PERANAN BRACHYTHERAPY SEBAGAI TERAPI PADA KANKER SERVIKS dr. I Nyoman Gede Budiana, SpOG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2014 BAB I PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, letaknya antara uterus dan vagina.1 Kanker serviks merupakan suatu keganasan memiliki insiden rendah di Eropa Barat dan Amerika Utara tetapi masih tinggi insidennya di negara berkembang.Human Papilloma Virus (HPV)tipe 16,18,31,33 memainkan peran penting dalam terjadinyakanker serviks dan ditemukan pada 90 % dari semua wanita dengan kanker serviks.Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan insiden kanker serviks terutama terjadi pada wanita muda berusia 35-55 tahun.Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke uterus.Gejala tergantung pada tahap penyakit yaitu penyakit tanpa gejala pada awal penyakit dan berbagai gejala seperti keputihan dan perdarahan pada penyakit lanjut sesuai dengan ekstensi tumor pada individu. Faktor prognosis yang paling penting adalah ukuran tumor, ekstensi tumor, dan keterlibatan kelenjar getah bening.2,3 Terapi kanker serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker/tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker serviks tergantung pada ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum, dan rencana penderita untuk hamil lagi.Standar pengobatan kanker serviks meliputi pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Pengobatan kanker serviks stadium IB dan IIA tergantung ukuran tumornya. Bila ukuran tumor tidak melebih 4cm, disarankan radikal histerektomi ataupun radioterapi dengan/tanpa kemo. Bila ukuran tumor lebih dari 4cm, pasien disarankan menjalani radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin, histerektomi, ataupun kemo berbasis cisplatin dilanjutkan dengan histerektomi.2,5 Salah satu dari terapi radiasi yang sedang dikembangkan saat ini yaitu brachytherapy.Brachytherapy memainkan peran penting dalam pengobatan semua kanker serviks invasif. Dalam pengobatan radikal, brachytherapy biasanya dikombinasikan dengan radioterapi eksternal, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan aplikasi/ penanaman sebelum dan/atau pasca operasi.Baru-baru ini, radioterapi telah digabungkan dengan kemoterapi berbasis platinum simultan pada kanker serviks stadium IB hingga IVA.Brachytherapy terutama diterapkan sebagai prosedur intrakavitari, pada kasus tertentu dilengkapi dengan 1 implan interstitial. Brachytherapy radikal untuk kanker serviks selalu didasarkan pada penggunaan sumber intrauterin dan intravaginal.6-8 Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan rumah sakit pertama di Indonesia mengimplementasikan/mengujicobakan hasil penelitian dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)berupa brachytherapykepada pasien untuk pengobatan kanker. Sejauh ini, penggunaanbrachytherapy sangat terbatas, karena targetnya harus kecil. Biasanya digunakan sebagai booster setelah pasien mendapat terapi radiasi eksterna.Salah satu contohnya untuk kanker serviks.Dengan dosis radiasibrachytherapy yang lebih tinggi ini, maka masa perawatan tumor dapat dipercepat. Terapi konvensional dengan dosis radiasi yang lebih rendah biasanya memakan waktu sekitar 7 minggu. Dengan teknik brachytherapy ini, perawatan dapat dilakukan kurang dari 2 minggu.9 Fasilitas brachytherapy di wilayah Indonesia timur terdapat di RSUD Dr.Soetomo Surabaya dan RSUD Saiful Anwar Malang. Fasilitas ini belum ada diluar Pulau Jawa.Seperti halnya di RSUP Sanglah Denpasar yang merupakan rumah sakit rujukan Indonesia Timur belum mempunyai fasilitas brachytherapy. Oleh karenanya fasilitas ini sangat penting pengembangannya di RSUP Sanglah Denpasar. 2 BAB II KANKER SERVIKS 2.1 Definisi Kanker Serviks Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, yang terletak di antara uterus dan vagina.Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel glandular pada kanalis servikalis.1,3 Gambar 2.1 Squamous Columnar Junction,Lokasi Metaplasia Epitel pada Kanker Serviks1 2.2 Etiologi Kanker Serviks Kanker serviks uteri merupakan tumor ganas primer yang berasal dari epitel sel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitelial serviks (NIS). Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi, yang 40 di antaranya dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel, tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain.1,2,3Berdasarkan hasil temuan pada penelitian epidemiologi, 3 tipe HPV diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi dan risiko rendah. 1,7 Tabel 2.1Klasifikasi HPV Berdasarkan Epidemiologi1,7 Golongan Tipe HPV Risiko tinggi 16, 18, 31, 33, 35, 39,45, 51, 52, 56, 58, 59 Kemungkinan risiko tinggi 26, 53, 66, 68, 73, 82 Risiko rendah 6, 11, 40, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, 81 Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker serviks. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki risiko kemungkinan terkena kanker serviks sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV- 18 baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan. Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada kultur sel dimana didapatkan transformasi HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16.1,2,3 Didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan karsinoma sel skuamosa serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenokarsinoma serviks. Prognosis dari kanker adenokarsinoma serviks lebih buruk dibandingkan karsinoma sel skuamosa serviks. Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual dini/prilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis dan HSV-2.1,2,5 2.3 Faktor Risiko Kanker Serviks Faktor-faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu:1,6 1. Usia Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks. 2. Usia pertama kali menikah. 4 Menikah pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun dianggap terlalumuda untukmelakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker serviks 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Akibatnya, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. 3. Wanita yang sering berganti-ganti pasanganseksual. Berganti-ganti pasangan seksualakan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). 4. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker. 5. Wanita perokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Secara in vivo efek paparan nikotin jangka panjang dapat mempengaruhi proliferasi seluler, menghambat apoptosis dan stimulasi faktor pertumbuhan endotel vaskuler. Mekanisme lain yaitu berhubungan dengan sistem kekebalan sistemik dan perifer, mencakup produksi tidak seimbang sitokin pro- dan anti-inflamasi, peningkatan sitotoksik / supresor limfosit T, penekanan aktivitas limfosit T, jumlah T Helper limfosit, rendahnya tingkat imunoglobulin selain imunoglobulin E (Ig E). Sehingga dapat disimpulkan bahwa merokok dapat menyebabkan penurunan respon imun tubuh terhadap infeksi HPV, dan/atau menyebabkan kerusakan DNA sel mukosa cervik yang terinfeksi HPV. 6. Riwayat penyakit menular seksual. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker serviks sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit menular seksual berisiko terkena kanker serviks. 7. Paritas. Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek.Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker serviks. 8. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. 5 Dalam laporan tahun 2002 oleh badan internasional untuk penelitian kanker, yang merupakan bagian dari WHO, data dari delapan studi yang dikombinasi untuk menilai hubungan antara pengguna kontrasepsi oral dan risiko kanker serviks pada wanita yang terinfeksi dengan HPV. Ditemukan peningkatan hapir tiga kali lipat dalam risiko antara wanita yang telah menggunakan keontrasepsi oral selama 5-9 tahun dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi oral. Diantara wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selam 10 tahun atau lebih, risiko kanker serviks adalah 4 kali lebih tinggi. Hampir semua kanker serviks disebabkan oleh infeksi persisten dengan risiko tinggi atau onkogenik, jenis HPV, dan hubungan kanker serviks dengan penggunaan kontrasepsi oral mungkin suatu hubungan tidak langsung. Hormon-hormon dalam kontrasepsi oral dapat mempengaruhi kerentaan sel serviks terhadap infeksi HPV, mempengaruhi kemampuan mereka untuk mebersihkan infeksi atau mempermudah infeksi HPV berkembang menjadi kanker serviks. 2.4 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Penentuan stadium klinis penting dalam memperkirakan penyebaran penyakit, membantu prognosis, rencana tindakan, dan pertimbangan metode terapi. Tahapan stadium klinis yang dipakai sekarang ialah pembagian yang ditentukan oleh The International Federation Of Gynecology And Obstetric (FIGO) tahun 2008. 