SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH
FEMINA DAN GADIS: Studi Citra Perempuan
Periode 1977-2000
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Sejarah pada
Program Studi Sejarah
Oleh:
Stephanie Woro Narriswari
NIM. 104314002
PROGRAM STUDI SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
/
SKRIPSI
SEJARAIT IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH
FEMINA DAI{ GAI}IS: Studi Citra Perempuan
Periode 1977-2A00
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH
FEMINA DAN GADIS: Studi Citra Perempuan
Periode 1977-2000
Oleh:
Stephanie Woro Narriswari
NIM. 104314002
Dipertahankan di depan panitiapenguji Program Studi Sejarah dan dinyatakan
diterima pada tanggal 13 Juli 2016
Panitia Penguji
:
Ketua
:
Setr<retaris
: Drs. H. He.ry Santosa,
Anggota
1.
Drs. Silverio R. L.A.S, M.Hum
M. Hum
Dr. YerryWirawan
2. Dr. Lucia Juningsih M.Hum
3. Drs. Silverio R. L.A.S, M.Hum
Yogyakarta, 25 Juli 20L6
s Sastra
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERSEMBAHAN
Skripsi berjudul “Sejarah Perubahan Citra Perempuan melalui Iklan
Pembalut dalam Majalah Femina dan Gadis Periode 1977-2000” ini penulis
persembahkan bagi seluruh perempuan di penjuru Indonesia, Ibu terkasih M.G. Dwi
Waluyastuti (1954-2005), adik karib Noventa Retno Prahastuti dan perempuanperempuan dalam keluarga Brayat Sutini-Sapin serta untuk almamater Program Studi
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO:
“cambuk ditambah makanan sama dengan tenaga”
(George Orwell – Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London)
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya
sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di perguruan tinggi lain.
Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau suatu lembaga atau bagian
dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang
disebutkan dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka.
Berbah, 19 Juni 2016,
Penulis,
Stephanie Woro Narriswari
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH LTNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
Nama
: Stephanie Woro Narriswari
Nomor mahasiswa : 104314002
Demi
pengembangan
ilmu
pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
SEJARAH IKLAN PEMBALUT DALAM MAJALAH FEMINA DAN GADIS:
STUDI CITRA PEREMPUAN PERIODE 1977-2000
beserta perangkat yang diperlukan (bira ada). Dengan demikian saya
memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkan ke dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk
pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya
di internet
atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat densan sebenarnya.
Dibuat di Berbah
Pada tanggal 8 JLrni 2016
Yangpngryatakan
/-1 /
,/
(Stephanie Woro Narriswari)
vil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Setiap perempuan pasti mengalami menstruasi, yang menandakan bahwa
tubuhnya melalui satu proses alamiah menuju pertumbuhan. Anggapan masyarakat
sehari-hari selalu mengungkapkan menstruasi sebagai tanda kedewasaan seorang
perempuan. Akan tetapi kedewasaan tersebut merupakan jebakan. Konstruksi sosial
membebani perempuan dengan mengatakan menstruasi sebagai darah kotor, berbau,
pemicu tindakan emosional hingga kerap dijadikan alasan untuk mendiskreditkan.
Oleh karena itu, penelitian ini adalah upaya menemukan proses penolakan
terhadap tubuh perempuan melalui menstruasi yang terkandung dalam iklan
pembalut. Proses meneliti dan menuangkan hasilnya ke dalam bentuk penulisan
bukanlah hal yang mudah maupun singkat. Beberapa waktu bahkan mengalami
penolakan ketika membaca berbagai teks bertema feminisme dan gender. Semakin
perempuan menyatakan ketidakadilan mengenai hal umum yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan berjuang mati-matian justru memicu munculnya bias.
Butuh
waktu
tujuh
bulan
untuk
meruntuhkan
argumentasi
tersebut
dan
menggantikannya dengan kesadaran mengenai pentingnya otonomi tubuh sebagai
seorang perempuan. Proses pertumbuhan ini berjalan seiring melakukan pengamatan
terhadap iklan-iklan pembalut yang menjadi obyek penelitian.
Penelitian ini sempat mengalami beberapa kali perubahan bahkan hasil akhir
bukanlah yang diimajikan selama ini. Walaupun jauh dari penulisan sejarah yang
sempurna namun penulis merasakan kenyamanan dalam prosesnya karena dapat
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
belajar memberikan perspektif berbeda sebagai perempuan. Maka penulis sangat
terbuka menerima kritik dan saran demi memperbaiki penulisan di masa mendatang.
Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi sejarah ini, penulis
dibantu oleh banyak orang dan pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih
terhadap segenap pihak yang membantu, meskipun sebenarnya tidaklah cukup.
Sebagai bukti atas segala bantuan, penulis akhirnya menuntaskan penulisan skripsi
berjudul “Sejarah Perubahan Citra Perempuan: Studi Iklan Pembalut dalam Majalah
Femina dan Gadis Periode 1977-2000”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu M.G Waluyastuti
(almarhumah) dan bapak G.A Sarjono yang selalu memberikan harapan baik dan
kepercayaan terhadap ambisi anak-anaknya. Untuk saudara-saudaraku, Noventa
Retno Prahastuti, Theodorus Hendra A, Yulius Panon Pratomo-Elizabeth Retno
Kawuri, dan Vembriyanto-Pipin serta tambahan keluarga ibu Mestika Sitompul, Tiwi,
Anes, Leo yang tetap memberikan dukungan maupun janji mentraktir kepiting
meskipun harus menunggu lama. Keluarga Semaki yang rajin mendoakan; simbah
puteri, pakdhe Dibyo, om Sri, bu Rini-om Pran, bu Wigati-om Baning, om Bambang,
bu Palupi-om Tatang, bu Bekti, mbak Lia, mbak Elin, mbak Widya, mbak Arum,
Nanda, Yosie, Jalu, Sekar, Mahesa, Taru, Callista, Kama dan Dire.
Dalam proses menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dan dukungan dari para dosen: Dr. Yerry Wirawan selaku dosen pembimbing yang
selalu mendorong eksplorasi terhadap hal-hal baru, Drs. Silverio Aji R.L.A.
Sampurno, M. Hum, Dr. Lucia Juningsih, Dr. F.X. Baskara T. Wardaya, S.J., Drs.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hb. Heri Santosa, M. Hum, Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dr. Purwanta, M.A. dan
Drs. Heri Priyatmoko M. A. Selain itu, ucapan terima kasih juga teruju kepada
akademisi di luar kampus Sejarah yang sempat meluangkan waktu untuk menerima
konsultasi, baik secara langsung maupun hanya lewat surat elektronik: Dewi
Candraningrum, Dr. Leong Kar Yen, Dr. Budi Susanto, Dr. Katrin Bandel, Dr. Sharra
L. Vostral, Dr. Elsbeth Locher-Scholten, Harry Finley (Museum of Menstruation) dan
Dr. Giles Slade. Teman-teman muda yang memberi perhatian terhadap isu
perempuan, Stephanie Sz-Chou, Rubina Sumita, Chelsea, Gabi dan Nadyazura
(Support Group and Resource Center on Sexuality Studies-Universitas Indonesia).
Dukungan dan semangat dari teman-teman Sejarah angkatan 2010, Rangga Ferry
Setiawan, Dyah Merta, Desy Liman, Hernowo Adi, Marni Lotu, Erick Tasen dan
Magdalena Dian. Junior maupun senior yang selalu saling mengingatkan dan
memberi semangat, Fauzan Kumbang, Rian „Penyik‟, De Britto Wirajati, Rosma,
Fransiska „Edut‟, Tiur Angellina, Iva Olami, Bimo, Ara, Luis, Hendy, Fendi,
Yohanna, Rico, Silvia Pristi dan teman-teman lainnya yang tidak mampu saya sebut
satu-persatu. Para teman lelaki yang selalu membantu memberikan pendapat
berkaitan dengan skripsi ini, Imam Prakoso, Alam Surya Anggara, Her Raditya
„Gogik‟, Rizal Rachmen, Bayu Pamungkas, Estu „Kapuk‟, mas Ikhsan dan Asep.
Gadis-gadis Tanjung, Yudist Ndutie dan Betrik. Teman-teman dari Summer Course
Tamkang University, Brian, Stephen, Angus, Noven, mbak Tika, Andrew dan Idho.
Sahabat-sahabat yang berada di Semarang, Otty Risma, Saski, Caca Junita, Astrid,
Aswin dan Riqi Zulhilmi. Segenap pegawai di LPPM-USD, bu Maria, bu Margi, bu
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rini, pak Thomas, pak Gik, mbak Dw| mbak Ruth. Riko, rrrzs Ardi dan Sela yang
turut menghadirkan warna tersendiri dalam proses penyusunan skripsi.
Penulis
juga
menyatakan terima kasih kepada ibu-bapak pegawai
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Museum Pers Solo dan Perpustakaan FIB-
UGM yang berkenan mengulurkan bantuan ketika proses pengumpulan sumber dan
memperbolehkan meminjam walaupun bukan sebagai anggota.
Secara pribadi, skripsi
ini adalah bukti langkah kecil menuju dunia penulisan
sejarah perempuan. Kelak, penulis berharap mampu melakukan penelitian sejarah
perempuan lebih mendalam sehingga menghasilkan historiografi yang memperkaya
perbendaharaan
sej
arah Indonesia.
2016
Stephanie Woro Narnswarr
xl
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...........................................
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................................
vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... ……… viii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
xii
ABSTRAK ......................................................................................................... … xvi
ABSTRACT ........................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................
1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ........................................................
4
1. Identifikasi Masalah .............................................................................
4
2. Pembatasan Masalah ............................................................................
5
C. Perumusan Masalah ...................................................................................
5
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................
6
E. Manfaat Penelitian .....................................................................................
6
F. Kajian Pustaka............................................................................................
7
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
G. Landasan Teori ...........................................................................................
9
1. Mitos dan Abjeksi ................................................................................
9
2. Kapitalisme, Media Massa dan Budaya Populer..................................
11
H. Metode Penelitian.......................................................................................
14
I. Sistematika Penulisan ................................................................................
16
BAB II CITRA PEREMPUAN MODERN PERIODE 1977-1985 .......................
18
A. Latar Belakang ...........................................................................................
18
1. Pertumbuhan Ekonomi .........................................................................
18
2. Kehidupan Politik dan Sosial ...............................................................
20
a. Perlawanan Kaum Terpelajar .........................................................
21
b. Kehidupan Perempuan ...................................................................
23
3. Perkembangan Pers ..............................................................................
27
a. Majalah Perempuan ........................................................................
28
b. Iklan................................................................................................
31
B. Kemasan Pers Perempuan ..........................................................................
33
1. Ragam Iklan Produk Perempuan ..........................................................
34
2. Iklan Pembalut Periode 1977-1985 ......................................................
38
a. Iklan Pembalut Tahun 1977 ...........................................................
39
b. Iklan Pembalut Tahun 1980 ...........................................................
42
c. Iklan Pembalut Tahun 1982 ...........................................................
46
d. Iklan Pembalut Tahun 1984 ...........................................................
48
e. Iklan Pembalut Tahun 1985 ...........................................................
56
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Kesimpulan ................................................................................................
59
BAB III CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993 ..........
60
A. Latar Belakang ...........................................................................................
60
1. Perkembangan Perekonomian ..............................................................
60
2. Tuntutan Politik Global ........................................................................
62
3. Kemajuan Media Massa .......................................................................
64
a. Periklanan .......................................................................................
66
b. Pertelevisian ...................................................................................
68
4. Perempuan dan Pembangunan .............................................................
70
a. Konsep Kecantikan Global ............................................................
70
b. Penggandaan Pers Perempuan........................................................
73
c. Perempuan dalam Ruang Publik ....................................................
74
B. Perubahan Iklan Pembalut Periode 1986-1993 ..........................................
76
1. Iklan Pembalut Tahun 1986 .................................................................
77
2. Iklan Pembalut Tahun 1990 .................................................................
87
3. Iklan Pembalut Tahun 1992 .................................................................
90
4. Iklan Pembalut Tahun 1993 .................................................................
96
C. Kesimpulan ................................................................................................ 103
BAB IV CITRA PEREMPUAN INDEPENDEN PERIODE 1994-2000 ............. 104
A. Latar Belakang ........................................................................................... 104
1. Krisis Ekonomi .................................................................................... 104
2. Gerakan Mahasiswa dan Perlawanan ................................................... 106
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Pasca Lengsernya Soeharto .................................................................. 109
B. Kehidupan Perempuan ............................................................................... 111
1. Gerakan Perempuan ............................................................................. 112
2. Perempuan Politisi ............................................................................... 116
C. Perubahan Iklan Pembalut Periode 1994-2000 .......................................... 117
1. Iklan Pembalut Tahun 1994 ................................................................. 118
2. Iklan Pembalut Tahun 1995 ................................................................. 131
3. Iklan Pembalut Tahun 1996 ................................................................. 138
4. Iklan Pembalut Tahun 2000 ................................................................. 149
D. Kesimpulan ................................................................................................ 157
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 164
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Stephanie Woro Narriswari, Sejarah Iklan Pembalut dalam Majalah Femina dan
Gadis: Studi Citra Perempuan Periode 1977-2000. Skripsi. Yogyakarta: Program
Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab empat permasalahan. Pertama
menemukan konteks ekonomi, politik dan sosial yang melatarbelakangi penerbitan
iklan pembalut periode 1977-2000. Kedua, menentukan pembaca-pembaca majalah
Femina dan Gadis. Ketiga, mendefinisikan perubahan visualisasi desain iklan
pembalut di majalah Femina dan Gadis periode 1977-2000. Keempat, memahami
bentuk-bentuk visual dalam iklan pembalut yang merepresentasikan konstruksi
terhadap perempuan periode 1977-2000.
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka pada majalah Femina,
Gadis, Tempo dan Gatra serta wawancara terhadap pembaca iklan pembalut yang
terbit pada periode 1977-2000 sebagai sumber primer. Analisis dilakukan dengan
menggunakan metode heuristik, membandingkan dan interpretasi terhadap sumber
yang berhasil dikumpulkan. Penelitian ini menerapkan pendekatan pembacaan mitos,
perkembangan kapitalisme dan feminisme untuk memahami konstruksi yang
dibentuk melalui iklan pembalut terhadap perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi terhadap perempuan pada
periode 1977-2000 mengalami pergeseran. Visualisasi, narasi, figur dan warna dalam
halaman iklan pembalut terus mengalami perubahan yang bertujuan untuk
melanggengkan kapitalisme. Iklan pembalut membentuk rasionalitas baru bahwa
perempuan membutuhkan pembalut. Hal ini memicu perempuan untuk bertindak
konsumtif dan kehilangan kuasa atas tubuhnya. Pasalnya, dalam setiap penawarannya
produsen pembalut memuat bentuk-bentuk ideal yang harus dimiliki oleh perempuan,
misalnya sosok pekerja keras, enerjik, berpendidikan dan cantik. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa iklan-iklan pembalut bukan hanya bertujuan sebagai jurus
pemasaran. Iklan pembalut merupakan media dari kapitalisme untuk membentuk
konstruksi terhadap perempuan, yaitu sebagai pembelanja dan obyek fetish.
Kata kunci: perempuan, menstruasi, iklan, pembalut, citra.
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Stephanie Woro Narriswari, History of Sanitary Napkins Advertising in Femina and
Gadis Magazine: Study of the Image of Women on Periods 1977-2000. Thesis.
Yogyakarta: Department of History, Faculty of Letters, University of Sanata Dharma,
2016.
This study aims to address four issues. First, is to find the context of economic,
political and social background when the ads published on periods 1977-2000.
Second, is to determine the readers of the magazines Femina and Gadis. Third, is to
define the changes in design visualization of sanitary napkins ads in magazines
Femina and Gadis on periods 1977-2000. Fourth, is to understand the visual forms of
advertising that represent the construction of women on periods 1977-2000.
This study uses literature magazine Femina, Gadis, Tempo and Gatra also interviews
with readers who read the pads ads published on periods 1977-2000 as the primary
source. The analysis was performed using a heuristic method, compare and
interpretation from the collected resources. This research use approaches, about
reading of the myth, the development of capitalism and feminism to understand the
construction of women that was formed through the sanitary napkin ads
The results showed that the construction of women on periods 1977-2000 shifted.
Visualization, narration, figures and colors in the sanitary napkins ads keep changing
which aims to perpetuate capitalism. Sanitary napkins ads form a new rationality that
women need it. This triggers a woman to act consumptive and lose power on her
body. Because, every sanitary napkins ads contained the ideals forms that must be
owned by women, for example, the figure of a hardworking, energetic, educated and
beautiful. The results of this study prove that the sanitary napkins advertising are not
only intended as a marketing stance. It is a media of capitalism to form the
construction of women, as a shopaholic and a fetish object.
Key words: women, menstruation, advertising, sanitary napkins, image
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah berhasil melengserkan kepresidenan Soekarno,1 Soeharto membuka
perekonomian Indonesia yang padat modal sehingga berkiblat pada pertumbuhan dan
pembangunan dengan mengandalkan bantuan Barat.2 Pada tahun 1967 pemerintah
mulai memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA).
Setahun kemudian, Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN)
menyusul diterbitkan untuk memicu investasi. Sejalan dengan liberalisasi
perekonomian Indonesia, berbagai perusahaan iklan tumbuh subur dan menjadi garis
terdepan dalam pemasaran komoditi industri. Beberapa contoh dapat menggambarkan
situasi tersebut, seperti Inter Vista Ltd, pimpinan Nuradi yang merupakan agen
periklanan pertama di Indonesia, berdiri pada tahun 1967. Empat tahun berikutnya
menyusul perusahaan Matari Adverstising, di bawah asuhan Ken T. Sudarto dan Paul
Karmadi. Oleh adanya arus produk-produk luar negeri yang ikut membanjiri pasar
Indonesia, maka mulai tahun 1971 rumah-rumah produksi periklanan hasil pertalian
1
M.C. Ricklefs, 2010, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, hlm. 587.
2
Julia Suryakusuma, 2011, Ibuisme Negara; Kontruksi Sosial Keperempuanan
Orde Baru, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 14.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan perusahaan iklan bertaraf internasional, seperti Ogilvy and Mather, Leo
Burnet, dan BBDO bermunculan.3
Visual iklan yang tercipta hasilnya serupa dengan iklan-iklan terbitan luar
negeri mulai dari saduran model, pembahasan mengenai produk hingga tagline
berbahasa Inggris. Hal ini menggambarkan bahwa Soeharto mulai membangun
Indonesia yang merujuk kepada dunia impian ala Barat. Pemerintah mendorong
rakyat bahwa mereka sanggup menjelma lebih modern ketika menggunakan produkproduk impor yang beredar seperti bedak bayi Johnson&Johnson, kosmetik Revlon,
sabun mandi Lux hingga baju renang Triumph meskipun dalam realitasnya hanya
menjadi konsumsi masyarakat kelas menengah.
Periode 1980 hingga 1990-an merupakan masa inventif dalam proses
penciptaan kreativitas dan persaingan antar perusahaan-perusahaan iklan. Menjelang
tahun 1990-an kaum produsen kian berbahagia dengan adanya perluasan media
penaklukan karena industri-industri siaran televisi swasta mulai lahir, seperti RCTI
(1988), SCTV (1989), TPI (1991), ANTEVE (1993) dan Indosiar (1995).
Merambahnya media komunikasi periklanan dalam layar kaca televisi yang
dilengkapi dengan audio visual semakin mudah melahap para penonton. Citra gambar
Bedjo Riyanto, “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main-main; Wong Cilik
dalam Ruang Imajiner Iklan” dalam Budi Susanto, S.J. (ed.), 2003, Identitas dan
Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 57.
3
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang bergerak membentuk suatu kenyataan lain dengan tata cara dan logikanya
sendiri.4
Gambaran mengenai kebaruan dan modernisasi bukan hanya muncul
menggunakan
narasi persuasif sebagai bujuk rayu konsumsi produk yang
ditawarkan, tetapi juga melalui lekuk tubuh perempuan selaku model iklan. Siasat
demikian adalah potret baru dalam periklanan karena tubuh yang semula menjadi
milik seorang (private) mulai bergeser sebagai obyek tontonan publik. Salah satu
pemiliknya adalah iklan pembalut yang menjadi sasaran penelitian.
Majalah Femina terbitan tahun 1977 telah memuat sebuah iklan pembalut
merk Starlet hasil produksi perusahaan The Univenus Co. Baik produsen maupun
perusahaan periklanan memiliki cita-cita yang sama agar iklan pembalut tepat sasaran
menuju perempuan sebagai tujuan konsumen. Oleh karena itu terbitnya majalah
perempuan tentu membuka akses dari proses distribusi perusahaan-perusahaan
dengan memanfaatkan halaman-halaman iklan sebagai media promosi.
Perempuan dan gerakannya sempat tumbuh subur di ladang kepemimpinan
Sukarno. Namun era Soeharto membangun kekuasaannya berpondasikan disiplin dan
represi jantan ala militer sehingga citra perempuan mengalami rekonstruksi ulang.5
Melalui iklan, misalnya, perempuan adalah kaum marjinal berkat adanya sistem dan
struktur sosial-ekonomi kapitalisme yang menempatkannya pada posisi lemah.
4
Ibid, hlm. 60.
5
Saskia E. Wieringa, 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Jakarta: Galang Press, hlm. xlv.
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perempuan mengonsumsi citranya sendiri yang didesain oleh pihak produsen melalui
barang-barang komoditi. Jumlah perempuan yang tinggi menjadi lahan subur
periklanan, hal ini terlihat dari data demografi sebagai berikut.
Berdasarkan hasil sensus tahun 1980 tercatat penduduk Indonesia berjumlah
146, 9 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1990, yaitu 178,6 juta jiwa
dan 205,1 juta jiwa di tahun 2000.6 Maka dapat diperkirakan bahwa laju pertumbuhan
penduduk Indonesia antara tahun 1980 hingga 2000 sebesar 1,73 % per sepuluh
tahunnya. Sementara untuk jenis kelamin tercatat bahwa di tahun 1995 jumlah
perempuan sebesar 4,56 juta dan laki-laki sebanyak 4,6 juta.7 Dalam perhitungan seks
ratio diketahui jumlahnya mengalami kenaikan mulai tahun 1980 ketika setiap 100
orang perempuan terdapat 101 orang laki-laki.8 Meskipun jumlah kedua jenis kelamin
berselisih sedikit namun pada praktik sehari-hari kaum perempuan masih
mendominasi sebagai sasaran konsumsi dan obyek tontonan.
B.
Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Pertumbuhan periklanan di Indonesia mulai bangkit pada awal tahun 1970
seiring dengan dibukanya gerbang perekonomian bagi masuknya modal dan investasi
asing. Salah satu pelanggan periklanan adalah produk pembalut. Iklan pembalut tentu
6
Dikutip dari www.bps.go.id, diakses pada tanggal 28 Agustus 2015.
Peter Hagul, 1998, “Wanita Pemburu Cinta di Rubrik Jodoh” dalam Idi Subandy
Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media; Konstruksi Ideologi Gender dalam
Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 392.
7
8
www.bps.go.id, loc.cit.
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berfungsi untuk menarik perhatian para perempuan sehingga berkeinginan membeli
dan terus
menggunakannya. Akan tetapi pada kehadirannya kekuatan promosi
menempatkan tabu menstruasi yang berkembang dalam masyarakat sebagai bagian
dari iklan. Oleh karena itu obyek penelitian visualisasi iklan yang berkembang seiring
berjalannya pembangunan dan modernisasi adalah dengan menggunakan iklan-iklan
pembalut dalam majalah-majalah perempuan edaran tahun 1977 hingga 2000. Selain
itu juga menyertakan pertanyaan mengenai siapa sang tokoh utama, bagaimana pose
tubuh model, apa saja teks bernada persuasif dan pelbagai warna di dalam iklan
pembalut sehingga dapat menemukan gambaran mengenai kehidupan perempuan.
2. Pembatasan Masalah
Sebagai wilayah penelitian akan dibatasi pada pilihan dua majalah yang
telah terlibat di dalam arus perekonomian sejak tahun 1977, yaitu Femina dan Gadis.
Agar penelitian lebih terarah konteks waktu akan dibatasi hingga tahun 2000 karena
usai periode tersebut iklan pembalut mulai mengalami perubahan tampilan desain
yang lebih kreatif dan menggunakan media televisi sehingga cakupan penonton
menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada perempuan.
C.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas maka diajukan tiga pertanyaan sebagai fokus
penelitian, yakni:
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.
Bagaimana konteks ekonomi, sosial dan politik yang melatarbelakangi
penerbitan iklan pembalut periode 1977-2000?
2.
Siapa saja pembaca majalah Femina dan Gadis?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan visualisasi iklan pembalut di
majalah Femina dan Gadis periode 1977-2000?
4.
Bagaimana sejarah citra perempuan pada periode 1977-2000
digambarkan dalam iklan pembalut pada majalah Femina dan Gadis?
D.
Tujuan Penelitian
1.
Memenuhi persyaratan kelulusan sarjana di Jurusan Sejarah,
Universitas Sanata Dharma.
2.
Mendokumentasikan bentuk-bentuk visual, kreatif dan simbol dalam
perkembangan visualisasi iklan pembalut yang dimuat di majalah
wanita Femina dan Gadis edaran antara tahun 1977 hingga 2000.
3.
Merekonstruksikan
perubahan
kehidupan
perempuan
melalui
penggambaran dan perkembangan visualisasi iklan-iklan pembalut.
E.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru
mengenai sejarah perempuan dalam masyarakat modern Indonesia. Dalam hal ini
terutama penulisan sejarah yang berkaitan dengan bagaimana iklan mengkonstruksi
citra terhadap perempuan. Di sisi lain hasil penelitian juga diharapkan dapat
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendorong penelitian berikutnya bagi siapa saja yang beminat meneliti tema
perempuan sehingga memberikan keseimbangan dalam penulisan sejarah bahwa
masa lalu adalah milik perempuan dan laki-laki.9
F.
Kajian Pustaka
Ada beberapa penulisan terkait yang bertema sama. Dalam artikel berjudul
“Mengeruk Keuntungan dari Kutukan; Iklan dan Pelbagai Hal yang Dianggap Tabu
Ketika Menstruasi” karya Ann Treneman yang dimuat di dalam buku Tatapan
Perempuan; Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer berargumen bahwa iklan
berperan penting dalam kelanggengan tabu menstruasi yang menyelimuti kehidupan
perempuan karena citarasa para perancangnya terletak pada “rasa malu” dan “aroma
terlarang”.10 Tema serupa namun dengan pendekatan ilmu berbeda, seorang
antropolog Janet Hoskins pernah menyambangi dua desa berbeda di wilayah Pulau
Seram dan Pulau Sumba, Indonesia bagian Timur untuk mengamati adanya bentukbentuk terlarang kehadiran menstruasi. Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan
dalam jurnal Ethnology berjudul “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two
Eastern Indonesian Societies”.11
9
Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 99.
10
Lorraine Gamman dan Margaret Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan:
Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra.
Janet Hoskins, 2002, “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two Eastern
Indonesian Societies”, Ethnology, Vol. 41, No. 4, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond
Menstruation as Pollution.
11
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Outward Appearances, merupakan kumpulan tulisan sejarah mengenai
penampilan luar seseorang yang berperan besar pada pergaulan sosialnya. Buku ini
disunting oleh Henk Schulte Nordholt dengan kontribusi dari berbagai penulis
sejarah, baik dalam maupun luar negeri. Salah satu tulisan dalam buku berjudul
Pusaran Air dan Listrik; Modernitas di Hindia karya Henk Maier menjadi salah satu
tinjauan pustaka karena membongkar sebuah iklan Philips yang dibaca sebagai
penawaran baru mengenai hasrat modernitas terbatas di Hindia Belanda.12 Tulisan
berikutnya, yang berjudul “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Identitas dan
Postkolonialitas di Indonesia” dibahas mengenai sejarah iklan dan figur rakyat
digunakan baik sebagai pemeran utama ataupun sasaran konsumen dalam penawaran
produk-produk industri.13
Selain itu sebuah skripsi berjudul Perkembangan Kreativitas Desain Iklan
Rokok di Jawa Tahun 1930-1970an karya Yuhana Setianingrum, mahasiswa jurusan
Sejarah FIB UGM turut menjadi tinjauan pustaka dalam penulisan ini karena
memiliki tema serupa meskipun perbedaan jangkauan waktu. Salah satu sub-topik
dibahas mengenai bagaimana pencitraan tubuh perempuan digunakan dalam iklan
12
Henk Schulte Nordholt (ed.), 2005, Outward Appearances: Trend, Identitas,
Kepentingan, Yogyakarta: LKiS.
13
Budi Susanto, S.J. (ed.), 2003, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
rokok menjelang tahun 1970-an.14 Tinjauan pustaka bukan terbatas kepada buku
tetapi juga terbitan berkala, yaitu Jurnal Perempuan dan Prisma.
G.
Landasan Teori
Sebuah penulisan sejarah wajib memiliki teori pengetahuan, sama dengan
ilmu lainnya yang digunakan sebagai kaidah atau pegangan dalam menganalisis
permasalahan. Maka dalam penelitian ini akan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
cara membaca mitos, alur kehidupan dalam masyarakat kapitalisme dan
postfeminisme.
a. Mitos dan Abjeksi
Secara sederhana pengertian mitos menurut Roland Barthes adalah type of
speech atau salah satu tipe tuturan. Meskipun demikian bukan asal tipe tuturan karena
membutuhkan ideologi tertentu untuk menjadi mitos. Kini mitos bukan lagi cerita
mengenai dewa-dewi melainkan berwujud lebih bebas, misalnya teks atau gambar
yang harus dilihat menyeluruh karena mengandung pesan. Mitos merupakan
pengendali; mampu merubah sesuatu rekaan yang bersifat kultural dan historis
menjadi alamiah dan mudah dimengerti. 15
Dalam ilmu semiologi, yang mempelajari tanda dan penanda, Barthes
menggunakan mitos sebagai sistem. Barthes membagi mitos menjadi tiga bagian,
Yuhana Setianingrum, 2012, “Perkembangan Kreativitas Iklan Rokok di Jawa
Tahun 1930-1970an”, Skripsi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
14
15
Roland Barthes, 1991, Mythologies, New York: The Noonday Press.
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yaitu signifier (penanda-bentuk), signified (petanda-konsep) dan sign (tandapemaknaan). Membaca mitos sifatnya arbitrer dan dapat bermakna konotasi.
Pasalnya, mitos mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Oleh
karena itu, mitos bukanlah tanda yang bersifat netral melainkan penanda supaya
memainkan ideologi tertentu. Selain itu mitos merupakan tuturan yang didepolitisasi,
artinya jauh dari hal-hal bersifat politis. Maka penguasa cenderung menciptakan dan
menggunakan mitos untuk melegitimasi dirinya sebagai pemilik segala-galanya.
Salah satu mitos yang digunakan untuk menomorsatukan penciptanya dan
menyingkirkan lawannya adalah abjeksi. Julia Kristeva mengatakan bahwa abjeksi
adalah it is something rejected from which one does no part, from which one does not
protect oneself as from an abject.16 Abjeksi berarti mendiskreditkan dan
mengobyekkan seseorang menjadi sesuatu yang menjijikkan.17 Guna menjaga
kelangsungan hidup sang subjek maka abjeksi dibutuhkan karena dianggap dapat
mengganggu tatanan simbolik. Kristeva membagi dua jenis abjeksi yang polutan,
yakni excremental (berupa airmata dan sperma) dan menstrual. Menstruasi adalah
pengalaman alamiah dan spesifik, artinya hanya dimiliki oleh perempuan. Namun
oleh khalayak umum kehadirannya diisolasikan dengan “dibalut” sebuah produk
16
Julia Kristeva, 1982, Powers of Horror; An Essay on Abjection, New York: hlm.
4.
17
Christina Siwi Handayani, 2013, “Julia Kristeva: Kembalinya Eksistensi
Perempuan sebagai Subyek” dalam Subyek yang Dikekang: Pengantar ke Pemikiran Julia
Kristeva, Simone de Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas
Salihara-Hivos, hlm. 10.
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembalut, ataupun disamarkan melalui ilustrasi warna merah darah menjadi biru
dalam penayangan iklannya.
Dalam Powers of Horror; An Essay on Abjection, Kristeva mepaparkan
sebuah abjeksi terhadap tubuh perempuan. Hal ini berawal dari sifat maternal dari
tubuh perempuan yang melahirkan, memberi gizi, menyusui, memeluk dan mengasuh
anak. Ketika masa penyapihan tiba, anak harus membebaskan diri dari kemanjaan
tersebut untuk berhasil pindah menuju ruang sosial lebih luas atau dapat dipahami
sebagai dunia ayah. Maka tubuh perempuan menjadi fasilitas keberhasilan pemisahan
tersebut melalui cara abjeksi supaya anak menolak identifikasi narsis bersama ibunya
dan mendapatkan identitas maskulin dari ayahnya, apabila seorang anak laki-laki.
Sementara anak perempuan akan sulit meninggalkan tubuh ibunya karena harus
mengambil identitas feminin. Maka anak perempuan cenderung menyingkirkan dan
melupakan dengan cara menganggap bahwa tubuh ibunya telah lumpuh memberikan
gizi. Ketidaktertarikan anak perempuan terhadap tubuh ibunya pada masa dewasa
melanjutkan abjeksi yang telah lebih dahulu terjadi sehingga tanpa disadari
membentuk penolakan terhadap dirinya. Anak perempuan meyakini bahwa tubuh
miliknya dan perempuan-perempuan lainnya layak mengalami abjeksi.
b. Kapitalisme dan Budaya Populer
Dalam industri berbasis tradisional, aktifitas produksi selalu berdasarkan
pada hukum penawaran dan permintaan. Namun seiring dengan perkembangan
teknologi memicu aktifitas produksi meningkat lebih besar bahkan mengalami
pembalikan. Herbert Marcuse menjelaskannya sebagai one dimensional man, yaitu
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
suatu kondisi di wilayah industri kapitalis maju yang dengan sengaja menciptakan
kebutuhan supaya masyarakat bertindak konsumtif menghabiskan produksi barang
dan jasa. Artinya, kebutuhan bukan lagi bersifat individual melainkan telah
diciptakan secara massal sehingga masyarakat tidak lagi mampu mengajukan pilihan
sesuai dirinya.
Kondisi demikian memberi peluang terhadap media massa dalam
mempengaruhi, merangsang, membujuk dan ikut menciptakan kebutuhan baru. Salah
satunya melalui iklan, yang oleh para produsen bukan hanya berperan sebagai alat
memasarkan produk. Awalnya iklan memuat informasi mengenai tampilan dan fungsi
produk. Namun maraknya industrialisasi memicu iklan turut menampilkan berbagai
macam kebutuhan baru yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan demikian,
media massa benar-benar menerapkan fungsi edukasi yaitu memberitahu masyarakat
untuk bergerak melampaui batas kebutuhan fisik menuju keinginan-keinginan baru.
Masyarakat meyakini secara rasional, bahwa memenuhi keinginan-keinginan
irasional akan mendatangkan kebahagiaan, kenyamanan dan kenikmatan.
Wacana Angela McRobbie mengenai kapitalisme pada dasarnya serupa
dengan Marcuse bahwa liur, hasrat hingga mimpi seseorang merupakan ciptaan
industrialisasi.18 Konstruksi mengenai keidealan femininitas dan maskulinitas
merupakan ciptaan media massa. Dalam hal ini McRobbie lebih menitikberatkan
18
Disampaikan oleh Dewi Candraningrum dalam acara diskusi Great Thinkers:
Angela McRobbie: Postfeminism and Popular Culture, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah
Pascasarjana UGM.
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perjuangan dan kehidupan perempuan yang dibentuk oleh mesin kapitalisme melalui
media massa. Dalam situasi neoliberalisme media massa mendiskon perjuangan
perempuan yang dapat diamati dari iklan, artikel dalam majalah hingga penciptaan
istilah post-feminism, artinya perjuangan feminisme telah berakhir.
