penelitian sastra

advertisement
Kontra Propaganda
Warisan Tradisi Tulis
& Pembelajaran Sastra
Bahan Bacaan Penelitian Sastra
Ahid Hidayat
1
Kontra Propaganda, Warisan Tradisi Tulis, & Pembelajaran Sastra
Bahan Bacaan Penelitian Sastra
© Ahid Hidayat
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
HIDAYAT, Ahid
Kontra Propaganda, Warisan Tradisi, dan Pembelajaran Sastra/
Ahid Hidayat - Kendari: Penerbit FKIP Unhalu
ISBN 978-9791. Sastra
I. Judul
2
Daftar Isi
5
Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Zaman
Jepang
21
Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis
yang Belum Tergenggam
39
Aspek Psikologis yang Terabaikan dalam Pembelajaran
Menulis
47
Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa dalam
Pembelajaran Sastra
59
Sumber Tulisan
60
Biodata Ringkas Penulis
3
4
Kontra-Propaganda dalam
Drama Propaganda Zaman Jepang
Abstrak
Drama-drama yang lahir pada masa penjajahan Jepang, menurut
beberapa kritikus, merupakan drama untuk kepentingan propaganda. Apalagi
drama yang diterbitkan Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan
Sandiwara Keliling, Poesat Keboedajaan) seperti Panggoeng Giat Gembira,
Lakon Sandiwara dan Leloetjon. Membaca drama-drama dalam kumpulan
tersebut, timbul beberapa pertanyaan berikut. (1) Benarkah drama-drama
yang dimuat dalam kumpulan sandiwara dan lelucon itu mengandung
propaganda untuk kepentingan Jepang? (2) Hal-hal apakah yang
dipropagandakan dalam drama-drama tersebut? (3) Selain muatan
propaganda, adakah muatan lain yang bersifat kontra-propaganda dalam
drama-drama tersebut?
Tulisan ini mendeskripsikan muatan propaganda dan kontra-propaganda
dalam drama zaman penjajahan Jepang, khususnya drama-drama yang
dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon.
Drama-drama yang dimuat dalam tiga jilid lakon sandiwara dan lelucon itu
memang dimaksudkan sebagai propaganda, sejalan dengan prioritas
kebijaksanaan perintah militer Jepang di Indonesia masa itu. Namun,
walaupun ditujukan untuk propaganda, di dalam drama-drama tersebut
terkandung juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang
dipropagandakan. Pesan kontra-propaganda ini disampaikan secara tersirat
melalui pengaluran dan penokohan.
5
Pendahuluan
Abad kedua puluh, kata A.P. Foulkes dalam Literature and
Propaganda (1983: 1), bisa dianggap sebagai abad propaganda. Bagi
Foulkes, propaganda merupakan konsep yang cukup sulit untuk
dirumuskan dan karena itu banyak ahli yang membatasi konsep itu
pada situasi-situasi yang ekstrem, misalnya masa perang. Di masa itu,
propaganda dengan mudah dapat dikenali sebagai komunikasi yang
bertujuan untuk menghilangkan semangat musuh atau memperbesar
semangat pihaknya sendiri. Selama Perang Dunia I, Foulkes (1983: 8-9)
mencontohkan, Angkatan Perang Inggris mengirimkan berim-rim kertas
ke garis depan, yang memuat beragam puisi dan prosa patriotik. Sebagian
berupa pesanan, dan sebagian besar lainnya diambil secara langsung
dari karya-karya Wordsworth, Shakespeare dan sastrawan lain.
Contoh di atas menunjukkan hubungan antara sastra dan
propaganda; karya sastra bisa menjadi alat yang bermanfaat bagi
penyebarluasan propaganda. Meskipun kapan karya sastra merupakan
propaganda dan kapan bukan propaganda masih menjadi masalah yang
diperdebatkan, J.A. Cuddon (1986: 534) mengemukakan bahwa suatu
karya sastra bisa dikatakan sebagai propaganda jika pengarangnya
merencanakan untuk mencipta sesuatu dengan sudut pandang agama,
sosial atau politik tertentu melalui media drama atau novel, misalnya,
dan pada prosesnya ia ‘mengorbankan’ kebenaran atau kenyataan dengan
mencipta tokoh dan situasi untuk mengantarkan tesisnya.
Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature (1995: 908) merumuskan
karya (drama) propaganda sebagai karya yang menganjurkan respons
tertentu terhadap masalah yang sedang dibahas. Dari sudut pandang
pengarang, pengertian sastra propaganda ini bisa disamakan dengan sastra
bertendens. Sastra bertendens, menurut Budi Darma (1983: 12), pada
garis besarnya dapat dibedakan atas sastra bertendens yang sejalan dengan
pemerintah serta sastra bertendens yang sejalan dengan aspirasi
masyarakat. Sapardi Djoko Damono (1994: 3), sementara itu,
menganggap propaganda sebagai bagian dari nasihat atau godaan untuk
melakukan sesuatu. Sastra yang ‘menggoda’ untuk melakukan sesuatu
itulah yang disebut sastra propaganda.
Di Indonesia, perkembangan sastra propaganda paling jelas terlihat
pada masa penjajahan Jepang. Dalam makalah “Novel dan Propaganda”,
Sapardi Djoko Damono (1994) mengemukakan bahwa bala tentara
6
Jepang yang berkuasa di Indonesia mempunyai perhatian terhadap sastra
karena sastra bisa menjadi alat untuk propaganda. Novel yang terbit
pada masa itu, di bawah tekanan dan sensor pemerintah militer Jepang,
harus menjadi wahana propaganda. Sapardi mencontohkannya dengan
novel Tjinta Tanah Air karya N. St. Iskandar.
Novel bukanlah satu-satunya genre sastra yang digunakan sebagai
wahana propaganda, melainkan juga drama. Bahkan, jika dibandingkan
antara novel dengan drama yang lahir sepanjang masa penjajahan Jepang,
tampaklah bahwa jumlah karangan drama jauh lebih banyak dibanding
novel. Dalam “Daftar Novel Indonesia Modern 1920-1990” yang
merupakan lampiran dari buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia
Modern, Maman S. Mahayana dkk. (1992: 298-307) hanya mencatat
dua buku novel yang terbit pada masa Jepang, yakni karya N. St. Iskandar
di atas dan Palawidja karya Karim Halim. Sementara itu, drama yang
terbit selama tiga tahun penjajahan Jepang, berdasarkan data Boen S.
Oemarjati (1971), E.U. Kratz (1988), Jakob Sumardjo (1992), dan
drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara
dan Leloetjon, berjumlah lebih dari tiga puluh drama. Dari sejumlah
karangan drama itu, seperti dikemukakan Boen S. Oemarjati dan Jakob
Sumardjo, sebagian besar merupakan drama propaganda. Kelahiran
drama-drama propaganda ini berkaitan erat dengan ketatnya sensor
pemerintah militer Jepang terhadap setiap pementasan.
Tulisan ini akan membicarakan drama yang luput dari pengamatan,
yakni drama-drama yang terhimpun dalam kumpulan drama terbitan
Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho. Untuk kepentingan propaganda
yang tengah begitu gencar dilakukan, Djawa Hookookai Keimin Bunka
Shidosho secara khusus menerbitkan buku Panggoeng Giat Gembira, Lakon
Sandiwara dan Leloetjon. Membaca drama-drama tersebut, kita dapat
mengajukan tiga pertanyaan berikut. Pertama, benarkah drama-drama
yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon
itu mengandung propaganda untuk kepentingan Jepang? Kedua, hal-hal
apakah yang dipropagandakan dalam drama-drama tersebut? Ketiga,
selain muatan propaganda, adakah muatan lain yang bersifat kontrapropaganda dalam drama-drama tersebut?
Drama Zaman Jepang
Banyak kritikus yang menyatakan pentingnya masa Jepang bagi
7
perkembangan genre sastra drama Indonesia. Dalam Bentuk Lakon dalam
Sastra Indonesia, Boen S. Oemarjati (1971: 10) menyebut masa
penjajahan Jepang ini sebagai “periode pembangunan”. Oemarjati
mencatat bahwa sepanjang masa penjajahan Jepang karya drama yang
lahir mencapai hampir dua kali lipat (sebanyak 21 buah) dibanding
jumlah karya yang ditulis selama lima belas tahun sebelumnya, sejak
Bebasari sampai kedatangan Jepang awal 1942 (12 buah).
H.B. Jassin pada satu tulisannya yang termuat dalam Tifa Penyair
dan Daerahnya (1991: 91), mengemukakan bahwa “Terutama di masa
Jepang banyak sekali ditulis dan dipertunjukkan drama-drama”.
Dikatakan terutama, karena dalam tulisan itu Jassin membandingkannya
dengan masa sebelum dan sesudahnya, yakni Angkatan Pujangga Baru
dan Angkatan 1945. Namun, pernyataan Jassin bahwa di masa Jepang
banyak sekali ditulis karya drama tidak tergambarkan dengan jelas dalam
bunga rampai susunan Jassin sendiri, Kesusastraan Indonesia di Masa
Jepang (1985). Dalam bunga rampai tersebut, hanya dimuat satu karangan
Amal Hamzah berjudul “Seniman Pengkhianat” yang berisi dialog antara
X dan Y, tanpa sedikit pun keterangan tentang pemanggungan
sebagaimana lazimnya teks drama pada masa itu (Jassin, 1985: 88-92).
Pada bagian pendahuluan buku itu pun, Jassin (1985: 15-16) hanya
membicarakan sekilas tentang drama ini pada ulasan mengenai karangan
El Hakim dengan fokus pembicaraan pada karangan drama berjudul
“Dewi Reni”.
Dalam Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi, bunga rampai “yang terjadi
dari kumpulan hasil-hasil kesusastraan yang dikutip selama semenjak
kedatangan Jepang di Indonesia tahun 1942 hingga tahun 1948”, Jassin
(1993: 76-86) hanya menyertakan satu drama karya Amal Hamzah yang
lain, berjudul “Tuan Amin”. Dalam keterangan pengarang pada bagian
awal, drama berjudul “Tuan Amin” ini ditulis Amal Hamzah pada masa
Jepang (ditulis di Jakarta, 1 Juli 2603-6 Juli 2605 – perhitungan tahun
Jepang) sebagai “Kenangan pada waktu aku tersesat masuk ke dalam
‘Rumah Gila’ dan juga kenangan kepada pasien-pasien di sana…”. Yang
dimaksud dengan “rumah gila” ialah kantor seni propaganda Jepang,
Poesat Keboedajaan.
Pada ketiga bunga rampai yang disusunnya, Jassin menganggap perlu
mencantumkan keterangan tentang genre apa saja yang tercakup di
dalamnya, yakni prosa dan puisi. Dengan hanya menyebut dua genre
8
itu, tidak begitu jelas bagaimana Jassin memandang genre drama, apakah
tergolong ke dalam prosa, atau merupakan satu genre lain yang dengan
sengaja tidak dibicarakan dalam semua bunga rampai yang disusunnya.
Akan tetapi, disertakannya drama Amal Hamzah dalam bunga rampai
Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang dan Gema Tanah Air, Prosa dan
Puisi di atas memberi kesan bahwa dalam pandangan Jassin, drama
menjadi satu ragam dengan genre prosa.
Jika drama dianggap satu ragam dengan prosa, lalu bagaimana dengan
drama yang lain? Dalam hal ini, ada kesan bahwa Jassin dengan sengaja
(atau tidak sengaja?) ‘menghindar’ untuk membicarakan drama-drama
yang lain yang sebagian besar mempunyai corak yang berbeda dengan
dua drama karya Amal Hamzah itu. Dalam kata pengantar Gema Tanah
Air, Prosa dan Puisi, Jassin (1993) mengemukakan bahwa sumber-sumber
yang dipergunakannya adalah sejumlah majalah dan surat kabar seperti
Djawa Baroe, Keboedajaan Timoer, dan Pandji Poestaka.
Pada tahun-tahun penjajahan Jepang, seperti dikemukakan Kratz
(1988) dalam A Bibliography of Indonesian Literature in Journals: Drama,
Prose, Poetry, majalah-majalah yang terbit memuat pula karya-karya drama.
Djawa Baroe terbitan sepanjang tahun 1945 memuat “Kumityoo
Istimewa”, “Gerakan Hidup Baru”, dan “Hidup dan Mati” (Ananta
Gs.) serta “Kuli dan Romusha” (J. Hoetagaloeng). Keboedajaan Timoer
selama tiga tahun penjajahan Jepang memuat lima karya drama, yakni
“Bende Mataram” (Arifin K. Oetojo), “Sakura dan Nyiur” (M.D. Alif),
“Pandu Pertiwi” (Merayu Sukma), “Mutiara dari Nusa Laut” (Usmar
Ismail), dan “Jinak-Jinak Merpati atau Hantu Perempuan” (Armijn Pane).
Pandji Poestaka pada tahun 1944 memuat satu karya drama berjudul
“Bangsacara dan Ragapadmi” (Ajirabas). Berbeda dengan dua karya Amal
Hamzah, kebanyakan drama yang lain pada masa Jepang ini, dalam
pengamatan Oemarjati (1971) dan Sumardjo (1992) merupakan dramadrama propaganda.
Dengan kata lain, Jassin seperti tidak mau membicarakan dramadrama yang mengandung muatan propaganda di dalamnya. Keengganan
Jassin untuk membicarakan hal ini menjadikan gambaran tentang dramadrama pada masa Jepang yang sesungguhnya tidak dijumpai pada, dan
malah bertolak belakang dengan, drama-drama yang dimuat dalam bunga
rampai Jassin itu.
9
Propaganda dalam Panggoeng Giat Gembira
Sejalan dengan makin gencarnya usaha pemerintah militer Jepang
melakukan mobilisasi untuk kemenangan Jepang yang mulai meningkat
sejak Oktober 1943 (Ricklefs, 1995: 308), maka wajar jika propaganda
untuk meningkatkan keterlibatan (rakyat) Indonesia dalam mobilisasi
itu juga makin gencar. Pada Oktober 1943 pihak Jepang memerintahkan
penghimpunan romusha dan membentuk organisasi pemuda Peta di
samping pasukan pembantu Heiho yang sudah lebih dulu ada. Program
mobilisasi ini melibatkan pula kalangan sastrawan yang tergabung dalan
Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara
Keliling, Poesat Keboedajaaan) yakni dengan mencipta karangan drama
propaganda.
Seperti karangan puisi dan prosa, karangan drama pada masa Jepang
juga banyak dipublikasikan melalui majalah, antara lain Djawa Baroe,
Keboedajaan Timoer, dan Pandji Poestaka. Sebagian dari majalah itu
merupakan penerbitan resmi pemerintah militer Jepang, dan karena
itu jelas menyuarakan, termasuk mempropagandakan, kepentingan
pihaknya. Sebagian lagi adalah penerbitan partikelir yang tidak lepas
dari mata sensor yang ketat sehingga mau tidak mau harus turut pula
menyampaikan propaganda pihak Jepang itu. Maka drama-drama yang
lahir pada masa itu, seperti dikemukakan Oemarjati (1971: 110) dan
Sumardjo (1992: 246-50), sedikit banyak pada umumnya mengandung
muatan propaganda.
