BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Adat tradisi pela merupakan warisan budaya dari masyarakat Maluku Tengah, khususnya masyarakat adat di Pulau Seram, Ambon dan Kepulauan Lease. Pada umumnya penduduk Maluku Tengah menganggapnya sebagai suatu hubungan persaudaraan antara dua negeri adat atau lebih, tanpa melihat latar belakang kepercayaan yang dianut ataupun geneologis masyarakat tersebut. Cooley (1987:183) mendefenisikan pela sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dilembagakan antara seluruh penduduk pribumi dari dua desa atau lebih. Ikatan tersebut telah ditetapkan oleh para leluhur dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya. Riry dan Manopo (2007:174) selanjutnya menjelaskan pela terjadi berawal dari sebuah peristiwa besar yang berkaitan dengan perang. Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi adat pela berpengaruh dalam penyelesaian konflik Maluku yang berlangsung dari 1999 sampai akhir tahun 2004 silam. Tidak mengherankan jika setelah konflik kemanusiaan yang bernuansa SARA ritual panas pela mulai kembali dilakukan guna mengingatkan dan memperkokoh nilai-nilai persaudaraan atau persahabatan yang telah dibuat oleh para leluhur. Istilah panas dalam kaitannya dengan prosesi panas pela dapat diartikan 1 sebagai ”mengingatkan dan mengkokohkan”. Sedangkan pela adalah sebuah ikatan perjanjian persaudaraan atau persahabatan yang dilakukan dengan dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa, misalnya peperangan, dan migrasi. Dalam peperangan misalnya, negeri yang diserang meminta bantuan kepada negeri lain, sehingga masyarakat dari negeri yang membantu menjadi korban. Atau dalam proses migrasi, karena berasal dari satu wilayah yang sama maka sebelum berpisah diangkatlah sumpah berupa janji untuk menjadi saudara. Menyadari betapa pentingnya tradisi pela dalam kehidupan masyarakat Maluku Tengah baik untuk masa kini dan akan datang, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam tradisi panas pela agar tradisi ini tetap dipertahankan sebagai ciri khas masyarakat Maluku, terkhususnya masyarakat Maluku Tengah. Nilai-nilai budaya ini dirasa begitu penting bagi kehidupan masyarakat untuk mencegah terjadinya perpecahan kembali antar masyarakat, karena harus diakui bahwa masyarakat Maluku, terkhususnya di Maluku Tengah adalah masyarakat yang plural. Sebagai bagian dari mahasiswa ilmu lingusitik, penulis tertarik untuk mengkaji bentuk wacana yang meliputi struktur dan komponen tutur dalam tradisi panas pela yang dilakukan antara Negeri Adat Beinusa Amalatu dan Negeri Adat Mandalise Hatalaipessy. Hal ini dikarenakan selain merupakan satu bagian wacana yang utuh, wacana ini menggunakan kode tutur Bahasa Tana yang merupakan bahasa asli masyarakat Maluku Tengah yang hampir punah. Salah satu bentuk tuturan dalam ritual tradisi panas pela dapat dipaparkan sebagai berikut: 2 (a) Sei lesi sou, sou lesi sei, Sei hale hatu, hatu nese pei Terjemahan ”Ale bilang beta, beta bilang ale, Sapa bale batu, batu ale tindis dia” (b) Wele.. Beinusa Amalatu.. Huhule o Ampatal, Talehu, Amapuano, Matalete, Apalili, Tahapau, Siwa o,, Patasiwa o.. Tulula uhaha,jadi Tuhaha Terjemahan ”wele ”seruan memanggil”.. Beinusa Amalatu ”nama negeri Tuhaha.. Huhule ”nama negeri tua dari Tuhaha” Huhule, Ampatal, Talehu, Amapuano, Matalete, Apalili, Tahapau, (nama tujuh soa yang membentuk negrei Tuhaha) sembilan o.. kelompok sembilan o.. Dulu uhaha, jadi Tuhaha Bentuk Bahasa Tana ini disebut dengan istilah Kapata. Bagi masyarakat Maluku, Kapata dikenal sebagai tradisi tutur yang dapat dikategorikan sebagai sastra lisan yang dikenal secara kolektif oleh masyarakat adat. Menurut Sahusilawane (1993:3) kapata adalah lagu-lagu rakyat Maluku yang dinyanyikan dalam bahasa daerah yang menceritakan suatu peristiwa atau yang bersifat informatif. Sedangkan menurut Leirissa (1999:77), kapata merupakan bentuk sajak yang sebagian isinya