BAB II TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK
BERGERAK
A. Pengertian Wanprestasi
1. Prestasi
Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan. 22
Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi
prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur
mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada
kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta
kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan
semacam ini disebut jaminan umum. 23
Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat
dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang
disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat
menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta
kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus. 24 Artinya jaminan khusus itu
hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutang
22
Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Medan: FH
USU,1970), hal 8.
23
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal 17.
24
Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
debitur, misalnya rumah,kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat memenuhi
prestasinya maka benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan
untuk memenuhi hutang debitur.
Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi
ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi
itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus
diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni : 25
i.
Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan
ii.
Harus mungkin
iii.
Harus diperbolehkan (halal)
iv.
Harus ada manfaatnya bagi kreditur
v.
Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan
2. Wanprestasi
Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu
persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang membuat
persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para
pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana yang diatur di dalam pasal
1338 KUH Perdata.
Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek yaitu pihak yang berkewajiban
untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi.
25
Ibid. Hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Didalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak
tidak jarang pula debitur (nsabah) lalai melaksanakan kewajibannya atau tidak
melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal ini
disebut wanprestasi.
Wanprestasi
berasal
dari
istilah
aslinya
dalam
bahasa
Belanda
“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan
yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undangundang. 26
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih
terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak
terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.
Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji,
cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah
menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada
beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi
pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.
26
Ibid. Hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah
ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia
dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya
janji untuk wanprestasi”. 27
Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian
atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
4. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan. 28
H. Mariam Darus Badrulzaman SH, mengatakan bahwa apabila debitur
“karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu
wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena
dabitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena
salahnya. 29
27 Wirjono
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.
Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 .
29 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet ke-IV (Jakarta: Pembimbing Masa, 1979), Hal 59.
28 R.Subekti,
Universitas Sumatera Utara
Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga
sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan
tidask selayaknya. 30
Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak
melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat
maka yang telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan
wanprestasi.
Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi
itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan
wanprestasi bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat
memberikan prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah
ditetapkan dalam pejanjian”.
Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat
dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak
menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena
penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya
waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu
perjanjian yang telah disepakati.
Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu
yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari
30
M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal 60.
Universitas Sumatera Utara
suatu perjanjian, pabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya
dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga
oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut.
B. Macam-Macam Prestasi dan Wanprestasi
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Maka dari itu wujud prestasi itu berupa :
1. Memberikan Sesuatu
Dalam pasal 1235 dinyatakan :“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan
sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai
pada saat penyerahannya.
Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap
perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam
bab-bab yang bersangkutan”
Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang
lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak
Universitas Sumatera Utara
saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang
itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya
memelihara barang kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya
yang lain,yang tidak akan diserahkan kepada orang lain. 31 Kewajiban merawat
dengan baik berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus
menerimanya. Penyerahan dalam pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun
penyerahan yuridis. 32
2. Berbuat Sesuatu
Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan
seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah
melakukan perbuatan tertentu. 33 Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus
mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas
perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak.
Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran
kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat. 34 Artinya
sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.
31
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 5.
32
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 84.
33
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 19.
34
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3.
Tidak Berbuat Sesuatu
Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan
suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan. 35 Jadi wujud prestasi di sini adalah
tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat
aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat
sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. 36 Disini bila ada pihak yang berbuat
tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas akibatnya.
4. Wujud wanprestasi
Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi
dapat diketahui melalui 3 keadaan berikut : 37
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk
dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan
undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru
Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau
apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut
kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh
undang-undang.
35
Ibid.
J.Satrio, Op. cit, hal. 52. 37
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 20. 36
Universitas Sumatera Utara
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya
Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian tidak dipenuhi.
Prof. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.
C. Sebab Terjadinya Wanprestasi
Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam
suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang dibebani
kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban
(wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan
alasan tersebut antara lain yakni :
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.
Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian. 38 Dikatakan
orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat
menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau
berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu
kesemuanya dengan memperhitungan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu
terjadi.
Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur
kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang
38
J. Satrio, Op. cit, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau
kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian
adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa
dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian. 39 Disini
debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai
orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya
kerugian tersebut. 40 Dengan demikian kesalahan disini berkaitan dengan masalah
“dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan “dapat menduga” (akan
timbulnya kerugian). 41
2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan
debitur,debitur tidak bersalah.
