perlindungan lingkungan laut: upaya

advertisement
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT:
UPAYA PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT
DENGAN ADANYA HAK PELAYARAN INTERNASIONAL
DI PERAIRAN INDONESIA
Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum,
Diucapkan di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara
Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006
Oleh:
SUHAIDI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2006
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Yang terhormat,
Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Majelis Wali Amanat
Universitas Sumatera Utara,
Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Senat Akademik
Universitas Sumatera Utara,
Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Dewan Guru Besar
Universitas Sumatera Utara,
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara,
Bapak/Ibu Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara
Para Dekan dan Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
Ketua Lembaga dan Unit Kerja di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
Para Dosen dan Karyawan serta segenap Sivitas Akademika Universitas
Sumatera Utara,
Bapak dan Ibu para undangan, teman sejawat, keluarga dan handai taulan,
para mahasiswa, dan hadirin yang saya muliakan.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pada hari yang
berbahagia ini kita diberi-Nya rahmat dan karunia berupa kesehatan
sehingga dapat hadir di tempat ini. Berkat rahmat dan karunia-Nya pulalah,
saya pada hari ini berkesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan
sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum USU dalam rapat terbuka
Universitas Sumatera Utara, di hadapan majelis yang mulia ini.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih khususnya kepada
Bapak Menteri Pendidikan Nasional atas kepercayaan yang dilimpahkan
kepada saya untuk menjabat Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum
Internasional sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 52661/A2.7/KP/2005 terhitung mulai tanggal 1 November 2005.
Hadirin yang terhormat,
Dengan mengharap ridho dari Allah SWT perkenankan saya menyampaikan
pidato pengukuhan di hadapan Bapak/Ibu para hadirin, yang berjudul:
PERLINDUNGAN
LINGKUNGAN
LAUT:
UPAYA
PENCEGAHAN
PENCEMARAN
LINGKUNGAN
LAUT
DENGAN
ADANYA
HAK
PELAYARAN INTERNASIONAL DI PERAIRAN INDONESIA
1
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Posisi wilayah Indonesia memiliki letak geografis yang unik. Di samping
letak kepulauan Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa, juga posisi
geografis ini menurut kenyataannya adalah negara kepulauan (archipelagic
state) yang berada pada posisi silang dunia, di antara dua benua yaitu
benua Asia - Australia dan di antara dua samudera yaitu Samudera
Indonesia-Pasifik.1 Demikian pula dengan perbandingan wilayah laut yang
lebih luas daripada wilayah daratannya.2
Sejak tanggal 16 November 1994, Konvensi Hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982) telah berlaku efektif
(enter into force).3 Dengan berlakunya konvensi ini maka luas wilayah
Indonesia adalah 8.193.250 km², yang terdiri dari 2.027.087 km² daratan
dan 6.166.163 km² lautan. Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci
menjadi 0,3 juta km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara
(perairan kepulauan), dan 2,7 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.4
Pada wilayah laut inilah terdapat lingkungan laut Indonesia.
Hadirin yang terhormat,
Pada lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik kekayaan alam
hayati maupun non-hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi,
dan lain sebagainya. Oleh karena itu sangat penting untuk melindungi
lingkungan laut dari ancaman pencemaran, seperti ancaman pencemaran
yang bersumber dari kapal. Hal ini dilakukan agar lingkungan laut dapat
dinikmati secara berkelanjutan,5 baik bagi generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang. Dengan demikian, terdapat ketergantungan
pada sumber kekayaan alam di laut dalam jumlah dan kualitas yang
memenuhi syarat dan tersedia secara berkelanjutan.
Teori Perlindungan Lingkungan Laut
Teori tentang perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum
internasional (dalam hal ini Hukum Lingkungan Internasional), sebenarnya
merupakan akumulasi dari The Principle of National Sovereignity and The
Freedom of The High Sea. Umumnya, argumentasi yang dikemukakan di
sini adalah "a right on the part of a state threatened with environmental
injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at least where those
sources are located on the high seas, to take reasonable action to prevent
or abate that injury."6
2
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Perkembangan teori perlindungan lingkungan laut dapat ditelusuri dari
pendapat Grotius, dikenal dengan teorinya mare liberum, yang memandang
bahwa pemanfaatan lingkungan laut berdasarkan konsepsi the freedom of
the sea. Pendapat ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan "pelayaran
internasional" bagi perdagangan, atau sebagai jus communis. Mengenai
perikanan, Grotius mempunyai pandangan yang sejalan dengan konsep
kebebasan di laut lepas. Perikanan harus terbuka bagi semua orang, hal
ini didasarkan pada pendapat bahwa laut merupakan sumber kekayaan
yang tidak ada habisnya. Teori ini ditentang oleh Selden, dikenal dengan
teori mare clausum, ia menyatakan bahwa argumentasi yang menyatakan
laut merupakan sumber kekayaan yang tidak terhabiskan (inexhaustible)
sama sekali tidak beralasan.7
Selanjutnya, Pontanus mengajukan teori yang merupakan kompromi antara
teori mare liberum dan mare clausum dengan membagi laut dalam dua
bagian, yakni laut yang berdekatan dengan pantai (adjacent sea) dapat
jatuh di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai,8 sedangkan di luar
itu laut bersifat bebas. Dalam perkembangannya, pada abad pertengahan
doktrin kedaulatan
modern didasari oleh 2 (dua) hal yang mendasar,
9
yaitu:
(1) pada satu segi kedaulatan timbul karena adanya kekhawatiran dari
negara-negara nasional yang baru merdeka untuk menegaskan
kemerdekaan total, termasuk pengembangan perekonomiannya,
dan menghilangkan intervensi bangsa-bangsa feodal atau
intervensi negara-negara besar,
(2) pada segi lain merupakan akumulasi dari negara-negara baru
merdeka untuk membentuk hukum baru bagi pengaturan
wilayahnya.
Dengan berkembangnya konsepsi the new economic use for the sea yang
pada waktu itu didasarkan pada anggapan bahwa "all state possessed their
shores in those parts of the sea that touches their shores", hingga sekarang
mengalami perkembangan yang pesat.10 Oleh sebab itu, dari sudut sejarah
latar belakang penguasaan kekayaan alam di laut dapat diidentifikasi
sekurang-kurangnya tiga hal pokok:11
(1) aspek ekonomi dari persoalan yang diperdebatkan antara Grotius
dan Selden tentang laut bebas dan laut tertutup, juga dipersoalkan
aspek keterbatasan kekayaan alam hayati laut yang hingga
sekarang masih tetap relevan,
3
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
(2) doktrin mare liberum dari Grotius juga mengakui adanya
kebutuhan negara pantai untuk menguasai bagian laut (maritime
zone) yang didasarkan pada practical need yang kemudian dikenal
sebagai laut teritorial yang jatuh di bawah kekuasaan negara
pantai, sedangkan lingkungan laut di luarnya menjadi laut lepas,
(3) perkembangan yang terjadi setelah Perang Dunia II yang diawali
dengan gerakan penguasaan kekayaan alam dan lingkungan laut,
berdasarkan Proklamasi Truman 1945 oleh Amerika Serikat.
Sebagai dasar falsafah dari perlindungan lingkungan laut adalah
pertimbangan nilai-nilai dan rasa keadilan secara luas, baik dilihat dari segi
moral maupun dari segi kehidupan sosial terhadap negara pantai dan
pengguna laut (yang melakukan kegiatan/usaha di laut). Mereka yang
melakukan kegiatan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya
sendiri adalah wajar bila harus menanggung risiko akibat kegiatannya.
"Special Area" dalam Perlindungan Lingkungan Laut
Negara pantai dibolehkan melindungi lingkungan lautnya dengan
menetapkan ketentuan-ketentuan khusus guna mencegah terjadinya
pencemaran dari kapal dalam hal situasi-situasi khusus, misalnya dengan
alasan teknis yang diakui berkaitan dengan persyaratan menyangkut bidang
ekologi dan oseanografi, demikian pula dengan penggunaan sumbersumber dan sifat-sifat khusus dari lalu lintas pelayaran.12 Juga didasarkan
pada sifat lingkungan lautnya yang unik, berdasarkan pertimbangan adanya
sistem nilai khusus dalam setiap negara (the system of values prevailing in
each country). 13
Untuk perlindungan lingkungan laut pada daerah yang sangat luas,
kemungkinan terdapat wilayah-wilayah lingkungan laut tertentu yang
menjadi prioritas, karena tidak mungkin untuk melindungi wilayah
lingkungan laut secara keseluruhan. Wilayah pantai yang sensitif dapat
lebih diutamakan, pada wilayah ini diperlukan upaya perlindungan yang
lebih ketat dibanding dengan wilayah laut lainnya.14
Bagi negara yang mempunyai pantai lebih panjang, kemungkinan
risiko
pencemaran lebih tinggi
dibanding negara
yang mempunyai pantai
pendek. Pantai yang panjang lebih kompleks interaksinya dengan faktorfaktor lingkungan lainnya sehingga jika terjadi pencemaran akan lebih
menyulitkan dalam hal penanggulangannya.15 Adapun faktor yang harus
dipertimbangkan meliputi: fisheries, mariculture, bird and other wildlife,
areas of particular environmental significance, e.g. wetlands, industrial use
4
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
seawater, e.g. in power stations, desalination plants, amenity beaches,
yachting and other recreational facilities.16 Dengan demikian, konsep special
areas didasarkan pada oceanographical, ecological, and the particular
character of its traffic yang didasarkan pada penelitian yang mendalam
menyangkut aspek-aspek lingkungan.17
Adapun dasar pertimbangan yang diperoleh dari penelitian-penelitian, dapat
diketahui bahwa lingkungan laut memang sangat rentan terhadap zat
pencemar (special environmental sensitive). Dengan demikian, negara yang
akan membuat ketentuan khusus pada lingkungan lautnya, harus disertai
dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, juga
disertai dengan teknik yang mendukung dan informasi yang akurat. 18
Ketentuan-ketentuan khusus tersebut harus pula diiringi dengan kewajibankewajiban untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan internasional
melalui perairan nasional, misalnya dalam bentuk adanya hak lintas bagi
kapal-kapal asing.19
Ketentuan-ketentuan khusus bagi pencegahan, pengurangan, dan
pengendalian pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal harus
diberitahukan kepada IMO (International Maritime Organization), sebagai
organisasi yang berkompeten.20 Faktor-faktor yang perlu menjadi
pertimbangan menurut IMO meliputi:21
(a) availability of local knowledge,
(b) the practicality of protecting a particular resource,
(c) relative importance of competing demands,
(d) variations in priorities due to seasonal factors, such as fish and bird
breeding season and holiday season,
(e) alterations might be necessary to these priorities if some resources
are impacted before defences can be established.
Kasus yang pernah terjadi pada special environmental sensitive yang
memberikan dampak serius pada lingkungan laut adalah peristiwa Exxon
Valdez Case (1989). Kapal tanker Exxon Valdez menumpahkan minyak
pada wilayah laut Prince William Sound, Alaska. Kasus ini dirasakan oleh
masyarakat internasional sangat sulit untuk menanggulanginya, terutama
usaha pembersihan minyak yang tumpah.22 Belajar dari peristiwa ini telah
menggugah masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah,
baik dalam bentuk pencegahan maupun dalam penanggulangan
pencemaran lingkungan laut.