Hal tersebut terjadi bukan hanya sekali. Di Eropa, memasuki periode 1970an media massa memberikan porsi besar dalam peliputan mengenai kemajuan
perempuan. Namun pada periode 1980-an media massa secara masif menyatakan
bahwa kebahagiaan perempuan adalah saat mampu memasak, mengasuh anak dan
mementingkan keluarga meskipun memiliki karir cemerlang.19 McRobbie bersepakat
dengan Susan Faludi, yaitu menggunakan istilah double-entanglement untuk
menunjukkan bahwa media massa mampu membentuk perjuangan perempuan dan
gerakan feminisme melalui penawaran mengenai kesetaraan, pendidikan dan
lapangan pekerjaan serta partisipasi dalam konsumsi budaya populer. Dengan
demikian perempuan dibentuk bersikap individualis, lebih memperhatikan jumlah
kalori yang masuk ke dalam tubuhnya ketimbang mempedulikan situasi politik dan
perjuangan kelompok sesuai konten-konten dalam media massa.
H.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang dibagi menjadi empat
tahapan yaitu pemilihan topik, mencari dan mengumpulkan sumber (heuristik), kritik
19
Baca Gadis Arivia, 2016, makalah “Postfeminisme: Feminisme dalam Budaya
Konsumerisme” dalam acara diskusi Great Thinkers: Angela McRobbie: Postfeminism and
Popular Culture, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah Pascasarjana UGM: hlm. 3
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ekstern maupun intern, analisis dan interpretasi serta penulisan. Sementara itu
rancangan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian berupa deskriptif,
naratif dan analisis karena bertujuan merekonstruksi ulang lalu mendeskripsikannya
menjadi tulisan mengenai situasi atau kondisi yang terjadi melalui makna-makna
dalam iklan pembalut.
Acuan sumber pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu primer dan
sekunder. Menurut Helius Sjamsuddin sumber primer adalah bukti sezaman dengan
peristiwa yang terjadi.20 Penelitian ini melakukan heuristik sumber primer dengan
cara studi pustaka terhadap iklan-iklan serta konten dalam majalah (Femina dan
Gadis) serta berbagai artikel yang berkaitan pada majalah Tempo dan Gatra. Sumber
primer lainnya adalah hasil wawancara kepada perempuan dan laki-laki yang melihat
maupun membaca iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis edaran tahun
1977 hingga 2000, dilaksanakan di Yogyakarta, Solo serta Semarang. Selain itu studi
pustaka juga menggunakan Prisma dan Jurnal Perempuan, buku-buku, skripsi atau
tesis sejarah atau ilmu sosial lainnya maupun handout seminar mengenai perempuan,
menstruasi serta semiotika yang bertujuan agar penulisan ini dapat memberikan
informasi sebenar-benarnya. Berbagai data tersebut adalah sumber sekunder yang
ditulis berdasarkan sumber-sumber pertama. Lokasi studi pustaka dilakukan di
Perpustakaan Sanata Dharma, Perpustakaan Museum Pers Solo, Perpustakaan Kolese
Santo Ignatius, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan FIB-UGM, Perpustakaan
20
Helius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak,
hlm. 107.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kota Yogyakarta, Jogja Library Center, Taman Pustaka Arif Hakim dan
Perpustakaan DIY.
Penelitian dimulai dengan menentukan sumber sejarah, yaitu majalah
Femina dan Gadis. Penentuan sumber sejarah primer pertama jatuh terhadap Femina
dan Gadis karena keduanya merupakan pelopor majalah hiburan perempuan pada
periode pembangunan dan memiliki segmentasi pembaca yang berbeda sehingga
memungkinkan suatu perbandingan. Femina sebagai majalah hiburan bagi perempuan
dewasa tentu memiliki kekhasan dalam penyajian konten-kontennya. Demikian pula
dengan Gadis yang menyasar perempuan muda dengan muatan-muatan bertema
kehidupan remaja. Sesudah menentukan sumber sejarah, langkah berikutnya adalah
menelusuri dan memilah iklan-iklan pembalut yang terbit pada periode 1977-2000.
Pilihan sumber sejarah primer yang kedua adalah majalah Tempo dan Gatra.
Penelitian menggunakan majalah Tempo dan Gatra untuk memperoleh gambaran
kehidupan Indonesia periode 1977-2000 dalam bidang ekonomi, sosial dan politik,
budaya hingga perihal perempuan. Setelah proses mencari dan menilai berbagai
sumber,
langkah
berikutnya
adalah
menganalisa,
membandingkan
supaya
menemukan kesesuaian serta menyatukan antara data-data iklan dengan artikel-artikel
yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia. Langkah selanjutnya adalah
menyusun data menjadi tulisan dengan memperhatikan unsur kronologis, sistematis
dan masuk akal. Dalam proses ini turut menyertakan pembacaan terhadap berbagai
penulisan yang dimuat oleh Prisma, Jurnal Perempuan, skripsi ataupun tesis,
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
handout seminar dan buku-buku terkait dengan periode pembangunan Indonesia
1977-2000.
I.
Sistematika Penulisan
Penulisan akan diawali dengan Bab I yang mencakup pendahuluan berisi
latar belakang pemilihan topik, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan serta manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka berisi
sumber-sumber dalam penelitian hingga metode penelitian.
Selanjutnya di Bab II akan dimulai dengan latar belakang yang membahas
mengenai situasi ekonomi, politik, sosial maupun budaya di Indonesia pada tahun
1977 hingga 1985. Sesudah latar belakang, penjelasan mengenai iklan-iklan pembalut
dalam majalah Femina dan Gadis akan dipaparkan serta dikaitkan dengan situasi
yang tengah berkembang. Bagian akhir menjelaskan kesimpulan dari keseluruhan
penulisan Bab II.
Pada Bab III pun demikian. Pembahasan akan berlanjut kepada latar
belakang dan iklan-iklan pembalut dalam majalah Femina dan Gadis terbitan periode
1986-1993 serta keterkaitan keduanya. Di bagian akhir memaparkan kesimpulan dari
keseluruhan Bab III.
Berikutnya pada Bab IV, melanjutkan pembahasan periode 1993-2000. Bab
IV merupakan periode terpendek namun pembahasan yang lebih banyak karena pada
Indonesia tengah mengalami reformasi kepemimpinan sehingga mempengaruhi
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Di bagian akhir juga menjelaskan kesimpulan
dari penjelasan menyeluruh Bab IV.
Sebagai penutup, pada Bab V akan berisikan kesimpulan dari pokok
pembicaraan dari penulisan ini berdasarkan bab-bab sebelumnya.
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
CITRA PEREMPUAN MODERN PERIODE 1977-1985
Pemerintahan Soeharto menegaskan dirinya sebagai era modernisasi dan
negara pembangunan.21 Kata-kata kunci khas seperti pembangunan ekonomi,
Pancasila, stabilitas, Keluarga Berencana dan dwifungsi ABRI merupakan cerminan
atas hal tersebut. Dalam bab II berikut akan menggambarkan situasi negara Indonesia
dengan pemetaan mengerucut pada masing-masing sektor, mengenai perekonomian,
perkembangan politik dan sosial serta media massa yang
berimplikasi terhadap
kehidupan maupun gambaran perempuan periode 1970-an hingga tahun 1985.
A.
Latar Belakang
1. Pertumbuhan Perekonomian
Sejak Soeharto naik sebagai presiden di tahun 1966 pembangunan ekonomi
di Indonesia mulai memperlihatkan perubahan. Pada awal periode 1970-an eksplorasi
minyak menjadi arus utama perekonomian.22 Sebagai lembaga kunci perekonomian,
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) mematuhi anjuran IMF
(International Monatery Fund) dan IBRD (Bank Dunia) supaya memfasilitasi diri
Richard Robison, 1985, “Class, Capital and the State in New Order Indonesia”
dalam Richard Higgott dan Richard Robison (ed.), 1985, Southeast Asia: Essays in the
Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul, hlm. 307.
21
22
Pendapatan negara melonjak dari 66,5 milyar (19,7%) menjadi 957,2 milyar
(48,4%). Baca Richard Robison, op.cit, hlm. 118.
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terhadap masuknya modal asing. Sebetulnya, baik IMF ataupun Bank Dunia
merupakan lembaga moneter internasional yang dikuasai oleh negara-negara kapitalis
barat, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Jepang.23
Pemerintah mengalokasikan pinjaman luar negeri untuk membiayai dan
mengawasi kegiatan impor, meningkatkan proyek investasi serta merawat
infrastruktur negara.24 Selain itu pemerintah harus mampu menengahi kepentingan
bisnis domestik dan asing supaya tidak terjadi pergolakan.25 Negara membantu
pengusaha domestik untuk bangkit dengan membatasi atau bahkan menutup beberapa
investasi asing, seperti sektor transportasi dan komunikasi.
Sikap
demikian
merupakan
kebijakan
“ekonomi
Pancasila”,
yaitu
kapitalisme dengan energi kekuatan pasar bebas supaya menghasilkan pertumbuhan
maksimum, meskipun pada saat yang sama kepentingan keadilan sosial tetap
mengendalikannya.26 Meningkatnya pendapatan negara mempengaruhi pertumbuhan
Bedjo Riyanto, 2003, “Mempermainkan Realitas dalam Realitas Main-main:
Wong Cilik dalam Ruang Imajiner Iklan” dalam Budi Susanto, S.J. (ed), op.cit, hlm. 56.
23
24
Hasilnya, di tahun 1974 tingkat inflasi tahunan menurun menjadi 41% dari 600%
pada tahun 1965. Selain itu, sebanyak 15,5% sektor manufaktur bertumbuh setiap tahunnya.
Richard Robison, op.cit., hlm. 108. Baca juga M.C. Ricklefs, 2008, Sejarah Indonesia
Modern 1200-2008. Jakarta: Penerbit Serambi, hlm. 626. Bandingkan dengan Winarno Zain,
1986, “Pokok-pokok Masalah dan Pemikiran Mengenai Industrialisasi: Sebuah Tinjauan
Umum”, Prisma No. 1 Th. XV terbitan Januari 1986, hlm.14.
25
Strategi ini bertujuan supaya perusahaan-perusahaan nasional yang bergerak
dalam sektor-sektor serupa tetap terlindungi karena melibatkan pejabat pemerintah sebagai
pemilik modal.
26
Richard Robison, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta:
Komunitas Bambu, hlm. 105. Lihat juga Emil Salim, 1979, “Sistem Ekonomi Pancasila”,
Prisma No.5 Th. VIII terbitan Mei 1979, hlm. 3-9.
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
investasi, rata-rata 32% per tahunnya27 apalagi sejak pemerintah menerbitkan UU
PMA (Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri).28
2. Kehidupan Politik dan Sosial
Demi mewujudkan pembangunan ekonomi pemerintah membutuhkan
stabilitas secara politik dan sosial. Salah satu bentuknya, Soeharto menerapkan sikap
disiplin militer dalam kehidupan sipil, sehingga setiap bentuk perbedaan dan
keanekaragaman dipandang sebagai ancaman yang harus disimpan rapat agar tidak
memecah-belah keutuhan bangsa maupun negara.29 Maka terdapat tiga elemen
penting yang menyangga terselenggaranya stabilitas nasional, yaitu Pancasila, Golkar
serta aparat militer-kepolisian.
Berdasarkan uraian Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983,
pemerintah menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dijadikan
27
Dana yang masuk melalui investasi bertumbuh, dari Rp 160 miliar pada tahun
1970-1971 menjadi Rp 8 ribu miliar di tahun 1982-1983. Ibid., hlm. 140.
28
Pada tahun 1967 pemerintah menerbitkan Undang-undang Penanaman Modal
Asing (UU PMA), yang bertujuan mengatur hal-hal terkait jaminan nasionalisasi, masa kerja
perusahaan, perpajakan, pembebasan bea masuk impor mesin, dan otonomi dalam badan
usaha seperti perekrutan tenaga kerja ataupun pemindahan keuntungan kepada warga negara
Indonesia. Hasilnya perencanaan investasi domestik di Indonesia meningkat terus-menerus
hingga melebihi Rp 800 miliar pada tahun 1972. Setahun berikutnya giliran investor
domestik mendapatkan perhatian dengan dikeluarkannya UU PMDN (Undang-undang
Penanaman Modal Dalam Negeri) yang mengatur hal-hal serupa. Richard Robison, loc.cit.
Lihat laporan utama Tempo, 9 Desember 1972, “Kredit PMDN – Antara Koneksi dan
Investasi”, hlm. 45
29
Tamrin Amal Tomagola, 2006, Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book, hlm.
130.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
panutan.30 Bagi setiap insan manusia Indonesia, baik pelajar, pegawai, buruh hingga
seniman wajib mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4).31 Kedua, Golkar menjadi partai pemerintah yang menguasai perpolitikan
Indonesia. Pegawai negeri maupun pejabat tingkat desa hingga pusat wajib menjadi
anggota partai Golkar. Ketiga, pemerintah menambah keterlibatan aparat militerkepolisian beserta organisasi milisi dan kepemudaan yang mengandalkan sikap
intimidasi, seperti Pemuda Pancasila atau Pemuda Karya. Selain itu banyak pejabat
militer melakukan manipulasi kredit ekspor dan kontrak-kontrak negara untuk
berkongsi bersama pengusaha Tionghoa32. Berbagai ketimpangan ini mendapatkan
kritik keras dari kelompok terpelajar yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
a. Perlawanan Kaum Terpelajar
Kelompok pers dan mahasiswa mulai bergerak melancarkan kritik
berdasarkan tindak korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, maupun penyimpangan
moral. Mochtar Lubis melalui Indonesia Raya, mengkritik Ibnu Sutowo dan
30
GBHN Bab II memaparkan tujuan pembangunan nasional, yakni dengan
“mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. GBHN ’83.
Jakarta: hlm. 11.
31
Julia I. Suryakusuma, 2011, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan
Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 140.
32
Militer juga merambah wilayah kerjanya menuju desa-desa dengan munculnya
program aksi kewarganegaraan berjudul, “ABRI Masuk Desa”, yang bertujuan mendorong
dan mensukseskan pembangunan. Richard Robison, op.cit, hlm. 199. Lihat juga tulisan Teruo
Sekimoto, 2005, “Pakaian Seragam dan Pagar Beton: Mendadani Desa pada masa Orde Baru
Tahun 1970-an” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit, hlm. 449-494.
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertamina di awal tahun 1970.33 Kemudian antara tahun 1970-1973 surat kabar
Nusantara secara rutin mewartakan berita persekutuan pemodal asing dan pengusaha
domestik yang memperoleh perlindungan politik dari para pejabat pemerintahan.34
Bulan Januari 1972, kelompok mahasiswa menggelar demonstrasi “AntiMini” untuk memprotes rencana pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
yang digagas oleh Tien Soeharto karena dianggap sebagai pemborosan dan sembrono,
bahkan mengabaikan kehidupan rakyat miskin.35 Sebagai akibatnya, pemerintah
melakukan tindakan keras dengan menangkapi para pemimpin demonstran.36
Tindakan serupa kembali terulang pada para pemimpin unjuk rasa yang dituduh
terlibat dalam Malari.37 Beberapa koran kritis, seperti Pedoman, Indonesia Raya,
Suluh Berita serta Abadi yang memuat pemberitaan Malari bahkan ikut terkena
imbasnya, yaitu tutup usia secara paksa dengan dugaan memprovokasi pendemo.38
Tindakan otoriter Soeharto untuk mencapai kesuksesan pembangunan juga
terlihat dalam berbagai kebijakannya terhadap perempuan. Persoalan perempuan
33
Richard Robison, op.cit., hlm 125.
34
Ibid., hlm. 81.
Lihat laporan akhir tahun “Indonesia: Konflik dalam Hajad dan Hambatan”
dalam Tempo, 30 Desember 1972, hlm. 5. Bandingkan dengan Richard Robison, op.cit, hlm.
125.
35
36
Ibid.
37
Beredarnya isu anti-Cina merupakan awal dari Malari. Ketika kerusuhan pecah,
Jakarta penuh dengan pembakaran kendaraan bermotor dan puluhan gedung serta penjarahan
toko-toko berisi produk Jepang. Lihat M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 619.
38
Richard Robison, op.cit., hlm. 128.
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merupakan bagian integral dari masyarakat, yang mendasar dan tidak terpisahkan.39
Pada bagian selanjutnya akan membahas kehidupan perempuan Indonesia dalam
kondisi sosial politik di awal pemerintahan Soeharto.
b. Kehidupan Perempuan
Jumlah populasi perempuan pada tahun 1977 tercatat lebih banyak
ketimbang laki-laki, yaitu 67 juta orang. Sementara itu populasi laki-laki berjumlah
64 juta orang. Hingga tahun-tahun berikutnya, baik jumlah populasi perempuan
maupun laki-laki terus mengalami pertambahan. Namun hasil laporan tersebut tidak
berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja perempuan, yang masih kalah berebut
peluang kerja dengan laki-laki.
Komposisi jumlah perempuan dalam dunia kerja berbanding terbalik dari
populasi keseluruhan. Laporan Biro Pusat Statistik 1976 mengungkapkan bahwa
jumlah pekerja perempuan jauh lebih sedikit, hanya sebesar 28 ribu orang sementara
laki-laki 118 ribu orang. Apabila bekerja perempuan dikenal berupah murah, loyal,
disiplin, tanpa banyak protes, walaupun memiliki ketelitian yang lebih baik bila
dibandingkan dengan laki-laki. Hingga tahun 1985 upah pekerja perempuan tercatat
hanya Rp 1.290, sementara laki-laki lebih besar, yaitu Rp 1.722.
Mengutip pernyataan Heidi Hartmann, “the resulting mutual accommodation
between patriarchy and capitalism has created a vicous circle for women”.40
Julia I. Suryakusuma, 1981, “Wanita dalam Mitos, Realitas, dan Emansipasi”,
Prisma No. 7 Th. X terbitan Juli 1981, hlm. 3.
39
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kapitalisme kerap mengkampanyekan penghapusan diskriminasi upah antara
perempuan dan laki-laki namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Rendahnya
gaji perempuan merupakan keuntungan bagi kapitalisme. Pertama, perempuan akan
terdorong memilih untuk menikah dan menggantungkan dirinya terhadap laki-laki.
Kedua, ketika perempuan memutuskan menikah maka balasannya terhadap suami
adalah menampilkan peran sebagai pengemban tugas domestik yang mengurangi
porsinya bekerja di publik. Maka laki-laki mendapatkan dua keuntungan sekaligus
dari proses tersebut, yaitu gaji tinggi dan kekekalan pembagian kerja domestik yang
porsinya lebih besar oleh perempuan. Keberhasilan skenario kapitalisme tersebut
dengan mudah menempatkan perempuan sebagai konsumen, bersikap pasif dan
menelan segala produk industri.
Pada tahun 1974 pemerintah menerbitkan Undang-undang Perkawinan yang
menegaskan asas monogami untuk mempersulit poligami meskipun agama Islam
memperbolehkannya. Namun dalam pasal 31 menegaskan bahwa suami adalah
kepala keluarga dan isteri berkewajiban sebagai ibu rumah tangga. Pembagian tugas
gender ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan harus mengenakan
embel-embel pendamping suami sehingga cenderung lemah mengambil keputusan,
bahkan termasuk kuasa tubuhnya. Dalam kurun waktu 20 tahun program Keluarga
Berencana berhasil mengurangi laju pertumbuhan penduduk dari 2,32% di tahun
40
Heidi Hartmann, 1976, “Capitalism, Patriarchy and Job Segregation by Sex”,
Jurnal Signs, Vol. 1, No. 3, Women and The Workplace: The Implications of Occupational
Segregation, Chicago: The University of Chicago Press, hlm. 139.
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1960-an menjadi 1,97% pada tahun 1980-an41, meskipun kenyataannya memberatkan
pihak perempuan. Alih-alih mensosialisasikan metode pencegahan kehamilan secara
alami menggunakan penanggalan masa subur, pemerintah justru siap siaga
menyediakan jumlah alat kontrasepsi berupa pil dan I.U.D (spiral) lebih banyak
ketimbang kondom.42 Sementara itu perlindungan hak perempuan dalam bekerja
belum mendapatkan jaminan oleh undang-undang.43 Hal ini mencerminkan bahwa
perempuan belum mendapatkan perlindungan hukum sepenuhnya dan masih berada
pada posisi subordinat. Peran perempuan tidak lebih sebagai pendamping suami,
pengatur rumah tangga serta pengasuh anak karena hanya dalam status perkawinan
negara mengakui hak dan keberadaannya.
41
M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 634.
42
Sebuah data statistik menunjukkan bahwa pada periode 1978-1982 penyediaan
alat kontrasepsi I.U.D (spiral) memiliki jumlah terbanyak, yakni 962,410 ribu. Urutan kedua
adalah pil, yang jumlahnya mencapai 231,831 ribu. Sementara kondom hanya tersedia dalam
jumlah 1.021 buah. Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
hlm. 112-113.
43
Hal ini justru merupakan kemunduran, karena di tahun 1961 pada Kongres
Gerwani IV telah diusulkan undang-undang mengenai hak perempuan, salah satunya adalah
kenaikan upah kerja perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Saskia E. Wieringa,
1999, op.cit, hlm. 331. Sementara itu, Undang-undang perlindungan terhadap perempuan
dalam dunia kerja mengenai cuti hamil dan menstruasi terbit kembali di tahun 2003. Pada
tahun 1948 UU Perlindungan terhadap Perempuan pernah diterbitkan,yang isinya melarang
aktivitas bekerja di malam hari kecuali menurut sifatnya dan memberikan kelonggaran
bekerja ketika menstruasi hari pertama dan kedua. Namun pada masa pemerintahan Soeharto
UU tersebut mengalami disfungsi.
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pembangunan seyogyanya merupakan proses menyejahterakan, namun 40%
penduduk Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan.44 Di lingkungan pedesaan
perempuan yang sebelumnya aktif bekerja dalam pertanian sebagai penanam benih
padi, pemanen, maupun penumbuk gabah harus berhenti seiring lahirnya kebijakan
Revolusi Hijau. Sistem dan pengoperasian mesin pertanian lebih mengutamakan
keahlian dari laki-laki. Selain menghadapi masalah kemiskinan, perempuan desa juga
harus menerima kenyataan mengenai minimnya peluang kerja dan upah yang
diterima akibat adanya mekanisasi teknologi pertanian.
Pada masyarakat perkotaan, pembangunan membawa perubahan dengan
mengalirnya nilai-nilai Barat, misalnya melalui pendidikan dan bahasa asing yang
disahkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di bangku sekolah. Perempuan
golongan menengah atas mampu mengakses pendidikan sehingga memiliki kesadaran
untuk mengembangkan diri dan berkesempatan mendapatkan pekerjaan dalam
berbagai bidang. Di Asia Tenggara laki-laki menguasai kantor-kantor pemerintahan
dan militer namun perdagangan terbuka bagi perempuan, seperti isteri-isteri pejabat
pemerintah di Jakarta mengurusi pertokoan atau berbisnis batu mulia.
Peningkatan pembangunan ekonomi yang didukung oleh curahan dana dari
IMF dan Bank Dunia memacu pertumbuhan dunia periklanan sebagai sarana promosi
produk-produk industri . Di sisi lain, stabilitas nasional yang menggunakan tindakan
Irene Tinker, 1975, “Pengaruh Pembangunan yang Merugikan Kaum Wanita”,
Prisma No. 5 terbitan Oktober 1975, hlm. 33.
44
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
represif dan kontrol berlebih juga berlaku untuk media massa. Berikut ini pemaparan
perkembangan media massa pada era Soeharto.
3.
Perkembangan Pers
Dengan menggunakan kata sakti “Pancasila” yang berlaku sebagai asas
tunggal, pemerintah menyihir kehidupan pers nasional untuk tetap bertekuk lutut
patuh. Pasal 11 Undang-undang Pokok Pers No. 11/1966 menyebutkan bahwa
penerbitan pers yang bertentangan dengan ideologi Pancasila seperti halnya paham
komunisme atau Marxisme-Leninisme dilarang. Usai tragedi 1 Oktober 1965
pemerintah melarang 43 dari 165 koran untuk terbit dalam waktu tidak ditentukan
karena dianggap berkaitan dengan PKI ataupun sekutu45, seperti Wanita Sedar dan
Harian Rakjat. Sementara bagi pers yang siap sedia mendukung pemerintahan
Soeharto, seperti halnya Angkatan Bersenjata, Pikiran Rakyat (Bandung), Berita
Yudha (Jakarta) milik Angkatan Darat dan sejumlah pers berbasis kelompok
mahasiswa pro-rezim, misalnya Mahasiswa Bandung (Bandung) serta Harian Kami
(Jakarta) masih dapat bertahan hidup.
Kasus-kasus pembredelan pers dan pelarangan terbit suatu artikel lebih
kepada persoalan politis, misalnya Newsweek yang berani menurunkan liputan
mengenai korupsi dalam tubuh istana kepresidenan, bahkan secara khusus menyebut
nama Soeharto, Ibu Tien, dan putra tertua mereka, Sigit Haryoyudanto terpaksa harus
45
David T. Hill, 2011, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar
Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor, hlm. 125.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hilang dari peredaran di tahun 1976.46 Bulan Mei 1984 pemerintah kembali
membredel tiga majalah sekaligus sebagai akibat dari penurunan berita mengenai
orang-orang elite kaya Indonesia beserta para cukongnya.47
Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat dua elemen penting yang
menopang perkembangan pers Indonesia, yaitu majalah perempuan dan iklan. Kedua
elemen tersebut menjadi fokus pembahasan dalam karya penelitian ini. Berikut
penjelasan singkat mengenai majalah perempuan dan iklan yang beredar di Indonesia.
a. Majalah Perempuan
Menjelang dekade 70-an beberapa majalah perempuan mulai terbit,
diantaranya Model, Matra, Pertiwi, Gadis, Femina dan Gadis. Majalah perempuan
Indonesia merupakan gejala urban kelas menengah atas, yang tidak mampu dicapai
oleh petani atau buruh.48 Meskipun demikian pada laporan BPS tahun 1983
menunjukkan bahwa jumlah buta huruf terbesar dialami oleh laki-laki, sebanyak 26
ribu orang sementara perempuan hanya 3.000 orang.
Penelitian ini menggunakan dua majalah perempuan yang menjadi pelopor
dalam perkembangan pers perempuan pada tahun 1970-an, yaitu Femina dan Gadis.
Baik Femina maupun Gadis mampu menyajikan informasi seputar gaya hidup atau
karir, yang dibutuhkan oleh perempuan sebagai penunjang keeksistensian dan juga
46
M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 628.
47
op.cit, hlm. 650.
Julia I. Suryakusuma, 1998, “Beban Muskil Majalah Wanita” dalam Idi Subandy
Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam
Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 113.
48
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sarana agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan. Akibat sikap
pemerintah yang meminggirkan perempuan supaya jauh dari arena politik dan
mengembalikan ke dalam ranah domestik atau keluarga maka muncul sebuah
kesadaran baru mengenai hayat sadar sebagai pribadi.49
Femina,
mulai
terbit
pada
18
September
1972.
Pihak
penerbit
mengungkapkan motivasi di balik lahirnya Femina berawal dari kegusaran para
pendirinya karena pembaca perempuan hanya bisa mengakses bacaan majalahmajalah terbitan luar negeri yang sesungguhnya tidak sesuai dengan konteks
kehidupan masyarakat Indonesia.50 Ketika awal mula terbit Femina membanderol
harga Rp. 125-, untuk sekitar 44 halaman dengan sampul berwarna. Femina memuat
banyak hal mengenai kehidupan perempuan Indonesia modern, mulai dari gaya
hidup, karier, kesehatan, kuliner, kecantikan, artikel berita tentang selebritis, berbagai
tips, fashion, keuangan hingga cerpen atau cerbung. Myra Sidharta berpendapat
bahwa majalah perempuan mempunyai tugas khusus, yakni menciptakan dunia yang
khas bagi perempuan.51 Sejak awal penerbitan Femina membidik ibu muda dan
49
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008, Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa
Bangsa, Jakarta: I:Boekoe, hlm. 21.
50
Ibid, hlm. 229-230.
Myra M. Sidharta, 1998, “Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan”
dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 117.
51
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perempuan dewasa sebagai sasaran pembaca, meskipun terbatas pada kaum
menengah Indonesia.52
Selain Femina PT Dian Rakyat juga mencetak majalah Gadis yang ditujukan
bagi remaja putri. Misi Gadis adalah menjadi media yang mampu mengalirkan
informasi kepada remaja dalam tahap berkembang menuju dewasa.53 Pia Alisjahbana
yang tercantum dalam awak redaksi mengungkapkan bahwa Gadis “menjual mimpi,
setuju atau tidak, kami menjual mimpi”.54 Untuk satu eksemplar majalah para remaja
putri tahun 1973 mampu mendapatkannya dengan harga Rp. 150,-. Ketika awal
penerbitan konten dari majalah Gadis umumnya adalah berbagai artikel praktis yang
mengajarkan ketrampilan.55
Meskipun berbeda segmentasinya namun keduanya tetap menjadi majalah
perempuan yang populer hingga kini. Femina, yang mendapat julukan sebagai “Ratu
Majalah Perempuan Indonesia”, tidak hanya mampu memikat pembaca tetapi juga
para pengusaha sebagai media periklanan. Mengutip pernyataan Julia I. Suryakusuma
52
Jumlah pendapatan iklan Femina kian meningkat, mulai dari 5.284 juta rupiah di
tahun 1988 menjadi 13.194 juta rupiah pada tahun 1993. David T. Hill, 2011, Pers di Masa
Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 216.
Meskipun berjudul “Gadis” namun sesekali dalam majalah memuat artikel yang
berkaitan dengan laki-laki, seperti gaya rambut, dan model sampul seorang remaja putra
53
54
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, op.cit, hlm. 234.
55
Serupa halnya dengan Femina, majalah Gadis menuai untung dari pendapatan
iklan. Dalam kurun periode 1988-1993 redaksi Gadis mampu meraup 17.664 juta rupiah.
David T.Hill, loc.cit.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa “majalah perempuan membutuhkan iklan untuk menghidupi dirinya”.56
Jumlah nominal iklan yang masuk sebesar Rp. 0,5 miliar per nomor. 57 Gadis, yang
dipuja sebagai role mode bagi remaja putri Indonesia pun tidak jauh berbeda.
Beragam rubrik dan iklan turut menjejali majalah yang terbit rata-rata sekitar 132
halaman.58
b. Iklan
Di Indonesia pembangunan ekonomi membuahkan kelas menengah yang
materialistis dan apolitis.59 Masyarakat mulai menilai ukuran rendah-tingginya status
sosial berdasarkan konsumsi barang hasil industri dan jenis profesi. Salah satu wujud
materialistis dan apolistis dapat kita amati dalam iklan rokok Ardath yang
menggambarkan kesuksesan dengan slogan “kenikmatan sukses, kenikmatan
Ardath”.60
Iklan rokok Ardath memuat empat foto berbeda yang menceritakan
keseharian seorang laki-laki. Melihat penampilan figur yang menggunakan setelan ala
56
Julia I. Suryakusuma, 1998, op.cit, hlm. 112.
57
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, loc.cit.
58
Ibid, hlm. 233.
59
Apolistis merupakan padanan kata dari apolitical yang berarti tidak memiliki
ketertarikan kepada politik. Julia I. Suryakusuma, 1998, loc.cit.
60
Femina No. 172 terbitan 4 Desember 1979, hlm. 38. Lihat gambar 1.
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Barat ataupun kemeja batik mengungkapkan identitas kelas sosial atas.61 Pada salah
satu foto mempertontonkan kegiatan bersantainya dengan berkuda bersama seorang
perempuan, yang tak kalah suksesnya karena mengenakan subang emas pada
telinganya.
Gambar 1. Ardath (Sumber: Femina 1979)
61
Meskipun mengenakan kemeja batik, sosok laki-laki dalam iklan tetap nampak
berkelas. Awal 1970-an, Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai walikota Jakarta mulai
memperkenalkan kemeja batik sebagai alternatif pengganti setelan Barat, yakni berupa
kelengkapan jas dan dasi. Untuk wilayah yang beriklim panas dan lembab, kemeja batik
memang lebih cocok pun sekaligus lebih terjangkau harganya. Saran tersebut ditujukan
kepada para pegawai negeri, yang umumnya berada dalam kelas menengah Indonesia. Kees
van Dijk, 2005, “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan
Diskriminasi” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), op.cit, hlm. 108.
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Antara tahun 1967-1972 menjadi pertanda modernisasi periklanan (modern
advertising).62 Menurut Giaccardi, dikutip oleh Bedjo Riyanto dalam Mempermainkan
Realitas dalam Realitas Main-main, iklan merupakan suatu diskursus tentang realitas
yang menggambarkan, menstimulasi dan memproyeksikan hiperealistik dari dunia
mimpi.63 Setiap iklan pasti memiliki muatan kalimat persuasif dengan dilengkapi oleh
figur idola yang memperagakan pose menarik serta berbagai pilihan warna untuk
memperindah. Namun faktor yang menjual bukanlah semata-mata nilai atau fungsi
suatu produk melainkan peran sekundernya yakni citra, harapan, impian, prestis,
status atau bahkan eksploitasi ketakutan para konsumen mengenai kehidupan
sosialnya.64
B.
Kemasan Pers Perempuan
Peran pers semestinya menjadi wadah untuk menunjukkan persoalanpersoalan perempuan yang tengah dihadapi.65 Namun masa pembangunan justru
Femina No. 09/XX 27 Februari – 9 Maret 1992, hlm. 12 memuat sebuah kolom
berjudul “Bisa-bisa konsumen malah stop membeli” karya Drs. Sartomo Mukadis mengenai
komentarnya terhadap iklan-iklan televisi termutakhir yang dianggap “semakin berani”,
misalnya menampilkan tubuh mulus perempuan. Modern advertising merupakan revolusi
baru dalam periklanan karena dirancang dengan menggunakan objek dan strategi yang
bertujuan menarik pikiran, perasaan, serta aksi dari konsumen meskipun tidak sesuai atas
esensi produk.
62
63
Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 23.
64
Ibid.
65
Pada tahun 1935 Cor Razoux Schultz-Metzer terpilih sebagai anggota Dewan
Rakyat, yang spontan mengundang reaksi dari rakyat Hindia-Belanda. Beberapa jurnalis
bahkan mengkritik supaya perempuan pribumi pun dapat masuk sebagai nominasi pemilihan
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memunculkan domestikasi terhadap pers perempuan, wujudnya bukan hanya
mengenai tulisan yang membahas rumah tangga atau keluarga melainkan juga
merupakan ideologi dan sikap.66 Isi majalah perempuan, terutama bersifat hiburan
dan gaya hidup, terus-menerus memproduksi artikel mengenai panduan memilih
summer dress, ragam batu mulia, atau bagaimana menghadapi bos yang terkenal
galak di kantor. Pembahasan mengenai gaya hidup dalam majalah perempuan secara
perlahan mempengaruhi dan membentuk pola pikir maupun persepsi pembacanya.
Masyarakat menjadi pasif dan mengamini apa yang dianggap “ideal” untuk sosok
perempuan
sesuai
dengan
gambaran
dalam
majalah.
Majalah
perempuan
merekonstruksi kriteria perempuan cantik sebagai putih, tanpa jerawat ataupun tidak
menampakkan kerutan. Maka perempuan yang menampik keidealan-keidealan
tersebut terkategori menjadi tidak cantik. Penelitian LP3Y (Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Penerbitan Yogya) menyatakan bahwa banyak dari pers perempuan
justru mengekalkan stereotype lama dan membentuk yang baru, seperti laki-laki
maskulin sementara perempuan feminin.67
Dewan Rakyat. Lihat Elsbeth Locher-Scholten, 2000, Women and The Colonial State: Essays
in Gender and Modernity in The Netherland Indies 1900-1942, Amsterdam: Amsterdam
University Press, hlm. 167.
66
Julia I. Suryakusuma, op.cit., hlm. 113.
Luviana, 2007, “Identitas Perempuan dalam Koran dan Majalah”, Jurnal
Perempuan No. 52 terbitan Maret 2007, hlm. 54.
67
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.
