TINJAUAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP TEORI

advertisement
H. Muammar Arafat Yusmad
TINJAUAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP
TEORI PEMIDANAAN
(Kontribusi Pemikiran dalam Rangka Pembaruan
Hukum Pidana Nasional)
Abstrak
Tulisan ini dimulai dari pandangan positivisme hukum bahwa
suatu teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum positif. Teoriteori pemidanaan yang yang kerap digunakan oleh para penegak hukum
dalam menjatuhkan pidana sebelum sebelum berlakunya undang-undang
pemasyarakatan masih bertujuan sebagai pembalasan atas duka nestapa
yang dirasakan oleh korban atas perbuatan pelaku kejahatan. Berlakunya
UURI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengubah paradigma
pemidanaan dari sistem kepenjaraan yang bertujuan untuk membalas
perlakuan pelaku kejahatan, menjadi sistem pemasyarakatan yang
bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya agar dapat diterima
kembali dalam lingkungan masyarakat.
Sebagai media analisis, penulis menggunakan teori-teori
pemidanaan yaitu teori pembalasan (vergeldings theorie), teori
mempertakutkan (afschriking theorie), teori memperbaiki (verbeterings
theorie) dan teori gabungan. Tulisan ini mencoba menjawab persoalan
seputar pemidanaan di Indonesia dalam pandangan positivisme hukum
sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum pidana nasional.
Kata Kunci: Pemidanaan, Pembaruan hukum
A. Latar Belakang Masalah
Sejak berabad-abad yang lalu dalam lapangan ilmu hukum
telah terjadi perkembangan pemikiran dari para pakar hukum pada
masa itu. Hal inilah yang kemudian melahirkan berbagai
pemikiran-pemikiran dalam ilmu hukum yang pada gilirannya
menjadi aliran-aliran dan memiliki banyak penganut yang
mempertahankannya dengan argumentasinya masing-masing.
43
Timbulnya berbagai aliran tersebut menunjukkan bahwa telah
terjadi pergulatan pemikiran yang tiada henti-hentinya dalam
lapangan pemikiran ilmu hukum.
Pada lapangan filsafat hukum, Pengkajian aliran-aliran dalam
filsafat hukum bukan sekadar “napak tilas” perjalanan pemikiran
para pakar dari masing-masing aliran, akan tatapi dengan
pemahaman dari berbagai pemikiran tersebut dapat menjadi
masukan agar seseorang dapat dengan mudah menghargai pendapat
orang lain. Menurut Achmad Ali, “Dua orang yang secara bersamasama menatap fenomena X akan menafsirkan fenomena X tersebut
dengan persepsinya masing-masing yang bisa sama dan bisa saja
berbeda. Demikian pula dua orang yang membaca satu kata, dapat
mengartikan/menafsirkan kata tersebut sesuai dengan persepsi
masing-masing”.1
Memahami pokok-pokok pemikiran dalam filsafat hukum,
akan mengantar kita untuk memahami berbagai corak pemikiran
dalam ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan ciri dari tradisi keilmuan
yaitu suatu pemikiran pada waktu tertentu tidak lagi sesuai dengan
zamannya dan akan tergantikan oleh pemikiran lainnya. Namun
demikian, pemikiran lama tersebut tatap menjadi sebuah pemikiran
ilmiah yang berharga untuk dikaji ulang terus menerus. Pemikiran
lama boleh jadi suatu saat akan kembali tampil dengan bentukbentuk baru sebagai hasil inovasi dari para pemikir hukum lainnya.
Demikian pula dalam lapangan filsafat hukum, bila dikaitkan
dengan teori hukum akan menghasilkan pemikiran hukum yang
berdasarkan filsafat. Dalam hal ini penulis mencoba untuk
mengangkat sebuah teori dalam hukum pidana yaitu Teori
Pemidanaan yang akan ditinjau dari perspektif filsafat hukum
dengan menggunakan salah satu aliran pemikiran dalam filsafat
hukum yaitu aliran positivisme hukum atau Legal Positivism.
Positivisme hukum adalah aliran filsafat hukum yang beranggapan
bahwa suatu teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum
positif.
Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku
di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan
adalah teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang masih
1
Achmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum, (Chandra Pratama Jakarta)
44
kental dengan nuansa kolonial. Tidak dapat dipungkiri memang,
selama  350 tahun Belanda menjajah Indonesia tentu saja banyak
faham yang dibangun oleh penjajah Belanda yang terbentuk dalam
sebuah sistem dalam bidang apa saja yang tentunya tak mudah
untuk begitu saja diubah, tidak terkecuali dalam sistem hukum
(Sistem Hukum Pidana). Hingga saat ini Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia adalah warisan
dari penjajah Belanda yang masih berlaku berdasarkan pasal 2
(dua) AB (Algemene Bepaling van Wetgeving) dan kemudian
diundangkan dalam UU RI No.1 tahun 1946 tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana.2
KUHP memuat ketentuan yang mengatur tentang sistem
pemidanaan sebagaimana yang termaktub dalam Bab II pasal 10
yang mengatur tentang Hukuman-hukuman. Ketentuan tersebut
menyebutkan pula pengertian dan tujuan dijatuhkannya hukuman
tersebut. Pengertian hukuman adalah suatu perasaan tidak enak
(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang
yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.3
Hasil dari kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan
yang berlaku di Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dalam kaitannya dengan pembaruan hukum pidana
Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) yang saat ini tengah dalam proses pembahasan antara
Pemerintah dan DPR.
B. Permasalahan
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah di atas,
maka rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam
tulisan ini adalah: (1). Bagaimana pandangan aliran Positivisme
Hukum (Legal Positivism) terhadap teori pemidanaan yang berlaku
di Indonesia ? (2). Kontribusi apakah yang dapat diberikan dari
2
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diundangkan
dalam UU No.1 Tahun 1946 tentang KUHP.
3
R. Soesilo, 1956, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Sinar Grafika Jakarta),
h.
45
kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan dalam agenda
pembaruan hukum pidana Indonesia?
C. Pembahasan
1. Pandangan Aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism)
tentang Hukum
Dalam filsafat hukum terdapat aliran yang berpandangan
bahwa teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum positif.
Aliran tersebut dikenal dengan istilah positivisme hukum (Legal
Positivism) . Aliran ini bersendi pada tiga hal tentang hukum yaitu:
a. Hukum tersebut adil atau tidak adil;
b. Hukum tersebut baik atau tidak baik (buruk);
c. Hukum tersebut berjalan efektif atau tidak efektif.
Pelopor aliran positivisme hukum adalah John Austin,
seorang pemikir yang berkebangsaan Inggris. Menurut John
Austin, Hukum Positif adalah peraturan yang berisi petunjuk yang
diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh mahluk
yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.
Aliran positivisme hukum ini hanya bersangkut paut pada
hukum positif saja. Aliran ini sama sekali tidak mengkaji hubungan
antara hukum positif dengan hukum tuhan dan kesusilaan. John
Austin membagi hukum kedalam 2 (dua) kelompok utama yaitu
Hukum manusia (human law) dan hukum tuhan (law of god).
Selanjutnya hukum manusia tersebut dibagi lagi kedalam 2 (dua)
sub bagian yaitu Hukum Positif (Positive Law) dan Kesusilaan
Positif (Positive Morality). Lebih lanjut John Austin
mengemukakan bahwa sebuah peraturan hukum untuk dapat
dikategorikan atau menjadi hukum positif haruslah memiliki 4
(empat) unsur yaitu:
a. Perintah (Command);
b. Sanksi (Sanction);
c. Kewajiban (Duty);
d. Kekuasaan (Sovereignity).
Semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa
yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan
disertai ancaman sanksi apabila perintah tersebut tidak
dipatuhi/dilanggar. Tanpa keempat unsure diatas, suatu peraturan
46
bukanlah hukum positif melainkan kesusilaan positif (Positive
Morality).
Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, “Hukum harus dapat
mengikuti perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, oleh
karenanya hukum berperan penting dalam perubahan sosial”4
Setelah meninjau selayang pandang tentang perintah
(command) dan hukuman (sanction) sekarang marilah perlu
ditinjau pula hubungan pembeda antara hukum positif (peraturan)
dan moral. Hart dalam tulisannya “Positivism and separation of
Law and Moral” menyebutkan 5 (lima) ciri positivisme hukum. 5
(lima) ciri positivisme hukum tersebut adalah:
a. Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia;
b. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan
kesusilaan (law and morality);
c. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah
penting dan harus dibedakan;
d. Sistem hukum adalah system logika yang tertutup (closed
logical system);
e. Pertimbangan mengenai kekuasaan tidak dapat dibuat tanpa
menggunakan argumentasi dan bukti yang berdasarkan
logika.
2. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
Sebelum berlakunya UURI No. 12 Tahun 1995
Telah diuraikan bahwa teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia pada saat sebelum
lahirnya UURI No. 12 Tahun 1995, masih sarat dengan nuansa
kolonial
Belanda.
Sebelum
berlakunya
undang-undang
pemasyarakatan, di Indonesia berlaku Ordonantie op de
Voorwaardelijkndonesiae Invijheidstelling (Staatblad 1917 - 749,
tgl 27 Desember 1917 jo Staatblad 1928-488) sepanjang yang
berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestrictenreglement (Staatblad
1917-708, 10 Desember 1917), Dwangophoedingsregelin5g
4
Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, (Alumni
Bandung), Hal. 69
5
Lihat Ordonantie op de Voorwaardelijkndonesiae Invijheidstelling
(Staatblad 1917 - 749, tgl 27 Desember 1917 jo Staatblad 1928-488) sepanjang
47
(Staatblad
1917-741,
24
Desember
1917),
dan
Uitvoeringsordonantie op de Voorwaaardelijke (Staatblad 1926487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan
pemasyarakatan. Dapat dibayangkan, setelah 50 (lima puluh) tahun
merdeka, barulah memiliki regulasi tentang pemasyarakatan yang
merupakan produk hukum nasional.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bab II
pasal 10 dijelaskan mengenai jenis-jenis hukuman. Selain jenisjenis hukuman, juga terdapat penjelasan tentang tujuan
dijatuhkannya hukuman tersebut. R. Soesilo menyebutkan 4
(empat) teori tujuan penjatuhan hukuman (pemidanaan) itu.
Keempat teori tersebut:
a. Teori Pembalasan (Vergeldings Theorie)
Teori ini berdasarkan perndapat pujangga E. Kant yaitu
hukuman adalah suatu pembalasan, hal ini berdasar atas sebuah
pepatah kuno “siapa yang membunuh harus dibunuh”.
b. Teori Mempertakutkan (Afschrikings Theorie)
Teori ini berdasarkan pendapat pujangga Teuerbach yaitu
hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan
berbuat jahat.
c. Teori Memperbaiki (Verbeterings Theorie)
Menurut teori ini, penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk
memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan.
d. Teori Gabungan
Menurut teori ini, dasar penjatuhan hukuman adalah
“pembalasan”, akan tetapi maksud-maksud lainnya (pencegahan,
mempertakutkan, memperbaiki) tidak boleh diabaikan. Hal ini
yang berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestrictenreglement (Staatblad 1917708, 10 Desember 1917), Dwangophoedingsregelin5g (Staatblad 1917-741, 24
Desember 1917), dan Uitvoeringsordonantie op de Voorwaaardelijke (Staatblad
1926-487, 6 November 1926) dalam Engelbrecht, 1960, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia.
48
dimaksudkan agar
dipertahankan.6
tata
tertib
kehidupan
bersama
dapat
Berdasarkan keempat teori pemidanaan di atas, penulis
berpendapat bahwa paradigma yang berlaku di kalangan penegak
hukum di Indonesia terkhusus pada mereka yang berwenang untuk
menjalankan proses penjatuhan hukuman, adalah kecenderungan
untuk menerapkan teori pemidanaan yang bertujuan pada
pembalasan yang diberikan kepada para pelaku kejahatan.
Fenomena ini didasari oleh beberapa pandangan yang berlaku pada
masyarakat seperti “seorang pembunuh harus dibunuh”, “kejahatan
harus dibalas dengan kejahatan”, dan lain-lain. Kecenderungan
untuk menerapkan teori pembalasan oleh aparat penegak hukum
juga berdasarkan pada tujuan untuk memuaskan rasa sakit hati si
korban yang telah menderita baik lahir maupun batin atas
perbuatan terdakwa. Kepada pelaku kejahatan harus diberikan
perasaan duka nestapa yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukannya itu. Penerapan tujuan pemidanaan sebagai “ajang
pembalasan” membuat aspek pembinaan dan perbaikan menjadi
kurang diperhatikan.
3. Teori Pemidanaan dalam Pandangan Positivisme Hukum.
Positivisme hukum atau hukum positif
adalah suatu
peraturan yang mengandung 4 (empat) unsur yaitu command,
sanction, duty & sovereignity, yang apabila tidak dilengkapi
dengan ke empat unsur tersebut sebuah peraturan hanyalah
merupakan kesusilaan positif semata (positive morality) dan tidak
memiliki suatu daya paksa apapun.
