peranan brachytherapy sebagai terapi pada kanker serviks

advertisement
PERANAN BRACHYTHERAPY SEBAGAI TERAPI PADA
KANKER SERVIKS
dr. I Nyoman Gede Budiana, SpOG(K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, letaknya antara uterus dan
vagina.1
Kanker serviks merupakan suatu keganasan memiliki insiden rendah di Eropa Barat
dan Amerika Utara tetapi masih tinggi insidennya di negara berkembang.Human Papilloma
Virus (HPV)tipe 16,18,31,33 memainkan peran penting dalam terjadinyakanker serviks dan
ditemukan pada 90 % dari semua wanita dengan kanker serviks.Dalam beberapa dekade
terakhir, peningkatan insiden kanker serviks terutama terjadi pada wanita muda berusia 35-55
tahun.Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan
10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke
uterus.Gejala tergantung pada tahap penyakit yaitu penyakit tanpa gejala pada awal penyakit
dan berbagai gejala seperti keputihan dan perdarahan pada penyakit lanjut sesuai dengan
ekstensi tumor pada individu. Faktor prognosis yang paling penting adalah ukuran tumor,
ekstensi tumor, dan keterlibatan kelenjar getah bening.2,3
Terapi kanker serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik
dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan
rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker/tim onkologi). Pemilihan pengobatan
kanker serviks tergantung pada ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum, dan
rencana penderita untuk hamil lagi.Standar pengobatan kanker serviks meliputi pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi. Pengobatan kanker serviks stadium IB dan IIA tergantung
ukuran tumornya. Bila ukuran tumor tidak melebih 4cm, disarankan radikal histerektomi
ataupun radioterapi dengan/tanpa kemo. Bila ukuran tumor lebih dari 4cm, pasien disarankan
menjalani radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin, histerektomi, ataupun kemo berbasis
cisplatin dilanjutkan dengan histerektomi.2,5
Salah satu dari terapi radiasi yang sedang dikembangkan saat ini yaitu
brachytherapy.Brachytherapy memainkan peran penting dalam pengobatan semua kanker
serviks invasif. Dalam pengobatan radikal, brachytherapy biasanya dikombinasikan dengan
radioterapi eksternal, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan aplikasi/ penanaman sebelum
dan/atau pasca operasi.Baru-baru ini, radioterapi telah digabungkan dengan kemoterapi
berbasis platinum simultan pada kanker serviks stadium IB hingga IVA.Brachytherapy
terutama diterapkan sebagai prosedur intrakavitari, pada kasus tertentu dilengkapi dengan
1
implan interstitial. Brachytherapy radikal untuk kanker serviks selalu didasarkan pada
penggunaan sumber intrauterin dan intravaginal.6-8
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan rumah sakit pertama di Indonesia
mengimplementasikan/mengujicobakan hasil penelitian dari Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN)berupa brachytherapykepada pasien untuk pengobatan kanker. Sejauh ini,
penggunaanbrachytherapy sangat terbatas, karena targetnya harus kecil. Biasanya digunakan
sebagai booster setelah pasien mendapat terapi radiasi eksterna.Salah satu contohnya untuk
kanker serviks.Dengan dosis radiasibrachytherapy yang lebih tinggi ini, maka masa
perawatan tumor dapat dipercepat. Terapi konvensional dengan dosis radiasi yang lebih
rendah biasanya memakan waktu sekitar 7 minggu. Dengan teknik brachytherapy ini,
perawatan dapat dilakukan kurang dari 2 minggu.9 Fasilitas brachytherapy di wilayah
Indonesia timur terdapat di RSUD Dr.Soetomo Surabaya dan RSUD Saiful Anwar Malang.
Fasilitas ini belum ada diluar Pulau Jawa.Seperti halnya di RSUP Sanglah Denpasar yang
merupakan rumah sakit rujukan Indonesia Timur belum mempunyai fasilitas brachytherapy.
Oleh karenanya fasilitas ini sangat penting pengembangannya di RSUP Sanglah Denpasar.
2
BAB II
KANKER SERVIKS
2.1
Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, yang terletak di antara uterus
dan vagina.Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90%
dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal
dari sel glandular pada kanalis servikalis.1,3
Gambar 2.1 Squamous Columnar Junction,Lokasi Metaplasia Epitel pada Kanker
Serviks1
2.2
Etiologi Kanker Serviks
Kanker serviks uteri merupakan tumor ganas primer yang berasal dari epitel sel
skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi
prakanker atau neoplasia intraepitelial serviks (NIS). Penyebab utama kanker serviks adalah
infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat
teridentifikasi, yang 40 di antaranya dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa
tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat
virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada sel, tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang
dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih
terdapat beberapa tipe yang lain.1,2,3Berdasarkan hasil temuan pada penelitian epidemiologi,
3
tipe HPV diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi
dan risiko rendah. 1,7
Tabel 2.1Klasifikasi HPV Berdasarkan Epidemiologi1,7
Golongan
Tipe HPV
Risiko tinggi
16, 18, 31, 33, 35, 39,45, 51, 52, 56, 58, 59
Kemungkinan risiko tinggi
26, 53, 66, 68, 73, 82
Risiko rendah
6, 11, 40, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, 81
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan
oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah
adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi
dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri
menyebabkan lebih dari 50% kanker serviks. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16
memiliki risiko kemungkinan terkena kanker serviks sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa
tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan
infeksi HPV- 18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan. Akan tetapi sifat onkogenik
HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada kultur sel dimana didapatkan
transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16.1,2,3
Didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi
virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan karsinoma sel
skuamosa serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenokarsinoma serviks.
Prognosis dari kanker adenokarsinoma serviks lebih buruk dibandingkan karsinoma sel
skuamosa serviks. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah
mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas,
aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain
dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2.1,2,5
2.3
Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor-faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu:1,6
1. Usia
Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia
seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks.
2. Usia pertama kali menikah.
4
Menikah pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun dianggap terlalumuda
untukmelakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker serviks 10-12 kali
lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel
mukosa pada serviks belum matang. Masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak
siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma.
Akibatnya, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker.
3. Wanita yang sering berganti-ganti pasanganseksual.
Berganti-ganti pasangan seksualakan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah
satunya Human Papilloma Virus (HPV).
4. Penggunaan antiseptik.
Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun
deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.
5. Wanita perokok.
Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan
dengan wanita yang tidak merokok. Secara in vivo efek paparan nikotin jangka
panjang dapat mempengaruhi proliferasi seluler, menghambat apoptosis dan stimulasi
faktor pertumbuhan endotel vaskuler. Mekanisme lain yaitu berhubungan dengan
sistem kekebalan sistemik dan perifer, mencakup produksi tidak seimbang sitokin
pro- dan anti-inflamasi, peningkatan sitotoksik / supresor limfosit T, penekanan
aktivitas limfosit T, jumlah T Helper limfosit, rendahnya tingkat imunoglobulin selain
imunoglobulin E
(Ig E). Sehingga dapat disimpulkan bahwa merokok dapat
menyebabkan penurunan respon imun tubuh terhadap infeksi HPV, dan/atau
menyebabkan kerusakan DNA sel mukosa cervik yang terinfeksi HPV.
6. Riwayat penyakit menular seksual.
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena
virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker serviks sehingga wanita
yang mempunyai riwayat penyakit menular seksual berisiko terkena kanker serviks.
7. Paritas.
Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan
yang terlalu pendek.Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering
melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit
kanker serviks.
8. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama.
5
Dalam laporan tahun 2002 oleh badan internasional untuk penelitian kanker, yang
merupakan bagian dari WHO, data dari delapan studi yang dikombinasi untuk menilai
hubungan antara pengguna kontrasepsi oral dan risiko kanker serviks pada wanita
yang terinfeksi dengan HPV. Ditemukan peningkatan hapir tiga kali lipat dalam risiko
antara wanita yang telah menggunakan keontrasepsi oral selama 5-9 tahun
dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral.
Diantara wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selam 10 tahun atau lebih, risiko
kanker serviks adalah 4 kali lebih tinggi. Hampir semua kanker serviks disebabkan
oleh infeksi persisten dengan risiko tinggi atau onkogenik, jenis HPV, dan hubungan
kanker serviks dengan penggunaan kontrasepsi oral mungkin suatu hubungan tidak
langsung. Hormon-hormon dalam kontrasepsi oral dapat mempengaruhi kerentaan sel
serviks terhadap infeksi HPV, mempengaruhi kemampuan mereka untuk mebersihkan
infeksi atau mempermudah infeksi HPV berkembang menjadi kanker serviks.
2.4
Klasifikasi Stadium Kanker Serviks
Penentuan stadium klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit,
membantu prognosis, rencana tindakan, dan pertimbangan metode terapi. Tahapan stadium
klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International
Federation Of Gynecology And Obstetric (FIGO) tahun 2008. 1,2,7
Gambar 2.2 Gambaran Stadium Kanker Serviks1
6
Tabel 2.2 Stadium Kanker Serviks menurut FIGO1
FIGO
I
IA
IA1
IA2
IB
IB1
IB2
II
IIA
IIA1
IIA2
IIB
III
IIIA
IIIB
IVA
IVB
2.5
Deskripsi
Karsinoma terbatas pada serviks
Karsinoma hanya dapat didiagnosis secara
mikroskopik
Invasi stroma dalamnya < 3 mm dan lebarnya < 7 mm
Invasi stroma dalamnya 3-5 mm dan lebarnya < 7 mm
Secara klinis tumor dapat diidentifikasi pada serviks
atau massa tumor lebih besar dari 1A2
Secara klinis lesi ukuran <4 cm
Secara klinis lesi ukuran >4 cm
Tumor telah menginvasi vagina tapi tidak mencapai
1/3 distal vagina atau dinding panggul
Tanpa invasi parametrium
Lesi yang tampak < 4 cm
Lesi yang tampak > 4 cm
Dengan invasi parametrium
Tumor menginvasi sampai dinding pelvis dan atau
menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina dan atau
menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal
Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina
Tumor sudah menginvasi dinding panggul
Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau
rektum
Metastasis jauh
Kategori TNM
T1
T1a
T1a1
T1a2
T1b
T1b1
T1b2
T2
T2a
T2a1
T2a2
T2b
T3
T3a
T3b
T4a
T4b
Jenis Histopatologis pada Kanker Serviks
Jenis histopatologis kanker serviks bervariasi, dimana ± 90% merupakan karsinoma
sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma sel
skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan
pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari
sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai
batas stroma tumor yang tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell.
Sedangkan adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks,
atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus.2,3,7
Klasifikasi histopalogis kanker serviks di antaranya:2
a. Squamous cell carcinoma
7

