BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker serviks dan displasia entitas prakanker merupakan kanker
pada leher rahim yang disebabkan oleh Human papillomavirus (HPV).
Terdapat berbagai tipe HPV yang beberapa di antaranya menyebabkan
kutil dan yang lainnya dapat menyebabkan kanker dan displasia serviks
(McCormick et al., 2011). Dua jenis HPV yang beresiko tinggi atau
disebut juga dengan HPV onkogenik yaitu HPV tipe 16 dan 18 (Depkes
RI, 2009).
Infeksi Human papillomavirus merupakan salah satu infeksi menular
seksual yang sering terjadi, dan menjadi penyebab hampir seluruh kasus
kanker serviks secara global, termasuk di Indonesia. Kanker serviks
merupakan kanker peringkat kedua yang sering terjadi pada wanita dan
menjadi penyebab utama kematian wanita di dunia (Trottier dan Franco,
2006).
Setiap tahunnya rata-rata terdapat 493.000 kasus baru kanker
serviks di dunia dan sebanyak 274.000 mengalami kematian (Madhivanan
et al., 2009 cit Ashford et al. 2005). Departemen Kesehatan
mengasumsikan kejadian kanker serviks di Indonesia sebanyak 100 per
100.000 wanita dan menduduki peringkat pertama kanker yang terjadi
pada wanita diikuti dengan kanker payudara dan ovarium (Aziz, 2009). Di
Daerah Istimewa Yogyakarta, kanker serviks merupakan pembunuh utama
1
2
wanita dengan angka kejadian 100/100.000 kejadian. Dinas Kesehatan
Provinsi DIY bidang Seksi Pengendalian penyakit mempunyai program
pengefektifan deteksi dini kanker serviks pada 10 puskesmas di DIY
sampai pada tahun 2014 (Unjianto, 2010 cit Nugraheny, 2010).
Kebanyakan penderita kanker serviks didiagnosis pada stadium lanjut,
oleh karena itu perlu adanya pencegahan terhadap infeksi HPV (Aziz,
2009). Di Indonesia sendiri sudah dilakukan program pencegahan
perkembangan penyakit kanker serviks lebih lanjut antara lain Inspeksi
visual dengan asam asetat (IVA), pap smear, dan cryotherapy (Domingo et
al, 2008). Skrining dan vaksinasi terhadap kanker serviks sudah dilakukan
sejak lama di berbagai negara. Skrining terhadap kanker serviks
diperkenalkan di Inggris pada akhir tahun 1950 (Herbert, 2000). Kanker
serviks pada awalnya tidak menimbulkan gejala, sehingga sangat penting
bagi wanita dewasa dilakukan skrining kanker serviks secara rutin untuk
mendeteksi dini munculnya penyakit kanker serviks.
Pap smear merupakan pemeriksaan sitologis sel-sel leher rahim.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sel-sel serviks dan
diperiksa di bawah mikroskop.
Cara ini dapat mengurangi kejadian
berkembangnya kanker serviks invasif sebanyak 80% (Anonim, 2000).
Metode IVA merupakan metode yang lebih sederhana dibandingkan
dengan metode pap smear dan memiliki sensitifitas yang setara dengan
pap smear, namun spesifitasnya masih lebih rendah. Metode IVA
dilakukan dengan cara mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher
3
rahim (serviks) kemudian mengamati perubahannya, dimana lesi
prekanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim
(Depkes RI, 2008).
Wanita yang terkena lesi prekanker diharapkan dapat sembuh hampir
100%, sedangkan kanker yang ditemukan pada stadium dini memberikan
harapan hidup sebesar 92%, sehingga deteksi dini sangat penting untuk
mencegah terjadinya kanker serviks (Saslow et al., 2002).
Pengetahuan merupakan
domain
yang
sangat
penting
untuk
terbentuknya perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan berlangsung lebih lama daripada tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoadmodjo, 2003). Ketidaktahuan atau rendahnya pengetahuan
seseorang terhadap penyakit kanker serviks dan pencegahannya dapat
menyebabkan kanker serviks tidak terdeteksi secara dini. Apabila
pengetahuan seorang wanita tentang pencegahan kanker serviks luas maka
akan menimbulkan kepercayaan terhadap deteksi dini kanker serviks
(Aziz, 2006 cit Martini, 2013; Octavia, 2009). Pengetahuan dan
pendidikan ibu terkait kanker serviks memiliki hubungan dengan sikap
positif deteksi dini kanker serviks (Aziz, 2006 cit Martini, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini (2013) di Bali
menyatakan bahwa sikap memiliki hubungan yang kuat dengan tindakan
pemeriksaan skrining pap smear. Sikap menyebabkan manusia bertindak
secara khas terhadap obyek-obyeknya. Adanya hubungan antara sikap
4
dengan tindakan dipengaruhi adanya dukungan moral/emosional dari
keluarga (Martini, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap
dan penerimaan skrining kanker serviks serta hubungan antara
pengetahuan dan sikap terhadap penerimaan skrining kanker serviks pada
wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan
Kecataman Danurejan Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tingkat pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining
kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta?
2. Adakah hubungan antara karakteristik dengan pengetahuan, sikap, dan
penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan
Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota
Yogyakarta?