1,2,7 Gambar 2.2 Gambaran Stadium Kanker Serviks1 6 Tabel 2.2 Stadium Kanker Serviks menurut FIGO1 FIGO I IA IA1 IA2 IB IB1 IB2 II IIA IIA1 IIA2 IIB III IIIA IIIB IVA IVB 2.5 Deskripsi Karsinoma terbatas pada serviks Karsinoma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopik Invasi stroma dalamnya < 3 mm dan lebarnya < 7 mm Invasi stroma dalamnya 3-5 mm dan lebarnya < 7 mm Secara klinis tumor dapat diidentifikasi pada serviks atau massa tumor lebih besar dari 1A2 Secara klinis lesi ukuran <4 cm Secara klinis lesi ukuran >4 cm Tumor telah menginvasi vagina tapi tidak mencapai 1/3 distal vagina atau dinding panggul Tanpa invasi parametrium Lesi yang tampak < 4 cm Lesi yang tampak > 4 cm Dengan invasi parametrium Tumor menginvasi sampai dinding pelvis dan atau menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina Tumor sudah menginvasi dinding panggul Tumor menginvasi mukosa kandung kencing atau rektum Metastasis jauh Kategori TNM T1 T1a T1a1 T1a2 T1b T1b1 T1b2 T2 T2a T2a1 T2a2 T2b T3 T3a T3b T4a T4b Jenis Histopatologis pada Kanker Serviks Jenis histopatologis kanker serviks bervariasi, dimana ± 90% merupakan karsinoma sel skuamosa (KSS), adenokarsinoma 5% dan jenis lain sebanyak 5%. Karsinoma sel skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor itu sendiri berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat seta mempunyai batas stroma tumor yang tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedangkan adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus.2,3,7 Klasifikasi histopalogis kanker serviks di antaranya:2 a. Squamous cell carcinoma 7 Keratinizing Large cell non keratinizing Small cell non keratinizing Verucous b. Adeno carcinoma Endocervical Endometroid Clear cell paramesonephric Clear cell mesopephric Serous Intestinal c. Mixed carcinoma Adenosquamous Mucoepidermoid Glossy cell Adenoid cystic d. Undifferentiated carcinoma e. Carcinoma tumor f. Malignant melanoma g. Malignant non-epithelial tumors 2.6 Sarcoma: mixed mullerian, leiomysarcoma, rhabdomyosarcoma Lymphoma Patofisiologi Kanker Serviks Kanker serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan lesi intraepitelial, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi, lesi pre-invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, gensupresor tumor, dan repair genes. Onkogen dan gen supresor tumormempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan gen supresor tumor akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif berkembang melalui 8 perkembanganlesi intraepitelial, tidak semua perubahan ini berkembang menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 -35%.1-4 Bentuk displasia ringan dan sedang mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 – 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 – 20 tahun. Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri, dan gangguan keseimbangan hormon. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis servikalis. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus HPV ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul virus yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetik. Pada infeksi fase laten, terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut kemudian menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif.1,2,3,8 Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai kontrol negatif siklus sel dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan mutan p53 adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai perkembangan lesi 9 pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Onkoprotein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1, pRb berikatan dengan E2F, ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif (E2F merupakan protein yang akan merangsang siklus sel ). Masuknya onkoprotein E7 ke dalam sel, menyebabkan terjadinya ikatan E7 dengan pRb, ikatan ini menyebabkan E2F bebas terlepas dan merangsang proto-onkogen c-myc dan M-myc yang selanjutnya akan terjadi proses transkripsi sehingga siklus sel berjalan. Kekuatan ikatan protein E7 dengan pRb berbeda-beda diantara beberapa jenis virus HPV. Ikatan E7 HPV tipe 6 dan 11 kurang kuat dibandingkan dengan E7 HPV tipe 16 dan 18.2,3 Integtrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah ke transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2.Integrasi tersebut menyebabkan E2 tidak berfungsi sehingga menyebabkan overekspresi E6 dan E7.Hal tersebut menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA dan apoptosis tidak terjadi.Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV,dan seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks.1-4 2.7 Gejala Klinis Kanker Serviks Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.Biasanya timbul gejala berupa ketidakteraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan pengeluaran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, perdarahan post koitus.Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam (vaginal toucher) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal.2,3,5,8 Gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan fluor albus (keputihan), fluor albus merupakan gejala yang sering ditemukan berupa getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.Perdarahan yang dialami segera setelah 10 bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 80%).Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal, hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter.Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit lanjut.1,4,5 2.8 Diagnosis Kanker Serviks Pemeriksaan yang dianjurkan untuk membantu menegakkan diagnosis dan mengetahui penyebaran kanker serviks seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang.Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi.Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangiografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan, dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging atau deteksi penyebaran kanker serviks karena hasilnya yang sangat subyektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut:4,5,8,9 1. Pemeriksaan pap smear Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsio serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau kurang apabila telah melakukan aktivitas seksual sebelumnya. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. 2. Kolposkopi Kolposkopi(pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar) dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia. Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap 11 smear, karena kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes daerah yang abnormal. 3. Biopsi Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja. 2.9 Pengobatan Kanker Serviks Terapi kanker serviks dilakukan bila diagnosis telah dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker serviks tergantung pada ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi.2,5 1. Pembedahan Pada kanker serviks in situ, seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus. Histerektomi total, yaitu dengan mengangkat uterus termasuk mulut uterus. Sedangkan histerektomi radikal, dimana histerektomi diikuti dengan pengangkatan bagian atas vagina serta jaringan dan kelenjar limfe di sekitar pelvis. Histerektomi radikaldilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (risiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.2,4,5 2. Terapi radiasi (radioterapi) 12 Terapi radiasi bertujuan untuk merusak serta membunuh sel kanker pada serviks, parametrial, dan kelenjar limfe di pelvis. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metode radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Terdapat dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal dan radiasi internal. Pada radiasi eksternal sinar berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Kedua adalah radiasi internal, radiasi internal merupakan zat radioaktif yang ditempatkan dalam sebuah kapsul dan dimasukkan langsung kedalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih, rektum dan ovarium berhenti berfungsi.5,10,11,12 3. Kemoterapi Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan terutama untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tergantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan adjuvan. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan obat dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks 13 antara lain CAP (Cyclophopamide Adriamycin Platamin), PVB (Platamin Vinblasting Bleomycin) dan lain –lain.3,5 2.10 Prognosis Kanker Serviks Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal. Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.1,3,4 14 BAB III BRACHYTHERAPY 3.1 Sejarah Brachytherapy Radioterapi efektif untuk mengobati kanker serviks invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Terdapat 2 macam radioterapi, yaitu radiasi eksterna, dimana sinar berasal dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Radiasi internal, dimana zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Salah satu contoh radiasi internal ialah brachytherapy. 