BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks dan displasia entitas prakanker merupakan kanker pada leher rahim yang disebabkan oleh Human papillomavirus (HPV). Terdapat berbagai tipe HPV yang beberapa di antaranya menyebabkan kutil dan yang lainnya dapat menyebabkan kanker dan displasia serviks (McCormick et al., 2011). Dua jenis HPV yang beresiko tinggi atau disebut juga dengan HPV onkogenik yaitu HPV tipe 16 dan 18 (Depkes RI, 2009). Infeksi Human papillomavirus merupakan salah satu infeksi menular seksual yang sering terjadi, dan menjadi penyebab hampir seluruh kasus kanker serviks secara global, termasuk di Indonesia. Kanker serviks merupakan kanker peringkat kedua yang sering terjadi pada wanita dan menjadi penyebab utama kematian wanita di dunia (Trottier dan Franco, 2006). Setiap tahunnya rata-rata terdapat 493.000 kasus baru kanker serviks di dunia dan sebanyak 274.000 mengalami kematian (Madhivanan et al., 2009 cit Ashford et al. 2005). Departemen Kesehatan mengasumsikan kejadian kanker serviks di Indonesia sebanyak 100 per 100.000 wanita dan menduduki peringkat pertama kanker yang terjadi pada wanita diikuti dengan kanker payudara dan ovarium (Aziz, 2009). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, kanker serviks merupakan pembunuh utama 1 2 wanita dengan angka kejadian 100/100.000 kejadian. Dinas Kesehatan Provinsi DIY bidang Seksi Pengendalian penyakit mempunyai program pengefektifan deteksi dini kanker serviks pada 10 puskesmas di DIY sampai pada tahun 2014 (Unjianto, 2010 cit Nugraheny, 2010). Kebanyakan penderita kanker serviks didiagnosis pada stadium lanjut, oleh karena itu perlu adanya pencegahan terhadap infeksi HPV (Aziz, 2009). Di Indonesia sendiri sudah dilakukan program pencegahan perkembangan penyakit kanker serviks lebih lanjut antara lain Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), pap smear, dan cryotherapy (Domingo et al, 2008). Skrining dan vaksinasi terhadap kanker serviks sudah dilakukan sejak lama di berbagai negara. Skrining terhadap kanker serviks diperkenalkan di Inggris pada akhir tahun 1950 (Herbert, 2000). Kanker serviks pada awalnya tidak menimbulkan gejala, sehingga sangat penting bagi wanita dewasa dilakukan skrining kanker serviks secara rutin untuk mendeteksi dini munculnya penyakit kanker serviks. Pap smear merupakan pemeriksaan sitologis sel-sel leher rahim. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sel-sel serviks dan diperiksa di bawah mikroskop. Cara ini dapat mengurangi kejadian berkembangnya kanker serviks invasif sebanyak 80% (Anonim, 2000). Metode IVA merupakan metode yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode pap smear dan memiliki sensitifitas yang setara dengan pap smear, namun spesifitasnya masih lebih rendah. Metode IVA dilakukan dengan cara mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher 3 rahim (serviks) kemudian mengamati perubahannya, dimana lesi prekanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim (Depkes RI, 2008). Wanita yang terkena lesi prekanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%, sedangkan kanker yang ditemukan pada stadium dini memberikan harapan hidup sebesar 92%, sehingga deteksi dini sangat penting untuk mencegah terjadinya kanker serviks (Saslow et al., 2002). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan berlangsung lebih lama daripada tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2003). Ketidaktahuan atau rendahnya pengetahuan seseorang terhadap penyakit kanker serviks dan pencegahannya dapat menyebabkan kanker serviks tidak terdeteksi secara dini. Apabila pengetahuan seorang wanita tentang pencegahan kanker serviks luas maka akan menimbulkan kepercayaan terhadap deteksi dini kanker serviks (Aziz, 2006 cit Martini, 2013; Octavia, 2009). Pengetahuan dan pendidikan ibu terkait kanker serviks memiliki hubungan dengan sikap positif deteksi dini kanker serviks (Aziz, 2006 cit Martini, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini (2013) di Bali menyatakan bahwa sikap memiliki hubungan yang kuat dengan tindakan pemeriksaan skrining pap smear. Sikap menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap obyek-obyeknya. Adanya hubungan antara sikap 4 dengan tindakan dipengaruhi adanya dukungan moral/emosional dari keluarga (Martini, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan penerimaan skrining kanker serviks serta hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecataman Danurejan Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah tingkat pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta? 2. Adakah hubungan antara karakteristik dengan pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta? 3. Adakah hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta? C. Pentingnya Penelitian Diusulkan Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh instansi atau lembaga kesehatan sebagai dasar untuk melaksanakan program deteksi dini 5 