BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini berfokus pada studi tentang identitas Dayak di Kalimantan Tengah yang terepresentasi melalui kehadiran lembaga-lembaga pengusung “nilai-nilai” adat Dayak. Fenomena ini tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin melonggarnya jeratan rantai sentralisme yang selama Era Orde Baru mengekang keberadaan lembaga-lembaga adat masyarakat etnis melalui strategi intervensi negara pada komunitas-komunitas. Untuk itu studi ini penting untuk dilakukan sebagai bagian dari politik identitas etnis Dayak di Kalimantan Tengah. Sejalan dengan itu etnisitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan Tengah dimaknai sebagai sesuatu yang melekat pada setiap individu dalam kelompok-kelompok tertentu. Etnisitas dimaknai pula sebagai bentuk klaim diri sendiri maupun klaim dari pihak lain. Etnisitas dalam konteks klaim individual terkadang merupakan suatu pilihan bagi individu untuk memposisikan dirinya sebagai etnis apa, pilihan mana merupakan modal survivalitas dan sarana interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Etnisitas dalam perkembangannya juga dipengaruhi karena faktor geografis dan faktor demografis, akibatnya pengelompokkan etnis beserta adat budaya yang melingkupinya dalam suatu batasan wilayah tertentu dari sistem otonomi daerah di Indonesia, tidak bisa dihindari. Hampir di tiap daerah otonom selalu ada kelompok mayoritas dari suku bangsa tertentu, misalnya orang Bali di Provinsi Bali, orang Sasak di NTB, orang Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, dan lainlain. Keragaman suku dan adat budaya tersebut sudah ada jauh sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sadar akan realitas keberagaman sebagai suatu potensi sekaligus ancamam ketika tak bisa terkelola dengan baik, maka para pendiri bangsa sepakat menjadikan sesanti Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda 1 tetapi tetap satu, sebagai motto bangsa yang memberikan arahan bagaimana memandang perbedaan dari suatu keberagaman sebagai bentuk kesatuan. Makna kesatuan tersebut sempat dijadikan alat kekuasaan rezim Orde Baru untuk memberangus perbedaan dengan aksi penyeragaman (regimentasi) dan pemberlakuan asas tunggal Pancasila serta perilaku korporatisme negara terhadap sejumlah organisasi bentukan rezim mulai tingkat pusat sampai ke level desa. Sebut saja salah satunya adalah organisasi Karang Taruna. Hal ini dilakukan negara dengan alasan meredam potensi konflik karena perbedaan atas hal-hal yang berbau suku, agama, ras, dan antar-golongan yang ada pada masyarakat. Menurut Asgart, negara berusaha meredam perbedaan terkait persoalan etnisitas dengan cara represif dan hegemoni. Represif diartikan sebagai tindakan yang menggunakan alat-alat negara yang bersifat memaksa dan mengikat, seperti hukum dan militer, sedangkan hegemoni dilakukan dengan cara penanaman ideologi Nasionalisme Pancasila melalui budaya dan informasi sampai ke akar rumput (Asgart, 2004: 251-253). Dayak merupakan suatu entitas etnik yang menunjuk pada keberadaan identitas penduduk asli “Indigenous people” yang mendiami Kalimantan Tengah, memiliki kultur sosial yang masih alami, namun kini secara perlahan tapi pasti mulai membangun semangat kolektivitas etnis yang didasarkan kepada nilai-nilai lokal. Semangat kolektivitas ini dapat dilihat dari kehadiran sejumlah lembaga yang membawa-serta nilai-nilai adat Dayak sebagai raison d’etre berdiri dan berkembangnya organisasi. Hal ini semakin menemukan momentum yang tepat se-iring bergulirnya era reformasi serta semakin diperkuat lagi pasca-konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah. Sebagai contoh semangat kolektivitas ini yaitu Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT). Organisasi itu didirikan pada tahun 1993, ketika Orde Baru tetap kuat dan tanpa tantangan sama sekali. Organisasi itu bertujuan mendesak Jakarta agar tidak menunjuk seorang gubernur provinsi yang orang Jawa, melainkan memilih seorang “putra daerah” (Manley dikutip oleh Klinken, 2007 : 214). Organisasi ini juga turut membentuk aktor-aktor lokal pada konflik etnis antara Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah pada tahun 2001. 2 Awalnya, lembaga adat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah di era Orde Baru hanya ada satu yakni, Lembaga Adat Kedamangan yang merupakan bagian dari pemerintahan lokal yang ada lebih dahulu. Lembaga Adat Kedamangan ini pada era Orde Baru bersifat independen dan diakui keberadaannya sebagai lembaga nonformal pemerintahan dan merupakan suatu kekayaan lokal yang masih bekerja dalam ruang ke-adat-an Dayak di Kalimantan Tengah. Hanya saja keberadaan lembaga adat Kedamangan ini ter-kooptasi oleh kepentingan negara. Kooptasi ini dapat dilihat dari regulasi yang mengaturnya yakni Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, lembaga-lembaga adat berada dibawah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Kepala Desa karena Kepala Desa LMD ex officio adalah Ketua LMD. Keberadaan lembaga-lembaga adat atau lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam UU No.5/1979, pasal 17 ayat (1) ditegaskan : “Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan / permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pemimpin Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan” (Djuweng dkk., hlm. 81). Era Reformasi dan pasca konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah, telah membawa perubahan yang begitu signifikan pada perkembangan Lembaga Adat Kedamangan. Kini lembaga adat tersebut perlahan-lahan mulai bergeser secara sistem, ke arah yang lebih diakui dalam arti sesungguhnya. Satu hal yang menandai perubahan tersebut, telah terciptanya produk kebijakan bagi Lembaga Adat Dayak yang dalam hal ini Lembaga Adat Kedamangan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Berikutnya, kehadiran lembaga-lembaga Adat Dayak yang lain yakni Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah, beserta sub organisasi di bawahnya yakni Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (BATAMAD), juga merupakan “buntut” dari dikeluarkannya perda tersebut. DAD merupakan lembaga non-formal yang pendiriannya di-akta-kan pada notaris, memiliki struktur organisasi berjenjang dari tingkat Regional Kalimantan (mencakup provinsi lain), provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan 3 desa/kelurahan. Dewan adat ini telah menyelenggarakan tiga kali Musyawarah Nasional (Munas). Munas yang pertama kali diadakan di Kalimantan Timur pada tanggal 29 November 2004, telah berhasil memilih pengurus DAD, lalu dilanjutkan dengan musyawarah nasional yang ke-dua di Kalimantan Barat pada tanggal 2-5 September 2010. Lain daripada itu, dalam konteks Kalimantan Tengah, sebagai lembaga adat seperti Kedamangan dan perangkat-perangkat adat lainnya ini masih dianggap penting keberadaannya sehingga statusnya sebagai bagian dari MADN dan DAD. Hal ini dikarenakan peran serta mereka baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menjaga nilai-nilai etnisitas ke-Dayak-an di akar rumput masih tetap dijalankan. Sebab keberadaan mereka langsung berada di tengahtengah masyarakat dalam lingkup satu kecamatan atau beberapa desa/kampung yang menjadi bagian dari wilayah kerja lembaga adat kedamangan beserta perangkat-perangkat adatnya yang menyebar. Hal ini dapat dilihat dari