Keratinizing

Large cell non keratinizing

Small cell non keratinizing

Verucous
b. Adeno carcinoma

Endocervical

Endometroid

Clear cell paramesonephric

Clear cell mesopephric

Serous

Intestinal
c. Mixed carcinoma

Adenosquamous

Mucoepidermoid

Glossy cell

Adenoid cystic
d. Undifferentiated carcinoma
e. Carcinoma tumor
f. Malignant melanoma
g. Malignant non-epithelial tumors
2.6

Sarcoma: mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma

Lymphoma
Patofisiologi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan lesi intraepitelial,
berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih.
Secara histopatologi, lesi pre-invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium
displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif.
Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh
adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen,
gensupresor tumor, dan repair genes. Onkogen dan gen supresor tumormempunyai efek yang
berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi
maligna, sedangkan gen supresor tumor akan menghambat perkembangan tumor yang diatur
oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif berkembang melalui
8
perkembanganlesi intraepitelial, tidak semua perubahan ini berkembang menjadi invasif. Lesi
preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%.1-4
Bentuk displasia ringan dan sedang mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu
yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun,
sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun.
Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia
yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas
regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus
atau bakteri, dan gangguan keseimbangan hormon. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis servikalis.
Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat
menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria.
Virus HPV ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi,
dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul virus yang tidak
dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal
sehingga terjadi keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada
dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1,
E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat
seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetik. Pada infeksi fase laten, terjadi
ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada
replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut kemudian menginfeksi kembali sel
epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat
dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2.
Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat
mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian
infeksi HPV memasuki fase aktif.1,2,3,8
Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi
onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV,
protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type
sebagai kontrol negatif siklus sel dan guardian of genom mengalami degradasi karena
membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan mutan p53 adalah
stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi
degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol. Oleh karena itu, p53
juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai perkembangan lesi
9
pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Onkoprotein E7 menghambat proses
perbaikan sel melalui mekanisme berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1,
pRb berikatan dengan E2F, ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif (E2F merupakan
protein yang akan merangsang siklus sel ). Masuknya onkoprotein E7 ke dalam sel,
menyebabkan terjadinya ikatan E7 dengan pRb, ikatan ini menyebabkan E2F bebas terlepas
dan merangsang proto-onkogen c-myc dan M-myc yang selanjutnya akan terjadi proses
transkripsi sehingga siklus sel berjalan. Kekuatan ikatan protein E7 dengan pRb berbeda-beda
diantara beberapa jenis virus HPV. Ikatan E7 HPV tipe 6 dan 11 kurang kuat dibandingkan
dengan E7 HPV tipe 16 dan 18.2,3
Integtrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang
mengarah ke transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2.Integrasi tersebut
menyebabkan E2 tidak berfungsi sehingga menyebabkan overekspresi E6 dan E7.Hal
tersebut menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA dan apoptosis tidak
terjadi.Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV
terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada
kanker serviks terinfeksi HPV,dan seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk
menentukan prognosis kanker serviks.1-4
2.7
Gejala Klinis Kanker Serviks
Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.Biasanya
timbul gejala berupa ketidakteraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan
pengeluaran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, perdarahan post
koitus.Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk
mukoid.Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari
vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan
pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Perdarahan setelah koitus atau
pemeriksaan dalam (vaginal toucher) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik
darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal.2,3,5,8
Gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan fluor albus
(keputihan), fluor albus merupakan gejala yang sering ditemukan berupa getah yang keluar
dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.Perdarahan yang dialami segera setelah
10
bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 80%).Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari
daerah lumbal, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter.Perdarahan
rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit
lanjut.1,4,5
2.8
Diagnosis Kanker Serviks
Pemeriksaan yang dianjurkan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
mengetahui penyebaran kanker serviks seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase
endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan
X-ray untuk paru-paru dan tulang.Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran
pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi.Konisasi dan amputasi serviks dapat
dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangiografi, arteriografi, venografi,
laparoskopi, ultrasonografi, CT scan, dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara
baik untuk staging atau deteksi penyebaran kanker serviks karena hasilnya yang sangat
subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai
berikut:4,5,8,9
1. Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak
memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsio
serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau kurang
apabila telah melakukan aktivitas seksual sebelumnya. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan
pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi
sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal,
akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%.
Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur
yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil
pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3
tahun sekali.
2. Kolposkopi
Kolposkopi(pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar) dilakukan untuk melihat daerah
yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap
11
smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam
mengetes daerah yang abnormal.
3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau
kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa
dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy
yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada
serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan
memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja.
2.9
Pengobatan Kanker Serviks
Terapi kanker serviks dilakukan bila diagnosis telah dipastikan secara histologik dan
sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi
dan pengamatan lanjutan (tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker serviks tergantung
pada ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita
untuk hamil lagi.2,5
1. Pembedahan
Pada kanker serviks in situ, seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan
pisau bedah ataupun melalui LEEP atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita
masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk
menjalani pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan
selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi,
dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang
bersifat kuratif maupun paliatif. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang
bertujuan untuk mengangkat uterus. Histerektomi total, yaitu dengan mengangkat uterus
termasuk mulut uterus. Sedangkan histerektomi radikal, dimana histerektomi diikuti
dengan pengangkatan bagian atas vagina serta jaringan dan kelenjar limfe di sekitar pelvis.
Histerektomi radikaldilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga
pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit
umum (risiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.2,4,5
2. Terapi radiasi (radioterapi)
12
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak serta membunuh sel kanker pada serviks,
parametrial, dan kelenjar limfe di pelvis. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya
diobati dengan radiasi. Metode radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan
pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel
yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul,
dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar
seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya
akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar rongga
panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada
stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih
terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Terdapat dua jenis radioterapi
yaitu radiasi eksternal dan radiasi internal. Pada radiasi eksternal sinar berasal dari sebuah
mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Kedua adalah radiasi internal,
radiasi internal merupakan zat radioaktif yang ditempatkan dalam sebuah kapsul dan
dimasukkan langsung kedalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama
itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2
minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan
kandung kemih, rektum dan ovarium berhenti berfungsi.5,10,11,12
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet,
atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan terutama untuk membunuh sel kanker dan
menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tergantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang
dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain,
pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatan adjuvan. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker
menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk
memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan
untuk penyakit metastase karena terapi dengan obat dosis tunggal belum memberikan
keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks
13
antara lain CAP (Cyclophopamide Adriamycin Platamin), PVB (Platamin Vinblasting
Bleomycin) dan lain –lain.3,5
2.10
Prognosis Kanker Serviks
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan
dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan
stadium terminal. Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah
berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer,
jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium
penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II
60-80%, stadium III 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.1,3,4
14
BAB III
BRACHYTHERAPY
3.1
Sejarah Brachytherapy
Radioterapi efektif untuk mengobati kanker serviks invasif yang masih terbatas pada
daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel
kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Terdapat 2 macam radioterapi, yaitu radiasi
eksterna, dimana sinar berasal dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu dirawat di
rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
Radiasi internal, dimana zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung
ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di
rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Salah satu contoh
radiasi internal ialah brachytherapy. 11,13,15
Kata brachytherapy berasal dari bahasa latin, yang berarti “ terapi jarak pendek”, hal
inilah sesungguhnya apa yang dimaksud dengan brachytherapy. Penelitian terhadap
radioaktif yang dilakukan oleh Becquerel and Curies, menghasilkan biji radioaktif radium
yang dapat ditempatkan langsung ke dalam tumor. Memberikan terapi langsung dari dalam
tumor jauh melebihi efektivitas pemberian radiasi dengan dosis yang sama dari luar tumor.
Lokasi tumor atau aksesibilitas tumor membuat perbedaan tersebut. Percobaan pertama
dilakukan pada bidang ginekologi,prostat pada pria, dan tumor mamae. Tidak mengejutkan
bila melihat pendekatan brachytherapy masih tetap fokus pada tumor-tumor tersebut, seperti
juga tumor pada tempat lain seperti kepala dan leher, esofagus dan dalam kasus terbatas di
dalam paru-paru. Dalam keganasan ginekologi, radiasi dalam dosis tertentu yang
diberikanmelalui brachytherapy telah digunakan selama lebih dari 100 tahun.Salah satu kasus
brachytherapy pertama kali digunakan yakni oleh Margaret Cleaves yang melakukan
intracavitary brachytherapy(ICBT) pada kanker serviks di tahun 1903.
Sejak itu, ICBT
dengan atau tanpa eksternal radioterapi telah memainkan peran utama dalam penatalaksanaan
kanker serviks.Selama bertahun-tahun, metode aplikasi serta metode dosis penyampaian telah
berubah secara dramatis, mengurangi ketidaknyamanan pasien dan meningkatkan efektivitas
pengobatan.Di antara kanker ginekologi, terapi radiasi memainkan sebuah peran pertama dan
terutama dalam kanker serviks.Kanker endometrium dan vulvovaginal mungkin juga
dilakukan pengobatan dengan radioterapi sebagai tambahan untuk terapi pembedahan.Pada
kanker ovarium, radioterapi masih terbatas penggunaannya, kecuali untuk pengobatan
paliatif. 11,13,15
15
Brachytherapy adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan sumber radiasi ke
tumor
primer.Dengan
teknik
ini
ditempatkan
suatu
sumber
radiasi
ke
dalam
tumor.Penempatan sumber radiasi ini umumnya tidak bersifat permanen, dimana bila dosis
radiasi yang direncanakan telah tercapai maka sumber radiasi ini diangkat kembali.Kelebihan
brachytherapy adalah tumor akan mendapat dosis yang besar dengan menjaga jaringan sehat
dari dosis yang berlebihan. Selain itu teknik brachytherapy bermanfaat untuk tumor yang
bersifat hipoksik atau memiliki daya proliferasi lambat karena secara kontinyu memberikan
radiasi.Kekurangannya adalah letak tumor harus dapat dijangkau dan tidak dapat digunakan
sebagai terapi tunggal pada tumor dengan risiko adanya keterlibatan kelenjar getah bening
regional.Disamping itu diperlukan suatu ketrampilan khusus dan perencanaan terapi yang
baik.
Teknik brakiterapi dapat diberikan sebagai pengobatan primer dengan brachytherapy
saja, sebagai booster setelah radiasi ekterna dan intra/perioperatif sebagai radiasi pasca
operasi.
Terdapat beragam cara penempatan sumber radiasi dalam brachytherapy,yaitu :18,21
1. Intrakaviter
Sumber radiasi dimasukkan kedalam rongga tubuh, misalnya pada kanker
serviks dan
nasofaring. Pemakaian terapi intrakaviter paling umum digunakan pada keganasan
ginekologis melibatkan penempatan aplikator intrauterine atau intravaginal yang secara
berkala diisi dengan sumber radioaktif encapsulated (misalnya
137
Cs,
226
Ra, atau
192
Ir).
Terdapat beberapa macam sistem aplikator untuk terapi kanker serviks yaitu tabung
berongga atau tandem dan beberapa bentuk intravaginal receptacle sebagai tambahan
sumber radiasi, yang paling sering diapakai adalah Fletcher-Suit-Delcos system.
Gambar 3.1 Penempatan Sumber Radiasi Intrakaviter2
1
16
2. Implan atau interstisial
Sumber radiasi ditanam dijaringan kanker, seperti penanaman jarum radium atau iradium
pada tumor lidah, kandung kemih, payudara,kulit dan prostat. Sumber radioaktif dapat
diletakkan didalam tumor dengan cara Permanent Implant of Seed , radioaktif yang
dipakai adalah
125
I atau
198
Au, Temporary Implants of Teflon Catheters, ditempatkan
selama pembedahan dan diisi sumber radioaktif
192
Ir, dan Transperineal Needle
Implants, dipakai untuk tumor vagina dan kanker serviks, berbentuk jarum-jarum tandem
dan radioaktif yang dipakai adalah 192Ir.
Gambar 3.2 Penempatan Sumber Radiasi Interstisial18
3. Intraperitonel
Sumber radiasi yang dipakai berupa larutan yang mengandung radioisotop misalnya
koloid radioaktif emas,198Au atau
32
P, dimasukkan kedalam rongga peritonium untuk
mengobati metastase kanker pada dinding rongga peritoneum. Cara ini digunakan ada
kanker ovarium epitelial dalam usaha mengatasi pola penyebaran transperitoneal yang
menjadi karakteristik penyakit ini.
Gambar 3.3 Penempatan Sumber Radiasi Intraperitoneal 18
17
4. Intraluminal
Sumber radiasi ditempatkan didalam saluran, misalnya pada kanker esofagus dan
bronkus.
Gambar 3.4 Penempatan Sumber Radiasi Intraluminal18
5. Intravaskuler
Sumber radiasi ditempatkan didalam pembuluh koroner jantung untuk mengatasi
restenosis koroner yang pernah dilakukan angioplasti. Radioaktif yang dipakai adalah
192
Ir.
Gambar 3.5 Penempatan Sumber Radiasi Intravaskuler18
Diwaktu lampau pemasangan sumber radioaktif dilaksanakan secara manual,
sehingga opaerator akan terpapar radiasi. Kini telah dikembangkan sistem afterloading (pasca
muat), dimana sumber radiasi tidak ditempatkan secara langsung pada pasien tetapi
ditempatkan dalam sebuah aplikator yang terbuat dari bahan khusus yang tidak akan
18
mempengaruhi laju dosis radiasi. Zat radioaktif tersebut baru akan ditempatkan kedalam
aplikator setelah aplikator diletakkan tepat dilokasi tumor. Sehingga bahaya radiasi bagi
operator minimal.
Tabel 3.1 Karakteristik Radioisotop yang Biasa Digunakan untuk Brachytherapy11
3.2
Radioisotop
Waktu
Paruh
Cesium 137Cs
30 tahun
Energi
Radisi
(keV)
662
Bentuk
Fisik
Keuntungan
Kekurangan
Relatif murah
412
Tabung,
jarum
Benih
60 hari
27-35
Benih
Palladium
103
P
17 hari
20-23
Benih
Iridium 192Ir
74 hari
136-1.060
Kawat, benih
kateter
Ukuran kecil,
paparan
minimal
Ukuran kecil,
dosis tinggi,
paparan
minimal
Dosis tinggi,
umumnya
sistem
afterload
Sumber yang
relatif besar
Umumnya
tidak bisa
secara after
loading
Dosis rendah
Emas 198Au
2,7 tahun
Iodium 125I
Radium 226R
1.620 tahun
47-2.440
Tabung,
jarum
Ukuran kecil,
dosis tinggi,
relatif murah
Mahal
Risiko untuk
bocor dan
kontaminasi
Dasar-dasar Biologi Terapi Radiasi (Radiobiologi)
Jaringan sel kanker bila terkena penyinaran akan menyerap energi radiasi dan akan
menimbulkan ionisasi atom-atom. Proses ionisasi dan eksitasi dapat mengenai materi
biologik yang dilalui secara random, sehingga perubahan akibat radiasi tersebut dapat terjadi
pada setiap molekul di dalam sel. Ionisasi dan eksitasi ini dapat menimbulkan perubahan
kimia dan biokimia yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan biologik. Efek biologik
radiasi terpenting adalah yang berhubungan dengan integritas reproduksi sel. 17,18 Berbagai
proses dapat terjadi dalam sel dengan akibat trauma radiasi pada saat sel memasuki proses
pembelahan sel. Proses-proses tersebut antara lain adalah sel dapat mengalami kematian saat
mencobauntuk membagi diri, sel dapat melakukan pembelahan akan tetapi membentuk sel
anak yang tidak normal, sel tidak mengalami pembelahan akan tetapi masih dapat berfungsi
sebagai sel normal yang dikenal sebagai sel steril, sel mengalami beberapa kali pembelahan
19
membentuk sel anak sebelum sel menjadi steril dan yang terakhir adalah sel tersebut hanya
mengalami gangguan minimal tanpa gangguan dalam proses pembelahan. Kerusakan sel
akibat radiasi ini tergantung dari besarnya dosis radiasi. Pada tingkat seluler, akibat radiasi ini
dapat terlihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:19,22
-
Induksi terjadinya aberasi kromosom dan mutasi
-
Hambatan pada proses kemampuan reproduksi
-
Perlambatan proses mitosis
Kerusakan akibat terjadinya ionisasi DNA dikenal sebagai efek langsung, sedangkan efek
tidak langsung timbul sebagai akibat terjadinya ionisasi molekul air yang terutama terdapat
pada sitoplasma. Proses ionisasi ini menyebabkan terbantuknya radikal bebas, misalnya
hidroksil radikal, superoksida, dan hidrogen peroksida yang merupakan agen oksidan yang
bersifat sangat destruktif. Proses fisika dan kimia awal ini mengakibatkan porses biokimia
dan interaksi biologi berkelanjutan pada intrasel dan ekstrasel dengan akibat terjadinya
kerusakan sel dan jaringan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kerusakan sel
antara lain: O2, bahan-bahan kimia yang bersifat meningkatkan kepekaan radiasi
(radiosensitizer) dan suhu lebih dari 40-41ᵒC, dapat meningkatkan efek radiasi.
3.2.1 Kematian Sel Akibat Radiasi
Kematian sel dalam konteks biologi radiasi adalah hilangnya kemampuan sel untuk
bereproduksi akibat rusaknya DNA oleh sinar pengion. Berdasarkan efeknya terhadap
kelangsungan hidup sel, kerusakan DNA akibat radiasi (Radiation injury ) dapat dibagi dalam
3 kategori, yaitu: 19-22
1. Kerusakan lethal (lethal injury)
Kerusakan DNA bersifat ireversibel, tidak dapat diperbaiki, dan menyebabkan kematian
sel yang tidak mungkin dibatalkan lagi.
2. Kerusakan sublethal (sublethal injury)
Kerusakan DNA dalam kondisi normal akan diperbaiki dalam beberapa jam (3-24 jam),
kecuali kondisi yang menyebabkan kerusakan sublethal tersebut terjadi lagi (misalnya
dengan pemberian dosis radiasi kedua).
3. Kerusakan potensial lethal (potentially lethal injury)
Kerusakan DNA yang dapat dimodifikasi oleh kondisi lingkungan pasca radiasi.
Kerusakan ini potensial lethal karena dalam keadaan biasa dapat menyebabkan
20
kematian sel, tetapi tingkat kelangsungan hidup sel dapat meningkat bila dilakukan
manipulasi pada lingkungan pasca radiasi.
Adanya kerusakan DNA akibat interaksi langsung yang terjadi antara radiasi pengion dengan
DNA. Atom-atom yang menyusun molekul pada DNA, mengalami ionisasi, akibatnya DNA
kehilangan fungsi-fungsinya sehingga sel mengalami penghentian dalam proliferasinya. Hal
ini merupakan efek langsung dari radiasi. Efek tidak langsung dari radiasi adalah kerusakan
DNA yang disebabkan oleh radikal bebas toksik, yang dihasilkan dari ionisasi molekul air
(H2O) oleh radiasi pengion. Radikal bebas ini yang kemudian menimbulkan reaksi kimiawi
yang mengakibatkan putusnya rantai DNA secara permanen.22 Kerusakan DNA tersebut
dapat berupa putusnya kedua rantai DNA (double strand break), putusnya satu rantai DNA
(single strand break), kerusakan basa (base damage), kerusakan molekul gula (sugar
damage), putusnya DNA-DNA cross link dan DNA protein cross link.16
Gambar 3.6 Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi.22
3.2.2 Efek Biologik Radiasi
Efek biologik dari suatu radiasi tidak hanya bergantung pada dosis total yang
diberikan tetapi juga pada jangka waktu pemberian dan jumlah fraksinasi. Yang dimaksud
dengan fraksinasi yaitu radiasi yang diberikan dalam dosis terbagi secara berseri dengan dosis
tertentu setiap harinya dan diberikan 5-6 hari perminggu selama 4-7 minggu. Tujuan dari
21
fraksinasi adalah untuk menurunkan efek toksik pada jaringan sehat disekitar tumor. Prinsip
fraksinasi didasarkan pada empat faktor klasik yang biasa disebut sebagai “the four R’s of