bercerita tentang peristiwa sejarah kehidupan 3 masyarakat adat di Maluku dengan menggunakan bahasa lokal dan bahasa tua (istilah lain dari bahasa tanah yang digunakan oleh Luhulima, 2004:10). Bentuk kapata (a) dituturkan oleh tetua adat Negeri Beinusa Amalatu pada saat berada di rumah adat dan di Negeri Huhule, tempat asal masyarakat Beinusa Amalatu. Tuturan ini menggunakan kode bahasa tanah dan diucapkan oleh tetua adat Beinusa Amalatu sebagai pemimpin tertinggi dalam ritual ini. Tuturan ini merupakan bagian dari struktur tubuh dan penutup wacana dikarenakan tuturan ini digunakan sebagai sebuah pengikraran janji antara Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Sedangkan dari segi nilai budaya, bagi masyarakat Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy tuturan tersebut mengandung makna yang mendalam. Kapata ini berisi sanksi yang mengatur ikatan janji persekutuan kedua negeri sebagai pela. Dengan memegang erat ikatan sumpah tersebut, kedua masyarakat negeri ini tidak terusik dengan keadaan masyarakat di daerah lain yang mulai bergejolak saat konflik kemanusiaan tahun 1999-2004 silam. Begitu mendarahdagingnya filosofis yang ditanamkan oleh para leluhur membuat para tua-tua adat dan masyarakat dari kedua negeri ini mengadakan ritual panas pela guna menghidupkan atau mengkokohkan kembali ikatan yang telah dibuat berpuluh-puluh tahun lalu. Wacana (b) merupakan bentuk kapata yang dinyanyikan pada saat melakukan prosesi panas pela di dalam rumah adat yaitu baileo. Kapata ini berkisahkan tentang kehidupan Negeri Beinusa Amalatu sehingga dinyanyikan oleh kelompok paduan suara perempuan dari Negeri Beinusa Amalatu dengan 4 menggunakan kode tutur Bahasa Melayu Ambon. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian etnografi yang dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap pertama dilakukan pada pertengahan bulan Juni tahun 2013 sampai akhir Juli 2013, dan tahap kedua pada akhir bulan Desember tahun 2013 sampai awal bulan Maret 2014. Setiap penelitian tentunya memiliki kesulitan masing-masing dan selama melakukan penelitian lapangan, banyak kendala yang ditemukan. Dengan latar belakang sebagai bagian dari pemilik adat istiadat yang diteliti tidak mudah untuk memperoleh data di lapangan yang berkaitan dengan adat atau sesuatu yang diyakini memiliki nilai kesakralan, informan yang menguasai bahasa tana sangat terbatas ditambah cuaca ekstrim yang terjadi pada akhir dan awal tahun merupakan tantangan terbesar bagi penulis mengingat lokasi penelitian terletak pada pulau yang berbeda dan harus dijangkau dengan menggunakan transportasi laut. Tetapi semuanya itu tidak menyurutkan keinginan penulis untuk melakukan penelitian karena besar harapan penulis untuk menuliskan sesuatu yang dianggap oleh masyarakat pemilik kebudayaan sebagai sesuatu yang tak bernilai namun bagi penulis merupakan sesuatu yang bernilai tinggi karena berkaitan dengan nilai-nilai filosofis yang secara tidak sadar turut membentuk mental dan kepribadian masyarakat Maluku Tengah dan harus diketahui oleh masyarakat luas. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, rumusan 5 masalah penelitian dijabarkan sebagai berikut: (1) Bagaimana struktur wacana Ritual Panas Pela Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy? (2) Karakteristik bahasa dan komponen tutur apa sajakah yang menonjol dalam wacana Ritual Panas Pela Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy? (3) Bagaimana pandangan dan nilai budaya yang terkandung dalam wacana Ritual Panas Pela dan bagaimana cara merevitalisasikannya? I.