SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Vol. 5. No. 1, Juli 2015 Share Social Work Journal ISSN : 2339-0042 FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG) Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung) Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKANPADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG) Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah INTERAKSI DIDALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H. POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur) Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2015 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - Share Social Work Journal ISSN: 2339-0042 Jurnal Pekerjaan Sosial Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Padjadjaran DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab : Dr. Drs. Budi Wibhawa, MS. Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si Sekretaris : Drs. Nandang Mulyana, M.Si Dewan Redaksi : Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si. Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si. Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D Anggota : Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW. Dr. Risna Resnawaty, S.Sos., MP. Dr. Heri Wibowo, S.Psi., MM . Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si Faisal Akbar, S.Sos., MPS.Sp Alamat Penerbit/Redaksi : Departemen Kesejahteraan Sosial Gedung B FISIP-UNPAD Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan e-mail : [email protected] dan [email protected] ISSN: 2339-0042 2 3 3 9 - 0 0 4 2 0 0 0 8 i ISSN:2339 -0042 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PENGANTAR REDAKSI Dalam Jurnal Share Volume 5 Nomor 1 berisikan gagasan tertulis mengani berbagai aspek pekerjaan sosial, kesejahteraan sosial dan masalah sosial lainnya. Sebagian besar karya dalam jurnal ini merupakan karya bersama antara dosen dan mahasiswa. Dari 12 (dua belas) artikel yang ada dalam jurnal ini, sebagian besar didominasi oleh tulisan-tulisan mengenai anak: mulai dari tulisan fenomena anakanak funk di kota Bandung, kota layak anak, residivis anak, pelayan anak berbasis panti, anak bermasalah dengan hukum, kemandirian anak down syndrome, anak jalanan, dan anal cerebral palsy. Kesemua tulisan tersebut menarik untuk dikaji lebih lauh lagi. Selain itu terdapat pula terdapat pula tulisan-tulisan pengembangan masyarakat, pengelolaan sampah dan stres di dunia kerja. Akhir kata, Redaksi mengucapkan selamat membaca... Salam, Redaksi ii SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Share Vol. 4. No. 2, Desember 2014 Social Work Journal ISSN: 2339-0042-7 FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG) Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari 1 PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung) Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan 11 RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo 15 PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN PADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG) Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah 24 INTERAKSI DI DALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat 35 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPU-DT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan 46 PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H. 51 POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur) Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi 65 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama 71 DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo 81 COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat 89 EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA Oleh: Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani, 98 ISSN: 2339-0042 2 3 3 9 - 0 0 4 2 0 0 0 8 iii SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 FENOMENA REMAJA PUNK DITINJAU DARI KONSEP PERSON IN ENVIRONMENT (STUDI DESKRIPTIF DI KOMUNITAS HEAVEN HOLIC KOTA BANDUNG) Oleh: Anna Rizky Annisa, Budhi Wibhawa, dan Nurliana Cipta Apsari E-mail : ([email protected]; [email protected]; [email protected] ) Abstrak Remaja punk merupakan bagian dari kehidupan underground. Mereka memiliki ideologi politik dan sosial, hidup di jalanan dan selalu mendengarkan musik-musik yang beraliran keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya di masyarakat. Keberadaan remaja punk di berbagai sudut Kota Bandung telah meresahkan sebagian masyarakat. Penampilan mereka yang ekstrim dengan memakai sepatu boots, jaket kulit, celana jeans yang robek, menggunakan gelang berduri, memakai baju hitam lusuh dan memiliki rambut mohawk seperti suku indian dengan warna yang mencolok telah membuat risih sebagian masyarakat. Mereka sangat berani untuk berbeda dari orang lain dan menciptakan suatu tren tersendiri. Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk mengidentifikasi serta mengklarifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam keberfungsian sosial. Melalui penelitian ini akan dideskripsikan Person Dimensional remaja punk berupa kondisi biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang mereka miliki. Kemudian melihat environmental dimensional remaja punk berupa lingkungan fisik di sekitar mereka dan budaya yang mereka anut. Selanjutnya adalah Time Dimensional berupa rencana dan kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja punk. Abstract Punks is part of the underground. lifeThey have the ideology of the political and social life on the streets and always hear and listen to mellow that fencing hard.Them is here in a way to do resistance to the social condition, political and cultural in society.The existence of punks at different corners of the city of bandung has been unsettling some parts of the community.Their appearance to the extreme by wearing boots, black leather jacket, blue jeans being torn, using a bracelet prickly, wear a black shabby and having hair mohawk as a tribe of indians with striking color have made some in the community be uncomfortable.They are very brave to be different from others and create of trends in and of itself. Punks formed for staying with the environment similar. In the concept of the science of social welfare , there is a concept which is holistic person in environment which is a model system to identify and clarify the problems in social function client or patient .Through this research will be described person dimensional punks of biological condition, psychological and spiritual condition that they have.Then see the environmental dimensional punks of the physical environment around them and their cultural .Dimensional next time is of the plan and events experienced by punks .Keyword : Remaja, Punk, Person In Enveronment, Pekerjaan Sosial, Masalah Sosial 1 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dalam membuat perubahan, dan suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri. Pendahuluan Punk merupakan suatu ideologi tentang pemberontakan dan anti kemapanan, dengan berbagai macam karakter dari tiap anggota sehingga sebuah kelompok untuk mendapatkan keamanan identitas diri dan ciri dari komunitas punk tersebut. Menurut Counter Culture "Punk yang sesungguhnya adalah sebuah pergerakan revolusioner antipenindasan dan sebuah gerakan libertarian(kemerdekaan) dari kelompok orang-orangyang tidakpuas terhadap kondisi yang terjadi saat ini". Remaja punk begitu percaya diri akan penampilannya yang berbeda dengan orang pada umumnya. Marshal (2005) berpendapat bahwa generasi muda. yang bergabung dalam komunitas punk merasa menemukan jati diri mereka terhadap gaya unik yang ditonjolkan oleh punk. Komunitas punk di Indonesia sangat diwarnai oleh budaya dari barat atau Amerika dan Eropa. Biasanya perilaku mereka terlihat dari gaya busana yang mereka kenakan seperti sepatu boots, potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut dengan punker. Punk berasal dari bahasa Inggris, yang merupakan singkatan dari “Public United Not Kingdom” yang artinya adalah kesatuan masyarakat di luar kerajaan. (Firmansah, 2013) Dalam perkembangannya, punk memiliki berbagai jenis dengan ciri khas yang cukup berbeda satu sama lain. Punk masuk Indonesia pada akhir delapan puluhan, tetapi perkembangan besar terjadi pada awal pertengahan tahun sembilan puluhan. Pickles (2000) mengatakan bahwa pada waktu itu estetis dan musik punk menjadi cara hidup altematif yang baru dan populer bagi pemuda Indonesia. pada awalnya punk di Indonesia, budaya ini tidak melebih mode dan musik. Pada waktu itu punk mempakan sebuah subkultur yang dinamis dan eksperimental dengan pesan-pesan pemberontakan visual tapi tidak bisa dianggap sebuah budaya perlawanan yang bersatu dan bekerjasama supaya tujuan tercapai. Menurut Nando (2008:5) bahwa “Punkers sering dianggap sebagai tukang kritik melalui lirik-liriknya, dan tukang “rusuh” melalui aksi egalitarian dari para penganutnya meskipun itu belum tentu benar.” Punk adalah suatu ideologi tentang pemberontakan dan anti kemapanan, dengan berbagai macam karakter dari tiap anggota sehingga membentuk sebuah kelompok untuk mendapatkan keamanan identitas diri dan ciri dari komunitas punk tersebut. O’hara (1999) mengartikan punk sebagai suatu bentuk tren remaja dalam berpakaian dan bermusik, suatu keberanian 2 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 manusia dihadapkan pada stimulasi yang kompleks dan memerlukan kejelian untuk menerima situasi tersebut. Salah satu budaya yang muncul saat ini adalah punk. Sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka disebut subkultur. Budayawan Fitrah Hamdani dalam Zaelani Tammaka (2007:164) berpendapat bahwa subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri dan kemunculannya tidak semata-mata merupakan penentangan terhadap hegemoni bahkan mungkin merupakan salah satu jalan keluar bagi satu ketegangan sosial. Masyarakat subkultur pun telah membentuk budaya dan tradisi mereka sendiri. Hidbige (1988: 158) mengatakan pendukung subkultur menghormati adat atau aturan yang berlaku dan menjadikan aturan itu sebagai pedoman dan acuan bagi hidup mereka. Ciri khas komunitas punk lainnya adalah aliran musik yang mereka miliki. Musik punk merupakan musik pemberontakan, pemberontakan dilakukan melalui lirik lagu yang menyindir perilaku pemerintah yang tidak peduli terhadap masyarakat. Firmansah (2013) berpendapat bahwa Punk sering dikatakan sebagai salah satu seni yang terangkum dalam berbagai macam seni, misalnya musik. Lirik dalam musik ini juga sebagai alat untuk memprovokasi serta melakukan perlawanan. Tetapi, pada umumnya masyarakat menilai musik punk sebagai musik yang negatif dan menganggu tatanan sosial. Perkembangan jumlah remaja punk di Indonesia tidak diketahui secara pasti, namun sebuah fanzine asal Amerika Profane Existence, menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di dunia adalah Indonesia dan Bulgaria. Punk merupakan budaya tersendiri di Masyarakat, karena mereka telah menciptakan struktur sosial tersendiri. Piliang (1998: 213) berpendapat bahwa budaya punk sebagai budaya subkultur, muncul dan booming di Indonesia sekitar tahun 90-an atau sekitar tahun 1980-an (Piliang, 1998: 213). Komunitas punk adalah remaja yang hidup di jalanan namun berbeda dengan anak jalanan pada umumnya. Perbedaan terlihat dari cara berpakaian dan juga cara bergaul satu sama lain. Namun dalam pendataan, mereka tergolong kepada anak jalanan. Dari sekian kota/kabupaten di Jabar, jumlah anak jalanan yang ada di Kota Bandung menjadi yang tertinggi mencapai 2.500 orang atau 44% permasalahan anak jalanan ada di ibu kota provinsi Jabar tersebut. (http://bandung.bisnis.com/read/20140209/6 1818/490985/anak-jalanan-di-bandungmenjadi-yang-tertinggi) Pengaruh punk di Indonesia bermula dari proses modernisasi dan globalisasi di dunia. Ronaldo (2008) mengatakan bahwa dampak dari modernisasi dan pembangunan adalah terjadinya perubahan atau pembaharuan struktur sosial yang mendorong terjadinya proses transformasi sosial dan budaya dalam tatanan masyarakat Indonesia. Perubahan pola hidup masyarakat dan perubahan budaya yang ada membuat 3 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Sangat mudah untuk menemukan komunitas punk di Kota Bandung. Mereka saling berkumpul satu sama lain di tempat yang terbuka. Terdapat beberapa titik komunitas punk di kota ini. Diantaranya di pusat kota yaitu di Jalan Braga, alun-alun Cicalengka dan di pintu tol Pasteur. Beberapa dari komunitas ini tinggal di jalanan dan berprofesi sebagai pengamen. Ada pula yang sudah profesional dan terlibat rekaman (Muthiya, 2008). Kesan dan stigma negatif telah melekat pada komunitas punk ini. Mereka dianggap sebagai pembuat onar, preman, perusuh, dan banyak orang yang menganggap mereka berbahaya. Sudah banyak upaya razia yang dilakukan oleh Satpol PP untuk mengamankan keberadaan mereka. Namun tetap saja tidak mengurangi jumlah remaja punk yang ada di Kota Bandung. (http://news.detik.com/read/2013/10/18/155 611/2389488/486/wali-kota-bandung-pimpinrazia-gepeng-remaja-berdandan-punk-kocarkacir) Di Kota Bandung, remaja punk ini memiliki kebiasaan yang membuat masyarakat terganggu saat bepergian menggunakan angkutan umum. Mereka mencari uang dengan cara mengamen di setiap angkutan umum serta menyanyikan lagu-lagu yang berbeda dari pengamen pada umumnya. Perbedaannya terlihat dari liriklirik yang memuat tentang kritikan terhadap pemerintah atau kondisi sosial politik saat ini. Mereka merupakan bagian dari kehidupan underground. Mereka memiliki ideologi politik dan sosial, hidup di jalanan dan selalu mendengarkan musik-musik yang beraliran keras. Mereka hadir di jalan untuk melakukan perlawanan terhadap kondisi sosial, politik dan budaya di masyarakat. Komunitas Heaven Holic dibentuk dari keprihatian pada dunia generasi muda saat ini yang tengah menghadapi permasalahan sosial berupa pergaulan bebas yang mempengaruhi pemikiran mereka. Banyak dari generasi muda terutama remaja punk yang terjebak dalam perilaku negatif dan merusak, dari mulai minuman keras, penyalahgunaan narkoba sampai pergaulan bebas termasuk remaja punk. Komunitas ini dibentuk untuk membina anak, remaja atau dewasa yang pernah bergabung di komunitas punk agar dapat menjalani kehidupan secara normal dengan memberikan pembelajaran baik secara umum maupun secara spiritual guna ikut berkontribusi dalam memperbaiki akhlak dan moral generasi muda termasuk anak punk. Selain mengamen, remaja punk juga menuliskan pesan politik di tembok kantorkantor di Kota Bandung. Hotibin (2008) mengatakan pesan politik tersebut ada di beberapa kantor yaitu di simpang Jalan Merdeka serta Jalan R.E Martadinata. Pesan tersebut antara lain adalah “Bubarkan Negara” , “Pemerintah = Racun” , “Negara = Racun”, dan “Keraskan Kepala”. 4 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena masalah penelitian belum jelas diketahui, sehingga perlu melakukan eksplorasi terhadap suatu objek dan mengetahui sebuah fenomena secara secara menyeluruh, luas serta mendalam. Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk mengidentifikasi serta mengklarifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam keberfungsian sosial. Melalui penelitian ini akan dideskripsikan Person Dimensional remaja punk berupa kondisi biologis, kondisi psikologis dan spiritual yang mereka miliki. Kemudian melihat environmental dimensional remaja punk berupa lingkungan fisik di sekitar mereka dan budaya yang mereka anut. Selanjutnya adalah Time Dimensional berupa rencana dan kejadian-kejadian yang dialami oleh remaja punk. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang menggambarkan permasalahan dalam keberfungsian peran sosial remaja punk berkaitan untuk aktivitas kehidupan keseharian yang dibutuhkan oleh masyarakat atau budaya bagi usia individu dan tahap kehidupan maka perlu penggunaan konsep Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif karena bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena remaja punk ditinjau dari person in environment dengan cara mengeksplorasi secara menyeluruh, luas serta mendalam berdasarkan pada dimensi-dimensi dalam person in environment, diantaranya person dimensional (dimensi manusia), environmental dimensional (dimensi lingkungan), time dimensional (dimensi waktu). Penelitian ini menggunakan teknik penelitian studi kasus. Dikatakan studi kasus karena peneliti akan melakukan studi secara intensif mengenai keadaan suatu unit konsep dalam pekerjaan sosial, yakni person in environment dari remaja punk binaan komunitas heaven holic. Person In Environment. Setting yang digunakan pada penelitian ini adalah remaja punk dalam naungan binaan komunitas heaven holic. Setting tersebut dipilih dengan maksud dan tujuan untuk melihat serta memberikan gambaran person in environment remaja punk di komunitas heaven holic.Informan adalah 5 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Setelah data selesai disajikan maka akan ditarik kesimpulan. Pada tahap ini pula dilakukan triangulasi data yaitu memeriksa hasil apakah sesuai dengan data yang didapat atau tidak orang yang secara sukarela menjadi objek dalam penelitian serta orang lain selain objek penelitian yang memahami situasi dan kondisi dari objek penelitian. Informan ditentukan dengan metode purposive, yaitu informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu. Penelitian ini dilaksanakan di Komunitas Heaven Holic. Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan komunitas ini memiiliki aktivitas yang bertujuan untuk mendidik remaja punk secara spiritual. Data yang diperoleh langsung peneliti yang berasal dari lokasi penelitian. Data yang termasuk dari data primer yaitu data dari hasil wawancara dan observasi.Dalam metode kualitatif wawancara merupakan metode pengumpulan data yang utama. Definisi wawancara adalah suatu interaksi untuk bertukar informasi. Metode wawancara yang dipakai adalah metode wawancara semi-terstruktur, karena wawancara dengan jenis ini dapat lebih fleksibel dan terkadang pertanyaan dapat muncul ketika sedang berbicara. Remaja punk terbentuk karena tinggal dengan lingkungan serupa. Dalam konsep Ilmu Kesejahteraan Sosial, terdapat sebuah konsep yaitu Person In Environment yang merupakan holistic model system untuk mengidentifikasi serta mengkla rifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam keberfungsian sosial. Menurut (2010:170), Person In Environment (PIE) adalah suatu metode untuk menggambarkan, mengklasifikasi dan mengkoding permasalahan-permasalahan pasien dan klien dewasa yang memperoleh pelayanan pekerja sosial. PIE sistem adalah suatu “holistic model system” yang mengidentifikasi dan mengklasifikasi permasalahan-permasalahan klien atau pasien dalam pengalamannya dengan keberfungsian sosial. Di dalamnya termasuk assessment mengenai hubungan sosial. Data Sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara yang diperoleh dan dicatat pihak lain. Dalam mengumpukan data sekunder, peneliti melakukan studi dokumentasi. Reduksi data merupakan tahapan ketika informasi yang diperoleh peneliti digabungkan dan diseragamkan menjadi bentuk tulisan. Pada saat mereduksi data maka dikumpulkan data-data yang diperlukan dan membuang informasi yang tidak perlu. Setelah data direduksi maka akan tergambar mengenai hasil dari pengumpulan data. Dalam Wibhawa pekerjaan sosial, Person In Environment merupakan sebuah tool dari assessment terhadap klien. Menurut Hutchison (2003) dalam menggambarkan situasi klien dengan Person In Environment diperlukan pendekatan multidimensional. Pendekatan multidimensional merupakan pemikiran tentang perilaku manusia sebagai perubahan konfigurasi orang dan lingkungan sepanjang waktu. Pendekatan Multidimensional dibangun dengan tiga aspek yaitu Person Dimensional, Environmental Dimensional dan Time Dimensional. Data-data yang telah direduksi, digolongkan dalam bentuk matriks atau kategorisasi. Data-data dikelompokkan dalam sebuah tema, kemudian diturunkan dalam subtema. Hal ini dilakukan supaya informasi dapat lebih mudah untuk dimengerti. Kemudian peneliti memasukkan pernyataanpernyataan informan ke dalam matriks kategorisasi dengan kalimat yang dibuat oleh peneliti. Setelah itu akan diberikan kode. 6 praktik SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Fenomena mengenai remaja punk di Kota Bandung penting untuk diteliti karena memberikan gambaran mengenai profil remaja punk binaan komunitas heaven holic ditinjau dari person in environment yang mereka miliki. Karena manusia tidak akan lepas dari pengaruh lingkungannya, begitu pula dengan remaja punk. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 hidup dipengaruhi oleh interaksi dari prosesproses biologis, kognitif dan sosio-emosional. Masa kanak-kanak ke remaja, pada masa remaja awal terjadi perubahan di otak yang memungkinkan kemajuan dalam berpikir. Pada masa ini, remaja juga cenderung untuk tetap terjaga hingga larut malam dan bangun tidur agak siang. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu peralihan-peralihan secara fisik, pikiran, lingkungan sosial dan kondisi emosi. Perubahan-perubahan kognitif yang berlangsung selama transisi dari masa kanakkanak hingga remaja adalah meningkatnya berpikir abstrak. Idealistik dan logis. Ketika mereka melalui transisi ini, remaja mulai berpikir secara lebih egosentris, seringkali memandang dirinya seolah-olah berada di atas pentas, unik, dan tak terkalahkan. Sebagai respons terhadap perubahanperubahan ini, orang tua memberikan tanggung jawab lebih besar di pundak remaja untuk membuat keputusan (Santrock, 2007). Remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Sebetulnya masa depan dari seluruh budaya tergantung pada seberapa efektifnya pengasuhan itu (Larson dkk, 2002). Masa remaja terdiri dari masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung pada saat usia sekolah menengah pertama dan usia sekolah menengah atas. Sementara masa remaja akhir berlangsung pertengahan dasawarsa, pada saat ini remaja memiliki minat karir dan mengeksplorasi identitas diri. Banyak pendapat mengenai usia batasan remaja, karena remaja merupakan masa transisi, hal ini tergantung dari budaya yang dianut dan sejarah daerah yang dia tempati. Meskipun rentang usia dan remaja dapat bervariasi terkait dengan lingkungan budaya dan historisnya, masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang dialami remaja dapat berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak hingga kemandirian. Santrock, 2007) Ada beberapa kecenderungan yang dialami oleh remaja pada masa pubertas, hal ini diakibatkan dari masih labilnya emosi mereka. Adapun diantara kecenderungan yang dialami oleh remaja adalah sebagai berikut : a. Kecenderungan untuk meniru b. Kecenderungan untuk mencari perhatian c. Kecenderungan mulai tertarik pada lawan jenisnya d. Kecenderungan mencari idola e. Selalu ingin mencoba terhadap hal-hal yang baru. f. Emosinya mudah meletup. (Kauma, 1999) Perkembangan Remaja Perkembangan pada saat remaja merupakan titik penting di dalam kehidupan seseorang. Pada masa remaja akan timbul sebuah rangkaian periode perkembangan 7 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Ada tiga macam jenis punk, yaitu Punk Hardcore, Street Punk, dan Punk Rock Elite. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Subkultur timbul apabila suatu bagian dari masyarakat atau kelompok sosial tertentu sedang menghadapi masalah yang bukan merupakan persoalan yang dihadapi warga lainnya. (Soekanto, 1990) Punk Hardcore Hardcore punk berkembang pada tahun 1980-an di Amerika Serikat Bagian Utara. Musik dengan aliran punk rock dengan beatbeat yang cepat menjadi musik wajib bagi mereka. Jiwa pemberontakan sangat kental dalam kehidupan sehari-hari, terkadang sesama anggota sering bermasalah. (Marshal, 2005, h.109) Person In Environment Dalam praktik pekerjaan sosial terdapat sebuah konsep yaitu konsep Person In Environment, konsep ini akan mengidentifikasi permasalahan yang menggambarkan permasalahan dalam keberfungsian peran sosial berkaitan untuk aktivitas kehidupan keseharian yang dibutuhkan oleh masyarakat atau budaya bagi usia individu dan tahap kehidupan. Street Punk Street punk adalah punk yang terbiasa tidur di pinggiran jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sering bergaul dengan pengamen dan pengemis. Sebutan street punk adalah The Oi, mereka sering berbuat oner dimana-mana. Para anggotanya diberi nama skinheads. Para skinheads menganut prinsip kerja keras itu wajib. Para skinheads lebih berani mengekspresikan musik dibandingkan komunitas punk lainnya. (Marshal, 2005, h.110) Person In Environment dapat secara efektif menilai klien. Seorang praktisi harus akrab dengan Person In Environment dan DSM IV. Kedua hal tersebut akan digunakan sebagai referensi; dengan mengikuti arah tersebut, seseorang bisa menjadi nyaman melakukan penilaian Person In Environment dalam sebulan atau dua bulan.Tentu saja, ada harapan bahwa alat penilaian ini akan mampu bersaing di pasar terbuka dengan medical-model-based dsm-iv. Person In Environment akan mendidik semua pekerjaan sosial praktisi, terutama pekerjaan sosial siswa karena itu adalah cara yang khas profesi kita menilai individu dibandingkan profesi lain. Punk Rock Elite Punk Rock Elite beranggotakan seniman. Mereka menjauhi perselisihan dengan sesama komunitas ataupun orang-orang di sekitarnya. Mereka biasa berkumpul di distro, ataupun kafe. (Marshall, 2005, h.109) Subkultur merupakan gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk pencipta gaya dan bukan hanya merupakan penentang hegemoni atau jalan keluar suatu ketegangan sosial. Subkultur lebih jauh menjadi bagian dari ruang bagi penganutnya untuk memberikan otonomi dalam suatu tatanan sosial masyarakat industri yang semakin kaku dan kabur. (Audifax dalam Alfahri Addin (2006:122). Person-in-environment adalah konsep dasarnya pekerjaan sosial (Hare, 2004 ). Bahkan ada yang menyatakan bahwa konsep ini, yang menjadi ciri umum pekerjaan sosial sebagai sebuah profesi yang berusaha untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat dan hubungan antara mereka, adalah apa yang membedakan dari pekerjaan sosial dengan yang lainnya. (gibelman,1999). Jadi, hal ini tidak mengherankan bahwa banyak sarjana melihat pendekatan person-in-environment 8 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 sebagai pendekatan pusat (Buchbinder, Eisikovits, & Karnieli-Miller, 2004; Johnson; Kondrat, 2002; Minahan, 1981; Schneider & Netting, 1999). HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 perencanaan sosial dan tindakan (basw, 1996). Menurut Hutchison (2003) dalam menggambarkan situasi klien dengan Person In Environment diperlukan pendekatan multidimensional. Pendekatan multidimensional merupakan pemikiran tentang perilaku manusia sebagai perubahan konfigurasi orang dan lingkungan sepanjang waktu. Pendekatan Multidimensional dibangun dengan tiga aspek yaitu Person Dimensional, Environmental Dimensional dan Person-in-environment yang diwujudkan dalam konsep dual aspirasi dari profesi untuk memberikan perawatan pribadi dan keadilan sosial yang lebih lanjut. Lebih spesifik lagi, profesi pekerjaan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka, menyadari potensi mereka, dan meningkatkan kehidupan mereka, sementara mempengaruhi reformasi sosial kemasyarakatan yang dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan untuk kesejahteraan individu, untuk mengurangi kesenjangan, dan untuk meningkatkan keadilan sosial (Dominelli, 2004). Time Dimensional. Person Dimensional Pendekatan person-in-environment yang juga diwujudkan dalam kesepakatan umum yang profesional dalam kelompok pekerja sosial masyarakat yang harus menggunakan intervensi psikologis individu baik pada tingkat tingkat sosial. Tahun 2004 lalu disajikan sebagai suatu pendekatan prinsip pengorganisasian yang menyatukan suatu kesinambungan keberhasilan campur tangan, dimulai dengan psikoterapi atau pekerjaan sosial klinis; melalui terapi keluarga, kelompok kerja, pemberdayaan, penanganan perkara, mediasi, aksi sosial, advokasi, dan kebijakan pembentukan; dan berakhir dengan pembangunan sosial. a. The Biological Person merupakan gambaran fisik (jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, kecacatan (jika ada), penampilan, cara berbicara, ekspresi tubuh, respon awal saat berbicara dengan orang lain, kehangatan, body exspression, dan status kesehatannya. b. The Psychological Person merupakan gambaran emosi, respon terhadap suatu masalah, pola pikir klien, dan pikiranpikiran dia kepada situasi yang dihadapinya. c. The Spiritual Person merupakan etika, keyakinan dan kepercayaan, hubungannya dengan tuhan. serta Environmental Dimensional The Physical Environment merupakan lingkungan fisik di sekitar individu, bangunan, keamanan, kenyamanan, suasana dalam perusahaan. Kebutuhan untuk mengintegrasikan kegiatan ini juga menekankan pada tingkat yang berbeda dalam kode etik pekerjaan sosial. Misalnya, british association of social worker ' (basw) yang menyatakan bahwa: pekerja sosial mempunyai tanggung jawab untuk membantu individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat melalui penyediaan dan operasi dan layanan yang sesuai dengan memberi kontribusi untuk Culture merupakan budaya yang kita anut atau mewarnai kehidupan kita sehari-hari, terkait dimana kita berada. Time Dimensional 9 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Time dimensional terdiri dari trends yang merupakan visi dan misi remaja punk, cycles berupa perilaku dan pandangan tentang visi, shift berupa kejadian yang dapat mengubah arah hidup remaja punk, linear time berupa rencana serta kejadian yang telah dialami, social institutions and social structure berupa organisasi yang diikuti remaja punk, dyads berupa hubungan dengan pasangan, families berupa hubungan dengan keluarga, small groups berupa grup kecil yang diikuti remaja punk, formal organizations berupa organisasi formal yang diikuti, communities berupa hubungan dengan komunitas dan social movements berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja punk. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Punk merupakan subkultur. Subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas. Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk pencipta gaya dan bukan hanya merupakan penentang hegemoni atau jalan keluar suatu ketegangan sosial. Subkultur lebih jauh menjadi bagian dari ruang bagi penganutnya untuk memberikan otonomi dalam suatu tatanan sosial masyarakat industri yang semakin kaku dan kabur. DAFTAR PUSTAKA Budi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti. 2010. Dasar-Dasar Pekerja Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran. Person dimensional remaja punk yang terdiri dari kondisi biologis yang terdiri dari gambaran fisik, penampilan. Kondisi psikologis yang terdiri dari gambaran emosi, respon terhadap masalah, pola pikir dan cara menghadapi situasi. Kemudian kondisi spiritual yang terdiri dari etika, keyakinan, kepercayaan dan hubungan dengan Tuhan. Pickles, Joanna Margaret, 2000. Dari Subkultur ke Budaya Perlawanan : Aspirasi dan Pemikiran Sebagian Kaum Punk/Hardcore dan Skinhead di Yogyakarta dan Bandung. Malang: Universitas Muhammadiyah. Kauma, Fuad. 1999. Sensasi Remaja di Masa Puber, Dampak Negatif dan Penanggulangannya. Jombang: Kalam Mulia. Environmental Dimensional remaja punk kondisi lingkungan fisik di sekitar individu dan budaya yang dianut individu. Marshall, G. 2005. Skinhead NationTruth about The Skinhead Cult. London: Dunnon. Time Dimensional remaja punk yang terdiri dari trends yang merupakan visi dan misi remaja punk, cycles berupa perilaku dan pandangan tentang visi, shift berupa kejadian yang dapat mengubah arah hidup remaja punk, linear time berupa rencana serta kejadian yang telah dialami, social institutions and social structure berupa organisasi yang diikuti remaja punk, dyads berupa hubungan dengan pasangan, families berupa hubungan dengan keluarga, small groups berupa grup kecil yang diikuti remaja punk, formal organizations berupa organisasi formal yang diikuti, communities berupa hubungan dengan komunitas dan social movements berupa aksi-aksi yang dilakukan oleh remaja punk. Nando, 2008. Rebel 35 Band Punk Paling Berpengaruh. Jakarta : Narasi. Rohman, Arif. 2009. Fenomena Anak Punk: Sisi Lain Mengenai Ruwetnya Permasalahan Anak Jalanan di Indonesia. Warta Demografi. Santrock. 2007. Remaja, Jilid 1 Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga Santrock. 2007. Remaja, Jilid 2 Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga 10 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PEMENUHAN HAK PARTISIPASI ANAK MELALUI FORUM ANAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK DI KOTA BANDUNG (Studi Kasus Forum Komunikasi Anak Bandung) Oleh: Devi Ayu Rizki, Sri Sulastri, dan Maulana Irfan Email: ([email protected]; [email protected];[email protected]) Sejak diratifikasi Konvensi Hak Anak, pemerintah mulai menyusun berbagai strategi untuk membuat kebijakan maupun program yang betujuan untuk mewujudkan hak-hak anak. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak. Terdapat 40 kabupaten dan 34 kota di Indonesia yang telah dicanangkan sebagai salah satu kabupaten/kota menuju layak anak. Pendahuluan Anak adalah harapan setiap orang tua dan keluarga. Dalam cakupan luas, anak adalah harapan bangsa dan negara bahkan dunia di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, menjadi hal yang krusial dan komitmen bersama untuk memenuhi hak-hak anak sebagai manusia serta mewujudkan dunia yang layak bagi mereka. Pada tahun 1989, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA) dan menetapkan kewajiban bagi pemerintah yang meratifikasi untuk membuat langkah-langkah implementasi. Secara garis besar, Konvensi Hak-hak Anak (KHA) tersebut mengelompokkan hak-hak anak ke dalam 4 (empat) kelompok hak dasar, yaitu hak untuk bertahan hidup (survival rights), hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights), hak atas perlindungan (protection rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights). Bandung adalah kota yang pertama kali memiliki inisiatif untuk mengembangkan Kota Ramah Anak pada tahun 2004. Pada tahun 2006 Kota Bandung telah mendapatkan dua penghargaan sebagai pemerintahan yang memiliki komitmen kuat dalam upaya perlindungan anak sehingga telah dicanangkan sebagai Kota Layak Anak. Dalam kebijakan ini, salah satu prinsipnya adalah partisipasi anak dalam pembangunan lingkungan yang juga sebagai salah satu hak dari 31 hak anak. Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 2, “Partisipasi Anak adalah keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan dilaksanakan atas kesadaran, pemahaman serta kemauan bersama sehingga anak dapat menikmati hasil atau mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut. Anak perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam pengambilan keputusan rencana Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1990 melalui Keppres Nomor 36 tahun 1990 kemudian mengesahkan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. Dengan meratifikasi KHA, Indonesia menyepakati bahwa seluruh hak anak adalah hak asasi manusia seorang anak yang setara pentingnya dan bahwa Indonesia akan melakukan segala upaya untuk memastikan seluruh hak tersebut dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. 11 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan hak partisipasi anak melalui forum anak dalam implementasi kebijakan kota layak anak. pembangunan daerah untuk mewujudkan kota yang layak bagi mereka. Hal di atas menunjukkan bahwa partisipasi anak sesungguhnya merupakan dasar dan batu pijakan yang menjamin bahwa anak-anak merupakan subyek dari hak asasi manusia yang sama sehingga tidak selalu menjadi objek dari suatu proses pembangunan. Saat ini, pemerintah telah membentuk dan membina wadah partisipasi anak yang disebut Forum Anak, yang didalamnya beranggotakan seluruh anak dan pengurusnya terdiri dari perwakilan kelompok-kelompok anak. Forum anak ini dibentuk dengan tujuan untuk menjembatani kepentingan anak-anak dan kepentingan orang dewasa. Forum anak merupakan media, wadah atau pranata untuk memenuhi hak partisipasi anak tersebut, untuk secara khusus menegaskan pasal 10 Undangundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagai bentuk komitmen dalam merespon kesepahaman atas pentingnya hak partisipasi anak untuk mewujudkan Dunia yang layak bagi anak, Pemerintah Kota Bandung juga membentuk dan membina wadah partisipasi anak (forum anak) yang bernama Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB). Metode Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan gambaran pemenuhan hak partisipasi anak dalam implementasi kebijakan kota layak anak di Kota Bandung, dalam hal ini peneliti mengambil studi deskriptif pada Forum Komunikasi Anak Kota Bandung (FOKAB). Dengan demikian, laporan penelitian ini akan berisi penjelasan untuk memahami sebuah proses dan pemaknaannya secara lebih dalam melalui interpretasi. Penelitian deskriptif dipilih karena dalam pemenuhan hak partisipasi anak terkait perencanaan pembangunan kota layak anak terdapat tahapan dan mekanisme pelaksanaan melalui forum anak hingga menuju ke musyawarah perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi, hal ini agaknya juga masih sulit diimplementasikan. Anak sampai saat ini masih berada dilatarbelakang saja dalam proses pembangunan. Kesejahteraan anak diasumsikan akan terjadi bila pembangunan berjalan dengan baik. Jadi anak hanya ada dalam anggapan dan tidak pernah dikedepankan secara sadar dan sengaja sebagai wawasan pembangunan dan bukan subyek pembangunan. Mereka hanya menjadi indikator pembangunan, seperti angka kematian bayi, angka kematian balita dan anak, derajat partisipasi dalam pendidikan, dan sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat partisipan dan kehadiran peneliti di lapangan diketahui oleh subjek penelitian atau disebut observasi partisipatif. Observasi partisipatif, yaitu pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. (Burhan Bungin, 2011: 124). Di samping itu, peneliti menggunakan instrumen pengumpulan data dan menyimpulkannya. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Konsep anak sendiri juga masih bias. Anak dipandang sebagai orang dewasa yang belum ‘jadi’, atau tengah dalam proses ‘menjadi’, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Padahal anak adalah warga negara yang penuh akal, yang mampu membantu pembangunan masa depan lebih baik bagi semua orang. Untuk menjaga keabsahan data peneliti melakukan ketekunan pengamatan, konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi dengan teman. Analisis data penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Bogdan sebagaimana dikutip Sugiyono (2007:244) menyatakan bahwa analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara 12 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 penyelenggaraan pembangunan Kota Layak Anak. sistematis data yang diperoleh dari hasil pengamatan sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Akan tetapi, pada pelaksanaannya masih banyak orang dewasa pada tataran pemerintah Kota Bandung, khususnya yang membawahi bidang perlindungan anak, belum paham mengenai partisipasi anak dan peran forum anak (FOKAB) dalam pembangunan kota layak anak di Kota Bandung. Bahkan diantaranya masih bekerja dengan etika yang kurang ramah terhadap anak sehingga saat ini anak belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan perencanaan pembangunan Kota Bandung. FOKAB masih menemui kendala sulitnya mengakomodir suara-suara anak di Bandung. Aspirasi anak belum menjadi prioritas dalam pembangunan Kota Bandung karena legalisasi FOKAB melalui Surat Keputusan (SK) Walikota hingga saat ini pun belum terealisasi. Partisipasi anak di Kota Bandung masih dalam tahapan untuk pemberian informasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan, bahkan ada juga indikasi manipulasi untuk memenuhi persyaratan atau indikator keberhasilan dari kebijakan Kota Layak Anak. Aktivitas analisis data penelitian ini meliputi identifikasi/reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Kegiatan reduksi data dilakukan dengan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk memudahkan menganalisis kualitas partisipasi anak di Kota Bandung dan mengidentifikasi kelengkapan data. Tahap selanjutnya adalah penyajian data. Data yang disajikan dari penelitian ini adalah data hasil dari lapangan yang telah direduksi dan disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif sehingga temuannya dapat dengan mudah dipahami orang lain. Tahap terakhir analisis ini adalah penarikan simpulan. Simpulan penelitian ini diambil dari intisari-intisari pembahasan terhadap hasil penelitian sehingga diperoleh simpulan yang kredibel. Hasil dan Pembahasan Selain itu, belum banyak fasilitator anak yang paham dan terlatih mengenai Konvensi Hak Anak dan peraturan lainnya yang terkait anak dalam memfasilitasi FOKAB menjalankan perannya sebagai perwakilan anak di Kota Bandung sehingga usulanusulan pembangunan maupun program dari FOKAB belum dapat disuarakan dengan baik ke pemerintahan Kota Bandung. Meskipun anak memiliki kemampuan dan daya kreativitas yang tidak terbatas, anak tetap butuh pendampingan dari orang dewasa untuk memastikan hak-haknya diperoleh dan dipenuhi. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang dicanangkan sebagai salah satu Kota Layak Anak di Indonesia. Pemerintah Kota Bandung mulai mempersiapkan pembangunan daerah yang layak bagi anak, bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk di masa yang akan datang. Tentunya hal ini perlu melihat pertimbangan-pertimbangan dari anak itu sendiri sebagai subjek dari pembangunan. Oleh karena itu, dibentuk sebuah wadah partisipasi anak di Kota Bandung, yakni Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB). Anak-anak di Kota Bandung (perwakilan anak dari FOKAB) dilibatkan dalam pengambilan keputusan perencanaan pembangunan Kota Bandung melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kota. Perwakilan anak yang mengikuti musrenbang akan membawa rumusan suara anak-anak di Kota Bandung. Selain itu, Kota Bandung juga telah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Simpulan Partisipasi anak sejatinya adalah melibatkan seluruh unsur masyarakat termasuk anak untuk berperan aktif. Hal ini dimaksudkan supaya anak dapat bertanggung jawab dan menikmati hasil pembangunan tersebut. Hak partsipasi bagi anak dalam kaitannya pembangunan Kota Layak Anak perlu disadari oleh semua pihak. 13 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Pemenuhan hak tersebut harus sesuai dengan pedoman yang telah ada dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Undang-undang Nomor 23 Tahun Tentang Perlindungan Anak Forum Komunikasi Anak Bandung (FOKAB) dibentuk sebagai salah satu wadah partisipasi anak di Kota Bandung. Forum ini kemudian haruslah dibina dan difasilitasi supaya peran dan fungsinya dapat berjalan dengan baik. Peran pendamping dan fasilitator cukup strategis untuk mendorong partisipasi aktif dari anak-anak serta mensosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan di Kota Bandung untuk melibatkan anak dalam pembuatan perencanaan program maupun kebijakan terkait pembangunan Kota Bandung menuju kota yang layak anak. Selain itu, perlu adanya legalitas atau payung hukum yang bagi FOKAB supaya setiap Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) di Kota Bandung concern terhadap isu-isu anak dan mempertimbangkan pendapat anak dalam perencanaan program maupun pembangunan. Daftar Pustaka Hart, Roger. 1992. Children’s Participation: From Tokenism to Citizenship. UNICEF: Florence Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Partisipasi Anak dalam Pembangunan. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Pelaksanaan Kabupaten/Kota Layak Anak. Panduan Partisipasi Anak dalam Perencanaan Pembangunan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2014. Pedoman Pengembangan Forum Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012. 