11,13,15 Kata brachytherapy berasal dari bahasa latin, yang berarti “ terapi jarak pendek”, hal inilah sesungguhnya apa yang dimaksud dengan brachytherapy. Penelitian terhadap radioaktif yang dilakukan oleh Becquerel and Curies, menghasilkan biji radioaktif radium yang dapat ditempatkan langsung ke dalam tumor. Memberikan terapi langsung dari dalam tumor jauh melebihi efektivitas pemberian radiasi dengan dosis yang sama dari luar tumor. Lokasi tumor atau aksesibilitas tumor membuat perbedaan tersebut. Percobaan pertama dilakukan pada bidang ginekologi,prostat pada pria, dan tumor mamae. Tidak mengejutkan bila melihat pendekatan brachytherapy masih tetap fokus pada tumor-tumor tersebut, seperti juga tumor pada tempat lain seperti kepala dan leher, esofagus dan dalam kasus terbatas di dalam paru-paru. Dalam keganasan ginekologi, radiasi dalam dosis tertentu yang diberikanmelalui brachytherapy telah digunakan selama lebih dari 100 tahun.Salah satu kasus brachytherapy pertama kali digunakan yakni oleh Margaret Cleaves yang melakukan intracavitary brachytherapy(ICBT) pada kanker serviks di tahun 1903. Sejak itu, ICBT dengan atau tanpa eksternal radioterapi telah memainkan peran utama dalam penatalaksanaan kanker serviks.Selama bertahun-tahun, metode aplikasi serta metode dosis penyampaian telah berubah secara dramatis, mengurangi ketidaknyamanan pasien dan meningkatkan efektivitas pengobatan.Di antara kanker ginekologi, terapi radiasi memainkan sebuah peran pertama dan terutama dalam kanker serviks.Kanker endometrium dan vulvovaginal mungkin juga dilakukan pengobatan dengan radioterapi sebagai tambahan untuk terapi pembedahan.Pada kanker ovarium, radioterapi masih terbatas penggunaannya, kecuali untuk pengobatan paliatif. 11,13,15 15 Brachytherapy adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan sumber radiasi ke tumor primer.Dengan teknik ini ditempatkan suatu sumber radiasi ke dalam tumor.Penempatan sumber radiasi ini umumnya tidak bersifat permanen, dimana bila dosis radiasi yang direncanakan telah tercapai maka sumber radiasi ini diangkat kembali.Kelebihan brachytherapy adalah tumor akan mendapat dosis yang besar dengan menjaga jaringan sehat dari dosis yang berlebihan. Selain itu teknik brachytherapy bermanfaat untuk tumor yang bersifat hipoksik atau memiliki daya proliferasi lambat karena secara kontinyu memberikan radiasi.Kekurangannya adalah letak tumor harus dapat dijangkau dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada tumor dengan risiko adanya keterlibatan kelenjar getah bening regional.Disamping itu diperlukan suatu ketrampilan khusus dan perencanaan terapi yang baik. Teknik brakiterapi dapat diberikan sebagai pengobatan primer dengan brachytherapy saja, sebagai booster setelah radiasi ekterna dan intra/perioperatif sebagai radiasi pasca operasi. Terdapat beragam cara penempatan sumber radiasi dalam brachytherapy,yaitu :18,21 1. Intrakaviter Sumber radiasi dimasukkan kedalam rongga tubuh, misalnya pada kanker serviks dan nasofaring. Pemakaian terapi intrakaviter paling umum digunakan pada keganasan ginekologis melibatkan penempatan aplikator intrauterine atau intravaginal yang secara berkala diisi dengan sumber radioaktif encapsulated (misalnya 137 Cs, 226 Ra, atau 192 Ir). Terdapat beberapa macam sistem aplikator untuk terapi kanker serviks yaitu tabung berongga atau tandem dan beberapa bentuk intravaginal receptacle sebagai tambahan sumber radiasi, yang paling sering diapakai adalah Fletcher-Suit-Delcos system. Gambar 3.1 Penempatan Sumber Radiasi Intrakaviter2 1 16 2. Implan atau interstisial Sumber radiasi ditanam dijaringan kanker, seperti penanaman jarum radium atau iradium pada tumor lidah, kandung kemih, payudara,kulit dan prostat. Sumber radioaktif dapat diletakkan didalam tumor dengan cara Permanent Implant of Seed , radioaktif yang dipakai adalah 125 I atau 198 Au, Temporary Implants of Teflon Catheters, ditempatkan selama pembedahan dan diisi sumber radioaktif 192 Ir, dan Transperineal Needle Implants, dipakai untuk tumor vagina dan kanker serviks, berbentuk jarum-jarum tandem dan radioaktif yang dipakai adalah 192Ir. Gambar 3.2 Penempatan Sumber Radiasi Interstisial18 3. Intraperitonel Sumber radiasi yang dipakai berupa larutan yang mengandung radioisotop misalnya koloid radioaktif emas,198Au atau 32 P, dimasukkan kedalam rongga peritonium untuk mengobati metastase kanker pada dinding rongga peritoneum. Cara ini digunakan ada kanker ovarium epitelial dalam usaha mengatasi pola penyebaran transperitoneal yang menjadi karakteristik penyakit ini. Gambar 3.3 Penempatan Sumber Radiasi Intraperitoneal 18 17 4. Intraluminal Sumber radiasi ditempatkan didalam saluran, misalnya pada kanker esofagus dan bronkus. Gambar 3.4 Penempatan Sumber Radiasi Intraluminal18 5. Intravaskuler Sumber radiasi ditempatkan didalam pembuluh koroner jantung untuk mengatasi restenosis koroner yang pernah dilakukan angioplasti. Radioaktif yang dipakai adalah 192 Ir. Gambar 3.5 Penempatan Sumber Radiasi Intravaskuler18 Diwaktu lampau pemasangan sumber radioaktif dilaksanakan secara manual, sehingga opaerator akan terpapar radiasi. Kini telah dikembangkan sistem afterloading (pasca muat), dimana sumber radiasi tidak ditempatkan secara langsung pada pasien tetapi ditempatkan dalam sebuah aplikator yang terbuat dari bahan khusus yang tidak akan 18 mempengaruhi laju dosis radiasi. Zat radioaktif tersebut baru akan ditempatkan kedalam aplikator setelah aplikator diletakkan tepat dilokasi tumor. Sehingga bahaya radiasi bagi operator minimal. Tabel 3.1 Karakteristik Radioisotop yang Biasa Digunakan untuk Brachytherapy11 3.2 Radioisotop Waktu Paruh Cesium 137Cs 30 tahun Energi Radisi (keV) 662 Bentuk Fisik Keuntungan Kekurangan Relatif murah 412 Tabung, jarum Benih 60 hari 27-35 Benih Palladium 103 P 17 hari 20-23 Benih Iridium 192Ir 74 hari 136-1.060 Kawat, benih kateter Ukuran kecil, paparan minimal Ukuran kecil, dosis tinggi, paparan minimal Dosis tinggi, umumnya sistem afterload Sumber yang relatif besar Umumnya tidak bisa secara after loading Dosis rendah Emas 198Au 2,7 tahun Iodium 125I Radium 226R 1.620 tahun 47-2.440 Tabung, jarum Ukuran kecil, dosis tinggi, relatif murah Mahal Risiko untuk bocor dan kontaminasi Dasar-dasar Biologi Terapi Radiasi (Radiobiologi) Jaringan sel kanker bila terkena penyinaran akan menyerap energi radiasi dan akan menimbulkan ionisasi atom-atom. Proses ionisasi dan eksitasi dapat mengenai materi biologik yang dilalui secara random, sehingga perubahan akibat radiasi tersebut dapat terjadi pada setiap molekul di dalam sel. Ionisasi dan eksitasi ini dapat menimbulkan perubahan kimia dan biokimia yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan biologik. Efek biologik radiasi terpenting adalah yang berhubungan dengan integritas reproduksi sel. 17,18 Berbagai proses dapat terjadi dalam sel dengan akibat trauma radiasi pada saat sel memasuki proses pembelahan sel. Proses-proses tersebut antara lain adalah sel dapat mengalami kematian saat mencobauntuk membagi diri, sel dapat melakukan pembelahan akan tetapi membentuk sel anak yang tidak normal, sel tidak mengalami pembelahan akan tetapi masih dapat berfungsi sebagai sel normal yang dikenal sebagai sel steril, sel mengalami beberapa kali pembelahan 19 membentuk sel anak sebelum sel menjadi steril dan yang terakhir adalah sel tersebut hanya mengalami gangguan minimal tanpa gangguan dalam proses pembelahan. Kerusakan sel akibat radiasi ini tergantung dari besarnya dosis radiasi. Pada tingkat seluler, akibat radiasi ini dapat terlihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:19,22 - Induksi terjadinya aberasi kromosom dan mutasi - Hambatan pada proses kemampuan reproduksi - Perlambatan proses mitosis Kerusakan akibat terjadinya ionisasi DNA dikenal sebagai efek langsung, sedangkan efek tidak langsung timbul sebagai akibat terjadinya ionisasi molekul air yang terutama terdapat pada sitoplasma. Proses ionisasi ini menyebabkan terbantuknya radikal bebas, misalnya hidroksil radikal, superoksida, dan hidrogen peroksida yang merupakan agen oksidan yang bersifat sangat destruktif. Proses fisika dan kimia awal ini mengakibatkan porses biokimia dan interaksi biologi berkelanjutan pada intrasel dan ekstrasel dengan akibat terjadinya kerusakan sel dan jaringan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kerusakan sel antara lain: O2, bahan-bahan kimia yang bersifat meningkatkan kepekaan radiasi (radiosensitizer) dan suhu lebih dari 40-41ᵒC, dapat meningkatkan efek radiasi. 3.2.1 Kematian Sel Akibat Radiasi Kematian sel dalam konteks biologi radiasi adalah hilangnya kemampuan sel untuk bereproduksi akibat rusaknya DNA oleh sinar pengion. Berdasarkan efeknya terhadap kelangsungan hidup sel, kerusakan DNA akibat radiasi (Radiation injury ) dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu: 19-22 1. Kerusakan lethal (lethal injury) Kerusakan DNA bersifat ireversibel, tidak dapat diperbaiki, dan menyebabkan kematian sel yang tidak mungkin dibatalkan lagi. 2. Kerusakan sublethal (sublethal injury) Kerusakan DNA dalam kondisi normal akan diperbaiki dalam beberapa jam (3-24 jam), kecuali kondisi yang menyebabkan kerusakan sublethal tersebut terjadi lagi (misalnya dengan pemberian dosis radiasi kedua). 