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan struktur wacana Ritual Panas Pela Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. (2) Mendeskripsikan karakteristik bahasa dan komponen tutur yang menonjol dalam wacana Ritual Panas Pela Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. (3) Menafsirkan pandangan budaya dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam wacana Ritual Panas Pela dan cara merevitalisasikan ritual Panas Pela tersebut. I.4 Ruang Lingkup Penulisan ini berada pada ruang lingkup wacana dan etnolinguistik. Dari segi wacana, penulisan ini meliputi struktur, karakteristik bahasa dan komponen 6 dalam Ritual Panas Pela. Sedangkan dari segi etnolinguistik, penelitian tutur ini melingkupi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Ritual Panas Pela yang telah menjadi pandangan dan pola pikir masyarakat sebagai warisan para leluhur. I.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dan bermanfaat bagi perkembangan teori wacana dan etnolinguistik serta dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan bagi para peneliti linguistik di masa yang akan datang. 1.5.2 Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kehidupan adat masyarakat Maluku, terkhususnya masyarakat Maluku Tengah untuk masyarakat luas. Bagi Masyarakat Maluku Tengah sendiri, penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa kepedulian dan kecintaan generasi muda terhadap budaya sendiri sehingga dapat melestarikan adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai budaya sebagai jati diri dan sebagai pengayom dalam kehidupan antar dan inter umat beragama. I.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah etnografi komunikasi dimana penulis meneliti dan memerikan serta menerangkan struktur bahasa berdasarkan 7 fakta kebahasaan yang dijumpai dalam pertuturan ritual Panas Pela antara Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Fakta kebahasaan yang dimaksud adalah tuturan-tuturan wacana yang menggunakan Bahasa Tana yang kemudian ditranskripsikan ke dalam Bahasa Indonesia. Metode analisis konten atau analisis isi digunakan untuk menganalisis isi wacana Ritual Panas Pela. Hal ini dikarenakan analisis konten bersifat sensitif terhadap konteks sehingga peneliti dapat memaknai data dalam bentuk kalimat, paragraf atau keseluruhan wacana dengan memperhatikan dan memformulasikannya dalam suatu konteks. Metode ini memuat tahapan strategis yang terbagi atas tiga bagian, yakni: pengumpulan data, analisis dan penyajian data (Sudaryanto.1993:57). Namun sebelum melakukan tiga tahapan tersebut, terlebih dahulu ditetapkan lokasi serta informan dalam penelitian. 1.6.1 Penetapan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah negeri adat yang melakukan ritual panas pela. Pasca konflik kemanusiaan, masyarakat Maluku dan pemerintah daerah mulai menghidupkan kembali adat istiadat yang ada sebagai salah satu norma atau aturan dalam masyrakat yang memiliki nilai lebih dari aturan hukum pemerintah. Salah satunya dengan melakukan ritual panas pela antar negeri adat. Negeri Beinusa Amalatu yang sekarang disebut sebagai Negeri Tuhaha memiliki hubungan pela dengan Negeri Mandalise Hatalaipessy yang dikenal dengan sebutan Negeri Rohomoni. Tepatnya pada tanggal 17-19 Desember 2009 dilakukan ritual panas pela yang bertempat di Negeri Beinusa Amalatu. Negeri-negeri adat ini dijadikan sebagai lokasi penelitian dikarenakan 8 kelengkapan data yang dibutuhkan baik berupa audio visual dan dokumen tertulis tentang ritual ini dimiliki secara lengkap. Selain itu peneliti terlibat secara langsung dalam ritual tersebut sebagai anak negeri yang memiliki dan menjalankan ritual tersebut sehingga lebih mudah untuk melakukan penelitian. 1.6.2 Informan Dalam penelitian ini, informan yang dipilih adalah tetua adat dari Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Tetua adat dijadikan sebagai informan dikarenakan bahasa tana yang digunakan dalam ritual panas pela hanya dikuasai oleh para tetua adat. Kedua tetua adat tersebut adalah: (a) Bapak Max Aipassa, berusia 65 tahun dan menjabat sebagai ketua adat Negeri Beinusa Amalatu, (b) Bapak Kasim Sangadji, berusia 68 tahun dan menjabat sebagai ketua adat Negeri Mandalise Hatalaipessy. Keduanya sehat secara fisik dan mental. 