Untuk kepentingan propaganda yang tengah gencar dilakukan, Djawa
Hookookai Keimin Bunka Shidosho secara khusus menerbitkan buku
Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjoen. Kumpulan ini
terbit sebanyak tiga jilid; pada jilid pertama dinyatakan bahwa buku
itu terbit pada bulan “Pebroeari 2605” (perhitungan tahun Jepang =
1945M), sedangkan pada jilid kedua dan ketiga tidak dinyatakan waktu
penerbitannya, tetapi dapat dipastikan bahwa keduanya terbit pada
tahun yang sama. Panggoeng Giat Gembira jilid I memuat dua buah lakon:
“Kami Perempoean” karya Asia Poetera dan “Bekerdja!” karya Ananta
Gs., serta dua buah lelucon: “Djarak” karya Djojokoesoemo dan
“Gendoet dan Kampret” karya A. Kartahadimadja. Panggoeng Giat
Gembira jilid II memuat tiga lakon, “Koesoema Noesa” karya Kotot
Soekardi, “Ajoo…. Djadi Roomusha!” karya Ananta Gs., dan “Awas,
Mata-Mata Moesoeh” karya D. Djojokoesoemo. Panggoeng Giat Gembira
10
jilid III berisi dua lakon: “Lolobis (Ajo, Semoea Sadja Bekerdja)” karya
A. Subyanto dan “Kembali dari Medan Perang” karya Ananta Gs., serta
dua buah lelucon, “Huzinkai” karya Anak Masjarakat, dan “Bebek
Bertoeah” karya Aki Panjoempit.
Bahwa drama-drama yang dimuat dalam Panggoeng Giat Gembira,
Lakon Sandiwara dan Leloetjon dimaksudkan sebagai propaganda, secara
tersurat dinyatakan dalam “Permoelaan Kata” berikut.
Panggoeng sandiwara dimasa perdjoeangan jang sedang
memoentjak ini, maka mendjadi tempat jang penting bagi
pengolahan semangat garis belakang. Dimana-mana, sampaisampai kepeloksok negeri, orang siboek mengoesahakan
pertoendjoekan-pertoendjoekan sandiwara. Njatalah, keinsafan
soedah tertanam. Meskipoen bagaimana djoega, oentoek
mentjapai kemenangan jang sempoerna atas moesoeh kita
Inggris-Amerika dan Belanda, garis belakang hendaknja sekedjap
poen djangan melemah, malahan hendaknja menjamai
semangat garis depan, seperti jang ditoendjoekkan oleh
“Kamikaze Tokubetsu Kogeki-tai”.
Demikianlah dari segala peloksok kami terima permintaan
soepaja dikirimi lakon-lakon sandiwara serta leloetjon, hingga
kami merasa perloe menerbitkan boekoe ketjil ini. Kiranja lajak
dipertoendjoekkan oleh penggemar-penggemar sandiwara
dalam paberik, bengkel, sekolah, dimana sadja dirasa perloe
menggerakkan semangat, boekoe ketjil ini bermaksoed djoega
menghiboer, hingga moedah-moedahan tertjapailah “sekali
memboeka peti, doea tiga oetang terbajar”.
Uraian berikut ini akan memaparkan propaganda yang disampaikan
dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon.
“Kami, Perempoean” adalah drama karya Asia Poetera yang, dalam
“Kata Pembimbing” dinyatakan, “mengemoekakan so’al wanita dan
Pembela Tanah Air dengan tjara jang loetjoe dan menarik”. Seorang
suami bernama Mahmoed bingung tidak tahu bagaimana caranya
menyampaikan kabar kepada Aminah, istrinya, bahwa ia diterima
menjadi anggota barisan Pembela Tanah Air. Kebingungan dirasakan
Mahmoed karena Aminah tidak setuju dengan keinginan Mahmoed
menjadi anggota Peta. Adapun Sri, adik Aminah, malahan putus dengan
Soepono tunangannya karena “… Pono penakoet. Dia tidak maoe
masoek Tentera Pembela Tanah Air. Akoe maloe mempoenjai toenangan
11
jang takoet toeroet perang....” Takut sang istri tidak berkenan, Mahmoed
meminta bantuan Sri untuk memberi tahu Aminah. Pada saat yang
sama, Soepono datang meminta bantuan Aminah untuk memberi tahu
Sri bahwa ia sudah lama mendaftarkan diri dan kini diterima masuk
Peta, dan dengan demikian ia “berhak” kembali menjadi tunangan Sri.
“Cara yang lucu dan menarik” muncul dalam drama ini, ketika Aminah
dan Sri saling bertukar kabar, sementara Mahmoed bersembunyi di
lemari dan Soepono di bawah meja.
Drama ini menyampaikan propaganda agar segenap penduduk, baik
laki-laki maupun perempuan, para pemuda sampai kaum tua, bekerja
sama bahu-membahu untuk kemenangan Jepang “mengoesir orang
Inggeris, Amerika dan Belanda”. Semua tokoh dalam drama ini
mempropagandakan berbagai upaya yang dapat dilakukan masingmasing. Mahmoed dan Soepono dengan “toeloes ichlas” masuk barisan
Peta. Sementara Aminah (istri Mahmoed) dan Sri (tunangan Soepono),
masing-masing berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran suami
dan kekasihnya bergabung ke dalam Peta. Bapak beserta dua tetangga
mereka, Arifin dan Soeharto yang merasa cemburu karena Mahmoed
dan Soepono masuk Peta, “bekerdja oentoek oemoem” dengan
bergabung ke Badan Pembantoe Pembelaan. Demikian pula dengan
tokoh Ibu yang bergabung membaktikan keahliannya “memasak oentoek
rakjat oemoem”, dalam Fujinkai.
Propaganda untuk memasuki barisan Peta juga disampaikan dalam
“Koesoema Noesa”, drama dua babak karya Kotot Soekardi. R.
Handiman, seorang bekas aktivis pergerakan “jang semangatnja tetap
menjala” menderita batin dan hampir saja membunuh Hartomo akibat
tidak kuasa menanggung malu karena anaknya itu tidak mau masuk
barisan Peta. Sebaliknya, Hardjanti menolak keinginan orang tuanya
untuk menikah dengan Oetojo karena lelaki itu bukan seorang prajurit.
Suasana keluarga itu menjadi dingin dan tidak menyenangkan, sampaisampai pembantunya juga pergi. Hartomo melarikan diri dan R.
Handiman menjadi pemurung dan tidak punya semangat hidup. Akhir
cerita drama ini mirip dengan drama Asia Poetera di atas. Hartomo
dan Oetojo pulang dengan seragam prajurit Heiho. Hardjanti pun kini
tidak menolak Oetojo. Bahkan Amat, pembantu keluarga yang turut
menghilang, kini menjadi seorang Kaigun Heiho.
Dua drama karya Ananta Gs. berjudul “Bekerdja!” dan “Kembali
12
dari Medan Perang” juga mempropagandakan untuk ikut “berjuang”
menjadi barisan Heiho serta menjadi barisan pendukungnya; pokoknya,
turut ambil bagian untuk kemenangan Jepang. Dalam drama “Bekerdja!”,
Bang Djangkoeng berusaha “menanamkan kesadaran” kepada Pak
Gendoet agar mau bekerja untuk “kepentingan bersama”. Pak Gendoet
yang malas bekerja dan sering cekcok dengan istrinya, setelah dinasihati
Pak Kumicho dan Bang Djangkoeng kawannya, akhirnya insaf. Pak
Gendoet sekeluarga ambil bagian dalam “perjuangan”: Gendoet anaknya
menjadi prajurit “madjoe kemedan perang jang paling depan”, Pak
Gendoet “kemedan perang sebagai pradjoerit patjoel digaris belakang”,
dan Mak Gendoet masuk Fujinkai.
Dalam drama “Kembali dari Medan Perang” dilakonkan seorang
Heiho bernama Hamid yang baru kembali dari Birma. Ia pulang dengan
membawa berita yang menyedihkan; Samad, kakak iparnya yang juga
Heiho, tewas di Birma. Sangat jelas bahwa drama ini mempunyai
tendens bahwa keluarga-keluarga yang ditinggal mati oleh anggota
keluarga yang menjadi Heiho harus merasa bangga karena mereka
dianggap telah berjasa dan yang tewas itu tidaklah sia-sia karena menjadi
pahlawan. Meskipun anak sulungnya tewas, Pak Djangkoeng merasa
bergirang hati karena anaknya yang ketiga, tanpa takut menghadapi resiko
kematian, sudah meminta izin menjadi prajurit Peta.
Jika keempat drama di atas mempropagandakan masuk Peta dan
Heiho, drama “Lolobis (Ajo, Semoea Sadja Bekerdja) karya A. Subyanto
berisi “andjoeran masoek mendjadi romusha dengan kesedaran dan atas
kemaoean sendiri (soekarela)”. Djaja, Oedjang, Parta, bahkan Mak Idjah
yang sudah tua bersemangat menjadi romusha karena mereka sadar,
seperti dikatakan Djaja, bahwa “… kalau perang ini haroes dipertjepat
mentjapai kemenangan soepaja kita djoega selekasnja terlepas dari
kesoesahan sebab adanja perang, maka sanggoeplah akoe toeroet bantoe
peperangan ini”.
Muatan propaganda pada drama ini sama dengan propaganda dalam
karya Ananta Gs. “Ajoo…. Djadi Roomusha!”. Dalam drama ini
disampaikan propaganda agar penduduk mau dengan sukarela menjadi
romusha. Pak Gendoet yang mendapat tugas untuk mencari tenaga
romusha berhasil membujuk Pak Krempeng dan Toean Moeda menjadi
tenaga kerja paksa. Dipropagandakan dalam drama ini bahwa menjadi
romusha penting untuk “menggalang Indonesia merdeka dikemoedian
13
hari.”
Dua drama karya D. Djojokoesoemo dalam kumpulan ini adalah
drama pendek “Djarak” dan drama dua babak “Awas, Mata-Mata
Moesoeh”. Drama yang menggambarkan ketololan Mbok Bopeng
memakan buah jarak ini mempropagandakan penanaman pohon jarak,
yang hasilnya dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah militer
Jepang. Sementara itu, yang disebut mata-mata musuh dalam drama
“Awas, Mata-Mata Moesoeh” ternyata Mpok Moot yang mengambil
daun pisang ambon Mpok Botak, dan Kasim, suruhan Tuan Saman,
yang mencuri air dari selokan untuk mengairi sawah majikannya. Ketiga
orang ini, seperti layaknya dalam drama didaktis, akhirnya insaf.
Drama “Huzinkai” karya Anak Masjarakat mengisahkan Soeharti,
anggota Huzinkai, yang aktif memberikan pelajaran dari satu kursus ke
kursus lain. Aktivitas Soeharti mula-mula mendapat tentangan keras
Pak Sastra, pamannya. Pada akhir drama, sikap pamannya berubah
setelah melihat betapa besar manfaat dari aktivitas keponakannya yang
bergabung dalam Huzinkai. “Sajang akoe boekan perempoean, tidak
bisa masoek Huzinkai,” sesal Pak Sastro pada dialog terakhir drama ini.
“Bebek Bertoeah” karya Aki Panjoempit berpropaganda agar
berbakti kepada negeri dan “memperlipatkan hasil” untuk kepentingan
perang. Ketika Kutyo meminta bantuan uang untuk kepentingan umum,
Pak Djoeriah yang kikir hanya memberikan seekor bebek yang sudah
tidak lagi bertelur. Di tangan Kutyo, bebek itu mau bertelur bahkan
sekali bertelur bukan hanya satu butir. Melihat Pak Djoeriah yang
keheranan atas kejadian itu, Saenan menjelaskan, “Doeloe ia haroes
berteloer oentoek kepentingan Pak Djoeriah sendiri, sekarang ia berbakti
kepada Negeri”. Cerita bebek ajaib yang bertelur untuk “berbakti kepada
negeri” itu ternyata hanya siasat Kutyo agar Pak Djoeriah rela
menyumbangkan hasil panennya untuk pemerintah.
Adapun drama “Gendoet dan Kampret” karya A. Kartahadimadja
menyampaikan propaganda pentingnya mengurus keluarga. Gendoet
yang sedang bermain gundu dengan Kampret ditangkap Kumicho garagara bolos sekolah. Anak itu membolos sekolah karena “orang tuanja
koerang memperhatikan anak-anak itoe”. Atas nasihat Kucho, Pak
Gendoet menyadari kelalaiannya memperhatikan anaknya.
Demikianlah propaganda dalam Panggoeng Giat Gembira: Lakon
Sandiwara dan Leloetjon. Propaganda disajikan dengan menggunakan
14
piranti kesastraan berupa dialog. Karena hanya menggunakan dialog,
maka propaganda yang disajikan dalam Panggoeng Giat Gembira, Lakon
Sandiwara dan Leloetjon cenderung bersifat verbalistis. Dialog-dialog dalam
sejumlah drama di atas berisi propaganda yang sejalan dengan prioritas
kebijaksanaan pemerintah militer Jepang di Indonesia masa itu, yakni
mobilitas untuk kemenangan Jepang.
Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda
Pada tiga tahun terakhir menjelang Indonesia merdeka, pemerintahan
militer Jepang bukanlah satu-satunya kenyataan sosial yang berpengaruh
terhadap penciptaan karya sastra termasuk drama. Patut pula
diperhitungkan semangat perjuangan kemerdekaan yang telah tumbuh
jauh sebelum Jepang datang menduduki wilayah jajahan Hindia Belanda.
Dalam kadar yang beragam, semangat perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan ini berseberangan dengan sikap membela penjajah dengan
turut membantu mempropagandakan ajakan untuk membantu
pemerintah Jepang. Dengan demikian, bisa dipertanyakan apakah benar
drama-drama di masa Jepang itu sepenuhnya merupakan propaganda,
atau adakah maksud lain yang tersirat di dalamnya yang mungkin berupa
penolakan atas propaganda itu sendiri atau kontra-propaganda.
Benarkah drama-drama itu sepenuhnya merupakan propaganda?
Dialog-dialog dalam drama di atas memang secara tersurat merupakan
ajakan untuk turut berjuang bersama-sama Jepang melawan penjajah,
mengajak masyarakatnya untuk merelakan hartanya demi kepentingan
perang, dan bahkan menanamkan kesadaran untuk mau menjadi
romusha. Namun, dialog jelas bukan satu-satunya unsur pokok dalam
drama. Di samping dialog, terdapat unsur lain yang dapat menjadi
kendaraan untuk mengangkut tema sebuah karya, seperti alur, tokoh
dan latar. Pada uraian berikut ini, drama-drama yang telah dibicarakan
akan ditinjau ulang dari sudut yang belum dibicarakan.
Drama “Kami, Perempoean” menyajikan konflik antara dua pasang
lelaki dan perempuan: pasangan kekasih Sri-Soepono dan pasangan
suami-istri Mahmoed-Aminah. Kedua pasangan ini mengalami konflik
gara-gara ketidaksepahaman yang timbul akibat keterlibatan dan
ketidakterlibatan si lelaki dalam organisasi Peta. Sri putus dengan
Soepono gara-gara Soepono tidak menjadi anggota Peta, sementara
Aminah cekcok dengan Mahmoed gara-gara suaminya itu masuk Peta.
15
Dalam drama yang bermaksud mempropagandakan masuk Peta ini
tergambar urusan pemerintah telah masuk ke wilayah keluarga.