radiology”. Keempat faktor tersebut berhubungan dengan waktu, dosis, dan fraksinasi
yaitu:17,18,19
1. Repair (Reparasi)
Repair merupakan proses sel untuk melakukan perbaikan atau pemulihan kerusakan
DNA akibat radiasi. Terdapat dua proses pemulihan yaitu pemulihan terhadap kerusakan
sublethal dan pemulihan terhadap kerusakan potensial lethal. Pada kebanyakan tumor
ganas terdapat gangguan untuk melakukan proses pemulihan terhadap kerusakan sub
lethal. Maka pada pemberian fraksi radiasi berikutnya akan terjadi kematian/kerusakan
sel-sel tumor yang lebih banyak daripada kerusakan sel normal disekitarnya, yang telah
menjalin proses pemulihan secara sempurna pada saat interval radiasi. Proses reparasi
dapat berlangsung secara sempurna atau sebagian melalui beberapa mekanisme.
Mekanisme reparasi mana yang akan berlangsung tergantung pada derajat kerusakan
DNA yang harus direparasi. Diantara mekanisme DNA yang paling sering terjadi adalah
nucleotid excision repair dan base excision repair. Pada derajat kerusakan tertentu,
terutama pada double strand break, tidak dapat dilakukan proses reparasi dan sel tersebut
akan diprogram untuk mati ( apoptosis).
2. Repopulation (Repopulasi)
Dengan kematian sel-sel akibat radiasi, sel-sel yang masih bertahan hidup (baik sel tumor
atau sel normal) akan merespon dengan cara meningkatkan regenerasi atau disebut
repopulasi. Repopulasi lebih jelas tampak pada sel-sel tumor dengan daya proliferasi
tinggi, sehingga memerlukan perencanaan waktu dan durasi pemberian radiasi yang
tepat. Oleh karena itu, repopulasi merupakan salah satu faktor penentu untuk
perencanaan durasi dan waktu pemberian radioterapi. Hal ini jugalah yang menjadi
alasan untuk tidak menunda terapi setelah reseksi inkomplit tumor, dan untuk mencegah
terapi radiasi yang tidak tuntas atau terputus jeda waktu yang lama.
3. Redistribution
Dengan adanya daur sel (cell cycle) maka pada suatu saat terdapat sel-sel pada fase yang
berbeda. Letak sel dalam siklus sel akan mempengaruhi sensitivitasnya terhadap radiasi.
Sel paling sensitif terhadap radiasi adalah pada fase G2 dan selama fase mitosis (M),
serta resisten terhadap radiasi pada pertengahan sampai akhir fase S dan awal fase G1.
Dengan pemberian radiasi secara refraksinasi, maka sel akan memiliki kesempatan untuk
mengalami redistribusi ke fase-fase yang lebih sensitif terhadap radiasi (radiation22
induced synchrony). Ketika sel menerima radiasi terfraksinasi, fraksi pertama akan
membunuh sel yang berbeda pada fase yang sensitif, sedangkan sel yang tersisa akan
mengalami redistribusi ke fase yang lebih sensitif selama interval sebelum pemberian
fraksi berikutnya.19,22,23
Selain itu, sel-sel yang memiliki daya proliferasi tinggi (rapid cycling cells), misalnya sel
kulit dan mukosa, akan mengalami redistribusi lebih baik dibandingkan sel-sel dengan
daya proliferasi rendah (slowly cycling cells), misalnya sel otak, pembuluh darah, dan
jaringan ikat. Maka sel-sel dengan daya proliferasi tinggi akan mengalami reaksi atau
efek samping radiasi yang lebih cepat dibandingkan sel-sel dengan daya proliferasi
rendah.
Gambar 3.7Siklus atau Daur Sel.27
4. Reoxygenation (Reoksigenasi)
Sensitivitas terhadap radiasi dari sel yang kaya oksigen adalah tiga kali lebih besar dari pada
sel yang diradiasi dalam kondisi hipoksia atau anoksia. Hal ini disebabkan oksigen
adalah sensitizer radiasi yang paling efektif karena mampu menstabilkan radikal bebas
reaktif yang diproduksi akibat proses ionisasi. Rasio antara dosis yang dibutuhkan pada
kondisi hipoksia dengan dosis yang dibutuhkan pada kondisi teroksigenasi untuk
mencapai kadar kematian sel yang sama disebut oxygen enhancement ratio. Dosis yang
dibutuhkan untuk menghasilkan kerusakan tertentu sekitar 3 kali lebih besar pada kondisi
hipoksia/anoksia daripada kondisi teroksigenasi baik. Pada umumnya sel tumor ganas,
terutama tumor solid, bersifat hipoksik sehingga cenderung resisten terhadap radiasi.
Namun selama pemberian radiasi yang terfraksinasi, sel hipoksia cenderung
teroksigenasi lebih baik. Fenomena ini disebut reoksigenasi dan meningkatkan respon
23
tumor terhadap dosis radiasi. Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan pasti tetapi
diduga terjadi reditribusi aliran darah atau pengurangan pemakaian oksigen oleh sel-sel
yang rusak akibat radiasi sehingga sel-sel hipoksik menjadi lebih dekat dengan pembuluh
darah yang fungsional. Kepentingan klinis dari pengetahuan ini adalah membuat jaringan
cukup oksigen. Saat ini sudah dikembangkan beberapa strategi pengobatan untuk
meningkatkan kadar oksigen, yaitu terapi oksigen hiperbarik, transfusi sel darah merah,
obat, dan radiasi “high linier energy transfer”(HLET).22,23,24,25
Gambar 3.8 Kurve Oxygen Enhancement Ratio23
Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan kerusakan tertentu sekitar 3 kali lebih besar pada
kondisi hipoksia/anoksia daripada kondisi teroksigenasi baik. Pada dosis rendah (<2Gy),
OER memiliki nilai yang lebih rendah, yaitu sekitar 2.
3.3
Brachytherapy pada Kanker Serviks
Brachytherapy adalah terapiyang umum digunakan pada pengobatan kanker serviks
dini atau lokal terbatas dan merupakan standar pengobatan di banyak negara. Kanker serviks
dapat diobatibaik dengan LDR (low dose rate), PDR (pulse dose rate) atau HDR (high dose
rate) brachytherapy. Digunakan dalam kombinasi dengan EBRT, brachytherapy dapat
memberikan hasil yang lebih baik daripada EBRT saja. Ketepatan brachytherapy
memungkinkan radiasi dosis tinggi radiasi yang ditargetkan untuk diberikan kepada serviks,
serta meminimalkan paparan radiasi ke jaringan dan organ sekitar.19,21
Disease-free survival danoverall survival adalah sama untuk LDR, PDR dan
perawatan HDR. Namun, keuntungan kunci dari pengobatan HDR adalah bahwa setiap dosis
dapat diberikan secara rawat jalan. Implantasi kapsul permanen cocok untuk pasien dengan
24
tumor lokal dan prognosis baik dan telah terbukti menjadi pengobatan yang sangat efektif
untuk mencegah kanker kambuh kembali.9,10
Gambar 3.9Pemasangan Brachytherapydalam Serviks10
Brachytherapy telah digunakan untuk mengobati kanker serviks sejak awal abad ini.
Pengobatan ini cukup sukses untuk mengatasi keganasan di organ kewanitaan. Baik radium
dan cesium telah digunakan sebagai sumber radioaktif untuk memberikan radiasi internal.
Sejak tahun 1960-an di Eropa dan Jepang, mulai diperkenalkan sistem HDR
brachytherapy.11,15,16
HDR brachytherapy diberikan hanya dalam hitungan menit. Untuk mencegah
komplikasi potensial dari HDR brachytherapy, maka biasanya HDR brachytherapy diberikan
dalam beberapa insersi. Untuk pasien kanker serviks, standar perawatannya adalah 5 insersi.
Waktu dimana aplikator berada di saluran kewanitaan (vagina, serviks dan/atau uterus) untuk
setiap insersi adalah sekitar 2,5 jam. Untuk pasien kanker endometrium yang menerima
brachytherapy saja atau dalam kombinasi dengan radioterapi eksternal, maka diperlukan total
2 insersi dengan masing-masing waktu sekitar 1 jam.9,11,14
Keuntungan HDR brachytherapyantara lain pasien cukup rawat jalan, ekonomis,
dosis radiasi bisa disesuaikan, tidak ada kemungkinan bergesernya aplikator. Yang cukup
memegang peranan penting bagi kesuksesan brachytherapy adalah pengalaman dokter yang
menangani.8 Kanker serviks terbatas pada uterus dan kanker serviks lokal stadium lanjut
dapat ditangani secara optimal dengan radioterapi definitif (atau radiokemoterapi). Beberapa
uji klinis acak menggunakan sinar eksternal radioterapi diikuti dengan brachytherapy,
menggunakan LDR brachytherapy dengan 137Cs. LDR brachytherapy membutuhkan
penempatan aplikator tandem ke rongga uterus melalui ostium serviks, ini sering dilakukan
tanpa panduan, dengan memasukkan tandem sampai merasakan sedikit tahanan yang
menunjukkan bahwa ujung tandem telah mendekati fundus uterus. Risiko perforasi uterus
25
menggunakan teknik ini mencapai 2-14%, dan mungkin mempengaruhi hasil pada pasien.
Salah satu teknik untuk memastikan posisi tandem adalah ultrasonografi intraoperatif.
Menghindari komplikasi ini penting, dimana perforasi menyebabkan peningkatan morbiditas
pasien dan bahkan telah dikaitkan dengan penyebab spesifik penurunan kelangsungan hidup
pada penyakit berat.6,9,14
Beberapa faktor risiko terjadinya perforasi uterus akibat pemasangan tandem antara
lain, usia > 60 tahun, dokter operator yang kurang berpengalaman, jaringan parut atau distorsi
ostium serviks, besarnya ukuran tumor. Pasien berisiko tinggi menunjukkan tingkat perforasi
hingga 30% meskipun dengan penggunaan ultrasonografi intraoperatif.11
Gambar 3.10Gambaran USG Pemasangan Tandem Brachytherapydalam Serviks6
Interstisial brachytherapy umumnya digunakan untuk pasien baik dengan panggul
yang luas dan/atau penyakit pada vagina dalam upaya untuk mengontrol secara lokal atau
dengan situasi yang tidak memungkinkan dilakukan intracavitarybrachytherapy dengan
aplikator standar karena masalah anatomi. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menyesuaikan
dosis radiasi dengan anatomi pasien dengan cakupan volume target yang lebih baik. Teknik
ini awalnya dikembangkan menggunakan radium 226 atau jarum kobalt 60. Awalnya, implan
interstitial dilakukan dengan penempatan jarum radioaktif menggunakan tangan kosong.
Pengembangan transperineal atau transvaginal template menghasilkan posisi jarum yang
lebih baik. Teknik-teknik baru termasuk fluoroskopi, computed tomography (CT),
transabdominal atau transrektal ultrasound, magnetic resonance imaging (MRI), laparoskopi,
dan laparotomi telah meningkatkan akurasi penempatan jarum. Bahan radioaktif terdiri dari
Iodine-125 digunakan sebagai implan permanen atau lebih umum Iridium-192 digunakan
sebagai implan sementara baik dengan LDR atau HDR. Meskipun pendekatan teknologi
26
interstitisial brachytherapy semakin baik, potensi terapi ini terkait dengan peningkatanrisiko
komplikasi.6,8,11
3.3.1 Indikasi Brachytherapy pada Kanker Serviks
Brachytherapy adalah inovasi yang berada di garis depan dalam radioterapi.
Perencanaan pengobatan dilakukan komputerisasi dimana gambar dipandu dengan sistem
pengiriman sehingga meningkatkan efisiensi dan meningkatkan hasil serta
penerimaan
pasien, hal ini dicapai melalui penempatan sumber radioaktif di dalam atau berdekatan
dengan tumor menggunakan aplikator yang dirancang khusus dimana perangkat pengiriman
dikendalikan komputer. Brachytherapy memungkinkan dosis radiasi disesuaikan tepatnya ke
daerah sasaran, dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan terhadap eksposur jaringan
sehat dan organ sekitarnya. Pengalaman dan wawasan yang diperoleh dari penelitian dan
praktek klinis luas menunjukkan keuntungan. Brachytherapy menawarkan hasil yang sama
efektifnya dengan operasi (histerektomi) pada tahap awal kanker serviks (tahap IA2 dan
IB1), dan standar pengobatan untuk ukuran tumor yang besar (stadium IB2) atau penyakit
lokal lanjut (Tahap IIA-IVA), biasanya dalam kombinasi dengan EBRT dan kemoterapi.
Tabel 3.2Modalitas Terapi Berdasarkan Level of Evidence
Stadium
IA1
-
Bila
fertilitas
masih
dibutuhkan
IA2
Modalitas Terapi
Level of Evidence/
Rekomendasi
Histerektomi (Total/vaginal)
Konisasi
III/B
III/B
Histerektomi radikal termodifikasi (tipe II)
+ Diseksi KGB
Histerektomi ekstra facial + Diseksi KGB
II B / B
-
LVSI (-)
-
Bila
fertilitas 1.
masih
dibutuhkan
2.
Konisasi + ekstra peritoneal/diseksi
KGB pelvis per laparoskopi
Trakelektomi
+
ekstra
peritoneal/diseksi KGB pelvis per
IB1,IIA
laparoskopi
- < 4 cm
1. Histerektomi radikal
- Pasien
muda 2. Radio terapi
untuk ovarian Histerektomi vaginal radikal
preserved
Diseksi KGB per laparoskopi
- Pasca bedah :
- Nodus(+),
parametrium
Adjuvan
radioterapi±
kemoterapi
(+)/tepi operasi pascabedah
(+).
- Massa
yang
besar, CLS (+)
IV / C
IV / C
IV / C
IB / A
III / B
IB / A
27
dan invasi 1/3
luar
stroma
serviks
Adjuvan whole pelvic irradation
IB / A