5
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-ketentuan internasional memang telah mengubah pola
pendekatan terhadap perlindungan lingkungan laut. Ketentuan-ketentuan
sebelumnya mensyaratkan pendekatan umum untuk semua rezim kelautan
tanpa melihat bagaimana kondisi lingkungan laut suatu negara. Sedangkan
pendekatan sekarang merupakan "new special approaches to certain
areas".23 Adanya perkembangan yang baru dan penting adalah dengan
diterimanya konsep "special areas" menyangkut jumlah maksimum yang
diizinkan bagi buangan kapal ke laut pada daerah-daerah tertentu,24 disebut
special protected area (daerah perlindungan khusus). Daerah perlindungan
khusus ditetapkan berdasarkan kriteria "where for recognized technical
reason in relations to its oceano-graphical and ecological conditions and to
the particular character of its traffic the adoption of special mandatory
methods for the prevention of sea pollution by oil is required". Pada saat ini
wilayah laut yang diakui sebagai special area meliputi Laut Mediterania,25
Laut Hitam, Laut Baltik, Laut Merah, Teluk Persia, dan lain sebagainya.26
Perkembangan menyangkut klaim negara atas special area pada daerah
lingkungan laut adalah keberhasilan yang diperlihatkan oleh Australia
dengan perhatiannya yang cukup besar untuk membuktikan adanya
"adequate powers" untuk melindungi "The Great Barrier Reef". Usaha
Australia ini mencapai kesuksesan dengan tercapainya "International
Agreement in 1971 to Amandements to OILPOL" dengan alasan "nearest
land". Nearest land dalam persetujuan ini merupakan "the outer edge of
The Great Barrier Reef".27
Bagi Indonesia dengan kondisi lingkungan laut yang unik, sebenarnya dapat
mengatur sebagian wilayah lautnya sebagai "special area". Diatur secara
khusus dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan internasional,
seperti Konvensi Hukum Laut 1982, OILPOL 1954 berikut amandemennya,
dan MARPOL 1973/78 berikut amandemennya.
Penerapan Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) pada Perairan
Indonesia
Pengakuan internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982 atas negara
kepulauan Indonesia,28 membawa konsekuensi dengan kewajiban untuk
memberikan akomodasi bagi pelayaran internasional pada perairannya
dalam bentuk:29
(1) hak lintas alur laut kepulauan,
(2) hak lintas damai.30
6
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Konsep hak lintas alur laut kepulauan (Indonesia menyebut lintas alur laut
kepulauannya dengan "Alur Laut Kepulauan Indonesia"-ALKI), merupakan
hal yang baru di dalam ketentuan tentang kelautan.
Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No.
17 Tahun 1985 tanggal 13 Desember 1985, maka Indonesia mulai
memikirkan dan berusaha untuk menetapkan alur-alur laut kepulauan
Indonesia (ALKI) melalui perairan nusantara Indonesia.31
Penetapan ALKI harus sesuai dengan konsep yang terdapat pada Konvensi
Hukum Laut 1982,32 di mana "all ships and aircrafts" memperoleh "right of
archipelagic sea lanes passage".33 Indonesia dalam memberikan hak lintas
alur kepulauan atas perairan kepulauannya harus mencakup semua tempat
lewat yang biasa dipakai untuk pelayaran dan penerbangan internasional
(all normal passage routes used as routes for international navigation or
overflights), dengan catatan bahwa jika di satu tempat ada beberapa
tempat lewat yang kira-kira sama kemudahannya, maka cukuplah satu saja
ditetapkan sebagai alur (duplication of routes of similar convenience
between the same entry and exit points shall not be necessary).34
Dengan demikian, sebagai negara kepulauan dengan posisi adanya hak
laut
Indonesia
pelayaran internasional menjadikan posisi lingkungan
berpotensi tercemar. Dalam rangka mendukung posisi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dari segala ancaman, termasuk ancaman dari
pencemaran yang bersumber dari kapal asing, diperlukan upaya-upaya
maksimal untuk menentukan alur-alur laut pada perairan kepulauan
Indonesia. Dalam penetapan ALKI perlu diperhitungkan jangan sampai
merugikan kepentingan nasional Indonesia atas pemanfaatan kekayaan
lautnya dan dari segala ancaman pencemaran yang bersumber dari kapal
yang dapat merugikan negara. Untuk mencegah hal demikian, diperlukan
upaya-upaya penelitian dan identifikasi yang mendalam pada kawasan yang
akan dijadikan ALKI.
Penelitian dan identifikasi yang mendalam di kawasan yang dilewati ALKI,
antara lain meliputi:35
(1) intensitas lalu lintas lokal atau yang memotong ALKI,
(2) lokasi daerah-daerah penangkapan ikan yang padat dan intensif,
(3) lokasi daerah-daerah eksplorasi dan eksploitasi migas yang sedang
berlangsung,
(4) lokasi pipa-pipa dan kabel-kabel bawah laut,
7
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
(5) lokasi daerah-daerah wisata, khususnya pantai-pantai dan pulaupulau wisata yang berdekatan dengan ALKI,
(6) lokasi-lokasi daerah yang sensitif di bidang lingkungan laut,
(7) identifikasi kemampuan fasilitas yang ada di sepanjang ALKI untuk
menghadapi segala kemungkinan, baik pencemaran lingkungan
laut maupun pengamanan dan penegakan hukum.
Sesuai dengan persyaratan yang menyebutkan bahwa the coastal state is
required only to take into account the recommendations of the competent
international organization, whereas a state boudering an archipelagic state
may designate sea lanes and prescribe traffic separation schemes or
substitute them only after they have been adopted by the competent
international organization and agreed to by the state concerne.36 Pada
tanggal 15 Februari 1996, Indonesia secara formal telah mengusulkan
kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di
perairan Indonesia,37 yaitu: ALKI I di bagian Utara bercabang menuju
Singapura (IA), dan menuju Laut Cina Selatan, ALKI II melalui Selat
Lombok menuju Laut Sulawesi, dan ALKI III di bagian selatan bercabang
tiga menjadi ALKI III A, III-B, III-C, dan yang di bagian utara III-D
bercabang menuju Laut Sulawesi (III-E) dan Samudera Pasifik.38
Usul Indonesia dalam penetapan ALKI ini telah dibahas dalam Sidang
Komite Keselamatan Pelayaran ke-67 (Maritime Safety Committee/MSC-67)
pada bulan Desember 1996 dan Sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi
IMO ke-43 (NAV-43) di London pada bulan Juli 1997. Sidang Majelis IMO
ke-20 pada bulan Desember 1997 telah menyetujui prosedur dan
ketentuan-ketentuan mengenai penetapan ALKI sekaligus mengesahkan
MSC-67 untuk membahas usul Indonesia. Jika memenuhi syarat, MSC-67
dapat diterima tanpa perlu lagi dibawa kepada sidang majelis IMO ke-21
tahun 1999.39 Pada tanggal 19 Mei 1998, Sidang Pleno Maritime Safety
Committee (MSC-69) IMO secara resmi telah menerima (adopt) tiga ALKI
yang diusulkan Indonesia.40
Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang mengusulkan penetapan
alur laut kepulauannya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.41
Indonesia sebelumnya sudah pernah menetapkan alur laut bagi kapal-kapal
penangkap ikan asing untuk melintasi perairan Indonesia, yaitu melalui
Selat Lombok dan Selat Makassar, namun dalam kerangka hak lintas damai
bagi pelayaran internasional.42
Jika keadaan menghendaki, Indonesia dapat merubah alur laut atau skema
pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya
8
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas lainnya, "an archipelagic
state may, when circumstances require, after giving due publicity thereto,
substitute other sea lanes or traffic separation scheme for any sea lanes or
traffic separation schemes previously designated or prescribed by it".43 Alur
laut dan skema pemisah tersebut harus sesuai dengan ketentuan
internasional yang diterima secara umum. Jika Indonesia berniat mengganti
alur laut/skema pemisah lalu lintas, maka Indonesia harus mengajukan
usulan tersebut kepada IMO.44
Hak pelayaran internasional yang diberikan pada kapal-kapal asing sudah
pasti menimbulkan potensi pencemaran pada lingkungan laut Indonesia.
Dengan memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi pelayaran
internasional melalui hak lintas alur laut kepulauan dibanding hak lintas
damai, justru akan menimbulkan potensi pencemaran yang lebih besar
pada lingkungan laut Indonesia.
Untuk mengantisipasi kondisi posisi geografis Indonesia dan adanya hak
pelayaran internasional pada perairan Indonesia, menimbulkan pertanyaan
apakah untuk melindungi lingkungan lautnya dari ancaman pencemaran,
Indonesia dapat mencegah berlayarnya suatu kapal, terutama kapal asing
yang diidentifikasi dapat mencemari lingkungan laut?
Konsep pencegahan pencemaran merupakan penggunaan proses, praktik
bahan energi guna menghindarkan atau mengurangi timbulnya
pencemaran. Pencegahan pencemaran secara fundamental mengalihkan
fokus perlindungan lingkungan dari penanggulangan melalui end-of pipe
yang reaktif dengan pengolahan pencemaran setelah terjadinya
pencemaran ke pemikiran front-of process yang preventif dengan
menekankan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh terjadi,45 termasuk
pencemaran lingkungan laut sebagai akibat adanya sarana pelayaran
internasional pada wilayah perairan suatu negara.
Pada saat ini, upaya pencegahan terhadap pelayaran kapal-kapal yang
mengangkut zat-zat berbahaya yang dapat mencemari lingkungan laut
merupakan suatu praktik yang kontroversial pada masyarakat internasional.
Kontroversial pada masyarakat internasional atas pencegahan pencemaran
lingkungan laut ini dapat dilihat pada pengiriman "ultrahazardous
radioactive cargo" melalui laut. Umumnya negara-negara pantai yang
dilalui kapal yang membawa kargo tersebut keberatan dengan alasan
perlindungan lingkungan laut seperti yang terjadi dalam Akatsuki Maru
Case (1992).46
9
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Walaupun masyarakat internasional sudah berusaha untuk mengambil
tindakan positif guna menghindari risiko terjadinya pencemaran dari
pengiriman "ultrahazardous radioactive cargo", baik langkah yuridis
maupun non-yuridis, namun potensi terjadinya pencemaran lingkungan laut
merupakan hal yang dikhawatirkan oleh negara pantai. Terlebih lagi jalur
pelayaran tersebut dilihat dari segi kondisi lingkungannya merupakan jalur
yang potensial terjadinya pencemaran. Perbedaan atas persepsi risiko dari
pengiriman
"ultrahazardous
radioactive
cargo"
pada
masyarakat
internasional terhadap lingkungan laut telah menimbulkan problematika.
Di satu pihak, adanya industri nuklir yang menginginkan pengiriman atas
zat tersebut melalui laut berdasarkan hak-hak pelayaran internasional yang
dibenarkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Selanjutnya ada negaranegara pantai yang perairannya merupakan rute dari pelayaran, padahal
lingkungan lautnya merupakan salah satu sumber kekayaan alam, baik
sumber kekayaan hayati maupun non-hayati. Pada pihak lainnya terdapat
"the international agencies" yang menetapkan standar packing atas kapalkapal (saat ini disebut type B standard) yang mengangkut material
ultrahazardous radioactive cargo. International agencies yang bertanggung
jawab dalam hal ini adalah International Atomic Energy Agency (IAEA).
Selanjutnya terdapat organisasi-organisasi lingkungan internasional sebagai
pemerhati masalah lingkungan.