perselisihan-perselisihan atau segala aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan adat Dayak masih dikerjakan oleh lembaga adat kedamangan atau aparat-aparat adat yang memiliki wewenang untuk menjalankan tugas adat yang diamanahkan. Mengglobalnya nilai-nilai modernisme salah satu faktanya yang ditandai dengan ekonomi terindustrialisasi secara maju, cenderung menuntut pula penyingkiran nilai-nilai kelokalan secara tidak langsung maupun langsung yang berbasis pada adat. Hadir demi pencapaian-pencapaian keuntungan korporasi dengan jalan pengerahan mesin-mesin produksi berskala besar ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat etnik yang dianggap kental dengan tradisionalismenya, oleh arus korporasi yang modern dinilai sebagai penghalang atas tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, kontestasi keduanya tidak dapat terhalangi. Menyebabkan klaim atas lingkungan alam (tanah, hutan, air, dan yang lainnya) merupakan domain produksi keduabelah pihak yang selalu dihembuskan dari masa ke masa, dan lembaga adat kedamangan turut hadir di dalam wilayah tersebut. Sejalan dengan paragraf tersebut di atas, terdapat kelompok-kelompok berlatar-belakang etnik tertentu yang hidup serta hadir di wilayah Kalimantan 4 Tengah sebagai bagian dari perpindahan penduduk atau juga bisa terjadi karena perpindahan yang di sengaja baik oleh negara atau faktor sejarah. Sehingga komposisi masyarakat menjadi masyarakat multi identitas etnik, kemudian mempengaruhi pola bertahan hidup kelompok-kelompk etnik tertentu sehingga kontestasi antar kelompok etnik juga tidak dapat dihindari. Akibatnya gesekangesekan berupa konflik sosial dapat ditemukan serta dimungkinan terjadi sebagai bentuk efek lanjutan dari kontestasi etnik tersebut. Hadirnya lembaga-lembaga adat Dayak ini menjadi pertanyaan sendiri yang harus dijawab. Lembaga-lembaga adat Dayak yang berbasis pada etnisitas merupakan sebuah sarana untuk mengorganisir kelompok etnik. Oleh karena itu, lembaga adat yang juga sebagai salah satu bentuk representasi politik adalah sebuah sarana yang harus dikendarai demi tercapainya tujuan-tujuan kelompok etnik itu sendiri. Sehingga latar belakang kehadiran lembaga-lembaga adat menjadi penting untuk diteliti secara esensialnya. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang didapat dari uraian di atas adalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang munculnya Lembaga-Lembaga Adat Dayak di Kalimantan Tengah ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah : a. Untuk melihat instrumen-instrumen yang digunakan pada institusi adat Dayak di Kalimantan Tengah. b. Untuk melihat menguatnya identitas etnis ke-Dayak-an. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Etnis Dayak Masyarakat Dayak dapat memahami latar belakang pembentukan lembagalembaga Adat Dayak dalam merepresentasikan kepentingan masyarakat Dayak. 5 2. Bagi Penelitian selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi peneliti selanjutnya, yang tertarik mengkaji politik etnisitas ke-Dayak-an di Kalimantan Tengah. 3. Referensi Menambah referensi kekurangan kajian tentang politik etnisitas Ke-Dayak-an secara khusus di Kalimantan Tengah. E. Literatur review. Secara literasi diperlukannya pemetaan terhadap kajian-kajian terdahulu. Oleh karena itu, pemetaan dilakukan dengan cara mengumpulkan literaturliteratur terkait tesis ini kemudian menguraikannya secara singkat agar diketahui perbedaan-perbedaan dari kajian studi yang sudah pernah dilakukan sehubungan dengan bertaliannya konteks identitas. Tulisan sebelumnya tentang etnisitas Dayak dilakukan dan diteliti oleh Maunati (2004). Dalam tulisan tersebut ia menguraikan hasil penelitian etnografinya yang berfokus pada kebudayaan dan identitas Dayak, yang secara umum menggambarkan tentang kerasnya kehidupan sehari-hari di Desa Long Mekar (nama desa ini bukan nama yang sebenarnya) - Kalimantan Timur. Serta identitas Dayak sebagai suatu konstruksi yang dipertentangkan melalui proses politik yang cukup panjang sehingga menghasilkan suatu konsep ke-Dayakan. Konsep ke-Dayakan di sini diuraikan sebagai sesuatu yang diwacanakan sejak era kolonisasi. Era kolonisasi ini adalah suatu masa ekspansi Belanda ke wilayah Kalimantan Timur yang terjadi pada masyarakat Dayak Kenyah yang primitif. Tulisan ini memetakan identitas Dayak dalam konteks industri pariwisata dan mobilitas sosial dalam kelompok-kelompok pekerja kelas menengah yang secara khusus dalam sektor publik di Kalimantan Timur. Dalam hal lembaga-lembaga ke-Dayakan dalam tulisan ini dijelaskan bahwa ada lembaga yang bersifat alami yakni Desa sebagai organisasi sosial dan politik yang tercipta oleh proses sosial masyarakat. Selain itu dilanjutkan dengan lahirnya organisasi Dayak yang modern dan pertama kali di Kalimantan Timur. Organisasi ini bernama Solidaritas, yang 6 berdiri pada tahun 1993 kemudian bertransformasi menjadi lembaga baru yakni Lembaga Adat Kenyah pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2003. Lembaga ini tidak bertahan lama dikarenakan banyaknya pertentangan, baik dari dalam komunitas lembaga itu sendiri maupun dari komunitas luar. Tulisan berikutnya yakni pada migran Banjar yang merupakan bagian dari etnis di Kalimantan. Arbain (2009) dalam tulisannya mengenai studi kependudukan menunjukkan bahwa penggunaan asosiasi sukarela (berbentuk yayasan) dalam bingkai etnis sebagai bentuk strategi-strategi adaptasi migran Banjar yang dilihat dari lokus dua Kelurahan di Kota Palangkaraya Propinsi Kalimantan Tengah. Asosiasi ini hanya digunakan sebagai wadah bertemu dan berkumpulnya etnis Banjar yang berada di Kota Palangkaraya untuk melakukan kegiatan yang bersifat etnis-religius. Sebagai faktor-faktor penguatan intensitas interaksi sesama etnis Banjar perantauan di Kota Palangkaraya. Secara afektif perilaku migran Banjar ditunjukkan untuk menghindari stereotip-stereotip sebagai efek konflik etnis Dayak-Madura yang terjadi di Kota Palangkaraya dan Kota Sampit pada tahun 2001. Karena migran Banjar sebagai warga pendatang di kota Palangkaraya dapat menghindari gesekan-gesekan. Dalam kehidupan berpolitik penggunaan asosiasi sukarela migran Banjar mengarahkan partisipasinya kepada pola dukungan calon-calon peserta tertentu pada lingkup elektoral yang bersifat religius dan bukan atas pengaruh sentimen etnisitas. Dilanjutkan dengan kajian yang sama terhadap asosiasi sukarela sukubangsa di Kota Batam sebagai wadah representasi oleh Yulizar Syafri (2010). Kajian ini memperlihatkan secara umum bahwa asosiasi sukarela etnisitas digunakan sebagai bentuk perilaku pertahanan diri sekaligus perebutan sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan politik dalam situasi dan kondisi heterogenitas kesukubangsaan pada masyarakat di Kota Batam. Baik dalam bentuk perdagangan (suplai material dari dalam dan luar Kota Batam) dan jabatan-jabatan strategis di birokrasi dan politik. Kesemuanya ini direbut oleh beragam sukubangsa yang ada di kota Batam dalam dua pusat kekuasaan, yaitu Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam. Dalam perjalanannya Otorita Batam diistilahkan sebagai kerajaan orang Sunda, dan Pemerintah Kota Batam diistilahkan sebagai tempat kekuasaan orang Melayu. 