Primer kemoradiasi.
Primer histerektomi radikal.
Neoadjuvan
kemoterapi
diikuti
histerektomi radikal dan diseksi KGB
pelvis
IB / A
III / B
III / B
Primer histerektomi + adjuvan radiasi
III / B
IB2-IIA
- > 4 cm
-
Keterlibatan
CLS+ invasi 1/3 
luar
stroma
serviks
IIB, III, IVA
IVA
-

Tidak
metastasis
ke
dinding pelvis,
terutama
jika
terdapat fistula
vesikovaginal
atau
rektovaginal

IVB atau rekuren
- Rekuren lokal

pasca bedah


-
-
-
Rekuren lokal

pasca bedah
Metastasis
rekuren
dan 

Radiasi eksterna+brakiterapi
intrakaviter + concurrent kemoterapi
(terapi primer)
Eksenterasi pelvis
Radiasi
Kemoterapi konkuren
Eksenterasi pelvis
Eksenterasi pelvis
IB / A
IV / C
IV / C
III / B
IV / C
III / B
Kemoterapi
Radiasi paliatif
IB / A
Metastasis jauh
III / B
3.4
PembagianBrachytherapy
Brachytherapy merupakan komponen kritikal untuk terapi definitif terhadap semua
pasien dengan kanker serviks primer yang bukan merupakan kandidat untuk pembedahan.
Terapi ini biasanya dilakukan menggunakan pendekatan intrakavitas, dengan menggunakan
tandem intrauterin dan kolpostats vaginal.Tergantung dari masing-masing pasien dan anatomi
tumor, komponen vagina dari brachytherapy pada pasien dengan serviks intak dan dapat
dilakukan dengan menggunakan ovoid, ring, atau silinderbrachytherapy (dikombinasikan
dengan tandem intrauterin).Ketika dikombinasikan dengan EBRT, brachytherapy seringkali
28
menginisiasi lebih lanjut menjadi bagian akhir dari pengobatan, ketika regresi tumor primer
telah mencukupi dicatat sebagai satisfactory brachytherapy apparatus geometry.Pada
penyakit sangat dini (misalnya stadium IA2), brachytherapy sendiri (tanpa radiasi sinar
eksternal) dapat menjadi sebuah pilihan. Pada pasien post-histerektomi (terutama mereka
dengan positive vaginal mucosal surgical margins), vaginal cylinder brachytherapy dapat
digunakan untuk menunjang efek dari EBRT .33
Macam-macam metode brachytherapy:35
-
Intracavitary brachytherapy (ICBT): sesuai untuk tumor yang berlokasi di rongga
tubuh, seperti kanker serviks yang terletak di bagian akhir rongga vagina, atau
tumor yang terletak pada rongga mulut.
-
Interstitialbrachytherapy (ISBT): dimana sumber radioaktif secara surgikal
tertanam di dalam tumor atau dasar tumor; seperti kanker payudara, tumor dasar
mulut dan lidah, kanker prostat.
-
Intraluminal brachytherapy (IlBT): di mana tumor mengelilingi organ berongga
diakses melalui lumen tersebut, seperti tumor esofagus, tumor paru, tumor traktus
biliaris.
-
Mold brachytherapy (MBT): bentukan dari cetakan untuk menyesuaikan dengan
permukaan target diimplantasi dengan bibit radioaktif, seperti tumor tulang
tengkorak.
Brachytherapymodern telah berkembang pada sistem ini, tetapi dewasa ini terdapat
perbedaan besar diantara low-dose-rate (LDR) atau medium-dose-rate (MDR) brachytherapy
menggunakan terutama cesium sebagai sumbernya (Cesium-137) dan high-dose-rate (HDR)
atau pulsed-dose-rate (PDR) brachytherapymenggunakan iridium (Iridium-192). Tidak
terdapat definisi yang diterima secara universal dari kategori angka dosis-dosis ini. Akan
tetapi, The International Commission on Radiation Units and Measurements(IRCU)
menyarankan untuk mengikuti definisi berikut ini; LDR pada 0,5-1 Gy/h, MDR pada 1,0-1,2
Gy/h dan HDR di atas 1,2 Gy/h.32
Tabel 3.3Perbandingan Penggunaan LDR dan HDR pada
brachytherapy.
LDR
Intracavitary
21
HDR
Perawatan
Diperlukan rawat inap
Dapat rawat jalan
Kenyamanan pasien
Kurang nyaman
Lebih Nyaman
29
Cakupan jumlah pasien
Cakupan sedikit
Cakupan lebih banyak
Operator
Harus profesional
Harus profesional dan
pengalaman
Kebutuhan proteksi
Sederhana
Lebih kompleks
Umumnya rendah
Efek samping lanjut
radiasi
Toksisitas
mungin tinggi
Biaya
3.5
Relatif murah
Mahal
Alat-alat dan Cara Kerja
Brachytherapy pada kanker serviks terbanyak mengacu pada sistem pemberian
Manchester. Digunakan sebuah aplikator intrauterin. Untuk memperoleh
dosis yang optimal diperlukan dua buah aplikator intravaginal, atau ovoid , yang diletakkan
pada forniks kiri dan kanan. Dengan konfigurasi demikian akan diperoleh penyebaran dosis
menyerupai buah pir atau alpukat pada dimensi bidang datar. Tidak diharapkan penyebaran
ini kearah anterior ataupun posterior karena akan mengenai kandung kemih dan rektum.22,23
30
Gambar 3.11 Ilustrasi Penempatan Sistem Intracavitary brachytherapyFletcher-SuitDelclos yang Dimodifikasi untuk Nucleotron Selectron Remote Afterloading System.
3.6 Intracavitary Brachytherapy
Telah dikembangkan berbagai sistem aplikasi intracavitary brachytherapy untuk
kanker serviks.Pada umumnya semua sistem aplikasi menggunakan sebuah tabung intrauterin
(=disebut tandem) dan suatu bentuk aplikator intravaginal untuk tempat sumber radioaktif.
Ukuran dan desain tabung intrauterin bervariasi pada masing-masing sistem aplikasi.Radiasi
pada rektum dan kandung kemih dapat dipertahankan dalam batas toleransi dengan metode
afterloading.
Terdapat dua pesawat afterloading, yaitu :
1. Pesawat afterloading dengan laju dosis tinggi (high dose rate/HDR), yaitu bila laju
dosisnya di atas 1,2 Gy/jam (umumnya 100 Gy/jam). Yang termasuk pesawat ini adalah
Selectron dengan sumber radiasi Cobalt (60Co), atau Curietron dengan sumber radiasi
Cesium (137Cs).
2. Pesawat afterloading dengan intensitas radiasi rendah secara manual (low dose rate/LDR),
yaitu bila laju dosisnya <1,2 Gy/jam. Yang termasuk pesawat ini adalah Selectron dengan
sumber radiasi Cesium (137Cs) dan pesawat dengan sumber radiasi Radium (226Ra).
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dari penggunaan LDR atau
HDR, baik dari aspek survival rate, kontrol tumor lokal, dan residu tumor.Namun, karena
dengan HDR akan didapatkan waktu rawat inap yang lebih pendek maka kini HDR lebih
banyak digunakan.
3.6.1 Sistem Aplikasi
Telah dikenal beberapa sistem aplikasi intracavitary brachytherapy dengan sumber
radioaktif radium, yaitu Sistem Paris, Sistem Stockholm, dan Sistem Manchester. 38,39
a) Sistem Paris, menggunakan 2 aplikator berupa tabung kolpostat vaginal, serta 1 tabung
tandem karet intrauterin.
31
b) Sistem Stockholm, menggunakan sebuah aplikator kolpostat yang berbentuk kotak
intravaginal dari timah atau emas dan sebuah tabung tandem intrauterin dari karet.
c) Sistem Manchester, menggunakan 2 aplikator intravaginal (ovoids) serta 1 tabung
tandem karet intra uterin.
Gambar 3.12 Aplikator StockholmIntracavitary Brachytherapy.39
Gambar 3.13 Aplikator Manchester Intracavitary Brachytherapy.39
Sejak WHO melarang penggunaan radium, maka sistem-sistem aplikasi tersebut
sudah tidak dipergunakan lagi.Saat ini salah satu jenis sistem aplikasi yang sering
dipergunakan adalah sistem Fletcher-Suit-Delclos.Sistem ini dikembangkan di University of
Texas MD Anderson Cancer Center, terdiri dari :
-
Sebuah tabung intrauterin (tandem) dari logam dengan adjustable flange yang dapat
diatur untuk menyesuaikan dengan panjang kavum uteri.
-
Dua buah aplikator berupa tabung kolpostat yang ditempatkan di forniks vagina.
-
Aplikator diisi dengan Cesium, dapat pula dilakukan dengan sistem afterloading.
32
Gambar 3.14 Aplikator Fletcher-Suit-Delclos40
Gambar 3.15 Modifikasi Aplikator Fletcher-Suit-DelclosUntuk Penggunaan dengan
Nucleotron Selectron Remote Afterloading System.40
Beberapa tipe kolpostat afterloading yang digunakan sesuai keadaan, kolpostat mini
untuk pasien dengan vagina yang sempit, kolpostat reguler (diameter 2 cm), plastic jackets
yang digunakan untuk meningkatkan ukuran menjadi medium (diameter 2,5 cm) dan besar (
diameter 3 cm), serta kolpostat bersudut 15ᵒ dan 30ᵒ , yang ditujukan untuk menyesuaikan
dengan berbagai posisi porsio serviks.
Beberapa contoh tandem intrauterin dengan berbagai kelengkungan dan lembaran
logam dengan atau tanpa “dasar” (untuk menstabilisasi tandem saat packing). Silinder vaginal
(terdapat dalam beberapa ukuran) digunakan untuk radiasi bagian tertentu atau keseluruhan
vagina.40
3.6.2 Pelaksanaan Aplikasi
Terapi umumnya diberikan dalam 2-3 kali pemberian, dengan dosis 2 x 8,5 Gy atau 3
x 7,0 Gy, umumnya diberikan dengan interval 1 minggu. Pada pasien yang sebelumnya
33
mendapatkan radiasi eksterna, pelaksanaan intracavitary brachytherapy pertama harus
dilakukan sesegera mungkin setelah selesai radiasi eksterna (umumnya dalam 1-5 hari).
Penundaan waktu pelaksanaan terapi akan menurunkan efektivitas terapi. Dilakukan dalam