Ragam Iklan Produk Perempuan
Sebelum masuk kepada pembahasan iklan pembalut, pada bagian ini
menghadirkan dua pariwara yang memuat perempuan sebagai model. Iklan pertama
adalah sabun Lux yang menempatkan Sophia Loren sebagai figur. Sebagai seorang
aktris Italia yang membintangi iklan sabun kecantikan, Loren berujar, “alasanku
memakai Lux? Agar kulitku halus dan lembut”.68
Iklan menonjolkan aspek kecantikan sebagai keunggulan dan keidealan
perempuan, yang bergantung pada aspek biologis dan sifatnya kodrati, meliputi
tubuh, wajah, leher jenjang, kulit halus, bentuk payudara atau pinggul, serta betis.
Iklan Lux merupakan satu di antara 103 halaman pariwara produk kosmetik lainnya
yang beredar pada periode 1979-1980. Iklan-iklan produk kosmetik tersebut
merekonstruksi gambaran kecantikan yang baru bagi perempuan, layaknya Loren
dengan memiliki kulit halus dan lembut. 69
68
Gadis No. 16 terbitan16-25 Juni 1980, hlm. 2. Lihat gambar 2.
69
Jumlah iklan sebanyak 103 didapatkan dari menghitung halaman-halaman
pariwara pada beberapa majalah yang terbit pada periode 1979-1980. Lihat Femina No. 173
terbitan 18 Desember 1979. Lihat juga Femina No. 183, 189, 191 terbitan tahun 1980.
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2. Lux (Sumber: Gadis 1980)
Selain itu slogan Lux sebagai “sabun kecantikan bintang-bintang film
internasional” adalah bagian penting dari proses pembentukan gambaran kemewahan
dan kecantikan, yang tentu saja mewah.70 Perancang iklan mencetak foto wajah
Sophia Loren berukuran besar, yang menampakkan ekspresi lugu namun tajam
memikat dengan riasan tebal pada daerah matanya dan bibir menganga. Pada
lehernya menggantung sebuah untaian mutiara butir kecil dan di telinganya
70
Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2003, Becoming White: Representasi Ras, Kelas,
Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 52.
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bertengger subang emas, yang menegaskan keberadaan dirinya sebagai seorang
bintang berkilau sesuai dengan kesan mewah sesungguhnya.
Kehadiran iklan-iklan produk yang mendayagunakan tubuh perempuan
berkaitan erat dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Ekonomi politik
kapitalisme mewujudkan rasionalitas baru mengenai nilai tukar abstrak yang
menggantikan manfaat. Hal ini turut menggeser fungsi tubuh perempuan secara
biologis ke arah ekonomi politik, yang menjadi komoditi untuk diperjualbelikan
tanda, makna dan hasratnya.71
Dalam majalah Femina maupun Gadis, mudah menjumpai sosok perempuan
sebagai bintang utama iklan. Maka banyak produk yang bukan mengenai kecantikan
namun tetap menggunakan peran perempuan sebagai figur utamanya, seperti iklan
deterjen Dino.72 Pihak perancang iklan maupun majalah yang menerbitkannya
mengeksploitasi stereotype perempuan sebagai pemilik aktivitas mencuci.
Bukan hanya stereotype perempuan yang menjadi pelaris produk industri,
hal-hal kodrati pun mengalami nasib serupa. Bagian selanjutnya membahas beberapa
iklan pembalut yang dimuat pada periode 1977-1983. Iklan-iklan tersebut menjual
rasa malu perempuan mengenai menstruasi, yang hanya dapat teratasi dengan
menggunakan produk pembalut.
Yasraf Amir Piliang, 1998, “Masih Adakah „Aura‟ Wanita Di Balik „Euphoria‟
Media” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. xv.
71
72
Femina No. 173 terbitan Maret 1980, hlm. 25. Lihat gambar 3.
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 3. Deterjen Dino (Sumber: Femina 1980)
2.
Iklan Pembalut Periode 1977 – 1985
Sejak per tanggal 4 Desember 1976 Departemen Kesehatan mengeluarkan
larangan terkait peredaran dan penggunaan menstruation regulator (MR) karena
khawatir akan disalahgunakan sebagai alat untuk menggugurkan janin.73 Perubahan
tersebut semata-mata bukan karena pertimbangan terhadap kaum perempuan,
melainkan lebih kepada tujuan negara supaya mencapai ketertiban, pembinaan, dan
73
Menstruation regulator adalah obat yang berfungsi untuk mengatur siklus haid,
umumnya berbentuk pil atau sirup. Tempo No. 45/Tahun VI terbitan 8 Januari 1977, hlm. 39.
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
stabilitas.74 Di sisi lain, hilangnya produk MR semakin meningkatkan industri
pembalut.
Merebaknya industri pembalut menciptakan persaingan ketat untuk
memperebutkan pangsa pasar, maka para pengusaha berlomba memasarkan produk
melalui iklan. Mereka mendengar pemahaman masyarakat terhadap menstruasi
sebagai penyebab masalah,75 kemudian menciptakan pesan menyenangkan melalui
narasi persuasif, foto kreatif dan warna-warni dalam halaman iklan. Deretan simbol
yang menyiratkan “kebebasan”, “wanita aktif”, “tanpa susah” serta penggunaan
warna putih untuk menggantikan merahnya darah adalah kekhasan iklan pembalut.
a. Iklan Pembalut Tahun 1977
Dalam iklan terbitan Femina tahun 1977 muncul sosok perempuan yang
tengah berpose tangan kanan di kepala dan tangan kiri di pinggang. 76 Figur
perempuan mengenakan kemeja garis-garis, yang diikat pada ujung bawah terakhir
dan celana jeans potongan pendek tanpa retsleting tertutup sehingga memperlihatkan
bagian perutnya secara jelas. Di sebelah pose terselip teks berukuran besar berujar
“Baru! Starlet dari Intex”. Teks lainnya, “tanpa ikat pinggang... tanpa tali... tanpa
peniti... tanpa susah” berada di bawah pose persis. Sementara di bagian terbawah
74
Julia I. Suryakusuma, 2011, op.cit., hlm. 10.
Ann Treneman, 2010, “Mengeruk Keuntungan dari Kutukan; Iklan dan Pelbagai
Hal yang Dianggap Tabu Ketika Menstruasi” dalam Lorraine Gamman dan Margaret
Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan: Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer,
Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 236.
75
76
Femina No.102 terbitan tahun 1977, hlm 28. Lihat gambar 4.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
halaman, sebuah teks menegaskan hal lainnya, “pembalut modern untuk wanita
modern”. Kehadiran teks-teks tersebut bukan sekadar “menduplikasi” foto melainkan
untuk menegaskan seperangkat konotasi yang telah ada.77
Gambar 4. Starlet Intex (Sumber: Femina 1977)
Secara harfiah teks tersebut mencerminkan definisi produk bahwa pembalut
Starlet yang baru dan modern tidak menggunakan tali seperti duk. Dengan demikian
pembalut duk telah dinyatakan sebagai barang kuno yang seharusnya tidak digunakan
lagi di masa modern karena dapat menghambat “gerakan baru” perempuan, yaitu
77
Kris Budiman (ed.), 2002, Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai
Dekonstruksi, Yogyakarta: Penerbit Kanal, hlm. 101.
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bebas beraktifitas.78 Perempuan tidak lagi repot mencuci kain dan merasa takut jika
sewaktu-waktu pembalut dapat terlepas akibat tanpa adanya perekat. Penonton iklan
dapat membuktikannya dengan mengamati retsleting celana pendek yang terbuka dan
pose bebas oleh figur perempuan. Baik teks maupun foto saling menjelaskan
sehingga bila dipersatukan akan menghasilkan makna bahwa perempuan dapat
merasakan modernisasi dengan menggunakan Starlet. Modernisasi yang dimaksud
adalah teknologi pembalut dengan strip perekat tanpa bantuan tali sehingga menjamin
kebebasan bergerak bagi perempuan pemakainya.
Iklan pembalut dengan pose bebas tanpa hambatan rasa sakit mengadopsi
mitos bahwa ketika perempuan mengalami menstruasi ia tidak leluasa melakukan
aktivitas. Deborah Lupton mengungkapkan bahwa masyarakat membenarkan bahwa
keadaan sedang tidak dalam irasionalitas, hilang kontrol dan labil yang dialami
perempuan ditentukan oleh siklus dan organ reproduksinya sehingga berdampak pada
ketidaklayakannya menghadapi pekerjaan.79 Maka iklan Starlet menghidupi mitos
tersebut dengan menawarkan produknya yang seakan mampu mengurangi atau
mengatasi masalah menstruasi. Namun saat bersamaan justru memperjelas mitos
menstruasi,
seperti
yang
dijelaskan
oleh
Roland
Barthes,
“mitos
tidak
Pemilihan untuk menggunakan istilah “gerakan baru” beralasan membedakan
dengan gerakan-gerakan perempuan pada orde sebelumnya. “Gerakan baru” ini adalah
pemberian peran terhadap perempuan dalam masa pembangunan, yaitu depolitisasi dan
domestikasi.
78
Irwan Abdullah, 2002, “Menstruasi: Mitos dan Konstruksi Kultural Atas Realitas
Perempuan” dalam Edy Santosa (ed.), 2002, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta:
PSW IAIN Yogyakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar, hlm.
13.
79
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyembunyikan apapun, tetapi memiliki kemampuan untuk mengubah meskipun
tanpa menghilangkan”.80
b. Iklan Pembalut Tahun 1980
Pada majalah Gadis edisi Januari 1980 di halaman ke-67, pembalut Modess
turut menyuguhkan sebuah kebaruan bahwa “akhirnya muncul pembalut wanita yang
memberikan perlindungan tiada tara dengan harga yang terjangkau”.81 Kata
“akhirnya” yang terletak di awal teks menyampaikan suatu kondisi mengenai
penantian panjang. Berkaitan dengan hal tersebut produsen Modess memiliki dua
peran, yaitu sebagai pihak yang seakan menanti kehadiran teknologi menstruasi dan
pemegang kendali atas “harga yang terjangkau”. Dalam tahap ini, produsen Modess
mengerti bahwa penantian panjang harus bernilai maka ia memberikan harga
terjangkau untuk pembelian produk buatannya. Upaya ini tentu ditujukan supaya
perempuan bertindak mengkonsumsi karena akan mendapatkan “perlindungan tiada
tara”. Serupa dengan iklan Starlet, Modess memanipulasi seakan membantu
perempuan dalam “mengatasi persoalan datang bulan”. Guna membuktikan
produknya, iklan Modess mencantumkan testimonial dari tiga orang perempuan yang
berbeda usia dan profesi.
80
Roland Barthes, 1991, Mythologies, New York: The Noonday Press, hlm. 120.
81
Gadis No. 16 Tahun VII terbitan 16-25 Januari 1980. Lihat gambar 5.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 5. Modess (Sumber: Gadis 1980)
Foto utama memperlihatkan seorang perempuan dewasa bergaun batik
tengah duduk dalam sebuah ruang kerja, beradegan memegang bolpoin seakan
hendak menulis di atas kertas putih kosong. Perempuan tersebut adalah pekerja
kantoran yang sibuk dengan mesin tik dan telepon di hadapannya sehingga tidak
memiliki waktu untuk repot mengurusi pembalut, meskipun menyangkut organ
reproduksi miliknya sendiri. Maka Modess menjadi jawaban tepat untuk mengatasi
persoalan menstruasi yang setiap bulannya datang, tidak menyusahkan karena “habis
dipakai tinggal dibuang”.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebelum mengenal pembalut, perempuan memanfaatkan kain selebar ½
meter sebagai popok saat menstruasi tiba, yang disebut duk. Selain bermanfaat secara
ekologis dan higienis, pembalut kain membuat perempuan lebih mencermati dan
peduli mengenai menstruasi. Perempuan harus mencuci bersih pembalut kain sesudah
dipakai, menjemurnya dan merawat supaya tetap dapat digunakan lagi untuk
menstruasi berikutnya.
Modess mengubah aktifitas rutin tersebut sebagai sesuatu yang merepotkan.
Serupa dengan industri lainnya, Modess mengemas pemahaman mengenai
penggunaan dan perawatan kain duk, yang seharusnya normal dilakukan oleh
perempuan, menjadi tidak lagi biasa atau menyusahkan. Selain mengharuskan
perempuan supaya mengkonsumsi pembalut secara rutin, makna lain yang dapat
diungkap adalah Modess mampu berperan menggantikan pemegang kendali atas
tubuh.
Sosok ibu yang muncul sebagai model berikutnya ikut membenarkan
Modess, yang dianggap sangat membantu perempuan karena anaknya “merasa lebih
yakin akan dirinya dan dapat bergerak lebih bebas sesuka hatinya” ketika mulai
mengenakan Modess. Sang ibu menyerahkan anak gadisnya kepada penggunaan
barang hasil industri, yang yakin akan mendapatkan kebebasan. Sikap demikian
menghentikan aliran pengetahuan mengenai menstruasi yang berlangsung antara ibu
dan anak. Pasalnya, anak perempuan hanya akan pasif memperhatikan cara
penggunaan pembalut yang tertera di bungkus produk. Jika demikian maka
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengetahuan mengenai menstruasi sebagai subyek menjadi hilang sehingga makin
menguatkan tabu yang melarang wujud darah haid diperlihatkan.
Dalam buku Sisterhood is Powerful, Ann Treneman menemukan bahwa
perempuan sesungguhnya memiliki pengetahuan minim mengenai menstruasi,
sehingga berpikir akan mati ketika melihat darah mengalir dari vaginanya untuk
pertama kali.82 Apabila sang ibu telah mempersiapkan penjelasan bahwa darah
menstruasi tidak kotor dan mengatakannya sebagai proses alamiah yang harus
dialami setiap perempuan namun seringkali dilakukan secara tertutup. Ibu akan
mengucapkannya perlahan dan hanya berdua saja bersama puterinya, seakan obyek
pembicaraan adalah suatu kutukan. Hal ini justru semakin menguatkan mitos bahwa
menstruasi bersifat tabu. Menurut Freud, tabu menstruasi merupakan cermin dari
sikap ambivalen masyarakat terhadap perempuan yang mengalami menstruasi,
dianggap kotor atau terkena kekuatan jahat sehingga perlu dijauhi.83
Pada foto selanjutnya, sebuah testimonial terucap dari seorang gadis yang
mengungkapkan keheranan mengapa teman-temannya bertahan menggunakan “cara
lama, bikinan sendiri”. Selain ketidaksadaran diri untuk bergantung terhadap Modess,
gadis berkemeja blouse biru tersebut memahami benar ucapannya tentang “cara
82
Ann Treneman, op.cit., hlm. 234.
83
Ibid., hlm. 5.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lama”, yang menunjuk kepada sesuatu bernilai lama dan kuno. Gaya berposenya
dengan membuka buku menyatakan modernitas mengenai “new era”.84
Penampilan dan latar ketiga figur perempuan dalam iklan Modess secara
bersamaan merepresentasikan kelompok menengah Indonesia, misalnya baju kebaya
dan liontin, mesin tik, telepon hingga rambut yang tertata. Secara normatif kelompok
menengah Indonesia sesungguhnya dapat mengantongi peran sebagai “agen
perubahan sosial” yang menyebarkan modernisasi dan demokrasi. Akan tetapi
muncul asumsi yang melemahkan kedudukan kelompok menengah Indonesia karena
merupakan hasil rekayasa pemerintah untuk kepentingan pembangunan.85
Bila menganut pemahaman di atas maka tubuh perempuan yang menjadi
figur iklan menjadi salah satu bentuk rekayasa pemerintah. Sosok ibu berkebaya
merupakan perwujudan dari simbol penguasaan negara terhadap perempuan. Kebaya
dan kain dijadikan pakaian nasional bagi perempuan, salah satu referensinya adalah
penampilan Tien Soeharto dalam berbagai acara resmi kenegaraan. Dengan demikian
tubuh perempuan bukan hanya menjadi sasaran konsumsi, melainkan juga sebagai
arena pertarungan identitas keindonesiaan.86
Mengadopsi kutipan Thoreau dalam buku Walden, “how many a man has dated a
new era in his life from reading a book”. Henry David Thoreau, 1985, Walden, or, Life in the
Woods, Amerika Serikat: Princeton University, hlm. 81.
84
Baca Francisia SSE Seda, 2012, “Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum
Konseptual” dalam Prisma Vol. 32 No.1 terbitan 2012, hlm. 3-13.
85
Ninuk Mardiana Pambudy, 2012, “Gaya Hidup Suka Mengkonsumsi dan Meniru:
Beranikah Berinovasi?”, Ibid, hlm. 14-27.
86
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Iklan Pembalut Tahun 1982
Gambar 6. Modess (Sumber: Femina 1982)
Di
tahun
1982
pada
halaman
ke-56
dalam
majalah
Femina
mempertontonkan tabu menstruasi lainnya dengan menegasikan warna darah yang
digantikan oleh cairan bening seperti air dalam iklan pembalut Modess.87 Meskipun
kali ini Modess menampilkan visual jelas dari pembalut namun hanya yang masih
bersih dan berwarna putih. Hal ini memperjelas konstruksi masyarakat terhadap
menstruasi sebagai darah kotor yang menjijikkan sehingga menghindari pemakaian
warna merah dan menggantinya dengan cairan bening. Sementara itu warna putih
87
Femina No. 8 edisi tahun 1982, hlm. 56. Lihat gambar 6.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang melekat pada pembalut selalu berkaitan erat dengan kebersihan atau rumah sakit
dan menandakan kesucian.
Cairan bening yang menempati tabung kecil membutakan kebenaran
mengenai sumber darah menstruasi mengalir. Aquarini Priyatna berasumsi bahwa
penggunaan bentuk tabung dalam iklan pembalut lebih merepresentasikan tubuh lakilaki, yakni organ reproduksi penis ketimbang vagina yang menyimbolkan abjeksi
terhadap sosok maternal agar tunduk terhadap kuasa paternal.88 Dengan demikian
makna dari kumpulan penanda di atas adalah masih menggemanya kuasa budaya
patriarki bahkan dalam iklan pembalut yang hanya digunakan oleh perempuan.
d. Iklan Pembalut Tahun 1984
Pada tahun 1984 dalam sebuah halaman iklan majalah Femina seorang
remaja putri berbalut gaun putih tengah memperagakan “croisé devant”, yaitu salah
satu posisi tubuh ketika menari balet.89 Di balik tubuh anggunnya yang berparas tegas
penuh percaya diri, berdiri tegak sebuah balok bertuliskan, “Soft&Easy: menemani
saat-saat pribadi” dilengkapi foto wajahnya, menunduk seakan memiliki malu
88
Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra,
dan Budaya Pop, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 135.
89
Croisé devant merupakan salah satu dari delapan posisi tubuh dalam menari
balet, yaitu À la quatrième devant, À la seconde, Ēpaulé, Ēcarté, Effacé, À la quatrième
derrière, dan Croisé derrière. Ada banyak posisi tubuh dasar dalam balet, namun kedelapan
yang telah disinggung di atas merupakan hasil pengembangan dari Raja Perancis Louis XIV
di abad ke-17. Lihat situs balet online http://allencentre.wikispaces.com, diakses tanggal 13
Agustus 2015.
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tercoreng pada kening.90 Namun remaja putri “sang balerina” adalah tokoh utama
iklan pembalut Soft&Easy yang menawarkan unsur-unsur lembut, flushable, higienis
dan praktis dari “sesuatu” karena tidak ditemukan ilustrasi maupun foto wujud nyata
dari produk.91
Gambar 7. Soft&Easy (Sumber: Femina 1984)
Pihak perancang iklan justru memuat gambar toilet duduk, yang tidak
berkaitan sama sekali terhadap menstruasi dan berlawanan dengan konsep higienis
90
Sebuah peribahasa Indonesia yang artinya, malu yang tidak dapat dihilangkan
lagi karena sudah diketahui orang banyak.
91
Femina No. 1 Tahun XII terbitan 3 Januari 1984, hlm. 32. Lihat gambar 7.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai salah satu kekuatan produk. Toilet duduk merupakan ikon yang
menggantikan ketiadaan wujud dari pembalut. Kris Budiman menjelaskan bahwa
ikon adalah tanda yang didasarkan atas keserupaan atau kemiripan, maka produk
pembalut dianggap menyerupai dengan toilet duduk.92 Meskipun penggunaan
ilustrasi di bungkus produk bukan kakus tradisional melainkan toilet duduk namun
tetap saja menyiratkan pesan kejijikan terhadap menstruasi serupa dengan apa yang
ada dalam kamar kecil.
Ekspresi foto close-up yang tampak malu menyimpan rahasia dan letak
posisi balok pembungkus pembalut di belakang seakan merepresentasikan pondok
menstruasi bagi remaja putri. Namun semuanya telah teratasi karena remaja putri
kemudian telah berani maju ke depan dengan cara menari seakan mengekspresikan
kebebasannya berkat perlindungan dari pondok menstruasi bernama Soft&Easy yang
ternyata memiliki kemampuan “flushable” atau berarti “mudah disiram” sehingga
lebih cepat lenyap dan tidak perlu takut apabila orang lain akan melihat wujudnya.
Pondok menstruasi adalah rumah bagi para perempuan yang sedang mengalami siklus
menstruasi atau dapat digunakan untuk melahirkan. Letak pondok menstruasi
biasanya jauh dari pemukiman warga atau di tepi hutan, yang tidak terjamah oleh
pandangan umum. Beberapa suku di wilayah Indonesia hingga tahun 1985 masih
menggunakan tradisi pondok menstruasi, seperti yang dilaporkan Janet Hoskins
92
Kris Budiman, 2011, Semiotika Visual: Konsep, Isu dan Problem Ikonisitas,
Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, hlm. 78
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketika meneliti desa Huaulu, Seram.93 Para perancang iklan Soft&Easy menangkap
gagasan tabu dan ketakutan berwujud pondok menstruasi kemudian direduksi sebagai
wacana populer yang mendominasi kekuatan penjualan.
Apabila mengamati visual iklan Soft&Easy, dengan mudah dapat diketahui
bahwa pihak perusahaan membidik kaum remaja putri sebagai konsumen aktifnya.
Namun model iklan yang menggunakan balerina, memperkecil segmen pemasaran
yaitu hanya tertuju kepada kalangan menengah atas. Tari balet merupakan tarian yang
lahir dalam lingkungan kerajaan Eropa. Ketika tiba di Indonesia, balet menjadi salah
satu hiburan dan pengetahuan yang hanya mampu dijangkau terbatas oleh masyarakat
elite.
Warna merah muda identik digunakan oleh perempuan muda, yang akan
membuat sang pemakainya merasa lebih girlish.94 Di sisi lain warna putih yang
dikenakan sebagai gaun oleh balerina menandakan sisi kemurnian atau kesucian.
Melalui pemilihan warna merah muda dan putih, pihak perancang iklan membujuk
perempuan akan menjadi lebih girlish dan terkesan murni karena menggunakan
produk Soft&Easy.
Janet Hoskins, 2002, “The Menstrual Hut and The Witch‟s Lair in Two Eastern
Indonesian Societies” dalam jurnal Ethnology, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond
Menstruation as Pollution No. 4 Vol. 41 terbitan 2002,hlm.317-333.
93
Baca “Understanding the Meaning of Colors in Color Psychology”, diakses
www.empower-yourself-with-color-psychology.com pada tanggal 23 April 2016 pukul 23.12
WIB.
94
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Masih di tahun 1984 halaman ke-30 dalam majalah Femina abjeksi terhadap
warna merah kembali terulang.95 Mengutip penjelasan Kristeva, abjek adalah sesuatu
yang mengganggu identitas, sistem, dan tatanan masyarakat (subjek) karena sifatnya
polutan.96 Setelah memperlihatkan visual pembalut yang berwarna putih tanpa noda
beserta keunggulannya, yakni lapisan pelindung anti bocor, daya serap lebih tinggi
dan bentuk ideal sehingga memastikan kenyamanan bagi pemakainya, Modess
menggunakan tabung kecil berisi cairan berwarna biru layaknya antiseptik. Gambaran
antiseptik tidak menjijikkan seperti darah kotor menstruasi, karena merepresentasikan
sterilitas, kesehatan, maupun kebersihan dan identik dengan ruang laboratorium atau
rumah sakit.
Iklan Modess kali ini mencitrakan keunggulan produk yang dimulai dengan
kalimat tanya “Mengapa pembalut Modess lebih nyaman dipakai?”. Menjawab
pertanyaannya sendiri, perancang iklan menempatkan ilustrasi produk dengan
penjelasan masing-masing elemen yang menjadi keunggulan Modess, meliputi
keamanan, daya serap dan kenyamanan. Dengan cara demikian sebenarnya penonton
iklan akan lebih mudah menyerap penjelasan mengenai keunggulan produk Modess.
Maka penonton iklan meyakini bahwa proses pengungkapan yang berwujud teks lahir
dari kenyataan dari produk.
Akan tetapi obyek yang ditunjuk sebagai keamanan, daya serap dan
kenyaman pada dasarnya bersifat imajiner. Sama halnya dengan yang dikatakan
95
Femina No. 13 Tahun XII terbitan 1984, hlm. 30. Lihat gambar 8.
96
Ibid, hlm. 117-118.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai lawannya, yaitu tidak aman, mudah bocor dan kalut. Iklan Modess melakukan
penumpukan mitos dalam penyampaiannya. Pertama, produsen Modess menciptakan
rasa tidak aman dan kalut akibat pembalut yang mudah bocor. Hal ini membawa
penonton iklan kepada mitos kedua, yakni penyelesaian masalah-masalah tersebut
dengan ilustrasi produk yang mencantumkan elemen-elemen keunggulannya bahwa
Modess memberikan rasa aman dan nyaman karena berdaya serap tinggi. Dengan
demikian, produsen Modess menggunakan mitos supaya membutakan mitos lainnya
dengan sasarannya adalah perempuan beserta tubuhnya.
Gambar 8. Modess (Sumber: Femina 1984)
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu, produsen Modess turut menawarkan dua jenis produk yang
berbeda, yaitu edisi “harum” dan “lebih melindungi”. Penciptaan produk edisi
“harum” sangat jelas berhubungan dengan gambaran masyarakat terhadap menstruasi
sebagai darah kotor yang berbau amis. Produsen Modess seakan bertindak mencegah
terjadinya abjeksi terhadap menstruasi dengan membubuhi wewangian ke dalam
produknya sehingga bau amis dari darah tidak lagi tercium. Akan tetapi yang
sebenarnya terjadi adalah abjeksi terhadap bau amis merupakan ide awal penciptaan
produk Modess. Kelompok industri dengan sengaja menciptakan bahkan membuatbuat kebutuhan supaya masyarakat meyakini bahwa tindakan konsumsi terhadap
produk adalah benar.
Iklan Soft&Easy dan Modess yang terbit pada tahun 1984 merupakan dua
penawaran yang berbeda, namun mengamati tampilan visual pariwaranya dapat
disimpulkan suatu kesamaan bahwa menstruasi sifatnya tabu. Hal ini ditunjukkan
dengan rasa malu pada wajah figur iklan Soft&Easy dan kesan murni dari pembalut
berwarna putih tanpa noda dalam pariwara Modess. Selain itu kedua iklan juga
meyakini bahwa produk pembalut milik mereka merupakan hasil teknologi mutakhir,
yaitu Soft&Easy yang flushable dan Modess mengandung wewangian. Keunggulan
tersebut pada dasarnya berupaya menyembunyikan darah menstruasi yang dianggap
kotor dan berbau amis sehingga tampak tidak terlihat dan terasa, bahkan oleh
perempuan pemiliknya sendiri.
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 9. Honeysoft 1984
Iklan selanjutnya, masih dalam penerbitan tahun 1984 memiliki tema
penawaran yang berbeda. Namun terdapat satu hal yang membuatnya serupa, yaitu
penggunaan figur perempuan kelas menengah sebagai model iklan. Dalam iklan
Soft&Easy, figur yang muncul adalah perempuan muda tengah asyik memperagakan
tarian balet. Namun iklan Honeysoft berikut ini menyuguhkan sosok perempuan
tengah baya mengenakan gaun putih sedang duduk di sebuah kursi sofa empuk,
dikelilingi bunga-bunga hiasan di dalam ruangan yang menandakan suasana rumah
perkotaan. Serupa dengan segmentasi pembaca majalah Femina, baik iklan
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Soft&Easy dan Honeysoft menyasar perempuan kelas menengah sebagai tujuan
konsumennya.
Kompetisi pasar semakin ketat dalam memperebutkan pangsa, karena
merek-merek pembalut baru terus bermunculan, sehingga menekan pihak pemasaran
merancang kiat-kiat komunikasi yang persuasif, kreatif dan estetis. 97 Salah satu jurus
jitu untuk memasarkannya adalah dengan menggunakan undian berhadiah seperti
yang dilakukan oleh pihak Honeysoft. Masih di tahun 1984 pada halaman ke-28
majalah Femina No. 37, produk Honeysoft menawarkan 400 hadiah yang berharga,
berupa sepeda motor, lemari es, televisi, mini compo tape dan panci susun.98
Dengan semakin banyak membeli pembalut Honeysoft yang ekonomis maka
memperbesar kemungkinan memenangkan hadiah undian. Honeysoft mengharapkan
bahwa kaum perempuan dapat merasakan dua keuntungan dari menggunakan produk,
yakni rasa nyaman dan hadiah. Pihak pemasaran dan perancang iklan dengan jeli
mengeksploitasi hasrat konsumtif rumah tangga, seperti kulkas, televisi, ataupun
panci sebagai jurus pembujuk yang justru khas domestikasi.
e. Iklan Pembalut Tahun 1985
Serupa dengan Soft&Easy, iklan Softex tahun 1985 menggunakan seorang
balerina sebagai model utama.99 Namun sosok balerina dalam iklan Softex adalah
97
Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 33.
98
Femina No. 37 Tahun XII terbitan 1984, hlm. 28. Lihat gambar 9.
99
Femina No. 26 Tahun XIII terbitan 1985, hlm. 15. Lihat gambar 10.
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seorang mooi indie.100 Balerina tersebut tengah berpose duduk, seakan bersiap
memulai tarian baletnya sesudah memperbaiki kaus kakinya. Senyumnya kecil,
terkesan malu-malu dan matanya menatap ke arah lain, bukan menuju penonton.
Melalui senyumnya, balerina seperti mengatakan bahwa dirinya merasakan
kenyamanan berkat menggunakan Softex. Namun tatapan matanya justru menyiratkan
ketidakinginan perhatian orang lain mengetahui bahwa ia sedang mengenakan
pembalut atau dalam keadaan menstruasi. Ilustrasi demikian meninggalkan paradoks,
karena pada satu sisi pihak iklan menyatakan untuk mendobrak ketabuan menstruasi
dengan memunculkan sosok Barat dalam iklan, namun ekspresi balerina sebagai
model justru mempertajam aroma “rahasia” kaum perempuan.
Masa industrialisasi menciptakan rasional baru mengenai kebutuhan akan
sesuatu yang modern dan praktis, salah satunya adalah pembalut untuk perempuan.
Agar proses tersebut berjalan lancar, produsen pembalut menggunakan mitos-mitos
mengenai tabu menstruasi supaya perempuan gemar mengkonsumsi produkproduknya. Secara normatif iklan-iklan yang memasarkan produk pembalut memang
bertujuan meningkatkan pembelian. Namun tanpa disadari iklan-iklan pembalut yang
beredar pada periode 1977-1985 turut membentuk gambaran perempuan supaya
bebas bergerak. Kebebasan tersebut hanya didapatkan melalui konsumsi pembalut
yang praktis dan modern.
100
Visual iklan yang menggunakan model-model dari Barat mengingatkan pada
zaman “Mooi Indie” yang menjadi acuan para seniman tahun 1900-an ataupun sekadar
replika dan duplikasi dari iklan-iklan edaran pers mancanegara. Bedjo Riyanto, op.cit, hlm.
57.
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 10. Softex (Sumber: Femina 1985)
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.
Kesimpulan
Meningkatnya pendapatan negara memacu pertumbuhan investasi dalam
negeri. Namun tujuan sukses pembangunan harus melibatkan kontrol represif dari
pemerintah, meliputi dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, pembredelan pers hingga
domestikasi perempuan. Jumlah populasi dan kemampuan membaca pada perempuan
memang lebih banyak, tapi minim dalam komposisi dunia kerja dibandingkan dengan
laki-laki. Jika pun bekerja, maka perempuan adalah pekerja dengan upah rendah dan
tidak memiliki perlindungan hukum. Perempuan marjinal dalam bidang produksi,
karena ditempatkan pada posisi dominan sebagai obyek konsumsi dan tontonan.
Salah satu wujudnya adalah iklan pembalut yang menggunakan tubuh perempuan
(menstruasi) sebagai komoditi untuk dijual pada penontonnya, yaitu perempuan.
Kapitalisme membebaskan tubuh perempuan dari identitas tradisional, seperti
pemahaman menstruasi adalah darah kotor. Sebagai agen kapitalis, perancang iklan
bertindak mereduksi tabu tersebut ke dalam simbol-simbol, salah satunya penggunaan
cairan biru antiseptik untuk membutakan warna merah darah.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
CITRA PERAN GANDA PEREMPUAN PERIODE 1986-1993
Peralihan kebijakan negara kepada eksplorasi sektor non-migas dan
keterbukaan diri terhadap bantuan dari luar negeri yang ditujukan untuk
pembangunan justru menimbulkan ketidakadilan sosial.101 Pasalnya, hanya para
pemodal asing dan kaum borjuasi lokal yang dapat menikmati hasilnya. Demi
mendorong pembangunan, pemerintah turut mengeluarkan kebijakan peran ganda
perempuan yang sejujurnya kian mengeksploitasi tubuh supaya meningkatkan daya
konsumsi. Hal tersebut tercermin dalam iklan-iklan pembalut terbitan periode 19861993 yang diuraikan berikut ini.
101
Sejak awal dasawarsa 80-an harga minyak internasional merosot hingga US$ 10
per barel. Oleh OPEC (Organization of The Petroleum Exporting Countries), Indonesia
mendapat pembatasan produksi minyak sebesar 1,19 juta barel per hari sejak Desember 1986.
Usaha OPEC tersebut bertujuan untuk mengontrol jumlah minyak di pasar dunia agar tidak
over supply dan mempertahankan harga yang telah disepakati oleh negara-negara anggota
OPEC. Lihat Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1983-1997, diakses dari
www.bi.go.id tanggal 29 Januari 2016. Lihat juga M. Arief Djanin dan Firman Djunasien,
Prospek Migas 1988/1989 dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan
Freddy Nazar (ed.), 1985, Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 1988/1989, Jakarta; UIPress, hlm. 91.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
A.
Latar Belakang
1. Perkembangan Perekonomian
Menghadapi masa krisis perekonomian akibat menurunnya harga minyak
sementara bunga hutang luar negeri justru meningkat, mendesak pemerintah
memberlakukan kebijakan baru. Sejak tahun 1982 hingga 1989, pemerintah
mencanangkan kebijakan deregulasi102 dan pengetatan moneter, yang dikenal sebagai
Gebrakan Sumarlin I103, sehingga berhasil membuka kesempatan lebih besar kepada
korporasi internasional dan Bank Dunia dalam menanamkan modal atau membangun
usaha di Indonesia.104 Sayangnya, keterlibatan korporasi internasional tersebut justru
102
Kebijakan deregulasi ini mencakup bidang perbankan, perhubungan, investasi,
industri, serta perdagangan luar negeri. Salah satunya adalah pengurangan tarif secara besarbesaran sehingga para produsen yang risau menghadapi tingginya harga bahan baku lokal
mendapat kesempatan untuk mengimpor dari luar negeri dengan harga lebih murah karena
tidak dikenai bea cukai. Baca Tempo Edisi Khusus, “Soeharto”, diakses dari
www.serbasejarah.files.wordpress.com tanggal 31 Mei 2015. Baca juga Soeheroe Tjokro
Prajitno, 1988, Deregulasi di Sektor Perhubungan dalam M. Arsjad Anwar, Sri-Edi
Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar (ed.), 1985, op.cit, hlm. 400. Baca juga Laporan
Utama “Kali ini Paket 6 Mei Panjang Umurmu Eksportir”, Tempo No. 12 Tahun XVI terbitan
17 Mei 1986, hlm. 74-77.
103
Richard Robison, 2012, op.cit, hlm. 310.