Teori pemidanaan terdapat pada Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), pada penjelasan pasal 10. Dari ke empat
teori yang ada masing-masing memiliki konsep atas tujuan
dijatuhkannya sanksi pidana kepada seseorang. Ada teori
pemidanaan yang ingin membalaskan rasa sakit hati dari korban
atas kerugian moral dan material akibat perbuatan terdakwa, ada
teori yang bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain agar orang
lain tidak lagi melakukan perbuatan serupa, dan adapula teori yang
6
R. Soesilo, Op Cit hal. 23
49
bertujuan memperbaiki keadaan dan menggugah kesadaran dari
terdakwa agar menyadari kesalahannya serta tidak lagi mengulangi
perbuatannya yang membawa kerugian pada orang lain. Tentunya
kesemua teori tersebut di atas
memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.
Aliran hukum positif (legal positivism) memandang perlunya
suatu peraturan memiliki keempat usur diatas yang diharapkan
menjadi “pemaksa” bagi masyarakat agar dapat tunduk dan patuh
atas suatu peraturan yang berlaku. Perlu diingat bahwa peraturan
tersebut adalah petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang
berakal dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai
kekuasaan (souveregnity) atas mereka itu (John Austin). Maksud
kata kekuasaan disini mutlak adanya dan bersifat imparatif. Tanpa
kekuasaan maka daya paksa tersebut tidak akan ada untuk
mengarahkan masyarakat agar merasa berkewajiban (duty) untuk
menegakkan peraturan terebut.
Bila diperhatikan secara seksama, ke empat teori pemidanaan
tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu tegaknya suatu ketentuan
pidana dengan dilengkapi dengan adanya sanksi (sanction)
terhadap seseorang yang telah melanggar peraturan, adanya
perintah (command) agar seseorang tunduk dan patuh pada
ketentuan pidana tersebut.
Bila ditelusuri lebih mendalam lagi mengenai teori
pemidanaan yang ada, maka teori pembalasan (vergeldings theorie)
menitik beratkan tujuan pemidanaan pada upaya pembalasan rasa
sakit hati korban dan menimbulkan kerugian baik moral maupun
materil atas perbuatan terdakwa. Teori mempertakutkan
(afshcrikkings theorie) menitikberatkan penjatuhan sanksi pidana
kepada seorang terdakwa yang bertujuan agar orang lain tidak
melakukan perbuatan serupa. Teori perbaikan (verbeterings
theorie) menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada seorang
terdakwa haruslah dapat bertitik tolak pada adanya upaya perbaikan
kesalahan dan menggugah kesadaran diri terdakwa agar tidak lagi
mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang.
KUHP yang di dalamnya terdapat ketentuan hukum
mengenai penjatuhan sanksi (sanction) pidana kepada seseorang
yang melanggar hukum adalah ketentuan yang berasal dari manusia
(makhluk berakal yang ditujukan kepada makhluk berakal).
50
Ketentuan hukum pidana memiliki sanksi pidana pada
pelanggarnya adalah termasuk pada hakikat hukum menurut John
Austin yaitu adanya ancaman sanksi (sanction) apabila perintah
(command) yang dibuat oleh makhluk yang berakal dan ditujukan
kepada makhluk yang berakal tersebut dilanggar oleh seseorang.
Itulah sebabnya sehingga hukum positif disebut Command of
sovereign atau command of “law giver”.
Lebih lanjut pemahaman filsafat dalam aliran positivisme
hukum menilai bahwa antara hukum dan moral tidak memiliki
hubungan yang mutlak dan keduanya mesti dipisahkan pemahaman
dan penggunaannya satu sama lain (positivism and separation of
law and moral). Teori-teori pemidanaan yang terdapat dalam
KUHP jelas mengandung konsep penegakan moral (morality
concept) agar hak-hak seseorang dapat terjaga. Namun demikian,
hubungan antara konsep hukum berupa sanksi dan konsep moral
yang terdapat pada teori tujuan pemidanaan yang terdapat pada
KUHP bukanlah merupakan bentuk hubungan mutlak (absolute
relationship) tetapi hanya merupakan hubungan biasa yang
pemahaman dan penggunaannya harus dipisahkan satu sama lain.
