44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta beberapa laut dan teluk seperti Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, dan Laut Jawa (Atmaja, et al., 2001). Selat Malaka terletak di Indonesia bagian barat dan secara yuridiksi politik selat ini berbatasan dengan dua perairan negara lain, yaitu perairan Malaysia dan Singapura. Perairan Selat Malaka memisahkan Pulau Sumatera di barat daya dan Semenanjung Malaysia di bagian timur, menghubungkan Laut Andaman yang satu perairan dengan Samudera Hindia dan di utara berhubungan dengan Laut Cina Selatan. Selat ini memiliki panjang sekitar 800 km, membujur ke arah tenggara barat laut membentuk corong terbuka dengan lebar bervariasi dari 60 km sampai 480 km (P2O LIPI, 2001). Sebagian besar dasar perairan Selat Malaka wilayah teritorial Indonesia memperlihatkan kedalaman relatif dangkal, terdalam mencapai kurang dari 150 meter. Perubahan kedalaman perairan yang paling mencolok ditemukan di bagian barat laut, yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Kedalaman wilayah perairan ini mencapai lebih dari 200 meter, sebaliknya bagian tenggara Selat Malaka relatif dangkal, yaitu kurang dari 60 meter (P2O LIPI, 2001). Sekitar selat-selat antar pulau dan muara-muara sungai yang banyak dijumpai dekat pantai timur Sumatera mempunyai kedalaman bervariasi antara 5 meter hingga 25 meter, bagian terdalam biasanya digunakan sebagai alur pelayaran seperti dijumpai di Selat Rupat, Selat Bengkalis dan sebagian Selat Panjang. Selat Malaka termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) dari sebelas WPP RI yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 01/MEN/2009. Selat Malaka diketahui sebagai salah satu wilayah perairan dengan lalu lintas kapal-kapal komersial yang padat karena fungsinya sebagai jalur perdagangan internasional. Sumberdaya perikanan di perairan ini memegang peranan penting bagi perekonomian penduduk di sekitarnya, sehingga perairan ini dikenal juga sebagai daerah padat nelayan. 45 4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Selat Malaka Eksploitasi sumberdaya perikanan di Selat Malaka berkembang pesat dalam tiga dekade terakhir ini. Periode akhir tahun 1980 wilayah ini telah mencapai puncak produksi dengan memberikan kontribusi produk perikanan kedua terbesar setelah Laut Jawa. Namun demikian, perkembangan armada perikanan dan teknologi penangkapan serta pencemaran lingkungan telah berdampak pada produksi yang terus menurun sejak periode akhir tahun 1990an. Sumberdaya perikanan di Selat Malaka memegang peranan penting bagi perekonomian penduduk di sekitarnya sehingga perairan ini juga dikenal sebagai wilayah padat nelayan. Aktivitas eksploitasi sumberdaya perikanan telah dilakukan secara intensif baik oleh nelayan skala kecil maupun industri. Kegiatan penangkapan ikan tersebut secara terus menerus berdampak pada penurunan besaran stok, perubahan struktur populasi dan pola migrasi sumberdaya ikan. Peran strategis dari Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional, memposisikan wilayah ini rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti tumpahan minyak, sampah buangan dan lain-lain semakin memperbesar dampak negatif terhadap sumberdaya tersebut. Berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah menyangkut perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia telah diberlakukan, bahkan sejak tahun 1914 (DKP RI, 2009). Pengaturan penangkapan ikan juga telah diberlakukan oleh pemerintah melalui berbagai SK Menteri Pertanian sejak tahun 1975, undang-undang perikanan nomor 31 tahun 2004 dan terbaru adalah undang-undang perikanan nomor 45 tahun 2009 yang secara menyeluruh memuat aturan dan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan. Perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya ikan juga telah mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat global melalui ratifikasi UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) pada tahun 1982, agenda 21 UNCED (Global United Nations Conference on Environment and Development) dan secara tegas diatur dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) walaupun masih bersifat sukarela (volunteer). Namun demikian, banyaknya peraturan-peraturan dan undang-undang nampaknya belum mampu mengatasi permasalahan perikanan tangkap di wilayah ini karena masih kurang memadainya sistem pengawasan. 