Walaupun sudah terdapat badan internasional yang bertanggung jawab atas
standar packing, namun kekhawatiran masyarakat internasional masih
besar akan timbulnya bencana. Kesalahan pada "the containment system"
dapat mengakibatkan bencana serius. Bencana serius ini dapat terjadi jika
terdapat kebocoran pada kontainer yang mengangkut bahan radio
aktif.47 Untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan dari organisasiorganisasi lingkungan, dan juga dari negara-negara pantai maka IAEA
melakukan suatu "coordinated research program" dalam rangka
memperkuat "type B standard". Hal ini dilakukan agar penggunaan type B
standard cukup aman bagi perlindungan manusia dan lingkungan.48
Tingginya tingkat potensi terjadinya masalah lingkungan seperti
pencemaran lingkungan laut dapat dilihat pula dari bagaimana kondisi
lingkungan laut, misalnya terdapat berbagai jenis dan bidang dari aktivitas
manusia di sekitar lingkungan laut, perbedaan perubahan iklim, sirkulasi
permukaan, keadaan geologis dari lingkungan laut, dan lain sebagainya.49
Alasan pembenaran dari keberatan yang diajukan negara-negara pantai di
antaranya adalah penafsiran dari negara-negara pantai bahwa a vessel
carrying such a hazardous cargo could be engaging in no-innocent passage
10
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
under the terms of Article 19. While, the environmental risk of such a
voyage may be high, the LOS only recognises that a voyage is not innocent
if an "act of wilful or serious pollution contrary to this convention" accurs.
Sedangkan alasan lain yang dapat dibenarkan adalah adanya persyaratan
bagi kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau
bahan lain yang karena sifatnya berbahaya dan beracun, jika melaksanakan
hak lintas damai melalui laut teritorial, harus membawa dokumen dan
mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian
internasional.50
Alasan pembenaran lainnya tentang keberatan negara pantai atas pelayaran
kapal yang dikategorikan mengangkut “ultrahazardous radioactive cargo"
adalah dengan adanya prinsip yang dinamakan "Precautionary Principle".
Precautionary Principle juga diterapkan pada Deklarasi Rio 1992. Penerapan
Precautionary Principle adalah dalam rangka melindungi hak-hak negara
pantai atas lingkungan lautnya pada jalur-jalur pelayaran internasional,
yang mana pelayaran tersebut merupakan "hazardous transports".51 Namun
perlu diketahui bahwa Precautionary Principle tidak dapat diterapkan dalam
semua risk regulation.52
Precautionary Principle juga telah diadopsi oleh The 1990 Bergen Ministerial
Declaration on Sustainable Development yang menyatakan bahwa,
"environmental measures must anticipate, prevent and attack the causes of
environmental degradation. Where there are threats of serious or
irreversible damage, lack of full scientific certainly should not be used as a
reason for postponing measures to prevent environmental degradation".53
Manakala negara-negara pantai mempunyai dasar yang kuat untuk
menduga bahwa kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam yurisdiksi
atau di bawah pengawasannya dapat menimbulkan pencemaran yang
berarti atau perubahan yang menonjol dan merugikan terhadap lingkungan
laut, negara-negara tersebut harus sedapat mungkin menilai efek potensial
dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan, dan harus menyampaikan
laporan hasil penilaian termaksud kepada IMO.54
Adanya bahaya yang mengancam dari hazardous transports, mewajibkan
negara untuk mengumumkan setiap adanya bahaya bagi pelayaran dalam
perairannya, termasuk pada alur laut kepulauan. Kapal-kapal yang berlayar
pada alur laut kepulauan diharuskan:55
11
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
(1) memenuhi ketentuan internasional yang diterima secara umum,
prosedur dan praktik tentang keselamatan di laut, dan pencegahan
tubrukan di laut,
(2) memenuhi ketentuan internasional yang diterima secara umum,
prosedur dan praktik tentang pencegahan, pengurangan, dan
pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal.
Indonesia dapat menolak kapal asing yang mengangkut bahan-bahan yang
berbahaya dan beracun lainnya seperti nuklir,56 jika kapal tersebut tidak
memberitahukan dan berkonsultasi mengenai jalur yang akan dilaluinya,
prosedur tentang emergency, dan ketentuan tentang tanggung jawab
(liability arrangements) yang terdapat pada kapal.57 Ketentuan ini sudah
diadopsi oleh Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002
tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam
melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan
yang Ditetapkan. Peraturan pemerintah ini merupakan ketentuan pelaksana
seperti yang termuat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
Upaya pencegahan pencemaran lingkungan laut dapat dilakukan Indonesia
dengan pertimbangan yang didasarkan atas Konvensi Hukum Laut 1982 dan
Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian), juga didasarkan atas
ketentuan-ketentuan Nasional Indonesia seperti UU No. 6 Tahun 1996 dan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002. Di samping rasio untuk
kepentingan negara pantai, sebenarnya rasio ini juga berlaku bagi
keselamatan kapal dalam pelayarannya, dan pada akhirnya juga demi
kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.
Yurisdiksi Penegakan Hukum Lingkungan Laut
Perubahan-perubahan dengan adanya yurisdiksi penegakan hukum pada
negara pelabuhan (port state) dan negara pantai (coastal state) disamping
negara bendera (flag state), pada awalnya merupakan perdebatan panjang
dari masyarakat internasional. Hal ini merupakan langkah revisi yang cukup
radikal terhadap hukum yang ada sebelumnya. Dalam kerangka revisi atas
yurisdiksi penegakan hukum terdapat dua hal yang pokok.58
Hal pokok pertama, adanya kewajiban negara bendera untuk menjamin
dipenuhinya persyaratan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan
internasional oleh kapal-kapal yang memakai benderanya. Kapal-kapal
tersebut harus memakai standar-standar yang diperlukan bagi pencegahan
pencemaran.
Kapal-kapal
tersebut
harus
memperoleh
sertifikat
12
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
internasional atas kelaikan kapalnya untuk berlayar. Jika kapal-kapal yang
memakai benderanya melakukan pelanggaran, maka negara bendera harus
menjamin adanya penghukuman yang memadai atas pelanggaran tersebut.
Hal pokok kedua adalah bahwa kekuatan tugas yang dibebankan pada
negara bendera saja tidak cukup untuk melakukan penegakan hukum.
Untuk mempertinggi keefektifan penegakan hukum, maka upaya ini dapat
dilakukan oleh negara pelabuhan sebagai pelengkap utama pada kekuatan
yurisdiksi negara bendera. Yurisdiksi negara pelabuhan di samping tidak
membahayakan bagi navigasi, juga lebih memudahkan usaha pengadaan
fasilitas untuk melakukan investigasi dan mengumpulkan fakta-fakta.59
Dalam hal tanggung jawab negara bendera terhadap kapal yang berlayar
dengan memakai benderanya terdapat kasus yang menarik, yaitu Saint
Vincent and the Grenadines v. Guinea Case (1997).60
Penambahan yurisdiksi penegakan hukum pada negara pantai didasarkan
oleh akibat yang dirasakan oleh negara pantai jika terjadi pencemaran
lingkungan laut. Namun perlu pula diperhatikan bahwa sebelum negara
pantai atau negara pelabuhan melaksanakan penegakan hukum terhadap
kapal asing, negara bendera harus diberi kesempatan untuk melaksanakan
yurisdiksi serta kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
internasional. Ketentuan ini jelas menimbulkan kontradiksi jika kapal
tersebut melakukan pencemaran pada lingkungan laut suatu negara pantai
yang memerlukan tindakan segera dalam penanggulangan pencemaran
lingkungan laut.
MARPOL 73/78 mensyaratkan yurisdiksi penegakan hukum dengan 3 cara,
yaitu:
(1) mengadakan inspeksi untuk menjamin "minimum technical standard",
(2) memonitor kapal-kapal bagi pemenuhan "discharge standards" ,
(3) menghukum kapal-kapal yang melakukan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditentukan dalam MARPOL.
Negara bendera melaksanakan inspeksi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
agar kapal yang memakai benderanya memperoleh International Oil
Pollution Prevention Certificate (IOPP). Waktu inspeksi selanjutnya dapat
berbeda-beda namun waktu minimum inspeksi adalah setiap lima tahun.
Sertifikat ini menunjukkan bahwa kapal tersebut laik untuk berlayar dan
telah memenuhi "MARPOL'S Standards".
13
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Negara pelabuhan juga memiliki kewenangan untuk menginspeksi kapalkapal yang berlabuh di negaranya dengan melihat apakah kapal-kapal
tersebut telah memenuhi standardisasi yang terdapat pada MARPOL dengan
melihat sertifikat IOPP. Negara pelabuhan dapat melakukan inspeksi
menyeluruh jika kapal tersebut tidak mempunyai sertifikat, juga jika ada
keraguan terhadap kondisi kapal yang pada waktu itu sudah tidak sesuai
lagi dengan standar MARPOL seperti yang tertuang dalam sertifikat IOPP.61
Peristiwa menarik dalam hal perlunya negara pelabuhan memperketat
penegakan hukum dengan melakukan inspeksi terhadap kapal-kapal yang
memasuki pelabuhan suatu negara adalah peristiwa Erika Case (1999).62
Komponen kedua dalam penegakan hukum berdasarkan MARPOL adalah
monitoring. MARPOL mensyaratkan setiap negara dapat bekerjasama untuk
mendeteksi kapal-kapal yang melakukan pelanggaran. Dalam hal
memonitor "ships's oil record book" suatu kapal, negara pelabuhan diberi
wewenang selama kapal tersebut berada dalam wilayah yurisdiksinya.
Contoh pengawasan yang baik diperlihatkan oleh The Australian Maritime
Safety Authority (AMSA), suatu badan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan
negara Australia. AMSA mempunyai program untuk mengawasi dan
menginspeksi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan
Australia. Demikian juga dengan kapal-kapal berbendera Australia yang
akan melakukan pelayaran antarnegara. Jika kapal-kapal tersebut laik layar
ditinjau dari segala aspek, maka AMSA dapat menerbitkan suatu sertifikat
ataupun dapat diterbitkan oleh badan lain dengan persetujuan AMSA.63
Komponen ketiga dari penegakan hukum pada MARPOL adalah
penghukuman. Penghukuman dilakukan bagi kapal-kapal yang "illegally
discharged oil". Kewajiban investigasi bagi kapal dilakukan oleh negara
bendera dengan melakukan prosedur hukum. Dengan semangat kerjasama,
negara bendera harus segera menginformasikan laporan pelanggaran
tersebut kepada negara-negara lainnya. Negara bendera harus memberikan
hukuman yang cukup keras terhadap pelanggaran ketentuan MARPOL.
Dalam peristiwa kapal tanker Erika (1999), The International Association of
Independent Tanker Owner (INTERTANKO) berpendapat bahwa masalahnya
bukan terletak pada “suitable regulation”, tetapi kekurangannya terletak
pada adequate implementation of the existing body of international rules
governing tanker safety and pollution prevention. Dengan demikian,
diperlukan suatu implementasi yang tegas terhadap ketentuan-ketentuan
internasional. Ketentuan-ketentuan internasional juga jangan berkompromi
terhadap regional requirement sepanjang persyaratan regional tersebut
bertentangan dengan persyaratan yang dibuat oleh International Maritime
14
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Organization (IMO). Kekurangan dari implementasi sangat berhubungan
dengan persyaratan keselamatan pelayaran. Permasalahan akan terjawab
jika dilakukan pengketatan dalam inspeksi terhadap kapal-kapal yang akan
melakukan pelayaran.
Prosedur terhadap inspeksi kapal-kapal merupakan kunci dari bagian mata
rantai responsibility shipowner, classification societies, charteres, flag
states, and port states terhadap lingkungan laut negara pantai.