3. Kerusakan potensial lethal (potentially lethal injury) Kerusakan DNA yang dapat dimodifikasi oleh kondisi lingkungan pasca radiasi. Kerusakan ini potensial lethal karena dalam keadaan biasa dapat menyebabkan 20 kematian sel, tetapi tingkat kelangsungan hidup sel dapat meningkat bila dilakukan manipulasi pada lingkungan pasca radiasi. Adanya kerusakan DNA akibat interaksi langsung yang terjadi antara radiasi pengion dengan DNA. Atom-atom yang menyusun molekul pada DNA, mengalami ionisasi, akibatnya DNA kehilangan fungsi-fungsinya sehingga sel mengalami penghentian dalam proliferasinya. Hal ini merupakan efek langsung dari radiasi. Efek tidak langsung dari radiasi adalah kerusakan DNA yang disebabkan oleh radikal bebas toksik, yang dihasilkan dari ionisasi molekul air (H2O) oleh radiasi pengion. Radikal bebas ini yang kemudian menimbulkan reaksi kimiawi yang mengakibatkan putusnya rantai DNA secara permanen.22 Kerusakan DNA tersebut dapat berupa putusnya kedua rantai DNA (double strand break), putusnya satu rantai DNA (single strand break), kerusakan basa (base damage), kerusakan molekul gula (sugar damage), putusnya DNA-DNA cross link dan DNA protein cross link.16 Gambar 3.6 Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi.22 3.2.2 Efek Biologik Radiasi Efek biologik dari suatu radiasi tidak hanya bergantung pada dosis total yang diberikan tetapi juga pada jangka waktu pemberian dan jumlah fraksinasi. Yang dimaksud dengan fraksinasi yaitu radiasi yang diberikan dalam dosis terbagi secara berseri dengan dosis tertentu setiap harinya dan diberikan 5-6 hari perminggu selama 4-7 minggu. Tujuan dari 21 fraksinasi adalah untuk menurunkan efek toksik pada jaringan sehat disekitar tumor. Prinsip fraksinasi didasarkan pada empat faktor klasik yang biasa disebut sebagai “the four R’s of radiology”. Keempat faktor tersebut berhubungan dengan waktu, dosis, dan fraksinasi yaitu:17,18,19 1. Repair (Reparasi) Repair merupakan proses sel untuk melakukan perbaikan atau pemulihan kerusakan DNA akibat radiasi. Terdapat dua proses pemulihan yaitu pemulihan terhadap kerusakan sublethal dan pemulihan terhadap kerusakan potensial lethal. Pada kebanyakan tumor ganas terdapat gangguan untuk melakukan proses pemulihan terhadap kerusakan sub lethal. Maka pada pemberian fraksi radiasi berikutnya akan terjadi kematian/kerusakan sel-sel tumor yang lebih banyak daripada kerusakan sel normal disekitarnya, yang telah menjalin proses pemulihan secara sempurna pada saat interval radiasi. Proses reparasi dapat berlangsung secara sempurna atau sebagian melalui beberapa mekanisme. Mekanisme reparasi mana yang akan berlangsung tergantung pada derajat kerusakan DNA yang harus direparasi. Diantara mekanisme DNA yang paling sering terjadi adalah nucleotid excision repair dan base excision repair. Pada derajat kerusakan tertentu, terutama pada double strand break, tidak dapat dilakukan proses reparasi dan sel tersebut akan diprogram untuk mati ( apoptosis). 2. Repopulation (Repopulasi) Dengan kematian sel-sel akibat radiasi, sel-sel yang masih bertahan hidup (baik sel tumor atau sel normal) akan merespon dengan cara meningkatkan regenerasi atau disebut repopulasi. Repopulasi lebih jelas tampak pada sel-sel tumor dengan daya proliferasi tinggi, sehingga memerlukan perencanaan waktu dan durasi pemberian radiasi yang tepat. Oleh karena itu, repopulasi merupakan salah satu faktor penentu untuk perencanaan durasi dan waktu pemberian radioterapi. Hal ini jugalah yang menjadi alasan untuk tidak menunda terapi setelah reseksi inkomplit tumor, dan untuk mencegah terapi radiasi yang tidak tuntas atau terputus jeda waktu yang lama. 3. Redistribution Dengan adanya daur sel (cell cycle) maka pada suatu saat terdapat sel-sel pada fase yang berbeda. Letak sel dalam siklus sel akan mempengaruhi sensitivitasnya terhadap radiasi. Sel paling sensitif terhadap radiasi adalah pada fase G2 dan selama fase mitosis (M), serta resisten terhadap radiasi pada pertengahan sampai akhir fase S dan awal fase G1. Dengan pemberian radiasi secara refraksinasi, maka sel akan memiliki kesempatan untuk mengalami redistribusi ke fase-fase yang lebih sensitif terhadap radiasi (radiation22 induced synchrony). Ketika sel menerima radiasi terfraksinasi, fraksi pertama akan membunuh sel yang berbeda pada fase yang sensitif, sedangkan sel yang tersisa akan mengalami redistribusi ke fase yang lebih sensitif selama interval sebelum pemberian fraksi berikutnya.19,22,23 Selain itu, sel-sel yang memiliki daya proliferasi tinggi (rapid cycling cells), misalnya sel kulit dan mukosa, akan mengalami redistribusi lebih baik dibandingkan sel-sel dengan daya proliferasi rendah (slowly cycling cells), misalnya sel otak, pembuluh darah, dan jaringan ikat. Maka sel-sel dengan daya proliferasi tinggi akan mengalami reaksi atau efek samping radiasi yang lebih cepat dibandingkan sel-sel dengan daya proliferasi rendah. Gambar 3.7Siklus atau Daur Sel.27 4. Reoxygenation (Reoksigenasi) Sensitivitas terhadap radiasi dari sel yang kaya oksigen adalah tiga kali lebih besar dari pada sel yang diradiasi dalam kondisi hipoksia atau anoksia. Hal ini disebabkan oksigen adalah sensitizer radiasi yang paling efektif karena mampu menstabilkan radikal bebas reaktif yang diproduksi akibat proses ionisasi. Rasio antara dosis yang dibutuhkan pada kondisi hipoksia dengan dosis yang dibutuhkan pada kondisi teroksigenasi untuk mencapai kadar kematian sel yang sama disebut oxygen enhancement ratio. Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan kerusakan tertentu sekitar 3 kali lebih besar pada kondisi hipoksia/anoksia daripada kondisi teroksigenasi baik. Pada umumnya sel tumor ganas, terutama tumor solid, bersifat hipoksik sehingga cenderung resisten terhadap radiasi. Namun selama pemberian radiasi yang terfraksinasi, sel hipoksia cenderung teroksigenasi lebih baik. Fenomena ini disebut reoksigenasi dan meningkatkan respon 23 tumor terhadap dosis radiasi. Mekanisme terjadinya belum diketahui dengan pasti tetapi diduga terjadi reditribusi aliran darah atau pengurangan pemakaian oksigen oleh sel-sel yang rusak akibat radiasi sehingga sel-sel hipoksik menjadi lebih dekat dengan pembuluh darah yang fungsional. Kepentingan klinis dari pengetahuan ini adalah membuat jaringan cukup oksigen. Saat ini sudah dikembangkan beberapa strategi pengobatan untuk meningkatkan kadar oksigen, yaitu terapi oksigen hiperbarik, transfusi sel darah merah, obat, dan radiasi “high linier energy transfer”(HLET).22,23,24,25 Gambar 3.8 Kurve Oxygen Enhancement Ratio23 Dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan kerusakan tertentu sekitar 3 kali lebih besar pada kondisi hipoksia/anoksia daripada kondisi teroksigenasi baik. Pada dosis rendah (<2Gy), OER memiliki nilai yang lebih rendah, yaitu sekitar 2. 3.3 Brachytherapy pada Kanker Serviks Brachytherapy adalah terapiyang umum digunakan pada pengobatan kanker serviks dini atau lokal terbatas dan merupakan standar pengobatan di banyak negara. Kanker serviks dapat diobatibaik dengan LDR (low dose rate), PDR (pulse dose rate) atau HDR (high dose rate) brachytherapy. Digunakan dalam kombinasi dengan EBRT, brachytherapy dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada EBRT saja. Ketepatan brachytherapy memungkinkan radiasi dosis tinggi radiasi yang ditargetkan untuk diberikan kepada serviks, serta meminimalkan paparan radiasi ke jaringan dan organ sekitar.19,21 Disease-free survival danoverall survival adalah sama untuk LDR, PDR dan perawatan HDR. Namun, keuntungan kunci dari pengobatan HDR adalah bahwa setiap dosis dapat diberikan secara rawat jalan. Implantasi kapsul permanen cocok untuk pasien dengan 24 tumor lokal dan prognosis baik dan telah terbukti menjadi pengobatan yang sangat efektif untuk mencegah kanker kambuh kembali.9,10 Gambar 3.9Pemasangan Brachytherapydalam Serviks10 Brachytherapy telah digunakan untuk mengobati kanker serviks sejak awal abad ini. Pengobatan ini cukup sukses untuk mengatasi keganasan di organ kewanitaan. Baik radium dan cesium telah digunakan sebagai sumber radioaktif untuk memberikan radiasi internal. Sejak tahun 1960-an di Eropa dan Jepang, mulai diperkenalkan sistem HDR brachytherapy.11,15,16 HDR brachytherapy diberikan hanya dalam hitungan menit. Untuk mencegah komplikasi potensial dari HDR brachytherapy, maka biasanya HDR brachytherapy diberikan dalam beberapa insersi. Untuk pasien kanker serviks, standar perawatannya adalah 5 insersi. Waktu dimana aplikator berada di saluran kewanitaan (vagina, serviks dan/atau uterus) untuk setiap insersi adalah sekitar 2,5 jam. Untuk pasien kanker endometrium yang menerima brachytherapy saja atau dalam kombinasi dengan radioterapi eksternal, maka diperlukan total 2 insersi dengan masing-masing waktu sekitar 1 jam.9,11,14 Keuntungan HDR brachytherapyantara lain pasien cukup rawat jalan, ekonomis, dosis radiasi bisa disesuaikan, tidak ada kemungkinan bergesernya aplikator. Yang cukup memegang peranan penting bagi kesuksesan brachytherapy adalah pengalaman dokter yang menangani.8 Kanker serviks terbatas pada uterus dan kanker serviks lokal stadium lanjut dapat ditangani secara optimal dengan radioterapi definitif (atau radiokemoterapi). Beberapa uji klinis acak menggunakan sinar eksternal radioterapi diikuti dengan brachytherapy, menggunakan LDR brachytherapy dengan 137Cs. LDR brachytherapy membutuhkan penempatan aplikator tandem ke rongga uterus melalui ostium serviks, ini sering dilakukan tanpa panduan, dengan memasukkan tandem sampai merasakan sedikit tahanan yang menunjukkan bahwa ujung tandem telah mendekati fundus uterus. Risiko perforasi uterus 25 menggunakan teknik ini mencapai 2-14%, dan mungkin mempengaruhi hasil pada pasien. Salah satu teknik untuk memastikan posisi tandem adalah ultrasonografi intraoperatif. Menghindari komplikasi ini penting, dimana perforasi menyebabkan peningkatan morbiditas pasien dan bahkan telah dikaitkan dengan penyebab spesifik penurunan kelangsungan hidup pada penyakit berat.6,9,14 Beberapa faktor risiko terjadinya perforasi uterus akibat pemasangan tandem antara lain, usia > 60 tahun, dokter operator yang kurang berpengalaman, jaringan parut atau distorsi ostium serviks, besarnya ukuran tumor. Pasien berisiko tinggi menunjukkan tingkat perforasi hingga 30% meskipun dengan penggunaan ultrasonografi intraoperatif.11 Gambar 3.10Gambaran USG Pemasangan Tandem Brachytherapydalam Serviks6 Interstisial brachytherapy umumnya digunakan untuk pasien baik dengan panggul yang luas dan/atau penyakit pada vagina dalam upaya untuk mengontrol secara lokal atau dengan situasi yang tidak memungkinkan dilakukan intracavitarybrachytherapy dengan aplikator standar karena masalah anatomi. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menyesuaikan dosis radiasi dengan anatomi pasien dengan cakupan volume target yang lebih baik. Teknik ini awalnya dikembangkan menggunakan radium 226 atau jarum kobalt 60. Awalnya, implan interstitial dilakukan dengan penempatan jarum radioaktif menggunakan tangan kosong. Pengembangan transperineal atau transvaginal template menghasilkan posisi jarum yang lebih baik. Teknik-teknik baru termasuk fluoroskopi, computed tomography (CT), transabdominal atau transrektal ultrasound, magnetic resonance imaging (MRI), laparoskopi, dan laparotomi telah meningkatkan akurasi penempatan jarum. Bahan radioaktif terdiri dari Iodine-125 digunakan sebagai implan permanen atau lebih umum Iridium-192 digunakan sebagai implan sementara baik dengan LDR atau HDR. Meskipun pendekatan teknologi 26 interstitisial brachytherapy semakin baik, potensi terapi ini terkait dengan peningkatanrisiko komplikasi.6,8,11 3.3.1 Indikasi Brachytherapy pada Kanker Serviks Brachytherapy adalah inovasi yang berada di garis depan dalam radioterapi. Perencanaan pengobatan dilakukan komputerisasi dimana gambar dipandu dengan sistem pengiriman sehingga meningkatkan efisiensi dan meningkatkan hasil serta penerimaan pasien, hal ini dicapai melalui penempatan sumber radioaktif di dalam atau berdekatan dengan tumor menggunakan aplikator yang dirancang khusus dimana perangkat pengiriman dikendalikan komputer. Brachytherapy memungkinkan dosis radiasi disesuaikan tepatnya ke daerah sasaran, dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan terhadap eksposur jaringan sehat dan organ sekitarnya. Pengalaman dan wawasan yang diperoleh dari penelitian dan praktek klinis luas menunjukkan keuntungan. Brachytherapy menawarkan hasil yang sama efektifnya dengan operasi (histerektomi) pada tahap awal kanker serviks (tahap IA2 dan IB1), dan standar pengobatan untuk ukuran tumor yang besar (stadium IB2) atau penyakit lokal lanjut (Tahap IIA-IVA), biasanya dalam kombinasi dengan EBRT dan kemoterapi. Tabel 3.2Modalitas Terapi Berdasarkan Level of Evidence Stadium IA1 - Bila fertilitas masih dibutuhkan IA2 Modalitas Terapi Level of Evidence/ Rekomendasi Histerektomi (Total/vaginal) Konisasi III/B III/B Histerektomi radikal termodifikasi (tipe II) + Diseksi KGB Histerektomi ekstra facial + Diseksi KGB II B / B - LVSI (-) - Bila fertilitas 1. masih dibutuhkan 2. Konisasi + ekstra peritoneal/diseksi KGB pelvis per laparoskopi Trakelektomi + ekstra peritoneal/diseksi KGB pelvis per IB1,IIA laparoskopi - < 4 cm 1. Histerektomi radikal - Pasien muda 2. Radio terapi untuk ovarian Histerektomi vaginal radikal preserved Diseksi KGB per laparoskopi - Pasca bedah : - Nodus(+), parametrium Adjuvan radioterapi± kemoterapi (+)/tepi operasi pascabedah (+). - Massa yang besar, CLS (+) IV / C IV / C IV / C IB / A III / B IB / A 27 dan invasi 1/3 luar stroma serviks Adjuvan whole pelvic irradation IB / A Primer kemoradiasi. Primer histerektomi radikal. Neoadjuvan kemoterapi diikuti histerektomi radikal dan diseksi KGB pelvis IB / A III / B III / B Primer histerektomi + adjuvan radiasi III / B IB2-IIA - > 4 cm - Keterlibatan CLS+ invasi 1/3 luar stroma serviks IIB, III, IVA IVA - Tidak metastasis ke dinding pelvis, terutama jika terdapat fistula vesikovaginal atau rektovaginal IVB atau rekuren - Rekuren lokal pasca bedah - - - Rekuren lokal pasca bedah Metastasis rekuren dan Radiasi eksterna+brakiterapi intrakaviter + concurrent kemoterapi (terapi primer) Eksenterasi pelvis Radiasi Kemoterapi konkuren Eksenterasi pelvis Eksenterasi pelvis IB / A IV / C IV / C III / B IV / C III / B Kemoterapi Radiasi paliatif IB / A Metastasis jauh III / B 3.4 PembagianBrachytherapy Brachytherapy merupakan komponen kritikal untuk terapi definitif terhadap semua pasien dengan kanker serviks primer yang bukan merupakan kandidat untuk pembedahan. Terapi ini biasanya dilakukan menggunakan pendekatan intrakavitas, dengan menggunakan tandem intrauterin dan kolpostats vaginal.Tergantung dari masing-masing pasien dan anatomi tumor, komponen vagina dari brachytherapy pada pasien dengan serviks intak dan dapat dilakukan dengan menggunakan ovoid, ring, atau silinderbrachytherapy (dikombinasikan dengan tandem intrauterin).Ketika dikombinasikan dengan EBRT, brachytherapy seringkali 28 menginisiasi lebih lanjut menjadi bagian akhir dari pengobatan, ketika regresi tumor primer telah mencukupi dicatat sebagai satisfactory brachytherapy apparatus geometry.Pada penyakit sangat dini (misalnya stadium IA2), brachytherapy sendiri (tanpa radiasi sinar eksternal) dapat menjadi sebuah pilihan. Pada pasien post-histerektomi (terutama mereka dengan positive vaginal mucosal surgical margins), vaginal cylinder brachytherapy dapat digunakan untuk menunjang efek dari EBRT .33 Macam-macam metode brachytherapy:35 - Intracavitary brachytherapy (ICBT): sesuai untuk tumor yang berlokasi di rongga tubuh, seperti kanker serviks yang terletak di bagian akhir rongga vagina, atau tumor yang terletak pada rongga mulut. - Interstitialbrachytherapy (ISBT): dimana sumber radioaktif secara surgikal tertanam di dalam tumor atau dasar tumor; seperti kanker payudara, tumor dasar mulut dan lidah, kanker prostat. - Intraluminal brachytherapy (IlBT): di mana tumor mengelilingi organ berongga diakses melalui lumen tersebut, seperti tumor esofagus, tumor paru, tumor traktus biliaris. - Mold brachytherapy (MBT): bentukan dari cetakan untuk menyesuaikan dengan permukaan target diimplantasi dengan bibit radioaktif, seperti tumor tulang tengkorak. Brachytherapymodern telah berkembang pada sistem ini, tetapi dewasa ini terdapat perbedaan besar diantara low-dose-rate (LDR) atau medium-dose-rate (MDR) brachytherapy menggunakan terutama cesium sebagai sumbernya (Cesium-137) dan high-dose-rate (HDR) atau pulsed-dose-rate (PDR) brachytherapymenggunakan iridium (Iridium-192). Tidak terdapat definisi yang diterima secara universal dari kategori angka dosis-dosis ini. Akan tetapi, The International Commission on Radiation Units and Measurements(IRCU) menyarankan untuk mengikuti definisi berikut ini; LDR pada 0,5-1 Gy/h, MDR pada 1,0-1,2 Gy/h dan HDR di atas 1,2 Gy/h.32 Tabel 3.3Perbandingan Penggunaan LDR dan HDR pada brachytherapy. LDR Intracavitary 21 HDR Perawatan Diperlukan rawat inap Dapat rawat jalan Kenyamanan pasien Kurang nyaman Lebih Nyaman 29 Cakupan jumlah pasien Cakupan sedikit Cakupan lebih banyak Operator Harus profesional Harus profesional dan pengalaman Kebutuhan proteksi Sederhana Lebih kompleks Umumnya rendah Efek samping lanjut radiasi Toksisitas mungin tinggi Biaya 3.5 Relatif murah Mahal Alat-alat dan Cara Kerja Brachytherapy pada kanker serviks terbanyak mengacu pada sistem pemberian Manchester. Digunakan sebuah aplikator intrauterin. Untuk memperoleh dosis yang optimal diperlukan dua buah aplikator intravaginal, atau ovoid , yang diletakkan pada forniks kiri dan kanan. Dengan konfigurasi demikian akan diperoleh penyebaran dosis menyerupai buah pir atau alpukat pada dimensi bidang datar. Tidak diharapkan penyebaran ini kearah anterior ataupun posterior karena akan mengenai kandung kemih dan rektum.22,23 30 Gambar 3.11 Ilustrasi Penempatan Sistem Intracavitary brachytherapyFletcher-SuitDelclos yang Dimodifikasi untuk Nucleotron Selectron Remote Afterloading System. 3.6 Intracavitary Brachytherapy Telah dikembangkan berbagai sistem aplikasi intracavitary brachytherapy untuk kanker serviks.Pada umumnya semua sistem aplikasi menggunakan sebuah tabung intrauterin (=disebut tandem) dan suatu bentuk aplikator intravaginal untuk tempat sumber radioaktif. Ukuran dan desain tabung intrauterin bervariasi pada masing-masing sistem aplikasi.Radiasi pada rektum dan kandung kemih dapat dipertahankan dalam batas toleransi dengan metode afterloading. Terdapat dua pesawat afterloading, yaitu : 1. Pesawat afterloading dengan laju dosis tinggi (high dose rate/HDR), yaitu bila laju dosisnya di atas 1,2 Gy/jam (umumnya 100 Gy/jam). Yang termasuk pesawat ini adalah Selectron dengan sumber radiasi Cobalt (60Co), atau Curietron dengan sumber radiasi Cesium (137Cs). 