Social Work Jurnal - Kesejahteraan Sosial

advertisement
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Vol. 5. No. 1, Juli 2015
Share
Social Work Journal
ISSN : 2339-0042
FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT
(STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG)
Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari
PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG
(Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung)
Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan
RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA
PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT
Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo
PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKANPADA FAITH BASED ORGANIZATION
(STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG)
Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah
INTERAKSI DIDALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN
HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA
Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM)
DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI
KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG
Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan
PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH
Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H.
POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME
(Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina
Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur)
Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG
Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama
DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH
Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo
COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA
Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat
EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA
Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani
DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
Share
Social Work Journal
ISSN: 2339-0042
Jurnal Pekerjaan Sosial
Departemen Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Padjadjaran
DEWAN REDAKSI
Penanggung Jawab : Dr. Drs. Budi Wibhawa, MS.
Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si
Sekretaris
: Drs. Nandang Mulyana, M.Si
Dewan Redaksi
:
Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si.
Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si.
Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D
Anggota :
Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW.
Dr. Risna Resnawaty, S.Sos., MP.
Dr. Heri Wibowo, S.Psi., MM
.
Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si
Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si
Faisal Akbar, S.Sos., MPS.Sp
Alamat Penerbit/Redaksi :
Departemen Kesejahteraan Sosial
Gedung B FISIP-UNPAD
Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang
Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan
e-mail : [email protected] dan
[email protected]
ISSN: 2339-0042
2 3 3 9
- 0
0 4 2 0 0 0 8
i
ISSN:2339 -0042
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PENGANTAR REDAKSI
Dalam Jurnal Share Volume 5 Nomor 1 berisikan gagasan tertulis mengani
berbagai aspek pekerjaan sosial, kesejahteraan sosial dan masalah sosial lainnya.
Sebagian besar karya dalam jurnal ini merupakan karya bersama antara dosen dan
mahasiswa. Dari 12 (dua belas) artikel yang ada dalam jurnal ini, sebagian besar
didominasi oleh tulisan-tulisan mengenai anak: mulai dari tulisan fenomena anakanak funk di kota Bandung, kota layak anak, residivis anak, pelayan anak berbasis
panti, anak bermasalah dengan hukum, kemandirian anak down syndrome, anak
jalanan, dan anal cerebral palsy. Kesemua tulisan tersebut menarik untuk dikaji lebih
lauh lagi. Selain itu terdapat pula terdapat pula tulisan-tulisan pengembangan
masyarakat, pengelolaan sampah dan stres di dunia kerja.
Akhir kata, Redaksi mengucapkan selamat membaca...
Salam,
Redaksi
ii
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Share
Vol. 4. No. 2, Desember 2014
Social
Work Journal
ISSN: 2339-0042-7
FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS
HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG)
Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari
1
PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA
LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung)
Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan
11
RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM
MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT
Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo
15
PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN PADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM
KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG)
Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah
24
INTERAKSI DI DALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA
BAMBU APUS JAKARTA
Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat
35
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT
TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG
Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan
46
PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH
Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H.
51
POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi
Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina
Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur)
Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi
65
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG
Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama
71
DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH
Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo
81
COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA
Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat
89
EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA
Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani,
98
ISSN: 2339-0042
2 3 3 9
- 0
0 4 2 0 0 0 8
iii
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN
ENVIRONMENT
(STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA
BANDUNG)
Oleh:
Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari
E-mail :
([email protected]; [email protected]; [email protected] )
Abstrak
Remaja punk merupakan bagian dari kehidupan underground. Mereka memiliki
ideologi politik dan sosial, hidup di jalanan dan selalu mendengarkan musik-musik yang
beraliran keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi sosial,
politik dan budaya di masyarakat. Keberadaan remaja punk di berbagai sudut Kota Bandung
telah meresahkan sebagian masyarakat. Penampilan mereka yang ekstrim dengan memakai
sepatu boots, jaket kulit, celana jeans yang robek, menggunakan gelang berduri, memakai
baju hitam lusuh dan memiliki rambut mohawk seperti suku indian dengan warna yang
mencolok telah membuat risih sebagian masyarakat. Mereka sangat berani untuk berbeda
dari orang lain dan menciptakan suatu tren tersendiri. Remaja punk terbentuk karena
tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat
sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk
mengidentifikasi serta mengklarifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam
keberfungsian sosial. Melalui penelitian ini akan dideskripsikan Person Dimensional remaja
punk berupa kondisi biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang mereka miliki. Kemudian
melihat environmental dimensional remaja punk berupa lingkungan fisik di sekitar mereka
dan budaya yang mereka anut. Selanjutnya adalah Time Dimensional berupa rencana dan
kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja punk.
Abstract
Punks is part of the underground. lifeThey have the ideology of the political and
social life on the streets and always hear and listen to mellow that fencing hard.Them is
here in a way to do resistance to the social condition, political and cultural in society.The
existence of punks at different corners of the city of bandung has been unsettling some
parts of the community.Their appearance to the extreme by wearing boots, black leather
jacket, blue jeans being torn, using a bracelet prickly, wear a black shabby and having hair
mohawk as a tribe of indians with striking color have made some in the community be
uncomfortable.They are very brave to be different from others and create of trends in and
of itself. Punks formed for staying with the environment similar. In the concept of the
science of social welfare , there is a concept which is holistic person in environment which is
a model system to identify and clarify the problems in social function client or patient
.Through this research will be described person dimensional punks of biological condition,
psychological and spiritual condition that they have.Then see the environmental dimensional
punks of the physical environment around them and their cultural .Dimensional next time is
of the plan and events experienced by punks .Keyword : Remaja, Punk, Person In
Enveronment, Pekerjaan Sosial, Masalah Sosial
1
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dalam membuat perubahan, dan suatu
bentuk perlawanan yang luar biasa karena
menciptakan musik, gaya hidup, komunitas
dan kebudayaan sendiri.
Pendahuluan
Punk
merupakan suatu ideologi
tentang pemberontakan dan anti kemapanan,
dengan berbagai macam karakter dari tiap
anggota sehingga sebuah kelompok untuk
mendapatkan keamanan identitas diri dan ciri
dari komunitas punk tersebut.
Menurut
Counter Culture "Punk yang sesungguhnya
adalah sebuah pergerakan revolusioner antipenindasan
dan
sebuah
gerakan
libertarian(kemerdekaan)
dari
kelompok
orang-orangyang tidakpuas terhadap kondisi
yang terjadi saat ini".
Remaja punk begitu percaya diri akan
penampilannya yang berbeda dengan orang
pada umumnya. Marshal (2005) berpendapat
bahwa generasi muda. yang bergabung
dalam komunitas punk merasa menemukan
jati diri mereka terhadap gaya unik yang
ditonjolkan oleh punk. Komunitas punk di
Indonesia sangat diwarnai oleh budaya dari
barat atau Amerika dan Eropa. Biasanya
perilaku mereka terlihat dari gaya busana
yang mereka kenakan seperti sepatu boots,
potongan rambut mohawk ala suku Indian,
atau dipotong ala feathercut dan diwarnai
dengan warna-warna yang terang, rantai dan
spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju
yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial,
kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah,
pemabuk berbahaya sehingga banyak yang
mengira bahwa orang yang berpenampilan
seperti itu sudah layak untuk disebut dengan
punker.
Punk berasal dari bahasa Inggris,
yang merupakan singkatan dari “Public
United Not Kingdom” yang artinya adalah
kesatuan masyarakat di luar kerajaan.
(Firmansah, 2013) Dalam perkembangannya,
punk memiliki berbagai jenis dengan ciri khas
yang cukup berbeda satu sama lain.
Punk masuk Indonesia pada akhir
delapan puluhan, tetapi perkembangan besar
terjadi pada awal pertengahan tahun
sembilan
puluhan.
Pickles
(2000)
mengatakan bahwa pada waktu itu estetis
dan musik punk menjadi cara hidup altematif
yang baru dan populer bagi pemuda
Indonesia. pada awalnya punk di Indonesia,
budaya ini tidak melebih mode dan musik.
Pada waktu itu punk mempakan sebuah
subkultur yang dinamis dan eksperimental
dengan pesan-pesan pemberontakan visual
tapi tidak bisa dianggap sebuah budaya
perlawanan yang bersatu dan bekerjasama
supaya tujuan tercapai.
Menurut Nando (2008:5) bahwa
“Punkers sering dianggap sebagai tukang
kritik melalui lirik-liriknya, dan tukang “rusuh”
melalui
aksi
egalitarian
dari
para
penganutnya meskipun itu belum tentu
benar.”
Punk adalah suatu ideologi tentang
pemberontakan dan anti kemapanan, dengan
berbagai macam karakter dari tiap anggota
sehingga membentuk sebuah kelompok
untuk mendapatkan keamanan identitas diri
dan ciri dari komunitas punk tersebut.
O’hara (1999) mengartikan punk
sebagai suatu bentuk tren remaja dalam
berpakaian dan bermusik, suatu keberanian
2
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
manusia dihadapkan pada stimulasi yang
kompleks dan memerlukan kejelian untuk
menerima situasi tersebut. Salah satu budaya
yang muncul saat ini adalah punk.
Sekelompok orang yang memiliki
perilaku dan kepercayaan yang berbeda
dengan kebudayaan induk mereka disebut
subkultur. Budayawan Fitrah Hamdani dalam
Zaelani Tammaka (2007:164) berpendapat
bahwa subkultur adalah gejala budaya dalam
masyarakat industri dan kemunculannya tidak
semata-mata
merupakan
penentangan
terhadap
hegemoni
bahkan
mungkin
merupakan salah satu jalan keluar bagi satu
ketegangan sosial. Masyarakat subkultur pun
telah membentuk budaya dan tradisi mereka
sendiri. Hidbige (1988: 158) mengatakan
pendukung subkultur menghormati adat atau
aturan yang berlaku dan menjadikan aturan
itu sebagai pedoman dan acuan bagi hidup
mereka.
Ciri khas komunitas punk lainnya
adalah aliran musik yang mereka miliki. Musik
punk merupakan musik pemberontakan,
pemberontakan dilakukan melalui lirik lagu
yang menyindir perilaku pemerintah yang
tidak peduli terhadap masyarakat. Firmansah
(2013) berpendapat bahwa Punk sering
dikatakan sebagai salah satu seni yang
terangkum dalam berbagai macam seni,
misalnya musik. Lirik dalam musik ini juga
sebagai alat untuk memprovokasi serta
melakukan
perlawanan.
Tetapi,
pada
umumnya masyarakat menilai musik punk
sebagai musik yang negatif dan menganggu
tatanan sosial.
Perkembangan jumlah remaja punk
di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
namun sebuah fanzine asal Amerika Profane
Existence,
menulis
negara
dengan
perkembangan punk yang menempati
peringkat teratas di dunia adalah Indonesia
dan Bulgaria.
Punk merupakan budaya tersendiri di
Masyarakat,
karena
mereka
telah
menciptakan struktur sosial tersendiri. Piliang
(1998: 213) berpendapat bahwa budaya
punk sebagai budaya subkultur, muncul dan
booming di Indonesia sekitar tahun 90-an
atau sekitar tahun 1980-an (Piliang, 1998:
213).
Komunitas punk adalah remaja yang
hidup di jalanan namun berbeda dengan
anak jalanan pada umumnya. Perbedaan
terlihat dari cara berpakaian dan juga cara
bergaul satu sama lain. Namun dalam
pendataan, mereka tergolong kepada anak
jalanan. Dari sekian kota/kabupaten di Jabar,
jumlah anak jalanan yang ada di Kota
Bandung menjadi yang tertinggi mencapai
2.500 orang atau 44% permasalahan anak
jalanan ada di ibu kota provinsi Jabar
tersebut.
(http://bandung.bisnis.com/read/20140209/6
1818/490985/anak-jalanan-di-bandungmenjadi-yang-tertinggi)
Pengaruh punk di Indonesia bermula
dari proses modernisasi dan globalisasi di
dunia. Ronaldo (2008) mengatakan bahwa
dampak dari modernisasi dan pembangunan
adalah
terjadinya
perubahan
atau
pembaharuan
struktur
sosial
yang
mendorong terjadinya proses transformasi
sosial dan budaya dalam tatanan masyarakat
Indonesia. Perubahan pola hidup masyarakat
dan perubahan budaya yang ada membuat
3
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Sangat mudah untuk menemukan
komunitas punk di Kota Bandung. Mereka
saling berkumpul satu sama lain di tempat
yang terbuka. Terdapat beberapa titik
komunitas punk di kota ini. Diantaranya di
pusat kota yaitu di Jalan Braga, alun-alun
Cicalengka dan di pintu tol Pasteur. Beberapa
dari komunitas ini tinggal di jalanan dan
berprofesi sebagai pengamen. Ada pula yang
sudah profesional dan terlibat rekaman
(Muthiya, 2008).
Kesan dan stigma negatif telah
melekat pada komunitas punk ini. Mereka
dianggap sebagai pembuat onar, preman,
perusuh,
dan
banyak
orang
yang
menganggap mereka berbahaya. Sudah
banyak upaya razia yang dilakukan oleh
Satpol PP untuk mengamankan keberadaan
mereka. Namun tetap saja tidak mengurangi
jumlah remaja punk yang ada di Kota
Bandung.
(http://news.detik.com/read/2013/10/18/155
611/2389488/486/wali-kota-bandung-pimpinrazia-gepeng-remaja-berdandan-punk-kocarkacir)
Di Kota Bandung, remaja punk ini
memiliki
kebiasaan
yang
membuat
masyarakat terganggu saat bepergian
menggunakan angkutan umum. Mereka
mencari uang dengan cara mengamen di
setiap angkutan umum serta menyanyikan
lagu-lagu yang berbeda dari pengamen pada
umumnya. Perbedaannya terlihat dari liriklirik yang memuat tentang kritikan terhadap
pemerintah atau kondisi sosial politik saat ini.
Mereka merupakan bagian dari kehidupan
underground. Mereka memiliki ideologi politik
dan sosial, hidup di jalanan dan selalu
mendengarkan musik-musik yang beraliran
keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan
perlawanan terhadap kondisi sosial, politik
dan budaya di masyarakat.
Komunitas Heaven Holic dibentuk dari
keprihatian pada dunia generasi muda saat
ini yang tengah menghadapi permasalahan
sosial berupa pergaulan bebas yang
mempengaruhi pemikiran mereka. Banyak
dari generasi muda terutama remaja punk
yang terjebak dalam perilaku negatif dan
merusak, dari mulai minuman keras,
penyalahgunaan narkoba sampai pergaulan
bebas termasuk remaja punk.
Komunitas
ini
dibentuk
untuk
membina anak, remaja atau dewasa yang
pernah bergabung di komunitas punk agar
dapat menjalani kehidupan secara normal
dengan memberikan pembelajaran baik
secara umum maupun secara spiritual guna
ikut berkontribusi dalam memperbaiki akhlak
dan moral generasi muda termasuk anak
punk.
Selain mengamen, remaja punk juga
menuliskan pesan politik di tembok kantorkantor di Kota Bandung. Hotibin (2008)
mengatakan pesan politik tersebut ada di
beberapa kantor yaitu di simpang Jalan
Merdeka serta Jalan R.E Martadinata. Pesan
tersebut antara lain adalah “Bubarkan
Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara =
Racun”, dan “Keraskan Kepala”.
4
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Pendekatan
penelitian
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
digunakan karena masalah penelitian belum
jelas diketahui, sehingga perlu melakukan
eksplorasi terhadap suatu objek dan
mengetahui sebuah fenomena secara secara
menyeluruh, luas serta mendalam.
Remaja punk terbentuk karena tinggal
dengan lingkungan serupa. Dalam konsep
Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah
konsep yaitu Person In Environment yang
merupakan holistic model system untuk
mengidentifikasi
serta
mengklarifikasi
permasalahan-permasalahan
klien
atau
pasien dalam keberfungsian sosial. Melalui
penelitian ini akan dideskripsikan Person
Dimensional remaja punk berupa kondisi
biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang
mereka
miliki.
Kemudian
melihat
environmental dimensional remaja punk
berupa lingkungan fisik di sekitar mereka dan
budaya yang mereka anut. Selanjutnya
adalah Time Dimensional berupa rencana dan
kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja
punk. Untuk mengidentifikasi permasalahan
yang menggambarkan permasalahan dalam
keberfungsian peran sosial remaja punk
berkaitan
untuk
aktivitas
kehidupan
keseharian yang dibutuhkan oleh masyarakat
atau budaya bagi usia individu dan tahap
kehidupan maka perlu penggunaan konsep
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskriptif karena bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai
fenomena remaja punk ditinjau dari person in
environment dengan cara mengeksplorasi
secara menyeluruh, luas serta mendalam
berdasarkan pada dimensi-dimensi dalam
person in environment, diantaranya person
dimensional
(dimensi
manusia),
environmental
dimensional
(dimensi
lingkungan), time dimensional (dimensi
waktu).
Penelitian ini menggunakan teknik
penelitian studi kasus. Dikatakan studi kasus
karena peneliti akan melakukan studi secara
intensif mengenai keadaan suatu unit konsep
dalam pekerjaan sosial, yakni person in
environment dari remaja punk binaan
komunitas heaven holic.
Person In Environment.
Setting yang digunakan pada penelitian
ini adalah remaja punk dalam naungan
binaan komunitas heaven holic. Setting
tersebut dipilih dengan maksud dan tujuan
untuk melihat serta memberikan gambaran
person in environment remaja punk di
komunitas heaven holic.Informan adalah
5
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Setelah data selesai disajikan maka
akan ditarik kesimpulan. Pada tahap ini pula
dilakukan triangulasi data yaitu memeriksa
hasil apakah sesuai dengan data yang
didapat atau tidak
orang yang secara sukarela menjadi objek
dalam penelitian serta orang lain selain objek
penelitian yang memahami situasi dan
kondisi dari objek penelitian. Informan
ditentukan dengan metode purposive, yaitu
informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu.
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Komunitas Heaven Holic. Lokasi ini dipilih
berdasarkan pertimbangan komunitas ini
memiiliki aktivitas yang bertujuan untuk
mendidik remaja punk secara spiritual.
Data yang diperoleh langsung peneliti
yang berasal dari lokasi penelitian. Data yang
termasuk dari data primer yaitu data dari
hasil wawancara dan observasi.Dalam
metode kualitatif wawancara merupakan
metode pengumpulan data yang utama.
Definisi wawancara adalah suatu interaksi
untuk bertukar informasi. Metode wawancara
yang dipakai adalah metode wawancara
semi-terstruktur, karena wawancara dengan
jenis ini dapat lebih fleksibel dan terkadang
pertanyaan dapat muncul ketika sedang
berbicara.
Remaja punk terbentuk karena tinggal
dengan lingkungan serupa. Dalam konsep
Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah
konsep yaitu Person In Environment yang
merupakan holistic model system untuk
mengidentifikasi serta mengkla
rifikasi
permasalahan-permasalahan
klien
atau
pasien dalam keberfungsian sosial.
Menurut
(2010:170),
Person In Environment (PIE) adalah suatu
metode
untuk
menggambarkan,
mengklasifikasi
dan
mengkoding
permasalahan-permasalahan pasien dan klien
dewasa yang memperoleh pelayanan pekerja
sosial. PIE sistem adalah suatu “holistic
model system” yang mengidentifikasi dan
mengklasifikasi permasalahan-permasalahan
klien atau pasien dalam pengalamannya
dengan keberfungsian sosial. Di dalamnya
termasuk assessment mengenai hubungan
sosial.
Data Sekunder merupakan sumber
data penelitian yang diperoleh secara tidak
langsung melalui media perantara yang
diperoleh dan dicatat pihak lain. Dalam
mengumpukan data sekunder, peneliti
melakukan studi dokumentasi.
Reduksi data merupakan tahapan
ketika informasi yang diperoleh peneliti
digabungkan dan diseragamkan menjadi
bentuk tulisan. Pada saat mereduksi data
maka dikumpulkan data-data yang diperlukan
dan membuang informasi yang tidak perlu.
Setelah data direduksi maka akan tergambar
mengenai hasil dari pengumpulan data.
Dalam
Wibhawa
pekerjaan sosial,
Person In Environment merupakan sebuah
tool dari assessment terhadap klien. Menurut
Hutchison (2003) dalam menggambarkan
situasi klien dengan Person In Environment
diperlukan pendekatan multidimensional.
Pendekatan multidimensional merupakan
pemikiran tentang perilaku manusia sebagai
perubahan konfigurasi orang dan lingkungan
sepanjang
waktu.
Pendekatan
Multidimensional dibangun dengan tiga aspek
yaitu Person Dimensional, Environmental
Dimensional dan Time Dimensional.
Data-data yang telah direduksi,
digolongkan dalam bentuk matriks atau
kategorisasi. Data-data dikelompokkan dalam
sebuah tema, kemudian diturunkan dalam
subtema. Hal ini dilakukan supaya informasi
dapat lebih mudah untuk dimengerti.
Kemudian peneliti memasukkan pernyataanpernyataan informan ke dalam matriks
kategorisasi dengan kalimat yang dibuat oleh
peneliti. Setelah itu akan diberikan kode.
6
praktik
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Fenomena mengenai remaja punk di
Kota Bandung penting untuk diteliti karena
memberikan gambaran mengenai profil
remaja punk binaan komunitas heaven holic
ditinjau dari person in environment yang
mereka miliki. Karena manusia tidak akan
lepas dari pengaruh lingkungannya, begitu
pula dengan remaja punk.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
hidup dipengaruhi oleh interaksi dari prosesproses biologis, kognitif dan sosio-emosional.
Masa kanak-kanak ke remaja, pada
masa remaja awal terjadi perubahan di otak
yang memungkinkan kemajuan dalam
berpikir. Pada masa ini, remaja juga
cenderung untuk tetap terjaga hingga larut
malam dan bangun tidur agak siang.
Remaja merupakan masa transisi dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa,
banyak perubahan yang terjadi pada masa
remaja yaitu peralihan-peralihan secara fisik,
pikiran, lingkungan sosial dan kondisi emosi.
Perubahan-perubahan kognitif yang
berlangsung selama transisi dari masa kanakkanak hingga remaja adalah meningkatnya
berpikir abstrak. Idealistik dan logis. Ketika
mereka melalui transisi ini, remaja mulai
berpikir secara lebih egosentris, seringkali
memandang dirinya seolah-olah berada di
atas pentas, unik, dan tak terkalahkan.
Sebagai respons terhadap perubahanperubahan ini, orang tua memberikan
tanggung jawab lebih besar di pundak
remaja untuk membuat keputusan (Santrock,
2007).
Remaja adalah periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa, yang melibatkan
perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah
mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
Sebetulnya masa depan dari seluruh budaya
tergantung
pada
seberapa
efektifnya
pengasuhan itu (Larson dkk, 2002).
Masa remaja terdiri dari masa remaja
awal dan masa remaja akhir. Masa remaja
awal berlangsung pada saat usia sekolah
menengah pertama dan usia sekolah
menengah atas. Sementara masa remaja
akhir berlangsung pertengahan dasawarsa,
pada saat ini remaja memiliki minat karir dan
mengeksplorasi identitas diri.
Banyak pendapat mengenai usia
batasan remaja, karena remaja merupakan
masa transisi, hal ini tergantung dari budaya
yang dianut dan sejarah daerah yang dia
tempati.
Meskipun rentang usia dan remaja
dapat bervariasi terkait dengan lingkungan
budaya dan historisnya, masa remaja dimulai
sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir
pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun.
Perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang dialami remaja dapat
berkisar mulai dari perkembangan fungsi
seksual hingga proses berpikir abstrak hingga
kemandirian. Santrock, 2007)
Ada beberapa kecenderungan yang
dialami oleh remaja pada masa pubertas, hal
ini diakibatkan dari masih labilnya emosi
mereka. Adapun diantara kecenderungan
yang dialami oleh remaja adalah sebagai
berikut :
a. Kecenderungan untuk meniru
b. Kecenderungan untuk mencari perhatian
c. Kecenderungan mulai tertarik pada lawan
jenisnya
d. Kecenderungan mencari idola
e. Selalu ingin mencoba terhadap hal-hal
yang baru.
f. Emosinya mudah meletup. (Kauma, 1999)
Perkembangan Remaja
Perkembangan pada saat remaja
merupakan titik penting di dalam kehidupan
seseorang. Pada masa remaja akan timbul
sebuah rangkaian periode perkembangan
7
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Ada tiga macam jenis punk, yaitu Punk
Hardcore, Street Punk, dan Punk Rock Elite.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Subkultur timbul apabila suatu bagian dari
masyarakat atau kelompok sosial tertentu
sedang menghadapi masalah yang bukan
merupakan persoalan yang dihadapi warga
lainnya. (Soekanto, 1990)
Punk Hardcore
Hardcore punk berkembang pada tahun
1980-an di Amerika Serikat Bagian Utara.
Musik dengan aliran punk rock dengan beatbeat yang cepat menjadi musik wajib bagi
mereka. Jiwa pemberontakan sangat kental
dalam kehidupan sehari-hari, terkadang
sesama
anggota
sering
bermasalah.
(Marshal, 2005, h.109)
Person In Environment
Dalam praktik pekerjaan sosial
terdapat sebuah konsep yaitu konsep Person
In
Environment,
konsep
ini
akan
mengidentifikasi
permasalahan
yang
menggambarkan
permasalahan
dalam
keberfungsian peran sosial berkaitan untuk
aktivitas
kehidupan
keseharian
yang
dibutuhkan oleh masyarakat atau budaya
bagi usia individu dan tahap kehidupan.
Street Punk
Street punk adalah punk yang terbiasa tidur
di pinggiran jalan dan mengamen untuk
membeli rokok. Sering bergaul dengan
pengamen dan pengemis. Sebutan street
punk adalah The Oi, mereka sering berbuat
oner dimana-mana. Para anggotanya diberi
nama skinheads. Para skinheads menganut
prinsip kerja keras itu wajib. Para skinheads
lebih
berani
mengekspresikan
musik
dibandingkan komunitas punk lainnya.
(Marshal, 2005, h.110)
Person In Environment dapat secara
efektif menilai klien. Seorang praktisi harus
akrab dengan Person In Environment dan
DSM IV. Kedua hal tersebut akan digunakan
sebagai referensi; dengan mengikuti arah
tersebut, seseorang bisa menjadi nyaman
melakukan penilaian Person In Environment
dalam sebulan atau dua bulan.Tentu saja,
ada harapan bahwa alat penilaian ini akan
mampu bersaing di pasar terbuka dengan
medical-model-based dsm-iv. Person In
Environment akan mendidik semua pekerjaan
sosial praktisi, terutama pekerjaan sosial
siswa karena itu adalah cara yang khas
profesi kita menilai individu dibandingkan
profesi lain.
Punk Rock Elite
Punk Rock Elite beranggotakan seniman.
Mereka menjauhi perselisihan dengan
sesama komunitas ataupun orang-orang di
sekitarnya. Mereka biasa berkumpul di distro,
ataupun kafe. (Marshall, 2005, h.109)
Subkultur merupakan gejala budaya
dalam masyarakat industri maju yang
umumnya terbentuk berdasarkan usia dan
kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam
bentuk pencipta gaya dan bukan hanya
merupakan penentang hegemoni atau jalan
keluar suatu ketegangan sosial. Subkultur
lebih jauh menjadi bagian dari ruang bagi
penganutnya untuk memberikan otonomi
dalam suatu tatanan sosial masyarakat
industri yang semakin kaku dan kabur.
(Audifax dalam Alfahri Addin (2006:122).
Person-in-environment adalah konsep
dasarnya pekerjaan sosial (Hare, 2004 ).
Bahkan ada yang menyatakan bahwa konsep
ini, yang menjadi ciri umum pekerjaan sosial
sebagai sebuah profesi yang berusaha untuk
mengubah dan memperbaiki kehidupan
individu dan masyarakat dan hubungan
antara
mereka,
adalah
apa
yang
membedakan dari pekerjaan sosial dengan
yang lainnya. (gibelman,1999). Jadi, hal ini
tidak mengherankan bahwa banyak sarjana
melihat pendekatan person-in-environment
8
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
sebagai pendekatan pusat (Buchbinder,
Eisikovits, & Karnieli-Miller, 2004; Johnson;
Kondrat, 2002; Minahan, 1981; Schneider &
Netting, 1999).
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
perencanaan sosial dan tindakan (basw,
1996).
Menurut Hutchison (2003) dalam
menggambarkan situasi klien dengan Person
In Environment diperlukan pendekatan
multidimensional.
Pendekatan
multidimensional
merupakan
pemikiran
tentang perilaku manusia sebagai perubahan
konfigurasi orang dan lingkungan sepanjang
waktu.
Pendekatan
Multidimensional
dibangun dengan tiga aspek yaitu Person
Dimensional, Environmental Dimensional dan
Person-in-environment
yang
diwujudkan dalam konsep dual aspirasi dari
profesi untuk memberikan perawatan pribadi
dan keadilan sosial yang lebih lanjut. Lebih
spesifik lagi, profesi pekerjaan sosial yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
individu,
keluarga,
kelompok,
dan
masyarakat untuk menyelesaikan masalah
mereka, menyadari potensi mereka, dan
meningkatkan kehidupan mereka, sementara
mempengaruhi
reformasi
sosial
kemasyarakatan yang dimaksudkan untuk
menghilangkan
hambatan
untuk
kesejahteraan individu, untuk mengurangi
kesenjangan, dan untuk meningkatkan
keadilan sosial (Dominelli, 2004).
Time Dimensional.
Person Dimensional
Pendekatan
person-in-environment
yang juga diwujudkan dalam kesepakatan
umum yang profesional dalam kelompok
pekerja sosial masyarakat yang harus
menggunakan intervensi psikologis individu
baik pada tingkat tingkat sosial. Tahun 2004
lalu disajikan sebagai suatu pendekatan
prinsip pengorganisasian yang menyatukan
suatu kesinambungan keberhasilan campur
tangan, dimulai dengan psikoterapi atau
pekerjaan sosial klinis; melalui terapi
keluarga, kelompok kerja, pemberdayaan,
penanganan perkara, mediasi, aksi sosial,
advokasi, dan kebijakan pembentukan; dan
berakhir dengan pembangunan sosial.
a.
The
Biological Person merupakan
gambaran fisik (jenis kelamin, umur,
berat badan, tinggi badan, kecacatan
(jika ada), penampilan, cara berbicara,
ekspresi tubuh, respon awal saat
berbicara
dengan
orang
lain,
kehangatan, body exspression, dan
status kesehatannya.
b.
The Psychological Person merupakan
gambaran emosi, respon terhadap suatu
masalah, pola pikir klien, dan pikiranpikiran dia kepada situasi yang
dihadapinya.
c.
The Spiritual Person merupakan etika,
keyakinan dan kepercayaan,
hubungannya dengan tuhan.
serta
Environmental Dimensional
The
Physical
Environment
merupakan
lingkungan fisik di sekitar individu, bangunan,
keamanan, kenyamanan, suasana dalam
perusahaan.
Kebutuhan untuk mengintegrasikan
kegiatan ini juga menekankan pada tingkat
yang berbeda dalam kode etik pekerjaan
sosial. Misalnya, british association of social
worker ' (basw) yang menyatakan bahwa:
pekerja sosial mempunyai tanggung jawab
untuk
membantu
individu,
keluarga,
kelompok,
dan
masyarakat
melalui
penyediaan dan operasi dan layanan yang
sesuai dengan memberi kontribusi untuk
Culture merupakan budaya yang kita anut
atau mewarnai kehidupan kita sehari-hari,
terkait dimana kita berada.
Time Dimensional
9
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Time dimensional terdiri dari trends
yang merupakan visi dan misi remaja punk,
cycles berupa perilaku dan pandangan
tentang visi, shift berupa kejadian yang dapat
mengubah arah hidup remaja punk, linear
time berupa rencana serta kejadian yang
telah dialami, social institutions and social
structure berupa organisasi yang diikuti
remaja punk, dyads berupa hubungan
dengan pasangan, families berupa hubungan
dengan keluarga, small groups berupa grup
kecil yang diikuti remaja punk, formal
organizations berupa organisasi formal yang
diikuti, communities berupa hubungan
dengan komunitas dan social movements
berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja
punk.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Punk merupakan subkultur. Subkultur
adalah gejala budaya dalam masyarakat
industri maju yang umumnya terbentuk
berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis
diekspresikan dalam bentuk pencipta gaya
dan bukan hanya merupakan penentang
hegemoni atau jalan keluar suatu ketegangan
sosial. Subkultur lebih jauh menjadi bagian
dari ruang bagi penganutnya untuk
memberikan otonomi dalam suatu tatanan
sosial masyarakat industri yang semakin kaku
dan kabur.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany
Budiarti. 2010. Dasar-Dasar Pekerja
Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran.
Person dimensional remaja punk yang
terdiri dari kondisi biologis yang terdiri dari
gambaran
fisik,
penampilan.
Kondisi
psikologis yang terdiri dari gambaran emosi,
respon terhadap masalah, pola pikir dan cara
menghadapi situasi. Kemudian kondisi
spiritual yang terdiri dari etika, keyakinan,
kepercayaan dan hubungan dengan Tuhan.
Pickles, Joanna Margaret, 2000. Dari
Subkultur ke Budaya Perlawanan :
Aspirasi dan Pemikiran Sebagian Kaum
Punk/Hardcore
dan
Skinhead
di
Yogyakarta dan Bandung. Malang:
Universitas Muhammadiyah.
Kauma, Fuad. 1999. Sensasi Remaja di Masa
Puber,
Dampak
Negatif
dan
Penanggulangannya. Jombang: Kalam
Mulia.
Environmental Dimensional remaja punk
kondisi lingkungan fisik di sekitar individu dan
budaya yang dianut individu.
Marshall, G. 2005. Skinhead NationTruth
about The Skinhead Cult. London:
Dunnon.
Time Dimensional remaja punk yang terdiri
dari trends yang merupakan visi dan misi
remaja punk, cycles berupa perilaku dan
pandangan tentang visi, shift berupa kejadian
yang dapat mengubah arah hidup remaja
punk, linear time berupa rencana serta
kejadian yang telah dialami, social institutions
and social structure berupa organisasi yang
diikuti remaja punk, dyads berupa hubungan
dengan pasangan, families berupa hubungan
dengan keluarga, small groups berupa grup
kecil yang diikuti remaja punk, formal
organizations berupa organisasi formal yang
diikuti, communities berupa hubungan
dengan komunitas dan social movements
berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja
punk.
Nando, 2008. Rebel 35 Band Punk Paling
Berpengaruh. Jakarta : Narasi.
Rohman, Arif. 2009. Fenomena Anak Punk:
Sisi
Lain
Mengenai
Ruwetnya
Permasalahan
Anak
Jalanan
di
Indonesia. Warta Demografi.
Santrock. 2007.
Remaja, Jilid 1 Edisi
Kesebelas. Jakarta: Erlangga
Santrock. 2007.
Remaja, Jilid 2 Edisi
Kesebelas. Jakarta: Erlangga
10
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK
DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI
KOTA BANDUNG
(Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung)
Oleh:
Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan
Email:
([email protected]; [email protected];[email protected])
Sejak diratifikasi Konvensi Hak Anak,
pemerintah mulai menyusun berbagai
strategi untuk membuat kebijakan maupun
program yang betujuan untuk mewujudkan
hak-hak anak. Salah satunya adalah
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan
Pengembangan Kota Layak Anak. Terdapat
40 kabupaten dan 34 kota di Indonesia yang
telah dicanangkan sebagai salah satu
kabupaten/kota menuju layak anak.
Pendahuluan
Anak adalah harapan setiap orang tua
dan keluarga. Dalam cakupan luas, anak
adalah harapan bangsa dan negara bahkan
dunia di masa yang akan datang. Oleh sebab
itu, menjadi hal yang krusial dan komitmen
bersama untuk memenuhi hak-hak anak
sebagai manusia serta mewujudkan dunia
yang layak bagi mereka.
Pada tahun 1989, Perserikatan
Bangsa-Bangsa
mengeluarkan
Konvensi
tentang
Hak-hak
Anak
(KHA)
dan
menetapkan kewajiban bagi pemerintah yang
meratifikasi untuk membuat langkah-langkah
implementasi. Secara garis besar, Konvensi
Hak-hak
Anak
(KHA)
tersebut
mengelompokkan hak-hak anak ke dalam 4
(empat) kelompok hak dasar, yaitu hak untuk
bertahan hidup (survival rights), hak untuk
tumbuh dan berkembang (development
rights), hak atas perlindungan (protection
rights), dan hak untuk berpartisipasi
(participation rights).
Bandung adalah kota yang pertama
kali memiliki inisiatif untuk mengembangkan
Kota Ramah Anak pada tahun 2004. Pada
tahun
2006
Kota
Bandung
telah
mendapatkan dua penghargaan sebagai
pemerintahan yang memiliki komitmen kuat
dalam upaya perlindungan anak sehingga
telah dicanangkan sebagai Kota Layak Anak.
Dalam kebijakan ini, salah satu
prinsipnya adalah partisipasi anak dalam
pembangunan lingkungan yang juga sebagai
salah satu hak dari 31 hak anak. Menurut
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 2,
“Partisipasi Anak adalah keterlibatan anak
dalam proses pengambilan keputusan
tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan dirinya
dan
dilaksanakan atas
kesadaran, pemahaman serta kemauan
bersama sehingga anak dapat menikmati
hasil atau mendapatkan manfaat dari
keputusan tersebut. Anak perlu dilibatkan
dalam pengambilan keputusan, termasuk
dalam pengambilan keputusan rencana
Pemerintah Republik Indonesia telah
meratifikasi konvensi tersebut pada tahun
1990 melalui Keppres Nomor 36 tahun 1990
kemudian mengesahkan Undang-undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.
Dengan
meratifikasi
KHA,
Indonesia
menyepakati bahwa seluruh hak anak adalah
hak asasi manusia seorang anak yang setara
pentingnya dan bahwa Indonesia akan
melakukan segala upaya untuk memastikan
seluruh hak tersebut dihormati, dilindungi,
dan dipenuhi.
11
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Berdasarkan pernyataan tersebut,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sejauh mana pemenuhan hak
partisipasi anak melalui forum anak dalam
implementasi kebijakan kota layak anak.
pembangunan daerah untuk mewujudkan
kota yang layak bagi mereka.
Hal di atas menunjukkan bahwa
partisipasi anak sesungguhnya merupakan
dasar dan batu pijakan yang menjamin
bahwa anak-anak merupakan subyek dari
hak asasi manusia yang sama sehingga tidak
selalu menjadi objek dari suatu proses
pembangunan. Saat ini, pemerintah telah
membentuk dan membina wadah partisipasi
anak yang disebut Forum Anak, yang
didalamnya beranggotakan seluruh anak dan
pengurusnya
terdiri
dari
perwakilan
kelompok-kelompok anak. Forum anak ini
dibentuk dengan tujuan untuk menjembatani
kepentingan anak-anak dan kepentingan
orang dewasa. Forum anak merupakan
media, wadah atau pranata untuk memenuhi
hak partisipasi anak tersebut, untuk secara
khusus menegaskan pasal 10 Undangundang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak.
Sebagai
bentuk
komitmen dalam merespon kesepahaman
atas pentingnya hak partisipasi anak untuk
mewujudkan Dunia yang layak bagi anak,
Pemerintah Kota Bandung juga membentuk
dan membina wadah partisipasi anak (forum
anak) yang bernama Forum Komunikasi Anak
Bandung (FOKAB).
Metode
Metode
yang
digunakan
pada
penelitian ini
adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk
menjelaskan gambaran pemenuhan hak
partisipasi
anak
dalam
implementasi
kebijakan kota layak anak di Kota Bandung,
dalam hal ini peneliti mengambil studi
deskriptif pada Forum Komunikasi Anak Kota
Bandung (FOKAB).
Dengan demikian, laporan penelitian
ini akan berisi penjelasan untuk memahami
sebuah proses dan pemaknaannya secara
lebih dalam melalui interpretasi. Penelitian
deskriptif dipilih karena dalam pemenuhan
hak partisipasi anak terkait perencanaan
pembangunan kota layak anak terdapat
tahapan dan mekanisme pelaksanaan melalui
forum anak hingga menuju ke musyawarah
perencanaan pembangunan daerah.
Akan tetapi, hal ini agaknya juga
masih sulit diimplementasikan. Anak sampai
saat ini masih berada dilatarbelakang saja
dalam proses pembangunan. Kesejahteraan
anak
diasumsikan
akan
terjadi
bila
pembangunan berjalan dengan baik. Jadi
anak hanya ada dalam anggapan dan tidak
pernah dikedepankan secara sadar dan
sengaja sebagai wawasan pembangunan dan
bukan subyek pembangunan. Mereka hanya
menjadi indikator pembangunan, seperti
angka kematian bayi, angka kematian balita
dan anak,
derajat partisipasi dalam
pendidikan, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini peneliti berperan
sebagai pengamat partisipan dan kehadiran
peneliti di lapangan diketahui oleh subjek
penelitian atau disebut observasi partisipatif.
Observasi partisipatif, yaitu pengumpulan
data melalui observasi terhadap objek
pengamatan
dengan
langsung
hidup
bersama, merasakan serta berada dalam
aktivitas kehidupan objek pengamatan.
(Burhan Bungin, 2011: 124). Di samping itu,
peneliti
menggunakan
instrumen
pengumpulan data dan menyimpulkannya.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan
dengan menggunakan teknik wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi.
Konsep anak sendiri juga masih bias.
Anak dipandang sebagai orang dewasa yang
belum ‘jadi’, atau tengah dalam proses
‘menjadi’,
sehingga
tidak
perlu
diperhitungkan. Padahal anak adalah warga
negara yang penuh akal, yang mampu
membantu pembangunan masa depan lebih
baik bagi semua orang.
Untuk menjaga keabsahan data
peneliti melakukan ketekunan pengamatan,
konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi
dengan teman. Analisis data penelitian ini
dilakukan
secara
kualitatif.
Bogdan
sebagaimana dikutip Sugiyono (2007:244)
menyatakan bahwa analisis data kualitatif
adalah proses mencari dan menyusun secara
12
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
penyelenggaraan pembangunan Kota Layak
Anak.
sistematis data yang diperoleh dari hasil
pengamatan sehingga mudah dipahami dan
temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain.
Akan tetapi, pada pelaksanaannya
masih banyak orang dewasa pada tataran
pemerintah Kota Bandung, khususnya yang
membawahi bidang perlindungan anak,
belum paham mengenai partisipasi anak dan
peran
forum
anak
(FOKAB)
dalam
pembangunan kota layak anak di Kota
Bandung. Bahkan diantaranya masih bekerja
dengan etika yang kurang ramah terhadap
anak sehingga saat ini anak belum banyak
terlibat dalam pengambilan keputusan
perencanaan pembangunan Kota Bandung.
FOKAB masih menemui kendala sulitnya
mengakomodir suara-suara anak di Bandung.
Aspirasi anak belum menjadi prioritas dalam
pembangunan
Kota
Bandung
karena
legalisasi FOKAB melalui Surat Keputusan
(SK) Walikota hingga saat ini pun belum
terealisasi. Partisipasi anak di Kota Bandung
masih dalam tahapan untuk pemberian
informasi dalam musyawarah perencanaan
pembangunan, bahkan ada juga indikasi
manipulasi untuk memenuhi persyaratan atau
indikator keberhasilan dari kebijakan Kota
Layak Anak.
Aktivitas analisis data penelitian ini
meliputi identifikasi/reduksi data, penyajian
data, dan penarikan simpulan. Kegiatan
reduksi data dilakukan dengan merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada
hal-hal
yang
penting
untuk
memudahkan
menganalisis
kualitas
partisipasi anak di Kota Bandung dan
mengidentifikasi kelengkapan data. Tahap
selanjutnya adalah penyajian data. Data yang
disajikan dari penelitian ini adalah data hasil
dari lapangan yang telah direduksi dan
disajikan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori, dan
sejenisnya dengan menggunakan teks yang
bersifat naratif sehingga temuannya dapat
dengan mudah dipahami orang lain. Tahap
terakhir analisis ini adalah penarikan
simpulan. Simpulan penelitian ini diambil dari
intisari-intisari pembahasan terhadap hasil
penelitian sehingga diperoleh simpulan yang
kredibel.
Hasil dan Pembahasan
Selain itu, belum banyak fasilitator
anak yang paham dan terlatih mengenai
Konvensi Hak Anak dan peraturan lainnya
yang terkait anak dalam memfasilitasi FOKAB
menjalankan perannya sebagai perwakilan
anak di Kota Bandung sehingga usulanusulan pembangunan maupun program dari
FOKAB belum dapat disuarakan dengan baik
ke pemerintahan Kota Bandung. Meskipun
anak memiliki kemampuan dan daya
kreativitas yang tidak terbatas, anak tetap
butuh pendampingan dari orang dewasa
untuk memastikan hak-haknya diperoleh dan
dipenuhi.
Kota Bandung merupakan salah satu
kota yang dicanangkan sebagai salah satu
Kota Layak Anak di Indonesia. Pemerintah
Kota
Bandung
mulai
mempersiapkan
pembangunan daerah yang layak bagi anak,
bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk
di masa yang akan datang. Tentunya hal ini
perlu melihat pertimbangan-pertimbangan
dari anak itu sendiri sebagai subjek dari
pembangunan. Oleh karena itu, dibentuk
sebuah wadah partisipasi anak di Kota
Bandung, yakni Forum Komunikasi Anak
Bandung (FOKAB).
Anak-anak
di
Kota
Bandung
(perwakilan anak dari FOKAB) dilibatkan
dalam pengambilan keputusan perencanaan
pembangunan
Kota
Bandung
melalui
Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) tingkat kota. Perwakilan anak
yang mengikuti musrenbang akan membawa
rumusan suara anak-anak di Kota Bandung.
Selain itu, Kota Bandung juga telah
menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk
Simpulan
Partisipasi anak sejatinya adalah
melibatkan
seluruh
unsur
masyarakat
termasuk anak untuk berperan aktif. Hal ini
dimaksudkan
supaya
anak
dapat
bertanggung
jawab dan menikmati hasil
pembangunan tersebut. Hak partsipasi bagi
anak dalam kaitannya pembangunan Kota
Layak Anak perlu disadari oleh semua pihak.
13
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Pemenuhan hak tersebut harus sesuai
dengan pedoman yang telah ada dan
memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Undang-undang Nomor 23 Tahun
Tentang Perlindungan Anak
Forum Komunikasi Anak Bandung
(FOKAB) dibentuk sebagai salah satu wadah
partisipasi anak di Kota Bandung. Forum ini
kemudian haruslah dibina dan difasilitasi
supaya peran dan fungsinya dapat berjalan
dengan baik. Peran pendamping dan
fasilitator cukup strategis untuk mendorong
partisipasi aktif dari anak-anak serta
mensosialisasikan ke seluruh pemangku
kepentingan di Kota Bandung untuk
melibatkan
anak
dalam
pembuatan
perencanaan program maupun kebijakan
terkait pembangunan Kota Bandung menuju
kota yang layak anak. Selain itu, perlu
adanya legalitas atau payung hukum yang
bagi FOKAB supaya setiap Satuan Kerja
Perangkat Dinas (SKPD) di Kota Bandung
concern terhadap isu-isu anak dan
mempertimbangkan pendapat anak dalam
perencanaan
program
maupun
pembangunan.
Daftar Pustaka
Hart, Roger. 1992. Children’s Participation:
From Tokenism to Citizenship.
UNICEF: Florence
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Kencana
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 03 Tahun
2011 Tentang Kebijakan Partisipasi
Anak dalam Pembangunan.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Indikator Pelaksanaan
Kabupaten/Kota Layak Anak.
Panduan Partisipasi Anak dalam Perencanaan
Pembangunan,
Kementerian
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak, 2014.
Pedoman Pengembangan Forum Anak
Nasional, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak,
2012.
14
2002
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK
DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES
INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT
Oleh:
Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo
Email:
( [email protected], [email protected], [email protected])
ABSTRAK
Anak didik lembaga pemasyarakatan merupakan anak berhadapan dengan hukum yang harus
menjalani masa tahanan dalam sebuah proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Problematika yang dihadapi saat ini adalah banyaknya kasus kenakalan anak dengan pelaku
adalah mantan narapidana anak yang bersifat residivis. Residivis anak adalah mantan narapidana
anak yang melakukan kembali tindak kejahatan serupa dalam masyarakat atau disebut sebagai
penjahat kambuhan. Penyebab dari adanya residivis anak adalah rendahnya kesiapan anak didik
lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat oleh karena
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif dan tidak terintegrasi dengan
kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan anak didik lembaga
pemasyarakatan, baik secara fisik, mental, maupun sosial dalam menghadapi proses integrasi ke
dalam masyarakat. Subyek penelitian adalah anak didik lembaga pemasyarakatan yang sedang
menjalani 1/3 sisa masa tahanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian atas dasar studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat dari
rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke
dalam masyarakat adalah kasus residivis anak. Kesiapan anak dapat ditinjau berdasarkan jenis
pembinaan fisik, mental, dan sosial yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan disebabkan oleh pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif. Adapun kebutuhan anak didik lembaga
pemasyarakatan menjelang masa kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya adalah
kebutuhan sosialisasi yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kembali pemenuhan hak
dan kebutuhan sebagai seorang warga negara.
ABSTRACT
The punishment that a child would get if they do something against the rule is that they will be
labelled as children prisoners or children who are under penitentiary control. The existing problem
is the huge number of deliquency cases with the recidivist children prisoners as the actors.
Recidivist case or an act of former children prisoners who continuously commit crimes that make
them go back to the penitentiary is one of impacts of their powerless selves to face the society’s
rejection. It is caused by the inefectivity and unintegrated of the skill development programme
held by the Children Penitentiary that unable them to be confidently facing the society life. This
study aims to determine the readiness of children prisoners both physically, mentally, and socially
to dealing with process of society integration. The readiness of children prisoners is related to
physical, mental, and social preparation during in Children Penitentiary. The subject of this
research is Anak Didik Lapas or children prisoners who have been doing 1/3 the remaining period
of detention. The method used in this research is the study of literature. The results shows that
the effect of less readiness of children prisoners in facing of the process of society integration is
the case of recidivist child. The readiness of the child can be evaluated based on physical, mental,
and social training programmes that held by Children Penintetiary. The low readiness of children
prisoners is caused by coaching in Children Penitentiary that are less effective. The Children
Prisoners’ need to facing the society integration after they released from Children Penitentiary is
15
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
socialization need as an effort to make them as a good citizen in dealing with their needs and
rights among the society.
ketika mantan narapidana anak belum
memiliki kesiapan penuh dalam menghadapi
proses integrasi ke dalam masyarakat. Komisi
Nasional untuk Anak (2011) melaporkan
bahwa angka pelaporan anak berhadapan
dengan hukum sebanyak 52% didominasi
oleh kasus pencurian, kemudian diikuti
dengan kasus lainnya seperti narkoba,
perlindungan terhadap anak, pelanggaran
tertib berlalu lintas, perampokan, dan
pembunuhan. Akan tetapi, berdasarkan data
dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan
Anak Kelas III Bandung per Maret 2015,
kasus narapidana anak pada kasus pencurian
sebanyak 42,8% adalah pelaku residivis.