14 2002 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 RESIDIVIS ANAK SEBAGAI AKIBAT DARI RENDAHNYA KESIAPAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MENGHADAPI PROSES INTEGRASI KE DALAM MASYARAKAT Oleh: Dyana C. Jatnika, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo Email: ( [email protected], [email protected], [email protected]) ABSTRAK Anak didik lembaga pemasyarakatan merupakan anak berhadapan dengan hukum yang harus menjalani masa tahanan dalam sebuah proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Problematika yang dihadapi saat ini adalah banyaknya kasus kenakalan anak dengan pelaku adalah mantan narapidana anak yang bersifat residivis. Residivis anak adalah mantan narapidana anak yang melakukan kembali tindak kejahatan serupa dalam masyarakat atau disebut sebagai penjahat kambuhan. Penyebab dari adanya residivis anak adalah rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat oleh karena pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif dan tidak terintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan, baik secara fisik, mental, maupun sosial dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Subyek penelitian adalah anak didik lembaga pemasyarakatan yang sedang menjalani 1/3 sisa masa tahanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian atas dasar studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat dari rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah kasus residivis anak. Kesiapan anak dapat ditinjau berdasarkan jenis pembinaan fisik, mental, dan sosial yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Rendahnya kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan disebabkan oleh pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif. Adapun kebutuhan anak didik lembaga pemasyarakatan menjelang masa kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya adalah kebutuhan sosialisasi yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kembali pemenuhan hak dan kebutuhan sebagai seorang warga negara. ABSTRACT The punishment that a child would get if they do something against the rule is that they will be labelled as children prisoners or children who are under penitentiary control. The existing problem is the huge number of deliquency cases with the recidivist children prisoners as the actors. Recidivist case or an act of former children prisoners who continuously commit crimes that make them go back to the penitentiary is one of impacts of their powerless selves to face the society’s rejection. It is caused by the inefectivity and unintegrated of the skill development programme held by the Children Penitentiary that unable them to be confidently facing the society life. This study aims to determine the readiness of children prisoners both physically, mentally, and socially to dealing with process of society integration. The readiness of children prisoners is related to physical, mental, and social preparation during in Children Penitentiary. The subject of this research is Anak Didik Lapas or children prisoners who have been doing 1/3 the remaining period of detention. The method used in this research is the study of literature. The results shows that the effect of less readiness of children prisoners in facing of the process of society integration is the case of recidivist child. The readiness of the child can be evaluated based on physical, mental, and social training programmes that held by Children Penintetiary. The low readiness of children prisoners is caused by coaching in Children Penitentiary that are less effective. The Children Prisoners’ need to facing the society integration after they released from Children Penitentiary is 15 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 socialization need as an effort to make them as a good citizen in dealing with their needs and rights among the society. ketika mantan narapidana anak belum memiliki kesiapan penuh dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Komisi Nasional untuk Anak (2011) melaporkan bahwa angka pelaporan anak berhadapan dengan hukum sebanyak 52% didominasi oleh kasus pencurian, kemudian diikuti dengan kasus lainnya seperti narkoba, perlindungan terhadap anak, pelanggaran tertib berlalu lintas, perampokan, dan pembunuhan. Akan tetapi, berdasarkan data dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung per Maret 2015, kasus narapidana anak pada kasus pencurian sebanyak 42,8% adalah pelaku residivis. Fenomena ini membuktikan bahwa kekhawatiran masyarakat akan residivis narapidana anak (Marlina, 2009) adalah benar adanya. Kembalinya seorang mantan narapidana anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau yang dapat disebut sebagai residivis merupakan salah satu dampak dari adanya ketidaksiapan dalam diri mantan narapidana anak sehingga mengulangi tindak kejahatan serupa sebagai penjahat kambuhan di masyarakat. PENDAHULUAN Eksistensi generasi muda di Indonesia berpengaruh besar tehadap keberlangsungan pembangunan nasional yang berlandaskan kepada kemandirian dan kepribadian bangsa. Generasi muda adalah bagian dari harapan pemerintah dalam menjalankan upaya restorasi sosial sebagaimana yang dikemukakan dalam salah satu misi dari kepemimpinan Presiden Republik Indonesia saat ini, Jokowi Dodo, untuk memperbaiki kembali berbagai penyimpangan dari norma yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, pada kenyataannya Indonesia memiliki jumlah kasus kenakalan remaja yang cukup tinggi dengan jumlah 2.716 narapidana anak (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015). Menurut Badan Penanggulangan Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika Sumatera (Gultom, 2008), kenakalan remaja merupakan salah satu bentuk kelainan tingkah laku, perbuatan, ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat setempat. Pelanggaran tersebut akan menyebabkan anak nakal menyandang status sebagai Narapidana Anak atau menjadi anak didik lembaga pemasyarakatan (Andikpas). Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembinaan bagi narapidana anak dilakukan sesuai dengan konsep pemasyarakatan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan kepada anak didik lembaga pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana di kemudian hari dengan harapan anak dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat serta dapat menjalankan status dan perannya sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan aktif dalam pembangunan. Salah satu penyebab rendahnya kesiapan mantan narapidana anak untuk bersosialisasi kembali adalah proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang belum efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Artyawan (2013), penyelenggaraan program pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan hanya memberikan kontribusi terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat hanya sebesar 44,7%. Salah satu penyebab dari pembinaan yang kurang efektif adalah tidak terintegrasinya proses pembinaan dengan kehidupan bermasyarakat. Pembinaan fisik, mental, dan sosial di Lembaga Pemasyarakatan Anak tidak cukup untuk memberikan kepercayaan diri atas kesiapan anak didik lapas menuju proses integrasi ke dalam masyarakat. Namun, problematika yang dihadapi saat ini adalah banyaknya kasus kenakalan remaja dengan pelaku adalah mantan narapidana anak yang bersifat residivis. Residivis terjadi 16 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 anak. Anak yang beresiko memiliki kemungkinan berperilaku menyimpang berada dalam keadaan yang sulit. Berdasarkan laporan dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung, mayoritas anak didik lembaga pemasyarakatan berusia 16-18 tahun atau berada pada usia remaja. Menurut Gultom (2008), dalam menangani permasalahan mantan narapidana anak, diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa perhatian terhadap anak dan mempersiapkan anak kembali ke masyarakat adalah satu bentuk pelayanan sosial yang sangat penting. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah tertentu untuk membuka hubungan antara anak dengan masyarakat. Sosialisasi bagi mantan narapidana anak dapat dikatakan sebagai sebuah proses adaptasi diri kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan proses sosialisasi seorang remaja dalam upaya pemenuhan kebutuhan juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial, terlebih apabila lingkungan keluarga dan masyarakat sudah tidak bisa menerima keberadaan dirinya kembali seperti sebelumnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis terdorong untuk mengkaji lebih jauh mengenai kesiapan anak didik lapas dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat salah satu penyebab dari kasus residivis anak di masyarakat. Menurut Gultom (2008), kenakalan remaja dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, kenakalan remaja akan terkait dengan bentuk perilaku menyimpang dan lingkungan sosial yang membentuknya. Melalui penelaahan lebih lanjut, maka kenakalan remaja merupakan salah satu akibat dari adanya ketimpangan dalam lingkungan sosial yang membentuknya. Loeber (2013) dalam karyanya yang berjudul From Juvenile Delinquency to Young menyampaikan bahwa salah satu proses yang membentuk anak atau remaja untuk melakukan perbuatan menyimpang diantaranya faktor pendorong dan resiko sosial yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Untuk menangani hal ini, Loeber menyampaikan bahwa diperlukan suatu upaya assesment lebih lanjut mengenai kebutuhan dan resiko remaja serta rencana intervensi dalam memperbaiki remaja dengan perilaku menyimpang. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode studi pustaka yang terdiri atas pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen pendukung berupa data dari buku, jurnal ilmiah, dan dokumen elektronik dari internet. Adapun tahapan dalam penulisan diantaranya perumusan masalah untuk kemudian menjadi gagasan, pengumpulan data dan fakta terkait, verifikasi data dan fakta, analisa konseptual dengan argumentasi yang rasional, perumusan hasil gagasan dan kesimpulan serta rekomendasi terkait penanganan masalah. Anak dengan perilaku menyimpang yang melanggar hukum akan dikenai sanksi dengan menyandang status sebagai Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan (Andikpas). Pembinaan yang diselenggarakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak bertujuan untuk memberikan bimbingan pelatihan, kepribadian, dan keagamaan dengan tujuan agar anak didik lapas dapat menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi lagi setelah kembali ke masyarakat. Dalam hal ini, pemikiran Loeber selaras dengan Seiter, Kadela (2003) dalam karyanya yang berjudul TELAAH PUSTAKA Kenakalan Remaja Kenakalan anak atau Juvenile Delinquency dapat diartikan sebagai bagian dari bentuk penyimpangan perilaku terhadap hukum atas norma dan nilai yang berlaku di masyarakat dengan status dan peran sosial pelaku adalah Prisoner Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising. Seiter, Kadela (2003) mengemukakan bahwa ada dunia yang akan dimasuki oleh mantan narapidana. 17 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 masyarakat dalam bentuk stabilitas dukungan dan pelayanan sosial yang khusus diberikan kepadanya dalam bentuk program ataupun aktivitas yang memungkinkan mantan narapidana tidak menjadi residivis. Hal ini selaras dengan fokus dari pembinaan di lembaga pemasyarakatan anak yang didasarkan atas konsep pemasyarakatan dengan tujuan mempersiapkan anak didik lembaga pemasyarakatan agar diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Walaupun pembinaan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan bertujuan untuk memberikan kesiapan fisik, mental, dan sosial kepada anak didik lembaga pemasyarakatan, namun hal ini terpisah dari ‘dunia’ yang akan dihadapinya secara nyata setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dukungan keluarga, sumber daya dalam kehidupan bermasyarakat, dan kesediaan dukungan moral dari masyarakat menjadi hal yang berbeda dan mempengaruhi proses reintegrasi mantan narapidana anak di tengah kehidupan bermasyarakat. Pemikiran ini sangat relevan dengan salah satu laporan ilmiah dari The Pew Charitable Trusts tentang Residivis anak adalah mantan narapidana anak yang selepas keluar dari lembaga pemasyarakatan melakukan tindak kejahatan kembali serupa atau disebut sebagai penjahat kambuhan. Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Jurnal Harian Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung, diketahui bahwa 42,8% penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak per Bulan Maret 2015 pada salah satu kasus, yaitu kasus pencurian, adalah narapidana anak residivis. Hal ini membuktikan bahwa kekhawatiran masyarakat akan penilaian atau stigmatisasi terhadap anak residivis (Marlina, 2009) adalah benar adanya. The Rise in Prison Inmates Released Without Supervision (2014), bahwa walaupun ada pembinaan dan pengawasan setelah narapidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, namun belum menjamin efektivitas pengurangan jumlah residivis. Residivis Anak Indonesia memiliki jumlah kasus kenakalan remaja yang cukup tinggi dengan jumlah narapidana anak sebanyak 2.716 anak. Jawa Barat merupakan provinsi kedua tertinggi setelah Sumatera Utara yang memiliki jumlah anak pidana terbanyak di Anak Pidana atau Anak Indonesia. Berhadapan dengan Hukum (ABH) ditangani dalam sebuah pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berdasarkan kepada fenomena tersebut, maka pandangan atau penolakan yang berupa stigmatisasi dari masyarakat terhadap mantan narapidana anak masih berlaku. Ketidakberdayaan mantan narapidana anak untuk kembali ke lingkungan sosialnya sebagaimana ia diterima dahulu menjadi salah satu hal yang dapat menjadi stressor baginya untuk kemudian dilampiaskan kembali dalam bentuk perilaku menyimpang. Aksesibilitas yang minim terhadap pemenuhan hak sebagai seorang warga negara merupakan salah satu dampak dari ketidakberdayaan masyarakat dalam memberikan kepercayaan kembali kepada mantan narapidana anak untuk menjalankan perannya sebagai seorang remaja dan warga negara. Kembalinya seorang mantan narapidana anak ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau yang dapat disebut sebagai residivis merupakan salah satu dampak dari adanya ketidakberdayaan dalam diri seorang mantan narapidana anak untuk bersosialisasi kembali dalam masyarakat sebagai seorang remaja yang bertanggungjawab di tengah pandangan negatif masyarakat terhadap dirinya. Menurut Seiter, Kadela dalam sebuah penelitian yang berjudul Pembinaan bagi Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Pembinaan bagi anak didik lembaga pemasyarakatan pada dasarnya dijalankan atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan juga difokuskan pada tiga hal utama, yaitu pembinaan fisik, mental, dan sosial. Ada Prisoner Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising (2003), mengemukakan bahwa hal utama yang perlu diperhatikan dari keberadaan mantan narapidana adalah adanya pengawasan dari 18 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kesalahan, memperbaiki sikap, tidak mengulangi tindak kejahatan lagi sehingga diharapkan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, Alexander (2013) mengemukakan bahwa mantan narapidana akan menghadapi kemungkinan kurang berhasilnya untuk masuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat oleh karena aksesibilitas yang rendah dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan dukungan moral dari keberadaan keluarga dan kerabat. Atas dasar penelaahan lebih lanjut, keadaan mantan narapidana saat ini belum mendapatkan penerimaan dan dukungan sosial penuh dari masyarakat terhadap keberadaan dirinya. Anderson (1990) mengemukakan bahwa kondisi mantan narapidana dalam kehidupan bermasyarakat akan terhambat oleh karena disorganisasi dalam keluarga dan masyarakat serta ketidaktersediaan sumber daya yang mendukung terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak bagi dirinya. empat komponen penting dalam prinsip pembinaan narapidana, diantaranya: 1. Diri Sendiri Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak harus dilaksanakan atas dasar kemauan dari anak didik lembaga pemasyarakatan untuk melakukan suatu perubahan terhadap dirinya ke arah yang lebih positif. Beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin melakukan perubahan diantaranya: kemauan, kepercayaan diri, berani mengambil keputusan, berani menanggung resiko, dan termotivasi untuk merubah dirinya. Hal tersebut adalah penting mengingat anak didik lembaga pemasyarakatan sedang menjalani masa pembinaan dengan konsep pemasyarakatan, sehingga upaya untuk mengenal diri sendiri sebagai langkah awal perubahan dapat terlaksana atas dasar pengambilan keputusan dirinya sendiri. 2. Keluarga Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak didik lembaga pemasyarakatan. Hubungan yang harmonis dengan keluarga diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja (Gultom, 2008). Sehingga, dalam hal ini keluarga memiliki peran penting bagi proses perubahan diri bagi anak didik lembaga pemasyarakatan. Hubungan yang harmonis dapat terjaga dengan adanya kunjungan keluarga. Kualitas dan kuantitas kunjungan keluarga bagi pembinaan sosial anak didik lembaga pemasyarakatan seyogyanya diperhatikan oleh lembaga pemasyarakatan anak dalam rangka meningkatkan kesiapan anak didik lembaga pemasyarakatan untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat atas dasar asuhan dari keluarga sebagai lingkungan primer. Kunjungan keluarga juga merupakan salah satu upaya mencegah adanya kasus residivis anak atau kembalinya anak ke lembaga pemasyarakatan karena melakukan tindak kejahatan serupa kembali oleh karena adanya penolakan dari lingkungan sosial dirinya, salah satunya keluarga. Wilkinson (2001) mengemukakan salah satu contoh program reintegrasi di Ohio pada tahun 1985. Hal yang kemudian difokuskan dalam upaya kuratif dan preventif bagi penanganan kenakalan remaja diantaranya program lanjutan dari hasil pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan yang berupa pembekalan pendidikan formal dan nonformal berupa keahlian atau keterampilan yang dapat digunakan sebagai bekal wirausaha dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, anak didik lembaga pemasyarakatan yang memiliki kesiapan yang baik diharapkan dapat mengetahui norma dan etika dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki perencanaan hidup sehingga ketika keluar dari lembaga pemasyarakatan anak, anak didik lembaga pemasyarakatan dapat termotivasi kembali untuk beraktivitas sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. 4. Petugas Petugas lembaga pemasyarakatan anak memiliki peran yang penting dalam upaya membina anak didik lembaga pemasyarakatan sesuai dengan tujuan dari setiap tahap pembinaan. Petugas diharapkan dapat mengetahui perkembangan setiap anak didik lembaga pemasyarakatan untuk setiap 3. Masyarakat Tujuan dari pembinaan yang didasarkan atas konsep pemasyarakatan adalah untuk memberikan bimbingan kepada anak didik lembaga pemasyarakatan agar menyadari 19 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 pandangan dirinya terhadap lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Mantan narapidana anak sebagai seorang remaja memiliki hak akan pemenuhan kebutuhan di tengah kehidupan bermasyarakat. bagian tahap pembinaan berdasarkan hasil peninjauan dari catatan di kartu pembinaan oleh wali pemasyarakatan anak. Hasil dari pencatataan pada kartu pembinaan dapat menjadi dasar dari perencanaan pembinaan pada tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan anak yang ada. Seiter, Kadela (2003) mengemukakan bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah program reintegrasi yang memungkinkan bagi mantan narapidana anak untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat atas dasar pengalaman dirinya dari hasil pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak difokuskan menjadi tiga fungsi pembinaan sebagai bentuk pembinaan mental, fisik, dan sosial (Gultom, 2008). Dalam sebuah penelitian di United States Department of Labor dengan karya yang berjudul Center for Faith-Based and Community Initiatives, dikemukakan bahwa salah satu hal yang menghambat kesuksesan mantan narapidana dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana akan status yang disandangnya sehingga diperlukan suatu program reintegrasi bagi mantan narapidana dalam melakukan proses sosialisasi kembali dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini akan terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan hak bagi mantan narapidana anak untuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Kesiapan anak didik lapas dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan program asimilasi yang diadakan sebagai upaya reintegrasi kembali anak didik lapas dalam kehidupan bermasyarakat. Program reintegrasi bagi anak didik lapas akan didapatkan selama menjalani proses pembinaan pada 2/3-1/3 sisa masa tahanan. Atas dasar penelaahan lebih lanjut, maka Kvawarceus (1964) dalam karyanya di Unesco yang berjudul Juvenile Delinquency A HASIL DAN PEMBAHASAN Kesiapan Fisik, Mental, dan Sosial Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesiapan adalah suatu keadaan bersiap-siap untuk mempersiapkan sesuatu. Hal ini juga didukung oleh Dalyono (2005), bahwa kesiapan adalah kemampuan yang cukup baik fisik dan mental untuk melakukan suatu kegiatan. Namun, bukan hanya kesiapan mental, Oemar Hamalik (2008) mengemukakan bahwa kesiapan juga merupakan tingkatan atau keadaan yang harus dicapai dalam proses perkembangan perorangan pada tingkatan pertumbuhan mental, fisik, sosial dan emosional. Problem For the Modern World, mengemukakan bahwa seharusnya penanganan mantan narapidana anak difokuskan pada reintegrasi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan pengakuan bahwa kasus kenakalan remaja merupakan bagian tanggungjawab dari masyarakat akan usaha pencegahan dan pengawasan terhadap terjadinya kejahatan. Berdasarkan kepada definisi di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kesiapan dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau kemampuan yang baik, baik secara fisik, mental, maupun sosial untuk melakukan suatu kegiatan atau kerja. Kesiapan seorang anak didik lapas juga akan dipengaruhi oleh pengalaman menjalani proses pembinaan selama masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Menurut Gultom (2008), pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak difokuskan pada pembinaan fisik, mental, dan sosial. Berbagai pengalaman diri akan membentuk Kesiapan Fisik Kesiapan fisik bagi anak didik lapas dapat diartikan sebagai suatu keadaan siap untuk melakukan aktivitas dengan kesehatan fisik dalam keadaan baik, dalam arti kondisi fisik yang sehat dan secara klinis juga tidak dinyatakan mengalami suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Anak didik lapas yang memiliki kesiapan fisik dengan kondisi jasmani yang baik akan menjadi salah satu 20 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 faktor pendukung keberhasilan dirinya untuk berintegrasi kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan bila anak didik lapas mengemukakan kesiapan fisik dirinya dalam kondisi yang baik, maka anak didik lapas tersebut dapat menggunakan seluruh kemampuan dan fungsi tubuhnya untuk beraktivitas kembali secara optimal. ISSN:2339 -0042 kebutuhan dirinya sebagai seorang remaja. Terlebih bila hal ini tidak didukung dengan kemampuan dirinya untuk mengaplikasikan apa yang telah dipelajarinya selama memperoleh proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berdasarkan hasil penelitian Artyawan (2013), penyelenggaraan program pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan memberikan kontribusi terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat hanya sebesar 44,7%. Pembinaan fisik, sosial, dan mental di Lembaga Pemasyarakatan Anak belum berfungsi secara optimal dalam memberikan kepercayaan diri bagi mantan narapidana anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mantan narapidana anak membutuhkan binaan kembali setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan kepercayaan dirinya bersosialisasi kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Kesiapan Mental Kesiapan mental anak didik lapas akan terkait dengan pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak. Kesiapan mental bagi mantan narapidana anak akan terkait dengan keadaan psikososial diri anak akan pemikiran dan perasaan dirinya dalam upaya untuk mengontrol kembali tingkah lakunya secara tepat. Anak didik lapas diharapkan sudah menyadari kesalahan dan bisa menerima serta menangani rasa frustasi dengan wajar, mengendalikan emosi dirinya melalui ibadah (agama), memiliki rasa kepercayaan diri dan semangat untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat, dan dapat menangani rasa emas dan gelisah. Salah satu hal yang perlu diperhatikan kiranya bagi mantan narapidana anak adalah keberlanjutan pendidikan formal. Kesetaraan dalam mendapatkan hak pendidikan bagi setiap anak di dunia menjadi fokus perhatian pada Konferensi UNESCO bulan November 2014 lalu. Menurut Shimomura, Minister of Kesiapan Sosial Kesiapan sosial bagi anak didik lapas dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana anak didik lapas sudah siap melakukan aktivitas kembali dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengetahui norma-norma agama, kesusilaan, etika pergaulan dan pertemuan dengan keluarga atau kerabat, dan pengetahuan akan hidup bermasyarakat yang baik. Hal ini akan dipengaruhi oleh program pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pemasyarakatan Anak terkait dengan pembinaan sosial. Pembinaan sosial akan terkait pula dengan adanya kesempatan bagi anak didik lapas untuk mengadakan hubungan komunikasi dengan keluarga melalui kunjungan atau media surat serta penerimaan akan pelatihan maupun penyuluhan mengenai bimbingan kemasyarakatan. Analisis Kebutuhan Sosialisasi Mantan Narapidana Anak HALAMAN: 1 - Education, Culture, Sports, Science, and Technology Japan dalam penyampaiannya di UNESCO WORLD CONFERENCE ON Education for Sustainable Development (2014), mengemukakan bahwa pendidikan merupakan rangkaian aktivitas untuk membangun masa depan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat atas dasar nilai dan norma yang berlaku. Mantan narapidana anak merupakan salah satu bagian masyarakat yang terhambat aksesibilitas hak dan kebutuhannya. Bila meninjau akan advokasi kesetaraan hak akan pendidikan, maka binaan akan pendidikan formal dan nonformal dapat menjadi salah satu bentuk upaya preventif dalam menangani mantan narapidana anak dari kemungkinan terjadinya kasus residivis. Bagi Menyandang status sebagai mantan narapidana anak memberikan dampak terhadap aksesibilitas pemenuhan hak dan 21 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 akan terkait dengan proses pembinaan yang dijalankan dalam program asimilasi. Aksesibilitas yang minim terhadap pemenuhan hak dan kebutuhan bagi mantan narapidana anak sebagai seorang warga negara merupakan salah satu dampak dari ketidakberdayaan masyarakat dalam memberikan kepercayaan kembali kepada mantan narapidana anak untuk menjalankan perannya sebagai seorang remaja dan warga negara. Begitupula dengan terbatasnya frekuensi waktu dan tempat kunjungan bagi anak didik lapas dan keluarga di Lembaga Pemasyarakatan Anak memberikan dampak negatif terhadap kualitas hubungan dirinya dan keluarga. Menurut Seiter, Kadela dalam sebuah penelitian yang berjudul Prisoner Kebutuhan anak didik lembaga pemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya adalah kebutuhan sosialisasi yang memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kembali pemenuhan hak dan kebutuhan sebagai seorang warga negara. Penanganan kebutuhan sosialisasi bagi anak didik lembaga pemasyarakatan dapat dimediasi dengan peninjauan ulang program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak melalui revitalisasi kebijakan program sehingga fokus pada reintegrasi anak didik lapas selepas menjalani masa pembebasan maupun melalui pengadaan lembaga pemenuhan kebutuhan sosialisasi bagi mantan narapidana anak dengan fokus pada reintegrasi anak dalam kehidupan bermasyarakat. Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising (2003), mengemukakan bahwa hal utama yang perlu diperhatikan dari keberadaan mantan narapidana adalah adanya pengawasan dari masyarakat dalam bentuk stabilitas dukungan dan pelayanan sosial yang khusus diberikan kepadanya dalam bentuk program ataupun aktivitas yang memungkinkan mantan narapidana tidak menjadi residivis. SARAN Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebaiknya difokuskan terhadap revitalisasi program asimilasi dengan fokus tujuan pada reintegrasi narapidana anak dalam masyarakat serta memperhatikan kualitas dan frekuensi kunjungan keluarga sebagai salah satu upaya preventif dalam menangani kasus residivis bagi mantan narapidana anak. Hal ini mengingat akan pentingnya penanganan secara preventif dan restoratif mengingat akan rendahnya kesiapan anak didik lapas oleh karena pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif, sehingga diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kasus residivis anak setelah menjalani masa pembebasan dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Revitalisasi program asimilasi bagi anak didik lapas merupakan salah satu upaya mengefektifkan peran Balai Pemasyarakatan Anak dalam meninjau perkembangan dan melakukan pengawasan sosial terhadap keberadaan anak selepas keluar dari lapas. Atas dasar fenomena tersebut, maka dapat diketahui bahwa diperlukan suatu upaya restoratif, baik dalam bentuk kuratif maupun rehabilitatif dalam menangani mantan narapidana anak yang tidak berdaya dalam menghadapi penolakan masyarakat atas keberadaan dirinya. Salah satu upaya penanganan pemenuhan hak dan kebutuhan dengan lingkungan sosial yang mendukung adalah reunifikasi keluarga dan masyarakat. SIMPULAN Kasus residivis anak terjadi sebagai akibat dari rendahnya kesiapan anak didik lapas dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Anak. Kesiapan bagi anak didik lembaga pemasyarakatan terkait dengan pembinaan yang diadakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah kesiapan fisik, mental, dan sosial. Penyebab dari rendahnya kesiapan anak didik lapas tersebut dikarenakan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang kurang efektif dan tidak terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesiapan anak didik lapas DAFTAR PUSTAKA Artyawan, Adetyo, Januari 2013, “Pengaruh Program Pendidikan Keterampilan Terhadap 22 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Kesiapan Narapidana Kembali ke Masyarakat”, NFECE 2 (1) (2013), hlm. 55 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 2015. Sistem Database Pemasyarakatan. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/curre nt/monthly (diakses pada tanggal 21 Maret 2015) Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT.Refika Aditama Loeber, Rolf, dkk. 2013. From Juvenile Delinquency to Young Adult Offending. Melalui, < https://ncjrs.gov/pdffiles1/ nij/ grants/242931.pdf> [8/5/15] Seiter, Richard P., Kadela, Karen R. 2003. Prisoner Reentry: What Works, What Does Not, and What Is Promising. Hlm 361-362 Gelb, Adam, dkk. 2014. The Pew Charitable Trusts: The Rise in Prison Inmates Released Without Supervision Alexander, Michelle. 2013. A Second Chance: Charting a New Course for Re-Entry and Criminal Justice Reform. The Leadership Conference Education Fund Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali Anderson, E. (1990). Streetwise: Race, class, and change in an urban community. Chicago: University of Chicago Press 23 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PELAYANAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKANPADA FAITH BASED ORGANIZATION (STUDI DI RUMAH YATIM AT-TAMIM KECAMATAN CILEUNYI KABUPATEN BANDUNG) Oleh: Eni Setiyawati, Santoso Tri Raharjo dan Muh. Fedryansyah Email: ([email protected]; [email protected]; [email protected]) ABSTRACT Education is human right for every one. Education is also one of important factors for increasing quality of life and social welfare. In education, Government have a effort to programe must study in 9 years dan it’s be free from education cost. But, many children can’t school again and haven’t opportunity to give a schools in high level. One of factors is because they parents don’t have enough money to facilitate her/his son in education daily needs. Furthermore, access to get a education that until now not same in Indonesia include facilities and infrastructure in supporting education, especially for regions wich are in the eastern region is still a chore for us all. This research uses descriptive methode with qualitative approach. To obtain the necessary data, the researcher used a technique depth inerviews, direct observations in the field and study documentation. Rumah Yatim At-Tamim is one of faith based organization under the auspicesof the boarding school at At-Tamim present as an alternative in providing solutions for orphans children, muallaf and converts especially for children who come from outside the island of Java, namely NTT and NTB in because the shortageof funds and difficulty in accessing education. Rumah Yatim AtTamim have not full-home based provide social services in education through the formal school financing (including the cost of the daily need), provide the education in formal in Rumah Yatim, such ac programeof education with Islam, they are read Al-Qur’an, study fiqih, speak in front of people with give a Islam value, and other skill such as entrepreneurship. It’s also include give facilities and infrastructure in supporting education. The balance between knowledge acquired in school with religious knowledge obtain in this institution is expected to create a generation that has the insight and good moral can also running social functioning in community. Keywords : education, social services in education, faith based organization, Rumah Yatim AtTamim ABSTRAK Pendidikan merupakan hak bagi semua orang. Pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Di bidang pendidikan, Pemerintah telah mengupayakan program wajib belajar 9 tahun dan dibebaskan dari biaya pendidikan. Akan tetapi, masih banyak anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu faktor seperti ketidaksanggupan orang tua dalam membiayai pendidikan anak karena keterbatasan ekonomi menjadi pemicu anak mengalami putus sekolah. Selain itu, akses pendidikan yang belum merata termasuk di dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana dalam menunjang pendidikan khususnya bagi daerah yang berada di wilayah timur masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti 24 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi langsung di lapangan, dan studi dokumentasi. Rumah Yatim At-Tamim merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial berbasis keagamaan yang berada di bawah naungan pondok pesantren At-Tamim hadir sebagai alternatif dalam memberikan solusi bagi anak yatim dhuafa dan muallaf khususnya bagi anak-anak yang berasal dari luar pulau Jawa, yaitu NTT dan NTB dikarenakan keterbatasan dana dan kesulitan dalam megakses pendidikan. Rumah Yatim At-Tamim berbasis semi panti ini memberikan pelayanan sosial dalam bidang pendidikan melalui pembiayaan sekolah formal (biaya sehari-hari termasuk uang saku), pemberian pendidikan informal yang diselenggarakan di dalam Rumah Yatim berupa program-program pendidikan yang kental dengan kurikulum berbasis agama Islam diantaranya mengaji Al-Qur’an dan setor hafalan, fiqih, ceramah dan bentuk keterampilan lain seperti wirausaha termasuk penyediaan sarana dan pra sarana yang menunjang dalam bidang pendidikan. Keseimbangan antara ilmu yang diperoleh di sekolah dengan ilmu agama yang diperoleh di lembaga ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang memiliki wawasan dan akhlak yang baik serta dapat menjalankan keberfungsian sosialnya di masyarakat. Kata Kunci : pendidikan, pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, lembaga pelayanan sosial berbasis agama, Rumah Yatim At-Tamim 1. Pendahuluan Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar biasa untuk pencapaian MDG di bidang pendidikan dasar universal dan kesetaraan gender. Namun demikian, masih ada sekitar 2,5 juta anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat dimana terdapat sebagian besar penduduk Indonesia, ada 42 % anak yang mengalami putus sekolah. Terdapat 92 % anak terlantar di sekolah dasar. Berdasarkan data yang diperoleh, anak-anak dari keluarga miskin memiliki kemungkinan empat kali lebih besar untuk mengalami putus sekolah dibandingkan dengan keluarga kaya. Hal ini juga tidak terlepas dari masalah kesetaraan dalam mencapai akses pendidikan di Indonesia. Meskipun secara keseluruhan rentang waktu antara masuk sekolah dasar cukup tinggi, sebuah kajian tentang anak putus sekolah yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan, UNESCO dan UNICEF di tahun 2011 menunjukkan bahwa 2,5 juta anak putus sekolah dari transisi waktu SD ke SMP (UNICEF Indonesia, laporan Tahunan 2012). Pendidikan merupakan hak bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi anak yatim, dhuafa maupun mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Namun, masih terdapat anak yang mengalami putus sekolah di tengah jalan atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi pada masa transisi, misal dari SD ke SMP, SMP ke SMA dan SMA ke perguruan tinggi dikarenakan ketatnya persaingan dan ketidak mampuan orang tua dalam memenuhi biaya pendidikan sehari-hari. Hal tersebut terjadi di kota besar, apalagi dengan saudara kita di daerah pelosok yang memiliki kendala dalam keterbatasan dan sulitnya menjangkau akses pendidikan. Hingga saat ini, Pemerintah masih mengupayakan pendidikan dengan sekolah gratis namun pelayanan dalam bidang pendidikan ini pun tidak serta merta membuat semua anak dapat merasakan hal yang sama. Mengingat pemerintah belum dapat memecahkan masalah tersebut secara keseluruhan, maka hadirlah lembaga pelayanan sosial sebagai solusi alternatif yang turut menampung anak yatim, dhuafa dan yang memiliki kesulitan dalam melanjutkan pendidikan dalam bentuk pelayanan sosial di bidang pendidikan. Temuan lainnya di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua lembaga pelayanan sosial atau human services organization dapat secara konsisten terus memberikan layanan sosial di bidang pendidikan dikarenakan faktor finansial lembaga. Di kota Bandung terdapat kurang 25 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan Oleh Panti Asuhan Yayasan Amal Sosial AlWashliyah Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor” belum secara detail menggambarkan bidang pelayanan pendidikannya, terutama program yang bersangkutan. Selain itu, masih mengaitkan dengan pola pengasuhan. Berdasarkan hasil penelitian terkait yang telah diuraikan sebelumnya dan melihat masih terbatasnya penelitian mengenai pelayanan sosial di bidang pendidikan dengan mengangkat human service organization berbasis agama, maka peneliti tertarik untuk meneliti pelayanan sosial di bidang pendidikan di Rumah Yatim At-Tamim Bandung. Identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Apa saja program yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan yang diberikan oleh Rumah Yatim AtTamim ? 2. Apa faktor yang melatarbelakangi banyaknya anak yang berasal dari luar Pulau Jawa menjalani pendidikan di Rumah Yatim At-Tamim? 3. Bagaimana sistem pendidikan berbasis agama Islam di Rumah Yatim At-Tamim? 4. Bagaimana cara Rumah Yatim AtTamim tetap kontinyu dalam memberikan layanan sosial dalam bidang pendidikan? lebih 40 panti dan rumah yatim yang menampung anak yatim piatu secara resmi dan tersebar di kabupaten dan kota. Tetapi tidak semua panti atau rumah yatim dapat memenuhi atau memberikan layanan kepada anak secara optimal. (http:// simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materib uku/Data%20Panti%20Asuhan%20Yatim%20 Piatu_2011.pdf). Namun sejauh ini, beberapa bentuk penelitian terkaitpelayanan sosial dalam bidang pendidikan terkait seperti halnya pemenuhan dan penyediaan sarana prasarana sekolah, penyediaan biaya sekolah, uang saku, pendidikan tambahan maupun keterampilan masih jarang ditemukan, khususnya bagi lembaga pelayanan sosial yang berbasis keagamaan namun masih berkembang. Rumah Yatim At-Tamim merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial (human service organization) yang berbasis agama Islam dan memberikan layanan sosial dalam bidang pendidikan. Rumah Yatim yang berada dibawah naungan pondok pesantren At-Tamim saat ini menampung kurang lebih 55 orang anak yatim, dhuafa maupun muallaf yang masih berstatus pelajar mulai dari SD, SMP, SMA hingga kuliah. Hal yang menarik dan unik ketika lembaga pelayanan sosial ini menampung anak anak dari luar pulau Jawa, yaitu wilayah timur utamanya NTB dan NTT yang ingin terus melanjutkan pendidikannya sampai merantau jauh ke Bandung. Melihat fenomena tersebut, maka isu pelayanan sosial dalam bidang pendidikan di lembaga pelayanan sosial yang berbasis agama ini penting untuk diteliti karena kita sebagai pekerja sosial yang berada dalam setting human service organization memiliki peran dalam memberikan layanan sosial khususnya dalam bidang pendidikan. Beberapa penelitian sebelumnya yang mengulas fenomena pelayanan sosial dalam bidang pendidikan diantaranya oleh Rossy Simarmata dengan judul “ Efektivitas Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh oleh Yayasan Kinderfreude” meneliti tentang efektivitas pelayanan yang diberikan oleh lembaga seperti pendidikan, keterampilan, bimbingan dan kesehatan terhadap anak asuh belum secara detail mengungkap pelayanan dari sisi yayasan Kinderfreude yang memiliki basis agama. Penelitian selanjutnya yang berjudul “Efektivitas Adapaun tujuan dan manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan program yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan yang diberikan oleh Rumah Yatim At-Tamim Bandung. 2. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi banyaknya anak yang berasal dari luar pulau Jawa menjalani pendidikan di Rumah Yatim At-Tamim. 3. Untuk mendeskripsikan sistem pendidikan berbasis agama Islam di Rumah Yatim At-Tamim. 4. Untuk mendeskripsikan cara Rumah Yatim tetap kontinyu dalam memberikan layanan sosial dalam bidang pendidikan. 26 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Social Work, 1995 : 1787). Oleh karena itu, organisasi pelayanan sosial tentunya berbeda dengan organisasi profit lainnya. Adapun karakteristik dari organisasi pelayanan sosial menurut Hasenfeld (1983), yaitu : 1. Material dasarnya (raw material) terdiri dari orang-orang dengan sejumlah nilai moral yang mempengaruhi aktifitas organisasi sosial. 2. Tujuan dari organisasi pelayanan sosial adalah samar-samar (vague), berarti dua (ambiguous), dan bermasalah (problematic). 3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan sosial juga menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari banyak kepentingan kelompok yang berbedabeda. 4. Organisasi pelayanan manusia harus beroperasi dengan teknologi yang tidak menentukan dengan tidak menyediakan pengetahuan yang lengkap bagaimana mencari hasil yang diharapkan. 5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan sosial terdiri dari hubungan antara staff dengan klien, sehingga tidak menutup kemungkinan para staff dalam organisasi sosial lebih banyak terdiri dari relawan yang harus berhubungan dengan kliennya. 6. Karena keutamaan hubungan staff dengan klien, maka posisi dan peran staff profesional secara khusus penting dalam organisasi pelayanan manusia. 7. Organisasi pelayanan sosial miskin pengukuran mengenai efektivitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi ( Dasar-dasar pekerjaan sosial : 85). Manfaat atau kegunaan penelitian sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini dapat memberikan pemahaman mengenai pemberian layanan sosial di Rumah Yatim AtTamim, sehingga dapat berkonstribusi dalam menyumbang ilmu pengetahuan serta pengembangan keilmuan khususnya di bidang kesejahteraan sosial anak dan human services organization. 