17 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Model Pembelajaran Terdapat empat istilah yang terkadang membuat bingung para pendidik dalam proses pembelajaran. Keempat istilah itu adalah pendekatan, metode, teknik, dan model pembelajaran. Secara hierarkis dalam proses pembelajaran, pendekatan adalah tingkat tertinggi, yang kemudian dijabarkan ke dalam metode-metode dan metode-metode ini diwujudkan dalam teknik. Teknik harus “tunduk” pada metode dan metode harus “tunduk” pada pendekatan. Model berada pada lingkup terluar dari tiga istilah tersebut yakni dalam sebuah model pembelajaran pastilah terkandung pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran (Abidin, 2012: 19). Dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa kedudukan pendekatan, metode, teknik, dan model dalam pembelajaran. Setiap pakar tentu memiliki definisi yang berbeda-beda tentang pembahasan konsep model pembelajaran, Joyce dan Weil (dalam Rusman, 2012: 133) menjelaskan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lainnya. Gagne (dalam Mulyana, 2000: 25) menjelaskan bahwa model pembelajaran 18 bertujuan menyajikan hubungan konseptual antara hasil belajar yang diharapkan dengan metode atau sejumlah metode belajar yang tepat, sedangkan Arends (dalam Trianto, 2007: 5) mengemukakan bahwa istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengolahannya. Pakar lain, Suprijono (2012: 45) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Suprijono juga menyatakan bahwa model pembelajaran dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberikan petunjuk kepada guru di kelas dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. 2.2 Pembelajaran Kooperatif 2.2.1 Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang bernaung dalam teori konstruktivisme yang muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdikusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling 19 membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks ( Trianto, 2007: 41). Dalam pembelajaran kooperatif, bentuk pembelajaran dirancang dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri atas empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen (Rusman, 2012: 202). Sementara itu Nurulhayati (dalam Rusman, 2012: 203) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi. Slavin (2008: 4) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mendorong para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran lebih lanjut. Slavin juga menyatakan bahwa kelompok tersebut merupakan kumpulan siswa yang heterogen dengan anggota empat sampai enam orang yang duduk bersama untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Dalam hal ini, setiap kelompok terdiri dari berbagai latar belakang etnik dan berbagai tingkatan prestasi. Senada dengan pendapat tersebut, Sanjaya (2010: 242) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang heterogen dengan latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya sekadar belajar dalam kelompok, tetapi juga terdapat unsur dasar pembelajaran kooperatif yang dapat membedakan 20 dengan pembelajaran kelompok pelaksanaan yang dilakukan pembelajaran kooperatif secara asal-asalan. Jika dilaksanakan dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan efektif. Siswa tidak harus belajar dari guru dalam proses pembelajarannya. Siswa dapat saja saling mengajar dengan sesama siswa lainya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lie (2008: 12) bahwa pembelajaran kooperatif memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dalam tugas-tugas yang terstruktur. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok dan antara anggota kelompok tersebut saling membantu untuk memahami dan mempelajari suatu materi pelajaran. 2.2.2 Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif memiliki perbedaan dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam proses pembelajarannya yang lebih menekankan pada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama dalam penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama seperti inilah yang menjadi ciri khas dalam pembelajaran kooperatif. Sanjaya (2010: 244) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan dalam beberapa perspektif, yaitu 1) perspektif motivasi yang berarti penghargaan yang diberikan kepada kelompok yang dalam kegiatannya saling membantu untuk memperjuangkan keberhasilan kelompok, 2) perspektif sosial 21 yang berarti bahwa melalui kooperatif, setiap siswa akan saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan, dan 3) perspektif perkembangan kognitif yang berarti bahwa adanya interaksi antara anggota kelompok akan dapat mengembangkan prestasi siswa dalam berpikir untuk mengolah berbagai informasi. Dengan demikian, secara umum karakteristik atau ciri-ciri pembelajaran kooperatif dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Pembelajaran Dilakukan Secara Tim Pembelajaran kooperatif dilakukan secara tim yang merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, tim harus mampu membuat setiap anggota (siswa) belajar. Setiap anggota harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2. Didasarkan pada Manajemen Kooperatif Manajemen kooperatif memiliki tiga fungsi, yaitu 1) fungsi perencanaan yang menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif, misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, dan apa yang harus dipakai untuk mencapai tujuan itu, 2) fungsi organisasi yang menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pekerjaan bersama antarsetiap anggota kelompok sehingga perlu diatur tugas dan tanggung jawab setiap anggota kelompok di dalamnya, dan 3) fungsi kontrol yang menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik dalam bentuk tes maupun nontes. 22 3. Kemauan untuk Bekerja Sama Keberhasilan pembelajaran kooperatif sangat ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh karena itu, perlu ditekankan prinsip kebersamaan atau kerja sama dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa kerja sama yang baik, pembelajaran kooperatif tidak akan mampu mencapai hasil yang optimal. 4. Keterampilan Bekerja Sama Kemampuan bekerja sama dalam pembelajaran kooperatifdapat dipraktikkan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Oleh karena itu, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi serta berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 2.2.3 Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kooperatif Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2008: 31) mengemukakan bahwa terdapat lima unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut. 1) Prinsip ketergantungan positif (positive interdependence), yaitu dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam penyelesaian tugas bergantung pada usaha yang dilakukan oleh kelompok. Keberhasilan kerja sama dalam kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompok. Oleh sebab itu, semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan satu sama lain. 2) Tanggung jawab perseorangan (individual accountability), yaitu keberhasilan 23 kelompok sangat bergantung pada masing-masing anggota kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dan harus dikerjakan dalam kelompok tersebut. 3) Interaksi tatap muka (cae to face promotion interaction), yaitu pemberian kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok dengan bertatap muka dengan melakukan interaksi dan diskusi serta saling memberi dan menerima informasi dari anggota kelompok lainnya. 4) Partisipasi dan komunikasi (participation communication) yaitu melatih siswa agar dapat berpartisipasi dan berkomunikasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. 5) Evaluasi proses kelompok, yaitu penjadwalan waktu khusus bagi kelompok agar dapat mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama antaranggota dalam kelompok dan selanjutnya dapat bekerja sama dengan lebih efektif. 2.3 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example non-Example Pada penelitian ini, peneliti akan memaparkan ihwal model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example yang meliputi hakikat model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example, kedudukan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example sebagai model pembelajaran inovatif, langkah-langkah model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example, keuntungan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example, dan kelebihan serta kekurangan model pembelajaran Kooperatif tipe Example nonExample. 24 2.3.1 Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example non-Example Model adalah suatu pola, contoh, atau acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Model ini diharapkan dapat menghasilkan suatu produk yang bernilai tinggi dan dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, khususnya bagi pembelajaran menulis dengan fokus pada penggunaan bahasa Indonesia baku. Model merupakan representasi konsep yang dirancang secara khusus serta digunakan untuk menjelaskan struktur dan fungsinya. Pada hakikatnya pengertian model mempunyai defenisi yang berbeda-beda, bergantung pada bidang ilmu dan pengetahuan yang diadopsinya. Salah satu defenisi yang dikemukakan Dilwort (1992: 74) menyatakan bahwa model merupakan representasi abstrak mengenai proses, sistem, atau subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan. Model bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis tampilan-tampilan pilihan tersebut. Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja dan terkendali yang bertujuan agar pada diri orang lain relatif terjadi perubahan. Usaha ini dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang dan mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Sukartini dan Mohammad Imam (2007: 137) memberikan batasan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memeroleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalamannya dalam interkasi dengan lingkungannya. Dengan kata lain, 25 pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru, siswa, dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran banyak bergantung pada berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam interkasi ini, guru membantu siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar tanpa batas. Pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu membimbing siswanya ke arah tujuan pembelajaran yang diharapkan. Joyce (2009: 6) mengemukakan bahwa pengajaran yang baik adalah pengajaran yang merangkul pengalaman belajar tanpa batas mengenai bagaimana gagasan dan emosi berinteraksi dengan suasana kelas dan bagaimana keduanya dapat berubah sesuai dengan suasana yang juga turut berubah. Dalam hal ini gurulah yang betugas membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, nilai, dan cara berpikir. Pada saat inilah sebenarnya guru tengah mengajari siswa untuk belajar. Jadi, tugas gurulah yang mengantar keberhasilan siswa dalam belajar. Guru menentukan segalanya. Guru yang sukses tidak hanya sekadar penyaji yang kharismatik dan persuasif, tetapi guru yang sukses adalah guru yang melibatkan para siswa dalam tugastugas yang sarat muatan kognitif dan sosial serta mengajari siswanya bagaimana mengerjakan tugas-tugas tersebut secara produktif (Joyce, 2009: 7). Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar. Model pembelajaran mengarahkan guru dalam mendesain pembelajaran untuk membantu siswa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Model pembelajaran adalah bentuk 26 pembelajaran yang menggambarkan kegiatan dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dalam pembelajaran terjadi pola interaksi antara siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran atau metode mengajar sangat beragam. Dalam keragaman ini tidak ada satu model atau metode pun yang dianggap paling baik. Ahli pendidikan berpendapat bahwa tidak ada satu metode mengajar yang dipandang paling baik karena baik tidaknya metode mengajar sangat bergantung pada tujuan pengajaran, materi yang diajarkan, jumlah siswa, fasilitas penunjang, kesanggupan individual, dan lain-lain. Atas dasar itu kegiatan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang sederhana sampai yang kompleks (Danim, 2010: 34). Sukses tidaknya sebuah model atau metode pembelajaran sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam menguasai suasana kelas, cara berbicara dan sistematika pembicaraan, jumlah materi yang disajikan, kemampuan memberi ilustrasi, jumlah subjek yang mendengarkan, dan lain-lain. Model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses pembelajaran secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, dan berorientasi kekinian. Selain itu, model pembelajaran harus memiliki bentuk pembelajaran yang sederhana, mudah dilakukan, dan dapat mencapai tujuan. 27 Dalam pelaksanaan pembelajaran seperti yang dikemukakan Fryer (1987) dalam Olik dkk. (2007: 275) bahwa pembelajaran memberikan makna yang lebih baik bila: a) adanya peluang para peserta belajar untuk belajar bekerja sama dalam kelompok; b) latihan dan pengulangan merupakan hal yang bermanfaat sebagai bagian dari pembelajaran; c) pembelajaran akan menjadi semakin aktif bila interaksi tidak hanya berlangsung satu kali; dan d) adanya pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam belajar. Makna dalam pembelajaran seperti di atas terkandung dalam model pembelajaran Kooperatif. Model ini bukanlah hal yang sama sekali baru bagi guru. Model pembelajaran Kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok. Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang, dan rendah). Jika memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, dan suku yang berbeda. Perbedaan dari ciri khas masing-masing siswa merupakan kekuatan sebuah demokrasi yang ada di antara mereka. Pembelajaran Kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran Kooperatif merupakan model pembelajaran yang membantu siswa mempelajari isi akademik dan hubungan sosial. Model pembelajaran 28 Kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius. Falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial (Lie, 2003: 27). Stahl (1994: 25) menyatakan bahwa “Pembelajaran Kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa menuju belajar yang lebih baik dan dapat meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial.” Lie (2003: 30) mengutip perkataan Roger dan David Johnson yang menyatakan bahwa ada lima unsur model cooperative learning, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antaranggota, serta evaluasi proses kelompok. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan cooperative learning atau pembelajaran Kooperatif adalah suatu sikap atau perilaku bersama dalam menghasilkan sesuatu yang dikerjakan secara bersama-sama (kelompok). Keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan anggota kelompok. Seperti yang dikatakan Joyce (2009: 35) bahwa prosedur-prosedur pembelajaran Kooparatif memfasilitasi pembelajaran lintas bidang kurikulum dan umur, perbaikan rasa bangga diri, keterampilan dan solidaritas sosial, serta lintas tujuantujuan pembelajaran akademik yang menjangkau mulai dari perolehan informasi dan skill hingga model-model penelitian di seluruh disiplin akademik. Dengan demikian, diskusi kelompok dengan teman sebaya efektif dilakukan untuk mengatasi permasalahan belajar siswa. Aspek peningkatan kompetensi siswa yang meliputi pengetahuan sikap, dan keterampilan berbahasa dapat ditingkatkan melalui kerja sama yang teratur dalam kelompok. Dalam kerja kelompok, setiap kesulitan dapat dipecahkan bersama sehingga tumbuh dalam diri siswa motivasi dan kepercayaan diri. Melalui motivasi yang sehat, siswa akan dapat mengekspresikan dirinya lebih bebas, 29 berani mencoba hal-hal baru, berani bertanya, berani menjawab, dan tumbuh tingkat kepercayaan diri. Pembelajaran Kooperatif dapat menimbulkan susasana positif karena dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran, guru, dan sekolah. Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran Kooperatif menurut Slavin (1995: 6) adalah sebagai berikut. 1. Penghargaan Kelompok Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. 2. Pertanggungjawaban individu Keberhasilan kelompok bergantung pada pertanggungjawaban individu dari semua anggota kelompok. Adanya pertanggungjawaban secara individu menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya, tanpa bantuan teman sekelompoknya. 3. Kesempatan yang sama untuk berhasil Setiap siswa memperoleh kesempatan yang sama untuk berhasil dan melakukan hal yang terbaik bagi kelompoknya. Adapun tujuan pembelajaran Kooperatif adalah: a) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah; b) mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong-royong dalam kehidupan; serta c) mendinamiskan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga tiap anggota merasa diri sebagai bagian kelompok. 30 Unsur-unsur dasar pembelajaran Kooperatif yang perlu ditanamkan, yaitu para siswa harus: a) memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersamasama”; b) memiliki pandangan bahwa mereka semua harus memiliki tujuan yang sama; c) memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi; dan d) membagi tugas serta tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok. Dalam pelaksanaan pembelajaran Kooperatif siswa harus dilatih terlebih dahulu tentang keterampilan komunikatif karena keterampilan komunikatif itu berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antaranggota kelompok, sedangkan pelaksanaan tugas dilakukan dengan membagi tugas antaranggota kelompok selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, pembelajaran Kooperatif mengandung pengertian sebagai suatu perilaku bekerja membantu sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok. Kelompok ini terdiri atas dua orang atau lebih dengan keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap individu dalam kelompok tersebut. Hal ini terjadi karena siswa ikut terlibat dalam penentuan pembelajaran. 