Fenomena
ini
membuktikan
bahwa
kekhawatiran masyarakat akan residivis
narapidana anak (Marlina, 2009) adalah
benar adanya. Kembalinya seorang mantan
narapidana
anak
ke
Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau yang dapat
disebut sebagai residivis merupakan salah
satu dampak dari adanya ketidaksiapan
dalam
diri
mantan narapidana anak
sehingga mengulangi tindak kejahatan
serupa sebagai penjahat kambuhan di
masyarakat.
PENDAHULUAN
Eksistensi generasi muda di Indonesia
berpengaruh besar tehadap keberlangsungan
pembangunan nasional yang berlandaskan
kepada kemandirian dan kepribadian bangsa.
Generasi muda adalah bagian dari harapan
pemerintah dalam
menjalankan upaya
restorasi
sosial
sebagaimana
yang
dikemukakan dalam salah satu misi dari
kepemimpinan Presiden Republik Indonesia
saat ini, Jokowi Dodo, untuk memperbaiki
kembali berbagai penyimpangan dari norma
yang diharapkan oleh masyarakat. Namun,
pada kenyataannya Indonesia memiliki
jumlah kasus kenakalan remaja yang cukup
tinggi dengan jumlah 2.716 narapidana anak
(Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015).
Menurut Badan Penanggulangan Kenakalan
Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika
Sumatera (Gultom, 2008), kenakalan remaja
merupakan salah satu bentuk kelainan
tingkah laku, perbuatan, ataupun tindakan
remaja yang bersifat asosial, bertentangan
dengan agama, dan hukum yang berlaku
dalam masyarakat setempat. Pelanggaran
tersebut akan menyebabkan anak nakal
menyandang status sebagai Narapidana Anak
atau
menjadi
anak
didik
lembaga
pemasyarakatan (Andikpas). Berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, pembinaan bagi narapidana
anak dilakukan sesuai dengan konsep
pemasyarakatan dengan tujuan untuk
memberikan bimbingan kepada anak didik
lembaga pemasyarakatan agar menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana di kemudian hari
dengan harapan anak dapat diterima kembali
di lingkungan masyarakat serta dapat
menjalankan status dan perannya sebagai
warga negara yang bertanggungjawab dan
aktif dalam pembangunan.
Salah satu penyebab rendahnya kesiapan
mantan narapidana anak untuk bersosialisasi
kembali adalah proses pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak yang belum
efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan
oleh
Artyawan
(2013),
penyelenggaraan
program
pendidikan
keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan
hanya memberikan kontribusi terhadap
kesiapan narapidana kembali ke masyarakat
hanya sebesar 44,7%. Salah satu penyebab
dari pembinaan yang kurang efektif adalah
tidak terintegrasinya proses pembinaan
dengan
kehidupan
bermasyarakat.
Pembinaan fisik, mental, dan sosial di
Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak cukup
untuk memberikan kepercayaan diri atas
kesiapan anak didik lapas menuju proses
integrasi ke dalam masyarakat.
Namun, problematika yang dihadapi saat ini
adalah banyaknya kasus kenakalan remaja
dengan pelaku adalah mantan narapidana
anak yang bersifat residivis. Residivis terjadi
16
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
anak.
Anak
yang
beresiko
memiliki
kemungkinan
berperilaku
menyimpang
berada
dalam
keadaan
yang
sulit.
Berdasarkan laporan dari Jurnal Harian
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III
Bandung, mayoritas anak didik lembaga
pemasyarakatan berusia 16-18 tahun atau
berada pada usia remaja.
Menurut Gultom (2008), dalam menangani
permasalahan mantan narapidana anak,
diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan
kesadaran publik bahwa perhatian terhadap
anak dan mempersiapkan anak kembali ke
masyarakat adalah satu bentuk pelayanan
sosial yang sangat penting. Oleh karena itu,
perlu diambil langkah-langkah tertentu untuk
membuka hubungan antara anak dengan
masyarakat.
Sosialisasi
bagi
mantan
narapidana anak dapat dikatakan sebagai
sebuah proses adaptasi diri kembali dalam
kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan
proses sosialisasi seorang remaja dalam
upaya
pemenuhan
kebutuhan
juga
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial,
terlebih apabila lingkungan keluarga dan
masyarakat sudah tidak bisa menerima
keberadaan
dirinya
kembali
seperti
sebelumnya.
Berdasarkan
penjelasan
tersebut, penulis terdorong untuk mengkaji
lebih jauh mengenai kesiapan anak didik
lapas dalam menghadapi proses integrasi ke
dalam masyarakat salah satu penyebab dari
kasus residivis anak di masyarakat.
Menurut Gultom (2008), kenakalan remaja
dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah
laku, perbuatan ataupun tindakan remaja
yang bersifat asosial, bertentangan dengan
agama, dan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal
ini, kenakalan remaja akan terkait dengan
bentuk perilaku menyimpang dan lingkungan
sosial yang membentuknya.
Melalui penelaahan lebih lanjut, maka
kenakalan remaja merupakan salah satu
akibat dari adanya ketimpangan dalam
lingkungan sosial yang membentuknya.
Loeber (2013) dalam karyanya yang berjudul
From
Juvenile
Delinquency
to
Young
menyampaikan bahwa salah satu proses yang
membentuk anak atau remaja untuk
melakukan
perbuatan
menyimpang
diantaranya faktor pendorong dan resiko
sosial yang meliputi lingkungan keluarga,
sekolah,
dan
teman
sebaya.
Untuk
menangani hal ini, Loeber menyampaikan
bahwa diperlukan suatu upaya assesment
lebih lanjut mengenai kebutuhan dan resiko
remaja serta rencana intervensi dalam
memperbaiki
remaja
dengan
perilaku
menyimpang.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini adalah metode penelitian
deskriptif. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah metode studi
pustaka yang terdiri atas pencarian data dan
informasi
melalui
dokumen-dokumen
pendukung berupa data dari buku, jurnal
ilmiah, dan dokumen elektronik dari internet.
Adapun tahapan dalam penulisan diantaranya
perumusan masalah untuk kemudian menjadi
gagasan, pengumpulan data dan fakta
terkait, verifikasi data dan fakta, analisa
konseptual
dengan
argumentasi
yang
rasional, perumusan hasil gagasan dan
kesimpulan
serta
rekomendasi
terkait
penanganan masalah.
Anak dengan perilaku menyimpang yang
melanggar hukum akan dikenai sanksi
dengan menyandang status sebagai Anak
Didik Lembaga Pemasyarakatan (Andikpas).
Pembinaan yang diselenggarakan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak bertujuan untuk
memberikan
bimbingan
pelatihan,
kepribadian, dan keagamaan dengan tujuan
agar anak didik lapas dapat menyadari
kesalahannya dan tidak mengulangi lagi
setelah kembali ke masyarakat. Dalam hal ini,
pemikiran Loeber selaras dengan Seiter,
Kadela (2003) dalam karyanya yang berjudul
TELAAH PUSTAKA
Kenakalan Remaja
Kenakalan anak atau Juvenile Delinquency
dapat diartikan sebagai bagian dari bentuk
penyimpangan perilaku terhadap hukum atas
norma dan nilai yang berlaku di masyarakat
dengan status dan peran sosial pelaku adalah
Prisoner Reentry: What Works, What Does
Not, and What Is Promising. Seiter, Kadela
(2003) mengemukakan bahwa ada dunia
yang akan dimasuki oleh mantan narapidana.
17
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
masyarakat dalam bentuk stabilitas dukungan
dan pelayanan sosial yang khusus diberikan
kepadanya dalam bentuk program ataupun
aktivitas yang memungkinkan mantan
narapidana tidak menjadi residivis. Hal ini
selaras dengan fokus dari pembinaan di
lembaga
pemasyarakatan
anak
yang
didasarkan atas konsep pemasyarakatan
dengan tujuan mempersiapkan anak didik
lembaga pemasyarakatan agar diterima
kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Walaupun pembinaan yang diberikan di
Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk
memberikan kesiapan fisik, mental, dan sosial
kepada anak didik lembaga pemasyarakatan,
namun hal ini terpisah dari ‘dunia’ yang akan
dihadapinya secara nyata setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dukungan
keluarga, sumber daya dalam kehidupan
bermasyarakat, dan kesediaan dukungan
moral dari masyarakat menjadi hal yang
berbeda
dan
mempengaruhi
proses
reintegrasi mantan narapidana anak di
tengah kehidupan bermasyarakat. Pemikiran
ini sangat relevan dengan salah satu laporan
ilmiah dari The Pew Charitable Trusts tentang
Residivis anak adalah mantan narapidana
anak yang selepas keluar dari lembaga
pemasyarakatan melakukan tindak kejahatan
kembali serupa atau disebut sebagai penjahat
kambuhan. Berdasarkan data primer yang
diperoleh dari Jurnal Harian Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung,
diketahui bahwa 42,8% penghuni Lembaga
Pemasyarakatan Anak per Bulan Maret 2015
pada salah satu kasus, yaitu kasus pencurian,
adalah narapidana anak residivis. Hal ini
membuktikan
bahwa
kekhawatiran
masyarakat akan penilaian atau stigmatisasi
terhadap anak residivis (Marlina, 2009)
adalah benar adanya.
The Rise in Prison Inmates Released Without
Supervision (2014), bahwa walaupun ada
pembinaan
dan
pengawasan
setelah
narapidana
keluar
dari
lembaga
pemasyarakatan, namun belum menjamin
efektivitas pengurangan jumlah residivis.
Residivis Anak
Indonesia
memiliki
jumlah
kasus
kenakalan remaja yang cukup tinggi dengan
jumlah narapidana anak sebanyak 2.716
anak. Jawa Barat merupakan provinsi kedua
tertinggi setelah Sumatera Utara yang
memiliki jumlah anak pidana terbanyak di
Anak
Pidana
atau
Anak
Indonesia.
Berhadapan dengan Hukum (ABH) ditangani
dalam sebuah pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan
selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan
Anak.
Berdasarkan kepada fenomena tersebut,
maka pandangan atau penolakan yang
berupa stigmatisasi dari masyarakat terhadap
mantan narapidana anak masih berlaku.
Ketidakberdayaan mantan narapidana anak
untuk kembali ke lingkungan sosialnya
sebagaimana ia diterima dahulu menjadi
salah satu hal yang dapat menjadi
stressor
baginya
untuk
kemudian
dilampiaskan kembali dalam bentuk perilaku
menyimpang. Aksesibilitas yang minim
terhadap pemenuhan hak sebagai seorang
warga negara merupakan salah satu dampak
dari ketidakberdayaan masyarakat dalam
memberikan kepercayaan kembali kepada
mantan narapidana anak untuk menjalankan
perannya sebagai seorang remaja dan warga
negara.
Kembalinya seorang mantan narapidana
anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau
yang dapat disebut sebagai residivis
merupakan salah satu dampak dari adanya
ketidakberdayaan
dalam
diri
seorang
mantan narapidana anak untuk bersosialisasi
kembali
dalam
masyarakat
sebagai
seorang remaja yang bertanggungjawab di
tengah pandangan negatif masyarakat
terhadap dirinya. Menurut Seiter, Kadela
dalam sebuah penelitian yang berjudul
Pembinaan bagi Anak Didik Lembaga
Pemasyarakatan
Pembinaan bagi anak didik lembaga
pemasyarakatan pada dasarnya dijalankan
atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan
juga difokuskan pada tiga hal utama, yaitu
pembinaan fisik, mental, dan sosial. Ada
Prisoner Reentry: What Works, What Does
Not, and What Is Promising (2003),
mengemukakan bahwa hal utama yang perlu
diperhatikan
dari
keberadaan
mantan
narapidana adalah adanya pengawasan dari
18
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kesalahan,
memperbaiki
sikap,
tidak
mengulangi tindak kejahatan lagi sehingga
diharapkan dapat diterima kembali dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Namun,
Alexander (2013) mengemukakan bahwa
mantan narapidana akan menghadapi
kemungkinan kurang berhasilnya untuk
masuk
kembali
dalam
kehidupan
bermasyarakat oleh karena aksesibilitas yang
rendah dalam bidang pendidikan, pelatihan,
dan dukungan moral dari keberadaan
keluarga dan kerabat.
Atas dasar penelaahan lebih lanjut,
keadaan mantan narapidana saat ini belum
mendapatkan penerimaan dan dukungan
sosial penuh dari masyarakat terhadap
keberadaan
dirinya.
Anderson
(1990)
mengemukakan bahwa kondisi mantan
narapidana dalam kehidupan bermasyarakat
akan terhambat oleh karena disorganisasi
dalam keluarga dan masyarakat serta
ketidaktersediaan
sumber
daya
yang
mendukung terhadap pemenuhan kebutuhan
dan hak bagi dirinya.
empat komponen penting dalam prinsip
pembinaan narapidana, diantaranya:
1. Diri Sendiri
Pembinaan
yang
ada
di
Lembaga
Pemasyarakatan Anak harus dilaksanakan
atas dasar kemauan dari anak didik lembaga
pemasyarakatan untuk melakukan suatu
perubahan terhadap dirinya ke arah yang
lebih positif. Beberapa hal yang perlu dimiliki
oleh seseorang jika ingin melakukan
perubahan
diantaranya:
kemauan,
kepercayaan
diri,
berani
mengambil
keputusan, berani menanggung resiko, dan
termotivasi untuk merubah dirinya.
Hal tersebut adalah penting mengingat
anak didik lembaga pemasyarakatan sedang
menjalani masa pembinaan dengan konsep
pemasyarakatan, sehingga upaya untuk
mengenal diri sendiri sebagai langkah awal
perubahan dapat terlaksana atas dasar
pengambilan keputusan dirinya sendiri.
2. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan primer bagi
anak
didik
lembaga
pemasyarakatan.
Hubungan yang harmonis dengan keluarga
diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan
remaja (Gultom, 2008). Sehingga, dalam hal
ini keluarga memiliki peran penting bagi
proses perubahan diri bagi anak didik
lembaga pemasyarakatan.
Hubungan yang harmonis dapat terjaga
dengan adanya kunjungan keluarga. Kualitas
dan kuantitas kunjungan keluarga bagi
pembinaan sosial anak didik lembaga
pemasyarakatan seyogyanya diperhatikan
oleh lembaga pemasyarakatan anak dalam
rangka meningkatkan kesiapan anak didik
lembaga pemasyarakatan untuk kembali ke
kehidupan bermasyarakat atas dasar asuhan
dari keluarga sebagai lingkungan primer.
Kunjungan keluarga juga merupakan salah
satu upaya mencegah adanya kasus residivis
anak atau kembalinya anak ke lembaga
pemasyarakatan karena melakukan tindak
kejahatan serupa kembali oleh karena adanya
penolakan dari lingkungan sosial dirinya,
salah satunya keluarga.
Wilkinson (2001) mengemukakan salah
satu contoh program reintegrasi di Ohio pada
tahun 1985. Hal yang kemudian difokuskan
dalam upaya kuratif dan preventif bagi
penanganan kenakalan remaja diantaranya
program lanjutan dari hasil pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan yang berupa
pembekalan pendidikan formal dan nonformal
berupa keahlian atau keterampilan yang
dapat digunakan sebagai bekal wirausaha
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal
ini, anak didik lembaga pemasyarakatan yang
memiliki kesiapan yang baik diharapkan
dapat mengetahui norma dan etika dalam
kehidupan bermasyarakat serta memiliki
perencanaan hidup sehingga ketika keluar
dari lembaga pemasyarakatan anak, anak
didik
lembaga
pemasyarakatan
dapat
termotivasi kembali untuk beraktivitas
sebagai warga negara yang baik dan
bertanggungjawab.
4. Petugas
Petugas lembaga pemasyarakatan anak
memiliki peran yang penting dalam upaya
membina
anak
didik
lembaga
pemasyarakatan sesuai dengan tujuan dari
setiap tahap pembinaan. Petugas diharapkan
dapat mengetahui perkembangan setiap anak
didik lembaga pemasyarakatan untuk setiap
3. Masyarakat
Tujuan dari pembinaan yang didasarkan atas
konsep
pemasyarakatan adalah untuk
memberikan bimbingan kepada anak didik
lembaga pemasyarakatan agar menyadari
19
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
pandangan dirinya terhadap lingkungan fisik
dan sosial di sekitarnya. Mantan narapidana
anak sebagai seorang remaja memiliki hak
akan pemenuhan kebutuhan di tengah
kehidupan bermasyarakat.
bagian tahap pembinaan berdasarkan hasil
peninjauan dari catatan di kartu pembinaan
oleh wali pemasyarakatan anak.
Hasil dari pencatataan pada kartu
pembinaan dapat menjadi dasar dari
perencanaan
pembinaan
pada
tahap
selanjutnya sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan anak yang ada. Seiter, Kadela
(2003) mengemukakan bahwa salah satu hal
yang perlu diperhatikan adalah program
reintegrasi yang memungkinkan bagi mantan
narapidana anak untuk kembali ke kehidupan
bermasyarakat atas dasar pengalaman
dirinya dari hasil pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Pembinaan yang ada
di Lembaga Pemasyarakatan Anak difokuskan
menjadi tiga fungsi pembinaan sebagai
bentuk pembinaan mental, fisik, dan sosial
(Gultom, 2008).
Dalam sebuah penelitian di United States
Department of Labor dengan karya yang
berjudul Center for Faith-Based and
Community Initiatives, dikemukakan bahwa
salah satu hal yang menghambat kesuksesan
mantan narapidana dalam menghadapi
proses integrasi ke dalam masyarakat adalah
ketidakpercayaan
masyarakat
terhadap
mantan narapidana akan status yang
disandangnya sehingga diperlukan suatu
program reintegrasi bagi mantan narapidana
dalam melakukan proses sosialisasi kembali
dengan
baik
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Hal ini akan terkait dengan
upaya pemenuhan kebutuhan dan hak bagi
mantan narapidana anak untuk kembali
dalam kehidupan bermasyarakat. Kesiapan
anak didik lapas dalam menghadapi proses
integrasi ke dalam masyarakat akan terkait
dengan program asimilasi yang diadakan
sebagai upaya reintegrasi kembali anak didik
lapas dalam kehidupan bermasyarakat.
Program reintegrasi bagi anak didik lapas
akan didapatkan selama menjalani proses
pembinaan pada 2/3-1/3 sisa masa tahanan.
Atas dasar penelaahan lebih lanjut, maka
Kvawarceus (1964) dalam karyanya di
Unesco yang berjudul Juvenile Delinquency A
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesiapan Fisik, Mental, dan Sosial Anak
Didik Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kesiapan adalah suatu keadaan bersiap-siap
untuk mempersiapkan sesuatu. Hal ini juga
didukung oleh Dalyono (2005), bahwa
kesiapan adalah kemampuan yang cukup
baik fisik dan mental untuk melakukan suatu
kegiatan. Namun, bukan hanya kesiapan
mental,
Oemar
Hamalik
(2008)
mengemukakan
bahwa
kesiapan
juga
merupakan tingkatan atau keadaan yang
harus dicapai dalam proses perkembangan
perorangan pada tingkatan pertumbuhan
mental, fisik, sosial dan emosional.
Problem
For
the
Modern
World,
mengemukakan
bahwa
seharusnya
penanganan mantan narapidana anak
difokuskan pada reintegrasi dirinya dalam
kehidupan bermasyarakat dan pengakuan
bahwa kasus kenakalan remaja merupakan
bagian tanggungjawab dari masyarakat akan
usaha pencegahan dan pengawasan terhadap
terjadinya kejahatan.
Berdasarkan kepada definisi di atas, maka
peneliti menyimpulkan bahwa kesiapan dapat
diartikan sebagai suatu keadaan atau
kemampuan yang baik, baik secara fisik,
mental, maupun sosial untuk melakukan
suatu kegiatan atau kerja. Kesiapan seorang
anak didik lapas juga akan dipengaruhi oleh
pengalaman menjalani proses pembinaan
selama
masa
tahanan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Menurut Gultom
(2008), pembinaan yang dilakukan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak difokuskan
pada pembinaan fisik, mental, dan sosial.
Berbagai pengalaman diri akan membentuk
Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik bagi anak didik lapas dapat
diartikan sebagai suatu keadaan siap untuk
melakukan aktivitas dengan kesehatan fisik
dalam keadaan baik, dalam arti kondisi fisik
yang sehat dan secara klinis juga tidak
dinyatakan mengalami suatu penyakit atau
gangguan fungsi tubuh. Anak didik lapas
yang memiliki kesiapan fisik dengan kondisi
jasmani yang baik akan menjadi salah satu
20
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
faktor pendukung keberhasilan dirinya untuk
berintegrasi kembali dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan bila anak
didik lapas mengemukakan kesiapan fisik
dirinya dalam kondisi yang baik, maka anak
didik lapas tersebut dapat menggunakan
seluruh kemampuan dan fungsi tubuhnya
untuk beraktivitas kembali secara optimal.
ISSN:2339 -0042
kebutuhan dirinya sebagai seorang remaja.
Terlebih bila hal ini tidak didukung dengan
kemampuan dirinya untuk mengaplikasikan
apa yang telah dipelajarinya selama
memperoleh proses pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak.
Berdasarkan hasil penelitian Artyawan
(2013), penyelenggaraan program pendidikan
keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan
memberikan kontribusi terhadap kesiapan
narapidana kembali ke masyarakat hanya
sebesar 44,7%. Pembinaan fisik, sosial, dan
mental di Lembaga Pemasyarakatan Anak
belum berfungsi secara optimal dalam
memberikan kepercayaan diri bagi mantan
narapidana anak dalam menghadapi proses
integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa mantan narapidana
anak membutuhkan binaan kembali setelah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak
sebagai
salah
satu
upaya
untuk
mengembalikan
kepercayaan
dirinya
bersosialisasi kembali dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kesiapan Mental
Kesiapan mental anak didik lapas akan terkait
dengan pembinaan mental yang dilakukan
oleh
Lembaga
Pemasyarakatan
Anak.
Kesiapan mental bagi mantan narapidana
anak akan terkait dengan keadaan psikososial
diri anak akan pemikiran dan perasaan
dirinya dalam upaya untuk mengontrol
kembali tingkah lakunya secara tepat. Anak
didik lapas diharapkan sudah menyadari
kesalahan dan bisa menerima serta
menangani rasa frustasi dengan wajar,
mengendalikan emosi dirinya melalui ibadah
(agama), memiliki rasa kepercayaan diri dan
semangat untuk kembali ke kehidupan
bermasyarakat, dan dapat menangani rasa
emas dan gelisah.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan
kiranya bagi mantan narapidana anak adalah
keberlanjutan pendidikan formal. Kesetaraan
dalam mendapatkan hak pendidikan bagi
setiap anak di dunia menjadi fokus perhatian
pada Konferensi UNESCO bulan November
2014 lalu. Menurut Shimomura, Minister of
Kesiapan Sosial
Kesiapan sosial bagi anak didik lapas dapat
diartikan sebagai suatu kondisi dimana anak
didik lapas sudah siap melakukan aktivitas
kembali dalam kehidupan bermasyarakat
dengan mengetahui norma-norma agama,
kesusilaan, etika pergaulan dan pertemuan
dengan
keluarga
atau
kerabat,
dan
pengetahuan akan hidup bermasyarakat yang
baik. Hal ini akan dipengaruhi oleh program
pembinaan yang dijalankan di Lembaga
Pemasyarakatan
Anak
terkait
dengan
pembinaan sosial. Pembinaan sosial akan
terkait pula dengan adanya kesempatan bagi
anak didik lapas untuk mengadakan
hubungan komunikasi dengan keluarga
melalui kunjungan atau media surat serta
penerimaan
akan
pelatihan
maupun
penyuluhan
mengenai
bimbingan
kemasyarakatan.
Analisis Kebutuhan Sosialisasi
Mantan Narapidana Anak
HALAMAN: 1 -
Education, Culture, Sports, Science, and
Technology Japan dalam penyampaiannya di
UNESCO WORLD CONFERENCE ON Education
for
Sustainable
Development
(2014),
mengemukakan
bahwa
pendidikan
merupakan
rangkaian
aktivitas
untuk
membangun masa depan dengan tujuan
pembangunan
berkelanjutan
dalam
meningkatkan kesejahteraan individu dan
masyarakat atas dasar nilai dan norma yang
berlaku. Mantan narapidana anak merupakan
salah satu bagian masyarakat yang
terhambat
aksesibilitas
hak
dan
kebutuhannya. Bila meninjau akan advokasi
kesetaraan hak akan pendidikan, maka
binaan akan pendidikan formal dan
nonformal dapat menjadi salah satu bentuk
upaya preventif dalam menangani mantan
narapidana anak dari kemungkinan terjadinya
kasus residivis.
Bagi
Menyandang
status
sebagai
mantan
narapidana anak memberikan dampak
terhadap aksesibilitas pemenuhan hak dan
21
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
akan terkait dengan proses pembinaan yang
dijalankan dalam program asimilasi.
Aksesibilitas
yang
minim
terhadap
pemenuhan hak dan kebutuhan bagi mantan
narapidana anak sebagai seorang warga
negara merupakan salah satu dampak dari
ketidakberdayaan
masyarakat
dalam
memberikan kepercayaan kembali kepada
mantan narapidana anak untuk menjalankan
perannya sebagai seorang remaja dan warga
negara. Begitupula dengan terbatasnya
frekuensi waktu dan tempat kunjungan bagi
anak didik lapas dan keluarga di Lembaga
Pemasyarakatan Anak memberikan dampak
negatif terhadap kualitas hubungan dirinya
dan keluarga. Menurut Seiter, Kadela dalam
sebuah penelitian yang berjudul Prisoner
Kebutuhan
anak
didik
lembaga
pemasyarakatan
dalam
kehidupan
bermasyarakat diantaranya adalah kebutuhan
sosialisasi yang memungkinkan dirinya untuk
mendapatkan kembali pemenuhan hak dan
kebutuhan sebagai seorang warga negara.
Penanganan kebutuhan sosialisasi bagi anak
didik
lembaga
pemasyarakatan
dapat
dimediasi dengan peninjauan ulang program
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak melalui revitalisasi kebijakan program
sehingga fokus pada reintegrasi anak didik
lapas selepas menjalani masa pembebasan
maupun
melalui
pengadaan
lembaga
pemenuhan kebutuhan sosialisasi bagi
mantan narapidana anak dengan fokus pada
reintegrasi
anak
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Reentry: What Works, What Does Not, and
What Is Promising (2003), mengemukakan
bahwa hal utama yang perlu diperhatikan
dari keberadaan mantan narapidana adalah
adanya pengawasan dari masyarakat dalam
bentuk stabilitas dukungan dan pelayanan
sosial yang khusus diberikan kepadanya
dalam bentuk program ataupun aktivitas
yang memungkinkan mantan narapidana
tidak menjadi residivis.
SARAN
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak
sebaiknya
difokuskan
terhadap
revitalisasi program asimilasi dengan fokus
tujuan pada reintegrasi narapidana anak
dalam masyarakat serta memperhatikan
kualitas dan frekuensi kunjungan keluarga
sebagai salah satu upaya preventif dalam
menangani kasus residivis bagi mantan
narapidana anak. Hal ini mengingat akan
pentingnya penanganan secara preventif dan
restoratif
mengingat
akan
rendahnya
kesiapan anak didik lapas oleh karena
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak yang kurang efektif, sehingga
diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
kasus residivis anak setelah menjalani masa
pembebasan dari Lembaga Pemasyarakatan
Anak. Revitalisasi program asimilasi bagi anak
didik lapas merupakan salah satu upaya
mengefektifkan peran Balai Pemasyarakatan
Anak dalam meninjau perkembangan dan
melakukan pengawasan sosial terhadap
keberadaan anak selepas keluar dari lapas.
Atas dasar fenomena tersebut, maka dapat
diketahui bahwa diperlukan suatu upaya
restoratif, baik dalam bentuk kuratif maupun
rehabilitatif dalam menangani mantan
narapidana anak yang tidak berdaya dalam
menghadapi penolakan masyarakat atas
keberadaan dirinya. Salah satu upaya
penanganan pemenuhan hak dan kebutuhan
dengan lingkungan sosial yang mendukung
adalah reunifikasi keluarga dan masyarakat.
SIMPULAN
Kasus residivis anak terjadi sebagai akibat
dari rendahnya kesiapan anak didik lapas
dalam menghadapi proses integrasi ke dalam
masyarakat selepas keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Kesiapan bagi anak
didik lembaga pemasyarakatan terkait
dengan pembinaan yang diadakan oleh
Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah
kesiapan fisik, mental, dan sosial. Penyebab
dari rendahnya kesiapan anak didik lapas
tersebut dikarenakan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif
dan tidak terintegrasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Kesiapan anak didik lapas
DAFTAR PUSTAKA
Artyawan, Adetyo, Januari 2013, “Pengaruh
Program
Pendidikan
Keterampilan
Terhadap
22
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Kesiapan
Narapidana
Kembali
ke
Masyarakat”, NFECE 2 (1) (2013), hlm.
55
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 2015.
Sistem Database Pemasyarakatan.
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/curre
nt/monthly (diakses pada tanggal 21
Maret 2015)
Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum
terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Anak Pidana di Indonesia. Bandung: PT
Refika Aditama
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di
Indonesia:
Pengembangan
Konsep
Diversi dan Restorative Justice. Bandung:
PT.Refika Aditama
Loeber, Rolf, dkk. 2013. From Juvenile
Delinquency to Young Adult Offending.
Melalui, < https://ncjrs.gov/pdffiles1/ nij/
grants/242931.pdf> [8/5/15]
Seiter, Richard P., Kadela, Karen R. 2003.
Prisoner Reentry: What Works, What
Does Not, and What Is Promising. Hlm
361-362
Gelb, Adam, dkk. 2014. The Pew Charitable
Trusts: The Rise in Prison Inmates
Released Without Supervision
Alexander, Michelle. 2013. A Second Chance:
Charting a New Course for Re-Entry and
Criminal Justice Reform. The Leadership
Conference Education Fund
Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial.
Jakarta: CV Rajawali
Anderson, E. (1990). Streetwise: Race, class,
and change in an urban community.
Chicago: University of Chicago Press
23
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKANPADA FAITH BASED
ORGANIZATION
(STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI
KABUPATEN BANDUNG)
Oleh:
Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah
Email:
([email protected]; [email protected]; [email protected])
ABSTRACT
Education is human right for every one. Education is also one of important factors for
increasing quality of life and social welfare. In education, Government have a effort to programe
must study in 9 years dan it’s be free from education cost. But, many children can’t school again
and haven’t opportunity to give a schools in high level. One of factors is because they parents
don’t have enough money to facilitate her/his son in education daily needs. Furthermore, access to
get a education that until now not same in Indonesia include facilities and infrastructure in
supporting education, especially for regions wich are in the eastern region is still a chore for us all.
This research uses descriptive methode with qualitative approach. To obtain the necessary data,
the researcher used a technique depth inerviews, direct observations in the field and study
documentation.
Rumah Yatim At-Tamim is one of faith based organization under the auspicesof the
boarding school at At-Tamim present as an alternative in providing solutions for orphans children,
muallaf and converts especially for children who come from outside the island of Java, namely NTT
and NTB in because the shortageof funds and difficulty in accessing education. Rumah Yatim AtTamim have not full-home based provide social services in education through the formal school
financing (including the cost of the daily need), provide the education in formal in Rumah Yatim,
such ac programeof education with Islam, they are read Al-Qur’an, study fiqih, speak in front of
people with give a Islam value, and other skill such as entrepreneurship. It’s also include give
facilities and infrastructure in supporting education. The balance between knowledge acquired in
school with religious knowledge obtain in this institution is expected to create a generation that
has the insight and good moral can also running social functioning in community.
Keywords : education, social services in education, faith based organization, Rumah Yatim AtTamim
ABSTRAK
Pendidikan merupakan hak bagi semua orang. Pendidikan juga menjadi salah satu faktor
penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Di bidang pendidikan,
Pemerintah telah mengupayakan program wajib belajar 9 tahun dan dibebaskan dari biaya
pendidikan. Akan tetapi, masih banyak anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu faktor seperti ketidaksanggupan orang tua dalam
membiayai pendidikan anak karena keterbatasan ekonomi menjadi pemicu anak mengalami putus
sekolah. Selain itu, akses pendidikan yang belum merata termasuk di dalamnya ketersediaan
sarana dan prasarana dalam menunjang pendidikan khususnya bagi daerah yang berada di
wilayah timur masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti
24
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi langsung di lapangan, dan studi
dokumentasi.
Rumah Yatim At-Tamim merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial berbasis
keagamaan yang berada di bawah naungan pondok pesantren At-Tamim hadir sebagai alternatif
dalam memberikan solusi bagi anak yatim dhuafa dan muallaf khususnya bagi anak-anak yang
berasal dari luar pulau Jawa, yaitu NTT dan NTB dikarenakan keterbatasan dana dan kesulitan
dalam megakses pendidikan. Rumah Yatim At-Tamim berbasis semi panti ini memberikan
pelayanan sosial dalam bidang pendidikan melalui pembiayaan sekolah formal (biaya sehari-hari
termasuk uang saku), pemberian pendidikan informal yang diselenggarakan di dalam Rumah
Yatim berupa program-program pendidikan yang kental dengan kurikulum berbasis agama Islam
diantaranya mengaji Al-Qur’an dan setor hafalan, fiqih, ceramah dan bentuk keterampilan lain
seperti wirausaha termasuk penyediaan sarana dan pra sarana yang menunjang dalam bidang
pendidikan. Keseimbangan antara ilmu yang diperoleh di sekolah dengan ilmu agama yang
diperoleh di lembaga ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang memiliki wawasan dan
akhlak yang baik serta dapat menjalankan keberfungsian sosialnya di masyarakat.
Kata Kunci : pendidikan, pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, lembaga pelayanan sosial
berbasis agama, Rumah Yatim At-Tamim
1. Pendahuluan
Di bidang pendidikan, Indonesia telah
mencapai kemajuan yang luar biasa untuk
pencapaian MDG di bidang pendidikan dasar
universal dan kesetaraan gender. Namun
demikian, masih ada sekitar 2,5 juta anak
usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah.
Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa
Barat dimana terdapat sebagian besar
penduduk Indonesia, ada 42 % anak yang
mengalami putus sekolah. Terdapat 92 %
anak terlantar di sekolah dasar. Berdasarkan
data yang diperoleh, anak-anak dari keluarga
miskin memiliki kemungkinan empat kali lebih
besar untuk mengalami putus sekolah
dibandingkan dengan keluarga kaya. Hal ini
juga tidak terlepas dari masalah kesetaraan
dalam mencapai akses pendidikan di
Indonesia. Meskipun secara keseluruhan
rentang waktu antara masuk sekolah dasar
cukup tinggi, sebuah kajian tentang anak
putus
sekolah
yang
dilakukan
oleh
Kementrian Pendidikan, UNESCO dan UNICEF
di tahun 2011 menunjukkan bahwa 2,5 juta
anak putus sekolah dari transisi waktu SD ke
SMP (UNICEF Indonesia, laporan Tahunan
2012).
Pendidikan merupakan hak bagi
setiap orang, tidak terkecuali bagi anak
yatim, dhuafa maupun mereka yang memiliki
keterbatasan ekonomi. Namun, masih
terdapat anak yang mengalami putus sekolah
di tengah jalan atau tidak melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi pada
masa transisi, misal dari SD ke SMP, SMP ke
SMA dan SMA ke perguruan tinggi
dikarenakan ketatnya persaingan dan ketidak
mampuan orang tua dalam memenuhi biaya
pendidikan sehari-hari. Hal tersebut terjadi di
kota besar, apalagi dengan saudara kita di
daerah pelosok yang memiliki kendala dalam
keterbatasan dan sulitnya menjangkau akses
pendidikan. Hingga saat ini, Pemerintah
masih mengupayakan pendidikan dengan
sekolah gratis namun pelayanan dalam
bidang pendidikan ini pun tidak serta merta
membuat semua anak dapat merasakan hal
yang sama. Mengingat pemerintah belum
dapat memecahkan masalah tersebut secara
keseluruhan,
maka
hadirlah
lembaga
pelayanan sosial sebagai solusi alternatif
yang turut menampung anak yatim, dhuafa
dan
yang
memiliki
kesulitan
dalam
melanjutkan pendidikan dalam bentuk
pelayanan sosial di bidang pendidikan.
Temuan
lainnya
di
lapangan
menunjukkan bahwa tidak semua lembaga
pelayanan sosial atau human services
organization dapat secara konsisten terus
memberikan layanan sosial di bidang
pendidikan dikarenakan faktor finansial
lembaga. Di kota Bandung terdapat kurang
25
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan
Oleh Panti Asuhan Yayasan Amal Sosial AlWashliyah
Kelurahan
Gedung
Johor
Kecamatan Medan Johor” belum secara detail
menggambarkan
bidang
pelayanan
pendidikannya, terutama program yang
bersangkutan. Selain itu, masih mengaitkan
dengan pola pengasuhan.
Berdasarkan hasil penelitian terkait
yang telah diuraikan sebelumnya dan melihat
masih terbatasnya penelitian mengenai
pelayanan sosial di bidang pendidikan dengan
mengangkat human service organization
berbasis agama, maka peneliti tertarik untuk
meneliti
pelayanan
sosial
di
bidang
pendidikan di Rumah Yatim At-Tamim
Bandung.
Identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Apa saja program yang berkaitan
dengan pelayanan pendidikan yang
diberikan oleh Rumah Yatim AtTamim ?
2. Apa faktor yang melatarbelakangi
banyaknya anak yang berasal dari
luar Pulau Jawa menjalani pendidikan
di Rumah Yatim At-Tamim?
3. Bagaimana
sistem
pendidikan
berbasis agama Islam di
Rumah
Yatim At-Tamim?
4. Bagaimana cara Rumah Yatim AtTamim
tetap
kontinyu
dalam
memberikan layanan sosial dalam
bidang pendidikan?
lebih 40 panti dan rumah yatim yang
menampung anak yatim piatu secara resmi
dan tersebar di kabupaten dan kota. Tetapi
tidak semua panti atau rumah yatim dapat
memenuhi atau memberikan layanan kepada
anak
secara
optimal.
(http://
simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materib
uku/Data%20Panti%20Asuhan%20Yatim%20
Piatu_2011.pdf). Namun sejauh ini, beberapa
bentuk penelitian terkaitpelayanan sosial
dalam bidang pendidikan terkait seperti
halnya pemenuhan dan penyediaan sarana
prasarana sekolah, penyediaan biaya sekolah,
uang saku, pendidikan tambahan maupun
keterampilan masih jarang ditemukan,
khususnya bagi lembaga pelayanan sosial
yang berbasis keagamaan namun masih
berkembang.
Rumah Yatim At-Tamim merupakan
salah satu lembaga pelayanan sosial (human
service organization) yang berbasis agama
Islam dan memberikan layanan sosial dalam
bidang pendidikan. Rumah Yatim yang
berada dibawah naungan pondok pesantren
At-Tamim saat ini menampung kurang lebih
55 orang anak yatim, dhuafa maupun muallaf
yang masih berstatus pelajar mulai dari SD,
SMP, SMA hingga kuliah. Hal yang menarik
dan unik ketika lembaga pelayanan sosial ini
menampung anak anak dari luar pulau Jawa,
yaitu wilayah timur utamanya NTB dan NTT
yang ingin terus melanjutkan pendidikannya
sampai merantau jauh ke Bandung. Melihat
fenomena tersebut, maka isu pelayanan
sosial dalam bidang pendidikan di lembaga
pelayanan sosial yang berbasis agama ini
penting untuk diteliti karena kita sebagai
pekerja sosial yang berada dalam setting
human service organization memiliki peran
dalam memberikan layanan sosial khususnya
dalam bidang pendidikan.
Beberapa penelitian sebelumnya yang
mengulas fenomena pelayanan sosial dalam
bidang pendidikan diantaranya oleh Rossy
Simarmata dengan judul “ Efektivitas
Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh oleh
Yayasan Kinderfreude” meneliti tentang
efektivitas pelayanan yang diberikan oleh
lembaga seperti pendidikan, keterampilan,
bimbingan dan kesehatan terhadap anak
asuh belum secara detail mengungkap
pelayanan dari sisi yayasan Kinderfreude
yang memiliki basis agama. Penelitian
selanjutnya
yang
berjudul
“Efektivitas
Adapaun tujuan dan manfaat dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan program yang
berkaitan
dengan
pelayanan
pendidikan yang diberikan oleh
Rumah Yatim At-Tamim Bandung.
2. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor
yang melatarbelakangi banyaknya
anak yang berasal dari luar pulau
Jawa menjalani pendidikan di Rumah
Yatim At-Tamim.
3. Untuk
mendeskripsikan
sistem
pendidikan berbasis agama Islam di
Rumah Yatim At-Tamim.
4. Untuk mendeskripsikan cara Rumah
Yatim
tetap
kontinyu
dalam
memberikan layanan sosial dalam
bidang pendidikan.
26
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Social Work, 1995 : 1787). Oleh karena itu,
organisasi pelayanan sosial tentunya berbeda
dengan organisasi profit lainnya. Adapun
karakteristik dari organisasi pelayanan sosial
menurut Hasenfeld (1983), yaitu :
1. Material dasarnya (raw material) terdiri
dari orang-orang dengan sejumlah nilai
moral yang mempengaruhi aktifitas
organisasi sosial.
2. Tujuan dari organisasi pelayanan sosial
adalah samar-samar (vague), berarti
dua (ambiguous), dan bermasalah
(problematic).
3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan
sosial juga menunjukkan organisasi
pelayanan sosial bergerak dalam
lingkungan bergolak, artinya lingkungan
tersebut
terdiri
dari
banyak
kepentingan kelompok yang berbedabeda.
4. Organisasi pelayanan manusia harus
beroperasi dengan teknologi yang tidak
menentukan dengan tidak menyediakan
pengetahuan yang lengkap bagaimana
mencari hasil yang diharapkan.
5. Aktivitas utama dalam organisasi
pelayanan sosial terdiri dari hubungan
antara staff dengan klien, sehingga
tidak menutup kemungkinan para staff
dalam organisasi sosial lebih banyak
terdiri dari relawan yang harus
berhubungan dengan kliennya.
6. Karena keutamaan hubungan staff
dengan klien, maka posisi dan peran
staff profesional secara khusus penting
dalam organisasi pelayanan manusia.
7. Organisasi pelayanan sosial miskin
pengukuran mengenai efektivitas yang
reliabel dan valid, dan mungkin, lebih
mampu bertahan terhadap perubahan
dan inovasi ( Dasar-dasar pekerjaan
sosial : 85).
Manfaat atau kegunaan penelitian sebagai
berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan
pemahaman mengenai pemberian
layanan sosial di Rumah Yatim AtTamim, sehingga dapat berkonstribusi
dalam
menyumbang
ilmu
pengetahuan serta pengembangan
keilmuan
khususnya
di
bidang
kesejahteraan sosial anak dan human
services organization.
2. Kegunaan Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi
panduan pertimbangan dan masukan
yang membangun bagi semua pihak
terkait, baik bagi lingkungan keluarga
terdekat anak yatim, dhuafa’ dan
muallaf , bagi Rumah Yatim AtTamim, pembuat kebijakan dan
semua yang turut membantu dalam
memperjuangkan
pemberian
layananan sosial bagi anak termasuk
kita sebagai akademisi dan calon
pekerja sosial.
Kajian Teori dan Bahasan
A. Pengertian Organisasi Pelayanan
Sosial (Human Services
Organization)
Definisi organisasi pelayanan sosial
(human services organization) menurut
Hasenfeld (1983)
adalah sekumpulan
individu yang tergabung dalam suatu
organisasi yang fungsi utamanya adalah
untuk
melindungi,
memelihara
atau
meningkatkan kesejahteraan pribadi individuindividu
dengan
cara
menentukan,
menetapkan, merubah atau membentuk ciriciri pribadi mereka.
Lebih lanjut dalam eksiklopedia
pekerjaan sosial, organisasi pelayanan sosial
melakukan pelayanan langsung kepada klien.
Organisasi pelayanan sosial juga tidak
berorientasi kepada keuntungan semata
kepada “stakeholders” tetapi tujuannya untuk
meningkatkan kesejahteraan orang-orang
yang dilayani, sehingga hampir semua
organisasi pelayanan sosial adalah lembaga
yang bersifat non profit (The Encyclopedia of
Pendapat lain mengenai karakteristik
organisasi pelayanan manusia dikemukakan
oleh Martin (1985 : 2), yaitu the purpose of
human service organizations is to meet the
socially recognised needs people. Bahwa
tujuan organisasi pelayanan sosial adalah
memenuhi kebutuhan orang. Selain itu,
human service organizations are mandated
and resourced by all or a substantial part of
the public, through statutory resources or
donations, and operate without a profit
27
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
making purpose yang artinya organisasi
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Organisasi
pelayanan
manusia
berbasis
agama
atau
Faith
Based
Organization memiliki definisi yang beragam,
dan istilah ini bukan istilah yang didefinisikan
secara hukum, tetapi sering digunakan untuk
merujuk kepada organisasi keagamaan dan
organisasi amal lainnya yang mempunyai
filosofi keagamaan, sehingga terlihat bergitu
kental dalam visi dan misi yang ingin dicapai
organisasi tesebut. Organisasi pelayanan
sosial berbasis agama Islam ini memiliki
hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan
sunnah Rasul. filosofi derma yang diwajibkan
bagi setiap muslim utamanya dalam
memelihara dan menyantuni anak yatim.
Terlebih dalam bidang pendidikan yang
merupakan
pondasi
penting
dalam
melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.
Pertimbangan utama dalam faith based
organization ini pun tidak terlepas dari
bagaimana identitas yang dipilih akan
mempengaruhi donor, penyandang dana,
pendukung,
penerima
manfaat
yang
ditargetkan dan pemangku kepentingan
lainnya.
The Arizona Grantmakers Forum pada
tahun 2005 mencatat bahwa “informasi
tentang yayasan dan dana perusahaan dari
organisasi berbasis agama terbatas”. It is
pelayanan manusia memperoleh kewenangan
dan sumber oleh semua atau sebagian
penting masyarakat umum, yaitu sumbersumber dan donasi menurut undang-undang
dan bergerak tanpa tujuan mencari
keuntungan.
B. Jenis Organisasi Pelayanan Sosial
Organisasi
pelayanan
sosial
di
Indonesia banyak jenisnya dan secara garis
besar dapat dikategorikan berdasarkan
kegiatan, jenis penanganan, wilayah dan
teknologi yang digunakan dalam mengolah
sumber daya yang ada dalam oganisasi
pelayanan sosial. Organisasi berdasarkan
wilayah di bagi menjadi tingkat daerah,
nasional dan internasional. Berdasarkan
proses penanganannya dibagi berdasarkan
kuratif atau penyembuhan, proses dan
perubahan. Selanjutnya menurut Yaheskel
Hasenfeld (1983 : 4-7) bahwa organisasi
pelayanan manusia atau sosial dilihat
berdasarkan “materi atau bahan dasarnya”
dapat dibagi menjadi 2 dimensi yaitu manusia
yang berfungsi normal ‘normal functioning’
dan yang tidak berfungsi secara normal
yang
dapat
dilihat
‘malfunctioning’
berdasarkan fisik, psikologis dan sosial.
Sedangkan
berdasarkan
penggunaan
teknologi pelayanan yang digunakan ada 3
jenis, yaitu :
processing
technologies
1. People
(pemrosesan manusia), bertujuan
untuk memberikan status atau label
sosial tertentu kepada klien sehinggga
dapat ditentukan jenis pelayanan apa
yang diperlukan.
suistaining
technologies
2. People
(pemeliharaan manusia), sifatnya
lebih kepada mencegah, memelihara
dan mempertahankan kesejahteraan
klien , tetapi tidak langsung merubah
atribut atau perilaku klien.
3. People
changing
technologies
(perubahan manusia), teknologi ini
untuk merubah perilaku klien agar
dapat
meningkatkan
kesejahteraannya.
also a faith-based organization -- one of
thousands of charities in the U.S. whose
missions are grounded in the belief that they
have a religious obligation to help the poor
and disadvantaged. They differ from secular
charities like the Red Cross and United Way
in that their call to serve is based on scripture
from the New Testament, the Torah, or other
religious texts. Faith-based charities like the
Salvation Army, Catholic Charities, Volunteers
of America, Lutheran Social Services and
Jewish Family & Children's Service provide a
huge array of services to the nation's sick,
elderly and poor.They own hospitals and
nursing homes, run mental health clinics,
provide substance abuse treatment, build
affordable housing and offer job training and
after-school programs.
Dari definisi di atas, ada beberapa hal
pokok yaitu organisasi berbasis keagamaan
ini didasarkan pada keyakinan bahwa mereka
memiliki kewajiban agama untuk membantu
orang miskin dan kurang beruntung dan
mereka berdasarkan pada kitab suci mereka,
C. Organisasi
Pelayanan
Manusia
Berbasis Agama atau Faith Based
Organization
28
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
begitu pula dengan organisasi yang
berdasarkan agama Islam.
Di dalam sebuah organisasi pelayanan
manusia, kerap kali terdapat permasalahan
baik yang berhubungan dengan administratif
maupun non administratif, diantaranya
adalah organisasi pelayanan sosial yang
masih berkembang memiliki kelemahan
dalam perencanaan hal ini juga berhubungan
dengan visi misi dan tujuan organisasi yang
masih belum jelas. Keadaan ini membuat
tidak sedikit organisasi yang dapat tetap
suistainable dan berkembang. Permasalahan
lainnya adalah seringkali konflik nilai dan
harapan terjadi diantara anggota kelompok,
tentunya ini dapat menjadi masalah internal
bagi organisasi pelayanan manusia. Namun
yang perlu diperhatikan organisasi sosial
cenderung fokus kepada cara pelayanan
sosialnya bukan kepada tujuan secara
spesifik dalam jangka waktu baik pendek
maupun panjang, sehingga sedikit sulit ketika
kita ingin mengukur hasil-hasil dari badan
pelayanan sosial dan permasalahan yang
terakhir adalah hubungan antara efektivitas
badan sosial dan alokasi sumber sering kali
mendapat kesulitan.
