PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH FEMINA DAN GADIS: Studi Citra Perempuan Periode 1977-2000 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada Program Studi Sejarah Oleh: Stephanie Woro Narriswari NIM. 104314002 PROGRAM STUDI SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA 2016 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI / SKRIPSI SEJARAIT IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH FEMINA DAI{ GAI}IS: Studi Citra Perempuan Periode 1977-2A00 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SKRIPSI SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH FEMINA DAN GADIS: Studi Citra Perempuan Periode 1977-2000 Oleh: Stephanie Woro Narriswari NIM. 104314002 Dipertahankan di depan panitiapenguji Program Studi Sejarah dan dinyatakan diterima pada tanggal 13 Juli 2016 Panitia Penguji : Ketua : Setr<retaris : Drs. H. He.ry Santosa, Anggota 1. Drs. Silverio R. L.A.S, M.Hum M. Hum Dr. YerryWirawan 2. Dr. Lucia Juningsih M.Hum 3. Drs. Silverio R. L.A.S, M.Hum Yogyakarta, 25 Juli 20L6 s Sastra 111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERSEMBAHAN Skripsi berjudul “Sejarah Perubahan Citra Perempuan melalui Iklan Pembalut dalam Majalah Femina dan Gadis Periode 1977-2000” ini penulis persembahkan bagi seluruh perempuan di penjuru Indonesia, Ibu terkasih M.G. Dwi Waluyastuti (1954-2005), adik karib Noventa Retno Prahastuti dan perempuanperempuan dalam keluarga Brayat Sutini-Sapin serta untuk almamater Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO: “cambuk ditambah makanan sama dengan tenaga” (George Orwell – Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London) v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka. Berbah, 19 Juni 2016, Penulis, Stephanie Woro Narriswari vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH LTNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Stephanie Woro Narriswari Nomor mahasiswa : 104314002 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH FEMINA DAN GADIS: STUDI CITRA PEREMPUAN PERIODE 1977-2000 beserta perangkat yang diperlukan (bira ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan ke dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat densan sebenarnya. Dibuat di Berbah Pada tanggal 8 JLrni 2016 Yangpngryatakan /-1 / ,/ (Stephanie Woro Narriswari) vil PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Setiap perempuan pasti mengalami menstruasi, yang menandakan bahwa tubuhnya melalui satu proses alamiah menuju pertumbuhan. Anggapan masyarakat sehari-hari selalu mengungkapkan menstruasi sebagai tanda kedewasaan seorang perempuan. Akan tetapi kedewasaan tersebut merupakan jebakan. Konstruksi sosial membebani perempuan dengan mengatakan menstruasi sebagai darah kotor, berbau, pemicu tindakan emosional hingga kerap dijadikan alasan untuk mendiskreditkan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah upaya menemukan proses penolakan terhadap tubuh perempuan melalui menstruasi yang terkandung dalam iklan pembalut. Proses meneliti dan menuangkan hasilnya ke dalam bentuk penulisan bukanlah hal yang mudah maupun singkat. Beberapa waktu bahkan mengalami penolakan ketika membaca berbagai teks bertema feminisme dan gender. Semakin perempuan menyatakan ketidakadilan mengenai hal umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan berjuang mati-matian justru memicu munculnya bias. Butuh waktu tujuh bulan untuk meruntuhkan argumentasi tersebut dan menggantikannya dengan kesadaran mengenai pentingnya otonomi tubuh sebagai seorang perempuan. Proses pertumbuhan ini berjalan seiring melakukan pengamatan terhadap iklan-iklan pembalut yang menjadi obyek penelitian. Penelitian ini sempat mengalami beberapa kali perubahan bahkan hasil akhir bukanlah yang diimajikan selama ini. Walaupun jauh dari penulisan sejarah yang sempurna namun penulis merasakan kenyamanan dalam prosesnya karena dapat viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI belajar memberikan perspektif berbeda sebagai perempuan. Maka penulis sangat terbuka menerima kritik dan saran demi memperbaiki penulisan di masa mendatang. Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi sejarah ini, penulis dibantu oleh banyak orang dan pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih terhadap segenap pihak yang membantu, meskipun sebenarnya tidaklah cukup. Sebagai bukti atas segala bantuan, penulis akhirnya menuntaskan penulisan skripsi berjudul “Sejarah Perubahan Citra Perempuan: Studi Iklan Pembalut dalam Majalah Femina dan Gadis Periode 1977-2000”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu M.G Waluyastuti (almarhumah) dan bapak G.A Sarjono yang selalu memberikan harapan baik dan kepercayaan terhadap ambisi anak-anaknya. Untuk saudara-saudaraku, Noventa Retno Prahastuti, Theodorus Hendra A, Yulius Panon Pratomo-Elizabeth Retno Kawuri, dan Vembriyanto-Pipin serta tambahan keluarga ibu Mestika Sitompul, Tiwi, Anes, Leo yang tetap memberikan dukungan maupun janji mentraktir kepiting meskipun harus menunggu lama. Keluarga Semaki yang rajin mendoakan; simbah puteri, pakdhe Dibyo, om Sri, bu Rini-om Pran, bu Wigati-om Baning, om Bambang, bu Palupi-om Tatang, bu Bekti, mbak Lia, mbak Elin, mbak Widya, mbak Arum, Nanda, Yosie, Jalu, Sekar, Mahesa, Taru, Callista, Kama dan Dire. Dalam proses menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari para dosen: Dr. Yerry Wirawan selaku dosen pembimbing yang selalu mendorong eksplorasi terhadap hal-hal baru, Drs. Silverio Aji R.L.A. Sampurno, M. Hum, Dr. Lucia Juningsih, Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, S.J., Drs. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hb. Heri Santosa, M. Hum, Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dr. Purwanta, M.A. dan Drs. Heri Priyatmoko M. A. Selain itu, ucapan terima kasih juga teruju kepada akademisi di luar kampus Sejarah yang sempat meluangkan waktu untuk menerima konsultasi, baik secara langsung maupun hanya lewat surat elektronik: Dewi Candraningrum, Dr. Leong Kar Yen, Dr. Budi Susanto, Dr. Katrin Bandel, Dr. Sharra L. Vostral, Dr. Elsbeth Locher-Scholten, Harry Finley (Museum of Menstruation) dan Dr. Giles Slade. Teman-teman muda yang memberi perhatian terhadap isu perempuan, Stephanie Sz-Chou, Rubina Sumita, Chelsea, Gabi dan Nadyazura (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies-Universitas Indonesia). Dukungan dan semangat dari teman-teman Sejarah angkatan 2010, Rangga Ferry Setiawan, Dyah Merta, Desy Liman, Hernowo Adi, Marni Lotu, Erick Tasen dan Magdalena Dian. Junior maupun senior yang selalu saling mengingatkan dan memberi semangat, Fauzan Kumbang, Rian „Penyik‟, De Britto Wirajati, Rosma, Fransiska „Edut‟, Tiur Angellina, Iva Olami, Bimo, Ara, Luis, Hendy, Fendi, Yohanna, Rico, Silvia Pristi dan teman-teman lainnya yang tidak mampu saya sebut satu-persatu. Para teman lelaki yang selalu membantu memberikan pendapat berkaitan dengan skripsi ini, Imam Prakoso, Alam Surya Anggara, Her Raditya „Gogik‟, Rizal Rachmen, Bayu Pamungkas, Estu „Kapuk‟, mas Ikhsan dan Asep. Gadis-gadis Tanjung, Yudist Ndutie dan Betrik. Teman-teman dari Summer Course Tamkang University, Brian, Stephen, Angus, Noven, mbak Tika, Andrew dan Idho. Sahabat-sahabat yang berada di Semarang, Otty Risma, Saski, Caca Junita, Astrid, Aswin dan Riqi Zulhilmi. Segenap pegawai di LPPM-USD, bu Maria, bu Margi, bu x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Rini, pak Thomas, pak Gik, mbak Dw| mbak Ruth. Riko, rrrzs Ardi dan Sela yang turut menghadirkan warna tersendiri dalam proses penyusunan skripsi. Penulis juga menyatakan terima kasih kepada ibu-bapak pegawai Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Museum Pers Solo dan Perpustakaan FIB- UGM yang berkenan mengulurkan bantuan ketika proses pengumpulan sumber dan memperbolehkan meminjam walaupun bukan sebagai anggota. Secara pribadi, skripsi ini adalah bukti langkah kecil menuju dunia penulisan sejarah perempuan. Kelak, penulis berharap mampu melakukan penelitian sejarah perempuan lebih mendalam sehingga menghasilkan historiografi yang memperkaya perbendaharaan sej arah Indonesia. 2016 Stephanie Woro Narnswarr xl PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv HALAMAN MOTTO ............................................................................................ v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................. vii KATA PENGANTAR ............................................................................... ……… viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii ABSTRAK ......................................................................................................... … xvi ABSTRACT ........................................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ........................................................ 4 1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4 2. Pembatasan Masalah ............................................................................ 5 C. Perumusan Masalah ................................................................................... 5 D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6 F. Kajian Pustaka............................................................................................ 7 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI G. Landasan Teori ........................................................................................... 9 1. Mitos dan Abjeksi ................................................................................ 9 2. Kapitalisme, Media Massa dan Budaya Populer.................................. 11 H. Metode Penelitian....................................................................................... 14 I. Sistematika Penulisan ................................................................................ 16 BAB II CITRA PEREMPUAN MODERN PERIODE 1977-1985 ....................... 18 A. Latar Belakang ........................................................................................... 18 1. Pertumbuhan Ekonomi ......................................................................... 18 2. Kehidupan Politik dan Sosial ............................................................... 20 a. Perlawanan Kaum Terpelajar ......................................................... 21 b. Kehidupan Perempuan ................................................................... 23 3. Perkembangan Pers .............................................................................. 27 a. Majalah Perempuan ........................................................................ 28 b. Iklan................................................................................................ 31 B. Kemasan Pers Perempuan .......................................................................... 33 1. Ragam Iklan Produk Perempuan .......................................................... 34 2. Iklan Pembalut Periode 1977-1985 ...................................................... 38 a. Iklan Pembalut Tahun 1977 ........................................................... 39 b. Iklan Pembalut Tahun 1980 ........................................................... 42 c. Iklan Pembalut Tahun 1982 ........................................................... 46 d. Iklan Pembalut Tahun 1984 ........................................................... 48 e. Iklan Pembalut Tahun 1985 ........................................................... 56 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI C. Kesimpulan ................................................................................................ 59 BAB III CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993 .......... 60 A. Latar Belakang ........................................................................................... 60 1. Perkembangan Perekonomian .............................................................. 60 2. Tuntutan Politik Global ........................................................................ 62 3. Kemajuan Media Massa ....................................................................... 64 a. Periklanan ....................................................................................... 66 b. Pertelevisian ................................................................................... 68 4. Perempuan dan Pembangunan ............................................................. 70 a. Konsep Kecantikan Global ............................................................ 70 b. Penggandaan Pers Perempuan........................................................ 73 c. Perempuan dalam Ruang Publik .................................................... 74 B. Perubahan Iklan Pembalut Periode 1986-1993 .......................................... 76 1. Iklan Pembalut Tahun 1986 ................................................................. 77 2. Iklan Pembalut Tahun 1990 ................................................................. 87 3. Iklan Pembalut Tahun 1992 ................................................................. 90 4. Iklan Pembalut Tahun 1993 ................................................................. 96 C. Kesimpulan ................................................................................................ 103 BAB IV CITRA PEREMPUAN INDEPENDEN PERIODE 1994-2000 ............. 104 A. Latar Belakang ........................................................................................... 104 1. Krisis Ekonomi .................................................................................... 104 2. Gerakan Mahasiswa dan Perlawanan ................................................... 106 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3. Pasca Lengsernya Soeharto .................................................................. 109 B. Kehidupan Perempuan ............................................................................... 111 1. Gerakan Perempuan ............................................................................. 112 2. Perempuan Politisi ............................................................................... 116 C. Perubahan Iklan Pembalut Periode 1994-2000 .......................................... 117 1. Iklan Pembalut Tahun 1994 ................................................................. 118 2. Iklan Pembalut Tahun 1995 ................................................................. 131 3. Iklan Pembalut Tahun 1996 ................................................................. 138 4. Iklan Pembalut Tahun 2000 ................................................................. 149 D. Kesimpulan ................................................................................................ 157 BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 158 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 164 xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Stephanie Woro Narriswari, Sejarah Iklan Pembalut dalam Majalah Femina dan Gadis: Studi Citra Perempuan Periode 1977-2000. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2016. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab empat permasalahan. Pertama menemukan konteks ekonomi, politik dan sosial yang melatarbelakangi penerbitan iklan pembalut periode 1977-2000. Kedua, menentukan pembaca-pembaca majalah Femina dan Gadis. Ketiga, mendefinisikan perubahan visualisasi desain iklan pembalut di majalah Femina dan Gadis periode 1977-2000. Keempat, memahami bentuk-bentuk visual dalam iklan pembalut yang merepresentasikan konstruksi terhadap perempuan periode 1977-2000. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka pada majalah Femina, Gadis, Tempo dan Gatra serta wawancara terhadap pembaca iklan pembalut yang terbit pada periode 1977-2000 sebagai sumber primer. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode heuristik, membandingkan dan interpretasi terhadap sumber yang berhasil dikumpulkan. Penelitian ini menerapkan pendekatan pembacaan mitos, perkembangan kapitalisme dan feminisme untuk memahami konstruksi yang dibentuk melalui iklan pembalut terhadap perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi terhadap perempuan pada periode 1977-2000 mengalami pergeseran. Visualisasi, narasi, figur dan warna dalam halaman iklan pembalut terus mengalami perubahan yang bertujuan untuk melanggengkan kapitalisme. Iklan pembalut membentuk rasionalitas baru bahwa perempuan membutuhkan pembalut. Hal ini memicu perempuan untuk bertindak konsumtif dan kehilangan kuasa atas tubuhnya. Pasalnya, dalam setiap penawarannya produsen pembalut memuat bentuk-bentuk ideal yang harus dimiliki oleh perempuan, misalnya sosok pekerja keras, enerjik, berpendidikan dan cantik. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa iklan-iklan pembalut bukan hanya bertujuan sebagai jurus pemasaran. Iklan pembalut merupakan media dari kapitalisme untuk membentuk konstruksi terhadap perempuan, yaitu sebagai pembelanja dan obyek fetish. Kata kunci: perempuan, menstruasi, iklan, pembalut, citra. xvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT Stephanie Woro Narriswari, History of Sanitary Napkins Advertising in Femina and Gadis Magazine: Study of the Image of Women on Periods 1977-2000. Thesis. Yogyakarta: Department of History, Faculty of Letters, University of Sanata Dharma, 2016. This study aims to address four issues. First, is to find the context of economic, political and social background when the ads published on periods 1977-2000. Second, is to determine the readers of the magazines Femina and Gadis. Third, is to define the changes in design visualization of sanitary napkins ads in magazines Femina and Gadis on periods 1977-2000. Fourth, is to understand the visual forms of advertising that represent the construction of women on periods 1977-2000. This study uses literature magazine Femina, Gadis, Tempo and Gatra also interviews with readers who read the pads ads published on periods 1977-2000 as the primary source. The analysis was performed using a heuristic method, compare and interpretation from the collected resources. This research use approaches, about reading of the myth, the development of capitalism and feminism to understand the construction of women that was formed through the sanitary napkin ads The results showed that the construction of women on periods 1977-2000 shifted. Visualization, narration, figures and colors in the sanitary napkins ads keep changing which aims to perpetuate capitalism. Sanitary napkins ads form a new rationality that women need it. This triggers a woman to act consumptive and lose power on her body. Because, every sanitary napkins ads contained the ideals forms that must be owned by women, for example, the figure of a hardworking, energetic, educated and beautiful. The results of this study prove that the sanitary napkins advertising are not only intended as a marketing stance. It is a media of capitalism to form the construction of women, as a shopaholic and a fetish object. Key words: women, menstruation, advertising, sanitary napkins, image xvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah berhasil melengserkan kepresidenan Soekarno,1 Soeharto membuka perekonomian Indonesia yang padat modal sehingga berkiblat pada pertumbuhan dan pembangunan dengan mengandalkan bantuan Barat.2 Pada tahun 1967 pemerintah mulai memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Setahun kemudian, Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) menyusul diterbitkan untuk memicu investasi. Sejalan dengan liberalisasi perekonomian Indonesia, berbagai perusahaan iklan tumbuh subur dan menjadi garis terdepan dalam pemasaran komoditi industri. Beberapa contoh dapat menggambarkan situasi tersebut, seperti Inter Vista Ltd, pimpinan Nuradi yang merupakan agen periklanan pertama di Indonesia, berdiri pada tahun 1967. Empat tahun berikutnya menyusul perusahaan Matari Adverstising, di bawah asuhan Ken T. Sudarto dan Paul Karmadi. Oleh adanya arus produk-produk luar negeri yang ikut membanjiri pasar Indonesia, maka mulai tahun 1971 rumah-rumah produksi periklanan hasil pertalian 1 M.C. Ricklefs, 2010, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, hlm. 587. 2 Julia Suryakusuma, 2011, Ibuisme Negara; Kontruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 14. 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan perusahaan iklan bertaraf internasional, seperti Ogilvy and Mather, Leo Burnet, dan BBDO bermunculan.3 Visual iklan yang tercipta hasilnya serupa dengan iklan-iklan terbitan luar negeri mulai dari saduran model, pembahasan mengenai produk hingga tagline berbahasa Inggris. Hal ini menggambarkan bahwa Soeharto mulai membangun Indonesia yang merujuk kepada dunia impian ala Barat. Pemerintah mendorong rakyat bahwa mereka sanggup menjelma lebih modern ketika menggunakan produkproduk impor yang beredar seperti bedak bayi Johnson&Johnson, kosmetik Revlon, sabun mandi Lux hingga baju renang Triumph meskipun dalam realitasnya hanya menjadi konsumsi masyarakat kelas menengah. Periode 1980 hingga 1990-an merupakan masa inventif dalam proses penciptaan kreativitas dan persaingan antar perusahaan-perusahaan iklan. Menjelang tahun 1990-an kaum produsen kian berbahagia dengan adanya perluasan media penaklukan karena industri-industri siaran televisi swasta mulai lahir, seperti RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1991), ANTEVE (1993) dan Indosiar (1995). Merambahnya media komunikasi periklanan dalam layar kaca televisi yang dilengkapi dengan audio visual semakin mudah melahap para penonton. Citra gambar Bedjo Riyanto, “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main-main; Wong Cilik dalam Ruang Imajiner Iklan” dalam Budi Susanto, S.J. (ed.), 2003, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 57. 3 2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang bergerak membentuk suatu kenyataan lain dengan tata cara dan logikanya sendiri.4 Gambaran mengenai kebaruan dan modernisasi bukan hanya muncul menggunakan narasi persuasif sebagai bujuk rayu konsumsi produk yang ditawarkan, tetapi juga melalui lekuk tubuh perempuan selaku model iklan. Siasat demikian adalah potret baru dalam periklanan karena tubuh yang semula menjadi milik seorang (private) mulai bergeser sebagai obyek tontonan publik. Salah satu pemiliknya adalah iklan pembalut yang menjadi sasaran penelitian. Majalah Femina terbitan tahun 1977 telah memuat sebuah iklan pembalut merk Starlet hasil produksi perusahaan The Univenus Co. Baik produsen maupun perusahaan periklanan memiliki cita-cita yang sama agar iklan pembalut tepat sasaran menuju perempuan sebagai tujuan konsumen. Oleh karena itu terbitnya majalah perempuan tentu membuka akses dari proses distribusi perusahaan-perusahaan dengan memanfaatkan halaman-halaman iklan sebagai media promosi. Perempuan dan gerakannya sempat tumbuh subur di ladang kepemimpinan Sukarno. Namun era Soeharto membangun kekuasaannya berpondasikan disiplin dan represi jantan ala militer sehingga citra perempuan mengalami rekonstruksi ulang.5 Melalui iklan, misalnya, perempuan adalah kaum marjinal berkat adanya sistem dan struktur sosial-ekonomi kapitalisme yang menempatkannya pada posisi lemah. 4 Ibid, hlm. 60. 5 Saskia E. Wieringa, 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Galang Press, hlm. xlv. 3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Perempuan mengonsumsi citranya sendiri yang didesain oleh pihak produsen melalui barang-barang komoditi. Jumlah perempuan yang tinggi menjadi lahan subur periklanan, hal ini terlihat dari data demografi sebagai berikut. Berdasarkan hasil sensus tahun 1980 tercatat penduduk Indonesia berjumlah 146, 9 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1990, yaitu 178,6 juta jiwa dan 205,1 juta jiwa di tahun 2000.6 Maka dapat diperkirakan bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia antara tahun 1980 hingga 2000 sebesar 1,73 % per sepuluh tahunnya. Sementara untuk jenis kelamin tercatat bahwa di tahun 1995 jumlah perempuan sebesar 4,56 juta dan laki-laki sebanyak 4,6 juta.7 Dalam perhitungan seks ratio diketahui jumlahnya mengalami kenaikan mulai tahun 1980 ketika setiap 100 orang perempuan terdapat 101 orang laki-laki.8 Meskipun jumlah kedua jenis kelamin berselisih sedikit namun pada praktik sehari-hari kaum perempuan masih mendominasi sebagai sasaran konsumsi dan obyek tontonan. B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Pertumbuhan periklanan di Indonesia mulai bangkit pada awal tahun 1970 seiring dengan dibukanya gerbang perekonomian bagi masuknya modal dan investasi asing. Salah satu pelanggan periklanan adalah produk pembalut. Iklan pembalut tentu 6 Dikutip dari www.bps.go.id, diakses pada tanggal 28 Agustus 2015. Peter Hagul, 1998, “Wanita Pemburu Cinta di Rubrik Jodoh” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media; Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 392. 7 8 www.bps.go.id, loc.cit. 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berfungsi untuk menarik perhatian para perempuan sehingga berkeinginan membeli dan terus menggunakannya. Akan tetapi pada kehadirannya kekuatan promosi menempatkan tabu menstruasi yang berkembang dalam masyarakat sebagai bagian dari iklan. Oleh karena itu obyek penelitian visualisasi iklan yang berkembang seiring berjalannya pembangunan dan modernisasi adalah dengan menggunakan iklan-iklan pembalut dalam majalah-majalah perempuan edaran tahun 1977 hingga 2000. Selain itu juga menyertakan pertanyaan mengenai siapa sang tokoh utama, bagaimana pose tubuh model, apa saja teks bernada persuasif dan pelbagai warna di dalam iklan pembalut sehingga dapat menemukan gambaran mengenai kehidupan perempuan. 2. Pembatasan Masalah Sebagai wilayah penelitian akan dibatasi pada pilihan dua majalah yang telah terlibat di dalam arus perekonomian sejak tahun 1977, yaitu Femina dan Gadis. Agar penelitian lebih terarah konteks waktu akan dibatasi hingga tahun 2000 karena usai periode tersebut iklan pembalut mulai mengalami perubahan tampilan desain yang lebih kreatif dan menggunakan media televisi sehingga cakupan penonton menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada perempuan. C. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas maka diajukan tiga pertanyaan sebagai fokus penelitian, yakni: 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. Bagaimana konteks ekonomi, sosial dan politik yang melatarbelakangi penerbitan iklan pembalut periode 1977-2000? 2. Siapa saja pembaca majalah Femina dan Gadis? 3. Bagaimana sejarah perkembangan visualisasi iklan pembalut di majalah Femina dan Gadis periode 1977-2000? 4. Bagaimana sejarah citra perempuan pada periode 1977-2000 digambarkan dalam iklan pembalut pada majalah Femina dan Gadis? D. Tujuan Penelitian 1. Memenuhi persyaratan kelulusan sarjana di Jurusan Sejarah, Universitas Sanata Dharma. 2. Mendokumentasikan bentuk-bentuk visual, kreatif dan simbol dalam perkembangan visualisasi iklan pembalut yang dimuat di majalah wanita Femina dan Gadis edaran antara tahun 1977 hingga 2000. 3. Merekonstruksikan perubahan kehidupan perempuan melalui penggambaran dan perkembangan visualisasi iklan-iklan pembalut. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru mengenai sejarah perempuan dalam masyarakat modern Indonesia. Dalam hal ini terutama penulisan sejarah yang berkaitan dengan bagaimana iklan mengkonstruksi citra terhadap perempuan. Di sisi lain hasil penelitian juga diharapkan dapat 6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mendorong penelitian berikutnya bagi siapa saja yang beminat meneliti tema perempuan sehingga memberikan keseimbangan dalam penulisan sejarah bahwa masa lalu adalah milik perempuan dan laki-laki.9 F. Kajian Pustaka Ada beberapa penulisan terkait yang bertema sama. Dalam artikel berjudul “Mengeruk Keuntungan dari Kutukan; Iklan dan Pelbagai Hal yang Dianggap Tabu Ketika Menstruasi” karya Ann Treneman yang dimuat di dalam buku Tatapan Perempuan; Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer berargumen bahwa iklan berperan penting dalam kelanggengan tabu menstruasi yang menyelimuti kehidupan perempuan karena citarasa para perancangnya terletak pada “rasa malu” dan “aroma terlarang”.10 Tema serupa namun dengan pendekatan ilmu berbeda, seorang antropolog Janet Hoskins pernah menyambangi dua desa berbeda di wilayah Pulau Seram dan Pulau Sumba, Indonesia bagian Timur untuk mengamati adanya bentukbentuk terlarang kehadiran menstruasi. Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Ethnology berjudul “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two Eastern Indonesian Societies”.11 9 Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 99. 10 Lorraine Gamman dan Margaret Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan: Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra. Janet Hoskins, 2002, “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two Eastern Indonesian Societies”, Ethnology, Vol. 41, No. 4, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond Menstruation as Pollution. 11 7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Outward Appearances, merupakan kumpulan tulisan sejarah mengenai penampilan luar seseorang yang berperan besar pada pergaulan sosialnya. Buku ini disunting oleh Henk Schulte Nordholt dengan kontribusi dari berbagai penulis sejarah, baik dalam maupun luar negeri. Salah satu tulisan dalam buku berjudul Pusaran Air dan Listrik; Modernitas di Hindia karya Henk Maier menjadi salah satu tinjauan pustaka karena membongkar sebuah iklan Philips yang dibaca sebagai penawaran baru mengenai hasrat modernitas terbatas di Hindia Belanda.12 Tulisan berikutnya, yang berjudul “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia” dibahas mengenai sejarah iklan dan figur rakyat digunakan baik sebagai pemeran utama ataupun sasaran konsumen dalam penawaran produk-produk industri.13 Selain itu sebuah skripsi berjudul Perkembangan Kreativitas Desain Iklan Rokok di Jawa Tahun 1930-1970an karya Yuhana Setianingrum, mahasiswa jurusan Sejarah FIB UGM turut menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan ini karena memiliki tema serupa meskipun perbedaan jangkauan waktu. Salah satu sub-topik dibahas mengenai bagaimana pencitraan tubuh perempuan digunakan dalam iklan 12 Henk Schulte Nordholt (ed.), 2005, Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, Yogyakarta: LKiS. 13 Budi Susanto, S.J. (ed.), 2003, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI rokok menjelang tahun 1970-an.14 Tinjauan pustaka bukan terbatas kepada buku tetapi juga terbitan berkala, yaitu Jurnal Perempuan dan Prisma. G. Landasan Teori Sebuah penulisan sejarah wajib memiliki teori pengetahuan, sama dengan ilmu lainnya yang digunakan sebagai kaidah atau pegangan dalam menganalisis permasalahan. Maka dalam penelitian ini akan menggunakan tiga pendekatan, yaitu cara membaca mitos, alur kehidupan dalam masyarakat kapitalisme dan postfeminisme. a. Mitos dan Abjeksi Secara sederhana pengertian mitos menurut Roland Barthes adalah type of speech atau salah satu tipe tuturan. Meskipun demikian bukan asal tipe tuturan karena membutuhkan ideologi tertentu untuk menjadi mitos. Kini mitos bukan lagi cerita mengenai dewa-dewi melainkan berwujud lebih bebas, misalnya teks atau gambar yang harus dilihat menyeluruh karena mengandung pesan. Mitos merupakan pengendali; mampu merubah sesuatu rekaan yang bersifat kultural dan historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. 15 Dalam ilmu semiologi, yang mempelajari tanda dan penanda, Barthes menggunakan mitos sebagai sistem. Barthes membagi mitos menjadi tiga bagian, Yuhana Setianingrum, 2012, “Perkembangan Kreativitas Iklan Rokok di Jawa Tahun 1930-1970an”, Skripsi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 14 15 Roland Barthes, 1991, Mythologies, New York: The Noonday Press. 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yaitu signifier (penanda-bentuk), signified (petanda-konsep) dan sign (tandapemaknaan). Membaca mitos sifatnya arbitrer dan dapat bermakna konotasi. Pasalnya, mitos mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Oleh karena itu, mitos bukanlah tanda yang bersifat netral melainkan penanda supaya memainkan ideologi tertentu. Selain itu mitos merupakan tuturan yang didepolitisasi, artinya jauh dari hal-hal bersifat politis. Maka penguasa cenderung menciptakan dan menggunakan mitos untuk melegitimasi dirinya sebagai pemilik segala-galanya. Salah satu mitos yang digunakan untuk menomorsatukan penciptanya dan menyingkirkan lawannya adalah abjeksi. Julia Kristeva mengatakan bahwa abjeksi adalah it is something rejected from which one does no part, from which one does not protect oneself as from an abject.16 Abjeksi berarti mendiskreditkan dan mengobyekkan seseorang menjadi sesuatu yang menjijikkan.17 Guna menjaga kelangsungan hidup sang subjek maka abjeksi dibutuhkan karena dianggap dapat mengganggu tatanan simbolik. Kristeva membagi dua jenis abjeksi yang polutan, yakni excremental (berupa airmata dan sperma) dan menstrual. Menstruasi adalah pengalaman alamiah dan spesifik, artinya hanya dimiliki oleh perempuan. Namun oleh khalayak umum kehadirannya diisolasikan dengan “dibalut” sebuah produk 16 Julia Kristeva, 1982, Powers of Horror; An Essay on Abjection, New York: hlm. 4. 