31 Model pembelajaran Kooperatif mempunyai beberapa tipe dengan langkah yang berbeda-beda. Dalam http:www.scribd.com/doc/57998386/Labschool-Jakarta dikemukakan bahwa salah satu model pembelajaran Kooperatif adalah tipe Example non-Example. Arend (2008: 333) memberi nama untuk tipe seperti ini adalah contoh dan bukan contoh. Model ini merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran Kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pembelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia. Model ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh materi atau Example yang sedang dibahas. Adapun non-Example memberi gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas. Example non-Example adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan defenisi konsep. Taktik ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan dua hal yang terdiri atas example dan non-example. Guru meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada. Example non-Example dianggap perlu dilakukan karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi definisinya, tetapi bukan dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example, diharapkan akan dapat memberikan kesempatan untuk menemukan konsep pelajarannya dan mendorong siswa menuju pemahaman yang lebih mendalam mengenai materi yang ada. 32 2.3.2 Kedudukan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example nonExample sebagai Model Pembelajaran Inovatif Model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example merupakan suatu model pembelajaran dengan menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran. Penggunaan gambaran-gambaran visual akan dapat memengaruhi pembelajaran konsep dan mendukung pepatah lama yang mengatakan bahwa “a pictue is worth a thousand world” (Arends, 2008: 334). Penggunaan media gambar merupakan sarana yang digunakan untuk melaksanakan model ini. Media gambar ini disusun dan dirancang agar siswa dapat menganalisis gambar menjadi sebuah bentuk deskripsi singkat mengenai sesuatu yang ada di dalam gambar tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008: 892) media diartikan (1) alat, (2) alat (sarana) komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk, serta (3) yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dan sebagainya). Menurut Gagne dalam Sadiman (2009: 6) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Hadimiarso (1984: 49) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Adapun Danim (2010: 7) berpendapat bahwa media pendidikan atau media pembelajaran merupakan seperangkat alat bantu atau pelengkap yang digunakan oleh guru atau pendidik dalam rangka berkomunikasi dengan siswa atau peserta didik. 33 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa untuk menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta sebagai sarana untuk menuju tujuan pembelajaran. Media ini juga digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan memperjelas informasi yang disampaikan. Media bukan sekadar alat peraga atau alat bantu dalam pembelajaran walaupun tekanan utama terletak pada benda yang dapat dilihat atau didengar. Namun, media dalam pembelajaran di kelas atau di luar kelas pada intinya merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan perantara atau alat yang diperlukan untuk berinteraksi antara guru dengan siswa dengan tujuan untuk membangkitkan minat siswa dalam belajar dan menyampaikan pesan. Penyampaian pesan tersebut ditunjang dengan bantuan rangsangan pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga efektivitas kegiatan pembelajaran terjadi secara baik. Berdasarkan uraian tersebut maka kedudukan komponen media dan sumber belajar dalam pembelajaran memiliki peran dan fungsi yang sangat penting sebab tidak semua pengalaman belajar dapat diraih secara langsung. Dalam hal ini media dan sumber belajar dapat digunakan agar dapat memberi pengetahuan yang konkret, tepat, dan mudah dipahami. Jadi, dengan digunakannya media gambar dalam model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example, guru dapat dengan mudah menyajikan seperangkat materi tertentu, membangkitkan minat siswa, keseragaman informasi, dapat dilakukan secara berulang, dan menjangkau semua bidang pelajaran. Media gambar yang dipakai dalam pembelajaran memberikan banyak kemudahan dan nilai tertentu. Apalagi yang digunakan berupa gambar berwarna. Seperti yang 34 dikemukakan Danim (2010: 18-19) bahwa gambar yang berwarna lebih menarik. Arti dari sebuah gambar ditentukan oleh persepsi masing-masing. Gambar dan ilustrasi fotografi mempunyai nilai tertentu yaitu bersifat konkret, tak terlalu terbatas pada ruang dan waktu, membantu memperjelas masalah, membantu kelemahan indera, mudah didapat, dan relatif murah, di samping mudah digunakan. Dalam ras-eko.blogspot.com/2011/05/model-pembelajaran-example non example. html dikemukakan bahwa penggunaan model pembelajaran Example nonExample ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa. Biasanya yang lebih dominan digunakan di kelas tinggi. Namun, dapat juga digunakan di kelas rendah dengan menekankan aspek psikologis dan tingkat perkembangan siswa kelas rendah seperti (a) kemampuan berbahasa tulis dan lisan, (b) kemampuan analisis ringan, dan (c) kemampuan berinterkasi dengan siswa lainnya. Model ini bertujuan mendorong siswa untuk belajar berpikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran. Dalam model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example, interaksi sosial menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan belajar siswa. Siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu belajar satu sama lain dengan beranggotakan 3-4 siswa atau lebih. Agar efektif, guru harus tetap menyadari perbedaaan besar di antara siswa-siswanya dan tidak pernah berasumsi bahwa pemahaman dua orang siswa tentang sebuah konsep benar-benar 35 identik. Fitur-fitur lain keanekaragaman itu termasuk latar kultural siswa dan pengalaman yang mereka bawa bersama ke kelas. Perbedaan kultural juga dapat memengaruhi pemahaman dan persepsi seseorang tentang konsep tertentu (Arends, 2008: 337). Oleh karena itu, dalam model pembelajaran ini guru seyogyanya mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan berperan sebagai salah satu sumber belajar, yang mampu menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi. Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif tipe Example non-Example yaitu model yang mengajarkan siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep yang dipelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan defnisi konsep tersebut. Example non-Example adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan defenisi konsep. 2.3.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example nonExample Langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example menurut ras-eko.blogspot.com/2011/05/model-pembelajaran-examplenon-example.html yakni sebagai berikut. 1) Guru mempersiapkan gambar-gambar yang berupa benda atau sebuah peristiwa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. 2) Guru menempelkan gambar-gambar tersebut di papan tulis atau ditayangkan lewat OHP/proyektor/hanya berupa slide kertas. 3) Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan atau menganalisis gambar. 36 4) Melalui diskusi kelompok 3-4 orang siswa, hasil diskusi dari analisis gambar tersebut dicatat di kertas. 5) Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya. 6) Mulai dari komentar atau hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 7) Kesimpulan 2.3.4 Keuntungan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example nonExample Menurut Buehl (1996) dalam sisteminformasisekolah.wordpress.com/category/ metode-pembelajaran, keuntungan dari model Example non-Example antara lain yaitu sebagai berikut. 1) Siswa berangkat dari satu definisi yang selanjutnya digunakan untuk memperluas pemahaman konsepnya dengan lebih mendalam dan lebih kompleks. 2) Siswa terlibat dalam satu proses discovery (penemuan), yang mendorong mereka untuk membangun konsep secara progresif melalui pengalaman dari Example non-Example. 3) Siswa diberi sesuatu yang berlawanan untuk mengeksplorasi karakteristik dari suatu konsep dengan mempertimbangkan bagian non-Example. Dalam bagian ini dimungkinkan masih terdapat beberapa bagian yang merupakan suatu karakter dari konsep yang telah dipaparkan pada bagian example. 37 2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Example non-Example Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example adalah sebagai berikut. 1. Kelebihan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example a) siswa lebih kritis dalam menganalisis gambar; b) siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar; dan c) siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat 2. Kekurangan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example a) tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar; dan b) memakan waktu yang lama. Banyak yang berpendapat bahwa salah satu kekurangan model pembelajaran Kooperatif tipe Example non-Example adalah dari segi waktu yaitu memakan waktu yang lama. Arend (2008: 336) mengemukakan bahwa cara mengalokasikan waktu yang cukup dan cara menggunakan ruang kelas adalah tugas-tugas perencanaan untuk pengajaran konsep. Kesalahan yang lazim dibuat oleh guru pemula adalah menetapkan estimasi yang terlalu rendah yang dibutuhkan untuk mengajarkan konsep-konsep, bahkan yang sederhana, sampai tuntas. Oleh karena itu, persyaratan waktu bergantung pada tingkat dan kemampuan kognitif siswa serta kompleksitas konsep yang diajarkan karena hafal tentang konsep tidak sama dengan memahaminya. 