Menurut Edi Suharto (1997) terdapat
karakteristik dan permasalahan organisasi
pelayanan sosial di Indonesia yang tercantum
dalam tabel sebagai berikut :
Karakteristik
Orientasi bukan untuk
menari
laba
atau
keuntungan
2.
Produk dari organisasi
pelayanan
sosial
bukan barang, tetapi
pelayanan sosialnya
3.
Para
pengurus
bekerja atas dasar
suka rela dan berjiwa
relawan
Tidak
memiliki
indikator atau kriteria
keberhasilan
pelayanan yang jelas
4.
ISSN:2339 -0042
D. Definisi Pelayanan Sosial
Pengertian
pelayanan
sosial
bermacam-macam, menurut Departemen
Sosial, pelayanan sosial adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara profesional
untuk membantu memecahkan permasalahan
sosial yang dialami oleh individu, keluarga,
kelompok
dan
masyarakat
dengan
menggunakan pendekatan praktik pekerjaan
sosial. Pengertian pelayanan sosial dapat
dilihat dalam arti luas dan sempit. Dalam arti
yang lebih luas dinyatakan oleh Khan :
Social services may be interpreted in an
institutional context as consisting of
programs made available by orther
than market criteria to assure a basic
level of helath education, welfare
provision, to enhance communal living
and individual functioning, to facilitate
access to services and institutions
generally, and to assist those in
difficulty and need (p.179).
Sedangkan
dalam
arti
sempit,
pelayanan
sosial
mencakup
program
pertolongan dan perlindungan kepada
golongan yang tidak beruntung seperti
pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga
miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya
(Muhidin, 1992:41). Lebih lanjut Spicker
(1995), seorang penulis Inggris menyatakan
bahwa pelayanan sosial meliputi jaminan
sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan
sosial, dan pendidikan. Dari definisi di atas,
kita dapat melihat bahwa bentuk pelayanan
sosial ini diberikan sebagai solusi dalam
memecahkan masalah bagi anak terlantar
maupun bagi mereka yang memiliki
keterbatasan dalam bidang ekonomi yang
perlu untuk kita berikan bantuan dan
pertolongan. Salah satu bentuk pelayanan
sosial adalah program pendidikan yang dapat
dilakukan oleh lembaga pelayanan sosial.
Kriteria pemberian pelayanan sosial ini
bukan semata-mata berdasarkan kemampuan
orang
untuk
membayar,
melainkan
pemberian pelayanan sosial ini didasarkan
atas kebutuhan, sehingga walaupun tidak
mampu untuk membayar, tetap akan
diberikan pelayanan sesuai yang dibutuhkan.
Idealnya, pelayanan pendidkan, kesehatan
dan perumahan jaminan sosial, pelatihan
kerja disediakan pada tingkat minimal untuk
Tabel 1.1. Karakteristik dan Permasalahan
Organisasi Pelayanan Sosial
No.
1.
HALAMAN: 1 -
Permasalahan
Permasalahan finansial,
kekurangan
dana
karena
organisasi
pelayanan sosial juga
bergantung
pada
donasi dari luar.
Masih belum mampu
memenuhi kebutuhan
anggota
dan
masyarakat
secara
optimal.
Motivasi dan unjuk
kerja pengurus dalam
melaksanakan
tugas
masih rendah.
Sulit
mengukur
pengaruh atau dampak
pelayanan. Masyarakat
dan lembaga donor
kurang percaya dalam
memberikan dukungan
finansial.
29
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
meningkatkan kehidupan masyarakat dan
keberfungsian sosial orang-orang.
E.
Pelayanan Sosial
Pendidikan
dalam
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan
perubahan mindset dalam pemberian layanan
sosial. Pelayanan sosial merupakan wujud
praktik pekerjaan sosial yang diwadahi dalam
badan pelayanan sosial. Awalnya filosofi
pekerjaan sosial berawal dari charity atau
derma, namun pada kenyataanya pendekatan
tersebut tidak mampu mengatasi masalah
sosial, akan tetapi semakin menciptakan
masalah sosial yang sifatnya lebih mendasar
yaitu ketergantungan, sikap ingin selalu
diberi, kehilangan harga diri dan kehilangan
semangat juang. Berkaca dari fenomena
tersebut, maka paradigma pelayanan sosial
berubah dari charity/philantrophy, menjadi
pemberdayaan (empowerment). Dari sini lah
kita dapat melihat akar permasalahannya
bukan kemiskinan, akan tetapi kebodohan.
Sehingga, pemberdayaan ini merupakan
salah satu alternatif yang dipilih, karena pada
hakikatnya visi pelayanan sosial adalah
pendidikan dalam arti luas, yaitu megubah
sikap dan mental masyarakat dengan
menghilangkan sikap ingin diberi dan
menumbuhkan sikap mandiri untuk berjuang
mencapai kesejahteraannya sendiri.
Bidang
Pelayanan sosial sebagaimana yang
dimaksud
dalam
artikel
ini
memiliki
cangkupan di dalamnya yaitu pendidikan
formal yang dibiayai oleh lembaga dan
pendidikan informal yang diselenggarakan
oleh lembaga di dalam Rumah Yatim dan
bentuk keterampilan lainnya. Selain itu,
mencakup sarana dan pra sarana yang
mendukung yang disediakan oleh lembaga
dalam menunjang pendidikan anak santri.
Djakara(Sihombing 2002: p.10) mengatakan
bahwa pendidikan adalah memanusiakan
manusia muda, yaitu pengangkatan manusia
muda ke taraf insani yang menjelma dalam
perbuatan menddik. Oleh karena itu,
mendidik tidak hanya memintarkan tetapi
juga menambahkan nilai-nilai moral pada
peserta didik. Hal ini pula yang menjadi nilai
tambah penting bagi Rumah yatim At-tamim.
Lebih lanjut, menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Badudu, 1994:p.342), pendidikan
adalah proses merubah sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Sehingga di
dalamnya terdapat sebuah proses dan cara
mendidik. Dari kedua pendapat di atas, kita
juga mendapat beberapa poin yaitu:
(a) Pendidikan
adalah
proses
pembelajaran
(b) Pendidikan adalah proses sosial
(c) Pendidikan
adalah
proses
memanusiakan manusia
(d) Pendidkan memiliki fungsi untuk
mengubah
dan
mengembangkan
kemampuan, sikap dan perilaku yan
positif
(e) Pendidikan ini bersifat terencana dan
terarah.
F.
Standar Pelayanan Panti
Standar
pelayanan
panti
ini
didasarkan pada keputusan Menteri Sosial RI.
Nomor : 50/HUK/2004 dan dikenal dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
1. Tahap pendekatan Awal, atau dikenal
dengan tahap persiapan
2. Tahap asessment
3. Tahap perencanaan pelayanan
4. Tahap pelaksanaan pelayanan di panti
5. Tahap pasca pelayanan, terdiri dari
penghentia
pelayanan,
rujukan,
pemulangan
dan
penyaluran,
pembinaan lanjut dan terminasi.
G. Pelayanan
Bagi Anak
Kesejahteraan
Sosial
Upaya peningkatan kesejahteraan
bagi anak masih menjadi ‘Pekerjaan Rumah’
bagi Indonesia. Departemen Sosial bersama
instansi terkait, organisasi sosial, lembaga
swadaya masyarakat dan didukung oleh
UNICEF diharapkan mampu menanggulangi
beragam
permasalahan
anak
dalam
kaitannya pemenuhan hak anak dan
peningkatan
kesejahteraan
sosialnya.
Proses pendidikan ini pun tidak hanya
sekedar transfer of knowledge, transfer of
value, transfer of skill,tetapi keseluruhan
kegiatan yang terdapat di dalamnya.
Sehingga output yang diharapkan adalah
manusia tersebut dapat mengembangkan
dirinya dan dapat memecahkan masalah
dalam kehidupannya dengan ilmu yang
30
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Berkaitan dengan hal tersebut, profesi
pekerjaan
sosial
mempunyai
bidang
pelayanan
perlindungan
anak
(child
protective
services),
selaras
dengan
karakteristik pekerja sosial yang memandang
manusia dari sudut PIE (Person in
Environment), sehingga model pelayanan
kesejahteraann sosial anak dalam prespektif
ini menempatkan anak dalam konteks situasi
keluarga,
masyarakat maupun negara
(Zastrow,1982 ; Huttman,1981).
Tabel : 1.2 Model Holistik-Komprehensif
Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak.
Pendekatan dan
Sasaran
Individual
;
anak
Kelompok
:
keluarga
inti
dan
keluarga
besar
Masyarakat
:
komunitas lokal
Negara
pemerintah
:
Strategi
Program
Child Based
Services
Institutional
Based
Services
Konseling,
perawatan medis,
rehabilitasi sosial,
pemisahan
sementara
atau
permanen
Konseling keluarga
dan
perkawinan,
terapi
kelompok,
program lainnya
Pengembangan
masyarakat, terapi
sosial,
kampanye
sosial, aksi sosial,
rumah
singgah,
rumah belajar
Family Based
services
Community
Based
services
Location
Based
Services
Hlaf
Way
Home Based
Services
State Based
Services
Perumusan
kebijakan,
3.
4.
law
enforcement
5.
Sumber : Edi Suharto, halaman 373
Berdasarkan model tersebut, maka terdapat
7 strategi pelayanan sosial bagi anak, yaitu :
1. Child Based Services. Strategi ini
menempatkan anak sebagai basis
penerima pelayanan sosial. Anak yang
mengalami luka fisik maupun psikis
segera diberika pertolongan yang
bersifat krisis, baik perawatan medis,
konseling atau dalam keadaan tertentu
anak diamankan sementara dari
kehidupan keluarga yang beresiko.
2. Institutional Based Services. Anak yang
mengalami masalah ditempatkan dalam
lembaga pelayanan sosial atau panti.
Pelayanan
sosial
yang
diberikan
meliputi, fasilitas tinggal menetap,
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
perlindungan, pendidikan dan pelatihan
6.
31
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
keterampilan, serta program rehabilitasi
sosial lainnya.
Family Based Services. Keluarga
dijadikan sasaran dan medium utama
pelayanan yang diarahkan kepada
pembentukan dan pembinaan keluarga
agar memiliki kemampuan ekonomi,
psikologis dan sosial dalam menumbuh
kembangkan anak, sehingga mampu
memecahkan masalahnya sendiri dan
menolak
pengaruh
negatif
yang
merugikan
dan
membahayakan.
Keluarga
sebagai
satu
kesatuan
diperkuat secara utuh dan harmonis
dalam memebuhi kebutuhan anak.
Misalnya program usaha ekonomi
produktif diterapkan pada keluarga
yang memiliki masalah keuangan.
Community Based Services. Strategi
yang menggunakan
masyarakat
sebagai
pusat
penanganan
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesadaran
dan
tanggung
jawab
masyarakat agar ikut aktif dalam
menangani permasalahan anak. Peran
pekerja sosial datang secara periodik ke
masyarakat untuk merancang dan
melaksanakan program pengembangan
masyarakat,
bimbingan
dan
penyuluhan, terapi sosial, kampanye
sosial, aksi sosial, serta penyediaan
sarana rekreatif dan pengisian waktu
luang.
Location Based Services. Pelayanan ini
diberikan
di
lokasi
anak
yang
mengalami
masalah,
strategi
ini
biasanya diterapkan pada anak jalanan,
anak yang bekerja di jalan dan pekerja
anak. Para pekerja sosial mendatangi
pabrik atau tempat dimana anak
berada, dan memanfaatkan saran
ayang berada disekitarnya sebagai
fasilitas media perolongan.untuk anak
jalanan dan anak yang bekerja di jalan,
strategi ini sering disebut sebagai
Street Based Services (pelayanan
berbasiskan jalanan), (Fery Johannes,
1996).
Half Way House Services. Strategi ini
disebut juga strategi semi panti yang
lebih terbuka dan tidak kaku, strategi
ini dapat berupa rumah singgah, rumah
terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
berkembang pesat. Keprihatinan ini masih
berkembang seiring dengan kondisi rumah
yatim atau panti asuhan yang berada di
kabupaten bahkan pelosok daerah.
Pekerja sosial dalam bidang advokasi
melihat bahwa isu pelayanan dalam
pendidikan bukan saja menjadi pekerjaan
rumah bagi sebagian orang, melainkan
tanggung jawab bagi semua pihak. Salah
satu caranya dapat diperjuangkan melalui
pembuatan
kebijakan
untuk
memperjuangkan
kesejahteraan
anak
khususnya bagi anak yatim di Indonesia dan
memberikan saran agar dapat meningkatkan
pelayanan sosial dalam bidang pendidikan
bagi panti atau rumah yatim terkait. Selain
itu, pekerja sosial dapat memberikan akses
dalam melanjutkan pendidikan formal bagi
anak asuh di Rumah Yatim At-Tamim.
belajar, rumah pengganti keluarga, dan
lain sebagainya.
7. State Based Services. Pelayanan dalam
strategi ini bersifat makro dan tidak
langsung (macro and indirect services).
Para pekerja sosial mengusahakan
situasi dan kondisi yang kondusif bagi
terselenggaranya usaha kesejahteraan
sosial bagi anak. Perumusan kebijakan
kesejahteraan sosial dan perangkat
hukum
bagi
perlindungan
anak
merupakan bentuk program dalam
strategi ini. (Edi Suharto, pembangunan
kebijakan sosial dan pembangunan
sosial, 374-375).
H. Perspektif Pekerjaan Sosial
Pekerja sosial adalah salah satu
profesi profesional yang turut andil dan
memiliki peranan yang penting dalam
pemberian pelayanan sosial khususnya
bidang pendidikan yang dibeikan oleh
lembaga pelayanan sosial. Hal ini mengingat
pekerja sosial berada pada setting human
service organization yang identik dengan
pelayanan sosial khususnya bagi anak yatim,
dhuafa dan mereka yang membutuhkan.
Maka bentuk pelayanan sosial yang diberikan
akan sesuai dengan kebutuhan klien di
lapangan. Pekerja sosial dapat memberikan
layanan sosial setelah melakukan assessment
dengan klien dan pihak keluarga klien yang
bersangkutan. Pekerja sosial juga bekerja
dalam memberikan pelayanan di Rumah
Yatim yang berbasis half way house services
(pelayanan semi panti), dimulai dari tahap
assessment
hingga
terminasi
dan
memberikan pelayanan berupa pelayanan
dalam bidang pendidikan termasuk di
dalamnya bimbingan atau konseling kepada
anak yatim, dhuafa maupun muallaf di
Rumah Yatim.
Pekerja sosial di Indonesia yang
concern bekerja di panti masih minim, hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi dan
jaminan dalam meniti karir, salah satu
alasannya
adalah
masalah
finansial.
Pertimbangan
ini
didasarkan
kepada
profesionalisme yang menandakan kita
bekerja dan dibayar, akan tetapi hal ini
menjadi pengecualian ketika kita memiliki
jiwa sosial yang tinggi . Selain itu, volunteer
kebanyakan ikut bergabung pada lembaga
pelayanan sosial khususnya yang
sudah
2. Pendekatan atau Metode yang
Digunakan
Metode penelitian yang peneliti
gunakan adalah metode penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif. Alasannya karena
peneliti ingin menggambarkan secara lebih
detail
bentuk-bentuk
pelayanan
yang
diberikan kepada anak yatim oleh Rumah
Yatim At-Tamim Bandung.Alasan peneliti
memilih Rumah Yatim At-Tamim karena
lembaga tersebut menjadi salah satu
lembaga praktikum manajemen organisasi
pelayanan sosial semester ini yang sudah
berdiri kurang lebih selama 10 tahun
sehingga peneliti menjadikannya sebagai
peluang. Selain itu, lokasi Rumah Yatim AtTamim juga berada di daerah yang mudah
dijangkau sehingga memungkinkan peneliti
untuk mengambil data penelitian secara lebih
mudah. Oleh karena itu, Rumah Yatim AtTamim dinilai memungkinkan untuk dijadikan
lokasi
penelitian
terkait
isu
yang
dimunculkan. Adapun Subjek dan Objek
penelitian sebagi berikut:
Subjek penelitian :
1. Pimpinan Rumah Yatim At-Tamim
Bandung.
2. Ibu
bendahara
sekaligus
kepala
sekretariat Rumah Yatim At-Tamim
Bandung.
3. Pengurus administrasi dan pengurus
lainnya di Rumah Yatim At-Tamim.
32
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
4. Volunteer yang turut membantu dalam
pengelolaan organisasi di Rumah Yatim
At-Tamim.
5. Anak yatim yang berada di Rumah
Yatim At-Tamim.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
3.Kesimpulan
Pendidikan merupakan hak bagi setiap
orang, tidak terkecuali bagi anak yatim,
dhuafa
maupun
saudara
kita
yang
membutuhkan. Beberapa lembaga pelayanan
pelayanan sosial yang serupa tidak semua
dapat
terus
secara
kontinyu
dalam
memberikan
pelayanan
dalam
bidang
pendidikan, karena ketebatasan dalam
bidang finansial. Rumah Yatim At-Tamim
merupakan salah satu lembaga pelayanan
sosial berbasis keagamaan yang berada di
bawah naungan pondok pesantren At-Tamim
hadir sebagai alternatif dalam memberikan
solusi bagi anak yatim dhuafa dan muallaf
khususnya bagi anak-anak yang berasal dari
luar pulau Jawa, yaitu NTT dan NTB
dikarenakan keterbatasan dana dan kesulitan
dalam megakses pendidikan. Rumah Yatim
At-Tamim berbasis semi panti ini memberikan
pelayanan sosial dalam bidang pendidikan
melalui pembiayaan sekolah formal (biaya
sehari-hari termasuk uang saku), pemberian
pendidikan informal yang diselenggarakan di
dalam Rumah Yatim berupa programprogram pendidikan yang kental dengan
kurikulum berbasis agama Islam diantaranya
mengaji Al-Qur’an dan setor hafalan, fiqih,
ceramah dan bentuk keterampilan lain seperti
wirausaha termasuk penyediaan sarana dan
pra sarana yang menunjang dalam bidang
pendidikan. Keseimbangan antara ilmu yang
diperoleh di sekolah dengan ilmu agama yang
diperoleh di lembaga ini diharapkan dapat
menciptakan
generasi
yang
memiliki
wawasan dan akhlak yang baik.
Pekerja sosial dalam setting human
service organization berbasis agama ini dapat
menjadi advokat dalam memperjuangkan
pendidikan bagi anak yang putus sekolah
danmelihat
bahwa
isu
pelayanan
dalampendidikan
bukan
saja
menjadi
pekerjaan rumah bagi sebagian orang,
melainkan tanggung jawab bagi kita semua,
terutama stakeholder terkait. .Salah satu
caranya
dapat
diperjuangkan
melalui
pembuatan
kebijakan
untuk
memperjuangkan
kesejahteraan
anak
khususnya bagi anak yatim, dhuafa dan yang
memiliki keterbatasan dalam mengakses
pendidikan di Indonesia dan memberikan
saran yang membangun agar Rumah Yatim
At-Tamim dapat meningkatkan pelayanan
sosial dalam bidang pendidikan. Selain itu,
Objek Penelitian sebagai berikut :
Objek dalam penelitian ini adalah aktivitas
yang berhubungan dengan pelayanan
sosial dalam bidang pendidikan di Rumah
Yatim At-Tamim.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1. Observasi langsung di Rumah Yatim AtTamim, sehingga peneliti tidak hanya
mengamati berbagai kegiatan atau
aktivitas yang ada di dalam panti, tetapi
juga dapat mengetahui bentuk-bentuk
pelayanan sosial yang diberikan kepada
anak yatim di Rumah Yatim At-Tamim
khususnya dalam bidang pendidikan
yang berbasis agama Islam.
2. Wawancara mendalam. Wawancara ini
dilakukan kepada informan dengan
bertatap muka secara langsung dan
pertanyaan yang diajukan bersifat
terbuka dan informal. Selain itu,
bersifat mendalam untuk memperoleh
data yang dibutuhkan secara lebih
detail.
3. Dokumentasi,
beberapa
bentuk
dokumentasi ini sangat penting dan
menunjang dalam pengumpulan data.
Metode yang peneliti gunakan untuk
menguji kebenaran data adalah dengan
menggunakan triangulasi untuk metode
kualitatif, karena dengan metode ini dapat
membandingkan hasil wawancara dengan isu
yang diangkat serta membandingkan hasil
observasi dengan hasil wawancara.
Metode yang peneliti gunakan dalam
menganalisis data adalah sebagai
berikut :
1. Deskripsi data, yakni dengan menelaah
semua data dari sumber yang didapat
termasuk kajian pustaka.
2. Reduksi data, jadi setelah semua data
yang diperoleh peneliti baca, kemudian
dipelajari
dan
ditelaah,
peneliti
memasukkan hal-hal yang penting saja.
3. Menyusun data sesuai format skripsi.
33
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Suharto, Edi. 2004. Pembangunan, Kebijakan
pekerja sosial dapat memberikan akses
dalam melanjutkan pendidikan formal bagi
anak asuh di Rumah Yatim At-Tamim.
Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung:
PT. Refika Aditama
Suharto, Edi. 2011. Kebijakan Sosial Sebagai
Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta
Sahara, H. dan Jamal Lisman H. 1992.
PengantarPendidikan1,
Jakarta:PT
GramediaWidia Sarana
Sihombing, U. 2002.Pendidikan Berbasis
Masyarakat.Jakarta: CVMultiguna
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia
Wibhawa Budhi, T.Raharjo, Santoso & B.
Meilany. 2010. Dasar- Dasar Pekerjaan
Daftar Pustaka
Adi, Rukmanto, Isbandi. 1994. Psikologi,
Pekerjaan
Sosial
dan
Ilmu
Kesejahteraan
Sosial
Dasar-Dasar
Pemikiran. Pt Raja Grafindo Persada :
Jakarta
Setiadi Lase, 2009 dengan judul
Efektivitas Pelayanan Sosial Anak di
Bidang Pendidikan oleh Panti Asuhan
Al-Washliyah Kelurahan Gedung Johor
Kecamatan Medan Johor, Artikel
Fahrudin, Adi. 2012.Pengantar Kesejahteraan
Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama
Hariana, 2013 dengan judul Penerapan
Pengukuran Kualitas Pelayanan di
Lembaga Kursus Keterampilan “X” Kota
Gorontalo, Artikel
Jones, Andrew . 1995. Working in Human
Dodi
Sosial Pengantar Profesi Pekerjaan
Sosial. Widya Padjadjaran.
Zastrow, Charles. 1995. The Practice of Social
Work.
4th
Edition.
California
:Brooks/Cole Publishing Company.
Data Dinas Sosial, antarajawabarat.com/lihat
cetak/25056 2012
UNICEF Indonesia, Laporan Tahunan 2012.
Diakses melalui www.unicef.or.id
Pedoman Standar Nasional Pengasuhan
untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial
Anak (Jakarta : Kementrian Sosial
Republik Indonesia
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/View/id/
1488
http://simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/
materibuku/Data%20Panti%20Asuhan
%20Yatim%20Piatu_2011.pdf
http://money.howstuffworks.com/economics/
volunteer/organizations/faith-basedorganizations.htm
https://www.academia.edu/5262375/Defining
_FaithBased_Organizations_and_Understandi
ng_Them_Through_Research
Services Organization, a Critical
Introduction. Australia : Longman.
Kettner, Daley & Nichols. 1995. Iniziating
Change
in
Organizations
and
Communities. California :Brooks/Cole
Publishing Company
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Rossy Simarmata dengan judul Efektivitas
Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh
oleh Yayasan Kinderfreude, Ilmu
Kesejahteraan
Sosial
Univesitas
Sumatera Utara, Skripsi
Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat Kajian Strategi
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika
Aditama
34
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
INTERAKSI DIDALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN
DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS
JAKARTA
Oleh:
Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat
Email:
([email protected]; [email protected]; [email protected])
ABSTRAK, Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya,
dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu peran,
sikap dan perilaku orangtua dalam proses pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam
pembentukan dan perkembangan kepribadian anak. Dengan kehadiran seorang anak dalam
keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan intensitasnya harus semakin
meningkat, artinya dalam keluarga perlu ada komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara
orang tua dengan anak. Cukup banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak
adanya komunikasi yang baik dalam keluarga. Dalam kenyataannya, proses interaksi anak dengan
orangtua tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan dan tidaklah sesederhana yang kita
bayangkan dan katakan. Pengasuhan sering dibumbui oleh berbagai hal yang tidak mendukung
bagi kemandirian anak, antara lain: sikap dan perilaku orangtua yang tidak dapat menjadi contoh
bagi anak-anaknya, suasana emosi anggota rumah tangga sehari-hari yang tidak kondusif, serta
interaksi anggota keluarga lainnya yang tidak baik. Dengan situasi seperti itu, maka tidak semua
interaksi keluarga terhadap anak efektif, akibatnya, perilaku dan kemandirian anak, tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Faktor lingkungan, seperti kemajuan teknologi informasi dan globalisasi
yang berkembang pesat dewasa ini sangat mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam
individu, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat berakibat terjadinya berbagai permasalahan
sosial pada anak diantaranya; penyimpangan perilaku baik pada anak maupun pada orang
dewasa, seperti tindak kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain yang
menyebabkan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
ABSTRAC, family is the child's living environment known for the first time, and there is so many
things that children learn in their family. Therefore roles, attitudes and behavior of children of
parents in the parenting process, a very large influence in the formation and development of the
child's personality. With the presence of a child in the family, family communication becomes more
important and the intensity should be increased, meaning that in the family there needs to be
good communication and as often as possible between parents and children. Quite a lot of
problems that arise in the community because of or lack of good communication within the
family.In reality, the process of interaction between children and parents are not always as
expected and not as simple as we imagine and say. Parenting is often flavored by a variety of
things that are not conducive to the child's independence, among other things: the attitude and
behavior of parents who can not be an model for their children, the emotional atmosphere of the
household members everyday that are not conducive, as well as the interaction of other family
members who are not good , With such a situation, it is not all the families of the children's
interactions effective, consequently, the behavior and the child's independence, not as expected.
Environmental factors, such as advances in information technology and the globalization of today's
rapidly growing influence of values and norms that apply in the individual, family, and community.
This can result in a variety of social problems in children including; deviant behavior both in
children and in adults, such as violence, theft, sexual abuse, brawls and others that causes child
against the law.
35
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
persepsi, baik mengenai hal-hal yang ada di
luar dirinya, maupun mengenai dirinya
sendiri. Di dalam keluarga, orangtualah yang
berperan
utama
dalam
mengasuh,
membimbing dan membantu mengarahkan
anak untuk menjadi mandiri dan berperilaku
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Mengingat masa anakanak dan remaja merupakan masa yang
penting dalam proses perkembangan fisik,
mental dan psikososial, dan sering dikatakan
sebagai masa labil dan masih mencari
identitas, maka peran orangtua sangat
penting.
A. PENDAHULUAN
Permasalahan sosial pada anak
diantaranya; penyimpangan perilaku baik
pada anak maupun pada orang dewasa,
seperti
tindak
kekerasan,
pencurian,
pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain
yang menyebabkan anak berhadapan dengan
hukum. Dikatakan penyimpangan sosial
karena mengganggu ketertiban orang lain
atau masyarakat, merupakan perilaku yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau
kepatutan (kemanusiaan), baik dalam sudut
pandang moral (agama) secara individual
maupun masyarakat. Akibatnya, anak-anak
yang berperilaku menyimpang tersebut sering
disebut sebagai anak nakal, atau yang yang
berhadapan
dengan
hukum.
Anak
berhadapan dengan hukum (ABH) meliputi
anak yang berkonflik dengan hukum dan
anak korban tindak pidana. Tindakan
melawan hukum merupakan salah satu
bentuk penyimpangan perilaku.
Dengan kehadiran seorang anak
dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga
menjadi lebih penting dan intensitasnya
harus semakin meningkat, artinya dalam
keluarga perlu ada komunikasi yang baik dan
sesering mungkin antara orang tua dengan
anak. Cukup banyak persoalan yang timbul di
masyarakat karena atau tidak adanya
komunikasi yang baik dalam keluarga.
Hubungan yang terjadi di dalam keluarga
biasanya dilakukan melalui suatu kontak
sosial dan komunikasi. Kedua hal ini
merupakan syarat terjadinya suatu interaksi
sosial. Artinya, interaksi yang sesungguhnya
dapat diperoleh melalui kontak sosial dan
komunikasi.
Terjadinya
interaksi
dan
komunikasi dalam keluarga akan saling
mempengaruhi satu dengan yang lain dan
saling memberikan stimulus dan respons.
Dengan interaksi antara anak dengan orang
tua, akan membentuk gambaran-gambaran
tertentu pada masing-masing pihak sebagai
hasil dari komunikasi. Anak akan mempunyai
gambaran tertentu mengenai orang tuanya.
Dengan adanya gambaran-gambaran tertentu
tersebut sebagai hasil persepsinya melalui
komunikasi, maka akan terbentuk juga sikapsikap tertentu dari masing-masing pihak.
Data Ditjen Pemasyarakatan Juni
2014 menujukan 2.060 anak (1.891 laki-laki,
169 perempuan) ditahan di berbagai institusi
penahanan yang tersebar di Indonesia dan
masih dalam proses peradilan. Jumlah
narapidana anak di Indonesia 3.379 anak
(3.095 laki-laki, 284 perempuan) sudah pada
proses peradilan dinal (putusan peradilan).
Angka ini meningkat dibandingkan populasi
tahanan anak pada tahun 2011. Komisi
Nasional Perlindungan Anak (LSM Komnas
PA) melaporkan bahwa terdapat 1.851
pengaduan anak yang berhadapan dengan
hukum (pencurian, kekerasan, pemerkosaan,
narkoba, perjudian dan penganiayaan).
Keluarga
merupakan
lingkungan
kehidupan yang dikenal anak untuk pertama
kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak
belajar di dalam kehidupan keluarga. Oleh
karena itu peran, sikap dan perilaku orangtua
dalam proses pengasuhan anak, sangat besar
pengaruhnya dalam pembentukan dan
perkembangan kepribadian anak. Di dalam
keluarga
anak-anak
mulai
menerima
pendidikan yang pertama dan paling utama.
Pendidikan yang diterima oleh anak mulai
dari pendidikan agama, cara bergaul, dan
hubungan interaksi dengan lingkungan.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang
pertama bagi anak. Dalam lingkungan
keluargalah
anak
mulai
mengadakan
Namun dalam kenyataannya, proses
interaksi anak dengan orangtua tidak selalu
sesuai dengan yang diharapkan dan tidaklah
sesederhana yang kita bayangkan dan
katakan. Pengasuhan sering dibumbui oleh
berbagai hal yang tidak mendukung bagi
kemandirian anak, antara lain: sikap dan
perilaku orangtua yang tidak dapat menjadi
contoh bagi anak-anaknya, suasana emosi
anggota rumah tangga sehari-hari yang tidak
kondusif, serta interaksi anggota keluarga
36
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
musyawarah untuk mencapai kesepakatan
seadil-adilnya dalam kasus yang dihadapi.
Peran pekerja sosial yang lebih besar harus
diikuti dengan peningkatan kualitas maupun
kuantitas. Secara kualitas dituntut memiliki
pengetahuan dan keterampilan terkait isu
ABH misalnya, pemahamannya tentang UU
SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU terkait.
Tentang keterampilan misalnya, pekerja
sosial harus dibekali dengan kemampuannya
dalam mengatasi klien yang mengalami
trauma dan bagaimana mengatasinya. Dari
kuantitas, secara otomatis dibutuhkan jumlah
pekerja sosial yang lebih besar dalam
mengatasi
ABH.
Peningkatan
kualitas
maupun kuantitas pekerjaan sosial bisa
dilakukan
dengan
meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan pekerjaan sosial
yang selama ini sudah ada di beberapa
perguruan tinggi, selain itu juga bisa
dilakuian pelatihan yang dapat menunjang
pengetahuan pekerja sosial terkait ABH.
lainnya yang tidak baik. Dengan situasi
seperti itu, maka tidak semua interaksi
keluarga terhadap anak efektif, akibatnya,
perilaku dan kemandirian anak, tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Faktor lingkungan,
seperti kemajuan teknologi informasi dan
globalisasi yang berkembang pesat dewasa
ini sangat mempengaruhi nilai dan norma
yang berlaku dalam individu, keluarga, dan
masyarakat. Hal ini dapat berakibat
terjadinya berbagai permasalahan sosial pada
anak diantaranya; penyimpangan perilaku
baik pada anak maupun pada orang dewasa,
seperti
tindak
kekerasan,
pencurian,
pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain
yang menyebabkan anak berhadapan dengan
hukum. Kenakalan anak pada era globalisasi
saat ini tidak lagi merupakan fenomena
sederhana, namun telah meluas menjadi isu
yang sangat mengkhawatirkan. Kasus ABH di
Indonesia cenderung meningkat dari tahun
ke tahun (Sari, 2011, h.8). Perilaku
menyimpang yang biasa dikenal dengan
nama
penyimpangan
sosial
karena
mengganggu ketertiban orang lain atau
masyarakat, merupakan perilaku yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau
kepatutan (kemanusiaan), baik dalam sudut
pandang moral (agama) secara individual
maupun masyarakat. Akibatnya, anak-anak
yang berperilaku menyimpang tersebut sering
disebut sebagai anak nakal, atau anak yang
berhadapan dengan hukum. Masalah Anak
Berhadapan dengan hukum (ABH) tersebut
telah menjadi perhatian Kementerian Sosial
RI. Menurut Pusdatin 2009, jumlah anak
nakal sebanyak 148.371 jiwa dari populasi
anak 64.359.706
jiwa (Kompilasi Data
Departemen Sosial 2009).
B. JENIS PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitiannya,
penelitian ini termasuk ke dalam penelitian
deskriptif.
Dalam
penelitian
deskriptif,
gambaran atau fenomena suatu realitas
sosial yang kompleks dapat dihasilkan secara
lebih spesifik dan mendetail (Neuman, 2006,
h. 35). Penelitian deskriptif dapat berupa
kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi
keduanya. (Usman dan Akbar, 2008, h. 130).
Diantara ketiga jenis tersebut, penelitian ini
termasuk penelitian deskriptif kualitatif.
Karakteristik penelitian kualitatif dilakukan
pada kondisi alamiah, langsung ke sumber
data dan peneliti sebagai instrument, lebih
bersifat deskriptif, lebih menekankan pada
proses daripada produk, analisa data secara
induktif, dan lebih menekankan pada makna
(Sugiyono, 2005, h. 143) Penelitian sosial
yang
menggunakan
format
deskriptif
kualitatif bertujuan untuk menggambarkan
meringkaskan berbagai kondisi, berbagai
situasi atau fenomena realitas sosial yang
ada di masyarakat yang menjadi obyek
penelitian. Pada jenis penelitian deskriptif
kualitatif, data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.
Dengan demikian laporan penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi
gambaran penyajian laporan tersebut. Data
Pekerja sosial disini dimaksudkan
sebagai aktivitas professional yang bertujuan
untuk menolong individu, kelompok, dan
masyarakat dalam meningkatkan atau
memperbaiki
kapasitas
mereka
agar
berfungsi sosial dan menciptakan kondisi –
kondisi masyarakat yang kondusif untuk
mencapai tujuan tersebut. Pekerja sosial
dituntut untuk melakukan advokasi terhadap
ABH agar hak-haknya dapat terpenuhi sesuai
dengan UU SPPA. Selain itu, secara spesifik
peran pekerja sosial dibutuhkan dalam proses
diversi.
Bersama-sama
dengan
anak,
orangtua atau wali, korban, pembimbing
kemasyarakatan, pekerja sosial melakukan
37
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
hendaknya memperhitungkan keberadaan
individu lain yang ada dalam lingkungannya.
Hal tersebut penting diperhatikan karena
tindakan
interaksi
sosial
merupakan
perwujudan dari hubungan atau interaksi
sosial.
tersebut mungkin berasal dari naskah,
wawancara, catatan lapangan, foto, video
tape, atau dokumentasi resmi lainnya
(Moleong, 2000, h. 6). Penelitian jenis ini
untuk memperoleh keleluasaan dalam
menggambarkan
permasalahan
secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai
situasi yang ada di lapangan. Dengan jenis
penelitian ini, peran-peran yang dijalankan
oleh pekerja sosial dalam penerapan
restorative justice dan hambatan-hambatan
yang dialami dalam menjalankan peran
tersebut akan lebih mudah terjabarkan dan
dipahami.
Bentuk interaksi sosial yang terjadi antara
dua orang atau lebih yang akan berdampak
pada sifat seorang individu yang dapat
mempengaruhi sebuah perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang. Artinya dalam
interaksi sosial terdapat hubungan yang
dilakukan oleh manusia baik secara individu
maupun
kelompok,
yang
merupakan
hubungan yang dilakukan oleh manusia
untuk bertindak terhadap sesuatu atas dasar
makna yang dimiliki oleh manusia. Dengan
demikian makna interaksi,kemudian makna
yang dimiliki oleh manusia itu berasal dari
interaksi
antara
seseorang
dengan
sesamanya.
C. ISI
Manusia dalam hidup bermasyarakat,
akan saling berhubungan dan saling
membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan
itulah yang dapat menimbulkan suatu proses
interaksi sosial. Kata interaksi secara umum
dapat diartikan saling berhubungan atau
saling bereaksi dan terjadi pada dua orang
induvidu atau lebih. Sedangkan sosial adalah
berkenaan dengan masyarakat (Wiyono,
2007:234). Oleh karena itu secara umum
interaksi sosial dapat diartika sebagai
hubungan yang terjadi dalam sekelompok
induvidu yang saling berhubungan baik
dalam berkomunikasi maupun melakukan
tindakan sosial.
Interaksi sosial secara konkret,
meupakan interaksi sosial yang dapat
dipahamioleh
semua
manusia
sejak
lahir,karena pada dasarnya kehidupan
manusia tidak terlepas dari lingkungan
dimana dia berada. Di lingkungan tersebut
manusia
saling
berkomunikasi
dan
berinterakasi, sehingga secara tidak sadar
manusia telah melakukan interaksi sosial.
Interaksi sosial tersebut kemudian menjadi
ciri khas sikap dan perilaku manusia dalam
lingkungan.
Interaksi sosial merupakan pula salah
satu
prinsip
integritas
kurikulum
pembelajaran yang meliputi keterampilan
berkomunikasi, yang bekerja sama yang
dapat untuk menumbuhkan komunikasi yang
harmonis
antara
individu
dengan
lingkungannya
(Hernawan,
2010:314).
Berdasarkan
pendapat
tersebut
dapat
dipahami bahwa interkasi sosial sangat
penting diberikan sebagai pengetahuan
kepada siswa sejak dibangku sekolah, karena
berkenaan
dengan
keterampilan
berkomunikasi dan kerja sama yang dapat
menumbuhkan sikap siswa setelah terjun
kemasyarakat kelak.
Interaksi sosial dapat dilihat pada
kehidupan sehari-hari termasuk kita sendiri,
yang kita ketahui, bukan saja di pengaruhi
oleh kemampuan dalam intelektual individu.
Karena manusia itu sendiri senantiasa
melakukan
hubungan
yang
dapat
mempengaruhi hubungan timbal balik antara
manusia yang satu dengan yang lain,dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
dalam
mempertahankan kehidupannya. Bahkan
secara ekterm manusia akan mempunyai arti
jika ada manusia yang lain tempat untuk
berinteraksi.
Interaksi
sosial
bermula
dari
perasaan-persaaan
ketidakadilan
yang
dirasakan
oleh
sekelompok
orang.
Ketidakadilan ini menimbulkan perasaan
benci, marah dan bermusuhan. Dalam hal ini
keadilan memang merupakan sesuatu yang
(Max Weber dalam Hernawan, 2010:14),
menjelaskan bahwa tindakan interaksi sosial
adalah tindakan seorang individu yang dapat
mempengaruhi individu- individu lainnya
dalam lingkungan sosial. Dalam bertindak
atau berperilaku sosial,seorang individu
38
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Anak
menurut
Undang-Undang
Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin. Dalam perspektif UndangUndang Peradilan Anak, anak adalah orang
yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah kawin. Sementara dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa
batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
Adapun
pengertian
anak
menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang
belum cukup umur, yaitu mereka yang
melakukan
perbuatan
(tindak
pidana)
sebelum umur 16 (enam belas) tahun
relatif sifatnya, yang hanya tergantung pada
nilai-nilai yang dianut,dalam orientasi hidup
individu di tentukan oleh situasi dan kondisi
tertentu.
Dalam
kehidupan
seharihari,individu tidak bisa lepas dari interaksi
sosial. Setinggi apapun kemandirian seorang
induvidu, tetap akan membutuhkan orang
lain.
Berdasarkan pengertian tersebut,
maka dapat dijelaskan bahwa interaksi sosial
merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki
oleh siswa dalam melakukan hubungan baik
antara rekan-rekannya,antara siswa dan guru
maupun siswa dengan orang tuanya, baik
dalam menerima, maupun menolak dan
menilai komunikasi yang diperoleh dalam
bentuk proses interaksi. Interaksi sosial
seseorang
sesuai
dengan
tingkat
keberhasilan
dalam
menjalin
sebuah
hubungan yang dinyatakan dalam bentuk
prialaku sosial yang baik,yang dapat
diketahui setelah diadakan evaluasi.
Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak
(KHA), anak adalah setiap manusia yang
berusia
dibawah
18
tahun,
kecuali
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku
bagi anak yang ditentukan bahwa usia
dewasa telah mencapai lebih awal. Dengan
demikian pasal ini mengakui bahwa batas
usia kedewasaan dalam aturan hukum
sebuah Negara mungkin berbeda dengan
ketentuan KHA. Dalam kasus ini Komite Hak
Anak menekankan agar Negara meratifikasi
KHA menyelaraskan peraturan-peraturan
hukumnya dengan KHA. Dari pengertian ini
tidak terlihat permulaan atau dimulainya
status anak. Apakah sejak anak tersebut
lahir, ataukah sejak anak tersebut masih
dalam kandungan ibunya. Dalam hal ini KHA
tidak menyebutkan secara tegas. Tetapi
dalam bagian mukadimah, dinyatakan bahwa
anak dikarenakan ketidakmatangan jasmani
dan mentalnya memerlukan pengamanan dan
pemeliharaan khusus termasuk perlindungan
hukum yang layak sebelum dan sesudah
kelahirannya. Pada prinsipnya pokok pikiran
yang harus dipegang adalah bahwa Negara
yang meratifikasi KHA harus memajukan dan
melindungi kepentingan dan hak anak
sebagai manusia hingga mereka bisa
mencapai kematangan mental dan fisik.
Anak merupakan bagian yang tidak
terpisahkan
dari
kehidupan
suatu
masyarakat. Anak adalah makhluk sosial
seperti
juga
orang
dewasa.
Anak
membutuhkan orang lain untuk dapat
membantu mengembangkan kemampuannya,
karena anak lahir dengan segala kelemahan
sehingga tanpa orang lain anak tidak
mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan
yang normal.
Pengertian
anak
secara
umum
dipahami masyarakat adalah keturunan
kedua setelah ayah dan ibu. Sekalipun dari
hubungan yang tidak sah dalam kaca mata
hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga
pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia.
Sedangkan
dalam
pengertian
Hukum
Perkawinan Indonesia, anak yang belum
mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya. Selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaan. Pengertian ini
bersandar pada kemampuan anak, jika anak
telah mencapai umur 18 tahun, namun belum
mampu menghidupi dirinya sendiri, maka ia
termasuk katagori anak. Namun berbeda
apabila ia telah melakukan perbuatan hukum,
maka ia telah dikenai peraturan hukum atau
perUndang-Undangan.
Anak mempunyai hak-hak yang
secara spesifik berbeda dengan manusia
dewasa karena kondisi fisik dan mentalnya
yang belum stabil. Dalam banyak hal, anak39
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kenakalan anak, kenakalan remaja, atau
kenakalan
pemuda.
Kartono
(1998)
mengemukakan bahwa juvenile delikuency
adalah
perilaku
jahat
atau
kejahatan/kenakalan anak- anak muda yang
merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk tingkah laku
yang menyimpang (h. 6).
anak
memerlukan
perlakuan
dan
perlindungan khusus, terutama terhadap
perbuatan
yang
bisa
merugikan
perkembangannya maupun masyarakat. Anak
membutuhkan pihak lain seperti keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara untuk
mendukung tumbuh kembang anak secara
wajar. Kesejahteraan dan perlindungan anak
merupakan persoalan yang serius karena
terkait dengan kelangsungan hidup sebuah
masyarakat dan rancang bangun sosial masa
depan sebuah negara (Supeno, 2010, h. 31).
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan
instrumen yang penting terkait hak anak
karena sifatnya yang mengikat secara hukum
bagi semua anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang telah meratifikasinya dan
mulai diberlakukan sejak 2 September 1990.
KHA terdiri atas 54 pasal yang berdasarkan
materi hukumnya mengatur tentang hak-hak
anak yang dapat dikelompokkan dalam
empat kategori, yaitu :
Bartollas (1985) mengemukakan ada
beberapa faktor yang menjadi latar belakang
karakteristik pribadi anak yang berisiko tinggi
menjadi pelaku deliquency, yaitu umur (anak
yang lebih muda akan berisiko lebih tinggi),
variabel psikologis (sifat membantah, susah
diatur, merasa kurang dihargai), school
performance (bermasalah di sekolah dengan
home
tingkah
lakunya,
membolos),
adjustment (kurang interaksi dengan orang
tua dan saudara, kurang disiplin dan
pengawasan, minggat), pengguna alkohol
dan obat terlarang, lingkungan tetangga, dan
adanya pengaruh kekuatan teman sebaya
(Marlina, 2009, h. 61).
1. Hak terhadap kelangsungan hidup,
yang
meliputi
hak
untuk
mempertahankan hidup, hak untuk
memperoleh
standar
kesehatan
tertinggi, dan perawatan yang sebaikbaiknya.
Secara konseptual, Unicef (2004)
menyatakan bahwa anak yang berhadapan
dengan hukum (children in conflict with the
law) dimaknai sebagai seseorang yang
berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan
dengan sistem peradilan pidana dikarenakan
yang bersangkutan disangka atau dituduh
melakukan tindak pidana. Di Indonesia
batasan usia untuk pertanggungjawaban
pidana sesuai ketentuan UU No. 3 tahun
1997 adalah 8 tahun sampai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin. Penetapan usia 8
tahun sebagai titik asumsi batas minimum di
Indonesia dianggap terlalu rendah karena
dalam
hukum
kebiasaan
internasional
(international customary law), batas minimal
usia pertanggung jawab pidana adalah 12
tahun (YPHA, 2010, h. 19).
2. Hak terhadap perlindungan, yaitu hak
perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan ketelantaran.
3. Hak untuk tumbuh kembang yang
meliputi hak anak akan pendidikan
dan hak untuk mencapai standar
hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral, dan
sosial.
4. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak
anak untuk menyatakan pendapat
atas segala hal yang mempengaruhi
kehidupannya.
Perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum telah diatur
dalam
beberapa
instrumen
hukum
internasional antara lain Peraturan Standar
PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak
(Beijing Rules), Konvensi Hak Anak, Pedoman
PBB dalam rangka Pencegahan Tindak Pidana
Anak (Riyadh Gidelines), dan Resolusi PBB
tentang Administrasi Peradilan Anak (Vienna
Guidelines), dan Aturan Minimum PBB
mengenai Tindakan Non Penahanan (Tokyo
Istilah Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (ABH) sangat terkait dengan
kenakalan anak atau yang sering disebut
dengan juvenile deliquency. Sebagaimana
halnya
pengertian
anak,
pengertian
kenakalan atau delikuensi juga beragam.
Istilah delikuensi berasal dari delinquency
dan pada umumnya bergandengan dengan
kata juvenile sehingga dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan sebagai
40
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Rules). Dari sekian banyak instrumen hukum
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang telah mencapai usia 12
(dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia
18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah:
tersebut,
Supeno
(2010)
telah
merangkumnya dalam tiga belas prinsip
sebagai manifestasi dari hak anak dalam
sistem peradilan, yaitu pelaku adalah korban;
pertimbangan kepentingan anak; tidak
mengganggu
tumbuh
kembang
anak;
penghargaan pendapat anak; prinsip adil dan
setara; menjunjung harkat dan martabat;
kepastian hukum; pencegahan kenakalan
anak; mindset pengadilan; pemidanaan
sebagai upaya terakhir; perhatian khusus
kelompok rentan; pendekatan peka gender;
dan tidak ada penjara anak (h. 90-119)
a) Yang diduga, disangka, didakwa, atau
dijatuhi pidana karena melakukan
tindak pidana;
b) Yang menjadi korban tindak pidana
atau yang melihat dan/atau mendengar
sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan
hukum dapat juga dikatakan sebagai anak
yang terpaksa berkontak dengan sistem
pengadilan pidana karena :
Berdasarkan peraturan perundang
undangan yang berlaku di Indonesia secara
yuridis, batasan usia kapan seseorang
dikategorikan anak terjadi dualisme.Satu
pihak menetapkan anak adalah seseorang
yang berusia di bawah 21 tahun, dipihak lain
menetapkan anak adalah seseorang yang
berusia di bawah 18 tahun. Dalam sistem
perundang-undangan kita belum ada unifikasi
tentang hukum anak, akan tetapi sudah
terkodifikasi dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Undang-Undang memberikan pengetian anak
lebih menitik beratkan pada pembatasan
usia. Untuk lebih jelasnya penulis menyajikan
beberapa pengertian Hukum Anak yang
sudah terkodifikasi.
a)
Disangka, didakwa, atau dinyatakan
terbukti bersalah melanggar hukum
b)
Telah menjadi korban akibat perbuatan
pelanggaran hukum tang dilakukan
orang/kelompok orang/lembaga/negara
terhadapnya; atau
c)
Telah melihat, mendengar, merasakan,
atau mengetahui suatu peristiwa
pelanggaran hukum.
Ada dua kategori perilaku anak yang
membuat ia harus berhadapan dengan
hukum :
Salah satu persoalan yang serius dan
mendesak untuk memperoleh perhatian
adalah penanganan Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (ABH). Dimensi berhadapan
dengan hukum berarti adanya tindakantindakan anak yang bertentangan dengan
ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku
dan sah di Indonesia , sehingga dalam
konteks ini dapat didefinisikan bahwa anakanak yang bermasalah dengan hukum anakanak yang belum dewasa menurut hukum
dan melakukan tindakan- tindakan yang
bertentangan dengan hukum yang berlaku
dan sah.
a.