1.6.3 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada pertengahan bulan Juni tahun 2013 sampai akhir tahun 2013, dan awal bulan Januari tahun 2014 sampai awal bulan Maret tahun 2014. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian yaitu: wawancara, catatan lapangan, tinjauan pustaka. Data primer didapat dari informan dan didukung oleh rekaman audio visual prosesi panas pela. 1.6.4 Metode Analisis Data Dalam menganalisis data wacana dalam Ritual Panas Pela, peneliti menggunakan metode ekstralingual Mahsun (2006: 115) dimana analisis metode ini menghubungkan masyarakat pemiliki dan pengguna bahasa dengan hal yang 9 berada di luar bahasa tersebut sehingga peneliti dapat mengetahui maksud dari peristiwa tutur dalam wacana tersebut. 1.6.5 Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan dalam bentuk formal dan informal (Sudaryanto, 1993:145). Secara formal, analisis data disajikan menggunakan bahasa adat yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk informal yakni terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia. I.7 Tinjauan pustaka Frans (2010) dalam disertasinya yang berjudul Wacana Tradisi Pela Gandong Dalam Masyarakat Ambon membahas tentang struktur, strategi serta fungsi wacana tradisi pela gandong dalam masyarakat Ambon. Metode yang digunakan adalah fenomenologi. Dalam disertasi tersebut dijabarkan keanekaragaman tema, skema, diksi, setting, kedudukan partisipan, tujuan penyampaian pesan, fungsi kultural, fungsi sosial serta fungsi pedagogik bagi masyarakat Ambon. Dalam penelitian ini, penulis melihat struktur dan komponen tutur sebagai satu kesatuan utuh dari wacana dengan menitikberatkan pada penggunaan kode bahasa yang digunakan dalam ritual dengan memperhatikan instrumen-instrumen lain diluar bahasa yakni simbol non verbal agar dapat mengetahui secara berkesinambungan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam ritual tersebut. 10 I.8 Landasan teori 1.8.1 Komunikasi Etnografi (Ethnography of Communication) Komunikasi Etnografi (Ethnography of Communication) merupakan sebuah pendekatan untuk menganalisa sebuah wacana yang digunakan. Pendekatan ini didasarkan pada antropologi dan linguistik. Pendekatan ini berfokus pada berbagai perilaku komunikatif (communicative competence) dalam masyarakat penutur (speech community), komunikasi berpola dan diatur sebagai sebuah sistem peristiwa komunikatif, dan cara-cara berinteraksi dengan sistem budaya lainnya (Muriel, 2003: 2). Pendekatan ini berusaha untuk: (i) menemukan berbagai bentuk dan fungsi yang tersedia untuk berkomunikasi, (ii) menetapkan cara bentuk dan fungsi tersebut menjadi bagian dari cara hidup yang berbeda, (iii) menganalisis pola komunikasi sebagai bagian dari pengetahuan budaya dan perilaku. Tokoh pelopor dan sekaligus pendiri komunikasi etnografi adalah Dell Hymes dengan istilahnya yang terkenal yaitu “ethnography of speaking” (komunikasi etnografi) dalam memahami penggunaan bahasa. Hymes berpendapat : …that the study of language must concern itself with describing and analyzing the ability of the native speakers to use language for communication in real situations (communicative competence) rather than limiting itself to describing the potential ability of the ideal speaker/listener to produce grammatically correct sentences (linguistic competence). Speakers of a language in particular communities are able to communicate with each other in a manner which is not only correct but also appropriate to the sociocultural context. This ability involves a shared knowledge of the linguistic code as well as of the socio-cultural rules, norms and values which guide the conduct and interpretation of speech and other channels of communication in a community … [T]he ethnography of communication … is concerned with the questions of what a person knows about appropriate 11 patterns of language use in his or her community and how he or