104
Pengetatan moneter merupakan langkah untuk mendevaluasi rupiah terhadap
US$ sebesar 31% dan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Sebutan
Sumarlin sendiri diambil dari nama Menteri Keuangan ad-interim, yang menggantikan posisi
Menteri Keuangan sesungguhnya, Radius Prawiro, karena sedang melakukan perjalanan
dinas ke luar negeri. Data tersebut diperoleh dari situs www.kemenkeu.go.id diakses pada
tanggal 29 Januari 2016.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghambat pertumbuhan Indonesia, karena hanya dapat dinikmati oleh kelompok
kapitalis lokal.105
Selain modal, kelompok kapitalis dunia mengembangkan mekanisme baru
yakni dengan monopoli teknologi industri yang mengharuskan perusahaanperusahaan di Indonesia membayar uang sewa atau hak paten atas nama produk
apabila hendak mengembangkan usaha sendiri.106 Sementara itu, penawaran Bank
Dunia untuk menyediakan pinjaman cenderung
menuntut balas budi, misalnya
mengharuskan pemerintah menjalankan kebijakan politik yang terbuka, baik dalam
bidang ekonomi maupun sosial.107 Dengan demikian, perkembangan Indonesia
sebagai negara yang merdeka secara politis tetap bergantung kepada kuasa kapital
dunia. Bagian selanjutnya menguraikan gambaran kehidupan sosial dan politik di
Indonesia dalam suasana industrialisasi yang merajalela serta adanya campur tangan
Bank Dunia.
105
Mengadopsi teori ketergantungan dari Paul Baran yang menyatakan bahwa
perkembangan kapitalisme di negara-negara Dunia Ketiga seperti terkena penyakit kretinisme
yang menyebabkan orang tetap kerdil dan tidak besar. Kekuatan ekonomi asing menyalurkan
modal untuk kelompok borjuasi lokal yang mampu menyediakan lokasi, buruh, bahan
mentah, hingga konsumen bagi kehidupan industri. Dengan demikian surplus dari kehidupan
industri hanya berotasi dalam kelompok tersebut sehingga meskipun negara menganggap
modal yang beredar mengalami akumulasi pada dasarnya menyusut. Lihat Arief Budiman,
1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 56-60.
106
Op.cit, hlm. 68-72.
107
Ibid, hlm. 68.
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Tuntutan Politik Global
Negara-negara penyedia dana bantuan menuntut penegakan demokrasi dan
hak asasi sebagai prasyarat.108 Salah satu wujudnya terlihat dari kedekatan secara
terbuka antara Soeharto dengan kelompok Islam yang mematahkan netralitas
konstitusi negara mengenai pengakuan lima agama resmi.109 Hal tersebut mudah
dipahami karena Soeharto berusaha memperoleh dukungan dari umat agama Islam,
yang jumlahnya terbesar di Indonesia.110 Menjelang akhir periode 1980 Soeharto
membuat beberapa konsesi, seperti memperbolehkan perempuan mengenakan
jilbab,111 memperkuat pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, mengizinkan
108
Afan Gaffar, 1994, “Kata Pengantar Editor” dalam Elza Peldi Taher (ed.), op.cit,
hlm. xii.
Robert W. Hefner, 2007, “Pendahuluan: Multikulturalisme dan
Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed.),
Politik Multikulturalisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 67.
109
110
Sebelumnya, pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengalami
ketegangan. Gerakan NU yang makin demokratis dicurigai mengarah kepada pendirian
negara Islam, sehingga membuat pemerintah menuntut adanya pemisahan antara unsur politik
dan agama dalam sebuah tubuh organisasi. Hal tersebut berhasil terwujud di Pemilu 1987
ketika kelompok politikus NU beralih memilih Golkar yang kembali menang dengan
perolehan suara sebesar 73,2%. Andrée Feillard, 1999, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta:
LKiS, hlm. hlm. 233-241.
111
Antara tahun 1990-1991, MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Departemen P dan
K mengadakan rangkaian pembicaraan untuk mengesahkan peraturan yang memperbolehkan
siswi sekolah mengenakan jilbab. Sebelumnya, di tahun 1982 Departemen P dan K melarang
penggunaan jilbab pada siswi sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA sebagai bagian dari
seragam. Apabila siswi bersangkutan menolak untuk mencopot jilbab maka sanksinya dapat
berupa skors, bahkan dikeluarkan atau dipindahkan menuju sekolah swasta. Kasus lainnya,
pada tahun 1989 sebanyak 15 ibu mengajukan protes akibat harus melepas jilbab saat foto
untuk KTP. Pemerintah mengkhawatirkan bahwa pengenaan jilbab merupakan bagian dari
gerakan politik, bukan karena menjalankan perintah agama. Lihat Tempo No. 46 Tahun XX
terbitan 13 Januari 1990, hlm. 19. Lihat juga Tempo No. 47 Tahun XX terbitan 19 Januari
1991, hlm. 76-77.
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pendirian bank-bank syariah, serta meningkatkan kekuatan peradilan Islam di
Indonesia, misalnya pemberian hukuman bagi para jurnalis ataupun orang-orang yang
diduga menghina Islam secara publik.112 Selain itu, Soeharto juga memberi restu pada
terbentuknya sebuah organisasi baru beraliran Islam bernama ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia.113
Pemerintah mencurigai setiap bentuk daya juang komunal sebagai gerakan
pemberontakan, yang berujung dengan pengasingan, menggunakan terali besi
ataupun pembatasan ruang gerak. Misalnya, pembebasan semua tahanan politik
kategori B dan C di akhir periode 1980-an namun dengan catatan penting, yakni
adanya pencantuman label “ET” (kependekan dari Eks-Tapol). Hal ini justru
menghilangkan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik bagi mantan tapol sekaligus
keluarganya.114
Pemerintahan Soeharto yang melekat terhadap kapitalisme global dengan
gaya kekuasaan otoritarian menyeragamkan sikap masyarakat untuk lebih berjuang
112
Beberapa kasus dapat memperlihatkan tindakan pemihakan tersebut, seperti
pembredelan tabloid Monitor karena dituduh melecehkan ketidakpamoran Nabi Muhammad
melalui polling bertajuk “Kagum Lima Juta” dan pemenjaraan terhadap tiga Bandar atau
penjual SSB (Sumbangan Sosial Berhadiah) yang tidak sengaja menggunakan kertas AlQuran sebagai potongan kupon. Lihat Tempo No. 4 Tahun XVI terbitan 22 Maret 1986, hlm.
66. Lihat juga M.C. Ricklefs, op.cit, hlm. 668.
113
ICMI mengajukan nama Habibie sebagai pemimpin pertama, yang langsung
disetujui oleh Soeharto. Ibid.
114
Keputusan untuk membebaskan para tapol lebih berdasarkan adanya tekanan
dari dunia luar untuk mewujudkan penegakan HAM. Menjelang periode 1990-an isu
penyebaran ideologi komunis bukan menjadi permasalahan krusial yang harus dihadapi oleh
negara-negara dunia. Baskara T. Wardaya mengemukakan pendapat lain bahwa pembebasan
tersebut lebih dikarenakan umur para tapol yang telah menginjak lansia . Wawancara kepada
Baskara T. Wardaya, tanggal 16 Februari 2016, pukul 15:40 WIB.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meraih kepuasan individu dan jauh dari partisipasi politik. Perubahan perilaku
demikian mendapat dukungan dari kehidupan pers dan media massa yang dibicarakan
dalam bagian berikutnya.
3. Kemajuan Media Massa
Senada dengan kontrol terhadap masyarakat untuk membatasi diri dari
partisipasi politik, dunia percetakan pun mengalami hal yang sama. Di tahun 1986
keluar sebuah larangan terbit terhadap dua karya Pramoedya Ananta Toer berjudul
Jejak Langkah dan Sang Pemula. Jaksa Agung memutuskannya sebagai “novel
sejarah yang bertitik tolak pada konsep kontradiksi sosial serta perjuangan kelas
berlandaskan realisme sosialis, yaitu tipe sastra bagi kaum komunis”. 115 Di Kupang,
Samuel Klaas, seorang kepala sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa) terpaksa menjalani
pensiun dini di awal Desember 1990 karena menulis surat pembaca berisi keluhan
atas keterlambatan kenaikan pangkat bagi guru-guru bawahannya sejak bulan
Oktober 1988 yang dimuat dalam Kompas.116
Ideologi pers Pancasila yang konkret seharusnya menjadi mitra pemerintah
sembari melancarkan kritik untuk mengontrol pemerintahan.117 Akan tetapi pers pada
masa rezim Soeharto justru khas dalam meningkatkan peranan dalam bidang
Lihat kolom Larangan Buku “Larangan Buat Pram”, Tempo No. 14 Tahun XVI
terbitan 31 Mei 1986, hlm. 15.
115
Lihat kolom Pendidikan “Jika Guru Mengeluh Lewat Koran”, Tempo No. 45
Tahun XIX terbitan 6 Januari 1990, hlm. 88.
116
117
Rizal Mallarangeng, 2010, Pers Orde Baru, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, hlm.119.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemasaran dan periklanan yang sama pentingnya dengan keredaksian.118 Pers
mengembangkan suatu subkultur baru dalam masyarakat,119 karena berperan sebagai
media promosi dan persuasi budaya massa120 yang berasal dari industri. Tekanan
represif dan kontrol informasi dari pemerintah malah memicu tindakan selfsensorship awak pers, bahkan berdampak pada industri periklanan.
Periode 1980 hingga 1990 merupakan masa tersubur pertumbuhan konsep
dan persaingan kreatif di antara industri periklanan. Meskipun demikian, tema
mengenai ketimpangan ataupun diskrepansi sosial yang menggambarkan kemiskinan
menjadi haram untuk dimunculkan sebagai topik iklan.121 Bagian selanjutnya akan
membahas dunia periklanan pada periode 1986 hingga 1993 yang jauh dari kesan
politik namun dekat terhadap komersialisasi industri.
a. Periklanan
Dalam dunia industri, perkembangan teknologi memicu aktivitas produksi
menjadi lebih besar sehingga menghasilkan produk yang jumlahnya tidak seimbang
dengan permintaan. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketidakseimbangan antara
jumlah barang dan permintaan pasar maka industri kapitalis melakukan pembalikan.
118
Jakob Oetama, 1987, Perspektif Pers Indonesia, Jakarta: LP3ES, hlm. xvi.
119
Ibid, hlm. xiv.
120
Budaya massa merupakan produk-produk atau praktek-praktek kultural yang
relatif homogen, dirancang untuk merangsang hasrat konsumsi kelompok terbesar dari
populasi masyarakat heterogen. Baca Hikmat Budiman, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan,
Yogyakarta: Kanisius, hlm. 53-54.
121
Bedjo Riyanto, 2003, op.cit, hlm. 59.
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Herbert Marcuse mengemukakan bahwa industri kapitalis maju (advanced
capitalism) dengan sengaja justru menciptakan kebutuhan supaya barang produksi
dapat habis dikonsumsi.122
Melalui sistem demikian, pers mendapatkan berperan lebih besar karena
mampu mempengaruhi, membujuk, dan menciptakan kebutuhan. Dalam periode
1980-an fokus industri pers Indonesia mulai meninggalkan arena perdebatan
mengenai kebijakan pemerintah, lantaran lebih mempedulikan ekspansi bisnis guna
mempertahankan finansial.123 Hal ini merujuk kepada pernyataan Marcuse mengenai
pertanyaan peran pers yang semestinya, apakah sebagai instrumen penyebar
informasi dan hiburan atau berperan selaku agen penipuan serta indoktrinasi.124
Seturut perkembangan peradaban masyarakat kapitalis, iklan bukan lagi
sekadar merangsang keinginan massa namun juga memberi pemahaman bahwa hidup
akan lebih baik melalui konsumsi. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut
baik pihak industrialis dan periklanan lantas menerapkan berbagai jurus pemikat,
seperti hadiah ongkos naik haji, pemberian beasiswa, penyelenggaraan konser musik,
122
Herbert Marcuse, 1964, One-Dimensional Man, Boston: Beacon Press, hlm. 22.
123
Rosihan Anwar, seorang redaktur senior, berpendapat mengenai kelompok pers
Indonesia yang terbagi menjadi dua, yakni “di atas angin” dan “di bawah angin”. Kelompok
“di atas angin” adalah pers yang memiliki kondisi keuangan kuat dan sanggup bertahan
dalam perpolitikan Indonesia karena adanya perubahan etos kerja, semula memperhatikan
keadilan sosial dan hak asasi manusia namun beralih menuju pandangan khas kelas
menengah dengan mementingkan gaya hidup dan individualisme. Sementara kelompok pers
“di bawah angin” adalah sebaliknya, gagal beradaptasi dengan tuntutan manajemen dan tidak
sanggup membangun pondasi finansial kokoh. David T. Hill, op.cit, hlm. 59. Lihat juga
kolom Media “Jika Pers Menggugat Pers”, Tempo No. 4 terbitan Tahun XVI, 22 Maret 1986,
hlm. 56-57.
124
Ibid, hlm. 8.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hingga cashback (pengembalian uang atau sama halnya dengan diskon) senilai
ratusan juta.125 Tanri Abeng, selaku presiden direktur PT Multi Bintang Indonesia,
mengungkapkan bahwa pemberian hadiah yang berlebihan jumlahnya bertujuan
untuk mendorong konsumerisme.126
b. Pertelevisian
Pada periode 1990-an, konsumerisme semakin mencengkeram kehidupan
masyarakat dengan hadirnya industri siaran televisi swasta yang mampu
menghadirkan gambar bersuara sebagai kekuatan adidaya periklanan.127 Berbeda
halnya dengan radio yang hanya menyiarkan suara, televisi menjadi medium terbaru
berkekuatan audio visual sehingga mampu menjangkau penonton lebih luas.
Tayangan dalam televisi mampu memperkenalkan sekaligus membentuk suatu
realitas “yang lain” dengan hukum dan logikanya sendiri.128
Sejak tahun 1962 layar kaca Indonesia hanya memiliki satu siaran, yaitu
TVRI (Televisi Republik Indonesia).129 Namun menjelang periode 1990-an, dengan
Lihat kolom Kiat Promosi “Jor-joran Menarik Pembeli”, Tempo No. 44 Tahun
XIX terbitan 30 Desember 1989, hlm. 96.
125
126
Ibid.
127
Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 60.
128
Ibid.
129
Mulanya, peresmian TVRI bertujuan untuk meliput semua kejuaraan dan
pertandingan Asian Games IV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1962. Dalam
proses pertumbuhannya, TVRI juga menjadi media propaganda bagi penguasa. Misalnya,
setiap tanggal 30 September malam, pemerintahan Soeharto memerintahkan TVRI untuk
menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI dan mewajibkan para pelajar
sekolah menontonnya.
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bangkitnya kekuatan modal turut menciptakan peluang tumbuhnya industri televisi
swasta yang lahir demi melayani kebutuhan beriklan kelompok kapitalis. Larangan
beriklan bagi stasiun televisi tidak lagi berlaku,130 setelah munculnya masyarakat
kelas menengah baru yang berdaya beli atas produk-produk konsumsi. Maka, antara
periode 1989 hingga 1993 lahir empat stasiun televisi swasta sekaligus, dimulai dari
RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI
(Televisi Pendidikan Indonesia) dan AN-Teve (Andalas Televisi) yang kesemua
pemiliknya adalah bagian dari lingkaran Soeharto.131 Dengan demikian, pendirian
stasiun televisi swasta lebih bertujuan untuk ekspansi ekonomi dan perpanjangan
tangan elite ekonomi, bukan sebagai media penyelenggara demokrasi. Meskipun
mengantongi izin mengudara, namun stasiun televisi swasta dilarang untuk
memproduksi muatan jurnalistik sehingga proses penciptaan iklan yang semakin
130
Pada tahun 1981 muncul larangan beriklan untuk TVRI, lantaran pemerintah
mengkhawatirkan adanya pertumbuhan perilaku konsumtif masyarakat akibat ekses negatif
dari iklan. Namun, mengutip pernyataan Khrisna Sen dan David T. Hill, di balik
pemberlakuan larangan sesungguhnya tersimpan upaya pemerintah untuk menghindari
kecemburuan sosial dari masyarakat pedesaan terhadap pertumbuhan kelas menengah
perkotaan, sekaligus melayani aspirasi kelompok Islam yang menolak konsumerisme –
hedonisme akibat iklan. Lihat Roy Thaniago, 2015, Jurnalisme Televisi dan Heroisme
Simsalabim dalam Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo (ed.), Orde Media: Kajian
Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru, Yogyakarta: INSISTPress dan Remotivi,
hlm. 22.
Ibid. Lihat juga kolom Media “Teve Swasta di Luar Jawa”, Tempo No. 47 Tahun
XXII terbitan 23 Januari 1993, hlm. 95.
131
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
fokus kepada kecantikan, fetitisme komoditas,132 gaya hidup perkotaan, dan
kemegahan kian tumbuh subur.
Simbol kecantikan yang secara stereotype melekat kepada perempuan
mampu membangkitkan gambaran tertentu dari sebuah produk. Sementara itu,
dengan adanya kehadiran perempuan dalam sebuah iklan telah mentransformasikan
tatanan kehidupan secara meluas, misalnya nilai tentang gaya dan cara berpakaian
yang lebih bervariasi.133 Bagian berikutnya memaparkan beberapa gambaran
kehidupan perempuan pada periode 1986 hingga 1993.
4. Perempuan dan Pembangunan
Wacana pembangunan dan kemajuan teknologi media massa memungkinkan
perempuan untuk mengekpresikan dan mengaktualisasikan diri. Konsep perempuan
sebagai kaum “kelas kedua” bertransformasi menjadi lebih memiliki otonomi dan
kebebasan. Namun dalam prosesnya justru timbul sebuah paradoks, karena pada
dasarnya iklan semata-mata berorientasi untuk mengejar keuntungan sehingga tubuh
perempuan merupakan komoditi bernilai yang pantas diperjualbelikan. Berikut ini
132
Fetitisme komoditas merupakan pemujaan terhadap suatu barang tertentu
berdasarkan simbol dan merek dari produk industri, yang dapat mencerminkan status sosial si
pemakai. Dengan demikian, nilai manfaat benda yang sesungguhnya menjadi hilang karena si
pemakai lebih merasakan kenikmatan semu dari simbol, merek, ataupun harga produk.
Misalnya, ketika seseorang membeli sepatu olahraga Nike, yang dipuja cenderung bukan
manfaat penggunaan melainkan simbol ataupun merek serta harga mahal dari produk
tersebut. Lihat Bedjo Riyanto, op.cit, hlm. 31. Lihat juga Mike Featherstone, 2008,
Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, hlm. 32.
Irwan Abdullah, 1998, “Kematian Perempuan dalam Rimba Lelaki, Sepenggal
Tubuh Perempuan dalam Iklan” dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit,
hlm. 352.
133
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
catatan mengenai beberapa permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada
periode 1986 hingga 1993.
a.
Konsep Kecantikan Global
Penggabungan Indonesia ke dalam kapitalisme dunia bukan hanya
menghasilkan kebebasan ekonomi, melainkan juga membuahkan kondisi serta
kesadaran baru sebagai bagian dari sistem global.134 Berbagai pusat perbelanjaan
yang seringkali melibatkan modal asing mulai bermunculan, sehingga memudahkan
akses masyarakat kepada produk-produk global, seperti kosmetik ataupun alat-alat
olahraga. Sementara itu, membanjirnya produk global yang disertai foto model iklan
berwajah Barat menyebarkan pemahaman baru mengenai tubuh.135 Hal ini dapat kita
amati melalui peningkatan jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik yang dimuat
dalam majalah Femina dan Gadis. Jika di tahun 1984, jumlah iklan hanya sebanyak
125 buah namun di tahun 1990 meningkat menjadi 155 buah.136
134
Ibid, hlm. 353.
135
Bedah plastik merupakan budaya masyarakat kontemporer menggunakan
kemajuan ilmu dan teknologi untuk menciptakan pengelolaan maupun rekayasa tubuh
melalui jalan operasi atau implan silikon. Meskipun semula ditujukan untuk anak-anak
penyandang cacat, dalam perkembangannya operasi plastik menjadi jawaban bagi ketakutan
kaum perempuan menghadapi penuaan atau mendapati ketidaksempurnaan pada tubuhnya
yang menandakan ketidakcantikan. Susan Bordo, 1993, “‟Material Girl‟: The Effacement of
Postmodern Culture” dalam Cathy Schwichtenberg (ed.), The Madonna Connection:
Representational Politics, Subculture Identities, and Cultural Theory, New South Wales:
Westview Ress, hlm. 653-656. Lihat juga Naomi Wolf, 2002, The Beauty Myth, New York:
Harper Collins, hlm. 4.
136
Prosesnya, menghitung jumlah iklan produk kecantikan dan kosmetik dari satu
bundel majalah, baik Femina maupun Gadis, yang sama-sama terbit pada tahun 1984 dan
1990.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Akhir periode 1980-an, intensitas dan kompleksitas pengelolaan tubuh bagi
perempuan menjadi lebih penting.137 Usaha tersebut bukan hanya demi memenuhi
kriteria penampilan modis dalam komunitas, namun supaya memudahkan dikontrol
menurut
kepentingan
kekuasaan,
sekaligus
sebagai
perpanjangan
tangan
beroperasinya ideologi kecantikan global.138 Konsep kecantikan mulai melampaui
batas nasional dan menerima penghayatan baru mengenai internasionalisme, yang
memutarbalikkan kriteria sehingga tidak lagi memiliki ketulenan.139
Misalnya, Tempo menemukan bahwa di tahun 1987 setiap tahunnya seratus
perempuan Indonesia melakukan bedah plastik untuk mendapatkan perut langsing,
payudara kencang dan vagina yang rapat di rumah sakit Jujin, Jepang.140 Sementara
itu, pada tahun 1991 jutaan perempuan Barat memutuskan untuk menanam silikon
dalam payudaranya setelah menonton “the perfect breast” dari tubuh aktris
pornografi.141 Dengan demikian, konsep kecantikan tidak lebih dari sebuah
konstruksi sosial yang di baliknya hidup tangan-tangan ideologi kapitalisme dan
dominasi kekuasaan patriarki. Laki-laki berperan utama untuk mempengaruhi
137
Irwan Abdullah, loc.cit.
Idi Subandy Ibrahim, 1998, “Komodifikasi “Aura” “Cewek Kece” dan “Cowok
Macho” dalam Industri Kebudayaan Pop Hegemoni di Balik “Euphoria” Pemujaan Tubuh”
dalam Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), op.cit, hlm. 363. Baca juga Daniel
Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 574.
138
139
Ibid, hlm. 366. Lihat juga Naomi Wolf, op.cit, hlm. 12.
Baca Laporan Utama “Menjadi Cantik dari Salon ke Salon”, Tempo No. 3 Tahun
XVII terbitan 21 Maret 1987, hlm. 57.
140
141
Naomi Wolf, op.cit, hlm. 4.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perempuan supaya mewujudkan konsep kecantikan tersebut.142 Dalam hal ini,
pemerintah justru melanggengkan konstruksi sosial tersebut dengan menyebutnya
secara cantik sebagai “peran ganda perempuan”, yang dijelaskan pada bagian
selanjutnya.
b.
Penggandaan Peran Perempuan
Mengutip gagasan Ivan Illich, bahwasanya dalam kehidupan industrial
semua manusia hakikatnya sama.143 Artinya, industrialisme menyeragamkan
kebutuhan perempuan maupun laki-laki secara baku. Pada tahap ini seturut dengan
menguatnya perekonomian Indonesia, pemerintah melalui GBHN 1988 menetapkan
bahwa peran perempuan dalam pembangunan bersifat ganda.144 Perempuan
mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki namun harus
tetap mengingat kodratnya sebagai penjaga nilai-nilai kesejahteraan keluarga. Dalam
wawancaranya kepada Femina, Umar Kayam mengungkapkan bahwa pergeseran
sistem nilai tradisional disebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang mulai
konsumtif dan pertumbuhan kelas ekonomi menengah.145 Hal tersebut tampak dalam
laporan Statistik Indonesia yang mencatat adanya peningkatan pengeluaran rata-rata
142
Ibid, hlm. 12.
Ariel Heryanto, 1998, “Wanita Korban Pembangunan” dalam (ed.) Idi Subandy
Ibrahim dan Hanif Suranto, op.cit, hlm. 38.
143
Mayling Oey-Gardiner, “And The Winner is… Indonesian Women in Public
Life” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), Women in Indonesia: Gender,
Equity and Development, Singapura: Seng Lee Press, hlm. 103.
144
Lihat artikel “Kini Saatnya: Emansipasi Keluarga, Femina No. 50 Tahun XIII
terbitan 24 Desember 1985, hlm. 33-34.
145
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
per kapita untuk kebutuhan non konsumsi dari 39,72% di tahun 1987 menjadi 39,64%
pada tahun 1990.146
Apabila semula perempuan hanya mengemban tugas untuk mengasuh dan
mendidik anak, kini dapat berperan serta sebagai pencari nafkah meskipun hingga
tahun 1991 gaji yang diterima masih bawah jumlah rata-rata nafkah hidup secara
umum.147 Sebaliknya, peran laki-laki dalam pengelolaan rumah tangga mulai bergeser
karena bersedia berbagi tugas dan merambah ranah domestik. Dalam sebuah angket
yang respondennya merupakan perempuan, Femina melaporkan bahwa 52% suami
bersedia memandikan anak dan 72,7% menyanggupi tugas antar-jemput anak
sekolah.148 Akan tetapi, tindakan heroik sang ayah terpatahkan karena 44,9%
perempuan sepakat untuk membolos kerja bila anak sakit149. Berdasarkan hasil angket
tersebut, Femina menyimpulkan bahwa seiring meningkatnya jumlah perempuan
yang masuk dalam angkatan kerja maka harapan mengenai perubahan pola
pengelolaan rumah tangga akan berwujud nyata. Artinya, kaum perempuan tak perlu
merisaukan kembali kewajiban “peran ganda” ketika hendak mengembangkan cita-
146
Biro Pusat Statistik, 1990, Statistik Indonesia 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik,
hlm. 507.
Kathryn Robinson, 2000, “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi”
dalam Louise Edwards (ed.), Women in Asia: Tradition, Modernity, and Globalisation,
Australia: Allen&Unwin, hlm. 151.
147
Baca kolom Aksen “Hasil Angket 20 Tahun Femina: Wanita Bekerja Telah
Berubah”, Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993, hlm. 29.
148
149
Ibid, hlm. 30.
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
citanya.150 Harapan ini seakan menemukan pintu terangnya ketika muncul dua figur
perempuan yang menjadi perbincangan publik.
c.
Perempuan dalam Ruang Publik
Seiring dengan perubahan zaman, penerimaan sosial akan keberadaan
perempuan sebagai figur semakin meningkat meskipun berjalan lambat, terlebih jika
menyangkut politik. Kehadiran figur publik mampu memecah domestikasi
perempuan yang selalu diragukan untuk tampil, baik sebagai tokoh maupun
pemimpin. Kedudukan perempuan dalam ruang publik cenderung diabaikan, kecuali
jika melibatkan hubungannya bersama “pangeran”, terutama sebagai landasan
genealogis, misalnya Princess Diana dan Pangeran William. Pada periode 1986-1993
hadir dua figur perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan tampil di publik
sebagai dirinya sendiri, yaitu astronot Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan pebulu
tangkis Susi Susanti.151
Akan tetapi ketika negara mendesak perempuan supaya terlibat dalam proses
pembangunan, pada kesempatan lain, melalui sebuah pidatonya di tahun 1993
Soeharto justru mengembalikan posisi subordinasi perempuan dengan berkata,
“meningkatnya jumlah ibu-ibu yang bekerja juga menyebabkan kurangnya waktu
bagi mereka terhadap kehidupan keluarga... maka kaum pria perlu memperluas
150
Ibid.
151
Pratiwi Pujilestari Sudarmono merupakan salah satu calon awak satelit Palapa
yang akan dilepaslandaskan pada tahun 1987. Sementara itu, Susi Susanti berhasil
memenangkan medali emas pada Olimpiade Barcelona.
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupannya dalam keluarganya”.152 Secara tersembunyi, Soeharto kembali
memperjelas bahwa peran ataupun keberadaan perempuan hanya bernilai oleh adanya
laki-laki.153 Selain itu, pada kenyataannya memperlihatkan ada banyak institusi sosial
belum berfungsi optimal untuk mendukung proses tersebut.154 Salah satunya dapat
kembali kita amati melalui iklan pembalut dalam Gadis dan Femina yang terbit pada
periode 1986-1993. Bagian selanjutnya memaparkan visualisasi iklan pembalut
berkaitan dengan rekonstruksi kehidupan perempuan, yang terpengaruh oleh
kebijakan negara dalam pembangunan.
B.
Perubahan Iklan Pembalut Periode 1986 – 1993
Pemerintah menitahkan peran ganda perempuan sebagai bagian dari
pembangunan. Selain menjadi ibu, yang mengasuh anak, perempuan hendaknya juga
bekerja di sektor-sektor publik. Akan tetapi dalam prosesnya, media massa yang
memuat sosok perempuan, baik sebagai figur, obyek penulisan atau model iklan
justru mempertebal dinding stereotype dan gambaran perempuan berkaitan dengan
152
Julia I. Suryakusuma, 1998, op.cit, hlm. 149.
153
Meskipun ikut serta, kesadaran laki-laki memahami bahwa pekerjaan rumah
tangga bukan hanya tanggung jawab perempuan semata masih minim. Laki-laki lebih
menyukai bahwa apa yang dilakukan dalam pengelolaan rumah tangga adalah membantu
partner perempuan bukan sebagai tanggung jawab bersama. Lihat Angela Y. Davis, 1981,
“The Approaching Obsolescence of Housework: A Working Class Perspective” dalam
Women, Race and Class, New York: Random House, hlm. 222-223.
Emmy Susanti, 1998, “Menggugat Bias Gender dalam Logika Pembangunan”
dalam (ed.) Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto, op.cit, hlm. 79.
154
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
fungsi reproduksi, seperti judul artikel “Gadis Diantri Sampai Malam”.155 Dalam
industri kapitalis, perempuan mendominasi peran konsumsi sekaligus eksekutor bagi
ideologi pembangunan Indonesia yang terasa nikmat hanya oleh kelas sosial
menengah atas. Hal tersebut dapat kita temukan dalam visual iklan-iklan pembalut
yang dimuat oleh majalah Gadis dan Femina pada periode 1986 hingga 1993 berikut
ini.
1. Iklan Pembalut Tahun 1986
Di tahun 1986, Femina memperkenalkan sebuah produk pembalut baru
bernama Carefree yang dapat digunakan setiap hari.156 Kata “carefree” sendiri dalam
bahasa Inggris diartikan sebagai free from care; having no worries ataupun
irresponsible.157
Pencipta
produk
Carefree,
yakni
perusahaan
global
Johnson&Johnson,158 dengan cerdik memilih kata “carefree” bukan hanya sebagai
merek melainkan dapat berperan menjadi slogan bahkan identitas dari produk. Bukan
lagi esensi penggunaan produk, melainkan sensasi “terbebas dari rasa cemas dan
155
Artikel tersebut sesungguhnya menceritakan kunjungan redaksi majalah Gadis
ke Ujungpandang. Namun pencantuman judul justru mengandung makna berbeda (konotasi)
karena sebagai obyek, si “gadis” bersifat pasif sehingga diantri sampai malam layaknya
gudeg atau pekerja seks komersil. Lihat Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990,
hlm. 23.
156
Femina No. 23 Tahun XIV terbitan 10 Juni 1986, hlm. 107. Lihat gambar 11.
157
Lihat www. merriam-webster. com, diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul
01:25 WIB.
158
Johnson&Johnson mulai memproduksi Carefree pada tahun 1976. Di tahun
1997, produk Carefree sukses memegang penjualan sebesar 10% di pasaran pembalut
perempuan Amerika Serikat. Baca www.carefreeliners.com, diakses pada tanggal 10 Maret
2016 pukul 01:48 WIB.
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
susah” yang hadir melalui merek maupun slogan Carefree. Apabila seorang
perempuan menggunakan pantiliner Carefree setiap harinya, maka ia akan terbebas
dari rasa cemas dan susah, bahkan terbebas dari tanggung jawab. Pasalnya, tanggung
jawab terhadap tubuh yang seharusnya dilakoni oleh setiap perempuan telah
tergantikan oleh Carefree.
Selain itu adanya produk Carefree kebutuhan perempuan terhadap pembalut
mulai bersifat adiktif karena harus digunakan setiap hari. Eksplorasi produsen
Carefree bukan lagi sebatas menstruasi, yang intensitasnya sebulan sekali. Kalimat
rayuan “Carefree melindungi pakaian dalam Anda dari “noda” dan kelembaban yang
sering mengganggu” menyodorkan kebutuhan baru yang dapat mengatasi gangguan
harian perempuan. Meskipun, sesungguhnya gangguan yang dimaksud merupakan
ciptaan dari perusahaan Carefree sendiri supaya meraup keuntungan lebih besar.
Namun saat bersamaan, Carefree menutup kebenaran mengenai masalah kesehatan
yang timbul akibat penggunaan rutin, misalnya iritasi.159
Sang model iklan yang mengenakan gaun bercorak floral berwarna merah
muda, sepatu hak tinggi, dan menenteng tas genggam tengah berada di sebuah
pertokoan. Hal ini dapat kita amati dari lokasi pengambilan gambar di belakang tubuh
model yang memperlihatkan deretan manekin. Salah satu elemen yang mencuri
159
Dalam klikdokter.com disampaikan bahwa penggunaan rutin pembalut jenis
panty liner, seperti Carefree, justru dapat memicu pertumbuhan jamur dan bakteri akibat
lembab karena sirkulasi udara pada daerah vagina terhalangi. Sampai saat ini kebenaran
informasi mengenai dampak penggunaan pembalut masih minim. Hasil penelitian mengenai
pembalut yang berhasil menemukan dampak buruk dari penggunaannya sering kali tidak
terpublikasi hingga ke masyarakat karena telah disensor sendiri oleh pihak produsen.
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pandangan mata penonton iklan adalah dominasi penggunaan warna merah muda,
bukan hanya tampilan produk tetapi juga pakaian sang model. Pihak perancang iklan
mencomot konstruksi sosial terhadap warna merah muda yang terkesan feminin160
sekaligus melanggengkan stereotype mengenai perempuan adalah pembelanja.
Gambar 11. Carefree (Sumber: Femina 1986)
Selain mendorong perempuan supaya memiliki ketergantungan terhadap
barang komoditi, Carefree juga mendesak adanya tindakan belanja identitas.
Perempuan sebagai penonton iklan memahami bahwa dengan menggunakan Carefree
160
Bandingkan dengan iklan pembalut Soft&Easy yang juga didominasi oleh warna
merah muda sebagai penanda mengenai perempuan girlish. Lihat halaman 28.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih memiliki “gerak langkah segar…penuh percaya diri sepanjang hari”. Agar
tampak meyakinkan, perancang iklan menempatkan sosok perempuan bergaun merah
muda, bersepatu hak tinggi dan tengah melangkah mantap di pertokoan yang dipadati
orang sebagai perwujudan dari ungkapan tersebut.
Gambar 12. Tampon Tampax (Sumber: Gadis 1986)
Pada halaman ke-53 majalah Gadis tahun 1986 memuat sebuah iklan
berbentuk artikel dengan judul “Menjadi Dewasa” mengenai kehadiran teknologi
menstruasi terbaru di Indonesia yang disebut tampon Tampax.161 Remaja putri yang
berperan sebagai figur iklan menuturkan kesukarannya ketika mengenakan pembalut
karena menyebabkan lecet pada area vaginanya dan rentan bocor sehingga menodai
pakaiannya. Masalah terhenti ketika salah seorang temannya yang berasal dari
161
Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 53. Lihat gambar 12.
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Amerika memperkenalkan penggunaan tampon. Awalnya, remaja putri meragukan
tampon yang dikhawatirkan akan menghilangkan keperawanannya. Pihak perancang
iklan dan pencipta tampon Tampax dari Amerika Serikat162 telah lebih dahulu
mengetahui bahwa dalam tradisi masyarakat Indonesia yang didominasi Islam,
keperawanan merupakan satu pokok penting bagi perempuan. Berbeda halnya dengan
masyarakat Barat, yang telah terbebas oleh konstruksi pentingnya keperawanan bagi
seorang perempuan. Demi menjaga pola konsumsi terhadap Tampax, perancang iklan
menenangkan keraguan pembaca bahwa “suatu hal yang jauh dari kenyataan” jika
keperawanan hilang disebabkan oleh penggunaan tampon. Akhirnya ketika remaja
putri memutuskan untuk menggunakan tampon ungkapan kesannya justru jauh dari
kenyataan mengenai keperawanan karena, “kalau tidak karena tampon Tampax
mungkin saya harus tinggal di rumah!”.163
Kekuasaan Amerika sebagai pencipta kebudayaan populer mampu
menjangkau dan mempengaruhi kehidupan reproduksi remaja putri di Indonesia.