46 Wilayah pesisir yang merupakan basis kegiatan perikanan utama di Selat Malaka terdiri dari Bagan Siapi-api, Indragiri Hilir dan Bengkalis (Provinsi Riau) yang terletak di bagian tenggara Selat Malaka, Belawan dan Tanjung Balai Asahan (Provinsi Sumatera Utara) terletak di bagian tengah Selat Malaka. Bagan Siapi-api adalah salah satu daerah di kawasan Rokan Hilir yang pernah memiliki jejak sejarah yang membanggakan Indonesia yakni sebagai pusat industri galangan kapal kayu terbesar dan penghasil ikan dengan produksi terbesar ke dua di dunia setelah Norwegia pada masa sebelum tahun 1930. Kota Bagan Siapi-api hingga saat ini telah berkembang pesat, menjadi ibukota Kabupaten Rokan Hilir. Kabupaten ini merupakan penghasil ikan terbesar, khususnya di wilayah Kecamatan Bangko, Sinaboi dan Kubu. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan berjumlah 2.093 kepala keluarga. Produksi perikanan yang dihasilkan sebessar 95% dari perikanan tangkap di laut, sedangkan sisanya dari perikanan air tawar (BRPL, 2004). Bengkalis terletak di bagian selatan Kabupaten Rokan Hilir. Penduduk nelayan di kabupaten ini berjumlah 4.205 kepala keluarga. Armada penangkapan yang ada masih dalam skala kecil, dimana sebagian besar nelayannya menggunakan alat tangkap jaring insang hanyut. Kabupaten ini merupakan penyumbang terbesar ketiga produksi perikanan di Provinsi Riau setelah Rokan Hilir dan Indragiri Hilir. Belawan merupakan kota pelabuhan utama di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini termasuk salah satu kawasan di pantai timur Sumatera yang penting, dimana di daerah ini terdapat salah satu Pelabuhan Perikanan (PP) terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, yang merupakan salah satu basis pendaratan ikan terbesar bagi armada penangkap ikan skala industri, terutama pukat ikan yang beroperasi di Perairan Selat Malaka. Pusat perikanan lainnya di Provinsi ini adalah Tanjung Balai Asahan, sebagian besar penduduknya merupakan nelayan. Pengusaha perikanan di kabupaten ini didominasi oleh masyarakat Tiong Hwa yang sudah melakukan kegiatan industri perikanan sejak puluhan tahun yang lalu. 47 4.2.1 Nelayan Perairan Selat Malaka yang termasuk wilayah teritorial Indonesia, merupakan sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya khususnya nelayan. Masyarakat nelayan di wilayah ini menjadikan aktifitas penangkapan ikan sebagai mata pencaharian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penduduk yang berprofesi sebagai nelayan di wilayah ini merupakan penduduk asli daerah setempat yang sudah bertahun-tahun melakukan aktivitas kegiatan usaha di bidang perikanan, khususnya perikanan tangkap. Bagan Siapi-api merupakan pusat kegitan perikanan terbesar di wilayah Perairan Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk nelayan sebanyak 2.093 kepala keluarga dan menghasilkan produksi perikanan laut sebesar 95% dari total kegiatan produksi perikanan di daerah ini (BRPL, 2004). Bengkalis memiliki jumlah penduduk nelayan sebanyak 4.205 kepala keluarga. Sebagian besar nelayan di daerah ini masih tergolong nelayan skala kecil dan alat tangkap yang digunakan didominasi oleh alat tangkap jaring insang hanyut. Tanjung Balai Asahan yang berada di bagian tengah Selat Malaka, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Aktivitas kegiatan usaha perikanan di Tanjung Balai Asahan didominasi oleh masyarakat Tiong Hwa yang sudah menjadi penduduk asli di daerah ini sejak ratusan tahun yang lalu (BRPL, 2004). Belawan salah satu kawasan di pantai timur Sumatera yang penting, dimana di daerah ini terdapat salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Indonesia, yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan, yang merupakan salah satu basis pendaratan ikan terbesar bagi armada penangkap ikan skala industri, terutama pukat ikan yang beroperasi di Perairan Selat Malaka. Masyarakat yang melakukan kegiatan usaha perikanan di daerah ini tidak hanya berasal dari daerah setempat, tetapi juga dari daerah lain seperti nelayan dari Nanggro Aceh Darusalam. Jumlah nelayan yang ada di Belawan sampai dengan tahun 2010 sebanyak 9.267 kepala keluarga dengan kenaikan rata-rata setiap tahun 5,22% sejak tahun 2005 (PPS Belawan, 2011). Pertumbuhan penduduk nelayan yang cukup tinggi di daerah ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan. Produksi perikanan yang didaratakan di daerah ini sangat menjanjikan bagi masyarakat setempat dalam melakukan kegiatan usaha perikanan. 