38 2.4 Pembelajaran Menulis dengan Fokus pada Penggunaan Bahasa Indonesia Baku Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis. Hal ini relevan dengan kurikulum yang tertuang dalam silabus bahwa penyusunan silabus mata pelajaran bahasa dan sastra sebagai sarana komunikasi diharapkan mencapai kompetensi yang diarahkan ke dalam empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis (Depdiknas, 2006: 2). Nursito (2005: 5) mengemukakan bahwa secara kronologis, keempatnya tumbuh dalam diri setiap individu. Dalam wujud kemampuan berkomunkasi langsung, tingkatan yang paling sederhana yaitu kemampuan menyimak dan berbicara. Selanjutnya tahapan yang setingkat lebih tinggi adalah membaca dan tingkatan yang paling rumit adalah menulis h 2.4.1 Hakikat Pembelajaran Menulis Menulis dan mengarang pada hakikatnya adalah menuangkan gagasan, perasaan keinginan dan kemauan, serta informasi penulis yang diharapkan dipahami oleh pembaca ke dalam bentuk tulisan. Dalam perkembangannnya, pembelajaran bahasa melahirkan suatu teori yang dikenal dengan teori Transaksional. Hermawan (2007: 76) menyatakan bahwa teori mengajar Transaksional menuntut setiap guru melakukan hal-hal sebagai berikut. 39 1. Jadikanlah siswa untuk menampilkan dirinya sebagai pembaca dan penulis yang baik! 2. Tumbuhkan isi yang bermakna pada diri siswa melalui menulis dan membaca! 3. Ungkapkan pengalaman-pengalaman menyenangkan pada diri siswa dengan cara menuliskannya kembali! 4. Berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan interpretasi terhadap apa yang dilihatnya! Dari pendapat tersebut terlihat jelas bahwa menulis merupakan faktor yang sangat penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Menurut Rusyana (1984: 191) “menulis adalah kemampuan menggunakan polapola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan”. Shihabuddin (2208: 249) menjelaskan bahwa “menulis merupakan salah satu bentuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain, dan merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif.” Selanjutnya, Tarigan (2008: 3) menjelaskan bahwa “menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain.” Berdasarkan pendapat tersebut, menulis merupakan salah satu bentuk berkomunikasi yang produktif dan ekspresif antara penulis dengan pembaca secara tidak langsung. Bentuk berkomunikasi tersebut menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis. Jelaslah bahwa keterampilan menulis perlu mendapat 40 perhatian yang sungguh-sungguh karena untuk terampil menulis harus mampu menggunakan pola-pola bahasa. Tujuan menulis yang paling utama adalah penulis dapat menyampaikan pesan kepada pembaca sehingga pembaca memahami maksud yang disampaikan penulis. Dengan terjadinya hubungan interaksi antara penulis dengan pembaca, memperjelas bahwa menulis merupakan keterampilan yang punya andil besar bagi peradaban dunia. Dapat kita bayangkan, seandainya umat manusia tidak memiliki dan mengembangkan keterampilan menulis, pasti tidak akan dapat mewariskan kebudayaan yang turun-temurun. Oleh karena itu, dengan menulis kita memeroleh manfaat yang besar. Seorang pengajar karang-mengarang bernama Bernerd Percy dalam Nursisto (2006: 6) mengungkapkan sekurang-kurangya terdapat enam manfaat karang-mengarang, yaitu sebagai berikut. 1) sarana untuk pengungkapan diri; 2) sarana untuk memahami sesuatu; 3) sarana untuk mengembangkan kepuasan pribadi, kebanggan, dan rasa harga diri; 4) sarana untuk meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan sekeliling; 5) sarana untuk melibatkan diri dengan penuh semangat; dan 6) sarana untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan mempergunakan bahasa. Salah satu sarana untuk mengungkapkan gagasan melalui tulisan yaitu bahasa. Dengan kemampuan penulis memilih unsur-unsur bahasa dalam tulisan, pembaca akan mudah memahami tulisan tersebut. Hal ini diperkuat dengan pendapat 41 Rusyana (1984: 191) yang menyatakan bahwa menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan. Kemampuan menulis itu mencakup berbagai kemampuan seperti kemampuan menguasai gagasan yang dikemukakan, kemampuan menggunakan unsur-unsur bahasa, kemampuan menggunakan bentuk karangan, kemampuan menggunakan gaya, dan kemampuan menggunakan ejaan serta tanda baca. Selain pendapat tersebut, Tarigan (2008: 3) juga menjelaskan dalam kegiatan menulis ini, penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa melalui tulisan dapat terjadi komunikasi antara penulis dengan pembaca. Hal tersebut terjadi apabila antara penulis dan pembaca masing-masing dapat memahami grafologi, struktur bahasa, kosa kata, kemampuan menggunakan gaya, dan kemampuan menggunakan ejaan serta tanda baca. Sebagai suatu keterampilan berbahasa, menulis merupakan suatu aspek yang harus diajarkan kepada siswa yang terangkum dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia dewasa ini ditujukan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia khususnya menulis harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, dalam pembelajaran menulis diharapkan siswa 42 mampu menuangkan gagasannya dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Bahasa tidak terpisahkan dari manusia dan mengikuti di dalam setiap langkahnya. Memang suatu kenyataan bahwa bahasa wajar dibutuhkan oleh setiap manusia. Kewajaran ini mungkin menyebabkan bahasa dianggap sebagai barang sehari-hari yang biasa saja sehingga tidak perlu mendapat perhatian yang selayaknya, sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat (Samsuri, 1980: 3). Padahal dalam setiap penggunaan bahasa, unsur kebahasaan selalu mengiringi tuturan karena unsur kebahasaan merupakan peranti sistem bahasa, mulai dari wujud yang paling sederhana berupa bunyi sampai pada sistem yang paling kompleks berupa wacana. Peranti sistem bahasa tersebut digunakan untuk mengungkapkan maksud pengguna bahasa. Oleh karena itu, penutur harus menguasai peranti sistem bahasa tersebut ketika menggunakan bahasa (Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FPBS UPI, 2010: 60). Jika peranti sistem bahasa tersebut tidak dikuasai oleh penutur, peranti sistem bahasa akan melahirkan ketidakseragaman dalam berkomunikasi terutama berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. Terkait dengan pembahasan mengenai bahasa Indonesia baku ini, ada beberapa hal yang akan dibahas, yaitu (1) pengertian bahasa baku, (2) sifat bahasa Indonesia baku, (3) fungsi bahasa Indonesia baku, dan (4) ciri-ciri bahasa Indonesia baku. 43 2.4.2 Pengertian Bahasa Baku Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008: 123). baku diartikan sebagai tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. Standar merupakan hal yang dianggap paling dapat diterima (tentang salah satu variasi dalam bahasa) dan biasanya dipakai dalam penggunaan resmi. Bahasa baku berarti bahasa standar (Depdiknas, 2008: 116). Bahasa standar berarti “(1) (ragam) bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan dan surat-menyurat resmi; (2) bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa” (Depdiknas, 2008: 117). Kiranya perlu dikemukakan juga beberapa pengertian bahasa baku yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Rumusan berikut dikutip dari tulisan Sabariyanto (1999: 5). 1. 2. 3. Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa yang berkekuatan sanksi sosial dan yang diterima masyarakat bahasa sebagai acuan atau model (Moeliono, 1989: 43). Yang dimaksud dengan bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa yang mengikuti kaidah bahasa Indonesia, baik yang menyangkut ejaan, lafal, bentuk kata, struktur kalimat, maupun penggunaan bahasa (Junaiyah,1991: 18). Bahasa baku ialah suatu bentuk pemakaian bahasa yang menjadi model yang dapat dicontoh oleh setiap pemakai bahasa yang hendak berbahasa secara benar (Moeljono, 1989: 23) Bahasa baku atau bahasa standar ialah ragam bahasa atau dialek yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundangundangan, surat menyurat resmi, dan berbicara di depan umum (Kridalaksana, 1982: 21). Rusyana (1984: 104) menjelaskan bahwa bahasa baku atau bahasa standar adalah suatu bahasa yang dikodifikasikan, diterima, dan dijadikan model oleh masyarakat 44 bahasa yang lebih luas. Keraf (1991: 8) mengemukakan pendapat bahwa bahasa baku adalah bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum untuk seluruh penutur bahasa itu. Beberapa pendapat tersebut sesungguhnya sama, yaitu bahwa bahasa baku merupakan sebuah ragam bahasa. Dalam ragam itu harus tercermin penggunaan kaidah yang benar. Penggunaan kaidah yang benar dalam pemakaian bahasa mempunyai kekuatan sanksi sosial sebab mereka yang bahasanya benar akan mendapat pujian dan bagi mereka yang bahasanya jelek akan dicela masyarakat. Bahasa yang benar itu akan dijadikan acuan atau model oleh masyarakat pemakai bahasa. Bahasa itu dipergunakan dalam situasi resmi, misalnya dalam perundangundangan, surat menyurat resmi, berbicara di muka kelas, berpidato di depan umum, dan dalam penulisan ilmu pengetahuan (Sabariyanto, 1999: 5 – 6). 