162
Tampon Tampax merupakan produk global yang berasal dari perusahaan P&G.
Kampanye penggunaan tampon Tampax sendiri kini berkembang menggunakan isu ekologis,
bahwa produknya lebih ramah lingkungan karena mudah terurai sehingga tidak menyebabkan
penumpukan sampah layaknya pembalut biasa. Namun sebuah pengalaman yang dituturkan
oleh Meghan Telpner mengungkapkan bahwa penggunaan tampon Tampax secara rutin
setiap menstruasi tiba menyebabkan saluran rahimnya mengalami peradangan akibat terkena
zat kimiawi dalam tubuh silinder tampon. Baca www.beinggirl.com, diakses pada tanggal 21
April 2016 pukul 2:27 WIB. Baca juga Meghan Telpner, 2009, Tampax Tampons: Toxic
Death Sticks, diakses dari www.denmarkonline.dk, pada tanggal 21 April 2016 pukul 2:38
WIB.
163
Berkaitan dengan hal ini, banyak ujaran yang menggunakan tema keperawanan
untuk tujuan membatasi atau melarang. Misalnya, “anak perawan tidak boleh keluar malam”
atau “anak perawan kok main ke rumah laki-laki”. Ujaran demikian justru menyiratkan
bahwa anak perawan lebih baik tinggal di dalam rumah, bertentangan dengan ungkapan gadis
dalam iklan Tampax yang seakan menggambarankan kebebasan aktifitas di luar ruangan.
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Praktek imitasi terhadap budaya Amerika cenderung langgeng berkat adanya pasar
internasional,
salah
satunya
adalah
remaja
putri
tersebut,
yang bersedia
membelanjakan penghasilan orang tuanya untuk membeli produk dari negara-negara
maju. Pilihan remaja putri untuk mengikuti saran teman Amerika-nya telah
membentuk identitas baru dirinya sebagai bagian dari budaya global yang tidak hanya
“tinggal di rumah”. Dalam proses ini, baik anak muda, kaum perempuan ataupun
keduanya merupakan motor utama penggerak terbentuknya budaya global karena
mendominasi dalam peran sebagai pembelanja maupun .peraga media pemasaran.
Tubuh perempuan memiliki peran sentral dalam penjualan komoditi, karena
mendominasi pembentuk gambaran dan tanda kepada para penonton iklan. Apabila
laki-laki sebagai penonton iklan, maka pemahaman yang timbul justru ketidaktahuan
bagaimana cara menggunakannya.164 Iklan pembalut cenderung menutupi wujud dari
produk yang ditawarkan dengan menggantikannya menggunakan tubuh perempuan.
Dengan cara seperti ini, tubuh model merebut fokus terhadap esensi produk pembalut
sehingga bagi penonton laki-laki perihal menstruasi hanya menjadi masalah
perempuan dan tabu untuk diungkapkan secara umum.
Namun bagi perempuan sebagai penonton, sosok model iklan merupakan
jembatan menuju gaya hidup berkelas dan dekat dengan budaya populer. Maka,
164
Tiga laki-laki sebagai narasumber secara bersamaan mengutarakan kebingungan
mengenai bagaimana caranya menggunakan pembalut karena hingga kini iklan produk
menstruasi tidak pernah memperlihatkan cara pemakaian. Meskipun demikian, ketiga lakilaki ini tetap kukuh tidak ingin tahu penggunaan pembalut dengan beralasan, “seperti itu kok
diiklankan”. Wawancara terhadap Rizal (27 tahun, pekerja), Alam (24 tahun, pelajar), Eko
(40 tahun, pegawai) dan Bayu (24 tahun, pelajar), dilakukan pada tanggal 27 Februari 2016,
pukul 9:43 WIB.
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tujuan iklan pembalut bukan lagi sekedar menawarkan manfaat penggunaan produk
melainkan juga sarana untuk menyebarkan kebudayaan populer yang diminati
kelompok menengah atas, melalui konsumsi gaya hidup sosok peraga. Iklan pembalut
lihai mempermainkan rayuan yang dinamis tersebut, antara tabu menstruasi dan gaya
hidup berkelas.
Contoh lainnya dapat kita amati pada iklan Kotex yang muncul dalam dua
halaman sekaligus di majalah Gadis pada tahun 1986. Kali ini, Kotex menggunakan
bagian tubuh perempuan dari batas pinggul hingga betis sebagai peraga iklan.165
Pihak perancang iklan Kotex memanfaatkan bagian pinggul hingga betis sebagai daya
tarik sensual dari sosok perempuan. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul
dan anggota tubuh yang lain merupakan fragmen tanda sebagai obyek “fetish“,
seakan mewakili totalitas tubuh serta jiwa perempuan.166
Absennya wajah peraga justru mengungkapkan ketiadaan kehidupan
sekaligus rahasia dari si pemilik tubuh sensual yang sedang mengalami menstruasi
sehingga malu untuk diketahui publik. Hal ini semakin diperkuat oleh posisi sapu
tangan yang dibentangkan menutupi bagian pantat. Jika menstruasi mengalir deras
hingga merembes keluar pakaian, maka pada bagian pantat-lah darah akan membekas
secara kentara. Apabila tujuan sapu tangan memang berkaitan dengan menstruasi
165
Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 87. Lihat gambar
13.a.
Eva Leiliyanti, 2003, “Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah
Cosmopolitan”, Jurnal Perempuan No. 28 terbitan Maret 2003, hlm. 82.
166
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
maka penggunaannya kurang tepat karena bukan berbahan handuk yang memiliki
daya serap tinggi.
Gambar 13.a. Kotex (Sumber: Gadis 1986)
Potongan tubuh yang mengenakan rok span, gelang emas yang terlilit di
pergelangan tangan kanan dan sapu tangan bercorak bunga terompet serta burung beo
merupakan penanda dari sebuah identitas. Hanya perempuan perkotaan atau pekerja
kantoran yang berkenan mengenakan rok span, mengalungkan gelang emas di
pergelangan tangan dan tambahan aksesoris sebuah sapu tangan. Produk Kotex telah
menyadur elemen-elemen urban perkotaan sebagai bujuk rayu penjualan, yang
diharapkan bukan sekadar dikonsumsi oleh kelas menengah atas namun juga semua
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kalangan. Hal ini tercermin dari penggunaan kata “Anda” yang menjangkau
perempuan jauh lebih luas ketimbang aksesoris pada tubuh model iklan.
Perancang iklan Kotex memberitahu perempuan bahwa tidak seorang pun
bakal mereka-reka rahasia yang tersembunyi di balik sapu tangan tersebut. Meskipun
sejujurnya, baik perempuan maupun laki-laki sudah mengetahui secara pasti rahasia
yang dimaksud, yaitu “tembus belakang” sehingga lebih baik menggunakan Kotex
untuk menanggulangi kejadian serupa.167 Artinya, meski berada dalam kesatuan
namun tubuh perempuan dapat terpecah menjadi fragmen-fragmen yang mengikuti
kepentingan pasar.
Produsen Kotex mendikte perempuan untuk mengikuti arahan yang tertera
dalam iklan supaya menjadi ideal dan modern. Pada halaman ke-89 di majalah Gadis,
Kotex melanjutkan penawaran produk yang terkategori menjadi tiga jenis, yakni
super, regular dan slim.168 Awalnya, perempuan dikondisikan untuk membutuhkan
pembalut. Namun satu pembalut saja tidak cukup, maka Kotex menciptakan tiga
kebutuhan dengan varian berbeda yang bisa digunakan saat menstruasi banyak
(super), sedang (regular) maupun sedikit (slim).
167
Tiga perempuan dan lima laki-laki sebagai narasumber menjawab mengetahui
tujuan penggunaan sapu tangan yang dibentangkan di bagian pantat model iklan, yaitu “untuk
menutupi tembus belakang”. Wawancara terhadap Devi (51 tahun, ibu rumah tangga),
Stephanie (23 tahun, pelajar), Ani (38 tahun, aktivis lingkungan), Rizal (27 tahun, pekerja),
Bayu (24 tahun, pelajar), Estu (24 tahun, pekerja), David (38 tahun, pengajar) dan Galang (30
tahun, pegawai), dilakukan pada tanggal 2 Maret 2016, pukul 21:00 WIB. Juga dilakukan
pada tanggal 4 Maret 2016, pukul 13:21 WIB.
168
Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986, hlm. 89. Lihat gambar
13.b.
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 13.b. Kotex (Sumber: Gadis 1986)
Istilah-istilah tersebut tentunya hanya dapat dipahami oleh kelompok
masyarakat yang mengerti bahasa Inggris, yakni kelas sosial menengah atas. Selain
itu, istilah-istilah tersebut menyatakan perbedaan bentuk-bentuk pembalut yang dapat
digunakan sesuai sedikit-banyaknya darah menstruasi sekaligus sebagai penegasan
representasi Kotex sebagai perusahaan multinasional. Kotex yang berada di bawah
naungan koorporasi Kimberly-Clark USA169 berhasil menginvasi area privat dan
169
Selain Kotex, koorporasi Kimberly-Clark juga menghasilkan produk-produk
global lainnya, misalnya tisu Kleenex, popok bayi Huggies, dan pembersih Scott. Baca
www.kimblerly-clark.com, diakses pada tanggal 25 Maret 2016, pukul 10:16 WIB.
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memukul rata kebutuhan seluruh perempuan di dunia melalui konsumsi atas produkproduknya.170
Ketiga iklan pembalut yang beredar pada tahun 1986 di atas memperlihatkan
kesamaan, yaitu gambaran menjadi modern. Iklan Carefree menggambarkan
perempuan modern sebagai pemakai pantyliner setiap harinya agar terbebas dari rasa
lembab dan tetap higienis. Sementara gambaran modern dalam iklan Tampax adalah
ketika perempuan beralih menggunakan tampon yang lebih memungkinkan
kebebasan tanpa sakit lecet akibat pembalut. Iklan Kotex yang terakhir memberikan
gambaran modern melalui peluncuran tiga varian produk yang digunakan sesuai
waktu dan masa menstruasi. Meskipun iklan Tampax menempatkan perempuan
remaja sebagai figur namun masing-masing representatif dari ketiga iklan produk
tersebut kentara menyasar kelas menengah. Namun secara diam-diam juga merayu
perempuan yang bukan berasal dari kelas menengah supaya meningkatkan mobilitas
sosialnya melalui gambaran modern layaknya figur dalam iklan, fashionable, penuh
percaya diri, bebas beraktifitas dan menggunakan pembalut.
2. Iklan Pembalut Tahun 1990
Di awal tahun 1990, sebuah produk pembalut baru bernama Laurier171 ikut
meramaikan halaman iklan dalam majalah Gadis.172 Produsen Laurier menawarkan
170
Lihat Herbert Marcuse, op.cit, hlm. 10-11.
171
Laurier merupakan salah satu produk dari perusahaan multinasional KAO,
Jepang yang memulai ekspansi bisnisnya di Asia, mencakup Indonesia pada periode 1990
hingga 2000. Diakses dari wikipedia.org, pada tanggal 2 Februari 2016 pukul 3:46 WIB.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
teknologi baru, yaitu wonder gel, yang merupakan bahan penyerap sehingga
menghindarkan pembalut dari kemungkinan bocor. Iklan Laurier menyuguhkan
ilustrasi dari produk pembalut yang disertai oleh keterangan masing-masing kebaruan
teknologinya. Produk Laurier memukau penonton dengan lapisan anti bocor samping
yang lembut, wonder gel pengubah cairan darah menjadi jelly dan tiga garis perekat
kuat namun mudah dilepas. Ketiga keunggulan di atas bukan kebutuhan utama dan
alasan pokok penggunaan produk pembalut. Meskipun demikian pencantuman istilah
yang terdengar tidak familier dan berbahasa Inggris justru menjadi salah satu daya
jual.
Kalimat pembuka dalam pemaparan iklan, “Ganti lagi… ganti lagi”,
merupakan senjata penjualan Laurier. Kehidupan serba modern yang diperlihatkan
melalui sosok model perempuan di depan layar komputer berlawanan dengan
repotnya menggonta-ganti pembalut supaya terhindar dari kemungkinan bocor. Oleh
karena itu, layaknya komputer yang mampu menghemat waktu Laurier pun
menciptakan wonder gel supaya lebih cepat mengolah darah menjadi cairan sehingga
perempuan pengguna tidak harus bolak-balik mengganti pembalutnya. Meskipun
terkesan memudahkan, namun Laurier menutup mata perempuan mengenai
pentingnya penggantian pembalut. Pasalnya, rasa lembab di permukaan pembalut
yang telah menghisap darah menstruasi bisa memicu pertumbuhan jamur berbahaya
172
Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990, hlm. 2. Lihat gambar 14.
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagi kesehatan vagina jika tidak menggantinya dalam waktu dua hingga empat
jam.173
Gambar 14. Laurier (Sumber: Gadis 1990)
Pihak perancang iklan dengan jeli menyematkan slogan yang berlawanan
dari “bebas bergerak” sebagai penyebab merembesnya darah menstruasi, yakni
“Aman dari kebocoran meski duduk lebih lama”. Dengan demikian tren bebas
bergerak yang sebelumnya beramai-ramai diusung oleh perancang iklan pembalut
kini telah berganti. Perancang iklan memungut kebijakan pemerintah mengenai peran
173
Baca http://www.theperiodblog.com/, diakses pada tanggal 3 April 2016 pukul
4:34 WIB.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ganda sebagai tema baru penjualan pembalut sehingga perempuan pekerja tidak perlu
khawatir akan kebocoran menstruasi ketika duduk lama mengerjakan sesuatu.
Ironisnya, pekerjaan publik bagi perempuan cenderung dipahami sebagai pegawai
kantoran, misalnya sekretaris, layaknya figur dalam iklan Laurier.
Dalam kapitalisme iklan aktif sebagai sarana reproduksi sosial, yang
diungkapkan oleh Arie S. Pamungkas, “hanya berimplikasi pada perempuan kelas
menengah atas”.174 Alih-alih menawarkan kebutuhan, iklan pembalut lebih bersifat
sebagai petunjuk terhadap gaya hidup dari kelas sosial tertentu sehingga rentan
menimbulkan kecemburuan sosial. Iklan menjadi arena kompetisi yang lebih
mementingkan konsep uang dan harga dari gaya hidup.
3. Iklan Pembalut Tahun 1992
Sebagai gambaran, mari kita melihat iklan Softex yang memakan tiga
halaman penuh dengan masing-masing menyuguhkan model dan cerita tersendiri
namun tetap berkaitan satu sama lain.175 Majalah Femina terbitan Maret 1992
memuat seorang perempuan mengenakan blus dan rok pendek beserta stocking tipis
hitam tengah berpose membuka pintu mobil. Jemari kaki kanannya yang terbungkus
sepatu hak tinggi terlihat akan menapak, sementara tangan kirinya memegang sebuah
174
Disampaikan oleh Arie S. Pamungkas dalam acara Bedah Buku dan Diskusi
Terbuka “Kongres Perempuan Indonesia Pertama karya Susan Blackburn” tanggal 14 Maret
2016.
175
Femina No. 11 Tahun XX terbitan 12 Maret 1992, hlm. 61-63.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tas genggam.176 Senyumnya seakan menjawab slogan iklan yang terpampang, “Siapa
pun Anda”.
Ya, model perempuan dalam iklan adalah suatu penanda dari slogan. Ia
adalah bagian dari “Siapa pun Anda”, yakni mereka yang menggunakan mobil
pribadi sebagai alat transportasi sehari-hari, mengenakan sepatu hak tinggi, dan
aksesoris perhiasan di tangan serta telinga. Sulit mengatakan bahwa perempuan
dalam iklan adalah seorang pekerja karena pakaian yang dikenakan lebih bersifat
semi-formal, yaitu blus, rok pendek dan stocking hitam.
Sosok yang ditampilkan oleh iklan Softex merupakan perwakilan dari
konstruksi sosial terhadap perempuan. Pengandaian kegiatan perempuan selalu dekat
dengan hal non-produktif, yaitu bukan di perkantoran tetapi pusat perbelanjaan.
Dengan demikian, gambaran perempuan selalu identik sebagai tukang belanja
sementara laki-laki adalah working class hero. Tanpa disadari, konstruksi ini
membentuk ekspresi figur perempuan dalam iklan yang dilarang keras untuk tampil
lesu dan harus tetap cantik, toh tidak pernah bekerja. Oleh karena itu, meskipun
menstruasi sering menimbulkan rasa sakit figur perempuan dalam iklan Softex harus
tetap nampak berbahagia, seakan menikmati waktu bersantainya dengan mobil, wajah
berkosmetik, pakaian semi-formal, dan aksesoris mewah. Sasaran konsumen Softex
adalah “Siapa pun Anda”, yaitu perempuan mana pun asalkan setara dengan figur
iklan tersebut.
176
Lihat gambar 15.a.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 15.a. Softex (Sumber: Femina 1992)
Sementara di halaman ke-62, perempuan lain yang berbeda gaya berpakaian
dan berpose lebih menarik terlihat mengekspresikan kalimat “Tak ada yang lebih
mengerti kebutuhan anda”.177 Serupa dengan figur iklan sebelumnya, sosok
perempuan tersebut tengah menikmati waktu santainya di sebuah tangga. Meskipun
latarnya terlihat siang hari, yaitu jam-jam aktif orang bekerja namun figur perempuan
tersebut justru bertingkah sebaliknya. Hal ini kembali menegaskan bahwa peran
ganda yang diemban oleh perempuan jumlahnya tetap tidak mampu seimbang.
Stereotype perempuan tetap lekat bukan sebagai pekerja.
177
Lihat gambar 15.b.
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 15.b. Softex (Sumber: Femina 1992)
Meskipun demikian sosok perempuan kali ini tampak berbeda karena
menanggalkan gambaran feminine seperti rambut panjang dan pemakaian rok. Akan
tetapi subang merah panjang serta sepatu hak tinggi tetap memposisikan figur iklan
sebagai perempuan modis. Gaya rambut pendek, yang semula hanya dilakukan oleh
laki-laki menemukan pengguna barunya, yaitu kaum perempuan. Secara sederhana,
potongan rambut pendek dipahami sebagai dobrakan terhadap kejemuan atas
konstruksi sosial bahwa perempuan seharusnya berambut panjang. Namun lebih dari
itu, sebuah penemuan mengungkapkan bahwa tren rambut pendek biasa digunakan
oleh perempuan karier yang bekerja pada wilayah manajerial. Laki-laki cenderung
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menguasai jenis pekerjaan manajerial, maka ketika perempuan berada di dalamnya
maka harus ditampilkan sifat-sifat maskulin, seperti rambut pendek. Kerja manajerial
memerlukan “sikap tegas, independen, dan tampang meyakinkan.178
Gambar 15.c. Softex (Sumber: Femina 1992)
Halaman berikutnya, tagline “Selain Softex” bersanding dengan sosok
perempuan anggun bergaun merah yang tengah asyik menikmati tehnya di sebuah
kursi mewah.179 Sembari meminum teh, perempuan tersebut terlihat sedang membaca
sebuah majalah. Entah majalah perempuan atau lainnya, namun kegiatan ini tidak
178
Daniel Dhakidae, op.cit, hlm. 575.
179
Lihat gambar 15.c.
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mungkin dilakukan oleh perempuan yang hidup di daerah pertanian atau bekerja
sebagai buruh. Hal ini semakin diperjelas oleh cat kuku merah yang melekat di jemari
dan riasan wajah di bagian mata perempuan tersebut. Penggunaan majalah sebagai
obyek tatapan figur iklan, mendorong penonton untuk mendekati keidealan dari
gambaran perempuan yang berkelas dan pintar, karena membaca, sekaligus tampak
nyaman karena menggunakan Softex. Mimik wajah, cara duduk dan memegang
cangkir teh merupakan cerminan dari rasa kenyamanan tersebut.
Mengamati gaya berpakaian, pose dan kelengkapan properti yang digunakan
oleh ketiga perempuan dalam iklan Softex, seperti tas genggam, sepatu berhak tinggi
dan subang emas membawa kita kepada kebuntuan, karena tidak berkaitan dengan
menstruasi. Iklan Softex justru secara gamblang mengungkapkan hal lainnya, yaitu
pengakuan akan sebuah identitas tertentu. Tamrin Amal Tamagola menjelaskan
dengan baik bahwa aspek pakaian “kerja”, gaya rambut, kosmetika, hingga tas
genggam digunakan sebagai pernyataan atas status perempuan berkarier, terutama
yang belum menikah.180
Ketiga perempuan secara bersamaan menampilkan gambaran mandiri ala
“perempuan karir”, “kesuksesan” dengan adanya kehadiran mobil, “kenyamanan”
sembari meminum teh, dan atribut lainnya yang beroposisi terhadap nilai-nilai
tradisional. Tubuh perempuan dalam iklan di atas mengalami pertemuan antara dua
ideologi yang bertolak belakang, yaitu kecantikan dan keseragaman (atau
180
Daniel Dhakidae, op.cit, hlm. 575.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seragam).181 Kedua ideologi ini tidak mungkin bertemu selain dalam modal dan
kekuasaan, yang merumuskan pembentukan politik tubuh. Komposisinya sendiri
merupakan sekumpulan manusia yang disatukan seolah-olah sebagai satu tubuh oleh
kekuasaan publik demi kedamaian bersama, pertahanan dan manfaat.182
Kecenderungan memotret tubuh perempuan justru menjauhkan kita dari
realitas, karena yang direpresentasi hanya gambaran bukan realita. Dengan demikian,
iklan Softex tak sekadar bertugas sebagai agen pemasaran akan tetapi mendominasi
peran untuk menyebarkan kesadaran baru supaya penonton perempuan menyesuaikan
diri terhadap konsumsi produk global yang dapat mewujudkan kenikmatan layaknya
gambaran masyarakat kelas menengah atas. Berbanding terbalik dengan hal tersebut,
tubuh perempuan sebagai figur iklan justru mengalami kematian, tidak berarti
apapun, karena larut dalam ideologi dan kepentingan kapitalisme.
4. Iklan Pembalut Tahun 1993
Dominasi kapitalisme secara perlahan dan tak kentara mengendalikan
perempuan dengan cara menimbulkan orientasi terhadap aktivitas konsumsi.
Perempuan tidak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya karena kapitalisme telah
181
Seragam dalam konteks ini bukan hanya sekadar suatu model pakaian yang
mengatur lekak-lekuk tubuh, tetapi menciptakan suatu gambaran tentang jenis kehidupan
penuh disiplin. Ironisnya, juga memperlihatkan sikap tunduk dalam suatu kelompok terhadap
atasan yang bersifat hierarki dan hanya mendengar perintah. Misalnya, seragam Wanita
Katolik (WK) yang bertujuan selain sebagai identitas eksistensi terhadap kelompok lainnya
juga merupakan pelaksanaan perintah dari hierarki lebih atas. Ibid, hlm. 573.
182
Pada dasarnya, tubuh merupakan target yang mudah untuk digunakan sebagai
obyek hukuman. Meskipun demikian, sejarah menemukan bahwa tubuh juga menjadi obyek
penelitian meraih ilmu pengetahuan di abad ke-19. Baca Chris Shilling, 2002, The Body and
Social Theory, London: Sage Publications, hlm 67. Baca juga Daniel Dhakidae, op.cit, hlm
576.
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menentukan pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang berdasarkan
kepentingan meraih laba tinggi. Sebagaimana Laurier yang menawarkan tiga jenis
produk, yaitu night safe, regular dan maxi.183
Gambar 16. Softex (Sumber: Femina 1993)
Meskipun terkesan memberikan tiga pilihan sekaligus yang dapat digunakan
sesuai kebutuhan, namun produsen Laurier memaksa perempuan supaya memenuhi
kriteria slogan “Perlindungan sempurna di hari-hari menyulitkan” dalam iklan. Sosok
perempuan sebagai figur iklan membuktikan kesempurnaan produk Laurier dengan
posisi berdirinya yang menyamping sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya
183
Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993, hlm. 80. Lihat gambar 16.
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
secara kentara meskipun dalam balutan jas dan rok span ala pekerja. Dalam hal ini,
baik Laurier maupun tubuh perempuan sama-sama merupakan komoditas untuk
dijual. Produk Laurier dijual oleh figur perempuan dalam iklan, yang mempunyai
nilai jual berdasarkan bentuk pantat dan betis.184
Gambar 17. Sofie Panty Shields (Sumber: Femina 1993)
Iklan yang menggunakan gambaran perempuan pekerja kantoran kembali
muncul di bulan Agustus pada Femina halaman ke-54.185 Produsen Sofie Panty
Baca Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2004, “Putih, Femininitas dan Seksualitas
Perempuan dalam Iklan Kita”, Jurnal Perempuan No. 37 terbitan September 2004, hlm. 55.
184
185
Femina No. 31 Tahun XXI terbitan 12-18 Agustus 1993, hlm. 54. Lihat gambar
17.
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Shields melihat pencanangan peran ganda perempuan sebagai semangat baru dari
emansipasi. Hal ini tercermin dalam teks, “Wanita masa kini seperti Anda, sama
sibuknya dengan pria. Tak heran bila wanita aktif sering mengalami stress”.
Melalui teks tersebut, produsen Sofie Panty Shields menggambarkan bahwa
perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki dalam lingkungan bekerja. Keduanya
dapat merasakan kesibukan yang sama. Namun dalam kalimat berikutnya kesamaan
ini dihentikan dengan gambaran lain, bahwa perempuan aktif sering mengalami stres.
Gambaran mengenai hubungan aktif dan stres tidak menyertakan laki-laki,
artinya hanya perempuan yang mengalaminya. Lalu apakah laki-laki tidak mengalami
stres? Pertanyaan tersebut justru membawa kepada makna lainnya, bahwa perempuan
boleh bekerja tetapi mereka selalu mengalami stres dan kekuatannya tetap tidak
mampu menandingi laki-laki yang mampu menghindari gangguan atau kekacauan
mental serta emosional. 186
Produsen Sofie Panty Shields mengupayakan pencegahan stres tersebut
dengan mengharuskan perempuan menggunakan produknya. Menurut penelitian
dalam bidang kesehatan reproduksi perempuan stres memang dapat memicu
terjadinya keputihan.187 Bila dalam batas normal dan tidak terus-menerus, keputihan
memang proses alamiah. Namun produsen Sofie Panty Shields membesar-besarkan
186
KBBI menjelaskan stres sebagai gangguan atau kekacauan mental dan emosional
yang disebabkan oleh faktor luar. Lihat kbbi.web.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul
8:02 WIB.
187
Lihat www.healthline.com/symptom/vaginal-discharge, diakses pada tanggal 12
Maret 2016 pukul 8:35 WIB.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keputihan sebagai isu yang menyebabkan rasa tidak bebas dan nyaman. Produsen
Sofie Panty Shields mereka cipta penggunaan produk bertujuan melindungi pakaian
dalam supaya tetap bersih. Lebih lanjut, produsen Sofie Panty Shields merunut bahwa
kebersihan akan berujung pada rasa nyaman sehingga perempuan mampu bebas
bergerak dan aktif bekerja meskipun tetap dalam posisi subordinat.
Mulai dari gambaran perempuan aktif hingga isu keputihan yang dipicu oleh
stres sesungguhnya merangkai sebuah makna besar mengenai kuasa. Pertama,
perempuan mengalami stres sementara laki-laki tidak, karena kuasa patriarki yang
menciptakannya. Kedua, kuasa negara yang membebani perempuan dengan peran
ganda diadopsi oleh iklan Sofie Panty Shields. Perempuan boleh berbangga bahwa
dirinya sama aktifnya
dengan laki-laki. Namun harus mengingat bahwa
keberadaannya tetap lemah sehingga dapat mengalami stres. Agar dapat melewati
hari-hari aktif bekerja dengan nyaman, perempuan harus bergantung pada
penggunaan Sofie Panty Shields. Dengan demikian, iklan Sofie Panty Shields
sebenarnya mengungkapkan sebuah pasung kuasa patriarki terhadap kebebasan dan
keberadaan perempuan.
Melalui pemaparan dari kedua iklan yang terbit pada tahun 1993 di atas
dapat ditarik kesimpulan mengenai maraknya semangat untuk memajukan perempuan
dengan cara memberinya tempat di ruang-ruang publik sebagai pekerja kantoran.
Namun terwujudnya kemajuan tersebut disebabkan oleh kepentingan industri
pembalut, yang hendak memasarkan produk-produknya sebagai “pendamping” ideal
di
lingkungan
kerja.
Kapitalisme
membentuk
perempuan
pekerja
supaya
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membutuhkan tiga varian produk Laurier untuk digunakan pada waktu malam atau
siang hari. Selain itu kapitalisme juga menciptakan mitos bahwa perempuan rentan
akan tekanan bekerja yang mampu menyebabkan stress, ujung-ujungnya hanya
mendikte penggunaan Sofie Panty Shields supaya mendapatkan rasa bebas dan
nyaman setiap menitnya di lingkungan kerja.
Iklan pembalut sesungguhnya mampu berperan sebagai basis politik
emansipasi. Berbagai iklan di atas mampu memperlihatkan aktivitas perempuan
bukan lagi berada dalam wilayah domestik. Namun demikian, basis politik
emansipasi tersebut tidak cukup kuat untuk mendobrak struktur patriarki karena para
perempuan yang aktif di dunia publik hanya melaksanakan perjuangan terbatas untuk
kelompoknya atau bahkan sekadar memenuhi himbauan pemerintah mengenai peran
ganda. Gerakan emansipasi modern ini bahkan rentan menggunakan cara
mensubordinasi perempuan lainnya yang tidak memiliki akses dan kapital budaya
sebagai syarat terlibat dalam kehidupan sosial.188 Di sisi lain, iklan pembalut
seringkali menampilkan sosok perempuan sebagai model dengan setelan bekerja yang
mengarah ke dalam makna oposisi terhadap domestikasi dan label-label tradisional,
seperti setelan bekerja, high heels atau menyetir mobil. Gambaran perempuan yang
erat dengan domestikasi seakan menemukan pintu gerbangnya karena tergambar
dalam ruang-ruang publik. Namun tanpa disadari tanda-tanda tersebut justru
188
Irwan Abdullah, 1993, op.cit, hlm. 359.
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memenjarakan perempuan ke dalam konstruksi-konstruksi yang terus dibuat oleh
negara supaya terus mengikuti aliran kapitalisme.189
189
Eva Leiliyanti, 2003, op.cit, hlm. 73
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.
Kesimpulan
Menurunnya harga minyak dunia yang menimbulkan krisis ekonomi
mendesak pemerintah untuk beralih memajukan sektor non-migas dengan membuka
lebar kesempatan penanaman modal asing sekaligus bantuan dari lembaga keuangan
dunia. Hal ini menyebabkan derasnya arus teknologi dan produk masuk ke Indonesia
yang mempengaruhi kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Dampaknya dapat
terlihat mulai dari kedekatan terbuka Soeharto terhadap kelompok Islam, banyaknya
pendirian stasiun televisi swasta oleh kroni Soeharto, kontrol represif pemerintah
terhadap media massa dan penerbitan, hingga kebijakan pemerintah mengenai peran
ganda perempuan. Negara mempropagandakan perempuan supaya bekerja di area
publik, namun dengan persyaratan untuk tidak melupakan peran ibu rumah tangga.
Sementara itu, media massa justru menyambut hangat kebijakan tersebut yang
diterapkan ke dalam terbitan artikel ataupun iklan, salah satunya produk pembalut.
Meskipun iklan menampilkan sosok perempuan pekerja yang memiliki berbagai
atribut oposisi nilai tradisional, secara bersamaan merepresentasikan kontruksi sosial
mengenai gaya hidup urban, konsumerisme, dan ketergantungan terhadap benda
industri. Dalam hal ini, iklan pembalut selain menawarkan produk tetapi juga
mengkonstruksi kehidupan perempuan supaya larut dalam skenario kapitalisme.
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
CITRA PEREMPUAN INDEPENDEN PERIODE 1994-2000
Menjelang tahun 2000, Indonesia mengalami banyak peristiwa dramatis,
mulai dari krisis ekonomi, demonstrasi dan gejolak sosial hingga terselenggaranya
reformasi kepemimpinan negara. Dalam hal ini, keterlibatan perempuan dalam
pembangunan sebagai pengemban peran ganda sempat mati suri. Kelompok
perempuan mulai aktif terlibat dalam ruang-ruang demokrasi publik, ikut
menyuarakan protes terhadap pemerintah. Sayangnya perjuangan tersebut tidak
bertahan lama karena berbagai produk dan budaya populer yang membawa serta
gambaran mengenai perempuan mulai membanjiri Indonesia. Di Bab IV memaparkan
keterkaitan antara krisis ekonomi, situasi sosial dan politik dengan perkembangan
gambaran perempuan melalui iklan pembalut terbitan tahun 1994 hingga 2000.
A.
Latar Belakang
1. Krisis Ekonomi
Memasuki tahun 1997, krisis moneter (krismon) melanda kawasan Asia tak
terkecuali Indonesia.190. Dampak krismon terhadap Indonesia memburuk oleh adanya
hutang luar negeri yang membengkak. Nasib malang melanda negeri. Tatanan
190
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat kian melemah hingga benarbenar tidak masuk akal menjadi Rp 12.600 di bulan Mei 1998.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perbankan nasional mengalami kekacauan dan korupsi merajalela,191 sementara
devisa nasional justru menipis.192
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia kembali menempuh usaha dengan
meminta bantuan terhadap IMF (International Monetery Fund) yang ternyata tidak
mudah didapatkan. Baik lembaga keuangan dunia maupun negara penyedia dana
bantuan mengajukan persyaratan kepada Indonesia supaya melaksanakan perubahan
kebijakan ekonomi, keuangan, hingga anggaran yang cukup elementer.193 Akan
tetapi, negara justru cenderung menggunakan dana pinjaman untuk menjalankan
191
Antara tahun 1993-1994, muncul dua kasus korupsi yang merugikan negara
dengan nilai uang triliun, yaitu Eddy Tansil dan Kim Johanes Mulia. Keduanya merupakan
pengusaha yang berhasil memalsukan persyaratan pencairan kredit dari badan keuangan
negara. Namun ulasan Gatra justru mampu memaparkan sisi lain dari kasus-kasus korupsi
yang melibatkan para pejabat negara, bahwa sebenarnya mereka membantu dan ikut
menikmati raibnya dana kredit Bapindo.191 Gatra menilai, praktek manipulasi ekspor fiktif
akan semakin rapi apabila bank pelaksana bermain mata dengan eksportir yang bersangkutan,
misalnya untuk membiayai kegiatan atau bisnis pribadi. Pengusaha, yang namanya menjadi
pelaku peminjaman, tentu saja mendapat uang tutup mulut. Gatra Edisi Perkenalan terbitan
Oktober 1994, hlm. 36. Baca juga “Laporan Utama: Bapindo, Subekti, dan Sumarlin”, Tempo
No. 1Tahun XXIV terbitan 5 Maret 1994, hlm. 21-30. Baca juga “Sukhoi dan Bisnis Kim
Johanes”, Berita Satu, diakses dari m.beritasatu.com, tanggal 2 Maret 2016, pukul 04:11
WIB.
Muhamad Hisyam, 2003, “Hari-hari Terakhir Orde Baru” dalam Muhamad
Hisyam (ed.), Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 56.
192
193
Salah satu perubahan dapat dilihat dari kasus penghapusan monopoli BULOG
terhadap impor gandum dan tepung terigu yang disambut gembira oleh masyarakat karena
telah lama menginginkan agar segala bentuk distorsi ekonomi ditiadakan. Akan tetapi
kebijakan ini dilakukan lebih karena persyaratan supaya mendapat kucuran dana dari IMF
atau Bank Dunia ketimbang mendengarkan aspirasi dan usulan oleh rakyat. Lihat Mahmud
Thoha, 2003, “Pasang Surut Perekonomian” dalam Muhamad Hisyam (ed.), op.cit, hlm 263264.