48 4.2.2 Alat dan kapal penangkapan ikan Jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat pesisir di Selat Malaka seperti Kabupaten Rokan Hilir dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu alat tangkap yang bersifat statis dan alat tangkap yang bersifat dinamis. Jenis alat tangkap dinamis meliputi jaring insang (gillnet), jaring udang (trammel net), pukat cincin, jaring sondong, jaring tuamang dan cantrang (mini trawl), sedangkan alat tangkap statis meliputi bubu tiang, bubu labuh, pancing rawai dan belat. Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Selat Malaka, alat tangkap paling banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan demersal yang dianggap sebagai alat standar atau alat baku sesuai dengan data statistik yang ada adalah alat tangkap dogol. Tahun 2003, komposisi armada yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan terdiri dari Pukat ikan (fish net) 36%, pukat cincin 50%, gillnet 10% dan sisanya armada lampara dasar dan pancing. Ditinjau dari ukuran kapal (GT), kapal penangkapan ikan yang dominan di PPS Belawan adalah kapal pancing yang berukuran kurang dari 10 GT, diikuti oleh kapal yang berukuran antara 100-200 GT, ukuran 50-100 GT dan 30-50 GT (PPS Belawan, 2003). 4.2.3 Daerah penangkapan ikan Berdasarkan Surat Dirjen Perikanan Nomor IK.120/DJ.1266/90K tentang perizinan penangkapan ikan di Selat Malaka telah ditetapkan daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal penangkap ikan adalah di perairan ZEEI Selat Malaka yang dibatasi oleh garis 4°LU-95°BT dan di luar 12 mil dari pantai. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa daerah penangkapan ikan oleh kapal penangkap ikan di perairan tersebut kurang dari 12 mil, terutama pada kedalaman perairan antara 30-50 meter. Hal ini sesuai dengam keberadaan ikan-ikan demersal yang terkonsentrasi pada kedalaman tersebut. Bulan Desember 1996 menunjukkan penyebaran ikan demersal seperti kuniran, bawal hitam, layur, tigawaja, kurisi dapat mencapai perairan di luar 12 mil dari pantai pada kedalaman antara 40-60 meter seperti di sekitar Perairan Pulau Berhala, Pulau Pandan dan Perairan Aceh Timur (BRPL, 2004). Perairan Pulau Berhala merupakan daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap seperti pukat apung, purse seine, dan lampara dasar. Daerah penangkapan 49 pukat apung (longbag set net) yang berbasis di Tanjung Balai adalah Perairan Pulau Berhala, Pulau Salamon, Panipahan, Pulau Jemur, Tanjung Api dan Tanjung Bagan. Daerah ini mempunyai kedalaman antara 30-50 meter (BRPL, 2003). Bulan Juli 2004 daerah penangkapan dengan menggunakan pukat apung, banyak dilakukan di sekitar Perairan Panipahan dan Tanjung Api, sedangkan jaring tuamang (sejenis jaring insang) banyak di operasikan di sekitar Perairan Tanjung Balai asahan (BRPL, 2004). 4.2.4 Musim penangkapan ikan Musim penangkapan ikan demersal di Selat Malaka berlangsung antara bulan Juni sampai dengan bulan Agustus. Fluktuasi hasil tangkapan bulanan (1997-2002) pukat ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) ditampilkan pada Gambar 13. Hasil tangkapan paling rendah terjadi pada bulan Produksi (ton) November sampai dengan bulan Desember. 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 J F M A M J J A S O N D Bulan . Sumber: PPS Belawan, 2003 Gambar 13 Grafik hasil tangkapan rata-rata yang didaratkan di PPS Belawan pada tahun 1997-2002. Populasi sumberdaya ikan pelagis kecil dan sumberdaya ikan demersal di perairan ini diduga berasal dari satu unit stok yang merupakan shared stock antara Indonesia, Malaysia dan Thailand (Sivasubrahmaniam, 1985 in BRPL, 2004). Perubahan dominasi dan komposisi jenis hasil tangkapan ikan pelagis pada 50 perikanan pukat cincin, awalnya didominasi oleh ikan kembung (R. brachysoma) dan banyar (R. kanagurta) digantikan oleh ikan layang (Decapterus russelli) dan banyar (Hariati, 2005 in BRPL, 2006). Pada kurun waktu yang sama telah terjadi perubahan ukuran kapal yang semula didominasi oleh kapal-kapal ukuaran kecil (<30GT) dan sedang (30-50GT) menjadi ukuran sedang dan besar (>50GT) (BRPL, 2004). Periode berikutnya terdapat indikasi adanya peningkatan peran perikanan skala kecil dalam peningkatan produk komoditas ikan ekspor, terutama pada perikanan demersal. Namun demikian, faktor-faktor yang mendasari dan arah perubahan pola dan strategi penangkapan yang terjadi serta struktur kelimpahan ikan di WPP RI 571 ini belum diketahui secara pasti. 