penyakit kanker serviks di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui hubungan antara karakteristik terhadap pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. E. Tinjauan Pustaka 1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui alat indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh dari mata dan telinga dan merupakan overt behavior yaitu domain yang sangat penting dalam 6 melakukan tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan, antara lain: a. Tahu (know). Tahu merupakan tingkat yang paling rendah, yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya atau rangsangan yang telah diterima dengan cara menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehention). Seseorang dikatakan memahami apabila dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut dengan benar. Selain menjelaskan juga harus bisa menyebutkan contoh, menyimpulkan, memperkirakan terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application). Aplikasi merupakan kemampuan dalam menggunakan materi, hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya yang telah dipelajari pada kondisi riil (sebenarnya) atau pada kondisi lain. d. Analisis (analysis). Analisis merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek ke dalam komponen-komponen suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan tersebut dapat ditunjukkan dengan menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan lain sebagainya. e. Sintesis (synthesis). Sintesis merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu 7 keseluruhan yang baru atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian tersebut berdasarkan pada kriteria sendiri atau kriteria yang sudah ada (Notoadmojo, 2005). Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a. Usia Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seorang individu. Usia semakin bertambah maka daya tangkap dan pola pikir seseorang akan semakin berkembang pula, sehingga pengetahuannya juga akan semakin baik. Semakin bertambahnya usia, IQ seseorang akan menurun, khususnya beberapa kemampuan yang lain seperti kosakata dan pengetahuan umum. b. Pendidikan Pendidikan, baik formal maupun non formal selalu melibatkan perilaku individu maupun kelompok. Dalam proses kegiatan pendidikan berfokus pada proses mengajar, dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan baik di dalam maupun di luar sekolah 8 yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar. Tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan kemampuannya dalam menerima informasi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah dalam menerima informasi. Selain itu seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan yang pendidikannya lebih rendah. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan memiliki pengetahuan yang semakin luas pula. Namun hal ini tidak berarti mutlak bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan rendah memiliki pengetahuan yang rendah pula karena pendidikan bukan hanya diperoleh melalui pendidikan formal, namun juga non formal. c. Pekerjaan Pekerjaan merupakan suatu aktivitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada berbagai macam pekerjaan. Pekerjaan yang memungkinkan interaksi dengan orang lain lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang lain. d. Sumber informasi Media yang dapat digunakan sebagai informasi antara lain media cetak, elektronik, dan petugas kesehatan. Majunya teknologi dan tersedianya bermacam-macam media massa akan mempengaruhi 9 pengetahuan seseorang. berbagai bentuk media massa akan membentuk opini dan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang (Notoadmodjo, 2003). 2. Sikap Fenomena sikap merupakan mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap individu lain atau terhadap sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu tersebut, atau terhadap individu itu sendiri. Fenomena sikap ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi dan kaitannya dengan pengalamanpengalaman masa lalu, oleh situasi saat ini dan oleh harapan-harapannya di masa mendatang (Azwar, 2007). Sikap merupakan reaksi atau respon tertutup dari seseorang terhadap suatu objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap menunjukkan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan kesiapan untuk bertindak atau kesiapan untuk bereaksi (Notoadmodjo, 2003). terhadap objek di lingkungan tertentu 10 Ciri-ciri sikap antara lain: a. Sikap seseroang tidak dibawa sejak lahir tetapi dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut. b. Sikap tidak berdiri sendiri tetapi mengandung relasi terhadap suatu objek. Sikap terbentuk, dipelajari atau berubah selalu berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas. c. Sikap dapat berubah-ubah oleh karena itu dipelajari oleh sebagian orangtua. d. Objek sikap dapat sebagai satu hal tertentu tetapi dapat juga sebagai kumpulan dari hal-hal tersebut. Sikap dapat berkenaan