Hubungan percintaan Sri-Soepono dan keutuhan keluarga AminahMahmoed hanya bisa langgeng jika si lelaki pada kedua pasangan ini
memenuhi kewajiban yang dibebankan pemerintah militer Jepang, yakni
menjadi anggota Peta. Drama ini menggambarkan merasuknya kekuasaan
pemerintah militer Jepang ke dalam wilayah yang sangat pribadi yaitu
ikatan keluarga dan hubungan percintaan.
Masuknya kekuasaan negara ke dalam wilayah keluarga juga terlihat
pada drama “Koesoema Noesa”. Kewajiban menjadi Heiho telah
memorakporandakan keluarga R. Handiman. Hubungan ayah-anak
menjadi berantakan gara-gara Hartomo menolak menjadi Heiho,
sementara Hardjanti menolak menikah dengan Oetojo karena persoalan
yang sama. Hubungan antaranggota keluarga itu baru kembali harmonis
setelah “syarat” dipenuhi; Hartomo dan Oetojo masuk ke dalam barisan
Heiho – bahkan pembantu keluarga itu juga.
Dalam “Kembali dari Medan Perang” terdapat tokoh Pak Krempeng.
Nama tokoh ini merupakan sebutan terhadap tokoh berdasarkan
keadaan fisiknya yang sangat kurus. Kamus Besar Bahasa Indonesia
memerikan k(e)rempeng sebagai “sangat kurus sehingga tulang rusuk
tampak menonjol; kurus sekali (sehingga tampak tipis)”. Menghadirkan
tokoh yang kurus sekali, dalam drama bercorak lelucon memang bisa
dianggap sebagai hal biasa. Namun, keadaan tokoh ini juga bisa
dimaknai lain. Keadaan sangat kurus, apalagi sampai tulang rusuknya
tampak menonjol, dapat pula menggambarkan penderitaan dalam waktu
yang tidak sebentar, menderita kelaparan atau menderita pikiran.
Dalam drama “Ajoo…. Djadi Romusha!”, keengganan Pak Gendoet,
pekerja yang bertugas mengumpulkan “romusha soeka rela” dapat
dipandang sebagai kontra-propaganda atas apa yang dipropagandakan
Pak Gendoet sendiri. Meskipun pada akhirnya Pak Gendoet menuliskan
namanya dalam daftar “romusha soeka rela”, tetapi tindakan itu
dilakukan karena desakan istrinya. Sebagai “pekerdja mengoempoelkan
romusha soeka rela”, Pak Gendoet tentulah orang yang paling tahu apa
yang akan terjadi pada pekerjaan tersebut.
Drama “Djarak” diawali dengan tindakan tolol Mbok Bopeng
memakan buah jarak. Tindakan lucu pada awal drama ini mengandung
makna metaforik. Seperti nama Pak Krempeng dalam drama “Kembali
16
dari Medan Perang”, nama Mbok Bopeng mengacu pada keadaan fisik,
wajah tokoh yang mengesankan seram dan menakutkan. Pada zaman
Jepang, penduduk diwajibkan menanam jarak dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintah militer Jepang dengan harga murah. Mbok Bopeng
dapat diartikan sebagai gambaran pemerintah militer Jepang yang
“memakan” kekayaan penduduk.
“Awas Mata-Mata Moesoeh” menyajikan propaganda dengan
pernyataan-pernyataan kabur makna. Pernyataan bermakna kabur ini di
sisi lain justru melahirkan ambiguitas yang cenderung bersifat kontrapropaganda. Seorang perempuan tua yang mengambil daun pisang dari
kebun milik perempuan tua lainnya dan seorang buruh tani yang
mencuri air dari selokan untuk mengairi sawah majikannya diberi
julukan yang seram yakni sebagai “mata-mata musuh”. Drama ini
menggambarkan betapa represifnya pemerintah militer Jepang, sehingga
hal-hal yang amat sepele pun bisa mengakibatkan malapetaka yang amat
besar.
“Bebek Bertoeah” menyajikan sebuah keajaiban; seekor bebek yang
sudah tidak bertelur tiba-tiba besaja bertelur kembali, bahkan sekali
bertelur lebih dari satu butir. Alasannya, karena kini bebek itu
disumbangkan untuk kepentingan umum. Akan tetapi, keajaiban itu
ternyata hanyalah taktik Kutyo menipu Pak Djoeriah agar dengan rela
menyumbangkan hasil panennya. Kehadiran tokoh Kutyo sebagai
penipu, tentu dapat memperlemah propaganda yang disampaikan drama
ini.
Penelaahan lebih kritis atas drama-drama yang terhimpun dalam
tiga jilid Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon di atas
menunjukkan bahwa pada sebagian besar drama tersebut terkandung
juga pesan terselubung yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai
penolakan terhadap apa yang dipropagandakan yang dinyatakan secara
verbal dalam unsur dialog drama tersebut. Penolakan semacam itu
dikategorikan sebagai kontra-propaganda. Berbeda dengan muatan
propaganda yang demikian jelas dan karena itu dengan mudah segera
tertangkap pembaca – karena Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara
dan Leloetjon memang diterbitkan untuk maksud propaganda, muatan
kontra-propaganda dalam drama tersebut dinyatakan secara tersirat dan
bahkan tersembunyi. Jika pesan propaganda disampaikan secara verbal
melalui dialog, pesan yang bersifat kontra-propaganda disusupkan ke
17
dalam drama melalui piranti pengaluran dan penokohan.
Penutup
Setelah menelaah sebelas drama (sandiwara dan lelucon) yang dimuat
dalam kumpulan sandiwara dan lelucon Panggoeng Giat Gembira, dapat
disimpulkan bahwa drama-drama yang dimuat dalam kumpulan
Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon memang
dimaksudkan sebagai propaganda. Propaganda yang disampaikan dalam
drama-drama tersebut sejalan dengan prioritas kebijaksanaan perintah
militer Jepang di Indonesia masa itu, yakni mobilisasi untuk
kemenangan Jepang. Adapun isi yang disampaikan dalam drama-drama
yang ditelaah adalah: (a) penanaman kesadaran untuk bergabung ke dalam
barisan Pembela Tanah Air, Heiho, serta perkumpulan lain seperti Badan
Pembantu Pembelaan, Fujinkai, dan Huzinkai; (b) penanaman kesadaran
untuk bersedia menyumbangkan tenaganya dengan menjadi romusha
atau tenaga kerja paksa; serta (c) penanaman kesadaran untuk bersedia
mendukung perjuangan dengan menyumbangkan harta benda yang
dimiliki. Propaganda tersebut disampaikan secara verbal dengan
menggunakan piranti kesastraan berupa dialog tokoh-tokoh dalam
drama.
Meskipun drama-drama tersebut ditulis dengan tujuan propaganda
sebagaimana kehendak pemerintah Jepang, di dalam drama-drama
tersebut terkandung juga pesan berupa penentangan terhadap apa yang
dipropagandakan. Pesan yang dapat dianggap sebagai kontra-propaganda
itu berupa penggambaran bahwa penderitaan atau keadaan yang tidak
membahagiakan akibat kekuasaan pemerintah Jepang yang menjangkau
sampai ke wilayah yang bersifa personal. Pesan kontra-propaganda ini
disampaikan secara tersirat melalui pengaluran dan penokohan.
18
Daftar Pustaka
Cuddon, J.A. Dictionary of Literary Terms, revised edition. Middlesex:
Penguin Book. 1986.
Damono, Sapardi Djoko. “Novel dan Propaganda” (makalah seminar).
1994.
Darma, Budi. “Beberapa Gejala dalam Penulisan Sastra”, dalam Horison
Tahun XVIII No. 1, Januari 1983.
Foulkes, A.P. Literature and Propaganda. New York: Methuen. 1983.
Jassin, H.B. Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi. Jakarta: Balai Pustaka, cet.
ke-10. 1993.
Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka,
cet. ke-5. 1985.
Jassin, H.B. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Haji Masagung, cet. ke8. 1991.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1991.
Kratz, E.U. Bibliography of Indonesian Literature in Journals: Drama, Prose,
Poetry. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988.
Mahayana, Maman S. dkk. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992.
Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature. 1995.
Oemarjati, Boen S. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung. 1971.
Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan Leloetjon, jilid I – III.
Djakarta: Djawa Hookookai Keimin Bunka Shidosho. 2605.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1995.
Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bhakti. 1992.
19
20
Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara:
Warisan Tradisi Tulis yang Belum
Tergenggam1
Abstrak
Southeast Sulawesi inherits a brilliant written tradition from Buton’s
Sultanate. However, from the past time to the present day this tradition has
not been well-sustained as it has been done by other regions with similar
tradition. This paper aims to discuss the position of Southeast Sulawesi in
the realm of Indonesian literatures as well as the development of Indonesian
literatures in Southeast Sulawesi. As this paper indicates, as far as literature
is concerned, Southeast Sulawesi has not yet well-established in the realm of
Indonesian literature. Most important factors contributed to this condition
include the non-existence of literary figures who are capable of developing
literature community in the region, and lack of awareness of cultural
responsibility in the part of the mass media for the provision of ample
opportunities for literary creation.
Warisan Terpendam, Warisan Tergenggam
Adakah nama Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia? Bila
merujuk kepada warisan tradisi penulisan pada masa lampau, semestinya
nama Sulawesi Tenggara sudah tercatat dalam peta itu. Di provinsi ini,
pada masa silam, berdiri antara lain sebuah kerajaan (yang kemudian
berubah menjadi kesultanan) bernama Buton. Kerajaan yang
diperkirakan berdiri pada awal abad XIV dan berakhir pada tahun 1960
ini meninggalkan kekayaan warisan yang masih terpendam: naskah.
Sebuah proyek inventarisasi naskah Buton yang dikerjakan oleh
21
Achadiati Ikram dkk. telah berhasil melakukan pembuatan katalog dan
sinopsis isi sebanyak 320 naskah koleksi Abdul Mulku Zahari.2
La Niampe menyatakan bahwa di Kesultanan Buton tradisi
penulisan naskah ini berkembang di kalangan keluarga bangsawan yang
diajar oleh para ulama yang datang ke Buton atas undangan para sultan.3
Para ulama yang datang ke Negeri Butun antara lain Syarif Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman, Firus Muhammad, Sayid Raba, Said Ulwi, Haji
Sulaiman atau lebih dikenal dengan nama Haji Pada, Abdullah atau
Mojina Kalau, Tuan Muda Abdul Rahman Khudari Wan Ali Fatani,
serta Syekh Muhammad bin Syais Sumbul al-Makki. Dari didikan para
ulama yang datang itulah kemudian di kesultanan ini lahir para penulis
seperti Muhammad Idrus Qaimuddin, Muhammad Isa Qaimuddin,
Haji Abdul Ganiu, Haji Abdul Hadi, La Kobu, dan Abdul Khalik Maa
Saadi.4 Oleh karena itu, tidaklah salah jika Saifuddin Gani menjuluki
Kesultanan Buton ini sebagai negeri pujangga.5 Karena kegemilangan
tradisi penulisan di masa silam itulah, maka perkembangan sastra di
Sulawesi Tenggara semestinya dapat menyamai kemajuan di daerah lain
yang memiliki tradisi masa silam yang sama.
Akan tetapi, walaupun tradisi penulisan di masa Sultan Muhammad
Idrus Qaimuddin (penulis Bula Malino, memerintah pada 1824-1851)
di Buton lebih kurang sezaman dengan Raja Ali Haji (penggubah
Gurindam 12, 1809-1870) di Riau, 6 ternyata keberlanjutan tradisi
penulisan ke masa kini tidaklah sama. Keberlanjutan hidup sastra
Melayu, menurut Abdul Razak Zaidan, mewujud dalam bentuk
“metamorfosis”, seperti pengolahan mantra dalam tradisi Melayu Riau
oleh Sutardji Calzoum Bachri, penafsiran tambo oleh Gus tf, serta
pergulatan kreatif Ediruslan P. Amanriza dan Taufik Ikram Jamil. 7
Sementara Riau telah melahirkan beberapa generasi sastrawan ternama,
Sulawesi Tenggara hingga kini masih belum juga melahirkan sastrawan
yang dikenal khalayak pembaca di seluruh Indonesia. Tepatlah kiranya
jika Achadiati Ikram dkk. menganggap koleksi naskah Buton sebagai
warisan terpendam.8 Warisan tradisi tulis yang terpendam dari masa
Kesultanan Buton itu belum digali dengan baik sehingga belum juga
lahir penulis-penulis yang dapat menorehkan nama Sulawesi Tenggara
pada peta sastra Indonesia. Adapun di Riau, tradisi penulisan semasa
Raja Ali Haji dan sebagainya telah menjadi warisan yang tergenggam
oleh generasi penerusnya di masa kini.
22
Perbedaan kondisi keberlanjutan tradisi masa silam pada masa kini
antara Riau (serta beberapa daerah lain yang memiliki tradisi tulis pada
masa silam) dengan Sulawesi Tenggara, khususnya Buton (yang juga
memiliki tradisi yang sama di masa lalu) tentu menarik untuk menjadi
bahan penelaahan. Tulisan ini pertama-tama akan membahas posisi
Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia. Selanjutnya akan
diuraikan pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara; siapa
saja pengarang yang berkecimpung dalam dunia sastra di provinsi ini
serta berbagai persoalan yang muncul dalam proses pertumbuhan
tersebut.
Sulawesi Tenggara dalam Peta Sastra Indonesia
Satu-satunya buku sejarah sastra Indonesia yang mencatat kegiatan
sastra di Sulawesi Tenggara adalah Pengantar Sejarah Sastra Indonesia
karangan Yudiono K.S. 9 Catatan Yudiono K.S. dalam buku itu
didasarkan pada sebuah hasil penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara tentang komunitas sastra di Sulawesi Tenggara.10 Dalam bukubuku sejarah sastra Indonesia yang lain, belum pernah tercatat seorang
pun sastrawan yang lahir dan/atau tinggal menetap di Sulawesi Tenggara.
Dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern karangan Pamusuk Eneste
misalnya, dalam seluruh angkatan sastra yang ada, tidak seorang sastrawan
pun yang berasal dari Sulawesi Tenggara.11
Sesungguhnya ada dua sastrawan yang lahir di Sulawesi Tenggara.
Namun keduanya memulai dan menjalani proses kepengarangan di
daerah lain. Kedua sastrawan itu adalah La Ode Pesu Aftarudin dan
Asia Ramli Prapanca. 12 La Ode Pesu Aftarudin adalah kelahiran
Kampung Kasaka, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Ia mulai menulis
puisi ketika duduk di bangku SGA Garut. Puisi-puisinya dimuat antara
lain pada majalah Basis, Horison, dan Budaya Jaya. Ketika kuliah di IKIP
Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia), ia mulai pula menulis
masalah-masalah sastra dan kebudayaan.13 Adapun Asia Ramli Prapanca
lahir di Kampung Usuku, Kecamatan Tomia, yang kini termasuk wilayah
Kabupaten Wakatobi. Ia menempuh pendidikan menengah di
Banyuwangi, Pasuruan, dan Ambon hingga kemudian kuliah di IKIP
Ujung Pandang (kini Universitas Negeri Makassar). Tahun 1993 ia
menerbitkan kumpulan puisi berjudul Berita dari Karaeng.14
Karena proses kepengarangan keduanya berlangsung di luar Sulawesi
23
Tenggara – La Ode Pesu Aftarudin di Jawa Barat dan Asia Ramli Prapanca
di Sulawesi Selatan, maka keduanya tidak serta-merta menjadikan
provinsi tanah kelahiran keduanya sebagai kantong sastra yang patut
diperhitungkan. Tidak adanya sastrawan asal Sulawesi Tenggara yang
ditokohkan atau tokoh sastra yang tinggal di Sulawesi Tenggara ini kiranya
harus diakui sebagai salah satu penyebab mengapa kekayaan warisan
tradisi penulisan dari masa silam masih saja terpendam, sementara
daerah lain yang memiliki sastrawan yang ditokohkan di daerahnya
warisan tradisi penulisan itu dapat tergenggam.15 Kenyataan ini sejalan
dengan pernyataan Goenawan Mohamad bahwa “kesusastraan Indonesia
adalah … kesusastraan kota”.16 Di Sulawesi Tenggara pun, kegiatan seni
masih terpusat di Kendari sebagai ibukota provinsi.