17 Christina Siwi Handayani, 2013, “Julia Kristeva: Kembalinya Eksistensi Perempuan sebagai Subyek” dalam Subyek yang Dikekang: Pengantar ke Pemikiran Julia Kristeva, Simone de Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas Salihara-Hivos, hlm. 10. 10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pembalut, ataupun disamarkan melalui ilustrasi warna merah darah menjadi biru dalam penayangan iklannya. Dalam Powers of Horror; An Essay on Abjection, Kristeva mepaparkan sebuah abjeksi terhadap tubuh perempuan. Hal ini berawal dari sifat maternal dari tubuh perempuan yang melahirkan, memberi gizi, menyusui, memeluk dan mengasuh anak. Ketika masa penyapihan tiba, anak harus membebaskan diri dari kemanjaan tersebut untuk berhasil pindah menuju ruang sosial lebih luas atau dapat dipahami sebagai dunia ayah. Maka tubuh perempuan menjadi fasilitas keberhasilan pemisahan tersebut melalui cara abjeksi supaya anak menolak identifikasi narsis bersama ibunya dan mendapatkan identitas maskulin dari ayahnya, apabila seorang anak laki-laki. Sementara anak perempuan akan sulit meninggalkan tubuh ibunya karena harus mengambil identitas feminin. Maka anak perempuan cenderung menyingkirkan dan melupakan dengan cara menganggap bahwa tubuh ibunya telah lumpuh memberikan gizi. Ketidaktertarikan anak perempuan terhadap tubuh ibunya pada masa dewasa melanjutkan abjeksi yang telah lebih dahulu terjadi sehingga tanpa disadari membentuk penolakan terhadap dirinya. Anak perempuan meyakini bahwa tubuh miliknya dan perempuan-perempuan lainnya layak mengalami abjeksi. b. Kapitalisme dan Budaya Populer Dalam industri berbasis tradisional, aktifitas produksi selalu berdasarkan pada hukum penawaran dan permintaan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi memicu aktifitas produksi meningkat lebih besar bahkan mengalami pembalikan. Herbert Marcuse menjelaskannya sebagai one dimensional man, yaitu 11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI suatu kondisi di wilayah industri kapitalis maju yang dengan sengaja menciptakan kebutuhan supaya masyarakat bertindak konsumtif menghabiskan produksi barang dan jasa. Artinya, kebutuhan bukan lagi bersifat individual melainkan telah diciptakan secara massal sehingga masyarakat tidak lagi mampu mengajukan pilihan sesuai dirinya. Kondisi demikian memberi peluang terhadap media massa dalam mempengaruhi, merangsang, membujuk dan ikut menciptakan kebutuhan baru. Salah satunya melalui iklan, yang oleh para produsen bukan hanya berperan sebagai alat memasarkan produk. Awalnya iklan memuat informasi mengenai tampilan dan fungsi produk. Namun maraknya industrialisasi memicu iklan turut menampilkan berbagai macam kebutuhan baru yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan demikian, media massa benar-benar menerapkan fungsi edukasi yaitu memberitahu masyarakat untuk bergerak melampaui batas kebutuhan fisik menuju keinginan-keinginan baru. Masyarakat meyakini secara rasional, bahwa memenuhi keinginan-keinginan irasional akan mendatangkan kebahagiaan, kenyamanan dan kenikmatan. Wacana Angela McRobbie mengenai kapitalisme pada dasarnya serupa dengan Marcuse bahwa liur, hasrat hingga mimpi seseorang merupakan ciptaan industrialisasi.18 Konstruksi mengenai keidealan femininitas dan maskulinitas merupakan ciptaan media massa. Dalam hal ini McRobbie lebih menitikberatkan 18 Disampaikan oleh Dewi Candraningrum dalam acara diskusi Great Thinkers: Angela McRobbie: Postfeminism and Popular Culture, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah Pascasarjana UGM. 12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perjuangan dan kehidupan perempuan yang dibentuk oleh mesin kapitalisme melalui media massa. Dalam situasi neoliberalisme media massa mendiskon perjuangan perempuan yang dapat diamati dari iklan, artikel dalam majalah hingga penciptaan istilah post-feminism, artinya perjuangan feminisme telah berakhir. Hal tersebut terjadi bukan hanya sekali. Di Eropa, memasuki periode 1970an media massa memberikan porsi besar dalam peliputan mengenai kemajuan perempuan. Namun pada periode 1980-an media massa secara masif menyatakan bahwa kebahagiaan perempuan adalah saat mampu memasak, mengasuh anak dan mementingkan keluarga meskipun memiliki karir cemerlang.19 McRobbie bersepakat dengan Susan Faludi, yaitu menggunakan istilah double-entanglement untuk menunjukkan bahwa media massa mampu membentuk perjuangan perempuan dan gerakan feminisme melalui penawaran mengenai kesetaraan, pendidikan dan lapangan pekerjaan serta partisipasi dalam konsumsi budaya populer. Dengan demikian perempuan dibentuk bersikap individualis, lebih memperhatikan jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuhnya ketimbang mempedulikan situasi politik dan perjuangan kelompok sesuai konten-konten dalam media massa. H. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang dibagi menjadi empat tahapan yaitu pemilihan topik, mencari dan mengumpulkan sumber (heuristik), kritik 19 Baca Gadis Arivia, 2016, makalah “Postfeminisme: Feminisme dalam Budaya Konsumerisme” dalam acara diskusi Great Thinkers: Angela McRobbie: Postfeminism and Popular Culture, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah Pascasarjana UGM: hlm. 3 13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ekstern maupun intern, analisis dan interpretasi serta penulisan. Sementara itu rancangan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa deskriptif, naratif dan analisis karena bertujuan merekonstruksi ulang lalu mendeskripsikannya menjadi tulisan mengenai situasi atau kondisi yang terjadi melalui makna-makna dalam iklan pembalut. Acuan sumber pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Menurut Helius Sjamsuddin sumber primer adalah bukti sezaman dengan peristiwa yang terjadi.20 Penelitian ini melakukan heuristik sumber primer dengan cara studi pustaka terhadap iklan-iklan serta konten dalam majalah (Femina dan Gadis) serta berbagai artikel yang berkaitan pada majalah Tempo dan Gatra. Sumber primer lainnya adalah hasil wawancara kepada perempuan dan laki-laki yang melihat maupun membaca iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis edaran tahun 1977 hingga 2000, dilaksanakan di Yogyakarta, Solo serta Semarang. Selain itu studi pustaka juga menggunakan Prisma dan Jurnal Perempuan, buku-buku, skripsi atau tesis sejarah atau ilmu sosial lainnya maupun handout seminar mengenai perempuan, menstruasi serta semiotika yang bertujuan agar penulisan ini dapat memberikan informasi sebenar-benarnya. Berbagai data tersebut adalah sumber sekunder yang ditulis berdasarkan sumber-sumber pertama. Lokasi studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Sanata Dharma, Perpustakaan Museum Pers Solo, Perpustakaan Kolese Santo Ignatius, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan FIB-UGM, Perpustakaan 20 Helius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, hlm. 107. 14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kota Yogyakarta, Jogja Library Center, Taman Pustaka Arif Hakim dan Perpustakaan DIY. Penelitian dimulai dengan menentukan sumber sejarah, yaitu majalah Femina dan Gadis. Penentuan sumber sejarah primer pertama jatuh terhadap Femina dan Gadis karena keduanya merupakan pelopor majalah hiburan perempuan pada periode pembangunan dan memiliki segmentasi pembaca yang berbeda sehingga memungkinkan suatu perbandingan. Femina sebagai majalah hiburan bagi perempuan dewasa tentu memiliki kekhasan dalam penyajian konten-kontennya. Demikian pula dengan Gadis yang menyasar perempuan muda dengan muatan-muatan bertema kehidupan remaja. Sesudah menentukan sumber sejarah, langkah berikutnya adalah menelusuri dan memilah iklan-iklan pembalut yang terbit pada periode 1977-2000. Pilihan sumber sejarah primer yang kedua adalah majalah Tempo dan Gatra. Penelitian menggunakan majalah Tempo dan Gatra untuk memperoleh gambaran kehidupan Indonesia periode 1977-2000 dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, budaya hingga perihal perempuan. Setelah proses mencari dan menilai berbagai sumber, langkah berikutnya adalah menganalisa, membandingkan supaya menemukan kesesuaian serta menyatukan antara data-data iklan dengan artikel-artikel yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia. Langkah selanjutnya adalah menyusun data menjadi tulisan dengan memperhatikan unsur kronologis, sistematis dan masuk akal. Dalam proses ini turut menyertakan pembacaan terhadap berbagai penulisan yang dimuat oleh Prisma, Jurnal Perempuan, skripsi ataupun tesis, 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI handout seminar dan buku-buku terkait dengan periode pembangunan Indonesia 1977-2000. I. Sistematika Penulisan Penulisan akan diawali dengan Bab I yang mencakup pendahuluan berisi latar belakang pemilihan topik, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka berisi sumber-sumber dalam penelitian hingga metode penelitian. Selanjutnya di Bab II akan dimulai dengan latar belakang yang membahas mengenai situasi ekonomi, politik, sosial maupun budaya di Indonesia pada tahun 1977 hingga 1985. Sesudah latar belakang, penjelasan mengenai iklan-iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis akan dipaparkan serta dikaitkan dengan situasi yang tengah berkembang. Bagian akhir menjelaskan kesimpulan dari keseluruhan penulisan Bab II. Pada Bab III pun demikian. Pembahasan akan berlanjut kepada latar belakang dan iklan-iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis terbitan periode 1986-1993 serta keterkaitan keduanya. Di bagian akhir memaparkan kesimpulan dari keseluruhan Bab III. Berikutnya pada Bab IV, melanjutkan pembahasan periode 1993-2000. Bab IV merupakan periode terpendek namun pembahasan yang lebih banyak karena pada Indonesia tengah mengalami reformasi kepemimpinan sehingga mempengaruhi 16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Di bagian akhir juga menjelaskan kesimpulan dari penjelasan menyeluruh Bab IV. Sebagai penutup, pada Bab V akan berisikan kesimpulan dari pokok pembicaraan dari penulisan ini berdasarkan bab-bab sebelumnya. 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II CITRA PEREMPUAN MODERN PERIODE 1977-1985 Pemerintahan Soeharto menegaskan dirinya sebagai era modernisasi dan negara pembangunan.21 Kata-kata kunci khas seperti pembangunan ekonomi, Pancasila, stabilitas, Keluarga Berencana dan dwifungsi ABRI merupakan cerminan atas hal tersebut. Dalam bab II berikut akan menggambarkan situasi negara Indonesia dengan pemetaan mengerucut pada masing-masing sektor, mengenai perekonomian, perkembangan politik dan sosial serta media massa yang berimplikasi terhadap kehidupan maupun gambaran perempuan periode 1970-an hingga tahun 1985. A. Latar Belakang 1. Pertumbuhan Perekonomian Sejak Soeharto naik sebagai presiden di tahun 1966 pembangunan ekonomi di Indonesia mulai memperlihatkan perubahan. Pada awal periode 1970-an eksplorasi minyak menjadi arus utama perekonomian.22 Sebagai lembaga kunci perekonomian, Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) mematuhi anjuran IMF (International Monatery Fund) dan IBRD (Bank Dunia) supaya memfasilitasi diri Richard Robison, 1985, “Class, Capital and the State in New Order Indonesia” dalam Richard Higgott dan Richard Robison (ed.), 1985, Southeast Asia: Essays in the Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul, hlm. 307. 21 22 Pendapatan negara melonjak dari 66,5 milyar (19,7%) menjadi 957,2 milyar (48,4%). Baca Richard Robison, op.cit, hlm. 118. 18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terhadap masuknya modal asing. Sebetulnya, baik IMF ataupun Bank Dunia merupakan lembaga moneter internasional yang dikuasai oleh negara-negara kapitalis barat, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Jepang.23 Pemerintah mengalokasikan pinjaman luar negeri untuk membiayai dan mengawasi kegiatan impor, meningkatkan proyek investasi serta merawat infrastruktur negara.24 Selain itu pemerintah harus mampu menengahi kepentingan bisnis domestik dan asing supaya tidak terjadi pergolakan.25 Negara membantu pengusaha domestik untuk bangkit dengan membatasi atau bahkan menutup beberapa investasi asing, seperti sektor transportasi dan komunikasi. Sikap demikian merupakan kebijakan “ekonomi Pancasila”, yaitu kapitalisme dengan energi kekuatan pasar bebas supaya menghasilkan pertumbuhan maksimum, meskipun pada saat yang sama kepentingan keadilan sosial tetap mengendalikannya.26 Meningkatnya pendapatan negara mempengaruhi pertumbuhan Bedjo Riyanto, 2003, “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main-main: Wong Cilik dalam Ruang Imajiner Iklan” dalam Budi Susanto, S.J. (ed), op.cit, hlm. 56. 23 24 Hasilnya, di tahun 1974 tingkat inflasi tahunan menurun menjadi 41% dari 600% pada tahun 1965. Selain itu, sebanyak 15,5% sektor manufaktur bertumbuh setiap tahunnya. Richard Robison, op.cit., hlm. 108. Baca juga M.C. Ricklefs, 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Penerbit Serambi, hlm. 626. Bandingkan dengan Winarno Zain, 1986, “Pokok-pokok Masalah dan Pemikiran Mengenai Industrialisasi: Sebuah Tinjauan Umum”, Prisma No. 1 Th. XV terbitan Januari 1986, hlm.14. 25 Strategi ini bertujuan supaya perusahaan-perusahaan nasional yang bergerak dalam sektor-sektor serupa tetap terlindungi karena melibatkan pejabat pemerintah sebagai pemilik modal. 26 Richard Robison, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 105. Lihat juga Emil Salim, 1979, “Sistem Ekonomi Pancasila”, Prisma No.5 Th. VIII terbitan Mei 1979, hlm. 3-9. 19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI investasi, rata-rata 32% per tahunnya27 apalagi sejak pemerintah menerbitkan UU PMA (Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri).28 2. Kehidupan Politik dan Sosial Demi mewujudkan pembangunan ekonomi pemerintah membutuhkan stabilitas secara politik dan sosial. Salah satu bentuknya, Soeharto menerapkan sikap disiplin militer dalam kehidupan sipil, sehingga setiap bentuk perbedaan dan keanekaragaman dipandang sebagai ancaman yang harus disimpan rapat agar tidak memecah-belah keutuhan bangsa maupun negara.29 Maka terdapat tiga elemen penting yang menyangga terselenggaranya stabilitas nasional, yaitu Pancasila, Golkar serta aparat militer-kepolisian. Berdasarkan uraian Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983, pemerintah menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dijadikan 27 Dana yang masuk melalui investasi bertumbuh, dari Rp 160 miliar pada tahun 1970-1971 menjadi Rp 8 ribu miliar di tahun 1982-1983. Ibid., hlm. 140. 28 Pada tahun 1967 pemerintah menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), yang bertujuan mengatur hal-hal terkait jaminan nasionalisasi, masa kerja perusahaan, perpajakan, pembebasan bea masuk impor mesin, dan otonomi dalam badan usaha seperti perekrutan tenaga kerja ataupun pemindahan keuntungan kepada warga negara Indonesia. Hasilnya perencanaan investasi domestik di Indonesia meningkat terus-menerus hingga melebihi Rp 800 miliar pada tahun 1972. Setahun berikutnya giliran investor domestik mendapatkan perhatian dengan dikeluarkannya UU PMDN (Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri) yang mengatur hal-hal serupa. Richard Robison, loc.cit. Lihat laporan utama Tempo, 9 Desember 1972, “Kredit PMDN – Antara Koneksi dan Investasi”, hlm. 45 29 Tamrin Amal Tomagola, 2006, Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book, hlm. 130. 20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI panutan.30 Bagi setiap insan manusia Indonesia, baik pelajar, pegawai, buruh hingga seniman wajib mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).31 Kedua, Golkar menjadi partai pemerintah yang menguasai perpolitikan Indonesia. Pegawai negeri maupun pejabat tingkat desa hingga pusat wajib menjadi anggota partai Golkar. Ketiga, pemerintah menambah keterlibatan aparat militerkepolisian beserta organisasi milisi dan kepemudaan yang mengandalkan sikap intimidasi, seperti Pemuda Pancasila atau Pemuda Karya. Selain itu banyak pejabat militer melakukan manipulasi kredit ekspor dan kontrak-kontrak negara untuk berkongsi bersama pengusaha Tionghoa32. Berbagai ketimpangan ini mendapatkan kritik keras dari kelompok terpelajar yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. a. Perlawanan Kaum Terpelajar Kelompok pers dan mahasiswa mulai bergerak melancarkan kritik berdasarkan tindak korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, maupun penyimpangan moral. Mochtar Lubis melalui Indonesia Raya, mengkritik Ibnu Sutowo dan 30 GBHN Bab II memaparkan tujuan pembangunan nasional, yakni dengan “mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. GBHN ’83. Jakarta: hlm. 11. 31 Julia I. Suryakusuma, 2011, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 140. 32 Militer juga merambah wilayah kerjanya menuju desa-desa dengan munculnya program aksi kewarganegaraan berjudul, “ABRI Masuk Desa”, yang bertujuan mendorong dan mensukseskan pembangunan. Richard Robison, op.cit, hlm. 199. Lihat juga tulisan Teruo Sekimoto, 2005, “Pakaian Seragam dan Pagar Beton: Mendadani Desa pada masa Orde Baru Tahun 1970-an” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit, hlm. 449-494. 21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pertamina di awal tahun 1970.33 Kemudian antara tahun 1970-1973 surat kabar Nusantara secara rutin mewartakan berita persekutuan pemodal asing dan pengusaha domestik yang memperoleh perlindungan politik dari para pejabat pemerintahan.34 Bulan Januari 1972, kelompok mahasiswa menggelar demonstrasi “AntiMini” untuk memprotes rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Tien Soeharto karena dianggap sebagai pemborosan dan sembrono, bahkan mengabaikan kehidupan rakyat miskin.35 Sebagai akibatnya, pemerintah melakukan tindakan keras dengan menangkapi para pemimpin demonstran.36 Tindakan serupa kembali terulang pada para pemimpin unjuk rasa yang dituduh terlibat dalam Malari.37 Beberapa koran kritis, seperti Pedoman, Indonesia Raya, Suluh Berita serta Abadi yang memuat pemberitaan Malari bahkan ikut terkena imbasnya, yaitu tutup usia secara paksa dengan dugaan memprovokasi pendemo.38 Tindakan otoriter Soeharto untuk mencapai kesuksesan pembangunan juga terlihat dalam berbagai kebijakannya terhadap perempuan. Persoalan perempuan 33 Richard Robison, op.cit., hlm 125. 34 Ibid., hlm. 81. Lihat laporan akhir tahun “Indonesia: Konflik dalam Hajad dan Hambatan” dalam Tempo, 30 Desember 1972, hlm. 5. Bandingkan dengan Richard Robison, op.cit, hlm. 125. 35 36 Ibid. 37 Beredarnya isu anti-Cina merupakan awal dari Malari. Ketika kerusuhan pecah, Jakarta penuh dengan pembakaran kendaraan bermotor dan puluhan gedung serta penjarahan toko-toko berisi produk Jepang. Lihat M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 619. 38 Richard Robison, op.cit., hlm. 128. 22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI merupakan bagian integral dari masyarakat, yang mendasar dan tidak terpisahkan.39 Pada bagian selanjutnya akan membahas kehidupan perempuan Indonesia dalam kondisi sosial politik di awal pemerintahan Soeharto. b. Kehidupan Perempuan Jumlah populasi perempuan pada tahun 1977 tercatat lebih banyak ketimbang laki-laki, yaitu 67 juta orang. Sementara itu populasi laki-laki berjumlah 64 juta orang. Hingga tahun-tahun berikutnya, baik jumlah populasi perempuan maupun laki-laki terus mengalami pertambahan. Namun hasil laporan tersebut tidak berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja perempuan, yang masih kalah berebut peluang kerja dengan laki-laki. Komposisi jumlah perempuan dalam dunia kerja berbanding terbalik dari populasi keseluruhan. Laporan Biro Pusat Statistik 1976 mengungkapkan bahwa jumlah pekerja perempuan jauh lebih sedikit, hanya sebesar 28 ribu orang sementara laki-laki 118 ribu orang. Apabila bekerja perempuan dikenal berupah murah, loyal, disiplin, tanpa banyak protes, walaupun memiliki ketelitian yang lebih baik bila dibandingkan dengan laki-laki. Hingga tahun 1985 upah pekerja perempuan tercatat hanya Rp 1.290, sementara laki-laki lebih besar, yaitu Rp 1.722. Mengutip pernyataan Heidi Hartmann, “the resulting mutual accommodation between patriarchy and capitalism has created a vicous circle for women”.40 Julia I. Suryakusuma, 1981, “Wanita dalam Mitos, Realitas, dan Emansipasi”, Prisma No. 7 Th. X terbitan Juli 1981, hlm. 3. 39 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kapitalisme kerap mengkampanyekan penghapusan diskriminasi upah antara perempuan dan laki-laki namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Rendahnya gaji perempuan merupakan keuntungan bagi kapitalisme. Pertama, perempuan akan terdorong memilih untuk menikah dan menggantungkan dirinya terhadap laki-laki. Kedua, ketika perempuan memutuskan menikah maka balasannya terhadap suami adalah menampilkan peran sebagai pengemban tugas domestik yang mengurangi porsinya bekerja di publik. Maka laki-laki mendapatkan dua keuntungan sekaligus dari proses tersebut, yaitu gaji tinggi dan kekekalan pembagian kerja domestik yang porsinya lebih besar oleh perempuan. Keberhasilan skenario kapitalisme tersebut dengan mudah menempatkan perempuan sebagai konsumen, bersikap pasif dan menelan segala produk industri. Pada tahun 1974 pemerintah menerbitkan Undang-undang Perkawinan yang menegaskan asas monogami untuk mempersulit poligami meskipun agama Islam memperbolehkannya. Namun dalam pasal 31 menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri berkewajiban sebagai ibu rumah tangga. Pembagian tugas gender ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan harus mengenakan embel-embel pendamping suami sehingga cenderung lemah mengambil keputusan, bahkan termasuk kuasa tubuhnya. Dalam kurun waktu 20 tahun program Keluarga Berencana berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduk dari 2,32% di tahun 40 Heidi Hartmann, 1976, “Capitalism, Patriarchy and Job Segregation by Sex”, Jurnal Signs, Vol. 1, No. 3, Women and The Workplace: The Implications of Occupational Segregation, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 139. 24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1960-an menjadi 1,97% pada tahun 1980-an41, meskipun kenyataannya memberatkan pihak perempuan. Alih-alih mensosialisasikan metode pencegahan kehamilan secara alami menggunakan penanggalan masa subur, pemerintah justru siap siaga menyediakan jumlah alat kontrasepsi berupa pil dan I.U.D (spiral) lebih banyak ketimbang kondom.42 Sementara itu perlindungan hak perempuan dalam bekerja belum mendapatkan jaminan oleh undang-undang.43 Hal ini mencerminkan bahwa perempuan belum mendapatkan perlindungan hukum sepenuhnya dan masih berada pada posisi subordinat. Peran perempuan tidak lebih sebagai pendamping suami, pengatur rumah tangga serta pengasuh anak karena hanya dalam status perkawinan negara mengakui hak dan keberadaannya. 41 M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 634. 42 Sebuah data statistik menunjukkan bahwa pada periode 1978-1982 penyediaan alat kontrasepsi I.U.D (spiral) memiliki jumlah terbanyak, yakni 962,410 ribu. Urutan kedua adalah pil, yang jumlahnya mencapai 231,831 ribu. Sementara kondom hanya tersedia dalam jumlah 1.021 buah. Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm. 112-113. 43 Hal ini justru merupakan kemunduran, karena di tahun 1961 pada Kongres Gerwani IV telah diusulkan undang-undang mengenai hak perempuan, salah satunya adalah kenaikan upah kerja perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Saskia E. Wieringa, 1999, op.cit, hlm. 331. Sementara itu, Undang-undang perlindungan terhadap perempuan dalam dunia kerja mengenai cuti hamil dan menstruasi terbit kembali di tahun 2003. Pada tahun 1948 UU Perlindungan terhadap Perempuan pernah diterbitkan,yang isinya melarang aktivitas bekerja di malam hari kecuali menurut sifatnya dan memberikan kelonggaran bekerja ketika menstruasi hari pertama dan kedua. Namun pada masa pemerintahan Soeharto UU tersebut mengalami disfungsi. 25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pembangunan seyogyanya merupakan proses menyejahterakan, namun 40% penduduk Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan.44 Di lingkungan pedesaan perempuan yang sebelumnya aktif bekerja dalam pertanian sebagai penanam benih padi, pemanen, maupun penumbuk gabah harus berhenti seiring lahirnya kebijakan Revolusi Hijau. Sistem dan pengoperasian mesin pertanian lebih mengutamakan keahlian dari laki-laki. Selain menghadapi masalah kemiskinan, perempuan desa juga harus menerima kenyataan mengenai minimnya peluang kerja dan upah yang diterima akibat adanya mekanisasi teknologi pertanian. Pada masyarakat perkotaan, pembangunan membawa perubahan dengan mengalirnya nilai-nilai Barat, misalnya melalui pendidikan dan bahasa asing yang disahkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di bangku sekolah. Perempuan golongan menengah atas mampu mengakses pendidikan sehingga memiliki kesadaran untuk mengembangkan diri dan berkesempatan mendapatkan pekerjaan dalam berbagai bidang. Di Asia Tenggara laki-laki menguasai kantor-kantor pemerintahan dan militer namun perdagangan terbuka bagi perempuan, seperti isteri-isteri pejabat pemerintah di Jakarta mengurusi pertokoan atau berbisnis batu mulia. Peningkatan pembangunan ekonomi yang didukung oleh curahan dana dari IMF dan Bank Dunia memacu pertumbuhan dunia periklanan sebagai sarana promosi produk-produk industri . Di sisi lain, stabilitas nasional yang menggunakan tindakan Irene Tinker, 1975, “Pengaruh Pembangunan yang Merugikan Kaum Wanita”, Prisma No. 5 terbitan Oktober 1975, hlm. 33. 44 26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI represif dan kontrol berlebih juga berlaku untuk media massa. Berikut ini pemaparan perkembangan media massa pada era Soeharto. 3. Perkembangan Pers Dengan menggunakan kata sakti “Pancasila” yang berlaku sebagai asas tunggal, pemerintah menyihir kehidupan pers nasional untuk tetap bertekuk lutut patuh. Pasal 11 Undang-undang Pokok Pers No. 11/1966 menyebutkan bahwa penerbitan pers yang bertentangan dengan ideologi Pancasila seperti halnya paham komunisme atau Marxisme-Leninisme dilarang. Usai tragedi 1 Oktober 1965 pemerintah melarang 43 dari 165 koran untuk terbit dalam waktu tidak ditentukan karena dianggap berkaitan dengan PKI ataupun sekutu45, seperti Wanita Sedar dan Harian Rakjat. Sementara bagi pers yang siap sedia mendukung pemerintahan Soeharto, seperti halnya Angkatan Bersenjata, Pikiran Rakyat (Bandung), Berita Yudha (Jakarta) milik Angkatan Darat dan sejumlah pers berbasis kelompok mahasiswa pro-rezim, misalnya Mahasiswa Bandung (Bandung) serta Harian Kami (Jakarta) masih dapat bertahan hidup. Kasus-kasus pembredelan pers dan pelarangan terbit suatu artikel lebih kepada persoalan politis, misalnya Newsweek yang berani menurunkan liputan mengenai korupsi dalam tubuh istana kepresidenan, bahkan secara khusus menyebut nama Soeharto, Ibu Tien, dan putra tertua mereka, Sigit Haryoyudanto terpaksa harus 45 David T. Hill, 2011, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, hlm. 125. 27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hilang dari peredaran di tahun 1976.46 Bulan Mei 1984 pemerintah kembali membredel tiga majalah sekaligus sebagai akibat dari penurunan berita mengenai orang-orang elite kaya Indonesia beserta para cukongnya.47 Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat dua elemen penting yang menopang perkembangan pers Indonesia, yaitu majalah perempuan dan iklan. Kedua elemen tersebut menjadi fokus pembahasan dalam karya penelitian ini. Berikut penjelasan singkat mengenai majalah perempuan dan iklan yang beredar di Indonesia. a. Majalah Perempuan Menjelang dekade 70-an beberapa majalah perempuan mulai terbit, diantaranya Model, Matra, Pertiwi, Gadis, Femina dan Gadis. Majalah perempuan Indonesia merupakan gejala urban kelas menengah atas, yang tidak mampu dicapai oleh petani atau buruh.48 Meskipun demikian pada laporan BPS tahun 1983 menunjukkan bahwa jumlah buta huruf terbesar dialami oleh laki-laki, sebanyak 26 ribu orang sementara perempuan hanya 3.000 orang. Penelitian ini menggunakan dua majalah perempuan yang menjadi pelopor dalam perkembangan pers perempuan pada tahun 1970-an, yaitu Femina dan Gadis. Baik Femina maupun Gadis mampu menyajikan informasi seputar gaya hidup atau karir, yang dibutuhkan oleh perempuan sebagai penunjang keeksistensian dan juga 46 M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 628. 47 op.cit, hlm. 650. Julia I. Suryakusuma, 1998, “Beban Muskil Majalah Wanita” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 113. 48 28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sarana agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan. Akibat sikap pemerintah yang meminggirkan perempuan supaya jauh dari arena politik dan mengembalikan ke dalam ranah domestik atau keluarga maka muncul sebuah kesadaran baru mengenai hayat sadar sebagai pribadi.49 Femina, mulai terbit pada 18 September 1972. Pihak penerbit mengungkapkan motivasi di balik lahirnya Femina berawal dari kegusaran para pendirinya karena pembaca perempuan hanya bisa mengakses bacaan majalahmajalah terbitan luar negeri yang sesungguhnya tidak sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat Indonesia.50 Ketika awal mula terbit Femina membanderol harga Rp. 125-, untuk sekitar 44 halaman dengan sampul berwarna. Femina memuat banyak hal mengenai kehidupan perempuan Indonesia modern, mulai dari gaya hidup, karier, kesehatan, kuliner, kecantikan, artikel berita tentang selebritis, berbagai tips, fashion, keuangan hingga cerpen atau cerbung. Myra Sidharta berpendapat bahwa majalah perempuan mempunyai tugas khusus, yakni menciptakan dunia yang khas bagi perempuan.51 Sejak awal penerbitan Femina membidik ibu muda dan 49 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008, Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa, Jakarta: I:Boekoe, hlm. 21. 50 Ibid, hlm. 229-230. Myra M. Sidharta, 1998, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 117. 51 29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perempuan dewasa sebagai sasaran pembaca, meskipun terbatas pada kaum menengah Indonesia.52 Selain Femina PT Dian Rakyat juga mencetak majalah Gadis yang ditujukan bagi remaja putri. Misi Gadis adalah menjadi media yang mampu mengalirkan informasi kepada remaja dalam tahap berkembang menuju dewasa.53 Pia Alisjahbana yang tercantum dalam awak redaksi mengungkapkan bahwa Gadis “menjual mimpi, setuju atau tidak, kami menjual mimpi”.54 Untuk satu eksemplar majalah para remaja putri tahun 1973 mampu mendapatkannya dengan harga Rp. 150,-. Ketika awal penerbitan konten dari majalah Gadis umumnya adalah berbagai artikel praktis yang mengajarkan ketrampilan.55 Meskipun berbeda segmentasinya namun keduanya tetap menjadi majalah perempuan yang populer hingga kini. Femina, yang mendapat julukan sebagai “Ratu Majalah Perempuan Indonesia”, tidak hanya mampu memikat pembaca tetapi juga para pengusaha sebagai media periklanan. Mengutip pernyataan Julia I. Suryakusuma 52 Jumlah pendapatan iklan Femina kian meningkat, mulai dari 5.284 juta rupiah di tahun 1988 menjadi 13.194 juta rupiah pada tahun 1993. David T. Hill, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 216. Meskipun berjudul “Gadis” namun sesekali dalam majalah memuat artikel yang berkaitan dengan laki-laki, seperti gaya rambut, dan model sampul seorang remaja putra 53 54 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit, hlm. 234. 55 Serupa halnya dengan Femina, majalah Gadis menuai untung dari pendapatan iklan. Dalam kurun periode 1988-1993 redaksi Gadis mampu meraup 17.664 juta rupiah. David T.Hill, loc.cit. 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bahwa “majalah perempuan membutuhkan iklan untuk menghidupi dirinya”.56 Jumlah nominal iklan yang masuk sebesar Rp. 0,5 miliar per nomor. 57 Gadis, yang dipuja sebagai role mode bagi remaja putri Indonesia pun tidak jauh berbeda. Beragam rubrik dan iklan turut menjejali majalah yang terbit rata-rata sekitar 132 halaman.58 b. Iklan Di Indonesia pembangunan ekonomi membuahkan kelas menengah yang materialistis dan apolitis.59 Masyarakat mulai menilai ukuran rendah-tingginya status sosial berdasarkan konsumsi barang hasil industri dan jenis profesi. Salah satu wujud materialistis dan apolistis dapat kita amati dalam iklan rokok Ardath yang menggambarkan kesuksesan dengan slogan “kenikmatan sukses, kenikmatan Ardath”.60 Iklan rokok Ardath memuat empat foto berbeda yang menceritakan keseharian seorang laki-laki. Melihat penampilan figur yang menggunakan setelan ala 56 Julia I. Suryakusuma, 1998, op.cit, hlm. 112. 57 Rhoma Dwi Aria Yuliantri, loc.cit. 58 Ibid, hlm. 233. 59 Apolistis merupakan padanan kata dari apolitical yang berarti tidak memiliki ketertarikan kepada politik. Julia I. Suryakusuma, 1998, loc.cit. 60 Femina No. 172 terbitan 4 Desember 1979, hlm. 38. Lihat gambar 1. 31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Barat ataupun kemeja batik mengungkapkan identitas kelas sosial atas.61 Pada salah satu foto mempertontonkan kegiatan bersantainya dengan berkuda bersama seorang perempuan, yang tak kalah suksesnya karena mengenakan subang emas pada telinganya. Gambar 1. Ardath (Sumber: Femina 1979) 61 Meskipun mengenakan kemeja batik, sosok laki-laki dalam iklan tetap nampak berkelas. Awal 1970-an, Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai walikota Jakarta mulai memperkenalkan kemeja batik sebagai alternatif pengganti setelan Barat, yakni berupa kelengkapan jas dan dasi. Untuk wilayah yang beriklim panas dan lembab, kemeja batik memang lebih cocok pun sekaligus lebih terjangkau harganya. Saran tersebut ditujukan kepada para pegawai negeri, yang umumnya berada dalam kelas menengah Indonesia. Kees van Dijk, 2005, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit, hlm. 108. 