Classification societies merupakan prinsip yang standar dari struktur kapal
dan esensial sistem mesin kapal, dalam hal ini merupakan pengakuan dari
technical basis for delivering safer ships and cleaner seas.
Negara pelabuhan merupakan kunci dan berinisiatif dalam mempromosikan
keselamatan pelayaran dengan melakukan inspeksi sebagai Port State
Control (PSC) terhadap kapal-kapal yang berlabuh di negaranya. Terlebih
lagi dalam masa periodik dari tanggung jawab negara bendera untuk
melakukan inspeksi terhadap suatu kapal merupakan peranan inspeksi yang
dilakukan negara pelabuhan.
Perkembangan positif lain setelah Erika Case adalah dengan segera Perancis
membuat ketentuan-ketentuan yang lebih keras tentang keselamatan dan
navigasi di laut, dan lebih disiplinnya pola inspeksi atas kapal-kapal tanker
yang sudah tua pada pelabuhan-pelabuhan laut Perancis. Pelabuhan laut
Perancis diinstruksikan untuk lebih bertanggung jawab dalam memonitor
struktur kapal yang singgah secara menyeluruh, dan untuk selanjutnya
menginformasikan temuan tersebut pada negara bendera dari kapal.64
Sebagai upaya perbandingan dalam mengantisipasi dan pengawasan
terhadap ketentuan-ketentuan MARPOL 73/78, dapat dilihat kebijakan
publik negara Amerika Serikat yang mempunyai sistem "Port State Control
(PSC),65 Vessel Traffic Service (VTS)66, dan Alcohol Testing of Vessel
Captains".67
Dengan demikian, terlihat bahwa wewenang negara pantai dan negara
pelabuhan cukup besar dalam penegakan hukum di laut. Suatu sistem
"equipment standard" dan segala fasilitas untuk mendukung ketentuan
MARPOL diperlukan oleh negara pantai dan negara pelabuhan yang
ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan suatu negara.68
15
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Koordinasi Antar-instansi dalam Penegakan Hukum
Perlindungan lingkungan laut, baik itu berupa pencegahan maupun
penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kapal mencakup
kegiatan berbagai bidang dari instansi terkait. Instansi terkait pada masingmasing negara dapat saja berbeda. Namun secara umum, upaya
perlindungan lingkungan laut akan terkait dengan:69
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
military (or naval) department
maritime transport (civil) department
environment protection department
coast guard
national committee
Walaupun di setiap negara berbeda dalam hal instansi yang berwenang,70
namun yang diperlukan adalah perlindungan lingkungan laut dapat
mencapai sukses, sehingga sangat diperlukan adanya usaha-usaha
koordinasi yang terpadu antar instansi yang terkait.
Koordinasi antarlembaga yang menangani masalah-masalah lingkungan laut
amatlah penting, tidak hanya untuk menyusun peraturan perundangundangan yang dibutuhkan bagi efektivitas perlindungan lingkungan laut,
tetapi terutama bagi penegakan (enforcement) hukum.71 Kenyataannya
dapat dilihat bahwa masing-masing instansi pada setiap negara mempunyai
wewenang yang terbatas dan berbeda, misalnya menyangkut kewenangan
instansi di laut dan instansi di pelabuhan. Sehingga diperlukan suatu
formula dengan membentuk koordinator/badan yang lebih luas.
Sekurang-kurangnya, badan tersebut harus merupakan authority body
dengan "expert" yang mempunyai skill yang diperlukan dalam upaya
perlindungan lingkungan laut. Keahlian yang diperlukan dalam bidang
marine salvage, ship operations, meterology and ocenography, aircraft
operation, scientific expertise of various kinds, fisheries, environment
protection, civil engineering, and legal.72
Sebelum tindakan di lapangan dilakukan, maka hal yang harus dilakukan
adalah:73
(1) menetapkan koordinasi operasional seluruh instansi yang terkait
dengan masalah pencemaran lingkungan laut. Koordinasi ini dapat
melibatkan badan-badan (agencies) lain untuk meminta advis,
seperti technical scientific, lawyer, dan lain-lain,
16
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
(2) mengidentifikasi tingkat risiko wilayah yang terkena pencemaran,
(3) mengidentifikasi beberapa prioritas bagi daerah pantai untuk
dilakukan perlindungan dan pembersihan dari pencemaran,
(4) mengorganisir kecukupan peralatan penanggulangan pencemaran,
sedangkan tindakan tersebut meliputi:74
(a) jika memungkinkan dilakukan aksi pencegahan atau
mengurangi penyebaran zat pencemar dari sumbernya,
(b) jika perairan pada lingkungan pantai tidak terancam
pencemaran, maka dilakukan monitoring terhadap lapisan
zat pencemar,
(c) usahakan pemulihan lingkungan laut dari zat pencemar,
(d) perlindungan maksimal terhadap daerah yang sensitip dari
zat pencemar (key resources),
(e) pembersihan terhadap garis pantai,
(f) atau beberapa kombinasi upaya penanggulangan.
Jika tumpahan zat pencemar sedikit, maka upaya penanggulangannya
dapat dilakukan pada tingkat lokal/nasional. Jika pencemaran yang terjadi
berskala besar, maka upaya penanggulangannya diperlukan pada tingkat
regional dan tingkat internasional. Keberhasilan dalam penegakan hukum
secara regional diperlihatkan oleh negara-negara Eropa dengan
ditandatanganinya "Memorandum of Understanding on Port State Control"
(MoU PSC). Dengan demikian, diperlukan adanya kewenangan dari badan
koordinator untuk mengkoordinasikan masalah perlindungan lingkungan
laut dengan badan/instansi yang berwenang dari negara lain.75
Adanya koordinasi terpadu dengan dasar hukum yang pasti, maka terhindar
adanya ego sektoral dari masing-masing instansi sehingga upaya
pencegahan pencemaran lingkungan laut dapat dilakukan. Jika pun terjadi
pencemaran lingkungan laut, tindakan aksi dapat segera dilakukan,
sehingga zat pencemar jangan sampai meluas pada wilayah laut lainnya.
Tindakan segera juga diperlukan agar dampak dari pencemaran dapat
diminimalkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Bapak Rektor, Bapak Dekan, Anggota Senat Akademik, Anggota Dewan
Guru Besar Universitas Sumatera Utara, serta hadirin yang saya hormati.
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, tak henti-hentinya saya
mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya saya mendapat kesempatan untuk dikukuhkan sebagai Guru
Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Internasional. Semoga Allah SWT
17
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
selalu memberikan petunjuk-Nya dalam melangkah jalan kehidupan.
Selawat beriring salam disampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada
Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSA(K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan mendorong saya untuk
mengikuti perkuliahan S3 sampai ke jenjang Guru Besar yang acara
pengukuhannya diselenggarakan pada hari ini. Semoga Allah SWT tetap
memberikan petunjuk dan kemudahan kepada Bapak dalam memimpin
keluarga dan Universitas Sumatera Utara yang kita cintai.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada Bapak/Ibu anggota Senat
Akademik, Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Tim Penilai
Kenaikan Pangkat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan
persetujuannya atas pengusulan saya sebagai Guru Besar.
Selanjutnya ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada mantan
Dekan Fakultas Hukum USU, Ibu Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S., Bapak
Hasnil Basri Siregar, S.H. yang telah banyak mendorong saya dalam
menapak jenjang akademis. Khusus kepada Bapak Dekan Fakultas Hukum
USU, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., terima kasih atas bantuan
dan dorongannya sehingga saya dapat berdiri di sini. Kepada Bapak Prof.
Sanwani Nasution, S.H., yang telah membimbing saya di bidang akademik,
dengan penuh kesabaran memotivasi saya, saya ucapkan terima kasih.
Juga kepada semua Guru Besar Fakultas Hukum USU yang telah berkenan
untuk menilai kelaikan saya sebagai guru besar, saya ucapkan terima kasih.
Kepada Prof. Muhammad Daud, S.H. dan Prof. M. Abduh, S.H., terima kasih
atas nasihat dan doanya. Buat Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. terima
kasih atas doa dan dorongan semangatnya, juga buat Prof. Dr. Bismar
Nasution, S.H., M.H. terima kasih atas bantuannya selama ini. Khusus
kepada Ibu Nurhaina Burhan, S.H. terima kasih atas dorongan semangat
dan doanya.
Selanjutnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Syafruddin
Kalo, S.H., M.Hum., Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., Dr. M. Yamin, S.H., M.S.,
C.N., Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H.,
M.S., Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI, Dr. T. Keizerina Devi Azwar,
S.H., M.Hum., C.N., Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., Dr. Mahmul Siregar, S.H.,
M.Hum., Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., Armansyah, S.H., M.H.,
Faisal Akbar, S.H., M.H., Abul Khair, S.H., M.Hum., Suwarto, S.H., M.Hum.,
18
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Suria Ningsih, S.H., M.Hum., Nurmalawati, S.H., M.Hum., Sunarto A.W.,
S.H., M.Hum., Syafruddin, S.H., M.H., D.FM, M. Husni, S.H., M.Hum., serta
teman-teman sejawat staf pengajar lainnya yang tidak dapat disebutkan
namanya satu per satu. Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh
staf pegawai Fakultas Hukum USU atas doa dan bantuannya.
Selanjutnya terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Januari Siregar,
S.H., M.Hum., Dr. Triono Eddy, S.H., M.Hum., Dr. Idham, S.H., M.Hum.,
Dr. Djaffar Albram, S.H., M.Hum., Dr. Dayat Limbong, S.H., M.Hum.,
Dr. Iman Jauhari, S.H., M.Hum., Dr. Laily Washliati, S.H., M.Hum.,
Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.Hum., Dr. Soleman Mantaibordir, S.H., M.Hum.,
Dr. Supandi, S.H., M.Hum., Kamaruddin Aldian Pinem, S.H., M.Hum.,
Syahril Sofyan, S.H., M.Kn., Kunto Prasti Trenggono, S.H., atas doa dan
bantuannya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Erman Rajagukguk,
S.H., LLM, Ph.D., Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM, Ph.D, dengan
kesabaran dan motivasi yang Bapak berikan, ditambah dengan bimbingan
dalam perkuliahan dan penelitian disertasi, saya dapat mencapai gelar
doktor dan selanjutnya mendapatkan gelar profesor. Sebagai pembimbing
dalam penyusunan disertasi, saya sangat simpatik dengan cara-cara Bapak
dalam memberikan bimbingan. Insya Allah, cara demikianlah yang saya
terapkan dalam membimbing para mahasiswa. Selanjutnya, rasa hormat
dan terima kasih saya haturkan kepada Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H.,
kematangan ilmu Bapak sangat berkesan pada diri saya, sehingga saya
banyak belajar dari Bapak.
Ucapan terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada semua guru-guru
saya pada pendidikan formal maupun non-formal, mulai dari taman kanakkanak, sekolah dasar sampai perguruan tinggi, juga guru-guru
agama/mengaji saya di Madrasah Quba dan Madrasah Al-‘Ulum. Semoga
amal ibadah yang beliau-beliau kerjakan diterima Allah SWT dan diampuni
dosa-dosanya, amin.
