BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kanker Payudara
Tumor ada yang bersifat jinak (tumor jinak) dan ada yang bersifat ganas
(tumor ganas). Tumor jinak (benigna) tumbuhnya lambat dan biasanya
mempunyai kapsul, tidak tumbuh infiltratif, tidak merusak jaringan sekitarnya, dan
tidak menimbulkan penyebaran pada tempat yang jauh. Tumor ganas (maligna)
tumbuh cepat, infiltratif, dan merusak jaringan di sekitarnya. Di samping itu dapat
menyebar keseluruh tubuh melalui aliran limfe atau aliran darah dan sering
menimbulkan kematian (McCance & Huether 2010).
Di dunia barat, kanker adalah penyebab utama kematian dan sumber
morbiditas pada orang dewasa. Kejadian kanker meningkat tajam dengan
bertambahnya usia dan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, gaya hidup, etnis,
infeksi,
dan
genetika.
Lingkungan,
genetika,
dan
perilaku
berinteraksi
memodifikasi respon risiko perkembangan kanker (McCance & Huether 2010).
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel-sel abnormal yang cenderung menginvasi
jaringan di sekitarnya dan menyebar ke tempat-tempat jauh (Corwin 2000).
Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar,
saluran kelenjar dan jaringan payudara, tidak termasuk kulit payudara (Depkes
2007). Menurut Tapan (2005) kanker payudara adalah sekelompok sel tidak
normal pada payudara yang terus tumbuh berlipat ganda. Pada akhirnya sel-sel
ini menjadi bentuk benjolan di payudara. Jika benjolan kanker itu tidak dibuang
atau tidak dikontrol, sel-sel kanker bisa menyebar pada bagian-bagian tubuh lain
dan nantinya dapat mengakibatkan kematian.
Karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama. Hal ini
sebagaian disebabkan karena dibutuhkan sejumlah pembelahan sel untuk
menjadikan suatu tumor yang manifes klinis dari suatu sel yang mengalami
transformasi, tergantung pada frekuensi pembelahannya. Hal ini dapat
berlangsung 5-10 tahun (van de Velve et al. 1999). Menurut Tannock dan Hill
(1998) keseluruhan periode laten dari tahap inisiasi suatu karsinogenesis hingga
kanker tersebut dapat dideteksi secara klinis sekitar 10-20 tahun. Karsinogenesis
berlangsung lama dan dibagi tiga tahap yakni inisiasi, promosi, dan
perkembangan (progression).
Tahap inisiasi merupakan tahapan yang berlangsung cepat. Dalam
keadaan normal, replikasi asam deoksiribonukleat (DNA) terjadi dengan tingkat
presisi yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena adanya enzim-enzim pengoreksi
7
yang meneliti untai DNA untuk mencari adanya kesalahan transkripsi. Apabila
ditemukan suatu kesalahan, maka basa-basa DNA yang terlibat akan dipotong
dan diperbaiki. Namun, terkadang kesalahan transkripsi tersebut tidak terdeteksi
oleh enzim-enzim pengoreksi tersebut. Kesalahan tersebut menjadi mutasi
permanen dan akan bertahan di semua sel keturunannya (Corwin 2000).
Sel yang telah terinisiasi adalah sel yang telah mengalami mutasi. Sel
yang terinisiasi bukan sel kanker, harus berlangsung proses-proses promosi
selama bertahun-tahun sebelum sel tersebut menjadi sel kanker (Corwin 2000).
Menurut Tannock dan Hill (1998) sel terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak
dihidupkan oleh zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat
menginduksi perubahan kearah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi.
Promotor merangsang proliferasi sel dengan mengubah fungsi gen regulator,
mengubah bagaimana suatu sel berespons terhadap berbagai stimulator kimiawi
atau inhibitor pertumbuhan atau mengubah bagaimana suatu sel berespons
terhadap komunikasi antar sel. Contoh promotor antara lain hormon endogen
(dihasilkan oleh tubuh) misalnya esterogen, zat-zat tambahan tertentu untuk
makanan, serta komponen asap rokok dan alkohol.
Tahap yang terakhir adalah tahap perkembangan (progression). Tahap ini
berlangsung berbulan-bulan. Pada awal tahap ini, sel preneoplasma dalam
stadium metaplasia berkembang menjadi stadium displasia sebelum menjadi
neoplasma. Terjadi ekspansi populasi sel-sel ini secara spontan dan ireversibel.
Sel-sel menjadi kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi
sel. Pada akhir fase ini gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan
(Tannock & Hill 1998).
Penyebab Kanker Payudara
Sampai saat ini belum ditemukan data pasti yang menjadi faktor
penyebab utama penyakit kanker payudara. Penyebab kanker payudara sampai
saat ini diduga akibat interaksi yang rumit dari banyak faktor. Beberapa faktor
yang meningkatkan risiko kanker payudara adalah usia tua, usia menstruasi
pertama pada usia dini, usia makin tua saat menopause, usia makin tua saat
pertama kali melahirkan, tidak pernah hamil, riwayat keluarga menderita kanker
payudara (terutama ibu dan saudara perempuan), riwayat pernah menderita
tumor jinak payudara, mengonsumsi obat kontrasepsi hormonal dalam jangka
panjang, mengonsumsi alkohol serta pajanan radiasi pada payudara terutama
saat periode pembentukan payudara. Beberapa kajian literatur menyebutkan
8
bahwa pemakaian hormonal, obesitas, konsumsi alkohol, hamil pertama di usia
tua, asupan lemak, khususnya lemak jenuh berkaitan dengan peningkatan risiko
kanker payudara (Sirait et al. 2009).