2. Kegunaan Secara Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi panduan pertimbangan dan masukan yang membangun bagi semua pihak terkait, baik bagi lingkungan keluarga terdekat anak yatim, dhuafa’ dan muallaf , bagi Rumah Yatim AtTamim, pembuat kebijakan dan semua yang turut membantu dalam memperjuangkan pemberian layananan sosial bagi anak termasuk kita sebagai akademisi dan calon pekerja sosial. Kajian Teori dan Bahasan A. Pengertian Organisasi Pelayanan Sosial (Human Services Organization) Definisi organisasi pelayanan sosial (human services organization) menurut Hasenfeld (1983) adalah sekumpulan individu yang tergabung dalam suatu organisasi yang fungsi utamanya adalah untuk melindungi, memelihara atau meningkatkan kesejahteraan pribadi individuindividu dengan cara menentukan, menetapkan, merubah atau membentuk ciriciri pribadi mereka. Lebih lanjut dalam eksiklopedia pekerjaan sosial, organisasi pelayanan sosial melakukan pelayanan langsung kepada klien. Organisasi pelayanan sosial juga tidak berorientasi kepada keuntungan semata kepada “stakeholders” tetapi tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang dilayani, sehingga hampir semua organisasi pelayanan sosial adalah lembaga yang bersifat non profit (The Encyclopedia of Pendapat lain mengenai karakteristik organisasi pelayanan manusia dikemukakan oleh Martin (1985 : 2), yaitu the purpose of human service organizations is to meet the socially recognised needs people. Bahwa tujuan organisasi pelayanan sosial adalah memenuhi kebutuhan orang. Selain itu, human service organizations are mandated and resourced by all or a substantial part of the public, through statutory resources or donations, and operate without a profit 27 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 making purpose yang artinya organisasi HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Organisasi pelayanan manusia berbasis agama atau Faith Based Organization memiliki definisi yang beragam, dan istilah ini bukan istilah yang didefinisikan secara hukum, tetapi sering digunakan untuk merujuk kepada organisasi keagamaan dan organisasi amal lainnya yang mempunyai filosofi keagamaan, sehingga terlihat bergitu kental dalam visi dan misi yang ingin dicapai organisasi tesebut. Organisasi pelayanan sosial berbasis agama Islam ini memiliki hukum yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. filosofi derma yang diwajibkan bagi setiap muslim utamanya dalam memelihara dan menyantuni anak yatim. Terlebih dalam bidang pendidikan yang merupakan pondasi penting dalam melahirkan generasi bangsa yang berkualitas. Pertimbangan utama dalam faith based organization ini pun tidak terlepas dari bagaimana identitas yang dipilih akan mempengaruhi donor, penyandang dana, pendukung, penerima manfaat yang ditargetkan dan pemangku kepentingan lainnya. The Arizona Grantmakers Forum pada tahun 2005 mencatat bahwa “informasi tentang yayasan dan dana perusahaan dari organisasi berbasis agama terbatas”. It is pelayanan manusia memperoleh kewenangan dan sumber oleh semua atau sebagian penting masyarakat umum, yaitu sumbersumber dan donasi menurut undang-undang dan bergerak tanpa tujuan mencari keuntungan. B. Jenis Organisasi Pelayanan Sosial Organisasi pelayanan sosial di Indonesia banyak jenisnya dan secara garis besar dapat dikategorikan berdasarkan kegiatan, jenis penanganan, wilayah dan teknologi yang digunakan dalam mengolah sumber daya yang ada dalam oganisasi pelayanan sosial. Organisasi berdasarkan wilayah di bagi menjadi tingkat daerah, nasional dan internasional. Berdasarkan proses penanganannya dibagi berdasarkan kuratif atau penyembuhan, proses dan perubahan. Selanjutnya menurut Yaheskel Hasenfeld (1983 : 4-7) bahwa organisasi pelayanan manusia atau sosial dilihat berdasarkan “materi atau bahan dasarnya” dapat dibagi menjadi 2 dimensi yaitu manusia yang berfungsi normal ‘normal functioning’ dan yang tidak berfungsi secara normal yang dapat dilihat ‘malfunctioning’ berdasarkan fisik, psikologis dan sosial. Sedangkan berdasarkan penggunaan teknologi pelayanan yang digunakan ada 3 jenis, yaitu : processing technologies 1. People (pemrosesan manusia), bertujuan untuk memberikan status atau label sosial tertentu kepada klien sehinggga dapat ditentukan jenis pelayanan apa yang diperlukan. suistaining technologies 2. People (pemeliharaan manusia), sifatnya lebih kepada mencegah, memelihara dan mempertahankan kesejahteraan klien , tetapi tidak langsung merubah atribut atau perilaku klien. 3. People changing technologies (perubahan manusia), teknologi ini untuk merubah perilaku klien agar dapat meningkatkan kesejahteraannya. also a faith-based organization -- one of thousands of charities in the U.S. whose missions are grounded in the belief that they have a religious obligation to help the poor and disadvantaged. They differ from secular charities like the Red Cross and United Way in that their call to serve is based on scripture from the New Testament, the Torah, or other religious texts. Faith-based charities like the Salvation Army, Catholic Charities, Volunteers of America, Lutheran Social Services and Jewish Family & Children's Service provide a huge array of services to the nation's sick, elderly and poor.They own hospitals and nursing homes, run mental health clinics, provide substance abuse treatment, build affordable housing and offer job training and after-school programs. Dari definisi di atas, ada beberapa hal pokok yaitu organisasi berbasis keagamaan ini didasarkan pada keyakinan bahwa mereka memiliki kewajiban agama untuk membantu orang miskin dan kurang beruntung dan mereka berdasarkan pada kitab suci mereka, C. Organisasi Pelayanan Manusia Berbasis Agama atau Faith Based Organization 28 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 begitu pula dengan organisasi yang berdasarkan agama Islam. Di dalam sebuah organisasi pelayanan manusia, kerap kali terdapat permasalahan baik yang berhubungan dengan administratif maupun non administratif, diantaranya adalah organisasi pelayanan sosial yang masih berkembang memiliki kelemahan dalam perencanaan hal ini juga berhubungan dengan visi misi dan tujuan organisasi yang masih belum jelas. Keadaan ini membuat tidak sedikit organisasi yang dapat tetap suistainable dan berkembang. Permasalahan lainnya adalah seringkali konflik nilai dan harapan terjadi diantara anggota kelompok, tentunya ini dapat menjadi masalah internal bagi organisasi pelayanan manusia. Namun yang perlu diperhatikan organisasi sosial cenderung fokus kepada cara pelayanan sosialnya bukan kepada tujuan secara spesifik dalam jangka waktu baik pendek maupun panjang, sehingga sedikit sulit ketika kita ingin mengukur hasil-hasil dari badan pelayanan sosial dan permasalahan yang terakhir adalah hubungan antara efektivitas badan sosial dan alokasi sumber sering kali mendapat kesulitan. Menurut Edi Suharto (1997) terdapat karakteristik dan permasalahan organisasi pelayanan sosial di Indonesia yang tercantum dalam tabel sebagai berikut : Karakteristik Orientasi bukan untuk menari laba atau keuntungan 2. Produk dari organisasi pelayanan sosial bukan barang, tetapi pelayanan sosialnya 3. Para pengurus bekerja atas dasar suka rela dan berjiwa relawan Tidak memiliki indikator atau kriteria keberhasilan pelayanan yang jelas 4. ISSN:2339 -0042 D. Definisi Pelayanan Sosial Pengertian pelayanan sosial bermacam-macam, menurut Departemen Sosial, pelayanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara profesional untuk membantu memecahkan permasalahan sosial yang dialami oleh individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan praktik pekerjaan sosial. Pengertian pelayanan sosial dapat dilihat dalam arti luas dan sempit. Dalam arti yang lebih luas dinyatakan oleh Khan : Social services may be interpreted in an institutional context as consisting of programs made available by orther than market criteria to assure a basic level of helath education, welfare provision, to enhance communal living and individual functioning, to facilitate access to services and institutions generally, and to assist those in difficulty and need (p.179). Sedangkan dalam arti sempit, pelayanan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992:41). Lebih lanjut Spicker (1995), seorang penulis Inggris menyatakan bahwa pelayanan sosial meliputi jaminan sosial, perumahan, kesehatan, pekerjaan sosial, dan pendidikan. Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa bentuk pelayanan sosial ini diberikan sebagai solusi dalam memecahkan masalah bagi anak terlantar maupun bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam bidang ekonomi yang perlu untuk kita berikan bantuan dan pertolongan. Salah satu bentuk pelayanan sosial adalah program pendidikan yang dapat dilakukan oleh lembaga pelayanan sosial. Kriteria pemberian pelayanan sosial ini bukan semata-mata berdasarkan kemampuan orang untuk membayar, melainkan pemberian pelayanan sosial ini didasarkan atas kebutuhan, sehingga walaupun tidak mampu untuk membayar, tetap akan diberikan pelayanan sesuai yang dibutuhkan. Idealnya, pelayanan pendidkan, kesehatan dan perumahan jaminan sosial, pelatihan kerja disediakan pada tingkat minimal untuk Tabel 1.1. Karakteristik dan Permasalahan Organisasi Pelayanan Sosial No. 1. HALAMAN: 1 - Permasalahan Permasalahan finansial, kekurangan dana karena organisasi pelayanan sosial juga bergantung pada donasi dari luar. Masih belum mampu memenuhi kebutuhan anggota dan masyarakat secara optimal. Motivasi dan unjuk kerja pengurus dalam melaksanakan tugas masih rendah. Sulit mengukur pengaruh atau dampak pelayanan. Masyarakat dan lembaga donor kurang percaya dalam memberikan dukungan finansial. 29 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 meningkatkan kehidupan masyarakat dan keberfungsian sosial orang-orang. E. Pelayanan Sosial Pendidikan dalam HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dimiliki. Hal tersebut sejalan dengan perubahan mindset dalam pemberian layanan sosial. Pelayanan sosial merupakan wujud praktik pekerjaan sosial yang diwadahi dalam badan pelayanan sosial. Awalnya filosofi pekerjaan sosial berawal dari charity atau derma, namun pada kenyataanya pendekatan tersebut tidak mampu mengatasi masalah sosial, akan tetapi semakin menciptakan masalah sosial yang sifatnya lebih mendasar yaitu ketergantungan, sikap ingin selalu diberi, kehilangan harga diri dan kehilangan semangat juang. Berkaca dari fenomena tersebut, maka paradigma pelayanan sosial berubah dari charity/philantrophy, menjadi pemberdayaan (empowerment). Dari sini lah kita dapat melihat akar permasalahannya bukan kemiskinan, akan tetapi kebodohan. Sehingga, pemberdayaan ini merupakan salah satu alternatif yang dipilih, karena pada hakikatnya visi pelayanan sosial adalah pendidikan dalam arti luas, yaitu megubah sikap dan mental masyarakat dengan menghilangkan sikap ingin diberi dan menumbuhkan sikap mandiri untuk berjuang mencapai kesejahteraannya sendiri. Bidang Pelayanan sosial sebagaimana yang dimaksud dalam artikel ini memiliki cangkupan di dalamnya yaitu pendidikan formal yang dibiayai oleh lembaga dan pendidikan informal yang diselenggarakan oleh lembaga di dalam Rumah Yatim dan bentuk keterampilan lainnya. Selain itu, mencakup sarana dan pra sarana yang mendukung yang disediakan oleh lembaga dalam menunjang pendidikan anak santri. Djakara(Sihombing 2002: p.10) mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda, yaitu pengangkatan manusia muda ke taraf insani yang menjelma dalam perbuatan menddik. Oleh karena itu, mendidik tidak hanya memintarkan tetapi juga menambahkan nilai-nilai moral pada peserta didik. Hal ini pula yang menjadi nilai tambah penting bagi Rumah yatim At-tamim. Lebih lanjut, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1994:p.342), pendidikan adalah proses merubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sehingga di dalamnya terdapat sebuah proses dan cara mendidik. Dari kedua pendapat di atas, kita juga mendapat beberapa poin yaitu: (a) Pendidikan adalah proses pembelajaran (b) Pendidikan adalah proses sosial (c) Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (d) Pendidkan memiliki fungsi untuk mengubah dan mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yan positif (e) Pendidikan ini bersifat terencana dan terarah. F. Standar Pelayanan Panti Standar pelayanan panti ini didasarkan pada keputusan Menteri Sosial RI. Nomor : 50/HUK/2004 dan dikenal dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) 1. Tahap pendekatan Awal, atau dikenal dengan tahap persiapan 2. Tahap asessment 3. Tahap perencanaan pelayanan 4. Tahap pelaksanaan pelayanan di panti 5. Tahap pasca pelayanan, terdiri dari penghentia pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran, pembinaan lanjut dan terminasi. G. Pelayanan Bagi Anak Kesejahteraan Sosial Upaya peningkatan kesejahteraan bagi anak masih menjadi ‘Pekerjaan Rumah’ bagi Indonesia. Departemen Sosial bersama instansi terkait, organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat dan didukung oleh UNICEF diharapkan mampu menanggulangi beragam permasalahan anak dalam kaitannya pemenuhan hak anak dan peningkatan kesejahteraan sosialnya. Proses pendidikan ini pun tidak hanya sekedar transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill,tetapi keseluruhan kegiatan yang terdapat di dalamnya. Sehingga output yang diharapkan adalah manusia tersebut dapat mengembangkan dirinya dan dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya dengan ilmu yang 30 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Berkaitan dengan hal tersebut, profesi pekerjaan sosial mempunyai bidang pelayanan perlindungan anak (child protective services), selaras dengan karakteristik pekerja sosial yang memandang manusia dari sudut PIE (Person in Environment), sehingga model pelayanan kesejahteraann sosial anak dalam prespektif ini menempatkan anak dalam konteks situasi keluarga, masyarakat maupun negara (Zastrow,1982 ; Huttman,1981). Tabel : 1.2 Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak. Pendekatan dan Sasaran Individual ; anak Kelompok : keluarga inti dan keluarga besar Masyarakat : komunitas lokal Negara pemerintah : Strategi Program Child Based Services Institutional Based Services Konseling, perawatan medis, rehabilitasi sosial, pemisahan sementara atau permanen Konseling keluarga dan perkawinan, terapi kelompok, program lainnya Pengembangan masyarakat, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, rumah singgah, rumah belajar Family Based services Community Based services Location Based Services Hlaf Way Home Based Services State Based Services Perumusan kebijakan, 3. 4. law enforcement 5. Sumber : Edi Suharto, halaman 373 Berdasarkan model tersebut, maka terdapat 7 strategi pelayanan sosial bagi anak, yaitu : 1. Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan sosial. Anak yang mengalami luka fisik maupun psikis segera diberika pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling atau dalam keadaan tertentu anak diamankan sementara dari kehidupan keluarga yang beresiko. 2. Institutional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga pelayanan sosial atau panti. Pelayanan sosial yang diberikan meliputi, fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan 6. 31 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya. Family Based Services. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan yang diarahkan kepada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam menumbuh kembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memebuhi kebutuhan anak. Misalnya program usaha ekonomi produktif diterapkan pada keluarga yang memiliki masalah keuangan. Community Based Services. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Peran pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang. Location Based Services. Pelayanan ini diberikan di lokasi anak yang mengalami masalah, strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di jalan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik atau tempat dimana anak berada, dan memanfaatkan saran ayang berada disekitarnya sebagai fasilitas media perolongan.untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based Services (pelayanan berbasiskan jalanan), (Fery Johannes, 1996). Half Way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi panti yang lebih terbuka dan tidak kaku, strategi ini dapat berupa rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 berkembang pesat. Keprihatinan ini masih berkembang seiring dengan kondisi rumah yatim atau panti asuhan yang berada di kabupaten bahkan pelosok daerah. Pekerja sosial dalam bidang advokasi melihat bahwa isu pelayanan dalam pendidikan bukan saja menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian orang, melainkan tanggung jawab bagi semua pihak. Salah satu caranya dapat diperjuangkan melalui pembuatan kebijakan untuk memperjuangkan kesejahteraan anak khususnya bagi anak yatim di Indonesia dan memberikan saran agar dapat meningkatkan pelayanan sosial dalam bidang pendidikan bagi panti atau rumah yatim terkait. Selain itu, pekerja sosial dapat memberikan akses dalam melanjutkan pendidikan formal bagi anak asuh di Rumah Yatim At-Tamim. belajar, rumah pengganti keluarga, dan lain sebagainya. 7. State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan perangkat hukum bagi perlindungan anak merupakan bentuk program dalam strategi ini. (Edi Suharto, pembangunan kebijakan sosial dan pembangunan sosial, 374-375). H. Perspektif Pekerjaan Sosial Pekerja sosial adalah salah satu profesi profesional yang turut andil dan memiliki peranan yang penting dalam pemberian pelayanan sosial khususnya bidang pendidikan yang dibeikan oleh lembaga pelayanan sosial. Hal ini mengingat pekerja sosial berada pada setting human service organization yang identik dengan pelayanan sosial khususnya bagi anak yatim, dhuafa dan mereka yang membutuhkan. Maka bentuk pelayanan sosial yang diberikan akan sesuai dengan kebutuhan klien di lapangan. Pekerja sosial dapat memberikan layanan sosial setelah melakukan assessment dengan klien dan pihak keluarga klien yang bersangkutan. Pekerja sosial juga bekerja dalam memberikan pelayanan di Rumah Yatim yang berbasis half way house services (pelayanan semi panti), dimulai dari tahap assessment hingga terminasi dan memberikan pelayanan berupa pelayanan dalam bidang pendidikan termasuk di dalamnya bimbingan atau konseling kepada anak yatim, dhuafa maupun muallaf di Rumah Yatim. Pekerja sosial di Indonesia yang concern bekerja di panti masih minim, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dan jaminan dalam meniti karir, salah satu alasannya adalah masalah finansial. Pertimbangan ini didasarkan kepada profesionalisme yang menandakan kita bekerja dan dibayar, akan tetapi hal ini menjadi pengecualian ketika kita memiliki jiwa sosial yang tinggi . Selain itu, volunteer kebanyakan ikut bergabung pada lembaga pelayanan sosial khususnya yang sudah 2. Pendekatan atau Metode yang Digunakan Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Alasannya karena peneliti ingin menggambarkan secara lebih detail bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan kepada anak yatim oleh Rumah Yatim At-Tamim Bandung.Alasan peneliti memilih Rumah Yatim At-Tamim karena lembaga tersebut menjadi salah satu lembaga praktikum manajemen organisasi pelayanan sosial semester ini yang sudah berdiri kurang lebih selama 10 tahun sehingga peneliti menjadikannya sebagai peluang. Selain itu, lokasi Rumah Yatim AtTamim juga berada di daerah yang mudah dijangkau sehingga memungkinkan peneliti untuk mengambil data penelitian secara lebih mudah. Oleh karena itu, Rumah Yatim AtTamim dinilai memungkinkan untuk dijadikan lokasi penelitian terkait isu yang dimunculkan. Adapun Subjek dan Objek penelitian sebagi berikut: Subjek penelitian : 1. Pimpinan Rumah Yatim At-Tamim Bandung. 2. Ibu bendahara sekaligus kepala sekretariat Rumah Yatim At-Tamim Bandung. 3. Pengurus administrasi dan pengurus lainnya di Rumah Yatim At-Tamim. 32 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 4. Volunteer yang turut membantu dalam pengelolaan organisasi di Rumah Yatim At-Tamim. 5. Anak yatim yang berada di Rumah Yatim At-Tamim. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 3.Kesimpulan Pendidikan merupakan hak bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi anak yatim, dhuafa maupun saudara kita yang membutuhkan. Beberapa lembaga pelayanan pelayanan sosial yang serupa tidak semua dapat terus secara kontinyu dalam memberikan pelayanan dalam bidang pendidikan, karena ketebatasan dalam bidang finansial. Rumah Yatim At-Tamim merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial berbasis keagamaan yang berada di bawah naungan pondok pesantren At-Tamim hadir sebagai alternatif dalam memberikan solusi bagi anak yatim dhuafa dan muallaf khususnya bagi anak-anak yang berasal dari luar pulau Jawa, yaitu NTT dan NTB dikarenakan keterbatasan dana dan kesulitan dalam megakses pendidikan. Rumah Yatim At-Tamim berbasis semi panti ini memberikan pelayanan sosial dalam bidang pendidikan melalui pembiayaan sekolah formal (biaya sehari-hari termasuk uang saku), pemberian pendidikan informal yang diselenggarakan di dalam Rumah Yatim berupa programprogram pendidikan yang kental dengan kurikulum berbasis agama Islam diantaranya mengaji Al-Qur’an dan setor hafalan, fiqih, ceramah dan bentuk keterampilan lain seperti wirausaha termasuk penyediaan sarana dan pra sarana yang menunjang dalam bidang pendidikan. Keseimbangan antara ilmu yang diperoleh di sekolah dengan ilmu agama yang diperoleh di lembaga ini diharapkan dapat menciptakan generasi yang memiliki wawasan dan akhlak yang baik. Pekerja sosial dalam setting human service organization berbasis agama ini dapat menjadi advokat dalam memperjuangkan pendidikan bagi anak yang putus sekolah danmelihat bahwa isu pelayanan dalampendidikan bukan saja menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian orang, melainkan tanggung jawab bagi kita semua, terutama stakeholder terkait. .Salah satu caranya dapat diperjuangkan melalui pembuatan kebijakan untuk memperjuangkan kesejahteraan anak khususnya bagi anak yatim, dhuafa dan yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan di Indonesia dan memberikan saran yang membangun agar Rumah Yatim At-Tamim dapat meningkatkan pelayanan sosial dalam bidang pendidikan. Selain itu, Objek Penelitian sebagai berikut : Objek dalam penelitian ini adalah aktivitas yang berhubungan dengan pelayanan sosial dalam bidang pendidikan di Rumah Yatim At-Tamim. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Observasi langsung di Rumah Yatim AtTamim, sehingga peneliti tidak hanya mengamati berbagai kegiatan atau aktivitas yang ada di dalam panti, tetapi juga dapat mengetahui bentuk-bentuk pelayanan sosial yang diberikan kepada anak yatim di Rumah Yatim At-Tamim khususnya dalam bidang pendidikan yang berbasis agama Islam. 2. Wawancara mendalam. Wawancara ini dilakukan kepada informan dengan bertatap muka secara langsung dan pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka dan informal. Selain itu, bersifat mendalam untuk memperoleh data yang dibutuhkan secara lebih detail. 3. Dokumentasi, beberapa bentuk dokumentasi ini sangat penting dan menunjang dalam pengumpulan data. Metode yang peneliti gunakan untuk menguji kebenaran data adalah dengan menggunakan triangulasi untuk metode kualitatif, karena dengan metode ini dapat membandingkan hasil wawancara dengan isu yang diangkat serta membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara. Metode yang peneliti gunakan dalam menganalisis data adalah sebagai berikut : 1. Deskripsi data, yakni dengan menelaah semua data dari sumber yang didapat termasuk kajian pustaka. 2. Reduksi data, jadi setelah semua data yang diperoleh peneliti baca, kemudian dipelajari dan ditelaah, peneliti memasukkan hal-hal yang penting saja. 3. Menyusun data sesuai format skripsi. 33 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Suharto, Edi. 2004. Pembangunan, Kebijakan pekerja sosial dapat memberikan akses dalam melanjutkan pendidikan formal bagi anak asuh di Rumah Yatim At-Tamim. Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama Suharto, Edi. 2011. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta Sahara, H. dan Jamal Lisman H. 1992. PengantarPendidikan1, Jakarta:PT GramediaWidia Sarana Sihombing, U. 2002.Pendidikan Berbasis Masyarakat.Jakarta: CVMultiguna W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Wibhawa Budhi, T.Raharjo, Santoso & B. Meilany. 2010. Dasar- Dasar Pekerjaan Daftar Pustaka Adi, Rukmanto, Isbandi. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial Dasar-Dasar Pemikiran. Pt Raja Grafindo Persada : Jakarta Setiadi Lase, 2009 dengan judul Efektivitas Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan oleh Panti Asuhan Al-Washliyah Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor, Artikel Fahrudin, Adi. 2012.Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama Hariana, 2013 dengan judul Penerapan Pengukuran Kualitas Pelayanan di Lembaga Kursus Keterampilan “X” Kota Gorontalo, Artikel Jones, Andrew . 1995. Working in Human Dodi Sosial Pengantar Profesi Pekerjaan Sosial. Widya Padjadjaran. Zastrow, Charles. 1995. The Practice of Social Work. 4th Edition. California :Brooks/Cole Publishing Company. Data Dinas Sosial, antarajawabarat.com/lihat cetak/25056 2012 UNICEF Indonesia, Laporan Tahunan 2012. Diakses melalui www.unicef.or.id Pedoman Standar Nasional Pengasuhan untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (Jakarta : Kementrian Sosial Republik Indonesia http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/View/id/ 1488 http://simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/ materibuku/Data%20Panti%20Asuhan %20Yatim%20Piatu_2011.pdf http://money.howstuffworks.com/economics/ volunteer/organizations/faith-basedorganizations.htm https://www.academia.edu/5262375/Defining _FaithBased_Organizations_and_Understandi ng_Them_Through_Research Services Organization, a Critical Introduction. Australia : Longman. Kettner, Daley & Nichols. 1995. Iniziating Change in Organizations and Communities. California :Brooks/Cole Publishing Company Kamus Besar Bahasa Indonesia Rossy Simarmata dengan judul Efektivitas Pelayanan Sosial Terhadap Anak Asuh oleh Yayasan Kinderfreude, Ilmu Kesejahteraan Sosial Univesitas Sumatera Utara, Skripsi Suharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama 34 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 INTERAKSI DIDALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA Oleh: Febry Hizba Ahshaina Suharto, Budhi Wibhawa & Eva Nuriyah Hidayat Email: ([email protected]; [email protected]; [email protected]) ABSTRAK, Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu peran, sikap dan perilaku orangtua dalam proses pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak. Dengan kehadiran seorang anak dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan intensitasnya harus semakin meningkat, artinya dalam keluarga perlu ada komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara orang tua dengan anak. Cukup banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak adanya komunikasi yang baik dalam keluarga. Dalam kenyataannya, proses interaksi anak dengan orangtua tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan dan tidaklah sesederhana yang kita bayangkan dan katakan. Pengasuhan sering dibumbui oleh berbagai hal yang tidak mendukung bagi kemandirian anak, antara lain: sikap dan perilaku orangtua yang tidak dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya, suasana emosi anggota rumah tangga sehari-hari yang tidak kondusif, serta interaksi anggota keluarga lainnya yang tidak baik. Dengan situasi seperti itu, maka tidak semua interaksi keluarga terhadap anak efektif, akibatnya, perilaku dan kemandirian anak, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Faktor lingkungan, seperti kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berkembang pesat dewasa ini sangat mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat berakibat terjadinya berbagai permasalahan sosial pada anak diantaranya; penyimpangan perilaku baik pada anak maupun pada orang dewasa, seperti tindak kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum (ABH). ABSTRAC, family is the child's living environment known for the first time, and there is so many things that children learn in their family. Therefore roles, attitudes and behavior of children of parents in the parenting process, a very large influence in the formation and development of the child's personality. With the presence of a child in the family, family communication becomes more important and the intensity should be increased, meaning that in the family there needs to be good communication and as often as possible between parents and children. Quite a lot of problems that arise in the community because of or lack of good communication within the family.In reality, the process of interaction between children and parents are not always as expected and not as simple as we imagine and say. Parenting is often flavored by a variety of things that are not conducive to the child's independence, among other things: the attitude and behavior of parents who can not be an model for their children, the emotional atmosphere of the household members everyday that are not conducive, as well as the interaction of other family members who are not good , With such a situation, it is not all the families of the children's interactions effective, consequently, the behavior and the child's independence, not as expected. Environmental factors, such as advances in information technology and the globalization of today's rapidly growing influence of values and norms that apply in the individual, family, and community. This can result in a variety of social problems in children including; deviant behavior both in children and in adults, such as violence, theft, sexual abuse, brawls and others that causes child against the law. 35 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 persepsi, baik mengenai hal-hal yang ada di luar dirinya, maupun mengenai dirinya sendiri. Di dalam keluarga, orangtualah yang berperan utama dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Mengingat masa anakanak dan remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan fisik, mental dan psikososial, dan sering dikatakan sebagai masa labil dan masih mencari identitas, maka peran orangtua sangat penting. A. PENDAHULUAN Permasalahan sosial pada anak diantaranya; penyimpangan perilaku baik pada anak maupun pada orang dewasa, seperti tindak kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum. Dikatakan penyimpangan sosial karena mengganggu ketertiban orang lain atau masyarakat, merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan (kemanusiaan), baik dalam sudut pandang moral (agama) secara individual maupun masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang berperilaku menyimpang tersebut sering disebut sebagai anak nakal, atau yang yang berhadapan dengan hukum. Anak berhadapan dengan hukum (ABH) meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Tindakan melawan hukum merupakan salah satu bentuk penyimpangan perilaku. Dengan kehadiran seorang anak dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan intensitasnya harus semakin meningkat, artinya dalam keluarga perlu ada komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara orang tua dengan anak. Cukup banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak adanya komunikasi yang baik dalam keluarga. Hubungan yang terjadi di dalam keluarga biasanya dilakukan melalui suatu kontak sosial dan komunikasi. Kedua hal ini merupakan syarat terjadinya suatu interaksi sosial. Artinya, interaksi yang sesungguhnya dapat diperoleh melalui kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya interaksi dan komunikasi dalam keluarga akan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan saling memberikan stimulus dan respons. Dengan interaksi antara anak dengan orang tua, akan membentuk gambaran-gambaran tertentu pada masing-masing pihak sebagai hasil dari komunikasi. Anak akan mempunyai gambaran tertentu mengenai orang tuanya. Dengan adanya gambaran-gambaran tertentu tersebut sebagai hasil persepsinya melalui komunikasi, maka akan terbentuk juga sikapsikap tertentu dari masing-masing pihak. Data Ditjen Pemasyarakatan Juni 2014 menujukan 2.060 anak (1.891 laki-laki, 169 perempuan) ditahan di berbagai institusi penahanan yang tersebar di Indonesia dan masih dalam proses peradilan. Jumlah narapidana anak di Indonesia 3.379 anak (3.095 laki-laki, 284 perempuan) sudah pada proses peradilan dinal (putusan peradilan). Angka ini meningkat dibandingkan populasi tahanan anak pada tahun 2011. Komisi Nasional Perlindungan Anak (LSM Komnas PA) melaporkan bahwa terdapat 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (pencurian, kekerasan, pemerkosaan, narkoba, perjudian dan penganiayaan). Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu peran, sikap dan perilaku orangtua dalam proses pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak. Di dalam keluarga anak-anak mulai menerima pendidikan yang pertama dan paling utama. Pendidikan yang diterima oleh anak mulai dari pendidikan agama, cara bergaul, dan hubungan interaksi dengan lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi anak. Dalam lingkungan keluargalah anak mulai mengadakan Namun dalam kenyataannya, proses interaksi anak dengan orangtua tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan dan tidaklah sesederhana yang kita bayangkan dan katakan. Pengasuhan sering dibumbui oleh berbagai hal yang tidak mendukung bagi kemandirian anak, antara lain: sikap dan perilaku orangtua yang tidak dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya, suasana emosi anggota rumah tangga sehari-hari yang tidak kondusif, serta interaksi anggota keluarga 36 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 musyawarah untuk mencapai kesepakatan seadil-adilnya dalam kasus yang dihadapi. Peran pekerja sosial yang lebih besar harus diikuti dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait isu ABH misalnya, pemahamannya tentang UU SPPA, UU Perlindungan Anak dan UU terkait. Tentang keterampilan misalnya, pekerja sosial harus dibekali dengan kemampuannya dalam mengatasi klien yang mengalami trauma dan bagaimana mengatasinya. Dari kuantitas, secara otomatis dibutuhkan jumlah pekerja sosial yang lebih besar dalam mengatasi ABH. Peningkatan kualitas maupun kuantitas pekerjaan sosial bisa dilakukan dengan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan pekerjaan sosial yang selama ini sudah ada di beberapa perguruan tinggi, selain itu juga bisa dilakuian pelatihan yang dapat menunjang pengetahuan pekerja sosial terkait ABH. lainnya yang tidak baik. Dengan situasi seperti itu, maka tidak semua interaksi keluarga terhadap anak efektif, akibatnya, perilaku dan kemandirian anak, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Faktor lingkungan, seperti kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berkembang pesat dewasa ini sangat mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat berakibat terjadinya berbagai permasalahan sosial pada anak diantaranya; penyimpangan perilaku baik pada anak maupun pada orang dewasa, seperti tindak kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum. Kenakalan anak pada era globalisasi saat ini tidak lagi merupakan fenomena sederhana, namun telah meluas menjadi isu yang sangat mengkhawatirkan. Kasus ABH di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Sari, 2011, h.8). Perilaku menyimpang yang biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial karena mengganggu ketertiban orang lain atau masyarakat, merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan (kemanusiaan), baik dalam sudut pandang moral (agama) secara individual maupun masyarakat. Akibatnya, anak-anak yang berperilaku menyimpang tersebut sering disebut sebagai anak nakal, atau anak yang berhadapan dengan hukum. Masalah Anak Berhadapan dengan hukum (ABH) tersebut telah menjadi perhatian Kementerian Sosial RI. Menurut Pusdatin 2009, jumlah anak nakal sebanyak 148.371 jiwa dari populasi anak 64.359.706 jiwa (Kompilasi Data Departemen Sosial 2009). B. JENIS PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitiannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, gambaran atau fenomena suatu realitas sosial yang kompleks dapat dihasilkan secara lebih spesifik dan mendetail (Neuman, 2006, h. 35). Penelitian deskriptif dapat berupa kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi keduanya. (Usman dan Akbar, 2008, h. 130). Diantara ketiga jenis tersebut, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti sebagai instrument, lebih bersifat deskriptif, lebih menekankan pada proses daripada produk, analisa data secara induktif, dan lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2005, h. 143) Penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Pada jenis penelitian deskriptif kualitatif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data Pekerja sosial disini dimaksudkan sebagai aktivitas professional yang bertujuan untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi – kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut. Pekerja sosial dituntut untuk melakukan advokasi terhadap ABH agar hak-haknya dapat terpenuhi sesuai dengan UU SPPA. Selain itu, secara spesifik peran pekerja sosial dibutuhkan dalam proses diversi. Bersama-sama dengan anak, orangtua atau wali, korban, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial melakukan 37 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 hendaknya memperhitungkan keberadaan individu lain yang ada dalam lingkungannya. Hal tersebut penting diperhatikan karena tindakan interaksi sosial merupakan perwujudan dari hubungan atau interaksi sosial. tersebut mungkin berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, foto, video tape, atau dokumentasi resmi lainnya (Moleong, 2000, h. 6). Penelitian jenis ini untuk memperoleh keleluasaan dalam menggambarkan permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai situasi yang ada di lapangan. Dengan jenis penelitian ini, peran-peran yang dijalankan oleh pekerja sosial dalam penerapan restorative justice dan hambatan-hambatan yang dialami dalam menjalankan peran tersebut akan lebih mudah terjabarkan dan dipahami. Bentuk interaksi sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih yang akan berdampak pada sifat seorang individu yang dapat mempengaruhi sebuah perubahan yang terjadi dalam diri seseorang. Artinya dalam interaksi sosial terdapat hubungan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun kelompok, yang merupakan hubungan yang dilakukan oleh manusia untuk bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian makna interaksi,kemudian makna yang dimiliki oleh manusia itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. C. ISI Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial. Kata interaksi secara umum dapat diartikan saling berhubungan atau saling bereaksi dan terjadi pada dua orang induvidu atau lebih. Sedangkan sosial adalah berkenaan dengan masyarakat (Wiyono, 2007:234). Oleh karena itu secara umum interaksi sosial dapat diartika sebagai hubungan yang terjadi dalam sekelompok induvidu yang saling berhubungan baik dalam berkomunikasi maupun melakukan tindakan sosial. Interaksi sosial secara konkret, meupakan interaksi sosial yang dapat dipahamioleh semua manusia sejak lahir,karena pada dasarnya kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan dimana dia berada. Di lingkungan tersebut manusia saling berkomunikasi dan berinterakasi, sehingga secara tidak sadar manusia telah melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut kemudian menjadi ciri khas sikap dan perilaku manusia dalam lingkungan. Interaksi sosial merupakan pula salah satu prinsip integritas kurikulum pembelajaran yang meliputi keterampilan berkomunikasi, yang bekerja sama yang dapat untuk menumbuhkan komunikasi yang harmonis antara individu dengan lingkungannya (Hernawan, 2010:314). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa interkasi sosial sangat penting diberikan sebagai pengetahuan kepada siswa sejak dibangku sekolah, karena berkenaan dengan keterampilan berkomunikasi dan kerja sama yang dapat menumbuhkan sikap siswa setelah terjun kemasyarakat kelak. Interaksi sosial dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari termasuk kita sendiri, yang kita ketahui, bukan saja di pengaruhi oleh kemampuan dalam intelektual individu. Karena manusia itu sendiri senantiasa melakukan hubungan yang dapat mempengaruhi hubungan timbal balik antara manusia yang satu dengan yang lain,dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam mempertahankan kehidupannya. Bahkan secara ekterm manusia akan mempunyai arti jika ada manusia yang lain tempat untuk berinteraksi. Interaksi sosial bermula dari perasaan-persaaan ketidakadilan yang dirasakan oleh sekelompok orang. Ketidakadilan ini menimbulkan perasaan benci, marah dan bermusuhan. Dalam hal ini keadilan memang merupakan sesuatu yang (Max Weber dalam Hernawan, 2010:14), menjelaskan bahwa tindakan interaksi sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu- individu lainnya dalam lingkungan sosial. Dalam bertindak atau berperilaku sosial,seorang individu 38 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam perspektif UndangUndang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum umur 16 (enam belas) tahun relatif sifatnya, yang hanya tergantung pada nilai-nilai yang dianut,dalam orientasi hidup individu di tentukan oleh situasi dan kondisi tertentu. Dalam kehidupan seharihari,individu tidak bisa lepas dari interaksi sosial. Setinggi apapun kemandirian seorang induvidu, tetap akan membutuhkan orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa interaksi sosial merupakan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam melakukan hubungan baik antara rekan-rekannya,antara siswa dan guru maupun siswa dengan orang tuanya, baik dalam menerima, maupun menolak dan menilai komunikasi yang diperoleh dalam bentuk proses interaksi. Interaksi sosial seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan dalam menjalin sebuah hubungan yang dinyatakan dalam bentuk prialaku sosial yang baik,yang dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal. Dengan demikian pasal ini mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum sebuah Negara mungkin berbeda dengan ketentuan KHA. Dalam kasus ini Komite Hak Anak menekankan agar Negara meratifikasi KHA menyelaraskan peraturan-peraturan hukumnya dengan KHA. Dari pengertian ini tidak terlihat permulaan atau dimulainya status anak. Apakah sejak anak tersebut lahir, ataukah sejak anak tersebut masih dalam kandungan ibunya. Dalam hal ini KHA tidak menyebutkan secara tegas. Tetapi dalam bagian mukadimah, dinyatakan bahwa anak dikarenakan ketidakmatangan jasmani dan mentalnya memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahirannya. Pada prinsipnya pokok pikiran yang harus dipegang adalah bahwa Negara yang meratifikasi KHA harus memajukan dan melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia hingga mereka bisa mencapai kematangan mental dan fisik. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan suatu masyarakat. Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan. Pengertian ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk katagori anak. Namun berbeda apabila ia telah melakukan perbuatan hukum, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan. Anak mempunyai hak-hak yang secara spesifik berbeda dengan manusia dewasa karena kondisi fisik dan mentalnya yang belum stabil. Dalam banyak hal, anak39 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kenakalan anak, kenakalan remaja, atau kenakalan pemuda. Kartono (1998) mengemukakan bahwa juvenile delikuency adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak- anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk tingkah laku yang menyimpang (h. 6). anak memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang bisa merugikan perkembangannya maupun masyarakat. Anak membutuhkan pihak lain seperti keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk mendukung tumbuh kembang anak secara wajar. Kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan persoalan yang serius karena terkait dengan kelangsungan hidup sebuah masyarakat dan rancang bangun sosial masa depan sebuah negara (Supeno, 2010, h. 31). Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen yang penting terkait hak anak karena sifatnya yang mengikat secara hukum bagi semua anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) yang telah meratifikasinya dan mulai diberlakukan sejak 2 September 1990. KHA terdiri atas 54 pasal yang berdasarkan materi hukumnya mengatur tentang hak-hak anak yang dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu : Bartollas (1985) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang karakteristik pribadi anak yang berisiko tinggi menjadi pelaku deliquency, yaitu umur (anak yang lebih muda akan berisiko lebih tinggi), variabel psikologis (sifat membantah, susah diatur, merasa kurang dihargai), school performance (bermasalah di sekolah dengan home tingkah lakunya, membolos), adjustment (kurang interaksi dengan orang tua dan saudara, kurang disiplin dan pengawasan, minggat), pengguna alkohol dan obat terlarang, lingkungan tetangga, dan adanya pengaruh kekuatan teman sebaya (Marlina, 2009, h. 61). 1. Hak terhadap kelangsungan hidup, yang meliputi hak untuk mempertahankan hidup, hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi, dan perawatan yang sebaikbaiknya. Secara konseptual, Unicef (2004) menyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law) dimaknai sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana. Di Indonesia batasan usia untuk pertanggungjawaban pidana sesuai ketentuan UU No. 3 tahun 1997 adalah 8 tahun sampai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Penetapan usia 8 tahun sebagai titik asumsi batas minimum di Indonesia dianggap terlalu rendah karena dalam hukum kebiasaan internasional (international customary law), batas minimal usia pertanggung jawab pidana adalah 12 tahun (YPHA, 2010, h. 19). 