Buat Bapak Mertua (Alm.) Matdjali, dan Ibunda Hj. Nurdiah dan semua ipariparku, terima kasih atas dorongan dan doanya selama ini. Kepada Kakanda
H. Hidayat, banyak kenangan yang kakanda goreskan di hati saya dalam
menapak jenjang akademis, baik sebagai abang, sebagai sahabat, semoga
Allah SWT selalu menyertai kita semua, amin. Buat semua saudara-saudara
kandungku, dan saudara-saudaraku lainnya, terima kasih atas doa dan
dorongan semangatnya. Selanjutnya buat Bapanda (Alm.) H. Razali dan
19
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Ibunda Hj. Rostina, dengan segala pengorbanan dan doa yang tulus dari
kedua orang tua, ananda sampai kapan pun tidak dapat membalas budi
baik yang Bapanda dan Ibunda berikan. Khusus buat Bapanda, walaupun
Bapanda saat ini sudah tidak berada ditengah-tengah kita, namun ananda
yakin bahwa tercapainya ananda seperti saat ini adalah berkat doa dari
Bapanda bersama dengan ketulusan doa Ibunda. Ya Allah ampunilah dosa
kedua orang tuaku, terimalah semua amal ibadahnya, amin.
Teristimewa buat istri tercinta Seri Rasmi, S.H., serta ananda Sabtia, Novi
Aisha, dan Riadhi Alhayyan, banyak sudah pengorbanan kalian dalam saya
menapak kehidupan ini. Pernah tidak menghiraukan kalian saat Papa
hanyut dalam perkuliahan dan penelitian, pernah tidak memperhatikan
kalian saat dalam kesibukan perkuliahan dan ujian, namun Papa yakin
kalian semua selalu mendoakan Papa agar berhasil, doa dan pengorbanan
kalian yang tulus untuk Papa telah membuahkan hasil. Semoga kita semua
selalu ditunjuki Allah SWT pada jalan yang benar, amin.
Buat semua yang telah membantu saya, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Buat seluruh panitia dalam acara ini, saya ucapkan terima kasih.
Buat seluruh adik-adik mahasiswa, pacu terus semangatmu dalam menimba
ilmu. Semoga Allah SWT memberikan ganjaran berupa pahala dan kebaikan
pada kita semua. Ya Allah…berikan selalu petunjuk-Mu kepada kami,
ampuni seluruh dosa-dosa kami, amin.
Hadirin yang terhormat,
Demikianlah orasi ilmiah ini, semoga bermanfaat. Terima kasih atas
kesabaran kita semua dan mohon maaf jika terdapat kesalahan dan tutur
kata yang tidak pada tempatnya. Semoga diridhoi Allah SWT, amin ya
Rabbal’alamin.
Wabillahi taufiq walhidayah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
20
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
CATATAN KAKI
1
Posisi geografis wilayah negara Indonesia merupakan telaahan geostrategis yang
didasarkan pada kondisi riil wilayah Indonesia. Lihat M. Solly Lubis, Kesatuan
Hukum Nasional dan Wawasan Nusantara dalam Rangka Menghadapi Globalisasi
Dunia dan Pembangunan Jangka Panjang, (Padang: Pusat Kajian Kebudayaan
Universitas Bung Hatta, 1992), h. 55.
2
Letak seluruh kepulauan Indonesia menurut tata peta dunia berada di antara 6°
08' Lintang Utara dan 11° 15' Lintang Selatan. Lihat Atje Misbach Muhjiddin, Status
Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, (Bandung:
Alumni, 1993), h. 18-19.
3
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan perwujudan dari usaha masyarakat
internasional untuk mengatur masalah kelautan secara menyeluruh, termasuk
mengatur masalah perlindungan lingkungan laut dari segala sumber pencemaran.
Perkembangan dari konvensi ini adalah telah didepositkannya ratifikasi yang ke 60
oleh negara Guyana pada tanggal 16 November 1993. Dengan demikian,
tercapailah persyaratan untuk memberlakukan Konvensi Hukum Laut 1982 seperti
yang telah diamanatkan Pasal 308 KHL 1982 yaitu 12 (dua belas) bulan setelah
pendepositan instrumen ratifikasi yang ke 60. Lihat United Nations Press Release,
"Un Convention on the Law of the Sea Receives Sixtieth Ratification to Enter Into
Force in One Year", New York, Department of Public Information, News Coverage
Service, (1993), h. 1.
4
Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati
di Perairan Indonesia", Seminar Hukum Nasional V, Jakarta (1990), h. 1.
5
Mochtar Kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut Dilihat
dari Sudut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika
dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, 1992), h. 7-8.
6
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 130-131.
7
Dari teori antara mare liberum dan mare clausum, memunculkan apa yang
dinamakan "battle of the books", yang berlangsung lebih dari 50 tahun. Lihat
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Bandung: Percetakan
Ekonomi, 1979), h. 14-15.
8
Sebagai akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini, dijumpai istilah
kemerdekaan (independence) dan paham persamaan derajat (equality). Del
Vecchio menyatakan bahwa perlunya negara-negara mengakui saling sederajat.
Lihat
Mochtar
Kusumaatmadja,
Pengantar
Hukum
Internasional,
(Bandung:
Binacipta, 1981), h. 17-19. Lihat pula W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum,
Hukum & Masalah-masalah Kontemporer (Susunan III), (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 246-247.
9
Lord Lloyd Of Hampstead, M.D.A. Freeman, Introduction To Jurisprudence,
(London: Stevens & Sons Ltd, 1985), h. 246-247.
21
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
10
M.
Daud
Silalahi,
Pengaturan
Hukum
Lingkungan
Laut
Indonesia
dan
Implikasinya Secara Regional, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 224-226.
11
Ibid.
12
Pasal 211 ayat (6) KHL 1982.
13
M. Daud Silalahi, Pengaturan..., op.cit, h. 135.
14
Committee on Shipborne Wastes Marine Board, Commission on Engineering and
Technical Systems National Research Council, "Clean Ships Clean Ports Clean
Ocean", National Academy Press, Washington, D.C, (1995), h. 50-51.
15
IMO, Manual on Oil Pollution, Section II Contingency Planning, (London: IMO,
1988), h. 2.
16
Ibid.
17
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), <http://www.amsa. gov.an/me/pn324.HTM.
18
Lihat Pasal 211 ayat (6) KHL 1982.
19
Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan ketentuan-ketentuan dengan prinsip
keseimbangan antara kepentingan negara pantai dan kepentingan negara maritim.
Lihat Jeffrey S. Dehner, Vesse Dehner, Jeffrey S., "Vessel-Source Pollution and
Public Vessel: Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International
Environmental Law", Emory International Law Review, (1995), h. 12.
20
IMO harus pula menindaklanjutinya dengan meneliti pengajuan ketentuan
khusus dari negara pantai tersebut paling lambat 12 bulan setelah menerima
pemberitahuan secara resmi. Ketentuan khusus ini juga belum berlaku sampai 15
(lima belas) bulan setelah penyampaian pemberitahuan kepada IMO. Ketentuan ini
juga
harus
diberitahukan
kepada
negara-negara
tetangga
yang
lautnya
berdampingan dengan laut yang akan diatur secara khusus tersebut. Lihat Pasal
211 ayat (7) KHL 1982.
21
IMO, Manual…, op.cit, h. 2.
22
Cross, Michael, Hamer, Mick, Cross, Michael, How to Seal a Supertanker,
Improving Ship Design to Prevent Oil Spills, New Scientist, (Vol. 133, No. 1812,
March, 1992), h. 40.
23
Martin R. Lee, Marine Pollution, (21-02-2001), <http://www.cnie.org/nle/mar-
20/r.htm1>.
24
Lihat juga ketentuan dalam OILPOL 1954 dan Marpol 1973/1978.
25
Penelitian yang dilakukan pada Laut Mediterania sampai dijadikan sebagai
"special area" dimulai dengan adanya "The Mediterranean Action Plan" antara tahun
1975-1980. UNEP (United Nations Environment Programme) dan negara-negara
regional laut mediterania bekerjasama dalam
menunjang keberhasilan rencana
aksi ini yang didukung oleh para saintis kelautan. Lihat Haas, Peter M.,
"International Cooperation: Building Regimes for Natural Resources and the
Environment", Massachusetts Institute of Technology Alumni Associate Technology
Review, (Januari 1990), h. 5-6.
26
IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), <http://www.
imo.org/imo/convent/summary.htm>.
22
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
27
Marine
Pollution
Legislation,
(06-06-2000),
<http:/www.amsa.gov.an/me/
pn324.HTM.
28
Pada
perairan
Indonesia
terdapat
hak
pelayaran
internasional,
hal
ini
merupakan proses akomodasi antara kepentingan negara kepulauan Indonesia dan
negara pengguna laut. Akomodasi kepentingan ini terjadi pada waktu proses
perundingan dalam pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982. Amerika Serikat
yang juga ikut dalam perundingan pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982,
berpendapat bahwa walaupun Amerika Serikat belum meratifikasi konvensi, namun
tetap mengakui adanya hak-hak negara pantai atas perairannya, sepanjang
negara-negara tersebut menghormati hak-hak negara lain pada perairannya
dibawah kerangka hukum internasional, berupa hak kebebasan berlayar (freedom
of the sea). Lihat "Rights and Freedoms in International Waters", Superintendent of
Documents Department of State Bulletin, (Vol. 86, 1986), h. 1-2.
29
Pasal 52 dan Pasal 53 KHL 1982.
30
Hak-hak
tersebut
terdapat
pada
laut
teritorial
dan
perairan
kepulauan
Indonesia. Pada laut teritorial, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan
lebar laut teritorialnya sampai batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari
garis pangkal. Pada laut teritorial kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai.
Lihat Pasal 3 dan 19 KHL 1982. Selanjutnya, negara pantai juga mempunyai hak
berdaulat atas jalur laut sejauh 200 mil laut pada Zona Ekonomi Eksklusif, juga
kedaulatan atas dasar laut dan tanah di bawahnya hingga jarak 200 mil laut, atau
dapat melebihi ini berdasarkan "specified circumstance”. Lihat Ocean and Law of
The
Sea--Convention
Overview,
(14-06-2000),
<http:www.un.org/Depts/los/
losconv2.htm>.
31
Hak ini tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KHL 1982.
32
Jika Indonesia tidak menetapkan ALKI-nya, maka sesuai dengan Pasal 53 ayat
(12) KHL 1982, kapal-kapal asing boleh melaksanakan lintas alur laut kepulauan
"through the routes normally used for international navigation".
33
Indonesia mengakui keberadaan hak pelayaran internasional menyangkut "right
of innocent passage". Kasus terjadi pada tanggal 23 Desember 1985. Sebuah kapal
asing berbendera Taiwan berbobot 200 ton, tanpa memiliki dokumen imgrasi yang
sah, baik visa maupun security clearence telah memasuki dan berada di wilayah
teritorial negara Republik Indonesia, tepatnya di perairan Laut Arafuru sebelah
selatan Kepulauan Arafuru, Kabupaten Maluku Tenggara tanpa izin.
Pengadilan Negeri di Ambon dalam putusan No. 27/Pid/B/1986/PN.AB memberikan
keputusan antara lain terdakwa bersalah telah melakukan delik pelanggaran tanpa
hak berlayar memasuki wilayah perairan Indonesia. Selanjutnya dalam putusan
Pengadilan Tinggi No. 04/Pid/B/1987/PT.MAL di Ambon telah menguatkan putusan
Pengadilan Negeri. Pada Pengadilan Tinggi juga terungkap bahwa kapal nelayan
Taiwan ini sedang berlayar di perairan Indonesia dalam rangka perjalanan menuju
ke Australia guna memperpanjang foreign fishing boat lisence yang telah habis
masa berlakunya. Ternyata kemudian dalam putusan Mahkamah Agung, telah
membatalkan putusan judex facti Pengadilan Negeri Maluku yang dinilai telah salah
23
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
dalam menerapkan hukum atas kasus ini. Putusan Mahkamah Agung didasari atas
pertimbangan yang antara lain menyebutkan bahwa kapal asing tersebut tidak
terbukti melakukan penangkapan ikan atau mendarat atau berlabuh atau menetap
di dalam wilayah Republik Indonesia.