Upaya menempatkan nama Sulawesi Tenggara untuk dikenal sebagai
salah satu kantong sastra di Indonesia mulai dilakukan oleh Syaifuddin
Gani, seorang penyair kelahiran Salubulung, Mambi, Sulawesi Barat,
yang memulai aktivitas berkesenian sebagai pemain drama di Teater
Sendiri, dua puluh tahun lalu. Kumpulan puisinya berjudul Perjalanan
yang terbit pada 2004 dapat dicatat sebagai kumpulan puisi tunggal
pertama yang terbit di Kendari. Di samping mengirimkan karya-karyanya
sendiri, penyair ini secara aktif mengirimkan karya-karya puisi karangan
kawan-kawannya ke sejumlah media yang terbit di luar Sulawesi
Tenggara, baik cetak maupun elektronik. Maka sejak 2005, karya-karya
Syaifuddin telah tersebar di berbagai media yang terbit di luar Sulawesi
Tenggara seperti Republika, Seputar Indonesia, Horison, Annida (Jakarta),
Gong (Yogyakarta), Lampung Post (Bandar Lampung), Bali Post, Sundih
(Denpasar), Pedoman Rakyat (Makassar), Analisa (Medan), dan Pikiran
Rakyat (Bandung).17
Selain Syaifuddin Gani, masih ada beberapa penulis lain yang
“melaut di samudera sastra Indonesia”, walaupun mereka belum
seproduktif Syaifuddin Gani. Di bidang puisi, terdapat nama Iwan
Konawe (nama lain dari Iwan Comcom atau Irawan Tinggoa) dan
Sendri Yakti – karya keduanya antara lain pernah dimuat di Majalah
Gong. Di bidang prosa, karya-karya S. Gali (kadang-kadang menggunakan
nama pena Galih) yang dimuat di majalah Horison dan Majalah Gong
setidaknya telah memperkenalkan keberadaan penulis cerpen di
Kendari.18 Kemunculan Syaifuddin Gani serta penulis lain seperti Iwan
Konawe, S. Gali, dan Sendri Yakti dalam gugusan peta sastra Indonesia
24
ini memang masih terlalu sedikit jumlahnya bagi pertumbuhan sastra
yang cukup sehat di sebuah provinsi; tetapi intensitas berkarya Syaifuddin
Gani dan kawan-kawannya setidaknya dapat memberikan harapan bahwa
di masa depan Sulawesi Tenggara dapat menyejajarkan diri sebagai
kantong sastra setara dengan kantong sastra daerah lain.19
Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara
Pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara tidak dapat dilepaskan
dari hadirnya komunitas-komunitas seni di provinsi ini, sejak akhir tahun
1960-an. Pada masa itu, berdiri dua komunitas yakni Ikatan Seniman
Sulawesi Tenggara (Ika Sastra) dan Ikatan Seniman dan Budayawan
Angkatan Sekarang (ISBAS). Komunitas Ika Sastra (berdiri hingga akhir
1980-an) dimotori oleh Heri Imran Nur, Munawar Fatiha, Nor Satega
Ali, Saleh Manja dan Sarham D.T. (nama yang disebut terakhir ini
bersama Muh. Edi Sul kemudian mendirikan ISBAS). Kegiatan Ika
Sastra yang penting dicatat adalah Festival drama se-Sulawesi Tenggara
pada tahun 1968 dan 1971.20
Walaupun telah dicatat Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia, kehidupan sastra di Sulawesi Tenggara pada kurun 1960-an
sampai awal 1990-an sesungguhnya masih agak gelap. Hingga saat ini
belum ditemukan dokumen-dokumen yang membuktikan adanya
publikasi karya sastra, baik dalam bentuk buku maupun media cetak.
Yang lebih mengemuka pada masa itu adalah kegiatan di bidang seni
drama, bidang seni yang merupakan aktivitas utama dua komunitas
yang telah disebutkan di atas. Setelah Ika Sastra dan ISBAS bubar,
komunitas seni yang aktif kemudian adalah Teater Angkasa, komunitas
yang anggotanya adalah pegawai RRI Kendari yang memfokuskan
perhatian pada drama-drama radio serta pertunjukan untuk mengisi
acara yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran tersebut.
Dari tahun 1990-an hingga sekarang, sastra tumbuh di Sulawesi
Tenggara juga antara lain dari komunitas yang kegiatan utamanya adalah
teater. Pada periode ini, patut dicatat kehadiran kelompok Teater Sendiri
yang didirikan pada 21 Juni 1992 oleh dramawan Achmad Zain.21 Di
samping kegiatan seni teater yang menjadi aktivitas utamanya, kelompok
ini telah berperan penting dalam menumbuhkan kehidupan sastra di
provinsi ini. Diawali dengan penerbitan antologi penyair Sulawesi
Tenggara Dengung (1996), Teater Sendiri kemudian menerbitkan empat
25
kumpulan puisi berupa antologi bersama yakni Sendiri (2003), Sendiri
2, Malam Bulan Puisi (2004), Pembacaan Sajak Akhir Tahun (2005), dan
Sendiri 3 (2006).22 Teater Sendiri juga menerbitkan dua kumpulan puisi
tunggal yaitu Perjalanan (kumpulan puisi Syaifuddin Gani), dan Merobek
Malam (kumpulan puisi Achmad Zain).23 Di samping Teater Sendiri,
pada 2004 ada sembilan komunitas lain yang bidang kegiatan utamanya
mencakup sastra.24 Akan tetapi, kesembilan komunitas tersebut kini
sudah tidak terdengar lagi aktivitasnya. Dua komunitas/lembaga yang
tercatat pernah membuat publikasi karya adalah Studio Drama FKIP
Unhalu yang menerbitkan Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak
Mengenang Chairil Anwar 2007, dan Rumah Puncak Puisi Kolaka yang
menerbitkan Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga.25
Pertengahan 2004, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
berdiri. Di samping menyelenggarakan kegiatan bengkel sastra (mencakup
penulisan dan musikalisasi puisi, penulisan cerpen, serta penulisan
naskah drama) dan sejumlah perlombaan sastra (antara lain baca puisi,
musikalisasi puisi, penulisan cerita rakyat), lembaga ini memberikan
sumbangan penting bagi dunia kesusastraan di Sulawesi Tenggara yakni
terbitnya Antologi Puisi Kendari, Jejak Haluoleo Antologi Puisi Pelajar Kota
Kendari, Antologi Drama Sulawesi Tenggara, serta Langkolee Si Kupu-kupu
Antologi Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara.26 Kedatangan sastrawan nasional
ke Sulawesi Tenggara untuk memberikan pelatihan yang diselenggarakan
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara juga dirasakan telah
meningkatkan kegairahan bersastra khususnya di Kota Kendari.27
Pada akhir 2007, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
memberikan penghargaan penghargaan kepada seniman dan kelompok
seni yang berdedikasi menghidupkan kesenian di Sulawesi Tenggara –
penghargaan sastra pertama yang diberikan sejak Provinsi Sulawesi
Tenggara berdiri. Hal lain yang juga berarti bagi pertumbuhan sastra di
Sulawesi Tenggara adalah terbukanya kesempatan bagi para pengarang
di Sulawesi Tenggara untuk mengikuti kegiatan sastra tingkat nasional
yang dikoordinasi oleh Pusat Bahasa (seperti kegiatan Bengkel Sastra
yang diselenggarakan oleh Majelis Sastra Asia Tenggara dan berbagai
acara dalam rangkaian kegiatan Bulan Bahasa Nasional di Jakarta).
Hingga di sini, belum sedikit pun dibahas peran media cetak lokal
di Kendari bagi pertumbuhan sastra di provinsi ini. Sampai akhir 2007,
dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sastra di Sulawesi Tenggara tidak
26
berlangsung di media cetak. Dari tiga media cetak yang terbit harian di
Kendari, sampai akhir tahun lalu, tidak ada satu pun media yang
menyediakan ruang tetap untuk memuat karya sastra. Karena ketiadaan
ruang sastra di media massa (di Kendari) itulah maka para penulis di
Kendari lebih banyak mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku
yang digandakan dalam jumlah terbatas (sekitar puluhan eksempar saja)
oleh kelompoknya seperti yang dilakukan oleh Teater Sendiri dan Teater
72 Kolaka. Bila tidak dipublikasikan dalam bentuk buku yang dicetak
terbatas, sebagian penulis mendokumentasikan karyanya dalam bentuk
manuskrip (dalam pengertian satu eksemplar naskah yang di-print),
seperti yang dilakukan oleh antara lain Syaifuddin Gani, Kamilus Nara
Odung, dan Irianto Ibrahim.28 Upaya pemublikasian karya sastra dengan
mengirimkannya ke media-media massa di luar Sulawesi Tenggara baru
dilakukan pada tahun 2005 – sebuah cara pemublikasian karya yang
hanya dilakukan oleh satu atau dua penulis Sulawesi Tenggara.
Ruang sastra di koran lokal itu baru hadir pada awal tahun ini
setelah para pekerja seni di Kendari pada 29 Desember 2007 mengadakan
diskusi sastra yang mengangkat tema “Sastra dan Media”. Salah satu
rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi tersebut adalah, “Meminta
media massa di Kendari menyediakan ruang sastra yang terbit secara
berkala satu minggu satu kali untuk menyalurkan ekspresi kreatif dan
meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni sastra khususnya, dan
seni-budaya pada umumnya”. 29 Risalah diskusi tersebut mendapat
tanggapan positif dari salah satu media di Kendari, sehingga mulai 5
Januari 2008 setiap Sabtu media tersebut menyajikan rubrik “Sastra &
Budaya”.
Selama sekitar delapan bulan (sampai 23 Agustus 2008) pengelolaan
rubrik tersebut dibantu secara suka rela oleh dua pekerja seni Kendari,
salah satunya adalah Syaifuddin Gani. Hingga terbitan tersebut, rubrik
“Sastra & Budaya” di koran itu telah terbit sebanyak 34 kali. Dalam
catatan pengelolanya, dalam 34 edisi yang terbit, rubrik itu telah
memuat 22 cerita pendek, 133 puisi dari 31 penyair, dan 10 esai. Dari
sejumlah itu, porsi terbesar diberikan kepada cerita pendek, puisi dan
esai yang ditulis oleh penulis-penulis lokal Kendari, yakni 17 cerpen
(68,18%), 88 puisi (66,92%) dari 22 penyair lokal (70,97%) dan 8
esai (80%).30 Pemuatan karya penulis-penulis lokal menjadi prioritas
walaupun dari segi kualitas boleh jadi berada di bawah kualitas karya
27
pengarang-pengarang yang sudah ternama. Kebijakan tersebut diambil
agar semakin banyak penulis-penulis lokal yang karyanya terpublikasikan.
Berdasarkan data publikasi karya di atas, baik dalam bentuk buku
cetakan yang terbatas tirasnya maupun di media massa, dapat
dikemukakan daftar nama penulis puisi dan cerpen Sulawesi Tenggara.
Para penulis yang berkreasi mencipta puisi berjumlah lebih dari enam
puluh orang,31 sementara penulis cerita pendek baru berkisar belasan
orang saja.32
Sebelum mengakhiri bahasan tentang pertumbuhan sastra di
Sulawesi Tenggara ini, perlu pula dikemukakan ragam tulis lain yang
juga mulai tumbuh yakni penulisan cerita populer dan penulisan cerita
anak. Penulisan cerita populer di Sulawesi Tenggara dimulai oleh Krisni
Dinamita dengan karyanya berjudul Cintai Aku Sekali Lagi.33 Jejak Krisni
Dinamita ini kemudian diikuti oleh Arham-Kendari yang menulis cerita
lucu dengan judul yang merupakan parodi dari buku lain, yakni Jakarta
Underkompor, Sebuah Memoar Garing.34 Adapun penulisan cerita anak
digeluti antara lain oleh Lukas Atakasi dan La Ode Boa.35
Penutup
Setelah membahas kekayaan warisan tradisi penulisan dari masa
lampau yang masih terpendam, posisi Sulawesi Tenggara dalam peta
sastra Indonesia, serta pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi
Tenggara, dapatlah dikemukakan beberapa simpulan berikut. Sulawesi
Tenggara sesungguhnya mewarisi tradisi penulisan yang mengagumkan
dari masa Kesultanan Buton. Namun, keberlanjutan tradisi penulisan
dari masa silam ke masa kini di Sulawesi Tenggara ini tidaklah semulus
di daerah lain yang memiliki warisan tradisi penulisan yang sama.
Akibatnya, Sulawesi Tenggara hingga kini belum memiliki posisi yang
kukuh dalam peta sastra Indonesia. Tidak adanya tokoh sastra yang
dapat membangun masyarakat sastra di provinsi ini, serta belum
tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab kultural pada media massa
di daerah ini antara lain menjadi penyebab tidak mulusnya pewarisan
tradisi tulis itu. Walaupun demikian, para penulis di Sulawesi Tenggara
telah melakukan berbagai upaya untuk membangun kegairahan
penulisan kreatif sehingga pertumbuhan sastra pada satu dekade terakhir
ini dapat dirasakan cukup menggembirakan.
28
Catatan
Penulisan makalah ini dapat dirampungkan antara lain karena
bantuan dari beberapa kolega dan kawan-kawan penulis di Kendari.
Penulis perlu menyampaikan terima kasih kepada: Syaifuddin Gani dan
Achmad Zain – yang telah membantu meminjami penulis bahan-bahan
yang diperlukan untuk makalah ini; pimpinan dan staf Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk memperoleh informasi di perpustakaan; serta Deddy
Amrand yang telah meluangkan waktu untuk mendiskusikan draf akhir
makalah ini.
1
Hasil kerja Achadiati Ikram dkk. itu terhimpun dalam sebuah
buku Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari (Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2001). Naskah-naskah yang diinventarisasi mencakup
kurun empat abad, dari awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke20. Naskah tertua yang terdata dalam katalog tersebut adalah naskah
kategori Islam berjudul Al-Aqwâl Al-Hidâyat yang selesai ditulis pada 19
Jumadil Akhir 1031 H (sekitar tahun 1621 M).
2
La Niampe, “Butun” dalam Edi Sedyawati dkk. (editor), Sastra
Melayu Lintas Daerah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004), hlm. 172.
3
4
ibid, hlm. 174-8.
Syaifuddin Gani, “Mereguk Cinta di Negeri Butuni” {online}
Kendari Ekspres, diperoleh dari http://kendariekspres.com, diakses
tanggal 13 September 2008.