dengan satu objek saja tetapi juga berkenaan dengan sederetan objek-objek yang serupa. e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat ini yang membedakan sikap dengan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang (Notoadmodjo, 2003). Sikap memiliki 2 sifat, antara lain: a. Positif, yaitu sikap dengan kecenderungan tindakan untuk mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. b. Negatif, yaitu sikap dengan kecenderungan tindakan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Sedangkan sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, antara lain: 11 a. Komponen kognitif, merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh individu pemiliki sikap. Komponen kognitif berupa kepercayaan stereotipe yang dimiliki oleh seseorang mengenai suatu hal yang dapat disamakan dengan pendapat (opini) terutama apabila menyangkut isu atau masalah yang kontroversial. b. Komponen afektif, merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, merupakan akar paling dalam dari komponen sikap, dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang dapat mengubah sikap seorang individu. Komponen afektif dapat disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. c. Komponen konatif, merupakan kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki, tendensi atau kecenderungan seorang individu untuk bertindak/bereaksi terhadap suatu hal dengan cara-cara tertentu (Azwar, 2010). Sikap memiliki beberapa tingkatan. Menurut Notoadmodjo (2007), tingkatan sikap antara lain: a. Menerima (receiving), berarti bahwa individu (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (responding), berarti bahwa individu memberikan respon misalnya dengan cara memberikan jawaban apabila diberikan pertanyaan, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 12 c. Menghargai (valuing), mendiskusikan masalah dengan orang lain atau mengerjakan suatu pekerjaan dengan orang lain merupakan suatu indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggungjawab (responsible), bertanggung jawab atas segala risiko dari sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi. Sikap dapat diukur secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan wawancara terhadap responden dengan menanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden terhadap sesuatu. Sedangkan pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner (Notoadmodjo, 2007). Pengukuran sikap dilakukan melalui penilaian terhadap pernyataan sikap individu. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam, yaitu pernyataan sikap positif (favourable) dan pernyataan sikap negatif (unfavourable). Pernyataan sikap positif merupakan kalimat yang mendukung atau memihak pada suatu objek, sedangkan pernyataan sikap negatif merupakan sikap yang tidak mendukung terhadap suatu objek tertentu (Azwar, 2010). Sikap seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: a. Pengalaman pribadi Sikap dapat terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi seseorang. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. 13 b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu cenderung memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. c. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan mempengaruhi sikap seseorang terhadap berbagai masalah. Kebudayaan memberi corak pengalaman individu-individu sehingga kebudayaan tersebut telah mewarnai sikap anggota masyarakat. d. Media massa Berita yang disampaikan melalui media berupa surat kabar, radio, atau media komunikasi yang lainnya seharusnya disampaikan secara objektif. Namun, kebanyakan berita tersebut disampaikan dipengaruhi oleh sikap penulisnya sehingga berpengaruh pula terhadap sikap konsumennya. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan kepercayaan seseorang dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi sikap. f. Faktor emosional Suatu bentuk sikap dapat juga merupakan pernyataan yang didasari emosi (Azwar, 2010). 14 3. Kanker Serviks a. Definisi kanker serviks Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya pertumbuhan atau poliferasi yang abnormal, cepat, dan tidak terkendali dari sel-sel baru (neoplastic cells) (Mills, 2002). Sedangkan kanker serviks merupakan penyakit dimana sel kanker (malignan) terbentuk di leher rahim (serviks). Kanker serviks biasanya berkembang secara lambat. Sebelum kanker muncul, sel-sel serviks mengalami perubahan dan sel-sel yang abnormal mulai muncul di jaringan serviks. Perubahan sel yang normal menjadi sel yang abnormal disebut displasia. Displasia akan berkembang menjadi kanker membutuhkan waktu beberapa tahun (Kruiroongroj, 2013). b. Etiologi Kanker serviks merupakan pertumbuhan baru sel-sel epitel yang menimbulkan metastasis. Kanker serviks pada manusia yang disebabkan oleh infeksi virus Human papillomavirus (HPV). Terdapat sekitar 100 tipe virus HPV, diantara tipe tersebut terdapat jenis “high risk” dan “low risk”. Jenis “high risk” dapat menyebabkan kanker serviks, antara lain tipe 16 dan 18 yang paling banyak ditemukan pada kasus kanker serviks; sedangkan jenis “low risk” antara lain tipe 6 dan 11 yang menyebabkan penyakit infeksi pada alat kelamin (Christine, 2008; Frazer, 2008). 