Kapal asing tersebut terbukti hanya berlayar menumpang lewat di teritorial
Indonesia, tanpa adanya bukti bahwa kapal tersebut sedang melakukan sesuatu di
wilayah negara Republik Indonesia. Dalam pengertian "menumpang lewat" yang
demikian itu telah diakui oleh hukum internasional sebagai suatu "right of innocent
passage". Hak tersebut
diakui oleh hukum internasional dan dijalankan serta
dipatuhi oleh semua negara. Lihat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 1303 K/Pid/1987.
34
Hasjim Djalal, “Penentuan "Sea Lanes" (ALKI) Melalui Perairan Nusantara
Indonesia", paper pada Penataran Hukum Laut Internasional, Unpad, Bandung,
1996, h. 4-6.
35
Ibid.
36
Safety of, and Right to Navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/Depts/los
iyo/safety-of-navigation. htm.
37
International
Maritime
Organization
(IMO)
is
recognized
as
the
only
international body responsible for establishing and adopting measures on an
international level concerning ships routeing systems for use by all ships. Lihat
Safety of, and Right to Navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/Depts/losiyo/
safety-of-navigation. htm.
38
Indonesia's Archipelagic Sea Lanes, (12-05-2002), http://www.dfa-deplu.go.id/
english2/pt28-98.htm.
39
Siaran Pers Menteri Luar Negeri RI mengenai Penetapan 3 (Tiga) Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI), Jepang: KBRI-Ottawa, 2000, h. 2-3.
40
ALKI akan berlaku minimal setelah enam bulan sejak diundangkan oleh
Indonesia. Pengundang ALKI dapat dilakukan Indonesia melalui suatu peraturan
pemerintah. Lihat Pasal 18 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996.
41
Siaran Pers..., op.cit, h. 3.
42
Hasjim Djalal, Penentuan..., op.cit, h. 5.
43
Pasal 53 ayat (7) KHL 1982.
44
Pasal 53 ayat (9) KHL 1982.
45
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press,
1995), h. 242-243.
46
Akatsuki Maru Case yang terjadi pada tahun 1992 memperlihatkan suatu
praktik kontroversial dari pengiriman "ultrahazardous radioactive cargo". Kapal
Akatsuki Maru, berbendera Jepang, sedang melakukan pelayaran dengan membawa
plutonium dari Jepang menuju Eropa. Adapun rute-rute yang dilalui kapal tersebut
meliputi perairan The Cape of Good Hoope, through The Indian Ocean to the south
of Australia, and then apparently north through the Tasman Sea between Australia
and New Zealand into the South and North Pacific Oceans to Japan. Beberapa
24
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
negara pada kawasan yang akan dilalui kapal Akatsuki Maru khawatir dengan ruterute tersebut, dan tidak siap untuk membolehkan kapal Akatsuki Maru melalui laut
teritorial, perairan kepulauan, selat, dan ZEE suatu negara. Kekhawatiran ini
disebabkan
jika
terjadi
kecelakaan
terhadap
kapal
Akatsuki
Maru,
dapat
menimbulkan kerusakan bagi lingkungan laut. Tiga negara tepi Selat Malaka, yaitu
Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga keberatan jika kapal Akatsuki Maru
melalui Selat Malaka. Lihat Martin Tsamenyi, Max Herriman, (ed), Rights and
Responsibilities in the Maritime Environment: National and International Dilemmas,
Australia: the University of Wollongong, 1996, h. 22-24.
47
Salah satu "the key issues" yang menjadi permasalahan adalah rekomendasi
yang dikeluarkan oleh The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang disebut
dengan
'type
B
standard'.
Tipe
B
standar
merupakan
standar
yang
direkomendasikan untuk "the packing and transport" dengan sejumlah material
yang dianggap cukup untuk melindungi masyarakat dan lingkungan selama
pelayaran. Lihat Edwin S. Lyman, "The Sea Shipment of Radioactive Materials:
Safety and Environmental Concern". dalam Ed Lyman--MMI Sea Transport Paper
(18-07-2000), http://www.nci.org/el-malaysia.htm.
48
Ibid.
49
Van Deveer, Stacy D., "Protecting Europe's Seas", Heldref Publications
Environment, (No. 6; Vol 42, 2000), h. 3.
50
Pasal 23 KHL 1982.
51
Nuclear Sea Shipments: An Overview, (18-07-2000), <http://www.nci.org/
seatrans-overvi.ew.htm.
52
Deklarasi Rio 1992 mensyaratkan untuk pemakaian Precautionary Principle
hanya bagi 'threats of serious or irreversible environmental damage'. The
Precautionary Principle is a principle which states that in cases where there are
threats to human health or the environment the fact that there is scientific
uncertainty over those threats should not be used as the reason for not taking
action to prevent harm. The Precautionary Principle relevan dengan risk regulation,
dapat diartikan sebagai body of regulation concerned with protecting the
environment or human health from the risks arising from industrial activity. Prinsip
ini awalnya berasal dari Jerman pada dekade tahun 1970-an, dan dipopulerkan
dalam kerangka hukum lingkungan internasional pada dekade tahun 1990-an. Lihat
Elizabeth
Fisher,
"Is
the
Precautionary
Principle
Justiciable?”,
Journal
of
Environmental Law, Oxford University Press, (V. 13, N. 3, 2001), h. 316.
53
Melda Kamil A. Ariadno, "Prinsip-Prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional”,
Hukum dan Pembangunan, ( N. 2, Tahun XXIX), April 1999, h. 119-120.
54
Pasal 206 KHL 1982.
55
Pasal 39, 54 KHL 1982.
56
Amerika Serikat setelah peristiwa Exxon Valdez 1990, dengan dasar "Oil
Pollution Act
1990 (OPA 90), pernah melarang kapal-kapal tanker yang berlayar
di perairannya yang tidak memakai "double hull". Hal ini dilakukan agar tidak
terulang kembali bencana ekologis pada peristiwa Exxon Valdez. Lihat Dickey, Alan,
25
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
"Crisis Over Oil Tanker Design Moves Toward Resolution", Information Access
Company, a Thomson Corporation Company, (1991), h. 2.
57
Nuclear Sea Shipments: An Overview, (18-07-2000), <http://www.nci.org/
seatrans-overview. htm.
58
Alan E.Boyle, "Marine Pollution Under the Law of the Sea Convention", The
American Journal International Law, (April, 1985), h. 12-14.
59
Ibid, h. 14
60
Pada tanggal 27 Oktober 1997 The M/V Saiga, an oil tanker serving as a
bunkering vessel di wilayah pantai Afrika Barat sedang melakukan suplai minyak
pada tiga kapal penangkap ikan berlisensi Guinea untuk menangkap ikan pada
Zona Ekonomi Eksklusif-nya. Pengisian tersebut terjadi pada wilayah ZEE Guinea
sekitar 22 mil dari Pulau Alcatraz. Keesokan harinya, sebuah kapal patroli Guinea
menahan kapal The Saiga yang sudah berada di luar ZEE Guinea. Dalam
pengejaran sebelumnya dua awak kapal The Saiga mengalami luka tembak.
Selanjutnya kapal The Saiga dibawa ke Conakry, kapal dan awak kapal ditahan,
sedangkan kargonya dipindahkan dan nakhoda kapal (master) dituntut telah
melakukan pelanggaran bea cukai (customs violations). Pada waktu terjadi
penahanan, pemilik kapal The Saiga adalah a Cyprus company, managed by a
Scottish company, and chartered to a Swiss company, sedangkan pemilik kargo
adalah Swiss company. Kapal tanker The Saiga mempunyai registrasi sementara
(provisionally registrated) di St. Vincent pada tanggal 12 Maret 1997. Registrasi ini
akan berakhir 6 (enam) bulan kemudian, dan direncanakan The Saiga akan
mendapatkan registrasi permanen (permanent registration) pada tanggal 28
November 1997. Sebelumnya kapal ini mempunyai registrasi Malta. Pada tanggal
13 November 1997, St. Vincent mengajukan permohonan agar The Saiga berikut
awak kapalnya segera dibebaskan berdasarkan Pasal 292 KHL 1982. Pada tanggal 4
Desember 1997, The International Tribunal for The
Sea (The Tribunal) meminta
agar kapal The Saiga berikut awaknya dibebaskan. Negara Guinea menolak
permintaan pengadilan tersebut untuk membebaskan kapal beserta awaknya. Pada
tanggal 10 Desember 1997 negara Guinea mengajukan tuntutan bahwa The Saiga
telah
melakukan
tindakan
kriminal,
juga
menyebutkan
bahwa
St.
Vincent
bertanggung jawab secara perdata (civilly liable). Pada tanggal 17 Desember 1997
pengadilan tingkat pertama Conakry memutuskan bahwa nakhoda kapal bersalah.
Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1997 St. Vincent menentang putusan
tersebut dengan mengajukan pendapat bahwa hal ini bertentangan dengan
Konvensi Hukum Laut 1982, demikian pula dalam
hal legalitas penahanan dan
penuntutannya. Pada tanggal 13 Januari 1998, St. Vincent memohon pada The
Tribunal untuk menentukan provisional measures pending constitution of the
arbitral tribunal. Pada tanggal 3 Februari 1998, pengadilan tingkat banding (The
Court of Appeal of Conakry) juga berpendapat bahwa nakhoda kapal bersalah
secara tidak sah melakukan impor, membeli dan menjual minyak di Republik
Guinea
dan
menghukum
sang
nakhoda
6
(enam)
tahun
penjara,
dan
memerintahkan untuk menyita kargo berikut kapalnya sebagai guarantee for
26
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
payment of the fine. Pada tanggal 11 Maret 1998 Guinea dan St. Vincent setuju to
transfer the arbitral proceedings to The Tribunal (The 1998 Agreement). Pada
tanggal 28 Februari 1998 Guinea membebaskan The Saiga berikut nakhoda dan
awak kapalnya. Pada tanggal 11 Maret 1998 the Tribunal menentukan tindakan
sementara (provisional measures) dengan menetapkan bahwa Guinea dapat
menahan diri untuk membicarakan enforcing any judicial or administrative measure
against the M/V Saiga, its master and the other members of the crew, its owners or
operators.
Selama persidangan berlangsung, Guinea keberatan menerima klaim dari St.
Vincent dengan alasan bahwa kapal The Saiga tidak memiliki registrasi St. Vincent
pada waktu terjadi penangkapan, tidak adanya keterkaitan antara St. Vincent dan
kapal. Dengan demikian kerugian individual dan perusahaan yang diakibatkan kapal
The Saiga bukanlah didasarkan atas nasionalitas dari St. Vincent. Pada tanggal 1
Juli 1999, The Tribunal dengan suara 18 berbanding 2, memberikan suatu
keputusan: "...rejected those arguments and found that Guinea had violated the
rights of St. Vincent under the Convention: (1) in arresting, detaining, and seizing
The Saiga, detaining its crew, confiscating its cargo, and prosecuting and convicting
the master, (2) in arresting The Saiga in contravention of the Convention's
provisions on hot pursuit, and (3) in using excessive force contrary to international
law while stopping and arresting The Saiga. Lihat Bernard H. Oxman, "International
Decisions", dalam American Journal of International Law, (V. 94, N. 1, 2000), h.
140-143.
61
Ibid.