2.4.3 Sifat Bahasa Indonesia Baku Wujud bahasa Indonesia baku dapat dikenali secara jelas, tetapi wujud ini tidak mungkin untuk diidentifikasi khasanahnya satu per satu dari fonem sampai kalimat. Seperti halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahasa Indonesia baku menggunakan bahasa orang yang berpendidikan sebagai tolok ukurnya. Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan merupakan pokok yang sudah banyak ditelaah orang. Ragam itulah yang juga kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperiksa, tetapi juga diajarkan di sekolah. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa 45 yang benar. Fungsinya sebagai tolok ukur menghasilkan nama Bahasa Baku atau Bahasa Standar (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988: 12) Selain dapat dikenali bentuknya, bahasa Indonesia baku seperti halnya bahasa baku pada umumnya diisyaratkan memiliki beberapa sifat. Menurut Alwi (1999: 13) ragam bahasa standar memiliki sifat-sifat, yaitu sebagai berikut. 1. Kemampuan Dinamis Bahasa Indonesia baku memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Di sini, baku atau standar berarti tidak dapat berubah setiap saat. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur dalam bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. 1. Kecendekiaan Sifat ini diwujudkan dalam paragraf, kalimat, dan satuan bahasa lain yang mengungkapkan penalaran dan pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yakni umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia. 2. Keseragaman Bahasa Indonesia baku memiliki kaidah yang seragam. Memiliki keseragaman kaidah, artinya kebakuan bahasa bukan penyamaan ragam bahasa, melainkan kesamaan kaidah. Proses penyeragaman bertujuan 46 menyeragamkan kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa. 2.4.4 Fungsi Bahasa Indonesia Baku Selain berfungsi sebagai bahasa negara dan bahasa resmi, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, menjadi bahasa pergaulan, bahasa perhubungan, dan bahasa persatuan. Jadi, bahasa Indonesia itu multifungsi (Badudu, 1983: 8). Bahasa Indonesia baku memiliki empat fungsi utama, yaitu sebagai berikut. 1) Pemersatu Fungsi pemersatu artinya bahasa Indonesia baku mampu mempersatukan atau menghubungkan penutur berbagai dialek bahasa itu. Bahasa Indonesia baku mampu mempersatukan masyarakat menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi setiap orang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia baku mengikat kebhinekaan rumpun dan bahasa yang ada di Indonesia dengan mengatasi batas-batas kedaerahan. Bahasa Indonesia baku merupakan wahana atau alat dan pengungkap kebudayaan nasional yang utama. Fungsi pemersatu ini ditingkatkan melalui usaha memberlakukannya sebagai salah satu syarat atau ciri manusia Indonesia modern. 2) Penanda Kepribadian Fungsi penanda kepribadian artinya bahasa Indonesia baku memberi kekhasan dan memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Bahasa Indonesia baku merupakan ciri khas yang membedakannya 47 dengan bahasa-bahasa lainnya. Dengan bahasa Indonesia baku kita menyatakan identitas kita. Bahasa Indonesia baku berbeda dengan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu di Singapura dan Brunai Darussalam. Bahasa Indonesia baku dianggap sudah berbeda dengan bahasa Melayu Riau yang menjadi induknya. 3) Pembawa Kewibawaan Fungsi pembawa kewibawaan artinya pemilikan bahasa Indonesia baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi melalui pemerolehan bahasa Indonesia baku. Di samping itu, pemakai bahasa Indonesia yang mahir berbahasa baku “dengan baik dan benar” memperoleh wibawa di mata orang lain. Fungsi yang menyangkut kewibawaan itu juga terlaksana jika bahasa Indonesia baku dapat dipautkan dengan hasil teknologi baru dan unsur kebudayaan baru. Warga masyarakat secara psikologis akan mengidentifikasikan bahasa Indonesia baku dengan masyarakat dan kebudayaan maju serta modern sebagai pengganti pranata, lembaga, bangunan indah, dan jalan raya yang besar. Gengsi juga melekat pada bahasa Indonesia baku karena dipergunakan oleh masyarakat yang berpengaruh yang menambah wibawa pada setiap orang yang mampu menggunakan bahasa Indonesia baku. 4) Kerangka Acuan Bahasa Indonesia baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakainya dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) secara jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa Indonesia 48 baku. Dengan demikian, penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Norma dan kaidah bahasa Indonesia baku juga menjadi kerangka acuan umum bagi segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988: 14) Bahasa Indonesia dalam berbagai fungsinya sebagai sarana komunikasi ilmu dan teknologi, sarana pendidikan, dan sarana pengembang kebudayaan harus ditingkatkan pengembangan dan pembinaannya secara terpadu dan terencana. Dengan demikian, masyarakat Indonesia akan memiliki alat komunikasi yang canggih yang mempunyai bentuk estetis, luwes, dan beragam sesuai dengan keperluan pemakainya. Melihat fungsi bahasa Indonesia yang begitu besar, bahasa nasional kita dewasa ini sedang mengalami perubahan yang sangat pesat, sama pesatnya dengan gerak maju perkembangan masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi sehari-hari menunjukkan peningkatan yang pesat dan jumlah orang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama semakin meningkat. Suatu bahasa yang hidup dan terpakai dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat S. (2007: 27) bahwa “penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari itu meningkat. Hal ini menandakan sikap masyarakat kita terhadap penggunaan bahasa Indonesia cukup menggembirakan.” Bahasa Indonesia telah menyempurnakan dan tumbuh serta berkembang dengan pesatnya. Seperti pendapat yang dikemukakan Badudu (1983: 9) bahwa: 49 Bahasa Indonesia bukan lagi hanya bahasa pergaulan sehari-hari, tetapi telah tumbuh menjadi bahasa ilmiah dan teknologi. Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di Perguruan Tinggi untuk mata kuliah nonekseta maupun mata kuliah eksakta. Bahasa Indonesia bukan lagi hanya dipakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa percakapan, melainkan dipakai juga sebagai bahasa ilmiah untuk menulis buku, makalah, laporan, penelitian, kertas kerja dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, skripsi dan disertasi. Bahasa Indonesia dipakai dalam berpidato, memimpin rapat, berdiskusi, memberikan ceramah, kuliah, menyampaikan pelajaran, dan sebagainya. Kemampuan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi yang memerlukannya serta jumlah pemakainya masih perlu ditingkatkan, baik dalam penyempurnaan sistem sandi dan kaidah bahasa maupun dalam hal penyebarluasan hasil pembakuan bahasa itu. Dalam hubungan dengan pembakuan itu, perlu ditetapkan beberapa langkah kebijakan di antaranya melaksanakan penyempurnaan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, melaksanakan penulisan tata bahasa, serta mengusahakan penerjemahan berbagai buku pedoman dan pengantar kebahasaan. Hal ini perlu dikembangkan agar tercapai keterampilan berbahasa yang tinggi pada diri siswa dan sikap positif yang mengandung unsur kebanggaan bahasa, kesetiaan bahasa, dan kesadaran akan norma bahasa. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yakni sebagai berikut. 1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2) Mengahargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa peersatu dan bahasa Negara. 3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial. 5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 50 6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. (hankey.pbworks.com/f/Makalah M Yunus. Doc) Imbauan agar kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar selalu terdengar. Sakri (1993: 1) juga mengatakan bahwasannya “kita dianjurkan agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Sudahkah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu?”. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa yang baik menurut tata bahasa dan benar menurut ragamnya. Selain itu, bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat diartikan sebagai ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan mengikuti kaidah bahasa yang betul. Pada dasarnya lahirnya konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak terlepas dari konteks pemakaian bahasa yang beragam. Dalam hal ini bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan sesuai dengan situasi pemakainya, sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Alwi dkk. (1999: 21) bahwa: Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik dan tepat. Adapun pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar. Begitu pula „yang benar’ bermakna mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia dan „dengan baik’ berarti penggunaan bahasa pada tempatnya. Jadi, jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya. Begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu benar. Kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. 