Faktor Risiko Kanker Payudara
Hasil penelitian Kelsey dan Gammon (1991) menerangkan beberapa
faktor risiko kanker, antara lain karakteristik demografi seperti jenis kelamin, usia,
dan ras/suku bangsa; faktor-faktor genetik seperti riwayat kanker payudara pada
keluarga, gen khusus, riwayat kanker pada satu payudara, dan riwayat kanker
endrometrium/ovarium; reproduksi seperti tidak pernah melahirkan dan usia
pertama kali hamil; hormonal seperti usia menstruasi dan usia menopause; serta
faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti kegemukan, aktivitas fisik, diet,
alkohol, paparan radiasi, kontrasepsi oral, dan terapi hormonal.
Menurut Corwin (2000) faktor risiko kanker dibagi menjadi tiga bagian
yaitu faktor risiko perilaku, faktor risiko hormonal, dan faktor risiko yang
diwariskan. Faktor risiko perilaku antara lain merokok, terpajan ke berbagai
karsinogen misalnya asbestos atau tar batubara dan makanan yang banyak
mengandung lemak serta daging yang diawetkan. Faktor risiko hormonal adalah
esterogen. Esterogen dapat berfungsi sebagai promotor bagi kanker tertentu,
misalnya kanker payudara dan endometrium. Kadar esterogen yang tinggi
menyebabkan terjadinya menstruasi dini dan menopause lambat pada seorang
wanita yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Adanya
riwayat keluarga yang mengidap kanker terutama kanker dari satu jenis adalah
faktor risiko terjangkitnya kanker. Kubba (2003) menyatakan bahwa etiologi
kanker payudara bersifat multifaktoral yang mencakup faktor genetik, lingkungan,
dan reproduksi. Ketiganya berinteraksi melalui mekanisme yang kompleks.
Dampak dari faktor lingkungan dan reproduksi tergantung pada usia wanita.
Faktor lingkungan dan gaya hidup adalah merokok.
Menurut Global Alliance Indonesia et al. (2003) dalam menjawab
pertanyaan seputar kesehatan reproduksi, faktor-faktor risiko yang dapat
meningkatkan terjadinya kanker payudara adalah mendapat mestruasi pertama
pada usia kurang dari 10 tahun, menopause setelah umur 50 tahun, tidak pernah
melahirkan anak, melahirkan anak pertama sesudah umur 35 tahun, tidak pernah
menyusui anak, pernah mengalami operasi pada payudara yang disebabkan
oleh tumor jinak payudara, dan diantara anggota keluarga ada yang menderita
kanker payudara. Selain itu disarankan pula pada wanita yang memiliki risiko
9
tinggi terhadap kanker payudara untuk berhati-hati menggunakan obat-obatan
hormonal atau sebaiknya di bawah pengawasan dokter.
Berdasarkan hasil penelitian Diana (2009) di rumah sakit onkologi
Surabaya, faktor risiko penyakit kanker payudara yang bermakna adalah
menstruasi pertama pada usia dini, usia menopause lebih dari 50 tahun, tidak
pernah melahirkan, dan riwayat keluarga dengan kanker payudara. Menurutnya
melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya menstruasi pertama pada
usia dini, antara lain menjaga pola makan dengan tidak terlalu banyak makan
makanan yang mengandung lemak.
Usia. Usia sangat penting sebagai faktor risiko kanker payudara. Risiko
terjadinya kanker payudara bertambah sebanding dengan pertambahan usia
(Azamris 2006). Menurut Kubba (2003) kanker payudara dapat diklasifikasikan
berdasarkan usia saat terkena kanker payudara yaitu kanker usia reproduksi
terjadi pada wanita di bawah usia 40, kanker pre menopause terjadi pada wanita
usia 40-55, dan kanker post menopause yang merupakan mayoritas dari
penderita kanker payudara.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2010) menerangkan
bahwa risiko kanker payudara meningkat dengan bertambahnya usia. Tabel 1 di
bawah ini menunjukkan persentase wanita Amerika (sekitar 100 orang) yang
diperkirakan akan terkena kanker payudara selama periode yang berbeda.
Periode waktu didasarkan pada usia perempuan saat ini.
Tabel 1 Persentase wanita Amerika yang diperkirakan akan terkena kanker
payudara selama interval 10, 20, dan 30 tahun sesuai dengan usia
mereka saat ini, 2005-2007
Usia sekarang
30 tahun
40 tahun
50 tahun
60 tahun
10 Tahun
0.43
1.45
2.38
3.45
20 Tahun
1.86
3.75
5.60
6.71
30 Tahun
4.13
6.87
8.66
8.65
Berdasarkan di atas, diketahui bahwa wanita yang saat ini berusia 60
tahun akan terkena kanker payudara 10 tahun mendatang sebanyak 3.45%. Hal
ini dapat diartikan bahwa 3 atau 4 dari 100 wanita yang berusia 60 tahun saat ini
diperkirakan akan terkena kanker pada usia 70 tahun. Menurut Veroncssi et al.
(1995) dalam Azamris (2006) meningkatnya risiko terkena kanker payudara
dengan bertambahnya usia diduga karena pengaruh paparan hormonal
(estrogen) yang lama serta paparan faktor risiko lain yang memerlukan waktu
lama untuk dapat menginduksi terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian yang
10
dilakukan
Indrati (2005), usia merupakan variabel yang
tidak
terbukti
berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara pada wanita. Namun, dilihat
dari distribusi penyebaran kasus, kasus kanker payudara meningkat dengan
bertambahnya umur dan mencapai puncak pada rentang umur 40-49 tahun.
Status Gizi. Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang
dibutuhkan
(requirement)
oleh
tubuh
untuk
berbagai
fungsi
biologis
(pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain
sebagainya). Ketidakcukupan intake dalam jangka waktu yang lama akan
menghasilkan proses metabolisme, komposisi tubuh, kondisi fisik, dan psikologis
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit (Suyatno 2009).
Pada penelitian berbasis masyarakat cara pengukuran yang sering
digunakan adalah metode antropometri gizi. Antropometri berasal dari kata
anthropos dan metros. Anthopos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi
antropometri ialah ukuran dari tubuh. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain
berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi (Supariasa et al. 2002).