2. Pesawat afterloading dengan intensitas radiasi rendah secara manual (low dose rate/LDR), yaitu bila laju dosisnya <1,2 Gy/jam. Yang termasuk pesawat ini adalah Selectron dengan sumber radiasi Cesium (137Cs) dan pesawat dengan sumber radiasi Radium (226Ra). Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dari penggunaan LDR atau HDR, baik dari aspek survival rate, kontrol tumor lokal, dan residu tumor.Namun, karena dengan HDR akan didapatkan waktu rawat inap yang lebih pendek maka kini HDR lebih banyak digunakan. 3.6.1 Sistem Aplikasi Telah dikenal beberapa sistem aplikasi intracavitary brachytherapy dengan sumber radioaktif radium, yaitu Sistem Paris, Sistem Stockholm, dan Sistem Manchester. 38,39 a) Sistem Paris, menggunakan 2 aplikator berupa tabung kolpostat vaginal, serta 1 tabung tandem karet intrauterin. 31 b) Sistem Stockholm, menggunakan sebuah aplikator kolpostat yang berbentuk kotak intravaginal dari timah atau emas dan sebuah tabung tandem intrauterin dari karet. c) Sistem Manchester, menggunakan 2 aplikator intravaginal (ovoids) serta 1 tabung tandem karet intra uterin. Gambar 3.12 Aplikator StockholmIntracavitary Brachytherapy.39 Gambar 3.13 Aplikator Manchester Intracavitary Brachytherapy.39 Sejak WHO melarang penggunaan radium, maka sistem-sistem aplikasi tersebut sudah tidak dipergunakan lagi.Saat ini salah satu jenis sistem aplikasi yang sering dipergunakan adalah sistem Fletcher-Suit-Delclos.Sistem ini dikembangkan di University of Texas MD Anderson Cancer Center, terdiri dari : - Sebuah tabung intrauterin (tandem) dari logam dengan adjustable flange yang dapat diatur untuk menyesuaikan dengan panjang kavum uteri. - Dua buah aplikator berupa tabung kolpostat yang ditempatkan di forniks vagina. - Aplikator diisi dengan Cesium, dapat pula dilakukan dengan sistem afterloading. 32 Gambar 3.14 Aplikator Fletcher-Suit-Delclos40 Gambar 3.15 Modifikasi Aplikator Fletcher-Suit-DelclosUntuk Penggunaan dengan Nucleotron Selectron Remote Afterloading System.40 Beberapa tipe kolpostat afterloading yang digunakan sesuai keadaan, kolpostat mini untuk pasien dengan vagina yang sempit, kolpostat reguler (diameter 2 cm), plastic jackets yang digunakan untuk meningkatkan ukuran menjadi medium (diameter 2,5 cm) dan besar ( diameter 3 cm), serta kolpostat bersudut 15ᵒ dan 30ᵒ , yang ditujukan untuk menyesuaikan dengan berbagai posisi porsio serviks. Beberapa contoh tandem intrauterin dengan berbagai kelengkungan dan lembaran logam dengan atau tanpa “dasar” (untuk menstabilisasi tandem saat packing). Silinder vaginal (terdapat dalam beberapa ukuran) digunakan untuk radiasi bagian tertentu atau keseluruhan vagina.40 3.6.2 Pelaksanaan Aplikasi Terapi umumnya diberikan dalam 2-3 kali pemberian, dengan dosis 2 x 8,5 Gy atau 3 x 7,0 Gy, umumnya diberikan dengan interval 1 minggu. Pada pasien yang sebelumnya 33 mendapatkan radiasi eksterna, pelaksanaan intracavitary brachytherapy pertama harus dilakukan sesegera mungkin setelah selesai radiasi eksterna (umumnya dalam 1-5 hari). Penundaan waktu pelaksanaan terapi akan menurunkan efektivitas terapi. Dilakukan dalam kondisi anestesi baik anestesi umum atau spinal, dengan persiapan sesuai dengan persyaratan di bagian anestesi (harus ada pemeriksaan laboratorium darah tepi, rontgen toraks, dan evaluasi kardiologi).Tindakan dilakukan dalam kondisi steril di ruang aplikasi.Dipasang satu aplikator intrauterin dan 2 tabung intravaginal. Delclos et al (1978) menyebutkan hal-hal yang menunjang keberhasilan pemasangan aplikasi intrakaviter adalah :20,21,32-37 - Geometri dari sumber radioaktif harus diupayakan agar mencegah terjadinya area serviks yang tidak mendapatkan dosis optimal. - Dosis yang adekuat harus mencapai area paraservikal. - Toleransi mukosa harus diperhatikan. Manipulasi untuk mengoptimalkan penempatan aplikator pada berbagai kondisi anatomis yang berbeda hanya dapat dipelajari dari pengalaman.Dokter spesialis radioterapi harus mengupayakan untuk mengoptimalkan penempatan aplikator agar tercapai rasio dosis yang tepat antara dosis untuk tumor dan dosis pada jaringan sekitar.Untuk mempertahankan dosis yang aman terhadap kandung kemih dan rektum, aksis tandem umumnya ditempatkan pada pertengahan pelvis dan diisi dengan sekitar 5-6 Gy 137Cs per sentimeter.Kolpostat vaginal ditempatkan ke arah atas dari serviks, dengan berpusat pada porsio. Pada foto lateral umumnya terlihat bahwa kedua kolpostat membelah tandem. Penempatan kolpostat diposisikan agar rektum dan kandung kemih terdorong menjauh dari sumber radioaktif dan menjaga aplikator tetap pada lokasinya. 3.6.3 Perhitungan Dosis Perhitungan dosis intracavitary brachytherapy terus mengalami perkembangan dan umumnya diterapkan secara empiris di masing-masing institusi, sehingga sulit untuk dibandingkan.Tidak terdapat suatu cara untuk secara pasti merumuskan distribusi dosis radiasi inhomogen pada sistem intrakaviter. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan menghitung dosis pada suatu titik referensi.Titik referensi yang umum digunakan adalah Titik A (Point A).33-39 Titik A adalah titik yang terletak 2 cm ke arah lateral kiri dan kanan dari sumbu uterus dan 2 cm ke arah kranial dari ostium uteri eksterna pada bidang uterus.Titik referensi ini 34 pertama dirumuskan oleh Todd dan Meredith (1938) saat menciptakan sistem brachytherapy Manchester.Dasar pemikiran dari titik ini adalah untuk menciptakan suatu titik referensi dosis yang secara anatomis dapat digunakan pada berbagai pasien dan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan kecil posisi aplikator.Titik ini mewakili struktur anatomis kritis pada pertengahan broad ligament yang merupakan perlintasan antara ureter dan arteri uterina (paracervical triangle). Selain itu juga dikenal Titik B, yaitu titik yang terletak 3 cm lateral dari Titik A.Namun pada 1985, the International Commission on Radiation Units and Measurements (ICRU) tidak merekomendasikan penggunaan Titik A karena titik tersebut terletak pada area dimana gradien dosis tinggi dan ketidakakuratan dalam penentuan jarak akan menyebabkan ketidakjelasan dari evaluasi dosis yang diabsorpsi pada titik itu. ICRU merekomendasikan agar perhitungan dosis ditentukan oleh : - Total Reference Air Kerma (TRAK), yang dinyatakan dalam cGy pada 1 meter. - Volume reference, yaitu volume jaringan yang dicakup oleh suatu isodose surface (umumnya isodose dengan total 60Gy (Dosis total = Dosis radiasi eksterna + Dosis brachytherapy). Dosis yang diabsoprsi oleh jaringan normal yang masuk dalam volume radiasi (kandung kemih, rektum, vagina, dinding pelvis). Gambar 3.16 Aplikator Fletcher-Suit-DelclosPenggunaan titik A dan titik B sebagai Titik Referensi pada Perhitungan Dosis brachytherapy40 3.6.4 Dosis Radiasi 1. LDR - Dosis total untuk titik A : 80-85 Gy (stadium I-IIA, non-bulky tumor), 85-90Gy (stadium lokal lanjut, bulky tumor). 35 - Titik B (Dinding pelvis) : 50-55 Gy (stadium I-IIA, non-bulky tumor), 85-60 Gy (stadium lokal lanjut, bulky tumor). - Brachytherapy diberikan dalam fraksi 2 x 13 Gy, dengan interval 7 hari. 2. HDR - Dosis HDR disesuaikan dengan dosis radiasi eksterna yang diberikan, namun secara umum dosis per fraksi harus < 7,5 Gy per fraksi untuk mengurangi kemungkinan timbulnya komplikasi lanjut. - Dosis relatif ini bergantung pada volume tumor, kemampuan untuk menyisihkan kandung kemih dan rektum, regresi tumor pasca radiasi eksterna, dan kebijakan pusat radioterapi setempat. - Dosis di rektum dan buli-buli diupayakan lebih rendah (70%) dari dosis titik A.Bila karena kelainan anatomis maka dosis di rektum dan buli-buli menjadi lebih tinggi dari titik A, maka dilakukan modifikasi dalam pelaksanaan brachytherapy. - Jika geometri vagina optimal, brachytherapy dimulai pada minggu ketiga dengan dosis 1 kali per minggu. Bila volume tumor terlalu besar, brachytherapy dilakukan 2 kali per minggu setelah selesai radiasi eksterna. 