kondisi anestesi baik anestesi umum atau spinal, dengan persiapan sesuai dengan persyaratan
di bagian anestesi (harus ada pemeriksaan laboratorium darah tepi, rontgen toraks, dan
evaluasi kardiologi).Tindakan dilakukan dalam kondisi steril di ruang aplikasi.Dipasang satu
aplikator intrauterin dan 2 tabung intravaginal.
Delclos et al (1978) menyebutkan hal-hal yang menunjang keberhasilan pemasangan
aplikasi intrakaviter adalah :20,21,32-37
-
Geometri dari sumber radioaktif harus diupayakan agar mencegah terjadinya area serviks
yang tidak mendapatkan dosis optimal.
-
Dosis yang adekuat harus mencapai area paraservikal.
-
Toleransi mukosa harus diperhatikan.
Manipulasi untuk mengoptimalkan penempatan aplikator pada berbagai kondisi anatomis yang
berbeda hanya dapat dipelajari dari pengalaman.Dokter spesialis radioterapi harus
mengupayakan untuk mengoptimalkan penempatan aplikator agar tercapai rasio dosis yang
tepat antara dosis untuk tumor dan dosis pada jaringan sekitar.Untuk mempertahankan dosis
yang aman terhadap kandung kemih dan rektum, aksis tandem umumnya ditempatkan pada
pertengahan pelvis dan diisi dengan sekitar 5-6 Gy 137Cs per sentimeter.Kolpostat vaginal
ditempatkan ke arah atas dari serviks, dengan berpusat pada porsio. Pada foto lateral
umumnya terlihat bahwa kedua kolpostat membelah tandem. Penempatan kolpostat
diposisikan agar rektum dan kandung kemih terdorong menjauh dari sumber radioaktif dan
menjaga aplikator tetap pada lokasinya.
3.6.3 Perhitungan Dosis
Perhitungan dosis intracavitary brachytherapy terus mengalami perkembangan dan
umumnya diterapkan secara empiris di masing-masing institusi, sehingga sulit untuk
dibandingkan.Tidak terdapat suatu cara untuk secara pasti merumuskan distribusi dosis
radiasi inhomogen pada sistem intrakaviter. Metode yang paling umum digunakan adalah
dengan menghitung dosis pada suatu titik referensi.Titik referensi yang umum digunakan
adalah Titik A (Point A).33-39
Titik A adalah titik yang terletak 2 cm ke arah lateral kiri dan kanan dari sumbu uterus
dan 2 cm ke arah kranial dari ostium uteri eksterna pada bidang uterus.Titik referensi ini
34
pertama dirumuskan oleh Todd dan Meredith (1938) saat menciptakan sistem brachytherapy
Manchester.Dasar pemikiran dari titik ini adalah untuk menciptakan suatu titik referensi dosis
yang secara anatomis dapat digunakan pada berbagai pasien dan tidak mudah dipengaruhi
oleh perubahan kecil posisi aplikator.Titik ini mewakili struktur anatomis kritis pada
pertengahan broad ligament yang merupakan perlintasan antara ureter dan arteri uterina
(paracervical triangle).
Selain itu juga dikenal Titik B, yaitu titik yang terletak 3 cm lateral dari Titik
A.Namun pada 1985, the International Commission on Radiation Units and Measurements
(ICRU) tidak merekomendasikan penggunaan Titik A karena titik tersebut terletak pada area
dimana gradien dosis tinggi dan ketidakakuratan dalam penentuan jarak akan menyebabkan
ketidakjelasan dari evaluasi dosis yang diabsorpsi pada titik itu.
ICRU merekomendasikan agar perhitungan dosis ditentukan oleh :
-
Total Reference Air Kerma (TRAK), yang dinyatakan dalam cGy pada 1 meter.
-
Volume reference, yaitu volume jaringan yang dicakup oleh suatu isodose surface
(umumnya isodose dengan total 60Gy (Dosis total = Dosis radiasi eksterna + Dosis
brachytherapy).
Dosis yang diabsoprsi oleh jaringan normal yang masuk dalam volume radiasi (kandung kemih,
rektum, vagina, dinding pelvis).
Gambar 3.16 Aplikator Fletcher-Suit-DelclosPenggunaan titik A dan titik B sebagai
Titik Referensi pada Perhitungan Dosis brachytherapy40
3.6.4 Dosis Radiasi
1. LDR
-
Dosis total untuk titik A : 80-85 Gy (stadium I-IIA, non-bulky tumor), 85-90Gy
(stadium lokal lanjut, bulky tumor).
35
-
Titik B (Dinding pelvis) : 50-55 Gy (stadium I-IIA, non-bulky tumor), 85-60 Gy
(stadium lokal lanjut, bulky tumor).
-
Brachytherapy diberikan dalam fraksi 2 x 13 Gy, dengan interval 7 hari.
2. HDR
-
Dosis HDR disesuaikan dengan dosis radiasi eksterna yang diberikan, namun secara
umum dosis per fraksi harus < 7,5 Gy per fraksi untuk mengurangi kemungkinan
timbulnya komplikasi lanjut.
-
Dosis relatif ini bergantung pada volume tumor, kemampuan untuk menyisihkan
kandung kemih dan rektum, regresi tumor pasca radiasi eksterna, dan kebijakan
pusat radioterapi setempat.
-
Dosis di rektum dan buli-buli diupayakan lebih rendah (70%) dari dosis titik A.Bila
karena kelainan anatomis maka dosis di rektum dan buli-buli menjadi lebih tinggi
dari titik A, maka dilakukan modifikasi dalam pelaksanaan brachytherapy.
-
Jika geometri vagina optimal, brachytherapy dimulai pada minggu ketiga dengan
dosis 1 kali per minggu. Bila volume tumor terlalu besar, brachytherapy dilakukan 2
kali per minggu setelah selesai radiasi eksterna.
3.7
Lama terapi maksimal 8 minggu (radiasi eksterna + brachytherapy).
Efek SampingBrachytherapy
Efek samping yang dilaporkan dari penggunaan brachytherapy adalah efek pada
gastrointestinal (rekto-sigmoiditis), dan urogenital (disuria).36 Efek samping yang diapatkan
adalah perdarahan saluran cerna bagian bawah, toksisitas kandung kemih, mual-muntah
selama pengobatan, perdarahan rektum, toksisitas ringan dari saluran pencernaan dan saluran
urogenital, toksisitas pada rektum, dan sigmoid.34 Pada jaringan normal efek samping yang
dapat timbul dibagi menjadi dua kategori tergantung dari waktu onset gejala klinis. Efek dini
terlihat pada jaringan dengan proliferasi sel cepat, seperti epitel intestinal, sumsum tulang,
dan kulit.Efek dini diobservasi sewaktu rangkaian pengobatan atau dalam beberapa minggu
setelah penanganan, dan efek tersebut lebih sering terjadi secara transien.Efek lanjut (≥ 90
hari) dari kerusakan radiasi tampak pada jaringan dengan pergantian sel yang lebih lambat,
seperti jaringan subkutan, otak, ginjal, hepar, dan dinding usus.Efek lanjut biasanya bersifat
ireversibel dan seringkali progresif. Selain itu, sensitivitas fraksinasi tinggi, seperti
peningkatan dosis per fraksi diberikan sebagai total dosis, akan secara signifikan
meningkatkan berat dan frekuensi dari efek samping. Secara umum tidak terdapat korelasi
36
antara komplikasi dini dan lanjut pada individu.Akan tetapi, pada beberapa jaringan dan
organ efek lanjut dapat terjadi sebagai konsekuensi dari reaksi dini yang berat. Tipe-tipe
komplikasi ini mengacu pada konsekuensi efek lanjut.32Brachytherapy memainkan peran
penting dalam pengobatan semua kanker invasif serviks. Dalam pengobatan kanker serviks,
brachytherapy biasanya dikombinasikan dengan pengobatan radiasi eksterna, tetapi juga
dapat dikombinasikan dengan operasi baik sebelum dan/atau pasca operasi. Baru-baru ini,
radioterapi telah digabungkan dengan kemoterapi berbasis platinum simultan pada kanker
serviks stadium IB2 hingga IVA. Brachytherapy terutama diterapkan sebagai prosedur
intrakaviter, pada kasus tertentu dilengkapi dengan implan interstitial.33
Komplikasi brachytherapy antara lain peningkatan frekuensi berkemih atau
perubahan dalam kualitas bowel habit yang tidak memerlukan obat yang bersifat akut
maupun obstruksi subakut, fistula bahkan perforasi. Efek samping pada kandung kemih yang
dapat terjadi berupa atrofi epitel atau teleangiektasia minor (hematuria mikroskopik) dan
nekrosis kandung kemih atau sistitis hemoragik.33,34
3.8
Prinsip Perawatan Pasien dengan Brachytherapy
3.8.1 Prinsip Dasar
Sumber radiasi berada dalam tubuh pasien, sehingga untuk periode tertentu pasien
akan memancarkan radiasi dan memiliki bahaya radiasi kepada orang lain. Berdasarkan
sumber radiasi, brachytherapy dapat dibedakan menjadi unsealedradiation source dan sealed
radiation source. Pada pasien dengan unsealed brachytherapy, sumber radiasi diberikan
secara oral atau intravena, sehingga akan didistribusikan keseluruh tubuh pasien. Pasien akan
memancarkan radiasi dan menimbulkan bahaya radiasi kepada orang lain. Zat radioaktif akan
diekskresi ke ekskreta pasien (urin,tinja dan keringat) dalam 48 jam pertama, sehingga
ekskreta pasien juga harus diperlakukan sebagai limbah radioaktif. Perawat yang menangani
pasien dengan implan unsealed brachytherapy harus mengantisipasi kebutuhan pasien dan
prinsip penggunaan waktu, jarak dan perlindungan untuk menghindari paparan radiasi.41
Pada pasien dengan sealed brachytherapy, sumber radiasi ditempatkan dalam suatu