Antropometri dapat dipakai sebagai indikator untuk menilai status gizi
dengan mengukur beberapa parameter yang disebut dengan istilah indeks
(perbandingan) atau disebut rasio. Salah satu pengukuran yang dapat digunakan
adalah dengan menggunakan rasio berat badan terhadap tinggi badan atau
dikenal dengan indeks massa tubuh (IMT) untuk menilai status gizi (Arisman
2002).
Tabel 2 Kategori status gizi berdasarkan IMT
Kategori Status Gizi
Kurus
Normal
Kegemukan
Obesitas
Cut-off points IMT
<18 kg/m2
18-25 kg/m2
25.1-27 kg/m2
>27 kg/m2
Sumber: Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis Departemen Kesehatan RI (2003) dalam
Depkes (2006)
Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian penting dari
status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang mempengaruhi
kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi
seseorang (Suhardjo 2003). Hubungan antara berat badan, indeks massa tubuh,
dan berat badan relatif dalam studi epidemiologi telah membuktikan adanya
11
sebuah asosiasi positif dengan kanker payudara, endometrium, dan ginjal. Pada
kanker payudara, hubungan yang positif terlihat pada wanita post menopause,
sedangkan pada wanita pre menopause hubungan ini relatif kecil. IMT pada
masa remaja memiliki implikasi untuk risiko kematian akibat kanker pada masa
mendatang. Oleh karena itu, mengukur IMT sepanjang hidup sangat penting
untuk menentukan peningkatan risiko obesitas (Mahan & Escott-Stump 2008).
Penelitian Maso et al. (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan langsung
antara IMT dengan kematian penderita kanker payudara, hal ini juga telah
ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Pengetahuan Gizi. Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai
informasi yang disimpan dalam ingatan (Engel et al. 1994). Pengetahuan adalah
informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu utama perilaku
seseorang. Tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh kemampuan
intelektualnya (Khomsan et al. 2009). Pengetahuan termasuk di dalamnya
pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan pendidikan
informal (Suhardjo 1989). Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Seseorang dapat
memperoleh pengetahuan gizi melalui berbagai sumber seperti buku-buku
pustaka, majalah, televisi, radio, surat kabar, dan orang lain (suami, teman,
tetangga, ahli gizi, dokter, dll) (Khomsan et al. 2009).
Salah satu pertimbangan seseorang untuk mengonsumsi makanan
adalah tingkat pengetahuan tentang manfaat makanan tersebut bagi kesehatan,
pengetahuan tentang bahan penyusun asal makanan, dan makna simboliknya.
Semakin
baik
pengetahuan
gizinya,
maka
seseorang
akan
semakin
memperhatikan kuantitas dan kualitas pangan yang akan dikonsumsinya. Orang
yang tidak mempunyai cukup pengetahuan gizi, akan memilih makanan yang
paling menarik panca indra dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan nilai gizi
makanan. Sebaliknya, orang yang semakin baik pengetahuan gizinya lebih
banyak mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuannya sebagai
dasar sebelum mengonsumsi makanan tertentu (Khomsan et al. 2009).
Menurut Suhardjo (2003) faktor pribadi juga merupakan salah satu
pertimbangan seseorang untuk mengonsumsi makanan. Faktor pribadi yang
dimaksud di sini antara lain banyaknya informasi yang dimiliki seseorang tentang
kebutuhan tubuh akan gizi selama beberapa masa dalam perjalanan hidupnya,
12
kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan
pangan dan pengembangan cara pemanfaatan pangan yang sesuai, serta
hubungan keadaan kesehatan seseorang dengan kebutuhan akan pangan untuk
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit.
Faktor pribadi yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki seseorang mengenai
kebutuhan tubuh akan zat gizi dan kemampuan seseorang untuk menerapkan
pengetahuan gizi ke dalalm pemilihan pangan (Harper et al. 1985). Menurut
Khomsan (2000) kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam tiga kelompok yaitu
baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan
cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Untuk keseragaman maka di
sini dianjurkan menggunakan cut-off point sebagai berikut: baik: >80%, sedang:
60-80%, kurang: <60%.
Konsumsi Makanan Berlemak. Ada hubungan yang potensial antara diet tinggi
lemak (Western) dengan kejadian kanker payudara pada beberapa studi
observasional.
Sebuah meta analisis
dari case control study
sebagai
perbandingan internasional menunjukkan hal yang sama bahwa diet tinggi lemak
meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Begitupun dengan cohort study
yang menunjukkan hasil yang menemukan hubungan antara diet tinggi lemak
dengan risiko terjadinya kanker payudara (Vogel 2000).
Hipotesis bahwa diet tinggi lemak meningkatkan risiko kanker sebagian
besar didasarkan pada pengamatan bahwa konsumsi per kapita lemak sangat
berkorelasi dengan tingkat kematian nasional untuk kanker payudara (Wakai et
al. 2000). Howe et al. (1991) dalam Willett (2001) merangkum hasil dari 12 case
control study yang terdiri dari 4312 kasus dan 5978 kontrol. Risiko relatif (RR)
untuk konsumsi 100 g total lemak harian adalah 1.35 untuk keseluruhan dan 1.48
untuk wanita post menopause.
Menurut Willett (2001) konsumsi lemak secara keseluruhan tidak dapat
mempengaruhi risiko kanker payudara. Setiap jenis lemak menghasilkan efek
yang berbeda. Sama seperti penelitian yang dilakukan Smith-Warner et al.