3. Adakah hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining
kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh instansi atau lembaga
kesehatan sebagai dasar untuk melaksanakan program deteksi dini
5
penyakit kanker serviks di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul
dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining
kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
2. Mengetahui hubungan antara karakteristik terhadap pengetahuan, sikap,
dan penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di
Kecamatan Wonosari
Kabupaten Gunungkidul
dan Kecamatan
Danurejan Kota Yogyakarta.
3. Mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan
skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari
Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui
alat indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba.
Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh dari mata dan telinga dan
merupakan overt behavior yaitu domain yang sangat penting dalam
6
melakukan tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan terdiri dari 6
tingkatan, antara lain:
a. Tahu (know). Tahu merupakan tingkat yang paling rendah, yaitu
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya atau
rangsangan
yang
telah
diterima
dengan
cara
menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehention). Seseorang dikatakan memahami apabila
dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterprestasikan materi tersebut dengan benar. Selain
menjelaskan juga harus bisa menyebutkan contoh, menyimpulkan,
memperkirakan terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application). Aplikasi merupakan kemampuan dalam
menggunakan materi, hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya yang telah dipelajari pada kondisi riil (sebenarnya) atau
pada kondisi lain.
d. Analisis
(analysis).
Analisis
merupakan
kemampuan
untuk
menjabarkan materi suatu objek ke dalam komponen-komponen suatu
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan tersebut dapat ditunjukkan dengan menggambarkan,
membedakan, mengelompokkan dan lain sebagainya.
e. Sintesis
(synthesis).
Sintesis
merupakan
kemampuan
untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu
7
keseluruhan yang baru atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan
untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi merupakan kemampuan untuk
melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian
tersebut berdasarkan pada kriteria sendiri atau kriteria yang sudah ada
(Notoadmojo, 2005).
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain:
a. Usia
Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seorang
individu. Usia semakin bertambah maka daya tangkap dan pola pikir
seseorang akan semakin berkembang pula, sehingga pengetahuannya
juga akan semakin baik. Semakin bertambahnya usia, IQ seseorang
akan menurun, khususnya beberapa kemampuan yang lain seperti
kosakata dan pengetahuan umum.
b. Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun non formal selalu melibatkan
perilaku individu maupun kelompok. Dalam proses kegiatan
pendidikan berfokus pada proses mengajar, dengan tujuan agar terjadi
perubahan perilaku yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti.
Pendidikan
merupakan
suatu
usaha
untuk
mengembangkan
kepribadian dan kemampuan baik di dalam maupun di luar sekolah
8
yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar. Tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan
kemampuannya
dalam
menerima
informasi.
Semakin
tinggi
pendidikan seseorang, maka akan semakin mudah dalam menerima
informasi. Selain itu seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan yang
pendidikannya lebih rendah. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan
pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan
memiliki pengetahuan yang semakin luas pula. Namun hal ini tidak
berarti mutlak bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan rendah
memiliki pengetahuan yang rendah pula karena pendidikan bukan
hanya diperoleh melalui pendidikan formal, namun juga non formal.
c. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan suatu aktivitas seseorang untuk memperoleh
penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ada
berbagai macam pekerjaan. Pekerjaan yang memungkinkan interaksi
dengan orang lain lebih banyak akan memiliki pengetahuan yang lebih
banyak dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang
lain.
d. Sumber informasi
Media yang dapat digunakan sebagai informasi antara lain media
cetak, elektronik, dan petugas kesehatan. Majunya teknologi dan
tersedianya bermacam-macam media massa akan mempengaruhi
9
pengetahuan
seseorang.
berbagai
bentuk
media
massa
akan
membentuk opini dan kepercayaan seseorang terhadap sesuatu dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang
(Notoadmodjo, 2003).
2. Sikap
Fenomena
sikap
merupakan
mekanisme
mental
yang
mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan ikut
menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap individu lain atau
terhadap sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu tersebut, atau
terhadap individu itu sendiri. Fenomena sikap ditentukan oleh keadaan
objek yang sedang dihadapi dan kaitannya dengan pengalamanpengalaman masa lalu, oleh situasi saat ini dan oleh harapan-harapannya di
masa mendatang (Azwar, 2007).
Sikap merupakan reaksi atau respon tertutup dari seseorang
terhadap suatu objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
menunjukkan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan kesiapan untuk bertindak atau
kesiapan untuk
bereaksi
(Notoadmodjo, 2003).
terhadap objek
di
lingkungan tertentu
10
Ciri-ciri sikap antara lain:
a. Sikap seseroang tidak dibawa sejak lahir tetapi dibentuk atau
dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut.
b. Sikap tidak berdiri sendiri tetapi mengandung relasi terhadap suatu
objek. Sikap terbentuk, dipelajari atau berubah selalu berkenaan
dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
c. Sikap dapat berubah-ubah oleh karena itu dipelajari oleh sebagian
orangtua.
d. Objek sikap dapat sebagai satu hal tertentu tetapi dapat juga sebagai
kumpulan dari hal-hal tersebut. Sikap dapat berkenaan dengan satu
objek saja tetapi juga berkenaan dengan sederetan objek-objek yang
serupa.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat ini
yang
membedakan
sikap
dengan
kecakapan-kecakapan
atau
pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang (Notoadmodjo,
2003).