Status
Offence,
Yaitu
perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan
orang
dewasa
tidak
dianggap
kejahatan, misal: membolos sekolah,
kabur dari rumah ,dll.
b.
Juvunile Delequency; Yaitu perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan
orang dewasa dianggap kejahatan atau
criminal.
misal;
perampokan,
memperkosa, pelecehan seksual, dll
Oleh karena itu jika dilihat ruang
lingkupnya maka anak yang berhadapan
dengan hukum dapat dibagi menjadi :
Umumnya
anakanak
yang
berhadapan dengan hukum didefinisikan
sebagai anak yang disangka , didakwa atau
dinyatakan bersalah melanggar ketentuan
hukum atau seorang anak yang diduga telah
melakukan atau telah ditemukan melakukan
suatu
pelanggaran
hukum.
Dalam
kepustakaan hukum, ABH disebutkan bahwa
a) Pelaku atau
pidana;
tersangka
b) Korban tindak pidana;
c) Saksi suatu tindak pidana
41
tindak
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Dalam
memahami
Anak
yang
Berhadapan dengan Hukum (ABH) terdapat
beberapa hal penting yang saling berkaitan ,
yaitu :
a.
Pelaku
kerap
menjadi
sarana
pelampiasan kemarahan masyarakat
yang
merasa
tercoreng
rasa
keadilannya.
b.
Hukum beserta aparat penegak
hukumnya
berusaha
untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat
dengan memproses kasus pidana
yang dilakukan oleh anak tersebut.
c.
Sebagai seorang anak, mekanisme
hukum
dan
rasa
keadilan
masyarakat
harus
ditempatkan
dalam kerangka yang mendorong
secara
konstruktif
ke
arah
perkembangan fisik dan psikisnya.
HALAMAN: 1 -
kepada anak yang
kejahatan, yaitu
ISSN:2339 -0042
melakukan
tindak
1. Physical Torture (penyiksaan fisik). Bentuk
hukuman
ini
biasanya
diterapkan
dalam
komunitas.
Hukuman ini antara lain berupa
hukuman cambuk, kurungan, dipukul,
diberi cap atau tanda dengan besi
panas, melakukan kerja paksa,
dipelintir, dan mutilasi.
2. Social
Humuliation
(penghinaan
sosial)
Jenis hukuman ini adalah
menurunkan status sosial terhukum di
tengah
masyarakat.
Cara
ini
digunakan di Eropa pada abad ke-16
dan 17. Teknis penghukumannya
sangat
beragam
salah
satu
diantaranya yaitu dengan mengikat
pelaku di tiang yang dipancangkan di
tengah
perkampungan
dan
selanjutnya warga bebas mencaci
maki atau menghujat pelaku.
3. Financial Penalties. Hukuman ini
adalah adanya kewajiban bagi pelaku
untuk membayar sejumlah uang
sebagai ganti rugi atau denda atas
kejahatan yang telah dilakukan.
Dalam jenis hukuman ini akan timbul
masalah jika pelaku adalah anak yang
berasal dari keluarga miskin atau
kurang mampu secara ekonomi.
Alternatif untuk masalah tersebut
biasanya adalah mewajibkan anak
untuk melakukan pekerjaan dengan
upah yang setara dengan nilai ganti
rugi yang harus dibayarkannya.
4. Exile
Hukuman ini dilakukan dalam
bentuk
pengasingan
atau
pembuangan ke tempat yang cukup
jauh dari daerah asal pelaku. Jenis
hukuman ini biasa dipraktekkan pada
abad ke-16 dan 17. Salah satu contoh
yang paling umum adalah Inggris
yang membuang para pelaku kriminal
ke Australia dan Selandia Baru.
5. Death Penalty
Pada jenis ini hukuman
yang diberikan adalah hukuman mati
yang dapat dilakukan dengan metode
eksekusi yang beragam, seperti
digantung,
ditembak,
dibakar,
dipancung, diracun, dan berbagai
metode lain. Hukuman mati biasanya
dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan
Dalam
berbagai
literatur
yang
membahas tentang anak dan kejahatan, ada
dua pendekatan dalam penanganan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu
pendekatan kesejahteraan (Welfare model)
dan pendekatan keadilan (Justice Model)
(Jamrozik, 2001, h. 239). Pendekatan
keadilan yang sering juga disebut dengan
pendekatan hukum menekankan pada
tanggung jawab penuh pelaku atas tindak
kejahatan
yang
telah
dilakukannya
(Kratcoski,
2004,
h.
6),
sedangkan
pendekatan kesejahteraan menekankan pada
kesejahteraan dan pembinaan bagi anak
pelaku kejahatan demi memenuhi kebutuhan
setiap individu anak (Harkrisnowo, 1993, h.
57). Pendekatan keadilan dan kesejahteraan
ini sejalan dengan dua macam perlakuan
yang diberikan kepada anak yang melakukan
tindak
kejahatan,
yaitu
“dihukum”
(Punishment) atau “pembinaan” (Treatment)
(Kratcoski, 2004, h. 6). Dalam pendekatan
keadilan, anak yang melakukan tindak
kejahatan akan diberi perlakuan berupa
hukuman, sementara dalam pendekatan
kesejahteraan,
anak
yang
melakukan
tindakan kejahatan akan diberi intervensi
berupa pembinaan untuk terpenuhinya
kebutuhan individu anak.
Zastrow (2004) menguraikan kedua
tipe perlakuan ini dalam beberapa jenis
tindakan. Dalam perlakuan tipe menghukum,
ada beberapa jenis hukuman yang diberikan
42
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Pekerjaan sosial merupakan sebuah
aktivitas professional dalam menolong
individu, kelompok, dan masyarakat dalam
meningkatkan atau memperbaiki kapasitas
mereka agar berfungsi sosial dan untuk
menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang
kondusif
dalam
mencapai
tujuannya
(Zastrow, 2004, h. 5). Pekerjaan sosial
memfokuskan intervensinya pada proses
interaksi
antara
manusia
dengan
lingkungannya dengan menggunakan teoriteori perilaku manusia dan sistem sosial guna
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pekerjaan sosial berawal dari pembahasan
yang bersifat mikro, baru kemudian dalam
perkembangannya bergerak ke arah mezzo,
atau lebih dikenal dengan level komunitas
atau
organisasi.
Di
sisi
lain,
ilmu
kesejahteraan sosial diawali dengan upaya
untuk memahami suatu fenomena dari
konteks makro, masyarakat dalam arti luas
tanpa melupakan aspek mikro persoalan
tersebut.
yang “luar biasa” dan biasanya
disertai dengan penghilangan nyawa
orang. Hukuman mati sampai saat ini
masih menjadi kontroversi dan
perdebatan oleh banyak pihak. Jenis
hukuman ini juga sangat jarang atau
hampir tidak pernah dijatuhkan pada
anak.
6. Imprisonment
Hukuman ini adalah
hukuman berupa penjara, termasuk
juga di dalamnya penjara seumur
hidup. Dewasa ini jenis hukuman
inilah yang umum diberikan kepada
para pelaku tindak kejahatan (h. 330334).
Manusia memiliki fungsi sosialnya
masing-masing, terutama dalam berinteraksi
dengan sesama manusia karena pada
dasarnya manusia adalah makhluk sosial
yang artinya adalah tidak bisa terlepas dari
orang lain, sehingga membutuhkan sesama
manusia lainnya. Menurut Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial, “kesejahteraan
sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan
diri,
sehingga
dapat
melaksanakan fungsi sosialnya”. Dalam hal
ini kesejahteraan sosial dipahami sebagai
sebuah kondisi.
Pelayanan sosial merupakan salah
satu bentuk dari kebijakan sosial yang
merupakan aksi atau tindakan untuk
mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial
dapat diartikan sebagai seperangkat program
yang ditujukan untuk membantu individu
atau kelompok yang mengalami hambatan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bidang pelayanan sosial yang banyak
mendapat perhatian pekerjaan sosial adalah
pelayanan sosial personal yang mencakup
tiga jenis, yaitu :
Sementara
itu
Zastrow
(2004)
menyatakan bahwa kesejahteraan sosial
pada dasarnya dapat dipahami dalam dua
konteks, yaitu sebagai sebuah institusi dan
sebagai sebuah disiplin akademi. Sebagai
institusi kesejahteraan sosial dapat dipahami
sebagai
program
pelayanan
maupun
pertolongan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sedangkan sebagai sebuah
disiplin ilmu, kesejahteraan sosial mengacu
pada studi terhadap lembaga, program,
maupun kebijakan yang fokus pada
pelayanan masyarakat (h. 5). Dalam konteks
yang inilah istilah kesejahteraan sosial sering
dipertukarkan dengan pekerjaan sosial
meskipun merujuk pada satu maksud yang
sama (Huda, 2009, h. 74). Pada dasarnya
keduanya memiliki ruang lingkup yang
berbeda. Kesejahteran sosial lebih luas
daripada
pekerjaan
sosial,
dimana
kesejahteraan
sosial
meliputi
bidang
pekerjaan sosial (Huda, 2009, h. 81).
1. Perawatan anak Diberikan terhadap
anak-anak
dan
keluarganya,
khususnya anak yang memiliki kebutuhan khusus.
2. Perawatan masyarakat (community
care)
Merupakan
pelayanan
rehabilitasi
berbasis
masyarakat
sebagai alternatif dari pelayanan yang
diberikan
lembaga.
Pelayanan
umumnya diberikan di rumah atau di
lingkungan masyarakat bagi mereka
yang mengalami gangguan fisik atau
mental yang memerlukan penanganan
professional selain bantuan dari
keluarga atau .warga masyarakat
setempat.
3. Peradilan
kriminal
Dalam
sistem
peradilan kriminal, pekerja sosial
43
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
memiliki peranan yang cukup penting.
Mereka biasanya disebut sebagai
pekerja sosial koreksional. Dalam hal
ini pekerja sosial terlibat dalam
penanganan
masalah
kriminal,
termasuk terhadap anak-anak yang
melakukan
pelanggaran
hukum.
Selain melakukan assesmen dan
pendampingan sosial pada tahap
probasi dan parole, pekerja sosial
juga dapat memberikan pelayanan
konseling atau terapi psikososial bagi
narapidana yang ada di dalam penjara
atau terhadap mantan narapidana
yang telah kembali ke masyarakat
(Suharto, 2008, h. 20).
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
(rumah singgah), dan sebagai petugas yang
memberi layanan sosial bagi individu atau
keluarga yang oleh karena kasusnya harus
berhubungan dengan polisi dan aparat
hukum lainnya (h. 340).
Dalam penanganan pelaku anak,
pekerja sosial dapat berperan sebagai
investigator, yaitu melakukan wawancara
terhadap orang tua, anak, dan pihak lain
yang terkait dengan kasus anak seperti
orang-orang dari lingkungan sekolah atau
polisi. Hasil wawancara atau investigasi ini
dapat digunakan membantu aparat hukum
untuk menentukan kelanjutan kasus apakah
akan dihentikan atau iteruskan. Hasil
investigasi ini juga dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan untuk menyusun atau
membuat rencana treatment apa yang akan
diberikan pada anak. Selain itu pekerja sosial
juga dapat berperan sebagai konselor,
petugas parole dan probasi, atau bahkan
sebagai saksi ahli dalam sidang-sidang yang
melibatkan tersangka anak (Crosson-Tower,
2007, h. 266-267).
Dalam bekerja dengan anak, seorang
pekerja sosial harus memahami bagaimana
proses perkembangan anak, apa yang
mereka butuhkan dari lingkungannya, dan
bagaimana mereka bereaksi jika kebutuhan
tersebut tidak dapat mereka peroleh
(Brandon, et al., 1998, h. 3). Dengan
memahami ciri-ciri perkembangan anak dan
dipadukan dengan kondisi sosial anak maka
pekerja sosial akan dapat menetnukan
bagaimana perlakuan yang akan diberikan
pada anak. Selain itu seorang pekerja sosial
yang bekerja dengan anak, juga harus
mampu menjalin hubungan yang baik dengan
orang-orang yang terdekat anak, seperti
orang tua atau keluarga, guru, atau teman
dekat (O’Loughlin and O’Loughlin, 2008, h.
5). Dengan mereka pekerja sosial dapat
mendiskusikan tentang kondisi anak dan
mengupayakan agar dapat bekerja sama
dalam memberikan situasi yang lebih baik
bagi anak (Mabey and Sorensen, 1995, h.
57).
Selain itu, beberapa peran pekerja
sosial dalam penanganan ABH, yaitu sebagai
petugas parole dan probasi; perencana,
pelaksana, dan supervis program rehabilitasi
ABH; dan manajer dalam lembaga rehabilitasi
ABH. Pekerja sosial yang juga memiliki gelar
dalam bidang hukum dapat juga bekerja
sebagai hakim anak (Ginsberg, 1998, h. 144147).
Sementara itu Ambrosino (2001)
memberikan peran yang lebih beragam bagi
pekerja sosial yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dan penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum. Peran-peran
tersebut antara lain membantu polisi dalam
proses investigasi dan wawancara terhadap
anak; manajer program rehabilitasi anak;
sebagai pengajar; sebagai konselor bagi
anak; petugas probasi dan parole; menjadi
pendamping bagi saksi dan korban;
merancang program rehabilitasi bagi anak;
dan membantu mencari pekerjaan atau
tempat tinggal sementara bagi anak yang
baru keluar dari tahanan atau penjara (h.
458-459).
Peranan pekerjaan sosial dalam hal
perlindungan
terhadap
anak
yang
berhadapan dengan hukum pada beberapa
literatur disebutkan bahwa pekerja sosial
pada umumnya bekerja dalam setting
koreksional. Zastrow (2004) menyatakan
bahwa fokus utama pekerjaan sosial dalam
sistem peradilan pidana adalah pada
komponen koreksional. Dalam hal ini ada
berbagai peran yang dapat dilakukan oleh
pekerja sosial dalam menangani ABH. Pekerja
sosial dapat bekerja sebagai petugas probasi
dan parole, pekerja sosial di lingkungan
penjara, pekerja sosial pada half way house
Mengingat peran keluarga dalam
pembentukan karakter atau kepribadian anak
sangat penting melalui interaksi anak didalam
44
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Hermawan,
.
(2009).
Diklat Pekerjaan Sosial Koreksional.
Bandung: Balai besar pendidikan dan
penelitian
Bandung.
Muhidin,
kesejahteraan
sosial
Syarif.1997.“Pengantar
Bandung:
Kesejahteraan
Sosial”.
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Nipan Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm.
21.
M. Z. Lawang, Robert. 1994. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Rusmana, Aep. 2012. Perlindungan Sosial
Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum.
Kekerasan
Terhadap Anak: Fenomena Masalah
Sosial Kritis di Indonesia. (Bandung:
M.Si.
Didik
(Diakses pada 27 Maret 2015)
Kartono, Kartini.1992. “Patologi Sosial 2
Kenakalan Remaja”. Jakarta. Rajawali
Pers
Luhpuri, Dorang dan satriawan. 2004. Modul
PUSTAKA
Huraerah,
ISSN:2339 -0042
“Pengaruh
Interaksi Sosial Terhadap Prestasi
Belajar. Sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas IV SD Negeri
Damar Wulan 1 Kepung yang berjumlah
(http://digilid.ac.id/)
39
siswa”.
keluarga,
dan
karena
jumlah
anak
nakal/berhadapan dengan hukum cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, maka
diperlukan
kajian
mendalam
untuk
mengetahui faktor-faktor interaksi di dalam
keluarga yang berperan dalam mendorong
atau memicu perilaku anak menjadi
nakal/berhadapan dengan hukum. Hal ini
sangat
penting
untuk
mengantisipasi
perubahan norma dan nilai yang ada di
masyarakat, yang mempengaruhi interaksi
didalam keluarga dan yang menyebabkan
terjadinya masalah penyimpangan perilaku
pada anak. Dengan diketahuinya interaksi di
dalam keluarga yang cenderung memicu
kenakalan anak, maka kajian ini diharapkan
bermanfaat bagi pengembangan program
penanganan anak nakal dan atau berhadapan
dengan hukum, baik melalui lembaga
maupun luar lembaga (keluarga dan
masyarakat), khususnya untuk mencegah
terjadinya permasalahan perilaku pada anak.
Abu
HALAMAN: 1 -
2006.
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol. 11
Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sugito. 1994.Interaksi Dalam Keluarga
Nuansa)
Al-Istanbull, Mahmud Mahdi 2002, Mendidik
Anak Nakal. Bandung: Pustaka.
Convention on the Right of thr Child
(Konvensi Hak Anak), pasal 2 ayat (2),
dalam M. Joni dan Zulchaina Z
Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan
sebagai
Dasar
Pengembangan
Kepribadian
Anak.
Cakrawala
Pendidikan Nomor 2, Tahun XIII
Wiyono, A. S., Aspek Psikologi
pada
Implementasi Sistem Teknologi Informasi: Proceeding of Konferensi
dan Temu Nasional Teknologi Informasi
dan Komunikasi untuk Indonesia,
Anak dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, cet. Ke-I (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999)
Diyanayati,
Kissumi,
Perilaku
2009.
Menyimpang Remaja Akibat Perceraian
Orangtua Yogyakarta : B2P3KS Press.
Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung:
Jakarta : e-Indonesia Initiative, 2008.
Zastrow, Charles H, 1999, The Practice of
SocialWork, USA:ColePublishing Co.
Refika Aditama.
Gultom,
Maidin.
Perlindungan
Hukum
Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Refika
Aditama, Bndung, 2008.
45
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK
MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPUDT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN
BANDUNG
Oleh:
Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan
Email:
([email protected]; [email protected]; sangirfan)
ABSTRAK
Masalah sosial yang ada di Indonesia sangatlah banyak salah satunya yaitu fenomena
kemiskinan, kemiskinan disini terbagi menjadi 2 dimensi atau di katagori yaitu kemiskinan di kota
dan kemiskinan di desa. Contoh kemiskinan di desa salah satunya di Desa Neglasari Kecamatan
Majalaya Kabupaten Bandung, Desa Neglasari merupakan daerah basis ekonomi pertanian dan
perternakan di daerah majalaya yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan pertanian
dan lahan ternak. Namun, Desa Neglasari pun termasuk ke dalam penduduk miskin yang tinggi.
Menurut data Desa Neglasari memiliki 3.062KK yang mayoritas dari kalangan keluarga pra
sejahtera Undang-undang No.10 tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga pra sejahtera adalah
keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu memenuhi kebutuhan
makan minimal dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan
berpergian, memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan belum mampu untuk
berobat di sarana kesehatan moderen. Hal ini sesuai dengan keadaan penduduk Desa Neglasari
yang mayoritas menjadi buruh tani dan buruh ternak dengan penghasilan rata-rata Rp
35.000/hari, yang tentunya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari serta biaya pendidikan
tanggungan keluarga lainnya. Dalam mengahadapi masalah kemiskinan, salah satu pendekatan
pemecahan masalah kemiskinan di pedesaan yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan
masyarakat (community empowerment). Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu
pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat
harkat martabat keluarga miskin. Selain pemerintah pun organisasi-organisasi pelayanan sosial
pun melakukan hal sama dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Desa Neglasari merupakan
salah satu sasasran DPU DT dalam melaksanakan program DTM wilayah Jawa Barat. Penentuan
lokasi atau sasaran penerima program tersebut melihat tingkat keluarga pra sejahtera yang tinggi,
potensi pertanian, perternakan, juga sumber daya peternak yang harus dikembangkan, serta
berusaha memperluas jaringan wilayah penerima program DTM di sekitar kabupaten Majalaya.
Key Words : Kemiskinan, Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi Masyarakat, DPU-DT, Desa
Ternak Mandiri.
memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihat
dari segi moral dan evaluatif, dan yang
lainnya lagi memahami dari sudut ilmiah yang
telah mapan. Berikut adalah data atau fakta
mengenai kemiskinan di Jawa Barat yang
memang memiliki jumlah yang cukup besar
bila di bandingkan dengan provinsi lain.
Pendahuluan
Kemiskinan adalah keadaan dimana
terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,
tempat
berlindung,
pendidikan,
dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan
oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan
dasar, ataupun sulit akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemsikinan
merupakan masalah global. Sebagian orang
Tabel 1.1
46
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
Jumlah
Penduduk
Miskin
Provinsi, September 2014
Jumlah Penduduk Miskin
Kota
Desa
Aceh
158,04
Sumatera U
667,47
Sumatera B
108,53
Riau
159,53
Kepulauan
91,27
Jambi
109,07
Sumatera S
370,86
Bangka Beli
20,27
Bengkulu
99,59
Lampung
224,21
DKI Jakarta
412,79
Jawa Barat
2554,06
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
di sarana kesehatan moderen. Hal ini sesuai
dengan keadaan penduduk Desa Neglasari
yang mayoritas menjadi buruh tani dan buruh
ternak dengan penghasilan rata-rata Rp
35.000/hari, yang tentunya tidak mencukupi
untuk kebutuhan sehari-hari serta biaya
pendidikan tanggungan keluarga lainnya.
Menurut
Kota+Desa
679,38
693,13
246,21
338,75
32,9
172,68
714,94
46,96
216,91
919,73
0
1684,9
Dalam mengahadapi masalah kemiskinan,
salah satu pendekatan pemecahan masalah
kemiskinan di pedesaan yang dapat dilakukan
adalah
pemberdayaan
masyarakat
(community empowerment). Pemberdayaan
masyarakat menjadi salah satu pendekatan
yang
kini
sering
digunakan
dalam
meningkatkan
kualitas kehidupan
dan
mengangkat harkat martabat keluarga
miskin. Konsep ini menjadi sangat penting
terutama karena memberikan perspektif
positif terhadap orang miskin yang tidak lagi
dipandang sebagai orang yang serba
kekurangan melainkan sebagai orang yang
memiliki beragam kemampuan yang dapat
dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.
Sumber : Bada Pusat Statistik 2013-2014
Tabel 1 menunjukan di Jawa Barat
memiliki jumlah kemiskinan yang cukup besar
bila di bandingkan dengan Provinsi lain,
khususnya kemiskinan di wilayah pedesaan
menjadi salah satu permaslahan yang
disebabkan
minimnya
akses
lapangan
pekerjaan dan rendahnya kepemilikan modal,
sehingga hal tersebut menjadi sangat wajar
terjadi di daerah pedesaan. Namun tingkat
pendidikan yang rendah dan minimnya
keterampilan menjadikan mereka tersisih dan
hanya menjadi beban perkotaan.
Selain
pemerintah
pun
organisasiorganisasi pelayanan sosial pun melakukan
hal sama dalam konsep pemberdayaan
masyarakat.
Kehadiran
program
pemberdayaan masyarakat di Indonesia
merupakan harapan bagi seluruh masyarakat
terutama yang berada digaris kemiskinan.
Namun sebenarnya yang menjadi masalah
utama adalah bukan bagaimana program
pemberdayaan
terlaksana
dan
dapat
mengeluarkan
masyarakat
dari
garis
kemiskinan, tetapi bagaimana porgram
tersebut membuat mereka menjadi mandiri
dan tidak ketergantungan. Sehingga dengan
kemandirianya
masyarakat
dapat
berpartisipasi dalam setiap tahapan program
yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
pelayanan sosia dan berusaha keluar dari
garis kemiskinan juga membuat pogram
tersebut berkelanjutan.
Kondisi diatas jelas memprihatinkan,
realita kemiskinan bukanlah permasalahan
yang mudah diatasi mengingat kondisi yang
harus di tanggulangi mencakup banyak segi.
Kepemilikan yang tidak merata dan
kemampuan masyarakat yang terbatas.
Desa Neglasari merupakan daerah basiss
ekonomi pertanian dan perternakan di daerah
Majalaya yang sebagian besar wilayahnya
merupakan kawasan pertanian dan lahan
ternak. Namun, Desa Neglasari pun termasuk
ke dalam daerah yang memiliki penduduk
miskin yang tinggi. Menurut data desa
neglasari memiliki 3.062 KK yang mayoritas
dari kalangan keluarga pra sejahtera.
Undang-undang
No.10 tahun 1992
menyebutkan bahwa keluarga pra sejahtera
adalah keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan
dasarnya,
belum
mampu
memenuhi kebutuhan makan minimal dua
kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di
rumah, bekerja, sekolah, dan berpergian,
memiliki rumah yang bagian lantainya bukan
dari tanah, dan belum mampu untuk berobat
Seperti yang di ungkapkan oleh
sastroepoetro (1988), 4 bentuk partisipasi
masyarakat yaitu :
1. Partisipasi pikiran, diberikan dalam
bentuk diskusi dalam pertemuan atau
rapat
2. Partisipasi tenaga, yaitu dalam
berbagai kegiatan yang dicirkan oleh
47
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
hasil kerja manusia untuk perbaikan
dan pertolongan bagi orang lain
3. Partisipasi keahlian atau keterampilan,
yaitu
diberikan
orang
untuk
mendorong aneka ragam bentuk
usaha dan industri.
4. Partisipasi dengan materi, yaitu
diberikan orang dalam berbagai
kegiatan
untuk
perbaikan
dan
pembangunan.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
apa yang dikerjakan oleh masyarakat di
kembalikan lagi untuk masyarakat itu sendiri.
Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid
(DPU-DT) pun memiliki tahapan-tahapan
dalam pelaksanaan program Desa Ternak
Mandiri yang di antaranya :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tahap penyerahan proposal
Tahap pemetaan wilayah
Tahap pemetaan personal
Tahap rapat komite
Tahap MOU
Tahap pembentukan dan peresmian
komunitas
7. Tahap pendampingan rutin
8. Tahap penjualan
9. Tahap pemutusan kontrak bila sudah
mandiri
(Sastropoetro, 1988:56)
Melihat fenomea di atas Dompet Peduli
Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) atau LAZNAS
(Lembaga Amil Zakat Nasional) merupakan
lembaga nirbala milik masyarakat yang
bergerak
di
bidang
penghimpunan
(fundraising) dan pendayagunaan dana ZIS (
Zakat, Infak, Sedekah) serta dana lainnya
yang halal dan illegal dari perorangan,
kelompok, perusahaan atau lembaga. Latar
belakang berdirinya Dompet Peduli Umat
Daruut Tauhiid (DPU-DT) adalah melihat
Indonesia sebagai negara yang dengan
jumlah penduduk muslim terbesar di dunia
memiliki potensi zakat yang sangat besar. Hal
lain yang juga menjadi perhatian adalah
belum optimalnya penggunaan dana zakat
ini. Kadang, penyaluran dana zakat hanya
sebatas pada pemberian bantuan saja tanpa
memikirkan kelanjutan dari kehidupan si
penerima dana.
Desa Neglasari merupakan salah satu
sasasran DPU DT dalam melaksanakan
program DTM wilayah Jawa Barat. Penentuan
lokasi atau sasaran penerima program
tersebut melihat tingkat keluarga pra
sejahtera yang tinggi, potensi pertanian,
perternakan, juga sumber daya peternak
yang harus dikembangkan, serta berusaha
memperluas jaringan wilayah penerima
program DTM di sekitar kabupaten Majalaya.
Oleh karena itu tujuan dari penilitian
ini apakah partisipasi masyarakat terhadap
program Desa Ternak Mandiri tersebut benarbenar mengurangi masalah kemsikinan yang
ada di Desa Neglasari Kecamatan Majalaya
Kabupaten Bandung.
Dari sana peneliti melihat sebuah potensi
yang besar yaitu dari penghimpunan
(fundraising) dana ZIS (Zakat, Infak,
Sedekah) dan tertarik untuk mengetahui
lebih jauh lagi, program yang di laksanakan
oleh Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid ini
salah satu nya adalah pada program Desa
Ternak Mandiri (DTM). Program Dompet
Peduli Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) yang
khusunya pada Desa Ternak Mandiri (DTM)
bertujuan untuk upaya penggemukan hewan
ternak
yang
sasaranya
untuk
memberdayakan peternak kecil di pedesaan.
Dompet Peduli Umat Daruut Tauhid (DPUDT) memberikan modal kerja kepada dhuafa
berupa kambing dan di tahap awalnya
mereka di beri dua sampai lima ekor
kambing, selain itu juga pada program Desa
Ternak
Mandiri
(DTM)
ini
ingin
memberdayakan masyarakat nya untuk
mandiri dan tidak ketergantungan, jadi apa-
Partisipasi masyarakat adalah salah
satu kunci keberhasilan untuk mengatasi
masalah kemiskinan, salah satunya yang di
lakukan oleh Dompet Peduli Umat Daarut
Tauhiid (DPU-DT), kunci dari keberhasilan
yang dilakukan oleh DPU-DT adalah
partisipasi masyarakat itu sendiri terhadap
program yang diberikan yaitu Desa Ternak
Mandiri. Beberapa hal yang menyangkut
dengan partisipasi masyarakat adalah :
a. Pengertian Partisipasi Masyarakat :
Dari rumusan tersebut, bisa diketahui,
arti partisipasi bukan hanya sekedar
mengambil
bagian
atau
pengikutsertaan saja tetapi lebih dari
itu pengertian tersebut terkandung
tiga gagasan pokok, yaitu mental and
48
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
emotional involvement (keterlibatan
mental dan emosi), motivation to
contribute
(
dorongan
untuk
memberikan
acceptance
(penerimaan
sumbangan),
of
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
pelaksanaan sampai pemantuan dan
evaluasi program. Dengan demikian,
partisipasi diletakan di luar lembaga
formal pemerintahan seperti forum
warga. 3) Partisipasi Warga :
pengembalian keputusan langsung
dalam
kebijakan
publik
Warga
berpartisipasi secara langsung dalam
pengambilan
keputusan
pada
lembaga dan proses pemerintah.
Partisipasi menempatkan masyarakat
tidak hanya sebagai penerima (objek),
tetapi sebagai subjek dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan.
c. dikutip Soegijoko (2005), tingkatan
partisipasi (dari yang terendah sampai
tertinggi) sebagai berikut : 1) Berbagi
informasi bersama (sosialisasi) :
pemerintah hanya menyebar luaskan
informasi
program
yang
akan
direncakanan
atau
sekedar
memberikan
informasi
tentang
program yang akan direncanakan
atau sekedar memberikan informasi
mengenai keputusan yang dibuat dan
mengajak warga untuk melaksanakan
keputusan tersebut. 2) Konsultasi/
mendapatkan
umpan
balik
:
pemerintah meminta saran dan kritik
dari masyarakat sebelum suatu
keputusan
ditetapkan.
3)
Kolaborasi/pembuatan
keputusan
bersama : masyarakat bukan sebagai
penggagas
kolaborasi,
tetapi
masyarakat
dilibatkan
untuk
merancang dan mengambil keputusan
bersama, sehingga peran masyarakat
secara
signifikan
dapat
mempengaruhi hasil/keputusan. 4)
Pemberdayaan/kendali : masyarakat
memiliki kekusaan dalam mengawasi
secara langsung keputusan yang telah
diambil dan menolak pelaksanaan
keputusan yang bertentangan dengan
tujuan yang telah ditetapkan dengan
menggunakan prosedur dan indikator
kinerja
yang
mereka
tetapkan
bersama.
d. Bentuk Partisipasi Masyarakat : 1)
Partisipasi Pikiran : diberikan dalam
bentuk diskusi dalam pertemuan atau
rapat. 2) Partisipasi Tenaga : dalam
berbagai kegiatan yang dicirikan oleh
hasil kerja manusia untuk perbaikan
dan
responbility
tanggung
jawab).
Seorang ahli ekonomi kerakyatan,
Mubyarto
(1997)
mengatakan,
pengertian dasar partisipasi adalah
tindakan mengambil bagian dalam
kegiatan,
sedangkan
pengertian
partisipasi
masyarakat
adalah
keterlibatan masyarakat dalam suatu
proses
pembangunan
di
mana
masyarakat ikut terlibat mulai dari
tahap
penyusunan
program,
perencanaan
dan
pembangunan,
perumusan
kebijakan,
dan
pengambilan keputusan. Sementara
itum sulaiman (1985: 6), seorang ahli
pekerjaan sosial, mengungkapkan
partisipasi sosial sebagai keterlibatan
aktif warga masyarakat secara
perorangan, kelompok, atau dalam
kesatuan masyarakat dalam proses
pembuatan
keputusan
bersama,
perencanaan
dan
pelaksanaan
program serta usaha pelayanan dan
pembangunan kesejahteraan sosial di
dalam dan atau di luar lingkungan
masyarakat atas dasar rasa kesadaran
tanggung jawab sosialnya.
b. Ada tiga tradisi konsep partisipasi
terutama jika dikaitkan dengan praktik
pembangunan
masyarakat
yang
demokratis,
sebagaimana
dikemukakan Gaventa dan Valderama
dalam Suhirman (2003), yaitu :
Pengelompokan
Partisipasi
Masyarakat : 1) Partisipasi Politik :
representasi
dalam
demokratis
Tujuannya untuk mempengaruhi dan
mendudukan wakil rakyat dalam
lembaga
pemerintah
daripada
melibatkan
langsung
masyarakat
dalam proses-proses pemerintahan.
2) Partisipasi Sosial : keterlibatan
masyarakat
dalam
proses
pembangunan Masyarakat dipandang
sebagai ‘beneficiary’ pembangunan
dalam konsultasi atau pengambilan
keputusan dalam semua tahapan
siklus proyek pembangunan dari
penilaian kebutuhan, perencanaan,
49
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
dan pertolongan bagi orang lain. 3)
Partisipasi Keahlian dan Keterampilan
: diberikan orang untuk mendorong
aneka ragam bentuk usaha industri.
4) Partisipasi Dengan Materi :
diberikan orang dalam berbagai
kegiatan
untuk
perbaikan
dan
pembangunan.
e. seperti dikutip Taher (1987:146-149)
bisa dilihat dari motif, yang masingmasing bisa bekerja sendirian maupun
bekerja bersamaan. Kelima motif
tersebut adalah:
Motif Partisipasi Masyarakat : 1) Motif
Psikologi
:
kepuasan
pribadi,
pencapaian prestasi, atau rasa telah
mencapai sesuatu (achievment) dapat
merupakan motivasi yangk kuat bagi
seseorang untuk melakukan kegiatan
atau partisipasinya itu tidak akan
menghasilkan
keuntungan
(baik
berupa uang maupun materi). 2)
Motif Sosial : ada dua sisi motif sosial,
yakni untuk ng status sosial dan untuk
menghindarkan
dari
terkena
pengendalian sosial (social control)
orang akan dengan suka hati
berpartsi di dalam suatu kegiatan
(pembangunan)
manakala
keikutsertaanya itu akan membawa
dampak
meningkatnya
status
sosialnya. Pada sisi yang negatirf,
orang akan “terpaksa” berpartipasi
dalam satu kegiatan (pembangunan)
karena “takut” terkena sanksi sosial
(tersisih atau dikucilkan oleh warga
masyarakat). Motif semacam ini
dikendalikan oleh norma-norma sosial
yang
masih
kuat
di
dalam
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
masyarakat, terutuma yang masih
bersfiat
paguyuban.
3)
Motif
Keagamaan : Berbeda dengan motif
psikologi yang didasarkan pada
pencapian prestasi dan motif sosial
berlandaskan status sosial dan
pengendalian sosial, motif keagamaan
didasarkan pada kepercayaan kepada
kekuatan yang ada di luar manusia
(Tuhan,
sesuatu
yang
gaib,
supernatural). Agama sebagai ideologi
sosial yang mempunyai berbagai
macam fungsi bagi pemeluknya, yaitu
fungsi-fungsi : inspiratif, normatif,
integratif,
identifikatif,
dan
operatif/motivatif. Melalui aktualisasi
fungsi-fungsi
itu
agama
dapat
meningkatkan perananya di dalam
proses pembangunan, dan lebih dari
itu agama dapat meningkatkan peran
para pemeluknyaa dalam proses
pembangunan.
Kesimpulan yang dapat di
ambil ialah, pengentasan kemiskinan
tidak semata-mata fokus terhadap
program yang konsumtif tetapi lebih
di tekankan program yang produktif.
Program produktif tersebut lebih di
tekankan
kepada
pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan yang
dilakukan harus melibatkan partisipasi
masyarakat seperti Desa Neglasari
Kecamatan
Majalaya
Kabupaten
Bandung di berdayakan oleh DPU-DT
dalam program Desa Ternak Mandiri
yang saat ini sudah banyak merubah
kondisi yang memprihatinkan ke pada
kondisi yang lebih baik.
50
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH
Oleh:
Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H
Email:
[email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Tulisan ini akan menggambarkan pemberdayaan anak jalanan yang dilakukan oleh Rumah
Singgah. Untuk memperoleh data tersebut tulisan ini menggunakan studi literatur yang berupa
kajian konseptual. Hasil tulisan ini melihatkan bahwa program penanganan anak jalanan telah
dilakukan yang salah satunya adalah dengan menggunakan, pendekatan Rumah Singgah. Rumah
Singgah menggunakan pendekatan centre based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif.
Meskipun demikian Rumah Singgah juga menggunakan pendekatan community based dan street
based yang tercermin dalam beberapa program dan kegiatannya yaitu dengan melakukan
pemberdayaan. Pemberdayaan mencakup
sasaran yang diharapkan untuk mengatasi
permasalahan sosial anak jalanan dengan meningkatkan kemampuan dirinya melalui pendidikan,
pelatihan keterampilan dan pendidikan moral. Hal ini diupayakan untuk bisa mendorong dan
menstimulasi supaya anak jalanan tersebut bisa mendapatkan hak untuk mendapatkan hidup yang
lebih layak, perlindungan, dan bisa menampilkan perilaku positif sesuai dengan norma dan etika
yang ada di lingkungan masyarakat. Adapun tahapan pelayanan atau kegiatan tersebut adalah
penjangkauan, identifikasi, resosialisasi, pemberdayaan dan terminasi. Program pemberdayaan
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak jalanan sehingga mempunyai pengetahuan yang
meningkat, dapat mandiri sehingga anak jalanan tidak beraktivitas di jalan lagi.
Abstract
This article will describe the empowerment of street children conducted by Open House for
Street Children. To obtain the data of this paper uses literature in the form of a conceptual study.
Results of this paper that show some programs handling street children have done that one is
using, Open House for Street Children. Open House for Street Children have some of the programs
and activities by doing empowerment. Empowerment includes the expected goals to overcome the
social problems of street children to improve themselves by education, skills training and moral
education. It is attempted to be able to encourage and stimulate so that the street children can
get the right to get a better life, protection, and can display positive behavior in accordance with
the norms and ethics that exist in society. As for step services or activities are outreach,
identification, resocialization, empowerment and termination. Empowerment program intended to
improve the ability of street children so as to have an increased knowledge, can independently so
that street children are not active on the road again.
Keywords: Pemberdayaan, Anak Jalanan, Rumah Singgah
penerus yang berkualitas. Kesejahteraan
anak sebagai bagian dari upaya menciptakan
sumber daya manusia yang berkualitas hanya
akan terwujud apabila semua pihak dapat
menghormati dan memperlakukan anak
sesuai hak-haknya. Apabila anak tidak
mendapatkan hak-haknya dan perlindungan
sosial sebagai salah satu pilar bangsa,
mereka akan cenderung mengalami masalah
atau menjadi masalah. Salah satu masalah
PENDAHULUAN
Latar belakang
Anak sebagai generasi penerus dan
aset bangsa, perlu mendapatkan perhatian
yang serius, karena maju mundurnya suatu
negara akan sangat tergantung pada
generasi saat ini dan masa yang akan
datang. Karena itu kesejahteraan anak harus
dikedepankan agar terlahir generasi-generasi
51
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kembang anak secara optimal karena resiko
eksploitasi
dan
ancaman
kekerasan
merupakan dua hal yang terkadang sekaligus
dialami dan terpaksa dirasakan oleh anak
jalanan. Sehingga resiko tinggal atau hidup
dijalan akan melekat pada diri anak dan anak
menjadi tidak mempunyai keterampilan di
sektor lain, tidak memiliki identitas diri
dengan sempurna, internalisasi perilaku,
traumatized
dan
stigamatized
serta
reproduksi kekerasan (Handayani, 1999).
Anak
jalanan
memiliki
banyak
pengalaman yang berasal dari budaya keras
dan
tidak
semuanya
diterima
oleh
masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada
pendekatan
dan
penanganan
dalam
membantu mengembangkan proses berfikir
mereka,
mengajarkan
begaimana
membangun hubungan antara masa lalu,
masa sekarang dan masa depan, dengan
mengarahkan mereka kepada pola-pola
perilaku yang dapat diterima masyarakat.
Salah satu kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi agar anak mengalami proses
tumbuh kembang optimal adalah kebutuhan
stimulasi
atau
pendidikan
yang
mempengaruhi proses berfikir, berbahasa,
sosialisasi dan kemandirian seoarang anak
Hurlock (1978:257) dan menurut Suharto
(1997:363) sejak
dini mereka perlu
pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran
tanggung jawab sosial, peran-peran sosial
dan keterampilan dasar agar menjadi warga
masyarakat yang bermanfaat.
Penanganan masalah anak jalanan
sangat penting untuk dilakukan dan
diperhatikan, disamping hak anak untuk
mendapatkan pelayanan kesejahteraan yang
telah dilindungi oleh undang-undang, juga
untuk menghindari dampak negatif apabila
masalah anak marjinal ini tidak dapat
terpecahkan. Kita harus menyadari bahwa
terhambatnya pemenuhan hak-hak anak
terutama pada anak jalanan akan berdampak
pada kelangsungan hidup anak itu sendiri,
bangsa dan negara Indonesia.
Saat
ini
pemerintah
maupun
masyarakat banyak memberikan perhatian
yang cukup tinggi, yaitu dengan dilihat
dengan munculnya organisasi sosial yang
telah banyak memberikan program-program
yang membantu memenuhi kebutuhan anak
jalanan dan mewujudkan kesejahteraan anak
jalanan. Oleh karena itu, model pertolongan
anak yang masih menjadi perhatian di
Indonesia saat ini adalah masalah anak
jalanan. Masalah anak jalanan ini dipandang
sebagai masalah yang memberi pandangan
negatif terhadap pembangunan. Keberadaan
mereka tidak jarang dijadikan indikator
kemelaratan dan krisis nilai-nilai sosial Aep
(2001:5).
Pada dasarnya anak jalanan adalah
kelompok anak yang menghadapi banyak
masalah Mulandar
(1996:153). Menurut
UNICEF Anak jalanan merupakan anak-anak
yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah
melepaskan diri dari keluarga, sekolah, dan
lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam
kehidupan yang berpindah-pindah di jalan
raya. Akan tetapi tidak semua anak jalanan
tidak memiliki hubungan dengan orang tua.
Menurut UNICEF (1986) yang dikutip oleh
Lusk dalam Journal of Sociology & Social
Welfare (1989:59) anak jalanan di bagi 3
kategori: Anak yang mempunyai resiko tinggi
(children at high risk), Anak yang bekerja di
jalan (children on the street) dan anak yang
hidup di jalan (children of the street).
Laporan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia
(2004)
memberikan
bahwa
fenomena anak jalanan semakin meningkat
baik segi kualitas maupun kuantintitas.
Permasalahan yang dialami anak jalan
berbagai macam seperti tindak kekerasan
baik fisik, psikis ekonomi, maupun kekerasan
sosial. Kebanyakan kekerasan akibat dari
ketidak maupuan orang tua yang tidak dapat
memenuhi
kebutuhan
dasar
mereka,
diantaranya faktor-faktor intermediasi seperti
harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan
anak dan langkanya dukungan keluarga pada
saat krisis keluarga dirumah.
Berdasarkan data Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat
Statistik
Republik
Indonesia
tahun 2008,
menunjukkan bahwa anak
jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8
juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2010,
angka tersebut mengalami kenaikan sekitar
5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta
anak. Pada tahun yang sama, anak yang
tergolong rawan menjadi anak jalanan
berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari
populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta
anak (Soewignyo, 2010).
Hidup dan berada di jalanan bukanlah
tempat yang layak untuk membantu tumbuh
52
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
mereka menjadi warga masyarakat yang
produktif. Hal ini dapat diumpamakan dengan
memberi kail kepada anak jalanan dengan
harapan ketika, ikan yang dikonsumsi anak
jalanan habis, anak jalan ini akan kembali
berusaha mengailnya sendiri karena mereka
punya cara sendiri untuk hal itu. Dengan
demikian, pemberdayaan anak jalanan ini
menjadi sangat startegis karena dapat
menyelamatkan
anak
jalanan
dengan
mencegah berbagai masalah lain, baik dalam
menghindari eksploitasi dalam pekerjaan
maupun masalah dalam penampilan perilaku.
Di Indonesia, kepedulian terhadap
kesejahteraan anak sebagai bagian dari
upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia telah lama menjadi komitmen. Hal
itu diantaranya ditunjukan dalam UUD 1945
pasal 34, yang menyebutkan bahwa “Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara”.
Pemerintah
juga
telah
mengeluarkan UU No.4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan UU No.23 Tahun
2002 tentang perlindungan anak. Melihat
Undang-undang tersebut yang terdapat
adanya jaminan atas hak anak, penanganan
masalah anak jalanan sangat penting untuk
dilakukan dan diperhatikan, disamping hak
anak
untuk
mendapatkan
pelayanan
kesejahteraan yang telah dilindungi oleh
undang-undang, juga untuk menghindari
dampak negatif apabila masalah anak
marjinal ini tidak dapat terpecahkan.
Departemen Sosial RI bekerja sama
dengan UNDP (United Nation United
dalam
proyek
INS/94/007
Programe)
pembuatan Rumah Singgah (Departemen
Sosial,1997:31) model Rumah Singgah (Open
House For Street Children), secara konseptual
menggunakan metode dan teknik yang
meliputi street based, centre based,
community based, bimbingan sosial dan
pemberdayaan (Depsos RI, 1999 : 2) Model
tersebut yang dapat dikatakan Rumah
Singgah merupakan salah satu alternatif
startegi penanganan anak jalanan yang
dimana
didalamnya
telah
masuk
pemberdayaan anak jalanan pada aspek
pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesenian
dan
agama.
Secara
umum
tujuan
dibentuknya
Rumah
Singgah
adalah
membantu anak jalan dalam mengatasi
masalah-masalah dan menemukan altrenatif
terhadap
anak
jalan bukan sekedar
menghapus
anak-anak
dari
jalanan,
melainkan harus bisa meningkatkan kualitas
hidup
sekurang-kurangnya
melindungi
mereka dari situasi yang eksploitatif dan
membahayakan.
Mengacu pada prinsipprinsip profesi pekerjaan sosial yakni salah
satunya adalah konsep pemberdayaan yang
dimana dikemukakan oleh Hogan (2000:13)
yang mengutip dari pandangan Rotter
(1966), Selignan (1975), dan Hopson dan
Scally (1995) dalam Adi (2008:212) yang
melihat proses pemberdayaan individu
sebagai suatu proses yang relatif terus
berjalan sepanjang usia manusia yang
diperoleh dari pengalaman individu tersebut
dan bukannya suatu proses yang berhenti
pada suatu masa saja.
Proses pemberdayaan mengandung
dua
kecenderungan,
pertama
yang
menekankan pada proses pemberian atau
pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada masyarakat agar
individu
lebih
berdaya.
Kedua,
kecenderungan yang menekankan pada
proses
menyelimuti,
mendorong
atau
memotivasi
agar
individu
mempunyai
kemampuan
atau
keberdayaan
untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya. Hal ini sejalan dengan tujuan
pemberdayaan bagi anak jalanan yakni tidak
hanya sekedar memenuhi kebutuhan atau
hak anak jalanan yang terampas karena
berkeliaran dijalan, tetapi juga ingin
menanamkan penguasaan hak dan memberi
peluang agar potensi setiap anak dapat
teridentifikasi
kemudian
dikembangkan.
Tujuan
tersebut
antara
lain
untuk
mengembalikan rasa percaya diri dan rasa
aman, membuka wacana pada masalah yang
dihadapi anak, kemapuan bertahan hidup,
serta pembekalan diri untuk masa depan
Indrasari Tjandraningsih (1996:3)
Maka pemberdayaan anak jalanan ini
adalah suatu proses pemberian kemampuan
yang berupaya agar anak jalanan dapat
memotivasi,
mendorong
dirinya
guna
memperoleh daya dan memaksimalkan daya
yang ia miliki untuk menentukan tindakan,
termasuk mengurangi efek negatif atau
hambatan yang ada di dalam dirinya dan
lingkugannya. Dengan kegiatan peningkatan
kualitas anak jalanan melalui pemberian
pendidikan, pelatihan dan belajar usaha agar
53
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Hasil dan Pembahasan
Anak jalanan
Anak jalanan adalah sebuah realitas
yang menjadi bagian dari pemandangan
kehidupan perkotaan yang secara awam,
masyarakat sering mendefinisikan anak
jalanan berdasarkan jenis pekerjaan yang
dilakukannya. Mereka sering disebut sebagai
pengamen, pemulung, pendagang asongan,
pengemis, penjual koran, pengojek payung,
penyemir sepatu, tukang parkir, pembersih
mobil, joki dan lain sebagainya. Pemberian
definisi terhadap anak jalanan yang berbedabeda ini ternyata terjadi tidak hanya di
kalangan individu tetapi juga di kalangan
aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun
oleh negara. Pendefinisian anak jalanan
dengan mudah dapat berbeda-beda.
Nation
Children’s
ISSN:2339 -0042
ikatan dengan keluarganya atau sudah
mempunyai sudah tidak mempunyai ikatan
dengan keluarganya.
Menurut UNICEF (1986) yang dikutip
oleh Lusk dalam Journal of Sociology & Social
Welfare (1989:59) menyebutkan bahwa:
“kelompok remaja terbagi dalam tiga
kategori: anak dalam resiko tinggi,
anak yang berkerja dijalan dan anak
yang hidup di jalan”
Anak yang mempunyai resiko tinggi
(children at high risk) adalah anak yang
mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak
jalanan. Mereka belum menjadi anak jalanan,
murni, tetapi masih tinggal dengan orang
tuanya. Kerentanan ini bisa dilihat juga dari
kondisi ekonomi orang tuanya yang rentan,
sehingga suatau saat anak tersebut bisa
menjadi anak jalanan. Anak-anak seperti ini
hidup di lingkungan kemiskinan absolut atau
di daerah slum.
Anak yang berkerja di jalan (children
on the street) yaitu mereka yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di
jalanan atau ditempat-tempat umum lainnya
untuk bekerja dan penghasilannya digunakan
untuk membantu keluarganya. Anak-anak
tersebut mempunyai kegiatan ekonomi
(sebagai pekerja anak) di jalan adan masih
mempunyai hubungan yang kuat dengan
orang tua mereka. sebagain penghasilan
mereka di jalan diberikan kepada orang
tuanya.