62
Pada tanggal 12 Desember 1999, kapal tanker Erika dengan bobot 37.238 dwt
mengalami kebocoran sehingga menumpahkan heavy fuel oil cargo sebanyak lebih
kurang 15.000 ton. Tumpahan minyak yang menyebabkan pencemaran lingkungan
laut mencapai radius 100 km pada the mouth of the river loire (Perancis). Pada
awalnya kebocoran tangki hanya kecil dan akan dapat diatasi melalui remote
operated underwater vehicle. Namun akibat cuaca buruk, ditambah angin kencang
sehingga bantuan tidak dapat dilaksanakan dalam waktu cepat. Pada tanggal 25
Desember
1999,
tumpahan
minyak
sudah
mencapai
pantai
Perancis
yang
menyebabkan burung-burung laut terkena tumpahan minyak. Dalam suatu laporan
pada bulan Januari 2000 dari the French Tranport Ministry's Marine Accident
Investigation
Bureau,
menyimpulkan
bahwa
pecahnya
kapal
tanker
Erika
kemungkinan terbesar adalah sebagai akibat struktur kapal sudah keropos
(corrosion). Kapal tanker Erika sudah berusia 24 tahun pada saat terjadi peristiwa
dan berbendera Malta. Sedangkan pemiliknya adalah The Savarese Family of
Sorrento (Itali) through Tevere Shipping Company of Valletta. Pada saat terjadinya
peristiwa kebocoran, operator kapal sebagai pihak yang mencarter adalah The
Italian Company Panship Management & Services dalam rangka mengangkut kargo
minyak dari Dunkrik in Northern France menuju Livorno Italy. Registro Italiano
Navale (RINA) dan telah melakukan survei tahunan terhadap kapal tanker Erika
dua minggu sebelum pelayaran terakhir. Erika adalah kapal yang dibuat pada
27
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
pertengahan tahun 1970-an oleh Kasada dockyard di Jepang. dalam suatu catatan
(record) yang dibuat oleh Direktorat Kelautan Norwegia, menunjukkan bahwa kapal
tanker Erika telah melakukan a port state control (PSC) inspection baik oleh negara
bendera maupun oleh negara pelabuhan.
Di pelabuhan Porto Torres pada bulan Mei 1999. The Erika was inspected and
approved, by nearly all kinds of controls, ranging from flag state and class control,
including various safety management audits to port state control inspections of
various profundity and private industry vetting mechanisms established to ensure
the suitability of the ships for the trade. Namun dalam inspeksi yang dilakukan
sebelumnya
oleh
PSC
Authorities
pada
pelabuhan
Novorossiysk
di
Rusia,
sebenarnya kapal Erika sudah menunjukkan adanya 'some deficiencies'. Lihat The
Erica Accident and Issues Raised, (15-05-2002), http://www.intertanko.com/
conferences/tankerevent 2000/erika. Lihat pula Charles B. Anderson, Colin de la
Rue, "Liability of Charterer and Cargo Owners for Pollution from Ships, Tulane
Maritime Law Journal. (Tulane University School of Law, V. 26, N. 1, 2001), h. 4.
63
The Australian Maritime Safety Authority (AMSA) manages the National Plan,
working with States/Northern Territory (NT) governments, the shipping, oil,
explorating and chemical industries, emergency services and fire brigades to
maximise Australia's marine pollution response capability. Funding, equipment and
training programs to support National Plan activities are coordinated by AMSA on
advice from the National Plan Advisory Committee (NPAC). Lihat Oil spill in the
Australia
Marine
Environment:
Environmental
Consequences
and
response
Technologies, (12-05-2002), http://www.amsa.gov.au/me/natpran/R&D/paper 33.
pdf.
64
"Erika Spill Prompts Maritme Safety", Penn Well Publishing Co. The Oil and Gas
Journal, (No. 4 Vol. 98, 2000), h. 1-4.
65
PSC merupakan badan yang berwenang untuk melakukan inspeksi dan
pengawasan terhadap kapal-kapal yang masuk pada salah satu pelabuhan negara
di Amerika Serikat. Hal ini dilakukan untuk melakukan penegakan hukum atas
standar-standar internasional tentang keselamatan kapal dan pencegahan terhadap
pencemaran. Lihat Talley, Wayne, "Vessel Damage Severity of Tanker Accidents",
The Logistics and Transportation Review, (Vol. 31;No. 3, 1995), h. 191.
66
VTS merupakan sistem yang didisain untuk mencegah kapal-kapal tidak
bertabrakan, misalnya dengan melakukan kontak radio di antara pusat-pusat VTS
dan sistem pengoperasian kapal-kapal. Ibid.
67
Tes alkohol terhadap kapten kapal juga dilakukan oleh sistem VTS. Konsentrasi
alkohol pada darah kapten kapal agar diperbolehkan untuk mengoperasikan kapal
adalah tidak melebihi kadar 0,04. Ibid.
68
Lihat pula Young, Oran R, "Hitting the Mark; International Environmental
Agreement" Heldref Publications Environment, (No. 8; Vol. 41, 1999), h. 12.
69
IMO, Manual on Oil Pollution, Section II..., op.cit, h. 1-2.
70
Pada satu negara saja terdapat wewenang yang berbeda terhadap penanganan
di laut dan di pantai. Ibid.
28
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
71
Sunaryati Hartono, "Pengembangan dan Pembaharuan Hukum Lingkungan
Nasional", Makalah Pada Seminar Hukum Lingkungan, Jakarta: Kantor Menteri LHBapedal, (1996), h. 9.
72
IMO, Manual on Oil Pollution, Section II…, op.cit, h. 4-6.
73
Ibid.
74
Ibid.
75
Lihat Mitchell, Ronald B.," Lesson from Intentional Oil Pollution", Helen Dwight
Reid Educational Foundation, (Vol. 37; No. 4, 1995), h. 4-5.
29
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Djalal, Hasjim. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut.
Percetakan Ekonomi, Bandung.
Friedmann, W. 1994. Teori & Filsafat Hukum, Hukum & Masalah-Masalah
Kontemporer (Susunan III). 1994. P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1995. Hukum Perlindungan Lingkungan
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Gadjahmada University Press, Yogyakarta.
IMO, Manual Oil Pollution. 1988. Section II Contingency Planning,
London.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Buku
I-Bagian Umum. Binacipta, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1992. Perlindungan dan Pelestarian
Lingkungan Laut Dilihat dari Sudut Hukum Internasional,
Regional, dan Nasional. Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan
Nusantara, Jakarta.
Lloyd Of Hampstead, Lord, Freeman, M.D.A. 1985. Introduction to
Jurisprudence. Stevens & Sons Ltd., London.
Lubis,
M. Solly. 1992. Kesatuan Hukum Nasional dan Wawasan
Nusantara dalam Rangka Menghadapi Globalisasi Dunia dan
Pembangunan Jangka Panjang. Univ. Bung Hatta, Padang.
Muhjiddin, Atje Misbach. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan
Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing. Alumni, Bandung.
Silalahi, Daud. 1992. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung.
Silalahi, Daud. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia
dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
30
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Tsamenyi, Martin, Herriman, Max, (ed). 1996.
Rights and
Responsibilities in the Maritime Environment: National and
International Dilemmasthe. University of Wollongong, Australia.
B. ARTIKEL
Anderson, Charles B., Rue, Colin de la, "Liability of Charterer and Cargo
Owners for Pollution from Ships”, Tulane Maritime Law Journal,
Tulane University School of Law, V. 26, N. 1, 2001.
Boyle, Alan E, “ Marine Pollution Under the Law of the Sea Convention”,
The American Journal of International Law, April, 1985.
Committee on Shipborne Wastes Marine Board, Commission on
Engineering and Technical Systems National Research Council,
“Clean Ships Clean Ports Clean Ocean”, National Academy Press,
Washington DC, 1995.
Cross, Michael, Hamer, Mick, “How to Seal a Supertanker, Improving
Ship Design to Prevent Oil Spills”, New Scientist, Vol. 133, No.
1812, March, 1992.
Dehner, Jeffrey S., "Vessel-Source Pollution and Public Vessel: Sovereign
Immunity
V.
Compliance,
Implications
for
International
Environmental Law", Emory International Law Review, 1995.
Dickey, Alan, “Crisis Over Oil Tanker Design Moves Toward Resolution”,
Information Access Company, a Thomson Corporation Company,
1991.
Djalal,
Hasjim, "Penentuan "Sea Lanes"
Nusantara Indonesia", paper pada
Internasional, Unpad, Bandung, 1996.
(ALKI) Melalui Perairan
Penataran Hukum Laut
Fisher, Elizabeth, "Is the Precautionary Principle Justiciable ?, Journal of
Environmental law, Oxford University Press, V. 13, N. 3, 2001.
Erika Spill Prompts Maritme Safety, Penn Well Publishing Co. The Oil and
Gas Journal, No. 4 Vol. 98, 2000.
31
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Hartono, Sunaryati, "Pengembangan Dan Pembaharuan Hukum
Lingkungan Nasional", Makalah Pada Seminar Hukum Lingkungan,
Kantor Menteri LH-Bapedal, Jakarta, 1996.
Kamil, Melda, A. Ariadno, "Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Lingkungan
Internasional, Hukum dan Pembangunan, (N. 2, Tahun XXIX),
April 1999.
Mitchell, Ronald B.," Lesson from Intentional Oil Pollution", Helen Dwight
Reid Educational Foundation, Vol. 37; No. 4, 1995.
Oxman, Bernard H., "International Decisions", dalam American Journal
of International Law, V.96, N.1, 2002.
Peter M., Hass, "International Cooperation: Building Regimes for Natural
Resources and the Environment", Book Reviews: Massachusetts
Institute of Technology Alumni Associati Technology Review,
Januari 1990.
Rights
and Freedoms in International Waters, Superintendent
Documents Departement of State Bulletin, Vol.86, 1986.
of
Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati
di Perairan Indonesia", Seminar Hukum Nasional V, Jakarta, 1990.
Siaran Pers Menteri Luar Negeri RI mengenai Penetapan 3 (tiga) Alur
laut Kepulauan Indonesia (ALKI)", Jepang, KBRI-Ottawa, 2000.
Talley, Wayne, "Vessel Damage Severity of Tanker Accidents", The
Logistics and Transportation Review, Vol. 31; No. 3, 1995.
Tim Panja Dishidros, "Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)" , MabesTNI AL, Jakarta,1996.
United Nations Press Release, "UN Convention on the Law of the Sea
Receives Sixtieth Ratification to Enter Into Force in One Year",
New York: Departement of Public Information, News Coverage
Service, 1993.
Van Deveer, Stacy D., "Protecting Europe's Seas, Heldref Publications
Environment, No. 6, Vol 42, 2000.
32
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Young, Oran R., "Hitting the Mark; International Environmental
Agreement", Heldref Publications Environment, No. 8; Vol. 41,
1999.
C. INTERNET
Ed Lyman--MMI Sea Transport Paper, (18-07-2000), <http://www.ci.rg/
el-malaysia.htm>.
IMOs WebSite-Summary of Status of Conventions, (24-06-2000),
<http://www.imo.org/imo/convent/summary.htm>.
Indonesia's Archipelagic Sea Lanes, (12-05-2002), http://www.dfadeplu.go.id/ english2/pt28-98.htm.
KBRI-Ottawa, (05-12-2000), <http://www.indonesia-ottawa.org/news/
Hot%20 Topicts/ht98 sep/ht.alki.htm.
Marine
html>.
Pollution,
(21-02-2001),
<http://www.cnie.org/nle/mar-20/r.
Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), <http://www.amsa.gov.an/me/
pn324.HTM>.
Nuclear Sea Shipments: An Overview, (18-07-2000), <htttp://www.nci.
org/seatrans-overview.htm>.
Ocean and Law of The Sea--Convention Overview, (14-06-2000), <http:
www.un.org/Depts/los/losconv2.htm>.
Oil Spill in The Australia Marine Environment: Environmental
Consequences and Response Technologies, (12-05-2002), http://www.
amsa.gov.au/me/natpran/R&D/paper 33.pdf.
Safety of and Right to Navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/
Depts/los iyo/safety-of-navigation. htm.
Specified Circumstance Ocean and Law of The Sea--Convention
Overview, (14-06-2000), <http:www.un.org/Depts/los/losconv2.htm>.
33
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
The Erika Accident and Issues Raised, (15-05-2002), http://www.
intertanko.com/conferences/tankerevent 2000/Erika.
D. DOKUMEN-DOKUMEN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Dokumen-Dokumen
Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and Their Disposal, 1989.
Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes
and Other Matter (LDC), 1972.
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships,
1973, as Modified by the Protocol of 1978 Relating thereto (MARPOL
73/78).
International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil
(OILPOL), 1954.
International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1960 and
1974.
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC),
1969.
International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and
Co-operation (OPRC), 1990.
International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response, and
Co-Opertion, 1990.
International Convention on the Establishment of an International Fund
for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND), 1971.
International Convention Relating to Intervention on the High Seas in
Cases of Oil Pollution Casualties (INTERVENTION), 1969.
Protocol of 1992 to Amend CLC 1969 and Fund Convention 1971.
United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982.
34
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
2. Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945
UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
UU No. 5 Tahun 1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan the United Nations
Convention on the Law of the Sea
UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Hayati di ZEE Indonesia
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
Pencemaran dan atau Perusakan Laut
1999
tentang
Pengendalian
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan
Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan CLC 1969
Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan Fund
Convention 1971
Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships,
1973, beserta Protokol (the Protokol of 1978 Relating to the
35
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships,
1973)
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan
Presiden No. 19 Tahun 1978
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol of
1992 to Amend The International Convention on Civil Liability for Oil
Pollution Damage, 1969
36
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. DATA PRIBADI
Nama
: Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
Agama
: Islam
Tempat/Tgl Lahir
: Medan, 13 Juli 1962
NIP
: 131 762 432
Pangkat/Gol.
: Pembina/Gol.IV/a
Alamat Rumah
: Jl. Setiabudi Pasar I Gg. Palapa 16 Tj. Sari
Medan
(20132)
Telp.
(061)
8210483.
Hp.
08126559942
Alamat kantor
: Fakultas Hukum USU Jl. Universitas No.4, Medan
Jabatan
: Pembantu Dekan I FH USU
Nama Ayah
: H. Razali (Alm)
Nama Ibu
: Hj. Rostina
Nama Istri
: Seri Rasmi SH
Anak
: 1. Sabtia
2. Novi Aisha
3. Riadhi Alhayyan
B. PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar
: SD Negeri 40 Medan, 1974
SLTP
: SMP W.R. Supratman Medan, 1977
SLTA
: SMA Neg. 8 Medan, 1981
Sarjana Hukum
: Fakultas Hukum USU Medan, 1987, dengan
judul skripsi: Penetapan Batas ZEEI dengan
Negara-Negara Tetangga.
Magister Hukum
: Program Pasca Sarjana UNPAD Bandung, 1995,
dengan judul tesis: Beberapa Permasalahan
dalam
Perkembangan
Ketentuan-ketentuan
Pengimplementasian
Internasional
Tentang
Ganti Rugi Pencemaran Lingkungan Laut Karena
Minyak
dari
Kecelakaan
Kapal
Tanker
di
Indonesia
Program Doktor (S3) : Program
S3
Ilmu
Hukum
Pada
Program
Pascasarjana USU Medan, 2002, dengan judul
disertasi:
Perlindungan
Terhadap
Lingkungan
37
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
Laut Dari Pencemaran yang Bersumber dari
Kapal: Konsekuensi Penerapan Hak Pelayaran
Internasional Melalui Perairan Indonesia.
C. MATA KULIAH YANG DIASUH
Program S1:
1. H. Internasional
2. H. Lingkungan Internasional
3. H. Ekonomi Internasional
4. H. Lingkungan
Program S2:
1. H. Transaksi Bisnis Internasional
2. H. Perdata Internasional
3. Metodologi Penelitian Hukum
4. Penemuan Hukum
Program S3:
1. Trend Globalisasi
2. H. Lingkungan Internasional
3. H. Internasional Lanjut
D. PENELITIAN
1. Anggota peneliti pada penelitian Pelaksanaan Perjanjian Dasar
Kerjasama Ekonomi dan Teknik Mengenai Perdagangan Bilateral
Indonesia-Malaysia, 1992.
2. Peneliti
pada
penelitian
Peranan
Konsulat
Malaysia
untuk
Meningkatkan Hubungan Persahabatan Antara Negara Indonesia dan
Malaysia, 1992.
3. Peneliti pada penelitian Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mahasiswa
Memilih Jurusan Hukum Internasional untuk Menyelesaikan Studi di
Fakultas Hukum USU Medan, 1992.
4. Anggota peneliti pada penelitian Kecenderungan Menuju Pola Hidup
Konsumtif Melalui Perjanjian Sewa Beli pada Masyarakat Kompleks
Perumahan di Kotamadya Medan, 1993.
38
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
5. Anggota peneliti pada penelitian Eksistensi dan Partisipasi Swadaya
Masyarakat dalam Penegakan Hukum Administrasi Negara Serta
Kaitannya dengan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Sumatera Utara,
1995.
6. Anggota peneliti dalam Tim Lingkungan pada Monitoring Pertamina
Rantau (Kuala Simpang) dan Pangkalan Susu, 1996-1999.
7. Peneliti pada penelitian Pengaruh Perjanjian Regional Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) Terhadap Pengaturan Bidang
Ekonomi di Dati II Kodya Medan, 1997.
8. Peneliti pada penelitian Penetapan Garis Batas Landas Kontinen
Indonesia Dengan Negara-Negara Tetangga Setelah Keluar UU N0. 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, 1998.
9. Peneliti pada penelitian Aspek Hukum Ekonomi Internasional dalam
ASEAN Free Trade Area (AFTA): Studi Deskriptif di Dati Provinsi
Sumatera Utara, 1999.
10.Anggota peneliti dalam Tim
Lingkungan pada Panas Bumi Gunung
Sibayak, 1999.
11.Peneliti pada penelitian Analisis Yuridis Terhadap Pengaturan Hukum
Laut Indonesia Setelah Keluar UU No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia, 1999.
12.Anggota
peneliti
pada
penelitian
tentang
Pulau-Pulau
Terluar
Indonesia dalam Hubungannya dengan Aspek Lingkungan Hidup,
2005.
E. KARYA ILMIAH
1. Ilmu Hukum dan Pengembangannya di Indonesia, Majalah Hukum,
Vol 6 No. 2 Mei 2001.
2. Studi Tentang Hukum dalam Prespektif Filsafat Ilmu Hukum, Majalah
Hukum, Vol. 6, No. 3 Agustus 2001.
3. Politik Hukum dalam Perlindungan terhadap Pencemaran Lingkungan
Laut di Indonesia, Majalah Hukum, Vol. 6, No. 4, November 2001.
4. Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang
Bersumber dari Kapal, Majalah Hukum, Vol 7 No. 1 Februari 2002.
5. Hak Pelayaran Internasional pada Konvensi Hukum Laut 1982,
Mahadi, Majalah Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. XIII No. 03 Juli
2004.
39
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Universitas Sumatera Utara
6. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Menurut UU No. 23 Tahun
1997. Mahadi, Majalah Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. XIII No. 04
Oktober 2004.
7. Globalisasi dan Hukum Ekonomi Internasional. Mahadi, Majalah
Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. XIII No. 01 Januari 2005.
8. Penanganan Masalah Lingkungan Hidup di Perairan Selat Malaka,
Journal of Foreign Affairs, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, Vol. 22 No. 2Agustus 2005.
F. PEMAKALAH
1. Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup dalam Tinjauan
Aspek Hukum Nasional, Pemakalah dalam “Kursus Dasar-Dasar
AMDAL Tipe A”, Medan, 2000.
2. Paradigma
Hukum
Internasional
dalam
Menyelesaikan
Aksi
Terorisme, Pemakalah pada Seminar Nasional “Metode dan Strategi
Menanggulangi Ancaman Global dan Aksi Terorisme, Medan, 20-102003.
3. Hukum
dan
Keadilan
Perpajakan,
Pemakalah
dalam
Seminar
“Menyongsong Peningkatan Perpajakan di Indonesia, Medan, 16-092004.
4. Hukum
Sebagai
Ilmu
dan
Pengembangannya
di
Indonesia,
Pemakalah dalam Seminar “Hukum dan Pembangunan”, Medan, 1310-2004.
5. Hukum Transaksi Bisnis Internasional, Pemakalah dalam Seminar
“Menuju Era Globalisasi”, Medan, 06-01-2005.
6. Hukum Ekonomi Internasional, Pemakalah dalam Seminar “Sistem
Perekonomian di Indonesia”, Medan, 10 Juli 2005.
7. Penanganan Masalah Lingkungan Hidup di Perairan Selat Malaka,
Pemakalah dalam
Pertemuan Kelompok Ahli “Mencari Strategi
Kebijakan Terpadu Atas Pengelolaan Keamanan Bersama di Selat
Malaka”, Medan, 19 Juli 2005.
8. Kompetensi Lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Pemakalah dalam “Lokakarya Kompetensi Lulusan Fakultas Hukum”,
Jakarta, 12-13 September 2005.
9. Aspek
Hukum
Perdata
dalam
Penegakan
Hukum
Lingkungan,
Pemakalah dalam Seminar “Sosialisasi Prosedur Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup”, Bapedal, Medan, 22 September 2005.
40
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut
dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
G. PERTEMUAN ILMIAH
1. Lokakarya Pengkajian dan Penulisan Naskah “Reinventing Diplomasi
RI ke Kawasan Samudera Hindia”, Padang, 14-08-2003.
2. National
Symposium
on
“The
Interdiciplinary
Scolarship
of
International Relations and International Law”, Jakarta, 19-09-2003.
3. Seminar on the European Union for Indonesian University Lectures of
Law, Jakarta, 4-5 Mei 2004.
4. Lokakarya Kompetensi Lulusan Fakultas Hukum & Rapat Koordinasi
Perencanaan Program 2006, Forum Heds Bidang Ilmu Hukum,
Jakarta, 12-15 September 2005.
5. Seminar dan Rapat Tahunan 2005 Kerjasama BKS-PTN Bidang Ilmu
Hukum dengan Forum Heds, Pekanbaru, 21-22 November 2005.
6. Pertemuan Badan Kerjasama (BKS) Dekan Fakultas Hukum PTN seIndonesia, Banjarmasin, 6 – 7 Desember 2005.
7. Kompetisi Kajian Kasus dan Peradilan Semu Hukum Humaniter
Internasional dan Hak Asasi Manusia, Medan, 27-28 Desember 2005.
8. Pelatihan
Penyiapan
Dokumen
Akreditasi
Program
Studi
di
Lingkungan Universitas Sumatera Utara, Medan, 18 Januari 2006.
9. Focus Group Discussion Amandemen UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Medan, 14-15 Februari 2006.
41
Suhaidi: Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia, 2006.
USU e-Repository © 2008
Download