Sikap memiliki 2 sifat, antara lain:
a. Positif, yaitu sikap dengan kecenderungan tindakan untuk mendekati,
menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu.
b. Negatif, yaitu sikap dengan kecenderungan tindakan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu.
Sedangkan sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan,
antara lain:
11
a. Komponen kognitif, merupakan representasi dari apa yang dipercayai
oleh individu pemiliki sikap. Komponen kognitif berupa kepercayaan
stereotipe yang dimiliki oleh seseorang mengenai suatu hal yang dapat
disamakan dengan pendapat (opini) terutama apabila menyangkut isu
atau masalah yang kontroversial.
b. Komponen afektif, merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional, merupakan akar paling dalam dari komponen sikap, dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh
yang dapat mengubah sikap seorang individu. Komponen afektif dapat
disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif, merupakan kecenderungan seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki, tendensi atau
kecenderungan seorang individu untuk bertindak/bereaksi terhadap
suatu hal dengan cara-cara tertentu (Azwar, 2010).
Sikap memiliki beberapa tingkatan. Menurut Notoadmodjo (2007),
tingkatan sikap antara lain:
a. Menerima (receiving), berarti bahwa individu (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding), berarti bahwa individu memberikan respon
misalnya dengan cara memberikan jawaban apabila diberikan
pertanyaan, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
12
c. Menghargai (valuing), mendiskusikan masalah dengan orang lain atau
mengerjakan suatu pekerjaan dengan orang lain merupakan suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggungjawab (responsible), bertanggung jawab atas segala risiko
dari sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang
paling tinggi.
Sikap dapat diukur secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan wawancara
terhadap responden dengan menanyakan bagaimana pendapat/pernyataan
responden terhadap sesuatu. Sedangkan pengukuran secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner (Notoadmodjo, 2007).
Pengukuran sikap dilakukan melalui penilaian terhadap pernyataan sikap
individu. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam, yaitu pernyataan sikap
positif (favourable) dan pernyataan sikap negatif (unfavourable).
Pernyataan sikap positif merupakan kalimat yang mendukung atau
memihak pada suatu objek, sedangkan pernyataan sikap negatif
merupakan sikap yang tidak mendukung terhadap suatu objek tertentu
(Azwar, 2010).
Sikap seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
a. Pengalaman pribadi
Sikap dapat terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi seseorang.
Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
13
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu cenderung memiliki sikap yang searah dengan sikap orang
yang dianggap penting. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang
yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan mempengaruhi sikap seseorang terhadap berbagai
masalah. Kebudayaan memberi corak pengalaman individu-individu
sehingga kebudayaan tersebut telah mewarnai sikap anggota
masyarakat.
d. Media massa
Berita yang disampaikan melalui media berupa surat kabar, radio, atau
media komunikasi yang lainnya seharusnya disampaikan secara
objektif. Namun, kebanyakan berita tersebut disampaikan dipengaruhi
oleh sikap penulisnya sehingga berpengaruh pula terhadap sikap
konsumennya.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga
agama sangat menentukan kepercayaan seseorang dan pada akhirnya
juga akan mempengaruhi sikap.
f. Faktor emosional
Suatu bentuk sikap dapat juga merupakan pernyataan yang didasari
emosi (Azwar, 2010).
14
3. Kanker Serviks
a. Definisi kanker serviks
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya pertumbuhan atau poliferasi yang abnormal, cepat, dan tidak
terkendali dari sel-sel baru (neoplastic cells) (Mills, 2002). Sedangkan
kanker serviks merupakan penyakit dimana sel kanker (malignan)
terbentuk di leher rahim (serviks). Kanker serviks biasanya
berkembang secara lambat. Sebelum kanker muncul, sel-sel serviks
mengalami perubahan dan sel-sel yang abnormal mulai muncul di
jaringan serviks. Perubahan sel yang normal menjadi sel yang
abnormal disebut displasia. Displasia akan berkembang menjadi
kanker membutuhkan waktu beberapa tahun (Kruiroongroj, 2013).
b. Etiologi
Kanker serviks merupakan pertumbuhan baru sel-sel epitel
yang menimbulkan metastasis. Kanker serviks pada manusia yang
disebabkan oleh infeksi virus Human papillomavirus (HPV). Terdapat
sekitar 100 tipe virus HPV, diantara tipe tersebut terdapat jenis “high
risk” dan “low risk”. Jenis “high risk” dapat menyebabkan kanker
serviks, antara lain tipe 16 dan 18 yang paling banyak ditemukan pada
kasus kanker serviks; sedangkan jenis “low risk” antara lain tipe 6
dan 11 yang menyebabkan penyakit infeksi pada alat kelamin
(Christine, 2008; Frazer, 2008).
15
Kanker serviks didahului dengan timbulnya lesi prakanker
yang disebut displasia atau Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN)
yang ditandai dengan terjadinya perubahan morfologi sel-sel imatur,
inti sel atipik, perubahan rasio inti dan kehilangan polaritas yang
normal. Displasia akan berkembang menjadi bentuk kanker serviks
(Hacker, 2005 cit Octavia, 2009).
c. Faktor resiko dan faktor predisposisi kanker serviks
1) Umur
Umur
pertama
kali
melakukan
hubungan
seksual
dapat
berpengaruh pada kejadian munculnya penyakit kanker serviks.
Semakin muda seorang wanita melakukan hubungan seksual
pertama kali maka semakin besar resiko terkena penyakit kanker
serviks.