she learns about it (Wodak, 2011: 59). “… Bahwa studi bahasa harus memperhatikan dirinya dengan menggambarkan dan menganalisis kemampuan dari penutur asli untuk menggunakan bahasa untuk komunikasi dalam situasi nyata (kompetensi komunikatif) daripada membatasi diri untuk menggambarkan kemampuan potensial yang ideal dari penutur / lawan tutur untuk menghasilkan kalimat tata bahasa yang benar (kompetensi linguistik). Penutur bahasa dalam masyarakat tertentu dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang tidak hanya benar tetapi juga sesuai dengan konteks sosial budaya. Kemampuan ini melibatkan pengetahuan bersama dari kode linguistik, aturan sosial budaya, norma dan nilai-nilai yang memandu perilaku dan interpretasi berbicara dan saluran komunikasi lainnya dalam masyarakat … etnografi komunikasi … berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang orang ketahui tentang pola yang tepat dari bahasa yang digunakan dalam komunitasnya dan bagaimana ia belajar tentang hal itu”. Dalam rangka untuk menggambarkan dan menganalisis komunikasi Hymes membagi ke dalam tiga unit analisis, meliputi situasi (situation), peristiwa (event), dan tindak (act). Situasi komunikatif (communicative situation) merupakan konteks di mana komunikasi terjadi seperti upacara, perkelahian, perburuan, pembelajaran di dalam ruang kelas, konferensi, pesta dan lain sebagainya. Peristiwa komunikatif (communicative event) merupakan unit dasar untuk sebuah tujuan deskriptif komunikasi yang sama meliputi: topik yang sama, peserta yang sama, ragam bahasa yang sama. Tindak komunikatif (communicative act) 12 umumnya berbatasan dengan fungsi tunggal interaksional, seperti pernyataan referensial, permintaan, atau perintah, yang mungkin berupa tindak verbal atau tindak nonverbal (Muriel, 2003: 23-24). Dell Hymes mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang biasanya disingkat speaking. Kedelapan komponen itu adalah: (a) Setting and Scene, dimana setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda.berbicara di lapangan sepakbola pada waktu ada pertandingan sepakbola dalam situasi ramai Anda bisa berbicara keras-keras, berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca, Anda harus berbicara seperlahan mungkin. (b) Participants, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orangtuanya atau gurunya, bila dibandingkan kalau dia berbicara terhadap teman-temannya. (a) Ends purpose and goals, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. 13 Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara. Namun, para partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. (b) Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan kata yang digunakan, dan bagaimana penggunaannya. Isi ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. (c) Keys, mengacu pada nada, cara, dan semangat, di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. (d) Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register. (e) Norm or interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. (f) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. 14 1.8.2 Kebudayaan Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnolinguistik dan wacana. Wacana akan digunakan untuk melihat unsur eksternal yang terdapat dalam tuturan verbal dan non verbal ritual Panas Pela antara Negeri Beinsa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy, sedangkan teori etnolinguistik memayungi peneliti dalam melakukan pemaknaan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam ritual yang sama. Pada umumnya kebudayaan diartikan sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan yang berkaitan erat dengan perilaku baik pribadi maupun kelompok. Ada beberapa defenisi kebudayaan yang digunakan sebagai pijakan teori dalam penelitian ini: (1) Kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan, yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. (Liliweri. 