7 Proses interaksi sosial dilihat dalam kajian ini yaitu dari hubungan kekerabatan dalam sukubangsa, pertemenan dan klik (dalam hal ini dimaksudkan diluar suku bangsa). Temuan menarik lainnya dari Gerry van Klinken (2007) yaitu berkaitan dengan konflik etnik terjadi pada kota Sampit serta kota-kota sekitarnya di provinsi Kalimantan Tengah. Dalam bukunya yang berjudul Perang Kota Kecil, Klinken mencatat bahwa situasi yang sebenarnya terjadi dalam konflik Sampit ini adalah bagaimana aktor-aktor lokal Dayak baru terbentuk dengan menggunakan pola strategi gerakan chauvinistis pada masyarakat etnik Dayak sendiri, dengan menggunakan teori dynamics of contention. Dalam penelitian ini juga Klinken hanya melihat aktivitas gerakan pada organisasi dan bukan pada level kelembagaan adat Dayak. Organisasi ini konsentrasi utamanya beroperasi di kota Palangkaraya, tetapi berdampak penting ketika telah terjadi chaos kecil antar etnik Dayak dan etnik Madura kemudian setelah itu menyebar menjadi konflik yang besar di kota Sampit. Bertalian dengan di atas, karya selanjutnya masih bertemakan konflik etnik Sampit di Kalimantan Tengah oleh Muhamad Sulhan (2006). Akan tetapi, hasilhasil temuan yang telah dibahas dalam buku ini lebih banyak tentang analisis teks tentang representasi identitas etnik Dayak di media cetak dengan perbandingan satu (1) media cetak lokal Kalimantan Tengah yaitu Kalteng Pos dengan satu (1) media cetak nasional yaitu harian Kompas. Dalam penelitian Sulhan tersebut dia menggunakan pisau bedah utamanya dari Teun A van Dijk tentang analisis kognisi sosial terutama pada media cetak. Secara garis besar, Sulhan (2006 : hal 239-240) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa kecenderungan penulisan berita yang dilakukan pada dua media massa terteliti (kalteng Pos dan Kompas) atas fenomena konflik (sampit Februari 2001), menghasilkan pola pemberitaan yang spesifik dan unik pada masing-masing media. Kompas, sebagai media nasional dalam headline-nya cenderung konflik Sampit 2001 sebagai bagian dari beragam konflik lain yang tengah terjadi di Indonesia, baik itu konflik Maluku, Selatpanjang, dan Sambas. Tingkat perhatian Kompas atas konflik Sampit 2001 meningkat pada hari-hari terakhir bulan Pebruari, untuk kemudian cenderung 8 menurun (tidak lagi mengangkatnya sebagai headline) pada pemberitaan bulan Maret 2001. Sementara itu, Kalteng Pos sejak pertengahan bulan Pebruari 2001 hingga akhir Maret 2001 selalu menempatkan konflik Sampit 2001 sebagai headline-headline mereka. Kajian studi berikutnya masih dalam pusaran yang sama yaitu terkait dengan warga etnik Dayak dan etnik Madura dengan lokus kajian di Desa Salatiga Kabupaten Landak provinsi Kalimantan Barat. Dalam kajian Giring (2004) ini lebih berfokus pada citra orang Madura di mata orang Dayak Kanayatn pada Desa Salatiga. Hasil kajian Giring (2004 : 151) menunjukkan bahwa meskipun terdapat adanya citra Madura itu baik, namun citra yang paling mempengaruhi sikap dan tindakan orang Dayak Kanayatn (baik terhadap dirinya maupun terhadap orang Madura) adalah citra orang Madura suka kekerasan. Citra orang Madura suka kekerasan dan citra orang Madura itu keduanya merupakan citra yang menonjol dan sekaligus berkompetisi. Kembali ke dalam konteks Kalimantan Tengah, kajian selanjutnya diisi oleh Anita Tristya Wenni (2011) tentang kebijakan tanah adat. Kajian tentang kebijakan publik yang dilakukan oleh Anita (2011 : 140-141) ini menemukan bahwa pertama, terjadinya peningkatan eksalasi konflik sengketa tanah dimana tidak hadirnya negara untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Kedua, reaksi terorganisir masyarakat adat yang didukung oleh banyaknya organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang lebih berpihak kepada masyarakat bawah. Faktor ketiga adalah merupakan komitmen politik gubernur Kalimantan Tengah yang dilihat sebagai secret agenda untuk melakukan pencitraan sebagai usaha memenangkan kepercayaan masyarakat etnik Dayak agar dapat memimpin kembali pada posisi gubernur untuk kedua kalinya. Faktor keempat dilihat pada kondisi aturan hukum yang masih kurang efektif sehingga tumpang tindih kepentingan-kepentingan antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena proses pembangunan sebagai dampak berakhirnya sentralistiknya negara. Secara umum gambaran kajian kelembagaan adat Dayak oleh Anita ini hanya berkutat pada fungsi sebagai pemersatu masyarakat Dayak se-Kalimantan dan tidak menjelaskan latar belakang 9 kehadirannya. Sehingga secara utuh kita tidak dapat menemukan latar belakang keseleruhan hadirnya lembaga adat. Dalam lingkup demokrasi nilai-nilai kelokalan etnisitas berperan sangat efektif untuk membangun kesadaran dalam bidang pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Perkumpulan Demos pada tahun 2003 yang mewadahi penelitian ini, melihat pada kasus di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Dalam konteks Kalimantan Barat, E. Lalalng Wardoyo (2003 : 229-242) menggambarkan keberhasilan A.R. Mercer dalam membangun perekonomian serta aktifitas politik lainnya yang berkonsentrasi pertama kali di Pontianak dengan mendirikan Credit Union (CU) dibawah Yayasan Pancur Kasih (YPK). Pandangan Mercer beserta rekan-rekannya yang diutarakan oleh Wardoyo ini, di yayasan tersebut dalam hal pendirian CU yaitu atas dasar keprihatinan mereka melihat perekonomian masyarakat Dayak yang kalah dengan warga pendatang. Kemudian CU ini menjadi besar. Lalu mulai menerima enggota-anggota CU-nya yang baru dari warga-warga etnik lain dan bahkan ditiru untuk digunakan di provinsi-provinsi lain. Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah dilakukan di atas penelitian ini berbeda. Fokus penelitian ini adalah kehadiran lembaga-lembaga adat Dayak di Kalimantan Tengah sebagai bagian dari bentuk representasi komunitas Dayak secara umum. Hal itu dapat dilihat dari apa yang menjadi pemicu lahirnya lembaga-lembaga adat Dayak. Penelitian ini memiliki signifikansi secara praktis dan teoritis. Secara praktis penelitian ini hendak menggambarkan potret identitas etnis Dayak, selain itu juga ingin melihat berdasarkan penguatan identitas etnis ke-Dayak-an. Dari segi teoritis, penelitian ini menggambarkan intrumentasi lembaga-lembaga tersebut dari faktor rasa/sentimen etnisitas yang melihat dimensi identifikasi atas masalah-masalah yang digunakan sebagai tolok ukurnya berdirinya lembaga adat. 10 F. Kerangka Teori 1. Konsep Etnisitas. Etnis ataupun etnisitas memiliki definisi yang berbeda jika dilihat dari bahasa yang dipergunakan untuk mengartikannya. Pertama, jika pengertian etnisitas berasal dari Etnos bahasa Yunani kuno, yang pada dasar pengertiannya adalah sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan biologis serta bertindak menurut pola-pola yang sama. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia sendiri etnis atau etnik bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yg mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dsb. Sedangkan dalam Cambridge Dictionary (dalam situs www.dictionary.cambridge.org), ethnic (etnik/etnis) dipisahkan berdasarkan maknanya, sebagai sebuah kata sifat (adjective) yaitu ethnic yang dijelaskan from a different race, or interesting because characteristic of an ethnic group that is very different from those that are common in western culture, yang dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai dari ras yang berbeda, atau hal-hal menarik berdasarkan karakteristik sebuah kelompok etnis yang sangat berbeda dengan yang umum dalam budaya barat. Sedangkan Handelman dalam Tilaar (2007:5) memiliki pendapat yang berbeda. Handelman membedakan empat tingkat perkembangan yang dipertunjukkan di dalam komunitas budaya manusia, yakni: Pertama; kategori etnis, keterhubungan seseorang dengan masyarakat merupakan suatu ikatan yang agak longgar dan sekadar suatu gambaran adanya perbedaan budaya antara kelompoknya dengan dunia luar. Contoh kelompok etnis yang ikatannya telah longgar namun tetap masih menjaga ikatan etnisnya adalah daerah Tapanuli, Aceh dan Sulawesi Selatan, Kedua; jaringan etnis sudah terdapat interaksi yang teratur antara anggota-anggota etnis tersebut sehingga dengan jaringan tersebut terjadi distribusi sumber-sumber antara anggotanya. Pada tingkat asosiasi etnis, para anggotanya telah mengembangkan minat yang sama dan membentuk organisasiorganisasi politik dalam pernyataan-pernyataan kolektif, contohnya Persaudaraan Saudagar Bugis-Makassar yang sudah mempunyai agenda kegiatan rutin, Ketiga; pada tingkat masyarakat etnis (ethnic community) kelompok masyarakat tersebut 11 telah memiliki teritori yang tetap serta terikat di atas organisasi politiknya seperti misalnya yang terlihat di dalam suatu negara nasional (nation state). Lebih lanjut Schermerhorn (dalam Tilaar, 2007: 5) melengkapinya dengan mengatakan bahwa suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen-elemen simbolik yang menyatakan akan keanggotaannya, seperti pola-pola keluarga, ciri-ciri fisik, aliansi agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada dasarnya terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok. Tilaar (2005) kemudian melanjutkannya dengan sifat-sifat yang melekat pada etnis. Pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai enam sifat, sebagai berikut: 1) Memiliki nama yang khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat, misalnya Mallarangeng dan Mappanyukki yang identik dengan etnis Bugis, Sijaya dan Rewa yang identik dengan etnis Makassar. 2) Memiliki suatu mitos akan kesatuan nenek moyang, kesamaan akan asal usul dalam waktu tertentu sehingga kelompok tersebut membentuk suatu kekeluargaan yang fiktif, misalnya etnis Bugis dan etnis Makassar yang mempercayai mitos La galigo (awal mula dunia di huni) dan To Manurung (Pemimpin yang turun dari langit). 3) Kelompok tersebut mempunyai ingatan historis yang sama atau mempunyai memori masa lalu yang sama seperti pahlawan, kejadian-kejadian tertentu, misalnya Arung Pallakka dari Bugis dan Sultan Hasanuddin dari Makassar yang terlibat dalam Perjanjian Bungaya yang kemudian menjadi konflik yang berkelanjutan namun terselubung sampai sekarang antara orang-orang Bugis dengan Makassar. 4) Kelompok tersebut memiliki kesatuan elemen-elemen budaya seperti agama, adat istiadat dan bahasa, pada dasarnya Bugis-Makasar memiliki kesamaan adat istiadat dan agama yang dianut namun memiliki perbedaan bahasa walaupun menggunakan aksara yang sama. 5) Kelompok tersebut terikat dengan tumpah darah baik secara fisik maupun hanya sebagai keterikatan simbolik terhadap tanah leluhurnya seperti pada kelompok-kelompok 12 diaspora Bugis-Makassar yang tersebar di penjuru Nusantara. 6) Memiliki suatu rasa solidaritas dari penduduknya. Berbagai penjelasan dari definisi-definisi etnisitas yang dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dikatakan etnis adalah suatu kelompok yang didefinisikan dalam masyarakat yang memiliki perbedaan atau karakteristikkarakteristik tertentu antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Sehingga, dari definisi yang penulis uraikan tersebut dapat membantu penulis untuk menjelaskan tentang gambaran identitas ke-Dayak-an pada bab ii. Selain itu, untuk membantu menegaskan suatu kelompok etnis itu berbeda dengan kelompok etnis yang lainnya maka terdapat karakteristik-karakteristik yang pada umumnya menonjol. Berangkat dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas penulis mengasumsikan karakteristik-karaketristiknya seperti di bawah ini : 1. Memiliki nama atau label etnis itu sendiri. Baik yang digunakan sendiri (sebuah pengakuan), danatau yang diberikan oleh seseorang kelompok lain. Biasanya sebuah nama atau label lahir sebagai nama utama yang melekat atau bisa juga diperistilahkan. 2. Memiliki etno-linguistik (bahasa) dan religi. Etnik Dayak merupakan merupakan etnik yang besar, karenanya pemilihan sub-sub etnik (sub-sub suku) tidak dapat dihindari. Hal ini menyebabkan pemilahan sub-sub etnik hadir dan beroperasi karena wilayah atau faktor perbedaan penempatan aktifitas kehidupan mendekati sungai yang menjadi tolok ukur perbedaan. Begitupun dengan religi, sebelum ada dan beroperasinya agama-agama baru yang dibawa oleh kaum pedagang, ilmuwan, serta administrator era kolonialis ke pulau Kalimantan, religi yang dianut pada pra-kolonialis yaitu animisme. 3. Memiliki strata sosial. Dikatakan strata sosial karena dilihat dari alam materialismenya sendiri yang digambarkan atas pelapisan sosial di lingkungan masyarakatnya dari struktur piramida pertama, kedua, dan ketiga dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Dimana struktur sosial ini memiliki perbedaan yang mencolok masing-masing. 13 4. Memiliki pola perilaku (behavioral). Dimaksudkan dengan pola perilaku disini yaitu sebagai situasi atau kondisi dari bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan oleh anggota-anggota kelompok etnik, baik yang beroperasi di dalam maupun dengan kelompok-kelompok etnik lain. 5. Adanya sebuah institusi/lembaga/organisasi etnik. Hal ini diartikan sebagai wadah atau tempat kelompok etnik untuk mengorganisasikan diri mereka. baik yang memiliki fungsi ke dalam kelompok maupun ke luar kelompok. Sehingga kelompok etnik ini dapat mengatur hak-hak serta kewajibankewajibannya. Dikatakan memiliki sebuah organisasi yaitu memenuhi syarat dengan kondisi oraganisasi/institusi hadir atas warisan masa lalu dari pada pendahulu-pendahulunya serta ke-ada-an institusi yang bersifat kekinian sebagai bentukkan baru pada era modern dalam pusaran sejarahnya. Lain dari pada itu, etnisitas juga merupakan suatu cara yang digunakan untuk membangun, mobilisasi kepentingan pribadi dan komunitas itu sendiri, serta merupakan suatu karakteristik yang tidak dapat dijauhkan dalam kegiatan sosialisasi dan interaksi dalam lingkungan masyarakat. Sebab, pada dasarnya setiap orang memiliki etnisitas di dalam dirinya maupun komunitas dimana seseorang itu berada dan terjadilah pengidentifikasian. Pengidentifikasian ini mengakibatkan adanya suatu bentuk pengakuan. Pengakuan tersebut bisa berasal dari dalam dirinya dan juga berasal dari orang lain atau komunitas-komunitas yang ada di lingkungannya. Pengakuan ini memiliki dampak yang lain, seperti keberadaan etnis itu sendiri yang didasari atas bahasa serta hal yang paling penting yakni kebudayaan. Kebudayaan dalam masyarakat Dayak sendiri yakni menggunakan kebudayaan sungai. Kebudayaan sungai ini dimaksudkan sebagai faktor utama kehidupan masyarakat Dayak yang hidup di sekitar sungai yang ada di Kalimantan Tengah. Air sungai tersebut menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Dayak. Yang pada umumnya digunakan dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari seperti mandi, cuci, kakus, irigasi, dan lain-lain. 14 Etnisitas memainkan peran penting dalam kehidupan