2) Jumlah kelahiran dan partus
Semakin sering wanita mengalami partus maka semakin besar
resiko terkena penyakit kanker serviks.
3) Jumlah perkawinan
Semakin sering wanita melakukan hubungan seksual dan bergantiganti pasangan maka semakin besar resiko terkena penyakit kanker
serviks.
16
4) Infeksi virus
Infeksi virus HPV merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit
kanker serviks.
5) Sosial ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi
yang rendah. Hal ini dikaitkan dengan faktor asupan gizi,
imunisasi, dan kebersihan perorangan.
6) Merokok dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan
pemakaian AKDR akan menimbulkan adanya erosi serviks yang
kemudian menjadi infeksi yang berupa radang secara terus
menerus. Hal ini dapat menjadi pencetus timbulnya kanker serviks
(Yatim, 2005).
d. Patofisiologi penyakit kanker serviks
Kanker serviks merupakan penyakit yang progresif. Dimulai
dari intraepitel, neoplastik, dan akhirnya berubah jadi sel kanker
setelah waktu 10 tahun atau lebih. Perubahan menjadi sel kanker
dipengaruhi oleh gen pengendali siklus sel, antara lain onkogen, tumor
supresor gene, dan repair genes. Onkogen dan tumor supresor gen
mempunyai efek yang berlawanan dengan karsinogenesis, onkogen
memperantarai timbulnya transformasi maligna. Sedangkan tumor
17
supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang diatur oleh
gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel.
Patofisiologi penyakit kanker serviks diawali dengan transmisi
infeksi HPV yang terjadi setelah dimulainya aktivitas seksual.
Prevalensi tertinggi infeksi oleh HPV terjadi pada wanita usia 10-20
tahun. Hampir semua infeksi HPV tidak menimbulkan gejala klinis.
Sekitar 70-90% infeksi HPV baru akan bersih dan kembali normal
dalam waktu 1-2 tahun. Infeksi persisten oleh HPV onkogenik akan
berkembang menjadi lesi dan prakanker dan kanker. Perjalanan
penyakit kanker serviks mulai dari terjadinya infeksi HPV sampai
menjadi kanker berlangsung dalam waktu sekitar 15 tahun (Schlecht
et al., 2003; Schiffman et al., 2005).
e. Klasifikasi dan stadium kanker serviks
Klasifikasi lesi prakanker menurut WHO (2006), dibedakan
berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya:
Klasifikasi Sitologi (untuk skrining)
Pap
Sistem Bethesda
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Normal
ASC-US
ASC-H
LISDR
Kelas III
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
LISDT
LISDT
LISDT
Karsinoma invasif
Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)
NIS (Neoplasia
Klasifikasi
Intraepitel
Deskripsi WHO
Serviks)
Normal
Normal
Atypia
Atypia
NIS 1 termasuk
kondiloma
NIS 2
NIS 3
NIS 3
Karsinoma invasif
Koilositosis
Displasia sedang
Displasia berat
Karsinoma in situ
Karsinoma invasif
18
ASC-US : atypical squamous cell of undetermined significance
ASC-H : atypical cell cannot exclude a high grade squamous epithelial
lession
LISDR : Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah
LISDT : Lesi Intraepitel Derajat Tinggi
(WHO, 2006)
Stadium kanker serviks yang ditetapkan oleh International
Federation of Gynecologist and Obstetricians Staging System for
Cervical Cancer (FIGO) (2000) adalah sebagai berikut:
Stadium
0
I
IA1
IA2
IB1
IB2
II
IIA
IIB
III
IIIA
IIIB
IV
IVA
IVB
Karakteristik
Lesi belum menembus membrana basa
Lesi tumor masih terbatas di daerah leher rahim
Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3mm dengan
diameter permukaan tumor < 7 mm
Lesi telah menembus membrana basalis > 3mm tetapi < 5 mm dengan
diameter permukaan tumor < 7 mm
Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer < 4 cm
Lesi terbatas di leher rahim dengan ukuran lesi primer > 4 cm
Lesi telah keluar dari leher rahim (meluas ke parametrium dan sepertiga
proksimal vagina)
Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding
panggul
Lesi telah keluar dari leher rahim (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)
Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
Lesi menyebar ke parmetrium sampai dinding panggul
Lesi menyebar ke luar organ genitalia
Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria
Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh
(Benedet et al., 2000; Andrijono, 2007)
f. Penanganan penyakit kanker serviks
Tujuan dari penanganan penyakit kanker serviks adalah untuk
menurunkan angka kejadian kanker serviks, angka kematian akibat
kanker serviks dan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Menurut WHO, terdapat 4 komponen penting dalam program
19
penanganan kanker serviks nasional, yaitu pencegahan primer
(vaksinasi HPV), deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan
program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksanan, serta
perawatan paliatif untuk kasus lebih lanjut (WHO, 2006).
Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan metode
skrining. Beberapa metode skrining yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan sitologi berupa pap tes konvensional atau tes pap dan
pemeriksaan sitologi cairan (liquid-base cytology/LBC), pemeriksaan
DNA HPV, dan pemeriksaan visual berupa inspeksi visual dengan
asam asetat (IVA) serta inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
(WHO, 2006). Skrining kanker serviks dilakukan untuk mendeteksi
lebih awal adanya lesi prakanker yang dapat berkembang menjadi
kanker serta memungkinkan pemberian terapi lebih awal pada lesi
prakanker sehingga mencegah perkembangan penyakit menuju kanker
invasif. Skrining dilakukan terhadap individu yang memiliki resiko
tinggi terkena kanker serviks.