3.7 Lama terapi maksimal 8 minggu (radiasi eksterna + brachytherapy). Efek SampingBrachytherapy Efek samping yang dilaporkan dari penggunaan brachytherapy adalah efek pada gastrointestinal (rekto-sigmoiditis), dan urogenital (disuria).36 Efek samping yang diapatkan adalah perdarahan saluran cerna bagian bawah, toksisitas kandung kemih, mual-muntah selama pengobatan, perdarahan rektum, toksisitas ringan dari saluran pencernaan dan saluran urogenital, toksisitas pada rektum, dan sigmoid.34 Pada jaringan normal efek samping yang dapat timbul dibagi menjadi dua kategori tergantung dari waktu onset gejala klinis. Efek dini terlihat pada jaringan dengan proliferasi sel cepat, seperti epitel intestinal, sumsum tulang, dan kulit.Efek dini diobservasi sewaktu rangkaian pengobatan atau dalam beberapa minggu setelah penanganan, dan efek tersebut lebih sering terjadi secara transien.Efek lanjut (≥ 90 hari) dari kerusakan radiasi tampak pada jaringan dengan pergantian sel yang lebih lambat, seperti jaringan subkutan, otak, ginjal, hepar, dan dinding usus.Efek lanjut biasanya bersifat ireversibel dan seringkali progresif. Selain itu, sensitivitas fraksinasi tinggi, seperti peningkatan dosis per fraksi diberikan sebagai total dosis, akan secara signifikan meningkatkan berat dan frekuensi dari efek samping. Secara umum tidak terdapat korelasi 36 antara komplikasi dini dan lanjut pada individu.Akan tetapi, pada beberapa jaringan dan organ efek lanjut dapat terjadi sebagai konsekuensi dari reaksi dini yang berat. Tipe-tipe komplikasi ini mengacu pada konsekuensi efek lanjut.32Brachytherapy memainkan peran penting dalam pengobatan semua kanker invasif serviks. Dalam pengobatan kanker serviks, brachytherapy biasanya dikombinasikan dengan pengobatan radiasi eksterna, tetapi juga dapat dikombinasikan dengan operasi baik sebelum dan/atau pasca operasi. Baru-baru ini, radioterapi telah digabungkan dengan kemoterapi berbasis platinum simultan pada kanker serviks stadium IB2 hingga IVA. Brachytherapy terutama diterapkan sebagai prosedur intrakaviter, pada kasus tertentu dilengkapi dengan implan interstitial.33 Komplikasi brachytherapy antara lain peningkatan frekuensi berkemih atau perubahan dalam kualitas bowel habit yang tidak memerlukan obat yang bersifat akut maupun obstruksi subakut, fistula bahkan perforasi. Efek samping pada kandung kemih yang dapat terjadi berupa atrofi epitel atau teleangiektasia minor (hematuria mikroskopik) dan nekrosis kandung kemih atau sistitis hemoragik.33,34 3.8 Prinsip Perawatan Pasien dengan Brachytherapy 3.8.1 Prinsip Dasar Sumber radiasi berada dalam tubuh pasien, sehingga untuk periode tertentu pasien akan memancarkan radiasi dan memiliki bahaya radiasi kepada orang lain. Berdasarkan sumber radiasi, brachytherapy dapat dibedakan menjadi unsealedradiation source dan sealed radiation source. Pada pasien dengan unsealed brachytherapy, sumber radiasi diberikan secara oral atau intravena, sehingga akan didistribusikan keseluruh tubuh pasien. Pasien akan memancarkan radiasi dan menimbulkan bahaya radiasi kepada orang lain. Zat radioaktif akan diekskresi ke ekskreta pasien (urin,tinja dan keringat) dalam 48 jam pertama, sehingga ekskreta pasien juga harus diperlakukan sebagai limbah radioaktif. Perawat yang menangani pasien dengan implan unsealed brachytherapy harus mengantisipasi kebutuhan pasien dan prinsip penggunaan waktu, jarak dan perlindungan untuk menghindari paparan radiasi.41 Pada pasien dengan sealed brachytherapy, sumber radiasi ditempatkan dalam suatu wadah yang diimplantasikan ke dalam tubuh pasien, baik permanen atau temporer. Pasien 37 akan memancarkan radiasi selama implan masih berada dalam tubuh pasien. Ekskreta pasien tidak bersifat radioaktif. Setelah implan dikeluarkan dari tubuh pasien, maka : 40,41 1. Jelaskan kepada pasien bahwa dia tidak lagi memancarkan radiasi radioaktif. 2. Pada pasien dengan implan intravaginal atau servikal, jelaskan pada pasien bahwa dia baru boleh melakukan hubungan seksual setelah 7-10 hari setelah implan diangkat. 3. Pada penggunaan implan, bersihkan area serviks dengan swab povidone-iodine. 4. Kolaborasi dengan dokter bila perlu diberikan klisma. 5. Jelaskan kepada pasien agar memberitahukan dokter bila mengalami tanda-tanda efek samping seperti mual, muntah, diare, sering berkemih, perdarahan vagina atau rektal, hamaturia, cairan vagina yang berbau busuk, nyeri perut dan distensi perut atau demam. 3.8.2 Prioritas Hal-hal yang Perlu Diajarkan Hal-hal yang perlu diajarkan kepada pasien dan keluarga setelah mendapatkan terapi, yaitu : 1. Pembatasan kunjungan, pengunjung harus ≥ 18 tahun, tidak sedang mengandung. 2. Perawatan isolasi, bersifat sementara, pasien tetap didalam kamar, perawatan kesehatan hanya untuk aktivitas penting saja, pembatasan pelayanan jarak dekat. Jika pasien dengan brachytherapy unsealed diperbolehkan ke kamar mandi, instruksikan pasien untuk membilas toilet 2-3 kali setiap selesai digunakan. 3. Aktivitas pasien dapat dibatasi bergantung kepada prosedur. 4. Pemulangan pasien, memantau efek samping seperti kelelahan, diare, gejala gangguan saluran kemih,dll. Anjurkan pasien untuk berhubungan seksual setelah 7-10 hari. Pada pasien yang aktif secara seksual, anjurkan untuk melakukan dilatasi vagina 3 kali seminggu sampai setahun. 3.8.3 Pertimbangan Geriatri Berdasarkan prevalensinya, pasien dengan kanker ginekologis umumnya merupakan golongan usia geriatrik, sehingga dalam penatalaksanaan keperawatan diperlukan pertimbangan khusus mengingat adanya perubahan fisiologik dan psikososial yang membedakan pasien geriatrik dan usia muda. Perubahan keadaan sistem tubuh yang terjadi pada usia lanjut membuat mereka memiliki risiko mengalami efek samping lebih cepat dan lebih berat dibandingkan dengan pasien lain. Pada kulit, awasi kekeringan berlebih dan reaksi kulit dini. Persediaan energi dapat terpakai dan menimbulkan kelelahan. Obat-obatan yang 38 diberikan mungkin memerlukan penyesuaian untuk mengurangi efek samping. Indra pengecapan dapat mengalami gangguan sebelum radiasi dimulai, sehingga dapat mengurangi nafsu makan pasien. Terapi radiasi umumnya diberikan setiap hari senin sampai jumat selama 7 minggu. Pasien geriatrik mungkin memerlukan sarana transportasi, pada banyak keadaan pasien dirawat oleh pasangan atau anak-anaknya dan berada jauh dari rumah sakit dengan fasilitas radioterapi. Oleh karena itu perlu diperkirakan kemungkinan penurunan kepatuhan (compliance) pasien karena faktor akomodasi dan beban biaya tambahan untuk transportasi. Membahas segala perubahan yang terjadi, menyediakan edukasi mengenai efek radioterapi pada fungsi seksual. Radiasi dapat menyebabkan penurunan lubrikasi vagina sehingga dapat menimbulkan ketidaknyamanan saat berhubungan seksual. Agar pasien mencapai lubrikasi, mungkin diperlukan stimulasi pra koitus yang lebih lama untuk mengatasi respon fisik yang lambat. Pasien dapat dianjurkan untuk menggunakan watersolublegel saat berhubungan seksual. Tidak semua pasangan lansia tertarik untuk berhubungan seksual, untuk itu berbagai metode hubungan seksual selain koitus harus didiskusikan. Mandi air hangat, pijatan lembut, membelai dan menyentuh, masturbasi dan fantasi dapat memberikan rasa puas dan ketenangan. 3.9 Respon Radiasi Histopatologis Respon radiasi histopatologis (RRH) merupakan tolok ukur untuk menilai hasil terapi sementara. Kegunaan penilaian respon radiasi ini adalah agar dapat menilai ramalan hasil pengobatan radiasi dan sekaligus dapat menentukan terapi tambahan yang diperlukan, misalnya dengan kemoterapi dan operasi. Penilaian respon radiasi histopatologis ini berdasarkan rusaknya sel kanker dan ada tidaknya sel tumor viabel. Termasuk dalam kelompok sel tumor yang viabel adalah semua sel tumor baik yang dengan vakuolisasi atau sel dengan inti banyak, serta belum diketahui apakah perubahan tersebut ireversibel bagi sel kanker. Secara histopatologis, National Cancer Hospital di Jepang membuat derajat respon terapi radiasi sebagai berikut :22,27 1. Grade I : struktur kelompok sel kanker masih baik, perubahan terbatas pada beberapa sel kanker. Sarang-sarang tumor tersusun baik tanpa kerusakan karena lisisnya sel tumor. 2. Grade II : karena menghilangnya sel kanker, maka struktur sarang sel kanker mengalami kerusakan. Pada tingkat ini sel yang viabel masih ditemukan. 39 - IIA : kerusakan struktur sarang tumor masih ringan dan sel viabel masih banyak ditemukan. - IIB : kerusakan struktur sarang tumor lebih berat dan sedikit ditemukan sel viabel. 3. Grade III : perubahan lebih banyak ditemukan dan sangat sulit ditemukan sel tumor yang viabel. 4. Grade IV : tidak ditemukan sama sekali adanya sel kanker. - IVA : sebagian besar sediaan terdiri dari jaringan nekrotik - IVB : terdapat jaringan granulasi dengan aatu tanpa bagian-bagian kecil jaringan nekrotik. - IVC : hanya ditemukan jaringan nekrotik. Dilaboratorium Patologi Anatomi RSUD dr. Kariadi membagi kriteria respon radiasi histopatologis dengan memodifikasi kriteria tersebut diatas menjadi 3, yaitu respon radiasi histopatologis baik yang sesuai dengan grade IV, respon radiasi jelek yang sesuai dengan grade I dan IIA, dan respon radiasi sedang/moderate sesuai dengan grade IIB dan III. Penilaian respon radiasi histopatologis tersebut dilakukan 3 bulan setelah penderita mendapatkan radiasi lengkap ( radiasi ekternal dan ICBT), oleh karena dalam waktu 3 bulan konsolidasi jaringan diharapkan sudah tercapai. Penilaian respon radiasi hisopatologis dilakukan dengan cara biopsi serviks dilanjutkan dengan pemeriksaan Patologi Anatomi. 3.10 Faktor Prognostik Prognosis dari kanker serviks yang telah mendapatkan brachyhterapy sangat dipengaruhi oleh respon masing-masing penderita. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah usia, stadium klinik, radiosensitivitas jaringan kanker (oksigenasi dan derajat diferensiasi sel) serta kualitas dosis dan teknik brachyhterapy.40 3.11 Efektivitas Brachyhterapy pada Kanker Serviks Hasil pengobatan untuk kanker serviks seringkali sulit untuk membandingkan dari setiap metode brachyhterapy. Faktor teknik, dosis, laju dosis,keadaan fisik pasien dan pengobatan terkait lainnya, volume tumordan waktu mendapatkan pengobatanjuga sangat 40 penting. Tingkat kelangsungan hidup 5-tahun pada pasien yang mendapatkan radioterapi pasca pembedahan sangat bervariasi, untuk stadium I yaitu 79-84% , stadium II 54-77%. Pada sebuah penelitian retrospektif dimana brachytherapy (LDR) diikuti dengan operasi dan diakhiri dengan ekternal radioterapiketahanan hidup 5-tahun untuk stadium IB berkisar 81-92 %, untuk stadiumII adalah 78-85 % . Pada kanker serviks dengan metastase dimana dilakukan radioterapi definitif, menggabungkan radiasi sinar eksternal dan brachytherapy dilanjutkan kemoterapi secara bersamaan,angka ketahanan hidup 5-tahun untuk stadium IIB bervariasi 65-70%, stadium IIIB 34-52%dan stadium IVA 0-20%. 