(2001), diketahui bahwa ada hasil yang berbeda antara dua cohort study. Breast
Cancer Detection Demonstration Project Followup Cohort Study menemukan
bahwa lemak tak jenuh tunggal bukan lemak jenuh atau lemak tak jenuh ganda,
secara bermakna dikaitkan dengan risiko kanker payudara, sedangkan cohort
study yang dilakukan di Swedia menemukan hubungan yang terbalik antara
13
risiko kanker payudara dengan lemak tak jenuh tunggal. Secara signifikan
terdapat hubungan positif antara kanker payudara dengan lemak tak jenuh
ganda dan tidak ada hubungan antara risiko kanker payudara dengan lemak
jenuh.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh kelompok ahli Food and
Agriculture Organization (FAO)/WHO untuk masalah konsumsi lemak/minyak
minimal adalah bagi sebagian besar orang dewasa, konsumsi lemak/minyak
harian harus dapat menyumbang paling tidak 15% dari total energi/kalori
yang dibutuhkan per hari. Konsumsi lemak yang berlebihan akan
menimbulkan kegemukan, meningkatkan risiko terkena penyakit jantung
koroner dan beberapa jenis kanker. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh
kelompok ahli FAO/WHO untuk masalah konsumsi lemak/minyak maksimal
adalah untuk individu yang aktif dan kondisi energi serta nutrisinya sudah
cukup atau seimbang, sebaiknya mengonsumsi maksimal 35% dari total
energi/kalori yang dibutuhkan per hari, jumlah lemak jenuh dikonsumsi
sebaiknya tidak melebihi 10% dan jumlah lemak tak jenuh ganda 3-7% dari
total energi. Untuk individu dengan aktifitas sedang, sebaiknya tidak
mengonsumsi lebih dari 30% dari total energi, terutama lemak hewani yang
tinggi kandungan lemak jenuhnya (Koswara 2010).
Konsumsi Makanan yang Diawetkan dan Dibakar. Penggunaan nitrat dan nitrit
dalam pengolahan makanan telah sejak lama dilakukan. Hal ini dimulai secara
tidak sengaja dengan ditemukannya bahwa daging yang diawetkan dengan
garam kasar memberikan warna merah setelah dimasak. Sejak itu nitrat dan nitrit
secara luas digunakan untuk memperoleh warna merah yang seragam pada
produk-produk daging yang diawetkan dan praktek ini membawa pengembangan
proses pengasinan (curing) modern (Muchtadi 1989). Menurut Harris dan
Karmas (1989) natrium klorida adalah komponen bahan pangan yang tak dapat
diabaikan. Pada konsentrasi yang rendah, zat ini memberikan sumbangan besar
terhadap cita rasa. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, garam menunjukkan kerja
bakteriostatik yang penting. Dibeberapa negara, penggaraman masih digunakan
untuk pengawetan.
Menurut Buckle (1985) curing daging adalah suatu proses yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam sodium
khlorida dan pengendalian aktivitas air diikuti dengan penggunaan garam nitrit
yang ditambahkan untuk mempertahankan warna daging dan pengasapan untuk
14
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme selanjutnya dan mencapai suatu
rasa daging asin yang diinginkan. Harris dan Karmas (1989) curing juga
bertujuan untuk pengawetan selain untuk produksi pigmen daging dan
pembentukan cita rasa yang khas.
Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas karena manfaat nitrit dalam
pengolahan daging (seperti sosis, kornet, ham, dan hamburger). Penggunaan
nitrat dan nitrit dalam makanan (terutama produk-produk daging) dibatasi karena
adanya efek meracuni dari kedua senyawa tersebut. Umumnya nitrit lebih
beracun dibandingkan dengan nitrat, oleh karena itu konsumsi nitrit pada
manusia dibatasi sampai 0.4 mg/kg berat badan per hari. Akhir-akhir ini
penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet kembali disoroti oleh banyak ahli
karena adanya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa nitrosamin, suatu
karsinogen, dapat terbentuk dari hasil reaksi antara nitrit dengan senyawa amin
sekunder pada daging (Muchtadi 1989).
Nitrosamin adalah sekelompok senyawa kimia yang ternyata bersifat
karsinogen. Nitrosamin menunjukkan intensitas karsinogenik dan spesifikasi
organ yang berbeda. Nitrosamin dideteksi ada dalam daging yang diawetkan
dengan curing dan pengasapan. Ada kekhawatiran bahwa nitrosamin dapat
diregenerasi selama pelaksanaan curing. Pengasapan dapat pula menyebabkan
pembentukan nitrosamin karena nitrogen oksida telah dideteksi ada dalam asap
kayu dan amina ada dalam daging hewan. Nitrosamin dapat muncul dalam tubuh
manusia apabila pra zatnya yaitu amina dan nitrit atau nitrat, saling bersentuhan
dalam lambung (Harris & Karmas 1989). Pertanyaan yang selalu diajukan adalah
sejauh mana pengaruh nitrosamin terhadap kesehatan manusia. Hal-hal yang
harus dipertimbangkan antara lain: 1. Pengaruh kumulatif dan percepatan dari
kontak dengan nitrosamin dalam jangka waktu lama, 2. Potensi karsinogenik
relatif senyawa nitrosamin, 3. Efek sinergistik dari karsinogen lain dari bahan
makanan maupun lingkungan, 4. Kecepatan pembentukan karsinogen in vivo
(Muchtadi 1989).
Konsumsi Sayur dan Buah. Menurut Almatsier (2006) sayuran merupakan
sumber vitamin A, vitamin C, asam folat, magnesium, kalium dan serat, serta
tidak mengandung lemak dan kolesterol. Dianjurkan sayuran yang dimakan
setiap hari terdiri dari campuran sayuran daun, kacang-kacangan, dan sayuran
berwarna jingga. Porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari
untuk orang dewasa adalah sebanyak 150-200 gram atau 1.5-2 mangkok sehari.
15
Buah secara keseluruhan merupakan sumber vitamin A, vitamin C, kalium, dan
serat. Buah tidak mengandung natrium, lemak (kecuali alpukat), dan kolesterol.
Porsi buah yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 200300 gram atau 2-3 potong sehari berupa pepaya atau buah lainnya.