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak
debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana
tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan. 42 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari
kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu. 43 Dalam
hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah
“frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi
39
J. Satrio, Op. cit, hal. 91.
Ibid.
41
Ibid. 42
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 27.
43
Ibid. Hal. 31.
40
Universitas Sumatera Utara
diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak
dapat dilaksanakan sama sekali. 44
Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena
keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur.
Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang
menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan
debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas. Keadaan
memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian
dan dapat juga menimbulkan kerugian total. Sedangkan keadaan memaksa yang
menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun
bersifat tetap. 45
Unsur –unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah : 46
a) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda
yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap
b) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi
perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau
sementara.
c) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu
membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan
karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.
Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)
Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya
wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai
44
Ibid. Hal. 27.
Ibid.
46
Ibid.
45
Universitas Sumatera Utara
keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang bersifat
objektif
dan
subjektif.
Yang
mana
ajaran
mengenai
keadaan
memaksa
(overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum Romawi, yang berkembang dari
janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu.47 Dalam hal
benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya
kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi hapus, tetapi
prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi. 48 Pada awalnya dahulu hanya
dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam
perkembangannya, kemudian
muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang
bersifat subjektif.
1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif
Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin
dapat dipenuhi oleh siapapun. 49 Menurut ajaran ini debitur baru bisa
mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang
dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana
mestinya). 50 Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama
sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan
itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa
berprestasi bukan “debitur” tidak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya,
47
J. Satrio, Op. cit. hal. 254
Ibid.
49
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 28.
50
J. Satrio, Loc. cit.
48
Universitas Sumatera Utara
kecakapan, keadaannya, kemampuan finansialnya tidak dipakai sebagai
ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya
dikatakan
memakai
ukuran
objektif. 51
Dasar
ajaran
ini
adalah
ketidakmungkinan. Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini dengan
istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar
kesalahan debitur. 52 Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa suatu
perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat
terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang
telah dibuat itu menjadi melawan hukum jika dilaksanakan.53 Dalam keadaan
yang seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri
perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan
menjadi batal, keadaan memaksa disini bersifat tetap. 54
2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif
Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu
sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada
perbuatan atau kemampuan debitur. 55 Salah seorang sarjana yang terkenal
mengembangkan teori tentang keadaan memaksa adalah houwing. Menurut
pendapatnya keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala
upaya yang menurut ukuran yang berlaku dalam masyarakat yeng
51
Ibid. Hal. 255.
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
53
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 29.
54
Ibid.
55
Ibid.
52
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan patut untuk dilakukan,sesuai dengan perjanjian tersebut. 56
Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang
bersangkutan.
Disini
tidak
dipakai
ukuran
“debitur
pada
umumnya”(objektif), tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh karena yang
dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa
melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan
semua ciri-cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial,
kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan. 57
Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan. Menurut ajaran ini debitur
itu masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau
menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve
overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. 58 Oleh
karenanya perikatan tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan
pelaksanaan prestasi oleh debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan
pelaksanaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi
diteruskan.
Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah
diuraikan di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan
56
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 263, dikutip dari
V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat,
Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122
57
Ibid. Hal. 263.
58
Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 30
Universitas Sumatera Utara
pengaturan secara umum dalam undang-undang. 59 Karena itu hakim
berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang
dalam keadaan memaksa (overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah
debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi
tersebut.
D. Akibat Hukum Dari Wanprestasi
1. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur
Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak
memenuhi prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut
memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan
debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam
perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan
pemenuhan prestasi.
Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu
pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur. 60 Dalam hal tenggang waktu
pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk
memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang
59
60
Ibid. Hal. 31.
Ibid. Hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut ketentuan pasal
1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 61
Pasal 1238 KUHPerdata :
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri,
ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.”
Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara,
yaitu sebagai berikut : 62
1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan
waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian
tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang
wanprestasi debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut
tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Jadi pada intinya
ada
pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini dikatakan surat perintah atau
akta sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan atau
pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya
dalam keadaan wanprestasi.
61
62
Ibid, Hal. 22.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka
waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu
tersebut, dia telah wanprestasi.
Ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan
untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada
ketentuan spesifik semacam pasal ini. Namun ketentuan pasal ini dapat juga diikuti
oleh perikatan untuk berbuat sesuatu. 63 Sebaiknya ketentuan pasal 1238 KUHPerdata
ini dapat diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu. Jadi dalam
penyusunan hukum perikatan nasional nanti ketentuan semacam pasal ini dapat ditiru
dan meliputi perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk berbuat
sesuatu. 64
Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak
berbuat sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu
dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan itu
berlaku dan selama perikatan tersebut berlaku, kemudian debitur melakukan
perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).65
Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah
hukuman atau sanksi sebagai berikut : 66
63
Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.
Ibid.
65
Ibid. Hal. 23.
66
Ibid, Hal. 24.
64
Universitas Sumatera Utara
a) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur
Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud
dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran
ganti kerugian tersebut, dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang.
Pasal 1243 KUHPerdata :
“penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.”
Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti
kerugian, yaitu sebagai berikut :
a. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran
ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan
lalai, tetapi tetap melalaikannya.
b. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu,
pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut. 67
67
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul
karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah
dihitung berdasarkan nilai uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang.
Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :
(1) Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya
ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.
(2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan
kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah
sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah – buahan karena
kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah
konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya
barang karena terbakar.
(3) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur
lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya.
Dalam ganti kerugian itu tidak senantiasa ketiga unsur itu harus ada.
Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur
(unsur 2). 68 Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar
sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan
yaitu : dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur
68
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai
bentuk perlindungan terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur.
Pembatasan-pembatasan tersebut dapat kita liat pada pasal 1247 dan 1248
KUHPerdata.
Pasal 1247 KUHPerdata :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah,
atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal
tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan
olehnya.”
Pasal ini sebagai penegasan tentang pembatasan ganti kerugian yang dapat
dituntut dari debitur, yaitu kerugian yang nyata – nyata telah dapat diperhitungkan
pada saat perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak. 69
Pasal 1248 KUHPerdata :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang,
penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh
si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.”
69
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Pasal ini sebenarnya memberikan juga perlindungan kepada debitur yang
walaupun melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus
dibayarnya hanya meliputi kerugian langsung sebagai akibat wanprestasinya
debitur. 70
Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan
kerugian :
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan.
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai). 71
Selain pembatasan seperti yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi
pembatasan pembayaran ganti rugi itu, yaitu dalam perjanjian yang prestasinya
berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal 1250
KUHPerdata.
Pasal 1250 ayat 1 KUHPerdata :
“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran
sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya
pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak
mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus”.
Penggantian biaya, rugi, dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak
usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.
70
71
Ibid.
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai
dari ia diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang
menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum.”
Maksud pasal ini adalah bahwa setiap tagihan yang berupa uang, yang
pembayarannya terlambat dilakukan oleh pihak debitur, maka tuntutan ganti kerugian
tidak boleh melebihi ketentuan bunga moratorium (bunga menurut undang-undang). 72
Bunga yang harus dibayar karena lalai ini disebut “moratoir interest”,
sebagai hukuman bagi debitur.73 Moratoir berasal dari kata “mora” bahasa Latin yang
berarti lalai. Pembayaran ganti kerugian sebesar bunga moratorium tersebut sematamata digantungkan pada keterlambatan pembayaran tersebut sehingga kreditur tidak
perlu dibebani untuk membuktikan dasar penuntutan ganti kerugian tersebut. 74
Penghitungan besarnya ganti kerugian tersebut terhitung bukan pada saat
utang tersebut tidak dibayar atau lalainya debitur, melainkan mulai dihitung sejak
tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan, kecuali jika dalam keadaan tertentu undangundang memberikan kemungkinan bahwa penghitungan bunga tersebut berlaku demi
hukum (mulai saat terjadinya wanprestasi). 75
72
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal.18.
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 43.
74
Ahmadi Miru dan Sakka Pati , Loc. cit.
75
Ibid.
73
Universitas Sumatera Utara
b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian lewat hakim
Pasal 1266 KUHPerdata :
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang
bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.
Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa
untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh
lebih dari satu bulan.
Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap
sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan
karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui
pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam
perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak
dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak yang
Universitas Sumatera Utara
wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang waktu
yang tidak lebih dari satu bulan. 76
c) Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237
ayat 2 KUHPerdata).
Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
Pasal 1237 KUHPerdata :
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan
itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat
kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berdasarkan pasal ini dapat kita
lihat bahwa kelalaian debitur dalam menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko
menjadi atas tanggungannya.
d) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181
ayat 1 HIR).
Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam
perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
76
Ibid, Hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
e) Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan
perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (pasal 1267
KUHPerdata).
Ini berlaku untuk semua perikatan.
Pasal 1267 KUHPerdata :
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia,
jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian
biaya kerugian dan bunga”
Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi
dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu : 77
a. Menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut
dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau
b. Menuntut pembatalan perjanjian.
Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau
ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti
kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan pasal 1267 ini. Berdasarkan
pasal inilah sehingga banyak sarjana menguraikan pilihan tuntutan kreditur tersebut
menjadi lima kemungkinan tuntutan, yaitu : 78
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
77
78
Ibid, Hal. 30.
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c. Ganti kerugian saja;
d. Pembatalan perjanjian;
e. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.
Kemungkinan tersebut di atas, sebenarnya terdapat kekeliruan karena
seharusnya tidak ada tuntutan ganti kerugian yang dapat berdiri sendiri, karena ganti
kerugian itu hanya dapat menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan perjanjian
atau membatalkan perjanjian sehingga hanya ada empat kemungkinan, yaitu : 79
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian;
c. Pembatalan perjanjian;
d. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian
2. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena keadaan memaksa
Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis
mengakhiri perikatan, dalam arti kata perikatan itu batal. 80 Jadi perikatan ini dianggap
tidak pernah ada (seolah-olah tak pernah dibuat). Jika suatu pihak telah melakukan
pembayaran terhadap harga barang yang menjadi objek perikatan, pembayaran
tersebut harus dikembalikan kepadanya. Bila pembayaran belum dilakukan,
pelunasannya tidak perlu dilaksanakan (dihentikan).
Dalam keadaan memaksa yang bersifat subjektif dan sementara keadaan ini
memberi akibat menangguhkan prestasi (mempunyai daya menangguhkan) dan bila
79
80
Ibid.
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 32
Universitas Sumatera Utara
keadaan memaksa sudah berakhir maka kewajiban berprestasi hidup kembali. Bila
prestasi tersebut sudah tidak mempunyai arti lagi untuk kreditur maka perikatan
menjadi gugur, dan pihak yang satu tidak dapat menuntut pada pihak lain. Istilah
batal dan gugur di atas mempunyai arti yang berbeda.
Istilah batal menunjuk kepada tidak dipenuhinya salah satu sifat prestasi
yaitu harus mungkin dilaksanakan. Jika prestasi tidak mungkin dilaksanakan, maka
perikatan itu tidak akan mencapai tujuan, jadi batal demi hukum. Sedangkan istilah
gugur, prestasi memungkinkan untuk mencapai tujuan perikatan, tetapi berhubung
keadaan memaksa, tujuan perikatan menjadi tidak tercapai karena terhalang oleh
keadaan memaksa, yang mengakibatkan prestasi menjadi tidak berarti. Pada perikatan
yang gugur pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya. 81
E.
Pengertian Benda di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hukum benda adalah hukum yang mengatur hubungan subjek hukum
dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan. Hukum benda merupakan bagian
dari hukum harta kekayaan. Diatur dalam Buku II KUHPerdata, pasal 499 sampai
dengan pasal 1232, meliputi Pengertian Benda dan macam-macam benda serta
pengertian hak kebendaan dan macam-macam hak kebendaan.
81
Ibid. hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Benda
Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat
dihaki atau yang dapat menjadi objek hak milik (pasal 499 BW). Menurut terminologi
benda di atas ini benda berarti objek sebagai lawan dari subyek dalam hukum yaitu
orang dan badan hukum. Oleh karena yang diamaksud dengan benda menurut
undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki
orang, maka segala seuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk
pengertian benda menurut BW (buku II), seperti bulan, bintang, laut, udara, dan lain –
lain sebagainya. 82
Meurut ilmu hukum, benda memiliki tanda tanda pokok. Tanda-tanda pokok
benda ini adalah sebagai berikut: 83
a. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap
setiap orang. Pemegang hak berhak menuntut setiap orang yang mengganggu
haknya.
b. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terabatas.
c. Hak kebendaan mempunya droit de suit artinya hak itu mengikuti bendanya di
dalam tangan siapa pun benda itu berada. Jika ada beberapa hak kebendaan
diletakkan diatas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan
waktunya.
82 Riduan
Syahrani, Seluk –Beluk dan Asas –asa Hukum perdata, (Bandung: Alumni, 1992),
hal 116.
83 Mariam Darus Badrul Zaman, Mencari Sistem Hukum Benda nasional, (Bandung:
Alumni, 1983), hal 30.