4.2.5 Produksi perikanan Upaya penangkapan ikan demersal selama periode 1992-2002 di Selat Malaka cenderung naik terutama setelah tahun 2001 (BPPL, 2004). Kenaikan upaya tersebut diikuti kenaikan produksi dari tahun ke tahun. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Perairan Selat Malaka dapat ditinjau dari indikator stok, misalnya perkembangan CPUE sebagai indeks kepadatan stok, perubahan komposisi jenis dan struktur ukuran ikan yang tertangkap. Perkembangan produksi (catch), upaya (effort) dan hasil tangkapan persatuan upaya (catch perunit of effort, CPUE) di Selat Malaka pada tahun 1992-2002 ditampilkan pada Tabel 2. Perubahan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) dapat menggambarkan adanya perubahan dipengaruhi oleh (catchability/fishing kelimpahan dari sumberdaya tersebut. kemampuan power). menangkap Suatu suatu Hasil tangkapan jenis jenis alat tangkap alat tangkap yang sama tetapi mempunyai ukuran yang berbeda, berpeluang memberikan hasil tangkapan yang berbeda pula. Produksi perikanan di selat Malaka beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan akibat dari kegiatan eksploitasi yang secara terus menerus dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Penurunan produksi tersebut juga di pengaruhi oleh faktor lingkungan di perairan ini yang mengalami pencemaran akibat kegitan lalu lintas kapal-kapal niaga yang melakukan pelayaran melewati perairan ini (BRPL, 2004). 51 Tabel 2 Produksi, upaya dan hasil tangkapan per satuan upaya ikan demersal di Selat Malaka tahun 1992-2002 Produksi (ton) 116.234,18 132.160 138.938 156.125 162.312 160.543 173.034 177.793 173.114 186.258 186.312 Tahun 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Upaya (unit) 12.326 14.080 11.576 13.067 15.899 15.386 15.732 16.265 15.242 14.499 16.777 CPUE (ton/unit) 9,43 9,39 12,00 11,95 10,21 10,43 11,00 10,93 11,36 12,85 11,11 Sumber: BRPL, 2004 Hasil tangkapan yang didaratkan di PPS Belawan sebagian besar berasal dari nelayan yang melakukan penangkapan ikan di Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Hasil tangkapan tersebut merupakan produksi perikanan di daerah ini dalam menunjung kegiatan usaha perikanan masyarakat setempat. Jenis produksi yang dihasilkan dari kegiatan usaha perikanan di PPS Belawan antara lain produksi olahan, lokal dan ekspor. Hasil olahan terdiri dari ikan asin dan kering dan produksi perikanan untuk tujuan lokal dalam bentuk segar serta produksi perikanan untuk tujuan ekspor terdiri dari ikan segar dan beku (PPS Belawan, 2011). Jumlah dan nilai produksi perikanan di PPS Belawan tahun 2005-2010 ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan nilai produksi perikanan PPS di Belawan 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Olahan 5.081 16.924 4.025 2.934 12.008 15.319 Sumber: PPS Belawan, 2011 Jumlah Produksi (ton) Lokal Ekspor 59.010 7.364 17.839 7.829 23.727 11.382 21.130 16.467 35.509 10.067 32.284 13.138 Total 71.455 42.592 39.134 40.531 57.584 60.741 Nilai Produksi Total (juta) 1.014.976 657.644 575.670 684.643 1.000.699 1.130.628 52 Berdasarkan data hasil laporan kegiatan operasional PPS Belawan tahun 2005-2010 menunjukan, bahwa produksi perikanan di daerah ini dari tahun 20052008 mengalami penurunan sangat signifikan, dari 71.455 ton/tahun menjadi 39.134 ton/tahun. Tahun 2009-2010 terjadi peningkatan produksi menjadi 60.741 ton/tahun. Peningkatan jumlah produksi tersebut juga diikuti oleh peningkatan nilai produksi yang tinggi. Jumlah produksi perikanan pada tahun 2005 sebesar 71.455 ton/tahun dengan nilai produksi sebesar 1.014.976 juta rupiah lebih rendah dibandingkan dengan nilai produksi tahun 2010 sebesar 1.130.628 juta rupiah yang memiliki jumlah produksi hanya 60.741 ton/tahun. Pola perubahan jumlah dan nilai produksi di PPS Belawan tahun 2005-2010 ditampilkan pada Gambar 14. Sumber: PPS Belawan, 2011 Gambar 14 Grafik produksi perikanan PPS Belawan 2005-2010.