Anak-anak yang hidup di jalan
(children of the street) adalah mereka yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di
jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya,
tetapi hanya sedikit waktu yang digunakan
untuk bekerja. Mereka jarang berhubungan
dengan keluarganya. Beberapa diantara
mereka tidak memiliki rumah tinggal
(homeless), mereka hidup di sembarang
tempat. Banyak diantara mereka adalah
anak-anak yang karena suatu sebab lari atau
pergi dari rumah. Anak-anak ini sangat rawan
terhadapp perlakuan salah baik secara
emosional, fisik, maupun seksual. Biasanya
perlakuan salah ini datan dari mereka yang
lebih dewasa.
Hakekatnya pengertian tentang anak
jalanan ini menunjukan bahwa kenyataannya
anak jalanan diperlakukan tidak seperti
konsep-konsep
yang
dikemukakan
di
atas.banyak permasalahan anak jalanan yang
untuk pemenuhan hidupnya (Armai Arif,
2002:1).
Rumah Singgah merupakan suatu
wahana yang dipersiapkan sebagai perantara
antara anak jalanan dengan pihak yang akan
membantu mereka kegiatan, pelaksanaan
penanganan masalah anak jalanan melalui
Rumah Singgah. Berdasarkan pedoman
Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan
Melalui Rumah Singgah (Depsos, 1999:31-34)
pelayanan dan kegiatan Rumah Singgah
terbagi ke dalam 6 tahapan. Tahapantahapan
tersebut
mencangkup:
Penjangkauan, Identifikasi anak, resosialisasi,
pemberdayaan anak, pemberdayaan orang
tua dan terminasi. Dengan demikian tulisan
ini ingin menggambarkan pemberdayaan
anak jalanan melalui Rumah Singgah..
United
HALAMAN: 1 -
Fund
(UNICEF)
dalam
Bakhrul
(2003:18)
mengemukakan definisi dari anak jalanan
adalah sebagai berikut:
“Anak jalanan merupakan anak-anak
yang berumur di bawah 16 tahun
yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah, dan lingkungan
masyarakat terdekat, larut dalam
kehidupan yang berpindah-pindah di
jalan raya.”
Dari definisi ini menujukan pada anakanak yang telah meninggalkan rumah dan
juga telah meninggalkan sekolah sebelum
usia 16 tahun dan hidup tidak menetap di
jalanan. Anak jalan ini bisa masih mempunyai
54
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
terjadi pada kehidupan sesugguhnya yang
menyebabkan anak jalanan merupakan
generasi yang hilang, yaitu suatu generasi
yang keberadaannya tidak mendapatkan
perhatian, sehingga jaminan akan hidup yang
layak tidak didapatkan sebagaimana seorang
anak. Seperti apa yang dikatakan Suyoto
(2010:185) mendefinisikan anak jalanan yang
lebih menitikberatkan kepada hal-hal yang
dihadapi oleh anak jalanan, dengan
mendefiniskan:
“Anak jalanan adalah anak-anak yang
tersisihkan, marjinal dan teralienasi
dari perlakuan kasih sayang karena
kebanyakan dalam usia yang relatif
dini sudah harus berhadapan dengan
lingkungan kota yang keras dan
kadang tidak bersahabat.”
Dari
definisi
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak
yang berusia 7-16 tahun yang menggunakan
sebagian waktunya dijalan untuk bermain
maupun bekerja. Mereka adalah anak-anak
yang yang tinggal bersama orang tua dan
keluarga yang hidup di jalanan, tinggal
terpisah
dengan
orang
tuanya,
diterlantarkan,
memutuskan
hubungan
dengan lari dari keluarga mereka. Sebagian
anak jalanan juga terkadang mendapatkan
perlakuan yang tidak sesuai dimasyarakat,
dengan diperlakukan sebagai kelompok
tersisihkan dan marjinal di perkotaan dan
dieksploitasi
oleh
oknum-oknum
di
masyarakat. Hal ini menyebabkan anak
jalanan rentan karena harus menanggung
resiko-resiko berhadapan dengan lingkungan
kota.
2)
3)
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kekerasan atau terpisah dari orang
tua.
Tingkat Mezzo (underlying causes)
Yakni faktor di masyarakat seperti
kebiasan mengajarkan untuk bekerja
sehingga
suatu
saat
menjadi
keharusan
dan
kemudian
meninggalkan sekolah, kebiasaan
pergi ke kota untuk mencari pekerjaan
karena keterbatasan kemampuan di
daerahnya.
Tingkat makro (basic causes)
Yakni faktor yang berhubungan
dengan struktur makro, seperti
peluang pekerjaan pada sektor
informal
yang
tidak
terlalu
membutuhkan modal dan keahlian
yang
besar,
urbanisasi,
biaya
pendidikan yang tinggi dan perilaku
guru yang diskriminatif, belum adanya
kesamaan
persepsi
instansi
pemerintah terhadap anak jalanan.
Strategi Pemberdayaan Anak Jalanan
Pemberdayaan
merupakan
terjemahan dari bahasa inggris yaitu
“empowerment” yang secara harafiah berarti
“pemberkuasaan”. Pemberkuasaan itu sendiri
dapat dipahami sebagai upaya memberikan
atau meningkatkan kekuasaan (power)
kepada pihak yang lemah atau kurang
beruntung (disadvantaged). Pemberdayaan
merupakan
upaya
untuk
membangun
eksistensi seseorang dalam kehidupan
dengan memberi dorongan agar memiliki
kemampuan.
Model penampungan anak jalanan
dimulai pada tahun 1981. Pada tahun itu,
Longres, mengadakan suatu pengamatan
tentang strategi intervensi dan programprogram yang bertujuan untuk menangani
masalah sosial ini. Longres. Menghubungkan
antara asumsi dan ideologi yang membentuk
masalah tersebut, serta menjadi normanorma dasar dilakukannya intervensi. Ia
mengembangkan faktor-faktor yang bisa
digunakan untuk mengidentifikasi normanorma dasar dari suatu intervensi sosial
berdasarkan pengamatan tersebut, Lusk
(1984) melihat faktor-faktor yang dibuat
Longres dapat digunakan untuk memahami
intervensi sosial pada anak jalanan. Startategi
yang dibuat Longres berawal dari adabtasi
sistem sosial ekonomi hingga kebutuhan
Faktor-faktor Yang mempengaruhi
munculnya anak jalanan
Anak jalanan yang ada di perkotaan
tidak hanya muncul begitu saja tanpa adanya
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya.
Sudrajat
(1996:154)
mengemukakan
penyebab munculnya anak jalanan meliputi
tingkat mikro, mezzo dan makro, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1)
Tingkat mikro (immediate causes)
Yakni faktor yang berhubungan
dengan anak dan keluarganya seperti
lari dari keluarga, dipaksa bekerja,
berpetualang,
diajak
temen,
kemiskinan keluarga, ditolak atau
55
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
individu, dari adabtasi individu hingga
prasarat sistem sosial. dengan demikian
pengembangan program strategi intervensi
bagi anak jalanan tersebut meliputi:
1)
Pendekatan
Koreksional
(Correctional/Instutionalization)
Fenomena anak jalanan dalam
pandangan
ini
didominasi
oleh
pemikiran sebagian besar polisi dan
pengadilan anak yang memang
banyak berurusan dengan anak
jalanan.
Pemikiran
inilah
yang
mempengaruhi pandangan masyarakt
untuk melihat anak jalanan sebagai
perilaku nakal. Sebab itu intervensi
yang
cocok
adalah
dengan
memindahkan anak dari jalanan dan
memperbaiki
perilaku
mereka.
pendekatan
ini
menempatkan
pentingnya “mendidik kembali” (adapt
the deviant behaviour) agar sesuai
dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Kelemahan pendekatan
ini adalah adanya kenyataan bahwa
para petugas dipandang oleh anak
sebagai musuh ketimbang mitra
(partner) juga adanya kenyataan
bahwa kekerasan dan pelecehan
seksual tetap berkembang
2)
Pendekatan Rehabilitas
Para profesional memperdebatkan
bahwa anak jalanan bukanlah perilaku
menyimpang karena banyak dari
mereka justru merupakan korban
penganiayaan
dan
penelantaran,
dampak kemiskinan dan kondisi
rumah yang tidak tetap. Anak jalanan
dilihat sebagai anak yang dirugikan
oleh
lingkungannya,
sehingga
mengakibatkan banyak gereja dan
program-program
sukarela
yang
muncul.
Pendekatan
rehabilitatif
memandang anak jalanan sebagai
anak yang berada dalam kondisi
ketidakmampuan
(inadequate),
membutuhkan (needy), ditelantarkan
(abandoned), dirugikan (harmed),
sehingga intervensi yang dilakukan
adalah dengan melindungi dan
merehabilitasi. Pada saat ini kegiatan
dari pendekatan rehabilitatif ini lebih
dikenal dengan center based program
3)
Pendidikan yang dilakukan di jalanan
(Street Education)
4)
56
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Pendekatan
ini
mengasumsikan
bahwa
hal
terbaik
untuk
menanggulangi masalah anak jalanan
adalah
dengan
mendidik
dan
memberdayakan anak jalanan. Para
pendidik jalanan yakin kesenjangan
struktur sosial merupakan peneyebab
dari masalah ini. Menurut mereka
anak merupakan individu normal yang
didorong oleh kesenjangan kondisi
masyarakat yang hidup di bawah
keadaan
yang
sulit.
Dengan
melibatkan partisipasi dari anak
jalanan itu sendiri, maka dapat
dipelajari tentang situasi mereka dan
mengikutsertakan dalam aksi bersama
guna menemukan pemecahan dari
masalah bersama. Bentuk kegiatan
dari pandangan pendidikan jalanan
pada saat ini lebih dikenal dengan
nama program yang berpusat di
jalanan atau street based program.
Street based adalah program yang
berusaha untuk memberikan hak-hak
anak jalanan, khususnya mereka yang
memiliki hubungan tidak teratur
dengan
keluarga.
strategi
ini
menghendaki,
mengenal
terlebih
dahulu
kebutuhan
anak
untuk
mempertahankan
hidup
dan
pendapatnya. Jadi bukan untuk
mendorong anak agar kembali pada
keluarga atau mengirim mereka ke
lembaga (pusat pelayanan) melalui
program ini, dampak negatif dari
kehidupan jalanan bagi anak dikurangi
dengan kegiatan yang memungkinkan
bakat dan minat anak untuk tampil.
Pencegahan (preventif)
Pendekatan ini memandang penyebab
dari masalah anak jalanan adalah
dorongan dari masyarakat itu sendiri.
Strategi
pencegahan
berusaha
memberikan
pendidikan
dan
pembelaan (advocacy) serta mencoba
menemukan penyelesaian dari apa
yang diperkirakan menjadi penyebab
permasalahannya. Yaitu dengan cara
berusaha menghentikan kemunculan
anak di jalanan. Mengatasi masalah
anak jalanan, bukan hanya anak
jalanan yang dijadikan fokus untuk
dapat menyesuaikan diri dalam
masyarakat, mengingat masyarakat
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
sendiri terus mengalami perubahan
sesuai dengan pembangunan yang
berlangsung. Bentuk kegiatan dari
pandangan preventif ini dikenal
dengan community based program.
Program ini membantu anak yang
masih memiliki hubungan dengan
keluarga agar dapat melakukan
hubungan tersebut. Program ini
didasarkan pada suatu keyakinan
bahwa suatu cara yang terbaik
mencegah terjadinya kehancuran nilai
keluarga yang akhirnya menyebabkan
terlemparnya anak menjadi anak
jalanan adalah dengan menguatkan
dasar
keluarga
tersebut
serta
mengorganisir
keluarga
sebagai
komunitas yang mandiri.
Dipandang dari fungsi intervensi,
penganan anak jalanan diatas, terjadi
tumpang tindih dengan jenis pendekatan
yang dilakukan. Secara ringkas model dan
pendekatan yang dikembangkan di banyak
negara dan digunakan oleh LSM (lembaga
Swadaya Masyarakat) menurut Lusk (1989
67-74) yang dikutip Sudrajat (1997:4), untuk
menangani anak jalanan meliputi:
1)
ISSN:2339 -0042
pelayanan pendidikan, keterampilan,
kebutuhan
dasar,
kesehatan,
kesenian, dan pekerjaan. Dalam
penanganan di lembaga atau di panti
terdapat beberapa jenis atau model
penampungan
yang
bersifat
sementara (drop in centre) dan tetap
(residential centre) untuk anak
jalanan yang masih bolak balik ke
jalan biasanya dimasukan ke dalam
drop in centre, sedangkan untuk
anak-anak yang sudah benar-benar
meninggalkan
jalanan
akan
di
tempatkan di residential centre.
3)
Community Based
Di
dalam
community
based
penanganan
melibatkan
seluruh
potensi
masyarakat,
utamanya
keluarga atau orang tua anak jalanan.
Pendekatan ini bersifat preventif,
yakni mencegah anak-anak turun ke
jalan. Keluarga diberikan kegiatan
penyuluhan pengasuhan anak dan
peningkatan taraf hidup, sementara
anak-anak
diberi
kesempatan
memperoleh
pendidikan
formal
maupun informal, pengisian waktu
luang
dan
kegiatan
lainnya.
Pendekatan
ini
bertujuan
meningkatkan kemampuan keluarga
dan
masyarakat
agar
sanggup
melindungi, mengasuh dan memenuhi
kebutuhan anak-anaknya.
Tabel 1
Pendekatan dan Penanganan Anak
Jalanan
Street Based
Merupakan penganan di jalan atau
tempat-tempat anak jalanan berada,
kemudian para street educator datang
kepada
mereka,
berdialog,
mendampingi
mereka
bekerja,
memahami dan menerima situasinya
serta menempatkan diri sebagai
teman. Dalam beberapa jam, anakanak diberikan materi pendidikan dan
keterampilan, di samping itu anak
jalanan
memperoleh
kehangatan
hubungan dan perhatian yang bisa
menumbuhkan
kepercayaan
satu
sama lain yang berguna bagi
pencapaian tujuan intervensi.
2)
HALAMAN: 1 -
Pengelompokan Anak
Jalanan
Anak yang masih
berhubungan/tinggal
dengan orang tua
Anak yang masih ada
hubungan dengan
keluarga tetapi jarang
berhubungan/tinggal
dengan orang tua
Anak tersisih/putus
hubungan dengan
keluarga/orang tua
Centre Based
Pendekatan
ini
merupakan
penanganan di lembaga atau panti.
Anak-anak
yang
masuk
dalam
program ini di tampung dan diberikan
pelayanan di lembaga atau panti
seperti pada malam hari diberikan
makanan dan perlindungan, serta
perlakukan
yang
hangat
dan
bersahabat dari pekerja sosial. pada
panti yang permanen disedikan
Pendidikan
Program/St
rategi
Community
based
Fungsi
Intervensi
Street
Based
Perlindunga
n
Centre
Based
Rehabilitasi
Sumber: Mulandar (2010:159)
57
Preventif
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
memberikan berbagai masukan yang
positif serta direktif sebagai bagian dari
pengalaman-pengalamannya.
Bila pendeketan program/strategi di
atas dihubungkan dengan tipologi anak jalan,
maka akan tampak pada tabel 2.1. Dari tabel
2.1 ini juga diketahui fungsi intervensi lebih
dari satu, namun yang ditulis merupakan
fungsi utama.
3) Representational Roles
Dalam kerangka pelaksanaan ini seorang
pendamping
berinteraksi
dengan
lembaga-lembaga eksternal atas nama
individu ataupun masyarakat untuk
kepentingan dampingannya.
Pendampingan dalam Pemberdayaan
Anak Jalanan
Sudah semakin banyaknya programprogram
pemberdayaan
pada
bidang
kesejahteraan
sosial
beberapa
tahun
belakangan ini, sudah juga melazimkan
penggunan “pendampingan” untuk menyebut
upaya-upaya
pekerja
sosial
dalam
melaksanakan tugasnya meningkatkan taraf
kesejahteraan bagi individu, kelompok atau
masyarakat
yang
mengalami
ketidakberdayaan dan ketidakberfungsian
sosial.
Menurut Midgley (1997:117) untuk
melaksanakan tugas tersebut harus dilakukan
oleh para profesional tenaga terlatih yang
berasal dari luar komunitasnya. Meskipun
demikian dimungkinkan juga menggunakan
tenaga dari petugas-petugas lokal dalam
rangka
memobilisasi
partisipasi
lokal,
mengorganisir
kegiatan
serta
menghubungkan dengan sistem sumber
ataupun kelembagaan setempat.
Perlunya pendampingan dalam usaha
menyelesaikan
masalah
anak
jalanan
didasarkan pada sebuah asumsi bahwa anak
jalanan merupakan penyandang masalah
yang kompleks. Sehingga pemberdayaan
yang dilakukan tak ubahnya sebagai upaya
membantu
mereka
dalam
mengatasi
masalah-masalahnya
serta
menemukan
alternatif untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya (Departemen Sosial RI, 1999:5.)
oleh karena itu, Ife (1997:201) menyarankan
bahwa
kegiatan
pendampingan
harus
dilaksanakan secara generalis. Untuk itu pula
seorang
pendamping
harus
mampu
memerankan tugas dan fungsinya sebagai
berikut:
4) Technical Roles
Peran teknis lebih mengacu pada aplikasi
keterampilan yang bersifat teknis. Dalam
peran ini pendamping dituntut tidak
hanya mampu mengorganisir kelompok,
tetapi juga tugas-tugas teknis seperi
pengumpulan
dan
analisis
data,
penggunaan
peralatan
penunjang,
pengelolaan
administrasi
maupun
pengendalian keuangan.
Rumah Singgah
Perhatian
khusus
pemerintah
terhadap anak jalanan baru muncul sekitar
tahun 1998, yaitu dengan mendirikan Rumah
Singgah bagi anak jalalanan. Pembentukan
Rumah Singgah merupakan upaya pelayanan
kesejahteraan sosial terhadap anak jalanan
yang di landasi oleh UUD 1945 pasal 34.
Rumah Singgah sendiri menurut Departemen
Sosial didefinisikan sebagai suatu wahanan
yang akan dipersiapkan sebagai perantara
antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang
akan membantu mereka mereka. Rumah
Singgah merupakan proses informal yang
memberikan suasana resoalisasi anak jalanan
terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat. Rumah Singgah merupakan
tahap awal bagi seorang anak untuk
memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh
karenanya penting menciptakan Rumah
Singgah sebagai tempatt yang aman,
nyaman, menarik dan menyenangkan bagi
anak jalanan.
Tujuan Rumah Singgah adalah
membantu anak jalan mengatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan
tujuan khususnya adalah:
1) Membentuk kembali sikap dan perilaku
anak yang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat.
2) Mengupayakan anak-anak kembali ke
rumah jika memungkinkan atau ke panti
1) Fasilitative Roles
Sebagai fasilitator seorang pendamping
harus
mampu
merangsang
dan
mendukung kemajuan individu atau
komutas yang didampingi.
2) Education Roles
Dalam menjalankan peran ini seorang
pendamping
harus
secara
aktif
58
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
3)
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
situasi, dan kehidupan bermasyarakat bagi
anak jalanan. Pada sisi lain mengarah
pada pengakuan, tanggung jawab, dan
upaya masyarakat terhadap penanganan
masalah anak jalanan ini.
7) Pusat rujukan
Dalam fungsi ini Rumah Singgah menjadi
rujukan bagi anak jalanan terhadap
kebutuahn dan masalah yang tidak
terpenuhi di jalanan.
dan lembaga pengganti lainnya jika
diperlukan.
Memberikan
berbagai
alternatif
pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan
anak dan menyiapkan masa depannya
sehingga menjadi warga masyarakat
yang produktif.
Menyiapkan masa depannya sehingga
menjadi warga masyarakat yang produktif.
Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai
berikut:
1) Fasilitatornya
(perantara
dengan
keluarga/lembaga lain)
Rumah Singgah merupakan perantara anak
jalanan dengan keluarga, panti, keluarga
pengganti, dan lembaga lainnya. Anak
jalanan diharapkan tidak terus menerus
bergantung kepada Rumah Singgah
melainkan dapat memperoleh kehidupan
yang lebih baik melalui atau setelah proses
yang dijalaninnya.
2) Kuratif-Rehabilitatif (mengembalikan dan
menanamkan fungsi sosial bagi anak).
Dalam fungsi ini, para pekerja sosial
diharapkan
mampu
mengatasi
permasalahan
anak
jalanan
dan
membetulkan sikap dan perilaku seharihari yang
akhirnya akan mampu
menumbuhkan keberfungsian sosialan
anak. cara-cara atau intervensi profesional
dilakukan untuk fungsi ini termasuk
menggunakan konselor yang sesuai
dengan masalahnya.
3) Perlindungan
Rumah Singgah dipandang sebagai tempat
anak
berlindung
dari
kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi,
dan bentuk-bentuk yang terjadi dijalanan.
4) Pusat informasi
Rumah Singgah menyediakan informasi
berbagai hal yang berkaitan dengan
kepentingan anak jalanan seperti data dan
informasi tentang anak jalanan, bursa
kerja, pendidikan, kursus keterampilan
dan lain-lain.
5) Akses terhadap pelayanan
Sebagai persinggahan, Rumah Singgah
menyediakan akses kepada berbagai
pelayanan sosial. Pekerja Sosial membantu
anak mencapai pelayanan tersebut.
6) Lokasi Rumah Singgah berada di tengahtengah lingkungan masyarakat sebagai
upaya mengenalkan kembali norma,
Prinsip-prinsip Rumah Singgah
1) Semi Institusional
Dalam bentuk ini anak jalanan sebagai
penerima pelayanan boleh bebas keluar
masuk, baik untuk tinggal sementara
maupun hanya mengikuti kegiatan.
2) Pusat kegiatan
Rumah Singgah merupakan tempat
kegiatan, pusat informasi, dan akses bagi
seluruh kegiatan baik yang dilakukan di
dalam maupun di luar Rumah Singgah.
3) Terbuka 24 jam
Rumah Singgah terbuka 24 jam bagi
anak. mereka boleh datang kapan saja,
siang hari maupun malam hari terutama
bagi anak jalanan yang baru mengenal
Rumah Singgah. Para pekerja sosial siap
dikondikan untuk menerima anak dalam
24 jam tersebut.
4) Hubungan Informal (kekeluargaan)
Hubungan-hubungan yang terjadi di
Rumah Singgah bersifat informal seperti
perkawanan atau kekeluargaan. Anak
jalanan dibimbing untuk merasa sebagai
anggota keluarga besar dimana para
pekerja sosial berperan sebagai teman,
saudara/kakak atau orang tua.
5) Bebas untuk apa saja bagi anak
Di dalam Rumah Singgah anak jalan
dibebaskan untuk melakukan apa saja,
seperti
tidur,
bermain,
bercanda,
bercengkrama, mandi dan sebagainya.
Meskipun demikian, perilaku yang negatif
seperti perjudian, merokok, minuman
keras dan sejenisnya dilarang. Peraturan
dibuat dan disepakati oleh anak-anak.
6) Persinggahan dari jalanan ke rumah atau
ke alternatif lain
Pengertian singgah sebagai berikut:
a. Anak jalanan boleh tinggal sementara
untuk tujuan perlindungan. Biasanya
dihadapi oleh anak yang hidup di
59
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
pendidikan luar sekolah yang memiliki
peranan penting bagi kehidupan anak-anak
jalanan, terutama jika dijalankan sesuai
dengan
fungsinya.
Rumah
Singgah
merupakan upaya agar hak-hak dari anak
jalan dapat terpenuh, yang akan mendorong
kelancaran proses tumbuh kembang, dengan
harapan dapat mengembalikan anak-anak
jalanan itu kembali pada kehidupan normal
seperti anak-anak lain dan meminimalkan
waktu anak dijalan.
jalanan yang tidak mempunyai tempat
tinggal.
b. Pada saat tinggal sementara mereka
akan memperoleh intervensi yang
instensif dari pekerja sosial
c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu
untuk
bercakap-cakap,
istirahat,
bermain, mengikuti kegiatan dan lainlainnya.
d. Rumah Singgah tidak memperkenalkan
anak jalanan yang tinggal selamanya,
misalkan karena tidak bayar.
e. Anak jalanan yang masih tinggal
dengan orang tua saudaranya atau
sudah mempunyai tempat tinggal tetap
sendirian maupun berkelompok tidak
diperkenalkan tinggal menetap di
Rumah Singgah, kecuali ada beberapa
situasi yang bersifat darurat.
7) Partisipasi
8) Kegiatan yang dilaksanakan di Rumah
Singgah
didasarkan
pada
prinsip
partisipasi dan kebersamaan. Pekerja
sosial dengan anak jalanan memahami
masalah,
merencanakan,
dan
merumuskan kegiatan. Dengan cara ini
anak
dilatih
belajar
mengatasi
masalahnya dan merasa memiliki atau
memikirkan
kegiatan-kegiatan
yang
dilaksanakan.
9) Berlajar Bermasyarakat
Anak jalanan seringkali menunjukan
sikap dan perilaku yang berbeda dengan
norma masyarakat. Rumah Singgah
ditempatkan
di
tengah-tengah
masyarakat agar mereka kembali belajar
norma dan menunjukan sikap dan
perilaku normatif.
Tahapan-tahapan Pemberdayaan Anak
Jalanan Melalui Rumah Singgah
Sesuai
dengan
jenis
kegiatan,
pelaksanaan penanganan masalah anak
jalanan melalui Rumah Singgah berdasarkan
pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak
Jalanan Melalui Rumah Singgah (Depsos,
1999:31-34) pelayanan dan kegiatan Rumah
Singgah terbagi ke dalam 6 tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut mencangkup:
1) Penjangkauan dan pendampingan di
jalan, adalah kegiatan kunjungan keluar
Rumah Singgah untuk menjangkau anak
jalanan sebagai upaya menciptakan
kontak pendahuluan dan persahabatan
dengan mereka
2) Indentifikasi anak (problem assessment)
kegiatan ini merupakan suatu proses
untuk menginvestasikan dan mengkaji
identitas anak riwayat hidup, masalah,
kebutuhan,
potensi
dan
dinamika
kehidupan anak jalanan secara cermat
dan teliti.
3) Resosialisasi adalah suatu kegiatan
merubah sikap dan perilaku anak agar
sesuai dengan nilai dan norma sosial.
4) Pemberdayaan
untuk
anak
jalan
dimaksudkan sebagai upaya mengangkat
anak jalanan dari keterlantaran serta
sekaligus mengatasi masalah-masalah
yang disandangnya dengan berusaha
memenuhi segala keperluan yang
dibutuhkan, teruatam yang menyangkut
kebutuhan dasar hidupnya.
5) Pemberdayaan untuk orang tua anak
jalanan merupakan upaya Rumah
Singgah dalam rangka membangun
kembali fungsi-fungsi sosial keluarga
melalui bimbingan sosial, bimbingan
kewirausahaan maupun pendampingan.
6) Terminasi
(pengakhiran
pelayanan)
adalah serangkaian kegiatan yang
Dalam rangka mencapai tujuan serta
mendukung fungsi penanganan anak jalanan
melalui pendekatan Rumah Singgah didukung
dengan program pemberdayaan, dalam hal
ini ditempuh berbagai metode agar anak
jalanan mengubah keadaan hidupnya seperti
menggunakan pelatihan keterampilan, modal
untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan juga
disamping melayani anak, Rumah Singgah
juga melayani orang tua anak, dikarenakan
anak jalanan salah satunya muncul oleh
kemiskinan dan ketidak harmonisan dalam
keluarga.
Dengan melihat uraian diatas maka
Rumah
Singgah
merupakan
lembaga
60
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kepada keluarga asli, keluarga panti, panti
atau bersama teman-temannya. Dengan
demikian RSAJ menggunakan pendekatan
melalui anak dan keluarga secara sekaligus.
Pencapaian tujuan pelepasan anak
dari jalan ternyata bukan pekerjaan mudah,
bahkan ada kelompok anak yang tidak bisa
dirujuk ke manapun, termasuk juga anakanak jalanan yang memang sudah tidak
tinggal
dengan
orang
tuanya
serta
berkelompok mengontontrak bersama-sama.
Proses pelepasan pada kasus ini sangat
bervariasi, dari yang bisa dicapai beberapa
hari sampai berbulan-bulan.
Dengan pola demikian, RSAJ sendiri
dikembangkan dengan tujuan agar:
1) Anak mempunyai cara hidup yang sehat
dan normatif
2) Anak mempunyai pengetahuan dan
keterampilan
3) Anak dapat menghindarkan diri dari
pengaruh negatif jalanan.
dilakukan pada akhir sebuah proses
pemberdayaan anak jalanan. Kegiatan
terminasi dilaksanakan dengan maksud
agar hasil-hasil yang telah dicapai pada
tahap proses pemberdayaan bisa di
pertahankan dan secara terus menerus
dapat ditumbuh kembangkan.
Dalam tahapan-tahapan kegiatan
pelaksanaan pemecahan anak jalanan ini
yang berupa pemberdayaan dibutuhkan
peran pendamping atau fasilitator yang
berasal dari tenaga profesional khususnya
peklerja sosial dan penanganan yang serius,
agar tahapan-tahapan dalam tiap kegiatan
dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan
efektif, sehingga pelaksanaan pemberdayaan
anak jalanan ini dapat berjalan secara
berkelanjutan.
Pengalaman Rumah Singgah Anak
Jalanan YKAI
Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ)
merupakan penanganan anak jalanan yang
dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI). Perhatian YKAI terhadap
anak jalanan telah dimulai sejak tahun 1989
melalui berbagai kajian penelitian, penerbitan
buletin maupun forum ilmiah. RSAJ
merupakan lembaga semi institusional (semi
panti), bentuknya berbeda dengan sistem
panti dan non panti. Program semi
institutional bersifat terbuka (open house)
selama 24 jam untuk anak jalanan. Anakanak tidak diikat secara formal dan mereka
bebas masuk RSAJ kapan pun mereka mau.
Meski semi instutional, RSAJ dapat dipandang
sebagai
centre
based,
yakni
suatu
lembaga/panti yang dikelola secara fleksibel
menuruti keadaan anak jalanan. RSAJ
memang kecil dan hanya bisa menampung
sekitar 10 anak, namun pelayanan yang
diberikan kepada anak-anak yang tinggal di
RSAJ lebih intensif. Di Rumah Singgah ini
anak-anak bagai suatu keluarga, karena
pekerja sosial yang menangani mereka
bertindak sebagai orang tua peganti.
Akan
tetrapi,
disadari
RSAJ
mempunyai keterbatasan pekerja sosial dan
anak jalanan sendiri masih mempunyai
keluarga, maka RSAJ hanya bertindak
sebagai
jembatan
antara
anak
dan
keluarganya atau berupa drop-in centre.
Dengan fungsi referal, seperti merujuk
Dengan demikian maka selama anak
dalam proses pemulangan di RSAJ, anakanak dibekali materi sesuai dengan tujuan di
atas, sehingga apabila seorang anak tidak
lepas dari jalan, ia akan tetap survive hidup
di jalanan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk mencapai tujuan RSAJ dan sesuai
dengan
bentuk
lembaga,
fungsinya,
pendekatan yang kemudian di lakukan
adalah:
1) Bimbingan sosial
Bimbingan sosial merupakan kegiatan
membantu anak untuk mengatasi
masalah
sehari-hari,
baik
dalam
lingkungan jalanan, pekerjaan, keluarga
maupun masalah pribadi. Anak-anakdi
tangani secaar satu persatu dengan
pendekatan case by case (social case
work). Selain itu anak-anak yang
mempunyai
kesamaan
masalah
dikelompokan melalui metoda social grup
work. Kegiatan ini untuk mengarahkan
anak agar mempunyai mekanisme
pertahanan diri agar dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri dan mengatasi
ancaman-ancaman di jalanan.
2) Pendidikan jalanan
Banyak anak jalanan yang menghadapi
situasi jalanan namun tidak tahu tentang
apa yang dihadapinya. Dengan demikian,
61
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
pendidikan jalanan yang diberikan adalah
materi pengetahuan yang sesuai dengan
situasi dan masalah yang dihadapi anak
jalanan. Materi ini berupa pengetahuan
umum,
kesehatan,
sistem
sosial,
komunikasi dan literacy.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dibagi kedalam tiga kelompok kategori yaitu
Children of the street, children on the street
dan children at high risk. Dapat diketahui
terjadinya anak jalanan bukan hanya
disebabkan dari faktor ekonomi saja, namun
faktor keluarga dan lingkungan juga cukup
berpengaruh terhadap munculnya anak
jalanan. Dengan demikian berbagai faktor
akan mempengaruhi keberadaan anak
jalanan.
Departemen Sosial RI bekerja sama
dengan UNDP (United Nation United
Programe)
dalam
proyek
INS/94/007
pembuatan Rumah Singgah (Departemen
Sosial,1997:31). Dalam pendekatan ini
penanganannya tidak dilakukan sendirisendiri. Namun, dilakukan secara terpadu
dari tiga pendekatan yang pernah ada.
Sehingga dalam pendekatan Rumah Singgah
tercangkup pula pendekatan street based
yaitu dengan melakukan penjangkauan dan
pendampingan. Pendekatan centre based
dimana Rumah Singgah merupakan tempat
persinggahan bagi anak, selain itu Rumah
Singgah juga melakukan kerja sama dengan
pihak
lain
sebagai
rujukan
dalam
melaksanakan kegiatan centre based ini.
Sedangkan pendekatan community based
rumah singgah melakukan kerja sama atau
menggali sumber yang ada di dalam
masyarakat sehingga penanganan anak
jalana dapat sinkron dengan kehidupan dan
kebutuhan di masyarakat.
Selain itu Rumah Singgah juga
melakukan kegiatan berupa bimbingan dan
pemberdayaan. Bimbingan dilakukan baik
terhadap anak jalanan maupun terhadap
orang tua anak jalanan. Bimbingan dilakukan
baik dibutuhkan maupun tidak dibutuhkan
oleh anak jalan dan orang tua anak jalan.
Bimbingan ini dilaksanakan dengan cara
mendatangi anak jalanan atau orang tua
anak jalanan.
Sedangkan program pemberdayaan
dalam pelayanan dan kegiatan Rumah
Singgah terbagi ke dalam 6 tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut mencangkup:
Penjangkauan, Identifikasi anak, resosialisasi,
pemberdayaan anak, pemberdayaan orang
tua dan terminasi. Program pemberdayaan di
tujukan untuk meningkatkan kemampuan
anak jalanan dan orang tua anak jalan
sehingga mempunyai pengetahuan yang
3) Home Visit
Kegiatan ini merupakan penjabaran dari
pendekatan
keluarga.
Home
visit
dilakukan kepada semua keluarga anak
jalanan, utamanya anak jalanan yang
sudah kembali ke orang tuanya. Kegiatan
ini terbagi empat kegiatan, yakni: 1.
Kunjungan keluarga, 2. Mengirim surat,
3. Datang ke RSAJ dan 4. Meneriman
surat. Dalam setiap kunjungan dilakukan
bimbingan pengasuhan anak kepada
orang tua dan mengidentifikasi anak
yang
sudah
pulang.
Dalam
perkermbangannya, kepada orang tua
anak diberikan pula pinjaman uang.
Pinjaman ini digunakan untuk masalah
sehari-hari atau income generating.
Dari uraian diatas terlihat bahwa RSAJ
bertumpu pada pengasuhan anak dan
kelurganya,
selain
itu
RSAJ
juga
mengarahkan anak binaan dan keluarganya
agar dapat mandiri, berusaha bisa mengatasi
masalah secara benar dan pemenuhan hidup
sehari-hari.
Untuk mencapai tujuannya, beberapa
hambatan sering kali terjadi. hambatan
tersebut antara lain:
1)
Keterbatasan pekerja sosial yang
hanya dua orang, tidak maksimal
melaksanakan kegiatan.
2)
Anak binaan yang menyebar di luar
Jakarta sehingga sulit memonitor
mobile:
3)
Beberapa
anak
sangat
sehingga tidak mudah untuk dilayani.
Tata Sudrajat (1996:159-164).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Anak jalanan merupakan kelompok
anak marjinal juga menyebutkan Marjinal,
rentan, dan eksploitasi yang sebagian besar
waktunya dipergunakan untuk mencari
nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempattempat
umum lainnya. Akan tetapi,
keberadaan anak jalanan secara umum
62
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
meningkat, dapat mandiri sehingga anak
jalan tidak beraktivitas lagi dijalan.
Pemberdayaan
bagi
orang
tua
dimaksudkan
agar
orang
tua
dapat
meningkatkan
kemampuannya
dalam
mencukup kebutuhan keluarganya. Dengan
demikian anak terhindar untuk beraktivitas
dijalan. Selain itu orang tua atau keluarganya
dapat memenuhi kebutuhan dasar anggota
keluarganya.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
merupakan profesi yang sangat memahami
persoalan dan permasalahan sosial anak
jalanan di Rumah Singgah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat.
Satu hal hal yang penting: program
apapun yang akan dilakukan da pendekatan
apa yang dipilih, modal awal yang dibutuhkan
untuk menangani permasalahan anak jalanan
adalah sikap empati dan komitmen yang
benar-benar tulus dari kita semua. Tanpa
dilandasi dan dipandu oleh kedua hal ini,
maka jangan heran jika nasib anak-anak
jalanan tidak akan pernah selesai sampai ke
akarnya.
Salah satu Rumah Singgah Anak
Jalanan (RSAJ) yang telah ada sejak tahun
1989 adalah Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI). RSAJ sendiri dikembangkan
dengan tujuan agar: Anak mempunyai cara
hidup yang sehat dan normatif, Anak
mempunyai pengetahuan dan keterampilan,
Anak dapat menghindarkan diri dari
pengaruh negatif jalanan. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan untuk mencapai tujuan RSAJ
dan sesuai dengan bentuk lembaga,
fungsinya, pendekatan yang kemudian di
lakukan: bimbingan sosial, pendidikan
jasmani dan home visit.
Dari uraian diatas terlihat bahwa RSAJ
bertumpu pada pengasuhan anak dan
kelurganya,
selain
itu
RSAJ
juga
mengarahkan anak binaan dan keluarganya
agar dapat mandiri, berusaha bisa mengatasi
masalah secara benar dan pemenuhan hidup
sehari-hari.
Akan tetapi, dalam pencapaiannya
RSAJ ada beberapa hambatan yaitu:
Keterbatasan tenaga ahli seperti pekerja
sosial, Anak binaan yang menyebar di luar
jangkauan dan Beberapa anak jalanan yang
memiliki mobilitas yang tinggi sehingga sulit
untuk diberikan pelayanan.
Daftar Pustaka
Armai Arief. 2002. Rumah Singgah Sebagai
Tempat Alternative Pemberdayaan
Anak Jalanan. Dalam Jurnal Fajar.
Jakarta: LPM UIN.
Astutianny April, Maria. 2001. Pemberdayaan
Anak Jalanan Di DKI Jakarta: Studi
Kasus di Rumah Singgah Setia Kawan
II Jakarta. Tesis. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Amal, Bakhrul Khair. 2003. Pemberdayaan
Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah:
Studi Kebijakan Penanganan Anak
Jalanan di Indonesia. Tesis. Depeok:
Universitas Indonesia
Departemen Sosial RI. 1999.
Penyelenggaraan
Jalanan Melalui
Pedoman
Pembinaan Anak
Rumah Singgah.
Jakarta: Departemen Sosial RI.
Dubois, Brenda. Milley, Karla Kongsrud. 1992.
Social
Work
An
Empowering
Profession. Boston: Allyn and Bacon.
Hurlock, B. Elizabeth. 1980. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Erlanga.
Ife, Jim. 1995. Community Development:
Creating
Community
Alternative
Vision,
Analysis
and
Practic.
Saran
Optimalisasi pelaksanaan dengan
menerapkan metode community base,
dimana penanganan anak jalan dilakukan
bersama-sama dengan warga masyarakat
setempat dan pemerintah daerah khususnya
kota setempat mengadakan penanganan
anak
jalanan
ke
dalam
rencana
pembangunan di wilayahnya masing-masing
dan Lembaga Swadaya Masyarakat bertindak
sebagai
pengawal
dalam
pelaksanaan
pemberdayaan tersebut.
Meningkatkan
jumlah
pekerja
profesional khususnya pekerja sosial yang
Australiang: Longman.
Isbandi Rukminto, Adi. 2001. Pemberdayaan
Pengembangan
Masyarakat
dan
Intervensi Komunitas (Pengantar Pada
Pemikiran dan Pendekatan Praktis).
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Isbandi, Rukminto, Adi. 2008. Intervensi
Komunitas
dan
Pengembangan
Masyarakat:
Sebagai
Upaya
Pemberdayaan Masyarakat. Depok:
PT RajaGrafindo Persada
63
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
Lusk,
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Street Children
Program in Latin America. Journal of
Mark.
W.
1984.
Sociology & Social Welfare
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya.
Midgley, James. 1995. Social Development:
The Development Perspective in
London:
Sage
Social
Welfare.
Publication Inc.
Mulandar, Surya. 1996. Dehumanisasi Anak
Marjinal:
Berbagai
Pengalaman
Pemberdayaan. Bandung:Akatiga
Sudrajat, A. 1989. Profil Anak Jalanan di DKI
Jakarta. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Sosial. Departemen
Sosial RI.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak.
Jakarta:Kencana
Prenada
Media
Group
Sanusi, Makmur. (1995) Beberapa Temuan
Lapangan Survey Anak Jalanan dan
Rencana Penangannya di Jakarta dan
Surabaya.
Jakarta.
Departemen
Sosial, UNDP.
Web:
http://cumadiindonesia.com/makinmaraknya-anak-jalanan-siapa-yang
bertanggung-jawab/ di unduh pada
tanggal 27 Maret 2015 pukul 17.28
64
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN
KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola
Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas
C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur)
Parenting Parents In Formation Efforts Independence Down Syndrome Child
(descriptive studies of parenting patterns in children with Down syndrome who attend school in
the C1 class SD-LB Extraordinary Education Foundation Trustees Bina Asih Cianjur).
Oleh:
Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi
Email:
([email protected]; [email protected]; [email protected])
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul ”Pola Pengasuhan Orang Tua Dalam Upaya Pembentukan
Kemandirian Anak Down Syndrome (studi deskriptif pola pengasuhan orang tua pada anak Down
Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih
Cianjur). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana bentuk pola pengasuhan yang
diterapkan orang tua terhadap anak Down Syndrome di kawasan Cianjur. Pola pengasuhan
tersebut meliputi pola pengasuhan permisif, otoriter dan demokratis.
Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi
deskriptif, sedangkan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman
wawancara, pedoman observasi, dan pedoman studi dokumentasi. Teknik yang digunakan adalah
wawancara mendalam, observasi non-partisipatif, dan studi kepustakaan. Informan dalam
penelitian ini berjumlah 8 orang yaitu, 6 orang dari pihak orang tua anak Down Syndrome.
Dimana dalam penelitian ini akan di observasi dari 3 keluarga yang memiliki anak Down Syndrome,
dengan masing-masing terdiri dari ayah dan ibu. Serta 2 orang dari pihak yayasan sebagai pihak
yang memantau perkembangan kemandirian anak pada saat di sekolah.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola pengasuhan orang tua berperan besar dalam
pembentukan kemandirian anak Down Syndrome. Bentuk pola pengasuhan seperti apa, itulah
yang akan membentuk karakter anak dan mempengaruhi kemandirian anak Down Syndrome,
dikarenakan pola pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan pada saat di rumah. Anak Down
Syndrome memang membutuhkan perhatian lebih karena keterbatasannya. Namun hal ini tidak
berarti mereka menjadi anak yang terus bergantung dan tidak mampu mandiri. Di satu sisi,
mereka membutuhkan perhatian khusus, namun di sisi lain mereka juga perlu diberikan ruang
untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Maka dari itu, pola pengasuhan orang tua lah yang
sangat berperan dalam hal ini.
Dengan demikian, peneliti menyarankan suatu program pelatihan dan pembinaan bagi para
orang tua anak Down Syndrome yaitu “Parenting Support”. Program ini bertujuan untuk
memberikan pembinaan dan pelatihan bagi para orang tua agar mampu dalam merawat, mendidik
dan menjaga anak Down Syndrome, guna mendukung pada ketercapaian pemenuhan kebutuhan
dasar dan kemandirian mereka.
Kata Kunci: Pola Pengasuhan Orang Tua, Kemandirian, Anak Down Syndrome, Person In
Environment
65
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
ABSTRACT
The title if this research "Parenting Parents In Formation Efforts Independence Down
Syndrome Child (descriptive studies of parenting patterns in children with Down syndrome who
attend school in the C1 class SD-LB Extraordinary Education Foundation Trustees Bina Asih
Cianjur). This study aims to describe how the shape applied parenting parents of children with
Down syndrome in Cianjur district. These include parenting permissive parenting styles,
authoritarian and democratic.
Researchers used a qualitative research approach with a descriptive study method, while
the instruments used in data collection is interview, observation guidelines, and guidelines for
documentation. The technique used is the in-depth interviews, non-participatory observation, and
literature study. Informants in this study amounted to 8 ie, 6 people from the parents of children
with Down syndrome. Which in this study will be in observation of three families who have children
with Down syndrome, with each consisting of a father and mother. And 2 from the foundation as a
party to monitor the development of the child's independence at the time at school.
These results indicate that parenting parents play a major role in the formation of Down
Syndrome child's independence. Such as what form of parenting, that will shape the character of
children and affect the independence of children with Down syndrome, due to habituationconditioning pattern that is applied at the time at home. Down Syndrome child does require more
attention because of its limitations. But this does not mean they become children who are not able
to continue to rely and independently. On the one hand, they need special attention, but on the
other hand they also need to be given space to develop their abilities. Therefore, the pattern of
parenting was the one who was instrumental in this regard.
Thus, the researchers recommend a course of training and coaching for the parents of
children with Down Syndrome are "Parenting Support". The program aims to provide guidance and
training for parents to be able to care for, educate and keep the Down Syndrome child, in order to
support the fulfillment of basic needs and the achievement of their independence.
Keywords: Parenting Parents, Independence, Child Down Syndrome, Person In Environment
30 tahun melahirkan bayi dengan down
syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika
usia
kelahiran
adalah
35
tahun,
kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini
menunjukkan angka kemungkinan munculnya
down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu
saat melahirkan (Elsa, 2003).
Pendahuluan
Down
Kelahiran
anak
dengan
Syndrome, kini banyak terjadi di berbagai
negara belahan di dunia. Menurut catatan
Indonesia Center for Biodiversity dan
Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia
terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap
down syndrome. Sedangkan angka kejadian
penderita down syndrome di seluruh dunia
diperkirakan mencapai 8 juta jiwa. Angka
kejadian kelainan down syndrome mencapai
1 dalam setiap 1000 angka kelahiran. Di
Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000
sampai 5000 anak dengan kelainan ini.
Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih
dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam
beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita
terbukti
berpengaruh
besar
terhadap
munculnya down syndrome pada bayi yang
dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur
Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, jumlah
penderita Down Syndrome di Indonesia
mengalami peningkatan dibandingkan pada
tahun 2010. Sebagaimana yang tercantum di
dalam grafik berikut ini:
66
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
tua. Sehingga mereka tidak diperkenankan
untuk berinteraksi ataupun sekedar bertatap
muka dengan orang lain di luar rumah.
Tabel 1
Data jumlah anak dengan kedisabilitasan di
Indonesia pada tahun 2013
Down Syndrome merupakan kelainan
kromosom yang disebabkan oleh adanya
kelebihan kromosom ke-21 pada saat
terjadinya pembuahan antara sel sperma dan
sel ovum (Buckley: 2000). Dalam segi
intelektual, penyandang Down Syndrome
mengalami retardasi mental sedang hingga
parah, dengan karakteristik tertentu yang
mereka miliki. Maka dari itu, anak dengan
Down
Syndrome
juga
mengalami
keterlambatan dalam menjalankan fungsi
adaptifnya
dan
berinteraksi
dengan
lingkungan sosial mereka. Keadaan inilah
yang mempengaruhi dalam ketercapaian
aspek kemandirian pada anak tersebut.
Namun, hal itu bukan berarti anak dengan
Down Syndrome
tidak mampu mandiri.
Mereka tetap bisa mencapai kemandiriannya,
hanya saja berbeda konteks dengan
kemandirian anak normal pada umumnya.
Inilah yang sering terjadi di masyarakat kita
pada umumnya, dimana label “berkebutuhan
khusus”, justru menjadikan para orang tua
yang memiliki anak Down Syndrome terlalu
mengistimewakan anak mereka. Dalam
artian, segala kebutuhan anak selalu dipenuhi
tanpa memberikan kesempatan untuk anak
mengembangkan kemampuannya, sekalipun
di dalam keterbatasan anak tersebut.
(Sumber: Riskesdas 2013, Kementerian
Kesehatan)
Data yang diperoleh berdasarkan
Riskesdas
tersebut
mengidentifikasikan
bahwa pada tahun 2013, jumlah penderita
Down Syndrome mengalami peningkatan
sejumlah 0,01 dibandingkan pada tahun
2012. Pada tahun 2010, penderita Down
Syndrome ini menempati posisi ketiga
dengan penderita terbanyak setelah tuna
daksa dan tuna wicara yaitu sebesar 0,12 dan
posisi keempat sebagai penderita terbanyak
pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,13.
Berdasarkan data dari Tim Nasional
Percepatan
Penanggulangan
Kemiskinan
(TNP2K), hingga 2011 jumlah anak dengan
berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai
18 ribu anak, termasuk di dalamnya anak
Down Syndrome. Diperkirakan sekitar 3
hingga 7 persen atau sekitar 5,5 hingga 10,5
juta penderita disabilitas adalah anak usia di
bawah 18 tahun, baik itu yang menyandang
ketunaan atau masuk ke dalam kategori anak
berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil
sensus penduduk 2010, tercatat bahwa Jawa
Barat masuk ke dalam lima kategori provinsi
dengan jumlah penyandang disabilitas
terbanyak setelah Jawa Timur dan Jawa
tengah. Dengan kategori kedisabilitasan
seperti, kesulitan dalam melihat, mendengar,
berbicara juga kesulitan dalam mengurus diri
atau cacat mental (down syndrome, imbisil,
idiot dan sebagainya). Fenomena yang
banyak terjadi di masyarakat adalah
ketidaksiapan orang tua untuk memiliki dan
membesarkan anak dengan kedisabilitasan.
Anak-anak dikurung di dalam rumah karena
orang tua merasa malu dengan lingkungan
sekitar terkait kondisi putra atau putrinya.