5
Ali Rosdin, Amiruddin & Ramlah Mappau, “Khazanah Sastra
Sulawesi Tenggara: Manusia dan Karyanya” (Laporan Penelitian Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2004), hlm. 14.
6
Abdul Razak Zaidan, “Epilog: Keberlanjutan ke Masa Kini” dalam
dalam Edi Sedyawati dkk. (editor), Sastra Melayu Lintas Daerah (Pusat
Bahasa, Jakarta, 2004), hlm. 399.
7
Akhadiati Ikram dkk. (penyunting), Katalog Naskah Buton Koleksi
Abdul Mulku Zahari (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 1.
Bab “Pendahuluan” buku ini dimulai dengan judul subbab “Warisan
Terpendam: Koleksi Naskah Buton”.
8
29
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Grasindo, Jakarta,
2007), hlm. 175-6.
9
Penelitian ini dilaksanakan oleh Ahid Hidayat, Rahmania dan
Uniawati, dilaksanakan pada tahun 2004.
10
Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Djambatan,
Jakarta, 1988). Bandingkan dengan Sulawesi Utara, misalnya. Pada masa
Pujangga Baru, daerah ini telah memiliki sastrawan yang dikenal di tingkat
nasional seperti J.E. Tatengkeng yang lahir di Kolongan Sangihe, dan
M.R. Dayoh yang lahir di Airmadidi, Minahasa, Sulawesi Utara (hlm.
39).
11
Ada satu pengarang lain yang kalau dilihat dari namanya ada
hubungannya dengan Sulawesi Tenggara, yaitu Wa Ode Wulan Ratna.
Dalam Kamus Budaya Sulawesi Tenggara susunan Sandra Safitri Hanan
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2007) hlm. 113,
Wa Ode adalah gelar bangsawan kaum perempuan di Buton dan Muna.
Namun, cerpenis ini sesungguhnya lahir di Jakarta dan proses
kepengarangannya agaknya dimulai di kota itu juga.
12
Pesu Aftarudin, “Catatan Kecil Pengarang” dalam Pengantar
Apresiasi Puisi (Angkasa, Bandung, 1990), hlm. 101. Selain terbit dalam
sebuah buku kumpulan puisi Doa Sebatang Lilin (Nurcahya, Yogyakarta,
1980), sejumlah puisi karya Pesu Aftarudin juga dimuat dalam sebuah
antologi susunan Linus Suryadi A.G., Tonggak 3 (Gramedia, Jakarta,
1987).
13
Asia Ramli Prapanca, Berita dari Karaeng (Macassar Impresariat
Cooperation, Ujung Pandang, 1993), hlm. 61. Asia Ramli Prapanca
kini lebih banyak berkreasi bidang teater.
14
Daerah-daerah yang kini dikenal memiliki tradisi kukuh dalam
melahirkan para sastrawan di Indonesia tidak lepas dari adanya tokoh
yang hidup di daerah ini dapat dibuktikan dengan melihat daftar
sastrawan yang kita kenal dalam sejarah sastra Indonesia baik pada masa
sebelum kemerdekaan maupun pada dekade awal setelah kemerdekaan.
Daerah yang dianggap memiliki tradisi kukuh dalam melahirkan
sastrawan di Indonesia seperti dinyatakan Agus R. Sarjono, “Pengantar
Dewan Kesenian Jakarta” dalam Birahi Hujan Suara dari Jawa Timur
15
30
(Logung Pustaka & Akar Indonesia, Yogyakarta, 2004, hlm. vii) adalah
Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera
Barat, Riau, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi
Utara.
Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Sinar Harapan, Jakarta,
1981), hlm. 39.
16
Di samping dimuat di media-media cetak di atas, karya-karya puisi
Syaifuddin Gani dimuat pula dalam sejumlah antologi puisi seperti
Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Sumatera Utara, Medan, 2005),
Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok
Studi Sastra Banjarbaru, Banjarbaru, 2006), Medan Puisi, Antologi Puisi
Pesta Penyair Indonesia The 1st Medan International Poetry Gathering
(Laboratorium Sastra Medan, 2007), dan Kenduri Puisi Bungahati untuk
Diah Hadaning (Ombak, Yogyakarta, 2008).
17
Lihat Horison Juli 2003, hlm. 20-23. Majalah tersebut memuat
cerpen S. Gali berjudul “Jemuran”.
18
Kemunculan Syaifuddin Gani dari Sulawesi Tenggara dan
pengarang-pengarang lain dari berbagai daerah di Indonesia antara lain
pernah disinggung oleh Korrie Layun Rampan dalam “Estetika Sastra”,
makalah Seminar “Meningkatkan Peran Komunitas Sastra Sebagai Basis
Perkembangan Sastra Indonesia” dalam Kongres Komunitas Sastra
Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008.
19
Ahid Hidayat, Rahmania dan Uniawati, “Komunitas Sastra di
Sulawesi Tenggara” (Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2004), hlm. 9.
20
Syaifuddin Gani (penyunting), “Tentang Teater Sendiri” dalam
Sendiri 3 Antologi Sajak Teater Sendiri (Teater Sendiri, Kendari, 2006),
hlm. 61.
21
Antologi penyair Sulawesi Tenggara Dengung (Teater Sendiri,
Kendari, 1996) memuat sejumlah puisi karya 7 penulis Sulawesi
Tenggara. Antologi sajak Sendiri (Teater Sendiri, Kendari, 2003) memuat
73 puisi karya 13 anggota Teater Sendiri. Sendiri 2 (Teater Sendiri,
Kendari, 2004) memuat 100 puisi karya 14 anggota Teater Sendiri.
22
31
Malam Bulan Puisi disunting oleh Syaifuddin Gani (Teater Sendiri,
Kendari, 2004) memuat 17 puisi karya 18 penulis serta 43 sajak karya
19 pelajar. Antologi sajak Pembacaan Sajak Akhir Tahun (Teater Sendiri,
Kendari, 2005) memuat 63 sajak dari 20 penyair – termasuk di dalamnya
3 sajak Evi Idawati, 2 sajak Sapardi Djoko Damono, dan 2 sajak Moh.
Wan Anwar. Sendiri 3 disunting oleh Syaifuddin Gani (Teater Sendiri,
Kendari, 2006) memuat 127 sajak karya 13 anggota Teater Sendiri.
Sampai saat ini, tidak ada kelompok kesenian lain, bahkan kelompok
kesenian yang mengkhususkan diri di bidang sastra, di Sulawesi Tenggara
yang memiliki produktivitas penerbitan karya sastra sebanyak Teater
Sendiri.
Kumpulan sajak Perjalanan (Teater Sendiri, Kendari, 2004),
memuat 64 sajak karya Syaifudin Gani tahun 2002-2003. Adapun
Merobek Malam (Teater Sendiri, Kendari, 2007) memuat 28 sajak
Achmad Zain ciptaan tahun 2007.
23
24
Ahid Hidayat, Rahmania & Uniawati, op.cit. hl. 15.
Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak Mengenang Chairil Anwar
2007 disunting oleh Ahid Hidayat (Studio Drama FKIP Unhalu,
Kendari, 2007) memuat 30 puisi karya enam alumni dan dosen Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Haluoleo. Adapun Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga (Rumah
Puncak Puisi, Kolaka, 2007) memuat 54 puisi karya 20 anggota Teater
72 Kolaka.
25
Antologi Puisi Kendari disunting dan diberi kata pengantar oleh
Dad Murniah (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2004)
memuat 83 puisi karya delapan penyair Sulawesi Tenggara. Jejak Haluoleo
Antologi Puisi Pelajar Kota Kendari disunting oleh Sandra Safitri Hanan
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2004) memuat
35 puisi karya 23 pelajar peserta Bengkel Puisi yang diselenggarakan
oleh Kantor Bahasa Agustus 2004 bimbingan Slamet Sukirnanto, Fredie
Arsie & Harlina Irdijati. Antologi Drama Sulawesi Tenggara disunting oleh
Dad Murniah (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2005) memuat
15 naskah drama karya 15 penulis drama Sulawesi Tenggara. Langkolee
Si Kupu-kupu Antologi Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara disunting oleh
Rahmania (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, 2006)
26
32
memuat 26 cerita rakyat hasil lomba penulisan cerita rakyat setahun
sebelumnya.
Dalam waktu empat tahun, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara telah mendatangkan sejumlah sastrawan/seniman antara lain
AGS Arya Dipayana, Ahmadun Y. Herfanda, Gunoto Saparie, Hamsad
Rangkuti, dan Slamet Sukirnanto. Kehadiran para sastrawan ini biasanya
tidak hanya mengisi acara di Kantor Bahasa, tetapi juga dimanfaatkan
untuk berdiskusi dengan para pekerja seni di Kendari. Kedatangan
sastrawan nasional ke Sulawesi Tenggara sebenarnya telah terjadi pula
sebelum Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara berdiri. Pada 2003,
Majalah Sastra Horison menyelenggarakan acara “Sastrawan Bicara Siswa
Bertanya” di lima sekolah di Sulawesi Tenggara (SMAN 1 Kendari,
SMAN 2 Kendari, SMAN Ranomeeto, MAN Kendari, dan SMAN 1
Raha). Sastrawan yang datang pada acara itu adalah Agus R. Sarjono,
Cecep Syamsul Hari, Moh. Wan Anwar, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum
Bachri, Taufiq Ismail, dan Titie Said. Kegiatan lain Majalah Horison di
Kendari adalah Pelatihan Sastra dan Jurnalistik dengan pemateri Moh.
Wan Anwar dan Herry Dim, serta “Sastrawan Bicara Siswa Bertanya”
di SMKN 3 Kendari pertengahan April 2008, mendatangkan empat
sastrawan yaitu Agus R. Sarjono, Cecep Syamsul Hari, Joni Ariadinata
dan Putu Wijaya.
27
Terdapat beberapa manuskrip yang biasanya hanya dibuat untuk
kepentingan pendokumentasian karya oleh penulisnya sendiri, seperti
Syaifuddin Gani (2006) pernah membuat manuskrip “Dermaga” yang
memuat 37 sajaknya, Kamilus Nara Odung, membuat manuskrip “Rasa
Itu Siksa”, dan Irianto Ibrahim membuat dua buah manuskrip, masingmasing berjudul “Barasanji di Atas Karang” dan “Bunda Kirimi Nanda
Doa-doa”.
28
Risalah Diskusi “Telaah Karya dan Ruang Sastra di Media Massa”
di Taman Budaya Prov. Sultra, Kendari, 29 Desember 2007, hlm. 2.
29
Data diambil dari bahan yang dipersiapkan oleh pengelola ruang
“Sastra & Budaya”, data tersebut mungkin berbeda dengan data karya
yang dipublikasikan. Data tersebut penting dikemukakan sebagai bukti
bahwa rubrik “Sastra & Budaya” memang dibuka terutama untuk
memberikan ruang bagi para penulis lokal mempublikasikan karyanya.
30
33
Mulai edisi 30 Agustus 2008, kedua pekerja seni yang telah bersuka
rela membantu itu tidak lagi turut mengelola rubrik tersebut. Sejak
itu, kebijakan mengenai karya yang dimuat dalam rubrik itu agaknya
berubah. Dalam empat edisi terakhir yang terbit 30 Agustus sampai
dengan 20 September 2008, hanya satu cerpen karya penulis lokal yang
dimuat, sementara selebihnya adalah tulisan (puisi, cerpen, esai) yang
diambil dari tulisan pernah dimuat pada koran satu atau dua minggu
sebelumnya yang diperoleh melalui jaringan koran tersebut.
Mereka adalah (berdasarkan urutan abjad): A.R. Ar-Rasyidi
Budiman, Abd. Razak Abadi, Achmad Zain, Ahid Hidayat, Arnes, Asidin
La Hoga, Asmar Laode, Carmil Edo Sendiri, Cipto Hadi, Didit Marshel,
Didul, Djusdiman, Er Agung Abdillah, Etsan, Farah Hamdana, Fatmi
Yuliana, Firman Sofyan, Gatot Subair, Hafid Triadmo, Hamzah,
Herman, Iqbal Oktavian, Irawan Tinggoa, Irianto Ibrahim, Irwansyah
Maal (Iwa Q), Iwan Comcom, Jag Donat, Jurais, Karmil Edo Sendiri,
Kiki Reskiyana Ilyas, Kristiana, La Ode Balawa, La Ode Farid Akhyar,
La Ode Sadia, La Ode Syaiful Islami, Laila Kurniawaty, LM Gusman
Nasiru, Mashun, Moh. Wan Anwar, Muh. Ilyas, Munawar Jibran,
Mustakim Cerbon, Nur Iman, Rahmad, Royan Ikmal, Rusland Manan,
Rustina, S. Gali, Sahrul, Salim, Samsuddin, Sartian Sorume, Sendranto
R., Sendri Yakti, Sri Dewi Neneng, Subur, Subur Assiddiq Didie Boim,
Sumarlan Rasyid, Syaifuddin Gani, Tongis Alamsyah, Uniawati, Wa
Ode Rizki Adi Putri, Witarmin Akbar, dan Zainal Surianto.
31
Abd. Razak Abadi, Astuty Natalia, Galih, Irianto Ibrahim, Muh.
Syahrial Ashaf, Muh. Syaiful, None Tirayoh, Syaifuddin Gani, Uniawati,
Zakiah M. Husba, Marniati Murtaba, dan Karamanuru.
32
Krisni Dinamita, Cintai Aku Sekali Lagi (C Publishing, Yogyakarta,
2005).
33
Arham Kendari, Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing
(Gramedia, Jakarta, 2008).
34
35
34
Ali Rosdin, Amiruddin & Ramlah Mappau, op.cit., hlm. 34, 38.
Daftar Pustaka
Afrion, Antilan Purba & M. Yunus Rangkuti (penyunting), Medan Puisi,
Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia The 1st Medan International Poetry
Gathering. Medan: Laboratorium Sastra Medan. 2007
Aftarudin, Pesu. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung: Angkasa. 1990.
Arham-Kendari. Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing. Jakarta:
Gramedia. 2008.
Dengung, Antologi Puisi Penyair Sulawesi Tenggara. Kendari: Teater Sendiri.
1996.
Dinamita, Krisni. Cintai Aku Sekali Lagi. Yogyakarta: C Publishing.
2005.
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta:
Djambatan. 1988.
Gani, Syaifuddin (penyunting). Sendiri 3 Antologi Sajak Teater Sendiri.
Kendari: Teater Sendiri. 2006.
Gani, Syaifuddin. “Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Apa
Kabar Kendari?” dalam Kendari Pos, 2 Februari 2008.
Gani, Syaifuddin. “Mereguk Cinta di Negeri Butuni” {online} diperoleh
dari http://kendariekspres.com, diakses tanggal 13 September
2008.
Gani, Syaifuddin (penyunting). Malam Bulan Puisi. Kendari: Teater
Sendiri. 2004.
Gani, Syaifuddin. Perjalanan. Kendari: Teater Sendiri. 2004.
Hanan, Sandra Safitri (penyunting). Jejak Haluoleo Antologi Puisi Pelajar
Kota Kendari. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
2004.
Hanan, Sandra Safitri (penyunting). Kamus Budaya Sulawesi Tenggara.
Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2007.
Hidayat, Ahid, Rahmania dan Uniawati, “Komunitas Sastra di Sulawesi
Tenggara”, Laporan Penelitian Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara. 2004.