Selain metode skrining, terdapat metode vaksinasi sebagai
upaya pencegahan terjadinya kanker serviks. Vaksinasi dilakukan
terhadap virus HPV sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker
serviks. Tujuan utama vaksinasi HPV adalah untuk mengurangi angka
kejadian penyakit kanker serviks dan prekursornya, serta mengurangi
angka kejadian penyakit kanker lain yang diakibatkan oleh infeksi
HPV. Terdapat dua vaksin yang mengandung antigen HPV yang
20
dikembangkan berdasarkan tipe virus HPV yang paling banyak
menyebabkan kanker serviks yaitu HPV tipe 16 dan 18 serta HPV tipe
6 dan 11 yang paling banyak menyebabkan infeksi alat kelamin.
Kedua vaksin tersebut adalah vaksin bivalen yang mengandung HPV
tipe 16 dan 18; dan vaksin kuadrivalen yang mengandung HPV tipe 6,
11, 16, dan 18. Vaksin-vaksin tersebut mempunyai efikasi hampir
90% untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi virus HPV tipe
tertentu sesuai yang terkandung dalam vaksin, sehingga diperkirakan
vaksin tersebut akan mengurangi kasus kanker serviks sebesar 7080%. Vaksin tersebut juga memiliki tingkat keamanan yang baik
dengan efek samping kategori ringan (Bosch et al., 2006; Christine,
2008; Sankaranarayan et al., 2006; Stanley, 2008).
Terapi diberikan kepada pasien yang terdeteksi dengan lesi
prakanker atau terdiagnosa kanker invasif. Hasil tes skrining yang
positif berupa lesi prakanker derajat rendah ditindaklanjuti dengan
mengulang skrining setelah periode waktu tertentu, sedangkan hasil
skrining yang berupa lesi derajad tinggi ditindaklanjuti dengan
kolposkopi dan biopsy. Bila pasien terdiagnosa prakanker, maka harus
diterapi dengan krioterapi atau konisasi serviks. Penatalaksanaan
kanker serviks invasif adalah dengan pembedahan atau radioterapi
atau kombinasi keduanya, sedangkan kemoterapi diberikan bersamaan
dengan terapi radioterapi (WHO, 2006; FIGO, 2009).
21
4. Kebijakan kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit
kanker serviks
Strategi dalam pencegahan dan pengendalian kanker meliputi
strategi primer dengan vaksinasi, strategi sekunder dengan skrining dan
strategi tersier dengan terapi. Vaksinasi yang dilakukan adalah vaksinasi
HPV. Skrining antara lain pap smear dan IVA (Inspeksi Visual dengan
Asam asetat). Di negara-negara maju, berdasarkan pencatatan registrasi
kanker serviks yang ada, terlihat penurunan insiden dan kematian akibat
kanker serviks. Hal ini ditengarai terjadi karena perbaikan status sosial
ekonomi dibandingkan akibat program deteksi dini. Program deteksi dini
dilakukan dengan mengaplikasikan tes pap (berbasis sitologik) kepada
semua perempuan yang aktif secara seksual setahun sekali. Program tes
pap 2-5 tahun sekali sudah dilakukan dan menjadi kebijakan yang sudah
cukup lama. Penurunan angka-angka tersebut terlihat dalam 40-50 tahun
terakhir. Tujuan program tersebut adalah mendapatkan lesi pra-kanker
untuk kemudian dilakukan pengobatan sebelum berkembang menjadi
kanker invasif (Sankaranarayanan R et al., 2001). Namun, masih ada
beberapa hambatan dalam pelaksanaannya antara lain hambatan dari
politik, hambatan dari individu dan masyarakat termasuk aspek norma dan
budaya, hambatan teknis dan organisasi, serta hambatan ekonomi (Tsu et
al., 2008; Ngan et al., 2011). Strategi pencegahan primer dengan vaksinasi
HPV diberikan pada anak perempuan usia 11-13 tahun dan strategi
pencegahan sekunder dengan skrining dengan IVA pada wanita dimulai
22
saat usia 30 atau 35 tahun secara rutin dengan interval yang ideal setiap 5
tahun atau setiap 10 tahun (Ngan et al., 2011).
Kebijakan pengendalian penyakit kanker di Indonesia ditandai
dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1163/Menkes/SK/X/2007 tanggal 31 Oktober 2007, tentang kelompok
kerja pengendalian penyakit kanker leher rahim dan payudara. Kebijakan
tersebut menguatkan peran subdirektorat penyakit kanker yang berada di
bawah kendali direktorat Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) dan
Program Latihan Profesi (PLP); subdirektorat dibentuk pada 2006 (Depkes
RI, 2007).
5. Skrining kanker serviks
a. Pap smear
Pap smear merupakan pemeriksaan sitologis yang dilakukan
dengan cara mengamati sel-sel yang dieksfoliasi dari genitalia wanita
bagian bawah (serviks) (Purwoto et al., 2002). Pap smear
memungkinkan ditemukannya lesi prakanker (displasia serviks)
sebelum berkembang menjadi kanker (McCormick, 2011). Manfaat
dilakukannya skrining pap smear antara lain:
1) Diagnosis dini keganasan
Pap smear dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kanker
serviks, keganasan tuba fallopi, kanker endometrium, dan
keganasan ovarium.