Anak dengan Down Syndrome seringkali
dianggap sebagai kutukan oleh para orang
Untuk menjamin terpenuhinya hakhak dasar dan kebutuhan para penyandang
disabilitas (dalam hal ini juga termasuk Down
Syndrome), kini semakin banyak didirikannya
Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi para
Down
penyandang
cacat
termasuk
Syndrome. Tidak hanya di wilayah perkotaan
saja, tetapi kini keberadaan SLB ini sudah
mulai merambah ke wilayah-wilayah kecil
seperti salah satunya SLB Yayasan Bina Asih
Cianjur
sebagai
tempat
dilakukannya
peneltian. Berbagai pelayanan dengan
berbagai bentuk metode intervensi banyak
dilakukan sekolah-sekolah luar biasa, guna
mendukung pada ketercapaian pemenuhan
kebutuhan dasar serta aspek kemandirian
anak Down Syndrome. Pelayanan dan
bimbingan yang diberikan SLB terhadap anak
Down Syndrome memang memberikan
kontribusi dalam ketercapaian kemandirian
67
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
anak. Akan tetapi, layaknya sekolah-sekolah
biasa pada umumnya, SLB ini hanya bersifat
sementara saja. Kontribusi yang diberikan
SLB dalam mendidik anak tidak akan lebih
besar dibandingkan pada saat dirumah. Hal
ini
dikarenakan
SLB
hanya
mampu
memberikan pembinaan dan pelayanan bagi
para Down Syndrome dalam waktu yang
sudah ditentukan (terbatas) sebagaimana
para siswa-siswa yang menuntut ilmu di
sekolah-sekolah biasa pada umumnya. Untuk
selanjutnya mereka dididik dan dibimbing
oleh orang tua mereka dirumah. Dikarenakan
waktu yang dihabiskan dirumah akan lebih
lama dibandingkan saat di SLB, maka dari itu
proses pembelajaran dan pembentukan
kemandirian anak akan lebih berperan besar
pada saat dirumah. Maka dari itu, pola
pengasuhan yang diberikan orang tua akan
sangat
berperan
besar
terhadap
tumbuhkembang anak Down Syndrome.
Sebagaimana yang dikemukakan Grolnick
(2011) bahwa parenting atau pengasuhan
memiliki pengaruh yang besar pada
perkembangan kemandirian anak. Dan tugas
utama yang dihadapi seseorang dengan
disabilitas adalah mencapai kemandiriannya
(Cohen, 1977).
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
sendiri. Dalam hal ini lingkungan yang paling
berpengaruh adalah keluarga, dan orang tua
lah yang berperan besar di dalamnya. Pola
pengasuhan orang tua dalam mendidik,
merawat dan menjaga anak, sangat
menentukan tumbuhkembang anak. Bentuk
pola pengasuhan seperti apa, itulah yang
akan membentuk karakter anak, dikarenakan
pola
pembiasaan-pembiasaan
yang
diterapkan pada saat di rumah.
Sadar bahwa pola pengasuhan yang
diberikan orang tua sangat berkontribusi
dalam
pembentukan
karakter
dan
kemandirian anak, maka dari itu, tujuan dari
penelitian
ini
adalah
mendeskripsikan
mengenai pola pengasuhan seperti apa yang
banyak diterapkan orang tua terhadap anak
Down Syndrome di kawasan Kabupaten
Cianjur.
Metode, Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan
pendekatan
penelitian
kualitatif dengan metode penelitian studi
deskriptif,
sedangkan
instrumen
yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah
pedoman wawancara, pedoman observasi,
dan pedoman studi dokumentasi. Teknik
yang
digunakan
adalah
wawancara
mendalam, observasi non-partisipatif, dan
studi kepustakaan. Informan dalam penelitian
ini berjumlah 8 orang yaitu, 6 orang dari
pihak orang tua anak Down Syndrome.
Dimana dalam penelitian ini akan di observasi
dari 3 keluarga yang memiliki anak Down
Syndrome, dengan masing-masing terdiri dari
ayah dan ibu. Serta 2 orang dari pihak
yayasan sebagai pihak yang memantau
perkembangan kemandirian anak pada saat
di sekolah.
Kemandirian memang aspek yang
penting untuk seorang anak, terlebih ketika
anak tersebut sudah memasuki usia remaja.
Namun kemandirian tersebut tidak hanya
penting bagi anak normal saja. Anak dengan
Down Syndrome juga perlu untuk mencapai
tingkat kemandiriannya. Dimana walaupun
mereka memiliki keterlambatan, namun
mereka tetap bisa melakukan aktivitasaktivitas tertentu oleh diri mereka sendiri.
Tidak selalu menggantungkan pada orang
lain.
Cohen (1977) dalam bukunya
mengemukakan bahwa, tugas utama yang
dihadapi seseorang dengan disabilitas adalah
mencapai kemandirian. Dan penelitian
tentang kemandirian pada penyandang Down
Syndrome penting, karena kemandirian
berkontribusi pada self esteem (Buckley, et
al. 2002). Tercapainya kemandirian pada
anak Down Syndrome, tentunya dipengaruhi
pula oleh lingkungan sosial di sekitar mereka.
Sejauh mana orang-orang di sekitar mereka
memberikan
ruang
untuk
mereka
mengembangkan
kemampuannya
dan
mencoba untuk melakukan aktivitas tertentu
Peneliti memulai melakukan prapenelitian dengan mengumpulkan data
terlebih dahulu dan melakukan proses
wawancara kepada pihak yayasan. Informan
dari pihak yayasan ini adalah kepala sekolah
SLB dan wali kelas murid Down Sydnrome
yang bersekolah di SLB tersebut. Pihak
yayasan ini berguna dalam memberikan
informasi terkait anak Down Syndrome yang
bersekolah di SLB tersebut, juga sebagai
68
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
ketika kecil maupun sudah dewasa serta acuh
terhadap kondisi sekitar. Sebagaimana yang
dikemukakan Wong at al (2008), bahwa
dalam pola asuh permisif, orang tua memiliki
sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas
tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang
bermaksud baik kadang-kadang bingung
antara sikap permisif dan pemberi izin.
Mereka menghindari untuk memaksakan
standar prilaku mereka dan mengizinkan
anak mereka untuk mengatur aktivitas
mereka sendiri sebanyak mungkin.
pihak yang memantau kemandirian anak
Down Syndrome selama di sekolah. Setelah
itu, peneliti memulai penelitian dengan
melakukan observasi ke rumah orang tua
yang memiliki anak Down Syndrome. Dalam
hal ini peneliti meneliti 3 keluarga dengan
masing-masing informan ayah dan ibu.
Hasil penelitian menunjukan, bahwa
memang pola pengasuhan orang tua sangat
berperan
besar
dalam
pencapaian
kemandirian anak Down Syndrome. Dari hasil
observasi masih didapatkan orang tua yang
terlalu memberikan perhatian penuh pada
anak
mereka.
Sehingga
keterbatasan
membuat diri mereka menjadi semakin
bergantung. Bentuk pola pengasuhan seperti
apa yang diterapkan, itulah yang akan
membentuk
karakter
anak
dan
mempengaruhi ketercapaian kemandirian
anak Down Syndrome. Mengacu pada konsep
yang dikemukakan Wong et al (2008), bentuk
pola pengasuhan dikelompokan menjadi 3
jenis yaitu: pola pengasuhan permisif, pola
pengasuhan otoriter dan pola pengasuhan
demokratis. Pola asuh permisif merupakan
jenis pengasuhan orang tua yang tidak
memberikan batasan kepada anak-anak
mereka. Orang tua terkesan cuek terhadap
anaknya. Sehingga apapun yang dilakukan
anak diperbolehkan orang tua seperti
misalnya, tidak sekolah, bandel, melakukan
pergaulan bebas negatif dan sebagainya
(Prayitno & Basa, 2004). Pada jenis pola asuh
permisif, orang tua bersikap longgar, tidak
terlalu memberi bimbingan dan kontrol
terhadap anaknya serta perhatian pun
terkesan kurang. Kendali anak sepenuhnya
terdapat pada anak itu sendiri. Pola
pengasuhan permisif biasanya diakibatkan
oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan
pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik
dan mengasuh anak dengan baik. Anak
hanya diberikan materi atau harta saja dan
cenderung diberikan kebebasan untuk
melakukan apapun menurut anak. Pola asuh
seperti ini tentunya akan berdampak kepada
anak
dimana
nantinya
anak
akan
berkembang menjadi anak yang kurang
perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri,
nakal, tidak peduli dengan tanggung
jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang
buruk, kontrol diri yang buruk, salah dalam
bergaul, kurang menghargai orang lain, baik
Pada pola pengasuhan otoriter, orang
tua sangat menanamkan nilai kedisiplinan
pada anaknya dan menuntut prestasi tinggi.
Namun, dipihak lain orang tua tidak
memberikan kesempatan pada anaknya
untuk mengumukakan suatu pendapat,
sekaligus memenuhi kebutuhan anak. Tipe
pola asuh otoriter ini membuat anak mandiri
karena sifat orang tua yang terlalu disiplin
dan tegas. Namun disisi lain, kemandirian
anak tersebut bukan lahir dari kesadarannya
sendiri, melainkan kemandirian karena sikap
orang tua yang terlalu memaksa dalam
memperoleh prestasi anak. Sebagaimana
dikemukakan oleh Widyarini (2003), bahwa
pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk
perlakuan orang tua ketika berinteraksi
dengan anaknya yang pada umumnya sangat
ketat dan kaku dalam pengasuhan anak.
Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk
menentukan keputusan karena semua
keputusan berada ditangan orang tua. Orang
tua yang otoriter menekankan kepatuhan
anak terhadap peraturan yang mereka buat
tanpa banyak bertanya, tidak menjelaskan
kepada anak-anak tentang latar belakang.
Orang
tua
kadang-kadang
menolak
keputusan anak dan sering menerapkan
hukuman semena-mena kepada anak.
Sebagaimana dikemuakkan oleh Wong at al
(2008), bahwa pola asuh otoriter, orang tua
mencoba untuk mengontrol perilaku dan
sikap anak melalui perintah yang tidak boleh
dibantah. Mereka menetapkan aturan yang
dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak
boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan
memberi penghargaan atas kepatuhan
absolut.
Pola pengasuhan otoritatif disebut
pula dengan pola pengasuhan demokratis.
69
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Dalam pola asuh otoritatif, orang tua
berusaha mengarahkan anaknya secara
rasional, berorientasi pada masalah yang
dihadapi, menghargai komunikasi yang saling
memberi dan menerima, menjelaskan alasan
yang rasional yang mendasari tiap-tiap
permintaan
tetapi
juga
menggunakan
kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak
untuk mematuhi orang dewasa dan
kemandirian, saling menghargai antara anak
dan orang tua. Orang tua tidak mengambil
posisi mutlak dan tidak juga mendasari pada
kebutuhan anak semata.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Kesimpulan
Pola pengasuhan yang diberikan
orang tua, memang memberikan pengaruh
terhadap kemandirian anak. Namun tercapai
atau tidaknya kemandirian anak, hal itu
tergantung pada bentuk pola asuh seperti
apakah yang diterapkan orang tua pada saat
di rumah. Pola penagsuhan orang tua
berperan dalam pembentukan karakter anak
dan ketercapaian kemandiriannya.
70
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI
LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG
Oleh:
Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama
Email:
[email protected], [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Produksi sampah setiap hari semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah produk dan
pola konsumsi masyarakat. Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi paningkatan volume
sampah tersebut adalah dengan cara: mengurangi volume sampah dari sumbernya melalui
pemberdayaan masyarakat. Permasalahan dalam partispasi masyarakat mengenai pengelolaan
sampah adalah apa saja bentuk regulasi yang terkait dengan pengelolaan sampah di Lingkungan
Margaluyu, bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dan tngkat
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Penelitian tentang pengelolaan sampah
berbasis partisipasi masyarakat di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug, Tujuan untuk: (1)
mendeskripsikan bentuk partisipasi masyarakat di Lingkungan Margaluyu. (2) mendeskripsikan
tingkat partisipasi masyrakat di Lingkungan Margaluyu Teknik pengumpulan data meliputi
wawancara, observasi dan dokumentasi, sedangkan analisis data menggunakan teknik deskriptif
kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam upaya
perbaikan lingkungan yaitu dengan memberikan sumbangan tenaga berupa kerja bakti dan ikut
serta dalam pengelolaan sampah. Selain itu, mereka juga mengadakan pertemuan warga yang
dilakukan satu kali dalam sebulan, yang dihadiri oleh sebagian warga untuk tingkat RW dan
seluruh warga untuk tingkat RT. Dalam hal ini tingkat RT cenderung berbentuk partisipasi
langsung sedangkan tingkat RW berbentuk partisipasi tak langsung. Warga melakukan kegiatan
tersebut tanpa merasa terpaksa sama sekali. Tingkat peran serta masyarakat yang terjadi di
Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug menurut kategori sedang, masyarakat ikut serta
partisipasi akan tetapi pelaksanaanya masih belum maksimal.
Kata Kunci : Partisipasi masyarakat, dalam pengelolaan sampah.
ABSTRAC
Production of waste every day is increasing as the number of products and patterns of
consumption. The thing to do to overcome is that the increase in the volume of waste by means
of: reducing the volume of waste from the source through community empowerment. Problems in
public participation regarding waste management is any form of regulation related to waste
management in the Environment Margaluyu, what form of community participation in waste
management and tngkat community participation in waste management. Research on communitybased waste management in the Environment Village Margaluyu Cicurug, Goals for: (1) describe
the form of community participation in the Environment Margaluyu. (2) describe the level of
participation of the community in Margaluyu Environmental Engineering Data collection includes
interviews, observation and documentation, while the analysis of data using qualitative descriptive
technique. Based on this research, one of the forms of community participation in environmental
improvement efforts is by donating labor in the form of voluntary work and participate in waste
management. In addition, they also held a community meeting is held once in a month, which was
attended by some residents to level entire neighborhoods and residents to the neighborhood level.
In this case the neighborhood level tend to be shaped while the direct participation of the local
level in the form of indirect participation. Residents perform these activities without feeling forced
71
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
at all. The level of community participation that occurred in the village of Environmental Margaluyu
Cicurug according to the category of being, society will participate participation but its
implementation is still not maximal.
Key Words : Community participation, in waste management.
PENDAHULUAN
kesehatan manusia. Sampah yang selama ini
kita buang begitu saja, ternyata masih dapat
diolah kembali antara lain dalam bentuk
kerajinan yang bernilai ekonomi, bercita rasa
seni dan unik. Secara umum pengelolaan
sampah dilakukan dalam tiga tahap kegiatan,
yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan
pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap
pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan
mengalami proses-proses tertentu, baik
secara fisik, kimiawi, maupun biologis.
Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan sampah dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya
kebersihan lingkungan yang hijau, bersih dan
sehat serta menguatkan inisiatif masyarakat
dalam
menjaga,
memelihara
dan
meningkatkan fungsi lingkungan. Disamping
itu, kemampuan masyarakat berkontribusi
dalam pengelolaan sampah juga akan sangat
tergantung kepada pendapatan masyarakat,
khususnya
di
lingkungan
Margaluyu,
Kabupaten Majalengka. Kondisi keadaan
Untuk mencapai kondisi masyarakat
yang hidup sehat dan sejahtera di masa yang
akan datang, akan sangat diperlukan adanya
lingkungan permukiman yang sehat. Dari
aspek persampahan, maka kata sehat akan
berarti sebagai kondisi yang akan dapat
dicapai bila sampah dapat dikelola secara
baik sehingga bersih dari lingkungan
permukiman dimana manusia beraktifitas di
dalamnya. Persoalan lingkungan yang selalu
menjadi isu besar di hampir seluruh wilayah
perkotaan adalah masalah sampah (Febrianie
dalam Kompas 10 Januari 2004). Arif
Rahmanullah dalam Kompas, 13 Agustus
2003 mengatakan bahwa laju pertumbuhan
ekonomi di kota dimungkinkan menjadi daya
tarik luar biasa bagi penduduk untuk hijrah
ke kota (urbanisasi). Akibatnya jumlah
penduduk semakin membengkak, konsumsi
masyarakat perkotaan melonjak, yang pada
akhirnya akan mengakibatkan jumlah sampah
juga meningkat.
Pertambahan jumlah sampah yang
tidak diimbangi dengan pengelolaan yang
ramah lingkungan akan menyebabkan
terjadinya perusakan dan pencemaran
lingkungan (Tuti Kustiah, 2005:1). Lebih jauh
lagi, penanganan sampah yang tidak
komprehensif akan memicu terjadinya
masalah sosial, seperti amuk massa, bentrok
antar warga, pemblokiran fasilitas TPA.
Pertumbuhan jumlah sampah di kota-kota di
Indonesia setiap tahun meningkat secara
tajam. Sebagai contoh di Kota Bandung. Di
kota ini, pada tahun 2005 volume sampahnya
sebanyak 7.400 m3 per hari; dan pada tahun
2006 telah mencapai 7.900 m3 per hari.
Selain itu, di Jakarta, pada tahun 2005
volume sampah yang dihasilkan sebanyak
25.659 m3/hari; dan pada tahun 2006 telah
mencapai 26,880 m3/hari. (Suganda dalam
Kompas, 30 Nopember 2006).
Sampah
sangat
berbahaya
bagi
kesehatan manusia dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, sampah haruslah diolah atau
di daur ulang dengan baik agar tidak
mencemari lingkungan dan mengganggu
Kelurahan Cicurug adalah merupakan bagian
dari Kabupaten Majalengka yang
posisi
lokasinya
terletak
di
kecamatan
Majalengkayaitu perbatasan sebelah barat
dengan kelurahan Babakan jawa, sebelah
utara dengan Kelurahan Majalengka Wetan,
sebelah
selatan
dengan
kelurahan
Sindangkasih dan sebelah timur dengan
kecamatan Cigasong
kondisi alam yang
sejuk diapit dengan pegunungan yang asri.
Luas wilayah + 129,725 HA m2, adapun
jarak tempuh ke kota kecamatan adalah 1,5
KM dan jarak tempuh ke ibukota kabupaten
+ 2,5 km berpenduduk 2381 KK ( 8187 Jiwa
). Pria sebanyak 4206 Jiwa dan wanita
sebanyak 3981 jiwaterbagi menjadi 9 ( RW )
dan 27
RT. (Sumber : Profil Kantor
Kelurahan Cicurug Kabupaten Majalengka,
2015).
Partisipasi masyarakat di Lingkungan
Margaluyu dalam pengelolaan sampah di
Lingkungan ini yang awalnya masyarakat
sangat acuh dengan keberadaan sampah
dengan adanya program pengelolaan sampah
masyarakat mulai sadar dengan sampah dan
72
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
memulai untuk mengelolanya. Saat ini di
Lingkungan Magaluyu Kelurahan Cicurug
Kecamatan/
Kabupaten
Majalengka
pengelolaan sampah sudah dilakukan secara
tepadu yang dilakukan oleh Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) Hanjuang-Saung
Eurih.KSM Hanjuang-Saung Eurih (Sumber :
Informan
Masyarakat,
tahun
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Untuk mengetahui tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sampah di
wilayah tersebut, maka perlu di lakukan
penelitian secara mendalam, dengan alasan
bahwa masalah sampah yang saat ini
semakin santer di masyarakat yang
merupakan salah satu masalah sosial.
Masalah partisipasi masyarakat merupakan
bidang kajian praktek pekerjaan sosial atau
sangat relevan dengan fungsi dan tugas
pekerjaan soial dalam memberikan intervensi
pada pertolongan individu, kelompok, dan
masyarakat yang mengalami masalah sosial.
2015).
Partisipasi dari berbagai pihak merupakan
salah satu kunci keberhasilan suatu kegiatan
ataupun program. Menurut Sumardi dan
Evers (1982, 3) partisipasi adalah ikut
sertanya suatu kesatuan untuk mengambil
bagian dalam aktivitas yang dilaksanakan
oleh susunan kesatuan yang lebih besar dari
masyarakat
dapat
diartikan
sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam suatu
kegiatan
bersama
sesuai
dengan
kemampuannya
masing-masing
untuk
menunjang pencapaian tujuan tertentu tanpa
mengorbankan kepentingan diri sendiri. Lebih
dari itu, partisipasi berkaitan dengan tiga hal
yakni mental and emotional involvement
(keterlibatan mental dan emosi), motivation
to contribute (dorongan untuk memberikan
sumbangan), dan acceptance of responsibility
(penerimaan tanggung jawab) sebagaimana
diungkapkan (Davis Hurairah, Jurnal Sosial,
2012).
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam
penulisan karya tulis ilmiah ini adalah metode
penelitian deskriptif.Metode yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah metode
studi pustaka yang terdiri atas pencarian data
dan informasi melalui dokumen-dokumen
pendukung berupa data dari buku, jurnal
ilmiah, dan dokumen elektronik dari internet.
Adapun tahapan dalam penulisan diantaranya
perumusan masalah untuk kemudian menjadi
gagasan, pengumpulan data dan fakta
terkait, verifikasi data dan fakta, analisa
konseptual
dengan
argumentasi
yang
rasional, perumusan hasil gagasan dan
kesimpulan
serta
rekomendasi
terkait
penanganan masalah.
Kelurahan
Cicurug
Kecamatan
Majalengka merupakan daerah yang memiliki
jumlah penduduk 6.508 Jiwa yang mana
memiliki kontribusi terhadap penambahan
jumlah sampah di Kabupaten Majalengka,
terlebih tidak adanya tempat pembuangan
sampah sementara sehingga tanpa adanya
pengarahan dari Pihak manapun masyarakat
melakukan pembuangan sampah dengan
pola Open Dumping serta membuang
sampah ke sungai. Kebiasaan buruk
masyarakat tersebut memiliki dampak
negative terhadap lingkungan dan sungai,
yang membuat terjadinya longsoran tanah di
sisi sungai dikarenakan dijadikan lahan Open
Dumping oleh masyarakat, dan dikhawatirkan
jika masalah ini akan semakin buruk dari
tahun ke-tahun. Untuk menjaga kelestarian
lingkungan di sekitar kita maka masyarakat
yang ada di kelurahan Cicurug harus terlibat
dalam pengelolaan sampah mulai dari rumah
tangga.
Telaah Pustaka
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dapat diartikan dengan
keikutsertaan atau keterlibatan baik secara
fisik maupun non fisik dari seorang individu
atau masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai
dengan pendapat Santosa (1998:13) bahwa :
“Partisipasi
didefinisikan
sebagai
karakteristik
mental/pikiran
dan
emosi/perasaan seseorang dalam
situasi kelompok yang mendorongnya
untuk
memberikan
sumbangan
kepada kelompok dalam usaha
mencapai
tujuan
serta
turut
bertanggung jawab terhadap usaha
yang bersangkutan.”
Definisi tersebut menekankan bahwa
partisipasi merupakan suatu alat untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta
73
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
pelaksanaan. Wujud nyata partisipasi
pada tahap ini dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam
bentuk sumbangan pemikirn, bentuk
sumbangan
materi,
dan
bentu
keterlibatan sebagai anggota.
3. Tahap menikmati hasil, yang dapat
dijadikan
indicator
keberhasilan
partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan dan pelaksanaan program.
4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab
partisipasi masyarakat pada tahap ini
dianggap sebagai umpan balik yang
dapat memberi masukan demi perbaikan
pelaksanaan program.
lebih menekankan pada aspek psikologis
yang mendorong seseorang atau individu
untuk melakukan tindakan tertentu dalam
rangka mencapai tujuan. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka terdapat tiga
unsur partisipasi, yaitu :
1. Adanya tanggung jawab
2. Kesediaan memberikan sumbangan
untuk mencapai tujuan kelompok
3. Kesediaan mereka terlibat di dalam
kelompok
Dari definisi-definisi tentang partisipasi
yang dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sampah pada
dasarnya merupakan keterlibatan aktif
masyarakat dalam proses pembuangan,
pengangkutan, dan pengelolaan sampah,
atas dasar rasa kesadaran dan tanggung
jawab untuk mencapai tujuan bersama
mewujudkan lingkungan yang bersih dan
sehat.
Sesuai
dengan
pernyataan
Sastropoetro (1988:37), bahwa “Keterlibatan
Spontan dengan kesadaran disertai tanggung
jawab terhadap kepentingan kelompok untuk
mencapai tujuan”.
Menurut Sastropoetro (1986: 16-18)
jenis partisipasi meliputi (1) Pemikiran; (2)
Tenaga; (3) Pemikiran dan Tenaga; (4)
Keahlian; (5) Barang; (6) Uang. Kemudian
Hamijoyo (2007: 21) menjabarkan jenis
partisipasi sebagai berikut:
1. Partisipasi pemikiran adalah partisipasi
berupa sumbangan ide, pendapat atau
buah pikiran konstruktif, baik untuk
menyusun program, maupun untuk
memperlancar pelaksanaan program dan
juga untuk mewujudkannya dengan
memberikan
pengalaman
dan
pengetahuan guna mengembangkan
kegiatan yang diikutinya.
2. Partispasi tenaga adalah partisipasi yang
diberikan dalam bentuk tenaga untuk
pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan suatu program.
3. Partisipasi
ketrampilan
adalah
memberikan
dorongan
melalui
ketrampilan yang dimilikinya kepada
anggota
masyarakat
lain
yang
membutuhkannya. Dengan maksud agar
orang
tersebut
dapat
melakukan
kegiatan yang dapat meingkatkan
kesejahteraan sosialnya.
4. Partisipasi barang adalah partisipasi
dalam bentuk menyumbang barang atau
harta benda, biasanya berupa alat-alat
kerja.
5. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi
untuk memperlancar usaha-usaha bagi
pencapaian kebutuhan masyarakat yang
memerlukan bantuan,
Berdasarkan pendapat tersebut, maka
partisipasi seseorang sebaiknya didasarkan
atas kesadaran sendiri, keyakinan serta
kemauan, sebab hal itu akan bermanfaat
bagi dirinya. Karena dirinya merasa tidak
dipaksakan sehingga dalam mengikuti
kegiatan
dapat
dilaksanakan
dengan
sukarela.
Jenis-Jenis Partisipasi Masyarakat
Tidak semua partisipasi ada atas
kesadaran dan inisiatif warga masyarakat
tetapi juga bisa merupakan mobilisasi dari
atas untuk mencapai tujuan. Menurut Uphoff,
Cohen, dan Goldsmith (1979: 51) membagi
partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap perencanaan, ditandai dengan
keterlibatan masyarakat dalam kegiatankegiatan yang merencanakan program
pembangunan yang akan dilaksanakan,
serta menyusun rencana kerjanya.
2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan
tahap terpenting dalam program, inti dari
keberhasilan suatu program adalah
74
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Tinjauan tentang Sampah
Partisipasi itu berproses dan untuk
membedakan
prosesnya
dibuatlah
tangga/tingkatan partisipasi. Teori tingkat
partisipasi ini digunakan sebagai dasar untuk
melakukan pembobotan terhadap tolok ukur
tingkat partisipasi masyarakat. Konsep
tingkat partisipasi dari berbagai teori dan
pengalaman dalam bidang perencanaan
partisipatif. Tingkatan Partisipasi menurut
Hetifah Sj. Sumarto. Pendapat yang
diutarakan oleh salah seorang praktisi
lapangan
dalam
bidang
perencanaan
partisipatif di Indonesia yaitu Sumarto
(2003:113). Melihat dari pengalaman praktis
dari perencanaan partisipatif di beberapa
kawasan
Indonesia,
Sumarto
mengelompokkan
tingkat
partisipasi
masyarakar menjadi 3 bagian yaitu:
Menurut Davis dan Cornwell (2008:
737) menjelaskan bahwa kata sampah padat
merupakan
suatu
kata
yang
umum
digunakan untuk menggambarkan sesuatu
yang kita buang. Sampah padat, dimana
terdiri dari bermacam benda-benda yang
sudah dibuang, mengandung berbagai
macam zar baik yang dapat berbahaya
maupun tidak bebahaya. Akan tetapi secara
umum, sampah padat yang menumpuk
mampu menimbulkan dampak yang cukup
serius bagi populasi manusia yang padat.
Dari penjelasan tersebut, masalah sampah
sebagai salah satu permasalahan lingkungan
dapat dikatakan juga sebagai masalah sosial
yang perlu diatur karena mempengaruhi
kehidupan masyarakatl luas sebagaimana
dikatakan bahwa lingkungan merupakan
factor pendukung kehidupan manusia.
1. Tinggi
• Inisiatif datang dari masyarakat dan
dilakukan secara mandiri mulai dari
tahapan perencanaan, pelaksanaan
hingga
pemeliharaan
hasil
pembangunan.
• Masyarakat
tidak
hanya
ikut
merumuskan program, akan tetapi
juga menentukan program-program
yang akan dilaksanakan
2. Sedang
• Masyarakat sudah ikut berpartisipasi,
akan tetapi dalam pelaksanaannya
masih didominasi golongan tertentu
• Masyarakat
dapat
menyuarakan
aspirasinya,
akan
tetapi
masih
terbatas pada masalah keseharian
3. Rendah
• Masyarakat
hanya
menyaksikan
kegiatan proyek yang dilakukan oleh
pemerintah.
• Masyarakat
dapat
memberikan
masukan baik secara langsung atau
melalui media massa, akan tetapi
hanya sebagai bahan pertimbangan
saja.
• Masyarakat masih sangat bergantung
kepada dana dari pihak lain sehingga
apabila dana berhenti maka kegiatan
secara stimulan akan terhenti juga.
Salah
satu
upaya
untuk
dapat
menyelesaikan permasalahan sampah adalah
dengan melakukan pengelolaan sampah yang
bisa dilakukan dengan prinsip 3R (reduce,
reuse, dan recycle). 3R adalah prinsip utama
mengelola sampah mulai dari sumbernya,
melalui berbagai langkah yang mampu
mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke
TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Langkah
utama adalah penilihan sejak dari sumber.
Menurut Enviromental Services Program
(2011: 19) kunci keberhasilan program
kebersihan dan pengelolaan sampah terletak
pada pemilihan. Tanpa pemilihan pengolahan
sampah menjadi sulit, mahal dan beresiko
tinggi
mencemari
lingkungan
dan
membahayakan kesehatan. Pemilihan adalah
memisahkan antara jenis sampah yang satu
dengan jenis yang lainnya. Minimal pemilihan
menjadi dua jenis:
a. Sampah organik, yaitu sampah yang
tidak dapat di daur ulangyang dapat
dirubah menjadi kompos yang bernilai
seperti sayur, buah-buahan, dan
sebagainya.
b. Sampah non-organik, yaitu sampah
yang dapat di daur ulang menjadi
benda/barang
lain
yang
dapat
bermanfaat kembali seperti plastik,
kaca, logam, dan sebagainya.
75
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Tinjauan Tentang Pengelolaan Sampah
Sampah harus dikelola secara baik
sampai
sekecil
mungkin
agar
tidak
menganggu dan mengancam kesehatan
masyarakat. Pengelolaan sampah yang baik,
bukan untuk kepentingan kesehatan saja,
tetapi juga untuk keindahan lingkungan.
Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan,
pengangkutan, sampai dengan pemusnahan
atau pengelolaan sampah sedemikian rupa
sehingga
sampah
tidak
menganggu
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Cara pengelolaan sampah antara lain:
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah adalah menjadi
tanggung jawab dari masing-masing
rumah tangga atau industri yang
menghasilkan sampah. Oleh karena itu,
mereka
harus
membangun
atau
mengadakan tempat khusus kemudian
dari
masing-masing
tempat
pengumpulan sampah tersebut harus
diangkut ke tempat penampungan
sampah (TPS) dan selanjutnya ke tempat
penampungan akhir (TPA). Mekanisme
sistem atau cara pengangkutan untuk di
derah perkotaan adalah tanggung jawab
pemerintah daerah setempat yang
didukung oleh partisipasi masyarakat
produksi sampah, khususnya dalam hal
pendanaan. Sedangkan untuk daerah
pedesaan pada umumnya dapat dikelola
oleh masing-masing keluarga, tanpa
memerluka TPS maupun TPA. Sampah
rumah
tangga
daerah
pedesaan
umumnya didaur ulang menjadi pupuk.
•
•
•
b. Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Pemusnahan dan atau pengelolaan
sampah padat ini dapat dilakukan melalui
berbagai cara, antara lain:
•
•
•
Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan
sampah dengan membuat ladang di
tanah kemudian sampah dimasukkan
dan ditimbun dengan tanah.
yaitu
Dibakar
(inceneration),
memusnahkan sampah dengan jalan
membakar
di
dalam
tungku
pembakaran (incenerator).
Dijadikan pupuk (composting), yaitu
pengolahan sampah menjadi pupuk
(kompos) khususnya untuk sampah
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
organik daun-daunan, sisa makanan,
dan sampah lain yang dapat
membusuk. Di daerah pedesaan hal
ini sudah biasa, sedangkan di daerah
perkotaan hal ini perlu dibudayakan.
Apabila
setiap
rumah
tangga
dibiasakan
untuk
memisahkan
sampah organik dengan an-organik,
kemudian sampah organik diolah
menjadi pupuk tanaman dapat dijual
atau dipakai sendiri. Sedangkan
sampah an-organik dibuang dan akan
segera dipungut oleh pemulung.
Dengan demikian maka masalah
sampah akan berkurang.
Penghancuran (pulverization)
Beberapa kota besar di Indonesia
telah memiliki mobil pengumpul
sampah yang dilengkapi alat pelumat
sampah. Sampah yang berasal dari
bak-bak
penampungan
langsung
dihancurkan
menjadi
potonganpotongan kecil sehingga lebih ringkas.
Sampah yang telah dilumatkan dapat
dimanfaatkan
untuk
menimpun
permukaan tanah yang rendah. Selain
itu juga bisa dibuang ke laut tanpa
menimbulkan pencemaran.
Makanan ternak (hogfeeding)
Sampah organik seperti sayuran,
ampas tapioka, dan ampas tahu dapat
dimanfaatkan
sebagai
makanan
ternak.
Pemanfaatan ulang (recycling)
Sampah-sampah
yang
sekiranya
masih bisa diolah, dipungut, dan
dikumpulkan.
Contohnya
adalah
kertas, pecahan kasa, botol bekas,
logam, dan plastik. Sampah-sampah
semacam ini dapat dibuat kembali
menjadi karton, kardus pembungkus,
alat-alat perangkat rumah tangga dari
plastik dan kaca. Tetapi perlu diingat
jangan sampai sampah demikian
dimanfaatkan atau termanfaatkan
lagi. Misalnya, kertas-kertas dari
tempat sampah dimanfaatkan begitu
saja untuk membungkus kudapan
atau makanan. Hal ini membahayakan
bagi kesehatan.
Pengelolaan sampah yang baik dan
layak bukan saja dapat meninggalkan
kebersihan maupun estetika lingkungan, akan
76
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
keswadayaan
(self
reliance).
Pengembangan masyarakat harus
selalu
mencaru
cara
untuk
menumbuhkan dan memaksimalkan
partisipasi, dengan maksud agar
setiap warga masyarakat terlibat
secara aktif dalam proses dan
aktivitas
kemasyarakatan
untuk
mencapai tujuan bersama”
tetapi
juga
dapat
meniadakan
atau
menghambat berkembang biaknya vektor
berbagai penyakit menular yang dapat
merugikan kesehatan masyarakat. Hal
tersebut dikarenakan sampah dapat sebagai
sumber makanan, sarang/tempat tinggal
serta media yang baik untuk perkembangan
kehidupan makhluk hidup.
Community Development
Dalam pekerja sosial pengembangan
masyarakat adalah metode yang bertujuan
untuk
memperbaiki
kualitas
hidup
masyarakat melalui penggunaan sumbersumber yang ada pada mereka serta
menekankan pada partisipasi sosial (Suharto,
2009: 37). Pengembangan masyarakat
diselenggarakan dengan tujuan untuk
mencapai
kondisi
masyarakat
dimana
transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi,
teknologi,
dapat
dilaksanakan
oleh
masyarakat secara berkelanjutan. Ada tiga
karakter umum program pengembangan
mayarakat, yaitu:
Konsep pengembangan masyarakat
(Community
Development)
sebenarnya
adalah
pengorganisasian
Masyarakat
(Community Organization), yang bermakna
mengorganisasikan
masyarakat
sebagai
sebuah sistem untuk melayani warganya
dalam setting kondisi yang berubah. Dengan
demikian
inti
pengertiannya
adalah
mendorong
warga
masyarakat
untuk
mengorganisasikan diri untuk melaksanakan
kegiatan guna mencapai kesejahteraannya
sendiri. (Budhi Wibhawa dkk, Dasar-dasar
Pekerjaan Sosial, 2010:109)
PBB
(1995)
mendefinisikan
pengembangan masyarakat sebagai berikut:
“Pengembangan
masyarakat
didefinisikan sebagai suatu proses yang
dirancang untuk menciptakan kemajuan
kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh
warga masyarakat dengan partisipasi
aktif
dan
sejauh
mungkin
menumbuhkan prakarsa masyarakat itu
sendiri”.
Dari
pengertian
tersebut
dapat
dikatakan bahwa pengembangan masyarakat
sejatinya merupakan bentuk intervensi
pekerjaan sosial yang bertujuan untuk
memberikan perubahan terhadap masyarakat
dari segala aspek kehidupan, baik itu sosial,
ekonomi, dan aspek kehidupan yang lainnya.
Pengembangan
masyarakat
(Community Development) menurut Jim Ife
dan Longman (1995) merupakan konsep
yang
berkembang
sebagai
tandingan
terhadap konsep Negara kesejahteraan. Jim
Ife dan Logman menyebutkan bahwa:
“Konsep pengembangan masyarakat
lebih
menekankanpada
upaya
pemenuhan
kebutuhan
yang
dilakukan oleh masyarakat sendiri
(community based services) dengan
ide utama keberlanjutan dalam
penyelenggaraan kebutuhan hidup
manusia karena dikembangkannya
1. Berbasis masyarakat (communitybase) atau masyarakat sebagai pelaku
utama
atau
subyek
dalam
perencanaan
dan
pelaksanaan
program
2. Berbasis sumberdaya setempat (local
resources-base), yaitu penciptaan
kegiatan dengan melihat potensi
sumberdaya (alam, manusia) yang
ada.
yaitu
3. Berkelanjutan
(sustainable)
program berfungsi sebagai penggerak
awal
pembangunan
yang
berkelanjutan.
Pengembangan masyarakat memiliki
fokus terhadap upaya menolong anggota
masyarakat yang memiliki kesamaan minat
untuk
bekerja
sama,
mengidentifikasi
kebutuhan
bersama
dan
kemudian
melakukan
kegiatan
bersama
untuk
memenuhi
kebutuhan
tersebut.
Pengembangan
masyarakat
seringkali
diimplementasikan dalam bentuk:
a. Proyek-proyek pembangunan yang
memungkinkan anggota masyarakat
memperoleh
dukungan
dalam
memenuhi kebutuhannya atau melalui
b. Kampanye dan aksi sosial yang
memungkinkan kebutuhan-kebutuhan
77
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
menjadi
community
worker.
Dengan
menjalankan tugas dan peran sebagai
community worker. Dalam pengelolaan
sampah diperlukan partisipasi masyarakat itu
sendiri untuk mengatasi kekurangan dari
keterbatasan pemerintah tersebut dalam
pengelolaan
sampah.
Mengacu
pada
pendapat Jim Ife 1995, terjemahan Aribowo
(2003: 118-129), pekerja sosial berperan
dalam kesehatan lingkungan sebagai :
fasilitatif, educational, dan representational.
tersebut dapat dipenuhi oleh pihakpihak lain yang bertanggung jawab
(Payne, 1995:165).
Menurut Jim Ife (1995: 178-198),
prinsip dasar dalam Community Development
yang
harus
diperhatikan
adalah
pengembangan terintegrasi, hak asasi
manusia,
berkelanjutan,
pemberdayaan,
kemandirian,
pengembangan
organisasi,
integritas proses, kooperatif, partisipasi,
melawan penindasan struktural, konsensus
personal dan politik, hak milik masyarakat,
tidak bergantung pada Negara, tujuan jangka
pendek dan visi akhir, langkah-langkah
pengembangan,
keahlian
eksternal
membangun masyarakat, tanpa kekerasan,
keikutsertaan dan mendefinisikan kebutuhan.
Relevansi pekerjaan sosial dalam
pengelolaan sampah, didasarkan pada
kompetensi pekerjaan sosial yaitu pada
bidang kesejahteraan sosial, dimana profesi
pekerjaan sosial memiliki peranan dominan
dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
Pekerjaan
sosial
merupakan
profesi
pertolongan
yang
ditujukkan
untuk
mendorong pemecahan masalah, baik
individu, keluarga, dan masyarakat dengan
berusaha
membantu
menggunakan
kemampuan untuk menghadapi masalahmasalah sosial dalam kehidupan sehari-hari
secara aktif dan bertanggung jawab. Aktif
dan tanggung jawab disini merupakan
pendekatan pelayanan dengan pengakuan
terhadap kemampuan yang dimiliki oleh
individu, kelompok ataupun masyarakat
dalam kata lain selain dibantu juga ikut
berpartisipasi dalam pemecahan masalahnya.
Partisipasi sejalan dengan prinsip pekerjan
sosial yaitu “self determination” (memiliki hak
untuk menentukkan dirinya sendiri). Artinya
bahwa seorang pekerja sosial berupaya
melibatkan individu, kelompok, ataupun
masyarakat
dengan
mendayagunakan
kemampuan yang dimiliki.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa fokus intervensi pekerjaan sosial
dalam
pengelolaan
sampah
adalah
menggunakan locality development, Locality
development adalah proses yang ditujukan
untuk menciptakan kemajuan sosial dan
ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi
aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu
sendiri (United Nations, 1955). Dalam
pengelolaan sampah ini pekerja sosial masuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Partisipasi
Dalam partisipasi pemikiran ini,
masyarakat Margaluyu menyalurkan ideidenya setiap mengikuti kegiatan dalam
pengelolaan sampah tidak hanya dalam
tahap perencanaan saja melainkan juga
tahap pelaksanaan dan evaluasi program.
Partisipasi tenaga dilihat dari masyarakat
yang ikut serta dilapangan untuk membantu
mulai dari mengumpulkan, mengambil
sampah
hingga
mengelola
sampah.
Selanjutnya
partisipasi
keahlian
atau
ketrampilan dilihat dari bentuk usaha guna
untuk mendorong aneka ragam usaha yang
dilakukan oleh masyarakat Margaluyu.
Kemudian partisipasi masyarakat dalam
bentuk
uang
yaitu
dari
masyarakat
Margaluyunya sampai saat ini tidak ada
sumbangan uang untuk mengelolanya,
sehingga KSM Hanjuang yang sudah berjalan
selama 3 tahun mendapatkan sumbangan
uang dari pemerintah dan mendapatkan
pemasukan dari hasil penjualan pupuk dari
sampah yang dikelolanya.
Menurut Sastropoetro, keenam jenis
partisipasi seperti yang telah disebutkan
diatas merupakan bentuk partisipasi yang
bisa diberikan oleh tiap individu. Sebagai
contoh adalah saat mengumpulkan sampah,
mengelola, memilih sampah, memungkinkan
bagi warga untuk peran mereka sebagai
keterlibatan dalam kegiatan.
Dengan berbagai jenis partisipasi
yang telah disebutkan diatas, maka peneliti
menyimpulkan bahwa partisipasi dapat
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu jenis
partisipasi yang diberikan dalam bentuk
78
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
apabila dana berhenti maka kegiatan
secara stimulan akan terhenti juga.
nyata (memiliki wujud) dan juga jenis
partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak
nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang
nyata misalnya tenaga, uang, ketrampilan.
Sedangkan partisipasi tidak nyata adalah
hasil pemikiran, partisipasi sosial.
SIMPULAN
1. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah
program
KSM
Hanjuang
di
Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug
berjalan
sesuai
rencana
dari
tahap
perencanaan kegiatan pengelolaan sampah
dan tahap pelaksanaan kegiatan pengelolaan
sampah dengan diberdayakannya masyarakat
dalam pengelolaan sampah program KSM
Hanjuang.
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Tinggi
• Inisiatif datang dari masyarakat dan
dilakukan secara mandiri mulai dari
tahapan perencanaan, pelaksanaan
hingga
pemeliharaan
hasil
pembangunan.
Masyarakat
di
Lingkungan Margaluyu awalnya tidak
memiliki inisiatif sama sekali untuk
memulai
program
pengelolaan
sampah, tetapi ada tokoh pemuda di
lingkungan
itu
yang
memiliki
semangat
tinggi
untuk
peduli
lingkungan. Maka dari awal tokoh
pemuda ini mulai mengajak akan
kebersihan lingkungan, dari situlah
KSM Hanjuang dibentuk untuk mulai
dari perencanaan hingga program
berjalan hingga sekarang.
• Masyarakat
tidak
hanya
ikut
merumuskan program, akan tetapi
juga menentukan program-program
yang akan dilaksanakan.
Sedang
• Masyarakat sudah ikut berpartisipasi,
akan tetapi dalam pelaksanaannya
masih didominasi golongan tertentu.
Masyarakat
Margaluyu
dalam
pelaksanannya masih belum semua
ikut berpartisipasi, hanya sebagian
masyarakat yang ikut partisipasi dan
hanya golongan tertentu saja belum
menyeluruh.
• Masyarakat
dapat
menyuarakan
aspirasinya,
akan
tetapi
masih
terbatas pada masalah keseharian.
Rendah
• Masyarakat
hanya
menyaksikan
kegiatan proyek yang dilakukan oleh
pemerintah.
• Masyarakat
dapat
memberikan
masukan baik secara langsung atau
melalui media massa, akan tetapi
hanya sebagai bahan pertimbangan
saja.
• Masyarakat masih sangat bergantung
kepada dana dari pihak lain sehingga
2. Partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan kegiatan pengelolaan sampah
program KSM Hanjuang di Lingkungan
Margaluyu Kelurahan Cicurug adalah cukup
baik, hal ini ditandai dengan adanya berbagai
gagasan atau ide dari warga dalam
penentuan keputusan kebijakan yang akan
diambil demi kepentingan mewujudkan
kesejahteraan hidup dilingkungannya.
3. Partisipasi masyarakat pada tahap
pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah
program KSM Hanjuang di Lingkungan
Margaluyu Kelurahan Cicurug adalah baik.
Hal ini dapat dilihat dari kesadaran warga
untuk melaksanakan usaha pemilahan
sampah, dan dalam pembuatan produk daur
ulang
dari
sampah.
Disamping
itu
berkembangnya swadaya masyarakat yang
cukup berhasil, termasuk usaha untuk
mengelola sampah dan kebersihan di
lingkungannya.
SARAN
1. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah
program
KSM
Hanjuang
di
Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug
pada umumnya perlu dibina dan ditingkatkan
dalam rangka mewujudkan lingkungan
tempat tinggal yang hijau, bersih dan sehat.
2. Petugas atau aparatur perencana,
pelaksana dan pengawasan pengelolaan
sampah
program
KSM
Hanjuang
di
Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug
diharapkan dapat mengembangkan gagasan
atau ide dari warga serta membina tingkat
kesadaran partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan
sampah
untuk
lebih
dimantapkan lagi.
79
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Ife
Alternatif
Masyarakat di Era
:
Community
2008.
Manullang,
Yakin
Nurul,
&
Nursyahid.
M.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan
Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sastropoetro, Santoso R.A. 1986. Partsipasi,
Komunitas, Persuasi, dan Disiplin Dalam
Pembangunan
Nasional.
Bandung:
Alumni.
Wibhawa Budhi, Raharjo. T. Santoso, &
Budiari Meilany. 2010. Dasar-Dasar
Pekerjaan
Sosial.
Bandung:Widya
Padjadjaran
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto, 2003. Pemberdayaan,
Damanhuri Enri & Tri Padmi. 2010. Diklat
Kuliah Pengelolaan Sampah. Progam
Studi
Teknik
Lingkungan.Institut
Teknologi Bandung.
Handayani Swi Dewi, Budisulistiorini, Nuraeni
Rosie Mya. 2009. Jurnal Presipitasi, UUD
Pengelolaan Sampah. Volume 4.Nomor
2.
pengembangan
masyarakat
dan
intervensi komunitas (pengantar pada
pemikiran dan pendekatan praktis),
Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Fahrudin, Adi. Ph.D. 2011. Pemberdayaan,
Partisipasi, Dan Penguatan Kapasitas
Masyarakat. Bandung: Buku Pendidikan
– Anggota IKAPI.
Soelaiman, 1980.
Usaha
Anggota IKAPI.
Jim & Tesoriero.
Pengembangan
Globalisasi
Development.Terjemahan
4. Sumber biaya yang selama ini dari
swadaya masyarakat, supaya kedepannya
dipertimbangkan kembali oleh pemerintah
berhubung keterampilan dan kreatifitas dari
warga masyarakat dalam berbagai kegiatan
pengelolaan sampah mengalami penurunan,
sehingga dana dari Pemerintah diharapkan
dapat mendukung kegiatan pengelolaan
sampah dan kebersihan lingkungan.
dalam
ISSN:2339 -0042
strategi
Pembangunan
Berbasis
Kerakyatan. Bandung: Buku Pendidikan –
3. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan pengelolaan sampah program KSM
Hanjuang
di
Lingkungan
Margaluyu
Kelurahan Cicurug khususnya dalam kegiatan
keterampilan pembuatan produk dari limbah
atau sampah terus diusahakan sehingga
mampu
untuk
mengikuti
kemajuan
tekhnologi pengelolaan sampah dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan warga
masyarakat.
Holil
HALAMAN: 1 -
Profil Kantor Kelurahan Cicurug Kabupaten
Majalengka, 2015.
Partisipasi Sosial
Kesejahteraan Sosial.
Bandung.
Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian dan
Masyarakat KSM Hanjuang, tahun 2015.
Pengembangan Masyarakat, Model dan
80
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH
SINGGAH
Oleh:
Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo
Email:
([email protected]; [email protected]; [email protected])
ABSTRAK
Berbagai perubahan terjadi pada anak jalanan di rumah singgah, baik perubahan yang
berhubungan dengan kondisi fisik maupun berhubungan dengan kondisi lingkungan. Perubahanperubahan yang terjadi pada anak jalanan dipengaruhi oleh apa yang mereka terima di rumah
singgah. Perubahan masa dari yang sepenuhnya di jalan sampai sebagian di panti tentu tak
mudah bagi anak jalanan, tak heran jika beberapa anak mengalami kejenuhan atau stress saat di
rumah singgah.
Untuk mengatasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut, anak jalanan
di rumah singgah membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan ini yang
disebut dukungan sosial, dan orang-orang yang memberi dukungan disebut sumber dukungan.