2009:8) (2) Adler (dalam Liliweri.2009:9), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki bersama oleh seluruh atau sebagian anggota kelompok sosial. Segala sesuatu (moral, hukum dan adat istiadat) yang coba dialihkan oleh anggota tertua dari sebuah kelompok kepada anggota yang muda yang mempengaruhi perilaku atau membentuk struktur persepsi kita tentang dunia. (3) Ross (dalam Liliweri.2009:10), melihat kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan merupakan faktor utama bagi pembentukan gaya hidup. 15 Dari tiga defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan, dan makna yang ada di dalam manusia dan bukan sekedar dalam bentuk kata-kata, tapi meliputi kepercayaan, nilai-nilai dan norma. Ada dua unsur dalam kebudayaan yakni: material dan non material. Budaya material adalah objek material yang dihasilkan dan digunakan oleh manusia yang dapat ditangkap oleh indera, dipakai, dimakan dan diminum. Sedangkan budaya non material berupa gagasan atau ide-ide yang diikuti dengan penuh kesadaran bahkan dengan penuh ketakutan. Budaya non material dapat dijabarkan menjadi; (i) Nilai, merupakan unsur penting dalam kebudayaan yang membimbing manusia untuk menentukan apakah sesuatu itu boleh atau tidak boleh dilakukan. Artinya, nilai merupakan sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama melalui bahasa, simbol, dan pesan-pesan verbal maupun nonverbal. (ii) Norma, aturan yang mengatur tentang standar perilaku masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam suatu budaya. (Liliweri. 2009: 50-57) Ada beberapa bentuk norma yang mengatur kehidupan bermasyarakat yakni: (1) cara, merupakan norma yang berkaitan dengan suatu bentuk perbuatan individu yang lemah aturan hukumnya. (2) kebiasaan, perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dan memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dari norma cara namun pelanggaran terhadap norma ini tidaklah berat. (3) tata kelakuan, merupakan aturan yang berisi perintah dan larangan sehingga secara langsung mengatur anggota masyarakat dalam berperilaku. Ada tiga 16 fungsi tata kelakuan yakni: (i) memberikan batasan pada kelakuan individu, (ii) mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, (iii) menjaga solidaritas diantara angota-anggota masyarakat. (4) adat istiadat, aturan tata kelakuan yang terintegrasi secara kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat yang berada dalam lingkungan adat istiadat. (5) kepercayaan, gagasan yang dimiliki oleh orang tentang sebagian atau keseluruhan realitas dunia yang mengelilingi dia. Kepercayaan memberikan langkah atau cara untuk menginterpretasikan dan menjelaskan dunia. (6) bahasa, komponen kebudayaan yang sangat penting yang mempengaruhi perilaku manusia, perasaan dan kecenderungan manusia untuk bertindak mengatasi dunia sekeliling. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi kesadaran, aktivitas dan gagasan manusia, menentukan benar atau salah, moral maupun tidak bermoral, dan baik atau buruk. I.9 Sistematika Penyajian Penyajian hasil penelitian akan disajikan dalam enam bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode pengumpulan data, penetapan lokasi penelitian, informan dan sistematika penyajian. Bab II: Pemaparan gambaran umum daerah penelitian, yang berisi latar belakang dan kehidupan adat dan bahasa yang dituturkan di lokasi penelitian. Mendeskripsikan bentuk ritual panas pela sebagai bagian dari masyarakat Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Bab III: 17 Mendeskripsikan struktur wacana Ritual Panas Pela antara Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Bab IV: Mendeskripsikan komponen tutur yang terdapat dalam wacana Ritual Panas Pela antara Negeri Beinusa Amalatu dan Negeri Mandalise Hatalaipessy. Bab V: Nilai-nilai dan Bentuk Revitalisasi tradisi Panas Pela sebagai bagian dari budaya yang sarat dengan kearifan lokal. Bab VI: Kesimpulan dan usulan. 18