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebijakan ekonomi yang terbuka bagi modal asing atau pasar barang-barang impor.194
Alih-alih mendapatkan surplus pendapatan, Indonesia malah semakin terhisap dalam
ketergantungan terhadap kapitalis dunia.
Ketika pemerintah mengemban tuntutan dari penyedia dana bantuan,
kepercayaan rakyat pun berubah mengendur melihat ketidakseriusan penanganan
krisis ekonomi. Di sisi lain, antara tahun 1980 hingga 1990-an jumlah koorporasi
internasional dan penggabungan modal antar pengusaha lokal maupun Tionghoa terus
mengalami peningkatan.195 Proyek-proyek yang menguntungkan dipegang oleh
politikus ataupun kelompok militer. Perekonomian yang mengalami fluktuasi namun
tanpa penyelesaian disertai marginalisasi terhadap kelompok masyarakat lokal
berkehidupan miskin, sementara negara tetap mengekang dinamika politik
menimbulkan ledakan energi,196 seperti kerusuhan, demonstrasi, hingga tuntutan
reformasi yang dipaparkan pada bagian berikutnya.
194
Arief Budiman, 1995, op.cit, hlm. 74.
195
Rajeswary Ampalavanar Brown, 2006, The Rise of the Corporate Economy in
Southeast Asia, New York: Routledge, hlm. 10.
196
Mencomot penjelasan Daniel Dhakidae yang mengatakan bahwa kerusuhan
politik terjadi bukan hanya disebabkan oleh kebuntuan, tetapi juga faktor lainnya, yaitu ada
energi tak tersalurkan dan meledak karena ketiadaan jalan keluar. Sementara itu, negara tetap
bersikukuh terhadap keterbukaan politik maka jalan reformasi akan nihil terjadi. Reformasi
politik menolak pengekangan. Daniel Dhakidae, op.cit, hlm.370. Baca juga Idi Subandy
Ibrahim, 2000, Pengantar Editor “Melawan ya Melawan tapi Jangan Melawan: Teater Teror
dan Teknologi Kepatuhan” dalam Idi Subandy Ibrahim (ed.), Perlawanan dalam Kepatuhan:
Esai-esai Budaya, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 19-46.
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Gerakan Mahasiswa dan Perlawanan
Perubahan politik di Indonesia mulai memperlihatkan denyutnya pada awal
tahun 1990-an. Mahasiswa memberanikan diri untuk menggelar aksi demonstrasi di
luar lingkungan kampus.197 Semula aksi-aksi ini menuntut agar pemerintah bertindak
segera untuk menurunkan harga-harga kebutuhan pokok yang kian hari melambung
tinggi, serta menghapus monopoli, dan praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)
para pejabat negara atau keluarga penguasa. Selain itu, mahasiswa juga
menginginkan mulainya suksesi kepemimpinan nasional dan berlakunya kedautalan
rakyat.198 Puncaknya, di bulan Mei 1998 ribuan mahasiswa melakukan long march
bersama menuju gedung DPR yang justru menimbulkan korban akibat kekerasan dari
pihak kepolisian dan militer. Empat mahasiswa meninggal karena tembakan senjata
api, sementara 20 korban lainnya mengalami luka-luka.199
Di lain pihak, aktivis kebudayaan dan buruh berupaya merevitalisasi praktik
kebudayaan kiri melalui kesenian dan kesusastraan sebagai tanggapan atas tekanan
politik dari pemerintah.200 Penyair Wiji Thukul dan JAKER (Jaringan Kerja Kesenian
197
Mahasiswa tidak lagi bersikap patuh terhadap himbauan pemerintah mengenai
NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus).
198
Muhamad Hisyam, 2003, op.cit, hlm. 60.
199
Ibid, hlm. 65.
200
Dalam kaitan hal tersebut, kita dapat melihat Wiji Thukul yang menggunakan
puisi untuk mendekonstruksi praktik kebudayaan supaya mencapai gerakan perlawanan dan
demokrasi. Selain itu, juga ada Seno Gumira Ajidarma yang menggunakan sastra untuk
membongkar kekejaman invasi Indonesia terhadap Timor Leste sebagai jalan pengganti atas
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rakyat) membuat kolaborasi bersama organisasi kebudayaan lainnya untuk membina
kelompok buruh, bahkan mengorganisir rangkaian demonstrasi, dan mengakomodasi
karya seni maupun sastra pinggiran yang ditulis berdasarkan komitmen sosial.201
Selain itu, sebagai perlawanan dengan cara damai terhadap buku putih terbitan
pemerintahan Soeharto, Yosep Stanley Adi Prasetyo yang merupakan pendiri ISAI
(Institut Studi Arus Informasi) mengeluarkan karya berisi penjelasan alternatif
mengenai Tragedi 1965 berjudul Bayang-bayang PKI di tahun 1995.
Senada dengan gerakan-gerakan tersebut, pemerintah terus menggunakan
jalan kekerasan melalui polisi atau militer, baik secara langsung, struktural, maupun
kultural supaya menciptakan keamanan dan keadilan yang sesungguhnya semu. Hal
ini
memancing
antar
generasi
rentan
mendistribusikan
dan
menyebarkan
kekerasan.202 Oleh karena itu, tidak heran apabila rangkaian tragedi, mulai dari Santa
Cruz, Dili (1991) hingga Aceh (1999) nihil penyelesaian di peradilan, mengorbankan
banyak orang dan menyisakan kepedihan yang mendalam.
kontrol represif pemerintah terhadap pers. Wijaya Herlambang, 2014, Kekerasan Budaya
Pasca 1965, Tangerang Selatan: CV Marjin Kiri, hlm. 226. Baca juga Seno Gumira
Ajidarma, 2006, Trilogi Insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, Ketika Jurnalisme
Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Pustaka.
201
Karya seni dan sastra berkomitmen sosial berbeda dengan tradisi universialisme
dan individualisme, karena dibikin oleh kelompok masyarakat minoritas, seperti Tionghoa
atau buruh yang menceritakan kenyataan sehari-hari, misalnya kemiskinan, bukan hal-hal
absurd layaknya gaya penulisan Sutardji Calzoum Bachri atau Budi Darma khas
pemerintahan Soeharto. Lihat Wijaya Herlambang, op.cit, hlm. 225-228.
202
A. Latief Wiyata, 2006, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang
Madura, Yogyakarta: LKiS, hlm. 10.
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah melewati perjuangan berdarah, tuntutan rakyat akan reformasi kursi
kepresidenan terkabulkan.203 Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan
pengunduran dirinya sebagai presiden. Sebagai wakil presiden yang kala itu tengah
menjabat, B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto. Usai reformasi hingga tahun
2000, Indonesia mengalami pergantian presiden sebanyak dua kali yaitu B.J Habibie
dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam bagian selanjutnya akan memaparkan
ringkasan pendek mengenai kepemimpinan dan situasi Indonesia pasca reformasi.
3. Pasca Lengsernya Soeharto
Sebagai pengganti Soeharto, Habibie tidak memiliki banyak pilihan dalam
menjalankan tugas presiden karena selain minimnya waktu jabatan juga harus
berhadapan dengan kepentingan elite politik, baik daerah maupun pusat, yang
bermunculan akibat dari konsentrasi kekuasaan politik dan keuangan.204 Secara
bersamaan kedekatan Habibie terhadap para elite era pemerintahan Soeharto
mengurangi inisiatif reformisnya.
Selang tujuh belas bulan kemudian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik
sebagai presiden menggantikan Habibie. Selain nama Gus Dur, sidang umum Majelis
203
Pendapat lain menyebutkan bahwa praktek pemerintahan Soeharto yang otoriter,
oligopoli dan menindas hak-hak asasi manusia dinilai sangat berlawanan dengan berkobarnya
semangat demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga. Lihat Herman Hidayat, 2003, “Sistem
Politik Orde Baru Menuju Kepudaran” dalam Muhamad Hisyam (ed.), op.cit, hlm. 231.
204
Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, hlm.210. Bandingkan dengan Idi Subandy Ibrahim
(ed.), op.cit, Bandung: Penerbit Mizan, hlm. 22.
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menghadirkan calon presiden dari Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), yaitu Megawati Soekarnoputri.205 Namun setelah melalui
proses panjang nan dramatis, MPR memutuskan Gus Dur sebagai pemenang
meskipun hanya bertahan dua tahun. Rendahnya tingkat dukungan dan gaya
kepemimpinan yang eksentrik menimbulkan perpecahan dalam tubuh kabinet
sehingga menghambat pelaksanaan upaya reformasi. Akibatnya pemerintahan Gus
Dur berakhir prematur.206 Meskipun demikian, Gus Dur menjadi presiden pertama
yang tegas mengeluarkan kebijakan mengenai pengarusutamaan gender sehingga
mendorong tindakan afirmasi kuota 30% perempuan dalam ranah politik.207
Terbitnya kebijakan pengarusutamaan gender pada tahun 2000 membuktikan
bahwa perhatian terhadap isu perempuan menjadi salah satu agenda utama
205
Meskipun nama Megawati Soekarnoputri telah melekat dalam dunia politik,
mengingat dirinya mengetuai Partai Demokrasi Perjuangan, namun penolakan pencalonan
banyak bermunculan terutama dari kelompok Islam dan para pemimpin intelektual liberal.
Mereka menolak Megawati Soekarnoputri dengan alasan bukan berasal dan mendapat
dukungan dari kelompok atau organisasi Islam mana pun, sekaligus beragama Hindu.
Celakanya, Megawati Soekarnoputri adalah seorang perempuan yang tidak tepat menjadi
sosok pemimpin apabila menganut tradisi agama Islam. Baca Krishna Sen, 2000, “The Mega
Factor in Indonesian Politics: A New President or a New Kind of Presidency?” dalam
Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), op.cit, hlm. 13-15.
206
Dalam hal ini, Tod Jones mengemukakan dua alasan yang menimbulkan
kejatuhan pemerintahan Gus Dur yakni pernyataan pengakuan terhadap aliran kepercayaan
Konghucu dan penerbitan undang-undang mengenai legalisasi komunisme.
Pada
pemerintahan sebelumnya, Soeharto melarang segala bentuk aksi kebudayaan terkait dengan
masyarakat Tionghoa dan gerakan komunisme. Lihat Tod Jones, 2015, op.cit, hlm. 211.
207
Kebijakan afirmasi politik ini baru terlaksana pada masa kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri melalui UU No. 12/2003 yang mengharuskan keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif sebanyak 30%. Kebijakan ini terus diperbaharui pada tahun
2008 dan 2012. Baca “Gus Dur dan Kesetaraan Gender”, diakses dari www.nu.or.id pada
tanggal 13 Maret 2016 pukul 2:39 WIB. Baca juga arsip “Pengarusutamaan Gender”, diakses
dari kkp.go.id pada tanggal 11 Maret 2016 pukul 08:18 WIB.
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembangunan. Memang, tidak terlepas dari tekanan dunia luar namun perjuangan
perempuan di Indonesia berkaitan erat dengan situasi politik dan sosial yang tengah
berkembang. Bagian selanjutnya memaparkan kehidupan dan gerakan perempuan
menjelang dan pasca reformasi yang berkembang lebih subur dibandingkan periode
sebelumnya.
B.
Kehidupan Perempuan
Tuntutan dunia terhadap negara-negara berkembang untuk menegakkan
demokrasi berkembang menjadi kepedulian pada isu perempuan. Hal ini tercermin
dari penyelenggaraan Konferensi Perempuan Sedunia IV oleh Perserikatan Bangsabangsa yang diadakan di Beijing, Tiongkok pada bulan September 1995. Dalam
konferensi tercipta keputusan bahwa perempuan harus berbicara (speak up!).
Konferensi ini bukan hanya menghadirkan utusan resmi dari negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-bangsa, namun juga organisasi-organisasi swasta seluruh dunia.
Pasalnya, pada waktu yang bersamaan juga terealisasi Pertemuan Forum Organisasi
Perempuan Non Pemerintah. Kedua kelompok perempuan tersebut berhasil mencapai
kesepakatan, kemudian bersedia menandatangani persetujuan Plant of Action
CEDAW (Convention on the Elimination All of Forms of Discriminations Against
Women) yang membahas dua belas masalah kritis, mulai dari kemiskinan,
pendidikan, kesehatan,
kekerasan, konflik
bersenjata, ekonomi, kekuasaan,
mekanisme institusional, hak-hak asasi, media massa, lingkungan, hingga anak-anak.
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bagi perempuan Indonesia, penyelenggaraan konferensi ini membangkitkan
semangat gerakan perlawanan terhadap rezim. Selain itu juga menggiatkan partisipasi
perempuan untuk terlibat dalam institusi pemerintahan atau sebagai representasi dari
partai politik. Berikut penjelasan dari masing-masing resultan di atas.
1. Gerakan Perempuan
Keterlibatan delegasi Indonesia dalam penandatanganan CEDAW di Beijing
membuka jaringan lebih luas antara aktivis perempuan lokal dan dunia. Secara
bersamaan, krisis multidimensional berkepanjangan membuat masyarakat geram
sehingga memicu berbagai aksi. Setelah selama 32 tahun lamanya perempuan
dibekukan melalui ideologi ibuisme, di bulan Februari muncul sebuah aksi turun ke
jalan dari Yayasan Jurnal Perempuan.208 Aksi ini cenderung dianggap sebagai nonpolitik, namun tujuannya membuka keberanian bagi perempuan untuk terlibat dalam
perubahan politik melalui “demo susu” bernama Suara Ibu Peduli.
Suara Ibu Peduli bersama UNIFEM (United Nations Development Fund for
Women) memulai aksinya dengan menggalang dana guna membeli susu untuk dijual
208
Yayasan Jurnal Perempuan merupakan organisasi non-profit yang digagas oleh
Gadis Arivia pada tahun 1995 dengan dukungan dari Toety Heraty Noerhadi, Ida Dhanny,
dan Asikin Arif. Awalnya, penerbitan Jurnal Perempuan disebabkan oleh minimnya bacaan
mengenai feminisme bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Namun seiring
perkembangannya, jumlah pembaca Jurnal Perempuan meningkat maka disusunlah sebuah
redaksi kecil yang berhasil mewujudkan jurnal feminis pertama di Indonesia dengan
bermacam tema, seperti trafficking, kekerasan dan permasalahan perempuan nyangkut
ekonomi, sosial, hukum. Baca Profil Yayasan Jurnal Perempuan, diakses dari
www.jurnalperempuan.org pada tanggal 13 Maret 2016 pukul 4:54 WIB.
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kembali kepada masyarakat umum dalam bentuk kemasan yang baru.209 Pada hari
penjualan, tepatnya tanggal 20 Februari 1998, kantor Yayasan Jurnal Perempuan
penuh sesak oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang rela mengantri demi mendapatkan
susu bayi dengan harga murah. Pasalnya, produk susu pada masa-masa itu mengalami
kelangkaan dan apabila tersedia harganya meningkat tajam hingga 400%.210 Selain
susu bayi, para pengantri juga mengeluhkan harga-harga kebutuhan pokok
melambung tinggi sehingga khawatir akan masa depan yang suram. 211 Aksi penjualan
209
Bentuk kerja sama ini merupakan salah satu contoh feminisme transnasional.
Menjelang tahun 1990, sebuah gerakan baru muncul yaitu post feminism; feminisme dalam
situasi sekarang, yang meliputi feminisme multikultural dan feminisme transnasional.
Feminisme multikultural mengutamakan pertautan antara gender, ras dan kelas. Sementara
feminisme transnasional melihat isu perempuan secara global namun mengedepankan
perbedaan tiap-tiap daerah atau individu. Namun kedua gerakan tersebut bersepakat, yaitu
melihat kebutuhan untuk membangun jembatan antara kelompok-kelompok feminis yang
tidak membutuhkan pengalaman dan identitas sama namun bertujuan satu, seperti penegakan
HAM, pemberdayaan, solidaritas. Post feminism berbeda dengan feminisme gelombang
kedua, disponsori oleh salah satunya Simone de Beauvoir, yang melihat perbedaan laki-laki
dan perempuan sehingga membebaskan laki-laki dari beban produksi dan hak istimewa lakilaki untuk mendefinisikan dirinya. Baca Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 4-6.
210
Sebelum krisis ekonomi menerjang di tahun 1997, beberapa produk mengalami
kelangkaan di pasaran seperti semen dan bahan bakar minyak. Daniel Dhakidae memiliki
penjelasan menarik terkait kelangkaan tersebut, yang tidak lain merupakan keterkaitan antara
bahasa dan ekonomi politik kekuasaan. Jika penguasa (dapat diartikan negara) menggunakan
bahasa untuk mengumumkan harga semen naik atau mengontrol jumlah produk keluar di
pasar maka hal-hal demikian akan nyata terjadi. Pasalnya, yang menentukan harga suatu
produk adalah penguasa atau negara sehingga setiap saat bisa dan berhak menaikkan
walaupun tidak berkuasa untuk menurunkan. Analogi ini dapat digunakan dalam kasus
kelangkaan susu. Berbagai produk tersebut menunjukkan kepada sesuatu yang disebut
kekuasaan, baik berbentuk semen atau susu. Kekuasaan ini terus berupaya untuk
memperlihatkan dirinya sendiri dalam menjalankan praktik kekerasan. Baca Dhaniel
Dhakidae, 2003, hlm. 403-409.
Gadis Arivia, 2007, makalah “Politik Representasi Suara Ibu Peduli”
dipresentasikan dalam acara Peringatan 9 Tahun Reformasi di Plaza Gedung Nusantara II
DPR RI, hlm. 3. Diakses dari www.jurnalperempuan.org tanggal 6 April 2016 pukul 9:56
WIB. Bandingkan juga dengan Bagus Zidni Ilman Nafi, 2015, “Terlewat dalam Krisis: Aksi
211
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
susu ini merupakan strategi politik untuk menyamarkan tuntutan supaya Soeharto
turun sebagai presiden. Perlu diketahui juga bahwa rombongan aksi “demo susu” juga
melibatkan laki-laki, mahasiswi, kelompok intelektual perguruan tinggi, dan ibu-ibu
rumah tangga. Kejadian ini membuktikan bahwa perempuan Indonesia merasakan
hasrat dan tanggung jawab sama besarnya dengan laki-laki untuk menuntut reformasi.
Gadis Arivia menjelaskan bahwa pemilihan kata “ibu-ibu” dalam aksi Suara
Ibu Peduli digunakan untuk menjungkirbalikkan konsep negara terhadap kontrol
perempuan.212 Ibaratnya, senjata makan tuan. Soeharto, sebagai pencipta peran ganda
perempuan memakan sendiri perlawanan dari sosok “ibu-ibu” yang mengeksploitasi
elemen tradisional, dalam hal ini adalah susu bayi sebagai simbol protes untuk
menuntut jalannya sebuah demokrasi.
Keterlibatan perempuan dalam ruang publik menjadi kian gencar setelah
gerakan Suara Ibu Peduli bergema hingga dunia internasional.213 Protes dari Suara
Ibu Peduli menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan di Indonesia karena
Unjuk Rasa Gerakan Suara Ibu Peduli pada 1998” dalam Jurnal Sejarah, Histma: Perempuan
dan Negara, Yogyakarta: Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB UGM, hlm. 46.
212
Gadis Arivia, 2007, op.cit, hlm. 2.
213
Ketiga aktivis dari Suara Ibu Peduli, Karlina, Wilasih dan Gadis Arivia
mendekam dalam penjara karena dituduh membuat onar. Namun kejadian ini justru
menyedot perhatian pers internasional dan memupuk kelahiran gerakan-gerakan baru, bahkan
melahirkan kemungkinan baru feminis laki-laki di Indonesia. Gadis Arivia, 2007, op.cit, hlm.
4-6.
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memancing kelompok-kelompok lain turut maju.214 Di bulan Mei 1998 ketika
demonstran berhasil menduduki gedung DPR/MPR demi menuntut reformasi,
perempuan turut tampil di belakang layar dengan menyuplai kebutuhan logistik.215 Di
jalan-jalan menuju gedung DPR/MPR, para perempuan bersiaga menyediakan nasi
bungkus, telur, snacks, air mineral, dan buah-buahan untuk pendemo secara sukarela.
Sayangnya, di pertengahan Mei 1998 negara justru kembali menodai perempuan
dengan cara mensponsori teror kekerasan dan rasialis terhadap etnis Tionghoa.216 Hal
ini memicu terbentuknya Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan
Demokrasi pada tanggal 20 Mei 1998 oleh para aktivis perempuan dan anggota
parlemen. Agenda utama dari koalisi adalah menentang segala bentuk kekerasan dan
mengungkapkan tindak pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di bulan
Mei 1998.217
214
Julia Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas
Bambu, hlm. 5.
Kathryn Robinson, 2000, “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi”
dalam Louise Edwards (ed.), op.cit, hlm. 140.
215
216
Belum ada penjelasan siapa sebenarnya pelaku utama dalam Tragedi Mei 1998
yang bukan hanya mengenai kerusuhan, yaitu penjarahan dan pembakaran rumah atau toko
milik masyarakat Tionghoa, tetapi juga pelanggaran HAM terhadap para perempuan. Ariel
Heryanto menyebutkan bahwa teror kekerasan bercorak rasialis Mei 1998 sesungguhnya
disponsori oleh negara. Selama ini, masyarakat menganggapnya sebagai rangkaian kerusuhan
massa yang rasis seperti dalam penjelasan M.C. Ricklefs dalam buku A History of Modern
Indonesia since c.1200. Ariel Heryanto, 2015, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya
Layar Indonesia, Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 201-202.
217
Kathryn Robinson, 2000, op.cit, hlm. 140.
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Perempuan Politisi218
Sejak berlangsungnya Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing, isu
gender mulai masuk dalam institusi pemerintah dan disepakati menjadi agenda
kampanye. Hal ini mempengaruhi jumlah partisipan perempuan yang duduk dalam
lembaga pemerintah atau ikut tergabung di partai politik. Antara tahun 1994-2000
jumlah pegawai negeri perempuan di departemen atau lembaga pemerintah
mengalami peningkatan sebanyak 57.875 orang.219 Akan tetapi jabatan yang dipegang
cenderung melekat dengan gambaran feminin. seperti bendahara atau sekretaris,
Kehadiran mereka juga cenderung dekat dengan kepentingan suatu kelompok, bahkan
tidak sedikit yang berasal dari kerabat pejabat negara.
Menjelang pemilihan umum 1977, nama Siti Hardianti Rukmana (Tutut)
mendapat sanjungan dan diprediksi mampu mengganti kedudukan ayahnya, Soeharto
di kursi pemerintahan. Namun seiring banyaknya penolakan terhadap Soeharto pamor
Tutut pun sekejap menurun. Lain halnya dengan Megawati Soekarnoputri dari PDI
218
Meminjam istilah dari Jurnal Perempuan untuk menyebut perempuan yang
terlibat dalam dunia politik. Dewi Candraningrum menjelaskan bahwa istilah politisi
perempuan adalah “any women without perspective”. Berbeda halnya dengan istilah
perempuan politisi. Kata “perempuan” sebagai adjektif menjadi penjelas mengenai
perempuan yang terlibat dalam dunia politik dan memiliki kemampuan memahami perspektif
gender. Penjelasan disampaikan dalam seminar “Perempuan, Politik, dan Ruang Demokrasi”
di PUSDEMA-LPPM, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada tanggal 22 April 2016.
219
Lihat perbandingan berikut: di tahun 1994 jumlah pegawai negeri perempuan di
departemen atau lembaga pemerintah sebanyak 517.131 orang. Jumlah pegawai negeri
perempuan terus meningkat meskipun perlahan di tahun 2000 menjadi 575.006 orang.
Statistik Indonesia 1994, Jakarta: Badan Pusat Statistik, hlm. 74-75. Baca juga Statistik
Indonesia 2000, Jakarta: Badan Pusat Statistik, hlm. 58-59.
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Partai Demokrasi Indonesia). Pencalonannya sebagai kandidat presiden setelah
pemilihan umum 1999 marak berkumandang, sayangnya beberapa kelompok Islam
menolak keras. Hal ini mudah dipahami, seorang perempuan dalam tradisi Islam tidak
diperkenankan memimpin apalagi lingkupnya adalah negara.220
Gambaran di atas menyimpulkan bahwa meskipun partisipasi perempuan
dalam ruang-ruang politik meningkat namun gambarannya sebagai “seorang
perempuan” masih mengikatnya. Selain itu, latar belakang perempuan politisi hanya
berasal dari kelompok elite yang mengantongi kepentingan kelompok sehingga
pemahaman mengenai isu perempuan dan gender menjadi terabaikan. 221 Akibatnya,
mereka yang seharusnya mewakili aspirasi perempuan di seluruh Indonesia justru
terjebak sebagai pemanis partai politik atau “anak bawang” dalam lembaga
pemerintah. Posisi terkuat bagi perempuan masih berada sebagai sosok yang
digambarkan bukan berdiri sendiri. Hal ini kembali ditemukan dalam iklan-iklan
pembalut periode 1994-2000 berikut ini.
220
Dalam wawancaranya terhadap Forum Keadilan, Nurcholish Madjid
memaparkan kelemahan-kelemahan Megawati. Sejak awal penerimaan masyarakat terhadap
Megawati sudah terasa sulit karena dirinya adalah seorang perempuan yang kehidupan
beragamanya dipertanyakan. Berbagai sumber melansir Megawati sebagai pemeluk agama
Islam, namun lainnya mengungkapkan bahwa ia berdoa dengan cara Hindu. Hal ini kian
diperburuk oleh penilaian media yang mengatakan bahwa Mega cenderung tidak bersikap
tegas ketika memimpin. Misalnya, tidak mampu menghujat rezim Soeharto dan menjawab
tegas pemberlakuan dwifungsi militer. Krishna Sen, 2002, “The Mega Factor in Indonesian
Politics” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessell (ed.), op.cit, hlm. 14.
221
Kathryn Robinson, 2000, op.cit, hlm. 154-156.
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.
Perkembangan Iklan Pembalut Periode 1994-2000
Hasil Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing memang sanggup merubah
kehidupan perempuan dalam ruang-ruang publik yang berkaitan dengan demokrasi
dan politik. Namun seiring dengan meningkatnya intervensi tangan-tangan global ke
dalam perekonomian dan kebudayaan Indonesia serta hadirnya budaya populer,
segala impian menyangkut keadilan gender tersebut menjadi nol, tanpa arti. Industri
kian merebak, berbagai merek global semakin banyak bermunculan di halaman media
massa. Salah satunya dalam majalah perempuan yang mampu menciptakan kemasan
baru mengenai gambaran-gambaran lama. Bukan hanya gambaran mengenai
pembalut, yang adalah produknya, tetapi juga figur perempuan dalam iklan. Media
massa mulai masif memuat kemajuan perempuan dalam karirnya namun lebih
mementingkan keluarganya, sehingga digambarkan bahagia di tengah keluarga dan
mengasuh anak.222
1. Iklan Pembalut Tahun 1994
Slogan “The Leaders of Tomorrow Trust Kotex” dalam iklan produk
pembalut Kotex rilisan Kimberly-Clark Corp berusaha menggambarkan gambaran
tersebut.223 Pesan ini kemudian diteruskan melalui foto empat perempuan yang
menjadi figur iklan. Posisi mereka berdiri sembari mengobrol dengan masing-masing
222
Gadis Arivia, 2016, op.cit: 3.
223
Femina No. 3/XXII, terbitan 20 Januari 1994, hlm. 30. Lihat gambar 18.
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tangan memegang tas atau map diumpamakan sebagai langkah menuju keberhasilan
di “bidang sains, ekonomi dan hukum juga sebagai istri maupun ibu”.
Gambar 18. Kotex (Sumber: Femina 1994)
Modernisasi menuntut perempuan untuk mampu mengembangkan dirinya
melalui pendidikan, sehingga dapat menjadi leader atau tokoh pemimpin di bidang
sains, ekonomi dan hukum yang cenderung diisi oleh laki-laki. Namun hal ini tidak
berarti menghapus peran perempuan di area domestik, yaitu pendamping suami dan
pengasuh anak. Dengan cara demikian, iklan Kotex berperan menjadi agen negara
yang selalu melestarikan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
namun “setinggi-tingginya pendidikan, nantinya ke dapur juga”.224 Pendidikan bagi
perempuan masih dipandang sebagai pendukung untuk mengarungi bahtera rumah
tangga dan mendidik anak. Penilaian keberhasilan terhadap perempuan selalu
mencantumkan kemampuan mengelola rumah tangga yang baik,225 yaitu pertamatama dan terutama sebagai istri atau ibu.
Keempat
perempuan
tersebut
serentak
mengenakan
kemeja
yang
menyandikan sebuah penyebaran barang perdagangan atau ide-ide modern. Sejak
masa kolonial, perkenalan perempuan terhadap kemeja hanya terbatas pada kelompok
berpendidikan Barat atau berprofesi modern.226 Pilihan untuk meninggalkan kebaya
dan beralih ke pakaian santai ala Eropa membebaskan gerak perempuan sehingga
dapat melakukan aktivitas di luar rumah, seperti berolahraga atau mengendarai
sepeda.
Dalam iklan Kotex penggunaan kemeja masih mewarisi identitas dari
pemakainya, yaitu kelompok berpendidikan dan kelas menengah ke atas.
Perbedaannya, pemakaian kemeja dalam iklan bukan lagi bersifat santai tetapi lebih
224
Julia Suryakusuma, 2012, op.cit, hlm 114.
225
Ibid, hlm. 113.
226
Mulanya, hanya laki-laki Jawa berpendidikan Barat atau bekerja di bidangbidang modern yang mengenakan setelan Eropa, misalnya jas, celana, dan sepatu sebagai
bentuk pernyataan mengenai kekayaan, peran sosial, atau keyakinan. Setelah perempuan
mampu mengakses pendidikan Barat dan mendapatkan pekerjaan di kantor atau lembaga
pemerintah Belanda, tren berpakaian Eropa pun menyertai meskipun jumlahnya lebih sedikit.
Pasalnya, hanya sebagian kecil saja yang mampu mengakses pendidikan Barat yaitu
kelompok menengah atas. Baca Jean Gelman Taylor, 2005, “Kostum dan Gender di Jawa
Kolonial tahun 1800-1940” dalam (ed.) Henk Schulte-Nordholt, op.cit, hlm. 121-163.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melambangkan hal-hal protokoler atau resmi. Hal-hal yang menyangkut kebebasan
terhadap gerak perempuan hanya sejauh mampu menikmati pendidikan. Meskipun
nikmat dari pendidikan hanya mendapat pengakuan ketika perempuan berhasil dalam
keluarga dan mengasuh anak.
Pada masa pemerintahan Soeharto, pegawai negeri dan pejabat wajib
menggunakan kemeja ketika bekerja. Bahan dan motif kemeja bahkan dibuat dari
kain yang sama dan disertai pemakaian lencana sebagai penanda bahwa dirinya
adalah bagian dari pegawai negeri.227 Maka, kemeja merupakan salah satu tanda yang
mengungkapkan kemampuan negara untuk mengontrol serta membentuk tubuh
menjadi lunak dan dapat diperintah.
Melalui pemaparan di atas gagasan Kotex dalam iklan dapat diungkapkan
demikian, bahwa keberhasilan keempat perempuan menjadi ahli di bidang sains,
ekonomi, hukum ataupun ibu rumah tangga dapat diwujudkan berkat pendidikan
yang hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas dan pemakai kemeja. Namun
kedua hal itu belum cukup, karena pengalaman menstruasi dapat membuat
perempuan berkurang keyakinannya di setiap bulan yang dapat menghambat cita-cita.
Oleh karena itu penggunaan produk pembalut Kotex dapat mengembalikan keyakinan
diri perempuan melalui “perlindungan terbaik yang bersih, kering dan nyaman”.
Gambaran ini kembali terulang bahwa perempuan mendapat kategori sebagai
Baca James Danandjaja, 2005, “Dari Celana Monyet ke Setelan Safari: Catatan
Seorang Saksi Mata” dalam (ed.) Henk Schulte-Nordholt, op.cit, hlm. 367-379.
227
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
makhluk hidup yang tidak penuh dan lemah sehingga membutuhkan sesuatu lainnya
sebagai pelengkap atau pelindung, dapat berwujud laki-laki maupun produk industri.
Hal ini didukung oleh warna kemeja yang dikenakan oleh figur-figur iklan, yaitu
merah muda dan putih, erat bersifat feminin, lembut, tidak mencolok atau terkesan
lemah.
Sosok
perempuan
yang
seakan
mendobrak
domestikasi
melalui
keterlibatannya di ruang-ruang publik, mempunyai profesi di sektor-sektor formal
dan digambarkan tangguh serta berkelas menjadi tren tema pembuatan iklan
pembalut. Melanjutkan tema „kepemimpinan perempuan”, iklan Sofie Wing yang
dimuat
dalam
majalah
Gadis
menempatkan
Tience
Sumartini
sebagai
perwujudannya.228 Narasi iklan mengungkapkan profesi Tierce Sumartini adalah
pengusaha, namun ia juga aktif dalam organisasi sosial-kemasyarakatan dan memiliki
kelihaian mengemudi pesawat. Hal ini tentu membuat takjub pembaca iklan karena
gambaran penerbang digambarkan sangat berbeda dengan Pratiwi Pujilestari
Sudarmono, astronot perempuan pertama di Indonesia. Pratiwi Pujilestari memang
bukan seorang penerbang, namun dirinya pernah akan berangkat ke luar angkasa
sebagai awak pesawat. Kedua figur ini mempunyai kesamaan, yakni mampu
menciptakan eksistensi sebagai perempuan di bidang yang identik dengan laki-laki
sekaligus berpose menggunakan properti pesawat. Namun gambaran keduanya sangat
berbeda, apabila foto Pratiwi Pujilestari yang diambil sebelum tahun 1986 selalu
228
Gadis No. 12 terbitan 11-20 Mei 1994, hlm. 55-56. Lihat gambar 19.
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terlihat dengan pakaian astronot menenteng helm, maka di tahun 1994 Tierce
Sumartini justru mengenakan gaun malam panjang tanpa lengan dilengkapi kalung
mutiara dan anting berkilau.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Tierce Sumartini sesungguhnya adalah
seorang pengusaha. Kata pengusaha sudah pasti merujuk kepada orang-orang kaya
yang memiliki usaha berpendapatan tinggi, apalagi jika kehidupannya di bawah
naungan pemerintahan Soeharto. Maka, Tierce Sumartini memiliki dua gambaran
yang menandakan non domestikasi, yaitu sebagai pengemudi pesawat dan pengusaha.
Kedua gambaran ini melebihi kemampuan yang dimiliki oleh Pratiwi Pujilestari
sehingga sanggup mendompleng Tierce Sumartini untuk dipilih sebagai figur iklan
Sofie Wing.
Sayangnya, prestasi penerbang dan pengusaha masih dihantui dengan
penyertaan “ibu dari dua orang anak”. Kalimat yang berujar, “Oh, saat-saat seperti
ini, jiwa saya menemukan kebebasan sepenuhnya” menandakan kepuasan Tierce
Sumartini ketika ia berada di udara. Namun “kebebasan sepenuhnya” memang tidak
boleh dimaknai sebagai bebas, karena beban domestikasi mengenai “dua orang anak”
tetap mengikuti.
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 19. Sofie Wing (Sumber: Gadis 1994)
Selain itu, slogan iklan yang mengemukakan “Karena kebebasan adalah
segalanya Tierce Sumartini hanya memilih… Sofie Wing” sesungguhnya menjelaskan
kenyataan bahwa rasa bebas seorang perempuan adalah ketika mampu memilih.
Perempuan bebas memilih menggunakan alat kontrasepsi berbentuk apa pun, namun
sifatnya harus. Apabila salah seorang perempuan menolak menggunakan alat
kontrasepsi, negara menggunakan kekerasan supaya tercapai keharusan tersebut.229
Bebas merupakan perumpamaan dari melepaskan segalanya, termasuk salah satunya
229
Sebuah laporan mengungkapkan adanya pemaksaan oleh Angakatan Bersenjata
terhadap perempuan supaya menggunakan alat kontrasepsi melalui jalan kekerasan. Bahkan
suatu waktu para tentara ini mengunci perempuan-perempuan di sebuah balai desa ketika
kampanye alat kontrasepsi berlangsung. Alhasil, IUD ditanam tanpa persetujuan si pemilik
tubuh. Baca Daniel Dhakidae, 2003, op.cit, hlm. 579.