Studi kepustakaan menyatakan bahwa dukungan sosial akan dapat membantu mencegah
efek negatif karena adanya stress apabila terjadi kesesuaian antara harapan dan penerimaan
dukungan sosial bagi individu, penerima dukungan. Demikian pula dukungan sosial dari staf serta
lingkungan rumah singgah akan dapat mencegah efek negatif karena keterkejutan budaya pada
anak yang biasa di jalanan. Oleh karena itu, peneliti merasa penelitian ini penting disamping untuk
sumbangan perbaikan pada program yang diberikan lembaga juga diharapkan penelitian ini dapat
memberi ide tentang pemberian dukungan sosial di lembaga lain
Pada penelitian ini juga hendak diteliti hambatan serta faktor pendukung pemberian
dukungan sosial yang ada di lembaga. Hal ini dilakukan karena persepsi individu, penerima
dukungan, sebelumnya berada dalam lingkungan yang beda dan jauh dari dukungan sosial yang
membuat dirinya baik.
Kata kunci: anak jalanan, dukungan sosial, rumah singgah
Abstract
Numerous changes occurred in street children, both a layover at home alterations related to
the physical condition and related to environmental conditions. The changes that occurred on the
street children are influenced by what they receive in guesthouses. The change from being fully on
the road to some parlors is certainly not easy for street children, no wonder some kids
experiencing Burnout or stress during a layover at home.
The study stated that social support libraries will be able to help prevent negative effects
due to stress in the event of the alignment between hope and receipt of social support for the
individual, the recipient of support. Similarly, social support from staff and layover home
environment will be able to prevent the negative effects because of cultural shock in children are
commonplace in the streets. Therefore, researchers feel this research is important in addition to
donations of improvements on the given program Agency also expected this research can give an
idea about giving social support in other institutions.
The study also try to find factor inhibitor and factors supporting the granting of social
support that exists in the Agency. This is due to the perception of the individual, the recipient of
81
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
the support, the previous being in a different environment and away from the social support that
makes them good.
berbunyi: “Tanggung jawab masyarakat
terhadap perlindungan anak dilaksanakan
melalui kegiatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan perlindungan anak”
Bentuk
partisipasi
swasta
atau
masyarakat dalam memberdayakan anak
jalanan adalah dengan adanya rumah
singgah. Rumah singgah adalah salah satu
bentuk pelayanan sosial. Rumah singgah
adalah suatu wahana yang dipersiapkan
sebagai perantara antara anak jalanan dan
pihak-pihak yang membentu mereka (Modul
Pelatihan
Pimpinan
Rumah
Singgah,
2000:96). berdasarkan pengertian tersebut
rumah singgah merupakan proses informal
yang memberikan suasana sosial kepada
anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat setempat.
Menurut
Depsos
RI
dalam
Journal.uny.ac.id, rumah singgah hanya
sebagai perantara anak jalanan dengan
pihak-pihak yang akan membantu mereka
sebagai proses informal yang memberikan
suasana pusat realisasi dan sosialisasi anak
jalanan terhadap sistem nilai dan norma
masyarakat.
Secara
umum
tujuan
dibentuknya
rumah
singgah
adalah
membantu anak jalanan dalam mengatasi
masalah-masalah dan menemukan alternatif
untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Kegiatan awal dari aktivitas rumah singgah
adalah penjangkauan. Kegiatan ini dilakukan
oleh lembaga yang melayani anak secara
langsung untuk mengetahui keadaan anak di
lapangan dan mempersiapkan metode
intervensi apa yang tepat diberikan pada
anak. Berikutnya, anak yang hidup di jalanan
diberikan fasilitas rumah, rumah inilah yang
disebut sebagai rumah singgah tempat untuk
mempermudah intervensi lembaga kepada
anak-anak jalanan.
Melihat
kerasnya
kehidupan
yang
dihadapi oleh anak-anak dari keluarga
prasejahtera dengan gizi buruk, sakit, cacat,
putus sekolah, serta anak-anak yang
terpaksa harus mengais rejeki di jalanan
kota-kota besar seperti Jakarta, Dilts
Foundation mencoba memberikan anak-anak
kesempatan menjalani kehidupan yang lebih
baik, sehat, aman, dan produktif melalui
A.
Latar Belakang
Berdasarkan data dari Kemensos yang
dimuat di indonesia.ucanews.com, anak
jalanan yang tersebar di Indonesia ada
sekitar 420.000. Perkembangan pesat anakanak jalanan di berbagai sudut jalan, selain
memprihatinkan dari segi kemanusiaan, di
saat
yang
sama
juga
melahirkan
permasalahan sosial baru yang cukup
meresahkan. Kendati disadari bahwa tidak
semua anak jalanan melakukan tindakantindakan
yang
sampai
mengganggu
ketertiban umum, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa ada sebagian di antara
mereka yang merusak citra anak jalanan
secara keseluruhan dengan tindakan mereka
yang mengarah pada perilaku kriminal,
seperti kegiatan premanisme kecil-kecilan.
Anak-anak menjadi anak jalanan karena
berbagai alasan. menurut Soetji Andari dalam
bukunya tentang Pengkajian Berbagai Tindak
Kekerasan dan Upaya Perlindungan Anak
Jalanan mengemukakan bahwa penyebab
anak turun ke jalan adalah Meningkatnya
skala dan kompleksitas masalah psikososial
yang dialami keluarga, seperti keterpisahan
orang tua, stress yang dialami orang tua,
rendahnya kemampuan dalam pengasuhan
dan perawatan anak, kekerasan dalam
keluarga, dan lain-lain, Rendahnya tingkat
kemampuan
ekonomi
keluarga
yang
mengakibatkan tidak mampunya keluarga
memenuhi kebutuhan anak, Mengakarnya
nilai budaya yang tidak berpihak pada anak,
yang
membawa
kecenderungan
pada
pengabaian terhadap hak-hak anak.
Menurut data Kemensos pada situs
http://pksa.kemsos.go.id/, di Jakarta, anak
jalanan ada sekitar 8000 orang. Kalau
keadaannya sudah segenting ini maka
institusi atau lembaga dari negara maupun
swasta berhak bergerak untuk memberikan
pelayanan baik pendidikan, kesehatan,
hingga kasih sayang agar anak-anak jalanan
dapat mengerti tentang baik buruk kehidupan
dan
perilakunya
dapat
diterima
di
masyarakat. Sebagaimana di jelaskan dalam
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Bab IV bagian kettiga pasal 25 yang
82
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
program-program
pembelajaran
dan
mengorganisir kegiatan-kegiatan konkret
yang bergerak di bidang pendidikan,
pelayanan kesehatan, pelatihan keterampilan
dan kerja sosial dengan komunitas miskin
dan terpinggir.
Melalui rumah singgah, anak jalanan
diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan lingkungan fisik dan lingkungan
sosial di rumah singgah. Selain itu, untuk
dapat melalui serangkaian perubahan dan
penyesuaian diri dengan baik di rumah
singgah,
anak
jalanan
membutuhkan
dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Dukungan ini berupa dukungan sosial yang
mana diartikan sebagai daya dorong dari
lingkungan sekitar untuk mendukung individu
melakukan perubahan. Dukungan sosial ini
memiliki dampak luar biasa dengan
memberikan efek positif individu (Gottlieb,
1987; Wartman dan Loftus, 1992).
Namun, sebagaimana umumnya, anak
jalanan menghabiskan keseharian hidupnya
di jalanan. Kehidupan yang berbeda dengan
anak pada umumnya. Kehidupan anak
jalanan bisa dibilang keras, kotor, dan
melelahkan.
Dengan
berbagai
macam
pengalaman yang terjadi di jalanan, pikiran
pada anak jalanan akan terdistraksi oleh
keadaan
jalanan
seperti
kekerasan,
pencurian, dan tindak kekerasan lainnnya.
Sehingga dari pengalaman yang membuat
mereka berpikir seperti itu berdampak pada
sikap dan perilakunya sehari-hari. Jadi,
“tinggal” di rumah singgah bukanlah hal yang
mudah bagi anak jalanan. Perubahan
lingkungan dari lingkungan sebelumnya ke
lingkungan rumah singgah dapat membuat
jenuh bagi anak jalanan. Melalui rumah
singgah, anak jalanan diharapkan dapat
menyesuaikan
diri
dengan
keadaan
lingkungan fisik dan lingkungan sosial di
rumah singgah.
Selain
itu,
untuk
dapat
melalui
serangkaian perubahan dan penyesuaian diri
dengan baik di rumah singgah, anak jalanan
membutuhkan dukungan dari orang-orang di
sekitarnya. Dukungan ini berupa dukungan
sosial yang mana diartikan sebagai daya
dorong dari lingkungan sekitar untuk
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
mendukung individu melakukan perubahan.
Dukungan sosial ini memiliki dampak luar
biasa dengan memberikan efek positif
individu (Gottlieb, 1987; Wartman dan
Loftus, 1992). Dukungan sosial dapat
membantu individu untuk mencegah efek
negatif karena stress. Dalam penelitian ini,
sumber dukungan yang diperoleh anak
jalanan dapat berasal dari berbagai pihak,
misalnya dari sesama anak jalanan lain;
keluarga; dari pegawai rumah singgah; serta
dari orang-orang yang tinggal di sekitar
rumah singgah.
Pada penelitian ini, dukungan sosial yang
ingin dilihat adalah yang berasal dari rumah
singgah Dilts Foundation. Karena dalam hal
ini, rumah singgah memiliki tanggung jawab
yang lebih besar bagaimana membuat sikap
dan perilaku anak jalanan-yang diasumsikan
berseberangan dengan norma yang ada di
masyarakat- perilakunya dapat diterima oleh
orang lain.
Berangkat dari latar belakang tersebut,
penelitian ini difokuskan untuk melihat
dukungan sosial yang diberikan pada anak
jalanan
binaan
rumah
singgah
dilts
foundation. Secara lebih dalam lagi,
dukungan sosial dalam bentuk apa saja yang
diberikan
oleh
rumah
singgah
Dilts
Foundation sehingga mampu menjadikan
anak jalanan binaannya dapat diterima di
masyarakat luas. Penelitian ini bersifat studi
deskriptif
dengan
tujuan
untuk
mengindentifikasi
dan
menggambarkan
dukungan sosial yang diterima anak jalanan
binaan rumah singgah dilts foundations.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menyumbangkan tambahan ide dan sebagai
bentuk contoh dari lembaga pelayanan sosial
B.
Metode
(Methods),
Hasil
dan
Pembahasan (Results and Discussion)
Dalam
penelitian
ini
penulis
menggunakan metode kualitatif. Penelitian
kualitatif
adalah
metode
yang
menggambarkan dan menjabarkan temuan di
83
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dikemukakan oleh Sri S. Hariadi dan Suyanto
(1999: 78-82), yaitu:
lapangan.
Metode
kualitatif
hanyalah
memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian
degan metode ini tidak mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi.
Menurut Sugiyono (2011:15), metode
penelitian kulitatif adalah metode penelitian
yang
berlandaskan
pada
filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti
pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai
lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci, pengambilan
sampel sumber data dilakukan secara
purposive dan snowball, teknik pengumpulan
dengan trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi.
Departemen Sosial RI dalam Fery
Johanes (2007) “Penanganan Anak Jalanan di
Indonesia” mendefinisikan anak jalanan
sebagai anak yang menggunakan sebagian
waktunya dijalanan baik untuk bekerja
maupun tidak yang terdiri dari anak-anak
yang masih mempunyai hubungan dengan
keluarga atau sudah putus hubungan dengan
keluarga dan anak-anak yang hidup mandiri
sejak masa kecil karena kehilangan keluarga
atau orang tuanya. Mereka kerap kali
menghabiskan waktunya untuk bekerja,
entah untuk kebutuhan pribadi entah untuk
membantu keluarganya. Pekerjaan yang
biasa dilakukan anak jalanan sangat
beragam.
Mulai
dari
berjualan
tisu,
menyediakan jasa menyemir sepatu, sampai
mengemis. Kebanyakan dari anak jalanan
dapat ditemukan di persimpangan jalan
karena terdapat lampu merah tempat
kendaraan berhenti, tapi ada juga yang
bergerak di pasar tradisional dan jembatan.
Tidak semua anak yang tinggal atau bekerja
di jalanan disebut anak jalanan. Menurut Odi
Shalahudin dalam bukunya “Anak Jalanan
Perempuan”, seseorang yang berumur di
bawah 18 tahun yang menghabiskan
sebagian atau seluruh waktunya di jalanan
dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna
mendapatkan
uang
atau
guna
mempertahankan hidupnya itulah yang
disebut sebagai anak jalanan.
Anak jalanan yang bekerja dan
mencari uang di jalanan terbagi ke dalam
tiga tipologi atau kelompok, seperti yang
1. Children on the Street
Anak yang bekerja di jalan merupakan
mereka yang menghabiskan sebagian
besar waktunya di jalanan atau di tempat
umum lainnya untuk bekerja dan
penghasilannya
digunakan
untuk
membantu
keluarganya.
Anak-anak
tersebut mempunyai kegiatan ekonomi
(sebagai pekerja anak) di jalan dan masih
mempunyai hubungan yang kuat dengan
orang tua mereka.
2. Children of the street
Anak-anak
yang
hidup
di
jalan
merupakan mereka yang menghabiskan
sebaian besar waktunya di jalan atau
ditempat umum lainnya, tetapi hanya
sedikit yang digunakan untuk bekerja.
Mereka jarang berhubungan dengan
keluarganya. Beberapa di antara mereka
hidup di sembarang tempat dan tidak
memiliki rumah tinggal. Banyak di antara
mereka adalah anak-anak yang karena
suatu sebab lari atau pergi dari rumah.
Anak-anak seperti ini rawan terhadap
perilaku menyimpang, baik emosional,
fisik maupun seksual.
3. Children in the Street
Merupakan
anak-anak
yang
menghabiskan seluruh waktunya di
jalanan yang berasal dari keluarga yang
hidup atau tinggalnya juga di jalanan.
Berangkat dari tipologi yang telah
disebutkan, selanjutnya muncul karakteristik
atau sifat-sifat yang menonjol dari anak
jalanan, diantaranya adalah (1) pakaian yang
lusuh, kotor, begitu pula pada tubuh dan
wajahnya (2) mandiri dalam artian tidak
menggantungkan hidup kepada orang lain
dan tidur di mana saja (3) menganggap
orang yang tidak hidup di jalanan sebagai
orang yang dapat dimintai uang (4) tidak
memiliki rasa takut berhadapan dengan siapa
saja (6) hasrat untuk belajar yang kurang.
Pada artikel “Pengkajian Berbagai
Tindak Kekerasan dan Upaya Perlindungan
Anak Jalanan”, Soetji Andari menjelaskan
bahwa secara umum anak jalanan yang ada
di daearh perkotaan memiliki kesamaan ciri,
antara lain (1) berada di tempat umum
selama 3 sampai 24 jam sehari. (2)
berpendidikan rendah. (3) berasal dari
84
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
sekolah. (2) pada masyarakat lain,
urbanisasi menjadi kebiasaan dan anakanak mengikuti kebiasaan tersebut. (3)
penolakan masyarakat sekitar terhadap
diri anak.
3. Tingkat makro (basic causes), yakni
faktor-faktor yang besar untuk menjadi
anak jalanan. (1) ekonomi: adanya
peluang pekerjaan sektor informal yang
tidak terlalu membutuhkan modal
keahlian, tuntutan ekonomi memaksa
mereka harus lama di jalan dan
meninggalkan bangku sekolah, dan
ketimpangan desa dengan kota yang
mendorong urbanisasi. (2) pendidikan:
biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru
yang diskriminatif, ketentuan teknis dna
birokratis
yang
mengalahkan
kesempatan
belajar.
(3)
belum
seragamnya unsur-unsur pemerintah
dalam memandang permasalahan anak
jalanan, antara sebagai sebuah kelompok
yang memerlukan perawatan dan yang
menganggap anak jalanan sebagai
keluarga tidak mampu. (4) melakukan
aktivitas ekonomi.
Tak akan ada akibat jika tak ada
sebab. Fenomena anak jalanan adalah efek
domino dari beberapa faktor. Seperti
ketimpangan
penduduk,
tingkat
kesejahteraan yang rendah. Pengaruhpengaruh lain seperti psikologis, ekologis,
sosial budaya, dan pendidikan juga kerapkali
memengaruhi anak turun ke jalan.
Menurut
Dirjen
Pelayanan
dan
Rehabilitasi Sosial, Depsos RI, 2002:4), faktor
penyebab munculnya anak jalanan antara
lain adalah berkaitan dengan kondisi seperti:
1. Meningkatnya skala dan kompleksitas
masalah psikososial yang dialami
keluarga, seperti keterpisahan orang
tua, stress yang dialami orang tua,
rendahnya
kemampuan
dalam
pengasuhan dan perawatan anak,
kekerasan dalam keluarga, dan lain-lain
2. Rendahnya
tingkat
kemampuan
ekonomi keluarga yang berakibat tidak
mampunya
keluarga
memenuhi
kebutuhan anak
3. Budaya orang tua yang kerap
mengabaikan hak-hak anak sehingga
anak merasa kurang kasih sayang
trouble maker)
Dukungan Sosial
Cobb memberi definisi dukungan sosial
sebagai cara untuk mengarahkan individu
bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dan
meyakinkan bahwa ia adalah bagian dari satu
kelompok yang saling memiliki tanggung
jawab. Setiap informasi dari lingkungan sosial
yang menyebabkan persepsi individu bahwa
ia diterima dengan penerimaan positif,
penghargaan atau perhatian merupakan
ekspresi dari dukungan sosial.
Sedangkan, House (dalam Gottlieb,
1988) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai:
Selain itu, Tata Sudrajad dalam Wahyu
Nurhajadmo (1999, 15), “Seksualitas Anak
Jalanan” menyatakan ada tiga penyebab
munculnya fenomena anak jalanan
1. Tingkat mikro (immediate causes), yakni
faktor-faktor yang berhubungan dengan
situasi anak dan keluarganya; (1) sebab
dari
keluarga:
ditelantarkan,
ketidakmampuan orang tua menyediakan
kebutuhan dasar, ditolak orang tua,
salah perawatan, adanya kekerasan di
rumah, kesulitan berhubungan dengan
keluarga, dan terpisah dari orang tua.
(2) sebab dair anak: lari dari keluarga,
disuruh bekerja baik karena masih
sekolah atau sudah putus sekolah,
bermain-main diajak teman.
2. Tingkat meso (underlying causes), yakni
faktor-faktor yang ada di masyarakat
tempat anak dan keluarga berada. (1)
masyarakat miskin: anak-anak adalah
aset untuk membantu peningkatan
ekonomi keluarga, anak-anak diajarkan
bekerja
meski
hal
ini
dapat
mengakibatkan mereka drop out dari
“an interpersonal transaction involving
one or more of the following: (1)
emotional
concern
(liking,
love,
empathy), (2) instrumental aid (good or
services),
(3)
information
(about
environment), (4) appraisal (information
relevant to the self-evaluation” (p. 39)”
House melihat dukungan sosial sebagai
transaksi interpersonal yang melibatkan satu
atau lebih komponen, yaitu perhatian
emosional (suka, cinta, empati), bantuan
instrumental (barang atau jasa), informasi
85
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
(mengenai lingkungan) atau penilaian
(informasi yang relevan terhadap penilaian
diri). Jadi, ketika ada salah satu komponen
yang bekerja dalam transaksi interpersonal,
sudah bisa dikatakan sebagai dukungan
sosial.
Definisi mengenai dukungan sosial
juga dijelaskan oleh Weiss (dalam Sarason,
1983), ia menjelaskan ada 6 dimensi dari
dukungan sosial, yaitu intimacy, social
indvidu merasa memperoleh teman yang
menyenangkan sehingga ia dapat melakukan
aktivitas bersama. Dengan adanya dukungan
ini, individu merasa dirinya sebagai bagian
dari kelompok tertentu dan kelompok
tersebut memiliki kesamaan minat untuk
melakukan kegiatan bersama dan hal ini
dapat memenerikan rasa nyaman dan senang
(Cutrona et al., 1994).
integration, nurturance, worth, alliance, and
guidance.
3. Instrumental Support
Dukungan ini berbentuk materi atau
jasa yang diberikan oleh orang lain kepada
individu sebagai penerima dukungan (Orford,
1992). Bantuan yang diberikan dapat berupa
uang, barang kebutuhan sehari-hari, atau
bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas
transportasi,
membantu
menyelesaikan
pekerjaan rumah atau menyediakan waktu
untuk bermain. Bantuan dalam bentuk ini
penting bagi anak jalanan. Usia anak-anak
membuat ia membutuhkan teman untuk
mengekspresikan dirinya di depan orang lain
Dari
beragam
penjelasan
ahli,
dukungan sosial tak lain adalah kesediaan
orang untuk mengarahkan, meyakinkan
kepada individu bahwa ia tidak sendiri
dengan menekankan bahwa ia dicintai,
dihargai, diperhatikan, dan dapat meminta
bantuan pada saat individu dalam kondisi
yang tertekan.
Untuk menerapkan dukungan sosial
itu sendiri dibutuhkan bentuk dari dukungan
sosial. sejauh ini, bentuk dukungan sosial
sangat beragam dari para ahli sesuai dengan
bahan
kajian
mereka.
Penulis
akan
memberikan rangkuman mengenai bentuk
dukungan sosial dari Gottlieb dan Cobb,
sebagai berikut:
4. Esteem Support
Dengan dukungan ini,
individu
sebagai penerima dukungan merasa memiliki
nilai terhadap dirinya karena adanya
pengakuan
dari
orang
lain
atas
kemampuannya dan kualitas personalnya
(Cutrona et al., 1994, Felton dan Berry.
1992). Dengan adanya dukungan ini, individu
merasa dihargai oleh orang disekitarnya atas
apa yang telah dilakukannya. Dukungan ini
dapat berbentuk pujian terhadap apa yang
telah
dilakukan
individu
atau
juga
penerimaan terhadap kekurangan individu.
1. Emotional Support
Dukungan emosi merupakan ekspresi
kasih sayang dan rasa cinta dari orang-orang
di sekitar individu (Cutrona, Cole, Colangelo,
Assouline, dan Russel, 1994). Individu dapat
mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun
kekecewaannya pada seseorang dan hal ini
membuat individu yang menerima dukungan
sosial tersebut merasa adanya keterikatan,
kedekatan dengan pemberi dukungan
sehinga menimbulkan rasa aman dan
percaya. (Weiss, dalam Cutrona dan Russell,
1987; Elliot, Herrick, dan Witty, 1992).
Menurut ahli, bentuk dukungan emosi
ini sangat penting dan dibutuhkan dalam
kehidupan seseorang (Turner, 1983) dan
dalam setiap perode kehidupan karena
dukungan ini memberikan perhatian yang
dalam dalam terhadap indvidu di mana
individu dapat secara leluasa mencurahkan isi
hatinya (Mirowsky dan Ross, 1989)
5. Informational Support
Dukungan ini memungkinkan individu
sebagai
penerima
dukungan
untuk
memperoleh pengetahuan dari orang lain
(Felton dan Berry, 1992). Pengetahuan yang
diperoleh dapat berupa bimbingan/arahan,
diskusi masalah, maupun pengajaran suatu
keterampilan. Dengan adanya informasi
tersebut maka individu dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi atau memperoleh
pengetahuan baru (Weiss dalam Cutrona dan
Russel, 1987).
2. Social Integration
Menurut Felton dan Berry (1992),
bentuk dukungan ini dapat terjadi bila
6. Opportunity for Nurturance
Bentuk dukungan ini berbeda dengan
lima bentuk dukungan sebelumnya. Pada
86
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dukungan ini, individu justru memberikan
bantuan pada orang lain. Ini merupakan
kesempatan bagi individu untuk memberikan
pertolongan pada orang lain (Cutrona et al.,
1994). Pertolongan yang diberikan dapat
berupa
materi
atau
jasa.
Dengan
memberikan pertolongan, individu merasa
dibutuhkan oleh orang lain sehingga adanya
perasaan bahwa orang lain tergantung
padanya.
Uraian
mengenai
bentuk-bentuk
dukungan sosial di atas akan digunakan
sebagai acuan dalam melihat dukungan sosial
yang diberikan pada anak jalanan di rumah
singgah dilts foundation.
Pelayanan sosial merupakan suatu
bentuk aktivitas yang bertujuan untuk
membantu individu, kelompok, ataupun
masyarakat agar mereka mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya,
yang
pada
akhirnya
mereka
berharap
dapat
memecahkan permasalahan yang ada melalui
tindakan-tindakan kerja sama atau melalui
pemanfaatan sumber-sumber yang ada di
masyarakat untuk memperbaiki kondisi
kehidupannya. Pelayanan sosial menurut
pendapat yang dikatakan oleh Alfred J. Khan
dalam Soetarso (1993:26) yaitu sebagai
berikut:
“program-program yang dilaksanakan
tanpa mempertimbangkan kriteria pasar
untuk menjamin suatu tingkat dasar
dalam penyediaan fasilitas pemenuhan
kebutuhan kehidupan masyarakat serta
kemampuan
perorangan
untuk
melaksanakan fungsi-fungsinya untuk
memperlancar kemampuan menjangkau
dan menggunakan pelayanan serta
lembaga yang telah ada dan membantu
masyarakat yang mengalami kesulitan
dan ketelantaran.”
mereka. Yayasan Dilts (Dilts Foundation/DF)
terbentuk atas kepedulian pasangan suami
istri DR. Russel Dilts dan Wahyu Setyowati.
Melihat kerasnya kehidupan yang dihadapi
oleh anak-anak dari keluarga prasejahtera
dengan gizi buruk, sakit, cacat, putus
sekolah, serta anak-anak yang terpaksa
harus mengais rejeki di jalanan kota-kota
besar seperti Jakarta.
Lembaga pelayanan sosial menurut
Alfred J. Khan dalam Soetarso (1993:38),
memiliki tugas-tugas untuk:
1. Memperkuat dan memperbaiki fungsifungsi keluarga dan perorangan selaras
dengan peranan-peranan yang selalu
berkembang.
2. Menyediakan saluran kelembagaan baru
untuk
keperluan
sosialisasi,
pengembangan dan pemberian bantuan,
yaitu peranan-peranan yang masa
lampau dilakukan oleh keluarga.
3. Mengembangkan bentuk-bentuk lembaga
baru untuk melaksanakan kegiatankegiatan baru yang sangat diperlukan
oleh perorangan, keluarga, dan kelompok
dalam masyarakat industri dan kota yang
kompleks.
Pelayanan sosial meliputi kegiatan
atau intervensi terhadap kasus yang muncul
dan dilaksanakan secara langsung dan
terorganisir serta memiliki tujuan untuk
membantu
individu,
kelompok,
dan
lingkungan sosial dalam upaya mencapai
penyesuaian dan keberfungsian yang baik
dalam
segala
bidang
kehidupan
di
masyarakat. Hal yang terkandung dalam
pelayanan dapat dikatakan adanya kegiatan
yang memberikan jasa kepada klien dan
membantu
mewujudkan
tujuan-tujuan
C.
Tugas-tugas ini umumya ada dalam
lembaga pelayanan sosial untuk membantu
masyarakat yang membutuhkan bantuan
serta
memberikan
pelayanan
dengan
serangkaian kegiatan dalam bidang tertentu
yang ditujukan kepada individu, kelompok,
dan masyarakat untuk kesejahteraannya.
Lembaga-lembaga
sosial
harus
lebih
memerhatikan hal-hal yang seharusnya
dibutuhkan oleh anak jalanan dalam
bersosialisasi, agar sikap dan perilakunya
dapat diterima oleh masyarakat banyak.
Simpulan dan Saran (Conclusion and
Suggestion)
Dari hasil penelitian tinjauan pustaka,
kebutuhan anak jalanan akan dukungan
sosial di rumah singgah sangat penting. ,
dukungan sosial memiliki pengaruh positif
pada
kesehatan
seseorang
tanpa
memperhatikan tingkat stress individu.
Dengan perkataan lain, dukungan sosial
dapat melindungi individu baik dalam situasi
stress ataupun situasi tidak stress. Dengan
adanya dukungan sosial maka kesehatan
87
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
individu baik kesehatan fisik serta mental
akan terjaga dan lebih baik.
Dukungan sosial memang suatu
kebutuhan yang dibutuhkan oleh individu,
entah dalam keadaan terpuruk entah untuk
menjadikan dirinya lebih baik lagi. Tidak
hanya secara psikologis, dukungan sosial
juga memberikan dampak yang lebih dalam.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan menurut
Sarafino (1994), dukungan sosial tidak hanya
menolong pada saat terjadinya stress, tetapi
dukungan sosial dapat mengatasi masalah
sejak awal.
Dukungan sosial model ini meliputi
jaringan sosial yang dimiliki oleh individu.
Individu yang terisolasi secara sosial dan
memiliki
sedikit
kesempatan
untuk
memperoleh dukungan sosial akan memiliki
risiko
yang
lebih
besar
terganggu
kesehatannya (Gottlieb, 1986). Selanjutnya,
besar jaringan sosial individu berperan dalam
menentukan besarnya dukungan sosial yang
diperoleh individu tersebut. semakin luas
jaringan sosial yang dimiliki individu maka
dukungan sosial yang kemungkinan ia dapat
semakin besar. Untuk menerapkan dukungan
sosial itu sendiri dibutuhkan bentuk dari
dukungan sosial.
Depatemen
HALAMAN: 1 -
Sosial
RI.
Penyelenggaraan
Jalanan Melalui
ISSN:2339 -0042
2002. Pedoman
Pembinaan
Anak
Rumah Singgah.
Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Kesejahteraan
Sosial,
Depertemen
Sosial RI.
Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan
Lanjut
Usia
–
Deputi
Bidang
Peningkatan
Kesejahteraan
Sosial.
2000. Modul Pelatihan Pimpinan Rumah
Singgah. Jakarta: Badan Kesejahteraan
Sosial Nasional.
Upaya
Pencarian Model yang Efektif dalam
Penanganan Anak Jalanan. (Penelitian
Departemen
Sosial
RI.
2003.
Universitas Muhammadiyah Jakarta
bekerja sama dengan Balitbangsos
Departemen Sosial RI)
Gottlieb, B. H. 1988. Social Support
Strategies. Guidelines for Mental Health
Practices. California: Sage Publishing Co
Gottlieb, B. H. 1988. Marshalling Social
Support: Formats, Process, and Effects.
New York: Sage Publishing Co
Haditono, Siti Rahayu. 1992. Psikologi
D.
Perkembangan, Pengantar dalam
berbagai bagiannya. Yogyakarta:
Daftar Pustaka
Gadjah Mada University Press
Armai, Arief. 20002. Rumah Singgah Sebagai
Tempat Alternative Pemberdayaan Anak
Jalanan. (Jurnal Fajar) Jakarta: LPM
Hans O. F. Veiel & Urs Baumann. The
Meaning and Measurement of Social
Support. New York: Hemisphere Publish
UIN. hal. 1
Andari, Soetji, dkk. 2007. Uji Coba Model
Corp
Perlindungan Anak Jalanan terhadap
Tindak Kekerasan. Yogyakarta: B2P3KS.
88
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA
Oleh:
Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat
E-mail:
[email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK,
Potret kehidupan anak jalanan yang terjadi saat ini merupakan fenomena yang sering dijumpai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka perlunya dilakukan pembinaan anak jalanan untuk
mengurangi persebaran anak jalanan. Sehingga, rumah singgah menjadi salah satu alternatif
kebutuhan terhadap pembinaan anak jalanan. Sebagai organisasi pelayanan sosial, rumah singgah
juga memerlukan dana untuk dapat menjalankan setiap program-program pembinaan anak
jalanan yang selama ini telah dikelola. Fundraising diperlukan dalam kegiatan pencarian sumbersumber dana baik melalui donatur maupun dari sumber-sumber lain yang memiliki potensi dalam
mengembangkan sebuah organisasi pelayanan sosial, dalam hal ini rumah singgah. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif karena dalam penelitian ini ingin mengetahui bagaimana
penerapan strategi fundraising yang dilakukan oeh rumah singgah Bina Anak Pertiwi. Studi ini
menunjukkan bahwa rumah singgah ini menggunakan strategi fundraising dalam melakukan
pembinaan terhadap anak jalanan serta menjalankan setiap programnya. Tiga strategi fundraising
yang digunakan yaitu; Acquisition Strategies, Retension Strategies, dan Upgrading strategies.
Kata kunci : anak jalanan, rumah singgah, fundraising
ABSTRACT
Portrait of the life of street children is happening today is a phenomenon that is often encountered
in the midst of people's lives, then the need for the development of street children to reduce the
spread of street children. Thus, the shelter became one of alternative development needs to street
children. As social service organizations, shelters also need funds to be able to run any coaching
programs for street children who have been administered. Fundraising is necessary in order to
launch the sources of funding through donors or from other sources which have the potential to
develop a social service organization, in this case the halfway house. This study uses a qualitative
method because in this study wanted to know how the application of a fundraising strategy
conducted by the NII shelters Bina Anak Pertiwi. This study shows that the shelter is using
fundraising strategy to guide the child in the street and run any program. Three fundraising
strategies used are; Acquisition Strategies, Retension Strategies, and upgrading strategies.
Keywords: street children, shelter, fundraising
89
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
PENDAHULUAN
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Oleh karena itu, anak jalanan wajib
mendapatkan haknya seperti anak-anak yang
lain. Rumah singgah dapat menjadi salah satu
upaya juga dalam mengurangi persebaran
anak jalanan di ibukota. Menurut definisi dari
Kementerian Sosial, rumah singgah adalah
tempat penampungan sementara anak jalanan
sebagai wahana pelayanan kesejahteraan
sosial (kemsos.go.id).
Potret kehidupan anak jalanan yang
terjadi saat ini merupakan fenomena yang
sering dijumpai di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, tak terkecuali di DKI Jakarta.
Anak jalanan sering di jumpai di sekitaran
lampu merah, kolong jembatan maupun
tempat-tempat umum lainnya dan biasanya
untuk
mendapatkan
uang
serta
mempertahankan kehidupannya anak jalanan
pun bekerja sebagai pengamen, pengemis,
pemulung dan sebagainya. Tak jarang pula,
kehidupan keras di jalanan membuat anakanak jalanan melakukan perbuatan yang
menyimpang, seperti; menjadi pekerja seks,
melakukan tindakan kekerasan, bahkan
memakai obat-obatan terlarang. Hal itu
disebabkan karena keterbatasan keadaan
ekonomi maupun kurangnya perhatian dan
kasih sayang dari orangtua. Keadaan seperti
itulah yang dapat menganggu pertumbuhan
dan perkembangan anak jalanan. Seperti
yang diungkapkan oleh Soedijar (1998),
definisi anak jalanan itu sendiri adalah :
Anak jalanan itu berusia di antara tujuh
hingga lima belas tahun yang mana
mereka
memilih
untuk
mencari
penghasilan di jalanan, yang tidak
jarang menimbulkan konflik ketenangan,
ketentraman dan kenyamanan orang
lain di sekitarnya, serta tidak jarang
membahayakan dirinya sendiri.
Rumah singgah merupakan salah satu
organisasi pelayanan sosial yang menjadi
kebutuhan pada saat ini dalam melakukan
pembinaan terhadap anak jalanan. Di DKI
Jakarta seperti yang diungkapkan oleh oleh
Agusman, Ketua Forum Komunikasi Pengelola
Rumah Singgah se-DKI Jakarta pada tahun
2013, Jakarta memiliki 27 rumah singgah
yang berada di bawah pengawasan Dinas
sosial. Dengan rincian, lokasi di Jakarta Timur
terdapat 7 rumah singgah. Jakarta Utara
terdapat terdapat 5 rumah singgah. Jakarta
Pusat terdapat terdapat 5 rumah singgah,
Jakarta Selatan terdapat terdapat 4 rumah
singgah dan Jakarta Barat terdapat 6 rumah
singgah.
Berkaitan dengan peran rumah singgah
sebagai tempat pembinaan anak jalanan,
maka keberadaan rumah singgah ini dapat
memberikan kontribusi bagi kebutuhan
masyarakat. Tentu saja, dalam menjalankan
aktivitasnya rumah singgah sebagai organisasi
pelayanan sosial perlu didukung dengan
manajemen pelayanan sosial yang baik.
Kettner
mengemukakan
lima
aspek
manajemen dalam organisasi pelayanan
sosial, antara lain yaitu; Planning, Organizing,
Peran serta dari berbagai pihak sangat
diperlukan
untuk
melakukan
upaya
pembinaan terhadap anak jalanan sangat
dibutuhkan agar anak-anak jalanan tidak lagi
berkeliaran di jalan dan mendapatkan haknya
dengan selayaknya. Di jelaskan pula pada
Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak menyebutkan; “Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya”.
Budgeting, Human Resources Development
dan Sistem Informasi. Kelima aspek tersebut
berfungsi untuk menunjang kinerja dari
program-program organisasi pelayanan sosial
dalam mencapai tujuan sebuah organisasi.
Salah
satu
aspek
manajemen
yang
mendukung sebagai kontrol untuk mencapai
sebuah tujuan organisasi pelayanan sosial
yaitu aspek budgeting. Gates (1980)
90
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kegiatannya, fundraising memiliki lima tujuan
pokok menurut (Juwaini:2005) yaitu:
mengemukakan bahwa dengan adanya
budgeting
dapat
mewujudkan
sebuah
rencana, program, dan sebagai kontrol untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam
organisasi pelayanan sosial.
Sebagai organisasi pelayanan sosial,
rumah singgah juga membutuhkan dana
untuk
menunjang
keberlangsungan
kegiatannya dalam melakukan pembinaan
terhadap
anak
jalanan.
Berdasarkan
permasalahan mengenai rumah singgah yang
ada pada saat ini, menurut penuturan Raden
Harry Hikmat selaku Direktur Pelayanan Sosial
Anak, Kementerian Sosial mengatakan bahwa
sekitar 60 persen rumah singgah bagi anak
jalanan tidak aktif lagi karena dukungan
pemerintah
terhadap
penyelenggaraan
fasilitas pelayanan sosial itu melemah dalam
beberapa tahun terakhir. Tak hanya hal itu
saja, problematika lain yang dihadapi oleh
rumah singgah yaitu penurunan aktivitas
rumah singgah yang disebabkan karena
berkurangnya dukungan pendanaan dari
pemerintah dan lembaga donor. Fakta
tersebut penyebab salah satu faktor yang
menjadi hambatan dalam pembinaan anak
jalanan. Meskipun demikian, rumah singgah
saat ini tidak bisa hanya mengandalkan
subsidi
dari
pemerintah
saja
karena
banyaknya kebutuhan untuk menjalankan
setiap aktivitasnya agar mampu bertahan dan
berkembang. Sehingga, dibutuhkan upaya
untuk mendanai aktivitas untuk rumah
singgah melalui Fundraising. Fundraising
menurut Norton (1998) adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan menjual ide kepada
orang lain (donor) yang dapat mewujudkan
ide tersebut dengan memberikan bantuan
berupa uang, sponsor, atau bentuk lain yang
dibutuhkan.
a. Menghimpun dana
Menghimpun
dana
adalah
tujuan
fundraising yang paling dasar. Termasuk
dalam pengertian dana adalah barang atau
jasa yang memiliki nilai material. Tujuan
inilahyang paling pertama dan utama.
lnilah sebab awal mengapa fundraising itu
dilakukan. Bahkan kita bisa mengatakan
bahwa
fundraising
yang
tidak
menghasilkan dana adalah fundraising
yang gagal, meskipun memiliki bentuk
keberhasilan lainnya. Karena pada akhirnya
apabila fundraising tidak menghasilkan
dana maka tidak ada sumber daya
dihasilkan. Apabila sumber daya sudah
tidak ada, maka lembaga akan kehilangan
kemampuan
untuk
terus
menjaga
kelangsungannya, sehingga pada akhirnya
akan mati.
b. Menghimpun donatur
Tujuan
kedua
fundraising
adalah
menghimpun donatur. Lembaga yang
melakukan
fundraising
harus
terus
menambah jumlah donaturnya. Untuk
dapat menambah jumlah donasi, maka ada
dua cara yang dapat ditempuh, yaitu
menambah donasi dari setiap donatur atau
menambah jumlah donatur pada saat
setiap donatur mendonasikan dana yang
tetap sama. Di antara kedua pilihan
tersebut, maka menambah donatur adalah
cara yang relatif lebih mudah dari pada
menaikkan jumlah donasi dari setiap
donatur. Dengan alasan ini maka mau tidak
mau fundraising dari waktu ke waktu juga
harus berorientasi untuk terus menambah
jumlah donatur.
Fundraising diperlukan dalam kegiatan
pencarian sumber-sumber dana baik melalui
donatur maupun dari sumber-sumber lain
yang memiliki potensi dalam mengembangkan
sebuah organisasi pelayanan sosial. Dalam
c. Menghimpun simpatisan dan pendukung
Kadang-kadang ada seseorang atau
sekelompok orang yang telah berinteraksi
dengan aktivitas fundraising, mereka
91
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
donatur adalah tujuan yang bernilai jangka
panjang, meskipun kegiatannya secara
teknis dilakukan sehari-hari. Mengapa
memuaskan donatur itu penting? Karena
jika donatur puas, maka mereka akan
mengulang lagi mendonasikan dananya
kepada sebuah lembaga. Juga apabila puas
mereka akan menceritakan lembaga
kepada orang lain secara positif. Secara
tidak langsung, donatur yang puas akan
menjadi tenaga fundraiser alami (tidak
diminta, tidak dilantik dan tidak dibayar).
Kebalikannya kalau donatur tidak puas,
maka ia akan menghentikan donasi (tidak
mengulang lagi) dan menceritakan kepada
orang lain tentang lembaga secara negatif.
Karena
fungsi
pekerjaan
kegiatan
fundraising
adalah
lebih
banyak
berinteraksi dengan donatur, maka secara
otomatis kegiatan fundraising juga harus
bertujuan untuk memuaskan donatur.
kemudian terkesan, menilai positif dan
bersimpati. Akan tetapi pada saat itu
mereka tidak memiliki kemampuan untuk
memberikan sesuatu (misal: dana) sebagai
donasi karena ketidak mampuan mereka.
Kelompok seperti ini kemudian menjadi
simpatisan dan pendukung lembaga
meskipun tidak menjadi donatur. Kelompok
seperti ini akan berusaha mendukung
lembaga dan umumnya secara natural
bersedia menjadi promotor atau informan
positif tentang lembaga kepada orang lain.
Kelompok seperti ini juga diperlukan oleh
lembaga sebagai pemberi kabar informal
kepada
setiap
orang
yang
memerlukan.Dengan adanya kelompok
simpatisan dan pendukung ini, maka kita
memiliki jaringan informasi informal yang
sangat menguntungkan.
d. Membangun Citra lembaga
Disadari atau tidak, aktivitas fundraising
yang dilakukan oleh sebuah LSM, baik
langsung maupun tidak langsung akan
membentuk citra lembaga. Fundraising
adalah
garda
terdepan
yang
menyampaikan informasi dan berinteraksi
dengan masyarakat. Hasil informasi dan
interaksi ini akan membentuk citra lembaga
dalam benak khalayak. Citra ini bisa
bersifat positif, bisa pula bersifat negatif.
Dengan citra ini setiap orang akan
mempersepsi lembaga, dan ujungnya
adalah bersikap atau menunjukkan perilaku
terhadap lembaga. Jika citra lembaga
positif, maka mereka akan mendukung,
bersimpati dan akhirnya memberikan
donasi. Sebaliknya kalau citranya negatif,
maka mereka akan menghindari, antipati
dan mencegah orang untuk melakukan
donasi.
Selain itu, kegiatan fundraising juga dapat
mendukung mengoperasikan roda kehidupan
mapun
pengelolaan
keuangan
sebuah
organisasi.
Alasan
lain
dilakukannya
fundraising
yaitu
untuk
mengurangi
ketergantungan terhadap donor utama.
Menurut Said, Abidin dan Faizah (2003 : 34)
ada tiga cara yang bisa ditempuh oleh
organisasi
pelayanan
sosial
dalam
menggalang dukungan dari masyarakat.yaitu;
1. Menggalang dana dari sumber yang
tersedia,
baik
dari
perorangan,
perusahaan, ataupun pemerintah. Untuk
menggalangnya,
mereka
bisa
menggunakan beberapa strategi. Yaitu;
direct
mail,
media
campaign.
Keanggotaan, special event, endowment,
dan sebagainya
2. Menciptakan sumber dana baru. Upaya
itu dilakukan dengan cara membangun
unit-unit usaha dan ekonomi yang
mampu
menghasilkan
pendapatan
lembaga (earned income)
3. Mengkapitalisasi sumber daya nonfinancial.
Disini,
lembaga
bisa
e. Memuaskan donatur
Tujuan kelima dari fundraising adalah
memuaskan donatur. Tujuan ini adalah
tujuan yang tertinggi. Tujuan memuaskan
92
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
setiap
langkah
yang
diambil
untuk
menggalang dana, agar segalanya berjalan
lancar. Ada enam strategi penggalangan dana
yang dikemukan oleh Norton yaitu:
menciptakan dana dari sumber nonfinancial.
Sebagai organisasi pelayanan sosial,
rumah singgah juga memerlukan dana untuk
dapat menjalankan setiap program-program
pembinaan anak jalanan yang selama ini telah
dikelola. Sebuah rumah singgah yang terletak
di jalan Bacang No. 46 Jati Padang Pasar
Minggu Jakarta Selatan didirikan pada tahun
1998 oleh sekelompok mahasiswa karena
keprihatinan terhadap kesejahteraan anak
jalalan dengan menyekolahkan anak-anak
jalanan di sekolah umum, pengembangan
minat bakat, pelatihan keterampilan dan
pembinaan untuk pembentukan akhlak yang
baik dalam bentuk rumah singgah. Dalam
menjalankan kegiatannya Yayasan Bina Anak
Pertiwi tak luput dari strategi fundraising yang
dijalankannya selama ini.
1. Menentukan kebutuhan
2. Bagaimana
agar
organisasi
berkembang
3. Mengidentifikasi sumber daya
4. Menilai peluang
5. Mengidentifikasi hambatan
6. Merumuskan strategi
Dalam pelaksanaan fundraising, sumbersumber dana di yayasan pada umumnya
berasal
dari
donatur
serta
dengan
memaksimalkan potensi-potensi yang dimililiki
anak-anak jalanan binaan Yayasan Bina Anak
Pertiwi, seperti; anak-anak yang memiliki
kemampuan bermusik diikutsertakan dalam
kegiatan
perlombaan
atau
acara-acara
tertentu. Kegaiatan tersebut selain membantu
mengembangkan keterampilan yang dimiliki
oleh anak jalanan, dapat juga membantu
dalam kegiatan strategi fundraising di Yayasan
Bina
Anak
pertiwi.
Klein
(2006)
mengidentifikasi
tiga
model
strategi
penggalangan dana sosial, yakni:
Definisi strategi menurut Siagian
(2004) adalah sebagai serangkaian keputusan
dan tindakan mendasar yang dibuat oleh
manajemen puncak dan diimplementasikan
oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut.
1. Acquisition Strategies
Tokoh lain yang mendefinisikan
mengenai strategi yaitu Stephanie K. Marrus,
strategi menurutnya merupakan suatu proses
penentuan rencana para pemimpin yang
berfokus pada tujuan jangka panjang
organisasi, disertai penyusunan suatu cara
atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut
dapat dicapai. Pendapat ini tidak jauh beda
dengan Craig & Grant (1996) yang
mengartikan pengertian strategi adalah
penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang
(targeting and long-term goals) dan arah
tindakan serta alokasi sumber daya yang
diperlukan untuk mencapai sasaran dan
tujuan (achieve the goals and objectives).
Tujuan utama strategi ini adalah untuk
mendapatkan orang-orang atau para
donatur yang belum pernah berdonasi
kepada
organiasai,
seperti
halnya;
memberikan informsi sebelumnya data
melaui website ataupun acara-acara
khusus.
2. Retension Strategies
Strategi ini berusaha untuk mendapatkan
donor untuk memberikan kedua kalinya,
ketiga kalinya, dan seterusnya, sampai
menjadi terbiasa. pendapatan dari strategi
retensi juga digunakan untuk kebutuhan
tahunan.
Menurut Norton strategi menggalang
dana adalah tulang punggung kegiatan
menggalang dana yang diperlukan, yang perlu
memberikan perhatian penuh sejak awal pada
3. Upgrading Strategies
Strategi ini bertujuan untuk mendapatkan
donor untuk memberikan lebih dari yang
93
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
1. Mendeskripsikan Acquisition Strategies
yang dilakukan oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi
2. Mendeskripsikan Retension Strategies
yang dilakukan oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi
3. Mendeskripsikan Upgrading Strategies
yang dilakukan oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi
Penelitian ini diharapkan dapat berguna
dalam aspek:
mereka berikan sebelumnya . seperti
memberikan apresiasi seperti status
pendonor tetap yang dapat dilakukan bisa
melaui surat, mengkontak secara langsung
dan mengundang ke acara khusus.
Disisi lain, untuk menjalankan kegiatannya
yayasan ini bekerjasama dengan kementerian
sosial serta dinas sosial dalam pembinaan
anak jalanan yang sudah dirancang dalam
bentuk program. Selain itu, penggalangan
dana di yayaysan ini juga dilakukan dengan
bantuan media sosial serta internet, agar
menarik dan memberikan kemudahan bagi
para donatur. Tak jarang pula Yayasan Bina
Anak Pertiwi melakukan penggalangan dana
dengan membuat acara pementasan musik,
perlombaan musik ataupun keterampilan
lainnya yang dimiliki oleh anak jalanan melalui
pembinaan dari Yayasan Bina Anak Pertiwi.
Jika
strategi
fundraising
dan
pemanfaatannya diterapkan dengan tepat dan
baik, maka akan dapat menghasilkan dana
untuk kebermanfaataan yayasan, seperti;
pengembangan yayasan dan pembinaan anak
jalanan sesuai dengan visi Yayasan Bina Anak
Bangsa. Namun, jika strategi fundraising yang
dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi tidak
optimal, maka akan berdampak pada
keberlangsungan Yayasan dalam menjalankan
kegiatannya untuk pembinaan anak jalanan
ini.
Hal yang menarik dikaji dalam penelitian
ini adalah bagaimana strategi fundraising di
Yayasan Bina Anak Pertiwi dapat berjalan dan
berkelanjutan dalam menjalankan aktivitas
dalam pembinaan anak jalanan?
1. Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat bagi pengembangan
disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial,
praktek
pekerjaan
sosial
yang
berhubungan dengan Administrasi
Pekerjaan Sosial dan sebagai kajian
serta bahan masukan literatur dalam
penelitian
selanjutnya,
khususnya
mengenai
metode
Administrasi
Pekerjaan Sosial.