Teori perbaikan (verbeterings theorie) bertujuan untuk
memperbaki kesalahan terdakwa dan menggugah kesadaran dirinya
agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan
datang. Teori ini mengandung konsep moral dan hukum yaitu
sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya yang
merugikan hak orang lain. Hanya saja, kelemahan mendasar dari
teori ini adalah lebih mengedepankan aspek moralitas dengan
disertai perasaan “kasihan” yang berlebihan kepada terdakwa
sehingga titik berat penjatuhan sanksi adalah bertujuan menggugah
kesadaran terdakwa untuk menyadari kesalahannya. Disadari atau
tidak, bila teori ini diterapkan dapat mengakibatkan rasa tidak puas
dari korban dan keluarganya akibat ringannya hukuman yang
dijatuhkan pada terdakwa.
Berdasarkan pada pandangan filsafat hukum aliran
positivisme hukum terhadap teori-teori pemidanaan, dapatlah
dilihat bahwa menurut teori pemidanaan terdapat konsep moral dan
konsep hukum. Antara konsep moral dan konsep hukum
mempunyai hubungan, akan tetapi hubungan keduanya haruslah
terpisahkan pemahaman dan penggunaannya dan hubungan antara
51
keduanya bukanlah merupakan hubungan mutlak (absolute
relationship). Antara konsep moral dan konsep hukum yang
terkadung dalam teori-teori pemidanaan tersebut diatas,
kedudukannya masih berimbang, sehingga dapat saja terjadi
”bargainning position” di antara keduanya, tentang mana yang
lebih mendominasi kedudukan atas sebuah teori pemidanaan.
Akibat pengaruh tersebut dapat menyebabkan kaburnya makna
positivme hukum itu sendiri yaitu dominannya kekuatan sanksi
yang atas kekuatan lainnya sebagai daya paksa apabila suatu
peraturan tersebut dilanggar. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan dan
dikembangkan sebuah teori tentang penjatuhan hukuman yang
didominasi pada aspek sanksi (sanction) pada teori tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar sanksi sebagai hukuman tetap dijatuhkan,
kepentingan korban tidak terabaikan akibat perbuatan terdakwa
sehingga terbalaskan rasa sakit hatinya, dan terdakwa tetap
memperoleh kesempatan untuk memperbaiki dirinya.
4. Upaya Penyempunaan Terhadap Teori Pemidanaan dalam
Sistem Pemasyarakatan
Sebagai upaya untuk melakukan penyempurnaan teori
pemidanaan pada hukum pemasyarakatan dalam kaitannya dengan
pembaruan hukum pidana, maka perlu dibuat sebuah peraturan
setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang
pemasyarakatan dan di dalamnya terkandung teori pemidanaan
yang memenuhi unsur-unsur sebuah sanksi yang akan dijatuhkan
kepada terdakwa. Ketentuan tentang pemasyarakatan tersebut
berfungsi juga sebagai hukum pelaksanaan pidana. Dalam
konsiderans undang-undang pemasyarakatan dijelaskan bahwa
sistem kepenjaraan yang diatur dalam berbagai ordonansi, regeling
dan reglement yang merupakan produk hukum kolonial Belanda
sudah tidak sesuai lagi dengan sistem pemasyarakatan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih
lanjut dijelaskan pula bahwa sistem pemasyarakatan merupakan
rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan
pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
52
baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian, berdasarkan
berbagai pertimbangan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sistem
kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
5. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan yang Ideal di
Masa Mendatang. (Kontribusi pemikiran filsafat hukum
terhadap teori pemidanaan)
Bercermin dari berbagai fenomena yang terjadi di bidang
pemasyarakatan di Indonesia baik pada masa berlakunya sistem
kepenjaraan dengan aturan yang merupakan produk hukum
kolonial Belanda maupun sesudah berlakunya undang-undang
pemasyarakatan yang menggunakan istilah sistem pemasyarakatan,
keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena
itu perlu dipikirkan konsep teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang sebagai ius
constituendum. Konsep teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan inilah yang merupakan penyempurnaan dari sistem
pemasyarakatan yang sudah ada dan berlaku sekarang.