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah pilihan.230 Namun dengan menempatkan Tierce Sumartini dan pernyataan
puas atas kebebasannya, produsen Sofie Wing dan produk pembalut lainnya memaksa
perempuan untuk terus mengkonsumsi, menentukan pilihan terhadap salah satu
merek.
Pembaca iklan Sofie Wing semestinya merasa terpukau dengan desain
pariwara yang tampil penuh hiasan kemewahan, yaitu untaian mutiara dan gelang
emas. Perancang iklan memang jeli, karena “diamonds are girl‟s best friend”.231 Kata
diamond secara harafiah berarti intan atau berlian, namun maknanya mampu meluas
bukan hanya mengenai kedua batu mulia tersebut. Segala bentuk perhiasan yang
memiliki nilai jual tinggi dan berkilau selalu menjadi komoditi dambaan atau
aksesoris wajib bagi seorang perempuan, mulai dari emas, berlian hingga zamrud.
Para ibu sering memanfaatkan batu-batu mulia sebagai investasi jangka panjang
karena nilai jualnya cenderung meningkat. Akan tetapi, batu-batu mulia tersebut
dapat menjadi “batu sandungan” sebagai salah satu bentuk kontrol laki-laki terhadap
perempuan. Misalnya, tradisi pertunangan acap kali menempatkan laki-laki sebagai
pemberi cincin sehingga menandakan adanya kepemilikan terhadap seksualitas
perempuan. Tubuh perempuan merupakan proyeksi dari kehormatan laki-laki. Ketika
230
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bebas berarti lepas sama sekali;
tidak terhalang, terganggu sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dengan leluasa. Bebas
juga dapat berarti lepas; lepas dari kewajiban, tuntutan dan perasaan takut. Lihat
kbbi.web.id/bebas diakses pada tanggal 26 April 2016, pukul 9:27 WIB.
231
Kalimat tersebut sesungguhnya judul dari sebuah lagu yang muncul di tahun
1949 namun ketenarannya semakin memuncak ketika Marilyn Monroe menyanyikannya.
Baca http://en.m.wikipedia.org, diakses pada tanggal 26 April 2016, pukul 9:42 WIB.
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perempuan memakai cincin atau perhiasan pemberian laki-laki justru memperkuat
gambaran sebagai obyek yang hanya dinikmati keindahannya. Lebih lanjut, ukuran
dari perhiasan menyampaikan besar kecilnya nilai yang dimiliki oleh laki-laki, baik
secara keuangan atau simbol kejantanan.232 Maka, sosok laki-laki yang berdiri
berhadapan dengan Tierce Sumartini dalam iklan bukan tanpa peran. Laki-laki
berdasi dan berjas tersebut dapat merunut kekuasaan narasi patriarki, salah satunya
melalui untaian mutiara dan gelang emas di sekeliling keduanya.
Masih di tahun yang sama iklan berikutnya kembali menemukan kepasrahan
seorang ibu untuk menyerahkan kedua anak gadisnya kepada konsumsi produk
pembalut Laurier. Ibu tersebut berujar, “Saya menganjurkan pembalut wanita Laurier
pada puteri saya”.233 Sembari mengucapkan pernyataan tersebut, sang ibu berpose
diapit oleh kedua orang puterinya yang secara fisik tampak berbeda karena rambut.
Puterinya yang sebelah kanan berambut pendek. Sementara puterinya yang sebelah
kiri memiliki rambut panjang. Namun ketiga perempuan ini sama-sama tersenyum
lebar memperlihatkan sederetan gigi putihnya sehingga nampak kontras dengan
warna coklat di kulit wajah mereka. Sekilas pembaca iklan akan mengira bahwa
mereka adalah figur yang menawarkan pasta gigi.
Dale Elizabeth Meikle, 2015, “Diamonds are Girl‟s Best Friend – and Other
Feminist Truths”, diakses dari huffpost.com pada tanggal 5 September 2015 pukul 20:10
WIB.
232
233
Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober-4 November 1994, hlm. 63. Lihat gambar 20.
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 20. Laurier (Sumber: Gadis 1994)
Meskipun demikian, warna putih bukanlah negasi dari perancang iklan
pembalut. Penempatan warna putih menyala di gigi ketiga figur iklan tampak serasi
dengan penampilan berpakaiannya, menyatakan sesuatu yang terawat dan teratur.
Maka, kedua unsur tersebut sudah pasti merupakan perbuatan seorang ibu yang
berhasil mendidik anaknya dengan merawat dan mengatur tubuhnya supaya tampil
menarik di hadapan publik. Hal ini kembali membangkitkan paradoks, karena
penampilan ketiga perempuan tersebut di publik bukan sebagai subyek dan esensi
melainkan berperan menjadi obyek yang menawarkan narasi domestikasi.
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di sisi lain, penampilan ketiga perempuan sebagai figur iklan pembalut
Laurier justru memperkuat tabu menstruasi karena ketiadaan sosok ayah. Meskipun
ayah tidak ada di sana, namun keberadaannya dipertegas sebagai pencari nafkah
utama dan ibu berperan dalam kerumahtanggaan serta pengasuhan anak. Salah satu
tugas dalam pengasuhan anak, apabila seorang perempuan, adalah memperhatikan
siklus menstruasi. Ayah tidak pernah dikonstruksi untuk melaksanakan tugas ini,
karena sedari awal proses sosial memandang makna menstruasi sebagai suatu
kutukan dan hanya menjadi milik perempuan yang mengalaminya.234
Penyebutan sang ibu terhadap “pembalut wanita” dan “puteri-puteri” turut
menyandikan konstruksi sosial mengenai peran perempuan serta menstruasi. Kamus
Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kata wanita merupakan penyebutan
terhadap perempuan dewasa. Dalam hal ini sesuai dengan narasi zaman Soeharto
yang selalu menggunakan kata “wanita” dan meniadakan “perempuan”. Kata
“wanita” sendiri mencomot dari etimologi Jawa, yaitu “wani ditoto” atau berani
diatur. Ketika menggunakan penyebutan wanita, maka peran perempuan menjadi
pasif karena berpasrah untuk “di-toto” atau “di-atur”. Berbeda halnya dengan
perempuan, yang oleh Hersri Setiawan dinyatakan sebagai suatu kebahagiaan karena
234
Berkaitan dengan hal ini, Tamrin Amal Tamagola mengemukakan bahwa ayah
tidak dituntut untuk sesering mungkin melakukan kontak biologis dengan anaknya. Meskipun
demikian, tanpa mengatakan sesuatu dan melalui tatapan matanya ayah akan selalu
menegaskan hubungan dirinya dengan anaknya, yaitu relasi sosio-biologis. Irwan Abdullah,
2002, op.cit, hlm. 4. Baca juga Tamrin Amal Tamagola, 2006, op.cit, hlm. viii-ix.
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengandung “empu” berarti ibu, induk atau pangkal.235 Maka, kata “perempuan”
membuat perempuan memiliki kedudukan penting sebagai subyek dan tidak
dinomorduakan karena berperan menjadi induk ataupun pangkal. Pangkal
kehidupan.236 Sementara itu, kata puteri berarti anak perempuan yang menandakan
adanya perbedaan usia lebih muda.237 Dengan demikian, sang ibu meyakini bahwa
ketika menggunakan Laurier, puteri-puterinya akan menjadi lebih dewasa dan
matang layaknya seorang “wanita”. Meskipun, wanita pada masa pemerintahan
Soeharto justru mendapat peran sebagai pendamping suami di dalam wadah Dharma
Wanita atau menjadi anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Pembahasan selanjutnya menggunakan iklan Carefree yang kali ini hanya
menempatkan kepala seorang perempuan berambut pendek dengan pandangan mata
ke atas dan bibir merekah tersenyum. Di atas kepala figur perempuan tersebut
tercetak kalimat, “Kukira Carefree hanya dipakai di akhir masa haid. SALAH!”.
Perancang iklan cerdik menggunakan “aku” atau “meng-aku-kan” dirinya seakan
berperan sebagai pembaca atau konsumen supaya terdengar akrab, meluruhkan batasbatas tradisional sehingga terasa dekat meskipun maya. Sementara di bagian bawah
dagunya kalimat lainnya mengikuti, “Ternyata, Carefree untuk dipakai setiap hari. Ini
alasannya”. Produsen Carefree menciptakan produk pantiliner supaya perempuan
Hersri Setiawan, 1981, “Wanita: Alas-kaki di Siang Hari, Alas-tidur di Waktu
Malam”, Prisma No.7 Tahun X terbitan Juli 1981, hlm. 16.
235
236
Ibid.
237
Lihat kbbi.web.id, diakses pada tanggal 30 April 2016 pukul 5:36 WIB.
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terbebas dari rasa lembab yang timbul akibat banyaknya aktivitas, stress dan
perubahan hormon sehari-hari. Selain itu, produk Carefree sangat lentur mengikuti
bentuk tubuh, tipis, memiliki permukaan halus dan lembut, dilengkapi plastik
pengaman anti bocor serta perekat khusus untuk celana dalam sehingga tetap aman
juga nyaman ketika digunakan.238
Sosok perempuan yang menjadi figur iklan di tahun 1986 dengan pose
tengah berjalan di pusat perbelanjaan kini lenyap.239 Kali ini, perancang iklan hanya
memotret sebagian tubuh figur yang tidak bergerak. Meskipun perbedaannya hanya
pada figur iklan, namun hal ini justru menimbulkan sebuah pembacaan yang serupa.
Carefree masih menjadi kebutuhan bagi tercapainya kehidupan yang segar,
bersih dan nyaman bagi perempuan jika digunakan setiap hari. Produk Carefree
memanipulasi perempuan bahwa kelembaban timbul akibat aktivitas, stress bahkan
perubahan hormon. Upaya tersebut bertujuan untuk mendoktrin perempuan agar
percaya bahwa mereka membutuhkan Carefree setiap hari, entah dipakai ketika aktif
bergerak maupun hanya duduk diam. Maka, perempuan menjadi sedikit peduli
terhadap kontrol atas tubuhnya sendiri karena telah mempercayai Carefree yang tidak
segan menutupi kemungkinan terkena kanker akibat penggunaan produk pantiliner
sehari-hari.
238
Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober – 4 November 1994, hlm. 97. Lihat gambar
239
Lihat halaman 75.
21.
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 21. Carefree (Sumber: Gadis 1994)
2. Iklan Pembalut Tahun 1995
Manipulasi dan doktrinasi masih berlanjut pada iklan Honeysoft Unicharm
yang dibintangi oleh Venna Melinda, yaitu Puteri Indonesia 1994. 240 Jika iklan
Honeysoft tahun 1984 menggunakan tema bernuansa domestikasi, kini Venna
Melinda muncul sebagai representasi baru sosok perempuan. Dalam deskripsi iklan,
di bawah foto Venna Melinda yang tengah duduk di atas kemasan Honeysoft
240
Femina No. 31 Tahun XXIII terbitan 10-16 Agustus 1995, hlm. 17. Lihat
gambar 22.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Unicharm berlokasi di lapangan tenis, menuturkan bahwa “pembalut wanita dengan
teknologi Unicharm Jepang ini memang dirancang khusus untuk wanita
Indonesia”.241 Potongan kalimat tersebut justru memperlihatkan ambiguitas, yaitu
mengenai teknologi Jepang yang mampu memahami kebutuhan perempuan domisili
di Indonesia.
Akan tetapi keberadaan kalimat pemikat di atas sesungguhnya merefleksikan
apa yang tengah terjadi di Indonesia. Mulai tahun 1990-an, Ariel Heryanto
menemukan adanya peningkatan dalam konsumsi dan interaksi antara konsumerisme
dengan konstruksi dari “Barat” maupun “Timur”, yaitu sikap terhadap orang-orang
Tionghoa serta perkembangan Islam di Indonesia.242 Para pemimpin negara di
kawasan Asia merasakan ketidakcocokan pada perubahan budaya dan pesan-pesan
politik maupun sosial yang dibawa melalui aliran kapitalisme internasional karena
sifatnya sangat “Barat” sehingga bertentangan dengan cara hidup Asia.243 Wacana
241
Pembalut Honeysoft Unicharm adalah produksi dari PT Haniwell Murni Co.
yang merupakan bagian dari perusahaan gurita Grup ABC, terkenal juga sebagai produsen
kecap ABC dan wafer Tango. Dua bersaudara, Chu Sam Yak dan Chu Sok Sam
mempelopori kelahiran Grup ABC yang sejak awal sudah berkutat dengan berbagai produk
dagangan. Salah satu produknya yang mampu bertahan hingga kini adalah minuman anggur
tradisional Orang Tua. Namun di tahun 2000, kongsi bisnis tersebut pecah sehingga
melahirkan pendirian rumah produksi pembalut sendiri yang dikenal dengan merek Charm.
Baca emenrizal.wordpress.com, diakses pada tanggal 3 April 2016 pukul 9:26 WIB.
242
Tod Jones, 2015, op.cit, hlm. 16.
243
Ariel Heryanto mengkritik logika yang diterapkan oleh para pemimpin negara di
Asia ini. Jika demikian caranya, yaitu menghindari segala bentuk “Barat” untuk berada di
“Timur”, semestinya mereka berhenti untuk menjadi presiden, tidak memimpin “bangsa
negara” dan meniadakan “pembangunan” karena kesemuanya adalah “Barat”. Baca Ariel
Heryanto, 2000, op.cit, hlm. 264-268.
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nilai-nilai hidup Asia yang dimaksud adalah menekankan kerja keras, kekeluargaan,
tanggung jawab sosial, hormat terhadap otoritas dan disiplin. Berdasarkan kepada
wacana tersebut, konsolidasi kekuasaan politik antar negara di kawasan Asia mulai
terjalin dan mencapai kesepakatan untuk menolak kebebasan pers serta hak asasi
manusia yang berlabel “Barat”.244 Bukan hanya mempengaruhi kebijakan politik dan
sosial, dampak dari konsolidasi ini meluas hingga kehidupan ekonomi. Bermacam
produk-produk Asia mulai membanjiri pasaran Indonesia yang berkesinambungan
diikuti oleh merebaknya budaya populer, seperti manga, musik, video games dan
tayangan-tayangan layar kaca hasil produksi Taiwan, Jepang serta Korea Selatan. 245
Kedekatan ini justru menimbulkan keasyikan untuk menjelajahi dan
mengungkapkan identitas baru sebagai individu Indonesia-Asia yang modern dan
kosmopolitan.246
Dalam
hal
ini,
produk
pembalut
Honeysoft
Unicharm
merepresentasikan sisi modern karena memiliki miracle gel, yaitu serbuk yang
mampu menyerap dan mengikat darah hingga berdaya tampung 1000 kali lipat.
Selain itu, Honeysoft Unicharm juga mempunyai penyekat side seal yang menyatu
dengan lapisan luar untuk menghindari kebocoran pembalut. Kedua teknologi
mutakhir ini semakin menyempurnakan pembalut Honeysoft Unicharm dengan
dilengkapi ukuran yang 25% lebih panjang. Hal-hal tersebut merupakan
244
Ibid, hlm. 17.
245
Baca Ariel Heryanto, 2015, op.cit, hlm. 243-277.
246
Ibid, hlm. 244.
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perkembangan terbaru dari produk pembalut yang mengindikasikan adanya unsur
modern.
Gambar 22. Honeysoft (Sumber: Femina 1995)
Iklan Honeysoft seakan-akan menceritakan bahwa Venna Melinda baru saja
selesai berolahraga. Gambaran demikian senada dengan kehidupan perempuan
menjelang tahun 2000 yang memiliki situasi fluiditas atau cair. Perempuan yang
tinggal di wilayah urban dan bekerja akan lebih memperhatikan pilihan-pilihan dari
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam diri untuk menentukan hidupnya, misalnya menyeimbangkan antara
berpenampilan “cool” namun juga narsisistik dengan merisaukan kesehatan serta
bentuk tubuh ideal.247
Maka, ketika pembaca iklan bergerak untuk mengkonsumsi produk
Honeysoft Unicharm ia bukan hanya menggunakan pembalutnya tetapi juga
menemukan identitas baru sebagai orang Indonesia-Asia, terutama Jepang. Hal ini
dinyatakan oleh aksara Jepang yang menghiasi kemasan produk Honeysoft Unicharm.
Selain itu, figur Venna Melinda yang pamornya sedang naik sejak tahun 1994
menyuguhkan irisan identitas lainnya sebagai perempuan modern dan berwawasan
luas.
Berdasarkan pemaparan iklan-iklan yang terbit tahun 1994 dapat diperoleh
kesimpulan bahwa gambaran perempuan mengalami perkembangan meskipun niat di
baliknya masih sama. Wacana-wacana dalam iklan mengatakan bahwa era
modernisasi mendorong kemajuan pendidikan bagi perempuan namun dengan syarat
tidak mengacuhkan tugas sebagai isteri maupun ibu di rumah tangga. Selain itu,
representasi figur-figur dalam iklan yang berasal dari kelas menengah membawakan
semangat modernisasi dan emansipasi bukan sebagai subyek melainkan obyek.
Kapialisme merekonstruksi figur-figur dalam iklan Kotex, Sofie Wing dan Laurier
menjadi gambaran ideal dari sosok ibu. Sementara dalam iklan Carefree dan
Honeysoft, figur-figur lebih terbebaskan dari domestikasi karena gambaran yang
247
Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 2.
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melekat justru sebagai obyek untuk meningkatkan konsumerisme bahkan hingga
tingkat dunia.
Di bulan Agustus 1995, majalah Femina memuat iklan pembalut Ultra
Softex pada halaman ke-79.248 Sebelum membahas mengenai iklan terlebih dahulu
memaparkan penemuan mengenai kata “ultra”. Dalam bahasa Indonesia, “ultra”
merupakan kata sifat yang artinya teramat sangat. Maka, tujuan Softex mengimbuhi
kata “ultra” supaya memberi kesan bahwa produk Ultra Softex berbeda dari biasanya
meskipun berasal dari pabrik yang sama. Pasalnya, produk Ultra Softex memiliki
kelebihan karena sifatnya yang definisinya hanya “teramat sangat” tersebut.
Kali ini Ultra Softex memanfaatkan momen turnamen voli dunia yang
diselenggarakan oleh Ultra Jaya Cup sebagai salah satu sponsor sekaligus strategi
pemasaran produk. Cara demikian mirip dengan strategi yang digunakan oleh
Honeysoft pada tahun 1984 untuk berkompetisi memperebutkan pangsa pasar.249
Dalam hal ini, slogan Ultra Softex yang mengatakan “Tetap percaya diri walau harus
“jungkir balik” di lapangan” membedakan dengan narasi domestikasi pada iklan
Honeysoft. Apabila iklan pembalut Honeysoft menawarkan undian berhadiah berbagai
peralatan rumah tangga, Ultra Softex justru memberikan kepercayaan diri ketika
perempuan harus jungkir-balik berkegiatan, terkhusus olahraga voli. Meskipun
248
Femina No. 33 Tahun XXIII terbitan 24 Agustus 1995, hlm. 79. Lihat gambar
249
Lihat halaman 53.
23.
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perbandingan hadiahnya tidak serupa, produk Ultra Softex bernilai lebih tinggi. Saat
perempuan memutuskan untuk mengkonsumsi produk pembalut Ultra Softex maka
selain membeli barang, ia juga berkeyakinan akan memiliki gambaran percaya diri
khas atlet voli. Kaum perempuan akan menemukan identitas baru dalam dirinya,
sebagai pribadi yang aktif dan bugar layaknya olahragawati, ketika mengkonsumsi
Ultra Softex berdasarkan tontonannya terhadap iklan produk.
Di bagian bawah iklan memuat penampakan dari produk Ultra Softex yang
telah dikemas dalam dua kantong berukuran berbeda. Selain menggunakan strategi
mensponsori turnamen, demi mencapai target penjualan bagian pemasaran Ultra
Softex memilih untuk mengemas produk-produknya menjadi dua jenis bungkus.250
Secara ekonomis, perempuan dapat berhemat karena dengan harga yang sama bisa
mendapatkan jumlah produk lebih banyak ketimbang memilih merek lainnya. Namun
tanpa disadari perempuan akan semakin minim kebebasan untuk memilih. Bila
perempuan hanya membutuhkan dua pembalut tetapi karena isi dalam kemasan telah
dirancang sejumlah enam maka ia terpaksa harus membeli tanpa menggunakan
keempat sisanya.
250
Sayangnya, tidak mampu ditemukan berapa jumlah isi per kemasan. Namun bila
boleh mengira, ukuran lebih besar mampu memuat 24 bungkus. Sementara ukuran yang lebih
kecil berisi 12 bungkus.
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 23. Ultra Softex (Sumber: Femina 1995)
3. Iklan Pembalut Tahun 1996
Masih menggunakan tema “kebebasan”, iklan Laurier Wing yang
menghabiskan dua halaman majalah Femina edisi Juni 1996 menautkan slogan
“Membebaskan Anda dari Keraguan Akan Pembalut”.251 Apabila iklan-iklan
sebelumnya menyatakan bahwa dengan menggunakan pembalut maka perempuan
akan mendapatkan kekebasan dalam bergerak, kali ini Laurier Wing menyodorkan
251
Femina No. 24 Tahun XXIV terbitan 20 Juni 1996, hlm. 16-17. Lihat gambar
24.
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebutuhan untuk bebas yang lebih baru. Elemen terbaru yang ada dalam produk
Laurier Wing meliputi lapisan pengaman istimewa di kedua sisi pencegah kebocoran,
permukaan halus dan lembut serta sayap perekat untuk mencegah pembalut bergeser
atau berkerut. Sejujurnya, kebaruan-kebaruan yang diakui oleh Laurier Wing tersebut
serupa dengan keunggulan produk pembalut lainnya.
Gambar 24. Laurier Wing (Sumber: Femina 1996)
Kata “baru” yang tertera di bagian atas iklan hanya menunjukkan bahwa Kao
sebagai pabrik Laurier Wing mengeluarkan inovasi terbaru, seperti sayap di kedua
sisi, layaknya produk-produk pembalut lainnya. Meskipun sesungguhnya tidak baru
lagi. Namun semakin sering kata “baru” digunakan justru membuat maknanya
menjadi nol atau malah sekadar pajangan. Merujuk pada pernyataan Michael
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Schudson bahwa iklan tidak berbohong namun juga bukan mengatakan yang
sebenarnya.252 Maka, kata “baru” yang tertera di bagian atas iklan walaupun
direkayasa tercetak miring, digarisbawahi dan berwarna merah hanya berfungsi
sebagai pemanis desain pariwara.
Masih di halaman pertama iklan, seorang perempuan bergaun putih dengan
rambut tersibak dan aksesoris subang emas tampak sedang menengadah ke atas.
Kedua tangannya terbuka, seakan baru saja melepaskan burung merpati yang tengah
terbang di atas kepala figur perempuan. Latar belakang halaman iklan menyuguhkan
deretan awan putih yang mewarnai langit biru. Semua elemen iklan di atas
menyiratkan kelembutan, ditambah ekspresi dari perempuan yang memasang bibir
tersenyum dan mata penuh harapan.
Tampilan iklan Laurier Wing ini seakan memelesetkan kenyataan. Figur
perempuan tampak seperti terbang hingga di ketinggian awan, lalu memberikan
kebebasan kepada burung merpati dengan melepaskannya. Namun kata “wing” di sini
menjadi kunci menyangkut posisi figur perempuan di tengah arak-arakan awan.
Perancang iklan menyandikan suatu kebebasan melalui kemampuan terbang, baik
figur perempuan atau burung merpati, yaitu menggunakan sayap „wing‟. Dalam
penawaran kali ini, wing adalah keunggulan produk Laurier Wing. Maka, ketika
memutuskan untuk menggunakan Laurier Wing konsumen akan mendapatkan dua
kebebasan sekaligus. Pertama, konsumen akan berperan layaknya figur iklan yaitu
252
Petrus Gogor Bangsa, 2011, op.cit, hlm. 36.
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat terbang bebas tanpa rasa ragu mengenai pembalut karena telah memiliki wing.
Kemudian yang kedua, burung merpati menganalogikan kebebasan bergerak
“mengepakkan sayap” bagi konsumen. Kedua analogi tersebut membawa kita kepada
satu kesadaran yang terus terulang, bahwa perempuan dituntut memiliki peran ganda
yaitu sebagai konsumen dan pekerja. Rekayasa produsen yang mengatakan
“Membebaskan Anda dari Keraguan Akan Pembalut” mengharuskan perempuan
untuk mempunyai kebutuhan atas ragu. Keraguan ini memancing hasrat untuk
membeli produk yang mampu menutupi rasa ragu tersebut. Tanpa menunggu lama
berubah menjadi tindakan konsumtif yang mewajibkan perempuan bekerja “aktif”253
supaya mendapatkan uang sehingga dapat membelanjakannya.
Burung merpati seakan menjadi logo dari produk Laurier Wing. Pada
masing-masing halaman iklan, burung merpati memperlihatkan wujudnya yang
berpose tengah mengepakkan kedua sayapnya. Dalam masyarakat Indonesia burung
merpati bukanlah hewan asing atau liar, banyak orang memeliharanya bahkan
membuatkannya rumah yang terletak di atas sebuah tiang. Pemelihara burung merpati
sering dengan sengaja menerbangkannya dari lokasi tertentu, toh nantinya tetap akan
kembali ke rumah. Alasan dari tindakan ini adalah guna melatih kemampuan atau
Lihat halaman sebelahnya, Laurier Wing mencantumkan kalimat “Pembalut
untuk Wanita Aktif”.
253
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecerdasan burung merpati. Oleh karena itu, burung merpati dikenal sebagai simbol
kedamaian atau kesetiaan.254
Melalui kerangka pemahaman demikian, dengan mudah kita dapat
menemukan analogi ketiga dari burung merpati sebagai perempuan. Dalam hal ini,
pemerintah adalah pemilik dari burung merpati yang memperbolehkannya terbang
jauh kemana pun asalkan tetap mengingat bahwa dirinya adalah simbol dari kesetiaan
sehingga menuntunnya untuk kembali pulang ke rumah. Senada dengan kehidupan
perempuan, yang dimuati peran ganda oleh kebijakan pemerintah untuk keluar
rumah, bekerja apa pun dan di sektor mana saja. Namun kemudian diingatkan untuk
tetap kembali ke rumah karena perempuan adalah simbol dari kesejahteraan keluarga.
Di tahun 1996, produk Ultra Softex melakukan perubahan dalam iklannya.255
Jika setahun sebelumnya hanya menyediakan dua bungkus ukuran besar, kali ini
dengan
menggunakan
alasan
kepraktisan
dan
kenyamanan
Ultra
Softex
mempromosikan kemasan mini berisi lima buah pembalut. Slogan yang digunakan
dengan jelas menggambarkan perubahan kepraktisan tersebut, yaitu “ukuran mini
untuk aktivitas maxi”. Demi meraup keuntungan, produsen Ultra Softex berhasil
menciptakan kebutuhan praktis sehingga perempuan aktif, layaknya tiga figur dalam
iklan, berkehendak membeli produk yang hanya berisi lima pembalut tersebut.
Dengarkan lagu dari Paramitha Rusady (1985) berjudul “Merpati Tak Pernah
Ingkar Janji” yang mengumpamakan burung merpati sebagai simbol dari kasih, kesetiaan dan
cinta abadi.
254
255
Femina No. 27 Tahun XXIV terbitan 3 Juli 1996, hlm. 20-21. Lihat gambar 25.
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ironisnya, tema kepraktisan justru kontradiktif dengan tampilan iklan yang
memakan dua halaman penuh. Pada halaman ke-20 terlihat dua figur perempuan yang
berpakaian rapi dengan kemeja dan blus serta rok span di atas lutut. Melalui
penampilannya, kedua figur tersebut sarat dengan kriteria perempuan yang bekerja
dan mandiri. Pose kedua perempuan tersebut melihat ke arah lain dan diambil secara
candid camera, seakan asyik mengamati sesuatu. Salah satu perempuan bahkan
menunjuk menggunakan jarinya menuju arah pandangan mereka, yang ternyata
membawa penonton iklan ke halaman berikutnya. Warna merah muda mendominasi
halaman selanjutnya, namun terdapat dua foto kecil yang terdiri dari produk Ultra
Softex dan figur perempuan sedang bermain tenis.
Gambar 25. Ultra Softex (Sumber: Femina 1996)
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambaran demikian dapat menimbulkan pembacaan adanya sebuah pertalian
di antara ketiga foto yang dimuat dalam iklan Ultra Softex. Dua figur perempuan
yang berpakaian rapi memandang ke arah si petenis dengan tatapan kagum, sembari
menuding dan membicarakan sesuatu. Gerak lincah si petenis membuat kedua
perempuan merasa takjub, sehingga mempertanyakan penyebabnya. Sementara itu,
walaupun si petenis terlihat bergerak namun matanya mengarah kepada foto produk
Ultra Softex yang berada di tengah halaman seakan menjawab rasa penasaran kedua
perempuan pekerja.
Produsen dan perancang iklan menciptakan simbol, yaitu si petenis yang
mampu bergerak bebas sebagai keidealan perempuan ketika menghadapi menstruasi.
Sementara itu, kedua perempuan berpenampilan rapi dalam proses memandang
memahami bahwa dibutuhkan upaya untuk mencapai gerak lincah layaknya petenis.
Sayangnya, sebelum upaya ditemukan produk Ultra Softex telah menyodorkan
solusinya, yaitu dengan membeli “kemasan mini berisi 5 pembalut” yang lebih
praktis dan nyaman bagi perempuan aktif.
Narasi iklan Ultra Softex kali ini adalah perempuan yang mampu bekerja
saja belum cukup untuk dikatakan “aktif”. Kriteria ideal dari kata “aktif” menjadi
lebih luas, bahwa perempuan dituntut bukan hanya mampu bekerja tetapi juga
bergerak, misalnya berolahraga. Tuntutan kehidupan terhadap perempuan menjadi
lebih kompleks karena konteks waktunya bersamaan dengan merebaknya budaya
populer yang sarat akan konsumerisme, individualisme dan jauh dari kepedulian pada
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
institusi politik.256 Iklan Ultra Softex menggambarkan situasi terkini mengenai
kehidupan masyarakat urban di Indonesia yang tidak memiliki tekanan dari luar,
namun kebingungan dalam menentukan pilihan-pilihan diri.257 Kedua perempuan
pekerja selain bingung harus menentukan pilihan pembalut, juga berhadapan dengan
keinginan untuk bergerak aktif layaknya petenis. Sementara bagi petenis, tuntutan
untuk selalu bergerak aktif justru merupakan penciptaan dari produsen Ultra Softex
karena telah memilih untuk menggunakan produknya. Maka benar apa yang
diungkapkan oleh Illich bahwa pada masa industrialisasi kehidupan perempuan justru
mengalami penindasan terparah.258
Senada dengan Ultra Softex, di bulan Oktober 1996 sebuah produk pembalut
baru bernama Whisper juga menggunakan tema olahraga populer sebagai desain
iklan.259 Di pasaran Indonesia produk Whisper memang terbilang baru, namun tetap
tidak tertinggal dengan tren tema iklan pembalut lainnya, yaitu menyoal bebas
256
Gadis Arivia, 2016, op.cit, hlm. 2.
257
Ibid.
258
Ivan Illich, 1998, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 123. Baca
juga Ariel Heryanto, 2000, op.cit, hlm. 265.
259
Pembalut Whisper merupakan salah satu produk dari perusahaan multinasional
P&G yang berpusat di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Nama P&G sendiri merupakan
kependekan dari kedua laki-laki pemilik perusahaan, yaitu William Procter dan James
Gamble. Selain pembalut Whisper, P&G juga memproduksi kosmetik Olay, Pampers,
shampoo Head&Shoulders, Downy, Vicks dan Rejoice. Perusahaan P&G mulai hadir di
Indonesia sejak tahun 1979 yaitu ketika mengakuisisi PT Richardson Merrel Indonesia yang
memproduksi Vicks. Seiring berjalannya waktu, perusahaan P&G terus mengalami perubahan
nama hingga terakhir di tahun 1997 menjadi PT Procter & Gamble Home Products. Baca
www.pg.com, diakses pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 23:49 WIB.
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bergerak dan sayap pelindung.260 Perbedaannya, iklan Whisper menyematkan jiwa
Amerika yang merupakan tempat asal pabriknya, sekaligus pusat berkembangnya
budaya populer dunia, sebagai pendukung dengan menggunakan figur cheer leader
bernama Anita Rahayu.261
Menjelang tahun 2000 cheerleading mulai menjadi aktivitas terpopuler bagi
pelajar perempuan, salah satunya adalah Anita. Di antara ekstrakulikuler lainnya,
anggota cheerleading cenderung mendapat status lebih tinggi dan memiliki daya tarik
lebih tajam. Hal ini tercermin dari foto close-up Anita yang tersenyum lebar sehingga
membuat wajahnya cerah bersinar. Tak ayal, penonton iklan pasti merasa senang
ketika menatap wajah bersinar Anita.
Kekuatan cheerleading terletak pada latihan rutin, seperti membentuk
barisan sejajar, dance dan berteriak dengan nada yang ceria sembari membawa
pompoms. Bahkan gaya berpakaian cheerleading yang terdiri dari rok mini, kaos
ketat dan kaos kaki panjang pernah menjadi tren dan profitable. Di halaman sebelah
foto close-up wajahnya, Anita berusaha mempraktekkan salah satu gerakan. Pola-pola
260
Gadis No. 28 Tahun XXIII terbitan 10 Oktober 1996, hlm. 49 dan 51. Lihat
gambar 26.
261
Sejarah perkembangan cheer leader atau pemandu sorak berkaitan erat dengan
sepakbola Amerika. Pemandu sorak dimainkan pertama kali di tahun 1869 dalam sebuah
pertandingan antar kampus, yang semula berawal dari teriakan iseng para pendukung lalu
berubah riuh-rendah disertai lagu. Mulanya anggota pemandu sorak adalah laki-laki, namun
mulai tahun 1923 perempuan diperbolehkan untuk bergabung. Izin ini memulai pemandu
sorak menambahkan gerakan akrobatik secara rutin dalam setiap penampilannya. Baca
“History of Cheerleading” diunduh dari www.varsity.com pada tanggal 2 Mei 2016 pukul
1:47 WIB.
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
demikian merupakan stereotype yang dengan mudah diketahui melekat kepada
perempuan modern, yaitu aktif, penuh energi dan gemar berolahraga. 262 Maka, baik
Anita maupun cheerleading merepresentasikan gambaran idaman dari kehidupan
remaja urban, yang berwajah ayu bersinar, memiliki aktivitas di luar jam sekolah dan
rutin berolahraga.
Gambar 26. Whisper (Sumber: Gadis 1996)
Dengan memperhatikan figur remaja dan konteks kemunculan iklan,
produsen Whisper jelas menyasar para perempuan muda sebagai konsumennya,
Baca “About the Cheerleading Youth Subculture” diakses dari
http://smhp.psych.ucla.edu pada tanggal 1 Mei 2016 pukul 11:59 WIB. Baca juga Angela
McRobbie, 1994, Postmodernism and Popular Culture, London: Routledge, hlm. 150-160.
262
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terutama yang berdomisili di perkotaan dan duduk di bangku sekolah. Hingga tahun
2000 jumlah remaja perempuan yang bersekolah mencapai 9.188.055 orang.263
Produsen Whisper dengan jeli menggunakan dua faktor tersebut, yaitu banyaknya
jumlah remaja perempuan dan kepopuleran cheerleading di kalangan anak sekolah
untuk dimanfaatkan sebagai kiat penjualan. Barangkali, wajah bersinar dan tingkah
polah yang enerjik dari Anita mampu meningkatkan kepopuleran Whisper di pasaran
Indonesia sehingga mampu bersaing dengan produk pembalut lainnya.