World Cancer Research Fund dan American Institute for Cancer Reserch
pada tahun 2007 merekomendasikan untuk personal mengonsumsi sedikitnya
lima porsi/penyajian (sedikitnya 400 g) berbagai sayuran non-pati dan buahbuahan setiap hari (Damayanthi 2008). Menurut Depkes (2007) salah satu cara
mencegah penyakit kanker adalah mengonsumsi sayur dan buah lebih dari 500
gram per hari. Masyarakat yang mengonsumsi banyak sayur dan buah lebih
sehat dengan risiko penyakit degeneratif termasuk kanker yang rendah. Sifat
protektif ini diyakini karena kandungan berbagai jenis antioksidan yang terdapat
di dalam sayur dan buah (Silalahi 2006).
Hasil penelitian Zhang et al. (2009) di salah satu rumah sakit Guangdong,
Cina menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah menjadi kebalikan dari
faktor risiko kanker payudara. Konsumsi sayur dan buah seperti sayur berdaun
hijau tua, sayur kursifera, wortel, tomat, pisang, semangka, dan pepaya
merupakan kebalikan dan memiliki hubungan yang signifikan terhadap kanker
payudara. Sayur dan buah bersifat melindungi atau mencegah perkembangan
kanker termasuk kanker payudara. Hal ini berkaitan dengan substansi potensial
berupa antikarsinogenik yang dikandung dalam sayur dan buah seperti
karotenoid, vitamin C, vitamin E, dihtiolthiones, isoflavon, dan isotiosianat.
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Perry (2009) pada wanita
di Asia Timur dan wanita di negara barat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
asupan tinggi sayuran dan buah segar dapat mengurangi risiko kanker payudara
baik pada wanita di Asia Timur maupun wanita di negara barat. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa makanan tradisional Asia Timur memiliki
penekanan pada penggunaan sayuran segar yang dapat menekan terjadinya
kanker payudara.
Riwayat Kanker Payudara pada Keluarga. Kanker dianggap suatu kelompok
penyakit seluler dan genetik karena dimulai dari satu sel yang telah mengalami
mutasi DNA sebagai komponen dasar gen. Sel-sel yang mengalami kerusakan
genetik tidak peka lagi terhadap mekanisme regulasi siklus sel normal sehingga
akan terus melakukan proliferasi tanpa kontrol. Mutasi yang terjadi pada DNA di
dalam
gen
yang
meregulasi
siklus
sel
(pertumbuhan,
kematian,
dan
16
pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel dan salah satu
akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (Silalahi 2006).
Menurut McKelvey dan Evans (2003) kanker adalah produk akhir dari
serangkaian mutasi DNA. Mutasi ini mengarah pada pertumbuhan klon tertentu
dari suatu sel. Gen penting yang mengatur pertumbuhan sel biasanya target dari
mutasi ini dan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama yaitu
protooncogenes,
tumor
suppressor
genes,
dan
gatekeeper
genes.
Protooncogenes merangsang dan mengatur pertumbuhan dan pembelahan sel.
Tumor suppressor genes menghambat pertumbuhan sel dan memulai apoptosis.
Gatekeeper genes mempertahankan integritas genom dengan mendeteksi
kesalahan den memperbaikinya.
Sekitar 5-10% dari kasus kanker payudara dianggap keturunan,
dihasilkan langsung dari gen rusak/mutasi yang diwariskan dari orang tua.
Penyebab paling umum dari kanker payudara secara genetik adalah mewarisi
mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2 (ACS 2011). National Cancer Institute
(NCI) (2009) menyatakan bahwa BRCA1 dan BRCA2 adalah gen pada manusia
yang termasuk ke dalam kelas gen yang dikenal sebagai tumor suppressor
genes. Pada keadaan normal, BRCA1 dan BRCA2 membantu menjamin
stabilitas bahan genetik sel (DNA) dan membantu mencegah pertumbuhan sel
yang tidak terkendali. Mutasi pada gen ini telah dikaitkan dengan perkembangan
kanker payudara dan kanker ovarium. Jika seseorang telah mewarisi salinan gen
bermutasi ini dari orang tuanya, maka ia memiliki risiko tinggi terkena kanker
payudara selama hidupnya. Risiko dapat setinggi 80% untuk anggota dari
keluarga dengan mutasi BRCA. Wanita dengan mutasi ini juga memiliki
peningkatan risiko untuk mengembangkan kanker lainnya terutama kanker
ovarium (ACS 2011).
Usia Menstruasi Pertama. Setiap bulan rahim atau uterus mempersiapkan diri
untuk menerima kehadiran sel telur. Namun, karena sel telur yang telah
dihasilkan tidak dibuahi, maka dinding rahim yang semula menebal untuk tempat
persiapan menempelnya janin menjadi tidak berguna lagi. Dinding rahim ini akan
runtuh dan keluar melalui vagina. Kejadian ini disebut sebagai periode
menstruasi. Menstruasi untuk pertama kalinya terjadi pada usia remaja. Secara
biologis, terjadi pada usia antara 10-19 tahun (Sulastomo et al. 2002).
Widyantoro (2002) berpendapat bahwa menstruasi pertama pada
umumnya terjadi pada usia 12-13 tahun, meskipun pada zaman sekarang ada
17
yang terjadi pada umur 9-10 tahun. Hal ini disebabkan oleh keadaan gizi dan
kesehatan yang lebih baik. Bagga dan Kulkarni (2000) dalam penelitiannya
membagi tiga kategori usia menstruasi pertama kali pada seorang wanita yaitu
usia menstruasi pertama cepat (<11 tahun), usia menstruasi pertama ideal (1213 tahun), dan usia menstruasi pertama terlambat (>14 tahun).