32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Antara tahun 1967-1972 menjadi pertanda modernisasi periklanan (modern advertising).62 Menurut Giaccardi, dikutip oleh Bedjo Riyanto dalam Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main-main, iklan merupakan suatu diskursus tentang realitas yang menggambarkan, menstimulasi dan memproyeksikan hiperealistik dari dunia mimpi.63 Setiap iklan pasti memiliki muatan kalimat persuasif dengan dilengkapi oleh figur idola yang memperagakan pose menarik serta berbagai pilihan warna untuk memperindah. Namun faktor yang menjual bukanlah semata-mata nilai atau fungsi suatu produk melainkan peran sekundernya yakni citra, harapan, impian, prestis, status atau bahkan eksploitasi ketakutan para konsumen mengenai kehidupan sosialnya.64 B. Kemasan Pers Perempuan Peran pers semestinya menjadi wadah untuk menunjukkan persoalanpersoalan perempuan yang tengah dihadapi.65 Namun masa pembangunan justru Femina No. 09/XX 27 Februari – 9 Maret 1992, hlm. 12 memuat sebuah kolom berjudul “Bisa-bisa konsumen malah stop membeli” karya Drs. Sartomo Mukadis mengenai komentarnya terhadap iklan-iklan televisi termutakhir yang dianggap “semakin berani”, misalnya menampilkan tubuh mulus perempuan. Modern advertising merupakan revolusi baru dalam periklanan karena dirancang dengan menggunakan objek dan strategi yang bertujuan menarik pikiran, perasaan, serta aksi dari konsumen meskipun tidak sesuai atas esensi produk. 62 63 Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 23. 64 Ibid. 65 Pada tahun 1935 Cor Razoux Schultz-Metzer terpilih sebagai anggota Dewan Rakyat, yang spontan mengundang reaksi dari rakyat Hindia-Belanda. Beberapa jurnalis bahkan mengkritik supaya perempuan pribumi pun dapat masuk sebagai nominasi pemilihan 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memunculkan domestikasi terhadap pers perempuan, wujudnya bukan hanya mengenai tulisan yang membahas rumah tangga atau keluarga melainkan juga merupakan ideologi dan sikap.66 Isi majalah perempuan, terutama bersifat hiburan dan gaya hidup, terus-menerus memproduksi artikel mengenai panduan memilih summer dress, ragam batu mulia, atau bagaimana menghadapi bos yang terkenal galak di kantor. Pembahasan mengenai gaya hidup dalam majalah perempuan secara perlahan mempengaruhi dan membentuk pola pikir maupun persepsi pembacanya. Masyarakat menjadi pasif dan mengamini apa yang dianggap “ideal” untuk sosok perempuan sesuai dengan gambaran dalam majalah. Majalah perempuan merekonstruksi kriteria perempuan cantik sebagai putih, tanpa jerawat ataupun tidak menampakkan kerutan. Maka perempuan yang menampik keidealan-keidealan tersebut terkategori menjadi tidak cantik. Penelitian LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya) menyatakan bahwa banyak dari pers perempuan justru mengekalkan stereotype lama dan membentuk yang baru, seperti laki-laki maskulin sementara perempuan feminin.67 Dewan Rakyat. Lihat Elsbeth Locher-Scholten, 2000, Women and The Colonial State: Essays in Gender and Modernity in The Netherland Indies 1900-1942, Amsterdam: Amsterdam University Press, hlm. 167. 66 Julia I. Suryakusuma, op.cit., hlm. 113. Luviana, 2007, “Identitas Perempuan dalam Koran dan Majalah”, Jurnal Perempuan No. 52 terbitan Maret 2007, hlm. 54. 67 34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1. Ragam Iklan Produk Perempuan Sebelum masuk kepada pembahasan iklan pembalut, pada bagian ini menghadirkan dua pariwara yang memuat perempuan sebagai model. Iklan pertama adalah sabun Lux yang menempatkan Sophia Loren sebagai figur. Sebagai seorang aktris Italia yang membintangi iklan sabun kecantikan, Loren berujar, “alasanku memakai Lux? Agar kulitku halus dan lembut”.68 Iklan menonjolkan aspek kecantikan sebagai keunggulan dan keidealan perempuan, yang bergantung pada aspek biologis dan sifatnya kodrati, meliputi tubuh, wajah, leher jenjang, kulit halus, bentuk payudara atau pinggul, serta betis. Iklan Lux merupakan satu di antara 103 halaman pariwara produk kosmetik lainnya yang beredar pada periode 1979-1980. Iklan-iklan produk kosmetik tersebut merekonstruksi gambaran kecantikan yang baru bagi perempuan, layaknya Loren dengan memiliki kulit halus dan lembut. 69 68 Gadis No. 16 terbitan16-25 Juni 1980, hlm. 2. Lihat gambar 2. 69 Jumlah iklan sebanyak 103 didapatkan dari menghitung halaman-halaman pariwara pada beberapa majalah yang terbit pada periode 1979-1980. Lihat Femina No. 173 terbitan 18 Desember 1979. Lihat juga Femina No. 183, 189, 191 terbitan tahun 1980. 35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 2. Lux (Sumber: Gadis 1980) Selain itu slogan Lux sebagai “sabun kecantikan bintang-bintang film internasional” adalah bagian penting dari proses pembentukan gambaran kemewahan dan kecantikan, yang tentu saja mewah.70 Perancang iklan mencetak foto wajah Sophia Loren berukuran besar, yang menampakkan ekspresi lugu namun tajam memikat dengan riasan tebal pada daerah matanya dan bibir menganga. Pada lehernya menggantung sebuah untaian mutiara butir kecil dan di telinganya 70 Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2003, Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 52. 36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bertengger subang emas, yang menegaskan keberadaan dirinya sebagai seorang bintang berkilau sesuai dengan kesan mewah sesungguhnya. Kehadiran iklan-iklan produk yang mendayagunakan tubuh perempuan berkaitan erat dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Ekonomi politik kapitalisme mewujudkan rasionalitas baru mengenai nilai tukar abstrak yang menggantikan manfaat. Hal ini turut menggeser fungsi tubuh perempuan secara biologis ke arah ekonomi politik, yang menjadi komoditi untuk diperjualbelikan tanda, makna dan hasratnya.71 Dalam majalah Femina maupun Gadis, mudah menjumpai sosok perempuan sebagai bintang utama iklan. Maka banyak produk yang bukan mengenai kecantikan namun tetap menggunakan peran perempuan sebagai figur utamanya, seperti iklan deterjen Dino.72 Pihak perancang iklan maupun majalah yang menerbitkannya mengeksploitasi stereotype perempuan sebagai pemilik aktivitas mencuci. Bukan hanya stereotype perempuan yang menjadi pelaris produk industri, hal-hal kodrati pun mengalami nasib serupa. Bagian selanjutnya membahas beberapa iklan pembalut yang dimuat pada periode 1977-1983. Iklan-iklan tersebut menjual rasa malu perempuan mengenai menstruasi, yang hanya dapat teratasi dengan menggunakan produk pembalut. Yasraf Amir Piliang, 1998, “Masih Adakah „Aura‟ Wanita Di Balik „Euphoria‟ Media” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. xv. 71 72 Femina No. 173 terbitan Maret 1980, hlm. 25. Lihat gambar 3. 37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 3. Deterjen Dino (Sumber: Femina 1980) 2. Iklan Pembalut Periode 1977 – 1985 Sejak per tanggal 4 Desember 1976 Departemen Kesehatan mengeluarkan larangan terkait peredaran dan penggunaan menstruation regulator (MR) karena khawatir akan disalahgunakan sebagai alat untuk menggugurkan janin.73 Perubahan tersebut semata-mata bukan karena pertimbangan terhadap kaum perempuan, melainkan lebih kepada tujuan negara supaya mencapai ketertiban, pembinaan, dan 73 Menstruation regulator adalah obat yang berfungsi untuk mengatur siklus haid, umumnya berbentuk pil atau sirup. Tempo No. 45/Tahun VI terbitan 8 Januari 1977, hlm. 39. 38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI stabilitas.74 Di sisi lain, hilangnya produk MR semakin meningkatkan industri pembalut. Merebaknya industri pembalut menciptakan persaingan ketat untuk memperebutkan pangsa pasar, maka para pengusaha berlomba memasarkan produk melalui iklan. Mereka mendengar pemahaman masyarakat terhadap menstruasi sebagai penyebab masalah,75 kemudian menciptakan pesan menyenangkan melalui narasi persuasif, foto kreatif dan warna-warni dalam halaman iklan. Deretan simbol yang menyiratkan “kebebasan”, “wanita aktif”, “tanpa susah” serta penggunaan warna putih untuk menggantikan merahnya darah adalah kekhasan iklan pembalut. a. Iklan Pembalut Tahun 1977 Dalam iklan terbitan Femina tahun 1977 muncul sosok perempuan yang tengah berpose tangan kanan di kepala dan tangan kiri di pinggang. 76 Figur perempuan mengenakan kemeja garis-garis, yang diikat pada ujung bawah terakhir dan celana jeans potongan pendek tanpa retsleting tertutup sehingga memperlihatkan bagian perutnya secara jelas. Di sebelah pose terselip teks berukuran besar berujar “Baru! Starlet dari Intex”. Teks lainnya, “tanpa ikat pinggang... tanpa tali... tanpa peniti... tanpa susah” berada di bawah pose persis. Sementara di bagian terbawah 74 Julia I. Suryakusuma, 2011, op.cit., hlm. 10. Ann Treneman, 2010, “Mengeruk Keuntungan dari Kutukan; Iklan dan Pelbagai Hal yang Dianggap Tabu Ketika Menstruasi” dalam Lorraine Gamman dan Margaret Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan: Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 236. 75 76 Femina No.102 terbitan tahun 1977, hlm 28. Lihat gambar 4. 39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI halaman, sebuah teks menegaskan hal lainnya, “pembalut modern untuk wanita modern”. Kehadiran teks-teks tersebut bukan sekadar “menduplikasi” foto melainkan untuk menegaskan seperangkat konotasi yang telah ada.77 Gambar 4. Starlet Intex (Sumber: Femina 1977) Secara harfiah teks tersebut mencerminkan definisi produk bahwa pembalut Starlet yang baru dan modern tidak menggunakan tali seperti duk. Dengan demikian pembalut duk telah dinyatakan sebagai barang kuno yang seharusnya tidak digunakan lagi di masa modern karena dapat menghambat “gerakan baru” perempuan, yaitu 77 Kris Budiman (ed.), 2002, Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, Yogyakarta: Penerbit Kanal, hlm. 101. 40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bebas beraktifitas.78 Perempuan tidak lagi repot mencuci kain dan merasa takut jika sewaktu-waktu pembalut dapat terlepas akibat tanpa adanya perekat. Penonton iklan dapat membuktikannya dengan mengamati retsleting celana pendek yang terbuka dan pose bebas oleh figur perempuan. Baik teks maupun foto saling menjelaskan sehingga bila dipersatukan akan menghasilkan makna bahwa perempuan dapat merasakan modernisasi dengan menggunakan Starlet. Modernisasi yang dimaksud adalah teknologi pembalut dengan strip perekat tanpa bantuan tali sehingga menjamin kebebasan bergerak bagi perempuan pemakainya. Iklan pembalut dengan pose bebas tanpa hambatan rasa sakit mengadopsi mitos bahwa ketika perempuan mengalami menstruasi ia tidak leluasa melakukan aktivitas. Deborah Lupton mengungkapkan bahwa masyarakat membenarkan bahwa keadaan sedang tidak dalam irasionalitas, hilang kontrol dan labil yang dialami perempuan ditentukan oleh siklus dan organ reproduksinya sehingga berdampak pada ketidaklayakannya menghadapi pekerjaan.79 Maka iklan Starlet menghidupi mitos tersebut dengan menawarkan produknya yang seakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah menstruasi. Namun saat bersamaan justru memperjelas mitos menstruasi, seperti yang dijelaskan oleh Roland Barthes, “mitos tidak Pemilihan untuk menggunakan istilah “gerakan baru” beralasan membedakan dengan gerakan-gerakan perempuan pada orde sebelumnya. “Gerakan baru” ini adalah pemberian peran terhadap perempuan dalam masa pembangunan, yaitu depolitisasi dan domestikasi. 78 Irwan Abdullah, 2002, “Menstruasi: Mitos dan Konstruksi Kultural Atas Realitas Perempuan” dalam Edy Santosa (ed.), 2002, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Yogyakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar, hlm. 13. 79 41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menyembunyikan apapun, tetapi memiliki kemampuan untuk mengubah meskipun tanpa menghilangkan”.80 b. Iklan Pembalut Tahun 1980 Pada majalah Gadis edisi Januari 1980 di halaman ke-67, pembalut Modess turut menyuguhkan sebuah kebaruan bahwa “akhirnya muncul pembalut wanita yang memberikan perlindungan tiada tara dengan harga yang terjangkau”.81 Kata “akhirnya” yang terletak di awal teks menyampaikan suatu kondisi mengenai penantian panjang. Berkaitan dengan hal tersebut produsen Modess memiliki dua peran, yaitu sebagai pihak yang seakan menanti kehadiran teknologi menstruasi dan pemegang kendali atas “harga yang terjangkau”. Dalam tahap ini, produsen Modess mengerti bahwa penantian panjang harus bernilai maka ia memberikan harga terjangkau untuk pembelian produk buatannya. Upaya ini tentu ditujukan supaya perempuan bertindak mengkonsumsi karena akan mendapatkan “perlindungan tiada tara”. Serupa dengan iklan Starlet, Modess memanipulasi seakan membantu perempuan dalam “mengatasi persoalan datang bulan”. Guna membuktikan produknya, iklan Modess mencantumkan testimonial dari tiga orang perempuan yang berbeda usia dan profesi. 80 Roland Barthes, 1991, Mythologies, New York: The Noonday Press, hlm. 120. 81 Gadis No. 16 Tahun VII terbitan 16-25 Januari 1980. Lihat gambar 5. 42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 5. Modess (Sumber: Gadis 1980) Foto utama memperlihatkan seorang perempuan dewasa bergaun batik tengah duduk dalam sebuah ruang kerja, beradegan memegang bolpoin seakan hendak menulis di atas kertas putih kosong. Perempuan tersebut adalah pekerja kantoran yang sibuk dengan mesin tik dan telepon di hadapannya sehingga tidak memiliki waktu untuk repot mengurusi pembalut, meskipun menyangkut organ reproduksi miliknya sendiri. Maka Modess menjadi jawaban tepat untuk mengatasi persoalan menstruasi yang setiap bulannya datang, tidak menyusahkan karena “habis dipakai tinggal dibuang”. 43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sebelum mengenal pembalut, perempuan memanfaatkan kain selebar ½ meter sebagai popok saat menstruasi tiba, yang disebut duk. Selain bermanfaat secara ekologis dan higienis, pembalut kain membuat perempuan lebih mencermati dan peduli mengenai menstruasi. Perempuan harus mencuci bersih pembalut kain sesudah dipakai, menjemurnya dan merawat supaya tetap dapat digunakan lagi untuk menstruasi berikutnya. Modess mengubah aktifitas rutin tersebut sebagai sesuatu yang merepotkan. Serupa dengan industri lainnya, Modess mengemas pemahaman mengenai penggunaan dan perawatan kain duk, yang seharusnya normal dilakukan oleh perempuan, menjadi tidak lagi biasa atau menyusahkan. Selain mengharuskan perempuan supaya mengkonsumsi pembalut secara rutin, makna lain yang dapat diungkap adalah Modess mampu berperan menggantikan pemegang kendali atas tubuh. Sosok ibu yang muncul sebagai model berikutnya ikut membenarkan Modess, yang dianggap sangat membantu perempuan karena anaknya “merasa lebih yakin akan dirinya dan dapat bergerak lebih bebas sesuka hatinya” ketika mulai mengenakan Modess. Sang ibu menyerahkan anak gadisnya kepada penggunaan barang hasil industri, yang yakin akan mendapatkan kebebasan. Sikap demikian menghentikan aliran pengetahuan mengenai menstruasi yang berlangsung antara ibu dan anak. Pasalnya, anak perempuan hanya akan pasif memperhatikan cara penggunaan pembalut yang tertera di bungkus produk. Jika demikian maka 44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pengetahuan mengenai menstruasi sebagai subyek menjadi hilang sehingga makin menguatkan tabu yang melarang wujud darah haid diperlihatkan. Dalam buku Sisterhood is Powerful, Ann Treneman menemukan bahwa perempuan sesungguhnya memiliki pengetahuan minim mengenai menstruasi, sehingga berpikir akan mati ketika melihat darah mengalir dari vaginanya untuk pertama kali.82 Apabila sang ibu telah mempersiapkan penjelasan bahwa darah menstruasi tidak kotor dan mengatakannya sebagai proses alamiah yang harus dialami setiap perempuan namun seringkali dilakukan secara tertutup. Ibu akan mengucapkannya perlahan dan hanya berdua saja bersama puterinya, seakan obyek pembicaraan adalah suatu kutukan. Hal ini justru semakin menguatkan mitos bahwa menstruasi bersifat tabu. Menurut Freud, tabu menstruasi merupakan cermin dari sikap ambivalen masyarakat terhadap perempuan yang mengalami menstruasi, dianggap kotor atau terkena kekuatan jahat sehingga perlu dijauhi.83 Pada foto selanjutnya, sebuah testimonial terucap dari seorang gadis yang mengungkapkan keheranan mengapa teman-temannya bertahan menggunakan “cara lama, bikinan sendiri”. Selain ketidaksadaran diri untuk bergantung terhadap Modess, gadis berkemeja blouse biru tersebut memahami benar ucapannya tentang “cara 82 Ann Treneman, op.cit., hlm. 234. 83 Ibid., hlm. 5. 45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lama”, yang menunjuk kepada sesuatu bernilai lama dan kuno. Gaya berposenya dengan membuka buku menyatakan modernitas mengenai “new era”.84 Penampilan dan latar ketiga figur perempuan dalam iklan Modess secara bersamaan merepresentasikan kelompok menengah Indonesia, misalnya baju kebaya dan liontin, mesin tik, telepon hingga rambut yang tertata. Secara normatif kelompok menengah Indonesia sesungguhnya dapat mengantongi peran sebagai “agen perubahan sosial” yang menyebarkan modernisasi dan demokrasi. Akan tetapi muncul asumsi yang melemahkan kedudukan kelompok menengah Indonesia karena merupakan hasil rekayasa pemerintah untuk kepentingan pembangunan.85 Bila menganut pemahaman di atas maka tubuh perempuan yang menjadi figur iklan menjadi salah satu bentuk rekayasa pemerintah. Sosok ibu berkebaya merupakan perwujudan dari simbol penguasaan negara terhadap perempuan. Kebaya dan kain dijadikan pakaian nasional bagi perempuan, salah satu referensinya adalah penampilan Tien Soeharto dalam berbagai acara resmi kenegaraan. Dengan demikian tubuh perempuan bukan hanya menjadi sasaran konsumsi, melainkan juga sebagai arena pertarungan identitas keindonesiaan.86 Mengadopsi kutipan Thoreau dalam buku Walden, “how many a man has dated a new era in his life from reading a book”. Henry David Thoreau, 1985, Walden, or, Life in the Woods, Amerika Serikat: Princeton University, hlm. 81. 84 Baca Francisia SSE Seda, 2012, “Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual” dalam Prisma Vol. 32 No.1 terbitan 2012, hlm. 3-13. 85 Ninuk Mardiana Pambudy, 2012, “Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru: Beranikah Berinovasi?”, Ibid, hlm. 14-27. 86 46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI c. Iklan Pembalut Tahun 1982 Gambar 6. Modess (Sumber: Femina 1982) Di tahun 1982 pada halaman ke-56 dalam majalah Femina mempertontonkan tabu menstruasi lainnya dengan menegasikan warna darah yang digantikan oleh cairan bening seperti air dalam iklan pembalut Modess.87 Meskipun kali ini Modess menampilkan visual jelas dari pembalut namun hanya yang masih bersih dan berwarna putih. Hal ini memperjelas konstruksi masyarakat terhadap menstruasi sebagai darah kotor yang menjijikkan sehingga menghindari pemakaian warna merah dan menggantinya dengan cairan bening. Sementara itu warna putih 87 Femina No. 8 edisi tahun 1982, hlm. 56. Lihat gambar 6. 47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang melekat pada pembalut selalu berkaitan erat dengan kebersihan atau rumah sakit dan menandakan kesucian. Cairan bening yang menempati tabung kecil membutakan kebenaran mengenai sumber darah menstruasi mengalir. Aquarini Priyatna berasumsi bahwa penggunaan bentuk tabung dalam iklan pembalut lebih merepresentasikan tubuh lakilaki, yakni organ reproduksi penis ketimbang vagina yang menyimbolkan abjeksi terhadap sosok maternal agar tunduk terhadap kuasa paternal.88 Dengan demikian makna dari kumpulan penanda di atas adalah masih menggemanya kuasa budaya patriarki bahkan dalam iklan pembalut yang hanya digunakan oleh perempuan. d. Iklan Pembalut Tahun 1984 Pada tahun 1984 dalam sebuah halaman iklan majalah Femina seorang remaja putri berbalut gaun putih tengah memperagakan “croisé devant”, yaitu salah satu posisi tubuh ketika menari balet.89 Di balik tubuh anggunnya yang berparas tegas penuh percaya diri, berdiri tegak sebuah balok bertuliskan, “Soft&Easy: menemani saat-saat pribadi” dilengkapi foto wajahnya, menunduk seakan memiliki malu 88 Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 135. 89 Croisé devant merupakan salah satu dari delapan posisi tubuh dalam menari balet, yaitu À la quatrième devant, À la seconde, Ēpaulé, Ēcarté, Effacé, À la quatrième derrière, dan Croisé derrière. Ada banyak posisi tubuh dasar dalam balet, namun kedelapan yang telah disinggung di atas merupakan hasil pengembangan dari Raja Perancis Louis XIV di abad ke-17. Lihat situs balet online http://allencentre.wikispaces.com, diakses tanggal 13 Agustus 2015. 48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tercoreng pada kening.90 Namun remaja putri “sang balerina” adalah tokoh utama iklan pembalut Soft&Easy yang menawarkan unsur-unsur lembut, flushable, higienis dan praktis dari “sesuatu” karena tidak ditemukan ilustrasi maupun foto wujud nyata dari produk.91 Gambar 7. Soft&Easy (Sumber: Femina 1984) Pihak perancang iklan justru memuat gambar toilet duduk, yang tidak berkaitan sama sekali terhadap menstruasi dan berlawanan dengan konsep higienis 90 Sebuah peribahasa Indonesia yang artinya, malu yang tidak dapat dihilangkan lagi karena sudah diketahui orang banyak. 91 Femina No. 1 Tahun XII terbitan 3 Januari 1984, hlm. 32. Lihat gambar 7. 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebagai salah satu kekuatan produk. Toilet duduk merupakan ikon yang menggantikan ketiadaan wujud dari pembalut. Kris Budiman menjelaskan bahwa ikon adalah tanda yang didasarkan atas keserupaan atau kemiripan, maka produk pembalut dianggap menyerupai dengan toilet duduk.92 Meskipun penggunaan ilustrasi di bungkus produk bukan kakus tradisional melainkan toilet duduk namun tetap saja menyiratkan pesan kejijikan terhadap menstruasi serupa dengan apa yang ada dalam kamar kecil. Ekspresi foto close-up yang tampak malu menyimpan rahasia dan letak posisi balok pembungkus pembalut di belakang seakan merepresentasikan pondok menstruasi bagi remaja putri. Namun semuanya telah teratasi karena remaja putri kemudian telah berani maju ke depan dengan cara menari seakan mengekspresikan kebebasannya berkat perlindungan dari pondok menstruasi bernama Soft&Easy yang ternyata memiliki kemampuan “flushable” atau berarti “mudah disiram” sehingga lebih cepat lenyap dan tidak perlu takut apabila orang lain akan melihat wujudnya. Pondok menstruasi adalah rumah bagi para perempuan yang sedang mengalami siklus menstruasi atau dapat digunakan untuk melahirkan. Letak pondok menstruasi biasanya jauh dari pemukiman warga atau di tepi hutan, yang tidak terjamah oleh pandangan umum. Beberapa suku di wilayah Indonesia hingga tahun 1985 masih menggunakan tradisi pondok menstruasi, seperti yang dilaporkan Janet Hoskins 92 Kris Budiman, 2011, Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problem Ikonisitas, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 78 50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ketika meneliti desa Huaulu, Seram.93 Para perancang iklan Soft&Easy menangkap gagasan tabu dan ketakutan berwujud pondok menstruasi kemudian direduksi sebagai wacana populer yang mendominasi kekuatan penjualan. Apabila mengamati visual iklan Soft&Easy, dengan mudah dapat diketahui bahwa pihak perusahaan membidik kaum remaja putri sebagai konsumen aktifnya. Namun model iklan yang menggunakan balerina, memperkecil segmen pemasaran yaitu hanya tertuju kepada kalangan menengah atas. Tari balet merupakan tarian yang lahir dalam lingkungan kerajaan Eropa. Ketika tiba di Indonesia, balet menjadi salah satu hiburan dan pengetahuan yang hanya mampu dijangkau terbatas oleh masyarakat elite. Warna merah muda identik digunakan oleh perempuan muda, yang akan membuat sang pemakainya merasa lebih girlish.94 Di sisi lain warna putih yang dikenakan sebagai gaun oleh balerina menandakan sisi kemurnian atau kesucian. Melalui pemilihan warna merah muda dan putih, pihak perancang iklan membujuk perempuan akan menjadi lebih girlish dan terkesan murni karena menggunakan produk Soft&Easy. Janet Hoskins, 2002, “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two Eastern Indonesian Societies” dalam jurnal Ethnology, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond Menstruation as Pollution No. 4 Vol. 41 terbitan 2002,hlm.317-333. 93 Baca “Understanding the Meaning of Colors in Color Psychology”, diakses www.empower-yourself-with-color-psychology.com pada tanggal 23 April 2016 pukul 23.12 WIB. 94 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Masih di tahun 1984 halaman ke-30 dalam majalah Femina abjeksi terhadap warna merah kembali terulang.95 Mengutip penjelasan Kristeva, abjek adalah sesuatu yang mengganggu identitas, sistem, dan tatanan masyarakat (subjek) karena sifatnya polutan.96 Setelah memperlihatkan visual pembalut yang berwarna putih tanpa noda beserta keunggulannya, yakni lapisan pelindung anti bocor, daya serap lebih tinggi dan bentuk ideal sehingga memastikan kenyamanan bagi pemakainya, Modess menggunakan tabung kecil berisi cairan berwarna biru layaknya antiseptik. Gambaran antiseptik tidak menjijikkan seperti darah kotor menstruasi, karena merepresentasikan sterilitas, kesehatan, maupun kebersihan dan identik dengan ruang laboratorium atau rumah sakit. Iklan Modess kali ini mencitrakan keunggulan produk yang dimulai dengan kalimat tanya “Mengapa pembalut Modess lebih nyaman dipakai?”. Menjawab pertanyaannya sendiri, perancang iklan menempatkan ilustrasi produk dengan penjelasan masing-masing elemen yang menjadi keunggulan Modess, meliputi keamanan, daya serap dan kenyamanan. Dengan cara demikian sebenarnya penonton iklan akan lebih mudah menyerap penjelasan mengenai keunggulan produk Modess. Maka penonton iklan meyakini bahwa proses pengungkapan yang berwujud teks lahir dari kenyataan dari produk. Akan tetapi obyek yang ditunjuk sebagai keamanan, daya serap dan kenyaman pada dasarnya bersifat imajiner. Sama halnya dengan yang dikatakan 95 Femina No. 13 Tahun XII terbitan 1984, hlm. 30. Lihat gambar 8. 96 Ibid, hlm. 117-118. 52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebagai lawannya, yaitu tidak aman, mudah bocor dan kalut. Iklan Modess melakukan penumpukan mitos dalam penyampaiannya. Pertama, produsen Modess menciptakan rasa tidak aman dan kalut akibat pembalut yang mudah bocor. Hal ini membawa penonton iklan kepada mitos kedua, yakni penyelesaian masalah-masalah tersebut dengan ilustrasi produk yang mencantumkan elemen-elemen keunggulannya bahwa Modess memberikan rasa aman dan nyaman karena berdaya serap tinggi. Dengan demikian, produsen Modess menggunakan mitos supaya membutakan mitos lainnya dengan sasarannya adalah perempuan beserta tubuhnya. Gambar 8. Modess (Sumber: Femina 1984) 53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain itu, produsen Modess turut menawarkan dua jenis produk yang berbeda, yaitu edisi “harum” dan “lebih melindungi”. Penciptaan produk edisi “harum” sangat jelas berhubungan dengan gambaran masyarakat terhadap menstruasi sebagai darah kotor yang berbau amis. Produsen Modess seakan bertindak mencegah terjadinya abjeksi terhadap menstruasi dengan membubuhi wewangian ke dalam produknya sehingga bau amis dari darah tidak lagi tercium. Akan tetapi yang sebenarnya terjadi adalah abjeksi terhadap bau amis merupakan ide awal penciptaan produk Modess. Kelompok industri dengan sengaja menciptakan bahkan membuatbuat kebutuhan supaya masyarakat meyakini bahwa tindakan konsumsi terhadap produk adalah benar. Iklan Soft&Easy dan Modess yang terbit pada tahun 1984 merupakan dua penawaran yang berbeda, namun mengamati tampilan visual pariwaranya dapat disimpulkan suatu kesamaan bahwa menstruasi sifatnya tabu. Hal ini ditunjukkan dengan rasa malu pada wajah figur iklan Soft&Easy dan kesan murni dari pembalut berwarna putih tanpa noda dalam pariwara Modess. Selain itu kedua iklan juga meyakini bahwa produk pembalut milik mereka merupakan hasil teknologi mutakhir, yaitu Soft&Easy yang flushable dan Modess mengandung wewangian. Keunggulan tersebut pada dasarnya berupaya menyembunyikan darah menstruasi yang dianggap kotor dan berbau amis sehingga tampak tidak terlihat dan terasa, bahkan oleh perempuan pemiliknya sendiri. 54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 9. Honeysoft 1984 Iklan selanjutnya, masih dalam penerbitan tahun 1984 memiliki tema penawaran yang berbeda. Namun terdapat satu hal yang membuatnya serupa, yaitu penggunaan figur perempuan kelas menengah sebagai model iklan. Dalam iklan Soft&Easy, figur yang muncul adalah perempuan muda tengah asyik memperagakan tarian balet. Namun iklan Honeysoft berikut ini menyuguhkan sosok perempuan tengah baya mengenakan gaun putih sedang duduk di sebuah kursi sofa empuk, dikelilingi bunga-bunga hiasan di dalam ruangan yang menandakan suasana rumah perkotaan. Serupa dengan segmentasi pembaca majalah Femina, baik iklan 55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Soft&Easy dan Honeysoft menyasar perempuan kelas menengah sebagai tujuan konsumennya. Kompetisi pasar semakin ketat dalam memperebutkan pangsa, karena merek-merek pembalut baru terus bermunculan, sehingga menekan pihak pemasaran merancang kiat-kiat komunikasi yang persuasif, kreatif dan estetis. 97 Salah satu jurus jitu untuk memasarkannya adalah dengan menggunakan undian berhadiah seperti yang dilakukan oleh pihak Honeysoft. Masih di tahun 1984 pada halaman ke-28 majalah Femina No. 37, produk Honeysoft menawarkan 400 hadiah yang berharga, berupa sepeda motor, lemari es, televisi, mini compo tape dan panci susun.98 Dengan semakin banyak membeli pembalut Honeysoft yang ekonomis maka memperbesar kemungkinan memenangkan hadiah undian. Honeysoft mengharapkan bahwa kaum perempuan dapat merasakan dua keuntungan dari menggunakan produk, yakni rasa nyaman dan hadiah. Pihak pemasaran dan perancang iklan dengan jeli mengeksploitasi hasrat konsumtif rumah tangga, seperti kulkas, televisi, ataupun panci sebagai jurus pembujuk yang justru khas domestikasi. e. Iklan Pembalut Tahun 1985 Serupa dengan Soft&Easy, iklan Softex tahun 1985 menggunakan seorang balerina sebagai model utama.99 Namun sosok balerina dalam iklan Softex adalah 97 Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 33. 98 Femina No. 37 Tahun XII terbitan 1984, hlm. 28. Lihat gambar 9. 99 Femina No. 26 Tahun XIII terbitan 1985, hlm. 15. Lihat gambar 10. 56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seorang mooi indie.100 Balerina tersebut tengah berpose duduk, seakan bersiap memulai tarian baletnya sesudah memperbaiki kaus kakinya. Senyumnya kecil, terkesan malu-malu dan matanya menatap ke arah lain, bukan menuju penonton. Melalui senyumnya, balerina seperti mengatakan bahwa dirinya merasakan kenyamanan berkat menggunakan Softex. Namun tatapan matanya justru menyiratkan ketidakinginan perhatian orang lain mengetahui bahwa ia sedang mengenakan pembalut atau dalam keadaan menstruasi. Ilustrasi demikian meninggalkan paradoks, karena pada satu sisi pihak iklan menyatakan untuk mendobrak ketabuan menstruasi dengan memunculkan sosok Barat dalam iklan, namun ekspresi balerina sebagai model justru mempertajam aroma “rahasia” kaum perempuan. Masa industrialisasi menciptakan rasional baru mengenai kebutuhan akan sesuatu yang modern dan praktis, salah satunya adalah pembalut untuk perempuan. Agar proses tersebut berjalan lancar, produsen pembalut menggunakan mitos-mitos mengenai tabu menstruasi supaya perempuan gemar mengkonsumsi produkproduknya. Secara normatif iklan-iklan yang memasarkan produk pembalut memang bertujuan meningkatkan pembelian. Namun tanpa disadari iklan-iklan pembalut yang beredar pada periode 1977-1985 turut membentuk gambaran perempuan supaya bebas bergerak. Kebebasan tersebut hanya didapatkan melalui konsumsi pembalut yang praktis dan modern. 100 Visual iklan yang menggunakan model-model dari Barat mengingatkan pada zaman “Mooi Indie” yang menjadi acuan para seniman tahun 1900-an ataupun sekadar replika dan duplikasi dari iklan-iklan edaran pers mancanegara. Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 57. 57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 10. Softex (Sumber: Femina 1985) 58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI C. Kesimpulan Meningkatnya pendapatan negara memacu pertumbuhan investasi dalam negeri. Namun tujuan sukses pembangunan harus melibatkan kontrol represif dari pemerintah, meliputi dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, pembredelan pers hingga domestikasi perempuan. Jumlah populasi dan kemampuan membaca pada perempuan memang lebih banyak, tapi minim dalam komposisi dunia kerja dibandingkan dengan laki-laki. Jika pun bekerja, maka perempuan adalah pekerja dengan upah rendah dan tidak memiliki perlindungan hukum. Perempuan marjinal dalam bidang produksi, karena ditempatkan pada posisi dominan sebagai obyek konsumsi dan tontonan. Salah satu wujudnya adalah iklan pembalut yang menggunakan tubuh perempuan (menstruasi) sebagai komoditi untuk dijual pada penontonnya, yaitu perempuan. Kapitalisme membebaskan tubuh perempuan dari identitas tradisional, seperti pemahaman menstruasi adalah darah kotor. Sebagai agen kapitalis, perancang iklan bertindak mereduksi tabu tersebut ke dalam simbol-simbol, salah satunya penggunaan cairan biru antiseptik untuk membutakan warna merah darah. 