang
dalam
memenuhi
kebutuhannya.McClelland (Irwanto, 2002, 206) menyatakan tiga kebutuhan
utama yang mendorong perilaku manusia, yaitu berprestasi, motivasi berafiliasi,
dan motivasi berkuasa.
Etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan
identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi sering
kali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bangsa. Leman (2007)
menjelaskan bahwa etnis Cina mendidik dan mengharapkan anaknya memiliki
daya juang dalam mencapai target atau kesuksesan, sedangkan etnis Jawa
Christiana (2005) menjelaskan bahwa etnis Jawa lebih berfokus pada nilai nilai
kerukunan, berbudi luhur, dan sikap ‘nrima’ sehingga harapan pada anaknya lebih
pada nilai nilai tersebut dibandingkan dengan pencapaian kesuksesan atau
prestasi. sedangkan etnis Batak mereka dikenal sebagai masyarakat yang keras
dan gigih dalam pendiriannya. Ini terlihat dari bagaimana mereka selalu
memprioritaskan kerja kerasnya dan komitmennya terhadap suatu pekerjaan yang
mereka cintai dan dalam berorganisasi pun mereka sangat solid. Sedangkan etnis
Minang memiliki sifat dasar kepemilikan bersama, yakni tiap individu menjadi
milik bersama dari kelompoknya dan sebaliknya, tiap kelompok (suku) menjadi
milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling
memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang
tinggi, rasa kebersamaan, dan rasa tolong menolong (Amir MS, 1999:98)
Berdasarkan dari uraian dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa latar belakang etnis Jawa, Batak, Minang dan Tionghoa pada remaja saat
ini berhubungan dengan berprestasi, terutama dapat terlihat dari cara mereka
hidup
berdasarkan
filosofi-folosofi
hidupnya.
Penelitian
ini
ingin
mengungkapkan perbedaan motivasi berprestasi pada remaja yang berbeda-beda
dari etnis mereka masing-masing yang meliputi aspek tanggung jawab,
mempertimbangkan
resiko,
memperhatikan
umpan
balik,
dan
kreatif.
Download