23
2) Perawatan ikutan dari keganasan
Pap smear untuk perawatan ikutan setelah dilakukannya operasi
dan setelah pemberian kemoterapi dan radiasi.
3) Interpretasi hormonal wanita
Pap smear digunakan untuk menentukan siklus menstruasi dengan
ovulasi atau tanpa ovulasi, menentukan kemungkinan keguguran
pada hamil muda, dan untuk menentukan maturnitas kehamilan.
4) Menentukan proses peradangan
Pap smear digunakan untuk mengetahui proses peradangan pada
bermacam-macam infeksi bakteri dan jamur.
Pap smear memiliki sensitivitas dalam medeteksi Cervical
Intraepithel Neoplasm (CIN) sebesar 50-98% dan memiliki spesifitas
sebesar 91,3%. Kesalahan dalam melakukan pap smear biasanya
disebabkan karena pengambilan sediaan yang tidak adekuat (62%),
kegagalan skrining (15%), dan kesalahan interpretasi (23%) (Purwoto
et al., 2002).
Berdasarkan rekomendasi dari American Collage of Obstetricians
and Gynecologist dan The American Cancer Society, pemeriksaan pap
smear dilakukan secara berulang tiap setahun secara teratur. Apabila
pemeriksaan selama tiga kali berturut-turut memberikan hasil yang
normal maka pemeriksaan dilakukan dengan frekuensi yang lebih
jarang (Hillegas, 2005). Pap smear tidak perlu dilakukan oleh wanita
yang berusia lebih dari 70 tahun dengan syarat bahwa hasil
24
pemeriksaan 2 kali berturut-turut negatif dalam 5 tahun terakhir dan
wanita
yang
telah
menjalani
pengangkatan
seluruh
rahim
(histerektomi) (Aziz, 2002).
b. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan dengan cara asam asetat
3-5% diberikan pada daerah leher rahim (serviks) kemudian diamati
secara inspekulo dan dilihat dengan mata telanjang (Sankaranarayanan
R et al., 1997). Hasil pemeriksaan dengan IVA dapat dilihat setelah 12 menit setelah pemberian asam asetat 3-5%. Hasil gambarang leher
rahim yang normal akan bewarna merah homogen, sedangkan leher
rahim yang dicurigai displasia akan terdapat bercak putih (Burghardt,
1991). Kategori temuan IVA berdasarkan Depkes RI (2008) adalah
sebagai berikut:
1) Normal  hasil pemeriksaan licin, merah muda, bentuk porsio
normal
2) Infeksi  hasil pemeriksaan berupa sersivitas (inflamasi,
hiperemis), banyak fluor, ektropion, polip
3) Positif IVA  pada hasil pemeriksaan terdapat plak putih dan
epitel acetowhite (bercak putih)
4) Kanker leher rahim  pertumbuhan seperti bunga kol dan
pertumbuhan mudah berdarah
(Depkes RI, 2008)
25
Sensitivitas dan spesifitas skrining dengan menggunakan IVA
sebesar 71,8% dan 79,4% (Sritipsukho dan Thaweekul, 2010).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa skrining IVA lebih mudah,
praktis dan lebih sederhana, mudah, nyaman, dan murah dibandingkan
dengan pap smear (Depkes RI, 2008).
WHO merekomendasikan bahwa wanita yang berusia antara 25-49
tahun, hendaknya melakukan skrining setiap 3 tahun sekali. Namun
apabila skrining kanker serviks hanya mungkin dilakukan 1 kali
seumur hidup, maka sebaiknya skrining dilakukan pada wanita berusia
antara 35-45 tahun. Untuk wanita yang berusia lebih dari 50 tahun,
skrining cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali. Untuk wanita yang
berusia lebih dari 65 tahun tidak perlu melakukan skrining lagi apabila
hasil pemeriksaan sebelumnya 2 kali berturut-turut memberikan hasil
negatif (WHO, 2006).
6. Health Belief Model (HBM)
Health Belief Model (HBM) merupakan teori yang digunakan
untuk menjelaskan faktor perilaku yang mempengaruhi kemauan individu
melakukan suatu perilaku kesehatan yang berfokus pada sikap dan
keyakinan individu. Teori HBM terdiri dari perceived seriousness
(persepsi
terhadap
keseriusan/keparahan
penyakit),
perceived
susceptibility (persepsi terhadap kerentanan penyakit), perceived benefits
(persepsi terhadap manfaat), dan perceived barriers (persepsi terhadap
26
hambatan), dan cues to action (prasyarat dalam melakukan suatu tindakan)
(Rosenstock, 1974).
Persepsi
Individu
Faktor
Modifikasi
Persepsi
terhadap
kerentanan
penyakit/persep
si terhadap
keseriusan
penyakit
Kemungkinan
Tindakan
Umur, jenis
kelamin,
etnis,
kepribadian,
ekonomisosial, dan
pengetahuan
Persepsi terhadap
manfaat
dikurangi
persepsi terhadap
hambatan
Ancaman
yang
dirasakan
Kemungkinan
perilaku
Prasyarat
untuk
bertindak
Gambar 1. Konsep Health Belief Model
(Glanz et al., 2002)
Perceived susceptibility merupakan suatu opini dari suatu peluang
pada kondisi tertentu atau kemungkinan seseorang mendapatkan suatu
kondisi/penyakit tertentu. Perceived seriousness merupakan suatu
pendapat seseorang mengenai seberapa serius suatu kondisi dan
konsekuensi
dari
kondisi
tersebut.