Penulis berpendapat, dalam rangka penyempurnaan teori
pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan saat ini pada gilirannya
akan menjadi teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang
ideal di masa yang akan datang, ada hal-hal yang perlu dilakukan
pembenahan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum
dan HAM yaitu:
a. Untuk memperoleh hasil dari teori pemidanaan
berdasarkan sistem pemasyarakatan yang baik, diperlukan adanya
suatu Integrated Criminal and Justice System (sistem penanganan
dan penyelesaian perkara pidana secara terpadu) antar sesama
aparat penegak hukum yang beranggotakan: polisi, jaksa, hakim,
advokat, dan aparat pemasyarakatan, yang kemudian dalam
pelaksanaannya diperkuat lagi dengan pengawasan dari masingmasing komisi pengawasan instansi tersebut dan pengawasan dari
masyarakat;
b. Berdasarkan kajian filsafat hukum dengan menggunakan
aliran positivisme hukum (legal positivism), dasar penjatuhan
hukuman kepada seorang terdakwa adalah pembalasan dan juga
berdasarkan pada tujuan pemidanaan lainnya yaitu agar terdakwa
53
menyadari, memperbaiki, serta tidak lagi mengulangi kesalahannya
yang berakibat jatuhnya korban pada pihak lain. Disamping untuk
menimbulkan efek jera, penjatuhan hukuman bertujuan agar pihak
lain takut untuk melakukan kejahatan serupa, sehingga frekwensi
terjadinya tindak kejahatan dapat semakin diminalisir;
c. Hendaknya aparat pemasyarakatan benar-benar dapat
bertindak secara adil
terhadap para narapidana dalam hal
perlakuan dan pelayanan dan kesempatan mengunjungi keluarga
dengan tidak membeda-bedakan antara narapidana yang satu
dengan narapidana yang lain, sehingga tidak akan memicu rasa
kecemburuan antar narapidana;
d. Perlu ditetapkan “kurikulum” pembinaan dan pendidikan
yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan warga pemasyarakatan
dan berlaku di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia,
sehingga terlihat bahwa warga pemasyarakatan mendapat
pembinaan dan pendidikan yang jelas, terpola dan sistematis;
e. Untuk menghindari kolusi dan nepotisme di lingkungan
lembaga pemasyarakatan, hendaknya kontak fisik (interaksi
individual) yang tidak ada kaitannya dengan program pembinaan
narapidana antara aparat pemasyarakatan (utamanya sipir LP) dapat
diminimalisir.
Beberapa poin yang penulis sebutkan diatas, tentu saja masih
merupakan sebahagian kecil dari langkah-langkah yang perlu
ditempuh oleh pemerintah dalam rangka perwujudan teori
pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang
akan datang. Namun setidaknya dengan pembenahan dan
penerapan beberapa poin tersebut diatas, akan mampu untuk
menciptakan kondisi pemasyarakatan yang sarat dengan nuansa
pengayoman, pendidikan, dan pembinaan tanpa meenafikan dasar
pemidanaan sebagai upaya pembalasan atas rasa sakit hati korban
yang dilakukan oleh terdakwa.
54
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan diatas, penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Dalam pandangan filsafat hukum dengan menggunakan aliran
positivisme hukum (legal positivism), sebuah peraturan harus
memiliki 4 (empat) unsur untuk menjadi hukum positif yaitu:
Perintah (Command), Sanksi (Sanction), Kewajiban (duty) dan
Kekuasaan (Souvereignity). Teori pemidanaan dalam sistem
pemasyarakatan yang terdapat dalam Undang-undang No. 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) memiliki ke empat unsur tersebut
diatas;
b. Teori Pemidanaan dalam sistem pemidanaan yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 yang
menggunakan istilah sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD 1945, olehnya itu menurut kajian
filsafat hukum dengan menggunakan aliran positifisme hukum
tetap boleh ada hubungan antara moralitas (upaya perbaikan
diri terdakwa) dengan sanksi (hukuman atas perbuatan
terdakwa), meski demikian aspek sanksi (sanction) tetap harus
dominan dan hubungan antara moralitas dan hukum bukanlah
merupakan hubungan mutlak
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng, 2005, Catatan Kuliah Filsafat Hukum untuk
Mahasiswa S.2 Unhas
Achmad Ali, 1988 , Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum oleh
Hakim, Hasanuddin University Press
55
__________________, 1996 , Menguak Tabir Hukum, Chandra
Pratama Jakarta
Engelbrecht, 1960, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia.
John M. Echols, et al, 1996, An English-Indonesia Dictionary
(Kamus Inggris Indonesia), P.T. Gramedia Jakarta
Rusli Efffendi, SH,et al, 1991, Teori Hukum, Hasanuddin
University Press Ujung Pandang
R. Soesilo, 1956, Pokok-pokok Hukum Pidana, Sinar Grafika
Jakarta
Republik Indonesia, Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan
_______________, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
_______________, Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
_______________, Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Sactohid Kartanegara, 1956, Hukum Pidana, Balai Lektur
Mahasiswa Jakarta
Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni
Bandung
56
Download