51 Untuk itu ada baiknya kita harus tetap selalu memperdalam pengetahuan kita tentang bahasa Indonesia agar kita dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar, berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu pada ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988: 20). 2.4.5 Ciri-ciri Bahasa Indonesia Baku Bahasa baku merupakan salah satu variasi bahasa yang pada umumnya mengacu pada bahasa orang terdidik yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, baik lisan maupun tulisan dengan tidak menampakkan ciri kedaerahan atau asing. Chaer (2006: 4) berpendapat bahwa “bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang dijadikan dasar ukuran atau yang dijadikan standar.” Kridalaksana (1981: 20) dan Chaer (2006: 4) berpendapat bahwa ragam bahasa baku ini lazim dipakai dalam beberapa konteks, yaitu sebagai berikut. 1) Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat-menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, perundangan-undangan, penamaan dan peristilahan resmi, dan sebagainya. 2) Wacana teknis, seperti dalam laporam resmi, karangan ilmiah, buku pelajaran, dan sebagainya 3) Pembicaraan di depan umum, seperti dalam ceramah, kuliah, khotbah, dan sebagainya. 4) Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya. 52 Di dalam konteks pertama dan kedua didukung oleh bahasa Indonesia baku tulis. Konteks ketiga dan keempat didukung oleh bahasa Indonesia baku lisan. Di luar konteks itu dipergunakan bahasa Indonesia nonbaku atau bahasa Indonesia nonstandar. Agar dapat menggunakan bahasa Indonesia baku dengan tepat, kita perlu memahami ciri-cirinya. Kridalaksana (1981: 20) dan Chaer (2006: 5) mengemukakan bahwa ragam bahasa baku dapat ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut. 2.4.5.1 Penggunaan Kaidah Tata Bahasa Normatif Kaidah tata bahasa normatif selalu digunakan secara eksplisit dan konsisten, yaitu dengan jalan sebagai berikut. 1) Pemakaian awalan me- dan awalan ber- secara eksplisit dan konsisten. 2) Pemakaian kata penghubung bahwa dank arena dalam kalimat majemuk secara eksplisit dan konsisten. 3) Pemakaian pola frasa untuk predikat aspek + pelaku + kata kerja secara konsisten. 4) Pemakaian fungsi gramatikal (subjek, predikat, dan sebagainya) secara eksplisit dan konsisten. 5) Pemakaian konstruksi sintesis 6) Menghindari pemakaian unsur gramatikal dialek regional atau unsure gramatikal bahasa daerah yang belum dianggap unsur bahasa Indonesia. 53 2.4.5.2 Penggunaan Kata-kata Baku Dalam hal ini kata-kata yang digunakan adalah kata-kata umum yang sudah lazim digunakan atau kata-kata yang frekuensi penggunaannya cukup tinggi. Kata-kata yang belum lazim atau bersifat kedaerahan sebaiknya tidak digunakan kecuali dengan pertimbangan-pertimbangan khusus. 2.4.5.3 Penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EyD) dalam Ragam Tulis Kesempurnaan sebuah tulisan ditentukan oleh ketepatan dalam menggunakan ejaan. Masalah ejaan tampaknya masalah yang sepele. Namun, tidak demikian dampaknya. Kesalahan dalam menggunakan tanda baca misalnya, akan mengakibatkan pembaca sulit memahami tulisan karena maknanya tidak jelas. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disebut dengan Ejaan yang Disempurnakan (EyD). EyD mengatur mulai dari pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan pemakaian tanda baca. Pedoman ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan merupakan patokan pemakaian ejaan. Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2009: 15 – 68) memaparkan pedoman tersebut sebagai berikut. 2.4.5.3.1 Pemakain Huruf 1) Huruf Abjad Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas 26 huruf yaitu a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r, s, t, u, v, w, x, y, dan z. 2) Huruf Vokal 54 Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, i, u, e, o. 3) Huruf Konsonan Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf, b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z 4) Huruf Diftong Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi. 5) Gabungan Huruf Konsonan Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy. Masing-masing melambangkan satu bunyi konsonan. 6) Pemenggalan Kata a) Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan seperti yang tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.1 Pemenggalan Kata Keterangan (1) (2) 1. Jika di tengah kata terdapat vokal yang berurutan, pemenggalan itu dilakukan di antara kedua huruf vokal itu. Namun, huruf diftong ai, au, dan oi tidak pernah diceraikan sehingga pemenggalan kata tidak dilakukan di antara kedua huruf itu. 2. Jika di tengah kata terdapat huruf konsonan, termasuk gabungan huruf konsonan, di antara dua huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan. 3. Jika di tengah kata terdapat dua huruf konsonan yang berurutan, 55 pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. Gabunagn huruf konsonan tidak pernah diceraikan. 4. Jika di tengah kata terdapat tiga buah huruf konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua. b) Imbuhan awalan dan akhiran, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris. Catatan: 1) Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal 2) Akhiran –i tidak dipenggal 3) Jika di tengah kata yang berimbuhan sisipan terdapat dua huruf konsonan di antara dua huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan. 4) Jika di tengah kata yang berimbuhan sisipan terdapat dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. c) Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalan dapat dilakukan (1) di antara unsur-unsur itu atau (2) pada unsur gabungan itu sesuai denga kaidah pemenggalan kata di atas. 2.4.5.3.2 Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring 1) Pemakaian huruf kapital atau huruf besar tampak dalam tabel berikut. 56 No. Tabel 2.2 Pemakaian Huruf Kapital Keterangan (1) (2) 1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai huruf pertama pada awal kalimat. 2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung. 3. Huruf kapaital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan Kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan 4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang tidak diikuti nama orang. 5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat. 6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang dipergunakan sebagai nama jenis atau satuan ukuran. 7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan. 8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama. 9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang menjadi unsur nama diri. Selain itu, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis. 10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi 57 11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi. 12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dan, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal. 13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan. 14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman, yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan yang tidak dipakai dalam penyapaan dan pengacuan. 15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda. 2) Pemakaian huruf miring tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Pemakaian Huruf Miring No. Keterangan 1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan 2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan mengkhususkan huruf, bagian kata, atau kelompok kata 3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang sudah disesuaikan ejaannya atau Catatan : Dalam tulisan tangan atau ketikan, huruf atau kata yang akan dicetak miring diberi satu garis di bawahnya. 58 2.4.5.3.3 Penulisan Kata 1) Kata Dasar Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan 2) Kata Turunan a) Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya. b) Jika bentuk dasar berupa gabuangan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya c) Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai d) Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai Catatan: (1) Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital, di antara kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (2) Jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti oleh kata esa dan kata yang bukan kata dasar, gabungan itu ditulis terpisah 3) Bentuk Ulang Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung 4) Gabungan kata a) Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-unsurnya ditulis terpisah. 59 b) Gabunagn kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang bersangkutan. c) Banyak gabungan kata yang langsung ditulis serangkai namun tidak ada hukum yang pasti sehingga membingungkan untuk menentukannya. 5) Kata Ganti ku, kau, mu, dan nya. Kata ganti ku dan kau ditulis serangakai dengan kata yang mengikutinya; ku, mu, dan nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya 6) Kata Depan di, ke, dan dari Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata maka ditulis serangkai, seperti kepada, daripada, kemari, kesampingkan, dikeluarkan, dan terkemuka. 