Hidayat, Ahid. “Risalah Diskusi Telaah Karya dan Ruang Sastra di Media
35
Massa” di Taman Budaya Prov. Sultra, Kendari, 29 Desember 2007.
Hidayat, Ahid. Memberi Harga pada Kata: Kumpulan Sajak Mengenang
Chairil Anwar 2007. Kendari: Studio Drama FKIP Unhalu. 2007.
Horison No. 7 Tahun XXXVI, Juli 2003
Ikram, Achadiati dkk. (penyunting). Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul
Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001.
Indradi, Arsyad (penyunting). Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair
Menuju Bulan. Banjarbaru: Kelompok Studi Sastra Banjarbaru.
2006.
Miharja, Dimas Arika (penyunting). Kenduri Puisi Bungahati untuk Diah
Hadaning. Yogyakarta: Ombak. 2008.
Mohamad, Goenawan. Seks, Sastra, Kita Jakarta: Sinar Harapan. 1981.
Murniah, Dad (penyunting). Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari:
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005.
Murniah, Dad (penyunting). Antologi Puisi Kendari. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004.
Pembacaan Sajak Akhir Tahun 2005. Kendari: Teater Sendiri. 2005.
Prapanca, Asia Ramli. Berita dari Karaeng Ujung Pandang: Macassar
Impresariat Cooperation. 1993.
Rahmania (penyunting). Langkolee Si Kupu-kupu Antologi Cerita Rakyat
Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara. 2006.
Rampan, Korrie Layun. “Estetika Sastra”, makalah Kongres Komunitas
Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008.
Rosdin, Ali, Amiruddin dan Ramlah Mappau. “Khazanah Sastra
Sulawesi Tenggara: Manusia dan Karyanya”, Laporan Penelitian
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. 2004.
Sarjono, Agus R. “Pengantar Dewan Kesenian Jakarta” dalam Sarjono,
Agus R. dkk. (penyunting) Birahi Hujan Suara dari Jawa Timur
Yogyakarta: Logung Pustaka & Akar Indonesia. 2004.
Sedyawati, Edi dkk. (penyunting). Sastra Melayu Lintas Daerah. Jakarta:
Pusat Bahasa. 2004.
Sendiri 2. Kendari: Teater Sendiri. 2004.
36
Sendiri. Kendari: Teater Sendiri. 2003.
Suryadi A.G., Linus (penyunting). Tonggak 3. Jakarta: Gramedia. 1987.
Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga. Kolaka: Rumah Puncak
Puisi. 2007.
Umry, Shafwan Hadi, Sahril & Hassan Al Bana (penyunting). Ragam
Jejak Sunyi Tsunami Medan: Balai Bahasa Sumatera Utara. 2005.
Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. 2007.
Zain, Achmad. Merobek Malam. Kendari: Teater Sendiri. 2007.
37
38
Aspek Psikologis yang Terabaikan
dalam Pembelajaran Menulis
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
“Kalian punya waktu 60 menit,”ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak
kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati
menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama
Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul kedua Liburan ke Rumah Nenek.
Judul ketiga Ibu.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan
kening berkerut. Terdengar gesekan halus pena pada kertas. Anak-anak
itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati….
Peristiwa di atas, mudah-mudahan saja, hanya terdapat dalam cerpen
Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”, cerpen terbaik pilihan
Kompas tahun 1993. Pelajaran mengarang seperti itu, dalam pandangan
Mary Leonhardt – penulis buku 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah
Menulis (2001), pastilah tergolong ke dalam cara mengajarkan menulis
dengan cara lama yang membosankan. Para siswa “dipaksa” menulis
suatu topik yang bukan pilihannya sendiri, dan entah untuk apa tulisan
itu.
Dengan kondisi pembelajaran menulis yang pada umumnya
dilaksanakan mirip dengan apa yang digambarkan dalam cerpen Seno
Gumira Ajidarma di atas, maka wajarlah jika banyak muncul pandangan
yang tidak menggembirakan ihwal menulis ini. Taufiq Ismail, misalnya,
menganggap para siswa kita pincang mengarang. Erizal Gani (2004)
39
berpendapat bahwa kemahiran menulis peserta didik tetap lemah,
sekalipun aneka perbaikan dan perubahan telah dilakukan.
Di perguruan tinggi pun, demikian pula, kondisi pembelajaran
menulis relatif sama gagalnya; seperti yang tecermin pada pendapat
Sabarti Akhadiah dkk. (1990) dan Novita Dewi (2005). Akhadiah dkk.
(1990:v) berpendapat bahwa persoalan yang sering terlontar dalam
pengajaran mengarang adalah kurang mampunya mahasiswa dan siswa
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Adapun Novita
Dewi (2005) memberikan bukti kegagalan pembelajaran menulis berupa
banyaknya mahasiswa yang menyelesaikan studi setelah lima atau bahkan
batas maksimal tujuh tahun dengan dalih menemui kesulitan dalam
menulis skripsi.
Tulisan ini akan mencoba menyoroti ihwal penyebab
ketidakberhasilan pembelajaran menulis di sekolah dalam memahirkan
siswanya mengungkapkan gagasan atau imajinasi melalui tulisan.
Pembahasan mengenai penyebab ketidakberhasilan pembelajaran
menulis ini hanya akan difokuskan pada dua aspek psikologis yang sering
terabaikan, yakni (a) menumbuhkan rasa suka terhadap menulis, dan
(b) membantu siswa mengaktualisasikan diri melalui menulis. Kedua
hal di atas berhubungan erat dengan dua peran guru di sekolah, yakni
(a) sebagai motivator, dan (b) sebagai fasilitator.
Sukakah Siswa Anda Menulis?
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa
kesulitan yang besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak
bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul
apa pun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal
menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi Sandra tidak, Sandra
harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya
tidak menyenangkan….
(Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”)
Ilustrasi pada cerpen yang dikutip pada awal makalah ini
menggambarkan bagaimana pembelajaran menulis dilakukan dengan
dorongan eksternal semata: karena guru menugasi siswa untuk menulis.
Artinya, jika guru tidak menugasi siswa menulis, maka siswa tak akan
40
menulis. Akibatnya, pelajaran mengarang terasa oleh siswa sebagai beban,
seperti dirasakan Sandra. Di sini, guru agaknya mengabaikan pentingnya
dorongan internal dari dalam diri siswa: rasa suka dan gemar menulis.
Padahal, bagi Leonhardt (2001), rasa suka menjadi pintu utama bagi
keberhasilan siswa belajar menulis. “Sekali anak jatuh cinta dengan
menulis,” Leonhardt menjamin, “tulisan mereka akan melejit.”
Mengapa gemar menulis itu penting? Leonhardt (2001) menjawabnya
dengan sepuluh alasan berikut.
1. Rasa suka terhadap suatu kegiatan merupakan prasyarat untuk
keberhasilan di bidang apa pun, demikian pula halnya dengan
menulis.
2. Hanya anak-anak yang suka menulis saja yang akan menulis dengan
sering dan teliti.
3. Hanya siswa-siswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara
mandiri, yang akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka.
4. Hanya anak-anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan
belajar cara menulis dengan fokus yang tajam dan jelas.
5. Anak-anak harus sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya
terampil menggunakan struktur kalimat yang kompleks dengan
benar.
6. Anak-anak yang menikmati tulis-menulis jarang menunda-nunda
menyerahkan makalah dan laporan yang ditugaskan.
7. Anak-anak yang suka menulis lebih memahami hal-hal yang
dibacanya.
8. Anak-anak yang gemar menulis (dan membaca) menjadi murid yang
unggul dalam hampir semua mata pelajaran.
9. Anak-anak dengan kebiasaan menulis mandiri mempunyai cara yang
mudah untuk mengatasi trauma emosional.
10. Penulis yang terampil dan fasih punya keuntungan luar biasa dalam
sebagian besar bidang pekerjaan.
Berbeda dari cara lama dalam pembelajaran menulis yang terasa
membosankan (siswa), “paradigma baru” pembelajaran menulis yang
ditawarkan Taufiq Ismail (2003) adalah bahwa kelas mengarang harus
diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban,
baik bagi siswa, maupun untuk guru. Maka, pekerjaan pertama seorang
guru adalah menumbuhkan rasa suka terhadap menulis.
Pada taraf membaca-menulis permulaan, ketika “menulis” diartikan
41
sebagai menuliskan lambang-lambang grafis, harus kita akui, para guru
di sekolah dasar telah berhasil memperkenalkan kita pada huruf:
membaca dan menuliskannya. Para siswa yang sebelumnya pada
umumnya tidak mengenal huruf satu pun, pada akhir tahun pertama
mereka telah mampu mengenal huruf-huruf, merangkai-rangkai huruf
menjadi kata-kata, kalimat-kalimat sederhana, serta mampu
menuliskannya. Akan tetapi, setelah berhasil mengenalkan siswa kepada
huruf-huruf, kata, dan kalimat-kalimat sederhana serta mampu
menuliskan lambang-lambang grafis itu, mengapa para guru gagal
membuat para siswa terampil merangkai kalimat-kalimat menjadi
karangan yang menarik?
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan itu, pada hemat saya,
adalah kurangnya upaya guru membangkitkan motivasi internal pada
diri siswa sehingga mereka memiliki rasa suka terhadap menulis. Pada
taraf membaca-menulis permulaan, para guru telah berhasil merangsang
keinginan siswa untuk mampu membaca dan menuliskan huruf-huruf
karena para siswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan membaca
huruf, kata dan kalimat. Siswa yang gagal mengenali huruf, kata dan
kalimat sederhana akan segera tergolong sebagai si buta huruf. Yang
mendapat julukan “anak pintar” di kelas awal sekolah dasar adalah,
antara lain, anak yang mampu membaca huruf, kata, dan kalimat
sederhana dengan benar, sementara siswa yang tidak mampu tergolong
“anak bodoh”. Di sini, dorongan dari dalam diri siswa demikian tinggi
karena menyangkut bisa tidaknya membaca dan menuliskan huruf, kata
dan kalimat, berkaitan dengan bisa tidaknya siswa mencapai aktualisasi
diri.
Ketika menulis dimaknai “keterampilan menyampaikan pesan
dengan menggunakan media bahasa tulis”, perbedaan antara siswa yang
mampu menulis dan tidak mampu menulis mulai tidak tampak dengan
jelas seperti pada taraf membaca-menulis permulaan. Penghargaan yang
diterima oleh siswa yang mampu menulis dan tidak mampu menulis
relatif tidak beroposisi biner seperti pintar vs bodoh atau naik kelas vs
tertinggal. Perbedaan antara anak yang mampu menulis karangan yang
bagus dan anak yang kurang mampu mengarang, barangkali hanya
perbedaan angka dalam buku laporan pendidikan belaka. Maka dorongan
dari dalam diri siswa untuk terampil mengungkapkan gagasan dan
perasaan melalui bahasa tulis pun perlahan-lahan mengendor.
42
Agar dorongan untuk menulis tetap terpelihara dan rasa suka
terhadap menulis bertumbuhkembang dalam diri siswa, Leonhardt
antara lain memberikan sepuluh kiat utama berikut: (1) tumbuhkan
kecintaan dan kebiasaan membaca pada diri siswa; (2) dukunglah selalu
tulisan siswa Anda; dalam setiap tulisan, pasti ada yang dapat dipuji;
(3) tawarkan saran dan kritik hanya kalau siswa sudah menjadi penulis
yang terampil dan percaya diri; (4) hargai privasi siswa; janganlah
membaca tulisannya tanpa seizinnya; (5) hargai pendapat siswa; (6) jangan
menuntut kesempurnaan; (7) jangan menyensor tulisan siswa; (8)
sadarilah bahwa siswa mempunyai selera menulis yang berbeda-beda,
doronglah mereka untuk menulis apa yang mereka senangi; (9) tak perlu
mengajarkan tata bahasa kepada siswa ketika mereka baru mulai menulis,
sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan berkembang sehingga lebih
baik dikuasai siswa sedikit demi sedikit; dan (10) Anda sendiri,
menulislah untuk kesenangan.
Hal lain yang perlu diketahui siswa adalah bagaimana dunia
menghargai tulisan. Penghargaan Nobel (diberikan sejak 1901) misalnya,
menetapkan karya sastra sebagai salah satu dari lima bidang yang diberi
penghargaan, yakni: fisika, kimia, sastra, kedokteran, perdamaian –
bandingkan dengan ilmu ekonomi yang baru diberi penghargaan Nobel
mulai tahun 1969.
Bagaimana “Nasib” Tulisan yang Dibuat Siswa?
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum
berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca
separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan,
murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra….
(Seno Gumira Ajidarma, “Pelajaran Mengarang”)
Ketika para siswa ditugasi menulis, para siswa kemudian
menyerahkan tulisan itu, lalu bagaimanakah nasib tulisan tersebut di
tangan guru? Karena belum berkeluarga(?), Ibu Guru Tati, guru Sandra,
punya waktu untuk memeriksa (memberi nilai?) pekerjaan muridmuridnya – walau sambil nonton televisi (acara sinetron atau gosip
selebritas, ya?). Tidak begitu jelas apa yang diperiksa Ibu Guru Tati,
43
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa murid-muridnya mengalami
masa kanak-kanak yang indah. Tidak begitu jelas juga, apakah karangan
yang telah diperiksa itu dikembalikan kepada penulis masing-masing,
dipajang di majalah dinding sekolah, ataukah ditumpuk di laci meja
ruang guru.
Guru yang baik tentu akan membaca karangan yang diserahkan siswa,
dan pada kelas-kelas tinggi guru akan mengoreksinya. Memang, di
samping pendekatan frekuensi, pendekatan yang kerap digunakan dalam
pembelajaran menulis adalah pendekatan koreksi (Suparno dan Yunus,
2002). Guru yang baik akan memberi kesempatan kepada siswa untuk
banyak berlatih menulis, termasuk mendorong siswa untuk menulis
catatan harian. Ketika para siswanya telah menjadi penulis yang terampil
dan percaya diri, sang guru akan memberikan saran dan kritik atas tulisan
yang dibuat siswa. Sayang sekali, tidak banyak guru yang memiliki waktu
untuk mengoreksi, dalam arti memberikan catatan, tanggapan, serta
saran-saran untuk perbaikan tulisan para siswanya. Yang banyak
dilakukan guru adalah sebatas memberikan skor atau nilai atas tulisan
tersebut. Siswa yang memperoleh skor tinggi pastilah merasa senang,
sementara siswa yang memperoleh skor rendah tentu tidak puas. Namun,
baik siswa yang memperoleh skor tinggi maupun siswa yang mendapat
nilai rendah tidak pernah tahu mengapa karangan yang ditulisnya dinilai
bagus atau kurang bagus.
Guru yang kreatif barangkali akan menyediakan papan tempel yang
biasa dikenal dengan sebutan majalah dinding, sebagai ruang bagi siswa
untuk berekspresi. Pada Rencana Pembelajaran yang di dalamnya
terkandung “alternatif strategi pembelajaran menulis puisi dengan
pendekatan kontekstual berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi
di sekolah dasar dan menengah” yang disusun oleh Marliana (2005),
misalnya, kegiatan inti terakhir pada skenario pembelajaran adalah
“kelompok terbaik mendapat penghargaan dari guru. Puisi karya
kelompok akan dipublikasikan dalam Puisi Dinding di sekolah tersebut,
sedangkan puisi terbaik akan diperlombakan di tingkat kelas”.