2. Hak terhadap perlindungan, yaitu hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan ketelantaran. 3. Hak untuk tumbuh kembang yang meliputi hak anak akan pendidikan dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial. 4. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak anak untuk menyatakan pendapat atas segala hal yang mempengaruhi kehidupannya. Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur dalam beberapa instrumen hukum internasional antara lain Peraturan Standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (Beijing Rules), Konvensi Hak Anak, Pedoman PBB dalam rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Gidelines), dan Resolusi PBB tentang Administrasi Peradilan Anak (Vienna Guidelines), dan Aturan Minimum PBB mengenai Tindakan Non Penahanan (Tokyo Istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sangat terkait dengan kenakalan anak atau yang sering disebut dengan juvenile deliquency. Sebagaimana halnya pengertian anak, pengertian kenakalan atau delikuensi juga beragam. Istilah delikuensi berasal dari delinquency dan pada umumnya bergandengan dengan kata juvenile sehingga dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai 40 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Rules). Dari sekian banyak instrumen hukum HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah: tersebut, Supeno (2010) telah merangkumnya dalam tiga belas prinsip sebagai manifestasi dari hak anak dalam sistem peradilan, yaitu pelaku adalah korban; pertimbangan kepentingan anak; tidak mengganggu tumbuh kembang anak; penghargaan pendapat anak; prinsip adil dan setara; menjunjung harkat dan martabat; kepastian hukum; pencegahan kenakalan anak; mindset pengadilan; pemidanaan sebagai upaya terakhir; perhatian khusus kelompok rentan; pendekatan peka gender; dan tidak ada penjara anak (h. 90-119) a) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana; b) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena : Berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku di Indonesia secara yuridis, batasan usia kapan seseorang dikategorikan anak terjadi dualisme.Satu pihak menetapkan anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun, dipihak lain menetapkan anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dalam sistem perundang-undangan kita belum ada unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi sudah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Undang-Undang memberikan pengetian anak lebih menitik beratkan pada pembatasan usia. Untuk lebih jelasnya penulis menyajikan beberapa pengertian Hukum Anak yang sudah terkodifikasi. a) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum b) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum tang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau c) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum. Ada dua kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum : Salah satu persoalan yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian adalah penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Dimensi berhadapan dengan hukum berarti adanya tindakantindakan anak yang bertentangan dengan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku dan sah di Indonesia , sehingga dalam konteks ini dapat didefinisikan bahwa anakanak yang bermasalah dengan hukum anakanak yang belum dewasa menurut hukum dan melakukan tindakan- tindakan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan sah. a. Status Offence, Yaitu perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak dianggap kejahatan, misal: membolos sekolah, kabur dari rumah ,dll. b. Juvunile Delequency; Yaitu perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa dianggap kejahatan atau criminal. misal; perampokan, memperkosa, pelecehan seksual, dll Oleh karena itu jika dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi : Umumnya anakanak yang berhadapan dengan hukum didefinisikan sebagai anak yang disangka , didakwa atau dinyatakan bersalah melanggar ketentuan hukum atau seorang anak yang diduga telah melakukan atau telah ditemukan melakukan suatu pelanggaran hukum. Dalam kepustakaan hukum, ABH disebutkan bahwa a) Pelaku atau pidana; tersangka b) Korban tindak pidana; c) Saksi suatu tindak pidana 41 tindak SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Dalam memahami Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) terdapat beberapa hal penting yang saling berkaitan , yaitu : a. Pelaku kerap menjadi sarana pelampiasan kemarahan masyarakat yang merasa tercoreng rasa keadilannya. b. Hukum beserta aparat penegak hukumnya berusaha untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan memproses kasus pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. c. Sebagai seorang anak, mekanisme hukum dan rasa keadilan masyarakat harus ditempatkan dalam kerangka yang mendorong secara konstruktif ke arah perkembangan fisik dan psikisnya. HALAMAN: 1 - kepada anak yang kejahatan, yaitu ISSN:2339 -0042 melakukan tindak 1. Physical Torture (penyiksaan fisik). Bentuk hukuman ini biasanya diterapkan dalam komunitas. Hukuman ini antara lain berupa hukuman cambuk, kurungan, dipukul, diberi cap atau tanda dengan besi panas, melakukan kerja paksa, dipelintir, dan mutilasi. 2. Social Humuliation (penghinaan sosial) Jenis hukuman ini adalah menurunkan status sosial terhukum di tengah masyarakat. Cara ini digunakan di Eropa pada abad ke-16 dan 17. Teknis penghukumannya sangat beragam salah satu diantaranya yaitu dengan mengikat pelaku di tiang yang dipancangkan di tengah perkampungan dan selanjutnya warga bebas mencaci maki atau menghujat pelaku. 3. Financial Penalties. Hukuman ini adalah adanya kewajiban bagi pelaku untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi atau denda atas kejahatan yang telah dilakukan. Dalam jenis hukuman ini akan timbul masalah jika pelaku adalah anak yang berasal dari keluarga miskin atau kurang mampu secara ekonomi. Alternatif untuk masalah tersebut biasanya adalah mewajibkan anak untuk melakukan pekerjaan dengan upah yang setara dengan nilai ganti rugi yang harus dibayarkannya. 4. Exile Hukuman ini dilakukan dalam bentuk pengasingan atau pembuangan ke tempat yang cukup jauh dari daerah asal pelaku. Jenis hukuman ini biasa dipraktekkan pada abad ke-16 dan 17. Salah satu contoh yang paling umum adalah Inggris yang membuang para pelaku kriminal ke Australia dan Selandia Baru. 5. Death Penalty Pada jenis ini hukuman yang diberikan adalah hukuman mati yang dapat dilakukan dengan metode eksekusi yang beragam, seperti digantung, ditembak, dibakar, dipancung, diracun, dan berbagai metode lain. Hukuman mati biasanya dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan Dalam berbagai literatur yang membahas tentang anak dan kejahatan, ada dua pendekatan dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu pendekatan kesejahteraan (Welfare model) dan pendekatan keadilan (Justice Model) (Jamrozik, 2001, h. 239). Pendekatan keadilan yang sering juga disebut dengan pendekatan hukum menekankan pada tanggung jawab penuh pelaku atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya (Kratcoski, 2004, h. 6), sedangkan pendekatan kesejahteraan menekankan pada kesejahteraan dan pembinaan bagi anak pelaku kejahatan demi memenuhi kebutuhan setiap individu anak (Harkrisnowo, 1993, h. 57). Pendekatan keadilan dan kesejahteraan ini sejalan dengan dua macam perlakuan yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak kejahatan, yaitu “dihukum” (Punishment) atau “pembinaan” (Treatment) (Kratcoski, 2004, h. 6). Dalam pendekatan keadilan, anak yang melakukan tindak kejahatan akan diberi perlakuan berupa hukuman, sementara dalam pendekatan kesejahteraan, anak yang melakukan tindakan kejahatan akan diberi intervensi berupa pembinaan untuk terpenuhinya kebutuhan individu anak. Zastrow (2004) menguraikan kedua tipe perlakuan ini dalam beberapa jenis tindakan. Dalam perlakuan tipe menghukum, ada beberapa jenis hukuman yang diberikan 42 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Pekerjaan sosial merupakan sebuah aktivitas professional dalam menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan untuk menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif dalam mencapai tujuannya (Zastrow, 2004, h. 5). Pekerjaan sosial memfokuskan intervensinya pada proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dengan menggunakan teoriteori perilaku manusia dan sistem sosial guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pekerjaan sosial berawal dari pembahasan yang bersifat mikro, baru kemudian dalam perkembangannya bergerak ke arah mezzo, atau lebih dikenal dengan level komunitas atau organisasi. Di sisi lain, ilmu kesejahteraan sosial diawali dengan upaya untuk memahami suatu fenomena dari konteks makro, masyarakat dalam arti luas tanpa melupakan aspek mikro persoalan tersebut. yang “luar biasa” dan biasanya disertai dengan penghilangan nyawa orang. Hukuman mati sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan perdebatan oleh banyak pihak. Jenis hukuman ini juga sangat jarang atau hampir tidak pernah dijatuhkan pada anak. 6. Imprisonment Hukuman ini adalah hukuman berupa penjara, termasuk juga di dalamnya penjara seumur hidup. Dewasa ini jenis hukuman inilah yang umum diberikan kepada para pelaku tindak kejahatan (h. 330334). Manusia memiliki fungsi sosialnya masing-masing, terutama dalam berinteraksi dengan sesama manusia karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang artinya adalah tidak bisa terlepas dari orang lain, sehingga membutuhkan sesama manusia lainnya. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, “kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”. Dalam hal ini kesejahteraan sosial dipahami sebagai sebuah kondisi. Pelayanan sosial merupakan salah satu bentuk dari kebijakan sosial yang merupakan aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bidang pelayanan sosial yang banyak mendapat perhatian pekerjaan sosial adalah pelayanan sosial personal yang mencakup tiga jenis, yaitu : Sementara itu Zastrow (2004) menyatakan bahwa kesejahteraan sosial pada dasarnya dapat dipahami dalam dua konteks, yaitu sebagai sebuah institusi dan sebagai sebuah disiplin akademi. Sebagai institusi kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai program pelayanan maupun pertolongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan sebagai sebuah disiplin ilmu, kesejahteraan sosial mengacu pada studi terhadap lembaga, program, maupun kebijakan yang fokus pada pelayanan masyarakat (h. 5). Dalam konteks yang inilah istilah kesejahteraan sosial sering dipertukarkan dengan pekerjaan sosial meskipun merujuk pada satu maksud yang sama (Huda, 2009, h. 74). Pada dasarnya keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda. Kesejahteran sosial lebih luas daripada pekerjaan sosial, dimana kesejahteraan sosial meliputi bidang pekerjaan sosial (Huda, 2009, h. 81). 1. Perawatan anak Diberikan terhadap anak-anak dan keluarganya, khususnya anak yang memiliki kebutuhan khusus. 2. Perawatan masyarakat (community care) Merupakan pelayanan rehabilitasi berbasis masyarakat sebagai alternatif dari pelayanan yang diberikan lembaga. Pelayanan umumnya diberikan di rumah atau di lingkungan masyarakat bagi mereka yang mengalami gangguan fisik atau mental yang memerlukan penanganan professional selain bantuan dari keluarga atau .warga masyarakat setempat. 3. Peradilan kriminal Dalam sistem peradilan kriminal, pekerja sosial 43 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 memiliki peranan yang cukup penting. Mereka biasanya disebut sebagai pekerja sosial koreksional. Dalam hal ini pekerja sosial terlibat dalam penanganan masalah kriminal, termasuk terhadap anak-anak yang melakukan pelanggaran hukum. Selain melakukan assesmen dan pendampingan sosial pada tahap probasi dan parole, pekerja sosial juga dapat memberikan pelayanan konseling atau terapi psikososial bagi narapidana yang ada di dalam penjara atau terhadap mantan narapidana yang telah kembali ke masyarakat (Suharto, 2008, h. 20). HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 (rumah singgah), dan sebagai petugas yang memberi layanan sosial bagi individu atau keluarga yang oleh karena kasusnya harus berhubungan dengan polisi dan aparat hukum lainnya (h. 340). Dalam penanganan pelaku anak, pekerja sosial dapat berperan sebagai investigator, yaitu melakukan wawancara terhadap orang tua, anak, dan pihak lain yang terkait dengan kasus anak seperti orang-orang dari lingkungan sekolah atau polisi. Hasil wawancara atau investigasi ini dapat digunakan membantu aparat hukum untuk menentukan kelanjutan kasus apakah akan dihentikan atau iteruskan. Hasil investigasi ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun atau membuat rencana treatment apa yang akan diberikan pada anak. Selain itu pekerja sosial juga dapat berperan sebagai konselor, petugas parole dan probasi, atau bahkan sebagai saksi ahli dalam sidang-sidang yang melibatkan tersangka anak (Crosson-Tower, 2007, h. 266-267). Dalam bekerja dengan anak, seorang pekerja sosial harus memahami bagaimana proses perkembangan anak, apa yang mereka butuhkan dari lingkungannya, dan bagaimana mereka bereaksi jika kebutuhan tersebut tidak dapat mereka peroleh (Brandon, et al., 1998, h. 3). Dengan memahami ciri-ciri perkembangan anak dan dipadukan dengan kondisi sosial anak maka pekerja sosial akan dapat menetnukan bagaimana perlakuan yang akan diberikan pada anak. Selain itu seorang pekerja sosial yang bekerja dengan anak, juga harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang yang terdekat anak, seperti orang tua atau keluarga, guru, atau teman dekat (O’Loughlin and O’Loughlin, 2008, h. 5). Dengan mereka pekerja sosial dapat mendiskusikan tentang kondisi anak dan mengupayakan agar dapat bekerja sama dalam memberikan situasi yang lebih baik bagi anak (Mabey and Sorensen, 1995, h. 57). Selain itu, beberapa peran pekerja sosial dalam penanganan ABH, yaitu sebagai petugas parole dan probasi; perencana, pelaksana, dan supervis program rehabilitasi ABH; dan manajer dalam lembaga rehabilitasi ABH. Pekerja sosial yang juga memiliki gelar dalam bidang hukum dapat juga bekerja sebagai hakim anak (Ginsberg, 1998, h. 144147). Sementara itu Ambrosino (2001) memberikan peran yang lebih beragam bagi pekerja sosial yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Peran-peran tersebut antara lain membantu polisi dalam proses investigasi dan wawancara terhadap anak; manajer program rehabilitasi anak; sebagai pengajar; sebagai konselor bagi anak; petugas probasi dan parole; menjadi pendamping bagi saksi dan korban; merancang program rehabilitasi bagi anak; dan membantu mencari pekerjaan atau tempat tinggal sementara bagi anak yang baru keluar dari tahanan atau penjara (h. 458-459). Peranan pekerjaan sosial dalam hal perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pada beberapa literatur disebutkan bahwa pekerja sosial pada umumnya bekerja dalam setting koreksional. Zastrow (2004) menyatakan bahwa fokus utama pekerjaan sosial dalam sistem peradilan pidana adalah pada komponen koreksional. Dalam hal ini ada berbagai peran yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial dalam menangani ABH. Pekerja sosial dapat bekerja sebagai petugas probasi dan parole, pekerja sosial di lingkungan penjara, pekerja sosial pada half way house Mengingat peran keluarga dalam pembentukan karakter atau kepribadian anak sangat penting melalui interaksi anak didalam 44 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Hermawan, . (2009). Diklat Pekerjaan Sosial Koreksional. Bandung: Balai besar pendidikan dan penelitian Bandung. Muhidin, kesejahteraan sosial Syarif.1997.“Pengantar Bandung: Kesejahteraan Sosial”. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Nipan Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 21. M. Z. Lawang, Robert. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Rusmana, Aep. 2012. Perlindungan Sosial Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum. Kekerasan Terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Kritis di Indonesia. (Bandung: M.Si. Didik (Diakses pada 27 Maret 2015) Kartono, Kartini.1992. “Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja”. Jakarta. Rajawali Pers Luhpuri, Dorang dan satriawan. 2004. Modul PUSTAKA Huraerah, ISSN:2339 -0042 “Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Prestasi Belajar. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD Negeri Damar Wulan 1 Kepung yang berjumlah (http://digilid.ac.id/) 39 siswa”. keluarga, dan karena jumlah anak nakal/berhadapan dengan hukum cenderung meningkat dari tahun ke tahun, maka diperlukan kajian mendalam untuk mengetahui faktor-faktor interaksi di dalam keluarga yang berperan dalam mendorong atau memicu perilaku anak menjadi nakal/berhadapan dengan hukum. Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi perubahan norma dan nilai yang ada di masyarakat, yang mempengaruhi interaksi didalam keluarga dan yang menyebabkan terjadinya masalah penyimpangan perilaku pada anak. Dengan diketahuinya interaksi di dalam keluarga yang cenderung memicu kenakalan anak, maka kajian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan program penanganan anak nakal dan atau berhadapan dengan hukum, baik melalui lembaga maupun luar lembaga (keluarga dan masyarakat), khususnya untuk mencegah terjadinya permasalahan perilaku pada anak. Abu HALAMAN: 1 - 2006. Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol. 11 Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sugito. 1994.Interaksi Dalam Keluarga Nuansa) Al-Istanbull, Mahmud Mahdi 2002, Mendidik Anak Nakal. Bandung: Pustaka. Convention on the Right of thr Child (Konvensi Hak Anak), pasal 2 ayat (2), dalam M. Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan sebagai Dasar Pengembangan Kepribadian Anak. Cakrawala Pendidikan Nomor 2, Tahun XIII Wiyono, A. S., Aspek Psikologi pada Implementasi Sistem Teknologi Informasi: Proceeding of Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, cet. Ke-I (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999) Diyanayati, Kissumi, Perilaku 2009. Menyimpang Remaja Akibat Perceraian Orangtua Yogyakarta : B2P3KS Press. Gerungan. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: Jakarta : e-Indonesia Initiative, 2008. Zastrow, Charles H, 1999, The Practice of SocialWork, USA:ColePublishing Co. Refika Aditama. Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bndung, 2008. 45 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM DESA TERNAK MANDIRI (DTM) DOMPET PEDULI UMAT DARUUT TAUHIID (DPUDT) DI NESA NEGLASARI KECAMATAN MAJALAYA KABUPATEN BANDUNG Oleh: Fiki Hari Nugraha, Agus Wahyudi Riana & Maulana Irfan Email: ([email protected]; [email protected]; sangirfan) ABSTRAK Masalah sosial yang ada di Indonesia sangatlah banyak salah satunya yaitu fenomena kemiskinan, kemiskinan disini terbagi menjadi 2 dimensi atau di katagori yaitu kemiskinan di kota dan kemiskinan di desa. Contoh kemiskinan di desa salah satunya di Desa Neglasari Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, Desa Neglasari merupakan daerah basis ekonomi pertanian dan perternakan di daerah majalaya yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan pertanian dan lahan ternak. Namun, Desa Neglasari pun termasuk ke dalam penduduk miskin yang tinggi. Menurut data Desa Neglasari memiliki 3.062KK yang mayoritas dari kalangan keluarga pra sejahtera Undang-undang No.10 tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu memenuhi kebutuhan makan minimal dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan berpergian, memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan belum mampu untuk berobat di sarana kesehatan moderen. Hal ini sesuai dengan keadaan penduduk Desa Neglasari yang mayoritas menjadi buruh tani dan buruh ternak dengan penghasilan rata-rata Rp 35.000/hari, yang tentunya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari serta biaya pendidikan tanggungan keluarga lainnya. Dalam mengahadapi masalah kemiskinan, salah satu pendekatan pemecahan masalah kemiskinan di pedesaan yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin. Selain pemerintah pun organisasi-organisasi pelayanan sosial pun melakukan hal sama dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Desa Neglasari merupakan salah satu sasasran DPU DT dalam melaksanakan program DTM wilayah Jawa Barat. Penentuan lokasi atau sasaran penerima program tersebut melihat tingkat keluarga pra sejahtera yang tinggi, potensi pertanian, perternakan, juga sumber daya peternak yang harus dikembangkan, serta berusaha memperluas jaringan wilayah penerima program DTM di sekitar kabupaten Majalaya. Key Words : Kemiskinan, Pemberdayaan Masyarakat, Partisipasi Masyarakat, DPU-DT, Desa Ternak Mandiri. memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihat dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahami dari sudut ilmiah yang telah mapan. Berikut adalah data atau fakta mengenai kemiskinan di Jawa Barat yang memang memiliki jumlah yang cukup besar bila di bandingkan dengan provinsi lain. Pendahuluan Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulit akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemsikinan merupakan masalah global. Sebagian orang Tabel 1.1 46 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 Jumlah Penduduk Miskin Provinsi, September 2014 Jumlah Penduduk Miskin Kota Desa Aceh 158,04 Sumatera U 667,47 Sumatera B 108,53 Riau 159,53 Kepulauan 91,27 Jambi 109,07 Sumatera S 370,86 Bangka Beli 20,27 Bengkulu 99,59 Lampung 224,21 DKI Jakarta 412,79 Jawa Barat 2554,06 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 di sarana kesehatan moderen. Hal ini sesuai dengan keadaan penduduk Desa Neglasari yang mayoritas menjadi buruh tani dan buruh ternak dengan penghasilan rata-rata Rp 35.000/hari, yang tentunya tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari serta biaya pendidikan tanggungan keluarga lainnya. Menurut Kota+Desa 679,38 693,13 246,21 338,75 32,9 172,68 714,94 46,96 216,91 919,73 0 1684,9 Dalam mengahadapi masalah kemiskinan, salah satu pendekatan pemecahan masalah kemiskinan di pedesaan yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin yang tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Sumber : Bada Pusat Statistik 2013-2014 Tabel 1 menunjukan di Jawa Barat memiliki jumlah kemiskinan yang cukup besar bila di bandingkan dengan Provinsi lain, khususnya kemiskinan di wilayah pedesaan menjadi salah satu permaslahan yang disebabkan minimnya akses lapangan pekerjaan dan rendahnya kepemilikan modal, sehingga hal tersebut menjadi sangat wajar terjadi di daerah pedesaan. Namun tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya keterampilan menjadikan mereka tersisih dan hanya menjadi beban perkotaan. Selain pemerintah pun organisasiorganisasi pelayanan sosial pun melakukan hal sama dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Kehadiran program pemberdayaan masyarakat di Indonesia merupakan harapan bagi seluruh masyarakat terutama yang berada digaris kemiskinan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah utama adalah bukan bagaimana program pemberdayaan terlaksana dan dapat mengeluarkan masyarakat dari garis kemiskinan, tetapi bagaimana porgram tersebut membuat mereka menjadi mandiri dan tidak ketergantungan. Sehingga dengan kemandirianya masyarakat dapat berpartisipasi dalam setiap tahapan program yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pelayanan sosia dan berusaha keluar dari garis kemiskinan juga membuat pogram tersebut berkelanjutan. Kondisi diatas jelas memprihatinkan, realita kemiskinan bukanlah permasalahan yang mudah diatasi mengingat kondisi yang harus di tanggulangi mencakup banyak segi. Kepemilikan yang tidak merata dan kemampuan masyarakat yang terbatas. Desa Neglasari merupakan daerah basiss ekonomi pertanian dan perternakan di daerah Majalaya yang sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan pertanian dan lahan ternak. Namun, Desa Neglasari pun termasuk ke dalam daerah yang memiliki penduduk miskin yang tinggi. Menurut data desa neglasari memiliki 3.062 KK yang mayoritas dari kalangan keluarga pra sejahtera. Undang-undang No.10 tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu memenuhi kebutuhan makan minimal dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan berpergian, memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan belum mampu untuk berobat Seperti yang di ungkapkan oleh sastroepoetro (1988), 4 bentuk partisipasi masyarakat yaitu : 1. Partisipasi pikiran, diberikan dalam bentuk diskusi dalam pertemuan atau rapat 2. Partisipasi tenaga, yaitu dalam berbagai kegiatan yang dicirkan oleh 47 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 hasil kerja manusia untuk perbaikan dan pertolongan bagi orang lain 3. Partisipasi keahlian atau keterampilan, yaitu diberikan orang untuk mendorong aneka ragam bentuk usaha dan industri. 4. Partisipasi dengan materi, yaitu diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan dan pembangunan. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 apa yang dikerjakan oleh masyarakat di kembalikan lagi untuk masyarakat itu sendiri. Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) pun memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaan program Desa Ternak Mandiri yang di antaranya : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tahap penyerahan proposal Tahap pemetaan wilayah Tahap pemetaan personal Tahap rapat komite Tahap MOU Tahap pembentukan dan peresmian komunitas 7. Tahap pendampingan rutin 8. Tahap penjualan 9. Tahap pemutusan kontrak bila sudah mandiri (Sastropoetro, 1988:56) Melihat fenomea di atas Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) atau LAZNAS (Lembaga Amil Zakat Nasional) merupakan lembaga nirbala milik masyarakat yang bergerak di bidang penghimpunan (fundraising) dan pendayagunaan dana ZIS ( Zakat, Infak, Sedekah) serta dana lainnya yang halal dan illegal dari perorangan, kelompok, perusahaan atau lembaga. Latar belakang berdirinya Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) adalah melihat Indonesia sebagai negara yang dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah belum optimalnya penggunaan dana zakat ini. Kadang, penyaluran dana zakat hanya sebatas pada pemberian bantuan saja tanpa memikirkan kelanjutan dari kehidupan si penerima dana. Desa Neglasari merupakan salah satu sasasran DPU DT dalam melaksanakan program DTM wilayah Jawa Barat. Penentuan lokasi atau sasaran penerima program tersebut melihat tingkat keluarga pra sejahtera yang tinggi, potensi pertanian, perternakan, juga sumber daya peternak yang harus dikembangkan, serta berusaha memperluas jaringan wilayah penerima program DTM di sekitar kabupaten Majalaya. Oleh karena itu tujuan dari penilitian ini apakah partisipasi masyarakat terhadap program Desa Ternak Mandiri tersebut benarbenar mengurangi masalah kemsikinan yang ada di Desa Neglasari Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. Dari sana peneliti melihat sebuah potensi yang besar yaitu dari penghimpunan (fundraising) dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dan tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi, program yang di laksanakan oleh Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid ini salah satu nya adalah pada program Desa Ternak Mandiri (DTM). Program Dompet Peduli Umat Daruut Tauhiid (DPU-DT) yang khusunya pada Desa Ternak Mandiri (DTM) bertujuan untuk upaya penggemukan hewan ternak yang sasaranya untuk memberdayakan peternak kecil di pedesaan. Dompet Peduli Umat Daruut Tauhid (DPUDT) memberikan modal kerja kepada dhuafa berupa kambing dan di tahap awalnya mereka di beri dua sampai lima ekor kambing, selain itu juga pada program Desa Ternak Mandiri (DTM) ini ingin memberdayakan masyarakat nya untuk mandiri dan tidak ketergantungan, jadi apa- Partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci keberhasilan untuk mengatasi masalah kemiskinan, salah satunya yang di lakukan oleh Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DPU-DT), kunci dari keberhasilan yang dilakukan oleh DPU-DT adalah partisipasi masyarakat itu sendiri terhadap program yang diberikan yaitu Desa Ternak Mandiri. Beberapa hal yang menyangkut dengan partisipasi masyarakat adalah : a. Pengertian Partisipasi Masyarakat : Dari rumusan tersebut, bisa diketahui, arti partisipasi bukan hanya sekedar mengambil bagian atau pengikutsertaan saja tetapi lebih dari itu pengertian tersebut terkandung tiga gagasan pokok, yaitu mental and 48 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 emotional involvement (keterlibatan mental dan emosi), motivation to contribute ( dorongan untuk memberikan acceptance (penerimaan sumbangan), of HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 pelaksanaan sampai pemantuan dan evaluasi program. Dengan demikian, partisipasi diletakan di luar lembaga formal pemerintahan seperti forum warga. 3) Partisipasi Warga : pengembalian keputusan langsung dalam kebijakan publik Warga berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintah. Partisipasi menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai penerima (objek), tetapi sebagai subjek dari kegiatan pembangunan yang dilakukan. c. dikutip Soegijoko (2005), tingkatan partisipasi (dari yang terendah sampai tertinggi) sebagai berikut : 1) Berbagi informasi bersama (sosialisasi) : pemerintah hanya menyebar luaskan informasi program yang akan direncakanan atau sekedar memberikan informasi tentang program yang akan direncanakan atau sekedar memberikan informasi mengenai keputusan yang dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut. 2) Konsultasi/ mendapatkan umpan balik : pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputusan ditetapkan. 3) Kolaborasi/pembuatan keputusan bersama : masyarakat bukan sebagai penggagas kolaborasi, tetapi masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama, sehingga peran masyarakat secara signifikan dapat mempengaruhi hasil/keputusan. 4) Pemberdayaan/kendali : masyarakat memiliki kekusaan dalam mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan prosedur dan indikator kinerja yang mereka tetapkan bersama. d. Bentuk Partisipasi Masyarakat : 1) Partisipasi Pikiran : diberikan dalam bentuk diskusi dalam pertemuan atau rapat. 2) Partisipasi Tenaga : dalam berbagai kegiatan yang dicirikan oleh hasil kerja manusia untuk perbaikan dan responbility tanggung jawab). Seorang ahli ekonomi kerakyatan, Mubyarto (1997) mengatakan, pengertian dasar partisipasi adalah tindakan mengambil bagian dalam kegiatan, sedangkan pengertian partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan di mana masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, perumusan kebijakan, dan pengambilan keputusan. Sementara itum sulaiman (1985: 6), seorang ahli pekerjaan sosial, mengungkapkan partisipasi sosial sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat secara perorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam dan atau di luar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran tanggung jawab sosialnya. b. Ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama jika dikaitkan dengan praktik pembangunan masyarakat yang demokratis, sebagaimana dikemukakan Gaventa dan Valderama dalam Suhirman (2003), yaitu : Pengelompokan Partisipasi Masyarakat : 1) Partisipasi Politik : representasi dalam demokratis Tujuannya untuk mempengaruhi dan mendudukan wakil rakyat dalam lembaga pemerintah daripada melibatkan langsung masyarakat dalam proses-proses pemerintahan. 2) Partisipasi Sosial : keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan Masyarakat dipandang sebagai ‘beneficiary’ pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencanaan, 49 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 dan pertolongan bagi orang lain. 3) Partisipasi Keahlian dan Keterampilan : diberikan orang untuk mendorong aneka ragam bentuk usaha industri. 4) Partisipasi Dengan Materi : diberikan orang dalam berbagai kegiatan untuk perbaikan dan pembangunan. e. seperti dikutip Taher (1987:146-149) bisa dilihat dari motif, yang masingmasing bisa bekerja sendirian maupun bekerja bersamaan. Kelima motif tersebut adalah: Motif Partisipasi Masyarakat : 1) Motif Psikologi : kepuasan pribadi, pencapaian prestasi, atau rasa telah mencapai sesuatu (achievment) dapat merupakan motivasi yangk kuat bagi seseorang untuk melakukan kegiatan atau partisipasinya itu tidak akan menghasilkan keuntungan (baik berupa uang maupun materi). 2) Motif Sosial : ada dua sisi motif sosial, yakni untuk ng status sosial dan untuk menghindarkan dari terkena pengendalian sosial (social control) orang akan dengan suka hati berpartsi di dalam suatu kegiatan (pembangunan) manakala keikutsertaanya itu akan membawa dampak meningkatnya status sosialnya. Pada sisi yang negatirf, orang akan “terpaksa” berpartipasi dalam satu kegiatan (pembangunan) karena “takut” terkena sanksi sosial (tersisih atau dikucilkan oleh warga masyarakat). Motif semacam ini dikendalikan oleh norma-norma sosial yang masih kuat di dalam HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 masyarakat, terutuma yang masih bersfiat paguyuban. 3) Motif Keagamaan : Berbeda dengan motif psikologi yang didasarkan pada pencapian prestasi dan motif sosial berlandaskan status sosial dan pengendalian sosial, motif keagamaan didasarkan pada kepercayaan kepada kekuatan yang ada di luar manusia (Tuhan, sesuatu yang gaib, supernatural). Agama sebagai ideologi sosial yang mempunyai berbagai macam fungsi bagi pemeluknya, yaitu fungsi-fungsi : inspiratif, normatif, integratif, identifikatif, dan operatif/motivatif. Melalui aktualisasi fungsi-fungsi itu agama dapat meningkatkan perananya di dalam proses pembangunan, dan lebih dari itu agama dapat meningkatkan peran para pemeluknyaa dalam proses pembangunan. Kesimpulan yang dapat di ambil ialah, pengentasan kemiskinan tidak semata-mata fokus terhadap program yang konsumtif tetapi lebih di tekankan program yang produktif. Program produktif tersebut lebih di tekankan kepada pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan yang dilakukan harus melibatkan partisipasi masyarakat seperti Desa Neglasari Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung di berdayakan oleh DPU-DT dalam program Desa Ternak Mandiri yang saat ini sudah banyak merubah kondisi yang memprihatinkan ke pada kondisi yang lebih baik. 50 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Fikriryandi Putra, Desy Hasanah St. A, & Eva Nuriyah H Email: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK Tulisan ini akan menggambarkan pemberdayaan anak jalanan yang dilakukan oleh Rumah Singgah. Untuk memperoleh data tersebut tulisan ini menggunakan studi literatur yang berupa kajian konseptual. Hasil tulisan ini melihatkan bahwa program penanganan anak jalanan telah dilakukan yang salah satunya adalah dengan menggunakan, pendekatan Rumah Singgah. Rumah Singgah menggunakan pendekatan centre based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif. Meskipun demikian Rumah Singgah juga menggunakan pendekatan community based dan street based yang tercermin dalam beberapa program dan kegiatannya yaitu dengan melakukan pemberdayaan. Pemberdayaan mencakup sasaran yang diharapkan untuk mengatasi permasalahan sosial anak jalanan dengan meningkatkan kemampuan dirinya melalui pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendidikan moral. Hal ini diupayakan untuk bisa mendorong dan menstimulasi supaya anak jalanan tersebut bisa mendapatkan hak untuk mendapatkan hidup yang lebih layak, perlindungan, dan bisa menampilkan perilaku positif sesuai dengan norma dan etika yang ada di lingkungan masyarakat. Adapun tahapan pelayanan atau kegiatan tersebut adalah penjangkauan, identifikasi, resosialisasi, pemberdayaan dan terminasi. Program pemberdayaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak jalanan sehingga mempunyai pengetahuan yang meningkat, dapat mandiri sehingga anak jalanan tidak beraktivitas di jalan lagi. Abstract This article will describe the empowerment of street children conducted by Open House for Street Children. To obtain the data of this paper uses literature in the form of a conceptual study. Results of this paper that show some programs handling street children have done that one is using, Open House for Street Children. Open House for Street Children have some of the programs and activities by doing empowerment. Empowerment includes the expected goals to overcome the social problems of street children to improve themselves by education, skills training and moral education. It is attempted to be able to encourage and stimulate so that the street children can get the right to get a better life, protection, and can display positive behavior in accordance with the norms and ethics that exist in society. As for step services or activities are outreach, identification, resocialization, empowerment and termination. Empowerment program intended to improve the ability of street children so as to have an increased knowledge, can independently so that street children are not active on the road again. Keywords: Pemberdayaan, Anak Jalanan, Rumah Singgah penerus yang berkualitas. Kesejahteraan anak sebagai bagian dari upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas hanya akan terwujud apabila semua pihak dapat menghormati dan memperlakukan anak sesuai hak-haknya. Apabila anak tidak mendapatkan hak-haknya dan perlindungan sosial sebagai salah satu pilar bangsa, mereka akan cenderung mengalami masalah atau menjadi masalah. Salah satu masalah PENDAHULUAN Latar belakang Anak sebagai generasi penerus dan aset bangsa, perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena maju mundurnya suatu negara akan sangat tergantung pada generasi saat ini dan masa yang akan datang. Karena itu kesejahteraan anak harus dikedepankan agar terlahir generasi-generasi 51 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kembang anak secara optimal karena resiko eksploitasi dan ancaman kekerasan merupakan dua hal yang terkadang sekaligus dialami dan terpaksa dirasakan oleh anak jalanan. Sehingga resiko tinggal atau hidup dijalan akan melekat pada diri anak dan anak menjadi tidak mempunyai keterampilan di sektor lain, tidak memiliki identitas diri dengan sempurna, internalisasi perilaku, traumatized dan stigamatized serta reproduksi kekerasan (Handayani, 1999). Anak jalanan memiliki banyak pengalaman yang berasal dari budaya keras dan tidak semuanya diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan dan penanganan dalam membantu mengembangkan proses berfikir mereka, mengajarkan begaimana membangun hubungan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan, dengan mengarahkan mereka kepada pola-pola perilaku yang dapat diterima masyarakat. Salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar anak mengalami proses tumbuh kembang optimal adalah kebutuhan stimulasi atau pendidikan yang mempengaruhi proses berfikir, berbahasa, sosialisasi dan kemandirian seoarang anak Hurlock (1978:257) dan menurut Suharto (1997:363) sejak dini mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat. Penanganan masalah anak jalanan sangat penting untuk dilakukan dan diperhatikan, disamping hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan yang telah dilindungi oleh undang-undang, juga untuk menghindari dampak negatif apabila masalah anak marjinal ini tidak dapat terpecahkan. Kita harus menyadari bahwa terhambatnya pemenuhan hak-hak anak terutama pada anak jalanan akan berdampak pada kelangsungan hidup anak itu sendiri, bangsa dan negara Indonesia. Saat ini pemerintah maupun masyarakat banyak memberikan perhatian yang cukup tinggi, yaitu dengan dilihat dengan munculnya organisasi sosial yang telah banyak memberikan program-program yang membantu memenuhi kebutuhan anak jalanan dan mewujudkan kesejahteraan anak jalanan. Oleh karena itu, model pertolongan anak yang masih menjadi perhatian di Indonesia saat ini adalah masalah anak jalanan. Masalah anak jalanan ini dipandang sebagai masalah yang memberi pandangan negatif terhadap pembangunan. Keberadaan mereka tidak jarang dijadikan indikator kemelaratan dan krisis nilai-nilai sosial Aep (2001:5). Pada dasarnya anak jalanan adalah kelompok anak yang menghadapi banyak masalah Mulandar (1996:153). Menurut UNICEF Anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya. Akan tetapi tidak semua anak jalanan tidak memiliki hubungan dengan orang tua. Menurut UNICEF (1986) yang dikutip oleh Lusk dalam Journal of Sociology & Social Welfare (1989:59) anak jalanan di bagi 3 kategori: Anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk), Anak yang bekerja di jalan (children on the street) dan anak yang hidup di jalan (children of the street). Laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (2004) memberikan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat baik segi kualitas maupun kuantintitas. Permasalahan yang dialami anak jalan berbagai macam seperti tindak kekerasan baik fisik, psikis ekonomi, maupun kekerasan sosial. Kebanyakan kekerasan akibat dari ketidak maupuan orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, diantaranya faktor-faktor intermediasi seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak dan langkanya dukungan keluarga pada saat krisis keluarga dirumah. Berdasarkan data Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2008, menunjukkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2010, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2010). Hidup dan berada di jalanan bukanlah tempat yang layak untuk membantu tumbuh 52 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 mereka menjadi warga masyarakat yang produktif. Hal ini dapat diumpamakan dengan memberi kail kepada anak jalanan dengan harapan ketika, ikan yang dikonsumsi anak jalanan habis, anak jalan ini akan kembali berusaha mengailnya sendiri karena mereka punya cara sendiri untuk hal itu. Dengan demikian, pemberdayaan anak jalanan ini menjadi sangat startegis karena dapat menyelamatkan anak jalanan dengan mencegah berbagai masalah lain, baik dalam menghindari eksploitasi dalam pekerjaan maupun masalah dalam penampilan perilaku. Di Indonesia, kepedulian terhadap kesejahteraan anak sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia telah lama menjadi komitmen. Hal itu diantaranya ditunjukan dalam UUD 1945 pasal 34, yang menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pemerintah juga telah mengeluarkan UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Melihat Undang-undang tersebut yang terdapat adanya jaminan atas hak anak, penanganan masalah anak jalanan sangat penting untuk dilakukan dan diperhatikan, disamping hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesejahteraan yang telah dilindungi oleh undang-undang, juga untuk menghindari dampak negatif apabila masalah anak marjinal ini tidak dapat terpecahkan. Departemen Sosial RI bekerja sama dengan UNDP (United Nation United dalam proyek INS/94/007 Programe) pembuatan Rumah Singgah (Departemen Sosial,1997:31) model Rumah Singgah (Open House For Street Children), secara konseptual menggunakan metode dan teknik yang meliputi street based, centre based, community based, bimbingan sosial dan pemberdayaan (Depsos RI, 1999 : 2) Model tersebut yang dapat dikatakan Rumah Singgah merupakan salah satu alternatif startegi penanganan anak jalanan yang dimana didalamnya telah masuk pemberdayaan anak jalanan pada aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesenian dan agama. Secara umum tujuan dibentuknya Rumah Singgah adalah membantu anak jalan dalam mengatasi masalah-masalah dan menemukan altrenatif terhadap anak jalan bukan sekedar menghapus anak-anak dari jalanan, melainkan harus bisa meningkatkan kualitas hidup sekurang-kurangnya melindungi mereka dari situasi yang eksploitatif dan membahayakan. Mengacu pada prinsipprinsip profesi pekerjaan sosial yakni salah satunya adalah konsep pemberdayaan yang dimana dikemukakan oleh Hogan (2000:13) yang mengutip dari pandangan Rotter (1966), Selignan (1975), dan Hopson dan Scally (1995) dalam Adi (2008:212) yang melihat proses pemberdayaan individu sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, pertama yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kedua, kecenderungan yang menekankan pada proses menyelimuti, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Hal ini sejalan dengan tujuan pemberdayaan bagi anak jalanan yakni tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan atau hak anak jalanan yang terampas karena berkeliaran dijalan, tetapi juga ingin menanamkan penguasaan hak dan memberi peluang agar potensi setiap anak dapat teridentifikasi kemudian dikembangkan. Tujuan tersebut antara lain untuk mengembalikan rasa percaya diri dan rasa aman, membuka wacana pada masalah yang dihadapi anak, kemapuan bertahan hidup, serta pembekalan diri untuk masa depan Indrasari Tjandraningsih (1996:3) Maka pemberdayaan anak jalanan ini adalah suatu proses pemberian kemampuan yang berupaya agar anak jalanan dapat memotivasi, mendorong dirinya guna memperoleh daya dan memaksimalkan daya yang ia miliki untuk menentukan tindakan, termasuk mengurangi efek negatif atau hambatan yang ada di dalam dirinya dan lingkugannya. Dengan kegiatan peningkatan kualitas anak jalanan melalui pemberian pendidikan, pelatihan dan belajar usaha agar 53 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Hasil dan Pembahasan Anak jalanan Anak jalanan adalah sebuah realitas yang menjadi bagian dari pemandangan kehidupan perkotaan yang secara awam, masyarakat sering mendefinisikan anak jalanan berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukannya. Mereka sering disebut sebagai pengamen, pemulung, pendagang asongan, pengemis, penjual koran, pengojek payung, penyemir sepatu, tukang parkir, pembersih mobil, joki dan lain sebagainya. Pemberian definisi terhadap anak jalanan yang berbedabeda ini ternyata terjadi tidak hanya di kalangan individu tetapi juga di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun oleh negara. Pendefinisian anak jalanan dengan mudah dapat berbeda-beda. Nation Children’s ISSN:2339 -0042 ikatan dengan keluarganya atau sudah mempunyai sudah tidak mempunyai ikatan dengan keluarganya. Menurut UNICEF (1986) yang dikutip oleh Lusk dalam Journal of Sociology & Social Welfare (1989:59) menyebutkan bahwa: “kelompok remaja terbagi dalam tiga kategori: anak dalam resiko tinggi, anak yang berkerja dijalan dan anak yang hidup di jalan” Anak yang mempunyai resiko tinggi (children at high risk) adalah anak yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Mereka belum menjadi anak jalanan, murni, tetapi masih tinggal dengan orang tuanya. Kerentanan ini bisa dilihat juga dari kondisi ekonomi orang tuanya yang rentan, sehingga suatau saat anak tersebut bisa menjadi anak jalanan. Anak-anak seperti ini hidup di lingkungan kemiskinan absolut atau di daerah slum. Anak yang berkerja di jalan (children on the street) yaitu mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau ditempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya digunakan untuk membantu keluarganya. Anak-anak tersebut mempunyai kegiatan ekonomi (sebagai pekerja anak) di jalan adan masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. sebagain penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Anak-anak yang hidup di jalan (children of the street) adalah mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi hanya sedikit waktu yang digunakan untuk bekerja. Mereka jarang berhubungan dengan keluarganya. Beberapa diantara mereka tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mereka hidup di sembarang tempat. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Anak-anak ini sangat rawan terhadapp perlakuan salah baik secara emosional, fisik, maupun seksual. Biasanya perlakuan salah ini datan dari mereka yang lebih dewasa. Hakekatnya pengertian tentang anak jalanan ini menunjukan bahwa kenyataannya anak jalanan diperlakukan tidak seperti konsep-konsep yang dikemukakan di atas.banyak permasalahan anak jalanan yang untuk pemenuhan hidupnya (Armai Arif, 2002:1). Rumah Singgah merupakan suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak yang akan membantu mereka kegiatan, pelaksanaan penanganan masalah anak jalanan melalui Rumah Singgah. Berdasarkan pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Depsos, 1999:31-34) pelayanan dan kegiatan Rumah Singgah terbagi ke dalam 6 tahapan. Tahapantahapan tersebut mencangkup: Penjangkauan, Identifikasi anak, resosialisasi, pemberdayaan anak, pemberdayaan orang tua dan terminasi. Dengan demikian tulisan ini ingin menggambarkan pemberdayaan anak jalanan melalui Rumah Singgah.. United HALAMAN: 1 - Fund (UNICEF) dalam Bakhrul (2003:18) mengemukakan definisi dari anak jalanan adalah sebagai berikut: “Anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya.” Dari definisi ini menujukan pada anakanak yang telah meninggalkan rumah dan juga telah meninggalkan sekolah sebelum usia 16 tahun dan hidup tidak menetap di jalanan. Anak jalan ini bisa masih mempunyai 54 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 terjadi pada kehidupan sesugguhnya yang menyebabkan anak jalanan merupakan generasi yang hilang, yaitu suatu generasi yang keberadaannya tidak mendapatkan perhatian, sehingga jaminan akan hidup yang layak tidak didapatkan sebagaimana seorang anak. Seperti apa yang dikatakan Suyoto (2010:185) mendefinisikan anak jalanan yang lebih menitikberatkan kepada hal-hal yang dihadapi oleh anak jalanan, dengan mendefiniskan: “Anak jalanan adalah anak-anak yang tersisihkan, marjinal dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras dan kadang tidak bersahabat.” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 7-16 tahun yang menggunakan sebagian waktunya dijalan untuk bermain maupun bekerja. Mereka adalah anak-anak yang yang tinggal bersama orang tua dan keluarga yang hidup di jalanan, tinggal terpisah dengan orang tuanya, diterlantarkan, memutuskan hubungan dengan lari dari keluarga mereka. Sebagian anak jalanan juga terkadang mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dimasyarakat, dengan diperlakukan sebagai kelompok tersisihkan dan marjinal di perkotaan dan dieksploitasi oleh oknum-oknum di masyarakat. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan karena harus menanggung resiko-resiko berhadapan dengan lingkungan kota. 2) 3) HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kekerasan atau terpisah dari orang tua. Tingkat Mezzo (underlying causes) Yakni faktor di masyarakat seperti kebiasan mengajarkan untuk bekerja sehingga suatu saat menjadi keharusan dan kemudian meninggalkan sekolah, kebiasaan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan karena keterbatasan kemampuan di daerahnya. Tingkat makro (basic causes) Yakni faktor yang berhubungan dengan struktur makro, seperti peluang pekerjaan pada sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian yang besar, urbanisasi, biaya pendidikan yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif, belum adanya kesamaan persepsi instansi pemerintah terhadap anak jalanan. Strategi Pemberdayaan Anak Jalanan Pemberdayaan merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu “empowerment” yang secara harafiah berarti “pemberkuasaan”. Pemberkuasaan itu sendiri dapat dipahami sebagai upaya memberikan atau meningkatkan kekuasaan (power) kepada pihak yang lemah atau kurang beruntung (disadvantaged). Pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun eksistensi seseorang dalam kehidupan dengan memberi dorongan agar memiliki kemampuan. Model penampungan anak jalanan dimulai pada tahun 1981. Pada tahun itu, Longres, mengadakan suatu pengamatan tentang strategi intervensi dan programprogram yang bertujuan untuk menangani masalah sosial ini. Longres. Menghubungkan antara asumsi dan ideologi yang membentuk masalah tersebut, serta menjadi normanorma dasar dilakukannya intervensi. Ia mengembangkan faktor-faktor yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi normanorma dasar dari suatu intervensi sosial berdasarkan pengamatan tersebut, Lusk (1984) melihat faktor-faktor yang dibuat Longres dapat digunakan untuk memahami intervensi sosial pada anak jalanan. Startategi yang dibuat Longres berawal dari adabtasi sistem sosial ekonomi hingga kebutuhan Faktor-faktor Yang mempengaruhi munculnya anak jalanan Anak jalanan yang ada di perkotaan tidak hanya muncul begitu saja tanpa adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sudrajat (1996:154) mengemukakan penyebab munculnya anak jalanan meliputi tingkat mikro, mezzo dan makro, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Tingkat mikro (immediate causes) Yakni faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya seperti lari dari keluarga, dipaksa bekerja, berpetualang, diajak temen, kemiskinan keluarga, ditolak atau 55 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 individu, dari adabtasi individu hingga prasarat sistem sosial. dengan demikian pengembangan program strategi intervensi bagi anak jalanan tersebut meliputi: 1) Pendekatan Koreksional (Correctional/Instutionalization) Fenomena anak jalanan dalam pandangan ini didominasi oleh pemikiran sebagian besar polisi dan pengadilan anak yang memang banyak berurusan dengan anak jalanan. Pemikiran inilah yang mempengaruhi pandangan masyarakt untuk melihat anak jalanan sebagai perilaku nakal. Sebab itu intervensi yang cocok adalah dengan memindahkan anak dari jalanan dan memperbaiki perilaku mereka. pendekatan ini menempatkan pentingnya “mendidik kembali” (adapt the deviant behaviour) agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Kelemahan pendekatan ini adalah adanya kenyataan bahwa para petugas dipandang oleh anak sebagai musuh ketimbang mitra (partner) juga adanya kenyataan bahwa kekerasan dan pelecehan seksual tetap berkembang 2) Pendekatan Rehabilitas Para profesional memperdebatkan bahwa anak jalanan bukanlah perilaku menyimpang karena banyak dari mereka justru merupakan korban penganiayaan dan penelantaran, dampak kemiskinan dan kondisi rumah yang tidak tetap. Anak jalanan dilihat sebagai anak yang dirugikan oleh lingkungannya, sehingga mengakibatkan banyak gereja dan program-program sukarela yang muncul. Pendekatan rehabilitatif memandang anak jalanan sebagai anak yang berada dalam kondisi ketidakmampuan (inadequate), membutuhkan (needy), ditelantarkan (abandoned), dirugikan (harmed), sehingga intervensi yang dilakukan adalah dengan melindungi dan merehabilitasi. Pada saat ini kegiatan dari pendekatan rehabilitatif ini lebih dikenal dengan center based program 3) Pendidikan yang dilakukan di jalanan (Street Education) 4) 56 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Pendekatan ini mengasumsikan bahwa hal terbaik untuk menanggulangi masalah anak jalanan adalah dengan mendidik dan memberdayakan anak jalanan. Para pendidik jalanan yakin kesenjangan struktur sosial merupakan peneyebab dari masalah ini. Menurut mereka anak merupakan individu normal yang didorong oleh kesenjangan kondisi masyarakat yang hidup di bawah keadaan yang sulit. Dengan melibatkan partisipasi dari anak jalanan itu sendiri, maka dapat dipelajari tentang situasi mereka dan mengikutsertakan dalam aksi bersama guna menemukan pemecahan dari masalah bersama. Bentuk kegiatan dari pandangan pendidikan jalanan pada saat ini lebih dikenal dengan nama program yang berpusat di jalanan atau street based program. Street based adalah program yang berusaha untuk memberikan hak-hak anak jalanan, khususnya mereka yang memiliki hubungan tidak teratur dengan keluarga. strategi ini menghendaki, mengenal terlebih dahulu kebutuhan anak untuk mempertahankan hidup dan pendapatnya. Jadi bukan untuk mendorong anak agar kembali pada keluarga atau mengirim mereka ke lembaga (pusat pelayanan) melalui program ini, dampak negatif dari kehidupan jalanan bagi anak dikurangi dengan kegiatan yang memungkinkan bakat dan minat anak untuk tampil. Pencegahan (preventif) Pendekatan ini memandang penyebab dari masalah anak jalanan adalah dorongan dari masyarakat itu sendiri. Strategi pencegahan berusaha memberikan pendidikan dan pembelaan (advocacy) serta mencoba menemukan penyelesaian dari apa yang diperkirakan menjadi penyebab permasalahannya. Yaitu dengan cara berusaha menghentikan kemunculan anak di jalanan. Mengatasi masalah anak jalanan, bukan hanya anak jalanan yang dijadikan fokus untuk dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat, mengingat masyarakat SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 sendiri terus mengalami perubahan sesuai dengan pembangunan yang berlangsung. Bentuk kegiatan dari pandangan preventif ini dikenal dengan community based program. Program ini membantu anak yang masih memiliki hubungan dengan keluarga agar dapat melakukan hubungan tersebut. Program ini didasarkan pada suatu keyakinan bahwa suatu cara yang terbaik mencegah terjadinya kehancuran nilai keluarga yang akhirnya menyebabkan terlemparnya anak menjadi anak jalanan adalah dengan menguatkan dasar keluarga tersebut serta mengorganisir keluarga sebagai komunitas yang mandiri. Dipandang dari fungsi intervensi, penganan anak jalanan diatas, terjadi tumpang tindih dengan jenis pendekatan yang dilakukan. Secara ringkas model dan pendekatan yang dikembangkan di banyak negara dan digunakan oleh LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) menurut Lusk (1989 67-74) yang dikutip Sudrajat (1997:4), untuk menangani anak jalanan meliputi: 1) ISSN:2339 -0042 pelayanan pendidikan, keterampilan, kebutuhan dasar, kesehatan, kesenian, dan pekerjaan. Dalam penanganan di lembaga atau di panti terdapat beberapa jenis atau model penampungan yang bersifat sementara (drop in centre) dan tetap (residential centre) untuk anak jalanan yang masih bolak balik ke jalan biasanya dimasukan ke dalam drop in centre, sedangkan untuk anak-anak yang sudah benar-benar meninggalkan jalanan akan di tempatkan di residential centre. 3) Community Based Di dalam community based penanganan melibatkan seluruh potensi masyarakat, utamanya keluarga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif, yakni mencegah anak-anak turun ke jalan. Keluarga diberikan kegiatan penyuluhan pengasuhan anak dan peningkatan taraf hidup, sementara anak-anak diberi kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal, pengisian waktu luang dan kegiatan lainnya. Pendekatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat agar sanggup melindungi, mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Tabel 1 Pendekatan dan Penanganan Anak Jalanan Street Based Merupakan penganan di jalan atau tempat-tempat anak jalanan berada, kemudian para street educator datang kepada mereka, berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya serta menempatkan diri sebagai teman. Dalam beberapa jam, anakanak diberikan materi pendidikan dan keterampilan, di samping itu anak jalanan memperoleh kehangatan hubungan dan perhatian yang bisa menumbuhkan kepercayaan satu sama lain yang berguna bagi pencapaian tujuan intervensi. 2) HALAMAN: 1 - Pengelompokan Anak Jalanan Anak yang masih berhubungan/tinggal dengan orang tua Anak yang masih ada hubungan dengan keluarga tetapi jarang berhubungan/tinggal dengan orang tua Anak tersisih/putus hubungan dengan keluarga/orang tua Centre Based Pendekatan ini merupakan penanganan di lembaga atau panti. Anak-anak yang masuk dalam program ini di tampung dan diberikan pelayanan di lembaga atau panti seperti pada malam hari diberikan makanan dan perlindungan, serta perlakukan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial. pada panti yang permanen disedikan Pendidikan Program/St rategi Community based Fungsi Intervensi Street Based Perlindunga n Centre Based Rehabilitasi Sumber: Mulandar (2010:159) 57 Preventif SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 memberikan berbagai masukan yang positif serta direktif sebagai bagian dari pengalaman-pengalamannya. Bila pendeketan program/strategi di atas dihubungkan dengan tipologi anak jalan, maka akan tampak pada tabel 2.1. Dari tabel 2.1 ini juga diketahui fungsi intervensi lebih dari satu, namun yang ditulis merupakan fungsi utama. 3) Representational Roles Dalam kerangka pelaksanaan ini seorang pendamping berinteraksi dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama individu ataupun masyarakat untuk kepentingan dampingannya. Pendampingan dalam Pemberdayaan Anak Jalanan Sudah semakin banyaknya programprogram pemberdayaan pada bidang kesejahteraan sosial beberapa tahun belakangan ini, sudah juga melazimkan penggunan “pendampingan” untuk menyebut upaya-upaya pekerja sosial dalam melaksanakan tugasnya meningkatkan taraf kesejahteraan bagi individu, kelompok atau masyarakat yang mengalami ketidakberdayaan dan ketidakberfungsian sosial. Menurut Midgley (1997:117) untuk melaksanakan tugas tersebut harus dilakukan oleh para profesional tenaga terlatih yang berasal dari luar komunitasnya. Meskipun demikian dimungkinkan juga menggunakan tenaga dari petugas-petugas lokal dalam rangka memobilisasi partisipasi lokal, mengorganisir kegiatan serta menghubungkan dengan sistem sumber ataupun kelembagaan setempat. Perlunya pendampingan dalam usaha menyelesaikan masalah anak jalanan didasarkan pada sebuah asumsi bahwa anak jalanan merupakan penyandang masalah yang kompleks. Sehingga pemberdayaan yang dilakukan tak ubahnya sebagai upaya membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalahnya serta menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya (Departemen Sosial RI, 1999:5.) oleh karena itu, Ife (1997:201) menyarankan bahwa kegiatan pendampingan harus dilaksanakan secara generalis. Untuk itu pula seorang pendamping harus mampu memerankan tugas dan fungsinya sebagai berikut: 4) Technical Roles Peran teknis lebih mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat teknis. Dalam peran ini pendamping dituntut tidak hanya mampu mengorganisir kelompok, tetapi juga tugas-tugas teknis seperi pengumpulan dan analisis data, penggunaan peralatan penunjang, pengelolaan administrasi maupun pengendalian keuangan. Rumah Singgah Perhatian khusus pemerintah terhadap anak jalanan baru muncul sekitar tahun 1998, yaitu dengan mendirikan Rumah Singgah bagi anak jalalanan. Pembentukan Rumah Singgah merupakan upaya pelayanan kesejahteraan sosial terhadap anak jalanan yang di landasi oleh UUD 1945 pasal 34. Rumah Singgah sendiri menurut Departemen Sosial didefinisikan sebagai suatu wahanan yang akan dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka mereka. Rumah Singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resoalisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Rumah Singgah merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh karenanya penting menciptakan Rumah Singgah sebagai tempatt yang aman, nyaman, menarik dan menyenangkan bagi anak jalanan. Tujuan Rumah Singgah adalah membantu anak jalan mengatasi masalahmasalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2) Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti 1) Fasilitative Roles Sebagai fasilitator seorang pendamping harus mampu merangsang dan mendukung kemajuan individu atau komutas yang didampingi. 2) Education Roles Dalam menjalankan peran ini seorang pendamping harus secara aktif 58 SHARE SOCIAL WORK JURNAL 3) VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 situasi, dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab, dan upaya masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan ini. 7) Pusat rujukan Dalam fungsi ini Rumah Singgah menjadi rujukan bagi anak jalanan terhadap kebutuahn dan masalah yang tidak terpenuhi di jalanan. dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif. Menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif. Rumah Singgah memiliki fungsi sebagai berikut: 1) Fasilitatornya (perantara dengan keluarga/lembaga lain) Rumah Singgah merupakan perantara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya. Anak jalanan diharapkan tidak terus menerus bergantung kepada Rumah Singgah melainkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik melalui atau setelah proses yang dijalaninnya. 2) Kuratif-Rehabilitatif (mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial bagi anak). Dalam fungsi ini, para pekerja sosial diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan membetulkan sikap dan perilaku seharihari yang akhirnya akan mampu menumbuhkan keberfungsian sosialan anak. cara-cara atau intervensi profesional dilakukan untuk fungsi ini termasuk menggunakan konselor yang sesuai dengan masalahnya. 3) Perlindungan Rumah Singgah dipandang sebagai tempat anak berlindung dari kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan bentuk-bentuk yang terjadi dijalanan. 4) Pusat informasi Rumah Singgah menyediakan informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain. 5) Akses terhadap pelayanan Sebagai persinggahan, Rumah Singgah menyediakan akses kepada berbagai pelayanan sosial. Pekerja Sosial membantu anak mencapai pelayanan tersebut. 6) Lokasi Rumah Singgah berada di tengahtengah lingkungan masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali norma, Prinsip-prinsip Rumah Singgah 1) Semi Institusional Dalam bentuk ini anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk, baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan. 2) Pusat kegiatan Rumah Singgah merupakan tempat kegiatan, pusat informasi, dan akses bagi seluruh kegiatan baik yang dilakukan di dalam maupun di luar Rumah Singgah. 3) Terbuka 24 jam Rumah Singgah terbuka 24 jam bagi anak. mereka boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal Rumah Singgah. Para pekerja sosial siap dikondikan untuk menerima anak dalam 24 jam tersebut. 4) Hubungan Informal (kekeluargaan) Hubungan-hubungan yang terjadi di Rumah Singgah bersifat informal seperti perkawanan atau kekeluargaan. Anak jalanan dibimbing untuk merasa sebagai anggota keluarga besar dimana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara/kakak atau orang tua. 5) Bebas untuk apa saja bagi anak Di dalam Rumah Singgah anak jalan dibebaskan untuk melakukan apa saja, seperti tidur, bermain, bercanda, bercengkrama, mandi dan sebagainya. Meskipun demikian, perilaku yang negatif seperti perjudian, merokok, minuman keras dan sejenisnya dilarang. Peraturan dibuat dan disepakati oleh anak-anak. 6) Persinggahan dari jalanan ke rumah atau ke alternatif lain Pengertian singgah sebagai berikut: a. Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan. Biasanya dihadapi oleh anak yang hidup di 59 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 pendidikan luar sekolah yang memiliki peranan penting bagi kehidupan anak-anak jalanan, terutama jika dijalankan sesuai dengan fungsinya. Rumah Singgah merupakan upaya agar hak-hak dari anak jalan dapat terpenuh, yang akan mendorong kelancaran proses tumbuh kembang, dengan harapan dapat mengembalikan anak-anak jalanan itu kembali pada kehidupan normal seperti anak-anak lain dan meminimalkan waktu anak dijalan. jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal. b. Pada saat tinggal sementara mereka akan memperoleh intervensi yang instensif dari pekerja sosial c. Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat, bermain, mengikuti kegiatan dan lainlainnya. d. Rumah Singgah tidak memperkenalkan anak jalanan yang tinggal selamanya, misalkan karena tidak bayar. e. Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua saudaranya atau sudah mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok tidak diperkenalkan tinggal menetap di Rumah Singgah, kecuali ada beberapa situasi yang bersifat darurat. 7) Partisipasi 8) Kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Singgah didasarkan pada prinsip partisipasi dan kebersamaan. Pekerja sosial dengan anak jalanan memahami masalah, merencanakan, dan merumuskan kegiatan. Dengan cara ini anak dilatih belajar mengatasi masalahnya dan merasa memiliki atau memikirkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. 9) Berlajar Bermasyarakat Anak jalanan seringkali menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda dengan norma masyarakat. Rumah Singgah ditempatkan di tengah-tengah masyarakat agar mereka kembali belajar norma dan menunjukan sikap dan perilaku normatif. Tahapan-tahapan Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah Sesuai dengan jenis kegiatan, pelaksanaan penanganan masalah anak jalanan melalui Rumah Singgah berdasarkan pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Depsos, 1999:31-34) pelayanan dan kegiatan Rumah Singgah terbagi ke dalam 6 tahapan. Tahapan-tahapan tersebut mencangkup: 1) Penjangkauan dan pendampingan di jalan, adalah kegiatan kunjungan keluar Rumah Singgah untuk menjangkau anak jalanan sebagai upaya menciptakan kontak pendahuluan dan persahabatan dengan mereka 2) Indentifikasi anak (problem assessment) kegiatan ini merupakan suatu proses untuk menginvestasikan dan mengkaji identitas anak riwayat hidup, masalah, kebutuhan, potensi dan dinamika kehidupan anak jalanan secara cermat dan teliti. 3) Resosialisasi adalah suatu kegiatan merubah sikap dan perilaku anak agar sesuai dengan nilai dan norma sosial. 4) Pemberdayaan untuk anak jalan dimaksudkan sebagai upaya mengangkat anak jalanan dari keterlantaran serta sekaligus mengatasi masalah-masalah yang disandangnya dengan berusaha memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan, teruatam yang menyangkut kebutuhan dasar hidupnya. 5) Pemberdayaan untuk orang tua anak jalanan merupakan upaya Rumah Singgah dalam rangka membangun kembali fungsi-fungsi sosial keluarga melalui bimbingan sosial, bimbingan kewirausahaan maupun pendampingan. 6) Terminasi (pengakhiran pelayanan) adalah serangkaian kegiatan yang Dalam rangka mencapai tujuan serta mendukung fungsi penanganan anak jalanan melalui pendekatan Rumah Singgah didukung dengan program pemberdayaan, dalam hal ini ditempuh berbagai metode agar anak jalanan mengubah keadaan hidupnya seperti menggunakan pelatihan keterampilan, modal untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan juga disamping melayani anak, Rumah Singgah juga melayani orang tua anak, dikarenakan anak jalanan salah satunya muncul oleh kemiskinan dan ketidak harmonisan dalam keluarga. Dengan melihat uraian diatas maka Rumah Singgah merupakan lembaga 60 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kepada keluarga asli, keluarga panti, panti atau bersama teman-temannya. Dengan demikian RSAJ menggunakan pendekatan melalui anak dan keluarga secara sekaligus. Pencapaian tujuan pelepasan anak dari jalan ternyata bukan pekerjaan mudah, bahkan ada kelompok anak yang tidak bisa dirujuk ke manapun, termasuk juga anakanak jalanan yang memang sudah tidak tinggal dengan orang tuanya serta berkelompok mengontontrak bersama-sama. Proses pelepasan pada kasus ini sangat bervariasi, dari yang bisa dicapai beberapa hari sampai berbulan-bulan. Dengan pola demikian, RSAJ sendiri dikembangkan dengan tujuan agar: 1) Anak mempunyai cara hidup yang sehat dan normatif 2) Anak mempunyai pengetahuan dan keterampilan 3) Anak dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif jalanan. dilakukan pada akhir sebuah proses pemberdayaan anak jalanan. Kegiatan terminasi dilaksanakan dengan maksud agar hasil-hasil yang telah dicapai pada tahap proses pemberdayaan bisa di pertahankan dan secara terus menerus dapat ditumbuh kembangkan. Dalam tahapan-tahapan kegiatan pelaksanaan pemecahan anak jalanan ini yang berupa pemberdayaan dibutuhkan peran pendamping atau fasilitator yang berasal dari tenaga profesional khususnya peklerja sosial dan penanganan yang serius, agar tahapan-tahapan dalam tiap kegiatan dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan efektif, sehingga pelaksanaan pemberdayaan anak jalanan ini dapat berjalan secara berkelanjutan. Pengalaman Rumah Singgah Anak Jalanan YKAI Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ) merupakan penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Perhatian YKAI terhadap anak jalanan telah dimulai sejak tahun 1989 melalui berbagai kajian penelitian, penerbitan buletin maupun forum ilmiah. RSAJ merupakan lembaga semi institusional (semi panti), bentuknya berbeda dengan sistem panti dan non panti. Program semi institutional bersifat terbuka (open house) selama 24 jam untuk anak jalanan. Anakanak tidak diikat secara formal dan mereka bebas masuk RSAJ kapan pun mereka mau. Meski semi instutional, RSAJ dapat dipandang sebagai centre based, yakni suatu lembaga/panti yang dikelola secara fleksibel menuruti keadaan anak jalanan. RSAJ memang kecil dan hanya bisa menampung sekitar 10 anak, namun pelayanan yang diberikan kepada anak-anak yang tinggal di RSAJ lebih intensif. Di Rumah Singgah ini anak-anak bagai suatu keluarga, karena pekerja sosial yang menangani mereka bertindak sebagai orang tua peganti. Akan tetrapi, disadari RSAJ mempunyai keterbatasan pekerja sosial dan anak jalanan sendiri masih mempunyai keluarga, maka RSAJ hanya bertindak sebagai jembatan antara anak dan keluarganya atau berupa drop-in centre. Dengan fungsi referal, seperti merujuk Dengan demikian maka selama anak dalam proses pemulangan di RSAJ, anakanak dibekali materi sesuai dengan tujuan di atas, sehingga apabila seorang anak tidak lepas dari jalan, ia akan tetap survive hidup di jalanan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan RSAJ dan sesuai dengan bentuk lembaga, fungsinya, pendekatan yang kemudian di lakukan adalah: 1) Bimbingan sosial Bimbingan sosial merupakan kegiatan membantu anak untuk mengatasi masalah sehari-hari, baik dalam lingkungan jalanan, pekerjaan, keluarga maupun masalah pribadi. Anak-anakdi tangani secaar satu persatu dengan pendekatan case by case (social case work). Selain itu anak-anak yang mempunyai kesamaan masalah dikelompokan melalui metoda social grup work. Kegiatan ini untuk mengarahkan anak agar mempunyai mekanisme pertahanan diri agar dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mengatasi ancaman-ancaman di jalanan. 2) Pendidikan jalanan Banyak anak jalanan yang menghadapi situasi jalanan namun tidak tahu tentang apa yang dihadapinya. Dengan demikian, 61 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 pendidikan jalanan yang diberikan adalah materi pengetahuan yang sesuai dengan situasi dan masalah yang dihadapi anak jalanan. Materi ini berupa pengetahuan umum, kesehatan, sistem sosial, komunikasi dan literacy. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dibagi kedalam tiga kelompok kategori yaitu Children of the street, children on the street dan children at high risk. Dapat diketahui terjadinya anak jalanan bukan hanya disebabkan dari faktor ekonomi saja, namun faktor keluarga dan lingkungan juga cukup berpengaruh terhadap munculnya anak jalanan. Dengan demikian berbagai faktor akan mempengaruhi keberadaan anak jalanan. Departemen Sosial RI bekerja sama dengan UNDP (United Nation United Programe) dalam proyek INS/94/007 pembuatan Rumah Singgah (Departemen Sosial,1997:31). Dalam pendekatan ini penanganannya tidak dilakukan sendirisendiri. Namun, dilakukan secara terpadu dari tiga pendekatan yang pernah ada. Sehingga dalam pendekatan Rumah Singgah tercangkup pula pendekatan street based yaitu dengan melakukan penjangkauan dan pendampingan. Pendekatan centre based dimana Rumah Singgah merupakan tempat persinggahan bagi anak, selain itu Rumah Singgah juga melakukan kerja sama dengan pihak lain sebagai rujukan dalam melaksanakan kegiatan centre based ini. Sedangkan pendekatan community based rumah singgah melakukan kerja sama atau menggali sumber yang ada di dalam masyarakat sehingga penanganan anak jalana dapat sinkron dengan kehidupan dan kebutuhan di masyarakat. Selain itu Rumah Singgah juga melakukan kegiatan berupa bimbingan dan pemberdayaan. Bimbingan dilakukan baik terhadap anak jalanan maupun terhadap orang tua anak jalanan. Bimbingan dilakukan baik dibutuhkan maupun tidak dibutuhkan oleh anak jalan dan orang tua anak jalan. Bimbingan ini dilaksanakan dengan cara mendatangi anak jalanan atau orang tua anak jalanan. Sedangkan program pemberdayaan dalam pelayanan dan kegiatan Rumah Singgah terbagi ke dalam 6 tahapan. Tahapan-tahapan tersebut mencangkup: Penjangkauan, Identifikasi anak, resosialisasi, pemberdayaan anak, pemberdayaan orang tua dan terminasi. Program pemberdayaan di tujukan untuk meningkatkan kemampuan anak jalanan dan orang tua anak jalan sehingga mempunyai pengetahuan yang 3) Home Visit Kegiatan ini merupakan penjabaran dari pendekatan keluarga. Home visit dilakukan kepada semua keluarga anak jalanan, utamanya anak jalanan yang sudah kembali ke orang tuanya. Kegiatan ini terbagi empat kegiatan, yakni: 1. Kunjungan keluarga, 2. Mengirim surat, 3. Datang ke RSAJ dan 4. Meneriman surat. Dalam setiap kunjungan dilakukan bimbingan pengasuhan anak kepada orang tua dan mengidentifikasi anak yang sudah pulang. Dalam perkermbangannya, kepada orang tua anak diberikan pula pinjaman uang. Pinjaman ini digunakan untuk masalah sehari-hari atau income generating. Dari uraian diatas terlihat bahwa RSAJ bertumpu pada pengasuhan anak dan kelurganya, selain itu RSAJ juga mengarahkan anak binaan dan keluarganya agar dapat mandiri, berusaha bisa mengatasi masalah secara benar dan pemenuhan hidup sehari-hari. Untuk mencapai tujuannya, beberapa hambatan sering kali terjadi. hambatan tersebut antara lain: 1) Keterbatasan pekerja sosial yang hanya dua orang, tidak maksimal melaksanakan kegiatan. 2) Anak binaan yang menyebar di luar Jakarta sehingga sulit memonitor mobile: 3) Beberapa anak sangat sehingga tidak mudah untuk dilayani. Tata Sudrajat (1996:159-164). Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Anak jalanan merupakan kelompok anak marjinal juga menyebutkan Marjinal, rentan, dan eksploitasi yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau tempattempat umum lainnya. Akan tetapi, keberadaan anak jalanan secara umum 62 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 meningkat, dapat mandiri sehingga anak jalan tidak beraktivitas lagi dijalan. Pemberdayaan bagi orang tua dimaksudkan agar orang tua dapat meningkatkan kemampuannya dalam mencukup kebutuhan keluarganya. Dengan demikian anak terhindar untuk beraktivitas dijalan. Selain itu orang tua atau keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarganya. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 merupakan profesi yang sangat memahami persoalan dan permasalahan sosial anak jalanan di Rumah Singgah dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Satu hal hal yang penting: program apapun yang akan dilakukan da pendekatan apa yang dipilih, modal awal yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan anak jalanan adalah sikap empati dan komitmen yang benar-benar tulus dari kita semua. Tanpa dilandasi dan dipandu oleh kedua hal ini, maka jangan heran jika nasib anak-anak jalanan tidak akan pernah selesai sampai ke akarnya. Salah satu Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ) yang telah ada sejak tahun 1989 adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). RSAJ sendiri dikembangkan dengan tujuan agar: Anak mempunyai cara hidup yang sehat dan normatif, Anak mempunyai pengetahuan dan keterampilan, Anak dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif jalanan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan RSAJ dan sesuai dengan bentuk lembaga, fungsinya, pendekatan yang kemudian di lakukan: bimbingan sosial, pendidikan jasmani dan home visit. Dari uraian diatas terlihat bahwa RSAJ bertumpu pada pengasuhan anak dan kelurganya, selain itu RSAJ juga mengarahkan anak binaan dan keluarganya agar dapat mandiri, berusaha bisa mengatasi masalah secara benar dan pemenuhan hidup sehari-hari. Akan tetapi, dalam pencapaiannya RSAJ ada beberapa hambatan yaitu: Keterbatasan tenaga ahli seperti pekerja sosial, Anak binaan yang menyebar di luar jangkauan dan Beberapa anak jalanan yang memiliki mobilitas yang tinggi sehingga sulit untuk diberikan pelayanan. Daftar Pustaka Armai Arief. 2002. Rumah Singgah Sebagai Tempat Alternative Pemberdayaan Anak Jalanan. Dalam Jurnal Fajar. Jakarta: LPM UIN. Astutianny April, Maria. 2001. Pemberdayaan Anak Jalanan Di DKI Jakarta: Studi Kasus di Rumah Singgah Setia Kawan II Jakarta. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Amal, Bakhrul Khair. 2003. Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah: Studi Kebijakan Penanganan Anak Jalanan di Indonesia. Tesis. Depeok: Universitas Indonesia Departemen Sosial RI. 1999. Penyelenggaraan Jalanan Melalui Pedoman Pembinaan Anak Rumah Singgah. Jakarta: Departemen Sosial RI. Dubois, Brenda. Milley, Karla Kongsrud. 1992. Social Work An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon. Hurlock, B. Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlanga. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternative Vision, Analysis and Practic. Saran Optimalisasi pelaksanaan dengan menerapkan metode community base, dimana penanganan anak jalan dilakukan bersama-sama dengan warga masyarakat setempat dan pemerintah daerah khususnya kota setempat mengadakan penanganan anak jalanan ke dalam rencana pembangunan di wilayahnya masing-masing dan Lembaga Swadaya Masyarakat bertindak sebagai pengawal dalam pelaksanaan pemberdayaan tersebut. Meningkatkan jumlah pekerja profesional khususnya pekerja sosial yang Australiang: Longman. Isbandi Rukminto, Adi. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Isbandi, Rukminto, Adi. 2008. Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat: Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Depok: PT RajaGrafindo Persada 63 SHARE SOCIAL WORK JURNAL Lusk, VOLUME: 5 NOMOR: 1 Street Children Program in Latin America. Journal of Mark. W. 1984. Sociology & Social Welfare Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya. Midgley, James. 1995. Social Development: The Development Perspective in London: Sage Social Welfare. Publication Inc. Mulandar, Surya. 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan. Bandung:Akatiga Sudrajat, A. 1989. Profil Anak Jalanan di DKI Jakarta. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial. Departemen Sosial RI. Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta:Kencana Prenada Media Group Sanusi, Makmur. (1995) Beberapa Temuan Lapangan Survey Anak Jalanan dan Rencana Penangannya di Jakarta dan Surabaya. Jakarta. Departemen Sosial, UNDP. Web: http://cumadiindonesia.com/makinmaraknya-anak-jalanan-siapa-yang bertanggung-jawab/ di unduh pada tanggal 27 Maret 2015 pukul 17.28 64 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 POLA PENGASUHAN ORANG TUA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN ANAK DOWN SYNDROME (Studi Deskriptif Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur) Parenting Parents In Formation Efforts Independence Down Syndrome Child (descriptive studies of parenting patterns in children with Down syndrome who attend school in the C1 class SD-LB Extraordinary Education Foundation Trustees Bina Asih Cianjur). Oleh: Nadia Uswatun Hasanah, Hery Wibowo & Sahadi Humaedi Email: ([email protected]; [email protected]; [email protected]) ABSTRAK Penelitian ini berjudul ”Pola Pengasuhan Orang Tua Dalam Upaya Pembentukan Kemandirian Anak Down Syndrome (studi deskriptif pola pengasuhan orang tua pada anak Down Syndrome yang bersekolah di kelas C1 SD-LB Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Bina Asih Cianjur). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana bentuk pola pengasuhan yang diterapkan orang tua terhadap anak Down Syndrome di kawasan Cianjur. Pola pengasuhan tersebut meliputi pola pengasuhan permisif, otoriter dan demokratis. Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi deskriptif, sedangkan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman studi dokumentasi. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi non-partisipatif, dan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yaitu, 6 orang dari pihak orang tua anak Down Syndrome. Dimana dalam penelitian ini akan di observasi dari 3 keluarga yang memiliki anak Down Syndrome, dengan masing-masing terdiri dari ayah dan ibu. Serta 2 orang dari pihak yayasan sebagai pihak yang memantau perkembangan kemandirian anak pada saat di sekolah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola pengasuhan orang tua berperan besar dalam pembentukan kemandirian anak Down Syndrome. Bentuk pola pengasuhan seperti apa, itulah yang akan membentuk karakter anak dan mempengaruhi kemandirian anak Down Syndrome, dikarenakan pola pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan pada saat di rumah. Anak Down Syndrome memang membutuhkan perhatian lebih karena keterbatasannya. Namun hal ini tidak berarti mereka menjadi anak yang terus bergantung dan tidak mampu mandiri. Di satu sisi, mereka membutuhkan perhatian khusus, namun di sisi lain mereka juga perlu diberikan ruang untuk dapat mengembangkan kemampuannya. Maka dari itu, pola pengasuhan orang tua lah yang sangat berperan dalam hal ini. Dengan demikian, peneliti menyarankan suatu program pelatihan dan pembinaan bagi para orang tua anak Down Syndrome yaitu “Parenting Support”. Program ini bertujuan untuk memberikan pembinaan dan pelatihan bagi para orang tua agar mampu dalam merawat, mendidik dan menjaga anak Down Syndrome, guna mendukung pada ketercapaian pemenuhan kebutuhan dasar dan kemandirian mereka. Kata Kunci: Pola Pengasuhan Orang Tua, Kemandirian, Anak Down Syndrome, Person In Environment 65 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 ABSTRACT The title if this research "Parenting Parents In Formation Efforts Independence Down Syndrome Child (descriptive studies of parenting patterns in children with Down syndrome who attend school in the C1 class SD-LB Extraordinary Education Foundation Trustees Bina Asih Cianjur). This study aims to describe how the shape applied parenting parents of children with Down syndrome in Cianjur district. These include parenting permissive parenting styles, authoritarian and democratic. Researchers used a qualitative research approach with a descriptive study method, while the instruments used in data collection is interview, observation guidelines, and guidelines for documentation. The technique used is the in-depth interviews, non-participatory observation, and literature study. Informants in this study amounted to 8 ie, 6 people from the parents of children with Down syndrome. Which in this study will be in observation of three families who have children with Down syndrome, with each consisting of a father and mother. And 2 from the foundation as a party to monitor the development of the child's independence at the time at school. These results indicate that parenting parents play a major role in the formation of Down Syndrome child's independence. Such as what form of parenting, that will shape the character of children and affect the independence of children with Down syndrome, due to habituationconditioning pattern that is applied at the time at home. Down Syndrome child does require more attention because of its limitations. But this does not mean they become children who are not able to continue to rely and independently. On the one hand, they need special attention, but on the other hand they also need to be given space to develop their abilities. Therefore, the pattern of parenting was the one who was instrumental in this regard. Thus, the researchers recommend a course of training and coaching for the parents of children with Down Syndrome are "Parenting Support". The program aims to provide guidance and training for parents to be able to care for, educate and keep the Down Syndrome child, in order to support the fulfillment of basic needs and the achievement of their independence. Keywords: Parenting Parents, Independence, Child Down Syndrome, Person In Environment 30 tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003). Pendahuluan Down Kelahiran anak dengan Syndrome, kini banyak terjadi di berbagai negara belahan di dunia. Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa. Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam setiap 1000 angka kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, jumlah penderita Down Syndrome di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2010. Sebagaimana yang tercantum di dalam grafik berikut ini: 66 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 tua. Sehingga mereka tidak diperkenankan untuk berinteraksi ataupun sekedar bertatap muka dengan orang lain di luar rumah. Tabel 1 Data jumlah anak dengan kedisabilitasan di Indonesia pada tahun 2013 Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang disebabkan oleh adanya kelebihan kromosom ke-21 pada saat terjadinya pembuahan antara sel sperma dan sel ovum (Buckley: 2000). Dalam segi intelektual, penyandang Down Syndrome mengalami retardasi mental sedang hingga parah, dengan karakteristik tertentu yang mereka miliki. Maka dari itu, anak dengan Down Syndrome juga mengalami keterlambatan dalam menjalankan fungsi adaptifnya dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka. Keadaan inilah yang mempengaruhi dalam ketercapaian aspek kemandirian pada anak tersebut. Namun, hal itu bukan berarti anak dengan Down Syndrome tidak mampu mandiri. Mereka tetap bisa mencapai kemandiriannya, hanya saja berbeda konteks dengan kemandirian anak normal pada umumnya. Inilah yang sering terjadi di masyarakat kita pada umumnya, dimana label “berkebutuhan khusus”, justru menjadikan para orang tua yang memiliki anak Down Syndrome terlalu mengistimewakan anak mereka. Dalam artian, segala kebutuhan anak selalu dipenuhi tanpa memberikan kesempatan untuk anak mengembangkan kemampuannya, sekalipun di dalam keterbatasan anak tersebut. (Sumber: Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan) Data yang diperoleh berdasarkan Riskesdas tersebut mengidentifikasikan bahwa pada tahun 2013, jumlah penderita Down Syndrome mengalami peningkatan sejumlah 0,01 dibandingkan pada tahun 2012. Pada tahun 2010, penderita Down Syndrome ini menempati posisi ketiga dengan penderita terbanyak setelah tuna daksa dan tuna wicara yaitu sebesar 0,12 dan posisi keempat sebagai penderita terbanyak pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,13. Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hingga 2011 jumlah anak dengan berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 18 ribu anak, termasuk di dalamnya anak Down Syndrome. Diperkirakan sekitar 3 hingga 7 persen atau sekitar 5,5 hingga 10,5 juta penderita disabilitas adalah anak usia di bawah 18 tahun, baik itu yang menyandang ketunaan atau masuk ke dalam kategori anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, tercatat bahwa Jawa Barat masuk ke dalam lima kategori provinsi dengan jumlah penyandang disabilitas terbanyak setelah Jawa Timur dan Jawa tengah. Dengan kategori kedisabilitasan seperti, kesulitan dalam melihat, mendengar, berbicara juga kesulitan dalam mengurus diri atau cacat mental (down syndrome, imbisil, idiot dan sebagainya). Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat adalah ketidaksiapan orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak dengan kedisabilitasan. Anak-anak dikurung di dalam rumah karena orang tua merasa malu dengan lingkungan sekitar terkait kondisi putra atau putrinya. Anak dengan Down Syndrome seringkali dianggap sebagai kutukan oleh para orang Untuk menjamin terpenuhinya hakhak dasar dan kebutuhan para penyandang disabilitas (dalam hal ini juga termasuk Down Syndrome), kini semakin banyak didirikannya Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi para Down penyandang cacat termasuk Syndrome. Tidak hanya di wilayah perkotaan saja, tetapi kini keberadaan SLB ini sudah mulai merambah ke wilayah-wilayah kecil seperti salah satunya SLB Yayasan Bina Asih Cianjur sebagai tempat dilakukannya peneltian. Berbagai pelayanan dengan berbagai bentuk metode intervensi banyak dilakukan sekolah-sekolah luar biasa, guna mendukung pada ketercapaian pemenuhan kebutuhan dasar serta aspek kemandirian anak Down Syndrome. Pelayanan dan bimbingan yang diberikan SLB terhadap anak Down Syndrome memang memberikan kontribusi dalam ketercapaian kemandirian 67 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 anak. Akan tetapi, layaknya sekolah-sekolah biasa pada umumnya, SLB ini hanya bersifat sementara saja. Kontribusi yang diberikan SLB dalam mendidik anak tidak akan lebih besar dibandingkan pada saat dirumah. Hal ini dikarenakan SLB hanya mampu memberikan pembinaan dan pelayanan bagi para Down Syndrome dalam waktu yang sudah ditentukan (terbatas) sebagaimana para siswa-siswa yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah biasa pada umumnya. Untuk selanjutnya mereka dididik dan dibimbing oleh orang tua mereka dirumah. Dikarenakan waktu yang dihabiskan dirumah akan lebih lama dibandingkan saat di SLB, maka dari itu proses pembelajaran dan pembentukan kemandirian anak akan lebih berperan besar pada saat dirumah. Maka dari itu, pola pengasuhan yang diberikan orang tua akan sangat berperan besar terhadap tumbuhkembang anak Down Syndrome. Sebagaimana yang dikemukakan Grolnick (2011) bahwa parenting atau pengasuhan memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan kemandirian anak. Dan tugas utama yang dihadapi seseorang dengan disabilitas adalah mencapai kemandiriannya (Cohen, 1977). HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 sendiri. Dalam hal ini lingkungan yang paling berpengaruh adalah keluarga, dan orang tua lah yang berperan besar di dalamnya. Pola pengasuhan orang tua dalam mendidik, merawat dan menjaga anak, sangat menentukan tumbuhkembang anak. Bentuk pola pengasuhan seperti apa, itulah yang akan membentuk karakter anak, dikarenakan pola pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan pada saat di rumah. Sadar bahwa pola pengasuhan yang diberikan orang tua sangat berkontribusi dalam pembentukan karakter dan kemandirian anak, maka dari itu, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mengenai pola pengasuhan seperti apa yang banyak diterapkan orang tua terhadap anak Down Syndrome di kawasan Kabupaten Cianjur. Metode, Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi deskriptif, sedangkan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman studi dokumentasi. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi non-partisipatif, dan studi kepustakaan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yaitu, 6 orang dari pihak orang tua anak Down Syndrome. Dimana dalam penelitian ini akan di observasi dari 3 keluarga yang memiliki anak Down Syndrome, dengan masing-masing terdiri dari ayah dan ibu. Serta 2 orang dari pihak yayasan sebagai pihak yang memantau perkembangan kemandirian anak pada saat di sekolah. Kemandirian memang aspek yang penting untuk seorang anak, terlebih ketika anak tersebut sudah memasuki usia remaja. Namun kemandirian tersebut tidak hanya penting bagi anak normal saja. Anak dengan Down Syndrome juga perlu untuk mencapai tingkat kemandiriannya. Dimana walaupun mereka memiliki keterlambatan, namun mereka tetap bisa melakukan aktivitasaktivitas tertentu oleh diri mereka sendiri. Tidak selalu menggantungkan pada orang lain. Cohen (1977) dalam bukunya mengemukakan bahwa, tugas utama yang dihadapi seseorang dengan disabilitas adalah mencapai kemandirian. Dan penelitian tentang kemandirian pada penyandang Down Syndrome penting, karena kemandirian berkontribusi pada self esteem (Buckley, et al. 2002). Tercapainya kemandirian pada anak Down Syndrome, tentunya dipengaruhi pula oleh lingkungan sosial di sekitar mereka. Sejauh mana orang-orang di sekitar mereka memberikan ruang untuk mereka mengembangkan kemampuannya dan mencoba untuk melakukan aktivitas tertentu Peneliti memulai melakukan prapenelitian dengan mengumpulkan data terlebih dahulu dan melakukan proses wawancara kepada pihak yayasan. Informan dari pihak yayasan ini adalah kepala sekolah SLB dan wali kelas murid Down Sydnrome yang bersekolah di SLB tersebut. Pihak yayasan ini berguna dalam memberikan informasi terkait anak Down Syndrome yang bersekolah di SLB tersebut, juga sebagai 68 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 ketika kecil maupun sudah dewasa serta acuh terhadap kondisi sekitar. Sebagaimana yang dikemukakan Wong at al (2008), bahwa dalam pola asuh permisif, orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar prilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. pihak yang memantau kemandirian anak Down Syndrome selama di sekolah. Setelah itu, peneliti memulai penelitian dengan melakukan observasi ke rumah orang tua yang memiliki anak Down Syndrome. Dalam hal ini peneliti meneliti 3 keluarga dengan masing-masing informan ayah dan ibu. Hasil penelitian menunjukan, bahwa memang pola pengasuhan orang tua sangat berperan besar dalam pencapaian kemandirian anak Down Syndrome. Dari hasil observasi masih didapatkan orang tua yang terlalu memberikan perhatian penuh pada anak mereka. Sehingga keterbatasan membuat diri mereka menjadi semakin bergantung. Bentuk pola pengasuhan seperti apa yang diterapkan, itulah yang akan membentuk karakter anak dan mempengaruhi ketercapaian kemandirian anak Down Syndrome. Mengacu pada konsep yang dikemukakan Wong et al (2008), bentuk pola pengasuhan dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu: pola pengasuhan permisif, pola pengasuhan otoriter dan pola pengasuhan demokratis. Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua terkesan cuek terhadap anaknya. Sehingga apapun yang dilakukan anak diperbolehkan orang tua seperti misalnya, tidak sekolah, bandel, melakukan pergaulan bebas negatif dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004). Pada jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu memberi bimbingan dan kontrol terhadap anaknya serta perhatian pun terkesan kurang. Kendali anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan permisif biasanya diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Anak hanya diberikan materi atau harta saja dan cenderung diberikan kebebasan untuk melakukan apapun menurut anak. Pola asuh seperti ini tentunya akan berdampak kepada anak dimana nantinya anak akan berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak peduli dengan tanggung jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri yang buruk, salah dalam bergaul, kurang menghargai orang lain, baik Pada pola pengasuhan otoriter, orang tua sangat menanamkan nilai kedisiplinan pada anaknya dan menuntut prestasi tinggi. Namun, dipihak lain orang tua tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk mengumukakan suatu pendapat, sekaligus memenuhi kebutuhan anak. Tipe pola asuh otoriter ini membuat anak mandiri karena sifat orang tua yang terlalu disiplin dan tegas. Namun disisi lain, kemandirian anak tersebut bukan lahir dari kesadarannya sendiri, melainkan kemandirian karena sikap orang tua yang terlalu memaksa dalam memperoleh prestasi anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Widyarini (2003), bahwa pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang otoriter menekankan kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semena-mena kepada anak. Sebagaimana dikemuakkan oleh Wong at al (2008), bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut. Pola pengasuhan otoritatif disebut pula dengan pola pengasuhan demokratis. 69 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Dalam pola asuh otoritatif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara anak dan orang tua. Orang tua tidak mengambil posisi mutlak dan tidak juga mendasari pada kebutuhan anak semata. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Kesimpulan Pola pengasuhan yang diberikan orang tua, memang memberikan pengaruh terhadap kemandirian anak. Namun tercapai atau tidaknya kemandirian anak, hal itu tergantung pada bentuk pola asuh seperti apakah yang diterapkan orang tua pada saat di rumah. Pola penagsuhan orang tua berperan dalam pembentukan karakter anak dan ketercapaian kemandiriannya. 70 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MARGALUYU KELURAHAN CICURUG Oleh: Nur Rahmawati Sulistiyorini, Rudi Saprudin Darwis, & Arie Surya Gutama Email: [email protected], [email protected]; [email protected] ABSTRAK Produksi sampah setiap hari semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah produk dan pola konsumsi masyarakat. Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi paningkatan volume sampah tersebut adalah dengan cara: mengurangi volume sampah dari sumbernya melalui pemberdayaan masyarakat. Permasalahan dalam partispasi masyarakat mengenai pengelolaan sampah adalah apa saja bentuk regulasi yang terkait dengan pengelolaan sampah di Lingkungan Margaluyu, bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dan tngkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah. Penelitian tentang pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug, Tujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk partisipasi masyarakat di Lingkungan Margaluyu. (2) mendeskripsikan tingkat partisipasi masyrakat di Lingkungan Margaluyu Teknik pengumpulan data meliputi wawancara, observasi dan dokumentasi, sedangkan analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam upaya perbaikan lingkungan yaitu dengan memberikan sumbangan tenaga berupa kerja bakti dan ikut serta dalam pengelolaan sampah. Selain itu, mereka juga mengadakan pertemuan warga yang dilakukan satu kali dalam sebulan, yang dihadiri oleh sebagian warga untuk tingkat RW dan seluruh warga untuk tingkat RT. Dalam hal ini tingkat RT cenderung berbentuk partisipasi langsung sedangkan tingkat RW berbentuk partisipasi tak langsung. Warga melakukan kegiatan tersebut tanpa merasa terpaksa sama sekali. Tingkat peran serta masyarakat yang terjadi di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug menurut kategori sedang, masyarakat ikut serta partisipasi akan tetapi pelaksanaanya masih belum maksimal. Kata Kunci : Partisipasi masyarakat, dalam pengelolaan sampah. ABSTRAC Production of waste every day is increasing as the number of products and patterns of consumption. The thing to do to overcome is that the increase in the volume of waste by means of: reducing the volume of waste from the source through community empowerment. Problems in public participation regarding waste management is any form of regulation related to waste management in the Environment Margaluyu, what form of community participation in waste management and tngkat community participation in waste management. Research on communitybased waste management in the Environment Village Margaluyu Cicurug, Goals for: (1) describe the form of community participation in the Environment Margaluyu. (2) describe the level of participation of the community in Margaluyu Environmental Engineering Data collection includes interviews, observation and documentation, while the analysis of data using qualitative descriptive technique. Based on this research, one of the forms of community participation in environmental improvement efforts is by donating labor in the form of voluntary work and participate in waste management. In addition, they also held a community meeting is held once in a month, which was attended by some residents to level entire neighborhoods and residents to the neighborhood level. In this case the neighborhood level tend to be shaped while the direct participation of the local level in the form of indirect participation. Residents perform these activities without feeling forced 71 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 at all. The level of community participation that occurred in the village of Environmental Margaluyu Cicurug according to the category of being, society will participate participation but its implementation is still not maximal. Key Words : Community participation, in waste management. PENDAHULUAN kesehatan manusia. Sampah yang selama ini kita buang begitu saja, ternyata masih dapat diolah kembali antara lain dalam bentuk kerajinan yang bernilai ekonomi, bercita rasa seni dan unik. Secara umum pengelolaan sampah dilakukan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu : pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami proses-proses tertentu, baik secara fisik, kimiawi, maupun biologis. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan yang hijau, bersih dan sehat serta menguatkan inisiatif masyarakat dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi lingkungan. Disamping itu, kemampuan masyarakat berkontribusi dalam pengelolaan sampah juga akan sangat tergantung kepada pendapatan masyarakat, khususnya di lingkungan Margaluyu, Kabupaten Majalengka. Kondisi keadaan Untuk mencapai kondisi masyarakat yang hidup sehat dan sejahtera di masa yang akan datang, akan sangat diperlukan adanya lingkungan permukiman yang sehat. Dari aspek persampahan, maka kata sehat akan berarti sebagai kondisi yang akan dapat dicapai bila sampah dapat dikelola secara baik sehingga bersih dari lingkungan permukiman dimana manusia beraktifitas di dalamnya. Persoalan lingkungan yang selalu menjadi isu besar di hampir seluruh wilayah perkotaan adalah masalah sampah (Febrianie dalam Kompas 10 Januari 2004). Arif Rahmanullah dalam Kompas, 13 Agustus 2003 mengatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di kota dimungkinkan menjadi daya tarik luar biasa bagi penduduk untuk hijrah ke kota (urbanisasi). Akibatnya jumlah penduduk semakin membengkak, konsumsi masyarakat perkotaan melonjak, yang pada akhirnya akan mengakibatkan jumlah sampah juga meningkat. Pertambahan jumlah sampah yang tidak diimbangi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan akan menyebabkan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan (Tuti Kustiah, 2005:1). Lebih jauh lagi, penanganan sampah yang tidak komprehensif akan memicu terjadinya masalah sosial, seperti amuk massa, bentrok antar warga, pemblokiran fasilitas TPA. Pertumbuhan jumlah sampah di kota-kota di Indonesia setiap tahun meningkat secara tajam. Sebagai contoh di Kota Bandung. Di kota ini, pada tahun 2005 volume sampahnya sebanyak 7.400 m3 per hari; dan pada tahun 2006 telah mencapai 7.900 m3 per hari. Selain itu, di Jakarta, pada tahun 2005 volume sampah yang dihasilkan sebanyak 25.659 m3/hari; dan pada tahun 2006 telah mencapai 26,880 m3/hari. (Suganda dalam Kompas, 30 Nopember 2006). Sampah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sampah haruslah diolah atau di daur ulang dengan baik agar tidak mencemari lingkungan dan mengganggu Kelurahan Cicurug adalah merupakan bagian dari Kabupaten Majalengka yang posisi lokasinya terletak di kecamatan Majalengkayaitu perbatasan sebelah barat dengan kelurahan Babakan jawa, sebelah utara dengan Kelurahan Majalengka Wetan, sebelah selatan dengan kelurahan Sindangkasih dan sebelah timur dengan kecamatan Cigasong kondisi alam yang sejuk diapit dengan pegunungan yang asri. Luas wilayah + 129,725 HA m2, adapun jarak tempuh ke kota kecamatan adalah 1,5 KM dan jarak tempuh ke ibukota kabupaten + 2,5 km berpenduduk 2381 KK ( 8187 Jiwa ). Pria sebanyak 4206 Jiwa dan wanita sebanyak 3981 jiwaterbagi menjadi 9 ( RW ) dan 27 RT. (Sumber : Profil Kantor Kelurahan Cicurug Kabupaten Majalengka, 2015). Partisipasi masyarakat di Lingkungan Margaluyu dalam pengelolaan sampah di Lingkungan ini yang awalnya masyarakat sangat acuh dengan keberadaan sampah dengan adanya program pengelolaan sampah masyarakat mulai sadar dengan sampah dan 72 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 memulai untuk mengelolanya. Saat ini di Lingkungan Magaluyu Kelurahan Cicurug Kecamatan/ Kabupaten Majalengka pengelolaan sampah sudah dilakukan secara tepadu yang dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Hanjuang-Saung Eurih.KSM Hanjuang-Saung Eurih (Sumber : Informan Masyarakat, tahun HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di wilayah tersebut, maka perlu di lakukan penelitian secara mendalam, dengan alasan bahwa masalah sampah yang saat ini semakin santer di masyarakat yang merupakan salah satu masalah sosial. Masalah partisipasi masyarakat merupakan bidang kajian praktek pekerjaan sosial atau sangat relevan dengan fungsi dan tugas pekerjaan soial dalam memberikan intervensi pada pertolongan individu, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah sosial. 2015). Partisipasi dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci keberhasilan suatu kegiatan ataupun program. Menurut Sumardi dan Evers (1982, 3) partisipasi adalah ikut sertanya suatu kesatuan untuk mengambil bagian dalam aktivitas yang dilaksanakan oleh susunan kesatuan yang lebih besar dari masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan bersama sesuai dengan kemampuannya masing-masing untuk menunjang pencapaian tujuan tertentu tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Lebih dari itu, partisipasi berkaitan dengan tiga hal yakni mental and emotional involvement (keterlibatan mental dan emosi), motivation to contribute (dorongan untuk memberikan sumbangan), dan acceptance of responsibility (penerimaan tanggung jawab) sebagaimana diungkapkan (Davis Hurairah, Jurnal Sosial, 2012). Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah metode penelitian deskriptif.Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode studi pustaka yang terdiri atas pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen pendukung berupa data dari buku, jurnal ilmiah, dan dokumen elektronik dari internet. Adapun tahapan dalam penulisan diantaranya perumusan masalah untuk kemudian menjadi gagasan, pengumpulan data dan fakta terkait, verifikasi data dan fakta, analisa konseptual dengan argumentasi yang rasional, perumusan hasil gagasan dan kesimpulan serta rekomendasi terkait penanganan masalah. Kelurahan Cicurug Kecamatan Majalengka merupakan daerah yang memiliki jumlah penduduk 6.508 Jiwa yang mana memiliki kontribusi terhadap penambahan jumlah sampah di Kabupaten Majalengka, terlebih tidak adanya tempat pembuangan sampah sementara sehingga tanpa adanya pengarahan dari Pihak manapun masyarakat melakukan pembuangan sampah dengan pola Open Dumping serta membuang sampah ke sungai. Kebiasaan buruk masyarakat tersebut memiliki dampak negative terhadap lingkungan dan sungai, yang membuat terjadinya longsoran tanah di sisi sungai dikarenakan dijadikan lahan Open Dumping oleh masyarakat, dan dikhawatirkan jika masalah ini akan semakin buruk dari tahun ke-tahun. Untuk menjaga kelestarian lingkungan di sekitar kita maka masyarakat yang ada di kelurahan Cicurug harus terlibat dalam pengelolaan sampah mulai dari rumah tangga. Telaah Pustaka Partisipasi Masyarakat Partisipasi dapat diartikan dengan keikutsertaan atau keterlibatan baik secara fisik maupun non fisik dari seorang individu atau masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Santosa (1998:13) bahwa : “Partisipasi didefinisikan sebagai karakteristik mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.” Definisi tersebut menekankan bahwa partisipasi merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta 73 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 pelaksanaan. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikirn, bentuk sumbangan materi, dan bentu keterlibatan sebagai anggota. 3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indicator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program. 4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan program. lebih menekankan pada aspek psikologis yang mendorong seseorang atau individu untuk melakukan tindakan tertentu dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat tiga unsur partisipasi, yaitu : 1. Adanya tanggung jawab 2. Kesediaan memberikan sumbangan untuk mencapai tujuan kelompok 3. Kesediaan mereka terlibat di dalam kelompok Dari definisi-definisi tentang partisipasi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pada dasarnya merupakan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pembuangan, pengangkutan, dan pengelolaan sampah, atas dasar rasa kesadaran dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. Sesuai dengan pernyataan Sastropoetro (1988:37), bahwa “Keterlibatan Spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan”. Menurut Sastropoetro (1986: 16-18) jenis partisipasi meliputi (1) Pemikiran; (2) Tenaga; (3) Pemikiran dan Tenaga; (4) Keahlian; (5) Barang; (6) Uang. Kemudian Hamijoyo (2007: 21) menjabarkan jenis partisipasi sebagai berikut: 1. Partisipasi pemikiran adalah partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program, maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. 2. Partispasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. 3. Partisipasi ketrampilan adalah memberikan dorongan melalui ketrampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meingkatkan kesejahteraan sosialnya. 4. Partisipasi barang adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang barang atau harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja. 5. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan, Berdasarkan pendapat tersebut, maka partisipasi seseorang sebaiknya didasarkan atas kesadaran sendiri, keyakinan serta kemauan, sebab hal itu akan bermanfaat bagi dirinya. Karena dirinya merasa tidak dipaksakan sehingga dalam mengikuti kegiatan dapat dilaksanakan dengan sukarela. Jenis-Jenis Partisipasi Masyarakat Tidak semua partisipasi ada atas kesadaran dan inisiatif warga masyarakat tetapi juga bisa merupakan mobilisasi dari atas untuk mencapai tujuan. Menurut Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979: 51) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahap perencanaan, ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatankegiatan yang merencanakan program pembangunan yang akan dilaksanakan, serta menyusun rencana kerjanya. 2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam program, inti dari keberhasilan suatu program adalah 74 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Tingkat Partisipasi Masyarakat Tinjauan tentang Sampah Partisipasi itu berproses dan untuk membedakan prosesnya dibuatlah tangga/tingkatan partisipasi. Teori tingkat partisipasi ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembobotan terhadap tolok ukur tingkat partisipasi masyarakat. Konsep tingkat partisipasi dari berbagai teori dan pengalaman dalam bidang perencanaan partisipatif. Tingkatan Partisipasi menurut Hetifah Sj. Sumarto. Pendapat yang diutarakan oleh salah seorang praktisi lapangan dalam bidang perencanaan partisipatif di Indonesia yaitu Sumarto (2003:113). Melihat dari pengalaman praktis dari perencanaan partisipatif di beberapa kawasan Indonesia, Sumarto mengelompokkan tingkat partisipasi masyarakar menjadi 3 bagian yaitu: Menurut Davis dan Cornwell (2008: 737) menjelaskan bahwa kata sampah padat merupakan suatu kata yang umum digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang kita buang. Sampah padat, dimana terdiri dari bermacam benda-benda yang sudah dibuang, mengandung berbagai macam zar baik yang dapat berbahaya maupun tidak bebahaya. Akan tetapi secara umum, sampah padat yang menumpuk mampu menimbulkan dampak yang cukup serius bagi populasi manusia yang padat. Dari penjelasan tersebut, masalah sampah sebagai salah satu permasalahan lingkungan dapat dikatakan juga sebagai masalah sosial yang perlu diatur karena mempengaruhi kehidupan masyarakatl luas sebagaimana dikatakan bahwa lingkungan merupakan factor pendukung kehidupan manusia. 1. Tinggi • Inisiatif datang dari masyarakat dan dilakukan secara mandiri mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga pemeliharaan hasil pembangunan. • Masyarakat tidak hanya ikut merumuskan program, akan tetapi juga menentukan program-program yang akan dilaksanakan 2. Sedang • Masyarakat sudah ikut berpartisipasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih didominasi golongan tertentu • Masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya, akan tetapi masih terbatas pada masalah keseharian 3. Rendah • Masyarakat hanya menyaksikan kegiatan proyek yang dilakukan oleh pemerintah. • Masyarakat dapat memberikan masukan baik secara langsung atau melalui media massa, akan tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan saja. • Masyarakat masih sangat bergantung kepada dana dari pihak lain sehingga apabila dana berhenti maka kegiatan secara stimulan akan terhenti juga. Salah satu upaya untuk dapat menyelesaikan permasalahan sampah adalah dengan melakukan pengelolaan sampah yang bisa dilakukan dengan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle). 3R adalah prinsip utama mengelola sampah mulai dari sumbernya, melalui berbagai langkah yang mampu mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Langkah utama adalah penilihan sejak dari sumber. Menurut Enviromental Services Program (2011: 19) kunci keberhasilan program kebersihan dan pengelolaan sampah terletak pada pemilihan. Tanpa pemilihan pengolahan sampah menjadi sulit, mahal dan beresiko tinggi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Pemilihan adalah memisahkan antara jenis sampah yang satu dengan jenis yang lainnya. Minimal pemilihan menjadi dua jenis: a. Sampah organik, yaitu sampah yang tidak dapat di daur ulangyang dapat dirubah menjadi kompos yang bernilai seperti sayur, buah-buahan, dan sebagainya. b. Sampah non-organik, yaitu sampah yang dapat di daur ulang menjadi benda/barang lain yang dapat bermanfaat kembali seperti plastik, kaca, logam, dan sebagainya. 75 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Tinjauan Tentang Pengelolaan Sampah Sampah harus dikelola secara baik sampai sekecil mungkin agar tidak menganggu dan mengancam kesehatan masyarakat. Pengelolaan sampah yang baik, bukan untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau pengelolaan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara pengelolaan sampah antara lain: a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau industri yang menghasilkan sampah. Oleh karena itu, mereka harus membangun atau mengadakan tempat khusus kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sampah (TPS) dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Mekanisme sistem atau cara pengangkutan untuk di derah perkotaan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan. Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya dapat dikelola oleh masing-masing keluarga, tanpa memerluka TPS maupun TPA. Sampah rumah tangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk. • • • b. Pemusnahan dan pengelolaan sampah Pemusnahan dan atau pengelolaan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain: • • • Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat ladang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah. yaitu Dibakar (inceneration), memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator). Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos) khususnya untuk sampah HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah biasa, sedangkan di daerah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan an-organik, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah an-organik dibuang dan akan segera dipungut oleh pemulung. Dengan demikian maka masalah sampah akan berkurang. Penghancuran (pulverization) Beberapa kota besar di Indonesia telah memiliki mobil pengumpul sampah yang dilengkapi alat pelumat sampah. Sampah yang berasal dari bak-bak penampungan langsung dihancurkan menjadi potonganpotongan kecil sehingga lebih ringkas. Sampah yang telah dilumatkan dapat dimanfaatkan untuk menimpun permukaan tanah yang rendah. Selain itu juga bisa dibuang ke laut tanpa menimbulkan pencemaran. Makanan ternak (hogfeeding) Sampah organik seperti sayuran, ampas tapioka, dan ampas tahu dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Pemanfaatan ulang (recycling) Sampah-sampah yang sekiranya masih bisa diolah, dipungut, dan dikumpulkan. Contohnya adalah kertas, pecahan kasa, botol bekas, logam, dan plastik. Sampah-sampah semacam ini dapat dibuat kembali menjadi karton, kardus pembungkus, alat-alat perangkat rumah tangga dari plastik dan kaca. Tetapi perlu diingat jangan sampai sampah demikian dimanfaatkan atau termanfaatkan lagi. Misalnya, kertas-kertas dari tempat sampah dimanfaatkan begitu saja untuk membungkus kudapan atau makanan. Hal ini membahayakan bagi kesehatan. Pengelolaan sampah yang baik dan layak bukan saja dapat meninggalkan kebersihan maupun estetika lingkungan, akan 76 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 keswadayaan (self reliance). Pengembangan masyarakat harus selalu mencaru cara untuk menumbuhkan dan memaksimalkan partisipasi, dengan maksud agar setiap warga masyarakat terlibat secara aktif dalam proses dan aktivitas kemasyarakatan untuk mencapai tujuan bersama” tetapi juga dapat meniadakan atau menghambat berkembang biaknya vektor berbagai penyakit menular yang dapat merugikan kesehatan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sampah dapat sebagai sumber makanan, sarang/tempat tinggal serta media yang baik untuk perkembangan kehidupan makhluk hidup. Community Development Dalam pekerja sosial pengembangan masyarakat adalah metode yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui penggunaan sumbersumber yang ada pada mereka serta menekankan pada partisipasi sosial (Suharto, 2009: 37). Pengembangan masyarakat diselenggarakan dengan tujuan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi, dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Ada tiga karakter umum program pengembangan mayarakat, yaitu: Konsep pengembangan masyarakat (Community Development) sebenarnya adalah pengorganisasian Masyarakat (Community Organization), yang bermakna mengorganisasikan masyarakat sebagai sebuah sistem untuk melayani warganya dalam setting kondisi yang berubah. Dengan demikian inti pengertiannya adalah mendorong warga masyarakat untuk mengorganisasikan diri untuk melaksanakan kegiatan guna mencapai kesejahteraannya sendiri. (Budhi Wibhawa dkk, Dasar-dasar Pekerjaan Sosial, 2010:109) PBB (1995) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut: “Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa pengembangan masyarakat sejatinya merupakan bentuk intervensi pekerjaan sosial yang bertujuan untuk memberikan perubahan terhadap masyarakat dari segala aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi, dan aspek kehidupan yang lainnya. Pengembangan masyarakat (Community Development) menurut Jim Ife dan Longman (1995) merupakan konsep yang berkembang sebagai tandingan terhadap konsep Negara kesejahteraan. Jim Ife dan Logman menyebutkan bahwa: “Konsep pengembangan masyarakat lebih menekankanpada upaya pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri (community based services) dengan ide utama keberlanjutan dalam penyelenggaraan kebutuhan hidup manusia karena dikembangkannya 1. Berbasis masyarakat (communitybase) atau masyarakat sebagai pelaku utama atau subyek dalam perencanaan dan pelaksanaan program 2. Berbasis sumberdaya setempat (local resources-base), yaitu penciptaan kegiatan dengan melihat potensi sumberdaya (alam, manusia) yang ada. yaitu 3. Berkelanjutan (sustainable) program berfungsi sebagai penggerak awal pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan masyarakat seringkali diimplementasikan dalam bentuk: a. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui b. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan 77 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 menjadi community worker. Dengan menjalankan tugas dan peran sebagai community worker. Dalam pengelolaan sampah diperlukan partisipasi masyarakat itu sendiri untuk mengatasi kekurangan dari keterbatasan pemerintah tersebut dalam pengelolaan sampah. Mengacu pada pendapat Jim Ife 1995, terjemahan Aribowo (2003: 118-129), pekerja sosial berperan dalam kesehatan lingkungan sebagai : fasilitatif, educational, dan representational. tersebut dapat dipenuhi oleh pihakpihak lain yang bertanggung jawab (Payne, 1995:165). Menurut Jim Ife (1995: 178-198), prinsip dasar dalam Community Development yang harus diperhatikan adalah pengembangan terintegrasi, hak asasi manusia, berkelanjutan, pemberdayaan, kemandirian, pengembangan organisasi, integritas proses, kooperatif, partisipasi, melawan penindasan struktural, konsensus personal dan politik, hak milik masyarakat, tidak bergantung pada Negara, tujuan jangka pendek dan visi akhir, langkah-langkah pengembangan, keahlian eksternal membangun masyarakat, tanpa kekerasan, keikutsertaan dan mendefinisikan kebutuhan. Relevansi pekerjaan sosial dalam pengelolaan sampah, didasarkan pada kompetensi pekerjaan sosial yaitu pada bidang kesejahteraan sosial, dimana profesi pekerjaan sosial memiliki peranan dominan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pekerjaan sosial merupakan profesi pertolongan yang ditujukkan untuk mendorong pemecahan masalah, baik individu, keluarga, dan masyarakat dengan berusaha membantu menggunakan kemampuan untuk menghadapi masalahmasalah sosial dalam kehidupan sehari-hari secara aktif dan bertanggung jawab. Aktif dan tanggung jawab disini merupakan pendekatan pelayanan dengan pengakuan terhadap kemampuan yang dimiliki oleh individu, kelompok ataupun masyarakat dalam kata lain selain dibantu juga ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalahnya. Partisipasi sejalan dengan prinsip pekerjan sosial yaitu “self determination” (memiliki hak untuk menentukkan dirinya sendiri). Artinya bahwa seorang pekerja sosial berupaya melibatkan individu, kelompok, ataupun masyarakat dengan mendayagunakan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fokus intervensi pekerjaan sosial dalam pengelolaan sampah adalah menggunakan locality development, Locality development adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri (United Nations, 1955). Dalam pengelolaan sampah ini pekerja sosial masuk HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Partisipasi Dalam partisipasi pemikiran ini, masyarakat Margaluyu menyalurkan ideidenya setiap mengikuti kegiatan dalam pengelolaan sampah tidak hanya dalam tahap perencanaan saja melainkan juga tahap pelaksanaan dan evaluasi program. Partisipasi tenaga dilihat dari masyarakat yang ikut serta dilapangan untuk membantu mulai dari mengumpulkan, mengambil sampah hingga mengelola sampah. Selanjutnya partisipasi keahlian atau ketrampilan dilihat dari bentuk usaha guna untuk mendorong aneka ragam usaha yang dilakukan oleh masyarakat Margaluyu. Kemudian partisipasi masyarakat dalam bentuk uang yaitu dari masyarakat Margaluyunya sampai saat ini tidak ada sumbangan uang untuk mengelolanya, sehingga KSM Hanjuang yang sudah berjalan selama 3 tahun mendapatkan sumbangan uang dari pemerintah dan mendapatkan pemasukan dari hasil penjualan pupuk dari sampah yang dikelolanya. Menurut Sastropoetro, keenam jenis partisipasi seperti yang telah disebutkan diatas merupakan bentuk partisipasi yang bisa diberikan oleh tiap individu. Sebagai contoh adalah saat mengumpulkan sampah, mengelola, memilih sampah, memungkinkan bagi warga untuk peran mereka sebagai keterlibatan dalam kegiatan. Dengan berbagai jenis partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu jenis partisipasi yang diberikan dalam bentuk 78 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 apabila dana berhenti maka kegiatan secara stimulan akan terhenti juga. nyata (memiliki wujud) dan juga jenis partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya tenaga, uang, ketrampilan. Sedangkan partisipasi tidak nyata adalah hasil pemikiran, partisipasi sosial. SIMPULAN 1. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug berjalan sesuai rencana dari tahap perencanaan kegiatan pengelolaan sampah dan tahap pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah dengan diberdayakannya masyarakat dalam pengelolaan sampah program KSM Hanjuang. Tingkat Partisipasi Masyarakat Tinggi • Inisiatif datang dari masyarakat dan dilakukan secara mandiri mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga pemeliharaan hasil pembangunan. Masyarakat di Lingkungan Margaluyu awalnya tidak memiliki inisiatif sama sekali untuk memulai program pengelolaan sampah, tetapi ada tokoh pemuda di lingkungan itu yang memiliki semangat tinggi untuk peduli lingkungan. Maka dari awal tokoh pemuda ini mulai mengajak akan kebersihan lingkungan, dari situlah KSM Hanjuang dibentuk untuk mulai dari perencanaan hingga program berjalan hingga sekarang. • Masyarakat tidak hanya ikut merumuskan program, akan tetapi juga menentukan program-program yang akan dilaksanakan. Sedang • Masyarakat sudah ikut berpartisipasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih didominasi golongan tertentu. Masyarakat Margaluyu dalam pelaksanannya masih belum semua ikut berpartisipasi, hanya sebagian masyarakat yang ikut partisipasi dan hanya golongan tertentu saja belum menyeluruh. • Masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya, akan tetapi masih terbatas pada masalah keseharian. Rendah • Masyarakat hanya menyaksikan kegiatan proyek yang dilakukan oleh pemerintah. • Masyarakat dapat memberikan masukan baik secara langsung atau melalui media massa, akan tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan saja. • Masyarakat masih sangat bergantung kepada dana dari pihak lain sehingga 2. Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan kegiatan pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug adalah cukup baik, hal ini ditandai dengan adanya berbagai gagasan atau ide dari warga dalam penentuan keputusan kebijakan yang akan diambil demi kepentingan mewujudkan kesejahteraan hidup dilingkungannya. 3. Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug adalah baik. Hal ini dapat dilihat dari kesadaran warga untuk melaksanakan usaha pemilahan sampah, dan dalam pembuatan produk daur ulang dari sampah. Disamping itu berkembangnya swadaya masyarakat yang cukup berhasil, termasuk usaha untuk mengelola sampah dan kebersihan di lingkungannya. SARAN 1. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug pada umumnya perlu dibina dan ditingkatkan dalam rangka mewujudkan lingkungan tempat tinggal yang hijau, bersih dan sehat. 2. Petugas atau aparatur perencana, pelaksana dan pengawasan pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug diharapkan dapat mengembangkan gagasan atau ide dari warga serta membina tingkat kesadaran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah untuk lebih dimantapkan lagi. 79 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Ife Alternatif Masyarakat di Era : Community 2008. Manullang, Yakin Nurul, & Nursyahid. M. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Sastropoetro, Santoso R.A. 1986. Partsipasi, Komunitas, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni. Wibhawa Budhi, Raharjo. T. Santoso, & Budiari Meilany. 2010. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial. Bandung:Widya Padjadjaran DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto, 2003. Pemberdayaan, Damanhuri Enri & Tri Padmi. 2010. Diklat Kuliah Pengelolaan Sampah. Progam Studi Teknik Lingkungan.Institut Teknologi Bandung. Handayani Swi Dewi, Budisulistiorini, Nuraeni Rosie Mya. 2009. Jurnal Presipitasi, UUD Pengelolaan Sampah. Volume 4.Nomor 2. pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas (pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis), Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Fahrudin, Adi. Ph.D. 2011. Pemberdayaan, Partisipasi, Dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Bandung: Buku Pendidikan – Anggota IKAPI. Soelaiman, 1980. Usaha Anggota IKAPI. Jim & Tesoriero. Pengembangan Globalisasi Development.Terjemahan 4. Sumber biaya yang selama ini dari swadaya masyarakat, supaya kedepannya dipertimbangkan kembali oleh pemerintah berhubung keterampilan dan kreatifitas dari warga masyarakat dalam berbagai kegiatan pengelolaan sampah mengalami penurunan, sehingga dana dari Pemerintah diharapkan dapat mendukung kegiatan pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan. dalam ISSN:2339 -0042 strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Buku Pendidikan – 3. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah program KSM Hanjuang di Lingkungan Margaluyu Kelurahan Cicurug khususnya dalam kegiatan keterampilan pembuatan produk dari limbah atau sampah terus diusahakan sehingga mampu untuk mengikuti kemajuan tekhnologi pengelolaan sampah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan warga masyarakat. Holil HALAMAN: 1 - Profil Kantor Kelurahan Cicurug Kabupaten Majalengka, 2015. Partisipasi Sosial Kesejahteraan Sosial. Bandung. Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian dan Masyarakat KSM Hanjuang, tahun 2015. Pengembangan Masyarakat, Model dan 80 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH Oleh: Rivanlee Anandar, Budhi Wibhawa & Hery Wibowo Email: ([email protected]; [email protected]; [email protected]) ABSTRAK Berbagai perubahan terjadi pada anak jalanan di rumah singgah, baik perubahan yang berhubungan dengan kondisi fisik maupun berhubungan dengan kondisi lingkungan. Perubahanperubahan yang terjadi pada anak jalanan dipengaruhi oleh apa yang mereka terima di rumah singgah. Perubahan masa dari yang sepenuhnya di jalan sampai sebagian di panti tentu tak mudah bagi anak jalanan, tak heran jika beberapa anak mengalami kejenuhan atau stress saat di rumah singgah. Untuk mengatasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan tersebut, anak jalanan di rumah singgah membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan ini yang disebut dukungan sosial, dan orang-orang yang memberi dukungan disebut sumber dukungan. Studi kepustakaan menyatakan bahwa dukungan sosial akan dapat membantu mencegah efek negatif karena adanya stress apabila terjadi kesesuaian antara harapan dan penerimaan dukungan sosial bagi individu, penerima dukungan. Demikian pula dukungan sosial dari staf serta lingkungan rumah singgah akan dapat mencegah efek negatif karena keterkejutan budaya pada anak yang biasa di jalanan. Oleh karena itu, peneliti merasa penelitian ini penting disamping untuk sumbangan perbaikan pada program yang diberikan lembaga juga diharapkan penelitian ini dapat memberi ide tentang pemberian dukungan sosial di lembaga lain Pada penelitian ini juga hendak diteliti hambatan serta faktor pendukung pemberian dukungan sosial yang ada di lembaga. Hal ini dilakukan karena persepsi individu, penerima dukungan, sebelumnya berada dalam lingkungan yang beda dan jauh dari dukungan sosial yang membuat dirinya baik. Kata kunci: anak jalanan, dukungan sosial, rumah singgah Abstract Numerous changes occurred in street children, both a layover at home alterations related to the physical condition and related to environmental conditions. The changes that occurred on the street children are influenced by what they receive in guesthouses. The change from being fully on the road to some parlors is certainly not easy for street children, no wonder some kids experiencing Burnout or stress during a layover at home. The study stated that social support libraries will be able to help prevent negative effects due to stress in the event of the alignment between hope and receipt of social support for the individual, the recipient of support. Similarly, social support from staff and layover home environment will be able to prevent the negative effects because of cultural shock in children are commonplace in the streets. Therefore, researchers feel this research is important in addition to donations of improvements on the given program Agency also expected this research can give an idea about giving social support in other institutions. The study also try to find factor inhibitor and factors supporting the granting of social support that exists in the Agency. This is due to the perception of the individual, the recipient of 81 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 the support, the previous being in a different environment and away from the social support that makes them good. berbunyi: “Tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak” Bentuk partisipasi swasta atau masyarakat dalam memberdayakan anak jalanan adalah dengan adanya rumah singgah. Rumah singgah adalah salah satu bentuk pelayanan sosial. Rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dan pihak-pihak yang membentu mereka (Modul Pelatihan Pimpinan Rumah Singgah, 2000:96). berdasarkan pengertian tersebut rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana sosial kepada anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setempat. Menurut Depsos RI dalam Journal.uny.ac.id, rumah singgah hanya sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka sebagai proses informal yang memberikan suasana pusat realisasi dan sosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak jalanan dalam mengatasi masalah-masalah dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kegiatan awal dari aktivitas rumah singgah adalah penjangkauan. Kegiatan ini dilakukan oleh lembaga yang melayani anak secara langsung untuk mengetahui keadaan anak di lapangan dan mempersiapkan metode intervensi apa yang tepat diberikan pada anak. Berikutnya, anak yang hidup di jalanan diberikan fasilitas rumah, rumah inilah yang disebut sebagai rumah singgah tempat untuk mempermudah intervensi lembaga kepada anak-anak jalanan. Melihat kerasnya kehidupan yang dihadapi oleh anak-anak dari keluarga prasejahtera dengan gizi buruk, sakit, cacat, putus sekolah, serta anak-anak yang terpaksa harus mengais rejeki di jalanan kota-kota besar seperti Jakarta, Dilts Foundation mencoba memberikan anak-anak kesempatan menjalani kehidupan yang lebih baik, sehat, aman, dan produktif melalui A. Latar Belakang Berdasarkan data dari Kemensos yang dimuat di indonesia.ucanews.com, anak jalanan yang tersebar di Indonesia ada sekitar 420.000. Perkembangan pesat anakanak jalanan di berbagai sudut jalan, selain memprihatinkan dari segi kemanusiaan, di saat yang sama juga melahirkan permasalahan sosial baru yang cukup meresahkan. Kendati disadari bahwa tidak semua anak jalanan melakukan tindakantindakan yang sampai mengganggu ketertiban umum, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian di antara mereka yang merusak citra anak jalanan secara keseluruhan dengan tindakan mereka yang mengarah pada perilaku kriminal, seperti kegiatan premanisme kecil-kecilan. Anak-anak menjadi anak jalanan karena berbagai alasan. menurut Soetji Andari dalam bukunya tentang Pengkajian Berbagai Tindak Kekerasan dan Upaya Perlindungan Anak Jalanan mengemukakan bahwa penyebab anak turun ke jalan adalah Meningkatnya skala dan kompleksitas masalah psikososial yang dialami keluarga, seperti keterpisahan orang tua, stress yang dialami orang tua, rendahnya kemampuan dalam pengasuhan dan perawatan anak, kekerasan dalam keluarga, dan lain-lain, Rendahnya tingkat kemampuan ekonomi keluarga yang mengakibatkan tidak mampunya keluarga memenuhi kebutuhan anak, Mengakarnya nilai budaya yang tidak berpihak pada anak, yang membawa kecenderungan pada pengabaian terhadap hak-hak anak. Menurut data Kemensos pada situs http://pksa.kemsos.go.id/, di Jakarta, anak jalanan ada sekitar 8000 orang. Kalau keadaannya sudah segenting ini maka institusi atau lembaga dari negara maupun swasta berhak bergerak untuk memberikan pelayanan baik pendidikan, kesehatan, hingga kasih sayang agar anak-anak jalanan dapat mengerti tentang baik buruk kehidupan dan perilakunya dapat diterima di masyarakat. Sebagaimana di jelaskan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab IV bagian kettiga pasal 25 yang 82 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 program-program pembelajaran dan mengorganisir kegiatan-kegiatan konkret yang bergerak di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelatihan keterampilan dan kerja sosial dengan komunitas miskin dan terpinggir. Melalui rumah singgah, anak jalanan diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan fisik dan lingkungan sosial di rumah singgah. Selain itu, untuk dapat melalui serangkaian perubahan dan penyesuaian diri dengan baik di rumah singgah, anak jalanan membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan ini berupa dukungan sosial yang mana diartikan sebagai daya dorong dari lingkungan sekitar untuk mendukung individu melakukan perubahan. Dukungan sosial ini memiliki dampak luar biasa dengan memberikan efek positif individu (Gottlieb, 1987; Wartman dan Loftus, 1992). Namun, sebagaimana umumnya, anak jalanan menghabiskan keseharian hidupnya di jalanan. Kehidupan yang berbeda dengan anak pada umumnya. Kehidupan anak jalanan bisa dibilang keras, kotor, dan melelahkan. Dengan berbagai macam pengalaman yang terjadi di jalanan, pikiran pada anak jalanan akan terdistraksi oleh keadaan jalanan seperti kekerasan, pencurian, dan tindak kekerasan lainnnya. Sehingga dari pengalaman yang membuat mereka berpikir seperti itu berdampak pada sikap dan perilakunya sehari-hari. Jadi, “tinggal” di rumah singgah bukanlah hal yang mudah bagi anak jalanan. Perubahan lingkungan dari lingkungan sebelumnya ke lingkungan rumah singgah dapat membuat jenuh bagi anak jalanan. Melalui rumah singgah, anak jalanan diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan fisik dan lingkungan sosial di rumah singgah. Selain itu, untuk dapat melalui serangkaian perubahan dan penyesuaian diri dengan baik di rumah singgah, anak jalanan membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Dukungan ini berupa dukungan sosial yang mana diartikan sebagai daya dorong dari lingkungan sekitar untuk HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 mendukung individu melakukan perubahan. Dukungan sosial ini memiliki dampak luar biasa dengan memberikan efek positif individu (Gottlieb, 1987; Wartman dan Loftus, 1992). Dukungan sosial dapat membantu individu untuk mencegah efek negatif karena stress. Dalam penelitian ini, sumber dukungan yang diperoleh anak jalanan dapat berasal dari berbagai pihak, misalnya dari sesama anak jalanan lain; keluarga; dari pegawai rumah singgah; serta dari orang-orang yang tinggal di sekitar rumah singgah. Pada penelitian ini, dukungan sosial yang ingin dilihat adalah yang berasal dari rumah singgah Dilts Foundation. Karena dalam hal ini, rumah singgah memiliki tanggung jawab yang lebih besar bagaimana membuat sikap dan perilaku anak jalanan-yang diasumsikan berseberangan dengan norma yang ada di masyarakat- perilakunya dapat diterima oleh orang lain. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini difokuskan untuk melihat dukungan sosial yang diberikan pada anak jalanan binaan rumah singgah dilts foundation. Secara lebih dalam lagi, dukungan sosial dalam bentuk apa saja yang diberikan oleh rumah singgah Dilts Foundation sehingga mampu menjadikan anak jalanan binaannya dapat diterima di masyarakat luas. Penelitian ini bersifat studi deskriptif dengan tujuan untuk mengindentifikasi dan menggambarkan dukungan sosial yang diterima anak jalanan binaan rumah singgah dilts foundations. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan tambahan ide dan sebagai bentuk contoh dari lembaga pelayanan sosial B. Metode (Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode yang menggambarkan dan menjabarkan temuan di 83 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dikemukakan oleh Sri S. Hariadi dan Suyanto (1999: 78-82), yaitu: lapangan. Metode kualitatif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian degan metode ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Menurut Sugiyono (2011:15), metode penelitian kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Departemen Sosial RI dalam Fery Johanes (2007) “Penanganan Anak Jalanan di Indonesia” mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang menggunakan sebagian waktunya dijalanan baik untuk bekerja maupun tidak yang terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau sudah putus hubungan dengan keluarga dan anak-anak yang hidup mandiri sejak masa kecil karena kehilangan keluarga atau orang tuanya. Mereka kerap kali menghabiskan waktunya untuk bekerja, entah untuk kebutuhan pribadi entah untuk membantu keluarganya. Pekerjaan yang biasa dilakukan anak jalanan sangat beragam. Mulai dari berjualan tisu, menyediakan jasa menyemir sepatu, sampai mengemis. Kebanyakan dari anak jalanan dapat ditemukan di persimpangan jalan karena terdapat lampu merah tempat kendaraan berhenti, tapi ada juga yang bergerak di pasar tradisional dan jembatan. Tidak semua anak yang tinggal atau bekerja di jalanan disebut anak jalanan. Menurut Odi Shalahudin dalam bukunya “Anak Jalanan Perempuan”, seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya itulah yang disebut sebagai anak jalanan. Anak jalanan yang bekerja dan mencari uang di jalanan terbagi ke dalam tiga tipologi atau kelompok, seperti yang 1. Children on the Street Anak yang bekerja di jalan merupakan mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya digunakan untuk membantu keluarganya. Anak-anak tersebut mempunyai kegiatan ekonomi (sebagai pekerja anak) di jalan dan masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. 2. Children of the street Anak-anak yang hidup di jalan merupakan mereka yang menghabiskan sebaian besar waktunya di jalan atau ditempat umum lainnya, tetapi hanya sedikit yang digunakan untuk bekerja. Mereka jarang berhubungan dengan keluarganya. Beberapa di antara mereka hidup di sembarang tempat dan tidak memiliki rumah tinggal. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Anak-anak seperti ini rawan terhadap perilaku menyimpang, baik emosional, fisik maupun seksual. 3. Children in the Street Merupakan anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Berangkat dari tipologi yang telah disebutkan, selanjutnya muncul karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan, diantaranya adalah (1) pakaian yang lusuh, kotor, begitu pula pada tubuh dan wajahnya (2) mandiri dalam artian tidak menggantungkan hidup kepada orang lain dan tidur di mana saja (3) menganggap orang yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang (4) tidak memiliki rasa takut berhadapan dengan siapa saja (6) hasrat untuk belajar yang kurang. Pada artikel “Pengkajian Berbagai Tindak Kekerasan dan Upaya Perlindungan Anak Jalanan”, Soetji Andari menjelaskan bahwa secara umum anak jalanan yang ada di daearh perkotaan memiliki kesamaan ciri, antara lain (1) berada di tempat umum selama 3 sampai 24 jam sehari. (2) berpendidikan rendah. (3) berasal dari 84 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 sekolah. (2) pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anakanak mengikuti kebiasaan tersebut. (3) penolakan masyarakat sekitar terhadap diri anak. 3. Tingkat makro (basic causes), yakni faktor-faktor yang besar untuk menjadi anak jalanan. (1) ekonomi: adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, tuntutan ekonomi memaksa mereka harus lama di jalan dan meninggalkan bangku sekolah, dan ketimpangan desa dengan kota yang mendorong urbanisasi. (2) pendidikan: biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, ketentuan teknis dna birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar. (3) belum seragamnya unsur-unsur pemerintah dalam memandang permasalahan anak jalanan, antara sebagai sebuah kelompok yang memerlukan perawatan dan yang menganggap anak jalanan sebagai keluarga tidak mampu. (4) melakukan aktivitas ekonomi. Tak akan ada akibat jika tak ada sebab. Fenomena anak jalanan adalah efek domino dari beberapa faktor. Seperti ketimpangan penduduk, tingkat kesejahteraan yang rendah. Pengaruhpengaruh lain seperti psikologis, ekologis, sosial budaya, dan pendidikan juga kerapkali memengaruhi anak turun ke jalan. Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Depsos RI, 2002:4), faktor penyebab munculnya anak jalanan antara lain adalah berkaitan dengan kondisi seperti: 1. Meningkatnya skala dan kompleksitas masalah psikososial yang dialami keluarga, seperti keterpisahan orang tua, stress yang dialami orang tua, rendahnya kemampuan dalam pengasuhan dan perawatan anak, kekerasan dalam keluarga, dan lain-lain 2. Rendahnya tingkat kemampuan ekonomi keluarga yang berakibat tidak mampunya keluarga memenuhi kebutuhan anak 3. Budaya orang tua yang kerap mengabaikan hak-hak anak sehingga anak merasa kurang kasih sayang trouble maker) Dukungan Sosial Cobb memberi definisi dukungan sosial sebagai cara untuk mengarahkan individu bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dan meyakinkan bahwa ia adalah bagian dari satu kelompok yang saling memiliki tanggung jawab. Setiap informasi dari lingkungan sosial yang menyebabkan persepsi individu bahwa ia diterima dengan penerimaan positif, penghargaan atau perhatian merupakan ekspresi dari dukungan sosial. Sedangkan, House (dalam Gottlieb, 1988) mendefinisikan dukungan sosial sebagai: Selain itu, Tata Sudrajad dalam Wahyu Nurhajadmo (1999, 15), “Seksualitas Anak Jalanan” menyatakan ada tiga penyebab munculnya fenomena anak jalanan 1. Tingkat mikro (immediate causes), yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya; (1) sebab dari keluarga: ditelantarkan, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan, adanya kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga, dan terpisah dari orang tua. (2) sebab dair anak: lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus sekolah, bermain-main diajak teman. 2. Tingkat meso (underlying causes), yakni faktor-faktor yang ada di masyarakat tempat anak dan keluarga berada. (1) masyarakat miskin: anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga, anak-anak diajarkan bekerja meski hal ini dapat mengakibatkan mereka drop out dari “an interpersonal transaction involving one or more of the following: (1) emotional concern (liking, love, empathy), (2) instrumental aid (good or services), (3) information (about environment), (4) appraisal (information relevant to the self-evaluation” (p. 39)” House melihat dukungan sosial sebagai transaksi interpersonal yang melibatkan satu atau lebih komponen, yaitu perhatian emosional (suka, cinta, empati), bantuan instrumental (barang atau jasa), informasi 85 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 (mengenai lingkungan) atau penilaian (informasi yang relevan terhadap penilaian diri). Jadi, ketika ada salah satu komponen yang bekerja dalam transaksi interpersonal, sudah bisa dikatakan sebagai dukungan sosial. Definisi mengenai dukungan sosial juga dijelaskan oleh Weiss (dalam Sarason, 1983), ia menjelaskan ada 6 dimensi dari dukungan sosial, yaitu intimacy, social indvidu merasa memperoleh teman yang menyenangkan sehingga ia dapat melakukan aktivitas bersama. Dengan adanya dukungan ini, individu merasa dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu dan kelompok tersebut memiliki kesamaan minat untuk melakukan kegiatan bersama dan hal ini dapat memenerikan rasa nyaman dan senang (Cutrona et al., 1994). integration, nurturance, worth, alliance, and guidance. 3. Instrumental Support Dukungan ini berbentuk materi atau jasa yang diberikan oleh orang lain kepada individu sebagai penerima dukungan (Orford, 1992). Bantuan yang diberikan dapat berupa uang, barang kebutuhan sehari-hari, atau bantuan praktis, seperti memberikan fasilitas transportasi, membantu menyelesaikan pekerjaan rumah atau menyediakan waktu untuk bermain. Bantuan dalam bentuk ini penting bagi anak jalanan. Usia anak-anak membuat ia membutuhkan teman untuk mengekspresikan dirinya di depan orang lain Dari beragam penjelasan ahli, dukungan sosial tak lain adalah kesediaan orang untuk mengarahkan, meyakinkan kepada individu bahwa ia tidak sendiri dengan menekankan bahwa ia dicintai, dihargai, diperhatikan, dan dapat meminta bantuan pada saat individu dalam kondisi yang tertekan. Untuk menerapkan dukungan sosial itu sendiri dibutuhkan bentuk dari dukungan sosial. sejauh ini, bentuk dukungan sosial sangat beragam dari para ahli sesuai dengan bahan kajian mereka. Penulis akan memberikan rangkuman mengenai bentuk dukungan sosial dari Gottlieb dan Cobb, sebagai berikut: 4. Esteem Support Dengan dukungan ini, individu sebagai penerima dukungan merasa memiliki nilai terhadap dirinya karena adanya pengakuan dari orang lain atas kemampuannya dan kualitas personalnya (Cutrona et al., 1994, Felton dan Berry. 1992). Dengan adanya dukungan ini, individu merasa dihargai oleh orang disekitarnya atas apa yang telah dilakukannya. Dukungan ini dapat berbentuk pujian terhadap apa yang telah dilakukan individu atau juga penerimaan terhadap kekurangan individu. 1. Emotional Support Dukungan emosi merupakan ekspresi kasih sayang dan rasa cinta dari orang-orang di sekitar individu (Cutrona, Cole, Colangelo, Assouline, dan Russel, 1994). Individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang dan hal ini membuat individu yang menerima dukungan sosial tersebut merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan sehinga menimbulkan rasa aman dan percaya. (Weiss, dalam Cutrona dan Russell, 1987; Elliot, Herrick, dan Witty, 1992). Menurut ahli, bentuk dukungan emosi ini sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan seseorang (Turner, 1983) dan dalam setiap perode kehidupan karena dukungan ini memberikan perhatian yang dalam dalam terhadap indvidu di mana individu dapat secara leluasa mencurahkan isi hatinya (Mirowsky dan Ross, 1989) 5. Informational Support Dukungan ini memungkinkan individu sebagai penerima dukungan untuk memperoleh pengetahuan dari orang lain (Felton dan Berry, 1992). Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan/arahan, diskusi masalah, maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi tersebut maka individu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi atau memperoleh pengetahuan baru (Weiss dalam Cutrona dan Russel, 1987). 2. Social Integration Menurut Felton dan Berry (1992), bentuk dukungan ini dapat terjadi bila 6. Opportunity for Nurturance Bentuk dukungan ini berbeda dengan lima bentuk dukungan sebelumnya. Pada 86 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dukungan ini, individu justru memberikan bantuan pada orang lain. Ini merupakan kesempatan bagi individu untuk memberikan pertolongan pada orang lain (Cutrona et al., 1994). Pertolongan yang diberikan dapat berupa materi atau jasa. Dengan memberikan pertolongan, individu merasa dibutuhkan oleh orang lain sehingga adanya perasaan bahwa orang lain tergantung padanya. Uraian mengenai bentuk-bentuk dukungan sosial di atas akan digunakan sebagai acuan dalam melihat dukungan sosial yang diberikan pada anak jalanan di rumah singgah dilts foundation. Pelayanan sosial merupakan suatu bentuk aktivitas yang bertujuan untuk membantu individu, kelompok, ataupun masyarakat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang pada akhirnya mereka berharap dapat memecahkan permasalahan yang ada melalui tindakan-tindakan kerja sama atau melalui pemanfaatan sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Pelayanan sosial menurut pendapat yang dikatakan oleh Alfred J. Khan dalam Soetarso (1993:26) yaitu sebagai berikut: “program-program yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkat dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat serta kemampuan perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan serta lembaga yang telah ada dan membantu masyarakat yang mengalami kesulitan dan ketelantaran.” mereka. Yayasan Dilts (Dilts Foundation/DF) terbentuk atas kepedulian pasangan suami istri DR. Russel Dilts dan Wahyu Setyowati. Melihat kerasnya kehidupan yang dihadapi oleh anak-anak dari keluarga prasejahtera dengan gizi buruk, sakit, cacat, putus sekolah, serta anak-anak yang terpaksa harus mengais rejeki di jalanan kota-kota besar seperti Jakarta. Lembaga pelayanan sosial menurut Alfred J. Khan dalam Soetarso (1993:38), memiliki tugas-tugas untuk: 1. Memperkuat dan memperbaiki fungsifungsi keluarga dan perorangan selaras dengan peranan-peranan yang selalu berkembang. 2. Menyediakan saluran kelembagaan baru untuk keperluan sosialisasi, pengembangan dan pemberian bantuan, yaitu peranan-peranan yang masa lampau dilakukan oleh keluarga. 3. Mengembangkan bentuk-bentuk lembaga baru untuk melaksanakan kegiatankegiatan baru yang sangat diperlukan oleh perorangan, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat industri dan kota yang kompleks. Pelayanan sosial meliputi kegiatan atau intervensi terhadap kasus yang muncul dan dilaksanakan secara langsung dan terorganisir serta memiliki tujuan untuk membantu individu, kelompok, dan lingkungan sosial dalam upaya mencapai penyesuaian dan keberfungsian yang baik dalam segala bidang kehidupan di masyarakat. Hal yang terkandung dalam pelayanan dapat dikatakan adanya kegiatan yang memberikan jasa kepada klien dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan C. Tugas-tugas ini umumya ada dalam lembaga pelayanan sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan serta memberikan pelayanan dengan serangkaian kegiatan dalam bidang tertentu yang ditujukan kepada individu, kelompok, dan masyarakat untuk kesejahteraannya. Lembaga-lembaga sosial harus lebih memerhatikan hal-hal yang seharusnya dibutuhkan oleh anak jalanan dalam bersosialisasi, agar sikap dan perilakunya dapat diterima oleh masyarakat banyak. Simpulan dan Saran (Conclusion and Suggestion) Dari hasil penelitian tinjauan pustaka, kebutuhan anak jalanan akan dukungan sosial di rumah singgah sangat penting. , dukungan sosial memiliki pengaruh positif pada kesehatan seseorang tanpa memperhatikan tingkat stress individu. Dengan perkataan lain, dukungan sosial dapat melindungi individu baik dalam situasi stress ataupun situasi tidak stress. Dengan adanya dukungan sosial maka kesehatan 87 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 individu baik kesehatan fisik serta mental akan terjaga dan lebih baik. Dukungan sosial memang suatu kebutuhan yang dibutuhkan oleh individu, entah dalam keadaan terpuruk entah untuk menjadikan dirinya lebih baik lagi. Tidak hanya secara psikologis, dukungan sosial juga memberikan dampak yang lebih dalam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan menurut Sarafino (1994), dukungan sosial tidak hanya menolong pada saat terjadinya stress, tetapi dukungan sosial dapat mengatasi masalah sejak awal. Dukungan sosial model ini meliputi jaringan sosial yang dimiliki oleh individu. Individu yang terisolasi secara sosial dan memiliki sedikit kesempatan untuk memperoleh dukungan sosial akan memiliki risiko yang lebih besar terganggu kesehatannya (Gottlieb, 1986). Selanjutnya, besar jaringan sosial individu berperan dalam menentukan besarnya dukungan sosial yang diperoleh individu tersebut. semakin luas jaringan sosial yang dimiliki individu maka dukungan sosial yang kemungkinan ia dapat semakin besar. Untuk menerapkan dukungan sosial itu sendiri dibutuhkan bentuk dari dukungan sosial. Depatemen HALAMAN: 1 - Sosial RI. Penyelenggaraan Jalanan Melalui ISSN:2339 -0042 2002. Pedoman Pembinaan Anak Rumah Singgah. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Depertemen Sosial RI. Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lanjut Usia – Deputi Bidang Peningkatan Kesejahteraan Sosial. 2000. Modul Pelatihan Pimpinan Rumah Singgah. Jakarta: Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. Upaya Pencarian Model yang Efektif dalam Penanganan Anak Jalanan. (Penelitian Departemen Sosial RI. 2003. Universitas Muhammadiyah Jakarta bekerja sama dengan Balitbangsos Departemen Sosial RI) Gottlieb, B. H. 1988. Social Support Strategies. Guidelines for Mental Health Practices. California: Sage Publishing Co Gottlieb, B. H. 1988. Marshalling Social Support: Formats, Process, and Effects. New York: Sage Publishing Co Haditono, Siti Rahayu. 1992. Psikologi D. Perkembangan, Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Daftar Pustaka Gadjah Mada University Press Armai, Arief. 20002. Rumah Singgah Sebagai Tempat Alternative Pemberdayaan Anak Jalanan. (Jurnal Fajar) Jakarta: LPM Hans O. F. Veiel & Urs Baumann. The Meaning and Measurement of Social Support. New York: Hemisphere Publish UIN. hal. 1 Andari, Soetji, dkk. 2007. Uji Coba Model Corp Perlindungan Anak Jalanan terhadap Tindak Kekerasan. Yogyakarta: B2P3KS. 88 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 COPING STRES KARYAWAN DALAM MENGHADAPI STRES KERJA Oleh: Wiari Utaminingtias, Ishartono & Eva Nuriyah Hidayat E-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected] ABSTRAK, Potret kehidupan anak jalanan yang terjadi saat ini merupakan fenomena yang sering dijumpai di tengah-tengah kehidupan masyarakat, maka perlunya dilakukan pembinaan anak jalanan untuk mengurangi persebaran anak jalanan. Sehingga, rumah singgah menjadi salah satu alternatif kebutuhan terhadap pembinaan anak jalanan. Sebagai organisasi pelayanan sosial, rumah singgah juga memerlukan dana untuk dapat menjalankan setiap program-program pembinaan anak jalanan yang selama ini telah dikelola. Fundraising diperlukan dalam kegiatan pencarian sumbersumber dana baik melalui donatur maupun dari sumber-sumber lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan sebuah organisasi pelayanan sosial, dalam hal ini rumah singgah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dalam penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan strategi fundraising yang dilakukan oeh rumah singgah Bina Anak Pertiwi. Studi ini menunjukkan bahwa rumah singgah ini menggunakan strategi fundraising dalam melakukan pembinaan terhadap anak jalanan serta menjalankan setiap programnya. Tiga strategi fundraising yang digunakan yaitu; Acquisition Strategies, Retension Strategies, dan Upgrading strategies. Kata kunci : anak jalanan, rumah singgah, fundraising ABSTRACT Portrait of the life of street children is happening today is a phenomenon that is often encountered in the midst of people's lives, then the need for the development of street children to reduce the spread of street children. Thus, the shelter became one of alternative development needs to street children. As social service organizations, shelters also need funds to be able to run any coaching programs for street children who have been administered. Fundraising is necessary in order to launch the sources of funding through donors or from other sources which have the potential to develop a social service organization, in this case the halfway house. This study uses a qualitative method because in this study wanted to know how the application of a fundraising strategy conducted by the NII shelters Bina Anak Pertiwi. This study shows that the shelter is using fundraising strategy to guide the child in the street and run any program. Three fundraising strategies used are; Acquisition Strategies, Retension Strategies, and upgrading strategies. Keywords: street children, shelter, fundraising 89 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 PENDAHULUAN HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Oleh karena itu, anak jalanan wajib mendapatkan haknya seperti anak-anak yang lain. Rumah singgah dapat menjadi salah satu upaya juga dalam mengurangi persebaran anak jalanan di ibukota. Menurut definisi dari Kementerian Sosial, rumah singgah adalah tempat penampungan sementara anak jalanan sebagai wahana pelayanan kesejahteraan sosial (kemsos.go.id). Potret kehidupan anak jalanan yang terjadi saat ini merupakan fenomena yang sering dijumpai di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tak terkecuali di DKI Jakarta. Anak jalanan sering di jumpai di sekitaran lampu merah, kolong jembatan maupun tempat-tempat umum lainnya dan biasanya untuk mendapatkan uang serta mempertahankan kehidupannya anak jalanan pun bekerja sebagai pengamen, pengemis, pemulung dan sebagainya. Tak jarang pula, kehidupan keras di jalanan membuat anakanak jalanan melakukan perbuatan yang menyimpang, seperti; menjadi pekerja seks, melakukan tindakan kekerasan, bahkan memakai obat-obatan terlarang. Hal itu disebabkan karena keterbatasan keadaan ekonomi maupun kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Keadaan seperti itulah yang dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak jalanan. Seperti yang diungkapkan oleh Soedijar (1998), definisi anak jalanan itu sendiri adalah : Anak jalanan itu berusia di antara tujuh hingga lima belas tahun yang mana mereka memilih untuk mencari penghasilan di jalanan, yang tidak jarang menimbulkan konflik ketenangan, ketentraman dan kenyamanan orang lain di sekitarnya, serta tidak jarang membahayakan dirinya sendiri. Rumah singgah merupakan salah satu organisasi pelayanan sosial yang menjadi kebutuhan pada saat ini dalam melakukan pembinaan terhadap anak jalanan. Di DKI Jakarta seperti yang diungkapkan oleh oleh Agusman, Ketua Forum Komunikasi Pengelola Rumah Singgah se-DKI Jakarta pada tahun 2013, Jakarta memiliki 27 rumah singgah yang berada di bawah pengawasan Dinas sosial. Dengan rincian, lokasi di Jakarta Timur terdapat 7 rumah singgah. Jakarta Utara terdapat terdapat 5 rumah singgah. Jakarta Pusat terdapat terdapat 5 rumah singgah, Jakarta Selatan terdapat terdapat 4 rumah singgah dan Jakarta Barat terdapat 6 rumah singgah. Berkaitan dengan peran rumah singgah sebagai tempat pembinaan anak jalanan, maka keberadaan rumah singgah ini dapat memberikan kontribusi bagi kebutuhan masyarakat. Tentu saja, dalam menjalankan aktivitasnya rumah singgah sebagai organisasi pelayanan sosial perlu didukung dengan manajemen pelayanan sosial yang baik. Kettner mengemukakan lima aspek manajemen dalam organisasi pelayanan sosial, antara lain yaitu; Planning, Organizing, Peran serta dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk melakukan upaya pembinaan terhadap anak jalanan sangat dibutuhkan agar anak-anak jalanan tidak lagi berkeliaran di jalan dan mendapatkan haknya dengan selayaknya. Di jelaskan pula pada Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Budgeting, Human Resources Development dan Sistem Informasi. Kelima aspek tersebut berfungsi untuk menunjang kinerja dari program-program organisasi pelayanan sosial dalam mencapai tujuan sebuah organisasi. Salah satu aspek manajemen yang mendukung sebagai kontrol untuk mencapai sebuah tujuan organisasi pelayanan sosial yaitu aspek budgeting. Gates (1980) 90 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kegiatannya, fundraising memiliki lima tujuan pokok menurut (Juwaini:2005) yaitu: mengemukakan bahwa dengan adanya budgeting dapat mewujudkan sebuah rencana, program, dan sebagai kontrol untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam organisasi pelayanan sosial. Sebagai organisasi pelayanan sosial, rumah singgah juga membutuhkan dana untuk menunjang keberlangsungan kegiatannya dalam melakukan pembinaan terhadap anak jalanan. Berdasarkan permasalahan mengenai rumah singgah yang ada pada saat ini, menurut penuturan Raden Harry Hikmat selaku Direktur Pelayanan Sosial Anak, Kementerian Sosial mengatakan bahwa sekitar 60 persen rumah singgah bagi anak jalanan tidak aktif lagi karena dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan fasilitas pelayanan sosial itu melemah dalam beberapa tahun terakhir. Tak hanya hal itu saja, problematika lain yang dihadapi oleh rumah singgah yaitu penurunan aktivitas rumah singgah yang disebabkan karena berkurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah dan lembaga donor. Fakta tersebut penyebab salah satu faktor yang menjadi hambatan dalam pembinaan anak jalanan. Meskipun demikian, rumah singgah saat ini tidak bisa hanya mengandalkan subsidi dari pemerintah saja karena banyaknya kebutuhan untuk menjalankan setiap aktivitasnya agar mampu bertahan dan berkembang. Sehingga, dibutuhkan upaya untuk mendanai aktivitas untuk rumah singgah melalui Fundraising. Fundraising menurut Norton (1998) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan menjual ide kepada orang lain (donor) yang dapat mewujudkan ide tersebut dengan memberikan bantuan berupa uang, sponsor, atau bentuk lain yang dibutuhkan. a. Menghimpun dana Menghimpun dana adalah tujuan fundraising yang paling dasar. Termasuk dalam pengertian dana adalah barang atau jasa yang memiliki nilai material. Tujuan inilahyang paling pertama dan utama. lnilah sebab awal mengapa fundraising itu dilakukan. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa fundraising yang tidak menghasilkan dana adalah fundraising yang gagal, meskipun memiliki bentuk keberhasilan lainnya. Karena pada akhirnya apabila fundraising tidak menghasilkan dana maka tidak ada sumber daya dihasilkan. Apabila sumber daya sudah tidak ada, maka lembaga akan kehilangan kemampuan untuk terus menjaga kelangsungannya, sehingga pada akhirnya akan mati. b. Menghimpun donatur Tujuan kedua fundraising adalah menghimpun donatur. Lembaga yang melakukan fundraising harus terus menambah jumlah donaturnya. Untuk dapat menambah jumlah donasi, maka ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu menambah donasi dari setiap donatur atau menambah jumlah donatur pada saat setiap donatur mendonasikan dana yang tetap sama. Di antara kedua pilihan tersebut, maka menambah donatur adalah cara yang relatif lebih mudah dari pada menaikkan jumlah donasi dari setiap donatur. Dengan alasan ini maka mau tidak mau fundraising dari waktu ke waktu juga harus berorientasi untuk terus menambah jumlah donatur. Fundraising diperlukan dalam kegiatan pencarian sumber-sumber dana baik melalui donatur maupun dari sumber-sumber lain yang memiliki potensi dalam mengembangkan sebuah organisasi pelayanan sosial. Dalam c. Menghimpun simpatisan dan pendukung Kadang-kadang ada seseorang atau sekelompok orang yang telah berinteraksi dengan aktivitas fundraising, mereka 91 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 donatur adalah tujuan yang bernilai jangka panjang, meskipun kegiatannya secara teknis dilakukan sehari-hari. Mengapa memuaskan donatur itu penting? Karena jika donatur puas, maka mereka akan mengulang lagi mendonasikan dananya kepada sebuah lembaga. Juga apabila puas mereka akan menceritakan lembaga kepada orang lain secara positif. Secara tidak langsung, donatur yang puas akan menjadi tenaga fundraiser alami (tidak diminta, tidak dilantik dan tidak dibayar). Kebalikannya kalau donatur tidak puas, maka ia akan menghentikan donasi (tidak mengulang lagi) dan menceritakan kepada orang lain tentang lembaga secara negatif. Karena fungsi pekerjaan kegiatan fundraising adalah lebih banyak berinteraksi dengan donatur, maka secara otomatis kegiatan fundraising juga harus bertujuan untuk memuaskan donatur. kemudian terkesan, menilai positif dan bersimpati. Akan tetapi pada saat itu mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberikan sesuatu (misal: dana) sebagai donasi karena ketidak mampuan mereka. Kelompok seperti ini kemudian menjadi simpatisan dan pendukung lembaga meskipun tidak menjadi donatur. Kelompok seperti ini akan berusaha mendukung lembaga dan umumnya secara natural bersedia menjadi promotor atau informan positif tentang lembaga kepada orang lain. Kelompok seperti ini juga diperlukan oleh lembaga sebagai pemberi kabar informal kepada setiap orang yang memerlukan.Dengan adanya kelompok simpatisan dan pendukung ini, maka kita memiliki jaringan informasi informal yang sangat menguntungkan. d. Membangun Citra lembaga Disadari atau tidak, aktivitas fundraising yang dilakukan oleh sebuah LSM, baik langsung maupun tidak langsung akan membentuk citra lembaga. Fundraising adalah garda terdepan yang menyampaikan informasi dan berinteraksi dengan masyarakat. Hasil informasi dan interaksi ini akan membentuk citra lembaga dalam benak khalayak. Citra ini bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif. Dengan citra ini setiap orang akan mempersepsi lembaga, dan ujungnya adalah bersikap atau menunjukkan perilaku terhadap lembaga. Jika citra lembaga positif, maka mereka akan mendukung, bersimpati dan akhirnya memberikan donasi. Sebaliknya kalau citranya negatif, maka mereka akan menghindari, antipati dan mencegah orang untuk melakukan donasi. Selain itu, kegiatan fundraising juga dapat mendukung mengoperasikan roda kehidupan mapun pengelolaan keuangan sebuah organisasi. Alasan lain dilakukannya fundraising yaitu untuk mengurangi ketergantungan terhadap donor utama. Menurut Said, Abidin dan Faizah (2003 : 34) ada tiga cara yang bisa ditempuh oleh organisasi pelayanan sosial dalam menggalang dukungan dari masyarakat.yaitu; 1. Menggalang dana dari sumber yang tersedia, baik dari perorangan, perusahaan, ataupun pemerintah. Untuk menggalangnya, mereka bisa menggunakan beberapa strategi. Yaitu; direct mail, media campaign. Keanggotaan, special event, endowment, dan sebagainya 2. Menciptakan sumber dana baru. Upaya itu dilakukan dengan cara membangun unit-unit usaha dan ekonomi yang mampu menghasilkan pendapatan lembaga (earned income) 3. Mengkapitalisasi sumber daya nonfinancial. Disini, lembaga bisa e. Memuaskan donatur Tujuan kelima dari fundraising adalah memuaskan donatur. Tujuan ini adalah tujuan yang tertinggi. Tujuan memuaskan 92 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 setiap langkah yang diambil untuk menggalang dana, agar segalanya berjalan lancar. Ada enam strategi penggalangan dana yang dikemukan oleh Norton yaitu: menciptakan dana dari sumber nonfinancial. Sebagai organisasi pelayanan sosial, rumah singgah juga memerlukan dana untuk dapat menjalankan setiap program-program pembinaan anak jalanan yang selama ini telah dikelola. Sebuah rumah singgah yang terletak di jalan Bacang No. 46 Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan didirikan pada tahun 1998 oleh sekelompok mahasiswa karena keprihatinan terhadap kesejahteraan anak jalalan dengan menyekolahkan anak-anak jalanan di sekolah umum, pengembangan minat bakat, pelatihan keterampilan dan pembinaan untuk pembentukan akhlak yang baik dalam bentuk rumah singgah. Dalam menjalankan kegiatannya Yayasan Bina Anak Pertiwi tak luput dari strategi fundraising yang dijalankannya selama ini. 1. Menentukan kebutuhan 2. Bagaimana agar organisasi berkembang 3. Mengidentifikasi sumber daya 4. Menilai peluang 5. Mengidentifikasi hambatan 6. Merumuskan strategi Dalam pelaksanaan fundraising, sumbersumber dana di yayasan pada umumnya berasal dari donatur serta dengan memaksimalkan potensi-potensi yang dimililiki anak-anak jalanan binaan Yayasan Bina Anak Pertiwi, seperti; anak-anak yang memiliki kemampuan bermusik diikutsertakan dalam kegiatan perlombaan atau acara-acara tertentu. Kegaiatan tersebut selain membantu mengembangkan keterampilan yang dimiliki oleh anak jalanan, dapat juga membantu dalam kegiatan strategi fundraising di Yayasan Bina Anak pertiwi. Klein (2006) mengidentifikasi tiga model strategi penggalangan dana sosial, yakni: Definisi strategi menurut Siagian (2004) adalah sebagai serangkaian keputusan dan tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut. 1. Acquisition Strategies Tokoh lain yang mendefinisikan mengenai strategi yaitu Stephanie K. Marrus, strategi menurutnya merupakan suatu proses penentuan rencana para pemimpin yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai. Pendapat ini tidak jauh beda dengan Craig & Grant (1996) yang mengartikan pengertian strategi adalah penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang (targeting and long-term goals) dan arah tindakan serta alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan (achieve the goals and objectives). Tujuan utama strategi ini adalah untuk mendapatkan orang-orang atau para donatur yang belum pernah berdonasi kepada organiasai, seperti halnya; memberikan informsi sebelumnya data melaui website ataupun acara-acara khusus. 2. Retension Strategies Strategi ini berusaha untuk mendapatkan donor untuk memberikan kedua kalinya, ketiga kalinya, dan seterusnya, sampai menjadi terbiasa. pendapatan dari strategi retensi juga digunakan untuk kebutuhan tahunan. Menurut Norton strategi menggalang dana adalah tulang punggung kegiatan menggalang dana yang diperlukan, yang perlu memberikan perhatian penuh sejak awal pada 3. Upgrading Strategies Strategi ini bertujuan untuk mendapatkan donor untuk memberikan lebih dari yang 93 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 1. Mendeskripsikan Acquisition Strategies yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi 2. Mendeskripsikan Retension Strategies yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi 3. Mendeskripsikan Upgrading Strategies yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam aspek: mereka berikan sebelumnya . seperti memberikan apresiasi seperti status pendonor tetap yang dapat dilakukan bisa melaui surat, mengkontak secara langsung dan mengundang ke acara khusus. Disisi lain, untuk menjalankan kegiatannya yayasan ini bekerjasama dengan kementerian sosial serta dinas sosial dalam pembinaan anak jalanan yang sudah dirancang dalam bentuk program. Selain itu, penggalangan dana di yayaysan ini juga dilakukan dengan bantuan media sosial serta internet, agar menarik dan memberikan kemudahan bagi para donatur. Tak jarang pula Yayasan Bina Anak Pertiwi melakukan penggalangan dana dengan membuat acara pementasan musik, perlombaan musik ataupun keterampilan lainnya yang dimiliki oleh anak jalanan melalui pembinaan dari Yayasan Bina Anak Pertiwi. Jika strategi fundraising dan pemanfaatannya diterapkan dengan tepat dan baik, maka akan dapat menghasilkan dana untuk kebermanfaataan yayasan, seperti; pengembangan yayasan dan pembinaan anak jalanan sesuai dengan visi Yayasan Bina Anak Bangsa. Namun, jika strategi fundraising yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi tidak optimal, maka akan berdampak pada keberlangsungan Yayasan dalam menjalankan kegiatannya untuk pembinaan anak jalanan ini. Hal yang menarik dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi fundraising di Yayasan Bina Anak Pertiwi dapat berjalan dan berkelanjutan dalam menjalankan aktivitas dalam pembinaan anak jalanan? 1. Teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan disiplin Ilmu Kesejahteraan Sosial, praktek pekerjaan sosial yang berhubungan dengan Administrasi Pekerjaan Sosial dan sebagai kajian serta bahan masukan literatur dalam penelitian selanjutnya, khususnya mengenai metode Administrasi Pekerjaan Sosial. 2. Praktis Terdapat beberapa kegunaan praktis dari hasil penelitian ini, diantaranya adalah : 1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan dan pengaplikasian keilmuan yang diperoleh di Ilmu Kesejahteraan Sosial terutama mengenai Administrasi Pekerjaan Sosial di lembaga pelayanan sosial. 2. Penelitian ini mampu memberikan manfaat yang nantinya akan dirasakan oleh lembaga sosial yang melakukan fundraising sebagai bagian dari manajemen lembaga pelayanan sosial. Melihat dari rumusan masalah, tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut : METODE pertimbangan bahwa pendekatan kualitatif sesuai dengan jenis penelitian dan subyek yang diteliti. Penelitian kualitatif dalan Moleong (1998:3) merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu melalui pendekatan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi fundraising yang digunakan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi, Jakarta berdasarkan tiga strategi yang telah dikemukakan. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan 94 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 diambil adalah Ketua Yayasan Bina Anak Pertiwi dan Kepala divisi fundraising. Hasil yang didapat dari informan tersebut juga didukung dengan informan-informan pendukung yang diambil adalah donatur yang memberikan sumbangannya kepada Yayasan Bina Anak Pertiwi. kualitatif ini bisa diperoleh informasi yang lebih mendalam dan terperinci mengenai penerapan strategi fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi, Jakarta karena data yang didapat berbentuk narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar dan foto) bukan berbentuk angka-angka. Selanjutnya, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis mengenai strategi fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi, Jakarta. Pengumpulan data atau informasi dapat menggunakan sumber data primer atau sekunder. Maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Indept interview atau wawancara mendalam yaitu kegiatan komunikasi verbal yang diarahkan oleh suatu masalah tertentu, dengan tujuan mendapat informasi serta pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam melakukan wawancara peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Teknik wawancara ini dimaksudkan untuk menggali infomasi secara langsung yang tepat dan akurat mengenai datadata yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Berkaitan dengan permasalahan penelitian, khususnya data mengenai penerapan stategi fundraising di Yayasan Bina Anak Pertiwi. 2. Observasi Non Partisipan yaitu melakukan pengamatan menggunakan indera penglihatan yang berarti tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pencatatan terhadap proses peningkatan kapasitas di lokasi kegiatan tanpa ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diamati. Melalui observasi ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap informan yang berada di Yayasan Bina Anak Pertiwi untuk mengetahui penerapan strategi fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi. 3. Srudi dokumentasi dengan cara membaca dan mempelajari dokumen ataupun bahan tertulis seperti; jurnal, artikel ataupun data tertulis yang ada di lembaga lain yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam melakukan penelitian, dibutuhkan narasumber untuk memberikan informasi yang terkait dengan penelitian yng dibutuhkan. Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian dengan kata lain, informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Bungin, 2007). Informan yang dipilih dalam penelitian ini yaitu informan yang mengetahui mengenai strategi fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi, Jakarta. Teknik penentuan informan yang digunakan didalam penelitian ini adalah teknik purposive. Teknik purposive merupakan teknik penentuan informan sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya, orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau sebagai orang yang mempunyai kewenangan tertentu sehingga akan memudahkan peneliti menelaah objek/situasi sosial yang diteliti. Informan yang digunakan dalam penelitian ini tentu saja orang-orang yang sangat paham dan mengetahui tentang strategi fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi. Informan yang 95 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 ISSN:2339 -0042 pada saat wawancara maka kesalahapan akan data yang diperoleh dapat dihindari. Instrument dalam penelitian ini berfungsi dalam melakukan pengumpulan data, analisis data, dan membuat kesimpulan atas temuan. Beberapa alat yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data diantaranya : 1. Pedoman wawancara Penggunaan pendoman wawancara dimaksudkan untuk menggali informasi sesuai dengan tujuan penelitian yang berkaitan dengan penerapan strategi fundraising di Yayasan Bina Anak Pertiwi 2. Pedoman observasi Merupakan panduan bagi peneliti untuk mengamati obyek penelitian sehingga data yang terkumpul sesuai dengan tujuan penelitian. 3. Catatan lapangan Untuk mencatat seluruh aktivitas yang dialami peneliti selama di lapangan Tahapan-tahapan dalam mengolah menganalisis data diantaranya yaitu: HALAMAN: 1 - Penelitian ini dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi yang merupakan rumah singgah di Jalan Bacang No.46 Jati Padang, Pasat Mingggu, Jakarta Selatan. Pertimbangan mengambil lokasi ini karena Yayasan Bina Anak Pertiwi termasuk organisasi pelayanan sosial yang menerapkan strategi fundraising. HASIL PEMBAHASAN Yayasan Bina Anak Pertiwi, sebagai payung lembaga dari Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, Pusat Pembinaan Anak dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Masyarakat. Rumah Singgah ini mengembangkan model resource fundraising seperti metode penggalangan dari sumber-sumber konvensional baik secara langsung maupun tidak langsung dan model grant fundraising dengan metode penguatan program pemberdayaan pada keluarga anak jalanan. dan Sedangkan dalam mengelola pendayagunaan melalui divisi penyaluran atau pendayagunaan dana dalam programprogram yang dilakukan rumah singgah Bina Meningkatkan taraf hidup Anak ,adalah: serta kesejahteraan sosial masyarakat fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan/terlantar/anak daerah terpencil, serta anak kurang mampu menjadi anak bangsa yang konstruktif dan bermartabat sejalan dengan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih berkualitas. 1. Data reduction (reduksi data), pada tahap ini dilakukan pada saat penelitian dil alapangan ketika sedang dilaksanakan, yaitu ketika penggalian informasi mengenai penerapan fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi. 2. Pengorganisasian data, pada tahap ini hasil temuan dilapangan dipisahkan menurut kategorikategori yang didasarkan pada tujuan penelitian yaitu tentang penerapan fundraising yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi 3. Interpretasi atau penafsiran Fundraising tidak identik hanya dengan menghimpun dana semata. Ruang lingkupnya begitu luas dan mendalam, pengaruhnya sangat berarti bagi eksistensi dan pertumbuhan sebuah lembaga. Oleh karenanya, tidak begitu mudah untuk memahami ruang lingkup fundraising. Untuk memahaminya terlebih dahulu dibutuhkan pemahaman tentang substansi fundraising tersebut. Substansi fundraising dapat diringas Tahapan ini dilakukan ketika pada saat wawancara ditemukan istilah-istilah asing dan dengan dilakukannya tahapan interpretasi ini 96 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 kepada tiga hal yaitu: motivasi, program, dan metode. Adapun yang dimaksud metode atau teknik fundraising, sebagaimana substansi fundraising yang ketiga di atas, adalah suatu bentuk kegiatan yang khas yang dilakukan oleh nādhir dalam rangka menghimpun dana/daya dari masyarakat. Metode ini pada dasarnya dapat dibagi kedua dua jenisyaitlangsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Adapun tujuan fundraising ada lima halyaitu: menghimpun danameningkatkan citra, menjalin simpatisan atau pendukung. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 kualitas dalam pembinaan anak jalanan. Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi cukup mendapat simpati masyarakat. Hal itu terbukti dengan penerimaan dana secara umum untuk pembinaan anak jalanan meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian, program yang selama ini berjalan perlu dievaluasi dan dikembangkan agar memperoleh kepercayaan masyarakat yang lebih luas lagi. Hal ini berhubungan dengan lembaga keberlanjutan (sustainbility) tersebut sebagai organisasi penggalang dana, yang akan berdampak pada penyelenggaraan pelayanan berkualitas. Dari konsepsi dan mekanisme kerja di atas, terlihat bahwa manajemen fundraising pada rumah singgah berkembang dengan produktif dan menghasilkan baik secara finansial maupun non-finansial dalam konteks resource fundraising dan grant fundraising. fundraising DAFTAR PUSTAKA Klein, Kim. 2011. Fundraising for Social Change (6th edition). San Fransisco: Josey Bass Pengembangan program yang dimaksud adalah perluasan penerima manfaat yang tidak hanya terfokus pada masyarakat tidak mampu, tetapi juga memberi kesempatan bagi masyarakat cukup/mampu untuk dapat merasakan dan membuktikan langsung mutu pelayanan dalam pembinaan anak jalanan di rumah singgah Bina Ana Pertiwi. Dalam perspektif manajemen strategis, pengembangan strategi ditekankan pada strategi fokus penerima manfaat atau meminjam. Pembuktian langsung oleh masyarakat tentang mutu pembinaan anak jalanan dengan cara seperti disebut diatas, merupakan strategi tersendiri untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi penggalang dana. Meningkatnya kepercayaan masyarakat akan berpengaruh positif bagi penerimaan dana untuk pendidikan formal dan non formal, yang itu berarti akan menjamin kualitas dalam pembinaan anak jalanan di rumah singgah. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, kecukupan dana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Norton, Michael. 2002. Menggalang Dana: Penuntun bagi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sukarela di Negara-Negara Selatan (Masri Maris, Penerjemah) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Kettner. 2002. Achieving Excellence in The Management of Human Service Organizations. Boston: Allyn and Bacon Hopkins,Bruce, 2009. Starting and Managing A Non Profit Orgnization. Canada: John Willey & Sons Ahmad Juwaini.2005. Panduan Direct Mail untuk Fundraising, Jakarta: Piramedia Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi.2003. Hukum Yayasan Indonesia, Jakarta: Abadi Weiner, Myron.1982.Human Services Management Analisis and Applications. United States of America: They Dorsey Press Wibawa,Budi, Meilany Dasar-Dasar & Santoso Pekerjaan Bandung: Widya Padjadjaran Kesos.unpad.ac.id 97 2010. Sosial. SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 EFEKTIVITAS PROGRAM PELAYANAN SOSIAL PADA ANAK CEREBRAL PALSY OLEH SEKOLAH LUAR BIASA oleh Franzeska Venty WD, Budhi Wibhawa, & Budi M. Taftazani, E-mail: ([email protected]; [email protected]; [email protected]) ABSTRAK Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan tantangan besar bagi anak dengan disabilitas dalam hidupnya. Dalam pemenuhannya, anak dengan disabilitas membutuhkan pelayanan khusus yang dapat mengatasi berbagai keterbatasannya. Begitu pula dengan anak cerebral palsy, yang memiliki keterbatasan pada pengendalian fungsi pergerakkan akibat adanya kerusakan pada fungsi otak dan sistem saraf. Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan pelayanan sosial, sebagai salah satu usaha kesejahteraan sosial, untuk diberikan pada anak cerebral palsy dalam bentuk kegiatan pertolongan agar mereka mampu mengatasi permasalahannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif studi kasus, agar dalam penelitian ini dapat diperoleh gambaran secara empirik tentang program pelayanan sosial apa saja yang diberikan pada anak cerebral palsy oleh Sekolah Luar Biasa, sehingga hasil penelitian ini dapat mencapai tujuan untuk menggambarkan efektivitas dari program pelayanan sosial yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga program pelayanan sosial, yaitu pendidikan, rehabilitasi, dan keterampilan. Program pendidikan belum efektif, karena keterbatasan sumber daya guru dalam mengajari anak cerebral palsy. Program rehabilitasi sudah efektif, karena terdapat terapis yang professional dalam bidangnya memberikan layanan terapi untuk fungsi gerak anak cerebal palsy. Program keterampilan sudah efektif, karena guru dibantu pengasuh dapat mengajarkan anak untuk beraktivitas dalam hal-hal sederhana yang membantu mereka untuk hidup terampil dan mandiri. Kata kunci: anak cerebral palsy, program pelayanan sosial, Sekolah Luar Biasa, efektivitas ABSTRACT Fulfillment of basic needs is a major challenge for children with disabilities in his life. In fulfillment, children with disabilities require special services that can overcome various limitations. Similarly, the child cerebral palsy, which has limitations in controlling movement function due to damage to the brain and nervous system function. Schools that organizes social services, as one of the social welfare, to be given to children in the form of cerebral palsy relief activities so that they are able to resolve the problem. This study used a qualitative method with descriptive case study approach, so in this study can be obtained by empirical picture about any social service program given to children cerebral palsy by Extraordinary School, so the results of this research can achieve the purpose to illustrate the effectiveness of the program service social given. The results showed that there are three social service programs, namely education, rehabilitation, and skills. Education programs have not been effective, because of limited resources teachers in teaching children cerebral palsy. Rehabilitation programs have been effective, because there are professional therapists provide services in the field of therapy for motor function of cerebral palsey children. Skills programs have been effective, because the teacher can help caregivers teach children to move in simple things that help them to live a skilled and independent. Key words: children with cerebral palsy, social service program, school extraordinary, efectiveness 98 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PENDAHULUAN Tabel 1.1. Presentase Anak dengan Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas Dalam menjalani kehidupan, manusia senantiasa berusaha untuk mampu memenuhi kebutuhan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan pengembangan diri seutuhnya, sehingga dapat menciptakan hidup yang sejahtera. Pada kondisi yang berbeda menjadi suatu tantangan yang besar pula bagi penyandang disabilitas, khususnya anak dengan disabilitas, untuk dapat memenuhi kebutuhan guna mencapai hidup yang lebih baik. Menurut Peraturan Menteri Sosial RI tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data PMKS dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), anak dengan disabilitas adalah penduduk berumur 0-17 tahun (berusia 17 tahun ke bawah) yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani, maupun sosialnya secara layak. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, anak dengan disabilitas menghadapi berbagai keterbatasan pada dirinya untuk dapat berkomunikasi, mengurus hidup secara mandiri dan terampil, mengontrol diri, mengembangkan potensi, serta melakukan aktivitas lain dalam kesehariannya. Berdasarkan Susenas Badan Pusat Statistik RI tahun 2012 lalu, tercatat sebanyak 53.213.000 anak yang menyandang disabilitas atau sekitar 0,63 persen dari jumlah seluruh anak. Ada pun presentase yang diperoleh dari Susenas BPS RI tahun 2012 yang melampirkan presentase anak dengan disabilitas menurut jenis gangguan atau disabilitasnya sebagai berikut: Jenis Disabilitas Jumlah (%) Lebih dari Satu Jenis Mengurus Diri Sendiri Berjalan Mengingat/Berkonsentrasi Berkomunikasi Mendengar Melihat Sumber: BPS, Susenas 2012 47,2 4,33 10,05 9,4 10,1 8,93 9,99 Beragamnya jenis ketunaan atau disabilitas ini memberikan perhatian khusus dalam menangani dan melayani kebutuhan hidupnya yang tentu akan berbeda antar jenis disabilitasnya. Akan tetapi, tiap anak dengan disabilitas sama-sama mempunyai hak dalam hal aksesibilitas dan rehabilitas. Mereka membutuhkan akses dan layanan khusus yang diperlukan dalam hidupnya untuk bisa mengatasi berbagai keterbatasannya. Begitu pula yang dialami oleh anak cerebral palsy. Anak cerebral palsy merupakan bagian dari anak dengan disabilitas yang tergolong pada jenis disabilitas berjalan atau tunadaksa, sebab memiliki gangguan pada pengendalian fungsi pergerakan. Menurut Soeharso (Salim, 2007: 170), bahwa cerebral palsy terdiri dari dua kata, yaitu cerebral yang berasal dari kata cerebrum yang berarti otak dan palsy yang berarti kekakuan. Hal ini dikarenakan adanya gangguan atau kerusakan pada fungsi otak dan sistem saraf, sehingga mengakibatkan terjadinya kelainan gerak, sikap, maupun bentuk tubuh, serta gangguan koordinasi pada sistem otot yang menyebabkan kekakuan gerak. Lebih lanjut disampaikan oleh BakwinBakwin (Somantri, 2006:122) mengenai klasifikasicerebral palsy yang dapat dibedakan sebagai berikut ini: 1. Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang menyebabkan hyperactive reflex dan stretch reflex. Spasticity dapat dibedakan menjadi: 1) Paraplegia, 2) Quadriplegia, dan 3) Hemiplegia. 99 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 2. Athetosis, yaitu kerusakan pada basal banglia yang mengakibatkan gerakangerakan menjadi tidak terkendali dan tidak terarah. yaitu kerusakan pada 3. Ataxia, cerebellum yang mengakibatkan adanya gangguan pada keseimbangan. 4. Tremor, yaitu kerusakan pada bagian basal ganglia yang berakibat timbulnya getaran-getaran berirama, baik yang bertujuan maupun yang tidak bertujuan. 5. Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan kekakuan pada otot-otot. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 yang tergolong tidak sedikit ini menunjukkan bagaimana tingkat penyandang cerebral palsy pada anak-anak perlu diperhatikan. Menyadari hal itu, anak cerebral palsy membutuhkan perhatian khusus dari lingkungan yang mampu mendorong mereka untuk hidup lebih baik lagi. Terutama dalam pemenuhan kebutuhan agar anak mampu menyesuaikan dirinya untuk hidup di tengahtengah lingkungan sosialnya. Mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi mandiri dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki olehsetiap anak cerebral palsy. Berbicara mengenai permasalahan tersebut, konsep kesejahteraan sosial dalam gagasannya sebagai suatu sistem pelayanan sosial memandang bagaimana tindakan manusia atau sekelompok manusia yang terorganisasi dapat membantu pemecahan masalah yang dilakukan untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pelayanan sosial yang dimaksud merupakan salah satu dari usaha kesejahteraan sosial yang dapat diberikan dalam rangka menangani persoalan hidup lewat berbagai layanan pertolongan. Pada fungsi pelayanan sosial ini, memiliki bentuk-bentuk pelayanan sosial yang di antaranya adalah sebagai berikut: a) Bimbingan sosial bagi keluarga, b) Program asuhan keluarga dan adopsi anak, c) Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman, d) Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat, e) Program-program bagi lanjut usia, f) Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental, g) Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan, h) Program-program bimbingan bagi para pasien di Rumah Sakit. Dengan demikian pada fungsi pelayanan sosial ini berfokus pula pada anak dengan disabilitas yang diberikan lewat adanya program-program rehabilitasi sosial sebagai salah satu bentuk pelayanannya.Begitu pun juga halnya dengan anak cerebral palsy yang perlu mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi untuk membantu mereka guna menjadikan kehidupannya lebih baik lagi. Dengan berbagai hambatan yang telah disampaikan pada subbab sebelumnya, tentu hal ini mendorong dukungan dari pelayanan sosial Berbicara mengenai karakteristik pada anak cerebral palsy, Yulianto (Salim, 2007:178-182) mengungkapkan bahwa cerebral palsy mempunyai karakteristik sebagai berikut yaitu mengalami kekakuankekakuan otok; terdapat gerakan-gerakan yang tidak terkontrol pada kaki, tangan, lengan, dan otot-otot wajah; hilangnya keseimbangan yang ditandai dengan gerakan yang tidak terorganisasi; otot mengalami kekakuan sehingga seperti robot apabila sedang berjalan; adanya gerakan-gerakan kecil tanpa disadari; dan anak yang mengalami beberapa kondisi campuran. Tidak hanya itu, anak cerebral palsy juga dapat disertai dengan gangguan penglihatan, pendengaran, dan mental. Pada kondisi yang demikian, anak cerebral palsy memiliki kemampuan yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kesulitan dalam mengontrol gerakan-gerakan kecil, keseimbangan berjalan, dan kesulitan dalam berbicara merupakan beberapa kasus yang menjadi hambatan bagi anak cerebral palsyuntuk bisa aktif dalam berbagai kegiatan sebagaimana yang mampu dilakukan oleh anak-anak pada umumnya. Mengenai kasus anak cerebral palsy, P. Seibel (1984) memperkirakan jumlah anakanak cerebral palsy yang berkisar antara 0,15 sampai 0,3 persen dari jumlah populasi anakanak. Dengan demikian setiap 1000 kelahiran hidup, satu sampai tiga anak diperkirakan menderita kelainan cerebral palsy. Sedangkan di Indonesia, 1-5 dari setiap 1000 anak yang lahir hidup di Indonesia memiliki kondisi dengan cerebral palsy. Dengan jumlah angka 100 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 yang dapat diberikan bagi anak cerebral palsy dalam mengatasi berbagai hambatan dalam hidupnya. Pelayanan sosial yang diberikan pun termasuk penyelenggaraan pendidikan, akses kesehatan, rehabilitasi, dan juga rekreasi yang dilakukan bagi anak cerebral palsy untuk meningkatkan keberfungsian mereka terutama dalam masa tumbuh dan kembangnya. Oleh sebab itu, salah satu upaya dalam pelayanan sosial yang dapat menjawab tantangan bagi anak cerebral palsy yakni dengan hadirnya Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan pelayanan sosial yang dibutuhkan bagi anak dalam hal pendidikan dan keterampilan, pengembangan, serta penunjang. Hal ini mengingat pentingnya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 12 UndangUndang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa: “Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya.” Adapun tingkat jenjang yang diselenggarakan pada lembaga pendidikan ini, yaitu TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB. Dengan adanya penyesuaian pada jenis disabilitas atau ketunaan, maka Sekolah Luar Biasa ini diklasifikasikan menjadi enam bagian kekhususan, yaitu SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras, dan SLB bagian G untuk tunaganda. Pada anak cerebral palsy, selain diselenggarakan layanan pendidikan namun juga disediakan layanan rehabilitasi yang membantu para peserta didik dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam satuan sistem pendidikan yang di adakan oleh Sekolah Luar Biasa, diselenggarakan pula pengajaran, latihan, bimbingan, dan rehabilitasi dengan tujuan agar anak cerebral palsy sebagai peserta didik mampu untuk ditunjang dari pertolongan yang dapat diberikan oleh Sekolah Luar Biasa sesuai HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 dengan keadaan diri tiap anak yang berbeda satu dengan yang lainnya. Penyediaan layanan sosial oleh Sekolah Luar Biasa memberikan kesempatan yang lebih luas lagi pada anak cerebral palsy untuk memenuhi kebutuhannya dalam upaya mencapai keberfungsian sosial mereka. Pelayanan yang diberikan menyesuaikan kondisi penerima layanan dengan berbagai kebutuhan khususnya agar dapat terpenuhi guna membantu mereka untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Menyoroti perihal mengenai pemenuhan kebutuhan khususnya maka melihat pula program-program pelayanan sosial yang dijalankan oleh Sekolah Luar Biasa dalam penerapannya bagi anak cerebral palsy, apakah program pelayanan tersebut sudah dijalankan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai atau belum.Sehingga dalam melihat kesesuaiannya, mengacu pada efektivitas yang menunjukkan bagaimana Sekolah Luar Biasa mampu melaksanakan programprogramnya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat mengetahui bagaimana efektivitas dari program atau kegiatan tersebut, Campbell (1989:121) menurutkan bahwa adanya pengukuran efektivitas secara umum, yaitu sebagai berikut: a) Keberhasilan program, b) Keberhasilan sasaran, c) Kepuasan terhadap program, d) Tingkat input dan output, dan e) Pencapaian tujuan menyeluruh. Dengan demikian keefektivitasan itu dapat diketahui berkenaan dengan bagaimana pelaksanaan program yang secara menyeluruh dijalankan agar mencapai sasaran yang dikehendaki. Konsep pekerjaan sosial yang turut memberikan intervensi kepada anak dengan disabilitas guna meningkatkan keberfungsian sosial anak.Dalam memberikan intervensi tersebut, pekerja sosial dapat melakukan kerangka kerja untuk melakukan analisis, assessment, dan intervensi pada anak dengan disabilitas. Tentunya dalam pemberian intervensi, pekerja sosial akan melibatkan lingkungan sebagai sistem sasaran. Dharta (2011: 75) mengungkapkan bahwa tidak ada satu jenis metode yang secara khusus menjadi suatu intervensi yang efektif bagi semua ABK mengingat hambatan-hambatan dan potensi-potensi yang mereka miliki sangat beragam. 101 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Melalui perspektif keadilan sosial, seorang pekerja sosial akan mempromosikan dan mendukung semua orang untuk mendapatkan kesempatan dan kesamaan hak dalam setiap sendi-sendi kehidupan mereka. Peerja sosial juga mengidentifiaksi persoalanpersoalan yang muncul dalam kehdiupan bermasyarakat. Praktik pekerjaan sosial berpotensi memberi pengaruh yang baik bagi kehidupan para ABK. Para pekerja sosial berpraktik dalam komunitas dan settingsetting intervensi yang bervariasi dan secara ideal, mereka berusaha mengidentifikasikan dan mengakomodasikan kebutuhan ABK dan keluarganya. Bekerja secara efektif bersama ABK dan keluarganya menuntut adanya pemahaman mengenai kondisi alamiah ABK dan bagaimana kondisi itu membawa dampak bagi individu-indiviu dalam keluarga. Kesadaran terhadap nilai-nilai individu dan pengalaman bersama ABK juga akan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan seorang pekerja sosial. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi program pelayanan apa saja yang diberikan pada anak cerebral palsy oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur. Kemudian menggambarkan bagaimana efektivitas program pelayanan sosial pada anak cerebral palsy yang diberikan oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur dalam penerapannya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh anak cerebral palsy. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 deskriptif kualitatif bertujuan untuk: menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatur ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Oleh karena itu, dengan jenis penelitian deskriptif ini akan menyajikan gambaran kondisi yang ada di lapangan mengenai program pelayanan sosial apa saja yang diberikan pada anak cerebral palsy oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur, dan bagaimana efektivitas program pelayanan sosial tersebut agar mampu berjalan dengan baik. Berdasarkan penggunaan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, maka teknik penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Stake dalam Creswell (2003: 15) mengungkapkan bahwa studi kasus, di mana peneliti mengeksplorasi secara mendalam program, acara, kegiatan, proses, atau satu atau lebih individu. Kasus yang dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang berkelanjutan. Ada pun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:1) Wawancara, teknik wawancara ini dilakukan dengan menggunakan wawancara terstruktur, yaitu dengan mempersiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaanpertanyaan tertulis berupa kuesioner untuk memperoleh data dari tiap responden yang memberikan jawabannya, 2) Observasi, peneliti menggunakan observasi partisipatif, sebab dalam penelitian ini peneliti turut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh responden sebagai sumber data. Sehingga dengan demikian dapat diperoleh data yang lebih lengkap dan lebih mendalam terhadap bagaimana program pelayanan sosial yang diberikan oleh Sekolah Luar Biasa tersebut bagi anak cerebral palsy, dan 3) Studi Dokumentasi, teknik pengumpulan data ini merupakan data sekunder yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penelitian dalam menyusun konsep yang diperoleh dari bukubuku, jurnal, artikel, maupun dokumen METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian terkait efektivitas program pelayanan sosial yang diberikan oleh Sekolah Luar Biasa pada anak cerebral palsy, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2014: 9), bahwa metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penggunaan jenis penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan bagaimana kondisi dari fokus penelitian berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan. Seperti yang dijelaskan Bungin (2007: 68), bahwa penelitian sosial menggunaan format 102 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur mengenai anak cerebral palsy. Berkaitan dengan dokumen yang ada di Sekolah Luar Biasa ini, dapat diketahui pula data anak cerebral palsy, program pelayanan apa saja yang diberikan dan catatan kasus maupun evaluasi hasil yang diperoleh dari Sekolah Luar Biasa. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini yaitu analisis kualitatif. Analisis ini memperdalam suatu fenomena sosial yang terdiri dari pelaku, kejadian, tempat, dan waktu serta fakta- fakta yang beragam yang akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang terstrukutur dan logis. Adapun proses pengolahan data dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1) Pengumpulan data di lapangan menggunakan catatan lapangan dan instrumen lainnya. data yang dikumpulkan di lapangan berupa catatan observasi, hasil wawancara, dan dokumen atau catatan yang dimiliki lembaga antara lain: program-program pelanayanan yang diberikan pada anak cerebral palsy dan bagaimana efektivitas program-program layanan tersebut diberikan oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur; 2) Kategorisasi data, yaitu memilah data dan mengklasifikasikannya sesuai dengan data yang dikumpulkan di lapangan yaitu hasil wawancara dengan masing-masing kategori; 3) Penafsiran data, yaitu adanya makna dan pola hubungan dalam kategorisasi data; dan 4) Triangulasi, yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Triangulasi berasal dari sumber atau informan, teknik pengumpulan data, triangulasi waktu. HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 taman sekolah. Aktivitas ini dilakukan di setiap pagi oleh seluruh anak cerebral palsy yang dididik. Aktivitas ini bertujuan untuk mengenalkan anak dengan alam. Melalui tumbuh-tumbuhan, anak cerebral palsy belajar mengetahui apa saja macam-macam tumbuhan, bagaimana bentuk, serta merawatnya. Sehingga dengan demikian membantu anak cerebral palsy untuk mampu memahami lingkungan sekitarnya melalui aktivitas berkebun tersebut. 2. Pembelajaran di Dalam Kelas Pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas dengan jumlah guru pendamping 12 orang. Dalam satu kelasnya, terdiri dari 5-15 anak disabilitas yang dikelompokkan pada masing-masing kemampuan dan tingkat disabilitasnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar pembelajaran yang diberikan pun menyesuaikan dengan bagaimana keadaan atau kondisi yang dialami oleh tiap anak. Begitu pula dengan anak cerebral palsy, terdapat lima anak yang tergolong pada cerebral palsy ringan dan terdapat 6 anak yang tergolong pada cerebral palsy berat. Kedua golongan ini dipisahkan masingmasing, agar guru pendamping dapat menyesuaikan pengajaran yang diberikan kepada tiap-tiap anak. Pembelajaran terdiri dari rangkaian aktivitas, yaitu menggambar, mewarnai, dan relaksasi. Tidak adanya kurikulum terkait materi akademik yang diberikan secara langsung, sebab pihak yayasan mengatakan bahwa anak-anak cerebral palsy ini memiliki keterbatasan sehingga sulit untuk menerima materi akademik jika diberikan. Dengan rangkaian aktivitas di dalam kelas, anak cerebral palsy diajarkan untuk mampu melakukan pengendalian gerakan sensori-motoriknya serta merangsang pola pikir pada kognitifnya agar terjadi keseimbangan dan mampu menangkap apa yang telah diajarkan. Dengan menggambar dan mewarnai, anak cerebral palsy dikenalkan dengan objek-objek apa yang menjadi tema di hari itu. Sehingga anak mampu mengenal objek yang dipahaminya dari teknik menggambar dan mewarnai sebagai medianya. Dengan relaksasi atau HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan melakukan wawancara kepada informan, baik kepala Sekolah Luar Biasa, guru, pengasuh, dan anak cerebral palsy, serta melakukan observasi partisipasi secara langsung maka dapat diidentifikasi program-program pelayanan sosial yang diberikan sebagai berikut: 1. Aktivitas Berkebun di Taman Salah satu aktivitas yang diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur ini dengan adanya berkebun di 103 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 pengulangan kembali, anak cerebral palsy diajak untuk melakukan review dari apa yang telah dipelajari di hari itu. Menguatkan ingatan anak agar 3. Pemberian Snack Selain melakukan pembelajaran, pihak yayasan juga turut memenuhi kebutuhan dasar bagi anak cerebral palsy. Pemberian snack ini dilakukan berdasarkan tema apa yang sedang diangkat oleh yayasan di setiap bulannya. Sehingga, anak terus-menerus dikenalkan dengan objek yang ada dalam kehidupannya. Tidak hanya itu, anak cerebral palsy juga dibimbing oleh pengasuh untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan snack ini, seperti memasak, menggoreng, dan mencuci alat makan. Anak diajarkan untuk mampu melakukan kegiatan 4. Fisioterapi dan Sensori Motorik Dalam memenuhi kebutuhannya agar anak cerebral palsy dapat hidup lebih mandiri, dibutuhkan pelayanan rehabilitasi yang menyesuaikan kondisi anak cerebral palsy untuk mendapatkan layanan yang membantu memperbaiki gangguan fungsi gerak yang diikuti dengan proses/metode terapi gerak lewat fisioterapi. Tujuan pelayanan ini membantu mengembangkan, memelihara, dan memulihkan fungsi gerak yang terganggu. Dengan berbagai teknik yang telah diterapkan oleh fisioterapis bagi anak cerebral palsy di Sekolah Luar Biasa ini, memberikan kesempatan bagi mereka untuk dapat terlatih pada fungsi geraknya sehingga dengan berbagai proses yang telah dilalui pun membantu anak cerebral palsy agar dapat mampu berjalan dan melakukan gerakan-gerakan yang menjadikan mereka untuk hidup mandiri. Selain itu ada pula terapi sensori motorik yang membantu anak cerebral palsy untuk membangun pondasi yang kuat untuk masa depannya. Saat kehidupan semakin rumit dan penuh tuntutan, tanpa adanya penanganan terapi ini maka anak akan mengalami kesulitan dalam keterbatasannya. Penanganan terapi ini membantu anak mengembangkan keterampilan atau keahlian sehingga dapat berinteraksi dengan baik dalam HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 situasi sosialnya. Sehingga bagaimana menjaga anak agar mampu berada di tengah-tengah lingkungan sosialnya, sehingga pemberian layanan terapi sensori motorik yang diterapkan ini menjadikan anak berkembang dalam lingkungan sosialnya. Kegiatan fisioterapi dan sensori motorik ini rutin dilakukan 1-2 kali dalam satu minggu oleh terapis yang professional dalam bidangnya. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi anak cerebral palsy dengan berbagai kebutuhan khususnya perlu diperhatikan guna keberlangsungan hidupnya. Bagaimana mereka berada dalam keterbatasan-keterbatasan yang seharusnya dapat dibantu lewat intervensi pelayanan sosial yang diberikan sebagai usaha untuk mengatasi berbagai keterbatasannya tersebut. Sekolah Luar Biasa Yayasan Bhakti Luhur telah memberikan berbagai program pelayanan sosial pada anak cerebral palsy untuk keberlangsungan hidupnya dan menjadikan mereka anak yang terampil dan mandiri. Akan tetapi, kurangnya tenaga pengajar dan sumber daya manusia terkait dengan pembimbingan anak cerebral palsy sehingga program pelayanan sosial seperti pembelajaran di dalam kelas belum efektif dilakukan oleh sekolah. Sedangkan untuk program rehabilitasi, pemberian snack, dan berkebun sudah dilakukan secara efektif oleh sekolah, sehingga anak cerebral palsy mampu memahami apa yang diajarkan dan meminimalisir keterbatasan mereka dalam segi mobilitas lewat adanya fisioterapi dan sensori motorik. Pemenuhan kebutuhan lewat berbagai program pelayanan sosial ini membantu anak untuk berkembang dalam hidupnya dan tentu dengan penyesuaian kondisi yang dialami oleh tiap-tiap anak cerebral palsy yang dididik. Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan oleh peneliti, yaitu: 1. Perlunya penambahan tenaga pendidik dan sumber daya manusia yang terkait dengan pembimbingan anak cerebral palsy agar dapat membantu mereka 104 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 untuk meningkatkan kemampuan diri dalam berkembang dan mandiri. 2. Pemberian pelayanan sosial hendaknya mengacu pada kebutuhan anak cerebral palsy yang berbeda-beda, agar hasilnya lebih optimal. Penyesuaian kondisi ini membantu anak agar mendapatkan layanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan apa yang mampu mengatasi keterbatasannya tersebut. 3. Perlunya perluasan materi pembelajaran dan penerapan kurikulum yang dapat membantu anak cerebral palsy agar lebih luas lagi menerima pembelajaran akademik yang tentunya disesuaikan kembali dengan kondisi tiap-tiap anak Alfabeta. cerebral palsy. ***** DAFTAR PUSTAKA Burhan, Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group. 1989. Riset dalam Efektivitas Organisasi Terjemahan Sahat Simamora. Jakarta: Erlangga. Campbell. Creswell, John W. 2003. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publications, Inc. Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design. London: Sage Publications, Inc. R, Gold, Seibel P, Reinelt G, et al. 1996. Phosphorous Spectroscopy Mitochondrial A 6 Month Coenzyme Q. HALAMAN: 1 - Magnetic Resonance in The Evaluation of Myopathies: Results of Therapy Study With Salim, Abdul. 2007. Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat. Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuanitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: 105 ISSN:2339 -0042 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 PANDUAN PENULISAN ARTIKEL UNTUK PENULIS JUDUL ARTIKEL (Huruf Kapital, Tahoma, 14 point, Bold, centered) (kosong, spasi tunggal) Penulis Pertama1, Kedua2, dan Ketiga3(12 point) (kosong, spasi tunggal) (e-mail:[email protected] (10 point, italic) (dua ketuk spasi tunggal) ABSTRAK (bold, 10 Point). Abstrak dalam bahasa Indonesia, tidak lebih dari 250 kata. Abstrak mencakup permasalahan, metode, dan temuan serta simpulan. Abstrak dalam bahasa Inggris, tidak lebih dari 200 kata. (kosong,spasi tunggal) Kata-kata kunci (Key words): Tuliskan maksimal 5 kata-kata kunci (key words). (tiga ketuk spasi tunggal) FORMAT NASKAH Artikel yang dimuat dalam jumal ini dapat berupa kajian konseptual dan atau hasil-hasil penelitian pada masing-masing disiplin ilmu atau interdisiplin. Secara umum, sistematika artikel terdiri atas pendahuluan/introduksi yang menguraikan latar belakang dan permasalahan yang dikaji yang ditunjang oleh referensi yang relevan, metode, hasil dan pembahasan, dan simpulan/rekomendasi. Pada kajian yang bersifat konseptual, bagian metode dapat ditiadakan bila dianggap tidak perlu. Pendahuluan (Introduction) Dalam pendahuluan dikemukakan suatu permasalahan/ konsep/hasil penelitian sebelumnya secara jelas dan ringkas sebagai dasar dilakukannya penelitian yang akan ditulis sebagai artikel ilmiah. Pustaka yang dirujuk hanya yang benar-benar penting dan relevan dengan permasalahan untuk men"justifikasi" dilakukannya penelitian, atau untuk mendasari hipotesis. Pendahuluan juga harus menjelaskan mengapa topik penelitian dipilih dan dianggap penting, dan diakhiri dengan menyatakan tujuan penelitian tersebut. Metode (Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) Alur pelaksanaan penelitian harus ditulis dengan rinci dan jelas sehingga peneliti lain dapat melakukan penelitian yang sama (repeatable and reproduceable). Hasil penelitian dalam bentuk data merupakan bagian yang disajikan untuk menginformasikan hasil temuan dari penelitian yang telah dilakukan. Ilustrasi hasil penelitian dapat menggunakan grafik/tabel/gambar. Tabel dan grafik harus dapat dipahami dan diberi keterangan secukupnya. Hasil yang dikemukakan hanyalah temuan yang bermakna dan relevan dengan tujuan penelitian. Dalam Pembahasan dikemukakan keterkaitan antar hasil penelitian dengan teori, perbandingan hasil penelitian dengan hasil penelitian lain yang sudah dipublikasikan. Pembahasan menjelaskan pula implikasi temuan yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya. Simpulan dan Saran (Conclusion and Suggestion) Simpulan merupakan penegasan penulis mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Saran hendaknya didasari oleh hasil temuan penelitian, berimplikasi praktis, pengembangan teori baru (khusus untuk program doktor), dan atau penelitian lanjutan. Naskah ditulis dalam dua kolom pada kertas berukuran A4, dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang tulisan maksimal 4 - 8 halaman berspasi tunggal, termasuk daftar pustaka, gambar, tabel, dan lampiran. Setiap halaman memiliki margin atas 3.5 cm, margin bawah 2.5 cm margin kiri dan kanan 2 cm. Naskah ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar bentuk huruf Tahoma 10. Naskah juga dapat ditulis dalam bahasa Inggris. 106 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Naskah dimulai dengan halaman pertama yang memuat: − Judul singkat (running head). Penulis diminta untuk membuat judul singkat (maksimal 14 kata). − Judul lengkap (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). − Nama penulis, afiliasi, dan alamat korespondensi (mis. E-mail). Gambar dan Tabel − Gambar yang akan ditampilkan dalam jumal adalah gambar hitam-putih. Bila menginginkan, penulis dapat menyertakan gambar berwama, namun penulis akan dikenai biaya pencetakan gambar berwama tersebut. − Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1., Gambar 2, dst. Tabel 1, Tabel 2, dst. − Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu. − Tabel berbentuk pivot table. Penulisan subjudul (heading) − Subjudul tingkat pertama semuanya dicetak tebal ditulis dengan huruf kapital, misal: PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN − Subjudul tingkat kedua, semuanya dicetak tebal dan ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama dari setiap kata, misal: Sistem Pengelolaan Lingkungan Tradisional − Subjudul tingkat ketiga, semuanya ditulis dengan huruf miring dan huruf kecil kecuali huruf pertama dari setiap kata, misal: Sistem Kebun Talun UCAPAN TERIMA KASIH - Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dsb. Ucapan terima kasih ditulis sebelum Daftar Pustaka. DAFTAR PUSTAKA Kepustakaan yang dicantumkan dalam daftar pustaka hanya kepustakaan yang dikutip atau yang dijadikan rujukan dan ditulis dalam teks. Penulisan rujukan dalam badan karangan dilakukan sebagai berikut: (1) Pengarang tunggal: Goldschmidt, W. 1992. The Human Career The Self in the Symbolic World. Cambridge: Black Well (2) Pengarang bersama: Corcoran, K. & Fischer, 1. 1987. Measure for Clinical Practice: a Source Book. New York:The Free Press. (3) Editor atau Penyunting: Koentjaraningrat (ed). 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia (4) Terjemahan: Scott, J.C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Terjemahan A. Rahman Zainuddin, Sayogyo dan Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (5) Bab dalam buku: Fleishman, LA. 1973. Twenty Years of Consideration and Structure. Dalam Fleishman, LA. & Hunt, J.G.. (ed.). "Current Development in the Study of Leadership "Selected Reading, hIm. 1-37. Carbondale: Southem Illinois University Press. (6) Jumal: Persoon, G.A. 2002. Isolated Islanders or Indigenous People: the Political Discourse and its Effects on Siberut (Mentawai Archipelago, West-Sumatra). Antropologi Indonesia 68:25-39 (7) Rujukan elektronik: Boon, J. (tanpa tahun). Anthropology of Religion. Melalui, <http://www.indiana.edu/wanthro/reliogion.htm>[10/5/03] Kawasaki, Jodee L.,and Matt R.Raven. 1995. "Computer-Administered Surveys in Extension". Joumal of 107 SHARE SOCIAL WORK JURNAL VOLUME: 5 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - ISSN:2339 -0042 Extension 33 (June). E-Joumal on-line. Melalui <ttp://www.joe.org/june33/95 .html > [06/17/00] Knox McCulloch, A., Meinzen-Dick, R., & Hazell, P. 1998. Property rights, collective action and technologies for natural resource management: A conceptual framework. CAPRi Working Paper No.1. Washington DC, USA:Intemational Food Policy Research Institute. http://www.capri.cgiar.org/pdf/ca priwp01.pdf. (8) Sumber prosiding seminar: Fay, C., de Foresta, H., & Sirait, M. 1998. Progress towards recognizing the rights and management potentials of local communities in Indonesian statedefined forest areas. Paper presented at the workshop on participatory natural resource management in developing countries, Mansfield College, Oxford, April 6–7. (9) Sumber disertasi/tesis: Zandbergen, P. 1998. Urban watershed assessment: Linking watershed health indicator to management. Ph.D. Thesis. Resource Management and Environmental Studies, University of British Columbia, Vancouver. Satuan, singkatan, nomenklatur, dan lambang Sitasi/Kutipan - Running note atau footnote • • • Satuan dan singkatan menggunakan sistem SI (Systeme Intemationale) Nomenklatur nama ilmiah tumbuhan dan hewan ditulis lengkap dengan nama author-nya. Nama ilmiah sesuai dengan aturan nomenklatur harus digunakan pada penulisan yang pertama kali, selanjutnya dapat disingkat sesuai aturan yang berlaku dan atau menggunakan nama daerah. Penggunaan lambang ditulis sebagai berikut: contoh, lambang alpha ditulis dengan bukan dengan huruf a. 108