suatu komunitas etnis. Hal tersebut dapat menjadi alasan utama, karena etnisitas merupakan suatu bentuk yang diterima setiap manusia sejak lahir. Bahkan komunitas etnis tersebut juga merupakan suatu bentukkan dan juga suatu pilihan. Bentukkan karena kesamaan pandangan terhadap etnisitas yang terkonstruksi berdasarkan pengalaman dan sejarah yang dialami oleh manusia-manusianya. Untuk pilihan karena kondisi dan keadaan seseorang untuk memilih, membentuk, dan bergabung suatu komunitas pada wilayah tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan yang hendak dicapai. Dalam pada itu, etnisitas cenderung dimaknai sebagai suatu hal yang sempit. Misalnya seseorang yang telah mengklaim dirinya berdasarkan identitias etnis yang telah dimiliki oleh yang bersangkutan. Atau bisa juga telah terjadi klaim oleh orang lain terhadap seseorang atau komunitas tersebut. Sehingga pemahaman akan etnisitas hanya berkutat pada status klaim akan sebuah identitas yang dimiliki oleh seseorang dan bukan apa yang menjadi pilihan pada segala tindakan yang dilakukan dalam interaksi sosial yang sedang berlangsung. Menurut Liliweri (2005: 14) konsep etnisitas adalah konsep yang menjelaskan beberapa hal, meliputi: 1) Status kelompok seseorang berdasarkan kebudayaan yang dia warisi dari generasi sebelumnya. Pada poin ini dijelaskan tentang suatu kondisi dimana segala sesuatu diwarisi oleh kejadian-kejadian yang telah terjadi sebelumnya dan bersifat politis dalam lingkar kuasa. 2) Nilai budaya dan norma yang membedakan anggota suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Para anggota kelompok etnis pada umumnya mempunyai kesadaran atas nilai dan norma budaya yang sama, bahkan menjadikannya sebagai identitas budaya untuk membedakan dan memisahkan diri dengan kelompok yang lain di sekeliling mereka. Hal yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan atau norma yang berlaku dalam masyarakat yang harus dijalankan oleh komunitas yang heterogen pada setiap interaksi-interaksi dalam relasi sosial. Seperti misalnya falsafah budaya Betang dalam konteks identitas pembeda. 15 3) Penggolongan etnik berdasarkan afiliasi artinya atas dasar apa sekelompok orang berafiliasi satu sama lain bahkan itu dijadikan sebagai suatu identitas sekaligus identifikasi dari individu bahwa mereka merupakan bagian dari anggota kelompok etnik. Afiliasi dinilai sebagai bentuk pengorganisasian diri dalam suatu kelompok etnik yang telah dijalani pada kurun waktu tertentu. Sehingga menjadi identitas tersendiri dalam bentuk yang lain. 4) Perbedaan dengan ras bahwa etnisitas merupakan proses pertukaran kebiasaan berperilaku dan kebudayaan secara turun-temurun. Pada poin ini sebenarnya maknanya tidak berbeda jauh dengan poin pada nomor 2 (dua) diatas yang kurang lebih penulis mengandaikannya yaitu sebagai bentuk pertukaran-pertuakaran dalam interaksi sosial. 5) Identitas kelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas bahasa, kebudayaan, sejarah dan asal usul geografis. Untuk kategori nomor 5 ini merupakan bentuk-bentuk penegasan yang membedakan sebagai batas-batas eksistensi dari suatu kelompok etnis. 6) Pembagian atau pertukaran kebudayaan yang berbasis pada bahasa, agama dan kebangsaan (nasionalisme). Atas pertimbangan ini etnisitas selalu dihubungkan dengan keyakinan yang “berlebihan” pada bahasa, agama dan kebangsaan melebihi kelompok bahasa, agama, dan kebangsaan lain. Pembagian atau pertukaran di sini penulis asumsikan bukanlah sebagai pengertian dari gerakan-gerakan primordial yang sempit. Akan tetapi, ia adalah bentuk gerakan-gerakan sosial yang dioperasikan oleh aktor-aktor tertentu dalam membawa semangat etnisitas sebagai landasan perjuangannya. Berdasarkan pemaparan dari beberapa hal konsep etnisitas diatas, dapat disimpulkan bahwa etnisitas merupakan suatu bentukan terhadap komunitaskomunitas yang didasari atas identitas, kesamaan budaya, agama, sejarah dan bahasa. Sehingga baik secara sengaja dan disadari membuat komunitas-komunitas tersebut berbeda dengan komunitas yang lainnya. Hal ini dikarenakan adanya 16 proses pengenalan secara atribusi yang telah diberikan oleh pihak di luar komunitas ataupun dari dalam komunitas itu sendiri. Konsep etnisitas yang disebut oleh Liliweri di atas dapat diadopsi untuk menjelaskan konsep menguatnya identitas etnis Dayak (bab iii). Konsep keDayak-an dilihat sebagai sebuah konsep yang membawa nilai-nilai ke-Dayak-an dalam hal relasi-relasi yang terbangun. Masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah berdasarkan perjalanannya mengenal pemerintahan lokal yang secara institusional yakni Kedamangan, yang dijabat oleh seorang Damang. Dan pada masa sekarang mengalami transformasi menjadi Lembaga Adat Kedamangan yang telah diperdakan oleh pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah, dan kabupaten/kota se-Kalimantan Tengah. 2. Politik Etnisitas. Agnes Heller mengasumsikan politik identitas sebagai politik yang fokus utamanya adalah perbedaan (differance) sebagai kategori politiknya yang utama. Karena ide perbedaan lebih menjanjikan kebebasan (freedom), toleransi, dan kebebasan bermain (free play) meskipun di balik itu bahaya lain muncul seperti pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Hal ini dikarenakan perbedaan-perbedaan itu sedemikian marak. Politik identitas dapat mencakup diantaranya pikiran rasis (races thinking), biofeminisme, dan perselisihanperselihan etnis. Isu-isu politik lingkungan atau gerakan sosial politik yang didorong oleh para penyokong lingkungan, enviromentalisme, masuk juga dalam kategori ini (Agnes Heller dalam Abdillah, 2002: 22). Uraian yang telah diasumsikan oleh Heller di atas lebih menekankan atas politik perbedaan. Dikatakan perbedaan karena setiap kelompok etnik memiliki situasi, kondisi, batas-batas, simbol-simbol, atau karakteristik yang berbeda-beda dalam etnis itu sendiri. Menjanjikan kebebasan merupakan suatu tujuan yang akan dicapai atas sumberdaya-sumberdaya yang telah direbut oleh kelompok lain. Jika kelompok etnik tertentu berada dalam wilayah kelompok etnik asli (native) maka dimungkinkan sikap toleransi terjadi. Toleransi ini bukanlah tanpa sebab, melainkan toleransi hadir dari struktur atas atau penguasa dalam hal ini negara 17 atau elit lokal setempat yang yang mewakili negara dan kelompok etniknya, dan kemudian dari keinginan atau merupakan karakteristik dalam kelompok etnik itu sendiri yang ramah terhadap kelompok-kelompok lain. Selain itu adanya kebebasan bermain dimaksudkan dengan didukungnya oleh situasi negara yang demokratis dalam hal pergerakan kelompok etnik yang disokong oleh siapapun merupakan sebuah bentuk ekspresi eksistensi karena kuasa yang telah terberi sesuai amanat konstitusional yang mengaturnya. Dari semua kebebasan yang diberikan oleh negara dalam kondisi tertentu memang tak dapat dihindari seperti misalnya konflik etnis yang telah terjadi di Kalimantan Tengah antara etnik Dayak dan etnik Madura sebagai warga pendatang yang telah banyak menghasilkan kerugian material dan korban jiwa. Artinya berdasarkan penjelasan yang telah penulis uraikan dalam paragaraf ini yaitu merupakan bentuk isu-isu sentral tidak dapat lepas dari gerakan politik identitas sebagai bentuk wacana yang dikembangkan dalam kelembagaan adat demi memperebutkan sumberdayasumberdaya. Paragraf di atas termasuk dalam kategori politik