wadah yang diimplantasikan ke dalam tubuh pasien, baik permanen atau temporer. Pasien
37
akan memancarkan radiasi selama implan masih berada dalam tubuh pasien. Ekskreta pasien
tidak bersifat radioaktif.
Setelah implan dikeluarkan dari tubuh pasien, maka : 40,41
1. Jelaskan kepada pasien bahwa dia tidak lagi memancarkan radiasi radioaktif.
2. Pada pasien dengan implan intravaginal atau servikal, jelaskan pada pasien bahwa dia
baru boleh melakukan hubungan seksual setelah 7-10 hari setelah implan diangkat.
3. Pada penggunaan implan, bersihkan area serviks dengan swab povidone-iodine.
4. Kolaborasi dengan dokter bila perlu diberikan klisma.
5. Jelaskan kepada pasien agar memberitahukan dokter bila mengalami tanda-tanda efek
samping seperti mual, muntah, diare, sering berkemih, perdarahan vagina atau rektal,
hamaturia, cairan vagina yang berbau busuk, nyeri perut dan distensi perut atau demam.
3.8.2 Prioritas Hal-hal yang Perlu Diajarkan
Hal-hal yang perlu diajarkan kepada pasien dan keluarga setelah mendapatkan terapi, yaitu :
1. Pembatasan kunjungan, pengunjung harus ≥ 18 tahun, tidak sedang mengandung.
2. Perawatan isolasi, bersifat sementara, pasien tetap didalam kamar, perawatan kesehatan
hanya untuk aktivitas penting saja, pembatasan pelayanan jarak dekat. Jika pasien
dengan brachytherapy unsealed diperbolehkan ke kamar mandi, instruksikan pasien
untuk membilas toilet 2-3 kali setiap selesai digunakan.
3. Aktivitas pasien dapat dibatasi bergantung kepada prosedur.
4. Pemulangan pasien, memantau efek samping seperti kelelahan, diare, gejala gangguan
saluran kemih,dll. Anjurkan pasien untuk berhubungan seksual setelah 7-10 hari. Pada
pasien yang aktif secara seksual, anjurkan untuk melakukan dilatasi vagina 3 kali
seminggu sampai setahun.
3.8.3 Pertimbangan Geriatri
Berdasarkan prevalensinya, pasien dengan kanker ginekologis umumnya merupakan
golongan usia geriatrik, sehingga dalam penatalaksanaan keperawatan diperlukan
pertimbangan khusus mengingat adanya perubahan fisiologik dan psikososial yang
membedakan pasien geriatrik dan usia muda. Perubahan keadaan sistem tubuh yang terjadi
pada usia lanjut membuat mereka memiliki risiko mengalami efek samping lebih cepat dan
lebih berat dibandingkan dengan pasien lain. Pada kulit, awasi kekeringan berlebih dan reaksi
kulit dini. Persediaan energi dapat terpakai dan menimbulkan kelelahan. Obat-obatan yang
38
diberikan mungkin memerlukan penyesuaian untuk mengurangi efek samping. Indra
pengecapan dapat mengalami gangguan sebelum radiasi dimulai, sehingga dapat mengurangi
nafsu makan pasien.
Terapi radiasi umumnya diberikan setiap hari senin sampai jumat selama 7 minggu.
Pasien geriatrik mungkin memerlukan sarana transportasi, pada banyak keadaan pasien
dirawat oleh pasangan atau anak-anaknya dan berada jauh dari rumah sakit dengan fasilitas
radioterapi. Oleh karena itu perlu diperkirakan kemungkinan penurunan kepatuhan
(compliance) pasien karena faktor akomodasi dan beban biaya tambahan untuk transportasi.
Membahas segala perubahan yang terjadi, menyediakan edukasi mengenai efek
radioterapi pada fungsi seksual. Radiasi dapat menyebabkan penurunan lubrikasi vagina
sehingga dapat menimbulkan ketidaknyamanan saat berhubungan seksual. Agar pasien
mencapai lubrikasi, mungkin diperlukan stimulasi pra koitus yang lebih lama untuk
mengatasi respon fisik yang lambat. Pasien dapat dianjurkan untuk menggunakan watersolublegel saat berhubungan seksual. Tidak semua pasangan lansia tertarik untuk
berhubungan seksual, untuk itu berbagai metode hubungan seksual selain koitus harus
didiskusikan. Mandi air hangat, pijatan lembut, membelai dan menyentuh, masturbasi dan
fantasi dapat memberikan rasa puas dan ketenangan.
3.9
Respon Radiasi Histopatologis
Respon radiasi histopatologis (RRH) merupakan tolok ukur untuk menilai hasil terapi
sementara. Kegunaan penilaian respon radiasi ini adalah agar dapat menilai ramalan hasil
pengobatan radiasi dan sekaligus dapat menentukan terapi tambahan yang diperlukan,
misalnya dengan kemoterapi dan operasi. Penilaian respon radiasi histopatologis ini
berdasarkan rusaknya sel kanker dan ada tidaknya sel tumor viabel. Termasuk dalam
kelompok sel tumor yang viabel adalah semua sel tumor baik yang dengan vakuolisasi atau
sel dengan inti banyak, serta belum diketahui apakah perubahan tersebut ireversibel bagi sel
kanker. Secara histopatologis, National Cancer Hospital di Jepang membuat derajat respon
terapi radiasi sebagai berikut :22,27
1. Grade I
: struktur kelompok sel kanker masih baik, perubahan terbatas pada
beberapa sel kanker. Sarang-sarang tumor tersusun baik tanpa kerusakan karena
lisisnya sel tumor.
2. Grade II
: karena menghilangnya sel kanker, maka struktur sarang sel kanker
mengalami kerusakan. Pada tingkat ini sel yang viabel masih ditemukan.
39
-
IIA
: kerusakan struktur sarang tumor masih ringan dan sel viabel masih
banyak ditemukan.
-
IIB
: kerusakan struktur sarang tumor lebih berat dan sedikit ditemukan sel
viabel.
3. Grade III
: perubahan lebih banyak ditemukan dan sangat sulit ditemukan sel
tumor yang viabel.
4. Grade IV
: tidak ditemukan sama sekali adanya sel kanker.
-
IVA
: sebagian besar sediaan terdiri dari jaringan nekrotik
-
IVB
: terdapat jaringan granulasi dengan aatu tanpa bagian-bagian kecil
jaringan nekrotik.
-
IVC
: hanya ditemukan jaringan nekrotik.
Dilaboratorium Patologi Anatomi RSUD dr. Kariadi membagi kriteria respon radiasi
histopatologis dengan memodifikasi kriteria tersebut diatas menjadi 3, yaitu respon radiasi
histopatologis baik yang sesuai dengan grade IV, respon radiasi jelek yang sesuai dengan
grade I dan IIA, dan respon radiasi sedang/moderate sesuai dengan grade IIB dan III.
Penilaian respon radiasi histopatologis tersebut dilakukan 3 bulan setelah penderita
mendapatkan radiasi lengkap ( radiasi ekternal dan ICBT), oleh karena dalam waktu 3 bulan
konsolidasi jaringan diharapkan sudah tercapai. Penilaian respon radiasi hisopatologis
dilakukan dengan cara biopsi serviks dilanjutkan dengan pemeriksaan Patologi Anatomi.
3.10
Faktor Prognostik
Prognosis dari kanker serviks yang telah mendapatkan brachyhterapy sangat
dipengaruhi oleh respon masing-masing penderita. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah
usia, stadium klinik, radiosensitivitas jaringan kanker (oksigenasi dan derajat diferensiasi sel)
serta kualitas dosis dan teknik brachyhterapy.40
3.11
Efektivitas Brachyhterapy pada Kanker Serviks
Hasil pengobatan untuk kanker serviks seringkali sulit untuk membandingkan dari
setiap metode brachyhterapy. Faktor teknik, dosis, laju dosis,keadaan fisik pasien dan
pengobatan terkait lainnya, volume tumordan waktu mendapatkan pengobatanjuga sangat
40
penting. Tingkat kelangsungan hidup 5-tahun pada pasien yang mendapatkan radioterapi
pasca pembedahan sangat bervariasi, untuk stadium I yaitu 79-84% , stadium II 54-77%.
Pada sebuah penelitian retrospektif dimana brachytherapy (LDR) diikuti dengan operasi dan
diakhiri dengan ekternal radioterapiketahanan hidup 5-tahun untuk stadium IB berkisar 81-92
%, untuk stadiumII adalah 78-85 % . Pada kanker serviks dengan metastase dimana
dilakukan radioterapi definitif, menggabungkan radiasi sinar eksternal dan brachytherapy
dilanjutkan kemoterapi secara bersamaan,angka ketahanan hidup 5-tahun untuk stadium IIB
bervariasi 65-70%, stadium IIIB 34-52%dan stadium IVA 0-20%.
41
BAB IV
RINGKASAN
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis
servikalis.Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada
organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, letaknya antara uterus
dan vagina.
Pengobatan kanker serviks antara lain melalui pembedahan, radioterapi, dan
kemoterapi. Pada tumor stadium lanjut, pembedahan tidak bisa secara rutin memberikan
kesempatan terbaik untuk penyembuhan dan sering tidak dapat dilakukan secara teknis.Maka
dalam hal ini, radioterapimenawarkan satu-satunya kesempatan kesembuhan.Radioterapi
efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada
radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan
pertumbuhannya. Terdapat 2 macam radioterapi, yaitu radiasi eksterna dan radiasi interna.
Radiasi eksterna dimana sinar berasal dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu dirawat
di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6