2. Praktis
Terdapat beberapa kegunaan praktis
dari hasil penelitian ini, diantaranya
adalah :
1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna
untuk menambah pengetahuan
dan pengaplikasian keilmuan yang
diperoleh di Ilmu Kesejahteraan
Sosial
terutama
mengenai
Administrasi Pekerjaan Sosial di
lembaga pelayanan sosial.
2. Penelitian ini mampu memberikan
manfaat yang nantinya akan
dirasakan oleh lembaga sosial yang
melakukan fundraising sebagai
bagian dari manajemen lembaga
pelayanan sosial.
Melihat dari rumusan masalah, tujuan
dari diadakannya penelitian ini adalah untuk
mengetahui beberapa hal sebagai berikut :
METODE
pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif
sesuai dengan jenis penelitian dan subyek
yang diteliti. Penelitian kualitatif dalan
Moleong (1998:3) merupakan prosedur
penelitian
yang
menghasilkan
data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati. Oleh karena itu melalui pendekatan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui bagaimana strategi fundraising
yang digunakan oleh Yayasan Bina Anak
Pertiwi, Jakarta berdasarkan tiga strategi
yang
telah
dikemukakan.
Peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif dengan
94
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
diambil adalah Ketua Yayasan Bina Anak
Pertiwi dan Kepala divisi fundraising. Hasil
yang didapat dari informan tersebut juga
didukung
dengan
informan-informan
pendukung yang diambil adalah donatur yang
memberikan sumbangannya kepada Yayasan
Bina Anak Pertiwi.
kualitatif ini bisa diperoleh informasi yang
lebih mendalam dan terperinci mengenai
penerapan
strategi
fundraising
yang
dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi,
Jakarta karena data yang didapat berbentuk
narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis
dan tidak tertulis (gambar dan foto) bukan
berbentuk angka-angka.
Selanjutnya, metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif.
Penggunaan metode ini bertujuan untuk
membuat gambaran secara sistematis
mengenai
strategi
fundraising
yang
dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi,
Jakarta.
Pengumpulan data atau informasi dapat
menggunakan sumber data primer atau
sekunder. Maka teknik pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Indept interview atau wawancara
mendalam yaitu kegiatan komunikasi
verbal yang diarahkan oleh suatu
masalah tertentu, dengan tujuan
mendapat informasi serta pengumpulan
data yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Dalam melakukan wawancara
peneliti perlu mendengarkan secara
teliti
dan
mencatat
apa
yang
dikemukakan oleh informan. Teknik
wawancara ini dimaksudkan untuk
menggali infomasi secara langsung
yang tepat dan akurat mengenai datadata
yang
berkaitan
dengan
permasalahan penelitian. Berkaitan
dengan
permasalahan
penelitian,
khususnya data mengenai penerapan
stategi fundraising di Yayasan Bina
Anak Pertiwi.
2. Observasi
Non
Partisipan
yaitu
melakukan pengamatan menggunakan
indera penglihatan yang berarti tanpa
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
dan pencatatan terhadap proses
peningkatan
kapasitas
di
lokasi
kegiatan tanpa ikut terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang diamati. Melalui
observasi ini, peneliti melakukan
pengamatan terhadap informan yang
berada di Yayasan Bina Anak Pertiwi
untuk mengetahui penerapan strategi
fundraising
yang
dilakukan
oleh
Yayasan Bina Anak Pertiwi.
3. Srudi
dokumentasi
dengan
cara
membaca dan mempelajari dokumen
ataupun bahan tertulis seperti; jurnal,
artikel ataupun data tertulis yang ada di
lembaga lain yang berkaitan dengan
tema penelitian.
Dalam
melakukan
penelitian,
dibutuhkan narasumber untuk memberikan
informasi yang terkait dengan penelitian yng
dibutuhkan. Informan penelitian adalah
subjek yang memahami informasi objek
penelitian sebagai pelaku maupun orang lain
yang memahami objek penelitian dengan
kata lain, informan adalah orang yang
diperkirakan menguasai dan memahami data,
informasi, ataupun fakta dari suatu objek
penelitian (Bungin, 2007). Informan yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu informan
yang
mengetahui
mengenai
strategi
fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi, Jakarta.
Teknik penentuan informan yang
digunakan didalam penelitian ini adalah
teknik
purposive.
Teknik
purposive
merupakan teknik penentuan informan
sumber data dengan pertimbangan tertentu,
misalnya, orang tersebut dianggap paling
tahu tentang apa yang kita harapkan, atau
sebagai orang yang mempunyai kewenangan
tertentu sehingga akan memudahkan peneliti
menelaah objek/situasi sosial yang diteliti.
Informan yang digunakan dalam
penelitian ini tentu saja orang-orang yang
sangat paham dan mengetahui tentang
strategi fundraising yang dilakukan oleh
Yayasan Bina Anak Pertiwi. Informan yang
95
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
ISSN:2339 -0042
pada saat wawancara maka kesalahapan
akan data yang diperoleh dapat dihindari.
Instrument
dalam
penelitian
ini
berfungsi dalam melakukan pengumpulan
data, analisis data, dan membuat kesimpulan
atas temuan. Beberapa alat yang digunakan
peneliti dalam pengumpulan data diantaranya
:
1. Pedoman wawancara
Penggunaan
pendoman
wawancara dimaksudkan untuk
menggali informasi sesuai dengan
tujuan penelitian yang berkaitan
dengan
penerapan
strategi
fundraising di Yayasan Bina Anak
Pertiwi
2. Pedoman observasi
Merupakan panduan bagi peneliti
untuk mengamati obyek penelitian
sehingga data yang terkumpul
sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Catatan lapangan
Untuk mencatat seluruh aktivitas
yang dialami peneliti selama di
lapangan
Tahapan-tahapan dalam mengolah
menganalisis data diantaranya yaitu:
HALAMAN: 1 -
Penelitian ini dilakukan di Yayasan
Bina Anak Pertiwi yang merupakan rumah
singgah di Jalan Bacang No.46 Jati Padang,
Pasat
Mingggu,
Jakarta
Selatan.
Pertimbangan mengambil lokasi ini karena
Yayasan Bina Anak Pertiwi termasuk
organisasi pelayanan sosial yang menerapkan
strategi fundraising.
HASIL PEMBAHASAN
Yayasan Bina Anak Pertiwi, sebagai
payung lembaga dari Rumah Singgah Bina
Anak Pertiwi, Pusat Pembinaan Anak dan
Pelayanan Kesejahteraan Sosial Masyarakat.
Rumah Singgah ini mengembangkan model
resource
fundraising
seperti
metode
penggalangan
dari
sumber-sumber
konvensional baik secara langsung maupun
tidak langsung dan model grant fundraising
dengan
metode
penguatan
program
pemberdayaan pada keluarga anak jalanan.
dan
Sedangkan
dalam
mengelola
pendayagunaan melalui divisi penyaluran
atau pendayagunaan dana dalam programprogram yang dilakukan rumah singgah Bina
Meningkatkan taraf hidup
Anak ,adalah:
serta kesejahteraan sosial masyarakat fakir
miskin,
terutama
anak
yatim,
anak
jalanan/terlantar/anak daerah terpencil, serta
anak kurang mampu menjadi anak bangsa
yang konstruktif dan bermartabat sejalan
dengan potensi yang dimilikinya untuk
mewujudkan masa depan bangsa yang lebih
berkualitas.
1. Data reduction (reduksi data),
pada tahap ini dilakukan pada
saat penelitian dil alapangan
ketika sedang dilaksanakan, yaitu
ketika
penggalian
informasi
mengenai penerapan fundraising
yang dilakukan oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi.
2. Pengorganisasian
data,
pada
tahap ini hasil temuan dilapangan
dipisahkan menurut kategorikategori yang didasarkan pada
tujuan penelitian yaitu tentang
penerapan
fundraising
yang
dilakukan oleh Yayasan Bina Anak
Pertiwi
3. Interpretasi atau penafsiran
Fundraising tidak identik hanya
dengan menghimpun dana semata. Ruang
lingkupnya begitu luas dan mendalam,
pengaruhnya sangat berarti bagi eksistensi
dan pertumbuhan sebuah lembaga. Oleh
karenanya, tidak begitu mudah untuk
memahami ruang lingkup fundraising. Untuk
memahaminya terlebih dahulu dibutuhkan
pemahaman tentang substansi fundraising
tersebut. Substansi fundraising dapat diringas
Tahapan ini dilakukan ketika pada saat
wawancara ditemukan istilah-istilah asing dan
dengan dilakukannya tahapan interpretasi ini
96
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
kepada tiga hal yaitu: motivasi, program, dan
metode. Adapun yang dimaksud metode atau
teknik fundraising, sebagaimana substansi
fundraising yang ketiga di atas, adalah suatu
bentuk kegiatan yang khas yang dilakukan
oleh nādhir dalam rangka menghimpun
dana/daya dari masyarakat. Metode ini pada
dasarnya
dapat
dibagi
kedua
dua
jenisyaitlangsung (direct) dan tidak langsung
(indirect). Adapun tujuan fundraising ada
lima
halyaitu:
menghimpun
danameningkatkan citra, menjalin simpatisan
atau pendukung.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
kualitas dalam pembinaan anak jalanan.
Sebenarnya apa yang telah dilakukan
oleh Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi cukup
mendapat simpati masyarakat. Hal itu
terbukti dengan penerimaan dana secara
umum untuk pembinaan anak jalanan
meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun
demikian, program yang selama ini berjalan
perlu dievaluasi dan dikembangkan agar
memperoleh kepercayaan masyarakat yang
lebih luas lagi. Hal ini berhubungan dengan
lembaga
keberlanjutan
(sustainbility)
tersebut sebagai organisasi penggalang dana,
yang akan berdampak pada penyelenggaraan
pelayanan berkualitas.
Dari konsepsi dan mekanisme kerja
di
atas,
terlihat
bahwa
manajemen fundraising pada rumah singgah
berkembang
dengan
produktif
dan
menghasilkan baik secara finansial maupun
non-finansial
dalam
konteks
resource
fundraising dan grant fundraising.
fundraising
DAFTAR PUSTAKA
Klein, Kim. 2011. Fundraising for Social
Change (6th edition). San Fransisco:
Josey Bass
Pengembangan
program
yang
dimaksud
adalah
perluasan
penerima
manfaat yang tidak hanya terfokus pada
masyarakat tidak mampu, tetapi juga
memberi kesempatan bagi masyarakat
cukup/mampu untuk dapat merasakan dan
membuktikan langsung mutu pelayanan
dalam pembinaan anak jalanan di rumah
singgah Bina Ana Pertiwi. Dalam perspektif
manajemen
strategis,
pengembangan
strategi ditekankan pada strategi fokus
penerima
manfaat
atau
meminjam.
Pembuktian langsung oleh masyarakat
tentang mutu pembinaan anak jalanan
dengan cara seperti
disebut
diatas,
merupakan
strategi
tersendiri
untuk
meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap organisasi penggalang dana.
Meningkatnya kepercayaan masyarakat akan
berpengaruh positif bagi penerimaan dana
untuk pendidikan formal dan non formal,
yang itu berarti akan menjamin kualitas
dalam pembinaan anak jalanan di rumah
singgah. Sebagaimana dijelaskan pada bab
sebelumnya, kecukupan dana merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi
Norton, Michael. 2002. Menggalang Dana:
Penuntun bagi Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Organisasi Sukarela
di Negara-Negara Selatan (Masri
Maris, Penerjemah) Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Kettner. 2002. Achieving Excellence in The
Management of Human Service
Organizations. Boston: Allyn and
Bacon
Hopkins,Bruce, 2009. Starting and Managing
A Non Profit Orgnization. Canada:
John Willey & Sons
Ahmad Juwaini.2005. Panduan Direct Mail
untuk Fundraising, Jakarta: Piramedia
Arie
Kusumastuti
Maria
Suhardiadi.2003.
Hukum Yayasan Indonesia, Jakarta: Abadi
Weiner,
Myron.1982.Human
Services
Management
Analisis
and
Applications. United States of
America: They Dorsey Press
Wibawa,Budi,
Meilany
Dasar-Dasar
&
Santoso
Pekerjaan
Bandung: Widya Padjadjaran
Kesos.unpad.ac.id
97
2010.
Sosial.
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL
PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA
oleh
Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani,
E-mail:
([email protected]; [email protected]; [email protected])
ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan tantangan besar bagi anak dengan disabilitas dalam
hidupnya. Dalam pemenuhannya, anak dengan disabilitas membutuhkan pelayanan khusus yang
dapat mengatasi berbagai keterbatasannya. Begitu pula dengan anak cerebral palsy, yang memiliki
keterbatasan pada pengendalian fungsi pergerakkan akibat adanya kerusakan pada fungsi otak
dan sistem saraf. Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan pelayanan sosial, sebagai salah satu
usaha kesejahteraan sosial, untuk diberikan pada anak cerebral palsy dalam bentuk kegiatan
pertolongan agar mereka mampu mengatasi permasalahannya. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif studi kasus, agar dalam penelitian ini dapat
diperoleh gambaran secara empirik tentang program pelayanan sosial apa saja yang diberikan
pada anak cerebral palsy oleh Sekolah Luar Biasa, sehingga hasil penelitian ini dapat mencapai
tujuan untuk menggambarkan efektivitas dari program pelayanan sosial yang diberikan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga program pelayanan sosial, yaitu pendidikan,
rehabilitasi, dan keterampilan. Program pendidikan belum efektif, karena keterbatasan sumber
daya guru dalam mengajari anak cerebral palsy. Program rehabilitasi sudah efektif, karena
terdapat terapis yang professional dalam bidangnya memberikan layanan terapi untuk fungsi gerak
anak cerebal palsy. Program keterampilan sudah efektif, karena guru dibantu pengasuh dapat
mengajarkan anak untuk beraktivitas dalam hal-hal sederhana yang membantu mereka untuk
hidup terampil dan mandiri.
Kata kunci: anak cerebral palsy, program pelayanan sosial, Sekolah Luar Biasa, efektivitas
ABSTRACT
Fulfillment of basic needs is a major challenge for children with disabilities in his life. In fulfillment,
children with disabilities require special services that can overcome various limitations. Similarly,
the child cerebral palsy, which has limitations in controlling movement function due to damage to
the brain and nervous system function. Schools that organizes social services, as one of the social
welfare, to be given to children in the form of cerebral palsy relief activities so that they are able
to resolve the problem. This study used a qualitative method with descriptive case study approach,
so in this study can be obtained by empirical picture about any social service program given to
children cerebral palsy by Extraordinary School, so the results of this research can achieve the
purpose to illustrate the effectiveness of the program service social given. The results showed that
there are three social service programs, namely education, rehabilitation, and skills. Education
programs have not been effective, because of limited resources teachers in teaching children
cerebral palsy. Rehabilitation programs have been effective, because there are professional
therapists provide services in the field of therapy for motor function of cerebral palsey children.
Skills programs have been effective, because the teacher can help caregivers teach children to
move in simple things that help them to live a skilled and independent.
Key words: children with cerebral palsy, social service program, school extraordinary, efectiveness
98
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PENDAHULUAN
Tabel 1.1. Presentase Anak dengan
Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas
Dalam menjalani kehidupan, manusia
senantiasa
berusaha
untuk
mampu
memenuhi kebutuhan sebagai upaya dalam
meningkatkan
kualitas
hidupnya
dan
pengembangan diri seutuhnya, sehingga
dapat menciptakan hidup yang sejahtera.
Pada kondisi yang berbeda menjadi suatu
tantangan yang besar pula bagi penyandang
disabilitas,
khususnya
anak
dengan
disabilitas, untuk dapat memenuhi kebutuhan
guna mencapai hidup yang lebih baik.
Menurut Peraturan Menteri Sosial RI tentang
Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data
PMKS dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan
Sosial (PSKS), anak dengan disabilitas adalah
penduduk berumur 0-17 tahun (berusia 17
tahun ke bawah) yang mempunyai kelainan
fisik atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan
bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi
jasmani, rohani, maupun sosialnya secara
layak. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
anak dengan disabilitas menghadapi berbagai
keterbatasan pada dirinya untuk dapat
berkomunikasi, mengurus hidup secara
mandiri dan terampil, mengontrol diri,
mengembangkan potensi, serta melakukan
aktivitas
lain
dalam
kesehariannya.
Berdasarkan Susenas Badan Pusat Statistik RI
tahun
2012
lalu,
tercatat
sebanyak
53.213.000
anak
yang
menyandang
disabilitas atau sekitar 0,63 persen dari
jumlah seluruh anak.
Ada pun presentase yang diperoleh dari
Susenas BPS RI tahun 2012 yang
melampirkan presentase anak dengan
disabilitas menurut jenis gangguan atau
disabilitasnya sebagai berikut:
Jenis Disabilitas
Jumlah (%)
Lebih dari Satu Jenis
Mengurus Diri Sendiri
Berjalan
Mengingat/Berkonsentrasi
Berkomunikasi
Mendengar
Melihat
Sumber: BPS, Susenas 2012
47,2
4,33
10,05
9,4
10,1
8,93
9,99
Beragamnya
jenis
ketunaan
atau
disabilitas ini memberikan perhatian khusus
dalam menangani dan melayani kebutuhan
hidupnya yang tentu akan berbeda antar
jenis disabilitasnya. Akan tetapi, tiap anak
dengan disabilitas sama-sama mempunyai
hak dalam hal aksesibilitas dan rehabilitas.
Mereka membutuhkan akses dan layanan
khusus yang diperlukan dalam hidupnya
untuk
bisa
mengatasi
berbagai
keterbatasannya.
Begitu pula yang dialami oleh anak
cerebral palsy. Anak cerebral palsy
merupakan bagian dari anak dengan
disabilitas yang tergolong pada jenis
disabilitas berjalan atau tunadaksa, sebab
memiliki gangguan pada pengendalian fungsi
pergerakan. Menurut Soeharso (Salim, 2007:
170), bahwa cerebral palsy terdiri dari dua
kata, yaitu cerebral yang berasal dari kata
cerebrum yang berarti otak dan palsy yang
berarti kekakuan. Hal ini dikarenakan adanya
gangguan atau kerusakan pada fungsi otak
dan sistem saraf, sehingga mengakibatkan
terjadinya kelainan gerak, sikap, maupun
bentuk tubuh, serta gangguan koordinasi
pada sistem otot yang menyebabkan
kekakuan gerak.
Lebih lanjut disampaikan oleh BakwinBakwin (Somantri, 2006:122) mengenai
klasifikasicerebral
palsy
yang
dapat
dibedakan sebagai berikut ini:
1. Spasticity, yaitu kerusakan pada
cortex cerebri yang menyebabkan
hyperactive reflex dan stretch reflex.
Spasticity dapat dibedakan menjadi:
1) Paraplegia, 2) Quadriplegia, dan 3)
Hemiplegia.
99
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
2. Athetosis, yaitu kerusakan pada basal
banglia yang mengakibatkan gerakangerakan menjadi tidak terkendali dan
tidak terarah.
yaitu
kerusakan
pada
3. Ataxia,
cerebellum
yang
mengakibatkan
adanya
gangguan
pada
keseimbangan.
4. Tremor, yaitu kerusakan pada bagian
basal
ganglia
yang
berakibat
timbulnya getaran-getaran berirama,
baik yang bertujuan maupun yang
tidak bertujuan.
5. Rigidity, yaitu kerusakan pada basal
ganglia
yang
mengakibatkan
kekakuan pada otot-otot.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
yang tergolong tidak sedikit ini menunjukkan
bagaimana tingkat penyandang cerebral
palsy pada anak-anak perlu diperhatikan.
Menyadari hal itu, anak cerebral palsy
membutuhkan
perhatian
khusus
dari
lingkungan yang mampu mendorong mereka
untuk hidup lebih baik lagi. Terutama dalam
pemenuhan kebutuhan agar anak mampu
menyesuaikan dirinya untuk hidup di tengahtengah lingkungan sosialnya. Mempunyai
kesempatan yang sama untuk
menjadi
mandiri dan berkembang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki olehsetiap anak
cerebral palsy.
Berbicara
mengenai
permasalahan
tersebut, konsep kesejahteraan sosial dalam
gagasannya sebagai suatu sistem pelayanan
sosial memandang bagaimana tindakan
manusia atau sekelompok manusia yang
terorganisasi dapat membantu pemecahan
masalah yang dilakukan untuk mencapai
tingkat kehidupan masyarakat yang lebih
baik. Pelayanan sosial yang dimaksud
merupakan
salah
satu
dari
usaha
kesejahteraan sosial yang dapat diberikan
dalam rangka menangani persoalan hidup
lewat berbagai layanan pertolongan.
Pada fungsi pelayanan sosial ini,
memiliki bentuk-bentuk pelayanan sosial
yang di antaranya adalah sebagai berikut: a)
Bimbingan sosial bagi keluarga, b) Program
asuhan keluarga dan adopsi anak, c) Program
bimbingan bagi anak nakal dan bebas
hukuman, d) Program-program rehabilitasi
bagi penderita cacat, e) Program-program
bagi lanjut usia, f) Program-program
penyembuhan bagi penderita gangguan
mental, g) Program-program bimbingan bagi
anak-anak yang mengalami masalah dalam
bidang pendidikan, h) Program-program
bimbingan bagi para pasien di Rumah Sakit.
Dengan
demikian
pada
fungsi
pelayanan sosial ini berfokus pula pada anak
dengan disabilitas yang diberikan lewat
adanya program-program rehabilitasi sosial
sebagai
salah
satu
bentuk
pelayanannya.Begitu pun juga halnya dengan
anak cerebral palsy yang perlu mendapatkan
perlindungan
dan
rehabilitasi
untuk
membantu
mereka
guna
menjadikan
kehidupannya lebih baik lagi. Dengan
berbagai hambatan yang telah disampaikan
pada subbab sebelumnya, tentu hal ini
mendorong dukungan dari pelayanan sosial
Berbicara mengenai karakteristik pada
anak cerebral palsy, Yulianto (Salim,
2007:178-182)
mengungkapkan
bahwa
cerebral palsy mempunyai karakteristik
sebagai berikut yaitu mengalami kekakuankekakuan otok; terdapat gerakan-gerakan
yang tidak terkontrol pada kaki, tangan,
lengan, dan otot-otot wajah; hilangnya
keseimbangan yang ditandai dengan gerakan
yang tidak terorganisasi; otot mengalami
kekakuan sehingga seperti robot apabila
sedang berjalan; adanya gerakan-gerakan
kecil tanpa disadari; dan anak yang
mengalami beberapa kondisi campuran.
Tidak hanya itu, anak cerebral palsy juga
dapat disertai dengan gangguan penglihatan,
pendengaran, dan mental. Pada kondisi yang
demikian, anak cerebral palsy memiliki
kemampuan yang terbatas dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Kesulitan dalam
mengontrol
gerakan-gerakan
kecil,
keseimbangan berjalan, dan kesulitan dalam
berbicara merupakan beberapa kasus yang
menjadi hambatan bagi anak cerebral
palsyuntuk bisa aktif dalam berbagai kegiatan
sebagaimana yang mampu dilakukan oleh
anak-anak pada umumnya.
Mengenai kasus anak cerebral palsy, P.
Seibel (1984) memperkirakan jumlah anakanak cerebral palsy yang berkisar antara 0,15
sampai 0,3 persen dari jumlah populasi anakanak. Dengan demikian setiap 1000 kelahiran
hidup, satu sampai tiga anak diperkirakan
menderita kelainan cerebral palsy. Sedangkan
di Indonesia, 1-5 dari setiap 1000 anak yang
lahir hidup di Indonesia memiliki kondisi
dengan cerebral palsy. Dengan jumlah angka
100
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
yang dapat diberikan bagi anak cerebral palsy
dalam mengatasi berbagai hambatan dalam
hidupnya. Pelayanan sosial yang diberikan
pun termasuk penyelenggaraan pendidikan,
akses kesehatan, rehabilitasi, dan juga
rekreasi yang dilakukan bagi anak cerebral
palsy untuk meningkatkan keberfungsian
mereka terutama dalam masa tumbuh dan
kembangnya.
Oleh sebab itu, salah satu upaya dalam
pelayanan sosial yang dapat menjawab
tantangan bagi anak cerebral palsy yakni
dengan hadirnya Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga
pendidikan formal yang menyelenggarakan
pelayanan sosial yang dibutuhkan bagi anak
dalam hal pendidikan dan keterampilan,
pengembangan, serta penunjang.
Hal
ini
mengingat
pentingnya
penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 12 UndangUndang No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, bahwa: “Setiap lembaga
pendidikan memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama kepada penyandang
cacat sebagai peserta didik pada satuan,
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatan serta
kemampuannya.”
Adapun
tingkat
jenjang
yang
diselenggarakan pada lembaga pendidikan
ini, yaitu TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.
Dengan adanya penyesuaian pada jenis
disabilitas atau ketunaan, maka Sekolah Luar
Biasa ini diklasifikasikan menjadi enam
bagian kekhususan, yaitu SLB bagian A untuk
tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu,
SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian
D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk
tunalaras, dan SLB bagian G untuk
tunaganda.
Pada anak cerebral palsy, selain
diselenggarakan layanan pendidikan namun
juga disediakan layanan rehabilitasi yang
membantu para peserta didik dalam
memenuhi kebutuhannya. Dalam satuan
sistem pendidikan yang di adakan oleh
Sekolah Luar Biasa, diselenggarakan pula
pengajaran,
latihan,
bimbingan,
dan
rehabilitasi dengan tujuan agar anak cerebral
palsy sebagai peserta didik mampu untuk
ditunjang dari pertolongan yang dapat
diberikan oleh Sekolah Luar Biasa sesuai
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
dengan keadaan diri tiap anak yang berbeda
satu dengan yang lainnya.
Penyediaan layanan sosial oleh Sekolah
Luar Biasa memberikan kesempatan yang
lebih luas lagi pada anak cerebral palsy untuk
memenuhi kebutuhannya dalam upaya
mencapai keberfungsian sosial mereka.
Pelayanan yang diberikan menyesuaikan
kondisi penerima layanan dengan berbagai
kebutuhan khususnya agar dapat terpenuhi
guna membantu mereka untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik.
Menyoroti perihal mengenai pemenuhan
kebutuhan khususnya maka melihat pula
program-program pelayanan sosial yang
dijalankan oleh Sekolah Luar Biasa dalam
penerapannya bagi anak cerebral palsy,
apakah program pelayanan tersebut sudah
dijalankan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai atau belum.Sehingga dalam melihat
kesesuaiannya, mengacu pada efektivitas
yang menunjukkan bagaimana Sekolah Luar
Biasa mampu melaksanakan programprogramnya guna mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk dapat mengetahui bagaimana
efektivitas dari program atau kegiatan
tersebut, Campbell (1989:121) menurutkan
bahwa adanya pengukuran efektivitas secara
umum, yaitu sebagai berikut: a) Keberhasilan
program, b) Keberhasilan sasaran, c)
Kepuasan terhadap program, d) Tingkat input
dan output, dan e) Pencapaian tujuan
menyeluruh.
Dengan
demikian
keefektivitasan itu dapat diketahui berkenaan
dengan bagaimana pelaksanaan program
yang secara menyeluruh dijalankan agar
mencapai sasaran yang dikehendaki.
Konsep pekerjaan sosial yang turut
memberikan intervensi kepada anak dengan
disabilitas guna meningkatkan keberfungsian
sosial anak.Dalam memberikan intervensi
tersebut, pekerja sosial dapat melakukan
kerangka kerja untuk melakukan analisis,
assessment, dan intervensi pada anak
dengan
disabilitas.
Tentunya
dalam
pemberian intervensi, pekerja sosial akan
melibatkan lingkungan sebagai sistem
sasaran. Dharta (2011: 75) mengungkapkan
bahwa tidak ada satu jenis metode yang
secara khusus menjadi suatu intervensi yang
efektif
bagi
semua
ABK
mengingat
hambatan-hambatan dan potensi-potensi
yang mereka miliki sangat beragam.
101
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Melalui perspektif keadilan sosial,
seorang pekerja sosial akan mempromosikan
dan mendukung semua orang untuk
mendapatkan kesempatan dan kesamaan hak
dalam setiap sendi-sendi kehidupan mereka.
Peerja sosial juga mengidentifiaksi persoalanpersoalan yang muncul dalam kehdiupan
bermasyarakat. Praktik pekerjaan sosial
berpotensi memberi pengaruh yang baik bagi
kehidupan para ABK. Para pekerja sosial
berpraktik dalam komunitas dan settingsetting intervensi yang bervariasi dan secara
ideal, mereka berusaha mengidentifikasikan
dan mengakomodasikan kebutuhan ABK dan
keluarganya. Bekerja secara efektif bersama
ABK dan keluarganya menuntut adanya
pemahaman mengenai kondisi alamiah ABK
dan bagaimana kondisi itu membawa dampak
bagi
individu-indiviu
dalam
keluarga.
Kesadaran terhadap nilai-nilai individu dan
pengalaman bersama ABK juga akan
berpengaruh terhadap sikap dan tindakan
seorang pekerja sosial. Penelitian ini
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengidentifikasi program pelayanan apa saja
yang diberikan pada anak cerebral palsy oleh
Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur.
Kemudian
menggambarkan
bagaimana
efektivitas program pelayanan sosial pada
anak cerebral palsy yang diberikan oleh
Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur
dalam penerapannya untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh anak
cerebral palsy.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
deskriptif
kualitatif
bertujuan
untuk:
menggambarkan,
meringkas
berbagai
kondisi, berbagai situasi, atau berbagai
fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek penelitian,
dan berupaya menarik realitas itu ke
permukaan sebagai suatur ciri, karakter,
sifat, model, tanda, atau gambaran tentang
kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Oleh karena itu, dengan jenis penelitian
deskriptif ini akan menyajikan gambaran
kondisi yang ada di lapangan mengenai
program pelayanan sosial apa saja yang
diberikan pada anak cerebral palsy oleh
Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur,
dan
bagaimana
efektivitas
program
pelayanan sosial tersebut agar mampu
berjalan
dengan
baik.
Berdasarkan
penggunaan pendekatan kualitatif dengan
jenis penelitian deskriptif, maka teknik
penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus. Stake dalam
Creswell (2003: 15) mengungkapkan bahwa
studi kasus, di mana peneliti mengeksplorasi
secara mendalam program, acara, kegiatan,
proses, atau satu atau lebih individu. Kasus
yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan
peneliti mengumpulkan informasi rinci
dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data selama periode waktu
yang berkelanjutan.
Ada pun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:1) Wawancara, teknik wawancara ini
dilakukan dengan menggunakan wawancara
terstruktur, yaitu dengan mempersiapkan
instrumen penelitian berupa pertanyaanpertanyaan tertulis berupa kuesioner untuk
memperoleh data dari tiap responden yang
memberikan jawabannya, 2) Observasi,
peneliti menggunakan observasi partisipatif,
sebab dalam penelitian ini peneliti turut
terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh
responden sebagai sumber data. Sehingga
dengan demikian dapat diperoleh data yang
lebih lengkap dan lebih mendalam terhadap
bagaimana program pelayanan sosial yang
diberikan oleh Sekolah Luar Biasa tersebut
bagi anak cerebral palsy, dan 3) Studi
Dokumentasi, teknik pengumpulan data ini
merupakan data sekunder yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan penelitian dalam
menyusun konsep yang diperoleh dari bukubuku, jurnal, artikel, maupun dokumen
METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian terkait
efektivitas program pelayanan sosial yang
diberikan oleh Sekolah Luar Biasa pada anak
cerebral palsy, maka peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono
(2014: 9), bahwa metode kualitatif digunakan
untuk mendapatkan data yang mendalam,
suatu data yang mengandung makna.
Adapun jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif. Penggunaan jenis
penelitian
ini
dilakukan
untuk
menggambarkan bagaimana kondisi dari
fokus penelitian berdasarkan hasil yang
diperoleh di lapangan. Seperti yang
dijelaskan Bungin (2007: 68), bahwa
penelitian
sosial
menggunaan
format
102
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur
mengenai anak cerebral palsy. Berkaitan
dengan dokumen yang ada di Sekolah Luar
Biasa ini, dapat diketahui pula data anak
cerebral palsy, program pelayanan apa saja
yang diberikan dan catatan kasus maupun
evaluasi hasil yang diperoleh dari Sekolah
Luar Biasa.
Teknik
yang
digunakan
dalam
menganalisis data dalam penelitian ini yaitu
analisis kualitatif. Analisis ini memperdalam
suatu fenomena sosial yang terdiri dari
pelaku, kejadian, tempat, dan waktu serta
fakta- fakta yang beragam yang akhirnya
sebagai sebuah kesimpulan dalam bentuk
kata-kata atau kalimat yang terstrukutur dan
logis. Adapun proses pengolahan data dalam
penelitian
ini,
sebagai
berikut:
1)
Pengumpulan data di lapangan menggunakan
catatan lapangan dan instrumen lainnya. data
yang dikumpulkan di lapangan berupa
catatan observasi, hasil wawancara, dan
dokumen atau catatan yang dimiliki lembaga
antara lain: program-program pelanayanan
yang diberikan pada anak cerebral palsy dan
bagaimana
efektivitas
program-program
layanan tersebut diberikan oleh Sekolah Luar
Biasa Yayasan Bhakti Luhur; 2) Kategorisasi
data,
yaitu
memilah
data
dan
mengklasifikasikannya sesuai dengan data
yang dikumpulkan di lapangan yaitu hasil
wawancara dengan masing-masing kategori;
3) Penafsiran data, yaitu adanya makna dan
pola hubungan dalam kategorisasi data; dan
4) Triangulasi, yaitu pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara dan
waktu. Triangulasi berasal dari sumber atau
informan,
teknik
pengumpulan
data,
triangulasi waktu.
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
taman sekolah. Aktivitas ini dilakukan di
setiap pagi oleh seluruh anak cerebral
palsy yang dididik. Aktivitas ini bertujuan
untuk mengenalkan anak dengan alam.
Melalui tumbuh-tumbuhan, anak cerebral
palsy belajar mengetahui apa saja
macam-macam tumbuhan, bagaimana
bentuk, serta merawatnya. Sehingga
dengan
demikian
membantu
anak
cerebral palsy untuk mampu memahami
lingkungan sekitarnya melalui aktivitas
berkebun tersebut.
2. Pembelajaran di Dalam Kelas
Pembelajaran yang dilakukan di dalam
kelas dengan jumlah guru pendamping 12 orang. Dalam satu kelasnya, terdiri dari
5-15 anak disabilitas yang dikelompokkan
pada masing-masing kemampuan dan
tingkat disabilitasnya. Hal ini dilakukan
sebagai upaya agar pembelajaran yang
diberikan pun menyesuaikan dengan
bagaimana keadaan atau kondisi yang
dialami oleh tiap anak. Begitu pula
dengan anak cerebral palsy, terdapat lima
anak yang tergolong pada cerebral palsy
ringan dan terdapat 6 anak yang
tergolong pada cerebral palsy berat.
Kedua golongan ini dipisahkan masingmasing, agar guru pendamping dapat
menyesuaikan pengajaran yang diberikan
kepada tiap-tiap anak.
Pembelajaran terdiri dari rangkaian
aktivitas, yaitu menggambar, mewarnai,
dan relaksasi. Tidak adanya kurikulum
terkait materi akademik yang diberikan
secara langsung, sebab pihak yayasan
mengatakan bahwa anak-anak cerebral
palsy ini memiliki keterbatasan sehingga
sulit untuk menerima materi akademik
jika diberikan. Dengan rangkaian aktivitas
di dalam kelas, anak cerebral palsy
diajarkan untuk mampu melakukan
pengendalian gerakan sensori-motoriknya
serta merangsang pola pikir pada
kognitifnya agar terjadi keseimbangan
dan mampu menangkap apa yang telah
diajarkan.
Dengan menggambar dan mewarnai,
anak cerebral palsy dikenalkan dengan
objek-objek apa yang menjadi tema di
hari itu. Sehingga anak mampu mengenal
objek yang dipahaminya dari teknik
menggambar dan mewarnai sebagai
medianya.
Dengan
relaksasi
atau
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan dengan melakukan wawancara
kepada informan, baik kepala Sekolah Luar
Biasa, guru, pengasuh, dan anak cerebral
palsy, serta melakukan observasi partisipasi
secara langsung maka dapat diidentifikasi
program-program pelayanan sosial yang
diberikan sebagai berikut:
1. Aktivitas Berkebun di Taman
Salah satu aktivitas yang diselenggarakan
oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti
Luhur ini dengan adanya berkebun di
103
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
pengulangan kembali, anak cerebral palsy
diajak untuk melakukan review dari apa
yang telah dipelajari di hari itu.
Menguatkan ingatan anak agar
3. Pemberian Snack
Selain melakukan pembelajaran, pihak
yayasan juga turut memenuhi kebutuhan
dasar
bagi
anak
cerebral palsy.
Pemberian
snack
ini
dilakukan
berdasarkan tema apa yang sedang
diangkat oleh yayasan di setiap bulannya.
Sehingga, anak terus-menerus dikenalkan
dengan
objek
yang
ada
dalam
kehidupannya. Tidak hanya itu, anak
cerebral palsy juga dibimbing oleh
pengasuh untuk melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan snack ini,
seperti memasak, menggoreng, dan
mencuci alat makan. Anak diajarkan
untuk mampu melakukan kegiatan
4. Fisioterapi dan Sensori Motorik
Dalam memenuhi kebutuhannya agar
anak cerebral palsy dapat hidup lebih
mandiri,
dibutuhkan
pelayanan
rehabilitasi yang menyesuaikan kondisi
anak cerebral palsy untuk mendapatkan
layanan yang membantu memperbaiki
gangguan fungsi gerak yang diikuti
dengan proses/metode terapi gerak lewat
fisioterapi.
Tujuan
pelayanan
ini
membantu
mengembangkan,
memelihara, dan memulihkan fungsi
gerak yang terganggu. Dengan berbagai
teknik yang telah diterapkan oleh
fisioterapis bagi anak cerebral palsy di
Sekolah Luar Biasa ini, memberikan
kesempatan bagi mereka untuk dapat
terlatih pada fungsi geraknya sehingga
dengan berbagai proses yang telah dilalui
pun membantu anak cerebral palsy agar
dapat mampu berjalan dan melakukan
gerakan-gerakan
yang
menjadikan
mereka untuk hidup mandiri.
Selain itu ada pula terapi sensori motorik
yang membantu anak cerebral palsy
untuk membangun pondasi yang kuat
untuk masa depannya. Saat kehidupan
semakin rumit dan penuh tuntutan, tanpa
adanya penanganan terapi ini maka anak
akan
mengalami
kesulitan
dalam
keterbatasannya. Penanganan terapi ini
membantu
anak
mengembangkan
keterampilan atau keahlian sehingga
dapat berinteraksi dengan baik dalam
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
situasi sosialnya. Sehingga bagaimana
menjaga anak agar mampu berada di
tengah-tengah
lingkungan
sosialnya,
sehingga pemberian layanan terapi
sensori motorik yang diterapkan ini
menjadikan anak berkembang dalam
lingkungan sosialnya. Kegiatan fisioterapi
dan sensori motorik ini rutin dilakukan 1-2
kali dalam satu minggu oleh terapis yang
professional dalam bidangnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan
sebelumnya,
maka
dapat
disimpulkan bahwa kondisi anak cerebral
palsy dengan berbagai kebutuhan khususnya
perlu diperhatikan guna keberlangsungan
hidupnya. Bagaimana mereka berada dalam
keterbatasan-keterbatasan yang seharusnya
dapat dibantu lewat intervensi pelayanan
sosial yang diberikan sebagai usaha untuk
mengatasi
berbagai
keterbatasannya
tersebut.
Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur
telah
memberikan
berbagai
program
pelayanan sosial pada anak cerebral palsy
untuk
keberlangsungan
hidupnya
dan
menjadikan mereka anak yang terampil dan
mandiri. Akan tetapi, kurangnya tenaga
pengajar dan sumber daya manusia terkait
dengan pembimbingan anak cerebral palsy
sehingga program pelayanan sosial seperti
pembelajaran di dalam kelas belum efektif
dilakukan oleh sekolah. Sedangkan untuk
program rehabilitasi, pemberian snack, dan
berkebun sudah dilakukan secara efektif oleh
sekolah, sehingga anak cerebral palsy
mampu memahami apa yang diajarkan dan
meminimalisir keterbatasan mereka dalam
segi mobilitas lewat adanya fisioterapi dan
sensori motorik. Pemenuhan kebutuhan lewat
berbagai program pelayanan sosial ini
membantu anak untuk berkembang dalam
hidupnya dan tentu dengan penyesuaian
kondisi yang dialami oleh tiap-tiap anak
cerebral palsy yang dididik.
Adapun saran atau rekomendasi yang
dapat diberikan oleh peneliti, yaitu:
1. Perlunya penambahan tenaga pendidik
dan sumber daya manusia yang terkait
dengan pembimbingan anak cerebral
palsy agar dapat membantu mereka
104
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
untuk meningkatkan kemampuan diri
dalam berkembang dan mandiri.
2. Pemberian pelayanan sosial hendaknya
mengacu pada kebutuhan anak cerebral
palsy yang berbeda-beda, agar hasilnya
lebih optimal. Penyesuaian kondisi ini
membantu anak agar mendapatkan
layanan yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan apa yang mampu mengatasi
keterbatasannya tersebut.
3. Perlunya perluasan materi pembelajaran
dan penerapan kurikulum yang dapat
membantu anak cerebral palsy agar lebih
luas
lagi
menerima
pembelajaran
akademik yang tentunya disesuaikan
kembali dengan kondisi tiap-tiap anak
Alfabeta.
cerebral palsy.
*****
DAFTAR PUSTAKA
Burhan, Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya.
Jakarta: Prenada Media Group.
1989. Riset dalam Efektivitas
Organisasi
Terjemahan
Sahat
Simamora. Jakarta: Erlangga.
Campbell.
Creswell, John W. 2003. Research Design
Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. London: Sage
Publications, Inc.
Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry &
Research Design. London: Sage
Publications, Inc.
R, Gold, Seibel P, Reinelt G, et al. 1996.
Phosphorous
Spectroscopy
Mitochondrial
A 6 Month
Coenzyme Q.
HALAMAN: 1 -
Magnetic Resonance
in The Evaluation of
Myopathies: Results of
Therapy Study With
Salim, Abdul. 2007. Pediatri dalam Pendidikan
Luar Biasa. Jakarta: Departemen
Pendidikan
Nasional
Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Direktorat.
Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuanitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung:
105
ISSN:2339 -0042
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL UNTUK PENULIS
JUDUL ARTIKEL
(Huruf Kapital, Tahoma, 14 point, Bold, centered)
(kosong, spasi tunggal)
Penulis Pertama1, Kedua2, dan Ketiga3(12 point)
(kosong, spasi tunggal)
(e-mail:[email protected] (10 point, italic)
(dua ketuk spasi tunggal)
ABSTRAK (bold, 10 Point).
Abstrak dalam bahasa Indonesia, tidak lebih dari 250 kata. Abstrak mencakup permasalahan, metode, dan
temuan serta simpulan. Abstrak dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari 200 kata.
(kosong,spasi tunggal)
Kata-kata kunci (Key words): Tuliskan maksimal 5 kata-kata kunci (key words).
(tiga ketuk spasi tunggal)
FORMAT NASKAH
Artikel yang dimuat dalam jumal ini dapat berupa kajian konseptual dan atau hasil-hasil penelitian pada
masing-masing disiplin ilmu atau interdisiplin. Secara umum, sistematika artikel terdiri atas
pendahuluan/introduksi yang menguraikan latar belakang dan permasalahan yang dikaji yang ditunjang
oleh referensi yang relevan, metode, hasil dan pembahasan, dan simpulan/rekomendasi. Pada kajian yang
bersifat konseptual, bagian metode dapat ditiadakan bila dianggap tidak perlu.
Pendahuluan (Introduction)
Dalam pendahuluan dikemukakan suatu permasalahan/ konsep/hasil penelitian sebelumnya secara jelas dan
ringkas sebagai dasar dilakukannya penelitian yang akan ditulis sebagai artikel ilmiah. Pustaka yang dirujuk
hanya yang benar-benar penting dan relevan dengan permasalahan untuk men"justifikasi" dilakukannya
penelitian, atau untuk mendasari hipotesis. Pendahuluan juga harus menjelaskan mengapa topik penelitian
dipilih dan dianggap penting, dan diakhiri dengan menyatakan tujuan penelitian tersebut.
Metode (Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion)
Alur pelaksanaan penelitian harus ditulis dengan rinci dan jelas sehingga peneliti lain dapat melakukan
penelitian yang sama (repeatable and reproduceable).
Hasil penelitian dalam bentuk data merupakan bagian yang disajikan untuk menginformasikan hasil temuan
dari penelitian yang telah dilakukan. Ilustrasi hasil penelitian dapat menggunakan grafik/tabel/gambar. Tabel
dan grafik harus dapat dipahami dan diberi keterangan secukupnya. Hasil yang dikemukakan hanyalah
temuan yang bermakna dan relevan dengan tujuan penelitian.
Dalam Pembahasan dikemukakan keterkaitan antar hasil penelitian dengan teori, perbandingan hasil
penelitian dengan hasil penelitian lain yang sudah dipublikasikan. Pembahasan menjelaskan pula implikasi
temuan yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya.
Simpulan dan Saran (Conclusion and Suggestion)
Simpulan merupakan penegasan penulis mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Saran hendaknya
didasari oleh hasil temuan penelitian, berimplikasi praktis, pengembangan teori baru (khusus untuk program
doktor), dan atau penelitian lanjutan.
Naskah ditulis dalam dua kolom pada kertas berukuran A4, dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang tulisan
maksimal 4 - 8 halaman berspasi tunggal, termasuk daftar pustaka, gambar, tabel, dan lampiran. Setiap
halaman memiliki margin atas 3.5 cm, margin bawah 2.5 cm margin kiri dan kanan 2 cm. Naskah ditulis
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar bentuk huruf Tahoma 10. Naskah juga dapat
ditulis dalam bahasa Inggris.
106
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Naskah dimulai dengan halaman pertama yang memuat:
− Judul singkat (running head). Penulis diminta untuk membuat judul singkat (maksimal 14 kata).
− Judul lengkap (dalam bahasa Indonesia dan Inggris).
− Nama penulis, afiliasi, dan alamat korespondensi (mis. E-mail).
Gambar dan Tabel
− Gambar yang akan ditampilkan dalam jumal adalah gambar hitam-putih. Bila menginginkan, penulis
dapat menyertakan gambar berwama, namun penulis akan dikenai biaya pencetakan gambar berwama
tersebut.
− Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1., Gambar 2, dst. Tabel 1, Tabel 2, dst.
− Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu.
− Tabel berbentuk pivot table.
Penulisan subjudul (heading)
− Subjudul tingkat pertama semuanya dicetak tebal ditulis dengan huruf kapital, misal: PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
− Subjudul tingkat kedua, semuanya dicetak tebal dan ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama
dari setiap kata, misal: Sistem Pengelolaan Lingkungan Tradisional
− Subjudul tingkat ketiga, semuanya ditulis dengan huruf miring dan huruf kecil kecuali huruf pertama
dari setiap kata, misal: Sistem Kebun Talun
UCAPAN TERIMA KASIH
- Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dsb.
Ucapan terima kasih ditulis sebelum Daftar Pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
Kepustakaan yang dicantumkan dalam daftar pustaka hanya kepustakaan yang dikutip atau yang dijadikan
rujukan dan ditulis dalam teks. Penulisan rujukan dalam badan karangan dilakukan sebagai berikut:
(1) Pengarang tunggal:
Goldschmidt, W. 1992. The Human Career The Self in the Symbolic World. Cambridge: Black Well
(2) Pengarang bersama:
Corcoran, K. & Fischer, 1. 1987. Measure for Clinical Practice: a Source Book. New York:The Free Press.
(3) Editor atau Penyunting:
Koentjaraningrat (ed). 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
(4) Terjemahan:
Scott, J.C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Terjemahan A. Rahman Zainuddin, Sayogyo dan
Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
(5) Bab dalam buku:
Fleishman, LA. 1973. Twenty Years of Consideration and Structure. Dalam Fleishman, LA. & Hunt, J.G..
(ed.). "Current Development in the Study of Leadership "Selected Reading, hIm. 1-37. Carbondale:
Southem Illinois University Press.
(6) Jumal:
Persoon, G.A. 2002. Isolated Islanders or Indigenous People: the Political Discourse and its Effects on
Siberut (Mentawai Archipelago, West-Sumatra).
Antropologi Indonesia 68:25-39
(7) Rujukan elektronik:
Boon, J. (tanpa tahun). Anthropology of Religion. Melalui, <http://www.indiana.edu/wanthro/reliogion.htm>[10/5/03]
Kawasaki, Jodee L.,and Matt R.Raven. 1995. "Computer-Administered Surveys in Extension". Joumal of
107
SHARE SOCIAL WORK JURNAL
VOLUME: 5
NOMOR: 1
HALAMAN: 1 -
ISSN:2339 -0042
Extension 33 (June). E-Joumal on-line. Melalui <ttp://www.joe.org/june33/95 .html > [06/17/00]
Knox McCulloch, A., Meinzen-Dick, R., & Hazell, P. 1998. Property rights, collective action and
technologies for natural resource management: A conceptual framework. CAPRi Working Paper
No.1. Washington DC, USA:Intemational Food Policy Research Institute.
http://www.capri.cgiar.org/pdf/ca priwp01.pdf.
(8) Sumber prosiding seminar:
Fay, C., de Foresta, H., & Sirait, M. 1998. Progress towards recognizing the rights and management
potentials of local communities in Indonesian statedefined forest areas. Paper presented at the
workshop on participatory natural resource management in developing countries, Mansfield College,
Oxford, April 6–7.
(9) Sumber disertasi/tesis:
Zandbergen, P. 1998. Urban watershed assessment: Linking watershed health indicator to management.
Ph.D. Thesis. Resource Management and Environmental Studies, University of British Columbia,
Vancouver. Satuan, singkatan, nomenklatur, dan lambang
Sitasi/Kutipan
- Running note atau footnote
•
•
•
Satuan dan singkatan menggunakan sistem SI (Systeme Intemationale)
Nomenklatur nama ilmiah tumbuhan dan hewan ditulis lengkap dengan nama author-nya. Nama ilmiah
sesuai dengan aturan nomenklatur harus digunakan pada penulisan yang pertama kali, selanjutnya dapat
disingkat sesuai aturan yang berlaku dan atau menggunakan nama daerah.
Penggunaan lambang ditulis sebagai berikut: contoh, lambang alpha ditulis dengan bukan dengan huruf
a.
108
Download