Pada sebagian besar case control study, menstruasi dini meningkatkan
risiko terkena kanker payudara. Wanita yang mengalami menstruasi dini
(sebelum usia 12 tahun) terutama bila disertai dengan menopause terlambat
(lebih dari 55 tahun) mempunyai risiko kanker payudara lebih besar. Menstruasi
dini berhubungan dengan lamanya paparan hormon esterogen dan progesteron
yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan termasuk jaringan
payudara (Indrati 2005). Pertumbuhan jaringan payudara sangat sensitif
terhadap estrogen, maka perempuan yang terpajan estrogen dalam waktu
jangka panjang akan memiliki risiko yang besar terhadap terjadinya kanker
payudara (Sirait et al. 2009). Menurut Vogel (2000), wanita yang menstruasi
pertama pada usia 11-14 tahun memiliki risiko 10-30% lebih besar terkena
kanker dibandingkan dengan perempuan yang mendapat menstruasi pertama
kali pada usia 16 tahun.
Usia Menopause. Menopause adalah kondisi alamiah yang dialami oleh setiap
wanita yang ditandai dengan berhentinya haid secara tetap, yaitu jika seseorang
tidak haid lagi dalam masa 1 tahun. Biasanya menopause terjadi pada usia 4555 tahun (Global Alliance Indonesia et al. 2003). Menurut Irawati (2002)
menopause bukan peristiwa yang terjadi secara mendadak, melainkan proses
yang berlangsung lama bahkan pada beberapa orang dapat berlangsung selama
10 tahun. Menstruasi benar-benar tidak datang lagi pada seorang perempuan
rata-rata pada usia 50 tahun (dengan rentang antara 48-52 tahun).
Menurut Wirakusumah (2004) usia memasuki menopause pada setiap
wanita berbeda-beda. Ada yang di atas 40 tahun dan ada yang di bawahnya,
biasanya berkisar antara 35-55 tahun. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
cepat lambatnya seseorang memasuki masa menopause, antara lain faktor
keturunan, gizi, cepat lambatnya awal menstruasi, bobot tubuh, merokok atau
tidak merokok, wanita yang telah menikah, serta penyakit yang dialami wanita
tersebut. Menurut Ganong (1990) biasanya menstruasi terjadi pada usia 45-55
tahun.
18
Lama Menyusui. Kanker payudara adalah kanker yang paling umum di kalangan
wanita. Sekitar seperempat dari semua wanita yang menerima diagnosis pada
saat sebelum menopause berpotensi menderita kanker payudara. Saat ini lebih
banyak wanita memilih untuk menyusui, terutama mereka yang berencana hamil
dikemudian hari. Menyusui merupakan salah satu dari beberapa faktor yang
dapat dimodifikasi dan dapat membantu untuk mencegah terjadinya kanker
payudara (Riordan 2005).
Wanita yang menyusui risiko terkena kanker payudara lebih kecil
dibandingkan dengan wanita yang tidak menyusui (Cancer Research UK 2010).
Semakin lama menyusui dapat menurunkan risiko terkena kanker payudara
(Newcomb et al. 1994). Ada hubungan antara lamanya menyusui dengan efek
pencegahan terjadinya kanker payudara. Dengan bertambah lamanya menyusui
anak maka paparan estrogen terhadap payudara berkurang dan menjadi faktor
protektif terhadap risiko kanker payudara (Azamris 2006).
Dua meta analisis besar (review dari banyak studi) pada efek menyusui
terhadap perkembangan kanker payudara menyimpulkan bahwa menyusui
memiliki fungsi perlindungan terhadap kanker payudara (Bernier et al. 2000).
Studi ini menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara kanker payudara
dengan menyusui, khususnya di kalangan wanita pre menopause dan bagi
wanita yang ingin melahirkan dan menyusui pada usia dini (Newcomb et al.
1994, Zheng et al. 2001). Efek perlindungan dari menyusui diduga karena
mengurangi jumlah ovulasi secara proporsional dengan durasi dan intensitas
menyusui. Kadar esterogen pun lebih rendah jika dibandingkan dengan wanita
yang sedang mengalami menstruasi. Selain itu, menyusui dapat mengurangi
konsentrasi endogen dan eksogen karsinogen yang hadir dalam sel-sel epitel
duktal dan lobular (Helewa et al. 2002 dalam Riordan 2005).
Lama Menggunakan Alat Kontrasepsi Hormonal. Menurut Nurdiana dan
Widyantoro (2002) alat kontrasepsi hormonal mengandung hormon-hormon
reproduksi perempuan. Ada beberapa metode dalam kelompok alat kontrasepsi
ini yakni berupa pil, suntikan, dan susuk/implan. Ketiganya efektif mengandung
hormon dengan komposisi yang kurang lebih sama. Dengan penambahan
hormon-hormon tersebut, diharapkan proses pematangan sel telur dicegah
sehingga tidak dapat dibuahi sperma.
Di Indonesia penggunaan hormon sebagai alat kontrasepsi sudah populer
di masyarakat. Pemakaian kontrasepsi hormonal terbanyak adalah jenis suntikan
19
dan pil. Kontrasepsi oral (pil) yang paling banyak digunakan adalah kombinasi
estrogen dan progesteron (Sirait et al. 2009). Kontrasepsi oral yang berisi
esterogen dan progesteron adalah salah satu bahan yang digunakan untuk
mencegah terjadinya konsepsi (Vogel 2000).
Alat kontrasepsi hormonal yang terakhir adalah susuk atau yang biasa
disebut alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK). Alat kontrasepsi ini terdiri dari 6
tube kecil dari plastik dengan panjang masing-masing 3 cm. Hormon yang
dikandung dalam susuk ini adalah progesteron, yakni hormon yang berfungsi
menghentikan suplai hormon esterogen yang mendorong pembentukan lapisan
dinding lemak yang menyebabkan terjadinya menstruasi. Susuk ditempatkan di
bawah kulit, efektif mencegah kehamilan dengan cara mengalirkan secara
perlahan-lahan hormon yang dibawanya. Selanjutnya hormon ini akan mengalir
ke dalam tubuh lewat pembuluh-pembuluh darah. Susuk bekerja efektif selama 5
tahun (Nurdiana & Widyantoro 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Indrati (2005) wanita yang menggunakan
kontrasepsi oral >10 tahun memberikan risiko sebesar 3.10 kali dibandingkan
dengan wanita yang tidak menggunkan kontrasepsi oral. Penelitian Harianto et
al. (2005) menunjukkan bahwa pengguna pil kontrasepsi kombinasi memiliki
risiko 1.864 kali lebih tinggi untuk terkena kanker payudara dibandingkan dengan
bukan pengguna pil kontrasepsi kombinasi.