59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993 Peralihan kebijakan negara kepada eksplorasi sektor non-migas dan keterbukaan diri terhadap bantuan dari luar negeri yang ditujukan untuk pembangunan justru menimbulkan ketidakadilan sosial.101 Pasalnya, hanya para pemodal asing dan kaum borjuasi lokal yang dapat menikmati hasilnya. Demi mendorong pembangunan, pemerintah turut mengeluarkan kebijakan peran ganda perempuan yang sejujurnya kian mengeksploitasi tubuh supaya meningkatkan daya konsumsi. Hal tersebut tercermin dalam iklan-iklan pembalut terbitan periode 19861993 yang diuraikan berikut ini. 101 Sejak awal dasawarsa 80-an harga minyak internasional merosot hingga US$ 10 per barel. Oleh OPEC (Organization of The Petroleum Exporting Countries), Indonesia mendapat pembatasan produksi minyak sebesar 1,19 juta barel per hari sejak Desember 1986. Usaha OPEC tersebut bertujuan untuk mengontrol jumlah minyak di pasar dunia agar tidak over supply dan mempertahankan harga yang telah disepakati oleh negara-negara anggota OPEC. Lihat Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1983-1997, diakses dari www.bi.go.id tanggal 29 Januari 2016. Lihat juga M. Arief Djanin dan Firman Djunasien, Prospek Migas 1988/1989 dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar (ed.), 1985, Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 1988/1989, Jakarta; UIPress, hlm. 91. 60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI A. Latar Belakang 1. Perkembangan Perekonomian Menghadapi masa krisis perekonomian akibat menurunnya harga minyak sementara bunga hutang luar negeri justru meningkat, mendesak pemerintah memberlakukan kebijakan baru. Sejak tahun 1982 hingga 1989, pemerintah mencanangkan kebijakan deregulasi102 dan pengetatan moneter, yang dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin I103, sehingga berhasil membuka kesempatan lebih besar kepada korporasi internasional dan Bank Dunia dalam menanamkan modal atau membangun usaha di Indonesia.104 Sayangnya, keterlibatan korporasi internasional tersebut justru 102 Kebijakan deregulasi ini mencakup bidang perbankan, perhubungan, investasi, industri, serta perdagangan luar negeri. Salah satunya adalah pengurangan tarif secara besarbesaran sehingga para produsen yang risau menghadapi tingginya harga bahan baku lokal mendapat kesempatan untuk mengimpor dari luar negeri dengan harga lebih murah karena tidak dikenai bea cukai. Baca Tempo Edisi Khusus, “Soeharto”, diakses dari www.serbasejarah.files.wordpress.com tanggal 31 Mei 2015. Baca juga Soeheroe Tjokro Prajitno, 1988, Deregulasi di Sektor Perhubungan dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar (ed.), 1985, op.cit, hlm. 400. Baca juga Laporan Utama “Kali ini Paket 6 Mei Panjang Umurmu Eksportir”, Tempo No. 12 Tahun XVI terbitan 17 Mei 1986, hlm. 74-77. 103 Richard Robison, 2012, op.cit, hlm. 310. 104 Pengetatan moneter merupakan langkah untuk mendevaluasi rupiah terhadap US$ sebesar 31% dan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Sebutan Sumarlin sendiri diambil dari nama Menteri Keuangan ad-interim, yang menggantikan posisi Menteri Keuangan sesungguhnya, Radius Prawiro, karena sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. Data tersebut diperoleh dari situs www.kemenkeu.go.id diakses pada tanggal 29 Januari 2016. 61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menghambat pertumbuhan Indonesia, karena hanya dapat dinikmati oleh kelompok kapitalis lokal.105 Selain modal, kelompok kapitalis dunia mengembangkan mekanisme baru yakni dengan monopoli teknologi industri yang mengharuskan perusahaanperusahaan di Indonesia membayar uang sewa atau hak paten atas nama produk apabila hendak mengembangkan usaha sendiri.106 Sementara itu, penawaran Bank Dunia untuk menyediakan pinjaman cenderung menuntut balas budi, misalnya mengharuskan pemerintah menjalankan kebijakan politik yang terbuka, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.107 Dengan demikian, perkembangan Indonesia sebagai negara yang merdeka secara politis tetap bergantung kepada kuasa kapital dunia. Bagian selanjutnya menguraikan gambaran kehidupan sosial dan politik di Indonesia dalam suasana industrialisasi yang merajalela serta adanya campur tangan Bank Dunia. 105 Mengadopsi teori ketergantungan dari Paul Baran yang menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga seperti terkena penyakit kretinisme yang menyebabkan orang tetap kerdil dan tidak besar. Kekuatan ekonomi asing menyalurkan modal untuk kelompok borjuasi lokal yang mampu menyediakan lokasi, buruh, bahan mentah, hingga konsumen bagi kehidupan industri. Dengan demikian surplus dari kehidupan industri hanya berotasi dalam kelompok tersebut sehingga meskipun negara menganggap modal yang beredar mengalami akumulasi pada dasarnya menyusut. Lihat Arief Budiman, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 56-60. 106 Op.cit, hlm. 68-72. 107 Ibid, hlm. 68. 62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Tuntutan Politik Global Negara-negara penyedia dana bantuan menuntut penegakan demokrasi dan hak asasi sebagai prasyarat.108 Salah satu wujudnya terlihat dari kedekatan secara terbuka antara Soeharto dengan kelompok Islam yang mematahkan netralitas konstitusi negara mengenai pengakuan lima agama resmi.109 Hal tersebut mudah dipahami karena Soeharto berusaha memperoleh dukungan dari umat agama Islam, yang jumlahnya terbesar di Indonesia.110 Menjelang akhir periode 1980 Soeharto membuat beberapa konsesi, seperti memperbolehkan perempuan mengenakan jilbab,111 memperkuat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, mengizinkan 108 Afan Gaffar, 1994, “Kata Pengantar Editor” dalam Elza Peldi Taher (ed.), op.cit, hlm. xii. Robert W. Hefner, 2007, “Pendahuluan: Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed.), Politik Multikulturalisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 67. 109 110 Sebelumnya, pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengalami ketegangan. Gerakan NU yang makin demokratis dicurigai mengarah kepada pendirian negara Islam, sehingga membuat pemerintah menuntut adanya pemisahan antara unsur politik dan agama dalam sebuah tubuh organisasi. Hal tersebut berhasil terwujud di Pemilu 1987 ketika kelompok politikus NU beralih memilih Golkar yang kembali menang dengan perolehan suara sebesar 73,2%. Andrée Feillard, 1999, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: LKiS, hlm. hlm. 233-241. 111 Antara tahun 1990-1991, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Departemen P dan K mengadakan rangkaian pembicaraan untuk mengesahkan peraturan yang memperbolehkan siswi sekolah mengenakan jilbab. Sebelumnya, di tahun 1982 Departemen P dan K melarang penggunaan jilbab pada siswi sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA sebagai bagian dari seragam. Apabila siswi bersangkutan menolak untuk mencopot jilbab maka sanksinya dapat berupa skors, bahkan dikeluarkan atau dipindahkan menuju sekolah swasta. Kasus lainnya, pada tahun 1989 sebanyak 15 ibu mengajukan protes akibat harus melepas jilbab saat foto untuk KTP. Pemerintah mengkhawatirkan bahwa pengenaan jilbab merupakan bagian dari gerakan politik, bukan karena menjalankan perintah agama. Lihat Tempo No. 46 Tahun XX terbitan 13 Januari 1990, hlm. 19. Lihat juga Tempo No. 47 Tahun XX terbitan 19 Januari 1991, hlm. 76-77. 63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pendirian bank-bank syariah, serta meningkatkan kekuatan peradilan Islam di Indonesia, misalnya pemberian hukuman bagi para jurnalis ataupun orang-orang yang diduga menghina Islam secara publik.112 Selain itu, Soeharto juga memberi restu pada terbentuknya sebuah organisasi baru beraliran Islam bernama ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.113 Pemerintah mencurigai setiap bentuk daya juang komunal sebagai gerakan pemberontakan, yang berujung dengan pengasingan, menggunakan terali besi ataupun pembatasan ruang gerak. Misalnya, pembebasan semua tahanan politik kategori B dan C di akhir periode 1980-an namun dengan catatan penting, yakni adanya pencantuman label “ET” (kependekan dari Eks-Tapol). Hal ini justru menghilangkan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik bagi mantan tapol sekaligus keluarganya.114 Pemerintahan Soeharto yang melekat terhadap kapitalisme global dengan gaya kekuasaan otoritarian menyeragamkan sikap masyarakat untuk lebih berjuang 112 Beberapa kasus dapat memperlihatkan tindakan pemihakan tersebut, seperti pembredelan tabloid Monitor karena dituduh melecehkan ketidakpamoran Nabi Muhammad melalui polling bertajuk “Kagum Lima Juta” dan pemenjaraan terhadap tiga Bandar atau penjual SSB (Sumbangan Sosial Berhadiah) yang tidak sengaja menggunakan kertas AlQuran sebagai potongan kupon. Lihat Tempo No. 4 Tahun XVI terbitan 22 Maret 1986, hlm. 66. Lihat juga M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 668. 113 ICMI mengajukan nama Habibie sebagai pemimpin pertama, yang langsung disetujui oleh Soeharto. Ibid. 114 Keputusan untuk membebaskan para tapol lebih berdasarkan adanya tekanan dari dunia luar untuk mewujudkan penegakan HAM. Menjelang periode 1990-an isu penyebaran ideologi komunis bukan menjadi permasalahan krusial yang harus dihadapi oleh negara-negara dunia. Baskara T. Wardaya mengemukakan pendapat lain bahwa pembebasan tersebut lebih dikarenakan umur para tapol yang telah menginjak lansia . Wawancara kepada Baskara T. Wardaya, tanggal 16 Februari 2016, pukul 15:40 WIB. 64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meraih kepuasan individu dan jauh dari partisipasi politik. Perubahan perilaku demikian mendapat dukungan dari kehidupan pers dan media massa yang dibicarakan dalam bagian berikutnya. 3. Kemajuan Media Massa Senada dengan kontrol terhadap masyarakat untuk membatasi diri dari partisipasi politik, dunia percetakan pun mengalami hal yang sama. Di tahun 1986 keluar sebuah larangan terbit terhadap dua karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Jejak Langkah dan Sang Pemula. Jaksa Agung memutuskannya sebagai “novel sejarah yang bertitik tolak pada konsep kontradiksi sosial serta perjuangan kelas berlandaskan realisme sosialis, yaitu tipe sastra bagi kaum komunis”. 115 Di Kupang, Samuel Klaas, seorang kepala sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa) terpaksa menjalani pensiun dini di awal Desember 1990 karena menulis surat pembaca berisi keluhan atas keterlambatan kenaikan pangkat bagi guru-guru bawahannya sejak bulan Oktober 1988 yang dimuat dalam Kompas.116 Ideologi pers Pancasila yang konkret seharusnya menjadi mitra pemerintah sembari melancarkan kritik untuk mengontrol pemerintahan.117 Akan tetapi pers pada masa rezim Soeharto justru khas dalam meningkatkan peranan dalam bidang Lihat kolom Larangan Buku “Larangan Buat Pram”, Tempo No. 14 Tahun XVI terbitan 31 Mei 1986, hlm. 15. 115 Lihat kolom Pendidikan “Jika Guru Mengeluh Lewat Koran”, Tempo No. 45 Tahun XIX terbitan 6 Januari 1990, hlm. 88. 116 117 Rizal Mallarangeng, 2010, Pers Orde Baru, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.119. 65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pemasaran dan periklanan yang sama pentingnya dengan keredaksian.118 Pers mengembangkan suatu subkultur baru dalam masyarakat,119 karena berperan sebagai media promosi dan persuasi budaya massa120 yang berasal dari industri. Tekanan represif dan kontrol informasi dari pemerintah malah memicu tindakan selfsensorship awak pers, bahkan berdampak pada industri periklanan. Periode 1980 hingga 1990 merupakan masa tersubur pertumbuhan konsep dan persaingan kreatif di antara industri periklanan. Meskipun demikian, tema mengenai ketimpangan ataupun diskrepansi sosial yang menggambarkan kemiskinan menjadi haram untuk dimunculkan sebagai topik iklan.121 Bagian selanjutnya akan membahas dunia periklanan pada periode 1986 hingga 1993 yang jauh dari kesan politik namun dekat terhadap komersialisasi industri. a. Periklanan Dalam dunia industri, perkembangan teknologi memicu aktivitas produksi menjadi lebih besar sehingga menghasilkan produk yang jumlahnya tidak seimbang dengan permintaan. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketidakseimbangan antara jumlah barang dan permintaan pasar maka industri kapitalis melakukan pembalikan. 118 Jakob Oetama, 1987, Perspektif Pers Indonesia, Jakarta: LP3ES, hlm. xvi. 119 Ibid, hlm. xiv. 120 Budaya massa merupakan produk-produk atau praktek-praktek kultural yang relatif homogen, dirancang untuk merangsang hasrat konsumsi kelompok terbesar dari populasi masyarakat heterogen. Baca Hikmat Budiman, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 53-54. 121 Bedjo Riyanto, 2003, op.cit, hlm. 59. 66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Herbert Marcuse mengemukakan bahwa industri kapitalis maju (advanced capitalism) dengan sengaja justru menciptakan kebutuhan supaya barang produksi dapat habis dikonsumsi.122 Melalui sistem demikian, pers mendapatkan berperan lebih besar karena mampu mempengaruhi, membujuk, dan menciptakan kebutuhan. Dalam periode 1980-an fokus industri pers Indonesia mulai meninggalkan arena perdebatan mengenai kebijakan pemerintah, lantaran lebih mempedulikan ekspansi bisnis guna mempertahankan finansial.123 Hal ini merujuk kepada pernyataan Marcuse mengenai pertanyaan peran pers yang semestinya, apakah sebagai instrumen penyebar informasi dan hiburan atau berperan selaku agen penipuan serta indoktrinasi.124 Seturut perkembangan peradaban masyarakat kapitalis, iklan bukan lagi sekadar merangsang keinginan massa namun juga memberi pemahaman bahwa hidup akan lebih baik melalui konsumsi. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut baik pihak industrialis dan periklanan lantas menerapkan berbagai jurus pemikat, seperti hadiah ongkos naik haji, pemberian beasiswa, penyelenggaraan konser musik, 122 Herbert Marcuse, 1964, One-Dimensional Man, Boston: Beacon Press, hlm. 22. 123 Rosihan Anwar, seorang redaktur senior, berpendapat mengenai kelompok pers Indonesia yang terbagi menjadi dua, yakni “di atas angin” dan “di bawah angin”. Kelompok “di atas angin” adalah pers yang memiliki kondisi keuangan kuat dan sanggup bertahan dalam perpolitikan Indonesia karena adanya perubahan etos kerja, semula memperhatikan keadilan sosial dan hak asasi manusia namun beralih menuju pandangan khas kelas menengah dengan mementingkan gaya hidup dan individualisme. Sementara kelompok pers “di bawah angin” adalah sebaliknya, gagal beradaptasi dengan tuntutan manajemen dan tidak sanggup membangun pondasi finansial kokoh. David T. Hill, op.cit, hlm. 59. Lihat juga kolom Media “Jika Pers Menggugat Pers”, Tempo No. 4 terbitan Tahun XVI, 22 Maret 1986, hlm. 56-57. 124 Ibid, hlm. 8. 67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hingga cashback (pengembalian uang atau sama halnya dengan diskon) senilai ratusan juta.125 Tanri Abeng, selaku presiden direktur PT Multi Bintang Indonesia, mengungkapkan bahwa pemberian hadiah yang berlebihan jumlahnya bertujuan untuk mendorong konsumerisme.126 b. Pertelevisian Pada periode 1990-an, konsumerisme semakin mencengkeram kehidupan masyarakat dengan hadirnya industri siaran televisi swasta yang mampu menghadirkan gambar bersuara sebagai kekuatan adidaya periklanan.127 Berbeda halnya dengan radio yang hanya menyiarkan suara, televisi menjadi medium terbaru berkekuatan audio visual sehingga mampu menjangkau penonton lebih luas. Tayangan dalam televisi mampu memperkenalkan sekaligus membentuk suatu realitas “yang lain” dengan hukum dan logikanya sendiri.128 Sejak tahun 1962 layar kaca Indonesia hanya memiliki satu siaran, yaitu TVRI (Televisi Republik Indonesia).129 Namun menjelang periode 1990-an, dengan Lihat kolom Kiat Promosi “Jor-joran Menarik Pembeli”, Tempo No. 44 Tahun XIX terbitan 30 Desember 1989, hlm. 96. 125 126 Ibid. 127 Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 60. 128 Ibid. 129 Mulanya, peresmian TVRI bertujuan untuk meliput semua kejuaraan dan pertandingan Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1962. Dalam proses pertumbuhannya, TVRI juga menjadi media propaganda bagi penguasa. Misalnya, setiap tanggal 30 September malam, pemerintahan Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI dan mewajibkan para pelajar sekolah menontonnya. 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bangkitnya kekuatan modal turut menciptakan peluang tumbuhnya industri televisi swasta yang lahir demi melayani kebutuhan beriklan kelompok kapitalis. Larangan beriklan bagi stasiun televisi tidak lagi berlaku,130 setelah munculnya masyarakat kelas menengah baru yang berdaya beli atas produk-produk konsumsi. Maka, antara periode 1989 hingga 1993 lahir empat stasiun televisi swasta sekaligus, dimulai dari RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan AN-Teve (Andalas Televisi) yang kesemua pemiliknya adalah bagian dari lingkaran Soeharto.131 Dengan demikian, pendirian stasiun televisi swasta lebih bertujuan untuk ekspansi ekonomi dan perpanjangan tangan elite ekonomi, bukan sebagai media penyelenggara demokrasi. Meskipun mengantongi izin mengudara, namun stasiun televisi swasta dilarang untuk memproduksi muatan jurnalistik sehingga proses penciptaan iklan yang semakin 130 Pada tahun 1981 muncul larangan beriklan untuk TVRI, lantaran pemerintah mengkhawatirkan adanya pertumbuhan perilaku konsumtif masyarakat akibat ekses negatif dari iklan. Namun, mengutip pernyataan Khrisna Sen dan David T. Hill, di balik pemberlakuan larangan sesungguhnya tersimpan upaya pemerintah untuk menghindari kecemburuan sosial dari masyarakat pedesaan terhadap pertumbuhan kelas menengah perkotaan, sekaligus melayani aspirasi kelompok Islam yang menolak konsumerisme – hedonisme akibat iklan. Lihat Roy Thaniago, 2015, Jurnalisme Televisi dan Heroisme Simsalabim dalam Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo (ed.), Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru, Yogyakarta: INSISTPress dan Remotivi, hlm. 22. Ibid. Lihat juga kolom Media “Teve Swasta di Luar Jawa”, Tempo No. 47 Tahun XXII terbitan 23 Januari 1993, hlm. 95. 131 69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI fokus kepada kecantikan, fetitisme komoditas,132 gaya hidup perkotaan, dan kemegahan kian tumbuh subur. Simbol kecantikan yang secara stereotype melekat kepada perempuan mampu membangkitkan gambaran tertentu dari sebuah produk. Sementara itu, dengan adanya kehadiran perempuan dalam sebuah iklan telah mentransformasikan tatanan kehidupan secara meluas, misalnya nilai tentang gaya dan cara berpakaian yang lebih bervariasi.133 Bagian berikutnya memaparkan beberapa gambaran kehidupan perempuan pada periode 1986 hingga 1993. 4. Perempuan dan Pembangunan Wacana pembangunan dan kemajuan teknologi media massa memungkinkan perempuan untuk mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri. Konsep perempuan sebagai kaum “kelas kedua” bertransformasi menjadi lebih memiliki otonomi dan kebebasan. Namun dalam prosesnya justru timbul sebuah paradoks, karena pada dasarnya iklan semata-mata berorientasi untuk mengejar keuntungan sehingga tubuh perempuan merupakan komoditi bernilai yang pantas diperjualbelikan. Berikut ini 132 Fetitisme komoditas merupakan pemujaan terhadap suatu barang tertentu berdasarkan simbol dan merek dari produk industri, yang dapat mencerminkan status sosial si pemakai. Dengan demikian, nilai manfaat benda yang sesungguhnya menjadi hilang karena si pemakai lebih merasakan kenikmatan semu dari simbol, merek, ataupun harga produk. Misalnya, ketika seseorang membeli sepatu olahraga Nike, yang dipuja cenderung bukan manfaat penggunaan melainkan simbol ataupun merek serta harga mahal dari produk tersebut. Lihat Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 31. Lihat juga Mike Featherstone, 2008, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, hlm. 32. Irwan Abdullah, 1998, “Kematian Perempuan dalam Rimba Lelaki, Sepenggal Tubuh Perempuan dalam Iklan” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 352. 133 70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI catatan mengenai beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada periode 1986 hingga 1993. a. Konsep Kecantikan Global Penggabungan Indonesia ke dalam kapitalisme dunia bukan hanya menghasilkan kebebasan ekonomi, melainkan juga membuahkan kondisi serta kesadaran baru sebagai bagian dari sistem global.134 Berbagai pusat perbelanjaan yang seringkali melibatkan modal asing mulai bermunculan, sehingga memudahkan akses masyarakat kepada produk-produk global, seperti kosmetik ataupun alat-alat olahraga. Sementara itu, membanjirnya produk global yang disertai foto model iklan berwajah Barat menyebarkan pemahaman baru mengenai tubuh.135 Hal ini dapat kita amati melalui peningkatan jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik yang dimuat dalam majalah Femina dan Gadis. Jika di tahun 1984, jumlah iklan hanya sebanyak 125 buah namun di tahun 1990 meningkat menjadi 155 buah.136 134 Ibid, hlm. 353. 135 Bedah plastik merupakan budaya masyarakat kontemporer menggunakan kemajuan ilmu dan teknologi untuk menciptakan pengelolaan maupun rekayasa tubuh melalui jalan operasi atau implan silikon. Meskipun semula ditujukan untuk anak-anak penyandang cacat, dalam perkembangannya operasi plastik menjadi jawaban bagi ketakutan kaum perempuan menghadapi penuaan atau mendapati ketidaksempurnaan pada tubuhnya yang menandakan ketidakcantikan. Susan Bordo, 1993, “‟Material Girl‟: The Effacement of Postmodern Culture” dalam Cathy Schwichtenberg (ed.), The Madonna Connection: Representational Politics, Subculture Identities, and Cultural Theory, New South Wales: Westview Ress, hlm. 653-656. Lihat juga Naomi Wolf, 2002, The Beauty Myth, New York: Harper Collins, hlm. 4. 136 Prosesnya, menghitung jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik dari satu bundel majalah, baik Femina maupun Gadis, yang sama-sama terbit pada tahun 1984 dan 1990. 71 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Akhir periode 1980-an, intensitas dan kompleksitas pengelolaan tubuh bagi perempuan menjadi lebih penting.137 Usaha tersebut bukan hanya demi memenuhi kriteria penampilan modis dalam komunitas, namun supaya memudahkan dikontrol menurut kepentingan kekuasaan, sekaligus sebagai perpanjangan tangan beroperasinya ideologi kecantikan global.138 Konsep kecantikan mulai melampaui batas nasional dan menerima penghayatan baru mengenai internasionalisme, yang memutarbalikkan kriteria sehingga tidak lagi memiliki ketulenan.139 Misalnya, Tempo menemukan bahwa di tahun 1987 setiap tahunnya seratus perempuan Indonesia melakukan bedah plastik untuk mendapatkan perut langsing, payudara kencang dan vagina yang rapat di rumah sakit Jujin, Jepang.140 Sementara itu, pada tahun 1991 jutaan perempuan Barat memutuskan untuk menanam silikon dalam payudaranya setelah menonton “the perfect breast” dari tubuh aktris pornografi.141 Dengan demikian, konsep kecantikan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial yang di baliknya hidup tangan-tangan ideologi kapitalisme dan dominasi kekuasaan patriarki. Laki-laki berperan utama untuk mempengaruhi 137 Irwan Abdullah, loc.cit. Idi Subandy Ibrahim, 1998, “Komodifikasi “Aura” “Cewek Kece” dan “Cowok Macho” dalam Industri Kebudayaan Pop Hegemoni di Balik “Euphoria” Pemujaan Tubuh” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 363. Baca juga Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 574. 138 139 Ibid, hlm. 366. Lihat juga Naomi Wolf, op.cit, hlm. 12. Baca Laporan Utama “Menjadi Cantik dari Salon ke Salon”, Tempo No. 3 Tahun XVII terbitan 21 Maret 1987, hlm. 57. 140 141 Naomi Wolf, op.cit, hlm. 4. 72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perempuan supaya mewujudkan konsep kecantikan tersebut.142 Dalam hal ini, pemerintah justru melanggengkan konstruksi sosial tersebut dengan menyebutnya secara cantik sebagai “peran ganda perempuan”, yang dijelaskan pada bagian selanjutnya. b. Penggandaan Peran Perempuan Mengutip gagasan Ivan Illich, bahwasanya dalam kehidupan industrial semua manusia hakikatnya sama.143 Artinya, industrialisme menyeragamkan kebutuhan perempuan maupun laki-laki secara baku. Pada tahap ini seturut dengan menguatnya perekonomian Indonesia, pemerintah melalui GBHN 1988 menetapkan bahwa peran perempuan dalam pembangunan bersifat ganda.144 Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki namun harus tetap mengingat kodratnya sebagai penjaga nilai-nilai kesejahteraan keluarga. Dalam wawancaranya kepada Femina, Umar Kayam mengungkapkan bahwa pergeseran sistem nilai tradisional disebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang mulai konsumtif dan pertumbuhan kelas ekonomi menengah.145 Hal tersebut tampak dalam laporan Statistik Indonesia yang mencatat adanya peningkatan pengeluaran rata-rata 142 Ibid, hlm. 12. Ariel Heryanto, 1998, “Wanita Korban Pembangunan” dalam (ed.) Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto, op.cit, hlm. 38. 143 Mayling Oey-Gardiner, “And The Winner is… Indonesian Women in Public Life” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, Singapura: Seng Lee Press, hlm. 103. 144 Lihat artikel “Kini Saatnya: Emansipasi Keluarga, Femina No. 50 Tahun XIII terbitan 24 Desember 1985, hlm. 33-34. 145 73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI per kapita untuk kebutuhan non konsumsi dari 39,72% di tahun 1987 menjadi 39,64% pada tahun 1990.146 Apabila semula perempuan hanya mengemban tugas untuk mengasuh dan mendidik anak, kini dapat berperan serta sebagai pencari nafkah meskipun hingga tahun 1991 gaji yang diterima masih bawah jumlah rata-rata nafkah hidup secara umum.147 Sebaliknya, peran laki-laki dalam pengelolaan rumah tangga mulai bergeser karena bersedia berbagi tugas dan merambah ranah domestik. Dalam sebuah angket yang respondennya merupakan perempuan, Femina melaporkan bahwa 52% suami bersedia memandikan anak dan 72,7% menyanggupi tugas antar-jemput anak sekolah.148 Akan tetapi, tindakan heroik sang ayah terpatahkan karena 44,9% perempuan sepakat untuk membolos kerja bila anak sakit149. Berdasarkan hasil angket tersebut, Femina menyimpulkan bahwa seiring meningkatnya jumlah perempuan yang masuk dalam angkatan kerja maka harapan mengenai perubahan pola pengelolaan rumah tangga akan berwujud nyata. Artinya, kaum perempuan tak perlu merisaukan kembali kewajiban “peran ganda” ketika hendak mengembangkan cita- 146 Biro Pusat Statistik, 1990, Statistik Indonesia 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik, hlm. 507. Kathryn Robinson, 2000, “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi” dalam Louise Edwards (ed.), Women in Asia: Tradition, Modernity, and Globalisation, Australia: Allen&Unwin, hlm. 151. 147 Baca kolom Aksen “Hasil Angket 20 Tahun Femina: Wanita Bekerja Telah Berubah”, Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993, hlm. 29. 148 149 Ibid, hlm. 30. 74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI citanya.150 Harapan ini seakan menemukan pintu terangnya ketika muncul dua figur perempuan yang menjadi perbincangan publik. c. Perempuan dalam Ruang Publik Seiring dengan perubahan zaman, penerimaan sosial akan keberadaan perempuan sebagai figur semakin meningkat meskipun berjalan lambat, terlebih jika menyangkut politik. Kehadiran figur publik mampu memecah domestikasi perempuan yang selalu diragukan untuk tampil, baik sebagai tokoh maupun pemimpin. Kedudukan perempuan dalam ruang publik cenderung diabaikan, kecuali jika melibatkan hubungannya bersama “pangeran”, terutama sebagai landasan genealogis, misalnya Princess Diana dan Pangeran William. Pada periode 1986-1993 hadir dua figur perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan tampil di publik sebagai dirinya sendiri, yaitu astronot Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan pebulu tangkis Susi Susanti.151 Akan tetapi ketika negara mendesak perempuan supaya terlibat dalam proses pembangunan, pada kesempatan lain, melalui sebuah pidatonya di tahun 1993 Soeharto justru mengembalikan posisi subordinasi perempuan dengan berkata, “meningkatnya jumlah ibu-ibu yang bekerja juga menyebabkan kurangnya waktu bagi mereka terhadap kehidupan keluarga... maka kaum pria perlu memperluas 150 Ibid. 151 Pratiwi Pujilestari Sudarmono merupakan salah satu calon awak satelit Palapa yang akan dilepaslandaskan pada tahun 1987. Sementara itu, Susi Susanti berhasil memenangkan medali emas pada Olimpiade Barcelona. 75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kehidupannya dalam keluarganya”.152 Secara tersembunyi, Soeharto kembali memperjelas bahwa peran ataupun keberadaan perempuan hanya bernilai oleh adanya laki-laki.153 Selain itu, pada kenyataannya memperlihatkan ada banyak institusi sosial belum berfungsi optimal untuk mendukung proses tersebut.154 Salah satunya dapat kembali kita amati melalui iklan pembalut dalam Gadis dan Femina yang terbit pada periode 1986-1993. Bagian selanjutnya memaparkan visualisasi iklan pembalut berkaitan dengan rekonstruksi kehidupan perempuan, yang terpengaruh oleh kebijakan negara dalam pembangunan. B. Perubahan Iklan Pembalut Periode 1986 – 1993 Pemerintah menitahkan peran ganda perempuan sebagai bagian dari pembangunan. Selain menjadi ibu, yang mengasuh anak, perempuan hendaknya juga bekerja di sektor-sektor publik. Akan tetapi dalam prosesnya, media massa yang memuat sosok perempuan, baik sebagai figur, obyek penulisan atau model iklan justru mempertebal dinding stereotype dan gambaran perempuan berkaitan dengan 152 Julia I. Suryakusuma, 1998, op.cit, hlm. 149. 153 Meskipun ikut serta, kesadaran laki-laki memahami bahwa pekerjaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab perempuan semata masih minim. Laki-laki lebih menyukai bahwa apa yang dilakukan dalam pengelolaan rumah tangga adalah membantu partner perempuan bukan sebagai tanggung jawab bersama. Lihat Angela Y. Davis, 1981, “The Approaching Obsolescence of Housework: A Working Class Perspective” dalam Women, Race and Class, New York: Random House, hlm. 222-223. Emmy Susanti, 1998, “Menggugat Bias Gender dalam Logika Pembangunan” dalam (ed.) Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto, op.cit, hlm. 79. 154 76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI fungsi reproduksi, seperti judul artikel “Gadis Diantri Sampai Malam”.155 Dalam industri kapitalis, perempuan mendominasi peran konsumsi sekaligus eksekutor bagi ideologi pembangunan Indonesia yang terasa nikmat hanya oleh kelas sosial menengah atas. Hal tersebut dapat kita temukan dalam visual iklan-iklan pembalut yang dimuat oleh majalah Gadis dan Femina pada periode 1986 hingga 1993 berikut ini. 1. Iklan Pembalut Tahun 1986 Di tahun 1986, Femina memperkenalkan sebuah produk pembalut baru bernama Carefree yang dapat digunakan setiap hari.156 Kata “carefree” sendiri dalam bahasa Inggris diartikan sebagai free from care; having no worries ataupun irresponsible.157 Pencipta produk Carefree, yakni perusahaan global Johnson&Johnson,158 dengan cerdik memilih kata “carefree” bukan hanya sebagai merek melainkan dapat berperan menjadi slogan bahkan identitas dari produk. Bukan lagi esensi penggunaan produk, melainkan sensasi “terbebas dari rasa cemas dan 155 Artikel tersebut sesungguhnya menceritakan kunjungan redaksi majalah Gadis ke Ujungpandang. Namun pencantuman judul justru mengandung makna berbeda (konotasi) karena sebagai obyek, si “gadis” bersifat pasif sehingga diantri sampai malam layaknya gudeg atau pekerja seks komersil. Lihat Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990, hlm. 23. 156 Femina No. 23 Tahun XIV terbitan 10 Juni 1986, hlm. 107. Lihat gambar 11. 157 Lihat www. merriam-webster. com, diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 01:25 WIB. 158 Johnson&Johnson mulai memproduksi Carefree pada tahun 1976. Di tahun 1997, produk Carefree sukses memegang penjualan sebesar 10% di pasaran pembalut perempuan Amerika Serikat. Baca www.carefreeliners.com, diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 01:48 WIB. 77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI susah” yang hadir melalui merek maupun slogan Carefree. Apabila seorang perempuan menggunakan pantiliner Carefree setiap harinya, maka ia akan terbebas dari rasa cemas dan susah, bahkan terbebas dari tanggung jawab. Pasalnya, tanggung jawab terhadap tubuh yang seharusnya dilakoni oleh setiap perempuan telah tergantikan oleh Carefree. Selain itu adanya produk Carefree kebutuhan perempuan terhadap pembalut mulai bersifat adiktif karena harus digunakan setiap hari. Eksplorasi produsen Carefree bukan lagi sebatas menstruasi, yang intensitasnya sebulan sekali. Kalimat rayuan “Carefree melindungi pakaian dalam Anda dari “noda” dan kelembaban yang sering mengganggu” menyodorkan kebutuhan baru yang dapat mengatasi gangguan harian perempuan. Meskipun, sesungguhnya gangguan yang dimaksud merupakan ciptaan dari perusahaan Carefree sendiri supaya meraup keuntungan lebih besar. Namun saat bersamaan, Carefree menutup kebenaran mengenai masalah kesehatan yang timbul akibat penggunaan rutin, misalnya iritasi.159 Sang model iklan yang mengenakan gaun bercorak floral berwarna merah muda, sepatu hak tinggi, dan menenteng tas genggam tengah berada di sebuah pertokoan. Hal ini dapat kita amati dari lokasi pengambilan gambar di belakang tubuh model yang memperlihatkan deretan manekin. Salah satu elemen yang mencuri 159 Dalam klikdokter.com disampaikan bahwa penggunaan rutin pembalut jenis panty liner, seperti Carefree, justru dapat memicu pertumbuhan jamur dan bakteri akibat lembab karena sirkulasi udara pada daerah vagina terhalangi. Sampai saat ini kebenaran informasi mengenai dampak penggunaan pembalut masih minim. Hasil penelitian mengenai pembalut yang berhasil menemukan dampak buruk dari penggunaannya sering kali tidak terpublikasi hingga ke masyarakat karena telah disensor sendiri oleh pihak produsen. 