Universitas Sumatera Utara
d. Hak kebandaan mamberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya hak itu
dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan
sendiri.
Dapat dikatakan hak kebendaan itu mempunyai sifat yang mutlak karena yang
berhak atas benda yang menjadi objek hukum, mempunyai kekuasaan tertentu untuk
mempertahankan hak tersebut terhadap siapapun juga.
2.
Macam-macam Benda
Benda dapat dibedakan atas:
a. Benda berwujud dan tidak berwujud (pasal 503 KUHPerdata)
b. Benda bergerak dan tidak bergerak (pasal 504 KUHPerdata)
c. Benda dapat dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (pasal 505
KUHPerdata)
d. Benda yang sudah ada dan yang akan ada (pasal 1334 KUHPerdata)
e. Benda dalam perdagangan dan di luar perdagangan (pasal 537, pasal 1444
dan pasal 1445 KUHPerdata)
f. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi (pasal 1296
KUHPerdata)
g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-undang hak tanggungan,
Undang-undang jaminan fidusia)
Universitas Sumatera Utara
h. Benda atas nama dan tidak atas nama (Pasal 613 KUHPerdata jis Undangundang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah).
Di atas ini merupakan berbagai macam jenis benda. Pada skripsi ini
difokuskan pada esensi pada benda tidak begerak yang mana berguna sebagai
jaminan apabila terjadi wanprstai dalam hutang piutang.
Benda Tidak Bergerak
ketentuan mengenai jenis dan macam –macam benda tidak bergerak menurut
kitab undang – undang hukum perdata dapat diteuakn mulai dari perumusan Pasal
506 Kitab Undang – undang Hukum Peradata hingga pasal 508 Kitab Undang –
undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut:
pasal 506
Kebendaan Tidak bergerak ialah:
1. Perkarangan – pekanrangan dan apa yang didirikan di atasnya
2. Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam pasal 510;
3. Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya menancap dalam tanah;
buah pohon yang belum dipetik, demikian pula barang – barang tambang
seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya, selama benda-benda itu
belum terpisah dan digali oleh tanah;
4. Kayu terbang dari hutan tebangan dan kayu dari pohon-pohon yang
terbang tinggi, selama kayu tersebut belum ditebang;
Universitas Sumatera Utara
5. Pipa-pipa dan got-got yang diperutukkan guna menyalurkan air dari
rumah atau perkarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang
tertancap dalam pekarangan atau terpaku dalam bangunan rumah.
Pasal 507
Karena peruntukannya, termasuk dalam paham kebendaan tidak
bergerak:
1. Dalam perusahaan pabrik; barang-barang hasil pabrik itu sendiri,
penggilingan-penggilingan, penggemblengan besi, dan barang-barang
tidak bergerak yang sejenis itu, apitan besi, kwali-kwali pengukusan,
tempat api, jambangan-jambangan, tong-tong dan pekakas-pekakas
sebagainya yang termasuk dalam asas pabrik, pun sekiranya barangbarang itu tidak tertancap paku;
2. Dalam perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya, sekedar
barang – barang itu diletakkan pada papan atau pasanagn batu yang
merupakan bagian dinding, pagar atau pelasteran ruangan, pun sekiranya
barang-barang itu tidak tertancap atau terpaku;
3. Dalam kepemilikan tanh: lungkang atau timbuna
pupuk yang
dipergunakan untuk merabuk tanah; kawanan burung merpati ; sarang
burung yang dapat dimakan selama belum dipetik; ikan yang ada
didalam kolam;
4. Bahan pembangunan gedung berasal dari perombakan gedung; jika
diperuntukkan guna mendirikan kembali gedung itu; dan pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
benda-benda yang oleh pemilik telah dihubungkan degan kebendaan
tidak bergerak untuk guna dipakai selamanya.
Pemilik dianggap telah berhubungan benda-benda yang
demikian kepada kebendaan tidak bergeraknya, bilamana benda-benda
itu diletakkan padanya dengan pekerjaan menggali, pekerjaan kayu dan
pemasangan batu, atau bilamana kebendaan-kebendaan itu tidak dapat
dilepaskan dengan tidak memutus atau merusak bagian dari kebendaan
tidak bergerak tadi, di mana benda-benda itu dilekatkannya.