Lama Melakukan Aktivitas Fisik. Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor
risiko dari kanker. Telah diketahui bahwa semakin rendah aktivitas fisik, faktor
risiko terjadinya kanker semakin besar. Aktivitas fisik adalah faktor risiko dari
kanker payudara yang dapat diubah. Faktor risiko kanker akan menurun dengan
adanya perubahan peningkatan aktivitas fisik yang dilakukan (Margolis et al.
2005). Menurut hasil penelitian Indrati (2005) wanita yang memiliki aktivitas fisik
<4 jam/minggu memiliki risiko 9.7 kali lebih besar terkena kanker payudara
dibandingkan dengan wanita yang memiliki aktivitas fisik ≥4 jam/minggu.
Aktivitas fisik
mengurangi
risiko
dapat mengurangi risiko kanker payudara.
kanker
payudara
aktivitas
fisik
dikaitkan
Dalam
dengan
kemampuannya meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menurunkan lemak
tubuh, dan mempengaruhi tingkat hormon (Vogel 2000). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Peters et al. (2009) diketahui bahwa hubungan aktivitas fisik
dengan risiko kanker payudara secara sugestif dimodifikasi oleh IMT. Hal ini
20
banyak ditemukan pada wanita yang memiliki kelebihan berat badan (IMT >25
kg/m2) dibandingkan dengan wanita yang kurus (IMT <25 kg/m 2).
Perokok Pasif. Perokok pasif dikenal dengan nama secondhand smoke atau
Environmental Tobacco Smoke (ETS). Perokok pasif disebut demikian karena
menghisap campuran dari dua bentuk asap yaitu asap dari pembakaran
tembakau (asap yang berasal dari ujung rokok yang menyala, dari pipa, atau dari
cerutu) dan asap utama (asap yang dihembuskan oleh perokok). Meskipun
sering dianggap sama, namun sesungguhnya kedua asap ini berbeda. Asap dari
pembakaran tembakau memiliki konsentrasi karsinogen lebih tinggi daripada
asap utama. Selain itu, asap dari pembakaran tembakau memiliki partikel yang
lebih kecil daripada asap utama sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel-sel
tubuh. Asap utama mengandung lebih dari 4.000 senyawa kimia, lebih dari 60
yang diketahui atau diduga dapat menyebabkan kanker (ACS 2011).
Indonesia menempati urutan keenam diantara negara-negara dengan
tingkat konsumsi tembakau tertinggi di dunia. Prevalensi merokok di antara
dewasa 15 tahun dan di atasnya adalah 34.4% meningkat dari 31.5% pada tahun
2001 atau lebih dari 50 juta dewasa Indonesia adalah perokok di tahun 2004
(Indonesian Tobacco Control Network 2007). Menurut Terry dan Rohan (2002)
rokok mengandung banyak zat-zat kimia yang berbahaya. Zat kimia dalam rokok
diserap darah dan langsung menuju jantung. Jantung akan bekerja lebih keras
dan cepat sebanyak 10-25 bit/menit atau sekitar 36.000 bit/hari.
Berdasarkan hasil penelitian Terry dan Rohan (2002) disebutkan bahwa
kandungan dari rokok tembakau seperti polycyclic hydrocarbons, asam amino
aromatik, dan N-nitrosamines dapat menyebabkan tumor. Rokok tembakau
mengandung banyak zat-zat yang berpotensi merusak tubuh. Zat-zat tersebut
mungkin memiliki daya rusak yang berbeda dan dapat memengaruhi tahapan
perkembangan kanker. Menurut Indrati (2005) wanita yang merokok akan
memiliki tingkat metabolisme esterogen lebih tinggi dibanding wanita yang tidak
merokok. Pengukuran konsumsi rokok dapat dilakukan dengan menggunakan
ukuran kuantitatif seperti frekuensi merokok (rokok/hari), durasi (berapa tahun
merokok), umur ketika awal merokok, dan umur ketika berhenti merokok (Terry &
Rohan 2002).
Tanda dan Gejala Kanker Payudara
Kanker payudara biasanya tidak menghasilkan gejala awal ketika
ukurannya masih kecil dan dapat diobati. Oleh karena itu, sangat penting bagi
21
wanita mengikuti pedoman yang direkomendasikan untuk menemukan kanker
payudara dini, sebelum berkembang gejala-gejalanya. Ketika kanker payudara
telah tumbuh ke ukuran yang lebih besar dan dapat dirasakan, tanda fisik yang
paling terlihat adalah timbulnya massa yang menyakitkan. Tanda-tanda lainnya
seperti nyeri payudara, penebalan, bengkak, iritasi kulit atau distorsi, dan
kelainan puting payudara (ACS 2011).
ACS (2011) menuliskan bahwa meluasnya penggunaan mammogram
telah meningkatkan jumlah kanker payudara ditemukan sebelum menimbulkan
gejala apapun. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah benjolan
atau massa baru yang muncul. Sebuah massa yang tidak menyakitkan, keras,
dan memiliki tepi yang tidak teratur. Tanda-tanda lain dari kanker payudara
adalah pembengkakan dari semua atau sebagian payudara, iritasi kulit, nyeri
pada puting, retraksi puting (berbalik ke dalam), kemerahan, penebalan puting
atau kulit payudara, keluarnya cairan dari putting selain air susu ibu (ASI).
Kadang-kadang kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di
bawah lengan atau di sekitar tulang leher. Penyebaran tersebut menimbulkan
benjolan atau pembengkakan bahkan sebelum tumor sebenarnya di dalam
jaringan payudara dirasakan.