Perceived
benefit
merupakan
27
kepercayaan seseorang terhadap efikasi dari tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi resiko atau keseriusan dari kondisi yang dialami.
Perceived barrier merupakan pendapat seseorang mengenai hal-hal yang
dapat mempersulit suatu tindakan akan dilakukan. Hal ini dapat berkaitan
dengan seberapa mahal biaya yang harus dikeluarkan, baik secara
psikologi maupun sebaliknya. Sedangkan cues to action merupakan
kesiapan dalam melakukan suatu tindakan (Glanz et al., 2002).
a. Persepsi individu
1) Persepsi terhadap kerentanan penyakit, persepsi atau pendapat
individu terhadap seberapa besar kemungkinan perilaku mereka
dapat menyebabkan kesehatan yang negatif atau seberapa beresiko
seseorang terkena suatu penyakit. Misalnya seseorang yang
merokok apabila mereka tidak merasa bahwa mereka memiliki
resiko terkena penyakit akibat rokok seperti kanker paru, bronkitis,
dll, maka ia tidak akan membuat perubahan perilaku. Salah satu
tujuan dari HBM adalah untuk mengubah persepsi individu untuk
bergerak ke arah perubahan perilaku.
2) Persepsi terhadap keseriusan penyakit, persepsi atau pendapat
individu terhadap keseriusan penyakit yang mungkin dapat terjadi
pada individu tersebut. Teori HBM bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran individu terhadap keseriusan suatu penyakit atau
kondisi tertentu dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
seseorang.
28
b. Faktor modifikasi
Pemahaman tentang persepsi individu merupakan hal yang
penting
untuk
memahami
bagaimana
faktor-faktor
dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan
perilaku. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Ancaman yang dirasakan, merupakan seberapa besar kemungkinan
seseorang dapat mengalami suatu penyakit atau kondisi tertentu.
Sebagai contoh, seorang perokok yang sudah merokok selama 25
tahun dan sudah merasakan gejala batuk akan lebih merasa
terancam terkena penyakit kanker paru dibandingkan perokok
yang baru merokok selama 1 tahun.
2) Faktor lingkungan, faktor ini mendukung faktor ancaman yang
dirasakan. Latar belakang sosiodemografis, seperti ras, etnis dan
status sosial ekonomi akan menyebabkan seorang individu merasa
lebih beresiko. Seseorang dengan ekonomi yang rendah akan lebih
terancam terkena suatu penyakit karena kemampuan membayar
biaya perawatan kesehatan juga rendah. Faktor teman atau
lingkungan tempat tinggal atau bermain juga dapat berpengaruh
terhadap perubahan perilaku seseorang. Apabila seseorang berada
di lingkungan di mana teman-teman atau keluarganya mempunyai
kebiasaan yang sama, misal merokok, maka seseorang tersebut
akan sulit untuk melakukan perubahan perilaku.
29
3) Prasyarat untuk melakukan suatu tindakan, merupakan sesuatu
yang dapat memicu seseorang mengambil keputusan untuk
melakukan perubahan perilaku. Hal ini dapat berupa media, dapat
juga karena orang-orang terkasih yang bersangkutan.
c. Kemungkinan tindakan
Persepsi individu dan faktor yang memodifikasi dibangun satu
sama lain yang saling berhubungan dan pada akhirnya menyebabkan
munculnya
kemungkinan
tindakan
atau
aksi.
Penting
untuk
menimbang antara manfaat dan hambatan dalam mengambil
keputusan.
1) Persepsi terhadap manfaat, merupakan persepsi seseorang terhadap
manfaat yang akan dirasakan dengan adanya perubahan perilaku
individu. Dalam HBM tujuan dari perubahan perilaku adalah
untuk meningkatkan kesehatan, meningkatkan kualitas hidup baik
secara mental maupun fisik.
2) Persepsi terhadap hambatan, hambatan yang menyebabkan seorang
individu tidak dapat melakukan perubahan perilaku. Hal ini dapat
berupa kehilangan teman, tidak memiliki cukup uang, tidak
percaya diri seseorang. Untuk dapat terjadinya perubahan perilaku
seseorang, manfaat harus lebih kuat daripada hambatan.
(Glanz et al., 2002)
Berdasarkan teori HBM, seseorang akan mengambil tindakan yang
berhubungan dengan kesehatan apabila orang tersebut merasa bahwa dapat
30
menghindari kondisi kesehatan yang negatif, memiliki ekspektasi positif
bahwa dengan mengambil tindakan tersebut ia dapat menghindari kondisi
kesehatan yang negatif, dan percaya bahwa ia akan berhasil dalam
mengambil tindakan kesehatan tersebut (Kruiroongroj, 2013). Teori HBM
dapat digunakan untuk memprediksi keyakinan dan perilaku suatu
individu terhadap kanker serviks dan skrining kanker serviks, serta dapat
untuk mengidentifikasi hambatan dan manfaat yang dirasakan dari adanya
skrining kanker serviks.