Ironisnya, slogan “Whisper… lebih yakin, karena lebih kering, lebih bersih”
justru bertentangan dengan aktivitas sebagai cheer leader yang tidak bisa terhindar
dari resiko berkeringat. Namun pertentangan inilah yang menjadi nikmat bagi
produsen Whisper. Selain itu slogan tersebut berdiri sendiri, tanpa menjelaskan
apapun. Tentu yang menjadi penyebab ketidakyakinan, rasa lembab dan tidak bersih
bukanlah produk Whisper. Setiap perempuan penonton iklan pasti mengetahui apa
yang dibicarakan sebagai penyebab masalah, yaitu menstruasi. Akan tetapi, hanya
perempuan juga yang mengalami menstruasi.
Penggambaran beban ganda perempuan, yang harus mampu bekerja di ruang
publik tetapi juga mengurus keluarga dan anak memang tidak muncul dalam iklan
Whisper. Namun beban ganda justru berganti subyeknya, yaitu terhadap menstruasi.
Perempuan harus menyembunyikan rapat kata “menstruasi”. Namun perempuan
263
Jumlah tersebut meningkat dari tahun 1994 yaitu sebanyak 8.492.704 orang.
Lihat Statistik Indonesia 2000, hlm. 82. Bandingkan dengan Statistik Indonesia 1994, hlm.
109.
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dituntut harus merasa terganggu dengan kelembaban dan mitos mengenai tidak
bersihnya darah menstruasi sehingga menyebabkan ketidakyakinan. Sebab, produk
Whisper akan mengatasi segala gangguan dengan menggunakan sayap pelindung dan
lapisan unik Dri-Weave.
Ketika industri mulai menguasai suatu masyarakat maka segala bentuk
ketergantungan tradisional, seperti budak kepada majikan atau pengolah tanah
terhadap bangsawan digantikan menjadi candu akan hal lainnya.264 Dalam iklan
Whisper di atas, candu dinarasikan oleh lapisan unik Dri-Weave yang dapat diartikan
secara literal sebagai sesuatu berbentuk anyaman kering. Sebagai penonton iklan,
baik perempuan maupun laki-laki tidak mengetahui apa makna dari kata “DriWeave”. Akan tetapi, penonton iklan cenderung tidak ingin mencari makna atau
memikirkan lebih lanjut dari kata tersebut. Namun bagi perempuan pencantuman
“lapisan unik Dri-Weave” membikin sensasi tersendiri untuk mendorong tindakan
konsumtif. Produsen Whisper berhasil menjalankan ide industri karena membuat
perempuan memiliki ketergantungan terhadap “lapisan unik Dri-Weave” meskipun
maknanya tidak diketahui.
4. Iklan Pembalut Tahun 2000
Menjelang penghujung 2000, iklan Whisper kembali muncul di halaman ke17 dan 19 dalam majalah Gadis. Di halaman awal, perancang iklan hanya memajang
Herbert Marcuse menyebutnya sebagai dependence on “objective order of
things”. Lihat Herbert Marcuse, 1964, op.cit, hlm. 144.
264
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
foto dari dua pasang mata yang berbeda.265 Foto pertama hitam putih, mata figur
menggunakan kacamata dan di pojok atas sebelah kiri tercantum kata “dulu”.
Sementara di foto kedua sangat berlawanan karena berwarna, mata figur telah
mengenakan contact lens hijau dan di pojok bawah sebelah kiri terpampang kata
“sekarang”. Penonton iklan dengan mudah menafsirkan bahwa kedua foto tersebut
bertujuan untuk membandingkan suatu perubahan, bahwa “dulu” kacamata dan
“sekarang” contact lens. Perbandingan ini semakin kuat dengan adanya kalimat
“jaman makin canggih!” di antara kedua foto.
Gambar 27. Whisper (Sumber: Gadis 2000)
265
Gadis No. 25 terbitan 18 September 2000, hlm. 17 dan 19. Lihat gambar 27.
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Segala bentuk perubahan pada dasarnya mengarah kepada modernisasi
meskipun cakupannya hanya tertahan di sebagian kecil masyarakat Indonesia.266
Sama halnya dengan kacamata ataupun contact lens yang hanya dikenal akrab dan
digunakan oleh masyarakat perkotaan. Kebutuhan akan kacamata atau contact lens
hanya berarti pada orang-orang yang mengalami gangguan penglihatan meskipun
dalam perkembangannya menjadi salah satu pendukung gaya berpakaian. Lalu apa
kaitan sebenarnya dengan pembalut?
Di halaman kedua, dengan desain yang serupa perancang iklan meletakkan
kata “dulu” bersanding bersama tiga buah pembalut bernama maxi, reguler dan slim.
Sementara kata “sekarang” berdampingan dengan sebuah tanda tanya besar yang
pada bagian ujungnya terdapat logo Whisper dan kalimat “ini urusan cewek.” Sebuah
kalimat “siap revolusi nggak?” membatasi kedua muatan tersebut. Kalimat ini bersifat
pragmatik; menimbulkan dua makna yang berbeda karena meskipun menggunakan
tanda tanya namun terselip tuntutan atau keharusan ketika membacanya. Kata
“revolusi” yang dicetak menggunakan huruf kapital menandaskan sesuatu, misalnya
bersifat sangat penting atau gertakan. Dengan demikian, penonton iklan atau lebih
menyeluruh adalah masyarakat dituntut untuk siap mengikuti setiap perubahan. Cara
supaya mampu mengikutinya adalah dengan mengkonsumsinya, dalam hal ini
266
Hikmat Budiman, 2002, op.cit, hlm. 183.
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meliputi barang hasil industri, teknologi dan tren pakaian. Jika tidak maka ora
keduman.267
Jika membuat jembatan antara kedua halaman iklan dapat menemukan
sebuah kemungkinan bahwa produsen Whisper tengah berupaya membuat “revolusi”
baru mengenai bentuk dan ketebalan pembalut. Perubahan ini serupa dengan contact
lens yang berhasil menggantikan posisi kacamata sebagai alat bantu mata. Sejujurnya,
pembalut “revolusi” yang ukuran ketebalannya lebih dari slim memiliki tujuan sama
dengan maxi ataupun reguler, yaitu sebagai teknologi menstruasi. Namun penciptaan
pembalut lebih dari slim tentu bertujuan lebih dari sekadar teknologi yang membantu
perempuan sebagai wadah aliran darah menstruasi. Layaknya kacamata yang menjadi
salah satu instrumen pendukung gaya berpakaian, pembalut pun demikian.
Di bulan November 2000, pembalut Laurier menggunakan jurus baru dalam
pemasaran.268 Perempuan dipertontonkan sebuah kebutuhan baru dari pembalut, yaitu
sebagai bagian dari fashion atau mode pakaian. Melalui slogan “Baru: Laurier Soft
Care Slim… begitu tipis, serasa tak pakai!”, produsen dan perancang iklan berhasil
267
Dalam bahasa Indonesia, ora keduman secara literal berarti tidak mendapat
bagian atau tempat. Bagi mereka yang menolak untuk mengkonsumsi perubahan sudah pasti
tidak akan mendapat tempat dalam masyarakat atau dicap “ketinggalan zaman”. Istilah “ora
keduman” dicomot dari syair “Jaman Edan” yang ditulis oleh pujangga keraton Surakarta
bernama Ronggowarsito. Salah satu penggalan syairnya berucap demikian, “saiki jamanne
Jaman Edan, yen ora edan ora keduman”.
268
Gadis No. 30 Edisi Ulang Tahun terbitan 10 November 2000, hlm. 91. Lihat
gambar 28.
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mewujudkan pembalut yang stylish karena sangat tipis sehingga “serasa tak pakai”.
Hal ini mendapat dukungan dari figur-figur perempuan yang menjadi model iklan.
Melalui figur iklan dapat membaca dua penanda yang menjadi tanda dari
slogan Laurier tersebut. Pertama adalah gerak aktif figur, mulai dari bersepeda,
senam hingga membaca. Menstruasi selalu dipahami sebagai penghambat bagi
perempuan ketika beraktifitas, begitu pun halnya menggunakan pembalut. Awalnya,
industri merancang bahwa menstruasi adalah proses yang bermasalah maka harus
menggunakan pembalut. Namun kini, industri kembali membentuk masalah lainnya
bahwa produk ciptaan mereka adalah sumber masalah baru karena ketika digunakan
menimbulkan rasa tidak nyaman. Oleh karena itu sebagai solusi diciptakanlah
Laurier Soft Care Slim yang “serasa tak pakai” sekaligus “tak tembus ke segala arah”.
Dengan demikian, perempuan akan lebih leluasa bergerak untuk bersepeda dan senam
ataupun hanya duduk diam membaca karena tidak lagi memiliki perasaan terganggu
atas menstruasi serta ketebalan pembalut. Penanda kedua adalah gaya berpakaian
yang dikenakan oleh figur-figur perempuan dalam iklan.
Pakaian bukan lagi sekadar kain penghangat atau penjaga nilai sopan santun.
Tugas pakaian, selain menjadi perpanjangan ekspresi secara fisik dari pemakai juga
menarik perhatian khalayak terhadap keberadaan tubuh dan bukan untuk mengalihkan
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau bahkan menolaknya.269 Maka, pemakaian celana pendek ketat pada figur iklan
merupakan salah satu bentuk ekspresi kebebasan sekaligus aktualisasi tubuh. Pada
tahap ini, produk Laurier Soft Care menjadi bermanfaat karena tidak menghalangi
perempuan untuk mengenakan celana pendek ketat meskipun menstruasi berkat
“begitu tipis, serasa tak pakai”.
Gambar 28. Iklan Laurier (Sumber: Gadis 2000)
269
Henk Schulte Nordholt, 2005, op.cit, hlm. 1. Baca juga Idy Subandy Ibrahim
(ed.), 2009, Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual,
Kelas dan Gender, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, hlm. 69-70.
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain
sebagai
bentuk
ekspresi
kebebasan,
celana
pendek
ketat
mengaksentuasikan suatu area erotis yang baru dari tubuh perempuan. Mulai
pertengahan tahun 1990-an, Vivienne Westwood yang merupakan seorang perancang
busana kelas dunia mengawali tren baru melalui eksperimen desainnya, yaitu
mengalihkan perhatian erotis bahu dan payudara perempuan kepada bagian bawah
tubuh, meliputi paha atau betis.270 Oleh produsen dan perancang iklan Laurier,
perubahan makna seksual dengan cerdik ditangkap dan menjadi ide pemasaran.
Tubuh perempuan Indonesia tentu mengalami pembebasan, dari penggunaan jarik,
celana panjang hingga short pants yang mempermudah aktivitas. Di sisi lain,
perubahan makna seksual justru semakin menjerat perempuan sebagai obyek fetish
yang hanya memiliki paha dan betis. Lebih lanjut lagi, gambaran perempuan yang
cantik akan mengalami perkembangan baru melibatkan prasyarat paha dan betis
mulus nan putih serta berotot layaknya figur dalam iklan.
Pada dasarnya iklan-iklan pembalut yang beredar antara tahun 1994-2000
menggambarkan kelanjutan perkembangan gambaran perempuan di Indonesia.
Produsen pembalut masih memanfaatkan kebijakan peran ganda perempuan sebagai
jurus penjualan dengan memuat figur yang tampil di ruang-ruang publik namun tetap
tidak boleh melupakan tugas sebagai isteri dan ibu. Beberapa iklan bahkan
menggelorakan tema peran ganda perempuan sejak dini yaitu dengan menggunakan
remaja putri sebagai figur utama. Produsen pembalut seakan mengingatkan para
270
Idy Subandy Ibrahim (ed.), 2009, op.cit, hlm. 81.
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
remaja putri untuk tidak melupakan “kodrat” tugas sebagai perempuan meskipun
telah menempuh pendidikan tinggi. Selain itu produksi pembalut mulai menemukan
fungsi barunya yaitu sebagai pendukung gaya berpakaian. Hal ini mendapat pengaruh
dari perubahan makna seksual yang tengah berkembang di tren fashion dunia, yaitu
pemakaian celana pendek ketat. Dengan demikian iklan pembalut sebagai bagian dari
kapitalisme
masih
mendiskreditkan
perempuan
melalui
gambaran-gambaran
mengenai peran ganda dan obyek fetish.
156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D.
Kesimpulan
Detik-detik menjelang kelengseran Soeharto, berbagai elemen masyarakat
ikut menyuarakan tuntutan reformasi. Salah satunya datang dari kaum perempuan,
yang selama masa pemerintahan Soeharto disenyapkan suaranya dalam ruang publik
dan politik. Perempuan mulai aktif terlibat dalam protes, menuntut adanya perbaikan
sistem pemerintahan seperti yang dilaksanakan oleh “demo susu” Suara Ibu Peduli.
Selain itu perempuan juga mensponsori gerakan-gerakan mahasiswa melalui
pemberian sumbangan makanan dan minuman. Peran perempuan dalam ruang-ruang
publik harus terhenti ketika media massa yang mengantongi semangat budaya
konsumerisme membangkitkan keresahan sebagai individu bebas. Salah satunya
adalah iklan pembalut. Meskipun sanggup merasakan pendidikan dan memiliki karir,
iklan pembalut tetap mencantumkan tugas sahih sebagai seorang perempuan, yaitu
menjadi isteri dan ibu. Dalam hal ini, iklan pembalut yang beredar antara tahun 19942000 kembali menegaskan konstruksi kehidupan perempuan bukan sebagai subyek
melainkan obyek. Tubuh perempuan diharuskan menggunakan dan mengkonsumsi
pembalut secara terus-menerus. Namun tubuh perempuan juga menjadi figur-figur
iklan yang menyampaikan makna-makna seksual. Dengan demikian, iklan pembalut
yang eksis karena perempuan sesungguhnya justru menyantap habis tubuh
perempuan sebagai obyek.
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
KESIMPULAN
Penulisan ini merupakan hasil penelitian mengenai perubahan konstruksi
terhadap perempuan dengan studi iklan pembalut. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa konstruksi terhadap perempuan dalam rentang tahun 1977 hingga 2000
mengalami pergeseran. Visualisasi, narasi, figur dan warna yang menghiasi halaman
iklan pembalut terus berubah namun tidak berkembang. Artinya, kapitalisme kian
memperbaharui cara dalam menawarkan iklan tetapi masih bertujuan supaya
membentuk konstruksi bahwa perempuan membutuhkan pembalut.
Periode 1970-an perekonomian Indonesia mulai mengalami transisi karena
mengutamakan eksplorasi minyak bumi dan mengandalkan pinjaman maupun strategi
dari lembaga moneter dunia seperti IMF atau Bank Dunia. Hal ini membuka
kesempatan lebih besar kepada koorporasi internasional dalam membangun usaha
maupun menanamkan modal di Indonesia sehingga menuntut pemerintah supaya
bertindak otoriter demi tercapainya suasana yang kondusif bagi investasi. Tindakan
otoriter berwujud dengan pembatasan partisipasi masyarakat dalam kebebasan
berpolitik bahkan menyuarakan aspirasi melalui media massa.
Sistem kapitalisme menggelorakan jiwa baru dalam dunia penerbitan yang
lebih berpihak terhadap industrialisasi. Media massa menjadi corong pemasaran
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk produk-produk industri bahkan ikut menciptakan kebutuhan baru sehingga
masyarakat bertindak konsumtif. Dalam proses ini lahir majalah-majalah hiburan
yang memuat konten-konten mengenai gaya hidup masyarakat urban, dua diantaranya
adala Femina dan Gadis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasaran pembaca majalah Femina dan
Gadis adalah perempuan kelas menengah, terutama yang hidup di perkotaan. Masa
pembangunan bukan hanya mengorbankan perempuan pedesaan yang kehilangan
pekerjaannya akibat Revolusi Hijau pada tahun 1984-1989 namun juga kelas
menengah perkotaan. Berbagai industri dan pabrik baru membutuhkan buruh. Dalam
hal ini perempuan merupakan sosok yang tepat karena dapat dibayar dengan upah
rendah namun mampu dituntut bekerja tekun. Namun negara sebagai pelindung justru
mengabaikan jaminan hukum bagi pekerja perempuan.
Di sisi lain kehadiran modernisasi memberikan kesempatan lebih besar
terhadap perempuan kelas menengah dalam hal demokrasi dan pendidikan. Namun
kehadiran kapitalisme melalui iklan memenjarakan tubuh perempuan ke dalam
konstruksi-konstruksi baru seperti makna menjadi seksi, bugar, sehat, cantik dan
pekerja keras melalui konsumsi terhadap produk. Benar yang ditandaskan oleh
Marcuse bahwa kebutuhan dengan sengaja diciptakan supaya masyarakat bertindak
konsumtif, salah satunya adalah produk pembalut. Gambaran demikian sangat kentara
dalam iklan namun seturut perkembangan pembangunan setiap perempuan di
Indonesia didikte supaya wajib menggunakan pembalut. Upaya tersebut bertujuan
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
agar meneguhkan gambaran modern, bebas, percaya diri dan fashionable layaknya
figur-figur dalam iklan sekaligus melanggengkan kapitalisme.
Sebagai penulisan sejarah maka penelitian ini memetakan pembahasan ke
dalam tiga periode yaitu tahun 1977-1985, 1986-1993 dan 1994-2000. Pada periode
pertama, tahun 1977-1985 iklan pembalut gencar mengungkapkan bahwa proses
alamiah menstruasi sesungguhnya menyakitkan, tidak membebaskan perempuan dan
menjijikkan, seperti yang diungkapkan oleh Kristeva sebagai bentuk diskredit
sehingga tabu bila terlihat oleh orang lain. Mengutip pemikiran Barthes, pemahaman
tersebut adalah mitos yang telah beredar secara kultural dan historis dalam
masyarakat. Produsen pembalut merekayasa mitos menstruasi menjadi alamiah dan
mudah dipahami, misalnya perempuan dalam keadaan haid tidak mampu bergerak
leluasa atau tersiksa sehingga figur iklan menampilkan sikap oposisi, yaitu bebas
serta berwajah sumringah. Dengan penggambaran tersebut perempuan dikondisikan
membutuhkan teknologi mutakhir, yaitu pembalut yang digambarkan dapat
mengurangi beban menstruasi karena lebih praktis, higienis dan flushable.
Periode kedua, tahun 1986-1993 iklan pembalut marak memuat gambaran
perempuan yang hadir di ruang-ruang publik. Hal ini merupakan perwujudan dari
GBHN tahun 1988 mengenai peran ganda perempuan dalam pembangunan.
Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki
namun harus tetap mengingat kodratnya sebagai penjaga nilai-nilai kesejahteraan
160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keluarga. McRobbie mengungkapkan bahwa era kapitalisme membuat media massa
bertindak jeli dengan mencomot perubahan tersebut sebagai jurus baru pemasaran.
Sistem kapitalisme mendapatkan keuntungan dari pemberlakuan kebijakan
peran ganda perempuan. Kapitalisme menuntut manusia bertindak layaknya robot,
bahwa banyak bekerja maka uang yang didapat semakin besar sehingga
konsumerisme pun meningkat. Ketika perempuan dituntut supaya bekerja maka
harapannya semakin banyak konsumsi yang dihasilkannya karena mereka akan lebih
bebas menentukan pilihan menghabiskannya. Hal ini tergambar dari iklan Carefree
tahun 1986 yang menampilkan seorang perempuan enerjik tengah berjalan di area
pertokoan. Perempuan yang berperan dalam figur tersebut tampil bukan sebagai
pekerja apabila mengamati cara berpakaian dan lingkungan di sekitarnya. Gambaran
perannya cenderung sebagai perempuan pembelanja yang berasal dari kelas
menengah dan tinggal di perkotaan.
Pada tahun 1993 perempuan sebagai figur dalam iklan pembalut
memerankan tugas yang berbeda. Kali ini, iklan Softex dan Sofie Panty Shields
menggambarkan perempuan pekerja dengan kelengkapan pakaian bekerja yang
tengah berada di lingkungan perkantoran. Kedua iklan tersebut seakan meningkatkan
area perjuangan perempuan menuju jenjang yang lebih luas, yaitu ruang publik.
Namun
keberhasilan
perjuangan
perempuan
dalam
bekerja
mempunyai
ketergantungan terhadap pembalut Softex maupun Sofie Panty Shields. Produk Softex
memberikan tiga pilihan pembalut, yaitu night safe, regular dan maxi yang dapat
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
digunakan sesuai waktu atau masa derasnya menstruasi. Sementara produsen Sofie
Panty Shields menawarkan pemakaian produknya setiap hari supaya perempuan dapat
mengatasi stres yang timbul ketika bekerja. Gambaran demikian menyiratkan bahwa
perempuan pekerja rentan mengalami stres karena kekuatannya tidak mampu
menandingi laki-laki yang mampu menghindari gangguan atau kekacauan mental
serta emosional. Maka perempuan tidak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya dan
dianggap lemah karena kapitalisme telah menentukan pilihan-pilihan dan
kemungkinan-kemungkinan yang berdasarkan kepentingan meraih laba tinggi.
Tema-tema iklan pembalut pada periode terakhir, tahun 1994-2000 tidak
banyak mengalami perubahan. bahkan semakin masif menggambarkan tubuh
perempuan sebagai objek seksual sekaligus pelakon kebijakan peran ganda. Produsen
pembalut mengingatkan perempuan bahkan sejak remaja untuk tidak melupakan
kodrat sebagai ibu meskipun telah mengenyam pendidikan, seperti yang tergambar
dalam iklan Kotex tahun 1994. Produsen Kotex menggunakan kalimat “The Leaders
of Tommorow Trust Kotex” sebagai ide utama penawaran yang menggambarkan
bahwa perempuan harus menjadi pemimpin. Namun pada narasi berikutnya produsen
Kotex justru menenggelamkan perempuan dalam domestikasi dengan mencantumkan
keberhasilan perempuan “di bidang sains, ekonomi dan hukum” belum cukup apabila
tanpa gelar “sebagai istri maupun ibu”. Pada tahun 2000 iklan Laurier menemukan
fungsi baru dari produknya yaitu sebagai pendukung gaya berpakaian celana ketat
yang dipengaruhi oleh perubahan makna seksual dalam dunia fashion. Dalam
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
prosesnya, iklan Kotex bukan hanya menawarkan produk tetapi juga membentuk
konstruksi kecantikan baru terhadap perempuan. Tindakan konsumsi akan berlanjut
kepada pembelian celana pendek ketat atau produk-produk pelangsing.
Penulisan ini membuktikan bahwa iklan-iklan pembalut yang terbit antara
tahun 1977 hingga 2000 bukan hanya bertujuan menarik pembelian melainkan
berfungsi untuk menegaskan ideologi pembangunan dan kapitalisme. Pemerintahan
Soeharto membentuk konstruksi bahwa perempuan merupakan pendamping suami,
pengasuh anak dan pengatur rumah tangga sekaligus pembelanja yang baik. Dengan
demikian negara belum mengakui kehadiran perempuan secara utuh yang memiliki
kuasa atas berdiri sendiri tanpa menggandeng suami, anak ataupun bersama keluarga.
Meskipun mulai periode 1980-an akhir iklan pembalut menggambarkan kehadiran
perempuan di ruang-ruang publik tetapi masih menyertakan pentingnya peran istri
dan sebagai ibu. Di sisi lain kapitalisme bukan sekadar menciptakan rasionalitas baru
mengenai kebutuhan penggunaan pembalut tetapi turut membangun konstruksi baru
mengenai keidealan perempuan yang cenderung menjadi obyek fetish melalui iklan
penawarannya. Hal ini menjauhkan perempuan dari kuasa atas tubuhnya sendiri.
163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
MAJALAH
Femina No. 172 terbitan 4 Desember 1979.
Femina No. 173 terbitan 18 Desember 1979.
Femina No. 183 terbitan tahun 1980.
Femina No. 189 terbitan tahun 1980.
Femina No. 191 terbitan tahun 1980.
Femina No. 173 terbitan Maret 1980.
Femina No. 8 edisi tahun 1982.
Femina No. 1 Tahun XII terbitan 3 Januari 1984.
Femina No. 13 Tahun XII terbitan 1984.
Femina No. 37 Tahun XII terbitan 1984.
Femina No. 26 Tahun XIII terbitan 1985.
Femina No. 50 Tahun XIII terbitan 24 Desember 1985.
Femina No. 23 Tahun XIV terbitan 10 Juni 1986.
164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Femina No. 11 Tahun XX terbitan 12 Maret 1992.
Femina No. 4 Tahun XXI terbitan 28 Januari 1993.
Femina No. 31 Tahun XXI terbitan 12-18 Agustus 1993.
Femina No. 3 Tahun XXII terbitan 20 Januari 1994.
Femina No. 31 Tahun XXIII terbitan 10-16 Agustus 1995.
Femina No. 33 Tahun XXIII terbitan 24 Agustus 1995.
Femina No. 24 Tahun XXIV terbitan 20 Juni 1996.
Gadis No. 16 terbitan16-25 Juni 1980.
Gadis No. 32 Tahun XIII terbitan 22 Desember 1986.
Gadis No. 8 Tahun XVII terbitan 23 Maret 1990.
Gadis No. 12 terbitan 11-20 Mei 1994.
Gadis No. 28 terbitan 26 Oktober-4 November 1994.
Gadis No. 28 Tahun XXIII terbitan 10 Oktober 1996.
Gadis No. 25 terbitan 18 September 2000.
Gadis No. 30 Edisi Ulang Tahun terbitan 10 November 2000.
Gatra Edisi Perkenalan terbitan Oktober 1994.
Kartini No. 298 terbitan 21 April – 4 Mei 1986
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tempo, 9 Desember 1972.
Tempo, 30 Desember 1972.
Tempo No. 45 Tahun VI terbitan 8 Januari 1977.
Tempo No. 4 Tahun XVI terbitan 22 Maret 1986.
Tempo No. 12 Tahun XVI terbitan 17 Mei 1986.
Tempo No. 14 Tahun XVI terbitan 31 Mei 1986.
Tempo No. 3 Tahun XVII terbitan 21 Maret 1987.
Tempo No. 45 Tahun XIX terbitan 6 Januari 1990.
Tempo No. 46 Tahun XX terbitan 13 Januari 1990.
Tempo No. 47 Tahun XX terbitan 19 Januari 1991.
Tempo No. 1Tahun XXIV terbitan 5 Maret 1994.
DAFTAR NARASUMBER:
No.
Nama
1. Cicilia Sutini
L/P
P
Usia
87th
2.
Devi Puspitasari
P
51th
Pekerjaan
Ibu Rumah
Tangga
Pegawai Kantor
3.
Eko Prasetyo
L
54th
Guru
4.
Galang Ady
L
30th
Freelancer
Alamat
Semaki Kulon,
Yogyakarta
Cimahi, Jawa
Barat
Tamansiswa,
Yogyakarta
Semarang, Jawa
Tengah
166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5.
6.
Ani Wardhanie
Tara
Wahyuningsih
P
P
30th
40th
Mahasiswa
Ibu Rumah
Tangga
Pogung, Sleman
Ambarawa,
Jawa Tengah
BUKU:
Abmi Handayani, dkk, 2012, Perempuan Berbicara Kretek, Jakarta: Indonesia Berdikari.
Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
A. Latief Wiyata, 2006, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,
Yogyakarta: LKiS.
Ariel Heryanto, 2015, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, Jakarta;
Kepustakaan Populer Gramedia.
Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2003, Becoming White: Representasi Ras, Kelas,
Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun, Yogyakarta: Penerbit
Jalasutra.
Arief Budiman, 1995, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bandel, Katrin, 2006, Sastra, Perempuan, Seks, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Bourdieu, Pierre, 2010, Dominasi Maskulin, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Budi Susanto, S.J. (ed), 2003, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Burton, Graeme, 2012, Media dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra.
Biro Pusat Statistik, 1990, Statistik Indonesia 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Brown, Rajeswary Ampalavanar, 2006, The Rise of the Corporate Economy in Southeast
Asia, New York: Routledge.
Davis, Angela Y., 1981, The Approaching Obsolescence of Housework: A Working
Class Perspective dalam Women, Race, and Class, New York: Random
House.
Dedy N. Hidayat, et.al, 2000, Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah
Hegemoni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dewi Linggasari, 2007, Kisah Seorang Wanita Suku Dani, Yogyakarta: Penerbit
Kunci Ilmu.
Dhakidae, Daniel, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Edy Santosa (ed.), 2002, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN
Yogyakarta bekerja sama dengan The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar.
168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Edwards, Louise (ed.), 2000, Women in Asia: Tradition, Modernity, and
Globalisation, Australia: Allen&Unwin.
Feillard, Andrée, 1999, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Freeman, Jo (ed.), 1984, Women: A Feminist Perspective, California: Mayfield
Publishing.
Gamman, Lorraine dan Margaret Marshment (ed.), 2010, Tatapan Perempuan:
Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer, Yogyakarta: Penerbit
Jalasutra.
Hebdige, Dick, 1999, Asal-usul & Ideologi Subkultur Punk, Yogyakarta: Penerbit
Buku Baik.
Hefner, Robert W. (ed.), 2007, Politik Multikulturalisme, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Helius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Herlambang, Wijaya, 2014, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Tangerang Selatan: CV Marjin
Kiri.
Hill, David T., 2011, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar
Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor.
169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
___________, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hikmat Budiman, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi
Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Idi Subandy Ibrahim (ed.), 2000, Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya,
Bandung: Penerbit Mizan.
_____________________, 2009, Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan
Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ita F. Nadia, 2008, Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, Yogyakarta: Galang Press.
Ivan Illich, 1998, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Julia I. Suryakusuma, 2012, Agama, Seks, dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu.
__________________, 2011, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde
Baru. Jakarta: Komunitas Bambu.
Jones, Tod, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia dan KITLV.
Jones, Amelia dan Andrew Stephenson, 1999, Performing The Body/Performing The Text,
London: Routledge.
Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
170
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kurniasih (ed.), 2006, Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra dan Budaya Pop, Yogyakarta:
Penerbit Jalasutra.
Lies Marcoes-Natsir dan Lanny Octavia, 2014, Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang
Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia, Jakarta: Rumah KitaB.
Mallarangeng, Rizal, 2010, Pers Orde Baru, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Marcuse, Herbert, 1964, One-Dimensional Man, Boston: Beacon Press.
McRobbie, Angela, 1994, Postmodernism and Popular Culture, London: Routledge.
Mike Featherstone, 2008, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar.
Modleski, Tania, 1986, Studies in Entertainment: Critical Approaches to Mass
Culture, Indiana: Indiana University Press.
MPR RI (penanggung jawab), 1983, GBHN ’83, Surakarta: Penerbit Pabelan.
M. Arsjad Anwar, Sri-Edi Swasono, Iwan Jaya Azis, dan Freddy Nazar (ed.), 1985,
Ekonomi Indonesia: Masalah dan Prospek 1988/1989, Jakarta; UI-Press.
Muhamad Hisyam (ed.), 2003, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Murray, Henry. A (ed.), 1969, Myth and Mythmaking, Boston: Beacon Press.
171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.,
Yogyakarta: Penerbit LKiS.
Rendra Widyatama, 2006, Bias Gender dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media
Pressindo.
Richard Higgott dan Richard Robison (ed.), 1985, Southeast Asia: Essays in the
Political Economy of Structural Change. London: Routledge & Kegan Paul.
Ricklefs, M.C., 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Penerbit
Serambi.
Robison, Richard, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Robinson, Kathryn dan Sharon Bessell (ed.), 2002, Women in Indonesia: Gender,
Equity and Development, Singapura: Seng Lee Press.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008, Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa
Bangsa, Jakarta: I:Boekoe.
Saadawi, Nawal El, 2011, Perempuan dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Seno Gumira Ajidarma, 2006, Trilogi Insiden: Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Yogyakarta: Bentang Pustaka.
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Schwichtenberg, Cathy (ed.), 1993, The Madonna Connection: Representational
Politics, Subculture Identities, and Cultural Theory, New South Wales:
Westview Ress.
Scholten, Elsbeth Locher, 2000, Women and The Colonial State: Essays in Gender
and Modernity in The Netherland Indies 1900-1942, Amsterdam:
Amsterdam University Press.
Shilling, Chris, 2002, The Body and Social Theory, London: Sage Publications.
Statistik Indonesia 1994, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Statistik Indonesia 2000, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Taher, Elza Peldi (ed.), 1994, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
Tamrin Amal Tomagola, 2006, Republik Kapling. Yogyakarta: Resist Book.
Thoreau, Henry David, 1985, Walden, or, Life in the Woods, Amerika Serikat:
Princeton University.
Thornham, Sue, 2010, Teori Feminis dan Cultural Studies: Tentang Relasi yang
Belum Terselesaikan, Yogyakarta: Jalasutra.
Vreede-De Stuers, Cora, 2008, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan
Pencapaian, Depok: Komunitas Bambu.
173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Wolf, Naomi, 2002, The Beauty Myth, New York: Harper Collins.
Wieringa, Saskia E., 1999, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta:
Galang Press.
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1973, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan
Pancasila Jilid IV dari F sampai Ker, Jakarta.
Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo (ed.), 2015, Orde Media: Kajian Televisi
dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru, Yogyakarta: INSISTPress dan
Remotivi.
JURNAL, SKRIPSI, MAKALAH, ARTIKEL
Anna Mariana, 2011, Politik (Seksual) atas Tubuh Perempuan: Sejarah Perbudakan Seksual
pada Masa Fasisme Jepang dan Neo-Fasisme Orde Baru di Indonesia, Sebuah
Perbandingan. Universitas Gadjah Mada (tesis).
Ethnology, Special Issue: Blood Mysteries: Beyond Menstruation as Pollution No. 4
Vol. 41, terbitan 2002.
Christina Siwi Handayani, 2013, “Julia Kristeva: Kembalinya Eksistensi Perempuan sebagai
Subyek”, dalam Subyek yang Dikekang: Pengantar ke Pemikiran Julia Kristeva,
Simone de Beauvoir, Michael Foucault, Jacques Lacan, Jakarta: Komunitas
Salihara-Hivos.
174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gadis Arivia, 2016, Postfeminisme: Feminisme dalam Budaya Konsumerisme, dalam
acara diskusi “Great Thinkers: Angela McRobbie: Postfeminism and Popular
Culture”, pada tanggal 2 Mei 2016 di Sekolah Pascasarjana UGM.
Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, 2014, Minuman Keras Eropa dan Imajinasi Modernitas di
Surabaya 1900-1942. Universitas Gadjah Mada (tesis).
Isawati, 2011, Perlawanan Wiji Thukul terhadap Hegemoni Rezim Orde Baru Tahun 19861997. Universitas Gadjah Mada (tesis).
Signs, 1976, Vol. 1, No. 3, Women and The Workplace: The Implications of Occupational
Segregation, Chicago: The University of Chicago Press.
Yuhana Setianingrum, 2012, Perkembangan Kreativitas Iklan Rokok di Jawa Tahun 19301970an. Universitas Gadjah Mada (skripsi).
Jurnal Perempuan No. 52 terbitan Maret 2007.
Jurnal Perempuan No. 28 terbitan Maret 2003.
Jurnal Perempuan No. 37 terbitan September 2004.
Jurnal Perempuan No. 2 terbitan Mei 2013.
Jurnal Sejarah, Histma: Perempuan dan Negara, Vol. IV terbitan Desember 2015,
Yogyakarta: Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah FIB UGM.
Prisma No. 5 terbitan Oktober 1975.
Prisma No.5 Tahun VIII terbitan Mei 1979.
175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Prisma No. 7 Tahun X terbitan Juli 1981.
Prisma No. 1 Tahun XV terbitan Januari 1986.
Prisma Vol. 32 No.1 terbitan 2012.
WEB
allencentre.wikispaces.com
www.beinggirl.com
www.bi.go.id
m.beritasatu.com
www.boemipoetra.wordpress.com
www.carefreeliners.com
www.denmarkonline.dk
emenrizal.wordpress.com
www.empower-yourself-with-color-psychology.com
www.healthline.com
huffpost.com
www.jurnalperempuan.org
kbbi.web.id
kkp.go.id
smhp.psych.ucla.edu
www.kemenkeu.go.id
www.kimblerly-clark.com
176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
www.merriam-webster.com
www.mum.org
www.nu.or.id
www.pg.com
www.puteri-indonesia.com
www.serbasejarah.files.wordpress.com
www.theperiodblog.com
www.varsity.com
wikipedia.org
177
Download