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pandangan mata penonton iklan adalah dominasi penggunaan warna merah muda, bukan hanya tampilan produk tetapi juga pakaian sang model. Pihak perancang iklan mencomot konstruksi sosial terhadap warna merah muda yang terkesan feminin160 sekaligus melanggengkan stereotype mengenai perempuan adalah pembelanja. Gambar 11. Carefree (Sumber: Femina 1986) Selain mendorong perempuan supaya memiliki ketergantungan terhadap barang komoditi, Carefree juga mendesak adanya tindakan belanja identitas. Perempuan sebagai penonton iklan memahami bahwa dengan menggunakan Carefree 160 Bandingkan dengan iklan pembalut Soft&Easy yang juga didominasi oleh warna merah muda sebagai penanda mengenai perempuan girlish. Lihat halaman 28. 79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lebih memiliki “gerak langkah segar…penuh percaya diri sepanjang hari”. Agar tampak meyakinkan, perancang iklan menempatkan sosok perempuan bergaun merah muda, bersepatu hak tinggi dan tengah melangkah mantap di pertokoan yang dipadati orang sebagai perwujudan dari ungkapan tersebut. Gambar 12. Tampon Tampax (Sumber: Gadis 1986) Pada halaman ke-53 majalah Gadis tahun 1986 memuat sebuah iklan berbentuk artikel dengan judul “Menjadi Dewasa” mengenai kehadiran teknologi menstruasi terbaru di Indonesia yang disebut tampon Tampax.161 Remaja putri yang berperan sebagai figur iklan menuturkan kesukarannya ketika mengenakan pembalut karena menyebabkan lecet pada area vaginanya dan rentan bocor sehingga menodai pakaiannya. Masalah terhenti ketika salah seorang temannya yang berasal dari 161 Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 53. Lihat gambar 12. 80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Amerika memperkenalkan penggunaan tampon. Awalnya, remaja putri meragukan tampon yang dikhawatirkan akan menghilangkan keperawanannya. Pihak perancang iklan dan pencipta tampon Tampax dari Amerika Serikat162 telah lebih dahulu mengetahui bahwa dalam tradisi masyarakat Indonesia yang didominasi Islam, keperawanan merupakan satu pokok penting bagi perempuan. Berbeda halnya dengan masyarakat Barat, yang telah terbebas oleh konstruksi pentingnya keperawanan bagi seorang perempuan. Demi menjaga pola konsumsi terhadap Tampax, perancang iklan menenangkan keraguan pembaca bahwa “suatu hal yang jauh dari kenyataan” jika keperawanan hilang disebabkan oleh penggunaan tampon. Akhirnya ketika remaja putri memutuskan untuk menggunakan tampon ungkapan kesannya justru jauh dari kenyataan mengenai keperawanan karena, “kalau tidak karena tampon Tampax mungkin saya harus tinggal di rumah!”.163 Kekuasaan Amerika sebagai pencipta kebudayaan populer mampu menjangkau dan mempengaruhi kehidupan reproduksi remaja putri di Indonesia. 162 Tampon Tampax merupakan produk global yang berasal dari perusahaan P&G. Kampanye penggunaan tampon Tampax sendiri kini berkembang menggunakan isu ekologis, bahwa produknya lebih ramah lingkungan karena mudah terurai sehingga tidak menyebabkan penumpukan sampah layaknya pembalut biasa. Namun sebuah pengalaman yang dituturkan oleh Meghan Telpner mengungkapkan bahwa penggunaan tampon Tampax secara rutin setiap menstruasi tiba menyebabkan saluran rahimnya mengalami peradangan akibat terkena zat kimiawi dalam tubuh silinder tampon. Baca www.beinggirl.com, diakses pada tanggal 21 April 2016 pukul 2:27 WIB. Baca juga Meghan Telpner, 2009, Tampax Tampons: Toxic Death Sticks, diakses dari www.denmarkonline.dk, pada tanggal 21 April 2016 pukul 2:38 WIB. 163 Berkaitan dengan hal ini, banyak ujaran yang menggunakan tema keperawanan untuk tujuan membatasi atau melarang. Misalnya, “anak perawan tidak boleh keluar malam” atau “anak perawan kok main ke rumah laki-laki”. Ujaran demikian justru menyiratkan bahwa anak perawan lebih baik tinggal di dalam rumah, bertentangan dengan ungkapan gadis dalam iklan Tampax yang seakan menggambarankan kebebasan aktifitas di luar ruangan. 81 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Praktek imitasi terhadap budaya Amerika cenderung langgeng berkat adanya pasar internasional, salah satunya adalah remaja putri tersebut, yang bersedia membelanjakan penghasilan orang tuanya untuk membeli produk dari negara-negara maju. Pilihan remaja putri untuk mengikuti saran teman Amerika-nya telah membentuk identitas baru dirinya sebagai bagian dari budaya global yang tidak hanya “tinggal di rumah”. Dalam proses ini, baik anak muda, kaum perempuan ataupun keduanya merupakan motor utama penggerak terbentuknya budaya global karena mendominasi dalam peran sebagai pembelanja maupun .peraga media pemasaran. Tubuh perempuan memiliki peran sentral dalam penjualan komoditi, karena mendominasi pembentuk gambaran dan tanda kepada para penonton iklan. Apabila laki-laki sebagai penonton iklan, maka pemahaman yang timbul justru ketidaktahuan bagaimana cara menggunakannya.164 Iklan pembalut cenderung menutupi wujud dari produk yang ditawarkan dengan menggantikannya menggunakan tubuh perempuan. Dengan cara seperti ini, tubuh model merebut fokus terhadap esensi produk pembalut sehingga bagi penonton laki-laki perihal menstruasi hanya menjadi masalah perempuan dan tabu untuk diungkapkan secara umum. Namun bagi perempuan sebagai penonton, sosok model iklan merupakan jembatan menuju gaya hidup berkelas dan dekat dengan budaya populer. Maka, 164 Tiga laki-laki sebagai narasumber secara bersamaan mengutarakan kebingungan mengenai bagaimana caranya menggunakan pembalut karena hingga kini iklan produk menstruasi tidak pernah memperlihatkan cara pemakaian. Meskipun demikian, ketiga lakilaki ini tetap kukuh tidak ingin tahu penggunaan pembalut dengan beralasan, “seperti itu kok diiklankan”. Wawancara terhadap Rizal (27 tahun, pekerja), Alam (24 tahun, pelajar), Eko (40 tahun, pegawai) dan Bayu (24 tahun, pelajar), dilakukan pada tanggal 27 Februari 2016, pukul 9:43 WIB. 82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tujuan iklan pembalut bukan lagi sekedar menawarkan manfaat penggunaan produk melainkan juga sarana untuk menyebarkan kebudayaan populer yang diminati kelompok menengah atas, melalui konsumsi gaya hidup sosok peraga. Iklan pembalut lihai mempermainkan rayuan yang dinamis tersebut, antara tabu menstruasi dan gaya hidup berkelas. Contoh lainnya dapat kita amati pada iklan Kotex yang muncul dalam dua halaman sekaligus di majalah Gadis pada tahun 1986. Kali ini, Kotex menggunakan bagian tubuh perempuan dari batas pinggul hingga betis sebagai peraga iklan.165 Pihak perancang iklan Kotex memanfaatkan bagian pinggul hingga betis sebagai daya tarik sensual dari sosok perempuan. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul dan anggota tubuh yang lain merupakan fragmen tanda sebagai obyek “fetish“, seakan mewakili totalitas tubuh serta jiwa perempuan.166 Absennya wajah peraga justru mengungkapkan ketiadaan kehidupan sekaligus rahasia dari si pemilik tubuh sensual yang sedang mengalami menstruasi sehingga malu untuk diketahui publik. Hal ini semakin diperkuat oleh posisi sapu tangan yang dibentangkan menutupi bagian pantat. Jika menstruasi mengalir deras hingga merembes keluar pakaian, maka pada bagian pantat-lah darah akan membekas secara kentara. Apabila tujuan sapu tangan memang berkaitan dengan menstruasi 165 Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 87. Lihat gambar 13.a. Eva Leiliyanti, 2003, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan”, Jurnal Perempuan No. 28 terbitan Maret 2003, hlm. 82. 166 83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI maka penggunaannya kurang tepat karena bukan berbahan handuk yang memiliki daya serap tinggi. Gambar 13.a. Kotex (Sumber: Gadis 1986) Potongan tubuh yang mengenakan rok span, gelang emas yang terlilit di pergelangan tangan kanan dan sapu tangan bercorak bunga terompet serta burung beo merupakan penanda dari sebuah identitas. Hanya perempuan perkotaan atau pekerja kantoran yang berkenan mengenakan rok span, mengalungkan gelang emas di pergelangan tangan dan tambahan aksesoris sebuah sapu tangan. Produk Kotex telah menyadur elemen-elemen urban perkotaan sebagai bujuk rayu penjualan, yang diharapkan bukan sekadar dikonsumsi oleh kelas menengah atas namun juga semua 84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kalangan. Hal ini tercermin dari penggunaan kata “Anda” yang menjangkau perempuan jauh lebih luas ketimbang aksesoris pada tubuh model iklan. Perancang iklan Kotex memberitahu perempuan bahwa tidak seorang pun bakal mereka-reka rahasia yang tersembunyi di balik sapu tangan tersebut. Meskipun sejujurnya, baik perempuan maupun laki-laki sudah mengetahui secara pasti rahasia yang dimaksud, yaitu “tembus belakang” sehingga lebih baik menggunakan Kotex untuk menanggulangi kejadian serupa.167 Artinya, meski berada dalam kesatuan namun tubuh perempuan dapat terpecah menjadi fragmen-fragmen yang mengikuti kepentingan pasar. Produsen Kotex mendikte perempuan untuk mengikuti arahan yang tertera dalam iklan supaya menjadi ideal dan modern. Pada halaman ke-89 di majalah Gadis, Kotex melanjutkan penawaran produk yang terkategori menjadi tiga jenis, yakni super, regular dan slim.168 Awalnya, perempuan dikondisikan untuk membutuhkan pembalut. Namun satu pembalut saja tidak cukup, maka Kotex menciptakan tiga kebutuhan dengan varian berbeda yang bisa digunakan saat menstruasi banyak (super), sedang (regular) maupun sedikit (slim). 167 Tiga perempuan dan lima laki-laki sebagai narasumber menjawab mengetahui tujuan penggunaan sapu tangan yang dibentangkan di bagian pantat model iklan, yaitu “untuk menutupi tembus belakang”. Wawancara terhadap Devi (51 tahun, ibu rumah tangga), Stephanie (23 tahun, pelajar), Ani (38 tahun, aktivis lingkungan), Rizal (27 tahun, pekerja), Bayu (24 tahun, pelajar), Estu (24 tahun, pekerja), David (38 tahun, pengajar) dan Galang (30 tahun, pegawai), dilakukan pada tanggal 2 Maret 2016, pukul 21:00 WIB. Juga dilakukan pada tanggal 4 Maret 2016, pukul 13:21 WIB. 168 Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 89. Lihat gambar 13.b. 85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 13.b. Kotex (Sumber: Gadis 1986) Istilah-istilah tersebut tentunya hanya dapat dipahami oleh kelompok masyarakat yang mengerti bahasa Inggris, yakni kelas sosial menengah atas. Selain itu, istilah-istilah tersebut menyatakan perbedaan bentuk-bentuk pembalut yang dapat digunakan sesuai sedikit-banyaknya darah menstruasi sekaligus sebagai penegasan representasi Kotex sebagai perusahaan multinasional. Kotex yang berada di bawah naungan koorporasi Kimberly-Clark USA169 berhasil menginvasi area privat dan 169 Selain Kotex, koorporasi Kimberly-Clark juga menghasilkan produk-produk global lainnya, misalnya tisu Kleenex, popok bayi Huggies, dan pembersih Scott. Baca www.kimblerly-clark.com, diakses pada tanggal 25 Maret 2016, pukul 10:16 WIB. 86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memukul rata kebutuhan seluruh perempuan di dunia melalui konsumsi atas produkproduknya.170 Ketiga iklan pembalut yang beredar pada tahun 1986 di atas memperlihatkan kesamaan, yaitu gambaran menjadi modern. Iklan Carefree menggambarkan perempuan modern sebagai pemakai pantyliner setiap harinya agar terbebas dari rasa lembab dan tetap higienis. Sementara gambaran modern dalam iklan Tampax adalah ketika perempuan beralih menggunakan tampon yang lebih memungkinkan kebebasan tanpa sakit lecet akibat pembalut. Iklan Kotex yang terakhir memberikan gambaran modern melalui peluncuran tiga varian produk yang digunakan sesuai waktu dan masa menstruasi. Meskipun iklan Tampax menempatkan perempuan remaja sebagai figur namun masing-masing representatif dari ketiga iklan produk tersebut kentara menyasar kelas menengah. Namun secara diam-diam juga merayu perempuan yang bukan berasal dari kelas menengah supaya meningkatkan mobilitas sosialnya melalui gambaran modern layaknya figur dalam iklan, fashionable, penuh percaya diri, bebas beraktifitas dan menggunakan pembalut. 2. Iklan Pembalut Tahun 1990 Di awal tahun 1990, sebuah produk pembalut baru bernama Laurier171 ikut meramaikan halaman iklan dalam majalah Gadis.172 Produsen Laurier menawarkan 170 Lihat Herbert Marcuse, op.cit, hlm. 10-11. 171 Laurier merupakan salah satu produk dari perusahaan multinasional KAO, Jepang yang memulai ekspansi bisnisnya di Asia, mencakup Indonesia pada periode 1990 hingga 2000. Diakses dari wikipedia.org, pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 3:46 WIB. 87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI teknologi baru, yaitu wonder gel, yang merupakan bahan penyerap sehingga menghindarkan pembalut dari kemungkinan bocor. Iklan Laurier menyuguhkan ilustrasi dari produk pembalut yang disertai oleh keterangan masing-masing kebaruan teknologinya. Produk Laurier memukau penonton dengan lapisan anti bocor samping yang lembut, wonder gel pengubah cairan darah menjadi jelly dan tiga garis perekat kuat namun mudah dilepas. Ketiga keunggulan di atas bukan kebutuhan utama dan alasan pokok penggunaan produk pembalut. Meskipun demikian pencantuman istilah yang terdengar tidak familier dan berbahasa Inggris justru menjadi salah satu daya jual. Kalimat pembuka dalam pemaparan iklan, “Ganti lagi… ganti lagi”, merupakan senjata penjualan Laurier. Kehidupan serba modern yang diperlihatkan melalui sosok model perempuan di depan layar komputer berlawanan dengan repotnya menggonta-ganti pembalut supaya terhindar dari kemungkinan bocor. Oleh karena itu, layaknya komputer yang mampu menghemat waktu Laurier pun menciptakan wonder gel supaya lebih cepat mengolah darah menjadi cairan sehingga perempuan pengguna tidak harus bolak-balik mengganti pembalutnya. Meskipun terkesan memudahkan, namun Laurier menutup mata perempuan mengenai pentingnya penggantian pembalut. Pasalnya, rasa lembab di permukaan pembalut yang telah menghisap darah menstruasi bisa memicu pertumbuhan jamur berbahaya 172 Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990, hlm. 2. Lihat gambar 14. 88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bagi kesehatan vagina jika tidak menggantinya dalam waktu dua hingga empat jam.173 Gambar 14. Laurier (Sumber: Gadis 1990) Pihak perancang iklan dengan jeli menyematkan slogan yang berlawanan dari “bebas bergerak” sebagai penyebab merembesnya darah menstruasi, yakni “Aman dari kebocoran meski duduk lebih lama”. Dengan demikian tren bebas bergerak yang sebelumnya beramai-ramai diusung oleh perancang iklan pembalut kini telah berganti. Perancang iklan memungut kebijakan pemerintah mengenai peran 173 Baca http://www.theperiodblog.com/, diakses pada tanggal 3 April 2016 pukul 4:34 WIB. 89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ganda sebagai tema baru penjualan pembalut sehingga perempuan pekerja tidak perlu khawatir akan kebocoran menstruasi ketika duduk lama mengerjakan sesuatu. Ironisnya, pekerjaan publik bagi perempuan cenderung dipahami sebagai pegawai kantoran, misalnya sekretaris, layaknya figur dalam iklan Laurier. Dalam kapitalisme iklan aktif sebagai sarana reproduksi sosial, yang diungkapkan oleh Arie S. Pamungkas, “hanya berimplikasi pada perempuan kelas menengah atas”.174 Alih-alih menawarkan kebutuhan, iklan pembalut lebih bersifat sebagai petunjuk terhadap gaya hidup dari kelas sosial tertentu sehingga rentan menimbulkan kecemburuan sosial. Iklan menjadi arena kompetisi yang lebih mementingkan konsep uang dan harga dari gaya hidup. 3. Iklan Pembalut Tahun 1992 Sebagai gambaran, mari kita melihat iklan Softex yang memakan tiga halaman penuh dengan masing-masing menyuguhkan model dan cerita tersendiri namun tetap berkaitan satu sama lain.175 Majalah Femina terbitan Maret 1992 memuat seorang perempuan mengenakan blus dan rok pendek beserta stocking tipis hitam tengah berpose membuka pintu mobil. Jemari kaki kanannya yang terbungkus sepatu hak tinggi terlihat akan menapak, sementara tangan kirinya memegang sebuah 174 Disampaikan oleh Arie S. Pamungkas dalam acara Bedah Buku dan Diskusi Terbuka “Kongres Perempuan Indonesia Pertama karya Susan Blackburn” tanggal 14 Maret 2016. 175 Femina No. 11 Tahun XX terbitan 12 Maret 1992, hlm. 61-63. 90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tas genggam.176 Senyumnya seakan menjawab slogan iklan yang terpampang, “Siapa pun Anda”. Ya, model perempuan dalam iklan adalah suatu penanda dari slogan. Ia adalah bagian dari “Siapa pun Anda”, yakni mereka yang menggunakan mobil pribadi sebagai alat transportasi sehari-hari, mengenakan sepatu hak tinggi, dan aksesoris perhiasan di tangan serta telinga. Sulit mengatakan bahwa perempuan dalam iklan adalah seorang pekerja karena pakaian yang dikenakan lebih bersifat semi-formal, yaitu blus, rok pendek dan stocking hitam. Sosok yang ditampilkan oleh iklan Softex merupakan perwakilan dari konstruksi sosial terhadap perempuan. Pengandaian kegiatan perempuan selalu dekat dengan hal non-produktif, yaitu bukan di perkantoran tetapi pusat perbelanjaan. Dengan demikian, gambaran perempuan selalu identik sebagai tukang belanja sementara laki-laki adalah working class hero. Tanpa disadari, konstruksi ini membentuk ekspresi figur perempuan dalam iklan yang dilarang keras untuk tampil lesu dan harus tetap cantik, toh tidak pernah bekerja. Oleh karena itu, meskipun menstruasi sering menimbulkan rasa sakit figur perempuan dalam iklan Softex harus tetap nampak berbahagia, seakan menikmati waktu bersantainya dengan mobil, wajah berkosmetik, pakaian semi-formal, dan aksesoris mewah. Sasaran konsumen Softex adalah “Siapa pun Anda”, yaitu perempuan mana pun asalkan setara dengan figur iklan tersebut. 176 Lihat gambar 15.a. 91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 15.a. Softex (Sumber: Femina 1992) Sementara di halaman ke-62, perempuan lain yang berbeda gaya berpakaian dan berpose lebih menarik terlihat mengekspresikan kalimat “Tak ada yang lebih mengerti kebutuhan anda”.177 Serupa dengan figur iklan sebelumnya, sosok perempuan tersebut tengah menikmati waktu santainya di sebuah tangga. Meskipun latarnya terlihat siang hari, yaitu jam-jam aktif orang bekerja namun figur perempuan tersebut justru bertingkah sebaliknya. Hal ini kembali menegaskan bahwa peran ganda yang diemban oleh perempuan jumlahnya tetap tidak mampu seimbang. Stereotype perempuan tetap lekat bukan sebagai pekerja. 177 Lihat gambar 15.b. 92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 15.b. Softex (Sumber: Femina 1992) Meskipun demikian sosok perempuan kali ini tampak berbeda karena menanggalkan gambaran feminine seperti rambut panjang dan pemakaian rok. Akan tetapi subang merah panjang serta sepatu hak tinggi tetap memposisikan figur iklan sebagai perempuan modis. Gaya rambut pendek, yang semula hanya dilakukan oleh laki-laki menemukan pengguna barunya, yaitu kaum perempuan. Secara sederhana, potongan rambut pendek dipahami sebagai dobrakan terhadap kejemuan atas konstruksi sosial bahwa perempuan seharusnya berambut panjang. Namun lebih dari itu, sebuah penemuan mengungkapkan bahwa tren rambut pendek biasa digunakan oleh perempuan karier yang bekerja pada wilayah manajerial. Laki-laki cenderung 93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menguasai jenis pekerjaan manajerial, maka ketika perempuan berada di dalamnya maka harus ditampilkan sifat-sifat maskulin, seperti rambut pendek. Kerja manajerial memerlukan “sikap tegas, independen, dan tampang meyakinkan.178 Gambar 15.c. Softex (Sumber: Femina 1992) Halaman berikutnya, tagline “Selain Softex” bersanding dengan sosok perempuan anggun bergaun merah yang tengah asyik menikmati tehnya di sebuah kursi mewah.179 Sembari meminum teh, perempuan tersebut terlihat sedang membaca sebuah majalah. Entah majalah perempuan atau lainnya, namun kegiatan ini tidak 178 Daniel Dhakidae, op.cit, hlm. 575. 179 Lihat gambar 15.c. 94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mungkin dilakukan oleh perempuan yang hidup di daerah pertanian atau bekerja sebagai buruh. Hal ini semakin diperjelas oleh cat kuku merah yang melekat di jemari dan riasan wajah di bagian mata perempuan tersebut. Penggunaan majalah sebagai obyek tatapan figur iklan, mendorong penonton untuk mendekati keidealan dari gambaran perempuan yang berkelas dan pintar, karena membaca, sekaligus tampak nyaman karena menggunakan Softex. Mimik wajah, cara duduk dan memegang cangkir teh merupakan cerminan dari rasa kenyamanan tersebut. Mengamati gaya berpakaian, pose dan kelengkapan properti yang digunakan oleh ketiga perempuan dalam iklan Softex, seperti tas genggam, sepatu berhak tinggi dan subang emas membawa kita kepada kebuntuan, karena tidak berkaitan dengan menstruasi. Iklan Softex justru secara gamblang mengungkapkan hal lainnya, yaitu pengakuan akan sebuah identitas tertentu. Tamrin Amal Tamagola menjelaskan dengan baik bahwa aspek pakaian “kerja”, gaya rambut, kosmetika, hingga tas genggam digunakan sebagai pernyataan atas status perempuan berkarier, terutama yang belum menikah.180 Ketiga perempuan secara bersamaan menampilkan gambaran mandiri ala “perempuan karir”, “kesuksesan” dengan adanya kehadiran mobil, “kenyamanan” sembari meminum teh, dan atribut lainnya yang beroposisi terhadap nilai-nilai tradisional. Tubuh perempuan dalam iklan di atas mengalami pertemuan antara dua ideologi yang bertolak belakang, yaitu kecantikan dan keseragaman (atau 180 Daniel Dhakidae, op.cit, hlm. 575. 95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seragam).181 Kedua ideologi ini tidak mungkin bertemu selain dalam modal dan kekuasaan, yang merumuskan pembentukan politik tubuh. Komposisinya sendiri merupakan sekumpulan manusia yang disatukan seolah-olah sebagai satu tubuh oleh kekuasaan publik demi kedamaian bersama, pertahanan dan manfaat.182 Kecenderungan memotret tubuh perempuan justru menjauhkan kita dari realitas, karena yang direpresentasi hanya gambaran bukan realita. Dengan demikian, iklan Softex tak sekadar bertugas sebagai agen pemasaran akan tetapi mendominasi peran untuk menyebarkan kesadaran baru supaya penonton perempuan menyesuaikan diri terhadap konsumsi produk global yang dapat mewujudkan kenikmatan layaknya gambaran masyarakat kelas menengah atas. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, tubuh perempuan sebagai figur iklan justru mengalami kematian, tidak berarti apapun, karena larut dalam ideologi dan kepentingan kapitalisme. 4. Iklan Pembalut Tahun 1993 Dominasi kapitalisme secara perlahan dan tak kentara mengendalikan perempuan dengan cara menimbulkan orientasi terhadap aktivitas konsumsi. Perempuan tidak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya karena kapitalisme telah 181 Seragam dalam konteks ini bukan hanya sekadar suatu model pakaian yang mengatur lekak-lekuk tubuh, tetapi menciptakan suatu gambaran tentang jenis kehidupan penuh disiplin. Ironisnya, juga memperlihatkan sikap tunduk dalam suatu kelompok terhadap atasan yang bersifat hierarki dan hanya mendengar perintah. Misalnya, seragam Wanita Katolik (WK) yang bertujuan selain sebagai identitas eksistensi terhadap kelompok lainnya juga merupakan pelaksanaan perintah dari hierarki lebih atas. Ibid, hlm. 573. 182 Pada dasarnya, tubuh merupakan target yang mudah untuk digunakan sebagai obyek hukuman. Meskipun demikian, sejarah menemukan bahwa tubuh juga menjadi obyek penelitian meraih ilmu pengetahuan di abad ke-19. Baca Chris Shilling, 2002, The Body and Social Theory, London: Sage Publications, hlm 67. Baca juga Daniel Dhakidae, op.cit, hlm 576. 96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menentukan pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang berdasarkan kepentingan meraih laba tinggi. Sebagaimana Laurier yang menawarkan tiga jenis produk, yaitu night safe, regular dan maxi.183 Gambar 16. Softex (Sumber: Femina 1993) Meskipun terkesan memberikan tiga pilihan sekaligus yang dapat digunakan sesuai kebutuhan, namun produsen Laurier memaksa perempuan supaya memenuhi kriteria slogan “Perlindungan sempurna di hari-hari menyulitkan” dalam iklan. Sosok perempuan sebagai figur iklan membuktikan kesempurnaan produk Laurier dengan posisi berdirinya yang menyamping sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya 183 Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993, hlm. 80. Lihat gambar 16. 97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI secara kentara meskipun dalam balutan jas dan rok span ala pekerja. Dalam hal ini, baik Laurier maupun tubuh perempuan sama-sama merupakan komoditas untuk dijual. Produk Laurier dijual oleh figur perempuan dalam iklan, yang mempunyai nilai jual berdasarkan bentuk pantat dan betis.184 Gambar 17. Sofie Panty Shields (Sumber: Femina 1993) Iklan yang menggunakan gambaran perempuan pekerja kantoran kembali muncul di bulan Agustus pada Femina halaman ke-54.185 Produsen Sofie Panty Baca Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2004, “Putih, Femininitas dan Seksualitas Perempuan dalam Iklan Kita”, Jurnal Perempuan No. 37 terbitan September 2004, hlm. 55. 184 185 Femina No. 31 Tahun XXI terbitan 12-18 Agustus 1993, hlm. 54. Lihat gambar 17. 98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Shields melihat pencanangan peran ganda perempuan sebagai semangat baru dari emansipasi. Hal ini tercermin dalam teks, “Wanita masa kini seperti Anda, sama sibuknya dengan pria. Tak heran bila wanita aktif sering mengalami stress”. Melalui teks tersebut, produsen Sofie Panty Shields menggambarkan bahwa perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki dalam lingkungan bekerja. Keduanya dapat merasakan kesibukan yang sama. Namun dalam kalimat berikutnya kesamaan ini dihentikan dengan gambaran lain, bahwa perempuan aktif sering mengalami stres. Gambaran mengenai hubungan aktif dan stres tidak menyertakan laki-laki, artinya hanya perempuan yang mengalaminya. Lalu apakah laki-laki tidak mengalami stres? Pertanyaan tersebut justru membawa kepada makna lainnya, bahwa perempuan boleh bekerja tetapi mereka selalu mengalami stres dan kekuatannya tetap tidak mampu menandingi laki-laki yang mampu menghindari gangguan atau kekacauan mental serta emosional. 186 Produsen Sofie Panty Shields mengupayakan pencegahan stres tersebut dengan mengharuskan perempuan menggunakan produknya. Menurut penelitian dalam bidang kesehatan reproduksi perempuan stres memang dapat memicu terjadinya keputihan.187 Bila dalam batas normal dan tidak terus-menerus, keputihan memang proses alamiah. Namun produsen Sofie Panty Shields membesar-besarkan 186 KBBI menjelaskan stres sebagai gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar. Lihat kbbi.web.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 8:02 WIB. 187 Lihat www.healthline.com/symptom/vaginal-discharge, diakses pada tanggal 12 Maret 2016 pukul 8:35 WIB. 99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI keputihan sebagai isu yang menyebabkan rasa tidak bebas dan nyaman. Produsen Sofie Panty Shields mereka cipta penggunaan produk bertujuan melindungi pakaian dalam supaya tetap bersih. Lebih lanjut, produsen Sofie Panty Shields merunut bahwa kebersihan akan berujung pada rasa nyaman sehingga perempuan mampu bebas bergerak dan aktif bekerja meskipun tetap dalam posisi subordinat. Mulai dari gambaran perempuan aktif hingga isu keputihan yang dipicu oleh stres sesungguhnya merangkai sebuah makna besar mengenai kuasa. Pertama, perempuan mengalami stres sementara laki-laki tidak, karena kuasa patriarki yang menciptakannya. Kedua, kuasa negara yang membebani perempuan dengan peran ganda diadopsi oleh iklan Sofie Panty Shields. Perempuan boleh berbangga bahwa dirinya sama aktifnya dengan laki-laki. Namun harus mengingat bahwa keberadaannya tetap lemah sehingga dapat mengalami stres. Agar dapat melewati hari-hari aktif bekerja dengan nyaman, perempuan harus bergantung pada penggunaan Sofie Panty Shields. Dengan demikian, iklan Sofie Panty Shields sebenarnya mengungkapkan sebuah pasung kuasa patriarki terhadap kebebasan dan keberadaan perempuan. Melalui pemaparan dari kedua iklan yang terbit pada tahun 1993 di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai maraknya semangat untuk memajukan perempuan dengan cara memberinya tempat di ruang-ruang publik sebagai pekerja kantoran. Namun terwujudnya kemajuan tersebut disebabkan oleh kepentingan industri pembalut, yang hendak memasarkan produk-produknya sebagai “pendamping” ideal di lingkungan kerja. Kapitalisme membentuk perempuan pekerja supaya 100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI membutuhkan tiga varian produk Laurier untuk digunakan pada waktu malam atau siang hari. Selain itu kapitalisme juga menciptakan mitos bahwa perempuan rentan akan tekanan bekerja yang mampu menyebabkan stress, ujung-ujungnya hanya mendikte penggunaan Sofie Panty Shields supaya mendapatkan rasa bebas dan nyaman setiap menitnya di lingkungan kerja. Iklan pembalut sesungguhnya mampu berperan sebagai basis politik emansipasi. Berbagai iklan di atas mampu memperlihatkan aktivitas perempuan bukan lagi berada dalam wilayah domestik. Namun demikian, basis politik emansipasi tersebut tidak cukup kuat untuk mendobrak struktur patriarki karena para perempuan yang aktif di dunia publik hanya melaksanakan perjuangan terbatas untuk kelompoknya atau bahkan sekadar memenuhi himbauan pemerintah mengenai peran ganda. Gerakan emansipasi modern ini bahkan rentan menggunakan cara mensubordinasi perempuan lainnya yang tidak memiliki akses dan kapital budaya sebagai syarat terlibat dalam kehidupan sosial.188 Di sisi lain, iklan pembalut seringkali menampilkan sosok perempuan sebagai model dengan setelan bekerja yang mengarah ke dalam makna oposisi terhadap domestikasi dan label-label tradisional, seperti setelan bekerja, high heels atau menyetir mobil. Gambaran perempuan yang erat dengan domestikasi seakan menemukan pintu gerbangnya karena tergambar dalam ruang-ruang publik. Namun tanpa disadari tanda-tanda tersebut justru 188 Irwan Abdullah, 1993, op.cit, hlm. 359. 101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memenjarakan perempuan ke dalam konstruksi-konstruksi yang terus dibuat oleh negara supaya terus mengikuti aliran kapitalisme.189 189 Eva Leiliyanti, 2003, op.cit, hlm. 73 102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI C. Kesimpulan Menurunnya harga minyak dunia yang menimbulkan krisis ekonomi mendesak pemerintah untuk beralih memajukan sektor non-migas dengan membuka lebar kesempatan penanaman modal asing sekaligus bantuan dari lembaga keuangan dunia. Hal ini menyebabkan derasnya arus teknologi dan produk masuk ke Indonesia yang mempengaruhi kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Dampaknya dapat terlihat mulai dari kedekatan terbuka Soeharto terhadap kelompok Islam, banyaknya pendirian stasiun televisi swasta oleh kroni Soeharto, kontrol represif pemerintah terhadap media massa dan penerbitan, hingga kebijakan pemerintah mengenai peran ganda perempuan. Negara mempropagandakan perempuan supaya bekerja di area publik, namun dengan persyaratan untuk tidak melupakan peran ibu rumah tangga. Sementara itu, media massa justru menyambut hangat kebijakan tersebut yang diterapkan ke dalam terbitan artikel ataupun iklan, salah satunya produk pembalut. Meskipun iklan menampilkan sosok perempuan pekerja yang memiliki berbagai atribut oposisi nilai tradisional, secara bersamaan merepresentasikan kontruksi sosial mengenai gaya hidup urban, konsumerisme, dan ketergantungan terhadap benda industri. Dalam hal ini, iklan pembalut selain menawarkan produk tetapi juga mengkonstruksi kehidupan perempuan supaya larut dalam skenario kapitalisme. 103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV CITRA PEREMPUAN INDEPENDEN PERIODE 1994-2000 Menjelang tahun 2000, Indonesia mengalami banyak peristiwa dramatis, mulai dari krisis ekonomi, demonstrasi dan gejolak sosial hingga terselenggaranya reformasi kepemimpinan negara. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam pembangunan sebagai pengemban peran ganda sempat mati suri. Kelompok perempuan mulai aktif terlibat dalam ruang-ruang demokrasi publik, ikut menyuarakan protes terhadap pemerintah. Sayangnya perjuangan tersebut tidak bertahan lama karena berbagai produk dan budaya populer yang membawa serta gambaran mengenai perempuan mulai membanjiri Indonesia. Di Bab IV memaparkan keterkaitan antara krisis ekonomi, situasi sosial dan politik dengan perkembangan gambaran perempuan melalui iklan pembalut terbitan tahun 1994 hingga 2000. A. Latar Belakang 1. Krisis Ekonomi Memasuki tahun 1997, krisis moneter (krismon) melanda kawasan Asia tak terkecuali Indonesia.190. Dampak krismon terhadap Indonesia memburuk oleh adanya hutang luar negeri yang membengkak. Nasib malang melanda negeri. Tatanan 190 Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kian melemah hingga benarbenar tidak masuk akal menjadi Rp 12.600 di bulan Mei 1998. 