15 Kanker serviks didahului dengan timbulnya lesi prakanker yang disebut displasia atau Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) yang ditandai dengan terjadinya perubahan morfologi sel-sel imatur, inti sel atipik, perubahan rasio inti dan kehilangan polaritas yang normal. Displasia akan berkembang menjadi bentuk kanker serviks (Hacker, 2005 cit Octavia, 2009). c. Faktor resiko dan faktor predisposisi kanker serviks 1) Umur Umur pertama kali melakukan hubungan seksual dapat berpengaruh pada kejadian munculnya penyakit kanker serviks. Semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seksual pertama kali maka semakin besar resiko terkena penyakit kanker serviks. 2) Jumlah kelahiran dan partus Semakin sering wanita mengalami partus maka semakin besar resiko terkena penyakit kanker serviks. 3) Jumlah perkawinan Semakin sering wanita melakukan hubungan seksual dan bergantiganti pasangan maka semakin besar resiko terkena penyakit kanker serviks. 16 4) Infeksi virus Infeksi virus HPV merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit kanker serviks. 5) Sosial ekonomi Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi yang rendah. Hal ini dikaitkan dengan faktor asupan gizi, imunisasi, dan kebersihan perorangan. 6) Merokok dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan menimbulkan adanya erosi serviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang secara terus menerus. Hal ini dapat menjadi pencetus timbulnya kanker serviks (Yatim, 2005). d. Patofisiologi penyakit kanker serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang progresif. Dimulai dari intraepitel, neoplastik, dan akhirnya berubah jadi sel kanker setelah waktu 10 tahun atau lebih. Perubahan menjadi sel kanker dipengaruhi oleh gen pengendali siklus sel, antara lain onkogen, tumor supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dengan karsinogenesis, onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna. Sedangkan tumor 17 supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Patofisiologi penyakit kanker serviks diawali dengan transmisi infeksi HPV yang terjadi setelah dimulainya aktivitas seksual. Prevalensi tertinggi infeksi oleh HPV terjadi pada wanita usia 10-20 tahun. Hampir semua infeksi HPV tidak menimbulkan gejala klinis. Sekitar 70-90% infeksi HPV baru akan bersih dan kembali normal dalam waktu 1-2 tahun. Infeksi persisten oleh HPV onkogenik akan berkembang menjadi lesi dan prakanker dan kanker. Perjalanan penyakit kanker serviks mulai dari terjadinya infeksi HPV sampai menjadi kanker berlangsung dalam waktu sekitar 15 tahun (Schlecht et al., 2003; Schiffman et al., 2005). e. Klasifikasi dan stadium kanker serviks Klasifikasi lesi prakanker menurut WHO (2006), dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya: Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Pap Sistem Bethesda Kelas I Kelas II Kelas III Normal ASC-US ASC-H LISDR Kelas III Kelas III Kelas IV Kelas V LISDT LISDT LISDT Karsinoma invasif Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis) NIS (Neoplasia Klasifikasi Intraepitel Deskripsi WHO Serviks) Normal Normal Atypia Atypia NIS 1 termasuk kondiloma NIS 2 NIS 3 NIS 3 Karsinoma invasif Koilositosis Displasia sedang Displasia berat Karsinoma in situ Karsinoma invasif 18 ASC-US : atypical squamous cell of undetermined significance ASC-H : atypical cell cannot exclude a high grade squamous epithelial lession LISDR : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah LISDT : Lesi Intraepitel Derajat Tinggi (WHO, 2006) Stadium kanker serviks yang ditetapkan oleh International Federation of Gynecologist and Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO) (2000) adalah sebagai berikut: Stadium 0 I IA1 IA2 IB1 IB2 II IIA IIB III IIIA IIIB IV IVA IVB Karakteristik Lesi belum menembus membrana basa Lesi tumor masih terbatas di daerah leher rahim Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm Lesi telah menembus membrana basalis > 3mm tetapi < 5 mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer < 4 cm Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer > 4 cm Lesi telah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan sepertiga proksimal vagina) Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke parametrium dan atau sepertiga vagina distal) Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal Lesi menyebar ke parmetrium sampai dinding panggul Lesi menyebar ke luar organ genitalia Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika urinaria Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh (Benedet et al., 2000; Andrijono, 2007) f. Penanganan penyakit kanker serviks Tujuan dari penanganan penyakit kanker serviks adalah untuk menurunkan angka kejadian kanker serviks, angka kematian akibat kanker serviks dan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Menurut WHO, terdapat 4 komponen penting dalam program 19 penanganan kanker serviks nasional, yaitu pencegahan primer (vaksinasi HPV), deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksanan, serta perawatan paliatif untuk kasus lebih lanjut (WHO, 2006). Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan metode skrining. Beberapa metode skrining yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan sitologi berupa pap tes konvensional atau tes pap dan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base cytology/LBC), pemeriksaan DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI) (WHO, 2006). Skrining kanker serviks dilakukan untuk mendeteksi lebih awal adanya lesi prakanker yang dapat berkembang menjadi kanker serta memungkinkan pemberian terapi lebih awal pada lesi prakanker sehingga mencegah perkembangan penyakit menuju kanker invasif. Skrining dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko tinggi terkena kanker serviks. Selain metode skrining, terdapat metode vaksinasi sebagai upaya pencegahan terjadinya kanker serviks. Vaksinasi dilakukan terhadap virus HPV sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker serviks. Tujuan utama vaksinasi HPV adalah untuk mengurangi angka kejadian penyakit kanker serviks dan prekursornya, serta mengurangi angka kejadian penyakit kanker lain yang diakibatkan oleh infeksi HPV. Terdapat dua vaksin yang mengandung antigen HPV yang 20 dikembangkan berdasarkan tipe virus HPV yang paling banyak menyebabkan kanker serviks yaitu HPV tipe 16 dan 18 serta HPV tipe 6 dan 11 yang paling banyak menyebabkan infeksi alat kelamin. Kedua vaksin tersebut adalah vaksin bivalen yang mengandung HPV tipe 16 dan 18; dan vaksin kuadrivalen yang mengandung HPV tipe 6, 11, 16, dan 18. Vaksin-vaksin tersebut mempunyai efikasi hampir 90% untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi virus HPV tipe tertentu sesuai yang terkandung dalam vaksin, sehingga diperkirakan vaksin tersebut akan mengurangi kasus kanker serviks sebesar 7080%. Vaksin tersebut juga memiliki tingkat keamanan yang baik dengan efek samping kategori ringan (Bosch et al., 2006; Christine, 2008; Sankaranarayan et al., 2006; Stanley, 2008). Terapi diberikan kepada pasien yang terdeteksi dengan lesi prakanker atau terdiagnosa kanker invasif. Hasil tes skrining yang positif berupa lesi prakanker derajat rendah ditindaklanjuti dengan mengulang skrining setelah periode waktu tertentu, sedangkan hasil skrining yang berupa lesi derajad tinggi ditindaklanjuti dengan kolposkopi dan biopsy. Bila pasien terdiagnosa prakanker, maka harus diterapi dengan krioterapi atau konisasi serviks. Penatalaksanaan kanker serviks invasif adalah dengan pembedahan atau radioterapi atau kombinasi keduanya, sedangkan kemoterapi diberikan bersamaan dengan terapi radioterapi (WHO, 2006; FIGO, 2009). 21 4. Kebijakan kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit kanker serviks Strategi dalam pencegahan dan pengendalian kanker meliputi strategi primer dengan vaksinasi, strategi sekunder dengan skrining dan strategi tersier dengan terapi. Vaksinasi yang dilakukan adalah vaksinasi HPV. Skrining antara lain pap smear dan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam asetat). Di negara-negara maju, berdasarkan pencatatan registrasi kanker serviks yang ada, terlihat penurunan insiden dan kematian akibat kanker serviks. Hal ini ditengarai terjadi karena perbaikan status sosial ekonomi dibandingkan akibat program deteksi dini. Program deteksi dini dilakukan dengan mengaplikasikan tes pap (berbasis sitologik) kepada semua perempuan yang aktif secara seksual setahun sekali. Program tes pap 2-5 tahun sekali sudah dilakukan dan menjadi kebijakan yang sudah cukup lama. Penurunan angka-angka tersebut terlihat dalam 40-50 tahun terakhir. Tujuan program tersebut adalah mendapatkan lesi pra-kanker untuk kemudian dilakukan pengobatan sebelum berkembang menjadi kanker invasif (Sankaranarayanan R et al., 2001). Namun, masih ada beberapa hambatan dalam pelaksanaannya antara lain hambatan dari politik, hambatan dari individu dan masyarakat termasuk aspek norma dan budaya, hambatan teknis dan organisasi, serta hambatan ekonomi (Tsu et al., 2008; Ngan et al., 2011). Strategi pencegahan primer dengan vaksinasi HPV diberikan pada anak perempuan usia 11-13 tahun dan strategi pencegahan sekunder dengan skrining dengan IVA pada wanita dimulai 22 saat usia 30 atau 35 tahun secara rutin dengan interval yang ideal setiap 5 tahun atau setiap 10 tahun (Ngan et al., 2011). Kebijakan pengendalian penyakit kanker di Indonesia ditandai dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1163/Menkes/SK/X/2007 tanggal 31 Oktober 2007, tentang kelompok kerja pengendalian penyakit kanker leher rahim dan payudara. Kebijakan tersebut menguatkan peran subdirektorat penyakit kanker yang berada di bawah kendali direktorat Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dan Program Latihan Profesi (PLP); subdirektorat dibentuk pada 2006 (Depkes RI, 2007). 