7) Kata si dan sang Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya 8) Partikel a) Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya b) Partikel –pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya Catatan: Kelompok yang lazim dianggap padu ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, misalnya adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun. 60 c) Partikel per yang berarti „mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’, ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahuluinya atau mengikutinya 9) Singkatan dan Akronim a) Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Adapun pemakaian singkatan tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.4 Pemakaian Singkatan Keterangan No. 1. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik. 2. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik. 3. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Namun, ada beberapa singkatan yang terdiri atas dua huruf, tetapi diikuti masing-masing tanda titik. Dalam hal seperti ini tidak ada hukum yang pasti sehingga membingungkan untuk menentukannya. 4. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik. b) Akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Adapun pemakaian akronim tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.5 Pemakaian Akronim Keterangan 1. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. 2. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf 61 dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital. 3. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Catatan: Jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia (2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim 10) Angka dan Lambang Bilangan Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi. Pemakaian angka dan lambang bilangan diatur lebih lanjut dalam pasal-pasal yang tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.6 Pemakaian Angka dan Lambang Bilangan Keterangan 1. Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjang, besar, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas. 2. Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat. 3. Angka digunakan untuk menomori karangan dan ayat kitab suci. 4. Penulisan lambang bilangan meliputi lambang bilangan utuh, bilangan pecahan, bilangan tingkat, dan bilangan yang mendapat akhiran –an. 5. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam pemerincian dan pemaparan. 6. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan 62 dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat. 7. Angka yang menunjukan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian. supaya lebih mudah dibaca. 8. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi. 9. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat. 2.4.5.3.4 Penulisan Unsur Serapan Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu sebagai berikut. 1) Unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia dan pengucapannya masih mengikuti cara asing tetap dipakai dalam konteks bahasa Indonesia. 2) Unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisaannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesia masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan itu tampak dalam tabel berikut. 63 Tabel.2.7 Kaidah Ejaan Unsur Serapan No. Huruf Asal Serapan Keterangan Hasil serapan (1) (2) (3) (4) 1. aa berasal dari bahasa Belanda menjadi a a 2. ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e e 3. ae jika bervariasi dengan e, menjadi e e 4. ai tetap ai ai 5. au tetap au au 6. c di muka a, u, o, dan konsonan menjadi k k 7. c di muka a, i, oe, dan y menjadi s s 8. cc di muka o, u dan konsonan menjadi k k 9. cc di muka e dan i menjadi ks ks 10. cch dan ch di muka a, o dan konsonan menjadi k k 11. ch yang lafalnya s atau sy menjadi s s 12. ch yang lafalnya c menjadi c c 13. s berasal dari bahasa Sansekerta menjadi s s 14. e tetap e e 15. ea tetap ea ea 16. ee berasal dari bahasa Belanda menjadi e e 17. ei tetap ei ei 18. eo tetap eo eo 19. eu tetap eu eu 20. f 21. tetap f f gh menjadi g g 22. gue menjadi ge ge 23. i pada awal suku kata di muka vokal tetap i i 64 24. ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i i 25. ie tetap ie jika lafalnya buka i i 26. kh berasal dari bahasa Arab tetap kh kh 27. ng tetap ng ng 28. oe (oi berasal dari bahasa Yunani) menjadi e e 29. oo berasal dari bahasa Belanda menjadi o o 30. oo berasal dari bahasa Inggris menjadi o o 31. oo (vokal ganda) tetap oo oo 32. ou tetap u jika lafalnya u u 33. ph menjadi f f 34. ps tetap ps ps 35 pt tetap pt pt 36 q menjadi k k 37 rh menjadi r r 38 sc di muka a,o,u dan menjadi sk sk 39 sc di muka e, i, dan y menjadi s s 40 sch di muka vokal menjadi sk sk 41 t di muka i menjadi s jika lafanya s S 42 th menjadi t t 43 u tetap u u 44 ua tetap ua ua 45 ue tetap ue ue 46 ui tetap ui ui 47 uo tetap uo uo 48 uu menjadi u u 49 v tetap v v 50 x pada awal kata tetap x x 65 51 x pada posisi lain menjadi ks ks 52 xe di muka e dan i, menjadi ks ks 53 xc di muka a, o, u dan konsonan menjadi ksk ksk 54 y tetap y jika lafalnya y y 55 y menjadi i jika lafalnya i i 56 z tetap z z Catatan: a) Unsur pungutan yang sudah lazim dieja secara Indonesia tidak perlu lagi diubah. b) Sekalipun dalam Ejaan yang Disempurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian abjad bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus. Di samping pegangan untuk penulisan unsur serapan tersebut, berikut ini didaftarkan juga akhiran-akhiran asing serta penyesuaiaanya dalam bahasa Indonesia. Akhiran itu diserap sebagai kata yang utuh. Tabel.2.7 Kaidah Akhiran Unsur Serapan No. Huruf Asal Serapan Keterangan Hasil serapan (1) (2) (3) (4) 1. -aat berasal dari bahasa Belanda menjadi at -at 2. -age menjadi –ase -ase 3. -al, -eel berasal dari bahasa Belanda menjadi –al -al 4. -ant menjadi –an -an 66 5. -archy 6. -ary 7. -(a) toin 8. -eel berasal dari bahasa Belanda menjadi –el -el 9. -ein tetap –ein -ein 10. -archie (Belanda) menjadi arki -arki -air (Belanda) menjadi -er -er -(a)tie (Belanda) menjadi –asi, -si -ic, ics, -ique, berasal dari bahasa Belanda menjadi –ik, -iek, -iea -ika bahasa adjective -asi, -si -ik, -ika 11. -ic isch berasal dari Belanda menjadi –ik 12. -ical,-isch (Belanda) menjadi –is -is 13. -ile,-iel menjadi-il -il 14. -ism,-isme 15. -ist menjadi –is -is 16. -ive -ief berasal dari bahasa Belanda menjadi –if -if 17. logue menjadi-log 18. logy -logie berasal menjadi –logi Belanda -logi 19. -loog berasal dari bahasa Belanda menjadi –log -log 20. -oid -oide berasal menjadi –oid -oid 21. -oir (e) menjadi –oar 22. -or, -eur -eur (Belanda) menjadi –ur, -ir 23. -or tetap –or -or 24. -ty -teit (Belanda) menjadi –tas -tas 25. -ure -uur (Belanda) menjadi -ur -ur berasal dari bahasa Belanda menjadi isme -ik -isme -log dari dari bahasa bahasa Belanda -oar -ur,-ir 67 2.4.5.3.5 Pemakaian Tanda Baca 1) Tanda titik (.) Kaidah pemakaian tanda (.) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.9 Kaidah Pemakaian Tanda Titik No. Keterangan 1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan (mengikuti kalimat berita atau pernyataan). 2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar. Catatan: Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan atau ikhtisar jika angka atau huruf itu merupakan yang terakhir dalam deret angka atau huruf. 3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu. 4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan jangka waktu. 5. Tanda titik dipakai di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya dan tanda seru, dan tempat terbit dalam daftar pustaka. 6. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya. Namun, tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah. 7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya. 8. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2) nama dan alamat penerima surat. 9. Tanda titik dipakai di belakang akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan nama orang. 68 2) Tanda Koma (,) Kaidah pemakaian tanda koma (,) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.10 Kaidah Pemakaian Tanda Koma (,) No. Keterangan 1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan. 2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti sedangkan, melainkan, atau tetapi. 3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahuui induk kalimatnya. Namun, tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya. 4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat, seperti oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi. 5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat. 6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. 7. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan. 8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka. 9. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki. 10. Tanda koma dipakai di antara nama orag dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan diri, keluarga, atau marga. 11. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluhan atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka. 12. Tanda koma dipakai utnuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi. 69 13. Tanda koma dapat dipakai - untuk menghindari salah baca - dibelakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat. 14. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru. 3) Tanda Titik Koma (;) Kaidah pemakaian tanda titik koma (;) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.11 Kaidah Pemakaian Tanda Titik Koma (;) No. Keterangan 1. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis dan setara 2. Tanda titik koma dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam kelimat majemuk 4) Tanda Titik Dua (:) Kaidah pemakaian tanda titik dua (:) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.12 Kaidah Pemakaian Tanda Titik Dua (:) No Keterangan 1. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian. Namun, tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu merupakan pelengkap yang mengkahiri pernyataan. 2. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian 3. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan. 4. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan, serta (iv) nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan. 70 5) Tanda Hubung (-) Kaidah pemakaian tanda hubung (-) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.13 Kaidah Pemakaian Tanda Hubung (-) No. Keterangan 1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris. Namun, suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris 2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris. Adapun akhiran –i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris. 3. Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang. 4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagianbagian tanggal. 5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagianbagian kata atau ungkapan dan (ii) penghilangan bagian kelompok kata. 6. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan –an, (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap. 7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa asing 6) Tanda Pisah (--) Kaidah pemakaian tanda Pisah (--) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.14 Kaidah Pemakaian Pisah (--) No. Keterangan 1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat. 2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan aposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas. 71 3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan atau tanggal dengan arti „sampai ke‟ atau „sampai dengan‟ Catatan: Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanda spasi sebelum dan sesudahnya. 7) Tanda Elipsis (…) Kaidah pemakaian tanda Elipsis (…) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.15 Kaidah Pemakaian Tanda Elipsis (…) No. Keterangan 1. Tanda ellipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus. 2. Tanda ellipsis menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan. Catatan: Jika bagian yang dihilangkan mengkahiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah untuk menandai penghilangan teks dan satu untuk menandai akhir kalimat. 8) Tanda Tanya (?) Kaidah pemakaian tanda Tanya (?) tampak dalam tabel berikut. Tabel 2.16 Kaidah Pemakaian Tanda Tanya (?) No. Keterangan 1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat Tanya. 2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya. 72 9) Tanda Seru (!) Tanda seru dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat. 10) Tanda Kurung ((…)) Kaidah pemakaian tanda Kurung ((…)) tampak dalam tabel berikut. No Tabel 2.17 Kaidah Pemakaian Tanda Kurung ((…)) Keterangan 1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan. 2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan. 3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan. 4. Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan. 11) Tanda Petik (“...”) Kaidah pemakaian tanda petik (“…”) tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.18 Kaidah Pemakaian Tanda Petik (“…”) Keterangan 1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah attau bahan tertulis lain. 2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat. 3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang 73 mempunyai arti khusus. 4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengikuti petikan langsung. 5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempetkan di belakang tanda petiik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada uujung kalimat atau bagian kalimat. 12) Tanda Petik Tunggal („...‟) Kaidah pemakaian tanda petik tunggal („…,) tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.19 Kaidah Pemakaian Tanda Petik Tunggal („…‟) Keterangan 1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain. 2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kataatau ungkapan lain. 13) Tanda Garis Miring (/) Kaidah pemakaian tanda petik tunggal („…,) tampak dalam tabel berikut. No. Tabel 2.20 Kaidah Pemakaian Tanda Garis Miring (/) Keterangan 1. Tanda garis miring dipakai di dalam nomor surat dan nomor pada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwin. 2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap. 2.4.5.4 Penggunaan Kalimat secara Efektf Orang yang mahir menggunakan bahasa apa pun jenisnya itu sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, dianggap berbahasa dengan efektif. Gagasannya 74 membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Gagasan tersebut disampaikan dan diterima oleh pelaku komunikasi diwujudkan dalam bentuk kalimat. Kalimat yang baik harus memiliki kesatuan pikiran dan kepaduan di antara unsur unsurnya sehingga apa yang disampaikan oleh penulis atau pembicara dapat dengan tepat menyampaikan pesan kepada pembaca atau pendengar persis seperti yang dimaksud oleh penulis atau pembicara. Kalimat yang demikian dinamakan kalimat efektif. Keraf (1978: 35) mengemukakan bahwa: Bila kalimat-kalimat itu berhasil mencipakan daya khayal dalam diri pembaca atau pendengar seperti atau sekurang-kurangnya mendekati apa yang dibayangkan oleh pengarang, maka dapatlah dikatakan bahwa kalimat-kalimat yang mendukung ide itu sudah cukup efektif, cukup baik menjalankan fungsinya. Pendapat lain tentang kalimat efektif dikemukakan oleh Kosasih dan Yoce Aliah Darma (2009: 88) yang menyatakan bahwa kalimat efektif adalah kalimat yang mempunyai daya informasi yang baik dan tepat. Definisi yang dikemukakan tersebut sudah menggambarkan bahwa seorang penulis yang baik akan selalu memperhatikan ciri-ciri kalimat efektif karena berharap tulisannya bisa dibaca dan dipahami oleh pembacanya. Keefektifan kalimat ini dapat dicapai, antara lain sebagai berikut. 1) Susunan kalimat menurut aturan tata bahasa yang benar. Kalimat harus memiliki unsur-unsur yang lengkap dan unsur-unsur tersebut dinyatakan secara eksplisit. Penulis kalimat sekurang-kurangnya harus berpikir dengan cara menghubung-hubungkan data hingga sampai pada sesuatu yang memiliki subjek dan predikat dengan jelas. Kehadiran fungsi lain (objek dan 75 pelengkap) sangat bergantung pada tipe predikatnya. Agar kelengkapan itu terpenuhi, subjek pada awal kalimat hendaknya tidak didahului kata depan, predikat kalimatnya jelas, dan tidak terdapat pemenggalan bagian kalimat. Di samping itu, ungkapan penghubung dalam kalimat majemuk juga harus dinyatakan secara eksplisit. 2) Adanya kesatuan pikiran dan hubungan yang logis di dalam kalimat. Logika atau penalaran adalah suatu proses kesimpulan atau pendapat. Jadi, sebuah kalimat efektif harus dilandasi dengan pikiran yang jerih serta ditunjang oleh bukti dan data yang benar. Kalimat yang dibuat harus dapat dikaji dan diterima oleh akal. 3) Penggunaan kata secara tepat dan efisien. Kalimat dikatakan tepat dan efisien atau hemat jika terbebas dari penggunaan kata atau frasa yang dianggap tidak perlu. Untuk mengefektifkan kalimat misalnya, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan jabatan kata dalam kalimat, menghilangkan pleonasme, atau tidak menjamakkan kata yang sudah berbentuk jamak. 4) Penggunaan variasi kalimat atau pemberian tekanan pada unsur kalimat yang ingin ditonjolkan. Gagasan pokok yang dipentingkan biasanya ditonjolkan. Berbagai cara dapat dilakukan dalam menonjolkan bagian yang dipentingkan, antara lain meletakkan kata yang ditonjolkan pada awal kalimat, membuat urutan kata secara bertahap, melakukan pengulangan kata, atau menggunakan partikel. 76 Dalam proses penyusunan kalimat, pemakai bahasa tidak hanya dituntut untuk mampu menguasai kaidah tata bahasa, tetapi dituntut pula untuk mampu memilih kata-kata secara tepat, cermat, dan serasi. Dengan menguasai kaidah dan kemampuan memilih kata secara tepat, pemakai bahasa diharapkan dapat menyusun kalimat secara lebih tepat dan efektif. 2.4.5.5 Penggunaan Lafal Baku dalam Ragam Lisan Lafal yang benar atau baku dalam bahasa Indonesia hingga saat ini belum ditetapkan atau ciri-ciri bahasa Indonesia lisan baku belum dapat ditandai secara eksplisit. Rumusan yang dapat diberikan kepada lafal baku adalah lafal dalam bahasa Indonesia yang bebas dari ciri-ciri lafal bahasa daerah atau ciri-ciri lafal dialek setempat.