41 BAB IV RINGKASAN Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah uterus, letaknya antara uterus dan vagina. Pengobatan kanker serviks antara lain melalui pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Pada tumor stadium lanjut, pembedahan tidak bisa secara rutin memberikan kesempatan terbaik untuk penyembuhan dan sering tidak dapat dilakukan secara teknis.Maka dalam hal ini, radioterapimenawarkan satu-satunya kesempatan kesembuhan.Radioterapi efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Terdapat 2 macam radioterapi, yaitu radiasi eksterna dan radiasi interna. Radiasi eksterna dimana sinar berasal dari sebuah mesin besar. Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.Radiasi internal, dimana zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks.Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Salah satu contoh radiasi internal ialah brachytherapy. Dalam stadium penyakit lebih lanjut, brachytherapy dapat digunakan sebagai pengobatan paliatif untuk menghilangkan gejala dari rasa sakit dan pendarahan. Berdasarkan besaran dosisnya, brachytherapy terbagi menjadi LDR, MDR, PDR, dan HDR. Rencana pengobatan radioterapi melalui brachytherapykeseluruhan dapat diselesaikan dalam waktu lebih sedikit. Kebanyakan prosedur brachytherapy dilakukan secara rawat jalan. Kenyamanan ini mungkin sangat relevan bagi pasien yang harus bekerja, pasien yang lebih tua, atau pasien yang tinggal jauh dari pusat pengobatan, untuk memastikan bahwa mereka memiliki akses ke pengobatan radioterapi dan mematuhi rencana pengobatan. Waktu pengobatan yang lebih pendek dan prosedur rawat jalan juga dapat membantu meningkatkan efisiensi klinik radioterapi. 42 DAFTAR PUSTAKA 1. Tewari KS., Monk BJ. Tumors of the Cervix. In Raghavan Derek et al. Textbook of Uncommon Cancer. 4th Ed. McGrawHill. USA. 2008 pg. 501-505. 2. Rosevear SK. Cervical Screening and Premalignant Disesase of the Cervix. In Handbook of Gynaecology Management pg. 80-84. Blackwell Science Ltd. USA. 3. Rabbon JT., Loffe OB. Diagnostic Immunohistochemistry in Gynaecologic Pathology : A Brief Review of Common Clinical Applications. In : Ayhan Ali, Reed Nicholas, Gultekin Murat, Dursui Polat, editors. Textbook of Gynaecological Oncology. 5th Ed. McGrawHill.2009 pg. 5-7. 4. Chan PD., Johnson SM. Management of the Abnormal Papanicolau Smear. In Current Clinical Strategies Gynecology and Obstetrics. Taran Paulsen Hellebust. Oslo. 2009 pg. 6-8. 5. Han K., et al. 2013.Trends in the Utilization of Brachytherapy in cervical Cancer in the United States. International Journal of Radiation Oncology. Volume 87, Number 1; 111119. 6. Watkins JM., et al. 2011. Ultrasound-guided tandem placement for low-dose rate brachytherapy in advanced cervical cancer miniizes risk of intraoperative uterine perforation. Ultrasound Obstetric Gynecology Journal, 37: 241-244. 7. Petra T., et al. 2009. New inverse planning technology for image-guided cervical cancer brachytherapy: Description and evaluation within a clinical frame. Radiotherapy and Oncology Journal, 93 (2009); 331-340. 8. Christine HM., Alain G., Potter G. 2011. Interstitial Brachytherapy in Gynaecological Cancer. Obstetric Gynecology Oncology Journal 20; 417-432. 9. RSUD Dr.Soetomo. 2014. Surabaya. Diakses dari http://[email protected] , pada tanggal 5 Maret 2014. 10. Brenner DJ., 2009. Radiotherapy Biology in Brachytherapy. Journal of Surgical Oncology. 2009;65:66-70. 11. Meregalli et al., 2013. Intracavity Brachytherapy in Cervical Carcinoma : The role of F18-FDGPET in Treatment Planning. Journal of Nucleid Radiation Therapy. 2013;36:3440. 12. Egger. 2013. Image-Guided Therapy System for Insterstitial Gynecologic Brachytherapy in a Modality Operating Suite. SpingerPlus 2013; 2:395 Diakses darihttp://www.springerplus.com/content/2/1/395. 43 13. Zulianil AC, et al. 2010. Brachytherapy for Stage IIIB Squamous Cell Carcinoma of the Uterine Cervix: Survival and Toxicity. Rev Assoc Med Bras. 2010; 56(1);37-40. 14. Viani GA, et al. 2009. Brachytherapy for Cervix Cancer : Low-Dose Rate or High-Dose Rate Brachytherapy- a Meta-Analysis of Clinical Trials. Journal of Experimental & Clinical Cancer Research.2009; 28:47. 15. Wander AD, et al. 2012. Adaptive Brachytherapy of Cervical Cancer, Comparison of Conventional Point A and CT Based Individual Treatment Planning, Acta Oncologica, 2012; 51: 345–354. 16. Bucci MK, et al. 2005. Advances n Radiation Therapy: Conventional to 3D, to IMRT, to 4D, and Beyond. CA Cancer Journal Clinical 2005;55:117–134. 17. Yang et al. 2012. Dosimetric Comparison of Intensity Modulated Radiotherapy and Three-Dimensional Conformal Radiotherapy in Patients with Gynecologic Malignancies: a Systematic Review and Meta-Analysis. Radiation Oncology 2012, 7:197. 18. Andrijono. 2012. Kanker Serviks. Edisi ke-4. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 1-139. 19. Eifel PJ. Radiation Therapy. In: Berek JS, Hacker NF, editors. Practical Gynecologic Oncology. 4th ed.. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2005. pg.119-55. 20. Radiation Oncology throug a basic perspective, Diakses dari http://historidelaradioterapia.seroncolog.com pada tanggal 31 Desember 2013. 21. Sukardja IDG. Onkologi klinik. Edisi Kedua. Surabaya. Airlangga University Press.2000 22. Susworo R. Radioterapi. Jakarta UI Press. 2006. 23. Byfield JE, CG Lacey. Principles of Radiation Therapy dalam: Morrow CP,JP Curtin,DE Townsend (eds). Synopsis of Gynecologic Oncology 4th Edition. New York, Churchill Livingstone, 1993:437-95. 24. Gerhenson DM et al. Gynecologic Cancer. Controversies in Management. Churchill Livingstone.USA. 2004. 25. Gondhowiharjo S,Djakaria M. Peran Onkologi Radiasi dalam Penanganan Penyakit Keganasan, dalam: Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker di Indonesia. Jakarta. UI press 1998. Hal 17-26. 26. Sjamsuddin S. Manual Prekanker dan Kanker Serviks Uterus. Jakarta. Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI.1985. 27. Standar Pelayanan Profesi Radioterapi Kanker Leher Uterus. Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia. 44 28. Mundt AJ, Roeske JC, Weichselbaum RR. Biologic Basic of Radiation Therapy. Diakses dari http://www.bcdecker.com pada tanggal 24 Januari 2014. 29. American College Radiology (ACR). 2013 Brachytheraphy. Diakses darihttp://www.radiologyinfo.org.pada tanggal 18 Februari 2014. 30. Barret, J. 2009. Implementing Image-Guided Brachytherapyfor Cervix Cancer in the UK. London: The Royal College of Radiologists. pg. 1-19. 31. Erickson-Wittmann, B.A., Hsu, I-C. J., Ibbott, G.S., Rabinovicth, R.A., Rosenthal, S.A., Hayes, J.K. 2010. ACR-ASTRO Practice Guideline For The Performance of High DoseRate Brachytherapy. Practice Guideline (3); 1-14. 32. Han, K.. Milosevic, M., Fyles, A., Pintitlie, M., Viswanathan, A.K. 2013. Trends in the utilization of brachytheraphy in cervical cancer in the United States. Int J Radiation Oncol Bio Phys, Vol.87; 111-119. 33. Hellebust, T.P. Severe Late Complication After Radiotherapy for Advanced Cervical Cancer With Special Emphasis on Brachytherapy. Unipub US.Oslo. 2009. pg. 5-44. 34. Koh, W-J., Greer, B.E., Abu-Rustum, N.R., Apte, S.M., Campos, S.M., Chan, J., et al. 2013. Cervical Cancer. NCCN Clinical Practive Guidelines in Oncology. pg. 1-57. 35. Marnitz, S., Kohler, C., Budah, V., Neumann, O., Kluge, A., Wlodarczyk W., et al. 2013. Brachytherapy-emulating Robotic Radiosurgery in Patients with Cervical Carcinoma. Radiation Oncology (8):109. 36. Onal C., Oymak, E. 2011. CT-Guided Brachytherapy Planning. In: Saba, L. Computed Tomography – Special Application. Rijeka: In Tech.2011.pg.105-117. 37. Tharavichitkul, E., Chakrabandhu, S., Wanwilairat, S., Tippanya, D., Nobnop, W., Pukanhaphan, N., et al. 2013. Intermediate-term results of image-guided brachytherapy and high-technology external beam radiotherapy in cervical cancer: Chiang Mai University experience. Gynecology Oncology 130: 81-85. 38. Zuliani, A.C., De Oliveira Cunha, M., Esteves, S.C.B., Texeira, J.C. 2010. Brachytherapy for Stage III B Squamous Cell Carcinoma of The Uterine Cervix: Survival and Toxicity. Rev Assoc Med Bras 56(1):37-40. 39. Chakraborty S. The Manchester system of cervical brachytherapy. Diakses dari http:// radiation –oncologist.blogsppot.com pada tanggal 18 Januari 2014. 40. Chakraborty S. The Manchester system of intracavitary brachytherapy. Diakses dari http://healthmad.com pada tanggal 22 Januari 2014. 41. Jhingran A, PJ Eifel. Radiation Therapy for Cervical Carcinoma. Diakses dari http://www.glowm.com pada tanggal 20 Januari 2014. 45 42. Otto SE. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta. EGC, 2003. 43. Brunner DW, Iwamoto R, Keane K, Strohl R. Manual For Radiation Oncology Nursing Practice And Education. Oncology Nursing Society. Pittsburgh. 2002. 46