5. Skrining kanker serviks a. Pap smear Pap smear merupakan pemeriksaan sitologis yang dilakukan dengan cara mengamati sel-sel yang dieksfoliasi dari genitalia wanita bagian bawah (serviks) (Purwoto et al., 2002). Pap smear memungkinkan ditemukannya lesi prakanker (displasia serviks) sebelum berkembang menjadi kanker (McCormick, 2011). Manfaat dilakukannya skrining pap smear antara lain: 1) Diagnosis dini keganasan Pap smear dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kanker serviks, keganasan tuba fallopi, kanker endometrium, dan keganasan ovarium. 23 2) Perawatan ikutan dari keganasan Pap smear untuk perawatan ikutan setelah dilakukannya operasi dan setelah pemberian kemoterapi dan radiasi. 3) Interpretasi hormonal wanita Pap smear digunakan untuk menentukan siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan kemungkinan keguguran pada hamil muda, dan untuk menentukan maturnitas kehamilan. 4) Menentukan proses peradangan Pap smear digunakan untuk mengetahui proses peradangan pada bermacam-macam infeksi bakteri dan jamur. Pap smear memiliki sensitivitas dalam medeteksi Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) sebesar 50-98% dan memiliki spesifitas sebesar 91,3%. Kesalahan dalam melakukan pap smear biasanya disebabkan karena pengambilan sediaan yang tidak adekuat (62%), kegagalan skrining (15%), dan kesalahan interpretasi (23%) (Purwoto et al., 2002). Berdasarkan rekomendasi dari American Collage of Obstetricians and Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan pap smear dilakukan secara berulang tiap setahun secara teratur. Apabila pemeriksaan selama tiga kali berturut-turut memberikan hasil yang normal maka pemeriksaan dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang (Hillegas, 2005). Pap smear tidak perlu dilakukan oleh wanita yang berusia lebih dari 70 tahun dengan syarat bahwa hasil 24 pemeriksaan 2 kali berturut-turut negatif dalam 5 tahun terakhir dan wanita yang telah menjalani pengangkatan seluruh rahim (histerektomi) (Aziz, 2002). b. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan dengan cara asam asetat 3-5% diberikan pada daerah leher rahim (serviks) kemudian diamati secara inspekulo dan dilihat dengan mata telanjang (Sankaranarayanan R et al., 1997). Hasil pemeriksaan dengan IVA dapat dilihat setelah 12 menit setelah pemberian asam asetat 3-5%. Hasil gambarang leher rahim yang normal akan bewarna merah homogen, sedangkan leher rahim yang dicurigai displasia akan terdapat bercak putih (Burghardt, 1991). Kategori temuan IVA berdasarkan Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut: 1) Normal hasil pemeriksaan licin, merah muda, bentuk porsio normal 2) Infeksi hasil pemeriksaan berupa sersivitas (inflamasi, hiperemis), banyak fluor, ektropion, polip 3) Positif IVA pada hasil pemeriksaan terdapat plak putih dan epitel acetowhite (bercak putih) 4) Kanker leher rahim pertumbuhan seperti bunga kol dan pertumbuhan mudah berdarah (Depkes RI, 2008) 25 Sensitivitas dan spesifitas skrining dengan menggunakan IVA sebesar 71,8% dan 79,4% (Sritipsukho dan Thaweekul, 2010). Berbagai penelitian menyebutkan bahwa skrining IVA lebih mudah, praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, dan murah dibandingkan dengan pap smear (Depkes RI, 2008). WHO merekomendasikan bahwa wanita yang berusia antara 25-49 tahun, hendaknya melakukan skrining setiap 3 tahun sekali. Namun apabila skrining kanker serviks hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup, maka sebaiknya skrining dilakukan pada wanita berusia antara 35-45 tahun. Untuk wanita yang berusia lebih dari 50 tahun, skrining cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali. Untuk wanita yang berusia lebih dari 65 tahun tidak perlu melakukan skrining lagi apabila hasil pemeriksaan sebelumnya 2 kali berturut-turut memberikan hasil negatif (WHO, 2006). 6. Health Belief Model (HBM) Health Belief Model (HBM) merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan faktor perilaku yang mempengaruhi kemauan individu melakukan suatu perilaku kesehatan yang berfokus pada sikap dan keyakinan individu. Teori HBM terdiri dari perceived seriousness (persepsi terhadap keseriusan/keparahan penyakit), perceived susceptibility (persepsi terhadap kerentanan penyakit), perceived benefits (persepsi terhadap manfaat), dan perceived barriers (persepsi terhadap 26 hambatan), dan cues to action (prasyarat dalam melakukan suatu tindakan) (Rosenstock, 1974). Persepsi Individu Faktor Modifikasi Persepsi terhadap kerentanan penyakit/persep si terhadap keseriusan penyakit Kemungkinan Tindakan Umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian, ekonomisosial, dan pengetahuan Persepsi terhadap manfaat dikurangi