minggu.Radiasi internal, dimana zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan
langsung ke dalam serviks.Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita
dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Salah
satu contoh radiasi internal ialah brachytherapy.
Dalam stadium penyakit lebih lanjut, brachytherapy dapat digunakan sebagai
pengobatan paliatif untuk menghilangkan gejala dari rasa sakit dan pendarahan. Berdasarkan
besaran dosisnya, brachytherapy terbagi menjadi LDR, MDR, PDR, dan HDR. Rencana
pengobatan radioterapi melalui brachytherapykeseluruhan dapat diselesaikan dalam waktu
lebih sedikit. Kebanyakan prosedur brachytherapy dilakukan secara rawat jalan. Kenyamanan
ini mungkin sangat relevan bagi pasien yang harus bekerja, pasien yang lebih tua, atau pasien
yang tinggal jauh dari pusat pengobatan, untuk memastikan bahwa mereka memiliki akses ke
pengobatan radioterapi dan mematuhi rencana pengobatan. Waktu pengobatan yang lebih
pendek dan prosedur rawat jalan juga dapat membantu meningkatkan efisiensi klinik
radioterapi.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Tewari KS., Monk BJ. Tumors of the Cervix. In Raghavan Derek et al. Textbook of
Uncommon Cancer. 4th Ed. McGrawHill. USA. 2008 pg. 501-505.
2. Rosevear SK. Cervical Screening and Premalignant Disesase of the Cervix. In Handbook
of Gynaecology Management pg. 80-84. Blackwell Science Ltd. USA.
3. Rabbon JT., Loffe OB. Diagnostic Immunohistochemistry in Gynaecologic Pathology : A
Brief Review of Common Clinical Applications. In : Ayhan Ali, Reed Nicholas, Gultekin
Murat, Dursui Polat, editors. Textbook of Gynaecological Oncology. 5th Ed.
McGrawHill.2009 pg. 5-7.
4. Chan PD., Johnson SM. Management of the Abnormal Papanicolau Smear. In Current
Clinical Strategies Gynecology and Obstetrics. Taran Paulsen Hellebust. Oslo. 2009 pg.
6-8.
5. Han K., et al. 2013.Trends in the Utilization of Brachytherapy in cervical Cancer in the
United States. International Journal of Radiation Oncology. Volume 87, Number 1; 111119.
6. Watkins JM., et al. 2011. Ultrasound-guided tandem placement for low-dose rate
brachytherapy in advanced cervical cancer miniizes risk of intraoperative uterine
perforation. Ultrasound Obstetric Gynecology Journal, 37: 241-244.
7. Petra T., et al. 2009. New inverse planning technology for image-guided cervical cancer
brachytherapy: Description and evaluation within a clinical frame. Radiotherapy and
Oncology Journal, 93 (2009); 331-340.
8. Christine HM., Alain G., Potter G. 2011. Interstitial Brachytherapy in Gynaecological
Cancer. Obstetric Gynecology Oncology Journal 20; 417-432.
9. RSUD
Dr.Soetomo.
2014.
Surabaya.
Diakses
dari
http://[email protected] , pada tanggal 5 Maret 2014.
10. Brenner DJ., 2009. Radiotherapy Biology in Brachytherapy. Journal of Surgical
Oncology. 2009;65:66-70.
11. Meregalli et al., 2013. Intracavity Brachytherapy in Cervical Carcinoma : The role of
F18-FDGPET in Treatment Planning. Journal of Nucleid Radiation Therapy. 2013;36:3440.
12. Egger. 2013. Image-Guided Therapy System for Insterstitial Gynecologic Brachytherapy
in
a
Modality
Operating
Suite.
SpingerPlus
2013;
2:395
Diakses
darihttp://www.springerplus.com/content/2/1/395.
43
13. Zulianil AC, et al. 2010. Brachytherapy for Stage IIIB Squamous Cell Carcinoma of the
Uterine Cervix: Survival and Toxicity. Rev Assoc Med Bras. 2010; 56(1);37-40.
14. Viani GA, et al. 2009. Brachytherapy for Cervix Cancer : Low-Dose Rate or High-Dose
Rate Brachytherapy- a Meta-Analysis of Clinical Trials. Journal of Experimental &
Clinical Cancer Research.2009; 28:47.
15. Wander AD, et al. 2012. Adaptive Brachytherapy of Cervical Cancer, Comparison of
Conventional Point A and CT Based Individual Treatment Planning, Acta Oncologica,
2012; 51: 345–354.
16. Bucci MK, et al. 2005. Advances n Radiation Therapy: Conventional to 3D, to IMRT, to
4D, and Beyond. CA Cancer Journal Clinical 2005;55:117–134.
17. Yang et al. 2012. Dosimetric Comparison of Intensity Modulated Radiotherapy and
Three-Dimensional Conformal Radiotherapy in Patients with Gynecologic Malignancies:
a Systematic Review and Meta-Analysis. Radiation Oncology 2012, 7:197.
18. Andrijono. 2012. Kanker Serviks. Edisi ke-4. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen
Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 1-139.
19. Eifel PJ. Radiation Therapy. In: Berek JS, Hacker NF, editors. Practical Gynecologic
Oncology. 4th ed.. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2005. pg.119-55.
20. Radiation
Oncology
throug
a
basic
perspective,
Diakses
dari
http://historidelaradioterapia.seroncolog.com pada tanggal 31 Desember 2013.
21. Sukardja IDG. Onkologi klinik. Edisi Kedua. Surabaya. Airlangga University Press.2000
22. Susworo R. Radioterapi. Jakarta UI Press. 2006.
23. Byfield JE, CG Lacey. Principles of Radiation Therapy dalam: Morrow CP,JP Curtin,DE
Townsend (eds). Synopsis of Gynecologic Oncology 4th Edition. New York, Churchill
Livingstone, 1993:437-95.
24. Gerhenson DM et al. Gynecologic Cancer. Controversies in Management. Churchill
Livingstone.USA. 2004.
25. Gondhowiharjo S,Djakaria M. Peran Onkologi Radiasi dalam Penanganan Penyakit
Keganasan, dalam: Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker di Indonesia. Jakarta.
UI press 1998. Hal 17-26.
26. Sjamsuddin S. Manual Prekanker dan Kanker Serviks Uterus. Jakarta. Bagian Obstetri
dan Ginekologi FKUI.1985.
27. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi Kanker Leher Uterus. Perhimpunan Onkologi
Radiasi Indonesia.
44
28. Mundt AJ, Roeske JC, Weichselbaum RR. Biologic Basic of Radiation Therapy. Diakses
dari http://www.bcdecker.com pada tanggal 24 Januari 2014.
29. American
College
Radiology
(ACR).
2013
Brachytheraphy.
Diakses
darihttp://www.radiologyinfo.org.pada tanggal 18 Februari 2014.
30. Barret, J. 2009. Implementing Image-Guided Brachytherapyfor Cervix Cancer in the UK.
London: The Royal College of Radiologists. pg. 1-19.
31. Erickson-Wittmann, B.A., Hsu, I-C. J., Ibbott, G.S., Rabinovicth, R.A., Rosenthal, S.A.,
Hayes, J.K. 2010. ACR-ASTRO Practice Guideline For The Performance of High DoseRate Brachytherapy. Practice Guideline (3); 1-14.
32. Han, K.. Milosevic, M., Fyles, A., Pintitlie, M., Viswanathan, A.K. 2013. Trends in the
utilization of brachytheraphy in cervical cancer in the United States. Int J Radiation
Oncol Bio Phys, Vol.87; 111-119.
33. Hellebust, T.P. Severe Late Complication After Radiotherapy for Advanced Cervical
Cancer With Special Emphasis on Brachytherapy. Unipub US.Oslo. 2009. pg. 5-44.
34. Koh, W-J., Greer, B.E., Abu-Rustum, N.R., Apte, S.M., Campos, S.M., Chan, J., et al.
2013. Cervical Cancer. NCCN Clinical Practive Guidelines in Oncology. pg. 1-57.
35. Marnitz, S., Kohler, C., Budah, V., Neumann, O., Kluge, A., Wlodarczyk W., et al. 2013.
Brachytherapy-emulating Robotic Radiosurgery in Patients with Cervical Carcinoma.
Radiation Oncology (8):109.
36. Onal C., Oymak, E. 2011. CT-Guided Brachytherapy Planning. In: Saba, L. Computed
Tomography – Special Application. Rijeka: In Tech.2011.pg.105-117.
37. Tharavichitkul, E., Chakrabandhu, S., Wanwilairat, S., Tippanya, D., Nobnop, W.,
Pukanhaphan, N., et al. 2013. Intermediate-term results of image-guided brachytherapy
and high-technology external beam radiotherapy in cervical cancer: Chiang Mai
University experience. Gynecology Oncology 130: 81-85.
38. Zuliani, A.C., De Oliveira Cunha, M., Esteves, S.C.B., Texeira, J.C. 2010. Brachytherapy
for Stage III B Squamous Cell Carcinoma of The Uterine Cervix: Survival and Toxicity.
Rev Assoc Med Bras 56(1):37-40.
39. Chakraborty S. The Manchester system of cervical brachytherapy. Diakses dari http://
radiation –oncologist.blogsppot.com pada tanggal 18 Januari 2014.
40. Chakraborty S. The Manchester system of intracavitary brachytherapy. Diakses dari
http://healthmad.com pada tanggal 22 Januari 2014.
41. Jhingran A, PJ Eifel. Radiation Therapy for Cervical Carcinoma. Diakses dari
http://www.glowm.com pada tanggal 20 Januari 2014.
45
42. Otto SE. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta. EGC, 2003.
43. Brunner DW, Iwamoto R, Keane K, Strohl R. Manual For Radiation Oncology Nursing
Practice And Education. Oncology Nursing Society. Pittsburgh. 2002.
46
Download