Deteksi Dini Kanker Payudara
Menurut data yang diperoleh dari RSKD, saat ini kebanyakan pasien
kanker datang ke rumah sakit dalam keadaan penyakitnya yang telah lanjut,
biaya pengobatan sangat besar dan hasil pengobatan pun tidak memuaskan.
Sebenarnya ada upaya yang dapat dilakukan agar kanker dapat ditemukan
sedini mungkin yaitu dengan melakukan pemeriksaan deteksi dini kanker.
Menurut Depkes (2007) upaya deteksi dini kanker payudara adalah upaya untuk
mendeteksi atau mengidentifikasi secara dini adanya kanker payudara, sehingga
diharapkan dapat diobati dengan teknik yang dampak fisiknya kecil dan punya
peluang lebih besar untuk sembuh. Upaya ini sangat penting, sebab apabila
kanker payudara dapat dideteksi pada stadium dini dan diobati dengan tepat
maka tingkat kesembuhannya yang cukup tinggi (80-90%).
Ada dua komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi
tentang penemuan dini (early diagnosis). Penapisan atau skrining adalah upaya
pemeriksaan atau test yang sederhana dan mudah dilaksanakan pada populasi
masyarakat sehat. Tujuan penapisan atau skrining adalah untuk mengetahui
masyarakat yang sakit atau berisiko terkena penyakit di antara masyarakat yang
22
sehat. Penemuan dini adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah
merasakan adanya gejala (Depkes 2007).
Menurut Depkes (2007) selain penapisan, Periksa Payudara Sendiri
(SADARI) juga strategi lain untuk penemuan dini. SADARI sebaiknya dilakukan
oleh semua perempuan dimulai sejak usia subur dan dilakukan setiap kali selesai
menstruasi. Penapisan yang ideal adalah dengan cara pemeriksaan klinis
payudara oleh tenaga terlatih, dilanjutkan dengan pemeriksaan USG dan atau
mammografi. Penapisan yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yaitu
dengan cara:
1.
Pemeriksaan Klinis Payudara oleh Tenaga Medis Terlatih (Clinical Breast
Examination/CBE). CBE dianjurkan untuk dilakukan tiga tahun sekali pada
wanita usia 20-40 tahun. Pada wanita usia di atas 40 tahun, CBE dilakukan
setiap tahun.
2.
Pemeriksaan Ultrasonography (USG). Jika pada pemeriksaan CBE terdapat
benjolan, maka dibutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan USG maupun
mammografi. USG dilakukan terutama untuk membuktikan adanya massa
kistik dan padat yang mengarah pada keganasan. USG dilakukan pada
perempuan usia di bawah 40 tahun.
3.
Pemeriksaan Mammografi. Bagi wanita di atas 40 tahun, dianjurkan
melakukan pemeriksaan ini setiap tahun. Mammografi dilakukan pada wanita
yang bergejala maupun pada wanita yang tidak bergejala (opportunistic
screening dan organized screening).
Stadium Kanker Payudara
Menurut American Society of Clinical Oncology Foundation dan Canadian
Cancer Society (2011) stadium dalam kanker bertujuan untuk menggambarkan
kondisi kanker. Kondisi ini meliputi letak kanker, sampai dimana penyebarannya,
dan sejauh mana pengaruhnya terhadap organ tubuh yang lain. Stadium pada
kanker juga merupakan salah satu cara yang membantu dokter untuk
menentukan pengobatan yang cocok untuk pasien. Salah satu cara yang
digunakan dokter untuk menggambarkan stadium kanker adalah dengan
menggunakan sistem TNM. Sistem ini menggunakan tiga kriteria untuk
menentukan stadium kanker, yaitu:
1. Tumor itu sendiri, seberapa besar ukuran tumor dan dimana lokasinya (T,
Tumor).
23
2. Kelenjar getah bening di sekitar tumor, penyebaran tumor ke kelenjar getah
bening disekitarnya (N, Node).
3. Penyebaran tumor ke organ lain (M, Metastasis).
Stadium 0:
Disebut ductal carsinoma in situ atau noninvasive cancer, yaitu kanker tidak
menyebar keluar dari pembuluh/saluran payudara dan kelenjar-kelenjar (lobules)
susu pada payudara.
Stadium I:
Tumor masih sangat kecil dan tidak menyebar serta tidak ada titik pada
pembuluh getah bening.
Stadium II A:
Pasien pada kondisi ini:
 Diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan telah ditemukan pada
titik-titik pada saluran getah bening di ketiak (axillary limph nodes).
 Diameter tumor lebih lebar dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm. Belum
menyebar ke titik-titik pembuluh getah bening pada ketiak.
 Tidak ada tanda-tanda tumor pada payudara, tapi ditemukan pada titik-titik di
pembuluh getah bening ketiak.
Stadium II B:
Pasien pada kondisi ini:
 Diameter tumor lebih lebar dari 2 cm tapi tidak melebihi 5 cm.
 Telah menyebar pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak.
 Diameter tumor lebih lebar dari 5 cm tapi belum menyebar.
Stadium III A:
Pasien pada kondisi ini:
 Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan telah menyebar ke titik-titik pada
pembuluh getah bening ketiak.
 Diameter tumor lebih besar dari 5 cm dan telah menyebar ke titik-titik pada
pembuluh getah bening ketiak.
Stadium III B:
Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan pembengkakan
bahkan luka bernanah di payudara atau didiagnosis sebagai inflammatory breast
cancer. Sudah atau belum menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening di
ketiak dan lengan atas, tapi tidak menyebar ke bagian lain dari organ tubuh.
24
Stadium III C:
Sebagaimana stadium IIIB, tetapi telah menyebar ke titik-titik pada pembuluh
getah bening dalam group N3 (kanker telah menyebar lebih dari 10 titik disaluran
getah bening di bawah tulang selangka).
Stadium IV:
Ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar ke lokasi yang jauh, yaitu:
tulang, paru-paru, liver, atau tulang rusuk.
Download