pribumi-nonpribumi. Abillah (2002 : 19) menyebutkan bahwa politik pribumi-nonpribumi lebih disebabkan sebagai wacana relasi antara orang dalam dan orang luar suatu wilayah yang erat kaitannya dengan faktor-faktor migrasi dan penguasaan wilayah, sumber-sumber ekonomi dan penghidupan. Dalam konstelasi ini, politik pribumi merupakan upaya proteksi dan penjagaan diri terutama konteks penduduk asli (native), yang pada kebanyakan kasus menerima kekalahan dari kaum pendatang. Dengan kata lain, definisi atas politik pribumi-nonpribumi oleh Abdillah di atas juga merupakan (hal. 19) politik identitas etnis dalam perkembangannya dewasa ini lebih banyak menampilkan diri dalam wacana politik kebudayaan. Politik identitas sendiri merupakan proses yang lahir dari kegagalan modernitas untuk memenuhi janjinya. Dalam pada itu, Kalimantan Tengah memiliki sumberdaya-sumberdaya produksi yang melimpah, serta didukung perkembangan jumlah populasi natifitas yang sedikit, menjadi tempat untuk perebutan sumber-sumber pemenuhan kehidupan bagi warga-warga dari kelompok etnik lain. Kehadiran kelompok18 kelompok lain ini juga sebagai bentuk terbukanya pintu kehidupan bersama, termasuk korporasi-korporasi besar modern yang mewakili pihak pasar dalam hal perputaran uang serta bekerjanya mesin-mesin produksi dalam aspek ekonomi. Oleh karena itu, sikap defensifitas penduduk asli tidak dapat dihindari. Klaus Von Beyme yang menganalisis karakter gerakan politik identitas dalam tiga tahap perkembangan; Pertama; tahap pramodern yang terjadi perpecahan fundamental, kelompok-kelompok kesukuan, dan kebangsaan memunculkan gerakan sosial politik yang menyeluruh, dimana terjadi mobilisasi ideologis oleh para elite dalam persaingan memperebutkan kekuasaan dari penguasa ke penguasa yang baru. Kedua; Pada tahap modern, gerakan muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumbersumber untuk dimobilisasi, terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi dari bawah sehingga peran pemimpin tidak dominan lagi dan bertujuan pada pembagian kekuasaan. Ketiga; perkembangan postmodern, munculnya gerakan berasal dari dinamikanya sendiri, protes muncul atas berbagai macam kesempatan individual, tidak ada satu kelompok atau pecahan yang dominan. Pola aksi dan kegiatannya berdasarkan kesadaran diri yang bersifat otonomi sebagai tujuan finalnya (Abdillah, 2002:17). Dalam situasi negara yang terdiri dari multi identitas, politik perbedaan tumbuh subur dan memicu munculnya perjuangan kelompok-kelompok terpinggirkan yang mencoba menampilkan diri dan bertahan. Dalam konteks Kalimantan Tengah, turut sertanya pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Kal-Teng yang dimotori oleh Gubernurnya, mendesain kelembagaan adat Dayak dalam bentuk regulasi untuk menopangnya, Ia melihatnya sebagai permasalahan sosial-kultural dalam tubuh etnik yang harus segera diselesaikan termasuk tujuan-tujuan lain yang menyelimutinya. Dengan demikian tindakannya tersebut merupakan tindakan politisasi terhadap kelompok etniknya sendiri. Deutsch (dalam Abdillah, 2002 : 21) mengemukakannya dengan “politization is making thins political”. Suatu masalah sosial atau budaya akan berubah menjadi masalah politik pada saat pemerintah dilibatkan untuk memecahkan atau berkewajiban untuk melibatkan diri dalam memecahkannya. Politisasi dalam bentuk regulasi ini sebagai wujud keterlibatan pemerintah daerah 19 provinsi Kalimantan Tengah yang dimaksudkan di sini sesuai dengan pernyataan Foucoult tentang politik tubuh. Politik tubuh (bipolitics) dijalankan untuk mempertahankan biopower. Biopower dipertahankan dengan dua metode : pendisiplinan dan kontrol regulatif. Dalam pendisiplinan, tubuh dianggap sebagai mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan tingkatan kesehatan. Biopower ditujukan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan produktivitas. Oleh karena itu, pemerintah daerah disini berinisiatif menggunakan kontrol regulatif demi pencapaian tujuan kepentingan masyarakat Dayak dalam kelembagaan adat. Dimana institusi adat adalah tubuh itu sendiri. Dalam pada itu, untuk konteks kelembagaan adat Dayak ini diperlukan sudut pandang atau sikap politik identitas etnis untuk menjelaskan apa saja penyebab kehadiran lembaga ke-Dayak-an itu sendiri. Untuk membantu menjelaskan kita melihatnya secara mendalam, maka diperlukan pendekatan etnisitas. Terdapat berbagai sudut pandang pendekatan dalam etnisitas. Namun dalam kajian ini terdapat dua pendekatan dalam memahami identitas etnis. Dalam bukunya tentang etnistitas (ethnicity) John Huthcinson dan Anthony D. Smith (1996 : 8-9) menyebutkan ada dua (2) pendekatan dalam memahami etnisitas, yaitu : 1). Pendekatan Primordialis (primordialists). [This is a term that was first used by Edward Shills (1957), who was influenced by his reading in the sociology of religion. He sought to distinguish certain kinds of social bond – personal, primordial, sacred, and civil ties – and to show how even in modern, civic societies the other kinds of social bonding persisted. It was an idea taken up by Clifford Geertz (1963), who spoke of the ‘empowering’ and ‘ineffable quality’ attaching to certain kinds of tie, which the participants tended to see as exterior, coercive, and ‘given’. It is important to note here that ‘primordiality’ is attributed by individuals to the ties of religion, blood, race, language, region, and custom; it does not inhere in these bonds.] 20 Istilah ini pertama kali digunakan oleh Edward Shills (1957), yang dipengaruhi atas pengamatannya dalam hal sosiologi agama. Dia berusaha untuk membedakan beberapa jenis ikatan-ikatan sosial - pribadi, primordial, sakral, dan hubungan masyarakat sipil - dan untuk menunjukkan bagaimana bahkan dalam, masyarakat sipil modern jenis lain dari ikatan sosial yang ada. Hal tersebut kemudian dipungut oleh Clifford Geertz (1963), yang berbicara tentang 'pemberian kuasa' dan 'kualitas yang tak terlukiskan' yang melekat pada beberapa jenis ikatan sosial, yang para partisipannya cenderung dilihat sebagai eksterior, koersif, dan 'given'. Hal ini penting untuk dicatat di sini bahwa 'primordialis' tersebut diberikan berdasarkan ikatan agama, hubungan darah (kekerabatan), ras, bahasa, daerah, dan adat; hal itu melekat pada batasan-batasan tersebut. Berdasarkan pendapat Shills dan Geertz di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan primordialis adalah ikatan-ikatan sosial yang terbentuk pada masyarakat yang masih alami yang dilihat dari batasanbatasan dalam etnik seperti misalnya ikatan keagamaan, hubungan kekerabatan, ras, bahasa, daerah/kewilayahan, dan adat istiadat. 