Pasal 508
Yang juga merupakan kebendaan tidak bergerak adala hak sebagai
berikut;
1. hak pakai hasi dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak;
2. hak pengabdian tanah;
3. Hak numpang karang;
4. Hak usaha
5. Hak bunga tanah, baik berupa uang, maupun berupa barang;
6. Bunga sepersepuluhan
7. Pajak pekan atau pasar yang diakui oleh pemerintah san hak-hak
istimewa yang melekat padanya;
8. Gugatan guna menuntut pengembalian atau penyerahan kebendaan tidak
bergerak.
Universitas Sumatera Utara
Dari keterangan pasal-pasal di atas dapat memperlihatkan kepada kita semua
bahwa, yang secara fisik dianggap sebagai benda tidak bergerak adalah tanah, dan
segala sesuatu yang: 84
1. Karena alam;
2. Karena Tindakan Manusia;
3. Karena peruntukan atau tujuannya
Melekat pada tanah, dengan pengertian bahwa benda-benda tersebut
dijadikan dan merupakan satu kesatuan denagn tanah, demikian rupa hingga bendabenda tersebut tidak mungkin dapat dipidahkan dari tanah di mana benda tidak
bergerak tersbut melekat.
Penggilingan yang ditanam menjadi satu dengan tanah, pohon dan tanaman
yang masih menyatu dengan tanah atau perkarangan atau hutan yang belum ditebang,
serta pipa dan got untuk menylurkan air melalui tanah sianggap, karena perlekatan
sebagai satu kesatuan dengan tanah. Sedangkan jika penggilingan tersebut, belum
atau tidak ditanam dan dijadikan satu dengan tanah, sebagai mana dimaksid dalam
pasal 501 kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
Kapal-kapal, Perahu-perahu, perahu-perahu tambang, gilingan-gilingan dan
tempat –tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri,
terlepas barang benda sejenis adalah kebendaan bergerak.
84 Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaya, Kebendaan Pada Umumnya, (Bogor: Kencana,
2003), hal 59.
Universitas Sumatera Utara
Adalah termasuk kebendaan bergerak. Demikian juga halnya kayu-kayu
hutan yang telah ditebang, yang dengan demikian berarti tidak lagi menyatu dengan
tanah atau hutan dimana kayu tersebut semula berada juga dianggap dan dinyatakan
sebagai benda bergerak.
Komaria, SH, M,Si berkesimpulan, bahawa banda-benda tidak bergerak
dapat dibedakan menjadi: 85
1. Benda tak bergerak menurut sifatnya, misalnya tanah dan sesuatu yang
melekat diatasnya seperti rumah, pohon atau tumbuh-tumbuhan
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya, misalnya mesin atau alat-alat yang
dipakai di pabrik. Benda-benda ini sebenarnya adakah benda bergerak,
tetapi oleh pemeliknya dalam pemakaiannya diikatkan pada benda yang
tidak bergerak yang merupakan benda pokok.
3. Benda tidak bergerak menurut ketentuan undang-undang yang berupa hakhak atas benda-benda tidak bergerak, misalnya:hak memungut hasil dan
hak pakai atas benda tidak bergerak, hipotik, dan hak tangguangan atas
tanah.
Menurut Riduan Syahrani, SH mengatakan benda tidak begerak adalah: 86
1.
Benda yang menurut sifatnya tak bergerak yang di bagi lagi menjadi 3
macam:
85 Komariah, Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat, (Malang: UMM yang mey
Press, 2005), hal 90-91.
86 Riduan Syahrini, Seluk – Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
1992), hal 118-119.
Universitas Sumatera Utara
a. tanah
b. segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan
berakar serta bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan
yang masih belum dipetik dan sebagainya;
c. segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas
tanah itu yaitu karena tertanam dan terpaku.
2.
Benda yang menurut tujuannya / tujuan pemakaiannya supaya bersatu
dengan benda tak bergerak sub 1 seperti:
a. Pada pabrik : segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat –alat lain yang
dimaksudkan
supaya
terus
menerus
berada
disitu
untuk
dipergunakan dalam menjalankan pabrik
b. Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang dipergunakan sebagai
rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain-lain
c. Pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain
serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai
bagian dari dinding;
d. Barang-barang
reruntuhan
dari
sesuatu
bangunan,
apabila
dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu.
3.
Benda yang menurut penetapam undang-undang sebagai benda tak
bergerak, seperti:
Universitas Sumatera Utara
a. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak
b. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas (dalam hukum
perniagaan)
Universitas Sumatera Utara
Download