persepsi terhadap hambatan Ancaman yang dirasakan Kemungkinan perilaku Prasyarat untuk bertindak Gambar 1. Konsep Health Belief Model (Glanz et al., 2002) Perceived susceptibility merupakan suatu opini dari suatu peluang pada kondisi tertentu atau kemungkinan seseorang mendapatkan suatu kondisi/penyakit tertentu. Perceived seriousness merupakan suatu pendapat seseorang mengenai seberapa serius suatu kondisi dan konsekuensi dari kondisi tersebut. Perceived benefit merupakan 27 kepercayaan seseorang terhadap efikasi dari tindakan yang dilakukan untuk mengurangi resiko atau keseriusan dari kondisi yang dialami. Perceived barrier merupakan pendapat seseorang mengenai hal-hal yang dapat mempersulit suatu tindakan akan dilakukan. Hal ini dapat berkaitan dengan seberapa mahal biaya yang harus dikeluarkan, baik secara psikologi maupun sebaliknya. Sedangkan cues to action merupakan kesiapan dalam melakukan suatu tindakan (Glanz et al., 2002). a. Persepsi individu 1) Persepsi terhadap kerentanan penyakit, persepsi atau pendapat individu terhadap seberapa besar kemungkinan perilaku mereka dapat menyebabkan kesehatan yang negatif atau seberapa beresiko seseorang terkena suatu penyakit. Misalnya seseorang yang merokok apabila mereka tidak merasa bahwa mereka memiliki resiko terkena penyakit akibat rokok seperti kanker paru, bronkitis, dll, maka ia tidak akan membuat perubahan perilaku. Salah satu tujuan dari HBM adalah untuk mengubah persepsi individu untuk bergerak ke arah perubahan perilaku. 2) Persepsi terhadap keseriusan penyakit, persepsi atau pendapat individu terhadap keseriusan penyakit yang mungkin dapat terjadi pada individu tersebut. Teori HBM bertujuan untuk meningkatkan kesadaran individu terhadap keseriusan suatu penyakit atau kondisi tertentu dalam rangka meningkatkan kualitas hidup seseorang. 28 b. Faktor modifikasi Pemahaman tentang persepsi individu merupakan hal yang penting untuk memahami bagaimana faktor-faktor dapat mempengaruhi pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan perilaku. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Ancaman yang dirasakan, merupakan seberapa besar kemungkinan seseorang dapat mengalami suatu penyakit atau kondisi tertentu. Sebagai contoh, seorang perokok yang sudah merokok selama 25 tahun dan sudah merasakan gejala batuk akan lebih merasa terancam terkena penyakit kanker paru dibandingkan perokok yang baru merokok selama 1 tahun. 2) Faktor lingkungan, faktor ini mendukung faktor ancaman yang dirasakan. Latar belakang sosiodemografis, seperti ras, etnis dan status sosial ekonomi akan menyebabkan seorang individu merasa lebih beresiko. Seseorang dengan ekonomi yang rendah akan lebih terancam terkena suatu penyakit karena kemampuan membayar biaya perawatan kesehatan juga rendah. Faktor teman atau lingkungan tempat tinggal atau bermain juga dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang. Apabila seseorang berada di lingkungan di mana teman-teman atau keluarganya mempunyai kebiasaan yang sama, misal merokok, maka seseorang tersebut akan sulit untuk melakukan perubahan perilaku. 29 3) Prasyarat untuk melakukan suatu tindakan, merupakan sesuatu yang dapat memicu seseorang mengambil keputusan untuk melakukan perubahan perilaku. Hal ini dapat berupa media, dapat juga karena orang-orang terkasih yang bersangkutan. c. Kemungkinan tindakan Persepsi individu dan faktor yang memodifikasi dibangun satu sama lain yang saling berhubungan dan pada akhirnya menyebabkan munculnya kemungkinan tindakan atau aksi. Penting untuk menimbang antara manfaat dan hambatan dalam mengambil keputusan. 1) Persepsi terhadap manfaat, merupakan persepsi seseorang terhadap manfaat yang akan dirasakan dengan adanya perubahan perilaku individu. Dalam HBM tujuan dari perubahan perilaku adalah untuk meningkatkan kesehatan, meningkatkan kualitas hidup baik secara mental maupun fisik. 2) Persepsi terhadap hambatan, hambatan yang menyebabkan seorang individu tidak dapat melakukan perubahan perilaku. Hal ini dapat berupa kehilangan teman, tidak memiliki cukup uang, tidak percaya diri seseorang. Untuk dapat terjadinya perubahan perilaku seseorang, manfaat harus lebih kuat daripada hambatan. (Glanz et al., 2002) Berdasarkan teori HBM, seseorang akan mengambil tindakan yang berhubungan dengan kesehatan apabila orang tersebut merasa bahwa dapat 30 menghindari kondisi kesehatan yang negatif, memiliki ekspektasi positif bahwa dengan mengambil tindakan tersebut ia dapat menghindari kondisi kesehatan yang negatif, dan percaya bahwa ia akan berhasil dalam mengambil tindakan kesehatan tersebut (Kruiroongroj, 2013). Teori HBM dapat digunakan untuk memprediksi keyakinan dan perilaku suatu individu terhadap kanker serviks dan skrining kanker serviks, serta dapat untuk mengidentifikasi hambatan dan manfaat yang dirasakan dari adanya skrining kanker serviks. F. Landasan Teori Perilaku kesehatan seorang individu dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap individu tersebut. Menurut Notoadmojo (2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap seorang individu antara lain umur, pendidikan, pekerjaan, media sumber informasi, pengalaman pribadi, pengaruh dari orang lain dan juga pengaruh kebudayaan dimana hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu tersebut. Berdasarkan teori perilaku Health Belief Model (HBM) suatu perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adanya persepsi individu terhadap kerentanan dan keseriusan suatu penyakit akan memungkinkan seorang individu melakukan suatu perilaku kesehatan yang dianjurkan dengan terlebih dahulu mempertimbangkan manfaat dan hambatan 31 yang ada. Hal tersebut juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (faktor modifikasi) seperti umur, jenis kelamin, etnis, pengetahuan, kondisi sosialekonomi, dan kepribadian. Sedangkan berdasarkan Green, 1998 (cit Susilawaty, 2005) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu predisposing factor (faktor predisposisi) antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan dan nilai; reinforcing factor (faktor pendukung) antara lain kemampuan individu, keterjangkauan, ketersediaan, dan kemudahan fasilitas; enabling factor (faktor pendorong) antara lain berupa dukungan dari keluarga, tetangga, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Sairafi et al. (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan dan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik dan wanita yang bekerja memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik mengenai skrining kanker serviks. Tingkat pendidikan dan pekerjaan juga memiliki pengaruh terhadap sikap wanita terkait kanker serviks dan skrining kanker serviks (Sairafi et al., 2007). Wanita yang bekerja memiliki sikap yang lebih baik terkait kanker serviks dan skrining kanker serviks. Menurut penelitian Mupepi et al. (2011) menyatakan bahwa tempat tinggal berpengaruh terhadap akses skrining kanker serviks. Umur merupakan faktor yang signifikan yang mempengaruhi penerimaan wanita terhadap skrining kanker serviks berdasarkan penelitian (Sairafi et al., 2007; Mupepi et 32 al., 2011). Menurut penelitian Mupepi et al. (2011) wanita yang berumur 2534 tahun lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang lebih tua, sedangkan menurut penelitian Sairafi et al. (2007) wanita yang berumur 30-49 tahun lebih bersedia untuk melakukan skrining kanker serviks. Tingkat pendidikan juga memiliki hubungan yang bermakna dengan penerimaan skrining kanker serviks berdasarkan penelitian Priscilla et al. (2012). Menurut penelitian Mupepi et al. (2011), penghasilan berpengaruh terhadap kesediaan skrining kanker serviks. Wanita yang berpenghasilan memiliki kemungkingan yang lebih besar untuk melakukan skrining kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang bergantung terhadap penghasilan suaminya. Adanya riwayat kanker di keluarga juga berpengaruh terhadap penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang memiliki riwayat kanker di keluarga lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks berdasarkan penelitian Gu et al. (2013). Menurut penelitian Sumastri dan Hidayah (2013) riwayat skrining memiliki hubungan yang bermakna dengan penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang sudah pernah melakukan skrining kanker serviks sebelumnya lebih bersedia untuk melakukan skrining kanker serviks di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan John (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap wanita Ruvuna terhadap skrining kanker serviks. Wanita yang memiliki pengetahuan lebih baik memiliki sikap yang lebih positif terkait skrining kanker serviks. Penelitian yang dilakukan Dewi et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat 33 hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks. Menurut penelitian Martini (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dan penerimaan skrining. Wanita dengan sikap yang baik lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks dibandingkan wanita dengan sikap yang kurang. G. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan landasan teori di atas yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka dibuat kerangka konsep sebagai berikut: Karakteristik responden 1. Karakteristik sosiodemografi: a. Domisili b. Usia c. Status perkawinan d. Pendidikan terakhir e. Pekerjaan f. Penghasilan 2. Karakteristik lain: a. Riwayat kanker b. Informasi c. Riwayat skrining Pengetahuan tentang kanker serviks dan skrining kanker serviks Penerimaan skrining kanker serviks Sikap terkait: 1. Manfaat skrining 2. Hambatan skrining 3. Keseriusan/ keparahan penyakit Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian 34 H. Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara karakteristik dengan pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta. 2. Terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.