2). Pendekatan instrumentalis (instrumentalists). [In stark contrast to ‘primordialists’, the ‘instrumentalists’ treat ethnicity as a social, political, and cultural resource for different interest – and status groups. One version focuses on elite competition for resources and suggests that manipulation of symbols is vital for gaining the support of the masses and achieving political goals (Brass, 1991; Cohen, 1974). Another version examines elite strategies of maximizing preferences in terms of individual ‘rational choices’ in given situations; here it is assumed that actors generally desire goods measured in terms of wealth, power, and status, and that joining ethnic or national communities helps to secure these ends either by influencing the state or, in certain situations, through secession (Banton, 1983 and 1994; Hechter, 1986 and 1992). One of the central ideas of ‘instrumentalists’ is the socially constructed nature of ethnicity, and 21 ability of individuals to ‘cut and mix’ from a variety of ethnic heritages and cultures to forge their own individual or group identities (A. Cohen, 1996; Bhabha, 1990; Hall, 1993; R. Cohen, 1994). instrumentalists can also be criticized for defining interests largely in material terms, for failing to take seriously participants sense of the permanence of their ethnies (which might be termed participant's primordialism), and, above all, for under playing the affective dimensions of ethnicity. this is well brought out by Connor's subjectivist and Fishman's historical critiques.] Berbeda sekali dengan 'primordialis', 'instrumentalis' memperlakukan etnis sebagai sumber daya sosial, politik, dan budaya untuk kepentingan yang berbeda - dan status kelompok. Salah satu versi berfokus pada kompetisi elit untuk perebutan sumber daya dan menunjukkan bahwa manipulasi simbol sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari massa dan mencapai tujuan politik (Brass, 1991; Cohen, 1974). Versi lain mengkaji strategi elit dengan memaksimalkan preferensi dari segi individu sebagai pilihan rasional dalam situasi tertentu; di sini diasumsikan bahwa pelaku umumnya menginginkan materi diukur dalam hal kesejahteraan, kekuasaan, dan status, dan menggabungkan dengan komunitas etnis atau nasional turut membantu untuk mengamankan tujuan ini baik dengan mempengaruhi negara atau, dalam situasi tertentu, atau melalui pemisahan diri (Banton, 1983 dan 1994; Hechter, 1986 dan 1992). Salah satu ide sentral 'instrumentalis' adalah sifat sosial yang dibangun oleh etnis itu sendiri, dan kemampuan individu yang berperan untuk ‘memilih dan mencampurkan’ dari berbagai warisan etnis dan budaya untuk membentuk individu atau kelompok identitas mereka sendiri (A. Cohen, 1996; Bhabha, 1990; Hall, 1993; R. Cohen, 1994). Pendekatan instrumentalis dapat juga dikritik karena mendefinisikan kepentingan sebagian besar dalam hal materi, karena kegagalan untuk membawa secara baik anggota-anggota etnis di dalamnya dengan cara perasaan (afektif) etnis sebagai sifat yang melekat dalam keanggotan mereka (yang mungkin disebut primordialisme anggota- 22 anggotanya), dan, di atas semua, untuk massa yang ada di bawah atau grass root perlu dimainkannya dimensi afektif (perasaan) etnisitas. Instrumentalis dalam berbagai uraian ataupun versi tersebut di atas dapat diejawantahkan dengan pengertian lain. Penulis mendefinisikannya bahwa pendekatan instrumentalis merupakan hasil produk pemikiran individu atau kelompok etnik dalam memilih dan mencampurkan berbagai warisan serta budaya, untuk memperlakukan etnik itu sendiri yang terukur dengan kesejahteraan, kekuasaan, dan status etnik, yang dilakukan dengan cara membangun sentimen (perasaan) etnisitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang kehadiran lembaga-lembaga adat Dayak di Kalimantan Tengah. Oleh karena itu pada bab iv, penulis melihat gerakan sosial etnisitas yang terbangun dalam institusi adat ini dengan pendekatan instrumentalis. Sehingga, berdasarkan uraian-uraian tentang politik etnisitas tersebut di atas maka instrumentasi-intrumentasi etnisitas penulis gunakan sebagai syarat dalam bentuk politik etnisitas ke-Dayak-an sebagai bentuk dari membangun rasa etnisitas berdasarkan realitanya yaitu memecah marjinalisasi, pelibatan kelembagaan adat Dayak, pelestarian kebudayaan, diperolehnya status Kaharingan menjadi agama, dan penggunaan regulasi/hukum positif. Dimana kesemuanya ini bermuara pada domain ke-Dayak-an. Dalam konstelasi politik di Indonesia pada tataran identitas tidak mesti selalu dikonotasikan negatif. Dapat dilihat pada contoh kasus di Provinsi Sulawesi Utara dalam memelihara perdamaian. Di Minahasa, perdamaian dan ketertiban berhasil dipelihara antara lain berkat penggunaan sarana kekerasaan oleh negara lokal dengan cara yang bertanggungjawab dan bijaksana (Schulte dan Klinken, 2007 : 418). Hadirnya politik identitas sebagai akibat dominasi negara yang koersif dan direncanakan secara ilmiah yang memaksakan identitas nasional yang buta dan membangkitkan kekuatan pada kekuasaan tertentu, sehingga kemudian menghadirkan gerakan kelompok etnisitas yang merasa identitasnya terpinggirkan. 23 G. Definisi Konseptual 1. Konsep etnisitas dalam hal ini didefinisikan sebagai kondisi menguatnya etnisitas itu sendiri yang ditandai dengan mengusung nilai-nilai ke-Dayak-an yang juga didasari atas status kelompok seseorang, nilai budaya dan norma, afiliasi, pertukaran kebiasaan dan berperilaku, identitas kelompok, dan pembagian serta pertukaran kebudayaan. 2. Dalam penelitian ini menggunakan politik etnisitas dengan pendekatan instrumentalis. Pendekatan instrumentalis adalah merupakan hasil produk pemikiran individu atau kelompok etnik dalam memilih dan mencampurkan berbagai warisan serta budaya, untuk memperlakukan etnik itu sendiri yang terukur dengan kesejahteraan, kekuasaan, dan status etnik, yang dilakukan dengan cara membangun sentimen (perasaan) etnisitas yang terjadi di akar rumput. H. Definisi Operasional 1. Konsep Etnisitas Ke-Dayak-an adalah penguatan identitas ke-Dayak-an. Untuk mengetahui latar belakang pembentukan lembaga-lembaga adat Dayak harus melihat terlebih dahulu penguatan identitas etnis Dayak dengan menggunakan konsep etnisitas Liliweri (2005: 14) meliputi: 1) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan status kelompok seseorang berdasarkan kebudayaan yang dia warisi dari generasi sebelumnya. 2) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan nilai budaya dan norma yang membedakan anggota suatu kelompok dengan kelompok yang lain. 3) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan penggolongan etnik pada afiliasi. 4) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan perbedaan ras bahwa etnisitas merupakan proses pertukaran kebiasaan berperilaku dan kebudayaan secara turun-temurun. 5) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan identitas kelompok yang didasarkan pada kesamaan identitas bahasa, kebudayaan, sejarah dan asal usul geografis. 24 6) Penguatan identitas etnis Dayak berdasarkan pembagian atau pertukaran kebudayaan yang berbasis pada bahasa, agama dan kebangsaan (nasionalisme). 2. Politik Etnisitas pendekatan instrumentalis merupakan dimobilisasinya rasa atau sentimen ke-Dayak-an oleh elit atas dengan warisan atau budaya dengan wujud yaitu marjinalisasi yang terjadi, keterlibatan kelembagaan adat dayak, pelestarian kebudayaan, pengakuan agama, serta penguatan kapasitas kelembagaan adat dengan regulasinya. I. Alur Pikir. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang munculnya lembaga-lembaga Adat Dayak sesuai dengan Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008. Penelitian ini dibatasi terhadap pisau analisis yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah yakni pendekatan instrumentalisme dan konsep etnisitas seperti pada penjelasan teoritis diatas. Sehingga dalam penelitian ini akan terlihat yang menjadi dasar pembentukkan lembaga-lembaga Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Elit Representasi Identitas Gambar 1. Alur pikir penelitian model kontinum. J. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini hendak mengetahui lebih dalam mengenai latar belakang hadir dan tumbuh suburnya lembaga-lembaga Adat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah, untuk itu penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk menggali data dan fakta 25 yang kemudian dideskripsikan, dimana data dan fakta tersebut merupakan hasil dari pengumpulan dokumen dan hasil wawancara yang dilakukan terhadap para informan. Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah menyajikan data tersebut dalam bentuk kalimat-kalimat logis untuk ditarik suatu kesimpulan. 2. Lokasi Penelitian Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka penulis menentukan lokasi penelitian tentang apa yang melatarbelakangi hadirnya lembaga-lembaga adat Dayak ini yaitu di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Lembagalembaga Adat Dayak ini berada di ibukota Provinsi dan mengarah kepada Kantor Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) serta Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah. Lembaga-lembaga Adat tersebut mendekati induk organisasi yang memiliki nuansa nilai-nilai Dayak dan juga akses kepada Pemerintah Daerah, serta beberapa lokasi perusahaan besar swasta (PBS). 3. Informan Penelitian Informan penelitian ini menggunakan informan kunci (key informan). Informan kunci ini memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang atau latar belakang yang digelutinya. Dalam hal lembaga-lembaga adat Dayak ini penulis memilih informan untuk memudahkan arah tujuan pengumpulan informasi berupa data dan fakta yang menyangkut hal-hal yang akan diteliti nantinya. Untuk itu, narasumber yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah: a. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Adat Dayak Nasional (SEKDA Provinsi Kalimantan Tengah) DR. Siun Jarias, SH, MH atau yang mewakili. b. Ketua Dewan Adat Dayak Propinsi Kalimantan Tengah Sabran Achmad. c. DR. Sidik M. Usop, MA. Akademisi Fisip Universitas Palangkaraya. d. T.T. Suan. Budayawan Kalimantan Tengah. e. Prof. KMA. Usop, MA. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah. f. Yanedi Jagau. Borneo Institut Kalimantan Tengah. g. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palangka Raya Sigit K. Yunianto. 26 h. Serta narasumber-narasumber lepas yang tidak ingin disebutkan namanya dalam di dalam karya ini. 4. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara dan dokumentasi. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber data. Sumber data dalam penelitian ini berupa kata-kata dan juga tindakan. Sumber data tersebut yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang bersifat inti dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. a. Observasi Obsevasi dilakuan dengan cara mengamati secara langsung-lembaga adat Dayak yang berada di wilayah Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Pengamatan juga untuk melihat eksistensi dan sepak terjang kegiatan lembaga-lembaga adat tersebut di tengah masyarakat. Dimana peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan dan aktivitas baik formal maupun nonformal namun pada batas label bukan sebagai seorang peneliti. Agar dapat diperolehnya informasi yang akurat. b. Wawancara Interview atau wawancara dilakukan bersifat tidak terstruktur. Berarti bahwa wawancara ini bersifat bebas dan tanpa menggunakan panduan. Bebas dimaksudkan tetap mencapai tujuan untuk menemukan kesimpulan atau jawaban dari penelitian ini. Wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview) dengan cara bertatap muka langsung dengan informan. Artinya peneliti dapat memperdalam suatu informasi spesifik yang muncul dari informan. Wawancara ini tetap akan digunakan untuk menjawab fokus permasalahan yang diteliti. c. Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan cara pengumpulan data dengan mempelajari data-data yang telah didokumentasikan. Dalam melaksanakan 27 metode dokumentasi, peneliti melakukannya dengan mengumpulkan dan mengolah dokumen-dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi merupakan catatan atau karangan pribadi secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaannya yang ditunjukkan dalam bentuk buku harian, laporan kegiatan, situs/blog pribadi dan autobiografi serta yang lainnya, dimana dokumen tersebut terkait dengan lembaga-lembaga adat Dayak yang ada di Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan dokumen resmi merupakan dokumen-dokumen yang telah disyahkan secara kelembagaan seperti Kalimantan Tengah Dalam Angka, Palangkaraya dalam angka, dan dokumen-dokumen yang terkait dalam penelitian ini. Dokumen ini dapat diakses pada Badan Pusat Statistik Kota Palangkaraya dan Provinsi Kalimantan Tengah, dan lembaga-lembaga yang lain yang memiliki kerjasama atau nonkerjasama terhadap lembaga-lembaga adat Dayak. Dokumen resmi lainnya adalah dokumen tentang peta identitas etnis di Kalimantan Tengah seperti sejarah singkat berdirinya Provinsi Kalimantan Tengah, profil lembaga-lembaga Dayak yang terkait. Kemudian dokumen tentang peta Geografis dan Provinsi Kalimantan Tengah seperti profil penduduk yang dipilah berdasarkan kelompok etnis, persebaran etnis, jenis pekerjaan, dan hal-hal yang terkait. Serta penulis juga tidak mengabaikan hal-hal lain seperti even-even yang telah dan yang akan dilaksanakan terkait dengan lembaga-lembaga adat Dayak. Serta updating berita dari media cetak dan elektronik lokal serta nasional. 5. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Data yang akan dianalisis berupa keterangan-keterangan maupun fenomena dari hasil wawancara dan observasi yang muncul di lapangan serta dianalisis dan kemudian disusun kembali menjadi argumen kalimat yang logis dan sistematis. Langkah analisis data yang dilakukan dalam penelitin ini terdiri dari reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Adapun tahap-tahap teknik analisis data yang digunakan meliputi : 28 a. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses menyeleksi, memfokuskan, menyederhanakan dan mengubah data kasar yang diperoleh dari lapangan. Data kasar yang dimaksud disini adalah keterangan-keterangan atau informasi yang diuraikan informan tetapi tidak relevan dengan fokus masalah penelitian sehingga perlu direduksi. b. Penyajian Data Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang telah tersusun dari hasil reduksi data. Hasil reduksi data kemudian disajikan dalam laporan yang sistematis dan mudah dibaca atau dipahami. c. Pengambilan Kesimpulan Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan melihat hasil reduksi data dan tetap mengacu pada rumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai. K. Sistematika penulisan Tesis ini akan ditulis dalam lima Bab, yaitu: Bab I Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, alur pikir, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II Gambaran Identitas Dayak Membahas tentang setting identitas etnis ke-Dayak-an secara umum di Kalimantan Tengah. BAB III Menguatnya Identitas Etnis Ke-Dayak-An Membahas apa saja yang menjadi penyebab menguatnya identitas etnis di Kalimantan Tengah. BAB IV Instrumentasi Identitas Ke-Dayak-an Membahas fungsi dari instrumen-instrumen apa saja yang digunakan dalam lembaga adat di Kalimantan Tengah. BAB V Penutup Merupakan bab terakhir akan mencoba menguraikan kesimpulan penelitian. 29