Pemublikasian karya tulis siswa memang dapat dipandang sebagai
penghargaan terhadap kreativitas siswa. Di sini peran guru sebagai
fasilitator diperlukan untuk membantu siswa mencapai aktualisasi diri
melalui keterampilan menulis. Seandainya Ibu Guru Tati bisa
membantu siswa-siswanya memperbaiki karangan mereka, maka karangan
44
para siswa itu mungkin saja bisa dikirim (secara kolektif, mengapa tidak?)
ke sebuah majalah remaja ataupun majalah sastra. Seandainya lagi satu
atau beberapa karangan yang dikirim itu menarik hati redaktur, tentu
akan dimuat. Pemuatan tulisan siswa pada majalah berskala nasional
akan membuat penulisnya dikenal dan bukan tidak mungkin
memperoleh imbalan finansial.
Penutup
Pembelajaran menulis di sekolah hingga saat ini dipandang belum
sepenuhnya berhasil memahirkan para siswa untuk mengungkapkan
gagasan atau imajinasi melalui tulisan. Dari aspek psikologis,
ketidakberhasilan pembelajaran menulis ini antara lain disebabkan oleh
kurangnya upaya guru dalam memberikan motivasi/dorongan agar pada
diri siswa tumbuh rasa suka terhadap menulis. Penyebab lain belum
berhasilnya pembelajaran menulis adalah kurangnya kesempatan guru
memberikan koreksi atas karangan siswa serta memfasilitasi siswa
mempublikasikan tulisannya di media yang relevan.
45
Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. “Pelajaran Mengarang” dalam Pelajaran
Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. 2002.
Akhadiah, Sabarti dkk. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga. 1990.
Dewi, Novita. “Membaca, Menulis, dan Membaca untuk Menulis:
Diagnosis Dini Penulisan Karya Tulis di Fakultas Sastra”, makalah
Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang , 18-21
Agustus 2005.
Gani, Erizal. “Menuju Pemberdayaan Pembelajaran Menulis: Upaya
Memahirkan Menulis Sejak Dini”, makalah Seminar Nasional HPBI
di Kendari, 11-13 Oktober 2004.
Ismail, Taufiq. Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang
Mengarang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta . 2003.
Leonhardt, Mary. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis,
terj. Eva Y. Nukman. Bandung : Kaifa. 2001.
N. Lia Marliana. “Alternatif Strategi Pembelajaran Menulis Puisi dengan
Pendekatan Kontekstual Berdasarkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi di Sekolah Dasar dan Menengah”, makalah Konferensi
Internasional Kesusastraan HISKI di Palembang, 18-21 Agustus 2005.
Suparno dan Mohammad Yunus. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta :
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002.
46
Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa
dalam Pembelajaran Sastra
Begitu pentingnya kreativitas, sampai-sampai Clegg & Birch (2007)
berani mengatakan bahwa kreativitas “sudah menjadi faktor untuk
bertahan hidup”. Clegg & Birch menyebut tiga jenis kreativitas, yakni
(1) kreativitas artistik seperti mengarang, melukis atau mencipta lagu –
kreativitas yang umumnya dimiliki secara alamiah; (2) kreativitas
penemuan seperti Archimides yang keluar dari kamar mandinya dan
berteriak “eureka!”; dan (3) kreativitas humor, sebuah kreativitas yang
memandang dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Dalam dunia pendidikan, kita patut bertanya, benarkah pendapat
Clegg & Birch bahwa kreativitas tidak disukai? Alasannya, karena
melawan hasil yang diinginkan oleh pendidik. Buktinya, sistem
pendidikan kita sebagian besar didesain untuk membuat mereka
memberikan jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan pengujinya.
Tidak ada jawaban yang murni ataupun kreatif dalam lembar
jawabannya, yang ada hanya jawaban yang benar.
Lebih mudah membuat orang menjadi tidak kreatif daripada
meningkatkan kemampuan kreativitas mereka. Boleh jadi kita tanpa
sadar sudah melakukannya. Sebut saja misalnya, cap “nakal” yang kita
berikan kepada anak yang tidak mau diatur. Padahal, bisa jadi yang
sedang terjadi pada diri anak yang kita cap nakal itu adalah: menunjukkan
kreativitasnya.
Mengapa sastra mesti menjadi bagian dari pembelajaran di sekolah?
Karena sastra berpotensi mengembangkan kreativitas siswa. Bahasa dalam
47
pandangan sastra adalah media yang dapa dipermainkan dengan sesuka
hati dan tidak ada bahaya yang mengancam dengan mempermainkan
bahasa sesuka hati itu. Tetapi, mengapa kreativitas siswa tidak terlihat?
Boleh jadi karena cara pandang kita terhadap bahasa yang terlalu serius
ataukah kita kurang paham apa itu kreativitas.
Ketika kita mengajari (oh ya, sekarang kita harus menyebutnya:
membelajarkan) siswa bernyanyi “Balonku”, sesungguhnya apa tujuan
kita mengajari anak dengan nyanyian tersebut? Kita sepertinya hanya
sampai pada tujuan, “ya agar siswa kita bisa menyanyikan lagu itu!”
Hanya itukah, tak ada tujuan lain? Sepertinya hanya berhenti sampai di
situ. Tak ada kreativitas lain. Mari kita coba membaca lebih saksama
teks lagu “Balonku”.
Balonku ada lima
Rupa-rupa warnanya
Hijau kuning kelabu
Merah muda dan biru
Meletus balon hijau (dor!)
Hatiku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Kupegang erat-erat
Dilihat dari susunan katanya, lagu “Balonku” merupakan contoh
yang sangat bagus tentang sajak. Rimanya sempurna. Kata-katanya akrab
di telinga. Kaya dengan citraan: penglihatan, pendengaran, perasaan,
dan gerak. Namun kita hanya menjadikan lagu itu sebatas nyanyian
yang harus dijaga keasliannya dan tugas anak-anak hanyalah menyanyikan
lagu itu sesuai dengan notasi yang benar. Lagu itu tidak pernah menjadi
bahan atau media untuk mengelaborasi kreativitas siswa. Padahal lagu
itu menyediakan dirinya untuk dielaborasi. Mestinya, lagu itu bisa
dianggap sebagai karya yang “belum selesai”. Perhatikan, ada lima buah
balon yang dimiliki si aku. Balon hijau meletus sehingga perasaan hati
si aku sangat kacau. Balon yang tertinggal berjumlah empat. Lalu, apa
yang terjadi dengan empat balon yang tersisa? Di sinilah ruang bagi
48
guru untuk “bermain-main” dengan siswa, melanjutkan penciptaan lagu.
Misalnya saja, saya akan menambahkan dengan larik berikut.
Meledak balon kuning
Kepala jadi pening
Balonku tinggal tiga
Kuikat di jendela
Atau bisa juga mencipta lagu balonku dengan jumlah yang berbeda,
misalnya saja kita meminta anak-anak mengubah jumlah balon yang
dimilikinya menjadi:
Balonku ada enam
Rupanya macam-macam
Coklat jingga kesumba
ungu hitam dan nila…”
Kondisi Pembelajaran Sastra
Bagaimanakah kondisi pembelajaran sastra sekarang ini? Jawaban
atas pertanyaan ini pada garis besarnya terbagi dua. Sebagian kalangan
meng-anggap kondisi pembelajaran sastra di sekolah sangatlah
mengecewakan. Pandangan semacam ini muncul terutama di kalangan
sastrawan dan pemerhati sastra (Sarjono, 2001: 207). Ada juga yang
beranggapan sebaliknya; tak ada yang perlu dicemaskan dalam
pembelajaran sastra dewasa ini. Salah seorang guru menyatakan, selama
ini ia tidak merasakan bahwa pembelajaran sastra di sekolah menengah
memprihatinkan (Hidayat dalam Sarumpaet, 2002: 109).
Perbedaan persepsi tentu sah-sah saja, akan tetapi yang perlu
dikhawatirkan adalah, jangan sampai perbedaan persepsi itu merupakan
bukti bahwa guru kurang paham apa sesungguhnya hakikat pembelajaran
sastra di sekolah. Pembelajaran sastra pada hakikatnya dilaksanakan untuk
memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman batinnya
dengan esensi cipta sastra yang dipelajarinya (Gani, 1988: 121). Oleh
karena itu, meskipun kurikulum di sekolah telah berubah dan berganti
49
berkali-kali, tujuan pembelajaran sastra tetap berkisar pada terwujudnya
pengalaman bersastra, yakni pengalaman apresiatif dan pengalaman
ekspresif, yang ditunjang oleh penguasan pengetahuan sastra yang
memadai.
Tujuan pembelajaran sastra tersebut, bertumpu pada dua
keterampilan utama yakni membaca dan menulis, meskipun dua
keterampilan lain, yakni mendengarkan dan berbicara, tidak diabaikan
begitu saja. Dengan kisaran tujuan seperti itu serta dua keterampilan
utama yang menyokong pembelajaran sastra, maka indikator keberhasilan
pembelajaran sastra secara sederhana dapatlah dilihat dari dua hal saja,
yakni (a) tingginya minat baca siswa terhadap karya sastra, dengan tingkat
apresiasi yang memadai, dan (b) banyaknya karya yang ditulis siswa
sebagai wujud kreativitas bersastra.
Sudahkah dua indikator tersebut tercapai manakala siswa lulus dari
satu jenjang pendidikan? Gambaran kasar menunjukkan bahwa kedua
indikator tersebut belum tercapai. Mari kita ukur dengan beberapa
pertanyaan berikut. Setelah bersekolah enam tahun (di jenjang sekolah
dasar) atau tiga tahun (di jenjang menengah pertama dan menengah
atas), berapa karya cerpen/puisi/ drama yang diciptakannya? Adakah
karya mereka yang dimuat di media massa atau diterbitkan dalam
sebentuk buku? Berapakah jumlah buku sastra yang dibaca siswa selama
tiga tahun mereka bersekolah? Adakah peningkatan jumlah buku yang
mereka baca dari tahun ke tahun? Sementara itu, kenyataan yang saya
temukan di tempat saya bekerja adalah, banyak mahasiswa tidak mampu
menulis dengan baik, dan karena itu masih saja ada mahasiswa yang
pada akhirnya lebih memilih melakukan penjiplakan atau meminta
bantuan orang lain daripada menulis karangan dengan menggunakan
kepalanya sendiri. Ketidakmampuan menulis ini salah satu penyebabnya
pastilah minat baca mereka yang rendah.
Bukti lain dari kegagalan menumbuhkan minat baca dan menulis
adalah, sedikitnya penulis yang lahir dari daerah kita ini. Lihatlah
halaman-halaman cerita anak di koran dan majalah. Sejumlah nama
dari berbagai kota lahir sebagai cerpenis dan penyair, tapi tak banyak
yang berasal dari daerah kita ini. Sementara anak-anak usia belasan tahun
sudah menerbitkan buku, adakah anak-anak kita seusia itu menerbitkan
buku?
Rendahnya kualitas pembelajaran sastra dapat disebabkan oleh
50
berbagai faktor seperti kurikulum, sarana belajar dan guru. Dari sejumlah
faktor yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pembelajaran sastra,
Atar Semi (dalam Sarumpaet, 2002: 134) menganggap faktor guru
sebagai faktor dominan dengan alasan bahwa guru dalam setiap
pembelajaran selalu menjadi faktor penentu utama. Bagi para guru sastra
(termasuk dosen seperti saya), pernyataan ini memang bukan hal yang
menggembirakan. Akan tetapi, penyangkalan seperti yang dikemukakan
oleh salah seorang guru seperti pada awal tulisan ini pun tidak akan
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pernyataan itu seyogyanya
ditanggapi dengan tindakan yakni melakukan upaya-upaya nyata untuk
mewujudkan pembelajaran sastra yang berkualitas, yakni yang mengarah
pada tumbuhnya kegairahan kreatif pada para siswa.
Sastra Sebagai Basis Pembelajaran
Chaedar Alwasilah (Pikiran Rakyat, 27 Desember 2006) menawarkan
pembelajaran bahasa berbasis sastra. Tawaran tersebut didasari sejumlah
alasan sebagai berikut. Pertama, secara psikologis manusia memiliki
kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Kedua, karya sastra
memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman
dan masalah pribadi dan lewat sastra pembaca belajar bagaimana orang
lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai
kearifan lokal yang seyogianya diwariskan secara turun-temurun lewat
pendidikan. Keempat, sastra dalam dirinya ada isi, yakni nilai-nilai dan
interpretasi kehidupan. Kelima, melalui sastra siswa diterjunkan langsung
ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner. Keenam, pembiasaan
terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan naratif yaitu kemampuan
memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi. Ketujuh,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengajaran sastra lebih
berkontribusi terhadap kemampuan menulis.
Alasan-alasan di atas memang cukup menjadi dasar bagi guru untuk
menggunakan karya sastra sebagai basis, bukan hanya dalam
pembelajaran sastra melainkan juga bagi pembelajaran bahasa secara
umum. Pembelajaran bahasa dengan berbasis sastra, di sisi lain, akan
dapat mengikis ketergantungan guru terhadap buku teks yang selama
ini sangat tinggi. Guru dituntut untuk memilih bahan sendiri dengan
mempertimbangkan berbagai aspek.
Realisasi pendekatan ini, menurut Alwasilah, mesti berpedoman
51
pada empat hal berikut. Pertama, ada keseimbangan dalam kategori materi
sastra, sehingga hampir semua genre sastra terwakili, misalnya komedi,
epik, lirik, legenda, dan fabel, dan sebagainya. Kedua, kurikulum sastra
tidak boleh dibatasi pada tradisi etnis atau aliran tertentu saja. Karya
sastra daerah, nasional, bahkan asing seyogianya terwakili asalkan karyakarya itu cocok untuk usia siswa. Ketiga, keseimbangan untuk memenuhi
kebutuhan dan minat kelompok di satu pihak dan individu siswa pada
pihak lain. Guru harus peka terhadap berbagai faktor seperti usia,
pengalaman, perkembangan akademik, cara belajar, dan lingkungan sosial
siswa. Keempat, keseimbangan dalam hal kualitas karya sastra. Pada tahap
awal bisa jadi siswa dibiarkan membaca apa saja yang disukainya, tetapi
lambat laun mereka mesti diperkenalkan kepada karya sastra yang
berkualitas.
Guru Sebagai Model
Telah dikemukakan bahwa keberhasilan pembelajaran sastra secara
sederhana dapatlah dilihat dari dua hal saja, yakni (a) tingginya minat
baca siswa terhadap karya sastra, dengan tingkat apresiasi yang memadai,
dan (b) banyaknya karya yang ditulis siswa sebagai wujud kreativitas
bersastra. Untuk mencapai hal itu, para guru dan mahasiswa calon guru
bahasa dan sastra Indonesia perlu sejenak berintospeksi tentang apa
yang sudah dilakukannya berkaitan dengan tugas-tugas yang dihadapi
sebagai guru atau calon guru bahasa dan sastra. Seorang guru sastra
sudah semestinya memiliki minat baca yang tinggi, khususnya terhadap
buku-buku sastra. Sudah berapa buku sastra (puisi, kumpulan cerpen,
novel dan drama) yang dibaca? Apakah anda sendiri tidak punya kesulitan
dalam memahami karya-karya tersebut?