104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perbankan nasional mengalami kekacauan dan korupsi merajalela,191 sementara devisa nasional justru menipis.192 Oleh karena itu, pemerintah Indonesia kembali menempuh usaha dengan meminta bantuan terhadap IMF (International Monetery Fund) yang ternyata tidak mudah didapatkan. Baik lembaga keuangan dunia maupun negara penyedia dana bantuan mengajukan persyaratan kepada Indonesia supaya melaksanakan perubahan kebijakan ekonomi, keuangan, hingga anggaran yang cukup elementer.193 Akan tetapi, negara justru cenderung menggunakan dana pinjaman untuk menjalankan 191 Antara tahun 1993-1994, muncul dua kasus korupsi yang merugikan negara dengan nilai uang triliun, yaitu Eddy Tansil dan Kim Johanes Mulia. Keduanya merupakan pengusaha yang berhasil memalsukan persyaratan pencairan kredit dari badan keuangan negara. Namun ulasan Gatra justru mampu memaparkan sisi lain dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat negara, bahwa sebenarnya mereka membantu dan ikut menikmati raibnya dana kredit Bapindo.191 Gatra menilai, praktek manipulasi ekspor fiktif akan semakin rapi apabila bank pelaksana bermain mata dengan eksportir yang bersangkutan, misalnya untuk membiayai kegiatan atau bisnis pribadi. Pengusaha, yang namanya menjadi pelaku peminjaman, tentu saja mendapat uang tutup mulut. Gatra Edisi Perkenalan terbitan Oktober 1994, hlm. 36. Baca juga “Laporan Utama: Bapindo, Subekti, dan Sumarlin”, Tempo No. 1Tahun XXIV terbitan 5 Maret 1994, hlm. 21-30. Baca juga “Sukhoi dan Bisnis Kim Johanes”, Berita Satu, diakses dari m.beritasatu.com, tanggal 2 Maret 2016, pukul 04:11 WIB. Muhamad Hisyam, 2003, “Hari-hari Terakhir Orde Baru” dalam Muhamad Hisyam (ed.), Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 56. 192 193 Salah satu perubahan dapat dilihat dari kasus penghapusan monopoli BULOG terhadap impor gandum dan tepung terigu yang disambut gembira oleh masyarakat karena telah lama menginginkan agar segala bentuk distorsi ekonomi ditiadakan. Akan tetapi kebijakan ini dilakukan lebih karena persyaratan supaya mendapat kucuran dana dari IMF atau Bank Dunia ketimbang mendengarkan aspirasi dan usulan oleh rakyat. Lihat Mahmud Thoha, 2003, “Pasang Surut Perekonomian” dalam Muhamad Hisyam (ed.), op.cit, hlm 263264. 105 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kebijakan ekonomi yang terbuka bagi modal asing atau pasar barang-barang impor.194 Alih-alih mendapatkan surplus pendapatan, Indonesia malah semakin terhisap dalam ketergantungan terhadap kapitalis dunia. Ketika pemerintah mengemban tuntutan dari penyedia dana bantuan, kepercayaan rakyat pun berubah mengendur melihat ketidakseriusan penanganan krisis ekonomi. Di sisi lain, antara tahun 1980 hingga 1990-an jumlah koorporasi internasional dan penggabungan modal antar pengusaha lokal maupun Tionghoa terus mengalami peningkatan.195 Proyek-proyek yang menguntungkan dipegang oleh politikus ataupun kelompok militer. Perekonomian yang mengalami fluktuasi namun tanpa penyelesaian disertai marginalisasi terhadap kelompok masyarakat lokal berkehidupan miskin, sementara negara tetap mengekang dinamika politik menimbulkan ledakan energi,196 seperti kerusuhan, demonstrasi, hingga tuntutan reformasi yang dipaparkan pada bagian berikutnya. 194 Arief Budiman, 1995, op.cit, hlm. 74. 195 Rajeswary Ampalavanar Brown, 2006, The Rise of the Corporate Economy in Southeast Asia, New York: Routledge, hlm. 10. 196 Mencomot penjelasan Daniel Dhakidae yang mengatakan bahwa kerusuhan politik terjadi bukan hanya disebabkan oleh kebuntuan, tetapi juga faktor lainnya, yaitu ada energi tak tersalurkan dan meledak karena ketiadaan jalan keluar. Sementara itu, negara tetap bersikukuh terhadap keterbukaan politik maka jalan reformasi akan nihil terjadi. Reformasi politik menolak pengekangan. Daniel Dhakidae, op.cit, hlm.370. Baca juga Idi Subandy Ibrahim, 2000, Pengantar Editor “Melawan ya Melawan tapi Jangan Melawan: Teater Teror dan Teknologi Kepatuhan” dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.), Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 19-46. 106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Gerakan Mahasiswa dan Perlawanan Perubahan politik di Indonesia mulai memperlihatkan denyutnya pada awal tahun 1990-an. Mahasiswa memberanikan diri untuk menggelar aksi demonstrasi di luar lingkungan kampus.197 Semula aksi-aksi ini menuntut agar pemerintah bertindak segera untuk menurunkan harga-harga kebutuhan pokok yang kian hari melambung tinggi, serta menghapus monopoli, dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) para pejabat negara atau keluarga penguasa. Selain itu, mahasiswa juga menginginkan mulainya suksesi kepemimpinan nasional dan berlakunya kedautalan rakyat.198 Puncaknya, di bulan Mei 1998 ribuan mahasiswa melakukan long march bersama menuju gedung DPR yang justru menimbulkan korban akibat kekerasan dari pihak kepolisian dan militer. Empat mahasiswa meninggal karena tembakan senjata api, sementara 20 korban lainnya mengalami luka-luka.199 Di lain pihak, aktivis kebudayaan dan buruh berupaya merevitalisasi praktik kebudayaan kiri melalui kesenian dan kesusastraan sebagai tanggapan atas tekanan politik dari pemerintah.200 Penyair Wiji Thukul dan JAKER (Jaringan Kerja Kesenian 197 Mahasiswa tidak lagi bersikap patuh terhadap himbauan pemerintah mengenai NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). 198 Muhamad Hisyam, 2003, op.cit, hlm. 60. 199 Ibid, hlm. 65. 200 Dalam kaitan hal tersebut, kita dapat melihat Wiji Thukul yang menggunakan puisi untuk mendekonstruksi praktik kebudayaan supaya mencapai gerakan perlawanan dan demokrasi. Selain itu, juga ada Seno Gumira Ajidarma yang menggunakan sastra untuk membongkar kekejaman invasi Indonesia terhadap Timor Leste sebagai jalan pengganti atas 107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Rakyat) membuat kolaborasi bersama organisasi kebudayaan lainnya untuk membina kelompok buruh, bahkan mengorganisir rangkaian demonstrasi, dan mengakomodasi karya seni maupun sastra pinggiran yang ditulis berdasarkan komitmen sosial.201 Selain itu, sebagai perlawanan dengan cara damai terhadap buku putih terbitan pemerintahan Soeharto, Yosep Stanley Adi Prasetyo yang merupakan pendiri ISAI (Institut Studi Arus Informasi) mengeluarkan karya berisi penjelasan alternatif mengenai Tragedi 1965 berjudul Bayang-bayang PKI di tahun 1995. Senada dengan gerakan-gerakan tersebut, pemerintah terus menggunakan jalan kekerasan melalui polisi atau militer, baik secara langsung, struktural, maupun kultural supaya menciptakan keamanan dan keadilan yang sesungguhnya semu. Hal ini memancing antar generasi rentan mendistribusikan dan menyebarkan kekerasan.202 Oleh karena itu, tidak heran apabila rangkaian tragedi, mulai dari Santa Cruz, Dili (1991) hingga Aceh (1999) nihil penyelesaian di peradilan, mengorbankan banyak orang dan menyisakan kepedihan yang mendalam. kontrol represif pemerintah terhadap pers. Wijaya Herlambang, 2014, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri, hlm. 226. Baca juga Seno Gumira Ajidarma, 2006, Trilogi Insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 201 Karya seni dan sastra berkomitmen sosial berbeda dengan tradisi universialisme dan individualisme, karena dibikin oleh kelompok masyarakat minoritas, seperti Tionghoa atau buruh yang menceritakan kenyataan sehari-hari, misalnya kemiskinan, bukan hal-hal absurd layaknya gaya penulisan Sutardji Calzoum Bachri atau Budi Darma khas pemerintahan Soeharto. Lihat Wijaya Herlambang, op.cit, hlm. 225-228. 202 A. Latief Wiyata, 2006, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS, hlm. 10. 108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Setelah melewati perjuangan berdarah, tuntutan rakyat akan reformasi kursi kepresidenan terkabulkan.203 Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai presiden. Sebagai wakil presiden yang kala itu tengah menjabat, B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto. Usai reformasi hingga tahun 2000, Indonesia mengalami pergantian presiden sebanyak dua kali yaitu B.J Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam bagian selanjutnya akan memaparkan ringkasan pendek mengenai kepemimpinan dan situasi Indonesia pasca reformasi. 3. Pasca Lengsernya Soeharto Sebagai pengganti Soeharto, Habibie tidak memiliki banyak pilihan dalam menjalankan tugas presiden karena selain minimnya waktu jabatan juga harus berhadapan dengan kepentingan elite politik, baik daerah maupun pusat, yang bermunculan akibat dari konsentrasi kekuasaan politik dan keuangan.204 Secara bersamaan kedekatan Habibie terhadap para elite era pemerintahan Soeharto mengurangi inisiatif reformisnya. Selang tujuh belas bulan kemudian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik sebagai presiden menggantikan Habibie. Selain nama Gus Dur, sidang umum Majelis 203 Pendapat lain menyebutkan bahwa praktek pemerintahan Soeharto yang otoriter, oligopoli dan menindas hak-hak asasi manusia dinilai sangat berlawanan dengan berkobarnya semangat demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga. Lihat Herman Hidayat, 2003, “Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran” dalam Muhamad Hisyam (ed.), op.cit, hlm. 231. 204 Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, hlm.210. Bandingkan dengan Idi Subandy Ibrahim (ed.), op.cit, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 22. 109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menghadirkan calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yaitu Megawati Soekarnoputri.205 Namun setelah melalui proses panjang nan dramatis, MPR memutuskan Gus Dur sebagai pemenang meskipun hanya bertahan dua tahun. Rendahnya tingkat dukungan dan gaya kepemimpinan yang eksentrik menimbulkan perpecahan dalam tubuh kabinet sehingga menghambat pelaksanaan upaya reformasi. Akibatnya pemerintahan Gus Dur berakhir prematur.206 Meskipun demikian, Gus Dur menjadi presiden pertama yang tegas mengeluarkan kebijakan mengenai pengarusutamaan gender sehingga mendorong tindakan afirmasi kuota 30% perempuan dalam ranah politik.207 Terbitnya kebijakan pengarusutamaan gender pada tahun 2000 membuktikan bahwa perhatian terhadap isu perempuan menjadi salah satu agenda utama 205 Meskipun nama Megawati Soekarnoputri telah melekat dalam dunia politik, mengingat dirinya mengetuai Partai Demokrasi Perjuangan, namun penolakan pencalonan banyak bermunculan terutama dari kelompok Islam dan para pemimpin intelektual liberal. Mereka menolak Megawati Soekarnoputri dengan alasan bukan berasal dan mendapat dukungan dari kelompok atau organisasi Islam mana pun, sekaligus beragama Hindu. Celakanya, Megawati Soekarnoputri adalah seorang perempuan yang tidak tepat menjadi sosok pemimpin apabila menganut tradisi agama Islam. Baca Krishna Sen, 2000, “The Mega Factor in Indonesian Politics: A New President or a New Kind of Presidency?” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), op.cit, hlm. 13-15. 206 Dalam hal ini, Tod Jones mengemukakan dua alasan yang menimbulkan kejatuhan pemerintahan Gus Dur yakni pernyataan pengakuan terhadap aliran kepercayaan Konghucu dan penerbitan undang-undang mengenai legalisasi komunisme. Pada pemerintahan sebelumnya, Soeharto melarang segala bentuk aksi kebudayaan terkait dengan masyarakat Tionghoa dan gerakan komunisme. Lihat Tod Jones, 2015, op.cit, hlm. 211. 207 Kebijakan afirmasi politik ini baru terlaksana pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri melalui UU No. 12/2003 yang mengharuskan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sebanyak 30%. Kebijakan ini terus diperbaharui pada tahun 2008 dan 2012. Baca “Gus Dur dan Kesetaraan Gender”, diakses dari www.nu.or.id pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 2:39 WIB. Baca juga arsip “Pengarusutamaan Gender”, diakses dari kkp.go.id pada tanggal 11 Maret 2016 pukul 08:18 WIB. 110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pembangunan. Memang, tidak terlepas dari tekanan dunia luar namun perjuangan perempuan di Indonesia berkaitan erat dengan situasi politik dan sosial yang tengah berkembang. Bagian selanjutnya memaparkan kehidupan dan gerakan perempuan menjelang dan pasca reformasi yang berkembang lebih subur dibandingkan periode sebelumnya. B. Kehidupan Perempuan Tuntutan dunia terhadap negara-negara berkembang untuk menegakkan demokrasi berkembang menjadi kepedulian pada isu perempuan. Hal ini tercermin dari penyelenggaraan Konferensi Perempuan Sedunia IV oleh Perserikatan Bangsabangsa yang diadakan di Beijing, Tiongkok pada bulan September 1995. Dalam konferensi tercipta keputusan bahwa perempuan harus berbicara (speak up!). Konferensi ini bukan hanya menghadirkan utusan resmi dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, namun juga organisasi-organisasi swasta seluruh dunia. Pasalnya, pada waktu yang bersamaan juga terealisasi Pertemuan Forum Organisasi Perempuan Non Pemerintah. Kedua kelompok perempuan tersebut berhasil mencapai kesepakatan, kemudian bersedia menandatangani persetujuan Plant of Action CEDAW (Convention on the Elimination All of Forms of Discriminations Against Women) yang membahas dua belas masalah kritis, mulai dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, konflik bersenjata, ekonomi, kekuasaan, mekanisme institusional, hak-hak asasi, media massa, lingkungan, hingga anak-anak. 111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bagi perempuan Indonesia, penyelenggaraan konferensi ini membangkitkan semangat gerakan perlawanan terhadap rezim. Selain itu juga menggiatkan partisipasi perempuan untuk terlibat dalam institusi pemerintahan atau sebagai representasi dari partai politik. Berikut penjelasan dari masing-masing resultan di atas. 1. Gerakan Perempuan Keterlibatan delegasi Indonesia dalam penandatanganan CEDAW di Beijing membuka jaringan lebih luas antara aktivis perempuan lokal dan dunia. Secara bersamaan, krisis multidimensional berkepanjangan membuat masyarakat geram sehingga memicu berbagai aksi. Setelah selama 32 tahun lamanya perempuan dibekukan melalui ideologi ibuisme, di bulan Februari muncul sebuah aksi turun ke jalan dari Yayasan Jurnal Perempuan.208 Aksi ini cenderung dianggap sebagai nonpolitik, namun tujuannya membuka keberanian bagi perempuan untuk terlibat dalam perubahan politik melalui “demo susu” bernama Suara Ibu Peduli. Suara Ibu Peduli bersama UNIFEM (United Nations Development Fund for Women) memulai aksinya dengan menggalang dana guna membeli susu untuk dijual 208 Yayasan Jurnal Perempuan merupakan organisasi non-profit yang digagas oleh Gadis Arivia pada tahun 1995 dengan dukungan dari Toety Heraty Noerhadi, Ida Dhanny, dan Asikin Arif. Awalnya, penerbitan Jurnal Perempuan disebabkan oleh minimnya bacaan mengenai feminisme bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Namun seiring perkembangannya, jumlah pembaca Jurnal Perempuan meningkat maka disusunlah sebuah redaksi kecil yang berhasil mewujudkan jurnal feminis pertama di Indonesia dengan bermacam tema, seperti trafficking, kekerasan dan permasalahan perempuan nyangkut ekonomi, sosial, hukum. Baca Profil Yayasan Jurnal Perempuan, diakses dari www.jurnalperempuan.org pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 4:54 WIB. 112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kembali kepada masyarakat umum dalam bentuk kemasan yang baru.209 Pada hari penjualan, tepatnya tanggal 20 Februari 1998, kantor Yayasan Jurnal Perempuan penuh sesak oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang rela mengantri demi mendapatkan susu bayi dengan harga murah. Pasalnya, produk susu pada masa-masa itu mengalami kelangkaan dan apabila tersedia harganya meningkat tajam hingga 400%.210 Selain susu bayi, para pengantri juga mengeluhkan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga khawatir akan masa depan yang suram. 211 Aksi penjualan 209 Bentuk kerja sama ini merupakan salah satu contoh feminisme transnasional. Menjelang tahun 1990, sebuah gerakan baru muncul yaitu post feminism; feminisme dalam situasi sekarang, yang meliputi feminisme multikultural dan feminisme transnasional. Feminisme multikultural mengutamakan pertautan antara gender, ras dan kelas. Sementara feminisme transnasional melihat isu perempuan secara global namun mengedepankan perbedaan tiap-tiap daerah atau individu. Namun kedua gerakan tersebut bersepakat, yaitu melihat kebutuhan untuk membangun jembatan antara kelompok-kelompok feminis yang tidak membutuhkan pengalaman dan identitas sama namun bertujuan satu, seperti penegakan HAM, pemberdayaan, solidaritas. Post feminism berbeda dengan feminisme gelombang kedua, disponsori oleh salah satunya Simone de Beauvoir, yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan sehingga membebaskan laki-laki dari beban produksi dan hak istimewa lakilaki untuk mendefinisikan dirinya. Baca Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 4-6. 210 Sebelum krisis ekonomi menerjang di tahun 1997, beberapa produk mengalami kelangkaan di pasaran seperti semen dan bahan bakar minyak. Daniel Dhakidae memiliki penjelasan menarik terkait kelangkaan tersebut, yang tidak lain merupakan keterkaitan antara bahasa dan ekonomi politik kekuasaan. Jika penguasa (dapat diartikan negara) menggunakan bahasa untuk mengumumkan harga semen naik atau mengontrol jumlah produk keluar di pasar maka hal-hal demikian akan nyata terjadi. Pasalnya, yang menentukan harga suatu produk adalah penguasa atau negara sehingga setiap saat bisa dan berhak menaikkan walaupun tidak berkuasa untuk menurunkan. Analogi ini dapat digunakan dalam kasus kelangkaan susu. Berbagai produk tersebut menunjukkan kepada sesuatu yang disebut kekuasaan, baik berbentuk semen atau susu. Kekuasaan ini terus berupaya untuk memperlihatkan dirinya sendiri dalam menjalankan praktik kekerasan. Baca Dhaniel Dhakidae, 2003, hlm. 403-409. Gadis Arivia, 2007, makalah “Politik Representasi Suara Ibu Peduli” dipresentasikan dalam acara Peringatan 9 Tahun Reformasi di Plaza Gedung Nusantara II DPR RI, hlm. 3. Diakses dari www.jurnalperempuan.org tanggal 6 April 2016 pukul 9:56 WIB. Bandingkan juga dengan Bagus Zidni Ilman Nafi, 2015, “Terlewat dalam Krisis: Aksi 211 113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI susu ini merupakan strategi politik untuk menyamarkan tuntutan supaya Soeharto turun sebagai presiden. Perlu diketahui juga bahwa rombongan aksi “demo susu” juga melibatkan laki-laki, mahasiswi, kelompok intelektual perguruan tinggi, dan ibu-ibu rumah tangga. Kejadian ini membuktikan bahwa perempuan Indonesia merasakan hasrat dan tanggung jawab sama besarnya dengan laki-laki untuk menuntut reformasi. Gadis Arivia menjelaskan bahwa pemilihan kata “ibu-ibu” dalam aksi Suara Ibu Peduli digunakan untuk menjungkirbalikkan konsep negara terhadap kontrol perempuan.212 Ibaratnya, senjata makan tuan. Soeharto, sebagai pencipta peran ganda perempuan memakan sendiri perlawanan dari sosok “ibu-ibu” yang mengeksploitasi elemen tradisional, dalam hal ini adalah susu bayi sebagai simbol protes untuk menuntut jalannya sebuah demokrasi. Keterlibatan perempuan dalam ruang publik menjadi kian gencar setelah gerakan Suara Ibu Peduli bergema hingga dunia internasional.213 Protes dari Suara Ibu Peduli menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan di Indonesia karena Unjuk Rasa Gerakan Suara Ibu Peduli pada 1998” dalam Jurnal Sejarah, Histma: Perempuan dan Negara, Yogyakarta: Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB UGM, hlm. 46. 212 Gadis Arivia, 2007, op.cit, hlm. 2. 213 Ketiga aktivis dari Suara Ibu Peduli, Karlina, Wilasih dan Gadis Arivia mendekam dalam penjara karena dituduh membuat onar. Namun kejadian ini justru menyedot perhatian pers internasional dan memupuk kelahiran gerakan-gerakan baru, bahkan melahirkan kemungkinan baru feminis laki-laki di Indonesia. Gadis Arivia, 2007, op.cit, hlm. 4-6. 114 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memancing kelompok-kelompok lain turut maju.214 Di bulan Mei 1998 ketika demonstran berhasil menduduki gedung DPR/MPR demi menuntut reformasi, perempuan turut tampil di belakang layar dengan menyuplai kebutuhan logistik.215 Di jalan-jalan menuju gedung DPR/MPR, para perempuan bersiaga menyediakan nasi bungkus, telur, snacks, air mineral, dan buah-buahan untuk pendemo secara sukarela. Sayangnya, di pertengahan Mei 1998 negara justru kembali menodai perempuan dengan cara mensponsori teror kekerasan dan rasialis terhadap etnis Tionghoa.216 Hal ini memicu terbentuknya Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi pada tanggal 20 Mei 1998 oleh para aktivis perempuan dan anggota parlemen. Agenda utama dari koalisi adalah menentang segala bentuk kekerasan dan mengungkapkan tindak pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di bulan Mei 1998.217 214 Julia Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 5. Kathryn Robinson, 2000, “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi” dalam Louise Edwards (ed.), op.cit, hlm. 140. 215 216 Belum ada penjelasan siapa sebenarnya pelaku utama dalam Tragedi Mei 1998 yang bukan hanya mengenai kerusuhan, yaitu penjarahan dan pembakaran rumah atau toko milik masyarakat Tionghoa, tetapi juga pelanggaran HAM terhadap para perempuan. Ariel Heryanto menyebutkan bahwa teror kekerasan bercorak rasialis Mei 1998 sesungguhnya disponsori oleh negara. Selama ini, masyarakat menganggapnya sebagai rangkaian kerusuhan massa yang rasis seperti dalam penjelasan M.C. Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia since c.1200. Ariel Heryanto, 2015, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 201-202. 217 Kathryn Robinson, 2000, op.cit, hlm. 140. 115 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Perempuan Politisi218 Sejak berlangsungnya Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing, isu gender mulai masuk dalam institusi pemerintah dan disepakati menjadi agenda kampanye. Hal ini mempengaruhi jumlah partisipan perempuan yang duduk dalam lembaga pemerintah atau ikut tergabung di partai politik. Antara tahun 1994-2000 jumlah pegawai negeri perempuan di departemen atau lembaga pemerintah mengalami peningkatan sebanyak 57.875 orang.219 Akan tetapi jabatan yang dipegang cenderung melekat dengan gambaran feminin. seperti bendahara atau sekretaris, Kehadiran mereka juga cenderung dekat dengan kepentingan suatu kelompok, bahkan tidak sedikit yang berasal dari kerabat pejabat negara. Menjelang pemilihan umum 1977, nama Siti Hardianti Rukmana (Tutut) mendapat sanjungan dan diprediksi mampu mengganti kedudukan ayahnya, Soeharto di kursi pemerintahan. Namun seiring banyaknya penolakan terhadap Soeharto pamor Tutut pun sekejap menurun. Lain halnya dengan Megawati Soekarnoputri dari PDI 218 Meminjam istilah dari Jurnal Perempuan untuk menyebut perempuan yang terlibat dalam dunia politik. Dewi Candraningrum menjelaskan bahwa istilah politisi perempuan adalah “any women without perspective”. Berbeda halnya dengan istilah perempuan politisi. Kata “perempuan” sebagai adjektif menjadi penjelas mengenai perempuan yang terlibat dalam dunia politik dan memiliki kemampuan memahami perspektif gender. Penjelasan disampaikan dalam seminar “Perempuan, Politik, dan Ruang Demokrasi” di PUSDEMA-LPPM, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada tanggal 22 April 2016. 219 Lihat perbandingan berikut: di tahun 1994 jumlah pegawai negeri perempuan di departemen atau lembaga pemerintah sebanyak 517.131 orang. Jumlah pegawai negeri perempuan terus meningkat meskipun perlahan di tahun 2000 menjadi 575.006 orang. Statistik Indonesia 1994, Jakarta: Badan Pusat Statistik, hlm. 74-75. Baca juga Statistik Indonesia 2000, Jakarta: Badan Pusat Statistik, hlm. 58-59. 116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Partai Demokrasi Indonesia). Pencalonannya sebagai kandidat presiden setelah pemilihan umum 1999 marak berkumandang, sayangnya beberapa kelompok Islam menolak keras. Hal ini mudah dipahami, seorang perempuan dalam tradisi Islam tidak diperkenankan memimpin apalagi lingkupnya adalah negara.220 Gambaran di atas menyimpulkan bahwa meskipun partisipasi perempuan dalam ruang-ruang politik meningkat namun gambarannya sebagai “seorang perempuan” masih mengikatnya. Selain itu, latar belakang perempuan politisi hanya berasal dari kelompok elite yang mengantongi kepentingan kelompok sehingga pemahaman mengenai isu perempuan dan gender menjadi terabaikan. 221 Akibatnya, mereka yang seharusnya mewakili aspirasi perempuan di seluruh Indonesia justru terjebak sebagai pemanis partai politik atau “anak bawang” dalam lembaga pemerintah. Posisi terkuat bagi perempuan masih berada sebagai sosok yang digambarkan bukan berdiri sendiri. Hal ini kembali ditemukan dalam iklan-iklan pembalut periode 1994-2000 berikut ini. 220 Dalam wawancaranya terhadap Forum Keadilan, Nurcholish Madjid memaparkan kelemahan-kelemahan Megawati. Sejak awal penerimaan masyarakat terhadap Megawati sudah terasa sulit karena dirinya adalah seorang perempuan yang kehidupan beragamanya dipertanyakan. Berbagai sumber melansir Megawati sebagai pemeluk agama Islam, namun lainnya mengungkapkan bahwa ia berdoa dengan cara Hindu. Hal ini kian diperburuk oleh penilaian media yang mengatakan bahwa Mega cenderung tidak bersikap tegas ketika memimpin. Misalnya, tidak mampu menghujat rezim Soeharto dan menjawab tegas pemberlakuan dwifungsi militer. Krishna Sen, 2002, “The Mega Factor in Indonesian Politics” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), op.cit, hlm. 14. 221 Kathryn Robinson, 2000, op.cit, hlm. 154-156. 117 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI C. Perkembangan Iklan Pembalut Periode 1994-2000 Hasil Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing memang sanggup merubah kehidupan perempuan dalam ruang-ruang publik yang berkaitan dengan demokrasi dan politik. Namun seiring dengan meningkatnya intervensi tangan-tangan global ke dalam perekonomian dan kebudayaan Indonesia serta hadirnya budaya populer, segala impian menyangkut keadilan gender tersebut menjadi nol, tanpa arti. Industri kian merebak, berbagai merek global semakin banyak bermunculan di halaman media massa. Salah satunya dalam majalah perempuan yang mampu menciptakan kemasan baru mengenai gambaran-gambaran lama. Bukan hanya gambaran mengenai pembalut, yang adalah produknya, tetapi juga figur perempuan dalam iklan. Media massa mulai masif memuat kemajuan perempuan dalam karirnya namun lebih mementingkan keluarganya, sehingga digambarkan bahagia di tengah keluarga dan mengasuh anak.222 1. Iklan Pembalut Tahun 1994 Slogan “The Leaders of Tomorrow Trust Kotex” dalam iklan produk pembalut Kotex rilisan Kimberly-Clark Corp berusaha menggambarkan gambaran tersebut.223 Pesan ini kemudian diteruskan melalui foto empat perempuan yang menjadi figur iklan. Posisi mereka berdiri sembari mengobrol dengan masing-masing 222 Gadis Arivia, 2016, op.cit: 3. 223 Femina No. 3/XXII, terbitan 20 Januari 1994, hlm. 30. Lihat gambar 18. 118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tangan memegang tas atau map diumpamakan sebagai langkah menuju keberhasilan di “bidang sains, ekonomi dan hukum juga sebagai istri maupun ibu”. Gambar 18. Kotex (Sumber: Femina 1994) Modernisasi menuntut perempuan untuk mampu mengembangkan dirinya melalui pendidikan, sehingga dapat menjadi leader atau tokoh pemimpin di bidang sains, ekonomi dan hukum yang cenderung diisi oleh laki-laki. Namun hal ini tidak berarti menghapus peran perempuan di area domestik, yaitu pendamping suami dan pengasuh anak. Dengan cara demikian, iklan Kotex berperan menjadi agen negara yang selalu melestarikan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan 119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI namun “setinggi-tingginya pendidikan, nantinya ke dapur juga”.224 Pendidikan bagi perempuan masih dipandang sebagai pendukung untuk mengarungi bahtera rumah tangga dan mendidik anak. Penilaian keberhasilan terhadap perempuan selalu mencantumkan kemampuan mengelola rumah tangga yang baik,225 yaitu pertamatama dan terutama sebagai istri atau ibu. Keempat perempuan tersebut serentak mengenakan kemeja yang menyandikan sebuah penyebaran barang perdagangan atau ide-ide modern. Sejak masa kolonial, perkenalan perempuan terhadap kemeja hanya terbatas pada kelompok berpendidikan Barat atau berprofesi modern.226 Pilihan untuk meninggalkan kebaya dan beralih ke pakaian santai ala Eropa membebaskan gerak perempuan sehingga dapat melakukan aktivitas di luar rumah, seperti berolahraga atau mengendarai sepeda. Dalam iklan Kotex penggunaan kemeja masih mewarisi identitas dari pemakainya, yaitu kelompok berpendidikan dan kelas menengah ke atas. Perbedaannya, pemakaian kemeja dalam iklan bukan lagi bersifat santai tetapi lebih 224 Julia Suryakusuma, 2012, op.cit, hlm 114. 225 Ibid, hlm. 113. 226 Mulanya, hanya laki-laki Jawa berpendidikan Barat atau bekerja di bidangbidang modern yang mengenakan setelan Eropa, misalnya jas, celana, dan sepatu sebagai bentuk pernyataan mengenai kekayaan, peran sosial, atau keyakinan. Setelah perempuan mampu mengakses pendidikan Barat dan mendapatkan pekerjaan di kantor atau lembaga pemerintah Belanda, tren berpakaian Eropa pun menyertai meskipun jumlahnya lebih sedikit. Pasalnya, hanya sebagian kecil saja yang mampu mengakses pendidikan Barat yaitu kelompok menengah atas. Baca Jean Gelman Taylor, 2005, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940” dalam (ed.) Henk Schulte-Nordholt, op.cit, hlm. 121-163. 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI melambangkan hal-hal protokoler atau resmi. Hal-hal yang menyangkut kebebasan terhadap gerak perempuan hanya sejauh mampu menikmati pendidikan. Meskipun nikmat dari pendidikan hanya mendapat pengakuan ketika perempuan berhasil dalam keluarga dan mengasuh anak. Pada masa pemerintahan Soeharto, pegawai negeri dan pejabat wajib menggunakan kemeja ketika bekerja. Bahan dan motif kemeja bahkan dibuat dari kain yang sama dan disertai pemakaian lencana sebagai penanda bahwa dirinya adalah bagian dari pegawai negeri.227 Maka, kemeja merupakan salah satu tanda yang mengungkapkan kemampuan negara untuk mengontrol serta membentuk tubuh menjadi lunak dan dapat diperintah. Melalui pemaparan di atas gagasan Kotex dalam iklan dapat diungkapkan demikian, bahwa keberhasilan keempat perempuan menjadi ahli di bidang sains, ekonomi, hukum ataupun ibu rumah tangga dapat diwujudkan berkat pendidikan yang hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas dan pemakai kemeja. Namun kedua hal itu belum cukup, karena pengalaman menstruasi dapat membuat perempuan berkurang keyakinannya di setiap bulan yang dapat menghambat cita-cita. Oleh karena itu penggunaan produk pembalut Kotex dapat mengembalikan keyakinan diri perempuan melalui “perlindungan terbaik yang bersih, kering dan nyaman”. Gambaran ini kembali terulang bahwa perempuan mendapat kategori sebagai Baca James Danandjaja, 2005, “Dari Celana Monyet ke Setelan Safari: Catatan Seorang Saksi Mata” dalam (ed.) Henk Schulte-Nordholt, op.cit, hlm. 367-379. 227 121 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI makhluk hidup yang tidak penuh dan lemah sehingga membutuhkan sesuatu lainnya sebagai pelengkap atau pelindung, dapat berwujud laki-laki maupun produk industri. Hal ini didukung oleh warna kemeja yang dikenakan oleh figur-figur iklan, yaitu merah muda dan putih, erat bersifat feminin, lembut, tidak mencolok atau terkesan lemah. Sosok perempuan yang seakan mendobrak domestikasi melalui keterlibatannya di ruang-ruang publik, mempunyai profesi di sektor-sektor formal dan digambarkan tangguh serta berkelas menjadi tren tema pembuatan iklan pembalut. Melanjutkan tema „kepemimpinan perempuan”, iklan Sofie Wing yang dimuat dalam majalah Gadis menempatkan Tience Sumartini sebagai perwujudannya.228 Narasi iklan mengungkapkan profesi Tierce Sumartini adalah pengusaha, namun ia juga aktif dalam organisasi sosial-kemasyarakatan dan memiliki kelihaian mengemudi pesawat. Hal ini tentu membuat takjub pembaca iklan karena gambaran penerbang digambarkan sangat berbeda dengan Pratiwi Pujilestari Sudarmono, astronot perempuan pertama di Indonesia. Pratiwi Pujilestari memang bukan seorang penerbang, namun dirinya pernah akan berangkat ke luar angkasa sebagai awak pesawat. Kedua figur ini mempunyai kesamaan, yakni mampu menciptakan eksistensi sebagai perempuan di bidang yang identik dengan laki-laki sekaligus berpose menggunakan properti pesawat. Namun gambaran keduanya sangat berbeda, apabila foto Pratiwi Pujilestari yang diambil sebelum tahun 1986 selalu 228 Gadis No. 12 terbitan 11-20 Mei 1994, hlm. 55-56. Lihat gambar 19. 122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terlihat dengan pakaian astronot menenteng helm, maka di tahun 1994 Tierce Sumartini justru mengenakan gaun malam panjang tanpa lengan dilengkapi kalung mutiara dan anting berkilau. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Tierce Sumartini sesungguhnya adalah seorang pengusaha. Kata pengusaha sudah pasti merujuk kepada orang-orang kaya yang memiliki usaha berpendapatan tinggi, apalagi jika kehidupannya di bawah naungan pemerintahan Soeharto. Maka, Tierce Sumartini memiliki dua gambaran yang menandakan non domestikasi, yaitu sebagai pengemudi pesawat dan pengusaha. Kedua gambaran ini melebihi kemampuan yang dimiliki oleh Pratiwi Pujilestari sehingga sanggup mendompleng Tierce Sumartini untuk dipilih sebagai figur iklan Sofie Wing. Sayangnya, prestasi penerbang dan pengusaha masih dihantui dengan penyertaan “ibu dari dua orang anak”. Kalimat yang berujar, “Oh, saat-saat seperti ini, jiwa saya menemukan kebebasan sepenuhnya” menandakan kepuasan Tierce Sumartini ketika ia berada di udara. Namun “kebebasan sepenuhnya” memang tidak boleh dimaknai sebagai bebas, karena beban domestikasi mengenai “dua orang anak” tetap mengikuti. 123 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 19. Sofie Wing (Sumber: Gadis 1994) Selain itu, slogan iklan yang mengemukakan “Karena kebebasan adalah segalanya Tierce Sumartini hanya memilih… Sofie Wing” sesungguhnya menjelaskan kenyataan bahwa rasa bebas seorang perempuan adalah ketika mampu memilih. Perempuan bebas memilih menggunakan alat kontrasepsi berbentuk apa pun, namun sifatnya harus. Apabila salah seorang perempuan menolak menggunakan alat kontrasepsi, negara menggunakan kekerasan supaya tercapai keharusan tersebut.229 Bebas merupakan perumpamaan dari melepaskan segalanya, termasuk salah satunya 229 Sebuah laporan mengungkapkan adanya pemaksaan oleh Angakatan Bersenjata terhadap perempuan supaya menggunakan alat kontrasepsi melalui jalan kekerasan. Bahkan suatu waktu para tentara ini mengunci perempuan-perempuan di sebuah balai desa ketika kampanye alat kontrasepsi berlangsung. Alhasil, IUD ditanam tanpa persetujuan si pemilik tubuh. Baca Daniel Dhakidae, 2003, op.cit, hlm. 579. 124 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adalah pilihan.230 Namun dengan menempatkan Tierce Sumartini dan pernyataan puas atas kebebasannya, produsen Sofie Wing dan produk pembalut lainnya memaksa perempuan untuk terus mengkonsumsi, menentukan pilihan terhadap salah satu merek. Pembaca iklan Sofie Wing semestinya merasa terpukau dengan desain pariwara yang tampil penuh hiasan kemewahan, yaitu untaian mutiara dan gelang emas. Perancang iklan memang jeli, karena “diamonds are girl‟s best friend”.231 Kata diamond secara harafiah berarti intan atau berlian, namun maknanya mampu meluas bukan hanya mengenai kedua batu mulia tersebut. Segala bentuk perhiasan yang memiliki nilai jual tinggi dan berkilau selalu menjadi komoditi dambaan atau aksesoris wajib bagi seorang perempuan, mulai dari emas, berlian hingga zamrud. Para ibu sering memanfaatkan batu-batu mulia sebagai investasi jangka panjang karena nilai jualnya cenderung meningkat. Akan tetapi, batu-batu mulia tersebut dapat menjadi “batu sandungan” sebagai salah satu bentuk kontrol laki-laki terhadap perempuan. Misalnya, tradisi pertunangan acap kali menempatkan laki-laki sebagai pemberi cincin sehingga menandakan adanya kepemilikan terhadap seksualitas perempuan. Tubuh perempuan merupakan proyeksi dari kehormatan laki-laki. Ketika 230 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bebas berarti lepas sama sekali; tidak terhalang, terganggu sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dengan leluasa. Bebas juga dapat berarti lepas; lepas dari kewajiban, tuntutan dan perasaan takut. Lihat kbbi.web.id/bebas diakses pada tanggal 26 April 2016, pukul 9:27 WIB. 231 Kalimat tersebut sesungguhnya judul dari sebuah lagu yang muncul di tahun 1949 namun ketenarannya semakin memuncak ketika Marilyn Monroe menyanyikannya. Baca http://en.m.wikipedia.org, diakses pada tanggal 26 April 2016, pukul 9:42 WIB. 125 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perempuan memakai cincin atau perhiasan pemberian laki-laki justru memperkuat gambaran sebagai obyek yang hanya dinikmati keindahannya. Lebih lanjut, ukuran dari perhiasan menyampaikan besar kecilnya nilai yang dimiliki oleh laki-laki, baik secara keuangan atau simbol kejantanan.232 Maka, sosok laki-laki yang berdiri berhadapan dengan Tierce Sumartini dalam iklan bukan tanpa peran. Laki-laki berdasi dan berjas tersebut dapat merunut kekuasaan narasi patriarki, salah satunya melalui untaian mutiara dan gelang emas di sekeliling keduanya. Masih di tahun yang sama iklan berikutnya kembali menemukan kepasrahan seorang ibu untuk menyerahkan kedua anak gadisnya kepada konsumsi produk pembalut Laurier. Ibu tersebut berujar, “Saya menganjurkan pembalut wanita Laurier pada puteri saya”.233 Sembari mengucapkan pernyataan tersebut, sang ibu berpose diapit oleh kedua orang puterinya yang secara fisik tampak berbeda karena rambut. Puterinya yang sebelah kanan berambut pendek. Sementara puterinya yang sebelah kiri memiliki rambut panjang. Namun ketiga perempuan ini sama-sama tersenyum lebar memperlihatkan sederetan gigi putihnya sehingga nampak kontras dengan warna coklat di kulit wajah mereka. Sekilas pembaca iklan akan mengira bahwa mereka adalah figur yang menawarkan pasta gigi. Dale Elizabeth Meikle, 2015, “Diamonds are Girl‟s Best Friend – and Other Feminist Truths”, diakses dari huffpost.com pada tanggal 5 September 2015 pukul 20:10 WIB. 232 233 Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober-4 November 1994, hlm. 63. Lihat gambar 20. 126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 20. Laurier (Sumber: Gadis 1994) Meskipun demikian, warna putih bukanlah negasi dari perancang iklan pembalut. Penempatan warna putih menyala di gigi ketiga figur iklan tampak serasi dengan penampilan berpakaiannya, menyatakan sesuatu yang terawat dan teratur. Maka, kedua unsur tersebut sudah pasti merupakan perbuatan seorang ibu yang berhasil mendidik anaknya dengan merawat dan mengatur tubuhnya supaya tampil menarik di hadapan publik. Hal ini kembali membangkitkan paradoks, karena penampilan ketiga perempuan tersebut di publik bukan sebagai subyek dan esensi melainkan berperan menjadi obyek yang menawarkan narasi domestikasi. 127 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Di sisi lain, penampilan ketiga perempuan sebagai figur iklan pembalut Laurier justru memperkuat tabu menstruasi karena ketiadaan sosok ayah. Meskipun ayah tidak ada di sana, namun keberadaannya dipertegas sebagai pencari nafkah utama dan ibu berperan dalam kerumahtanggaan serta pengasuhan anak. Salah satu tugas dalam pengasuhan anak, apabila seorang perempuan, adalah memperhatikan siklus menstruasi. Ayah tidak pernah dikonstruksi untuk melaksanakan tugas ini, karena sedari awal proses sosial memandang makna menstruasi sebagai suatu kutukan dan hanya menjadi milik perempuan yang mengalaminya.234 Penyebutan sang ibu terhadap “pembalut wanita” dan “puteri-puteri” turut menyandikan konstruksi sosial mengenai peran perempuan serta menstruasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata wanita merupakan penyebutan terhadap perempuan dewasa. Dalam hal ini sesuai dengan narasi zaman Soeharto yang selalu menggunakan kata “wanita” dan meniadakan “perempuan”. Kata “wanita” sendiri mencomot dari etimologi Jawa, yaitu “wani ditoto” atau berani diatur. Ketika menggunakan penyebutan wanita, maka peran perempuan menjadi pasif karena berpasrah untuk “di-toto” atau “di-atur”. Berbeda halnya dengan perempuan, yang oleh Hersri Setiawan dinyatakan sebagai suatu kebahagiaan karena 234 Berkaitan dengan hal ini, Tamrin Amal Tamagola mengemukakan bahwa ayah tidak dituntut untuk sesering mungkin melakukan kontak biologis dengan anaknya. Meskipun demikian, tanpa mengatakan sesuatu dan melalui tatapan matanya ayah akan selalu menegaskan hubungan dirinya dengan anaknya, yaitu relasi sosio-biologis. Irwan Abdullah, 2002, op.cit, hlm. 4. Baca juga Tamrin Amal Tamagola, 2006, op.cit, hlm. viii-ix. 128 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengandung “empu” berarti ibu, induk atau pangkal.235 Maka, kata “perempuan” membuat perempuan memiliki kedudukan penting sebagai subyek dan tidak dinomorduakan karena berperan menjadi induk ataupun pangkal. Pangkal kehidupan.236 Sementara itu, kata puteri berarti anak perempuan yang menandakan adanya perbedaan usia lebih muda.237 Dengan demikian, sang ibu meyakini bahwa ketika menggunakan Laurier, puteri-puterinya akan menjadi lebih dewasa dan matang layaknya seorang “wanita”. Meskipun, wanita pada masa pemerintahan Soeharto justru mendapat peran sebagai pendamping suami di dalam wadah Dharma Wanita atau menjadi anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Pembahasan selanjutnya menggunakan iklan Carefree yang kali ini hanya menempatkan kepala seorang perempuan berambut pendek dengan pandangan mata ke atas dan bibir merekah tersenyum. Di atas kepala figur perempuan tersebut tercetak kalimat, “Kukira Carefree hanya dipakai di akhir masa haid. SALAH!”. Perancang iklan cerdik menggunakan “aku” atau “meng-aku-kan” dirinya seakan berperan sebagai pembaca atau konsumen supaya terdengar akrab, meluruhkan batasbatas tradisional sehingga terasa dekat meskipun maya. Sementara di bagian bawah dagunya kalimat lainnya mengikuti, “Ternyata, Carefree untuk dipakai setiap hari. Ini alasannya”. Produsen Carefree menciptakan produk pantiliner supaya perempuan Hersri Setiawan, 1981, “Wanita: Alas-kaki di Siang Hari, Alas-tidur di Waktu Malam”, Prisma No.7 Tahun X terbitan Juli 1981, hlm. 16. 235 236 Ibid. 237 Lihat kbbi.web.id, diakses pada tanggal 30 April 2016 pukul 5:36 WIB. 129 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terbebas dari rasa lembab yang timbul akibat banyaknya aktivitas, stress dan perubahan hormon sehari-hari. Selain itu, produk Carefree sangat lentur mengikuti bentuk tubuh, tipis, memiliki permukaan halus dan lembut, dilengkapi plastik pengaman anti bocor serta perekat khusus untuk celana dalam sehingga tetap aman juga nyaman ketika digunakan.238 Sosok perempuan yang menjadi figur iklan di tahun 1986 dengan pose tengah berjalan di pusat perbelanjaan kini lenyap.239 Kali ini, perancang iklan hanya memotret sebagian tubuh figur yang tidak bergerak. Meskipun perbedaannya hanya pada figur iklan, namun hal ini justru menimbulkan sebuah pembacaan yang serupa. Carefree masih menjadi kebutuhan bagi tercapainya kehidupan yang segar, bersih dan nyaman bagi perempuan jika digunakan setiap hari. Produk Carefree memanipulasi perempuan bahwa kelembaban timbul akibat aktivitas, stress bahkan perubahan hormon. Upaya tersebut bertujuan untuk mendoktrin perempuan agar percaya bahwa mereka membutuhkan Carefree setiap hari, entah dipakai ketika aktif bergerak maupun hanya duduk diam. Maka, perempuan menjadi sedikit peduli terhadap kontrol atas tubuhnya sendiri karena telah mempercayai Carefree yang tidak segan menutupi kemungkinan terkena kanker akibat penggunaan produk pantiliner sehari-hari. 238 Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober – 4 November 1994, hlm. 97. Lihat gambar 239 Lihat halaman 75. 21. 130 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 21. Carefree (Sumber: Gadis 1994) 2. Iklan Pembalut Tahun 1995 Manipulasi dan doktrinasi masih berlanjut pada iklan Honeysoft Unicharm yang dibintangi oleh Venna Melinda, yaitu Puteri Indonesia 1994. 240 Jika iklan Honeysoft tahun 1984 menggunakan tema bernuansa domestikasi, kini Venna Melinda muncul sebagai representasi baru sosok perempuan. Dalam deskripsi iklan, di bawah foto Venna Melinda yang tengah duduk di atas kemasan Honeysoft 240 Femina No. 31 Tahun XXIII terbitan 10-16 Agustus 1995, hlm. 17. Lihat gambar 22. 131 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Unicharm berlokasi di lapangan tenis, menuturkan bahwa “pembalut wanita dengan teknologi Unicharm Jepang ini memang dirancang khusus untuk wanita Indonesia”.241 Potongan kalimat tersebut justru memperlihatkan ambiguitas, yaitu mengenai teknologi Jepang yang mampu memahami kebutuhan perempuan domisili di Indonesia. Akan tetapi keberadaan kalimat pemikat di atas sesungguhnya merefleksikan apa yang tengah terjadi di Indonesia. Mulai tahun 1990-an, Ariel Heryanto menemukan adanya peningkatan dalam konsumsi dan interaksi antara konsumerisme dengan konstruksi dari “Barat” maupun “Timur”, yaitu sikap terhadap orang-orang Tionghoa serta perkembangan Islam di Indonesia.242 Para pemimpin negara di kawasan Asia merasakan ketidakcocokan pada perubahan budaya dan pesan-pesan politik maupun sosial yang dibawa melalui aliran kapitalisme internasional karena sifatnya sangat “Barat” sehingga bertentangan dengan cara hidup Asia.243 Wacana 241 Pembalut Honeysoft Unicharm adalah produksi dari PT Haniwell Murni Co. yang merupakan bagian dari perusahaan gurita Grup ABC, terkenal juga sebagai produsen kecap ABC dan wafer Tango. Dua bersaudara, Chu Sam Yak dan Chu Sok Sam mempelopori kelahiran Grup ABC yang sejak awal sudah berkutat dengan berbagai produk dagangan. Salah satu produknya yang mampu bertahan hingga kini adalah minuman anggur tradisional Orang Tua. Namun di tahun 2000, kongsi bisnis tersebut pecah sehingga melahirkan pendirian rumah produksi pembalut sendiri yang dikenal dengan merek Charm. Baca emenrizal.wordpress.com, diakses pada tanggal 3 April 2016 pukul 9:26 WIB. 242 Tod Jones, 2015, op.cit, hlm. 16. 243 Ariel Heryanto mengkritik logika yang diterapkan oleh para pemimpin negara di Asia ini. Jika demikian caranya, yaitu menghindari segala bentuk “Barat” untuk berada di “Timur”, semestinya mereka berhenti untuk menjadi presiden, tidak memimpin “bangsa negara” dan meniadakan “pembangunan” karena kesemuanya adalah “Barat”. Baca Ariel Heryanto, 2000, op.cit, hlm. 264-268. 132 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI nilai-nilai hidup Asia yang dimaksud adalah menekankan kerja keras, kekeluargaan, tanggung jawab sosial, hormat terhadap otoritas dan disiplin. Berdasarkan kepada wacana tersebut, konsolidasi kekuasaan politik antar negara di kawasan Asia mulai terjalin dan mencapai kesepakatan untuk menolak kebebasan pers serta hak asasi manusia yang berlabel “Barat”.244 Bukan hanya mempengaruhi kebijakan politik dan sosial, dampak dari konsolidasi ini meluas hingga kehidupan ekonomi. Bermacam produk-produk Asia mulai membanjiri pasaran Indonesia yang berkesinambungan diikuti oleh merebaknya budaya populer, seperti manga, musik, video games dan tayangan-tayangan layar kaca hasil produksi Taiwan, Jepang serta Korea Selatan. 245 Kedekatan ini justru menimbulkan keasyikan untuk menjelajahi dan mengungkapkan identitas baru sebagai individu Indonesia-Asia yang modern dan kosmopolitan.246 Dalam hal ini, produk pembalut Honeysoft Unicharm merepresentasikan sisi modern karena memiliki miracle gel, yaitu serbuk yang mampu menyerap dan mengikat darah hingga berdaya tampung 1000 kali lipat. Selain itu, Honeysoft Unicharm juga mempunyai penyekat side seal yang menyatu dengan lapisan luar untuk menghindari kebocoran pembalut. Kedua teknologi mutakhir ini semakin menyempurnakan pembalut Honeysoft Unicharm dengan dilengkapi ukuran yang 25% lebih panjang. Hal-hal tersebut merupakan 244 Ibid, hlm. 17. 245 Baca Ariel Heryanto, 2015, op.cit, hlm. 243-277. 246 Ibid, hlm. 244. 133 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perkembangan terbaru dari produk pembalut yang mengindikasikan adanya unsur modern. Gambar 22. Honeysoft (Sumber: Femina 1995) Iklan Honeysoft seakan-akan menceritakan bahwa Venna Melinda baru saja selesai berolahraga. Gambaran demikian senada dengan kehidupan perempuan menjelang tahun 2000 yang memiliki situasi fluiditas atau cair. Perempuan yang tinggal di wilayah urban dan bekerja akan lebih memperhatikan pilihan-pilihan dari 134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam diri untuk menentukan hidupnya, misalnya menyeimbangkan antara berpenampilan “cool” namun juga narsisistik dengan merisaukan kesehatan serta bentuk tubuh ideal.247 Maka, ketika pembaca iklan bergerak untuk mengkonsumsi produk Honeysoft Unicharm ia bukan hanya menggunakan pembalutnya tetapi juga menemukan identitas baru sebagai orang Indonesia-Asia, terutama Jepang. Hal ini dinyatakan oleh aksara Jepang yang menghiasi kemasan produk Honeysoft Unicharm. Selain itu, figur Venna Melinda yang pamornya sedang naik sejak tahun 1994 menyuguhkan irisan identitas lainnya sebagai perempuan modern dan berwawasan luas. Berdasarkan pemaparan iklan-iklan yang terbit tahun 1994 dapat diperoleh kesimpulan bahwa gambaran perempuan mengalami perkembangan meskipun niat di baliknya masih sama. Wacana-wacana dalam iklan mengatakan bahwa era modernisasi mendorong kemajuan pendidikan bagi perempuan namun dengan syarat tidak mengacuhkan tugas sebagai isteri maupun ibu di rumah tangga. Selain itu, representasi figur-figur dalam iklan yang berasal dari kelas menengah membawakan semangat modernisasi dan emansipasi bukan sebagai subyek melainkan obyek. Kapialisme merekonstruksi figur-figur dalam iklan Kotex, Sofie Wing dan Laurier menjadi gambaran ideal dari sosok ibu. Sementara dalam iklan Carefree dan Honeysoft, figur-figur lebih terbebaskan dari domestikasi karena gambaran yang 247 Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 2. 135 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI melekat justru sebagai obyek untuk meningkatkan konsumerisme bahkan hingga tingkat dunia. Di bulan Agustus 1995, majalah Femina memuat iklan pembalut Ultra Softex pada halaman ke-79.248 Sebelum membahas mengenai iklan terlebih dahulu memaparkan penemuan mengenai kata “ultra”. Dalam bahasa Indonesia, “ultra” merupakan kata sifat yang artinya teramat sangat. Maka, tujuan Softex mengimbuhi kata “ultra” supaya memberi kesan bahwa produk Ultra Softex berbeda dari biasanya meskipun berasal dari pabrik yang sama. Pasalnya, produk Ultra Softex memiliki kelebihan karena sifatnya yang definisinya hanya “teramat sangat” tersebut. Kali ini Ultra Softex memanfaatkan momen turnamen voli dunia yang diselenggarakan oleh Ultra Jaya Cup sebagai salah satu sponsor sekaligus strategi pemasaran produk. Cara demikian mirip dengan strategi yang digunakan oleh Honeysoft pada tahun 1984 untuk berkompetisi memperebutkan pangsa pasar.249 Dalam hal ini, slogan Ultra Softex yang mengatakan “Tetap percaya diri walau harus “jungkir balik” di lapangan” membedakan dengan narasi domestikasi pada iklan Honeysoft. Apabila iklan pembalut Honeysoft menawarkan undian berhadiah berbagai peralatan rumah tangga, Ultra Softex justru memberikan kepercayaan diri ketika perempuan harus jungkir-balik berkegiatan, terkhusus olahraga voli. Meskipun 248 Femina No. 33 Tahun XXIII terbitan 24 Agustus 1995, hlm. 79. Lihat gambar 249 Lihat halaman 53. 23. 136 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perbandingan hadiahnya tidak serupa, produk Ultra Softex bernilai lebih tinggi. Saat perempuan memutuskan untuk mengkonsumsi produk pembalut Ultra Softex maka selain membeli barang, ia juga berkeyakinan akan memiliki gambaran percaya diri khas atlet voli. Kaum perempuan akan menemukan identitas baru dalam dirinya, sebagai pribadi yang aktif dan bugar layaknya olahragawati, ketika mengkonsumsi Ultra Softex berdasarkan tontonannya terhadap iklan produk. Di bagian bawah iklan memuat penampakan dari produk Ultra Softex yang telah dikemas dalam dua kantong berukuran berbeda. Selain menggunakan strategi mensponsori turnamen, demi mencapai target penjualan bagian pemasaran Ultra Softex memilih untuk mengemas produk-produknya menjadi dua jenis bungkus.250 Secara ekonomis, perempuan dapat berhemat karena dengan harga yang sama bisa mendapatkan jumlah produk lebih banyak ketimbang memilih merek lainnya. Namun tanpa disadari perempuan akan semakin minim kebebasan untuk memilih. Bila perempuan hanya membutuhkan dua pembalut tetapi karena isi dalam kemasan telah dirancang sejumlah enam maka ia terpaksa harus membeli tanpa menggunakan keempat sisanya. 250 Sayangnya, tidak mampu ditemukan berapa jumlah isi per kemasan. Namun bila boleh mengira, ukuran lebih besar mampu memuat 24 bungkus. Sementara ukuran yang lebih kecil berisi 12 bungkus. 137 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambar 23. Ultra Softex (Sumber: Femina 1995) 3. Iklan Pembalut Tahun 1996 Masih menggunakan tema “kebebasan”, iklan Laurier Wing yang menghabiskan dua halaman majalah Femina edisi Juni 1996 menautkan slogan “Membebaskan Anda dari Keraguan Akan Pembalut”.251 Apabila iklan-iklan sebelumnya menyatakan bahwa dengan menggunakan pembalut maka perempuan akan mendapatkan kekebasan dalam bergerak, kali ini Laurier Wing menyodorkan 251 Femina No. 24 Tahun XXIV terbitan 20 Juni 1996, hlm. 16-17. Lihat gambar 24. 138 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kebutuhan untuk bebas yang lebih baru. Elemen terbaru yang ada dalam produk Laurier Wing meliputi lapisan pengaman istimewa di kedua sisi pencegah kebocoran, permukaan halus dan lembut serta sayap perekat untuk mencegah pembalut bergeser atau berkerut. Sejujurnya, kebaruan-kebaruan yang diakui oleh Laurier Wing tersebut serupa dengan keunggulan produk pembalut lainnya. Gambar 24. Laurier Wing (Sumber: Femina 1996) Kata “baru” yang tertera di bagian atas iklan hanya menunjukkan bahwa Kao sebagai pabrik Laurier Wing mengeluarkan inovasi terbaru, seperti sayap di kedua sisi, layaknya produk-produk pembalut lainnya. Meskipun sesungguhnya tidak baru lagi. Namun semakin sering kata “baru” digunakan justru membuat maknanya menjadi nol atau malah sekadar pajangan. Merujuk pada pernyataan Michael 139 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Schudson bahwa iklan tidak berbohong namun juga bukan mengatakan yang sebenarnya.252 Maka, kata “baru” yang tertera di bagian atas iklan walaupun direkayasa tercetak miring, digarisbawahi dan berwarna merah hanya berfungsi sebagai pemanis desain pariwara. Masih di halaman pertama iklan, seorang perempuan bergaun putih dengan rambut tersibak dan aksesoris subang emas tampak sedang menengadah ke atas. Kedua tangannya terbuka, seakan baru saja melepaskan burung merpati yang tengah terbang di atas kepala figur perempuan. Latar belakang halaman iklan menyuguhkan deretan awan putih yang mewarnai langit biru. Semua elemen iklan di atas menyiratkan kelembutan, ditambah ekspresi dari perempuan yang memasang bibir tersenyum dan mata penuh harapan. Tampilan iklan Laurier Wing ini seakan memelesetkan kenyataan. Figur perempuan tampak seperti terbang hingga di ketinggian awan, lalu memberikan kebebasan kepada burung merpati dengan melepaskannya. Namun kata “wing” di sini menjadi kunci menyangkut posisi figur perempuan di tengah arak-arakan awan. Perancang iklan menyandikan suatu kebebasan melalui kemampuan terbang, baik figur perempuan atau burung merpati, yaitu menggunakan sayap „wing‟. Dalam penawaran kali ini, wing adalah keunggulan produk Laurier Wing. Maka, ketika memutuskan untuk menggunakan Laurier Wing konsumen akan mendapatkan dua kebebasan sekaligus. Pertama, konsumen akan berperan layaknya figur iklan yaitu 252 Petrus Gogor Bangsa, 2011, op.cit, hlm. 36. 140 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapat terbang bebas tanpa rasa ragu mengenai pembalut karena telah memiliki wing. Kemudian yang kedua, burung merpati menganalogikan kebebasan bergerak “mengepakkan sayap” bagi konsumen. Kedua analogi tersebut membawa kita kepada satu kesadaran yang terus terulang, bahwa perempuan dituntut memiliki peran ganda yaitu sebagai konsumen dan pekerja. Rekayasa produsen yang mengatakan “Membebaskan Anda dari Keraguan Akan Pembalut” mengharuskan perempuan untuk mempunyai kebutuhan atas ragu. Keraguan ini memancing hasrat untuk membeli produk yang mampu menutupi rasa ragu tersebut. Tanpa menunggu lama berubah menjadi tindakan konsumtif yang mewajibkan perempuan bekerja “aktif”253 supaya mendapatkan uang sehingga dapat membelanjakannya. Burung merpati seakan menjadi logo dari produk Laurier Wing. Pada masing-masing halaman iklan, burung merpati memperlihatkan wujudnya yang berpose tengah mengepakkan kedua sayapnya. Dalam masyarakat Indonesia burung merpati bukanlah hewan asing atau liar, banyak orang memeliharanya bahkan membuatkannya rumah yang terletak di atas sebuah tiang. Pemelihara burung merpati sering dengan sengaja menerbangkannya dari lokasi tertentu, toh nantinya tetap akan kembali ke rumah. Alasan dari tindakan ini adalah guna melatih kemampuan atau Lihat halaman sebelahnya, Laurier Wing mencantumkan kalimat “Pembalut untuk Wanita Aktif”. 253 141 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kecerdasan burung merpati. Oleh karena itu, burung merpati dikenal sebagai simbol kedamaian atau kesetiaan.254 Melalui kerangka pemahaman demikian, dengan mudah kita dapat menemukan analogi ketiga dari burung merpati sebagai perempuan. Dalam hal ini, pemerintah adalah pemilik dari burung merpati yang memperbolehkannya terbang jauh kemana pun asalkan tetap mengingat bahwa dirinya adalah simbol dari kesetiaan sehingga menuntunnya untuk kembali pulang ke rumah. Senada dengan kehidupan perempuan, yang dimuati peran ganda oleh kebijakan pemerintah untuk keluar rumah, bekerja apa pun dan di sektor mana saja. Namun kemudian diingatkan untuk tetap kembali ke rumah karena perempuan adalah simbol dari kesejahteraan keluarga. Di tahun 1996, produk Ultra Softex melakukan perubahan dalam iklannya.255 Jika setahun sebelumnya hanya menyediakan dua bungkus ukuran besar, kali ini dengan menggunakan alasan kepraktisan dan kenyamanan Ultra Softex mempromosikan kemasan mini berisi lima buah pembalut. Slogan yang digunakan dengan jelas menggambarkan perubahan kepraktisan tersebut, yaitu “ukuran mini untuk aktivitas maxi”. Demi meraup keuntungan, produsen Ultra Softex berhasil menciptakan kebutuhan praktis sehingga perempuan aktif, layaknya tiga figur dalam iklan, berkehendak membeli produk yang hanya berisi lima pembalut tersebut. Dengarkan lagu dari Paramitha Rusady (1985) berjudul “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji” yang mengumpamakan burung merpati sebagai simbol dari kasih, kesetiaan dan cinta abadi. 254 255 Femina No. 27 Tahun XXIV terbitan 3 Juli 1996, hlm. 20-21. Lihat gambar 25. 142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ironisnya, tema kepraktisan justru kontradiktif dengan tampilan iklan yang memakan dua halaman penuh. Pada halaman ke-20 terlihat dua figur perempuan yang berpakaian rapi dengan kemeja dan blus serta rok span di atas lutut. Melalui penampilannya, kedua figur tersebut sarat dengan kriteria perempuan yang bekerja dan mandiri. Pose kedua perempuan tersebut melihat ke arah lain dan diambil secara candid camera, seakan asyik mengamati sesuatu. Salah satu perempuan bahkan menunjuk menggunakan jarinya menuju arah pandangan mereka, yang ternyata membawa penonton iklan ke halaman berikutnya. Warna merah muda mendominasi halaman selanjutnya, namun terdapat dua foto kecil yang terdiri dari produk Ultra Softex dan figur perempuan sedang bermain tenis. Gambar 25. Ultra Softex (Sumber: Femina 1996) 143 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gambaran demikian dapat menimbulkan pembacaan adanya sebuah pertalian di antara ketiga foto yang dimuat dalam iklan Ultra Softex. Dua figur perempuan yang berpakaian rapi memandang ke arah si petenis dengan tatapan kagum, sembari menuding dan membicarakan sesuatu. Gerak lincah si petenis membuat kedua perempuan merasa takjub, sehingga mempertanyakan penyebabnya. Sementara itu, walaupun si petenis terlihat bergerak namun matanya mengarah kepada foto produk Ultra Softex yang berada di tengah halaman seakan menjawab rasa penasaran kedua perempuan pekerja. Produsen dan perancang iklan menciptakan simbol, yaitu si petenis yang mampu bergerak bebas sebagai keidealan perempuan ketika menghadapi menstruasi. Sementara itu, kedua perempuan berpenampilan rapi dalam proses memandang memahami bahwa dibutuhkan upaya untuk mencapai gerak lincah layaknya petenis. Sayangnya, sebelum upaya ditemukan produk Ultra Softex telah menyodorkan solusinya, yaitu dengan membeli “kemasan mini berisi 5 pembalut” yang lebih praktis dan nyaman bagi perempuan aktif. Narasi iklan Ultra Softex kali ini adalah perempuan yang mampu bekerja saja belum cukup untuk dikatakan “aktif”. Kriteria ideal dari kata “aktif” menjadi lebih luas, bahwa perempuan dituntut bukan hanya mampu bekerja tetapi juga bergerak, misalnya berolahraga. Tuntutan kehidupan terhadap perempuan menjadi lebih kompleks karena konteks waktunya bersamaan dengan merebaknya budaya populer yang sarat akan konsumerisme, individualisme dan jauh dari kepedulian pada 144 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI institusi politik.256 Iklan Ultra Softex menggambarkan situasi terkini mengenai kehidupan masyarakat urban di Indonesia yang tidak memiliki tekanan dari luar, namun kebingungan dalam menentukan pilihan-pilihan diri.257 Kedua perempuan pekerja selain bingung harus menentukan pilihan pembalut, juga berhadapan dengan keinginan untuk bergerak aktif layaknya petenis. Sementara bagi petenis, tuntutan untuk selalu bergerak aktif justru merupakan penciptaan dari produsen Ultra Softex karena telah memilih untuk menggunakan produknya. Maka benar apa yang diungkapkan oleh Illich bahwa pada masa industrialisasi kehidupan perempuan justru mengalami penindasan terparah.258 Senada dengan Ultra Softex, di bulan Oktober 1996 sebuah produk pembalut baru bernama Whisper juga menggunakan tema olahraga populer sebagai desain iklan.259 Di pasaran Indonesia produk Whisper memang terbilang baru, namun tetap tidak tertinggal dengan tren tema iklan pembalut lainnya, yaitu menyoal bebas 256 Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 2. 257 Ibid. 258 Ivan Illich, 1998, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 123. Baca juga Ariel Heryanto, 2000, op.cit, hlm. 265. 259 Pembalut Whisper merupakan salah satu produk dari perusahaan multinasional P&G yang berpusat di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Nama P&G sendiri merupakan kependekan dari kedua laki-laki pemilik perusahaan, yaitu William Procter dan James Gamble. Selain pembalut Whisper, P&G juga memproduksi kosmetik Olay, Pampers, shampoo Head&Shoulders, Downy, Vicks dan Rejoice. Perusahaan P&G mulai hadir di Indonesia sejak tahun 1979 yaitu ketika mengakuisisi PT Richardson Merrel Indonesia yang memproduksi Vicks. Seiring berjalannya waktu, perusahaan P&G terus mengalami perubahan nama hingga terakhir di tahun 1997 menjadi PT Procter & Gamble Home Products. Baca www.pg.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 23:49 WIB. 145 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bergerak dan sayap pelindung.260 Perbedaannya, iklan Whisper menyematkan jiwa Amerika yang merupakan tempat asal pabriknya, sekaligus pusat berkembangnya budaya populer dunia, sebagai pendukung dengan menggunakan figur cheer leader bernama Anita Rahayu.261 Menjelang tahun 2000 cheerleading mulai menjadi aktivitas terpopuler bagi pelajar perempuan, salah satunya adalah Anita. Di antara ekstrakulikuler lainnya, anggota cheerleading cenderung mendapat status lebih tinggi dan memiliki daya tarik lebih tajam. Hal ini tercermin dari foto close-up Anita yang tersenyum lebar sehingga membuat wajahnya cerah bersinar. Tak ayal, penonton iklan pasti merasa senang ketika menatap wajah bersinar Anita. Kekuatan cheerleading terletak pada latihan rutin, seperti membentuk barisan sejajar, dance dan berteriak dengan nada yang ceria sembari membawa pompoms. Bahkan gaya berpakaian cheerleading yang terdiri dari rok mini, kaos ketat dan kaos kaki panjang pernah menjadi tren dan profitable. Di halaman sebelah foto close-up wajahnya, Anita berusaha mempraktekkan salah satu gerakan. Pola-pola 260 Gadis No. 28 Tahun XXIII terbitan 10 Oktober 1996, hlm. 49 dan 51. Lihat gambar 26. 261 Sejarah perkembangan cheer leader atau pemandu sorak berkaitan erat dengan sepakbola Amerika. Pemandu sorak dimainkan pertama kali di tahun 1869 dalam sebuah pertandingan antar kampus, yang semula berawal dari teriakan iseng para pendukung lalu berubah riuh-rendah disertai lagu. Mulanya anggota pemandu sorak adalah laki-laki, namun mulai tahun 1923 perempuan diperbolehkan untuk bergabung. Izin ini memulai pemandu sorak menambahkan gerakan akrobatik secara rutin dalam setiap penampilannya. Baca “History of Cheerleading” diunduh dari www.varsity.com pada tanggal 2 Mei 2016 pukul 1:47 WIB. 146 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI demikian merupakan stereotype yang dengan mudah diketahui melekat kepada perempuan modern, yaitu aktif, penuh energi dan gemar berolahraga. 262 Maka, baik Anita maupun cheerleading merepresentasikan gambaran idaman dari kehidupan remaja urban, yang berwajah ayu bersinar, memiliki aktivitas di luar jam sekolah dan rutin berolahraga. Gambar 26. Whisper (Sumber: Gadis 1996) Dengan memperhatikan figur remaja dan konteks kemunculan iklan, produsen Whisper jelas menyasar para perempuan muda sebagai konsumennya, Baca “About the Cheerleading Youth Subculture” diakses dari http://smhp.psych.ucla.edu pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 11:59 WIB. Baca juga Angela McRobbie, 1994, Postmodernism and Popular Culture, London: Routledge, hlm. 150-160. 