F. Landasan Teori
Perilaku kesehatan seorang individu dipengaruhi oleh pengetahuan
dan sikap individu tersebut. Menurut Notoadmojo (2003), perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pengetahuan dan sikap seorang individu antara lain umur, pendidikan,
pekerjaan, media
sumber informasi, pengalaman pribadi, pengaruh dari
orang lain dan juga pengaruh kebudayaan dimana hal tersebut juga akan
berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu tersebut.
Berdasarkan teori perilaku Health Belief Model (HBM) suatu
perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adanya persepsi
individu
terhadap kerentanan
dan
keseriusan
suatu penyakit
akan
memungkinkan seorang individu melakukan suatu perilaku kesehatan yang
dianjurkan dengan terlebih dahulu mempertimbangkan manfaat dan hambatan
31
yang ada. Hal tersebut juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (faktor
modifikasi) seperti umur, jenis kelamin, etnis, pengetahuan, kondisi sosialekonomi, dan kepribadian.
Sedangkan berdasarkan Green, 1998 (cit Susilawaty, 2005) perilaku
kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu predisposing factor (faktor
predisposisi) antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan dan nilai;
reinforcing factor (faktor pendukung) antara lain kemampuan individu,
keterjangkauan, ketersediaan, dan kemudahan fasilitas; enabling factor
(faktor pendorong) antara lain berupa dukungan dari keluarga, tetangga,
tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sairafi et al. (2007) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat
pengetahuan dan pekerjaan dengan tingkat pengetahuan. Wanita dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang lebih
baik dan wanita yang bekerja memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik
mengenai skrining kanker serviks. Tingkat pendidikan dan pekerjaan juga
memiliki pengaruh terhadap sikap wanita terkait kanker serviks dan skrining
kanker serviks (Sairafi et al., 2007). Wanita yang bekerja memiliki sikap
yang lebih baik terkait kanker serviks dan skrining kanker serviks.
Menurut penelitian Mupepi et al. (2011) menyatakan bahwa tempat
tinggal berpengaruh terhadap akses skrining kanker serviks. Umur merupakan
faktor yang signifikan yang mempengaruhi penerimaan wanita terhadap
skrining kanker serviks berdasarkan penelitian (Sairafi et al., 2007; Mupepi et
32
al., 2011). Menurut penelitian Mupepi et al. (2011) wanita yang berumur 2534 tahun lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks dibandingkan
dengan wanita yang lebih tua, sedangkan menurut penelitian Sairafi et al.
(2007) wanita yang berumur 30-49 tahun lebih bersedia untuk melakukan
skrining kanker serviks. Tingkat pendidikan juga memiliki hubungan yang
bermakna dengan penerimaan skrining kanker serviks berdasarkan penelitian
Priscilla et al. (2012). Menurut penelitian Mupepi et al. (2011), penghasilan
berpengaruh terhadap kesediaan skrining kanker serviks. Wanita yang
berpenghasilan memiliki kemungkingan yang lebih besar untuk melakukan
skrining kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang bergantung
terhadap penghasilan suaminya. Adanya riwayat kanker di keluarga juga
berpengaruh terhadap penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang
memiliki riwayat kanker di keluarga lebih bersedia melakukan skrining
kanker serviks berdasarkan penelitian Gu et al. (2013). Menurut penelitian
Sumastri dan Hidayah (2013) riwayat skrining memiliki hubungan yang
bermakna dengan penerimaan skrining kanker serviks. Wanita yang sudah
pernah melakukan skrining kanker serviks sebelumnya lebih bersedia untuk
melakukan skrining kanker serviks di masa mendatang.
Penelitian yang dilakukan John (2011) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap wanita Ruvuna
terhadap skrining kanker serviks. Wanita yang memiliki pengetahuan lebih
baik memiliki sikap yang lebih positif terkait skrining kanker serviks.
Penelitian yang dilakukan Dewi et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat
33
hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan penerimaan
skrining kanker serviks. Wanita yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi
lebih bersedia melakukan skrining kanker serviks. Menurut penelitian Martini
(2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap
dan penerimaan skrining. Wanita dengan sikap yang baik lebih bersedia
melakukan skrining kanker serviks dibandingkan wanita dengan sikap yang
kurang.
G. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori di atas yang kemudian dikaitkan dengan
permasalahan dalam penelitian ini, maka dibuat kerangka konsep sebagai
berikut:
Karakteristik responden
1. Karakteristik
sosiodemografi:
a. Domisili
b. Usia
c. Status
perkawinan
d. Pendidikan
terakhir
e. Pekerjaan
f. Penghasilan
2. Karakteristik lain:
a. Riwayat kanker
b. Informasi
c. Riwayat
skrining
Pengetahuan tentang
kanker serviks dan
skrining kanker
serviks
Penerimaan
skrining kanker
serviks
Sikap terkait:
1. Manfaat
skrining
2. Hambatan
skrining
3. Keseriusan/
keparahan
penyakit
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
34
H. Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara karakteristik dengan pengetahuan, sikap, dan
penerimaan skrining kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan
Wonosari Kabupaten Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota
Yogyakarta.
2. Terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan penerimaan skrining
kanker serviks pada wanita dewasa di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Gunungkidul dan Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.
Download