Minat baca yang tinggi perlu dimiliki para guru/dosen dan
mahasiswa calon guru bahasa dan sastra Indonesia karena karya sastra
terus bermunculan dalam beragam bentuk terbitan. Koran-koran Minggu
menyediakan ruang sastra yang memuat karya berupa cerita pendek,
puisi, serta esai. Majalah-majalah sastra dan budaya semisal Horison dan
Gong terbit setiap bulan dengan jumlah karya yang dimuat lebih banyak
lagi jumlahnya dibanding koran. Buku-buku karya sastra semakin
semarak penerbitannya, bisa mencapai puluhan judul setiap tahun. Bila
guru, dosen, dan mahasiswa calon guru bahasa tidak mengikuti semua
itu, maka bisa dipastikan bahwa materi pembelajaran sastra hanya
52
berkutat dari itu ke itu saja dan dengan demikian akan tertinggal dari
perkembangan perjalanan sastra itu sendiri.
Apa saja yang perlu dibaca guru bahasa dan sastra Indonesia? Karya
sastra jelas harus menjadi bacaan wajib. Idealnya, seorang guru bahasa
dan sastra membaca karya-karya yang terbit dalam berbagai media dan
buku. Aktivitas membaca yang intens dan berulang-ulang niscaya akan
dapat membantu para guru memahami karya dengan lebih baik. Bacaan
berupa hasil telaahan karya sastra juga merupakan bacaan yang
semestinya tidak dilewatkan oleh guru bahasa dan sastra. Pembacaan
atas hasil telaahan terhadap karya sastra seyogyanya didahului dengan
membaca karya yang ditelaah tersebut. Upamanya saja, bila anda
membaca tulisan saya tentang “Puteri Keraton, Karya Sastra Koran dalam
Pandangan Mimesis” (Pasassung & Hidayat, 2006: 48-54) yang
membahas cerpen “Puteri Keraton” karya Marselli Sumarno, maka
semestinya anda pun terlebih dahulu membaca cerpen yang dibahas
itu. Membaca hasil telaahan semacam itu akan memberikan dua manfaat
bagi pembacanya, yakni (a) memperoleh informasi dari isi telaahan itu
dan (b) menjadi model bila mau menulis telaahan semacam itu.
Demikian pula hanya dengan indikator yang kedua, banyaknya karya
yang ditulis siswa sebagai wujud kreativitas bersastra. Untuk
mewujudkan hal itu, guru dituntut untuk menunjukkan kemampuannya
menulis. Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa belajar berbahasa
pada hakikatnya dimulai dari meniru. Oleh karena itu, guru dituntut
untuk menjadi model bagi para siswanya. Dengan kata lain, agar
pembelajaran sastra berhasil menumbuhkan kegairahan kreatif pada para
siswanya, maka guru bahasa seyogyanya terlebih dahulu memiliki
kegairahan yang sama, bahkan semestinya lebih tinggi dibanding siswa.
Dengan minat baca yang tinggi dan kemampuan menulis yang baik,
maka guru bahasa tidak akan lagi memiliki ketergantungan kepada buku
teks. Dengan kemampuan yang dimilikinya, guru seharusnya mampu
memilih dan menentukan sendiri bahan yang relevan dengan kebutuhan
siswa, bukan mengambil begitu saja bahan yang ada dalam buku teks.
Perlu disadari bahwa materi pembelajaran yang terdapat dalam buku
teks bukan merupakan jaminan bahwa materi tersebut sangat relevan
untuk digunakan di seluruh wilayah. Sementara itu, dari segi kualitas,
sebuah buku teks belum tentu memiliki kualitas yang memadai.
Kekurangmantapan kualitas buku teks ini bahkan nyaris menjadi
53
kesimpulan umum semua makalah yang diajukan dalam “Seminar
Pengolahan Bahan Pelajaran Sastra dalam Buku Teks Bahasa dan Sastra
Indonesia” di Pascasarjana IKIP Bandung (Sarjono, 2001: 209).
Pembelajaran sastra membutuhkan guru yang memiliki minat baca
tinggi dan suka menulis. Bagaimana mungkin mau mengajak siswa
banyak membaca kalau gurunya sendiri sudah tidak lagi membaca.
Bagaimana mungkin mau mengajak siswa menulis kalau gurunya sendiri
tidak menulis. Kegiatan menulis semestinya menjadi kebiasaan. Hampir
semua buku tentang menulis menyarankan kepada pembacanya agar
membiasakan diri menulis. Oleh karena itu, ajaklah para siswa anda
menulis. Guru sesungguhnya bisa dengan mudah meminta siswa menulis
bukan sebagai tugas yang harus dikerjakan, melainkan dirasakan siswa
sebagai sebuah kebutuhan. Anjurkanlah para siswa untuk menulis
catatan harian atau catatan pagi begitu siswa mampu menulis kalimat –
sejak kelas III atau kelas IV sekolah dasar. Namun, anjuran ini hendaknya
disertai dengan penghormatan atas privasi siswa; guru jangan pernah
membaca catatan harian mereka bila mereka tidak meminta guru untuk
membacanya. Pemaksaan akan berakibat fatal, yakni siswa tidak akan
pernah mau menulis.
Menulis dan Tantangan Berkarya
Tantangan pembelajaran sastra saat ini amat kompleks. Di rumah
ada televisi yang setiap hari menyajikan hiburan yang diminati anakanak dan remaja, bahkan ibu-ibu. Akibatnya, minat membaca
terpengaruhi, bukannya naik tetapi menurun karena anak lebih senang
menonton televisi daripada membaca. Karena tidak suka membaca,
maka wajar jika siswa kemudian tidak bisa menulis. Demikian kira-kira
keadaan siswa kita.
Dalam pada itu, di tempat lain, ada anak yang kadar kreatifnya
bahkan melebihi orang dewasa. Misalnya saja, Qurrota Aini. Bulan Maret
tahun ini umurnya 11 tahun. Sekarang ia duduk di bangku kelas V
SDIT Insan Mandiri, Jakarta Selatan. Seperti anak-anak lainnya, Aini
punya hobi membaca, menulis, menggambar, renang, nonton VCD
dan main komputer. Yang tidak seperti anak-anak lainnya adalah, pada
usia 8 tahun ketika masih duduk di bangku kelas II sekolah tersebut, ia
sudah menerbitkan novel anak berjudul Asyiknya Outbound (Dar! Mizan,
54
2005). Yang lebih tidak biasa lagi: buku tersebut adalah karyanya yang
kedua. Buku pertamanya, Nasi untuk Kakek, terbit setahun sebelumnya
yang mengantarkan-nya meraih piagam penghargaan Museum Rekor
Indonesia sebagai penulis antologi cerpen termuda usia tujuh tahun.
Nah, lalu apa yang bisa dilakukan agar siswa kita juga ada yang seperti
itu? Kita perlu menumbuhkan kegairahan kreatif mereka.
Selama ini, siswa menulis karena dorongan eksternal semata: karena
guru menugasi siswa untuk menulis. Artinya, jika guru tidak menugasi
siswa menulis, maka siswa tak akan menulis. Guru kadang mengabaikan
pentingnya dorongan internal dari dalam diri siswa: rasa suka dan gemar
menulis. Padahal, bagi Leonhardt (2001), rasa suka menjadi pintu utama
bagi keberhasilan siswa belajar menulis. “Sekali anak jatuh cinta dengan
menulis,” Leonhardt menjamin, “tulisan mereka akan melejit.”
Mengapa gemar menulis itu penting? Leonhardt (2001) menjawabnya
dengan sepuluh alasan berikut. Pertama, rasa suka terhadap suatu kegiatan
merupakan prasyarat untuk keberhasilan di bidang apa pun, demikian
pula halnya dengan menulis. Kedua, hanya anak-anak yang suka menulis
saja yang akan menulis dengan sering dan teliti. Ketiga, hanya siswasiswa yang gemar menulis dan banyak menulis secara mandiri, yang
akan mengembangkan irama dan gaya pribadi mereka. Keempat, hanya
anak-anak yang terbiasa menulis mandiri sajalah yang akan belajar cara
menulis dengan fokus yang tajam dan jelas. Kelima, anak-anak harus
sering dan bebas menulis (dan membaca) supaya terampil menggunakan
struktur kalimat yang kompleks dengan benar. Keenam, anak-anak yang
menikmati tulis-menulis jarang menunda-nunda menyerahkan makalah
dan laporan yang ditugaskan. Ketujuh, anak-anak yang suka menulis lebih
memahami hal-hal yang dibacanya. Kedelapan, anak-anak yang gemar
menulis (dan membaca) menjadi murid yang unggul dalam hampir
semua mata pelajaran. Kesembilan, anak-anak dengan kebiasaan menulis
mandiri mempunyai cara yang mudah untuk mengatasi trauma
emosional. Kesepuluh, penulis yang terampil dan fasih punya keuntungan
luar biasa dalam sebagian besar bidang pekerjaan.
Berbeda dari cara lama dalam pembelajaran menulis yang terasa
mem-bosankan (siswa), “paradigma baru” pembelajaran menulis yang
ditawarkan Taufiq Ismail (2003) adalah bahwa kelas mengarang harus
diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi beban,
baik bagi siswa, maupun untuk guru. Maka, pekerjaan pertama seorang
55
guru adalah menumbuhkan rasa suka terhadap menulis.
Agar dorongan untuk menulis tetap terpelihara dan rasa suka
terhadap menulis bertumbuhkembang dalam diri siswa, Leonhardt
antara lain memberikan sepuluh kiat utama berikut: (1) tumbuhkan
kecintaan dan kebiasaan membaca pada diri siswa; (2) dukunglah selalu
tulisan siswa Anda; dalam setiap tulisan, pasti ada yang dapat dipuji;
(3) tawarkan saran dan kritik hanya kalau siswa sudah menjadi penulis
yang terampil dan percaya diri; (4) hargai privasi siswa; janganlah
membaca tulisannya tanpa seizinnya; (5) hargai pendapat siswa; (6) jangan
menuntut kesempurnaan; (7) jangan menyensor tulisan siswa; (8)
sadarilah bahwa siswa mempunyai selera menulis yang berbeda-beda,
doronglah mereka untuk menulis apa yang mereka senangi; (9) tak perlu
mengajarkan tata bahasa kepada siswa ketika mereka baru mulai menulis,
sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan berkembang sehingga lebih
baik dikuasai siswa sedikit demi sedikit; dan (10) Anda sendiri,
menulislah untuk kesenangan.
Ketika para siswa ditugasi menulis, para siswa kemudian
menyerahkan tulisan itu, lalu bagaimanakah nasib tulisan tersebut di
tangan guru? Guru yang baik tentu akan membaca karangan yang
diserahkan siswa, dan pada kelas-kelas tinggi guru akan mengoreksinya.
Di samping pendekatan frekuensi, pendekatan yang kerap digunakan
dalam pembelajaran menulis adalah pendekatan koreksi (Suparno dan
Yunus, 2002).
Ketika para siswanya telah menjadi penulis yang terampil dan percaya
diri, sang guru akan memberikan saran dan kritik atas tulisan yang dibuat
siswa. Sayang sekali, tidak banyak guru yang memiliki waktu untuk
mengoreksi, dalam arti memberikan catatan, tanggapan, serta saran-saran
untuk perbaikan tulisan para siswanya. Yang banyak dilakukan guru
adalah sebatas memberikan skor atau nilai atas tulisan tersebut. Siswa
yang memperoleh skor tinggi pastilah merasa senang, sementara siswa
yang memperoleh skor rendah tentu tidak puas. Namun, baik siswa
yang memperoleh skor tinggi maupun siswa yang mendapat nilai rendah
tidak pernah tahu mengapa karangan yang ditulisnya dinilai bagus atau
kurang bagus.
Pada akhirnya, guru yang kreatif barangkali akan menyediakan papan
tempel yang biasa dikenal dengan sebutan majalah dinding, sebagai ruang
bagi siswa untuk berekspresi. Pemublikasian karya tulis siswa memang
56
dapat dipandang sebagai penghargaan terhadap kreativitas siswa. Di sini
peran guru sebagai fasilitator diperlukan untuk membantu siswa
mencapai aktualisasi diri melalui keterampilan menulis. Setelah direvisi,
karangan para siswa itu mungkin saja bisa dikirim (secara kolektif,
mengapa tidak?) ke sebuah majalah remaja ataupun majalah sastra.
Seandainya lagi satu atau beberapa karangan yang dikirim itu menarik
hati redaktur, tentu akan dimuat. Pemuatan tulisan siswa pada majalah
berskala nasional akan membuat penulisnya dikenal dan bukan tidak
mungkin memperoleh imbalan finansial.
57
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam Pikiran
Rakyat, 27 Desember 2006.
Clegg, Brian & Paul Birch. 2007. Instant Creativity. Jakarta: Esensi.
Gani, Rizanur. Pengajaran Sastra Respons dan Analisis. Jakarta: Ditjen
Dikti.
Hidayat, Ahid. “Guru dan Kakilangit Pengajaran Sastra” dalam Riris K.
Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah. Magelang: IndonesiaTera.
2002.
Ismail, Taufiq. Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang
Mengarang. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta . 2003.
Kristanto, J.B. Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: Harian Kompas. 2000.
Leonhardt, Mary. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis,
terj. Eva Y. Nukman. Bandung : Kaifa. 2001.
Pasassung, Nikolaus dan Ahid Hidayat. Cakrawala Karya. Kendari:
Penerbit FKIP Unhalu. 2006.
Sarjono, Agus R. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya. 2001.
Semi, M. Atar. “Buku Pendukung Pengajaran Sastra” dalam Riris K.
Toha-Sarumpaet, Sastra Masuk Sekolah. Magelang: IndonesiaTera.
2002.
Suparno dan Mohammad Yunus. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta :
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. 2002.
58
Sumber Tulisan
“Kontra-Propaganda dalam Drama Propaganda Zaman Jepang”
merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam Pertemuan Ilmiah
Nasional Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (Hiski) di
Yogyakarta, 2002.
“Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang
Belum Tergenggam” disajikan dalam Kongres (Internasional) IX Bahasa
Indonesia di Jakarta, 28-31 Oktober 2008.
“Aspek Psikologis yang Terabaikan dalam Pembelajaran Menulis”
disajikan pada Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia dalam
Perspektif Pergaulan Antarbangsa, IKIP PGRI Semarang 2-4 Juli 2006
“Menumbuhkan Kegairahan Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Sastra”
merupakan revisi dari makalah yang disajikan pada Seminar Nasional
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lakidende - Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara, 28 Januari 2008.
59
Biodata Penulis
Ahid Hidayat menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu
Susastra pada FIPB Universitas Indonesia (2001), mengajar di FKIP
Universitas Haluoleo sejak 1993. Tulisannya dimuat dalam buku Sastra
Masuk Sekolah suntingan Riris K. Toha-Sarumpaet (Indonesia-Tera,
2002), dan Cakrawala Karya yang disuntingnya bersama Nikolaus
Pasassung (Penerbit FKIP Unhalu, 2006). Menulis puisi dan cerpen, di
samping menerjemahkan cerpen dan menulis artikel, yang telah dimuat
di sejumlah media massa (Fajar, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Republika). Bersama Syaifuddin Gani, mengelola
ruang Sastra & Budaya Kendari Pos (Januari-Agustus 2008).
60
Download