262 147 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI terutama yang berdomisili di perkotaan dan duduk di bangku sekolah. Hingga tahun 2000 jumlah remaja perempuan yang bersekolah mencapai 9.188.055 orang.263 Produsen Whisper dengan jeli menggunakan dua faktor tersebut, yaitu banyaknya jumlah remaja perempuan dan kepopuleran cheerleading di kalangan anak sekolah untuk dimanfaatkan sebagai kiat penjualan. Barangkali, wajah bersinar dan tingkah polah yang enerjik dari Anita mampu meningkatkan kepopuleran Whisper di pasaran Indonesia sehingga mampu bersaing dengan produk pembalut lainnya. Ironisnya, slogan “Whisper… lebih yakin, karena lebih kering, lebih bersih” justru bertentangan dengan aktivitas sebagai cheer leader yang tidak bisa terhindar dari resiko berkeringat. Namun pertentangan inilah yang menjadi nikmat bagi produsen Whisper. Selain itu slogan tersebut berdiri sendiri, tanpa menjelaskan apapun. Tentu yang menjadi penyebab ketidakyakinan, rasa lembab dan tidak bersih bukanlah produk Whisper. Setiap perempuan penonton iklan pasti mengetahui apa yang dibicarakan sebagai penyebab masalah, yaitu menstruasi. Akan tetapi, hanya perempuan juga yang mengalami menstruasi. Penggambaran beban ganda perempuan, yang harus mampu bekerja di ruang publik tetapi juga mengurus keluarga dan anak memang tidak muncul dalam iklan Whisper. Namun beban ganda justru berganti subyeknya, yaitu terhadap menstruasi. Perempuan harus menyembunyikan rapat kata “menstruasi”. Namun perempuan 263 Jumlah tersebut meningkat dari tahun 1994 yaitu sebanyak 8.492.704 orang. Lihat Statistik Indonesia 2000, hlm. 82. Bandingkan dengan Statistik Indonesia 1994, hlm. 109. 148 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dituntut harus merasa terganggu dengan kelembaban dan mitos mengenai tidak bersihnya darah menstruasi sehingga menyebabkan ketidakyakinan. Sebab, produk Whisper akan mengatasi segala gangguan dengan menggunakan sayap pelindung dan lapisan unik Dri-Weave. Ketika industri mulai menguasai suatu masyarakat maka segala bentuk ketergantungan tradisional, seperti budak kepada majikan atau pengolah tanah terhadap bangsawan digantikan menjadi candu akan hal lainnya.264 Dalam iklan Whisper di atas, candu dinarasikan oleh lapisan unik Dri-Weave yang dapat diartikan secara literal sebagai sesuatu berbentuk anyaman kering. Sebagai penonton iklan, baik perempuan maupun laki-laki tidak mengetahui apa makna dari kata “DriWeave”. Akan tetapi, penonton iklan cenderung tidak ingin mencari makna atau memikirkan lebih lanjut dari kata tersebut. Namun bagi perempuan pencantuman “lapisan unik Dri-Weave” membikin sensasi tersendiri untuk mendorong tindakan konsumtif. Produsen Whisper berhasil menjalankan ide industri karena membuat perempuan memiliki ketergantungan terhadap “lapisan unik Dri-Weave” meskipun maknanya tidak diketahui. 4. Iklan Pembalut Tahun 2000 Menjelang penghujung 2000, iklan Whisper kembali muncul di halaman ke17 dan 19 dalam majalah Gadis. Di halaman awal, perancang iklan hanya memajang Herbert Marcuse menyebutnya sebagai dependence on “objective order of things”. Lihat Herbert Marcuse, 1964, op.cit, hlm. 144. 264 149 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI foto dari dua pasang mata yang berbeda.265 Foto pertama hitam putih, mata figur menggunakan kacamata dan di pojok atas sebelah kiri tercantum kata “dulu”. Sementara di foto kedua sangat berlawanan karena berwarna, mata figur telah mengenakan contact lens hijau dan di pojok bawah sebelah kiri terpampang kata “sekarang”. Penonton iklan dengan mudah menafsirkan bahwa kedua foto tersebut bertujuan untuk membandingkan suatu perubahan, bahwa “dulu” kacamata dan “sekarang” contact lens. Perbandingan ini semakin kuat dengan adanya kalimat “jaman makin canggih!” di antara kedua foto. Gambar 27. Whisper (Sumber: Gadis 2000) 265 Gadis No. 25 terbitan 18 September 2000, hlm. 17 dan 19. Lihat gambar 27. 150 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Segala bentuk perubahan pada dasarnya mengarah kepada modernisasi meskipun cakupannya hanya tertahan di sebagian kecil masyarakat Indonesia.266 Sama halnya dengan kacamata ataupun contact lens yang hanya dikenal akrab dan digunakan oleh masyarakat perkotaan. Kebutuhan akan kacamata atau contact lens hanya berarti pada orang-orang yang mengalami gangguan penglihatan meskipun dalam perkembangannya menjadi salah satu pendukung gaya berpakaian. Lalu apa kaitan sebenarnya dengan pembalut? Di halaman kedua, dengan desain yang serupa perancang iklan meletakkan kata “dulu” bersanding bersama tiga buah pembalut bernama maxi, reguler dan slim. Sementara kata “sekarang” berdampingan dengan sebuah tanda tanya besar yang pada bagian ujungnya terdapat logo Whisper dan kalimat “ini urusan cewek.” Sebuah kalimat “siap revolusi nggak?” membatasi kedua muatan tersebut. Kalimat ini bersifat pragmatik; menimbulkan dua makna yang berbeda karena meskipun menggunakan tanda tanya namun terselip tuntutan atau keharusan ketika membacanya. Kata “revolusi” yang dicetak menggunakan huruf kapital menandaskan sesuatu, misalnya bersifat sangat penting atau gertakan. Dengan demikian, penonton iklan atau lebih menyeluruh adalah masyarakat dituntut untuk siap mengikuti setiap perubahan. Cara supaya mampu mengikutinya adalah dengan mengkonsumsinya, dalam hal ini 266 Hikmat Budiman, 2002, op.cit, hlm. 183. 151 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meliputi barang hasil industri, teknologi dan tren pakaian. Jika tidak maka ora keduman.267 Jika membuat jembatan antara kedua halaman iklan dapat menemukan sebuah kemungkinan bahwa produsen Whisper tengah berupaya membuat “revolusi” baru mengenai bentuk dan ketebalan pembalut. Perubahan ini serupa dengan contact lens yang berhasil menggantikan posisi kacamata sebagai alat bantu mata. Sejujurnya, pembalut “revolusi” yang ukuran ketebalannya lebih dari slim memiliki tujuan sama dengan maxi ataupun reguler, yaitu sebagai teknologi menstruasi. Namun penciptaan pembalut lebih dari slim tentu bertujuan lebih dari sekadar teknologi yang membantu perempuan sebagai wadah aliran darah menstruasi. Layaknya kacamata yang menjadi salah satu instrumen pendukung gaya berpakaian, pembalut pun demikian. Di bulan November 2000, pembalut Laurier menggunakan jurus baru dalam pemasaran.268 Perempuan dipertontonkan sebuah kebutuhan baru dari pembalut, yaitu sebagai bagian dari fashion atau mode pakaian. Melalui slogan “Baru: Laurier Soft Care Slim… begitu tipis, serasa tak pakai!”, produsen dan perancang iklan berhasil 267 Dalam bahasa Indonesia, ora keduman secara literal berarti tidak mendapat bagian atau tempat. Bagi mereka yang menolak untuk mengkonsumsi perubahan sudah pasti tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat atau dicap “ketinggalan zaman”. Istilah “ora keduman” dicomot dari syair “Jaman Edan” yang ditulis oleh pujangga keraton Surakarta bernama Ronggowarsito. Salah satu penggalan syairnya berucap demikian, “saiki jamanne Jaman Edan, yen ora edan ora keduman”. 268 Gadis No. 30 Edisi Ulang Tahun terbitan 10 November 2000, hlm. 91. Lihat gambar 28. 152 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mewujudkan pembalut yang stylish karena sangat tipis sehingga “serasa tak pakai”. Hal ini mendapat dukungan dari figur-figur perempuan yang menjadi model iklan. Melalui figur iklan dapat membaca dua penanda yang menjadi tanda dari slogan Laurier tersebut. Pertama adalah gerak aktif figur, mulai dari bersepeda, senam hingga membaca. Menstruasi selalu dipahami sebagai penghambat bagi perempuan ketika beraktifitas, begitu pun halnya menggunakan pembalut. Awalnya, industri merancang bahwa menstruasi adalah proses yang bermasalah maka harus menggunakan pembalut. Namun kini, industri kembali membentuk masalah lainnya bahwa produk ciptaan mereka adalah sumber masalah baru karena ketika digunakan menimbulkan rasa tidak nyaman. Oleh karena itu sebagai solusi diciptakanlah Laurier Soft Care Slim yang “serasa tak pakai” sekaligus “tak tembus ke segala arah”. Dengan demikian, perempuan akan lebih leluasa bergerak untuk bersepeda dan senam ataupun hanya duduk diam membaca karena tidak lagi memiliki perasaan terganggu atas menstruasi serta ketebalan pembalut. Penanda kedua adalah gaya berpakaian yang dikenakan oleh figur-figur perempuan dalam iklan. Pakaian bukan lagi sekadar kain penghangat atau penjaga nilai sopan santun. Tugas pakaian, selain menjadi perpanjangan ekspresi secara fisik dari pemakai juga menarik perhatian khalayak terhadap keberadaan tubuh dan bukan untuk mengalihkan 153 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI atau bahkan menolaknya.269 Maka, pemakaian celana pendek ketat pada figur iklan merupakan salah satu bentuk ekspresi kebebasan sekaligus aktualisasi tubuh. Pada tahap ini, produk Laurier Soft Care menjadi bermanfaat karena tidak menghalangi perempuan untuk mengenakan celana pendek ketat meskipun menstruasi berkat “begitu tipis, serasa tak pakai”. Gambar 28. Iklan Laurier (Sumber: Gadis 2000) 269 Henk Schulte Nordholt, 2005, op.cit, hlm. 1. Baca juga Idy Subandy Ibrahim (ed.), 2009, Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, hlm. 69-70. 154 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain sebagai bentuk ekspresi kebebasan, celana pendek ketat mengaksentuasikan suatu area erotis yang baru dari tubuh perempuan. Mulai pertengahan tahun 1990-an, Vivienne Westwood yang merupakan seorang perancang busana kelas dunia mengawali tren baru melalui eksperimen desainnya, yaitu mengalihkan perhatian erotis bahu dan payudara perempuan kepada bagian bawah tubuh, meliputi paha atau betis.270 Oleh produsen dan perancang iklan Laurier, perubahan makna seksual dengan cerdik ditangkap dan menjadi ide pemasaran. Tubuh perempuan Indonesia tentu mengalami pembebasan, dari penggunaan jarik, celana panjang hingga short pants yang mempermudah aktivitas. Di sisi lain, perubahan makna seksual justru semakin menjerat perempuan sebagai obyek fetish yang hanya memiliki paha dan betis. Lebih lanjut lagi, gambaran perempuan yang cantik akan mengalami perkembangan baru melibatkan prasyarat paha dan betis mulus nan putih serta berotot layaknya figur dalam iklan. Pada dasarnya iklan-iklan pembalut yang beredar antara tahun 1994-2000 menggambarkan kelanjutan perkembangan gambaran perempuan di Indonesia. Produsen pembalut masih memanfaatkan kebijakan peran ganda perempuan sebagai jurus penjualan dengan memuat figur yang tampil di ruang-ruang publik namun tetap tidak boleh melupakan tugas sebagai isteri dan ibu. Beberapa iklan bahkan menggelorakan tema peran ganda perempuan sejak dini yaitu dengan menggunakan remaja putri sebagai figur utama. Produsen pembalut seakan mengingatkan para 270 Idy Subandy Ibrahim (ed.), 2009, op.cit, hlm. 81. 155 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI remaja putri untuk tidak melupakan “kodrat” tugas sebagai perempuan meskipun telah menempuh pendidikan tinggi. Selain itu produksi pembalut mulai menemukan fungsi barunya yaitu sebagai pendukung gaya berpakaian. Hal ini mendapat pengaruh dari perubahan makna seksual yang tengah berkembang di tren fashion dunia, yaitu pemakaian celana pendek ketat. Dengan demikian iklan pembalut sebagai bagian dari kapitalisme masih mendiskreditkan perempuan melalui gambaran-gambaran mengenai peran ganda dan obyek fetish. 156 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI D. Kesimpulan Detik-detik menjelang kelengseran Soeharto, berbagai elemen masyarakat ikut menyuarakan tuntutan reformasi. Salah satunya datang dari kaum perempuan, yang selama masa pemerintahan Soeharto disenyapkan suaranya dalam ruang publik dan politik. Perempuan mulai aktif terlibat dalam protes, menuntut adanya perbaikan sistem pemerintahan seperti yang dilaksanakan oleh “demo susu” Suara Ibu Peduli. Selain itu perempuan juga mensponsori gerakan-gerakan mahasiswa melalui pemberian sumbangan makanan dan minuman. Peran perempuan dalam ruang-ruang publik harus terhenti ketika media massa yang mengantongi semangat budaya konsumerisme membangkitkan keresahan sebagai individu bebas. Salah satunya adalah iklan pembalut. Meskipun sanggup merasakan pendidikan dan memiliki karir, iklan pembalut tetap mencantumkan tugas sahih sebagai seorang perempuan, yaitu menjadi isteri dan ibu. Dalam hal ini, iklan pembalut yang beredar antara tahun 19942000 kembali menegaskan konstruksi kehidupan perempuan bukan sebagai subyek melainkan obyek. Tubuh perempuan diharuskan menggunakan dan mengkonsumsi pembalut secara terus-menerus. Namun tubuh perempuan juga menjadi figur-figur iklan yang menyampaikan makna-makna seksual. Dengan demikian, iklan pembalut yang eksis karena perempuan sesungguhnya justru menyantap habis tubuh perempuan sebagai obyek. 157 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB V KESIMPULAN Penulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai perubahan konstruksi terhadap perempuan dengan studi iklan pembalut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi terhadap perempuan dalam rentang tahun 1977 hingga 2000 mengalami pergeseran. Visualisasi, narasi, figur dan warna yang menghiasi halaman iklan pembalut terus berubah namun tidak berkembang. Artinya, kapitalisme kian memperbaharui cara dalam menawarkan iklan tetapi masih bertujuan supaya membentuk konstruksi bahwa perempuan membutuhkan pembalut. Periode 1970-an perekonomian Indonesia mulai mengalami transisi karena mengutamakan eksplorasi minyak bumi dan mengandalkan pinjaman maupun strategi dari lembaga moneter dunia seperti IMF atau Bank Dunia. Hal ini membuka kesempatan lebih besar kepada koorporasi internasional dalam membangun usaha maupun menanamkan modal di Indonesia sehingga menuntut pemerintah supaya bertindak otoriter demi tercapainya suasana yang kondusif bagi investasi. Tindakan otoriter berwujud dengan pembatasan partisipasi masyarakat dalam kebebasan berpolitik bahkan menyuarakan aspirasi melalui media massa. Sistem kapitalisme menggelorakan jiwa baru dalam dunia penerbitan yang lebih berpihak terhadap industrialisasi. Media massa menjadi corong pemasaran 158 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk produk-produk industri bahkan ikut menciptakan kebutuhan baru sehingga masyarakat bertindak konsumtif. Dalam proses ini lahir majalah-majalah hiburan yang memuat konten-konten mengenai gaya hidup masyarakat urban, dua diantaranya adala Femina dan Gadis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasaran pembaca majalah Femina dan Gadis adalah perempuan kelas menengah, terutama yang hidup di perkotaan. Masa pembangunan bukan hanya mengorbankan perempuan pedesaan yang kehilangan pekerjaannya akibat Revolusi Hijau pada tahun 1984-1989 namun juga kelas menengah perkotaan. Berbagai industri dan pabrik baru membutuhkan buruh. Dalam hal ini perempuan merupakan sosok yang tepat karena dapat dibayar dengan upah rendah namun mampu dituntut bekerja tekun. Namun negara sebagai pelindung justru mengabaikan jaminan hukum bagi pekerja perempuan. Di sisi lain kehadiran modernisasi memberikan kesempatan lebih besar terhadap perempuan kelas menengah dalam hal demokrasi dan pendidikan. Namun kehadiran kapitalisme melalui iklan memenjarakan tubuh perempuan ke dalam konstruksi-konstruksi baru seperti makna menjadi seksi, bugar, sehat, cantik dan pekerja keras melalui konsumsi terhadap produk. Benar yang ditandaskan oleh Marcuse bahwa kebutuhan dengan sengaja diciptakan supaya masyarakat bertindak konsumtif, salah satunya adalah produk pembalut. Gambaran demikian sangat kentara dalam iklan namun seturut perkembangan pembangunan setiap perempuan di Indonesia didikte supaya wajib menggunakan pembalut. Upaya tersebut bertujuan 159 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI agar meneguhkan gambaran modern, bebas, percaya diri dan fashionable layaknya figur-figur dalam iklan sekaligus melanggengkan kapitalisme. Sebagai penulisan sejarah maka penelitian ini memetakan pembahasan ke dalam tiga periode yaitu tahun 1977-1985, 1986-1993 dan 1994-2000. Pada periode pertama, tahun 1977-1985 iklan pembalut gencar mengungkapkan bahwa proses alamiah menstruasi sesungguhnya menyakitkan, tidak membebaskan perempuan dan menjijikkan, seperti yang diungkapkan oleh Kristeva sebagai bentuk diskredit sehingga tabu bila terlihat oleh orang lain. Mengutip pemikiran Barthes, pemahaman tersebut adalah mitos yang telah beredar secara kultural dan historis dalam masyarakat. Produsen pembalut merekayasa mitos menstruasi menjadi alamiah dan mudah dipahami, misalnya perempuan dalam keadaan haid tidak mampu bergerak leluasa atau tersiksa sehingga figur iklan menampilkan sikap oposisi, yaitu bebas serta berwajah sumringah. Dengan penggambaran tersebut perempuan dikondisikan membutuhkan teknologi mutakhir, yaitu pembalut yang digambarkan dapat mengurangi beban menstruasi karena lebih praktis, higienis dan flushable. Periode kedua, tahun 1986-1993 iklan pembalut marak memuat gambaran perempuan yang hadir di ruang-ruang publik. Hal ini merupakan perwujudan dari GBHN tahun 1988 mengenai peran ganda perempuan dalam pembangunan. Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki namun harus tetap mengingat kodratnya sebagai penjaga nilai-nilai kesejahteraan 160 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI keluarga. McRobbie mengungkapkan bahwa era kapitalisme membuat media massa bertindak jeli dengan mencomot perubahan tersebut sebagai jurus baru pemasaran. Sistem kapitalisme mendapatkan keuntungan dari pemberlakuan kebijakan peran ganda perempuan. Kapitalisme menuntut manusia bertindak layaknya robot, bahwa banyak bekerja maka uang yang didapat semakin besar sehingga konsumerisme pun meningkat. Ketika perempuan dituntut supaya bekerja maka harapannya semakin banyak konsumsi yang dihasilkannya karena mereka akan lebih bebas menentukan pilihan menghabiskannya. Hal ini tergambar dari iklan Carefree tahun 1986 yang menampilkan seorang perempuan enerjik tengah berjalan di area pertokoan. Perempuan yang berperan dalam figur tersebut tampil bukan sebagai pekerja apabila mengamati cara berpakaian dan lingkungan di sekitarnya. Gambaran perannya cenderung sebagai perempuan pembelanja yang berasal dari kelas menengah dan tinggal di perkotaan. Pada tahun 1993 perempuan sebagai figur dalam iklan pembalut memerankan tugas yang berbeda. Kali ini, iklan Softex dan Sofie Panty Shields menggambarkan perempuan pekerja dengan kelengkapan pakaian bekerja yang tengah berada di lingkungan perkantoran. Kedua iklan tersebut seakan meningkatkan area perjuangan perempuan menuju jenjang yang lebih luas, yaitu ruang publik. Namun keberhasilan perjuangan perempuan dalam bekerja mempunyai ketergantungan terhadap pembalut Softex maupun Sofie Panty Shields. Produk Softex memberikan tiga pilihan pembalut, yaitu night safe, regular dan maxi yang dapat 161 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI digunakan sesuai waktu atau masa derasnya menstruasi. Sementara produsen Sofie Panty Shields menawarkan pemakaian produknya setiap hari supaya perempuan dapat mengatasi stres yang timbul ketika bekerja. Gambaran demikian menyiratkan bahwa perempuan pekerja rentan mengalami stres karena kekuatannya tidak mampu menandingi laki-laki yang mampu menghindari gangguan atau kekacauan mental serta emosional. Maka perempuan tidak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya dan dianggap lemah karena kapitalisme telah menentukan pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang berdasarkan kepentingan meraih laba tinggi. Tema-tema iklan pembalut pada periode terakhir, tahun 1994-2000 tidak banyak mengalami perubahan. bahkan semakin masif menggambarkan tubuh perempuan sebagai objek seksual sekaligus pelakon kebijakan peran ganda. Produsen pembalut mengingatkan perempuan bahkan sejak remaja untuk tidak melupakan kodrat sebagai ibu meskipun telah mengenyam pendidikan, seperti yang tergambar dalam iklan Kotex tahun 1994. Produsen Kotex menggunakan kalimat “The Leaders of Tommorow Trust Kotex” sebagai ide utama penawaran yang menggambarkan bahwa perempuan harus menjadi pemimpin. Namun pada narasi berikutnya produsen Kotex justru menenggelamkan perempuan dalam domestikasi dengan mencantumkan keberhasilan perempuan “di bidang sains, ekonomi dan hukum” belum cukup apabila tanpa gelar “sebagai istri maupun ibu”. Pada tahun 2000 iklan Laurier menemukan fungsi baru dari produknya yaitu sebagai pendukung gaya berpakaian celana ketat yang dipengaruhi oleh perubahan makna seksual dalam dunia fashion. Dalam 162 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI prosesnya, iklan Kotex bukan hanya menawarkan produk tetapi juga membentuk konstruksi kecantikan baru terhadap perempuan. Tindakan konsumsi akan berlanjut kepada pembelian celana pendek ketat atau produk-produk pelangsing. Penulisan ini membuktikan bahwa iklan-iklan pembalut yang terbit antara tahun 1977 hingga 2000 bukan hanya bertujuan menarik pembelian melainkan berfungsi untuk menegaskan ideologi pembangunan dan kapitalisme. Pemerintahan Soeharto membentuk konstruksi bahwa perempuan merupakan pendamping suami, pengasuh anak dan pengatur rumah tangga sekaligus pembelanja yang baik. Dengan demikian negara belum mengakui kehadiran perempuan secara utuh yang memiliki kuasa atas berdiri sendiri tanpa menggandeng suami, anak ataupun bersama keluarga. Meskipun mulai periode 1980-an akhir iklan pembalut menggambarkan kehadiran perempuan di ruang-ruang publik tetapi masih menyertakan pentingnya peran istri dan sebagai ibu. Di sisi lain kapitalisme bukan sekadar menciptakan rasionalitas baru mengenai kebutuhan penggunaan pembalut tetapi turut membangun konstruksi baru mengenai keidealan perempuan yang cenderung menjadi obyek fetish melalui iklan penawarannya. Hal ini menjauhkan perempuan dari kuasa atas tubuhnya sendiri. 163 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA MAJALAH Femina No. 172 terbitan 4 Desember 1979. Femina No. 173 terbitan 18 Desember 1979. Femina No. 183 terbitan tahun 1980. Femina No. 189 terbitan tahun 1980. Femina No. 191 terbitan tahun 1980. Femina No. 173 terbitan Maret 1980. Femina No. 8 edisi tahun 1982. Femina No. 1 Tahun XII terbitan 3 Januari 1984. Femina No. 13 Tahun XII terbitan 1984. Femina No. 37 Tahun XII terbitan 1984. Femina No. 26 Tahun XIII terbitan 1985. Femina No. 50 Tahun XIII terbitan 24 Desember 1985. Femina No. 23 Tahun XIV terbitan 10 Juni 1986. 164 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Femina No. 11 Tahun XX terbitan 12 Maret 1992. Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993. Femina No. 31 Tahun XXI terbitan 12-18 Agustus 1993. Femina No. 3 Tahun XXII terbitan 20 Januari 1994. Femina No. 31 Tahun XXIII terbitan 10-16 Agustus 1995. Femina No. 33 Tahun XXIII terbitan 24 Agustus 1995. Femina No. 24 Tahun XXIV terbitan 20 Juni 1996. Gadis No. 16 terbitan16-25 Juni 1980. Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986. Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990. Gadis No. 12 terbitan 11-20 Mei 1994. Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober-4 November 1994. Gadis No. 28 Tahun XXIII terbitan 10 Oktober 1996. Gadis No. 25 terbitan 18 September 2000. Gadis No. 30 Edisi Ulang Tahun terbitan 10 November 2000. Gatra Edisi Perkenalan terbitan Oktober 1994. Kartini No. 298 terbitan 21 April – 4 Mei 1986 165 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tempo, 9 Desember 1972. Tempo, 30 Desember 1972. Tempo No. 45 Tahun VI terbitan 8 Januari 1977. Tempo No. 4 Tahun XVI terbitan 22 Maret 1986. Tempo No. 12 Tahun XVI terbitan 17 Mei 1986. Tempo No. 14 Tahun XVI terbitan 31 Mei 1986. Tempo No. 3 Tahun XVII terbitan 21 Maret 1987. Tempo No. 45 Tahun XIX terbitan 6 Januari 1990. Tempo No. 46 Tahun XX terbitan 13 Januari 1990. Tempo No. 47 Tahun XX terbitan 19 Januari 1991. Tempo No. 1Tahun XXIV terbitan 5 Maret 1994. DAFTAR NARASUMBER: No. Nama 1. Cicilia Sutini L/P P Usia 87th 2. Devi Puspitasari P 51th Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Pegawai Kantor 3. Eko Prasetyo L 54th Guru 4. Galang Ady L 30th Freelancer Alamat Semaki Kulon, Yogyakarta Cimahi, Jawa Barat Tamansiswa, Yogyakarta Semarang, Jawa Tengah 166 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5. 6. Ani Wardhanie Tara Wahyuningsih P P 30th 40th Mahasiswa Ibu Rumah Tangga Pogung, Sleman Ambarawa, Jawa Tengah BUKU: Abmi Handayani, dkk, 2012, Perempuan Berbicara Kretek, Jakarta: Indonesia Berdikari. Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana. A. Latief Wiyata, 2006, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LKiS. Ariel Heryanto, 2015, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia. Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2003, Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Arief Budiman, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bandel, Katrin, 2006, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Bourdieu, Pierre, 2010, Dominasi Maskulin, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. 167 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Budi Susanto, S.J. (ed), 2003, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Burton, Graeme, 2012, Media dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra. Biro Pusat Statistik, 1990, Statistik Indonesia 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik. Brown, Rajeswary Ampalavanar, 2006, The Rise of the Corporate Economy in Southeast Asia, New York: Routledge. Davis, Angela Y., 1981, The Approaching Obsolescence of Housework: A Working Class Perspective dalam Women, Race, and Class, New York: Random House. Dedy N. Hidayat, et.al, 2000, Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dewi Linggasari, 2007, Kisah Seorang Wanita Suku Dani, Yogyakarta: Penerbit Kunci Ilmu. Dhakidae, Daniel, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Edy Santosa (ed.), 2002, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Yogyakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar. 168 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Edwards, Louise (ed.), 2000, Women in Asia: Tradition, Modernity, and Globalisation, Australia: Allen&Unwin. Feillard, Andrée, 1999, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: Penerbit LKiS. Freeman, Jo (ed.), 1984, Women: A Feminist Perspective, California: Mayfield Publishing. Gamman, Lorraine dan Margaret Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan: Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Hebdige, Dick, 1999, Asal-usul & Ideologi Subkultur Punk, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. Hefner, Robert W. (ed.), 2007, Politik Multikulturalisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Helius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak. Herlambang, Wijaya, 2014, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri. Hill, David T., 2011, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. 169 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ___________, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hikmat Budiman, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Idi Subandy Ibrahim (ed.), 2000, Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya, Bandung: Penerbit Mizan. _____________________, 2009, Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Ita F. Nadia, 2008, Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, Yogyakarta: Galang Press. Ivan Illich, 1998, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Julia I. Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu. __________________, 2011, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu. Jones, Tod, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV. Jones, Amelia dan Andrew Stephenson, 1999, Performing The Body/Performing The Text, London: Routledge. Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana. 170 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kurniasih (ed.), 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra. Lies Marcoes-Natsir dan Lanny Octavia, 2014, Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, Jakarta: Rumah KitaB. Mallarangeng, Rizal, 2010, Pers Orde Baru, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man, Boston: Beacon Press. McRobbie, Angela, 1994, Postmodernism and Popular Culture, London: Routledge. Mike Featherstone, 2008, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Modleski, Tania, 1986, Studies in Entertainment: Critical Approaches to Mass Culture, Indiana: Indiana University Press. MPR RI (penanggung jawab), 1983, GBHN ’83, Surakarta: Penerbit Pabelan. M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar (ed.), 1985, Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 1988/1989, Jakarta; UI-Press. Muhamad Hisyam (ed.), 2003, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Murray, Henry. A (ed.), 1969, Myth and Mythmaking, Boston: Beacon Press. 171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan., Yogyakarta: Penerbit LKiS. Rendra Widyatama, 2006, Bias Gender dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media Pressindo. Richard Higgott dan Richard Robison (ed.), 1985, Southeast Asia: Essays in the Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul. Ricklefs, M.C., 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Penerbit Serambi. Robison, Richard, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Robinson, Kathryn dan Sharon Bessell (ed.), 2002, Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, Singapura: Seng Lee Press. Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008, Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa, Jakarta: I:Boekoe. Saadawi, Nawal El, 2011, Perempuan dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Seno Gumira Ajidarma, 2006, Trilogi Insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 172 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Schwichtenberg, Cathy (ed.), 1993, The Madonna Connection: Representational Politics, Subculture Identities, and Cultural Theory, New South Wales: Westview Ress. Scholten, Elsbeth Locher, 2000, Women and The Colonial State: Essays in Gender and Modernity in The Netherland Indies 1900-1942, Amsterdam: Amsterdam University Press. Shilling, Chris, 2002, The Body and Social Theory, London: Sage Publications. Statistik Indonesia 1994, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia 2000, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Taher, Elza Peldi (ed.), 1994, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Tamrin Amal Tomagola, 2006, Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book. Thoreau, Henry David, 1985, Walden, or, Life in the Woods, Amerika Serikat: Princeton University. Thornham, Sue, 2010, Teori Feminis dan Cultural Studies: Tentang Relasi yang Belum Terselesaikan, Yogyakarta: Jalasutra. Vreede-De Stuers, Cora, 2008, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu. 173 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Wolf, Naomi, 2002, The Beauty Myth, New York: Harper Collins. Wieringa, Saskia E., 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Galang Press. Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta. Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo (ed.), 2015, Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru, Yogyakarta: INSISTPress dan Remotivi. JURNAL, SKRIPSI, MAKALAH, ARTIKEL Anna Mariana, 2011, Politik (Seksual) atas Tubuh Perempuan: Sejarah Perbudakan Seksual pada Masa Fasisme Jepang dan Neo-Fasisme Orde Baru di Indonesia, Sebuah Perbandingan. Universitas Gadjah Mada (tesis). Ethnology, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond Menstruation as Pollution No. 4 Vol. 41, terbitan 2002. Christina Siwi Handayani, 2013, “Julia Kristeva: Kembalinya Eksistensi Perempuan sebagai Subyek”, dalam Subyek yang Dikekang: Pengantar ke Pemikiran Julia Kristeva, Simone de Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas Salihara-Hivos. 174 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gadis Arivia, 2016, Postfeminisme: Feminisme dalam Budaya Konsumerisme, dalam acara diskusi “Great Thinkers: Angela McRobbie: Postfeminism and Popular Culture”, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah Pascasarjana UGM. Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, 2014, Minuman Keras Eropa dan Imajinasi Modernitas di Surabaya 1900-1942. Universitas Gadjah Mada (tesis). Isawati, 2011, Perlawanan Wiji Thukul terhadap Hegemoni Rezim Orde Baru Tahun 19861997. Universitas Gadjah Mada (tesis). Signs, 1976, Vol. 1, No. 3, Women and The Workplace: The Implications of Occupational Segregation, Chicago: The University of Chicago Press. Yuhana Setianingrum, 2012, Perkembangan Kreativitas Iklan Rokok di Jawa Tahun 19301970an. Universitas Gadjah Mada (skripsi). Jurnal Perempuan No. 52 terbitan Maret 2007. Jurnal Perempuan No. 28 terbitan Maret 2003. Jurnal Perempuan No. 37 terbitan September 2004. Jurnal Perempuan No. 2 terbitan Mei 2013. Jurnal Sejarah, Histma: Perempuan dan Negara, Vol. IV terbitan Desember 2015, Yogyakarta: Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB UGM. Prisma No. 5 terbitan Oktober 1975. Prisma No.5 Tahun VIII terbitan Mei 1979. 175 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Prisma No. 7 Tahun X terbitan Juli 1981. Prisma No. 1 Tahun XV terbitan Januari 1986. Prisma Vol. 32 No.1 terbitan 2012. WEB allencentre.wikispaces.com www.beinggirl.com www.bi.go.id m.beritasatu.com www.boemipoetra.wordpress.com www.carefreeliners.com www.denmarkonline.dk emenrizal.wordpress.com www.empower-yourself-with-color-psychology.com www.healthline.com huffpost.com www.jurnalperempuan.org kbbi.web.id kkp.go.id smhp.psych.ucla.edu www.kemenkeu.go.id www.kimblerly-clark.com 176 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI www.merriam-webster.com www.mum.org www.nu.or.id www.pg.com www.puteri-indonesia.com www.serbasejarah.files.wordpress.com www.theperiodblog.com www.varsity.com wikipedia.org 177